indahwsite.files.wordpress.com file · web viewjaminan sosial. jaminan sosial secara universal....
Post on 03-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
JAMINAN SOSIAL
A. Jaminan Sosial Secara Universal
Dalam arti yang luas secara global, istilah “jaminan sosial” atau “social security”
mencakup berbagai instrumen publik yang memberikan kemanfaatan tunai (cash benefits)
atau kemanfaatan kebutuhan (in kind benefits) atau kedua-duanya, dalam hal :
a. Kemampuan bekerja atau berpenghasilan seseorang :
- Terhenti selama-lamanya, karena hari tua, cacat tetap total, atau meninggal dunia.
- Terganggu, oleh ketidakmampuan bekerja sementara, cacat tetap sebagian.
- Dibebani biaya, seperti perawatan rumah sakit, kehamilan, dan persalinan.
b. Memerlukan pelayanan medis bagi diri sendiri dan keluarganya
c. Memelihara anak-anak.
Di masing-masing negara di dunia, konsepsi jaminan sosial itu diartikan dan
dilaksanakan dalam berbagai bentuk dan cara masing-masing negara sesuai dengan sejarah,
tradisi, perkembangan sosial ekonomi, kemauan politik serta falsafah dari negara tersebut.
Oleh karena itu, jaminan sosial juga menjadi lingkup : keselamatan dan kesehatan kerja,
perbaikan kondisi dan lingkungan kerja; pendidikan dan latihan kerja; tunjangan isteri dan
anak; pakaian kerja, makan ditempat kerja dan rekreasi; dan koperasi karyawan.
Sebagai alat untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia, jaminan sosial telah
diterima hampir secara universal baik sebagai pengentas kemiskinan maupun pencegah
kemiskinan. Hampir semua negara di dunia memiliki paling tidak satu progran jaminan sosial
karena jaminan sosial juga dicantumkan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
PBB, yaitu bahwa setiap orang berhak mendapatkan perlindungan apabila mencapai hari tua,
menderita sakit, mengalami cacat, menganggur, dan meninggal dunia
Klasifikasi
Walaupun terdapat berbagai macam sistem jaminan sosial, tetapi dapat diidentifikasi
beberapa sistem yang paling utama yaitu :
a. Bantuan sosial (Social Assistance)
Menggunakan metode test kebutuhan kepada penduduk atau warga negara yang mengalami
peristiwa tertentu yang dianggap membutuhkan bantuan karena tidak memiliki sumber-
sumber untuk memenuhinya.
Contoh : Penganggur yang tidak mempunyai penghasilan, bantuan korban bencana alam,
santunan panti asuhan. Pembiayaannya berasal dari APBN dan dilaksanakan oleh
Departemen Sosial.
b. Tabungan Hari Tua (Provident Fund)
Menggunakan metode tabungan dimana tenaga kerja dan pengusaha diwajibkan membayar
iuran setiap bulan pada suatu dana yang dikelola oleh badan publik. Iuran tersebut dikreditir
dalam rekening tenaga kerja yang saldonya termasuk hasil pengembangannya hanya dapat
dibayarkan secara sekaligus dalam hal atau peristiwa tertentu, biasanya bila tenaga kerja
mencapai umur hari tua, menderita cacat tetap total atau meninggal dunia sebelum hari tua.
Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">c. Asuransi Sosial (Social Insurance)
Metode risiko hubungan kerja dimana kemanfaatan atau jaminannya didasarkan atas masa
kerja atau kepesertaan dalam sistem ini. Jaminan tersebut bisa berupa santunan tunai, baik
dalam jumlah uang tertentu atau didasarkan presentase penghasilan, berupa pelayanan medis
atau kemanfaatan lain berupa obat-obatan. Pembiayaannya berasal dari iuran oleh tenaga
kerja, pengusaha, atau keduanya yang dikelola badan publik.
d. Tanggungjawab Pengusaha (Employer’s Liability)
Menggunakan metode kewajiban pengusaha, dimana pengusaha diwajibkan secara hukum
untuk memberikan jaminan kepada tenaga kerjanya, keluarganya, atau keduanya. Bentuk
jaminan umumnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, seperti kompensasi kecelakaan
kerja dan sakit akibat kerja, pesangon untuk PHK dan jaminan hari tua. Pembiayaan
sepenuhnya ditanggung oleh pengusaha dan dapat bergantung kepada peristiwa yang terjadi.
