artikel_10504147
Post on 24-Oct-2015
33 Views
Preview:
TRANSCRIPT
JURNAL PERAN ORANGTUA PADA TERAPI
BIOMEDIS UNTUK ANAK AUTIS
RATNADEWI
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GUNADARMA
ABSTRAKSI
Istilah autisme sudah cukup populer dikalangan masyarakat. Autisme merupakan gangguan yang dimulai dan dialami pada masa kanak-kanak. Berbagai usaha telah dijalankan para orangtua dalam menanggulangi gejala autisme. Namun, penanganan pada tiap individu autis berbeda. Banyak diantara mereka yang mengalami gangguan pencernaan, mempunyai kecenderungan alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan mengalami keracunan logam berat. Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya mempengaruhi fungsi otak. Pengalaman dan penelitian mengungkapkan untuk menanggulangi gejala-gejala autisme yang harus dibenahi adalah metabolisme tubuh anak autis, yaitu melalui terapi biomedis. Orangtua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan anak autis. Untuk itu orangtua dituntut mengerti hal-hal seputar autisme dan mampu mengorganisir kegiatan penyembuhan terapi biomedis untuk anak autis.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kesulitan orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis, bagaimana peran orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis, dan mengapa perannya seperti itu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif berupa studi kasus. Subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah orangtua yang memiliki anak autis dan mengikuti terapi biomedis. Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah metode wawancara semiterstruktur dan observasi nonpartisipan.
Sedangkan alat bantu pengumpulan data penelitian menggunakan pedoman wawancara, pedoman observasi, alat perekam dan alat tulis.
Setelah dilakukan penelitian dapat disimpulkan bahwa kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis, gambaran peran orangtua dan faktor-faktor yang menyebabkan peran orangtua demikian adalah subjek A mengalami kesulitan dalam pengawasan pola makan anak karena anak sering mencuri makanan, sedangkan subjek B mengalami kesulitan dalam pelaksanaan terapi karena anak sering mencuri makanan, anak sudah besar sehingga anak sudah mengenal jenis-jenis makanan, peran orangtua belum optimal dalam melaksanakan terapi dikarenakan subjek A banyak menghandalkan pasangannya dan kurang inisiatif, sedangkan subjek B tidak tegas, merasa kasihan pada anak dan kurang berinisiatif mencari tahu secara lengkap tentang terapi biomedis. Kata Kunci : Peran Orangtua, Terapi Biomedis, Untuk Anak Autis. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Autisme merupakan gangguan yang
dimulai dan dialami pada masa kanak-
kanak. Autisme infantil (autisme pada masa
kanak-kanak) adalah gangguan
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan
orang lain, gangguan berbahasa yang
ditunjukan dengan penguasaan yang
tertunda, echolalia (meniru/membeo),
mutism (kebisuan, tidak mempunyai
kemampuan untuk berbicara), pembalikan
kalimat dan kata (menggunakan kamu untuk
saya), adanya aktivitas bermain yang
repetitif dan stereotipik, rute ingatan yang
kuat, dan keinginan obsesif untuk
mempertahankan keteraturan di dalam
lingkungannya, rasa takut akan perubahan,
kontak mata yang buruk, lebih menyukai
gambar dan benda mati (Kaplan dkk, 1994).
Klasifikasi autisme sedang dan
berat sering kali disimpulkan setelah anak
didiagnosa autisme. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating
Scale (CARS). Skala ini menilai derajat
kemampuan anak untuk berinteraksi dengan
orang lain, melakukan imitasi, memberi
respon emosi, penggunaan tubuh dan objek,
adaptasi terhadap perubahan, memberikan
respon visual, pendengaran, pengecap,
penciuman dan sentuhan. Selain itu,
Childhood Autism Rating Scale juga menilai
derajat kemampuan anak dalam perilaku
takut/gelisah melakukan komunikasi verbal
dan non verbal, aktivitas, konsistensi respon
intelektual serta penampilan menyeluruh
(Schopler dkk dalam Berkell, 1992).
Akhir-akhir ini kasus autisme
menunjukkan peningkatan di Indonesia. Bila
Amerika dapat menentukan bahwa kejadian
di negaranya adalah 1:150 (satu anak autis
per seratus lima puluh anak) dan Inggris
berani mengeluarkan angka 1:100, tidak
demikian dengan Indonesia. Meskipun
beberapa profesional memperkirakan angka
tersebut tidak banyak berbeda dengan di
Indonesia, tapi hal tersebut tidak mungkin
dipastikan tanpa data-data yang akurat.
Saat ini di Indonesia sedang melakukan
pendataan mengenai jumlah penderita
autisme melalui Yayasan Autisma
Indonesia.
Setiap orangtua menginginkan
anaknya berkembang sempurna. Namun
demikian, sering terjadi keadaan dimana
anak memperlihatkan suatu gejala atau
masalah perkembangan sejak usia dini.
Orangtua yang memperhatikan
perkembangan anaknya dan cukup memiliki
informasi mengenai kriteria perkembangan
anak, umumnya dapat merasakan dalam
hati kecilnya bila anaknya mengalami
penyimpangan dalam perkembangan sejak
masa bayi. Misalnya ada gangguan di otak
(McCandless, 2003).
Gangguan di otak tidak dapat
disembuhkan tapi masih dapat
ditanggulangi, dengan melakukan terapi
lebih awal, terpadu, dan intensif. Terjadinya
gangguan di otak merupakan salah satu
penyebab autisme, tetapi gejala-gejala
autisme dapat dikurangi, bahkan dihilangkan
sehingga anak dapat bergaul secara normal,
tumbuh sebagai orang dewasa yang sehat,
berkarya, bahkan membina keluarga. Jika
anak autis tidak atau terlambat mendapat
intervensi hingga dewasa maka gejala
autisme semakin parah, bahkan tidak
tertanggulangi. Melalui beberapa terapi,
anak autis akan mengalami kemajuan
seperti anak normal lainnya (Widyawati dkk,
2003).
Berbagai usaha telah dijalankan
para orangtua dalam menanggulangi gejala
autisme. Namun, seringkali hasil yang
dicapai masih sulit diukur, lagi pula
penanganan pada tiap individu berbeda.
Banyak temuan yang menunjukkan bahwa
fisik anak autis jauh dari sempurna. Banyak
diantara mereka yang mengalami gangguan
pencernaan, mempunyai kecenderungan
alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan
mengalami keracunan logam berat.
Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya
mempengaruhi fungsi otak. Banyak
pengalaman dan penelitian mengungkapkan
bahwa untuk menanggulangi gejala-gejala
autisme maka yang terlebih dahulu harus
dibenahi adalah metabolisme tubuh anak-
anak penyandang autis. Caranya, dengan
menerapkan terapi biomedis (Budhiman dkk,
2002).
Peran orangtua pada terapi
biomedis untuk anak autis sangat penting,
terutama pada pemberian food supplement
(pemakaian obat, vitamin dan mineral) dan
program diet yang akan dilakukan.
Pemakaian obat atau food supplement
harus dipahami benar apa, bagaimana, dan
sesuaikah dengan kebutuhan anak.
Orangtua harus mengetahui bahwa obat dan
food supplement terbuat dari zat kimia
(Widyawati dkk, 2003).
Salah satu bentuk keberhasilan
terapi biomedis seperti yang terjadi pada
pasien Dr. Melly Budhiman setelah
mengikuti terapi biomedis, anak autis
mengalami perkembangan pesat dalam
kemampuan bersosialisasi, anak menjadi
mandiri, konsentrasi anak membaik,
hiperaktif berkurang, postur tubuh anak
berkembang semakin proporsional, adanya
kontak mata dengan lawan bicara, dapat
meniru kata-kata yang diajarkan, jam tidur
menjadi teratur dan dapat mengejar
ketinggalan dari anak-anak lain (Budhiman
dkk, 2002).
Orangtua memiliki peran dominan
dalam upaya penyembuhan karena
orangtua merupakan orang yang paling
dapat mengerti dan dimengerti anak
penyandang autis. Untuk itu orangtua tetap
dituntut untuk berbuat sesuatu yang
bermanfaat bagi kesembuhan anaknya.
Dalam persoalan ini orangtua dituntut
mengerti hal-hal seputar autisme dan
mampu mengorganisir kegiatan
penyembuhan terapi biomedis untuk anak
autis. Para ahli tidak akan dapat bekerja
tanpa peran serta orangtua dan terapi tidak
akan efektif bila orangtua tidak dapat
bekerja sama, karena umumnya para ahli
tersebut bekerja berdasarkan data yang
diperoleh dari orangtua yang paling
memahami dan berada paling dekat serta
hidup bersama anak penyandang autis
(McCandless, 2003).
Berdasarkan penjelasan-penjelasan
diatas menjadi alasan bagi peneliti untuk
melihat bagaimana peran orangtua pada
terapi biomedis untuk anak autis, dan peran
orangtua dalam tahap-tahap terapi biomedis
untuk menangani anak autis. Dengan
adanya peran orangtua pada terapi
biomedis untuk anak autis memungkinkan
dilakukannya deteksi dan intervensi dini
sehingga dapat mempercepat langkah-
langkah apa saja yang harus diambil
selanjutnya, sehingga dapat mempercepat
dan mengoptimalkan jalannya terapi
biomedis.
B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini
adalah :
1. Apa kesulitan orangtua pada terapi
biomedis untuk subjek penelitian?
2. Bagaimana peran orangtua pada terapi
biomedis untuk subjek penelitian?
3. Mengapa perannya seperti itu ?
C. Tujuan penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui apa kesulitan
orangtua pada terapi biomedis untuk anak
autis, bagaimana peran orangtua pada
terapi biomedis untuk anak autis, dan
mengapa peran seperti itu.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki
dua manfaat, yaitu :
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi yang bermanfaat
bagi peneliti, orangtua dan masyarakat
mengenai peran orangtua pada terapi
biomedis untuk anak autis dan menjadi
masukan bagi orangtua, anak autis
untuk lebih bisa berperan serta dalam
penanganannya.
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberi
masukan yang bermanfaat bagi ilmu
psikologi khususnya psikologi anak
khusus dengan memberikan tambahan
data tentang peran orangtua pada terapi
biomedis untuk anak autis dan menjadi
bahan acuan bagi penelitian berikutnya
yang meminati topik mengenai peran
orangtua, terapi biomedis dan anak
autis.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anak Autis 1. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari kata Yunani “autos”
yang berarti self (diri). Kata autisme ini
digunakan didalam bidang psikiatri untuk
menunjukkan gejala menarik diri (Budhiman,
2002).
2. Jenis-jenis Terapi Autisme Ada beberapa terapi yang
digunakan untuk penanganan anak autis
yaitu:
a. Terapi Medikamentosa adalah terapi
dengan obat-obatan bertujuan
memperbaiki komunikasi, memperbaiki
respon terhadap lingkungan, dan
menghilangkan perilaku aneh serta
diulang-ulang.(Widyawati dkk, 2003).
b. Terapi biomedis adalah terapi bertujuan
memperbaiki metabolisme tubuh melalui
diet dan pemberian suplemen.
(Widyawati dkk, 2003).
c. Terapi Wicara adalah terapi untuk
membantu anak autis melancarkan otot-
otot mulut sehingga membantu anak
autis berbicara lebih baik (Suryana,
2004).
d. Terapi Perilaku adalah metode untuk
membentuk perilaku positif pada anak
autis, terapi ini lebih dikenal dengan
nama ABA (Applied Behavior Analysis)
atau metode Lovass.(Handojo, 2003).
e. Terapi Okupasi adalah terapi untuk
melatih motorik halus anak autis. Terapi
okupasi untuk membantu menguatkan,
memperbaiki koordinasi dan
keterampilan ototnya (Suryana, 2004).
f. Terapi Bermain adalah proses terapi
psikologik pada anak, dimana alat
permainan menjadi sarana utama untuk
mencapai tujuan. (Sutadi dkk, 2003).
g. Terapi Sensory Integration adalah
pengorganisasian informasi melalui
sensori-sensori (sentuhan, gerakan,
keseimbangan, penciuman,
pengecapan, penglihatan dan
pendengaran) yang sangat berguna
untuk menghasilkan respon yang
bermakna (Sutadi dkk, 2003).
h. Terapi Auditory Integration adalah terapi
untuk anak autis agar pendengarannya
lebih sempurna (Suryana, 2004).
3. Klasifikasi Autisme
Klasifikasi autisme sedang dan
berat sering kali disimpulkan setelah anak
didiagnosa autisme. Klasifikasi ini dapat
diberikan melalui Childhood Autism Rating
Scale (CARS).(Schopler dkk dalam Berkell,
1992)
4. Penyebab Autisme Ada beberapa penyebab autisme,
dugaan penyebab autisme dan diagnosis
medisnya yaitu faktor biologis, gangguan
perkembangan susunan saraf, dan kelainan
fungsi luhur otak: (Budhiman dkk, 2002;
Budhiman dalam Suryana, 2004; Yatim
dalam Suryana, 2004).
