84994937-referat-penatalaksanaan-anestesi-dan-reanimasi-pada-praktur-femur.pdf
Post on 29-Nov-2015
150 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
REFERAT
PENATALAKSANAAN ANESTESI DAN REANIMASI PADA FRAKTUR FEMUR
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Perawat Magang
Anestesi di RS PKU MUHAMMADIYAH Yogyakarta.
Disusun Oleh:
RUSMONO, AMK.
Pembimbing
dr. H Fauzi AR, Sp.An
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
2011
2
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT PENATALAKSANAAN ANESTESI DAN REANIMASI PADA FRAKTUR
FEMUR
Diajukan oleh:
RUSMONO, AMK
Telah disetujui oleh
Dokter Pembimbing
Dr. H. Fauzi A.R, SpAn
Tanggal: .......................
3
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah ta’ala atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ini sebagai syarat telah selesainya magang perawat Anestesi di Instalasi
Bedah Sentral RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta selama enam bulan. Solawat dan salam
tercurah kepada Nabi kita yang mulia Muhammad salallahu alaihi wasallam, keluarganya,
sahabatnya beserta umatnya sampai akhir jaman. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya
referat ini tidak lain atas dukungan banyak pihak, dengan ini penulis ingin mengucapkan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya referat ini.
Akhirnya penulis berharap semoga referat ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.
Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menambah pengetahuan bagi yang
membacanya.
Yogyakarta, 20 Oktober 2011
Penulis
Rusmono.
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.............................................................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................................... iii
KATA PENGANTAR........................................................................................................... iv
DAFTAR IS............................................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................... 1
A. Pengertian Anestesi................................................................................................... 2
B. Langkah-Langkah Anetesi dan reanimasi.............................................................. 3
1. Evaluasi pra anestesi dan reanimasi................................................................ 3
2. Persiapan pra anestesi dan reanimasi.............................................................. 4
3. Pilihan anestesi dan reanimasi.......................................................................... 5
4. Standar pemantauan dasar operatif................................................................12
5. Pengelolaan pasca operatif...............................................................................12
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................15
A. Definisi Fraktur........................................................................................................15
B. Etiologi Fraktur/ mekanisme trauma.....................................................................15
C. Klasifikasi fraktur....................................................................................................17
D. Tanda dan gejala..................................................................................................... 20
BAB III TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA PASIEN DENGAN
FRAKTUR FEMUR..............................................................................................................22
A. Evaluasi.....................................................................................................................22
B. Persiapan pra operatif.............................................................................................23
5
C. Premediksi sesuai kebutuhan..................................................................................23
D. Pilihan anestesi dan reanimasi................................................................................24
E. Pemantauan selama anestesi...................................................................................24
F. Terapi cairan...........................................................................................................24
G. Pemulihan anestesi sesuai dengan pilihan anestesi yang diberikan.................. 27
H. Pasca anestesi...........................................................................................................27
BAB IV KESIMPULAN.......................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................31
6
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan
operator dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai.
Adapun target anestesi itu sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang
meliputi tiga target hipnotik, anelgesia, relaksasi. Tidak terkecuali juga dengan operasi
fraktur femur pasien butuh untuk dilakukan tindakan anestesi agar pelaksanaan operasi lebih
mudah.
Dewasa ini fraktur femur lebih sering terjadi dengan makin pesatnya kemajuan lalu
lintas di Indonesia maupun dunia baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan,
jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan
maka kemungkinan terjadinya fraktur akibat kecelakaan lalu lintas menjadi semakin tinggi.
Disamping itu fraktur juga bisa disebabkan oleh faktor-faktor lain di antaranya adalah jatuh
dari ketinggian, kecelakaan kerja dan cedera olah raga.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini
(2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang
dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi
miring, pemuntiran (twisting), atau penarikan. Akibat trauma pada tulang bergantung pada
jenis trauma, kekuatan, dan arahnya. Batang femur juga dapat mengalami fraktur oleh trauma
langsung pada bagian depan lutut yang berada dalam posisi fleksi pada saat kecelakaan lalu
lintas.
7
A. Pengertian Anestesi.
Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan
keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri pembedahan. Analgesia ialah pemberian obat untuk menghilangkan
nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan
nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama dan sesudah pembedahan. Definisi
anestesiologi berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran.
Adapun dr. Gde Mangku, Sp.An.KIC dalam buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi
mengatakan ilmu anestesi dan reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang
mempelajari tatalaksana untuk me”matikan” rasa, baik rasa nyeri, takut dan rasa tidak
nyaman dan ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga/ mempertahankan hidup
dan kehidupan pasien selama mengalami “kematian” akibat obat anestesi.
Sementara itu The american Board of Anesthesiology pada tahun 1989 mendefinisikan
anestesi dengan semua kegiatan yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Menilai, merancang, menyiapkan pasien untuk operasi.
2. Membantu pasien menghilangkan nyeri pada saat pembedahan, persalinan atau pada
saat dilakukan tindakan diagnostik teraupetik.
3. Memantau dan memperbaiki homeostatis pasien perioperatif dan pada pasien dalam
kondisi kritis.
4. Mendiagnosis dan mengobati sindroma nyeri.
5. Mengelola dan mengajarkan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
6. Membuat evaluasi fungsi pernapasan dan mengobati gangguan pernapasan.
7. Mengajarkan, memberi supervisi dan mengadakan evaluasi tentang penampilan
personal paramedik dalam bidang anestesi, perawatan pernapasan dan perawatan
pasien dalam keadaan kritis.
