bab i a. latar belakang - · pdf filetanggung jawab moral ... salah satu komisi yang dibentuk...
Post on 06-Feb-2018
254 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
A. Latar Belakang
Kebutuhan informasi yang menyangkut sejarah sangat dibutuhkan oleh suatu kelompok masyarakat
karena informasi sejarah itu merupakan bagian dari pada kehidupannya di masa lalu yang dapat
memprediksikan kehidupan dirinya di masa depan.
Buku ini berjudul SEJARAH JEMAAT GPIB ‘BETHANIA’ UJUNG PANDANG, adalah suatu tulisan yang
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi tentang kehidupan jemaat ‘Bethania’ yang senantiasa
bergumul menyatakan kehadirannya di tengah-tengah kehidupan bangsa dan negara pada umumnya dan
di tengah-tengah masyarakat Kota Madya Makassar pada khususnya. Untuk memberikan suatu keadaan
yang sesungguhnya, tentu tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Oleh karena itu tulisan ini
bersifat apa adanya, penuh dengan keterbatasan yang tentunya terbuka untuk perubahan, penyesuaian
bahkan pembaharuan bilamana itu dibutuhkan.
Rencana untuk menuangkan suatu cerita yang bernafaskan sejarah telah lama dirintis oleh Jemaat
Bethania. Hal ini dapat diketahui dari surat Majelis Sinode Jakarta Nomor 2877/74/MS.X tanggal 15
February 1974 yang ditandatangani oleh Penatua D.H Kasenda (Ketua II) dan Pendeta B.Simauw, S.Th
dimana dalam surat itu Majelis Sinode GPIB mengharapkan kepada sekalian Majelis Jemaat GPIB (yang
terdapat di 21 propinsi Indonesia) untuk menyampaikan secara terperinci latar belakang jemaat, sensus-
sensu, pembangunan Gedung Gereja dan lain-lain keterangan yang bersifat sejarah sampai batas waktu
hingga akhir Juni 1974.
Di lingkungan Jemaat Bethania surat tersebut tidak terlalu berpengaruh karena pada tahun 1973, oleh
Pengurus Harian Majelis Jemaat (PHMJ) Bethania telah dibentuk team yang memang ditugaskan untuk
menulis sejarah tentang Gereja Bethania. Team ini secara intensif telah mengadakan pertemuan-
pertemuan yang membicarakan tentang sejarah gereja. Tercatat seperti yang tercantum dalam surat Team
Nomor 02/Team Penyusun/11973 tanggal 9 November 1973 bahwa team melaporkan kegiatannya
(selengkapnya maksud surat disalin) sebagai berikut :
I. Operation Tool (OT)
Sesudah rapat tanggal 16 Oktober 1973, maka team mengadakan konsultasi pada tanggal 17 Oktober
1973 untuk menentukan :
a. Kurun waktu, lokasi, pembagian dalam tahap dan konstruksi dari pada rangka sejarah.
b. Penentuan jangka waktu untuk menyusun dan memasukkan konsepsi.
c. Berdasarkan ketentuan A dan B, maka Operation Tool disusun dan ditetapkan dalam queslionaires.
II. Konsep
a. Wawancara diadakan pada tanggal 18,19 dan 20 Oktober terhadap orang tua yang mengetahui tentang
kota Makassar, termasuk Bapak J.A.Sasabone (wawancara berlangsung selama dua jam).
Tanggal 21 Oktober pagi diadakan penelitian terhadap : berkas surat-surat, risalah-risalah rapat, dan
surat-surat authentiek lainnya dari Yayasan.
Tanggal 21 Oktober malam: konsepsi disusun.
Tanggal 22 Oktober, konsep sejarah diketik dan dibagi-bagikan untuk mendapatkan TANGGAPAN dan
SANGGAHAN.
b. 1. Koreksi dan tambahan dikirim dari konseptor dari kota Palu tertanggal 25 Oktober 1973 surat
tercatat No.790. surat dikirim kepada Pengurus Harian Majelis.
2. Konsultasi antara Ketua Majelis, Sekretaris team dan konseptor pada tanggal 20 Oktober 1973.
3. Surat pertama dari team berupa tanggapan dan usul di dalam pasal 9 tertanggal 29 Oktober 1973 .
4. Sanggahan pertama dari Bapak J.A.Sasabone di dalam rapat bersama dari P.M Majelis dan team
tertanggal 6 November 1973 (kami memohon dari PHM sudi kiranya Raw data yang diberikan
bapak Sasabone dapat diperbanyak dan dibagi-bagikan kepada anggota team).
c. 1. Berdasarkan keputusan rapat tanggal 6 November 1973 research diintensipkan dengan tugas-tugas
khusus diberikan kepada Bapak W.Samahati dan Bapak Mamahit (kami mohon dari PHM sudi
kiranya Raw data yang dimasukan oleh bapak-bapak tersebut diatas diperbanyak dan dibagi-bagikan
kepada anggota-anggota team).
2. Pembagian Tugas dari team dengan terbentuknya Panitia Kecil untuk mengolah hasil-hasil research
dan konsep terdiri :
Ketua : DR (HC) J.A.SASABONE
Anggota : Dra.Da.C.L.Manuputty-M
Anggota : Karel Kuhuwael
Anggota : B.E.Tunawanakotta
Rapat bersama antara Team dan PHM akan diselenggarakan tanggal 15 November 1973 oleh PHM
dimana a. l diberikan Progress Report dan Evaluasi.
III. Design dan Isi
Pandangan kami mengenai brochure :
1. Kulit Muka : gambar lambang Jemaat Bethania (diurus oleh PHM).
2. Kata Pengantar.
3. Prakata.
4. Sejarah Jemaat Bethania (lih. Bagian I dan II).
5. Foto-foto.
6. Bagan Organisasi (diurus oleh PHM).
7. Nama-nama PHM dan anggota Majelis.
8. Peta Jemaat Bethania (Bgn Penjelasan).
IV. Penjelasan
Bagan Organisasi dari GPIB Jemaat Bethania, peta daerah lingkup jemaat Bethania dan Lambang
Jemaat Bethania adalah yang serasi dan sama pentingnya dengan sejarah Gereja Bethania , jikalau
brochure diterbitkan.
Khusus mengenai Peta Jemaat Bethania :
a. Didasarkan atas Peta Kota Madya Up yang dapat dibeli di toko buku:
1. Dioleh diatasnya Daerah Lingkup Jemaat Bethania.
2. Ditempatkan sektor-sektor AYALON, BETLEHEM, PNIEL dan BETHANIA.
3. Dibubuhkan rumah-rumah ibadah, rumah sakit/ klinik/ bersalin dan kantor pos, tak lupa juga
sekolah-sekolah Kristen dan Rumah Theodora.
b. Demografie : Contoh
Kota Madya Makassar berpenduduk 442.100 jiwa. Islam 330.574 jiwa dengan 202 mesjid/
mushallah, Kristen Protestan 46.712 jiwa dengan 37 gedung gereja. Katholik 9.467 jiwa dengan 9
gedung gereja. Hindu Budha 12.212 jiwa dengan 4 klenteng dan 1 Wihara. 14.955 jiwa beragama
lain dan 28.180 jiwa belum tercatat keyakinannya. (Dikutip dari IPKRISS terbitan 1970 Lamp.IV hal
20 oleh M.Umar Djoha Daeng Situdju / Johanis Wataba).
Team bekerja keras untuk menyusun riwayat Jemaat melalui rancangan dan konsep kemudian
dibahas dalam pertemuan-pertemuan rutin. Konsep dirubah (ditambah dan dikurangi bagian-
bagiannya) sehingga menghasilkan sebuah konsep net untuk diolah lebih lanjut oleh Majelis Jemaat
pada waktu itu. Hal ini dapat diketahui berdasarkan surat tim tanggal 21 November 1973, Nomor 03/
Tim Penyusun/1973, Naskah tertanggal 22 Oktober 1973 ditandatangani oleh Bapak
B.E.TUWANAKOTTA (disalin sesuai aslinya oleh Ibu C.J.HUWAE, pada tanggal 4 Desember
1973) yang diserahkan kepada Pimpinan harian Majelis Jemaat Bethania untuk diproses lebih lanjut.
Dengan demikian maka tugas tim telah selesai.
Karena kesibukan dan tugas lain, konsep tersebut tidak sempat digarap lebih lanjut sesuai kehendak
tim penyusun, sesuai suratnya tersebut diatas sehingga maksud dari pada surat Majelis Sinode hingga
tahun1993 tidak terealisasi. Dalam rapat-rapat Paripurna Majelis Jemaat GPIB Bethania, masalah ini
selalu mendapat perhatian dari peserta rapat karena kebutuhan akan sejarah memang menjadi idaman
jemaat yang ingin mengetahui latar belakang berdirinya Rumah Gereja Bethania dan juga sebagai
tanggung jawab moral terhadap maksud baik dari Majelis Sinode GPIB. Karena ini merupakan suatu
kewajiban maka dalam setiap rapat Paripurna Majelis Jemaat masalah penulisan sejarah selalu
dimasukkan sebagai program kerja tahunan.
Pada tahun 1993, berdasarkan surat keputusan Majelis Jemaat Nomor 05/93/MJ.V/Kpts tanggal 9
Mei 1993 dibentuk komisi-komisi untuk membantu Majelis Jemaat merealisasikan program kerja
tahunannya, salah satu komisi yang dibentuk itu bernama ‘Komisi Pembinaan dan Pendidikan /
Penelitian Perencanaan dan Pengembangan’ disingkat Komisi BINDIK-LITNABANG dengan
susunan keanggotaannya adalah sebagai berikut :
Bapak Drs.J.G.Nelwan (Koordinator)
Bapak C.P.Patty
Bapak Drs.D.M.Talahatu
Bapak Drs.B.Labuha
Bapak Tommy K Welas
Bapak Isamu Hiroji
Diaken Ny.W.Sasabone
Bapak Drs.Harry Katuuk
Tugas daripada komisi ini adalah menyusun Sejarah Gereja Bethania disamping tugas lain yang telah
diputuskan dalam rapat Paripurna Majelis Jemaat pada April 1993 sebagai Program Kerja Tahun
1993/1994. Komisi secara rutin yaitu mulai bulan Juni-Agustus 1993 mengadakan pertemuan di
kalangan anggotanya. Pertemuan rutin ini dihadiri oleh PHMJ dalam hal ini bapak Penatua
A.J.Samalate dalam kapasitasnya sebagai Ketua II periode 1992-1996 yang membidangi komisi
BINDIK-LITNABANG dan bapak Jopie M Sahilatua (Sekretaris II). Pertemuan antara lain untuk
merumuskan perencanaan dan proposal dalam rangka pelaksanaan program kerja Majelis Jemaat.
