analisis morfologi dan sekuens its rdna jamur edibel...
Post on 16-Jun-2018
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
3
TINJAUAN PUSTAKA
Ektomikoriza
Mikoriza didefinisikan sebagai simbiosis mutualisme antara cendawan dan
akar tumbuhan, yang khususnya berperan dalam penyerapan dan transfer nutrisi
(Brundrett 2004). Menurut Smith & Read (1997), mikoriza dibagi ke dalam tujuh
kelompok berdasarkan tipe penetrasi hifa, perkembangan sel akar, dan spesies
tumbuhan inangnya. Ketujuh kelompok tersebut ialah mikoriza arbuskula,
mikoriza monotropoid, mikoriza arbutoid, mikoriza erikoid, mikoriza anggrek,
ektendomikoriza dan ektomikoriza. Ektomikoriza merupakan tipe mikoriza yang
dapat dibedakan dari kelompok lain karena tidak adanya penetrasi intraseluler
oleh cendawan. Menurut Smith & Read (1997) umumnya ektomikoriza
mempunyai 3 ciri struktur utama. Pertama, akarnya diselubungi oleh mantel atau
jaringan hifa. Kedua, terdapat jaring-jaring pertumbuhan hifa yang tumbuh di
dalam ruang antara sel-sel epidermis dan korteks yang disebut jala Hartig. Ketiga,
terdapat sistem hifa yang tumbuh di daerah rizosfer yang membentuk hubungan
esensial dengan tanah maupun dengan tubuh buah dari cendawan yang
membentuk ektomikoriza. Umumnya akar berektomikoriza dapat dibedakan dari
akar yang tidak bersimbiosis secara kasat mata karena memiliki bentuk yang khas
yaitu lebih pendek, menebal, dan memiliki warna yang berbeda karena
diselubungi hifa atau mantel (Brundrett et al. 1996).
A. Manfaat Ektomikoriza
Manfaat mikoriza bagi tumbuhan diantaranya ialah meningkatkan
penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat dan nitrogen dari tanah
saat laju mineralisasi tidak memenuhi kebutuhan tanaman (Smith & Read 1997)
dan menyerap lebih banyak air sehingga tumbuhan tahan terhadap kekeringan.
Selain itu, mikoriza dapat meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap serangan
patogen akar, toksisitas logam berat (Rizzo et al. 1992), serta tingkat salinitas.
Cendawan mikoriza juga dapat memacu pertumbuhan tanaman karena
menghasilkan zat-zat pemacu pertumbuhan seperti auksin, giberellin, dan
sitokinin (Smith & Read 1997). Sebaliknya, cendawan mendapat manfaat dengan
mendapatkan sumbangan karbon dan senyawa organik lainnyadari tumbuhan
4
inang. Banyak tumbuhankehutanan sangat bergantung pada cendawan
ektomikoriza dan di area tanah yang miskin hara, tumbuhan bahkan tidak dapat
hidup tanpa bersimbiosis. Akibatnya dalam manajemen hutan, cendawan
ektomikoriza merupakan komponen penting.
B. Keragaman Tumbuhan Inang
Hampir semua tumbuhan yang membentuk ektomikoriza berupa pohon
tahunan. Meski hanya sekitar 2% tumbuhan Angiosperma yang merupakan
ektomikoriza (Brundrett 2009), namun peran pentingnya sangat besar karena
tumbuhan-tumbuhan tersebut menempati sebagian besar permukaan daratan dan
mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sebagai contoh ialah Pinaceae yang tumbuh
mendominasi hutan boreal dari hemispera utara, Fagaceae yang mendominasi
hutan iklim sedang di belahan bumi utara, dan Myrtaceae di hutan iklim sedang
dan subtropis di wilayah hemispera selatan. Myrtaceae meliputi 10 genus dan
terdiri dari sekitar 1800 spesies, diantaranya ialah Eucalyptus, Melaleuca, dan
Tristaniopsis (Brundret 2008). Di hutan tropis Asia Tenggara, hutan
Dipterocarpaceae umumnya hanya membentuk ektomikoriza (Taylor &
Alexander 2005), misalnya tengkawang (Lee et al. 2008). Selain itu leguminosae
tertentu seperti Caesalpiniaceae yaitu Azfelia, Intsia, dan Eperua, tumbuhan
Mimosoideae seperti Acasia juga pernah dilaporkan membentuk ektomikoriza
(Read dan Smith 1997). Tumbuhan Angiospermae yang berbentuk semak dan
sebagian kecil herba juga sering ditemukan membentuk ektomikoriza, seperti
semak Dryas (Rosaceae), Helianthemum (Cistaceae), Polygonum viviparum, dan
Kobresia miyosuroides.
