analisis pengendalian persediaan bahan baku pada …repository.ub.ac.id/5289/1/riza lismawati...
Post on 05-Jul-2020
20 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS PENGENDALIAN PERSEDIAAN BAHAN BAKU PADA
INDUSTRI PUPUK ORGANIK BERSUBSIDI DI KABUPATEN MALANG
SKRIPSI
Oleh:
RIZA LISMAWATI UTY
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan skripsi ini merupakan hasil
penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi pembimbing. Skripsi ini tidak
pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan
rujukannya dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, 7 Juli 2017
Riza Lismawati Uty
135040101111184
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Riza Lismawati Uty dilahirkan di Surabaya pada tanggal
13 Desember 1994, merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan memiliki
adik laki-laki bernama Bagus Hadi Pratama dari pasangan Bapak Musrizal dan
Ibu Sulis Wijiatmi. Bapak Musrizal bekerja sebagai TNI-AL sedangkan Ibu Sulis
Wijiatmi bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Penulis menempuh pendidikan di SDN Manukan Wetan I/114 Surabaya
pada tahun 2001 dan selesai pendidikan dasar tahun 2007, kemudian penulis
melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2007 hingga
tahun 2010 di SMP Negeri 26 Surabaya, dilanjutkan pada jenjang berikutnya yaitu
Sekolah Menengah Akhir di SMA Negeri 11 Surabaya pada tahun 2010 hingga
tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Strata-1 Prodi
Agribisnis, Fakultas Pertanian di Universitas Brawijaya melalui jalur SNMPTN
Universitas Brawijaya Malang. Adapun pendidikan informal yang diikuti penulis
pada tahun 2013 adalah Pelatihan Komputerisasi Akutansi yang diselenggarakan
oleh Dinas Ketenagakerjaan Kota Surabaya.
LEMBAR PERUNTUKAN
Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan
kesanggupannya (2:286)
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
1. Ayah dan Ibu yang sangat ku cintai Bapak Musrizal S.T. dan Ibu Soelis
Wijiatmi yang senatiasa memberikan do’a, bimbingan, dan motivasinya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dwi Retnoningsih, SP., MP., MBA dan Bapak Prof. Dr. Ir. Djoko
Koestiono, MS, selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis
selama satu semester untuk menyelesaikan skripsi.
3. Adik yang sangat saya banggakan Bagus Hadi Pratama, yang membuat
saya bersemangat agar dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Orang paling berharga yang selalu ada di saat suka maupun duka, Abdul
Wachid yang mendukung saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Partner yang selalu saling mendukung dan membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini, Yoyok (Tionarti), Monica Gricel, Dewi, Dinda,
dan Andini
6. Keluarga kecilku di 292-K yang telah menemaniku selama empat tahun
dan memberiku motivasi untuk menyelesaikan skripsi Tya (Rusmi), Putri,
Linda, Nawang, dan Luluk.
7. Sahabatku yang ada di Malang Elvira, Puput, Theresia, Mawar, Yessy, dan
Fasa, serta yang ada di Surabaya Fitriana, Novi, Effry, Brian, Arista, dan
Errys.
8. Dan semua pihak yang tidak akan cukup bila disebutkan, yang telah
membantu maupun memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini.
RINGKASAN
RIZA LISMAWATI UTY. 135040101111184. Analisis Pengendalian
Persediaan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten
Malang. di bawah bimbingan Dwi Retnoningsih, SP.,MP.,MBA dan Prof. Dr. Ir.
Djoko Koestiono, MS.
Kebijakan “Revolusi Hijau” pada tahun 1980-an memberikan dampak buruk
bagi kondisi lahan di Indonesia pada masa sekarang. Penerapan pupuk organik
dapat menjadi alternatif bagi petani dalam mengembalikan unsur hara yang hilang
akibat penggunaan pupuk kimia. Hal tersebut menyebabkan peningkatan
permintaan pupuk organik di Indonesia, sehingga pemerintah memberikan subsidi
pupuk organik untuk mendukung penggunaan pupuk organik pada sektor
pertanian. Kabupaten Malang yang merupakan salah satu Kabupaten terluas di
Provinsi Jawa Timur memiliki Industri Pupuk Organik terbanyak yang bermitra
dengan Petroganik. Adanya permasalahan kelebihan bahan baku, dimana volume
pemesanan bahan baku lebih besar dari volume pemakaiannya, menyebabkan
kurang optimalnya pengendalian persediaan bahan baku yang berdampak pada
proses produksi. Penelitian ini bertujuan (1) Mengetahui sistem pengendalian
persediaan bahan baku pada industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten
Malang, (2) Menganalisis pengendalian persediaan bahan baku pada industri
pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang melalui Metode Material
Requirement Planning, dan (3) Menganalisis alternatif teknik pengendalian
persediaan bahan baku yang dapat diterapkan pada industri pupuk organik
bersubsidi di Kabupaten Malang.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive atau secara sengaja,
dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Malang merupakan wilayah dengan mitra
Petroganik terbanyak yang ada di Provinsi Jawa Timur. Penentuan sampel pada
penelitian adalah menggunakan purposive sampling atau secara sengaja.
Penentuan sampel didasarkan pada kriteria sampel yaitu mitra petroganik yang
berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dan menggunakan bahan baku kotoran ayam,
kotoran sapi, blotong, filler, dan mixtro dalam produksi pupuk organik bersubsidi.
Selain itu, sampel penelitian merupakan industri yang bersedia untuk menjadi
sampel penelitian, sehingga didapat tiga perusahaan sebagai sampel dari sebelas
populasi perusahaan atau industri yang bermitra dengan Petroganik. Metode
analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama adalah
menggunakan analisis deskriptif untuk mengetahui pengendalian persediaan
bahan baku pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang.
Sedangkan untuk menjawab tujuan kedua menggunakan Material Requirement
Planning (MRP) merupakan metode yang digunakan dalam menentukan ukuran
persediaan yang optimal. Lot Size pada Material Requirement Planning (MRP)
menyatakan besarnya kuantitas item yang harus dipesan dan teknik lot sizing apa
yang dapat digunakan. Terdapat dua teknik lot sizing yang digunakan dalam
penelitian yaitu Economic Order Quantity (EOQ) merupakan teknik yang
meminimalkan persediaan dengan asumsi jumlah pemesanan konstan dan Part
Periode Balance (PPB) yang meminimalkan persediaan dengan jumlah
pemesanan bervariasi. Tujuan penelitian ketiga dijawab melalui Total Inventory
Cost (TIC), dimana teknik atau metode dengan biaya terendah merupakan teknik
atau metode alternatif yang dapat digunakan Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang dalam pengendalian persediaan bahan baku.
Hasil penelitian menunjukkan sistem pengendalian persediaan bahan baku
pada industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang dilakukan dari
adanya rencana produksi yang merupakan kontrak antara Industri Pupuk Organik
dengan Petroganik. Rencana Produksi didasarkan pada Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang ditetapkan oleh pemerintah, kemudian
diserahkan kepada produsen pupuk untuk dilakukan produksi dan distribusi.
Adapun bahan baku yang terdiri dari kotoran ayam, kotoran sapi, blotong, filler
dan mixtro dilakukan pemesanan dengan jumlah dan waktu yang bervariasi sesuai
kedatangan dari pihak Supplier. Jumlah atau kuantitas pemesanan masing-masing
bahan baku yang dilakukan industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten
Malang rata-rata 71.454 kg kotoran ayam, 62.642 kg kotoran sapi, 1.000.000 kg
blotong, 12.212 kaptan kg, dan 6.333 kg mixtro
Sistem pengendalian persediaan bahan baku dengan Material Requirement
Planning dilakukan dimulai dari penentuan kebutuhan kotor yang berasal dari
perhitungan jadwal induk produksi dan bill of material. Kemudian menentukan
kebutuhan bersih yang didapat dari selisih kebutuhan kotor dengan persediaan di
tangan pada setiap periode produksi. Setelah itu penentuan lot size yang didapat
melalui teknik Economic Order Quantity (EOQ) adalah 295.195 kg kotoran ayam,
225.447 kg kotoran sapi, 110.335 kg blotong, 68.635 kg filler, dan 32.167 kg
mixtro secara konstan, sedangkan dengan Part Peiode Balance (PPB) rata-rata
adalah 106.342 kg kotoran ayam, 97.946 kg kotoran sapi, 86.211 kg blotong,
24.674 kg filler, dan 2.898 kg mixtro dengan kondisi bervariasi sesuai kebutuhan
bahan baku. Adapun penentuan waktu pesan dapat dilakukan ketika persediaan
digudang berkurang dan tidak mencukupi untuk kebutuhan kotor bahan baku pada
periode berikutnya.
Berdasarkan perhitungan Material Requirement Planning didapatkan
penentuan ukuran lot dalam melakukan pemesanan pada masing-masing teknik,
maka untuk mengetahui metode atau teknik yang optimal diperlukan untuk
mengetahui biaya terendah pada masing-masing teknik. Adapun berdasarkan
perhitungan dengan Total Inventory Cost (TIC), total biaya teknik Economic
Order Quantity adalah Rp 1.866.530.682, Part Peiode Balance adalah Rp
1.815.735.174, dan metode industri pupuk organik bersubsidi adalah Rp
2.241.373.647. Maka, metode atau teknik yang optimal adalah menggunakan
teknik Part Peiode Balance (PPB) yang merupakan metode Material Requirement
Planning karena memiliki total biaya persediaan paling rendah yaitu Rp
1.815.735.174.
SUMMARY
RIZA LISMAWATI UTY. 135040101111184. Analysis of Raw Material
Inventory Control in Subsidized Organic Fertilizer Industry in Malang Distric.
Under the Guidances of Dwi Retnoningsih, SP.,MP.,MBA and Prof. Dr. Ir. Djoko
Koestiono, MS.
The "Green Revolution" policy of the 1980s had a devastating impact on
land condition in Indonesia today. Application of organic fertilizer can be an
alternative for farmers in returning nutrients lost due to the use of chemical
fertilizers. This causes an increase of demand for organic fertilizer in Indonesia.
Therefore the government provides subsidies for organic fertilizer to support the
use of organic fertilizer in the agricultural sector. Malang which is one of the
widest regency in East Java has the largest Organic Fertilizer Industries in
partnership with Petroganik. The existence of the problem of excess raw materials,
where the volume of ordering raw materials is greater than the volume of its use,
causes less optimal control of raw material supply that affects the production
process. This research was results (1) to know the raw material stock control
system on subsidized organic fertilizer industry in Malang (2) to analyze the
control of raw material supply on subsidized organic fertilizer industry in Malang
through Material Requirement Planning Method, and (3) Analyze alternative
techniques of raw material supply control that can be applied to subsidized
organic fertilizer industry in Malang.
The determination of the research location is using purposive or, with the
consideration that Malang District is the region with the most Petroganik partner
in East Java Province. Determination of the sample in the study is to use
purposive sampling or intentionally. The sample determination is based on the
sample criteria which petroganic partners in the form of Inc and using raw
materials of chicken manure, cow dung, blotong, filler, and mixtro in the
production of subsidized organic fertilizer. In addition, the study sample is an
industry that is willing to be a research sample, so that the three companies
obtained as a sample of eleven population companies or industries that partner
with Petroganik. Data analysis methods used to answer the first goal is to use
descriptive analysis to determine the control of raw material inventory in the
Subsidized Organic Fertilizer Industry in Malang Regency. While to answer the
second goal is using Material Requirement Planning (MRP) which method that
use to determining the optimal inventory size. Lot Size on Material Requirement
Planning (MRP) states the quantity of items ordered and what lot sizing
techniques can be used. There are two lot sizing techniques used in the research
Economic Order Quantity (EOQ) is a technique that minimizes inventory with the
assumption of constant order quantity and Part Period Balance (PPB) that
minimizes inventory with the amount of order varies. The third research objective
is answered through Total Inventory Cost (TIC), where the technique or method
with the lowest cost is an alternative technique or method that can be used
Industry of Subsidized Organic Fertilizer in Malang Regency in the control of raw
material inventory.
The control system of raw material supply in the subsidized organic
fertilizer industry in Malang is done from the production plan which is a contract
between the Organic Fertilizer Industry and Petroganik. The Production Plan is
based on the Group's Definitive Needs Plan (RDKK) established by the
government, then submitted to fertilizer producers for production and distribution.
The raw materials consist of chicken manure, cow manure, blotong, filler and
mixtro ordered by the varied amount and time according to the arrival of the
Supplier. Reservation number or quantity of each raw material made of subsidized
organic fertilizer industry in Malang district average of 71.454 kg of chicken
manure, 62.642 kg cow manure, 1.000.000 kg blotong, 12.212 kg kaptan, and
6.333 kg mixtro.
The raw material inventory control system with Material Requirement
Planning is done starting from the determination of the gross requirement derived
from the calculation of master production schedule and bill of material. Then
determine the net requirement obtained from reducing the gross needs with
inventory in hand at each production period. After determination of lot size
obtained through techniques Economic Order Quantity (EOQ) is 295.195 kg of
chicken manure, 225.447 kg cow manure, 110.335 kg blotong, 68.635 kg of filler,
and 32.167 kg mixtro constant, whereas with Part peiode Balance (PPB) Average
is 106.342 kg of chicken manure, 97.946 kg cow manure, blotong 86.211 kg,
24.674 kg of filler, and 2.898 kg mixtro with the conditions varies according to
the needs of raw materials. The timing of the message can be done when the
warehouse inventory is reduced and not sufficient for the gross needs of raw
materials in the next period.
Material Requirement Planning Based on calculations obtained
determination lot size in an order in each of these techniques, in order to
determine the optimal method or technique is needed to determine the lowest cost
of each technique. As based on calculations Total Inventory Cost (TIC), the total
cost of Economic Order Quantity is Rp 1.866.530.682, Part peiode Balance is Rp
1.815.735.174, and methods of subsidized organic fertilizer industry is Rp
2.241.373.647. Thus, the optimal method or technique is to use a technique Part
peiode Balance (PPB) which is a method for Material Requirement Planning has
the lowest total cost of inventory is Rp 1.815.735.174.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan pembuatan skripsi yang berjudul
“Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang” dengan baik dan tepat pada waktunya. Skripsi
ini disusun sebagai tahap awal atau persyaratan untuk menyusun skripsi pada
program Strata-1 (S1) di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi
Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang.
Skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya dengan
adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucakpan banyak terima kasih
kepada:
1. Dwi Retnoningsih, SP., MP., MBA. selaku dosen pembimbing 1, atas
bimbingan, arahan, waktu, dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian
skripsi ini.
2. Prof. Dr. Ir. Djoko Koestiono, MS. selaku dosen pembimbing 2, atas
bimbingan, arahan, waktu, dan motivasi yang diberikan dalam penyelesaian
skripsi ini.
3. Bapak Rosihan Asmara, SE, MP. selaku pembimbing akademik atas
bimbingan, arahan, waktu, dan motivasi yang diberikan selama perkuliahan.
4. Ibu Putri Budi Setyowati, SP., M.Sc. selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan dan kritik yang membangun skripsi ini.
5. Bapak Ismail, Bapak Budi, dan Bapak Sardjono selaku pimpinan Industri
Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang karena bersedia menerima
mahasiswa untuk melakukan penelitian.
6. Bapak Arief, Ibu Sherly, dan Bapak Eko yang sudah bersedia menjadi
responden dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis.
7. Kedua orang tua penulis, yang paling berjasa di hidup penulis.
8. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang mana telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam skripsi ini masih terdapat
berbagai kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, sangat
diperlukan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
Semoga penulisan ini dapat dipahami dan bermanfaat bagi siapapun yang
membacanya.
Malang, 25 Juli 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................. i
SUMMARY .................................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 5
1.3 Batasan Masalah .................................................................................... 7
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
1.5 Kegunaan Penelitian .............................................................................. 7
II. TINJAUAN PENELITIAN
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu .............................................................. 9
2.2 Tinjauan Teori tentang Bahan Baku ...................................................... 11
2.2.1 Pengertian Bahan Baku ............................................................... 11
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku ..... 12
2.3 Tinjauan Teori tentang Pupuk Organik ................................................. 13
2.3.1 Pengertian Pupuk Organik .......................................................... 13
2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Pupuk Organik ................................ 14
2.4 Tinjauan Teknik tentang Pupuk Organik Bersubsidi ............................ 15
2.4.1 Subsidi Pupuk Organik ................................................................ 15
2.4.2 Perkembangan Kebijakan Pemerintah tentang Pupuk
Bersubsidi ................................................................................... 16
2.5 Tinjauan Teori tentang Persediaan ........................................................ 17
2.5.1 Pengertian Persediaan.................................................................. 17
2.5.2 Fungsi-Fungsi Persediaan ........................................................... 18
2.5.3 Jenis-Jenis Persediaan ................................................................. 20
2.5.4 Biaya-Biaya Persediaan ............................................................... 22
2.6 Tinjauan Teori tentang Pengendalian Persediaan .................................. 23
2.6.1 Pengertian Pengendalian Persediaan ........................................... 23
2.6.2 Tujuan dan Fungsi Pengendalian Persediaan .............................. 24
2.7 Tinjauan Teori tentang Material Requirement Planning (MRP). .......... 25
2.7.1 Material Requirement Planning (MRP) ...................................... 25
2.7.2 Teknik Penentuan Ukuran Lot (Lot Size) .................................... 26
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis .................................................................................. 28
3.2 Hipotesis ................................................................................................ 31
3.3 Definisi Operasional .............................................................................. 31
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian .................................................................................. 33
4.2 Metode Penentuan Lokasi Penelitian .................................................... 33
4.3 Metode Penentuan Sampel .................................................................... 33
4.4 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 34
4.5 Metode Analisis Data ............................................................................ 35
4.5.1 Tujuan 1. Mengetahui sistem pengendalian persediaan bahan
baku pada industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten
Malang ........................................................................................ 35
4.5.2 Tujuan 2. Menganalisis pengendalian persediaan bahan baku
pada industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten
Malang ........................................................................................ 35
4.7.3 Tujuan 3. Menganalisis alternatif teknik pengendalian
persediaan bahan baku yang dapat diterapkan pada industri
pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang ........................ 37
4.6 Pengujian Hipotesis ............................................................................... 38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum .................................................................................. 39
5.1.1 Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang ......... 39
5.1.2 Proses Produksi Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten
Malang ........................................................................................ 40
5.2 Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang........................................................... 42
5.2.1 Pengendalian Persediaan Bahan Baku ........................................ 42
5.2.2 Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule) ............... 43
5.2.3 Status Persediaan Bahan Baku .................................................... 45
5.2.4 Data Struktur Produk (Bill Of Material) ..................................... 46
5.3 Penerapan Material Requirement Planning (MRP) .............................. 48
5.3.1 Biaya Persediaan Bahan Baku ..................................................... 48
5.3.2 Penentuan Kebutuhan Kotor (Explosion) .................................... 52
5.3.3 Penentuan Kebutuhan Bersih (Netting) ....................................... 53
5.3.4 Penentuan Ukuran Pemesanan (Lotting) ..................................... 53
5.3.5 Penentuan Waktu Pemesanan (Offsetting) ................................... 55
5.3.6 Waktu Tunggu (Lead Time) ......................................................... 56
5.4 Teknik Alternatif Pengendalian Persediaan Bahan Baku ...................... 57
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 60
6.2 Saran ...................................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62
LAMPIRAN ................................................................................................... 66
DAFTAR TABEL
Nomor Teks Halaman
1. Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi .................................. 17
2. Tabel Material Requirement Planning (MRP) ....................................... 36
3. Komposisi Produksi Pupuk Organik Bersubsidi pada Industri
Pupuk Organik di Kabupaten Malang .................................................... 41
4. Jadwal Induk Produksi pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang Tahun 2016.............................................................. 44
5. Status Persediaan Rata-Rata Industri Pupuk Organik Bersubsidi
di Kabupaten Malang ............................................................................ 45
6. Perhitungan Bill Of Material pada Persediaan Bahan Baku Industri
Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang .................................. 47
7. Biaya Pemesanan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi
di Kabupaten Malang .............................................................................. 49
8. Biaya Penyimpanan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang............................................................ 51
9. Biaya Beli Masing-Masing Bahan Baku pada Industri Pupuk
Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang ............................................. 52
10. Hasil Perhitungan Economic Order Quantity pada Industri Pupuk
Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang ............................................. 54
11. Hasil Perhitungan Part Periode Balance pada Industri Pupuk
Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang ............................................. 55
12. Lead Time Pemesanan Bahan Baku Produksi Pupuk Organik Bersubsidi
di Kabupaten Malang .............................................................................. 56
13. Perbandingan Total Biaya Persediaan Masing-Masing Teknik
Pengendalian Persediaan Bahan Baku .................................................... 57
DAFTAR GAMBAR
Nomor Teks Halaman
1. Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku .... 30
2. Bagan Proses Produksi Pupuk Organik .................................................. 41
3. Struktur Produk atau Bill Of Material Pupuk Organik ........................... 46
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Teks Halaman
1. Kebutuhan Kotor Bahan Baku Pupuk Organik Bersubsidi .................... 67
2. Perhitungan Bill Of Material .................................................................. 68
3. Perhitungan Biayan Pesan ...................................................................... 69
4. Perhitungan Biaya Simpan ..................................................................... 71
5. Tarif Dasar Telepon Pemesanan Bahan Baku ........................................ 75
6. Perhitungan Lot Size ............................................................................... 76
7. Tabel Part Periode ................................................................................. 77
8. Perhitungan Material Requirement Planning Teknik EOQ ................... 84
9. Perhitungan Material Requirement Planning Teknik PPB .................... 93
10. Perhitungan Material Requirement Planning Teknik Konvensional ..... 102
11. Perhitungan Total Biaya Persediaan ....................................................... 111
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebutuhan unsur hara pada tanaman berasal dari pemberian pupuk, baik
pupuk organik maupun pupuk kimia. Kebijakan “Revolusi Hijau” yang
mewajibkan petani untuk menggunakan pupuk kimia, telah berhasil membawa
Indonesia dalam swasembada pangan pada tahun 1980-an. Namun, penggunaan
pupuk kimia pada masa tersebut justru memberikan dampak buruk bagi kondisi
lahan di Indonesia pada masa sekarang. Hal itu disebabkan karena penggunaan
pupuk kimia pada masa tersebut dilakukan secara berlebihan dan tidak sesuai
dengan dosis yang ditetapkan sehingga kondisi tanah menjadi jenuh. Wahyono,
dkk (2011) mengatakan bahwa 65% dari sumber daya lahan yang ada di Indonesia
mengalami kerusakan akibat penggunaan pupuk kimia yang tidak seimbang. Perlu
dilakukan upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan pemberian
bahan organik yang berasal dari alam dan bebas dari adanya bahan kimia.
