akad dalam islam
Post on 05-Jul-2015
1.381 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1. NORMA-NORMA AKAD (KONTRAK) DALAM FIQH ISLAM
A. Sekilas tentang Sejarah Akad
Al-‘Aqd (akad/kontrak) berasal dari kata ‘aqada–ya’qidu–‘aqd[an]; jamaknya adalah
al-‘uqûd. Secara bahasa al-’aqd bermakna ar-rabth (ikatan), asy-syadd (pengokohan), at-
taqwiyah (penguatan). Jika dikatakan, ‘aqada al-habla (mengikat tali), maksudnya adalah
mengikat tali satu dengan yang lain, mengencangkan dan menguatkan ikatannya.
Al-‘aqdu juga bisa bermakna al-‘ahdu (janji) atau al-mîtsâq (perjanjian). Adapun al-’uqdah
(jamaknya al-‘uqad) adalah obyek ikatan atau sebutan untuk sesuatu yang diikat. Di
dalam al-Quran kata ’aqada disebutkan sebanyak tujuh kali dalam tujuh ayat: kata ’aqada
bermakna sumpah (QS 4: 33; 5: 89); al-’uqûd bermakna al-’ahdu atau janji (QS 5: 1; 20:
27); ‘uqdah bermakna ikatan (QS 2: 235, 237) dan al-‘uqad bermakna simpul atau buhul
(QS 113: 4). Menurut al-Jashash sumpah disebut ’aqd jika berupa sumpah untuk perkara
yang akan datang.
Pada awalnya kata ’aqada digunakan untuk benda padat seperti tali dan bangunan,
namun kemudian dengan majaz isti‘ârah kata ini juga diterapkan untuk selainnya seperti:
’aqd al-bay’ (akad jual-beli), ‘aqd al-’ahd (akad perjanjian), ‘aqd an-nikâh (akad nikah),
dsb. Dalam konteks ini, ’aqada dimaknai sebagai ilzâm (pengharusan) dan iltizâm
(komitmen atau irtibâth/pertautan).
Abu Bakar menyatakan, al-’aqd adalah apa yang diakadkan (diwajibkan) oleh orang
yang berakad atas suatu perkara yang harus ia lakukan, atau ia akadkan terhadap orang
lain untuk melakukannya, dalam bentuk mengharuskan atau mewajibkan perkara itu
kepadanya.
Al-’aqd, meski asalnya secara bahasa bermakna asy-syadd (pengencangan), ia
kemudian mengalami transformasi makna, seperti sumpah dan akad; akad jual beli dan
sebagainya. Yang dimaksud tidak lain adalah kewajiban memenuhi apa yang disebutkan
dan ditawarkan. Ini tidak lain diimplementasikan pada sesuatu yang ditunggu
pemenuhannya ke depan. Jual-beli, nikah, ijârah dan seluruh akad dengan kompensasi
disebut sebagai akad karena masing-masing pihak telah mewajibkan diri untuk
memenuhinya.
Makna tersebut kemudian dalam penggunaannya lebih menonjol dan menjadi ’urf
(tradisi). Karena itu, secara ‘urf, al-’aqd adalah iltizâm al-jânibayn li syay’in wa
muqâbiluhu (komitmen dua pihak untuk suatu perkara berikut kompensasinya).
1 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Menurut Ibn Manzhur, “Jika Anda berkata. ’âqadtuhu, atau ’aqadtu ’alayhi, maka
takwilnya adalah: Anda mengikat (mengharuskan) dia atas hal itu dengan istîtsâq
(meminta janji/komitmen) dan membuat kontrak (kesepakatan) dan perjanjian.”
Dengan demikian, al-’aqd adalah transaksi dan kesepakatan, atau komitmen dengan
konotasi al-istîtsâq. Itu tentu tidak akan terjadi, kecuali di antara dua pihak yang saling
berakad. Adapun al-‘ahd (janji) bisa berlangsung dari satu pihak saja. Karenanya, al-‘ahd
lebih umum daripada al-‘aqd, karena tidak semua al-‘ahd (janji) merupakan al-‘aqd
(akad). Sebaliknya, semua al-‘aqd (akad) merupakan al-‘ahd (janji).
B. Alat Akad
Alat akad bisa dalam bentuk tulisan atau secara lisan, berikut hal-hal yang dibutuhkan (di
sebutkan satu per satu) sehingga akad dapat dinyatakan sah.
C. Dasar-dasar dalam Hukum Islam
1) Makna Akad (Kontrak)
Akad berasal dari bahasa arab (العقد ) Al’Aqad yang berarti perikatan, perjanjian,
dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan
menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada objek
perikatan.
Pengertian ialah umumnya yakni sesuatu yang di ikatkan seseorang bagi dirinya
sendiri atau bagi orang lain dengan kata harus. Akad atau perjanjian sendiri
mempunyai banyak arti yang keseluruhannya kembali pada bentuk ikatan atau
penghubungnnya terhadap dua hal.
Menurut musthofa as zawqa’, setiap akad adalah tindakan hukum yang dilakukan
dua atau lebih yang sama-sama berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak atau
keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati,
sehingga untuk menyatakannya masing-masing diungkapkan dalam suatu pernyataan
ijab dan qobul.
