bab i difteria
Post on 28-Oct-2015
27 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Difteria adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheria dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan/atau
mukosa5.
Penyakit ini telah didokumentasikan pertama kali muncul pada abad ke-4 hingga abad ke-
5 sebelum masehi dan merupakan salah satu penyebab kematian pada anak sebelum adanya
vaksin yang terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah yang beriklim panas.
Walaupun angka kematian yang disebabkan oleh difteria menurun secara perlahan-lahan di
negara industri pada awal abad ke-20 (yang disertai dengan perbaikan standar hidup) namun
difteria masih tetap menjadi salah satu penyebab kematian terbesar pada anak-anak sebelum
vaksinasi ditegakkan secara luas2.
Di Amerika Serikat dari tahun 1980 hingga 1998, kejadian difteri dilaporkan rata-rata 4
kasus setiap tahunnya; dua pertiga dari orang yang terinfeksi kebanyakan berusia 20 tahun atau
lebih. KLB yang sempat luas terjadi di Federasi Rusia pada tahun 1990 dan kemudian menyebar
ke negara-negara lain yang dahulu bergabung dalam Uni Soviet dan Mongolia13.
Wabah mulai menurun setelah penyakit tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1995
meskipun pada kejadian tersebut dilaporkan telah terjadi 150.000 kasus dan 5.000 diantaranya
meninggal dunia antara tahun 1990-1997. Di Ekuador telah terjadi KLB pada tahun 1993/1994
dengan 200 kasus, setengah dari kasus tersebut berusia 15 tahun ke atas. Pada kedua KLB
tersebut dapat diatasi dengan cara melakukan imunisasi massal13.
Menurut laporan UNICEF, di Indonesia terjadi kematian bayi setiap 3 menit. Salah satu
penyebab kematian tersebut disebabkan oleh penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Secara akumulatif setiap tahun terjadi kematian anak akibat reemerging desease yang dapat
dicegah dengan imunisasi seperti difteri dan tetanus. Berdasarkan data memperlihatkan bahwa
kasus difteri paling banyak terjadi pada anak yang tidak divaksinasi atau vaksinasi tidak
lengkap.12
Berdasarkan data Surveilans Nasional, Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri telah
menyebar di beberapa provinsi di Indonesia. Jawa Timur menyumbang 83% kasus Difteri di
Indonesia. Di Kota Surabaya sendiri terhitung mulai 12 Oktober 2012, tercatat 59 kasus Difteri
dengan kasus satu orang meninggal (dengan penyakit dasar Leukimia). 11
Penyakit ini hingga sekarang sudah menurun dengan drastis. Meskipun vaksinasi difteria
sudah diterapkan di hampir seluruh belahan dunia, namun data terakhir mengenai insidensi
difteria pernah dilaporkan meningkat pada tahun 1990-1995 yang terjadi di negara berkembang
bahkan di beberapa negara bekas pecahan Uni Soviet yang sebelumnya memiliki riwayat kontrol
vaksinasi difteria yang sangat bagus4.
Hal inilah yang mendorong penulis untuk membahas difteria lebih lanjut terutama
mengenai insidensi difteria, patogenesis dan patofisiologi toksin difteria, diagnosis, terapi hingga
pencegahan yang tepat terhadap penyakit ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Difteria merupakan penyakit infeksi akut yang sangat menular yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae yang ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan
atau mukosa1. Infeksi ini biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang-kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia serta
Telinga5.
2.2 Epidemiologi
Difteria merupakan penyakit yang tersebar luas di seluruh dunia. Insidensinya menurun
secara nyata setelah perang dunia II terutama setelah penggunaan toksoid difteria. Mortalitasnya
juga menurun sekitar 5-10%. Penyakit ini banyak terdapat di daerah padat penduduk dengan
angka kematian yang cukup tinggi, namun angka kesakitan dan kematiannya menurun secara
drastis setelah adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI)5,2. Di ruang perawatan penyakit
menular bagian Ilmu kesehatan Anak RSUD Dr. Soetomo dalam tahun 1982-1986 rata-rata
dirawat 200-400 kasus difteria setiap tahun dengan angka kematian sekitar 4-7%, akan tetapi dari
dari tahun ke tahun tampak penurunan jumlah pasien dan pada tahun 1989 terdapat 130 kasus
dengan angka kematian 3,08%. Delapan puluh persen kasus terjadi di bawah 15 tahun, meskipun
demikian dalam suatu keadaan wabah, angka kejadian menurut umur tergantung status imunitas
populasi suatu keadaan wabah dan status imunitas populasi setempat1.
