analisis faktor produksi kopi amstirdam di …
Post on 07-Nov-2021
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ANALISIS FAKTOR PRODUKSI KOPI AMSTIRDAM DI
KECAMATAN AMPELGADING, SUMBERMANJING,
TIRTOYUDO, DAN DAMPIT, MALANG
JURNAL ILMIAH
Disusun oleh :
Naufal Hisyam Fathar Putra
175020407111020
JURUSAN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021
Analisis Faktor Produksi Kopi Amstirdam di Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan
Dampit, Malang
Naufal Hisyam Fathar Putra
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya
Email: naufalhisyam@student.ub.ac.id
ABSTRAK
Perkebunan kopi merupakan salah satu sektor penunjang perekonomian di Kabupaten Malang. Khususnya berada di
Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit, Malang yang merupakan salah satu sentral
perkebunan kopi di Kabupaten Malang. Salah satu jenis kopi yang banyak diproduksi di desa ini adalah kopi robusta.
Namun terdapat beberapa masalah pada petani kopi yaitu kurangnya pengetahuan petani kopi dalam proses produksi
dan terbatasnya fasilitas produksi membuat produktivitas tanaman kopi masi sangat rendah. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kopi arabika pada Kecamatan
Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit, Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode regresi linear berganda. Sampel dari penelitian ini adalah 83 pemilik lahan kopi di Kecamatan Ampelgading,
Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit, Malang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Luas Lahan, Tenaga Kerja,
dan Hasil Produksi berpengaruh signifikan dan positif terhadap Hasil Produksi.
Kata kunci: Produksi, Faktor produksi, Kopi robusta, Luas lahan, Tenaga kerja, Teknologi produksi.
A. PENDAHULUAN
Sektor pertanian di Indonesia masih menjadi pusat perhatian dalam rencana pembangunan nasional. Dikarenakan
pertanian merupakan sektor yang luas penyebarannya, maka tujuan yang diinginkan pemerintah yaitu meningkatkan
produksi sehingga menambah pendapatan para petani. Para petani harus dapat mengalokasikan dan memanfaatkan
berbagai faktor produksi sehingga menciptakan hasil produksi yang tinggi.
Menurut Goor (dalam Afgani dan Husain, 2018:25) perekonomian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan
perkebunan yang muncul pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), dan terutama ketika VOC bubar
dan digantikan oleh Kolonialisasi Belanda. Keberadaan perkebunan sangat penting bagi kelangsungan ekonomi
kolonial, terutama perkebunan kopi.
Menurut Rahardjo (dalam Marhaenanto, Soedibyo, dan Farid, 2015:102) Kopi adalah hasil komoditi perkebunan
yang memiliki nilai ekonomis tinggi dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya dan berperan penting sebagai
sumber devisa negara. Kopi tidak hanya berperan penting untuk devisa negara melainkan juga sebagai sumber
penghasilan satu setengah juta jiwa petani kopi di Indonesia.
Luas tanaman menghasilkan kopi dunia berdasarkan data FAO periode 2014-2018 mencapai yang luas rata-rata
10,54 juta hektar. Dari jumlah tersebut 18,29% disuport oleh Brazil dengan rata-rata luas tanaman menghasilkan
mencapai 1,93 juta hektar. Posisi kedua adalah Indonesia dengan luas tanaman menghasilkan rata-rata mencapai 1,24
juta hektar atau share sebesar 11,73%.
Gambar 1: Sentra Luas Tanaman Menghasilkan Kopi Dunia, Tahun 2014-2018
Sumber: Outlook Komoditas Perkebunan Kopi, 2020 (Diolah)
18
.29
%
11
.73
%
7.4
9%
6.2
5%
6.2
2%
6.0
3%
5.7
0%
4.0
5%
3.7
8%
3.7
6%
3.2
5%
2.6
2%
1.8
9%
1.3
7%
1.3
1% 1
6.2
6%
S H A R E
SENTRA LUAS TANAMAN MENGHASILKAN KOPIBrazilia Indonesia Colombia Ethiophia Meksiko Cote d'ivori
Vietnam India Peru Uganda Honduras Guatemala
Rep. Tansania Venezuela El Salvador Lainnya
Produsen kopi terbesar dunia pada periode 2014 hingga 2018 adalah Brazil, dengan share sebesar 31,69% dengan
rata-rata produksi mencapai 2,94 juta ton. Kedua Vietnam, dengan share sebesar 16,10% atau produksi rata-rata 1,50
juta ton, disusul Columbia dengan share 8,30% atau rata-rata produksi 771,05 ribu ton. Dengan produksi kopi rata-
rata 662,75 ribu ton per-tahun, Indonesia berada di posisi keempat terbesar produsen kopi dunia dengan kontribusi
7,13% terhadap total produksi kopi dunia.
Gambar 2: Sentra Produksi Kopi Dunia, Tahun 2014-2018
Sumber: Outlook Komoditas Perkebunan Kopi, 2020 (Diolah)
Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pemanfaatan kopi sebagai komoditas perdagangan. Tidak hanya
perdagangan dalam negeri, tetapi juga mampu bersaing di pasar internasional. Berdasarkan data International Coffee
Organization, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil kopi terbesar keempat dari berbagai negara produsen kopi
negara lain dengan total produksi hingga 10 juta karung biji kopi.
Perkembangan produksi kopi Indonesia periode 2010–2020 juga mengalami peningkatan, dengan laju pertumbuhan
rata-rata 2,24%. Peningkatan produksi kopi tertinggi pada periode tersebut terjadi pada tahun 2012 sebesar 8,22%,
dimana produksi kopi mencapai 691,163 ton atau meningkat 52,517 ton dari tahun sebelumnya sebesar 638,646 ton
kopi berasan. Pada tahun 2017 produksi kopi meningkat 8,15% dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan kopi
selama sepuluh tahun terakhir 2011-2020 meningkat lebih kecil, yaitu rata-rata 2,24% per-tahun. Produksi kopi
berdasarkan status pengusahaan didominasi oleh produksi kopi yang diusahakan dilahan perkebunan rakyat (PR) yang
mencapai share 94,77% atau mencapai rata-rata produksi 510,18 ribu ton. Produksi kopi yang berasal dari kebun milik
negara (PBN) dan kebun milik swasta relatif kecil yaitu berkontribusi 3,00% dan 2,24% atau produksi kopi berasan
rata-rata 16,13 ribu ton dan 12,03 ribu ton. Tetapi bila dilihat perkembangan rata-rata satu dekade terakhir
menunjukkan bahwa PBS melampaui PBN, yaitu rata-rata sebeszar 16,11 ribu ton PBS sedang PBN 14,05 ribu ton.
Gambar 3: Perkembangan Produksi Kopi Indonesia Menurut Status Pengusahaan, Tahun 2011-2020
Sumber: Outlook Komoditas Perkebunan Kopi, 2020 (Diolah)
31
.69
%
16
.10
%
8.3
0%
7.1
3%
4.9
2%
4.1
6%
3.4
8%
3.1
4%
2.5
4%
2.2
9%
1.8
7%
1.4
9%
1.2
4%
1.0
6%
1.0
1%
9.5
8%
S H A R E
SENTRA PRODUKSI KOPIBrazilia Vietnam Columbia Indonesia Ethiophia Honduras
India Peru Guatemala Uganda Mexico Laos
Nikaraguay China Cote d'ivori Lainnya
0
200000
400000
600000
800000
1000000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Ton
Perkembangan Produksi Kopi Indonesia Menurut Status Pengusahaan Tahun 2010-2020
Perkebunan Rakyat Perkebunan Besar Negara Perkebunan Besar Swasta Indonesia
Berdasarkan jenis kopi yang diusahakan antara tahun 2010 hingga 2020, mayoritas pekebun kopi di Indonesia
menanam kopi jenis robusta, mencapai 80,36% atau mencapai luas rata-rata 873.204 hektar, sementara kopi arabika
tahun 2010-2020 dengan luasan rata-rata 312.525 hektar dan pertumbuhan rata-rata sebesar 4,44% per-tahun. Jika
dilihat perkembangannya selama sepuluh tahun terakhir (2011-2020), nampak bahwa dominasi kopi robusta mulai
berkurang, menjadi sebesar 74,64%. Kopi arabika makin menarik bagi pekebun karena harga kopi robusta di pasar
internasional lebih tinggi dibanding kopi robusta, tahun 2017 harga rata-rata kopi arabika 3,32 USD$/kg sedang kopi
robusta sebesar 2,23 USD$/kg. USD$/kg dan tahun 2019 harga rata-rata kopi arabika 2,84 USD$/kg sedang kopi
robusta sebesar 1,68 USD$/kg Tahun 2018 harga rata-rata kopi arabika 2,94 USD$/kg sedang kopi robusta sebesar
1,88.
Gambar 4: Perkembangan Luas Areal Kopi Menurut Jenis Kopi di Indonesia,Tahun 2010–2020
Sumber: Outlook Komoditas Perkebunan Kopi, 2020 (Diolah)
Perkembangan harga kopi robusta di tingkat produsen beberapa pasar dalam negeri di Indonesia berdasarkan data
BPS tahun 2008-2019 secara umum menunjukkan trend meningkat rata-rata 4,99% per tahun yaitu harga produsen
kopi robusta pada tahun 2008 mencapai Rp. 13.722,00 per-kilogram dan tahun 2019 sebesar Rp. 22.611,00 per-
kilogram. Peningkatan harga kopi cukup signifikan pada tahun 2017 yaitu sebesar 25,18%.