- Pihak yang melakukan ijab disebut mujib ( جب ( مو
- Pihak yang melakukan qobul disebut qaabil ( بل .( قا
Biasanya pihak pertama yang menyatakan adalah mujib baru kemudian qaabil
seperti dalam akad nikah. Namun dalam muamalah boleh qaabil dulu baru mujib.
Keduanya mengucapkan ungkapan/pernyataan akad atau shighah al-aqd ( صیغة العقد
). Hukum akad adalah wajib bagi pihak-pihak yang terikat hingga akad selesai
ditunaikan ataupun akadnya batal.
2 | A k a d E k o n o m i I s l a m
2) Macam-macam Akad
Menurut ulama fiqih, akad dapat dibagi dari beberapa segi. Apabila dilihat dasri
segi keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi dua, yaitu:
Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian,
segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada kedua belah
pihak. Ulama Mahzab Hanafi dan Mahzab Maliki, membagi lagi akad sahih ini
menjadi dua macam:
a. Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang
untuk melaksanakannya.
b. Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak
atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk
melangsungkan dan melaksanakan. Akad tersebut seperti akad yang dilakukan
oleh anak kecil yang menjelang akil baligh (mumayyiz). Akad itu baru sah
secara sempurna dan memiliki akibat hukum setelah mendapat ijin dari wali
anak itu. Menurut Mahzab Syafi’i dan Mahzab Hambali, bahwa jual-beli yang
mauquf itu tidak sah.
Lebih lanjut jika dilihat dari sisi mengikat atau tidak jual-beli yang sahih itu, ulama
fiqih membaginya kepada dua macam:
a. Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu
pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad
jual-beli dan sewa-menyewa.
b. Akad yang tidak bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, seperti ariyah
(pinjam-meminjam) dan wadi’ah (barang titipan).
Akad yang tidak sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau
syarat, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang
melakukan akad itu. Kemudian Mahzab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sahih
ini kepada dua macam, yaitu: akad yang batil dan akad yang fasid.
Suatu akad dikatakan batil apabila akaad itu tidak memenuhi salah satu rukun
dan larangan langsung dari syara’. Umpamanya: objek akad (jual-beli) itu tidak jelas
seperti menjual ikan dalam empang (lautan), atau salah satu pihak tidak mampu
(belum pantas) bertindak atas nama hukum seperti anak kecil atau orang gila.
3 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada dasarnya
dibenarkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas, seperti menjual mobil tidak
disebutkan merknya, tahunnya dan sebagainya.
3) Prinsip Syariah tentang Cara Memahami Persyaratan Akad
1. Akad termasuk dalam lingkup hukum muamalah. Hukum asal muamalah ialah
segala sesuatu boleh kecuali ada ketentuan yang melarangnya.
2. Segala sesuatu yang menyangkut masalah akad seperti subjek, objek dan
pernyataan akan harus sesuai dengan prinsip syariah.
3. Adanya ketertbukaan, kejujuran, kepercayaan dan ketulusan antara pihak-pihak
yang melakukan akad.
4. Memandang adanya manfaat untuk akhirat.
5. Sebaiknya semua akad perjanjian ditulis dan dipersaksikan didepan saksi-saksi.
6. Akad yang ditulis bisa dengan tulisan tangan langsung ataupun dengan
mengajukan ke notaries seperti pada akad jual beli tanah sehingga akad yang
ada memiliki kekuatan hokum tetap.
4) Rukun-Rukun Akad / Kontrak
Menurut jumhur (mayoritas) lugaha, rukun akad terdiri atas:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad (‘Aqid).
2. Objek yang dilakukan akad (maqud ‘alaih).
3. Pernyataan untuk mengikatkan diri (shighah al-aqd).
Menurut ulama Mahzab Hanafi, rukun akad hanya shighah al-aqd, sedangkan pihak
yang berakad dan objek akad adalah syaratnya. Ketentuan shighah al-aqd:
1. Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami.
2. antara ijab dan qabul harus ada kesesuaian.
3. Pernyataan ijab dan qabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing,
dan tidak boleh ada yang meragukan.
5) Syarat-Syarat Akad
Disamping syarat-syarat khusus akad seperti dalam akad jual beli, akad sewa
maupun akad lainnya, terdapat beberapa syarat umum. Antara lain:
1. Pihak-pihak yang melakukan akad dipandang mampu bertindak menurut hukum
(mukallaf). Bila belum mampu dapat diwakilkan oleh walinya.
2. objek akad diakui syara’ meliputi:
4 | A k a d E k o n o m i I s l a m
a. Berbentuk harta
b. Dimiliki oleh seseorang
c. Bernilai harta menurut syara’ (misalnya bukan barang haram, najis)
d. Barang tersedia saat akad dan dapat diserahkan usai akad kecuali untuk
‘aqad salam (indent), istihna’(pesanan barang), musaaqah(transaksi
antara pemilik kebun dan pengelolanya). Pengecualian dibenarkan karena
akad-akad seperti itu sudah umum menjadi adat kebiasaan masyarakat.
3. Akad tidak dilarang oleh nash syara’.
4. Akad yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang
bersangkutan, disamping harus memenuhi syarat-syarat umum.
5. Akad itu bermanfaat.
6. Ijab tetap utuh sampai terjadi qabul.
7. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis atau waktu yang sama.