Berdasarkan ketergantungan terhadap simbiosis mikoriza, tumbuhan dibagi
ke dalam 3 kelompok, yaitu mikoriza obligat, mikoriza fakultatif, dan non
mikoriza (Brundrett et al. 1996). Tumbuhan mikoriza obligat ialah tumbuhan
yang tidak akan bertahan hidup sampai kematangan reproduktiftanpa berasosisasi
dengan cendawan mikoriza. Tumbuhan mikoriza fakultatif ialah tumbuhan yang
secara alami mendapat keuntungan darisimbiosis mikoriza hanya jika tanah atau
habitatnya kurang subur. Tumbuhan non mikoriza yang sering juga disebut
tumbuhan bukan inang mikoriza ialah tumbuhan yang sistem perakarannya secara
5
konsisten resisten terhadap kolonisasi cendawan mikoriza, setidaknya pada saat
muda dan sehat.
Tumbuhan pelawan mempunyai nama ilmiah Tristaniopsis merguensis
(Griff.) Peter G. Wilson & J.T. Waterhouse (http://data.gbif.org 2010).
Tumbuhan tersebut merupakan bagian dari divisi Magnoliophyta, kelas
Magnoliopsida, ordo Myrtales, famili Myrtaceae, dan genus Tritaniopsis. Spesies
tersebut mempunyai beberapa sinonim yaitu Tristania merguensis,
T. backhuizenni Back, T maingayi, dan T. subauriculata. Di beberapa daerah
T. merguensis memiliki nama yang berbeda-beda yaitu pelawan tudak (Belitung),
pelawan bukit (Malaysia), nyakamaung (Myanmar), dan kha nang (Thailand)
(Sosef & Prawirohatmodjo 1998). Di Indonesia, T. merguensis tumbuh di Jawa
Barat, Kalimantan, dan Kepulauan Bangka Belitung (Sosef & Prawirohatmodjo
1998). Selain di Indonesia, T. merguensis juga terdapat di Malaysia, Myanmar
dan Thailand bagian selatan. Tumbuhan Myrtaceae telah dilaporkan sebagai salah
satu simbion ektomikoriza (Lapeyrie & Chilvers 1985, Jones et al. 1998).
Simbiosis tersebut diperkirakan sangat berperan dalam kelangsungan dan
kelestarian tumbuhan pelawan di hutan yang miskin hara.
Tristaniopsis merguensis banyak dimanfaatkan masyarakat Bangka Belitung
sebagai kayu bakar, kayu tajar bagi tanaman pertanian, kayu bahan bangunan,
dan bahan pembuatan kapal. Di samping itu, nektar bunga pelawan diduga
menjadi makanan lebah penghasil madu pahit yang disebut madu pelawan (Yarli
2011). Menurut Hidayanti (2010), tumbuhan tersebut juga merupakan tumbuhan
inang dari jamur edibel ektomikoriza pelawan.
C. Keragaman Cendawan Ektomikoriza
Cendawan pembentuk ektomikoriza berjumlah sangat besar dan merupakan
kelompok cendawan yang paling penting secara ekonomi. Mayoritas cendawan
ektomikoriza merupakan Basidiomisetes dan Askomiseteses, meski sejumlah
kecil Zigomisetes juga dilaporkan membentuk ektomikoriza. Menurut Molina
et al. (1992) terdapat sekitar 5000 sampai 6000 spesies cendawan yang
membentuk ektomikoriza atau ektendomikoriza. Cendawan tersebut kebanyakan
bersifat epigeal dan hanya sekitar seperempat bagian yang bersifat hipogeal.
