a. latar belakang masalahetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/107728/potongan/si-2016... ·...
Post on 01-May-2019
224 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Film, sebagai medium penyampai pesan adalah salah satu media yang
paling diminati khalayak. Tak sekedar menonton, khalayak biasanya melakukan
pembahasan akan film yang ditonton. Pembahasan bisa lewat obrolan ringan,
hingga ke diskusi yang serius. Salah satu faktor yang membuka ruang
kemungkinan terciptanya perbincangan maupun diskusi tentang film, adalah
adanya interpretasi yang berbeda-beda. Variasi Interpretasi tiap penonton,
berkontribusi menjadi pemantik obrolan-obrolan. Setiap individu memiliki
interpretasi yang berbeda-beda terhadap teks media massa. Beberapa faktor
seperti pengalaman, maupun latar belakang khalayak, sedikit banyak berpengaruh
pada diverivikasi tafsir, walaupun yang media yang dikonsumsi sama.
Hingga tahun ini, film semakin menjadi primadona untuk menyampaikan
pesan. Mengingat ada sebuah masalah yang belum tuntas di Indonesia, melalui
medium film Joshua Oppenheimer mencoba menyampaikan pesan rekonsiliasi
terkait tragedi 1965. Joshua menyampaikan pesan tersebut melalui film berjudul
Senyap.“Film ini menggambarkan betapa dasyat kebutuhan rekonsiliasi di
Indonesia sekarang.1” ungkap Joshua dalam sebuah wawancara dengan BBC,
sedang di dalam booklet DVD film Senyap ia menuliskan “kami berharap pesan
film Senyap ini mencerminkan optimisme kami: rekonsiliasi adalah jalan berat
bukan jalan yang tak mungkin.”
Kembali melihat kebelakang, pada tahun 1965 terjadi sebuah pembantaian
besar-besaran di negeri ini. Pembantaian yang ditujukan kepada anggota Partai
Komunis Indonesia(PKI) dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya. 1 Ging, Ginanjar. 2014. Oppenheimer: Kita Tidak Bisa Lari Dari Sejarah. Terarsip di http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2014/11/141110_wwc_oppenheimer_ging diakses pada 27 februari 2015.
2
Kini 50 tahun berlalu, kebenaran belum diungkap, keadilan belum ditegakkan.
Tendensinya justru legitimasi pembantaian tersebut dianggap sebagai bukan
sebuah kesalahan yang perlu diperbaiki.
Turunnya rezim Soeharto yang menjadi penanda berakhirnya Orde Baru di
Indonesia pada tahun 1998, tak lantas menghentikan wacana anti-komunis yang
telah memiliki pondasi yang kuat. Salah satu aspek penting yang memberikan
kontribusi terhadap bagaimana ideologi anti-komunis dibentuk oleh rezim Orde
Baru dan dapat bertahan dalam waktu yang sangat lama adalah kampanye
kebudayaan dalam melegitimasi kekerasan terhadap simpatisan komunis pada
1965-19662.
Narasi utama yang dikenal bangsa ini tentang tragedi 1965, adalah cerita
versi Orde Baru, yang dipropagandakan melalui berbagai macam media. Salah
satu yang paling dikenal adalah Pengkhianatan G30S/PKI yang hadir dalam
bentuk film (Arifin C. Noer,1984) dan novel (Arswendo Atmowiloto). Secara
garis besar, film produk Orde Baru itu menunjukan bagaimana Komunisme adalah
sebuah idelogi yang kejam dan tidak bermoral.
Upaya rekonsiliasi terhadap peristiwa tersebut masih sulit dilakukan,
walau Indonesia sudah memasuki era reformasi. Pada November 2000 Yayasan
Peneilitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) melakukan penggalian
tulang belulang korban pembunuhan massal yang dilakukan oleh militer di bawah
komando Jendral Soeharto sebagai akibat dari peristiwa 30 September 1965.
Bersama keluarga korban, YPKP hendak melakukan pemakaman ulang, namun
dihalangi oleh sekelompok orang yang menamakan diri FUIK (Forum Ukhuwah
Islamiyah Kaloran). FUIK secara tegas menolak pemakaman yang hendak
dilakukan di desa mereka, Kaloran. Mereka mengancam para pengurus upacara,
2 Wijaya Herlambang. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Jakarta: Marjin Kiri. Hal 31-32
3
merampas dan menghancurkan dan memporak-porandakan tulang belulang
korban3
Orde Baru juga telah mengamankan wacana ini melalui Tap MPRS
XXV/1966, yang berisi tentang pelarangan penyebaran paham komunisme karena
dianggap bertentangan dengan pancasila. Pada era singkat presiden Gus Dur
berkuasa, Tap MPRS ini sedang direncanakan untuk dicabut. “TAP tersebut jadi
karena semata-mata hawa nafsu seseorang yang takut dinamakan dia PKI. Saya
ini lahir dari keluarga bukan PKI, tetapi saya tahu hak orang” ungkap Gus Dur
dalam dialog rutin usai Shalat Jumat di Masjid Al-Munawaroh, Ciganjur, Jakarta,
Jumat 31 Maret 2000 lalu. Namun belum sempat mencabut, Gus Dur lebih dulu
lengser dari jabatannya. Belum lama ini, pada era kampanye Jokowi-JK, tim
sukses mereka, Prof Dr Musdah Mulia, mengatakan bahwa Jokowi akan mencabut
Tap MPRS tersebut. Wacana mengejutkan ini lantas mendapat respons negatif.
salah satunya dari Budayawan Ridwan Saidi yang mengatakan “Komunis itu,
ajaran yang memiliki pengalaman kelam di Indonesia, dan bangsa ini berjuang
dengan darah untuk membasmi faham itu.”
Kini, 17 tahun setelah reformasi, mulai muncul beberapa kajian-kajian
tentang peristiwa 1965. Beberapa karya untuk merekonstruksi dan rekonsiliasi
seperti buku Dalih Pembunuhan Masal—yang memenangi International
Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007—karya John Roosa dan film
Jagal dan Senyap karya Joshua Oppenheimer, tidak berjalan tanpa kekerasan.
Buku John Roosa sempat dilarang terbit oleh Kejaksaan Agung pada tahun 20094.
Sementara film karya Joshua Openheimer yang banyak mendapat penghargaan
internasional, juga mendapat pelarangan dari banyak pihak.
3 Ibid., Hal 3. 4 Anton Septian. 2009. Kejaksaan Akan Sita Buku Dalih Pembuhan massal terarsip di
http://www.tempo.co/read/news/2009/12/28/058216004/ diakses pada tanggal 27 februari 2015.
4
Film kedua Joshua Openheimmer, Senyap berisi upaya rekonsiliasi tentang
salah seorang keluarga korban pembantaian massal 1965. Seperti film
sebelumnya—Jagal—yang menuai kontroversi dan pencekalan, di film Senyap
pun mendapat respons demikian. Bahkan lebih dari itu, pemutaran-pemutaran film
Senyap juga dibubarkan paksa. Pelarangan ini bahkan masuk hingga ke level
kampus.
Diawali dari pelarangan pemutaran oleh pihak kampus di Universitas
Brawijaya, hingga yang terbaru, pelarangan pemutaran di kampus Universitas
Sanata Dharma. Sebelumnya pembubaran paksa juga terjadi di kampus Institut
Seni Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Pada dua nama terakhir,
pembubaran dilakukan oleh Forum Umat Islam (FUI) yang pada saat orasi
pembubaran, terekam mengatakan sebagai alumni UGM5.Pembubaran Ini menjadi
bukti bahwa, represi budaya masih eksis bahkan di tingkat kampus, tempat di
mana diskusi ilmiah terbuka seluas-luasnya. Bahkan Tap MPR XXV/66 buah
Orde Baru pun sebenarnya telah mengizinkan kajian-kajian terkait komunisme
dikaji untuk wilayah kampus.
Senyap, berdasarkan sang pembuat film, memiliki sebuah wacana mulia,
yakni upaya rekonsiliasi. Disini, peneliti ingin melihat bagaimana wacana itu
diinterpretasi oleh kalangan mahasiswa FISIPOL UGM. Senyap menjadi sangat
menarik untuk dikaji karena film ini adalah film paling kontemporer terkait
dengan wacana rekonsiliasi konfilk 65. Film ini juga menjadi film terbaik di
beberapa media, dan mendapat beberapa penghargaan internasional. Prestasi-
prestasi film tersebut menguatkan sebagai indikator kelayakan akan sebuah film
untuk diteliti, selain tentunya substansi utama film ini.
Penelitian difokuskan di FISIPOL UGM, karena adanya antusiasme tinggi
terhadap film ini, yang di saat bersamaan juga terjadi penolakan yang diikuti
pembubaran paksa di FISIPOL. Pemilihan objek penelitian di kampus, juga untuk 5 Titah Winedar.2014. Kronologi Pembubaran Diskusi Dan Pemutaran Film Senyap Di UGM terarsip di http://www.warningmagz.com/2014/12/18/kronologi-pembubaran-diksusi-dan-pemutaran-film-Senyap -di-ugm diakses pada tanggal 27 februari 2015
5
mengukur bagaimana khalyak kampus FISIPOL menerima pesan rekonsiliasi
yang dibawa oleh film Senyap.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana mahasiswa FISIPOL UGM memaknai wacana rekonsiliasi
tragedi 1965 dalam film Senyap karya Joshua Oppenheimer?
C. Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan fenomena the intellectual audiens dalam meresepsi
sebuah film dokumenter
2. Mendeskripsikan keragaman resepsi film Senyap oleh mahasiswa
FISIPOL UGM.
