· draft tanggal 8 september 2016 3 5.4 langkah 3: persiapan, konsultasi dan pengungkapan...
Post on 07-Apr-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Draft tanggal 8 September 2016
1
PT. SARANA MULTI INFRASTRUKTUR
PROYEK PENGEMBANGAN HULU ENERGI PANAS BUMI
KERANGKA KERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL
TERMASUK:
KERANGKA KEBIJAKAN PEMUKIMAN KEMBALI
KERANGKA KERJA PERENCANAAN MASYARAKAT ADAT
Draft V2 untuk Proses Konsultasi
Juli 2016
Draft tanggal 8 September 2016
2
DAFTAR ISI
1 PENDAHULUAN.............................................. 10
1.1 Latar Belakang Error! Bookmark not defined.0
1.2 Tujuan Proyek 132
1.3 Deskripsi Proyek 13
1.4 Detail Deskripsi Sub Proyek 20
2 KERANGKA KERJA PERLINDUNGAN PPHEPB....................... 32
3 KEBIJAKAN, PERATURAN DAN HUKUM PERLINDUNGAN.............. 34
3.1 Peraturan dan Perundang-undangan Indonesia terkait
Analisis Dampak Lingkungan 34
3.2 Kebijakan Perlindungan Bank Dunia 431
3.3 Kesenjangan Analisis 47
4 LANGKAH-LANGKAH MITIGASI DAN DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN DAN
SOSIAL YANG DIANTISIPASI.......... Error! Bookmark not defined.51
4.1 Kegiatan Pengeboran dan Eksplorasi Panas Bumi dan
Infrastruktur dan Kegiatan Terkait 52
4.2 Proyek-proyek Terkait: Pembangkitan Energi -
Eksploitasi Panas Bumi dan Infrastruktur dan Kegiatan
Terkait 723
5 PROSEDUR OPERASIONAL PERLINDUNGAN SUB-PROYEK............ 102
5.1 Gambaran Iktisar 102
5.2 Langkah 1: Penyaringan Dasar 1013
5.3 Langkah 2: Penyaringan Secara Rinci 1024
Draft tanggal 8 September 2016
3
5.4 Langkah 3: Persiapan, Konsultasi dan Pengungkapan
Instrumen-Instrumen Perlindungan 116
5.5 Langkah 4: Izin dan Persetujuan 117
5.6 Langkah 5: Pelaksanaan dan Pemantauan 118
5.7 Langkah 6: Rekomendasi Pasca Eksplorasi 119
5.8 Prosedur Operasional Penasihat Teknis 120
6 KERANGKA KEBIJAKAN PEMUKIMAN KEMBALI.................... 121
6.1 Prinsip-Prinsip Pokok 121
6.2 Hukum dan Kebijakan Indonesia Berkaitan dengan
Pengadaan Tanah 125
6.3 Kebijakan Perlindungan Bank Dunia OP4.12 Tentang
Pemukiman Kembali dengan Paksaan 130
6.4 Kesenjangan Analisis 131
6.5 Proses Persiapan dan Persetujuan Rencana Aksi
Pemukiman Kembali 133
6.6 Tanggal Akhir dan Kriteria yang Memenuhi Syarat untuk
Pihak-Pihak yang Terdampak 139
6.7 Bukti Kelayakan 140
6.8 Kebijakan Penunjukkan 141
6.9 Biaya Penggantian Secara Penuh dan Perbaikan Mata
Pencaharian 142
6.10 Negosiasi Pengambilalihan Lahan/Transaksi Secara
Sukarela 143
7 KERANGKA PERENCANAAN MASYARAKAT ADAT.................... 147
Draft tanggal 8 September 2016
4
7.1 Tujuan dan Prinsip 147
7.2 Peraturan Perundang-undangan Indonesia berkaitan
dengan Perlindungan Masyarakat Adat 148
7.3 Kebijakan Bank Dunia OP4. 10 tentang Masyarakat Adat 153
7.4 Persyaratan Umum 153
7.5 Persyaratan Khusus 156
8 KONSULTASI DAN PENGUNGKAPAN............................. 160
8.1 Konsultasi Kerangka Perlindungan 160
8.2 Pedoman Praktik yang Baik tentang Konsultasi Penasihat
Teknik 161
8.3 Keterlibatan dan Konsultasi Pemangku Kepentingan atas
Sub Proyek Panas Bumi 161
8.4 Perangkat Konsultasi Publik 165
9 PENGATURAN KELEMBAGAAN DAN PEMBANGUNAN KAPASITAS........ 175
9.1 Peran dan Tanggung Jawab Kelembagaan 175
9.2 Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial PT SMI 183
9.3 Pembangunan Kapasitas 185
9.4 Anggaran 191
10 PEMANTAUAN DAN PELAPORAN................................ 193
11 MEKANISME PEMULIHAN PENGADUAN........................... 197
11.1 Pendahuluan 197
11.2 Pendekatan atas Pemulihan Pengaduan 197
11.3 Mekanisme Pemulihan Pengaduan PPHEPB 199
11.4 Penilaian GRM atas Sub proyek 206
Draft tanggal 8 September 2016
5
Lampiran A.CHECKLIST PEMERIKSAAN DASAR....................... 209
Lampiran B. CHECKLIST PEMERIKSAAN SECARA RINCI............... 222
Lampiran C.GARIS BESAR LAPORAN ESIA UNTUK KATEGORI SUB PROYEK
245
Lampiran D.TEMPLATE RENCANA PENGELOLAAN LINGUNGAN DAN SOSIAL 249
Lampiran E.FORMAT UKL/UPL ................................... 255
Lampiran F.PERNYATAAN JAMINAN UNTUK UKL/UPL.................. 262
Lampiran G. PROSEDUR PENEMUAN KESEMPATAN PCR................. 264
Lampiran H.SAMPEL FORMULIR PENGADUAN ........................ 268
Lampiran I.SAMPEL FORMULIR PENUTUPAN PENGADUAN .............. 269
Lampiran J.ISI UMUM RENCANA PEMBANGUNAN MASYARAKAT ADAT ..... 272
Lampiran K.ISI PENGAMBILALIHAN LAHAN DAN RENCANA AKSI PEMUKIMAN
KEMBALI (LARAP).............................................. 275
Lampiran L.ISI SINGKATAN PENGAMBILALIHAN LAHAN DAN RENCANA AKSI
PEMUKIMAN KEMBALI............................................ 286
Draft tanggal 8 September 2016
6
DAFTAR SINGKATAN
AOI Daerah Pengaruh (Area of Influence)
AMDAL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Environmental
Impact Assessment)
BG Badan Geologi (Geological Agency)
BPN Badan Pertanahan National (National Land Bureau)
BPS Badan Pusat Statistik (National Statistical Bureau)
Bupati Kepala Bupati (Head of Regency)
CTF Dana Teknologi Cuaca (Climate Technology Fund)
DED Desain Teknis Secara Rinci (Detailed Engeneering Design)