5. Karakteristik Anak Autisme Anak Autis mempunyai karakteristik
dalam bidang komunikasi, interaksi sosial,
sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi:
(Suryana, 2004)
a. Komunikasi
1). Perkembangan bahasa lambat atau
sama sekali tidak ada.
2). Anak tampak seperti tuli, sulit
berbicara, atau pernah bicara tapi
kemudian sirna.
3). Kadang kata-kata yang digunakan
tidak sesuai artinya.
4). Mengoceh tanpa arti berulang-ulang
dengan bahasa yang tidak dapat
dimengerti orang lain.
5). Bicara tidak dipakai untuk alat
komunikasi.
6). Senang meniru atau membeo
(echolalia).
7). Bila senang meniru, dapat hafal
betul kata-kata atau nyanyian
tersebut tanpa mengerti artinya.
8). Sebagian dari anak ini tidak
berbicara (non verbal) atau sedikit
berbicara (kurang verbal) sampai
usia dewasa.
9). Senang menarik-narik tangan orang
lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan, misalnya bila ingin
meminta sesuatu.
b. Interaksi Sosial
1). Penyandang autistik lebih suka
menyendiri.
2). Tidak ada atau sedikit kontak mata
atau menghindari untuk bertatapan.
3). Tidak tertarik untuk bermain
bersama teman.
4) Bila diajak bermain, ia tidak mau
dan menjauh.
c. Gangguan Sensoris
1). Sangat sensitif terhadap sentuhan,
seperti tidak suka dipeluk.
2). Bila mendengar suara keras
langsung menutup telinga.
3). Senang mencium-cium, menjilat
mainan atau benda-benda.
4). Tidak sensitif terhadap rasa sakit
dan rasa takut.
d. Pola Bermain
1). Tidak bermain seperti anak-anak
pada umumnya.
2). Tidak suka bermain dengan anak
sebayanya.
3). Tidak kreatif, tidak imajinatif.
4). Tidak bermain sesuai fungsi
mainan, misalnya sepeda dibalik
lalu rodanya diputar-putar.
5). Senang akan benda yang berputar
seperti kipas angin, roda sepeda.
6). Dapat sangat lekat dengan benda-
benda tertentu yang dipegang terus
dan dibawa kemana-mana.
e. Perilaku
1). Dapat berperilaku berlebihan
(hiperaktif) atau kekurangan
(deficit).
2). Memperlihatkan perilaku stimulasi
diri seperti bergoyang-goyang,
mengepakan tangan, berputar-putar
dan melakukan gerakan yang
berulang-ulang.
3). Tidak suka pada perubahan.
4). Dapat pula duduk bengong dengan
tatapan kosong.
f. Emosi
1). Sering marah-marah tanpa alasan
yang jelas, tertawa-tawa, menangis
tanpa alasan.
2). Tempertantrum (mengamuk tak
terkendali) jika dilarang tidak
diberikan keinginannya.
3). Kadang suka menyerang dan
merusak.
4). Kadang-kadang anak berperilaku
yang menyakiti dirinya sendiri.
5). Tidak mempunyai empati dan tidak
mengerti perasaan orang lain.
Namun gejala tersebut diatas tidak
harus ada pada setiap anak penyandang
autisme. Pada anak penyandang autisme
berat mungkin hampir semua gejala ada tapi
pada kelompok yang ringan mungkin hanya
terdapat sebagian saja (Suryana, 2004).
B. Terapi Biomedis 1. Pengertian Terapi Biomedis
Terapi biomedis adalah suatu
bentuk terapi yang bertujuan memperbaiki
metabolisme tubuh melalui diet dan
pemberian suplementasi. Terapi ini
dilakukan berdasarkan banyaknya
gangguan pencernaan, alergi, daya tahan
tubuh rentan, dan keracunan logam berat.
Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya
mempengaruhi fungsi otak (Widyawati dkk,
2003).
2. Tahap-tahap Terapi Biomedis Menurut Shattock (2002), protokol
terapi biomedis terdiri dari 3 tahapan dan
ditambah dengan 1 tahap intervensi
tambahan, yaitu:
a. Tahapan Genjatan Senjata (Ceasefire)
Tahap ini dilakukan dengan diet
susu dan gandum. Anak autis diduga
mengalami kelebihan opioid dalam
tubuhnya. Opioid berkumpul di otak,
bereaksi dan berfungsi seperti morfin
sehingga mengacaukan otak anak.
Opioid berasal dari kasein (protein dari
susu sapi atau domba) dan glutein
(protein dari gandum) yang dikonsumsi
anak lewat makanan sehari-hari. Pada
anak yang memiliki pencernaan normal,
protein dari susu sapi dan gandum
dapat dicerna sempurna sehingga rantai
protein terurai total. Namun, anak yang
pencernaannya tidak sempurna sulit
mencerna sehingga rantai protein tidak
terurai total, melainkan menjadi rantai-
rantai pendek asam amino, yang disebut
peptida. Di dalam otak, peptida akan
diikat opioid reseptor (penerima opioid),
yang kemudian berfungsi dan bereaksi
seperti morfin.
b. Menilai Problem dan Mencari
Persamaan
Tahap ini dilakukan dengan
menggunakan buku harian makanan
dan pemeriksaan laboratorium. Buku
harian makanan (food diary), diisi
dengan mencatat apa saja yang
dikonsumsi anak setiap hari, juga
perilaku, dan kemampuan yang dicapai
anak.
Setelah melakukan diet bebas
kasein dan bebas glutein, anak
melakukan tes laboratorium. Hasil tes
akan lebih akurat setelah tubuh bersih
dari kasein dan glutein. Biasanya hasil
uji laboratorium sebelum dan sesudah
tes akan menunjukkan hasil yang
berbeda. Setelah kasein dan glutein
dibuang dari menu anak terlihat
perbaikan fungsi usus sehingga vitamin
dan mineral terserap lebih baik,
penurunan jumlah alergi, dan
menunjukkan adanya kesembuhan
infeksi jamur.
c. Proses Membangun Kembali
(Rekonstruksi)
Tujuan akhir dari terapi biomedis
adalah agar anak dapat mengkonsumsi
makanan senormal mungkin. Jika kadar
peptida yang merusak bisa mengurangi
di dalam usus maka daya rembes
dinding usus dan sawar otak (blood
brain barrier) dapat diperbaiki. Dengan
demikian, resiko buruk dapat dikurangi.