3. Mengetahui aspek-aspek yang ikut membentuk proses pemaknaan
wacana rekonsiliasi konfilk dalam film Senyap
D. Manfaat Penelitian
1. Penelitian bisa menjadi acuan buat para pembuat pesan melalui
medium film, untuk melihat bagaimana pesan yang mereka sampaikan
diinterpretasi oleh khalayak
2. Memberikan kontribusi dalam kajian Ilmu Komunikasi yang berkaitan
dengan dunia kajian khalayak terhadap film dokumenter
6
E. Kerangka Pemikiran
1. Audiens
Dalam sebuah proses komunikasi, audiens—disebut juga dengan khalayak—
adalah pihak yang menerima pesan atau biasa disebut juga komunikan. Akan
tetapi tidak semua komunikan merupakan audiens. Karena, audiens adalah
komunikan dalam proses komunikasi massa. Audiens adalah komunikan yang
mengonsumsi media massa seperti surat kabar, televisi, musik, film dan
seterusnya. Menurut Wilbur Schramm, istilah audiens merupakan istilah kolektif
untuk penerima pesan (receivers) dalam model proses komunikasi massa.
Istilah audiens sendiri awalnya merujuk pada penonton pertunjukan musik,
teater, atau pertandingan olahraga pada masa Yunani dan Romawi. Kemudian
istilah ini mengalami berbagai penyesuaian sesuai dengan perkembangan media.
Misalnya penerima pesan komunikasi massa disebut pendengar radio (listeners),
media cetak disebut audiens pembaca (reader), dan dalam televisi disebut audiens
pemirsa (viewers). Berkaitan dengan perkembangan tersebut, secara sederhana
audiens dapat didefinisikan sebagai penerima atau pengonsumsi teks media
Penelitian audiens dan media memiliki beberapa pandangan tentang
karakteristik audiens, terkait dengan bagaimana audiens mengonsumsi media.
Awalnya, penelitian media berpendapat bahwa media massa merupakan sarana
yang paling efektif dalam menyampaikan pemikiran dari kelompok yang lebih
dominan ke populasi massa yang lebih luas. Pandangan lama ini memposisikan
masyarakat atau massa sebagai audiens pasif yang dapat dipengaruhi oleh media
secara terus menerus dan tanpa mereka sadari telah dipengaruhi oleh pengirim
pesan. Hal ini ditunjukan dalam teori jarum hipodermik yang banyak dikritik dan
diperdebatkan.
7
Dalam model ini, masyarakat merupakan massa, sementara komunikasi massa
menyuntikan ide, sikap, dan sifat yang mengarah pada perilaku pasif dan mudah
terpengaruh6. Berdasarkan teori ini, audiens menerima begitu saja sepenuhnya
pesan dari media massa. Media massa berada di posisi yang kuat dan
mendominasi khalayaknya. Media massa dengan perbandingan jumlah yang lebih
sedikit, sebagai suatu lembaga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini
audiens mengenai suatu hal.
Dalam media massa, ada tiga sub-kelompok dasar dari audiens. Sub-kelompok
ini dibagi menjadi tiga yaitu the illiterate, the pragmatist, dan the intellectual.
Untuk mengkaji audiens dapat dimulai dengan mengenali karakterisitiknya.
Pertama, seorang audiens dapat diartikan dalam cara yang saling bersinggungan
dan berbeda: oleh tempat (sebagaimana dalam kasus media lokal); oleh orang-
orang (seperti ketika media menggolongkannya sebagai pertimbangan kepada
kelompok tertentu, jenis kelamin, kepercayaan politik atau kategori pendapatan);
oleh tipe fakta khusus dari media atau saluran yang terlibat (kombinasi dari
teknologi dan organisasi); oleh isi dari pesan tersebut (genre, persoalan, dan
gaya); oleh waktu (sebagaimana waktu seseorang berbicara tentang audiens
‘daytime‘ atau ‘primetime‘, atau audiens yang cepat berlalu dan berjangka pendek
yang dibandingkan dengan audiens yang bertahan lama).7
Lebih lanjut, untuk mengkaji audiens, ada beberapa isu utama dan
permasalahan yang dapat menjadi perhatian. Misalnya kecanduan akan
penggunaan media tertentu, masyarakat audiens dan pemisahan sosial, perilaku
audiens (kepasif-aktifan), manipulasi atau ketahanan terhadap media, hak audiens
minoritas, dan dampak dari teknologi media baru.
6 Todd Gitlin. 2002. Media Sociology: The Dominant Paradigm. dalam Denis McQuail (ed).
McQuail‟s Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications. hal. 29. 7 Denis McQuail. 2002. Reader in Mass Communication Theory. London: SAGE Publications Ltd. hal. 396
8
Media dan audiens memiliki hubungan yang lebih kompleks. Tidak sebatas
bahwa media dapat mempengaruhi audiens. Para teoritisi media pun masih
memperdebatkan konseptualisasi audiens. Apakah audiens merupakan masyarakat
massa (mass society) atau komunitas (community) dan gagasan mengenai audiens
pasif atau audiens aktif8.Pandangan mengenai masyarakat massa (mass society)
senada dengan teori-teori powerful effect yakni bahwa media memiliki kekekuatan
yang besar dalam mempengaruhi audiens. Dalam pemikiran ini, audiens
dipandang sebagai suatu populasi besar yang dapat dibentuk dan atau diarahkan
oleh media. Pandangan ini serupa dengan pandangan bahwa audiens bersifat pasif
(passive audience).
Sebagai komunitas, audiens dipandang sebagai anggota dari kelompok kecil
yang dapat dibedakan dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Audiens sebagai
community terdiri dari beragam kelompok, masing-masing dengan nilai, ide dan
minatnya sendiri. Richard T. La Piere dalam bukunya Theory of Social Control
menyatakan bahwa lingkungan inti seperti rumah, keluarga, dan jaringan
persahabatan lebih mempengaruhi nilai, sikap, dan perilaku individu ketimbang
media9.
Khalayak mengonsumsi media untuk memperoleh apa yang mereka cari,
bukan menyerahkan diri kepada media untuk dipengaruhi. Seseorang tidak begitu
saja dengan mudah mengubah keyakinan atau pendapatnya tentang sesuatu,
apalagi ada jarak dalam hubungan media dengan individu. Individu lebih
mempercayai lingkungan sosial terdekatnya. Hubungan sosial yang tercipta
menjadi penyaring hubungan impersonal dengan media massa. Lalu, pesan media
akan diterima bila itu sesuai dengan pesan di lingkungan sosialnya.
8 Stephen W. Littlejohn. 2002. Theories of Human Communication. Belmont, CA: Wadsworth
Thomson Learning. hal. 310. 9 Jay W. Jensen, Theodore Peterson, & William L. Rivers. 2003. Media Massa dan Masyarakat
Modern. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana. hal. 41.
9
Gagasan audiens sebagai community ini sejalan dengan gagasan tentang
audiens yang aktif dalam membuat keputusan penggunaan media atau disebut
juga audiens aktif (active audience). Selanjutnya, audiens aktif tersebut bukan
terbatas pada penggunaan atau pemilihan media. Dalam kajian lanjutan mengenai
audiens, audiens dipandang aktif dalam memaknai pesan-pesan media (active
interpreter) dan tidak begitu saja menerima pesan yang dimaksud komunikator.
Untuk target audiens pada penelitian ini sendiri, diperkirakan akan masuk di
kategori the pragmatist dan the intelectual mengingat target audiens adalah
mahasiswa FISIPOL UGM yang sudah pasti masuk di salah dua kategori tersebut.
2. Analisis Resepsi Dalam Studi Khalayak
Jensen dan Rosengren membagi riset khalayak dalam lima tradisi, yaitu studi
efek (effect), uses and gratifications, literary criticism, cultural studies dan
analisis resepsi (reception analysis).10 Tradisi tersebut kemudian disederhanakan
menjadi tiga pokok studi khalayak, yakni structural tradition, behavoruist
tradition, dan cultural tradition-reception analysis.
Structural tradition adalah riset khalayak yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan media massa dalam mengidentifikasi khalayaknya. Penelitian dalam
tradisi ini pada umumnya berjenis kuantitatif. Kemudian Bahaviourist tradition
banyak mengkaji penggunaan dan efek media. Kajian mengenai efek media
umumnya menganggap bahwa khalayak bersifat pasif dan mudah terkena efek
media yang sebagaian besar dipersepsikan negatif. Sementara kajian penggunaan
media lebih melihat khalayak sebagai individu yang aktif dalam memilih media
yang dibutuhkan.
Cultural tradition, termasuk di dalamnya analisis resepsi, merupakan tradisi
baru dalam studi khalayak. Cultural tradition berada dalam ranah ilmu sosial
10 Dennis McQuail. 1997. Audience Analysis. California: SAGE Publication. Hal 16.
10
sekaligus humaniora dan banyak mengkaji budaya populer. Tradisi ini
menekankan penggunaan media sebagai refleksi konteks sosial budaya tertentu
dan sebagai proses memberikan makna terhadap produk budaya dan pengalaman
sehari-hari. Tradisi ini juga menolak egek stimulus-respons dan pandangan umum
bahwa pesan memiliki kekuatan besar. Analisis resepsi sendiri merupakan bagian
dari studi budaya modern yang menekankan pada studi mendalam terhadap
khalayak sebagai bagian dari interpretive communities.
a. Analisis Resepsi
Analisis resepsi merupakan salah satu fokus studi yang mengkaji audiens
aktif. Tradisi ini mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang aktif dalam
proses pemaknaan. Konsep penting dari analisis resepsi adalah bahwa makna teks
media tidak melekat pada teks media tersebut, tetapi diciptakan dalam interaksi
antara audiens dengan teks.11
Sebagai respons terhadap tradisi keilmuan dalam ilmu sosial, analisis
resepsi menandakan bahwa studi tentang pengalaman dan dampak media—
kuantitatif atau kualitatif, seharusnya didasarkan pada teori representasi dan
wacana. Studi ini seharusnya tidak sekedar menggunakan operasinalisasi, seperti
penggunaan skala dan kategori semantik. Sebaliknya sebagai respon terhadap
studi teks humanistik, analisis resepsi menyarankan baik audiens maupun konteks
dalam komunikasi massa perlu dilihat secara sosial dan menjadi objek analisis
empiris. Perpaduan dari kedua pendekatan (persepektif sosial dan diskursif) itulah
yang kemudian melahirkan konsep produksi sosial terhadap makna (the social
production of meaning).12
11 Ido Prijana Hadi. 2008. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis. dalam Jurnal
Ilmiah Scriptura.Vol.(2).No.1.hal.1-7. Terarsip di:
http://puslit.petra.ac.id/journals/pdf.php?PublishedID=IKO09030101. Diakses: 1 Mei 2015 12 Klaus Bruhn Jensen. 1993“Media Audiences. Reception Analysis; mass communication as the
social production of meaning”. Dalam Klaus Bruhn Jensen and Jankowski, W Nicholas. 1993. A
Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Second Edition. London:
Rotledge. Hal 137
11
Secara umum, analisis resepsi memiliki dua premis yaitu teks media
mendapatkan makna pada saat penerimaan, dan bahwa audiens secara aktif
memproduksi makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-
teks sesuai dengan posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Premis kedua, sebagai
landasan penelitian, menyiratkan bahwa pesan-pesan media secara subjektif
dikontruksikan audiens secara individual, bahkan ketika media berada dalam
posisi paling dominan. Premis ini memposisikan audiens sebagai makhluk bebas
yang mempunyai kekuatan besar dalam pemaknaan atau pemberian makna
terhadap pesan.13
Analisis resepsi mengkaji audiens sebagai penerima pesan yang aktif
dalam proses pemaknaan pesan. Studi ini melewati tiga generasi. Generasi
pertama adalah penelitian resepsi (reception research), Kedua etnografi khalayak
(audience ethnography) dan ketiga pandangan konstruksionis (constructionist
view).