Menurut Wahyono, dkk (2011), penambahan bahan organik ke dalam tanah dapat
dilakukan sebagai upaya penanganan mengatasi lahan kritis.
Pemberian bahan organik dapat dilakukan dengan pemberian pupuk organik
ke dalam tanah. Penerapan pupuk organik dapat menjadi alternatif bagi petani
dalam mengembalikan unsur hara yang hilang akibat penggunaan pupuk kimia.
Hal tersebut dikarenakan pupuk organik terbuat dari bahan yang kaya akan unsur
organik sehingga dapat mengembalikan unsur hara alami ke dalam tanah.
Menurut Peraturan Menteri Pertanian (2011) dalam Lestari (2014), pupuk organik
berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang melalui proses rekayasa
yang diperkaya bahan mineral alami dan atau mikroba. Melalui pemberian pupuk
organik dipercaya dapat mengembalikan kondisi atau kesuburan tanah untuk
menyediakan unsur hara bagi tanaman. Lestari (2009) menyatakan bahwa pupuk
organik dapat menggantikan peran pupuk anorganik dalam menyuplai hara dan
memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah yang meliputi sifat fisik, kimia,
dan biologi tanah.
Pentingnya penggunaan pupuk organik bagi kesuburan tanah dan tanaman
menyebabkan peningkatan permintaan pupuk organik di Indonesia. Berdasarkan
data Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (2017) menunjukkan adanya peningkatan
2
permintaan pupuk organik di Indonesia pada tahun 2010 hingga 2015 dengan rata-
rata peningkatan sebesar 18,6%. Salah satu kebijakan pemerintah untuk
mendukung sektor pertanian, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pupuk
organik adalah dengan subsidi pupuk organik (Manasehat, 2014 dalam Arisandi
dkk, 2016). Melalui pupuk organik bersubsidi, petani akan mendapatkan
kemudahan dan harga yang lebih terjangkau dalam memperoleh pupuk organik.
Peningkatan permintaan pupuk organik mendorong perusahaan pupuk di
Indonesia untuk memproduksi pupuk organik. Hal tersebut ditunjukkan adanya
data peningkatan produksi pupuk organik di Indonesia dengan rata-rata
peningkatan sebesar 13,8% dari tahun 2010 hingga tahun 2015 (Asosiasi
Produsen Pupuk Indonesia, 2017). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa
seiring adanya permintaan pupuk organik maka akan mendorong perusahaan
untuk meningkatkan produksi pupuk organik. Selain itu, bantuan pemerintah
mengenai pupuk bersubsidi juga mendorong produsen pupuk organik untuk
melakukan produksi dan berusaha mendapat subsidi dari pemerintah. Menurut
Randy (2015), kebutuhan pupuk organik akan meningkat di masa mendatang,
namun persaingan produsen pupuk organik juga akan semakin ketat, bahkan
beberapa perusahaan berusaha mendapatkan subsidi dari pemerintah. Proses
produksi yang baik dibutuhkan agar perusahaan mampu memenuhi permintaan
konsumen terhadap pupuk organik dan bersaing dengan perusahaan lainnya.
Kegiatan produksi yang dilakukan industri bergantung pada persediaan
bahan baku. Menurut Tumijo, dkk (2015), bahan baku merupakan unsur utama
yang berpengaruh pada kelancaran proses produksi. Adanya persediaan bahan
baku yang cukup akan memberikan kelancaran pada perusahaan dalam
memproduksi produk sesuai dengan permintaan. Penyediaan bahan baku yang
optimal dapat dilakukan dengan suatu pengaturan atau pengendalian persediaan
bahan baku. Setiap perusahaan, pada dasarnya telah memiliki perencanaan dan
pengendalian terhadap bahan baku untuk proses produksi. Namun, beberapa
diantaranya memiliki permasalahan terhadap pengendalian bahan baku, dimana
perusahaan tidak dapat menentukan jumlah pemesanan yang tepat untuk
kelancaran proses produksi dan biaya tidak dibebankan pada persediaan bahan
baku (Hendratmiko, 2010).
3
Kesalahan dalam menentukan pemesanan maupun persediaan bahan baku
dapat menyebabkan perusahaan mengalami kekurangan atau kelebihan bahan
baku. Apabila persediaan bahan baku sedikit maka produk yang dihasilkan juga
sedikit dan perusahaan tidak dapat mengantisipasi peningkatan permintaan.
Sebaliknya, jika persediaan bahan baku berlebih dapat menyebabkan naiknya
biaya penyimpanan dan pembengkakan biaya produksi (Andini dan Slamet, 2016).
Jika kondisi tersebut terus terjadi pada perusahaan dapat menyebabkan
terhambatnya proses produksi dan pemenuhan permintaan produk kepada
konsumen. Maka dari itu, perusahaan dituntut untuk mengatur ketersediaan bahan
baku yang optimal untuk menjamin kelancaran proses produksi dan pemenuhan
permintaan kepada konsumen. Selain itu, sebagai wujud keikutsertaan perusahaan
dalam persaingan dengan produsen pupuk organik lainnya.
Kabupaten Malang merupakan salah satu wilayah di Provinsi Jawa Timur
yang termasuk ke dalam kabupaten terluas kedua dengan jumlah populasi
masyarakat terbesar di Jawa Timur (Malangkab, 2016). Selain itu, Kabupaten
Malang memiliki banyak potensi dari sektor pertanian yang dapat dilihat dari
banyaknya tanaman perkebunan, hortikultura, dan tanaman obat, hingga ke sektor
pariwisata. Tingginya potensi sektor pertanian di Kabupaten Malang akan
mempengaruhi kebutuhan terhadap pupuk organik, mengingat pupuk merupakan
salah satu input penting dalam usaha tani. Selain itu, pupuk organik dibutuhkan
untuk memperbaiki kondisi lahan yang jenuh akibat penggunaan pupuk kimia
yang berlebihan.
Adanya potensi sektor pertanian tersebut menyebabkan di Kabupaten
Malang banyak berdiri industri atau produsen pupuk organik. Berdasarkan
Bappeda Jatim (2011), terdapat 18 industri pupuk organik di Kabupaten Malang,
11 diantaranya merupakan mitra dari Petroganik sebagai industri pupuk organik
bersubsidi. Adapun berdasarkan data dari Petroganik (2015), Kabupaten Malang
merupakan wilayah dengan jumlah industri pupuk organik terbanyak yang
bermitra dengan Petroganik dalam memproduksi pupuk organik bersubsidi di
Jawa Timur.
Selain dari hal tersebut, keberadaan produsen pupuk oganik juga
dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku. Menurut Muqodam (2013) dari hasil
4
sensus pertanian 2013 terdapat tiga kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang
memiliki jumlah ternak sapi paling banyak, salah satunya adalah Kabupaten
Malang dengan jumlah 240,12 ribu ekor. Tingginya populasi hewan ternak di
Kabupaten Malang akan mempengaruhi ketersediaan limbah kotoran ternak yang
merupakan bahan baku untuk produksi pupuk organik. Berdasarkan data tersebut
maka persediaan bahan baku berupa kotoran ternak untuk produksi pupuk organik
di Kabupaten Malang dapat terpenuhi.
Pemenuhan kebutuhan bahan baku untuk produksi pupuk organik bersubsidi
pada industri atau perusahaan ditentukan dari adanya rencana produksi. Rencana
produksi pada setiap periode merupakan banyaknya pupuk organik bersubsidi
yang diproduksi didistribusikan pada petani. Penentuan rencana produksi pupuk
organik bersubsidi ditentukan dari adanya Rencana Definitif Kebutuhan
Kelompok (RDKK), merupakan rencana kebutuhan pupuk tiap petani pada suatu
wilayah. Melalui RDKK, kebutuhan tiap petani pada suatu wilayah dapat dengan
mudah dipantau oleh pemerintah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014).
Melalui adanya RDKK, produsen akan lebih mudah dalam menyediakan
bahan baku yang sesuai dengan rencana produksi. Namun pada realisasinya
terdapat permasalahan kelebihan bahan baku pada beberapa industri pupuk
organik yang merupakan mitra dari Petroganik. Hal tersebut didukung dari data
observasi awal yang menunjukkan hanya 320 ton yang digunakan dari 600 ton
pemesanan bahan baku per bulan pada tahun 2016. Artinya hanya sekitar 50%
bahan baku yang digunakan dari total pemesanan, sehingga dapat dikatakan
bahwa volume pemesanan bahan baku lebih besar dari volume pemakaiannya.
Adanya permasalahan kelebihan bahan baku menyebabkan kurang optimalnya
biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Menurut Alfiah (2011), pembelian
bahan baku dengan kuantitas yang lebih besar dan tidak sebanding dengan
pemakaiannya akan menyebabkan terjadinya penumpukan persediaan, penurunan
kualitas bahan baku, dan meningkatnya biaya penyimpanan.
Penting bagi industri pupuk organik bersubsidi untuk mengoptimalkan
persediaan bahan baku untuk kelancaran proses produksi dan mencegah
pembengkakan biaya pada persediaan bahan baku. Banyak penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui persediaan bahan baku optimal pada suatu
5
perusahaan, namun berbagai penelitian tersebut banyak membahas mengenai
study kasus pada salah satu perusahaan yang memproduksi produk hilir atau
olahan. Pada penelitian ini, akan dibahas mengenai persediaan bahan baku pupuk
organik yang mendapat subsidi dari pemerintah di Kabupaten Malang, mengingat
Kabupaten Malang merupakan kabupaten terluas kedua di Jawa Timur.
Penelitian akan dilakukan pada beberapa industri pupuk organik di
Kabupaten Malang yang melakukan produksi dan distribusi pupuk organik
bersubsidi atau yang merupakan mitra dari Petroganik. Sebagai unit usaha yang
memproduksi pupuk organik bersubsidi, maka keberadaaan industri pupuk
organik memiliki peran penting dalam menyediakan pupuk organik bagi sektor
pertanian. Menyikapi adanya permasalahan kelebihan bahan baku dan untuk
memperlancar proses produksi serta menekan biaya persediaan, maka diperlukan
analisis terhadap pengendalian persediaan untuk mengetahui persediaan bahan
baku bagi yang optimal bagi proses produksi pupuk organik.
1.2 Rumusan Masalah
Perusahaan yang melakukan produksi, sangat penting untuk memperhatikan
persediaan bahan baku. Persediaan bahan baku yang optimal akan menjaga
kelancaran proses produksi, dimana perusahaan harus mampu menyediakan bahan
baku sesuai dengan kebutuhan. Ristono (2013) mengatakan bila persediaan terlalu
banyak maka perusahaan harus menanggung adanya permasalahan seperti biaya
tambahan untuk penyimpanan atau risiko kerusakan, sedangkan apabila
persediaan sedikit maka akan mengganggu kelancaran proses produksi dan
penjualan. Apabila kondisi tersebut terjadi, maka proses produksi dapat terancam
berhenti dan mengakibatkan menurunnya keuntungan (Andini dan Slamet, 2016).
Pengendalian persediaan bahan baku diperlukan perusahaan untuk menjaga
tingkat persediaan optimal, sehingga diperoleh penghematan biaya persediaan dan
kelancaran proses produksi. Adapun tujuan pengendalian persediaan bahan baku
yaitu memenuhi permintaan konsumen, menjaga kontinuitas produk,
meningkatkan penjualan dan laba perusahaan, serta meminimalkan biaya
persediaan bahan baku (Ristono, 2013).
6
Industri pupuk organik yang merupakan mitra Petroganik, memproduksi
pupuk organik bersubsidi sesuai dengan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) dan pengawasan dari pemerintah. Selain itu, industri pupuk organik juga
melakukan distribusi pupuk organik dengan volume sesuai banyaknya rencana
produksi yang ditetapkan oleh RDKK, yang kemudian dikirim ke gudang
penyangga diwilayah sekitar untuk dikirim ke petani di wilayah tersebut. Melalui
adanya RDKK perusahaan dapat menentukan rencana produksi, dimana rencana
produksi digunakan industri pupuk organik untuk membuat rencana pemesanan
bahan baku. Adanya penyediaan bahan baku yang optimal akan berpengaruh pada
kelancaran proses produksi dan meminimalkan biaya produksi.
Namun, berdasarkan observasi yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa
beberapa produsen pupuk organik bersubsidi mengalami kelebihan bahan baku.
Hal tersebut didukung oleh data observasi awal yang menunjukkan kelebihan
bahan baku, dimana volume pemesanan lebih tinggi dibandingkan dengan volume
penggunaan bahan baku. Bahan baku yang digunakan untuk produksi pupuk
organik rata-rata hanya sebesar 50% dari total pemesanan pada setiap bulannya,
dimana dengan pemesanan sebanyak 600 ton bahan baku hanya digunakan 320
ton. Adanya permasalahan kelebihan bahan baku menyebabkan kurang
optimalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Menurut Alfiah (2011),
pembelian bahan baku dengan kuantitas yang lebih besar dan tidak sebanding
dengan pemakaiannya akan menyebabkan terjadinya penumpukan persediaan,
penurunan kualitas bahan baku, dan meningkatnya biaya penyimpanan.
Analisis diperlukan untuk mengetahui persediaan bahan baku optimal agar
proses produksi dapat berjalan lancar. Berdasarkan permasalahan tersebut maka
penelitian untuk menganalisis pengendalian persediaan bahan baku pupuk organik
pada Industri Pupuk Organik memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sistem pengendalian persediaan bahan baku pada industri pupuk
organik bersubsidi di Kabupaten Malang?
2. Bagaimana pengendalian persediaan bahan baku pada industri pupuk organik
bersubsidi di Kabupaten Malang melalui Metode Material Requirement
Planning?
7
3. Bagaimana alternatif teknik pengendalian persediaan bahan baku yang dapat
diterapkan pada industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang?
1.3 Batasan Masalah
Adapun yang menjadi batasan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian dilakukan di Industri Pupuk Organik yang ada di Kabupaten Malang.
2. Industri Pupuk Organik yang diteliti merupakan mitra Petroganik dalam
memproduksi pupuk organik bersubsidi.
3. Bahan baku yang difokuskan untuk penelitian adalah kotoran ayam (KA),
kotoran sapi (KS), dan blotong yang telah dilakukan fermentasi, serta filler dan
mixtro.
4. Data primer yang diambil untuk penelitian merupakan data selama satu tahun
terakhir yaitu pada tahun 2016.
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui sistem pengendalian persediaan bahan baku pada industri pupuk
organik bersubsidi di Kabupaten Malang.
2. Menganalisis pengendalian persediaan bahan baku pada industri pupuk organik
bersubsidi di Kabupaten Malang melalui Metode Material Requirement
Planning.
3. Merumuskan alternatif teknik pengendalian persediaan bahan baku yang dapat
diterapkan pada industri pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang.
1.5 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan pada penelitian ini bagi perusahaan, peneliti, dan pihak
lain adalah sebagai berikut:
1. Bagi Perusahaan
Penelitian yang dilakukan akan membantu perusahaan dalam
pengambilan keputusan dalam menentukan jumlah persediaan bahan baku yang
optimal, biaya minimum yang harus dikeluarkan, dan kapan perlunya
melakukan pemesanan kembali.
8
2. Bagi Peneliti
Penelitian yang dilakukan akan menambah pengetahuan dan wawasan
dalam pengaplikasian teori pengendalian persediaan bahan baku pada berbagai
perusahaan yang memproduksi pupuk organik bersubsidi.
3. Bagi Pihak Lain
Penelitian yang dilakukan akan menambah informasi dan masukan
terkait pengendalian persediaan bahan baku pada Industri Pupuk Organik
bersubsidi yang ada di Kabupaten Malang.
9
II. TINJAUAN PENELITIAN
2.1 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Amulyono (2011) menganalisis
mengenai pengendalian persediaan bahan baku dengan metode Material
Reqirement Planning (MRP) dalam upaya untuk meminimumkan biaya
persediaan Study Kasus pada perusahaan rokok Mardi Jaya Tulungagung. Adapun
bahan baku yang digunakan untuk proses produksi rokok 45 Spesial dan 45 Super
terdiri dari Tembakau blanded, etiket, ambri, dan OPP, sehingga pada penelitian
Amulyono (2011) menerapkan metode Material Reqirement Planning. Adapun
Material Reqirement Planning (MRP) terdiri dari beberapa teknik yang digunakan
untuk menentukan ukuran lot pada kebutuhan material. Teknik lot size yang
digunakan pada penelitian terdiri dari Lot-For-Lot (LFL), Economic Order
Quantity (EOQ), dan juga Past Periode Balance (PPB), Periode Order Quantity
(POQ), dan Algoritma Wagner Within. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
hasil bahwa Algoritma Wagner Within merupakan teknik yang paling ekonomis,
dimana biaya total persediaan etiket produk 45 Spesial adalah Rp 131.500, untuk
blanded 45 Super sebesar Rp 747.400 dan 45 Spesial Rp 845.300, untuk bahan
baku ambri 45 Super sebesar Rp 152.000 dan 45 Spesial Rp 130.400.
Ummiroh (2013) juga melakukan analisis pengendalian persediaan outdoor
furniture pada Pennyellow Furniture merupakan produsen lokakarya yang terletak
di Kota Jember. Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan metode
Material Requirement Planning (MRP) untuk menentukan jumlah pesanan
optimal pada setiap bahan baku. Bahan baku yang diteliti terdiri dari Rotan
sintetis, pipa alumunium, dan aksesoris metal. Teknik MRP yang digunakan untuk
menentukan pemesanan bahan baku optimal terdiri dari Lot-For-Lot (LFL),
Economic Order Quantity (EOQ), dan Past Periode Balance (PPB). Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan teknik MRP yang sesuai untuk persediaan bahan
baku rotan sintetis adalah dengan menggunakan Lot-For-Lot (LFL) yakni biaya
persediaan sebesar Rp 2.233.350, sedangkan bahan baku pipa alumunium dan
aksesoris metal lebih optimal dengan menggunakan teknik Past Periode Balance
(PPB) yakni biaya persediaan pada masing-masing bahan baku adalah Rp
1.459.400 dan Rp 1.690.400.