B. KONSEP ISLAM TENTANG JAMINAN SOSIAL
Gagasan tentang kesejahteraan sosial di Indonesia telah dirumuskan oleh para pendiri
bangsa yang tertuang di dalam UUD 1945 merupakan salah satu alasan paling penting bagi
kelahiran sebuah negara. Maka penciptaan kesejahteraan sosial merupakan alasan paling
mendasar bagi kelahiran bangsa ini. Itulah sebabnya, gagasan kesejahteraan sosial tersebut
sudah disebut pada bagian pembukaan UUD 1945. Tetapi gagasan yang tertuang dalam UUD
1945 tersebut tidak lahir di dalam konteks sendiri.
Dalam UUD 1945 pasal 34 ayat 2, Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi
seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Pelaksanaan pasal ini dengan terwujud UU no.40/2004 tentang sistem
jaminan sosial nasional (sjsn) dan UU no. 24/2011 tentang badan penyelenggara jaminan
social (bpjs), baik bpjs kesehatan maupun bpjs ketenakerjaan. BPJS kesehatan akan
diberlakukan terhadap seluruh warga Negara, baik yang beriuran mandiri maupun yang
dibayarkan oleh Negara atau pemberi kerja. Ini suatu lompatan yang besar bagi bangsa
Indonesia setelah ditunggu-tunggu 60 tahun Indonesia merdeka sebagaimana dicanangkan
oleh founding-father bangsa ini.
Sementara jauh sebelum ini, Islam sudah memberikan konsep yang lengkap tentang
Jaminan Sosial. Islam menetapkan prinsip-prinsip jaminan dalam semua gambaran dan
bentuknya dan telah diterapkan pada masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, dan Umar bin
Abdul Azis. Jaminan Sosial dalam Islam memiliki 4 tahapan atau level; jaminan individu
terhadap dirinya, antara individu dengan keluarganya, individu dengan masyarakatnya dan
antara masyarakat dalam suatu negara. Jaminan sosial dalam Islam ini menggambarkan
bahwa jaminan itu berlapis-lapis. Bila mampu diselesaikan oleh individu maka diselesaikan
dilevel inividu, namun bila tak bisa diselesaikan maka akan diselesaikan di level keluarga
baik persoalan kesejahteraan fisik maupun rohani, bila tak selesai dilevel keluarga maka akan
diselesaikan di level masyarakat, dan akhirnya bila tak selesai di masyarakat maka kewajiban
negara menyelesaikannya.
JAMINAN INDIVIDU
Jaminan ini menekankan bahwa setiap individu bertanggung jawab agar dirinya terlindungi
dari hawa nafsu, selalu melakukan pembersihan jiwa, menempuh jalan yang baik dan
selamat, serta tidak menjerumuskan diri dalam kehancuran, setiap orang akan bertanggung
jawab atas perbuatannya dan bekerja keras agar mampu memenuhi kebutuhannya. “ Adapun
orang yang melampui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya
nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran
Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggalnya” (QS: &(:37-41), “ Dan demi jiwa serta penciptaannya, maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaanya. Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya” (QS:91:7-10),
“…. Dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri pada kebinasaan….” (QS: 2:195).
Setiap individu, apalagi laki-laki harus mampu minimal menghidupi dirinya, terlebih
lagi dia nanti sebagai tulang punggung keluarga inti dan keluarga besarnya. Dia harus
memiliki etos kerja yang keras dan semangat bagaimana menjadi orang yang mampu
berzakat dan agar mampu melaksanakan ibadah-ibadah yang lain yang membutuhkan
dukungan materi. “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan” (QS:9:105), “ Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari duniawi
dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan” (QS:28:77).
JAMINAN KELUARGA
Setiap individu pada akhirnya membangun sebuah keluarga, yang kemudiannya keluarga
tersebut selain ada suami istri, anak-anak, ibu bapak kandung dan mertua, dan sanak famili
keluarga besar. Dimana dalam Islam satu dengan yang lain ada hak dan kewajiban baik
material dan non material yang harus ditunaikan antara satu dengan yang lainnya sebagai hak
kerabat. Kepala keluarga berkewajiban memberikan nafkah lahir dan batin. Begitu indah dan
rinci Islam mengatur masalah ini. Sehingga kewajiban keluarga yang mampu harus
membantu keluarga yang kurang, dengan demikian terjadi saling takaful satu dengan yang
lain. “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
(QS:2:233), “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain
Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia . Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil” (QS:17:23-24).
