bab 2 pterigium
Post on 08-Dec-2015
64 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1 Pterigium
I1.1.1 Definisi
Pterigium berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Pteron yang berarti
sayap. Pterigium adalah pertumbuhan lambat yang bersifat tidak ganas dengan
bentuk sayap yang berasal dari jaringan fibrovaskuler yang dapat mencapai
kornea sehingga mengganggu penglihatan. Biasanya penderita mengeluhkan
adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal. Pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. 1,3 Insiden pterigium
di Indonesia yang terletak di garis ekuator yaitu 13,1%. Diduga bahwa paparan
ultraviolet merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterigium . 5
Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak kurang nyaman
karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar dan mengarah ke
daerah kornea, sehingga bisa menutupi kornea dari arah nasal dan sampai ke
pupil, jika sampai menutup pupil maka penglihatan kita akan terganggu.
Pterigium ini bisa sangat bervariasi, mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak
begitu jelas sampai yang besar sekali, dan juga jejas fibrovaskular yang
tumbuhnya sangat cepat yang bisa merusak topografi kornea dan dalam kasus
yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala bisa menutupi pusat optik kornea.6,7
Kondisi pterigium akan terlihat dengan pembesaran konjungtiva, menjadi
merah dan meradang. Dalam beberapa kasus, pertumbuhan bisa mengganggu
proses cairan mata atau yang disebut dry eye syndrome. Dry eye syndrome
merupakan kelainan dengan manifestasi klinis berupa gangguan pada tear film
dan kelainan permukaan okular. Kelainan ini bisa terjadi karena defisiensi akuos
humor ataupun evaporasi. Sekalipun jarang terjadi, namun pada kondisi lanjut
atau apabila kelainan ini didiamkan lama akan menyebabkan hilangnya
penglihatan si penderita. Evakuasi medis dari dokter mata akan menentukan
tindakan medis yang maksimal dari setiap kasus, tergantung dari banyaknya
5
pembesaran pterigium. Dokter juga akan memastikan bahwa tidak ada efek
samping dari pengobatan dan perawatan yang diberikan.2
Pterigium merupakan kelainan bola mata yang umumnya terjadi di
wilayah beriklim tropis dan dialami oleh mereka yang bekerja atau beraktifitas di
bawah terik sinar matahari dan umumnya terjadi pada usia 20-30 tahun. Penyebab
paling sering adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari yang di-
terima oleh mata. Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, berperan penting dalam
hal ini. Selain itu dapat pula dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat
alergen, kimia dan pengiritasi lainnya.2
Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang
tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang mengenai anak-anak. Paparan sinar
matahari dalam waktu lama, terutama sinar UV, serta iritasi mata kronis oleh debu
dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama pterigium. Gejala-gejala
pterigium biasanya berupa mata merah, iritasi, inflamasi, dan penglihatan kabur.7
II.1.2 Anatomi dan Histologi
II.1.2.1 Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal yang
menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva
bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di bawahnya.
Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan
konjungtiva bulbi.4
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan
di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior
paling sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Pada pterigium
konjungtiva yang mengalami fibrovaskular adalah konjungtiva bulbi.4
6
Gambar 1. Penampang sagital konjungtiva tampak konjungktiva bulbi, konjungtiva forniks, dan
konjungtiva palpebra (sumber: Lang, 2006)
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskuler konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfe konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfe palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus
trigeminus. Saraf ini hanya relatif sedikit mempunyai serat nyeri.
7
Kelenjar Lakrimal
Kelenjar KrauseKelenjar Wolferine
Konjungtiva Bulbi
Konjungtiva Fornik
Konjungtiva Palpebra
Permukaan kornea(Berfungsi sebagai
saccus konjungtiva)
Kelenjar Meibom
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barier epitel, aktivitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Selain itu, terdapat pertahanan spesifik berupa
mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid pada
mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA.1
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa.1
Sel-sel epitel superfisial mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang
mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk
dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal
berwarna lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.1
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa konjungtivitis inklusi pada
neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi
folikuler. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada
lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang
konjungtiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.1
Secara garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu :
1. Penghasil musin
a. Sel goblet; terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle; terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva tarsalis
inferior.
c. Kelenjar Manz; mengelilingi daerah limbus.