10
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Soleha (2015) menganalisis
mengenai pengendalian persediaan bahan baku keripik nangka Study Kasus pada
UD Sabar Jaya, Kabupaten Malang dengan menggunakan metode Material
Requirement Planning (MRP), dimana metode MRP digunakan untuk
menentukan jumlah atau ukuran berdasarkan pesanan yang ditetapkan. Adapun
teknik pada MRP yang digunakan untuk menentukan lot sizing yang efektif untuk
diterapkan perusahaan adalah melalui Lot-For-Lot (LFL), Economic Order
Quantity (EOQ), dan Past Periode Balance (PPB). Proses analisis yang dilakukan
penelitian tersebut adalah dengan mengetahui kebutuhan kotor dan kebutuhan
bersih, menentukan ukuran lot pemesanan, menentukan waktu pemesanan, dan
akan menghasilkan total biaya persediaan. Melalui perhitungan tersebut
dihasilkan perusahaan dapat menentukan persediaan bahan baku yang optimal dan
menurunkan biaya persediaan sebesar 39,4% dibandingkan dengan metode yang
digunakan perusahaan. Dari ketiga metode tersebut, teknik PPB akan
menghasilkan persediaan paling optimal dibandingkan dengan teknik lainnya
yakni dengan total persediaan sebesar Rp 11.850.284.
Rosidah (2015) melakukan penelitian mengenai pengendalian persediaan
kedelai, minyak goreng, dan kemasan Study Kasus pada UKM Karya Perdana
Jombang melalui metode MRP yang digunakan untuk mengetahui alternatif
teknik yang dapat meminimalkan biaya persediaan pada perusahaan. Teknik pada
MRP yang digunakan untuk menentukan jumlah persediaan minimum terdiri dari
Lot-For Lot (LFL), Economic Order Quantity (EOQ), dan Past Periode Balance
(PPB). Adapun analisis yang dilakukan adalah dengan mengetahui Bill Of
Material (BOM), peramalan permintaan, Master Prodution Schedule (MPS), dan
dengan menggunakan MRP untuk mengetahui persediaan optimal. Melalui
penelitian tersebut menghasilkan pengendalian persediaan dengan menggunakan
metode MRP lebih optimal dibandingkan dengan metode yang diterapkan
perusahaan. Sedangkan teknik MRP yang menghasilkan persediaan paling
optimal adalah dengan teknik PPB, sehingga teknik PPB dapat dijadikan alternatif
metode bagi perusahaan untuk mendapatkan persediaan optimal. Adapun biaya
total persediaan yang dikeluarkan dengan teknik PPB adalah Rp 43.904.091 pada
kedelai, Rp 4.656.186 pada minyak goreng dan 2.120.355 pada kemasan.
11
Berdasarkan penelitian terdahulu yang telah dijelaskan, penelitian ini
memiliki kesamaan yaitu untuk menganalisis pengendalian persediaan bahan baku.
Selain itu, kesamaan lainnya adalah penelitian ini sama-sama menggunakan
metode Material Reqirement Planning dalam menentukan lot persediaan bahan
baku yang tepat. Sedangkan perbedaan dengan penelitian lainnya adalah
penelitian dilakukan pada industri pupuk organik bersubsidi yang memproduksi
produk hilir, dimana industri pupuk organik merupakan mitra dari Petroganik.
Selain itu, bahan baku pada penelitian merupakan untuk memproduksi pupuk
organik bersubsidi yang telah ditetapkan berdasarkan kebijakan pemerintah sesuai
dengan adanya RDKK atau rencana definitif kebutuhan kelompok.
2.2 Tinjauan Teori tentang Bahan Baku
2.2.1 Pengertian Bahan Baku
Pada perusahaan yang melakukan proses produksi sangat membutuhkan
bahan baku sebagai input untuk menghasilkan suatu produk atau barang jadi.
Bahan baku sangat penting bagi kelancaran proses produksi, karena apabila
mengalami kekurangan dapat menghambat proses produksi maupun dalam
memenuhi permintaan. Menurut (Hartoko, 2011) Bahan baku merupakan bahan
dasar yang dibutuhkan untuk proses produksi dalam menghasilkan produk.
Adapun menurut Ratnasari (2013) dalam Sari (2010) bahan baku merupakan
barang yang akan menjadi bagian dari produk jadi.
Beberapa bahan baku diperoleh secara langsung dari sumber alam. Namun,
terdapat beberapa perusahaan yang mendapatkan bahan baku dari perusahaan lain
yang menyuplai bahan baku untuk proses produksinya. Hal tersebut seperti yang
dikemukakan oleh Ratnasari (2013) dalam Soekartawi (2000) yang mengatakan
bahwa bahan baku perusahaan agroindustri adalah sebagian dari produk pertanian
dan sebagian umumnya merupakan produk pertanian yang dihasilkan dalam
negeri. Berdasarkan sumber tersebut dapat dikatakan sumber bahan baku bisa
didapatkan secara langsung maupun dibutuhkan pihak lain untuk menyediakan
bahan baku.
Adapun istilah Bahan Pembantu industri (factory supplies) atau Bahan
Pembantu Produksi (Manufacturing Supplies), merupakan istilah yang digunakan
12
perusahaan dalam menyebut bahan tambahan. Bahan tambahan yaitu bahan baku
yang diperlukan dalam proses produksi tetapi tidak secara langsung dimasukkan
dalam produk. Bahan baku yang secara langsung digunakan dalam produksi
barang-barang tertentu disebut bahan langsung sedangkan bahan pembantu
industri disebut bahan tidak langsung (Smith dan Skousen, 1992). Berdasarkan
uraian tersebut maka bahan baku dapat dibagi menjadi bahan baku tamabahan dan
bahan baku utama/bahan baku langsung.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya persediaan menurut
Ristono (2013) adalah sebagai berikut:
a. Volume atau jumlah yang dibutuhkan yaitu yang dimaksudkan untuk menjaga
kelangsungan (kontinuitas) pross produksi. Semakin tinggi volume produksi
yang direncanakan berarti membutuhkan bahan baku yang lebih banyak yang
berakibat dari tingginya tingkat persediaan bahan baku.
b. Kontinuitas produksi tidak terhenti, diperlukan tingkat persediaan bahan baku
yang tinggi dan sebaliknya.
c. Sifat bahan baku/penolong. Apakah bahan baku tergorolong cepat rusak
(durable good) atau tahan lama (undurable good). Barang yang tidak tahan
lama tidak dapat disimpan lama, oleh karena itu bila bahan baku yang
diperlukan tergolong barang yang tidak tahan lama maka tidak perlu disimpan
dalam jumlah banyak. Sedangkan untuk bahan baku yang memiliki sifat tahan
lama, maka perusahaan dapat menyimpan dalam jumlah besar.
Adapun menurut Ma’arif dan Tanjung (2003) terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi persediaan bahan baku adalah sebagai berikut:
1. Perkiraan Pemakaian, merupakan kegiatan membuat keputusan dalam
menentukan berapa persediaan yang akan digunakan dimasa mendatang.
2. Harga Bahan Baku, dimana harga bahan baku yang terlalu mahal sebaiknya
distok dalam jumlah yang tidak terlalu banyak.
3. Biaya-biaya dari persediaan, biaya persediaan dapat berasal dari biaya
penyimpanan, biaya pemesanan, biaya penyiapan, dan biaya kehabisan bahan.
4. Kebijakan Pembelanjaan, yang ditentukan berdasarkan sifat bahan apabila sifat
bahan cepat rusak maka penyimpanan tidak perlu terlalu lama.
13
5. Pemakaian Senyatanya, merupakan pemakaian yang riil dari tahun sebelumnya,
yang digunakan untuk proyeksi pemakaian tahun depan dengan menggunakan
metode forecesting.
6. Waktu Tunggu (lead time), merupakan waktu tunggu dari barang dipesan
sampai barang itu datang.
2.3 Tinjauan Teori tentang Pupuk Organik
2.3.1 Pengertian Pupuk Organik
Menurut Peraturan Menteri Pertanian (2011) dalam Lestari (2014) pupuk
adalah bahan kimia atau organik yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi
tanaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Seiring dengan berjalannya
waktu, keberadaan pupuk kimia semakin menjadi ancaman bagi petani, seperti
menyebakan kerusakan lingkungan dan berdampak buruk bagi kesehatan
konsumen. Upaya yang dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut
mulai banyak industri pupuk yang memproduksi pupuk organik yang lebih ramah
lingkungan dan dan terhindar dari bahan kimia. Menurut Sudirman (2012) Pupuk
organik merupakan bahan yang aman untuk memperbaiki kesuburan tanah,
sehingga produk pertanian yang dihasilkan terbebas dari bahan kimia yang
berbahaya bagi kesehatan manusia. Pupuk organik merupakan bahan yang aman
bagi tanah dan tanaman karena pupuk organik berasal dari bahan alami yang
berasal dari sisa tanaman maupun dari kotoran ternak. Seperti menurut Badan
Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian (2015) pupuk organik adalah pupuk yang
tersusun dari materi makhluk hidup, seperti pelapukan sisa-sisa tanaman, hewan,
dan manusia. Adapun menurut Peraturan Menteri Pertanian (2011) dalam Lestari
(2014) pupuk organik berasal dari sisa tanaman dan atau kotoran hewan yang
melalui proses rekayasa yang diperkaya bahan mineral alami dan atau mikroba
yang bermanfaat memperkaya hara.
Saat ini ada beberapa jenis pupuk organik sebagai pupuk alam berdasarkan
bahan dasarnya, yaitu pupuk kandang, kompos, humus, pupuk hijau, dan pupuk
mikroba (Musnamar, 2003 dalam Sudirman, 2012). Sedangkan ditinjau dari
bentuknya ada pupuk organik cair dan ada pupuk organik padat. Sebagai contoh
kompos merupakan contoh pupuk organik padat yang dibuat dari bahan organik
14
padat (tumbuh-tumbuhan), sedangkan thilurine adalah pupuk organik cair yang
dibuat dari bahan organik cair (urine sapi). Pupuk organik dapat dibuat dari
limbah, contohnya limbah peternakan sapi perah, baik berupa feses maupun
urinenya dapat dijadikan bahan pembuatan pupuk organik (Sudirman, 2012).
2.3.2 Kelebihan dan Kekurangan Pupuk Organik
Pada penerapannya terhadap tanaman pertanian, pupuk organik memiliki
beberapa kelebihan dan kekurangan. Seperti pupuk anorganik yang juga memiliki
kelebihan dan kekurangan, sehingga kelebihan dan kekurangan pupuk organik
menurut Najata (2013) disebutkan sebagai berikut:
Kelebihan Pupuk Organik:
a. Pupuk organik mengandung makro dan mikro organisme tanah yang
mempunyai pengaruh yang sangat baik terhadap perbaikan sifat fisik tanah
dan terutama sifat biologis tanah.
b. Memperbaiki dan menjaga struktur tanah.
c. Menjadi penyangga pH tanah.
d. Membantu menjaga kelembaban tanah
e. Aman dipakai dalam jumlah besar dan berlebih sekalipun
f. Tidak merusak lingkungan.
Kekurangan Pupuk Organik:
a. Kandungan unsur hara relatif lebih kecil
b. Dalam jangka pendek, reaksi atau respon tanaman terhadap pemberian pupuk
organik tidak secepat pemberian pupuk anorganik.
Adapun manfaat pupuk organik menurut Badan Pelatihan dan Penyuluhan
Pertanian (2015) sebagai berikut:
a. Meningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas
b. Mengurangi pencemaran lingkungan,
c. Meningkatkan kualitas lahan secara berkelanjutan
d. Meningkatkan produktivitas lahan dan dapat mencegah degradasi lahan.
e. Memperbaiki sifat fisika, kimia biologi tanah serta lingkungan.
f. Berperan sebagai sumber energi dan makanan mikroba tanah sehingga dapat
meningkatkan aktivitas mikroba tersebut dalam penyediaan hara tanaman.
15
Berdasarkan hal tersebut pupuk organik memeliki kekurangan cenderung
lama diserap oleh tanaman dan kandungan unsur hara yang dimiliki pupuk
organik cenderung lebih sedikit dibandingkan pupuk anorganik. Namun,
penggunaan pupuk organik yang terus menerus akan lebih bagus untuk
pertumbuhan tanaman dan kelestarian lingkungan. Menurut Musnamar (2003)
dalam Sudirman (2012) penggunaan pupuk organik secara terus-menerus dalam
rentang waktu tertentu akan menjadikan kualitas tanah lebih baik dibanding
penggunaan pupuk anorganik Selain itu, menurut Goenadi (2014) penggunaan
pupuk organik yang bermutu baik mampu meningkatkan kapasitas tanah sehingga
lebih efisien dibandingkan penggunaan pupuk kimia buatan (an-organik) hingga
25-50%, sehingga biaya pemupukan dapat dihemat hingga 35%.
2.4 Tinjauan Teknik tentang Pupuk Organik Bersubsidi
2.4.1 Subsidi Pupuk Organik
Menurut Handoko dan Patriadi (2005) dalam Lestari (2014) subsidi
merupakan pembayaran oleh pemerintah kepada badan usaha atau rumah tangga
agar dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam jumlah besar
dan biaya yang lebih murah. Berdasarkan hal tersebut, pemberian subsidi dapat
memberikan keringanan kepada masyarakat agar dapat memenuhi kebutuhannya
baik bagi produsen maupun konsumen. Namun, sebagian besar subsidi yang
diberikan pemerintah dialokasikan bagi penyediaan input untuk proses produksi.
Seperti halnya pada sektor pertanian, pemerintah lebih banyak memberikan
subsidi kepada petani dalam penyediaan pupuk dan bibit. Menurut Sudaryanto,
dkk (2006) dalam Lestari (2014) pemberian subsidi harga input akan lebih mudah
dibandigkan dengan harga output yang disebabkan karena sebagian besar petani
memiliki kendala dalam biaya produksi, adanya subsidi harga input akan
membuka peluang untuk mengadopsi teknologi baru, dan adanya subsidi harga
input lebih dalam pengelolaan dan penjaminan dibandingkan dengan subsidi
harga output.
Terkait dengan penggunaan pupuk untuk meningkatkan produksi pertanian,
pemerintah berusaha agar petani mengimbangi lahan pertanian dengan
penggunaan pupuk organik. Berdasarkan hal tersebut pemerintah memberikan
kebijakan subsidi kepada beberapa produsen pupuk organik agar dapat
16
meningkatkan produksinya. Melalui hal tersebut, diharapkan kebutuhan pupuk
organik dalam suatu daerah dapat terpenuhi. Pemberian subsidi kepada produsen
pupuk organik ternyata berpengaruh untuk memunculkan produsen pupuk organik
lainnya yang juga berusaha untuk mendapatkan subsidi dari pemerintah.
2.4.2 Perkembangan Kebijakan Pemerintah tentang Pupuk Bersubsidi
Menurut Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 15/M-
Dag/Per/4/2013 Pupuk bersubsidi adalah barang pengawasan yang terdiri dari
pupuk urea, pupuk SP36, pupuk ZA, pupuk NPK, dan pupuk bersubsidi lainnya
yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk
memenuhi kebutuhan petani dan sektor pertanian. Pengadaan dan penyaluran
pupuk bersubsidi dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 15/M-DAG/Per/2015 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk
Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian. PT. Pupuk Indonesia merupakan pelaksana
dari pengadaan subsidi pupuk yang ditugaskan oleh pemerintah untuk
mengadakan dan menyalurkan pupuk bersubsidi serta menetapkan produsen dan
distributor yang disesuaikan pada masing-masing daerah (Ditjen Sarana dan
Prasarana Kementerian Pertanian, 2016).
Pengadaan pupuk bersubsidi dilakukan oleh produsen dan dikirimkan
kepada distributor sesuai dengan wilayah kerjanya, bagian ini merupakan
penyalur Lini III. Setelah itu distributor akan menyalurkan kepada pengecer resmi
yang merupakan Lini IV, kemudian pupuk bersubsidi baru bisa disalurkan kepada
kelompok tani sesuai dengan wilayah kerjanya (Ditjen Sarana dan Prasarana
Kementerian Pertanian, 2016). Pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi
memiliki 4 wilayah tanggung jawab yang terdiri dari Lini I merupakan lokasi
gudang pupuk di wilayah produsen disekitar pelabuhan untuk impor, Lini II
merupakan lokasi gudang pupuk produsen wilayah kabupaten atau kota, Lini III
merupakan lokasi gudang pupuk distributor yang ditetapkan produsen, dan Lini
IV merupakan lokasi gudang pupuk kios pengecer yang ditetapkan distributor.
Pupuk bersubsidi diperuntukan bagi petani yang tergabung kedalam
kelompok tani dan menyusun RDKK. RDKK atau Rencana Definitif Kebutuhan
Kelompok merupakan rencana kebutuhan pupuk tiap petani pada suatu daerah
yang disusun berdasarkan musyawarah anggota kelompok tani dan berisi rincian
17
tentang sumberdaya dan potensi wilayah, sasaran produktivitas, pengorganisasian
dan pembagian kerja, serta kesepakatan bersama dalam pengelolaan usahatani
(Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014). Melalui RDKK kebutuhan tiap petani
dapat dipantau dengan mudah oleh pemerintah, terutama pada daerah pengiriman
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pembuatan RDKK disusun secara
berkelompok yang dibimbing oleh Penyuluh, Petugas teknis, Kepala Cabang
Dinas (KCD)/Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah (KUPTD) dan didukung oleh
Kepala Desa/Lurah setempat (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014).
Penyaluran pupuk bersubsidi dilaksanakan berdasarkan Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok (RDKK) dengan Harga Eceran Tertinggi (HET)
sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
60/Permentan/SR.130/12/2015 tentang kebutuhan dan HET pupuk bersubsidi
untuk sektor pertanian adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi
Jenis Pupuk
Harga
Rp/Kg Rp/ZAK
UREA 1.800 90.000 (@50 Kg)
SP36 2.000 100.000 (@50 Kg)
ZA 1.400 70 (@50 Kg)
NPK 2.300 115 (@50 Kg)
ORGANIK 500 20 (@50 Kg)
Sumber: Ditjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian (2016)
2.5 Tinjauan Teori tentang Persediaan
2.5.1 Pengertian Persediaan
Pada perusahaan yang menjalankan kegiatan produksi, bagian persediaan
merupakan komponen yang sangat penting, karena persediaan adalah bagian yang
menyediakan bahan untuk kelancaran proses produksi. Apabila perusahaan tidak
mengadakan persediaan maka perusahaan akan dihadapkan risiko-risiko yang
dapat terjadi karena setiap perusahaan tidak selamanya dapat menyediakan bahan
atau barang setiap saat dan hal tersebut akan mempengaruhi kemampuan
perusahaan dalam persaingan pasar. Dari penjelasan tersebut, untuk menciptakan
proses produksi yang optimal, perusahaan dituntut untuk mengadakan persediaan
bahan baku yang optimal. Adapun menurut Herjanto (2008) bagian produksi
18
menghendaki tingkat persediaan yang besar untuk mencegah terhentinya produksi
karena kekurangan bahan. Begitu pentingnya persediaan bagi kegiatan produksi
menjadi komponen utama dalam kegiatan operasi pada perusahaan.
Adapun berbagai definisi persediaan menurut Herjanto (2008) Persediaan
merupakan barang atau bahan yang disimpan untuk digunakan sebagai tujuan
tertentu seperti diolah atau digunakan proses produksi, dijual kembali, atau
sebagai suku cadang dari suatu peralatan atau mesin. Menurut Stevenson dan
Chuong (2014) persediaan adalah stok atau barang-barang yang disimpan pada
perusahaan baik berupa bahan mentah, suku cadang, bahan setengah jadi, alat-alat
maupun barang.
Menurut Heizer dan Render (2015) persediaan merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk menyeimbangkan
atara investasi persediaan dan pelayanan pelanggan. Berdasarkan pengertian
Heizer dan Render (2015) menjelaskan bahwa jika suatu perusahaan berusaha
mengurangi biaya dengan mengurangi persediaan, menyebabkan di sisi lain
produksi dapat berhenti dan pelanggan merasa tidak puas ketika suatu barang
tidak tersedia. Sedangkan menurut (Ristono, 2013) Persediaan diartikan sebagai
barang-barang yang disimpan untuk digunakan atau dijual pada suatu masa atau
periode yang akan datang, dimana persediaan dapat terdiri dari persediaan bahan
baku, bahan setengah jadi, dan persediaan barang jadi.