Setelah perencanaan dan proposal disusun, koordinator komisi (Bapak Drs.J.G.Nelwan)
menyampaikan surat tertanggal 27 Agustus 993 kepada Pengurus harian Majelis Jemaat tentang
Kalender dan Proposal Rencana Pelaksanaan Program kerja Majelis Jemaat tahun 1993-1994. Dalam
pengantar surat tersebut dinyatakan bahwa untuk program tertentu yang memerlukan kerjasama
dengan komisi lain (lintas komisi) dapat dibicarakan bersama.
Di lain pihak Komisi Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan (disingkat Komisi EKUBANG) yang
dikoordinir oleh bapak W.L.F.Sahanaya, juga membicarakan tentang pembicaraan aset/harta milik
gereja yang sampai saat itu belum diketahui dimana rimbanya. Pembicaarn dalam komisi
EKUBANG ini diikuti oleh bapak Fredrik Tulaseket, SE dalam kapasitasnya sebagai ketua IV PHMJ
periode 1992-1996 yang membidangi komisi EKUBANG.
Dalam kesempatan pertama bapak Fredrik Tulaseket, SE mengundang dua komisi yaitu Komisi
BINDIK-LITNABANG dan Komisi EKUBANG untuk bersama-sama membicarakan inisiatif
penggabungan kedua komisi untuk memenuhi kelengkapan aset/harta milik gereja serta penulisan
sejarah gereja. Hasil daripada pembicaraan ini menelorkan Surat Keputusan Majelis Jemaat Nomor
10/93/MJ.X/Kpts tanggal 22 Oktober 1993 tentang pembentukan ‘TIM KELENGKAPAN HARTA
MILIK GEREJA DAN PENULISAN SEJARAH GEREJA ‘BETHANIA’ UJUNG PANDANG’
dengan masa tugas sampai dengan 31 Maret 1994. Susunan personalia Tim adalah sebagai berikut :
1. Diaken P.J.Moka sebagai Koordinator
2. Bapak Drs. J.G.Nelwan sebagai Anggota
3. Penatua J.M.Papilaya sebagai Anggota
4. Diaken Ny.W.Sasabone sebagai Anggota
5. Penatua dr.D.Ch.P.Gaspersz sebagai Anggota
6. Bapak C.P.Patty sebagai Anggota
7. Diaken Nn.Dra.L.A.Tupan sebagai Anggota
8. Bapak Isamu Iliroji sebagai Anggota
9. Bapak Drs. B.Labuha sebagai Anggota
10. Bapak Drs. D.M.Talahatu sebagai Anggota
11. Bapak Tommy W Kelas sebagai Anggota
12. Bapak Drs. Harry Katuuk sebagai Anggota
Tim segera bertugas dan mengadakan pertemuan-pertemuan baik di lingkungan Tim maupun dengan
pihak PHMJ, khususnya membicarakan tentang rencana kerja dan proposal kebutuhan biaya selama
Tim melaksanakan tugasnya.
Pada hari Minggu tanggal 12 Desember 1993, dalam ibadah Hari minggu jam 09.00 yang dipimpin
oleh Pendeta Y.E.F.Talise Sm.Th, salah satu tugas Tim yang menyangkut kelengkapan harta milik
gereja dapat direalisasikan yaitu penyerahan dokumen gereja dari bapak B.E.Tuwanakotta kepada
PHMJ melalui penandatanganan Berita Acara. Dengan selesainya tugas tersebut maka perhatian Tim
ditujukan pada Penulisan Sejarah Gereja ‘Bethania’.
Melalui pertemuan-pertemuan rutin di kalangan Tim pada bulan January 1994, disepakati out line
atau sistimatika penulisan dengan pembagian tugas seperlunya. Saat itulah tugas penulisan mulai
dikerjakan. Namun untuk tugas itu harus di dahului dengan perkunjungan-perkunjungan kepada
orang-orang tua jemaat yang dipandang mengetahui tentang sejarah jemaat.
B. METODOLOGI PENULISAN
Penulisan tentang sejarah berbeda dengan penelitian-penelitian yang memerlukan perangkat statistik,
karena penelitian sejarah lebih cenderung untuk menggunakan pendekatan dokumentasi yang
mempunyai nilai-nilai sejarah. Metode ini dikenal dengan Metode Penggunaan Bahan Dokumen.
Dan pendekatan ini juga tidak dikhususkan pada penelitian sejarah tetapi dapat digunakan pada
penelitian-penelitian sosial lainnya.
Sartono Kartodirdjo, dalam karangannya yang berjudul Metode-metode Penelitian Masyarakat‘ oleh
Koentjraningrat (redaktur) 1983, halam 44 mengatakan :
‘Bahwasanya data yang terdapat dalam bahan documenter tidaklah secara khusus tersedia bagi
penelitian sejarah saja, tetapi juga secara leluasa dapat digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu
sosial pada umumnya, akan menjadi jelas apabila kita ingat bahwa masyarakat sebagai gejala
mempunyai dimensi temporal. Sistem sosial dalam masyarakat terdiri dari interaksi yang telah
dipranatakan serta mempunyai kontinuitas. Disamping proyeksi ke masa depan, yang terdiri dari
anjuran dan harapan, sistem sosial juga mempunyai proyeksi ke masa lampau, yaitu berupa adat
istiadat, nilai-nilai budaya dan pranata-pranatanya. Hal ini memperkuat alasan untuk
menggunakan bahan documenter dalam sosiologis, antropologi dan ilmu politik. Lagi pula
apabila kita memandang rangkaian hubungan sosial dewasa ini sebagai kulminasi dari
perkembangan serta perubahan historis, maka ilmu-ilmu sosial perlu menggunakan bahan
documenter.’
Berdasarkan pendapat tersebut, penelitian tentang sejarah gereja dapat digunakan pula pendekatan
sosial misalnya Sosiologi. Berhubung dalam penulisan sejarah ini menyangkut keadaan suatu
masyarakat dengan kelembagaannya yang khas maka disamping aspek dokumen yang diteliti, aspek
masyarakatnya pun secara langsung terlibat di dalamnya. Oleh karena itu penulisan buku ini
menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan sosial kemasyarakatan sebagai gejala yang
mempunyai dimensi temporal secara kontinyu dan pendekatan bahan dokumen sebagai data
terhadap perubahan historis.
Kedua pendekatan tersebut sanggup memproyeksikan suatu keadaan di masa lampau dan sanggup
pula memprediksikan keadaan di masa depan. Pendekatan melalui bahan documenter dapat melihat
sampai sejauh mana proses perkembangan suatu objek penelitian dari suatu populasi sebagai akibat
proses sejarah. Dengan demikian pendekatan ini bila dikaitkan dengan kondisi sosial suatu
masyarakat akan menghasilkan prediksi-prediksi tertentu yang mampu menggambarkan keadaan
masa lalu, keadaan masa sekarang dan anjuran atau harapan untuk memprediksikan masa depan.
Lain dari pada itu hal yang terpenting dalam pendekatan documenter adalah dokumen-dokumen yang
bernilai sejarah harus diukur validitasnya sehingga tingkat kepercayaan terhadap dokumen yang
lazim disebut nilai kritik dapat dikurangi serendah mungkin. Penulisan dengan menggunakan
pendekatan bahan dukomenter pada pokoknya akan meliputi dokumen yang bentuknya tertulis
maupun tidak tertulis. Dokumen-dokumen ini dikenal sebagai data verbal seperti yang terdapat
dalam surat-surat, catatan-catatan, laporan-laporan dan memories (kenangan) yang diungkapkan
oleh seseorang. Dan dokumen ini pula dapat mengatasi ruang dan waktu, sehingga dimungkinkan
untuk memperoleh pengetahuan tentang gejala historis. (Sartono Kartodirdjo,147).
Yang dimaksud dengan surat-surat ialah persuratan yang dilakukan oleh badan yang berwenang atau
pejabat yang ditunjuk untuk itu, yang otentikasinya tidak perlu diragukan lagi. Catatan-catatan
adalah rekaman hasil kegiatan yang dituangkan ke dalam suatu buku, yang berguna untuk merekam
apa yang pernah dibicarakan. Sedangkan memories (kenangan) adalah informasi lisan yang
dituturkan oleh pelaku sejarah. Dalam teknis penelitian, penggalian dokumen memerlukan waktu
yang cukup lama dengan ketekunan untuk mengkomparasikan temuan dokumen yang satu dengan
dokumen yang lain (kritik historis) sehingga berguna bagi generalisasi.
Lebih lanjut Sartono Kartodirdjo (hal. 59) mengatakan bahwa penilaian terhadap bahan documenter
harus dilakukan dengan cermat artinya sebelum mengambil data, terlebih dahulu harus ditanyakan
apakah dokumen itu otentik atau palsu, siapakah pembuatnya, bagaimanakah bahasanya, bentuknya
dan apakah sumbernya. Jawaban terhadap pertanyaan ini merupakan ‘kritik historis’. Kritik historis
ini akan menjadi alat bantu dalam menyeleksi kebutuhan dokumen yang diperlukan.
Telah dikemukakan diatas bahwa penulisan buku ini menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan
bahan dokumen dan pendekatan sosiologis. Untuk memenuhi prosedur penulisan maka diperlukan
serangkaian kegiatan wawancara untuk mengkomparasikan hasilnya dengan dokumen yang ada.
Penulisan buku sejarah ini menggunakan teknik wawancara dengan bentuk wawancara yang tidak
berstruktur dan metode pertanyaannya terbuka (Jacob Vredenbergt, hal 93). Artinya wawancara
dilakukan kepada pelaku-pelaku sejarah melalui pertanyaan yang tidak tersusun dengan sistematis
dan pertanyaan-pertanyaan itu melibatkan pula objek lain diluar objek penelitian (terbuka) yang
tujuannya untuk mengetahui keterkaitan periodik terhadap suatu peristiwa.