Jaminan lain dalam keluarga adalah disyariatkannya ‘hukum waris’. Hukum memberikan
keadilan yang luar biasa, karena selain dituntut dengan kewajiban saling membantu didalam
keluarga, saat yang sama Allah berikan hak waris dalam keluarga tersebut, bila yang berlebih
mendistribusikan kekayaan kepada keluarga yang kurang mampu melalui mekanisme hukum
waris ini. Inilah keindahan syariat Islam yang tiada bandingannya. (QS: 4:12, 176)
Jaminan Masyarakat
Setiap individu-individu, kemudian berkeluarga dan keluarga-keluarga ini berhimpun
dalam masyarakat. Masing-masing individu dan keluarga tersebut juga ada hak dan
kewajiban sehingga kehidupan di masyarakat akan damai dan sejahtera dalam lindungan
Allah SWT. Selain ada kewajiban saling menjada ketertiban dan keamanan, juga ada
kewajiban saling menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana digambarkan
Rasulullah seperti orang yang naik kapal berlayar harus menjada keselamatan penumpang
kapal yang ada di dalam secara bersama sama. (QS: 3: 104 &(HR: Bukhari dan At tirmidzi)
Selain itu juga saling membantu antar anggota masyarakat yang kurang mampu, anak
terlantar, janda dan jompo yang tidak selesai oleh bantuan keluarganya, sehingga kewajiban
anggota masyarakat yang lain membantu dengan mekanisme dana infaq dan shadaqoh dll.
(QS: 69: 30-37)
Jaminan Negara
Negara bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan setiap warga negaranya. Negara
hadir dengan kewajiban menjamin terwujudnya suasana ta’abbudi (kemudahan beribadah),
kesejahteraan dan keamanan. “ Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah
ini . Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan” (QS: 106:3-4)
Negara mewujudkan kesejahteraan dengan menggunakan sumber dananya adalah zakat,
infak, shadaqah, wakaf, fa’I, ghanimah, kharaj, jiziyah dan lain-lain. Zakat menjadi
instrument penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Zakat merupakan
mekanisme redistribusi asset sepanjang zaman. Kewajiban ini mengandung makna selain
habblumminallah juga habblumminannas.
Alangkah Indahnya syariat Islam ini bila bisa ditegakkan kembali, mualai dari tahap individu,
keluarga, masyakat dan negara. Makan problematika kemiskinan di dunia Islam akan mampu
diatasi setahap demi setahap sebagaimana masa keemasan Islam dahulu.
C. JAMINAN SOSIAL DALAM PRAKTIK
Islam membagi kebutuhan dasar (al-hajat al-asasiyah) menjadi dua. Pertama, kebutuhan
dasar individu, yaitu sandang, pangan, dan papan. Kedua, kebutuhan dasar seluruh rakyat
(masyarakat), yaitu keamanan, kesehatan dan pendidikan. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II
hlm. 18; Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 165).
Peran negara dalam pemenuhan kedua kebutuhan dasar tersebut berbeda. Dalam
pemenuhan kebutuhan dasar individu (sandang, pangan, dan papan), negara pada dasarnya
berperan secara tidak langsung, kecuali jika individu sudah tidak mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri. Disebut tidak langsung, karena negara tidak langsung memberikan
sandang, pangan, dan papan secara gratis kepada rakyat. Dalam hal ini peran negara adalah
memastikan penerapan hukum-hukum syariah khususnya hukum nafkah (ahkam an-nafaqat)
atas individu-individu rakyat, agar mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar individunya.
Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah negara berperan
langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah
Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 167-177).
Adapun dalam pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyat (keamanan, kesehatan dan
pendidikan), negara sejak awal memang berperan secara langsung. Artinya, negara wajib
menyediakan kebutuhan keamanan, kesehatan dan pendidikan kepada seluruh rakyat secara
gratis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 177).
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Individu
Bagaimana cara Islam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar individu (sandang, pangan, dan
papan)? Islam menjamin, pada awalnya, dengan mensyariatkan hukum kewajiban bekerja
untuk mencari nafkah bagi laki-laki dewasa yang mampu, untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri dan kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungnya, seperti isteri dan anak-
anaknya. Dalilnya antara lain firman Allah SWT :
رزقه من وكلوا مناكبها في فامشوا
“Dan berjalanlah di segala penjuru [bumi] dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya.” (QS
Al-Mulk [67] : 15).