Semua cendawan epigeal merupakan anggota Basidiomisetes, yaitu Amanitaceae,
6
Boletaceae, Corticiaceae, Cortinariaceae, Hydnaceae, Hygroporaceae,
Russulaceae, Sclerodermataceae, Telephoraceae, dan Tricholomataceae.
Cendawan hipogeal merupakan gabungan dari Basidiomisetes, Askomiseteses,
dan Zigomisetes.
Menurut beberapa taksonom, famili Boletaceae terdiri dari beberapa genus.
Corner (1972) membagi Boletaceae di Malaysia menjadi empat genus yaitu
Boletus, Gyroporus, Heimiella, dan Strobilomyces sementara Austroboletus,
Boletellus, Ixocomus, Leccinum, Pulveroboletus, Tylopilus, dan Xerocomus
tersebar dalam sub genus yang terpisah. Pegler & Young (1981) melaporkan
klasifikasi baru cendawan kelompok Bolet berdasarkan morfologi spora yaitu
menjadi 6 familiyang terdiri dari 35 genus. Lebih lanjut Singer (1981, 1986)
menyatukan Bolet ke dalam satu famili dengan 25 genus berdasarkan pada alasan
bahwa semua karakter pada Bolet dianggap sama, meski pada prakteknya Beliau
lebih menekankan pada morfologi basidioma dibandingkan spora. Halling et al.
(2007) membagi Bolet kedalam 31 genus yang terbagi dalam 4 famili yaitu
Boletaceae, Boletinellaceae, Gyroporaceae, dan Suillaceae. Genus tersebut ialah
Afroboletus, Aureoboletus, Austroboletus, Boletellus, Boletochaete, Boletinellus,
Boletus (termasuk Xerocomus), Bothia, Chalciporus, Fistulinella (termasuk
Mucilopilus), Gyrodon, Gyroporus, Heimioporus, Leccinellum, Leccinum,
Paragyrodon, Phlebopus, Phylloboletellus, Phylloporus, Porphyrellus,
Pseudoboletus, Pulveroboletus, Retiboletus, Rubinoboletus, Sinoboletus,
Strobilomyces, Suillus, Tuboseta (termasuk Setogyroporus), Tylopilus,
Veloporphyrellus, dan Xanthoconium.
Menurut Corner (1972), secara makroskopik terdapat kemiripan yang sangat
tinggi antara Boletaceae dan Xerocomaceae. Meski demikian, terdapat
perbedaan utama yang membedakan kedua famili tersebut, diantaranya ialah
bentuk dan pelekatan himenofora, yaitu pada Boletaceae selalu tubulat, adnatus-
bebas, umumnya sinuato-adnat, tidak pernah decurrent. Sementara
Xerocomaceae selain tubulat, himenoforanya dapat juga lamelat dan decurrent.
Di samping itu, pori Boletaceae berbentuk bulat ataupun bersiku dengan ukuran
yang kecil (-0.5 cm), sedangkan pori Xerocomaceae umumnya bersiku dengan
ukuran sedang sampai besar (0.5-1.5 cm) (Corner 1972). Ciri khas yang lain dari
7
Boletaceae ialah adanya kandungan gelatin yang sangat tinggi pada trama
tabungnya, sedangkan pada Xerocomaceae kandungan gelatinnya lebih rendah
(Corner 1972). Menurut Pegler (1986), spora Boletaceae dapat memiliki
permukaan yang halus atau berornamen. Spora yang halus digolongkan ke dalam
genus Pulveroboletus, Leccinum atau Boletus, sedangkan spora yang berornamen
retikulat hanya dimiliki oleh genus Heimioporus [Horak]. Menurut Brundrett et
al. (1996), spora retikulat dimiliki oleh dua genus, yaitu Strobilomyces dan
Heimioporus. Jika keseluruhan spora berornamen, maka genusnya ialah
Heimioporus, sedangkan jika memiliki pola adaxial yang tidak berjala, maka
genusnya ialah Strobilomyces.