DG Direktorat Jenderal (Directorate General)
DG EBTKE
Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan
Konservasi Energi [Renewable Energy and Energy
Conservation]
EA Analisis Lingkungan (Environmental Assessment)
ESIA
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Environmental and
Social Impact Assessment)
ESMF
Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (Environment
and Social Management Framework)
ESMP
Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (Environment
and Social Management Plan)
GEF
Fasilitas Lingkungan Global (Global Environment
Facility)
Draft tanggal 8 September 2016
7
GFF Fasilitas Dana Global (Global Fund Facility)
PPHEPB
Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas Bumi (Geothermal
Energy Upstream Development Project)
GIS
Sistem Informasi Geografis (Geographical Information
System)
GNZ Pemerintah Selandia Baru (Government of New Zealand)
GOI Pemerintah Indonesia (Government of Indonesia)
GRM
Mekanisme Pemulihan Pengaduan (Grievance Redress
Mechanism)
IBRD
Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan
(International Bank for Reconstruction and Development)
IGF Dana Jaminan Investasi (Investment Guarantee Fund)
IIFF
Fasilitas Pembiayaan Infrastruktur Indonesia (Indonesia
Infrastructure Finance Facility)
IPs Masyarakat Adat (Indigenous Peoples)
IPDP
Rencana Pembangunan Masyarakat Adat (Indigenous Peoples’
Development Plan)
IPPF
Kerangka Perencanaan Masyarakat Adat (Indigenous
Peoples’ Planning Framework)
ISA
Masyarakat Penilai Indonesia (Indonesian Society of
Appraisers)
KAT Kelompok Adat Terasing (Isolated Indigenous Community)
Kecamatan Kecamatan (Sub-District)
Draft tanggal 8 September 2016
8
Keppres Keputusan Presiden (Presidential Decree)
LARAP
Pengadaan Tanah dan Rencana Aksi Pemukiman Kembali (Land
Acquisition and Resettlement Action Plan)
MEMR
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Ministry of
Energy and Mineral Resources)
MHA Masyarakat Hukum Adat (Customary Law Community)
MoF Kementerian Keuangan (Ministry of Finance)
MW Megawatt
NGO Organisasi non Pemerintah (Non-government Organization)
PAP Masyarakat Terdampak Proyek (Project Affected People)
PCR Sumber Daya Budaya Fisik (Physical Cultural Resources)
PCRMP
Rencana Pengelolaan Sumber Daya Budaya Fisik (Physical
Cultural Resources Management Plan)
PPP Kemitraan Publik Privat (Pubic Private Partnership)
PT SMI PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)
RUPTL
Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Electricity
Supply Business Plan)
SOE Badan Usaha Milik Negara (State Owned Enterprise)
SPPL Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan
Lingkungan
(Letter of Environmental Management and Monitoring)
TA Bantuan Teknis (Technical Assistance)
tCO2 Ton Karbon Dioksida (Tons of Carbon Dioxide)
Draft tanggal 8 September 2016
9
TOR Kerangka Acuan (Terms of Reference)
UKL/UPL Upaya Pengelolaan Lingkungan - Upaya Pemantauan
Lingkungan (Environmental Management and Monitoring
Plan)
UUD Undang-undang Dasar (Constitution)
Draft tanggal 8 September 2016
10
1 PENDAHULUAN
1. Dokumen ini menjabarkan kebijakan, prinsip, prosedur,
pengaturan kelembagaan, dan alur kerja untuk pengelolaan
lingkungan dan sosial dari PT Sarana Multi Infrastruktur
(Persero) (PT SMI) sebagai panduan untuk menghindari,
meminimalkan, atau melakukan mitigasi dampak lingkungan
atau sosial yang merugikan dari proyek-proyek infrastruktur
yang didukung oleh Proyek Pengembangan Hulu Energi Panas
Bumi (PPHEPB)
1.1 Latar Belakang
2. Selama dekade terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan
ekonomi yang kuat dan penciptaan lapangan kerja.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pesat telah dipicu oleh
sektor listrik yang terus berkembang. Meskipun demikian,
menjaga terpenuhinya permintaan listrik yang tinggi
merupakan tantangan utama pembangunan. Dalam upaya untuk
mendukung elektrifikasi nasional dan rencana pembangunan
ekonomi, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), 2015-2024. Pengembangan
panas bumi merupakan pilar dari Strategi Pertumbuhan Rendah
Karbon negara dan prioritas utama pembangunan bagi
Draft tanggal 8 September 2016
11
Pemerintah Indonesia1. Hal ini juga salah satu pilihan
terbaik untuk menyediakan energi baseload untuk memenuhi
permintaan energi yang tumbuh cepat dan juga untuk
diversifikasi bauran energi di Indonesia. Tenaga listrik
panas bumi diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya
pengurangan emisi gas rumah kaca, di mana Indonesia
menargetkan penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030
dibandingkan dengan proyeksi emisi Bisnis Seperti Biasa
yang dimulai pada tahun 20102.
3. Meskipun potensi panas bumi tinggi dan Pemerintah Indonesia
serta mitra pembangunan telah fokus, hanya sekitar 5% dari
total sumber daya asli Indonesia ini yang telah
dikembangkan untuk menghasilkan listrik. Dari potensi
sekitar 27 GW, hanya sekitar 1,3 GW kapasitas panas bumi
telah dikembangkan.