C. OBJEK PENULISAN
Objek penulisan dalam buku ini adalah suatu organisasi gereja yang dikenal dengan nama Gereja
Protestan Indonesia di Bagian Barat Jemaat ‘Bethania’ Ujung Pandang disingkat GPIB Jemaat
‘Bethania’ dengan pusat kegiatan keagamaan di Gedung Gereja yang terletak di Jalan G.Nona /
S.Nuri Nomor 3 Ujung Pandang.
GPIB jemaat Bethania sebagai suatu organisasi atau Lembaga keagamaan mempunyai rekaman
tentang lintasan sejarahnya (sama halnya dengan gereja lain) karena dalam kehadirannya lembaga ini
telah menunjukkan peranan yang sangat penting dalam membina warganya. GPIB Jemaat ‘Bethania’
ini telah melewati masa-mas sulit dengan dinamika tertentu melalui perjuangan merindukan akan
Kasih Tuhan yang oleh jemaat-Nya semata-mata ditujukan untuk menempuh kehidupan dunia
berdasarkan ajaran Kristus untuk keselamatan di alam baka nanti.
Lintasan sejarah dalam kurun waktu tertentu telah membawa warganya pada suatu keadaan yang
harmonis bagi kehidupan berjemaat sesuai dengan motto yang terdapat dalam Lukas 13:29. Pola
baku yang terdapat dalam Injil itu menuntun jemaat untuk beribadah, bersekutu, berpelayanan dan
berkesaksian menurut ajaran Kristus yang menyongsong masa depan bagi dirinya maupun bagi
generasinya. Banyak suka dan duka dalam kehidupan jemaat yang telah tergambar dalam lintasan
sejarahya, sehingga menimbulkan tekad untuk mandiri sebagai konsekuensi dari pada perjuangan
masa lalu. Lintasan sejarah itu sulit untuk dilupakan, namun diperlukan pula rekaman untuk
menyimpannya karena keuzuran waktu, banyak dokumen dan memoar yang telah memudar seperti
memudarnya kehidupan fisik umat manusia. Banyak tokoh-tokoh pelaku sejarah telah dipanggil
Allah Bapa di Sorga, banyak dokumen telah lapuk karena waktu, dan banyak cerita telah di
modifikasi sehingga meragukan keabsahannya. Namun itulah salah satu dinamika dalam penulisan
sejarah.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistimatika penulisan buku ini disusun sedemikian rupa dengan berpatokan pada kurun-kurun waktu
tertentu yang tujuannya agar penulisan pada Bab yang satu saling bersambungan dengan uraian-
uraian pada bab berikutnya. Oleh karena itu sistimatika buku yang berjudul SEJARAH JEMAAT
GPIB ‘BETHANIA’ UJUNG PANDANG ini disusun sebagai berikut :
Bab I merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang, metode penulisan, objek
penulisan dan sistimatika penulisan.
Bab II tentang Sejarah Jemaat Bethania yang berisikan keadaan Jemaat Protestan di Kota Makassar
(1921-1973), keadaan semasa pendudukan Jepang (1941-1945), masa transisi (1945-1949), keadaan
Jemaat di Fort Roterdam dan keadaan Jemaat di Ambon kamp.
Bab III tentang Pembangunan Rumah Gereja ‘Bethania’ (1949-1973) yang berisikan tentang
kerinduan akan adanya Rumah Gereja, usaha-usaha penggalangan dana dan berdirinya Rumah
Sembahyang ‘Bethania’.
Bab IV tentang kehadiran Jemaat Bethania di lingkungan GPIB, dimana dikemukakan selayang
pandang Majelis Sinode GPIB, Jemaat Bethania bagian daripada GPIB dan juga melukiskan keadaan
Musyawarah Pelayanan.
Bab V menyangkut GPIB Jemaat Bethania masa kini. Dalam bab ini dibahas tentang sekilas lanjutan
pembangunan dan rehabilitasi gereja, pemekaran wilayah pelayanan, Tata Gereja, tugas pelayanan
Majelis Jemaat, Badan Pelayanan Kategorial, Komisi-komisi, BPPJ, Tugas-tugas Paduan Suara,
Kevikariatan, Pegawai Kantor dan Aset / Harta milik gereja.
Bab VI tentang Pembinaan Gerejawi, dalam bab ini diuraikan tentang pembinaan Pendeta Jemaat,
pembinaan anggota Majelis jemaat, pembinaan BPK, pembinaan warga jemaat termasuk katekisasi
dan pembinaan-pembinaan yang sifatnya terpadu.
Bab VII adalah bab terakhir dalam buku ini yang memuat tentang simpulkan umum yang telah
ditulis pada bab sebelumnya.
BAB II
SEJARAH JEMAAT ‘BETHANIA’
Seperti telah dikemukakan dalam Bab I (Latar Belakang), bahwa penulisan sejarah Jemaat GPIB
Bethania telah dimulai sejak tahun 1973. Hasil daripada konsep penulisan sejarah gereja tersebut
dapat ditemukan dan dibaca di kantor Majelis Jemaat ‘Bethania’ sebagai dokumen sejarah karya
penulis yang tidak dapat dinilai harganya. Dikatakan demikian karena nara sumber dan pelaku
sejarah sebahagian besar telah meninggal dunia sehingga sangat sulit untuk menggali kembali
sejarah jemaat melalui dokumen tulisan.
Berdasarkan wawancara dengan beberapa pelaku sejarah yang masih hidup, perlahan-lahan
memories terungkap kembali. Gambaran jemaat, atau cikal bakal jemaat pada waktu itu secara
transparan dapat dilihat kembali. Hal ini menjadi bahan referensi bagi Tim Kelengkapan Harta Milik
Gereja dan Penulisan Sejarah Gereja sehingga dapat melaksanakan tugasnya (lanjutan tugas yang
pernah dilakukan oleh team tahun 1973) sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh
Majelis Jemaat yaitu 31 Maret 1994.
Dalam bab ini, diuraikan tentang sejarah cikal bakal Jemaat GPIB Bethania yang direkam dari
konsep tim Penyusun Sejarah Rumah Gereja sesuai surat Tim kepada Pimpinan Majelis jemaat
Nomor 03/Team Penyusun/1173 tanggal 21 Novembaer 1973, dimana teknik penulisan, sistimatika,
gaya dan tata bahasa dimodifikasi kembali sesuai kemampuan yang sifatnya terbatas dari Tim
penulisan Sejarah yang dibentuk pada tahun 1993.
A. KEADAAN JEMAAT PROTESTAN DI KOTA MAKASSAR
1921-1941
Cikal bakal jemaat adalah kaum pendatang dari berbagai suku bangsa di Indonesia yaitu Minahasa,
Sangihe-Talaud, Ambon, Nusa Tenggara, Tapanuli dan lain-lain yang beragama Kristen Protestan.
Sejak tahun 1921 jemaat-jemaat itu telah saling berkenalan dan saling mengunjungi satu sama lain.
Di antara kaum muda mereka saling kawin-mawin membentuk keluarga Kristen yang jumlahnya
semakin lama semakin banyak. Mereka secara sadar membentuk suatu kelompok pergaulan hidup
berdasarkan kesamaan-kesamaan budaya dan agama, dan karena lokasi pemukiman juga tempat
tinggal mereka saling berdekatan yaitu disekitar kampung Lariangbangi (sekarang Jl. S.Poso),
Kampung Pisang / kampung Lajangiru (sekarang Jl. G.Merapi), Kampung Mardekaya (sekarang Jl.
G.Latimojong dan Jl. Veteran), dan Kampung Maricaya dan Kampung Dadi (sekarang Jl. Rusa dan
Jl. Lanto Dg Pasewang).
Mereka mengadakan interaksi keagamaan dalam kehidupan sehari-hari melalui suatu kebaktian
keluarga yang dinamakan ‘Beston’ (Belanda = Bidstond). Beston adalah kebaktian/ibadah yang
dihadiri oleh keluarga-keluarga yang seiman, saling berdekatan rumah, sesuku untuk memuji dan
memuliakan kebesaran Tuhan. Beston diadakan secara bergiliran dalam tenggang waktu tertentu
(biasanya seminggu sekali). Dan Beston atau kebaktian keluarga ini telah menyebar keseluruh
pemukiman Kristen di Kota Makassar sehingga pemerintah pada waktu itu menunjuk saudara
Montolalu dengan jabatan Hoofd Inlandse Christenan untuk mengurus orang-orang Kristen bangsa
Indonesia dalam bidang ketertiban beribadah.
Interaksi keluarga cikal bakal Jemaat Bethania memang memungkinkan menurut teori-teori
kemasyarakatan (misalnya saja teori Sosiologi) yang mengatakan bahwa hubungan antar masyarakat
merupakan aktivitas-aktivitas yang timbal balik antara individu-individu dalam suatu pergaulan
bersama. Sifat interaksi meliputi adanya pelaku yang berjumlah dua atau lebih, adanya komunikasi
antara pelaku dengan perantara lambang-lambang, adanya aspek waktu yang meliputi masa lalu,
sekarang dan masa depan, serta adanya objektivitas (Soedjono, 1985, 42).
Interaksi yang dilakukan berulang-ulang menyebabkan rasa seiman sepengharapan dikalangan
keluarga itu tumbuh semakin mendalam sehingga ada kesepakatan untuk menamakan beston sebagai
ciri khas masing-masing. Muncullah bagian-bagian beston dengan nama Mohabed, Tuwokona,
Ebenhaezer, Persaudaraan, Syarekat Masehi, Sehati, Memontomori, Maranatha dan lain-lain.
Kemudian melalui beston-beston itu lahir pula perkumpulan-perkumpulan menyanyi (Koor) dengan
nama Tuwokona, Ebenhaezer, Persaudaraan, Maranatha, Sehati dan lain-lain.