Jumhur ulama fiqih selain Mahzab Syafi’I membolehkan adanya tenggang waktu
antara ijab dan qabul. Bahkan Mahzab maliki membolehkan jika penerima meminta
tenggang waktu sebelum mengucapkan qabul. Mahzab Syafi’I mengharuskan setelah
ijab sesegera mungkin dijawab qabul.
a. Tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
b. Harus sama ridho dan iklas.
c. Ijab dan qabul harus jelas dan gamblang terhindar dari khiyar (penafsiran
ganda) yang dapat menimbulkan kesalhpahaman antar pihak yang bersepakat.
Dalam akad memiliki kebebasan mangajukan syarat, ada yang bersifat mutlak,
tanpa batas selama tidak ada larangan dalam Al Quran dan sunnah seperti yang
diutarakan uleh ulama Mahzab Hambali dan Mahzab Maliki. Sedangkan menurut
ulama Mahzqab Hanafi dan Mahzab Syafi’I syarat yang ada tetap ada batasannya
walaupun tidak ada dalil yang melarang seperti syarat jika sesudah menikah nanti
suami akan menafkahi istri. Syarat tersebut tidak boleh karena suami menafkahi istri
adalah kewajiban sehingga tidak bias menjadi syarat.
6) Syarat-Syarat Rukun Akad
Ada beberapa syarat yang harus terdapat dalam akad, namun dapat dibagi
menjadi dua macam. Pertama, syarat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna
wujudnya dalam segala macam akad. Kedua, syarat khusus, yaitu syarat-syarat yang
disyaratkan wujudnya dalam sebagian akad, tidak dalam sebagian yang lain. Syarat-
syarat ini biasa juga disebut syarat tambahan (syarat idhafiyah) yang harus ada di
5 | A k a d E k o n o m i I s l a m
samping syarat-syarat umum, seperti adanya saksi, untuk terjadinya nikah, tidak boleh
adanya ta'liq dalam aqad muawadha dan aqad tamlik, seperti jual beli dan hibah . Ini
merupakan syarat-syarat idhafiyah. Sedangkan syarat-syarat yang harus terdapat
dalam segala macam akad adalah:
a. Ahliyatul 'aqidaini (kedua pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau
ahli).
b. Qabiliyatul mahallil aqdi li hukmihi (yang dijadikan objek akad dapat menerima
hukuman).
c. Al-Wilyatus syar'iyah fi maudhu'il aqdi (akad itu diizinkan oleh syara dilakukan
oleh orang yang mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya,
walaupun dia bukan si 'aqid sendiri).
d. Alla yakunal 'aqdu au madhu'uhu mamnu'an binashshin syar'iyin (janganlah
akad itu yang dilarang syara) seperti bai' munabadzah.
e. Kaunul 'aqdi mufidan (akad itu memberikan faedah).
f. Baqaul ijabi shalihan ila mauqu'il qabul (ijab berjalan terus, tidak dicabut,
sebelum terjadi qabul).
g. Ittihadu majalisil 'aqdi (bertemu di majelis akad). Maka ijab menjadi batal
apabila berpisah salah seorang dari yang lain dan belum terjadi qabul
2. JENIS-JENIS AKAD (TRANSAKSI)
A. Akad Pertukaran
Jual Beli
1) Berdasarkan perbandingan harga jual dan harga beli
Al Musawwamah
Yang dimaksud dengan Musawamah adalah Jual beli yang keuntungannya
hanya diketahui penjual.
Al Tauliah
Yang dimaksud dengan Tauliah adalah Jual beli yang tidak ada keuntungan
bagi penjual (komisi).
Al Muwadhaah
Yang dimaksud dengan Muwadhaah adalah Jual beli yang harganya dibawah
harga jual (diskon).
6 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Al Murabahah
Al Murabahah jual beli barang pda harga asal dengan tembahan keuntungan
yanng disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah murabahah ini
diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan
nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku
atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali
oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan)
pada waktu yang ditetapkan.
Dalam bai' al murabahah, penjual harus memberitahu harga produk yang dia
beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Murabahah dapat dilakukan untuk pembelian dengan sistem pemesanan.
Dalam al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi ini dengan istilah al-amir bi al-
syira . Dalam hal ini calon pembeli atau pemesan dapan memesan kepada
sesorang (sebut saja pembeli) untuk membelikan suatu barang tertentu yang
diinginkannya. Kedua belah pihak membuat kesepakatan mengenai barang
tersebut serta kemungkinan harga asal pembelian yang masih sanggup
ditanggung pemesan. Setelah itu, kedua belah pihak juga harus menyepakati
beberapa tambahan yang harus dibayar pemesan. Jual beli kedua belah pihak
dilakukan setelah barang tersebut berada di tangan pemesan.
Dari Suhaib al-Rumi r.a, bahwa Rasulullah Saw, bersabda : “Tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan : jual beli secara tangguh, muqaradhan
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan
rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibn Majah)
Produk murabahah adalah pembiayaan perbankan syariah dengan memakai
prinsip jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang
disepakati, dengan pihak bank selaku penjual dan nasabah selaku pembeli, atau
sebagai dana talangan. Karakteristiknya adalah penjual harus memberi tahu
harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai
tambahannya. Pembayaran dapat dilakukan secara angsuran sesuai dengan
kesepakatan bersama.