1 Kebijakan nasional terkait meliputi: (i) Komunikasi Perubahan Cuaca Nasional
Kedua Indonesia (2009); (ii) Paper Hijau Indonesia (2009); (iii) Kebijakan
Energi Nasional Pemerintah Indonesia (2005); (iv) Cetak Biru Energi 2005-
2025; (v) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Indonesia 2005-2025,
dan Program Pembangunan Jangka Menengah Nasional untuk tahun 2010-2014
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah, atau RPJM); (vii) Rencana Aksi Nasional
Perubahan Iklim (2007); (viii) Tanggapan Perencanaan Pembangunan terhadap
Perubahan Iklim (2008); (ix) Roadmap Perubahan Iklim untuk Program
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 (2009); (x) Penilaian
Kebutuhan Teknologi Indonesia mengenai Mitigasi Perubahan Iklim (2009).
2 Kontribusi Penetapan yang Dimaksud Secara Nasional Indonesia, 2015.
Draft tanggal 8 September 2016
12
4. Pengembangan panas bumi yang lebih lambat dari yang
diharapkan salah satunya akibat rendahnya tingkat
partisipasi sektor swasta, yang secara umum masih melihat
adanya risiko sumber daya panas bumi, Hal ini menjadi salah
satu penghalang utama untuk pengembangan panas bumi yang
masih belum terselesaikan di Indonesia. Menyadari hal ini,
Pemerintah Indonesia memberikan dukungan lebih bagi
pengembangan panas bumi melalui sejumlah kebijakan khusus
yang dirancang untuk mengatasi risiko sumber daya dan
memobilisasi modal swasta.
5. PT SMI, bekerja sama dengan Bank Dunia, sedang
mempersiapkan PPHEPB dengan tujuan untuk memfasilitasi
investasi kelistrikan berbasis panas bumi melalui
pengeboran eksplorasi pra-tender yang disponsori
pemerintah, dengan menyediakan bantuan teknis dan
peningkatan kapasitas SDM. Fokus dari proyek ini adalah
pengembangan listrik panas bumi di Indonesia Timur, di mana
rasio elektrifikasi masih rendah, tingkat kemiskinan yang
cukup tinggi dan pembangkit listrik sangat bergantung pada
diesel.
6. PT. SMI akan bertindak sebagai institusi pelaksana dari
PPHEPB, dan bertanggung jawab untuk mempersiapkan dokumen
pengelolaan lingkungan dan sosial serta melakukan manajemen
pengelolaan di seluruh Proyek.
Draft tanggal 8 September 2016
13
1.2 Tujuan Proyek
7. Tujuan pengembangan Proyek adalah untuk memfasilitasi
investasi dalam bidang energi panas bumi. Proyek akan
berfokus pada pengembangan panas bumi di Indonesia Timur
dalam rangka meningkatkan akses listrik di daerah dengan
tingkat kemiskinan yang tinggi yang masih menggunakan
pembangkit listrik diesel yang berbahan bakar mahal.
1.3 Deskripsi Proyek
8. Proyek ini memiliki tiga komponen, yaitu: Komponen 1:
Mitigasi Risiko untuk pengeboran eksplorasi panas bumi;
Komponen 2: Bantuan Teknis dan Peningkatan Kapasitas SDM3;
dan kemungkinan Komponen 3: Dukungan Investasi pada Tahap
Eksploitasi Panas Bumi sebagai tindak lanjut dukungan dari
CTF/GEF.
1.3.1 Komponen 1: Mitigasi Resiko untuk Pengeboran Eksplorasi
Panas Bumi
9. Latar Belakang: Komponen 1 berfokus pada dukungan untuk
pengeboran eksplorasi yang disponsori pemerintah (sebagai
bagian paling berisiko dari proses pengembangan panas bumi
seperti yang ditunjukkan di daerah yang diarsir dalam skema
di bawah). Pendekatan ini telah digunakan di beberapa
3 Mengacu pada Bagian 1.3.3 yang menggambarkan kapan dan bagaimana Komponen ini
diberikan pendanaan di kemudian hari.
Draft tanggal 8 September 2016
14
negara. Yang terbaru adalah Turki, di mana lembaga
pemerintah mendanai eksplorasi dan pengeboran di area
tertentu dan tender dari area panas bumi tersebut
membuktikan kelayakan pengembangan listrik oleh pengembang
swasta. Hasilnya menjanjikan: Turki memiliki sektor panas
bumi yang tingkat pertumbuhannya tertinggi di dunia; dan
sebagian besar pertumbuhan tersebut berasal dari
pengembangan area di mana lembaga geologi (MTA) telah
melakukan pengeboran eksplorasi, sehingga risiko sumber
daya dapat diturunkan. Negara-negara lain yang telah
mengambil pendekatan ini dengan hasil yang sukses adalah
Amerika Serikat, Selandia Baru dan Jepang.
10. Model Bisnis: Jika eksplorasi – yang akan dilakukan oleh
perusahaan jasa atas nama Pemerintah Indonesia - berhasil,
Ijin Panas Bumi dan pengoperasian akan dilelang kepada para
pengembang. Pada saat proses pembiayaan proyek, pengembang
akan diminta untuk membayar total biaya eksplorasi ditambah
premi risiko ke dana khusus yang dikelola PT SMI. Pengisian
kembali dari PT SMI dan dukungan CTF akan memastikan
Draft tanggal 8 September 2016
15
keberlanjutan skema mitigasi risiko ini. Berdasarkan
estimasi skala pembangkit listrik, diperkirakan sebesar 65
MW bisa dikembangkan sebagai hasil dari pengeboran
eksplorasi yang dibiayai Proyek ini.
11. Fokus Geografis dan Lingkup Kegiatan Pengeboran: Pemilihan
lokasi akan didasarkan pada pemanfaatan sumber panas bumi
untuk menggantikan alternatif biaya bahan bakar fosil yang
tinggi di luar pusat-pusat beban utama, di mana rasio
elektrifikasi masih rendah dan pembangkit listrik sangat
bergantung pada diesel. Pemilihan lokasi (berdasarkan
kajian teknis dan kondisi sosial/lingkungan) diharapkan
dapat bergulir berdasarkan saran yang dibuat oleh
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) / Badan
Geologi (BG) serta diharapkan sebanyak empat lokasi akan
dikembangkan sebagai bagian dari Proyek ini. Untuk setiap
lokasi, laporan akan disusun atas dasar informasi berikut:
(i) rincian umum, termasuk lokasi, survei sebelumnya dan
rencana survei ke depan, peta lokasi; (ii) status lahan
(misalnya hutan konservasi, hutan lindung, dll); (iii)
konsep lapangan dan ringkasan estimasi sumber daya; (iv)
ringkasan survei geologi, geofisika, geokimia; (v)
ringkasan penyelidikan sumur landaian suhu; (vi) isu-isu
sosial dan lingkungan; (vii) infrastruktur listrik di
daerah, termasuk proyeksi kebutuhan dan penyediaan, jalur
Draft tanggal 8 September 2016
16
transmisi dan distribusi; dan (viii) tipe kemungkinan
pembangunan (misalnya kilat, berpasangan). Kegiatan
eksplorasi tahap awal yang akan dilakukan oleh perusahaan
jasa atas nama Pemerintah Indonesia (atau berapa banyak
sumur eksplorasi atau reinjeksi yang akan dibor sebelum
lapangan dilelang) tergantung hasil kajian dari laporan
ini. Laporan kelayakan akan diperbarui dengan hasil dari
pengeboran eksplorasi. Jika area kerja pasti dianggap
layak, laporan ini akan menjadi bagian dari dokumen tender
untuk wilayah kerja eksploitasi.