Penyakit ini ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier melalui droplet saat
batuk, bersin, atau berbicara serta muntahan/debu. Faktor sosial ekonomi, pemukiman yang
padat, nutrisi yang jelek, terbatasnya fasilitas kesehatan merupakan faktor penting terjadinya
penyakit ini6. Sementara itu angka kesehatan dan kematian tahun 1992-1996 di rumah sakit
propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang serta Ujung Pandang ternyata masih tetap
tinggi seperti yang tertera pada Tabel 11.
Tabel 1. Angka Kesehatan dan Kematian akibat Difteria dari Tahun 1992-1996 di Rumah Sakit Propinsi di Jakarta, Semarang, Bandung, Palembang serta Ujung Pandang
Tahun
RSCM RSHS RSWS RSK RSU PMHKasus
*m%
Kasus
*m%
Kasus
*m%
Kasus
*m% Kasus *m%
1991 22 50 28 10,7 0 0 70 8,6 32 21,91992 25 32 26 7,7 12 0 34 5,9 19 26,31993 19 26,3 18 0 7 0 12 0 16 62,51994 16 18,8 12 0 10 10 8 0 13 46,21995 12 25 6 0 4 0 9 11,1 7 14,31996 7 28,6 3 0 1 0 11 0 14 42,9
Keterangan :
RSCM = RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
*m = meninggal
RSHS = RS. Dr. Hasan Sadikin, Bandung
RSWS = RS. Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Ujung Pandang
RSK = RS. Kariadi, Semarang
RSU PMH = RS. Dr. Muh. Husein, Palembang.
Penyakit ini umumnya terjadi pada anak-anak yang berusia dibawah 15 tahun terutama
pada anak-anak usia sekolah dasar2,3. Walaupun vaksinasi difteri telah dilakukan secara luas di
sejumlah negara, namun kasus difetri masih tetap saja muncul. Hal ini terlihat dengan munculnya
kasus difteri sebayak 140.000 kasus dengan kematian 4.000 jiwa disejumlah negara pecahan Uni
Soviet pada awal tahun 1990. Selama 2 decade sebelumnya penyakit ini terkontrol dengan
sangat bagus di Uni Soviet terutama setelah dilakukannya imunisassi difteri masal terhadap
anak-anak pada awal tahun 19505. Bangkitan kembali difteri di sejumlah negara pecahan Uni
Soviet ini tergolong unik karena sebanyak 64-82% kasus menyerang orang diatas usia 15 tahun3.
Sementara itu, sebanyak 27.134 kasus difteri di Brazil muncul kembali pasca vaksinasi
beberapa tahun sebelumnya di Negara tersebut yang terjadi dalam rentang tahun 1980-1989.
Selama periode tersebut dilaporkan bahwa sebanyak 25% kasus difteri terjadi pada anak-anak
yang telah mendapat vaksinasi difteri sebelumnya3. Sejumlah peneliti mencari penyebab
timbulnya bangkitan kembali kasus difteri di sejumlah negara seperti Brazil dan sejumlah negara
pecah Uni Soviet di era pasca vaksinasi masal pada anak-anak di Negara tersebut. Beberapa
diantaranya berpendapat bahwa bangkitan ini timbul akibat munculnya biotipe bakteri
Corynebacterium diphtheriae yang baru. Sejumlah peneliti lai berpendapat bahwa hal ini dapat
diakibatkan oleh karena cara dan jadwal pemberian vaksin yang kurang tepat. Factor imunitas
inang (status imunologis) juga dapat berperan dalam hal ini. Pemukiman yang padat dan
kotor juga dapat meningkatkan
insidensi munculnya penyakit tersebut3,4.
2.3 Etiologi
Corynebacterium diphteriae merupakan kuman batang gram positif yang tidak bergerak,
pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora dan mati pada pemanasan 600C. Coryne
sendiri berasal dari bahasa Yunani yang artinya tongkat. Bakteri ini juga tahan dalam keadaan
beku dan kering serta pada pewarnaan tampak dalam susunan palisade, bentuk L atau V atau
merupakan kelompok dengan formasi mirip huruf Cina serta membentuk sudut tajam antara yang
satu dengan yang lainnya yang memiliki bentuk yang khas seperti korek api5. Bakteri ini tumbuh
secara aerob, dalam media sederhana, namun lebih baik dalam media yang mengandung K-
tellurit atau media Loffler. Pada membran mukosa manusia bakteri ini dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphteroid saporofit yang memiliki morfologi yang serupa sehingga kadang-
kadang untuk membedakannya diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi glikogen,
kanji, glukosa, maltosa serta sukrosa1.