8
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar Krause dan kelenjar Wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam dibawah substansi propria. Kelenjar air mata
asesori (kelenjar Krause dan Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip
kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada
di forniks atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar Wolfring terletak di tepi
atas tarsus atas. Pada sakus konjungtiva tidak pernah bebas dari mikroorganisme
namun karena suhunya yang cukup rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan
suplai darah yang rendah menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak.
Selain itu, air mata bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan
bakteri.1
II.1.2.2 Kornea
Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan
kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus,
lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea
dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 di tepi, dan
diameternya sekitar 11,5 mm dari anterior ke posterior, kornea mempunyai lima
lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang bersambung dengan epitel
konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan
endotel. Batas antara sklera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan
lensa cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Kalau kornea
edema karena suatu sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat
menguraikan sinar sehingga penderita akan melihat halo.1
9
Gambar 2. Anatomi kornea(Sumber: www.wikipedia.com)
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam:
1. Lapisan epitel
Tebalnya 50 µm , terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling
tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel
basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel polygonal
didepannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan
barrier. Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel
berasal dari ectoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Jaringan Stroma.
Terdiri atas lamel yang merupakan sususnan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15
bulan.Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast
terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan
dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descemet
Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya. Bersifat
sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40
µm.
10
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidosom dan zonula okluden.4
Gambar 3. Corneal Cross Section(www. eyecarecontacts.com)
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf siliar
longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus berjalan supra koroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan
selubung Schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan diantara.
Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam waktu 3
bulan.4
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humour
aquous, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian besar
dari atmosfir. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya seragam,
avaskularitasnya dan deturgensinya.1
II.1.3 Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan bila kasusnya telah lanjut. Mata bisa mengalami inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.6
11
Epitel
Lapisan Bowman
Stroma
Lapisan Descemet
Endotel
Ada beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan pterigium, diantaranya :
a. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.8
b. Umur
Jarang sekali orang menderita pterigium umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterigium yang paling tinggi.8
Pasien yang menderita pterigium sering mempunyai berbagai macam
keluhan, yang mulai dari tidak ada gejala yang berarti sampai mata
menjadi merah sekali, pembengkakan mata, mata gatal, iritasi, dan
pandangan kabur disertai dengan jejas pada konjungtiva yang membesar
dan kedua mata terserang penyakit ini.8
c. Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
d. Radiasi Ultraviolet
Eksposure sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.
e. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis
dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari
bahanpartikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga diduga sebagai
penyebab dari pterigium.2
II.1.4. Etiologi
12
Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan
suatu neoplasma radang dan degenerasi. Namun, pterigium banyak terjadi pada
mereka yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan banyak terkena
panas terik matahari. Faktor resiko terjadinya pterigium adalah tinggal di daerah
yang banyak terkena sinar matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya
besar. Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar
matahari yang diterima oleh mata. 7
Ultraviolet, baik UVA ataupun UVB, dan angin (udara panas) yang
mengenai konjungtiva bulbi berperan penting dalam hal ini. Selain itu dapat pula
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti zat alergen, kimia dan zat pengiritasi
lainnya. Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan dan orang-orang yang
tinggal di dekat daerah khatulistiwa. Jarang menyerang anak-anak.2
II.1.5 Patofisiologi
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, daerah
angin kencang dan debu, inflamasi atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal
dari kornea dan konjungtiva pada fissura interpalpebralis disebabkan oleh karena
kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan
salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering
mendukung teori ini.18
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan peningkatan kolagenase, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik dan proliferasi
jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
terdapat pada lapisan membran Bowman oleh pertumbuhan jaringan
fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis
dan kadang terjadi displasia.18,19
13
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal ada pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi
kronis, kerusakan membran Descemet, dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda
ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan
bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized
interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi
kerusakan stem sel di daerah interpalpebra.17
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan
fenotip, pertumbuhan banyak lebih baik pada media yang mengandung serum
dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblas konjungtiva normal.