Kewajiban bekerja tersebut menjadi tanggung jawab laki-laki dewasa yang mampu
saja. Adapun perempuan, tidak diwajibkan bekerja, meski syara’ tidak mengharamkannya
bekerja. Nafkah bagi perempuan menjadi kewajiban suaminya, atau ayahnya jika perempuan
itu belum menikah. Nafkah anak-anak, menjadi kewajiban ayahnya. Nafkah ayah dan ibu
yang sudah tua, menjadi kewajiban anak laki-lakinya yang sudah dewasa dan mampu, jika
ayah dan ibu membutuhkan nafkah. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah
Al-Mutsla, hlm. 167-169).
Selanjutnya, jika laki-laki dewasa yang ada tidak mampu bekerja, baik tidak mampu
secara nyata (misalnya cacat atau gila) atau tidak mampu secara hukum (misalnya tidak
mendapat pekerjaan), maka nafkahnya ditanggung kerabatnya yang menjadi ahli warisnya,
sesuai firman Allah SWT :
ذلك مثل الوارث وعلى“Dan warispun berkewajiban demikian [memberi nafkah].” (QS Al-Baqarah [2] : 233).
Jika kerabat ahli waris itu ada dan mampu tapi enggan memberi nafkah, maka negara
melalui hakim (qadhi) turun tangan untuk menegakkan hukum, yaitu mewajibkan kerabatnya
memberi nafkah. Di sisi lain, terhadap laki-laki dewasa yang tidak mampu secara hukum
(karena tidak mendapat pekerjaan), negara berkewajiban menciptakan lapangan kerja
baginya. (Abdul Aziz Al-Badri, Al-Islam Dhamin li Al-Hajat Al-Asasiyah, hlm. 26-29;
Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 129).
Selanjutnya, jika kerabat tidak ada atau ada tapi tak mampu, maka kewajiban
memberi nafkah berpindah ke Baitul Mal, yakni negara Khilafah. Dalilnya sabda Rasullah
SAW :
وعلي �لي فإ ضياعا أو دينا ترك ومن ��ه �هل فأل ماال ترك من“Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya. Dan barangsiapa
mati meninggalkan utang, atau meninggalkan keluarga [yang tidak mampu] maka datanglah
kepadaku dan menjadi kewajibanku.” (HR Muslim).
Dari manakah negara Khilafah memperoleh harta guna menjamin kebutuhan dasar
mereka yang tidak mampu ini? Pada awalnya, negara akan mengambil dari harta zakat,
karena mereka yang tidak mampu termasuk golongan fakir atau miskin yang berhak
mendapat zakat, sesuai firman Allah SWT :
والمساكين للفقراء الصدقات إنما“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin… “
(QS At-Taubah [9] : 60).
Jika ternyata dari harta zakat tidak mencukupi, maka negara (Baitul Mal) akan
mengambil dari sumber-sumber pendapatan tetap Baitul Mal di luar zakat, yang terdiri dari :
fai`, ghanimah, jizyah, kharaj, khumus rikaz (seperlima dari harta galian), harta milik umum
(milkiyah ‘amah), harta milik negara (milkiyah dawlah), usyuur, dan tambang (al-ma’adin),
seperti tambang minyak dan gas. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 15; An-Nizham Al-
Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 232).
Jika dari harta-harta selain zakat ini belum mencukupi juga, maka negara (Baitul Mal)
berhak memungut pajak (dharibah) dari kaum muslimin, khususnya dari laki-laki muslim
dewasa yang mampu. Sebab pemenuhan kebutuhan dasar kaum fakir dan miskin, jika tak
dapat diatasi dari harta zakat dan selain zakat, menjadi kewajiban kaum muslimin, sesuai
sabda Nabi SAW :
تعالى �ه الل ذ�مة م�نهم بر�ئت فقد �ع جائ امرؤ ف�يه�م أصبح عرصة أهل ما وأي“Siapa saja penduduk suatu negeri yang pada pagi hari ada yang kelaparan di antara mereka,
maka sungguh perlindungan Allah Ta’ala telah terlepas dari mereka.” (HR Ahmad).
(Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 16).