Secara umum dikenal 3 tipe utama C.diphtheriae yaitu tipe gravis, intermedius dan mitis,
namun dipandang dari sudut antigenisitas sebenarnya basil ini merupakan spesies yang bersifat
heterogen dan mempunyai banyak tipe serulogik. Hal ini mungkin bisa menerangkan mengapa
pada seorang pasien bisa terdapat kolonisasi lebih dari satu jenis C.diphtheriae. Ciri khas
C.diphtheriae adalah kemampuannya memproduksi eksotoksin baik in vivo maupun in vitro.
Eksotoksin ini merupakan suatu protein dengan berat molekul 62.0000 dalton, tidak tahan
panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (karboksi-
terminal). Kemampuan suatu strain untuk membentuk/memproduksi toksin dipengaruhi oleh
adanya bakteriofag, toksin hanya bisa diproduksi oleh C.diphtheriae yang terinfeksi oleh
bakteriofag yang mengandung toxigen1.
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Corynebacterium diphteriae masuk melalui hidung dan mulut dari droplet yang keluar
saaat batuk, bersin, ataupun berbicara yang selanjutnya menempel pada mukosa saluran napas
bagian atas, kadang-kadang menempel pada kulit, mata, atau mukosa genitalia. Jika bakteri ini
melekat serta berkembang biak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas, maka
selanjutnya bakteri tersebut mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling dan
menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan pembuluh darah1,7.
Setelah 2-4 hari masa inkubasi kuman dengan Corynephage akan menghasilkan toksin
yang pada awalnya diabsorbsi oleh membran sel, selanjutnya terjadi penetrasi dan interferensi
dengan sintesis protein bersama-sama dengan sel kuman mengeluarkan suatu enzim penghancur
terhadap Nicotinamid Adenine Dinucleotide (NAD) dengan membentuk formasi sehingga
Transferase Adenosine Difosforilase tidak aktif. Toksin yang melekat pada jaringan tubuh
manusia akan menghambat pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel
dimulai dari penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapatkan
kedudakan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam
amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses
translokasi. Translokasi ini merupakan perpindahan gabungan transfer RNA + dipeptida dari
kedudukan A ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim translokasi (elongation
factor-2) yang aktif 1,5.
Gambar 1. Pengambilan dan Aktivitas Toksin Difteria pada Sel Eukariot 6
Kedua gambar di atas memperlihatkan aktivitas toksin difteria saat memasuki sel inang.
Jika dilihat dari segi molekulernya toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel
dengan bantuan fragmen B. Fragmen B ini akan melekat pada prekursor Heparin-binding
Epidermal Growth Factor (HB-EGF) yang merupakan protein pada banyak tipe sel. Selanjutnya
fragmen A akan masuk serta mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses NAD +
EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-ribosil-EF2 yang inaktif
tersebut menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian
polipeptida yang diperlukan. Sintesis protein akibatnya terputus karena enzim diperlukan untuk
memindahkan asam amino dari RNA dengan memperpanjang rantai polipeptida. Hal ini akan
menyebabkan terjadinya nekrosis pada daerah kolonisasi kuman yang selanjutnya menyebabkan
terjadinya inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak
eksudat yang pada mulanya mudah dilepas 6.
Lama-kelamaan toksin yang diproduksi semakin banyak dengan daerah infeksi semakin
melebar dan terbentuklah eksudat fibrin yang berupa membran yang melekat erat bewarna
kelabu kehitaman yang tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Membran ini terdiri dari
fibrin, sel radang, eritrosit serta sel epitel. Bila membran ini diangkat maka akan terjadi
perdarahan. Membran ini akan terlepas dengan sendirinya pada masa penyembuhan. Edema
dapat juga terjadi pada jaringan di bawahnya sehingga dapat menyebabkan kesulitan bernafas
bila terjadi pada daerah laring/ trakeo bronkial 5,7.
Toksin difteria akan menyebar dalam tubuh dan melalui darah setelah membran terbentuk
dan merusak jaringan organ tubuh terutama jantung, saraf, dan ginjal. Walaupun terdapat
antitoksin yang dapat menetralisasi toksin yang sudah masuk ke dalam sel. Setelah toksin masuk
ke dalam jaringan terjadi variasi periode laten sebelum timbulnya manifestasi klinis5.
2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh Corynebacterium diphteriae dipengaruhi oleh
sejumlah faktor sehingga manifestasi klinisnya dapat bervariasi dari tanpa gejala hingga sampai
pada suatu keadaan/penyakit yang hipertoksik serta fatal. Faktor primer yang berperan adalah
imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenisitas Corynebacterium
diphteria (kemampuan kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Faktor
lain termasuk umur, penyakit pada daerah nasofaring yang sudah ada sebelumnya5,2.
Masa inkubasi biasanya berkisar 2-5 hari walaupun dapat lebih singkat (hanya satu hari),
dapat juga berkisar 8 hari bahkan hingga 4 minggu, misalnya hanya sakit tenggorok yang ringan,
panas yang tidak tinggi yang berkisar antara 37,80-38,90 C. Awalnya tenggorakan hanya terlihat
hiperemis namun kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan. Oleh karena itu, pasien
pada umumnya datang untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik 1,5.
Membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, serta uvula dalam 24 jam.
Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal, abu-abu/hitam
tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran ini
mempunyai batas jelas serta melekat dengan jaringan di bawahnya sehingga sukar diangkat dan
apabila diangkat secara paksa dapat menimbulkan perdarahan 2,1.
Gambar 2. Pseudomembran pada Difteri6
Gejala lokal serta sistemik secara bertahap akan menghilang dan membran akan
menghilang. Perubahan ini akan lebih cepat menghilang setelah pemberian antitoksin. Biasanya
proses yang terjadi pada difteria sedang akan menurun pada hari ke-5 hingga ke-6 walaupun
tanpa pemberian antitoksin. Difteria akan lebih berat bila terjadi pada anak yang lebih muda.
Biasanya difteri yang seperti ini disertai dengan adanya bullneck serta dengan gejala yang lebih
berat dan membran yang menyebar secara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung.
Gambaran bullneck ini timbul akibat pembengkakan kelenjar leher, infiltrat ke dalam jaringan
sel-sel leher dari satu telinga ke telinga lain dan mengisi di bawah mandibula5,7.
Gambar 3. Bull neck pada Penderita Difteri
Miokarditis biasanya timbul pada hari ke-10 hingga hari ke-14 setelah terjadinya infeksi
ataupun dapat juga terjadi pada akhir minggu pertama atau minggu keenam. Neuritis perifer
biasanya timbul pada minggu 3-7 minggu setelah perjalanan penyakit. Perubahan patologis yang
ditemukan pada jaringan organ adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin. Sementara itu pada
sistem saraf juga dapat ditemukan adanya degenerasi lemak dari sarung mielin. Pada hati dapat
terjadi nekrosis sehingga terjadinya hipoglikemia. Sementara itu nekrosis tubular
akut dapat terjadi pada ginjal1,5.
Tabel 2. Manifestasi Klinis Difteri1
Gejala Klinis RSCM RSHS RSK RSU PMHKasus *m% Kasus *m% Kasus *m% Kasus *m%
Demam<2 hari 12 18,2 58 62,4 40 27,8 13 12,9>2hari 54 81,8 35 37,6 104 72,3 88 87,1
Obstruksi LaringDerajat I 7 10,6 0 0 13 9,0 17 16,8Derajat II 4 6 12 12,9 5 3,5 21 20,8Derajat III 11 16,7 36 36,7 0 0 18 17,8Derajat IV 10 15,2 8 6,6 59 3,5 23 22,8
Bullneck 39 59 31 33,3 37 25,7 36 35,6Miokarditis 29 43,9 12 12,9 5 3,5 29 28,7
Keterangan : RSCM = RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, RSHS = RS Hasan Sadikin, Bandung, RS Dr. Kariadi, Semarang, RS Dr. Muh. Husein, Palembang, *m% = meninggal. Data tahun 1991-1996
2.6 Jenis-jenis Difteria
2.6.1 Difteria Tonsil dan Faring
Gejala yang timbul pada difteria jenis ini biasanya tidak khas, berupa malaise, anoreksia,
sakit tenggorok sehingga menyebabkan nyeri menelan serta panas subfebris. Selanjutnya dalam
1-2 hari kemudian dapat timbul membran yang melekat yang bewarna putih kelabu yang dapat
menutupi tonsil dan dinding faring dan meluas hingga ke uvula dan palatum molle atau ke bawah
laring dan trakea. Selain itu dapat juga terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular. Jika
limfadenitis ini terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas dapat timbul
bullneck. Gejala selanjutnya bergantung pada derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada
kasus yang berat bahkan dapat terjadi gagal pernapasan dan sirkulasi1,7.
Beratnya penyakit bergantung pada derajat berat toksemia dengan suhu dapat normal atau
sedikit meningkat tetapi nadi biasanya cepat. Pada kasus yang ringan membran biasanya akan
menghilang antara 7-10 hari dan penderita tampak sehat. Sementara pada kasus yang berat
ditandai dengan gejala-gejala toksemia berupa lemah, pucat, nadi cepat dan kecil, stupor, koma
dan biasanya akan meninggal dalam 6-10 hari. Sementara pada kasus yang sedang biasanya
penyembuhan lambat diserta komplikasi seperti miokarditis dan neuritis5.
2.6.2 Difteria Hidung
Difteria hidung awalnya menyerupai common cold , dengan gejala pilek ringan atau
disertai gejala sistemik ringan.. Sekret hidung berangsur menjadi serosanguinis dan kemudian
mukupurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik
yang timbul tidak nyata seghiingga diagnosis lambat dibuat 1.