Gambar 5: Perkembangan Harga Produsen Kopi Robusta Indonesia, Tahun 2008-2019
Sumber: Outlook Komoditas Perkebunan Kopi, 2020 (Diolah)
Sejak lima tahun terakhir (2015) Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang di survei oleh BPS,
membedakan konsumsi kopi rumah tangga berupa kopi bubuk dan kopi instan. Periode tahun 2009-2019, konsumsi
kopi (kopi bubuk di tingkat rumah tangga) per kapita cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2009, konsumsi
kopi per kapita sebesar 1,184 kg/kapita/tahun dan mengalami penurunan hingga 0,521 kg/kapita/tahun pada tahun
2019. Penurunan konsumsi kopi tertinggi terjadi di tahun 2019 sebesar 35,06%, dari 1,347 kg/kapita/tahun di tahun
2014 menjadi 0,521 kg/kapita/tahun ditahun 2019. Namun demikian mulai tahun 2015 data konsumsi kopi instan
mulai tersedia, nampak bahwa konsumsi kopi instan mempunyai trend yang selalu meningkat. Selama lima tahun
terakhir perkembangan konsumsi kopi instan sangat signifikan, yaitu sebesar rata-rata 9,66% per-tahun.
0
200000
400000
600000
800000
1000000
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Ha
Luas Areal
Kopi Robusta Kopi Arabika
13722 14007 14217 15672 16406 1588417510
19135 19813
24802 2530522611
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Rp
/kg
Harga Kopi
Gambar 6: Perkembangan Konsumsi Kopi Per Kapita Per Tahun, Tahun 2009–2019
Sumber: Outlook Komoditas Perkebunan Kopi, 2020 (Diolah)
Penjualan kopi ke luar negeri tercatat cukup tinggi, sehingga memberikan dampak baik pada pertumbuhan devisa.
Dari pernyataan tersebut, mengindikasikan bahwa peran kopi untuk perekonomian Indonesia cukup tinggi. Terlihat
dari berbagai aspek seperti pembiayaan pembangunan, kesempatan kerja, serta peningkatan kesejahteraan petani kopi
sendiri masih terlihat baik.
Dalam penciptaan lapangan kerja, komoditas kopi membuka lapangan kerja kepada 1.88 juta KK dan luas
kepemilikan rata-rata 0.6 hektar. Sampai saat sekarang, tanaman kopi di Indonesia masih sangat didominasi oleh
tanaman Perkebunan Rakyat dengan persentase 96% dan hanya 4% dalam bentuk Perkebunan Besar baik swasta
maupun negara. Tanaman kopi yang diusahakan didominasi oleh kopi robusta sebesar 83% sedangkan kopi arabika
17%. (Ditjenbun, 2012).
Pulau jawa termasuk penghasil komoditas kopi terbesar di antara wilayah-wilayah lain di seluruh Indonesia. Data
Direktorat Jenderal Perkebunan Jawa Timur berkontribusi sebesar 7,95% dari total produksi kopi robusta di Indonesia
dengan rata-rata produksi 35,93 ribu ton per-tahun. Kabupaten Malang merupakan produsen kopi terbesar pertama di
Jawa Timur. Produksi kopi di Kabupaten Malang mencapai urutan ke 3 di seluruh sektor perkebunan. Tanaman kopi
yang memiliki persebaran luas di wilayah Kabupaten Malang adalah Kopi Robusta dan sebagian Kopi Arabika. Tidak
semua Kecamatan Malang memiliki produktivitas utama sebagai petani kopi. Beberapa kecamatan yang sudah
terkenal kopinya antara lain: Sumbermanjing, Dampit, Tirtoyudo dan Ampelgading. Kopi di kawasan tersebut lebih
dikenal dengan istilah Kopi Amstirdam. Nama Amstirdam merupakan singkatan dari empat kecamatan tersebut yakni
Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit. Lahan yang menjadi tumbuhnya tanaman kopi di daerah
Amstirdam mengandung berbagai macam mineral yang memberikan rasa yang enak. Sejak jaman pemerintahan
Belanda, kopi di daerah Amstirdam sudah cukup terkenal kualitasnya hingga menjadi salah satu kopi terbaik di dunia.
Tabel 1: Data luas dan produksi Kopi Robusta di Kabupaten Malang (Sumbermanjing, Dampit, Tirtoyudo
dan Ampelgading) pada tahun 2018
Kecamatan
2018
Luas Tanaman (ha) Produksi
(Ton)
Produktivitas/Thn
(Kg/Ha/Th) Muda Produktif Tua Jumlah
Sumbermanjing 29 2 286 302 2 616 1 840 805
Dampit 36 2 965 372 3 373 2 387 805
Tirtoyudo - 2 524 280 2 804 2 031 805
Ampelgading 47 1 660 233 1 940 1 336 805
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2020 (Diolah)
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
2008 2010 2012 2014 2016 2018 2020
Kg/
Kap
ita/
Thn
Konsumsi Kopi
Konsumsi Kopi Bubuk Konsumsi Kopi Instan
Kopi Arabika lebih cocok ditanam di tanah gembur (atau tanah vulkanik), curah hujan merata, serta sinar matahari
cukup. Hal tersebut yang membuat Arabika menjadi kopi yang tidak mudah untuk dirawat. Selain itu, ia juga rentan
terhadap hama dan penyakit. Bahkan untuk berbagai kecamatan yang sudah terkenal dengan produktivitas kopi seperti
yang telah dipaparkan di atas juga tidak semua memproduksi Kopi Arabika contohnya di Kecamatan Dampit dan
Sumbermanjing.
Tabel 1: Data luas dan produksi Kopi Arabika di Kecamatan Malang (Sumbermanjing, Dampit, Tirtoyudo
dan Ampelgading) pada tahun 2018
Kecamatan 2018
Luas Tanaman (ha) Produksi
(Ton)
Produktivitas/Thn
(Kg/Ha/Th) Muda Produktif Tua Jumlah
Sumbermanjing - - - - - -
Dampit - - - - - -
Tirtoyudo 38 126 13 176 88 700
Ampelgading 77 104 25 206 73 700
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Malang, 2020 (Diolah)
Perdagangan kopi ini tentu tidak hanya di pasar lokal saja tetapi hingga ke pasar internasional. Kopi Robusta
Amstirdam memiliki kualitas mutu yang baik dan diakui oleh pasar dunia. Hampir setiap tahunya hasil kopi
Amstirdam di ekspor ke negara di Eropa dan Asia. Akhir-akhir ini, permintaan kopi Amstirdam di berbagai kota besar
di Indonesia juga sangat tinggi, dikarenakan kebiasaan minum kopi di Indonesia mengalami kenaikan.
Kopi amstirdam ditanam oleh petani tradisional tanpa menggunakan pupuk kimia juga tanpa pestisida dan semua
kopi ditanam dibawah pohon naungan sehingga menghasilan kopi dengan kualitas baik dan dengan aroma dan rasa
yang khas dibandingkan dengan kopi yang tumbuh di daerah lain di Indonesia. Budidaya tanaman kopi menjadi salah
satu komoditas andalan untuk meningkatkan pendapatan petani di pedesaan Kecamatan Ampelgading,
Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit. Petani menggunakan pola tanam tumpang sari dengan tanaman musiman
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanaman musiman yang banyak ditanam bersama dengan kopi adalah
tanaman pisang, cengkeh dan kelapa. Tanaman naungan yang biasa digunakan oleh petani kopi amstirdam adalah
lamtaro, mauni dan sengon. Dalam proses pra panen petani melakukan proses pembibitan, penyambungan,
pemupukan, penyulaman, pemangkasan, pewiwilan dengan bantuan dari tenaga kerja yang kebanyakan berasal dari
keluarga pemilik lahan. Pada kegiatan pasca panen petani biasanya hanya melakukan penjemuran dan pengupasan
kulit kopi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas kopi yakni luas lahan, tenaga kerja, teknologi produksi yang
digunakan. Dalam kegiatan pertanian lahan memegang peran yang penting. Lahan merupakan tempat penanaman
tanaman yang akan memproduksi yang diinginkan, lahan juga merupakan sumber media yang terpenting dalam usaha
peningkatan pendapatan petani. Lahan merupakan ruang tempat aktivitas pertanian dilaksanakan mulai dari kegiatan
pengelolaan sampai kegiatan pengumpulan atas seluruhnya di atas lahan. Jika lahan semakin luas maka kopi yang
dihasilkan juga semakin banyak. Menurut Mubyarto (2002:89) bahwa luas lahan yang banyak akan membuat
pendapatan yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Hal tersebut didukung oleh penelitian (Junaidi, 2017:93). Hasil
penelitian di atas menunjukkan bahwa variabel luas lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil produksi
kopi di Desa Bocek Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.
Pengelolaan jumlah tenaga kerja perlu diperhatikan dengan maksimal. Hal ini akan berpengaruh terhadap inefisiensi
(pemborosan) dalam bekerja. Hal ini sesuai pemaparan (Mulyadi, 2012:62) mengenai pemerhatian terhadap kualitas
tenaga kerja guna menghasilkan produksi sesuai yang diharapkan sehingga dapat meningkatkan produktivitas seusai
yang ditetapkan. Tenaga kerja memiliki peran penting dalam produksi kopi rabusta. Untuk memproses kopi yang
berkualitas, diperlukan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas. Apabila tenaga kerja dapat di didik dengan baik
maka tenaga kerja tersebut akan lebih produktif dan inovatif. Hal ini didukung dengan penelitian (Fika, 2016:55)
yang menunjukkan bahwa variabel tenaga kerja dan luas lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi
sektor pertanian Provinsi Jawa Timur.
Permasalahan yang terjadi adalah kurangnya pengetahuan petani kopi dalam proses produksi sehingga mutu biji
kopi masih rendah. baik sebagai bahan baku pada industri pengolahan kopi maupun untuk ekspor. Hal tersebut
disebabkan oleh kurangnya pendidikan melalui pelatihan-pelatihan baik non formal maupun formal tentang proses
produksi kopi. Faktor yang lain yaitu mengenai teknologi (sarana) produksi yang digunakan. Pemanfaatan teknologi
sangat diperlukan untuk menjaga kualitas kopi agar laku di pasar. Inovasi teknologi tersebut dapat merujuk pada
pengolahan perkebunan kopi, antara lain seperti: pengelolaan bibit, penggunaan pupuk dan pestisida, pemanfaatan
mesin dalam mengolah lahan, dan lainya (Hartwich dan Scheidengger, 2010:73). Penggunaan teknologi akan
memberikan dampak yang baik dalam proses produksi, hal itu dijelaskan saat menggunakan teknologi modern maka
pencapaian hasil produksi akan menjadi efektif dan efisien. Hal ini didukung dengan penelitian (Putra dan Wenegama,
2020:2360) yang menunjukkan bahwa variabel teknologi berpengaruh signifikan dan positif dalam meningkatkan
produksi kopi robusta di Desa Munduk Temu.