Jika pajak ini tidak mencukupi, atau jika timbul bahaya (dharar) ketika menunggu
terkumpulnya pajak sementara kebutuhan dasar tak dapat ditunda-tunda, maka negara wajib
segera bertindak dengan mencari pinjaman uang (qardh) dari rakyat yang mampu. Pinjaman
ini nanti dikembalikan oleh negara dari harta pajak yang berhasil dikumpulkan kemudian.
(Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 173).
Inilah peran negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, yang telah
dijelaskan dalam hukum-hukum syara’ secara rinci dan sangat antisipatif. Selain mekanisme
negara ini, syara’ juga mempunyai mekanisme lain di luar negara, yaitu mekanisme individu.
Artinya, syara’ menganjurkan individu-individu muslim untuk secara sukarela membantu
sesama muslim yang sedang mengalami kesulitan, misalnya lewat shadaqah, wakaf,
hibah/hadiah dan sebagainya. Banyak nash yang menganjurkan amal-amal mulia itu. Antara
lain dalam shadaqah, Nabi SAW telah bersabda :
للبالء وأعدو بالزكاة أموالكم وحصنوا بالصدقة، مرضاكم داووا
“Obatilah sakitmu dengan mengeluarkan shadaqah, bentengilah hartamu dengan membayar
zakat, dan persiapkanlah dirimu menghadapi musibah/ujian.” (HR Al-Baihaqi, dan dinilai
hasan oleh Al-Albani).
Tentang wakaf, Nabi SAW telah menyebutnya sebagai shadaqah jariyah, yaitu wakaf
yang pahalanya tetap mengalir walaupun pelakunya sudah meninggal dunia. Nabi SAW
bersabda :
يدعو : صالح ولد أو به ينتفع علم أو جارية صدقة أشياء ثالثة من إال عمله انقطع اإلنسان مات إذاله“Jika seorang manusia meninggal, terputuslah [pahala] amalnya kecuali dari tiga perkara :
shadaqah jariyah [yaitu wakaf], atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang
mendoakannya.” (HR Jamaah kecuali Bukahri dan Ibnu Majah).
Tentang hibah atau hadiah, Nabi SAW menganjurkannya dengan sabdanya :
وا تحاب تهادوا“Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscara kalian akan saling mencintai.” (HR
Baihaqi, hadis hasan). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1170).
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat
Negara Khilafah wajib menyediakan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu keamanan, kesehatan
dan pendidikan kepada seluruh rakyat secara gratis. Tentang keamanan, jelas sekali menjadi
kewajiban negara yang mendasar, karena keamanan (al-amn) menjadi salah satu dari dua
syarat sebuah negeri agar memenuhi kriteria Darul Islam. Dalam Sirah Ibnu Ishaq disebutkan
Rasulullah SAW memberitahukan kepada para sahabatnya di Makkah :
�ها ب تأمنون ودارا �خوانا إ لكم جعل وجل عز ه الل �ن إ“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjadikan saudara-saudara buat kalian [yaitu
kaum Anshar] dan sebuah negeri yang aman buat kalian [yaitu Madinah].” (Muqaddimah Ad-
Dustur, Juz II hlm. 18).
Tentang kesehatan, terdapat banyak dalil yang menunjukkan negara wajib
menyediakannya secara gratis untuk rakyat. Di antaranya hadits Jabir RA yang berkata :
�عليه كواه قا ثم ر �ع م�نه فقطع �يبا طب كعب �بن أبي �لى إ وسلم عليه الله صلى �الله رسول بعث
“Rasulullah SAW telah mengutus seorang dokter (thabib) kepada Ubai bin Ka’ab. Dokter itu
memotong satu urat dari tubuhnya, lalu membakar (mencos) bekas urat itu dengan besi
bakar.” (HR Muslim).
Khalifah Umar bin Khaththab RA juga pernah mengutus seorang dokter kepada
Aslam RA untuk mengobati penyakitnya (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrak). Dalil-dalil ini
menunjukkan bahwa kesehatan atau pengobatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat
yang wajib disediakan negara secara gratis bagi seluruh rakyatnya. (Muqaddimah Ad-Dustur,
Juz II hlm. 19)
Adapun pendidikan, telah terdapat riwayat hadits bahwa Rasulullah SAW telah
menetapkan bahwa seorang kafir yang menjadi tawanan, ditebus pembebasannya dengan cara
mengajar sepuluh anak kaum muslimin. Tebusan jasa ini adalah sebagai ganti dari tebusan
berupa harta rampasan perang (ghanimah) yang menjadi milik seluruh kaum muslimin. Selain
itu terdapat Ijma’ Shahabat bahwa gaji para pengajar adalah menjadi tanggungan Baitul Mal
(Kas Negara). Ini menunjukkan bahwa pendidikan wajib disediakan secara gratis oleh negara
bagi seluruh rakyatnya. (Muqaddimah Ad-Dustur, Juz II hlm. 19).