Angka kejadian difteria hidung ini adalah 2% dari kasus difteria dengan gejala paling
ringan. Timbulnya difteria hidung sulit dibedakan dengan pilek. Biasanya difteria hidung
ditandai dengan adanya sekret dari hidung yang tidak khas. Panasnya hanya bersifat subfebris
dengan sekret hidung mula-mula serous kemudian menjadi serosanguinus yang dapat timbul
unilateral atau bilateral yang dapat menjadi mukopurulen disertai ekskoriasi hidung anterior dan
bibir atas yang memberikan gambaran seperti impetigo1,5.
Gambar 4. Difteria Hidung
Sekret ini biasanya menempel di septum nasi. Epistaksis dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Pada tempat ini absorbsi toksin sangat kecil sehingga difteria hidung tergolong ringan.
Infeksi ini cepat menghilang melalui pemberian antitoksin. Jika sekret ini tidak diobati maka
sekret akan berlangsung berminggu-minggu dan akan menjadi sumber utama penularan 5,2.
2.6.3 Difteria Laring
Difteria jenis ini biasanya terjadi akibat penjalaran difteria faring. Akan tetapi kadang-
kadang dapat berdiri sendiri tanpa adanya difteria faring. Secara klinis difteria jenis ini sulit
dibedakan dengan obstruksi laringitis akut yang disebabkan oleh infeksi lain. Penyakit ini
biasanya disertai panas dan batuk serta suara yang serak. Gejala obstruksi dapat berupa adanya
stridor inspiratoar, retraksi suprasternal, supraklavikular dan subkostal. Perjalanan penyakit
bergantung pada beratnya penyakit dan derajat obstruksi. Pada kasus yang ringan pemberian
antitoksin akan menghilangkan gejala obstruksi dan membran hilang pada hari ke-6 hingga hari
ke-101. Sementara pada kasus yang sangat berat penyumbatan diikuti dengan anoksemia yang
ditandai dengan gelisah, sianosis, lemah, koma, dan meninggal. Pada kasus ringan dapat terjadi
suatu obstruksi akut dan kematian mendadak akibat sebagian membran yang terlepas dan
menyumbat saluran napas. Kira-kira sebanyak 35% dari difteria laring adalah murni/primer.
Sebagian besar difteria laring (65%) merupakan kelanjutan dari difteria tonsil dan faring
sehingga gejalanya berupa toksemia dan obstruksi 1,2.
Jakson membagi derajat dispneu laring progresif menjadi 4 stadium, yaitu5:
Stadium 1 : yang ditandai dengan terdapat cekungan supraternal. Keadaan ini tidak mengganggu
dan penderita tetap tenang.
Stadium 2 : cekungan suprasternal menjadi lebih dalam ditambah dengan cekungan di
epigastrium dan penderita mulai tampak gelisah. Pada stadium ini sudah diindikasikan untuk
dilakukan trakeostomi.
Stadium 3 : tampak cekungan suprasternal, supraklavikular, infraklavikular, epigastrium serta
intercostal. Pada stadium ini penderita tampak sangat gelisah dan sukar untuk bernapas. Stadium
ini diindikasikan untuk dilakukan trakeostomi.
Stadium 4 : gejala di atas semakin berat dimana penderita sangat gelisah dan berusaha sekuat
tenaga untuk bernapas serta tampak seperti ketakutan dan pucat/sianosis.
2.6.4 Difteria Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga
Tipe difteria ini merupakan tipe difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit
ditandai dengan ulkus yang berbatas jelas dengan dasar membran putih-abu-abu. Kelainannya
cenderung menahun. Jika difteria ini terjadi pada mata yang mengenai konjungtiva ditandai
dengan adanya membran di konjungtiva palpebra. Jika terjadi pada telinga ditandai dengan
timbulnya otitis media eksterna dengan sekret mukopurulen dan berbau. Difteria
vulvoginal ditandai adanya ulkus dengan batas yang jelas1.
2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis dini difteria secara cepat merupakan hal yang penting karena
keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis secara
cepat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang ditandai dengan adanya pseudomembran. Oleh
karena itu, diagnosis ditegakkan secara cepat tanpa harus menunggu hasil mikrobiologi.
Penegakan diagnosis melalui pembuatan preparat apusan kurang dapat dipercaya sedangkan
untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari1,5.
Sebenarnya membran di tenggorokan tidak terlalu spesifik untuk difteria karena sejumlah
penyakit lain juga dapat dijumpai membran. Akan tetapi membran pada difteria agak berbeda
dengan penyakit lain yang ditandai dengan warna membran pada difteria yang bewarna lebih
gelap dan lebih keabu-abuan dengan disertai lebih banyak fibrin dan melekat pada mukosa di
bawahnya dan jika diangkat akan terjadi perdarahan. Membran ini biasanya dimulai dari tonsil
dan menyebar ke uvula1,7.