Inilah tujuan akhir dari fase
reskonstruksi.
Pada tahap ketiga ini ahli medis
akan merekomendasikan pemberian
suplemen atau makanan tambahan
berdasarkan hasil uji laboratorium.
Dengan demikian, penanganan anak
autis satu dengan yang lainnya berbeda.
d. Intervensi Tambahan
Intervensi tambahan sengaja
ditempatkan dibagian akhir prosedur
karena walaupun ditunjang teori maupun
eksperimen, pemakaian supplemen,
seperti hormon sekretin pada intervensi
tambahan masih dalam tahap
percobaan.
Pemakaian vitamin B6 (piridoksin) dosis
tinggi banyak ditentang, karena secara
teoritis mengandung resiko. Begitu juga
pemakaian DMG (dimethyl glycine),
meski efektif, belum dapat diterangkan
cara kerjanya.
3. Cara Pemeriksaan Metabolisme Pada Terapi Biomedis
Menurut Budhiman (2002), Untuk
menjalankan terapi biomedis terlebih dahulu
anak harus menjalani pemeriksaan di
laboratorium khusus. Pemeriksaan
laboratorium bertujuan mencari gangguan
metabolisme pada anak yang bisa
memperberat gejala autisme atau juga
pencetus gejala ini. Adapun bahan yang
diperiksa adalah feses, urine, darah, dan
rambut.
4. Program Kelasi Pada Terapi Biomedis Program kelasi merupakan proses
pembersihan racun. Program ini kadang
digunakan dalam terapi biomedis karena
dari hasil tes labolatorium ditemukan anak
keracunan logam berat. Jika logam berat
tidak segera dikeluarkan, ada kemungkinan
sel-sel otak anak mengalami kerusakan
permanen. Untuk mengeluarkan logam berat
dari tubuh dan otak. (Shattock, 2002)
C. Peran Orangtua 1. Pengertian Peran Orangtua Pada Terapi biomedis Untuk anak Autis
Peran orangtua pada terapi
biomedis adalah melakukan
pengawasan yang ketat pada pola
makan anak, mencatat makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh anak
agar orangtua dapat mengetahui jenis
makanan yang dapat menimbulkan
alergi pada anak, memenuhi kebutuhan
anak khususnya menyediakan makanan
dan minuman yang tidak mengandung
glutein dan kasein (Puspita, 2004)
2. Faktor-faktor Peran Orangtua Menurut Mawardi (1990), ada tiga
faktor-faktor peran orangtua yang
bertanggungjawab dalam pengasuhan
anak adalah sebagai berikut:
a. Pengawasan yang Membimbing
b. Pemberian Contoh yang Baik
c. Pendekatan Pribadi
3. Bentuk-bentuk Peran Orangtua Dalam Penanganan Anak Autis
Menurut Puspita (2004), ada dua
bentuk-bentuk peran orangtua dalam
penanganan anak autis adalah sebagai
berikut:
a. Memahami keadaan anak apa adanya
b. Mengupayakan alternatif penanganan
sesuai kebutuhan anak
4. Ciri-ciri Peran Orangtua Menurut Maccoby dalam Puspita
(2004), ciri-ciri peran orangtua dalam
penanganan anak autis yaitu
mengungkapkan perasaan, pikiran, serta
sikap terhadap anaknya adalah sebagai
berikut:
a. Orangtua yang Menerima Anak
1). Orangtua yang hangat
2). Komunikasi orangtua dan anak yang
lancar, hangat, dan terbuka
3). Menghargai anak
b. Sikap Orangtua yang Menolak Anak
c. Sikap Orangtua yang Keras
6. Faktor-faktor yang Menentukan Keberhasilan Orangtua dalam Menghadapi Anak dengan Gangguan Autisme
Menurut Safaria (2005), adapun
faktor-faktor yang menentukan keberhasilan
orangtua dalam menghadapi anak dengan
gangguan autisme adalah sebagai berikut:
a. Hubungan Harmonis
Mampu membina hubungan yang
harmonis melalui komunikasi yang
terbuka, berempati, saling menghargai,
saling mendukung dan menghindari
perilaku menimpakan kesalahan pada
salah satu pihak atas masalah anak.
Adapun hal-hal yang menjadi fondasi
utama dari hubungan perkawinan yang
harmonis dan bermakna adalah sebagai
berikut:
1). Visi Bersama
Visi mampu menghubungkan antara
apa yang terjadi saat ini di dalam
pengasuhan hubungan cinta dan
perkawinan dengan keinginan yang
akan dibangun di masa depan.
2). Membina Kebersamaan
Hubungan cinta yang sehat
dilandasi oleh kebersamaan
3). Menjadi Positif dan Produktif
Hubungan cinta yang sehat adalah
hubungan cinta yang menghasilkan
energi positif bagi pasangan dan diri
sendiri.
4). Penghargaan Tanpa Syarat
Hubungan cinta yang sehat
dilandasi oleh penghargaan positif
tanpa syarat, dimana pribadi-pribadi
menerima kekurangan masing-
masing dan menghargainya sebagai
sebuah realitas manusiawi.
5). Kesediaan Meminta Maaf dan
Memaafkan
Melalui kesediaan untuk meminta
maaf dan mengakui kesalahan
dengan sepenuh hati. Kesediaan
untuk meminta maaf ini berarti
memiliki komitmen untuk
memperbaiki diri dan janji untuk
tidak mengulangi perbuatan yang
sama.
6). Komitmen
Komitmen diartikan sebagai
kemauan tersebar untuk
mengikatkan diri dalam prinsip-
prinsip, perjanjian dan persetujuan
bersama untuk memastikan
tercapainya tujuan bersama di masa
depan.
7. Kesulitan-kesulitan Yang Umumnya Dihadapi Oleh Orangtua Pada Pelaksanaan Terapi Biomedis
Dari beberapa kasus di dalam
Budiman (2002), dapat ditarik
kesimpulan mengenai kesulitan-
kesulitan yang umumnya dihadapi oleh
orangtua pada pelaksanaan terapi
biomedis adalah sebagai berikut:
a. Mengalami kesulitan keuangan,
untuk pengobatan anak autis
membutuhkan biaya yang cukup
banyak.
b. Kesulitan menghadapi anak ketika
anak autis menolak untuk
melaksanakan terapi biomedis, anak
autis menjadi tidak mau makan,
sehingga sebagai orangtua menjadi
kwatir dengan asupan gizi untuk
anak menjadi berkurang.
c. Orangtua kesulitan mencari menu
makanan yang sesuai untuk anak
autis.
d. Orangtua kesulitan ketika
melakukan diet untuk anak autis di
luar rumah, karena anak sulit
dikendalikan oleh orangtua disaat
ada kerabat yang memberikan
makanan dan minuman yang
mengandung glutein dan kasein.