2.5.2 Fungsi-Fungsi Persediaan
Menurut Heizer dan Render (2015) Persediaan dapat memiliki berbagai
fungsi yang dapat menambah fleksibilitas operasi pada perusahaan, dimana
terdapat empat fungsi persediaan adalah sebagai berikut:
a. Untuk memberikan pilihan barang agar dapat memenuhi permintaan pelanggan
yang diantisipasi dan memisahkan perusahaan dari fluktuasi permintaan.
Persediaan seperti ini digunakan secara umum pada perusahaan ritel.
b. Untuk memisahkan beberapa tahapan dari proses produksi. Contohnya, jika
persediaan sebuah perusahaan berfluktuasi, persediaan tambahan mungkin
diperlukan agar bisa memisahkan proses produksi dari pemasok.
c. Untuk mengambil keuntungan dari potongan jumlah karena pembelian dalam
jumlah besar dapat menurunkan biaya pengiriman barang.
19
d. Untuk menghindari inflasi dan kenaikan harga.
Adapun fungsi persediaan menurut Stevenson dan Chuong (2014) yang
menjelaskan fungsi persediaan mempunyai sejumlah fungsi diantaranya:
a. Untuk Memenuhi Permintaan Pelanggan yang Diperkirakan. Pelanggan dapat
merupakan konsumen akhir ataupun produsen yang membutuhkan bahan untuk
diproduksi. Persediaan ini dirujuk sebagai persediaan antisipasi yang disimpan
untuk memuaskan permintaan yang diperkirakan.
b. Untuk Memperlancar Proses Produksi. Perusahaan yang mempunyai pola
musiman, sering kali membangun permintaan bahan baku pada awal musim
untuk diproduksi dan untuk memenuhi permintaan selama periode musim.
c. Untuk Memisahkan Operasi. Perusahaan manufaktur menggunakan persediaan
sebagai pemisah antara operasi yang berurutan untuk mencegah adanya
kerusakan/kecelakaan yang dapat menghentikan sebagian operasi sementara.
d. Untuk Perlindungan Terhadap Kehabisan Persediaan. Adanya keterlambatan
atau penundaan pengiriman yang tidak terduga akibat kondisi cuaca, kesalahan
pengiriman, atau kehabisan persediaan dari pemasok dapat menjadi risiko
adanya kekurangan atau kehabisan persediaan. Persediaan pengamanan
digunakan untuk mengantisipasi adanya permasalahan kehabisan persediaan.
e. Untuk Mengambil Keuntungan dari Siklus Pemesanan. Seringkali perusahaan
membeli bahan untuk persediaan dalam jumlah besar untuk meminimalkan
biaya, dimana persediaan tersebut dapat disimpan untuk penggunaan
berikutnya. Penyimpanan persediaan memungkinkan perusahaan untuk
membeli dan memproduksi dalam lot yang lebih ekonomis tanpa harus
menyesuaikan produksi dengan kebutuhan permintaan dalam jangka pendek.
f. Untuk Melindungi dari Peningkatan Harga. Secara berkala perusahaan dapat
menduga adanya peningkatan harga substansial setiap pemesanan. Biasanya
perusahaan memanfaatkan kemampuan penyimpanan barang ekstra yang
memungkinkan perusahaan untuk mengambil dari diskon harga untuk
pemesanan besar.
g. Untuk Memungkinkan Operasi. Dalam suatu operasi produksi pasti
membutuhkan waktu tertentu, sehingga terdapat sejumlah persediaan barang
dalam proses. Selain itu, penyimpanan barang dalam jumlah menengah
20
termasuk bahan mentah, barang proses, dan barang jadi menimbulkan
persediaan berada pada sepanjang sistem produksi.
h. Untuk Mengambil Keuntungan dari Diskon Kuantitas. Biasanya pembelian
bahan persediaan akan memperoleh diskon apabila dalam jumlah besar.
2.5.3 Jenis-Jenis Persediaan
Heizer dan Render (2015) yang menjelaskan dalam menjalankan fungsi-
fungsi persediaan, perusahaan harus memelihara empat jenis persediaan:
a. Persediaan Bahan Mentah (raw material inventory), merupakan bahan yang
telah dibeli namun belum diproses. Persediaan ini dapat digunakan untuk
memisahkan pemasok dari proses produksi. Dengan kata lain, perusahaan
mengadakan bahan baku yang masih berupa bahan mentah atau bahan yang
didapat dari alam, sehingga perlu dilakukan proses produksi untuk dapat
digunakan. Meskipun demikian, pendekatan yang lebih disukai adalah
menghapus variabilitas pemasok dalam kualitas, jumlah, atau waktu
pengiriman sehingga tidak diperlukan pemisahan.
b. Persediaan Barang dalam Proses (work-in-process) atau WIP inventory adalah
suatu komponen atau bahan mentah yang telah melewati beberapa proses
perubahan, namun belum selesai. Adanya WIP (work-in-process) dikarenakan
dalam mengolah produk dibutuhkan waktu (disebut juga waktu siklus).
Mengurangi waktu siklus akan mengurangi persediaan WIP. Selama sebagian
besar waktu digunakan untuk membuat sebuah produk “sedang dibuat”, maka
produk itu sebenarnya hanya berdiam.
c. MRO (maintance/repair/operating) adalah persediaan yang disediakan untuk
pemeliharaan/perbaikan/operasi (maintance/repair/operating) yang dibutuhkan
untuk menjaga agar mesin dan proses tetap produktif. Adanya MRO
dikarenakan kebutuhan waktu untuk pemeliharaan dan perbaikan dari beberapa
peralatan tidak dapat diketahui.
d. Persediaan Barang Jadi (finish-good inventory) adalah persediaan terhadap
produk yang telah melalui proses produksi dan menunggu adanya permintaan
maupun pengiriman. Barang jadi dapat dimasukkan ke persediaan karena
permintaan pelanggan pada masa mendatang tidak diketahui.
21
Selain itu Ristono (2013) juga menjelaskan jenis-jenis persediaan dibagi
menjadi tiga kategori menurut tujuannya adalah sebagai berikut:
a. Persediaan Pengamanan
Persediaan yang dilakukan untuk mengantisipasi unsur ketidakpastian
permintaan dan penyediaan. Apabila persediaan pengamanan tidak mampu
mengantisipasi ketidakpastian tersebut, akan terjadi kekurangan persediaan
(stockout). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi safety stock:
1. Penggunaan bahan baku rata-rata
Salah satu dasar untuk memperkirakan pengguanaan bahan baku
selama periode tertentu adalah rata-rata penggunaan bahan baku pada masa
sebelumnya. Hal itu diperhatikan karena peramalan permintaan langganan
memiliki risiko yang tidak dapat dihindarkan bahwa persediaan yang telah
ditetapkan sebelumnya atas dasar taksiran tersebut habis sama sekali
sebelum penggantian bahan/barang dari pemesan datang.
2. Faktor lead time
Lead time adalah lamanya waktu antara mulai dilakukannya pemesan
bahan-bahan sampai dengan kedatangan bahan bahan yang dipesan tersebut
dan diterima di gudang persediaan. Lamanya waktu tersebut tidak sama
antara satu pesanan dengan pesanan yang lain, namun bervariasi.
b. Persediaan Antisipasi
Persediaan antisipasi disebut sebagai stabillization stock merupakan
persediaan yang dilakukan untuk menghadapi fluktuasi permintaan yang sudah
dapat diperkirakan sebelumnya. Persediaan antisipasi sangat perlu diadakan
untuk menjamin persediaan produksi, terutama terhadap bahan atau barang
yang tidak pasti atau berfluktuasi.
c. Persediaan dalam Pengiriman
Persediaan dalam pengiriman disebut work-in-process-stock adalah
persediaan yang masih dalam pengiriman yaitu:
1. Eksternal transit stock adalah persediaan yang masih menunggu dalam
transportasi
2. Internal transit stock adalah persediaan yang masih menunggu untuk
diproses atau menunggu sebelum dipindahkan.
22
2.5.4 Biaya-Biaya Persediaan
Pada persediaan tidak terlepas dari adanya biaya yang dibutuhkan untuk
mengadakan pemesanan maupun penyimpanan terhadap bahan. Biaya persediaan
biasanya masuk kedalam biaya produksi. Menurut Stevenson dan Chuong (2014)
menyatakan terdapat tiga biaya dasar yang berhubungan dengan biaya persediaan
adalah sebagai berikut:
a. Biaya Penyimpanan (Holding/Carrying)
Biaya penyimpanan meliputi bunga, asuransi, panjak, depresiasi, keusangan,
kemunduran, kerusakan, pencurian, dan biaya pergudangan. Selain itu, biaya
penyimpanan biasanya tergantung pada jenis barang yang disimpan, misalkan
barang yang mahal, dapat disimpan dengan mudah, atau barang yang berisiko
untuk dicuri.
b. Biaya Pemesanan (Ordering Cost)
Merupakan biaya yang dikeluarkan saat melakukan pemesanan atau
penerimaan barang. Biaya pemesanan meliputi biaya pengiriman, penyiapan
faktur, pemindahan barang, hingga biaya yang didasarkan dari banyaknya
barang yang dibutuhkan.
c. Biaya Kekurangan (Shortage Cost)
Biaya kekurangan merupakan biaya yang dikeluarkan apabila terjadi kelebihan
permintaan dari persediaan barang yang ada. Biaya ini meliputi biaya
kesempatan untuk tidak melakukan penjualan, kehilangan niat baik pelanggan,
pembebanan terlambat, dan biaya-biaya serupa. Biaya kekurangan biasanya
lebih sulit diukur dan mungkin diperkirakan secara subjektif.
Adapun menurut Rangkuti (2004) biaya-biaya persediaan yang dikeluarkan
perusahaan terdiri dari:
a. Biaya penyimpanan (holding cost) merupakan biaya berhubungan langsung
dengan kuantitas atau jumlah persediaan yang meliputi biaya fasilitas,
keusangan pencurian dan lain-lain;
b. Biaya pemesanan (ordering costs) merupakan biaya yang ditanggung oleh
perusahaan ketika perusahaan melakukan pemesanan;
23
c. Biaya penyiapan (manufacturing), merupakan biaya yang digunakan apabila
perusahaan memproduksi bahan-bahan sendiri dan tidak membeli dari
perusahaan lain;
d. Biaya kehabisan/kekurangan bahan (shortage costs) merupakan biaya yang
timbul dikarenakan jumlah persediaan yang ada tidak mencukupi permintaan
bahan.
2.6 Tinjauan Teori tentang Pengendalian Persediaan
2.6.1 Pengertian Pengendalian Persediaan
Pengendalian adalah proses menentukan tujuan yang hendak dicapai dimasa
mendatang dan apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Rue dan
Byars, 2005 dalam Rosidah 2015). Adapun menurut Indriyati (2007) dalam
Wahyuningsih (2011) pengendalian merupakan suatu proses manajemen yang
memastikan dirinya sendiri agar kegiatan yang dijalankan anggota dapat sesuai
dengan kebijakan. Dengan kata lain pengendalian merupakan suatu proses untuk
mengarahkan perilaku atau kegiatan agar sesuai dengan kebijakan untuk mencapai
suatu tujuan dimasa yang akan mendatang.
Sehingga berdasarkan pengertian tersebut maka pengendalian persediaan
adalah usaha untuk mengarahkan barang yang disimpan sesuai dengan kebijakan
yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun menurut Herjanto (2008)
dalam Wahyuningsih (2011) pengendalian persediaan adalah serangkaian
kebijakan pengendalian untuk menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga,
kapan pemesanan harus dilakukan, dan berapa besarnya pesanan yang harus
disediakan. Sedangkan menurut Alfiah (2011) pengendalian persediaan
merupakan fungsi manajerial yang sangat penting bagi perusahaan karena
melibatkan investasi yang sangat besar sehingga bertujuan agar penggunaan
sumber daya dapat optimal.
Rosidah (2015) menjelaskan bahwa sistem pengendalian merupakan
serangkaian kegiatan untuk menentukan tingkat persediaan yang harus dijaga dan
kapan persediaan harus dipesan. Pengendalian persediaan sangat penting untuk
dilakukan pada perusahaan, karena pada persediaan memiliki berbagai risiko yang
dapat berpengaruh pada proses produksi. Andini dan Slamet mengatakan (2016)
24
apabila persediaan bahan baku sedikit maka produk yang dihasilkan juga sedikit
dan perusahaan tidak dapat mengantisipasi peningkatan permintaan. Sebaliknya,
jika persediaan bahan baku berlebih dapat menyebabkan naiknya biaya
penyimpanan dan pembengkakan biaya produksi.
2.6.2 Tujuan dan Fungsi Pengendalian Persediaan
Berdasarkan pada pengertian pengendalian persediaan, maka pengendalian
persediaan sangat penting bagi suatu perusahaan yang melaksanakan kegiatan
operasi dan produksi. Menurut Assauri (2004) dalam Wahyuningsih (2011)
pengendalian persediaan adalah sebagai berikut:
a. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga dapat
mengakibatkan terhentinya proses produksi;
b. Menjaga agar pembentukan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar atau
berlebihan, sehingga biaya-biaya yang timbul akibat persediaan bahan baku
tidak terlalu besar;
c. Menjaga agar pembelian secara kecil-kecilan dapat dihindari, karena hal ini
akan mengakibatkan biaya pemesanan menjadi besar.
Selain itu terdapat Fungsi persediaan bagi perusahaan menurut Rangkuti
(2004) adalah sebagai berikut:
a. Fungsi Decoupling
Fungsi Decoupling memungkinkan perusahaan untuk memenuhi
kebutuhan bahan baku atas dasar permintaan tanpa bergantung dari supplier.
Terdapat dua cara untuk memenuhi fungsi ini adalah (1) mempersiapkan bahan
mentah agar perusahaan tidak sepenuhnya bergantung kepada supplier dan (2)
persediaan bahan proses ditujukan agar tiap bagian terlibat dapat lebih lelusa
dalam proses produksi.
b. Fungsi Economic Lot Sizing
Fungsi ini bertujuan untuk mengumpulkan persediaan dan menggunakan
semua sumber daya dalam jumlah yang cukup untuk mengurangi biaya per unit
produk pada suatu perusahaan. Fungsi ini dilakukan dengan pertimbangan
penghematan dalam pemesanan bahan baku, yang dapat dilakukan dengan
pembelian dalam jumlah besar yang mendapat potongan biaya.
25
c. Fungsi Anticipation
Persediaan bahan baku sering memiliki berbagai risiko, baik pada saat
pengiriman atau fluktuasi permintaan yang menyebabkan perusahaan
membutuhkan bahan baku tambahan. Adanya kondisi tersebut, maka
perusahaan sebaiknya mengadakan seasonal inventory (persediaan musiman).
2.7 Tinjauan Teori tentang Material Requirement Planning (MRP)
2.7.1 Material Requirement Planning (MRP)
Pengendalian persediaan, memiliki suatu metode yang dapat digunakan
untuk menentukan tingkat persediaan yang optimal yaitu dengan menggunakan
Material Requirement Planning (MRP). Menurut Soleha (2015), MRP
didefinisikan sebagai teknik sistematis dalam menentukan kuantitas kebutuhan
bahan dan waktu yang tepat dalam pengendalian persediaan pada permintaan yang
saling berhubungan. Adapun menurut Rosidah (2015), MRP merupakan metode
perencanaan dan pengendalian pemesanan terhadap bahan yang bersifat
dependent demand seperti bahan baku, parts, subassemblies, dan assemblies atau
dengan kata lain merupakan persediaan pada manufaktur. Rosidah (2015) juga
menyatakan bahwa permasalahan yang umum pada perusahaan adalah
menentukan ukuran persediaan yang tepat, sehingga melalui metode MRP akan
membantu perusahaan dalam menentukan ukuran persediaan yang optimal.
Sistem MRP terdiri dari digunakan untuk menentukan item dan penerapan
formula yang digunakan untuk menetapkan jumlah atau kuantitas berdasarkan
pesanan yang dibutuhkan, sehingga biaya dapat dikurangi karena tingkat overhead
berkurang (Sriratanaviriyakul et al., 2013 dalam Soleha, 2015). Adapun menurut
Herjanto (2008) dalam Rosidah (2015), sistem MRP tersebut digunakan untuk
mencapai tujuan sebagai berikut:
a. Meminimalkan biaya persediaan, melalui pengadaan bahan sesuai dengan yang
dibutuhkan saja.
b. Memperkecil resiko yang diakibatkan keterlambatan pengiriman bahan oleh
supplier dengan memperhatikan tenggang waktu.
c. Menjaga kelancaran proses produksi yang sesuai dengan rencana atau jadwal
sehingga dapat meningkatkan kepuasan konsumen
26
d. Meningkatkan efisiensi karena jumlah persediaan dan penetapan jadwal
pemesanan dapat direncanakan dengan baik.
2.7.2 Teknik Penentuan Ukuran Lot (Lot Size)
Lot Size merupakan pengadaan persediaan dengan jumlah yang lebih besar
dari persediaan yang ada pada saat itu (Soleha, 2015). Adapun menurut Rosidah
(2015) Lot Size adalah ukuran barang yang dipesan akan berpengaruh terhadap
biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk pemesanan maupun penyimpanan
barang. Lot Size pada MRP menyatakan besarnya kuantitas item yang harus
dipesan dan teknik lot sizing apa yang dapat digunakan. Terdapat beberapa
metode dalam teknik lot sizing yang digunakan untuk menentukan kuantitas bahan
yang optimal, waktu pemesanan yang tepat dan tingkat biaya minimum pada
persediaan.
a. Economic Order Quantity (EOQ)
Model Economic Order Quantity (EOQ) merupakan metode yang
digunakan untuk menentukan tingkat persediaan optimal pada suatu perusahaan
dengan asumsi nilai permintaan, biaya pemesanan, dan harga pemebelian bernilai
konstan (Soleha, 2015). Sedangkan menurut Heizer dan Render (2014)
mengatakan bahwa EOQ merupakan teknik pengendalian persediaan dengan
meminimalkan biaya pemesanan dan penyimpanan sehingga akan meminimalkan
total biaya. Adapun dalam model EOQ terdapat beberapa asumsi yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1. Jumlah permintaan diketahui dan konstan
2. Waktu tunggu yaitu waktu antara pemesanan dan penerimaan bersifat konstan
3. Persediaan yang dipesan tiba dalam satu kelompok
4. Tidak terdapat diskon kuantitas
5. Variabel yang digunakan hanya untuk biaya pemesanan dan penyimpanan
6. Kekurangan persediaan dapat dihindari jika pemesanan dilakukan pada waktu
yang tepat.
Perusahaan perlu mengetahui ukuran pesanan optimal (Q*) dalam
mengendalikan persediaan bahan, dimana jumlah pesanan dengan biaya total
minimal (Heizer dan Render, 2014). Ukuran pemesana optimal (Q*) dapat
diperoleh melalui peritungan sebagai berikut:
27
Biaya Pemesanan per tahun
Biaya Penyimpanan per tahun
Untuk mencari nilai EOQ : biaya pemesanan = biaya penyimpanan
√
Keterangan :
Q* = EOQ
Q = Jumlah unit per pesanan
D = Permintaan persediaan tahunan dalam unit
S = Biaya pemesanan untuk setiap pemesanan
H = Biaya penyimpanan per unit per tahun
b. Past Periode Balance (PPB)
Past Periode Balance (PPB) atau penyeimbangan sebagian periode
digunakan untuk menentukan ukuran lot suatu kebutuhan bahan yang tidak
seragam sehingga biaya persediaan dapat ditekan (Herjanto, 2008 dalam Soleha,
2015). Sama seperti dengan EOQ tujuan dari teknik PPB digunakan untuk
menyamakan biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan sehingga biaya
persediaan dapat ditekan, namun perbedaan dari teknik ini dengan EOQ adalah
PPB dapat digunakan pada jumlah pemesanan yang berbeda untuk setiap pemesan.