Sebagai catatan sejarah, paduan suara Tuwokona didirkan pada tanggal 30 Maret 1931 oleh
Hyronimus Lansart, anggota-anggota pertama dari pada paduan suara ini semula adalah kaum bapak
yang sebagian besar berasal dari Sangihe Talaud. Kaum Ibu juga tidak ketinggalan misalnya saja
‘Kaum Ibu KRIS (Kebangunan Rohani Ibu-ibu Sangir)’ didirikan pada tanggal 21 Desember 1939
dengan badan pengurus yang diketahui oleh Ibu Jd.Ny.W.Daud-Mangeghog. Juga ‘Kaum Ibu Batu
Hidup ’ lahir di sekitar tahun itu.
Beston adalah kebaktian yang sifatnya terbuka, artinya siapa saja asalkan seiman dapat
mengikutinya, namun dengan mayoritas keluarga dalam beston tersebut adalah satu suku bangsa
dengan ciri khas budaya tertentu. Karena sifat keterbukaan beston dalam hal keanggotaan maka
pemupukan rasa persaudaraan, rasa senasib dan sepenanggungan dalam Kristus semakin kuat dan
tidak saja menerobos dalam kebaktian, tetapi juga menerobos dalam kehidupan sosial dan keluarga
melalui perkawinan di antara jemaat.
Dalam catatan Tim Penulisan Sejarah tahun 1973 disebutkan nama-nama keluarga krtisten yang
bermukim disekitar kampung-kampung Lariangbangi, kampung Pisang, kampung Mardekaya,
kampung Dadi/Maricaya yaitu :
Keluarga Minahasa : Keluarga Rambat, Pantouw, Tampun, Pongoh, Kamasi, Tanos, Tumbelaka,
Malonda, Kekung, Montolalu, Paat dan lain-lain.
Keluarga Sangihe-Talaud : Keluarga Daud, Kawinda, Matualaga, Tatontos, Sanggelorang,
Manumpil dan lain-lain.
Keluarga Nusa Tenggara : Keluarga Hans, Paada, Eluama, Ohey, Johannes, Messakh, Tuju dan
lain-lain.
Keluarga dari Tapanuli : Keluarga Sitompul dan Conradijn Gultom yang pada waktu itu sebagai
guru sekolah.
Keluarga Ambon : Keluarga Wattimena, Puttiray, Aipassa, Tetelepta, Hittiyahubessi, Sitania,
Kayadu, Ophir, Siegers, Diasz dan lain-lain.
Beston hanya terbatas pada kebaktian keluarga saja, sedangkan untuk beribadah hari Minggu mereka
mengikuti kebaktian di Gereja Immanuel. Pendeta-pendeta yang bertugas memimpin ibadah pada
sekitar tahun 1941 adalah Ds.F.Noya, Ds.Mathindas, Ds.Pattykayhattu dan Ds.Undap.
B. KEADAAN SEMASA PENDUDUKAN JEPANG
(1941-1945)
Di zaman pendudukan Jepang, keadaan jemaat sangat menderita, kekejaman bala tentara Jepang
kadang di luar batas perikemanusiaan. Kekejaman itu membuat banyak orang mati karena siksaan
atau di pencung. Banyak wanita menjadi janda dan banyak pula anak-anak menjadi piatu. Untuk
menghindari kekejaman itu dan juga untuk menghindari pemboman yang dilakukan oleh tentara
sekutu, jemaat mengungsi ke tempat-tempat yang dirasa aman. Jemaat menyingkir ke daerah-daerah
terpencil di sekitar kota Makassar seperti ke Pakatto, Ko’bang, Katangka, Pa’bangeang, Soro,
Kasimberang, Sampeang, Pao-pao, Pacinongan dan daerah-daerah lain dengan tujuan untuk
keselamatan juwa.
Kekejaman bala tentara Jepang ini misalnya menimpa salah seorang hamba Tuhan yaitu Pendeta
Pattykayhattu dimana beliau sudah mengadakan perjamuan kudus di Pakatto (Kabupaten Gowa),
beliau ditangkap oleh tentara Jepang kemudian di pancung. Tokoh kita J.A.Sasabone juga pernah
ditangkap oleh tentara Jepang namun setelah ditahan selama 6 bulan beliau dilepaskan kembali. Dan
orang - orang tertentu yang dapat dianggap dapat membahayakan kehadiran tentara Jepang tersebut
dikejar-kejar ke manapun perginya.
Pada tahun 1941 hadir di tengah-tengah jemaat seorang hamba Tuhan yang bernama Pendeta Pieters
Souhoka, pendeta yang berasal dari Gereja Protestan Maluku (GPM) yang oleh Majelis Sinode GPM
ditugaskan untuk melayani Jemaat Protestan di Luwuk (Sulawesi Tengah). Karena peristiwa perang
Dunia II, beliau tidak dapat meneruskan perjalanannya ke Luwuk dan akhirnya tinggal di Makassar.
Dalam pelaksanaan tugas sebagai pelayan firman, Pendeta Souhoka menggantikan Ds.F.Noya yang
pindah ke Jawa.
Pendeta Souhoka dan keluarga termasuk pengungsi yang mengungsi ke Jipang (Ko’bang) sekitar 16
kilometer dari Makassar. Di Jepang ini pendeta Souhoka secara teratur mengadakan kebaktian
bersama-sama dengan pengungsi lainnya. Beliau sering ke Makassar dengan berjalan kaki untuk
memimpin kebaktian. Demikian juga pendeta Undap yang mengungsi ke Romang Polong sering ke
Makassar dengan tugas yang sama dengan tugas pendeta Souhoka. Hamba-hamba Tuhan ini
memang demikian adanya, tugas panggilan gereja tetap dilaksanakan tanpa pamrih yang dikemudian
hari tercatat sebagai tokoh pelaku sejarah jemaat GPIB Bethania.
Karena keadaan yang sulit untuk berkomunikasi (pengungsi saling berjauhan lokasi dan tidak ada
sarana transportasi) disertai perasaan takut kepada tentara Jepang, jemaat saling berkumpul satu
dengan yang lainnya menunggu-nunggu kapan penderitaan ini berakhir. Di Makassar, gereja
Immanuel disita oleh tentara Jepang dan rumah ibadah itu dijadikan tempat penyimpanan abu
jenazah tentara Jepang yang meninggal. Sedangkan jemaat yang tidak ikut mengungsi dan tetap
tinggal di kota Makassar secara pribadi beribadah dirumah masing-masing sambil dicekam
ketakutan. Apakah ketakutan itu disebabkan karena kekejaman tentara Jepang ataukah ketakutan itu
disebabkan karena bom yang dijatuhkan dari pesawat-pesawat pembom milik sekutu.
Karena tidak ada tempat untuk kebaktian, jemaat yang tidak ikut mengungsi dan tetap bermukim di
Makassar itu mengadakan kebaktian dirumah seorang jemaat seiman yaitu dirumah Keluarga Muntu
yang tinggal di Kampung Maricaya. Namun, karena begitu besar Kasih Allah kepada Anak-Nya
Yesus Kristus Sang Penyelamat Dunia, sekejam-kejamnya tentara Jepang, tokh masih ada sinar kasih
terpancar dihati mereka. Masih ada orang-orang Jepang yang beragama Kristen Protestan yang
diutus Tuhan untuk melaksanakan firman-Nya. Mereka adalah Pendeta Miamira dan Pendeta Seya
yang melayani jemaat dalam kebaktian di kota Makassar. Kebaktian itu sifatnya umum, bukan lagi
kebaktian yang dulunya bernama beston. Beston sebagai kebaktian keluarga praktis tidak dapat
dilakukan karena sebagian besar jemaat telah pergi mengungsi.
Tentara sekutu membalas penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour dengan menjatuhkan bom
atom di Hirosima dan Nagasaki pada tanggal 06 dan 09 Agustus 1945, berangsur-angsur tentara
Jepang pulang ke negerinya dan berangsur-angsur pula pengungsi Kristen kembali ke rumahnya
semula di Makassar. Tetapi penderitaan tetap berlangsung karena kemerdekaan Republik Indonesia
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak segera sampai di telinga penduduk di
Makassar. Dan pendudukpun masih diliputi keraguan tentang keadaan yang sebenarnya.
C. MASA TRANSISI
(1945-1949)
Masa transisi ini adalah suatu masa yang terjadi karena adanya perubahan sistem pemerintahan,
sistem politik dari pemerintahan penjajahan Jepang kepada pemerintahan Negara Republik Indonesia
serta keterlibatan tentara Sekutu dalam pemerintahan negara. Setelah tentara Jepang meninggalkan
kota Makassar, karena bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu maka
pemerintahan daerah diambil alih oleh putra bangsa Indonesia. Namun sistem pemerintahan belum
stabil, karena kota Makassar berada dalam cekraman tentara Australia sesudah itu diambil alih oleh
tentara Inggris. Dilain pihak timbul ketidaksenangan penduduk Makassar terhadap orang-orang
Belanda dan konco-konconya dimana adanya pandangan bahwa suku Ambon merupakan anggota
tentara Kerajaan Belanda, maka suku Ambon bermukim di Vic Kamp (Pelamonia sekarang)
dikumpulkan kemudian mereka ditempatkan di Fort Roterdam (Benteng Ujung Pandang).
Pendeta P. Souhoka termasuk salah satu di antara mereka. Harta benda dan kekayaan material
material habis sama sekali dan yang tetap tinggal adalah kekayan rohani yaitu kecintaan dan takut
akan Tuhan. Keadaan ini mempengaruhi secara menyeluruh terhadap kegiatan keagamaan bagi
jemaat Kristen di kota Makassar sehingga kebaktian-kebaktian keluarga (beston) tidak mungkin lagi
dilakukan. Lain dari pada itu gedung Gereja Immanuel rusak, sehingga untuk kebaktian hari Minggu
untuk sementara terhenti.
D. KEADAAN JEMAAT DI FORT ROTERDAM
(1945-1949)
Suasana di Fort Roterdam (Benteng Ujung Pandang) pada tahun 1945 tentunya tidak seperti di
rumah sendiri. Namun inilah sejarah. Karena kondisi dan suasana politik, jemaat harus tinggal di
benteng tersebut. Di luar benteng, jemaat Kristen keadaannya tidak jauh dengan yang tinggal di
dalam benteng, karena kegiatan keagamaan tidak juga dilakukan. Gedung gereja Immanuel
sementara diperbaiki sehingga jemaat masih berpikir-pikir apa yang harus dilakukan. Jemaat yang
mengungsi akibat kejaran tentara Jepang pun masih mempersiapkan diri di rumahnya masing-
masing.