8. Mengadakan penelitian tentang ilmu dasar dan ilmu klinik untuk menjelaskan dan
memperbaiki perawatan pasien terutama tentang fungsi fisiologis dan respon terhadap
obat.
8
9. Melibatkan diri dalam administrasi rumah sakit, pendidikan kedokteran dan fasilitas
rawat jalan yang diperlukan untuk implementasi pertanggungjawaban.
B. Langkah-langkah anestesi dan reanimasi.
Langkah-langkah anestesi dan reanimasi itu terdiri dari:
1. Evaluasi pra anestesi dan reanimasi.
Tujuan utama kunjungan pra anestesi adalah:
a) Mengetahui status fisik pasien praoperatif.
b) Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
c) Memilih jenis/ teknik anestesi yang sesuai.
d) Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca bedah.
e) Mempersiapkan obat/alat guna menanggulangi penyulit yang diramalkan.
Tatalaksana evaluasinya meliputi;
1) Anamnesis.
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang lain
(keluarganya/ pengantarnya) meliputi identitas pasien dan anamnesis tentang
riwayat kesehatan pasien, dan riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat
anestesi sebelumnya karena hal ini sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada
hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga kita dapat merancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik.
2) Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan yang dilakukan meliputi tanda tanda vital, berat dan tinggi badan,
status gizi, serta pemeriksaan dari kepala sampai ujung kaki. Misalkan
pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi.
Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan
rutin lain secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
9
Adapun klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang menurut The American Society of Anesthesiologists (ASA), yaitu:
Asa I : Pasien sehat organik, fisiologi, psikisatri, biokimia.
Asa II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Asa III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas rutin
terbatas.
Asa IV : pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
Asa V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan tanda E (emergency)
dibelakang angka, misal ASA 1E
3) Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang meliputi; pemeriksaan laboratorium rutin dan
pemeriksaan laboratorium sesuai penyakit yang dicurigai, pemeriksaan radiologi,
pemeriksaan kardiologi seperti EKG terutama pasien yang beumur diatas 35 tahun.
2. Persiapan pra anestesi dan reanimasi.
Adalah langkah lanjutan dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesi dan
animasi baik fisik maupun psikis agar pasien siap dan optimal untuk menjalani
prosedur anestesi dan operasi yang meliputi persiapan pasien di rumah atau diruang
perawatan yaitu persiapan psikis dengan cara meberikan penjelasan rencana anestesi
atau operasi yang di rencanakan, berikan obat sedatif pada pasien yang menderita
stress yang berlebihan atau tidak kooferatif atau pasien prdiatrik. Persiapan fisik yang
dilakukan seperti memuasakan pasien.
Persiapan pasien di ruang instalasi bedah sentral sebelum kamar operasi seperti
pemasangan infus bila diperlukan, serta peberian obat premedikasi yang bertujuan
untuk:
a) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien.
b) Memudahkan dan memperlancar induksi.
10
c) Mengurangi dosis anestesia.
d) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar.
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk premedikasi adalah:
i. Sedatif.
Diazepam : 5 - 10 mg.
Dipenhidramin : 1 mg/ kg BB
Prometazin : 1 mg/ kg BB.
Midazolam : 0,1 – 0,2 mg/ kg BB
ii. Analgesik opiat.
Petidin : 1 – 2 mg/ kg BB
Morfin : 0,1 – 0,2 mg/ kg BB
Fentanil : 1 – 2 mcg/ kg BB
iii. Antikolinergik.
Sulfas Atropin . : 0,1 mg/ kg BB.
iv. Antiemetik.
Ondansentron : 4 – 8 mg IV.
Metoklopramid : 10 mg IV
v. Profilaksis aspirasi.
Cimetidin : dosis disesuaikan.
Ranitidin : dosis disesuaikan.
Antasid : dosis disesuaikan
3. Pilihan anestesi dan reanimasi.
Pertimbangan anestesia-analgesia yang akan di berikan kepada pasien harus
memperhatikan berbagai faktor diantaranya umur, jenis kelamin, status fisik,
keterampilan operator dan peralatan yang dipakai, keterampilan pelaksana anestesi
dan sarananya, permintaan pasien dan jenis operasi.
Adapun jenis operasi ataupun pembedahan menghasilkan pilihan 4 (empat)
pilihan masalah atau empat si yaitu:
11
a. Lokasi operasi misalnya daerah dada ke atas maka anestesia umum jadi
pilihan dengan pasilitas ET atau LMA, sedangkan daerah abdominal ke
bawah dipilih anestesi regional dengan blok Spinal.
b. Posisi Operasi, misalya posisi tengkurap dipilih anestesi umum dengan ET
dan nafas kendali.
c. Manipulasi Operasi misalnya laparatomi luas yang dibutuhkan relaksasi
lapangan operasi optimal dipilih anestesi umum dengan ET dan nafas
kendali.
d. Durasi operasi misalnya pada craniotomy yang lama, dipilih anestesi umum
dengan ET dan nafas kendali.
Dalam praktek anestesi, ada 3 jenis anestesia- anelgesia yang diberikan pada
pasien yaitu
1) Anstesia umum.
Anestesia umum yaitu suatu keadaan tidak sadar yang bersifat
sementara yang di ikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat
pemberian obat anestesia
Teknik anestesi umum yaitu:
a) Anestesia umum intravena (TIVA).
Merupakan salah satu teknik anestesia umum yang dilakukan dengan
jalan menyuntikan obat anestesia parentral langsung kedalam pembuluh
darah vena.