Sementara untuk pemeriksaan bakteriologis bahan yang diambil adalah membran atau
bahan di bawah membran dimana bahan dibiakkan dalam media Loffler, K-Tellurite serta blood
agar. Pada pemeriksaan laboratorium darah dan urin tidak ditemukan arti yang spesifik. Leukosit
dapat meningkat atau normal yang kadang-kadang dapat terjadi anemia akibat hemolisis sel
darah merah. Sementara itu pada neuritis cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit
peningkatan protein1.
Selain itu dapat juga dilakukan tes Shick yang merupakan tes kulit yang digunakan untuk
menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna dalam menegakkan diagnosis dini
karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian. Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan
cairan toksin sebanyak 0,1 ml (1/50 MLD) secara intradermal. Jika dalam tubuh penderita tidak
ada antitoksin maka akan terjadinya pembengkakan, eritema dan sakit 3-5 hari setelah
penyuntikan. Sebaliknya jika dalam tubuh penerita terdapat antitoksin maka
toksin akan segera dinetralisasi sehingga tidak terjadi reaksi kulit5.
2.8 Diagnosis Banding
2.8.1 Diagnosis Tonsil dan Faring (Difteri Fausial)
Tonsilitis Folikularis atau lakunaris
Biasanya disertai dengan panas yang tinggi sedangkan anak tampak tidak terlalu lemah.
Faring dan tonsil tampak hiperemis dengan membran putih kekuningan yang rapuh dan lembek
dan tidak mudah berdarah bila diangkat dan hanya terbatas pada tonsil saja. Biasanya tonsilitis
folikularis disebabkan oleh Streptococcus hemolyticus Grup A. Penyakit ini memiliki respon
yang sangat baik dengan pemberian Penicillin dan akan hilang dalam 24 jam1.
Angina Plaut Vincent
Penyakit ini juga membentuk membran yang rapuh, tebal, berbau, dan bewarna keabu-
abuan. Di bawah membran terdapat ulserasi yang biasanya terdapat pada anak dengan gizi buruk.
Sediaan langsung akan menunjukkan kuman fusiformis (gram positif) dan spirila (gram negatif) 1.
Mononukleus Infeksiosa
Penyakit ini khas ditandai dengan adanya membran di tonsil yang disertai pembengkakan
kelenjar umum dan pembesaran limpa serta pada pemeriksaan darah tepi ditemukan limfosit
abnormal dalam jumlah banyak1,5.
Diskrasia Darah
Diskrasia darah, seperti agranulositosis dan leukimia dapat memberikan komplikasi lesi
oral yang menyerupai difteria1.
2.8.2 Difteria Laring
Laringitis akut
Pada laringitis akut didapatkan gejala peningkatan suhu, batuk, suara serak sampai afoni,
sesak napas serta stridor. Gejala laringitis akut pada anak lebih berat dibandingkan dengan orang
dewasa karena glotis anak relatif lebih kecil dibandingkan orang dewasa dan ikatan mukosa
dengan jaringan di bawahnya masih regang. Biasanya pada pemeriksaan laringoskopi direk
didapatkan mukosa laring yang tampak merah dan edema tanpa membran5.
Edema angioneurotik dan Laring
Edema jenis ini diakibatkan akibat respon alergi terhadap makanan atau obat yang
ditandai dengan sesak, sianosis, retraksi suprasternal yang tiba-tiba dan
respon sangat drastis terhadap pengobatan adrenalin5.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk isolasi C. Diphteriae yaitu dengan menyiapkan bahan
pemeriksaan berupa biakan yang harus diambil dari hidung dan tenggorok dan dari salah satu
tempat lesi mukokutan lainnya dengan cara apusan dari tepi atau bagian bawah tepi
pseudomembran dan sebagian membran harus diambil dan diserahkan bersama eksudat di
bawahnya, kemudian ditanam pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenesitas
secara in vivo (marmut) dan in vitro (tes Elek) atau pemeriksaan preparat langsung meskipun
sangat jarang memberi hasil yang positif. Meskipun demikian, diagnosis ditegakkan berdasarkan
temuan klinis tanpa menunggu konfirmasi pemeriksaan laboratorium untuk menemukan kuman
C. diphteriae karena penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa pasien. Sedangkan cara
yang lebih akurat adalah dengan identifikasi menggunakan fluorescent antibody technique
namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat
membantu menegakkan diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan
masih memerlukan penjajakan lebih lanjut untuk penggunaan secara luas8, 9,10.