Produktivitas tanaman kopi di Indonesia masih sangat rendah, yakni sekitar 50% dari potensi produksinya. Hal
tersebut salah satunya disebabkan oleh kesadaran petani untuk menggunakan benih unggul juga masih rendah dan
akibat penerapan kultur teknis yang belum sesuai dengan teknologi anjuran. Permasalahan lainnya adalah terbatasnya
fasilitas produksi dan pengolahan biji kopi (misalnya mesin/peralatan: pengering, pengupas, dan sortasi) utamanya di
tingkat petani kopi rakyat.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Teori Produksi
Produksi adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia untuk menambah nilai guna sebuah benda. Penambahan
nilai guna tersebut bisa dilakukan dengan penciptaan benda baru dengan tujuan memberikan manfaat dalam kebutuhan
hidup manusia. Tak sekedar itu, produksi juga bisa bisa berupa penyimpanan, distribusi, pengangkutan, pengeceran,
pengemasan ulang, dan lainya (Millers dan Meiners, 2000:249). Menurut Rosyidi (2000:54) produksi merupakan
suatu usaha untuk menciptakan dan menambah daya guna suatu barang. Dalam proses suatu produksi, dibutuhkan
beberapa variabel seperti tenaga kerja, bahan baku, modal, serta keterampilan atau keahlian. Keempat variabel tersebut
termasuk unsur yang ada dalam produksi atau biasa disebut dengan faktor-faktor produksi.
Produksi juga dapat diartikan sebuah proses untuk merubah berbagai input menjadi output yang bisa dimanfaatkan
oleh manusia. Istilah produksi tidak hanya untuk barang saja, tetapi berlaku juga untuk jasa. Menurut sudut pandang
ekonomi pun, perbedaan antara barang dan jasa sangatlah tipis. Kedua hal tersebut sama dihasilkan melalui bentuk
modal dan tenaga kerja. Tujuan dari produksi yang dilakukan oleh produsen yaitu untuk memaksimalkan keuntungan
(Pracoyo, 2006:120)
Menurut Iswandono (2004:14) teori produksi adalah teori pilihan dari bermacam alternatif. Pilihan yang dimaksud
adalah pilihan untuk mencoba dan memaksimalkan produksi dengan biaya tertentu untuk mendapatkan keuntungan
yang sebesar-besarnya (maksimum). Hal tersebut yang harus diputuskan oleh seorang produsen dalam memproduksi
suatu barang atau jasa dalam menentukan pilihan alternatif di atas. Selain itu, menurut Sudarman (2000:100) bahwa
produksi adalah sebuah analisa tentang pengoptimalan dari pengusaha atau produsen, dalam memanfaatkan teknologi
dan mengombinasikan berbagai faktor produksi untuk mengefisienkan hasil produksi yang akan dicapai.
Setelah pembahasan yang cukup mengenai proses, maka ada pembahasan mengenai hasil dari produksi tersebut.
Hasil produksi merupakan hal terakhir dalam suatu proses produksi setelah memanfaatkan atau mengorbankan input
untuk mendapatkan suatu output berupa produk (Machfudz, 2007:101). Telah diketahui sebelumnya bahwa
terciptanya suatu hasil produksi memperlukan faktor-faktor produksi. Faktor produksi menurut Machfudz (2007:96)
adalah unsur yang dikorbankan untuk mendapatkan hasil produksi.
Fungsi Produksi Fungsi produksi adalahh hubungan atau keterkaitan antara faktor produksi yang digunakan dengan tingkat hasil
yang dicapai dalam sebuah produksi. Faktor produksi di sini biasa disebut dengan istilah input, sedangkan untuk
tingkatan hasil atau jumlah yang didapatkan adalah output. Oleh karena itu, secara sederhana fungsi produksi adalah
hubungan teknis antara input dan output dari produksi (Sukirno, 2013:193).
Diberbagai teori ekonomi, untuk menganalisis suatu faktor produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal,
dan skill, mengasumsikan unsur-unsur tersebut memiliki jumlah yang tetap. Tetapi, untuk tenaga kerja dapat
dimasumsikan sebagai faktor produksi yang jumlahnya dapat berubah-ubah. Untuk menyederhanakan hubungan
antara input dan output dari produksi dengan pemisalan input yang digunakan adalah tenaga kerja, modal dan
kekayaan alam dapat dilihat dari rumus persamaan berikut (Sukirno, 2013:195):
Q = f (K, L, R, T).
Di mana:
Q = jumlah (Output)
K = modal (Input)
L = tenaga kerja (Input)
R = kekayaan alam
T = tingkat teknologi yang digunakan
Berdasarkan persamaan di atas dapat diketahui bahwa fungsi produksi merupakan hubungan teknis antara variabel
yang dijelaskan (biasanya berupa output), dengan variabel yang menjelaskan (biasanya berupa input). Variabel yang
dijelaskan disimbolkan dengan (Q) dan variabel yang menjelaskan disimbolkan dengan (Y). Dengan kata lain, bila
dituliskan secara matematis akan menjadi seperti berikut (Soekartawi, 2003:14):
Q = f (X₁, X₂, X₃, Xn)
Di mana:
Q = jumlah produksi yang dipengaruhi oleh faktor X
X = unsur input yang digunakan untuk mempengaruhi Q
Dalam konteks produksi jangka panjang, dijelaskan oleh fungsi produksi Cobb Douglass. Fungsi ini menganggap
faktor penentu produksi yang diutamakan yaitu tenaga kerja dan modal. Fungsi produksi Cobb Douglas memiliki
pengertian yang tidak jauh beda dengan pengertian umum, bahwa fungsi produksi adalah suatu fungsi yang melibatkan
atau menghubungkan dua atau lebih variabel antara variabel Y (variabel yang dijelaskan) dan variabel X (variabel
yang menjelaskan) (Soekartawi, 2003:85). Secara matematik, fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti berikut:
𝑌 = 𝑎 𝑋₁ 𝑏2 𝑋₂ 𝑏2 𝑋₃ 𝑏3 𝑒𝑢……….. (1)
Bila fungsi Cobb Douglas dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka:
𝑌 = 𝑓(𝑋₁, 𝑋₂, … . , 𝑋𝑖, … . , 𝑋𝑛)
Logaritma dari persamaan di atas, adalah:
log 𝑌 = log 𝑎 + 𝑏₁ log 𝑥₁ + 𝑏₂ log 𝑥₂ + 𝑏₃ log 𝑥₃ + 𝑒 … … … … (2)
Keterangan:
Y = Variabel yang dijelaskan
X = Variabel yang menjelaskan
a, b = Besaran yang akan diduga
e = bilangan natural (e = 2,7182)
u = Kesalahan (disturbance term)
Menurut Soekartawi (2003:87) Persamaan (2) dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Pada
persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b₁ dan b₂ adalah tetap walaupun variabel yang terlihat telah dilogaritmakan.
Hal ini dapat dimengerti karena b₁ dan b₂ pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas X terhadap Y.
Karena penyelesaian fungsi Cobb-Douglas selalu dilogaritmakan dan diubah bentuknya menjadi linier, maka
persyaratan dalam menggunakan fungsi tersebut antara lain:
1. Tidak ada hasil pengamatan yang bernilai nol. Karena logaritma dari nol adalah suatu bilangan infinite.
2. Dalam fungsi produksi perlu diasumsikan tidak ada perbedaan tingkat teknologi pada setiap pengamatan.
Perbedaan iklim dalam fungsi produksi termasuk pada faktor kesalahan (e). Hasil pendugaan pada fungsi Cobb-
Douglas akan menghasilkan koefisien regresi. Jadi besarnya b₁ dan b₂ pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang
dilogaritmakan merupakan angka elastisitas. Jumlah dari elastisitas merupakan ukuran return to scale. Dengan
demikian, kemungkinan ada 3 alternatif, yaitu (Soekartawi, 2003:96):
1. Decreasing return to scale, bila (b₁ + b₂) < 1 adalah tambahan hasil yang semakin menurun atas skala produksi.
Kasus dimana output bertambah dengan proporsi yang lebih kecil dari pada input atau seorang petani yang
menggunakan semua inputnya sebesar dua kali dari semula menghasilkan output yang kurang dari dua kali output
semula.
2. Constant Return to Scale, bila (b₁ + b₂) = 1 adalah tambahan hasil yang konstan atas skala produksi. Bila semua
input naik dalam proporsi yang tertentu dan output yang diproduksi naik dalam proporsi yang tepat sama, jika
faktor produksi di dua kalikan maka output naik sebesar dua kalinya.
3. Increasing return to scale, bila (b₁ + b₂) >1. adalah tambahan hasil yang meningkat atas skala produksi. Kasus
dimana output bertambah dengan proporsi yang lebih besar dari pada input.
Oleh karena itu, fungsi produksi Cobb Douglas yang sering digunakan oleh para peneliti ekonomi. Hal ini
dikarenakan dengan fungsi Cobb Douglass dapat diketahui aspek-aspek secara jelas dan dapat menjelaskanya dalam
bentuk matematus. Aspek-aspek tersebut antara lain aspek produksi seperti produksi marginal (marginal product),
produksi rata-rata (average product), tingkat kemampuan batas substitusi (marginal rate of substitution), intensitas
penggunaan faktor (factor intensity), efisiensi produksi (efficiency of production) (Sudarman, 2004: 114).