Penentuan ukuran lot pada teknik PPB menggunakan pendekatan Economic
Part Periode (EPP) yaitu dengan membagi biaya pemesanan dengan biaya
penyimpanan per unit per periode. Economic Part Periode (EPP) digunakan untuk
menentukan pemesanan dengan jumlah pesanan bahan baku yang berbeda
(Mukhopadhyay, 2007 dalam Rosidah, 2015). Cara yang digunakan untuk
mengetahui PBB adalah dengan menambahkan permintaan bahan baku secara
terus menerus hingga jumlah part periode mendekati perhitungan EPP. Berikut
merupakan rumus EPP:
28
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Teoritis
Kabupaten Malang dikenal sebagai wilayah terluas kedua dan memiliki
berbagai potensi yang utamanya adalah pada sektor pertanian. Hal tersebut
dijelaskan oleh Malangkab (2016) yang mengatakan bahwa Kabupaten Malang
merupakan wilayah terluas kedua setelah Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur dan
terkenal dari hasil pertaniannya dari komoditas hortikultura hingga tanaman
perkebunan. Kegiatan usaha tani sangat membutuhkan pupuk organik sebagai
input usaha sangat penting, sehingga di Kabupaten Malang juga banyak berdiri
industri pupuk organik. Terdapat 18 industri pupuk organik di Kabupaten Malang,
11 diantaranya merupakan mitra dari Petroganik sebagai industri pupuk organik
bersubsidi (Bappeda Jatim, 2011). Petroganik merupakan salah satu produsen
pupuk yang tergabung dalam PT. Pupuk Indonesia yang melakukan produksi dan
distribusi pupuk organik bersubsidi pada wilayah Jawa Timur. Oleh karena itu,
untuk mengetahui pengendalian persediaan bahan baku pupuk organik bersubsidi
di Kabupaten Malang adalah melalui Industri yang bermitra dengan Petroganik.
Berbagai industri pupuk organik tersebut melakukan kegiatan produksi yang
digunakan untuk distribusi kepada petani sesuai dengan Rencana Definitif
Kebutuhan Kelompok (RDKK). RDKK merupakan rencana kebutuhan pupuk
setiap petani pada suatu wilayah (Direktorat Pupuk dan Pestisida, 2014). Melalui
adanya RDKK yang dibuat oleh petani bersama dengan pihak terkait, maka
industri pupuk organik bersubsidi akan memperoleh rencana produksi yang
digunakan untuk distribusi tiap periode. Untuk kelancaran proses produksi dan
distribusi, maka sangat dibutuhkan persediaan bahan baku optimal. Hal tersebut
dikarenakan bahan baku merupakan unsur utama yang berpengaruh pada
kelancaran proses produksi (Tumijo, dkk, 2015). Pengendalian persediaan bahan
baku sangat penting dilakukan oleh perusahaan untuk menjaga proses produksi.
Pengendalian persediaan bahan baku yang dilakukan industri atau
perusahaan tidak terlepas dari permasalahan terhadap bahan baku, dimana
perusahaan tidak dapat menentukan jumlah pemesanan yang tepat untuk
kelancaran proses produksi dan beban biaya pada persediaan bahan baku
(Hendratmiko, 2010). Adanya kelebihan bahan baku pada pengendalian
29
persediaan dapat menjadi suatu permasalahan dalam kelancaran proses produksi,
namun kekurangan bahan baku pada pengendalian persediaan juga harus dihindari.
Berdasarkan hasil observasi awal, menunjukkan bahwa adanya permasalahan
kelebihan bahan baku pada beberapa Industri Pupuk Organik Bersubsidi yang
merupakan mitra dari Petroganik, dimana pemesanan lebih tinggi dibandingkan
penggunaan bahan baku. Adanya permasalahan kelebihan bahan baku
menyebabkan kurang optimalnya biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.
Seperti penelitian Ummiroh (2013) yang mendapati fenomena adanya kelebihan
persediaan bahan baku pada industri furniture sehingga menyebabkan
tertanamnya investasi pada persediaan, namun kekurangan bahan baku juga harus
dihindari untuk kelancaran proses produksi.
Ristono (2013) mengatakan bahwa persediaan bahan baku untuk proses
produksi harus seimbang dengan kebutuhan agar biaya dapat ditekan. Adapun
metode pengendalian persediaan agar penentuan bahan baku optimal adalah
dengan Material Requirement Planning (MRP), yaitu dengan menetapkan ukuran
persediaan yang sesuai dengan kebutuhan, sehingga biaya dapat dikurangi
(Sriratanaviriyakul et al,. 2013 dalam Soleha, 2015). Dalam metode MRP terdapat
berbagai macam teknik lot sizing yang dapat digunakan, dalam penelitian ini
teknik lot sizing yang digunakan adalah Economic Order Quantity (EOQ) dan
Past Periode Balance (PPB). Teknik EOQ dan PPB digunakan karena sama-sama
bertujuan untuk menyamakan biaya pemesanan dengan biaya penyimpanan,
sehingga biaya persediaan dapat ditekan. Perbedaannya teknik EOQ digunakan
untuk ukuran pemesanan yang konstan setiap periode, sedangkan PPB dapat
digunakan untuk ukuran pemesanan yang bervariasi setiap periode.
Metode MRP digunakan untuk menentukan ukuran lot size yang sesuai
sehingga persediaan optimal dapat diketahui. Dalam penentuan ukuran lot
diperlukan penetuan kebutuhan bersih terlebih dahulu. Setelah diketahui ukuran
lot, maka diperlukan untuk mengetahui lead time atau waktu tenggang serta biaya
simpan dan biaya pesan untuk mendapatkan waktu pemesanan yang tepat.
Diketahuinya ukuran lot dan waktu pemesanan yang tepat, maka akan
menghasilkan total biaya optimal yang dikeluarkan untuk persediaan, sehingga
dapat ditekahui penentuan persediaan yang tepat dengan biaya minimum.
30
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Industri Pupuk Organik Bersubsidi
di Kabupaten Malang
Pengendalian
persediaan bahan
baku pada
industri pupuk
organik
bersubsidi
Fakta:
1. Pengendalian
persediaan industri
pupuk organik
bersubsidi berdasarkan
rencana produksi dan
distribusi, sedangkan
rencana tersebut
berdasarkan RDKK. 2. Pemesanan lebih tinggi
dibandingkan
penggunaan bahan
baku, sehingga terjadi
kelebihan bahan baku.
Harapan:
Persediaan bahan
baku seimbang
dengan
kebutuhan agar
biaya persediaan
dapat ditekan
(Ristono, 2013).
Penentuan ukuran lot dengan
pendekatan :
1. Economic Order Quantity (EOQ)
2. Past Periode Balance (PPB)
Total Biaya Persediaan Bahan Baku
Penentuan ukuran lot industri pupuk
organik melalui sistem
pengendalian persediaan industri
pupuk organik
Alternatif Metode atau Teknik yang
Meminimumkan Biaya Persediaan
Biaya Pesan
Waktu Pemesanan Bahan Baku
Biaya Simpan
31
3.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan atas konsep kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis yang
dapat diambil dalam penelitian ini, diduga pengendalian persediaan bahan baku
pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang belum optimal.
3.3 Definisi Operasional
Pada penelitian sangat dibutuhkan adanya pengukuran variabel dan definisi
operasional variabel untuk menyamakan konsep mengenai istilah-istilah yang
digunakan dalam penelitian. Selain itu perlunya pengukuran variabel adalah agar
data-data yang diperoleh dari lapang sesuai dengan data yang diharapkan. Definisi
operasional dan pengukuran variabel penelitian akan disajikan sebagai berikut:
1. Pengendalian persediaan adalah perlakuan perusahaan terhadap persediaan
bahan baku dari datangnya bahan baku hingga dilakukan proses produksi.
2. Bahan baku adalah bahan mentah untuk proses produksi pupuk organik yang
didapatkan dari supplier.
3. Kotoran ayam adalah bahan baku yang berasal dari kotoran ayam dengan
melalui proses fermentasi terlebih dahulu untuk dilakukan proses produksi.
4. Kotoran sapi adalah bahan baku yang berasal dari kotoran sapi dengan
melalui proses fermentasi terlebih dahulu untuk dilakukan proses produksi.
5. Blotong adalah bahan baku yang berasal dari ampas tebu dengan melalui
proses fermentasi terlebih dahulu untuk dilakukan proses produksi.
6. Filler adalah bahan baku perekat dapat berupa dolosit, kaptan, maupun clay.
7. Mixtro adalah bahan baku yang berasal PT. Petrokimia Gresik yang
digunakan sebagai formulasi dalam produksi pupuk organik bersubsidi.
8. Ukuran lot/Lot size adalah jumlah bahan baku yang dibutuhkan perusahaan
untuk proses produksi dalam satu kali pemesanan.
9. Explosion adalah perhitungan total jumlah kebutuhan bahan baku kotor yaitu
sebelum proses produksi.
10. Netting adalah perhitungan total jumlah kebutuhan bahan baku pada
persediaan awal suatu periode.
11. Lotting adalah volume kebutuhan bahan baku berdasarkan perhitungan
kebutuhan bersih.
32
12. Economic Order Quantity (EOQ) adalah ukuran persediaan bahan baku
optimal dengan jumlah pemesanan konstan tiap periode.
13. Past Periode Balance (PPB) adalah ukuran persediaan bahan baku optimal
dengan jumlah pemesanan bervariasi tiap periode.
14. Lead Time adalah waktu tenggang yang dibutuhkan sejak dipesannya bahan
baku hingga datang ke industri
15. Offsetting adalah penentuan waktu yang tepat untuk pemesanan bahan baku.
16. Total Inventory Cost (TIC) adalah biaya total persediaan bahan baku optimal
dimana tidak terjadi kelebihan atau kekurangan bahan baku.
17. Biaya pesan adalah harga yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pemesanan
bahan baku.
18. Biaya telepon adalah harga yang harus dikeluarkan industri pupuk organik
bersubsidi saat melakukan pemesanan melalui telepon yang disesuaikan
dengan waktu bicara.
19. Biaya administrasi/dokumentasi adalah biaya yang dikeluarkan industri
pupuk organik bersubsidi dalam kegiatan administrasi pemesanan bahan baku.
20. Biaya simpan adalah harga yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
menyimpan bahan baku pada periode tertentu.
21. Biaya penerangan adalah biaya yang dikeluarkan oleh industri untuk fasilitas
penerangan pada gudag penyimpanan bahan baku.
22. Biaya pajak bumi dan bangunan adalah biaya yang dikeluarkan oleh industri
untuk penggunaan gudang penyimpanan masing-masing bahan baku.
23. Jadwal induk produksi adalah rencana produksi pupuk organik selama
periode produksi.
24. Bill of material adalah kebutuhan bahan baku untuk memproduksi pupuk
organik bersubsidi.
25. Status Persediaan adalah persediaan akhir bahan baku pada akhir periode.
26. Efisiensi adalah pemilihan alternatif metode yang dapat melalui pemanfaatan
sumberdaya yang tersedia agar mencapai hasil yang optimal.
27. Optimal adalah ukuran terhadap tingkat pemesanan bahan baku yang sesuai
dengan kebutuhan dan biaya yang dikeluarkan industri untuk persediaan
bahan baku dalam tingkat minimum.
33
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan untuk menganalisis pengendalian persediaan
bahan baku adalah dengan pendekatan kuantitatif. Adapun pendekatan kuantitatif
pada penelitian adalah untuk menguji penerapan teori Material Requirement
Planning yang digunakan untuk menentukan persediaan bahan baku optimal. Hal
tersebut dilakukan terkait adanya permasalahan kelebihan dan kekurangan bahan
baku pada produksi pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang yang
menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh industri untuk produksi
pupuk organik. Hasil penelitian yang berupa analisis data akan diinterpretasikan
kedalam bentuk narasi untuk menjelaskan hasil penelitian agar mudah dipahami.
4.2 Metode Penentuan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Malang dengan penentuan lokasi
penelitian dilakukan secara purposive atau secara sengaja, dengan pertimbangan
bahwa Kabupaten Malang merupakan wilayah dengan mitra Petroganik terbanyak
yang ada di Provinsi Jawa Timur (Petroganik, 2015). Petroganik merupakan salah
satu produsen pupuk yang tergabung dalam PT. Pupuk Indonesia yang melakukan
produksi dan distribusi pupuk organik bersubsidi pada wilayah Jawa Timur. Oleh
karena itu, untuk mengetahui pengendalian persediaan bahan baku pupuk organik
bersubsidi di Kabupaten Malang maka penelitian dilakukan pada Industri yang
bermitra dengan Petroganik. Melalui pertimbangan tersebut, maka perlu dilakukan
analisis terhadap pengendalian persediaan bahan baku pupuk organik yang ada di
Kabupaten Malang terkait adanya permasalahan kelebihan baku.
4.3 Metode Penentuan Sampel
Populasi penelitian merupakan industri pupuk organik yang merupakan
mitra Petroganik, sehingga sampel pada penelitian adalah sebagian industri pupuk
organik yang merupakan mitra Petroganik. Penentuan sampel pada penelitian
adalah menggunakan purposive sampling. Menurut Amirin (2011) purposive
sampling adalah pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan persyaratan
sampel yang diperlukan. Oleh karena itu, penentuan kriteria sampel pada
34
penelitian adalah mitra petroganik yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) dalam
memproduksi pupuk organik bersubsidi, karena PT (Perseroan Terbatas)
merupakan perusahaan yang memiliki kepastian hukum dalam bisnis dan dagang.
Kriteria lainnya, industri yang menggunakan bahan baku kotoran ayam, kotoran
sapi, blotong, filler, dan mixtro dalam produksi pupuk organik bersubsidi. Selain
itu, sampel penelitian merupakan industri yang bersedia untuk menjadi sampel
penelitian dalam mengetahui sistem pengendalian persediaan bahan baku.
Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat tiga perusahaan sebagai sampel dari sebelas
populasi perusahaan atau industri yang bermitra dengan Petroganik.
Responden ditentukan setelah diketahui sampel industri pupuk organik,
dimana responden merupakan seseorang yang merupakan sumber informasi untuk
memenuhi kebutuhan data penelitian. Responden pada penelitian ini adalah
seseorang yang mengetahui mengenai pengendalian persediaan bahan baku pada
produksi pupuk organik bersubsidi. Adapun penentuan responden dalam
penelitian ini adalah seorang manajer perusahaan atau manajer persediaan yang
mengetahui secara langsung dan terlibat mengenai pengendalian persediaan bahan
baku yang ada di industri pupuk organik bersubsidi.
4.4 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data digunakan untuk mengumpulkan data yang
menunjang analisis penelitian serta disesuaikan kondisi riil yang ada di lapang.
Jenis data yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian meliputi data
primer dan data sekunder yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subyek
penelitian atau responden untuk kebutuhan penelitian. Data yang diperlukan
dalam penelitian adalah sistem pengendalian persediaan bahan baku di industri,
biaya simpan dan biaya pesan, serta proses produksi pupuk organik bersubsidi
di Kabupaten Malang. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dari
melakukan observasi langsung pada industri pupuk organik bersubsidi yang
merupakan sampel, dimana melalui observasi akan diketahui secara langsung
dan jelas mengenai kondisi riil di industri dalam persediaan bahan baku dan
35
produksi pupuk organik. Teknik pengumpulan data primer juga dilakukan
dengan melalui wawancara langsung kepada responden, yaitu dengan
melakukan komunikasi secara langsung kepada responden melalui kuisioner.
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang didapat secara tidak langsung dari
responden. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui study literature
yakni dari instansi yang terkait dengan penelitian, penelitian terdahulu, ataupun
pustaka lainnya. Data yang sekunder tersebut digunakan sebagai gambaran
umum atau data untuk melengkapi data yang tidak dapat diperolah pada lapang.
Semua data sekunder yang diperoleh digunakan sebagai catatan dan bukti yang
bertujuan untuk mendukung atau memperkuat serta melengkapi untuk
keperluan analisis penelitian.
4.5 Metode Analisis Data
Teknik analisis data digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh dari
proses penelitian. Adapun beberapa teknik analisis data yang digunakan untuk
menjawab masing-masing tujuan penelitian adalah sebagai berikut :
4.5.1 Tujuan 1. Mengetahui Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku
pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Analisis deskriptif digunakan untuk menjawab tujuan pertama yaitu
mengetahui sistem pengendalian persediaan atau untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan kondisi dan kegiatan yang ada di industri pupuk organik
bersubsidi dalam melakukan pengendalian, produksi, dan distribusi. Analisis
deskriptif dilakukan pada seluruh sampel penelitian, yang digunakan untuk
mengetahui sistem pengendalian persediaan bahan baku pada setiap sampel
penelitian atau beberpa industri pupuk organik secara deskriptif. Seluruh hasil
analisis deskriptif berbentuk narasi yang akan dijadikan sebagai referensi dalam
proses analisa data pada tujuan penelitian yang berikutnya.
4.5.2 Tujuan 2. Menganalisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada
Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Metode Material Requirement Planning (MRP) merupakan metode yang
digunakan untuk pengendalian persediaan material, dalam penelitian ini adalah
persediaan bahan baku. Pada MRP untuk pengendalian persediaan secara optimal,
36
maka perlu dilakukan penentuan lot atau ukuran yang tepat untuk persediaan
bahan baku dengan biaya minimum. Adapun tahapan atau proses yang diperlukan
dalam menggunakan metode MRP adalah sebagai berikut:
1. Perhitungan kebutuhan kotor (Explosion) digunakan untuk memperoleh ukuran
awal atau rencana pemakaian bahan baku yang telah ditentukan sesuai dengan
jadwal induk produksi dan Bill Of Material.
2. Perhitungan kebutuhan bersih (Netting) merupakan hasil yang didapat dari
kebutuhan kotor dikurangi dengan jumlah antara persediaan yang ada di tangan
dan penerimaan terjadwal. Apabila penerimaan terjadwal dan persediaan di
tangan melebihi kebutuhan kotor, maka kebutuhan bersih sama dengan nol.
3. Penentuan lot (Lotting) atau penentuan ukuran persediaan untuk menentukan
pemesanan per item yang optimal berdasarkan perhitungan kebutuhan bersih.
Penentuan Lotting didasarkan perhitungan pada model Economic Order
Quantity (EOQ) dan Past Periode Balance (PPB).
4. Menetapkan waktu yang tepat (Offsetting) atau kapan untuk melakukan
pemesanan kembali yang diperoleh dari hasil selisih antara persediaan (biaya
pesan dan simpan) dengan lead time.
Pada penentuan lot sizing, dilakukan perhitungan secara manual dengan
menggunakan Microsoft Excel. Adapun dalam perhitungan tersebut menggunakan
sistem MRP melalui format perhitungan yang disajikan pada tabel 2.
Tabel 2. Tabel Material Requirement Planning (MRP)
Periode Periode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4
Gross Requirement
Schedulle Receipts
Project On Hand
Net Requirement
Planned Order Receipts
Planned Order Releases
Sumber: Soleha (2015)
Keterangan:
Gross Requirement : Kebutuhan Kotor
Schedulle Receipts : Penerimaan Terjadwal
Project on Hand : Persediaan di Tangan
Net Requirement : Kebutuhan Bersih
Planned Order Receipts : Penerimaan Rencana Pemesanan
Planned Order Releases : Pelepasan Rencana Pemesanan
37
4.5.3 Tujuan 3. Merumuskan Alternatif Teknik Pengendalian Persediaan
Bahan Baku yang Dapat Diterapkan pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi Di Kabupaten Malang
Melalui metode MRP dengan menggunakan teknik EOQ dan PPB, maka
untuk mendapatkan total persediaan bahan baku dilakukan dengan perhitungan
yaitu menjumlahkan semua biaya persediaan. Biaya persediaan mencakup biaya
simpan, biaya pesan, dan biaya beli. Biaya simpan meliputi biaya penerangan dan
biaya pajak bumi bangunan (PBB), untuk mendapatkan biaya simpan persediaan,
maka biaya simpan dikalikan dengan total persediaan bahan baku di tangan.