Penelitian resepsi salah satunya didominasi oleh pandangan Stuart Hall.
Pendekatan semiotiknya terhadap pesan melihat komunikasi sebagai proses di
mana suatu pesan dikirim dan diterima dengan efek tertentu. Semiotika yang
diperkenalkannya menekankan pada interpretasi pesan media. Hall juga
mengenalkan konsep encoding dan decoding dalam proses pengiriman dan
penerimaan pesan. Gagasan encoding oleh pengirim pesan dan decoding oleh
penerima pesan. Pesan yang dikirim dan diterima tidak lagi identik. Khalayak
yang berbeda akan melakukan decoding pesan secara berbeda pula.
Analisis resepsi memandang khalayak bersifat aktif. Khalayak tidak begitu
saja mangamini pesan media. Khalayak juga memiliki latar belakang dan
pengalaman sendiri yang mempengaruhi pemikirannya dalam melakukan
pemaknaan pesan media. Media tidak dapat memaksakan khalayak untuk
13 David Croteau & William Hoynes. 2003. Media/Society: Industry, Images, and Audiences.
London: Pine Forge Press. hal 274
12
menerima pesan media seperti yang dimaksudkan. Khalayak memiliki kesempatan
terbuka untuk melihat dan memaknai teks dengan caranya sendiri.
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Denis McQuail dalam bukunya
Audience Analysis. McQuail menyatakan bahwa analisis resepsi yang termasuk
dalam studi kultural (cultural studies) menekankan pada penggunaan media
(media use) sebagai refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses
pemaknaan pesan pada produk budaya serta pengalaman-pengalaman.14
McQuail juga menjelaskan bahwa studi resepsi berkembang dan
menekankan gagasan kepada audiens sebagai interpretive communities. Pada
audiens penasfir, teks dan pesan-pesan media dimaknai secara bebas oleh audiens
menurut lingkungan sosial dan budaya dimana aktivitas berbagi pengalaman-
pengalaman pemaknaan terjadi. Melalui proses decoding dan pemaknaan terhadap
teks media, maka masyarakat sebagai audiens memiliki kekuatan untuk bertahan
dari dominasi media massa.
Penelitian mengenai analisis resepsi ini menekankan studi mendalam
terhadap audiens yang interpretatif. Hal ini menekankan penggunaan media
sebagai refleksi terutama dari konteks sosio-kultural dan sebagai proses dari
pemberian makna kepada produk budaya dan pengalaman dari kehidupan sehari-
hari. Kristen Drotner menggolongkan etnografi audiens dalam tiga fitur utama,
yaitu: lebih melihat kepada sekelompok orang daripada isi media; mengikuti
kelompok dalam lokasi yang berbeda; dan tinggal cukup lama untuk menghindari
prasangka. Analisis resepsi secara efektif berfungsi pada penelitian audiens dari
cultural studies moderen, daripada sebuah tradisi independen.15 Dan poin-poin
utama dari tradisi kultural riset audiens dapat diringkas sebagai berikut:
14 McQuail. Op. Cit. hal 18 15 McQuail. Op. Cit. hal 440
13
1) Teks media harus ‘dibaca‘ melalui sudut pandang dari audiensnya, yang
membangun tujuan dan kesenangan yang ditawarkan oleh teks media (dan
hal ini bukanlah sesuatu yang pasti atau terprediksi).
2) Proses dari penggunaan media dan cara yang mana terbuka pada konteks
khusus yang berada pada obyek perhatian utama.
3) Penggunaan media adalah situasi yang tipikal-spesifik dan berorientasi
pada tugas sosial yang mana mengembangkan partisipasi dalam komunitas
interpretative
4) Para audiens untuk genre media tertentu seringkali terdiri secara terpisah
dari komunitas interpretatif yang mana membagi banyak bentuk dari
wacana dan kerangka kerja untuk mengertikan media.
5) Audiens tidak pernah benar-benar pasif, tidak satupun dari anggota mereka
yang sama, semenjak ada yang lebih berpengalaman atau lebih
menggemari daripada lainnya.
6) Metodenya harus ‘kualitatif‘ dan mendalam, seringkali etnografi, catatan
tentang isi, serta tindakan dari resepsi dan konteks secara bersamaan.16
Interaksi antara audiens, teks, pembuat dan budaya itu sendiri sudah
kompleks, dan hanya dapat dijelaskan melalui aplikasi yang diskursif dan metode
etnografi: yang mana, melalui interpretasi, bahasa yang detail dalam deskripsi dan
observasi yang sangat detail dan wawancara mendalam.
3. Film Sebagai Medium Penyampai Pesan
Film merupakan salah satu medium komunikasi massa yang hadir sebagai
suatu teknologi yang mampu mentransformasikan tradisi seni pertunjukan lama
kepada cara yang baru. McQuail menyatakan, film hadir di abad 19 sebagai
teknologi baru yang menawarkan konten dan fungsi yang hampir baru juga.
16 McQuail. Op. Cit. hal 404
14
Film memperkenalkan hiburan dengan cara presentasi dan distribusi baru,
menawarkan cerita, pertunjuan, komedi, dan trik-trik teknis untuk konsumsi
popular.17
Sebagai media massa, film mengalami perkembangan yang cukup pesat
dari masa ke masa. Film terus berkembang dari segi penonton, teknologi
perfilman, distribusi, hingga genre film tersebut. Masing-masing negara di
belahan bumi ini memiliki sejarah perfilman dan ciri khas genre film tersendiri.
Perkembangan yang pesat tersebut membuat banyak akademisi melirik
film beserta unsur-unsur yang terdapat didalamnya untuk dikaji secara akademis.
Jowett dan Linton seperti dikutip oleh Austin menyatakan film sebagai media
massa banyak diteliti oleh akademisi sebagai objek penelitian, baik dari segi
audiens maupun konten, karena perkembangan film mampu memunculkan
perdebatan-perdebatan.18
Film diproduksi dan dikirim oleh komunikator professional atau lembaga.
Komunikator professional terdiri dari sutradara, produser dan pihak-pihak yang
terkait dengan production house penghasil film yang bersangkutan. Film pada
umumnya membidik pasar audiens tertentu berdasarkan hal-hal tertentu di
masyarakat. Misalnya umur, kultur, status ekonomi dan terkadang gender. Film
disampaikan oleh pembuat film (filmmaker) sebagai komunikator profesional
(perusahan produsen film) dan umumnya didistribusikan melalui perusahaan
distributor film baik skala besar maupun kecil, nasional maupun internasional.
Film, sebagai medium komunikasi massa, mampu menjangkau audiens
dalam skala besar bahkan, ia mampu menjangkau populasi yang berada di daerah
terpencil, dengan catatan ketersediaan alat dan teknis yang mampu memutar film.
17 McQuail. Op. Cit. hal 32 18 Bruce A. Austin. 1991.Movies as Mass Communication. Terarsip dalam Canadian Journal of Communication Vol. 16 No 2. http://www.cjc-online.ca/index.php/journal/article/view/617/523. Diakses tanggal 22 April 2015
15
Jangkauan penonton yang luas membuat film acapkali dibuat untuk
menyampaikan suatu pandangan tertentu yang diangkat dari realiatas dan
fenomena sosial di masyarakat. McQuail menyatakan bahwa film sebagai medium
komunikasi massa mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat propaganda. Secara
tersirat dan bahkan tersurat banyak film yang memasukan unsur-unsur ideologi ke
dalam alur ceritanya. Fenomena semacam ini berakar dari keinginan untuk
merefleksikan kondisi masyarakat atau mungkin juga bersumber dari keinginan
untuk memanipulasi.19
Salah satu yang terkenal, adalah bagaimana sutradara asal Jerman, Leni
Riefenstahl mempropagandakan idelogi-idelogi Nazi melalui film Triumph of the
Will. Film yang dirilis tahun 1935 itu, disebut-sebut sebagai role model film-film
propaganda lainnya. Di Indonesia—seperti jerman yang sempat memiliki
pemerintahan dikatatorial—sebuah film propaganda serupa juga pernah dibikin.
Adalah film G30S PKI yang disutradarai oleh Arifin C. Noer, sebagai film
propaganda paling dahsyat di negeri ini. Film tersebut bertujuan untuk
mempropaganakan ideologi anti-komunis, yang berangkat dari buku 40 Hari
Kegagalan G30S.20
Dari paparan-paparan diatas dapat kita simpulkan bahwa film memiliki
peran yang cukup penting sebagai medium komunikasi massa. Ia dapat
merepresentasikan beragam persepsi, ideologi dan bahkan produk media lain.