2.10 Penatalaksanaan
2.10.1 Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 2 kali berturut-turut setelah masa akut
terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terlaksana10 :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b.Sebaiknya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan toksoid diphtheria.
Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif)
2. 10. 2 Pengobatan
Tujuan mengobati penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya pada jaringan, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal,
mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan
penyulit difteria1.
Adapun pengobatan difteria secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pasien harus diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2
kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu.
2. Tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu.
3. Pemberian cairan serta diet yang adekuat
4. Pasien dengan difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara
dengan menggunakan nebulizer. Bila terjadi tanda obstruksi jalan nafas disertai kegelisahan,
iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi
tindakan trakeostomi sesegera mungkin. Orotrakeal intubasi merupakan alternatif lain, tetapi
dapat menyebabkan terlepasnya membran, sehingga akan gagal untuk mengurangi
obstruksi9,10.
Sementara itu pengobatan difteria secara khusus adalah sebagai berikut:
1. Pemberian Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
2. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada
pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia
larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
3. Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1 :
1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm.
4. Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10 dalam garam
faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila dalam 20 menit tampak
gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
5. Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi. Bila tes
hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara tetesan
intravena.1
Tabel 3. Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit1
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteri Hidung 20.000 IV
Difteri Tonsil 40.000 IM/IV
Difteri Faring 40.000 IM/IV
Difteri Laring 40.000 IM/IV
Kombinasi lokasi diatas 80.000 IV
Difteri + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV
Terlambat Berobat (>72 Jam), 80.000-100.000 IV
lokasi dimana aja
2.10.3 Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotic diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50,000-100,000
IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat hiperswensitivitas penisilin, diberikan
eritromisin 40mg/kgBB/hari1.
2.10. 4 Pemberian Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan pemberian kortikosteroid pada
difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala:
- obstruksi jalan nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
- bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk mencegah
miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2mg/kgBB/hari selam 2 minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap1.
2.10.5 Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik
oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin pada umumnya reversibel. Bila tampak
kegelisahan, iritsabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan
trakeostomi1.
2.10. 6 Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/ suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu1.
Tabel 4. Pengobatan Terhadap Kontak Difteri1
Biakan Uji Shick Tindakan
(-) (-) Bebas isolasi: Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria
(+) (-) Pengobatan carrier: Penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau
eritromicin 40mg/kgBB selama 7 hari
(+) (+) Penisilin 100mg/kgBB/hari oral/suntikan atau eritromisin 40mg/kgBB +
ADS 20.000 IU
(-) (+) Toksoid difteria (imunisasi aktif) sesuaikan dengan status imunisasi
2.11 Pencegahan
Pencegahan difteria dilakukan melalui cara yang umum hingga cara yang khusus.
Adapun penatalaksanaan difteria secara umum adalah dengan mensosialisasikan kebersihan dan
pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita
penyakit difteria kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu
imunisasi.
Sementara itu pencegahan difteria secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan carrier. Imunisasi DPT merupakan vaksin mati, sehingga untuk mempertahankan
kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, kelengkapan ataupun pemberian
imunisasi ulangan sangat diperlukan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak
berumur 6 tahun. Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga
kali dengan interval masing-masing empat minggu. Apabila imunisasi belum lengkap segera
dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang
telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan 1 kali8.
Selain itu pencegahan difteria secara khusus juga dapat dilakukan dengan melakukan
sejumlah tes kekebalan, antara lain sebagai berikut:
1. Schick test . Tes ini berguna untuk menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteria.
Test dilakukan dengan menyuntikan toksin difteria yang sudah dilemahkan secara intrakutan.
Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
2. Moloney test. Tes ini bertujuan untuk menentukan sensitivitas terhadap produk kuman
difteria. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid difteria toxoid secara
suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema > 10 mm. Jika
ditemukan keadaan seperti ini berarti bahwa :
a. Pasien pernah terpapar pada basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
b. Pemberian toksoid difteria bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Kekebalan pasif difteria diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (sampai 2-3 minggu). Sementara itu
kekebalan aktif diperoleh dengan cara menderita sakit atau inapparent
infection dan
imunisasi dengan toksoid difteria9,10.
2.12 Komplikasi
Komplikasi yang disebabkan oleh difteria sangat luas mulai dari infeksi sekunder akibat
bakteri lainnya, komplikasi yang bersifat lokal berupa obstruksi jalan napas akibat membran atau
edema jalan napas, serta komplikasi yang bersifat sistemik karena efek eksotoksin berupa
miokarditis, neuritis, serta nefritis1,2.
1. Infeksi Tumpangan Oleh Kuman Lain
Infeksi akibat tumpangan dari bakteri lain seringkali disebabkan oleh Streptokokus β
hemolyticus Grup A serta Staphylococcus aureus. Penyulit ini mulai berkurang setelah era
penggunaan antibiotik yang luas.