Dalam permasalahan ini orangtua
harus tegas pada anak dan disiplin
pada terapi ini demi kesembuhan
anak.
D. Dinamika Peran Orangtua Pada Terapi Biomedis Untuk Anak Autis Orangtua adalah orang terdekat
yang paling besar peranannya pada
perkembangan anak. Orangtua sangat
berperan dalam merawat dan membesarkan
anak, memenuhi kebutuhan fisiologis dan
psikis, membimbing dan mengarahkan,
memberikan contoh dan teladan yang baik,
memberikan afeksi atau kasih sayang yang
menimbulkan kehangatan, rasa aman dan
terlindungi yang diperlukan oleh anak
(Gunarsa, 1991).
Setiap orangtua menginginkan
anaknya berkembang sempurna. Namun
demikian, sering terjadi keadaan dimana
anak memperlihatkan suatu gejala atau
masalah perkembangan sejak usia dini.
Orangtua yang memperhatikan
perkembangan anaknya dan cukup memiliki
informasi mengenai kriteria perkembangan
anak, umumnya dapat merasakan dalam
hati kecilnya bila anaknya mengalami
penyimpangan dalam perkembangan sejak
masa bayi. Misalnya ada gangguan di otak
yaitu autisme (Puspita, 2004).
Autisme adalah gangguan
perkembangan neurobiologis yang berat,
terjadi pada anak dalam 3 tahun pertama
kehidupannya. Masalahnya ini bisa dimulai
sejak janin berusia 6 bulan dalam
kandungan, dan dapat terus berlanjut
semasa hidupnya bila tidak dilakukan
intervensi secara dini, intensif, optimal, dan
komprehensif (Sutadi dkk, 2003).
Berbagai usaha telah dijalankan
para orangtua dalam menanggulangi gejala
autisme. Namun, seringkali hasil yang
dicapai masih sulit diukur, lagi pula
penanganan pada tiap individu berbeda.
Banyak temuan yang menunjukkan bahwa
fisik anak autis jauh dari sempurna. Banyak
diantara mereka yang mengalami gangguan
pencernaan, mempunyai kecenderungan
alergi, daya tahan tubuh yang rentan, dan
mengalami keracunan logam berat.
Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya
mempengaruhi fungsi otak. Banyak
pengalaman dan penelitian mengungkapkan
bahwa untuk menanggulangi gejala-gejala
autisme maka yang terlebih dahulu harus
dibenahi adalah metabolisme tubuh anak-
anak penyandang autis. Caranya, dengan
menerapkan terapi biomedis (Budhiman dkk,
2002).
Terapi biomedis adalah suatu
bentuk terapi yang bertujuan memperbaiki
metabolisme tubuh melalui diet dan
pemberian suplemen. Terapi ini dilakukan
berdasarkan banyaknya gangguan
pencernaan, alergi, daya tahan tubuh
rentan, dan keracunan logam berat.
Berbagai gangguan fungsi tubuh ini akhirnya
mempengaruhi fungsi otak (Widyawati dkk,
2003).
Peran orangtua pada terapi
biomedis untuk anak autis sangat penting,
terutama pada pemberian food supplement
(pemakaian obat, vitamin dan mineral) dan
program diet yang akan dilakukan.
Pemakaian obat atau food supplement
harus dipahami benar apa, bagaimana, dan
sesuaikah dengan kebutuhan anak.
Orangtua harus mengetahui bahwa obat dan
food supplement terbuat dari zat kimia
(Widyawati dkk, 2003).
Setelah mengikuti terapi biomedis,
anak autis mengalami perkembangan pesat
dalam kemampuan bersosialisasi, anak
menjadi mandiri, konsentrasi anak membaik,
hiperaktif berkurang, postur tubuh anak
berkembang semakin proporsional, adanya
kontak mata dengan lawan bicara, dapat
meniru kata-kata yang diajarkan, jam tidur
menjadi teratur dan dapat mengejar
ketinggalan dari anak-anak lain (Budhiman
dkk, 2002).
Orangtua memiliki peran dominan
dalam upaya penyembuhan karena
orangtua merupakan orang yang paling
dapat mengerti dan dimengerti anak
penyandang autis. Untuk itu orangtua tetap
dituntut untuk berbuat sesuatu yang
bermanfaat bagi kesembuhan anaknya.
Dalam persoalan ini orangtua dituntut
mengerti hal-hal seputar autisme dan
mampu mengorganisir kegiatan
penyembuhan terapi biomedis untuk anak
autis. Para ahli tidak akan dapat bekerja
tanpa peran serta orangtua dan terapi tidak
akan efektif bila orangtua tidak dapat
bekerja sama, karena umumnya para ahli
tersebut bekerja berdasarkan data yang
diperoleh dari orangtua yang paling
memahami dan berada paling dekat serta
hidup bersama anak penyandang autis
(McCandless, 2003).
Pada anak autis yang telah diterapi
dengan baik dan memperlihatkan
keberhasilan yang mengembirakan anak
autis dapat dikatakan sembuh dari gejala
autismenya. Ini terlihat bila anak autis sudah
dapat mengendalikan perilakunya sehingga
tampak berperilaku normal, berkomunikasi
dan berbicara normal serta mempunyai
wawasan akademik yang cukup sesuai
dengan anak seusianya (Djamaluddin,
2004).
METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini mengunakan
pendekatan kualitatif yang berbentuk studi
kasus. Menurut Poerwandari (2001), untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam
dan khusus atas suatu fenomena serta
untuk dapat memahami manusia dalam
segala kompleksitasnya sebagai makhluk
subjektif, maka pendekatan kualitatif
merupakan metode yang paling sesuai
untuk digunakan.
1. Pengertian Studi Kasus Menurut Heru Basuki (2006), studi
kasus adalah suatu bentuk penelitian
(inguiry) atau studi tentang suatu masalah
yang memiliki sifat kekhususan
(particularity), dapat dilakukan baik dengan
pendekatan kualitatif maupun kuantitatif,
dengan sasaran perorangan (individual)
maupun kelompok, bahkan masyarakat luas.