Meskipun konten dalam film tidak dapat bersifat bebas nilai, karena konten dalam
film merupakan hasil kontruksi dan rekontruksi dari apa yang ingin disampaikan
komunikator.
a. Film Dokumenter dan Politik
Secara sederhana film dokumenter dapat diartikan sebagai film yang
mendokumentasikan kenyataan. Film dokumenter biasanya diasosiasikan sebagai
19 McQuail. Op. Cit. hal 32 20 Herlambang.Op Cit.. hal. 135
16
film nonfiksi. Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam sebuah resensi film
Moana (1926) karya sutradara Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer—
nama samara John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Prancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi,
termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini,
film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-
hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter
merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan
kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
Menurut Gerzon R. Ayawaila, dalam buku Dokumenter: Dari Ide Sampai
Produksi, film dokumenter dibagi menjadi 12 jenis sebagai berikut: Laporan
Perjalanan, Sejarah, Biografi, Nostalgia, Rekonstruksi, Investigasi, Perbandingan
& kontradiksi, ilmu pengetahuan, Buku Harian, Musik, Association Picture Story,
Dokudrama.21
Film documenter sendiri cenderung berfungsi memberikan informasi (to
inform), menghibur (entertain), mengkritik (criticize)—juga memotivasi penonton
untuk mengambil tindakan, dan untuk merayakan (celebrate). Lebih detail,
berikut beberapa fungsi film dokumenter beserta penjelasannya.22
1) Dokumenter dan waktu: Biasanya film dokumenter menampilkan masa
lalu atau masa kini.Namun dapat juga digunakan untuk meramalkan masa
depan. Seperti pada film The War Game (1965) Oleh peter Watkins,
pengetahuan pada peristiwa pengeboman kota Dresden, Hiroshima dan
Nagasaki, untuk mecuatkan dugaan akan serangan nuklir ke London.
21 Gerzon R. Ayawaila.2008. Dokumenter: Dari Ide Sampai Produksi, Jakarta: IKJ. hal 12. 22 Michael Rabiger. 1998, Directing The Documentary, Singapore: Focal Press. hal 3-6
17
2) Dokumenter sebagai penanganan kreatif atas realitas: Mencakup semua
bentuk non fiksi seperti, alam, ilmu pengetahuan, cerita tentang perjalanan,
industri, pendidikan, dan bahkan film untuk kepentingan promosi.
3) Dokumenter untuk menangani masalah sosial: Perhatian pada kualitas dan
keadilan kehidupan masyarakat, biasanya membawa film dokumenter
melampaui sekedar fakta-fakta, menuju kepada dimensi moral dan etika,
yang akan meneliti kembali penataan kehidupan masyarkat dan lebih jauh
lagi mengenai kesadaran manusia.
4) Dokumenter, individualitas dan cara pandang: Emile Zola, seorang
saastrawan Perancis terkemuka, menyatakan bahwa “sebuah pekerjaan
seni adalah sudut alam yang dilihat melalui sebuah watak tertentu.” Maka
setiap dokumenter akan menghadirkan keterlibatan kondisi manusia yang
segar, unik, dan memikat.
5) Dokumenter sebagai sebuah cerita yang terorganisasi: Film dokumenter
yang sukses, seperti layakya film fiksi, memerlukan cerita yang bagus
dengan karakter yang menarik, penekanan-penekanan melalui narasi, dan
sudut pandang yang lengkap.
6) Rentang bentuk dokumenter: Sebuah film dokumenter dapat terkontrol dan
melalui perenungan, spontan dan tak dapat diduga, puitis dan
mengesankan, sangat observatif, memuat komentar atau bahkan tidak ada
narasi sama sekali, menginterogasi subyek, bahkan menyergap atau
menangkap basah subyek. Dapat memaksa atau meminta, menggunakan
kata-kata, gambar, musik, atau perilaku manusia. Bisa menggunakan
literatur, seni teater, tradisi lisan dan bantuan musik, lukisan, lagu, essai,
atau koreografi.
7) Ketelitian untuk melihat situasi yang ada berhadapan dengan kenyataan
yang seungguhnya.: Film dokumenter tidak memiliki batasan, tetapi film
dokumenter selalu memantulkan daya tarik dan rasa hormat pada
aktualitas. Aktualitas adalah sesuatu yang obyektif, yang dapt dilihat,
diukur, dan kita setujui bersama.
18
8) Dokumenter untuk menggugah sebuah kesadaran: Salah satu fungsi ini
adalah ketika penonton merasa adanya pertentangan batin untuk
direnungkanSeperti misalnya film dokumenter tentang pendidikan pra
prajurit muda. Di satu sisi penonton merasa penting untuk mendidik para
parajurit dengan disiplin tinggi, di satu sisi ada rasa kemanusiaan yang
kadang terusik karena yang tampak seolah hanya kekerasan semata.
9) Dokumenter sebagai sebuah bentuk seni sosial: Tujuannya adalah untuk
mengarahkan kepada penonton, pengalaman-pengalaman pembuatnya
dalam perjuanganya untuk memahami setiap kejadian khusus yang tengah
terjadi.Film biasanya dibuat oleh suatu kelompok, sehingga kesadaran ini
akan muncul dalam diri individu-individu yang terlibat di dalamnya. film,
dan khususnya dokumenter, adalah suatu bentuk seni sosial.
Berdasarkan banyak kritikus film, film dokumenter dimaknai sebagai
mediated reality. Mediate dapat diartikan sebagai perantara dua pihak atau
berfungsi sebagai penyalur.23 Berikut bagaimana film documenter menjadi
perantara realitas dan penonton(viewer). :
Reality -> Documentary Film -> Viewer
Dokumenter bukanlah realitas, Ia berfungsi sebagai perantara bagi realitas
dan penonton. Sebuah film dokumenter mungkin merepresentasikan realitas
secara objektif, namun sebenarnya tidak. Film dokumenter tidak pernah objektif,
dan kebenarannya bukan tidak terbantahkan. Ia adalah produk dari banyak pilihan,
rekaman dan manipulasi dari pembuat film.
Sementara kelindan film dokumenter dengan politik, tampak pada salah
satu fungsinya, sebagai alat untuk menyebarkan propaganda, atau menjalankan
fungsinya sebagai alat untuk mengkritik. Sebagai sebuah medium propaganda,
film mempunyai jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas yang
hebat karena film mempunyai kemampuan untuk menjangkau sekian banyak
23 William Philips.2009. Film And Introduction. London: Bedford. Hal 364
19
orang dalam waktu yang cepat dan kemampuannya untuk memanipulasi
kenyataan yang tampak dalam pesan fotografis tanpa kehilangan kredibilitas.
Mulai dari abad ke 20, politik dan film mulai berkelindan dalam
melakukan rekonstruksi Perang Boer di Balkan.24 Film terbukti sangat berguna
untuk agenda politik dan kepentingan militer saat film mampu menjangkau
banyak orang dan bisa menciptakan penolakan imaji akan musuh. Film
propaganda paling awal, dibuat oleh Vitagraph Studios pada saat perang Spanyol-
Amerika di tahun 1898. Lalu film propaganda, yang hadir dalam bentuk film
panjang pertama, dibuat oleh kerajaan Romania dengan tajuk Independenţa
României pada tahun 1912. The Birth of a Nation juga tercatat sebagai film
propaganda generasi awal. Beberapa film diatas adalah contoh film propaganda
yang menjalankan kepentingan politik pihak yang berkuasa, dan sifatnya pun film
fiksi.
Berbeda dengan film-film fiksi propaganda pemerintah yang berkuasa,
film dokumenter cenderung dipakai sebagai senjata politik untuk perlawanan
terhadap neo-kolonialisme dan kapitalisme sacara umum. Khususnya di Amerika
latin, La Hora de los hornos karya Octavio Getino and Arnold Vincent Kudales
Sr. yang menginspirasi sutradara-sutradara pada zamannya. Dari banyaknya film
dokumenter politik yang diproduksi pada tahun 1970,
Kelindan film dan politik semakin jelas mengingat film punya sejarah
panjang tak hanya membentuk kekerasan politik, perang dan pembantaian, tapi
juga menunjukan bagaimana itu terjadi. Berangkat dari situ memahami bagaimana
gambar gerak bisa berdampak pada imiginasi dan aksi dari pelaku maupun korban
dari kekerasan sangatlah penting.25
24 Stern, Frank. 2000. Screening Politics: Cinema and Intervention. Georgetown Journal of International Affairs. February 2012. 25 Joshua Oppenheimer.2013. Killer Image. New York: Columbia University Press. hal 1.
20
Urgensi pemahaman itu, bisa dilihat dari contoh kekerasan-kekerasan yang
terjadi Afrika yang menggunakan film sebagai senjata politik mereka. Di Liberia
misalnya, saat perang sipil berlangsung Joshua Wilthon Blahyi melakukan
pemutaran film aksi kepada para tentara yang masih anak-anak, yang mana di film
tersebut menunjukan bagaimana seorang yang terbunuh dalam sebuah film bisa
berperan lagi di film lainnya. Hal ini membuat anak-anak cenderung lebih mudah
untuk melakukan pembunuhan. Hal serupa juga terjadi di Sierra Leone, dimana
film Rambo yang rilis tahun 1982 menjadi rujukan utama untuk tentara
pemberontak Revolutionary United Force, yang menerapkan norms-de-guerre
langsung dari Hollywood. Di penjara Guantanamo, juga melakukan hal yang
sama, mereka melakukan metode penyiksaan kepada narapidana sungguhan
berkat inspirasi film Jack Bauer yang memberikan segudang teknik menyiksa
teroris. Dari contoh-contoh tadi semakin menguatkan argumen bahwa film, baik
fiksi maupun film dokumenter, kerap berdampak langsung pada imaginasi dan
mekanisme lahirnya kekerasan massal.