Sedangkan biaya pesan meliputi biaya telepon dan biaya administrasi, dimana
untuk mendapatkan biaya pesan untuk persediaan bahan baku maka biaya pesan
dikalikan dengan frekuensi pemesanan. Selain itu juga terdapat biaya beli, biaya
beli dapat diperoleh dengan mengalikan biaya beli per bahan baku dengan ukuran
pemesanan per periode pemesanan. Adapun rumus perhitungan total biaya
persediaan adalah sebagai berikut:
Total Biaya Persediaan = Biaya Simpan + Biaya Pesan + Biaya Beli
= (Total persediaan x biaya simpan) + (Freskuensi
pemesanan x biaya pesan) + (ukuran pemesanan
x biaya beli)
Setelah memperoleh total biaya persediaan pada masing-masing teknik yaitu
EOQ dan PPB serta metode yang dilakukan oleh perusahaan, maka selanjutnya
adalah melakukan perbandingan pada masing-masing teknik tersebut. Persediaan
bahan baku yang optimal adalah melalui teknik pengendalian persediaan dengan
total biaya persediaan terendah. Ristono (2013) menyatakan bahwa persediaan
bahan baku yang seimbang dengan kebutuhan dapat menekan biaya persediaan,
sehingga akan menciptakan persediaan yang optimal. Teknik persediaan yang
optimal dapat diketahui melalui perbandingan total biaya persediaan antara teknik
EOQ dan PPB serta metode yang dilakukan oleh perusahaan. Teknik persediaan
dengan total biaya persediaan paling rendah merupakan teknik yang paling
optimal dan cocok untuk diterapkan bagi Industri Pupuk Organik Bersubsidi yang
ada di Kabupaten Malang.
38
4.6 Pengujian Hipotesis
Berdasarkan teori yang dijelaskan oleh penelitian terdahulu menyatakan
bahwa metode Material Requirement Planning (MRP) dapat mengoptimalkan
persediaan bahan baku dibandingkan dengan metode konvensional yang
dilakukan perusahaan. Melalui metode MRP pengendalian persediaan dapat
dilakukan dengan menyeimbangkan antara kebutuhan bahan baku dengan
penggunaan bahan baku untuk produksi. Hal tersebut didukung dengan
pernyataan Ristono (2013) bahwa persediaan bahan baku yang seimbang dengan
kebutuhan dapat menekan biaya persediaan.
Diketahui :
H0 : Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi Telah Optimal
Ha : Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi Belum Optimal
Hasil pengujian hipotesis :
Jika H0 > Ha : Terima H0
Jika H0 < Ha : Tolak H0
Jika berdasarkan hasil pengujian hipotesis Tolak H0 atau Terima Ha, maka
terdapat alternatif lain untuk menentukan teknik lot sizing yang dapat diterapkan
oleh industri pupuk organik. Terdapat dua teknik lot sizing yang digunakan dalam
penelitian yaitu Economic Order Quantity (EOQ) merupakan teknik untuk
menentukan ukuran lot optimal dengan kuantitas pemesanan adalah konstan dan
Past Periode Balance (PPB) merupakan teknik untuk menentukan ukuran lot
optimal dengan kuantitas pemesanan yang beragam.
39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Gambaran Umum Penelitian
5.1.1 Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Pemerintah telah memberikan kebijakan subsidi pada pupuk organik untuk
memenuhi kebutuhan pupuk organik bagi petani. Kebijakan subsidi pupuk hanya
berlaku untuk beberapa produsen pupuk organik yang diberikan tanggung jawab
untuk memproduksi pupuk organik bersubsidi. Beberapa produsen pupuk
tersebutlah yang memiliki wewenang untuk melakukan distribusi pupuk organik
bersubsidi. Distribusi pupuk organik tersebut telah diatur berdasarkan adanya
RDKK yang ditetapkan Pemerintah untuk mengatur ketersediaan pupuk organik
bersubsidi. Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok atau RDKK merupakan
rencana kebutuhan pupuk tiap petani pada suatu wilayah, sehingga melalui adanya
RDKK, pemerintah dapat memantau kebutuhan pupuk pada suatu wilayah.
Adapun perusahaan atau industri yang memproduksi pupuk organik
bersubsidi harus memproduksi pupuk organik sesuai dengan RDKK yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Penyusunan RDKK dilakukan oleh kelompok tani
dan setiap petani merupakan petani yang terdaftar dalam kelompok tani. Adapun
tahapan dalam penyusunan RDKK menurut Direktorat Pupuk dan Pestisida (2014)
adalah sebagai berikut:
1. Tahapan Penyusunan RDKK
Para pengurus kelompok tani dan anggota melakukan pertemuan untuk
membahas dan merumuskan RDKK dengan menampung hasil musyawarah
anggota kelompok tani tentang rencana kebutuhan kelompok tani yang
didampingi oleh penyuluh. RDKK terdiri dari beberapa komponen yang terdiri
dari musim tanam, Provinsi/Kabupaten/Kecamatan/Desa, nama kelompok tani,
komoditi: tanaman pangan/hortikultura/perkebunan /peternakan dan perikanan.
Setelah itu, RDKK diperiksa dan ditandatangani oleh ketua kelompok tani.
2. Tahapan Perbanyakan dan Pengiriman RDKK.
Setelah RDKK diisi lengkap, diperiksa dan ditandatangani oleh ketua
kelompok tani, maka RDKK tersebut diperbanyak dan dikirim kepada penyalur
atau pengecer, Kepala Desa/Lurah, Penyuluh, Ketua Gapoktan dan Ketua
kelompok tani.
40
3. Tahapan Rekapitulasi RDKK dan Penyusunan Kebutuhan Pupuk
Pembuatan Rekapitulasi dilakukan oleh beberapa tingkatan yaitu tingkat
Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. Pada tingkat
Nasional, Direktur Pupuk dan Pestisida akan menyusun kebutuhan pupuk
berdasarkan rekapitulasi RDKK per provinsi.
5.1.2 Proses Produksi Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Produksi Pupuk Organik dilakukan setiap hari selama hampir 24 jam,
dimana hal tersebut bertujuan untuk keberlanjutan perusahaan dalam
memaksimalkan produksi pupuk organik. Produksi pupuk organik dilakukan oleh
pekerja bagian produksi yang dibagi menjadi 2 shift, yaitu shift pagi dan shift
malam. Shift pagi merupakan pekerja yang bekerja dari jam 08.00-17.00,
sedangkan shift malam merupakan pekerja yang bekerja dari pukul 18.00-07.00.
Proses produksi yang dilakukan seluruh industri atau masing-masing perusahaan
memiliki standar yang digunakan mendapatkan produk yang sesuai dengan
spesifikasi mutu permentan No.70 Tahun 2011 yang berdasarkan dari aturan
Petroganik atau PT. Petrokimia Gresik, adalah sebagai berikut:
a. Bahan baku terdiri dari Kotoran sapi, Kotoran Ayam, Tankos, Blotong, PKS,
dll dan telah difermentasi dengan baik kecuali kotoran ayam dan filler (kaptan,
zeolit, dolomit, clay) dihaluskan.
b. Bahan baku dan filler harus ditimbang sesuai dengan formula yang telah
diterbitkan PT. Petrokimia Gresik.
c. Tuang campuran bahan baku ke pan granulator sebagian-sebagian sambil
disemprot air dan Mixtro (Mixtro 1%).
d. Butiran-butiran yang terbentuk sesuai ketentuan 2-5mm, dikeringkan pada alat
rotary dryer dengan suhu inlet 70C-80C dan outlet 300C-350C dengan kadar
air 8-12%.
e. Produk yang masih panas dimasukkan ke dalam cooler untuk menghindari
proses penguapan.
f. Produk yang telah kering dimasukkan ke mesin penyaring 2-5 mm dan
dikemas dalam kantong plastik dengan bobot >= 42 Kg/kantong.
Jika digambarkan dengan menggunakan bagan, maka urutan proses
produksi pupuk organik adalah sebagai berikut:
41
Gambar 2. Bagan Proses Produksi Pupuk Organik
Dari bagan tersebut, proses produksi pupuk organik yang dilakukan oleh
industri pupuk organik bersubsidi dimulai dari penghalusan bahan baku. Bahan
baku terdiri dari Kotoran Ayam (KA), Kotoran Sapi, (KS), Blotong, Filler yang
telah dihaluskan dilakukan penimbangan sesuai dengan komposisi atau formula
yang telah ditetapkan oleh masing-masing perusahaan. Adapun formula atau
komposisi pada masing-masing industri pupuk organik untuk melakukan satu kali
produksi pupuk organik adalah pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Produksi Pupuk Organik Bersubsidi Pada Industri Pupuk
Organik di Kabupaten Malang
Nama Bahan Baku Komposisi (%) Komposisi (Kg)
Kotoran Ayam 33,8% 76
Kotoran Sapi 31,2% 70
Blotong 26,4% 60
Filler 7,6% 17
Mixtro 1% 2
Total 100% 225
Sumber: data primer, 2017
Setelah komposisi sesuai, maka seluruh bahan baku tersebut dicampur ke
dalam Mixer mengasilkan pupuk organik sebagai hasil produksi. Setelah proses
pencampuran, proses berikutnya adalah granulasi merupakan proses pembentukan
pupuk organik menjadi bulat atau butiran dengan menggunakan alat yang disebut
pan granulator. Proses granulasi atau pembentukan butiran, umumnya ukuran
butiran terbentuk tidak merata, ukuran-ukuran tersebut diantaranya terdiri dari:
Under size (< 2mm), Over size (> 5mm), dan on size (2mm-5mm).
Setelah pupuk granul terbentuk, maka proses berikutnya adalah melakukan
pengeringan dengan mesin dryer pada suhu inlet 70C-80C dan outlet 30C-35C
dengan kadar air 8-12%. Proses pengeringan bertujuan untuk membunuh bakteri
Penimbangan
Pengemasan Pengayakan Pengeringan
Granulasi
Bahan
Baku
Penghalusan Pencampuran
Air + Mixtro
Pendinginan
Pencampuran
off spec
42
dan bibit rumput yang masih terkandung dalam produk pupuk. Setelah dilakukan
pengeringan maka proses berikutnya adalah dilakukan pendinginan dengan
menggunakan cooler.
Setelah pendinginan maka proses berikutnya adalah pengayakan merupakan
proses pemisahan pupuk granul berdasarkan ukuran yang telah ditetapkan. Ukuran
pupuk granul yang ditetapkan pada setiap industri pupuk organik bersubsidi
disebut On size yakni pada ukuran 2-5mm. Sedangkan pupuk organik yang
memiliki ukuran diluar ukuran tersebut disebut off spec, dimana produk off spec
akan diproduksi ulang dari proses awal dengan mesin crusher. Penggunaan hasil
produksi pupuk granul yang merata bertujuan untuk menjaga penampilan produk
dan kepuasan konsumen, dimana umumnya petani tidak menyukai pupuk organik
yang terlalu halus atau butiran yang terlalu besar. Hasil pupuk organik granul
yang telah disaring berdasarkan ukuran langsung dikemas dalam karung
berukuran 40Kg, ukuran tersebut merupakan standart kemasan pupuk organik
bersubsidi.
5.2 Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku Industri Pupuk
Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Bahan baku pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi merupakan berasal dari
adanya rencana persediaan bahan baku, dimana rencana persediaan bahan baku
berasal dari adanya rencana produksi. Rencana produksi atau terdapat pada jadwal
induk produksi merupakan rencana produksi pupuk organik bersubsidi selama
satu tahun. Oleh karena itu, dalam mempersiapkan rencana persediaan bahan baku,
industri juga harus memperhatikan status persediaan bahan baku pada akhir
periode untuk periode produksi berikutnya dan memperhatikan kaitan produk
dengan bahan baku agar mengetahui apa dan berapa yang diperlukan untuk
rencana produksi pupuk organik bersubsidi. Adapun penjelasan mengenai sistem
pengendalian persediaan bahan baku pada industri pupuk organik bersubsidi di
Kabupaten Malang adalah sebagai berikut:
5.2.1 Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Pupuk organik bersubsidi merupakan produk yang dipantau oleh pemerintah
dan merupakan barang pengawasan, sehingga terdapat sistem khusus yang
mengatur dalam kegiatan produksi. Industri pupuk organik yang memproduksi
43
pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang memiliki perencanaan persediaan
bahan baku yang didasarkan dari adanya rencana produksi. Rencana produksi
tersebut merupakan kontrak dengan PT. Petrokimia Gresik, sedangkan rencana
produksi sendiri merupakan hasil rekapitulasi dari RDKK. Berdasarkan hal
tersebut, maka perencanaan persediaan bahan baku dalam memproduksi pupuk
organik bersubsidi didasarkan dari adanya RDKK. RDKK atau rencana definitif
kebutuhan kelompok merupakan kebijakan pemerintah untuk mengetahui
kebutuhan pupuk organik pada setiap petani.
Adapun dalam pengendalian persediaan bahan baku, industri pupuk organik
bersubsidi menyediakan bahan baku dari berbagai supplier. Kotoran ayam dan
kotoran sapi yang didapat dari peternak yang berasal dari Kabupaten Malang
maupun dari Kabupaten Blitar, Blotong didapat dari Pabrik Gula Krebet
Kabupaten Malang, filler yang dapat berupa dolosit atau kaptan berasal dari
Kabupaten Malang daerah selatan, dan Mixtro yang berasal dari PT. Petrokimia
Gresik. Bahan baku kotoran ayam dan kotoran sapi pada setiap industri pupuk
organik yang ada di Kabupaten Malang tidak menentukan jumlah atau banyaknya
bahan baku yang harus tersedia dalam periode kedatangan bahan baku. Namun,
kedatangan bahan baku disesuaikan dengan kemampuan supplier yang secara
rutin setiap 3-4 hari atau setiap minggu. Kedatangan masing-masing bahan baku
pada masing-masing industri memiliki waktu 3-4 hari pada bahan baku kotoran
ayam, kotoran sapi, blotong, dan filler. Sedangkan bahan baku mixtro memiliki
waktu kedatangan bahan baku sekitar 7 hari atau satu minggu. Adapun waktu
pemesanan bahan baku filler dipesan setiap persediaan yang ada di gudang
berkurang. Selain itu, bahan baku blotong yang dipesan setiap enam bulan sekali
atau pada setiap musim giling tebu dan bahan baku mixtro dipesan setiap satu
bulan sekali. Sedangkan pemesanan bahan baku kotoran ayam dan kotoran sapi
dilakukan rutin setiap minggu dan pemesanan mixtro dilakukan rutin setiap bulan.
5.2.2 Jadwal Induk Produksi (Master Production Schedule)
Jadwal induk produksi diperlukan dalam Material Requirement Planning
untuk mengetahui jumlah produksi pada suatu periode produksi (Baharuddin,
2016). Jadwal induk produksi atau JIP pada penelitian merupakan target jumlah
produksi pupuk organik bersubsidi yang disesuaikan dengan kontrak pada industri
44
pupuk organik bersubsidi di Kabupaten Malang dengan PT. Petrokimia Gresik.
Target jumlah produksi atau rencana produksi yang dilakukan oleh Industri pupuk
organik bersubsidi di Kabupaten Malang merupakan jumlah produksi yang sudah
menjadi persetujuan atau kontrak antara industri pupuk organik bersubsidi di
Kabupaten Malang dengan PT. Petrokimia Gresik.
Jadwal induk produksi yang digunakan dalam penelitian merupakan data
primer pada tahun 2016 yang merupakan rencana produksi selama satu tahun.
Jadwal induk produksi tersebut dibagi menjadi per bulan dan dibagi kembali
menjadi per minggu agar secara jelas mengetahui rencana produksi setiap
bulannya. Periode pada jadwal induk produksi dalam penelitian merupakan rata-
rata rencana produksi pada industri pupuk organik bersubsidi yang digunakan
menjadi sampel. Melalui adanya jadwal induk produksi atau rencana produksi,
maka industri pupuk organik dapat menentukan kebutuhan bahan baku untuk
produksi pupuk organik. Adapun jadwal induk produksi pada industri pupuk
organik bersubsidi di Kabupaten Malang adalah pada Tabel 4.
Tabel 4. Jadwal Induk Produksi pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang Tahun 2016
Periode Rata-rata jumlah
produksi/JIP
(Kg)
minggu 1
(Kg)
minggu 2
(Kg)
minggu 3
(Kg)
minggu 4
(Kg)
Januari 2016 533.333 133.333 133.333 133.333 133.333
Februari 2016 466.667 116.667 116.667 116.667 116.667
Maret 2016 533.333 133.333 133.333 133.333 133.333
April 2016 516.667 129.167 129.167 129.167 129.167
Mei 2016 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
Juni 2016 466.667 116.667 116.667 116.667 116.667
Juli 2016 483.333 120.833 120.833 120.833 120.833
Agustus 2016 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
September 2016 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
Oktober 2016 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
Nopember 2016 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
Desember 2016 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
Total 6.000.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000
Rata-Rata 500.000 125.000 125.000 125.000 125.000
Sumber: Data olah primer (2017)
Berdasarkan tabel tersebut dapat dikatakan bahwa total rencana produksi
pada Industri Pupuk Organik di Kabupaten Malang rata-rata adalah 6.000.000 Kg
45
atau 6.000 ton pupuk organik bersubsidi. Sedangkan rata-rata produksi pupuk
organik per bulannya adalah sebanyak 500.000 Kg atau 500 ton pupuk organik
bersubsidi. Apabila dibagi kedalam minggu, maka rata-rata produksi pupuk
organik bersubsidi adalah 125.000 Kg atau 125 ton.
5.2.3 Status Persediaan Bahan Baku
Status persediaan merupakan jumlah persediaan bahan baku yang tersisa
pada akhir periode produksi. Status persediaan digunakan sebagai acuan untuk
melakukan pemesanan pada periode produksi berikutnya. Status persediaan
merupakan persediaan di tangan pada minggu ke-0 dalam Material Requirement
Planning yang digunakan untuk mengetahui jumlah persediaan bahan baku yang
dimiliki oleh perusahaan. Menurut Ummiroh (2013) Status persediaan menjadi
salah satu input untuk Rencana Kebutuhan Bahan (Material Requirement
Planning) yang terdiri dari persediaan yang tersedia dan yang sedang dalam
pemesanan.
Status persediaan yang digunakan dalam penelitian merupakan data
persediaan bahan baku yang berasal dari periode Desember 2015. Hal tersebut
dikarenakan data yang digunakan untuk perhitungan MRP merupakan data bahan
baku pada tahun 2016, sehingga dibutuhkan data akhir periode tahun 2015 untuk
menghitung persediaan bahan baku pada tahun 2016. Adapun, status persediaan
rata-rata Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang pada masing-
masing bahan baku adalah pada Tabel 5.
Tabel 5. Status Persediaan Rata-Rata Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang pada Desember 2015
Nama Bahan Baku Persediaan (Kg)
Kotoran Ayam 115.268
Kotoran Sapi 65.975
Blotong 725.760
Filler 32.518
Mixtro 5.093
Sumber: Data olah primer (2017)
Berdasarkan data status persediaan pada Tabel 5, dapat dikatakan bahwa
persediaan bahan baku blotong merupakan persediaan bahan baku tertinggi yaitu
sebanyak 725.760 Kg. Sedangkan persediaan terendah merupakan bahan baku
mixtro yaitu sebanyak 5.093 Kg. Tingginya jumlah persediaan bahan baku
blotong disebabkan karena pemesanan dilakukan setiap satu semester sekali,
46
sehingga dalam sekali pesan Industri Pupuk Organik bersubsidi memesan dalam
jumlah banyak agar dapat memenuhi kebutuhan bahan baku blotong. Rendahnya
status persediaan bahan baku mixtro disebabkan karena paling rendahnya
kebutuhan bahan baku mixtro dalam produksi pupuk organik bersubsidi, sehingga
status persediaan mixtro yang ada di gudang juga paling sedikit.
5.2.4 Data Struktur Produk (Bill Of Material)
Produksi pupuk organik bersubsidi di Industri Pupuk Organik Kabupaten
Malang menggunakan beberapa bahan baku yang terdiri dari Kotoran Ayam dan
Kotoran Sapi yang telah melalui proses fermentasi, serta Blotong yang merupakan
ampas penggilingan tebu yang juga telah melalui proses fermentasi. Selain itu,
terdapat juga bahan baku berupa filler dan mixtro. Filler merupakan bahan
perekat yang terdiri dari dolosit, kaptan atau clay, sedangkan mixtro merupakan
bahan tambahan yang berasal dari PT. Petrokimia Gresik.