Pendeta P.Souhoka tetap mendampingi jemaatnya bersama-sama tinggal di dalam benteng. Karena
kebaktian keluarga tidak mungkin lagi dilakukan dalam benteng, maka jemaat dalam keadaan
terpaksa harus berbakti di dalam gedung gereja tua yang sudah lama tidak dipakai lagi. Pada tahun
1945 inilah untuk pertama kalinya kebaktian ‘kunci usbu’ diadakan setiap sabtu malam dimulai
pukul 19.00, dan setiap rabu malam diadakan Penelaan Alkitab. Pertemuan-pertemuan Kristiani yang
membicarakan yang membicarakan perkembangan jemaat juga diadakan disitu. Tak ketinggalan juga
‘Zondag School’ (Sekolah Minggu) bagi anak-anak diadakan digedung gereja tua dalam benteng
Ujung Pandang.
Kenyataannya, yang mengikuti kebaktian dalam benteng bukan saja penghuni benteng tetapi warga
jemaat dari luar pun mengikuti kebaktian di gereja tua. Hal ini disebabkan karena gereja Immanuel
belum selesai perbaikannya. Stabilitas politik berangsur-angsur normal, banyak kaum muda yang
telah berkeluarga meninggalkan benteng untuk menempuh hidup baru pula diluar benteng. Pada
akhir tahun 1946 setelah rumah gereja Immanuel selesai perbaikannya, kebaktian bagi warga jemaat
mulai dipusatkan di gedung gereja Immanuel. Kegiatan sekolah minggu untuk anak-anak yang agak
besar diadakan di gereja Immanuel dan untuk anak kecil tetap diadakan di gedung tua dalam
benteng. Kegiatan kebaktian kunci usbu, Penelaan Alkitab dan Katekisasi tetap diadakan di dalam
benteng (gedung tua) seperti biasanya. Dengan demikian Ibadah Hari Minggu diadakan di dua
tempat yaitu di Gereja Immanuel dan di Gereja Tua dalam benteng Ujung Pandang. Begitu pula
dengan kebaktian memperingati hari-hari besar Kristen diadakan di dua tempat tersebut.
Pendeta-pendeta Jepang telah pulang ke negaranya, maka pelayan firman adalah pendeta-pendeta
orang Belanda yang memang menjalankan misi gerejawi dan pekabaran Injil bagi warga jemaat. Lain
dari pada itu berdatangan pula pendeta-pendeta baru yaitu Ds.Rumambi, Ds.Metiari dan Ds.Pais
yang bertugas untuk membantu pendeta Mathindas, pendeta Undap dan pendeta souhoka. Keadaan
ini berlangsung sampai November 1948.
Lebih lanjut dalam konsep sejarah yang disusun oleh Tim Penulisan Sejarah Bethania tahun 1973
diriwayatkan peristiwa-peristiwa penting yang nantinya akan menjadi tonggak sejarah bagi lahirnya
jemaat Bethania. Peristiwa-peristiwa penting yang dimaksud terjadi pada awal tahun 1947 sampai
akhir tahun1948 (2 tahun) dengan catatan kronologis sebagai berikut :
a. Pada tanggal 25 April 1947 atas prakarsa dari Pendeta P.Souhoka dan ibu, didirikan perkumpulan
Kaum Ibu yang bernama ‘Martha Maria’ dengan ketua Ny. Janda Magdalena Manuhutu. Nyonya
Souhoka (isteri Pendeta Souhoka) memberikan bimbingan dan pengarahan pada saat
pembentukan kaum ibu itu.
b. Pada tanggal 30 Juni 1947, perkumpulan pemuda dibentuk juga atas prakarsa Pendeta P.Souhoka
dan ibu. Perkumpulan pemuda itu dinamakan ‘SURSUM CORDA’ yang artinya ‘Putra Sulung
Gereja’ dengan pengurus pertama Lukas Manuhutu (Ketua), Adolfina Patty (Wakil Ketua),
Simon Hehanussa (Sekretaris), Leentje Wattimena (Sekretaris II), Constansa (Tutty) Tehupeiory
(Bendahara). Keanggotaan dalam organisasi pemuda Sursum Corda tidak terbatas pada anggota-
anggota yang bermukim di benteng Ujung Pandang, tetapi juga anggota (jemaat) lain ikut serta
dalam kegiatan keagamaan yang disponsori oleh Sursum Corda.
c. Juli 1947, di benteng didirikan Christelijke Scholl. Anak-anak Kristen bersekolah disitu yaitu
untuk tingkat Sekolah dasar. Sekolah ini menggunakan tempat disebelah atas dan bawah gedung
tua tempat kebaktian diadakan. Kepala sekolah pertama adalah Gilliam. Terakhir pada tahun 1949
sekolah ini dipindahkan ke gedung baru di Maricaya.
d. Atas prakarsa Ir.Clay yang bekerja sebagai syahbandar pada tahun 1947 ini juga didirikan ‘HUIZE
THEODORA’ suatu gironthotheek.
e. Pada akhir tahun1947 atas kerja sama antara Perkumpulan Kaum Ibu Martha Maria dengan
perkumpulan Pemuda Sursum Corda, dibenteng diadakan toneel akbar yang dilaksanakan selama
3 malam berturut-turut. Toneel (drama) yang dimainkan oleh Sursum Corda ini sangat populer
saat itu karena bersimbolkan dua untai bunga berwarna merah putih yang menceritakan tentang
revolusi. Pendeta Souhoka sangat berperan dalam toneel ini, karena makna bunga merah putih
dijelaskannya dalam ilustrasi dengan sangat baiknya.
f. Diluar benteng, perkumpulan Tuwukona yang dahulunya hanya merupakan kelompok-kelompok
beston, kini telah berubah wujud menjadi perkumpulan yang bidang kegiatannya tidak hanya
dalam bentuk paduan suara tetapi juga kegiatan olah raga dan kesenian. Dibidang olah raga
perkumpulan ini pada tahun 1947 sangat terkenal dengan kesebelasan sepak bolanya karena para
pemainnya juga terdaftar sebagai pemain-pemain sepak bola PSM (Persatuan Sepak Bola
Makassar). Kesebelasan Tuwokona ini menjadi buah bibir bagi penghuni benteng, ini wajar
karena sesama warga gereja yang minoritas tetapi dapat berbuat sesuatu bagi pemerintah daerah
khususnya dan bagi masyarakat kota Makassar pada umumnya. Lain dari pada itu, Perkumpulan
Tuwokona ini terkenal juga dengan ‘Fluit Orkes Tuwokona’ yaitu sekelompok pemain orkes
terompet yang biasanya diundang untuk mengisi acara-acara tertentu.
g. Pada tahun 1948, jemaat telah mempersiapkan diri untuk menghadapi era baru yaitu era
kebangkitan umat kristiani yang nantinya akan melembagakan dirinya dalam tubuh GPIB.
Lembaga-lembaga keagamaan dikukuhkan melalui persiapan mental spiritual sejak 1947 oleh
Pendeta P.Souhoka. Namun masalah utama saat itu ialah masalah kekurangan dana. Tindakan
pertama untuk mengatasi masalah ialah dengan mengadakan Pasar Derma bagi keperluan
pengutusan wakil jemaat di persidangan Sinode Am III 30 Mei - 10 Juni 1948 dan persiapan
pelembagaan jemaat baru yang akan disampaikan pada Persidangan Sinode I (Proto Sinode) 25-
31 Oktober 1948. (hal ini dapat dibaca pada Naskah Tim Penulisan Sejarah tahun 1973 dan
Bahtera Guna Dharma halaman 136, 142, 145, sedangkan khusus menyangkut Proto Sinode dapat
dibaca pada halaman 179-184) dan di singgung sepintas pada Bab IV dalam buku ini.
h. Pada bulan November 1948, di benteng diadakan kebaktian syukur dengan mengambil tempat di
gedung tua. Kebaktian syukur ini dimaksudkan sebagai ungkapan sukacita bahwa sudah tiba
saatnya warga jemaat meninggalkan benteng dan tinggal di tempat pemukiman baru yang
ditentukan oleh pemerintah daerah. Ternyata kemudian bahwa pemukiman yang baru dimaksud
adalah juga bekas tempat tinggal jemaat sebelum ditempatkan di benteng Ujung Pandang.
Perpindahan dilakukan dalam 3 kelompok dengan sasaran di sekitar jalan G.Nona.
kelompok pertama (de eerste plug) meninggalkan benteng pada November 1948 dan kelompok
ini menempati rumah-rumah di sekitar jalan Pattirosompe dan jalan Bolangi. Pendeta P.Souhoka
beserta keluarga termasuk dalam kelompok ini. Pendeta Souhoka menempati dua petak rumah di
sudut kiri jalan Pattirosompe, yang satu petak untuk rumah tinggal dan yang satu lagi untuk
kebaktian kunci usbu.
Kelompok kedua (de tweede plug) meninggalkan benteng pada Desember 1948 kemudian
menempati rumah-rumah di sekitar jalan Nuri, jalan S.Digul dan jalan G.Kaero.
Kelompok ketiga (de derde plug) kelompok terakhir meninggalkan benteng pada akhir Januari
1949, mereka menempati rumah-rumah di sekitar jalan Ina Saudari, jalan Manokwari dan jalan
Bulu Ina.
Tempat pemukiman dari kelompok-kelompok tersebut diatas di kemudian hari terkenal dengan nama
Ambon Kamp di kampung Maricaya. Ada juga kelompok lain yang meninggalkan benteng tetapi
tidak mau mengikuti ketiga kelompok tersebut diatas. Kelompok ini terdiri dari janda-janda militer
yang ditunjuk oleh pemerintah untuk tinggal di sekitar jalan Bangau (kemudian dikenal dengan
nama Mattoangging Kamp).