Indonesia pun demikian, di Medan, sekelompok preman bioskop yang
melakukan penyiksaan terhadap mereka yang tertuduh PKI dengan referensi
langsung dari film-film Hollywood. Selain itu tentu saja, harus disebutkan contoh
populer film G30S/PKI yang mampu membuat sebuah wacana anti-komunisme
bertahan hingga sekarang. Tak hanya lewat satu film, Indonesia juga
menghasilkan beberapa film propaganda militer lainnya, seperti seperti Janur
Kuning karya Alam Surawidjaja dan Serangan Fajar karya Arifin C. Noer. Film-
film tersebut kemudian menghasilkan glorifikasi terhadap mantan presiden
Soeharto yang notabene punya catatan buruk sebagai penjahat HAM26.
b. Posisi Senyap dalam film dokumenter
26Glori K. Wadrianto. 2010. Terarsip di http://nasional.kompas.com/read/2010/10/18/14595112/Soeharto.Penjahat.Nasional-14 . Diakses pada 27 agustus 2015
21
Jika mengikuti kategori Wiliam Philips, film Senyap memiliki beberapa
fungsi. Pertama, sebagai film dokumenter untuk menangani masalah sosial.
Fungsi itu terpenuhi, karena di film ini menaruh perhatian pada dan keadilan
terhadap korban pembantaian dengan nenaruh perhatian pada kehidupan
masyarakat yang kemudian membawa film ini melampaui sekedar fakta-fakta,
menuju kepada dimensi moral dan etika, yang akan meneliti kembali penataan
kehidupan masyarkat dan lebih jauh lagi mengenai kesadaran manusia.
Di samping itu, Senyap juga berfungsi sebagai film dokumenter untuk
menggugah sebuah kesadaran. Hal ini berangkat dari isi film yang menghadirkan
pertentangan batin untuk direnungkan. Misal pada adegan permintaan maaf yang
dituntut oleh Adi Rukun (adik korban pembantaian) kepada pelaku, namun tak
satupun kata maaf keluar. Di sisi lain, film ini juga menampilkan pembenaran-
pembenaran pelaku, yang berdalih membunuh atas perintah agama ataupun
negara. Disini, rasa kemanusiaan penonton akan terusik melihat ironi yang
ditampilkan.
Sedangkan untuk dikategorikan dalam jenis film dokumenter—
berdasarkan kategori yang dibuat Gerzon R. Ayawaila—Senyap bisa dikategorikan
pada beberapa jenis sekaligus. Pertama, sebagai dokudrama, Rekonstruksi, Investigasi
serta ilmu pengetahuan. Senyap memiliki alasan-alasan kuat untuk dikelompokan ke
empat jenis tersebut. Namun, banyak kritikus film yang bertendensi memasukan Senyap
dalam kategori Dokudrama. Dalam dokudrama, sangat mungkin terjadi reduksi
realita, mengingat dokudrama memeliki tendensi untuk mengejar keindaahan
artistik, agar gambar dan cerita menjadi lebih menarik. Namun demikian, jarak
antara kenyataan dan hasil yang tersaji lewat dokudrama biasanya tak berbeda
jauh. Dalam dokudrama, realita tetap menjadi pegangan. Begitu pula pada film
Senyap , yang menghadirkan realita berdasarkan fakta-fakta empiris.
4. Tragedi 1965 dan Rekonsiliasi Konflik
22
Dalam rentang 1965-1966 pembantaian massal paska peristiwa G30S,
berlangsung di beberapa daerah di Indonesia. Pembantaian tersebut ditujukan
kepada orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah
terjadinya Gerakan 30 September. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang
tewas dalam pembunuhan massal tersebut. Pembantaian ini menjadi salah satu
pembantaian terbesar yang terjadi pada masa damai di abad ke 20.27
Para tertuduh komunis yang selamat dari pembunuhan dijebloskan ke
berbagai penjara di Indonesia. Lebih dari sepuluh ribu lelaku dikirim ke Pulau
Buru yang terkenal menyeramkan di Kepulauan Maluku, sementara sejumlah
besar tahananperempuan dari Jawa dikirim ke penjara di desa Plantungan, Jawa
Tengah.28
Pasca pembunuhan dan penahanan, anggota keluarga dari orang-orang
yang dibunuh maupun dipenjara, mendapat perlakuan diskriminasi dari
masyarakat. Mereka dituduh “sudah tercemar” oleh komunisme, dan oleh sebab
itu tidak diperbolehkan bekerja sebagai pegawi negeri atau tentara. Tuduhan dan
stigmatisasi yang mengikutinya terus berlanjut hingga waktu yang lama, jauh
seetelah peristiwa 1965.29
Trauma masih tetap ada walau telah melewati puluhan tahun pasca
kejadian itu. Di pertengahan 90-a Suharto mencabut banyak pembatasan
terhadap mereka yang dicap terlibat. Tahanan-tahanan istimewa seperti mantan
menteri luar negeri Subandrio dan panglima Angkatan Udara Omar Dhani
dibebaskan. Namun begitu, seluruh kejadian-kejadian itu masih di bawah
kerundung penindasan mendalam.30 Bertahun-tahun lamanya pada setiap malam
27 Geoffrey Robinson, The dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca, NY: Cornell University Press. 1995. Hal. 273 28 Hj Sumiyarsi Siwirini, Plantungan: Pembuangan Tapol Perempuan. Yogyakarta: Pusdep Universitas Sanata Dharma. 2010. 29 Baskara Wardaya. 1965 Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2013. Hal 222 30 Frans Magnis-Suseno dalam buku 1965: Indonesia dan Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2013. hal
23
satu oktober ditayangkan film tentang Gestapu di TVRI yang menyajikan cerita
tragedi 1965 versi Orde Baru. Film tersebut memberi efek indoktrinasi yang luar
biasa. Terbukti ketika presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000
mengusulkan pembatalan dekrit MPRS 1966 yang melarang partai komunis dan
ajaran Marxisme-Leninisme, disambut dengan letusan kemarahan dalam
masyarakat.
a. Rekonsiliasi Konflik
Jatuhnya Soeharto membuka jalan untuk melakukan rekonsiliasi konflik.
Selasa 15 Maret 2000, Gus Dur secara terbuka meminta maaf dan dan
memberikan usulannya untuk mencabut TAP MPRS XXV/1966 di TVRI . Dalam
Sebuah tulisan berjudul Keadilan dan Rekonsiliasi31, Gus Dur Menuturkan:
“Puluhan ribu atau mungkin ratusan ribu orang dipenjarakan karena mereka
dituduh ‘terlibat’ dan bahkan memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI).
Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat menyedihkan, sedangkan
yang masih hidup banyak yang tidak memiliki hak-hak politik sama sekali,
termasuk hak memilih dalam pemilihan umum. Rumah-rumah dan harta benda
mereka dirampas. Sementara stigma (cap) mereka adalah pengkhianat bangsa
tetap melekat pada diri mereka hingga saat ini”
Pada November 2000 Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966
(YPKP) melakukan penggalian tulang belulang korban pembunuhan massal yang
dilakukan oleh militer di bawah komando Jendral Soeharto sebagai akibat dari
peristiwa 30 September 1965. Bersama keluarga korban, YPKP hendak
melakukan pemakaman ulang, namun dihalangi oleh sekelompok orang yang
menamakan diri FUIK (Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran). FUIK secara tegas
menolak pemakaman yang hendak dilakukan di desa mereka, Kaloran. Mereka
mengancam para pengurus upacara, merampas dan menghancurkan dan
memporak-porandakan tulang belulang korban.
31 Salahuddin Wahid. 2014. Terarsip di http://kompas.com/kompas-cetak/0402/14/opini/857176.html diakses tanggal 22 april 2015.
24
Pada Tahun 2003, anak-anak dari korban kekerasan, di antaranya putri
Jendral Ahmad Yani, anak-anak D.N Aidit, Supardjo dan Kartosuwirjo
membentuk Forum Silahturahmi Anak Bangsa yang hingga hari ini
mengusahakan rekonsiliasi.
b. Memahami Rekonsiliasi
Rekonsiliasi sebagai suatu bentuk resolusi konflik (conflict resolution)
akhir-akhir ini menjadi sangat populer, terutamasetelah kasus Afrika Selatan
dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (truth and reconciliation
commission), dianggapcukup berhasil. Rekonsiliasi dapat dianggap sebagai
bagianatau satu cara untuk menuntaskan konflik, dalam hal inirekonsilasi
diperlukan agar persoalan-persoalan pasca konflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi
dapat juga disejajarkanpengertiannya dengan upaya transformasi konflik,
yaitubagaimana mengubah konflik menjadi damai.
Rekonsiliasi tidak hanya berbicara tentang bagaimana membangun
hubungan yang telah retak akibat konflik, tetapi ia juga berbicara tentang suatu
konsep dan praxis yang mencoba untuk mengkerangkakan kembali makna dari
konflik secara positif. Mengacu kepada membangun kembali hubungan antar
manusia yang teralienasikan dan terpisah antaranya selama konflik berlangsung.
Rekonsiliasi terjadi tidak hanya dalam hubungan, tetapi juga pada tingkat
spiritual, sosial, struktural, dan ekologikal
Jika kita melihat lagi dari apa yang telah diungkapkan diatas maka kita
dapat menyimpulkan bahwa rekonsiliasi adalah sesungguhnya difokuskan kepada
bagaimana membangun kembali hubungan yang telah rusak akibat dari konflik.
Dimensi relasional akan menghubungkan kita dengan aspek emosional dan
psikologis seseorang dan kelompok atas kelompok yang lainnya. Selain itu ia
akan selalu menghubungkan kita dengan kebutuhan akan pengakuan atas apa yang
telah terjadi di masa lampau, mengorek kesalahan masa lampau dan meminta
25
pengakuan atas kesalahan yang telah diperbuat. Namun rekonsiliasi juga
bagaimana kita dapat mengeksplorasi masa depan bersama yang lebih baik.
Rekonsiliasi adalah sebuah locus, yang menciptakan ruang yang dapat
mempertemukan pihak-pihak yang berbeda, mempertemukan segala energi yang
ada, dan semua paradox dari kebenaran dan welas asih, keadilan, dan perdamaian
akan bertemu.