Cendawan pembentuk mikoriza umumnya mempunyai kisaran inang yang
luas. Artinya cendawan tersebut dapat membentuk mikoriza dengan banyak
spesies tumbuhan. Meski demikian ada juga cendawan yang mempunyai kisaran
inang yang sempit atau bersifat spesifik. Sebagian kecil cendawan bersifat
spesifik genus, sebagian lagi bersifat spesifik famili, dan sebagian lain ada yang
bersifat terbatas pada Gimnospermaee saja (Smith & Read 1997). Contoh
cendawan dengan kisaran inang yang luas diantaranya ialah Amanita muscaria,
Cenococcum geophyllum, Hebeloma crustuliniforme, Laccaria laccata, Pisolithus
tinctorius, dan Telephora terrestris, yang tersebar luas di dunia pada kisaran
tumbuhan yang sangat luas. Sementara itu, sistem akar individu tumbuhan dapat
dikolonisasi oleh beberapa spesies cendawan, misalnya pada tumbuhan
Eucalyptus, Pseudotsuga, dan Pinus.
D. Heimioporus
Menurut Corner (1972), Heimella [Boedijn] atau Heimioporus [Horak]
merupakan spesies dari famili Boletaceae yang memiliki spora retikulat atau
berjala, sama dengan Strobilomyces. Perbedaannya terletak pada sporanya yang
berwarna cokelat zaitun yang tidak segelap warna spora Strobilomyces, dengan
eksospora yang tidak berwarna dan endospora berjala yang berwarna, serta tidak
mempunyai pola adaksial. Spora yang berjala inilah yang membedakannya
dengan spora Boletus yang umumnya halus. Dibandingkan dengan
Strobilomyces, Heimioporus berbeda dalam beberapa hal, yaitu: warna daging
tubuh buah yang tidak berubah menjadi kemerahan atau kehitaman saat terpapar
8
udara, tudung yang bersifat rata tomentosus atau mengkilat (tidak pecah-pecah),
dan struktur trama tabung yang bersifat boletoid sejati. Hampir pada semua
anggota spesiesnya mempunyai tangkai yang panjang (Corner 1972). Menurut
Singer (1986) Heimiosporus retisporus termasuk ke dalam genus Boletellus
section Retisporus, meski sporanya berjala dan trama tabungnya sangat boletoid
berbeda dengan karakter Boletellus.
Gambar 1 Spora beberapa spesiesHeimioporus. H. betula (A), H. fruticicola (B),
H. ivory (C), H. japonicus (D), H. retisporus (E), H. rubropunctus (F)
(www.mycobank.com)
Salah satu ciri utama yang membedakan antara spesies Heimioporus dari
genus lainnya ialah bentuk dan ornamentasi sporanya. Mungkin inilah yang
menyebabkan genus tersebut bertambah jumlahnya karena mengakomodir
beberapa jamur yang semula digolongkan ke dalam Boletus, Boletellus,
Austroboletus, Porphyrellus, dan Strobilomyces. Saat ini di Mycobank terdapat
18 spesies Heimioporus yang terdaftar dengan tiga macam tipe perhiasan spora
yaitu punctat, punctat retikulat, dan alveolat retikulat (Gambar 2). Meski
demikian menurut Halling & Fechner (2011), spesies yang sudah diakui hanya 10
spesies.
Heimioporus merupakan jamur pembentuk ektomikoriza yang diantaranya
bersimbiosis dengan tumbuhan Fagaceae, Dipterocarpaceae dan Myrtaceae
Halling et al. (2007). Sebagai contoh H. fruticicola ditemukan bersimbiosis
dengan Allocasuarina littoralis, Eucalyptus camaldulensis, Eucalyptus sp.,
Acacia sp. dan Hibbertia riparia. Heimioporus japonicus juga dilaporkan
membentuk simbiosis dengan tumbuhan pinus dan ek di Jepang, serta dengan
Melaleuca, Allocasuarina, Eucalyptus dan Leptospermium di Australia (Halling &
D
A
C
A
B
A
A
E
A
F
A
E
A
9
Fechner 2011). Selain kedua negara tersebut, genus ini tersebar di berbagai
belahan dunia, yaitu di daerah timur Amerika Utara, Asia Timur, Asia Tenggara,
Mexico, dan Belize Costa Rica. Di Asia, jamur ini juga dilaporkan ditemukan di
Cina, Malaysia (Corner 1972), Myanmar, Singapura, dan Thailand (Chantorn
et al.2007). Boedijn (1951) telah mendeskripsikan spesies lainnya yaitu
H. retisporus dari Jawa.
Jamur pelawan adalah sejenis jamur epigeal yang ditemukan di hutan
Pelawan, Bangka Tengah. Jamur tersebut muncul setahun sekali sekitar bulan
Oktober. Kemunculan jamur pelawan biasanya diawali dengan banyaknya petir
pada akhir musim panas yang diikuti oleh hujan lebat selama berhari-hari.