Lapisan fibroblas pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang
berlebihan. Pada fibroblas pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, di
mana matrix tersebut adalah matrix ekstraseluler yang berfungsi untuk jaringan
yang rusak, penyenbuhan luka, mengubah bentuk dan fibroblast pterigium
bereaksi terhadap TGF-β (transforming growth factor-β) berbeda dengan jaringan
konjungtiva normal, bFGF (basic fibroblast growth factor) yang berlebihan, TNF-
α (tumor necrosis factor-α) dan IGF II. Hal ini menjelaskan bahwa pterigium
cenderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi fibrovaskular dan
inflamasi.17
Dengan menggunakan anterior segmen fluorescein agiografi ditemukan
peningkatan area nonperfusi dan penambahan pembuluh darah di nasal limbus
selama fase awal pterigium. Sirkulasi CD 4+ MNCs dan c-kit+ MNCs meningkat
pada pterigium dibanding dengan konjungtiva normal. Sitokin lokal dan sistemik,
SP (substance P), VEGF (Vascular endothelial growth Factor) dan SCF (Stem
Cell Factor) pada pterigium meningkat, berhubungan dengan CD 34+ dan C kit+
MNC. Hal ini menunjukkan pada pterigium terlibat pertumbuhan EPCs
(Endothelial Progenitor Cells) dan hipoksia okular yang merupakan faktor
pencetus neovaskularisasi dengan mengambil EPCs yang berasal dari sumsum
tulang melalui produksi sitokin lokal dan sistemik.17,18
Secara histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium,
dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan
14
epitel dikelilingi sel-sel fibroblast yang aktif, karakteristik dari E-cadherin,
penumpukan β-catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada
epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. β-catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial
fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting
dalam patogenesis pterigium.18
II.2 Diagnosis Pterigium
II.2.1 Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar
matahari.2
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.2,4
II.2.2 Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fissure interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan
kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau
menyebabkan kornea astgmatisme pada tahap regresif.
15
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggu pada pterigium dengan dasarnya ke arah
limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang
disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.2,4,17,19
II.2.3 Pembagian Pterigium
Pada kasus pterigium terdapat dimensi fisik dari lesi yang umum
digunakan sebagai indikator dari statusnya. Gambaran klinis dari pterigium
tergantung pada stadium pertumbuhannya. Secara anatomi, pterigium terdiri
dari beberapa segmen:3
1. Fuchs’ Patches
2. Stoker’s Line
3. Hood
4. Head
5. Body
6. Base
7. Superior Edge
8. Inferior Edge
Dalam rangka mengevaluasi keparahan pterigium, beberapa
karakteristik atau parameter dari pterigium harus diobservasi:3
1. Panjang gangguannya ke kornea: Ini adalah indikator terpenting
dari keparahan pterigium. Semakin pterigium mendekati pusat
kornea, maka semakin besar konsekuensi gangguan penglihatan
pada penderita, meskipun mereka berasal dari induksi silinder,
ireguleritas kornea, atau proses kekaburan pupil. Berdasarkan
panjang pterigium ke kornea, pterigium dibagi menjadi empat
stadium:
a. Stadium 0: Pinguecula; Posterior limbus
b. Stadium 1: Pterigium terbatas pada limbus
c. Stadium 2: Pterigium hanya sedikit mengenai kornea
d. Stadium 3: Pterigium terletak di antara limbus dan bagian
pinggir pupil.
16
e. Stadium 4: Pterigium terletak di sentral pupil.
2. Lebar dasar pterigium; Ini juga merupakan indikator penting dari
keparahan pterigium. Ini dapat diukur dengan kaliber sebagai
panjang dari limbus kornea yang terlibat.