John Paul Lederach berasumsi bahwa rekonsiliasi relasional antar pihak
berkonflik yang sifatnya berkesinambungan dalam konteks masyarakat yang
sudah terpecah belah karena konflik atau pertikaian (divided society) adalah suatu
keharusan yang mutlak untuk dilakukan ketika suatu masyarakat ingin
meninggalkan masa lampaunya, menuju masa depan yang damai.32 Dengan
meninggalkan sejarah masa lampau akan kebencian, kemarahan, dan kekerasan,
akan dapat memberikan energi baru dalam membangun masa depan yang lebih
baik. Barang tentu saja rekonsiliasi haruslah sesuatu yang sifatnya
berkesinambungan, agar dapat menjamin kelangsungan proses pembangunan
dapat berjalan lancar tanpa terganggu konflik-konflik yang muncul kemudian.
Ada 3 asumsi penting yang mendasari mengapa rekonsiliasi yang sifatnya
berkesinambungan penting untuk dilakukan.
1) Hubungan antar manusia (relationship) sesungguhnya adalah dasar dari
permasalahan konflik dan pemulihan hubungan jalinan antar manusia
yang baik adalah suatu solusi jangka panjang. Hubungan antar manusia
yang baik adalah suatu vocal point dalam membangun dialog yang
berkesinambungan
2) Rekonsiliasi haruslah dapat menemukan ruang untuk mengagendakan
masa lampau tanpa harus kita terkunci dan terikat pada masa lampau itu
32Prasetyo, Adi. 2010. Konsep Rekonsiliasi.terarsip dalam http://etnobudaya.net/2010/01/15/konsep-rekonsiliasi/ diakses tanggal 22 april 2015.
26
sendiri, yang penuh dengan kemarahan, ketakutan, kebencian, dan
kekerasan.
3) Rekonsiliasi selalu membutuhkan suatu cara pandang yang dapat
melihat permasalahan utama dari sisi luar tradisi politik internasional
yang ada, wacana yang berkembang, dan operasional atau usaha-usaha
yang telah ada, agar dapat menemukan suatu inovasi baru dalam upaya
rekonsiliasi
Sebagai suatu representasi dari ruang sosial, rekonsiliasi tidak hanya
mempertemukan pihak yang saling benci, namun ia juga menurut Lederach adalah
suatu tempat yang di dalamnya terdapat kebenaran (truth), sifat kasih manusia
(mercy), keadilan (justice), dan damai (peace) dapat bertemu dan bersatu secara
bersama.
Lebih lanjut Lederach menyatakan, sebuah rekonsiliasi yang sejati setidaknya
akan tercapai jika mengandung syarat-syarat akan:
1) Kebenaran (truth) yang didalamnya terdapat pengakuan, transparansi,
pengungkapan, dan klarifikasi atas suatu kebenaran;
2) Sifat welas asih (mercy) yang mana didalamnya terdapat unsur
penerimaan, pengampunan, dukungan, keharusan, dan penyembuhan;
3) Perdamaian dimana didalamnya terdapat unsur harmoni, kesatuan,
kesejahteraan, keamanan, dan penghargaan, dan yang terakhir adalah
adanya syarat
4) Keadilan yang mana didalamnya terdapat unsur kesetaraan, pemulihan
hubungan atas dasar hak-hak yang dimiliki seseorang, memulihan
segala sesuatunya sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya, dan
adanya restitusi atau pengembalian hak-hak masing-masing individu.
Tahun 2014 Senyap hadir untuk turut berkontribusi dalam upaya
rekonsiliasi. Senyap membuat sebuah rekonsiliasi dengan prinsip memaafkan
27
tanpa melupakan. Memang, dalam film itu kita disuguhkan untuk kembali
membuka luka lama yang tentu menyakitkan, tapi dari proses itulah akan tercipta
sebuah penyadaran. Mereka berusaha melakukan apa yang tidak bisa dilakukan
oleh keluarga korban. Keluarga korban tidak memiliki akses untuk bersuara.
Melalui film ini, diharapkan masyarakat Indonesia bisa melihat dengan lebih
jernih apa yang sebenarnya terjadi kala itu, yang selama ini ditutupi tabir
kegelapan.
Akan tetapi, nampaknya jalan menuju rekonsiliasi memang tidaklah
mudah. Dalam film Senyap saja, bisa kita lihat bahwa pelaku pembantaian sama
sekali tidak merasa bersalah. Ada yang beranggapan pembantaian itu merupakan
tugas suci yang direstui agama, ada pula yang melimpahkan tanggungjawabnya
pada negara. Apa yang diinginkan Adi (adik korban pembantaian dalam film
Senyap), hanyalah pengakuan dan permintaan maaf secara tulus dari pelaku
pembantaian. Itu pun tidak didapatkannya. “Yang sudah ya sudah, kita mulai yang
baik-baik sajalah buat ke depannya,” kira-kira seperti itu kata pelaku-pelaku untuk
melepas tanggungjawab moralnya.
Film Senyap pertama kali diputar di Indonesia pada 10 November 2014 di
Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. "Pesan penting film karya Joshua
Oppenheimer ini adalah jalan pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi konflik
yang tidak mudah," kata Komisoner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron di
Taman Ismail Marzuki.
Joshua juga menambahkan, dirinya tidak sedang berupaya membela orang
komunis tetapi lebih kepada membela setiap nyawa manusia yang dihilangkan
secara paksa. Hak hidup manusia menurut dia tidak boleh dilanggar hanya karena
memiliki ideologi yang tidak sejalan dengan pemerintahan yang berkuasa.33
33 Joko Nugroho. 2014. Film "Senyap " Hadirkan Kisah Konflik 30 September http://www.antarasumbar.com/berita/123034/film-Senyap -hadirkan-kisah-konflik-30-september.html diakses tanggal 22 april 2015
28
F. Kerangka Konsep
1. Khalayak Film
Khalayak atau audiens telah disepakati bersama sebagai istilah untuk
penerima pesan dalam model sederhana proses komunikasi massa yang banyak
diguanakan oleh para peneliti media. McQuail menyebutkan, khalayak adalah
semua orang yang benar-benar dijangkau oleh konten media tertentu atau
saluran media. Khalayak dapat juga merupakan target yang dibayangkan atau
penerima yang dituju. Selain itu, khalayak media juga bukan sesuatu yang pasti
kecuali setelah menjadi rating misalnya, yang diketahui melalui statistik.
Khalayak juga dapat diartikan menurut media atau konten yang relevan.
Dengan begitu, penonton film juga merupakan khalayak. Untuk memudahkan
penelitian, peneliti akan menyebut mereka sebagai khalayak film. Khalayak film
yang dimaksud disini adalah mereka yang menonton film sebagai media massa,
yaitu dalam bentuk film yang terdistribusi melalui komunikator professional
(film maker) dan lembaganya. Dikaitkan dengan analisis resepsi, khalayak film
adalah mereka yang meneirma, menginterpretasi dan menggunakan musik
sebagai produk budaya, sehingga latar belakang budaya khalayak akan sangat
mempengaruhi proses pemaknaan pesan.
Secara umum, audiens kerap didiskreditkan tidak terlalu berpengaruh
dalam konteks penyebaran pesan. Untuk menjawab itu, audiens memiliki
kemampuan untuk setidaknya, membuka ruang kemungkinan bagi mereka
sendiri untuk aktif berperan dalam penyebaran pesan secara massif. Sangat
penting untuk mengerti bahwa potensi audines untuk melakukan intervensi
dalam penyebaran pesan (broadcasting) itu ada.34
Dalam penelitian ini, audiens akan dipilih berdasarkan kategori-katageri
tertentu terkait latar belakan audiens. Kategorisasi yang akan peneliti gunakan
34 Karen Rosss and Virginia Nightingale. 2003. Media and audiences. Bankshire. Hal 102
29
menitikberatkan kepada latar belakang sosial, seperti keaktifan pada organisasi
terentu, ketertarikan akan isu 65, ketetarikan terhadap film, juga latar belakang
fokus pendidikan, pengalaman, hingga ke hal-hal personal seperti agama.
Selain bebeapa faktor-faktor pokok diatas, peneliti juga akan
mempertimbangkan praktik bermedia yang dilakukan informan sebagai salah
satu faktor dasar kegiatan pemaknaan yang dilakukan khalayak. Peneliti akan
melihat bagaimana keseharian informan mengkonsumsi media film.
2. Decoding (proses resepsi film oleh audiens)
Decoding adalah peran penerima pesan dalam menentukan makna pada pesan
yang datang dari sumber atau pengirim pesan.35 Proses decoding
(pengawasandian) terhadap pesan dapat dilihat melalui bagan di bawah:
Gambar 1.1 diagram proeses decoding36
Encoding dilakukan oleh komunikator, sedang decoding dilakukan oleh
komunikan. Masing-masing proses tersebut melibatkan sejumlah faktor seperti
kerangka pengetahuan, relasi produksi dan infrastruktur teknis. Bila antara
pengirim dan penerima pesan memiliki faktor yang sama atau sejalan, maka
penerima pesan akan menerima pesan seperti yang dimaksudkan komunikator.
35 Stanley J. Baran, Jerilyn S. Mclntrye, & Timothy P. Mayer. 1984. Self, Symbol, and Society. An Introduction to Mass Communication. New York: Random House. hal. 13-15 36 Stuart Hall. 1980. Culture, media, language. Routledge. hal 128-138.
30
Dengan kata lain pemahaman—penerimaan pesan—terjadi bila pesan yang
melawati proses decoding ekuivalen dengan pesan yang telah melewati encoding.
Konsep decoding tersebut diperkenalkan oleh Stuart Hall yang
menyatakan model komunikasi massa yang menyoroti pentingnya interpretasi
aktif dalam kode yang relevan. Berbeda dari model-model komunikasi yang
sebelumnya ada, di sini Stuart Hall memberikan peran siginifikan pada decoder,
begitu juga encoder.
Pada proses ini, makna disampaikan dalam kode. Kode sendiri berfungsi
sebagai sistem pengorganisasian tanda. Sistem-sistem tersebut dijalankan oleh
aturan-aturan yang disepakati oleh semua anggota komunitas yang menggunakan
kode tersebut. Ini berarti bahwa studi tentang kode seringkali memberikan
penekann pada dimensi sosial komunikasi.
Media massa dengan kodenya menawarkan identitas sosial pada khalayak
sesuai cara media massa tersebut menyampaikannya. Namun begitu khalayak
tidak harus menerima seluruh kode tersebut. Pada saat khalayak yang terlibat
dalam komunikasi tidak berbagi kode dan posisi sosial bersama, memungkinkan
proses decoding akan berbeda dari makna yang diharapkan encoder.