2. Jenis-jenis Studi Kasus Menurut Heru Basuki (2006), ada
tiga macam jenis-jenis studi kasus adalah
sebagai berikut:
a. Studi kasus intrinsik
b. Studi kasus intrumental
c. Studi kasus kolektif B. Subjek Penelitian
1. Karakteristik Subjek Penelitian Peneliti menetapkan karakteristik
subjek penelitian ini adalah pasangan
suami istri sebagai orangtua yang
mempunyai anak penyandang autisme
yang mengikuti terapi biomedis.
2. Jumlah Subjek Penelitian Dalam penelitian ini peneliti
berencana untuk menggunakan 1
pasangan orangtua yang mempunyai
anak autis yang mengikuti terapi
biomedis untuk lebih mendapatkan
gambaran yang mendalam mengenai
peran orangtua pada terapi biomedis
untuk anak autis.
C. Tahap-tahap Penelitian Tahap persiapan dan pelaksanaan yang
akan di lakukan dalam penelitian,
meliputi beberapa tahapan, yaitu :
1. Tahap Persiapan Penelitian
Langkah awal yang
dilakukan oleh peneliti adalah
membuat proposal penelitian,
membuat pedoman wawancara
yang disusun berdasarkan teori-teori
yang relevan dengan masalah
penelitian ini.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Sebelum melaksanakan
wawancara, peneliti perlu
mengkonfirmasikan ulang para
calon subjek penelitian untuk
memastikan kesediaan mereka dan
membuat kesepakatan mengenai
waktu dan tempat pelaksanaan
wawancara.
D. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini wawancara yang
digunakan yaitu wawancara semiterstruktur
dimana fihak yang diajak wawancara diminta
pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan
wawancara peneliti perlu mendengarkan
secara teliti dan mencatat apa yang
dikemukakan oleh informan.
Dalam pengamatan ini peneliti
menggunakan bentuk observasi non
partisipan dimana peneliti hanya mengamati
tingkah laku subjek tanpa ikut aktif dalam
kegiatan subjek, karena peneliti hanya
sebagai pengamat.
E. Alat Bantu Pengumpulan Data Menurut Poerwandari (2001), penulis
sangat berperan dalam seluruh proses
penelitian mulai dari memilih topik,
mendekati topik, mengumpulkan data,
analisis, interpretasi dan menyimpulkan hasil
penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan empat instrumen sebagai alat
bantu untuk mengumpulkan data-data yang
dibutuhkan, yaitu:
1. Pedoman Wawancara
2. Pedoman Observasi
Menurut Moleong (2005), pedoman
observasi yang digunakan dalam bentuk
catatan lapangan.
3. Alat Perekam (Tape Recorder)
4. Alat Tulis
F. Keakuratan Penelitian Untuk mencapai keakuratan dalam
suatu penelitian dengan metode kualitatif,
digunakan tehnik trianggulasi. Trianggulasi
adalah suatu tehnik pemeriksaan
keakuratan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain diluar data untuk
keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data itu (Moleong,
2005).
Denzin (dalam Moleong, 2005),
mengemukakan empat macam triangulasi
sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai
keakuratan penelitian, yaitu :
1. Triangulasi Sumber
2. Triangulasi Pengamat (Investigator
Triangulation)
3. Triangulasi Teori (Theory Triangulation)
4. Triangulasi Metode (Methodological
Triangulation)
Selain itu, penelitian ini juga
menggunakan kontrak konfirmabilitas,
dimana hasil temuan penelitian dapat
dikonfirmasikan pada subjek (Poerwandari,
2001).
G. Teknik Analisis Data Menurut Poerwandari (2001), dalam
menganalisa penelitian kualitatif terdapat
beberapa tahapan yang perlu dilakukan.
Tahapan-tahapan tersebut adalah:
1. Mengorganisasikan Data
2. Pengelompokan Berdasarkan Kategori,
Tema dan Pola Jawaban
3. Menulis Hasil Penelitian
HASIL PENELITIAN I. Pembahasan 1. Kesulitan orangtua pada terapi
biomedis untuk anak autis a. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi
subjek A saat melaksanakan terapi
biomedis adalah anak sering kali
mencuri makanan adiknya tanpa
sepengetahuan orangtua, sehingga
subjek kesulitan menerapkan terapi
karena perlu pengawasan ketat
terhadap anak.
Subjek A mengalami hal
yang sama pada umumnya
orangtua yang melaksanakan terapi
biomedis, hal ini didukung dari
beberapa kasus di dalam Budhiman
(2002), bahwa pada umumnya
orangtua yang melaksanakan terapi
biomedis mengalami kesulitan
dalam penerapan terapi biomedis
misalnya mengalami kesulitan
keuangan untuk pengobatan anak
yang membutuhkan biaya cukup
banyak, kesulitan menghadapi anak
ketika anak menolak untuk
melaksanakan terapi biomedis, anak
autis menjadi tidak mau makan,
sehingga sebagai orangtua menjadi
kwatir dengan asupan gizi untuk
anak menjadi berkurang. Orangtua
kesulitan mencari menu makanan
yang sesuai untuk anak. Orangtua
kesulitan ketika melakukan diet
untuk anak di luar rumah, karena
anak sulit dikendalikan oleh
orangtua disaat ada kerabat yang
memberikan makanan dan minuman
yang mengandung glutein dan
kasein. Dalam permasalahan ini
orangtua harus tegas pada anak
dan disiplin pada terapi ini demi
kesembuhan anak.
b. Adapun kesulitan-kesulitan yang
dihadapi subjek B saat
melaksanakan terapi biomedis
adalah subjek kesulitan
melaksanakan terapi biomedis untuk
anak terutama untuk mencari
makanan pengganti dan anak
membutuhkan waktu untuk
menyukai makanan pengganti
tersebut. Subjek kesulitan
melaksanakan terapi karena anak
sudah besar dan bila ada
kesempatan anak sering mencuri
makanan kesukaannya yaitu roti.
Subjek merasa kasihan karena jenis
makanan anak berkurang, tapi untuk
kesembuhan anak, subjek berusaha
untuk konsisten. Subjek kesulitan
mengatasi teman atau orangtuanya
yang memberikan makanan dan
minuman yang mengandung glutein
dan kasein untuk anak dan subjek
keberatan melaksanakan terapi
biomedis karena anak menjadi sulit
makan dan menu makanannya
berkurang.