Faktor Produksi
Dalam proses produksi, faktor produksi merupakan hal yang harus ada dan mutlak. Hal tersebut dikarenakan
proses produksi membutuhkan sumber daya atau bahan baku utama untuk menunjang terciptanya suatu produksi. Dari
pernyataan tersebut, dapat disimpulkan mengenai pengertian faktor produksi bahwa faktor produksi merupakan
sumber daya atau input seperti tanah, tenaga kerja, modal dan skill dengan tujuan akhir untuk menghasilkan komoditi
yang memiki nilai ekonomi. Perpaduan dari berbagai faktor produksi yang tersedia harus digunakan secara efisien,
sehingga akan menekan biaya produksi atau pengeluaran (Sukirno, 2013: 200).
Faktor produksi juga dapat diartikan sebagai pengorbanan yang dikeluarkan. Soekartawi (2003:14)
mengibaratkan dalam proses produksi suatu tanaman, maka faktor produksi dari tanaman tersebut adalah semua
pengorbanan yang diberikan pada tanaman agar tanaman tersebut dapat tumbuh dan menghasilkan. Saat faktor
produksi tanaman tersebut adalah lahan dan modal untuk membeli bibit, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja yang
efisien akan menghasilan tanaman yang baik. Dengan begitu, faktor produksi sangat menentukan hasil yang diperoleh
dari proses produksi. Pemaparan tersebut memberikan pandangan baru mengenai pengertian faktor produksi yaitu
suatu input dan korbanan produksi.
Kurva Isoquant
Kurva isoquant merupakan kurva yang menunjukkan berbagai kemungkinan kombinasi faktor-faktor produksi
yang menghasilkan tingkat produksi yang sama. Bentuk serta ciri kurva isoquant adalah analog dengan kurva
indifferens. Jadi kurva isoquant bentuknya cembung ke titik asal (tidak boleh lurus vertikal maupun horizontal), tidak
boleh berpotongan dengan isoquant yang lainnya, semakin jauh kedudukannya dari titik asal menunjukkan semakin
banyak faktor produksi yang digunakan sehingga semakin banyak produksi yang dihasilkan. Jika dalam kurva
indefferens lereng kurva menggambarkan besarnya marginal rate of substitution, maka dalam kurva isoquant
lerengnya mencerminkan laju substitusi teknis marginal (marginal rate of technical substitution). Tambahan kata
“teknis” dimaksutkan untuk menjelaskan bahwa hubungan antar faktor produksi tenaga kerja dan modal bersifat teknis
semata.
Ciri- ciri umum kurva Isoquant:
a) Memiliki kemiringan negatif.
b) Jumlah output atau hasil produk ditunjukkan dengan garis kurva yang semakin ke kanan.
c) Antara garis isoquant satu dan yang lainnya tidak pernah mengalami perpotongan.
d) Arah kurva isoquant cembung menuju titik origin atau titik asal
Gambar 7: Kurva Isoquant
Sumber: Teori Pengantar Ekonomi Mikro (Sukirno, 2013:200)
Pada Titik A terlihat jelas K dan L yang dibutuhkan untuk memproduksi output dalah K1 dan L1, pada titik B
terlihat jelas K dan L yang dibutuhkan untuk memproduksi output adalah K2 dan L2, pada titik C terlihat jelas K dan
L yang dibutuhkan untuk memproduksi output dalah K3 dan L3. Slope dari isoquant diturunkan dari fungsi produksinya
apabila Q = f (K, L) maka slope dari isoquant adalah MPL / MPK. Analisa dari slope isoquant ini sangat penting karena
menunjukkan bagaimana suatu input bisa digantikan dengan input lain sementara output tetap. Slope isoquant ini
dikenal dengan istilah MRTS (Marginal Rate of Technical Substitution) yaitu tingkat dimana tenaga kerja (L) dapat
digantikan dengan modal (K) sementara output konstan disepanjang isoquant yang sama, maka: MRTS = MPL / MPK.
Luas Lahan
Luas lahan merupakan faktor produksi yang dapat mempengaruhi jumlah produksi. Dalam pengimplementasian
dari bidang pertanian, luas lahan akan menentukan hasil atau jumlah yang akan diperoleh petani dalam proses
produksinya. Luas lahan merupakan seluruh bagian atau seluruh wilayah yang digunakan untuk menananam tanaman
yang akan diproduksi. Menurut Mubyarto (2002:89) bahwa luas lahan yang banyak akan membuat pendapatan yang
tinggi, begitu pula sebaliknya.
Luas penguasaan lahan pertanian adalah sesuatu yang penting dalam proses produksi usaha tani dan usaha
pertanian. Dalam usaha tani contohnya kepemilikan atau penguasaan lahan sempit sudah pasti kurang efisien
dibanding lahan yang luas. Semakin sempit lahan usaha, maka semakin tidak efisien usaha tani dilakukan.
Pengecualian apabila suatu usaha tani dapat jalan dengan tertib dan administrasi yang baik serta teknologi yang tepat.
Tingkat efisiensi sebenarnya terletak pada penerapan teknologi. Karena pada luas lahan yang lebih sempit, penerapan
teknologi akan menjadi cenderung berlebihan dan menjadikan usaha tidak efisien (Daniel, 2004:56). Seperti yang
diungkapkan oleh Mubyarto (2002:90), pendapatan akan semakin tinggi, dan pekerjaan menjadi lebih efisien bila luas
lahan yang dimiliki besar.
Tenaga Kerja
Menurut Mulyadi (2012:59) tenaga kerja merupakan jumlah penduduk dalam suatu wilayah yang memiliki
kontribusi dalam memperoduksi suatu barang dan jasa. Penduduk di sini merupakan penduduk yang memasuki usia
kerja yang berusia 15-64 tahun. Sedangkan menurut Rosyidi (2000:57) mendefinisikan tenaga kerja sebagai
kemampuan yang dimiliki setiap manusia untuk bisa melakukan produksi suatu barang atau jasa. Jadi berdasarkan
dua pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tenagakerja merupakan penduduk yang memasuki usia kerja, yaitu
15-64 tahun, dan mampu untuk melakukan pekerjaan dengan tujuan menghasilkan barang atau jasa unutuk
keperluan masyarakat.
Mulyadi (2012:343) menambahkan bahwa tenaga kerja merupakan pengorbanan seseorang atau karyawan baik
fisik maupun mental dalam mengolah atau memproduksi suatu produk. Berarti dalam hal ini, terdapat proses
perubahan bahan baku menjadi barang jadi. Usry dan Hammer (1996:39) juga memiliki pendapat yang sama mengenai
pernyataan Mulyadi, bahwa tenaga kerja merupakan seorang karyawan yang bertugas untuk mengubah barang baku
menjadi barang jadi. Usaha yang dikeluarkan oleh tenaga kerja tersebut, tentu merupakan biaya bagi sang pemilik
usaha produksi. Biaya dalam hal ini adalah gaji yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk tenaga kerja dengan ketentuan
gaji yang sesuai oleh ketetapan pemerintah.
Kualitas tenaga kerja dalam hal ini juga akan menentukan terciptanya produk yang baik. Hal-hal yang
mempengaruhi kualitas tenaga kerja antara lain: pendidikan, kesehatan, penghasilan (gaji), kesempatan kerja,
manajemen dan kebijaksaan pemerintah (Ravianto, 1995:16). Jika unsur-unsur di atas terdapat dimiliki oleh para
tenaga kerja, maka hasil produktivitas tenga kerja akan positif dan hasil dari produksi juga akan membaik.
Teknologi dan Produksi
Menurut salah satu ahli dari bidang pertanian, Mosher, mengartikan teknologi pertanian sebagai cara atau langkah
untuk bertani. Tujuan adanya teknologi dalam penerapan di bidang pertanian yaitu untuk menekan produktivitas tanah,
modal, dan tenaga kerja (Mubyarto, 2002:234). Begitu pun dengan pertanian kopi, teknologi saat ini juga sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas. Inovasi teknologi tersebut dapat merujuk pada pengolahan perkebunan
kopi, antara lain seperti: pengelolaan bibit, penggunaan pupuk dan pestisida, pemanfaatan mesin dalam mengolah
lahan, dan lainya (Hartwich dan Scheidengger, 2010:73)
Menurut Rosenberg (dalam Faiza dan Kristina, 2021:186-187) kombinasi pertumbuhan teknologi tinggi untuk
produksi dan penerapannya pada struktur permintaan atas ketrampilan tenaga kerja akan terjadi ketika ekonomi
berkembang. Teknologi membutuhkan lebih sedikit tenaga kerja untuk menghasilkan barang dan jasa daripada yang
seharusnya diperlukan. Teknologi baru akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi semua negara, pekerjaan, dan
upah. Sementara itu, penggunaan teknologi dibawa ke dalam proses produksi untuk meningkatkan produktivitas dan
pengendalian kualitas, serta menciptakan kemungkinan untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru. Jika dikaitkan
dengan teknologi, maka proses produksi akan membutuhkan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang relatif
tinggi, manajemen angkatan kerja, dan ketersediaan upah yang berbasis pada ilmu pengetahuan. Dengan demikian,
kualitas tenaga kerja akan mengikuti kemauan teknologi. Agar transfer teknologi benar-benar terjadi, maka tenaga
kerja dituntut untuk belajar dengan menggunakan teknologi.