Stuart Hall menetapkan posisi-posisi Khalayak terhadap pemaknaan teks
media, mejadi 3 peran sebagai berikut:37
a. Dominant (hegemonic) reading: Khalayak sepenuhnya berbagi kode teks,
menerima dan mereproduksi preferred reading (pemaknaan pesan
terhadap khalayak yang sesuai dengan maksud si pembuat pesan). Dalam
posisi ini kode tampak jelas.
37 Stuart Hall.Op Cit.
31
b. Negotiated reading: khalayak berbagi sebagian kode teks dan secar luas
menerima preferred reading, tetapi memungkikan untuk mengubah
bahkan menentangnya. Posisi ini melibatkan kontradiksi.
c. Oppositional (counter hegemonic) reading: khalayak, yang situasi
sosialnya berada dalam relasi berlawanan denga kode dominan,
memahami preferred reading tetapi tidak berbagi kode teks dan menolak
pembacaan ini, serta mengajukan alternatif frame of reference
Menurut Hall, preferred reading merupakan ideologi dominan dalam
media teks, tetepi tak lantas secara otomatis diadopsi oleh khalayak. Situasi sosial
khalayak akan mengarahkan mereka untuk mengadopsi pendirian lain.
‘Dominant reading terbentuk dari mereka yang situasi sosialnya sejalan
dengan preferred reading. Sedang ‘negotiated’ reading datang dari mereka yang
menggunakan preferred reading untuk mengambil tempat di posisi sosial.
Sementara ‘oppositional’ readings datang dari mereka yang posisi sosialnya
berada dalam konflik—bertentangan—langsung dengan preferred reading.
Dalam melakukan analisis ini, peneliti akan mengidentifikasi preferred
reading dari pengirim pesan. Pertama tentu dengan memahami teks, melihat
konteks yang mendasari pengirim pesan dalam membuat pesan, serta bertanya
langsung kepada pembuat pesan.
Setelah pesan yang ingin disampaikan pengirim pesan diketahui,
pembacaan khalayak dapat dianalisis untuk dimasukkan dalam kategori dominan,
oposisi atau negosiasi. Karena decoding adalah peran yang dilakukan oleh
khalayak, maka sumber utama peneliti untuk mengetahui bagaimana pemaknaan
teks dilakukan adalah dari khalayak sendiri. Dalam hal ini, decoding tidak hanya
melibatkan pengenalan dasar atau pemahaman menyeluruh terhadap teks, tetapi
juga interpretasi dan evaluasi pada makna berkenaan dengan kode teks yang
32
relevan. Kemudian, perlu juga dilihat bagaimana penerimaan dan penolakan
khalayak terhadap teks. Kesenangan dalam mengonsumsi teks juga akan dianalisis
dalam menentukan posisi pembacaan khalayak terhadap teks. Jadi, selain melihat
apakah audiens setuju atau tidak dengan pesan yang disampaikan film Senyap,
peneliti juga akan menganalisis bagaimana kesenangan khalayak dalam menonton
film Senyap mempengaruhi pemaknaannya.
3. Film Senyap dan wacana rekonsiliasi konflik dalam film
Seperti yang telah dilakukan Gus Dur, Yayasan Peneilitian Korban
Pembunuhan 1965-1966 (YPKP), Forum Komunikasi Anak Bangsa dan beberapa
lembaga maupun individu lain, telah mencoba melakukan rekonsiliasi terkait
tragedi 1965, Film Senyap hadir dengan tujuan yang sama.
Joshua Oppenheimer bersama ko-sutradara anonim mencoba mengirim
pesan rekonsiliasi melalui medium film. Mereka berupaya menyuguhkan apa yang
dirasakan oleh para penyintas tragedi 1965. Joshua mempertemukan Adi Rukun—
keluarga penyintas—dengan para pelaku pembunuhan beserta keluarganya. Narasi
yang dibangun, melalui keluarga korban yang penasaran mencari siapa
sesungguhnya orang-orang yang membunuh keluarganya tersebut.
Dalam sebuah pernyataan terhadap film Senyap, ko-sutradara anonim
menuturkan, “Film Senyap menunjukan betapa rekonsiliasi adalah sebuah jalan
panjang, penuh rintangan dan berat. Kami berharap pesan film ini mencerminkan
optimisme kami: Rekonsiliasi adalah jalan berat, bukan jalan yang tak mungkin.”
38
Pengambilan gambar dilakukan di sekitar Medan, Sumatera Utara—salah
satu kota yang banyak menelan korban jiwa saat pergolakan 1965 terjadi. Narasi
utamanya, Adi Rukun—keluarga penyintas—mendatangi satu persatu orang-
38 Booklet DVD film Senyap
33
orang yang menjadi pelaku pembantaian kakaknya. Dalam film ini, disuguhkan
bagaimana dialog terjadi antara keluarga penyintas dan pelaku tanpa kekerasan
fisik.
Muhammad Nurkhoirun selaku komisioner komnas HAM memberikan
sambutan “Adi sesunguhnya telah melakukan proses yang selama ini telah
dijalankan oleh aktivis pegiat HAM, rekonsiliasi.” Ia lalu menjelaskan tentang
rekonsiiliasi tragedi 1965, “Dalam proyek rekonsiliasi, pekerjaan awal kita adalah
berusaha meretas kebisuan yang telah diciptakan rezim Orde Baru selama puluhan
tahun dan mengungkap kebenaran atas tragedi 1965”
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, akan digunakan penelitian kualitatif dengan motede
analisis resepsi. Penelitian kualitatif sendiri, bercirikan fleksibilitas dalam
interaksi antara peneliti dan partisipan studi. Hal tersebut bisa dilihat dari tipe
pertanyaan yang memungkinkan jawaban yang bebas dan fleksibel oleh masing-
masing partisipan studi.
Untuk diperjelas, metode analisis resepsi kerap disamakan dengan metode
etnografi, perbedaan antara analisis resepsi dengan etnografi adalah pada fokus
kajian dimana mereka berkembang, jika audiens digunakan dalam kajian ilmu
komunikasi maka etnografi lebih kepada ilmu budaya. Sebagaimana sedikit
perbandingan antara keduanya dijelaskan dibawah ini:
Gephert mendefinisikan etnografi merupakan kegunaan dari observasi
secara langsung dan memperpanjang penelitian lapangan untuk mendapatkan
deskripsi yang tebal dan paling natural dari manusia dan budaya mereka.
Etnografi berusaha mengungkap simbol dan kategori para anggota dari dalam
34
budaya tersebut untuk menafsirkan dunia mereka dan etnografi dengan demikian
mempertahankan integritas dan sifat yang melekat pada fenomena budaya.39
Sedangkan analisis audiens seperti yang dijelaskan McQuail, analisis
audiens lebih ke cara memandang khalayak dengan sudut pandang yang unik.
Khalayak yang merupakan produk konteks sosial sekaligus sebagai respons atas
berbagai ajaran media. Khalayak dapat didefinisikan melalui beragam
karakteristik yang cenderung tumpang tindih; berdasarkan tempat, kelompok
orang, jenis media tertentu, isi pesan media, atau waktu. Dengan demikian,
khalayak tidak hanya menjadi produk teknologi, tetapi juga bentukan beragam
kehidupan sosial.40
Analisis resepsi dipilih sebagai metode penelitian ini karena metode ini
cukup efektif—selain sesuai—untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam
penelitian ini. Analisis resepsi tidak menggeneralisasi fenomena yang terjadi pada
sejumlah informan, tetapi berusaha menemukan kebenaran dari sebuah peristiwa
dengan tetap mengaitkannya pada konteks yang ada. Adapun nanti data yang
dibutuhkan bisa dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan informan,
studi dokumentasi, dan focus group discussion (FGD)
Tujuan utama dari analisis resepsi ini adalah untuk memahami suatu
pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan
kehidupan, serta untuk mendapatkan pandangannya mengenai dunianya. Intinya
adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang
menimpa orang yang ingin kita pahami. Karenanya, penelitian ini melibatkan
aktivitas belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar,
berbicara, berpikir, dan bertindak dengan cara yang berbeda.41
Dengan menggunakan analisis resepsi, kita akan melihat bagaimana
metode ini melibatkan pengamatan atas manusia dalam proses komunikasi—
39 R. Frey Lawrence, Et. Al. 1991. Investigating Communication. New Jersey: Prentice-Hall, Hal 229. 40 Denis McQuail. 1997. Audience Analysis. Thousand Oaks: Sage Publication, Hal.11 41 James P. Spradley. 2006. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, hal 3-5.
35
termasuk bagaimana mereka menunjukan perannya seterbuka mungkin. Secara
garis besar, relevansi metode analisis resepsi dengan penelitian ini, adalah analisis
resepsi bisa mengetahui bagaimana pembacaan—pemahaman—pesan dalam
media oleh khalayak.
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah mahasiswa FISIPOL UGM. Penentuan subjek
berangkat dari observasi pra penelitian dari peneliti ketika mengorganisir sebuah
screening dan diskusi di FISIPOL UGM beberapa waktu silam. Peneliti melihat
antusiasme yang tinggi dari para pengunjung yang notabene mayoritas
mahasiswa FISIPOL UGM. Selain itu, sebagai mahasiswa, terlebih yang belajar
di ilmu sosial dan politik, tafsiran akan sebuah pesan yang berkaitan dengan isu
sosial politik, tentu akan menarik. Terlebih pesan ini disampaikan melalui
medium film. Maka ada unsur sosial, politik dan komunikasi yang kuat dalam
penelitian ini, hal tersebut tentu sangat relevan dengan kapasitas subjek
penelitian sebagai mahasiswa FISIPOL UGM. Selain itu berangkat dari sebuah
catatan tentang massifnya pemutaran film Senyap di FISIPOL, tercatat lebih dari
tiga kali digelar pemutaran film ini, selalu penuh dan beberapa diantaranya selalu
menyisipkan diskusi pasca menonton film ini. Termasuk pembubaran pemutaran
film Senyap di FISIPOL
Informan dalam penelitian ini—dari mahasiswa FISIPOL UGM, yang
diseleksi berdasarkan delapan kriteria:
1) Pertama, informan sudah menonton film Senyap, hal ini bersifat
mutlak, karena dasar penelitian akan membahas bagaimana para
subjek meresepsi film Senyap, dan untuk bisa melakukan itu, tidak
bisa tidak subjek harus lebih dulu menonton film Senyap.