3. Jaringan pterigium yang traslusen; Tan dkk mengembangkan skema
derajat pterigium untuk evaluasi. Hal ini berdasar pada visibilitas
dari pembuluh darah yang mendasari episklera, dengan alasan
bahwa hilangnya daya tembus itu berkaitan dengan meningkatnya
ketebalan komponen fibrovascular dari pterygium.
Derajat I: Pterigium atrofi; Pembuluh darah episklera terlihat jelas
Derajat II: Pterigium intermediet; sebagian pembuluh darah terlihat
Derajat III: Pterigium opaque: pembuluh darah sepenuhnya tidak
terlihat.
Gambar 4. Pterigium grade III, di mana pterigium telah melewati kornea lebih dari 2mm, namun belum melewati pupil.
(sumber: www.icoph.org)II.2.4 Manifestasi Klinis
Gejala umumnya bergantung pada tipe dan pertumbuhan dari pterigium.
Jika pertumbuhannya sangat kecil, biasanya asimptomatik. Jika pertumbuhannya
besar, pasien akan mengeluhkan gejala-gejala:3
a. Rasa tidak nyaman
b. Rasa mengganjal
c. Mata merah
d. Iritasi
e. Inflamasi
f. Lakrimasi
g. Penurunan penglihatan
h. Diplopia
17
i. Gangguan penglihatan jika pertumbuhannya area pupil.
II.2.5 Diagnosis Banding
Pterigium memiliki gambaran klinis yang khas sehingga mudah
didiagnosis. Meskipun, beberapa patologi dari kornea perifer dan limbus
memiliki morfologi yang mirip dengan pterigium. Hasilnya, ditemukan
beberapa diagnosis banding. Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan
pinguekula dan pseudopterigium.
Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium
Definisi Jaringan
fibrovaskular
konjungtiva
bulbi berbentuk
segitiga
Benjolan pada
konjungtiva
bulbi
Perlengketan
konjungtiba bulbi
dengan kornea yang
cacat
Warna Putih
kekuningan
Putih-kuning
keabu-abuan
Putih kekuningan
Letak Celah kelopak
bagian nasal
atau temporal
yang meluas ke
arah kornea
Celah kelopak
mata terutama
bagian nasal
Pada daerah
konjungtiva yang
terdekat dengan
proses kornea
sebelumnya
♂:♀ ♂ > ♀ ♂ = ♀ ♂ = ♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Tidak ada Tidak ada Ada
Pembuluh
darah
konjungtiva
Lebih menonjol Menonjol Normal
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
18
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau-
pulau Funchs
(bercak kelabu)
Tidak ada Tidak ada (tidak
ada head, cap,
body)
Histopatologi Epitel ireguler
dan degenerasi
hialin dalam
stromanya
Degenerasi
hialin jaringan
submukosa
konjungtiva
Perlengketan
Tabel 1. Diagnosis Banding Pterigium1,6,9,10
Penyakit lain yang patologinya mirip dengan pterigium meliputi:3
a. Psedupterygium
b. Pinguecula
c. Limbal dermoid
d. Phlyctenular keratokonjungtivitis
e. Limfoma konjungtiva
f. Skuamous sel karsinoma limbus
g. Episkleritik noduler
h. Penyakit Bowen
i. Papiloma konjungtiva2
II.2.6 Penatalaksanaan:
Prinsip penanganan pterigium dibagi dua, yaitu cukup dengan
pemberian obat-obatan jika pterygium masih derajat 1 dan 2, sedangkan
tindakan bedah dilakukan pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan
bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah
mengalami gangguan penglihatan. Pengobatan tidak diperlukan karena
bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda. Bila pterigium
meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan udara
kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang beri air mata
19
buatan bila perlu dapat diberikan steroid . Bila terdapat delen (lekukan
kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi vasokonstriktor
maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat perbaikan
pengobatan dihentikan.1
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium lebih dari 3-4 mm,
pertumbuhan yang progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan
adanya gangguan pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk
mencapai keadaan normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.