Jelaslah, bahwa kebutuhan dasar masyarakat yang berupa keamanan, kesehatan, dan
pendidikan, wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma bagi seluruh rakyatnya, baik
muslim maupun non muslim, kaya maupun miskin, tanpa ada diskriminasi sedikitpun.
Namun demikian, meski ketiga kebutuhan tersebut menjadi kewajiban negara, tidak
berarti syara’ mengharamkan individu rakyat untuk memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan
tersebut. Boleh hukumnya seseorang membayar seorang satpam untuk mengamankan
rumahnya. Boleh pula dia mendatangkan seorang guru privat untuk mengajari anak-anaknya
di rumahnya. Boleh pula dia mempunyai dokter keluarga untuk mengobati seluruh anggota
dengan gaji tertentu. Bolehnya hal-hal tersebut berdasarkan dalil-dalil ijarah yang bersifat
umum yang dapat diterapkan pada kasus-kasus di atas. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah
Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 180-181).
DAFTAR PUSTAKA
http://www.globalmuslim.web.id/2011/07/jaminan-sosial-dalam-islam.html
http://cybon.blogspot.co.id/2013/02/pengertian-jaminan-sosial-secara.html
http://pusat.baznas.go.id/berita-artikel/jaminan-sosial-di-dalam-islam/
http://puzzleminds.com/ekonomi-islam-dan-keadilan-sosial/
KEADILAN SOSIAL
A. PENDAHULUAN
Istilah keadilan sosial adalah istilah yang tergolong baru. Pertama kali, istilah
itu terdengar di dalam debat politik diawal abad kesembilan belas. Istilah tersebut
digunakan oleh pemikir politik. Dalam Islam, saat kita merujuk pada Qur’an maka
kita dapati konsep keadilan sangat eksplisit. Hal itu terlihat dari penyebutan kata
keadilan di dalam al- Qur’an mencapai lebih dari seribu kali, yang berarti; kata urutan
ketiga yang banyak disebut al-Qur’an setelah kata Allah dan ‘ ilm. Term-term adil
yang digunakan dalam al-Quran terdapat tiga bentuk, yaitu al-mizan, al-‘adl, dan al-
qisth. Keadilan biasa dimaknakan dengan memberikan hak kepada yang berhak
(yu’thi alhaqq haqqahu) atau meletakkan sesuatu pada tempatnya (wadh’u assyai ‘ala
maudhi’ihi). Menurut Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1992), secara bahasa
keadilan pada umumnya adalah tentang; (i) pengetahuan dan kemampuan untuk
menempatkan yang betul dan wajar bagi sesuatu benda atau manusia, (ii) kebenaran
yang menentang kesalahan, (iii) cara atau batasan, (iv) keuntungan kerohanian
terhadap kerugian, dan (v) kebenaran terhadap kepalsuan.
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus:
Keadilan secara umum (Adl ’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik
maupun ekonomi yang adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan
pemerintah. Keadilan secara khusus (Adl khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam
kehidupan muamalah antar kaum muslim dan sesama manusia. Adl khas meliputi
bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain. Islam tidak menghendaki
adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karenanya
salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan
perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi materi dan spiritual
sekaligus. Sebab dalam Islam, tujuan utama adalah mengantarkan manusia kepada
kesempurnaan ruhani dan spiritual. Karena itu dalam sistem ekonomi Islam
mekanisme yang dijalankan adalah untuk mendukung terwujudnya tujuan itu.
Dua dimensi materi dan spiritual itu nampak jelas dalam ajaran Islam yang
melarang monopoli, penimbunan harta (Al Ihtikar) dan perintah mengeluarkan zakat
dan sedekah. Larangan demikian ditemukan dalam al-Qur’an. Allah SWT berfirman:
Apa saja harta rampasan (fay’) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya di antara kalian saja. (QS.59: 7).