Indikasi (Total Intra Vena Anestesia) TIVA untuk operasi kecil dan
sedang yang tidak memerlukan relaksasi lapangan optimal dan berlangsung
singkat dengan perkecualian operasi di daerah jalan nafas dan intraokuler.
Obat-obat anestetika intravena dan kasiat anestesinya:
Ketamin HCL : hipnotik dan anelgetik.
Tiopenton : hipnotik.
Propofol : hipnotik.
Diazepam : sedatif dan menurunkan tonus otot.
12
Didobenzperidol : sedatif
Midazolam : sedatif.
Petidin : anelgesik dan sedatif.
Morfin : anelgesik dan sedatif.
Fentanil/ sufentanil : anelgesik dan sedatif
b) Anestesia umum inhalasi.
Merupakan salah satu teknik anestesia umum yang dilakukan dengan
jalan memberikan kombinasi obat anesteaia inhalasi yang berupa gas dan
atau ciran yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi lansung
ke udara inspirasi.
Obat anestesia inhalasi umum yang di gunakan adalah: N2O,
Halotan, enfluran, Isofluran, Sevofluran dan Desfluran. Adapun teknik
anestesia umum inhalasi yaitu:
I. Inhalasi sungkup muka (Face Mask).
Pemakaian salah satu kombinasi obat volatil secara inhalasi
melalui sungkup muka atau face mask dengan pola nafas spontan.
Trias anestesi yang terpenuhi yaitu: hipnotik, anelgesik, dan relaksasi
ringan.
Indikasi untuk operasi kecil dan sedang didaerah permukaan
tubuh kecuali leher ke atas yang belangsung singkat dan posisinya
terlentang.
II. Inhalasi sungkup laring (LMA).
Pemakaian salah satu kombinasi obat volatil secara inhalasi
melalui (Laringeal Mask Air way) LMA dengan pola nafas spontan.
Trias anestesi yang terpenuhi yaitu: hipnotik, anelgesik, dan relaksasi
otot ringan.
13
III. Inhalasi pipa endotrakeal (PET) napas sepontan.
Pemakaian salah satu kombinasi obat volatil secara inhalasi
melalui PET dengan pola nafas spontan. Trias anestesi yang terpenuhi
yaitu: hipnotik, anelgesik, dan relaksasi otot ringan
IV. Inhalasi pipa endotrakeal (PET) napas kendali.
Pemakaian salah satu kombinasi obat volatil secara inhalasi
melalui PET dan pemakaian obat pelumpuh otot, selanjutnya diakukan
nafas kendali. Komponen trias anestesi yang terpenuhi yaitu: hipnotik,
anelgesik, dan relaksasi otot.
Indikasi untuk operasi yang memerlukan relaksasi optimal,
operasi dengan posisi khusus dan operasi yang belangsung lama (>1
jam).
Obat pelupuh otot ada 2 jenis yaitu:
1. Pelumpuh otot Golongan Depolarisasi.
Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah
suksinilkolin dan dekametonium. Dampak samping suksinilkolin
ialah:
a) Nyeri otot pasca pemberian.
b) Peningkatan tekanan intraokuler.
c) Peningkatan TIK.
d) Peningkatan tekanan intragastrik.
e) Peningkatan kadar kalium plasma.
f) Aritmia jantung.
g) Salivasi.
h) Alergi, anafilaksi.
2. Pelumpuh otot Golongan NonDepolarisasi.
Pelumpuh otot nondepolarisasi berdasarkan susunan molekul,
maka digolongkan menjadi:
a) Bensiliso-kuinolium: d-tubokurarin, atracurium.
14
b) Seroid: pankuronium, vekuronium, ropakuronium.
c) Eter-fenolik: Gallamin.
d) Nortoksiferin: alkuronium.
Termasuk obat jenis ini yaitu:
a. Pankuronium bromida, obat ini mulai kerjanya 2-3 menit
setelah pemberian dan masa kerjanya 30-45 menit. Dosis dan
cara pemberiannya adalah:
1) Untuk intubasi pipa-endotrakhea, 0,1 - 0,15 mg/kgBB,
diberikan secara intravena.
2) Untuk relaksasi lapangan operasi, 0,06 - 0,08 mg/kgBB,
diberikan secara intravena.
3) Pada bayi dan anak-anak dosis dikurangi.
b. Atracurium besilat merupakan obat pelumpuhn otot non
depolarisasi yang relatif baru yang mempunyai struktur
benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman leontice
leontopeltalum. Mulai kerjanya 2-3 menit setelah pemberian dan
masa kerjanya 15 - 35 menit. Dosis dan cara pemberiannya
adalah:
1) Untuk intubasi pipa-endotrakhea, 0,5 – 0,6 mg/kgBB,
diberikan secara intravena.
2) Untuk relaksasi otot pada saat pembedahan, dosisnya 0,5
– 0,6 mg/kgBB, diberikan secara intravena.
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot adalah cegukan
(hiccup), dinding perut kaku dan ada tahanan pada inflasi paru.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase yang sering
digunakan adalah neostigmin (prostigmin) dan edrophonium.
Diberikan secara bertahap mulai dosis 0.5 mg intravena, selanjutnya
dapat diulang sampai dosis total 5 mg. Neostigmin diberikan
bersama-sama dengan sulfas atrropin dengan dosis 1-1,5 mg. Pada
15
keadaan tertentu misalnya: takikardi, atau demam, pemberian sulfas
atropin dipisahkan dan diberikan setelah prostigmin.
c) Anestesia imbang.