12. Hasil yang diharapkan: Komponen 1 akan menghasilkan sumur
eksplorasi, yang memberikan data sebagai input untuk
keputusan investasi. Dengan asumsi portofolio beberapa
proyek kecil di Indonesia Timur, Proyek ini diharapkan
dapat menghasilkan 65 MW kapasitas tenaga panas bumi baru.
Berdasarkan perkiraan ESMAP dengan biaya pengembangan
sekitar US$6 juta per MW, akan muncul investasi komersial
sekitar US$ 390 juta. Konsep yang diusulkan adalah
fasilitas dana bergulir di mana dana yang digunakan untuk
pengeboran eksplorasi akan mengalir kembali ke fasilitas
melalui pembayaran dari pengembang yang sukses dalam tender
dan mendapatkan konfirmasi pembiayaan proyek. Mengingat
sifat bergulir dari fasilitas tersebut, diharapkan bahwa
dana akan mengalir kembali dalam siklus tiga tahunan selama
Draft tanggal 8 September 2016
17
15 tahun dan bahwa penggunaannya dapat memungkinkan 260 MW
dan sekitar US$ 1.56 milyar kapasitas baru dan investasi.
1.3.2 Komponen 2: Bantuan Teknis dan Peningkatan Kapasitas SDM
13. Komponen ini akan dibiayai oleh Global Environment Facility
(GEF). Mengacu pada keterlibatan GEF sebelumnya dengan
sektor panas bumi Indonesia4, dukungan GEF terutama akan
difokuskan pada penguatan kemampuan untuk pengembangan
panas bumi dengan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan
untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi yang dan Program
tender yang efisien dan efektif. Secara khusus, dukungan
untuk program pengeboran yang disponsori pemerintah
sebagian besar akan disediakan untuk melaksanakan survei
geologi, geokimia dan geofisika (survei 3G) dan pemetaan
topografi untuk calon lokasi.
14. Dukungan juga akan tersedia untuk persiapan pengeboran,
laporan penyelesaian dan pengujian sumur, serta penilaian
sumber daya (berdasarkan survei 3G), dan untuk proses
tender pemilihan perusahaan jasa eksplorasi. Diharapkan
bahwa dukungan tersebut akan dilakukan oleh penyedia
4 Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi: melalui pemberian
dari Global Environment Facility (GEF) sejumlah US$4 juta, proyek yang
dibantu dengan komitmen MEMR sejumlah US$5 juta untuk mengembangkan kebijakan
harga dan kompensasi memitigasi risiko sumber daya panas bumi, dan memperkuat
kemampuan dalam negeri dalam sektor tersebut, khususnya untuk mengadakan
tender secara kompetitif atas transaksi-transaksi baru.
Draft tanggal 8 September 2016
18
layanan spesialis dikoordinasikan oleh Konsultan Manajemen
Eksplorasi (EMC). Selain itu, bantuan teknis akan mencakup
jasa konsultan Panas Bumi untuk mendukung peningkatan
kapasitas SDM pada Kementrian ESDM Direktorat Panas Bumi
(EBTKE). Diharapkan bahwa EMC akan dibiayai oleh hibah GEF
dan konsultan panas bumi akan dibiayai oleh hibah dari
Pemerintah Selandia Baru (GNZ). Hibah dari GNZ dirancang
sebagai pendukung kegiatan CTF dan GEF. Hibah dari GNZ akan
mendukung Pemerintah Indonesia pada: (i) pembentukan
database berbasis GIS yang efektif dengan menyusun dan
menganalisis data sumber daya yang ada dan baru, berpotensi
untuk ditempatkan di dalam BG; (ii) pengembangan metodologi
yang kuat untuk penyusunan estimasi sumber daya dan
cadangan, serta protokol penyusunan laporan untuk memenuhi
standar internasional yang dapat diterima; (iii) metodologi
untuk penyusunan prioritas lokasi potensial untuk
pengembangan panas bumi; dan (iv) peningkatan kapasitas SDM
pada Kementerian ESDM dan PT SMI untuk melaksanakan tender
dan program eksplorasi.
15. Selain itu, Bantuan Teknis juga akan menghasilkan panduan
'praktik yang baik' untuk mempersiapkan Rencana Masyarakat
Adat (IPP), Rencana Pengambilalihan Lahan dan Pemukiman
Kembali (LARAP), Penilaian Dampak Lingkungan dan Sosial
(ESIA) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (EMP) untuk
Draft tanggal 8 September 2016
19
eksplorasi dan eksploitasi energi panas bumi. Dokumen
tersebut akan berupa dokumen kerangka kerja atau bahan
bimbingan yang akan mencakup IPP, LARAP, ESIA dan EMP
berdasarkan peraturan Indonesia, Bank Dunia serta donor
lain. Tujuannya adalah untuk mengurangi hambatan
pengembangan panas bumi dengan menyediakan standar
pendekatan untuk pengelolaan, serta memberikan gambaran
hasil yang akan diharapkan dari sisi teknis dan kualitas
kerja yang dibutuhkan. Bidang yang difokuskan berupa
panduan praktik yang baik untuk pengembangan panas bumi
secara tidak langsung di kawasan konservasi dan hutan.
Pemerintah Indonesia mengusulkan peraturan baru yang
memungkinkan pengembangan panas bumi di Taman Nasional,
Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam melalui Izin
Pemakaian untuk Daerah Pelayanan Lingkungan Panas Bumi.