Adopsi teknologi untuk pengelolaan dan konservasi sumber daya alam, seperti konservasi tanah, pengelolaan hama
terpadu, pengujian hara tanah, dan pengelolaan irigasi, dianggap terpisah dari penggunaan input konvensional seperti
pupuk pertanian dan bahan kimia. Adopsi teknologi baru akan menunjukkan perubahan signifikan dalam strategi
produksi petani. Keputusan untuk mengadopsi teknologi baru dapat dianalogikan untuk keputusan investasi. Biaya
awal termasuk pembelian peralatan baru dan mempelajari teknik terbaik untuk mengelola teknologi di pertanian
(Caswell, 2001:5)
Teknologi merupakan suatu penemuan baru yang menjadi perubahan dalam proses produksi sehingga hal tersebut
dapat mendorong fungsi produksi (Irawan, 1992:126). Penggunaan teknologi akan memberikan dampak yang baik
dalam proses produksi, hal itu dijelaskan saat menggunakan teknologi modern maka pencapaian hasil produksi akan
menjadi efektif dan efisien. Efektif dan efisien dalam pembuatan barang dan jasa ini memberikan pengertian bahwa
tercapainya hasil produksi yang baik (lebih produktif) dengan menekan biaya produksi lebih rendah. Hal ini
dikarenakan penggunaan teknologi baru memberikan suatu analisis terkait keputusan yang dapat membuat
produktivitas membaik, kualitas tenaga kerja tinggi, serta biaya produksi yang rendah.
Meningkatnya produksi pertanian merupakan akibat pemakaian teknik-teknik atau metode dalam usaha tani.
Banyaknya aspek penggunaan teknologi yang digunakan pada produksi tani mampu menghasilkan produksi yang
lebih tinggi. Memperbaiki satu atau beberapa bagian aspek dapat menyebabkan produksi meningkat. Tanpa adanya
penggunaan teknologi, produksi akan statis tidak ada kemajuan (Hanafie, 2010:145)
C. METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif. Menurut Sugiyono (2013:29), metode deskriptif merupakan suatu
penelitian tentang status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu
peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif yakni untuk membuat deskrisi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.
Penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian,
analisis data bersifat kuantitatif/statistik. (Sugiyono, 2013:13).
Lokasi dan Objek Penelitian
Lokasi penelitian terletak di Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit. Objek dari
penelitian ini adalah luas lahan, jumlah tenaga kerja, penggunaan teknologi dan hasil produksi kopi di Kecamatan
Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pemilik lahan kopi di Desa Tirtomoyo Kecamatan Ampelgading, Desa
Harjokuncaran Sumbermanjing, Desa Kepatihan Tirtoyudo, dan Desa Srimulyo Dampit.
Berdasarkan data dari Badan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan
Dampit. Terdapat 4 kelompok tani di desa Tirtomoyo, 4 kelompok tani di desa Harjokuncaran, 5 kelompok tani di
desa Kepatihan dan 6 Kelompok tani di desa Srimulyo. Dengan masing-masing kelompok terdiri atas 25 pemilik
lahan. Jumlah pemilik lahan kopi di 4 desa tersebut adalah 475 orang.
Untuk menghitung penentuaan jumlah sample maka digunakan rumus Slovin sebagai berikut (Sugiyono, 2013:86)
𝑛 = 𝑁
1 + 𝑁𝑒2
𝑛 = 475
1 + 475(0,1)2= 82,6
N : ukuran populasi
𝑒2 : tingkat kesalahan
n : ukuran sampel
Berdasarkan perhitungan rumus tersebut maka jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 83 (pembulatan dari 82,6)
pemilik lahan kopi.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu Proportionate Stratified Random Sampling.
Proportionate Stratified Random Sampling dilakukan dengan cara membagi populasi ke dalam sub populasi / strata
secara proporsional dan kemudian dilakukan secara acak (Sekaran, 2006:87). Teknik pengambilan sampel dengan
Proportionate Stratified Random Sampling dilakukan dengan mengumpulkan data jumlah pemilik lahan kopi di 4 desa
yang kemudian ditentukan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk masing-masing desa.
Menurut Natsir (2004:3) rumus untuk jumlah sampel masing-masing bagian dengan teknik Proportionate Stratified
Random Sampling adalah sebagai berikut:
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑆𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 =Jumlah subpopulasi
Jumlah populasi 𝑥 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑙𝑢𝑘𝑎𝑛
Tabel 3: Jumlah Pemilik Lahan Kopi di Desa Tirtomoyo, Harjokuncaran, Kepatihan, dan Srimulyo
Kabupaten Malang
Desa/Kecamatan Jumlah Pemilik Lahan Kopi
Tirtomoyo/Ampel Gading
Harjokuncaran/Sumbermanjing
Kepatihan/Tirtoyudo
Srimulyo/Dampit
100
100
125
150
Jumlah 475
Sumber: Badan Penyuluhan Pertanian Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit., 2020
(diolah)
Berdasarkan Tabel tersebut, maka pengambilan sampel menurut bagiannya dapat dibuat gambaran statistik
teknik penarikan sampel sebagai berikut:
Ampelgading = 100
475 𝑥 83 = 17
Sumbermanjing = 100
475 𝑥 83 = 17
Tirtoyudo = 125
475 𝑥 83 = 22
Dampit = 150
475 𝑥 83 = 27
Metode Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode analisis data kuantitatif yaitu analisis regresi linier berganda.
Penulis dalam membantu menganalisis data dibantu dengan aplikasi komputer melalui program Stata 16.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Regresi Linear Berganda
Hasil analisis regresi pada penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak komputer program Stata 16. Hasil
pengujian terhadap model regresi linear berganda terhadap variabel Luas Lahan (X1), Tenaga Kerja (X2), dan
Penggunaan Teknologi (X3) yang mempengaruhi Hasil Produksi (Y1).
Tabel 4: Hasil Regresi Linear Berganda
Variable
Independent
Coefficient Std. Error P Value
Luas Lahan 0,5158596 0,0660139 0,000
Tenaga
Kerja
0,3125652 0,1112621 0,006
Penggunaan
Teknologi
0,5993688 0,2384606 0,014
R-Squared 0,6068
Prob (F-
Static)
0,0000
Sumber : Hasil Regresi Stata 16, 2021 (Diolah)
Berdasarkan dari hasil regresi linear berganda diatas dapat disimpulkan hasil pengaruh variabel Luas Lahan (X1),
Tenaga kerja (X2), dan Penggunaan Teknologi (X3), terhadap Hasil Produksi (Y1), dalam bentuk persamaan sebagai
berikut:
Hasil Produksi = 0,4302022+ 0,5158596𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐿𝑎ℎ𝑎𝑛𝑖𝑡 + 0,3125652𝑇𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎𝑖𝑡 +
0,5993688𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑘𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡
Dari model persamaan tersebut dapat diinterprestasikan sebagai berikut:
a. Jika seluruh variabel independen dianggap memiliki nilai konstan atau memiliki nilai nol, maka besarnya Hasil
Produksi adalah sebesar 0,4302022.
b. Nilai koefisien dari regresi Luas Lahan adalah sebesar 0,5158596 yang berarti bahwa Luas Lahan dan Hasil
Produksi memiliki hubungan positif, sehingga apabila Luas Lahan mengalami peningkatan sebesar satu persen
dengan menganggap faktor lain konstan atau tetap, maka Hasil Produksi akan mengalami kenaikan sebesar
0,5158596 persen.
c. Nilai koefisien dari regresi Tenaga Kerja adalah sebesar 0,3125652 yang berarti bahwa Tenaga Kerja dan Hasil
Produksi memiliki hubungan positif, sehingga apabila Tenaga Kerja mengalami peningkatan sebesar satu persen
dengan menggap faktor lain konstan atau tetap, maka Hasil Produksi akan mengalami kenaikan sebesar
0,3125652 persen.
d. Nilai koefisien dari regresi Penggunaan Teknologi adalah sebesar 0,5993688 yang berarti bahwa Penggunaan
Teknologi dan Hasil Produksi memiliki hubungan positif, sehingga apabila pertumbuhan ekonomi mengalami
peningkatan sebesar satu persen dengan menggap faktor lain konstan atau tetap, maka Hasil Produksi akan
mengalami kenaikan sebesar 0,5993688 persen
Uji Parsial
Uji parsial atau uji t-statistik digunakan untuk menguji apakah terdapat pengaruh secara parsial atau pengaruh
tiap-tiap variabel independen terhadap variabel dependen dengan melihat nilai probabilitasnya. Dalam peneilitian ini
uji t-statistik digunakan untuk melihat pengaruh variabel Luas Lahan, Tenaga Kerja, dan Penggunaan Teknologi
terhadap Hasil Produksi.
a. Hasil t-statistik Variabel Luas Lahan
Dari hasil pengujian t-statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas pada variabel Luas Lahan sebesar 0,000.
Nilai tersebut lebih kecil dari nilai alpha sebesar 0,05 atau dengan kata lain signifikan pada tingkat 5%. Dengan
demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Luas Lahan berpengaruh signifikan terhadap Hasil Produksi.
b. Hasil t-statistik Variabel Tenaga Kerja
Dari hasil pengujian t-statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas pada variabel Tenaga Kerja sebesar 0,006.
Nilai tersebut lebih kecil dari nilai alpha sebesar 0,05 atau dengan kata lain signifikan pada tingkat 5%. Dengan
demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Tenaga Kerja berpengaruh signifikan terhadap Hasil Produksi.
c. Hasil t-statistik Variabel Penggunaan Teknologi
Dari hasil pengujian t-statistik menunjukkan bahwa nilai probabilitas pada variabel Luas Lahan sebesar 0,014.
Nilai tersebut lebih kecil dari nilai alpha sebesar 0,05 atau dengan kata lain signifikan pada tingkat 5%. Dengan
demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa Penggunaan Teknologi berpengaruh signifikan terhadap Hasil
Produksi.
Uji F
Uji simultan atau uji F-statistik digunakan untuk menguji apakah terdapat pengaruh secara simultan atau bersama–
sama pada variabel independen terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil regresi yang telah dilakukan pada Tabel
4.5 dapat dilihat nilai nilai probabilitas (F-statistik) sebesar 0,0000. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa
nilai probabilitas (F-statistik) lebih kecil dari nilai alpha sebesar 0,05 atau 5%, artinya bahwa model ini signifikan
pada taraf keyakinan sebesar 95%. Dengan hasil tersebut maka menunjukan bahwa variabel Luas Lahan, Tenaga
Kerja, dan Penggunaan Teknologi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Hasil Produksi.