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-
obatan baik obat anestesia intravena maupun obat anestesia inhalasi atau
teknik anestesia umum dengan regional untuk mencapai trias anestesia
secara optimal dan berimbang.
2) Anestesia lokal.
Anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikan obat anestetika lokal
pada darah atau di sekitar lokasi pembedahan yang menyebabkan hambatan
konduksi impuls afern yang bersifat temporer
3) Anestesia regional.
Anestesi regional adalah penggunaan analgetik lokal untuk menghambat
hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari suatu bagian tubuh diblokir
untuk sementara ( reversible ). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian
atau seluruhnya. Penderita tetap sadar. Anestesi regional dibagi menjadi 2
yaitu:
c. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural
dan kaudal.
d. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksilaris,
analgesia regional intravena, dan lain-lain.
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid. Persiapan analgesia spinal pada dasarnya sama seperti persiapan
pada anestesi umum. Daerah tempat tusukan diteliti apakah akan
menimbulkan kesulitan atau tidak. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal
dibawah ini:
a. Persetujuan dari pasien (Informed consent).
16
b. Pemeriksaan fisik.
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan
lain-lainnya.
c. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan.
Hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT ( partial
thromboplastie time).
Persiapan analgesia spinal meliputi beberapa hal, antara lain peralatan
monitor, peralatan resusitasi atau anestesi umum dan jarum spinal. Jarum
spinal dengan ujung tajam (Quicke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung
pinsil( pencil point, whitecare).
Tehnik analgesia spinal dapat dilakukan dengan posisi duduk atau posisi
tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang
paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama
akan menyebabkan menyebarnya obat. Tehnik analgesia spinal diantaranya:
a. Setelah dimonitor posisikan pasien, misalnya dalam posisi dekubitus
lateral. Beri bantal kepala. Buat pasien membungkuk maksimal agar
prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.
b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka
dengan tulang punggung ialah L4 atau L4-L5. Tentukan tempat tusukan
misalnya L2-3, L3-4 atau L4-5.
c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin dan alkohol.
d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml.
e. Cara tusukan median atau paramedian. Pungsi lumbal dilakukan dengan
menyuntikan jarum lumbal no.22 (atau lebih halus 23, 25 atau 26) pada
bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap bidang horizontal
kearah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah dipilih.
Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang
terakhir ditembus ialah duramater-subarachnoid. Setelah stilet dicabut
cairan likuor serebrospinalis akan menetes keluar. Selanjutnya
17
disuntikan larutan obat analgesi lokal kedalam ruang subarachnoid
tersebut.
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan
komplikasi yang terjadi kemudian. Komplikasi dini berupa gangguan pada
sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal. Gangguan pada sirkulasi berupa
hipotensi karena vasodilatasi akibat blok simpatis, makin tinggi blok makin
berat hipotensi. Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infus
cairan kristaloid secara cepat sebanyak 15 - 20 ml/kgBB dalam 10 menit
segera setelah penyuntikan analgesia spinal.
Fungsi kandung kemih merupakan bagian yang fungsinya kembali paling
akhir pada analgesia spinal, umumnya hanya berlangsung 24 jam. Kerusakan
saraf permanen (chronic adhesive arachnoiditis) merupakan komplikasi yang
sangat jarang terjadi.
4. Standar pemantauan dasar operatif.
Bertujuan untuk meningkatkan kewalitas penatalaksanaan pasien selama
operasi berangsung dengan teratur dan kontinyu selama pemberian anestesia-
anelgesia, jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi dan suhu tubuh selalu
dievaluasi.
5. Pengelolaan pasca operatif.
Pulih dari anestesia umum atau anestesia regional secara rutin dikelola dikamar
pulih atau unit perawatan pasca anestesi (Recovery Room, atau Post Anestesia
Care Unit). Idealnya pasien bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan.
Kenyataannya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stress
pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, kardiovaskuler,
gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.
Gangguan pernapasan berupa obstruksi napas parsial (napas bunyi) atau total,
tak ada ekspirasi paling sering dialami pada pasien pasca anestesia umum yang
belum sadar, karena lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Penyebab
18
lain ialah kejang laring (spasme laring) pada pasien menjelang sadar, karena laring
terangsang benda asing, darah, ludah sekret atau ketidakmampuanmenelan atau
sebelumnya ada kesulitan intubasi trakhea.
Lakukanlah manuver tripel pada penyebab obstruksi karena pasien masih
dalam anestesi dan lidah menutup faring. Pasang jalan napas mulut-faring, hidung-
faring dan tentunya berikan Oksigen 100%. Kalau tidak menolong, pasang
sungkup laring.
Obstruksi karena kejang laring atau edema laring selain perlu oksigen 100%
bersihkan jalan nafas, berikan preparat kortikosteroid(oradekson) dan kalau tidak
berhasil perlu pertimbangan memberikan pelumpuh otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiperkarbi,
hiperkapni, PaCO2 >45 mmHg) atau saturasi Oksigen menurun (Hipoksemi, SaO2
<90 mmHg). Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal
(hipoventilasi). Pernapasan lambat sering akibat kebanyakan opioid dan dangkal
sering akibat pelumpuh otot masih bekerja. Kalau akibat jelas karena opioid dapat
diberikan nalokson dan kalau akibat pelumpuh otot berikan prostigmin-atropin.
Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi
yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan, efek samping dar obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan sebab-sebab tersebut, pasien dapat diberikan penenang midazolam
0.05 - 0,1 mg/kgBB.