Subjek B mengalami hal
yang sama pada umumnya
orangtua yang melaksanakan terapi
biomedis, hal ini didukung dari
beberapa kasus di dalam Budhiman
(2002), bahwa pada umumnya
orangtua yang melaksanakan terapi
biomedis mengalami kesulitan
dalam penerapan terapi biomedis
misalnya mengalami kesulitan
keuangan untuk pengobatan anak
autis yang membutuhkan biaya
cukup banyak, kesulitan
menghadapi anak ketika anak autis
menolak untuk melaksanakan terapi
biomedis, anak autis menjadi tidak
mau makan, sehingga sebagai
orangtua menjadi kwatir dengan
asupan gizi untuk anak menjadi
berkurang. Orangtua kesulitan
mencari menu makanan yang
sesuai untuk anak autis. Orangtua
kesulitan ketika melakukan diet
untuk anak autis di luar rumah,
karena anak sulit dikendalikan oleh
orangtua disaat ada kerabat yang
memberikan makanan dan minuman
yang mengandung glutein dan
kasein. Dalam permasalahan ini
orangtua harus tegas pada anak
dan disiplin pada terapi ini demi
kesembuhan anak.
2. Peran orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis a. Peran subjek A adalah subjek
kurang berperan secara optimal
dalam proses terapi biomedis,
subjek kurang berinisiatif mencari
tahu tentang terapi secara lengkap
dan banyak melimpahkan
tanggungjawab untuk proses terapi
biomedis pada istrinya. Meskipun
demikian subjek mau meluangkan
waktunya untuk menemani anak
beraktivitas.
Dari peran subjek pada
terapi biomedis untuk anak autis,
dapat ditarik kesimpulan mengenai
peran orangtua secara umum.
Menurut Mawardi (1990), orangtua
yang bertanggungjawab dalam
pengasuhan anak adalah orangtua
yang melakukan pengawasan yang
membimbing, dalam proses ini
mengutamakan kerjasama yang
didukung oleh rasa kasih sayang
dan cinta kasih antara orangtua dan
anak. Dalam permasalahan ini
kerjasama subjek dan pasangannya
sangat dibutuhkan agar peran
orangtua pada terapi biomedis untuk
anak menjadi optimal.
Dalam hal lain, subjek
tergolong orangtua yang menerima
anak. Hal ini terlihat dari hasil
observasi bahwa setiap hari Sabtu
subjek selalu mengantar dan
menemani anak ketika
ekstrakurikuler bola. Subjek
menghargai usaha anak dalam
belajar dengan memberikan pujian
pada anak atas nilai bagus yang
telah diperoleh oleh anak.
Komunikasi subjek dengan anak
lancar, hangat dan terbuka, hal ini
terlihat saat subjek berdiskusi pada
anak ketika anak ingin masuk klub
bola, subjek menanyakan keinginan
anak, anak diberikan beberapa
pilihan oleh subjek untuk memilih
klub bola yang disukainya, subjek
mengarahkan anak dengan
memberikan penjelasan mengenai
klub bola yang menjadi pilihan anak.
Menurut Maccoby dalam
Puspita (2004), orangtua yang
menerima anaknya adalah orangtua
yang hangat, kemudian komunikasi
orangtua dan anak yang lancar,
hangat dan terbuka, dan
menghargai anak.
b. Peran subjek B sebagai orangtua
pada terapi biomedis untuk anak
autis adalah subjek berperan sudah
cukup optimal, tetapi ada beberapa
kekurangan subjek yaitu subjek
kurang mencari tahu informasi yang
lengkap tentang terapi biomedis,
subjek hanya berpatokan dengan
saran dokter saja. Meskipun
demikian, subjek mau meluangkan
waktunya untuk menemani anak
beraktivitas.
Dalam hal lain, subjek
tergolong orangtua yang menerima
keadaan anak, serta sabar dalam
menghadapi anak ketika menolak
melaksanakan terapi biomedis. Hal
ini telihat dari hasil observasi bahwa
subjek setiap hari Sabtu, subjek
selalu mengantar dan menemani
anak ketika ekstrakurikuler bola.
Subjek menghargai usaha anak
dalam belajar dengan memberikan
pujian pada anak atas nilai bagus
yang telah diperoleh oleh anak.
Komunikasi subjek dengan anak
lancar, hangat dan terbuka, hal ini
terlihat saat subjek berdiskusi pada
anak ketika anak ingin masuk klub
bola, subjek menanyakan keinginan
anak, anak diberikan beberapa
pilihan oleh subjek untuk memilih
klub bola yang disukainya, subjek
mengarahkan anak dengan
memberikan penjelasan mengenai
klub bola yang menjadi pilihan anak.
Subjek terlihat sabar menasehati
anak, saat anak meminta makanan
yang yang mengandung glutein,
dengan tutur kata yang lembut
subjek memberikan suatu
pengertian bahwa makanan tersebut
tidak baik untuk anak autis.
Menurut Maccoby dalam
Puspita (2004), orangtua yang
menerima anaknya adalah orangtua
yang hangat, kemudian komunikasi
orangtua dan anak yang lancar,
hangat dan terbuka, dan
menghargai anak.
3. Faktor-faktor penyebab peran orangtua demikian a. Faktor-faktor yang menyebabkan
subjek A kurang berperan secara
optimal dalam melaksanakan terapi
biomedis adalah dikarenakan subjek
memiliki inisiatif yang rendah untuk
mencari tahu tentang terapi,
sehingga subjek banyak
menghandalkan istri pada proses
terapi biomedis untuk anak autis.
Hal ini terlihat dari hasil observasi
dan wawancara bahwa subjek
kurang memberikan solusi tentang
permasalahan anak dan subjek
terlihat jarang ikut serta pada
pelaksanaan terapi biomedis untuk
anak autis.
Menurut Safaria (2005),
faktor-faktor yang menentukan
keberhasilan orangtua dalam
penanganan anak autis adalah
hubungan yang harmonis antar
pasangan, visi bersama, membina
kebersamaan, menjadi positif dan
produktif, penghargaan tanpa
syarat, kesediaan meminta maaf
dan memaafkan, serta komitmen
pasangan. Dalam hal ini komitmen
subjek dan pasangan belum
terlaksana dengan baik.
b. Faktor-faktor yang menyebabkan
subjek B berperan demikian,
dikarenakan subjek kurang
berinisiatif untuk mencari tahu
secara lengkap mengenai terapi
biomedis untuk anak autis, subjek
tidak tegas pada anak dan merasa
kasihan, subjek kurang mendapat
dukungan dari suami dan subjek
tidak diberikan kesempatan untuk
berdiskusi pada suami. Hal ini
terlihat dari hasil observasi dan
wawancara dimana, subjek A
banyak mengandalkan subjek B,
dan berpatokan pada dokter saja.
Sebaiknya orangtua yang memiliki
anak autis, memiliki komitmen kuat
dalam pelaksanaan terapi ini. Hal ini
sesuai pendapat dari Safaria (2005).