E. KEADAAN JEMAAT DI AMBON KAMP.
Jemaat yang pindah dari benteng Ujung Pandang, bukan tinggal pada lingkungan yang baru tetapi
tinggal di lingkungan yang lama yang pernah ditinggalkan dahulu yaitu Kampung Maricaya.
Perkumpulan-perkumpulan seperti Martha Maria dan Sursum Corda tetap bersama-sama dengan
jemaat di Ambon Kamp, demikian pula halnya dengan pemuda-pemuda Ebenhaezer, Persaudaraan
dan Maranatha (lanjutan dari beston yang di bentuk pada tahun1930-an) bergabung dalam kegiatan
keagamaan di Ambon Kamp karena lokasi tempat tinggal anggotanya di sekitar Ambon Kamp.
Karena jumlah jemaat semakin banyak, ada inisiatif untuk mendirikan perkumpulan-perkumpulan
baru untuk keperluan pelayanan di kalangan jemaat. Untuk itu pada tanggal 27 Juni 1949 didirikan
Perkumpulan ‘Kaum Ibu Debora’ oleh ibu Dorkas Pascoal-Salindeho dengan ketua pertama ialah ibu
Ny.M.Pakasi-Mohede, Pelindung : Pendeta S.Undap. Kegiatan tetap berpusat di gereja Immanuel
sebagai satu-satunya gereja Protestan saat itu. Dan jemaat di Ujung Pandang terdaftar sebagai bagian
Jemaat Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) bersama-sama dengan jemaat Pare-pare,
Watansopeng, Raha, Palopo, Bone dan Malino. Ketujuh jemaat ini bergabung dalam Klasis Sulawesi
Selatan dalam struktur GPIB di Jakarta (Bahtera Guna Dharma, halaman 178).
Pendeta P.Souhuka tetap bersama-sama dengan jemaat, dan pada masa ini cita-cita untuk
membangun rumah gereja masih dalam taraf embrional, artinya masih banyak yang harus dikerjakan
yang menyangkut dengan pelayanan sebelum memikirkan tentang bangunan gereja. Demikian pula
halnya dengan tokoh jemaat lainnya yaitu J.A.Sasabone yang sebenarnya telah menginjakkan
kakinya di Makassar pada tanggal 24 februari 1906 pada umur 18 tahun. Beliau hadir di tengah-
tengah jemaat, bahkan memiliki pengalaman yang luas terhadap suku-suku bangsa yang ada di kota
Makassar. Pada waktu beliau tinggal bersama-sama dengan jemaat di Ambom Kamp, profesi beliau
adalah sebagai wartawan, yang kemudian hari terkenal sebagai wartawan senior di kota Indonesia.
Ciri khas kepribadian beliau yang sangat menonjol adalah senantiasa berpandangan praktis dan
correct terhadap masalah yang dihadapinya. Lain dari pada itu kebanggaan jemaat terhadap beliau
adalah bahwa beliau diangkat sebagai Warga Kota Terhormat oleh Walikota, beliau memperoleh
gelar Doctor honoraris Causa oleh salah satu Universitas di kota Makassar ini.
Di Ambon Kamp Jl. Gunung Nona kebaktian-kebaktian keluarga atau kebaktian rumah tangga
diadakan di rumah Pendeta Souhoka dan selalu disponsori oleh Sursum Corda dan Martha Maria
serta organisasi lain dari Wijk Locaal (sekarang SD Kristen Jl. Sungai Saddang). Mulai saat inilah
sangat dirasakan adanya kebutuhan terhadap gereja. Kebaktian-kebaktian keluarga tersebut kegiatan-
kegiatan sosial juga diadakan oleh jemaat misalnya saja kegiatan ‘Fancy Fair’ sering dilakukan.
Dana hasil penyelenggaraan fancy fair itu dikirim kepada Majelis Jemaat Sinode GPM di Maluku,
GMIM di Minahasa dan GMIT di Kupang guna membantu pelayanan dan pembangunan gereja. Pada
akhir tahun 1949 Pendeta P.Souhoka, Pendeta tercinta dan pendeta pejuang pindah ke Medan. Jemaat
sangat sedih, terharu dan nelangsa mengantar kepindahan beliau. Beliau hingga saat ini tetap
dikenang sebagai tokoh sejarah, pelaku perubahan dan sumber inspirasi terhadap keteladanan,
kesetiaan dan pengabdian tanpa pamrih demi jemaat yang beliau cintai. Bukan hanya Bapak Pendeta
saja yang senantiasa dikenang dalam sejarah ini, tetapi ibu Souhoka, ibu jemaat, ibu pendiri Martha
Maria dan ibu tercinta bagi kaum muda Sursum Corda harus mengikuti suami melaksanakan tugas
pelayanan di tempat yang baru.
Pendeta Pieter Souhoka diganti oleh seorang pendeta yang juga mempunyai kualitas kepemimpinan
yang sama dengan pendeta P.Souhoka yaitu Pendeta J.Sapulete. karena adanya pergantian pimpinan
jemaat, tempat kebaktian yang semula diadakan di rumah pendeta P.Souhoka sekarang berpindah ke
rumah Majelis Gereja bapak Sahilatua, kemudian tempat kebaktian berpindah lagi ke gudang MTD
(sebelah Barat dari Masjid Hikmah sekarang). Dan tak berapa lama tempat kebaktian berpindah lagi
ke rumah bapak O.M.Paais.
Demikianlah kehidupan berjemaat di Ambon Kamp sampai dengan akhir 1949.
BAB III
PEMBANGUNAN RUMAH GEREJA ‘BETHANIA’
(1949-1973)
A. Kerinduan Akan Adanya Gedung Gereja.
Setelah Pendeta P.Souhoka beserta keluarga pindah ke Medan, keadaan di Ambon Kamp pada tahun
1949 sampai 1952 adalah seperti biasa. Kegiatan keagamaan tidak ada yang menonjol pada selama
itu, namun cita-cita dan pemikiran untuk membangun rumah tempat ibadah senantiasa menjadi
pembicaraan di kalangan jemaat. Kebaktian hari minggu dilakukan di Gereja Immanuel, karena
gereja Immanuel pada waktu merupakan pusat kegiatan bagi kebanyakan warga Protestan (yang
berasal dari Ambon, Manado dan Sangihe Talaud) yang tinggal di kota Ujung Pandang.
Pejabat-pejabat gereja seperti Pendeta, Majelis Jemaat, Pengurus-pengurus Kaum Ibu, Pemuda dan
Pengurus-pengurus Kebaktian Anak serta Kebaktian Teruna masih berada dalam satu atap di Gereja
Immanuel, walaupun gereja Immanuel agak berjauhan dengan jemaat. Pemikiran dan cita-cita untuk
membangun rumah gereja yang telah dirintis oleh jemaat sejak perpindahan mereka dari Benteng
Ujung Pandang, baru merupakan tahap embrional berdasarkan gagasan dari pendeta P.Souhoka hal
ini disebabkan karena kebaktian-kebaktian rutin ‘kunci usbu’ masih dilakukan dengan cara
berpindah-pindah tempat. Begitu sulitnya untuk mencari tempat-tempat kebaktian sampai-sampai
gudang MTD digunakan sebagai tempat ibadah, dengan perasaan was-was karena jemaat merasa
kebaktian agak terganggu.
Dalam kondisi demikian, pendeta J.Sapulete melanjutkan perintisan untuk mewujudkan cita-cita itu
melalui usaha-usaha dengan cara menggerakkan jemaat melalui bimbingan rohani. Usaha-usaha
spiritual ini adalah sebagai motivasi untuk membangun sebuah rumah tempat beribadah sebagai
pengganti tempat kebaktian kunci usbu yang berpindah-pindah tempat tadi.
Dalam naskah Sejarah Gereja Bethania yang ditulis oleh team 1973, pada halaman 8 dikatakan
bahwa pada tanggal 3 November 1952 jemaat melalui usaha Sursum Corda mengadakan ‘fancy fair’
di halaman MTD (sekarang Masjid Hikmah). Kemudian pada awal tahun 1953 diadakan rapat
dirumah O.M Paais. Yang memprakarsai rapat ini adalah Martha Maria, Sursum Corda,
Persaudaraan, Maranatha dan lain-lain. J.A.Sasabone dan C.Luhulima secara kebetulan dipanggil
secara pribadi untuk mengikuti rapat tersebut. Rapat memutuskan bahwa sudah saatnya membentuk
panitia yang akan bergerak untuk membangun tempat ibadah. Dan rapat juga memutuskan
pembentukan panitia dengan komposisi sebagai berikut :
1. Ds. J. Sapulete Ketua
2. J.A.Sasabone Wakil Ketua
3. C.h.Luhulima Bendahara
4. L.Manuhutu Sekretaris I
5. L.Silahooy Sekretaris II
6. A.D.Lopulalan Anggota
7. P.Sitania Anggota
8. O.Paais Anggota
9. J.Pulumahuny Anggota
10. L.Noija Anggota
11. J.F.Wattimena Anggota
12. J.M.L.Latupeirissa Anggota
13. N.B.Pattiradjawane Anggota
14. Ny.S.J.Sitania Anggota
15. Ny.P.Mailoa Anggota
16. Ny.M.Manuhutu Anggota
17. Ny.L.Luhulima Anggota
18. Ny.J.Lilipory Anggota
Panitia ini dinamakan ‘Panitia Pembangunan Rumah Sembahyang Ambon Kamp’. Nama-nama
Panitia terpatri pada tanggal 07 Juli 1953 dapat dilihat dan dibaca pada prasasti yang tertempel di
halaman dalam gedung gereja Bethania saat ini. Menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu,
Rumah Sembahyang yang rencananya yang akan di bangun di halaman MTD (sekarang berdiri
Masjid Hikmah) tetapi dalam pertimbangan tertentu pula panitia dan jemaat menyatakan tidak
mungkin rencana ini akan terwujud, karena sangat terganggu dengan keadaan lingkungan saat itu.