Nabi Muhammad Saw juga bersabda: Tidak menimbun barang kecuali orang-orang
yang berdosa. (HR. Muslim). Orang yang bekerja itu diberi rizki, sedang orang yang
menimbun itu diberi laknat. (HR. Ibnu Majah). Siapa saja yang menyembunyikan/al
ihtikar (gandum atau barang-barang keperluan lainnya dengan mengurangi takaran
dan menaikkan harganya), maka dia termasuk orang- orang yang zalim.
B. KONSEP ISLAM
Sebagai agama fitrah, islam memahami bahwa manusia dilahirkan dengan
berbagai karunia. Sebagaimana manusia itu berbeda dalam fisik dan penampilan,
mereka pun berbeda pula dengan kemampuan mental dan kemampuan lainnya.
Lingkungan, keadaan sekitar, serta garis keturunan mereka juga berbeda- beda. Segala
perbedaan tersebut tentulah tidak memungkinkan terjadinya kesamaan ekonomi.
Dengan demikian ketidaksamaan ekonomi diantara manusia itu sebenarnyalah amat
alamiah. Ketidaksamaan tersebut juga pasti terjadi karena islam membebaskan
manusia untuk berinisiatif dalam memperoleh harta disamping mengakui hak
pemilikan pribadi. Mengenai kenyataan ini, Al-Quran menyatakan:
1. Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat,
untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya
Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Al- Anaam 6:165)
2. Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezeki..... (QS. An-Nahl 16:71)
3. Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian
yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.
(QS. az – Zukhruf 43:32).
Sekalipun mengakui adanya perbedaan sebagai sesuatu yang alami dan bagian
dari rencana Tuhan, islam hanya memperbolehkan terjadinya perbedaan kekayaan itu
dalam batas yang terbatas saja. Islam tidak menoleransi perbedaan yang terlalu lebar
sehingga sebagian orang hidup dalam kemewahan yang berlebihan sementara jutaan
yang lainnya hidup dalam kemiskinan yang parah.
Jadi keadilan sosial menurut konsepsi islam mencakup tiga hal yaitu: 1.
Distribusi kekayaan yang adil dan merata, 2. Penyediaan kebutuhan dasar bagi fakir
miskin, 3. Perlindungan terhadap yang lemah dari kesewenang- wenangan pihak yang
kuat.
C. LANDASAN KEADILAN SOSIAL ISLAM
Basis ideologi bagi konsep keadilan sosial islam yang telah diuraikan sebelumnya itu
dapat dijumpai ayat – ayat Al Quran , hadis- hadis Nabi Muhammad SAW dan
tindakan para sahabat Nabi sebagai berikut:
1. Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan
harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.(QS an- Nissa’ 4:2)
2. ... Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil ...(QS. al-Annam
6:152)
3. Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(QS. al-Anfal 8:41)
4. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah
dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS
at-Taubah 9:60)
5. Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau
memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar
mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari
nikmat Allah?.( QS an- Nahl 16:71)
6. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya.( QS. fusshilat 41:10)
7. Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca supaya kamu
jangan melampaui batas dalam neraca,dan tegakkanlah timbangan itu dengan
adil dan janganlah kamumengurangi neraca itu. (QS. ar-Rahman 55: 7-9)
8. Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian
dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-
orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. al-Hadid 55:7)
9. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan
neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. al-
Hadid 55:25)
10. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-
orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara
orang-orang kaya saja di antara kamu.(QS. al- Hasyr 59:7)
11. Dan orang – orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang
(miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak
mau meminta) (QS. al- Ma’arij 70-24-25)
12. Diriwayatkan bahwa Nabi muhammad SAW bersabda: jika seseorang tinggal
semalam di sebuah kota dan ia kelaparan hingga pagi maka janji Allah berupa
perlindungan terhadap kota itu berakhir. (Musnad Ahmad)
13. Rasulullah SAW bersabda: pemerintah adalah wali siapapun yang tidak punya
wali. (Abu Dawud dan Tirmizi)
14. Rasulullah SAW bersabda: orang yang menyantuni janda dan orang miskin
sama dengan orang yang berperang di jalan Allah.( Bukhri dan Muslim)
15. Rasulullah SAW bersabda : tidak beriman seorang diantara kalian hingga iya
menyukai untuk orang lain apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri. (Bukhari)
16. Khalifah umar pernah berkata : semua dan setiap muslim memiliki hak atas
harta baitulmal baik ia menggunakannya maupun tidak. ( kitab al- Amwal)
17. Diriwayatkan bahwa khalifah umar di tahun terakhir kekhalifahanya bersabda,
sesuatu yang saya ketahui hari ini, seandainya saya ketahui sebelumnya, tidak
akan saya tunda dan tanpa ragu, saya distribusikan kelebihan harta orang kaya
kepada orang-orang miskin diantara kaum muhajrin. (Al-Muhalla by Ibn
Hazm)
Dalil pertama hiingga ke sebelas adala ayat-ayat al-Quran. Ayat suci
tersebbut nencakup lapangan yang amat luas, dari soal pemeliharaan anak
yatim dan hartanya, kejujuran dalam berdagang, manajemen harta rampasan
perang yang di dapat melalui peperangan maupun yang di tinggalkan musuh
sebelum perang dimulai.