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan. Untuk
meredam nyeri pasca bedah pada analgesi regional pasien dewasa, diberikan
morfin 0,05 - 0,10 mg. Untuk nyeri yang bersifat sedang dan ringan diperlukan
tambahan opioid dan analgesik golongan AINS( Anti Inflamasi Non Steroid)
misalnya ketorolac 10-30 mg iv atau im.
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia adalah:
1. Dehydrobenzperidol (droperidol) 0,05- 0,1 mg/kgBB i.m atau i.v.
19
2. Metoklopramid ( primperan ) 0,1 mg/kgBB i.v
3. Ondansetron 0,05-0,1 mg/kgBB i.v.
4. Cyclizine 25-50 mg.
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesia.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, cairan infus dingin, cairan irigasi
dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin 10-20 mg i.v pada dewasa
sering dapat membantu menghilangkan menggigil. Selain itu perlu selimut hangat,
infus hangat dengan infusion warmer, lampu penghangat untuk menaikkan suhu
tubuh.
Selama di Recovery room pasien dinilai tingkat pulih-sadarnya untuk kriteria
pemindahan ke ruang perawatan biasa
Tabel 1 Skala pulih dari anestesia
Nilai 2 1 0
Kesadaran • Sadar, orientasi baik • Dapat
dibangunkan
• Tak dapat
dibangunkan
Warna • Merah muda
• Tanpa O2 SaO2>92%
• Pucat atau
kehitaman
• Perlu O2 agar
SaO2>90%
• Sianosis
• Dengan O2 SaO2
tetap <90%
Aktivitas • 4 ekstermitas
bergerak
• 2 ekstermitas
bergerak
• Tak ada
ekstermitas
bergerak
Respirasi • Dapat napas dalam
• Batuk
• Napas dangkal
• Sesak napas
• Apnu atau
obstruksi
Kardiovaskuler • Tekanan darah
berubah <20%
• Berubah 20-
30%
• Berubah 50%
20
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi fraktur
Fraktur adalah putusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. (E. Oerswari, 1989 : 144).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2000 : 347).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang tulang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung, misalnya
benturan pada kaki bawah yang menyebabkan patah tulang radius tibia fibula, dan
dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang clavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan
arahnya.Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut fraktur
terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat menyebabkan
patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
B. Etiologi Fraktur / mekanisme trauma
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan
daya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:
1. Trauma tunggal.
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan
yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh
dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan.
21
Bila terkena kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena,
Pemukulan (pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya; penghancuran kemungkinan akan menyebabkan
fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
Bila terkena kekuatan tak langsung tulang dapat mengalami fraktur pada
tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu; kerusakan jaringan lunak
di tempat fraktur mungkin tidak ada.
Trauma tersebut dapat berupa:
a) Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur spiral
b) Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang menyebabkan fraktur
melintang.
c) Penekukan dan Penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai fragmen kupu – kupu berbentuk segitiga yang
terpisah
d) Kombinasi dari pemuntiran, penekukan dan penekanan yang menyebabkan
fraktur obliq pendek.
e) Perhatikan dimana tendon atau ligamen benar-benar menarik tulang sampai
terpisah.
2. Tekanan yang berulang-ulang
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti halnya pada logam dan benda lain,
akibat tekanan berulang-ulang.
3. Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologik)
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau pada tulang yang lemah,
(misalnya oleh tumor); atau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit
osteoporosis).
Sementara itu Smeltzer & Bare (2001) menyebutkan penyebab fraktur adalah dapat
dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Fraktur Traumatik.
a) Trauma langsung yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
22
b) Trauma tidak langsung bearti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan.
c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
2. Fraktur Patologik.
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai keadaan berikut:
a) Tumor tulang (jinak atau ganas): pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progesif.
b) Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai sebagai salah satu proses yang progesif, lambat dan
nyeri.
c) Rakhitis: yaitu suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin-D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan oleh
kegagalan absorbs Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat
yang rendah.
3. Fraktur Spontan.
Fraktur spontan biasanya disebakan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya
pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
C. Klasifikasi Fraktur
1. Fraktur tertutup yaitu bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar.
2. Fraktur terbuka yaitu bila terdapat hubungan antara fragemen tulang dengan dunia
luar karena adanya perlukan di kulit
Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat yaitu:
a) Derajat I.
1) luka kurang dari 1 cm.
2) kerusakan jaringan lunak sedikit tidak ada tanda luka remuk.
3) fraktur sederhana, tranversal, obliq atau kumulatif ringan.
4) Kontaminasi ringan.
23
b) Derajat II.
1) Laserasi lebih dari 1 cm.
2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, avulse.
3) Fraktur komunitif sedang.
c) Derajat III.
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot dan
neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.
4. Fraktur complete yaitu, fraktur pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
5. Fraktur incomplete yaitu, fraktur hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang
24
6. Berdasarkan daerah fraktur.
a) Fraktur collum femur.
Fraktur collum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung yaitu
misalnya penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter
mayor langsung terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan
oleh trauma tidak langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak
dari tungkai bawah, dibagi menjadi fraktur intrakapsuler (Fraktur collum
femur) dan Fraktur extrakapsuler (Fraktur intertrochanter femur).
b) Fraktor Subtrochanter Femur.
Ialah fraktur dimana garis patahnya berada 5 cm distal dari trochanter
minor, dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi yang lebih sederhana dan
mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding & Magliato, yaitu:
1) tipe 1 : garis fraktur satu level dengan trochanter minor.
2) tipe 2 : garis patah berada 1 -2 inch di bawah dari batas atas trochanter
minor.