Teknik bedah yang sering digunakan untuk mengangkat pterigium adalah
dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterigium ke arah
limbus. Walaupun memisahkan pterigium dengan bare sclera ke arah bawah
pada limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon
secara berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul
perdarahan oleh karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot.
Setelah dieksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan.18
Lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium dengan teknik
simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik yang dapat
menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah Conjunctival Autograft
(Gambar 5). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan konjungtiva
normal yang belum terpapar sinar UV misalnya konjungtiva yang secara
normal berada di belakang kelopak mata atas. Konjungtiva normal ini biasaya
akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk menyebabkan
pterigium rekuren.11
20
Gambar 5. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterygium, (b).Pterygium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined, (e).Graft sutured into place
(sumber: www.baysideeyes.com.au)
Mitomycin C pada penatalaksanaan pterygium2
Salah satu problem pada pengobatan pterigium adalah komplikasi dari
kekambuhan. Berbagai metode digunakan untuk mencegah kekambuhan. Setelah
diketahui bahwa pterigium terjadi karena proliferasi dari fibroblas dan solusinya
dengan menggunakan Mytomicin C (MMC) seperti pada kasus glaukoma.
Dasar penggunaan Mitomycin C
a. Dasar histopatologik dari rasionalisasi penggunaan dan keamanan
MMC tidak mengurangi jumlah sel epitel positif dari antigen Ki-67
pada kekambuhan pterigium, tapi mengurangi nukleus fibroblas di area
pterigium. Jumlah sel epitel positif dari antigen Ki-67 tidak
berhubungan dengan kekambuhan pterigium setelah observasi selama
6 bulan pascapembedahan.
b. Keampuhan MMC terkait dengan penutupan konjungtiva secara
langsung dan graft konjungtiva pada pembedahan pterigium.
Perbandingan komparatif keampuhan penutupan konjungtiva secara
langsung dan graft konjungtiva dengan atau tanpa pemberian MMC
21
0.02 % intraoperatif pada operasi pterigium menunjukkan bahwa graft
konjungtiva mengurangi munculnya kekambuhan pada operasi
pterigium yang pertama. MMC meningkatkan keberhasilan operasi
terkait dengan penutupan konjungtiva secara langsung. Penutupan
konjungtiva secara langsung dan graft konjungtiva dengan MMC
menunjukkan hasil yang sama.
Metode penggunaan
a. Preoperatif
Injeksi 0.1 mL dari 0.15 mg/mL MMC 1 bulan sebelum eksisi
pterigium. Injeksi subkonjungtiva MMC menghambat aktivitas
fibrovaskular pada stroma pterigium, sehingga terjadi degenerasi
matrix ekstraselular dan axon saraf. Perubahan ultrastruktural ini
selaras dengan observasi klinik dengan berkurangnya vaskularisasi
pada pterigium setelah injeksi MMC dan membuktikan efektifitas
injeksi MMC subkonjungtiva 1 bulan sebelum eksisi pterigium dalam
mengurangi resiko kekambuhan pterigium.
b. Intraoperatif
1) Bare sclera dengan MMC: 0.02 % MMC diaplikasikan 3 menit
setelah eksisi pterigium.
2) Kombinasi conjunctival rotational autograft dengan 0.02% MMC
intraoperatif pada eksisi pterigium primer. MMC diaplikasikan
pada dasar sklera setelah conjunctival rotational autograft dengan
sambungan kembali dengan rotasi 1800.
Dibandingkan dengan riwayat kontrol, conjunctival rotational
autograft-MMC menghasilkan kekambuhan yang lebih sedikit
dibandingkan jika hanya MMC ketika disesuaikan dengan usia dan
sama efektif bila dibandingkan dengan limbal-conjunctival
autograft. Masalah utama pascabedah adalah injeksi graft yang
dicatat oleh beberapa penulis yaitu sebanyak 61% dalam 1 tahun.