Produksi satu unit produk pupuk organik dibutuhkan campuran komponen
bahan baku utama dan tambahan atau dengan kata lain terdapat komponen bahan
baku kotoran ayam, kotoran sapi, blotong, filler, dan mixtro untuk memproduksi
satu unit produk pupuk organik. Hubungan pada setiap komponen yang disusun
secara sistematis dan membentuk suatu hierarki untuk proses produksi disebut
dengan Bill Of Material. Bill Of Material digunakan untuk menjelaskan
banyaknya kebutuhan komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi satu
produk akhir dari setiap komponen penyusunnya (Baharuddin, 2016).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka struktur produk atau Bill Of Material pada
pupuk organik adalah sebagai berikut:
Gambar 3. Struktur Produk atau Bill Of Material Pupuk Organik
Gambar 3 merupakan struktur produk atau Bill Of Material yang
menjelaskan mengenai susunan bahan baku secara rinci dalam proses produksi
Pupuk Organik
Kotoran
Ayam
Kotoran
Sapi Blotong Filler Mixtro
Level 1
Level 2
47
pupuk organik. Berdasarkan gambar tersebut, terdapat dua level dalam produksi
pupuk organik bersubsidi. Level pertama merupakan produk akhir yaitu pupuk
organik, sedangkan level kedua merupakan bahan baku kotoran ayam, kotoran
sapi, blotong, filler, dan mixtro. Perhitungan Bill Of Material yang menjelaskan
jumlah kebutuhan bahan baku untuk memproduksi satu unit produk pupuk
organik pada Industri Pupuk Organik di Kabupaten Malang adalah pada Tabel 6.
Tabel 6. Perhitungan Bill Of Material pada Persediaan Bahan Baku Industri
Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Nama Bahan Baku Kebutuhan Bahan Baku per kemasan (kg/sak)
Kotoran Ayam 19,00
Kotoran Sapi 17,50
Blotong 15,00
Filler 4,25
Mixtro 0,50
Sumber: Data olah primer (2017)
Dalam satu kali produksinya, rata-rata pupuk organik bersubsidi yang
dihasilkan dalam satu resep/komposisi adalah sebanyak 163 Kg dan dikemas ke
dalam karung atau sak yang memuat 40 Kg pupuk organik bersubsidi. Maka,
dalam satu kali resep produksi akan menghasilkan 4 karung atau sak pupuk
organik bersubsidi. Hasil produksi pupuk organik bersubsidi tidak terlepas dari
adanya penyusutan, oleh karena itu Industri Pupuk Organik bersubsidi di
Kabupaten Malang rata-rata menambahkan sebanyak 3 Kg pupuk organik untuk
menghindari adanya penyusutan.
Standart kemasan pada setiap industri pupuk organik bersubsidi adalah
sebanyak 40 Kg. Apabila industri pupuk organik bersubsidi mengirim atau
mendistribusikan pupuk organik dengan jumlah kurang dari 40 Kg dalam
kemasan, maka industri pupuk organik diarahkan untuk melakukan rebag atau
melakukan pengemasan ulang dengan ketentuan pupuk organik yang
didistribusikan adalah 40 Kg atau lebih. Berdasarkan hal tersebut, setiap industri
pupuk organik bersubsidi menambahkan hasil produksi dengan ketentuan minimal
5% dari standart kemasan untuk mengurangi adanya risiko penyusutan pada hasil
produksi pupuk organik.
48
5.3 Penerapan Material Requirement Planning (MRP)
Metode Material Requirement Planning (MRP) merupakan metode yang
digunakan untuk menentukan kebutuhan bahan baku yang tepat, dimana pada
metode tersebut akan menghasilkan jumlah dan waktu pemesanan dengan biaya
terendah. Metode MRP memiliki berbagai teknik yang digunakan dalam berbagai
kondisi, dimana melalui teknik tersebut akan diketahui ukuran lot size dan waktu
pemesanan yang disesuaikan dengan kondisi yang ada diperusahaan. Pada
penelitian teknik lot size yang digunakan adalah EOQ dan PPB, dimana EOQ
merupakan teknik yang digunakan dengan asumsi jumlah pemesanan konstan dan
PPB merupakan teknik lot size dengan asumsi jumlah pemesanan yang berbeda.
Metode MRP memiliki beberapa langkah agar menghasilkan biaya persediaan
dari masing-masing teknik tersebut, adapun langkah-langkah pada MRP adalah
sebagai berikut:
5.3.1 Biaya Persediaan Bahan Baku
Biaya persediaan merupakan biaya yang dikeluarkan industri pupuk organik
dalam memenuhi kebutuhan bahan baku untuk proses produksi. Biaya persediaan
yang dikeluarkan oleh industri pupuk organik terdiri dari biaya pesan, biaya
simpan, dan biaya beli. Adapun secara jelasnya macam-macam biaya yang
dikeluarkan untuk persediaan adalah sebagai berikut:
1. Biaya Pesan
Biaya pesan merupakan biaya yang dikeluarkan industri pupuk organik
untuk melakukan pemesanan bahan baku dalam memproduksi pupuk organik.
Biaya pemesanan bahan baku berbeda dengan biaya pembelian, dimana biaya
pesan yang dikeluarkan industri pupuk organik terdiri dari biaya telepon dan
biaya dokumentasi. Adapun lebih jelasnya biaya telepon dan biaya
dokumentasi adalah sebagai berikut:
a. Biaya Telepon
Biaya telepon merupakan harga yang harus dikeluarkan industri pupuk
organik pada saat melakukan pemesanan kepada pihak supplier dengan
menggunakan telepon. Biaya telepon dipengaruhi oleh lamanya
pembicaraan yang dibutuhkan untuk melakukan pemesanan melalui telepon
yang diasumsikan selama 10 menit. Selain itu, biaya telepon juga
49
dipengaruhi oleh lokasi supplier dalam melakukan pemesanan masing-
maisng bahan baku. Supplier masing-masing bahan baku memiliki jarak
yang berbeda-beda. Supplier bahan baku tersebar di wilayah Kota Gresik,
Kabupaten Malang, dan Kabupaten Blitar. Perhitungan biaya telepon pada
masing-masing industri disajikan pada Lampiran 3, yang berdasarkan tarif
dasar PT. Telkom per menit pada Lampiran 5.
b. Biaya administrasi/dokumentasi
Biaya administrasi atau biaya dokumentasi merupakan biaya yang
harus dikeluarkan oleh industri pupuk organik dalam kegiatan
administrasi/dokumentasi pemesanan seperti perbanyakan surat Purchased
Order atau PO. Pada proses pemesanan, industri pupuk organik
mendapatkan surat PO berwarna kuning yang dilakukan perbanyakan untuk
digunakan sebagai arsip. Adapun biaya perbanyakan surat PO yang
dikeluarkan perlembarnya adalah sebesar Rp 200 pada masing-masing
Industri Pupuk Organik. Surat perbanyakan tersebut digunakan sebagai
pembayaran dan lainnya digunakan sebagai arsip dengan yang asli.
Perhitungan biaya administrasi pada masing-masing industri disajikan pada
Lampiran 3.
c. Biaya Total Pemesanan
Biaya total pemesanan didapatkan dari rata-rata total biaya pesan dari
masing-masing Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
yang menjadi sampel penelitian. Biaya total pemesanan didapatkan dari
jumlah biaya telepon dan biaya dokumentasi. Total biaya pesan untuk
pengendalian persediaan bahan baku pupuk organik bersubsidi di
Kabupaten Malang adalah pada tabel 7.
Tabel 7. Biaya Pemesanan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang
Bahan Baku Biaya telepon
(Rp)
Biaya dokumentasi
(Rp)
Total
(Rp)
Kotoran Ayam 7.817 333 8.150
Kotoran Sapi 4.523 333 4.857
Blotong 1.250 333 1.583
Filler 1.250 333 1.583
Mixtro 11.100 333 11.433
Sumber: Data olah primer (2017)
50
Berdasarkan tabel 7 tersebut dapat dikatakan bahwa biaya pemesanan
bahan baku paling tinggi adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemesanan
bahan baku Mixtro. Tingginya biaya pemesanan pada bahan baku mixtro
disebabkan karena lokasi pemesanan yang paling jauh, sehingga biaya
telepon yang didasarkan dari jarak telepon akan mempengaruhi biaya total
pemesanan. Sedangkan bahan baku blotong dan filler merupakan bahan
baku dengan biaya total pemesanan yang paling rendah. Hal tersebut
dikarenakan bahan baku blotong dan filler berasal dari supplier yang ada di
Kabupaten Malang.
2. Biaya Simpan
Biaya simpan merupakan biaya yang dikeluarkan industri pupuk organik
dalam melakukan penyimpanan bahan baku untuk proses produksi pupuk
organik. Adapun biaya simpan pada industri pupuk organik terdiri dari biaya
penerangan dan biaya pajak bumi bangunan. Macam-macam biaya simpan
akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Biaya penerangan
Biaya penerangan merupakan biaya yang dikeluarkan untuk fasilitas
penerangan pada gudang penyimpanan bahan baku. Biaya penerangan
didasarkan dari banyaknya lampu, daya lampu (watt), dan lamanya waktu
lampu menyala selama satu tahun. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk
penerangan penyimpanan bahan baku didasarkan pada tarif dasar listrik
tahun 2016 adalah sebesar Rp 1.412 per kWh. Perhitungan lebih lengkap
untuk biaya penerangan terdapat pada Lampiran 4.
b. Biaya Pajak Bumi dan Bangunan
Biaya pajak bumi dan bangunan merupakan biaya yang dikeluarkan
untuk penggunaan gudang penyimpanan pada masing-masing bahan baku.
Perhitungan pajak gudang didasarkan dari luasan gudang yang digunakan
untuk menyimpan masing-masing bahan baku. Adapun biaya pajak satu
tahun yang dikeluarkan pada masing-masing Industri Pupuk Organik adalah
sebesar Rp 3.000.000/tahun, Rp 700.000/tahun, dan Rp 500.000/tahun.
Besarnya pajak bumi dan bangunan didasarkan oleh luasnya masing-masing
industri pupuk organik. Berdasarkan observasi penelitian terdapat salah satu
51
industri yang memiliki gudang penyimpanan paling luas, yang digunakan
untuk melakukan fermentasi bahan baku sendiri. Perhitungan lebih lengkap
untuk biaya pajak bumi dan bangunan terdapat pada Lampiran 4.
c. Total Biaya Simpan
Biaya total penyimpanan didapatkan dari rata-rata total biaya simpan
dari masing-masing Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten
Malang yang menjadi sampel penelitian. Biaya total penyimpanan
didapatkan dari jumlah biaya penerangan dan biaya pajak bumi bangunan
yang juga disesuaikan dengan kebutuhan kotor pada masing-masing bahan
baku. Total biaya pesan untuk pengendalian persediaan bahan baku pupuk
organik bersubsidi adalah pada tabel 8.
Tabel 8. Biaya Penyimpanan Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang
Bahan
Baku
Biaya
Penerangan
(Rp)
Biaya Pajak Bumi
dan Bangunan
(Rp)
Kebutuhan bahan
baku per tahun
(Kg)
Total
(Rp)
KA 1.247.220 67.525 2.651.163 0,50
KS 1.071.990 67.525 2.441.860 0,47
Blotong 1.071.990 67.525 2.093.023 0,54
Filler 175.229 61.175 593.023 0,40
Mixtro 144.306 63.068 69.767 2,97
Sumber: Data olah primer (2017)
Berdasarkan pada Tabel 8 tersebut, dapat dikatakan bahwa biaya
penyimpanan tertinggi dikeluarkan untuk bahan baku mixtro. Hal tersebut
dikarenakan, adanya ketidakseimbangan antara biaya simpan dengan
kebutuhan bahan baku per tahunnya. Pada tabel tersebut menunjukkan
bahwa kebutuhan bahan baku per tahun lebih kecil dibandingkan dengan
biaya yang harus dikeluarkan Industri Pupuk Organik Bersubsidi untuk
penyimpanan bahan baku mixtro. Biaya simpan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kebutuhan bahan baku atau jumlah bahan baku yang
disimpan akan menyebabkan tingginya biaya penyimpanan bahan baku.
Sedangkan bahan baku dengan total biaya terendah adalah pada bahan baku
filler, hal tersebut dikarenakan rendahnya kebutuhan bahan baku filler yang
juga disesuaikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyimpanan,
52
dimana biaya simpan bahan baku filler yang lebih rendah dibandingkan
dengan bahan baku lainnya.
3. Biaya Beli
Biaya beli merupakan biaya yang dikeluarkan industri pupuk organik
dalam melakukan pembelian bahan baku yang diperlukan untuk proses
produksi. Biaya beli digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku dengan
melakukan pembelian pada masing-masing bahan baku per datangnya bahan
baku yang disesuaikan dengan periode pemesanan. Biaya beli pada penelitian
merupakan rata-rata dari satuan harga bahan baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang. Adapun rata-rata satuan harga beli bahan
baku adalah pada Tabel 9.
Tabel 9. Biaya Beli Masing-Masing Bahan Baku pada Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang
Nama Bahan Baku Biaya Beli (Rp)
Kotoran Ayam 277
Kotoran Sapi 147
Blotong 90
Filler 167
Mixtro 7.500
Sumber: Data olah primer (2017)
Berdasarkan dari tabel 9 tersebut, harga beli bahan baku mixtro
merupakan harga bahan baku tertinggi yaitu Rp 7.500. Tingginya harga bahan
baku mixtro dikarenakan mixtro merupakan bahan yang berasal dari PT.
Petrokimia Gresik, sehingga harga tersebut telah menjadi ketetapan PT.
Petrokimia Gresik. Sedangkan harga terendah merupakan harga bahan baku
blotong yakni Rp 90. Hal tersebut dikarenakan, bahan baku blotong dilakukan
pembelian setiap satu semester sekali atau enam bulan sekali yakni pada
musim giling, sehingga pembelian bahan baku blotong dilakukan dalam jumlah
banyak dalam sekali beli. Pembelian dalam jumlah banyak akan berpengaruh
diskon pembelian, dimana semakin banyak bahan yang dibeli semakin murah
harga yang pembeliannya.
5.3.2 Penentuan Kebutuhan Kotor (Explosion)
Kebutuhan kotor merupakan kebutuhan bahan baku awal atau banyaknya
rencana pemakaian bahan baku yang telah ditentukan sebelumnya. Kebutuhan
53
kotor dapat ditentukan dari menghitung daftar kebutuhan bahan baku atau Bill Of
Material pada tahun 2016 yang berdasarkan Jadwal Produksi Induk (Master
Production Schedule). Adapun pada tabel MRP yaitu pada Lampiran 8, 9, dan 10,
kebutuhan kotor merupakan Gross Requirement yang digunakan untuk
mengetahui jumlah persediaan di tangan dan kebutuhan bersih. Data total
kebutuhan kotor untuk masing-masing bahan baku pada masing-masing industri
pupuk organik dapat dilihat pada Lampiran 1.
5.3.3 Penentuan Kebutuhan Bersih (Netting)
Perhitungan kebutuhan bersih digunakan untuk mengetahui jumlah
kebutuhan bersih pada masing-masing bahan baku produksi pupuk organik
bersubsidi dengan melihat persediaan di tangan dan yang sedang di pesan.
Kebutuhan bersih dapat diperoleh dari kebutuhan kotor yang dikurangi dengan
total dari persediaan di tangan maupun persediaan yang di pesan pada periode
tersebut. Jika jumlah persediaan yang di pesan dan di tangan lebih besar dari
kebutuhan kotor maka kebutuhan bersih dianggap nol (Rosidah, 2011). Adapun
pada tabel MRP yaitu pada Lampiran 8, 9, dan 10, kebutuhan kotor merupakan
Net Requirement yang digunakan untuk mengetahui jumlah persediaan di tangan
dan kebutuhan bersih.
5.3.4 Penentuan Ukuran Pemesanan (Lotting)
Penentuan ukuran pesan digunakan untuk menentukan jumlah bahan baku
yang optimal untuk produksi pupuk organik bersubsidi. Penentuan ukuran
pemesanan bahan baku berdasarkan beberapa teknik yaitu Economic Order
Quantity (EOQ) dan Part Periode Balance (PPB). Dalam menentukan ukuran
pemesanan dibutuhkan input berupa data biaya persediaan seperti biaya pesan dan
biaya simpan. Adapun menurut (Baharuddin, 2016) tujuan dari penentuan ukuran
pemesanan adalah untuk memudahkan perusahaan dalam menentukan ukuran
pemesanan sesuai kebutuhan bahan baku. Teknik penentuan ukuran pemesanan
pada penelitian adalah sebagai berikut:
a. Economic Order Quantity (EOQ)
Economic Order Quantity (EOQ) merupakan salah satu teknik Material
Requirement Planning yang sering digunakan, karena teknik ini merupakan salah
satu teknik yang mudah diaplikasikan. Teknik Economic Order Quantity (EOQ)
54
digunakan untuk menentukan tingkat persediaan optimal pada suatu perusahaan
dengan asumsi nilai permintaan, biaya pemesanan, dan harga pembelian bernilai
konstan (Soleha, 2015). Adapun hasil yang diperoleh dari perhitungan dari rumus
Economic Order Quantity (EOQ) untuk mengetahui ukuran pemesanan masing-
masing bahan baku pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Hasil Perhitungan Economic Order Quantity pada Industri Pupuk
Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Nama Bahan Baku Economic Order Quantity (Kg)
Kotoran Ayam 295.195
Kotoran Sapi 225.447
Blotong 110.335
Filler 68.635
Mixtro 23.167
Sumber: Data olah primer (2017)
Hasil perhitungan EOQ seperti yang disajikan pada Tabel 10, digunakan
untuk menentukkan ukuran pemesanan atau lot size pada saat Industri Pupuk
Organik mulai membutuhkan bahan baku. Ukuran pemesanan pada teknik EOQ
adalah konstan yaitu sebanyak dalam Tabel 10 pada masing-masing bahan baku.
Berdasarkan perhitungan EOQ dari Tabel 10 tersebut dapat diketahui penentuan
ukuran lot size terbesar adalah pada bahan baku kotoran ayam yaitu sebanyak
295.195 Kg, sedangkan penentuan ukuran lot size terkecil adalah pada bahan baku
mixtro yaitu sebanyak 23.167 Kg. Hasil perhitungan EOQ tersebut sesuai dengan
komposisi bahan baku untuk produksi pupuk organik, dimana kotoran ayam
dibutuhkan paling banyak dan mixtro dibutuhkan paling sedikit. Perhitungan
ukuran pesan dengan teknik Economic Order Quantity (EOQ) pada masing-
masing bahan baku secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6.
b. Part Periode Balance (PPB)
Part Periode Balance (PPB) merupakan salah satu teknik penentuan ukuran
pemesanan yang memiliki cara hampir sama dengan teknik Economic Order
Quantity (EOQ) yakni sama-sama menyamakan antara biaya pesan dengan biaya
simpan untuk mendapatkan ukuran yang optimal. Perbedaan dari teknik Part
Periode Balance (PPB) dengan Economic Order Quantity (EOQ) adalah dari
jumlah pemesanan bahan baku, dimana PPB dapat menggunakan jumlah
55
pemesanan bahan baku yang berbeda. Hasil perhitungan Part Periode Balance
(PPB) dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Perhitungan Part Periode Balance (PPB) pada Industri Pupuk
Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Nama Bahan Baku Part Periode Balance (Kg)
Kotoran Ayam 16.434
Kotoran Sapi 10.407
Blotong 2.908
Filler 3.972
Mixtro 3.847
Sumber: Data olah primer (2017)
Perhitungan PBB didasarkan oleh perhitungan Economic Part Periode
(EPP), yaitu dengan menyamakan biaya simpan dengan biaya pesan. Melalui EPP
penentuan lot size dilakukan dengan mengakumulasi kebutuhan kotor bahan baku
per periode produksi hingga EPP mendekati part periode. Berdasarkan dari tabel
11 tersebut dapat diketahui bahwa dari perhitungan EPP menunjukkan bahan baku
kotoran ayam memiliki angka paling tinggi yaitu 16.434, sedangkan bahan baku
blotong memiliki angka paling rendah yaitu 2.908. Berdasarkan perhitungan EPP
didapatkan rata-rata besarnya ukuran pesan dengan menggunakan teknik PPB
adalah 106.342 Kg kotoran ayam, 97.946 Kg Kotoran Sapi, 86.211 Kg Blotong,
24.674 Kg filler, dan 2.898 Kg mixtro yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan
bahan baku.
Besar kecilnya hasil perhitungan EPP pada tabel 11 dipengaruhi oleh
besarnya biaya simpan dan biaya pesan. Hal tersebut akan mempengaruhi
penentuan ukuran lot size dan lamanya penyimpanan pada Lampiran 7. Jika angka
perhitungan EPP besar maka akan semakin mudah mendekati penentuan ukuran
lot size dan penyimpanan menjadi lebih singkat, sebaliknya jika angka
perhitungan EPP kecil akan lebih sulit mendekati penentuan ukuran lot size dan
penyimpanan menjadi lebih lama. Adapun perhitungan teknik Economic Part
Periode (EPP) secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 6 dan perhitungan
penentuan lot berdasarkan EPP dan part periode disajikan pada Lampiran 7.