Bila dilihat sekilas, terdapat persamaan jual beli murabahah dengan
pembiayaan konsumtif. Persamaannya antara lain, pembiayaan yang diberikan
adalah barang (motor, mobil, dll.)/bukan uang, dan pembayarannya secara
cicilan. Namun, jika diperhatikan lebih dalam sesuai dengan fatwa DSN MUI,
7 | A k a d E k o n o m i I s l a m
karakteristiknya berbeda. Terdapat beberapa perbedaan utama antara jual beli
murabahah dengan pembiayaan konsumen.
Perbedaan pertama, harga jual pembiayaan konsumen biasanya memakai
tingkat bunga yang tergantung situasi pasar, sedangkan margin/tingkat
keuntungan murabahah (bila sudah terjadi ijab kabul) bersifat tetap, sehingga
harga jual tidak boleh berubah. Jadi, sejak awal perjanjian sampai dengan masa
pelunasan, bank syariah tidak diperbolehkankan mengubah harga yang telah
diperjanjikan/ diakadkan. Pada lembaga keuangan konvensional, dimungkinkan
membuat sebuah klausul untuk meningkatkan bunga seperti karena akibat
ketergantungan pada situasi pasar, krisis BBM, dan krisis nilai tukar. Keunggulan
dari sebuah produk jual beli murabahah adalah memberikan kepastian dan
kenyamanan kepada nasabah terhadap angsuran pembiayaan.
Perbedaan kedua, akad murabahah adalah akad jual beli, sehingga
diwajibkan adanya suatu barang yang diperjualbelikan. Barang yang
diperjualbelikan tersebut berupa harta yang jelas harganya, seperti mobil atau
motor. Sedangkan akad pembiayaan konsumen adalah akad pinjam meminjam.
Dalam hal ini belum tentu ada barangnya. Pada pembiayaan konsumen,
nasabah diberi uang yang akan dipergunakan untuk membeli barang yang
dibutuhkan. Dalam praktiknya, sering kali terjadi penyalahgunaan pemakaian.
Perbedaan ketiga, dalam hal utang nasabah. Dalam jual beli murabahah,
utang nasabah adalah sebesar harga jual. Harga jual adalah harga
perolehan/pembelian barang ditambah keuntungan yang disepakati. Apabila
nasabah mengangsur utangnya, utang nasabah itu akan berkurang sebesar
pembayaran angsuran yang dilakukan, jadi tidak membedakan lagi unsur pokok
dan keuntungan. Sedangkan pada pembiayaan konsumen, utang nasabah
adalah sebesar pokok kredit ditambah dengan bunga. Bila dibayar secara
angsuran, utang nasabah akan berkurang sebesar pembayaran angsuran pokok
kredit dan pembayaran bunga. Jadi, dalam pembiayaan konsumen dikenal
adanya utang pokok dan hutang bunga.
Dalam akad murabahah, apabila bank syariah mendapat diskon pemebelian
dari pemasok, harga perolehan/pembelian adalah harga setelah didiskon.
Diskon adalah hak nasabah. Namun, bila diskon dari pemasok diberikan setelah
akad murabahah, pembagian diskon antara bank syariah dengan nasabah
didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang sudah tercantum pada akad.
8 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran
tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang disepakati, bank syariah boleh
memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat
tidak diperjanjikan dalam akad, yang besarnya diserahkan pada kebijakan dan
pertimbangan bank syariah
2) Berdasarkan jenis barang pengganti
Al Mughayabah
Yang dimaksud dengan akad Al Mughayabah adalah tukar menukar
barang dengan barang.
Al Mutlaq
Yang dimaksud dengan akad Al Mutlaq adalah tukar menukar uang
dengan barang.
As Sharf
Penelusuran tentang transaksi mata uang ( As Sharf ) dalam kitab
fiqh sedikit dan terbatas, keterbatasan ini dapat dipahami, karena mungkin
pada masa lampau, ketika kitab fiqh sedang ditulis oleh fuqaha masalah jual
beli mata uang bukan masalah yang menonjol sebagaimana masalah
muamalat lainnya. Dengan demikian perhatian tidak cukup banyak terhadap
masalah ini. Masalah valuta muncul ke permukaan dan menjadi
perbincangan ulama baru ketika terjadi ketidakstabilan nilai tukar emas dan
perak pada masa kesultanan Mamluk, tepatnya masa Nasir Muhammad bin
Qalamun semasa Imam Ibnu Taimiyah6.
Kitab fiqh yang membicarakan bab transaksi valuta asing dikenal
dengan As Sharf, sering menempatkan pembahasannya sebagai bagian dari
bab jual beli, sub bab macam macam Jual Beli (Wahbah Az Zuhaili )
sedangkan As Sharf dalam Bidayatul Mujtahid Juz II pembahasan setelah bab
jual beli. Secara umum jual beli mata uang / As Sharf dalam kitab kitab fiqh
diidentikkan dengan tukar menukar antara emas dan emas atau perak
dengan perak. Oleh karena itu dalam kitab fiqh apa saja yang menjadi
ketentuan/ syarat rukun dalam transaksi berlaku juga dalam transaksi mata
uang ( As –Sharf ), hanya saja kategorinya lebih khusus. Transaksi Valuta
asing dari ketentuan tersebut sepanjang memenuhi ketentuan dalam
transaksi Islam adalah kegiatan yang ditolelir tetapi, meski boleh, perlu
dibuat semacam catatan karena pada dasarnya Islam memandang uang
9 | A k a d E k o n o m i I s l a m
harta sebagai alat tukar bukan komoditas, untuk memenuhi permintaan dan
penawaran/ money demand for transaction bukan spekulasi.