16. Akhirnya, dana GEF juga akan digunakan untuk memastikan
koordinasi yang lancar dengan pihak kunci lainnya dalam
lanskap pengembangan panas bumi di Indonesia serta
keberadaan fungsi administrasi yang memadai dapat tersedia.
1.3.3 Komponen 3: Dukungan Investasi untuk Pengembangan Panas
Bumi Tahap Eksploitasi
17. Hal ini sedang dipertimbangkan untuk membiayai Komponen
Ketiga sebagai tindak lanjut dukungan CTF/GEF. Bergerak
Draft tanggal 8 September 2016
20
lebih ke hulu dalam proses pengembangan panas bumi untuk
mengambil keuntungan penuh dari keberadaan potensi sumber
daya panas bumi Indonesia juga akan memerlukan dukungan
mitigasi risiko pasca-eksplorasi. Selama tahap eksploitasi
pengembangan panas bumi, dukungan tersebut dapat diberikan
melalui instrumen pinjaman keuangan dengan perangkat
tambahan seperti skema asuransi. Untuk mendukung investasi
baru, Bank Dunia sedang mempertimbangkan pinjaman senilai
US$ 300 juta dari IBRD untuk pengembangan mid-stream (dalam
hal ini pengeboran sumur produksi uap). Urutan investasi
dalam proses pengembangan panas bumi menyiratkan bahwa
Komponen 3 akan dipicu setelah berhasil menyelesaikan
pengeboran eksplorasi standar - maka komitmen penggunaan
sumber daya IBRD hanya akan diperlukan ketika tiba saatnya.
1.4 Detail Deskripsi Sub-Proyek
1.4.1 Pengembangan Panas Bumi–Gambaran
18. Pengembangan panas bumi dilakukan dalam beberapa tahap.
Tahapan-tahapan tersebut digambarkan dalam beragam
penyebutan oleh industri. ESMAP5 Bank Dunia menggunakan
tahapan sebagai berikut:
5 ESMAP. 2012. Buku Panduan Panas Bumi: Perencanaan dan Pembiayaan Pembangkit
Listrik. Laporan Teknis.
Draft tanggal 8 September 2016
21
Tahap 1: Survei Pendahulan
Tahap 2: Eksplorasi
Tahap 3: Pengeboran Uji
Tahap 4: Review Proyek dan Perencanaan
Tahap 5: Pengembangan Lapangan
Tahap 6: Konstruksi
Tahap 7: Rintisan dan Penciptaan
Tahap 8: Operasi dan Pemeliharaan
Dengan beberapa tumpang tindih yang samar untuk detailnya,
secara umum tahapan eksplorasi panas bumi menurut peraturan
Pemerintah Indonesia adalah Tahap 1 hingga Tahap 4, dan tahapan
eksploitasi adalah Tahap 5 hingga Tahap 8.
1.4.2 Eksplorasi Panas Bumi
19. Sub-Proyek eksplorasi panas bumi akan didanai oleh Komponen
1 dari PPHEPB. Sub-proyek akan: 1) memberikan kontribusi
untuk selanjutnya menentukan sifat dan skala sumber daya
panas bumi dalam prospek panas bumi yang diidentifikasi
oleh Pemerintah Indonesia, dan 2) mendukung investasi oleh
pengembang untuk mengembangkan proyek dari tahap
eksploitasi. Mengacu pada paragraf 18, eksplorasi panas
bumi yang didanai oleh PPHEPB akan meliputi tahapan atau
kegiatan berikut
Tahap 1: Survei Pendahuluan
Draft tanggal 8 September 2016
22
Pengambilan data, ESIA, perizinan, dan perencanaan
eksplorasi
Tahap 2: Eksplorasi
Pengujian permukaan dan bawah permukaan, data
seismic, pra– Studi Kelayakan
Tahap 3: Uji Pengeboran
Pembebasan lahan dan perijinan
Pengeboran sumur, pengujian sumur, simulasi reservoir
Tahap 4: Review Proyek dan Perencanaan
Evaluasi dan pengambilan keputusan
20. Lokasi investasi eksplorasi saat ini belum diketahui, dan
akan diidentifikasi melalui proses seleksi prioritas yang
dilakukan oleh EBTKE dan BG serta akan diinformasikan oleh
dokumen kerangka kerja perlindungan PPHEPB). Sensitivitas
dari lokasi pengembangan panas bumi tidak diketahui pada
saat penilaian proyek, tetapi ada potensi sumber daya
budaya fisik (Physical Cultural Resource (PCR)), habitat
alam, hutan, kawasan yang dilindungi, lanskap luar biasa
atau unik dan fitur panas bumi/geologi, masyarakat adat,
masyarakat rentan, mata pencaharian (bergantung pada sumber
daya pribadi, hutan atau komunal), dan kegiatan ekonomi
sensitif seperti pariwisata untuk dipertimbangkan dalam
area yang terkena pengaruh (Area of Influence (AOI)).
Draft tanggal 8 September 2016
23
21. Area yang terkena pengaruh Proyek akan mencakup dampak
langsung dan tidak langsung dari infrastruktur proyek dan
fasilitas pendukung. Ini termasuk jalan akses, sumber
material pasir/batu, kamp pekerja, tempat pembuangan,
sumber air bersih, lokasi pembuangan air limbah, daerah
pemukiman, dan perkembangan yang tidak direncanakan seperti
pemukiman spontan, penebangan dan pembukaan lahan di
sepanjang jalan dan jalur pipa. AOI juga termasuk proyek
yang terkait, terlepas dari sumber pendanaan yang secara
langsung atau secara signifikan terkait dengan eksplorasi
panas bumi. Hal ini mencakup eksploitasi panas bumi di masa
depan.
22. Pengujian dan pengeboran sumur akan meliputi kegiatan-
kegiatan sebagai berikut:
Infrastruktur transportasi baru dan sudah ditingkatkan:
Terkait keterpencilan beberapa daerah prospek panas
bumi, dan sifat infrastruktur transportasi yang menjauh
dari pusat kota, besar kemungkinan bahwa sub-proyek akan
mencakup peningkatan kapasitas pelabuhan, dermaga,
jembatan dan jalan. Infrastruktur baru dan jalan akses
baru mungkin diperlukan, tergantung pada jarak dari area
pengeboran dan infrastruktur proyek lainnya dari daerah
yang dilayani. Infrastruktur baru dan jalan cenderung
memerlukan pembebasan lahan dan ini bisa secara sukarela
Draft tanggal 8 September 2016
24
atau tidak bergantung pada lokasi. Penambangan mungkin
diperlukan untuk menyediakan pasir dan agregat untuk
konstruksi.