Penduduk Bangka Tengah banyak memburu jamur ini karena memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Selain memiliki nilai ekonomi penting, jamur pelawan
mempunyai nilai ekologis yang signifikan karena menentukan keberhasilan
pertumbuhan pohon pelawan (T. merguensis) di alam (Hidayanti 2010). Sintesis
ulang simbiosis ektomikoriza antara jamur pelawan dan pohon pelawan telah
berhasil dilakukan menggunakan inokulan alami. Identifikasi morfologis tubuh
buah dan spora jamur pelawan telah dilakukan oleh Hidayanti (2010), dan
hasilnya menunjukkan bahwa jamur tersebut termasuk ke dalam genus Boletus.
Ciri jamur tersebut ialah tudung dan tangkainya berwarna merah, bagian bawah
tudung berpori yang berwarna kuning, dengan spora yang berbentuk fusiformis.
Identifikasi Jamur Ektomikoriza
A. Metode Identifikasi Jamur Ektomikoriza
Identifikasi dapat dilakukan secara morfologi, biokimia, dan molekuler.
Secara morfologi, identifikasi dilakukan dengan memperhatikan ciri-ciri tubuh
buah, secara biokimia berdasarkan kemampuan metabolisme atau enzimatik, dan
secara molekular berdasarkan susunan bahan penyusun genetika suatu makhluk
hidup. Karakter yang diamati secara morfologi diantaranya ialah ukuran, bentuk,
warna, dan tekstur permukaan tudung, tangkai, pori atau himenium, daging, spora,
trama, sistidium, serta basidium (Brundrett et al. 1996, Largent et al. 1978).
Secara biokimia karakter yang diamati diantaranya ialah perubahan warna pada
saat terpapar udara, terbentuknya reaksi setelah diberi larutan tertentu misalnya
10
Melzer’s, atau terbentuknya zat pati atau gelatin pada saat direndam dengan
larutan FAA, dan sebagainya. Secara molekular umumnya ciri yang diamati ialah
urutan sekuen basa pada DNA secara terperinci maupun dalam bentuk mini satelit
dan mikrosatelit (Grubisha et al. 2005).
Karakter morfologi mempunyai kelemahan yaitu hanya memperlihatkan
sifat pewarisan dominan dan resesif, tingkat polimorfismenya sedikit dan sangat
dipengaruhi oleh lingkungan. Akibatnya individu yang mempunyai genotipe
yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang berbeda, dan yang memiliki
genotipe yang sama dapat menunjukkan fenotipe yang sama jika lingkungannya
berbeda. Kemiripan pada fenotipe belum tentu menunjukkan kemiripan pada
tingkat DNA (Tanskley 1983). Metode morfologi dan molekular menyediakan
pendekatan yang saling melengkapi untuk menganalisis struktur komunitas
ektomikoriza. Idealnya kedua metode tersebut diaplikasikan secara bersamaan
untuk menyediakan potensi verifikasi hasil yang lebih memuaskan. Sekitar 93%
mikoriza teridentifikasi sama dengan kedua metode tersebut (Sakakibara et al.
2002).
Secara molekuler, umumnya identifikasi cendawan ektomikoriza dilakukan
berdasarkan dua metode utama, yaitu metode sekuensing (Landeweert et al. 2003)
dan penggunaan enzim restriksi. Metode restriksi biasanya digunakan untuk
analisis komunitas, sedangkan sekuensing dilakukan untuk analisis individu.
Sekuensing dilakukan untuk merunut susunan basa nukleotida dari suatu gen
secara terperinci. Sementara itu, enzim restriksi digunakan untuk membedakan
potongan-potongan DNA berdasarkan situs restriksi yang terdapat pada DNA
cendawan. Perbedaan situs restriksi yang terdapat pada urutan DNA
menyebabkan hasil potongan yang unik untuk spesies-spesies yang berbeda.