3) tipe 3 : garis patah berada 2 -3 inch di distal dari batas atas
trochanterminor.
c) Fraktur Batang Femur.
Fraktur batang femur biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, atau terpeleset.
d) Fraktur supracondyler.
Fraktur supracondyler fragment bagian distal selalu terjadi dislokasi ke
posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot
gastrocnemius, biasanya fraktur supracondyler ini disebabkan oleh trauma
langsung karena kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial dan stress valgus
atau varus dan disertai gaya rotasi.
e) Fraktur intercondyler.
Biasanya fraktur intercondular diikuti oleh fraktur supracondular,
sehingga umumnya terjadi bentuk T fraktur atau Y fraktur.
25
f) Fraktur Condyler femur.
Mekanisme traumanya biasa kombinasi dari gaya hiperabduksi dan
adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur keatas
7. Jenis Fraktur khusus.
Bentuk garis patah.
a). Garis patah melintang.
b). Garis pata obliq.
c). Garis patah spiral.
d). Fraktur kompresi.
e). Fraktur avulsi.
Jenis garis patah.
a) Fraktur komunitif garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b) Fraktur segmental garis patah lebih dari satu tetapi saling berhubungan.
c) Fraktur multiple garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan.
D. Tanda dan gejala.
Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) antara lain:
1. Deformitas.
2. Krepitasi.
3. Bengkak.
4. Ekimosis dari perdarahan subculaneous.
5. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur.
6. Tenderness.
7. Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari tempatnya
dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.
8. Kehilangan sensani (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/
perdarahan).
9. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah.
10. Pergerakan abnormal.
26
Pada pasien dengan fraktur femur dengan reposisi atau operasi fiksasi eksternal
atau internal dan reduksi terbuka dislokasi, patah tulang paha, lutut, kruris dan tulang-
tulang kaki ada beberapa masalah anestesi dan reanimasi yang harus diperhatikan
diantaranya:
1. Posisi miring pada tulang paha.
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multiple).
3. Operasi berlangsung lama (pada patah tulang multiple).
4. Kerusakan jaringan lunak.
5. Nyeri yang hebat.
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat.
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.
Sedangkan pada kasus pasien dengan reposisi atau operasi eksternal atau internal
dan reduksi terbuka dislokasi atau patah tulang lengan dan klavikula masalah anestesi
dan reanimasi adalah posisi miring.
27
BAB III
TATALAKSANA ANESTESI DAN REANIMASI PADA PASIEN
DENGAN FRAKTUR FEMUR.
Penatalaksanaan anestesi pada pasien dengan kasus fraktur femur bisa dilakukan
dengan tehnik General Anestesi Atau Regional Anestesi, tapi untuk lebih baiknya dilakukan
regional anestesi.
Masalah anestesi dan reanimasi pada fraktur femur:
1. Posisi miring pada tulang femur.
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multipel).
3. Operasi berangsung lama (pada patah tulang multipel).
4. Kerusakan jaringan lunak.
5. Nyeri yang hebat.
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat.
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.
Penatalaksanaan anestesi dan reanimasinya yaitu:
A. Evaluasi.
1. Anamnesis.
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri atau melalui keluarga
pasien. Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis adalah:
1. Identifikasi pasien.
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita misalnya,
gangguan faal hemostatis, penyakit saraf otot, infeksi didaerah
lumbal, dehidrasi, syok, anemia, SIRS (systemic inflamatory
respone syndrome) dan kelainan tulang belakang.
3. Menentukan status fisik berdasarkan klasifikasi ASA.
28
4. Riwayat obat-obatan yang sedang atau telah digunakan.
5. Riwayat operasi dan anestesia yang pernah dialami diwaktu yang
lalu.
6. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi, seperti merokok
2. Pemeriksaan fisik dan penunjang.
Pemeriksaaan fisik rutin meliputi pemeriksaan tinggi, berat, suhu
badan, keadaan umum, kesadaran umum, tanda-tanda anemia, tekanan
darah, nadi dan lain-lain.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan:
1) Darah (Hb, leukosit, gol. Darah, masa pembekuan)
2) Urine ( protein, reduksi, sedimen )
3) Foto thoraks.
4) RO femur AP/ Lat. Pada bagian yang dicurigai fraktur.
5) EKG
B. Persiapan pra operatif.
Pada pasien fraktur femur harus ada persiapan khusus misalnya:
1) Koreksi gangguan fungsi organ yang mengancam.
2) Penanggulangan nyeri.
3) Donor jika diperlukan.
C. Premediksi sesuai kebutuhan.
Berikan obat premedikasi yang diperlukan agar menimbulkan suasana
nyaman bagi pasien, memudahkan dan memperlancar induksi, mengurangi dosis
anestesia, menekan dan mengurangi sekresi kelenjar. Pemberian premedikasi
secara intramuskular dapat diberikan ½ -1 jam sebelum dilakukan induksi
anestesi atau beberapa menit bila diberikan secara intra vena.
29
D. Pilihan anestesi dan reanimasi.
1. Pada pasien dewasa / orangtua tanpa gangguan fungsi organ vital diberikan
anelgesia sub arakhnoid atau epidural kontinyu.
2. Pada pasien dewasa / orangtua dengan gangguan fungsi organ vital diberikan
anelgesia umum inhalasi (imbang), PET dengan nafas kendali.
3. Pada pasien dewasa dan diperkirakan operasi kurang dari 1 jam anestesi
umum inhalasi sungkup muka atau anestesi umum intravena bisa
dipertimbangkan.