Koefisien Determinasi (R²)
Nilai koefisien determinasi (R-Squared) digunakan untuk memberikan gambaran seberapa besar kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variabel dependen. Berdasarkan hasil regresi yang telah dilakukan sebelumnya pada
Tabel 4.5 dapat dilihat nilai (R-Squared) sebesar 0,6068 atau sebesar 60,68%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
variabel Luas Lahan, Tenaga Kerja, dan Penggunaan Teknologi mampu menjelaskan variabel Hasil Produksi sebesar
60,68% sedangkan sisa dari nilai (R-Squared) sebesar 0,3932 atau 39,32% dijelaskan melalui variabel lain diluar
model penelitian.
Pengaruh Luas Lahan Terhadap Hasil Produksi
Berdasarkan hasil regresi, nilai koefisien dari regresi Luas Lahan adalah sebesar 0,5158596 yang berarti bahwa
Luas Lahan dan Hasil Produksi memiliki hubungan positif, sehingga apabila Luas Lahan mengalami peningkatan
sebesar satu persen, maka Hasil Produksi akan mengalami kenaikan sebesar 0,5158596 persen. Dengan nilai
probabilitas 0,000 yang berarti lebih kecil dari nilai alpha 0,05. Pengaruh positif luas lahan terhadap hasil produksi
sesuai dengan studi penelitian empiris Junaidi, (2017:93) yang menyatakan luas lahan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap hasil produksi kopi.
Hal tersebut disebabkan oleh luas lahan merupakan salah kunci dari tercapainya produksi kopi yang maksimal.
Dengan semakin bertambahnya luas lahan pertanian kopi maka jumlah pohon yang ditanam juga semakin banyak.
Namun, bertambahnya lahan pertanian tetap harus diimbangi dengan pengelolaan lahan yang baik dan benar agar
produktivitas lahan dapat terjaga.
Pengaruh Tenaga Kerja Terhadap Hasil Produksi
Berdasarkan hasil regresi, nilai koefisien dari regresi Tenaga Kerja adalah sebesar 0,3125652 yang berarti bahwa
Tenaga Kerja dan Hasil Produksi memiliki hubungan positif, sehingga apabila Tenaga Kerja mengalami peningkatan
sebesar satu persen, maka Hasil Produksi akan mengalami kenaikan sebesar 0,3125652 persen. Dengan nilai
probabilitas 0,006 yang berarti lebih kecil dari nilai alpha 0,05. Pengaruh positif luas lahan terhadap hasil produksi
sesuai dengan studi penelitian empiris Isyariansyah, Sumarjono, dan Budiharjo (2017:9) yang menyatakan tenaga
kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil produksi kopi. Hal tersebut disebabkan tenaga kerja yang
banyak akan memberikan bantuan bagi pemilik perkebunan kopi untuk mengolah perkebunan kopi yang dimilikinya.
Selain pentingnya jumlah tenaga kerja dalam mempengaruhi produksi, kualitas dari tenaga kerja juga memiliki
peranan penting. Tenaga kerja memiliki fungsi untuk mengolah bahan baku menjadi barang jadi sehingga
membutuhkan kualitas dari tenaga kerja tersendiri. Oleh karena itu, tenaga kerja merupakan indikator faktor produksi
agar pergerakan suatu kegiatan produksi tercapai.
Hal ini menunjukkan bahwa usaha tani pertanian rakyat sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani
sendiri yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anaknya. Tenaga kerja dalam perkebunan kopi memiliki keahlian yang
berbeda-beda. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa tenaga kerja untuk mengolah kebun kopi. Mereka biasanya
membantu menebar bibit, mengankut pupuk ke kebun, membantu memanen hasil pertanian dan sebagainya. Kadang
kala usaha tani pertanian rakyat membayar tenaga kerja tambahan, misalnya dalam hal membantu memanen hasil
pertanian (memetik buah kopi)
Pengaruh Penggunaan Teknologi Terhadap Hasil Produksi
Berdasarkan hasil regresi, nilai koefisien dari regresi Penggunaan Teknologi adalah sebesar 0,5993688 yang berarti
bahwa Penggunaan Teknologi dan Hasil Produksi memiliki hubungan positif, sehingga apabila pertumbuhan ekonomi
mengalami peningkatan sebesar satu persen, maka Hasil Produksi akan mengalami kenaikan sebesar 0,5993688
persen. Dengan nilai probabilitas 0,000 yang berarti lebih kecil dari nilai alpha 0,05. Pengaruh positif penggunaan
teknologi terhadap hasil produksi sesuai dengan studi penelitian empiris Putra dan Wenegama, (2020:2360) yang
menyatakan tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap hasil produksi kopi.
Pemakaian teknik-teknik atau metode dalam usaha tani akan meningkatkan produksi pertanian. Banyaknya aspek
penggunaan teknologi yang digunakan pada produksi tani mampu menghasilkan produksi yang lebih tinggi. Hal
tersebut disebabkan Penggunaan varietas unggul pada lahan pertanian diperhatikan oleh petani, penggunaan varietas
unggul sangat berpengaruh terhadap hasil panen dikarenakan varietas unggul yang disarankan sudah diteliti untuk bisa
menghasilkan produksi kopi yang baik di daerah amstirdam. Untuk penggunaan tanaman naungan semua petani
menganggap perlu dikarenakan adanya tanaman naungan memeberikan manfaat terhadap kualitas kopi yang
dihasilkan dan juga secara ekonomi. Untuk penggunaan pupuk akan meningkatkan unsur hara dalam tanah sehingga
akan meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Penggunaan pestisida juga akan mengendalikan
serangan hama dan parasite sehingga juga akan meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman.
Penerapan Teori Cobb Douglass
Hasil Produksi = 0,4302022+ 0,5158596𝐿𝑢𝑎𝑠 𝐿𝑎ℎ𝑎𝑛𝑖𝑡 + 0,3125652𝑇𝑒𝑛𝑎𝑔𝑎 𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎𝑖𝑡 +
0,5993688𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑢𝑛𝑎𝑎𝑛 𝑇𝑒𝑘𝑛𝑜𝑙𝑜𝑔𝑖𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡
Dari persamaan di atas, b₁, b₂, dan b₃ pada fungsi produksi Cobb-Douglas yang dilogaritmakan merupakan angka
elastisitas. Elastisitas luas lahan sebesar 0,5158596, elastisitas tenaga kerja sebesar 0,3125652, dan elastisitas
penggunaan teknologi sebesar 0,5993688. Hal tersebut menunjukkan bahwa elastisitas pada setiap variabel input lebih
kecil dari pada satu. Sehingga variabel luas lahan, tenaga kerja dan penggunaan teknologi bersifat inelastis.
Untuk mengetahui kondisi return to scale dapat dilihat dari persamaan fungsi Cobb Douglas dengan cara
menjumlahkan besarnya setiap koefisien pangkat pada masing-masing variabel independen β1 = 0,5158596, β2 =
0,3125652, β3 = 0,5993688, sehingga diperoleh hasil sebesar 1,4277936. Dengan melihat hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil produksi kopi arabika amstirdam berada dalam kondisi skala output meningkat (increasing
return to scale), karena β1+ β2+ β3 > 1. Kesimpulan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan faktor
produksi luas lahan, tenaga kerja, dan penggunaan teknologi akan menghasilkan tambahan output yang lebih besar.
Tabel 5: Koefisien Variabel Independen Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit
Luas Lahan Tenaga Kerja Penggunaan Teknologi
Ampelgading 0.7955219 -0.0034162 1.523754
Sumbermanjing 0.6573618 -0.1642578 0.7466982
Tirtoyudo 0.2271821 0.7574989 1.557925
Dampit 0.2334917 0.4133556 0.306207 Sumber: Hasil Regresi Stata 16, 2021 (diolah)
Untuk mengetahui kondisi return to scale dari Kecamatan Ampelgading dapat dilihat dari Tabel 4.9 dengan cara
menjumlahkan besarnya setiap koefisien pangkat pada masing-masing variabel independen β1 = 0.7955219, β2 = -
0.0034162, β3 = 1.523754, sehingga diperoleh hasil sebesar 2.3158597. Dengan melihat hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil produksi kopi arabika amstirdam di Kecamatan Ampelgading berada dalam kondisi skala
output meningkat (increasing return to scale), karena β1+ β2+ β3 > 1.
Untuk mengetahui kondisi return to scale dari Kecamatan Sumbermanjing dapat dilihat dari Tabel 4.9 dengan cara
menjumlahkan besarnya setiap koefisien pangkat pada masing-masing variabel independen β1 = 0.6573618, β2 = -
0.1642578, β3 = 0.7466982, sehingga diperoleh hasil sebesar 1.2398022. Dengan melihat hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil produksi kopi arabika amstirdam di Kecamatan Sumbermanjing berada dalam kondisi skala
output meningkat (increasing return to scale), karena β1+ β2+ β3 > 1.
Untuk mengetahui kondisi return to scale dari Kecamatan Tirtoyudo dapat dilihat dari Tabel 4.9 dengan cara
menjumlahkan besarnya setiap koefisien pangkat pada masing-masing variabel independen β1 = 0.2271821, β2 =
0.7574989, β3 = 1.557925, sehingga diperoleh hasil sebesar 2.542606. Dengan melihat hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil produksi kopi arabika amstirdam di Kecamatan Tirtoyudo berada dalam kondisi skala output
meningkat (increasing return to scale), karena β1+ β2+ β3 > 1.
Untuk mengetahui kondisi return to scale dari Kecamatan Dampit dapat dilihat dari Tabel 4.9 dengan cara
menjumlahkan besarnya setiap koefisien pangkat pada masing-masing variabel independen β1 = 0.2334917, β2 =
0.4133556, β3 = 0.306207, sehingga diperoleh hasil sebesar 0.9530543. Dengan melihat hasil tersebut dapat
disimpulkan bahwa hasil produksi kopi arabika amstirdam di Kecamatan Dampit berada dalam kondisi skala output
menurun (decreasing return to scale), karena β1+ β2+ β3 < 1.