Alternatif kedua adalah lapangan di depan rumah O.M. Paais yang terletak antara Jl. Manokwari dan
Jl. Inasaudari (sekarang di kenal dengan Lapangan Basmi), rencana ini pun dibatalkan karena
lokasinya terlalu kecil dan dari pihak pemerintah daerah yaitu camat tidak mendukung dengan alasan
akan dibangun kantor camat diatas tanah kosong itu. Pilihan ketiga ialah tanah kosong di Jl.S.Nuri
yang pada waktu itu diatas ada sebuah rumah ronda. Penduduk setempat sangat berkeberatan
terhadap terhadap rencana ini. Tetapi Kepala Pekerjaan Umum Propinsi Sulawesi selatan pada waktu
Bapak Dengah segera memberikan support sebagai isyarat bahwa rumah sembahyang dapat
dibangun disitu.
B. Usaha-usaha Penggalangan Dana dan Berdirinya Gedung Gereja ‘Bethania’
Segera sesudah rencana ditetapkan, Martha Maria menyumbangkan modal pertama sebesar Rp.
1000,- (seribu rupiah) disusul dengan uang dari Ibu Sapulete (isteri pendeta Sapulete) setelah beliau
menggadaikan barang-barang perabot rumah tangganya. Kemudian disusul dengan kegiatan panitia
melalui ‘fancy fair’pada tanggal 1 Juli 1953. Pada akhir tahun 1953 Rumah Sembahyang yang sangat
sederhana dibangun. Rumah Sembahyang sederhana itu dibangun panjangnya 15 meter dan lebar 6
meter untuk kapasitas 200 orang. Yang melaksanakan pembangunan tersebut adalah PT Borobudur
dengan anggaran Rp.17.500,- panitia mendapat kesulitan cukup banyak untuk melunasi pembayaran
ini.
Melalui usaha panitia dan seluruh warga jemaat telah hadir rumah sembahyang. Dan untuk
pemanfaatannya, GPIB meminta kiranya kebaktian-kebaktian hari minggu termasuk perjamuan
kudus dapat diadakan di rumah sembahyang itu. Hal ini tentunya merupakan sukacita bagi jemaat
karena cita-cita telah menunjukkan hasil nyata sebagai sebuah karya yang penuh perjuangan.
Kebaktian-kebaktian tidak lagi diadakan dengan cara berpindah-pindah tempat. Keadaan ini
berlangsung hingga tahun 1957. Tetapi sebelumnya pada tahun 1954 Pendeta Sapulete telah
dimutasikan ke Jatinegara-Jakarta, Pendeta S.Undap (pendeta GPIB) dialih tugaskan pula ke Tanjung
Priok maka hadirlah Pendeta M Patalala ditengah-tengah jemaat.
Panitia tetap merasa tidak puas, karena memang begitulah manusia, panitia tetap berikhtiar untuk
membangun rumah sembahyang yang permanen. Oleh karena itu pada tanggal 14 Agustus 1957,
panitia memohon bantuan dana dari Gubernur Sulawesi yang pada waktu itu dijabat oleh Bapak Andi
Pangerang Pettarani untuk memperluas bangunan yang sudah ada. Pada akhir bulan itu juga bapak
gubernur memberikan bantuan dana sebesar Rp. 15.000,- dengan ketentuan kiranya gambar
perluasan bangunan harus dimasukan dengan ukuran 1:100. Pada tanggal 17 November 1957 gambar
sesuai permintaan bapak gubernur dimasukan dengan pelebaran sekitar dua setengah meter dan yang
melaksanakan ini adalah NV Indra bahagian pembangunan. Ruang tempat kebaktian mulai agak
lapang karena sanggupmemuat sekitar 300an jemaat.
Bantuan dari bapak gubernur merupakan suatu kesyukuran karena secara langsung pembangunan
gereja mendapat perhatian positif dari pemerintahan daerah. Lima tahun kemudian yaitu pada
tanggal 22 Juni 1962 Panitia mengadakan rapat untuk mencari dana guna perbaikan gedung yaitu
mengganti bangunan yang semi permanen (gamaca) menjad permanen, dengan perkiraan dana
sebesar Rp.110.000,- ibu Martha Maria sanggup mengumpulkan dana sebesar R. 69.524.50,-
Pada permulaan tahun 1963, gedung rumah sembahyang dapat diperbaiki dengan perongkosan
sebesar Rp.175.000,- sebelum gedung selesai, pada tanggal 21 September 1962 Panitia Rumah
Sembahyang Ambon Kamp Maricaya dibadan-hukumkan menjadi Yayasan dengan Akte Notaris
Nomor 28 tertanggal 21 September 1962. Karena Pendeta J.Sapulete telah pndah maka J.A Sasabone
menjadi Ketua Yayasan. Dan sesuatu yang harus dimuat sebagai informasi bahwa pada permulaan
tahun 1965 ada pemberitahuan resmi bahwa Gedung Gereja harus dibongkar, karena akan dibangun
rumah diatasnya dimana material bangunan rumah telah ditempatkan dimuka gereja. Seluruh anggota
yayasan tidak berdaya, tetapi pada waktu itu juga ketua yayasan, J.A Sasabone kembali dari Jakarta
seusai mengikuti Konferensi Wartawan se Asia Afrika. Beliau langsung menghadap kepada Bapak
Brigjen A.Yusuf (Panglima Kodam XIV Hasanuddin pada waktu itu) dengan permohonan kiranya
panglima dapat turun tangan menyelesaikan masalah yang terjadi digereja ini. Bapak Brigjen
A.Yusuf segera turun kelapangan dan memutuskan agar material bahan-bahan bangunan yang telah
ditimbun didepan gedung gereja harus segera dipindahkan dalam waktu secepatnya. Masalah selesai
dengan baik, dan jemaat sangat berterima kasih kepada Bapak Panglima yang telah banyak
membantu.
Pada tanggal 23 November 1966, Yayasan memanggil anggota-anggotanya untuk rapat
membicarakan perbaikan gedung gereja. Pada tanggal 23 November itu juga .A Sasabone
menamakan Rumah Sembahyang dengan anama ‘BETHANIA’. Pemilihan nama ‘BETHANIA’
karena beliau teringat ketika beliau masih muda dan mengkuti katekisasi di kampong Soa Ema di
Ambon, nama gereja di Soa Ema adalah ‘Bethania’. Pada tanggal 16 January1967,Yayasan meminta
ijin walikota untuk memperbaiki gedung gereja. Pada tanggal 29 Maret1967 bapak Walikota M.
Daeng Patompo meletakkan batu pertama secara simbolik untuk pembangunan menara gereja
didalam suatu kebaktian. Inilah mula pertama keinginan untuk mengerjakan lanjutan pembangunan
rumah gereja menjadi permanen. Untuk kelengkapan keanggotaan yayasan, J.A Sasabone
mengundang anggota yayasan untuk mengadakan rapat dalam rangka menambah anggota
(menggantikan anggota yang sudah meninggal). Hasilnya terpilih Ny.L.Pontoh-Ayal, Nona
L.Siahaya, Ny.D.Ruhukail, L.E.M Tuwanakotta, B.E Tuwanakotta, L.Silahooy, AKBP R.D Kalangit
dan Karel Kuhuwael sebagai anggota yayasan yang baru.
Permulaan bulan Juni 1967 Panitia Pasar Derma terbentuk dengan ketuanya adalah AKBP R.D
Kalangit. Pasar Derma I diadakan pada tanggal 1-3 Juli 1967, Pasar Derma II diadakan pada tanggal
1-3 November 1967, Pasar Derma III diadakan pada tanggal 11-14 Mei 1968, Pasar Derma IV
diadakan pada tanggal 3-5 Agustus 1968.
Tahun 1967 sewaktu Pasar Derma sukses tepatnya tanggal 13 Agustus 1967, pada hari Minggu
malam seluruh Majelis Jemaat GPIB hadir didalam gedung tua ‘Bethania’ didalam suatu kebaktian
yang dipimpin oleh Pendeta D.M Souisa karena pada keesokan harinya yaitu hari senin tanggal 14
Agustus 1967 gedung tua sudah harus dibongkar. Pemerintah memberikan bantuan melalui bapak
Brigjen Solihin (Panglima Kodam XIV Hasanuddin), bapak Ahmad Lamo (Walikota Makassar).
Banyak yang telah membantu jemaat dalam membangun Rumah Gereja Bethania antara lain:
J.A Mual (Pimpinan BNI 1946) sangat banyak membantu yayasan dalam membiayai
pembangunan sewaktu beliau bertugas di Makassar. Demikian pula, walaupun beliau telah
pindah ke Jakarta, bapak ini tetap membantu yayasan dalam mendukung kebutuhan dana
yang diperlukan. Juga keluarga Bundt, Komisaris Loupatty, Fa.Tono, Ch.E.Tuwanakotta dan
masih banyak lagi pribadi-pribadi yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu, tetapi
yang jelas mereka adalah warga Bethania sendiri.
Gerekan Pemuda GPIB yang dsponsori oleh penasihatnya Max Imbar mengadakan aksi
amplop.
Paduan Suara ‘Tiga Saudara’.
Pemuda Sursum Corda.
Tahun 1968 seluruh tenaga dikerahkan untuk menyelesaikan pembangunan gedung gereja ‘Bethania’
dan pada tanggal 8 September 1968 gedung gereja secara resmi dibuka oleh pendeta Souisa dalam
ibadah yang dihadiri oleh bapak M.Daeng Patompo, Walikotamadya Makassar. Pada tanggal 23
September 1968, yayasan mengirim delegasi dibawah pimpinan Karel Kuhuwael ke Badan Pengurus
Harian Majelis Jemaat GPIB untuk membicarakan mengenai uang kolekte yang memohon kiranya
50% dari hasil kolekte di gereja Bethania dapat disetujui untuk keperluan pembangunan.
Permohonan ini disetujui dan bulan November 1968 balkon gereja dikerjakan bersama tembok pagar
muka dan selesai sebelum hari Natal tahun itu juga. Bulan January 1969 yayasan kembali mengutus
anggotanya untuk meminta kiranya kiranya kolekte 50% dapat digunakan lagi. BPH menyetujuinya
guna pemeliharaan gedung beserta peralatannya.