Dalil kedua belas sampai 15 adalah hadis Nabi SAW. Hadis yang
mulia itupun mencakupi bidang yang luas pula. Di kemukakan batapa
kesejahteraan seorang warga merupakan tanggung jawab seluruh penduduk .
selanjutnya di tegaskan bahwa pemerintah yang memegang kendali tanggung
jawab tersebut.
Kemudian sisa dalil tersebut adalah atsar sahabat. Kedua atsar tersebut
menyebutkan betapa dua sahabat besar Rasulullah SAW amat konsen dengan
keadilan sosial seluruh warga negara.
D. UNSUR – UNSUR KEADILAN
Pertama, telah jela sbahwa islam mengakui adanya distribusi kekayaan yang
tidak sama sebagai sesuatu yang alami dan sebagai bagian dari skema ketuhanan dari
hukum dunia, namun islam tidak memperbolehkan adanya senjangan yang terlalu
besar dalam distribusi kekayaan itu. Jika distribusi kekayaan di dalam suatu
masyarakat berlangsung secara tidak adil dan tidak merata, maka kedamaian sosial di
dalam masyarakat tersebut akan selalu menjadi taruhan, dan konflik antar kaum kaya
dan kaum miskin akan menyebabkan terjadinya perang dan perjuangan kelas. Sebagai
agamma damai islam menentang konflik kelas seperti itu.
Kedua, sistem ekonomi islam menjamin kesediaanya kebutuhan dasar
Bagi seluruh warga negara islam. Islam mewajibkan pihak yang kaya memenuhi
kebutuhan kaum miskin dan melarat.mengenai orang kaya yang menahan kelebihan
kekayaan dan tanggung jawab negara islam untuuk mencukupi kebutuhan dasar kaum
miskin.
Ketiga, penghapusan eksploitasi ekonomi oleh si kuat terhadap si lemah
adalah unsur lain dari keadilan sosial islam. Banyak langkah yang telah di ambil oleh
islam dalam hal lain. Riba atau bunga adalah alat yang paling jahat bagi eksploitasi
manusia dan ini telah dihapuskan sama sekali hingga ke akarnya.
Itu mengenai penjelasan ringkas mengenai ketiga unsur keadilan sosial dalam islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Azis Dahlan, et., al., 1996. Ensiklopedi Hukum Islam, cet. 1, Jakarta : Ichtiar
Baru van Hoeve.
Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Perjanjian Islam di Indonesia, cet.1,
Yogyakarta : Citra Media.
______________, 2007, Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (UU di
bidang Perbankan, Fatwa DSN-MUI dan Peraturan Bank Indonesia), cet. pertama,
Yogyakarta : UII Press.
______________, 2007, Perbankan Syariah di Indoensia, Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
_______________ dan Yulkarnain Harahab, 2008, Hukum Islam Dinamika dan
Perkembangannya di Indonesia, Yogyakarta : Kreasi Total Media.
Abdul Manan, “Beberapa Masalah Hukum dalam Praktik Ekonomi Syariah”,
Makalah, 2007.
Adiwarman Karim, 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, ed. 3 cet. 1
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
______________, 2001, Ekonomi Islam Suatu Kajian kontemporer, Jakarta : Gema
Insani Press.
Afzalur Rahman, 2002, Economic Doctrines of Islam (diterjemahkan oleh Soeroyo
dan Nastangin, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf.
Oleh:Indah wulandari (a210130046)
top related