Mobilisasi/demobilisasi: Pemindahan rig pengeboran yang
besar dan lalu rintas padat dapat menyebabkan gangguan
akses dan masalah keselamatan bagi pengguna jalan yang
lain.
Penyiapan tapak sumur (well pad): Lahan untuk pengujian
well pad hanya diperlukan dalam jangka pendek kecuali
sumur diidentifikasi sebagai sumur produksi di masa
depan. Lokasi biasanya fleksibel untuk menghindari
reseptor sensitif dan lahan biasanya dapat
dinegosiasikan secara sukarela antara penjual dan
pembeli, atau pengaturan sewa. Pembukaan lahan dan
persiapan well pad akan diperlukan hingga 4 atau 5
lokasi per kegiatan eksplorasi. Kebutuhan lahan sekitar
1,5 -2 hektar per well pad, yang juga meliputi area
penyimpanan dan kolam pengolahan limbah.
Pengeboran: Kedalaman sumur dapat bervariasi tergantung
pada sumber daya, tetapi biasanya cukup dalam (1000m
hingga lebih dari 2500m). Setiap sumur akan memakan
waktu sekitar 45 sampai 50 hari pengeboran hingga
selesai. Pengeboran menimbulkan kebisingan, serta rig
dan well pad akan diterangi lampu untuk operasi malam
Draft tanggal 8 September 2016
25
hari. Air tawar diperlukan untuk memberikan pendinginan
dan pelumasan selama pengeboran, dan membawa potongan
batuan ke permukaan. Polimer sintetis (xanthan gum dan
pati atau turunan selulosa) dan barium sulfat padat
ditambahkan dalam proses ini.
Pengelolaan lumpur pengeboran/cairan dan batuan: Lumpur
pengeboran (bentonite clay), bahan aditif dan cairan
akan disimpan di kolam penyimpanan dekat well pad.
Material padat akan mengendap di bagian bawah dan cairan
akan dialirkan ke sumur reinjeksi atau aliran permukaan.
Dekomisioning mungkin akan melakukan perubahan fungsi
kolam untuk masyarakat atau penggunaan pribadi, atau
lokasi akan dikembalikan ke kondisi pra-konstruksi. Pipa
akan diperlukan untuk mengalirkan fluida ke sumur
reinjeksi. Batu akan digunakan sebagai material pengisi
di lokasi yang terdekat yang memungkinkan, kecuali
apabila material dianggap berbahaya dan mengandung
kontaminan, dalam hal seperti batuan akan dibuang ke
tempat pembuangan khusus. Tempat pembuangan khusus yang
ditunjuk mungkin diperlukan sebagai bagian dari
infrastruktur proyek, karena tidak mungkin akan ada
tempat pembuangan sampah khusus yang dapat beroperasi di
wilayah setempat.
Draft tanggal 8 September 2016
26
Pengujian sumur dan pengelolaan fluida panas bumi
(brine): Sejumlah besar Fluida panas bumi akan diambil
selama pengujian. Fluida ini biasanya mengandung logam
berat dan dapat mengandung konsentrasi tinggi boron,
arsen dan fluorida. Kolam fluida panas bumi akan
menyimpan air garam sampai diinjeksikan kembali atau
diolah dan dibuang ke aliran permukaan. Kolam akan
terletak di atau dekat well pad. Dekomisioning mungkin
melibatkan perubahan kolam untuk masyarakat atau
penggunaan pribadi, atau kembali ke lokasi dengan
kondisi pra-pembangunan. Pipa akan diperlukan untuk
mengangkut cairan ke sumur reinjeksi. Bulu uap akan
dipancarkan selama pengujian, dan ini dapat menimbulkan
kebisingan dan membuat pembuangan aerosol atau debit
tetesan ke area sekitar. Gas (karbon dioksida dan
hidrogen sulfida) akan dipancarkan selama pengujian,
yang dapat menghasilkan hujan 'asam' lokal pada
konsentrasi tinggi
Fasilitas pendukung: Terkait keterpencilan beberapa
daerah prospek, kemungkinan sub-proyek akan memerlukan
kamp pekerja dan fasilitas pemeliharaan di lokasi. Ini
akan membutuhkan pengelolaan limbah, pengolahan air
limbah dan pembuangan, pasokan air bersih, kesehatan dan
Draft tanggal 8 September 2016
27
keselamatan pekerja dan masyarakat, dan penyediaan
layanan.
1.4.3 Proyek-Proyek Terkait–Eksploitasi Panas Bumi
23. Pada saat penilaian proyek, kegiatan pada Tahap Eksploitasi
Panas Bumi tidak akan didanai oleh PPHEPB. Hal ini dapat
berubah selama pelaksanaan proyek apabila dana kemudian
dialokasikan untuk Komponen 3 untuk pengembangan 'mid-
stream' (pengembangan lapangan /pengeboran sumur lebih
lanjut).
24. Setiap kegiatan eksploitasi panas bumi, dalam hal apapun,
dianggap proyek terkait dan di dalam Daerah Pengaruh Proyek
dari setiap eksplorasi panas bumi sub-proyek yang didanai
oleh PPHEPB dan oleh karena itu relevan berdasarkan
kebijakan perlindungan Bank Dunia untuk menyaring risiko
lingkungan dan sosial yang potensial sebagai bagian dari
persiapan dan implementasi sub-proyek Komponen 1. Namun,
karena proyek ini akan fokus pada tahap eksplorasi, proses
penyaringan dan evaluasi potensi dampak utama dari
pengembangan lokasi dan operasi pada tahap eksploitasi
harus dikaji dengan tujuan utama untuk menginformasikan
pembuat keputusan tentang 'kemampuan pengembangan
(developability)' dari suatu lokasi sebelum keputusan untuk
mengeksplorasi atau tidak. Hal ini bukan untuk meminta
untuk mempersiapkan studi tambahan atau analisis yang tidak
Draft tanggal 8 September 2016
28
perlu. Selain itu, beberapa praktik yang baik mungkin
selama tahap eksploitasi seperti pemantauan H2S, mitigasi
dampak yang mungkin untuk pariwisata (dari panas bumi atas
abstraksi) dan dampak terhadap masyarakat sekitar (air
tanah, emisi udara, kualitas udara ambien) dan praktek
terbaik dalam kesiapsiagaan darurat untuk peristiwa di luar
kontrol dan insiden H2S dan pemeliharaan preventif atas
korosi pipa cairan panas bumi dll akan disarankan dalam
rekomendasi ESIA.