Ini adalah metode yang berguna untuk membandingkan limbal-
conjunctival autograft pada kasus dimana memobilisasi jaringan
22
autologus konjungtiva tidak layak dalam kasusu dimana pasien
mengalami operasi katarak atau glaukoma.
3) Tetes mata pascabedah
Tetes mata Mitomycin C 0.02% dua kali sehari untuk 2 minggu
setelah eksisi pterigium. Kebanyakan pasien mengalami
ketidaknyamanan dalam penggunaan tetes mata ini. Terdapat
laporan keberhasilan dengan komplikasi yang lebih sedikit.
Pencegahan Kekambuhan Pterygium
Secara teoritis, memperkecil terpapar radiasi ultraviolet untuk mengurangi
resiko berkembangnya pterigium pada individu yang mempunyai resiko lebih
tinggi. Pasien di sarankan untuk menggunakan topi yang memiliki pinggiran,
sebagai tambahan terhadap radiasi ultraviolet sebaiknya menggunakan kacamata
pelindung dari cahaya matahari. Tindakan pencegahan ini bahkan lebih penting
untuk pasien yang tinggal di daerah subtropis atau tropis, atau pada pasien yang
memiliki aktifitas di luar, dengan suatu resiko tinggi terhadap cahaya ultraviolet
(misalnya, memancing, ski, berkebun, pekerja bangunan). Untuk mencegah
berulangnya pterigium, sebaiknya para pekerja lapangan menggunakan kacamata
atau topi pelindung.16
II.2.7 Komplikasi
Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
a. Penyimpangan atau pengurangan pusat penglihatan
b. Kemerahan
c. Iritasi
d. Bekas luka yang kronis pada konjungtiva dan kornea6,7
Keterlibatan yang luas otot extraocular dapat membatasi penglihatan dan
memberi kontribusi terjadinya diplopia. Bekas luka yang berada ditengah otot
rektus umumnya menyebabkan diplopia pada pasien dengan pterygium yang
belum dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan pterigium yang sudah
diangkat, terjadi pengeringan fokal kornea mata akan tetapi sangat jarang
terjadi.6,7
Komplikasi postoperasi pterygium meliputi:
23
a. Infeksi
b. Reaksi material jahitan
c. Diplopia
d. Conjungtival graft dehiscence
e. Corneal scarring
f. Komplikasi yang jarang terjadi meliputi perforasi bola mata perdarahan
vitreous, atau retinal detachment.
Komplikasi akibat terlambat dilakukan operasi dengan radiasi beta pada
pterygium adalah terjadinya pengenceran sklera dan kornea.3
II.2.8 Prognosis
Eksisi pada pterigium terhadap penglihatan dan kosmetik adalah baik.
Prosedur baik saat dipahami oleh pasien dan pada awal operasi pasien akan
merasa terganggu setelah 48 jam pascaperawatan pasien bisa memulai
aktivitasnya. Pasien dengan pterigium yang kambuh lagi dapat mengulangi
pembedahan eksisi dan pencangkokan, kedua-duanya dengan konjungtival limbal
autografts atau selaput amniotik, pada pasien yang telah ditentukan. Pasien yang
memiliki resiko tinggi pengembangan pterigium atau karena di perluas ekspose
radiasi sinar ultraviolet, perlu untuk dididik penggunaan kacamata dan
mengurangi ekspose mata dengan ultraviolet.3,6,7
II.2.9 Kerangka teori
24
Faktor resiko:1.Tinggal di daerah panas2. Daerah berdebu3.Daerah berpasir4.Faktor iritan (kimia, alergen)
Pengeringan lokal pada kornea dan konjungtiva
Pertumbuhan fibroblastik baru pada konjungtiva
Pterygium
Diagnosis banding:o Pinguekulao Pseudopteri
Manifestasi klinis:o Iritasio Lakrimasio Gangguan
penglihatano Rasa tidak
nyaman,dll
Penatalaksanaan:o Obat-
obatan: steroid, tetes mata dekongestan
o Terapi bedah
top related