Metode restriksi yang banyak digunakan untuk ektomikoriza ialah restriction
fragment length polymorpism (RFLP) (Gardes et al. 1991). Beberapa metode
lain telah dilakukan yaitu LH-PCR (Ranjard et al. 2001), T-RFLP (Burke et al.
2006), dan DGGE (Landeweert et al. 2005). Metode-metode tersebut merupakan
metode yang cukup akurat untuk membandingkan potongan-potongan yang
mengandung sekuens nukleotida spesifik. Pada RFLP, DNA dipotong dengan
enzim restriksi kemudian potongannya dipisahkan dengan elektroforesis. Namun
11
RFLP mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat membedakan dua fragmen yang
berukuran sama tetapi mempunyai susunan nukleotida yang berbeda. Dengan
demikian metode sekuensing DNA dianggap lebih dapat diandalkan.
Perkembangan PCR berbasis DNA dan primer spesifik takson (Mullis &
Faloona 1987, Micklos et al. 2003) telah mempermudah studi taksonomi
cendawan. DNA ribosom (rDNA) merupakan daerah penyandi RNA dan daerah
sekitarnya. Daerah tersebut, terutama internal transcribed spacer (ITS)
merupakan salah satu daerah yang paling umum digunakan untuk penanda
molekular cendawan (Bruns & Gardes1993, Sanchez-Ballesteros et al. 2000).
Daerah ITS bersifat konservatif, memiliki variabilitas yang sangat tinggi yang
spesifik takson, dan mempunyai jumlah ulangan yang tinggi. Konfirmasi
simbiosis mikoriza B. edulis dengan membandingkan sekuens ITS rDNA dari
mikoriza dan tubuh buahnya telah dilakukan oleh Agueda et al. (2006).
B. Daerah ITS rDNA
DNA ribosom (rDNA) merupakan DNA inti yang menyandikan DNA
ribosom. Ribosom merupakan makromolekul intra sel yang menghasilkan protein
atau rantai-rantai polipeptida. Ribosom sendiri terdiri dari protein dan rRNA.
DNA ribosom dan pemisahnya terdapat dalam suatu kluster gen (biasanya 8-12
kb) yang berulang beberapa kali. Pada sel tanaman tingkat tinggi, setiap genom
inti haploid mengandung 1.000 sampai 10.000 salinan rDNA yang tersusun secara
tandem pada satu atau beberapa lokasi kromosom (Micklos et al. 2003).
Gambar 2 Sekuen DNA ribosom
Unit dasar DNA ribosom terdiri dari gen-gen untuk sub unit ribosom kecil
(18S), sub unit 5.8S, dan sub unit besar (28S) (Gambar 2). Ketiga gen tersebut
12
dipisahkan oleh dua daerah ITS (internally transcribed spacer), yang panjangnya
beberapa ratus pasang basa. Daerah ITS1 terletak antara daerah 18S dengan
5.8S, dan ITS2 berada di antara 5.8S dengan 28S. Daerah yang memisahkan unit
transkripsi dari rDNA berulang bersifat non transkrip dan disebut IGS (intergenic
spacer). Pada banyak spesies cendawan, terdapat pula sub unit 5S (Hillis &
Dixon 1991). Beberapa situs restriksi terkonservasi di dalam rDNA cendawan,
sehingga dapat memudahkan dalam proses pengklonanan (Binder & Hibbett
2006).
Gen-gen sub unit mempunyai domain yang terkonservasi maupun variabel,
yang dapat digunakan untuk perbandingan genus. Daerah pemisah yang dianggap
lebih beragam dapat digunakan sebagai pembanding spesies, bahkan pada
beberapa kasus sebagai pembanding bentuk patogenik spesifik. Daerah ITS lebih
beragam dibandingkan daerah penyandi, sehingga bermanfaat untuk
membandingkan hubungan antar spesies dan genus yang berkerabat dekat.
Banyaknya jumlah ulangan kebanyakan sekuens rDNA per genom, dan pola
evolusi bersamaan yang terjadi antara unit yang berulang menjadikan kluster
tersebut sebagai penanda molekular yang baik yang memberi kemudahan dalam
analisis rDNA dengan metodologi sekuensing RNA secara langsung, sekuensing
DNA (baik dengan kloning maupun amplifikasi), maupun dengan restriksi (Hillis
& Dixon 1991).