2. Obtsruksi jalan napas
Obstruksi ini dapat terjadi akibat tertutupnya jalan napas oleh membran difteria atau oleh
karena edema pada tonsil, faring, daerah submandibular dan servikal.
3. Sistemik
Adapun komplikasi yang bersifat sistemik yang disebabkan oleh Corynebacterium
difteriae adalah :
a. Miokarditis
Angka kejadian miokarditis pada anak berkisar 10-20% yang biasanya sering terjadi pada
bentuk yang berat walaupun dapat juga terjadi pada bentuk yang ringan. Miokarditis dapat terjadi
akibat makin luas lesi lokal yang terjadi serta makin lama pemberian antitoksin. Virulensi kuman
yanag tinggi juga dapat menimbulkan miokarditis. Biasanya miokarditis terjadi pada minggu
pertama. Miokarditis yang terjadi pada minggu pertama tergolong pada miokarditis yang timbul
secara cepat. Selain itu miokarditis dapat terjadi lambat yang biasanya terjadi pada minggu
keenam1,2,5.
Gejala miokarditis secara klinis ditandai dengan melemahnya suara jantung pertama.
Sedangkan pada pemeriksaan EKG dapat terlihat interval PR yang memanjang, depresi atau
elevasi segmen ST yang bermakna atau adanya blok jantung1.
b. Neuritis
Neuritis biasanya terjadi pada 5-10% dari penderita difteria yang biasanya merupakan
komplikasi dari difteria berat. Manifestasi klinisnya ditandai dengan lesi yang biasanya bilateral
dan motorik lebih dominan dibandingkan dengan sensorik yang timbul setelah masa laten dan
biasanya sembuh sempurna5.
c. Paresis/paralisis Palatum Molle
Paresis/paralisis palatum molle merupakan manifestasi saraf yang paling sering terjadi
yang timbul pada minggu ketiga dan khas dengan adanya suara hidung dan regurgitasi hidung.
Sebagian kepustakaan mengatakan bahwa kelainan ini timbul pada minggu pertama dan kedua.
Biasanya akan hilang sama sekali dalam 1-2 minggu5.
d. Ocular Palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai dengan paralisis dari otot
akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Otot yang terkena adalah muskulus
rektus eksternus1,5.
e. Paralisis Diafragma
Biasanya paralisis diafragma terjadi pada minggu ke-5 atau ke-7 akibat paralisis nervus
frenikus. Bila tidak diatasi penderita akan segera meninggal1,5.
f. Parasis/paralisis Anggota Gerak
Paralisis anggota gerak terjadi pada minggu ke-6 hingga ke-10 dan pada pemeriksaan
didapati lesi bilateral, refleks tendo akan menghilang, cairan serebrospinal menunjukkan
peningkatan protein yang mirip dengan sindrom
Guillian Barre1,5.
2.13 Prognosis
Prognosis penyakit ini lebih baik daripada sebelumnya setelah ditemukan antitoksin
difteria dan antibiotika. Sebelum adanya antitoksin dan antibiotika angka kematian mencapai 30-
50%. Setelah adanya antibiotika dan antitoksin angka kematian menurun menjadi 5-10%1.
Prognosis penyakit ini bergantung pada sejumlah faktor seperti usia penderita, waktu
pemberian antitoksin, tipe klinis difteria serta keadaan umum penderita. Makin muda usia maka
makin buruk pula prognosisnya. Bila antitoksin diberikan pada hari pertama, angka kematian
pada penderita kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6 akan
menyebabkan angka kematian meningkat sampai 30%8. Sementara itu jika dilihat dari segi tipe
klinis difteria, maka mortalitas tertinggi dijumpai pada difteria faring-laring (56,8%), diikuti tipe
nasofaring (48,4%) serta faring (10,5%).
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
1. Difteri merupakan penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae yang menghasilkan toksin yang dapat membentuk
pseudomembran pada mukosa atau kulit.
2. Gejala yang timbul pada difteria jenis ini biasanya tidak khas, berupa malaise, anoreksia,
sakit tenggorok, nyeri menelan serta panas subfebris serta timbulnya membran yang melekat
yang bewarna putih kelabu yang dapat menutupi tonsil dan dinding faring.
3. Saat ini difteri dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi difteria.
3.2 Saran
Walaupun saat ini angka kematian difteria menurun secara drastis setelah adanya
vaksinasi difteri secara luas, namun sejumlah kasus difteri masih tetap muncul di sejumlah
negara. Hal ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut mengenai hal yang menyebabkan
munculnya kasus difteria di era vaksinasi difteria yang sudah diterapkan secara luas.
top related