25. Tahap Eksploitasi Panas Bumi6 dan kegiatan serta dampak
perlindungan yang relevan adalah:
Tahap 4: Perencanaan dan Review Proyek
Studi kelayakan, ESIA dan izin, rencana pengeboran
Tahap 5: Pengembangan Lapangan
Pengambilalihan lahan dan izin
Pengeboran sumur (produksi, reinjeksi, air
pendingin), pengujian sumur, simulasi reservoir
Tahap 6: Konstruksi
Pipa saluran, pembangkit tenaga listrik, gardu dan
transmisi
Tahap 7: Rintisan dan Penciptaan
Tahap 8: Operasi dan Pemeliharaan
Draft tanggal 8 September 2016
29
Mengelola operasi sumur dan reinjeksi fluida panas
bumi
Mengelola sumber daya panas bumi, pemantauan dan
simulasi reservoir
Pembangkit listrik
Mengelola emisi, kebisingan dan limbah
Dekomisioning sumur
Melakukan pengeboran sumur, pengujian sumur, simulasi
reservoir
26. Kegiatan Eksploitasi juga akan mencakup semua yang
disebutkan dalam ayat 19 untuk tahap eksplorasi. Skala
pembangunan lapangan/pengeboran sumur akan lebih besar dari
tahap eksplorasi, dengan 10 - 20 lokasi well pad yang
diperlukan untuk produksi dan reinjeksi sumur-sumur
(tergantung pada ukuran dan lokasi dari sumber daya) dan
pipa yang menghubungkan sumur (-sumur) dan pembangkit
listrik. Pembebasan lahan permanen akan diperlukan untuk
bantalan, jalan, jaringan pipa, kolam, distribusi
infrastruktur dll. Selain itu, eksploitasi terkait dengan
PPHEPB akan melibatkan kegiatan-kegiatan berikut:
Draft tanggal 8 September 2016
30
Pembangunan pembangkit listrik panas bumi6, pelataran
langsir, gardu dan distribusi infrastruktur: pembebasan
lahan (baik secara sukarela maupun tidak), bahaya
terkait konstruksi, limbah, kebisingan dan tenaga kerja.
Penggunaan lahan sementara seperti kamp pekerja dan
bengkel.
Emisi ke udara dari menara pendingin: konsentrasi
kontaminan seperti merkuri, karbon dioksida, metana dan
hidrogen sulfida, tergantung pada geohidrologi dari
lokasi. Pelepasan lebih hangat daripada suhu udara
ambien
Emisi kebisingan: dari operasi pembangkit panas bumi,
terutama kipas menara pendingin, ejektor uap dan
‘deruman’ turbin.
Limbah padat dan berbahaya: limbah domestik, limbah
berbahaya dari bengkel/pemeliharaan dan endapan mineral
lumpur dari menara pendingin, sikat, pemisah uap dll.
6 Tiga jenis pembangkit listrik yang beroperasi hari ini: • Pembangkit listrik uap kering, yang secara langsung menggunakan uap
panas bumi untuk memutar turbin;
• Pembangkit uap kilat, yang menarik air panas bertekanan dalam dan
tinggi ke tangki yang bertekanan lebih rendah dan menggunakan uap
kilat yang dihasilkan untuk menggerakkan turbin; dan
Pembangkit siklus biner, yang melewatkan air panas bumi cukup panas
dengan cairan sekunder dengan titik didih yang jauh lebih rendah
daripada air. Hal ini menyebabkan cairan sekunder pada kilat ke uap,
yang kemudian menggerakkan turbin.
Draft tanggal 8 September 2016
31
Pembuangan air limbah: reinjeksi pada akuifer cairan
panas bumi yang mendalam. Perawatan dan pembuangan air
pendingin dan air limbah lainnya untuk reinjeksi sumur
atau air permukaan
Operasi sumur: produksi sumur berkurang dari waktu ke
waktu dan sumur pada akhirnya ditinggalkan dan ‘sumur
yang dibuat’ akan dimulai. Kegiatan akan mirip dengan
kegiatan yang diuraikan dalam Ayat 22.
Pasokan energi terbarukan untuk jaringan listrik
setempat: Pembangunan dan pengoperasian distribusi
infrastruktur. Pengurangan perbandingan emisi gas rumah
kaca dibandingkan dengan generasi diesel. Pengiriman
listrik untuk pelanggan baru dan pengiriman listrik
dengan karbon rendah ke dalam jaringan yang ada.
1.4.4 Penasihat Teknis
1.4.4.1 Pedoman Praktik yang Baik
27. Pedoman ini akan menginformasikan kegiatan pengembangan
panas bumi di masa yang akan datang dan karena itu
dampaknya akan berlangsung terus pada industri panas bumi.
Untuk alasan ini, pendekatan, output dan peningkatan
kapasitas yang disediakan melalui penasihat teknis akan
sesuai dengan sistem dalam negeri, kebijakan perlindungan
Bank dan ESMF ini. Konsultasi dan pengungkapan pemangku
Draft tanggal 8 September 2016
32
kepentingan akan menjadi bagian penting dari pendekatan
tersebut.
1.4.4.2 Konsultan Pengelolaan Eksplorasi
28. Kerangka Acuan (TOR) untuk Konsultan Pengelolaan Eksplorasi
(KPE) akan mencakup, khususnya, persyaratan untuk mematuhi
OP 4.37 dari Keamanan Bendungan dalam desain dan komponen
pengawasan lingkup pekerjaan. Dokumen penawaran dan kontrak
Kontraktor karenanya akan mencakup persyaratan OP 4.37 dari
Keamanan Bendungan. Kontraktor harus merancang, membangun,
mengoperasikan dan menutup kolam penyelesaian dan
penyimpanan sesuai dengan kebijakan dan KPE harus mengawasi
Kontraktor.