Dalam Kamus al Munjid fi al Lugah7 disebutkan bahwa al sharf
berarti menjual uang dengan uang lainya. Istilah al sharf yang berarti jual
beli valuta dapat ditemukan dalam beberapa kamus. Muhammad al Adnani
mendefinisikan al sharf dengan tukar-menukar uang.8 Yang dalam istilah
Inggris adalah money changer. Menurut Istilah Syara’ Sharf adalah jual beli
satu mata uang dengan mata uang yang lain baik mata uang tersebut satu
jenis atau berlainan jenis.
Jual beli mata uang mendasarkan pada QS;2, 275 tentang
Kebolehan Jual beli; Allah Menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba.
Dan hadits tentang jual beli mata uang (As- Sharf) diantaranya
mendasarkan pada Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu
Majah dari Ubadah bin Shamit tentang tukar menukar emas dan perak.
Syarat Syarat jual beli mata uang ( As- Sharf ):
a) Serah terima dalam majlis kontrak
b) Jika dengan mata uang yg sama, jumlahnya harus sama
c) Tidak boleh ada khiyar syarat
d) Tidak boleh ditangguhkan, masing masing pihak yang bertransaksi
tidak boleh menangguhkan penyerahan barang untuk jangka waktu
tertentu karena barang tersebut harus diterima dan jatuh sebagai
hak milik masing masing pembeli sebelum mereka berpisah.
Dalam jual beli mata uang harus memenuhi syarat khusus; tiada penundaan,
yang berarti harus tunai dan tiada pelebihan yang berarti dengan syarat
keseimbangan. Dalam jual beli mata uang asing Ulama sepakat dengan
syarat tunai, tetapi mereka berbeda tentang waktu yang membatasi
pengertian tunai ini. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa
jual beli mata uang terjadi secara tunai selama keduabelah pihak belum
berpisah, baik itu penerimaannya itu segera atau lambat. Jadi
penerimaannya bisa dengan perjanjian waktu tertentu. Berbeda dengan
Imam Malik yang berpendapat bahwa jika penerimaan pada majlis
terlambat, maka jual beli itu batal, meski kedua belah pihak belum berpisah.
Karena ia tidak menyukai janji janji didalamnya.
10 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Sementara itu ulama Kontemporer, seperti al Qardawi, dalam hal
memperjualbelikan mata valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai,
mengatakan tidak diperbolehkan. Selanjutnya beliau mengatakan tidak sah
jual beli uang dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara
tunai di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu
itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf al-Qardhawi
syara’ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat kebiasaan yang
berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita tunai ini juga
mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan ukurannya. Justru itu
umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa yang dibelinya kecuali
setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu menurut adat kebiasaan yang
berlaku.
Merujuk uraian diatas, dapat ditarik benang merah bahwa semua
pendapat sepakat tentang dibolehkannya jual beli mata uang dengan
syarat syarat khusus, tunai dan kadarnya sama, hanya saja perbedaan
terletak pada interpretasi batasan istilah tunai dalam transaksi. Syafi’i dan
Hanafi berpendapat bahwa tenggang waktu bisa diundur selama kedua
belah pihak belum meninggalkan majlis, sedangkan Malik tidak ada
tenggang waktu antara terjadinya akad dengan terjadinya serah terima
barang.
Dalam keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional, secara umum
memberi justifikasi bahwa jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan
ketentuan:
a) Tidak untuk spekulasi (untung untungan);
b) Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga jaga (simpanan);
c) Jika mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai;
d) Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (Kurs)
yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Untuk jenis transaksi valuta asing, hukumnya boleh, karena dianggap tunai,
sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak
bisa dihindari dan merupakan transaksi Internasional. Sedangkan untuk
transaksi Forward, Swap dan Option hukumnya haram, karena didalamnya
ada unsur spekulasi (maisir).
3) Berdasarkan waktu penyerahan
11 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Bithaman Ajil
Ciri-ciri perjanjian pada pembiayaan Al Baiu Bithaman Ajil adalah :
a) Perjanjian campuran (sui generis) karena di satu sisi perjanjian
dilaksanakan atas negosiasi para pihak (perjanjian timbal balik) dan di sisi
lain ditetapkan oleh bank secara sepihak (perjanjian baku).
b) Janji menurut ketentuan Hukum Islam harus ditepati. Bila memungkiri
perjanjian (wan prestasi) bukan tanda-tanda orang beriman
Bai as Salam
Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan
kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang
secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di
muka. (Fiqhus Sunnah III: 171). Allah swt berfirman : “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, “Saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang
jangka waktunya ditentukan sampai waktu tertentu, benar-benar telah
dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya Dia membolehkannya.”
Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1369, Mustadrak
Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, “Nabi saw datang di Madinah, sedang
mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka
tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat satu masa
tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no:
1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul Ma’bud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II:
765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).
Dalam jual beli secara ijon tidak dipersyaratkan pihak penjual secara ijon
harus sebagai pemilik penuh. Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia berkata:
Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk menemui
Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah kepada
Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw
biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa
menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada
petani dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu
tertentu (pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?”
12 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Jawab Abdullah, “Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada
mereka.” Kemudian saya diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin
Abza, “Adalah para sahabat Nabi saw biasa membeli barang secara ijon pada
masa Beliau saw namun kami tidak pernah bertanya kepada mereka, apakah
mereka punya ladang ataukah tidak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul
Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349
no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu Majah II: 766 no: 2282).
Bai’ as salam berarti pemesanan barang dengan persyaratan yang telah
ditentukan dan diserahkan kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan
sebelum barang diterima. Dengan kata lain, barang yang diperjualbelikan belum
ada wujudnya. Pada bank konvensional konsep ini dikenal dengan sebagai
bridging financing.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang
mensyaratkan harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan
(sighot).
Bai’ as Salam berbeda dengan ijon, sebab pada ijon, barang yang dibeli tidak
diukur dan ditimbang secara jelas dan spesifik, dan penetapan harga beli sangat
tergantung kepada keputusan si tengkulak yang mempunyai posisi lebih kuat.
Aplikasi Bai’ as Salam pada Lembaga Keuangan Syariah biasanya dipergunakan
pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-
6 bulan. Lembaga Keuangan dapat menjual kembali barang yang dibeli kepada
pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, Pedagang Pasar Induk, atau Grosir.
Penjualan kembali kepada pembeli kedua ini dikenal dengan istilah “Salam
Paralel”.
Bai u Al Istisna
Transaksi Bai’ al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang melalui pesanan, pembuat barang berkewajiban memenuhi
pesanan pembeli sesuai dengan spesifikasi yang telah disepakati. Pembayaran
dapat dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai batas waktu
yang telah ditentukan.
Dalam sebuah kontrak Bai’ al Istishna, pembeli dapat mengizinkan pembuat
barang menggunakan sub kontraktor untuk melaksanakan kontrak tersebut.
Dengan demikian, pembuat barang dapat membuat kontrak istishna kedua
13 | A k a d E k o n o m i I s l a m
untuk memenuhi kewajibannya pada kontrak pertama. Kontrak seperti ini
dikenal sebagai “Istishna’ Paralel”
Bai u Al Istijrar
Istijrar secara bahasa artinya menarik atau menyeret. Secara terminologis
ilmu fiqih: Mengambil kebutuhan yang perlu dibeli sedikit demi sedikit, lalu
membayarnya sesudah itu.
Para ahli fiqih berbeda pendapat juga tentang jual beli ini. Pemicu
perbedaan pendapat mereka adalah karena si pembeli tidak tahu harga barang
ketika mengambilnya, bukan karena pembayarannya yang ditunda sampai
waktu penghitungannya. Berdasarkan hal ini, apabila harganya telah diketahui
secara pasti, maka jual beli ini sah menurut seluruh ulama. Karena dalam kon-
disi demikian, jual beli ini tidak akan keluar dari bentuk jual beli nasiah, sehingga
termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang menetapkan disyariatkannya jual beli
tersebut. Namun kalau harga-nya tidak diketahui, inilah yang menjadi
perdebatan di antara para ulama.
Mayoritas ulama menetapkan tidak disyariatkannya jual beli ini karena tidak
diketahuinya harga pembayaran. Kalangan Hambaliyah dalam salah satu riwayat
dari mereka menjelaskan bahwa hal itu dibolehkan. Itulah pendapat yang dipilih
oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Hal itu menurut mereka sama dengan
sahnya nikah tanpa menyebutkan jumlah mahar. Jumlah mahar itu dikembalikan
dengan standar mahar secara umum. Dan harga barang dalam jual beli ini pun
dikembalikan kepada harga standar. Kemungkinan di antara dalil yang paling
jelas yang menjelaskan disyariatkannya jual beli ini adalah karena bentuk jual
beli ini sudah demikian populer di berbagai negeri dan belahan dunia, sampai di
kalangan mereka yang mela-rangnya sekalipun. Dan tak seorangpun di antara
mereka yang berani menyatakan bahwa jual beli itu batal.