4. Pada bayi/ anak anak, anestesi umum sesuai dengan tata laksana anestesia
pada pediatrik.
Tatalaksananya jika anestesia blok sub arakhnoid jadi pilihan.
a) Pasang alat pantau yang diperlukan.
b) Pungsi lumbal dapat dilakukan dengan posisi pasien tidur miring kiri
atau miring kanan, atau duduk sesuai dengan indikasi.
c) Disinfeksi area pungsi lumbal dan tutup dengan duk lubang steril.
d) Lakukan pungsi lumbal dengan jarum spinal dengan pilihan jarum
mulai jarum ukuran terkecil pada celah interspinosum, lumbal 3-4, atau
lumbal 4-5 sampai keluar cairan likuor.
e) Masukan obat anestetik lokal yang dipilih sambil melakuan barbotase.
f) Tutup luka tusukan dengan kasa steril.
g) Atur posisi pasien.
h) Nilai ketinggian blok dengan skala “bromage”.
i) Segera pantau tanda tanda vital terutama tekanan darah dan nadi.
E. Pemantauan selama anestesi.
Sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif. Pada kasus fraktur
femur dengan pilihan regional anestesi terutama tekanan darah dan nadi yang
menunjukan tingkat keberhasilan terapi cairan pra operasi.
30
F. Terapi cairan.
Terapi cairan dan elektrolit pada pasien fraktur femur adalah salah satu terapi
yang sangat menentukan keberhasilan penanganan pasien kritis. Tindakan ini
seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita
kehilangan cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah dan syok. Tujuan
terapi cairan adalah:
1. Mengganti cairan yang hilang.
2. Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung.
3. Mencukupi kebutuhan per hari.
4. Mengatasi syok.
5. Mengoreksi dehidrasi.
6. Mengatasi kelainan akibat terapi lain.
Berdasarkan penggunaannya, cairan infus dapat digolongkan menjadi 4
(empat) kelompok, yaitu:
a. Cairan pemeliharaan
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh lewat urin,
feses, paru dan keringat. Mengingat cairan yang hilang dengan cara ini
sedikit sekali elektrolit, maka sebagai cairan pengganti adalah yang
hipotosis-isotonis, dengan perhatian khusus untuk nattrium, yaitu:
1) Dextrose 5% dalam NaCL 0.9 %
2) Dextrose 5% dalam ringer Laktat
3) Dextrose 5% dalam ringer
4) Maltose 5% dalam ringer
b. Cairan Pengganti
Tujuannya adalah untuk mengganti kehilangan air tubuh yang
disebabkan oleh sekuestrasi misalnya perdarahan pada pembedahan atau
cedera. Sebagai cairan pengganti untuk tujuan ini digunakan cairan
kristaloid, misalnya NaCL 0.9% dan Ringer latat atau koloid, misalnya
Hemasel, Albumin dan plasma.
31
c. Cairan untuk tujuan khusus
Yang dimaksud adalah cairan kristaloid yang digunakan khusus,
misalnya natrium bikarbonat 7.5%, kalsium glikonas dan lain-lain, untuk
tujuan koreksi khusus terhadap gangguan keseimbangan elektrolit.
d. Cairan nutrisi
Digunakan untuk nutrisi parenteral pada pasien yang tidak mau makan,
tidak boleh makan dan tidak bisa makan peroral.
Tabel 2: perbandingan antara kristaloid dan koloid
Sifat-sifat Kristaloid Koloid
• Berat Molekul Lebih Kecil Lebih besar
• Distribusi Lebih cepat Lebih lama dalam
sirkulasi
• Faal homeostatis Tidak ada pengaruh Mengganggu
• Penggunaan Untuk dehidrasi Pada perdarahan masif
• Untuk koreksi
perdarahan
Diberikan 2-3 x
jumlah perdarahan
Sesuai dengan jumlah
perdarahan
Pada kasus raktur femur terapi cairan dengan anestesi dibagi menjadi:
a. Terapi cairan selama operasi
Tujuannya adalah fasilitas vena terbuka, koreksi kehilangan cairan
melalui luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang
hilang melalui organ eksresi.
Cairan yang digunakan adalah cairan pengganti, bisa kristaloid dan
koloid atau tranfusi darah. Pedoman koreksinya adalah:
1) Mengikuti pedoman cairan prabedah.
2) Berikan tambahan cairan sesuai dengan jumlah perdarahan yang
terjadi ditambah dengan koreksi cairan sesuai dengan
penghitungan cairan yang hilang berdasarkan jenis operasi yang
dilakukan, dengan asumsi:
a) Operasi besar : 6-8 ml/kgBB/jam
32
b) Operasi sedang : 4-6 ml/kgBB/jam
c) Operasi kecil : 2-4 ml/kgBB/jam
3) Koreksi perdarahan selama operasi:
a) Dewasa
(1) Perdarahan >20% dari perkiraan volume darah = tranfusi
(2) Perdarahan <20% dari perkiraan volume darah = berikan
kristaloid sebanyak 2-3 x jumlah perdarahan atau koloid
yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah perdarahan
atau campuran kristaloid + koloid.
b) Bayi dan anak
(1) Perdarahan >10% dari perkiraan volume darah = tranfusi
(2) Perdarahan <10% dari perkiraan volume darah = berikan
kristaloid sebanyak 2-3 x jumlah perdarahan atau koloid
yang jumlahnya sama dengan perkiraan jumlah perdarahan
atau campuran kristaloid + koloid.