2) Kedua, informan memiliki ketetarikan dengan film. Ketertarikan
dengan film bisa diukur dari bagaimana aktivitasnya
bersinggungan dengan film, bisa jadi mereka yang terlibat pada
proses produksi film, atau aktivitas konsumsi film yang intens.
36
3) Ketertarikan akan isu tragedi 1965 juga menjadi daya ukur
pemilihan informan. Hal ini dikarenakan film Senyap bercerita
tentang upaya rekonsiliasi tragedi 1965. Ketertarikan akan isu ini
membuka ruang kemungkinan untuk menghasilkan penerimaan
pesan—apapun itu—dalam film Senyap
4) Latar belakang informan. Latar belakang informan yang memiliki
relasi keluarga yang bersinggungan terhadap pristiwa ’65 dijadikan
salah satu pertimbangan.
5) Jurusan studi para informan turut menjadi karakteristik pemilihan,
mengingat FISIPOL terbagi menjadi disiplin ilmu sosial dan ilmu
politik. Untuk itu diversitas jurusan informan akan dibagi rata
dalam penelitian ini.
6) Usia juga akan dibedakan, hal ini untuk melihat apakah ada
perbedaan pandangan bagi mahasiswa angkatan tertentu dengan
angkatan lainnya.
7) Di samping itu informan juga akan dibagi berdasarkan gender,
karena ada kemungkinan perbedaan pandangan akibat gender yang
dimiliki.
8) Latar belakang organisasi yang diikuti informan—yang notabene
mahasiswa—juga cukup berpengaruh dalam pemilihan informan.
Hal ini dikarenakan pengaruh organisasi yang diikuti mahasiswa,
memiliki peran dalam menentukan pandangan.
Penelitian sendiri akan berlangsung di FISIPOL UGM, karena penelitian
mamang difokuskan di tempat ini. Pemilihan tempat ini juga akan memudahkan
penelitian, pertama karena kedekatan geografis, juga karena banyaknya calon
informan yang membuat ketersediaan akan narasumber untuk penelitian ini
tercukupi.
37
Untuk memenuhi keragaman kategori informan, setelah melakukan riset,
peneliti menetapkan enam orang informan. Adapun informan-informan tersebut
antara lain:
1) Adya Nisita, Mahasiswi angkatan 2012, jurusan Ilmu Hubungan
Internasional, aktif menulis tentang film di berbagai media, berasal
dari keluarga polisi.
2) Vidi Mahatma, Mahasiswa Angkatan 2010, jurusan Ilmu Komunikasi,
aktif dalam dunia film, ia pernah menjadi aktor dan crew di beberapa
film. Vidi berasal dari keluarga korban di tragedi 1965
3) Dwiki Rahmad, Mahasiswa angkatan 2014 Jurusan Ilmu Komunikasi,
aktif di organisasi kampus, dan berprofesi sebagai freelance di media
Hipwee. Ia berasal dari keluarga pelaku pembantaian pada tragedi
1965.
4) Ramadhan, mahasiswa angkatan 2013, aktif di organisasi kampus,
kuliah di jurusan Sosiologi.
5) Dias Prasongko, mahasiswa angkatan 2011, aktif di pers kampus,
jurusan ilmu pemerintahan, beragama katolik.
6) Nindias Nur Khalika, mahasiswi angkatan 2010,Jurusan Ilmu
Komunikasi, keluarga tentara yang turut serta berperan dalam tragedi
1965, aktif di dalam dunia film, pernah menjadi aktor dan crew di
beberapa film, aktif di komunitas-komunitas luar kampus.
Keenam narasumber mempunyai kesamaan: sudah menonton film Senyap,
dan memiliki ketertarikan pada film. Pemilihan enam orang tersebut dirasa
sudah cukup representatif guna menghadirkan latar belakang yang variatif.
2. Teknik Pengumpulan data
38
Dalam penelitian kali ini akan menggunakan metode wawancara guna
mengumpulkan data. Wawancara sendiri merupakan bagian dari metode
kualitatif. Dalam metode kualitatif ini ada dikenal dengan teknik wawancara-
mendalam (In-depth Interview). Pengertian wawancara-mendalam (In-depth
Interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan responden
atau orang yang diwawncarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman
(guide) wawancara dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan
sosial yang relatif lama Ciri dari wawancara-mendalam ini adalah
keterlibatannya dalam kehidupan responden/informan.
Menurut Moleong, wawancara mendalam merupakan proses menggali
informasi secara mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus
penelitian dan diarahkan pada pusat penelitian42. Dalam hal ini metode
wawancara mendalam yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang
telah dipersiapkan sebelumnya.
Dalam wawancara-mendalam melakukan penggalian secara mendalam
terhadap satu topik yang telah ditentukan (berdasarkan tujuan dan maksud
diadakan wawancara tersebut) dengan menggunakan pertanyaan terbuka.
Penggalian yang dilakukan untuk mengetahui pendapat mereka berdasarkan
perspective responden dalam memandang sebuah permasalahan. Teknik
wawancara ini dilakukan oleh seorang pewawancara dengan mewawancarai satu
orang secara tatap muka (face to face).
Dalam penelitian kali ini, wawancara dilakukan di tempat-tempat yang
berbeda-beda. Beberapa ada yang dilakukan di kampus FISIPOL UGM, ada
yang di rumah informan dan cafe. Karena menggunakan teknik wawancara
mendalam, pada prosesnya wawancara tidak dilakukan satu kali pertemuan. Hal
ini dilakukan guna membuat narasumber tidak lelah dalam menjawab
pertanyaan, terlebih lagi tema yang diangkat cukup berat. Mayoritas wawancara
42 Moleong, L. Y. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Penerbit Remaja Rosdakarya. hal 46
39
dilakukan minimal dua kali pertemuan, salah satu informan bahkan dilakukan
empat kali pertemuan.
Pada prosesnya, pertemuan pertama adalah memberikan introduksi dan
wawancara ringan seputar latar belakang, baik tentang keluarga, kondisi
ekonomi, kampus, maupun organisasi-organisasi yang diikuti. Setelah itu mulai
masuk ke aktivitas-aktivitas mereka yang berkelindan dengan film, sembari
diberikan pertanyaan untuk melihat bagaimana wawasan informan. Hal itu juga
guna mendekatkan diri dengan informan.
Selesai di situ, wawancara dilanjutkan dengan membahas isu tragedi 1965,
rekonsiliasi konflik dan film Senyap itu sendiri. Biasanya tak semua informan
sanggup berlama-lama mengikuti proses wawancara mendalam ini, untuk itu
dilakukan wawancara lanjutan di kemudian hari.
Dari kesemua informan, menyatakan bersedia namanya ditulis terang,
serta identitasnya di buka untuk kepentingan akademis, walaupun ada satu-dua
pertanyaan di mana mereka meminta untuk off the record. Secara keseluruhan
proses wawancara berjalan dengan lancar.
Berikut tabel waktu wawancara dengan informan
no Informan Tanggal
1 Adya Nisita 17 juni 2016 & 24 juni 2016
2 Dias Prasongko 14 juni 2016 & 22 Juni 2016
3 Dwiki Aprinaldi 14 Juli 2016 & 29 Juli 2016
4 Nindias Khalika 14 Juli 2016 & 29 Juli 2016
5 Ramadhan 18 Juni 2016 & 23 Juni 2016
6 Vidi Mahatma 24 juni 2016 & 10 juli 2016
40
3. Analisis data
Data hasil dari wawancara dalam penelitian ini nantinya akan dikumpulkan
dalam bentuk catatan dan transkrip. Nantinya analisis data akan dibagi menjadi
tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan43.
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data data kasar yang
muncul dari catatan-catatan di lapangan. Dalam penelitian ini, setelah
melakukan transkrip wawancara, akan direduksi data yang dirasa kurang
penting, seperti wawancara perihal latar belakang informan, yang
ditanyai secara detail akan dirangkum menjadi satu. Data yang kurang
penting semisal pengalaman-pengalaman diluar objek penelitian akan
dibuang. Setelah itu jawaban-jawaban dari informan akan dikelompokan
dan diringkas menjadi beberapa poin utama.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah kumpulan informasi yang tersusun untuk
membuka ruang kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pegambilan tindakan. Pada penelitian ini, setelah dilakukan reduksi data,
selanjutnya data tersebut akan disajikan dalam beberapa poin utama,
mulai dari karakteristik informan yang meliputi latar belakang informan
dan kelindan informan dengan dunia film. Lalu disajikan pula poin
tentang analisis informan yang membedah pengetahuan informan akan
hal-hal yang terkait pada objek penelitian, terakhir akan ditampilkan
bagaimana para informan memaknai film Senyap. Pada poin ini, akan
dibagi beberapa poin kecil yang mendukung narasi utama pemaknaan
terhadap film Senyap. Penyajian data dengan cara seperti itu berfungsi
memudahkan pembacaan terhadap penelitian ini. Disertakan pula tabel
43Matthew B. Miles dan Micahel Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press. Hal. 16-19
41
posisi pemaknaan, berdasarkan teori Stuart Hall untuk memudahkan
pengidentifikasian respons dari tiap informan.
c. Menarik Kesimpulan
Dari permulaan pengumpulan data, penganalisis mulai mencari arti
benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi
yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proporsisi. Bagian ini akan berisi
analisis dan interpretasi data resepsi para informan terhadap Film
Senyap. Data tersebut kemudian dijelaskan dengan mengaitkan pada
konteks, seperti pengaruh latar belakang, pengetahuan maupun hal lain
terhadap proses resepsi pada film Senyap dengan merujuk pada
konsep/teori berdasarkan literatur yang ada.
top related