Rantai Pasokan
Rantai pasokan (supply chain) digunakan untuk menjelaskan sebuah proses dimana produk dihasilkan dan
disampaikan kepada konsumen dari sudut struktural. Suatu peta pasar (market map) mendefinisikan rantai nilai antara
pemasok dan pengguna akhir, yang mempertimbangkan berbagai mekanisme pembelian yang dijumpai dalam suatu
pasar, termasuk bagian yang diperankan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi. Sebuah supply chain (rantai pasokan)
merujuk kepada jaringan yang rumit dari hubungan yang mempertahankan organisasi dengan rekan bisnisnya untuk
mendapatkan sumber produksi dalam menyampaikan kepada konsumen (Kalakota, 2000:197).
Gambar 8: Peta Pasar
Fungsi Inti
Petani kopi Amstirdam pada dasarnya masih menerapkan cara berkebun kopi yang tradisional. Mereka hanya
merawat dan memanen kopi. Banyak petani kopi yang hanya mengetahui pemilahan biji kopi yang baik itu menurut
ukuran green been. Tanaman kopi mulai dapat diambil hasilnya setelah tanaman berumur sekitar 3 tahun. Buah kopi
siap dipanen apabila buah sudah matang yang ditandai dengan berwarna merah yang berarti sudah masak penuh. Buah
kopi yang di produksi kopi amstirdam hanya pada musim tertentu dan biasanya pada bulai Mei/ Juni dan berakhir
pada bulan Agustus/September. Kegiatan pasca panen yang dilakukan petani kopi amstirdam biasanya hanya sebatas
penjemuran kopi dan pengelupasan kulit kopi.
Petani kopi amstirdam mereka biasanya menggantungkan hidup dari kopi, dan budidaya aneka buah seperti pisang
dan salak. Mereka juga merawat kambing dan ayam untuk tambahan penghasilan. Tanaman salak dibudidayakan oleh
petani karena harga kopi pada tahun dahulu rendah serta produksi yang terus menurun setiap tahunnya. Merasa selalu
mengalami kerugian dengan kopi, sehingga lahan kopi dialihkan dan digantikan dengan tanaman salak. Namun,
dengan pelatihan dan penampingan yang dilakukan BPP dan Dinas Perkebunan Kabupaten Malang, membuat petani
sadar bahwa kopi robusta masih sangat potensial. Kegiatan dari petani kopi amstirdam ini sangat beragam baik
pendanaan secara swadaya dari kelompok tani maupun dari bantuan social. Biasanya akan diadakan pertemuan rutin
setiap awal bulan dengan kelompok tani dari desa mereka. Kegiatan yang unik dari petani kopi asmtirdam adalah
sambang kebun sesama anggota kelompok. Kegiatan sambang kebun merupakan kegiatan berkunjung ke kebun salah
satu anggota kelompok yang budidaya atau cara berkebun baik, sehingga hasil produksinya lebih banyak dibandingkan
anggota kelompok yang lain. Kegiatan ini bertujuan untuk belajar bersama yang nantinya akan menjadi contoh untuk
diterapkan untuk meningkatkan hasil produksi.
Kurangnya pengetahuan dan pendidikan petani membuat para petani kopi menjual hasil panennya kepada pengepul
terkadang dengan harga dibawah standar. Karena tidak mengetahui standar harga kopi dan kategori atau grade kopi.
Akibat hal tersebut, banyak pengepul yang memanfaatkan sebagai bisnis yang menguntungkan. Dengan
memanfaatkan ketidaktahuan para petani kopi terkait harga pasar kopi di pasaran. Pengepul kopi punya andil besar
dalam penentuan harga kopi. Karena keterbatasan informasi dan teknologi tentang harga pasar oleh petani sehingga
pengepul bisa menentukan harga sesukanya.
Petani kopi Amstirdam biasanya menjual hasil produksinya kepada pengepul desa, pengepul district di Dampit,
roaster local dan PT. Asal jaya. Dari hasil wawancara kepada petani didapatkan lembaga pemasaran untuk menjual
kopinya kepada CV. Sumber Agung, UD Anugrah, UD. Adi Wijaya, dan UD Murni. Kapasitas serapan dari setiap
lembaga pemasaran terutama pengepul tidak terbatas. Mereka bisa membeli berapapun jumlah kopi yang dijual oleh
petani. Pengepul desa dan district nantinya akan menjual kembali ke roasting house. Dari roasting house, kopi akan
diroasting dan dikemas menarik untuk selanjutnya dijual ke coffee shop atau ke konsumen perseorangan. Untuk biji
kopi yang dijual kepada eksportir PT. Asal Jaya biasanya petani menjual kualitas biji kopi grade rendah. Sedangkan
untuk grade kopi yang bagus akan dijual kepada pengepul district dan roaster local, dikarenakan harga yang mereka
tawarkan lebih tinggi.
Para petani kopi Amstirdam belum mendapatkan penyuluhan yang maksimal dari pemerintah. Terutama
penyuluhan yang bersifat teknis dan edukasi terkini mengenai tren kopi. Selain itu pemerintah belum memberikan
penyuluhan yang maksimal terkait standart kualitas grade kopi. Kurangnya edukasi dan penyuluhan membuat para
petani kopi tidak bisa bisa meningkatkan produktifitas maupun kualitas kopi Amstirdam. Namun, salah satu eksportir
besar yang ada di Kecamatan Dampit, yakni PT. Asal Jaya mulai pada tahun 2015 mulai memberikan pelatihan kepada
para petani kopi Amstirdam. Terutama mengenai bagaimana membantu petani agar menghasilkan biji kopi yang
berkualitas.
Kedai Kopi Amstirdam merupakan salah satu kedai kopi yang terkenal di Kota Malang yang menjual minuman
dan biji kopi Amstirdam. Kedai Kopi Amstridam merupakan salah satu kedai kopi yang langsung membeli grean been
langsung dari petani. Nantinya mereka akan meroasting sendiri dan menjual langsung ke konsumen yang ada di kota
Malang.
Fungsi Pendukung
Sejauh ini budidaya yang dilakukan oleh para petani kopi Amstirdam belum memanfaatkan secara maksimal
penggunaan teknologi. Kurangnya penyuluhan tentang budidaya kopi kepada Petani Kopi menjadi penyebabnya.
Akibat hal tersebut PT. Asal Jaya mulai melakukan penyuluhan kepada petani kopi amstirdam. Meskipun bukan
berasal dari pemerintahan, perusahaan eksportir swasta ini tetap memberikan edukasi gratis kepada para petani kopi.
Karena hal tersebut bertujuan agar hasil kopi tetap berkualitas, dengan kopi yang berkualitas pula para petani nantinya
akan bisa lebih sejahtera.
Informasi pasar menjadi konsentrasi para penyuluh. Salah satu organisasi non profit Sustainable Coffee Platform
of Indonesia (SCOPI) ikut dalam mengedukasi petani kopi amstirdam. Master Trainer dari SCOPI memberikan
edukasi tentang bagaimana mengolah kopi pasca produksi. Dengan memberikan edukasi tentang roasting dan
bagaimana cara menyajikan kopi yang enak dilidah masyarakat. Para pelaku penjual kopi di Kecamatan Dampit dan
Kota Malang, baik dalam bentuk biji maupun bubuk masih terkendala dengan info pasar yang terbatas. Promosi yang
minim membuat konsumen maupun para pedagang tidak memiliki informasi yang cukup untuk mendongkrak
pemasaran yang semakin besar dan berkelanjutan.
Jasa transportasi yang selama ini mendukung proses bisnis kopi amstirdam yaitu kapal, mobil dan kurir. Kapal
merupakan transportasi utama yang digunakan oleh para eksportir dalam membawa hasil kopi dari Indonesia ke negara
tujuan ekspor. Biasanya pengepul menggunakan mobil untuk mengangkut hasil produksi kopi dari petani. Jasa kurir
biasa juga digunakan oleh pelaku usaha dalam mengirim produk kopi yang dijual ke tempat yang cukup jauh. Selain
itu juga digunakan untuk membeli wadah produk kopi yang dijual ke konsumen.
Regulasi dan Kebijakan
Dinas Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan yang bertanggung jawab membina dan mendampingi
pemberdayaan petani kopi di Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit terlihat masih belum
optimal. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan penyuluh pertanian dan petani kopi. Mayoritas para petani belum
mendapatkan edukasi yang merata tentang pra dan pasca panen. Selama ini petani kopi amstirdam masih berkebun
dengan cara tradisional dan tidak semua petani mampu menjaga kualitas grade biji kopi. Pengontrolan harga kopi juga
masih belum maksimal. Hal ini yang menjadi salah satu faktor penghambat proses penyuluhan dari lembaga
pemerintahan kurang tidak maksimal.
Dinas Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang melakukan Kerjasama Penerapan
Nasional Kurikulum dan Manual Pelatihan Kopi Robusta Berkelanjutan antara SCOPI. Kerjasama ini akan
menghasilkan Master Trainer di kawasan Amstirdam dengan target melatih petani menjadi Master Trainer sebanyak
50 orang di wilayah Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo, dan Dampit. Target petani yang
wajib memahami GAP (Good Agriculture Practice) dan GMP (Good Manufacturing Practice) sebanyak 15.000
petani. Master Trainer inilah yang nantinya bisa menerapkan standarisasi biji kopi agar petani dapat meningkatkan
nilai tambah dalam kopinya sehingga menjadikan komoditas yang menguntungkan. Pemerintah Kabupaten Malang
bertekad mengintensifkan budidaya kopi robusta untuk memenuhi kebutuhan pasar kopi dunia. Gerakan intensifikasi
penanaman kopi untuk memperluas tanaman kopi dengan cara menyediakan benih unggul, pembinaan dan
pendampingan kepada para petani kopi Amstirdam.