PENUTUP A. Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat dari
penelitian ini adalah
1. Kesulitan-kesulitan orangtua pada
terapi biomedis untuk anak autis
a. Kesulitan Subjek A : anak sering
mencuri makanan adiknya, pada
pelaksanaan terapi biomedis
memerlukan pengawasan ketat.
b. Kesulitan Subjek B : anak sudah
terlalu besar sehingga anak sudah
mengenal jenis-jenis makanan
dan merasa kasihan karena jenis
makanan anak berkurang.
2. Peran orangtua pada terapi biomedis
untuk anak autis
a. Peran subjek A : subjek kurang
berperan secara optimal dalam
proses terapi biomedis, hal ini
terlihat dari subjek banyak
melimpahkan tanggungjawab
proses terapi biomedis pada
istrinya. Subjek kurang inisiatif
untuk mencari tahu secara
lengkap tentang terapi. Meskipun
demikian subjek mau meluangkan
waktunya untuk menemani anak
beraktivitas. Subjek tergolong
orangtua yang menerima anak.
b. Peran subjek B : subjek berperan
cukup optimal, tetapi ada
beberapa kekurangan subjek yaitu
subjek kurang mencari tahu
informasi yang lengkap tentang
terapi biomedis, subjek hanya
berpatokan dengan saran dokter
saja. Meskipun demikian, subjek
mau meluangkan waktunya untuk
menemani anak autis beraktivitas.
Subjek tergolong orangtua yang
sabar dan menerima keadaan
anak.
3. Faktor-faktor yang menyebabkan
peran orangtua demikian
a. Faktor-faktor penyebab subjek A
berperan demikian : dikarenakan
subjek banyak menghandalkan
istri pada proses terapi untuk anak
dan kurang inisiatif untuk mencari
tahu secara lengkap tentang
terapi. Hal ini terlihat dari hasil
observasi dan wawancara bahwa
subjek kurang memberikan solusi
tentang permasalahan anak dan
subjek terlihat jarang ikut serta
pada pelaksanaan terapi biomedis
untuk anak.
b. Faktor-faktor penyebab subjek B
berperan demikian : subjek kurang
berinisiatif untuk mencari tahu
secara lengkap mengenai terapi
biomedis untuk anak, subjek
kasihan dan tidak tegas pada
anak dan subjek kurang mendapat
dukungan dari suami. Hal ini
terlihat dari hasil observasi dan
wawancara dimana, subjek A
banyak mengandalkan subjek B
dan hanya berpatokan pada
dokter saja.
B. Saran Ada beberapa saran yang peneliti
berikan:
1. Saran untuk Subjek
Subjek A dan B diharapkan
secepatnya mencari informasi tentang
terapi biomedis secara lengkap, segera
melaksanakan terapi biomedis
berdasarkan protokol sunderland secara
konsisten, dan laksanakan komitmen
bersama jangan hanya sekedar berucap
saja.
Berdasarkan hasil observasi, dapat
disimpulkan subjek A dan B memiliki
potensi untuk melaksanakan terapi
biomedis secara optimal, karena secara
umum peran subjek A dan B sebagai
orangtua tergolong orangtua yang
menerima keadaan anaknya yaitu
orangtua yang hangat, kemudian
komunikasi orangtua dan anak yang
lancar, hangat dan terbuka, dan
menghargai anak.
2. Saran untuk peneliti berikutnya
Bagi peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan penelitian yang sudah
dilakukan oleh peneliti, seperti
manambah jumlah subjek, memberikan
petunjuk-petunjuk dan saran-saran yang
diperlukan untuk pelaksanaan terapi
biomedis. Dengan selesainya penelitian
ini, diharapkan akan ada penelitian-
penelitian selanjutnya khususnya
dibidang psikologi anak khusus.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, E. (2002). Sekilas mengenai
intervensi biomedis: Pedoman untuk orangtua. Jakarta: Nirmala.
Heru Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif.
Depok: Gunadarma.
Berkell, D. E (ed). (1992). Autism identification, education and treatment. Hillsdale, New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publisher.
Budhiman, M. (2002). Makalah: Autistic
spectrum disorder. Jakarta: Yayasan Autisma Indonesia.
Budhiman, M., Shattock, P., & Ariani, E.
(2002). Langkah awal menanggulangi autisme dengan memperbaiki metabolisme tubuh. Jakarta : Nirmala.
Djamaluddin, S. U. S. (2004). Makalah:
Masalah autisme pengertian & penanganannya. Jakarta : Universitas Islam Syarif Hidayatullah.
Gunarsa, D. S., & Gunarsa, D. Y., Ny.
(1991). Psikologi praktis: Anak, remaja & keluarga. Jakarta: Erlangga.
Handojo, Y. (2003). Autisma. Jakarta: PT.
Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
Judarwanto, W. (2004). Makalah: Masalah
deteksi dini dan skreting autis. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia.
Kaplan, I. H., Sadock, J. B., & Grebb, A. J.
(1994). Sinopsis psikiatri (7th ed). 2 Vols, terj. Kusuma, W. Jakarta: Bhuana.
McCandless, J. (2003). Children with
starving brains (2nd ed) atau Anak-anak dengan otak yang lapar, terj. Wibowo, F., dkk. Jakarta: Grasindo.
Moleong, L. J. (2005). Metodologi penelitian
kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nasir, M (2003). Metode penelitian. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Nawawi, H. H. (2005). Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan
kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan.
Puspita, D. (2004). Makalah : Masalah peran
keluarga pada penanganan individu autistic spectrum disorder. Jakarta : Yayasan Autisma Indonesia.
Safaria, T. (2005). Autisme pemahaman
baru untuk hidup bermakna bagi orangtua. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Shattock, P. (2002). Langkah awal
menanggulangi autisme dengan memperbaiki metabolisme tubuh. Jakarta: Nirmala.
Sugiono. (2005). Memahami penelitian
kualitatif. Bandung: Alfabeta. Suryana, A. (2004). Terapi autisme, anak
berbakat dan anak hiperaktif. Jakarta: Progres Jakarta.
Sutadi, R., Bawazir, L. A., & Tanjung, N.
(2003). Penatalaksanaan holistik autisme. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Widyawati, I., Rosadi, D., E., & Yulidar. (2003). Terapi anak autis di rumah. Jakarta: Puspa Swara.
Yatim, F. (2003). Autisme suatu gangguan
jiwa pada anak-Anak. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Yin, K. R. (2006). Studi kasus: Desain dan
metode. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
top related