Pada tanggal 18 April 1970 J.A Sasabone mengajukan surat berhenti sebagai ketua Yayasan, dan
berdasarkan pertemuan tanggal 1 Agustus 1970 rapat terpaksa memilih Karel Kuhuwael sebagai
ketua dan L.E.M Tuwanakotta sebaga Bendahara (Rsalah rapat beserta surat dari bapak J.A
Sasabone diserahkan kepada Notaris untuk dikukuhkan dalam sebuah Akte). Pada tanggal 13
Desember 1971 gevel dari beton bertulang mula dibangun oleh annemer dan diselesaikan tanggal 23
Desember 1971 menyongsong hari natal. Sampai akhir September 1972 hanya terjadi rapat rutin dan
keadaan gereja Bethania sudah seperti apa yang dapat kita lihat sekarang.
C. HIBAH KEPADA GEREJA
Tim otonomisasi melalui jemaat GPIB Ujung Pandang telah terbentuk. Tujuan Tim adalah untuk
menyelesaikan penghibaan asset gereja-gereja Protestan yang tergabung dalam jemaat GPIB
Ujung Pandang kepada GPIB Jakarta melalui Majelis Sinode.
Untuk melaksanakan penghibaan ini yayasan mengadakan serangkaian rapat yaitu :
a. Tanggal 21 Oktober 1972 yayasan memanggil rapat seluruh anggotanya dengan acara
tunggal adalah Penyerahan Gedung Gereja kepada Majels Sinode GPIB Jakarta yang
akan dipakai oleh jemaat Bethania serta segi-segi hukumnya.
b. Rapat II tanggal 3 Desember 1972 membicarakan progress didalam bidang hukum atas
penyerahan ini.
c. Rapat III tanggal 21 Desember 1972 memandatkan J.A Sasabone (penasehat yayasan)
untuk menyerahkan gedung gereja beserta seluruh inventarisnya kepada Sinode GPIB
yang diwakili oleh Penatua Dick Kasenda dihadapan notaris. Seluruh risalah rapat
diserahkan kepada notaries Sitske Lmowa,SH pada tanggal 23 Desember 1972.
Pada tanggal 28 Desember 1972 ‘Akte Hibah’ telah selesai dengan nomor 177/1972. Dan pada
tanggal 1 January bertempat di gereja Immanuel diadakan penyerahan secara simbolis seluruh
asset gereja Bethania kepada Majelis Sinode. Pada tanggal 12 January 1973 diadakan rapat
pembubaran yayasan, kemudian pada tanggal 21 January 1973 secara resmi yayasan bubar dalam
suatu ibadah di gereja Bethania yang dipimpin oleh Pendeta D.M Souisa, dan pada malam harinya
sisa uang kas diserahkan kepada Majelis Jemaat GPIB ‘BETHANIA’.
Tanggal 7 April 1973 Pendeta C.Ch Hurseuny tiba di Ujung Pandang (dari Bali) sebagai pendeta
jemaat yang pertama dari Jemaat GPIB ‘BETHANIA’ Ujung Pandang.
BIOGRAFI PENDETA-PENDETA JEMAAT GPIB ‘BETHANIA’ UJUNG PANDANG
1. Pendeta Peter Souhoka
Tempat/Tanggal Lahir :
Bangsa/Agama : Indonesia / Kisten Protestan
Jabatan : Pendeta Jemaat
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan :
Pendidikan :
Nama Isteri :
Bangsa/Agama :
Alamat :
Nama Anak :
Riwayat Pekerjaan :
2. Pendeta J Sapulete
Tempat/Tanggal Lahir :
Bangsa/Agama : Indonesia / Kisten Protestan
Jabatan : Pendeta Jemaat
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan :
Pendidikan :
Nama Isteri :
Bangsa/Agama :
Alamat :
Nama Anak :
Riwayat Pekerjaan :
3. Pendeta M Pattalala
Tempat/Tanggal Lahir :
Bangsa/Agama : Indonesia / Kisten Protestan
Jabatan : Pendeta Jemaat
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan :
Pendidikan :
Nama Isteri :
Bangsa/Agama :
Alamat :
Nama Anak :
Riwayat Pekerjaan :
4. Pendeta Emeritus Dominggus Matheus Souisa
Tempat/Tanggal Lahir : Haria/13 Oktober 1900
Pendidikan : S.D Stovil Ambon (1918-1923)
Pengalaman Kerja (Bidang Gerejani) :
a. Sebagai guru jemaat di MalukuTenggara (1925-1928)
b. Terhitung mulai tanggal 1 April 1964 diangkat sebagai pendeta GPIB jemaat
Makassar klasis Sulawesi Selatan dengan surat keputusan Majelis Sinode GPIB
tanggal 6 Mei 1964.
c. Terhitung mulai tanggal 1 February 1971 memberhentikan dengan hormatdan ucapan
terima kasih atas pelayanannya dan memberi kepadanya EMERITAT , dengan surat
keputusan Nomor 116/1/MS.X/KPTS ttgl 24 desember 1971.
Lain-lain keterangan : Meninggal dunia di Ujung Pandang, hari Kamis tanggal 1
February 1973 pukul 08.30.
5. Pendeta Coenraad Charles Hursepuny
Tempat/Tanggal Lahir : Waesamu – Seram/7 Oktober 1934
Jenis kelamin : Laki-laki
Bangsa/Agama : Indonesia / Kristen Protestan
Pendidikan : a. Algeme Lagere School 6 tahun (Ijazah)
b. Sekolah Menengah Pertama (Berijazah)
c. Sekolah Theologia 5 tahun (Berijazah)
Status Perkawinan : kawin
Tempat/Tanggal Kawin : Denpasar – Bali, 07 Juli 1967
Nama Isteri : Olly Hursepuny – Piry
Banga/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Nama Anak : a. Coen Nico Albert (Denpasar, 23-05-1968)
b. Jos Junus Apollos (Denpasar, 24-06-1969)
c. Hannoch Mulia (Denpasar, 8-01-1971)
d. Hendrika L.T.Hartaty (Denpasar, 6-10-1972)
e. Benjamin Chenny Agustinus (Ujung Pandang, 10-02-1974)
Riwayat Pekerjaan :
1 January 1960 melayani jemaat GPIB Palembang, Besluit Majelis Sinode No.
1 Mei 1962 dimutasikan ke jemaat Depok, Besluit Majelis Sinode No.MS.VII/No.6
1 Mei 1966 dimutasikan ke jemaat GPIB Denpasar Bali, Besluit Majelis Sinode
No.VIII/14/MS/66.
1 January 1973 dimutasikan ke jemaat GPIB ‘Bethania’ Ujung Pandang dengan surat
keputusan Majelis Sinode No. 1776/72/MS.X tanggal 18 Desember 1973.
Terhitung tanggal 1 Juni 1979 dimutasikan ke jemaat GPIB ‘Maranatha’ Surabaya.
6. Pendeta Johannes Pamungkas Sm,Th
Tempat/Tanggal Lahir : Bandung/30 Juni 1943
Bangsa/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : a. SD
b. SMP
c. Sekolah Theologia
d. Sekolah Tinggi Theologia
Status Perkawinan : Kawin
Nama Isteri : A.Tutuhatunowa
Bangsa/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Nama Anak : a. Johny Pamungkas
b. Grace Pamungkas
Riwayat Pekerjaan :
Terhitung mulai tanggal 1 November 1980 bertugas di jemaat GPIB ‘Bethania’ yang
sebelumnya bertugas di GPIB Dumai.
Sesuai surat keputusan Majelis Sinode Nomor 1593/83/MS.XIII tanggal 28 November 1985
terhitung mula tanggal 1 Januar 1986 dimutasikan ke GPIB jemaat ‘Bukt Moria’ Jakarta.
7. Pendeta Markus Kurami Tumakaka S.Th
Tempat/Tanggal Lahir : Uluanso/16 Juni 1941
Bangsa/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : Sarjana Theologia
Status Perkawinan : Kawin
Nama Isteri : Drs. Smarah.T
Bangsa/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Nama Anak : a. Refa Martino
b. Benhamar Noeli
c. Rebeka Sumarina
Riwayat Pekerjaan :
Sebelumnya bertugas di GPIB jemaat ‘Harapan’ Jakarta. Menjadi Pendeta jemaat di GPIB
‘Bethania’ sesuai dengan keputusan Majelis Sinode GPIB Nomor 1654/86/MS.XIII/Kpts
tanggal 5 February 1986 dan mengakhiri masa jabatannya di jemaat Bethania berdasarkan
surat keputusan Majelis Sinode GPIB Nomor 528/91/MS.XV/Kpts tanggal 28 Juni 1991. Dan
terhitung mulai tanggal 1 Jul 1991 ditempatkan dan ditugaskan selaku Pendeta Jemaat/Ketua
Majelis Jemaat GPIB ‘Bahtera Hayat’ di Surabaya.
8. Pendeta Yan Eduward Fredrik Talise
Tempat/Tanggal Lahir : Ende/17 April 1958
Bangsa/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : a. SD 1966 – 1972 (Denpasar) – Berijazah
b. SMP 1973 – 1975 (Denpasar) – Berijazah
c. STM 1976 – 1979 (Denpasar) – Berijazah
d. Sarjana Muda Theologia (Jateng) – Berijazah
e. Sementara menempuh S1 Thologia 1992
Pangkat : Pendeta Pimpinan Madya TK.I
Jabatan : Ketua Majelis Jemaat
Golongan : C – II – 4
Masa Kerja : 8 Tahun 7 bulan
Alamat terakhir : Jl. Pelanduk No.4 Ujung Pandang
Riwayat Pekerjaan : 1. Sebagai Vikaris 1985 -1986
2. Sebagai Pendeta di GPIB Jemaat ‘Kanaan’ Balikpapan
(1987- 1991)
3. Sebagai Pendeta di GPIB Jemaat ‘Bethania’ Ujung
Pandang (1991- sekarang)
Status Perkawinan : Kawin
Nama Isteri : I Voni Ponia Hellyanak
t
Tempat/Tanggal Lahir : Kupang (NTT)/01 Mei 1960
Pendidikan Terakhir : SMA
Bangsa/Agama : Indonesia/Kristen Protestan
Pekerjaan : -
Nama Anak : Eunike Imaniar Yani Talise
Tempat/Tanggal Lahir : Balikpapan/15 Juni 1989
Pendidikan : TK Ujung Pandang
Demikian biodata ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Ujung Pandang, 14 February 1994
Pendeta Y.E.F Talise Sm.Th
top related