Kopi Amstirdam sudah mendapatkan sertifikat komoditas kopi yang diterbitkan oleh The Common Code for The
Coffee Community Association (4C). Sertifikat 4C itu merupakan hasil kerja sama antara petani kopi di Kabupaten
Malang dengan PT. Asal Jaya yang dapat memenuhi permintaan pasar (ekspor) kopi. Kebijakan khusus yang mengatur
dan membantu para petani kopi dalam mengakses informasi pasar. Selama ini yang menjadi pembawa informasi hanya
dari para sukarelawan penyuluh kopi dari komunitas dan PT. Asal jaya, sehingga para petani kopi yang dalam
menentukan harga sangat bergantung dengan PT. Asal Jaya.
Prospek Kedepan
Saat ini kondisi permintaan kopi, baik di dalam negeri maupun dunia, kian tinggi. Seiring tren gaya hidup
mengkonsumsi kopi baik di kedai kopi maupun di tempat lainnya. Konsumsi kopi orang Indonesia saat ini meningkat
rata-rata 8 persen per tahun. Menurut lembaga International Coffee Organization (ICO), tren minum kopi di tingkat
dunia akan tumbuh 25 persen dalam lima tahun ke depan.
Berdasarkan prospek yang cukup bagus tersebut maka pemerintah bisa melaksanakan kegiatan intensifikasi dan
perluasan kopi. Untuk kegiatan intensifikasi dan perluasan tanaman kopi para petani bisa diberikan pembenah tanah
organik, benih unggulan, pupuk organik, gunting pangkas dan Attractant. Untuk meningkatkan produksi kopi juga
bisa dengan memberikan penanganan organisme penggagu tanaman, dan pemberian bantuan alat pengolahan dan
pascapanen.
Di kota Malang, kafe tumbuh dengan sangat pesat. Ngopi makin ngetren. Profesi terkait juga ikut ngetren, seperti
barista dan roaster. pengembangan sebaiknya dimulai dengan pembenahan kualitas komoditas kopi yang
diperdagangkan, baik itu dalam bentuk biji, bubuk, maupun dalam bentuk sajian minuman kopi di café-café.
Pengembangan dalam bentuk pengemasan, pengolahan produk café maupun festival kopi akan membuat kopi
Amstirdam dikenal. Produksi kopi Amstirdam sendiri sebenarnya sudah berkurang drastis akibat banyak lahan kopi
jadi permukiman dan bangunan usaha. Dengan Kopi Amstirdam sangat populer dalam sejarah perkopian baik di
Indonesia maupun Dunia. Hal ini dibuktikan dengan sertifikat 4C oleh asosiasi industri kopi dunia. Diperlukan
pengintensifkan budidaya kopi robusta untuk memenuhi permintaan pasar kopi dunia dari Malang yang cenderung
meningkat. Standarisasi produk untuk menjaga kualitas dan jaminan mutu bagi konsumen menjadi sangat krusial
untuk dilakukan
Pelatihan bagi para pelaku di komoditas kopi, meliputi pedagang, pengepul maupun petani untuk peningkatan
kualitas menjadi syarat utama untuk eksistensi kopi amstirdam. Diperlukan Promosi secara bersama dan massive
untuk mengenalkan kopi Amstirdam secara luas. Bentuknya bisa festival atau pameran bersama dengan bentuk
kemasan dan olahan yang bervarian.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian analisis faktor produksi kopi amstirdam di Kecamatan Ampelgading,
Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan Dampit, Malang, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan bahwa secara parsial, dari variabel luas lahan, tenaga kerja, dan penggunaan teknologi
1. Variabel luas lahan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap hasil produksi kopi, dimana semakin
besar luas lahan, maka akan meningkatkan hasil produksi. Dengan semakin bertambahnya luas lahan pertanian
kopi maka jumlah pohon yang ditanam juga semakin banyak sehingga akan membuat hasil produksi meningkat
dengan pengelolaan lahan yang baik.
2. Variabel tenaga kerja memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap hasil produksi kopi, dimana semakin
banyak jumlah tenaga kerja, maka akan meningkatkan hasil produksi. Tenaga kerja yang banyak akan
memberikan bantuan lebih bagi pemilik perkebunan kopi untuk mengolah perkebunan kopi yang dimilikinya.
3. Variabel penggunaan teknologi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap hasil produksi kopi, dimana
semakin banyak teknologi yang digunakan, maka akan meningkatkan hasil produksi. Penggunaan teknologi akan
memberikan dampak yang baik dalam proses produksi, hal itu dijelaskan saat menggunakan teknologi modern
maka pencapaian hasil produksi akan menjadi efektif dan efisien.
Saran
Berdasarkan dari kesimpulan diatas, maka saran yang dapat diberikan penulis adalah:
1. Petani kopi perlu meningkatkan produktivitas dan daya saing. Penyerapan teknologi perkebunan sangat
diperlukan dalam upaya diversifikasi hasil perkebunan. Prospek ekonomi bagi para petani kopi ini sangat besar,
mengingat kopi merupakan komoditias andalan di Kecamatan Ampelgading, Sumbermanjing, Tirtoyudo, dan
Dampit, Malang. Oleh karena itu bila para petani dapat meningkatkan hasil produksinya, maka akan dapat
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan bagi keluarga.
2. Pemerintah terutama Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Malang agar lebih efektif
dalam memberikan penyuluhan kepada para petani kopi dalam rangka meningkatkan produksi kopi. Pemerintah
juga perlu melakukan regulasi harga kopi sehingga dapat mendorong kesesuaian harga komoditas kopi. Sehingga
petani dapat menjual kopi dengan harga terbaik di pasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Afgani, R., & Husain, S. B. (2018). Manisnya Kopi di Era Liberal: Perkebunan Kopi Afdeling Malang, 1870-1930.
2(1), 24–35.
Angkat, R. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Produksi Kopi Ateng.
Mohar, D. (2004). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Caswell, Margriet F. 2001. Adoption of Agricultural Production Practices: Lessons Learned from the U.S. Department
of Agriculture Area Studies Project. Agricultural Economic Report No. 792.
Dewi, R. I. (2013). Pengaruh Investasi dan Tingkat Upah terhadap Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Timur.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2012. Statistik Perkebunan Kopi. Kementerian Pertanian. Jakarta. 31 p
Fidiyana, F. (2016). Analisis Hasil Produksi Sektor Pertanian di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur 2010-2013. 59.
Ghozali, I. (2016). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program IBM SPSS 23. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
Goor, J. (1600-1830). Trading Companies in Asia. Uttrecht: Het Uitgevers.
Hanafie, R. (2010). Pengantar Ekonomi Pertanian. CV Andi offset. 308 hlm.
Hartwich, F. and Scheidegger, U. (2010). Fostering Innovation Networks: The Missing Piece in Rural Development.
Rural Development News.
Irawan, S. (1992). Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: BPFE.
Iswandono. (2004). Ekonomi Mikro Modern.
Junaidi, A. (2017). Analisis Produksi Kopi di Desa Bocek Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang.
Kalakota, R. 2000. E-Business 2.0: Roadmap to Success. Longman: Addison Welley, USA.
Kementerian Pertanian. (2017). Outlook Kopi 2017. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian, Sekretariat
Jenderal - Kementerian Pertanian.
Machmudz, M. (2007). Ekonomi Mikro. UIN-Maliki Press.
Mafor. (2015). Faktor Produksi Padi di Sawah Dua Kecamatan Tompasobaru.
Malang, B. (2016-2018). Luas dan Produksi Kopi Robusta Rakyat Menurut Kecamatan di Kabupaten Malang.
Malang, B. (2018). Luas dan Produksi Kopi Arabika Rakyat Menurut Kecamatan di Kabupaten Malang. Malang: BPS
Malang.
Marhaenanto, B., Soedibyo, D. W., & Farid, M. (2015). Penentuan Lama Sangrai Kopi Berdasarkan Variasi Derajat
Sangrai Menggunakan Model Warna RGB Pada Pengolahan Citra Digital (Digital Image Processing). Jurnal
Agroteknologi, 102-111.
Matz-Usry. (1990). Akuntansi Biaya Perencanaan dan Pengendalian. Jakarta: Erlangga.
Miller, R. L. (2000). Teori Ekonomi Mikro Intermediate: Teori, Masalah Pokok dan Penerapan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mubyarto. (2002). Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.
Mulyadi, S. (2012). Ekonomi Sumber Daya Manusia: Dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta Raja Grafindo
Persada.
Nugroho. (2014). Hubungan Faktor Produksi Terhadap Produksi Susu di Kabupaten Boyolali.
Nuraini, I. (2003). Pengantar Ekonomi Mikro. Malang: Universitas Muhammadiyah.
Ola, F. G. P. R. (2013). Pendapatan dan Fungsi Produksi Jagung Pada Usaha Tani Jagung.
Pracoyo, A. (2006). Aspek Dasar Ekonomi Mikro. Jakarta: PT Grasindo.
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. (2020). Outlook Kopi. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian
Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian. Jakarta.
Ravianto, J. (1995). Produktivitas dan Manajemen. Jakarta: SIUP.
Riduwan dan Akdon. (2010). Rumus dan Data dalam Analisis Data Statistika. Bandung: Alfabeta.
Rosyidi, S. (2000). Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Saifuddin. (1992). Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Perkebunan Kopi di Kebun Getas/Assinan
Banaran, PT Perkebunan XVII.
Soekartawi. (2003). Teori Ekonomi Produksi. Jakarta: Rajawali Pers.
Sudarman, A. (2004). Teori Ekonomi Mikro. Yogyakarta: BPFEY Yogyakarta.
Sudjarmoko, B. (2013). Prospek Pengembangan Industrialisasi Kopi Indonesia. Sirinov. 1 (3), 99-110.
Sugiyono, S. (2013). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sukirno, S. (2013). Mikroekonomi. Indonesia: PT Raja Gafrindo Persada.
Suprapto. (2010). Analisis Hal-Hal Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Pertanian Padi Organik di Kabupaten Sragen.
Yulanda, A. C. (2019). Analisis Faktor-Faktor Produksi Yang Mempengaruhi Proses Produksi Kopi Arabika
top related