Morfotipe Akar Ektomikoriza
Ektomikoriza terbentuk ketika akar inang dan cendawan yang sesuai
tumbuh dalam hubungan yang erat dan kondisi lingkungan yang mendukung.
Urutan terbentuknya simbiosis ektomikoriza secara singkat diawali oleh
terjadinya kontak, pengenalan dan pelekatan hifa pada sel epidermis dekat ujung
akar lateral muda yang sedang aktif tumbuh. Selanjutnya, miselia berproliferasi
pada permukaan akar dan berdiferensiasi membentuk mantel. Hifa selanjutnya
menembus antara sel-sel epidermis (dalam kebanyakan Angiospermae) atau ke
ruang antar sel-sel korteks (dalam Gymnospermae) untuk membentuk jala Hartig
berlabirin (Agerer 1991). Respon tumbuhan inang terhadap kolonisasi cendawan
13
dapat berupa produksi polifenol di dalam sel maupun deposisi metabolit sekunder
di dalam dinding sel.
Sebagai akibat waktu yang diperlukan untuk pembentukan simbiosis
mikoriza, daerah mikoriza aktif terbentuk beberapa mili meter di belakang ujung
akar. Akan tetapi hifa jala Hartig mengalami pematangan pada daerah yang lebih
tua, yang lebih jauh dari ujung akar (Massicotte et al. 1987). Akibatnya, aktivitas
jala Hartig tergantung pada usia akar dan pertumbuhannya. Dalam akar yang
lebih tua, mantel biasanya masih ada setelah simbiosis menjadi tidak aktif yang
mungkin berfungsi sebagai struktur penyimpan dan propagul.
Struktur anatomi selubung akar dan miselia yang menyelimutinya bersifat
stabil setidaknya sampai tingkat genus cendawan dan semakin banyak digunakan
untuk mempermudah karakterisasi dari ektomikoriza yang terbentuk (Agerer
1991). Bahkan, perbedaan struktur mantel dapat digunakan untuk
mengidentifikasi simbion cendawan yang terlibat jika tubuh buahnya tidak
dijumpai. Selain itu teknik sidik jari molekular untuk cendawan yang
bersimbiosis dengan ujung akar mikoriza juga memegang peranan penting dan
semakin besar dalam menentukan komposisi spesies cendawan di dalam populasi
alami (Bruns &Gardes 1993). Umumnya simbiosis ektomikoriza diketahui
berdasarkan pengamatan tubuh buah dan tumbuhan inang di lapang, dan hanya
sebagian kecil status mikorizanya yang telah diketahui. Oleh karenanya
pengamatan dengan menelusuri hubungan dari tubuh buah ke akar tumbuhan, dan
sintesis ulang mikoriza pada kondisi aksenik yang diikuti dengan sidik jari
molekular sangat disarankan.
Selain dari tubuh buahnya, cendawan ektomikoriza dapat dibedakan satu
dari mikoriza lainnya berdasarkan beberapa ciri utama struktur simbiosisnya yaitu
adanya jala Hartig, mantel, dan miselium ekstraradikal (miselium perpanjangan
akar). Jala Hartig sebagai struktur transfer nutrisi antara cendawan dan tumbuhan
inangnya, memiliki konformasi yang sama pada semua ektomikoriza, kecuali
bahwa pemanjangan penetrasi akar besifat lebih superfisial pada kebanyakan
Angiospermae dibandingkan dengan Gimnospermae. Sebaliknya, mantel hifa
mempunyai struktur diagnostik dari spesies cendawan yang membentuknya.
Perbedaan bentuk anatomi struktur tersebutdapat digunakan untuk
14
mengidentifikasi cendawan sampai tingkat genus dan spesies ketika tubuh
buahnya tidak dijumpai (Agerer 1991). Di samping itu, teknik sidik jari
molekular juga digunakan untuk mempertanyakan identitas tipe-tipe mikoriza dan
memungkinkan pertimbangan perubahan komposisi spesies cendawan dalam
populasi alami.
top related