Abu Daud menjelaskan dalam al-Masail bab: Membeli Tanpa Mengetahui
Harga, "Aku pernah mendengar Ahmad ditanya tentang seorang lelaki yang
mengirim orang ke tukang sayur dan mengambil kebutuhannya satu demi satu,
baru di kemudian hari ia menghitung semua pembeliannya. Beliau menjawab,
'Saya harap jual beli semacam itu tidak ada apa-apa.' Beliau ditanya, 'Apakah
saat itu juga disebut sebagai jual beli?' Beliau menjawab, 'Tidak'." Ibnul Qayyim
menyebutkan dalam I'lamul Muwaqqi'in: "Para ulama berbeda pendapat
tentang bolehnya jual beli tersebut karena harga diputuskan tanpa perkiraan
14 | A k a d E k o n o m i I s l a m
harga barang sesungguhnya pada saat transaksi. Bentuk aplikatifnya: Jual beli
yang dilakukan dengan rekan bisnis, seperti tukang roti, tukang daging atau
penjual minyak samin, atau yang lainnya. Ia mengambil kebutuhannya dari
mereka dan menghitung seluruhnya di awal bulan atau awal tahun, lalu
membayarnya. Namun sebagian besar ulama melarangnya. Mereka
menganggap serah terima barang itu tidak memindahkan kepemilikan. Itu
adalah serah terima rusak seperti halnya serah terima barang rampasan. Karena
serah terima itu dilakukan dengan transaksi yang rusak. Namun mereka semua
juga melakukan jual beli tersebut, selain orang yang bersikap ekstrim. Karena
mereka tidak menemukan jalan lain, meskipun mereka menyebutkan fatwa
bahwa jual beli semacam itu batil, dan bahwa barang itu masih dalam
kepemilikan oleh si penjual. Ia tidak bisa melepaskan diri dari jual beli itu, dalam
arti mereka tidak mungkin menawar setiap kali ia membutuhkan sesuatu yang
diambil, murah atau mahal. Kalau serah terima barang harus dilakukan dengan
pelafalan, maka tawar menawar itupun harus dilakukan dengan pelafalan ijab
dan qabul (serah terima).
Kemudian Ibnul Qayyim melanjutkan: "Pendapat kedua: –dan inilah
pendapat yang tepat– yakni yang selalu diamalkan oleh umat Islam di segala
masa dan di segala tempat, yakni dibolehkannya jual beli itu sampai batas harga
termahal. Itulah pendapat yang dinyatakan oleh Ahmad dan dipilih oleh guru
kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Aku pernah mendengarnya berkata, "Itu
lebih menyenangkan hati pembeli daripada tawar menawar. Dalam hal ini saya
juga memi-liki panutan. Saya hanya memilih pendapat yang telah diambil oleh
ulama selain saya." Kemudian beliau melanjutkan, "Orang-orang yang melarang
jual beli semacam itu tetap tidak mungkin meninggalkan jual beli tersebut.
Bahkan mereka turut melakukan-nya juga. Sementara dalam Kitabullah maupun
Sunnah Rasulullah bahkan juga ijma' kaum muslimin, atau sekedar pendapat
seorang sahabat maupun qiyas yang sah, tidak ada yang menjelaskan
keharamannya. Di sisi lain umat Islam telah bersepakat mengang-gap sah nikah
tanpa mengetahui jumlah mahar dengan memberikan mahar standar. Bahkan
kebanyakan ulama juga membolehkan perjanjian sewa menyewa dengan
pembayaran standar, seperti me-nyewa tukang cuci, tukang roti, nelayan,
tukang membersihkan dan dapur. Namun setidaknya jual beli tersebut dengan
meng-gunakan harga standar. Jual beli semacam itu dibolehkan, sebagai-mana
15 | A k a d E k o n o m i I s l a m
halnya membayar dengan harga standar baik dalam jual beli ini ataupun jual beli
lainnya. Inilah qiyas yang tepat, yang hanya dengan analogi inilah kepentingan
umat dapat ditegakkan
B. Akad Titipan / Al Wadiah
Wadi’ah adalah perjanjian antara pihak yang memiliki barang (termasuk uang) untuk
menyimpan barangnya dengan pihak lain (termasuk Bank) dengan tujuan supaya barang
itu disimpan dan dijaga keselamatannya.
Wadiah yang dilakukan tanpa satu syarat pun disebut Amanah (Yad Amanah). Dalam
hal ini, pihak yang menyimpan tidak bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan
barang yang disimpan, kecuali jika kerusakan atau kehilangan itu disengajanya.
Jika pihak yang menyimpan meminta izin dari pihak pemilik barang untuk untuk
menggunakan barang itu atau tetap menggunakan barang itu tanpa izin, maka Wadiah
seperti itu adalah Jaminan (Yad Dhamanah). Dalam hal ini, pihak yang menyimpan
bertanggungjawab atas kerusakan atau kehilangan barang yang disimpan itu. Dalam
Wadiah yang berbentuk Jaminan (Yad Dhamanah), semua manfaat dan keuntungan yang
diperoleh dari penggunaan barang itu menjadi hak pihak yang menyimpan.
C. Akad Bersyarikat
1) Al Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian perkongsian antara dua atau lebih pemilik modal
untuk menjalankan suatu proyek perniagaan, di mana mereka semua setuju untuk
menyumbangkan modal dan berkongsi bagi hasil.
Modal yang disumbangkan hendaklah berupa uang atau harta benda lainnya yang
bisa dinilai dengan uang. Semua modal yang disumbangkan hendaklah dicampur, supaya
semua modal itu akan menjadi hak proyek tersebut dan sudah bukan hak milik
perseorangan para pemilik modal.
Pengurusan proyek boleh dilakukan oleh semua pemilik modal atau beberapa orang
dari mereka. Jika hanya dilakukan oleh beberapa pemilik modal, maka perlu mendapat
izin dari pemilik modal yang lain.