5.3.4 Penentuan Waktu Pemesanan (Offsetting)
Penentuan waktu pemesanan atau Offsetting merupakan penentuan waktu
pemesanan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan bersih (Ummiroh, 2013).
56
Penentuan waktu pemesanan pada metode Material Requirement Planning
memiliki waktu yang berbeda pada setiap tekniknya, yaitu teknik Economic Order
Quantity dan Part Periode Balance. Pada semua waktu pemesanan dilakukan
ketika lot size pada suatu periode produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan
kotor untuk periode produksi selanjutnya. Penentuan waktu pemesanan lebih jelas
pada masing-masing teknik dengan menggunakan metode Material Requirement
Planning dapat dilihat dari perhitungann pada Lampiran 8, 9, dan 10.
5.3.5 Waktu Tunggu (Lead Time)
Setiap melakukan pemesanan bahan baku, Industri pupuk organik selalu
memiliki waktu tunggu yang terhitung dari pemesanan hingga datangnya bahan
baku. Dengan kata lain, lead time atau waktu tunggu merupakan tenggang waktu
yang dimiliki perusahaan dalam melakukan pemesanan (Baharuddin, 2016).
Waktu tunggu pada masing-masing bahan baku untuk produksi pupuk organik
bersubsidi memiliki waktu yang berbeda pada setiap industri. Waktu tunggu yang
dibutuhkan industri dalam melakukan pemesanan akan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Lead Time Pemesanan Bahan Baku Produksi Pupuk Organik Bersubsidi
pada Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
Nama Bahan Baku Lead Time (hari)
Kotoran Ayam 4
Kotoran Sapi 4
Blotong 4
Filler 4
Mixtro 7
Sumber: Data Primer (2017)
Berdasarkan Tabel 12 tersebut, dapat dikatakan bahwa rata-rata Industri
Pupuk Organik Bersubsidi menerima bahan baku dari proses pemesanan adalah 4
hari sekali yaitu pada bahan baku kotoran ayam, kotoran sapi, blotong dan filler.
Berdasarkan hal tersebut, maka banyaknya bahan baku yang datang untuk proses
produksi tersedia pada setiap minggu. Selain itu, terdapat bahan baku mixtro yang
memiliki waktu Lead Time paling lama yaitu 7 hari atau terhitung selama satu
minggu. Hal tersebut disebabkan karena bahan baku mixtro dapat dipesan dari PT.
Petrokimia Gresik yang berada di Kabupaten Gresik. Jika dibandingkan dengan
bahan baku lainnya, bahan baku mixtro berasal dari lokasi yang paling jauh,
57
sehingga jarak pemesanan dengan kedatangan bahan baku membutuhkan waktu
yang paling lama.
5.4 Teknik Alternatif Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Teknik alternatif pengendalian persediaan bahan baku dapat diketahui,
setelah penentuan ukuran lot size pada masing-masing teknik Material
Requirement Planning. Teknik alternatif pengendalian persediaan bahan baku
dilakukan untuk mengetahui persediaan optimal yang dilakukan dengan
perhitungan biaya total pada masing-masing teknik melalui penjumlahan biaya
pesan, simpan, dan beli. Biaya total pada masing-masing teknik tersebut
kemudian dilakukan perbandingan untuk mengetahui biaya persediaan optimal
yang digunakan sebagai teknik alternatif pengendalian persediaan bahan baku.
Perbandingan biaya total masing-masing teknik pada masing-masing bahan baku
ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Perbandingan Total Biaya Persediaan Masing-Masing Teknik
Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Teknik Economic Order Quantity
Bahan Baku Biaya Pesan
(Rp)
Biaya Simpan
(Rp)
Biaya Beli
(Rp)
Total
(Rp)
Kotoran Ayam 73.350 3.632.276 735.922.018 739.627.644
Kotoran Sapi 53.427 2.475.017 364.548.177 367.076.621
Blotong 20.579 3.971.392 129.092.500 133.084.472
Filler 14.247 658.889 103.158.289 103.831.426
Mixtro 34.299 1.610.837 521.265.383 522.910.520
Total 1.866.530.682
Teknik Part Periode Balance
Kotoran Ayam 195.600 2.103.639 734.374.644 736.673.883
Kotoran Sapi 116.568 914.558 358.954.008 359.985.134
Blotong 41.158 3.584.862 124.143.210 127.769.230
Filler 36.409 252.722 90.645.095 90.934.226
Mixtro 262.959 189.741 499.920.000 500.372.700
Total 1.815.735.174
Metode Industri Pupuk Organik (Konvensional)
Kotoran Ayam 383.050 10.427.659 930.259.626 941.070.335
Kotoran Sapi 228.279 6.440.284 432.793.578 439.462.141
Blotong 3.166 15.282.701 180.000.000 195.285.867
Filler 74.401 293.794 93.812.584 94.180.779
Mixtro 137.196 1.267.329 569.970.000 571.374.525
Total 2.241.373.647
Sumber: Data olah primer (2017)
58
Berdasarkan dari tabel 13 tersebut, total biaya persediaan yang tertinggi
merupakan total biaya persediaan dengan metode yang dilakukan oleh Industri
Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang yaitu sebesar Rp 2.241.373.647.
Sedangkan total biaya persediaan terendah merupakan teknik Part Periode
Balance (PPB) yaitu Rp 1.815.735.174. Pada teknik Economic Order Quantity
merupakan teknik yang memiliki total biaya persediaan sedang yaitu Rp
1.866.530.682, artinya teknik EOQ memiliki biaya yang lebih tinggi dibandingkan
dengan teknik PPB, namun memiliki total biaya persediaan yang lebih rendah
dibandingkan dengan metode yang dilakukan oleh Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang.
Alternatif teknik yang dapat digunakan untuk Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang untuk mengoptimalkan pengendalian persediaan
bahan baku adalah dengan menggunakan teknik Part Periode Balance (PPB),
dimana teknik PPB memiliki total biaya persediaan paling rendah dibandingkan
dengan teknik EOQ maupun metode yang digunakan oleh Industri Pupuk Organik
Bersubsidi di Kabupaten Malang. Ristono (2013) menyatakan bahwa persediaan
bahan baku yang seimbang dengan kebutuhan dapat menekan biaya persediaan,
sehingga dapat mengoptimalkan pengendalian persediaan bahan baku. Pada
teknik PBB penentuan lot dilakukan dengan menyeimbangkan biaya pesan dan
biaya simpan, dimana jumlah dan waktu pemesanan dapat bervariasi. Hal tersebut
sesuai dengan kondisi Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang
yang melakukan pengendalian persediaan dengan jumlah dan waktu pemesanan
yang bervariasi.
Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan Soleha (2015) juga
menyatakan bahwa teknik PPB menghasilkan biaya paling rendah dibandingkan
dengan biaya persediaan yang diterapkan oleh perusahaan, karena teknik PPB
memberikan beban pada biaya simpan dan biaya pesan yang seimbang. Selain itu,
hal tersebut dikarenakan akumulasi persediaan yang mendekati nilai EPP
merupakan lot yang dapat memperkecil biaya persediaan (Herjanto, 2008).
Adapun dari penelitian Ummiroh (2013), yang mengatakan karena teknik PPB
mempertimbangkan kuantitas pembelian yang dapat menyeimbangkan biaya
pemesanan dan biaya penyimpanan.
59
Teknik PPB dan EOQ merupakan teknik yang termasuk kedalam metode
Material Requirement Planning (MRP), sehingga dihasilkan bahwa metode
Material Requirement Planning (MRP) lebih optimal dari metode konvensional
yang dilakukan Industri Pupuk Organik Bersubsidi di Kabupaten Malang dalam
pengendalian persediaan bahan baku produksi Pupuk Organik. Berdasarkan hal
tersebut, maka hipotesis penelitian dapat diterima, dimana pengendalian
persediaan bahan baku yang dilakukan oleh Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang belum optimal karena memiliki biaya persediaan paling besar.
Hal tersebut sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan Soleha (2015),
yang menghasilkan bahwa pengendalian persediaan bahan baku dengan metode
Material Requirement Planning (MRP) akan lebih optimal. Penelitian yang
dilakukan oleh Rosidah (2015), juga menyatakan bahwa metode MRP akan
membantu perusahaan dalam menentukan ukuran persediaan yang optimal.
60
VI. PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1. Sistem pengendalian persediaan bahan baku pupuk organik bersubsidi di
Kabupaten Malang didasarkan pada rencana produksi yang merupakan kontrak
antara Industri Pupuk Organik dengan PT. Petrokimia Gresik sesuai dengan
kemampuan masing-masing Industri Pupuk Organik di Kabupaten Malang.
Rencana Produksi didasarkan pada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
(RDKK) yang ditetapkan oleh pemerintah, kemudian diserahkan kepada
produsen pupuk untuk dilakukan produksi dan distribusi. Adapun bahan baku
yang terdiri dari kotoran ayam, kotoran sapi, blotong, filler dan mixtro
dilakukan pemesanan dengan jumlah dan waktu yang bervariasi sesuai
kedatangan dari pihak Supplier.
2. Sistem pengendalian persediaan bahan baku dengan metode Material
Requirement Planning dimulai dari perhitungan kebutuhan kotor yang
didapatkan dari perhitungan jadwal induk produksi dan bill of material.
Kemudian menghitung kebutuhan bersih, yang didapat dari selisih kebutuhan
kotor dengan persediaan di tangan pada setiap periode produksi. Adapun
penentuan lot size atau ukuran pemesanan yaitu dengan teknik lot size yang
digunakan adalah Economic Order Quantity (EOQ) sebanyak 295.195 Kg
kotoran ayam, 225.447 Kg Kotoran Sapi, 110.335 Kg Blotong, 68.635 Kg filler,
dan 32.167 Kg mixtro secara konstan dan dengan Part Peiode Balance (PPB)
rata-rata adalah 106.342 Kg kotoran ayam, 97.946 Kg Kotoran Sapi, 86.211 Kg
Blotong, 24.674 Kg filler, dan 2.898 Kg mixtro yang bervariasi sesuai dengan
kebutuhan bahan baku.
3. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pengendalian persediaan bahan baku
industri pupuk organik di Kabupaten Malang lebih optimal menggunakan
teknik Part Peiode Balance (PPB) karena memiliki total biaya persediaan
paling rendah yaitu Rp 1.815.735.174, dibandingkan teknik Economic Order
Quantity (EOQ) maupun industri pupuk organik di Kabupaten Malang. Teknik
Part Peiode Balance (PPB) merupakan salah satu teknik pada metode Material
Requirement Planning, maka metode Material Requirement Planning lebih
optimal dari metode industri pupuk organik di Kabupaten Malang.
61
6.2 Saran
1. Berdasarkan hasil observasi, sebaiknya Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang memiliki sistem atau manajemen terstruktur yang mengatur
pengendalian persediaan bahan baku, sehingga Industri dapat mengetahui
kapan dan berapa jumlah bahan baku yang harus tersedia untuk produksi pupuk
organik.
2. Berdasarkan hasil analisis, sebaiknya Industri Pupuk Organik Bersubsidi di
Kabupaten Malang menentukan jumlah dan waktu pemesanan yang sesuai
dengan kebutuhan bahan baku seperti metode Material Requirement Planning,
sehingga terhindar dari adanya risiko kekurangan maupun kelebihan bahan
baku.
3. Penelitian yang telah dilakukan tidak terlepas adanya dari kekurangan,
sehingga bagi penelitian berikutnya menggunakan variabel persediaan pada
bahan lainnya seperti persediaan barang jadi, barang proses atau maintance
yang dapat dilakukan analisis sesuai dengan konsep MRP.
62
DAFTAR PUSTAKA
Alfiah. 2011. Analisis Manajemen Persediaan Bahan Baku Dan Bahan Penolong
Dengan Metode Economical Order Quantity (EOQ) Pada PT. Sukorejo
Indah Textile Batang. (Skripsi). Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri
Semarang. Semarang.
Amirin TM. 2011. Sampel, sampling, dan teknik pengambilan sampel I
Pengambilan Sampel dari Populasi Terhingga. http://
tatangmanguny.wordpress.com. (Online). Diakses pada 26 Februari 2017.
Amulyono S. 2011. Analisis Perencanaan dan Pengendalian Pengadaan Bahan
Baku dengan Material Requirement Planning (MRP) dalam Upaya
Meminimumkan Biaya Persediaan. Material Requirement Planning
(MRP).
Andini, Slamet. 2016. Analisis Optimasi Persediaan Bahan Baku Dengan
Menggunakan Metode Economic Order Quantity Pada Cv. Tenun/Atbm
Rimatex Kabupaten Pemalang. Management Analysis Journal Vol. 5 (2) :
58-63.
Arisandi, dkk. 2016. Efektivitas Distribusi Subsidi Pupuk Organik dan
Dampaknya terhadap Pendapatan Usahatani Padi Sawah di Subak
Sungsang, Desa Tibubiu, Kabupaten Tabanan. E-Jurnal Agribisnis dan
Agrowisata. Vol 5 (1) : Hal. 1-10.
Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia. 2017. Supply and Demand 2007-2016 :
Statistic APPI. http://www.appi.or.id/?statistic. (Online). Diakses pada 20
Januari 2017.
Assauri S. 2004. Manajemen Produksi dan Operasi. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Badan Pelatihan dan Penyuluhan Pertanian. 2015. Pembuatan Pupuk Organik:
Pelatihan Teknis Budidaya Padi bagi Penyuluh Pertanian dan Babinsa.
Pusat Pelatihan Pertanian.
Baharuddin MH. 2016. Analisis Penerapan Material Requirement Planning dalam
perencanaan dan Pengendalian Persediaan Bahan Baku Produk Coklat
Apel (Studi Kasus pada Agroindustri cokelat apel di CV. Orenthesa
Yurisma Corporation, Malang- Jawa Timur). (Skripsi). Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Bappeda Jatim. 2011. Pemda Dimintai Dorong Petani Pakai Pupuk Organik.
http://bappeda.jatimprov.go.id/. (Online). Diakses pada 09 Februari 2017.
Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2014. Petunjuk Pelaksanaan dan Penyusunan
Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Pupuk Bersubsidi.
Kementerian Pertanian. Jakarta
Ditjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian. 2016. Pedoman Pelaksanaan
Penyediaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Tahun Anggaran 2016.
Kementerian Pertanian. Jakarta
63
Goenadi DH. 2014. Peran Pupuk Organik dalam Membangun Ketahanan Pangan
Nasional. http://tabloidsahabatpetani.com/peran-pupuk-organik-dalam-
membangun-ketahanan-pangan-nasional/.(Online). Diakses pada 9 Juni
2016.
Handoko R, Patriadi. 2005. Evaluasi Kebijakan Subsidi Non BBM. Rajawali
Press. Jakarta.
Hartoko A. 2011. Menyusun Laporan Keuangan Untuk Usaha. Multicom.
Yogyakarta.
Heizer J, Render B. 2015. Manajemen Operasi: Manajemen Keberlangsungan dan
Rantai Pasokan. Salemba Empat. Jakarta.
Hendratmiko, Yonasfiko. 2010. Analisis Persediaan Bahan Baku Pada Industri
Kecil Menengah Mebel di Kota Kendal. Universitas Negeri Semarang.
Semarang
Herjanto E. 2008. Manajemen Operasi Edisi 3. Grasindo. Jakarta.
Indriyati R. 2007. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku dengan Metode
EOQ pada PT. Tipota Furnishing Jepara. (Skripsi). Fakultas Ekonomi.
Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Lestari AP. 2009. Pengembangan pertanian Berkelanjutan Melalui Subsitusi
Pupuk Anorganik dengan Pupuk Organik. Jurnal Argonomi Vol. 13 (1) :
38-44.
Lestari P. 2014. Analisis Permintaan Pupuk Organik Bersubsidi di Jawa Timur.
(Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Ma’Arif MS, Tanjung H. 2003. Manajemen Operasi. Jakarta: Grasindo.
Malangkab. 2016. Selayang Pandang. http://www.malangkab.go.id/. (Online).
Diakses pada 09 Februari 2017.
Manasehat R. 2014. “Pengaruh Sistem Irigasi Terhadap Usahatani Padi Sawah”.
http://respository.ipb.ac.id diakses pada tanggal 30 Mei 2015.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia. Nomor 15/M-Dag/Per/4/2013.
Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia.
Muqodam W. 2013. Dinas Peternakan Jatim Klaim Populasi Sapi di Jatim Aman.
http://www.suarasurabaya.net/. (Online). Diakses pada 09 Februari 2017.
Musnamar EI. 2003. Pupuk Organik Cair dan Padat, Pembuatan, Aplikasi.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Najata. 2013. Kelebihan dan Kekurangan Pupuk Anorganik dan Pupuk Organik.
http://farmingresearch.blogspot.co.id/2013/10/kelebihan-dan-kekurangan-
pupuk.html. (Online). Diakses pada 9 Juni 2016.
Peraturan Menteri Pertanian. Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011. Pupuk
Organik, Pupuk Hayati, dan Pembenah Tanah. Menteri Pertanian.
Petroganik. 2015. Mitra Petroganik. http://petroganik.com/mitra/. (Online).
Diakses pada 09 Februari 2017.
64
Randy. 2015. Kualitas Petroganik Menjadi Prioritas: Tabloid Sahabat Petani.
http://tabloidsahabatpetani.com/kualitas-petroganik-menjadi-prioritas-2/.
(Online). Diakses pada 09 Februari 2017.
Rangkuti F. 2004. Manajemen Persediaan: Aplikasi di Bidang Bisnis. Grafindo
Persada. Jakarta.
Ratnasari DM. 2013. Optimalisasi Persediaan Bahan Baku Lidah Buaya untuk
Pembuatan Minuman Aloe Vera di PT. Keong Nusantara Abadi (Wong
Coco) Kediri. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Ristono, A. 2013. Manajemen Persediaan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Rosidah, AA. 2015. Analisis Pengendalian Persediaan Kedelai, Minyak Goreng,
dan Kemasan menggunakan Metode Material Requirement Planning
(MRP): Study Kasus pada UKM Karya Perdana Jombang. (Skripsi).
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Rue LW, Byars LL. 2005. Management Ninth Edition. Pearson Prentice Hall.
New Jersey.
Sari SP. 2010. Pengoptimalan Persediaan Bahan Baku Kacang Tanah
Menggunakan Metode EOQ (Economic Order Quantity). (Skripsi).
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Smith JM, Skousen KF. 1992. Akuntansi Intermediate Volume Komprehensif,
Edisi Kesembilan. Erlangga. Jakarta.
Soekartawi. 2000. Pengantar Agroindustri. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Soleha W. 2015. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Keripik Nangka
dengan Metode Material Requirement Planning (MRP). (Skripsi). Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Sriratanaviriyakul et al,. 2013. Klinik Thai: Material Requirement Planning
System. Journal Information Technology Education: Dicussion Case Vol
2(7): Hal. 1-12
Stevenson WJ, Chuong SC. 2014. Manajemen Operasi Perspektif Asia: Buku 2.
Salemba Empat. Jakarta.
Sudaryanto, dkk. 2006. Pandangan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian terhadap Kinerja Kebijakan Subsidi Pupuk Selama ini dan
Perbanyakannya ke Depan. Departemen Pertanian. Bogor.
Sudirman IM. 2012. Peembuatan Pupuk Organik.
http://iinmutmainna.blogspot.co.id/2012/05/pembuatan-pupuk-
organik.html. (Online). Diakses pada 9 Juni 2016.
Tumijo, dkk. 2015. “Manajemen Persediaan Bahan Baku Pada Industri Kopi
(Bumi Mutiara) Di Kota Palu”. e-J Agrotekbis Vol. 3(5) : 668-679.
Ummiroh IR. 2013. Analisis Penerapan Material Requirement Planning (MRP)
pada Pennyellow Furniture. (Skripsi). Fakultas Pertanian. Universitas
Jember. Jember.
65
Wahyono, dkk. 2011. Membuat Pupuk Organik Granul dari Aneka Limbah. PT.
AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Wahyuningsih R. 2011. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku pada PT.
Dagsap Endura Eatore di Kawasan Industri Sentul Bogor. Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
top related