4) Jumlah perdarahan selama operasi dihitung berdasarkan:
a) Jumlah darah yang tertampung di dalam botol penampungan.
b) Tambahan berat kasa yang digunakan ( 1 gram = 1ml darah )
c) Ditambah dengan faktor koreksi sebesar 25% x jumlah yang
terukur + terhitung (jumlah darah yang tercecer dan melekat
pada kain penutup lapangan operasi).
b. Terapi cairan pasca bedah.
Tujuannya adalah fasilitas vena terbuka, pemberian cairan
pemeliharaan, nutrisi parenteral dan koreksi terhadap kelainan akibat
terapi yang lain. Cairan yang digunakan tergantung masalah yang
dijumpai, bisa mempergunakan cairan pemeliharaan, cairan pengganti
atau cairan nutrisi.
G. Pemulihan anestesi sesuai dengan pilihan anestesi yang diberikan.
33
H. Pasca anestesi.
Pada pase ini merupakan preode kritis setelah operasi dan anestesia di akhiri,
maka kita perlu memantau kemungkinan komplikasi yang terjadi.
1. Pasien di rawat di ruang pulih sesuai dengan tata laksana pasca anestesia.
2. Perhatian kusus ditujukan pada upaya penanggulangan nyeri pasca operasi.
3. Pasien dikirim kembali keruangan setelang memenuhi kriteria pemulihan.
4. Pada kasus multipel trauma, pasien langsung dikirim keruang terapi intensif
untuk perawatan lebih lanjut.
34
BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas batang tulang femur yang bisa terjadi
akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian).
Akibat trauma pada tulang tergantung pada jenis trauma, kekuatan, dan
arahnya.Trauma tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat
menyebabkan tulang patah dengan luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah
tulang terbuka. Patah tulang yang didekat sendi atau yang mengenai sendi dapat
menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.
Pada penatalaksanaan anestesi dengan fraktur femur evaluasi preoperatif yang
perlu diperhatikan adalah hipovolemia baik aktual melalui Pendarahan , Dehidrasi
maupun potensial puasa.
1. Perhatikan / pasang infuse ( kalau perlu pasang 2 line)
2. Ketahui berapa banyak pendarahan yang keluar
a. Hitung EBV (estimated blood volume)
1) Dewasa Laki- laki 70 cc/kg/BB
2) Perempuan 65 cc/kg/BB
3) Anak 80 cc/kg/BB
4) Bayi 85-95 cc/kg/BB
b. Cairan Pengganti Puasa 2cc /kb BB/ jam.
c. Stress pembedahan
Berat 6-8 cc/ kg BB
Sedang 4-6 cc/ kg BB
Ringan 2-4 cc/ kg BB
Adapun masalah yang berhubungan dengan anestesi dan reanimasi pada fraktur
femur antara lain:
1. Posisi miring pada tulang femur.
2. Perdarahan luka operasi (pada patah tulang multipel).
35
3. Operasi berangsung lama (pada patah tulang multipel).
4. Kerusakan jaringan lunak.
5. Nyeri yang hebat.
6. Pada beberapa kasus operasinya bersifat darurat.
7. Bahaya emboli lemak pada patah tulang panjang.
Pada saat durante operasi observasi tensi dan nadi, observasi kondisi pasien dan
terapi cairan pada durante operasi dengan melihat adanya volume pendarahan yang
ada. Mengganti pendarahan dengan cara menghitung EBV dan prosentase perdarahan
dengan cairan pengganti jika lebih dari 20% wajib ganti dengan darah. Untuk anak
penggantian darah jika pendarahan lebih dari 10 % .Yang terpenting di saat durante
adalah
1. Observasi Tanda Vital 5 Menit sekali
2. Observasi pendarahan
3. Observasi Balance Cairan
4. Observasi Tetesan Infus
Keseimbangan Cairan dan Elektrolit adalah faktor penunjang metabolisme tubuh.
Pemberian cairan pasca operasi di dasari:
1. Masalah Aktual yang ada seperti hipovolemia, anemia dll
2. Keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Penyakit penyerta
4. Jalur pemberian Cairan ( Parenteral dan enteral )
5. Komposisi nutrisi dalam cairan ( karbohidrat , Lemak , Asam Amino).
Pemberian tranfusi darah pada periode pasca bedah dianjurkan diberikan setelah
pasien sadar, untuk mengetahui sedini mungkin reaksi tranfusi yang mungkin timbul,
pada periode pasca bedah, terutama pasien yang sedang memperoleh tranfusi darah,
segera lakukan evaluasi status hematologi dan pemeriksaan faal hemostatis untuk
mengetahui sedini mungkin setiap kelainan yang terjadi.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, Dalam Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, Edisi 7, Editor : Edi
Nugroho 1999.
2. Bisri, T, Dasar-Dasar Neuro Anestesi, Saga Olahcitra, bandung 2008.
3. Boulton, T.B, “ Anestesiologi” Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1994.
4. Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta.
5. Dobson, M.B, “penuntun praktis Anesteiologi”, Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta, 1989.
6. Latif Said, Dkk, Anestesiologi, Fakultas Kedokteran Indonesia, Bagian Anestesiologi
Dan Terapi intensif, Jakarta, 2002.
7. Mangku, Gde, Dkk, Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi, indeks Jakarta, 2010.
8. Morgan GE, Mikhil MS, J.Murry M, Clinical Anestesiologi 4th Edition, Mc Graw
Hill. New York,2006.
9. Sjamsulhidayat, R. Dan Wim de jong. Buku Ajar ilmu bedah, edisi revisi, EGC. Jakarta
1998.
10. Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.
top related