Pembagian keuntungan antara para pemilik modal dilakukan menurut nisbah yang
telah mereka setujui. Nisbah pembagian keuntungan antara para pemilik modal tidak
harus sejumlah dengan sumbangan modal mereka masing-masing dalam proyek
tersebut. Jika ada kerugian, hendaklah ditanggung bersama oleh para pemilik modal
menurut nisbah sumbangan modal masing-masing. Al Musyarakah dalam aplikasi
lembaga keuangan Syariah dapat berbentuk:
16 | A k a d E k o n o m i I s l a m
a) Pembiayaan Proyek, yaitu pelaku usaha dan Lembaga Keuangan Syariah (selaku
pemodal) sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut.
Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana yang digunakan beserta
bagi hasil yang telah disepakati di awal perjanjian (ijab-kabul).
b) Modal Ventura, yakni penanaman modal dilakukan oleh lembaga keuangan
Syariah untuk jangka waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan
tersebut melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada pemegang
saham perusahaan.
2) Al Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu
melakukan perjalanan untuk berniaga. Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong),
karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia
berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah
pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya
dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan
ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
Bagi hasil antara pemilik modal dengan pengusaha adalah secara nisbah, seperti 50 :
50, 40 : 60 atau 30 : 70 menurut perundingan dan persetujuan antara kedua belah pihak.
Penentuan nisbah ini hendaklah dipastikan dalam perjanjian.
Jika ada kerugian, semuanya ditanggung oleh pemilik modal, kecuali jika kerugian itu
disebabkan oleh kecurangan, penyelewengan atau penyalah-gunaan pengusaha.Produk
dengan akad Mudharabah biasanya digunakan untuk produk tabungan dan deposito.
Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad
(terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian
kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir
menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang
modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka
ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah
mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi
hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang
17 | A k a d E k o n o m i I s l a m
bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan
ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut,
maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni
II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).
Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pihak penyimpan dana, akad
Mudharabah dibagi 2, yaitu :
Mudharabah Mutlaqah
Pihak bank bebas dalam menggunakan dana yang dihimpun
Mudharabah Muqayyadah
Pemilik dana dapat menetapkan syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh pihak
bank. Akad Mudharabah Muqayyadah dibagi menjadi dua, yaitu Mudharabah
Muqayyadah on balance sheet yang berarti bank ikut serta dalam proyek tersebut
dan mendapat bagi hasil; sedangkan Mudharabah Muqayyadah of balance sheet
bank hanya sebagai konsultan yang akan mendapat komisi karena telah
mempertemukan pemilik dana dengan pelaksana usaha.
3) Muzara’ah
Menurut bahasa, kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan
mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah
memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau
semisalnya.
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra
pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau
tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no:
1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no:
1401). Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia
berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil
sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah
Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah,
Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh
petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak. Dalam Fathul Bari V: 10,
Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah mempekerjakan orang-orang untuk
menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat
separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka
18 | A k a d E k o n o m i I s l a m
mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan
menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara
mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian
hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini untuk si
pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik
tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq”. Dari Hanzhalah bin Qais dari
Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa
mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang
tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik
tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya
kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak
mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal
tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan
haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di
dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347
dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij
perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa.
Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan
(sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan
beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat
sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan
ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti
dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183
no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43)
D. Akad Memberi Kepercayaan
1) Al Kafalah
Merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua/yang ditanggung. Ada 5 jenis Kafalah, yaitu :
Kafalah bin Nafs, yaitu akad yang memberikan jaminan atas diri seseorang yang
dihormati dan disegani
Kafalah bin Maal, yaitu jaminan pembayran barang/pelunasan barang
19 | A k a d E k o n o m i I s l a m
Kafalah bin Taslim, yaitu akad yang biasa dilakukan untuk menjamin
pengembalian atas barang yang disewa pada masa sewa berakhir
Kafalah Al Munjazah, yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu
dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu
Kafalah Al Muallaqoh, yaitu penyederhanaan dari kafalah Al Munjazah baik oleh
industri perbankan asuransi.
2) Al Hawalah
Kata hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal
dari kata tahwil (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa
mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab. Sedang
menurut fuqaha, para pakar fiqih, hawalah adalah pemindahan kewajiban melunasi
hutang kepada orang lain.
Barangsiapa yang mempunyai hutang namun dia mempunyai piutang pada orang
lain yang mampu, kemudian dia memindahkan kewajiban membayar hutangnya
kepada orang lain yang mampu itu, maka orang yang mampu tersebut wajib
menerima kewajiban itu.
Rasulullah saw bersabda: “Penundaan orang yang mampu (melunasi hutang) itu
adalah zhalim, dan apabila seorang di antara kamu menyerahkan (kewajiban
pembayaran hutangnya) kepada orang kaya, maka terimalah.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 5876).
3) Al Jualah
Ju’alah ialah pemberian fee (hadiah) kepada pihak yang berhasil memenangkan
(melaksanakan) suatu pekerjaan atau prestasi tertentu.
E. Akad Memberi Ijin / AL Wakalah
Merupakan pelimahan kekuasaan oleh seseorang sebagai pihak pertama kepada orang
lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang diwakilkan. Pihak kedua hanya melaksankan
sesuatu sebatas kuasa/wewenang yang diberikan oleh pihak pertama.
20 | A k a d E k o n o m i I s l a m
top related