Draft tanggal 8 September 2016
33
2 KERANGKA KERJA PERLINDUNGAN PPHEPB
29. Tujuan dari Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial
(ESMF) adalah untuk memberikan referensi dan pedoman bagi
staf manajemen proyek, konsultan, dan pihak terkait lainnya
yang berpartisipasi dalam PPHEPB mengenai seperangkat
prinsip, aturan, prosedur dan pengaturan kelembagaan untuk
menyaring, menilai, mengelola dan memantau langkah-langkah
mitigasi dampak lingkungan dan sosial terhadap investasi,
lokasi dan dimensi yang tepat, termasuk juga daerah
pengaruh, yang tidak diketahui pada Tahap Penilaian. ESMF
merupakan instrumen perlindungan yang disusun untuk
melakukan penilaian sesuai dengan kebijakan perlindungan
Bank Dunia OP4.01 tentang Penilaian Lingkungan
30. Tujuan dari penerbitan PPHEPB ESMF ini adalah untuk
memastikan bahwa semua pemangku kepentingan yang terlibat
dalam proyek memenuhi persyaratan, prosedur dan peraturan
yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan sesuai dengan
peraturan pemerintah Indonesia dan ketentuan tambahan yang
berlaku sesuai dengan Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
yang relevan.
31. Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali (RPF) termuat dalam
Pasal 6 dan instrumen perlindungan disusun berdasarkan
kebijakan perlindungan Bank Dunia OP4.12 mengenai Pemukiman
Kembali secara paksa untuk memastikan kepatuhan terhadap
Draft tanggal 8 September 2016
34
kebijakan dan hukum Pemerintah Indonesia berkaitan dengan
pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali secara paksa.
32. Kerangka Perencanaan Masyarakat Adat (IPPF) termuat dalam
Pasal 7 dan merupakan instrumen perlindungan yang disusun
sesuai dengan kebijakan perlindungan Bank Dunia 4.10
tentang Masyarakat Adat untuk mematuhi kebijakan dan hukum
Pemerintah Indonesia berkaitan dengan pengelolaan dampak
dan manfaat proyek untuk Masyarakat Adat (kadangkala-
disebut sebagai etnis minoritas).
Draft tanggal 8 September 2016
35
3 KEBIJAKAN, PERATURAN DAN HUKUM PERLINDUNGAN
33. Di bawah ini adalah ringkasan dari peraturan, hukum dan
kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan dan
sosial yang relevan untuk ESMF. Ringkasan hukum, kebijakan
dan peraturan yang berkaitan dengan pengambilalihan lahan
dan pemukiman kembali secara paksa disediakan dalam RPF
(Bagian 6) dan hal-hal yang berkaitan dengan Masyarakat
Adat diatur dalam IPPF (Bagian 7.2).
3.1 Peraturan dan Perundang-undangan Indonesia terkait Analisis
Dampak Lingkungan
34. Dalam hal pengelolaan lingkungan hidup dan sosial, sub-
proyek eksplorasi panas bumi yang didanai oleh PPHEPB harus
mengacu pada UU Nomor 32/2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup, dan Peraturan Pemerintah
(PP) No. 27/2012 tentang Izin Lingkungan, Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 16/2012 tentang Pedoman Penyusunan
Dokumen lingkungan (AMDAL dan UKL / UPL), Undang-Undang
Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, dan Peraturan
Kementerian Lingkungan Hidup Nomor 5/2012 tentang Jenis
Kegiatan yang membutuhkan AMDAL, UU No. 21 tahun 2014
tentang Panas Bumi.
35. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Draft tanggal 8 September 2016
36
Nomor 5059) dengan prinsip utama untuk menjamin
kelangsungan semua makhluk hidup dan konservasi ekosistem,
menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup, dan mencapai
keselarasan lingkungan, harmoni dan keseimbangan. Berkenaan
dengan kegiatan panas bumi, hukum mengatur instrumen untuk
mencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, seperti
UKL/UPL dan/atau AMDAL.
36. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi telah
mengubah kegiatan panas bumi dari pertambangan ke
penggunaan tidak langsung, yang memungkinkan kegiatan yang
akan berlokasi di kawasan hutan lindung, dan ketika ada
kasus, undang-undang tentang perlindungan lingkungan hidup
mengatur bahwa kegiatan tersebut harus menyiapkan EIA penuh
atau AMDAL untuk keduanya, baik eksplorasi maupun
eksploitasi.
37. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
berdasarkan keberlanjutan ekosistem hutan dan fungsinya
untuk kedua tujuan ekonomi dan ekologi. Kegiatan
pembangunan selain kehutanan diperbolehkan secara selektif
untuk menghindari kerusakan yang signifikan yang dapat
mengurangi fungsi hutan. Kegiatan pembangunan strategis
yang dapat dihindari dapat diizinkan dengan pendekatan yang
hati-hati, seperti untuk pertambangan, listrik, komunikasi,
dan instalasi air. Hal ini berlaku juga untuk pengembangan
Draft tanggal 8 September 2016
37
panas bumi yang dapat diimplementasikan di kawasan hutan,
bahkan di hutan lindung.
38. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419)
yang mengatur ekosistem dan habitat untuk mendukung mata
pencaharian, serta keanekaragaman hayati untuk dipelajari,
dilestarikan, dan dimanfaatkan secara lestari. Pemegang
izin panas bumi harus melaksanakan peraturan tersebut,
khususnya di mana lokasi berada di dalam dan berdekatan
dengan kawasan lindung dan konservasi. Pengembangan panas
bumi di kawasan hutan, serta di kawasan hutan lindung dan
konservasi diperbolehkan dan dianggap sebagai pemanfaatan
jasa lingkungan. Hal ini harus dilakukan secara hati-hati
dengan pelaksanaan prinsip-prinsip kelestarian hutan dan
keanekaragaman hayati. Kegiatan tersebut harus mendapatkan
izin relevan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
39. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Rencana Tata
Ruang mengatur perencanaan pemanfaatan tanah, laut, dan
udara, termasuk apa yang ada di dalam bumi, sebagai salah
satu kedaulatan untuk manusia dan satwa liar dan mata
pencaharian mereka. Prinsip dasar dari rencana tata ruang
adalah pemanfaatan berkelanjutan sumber daya untuk
Draft tanggal 8 September 2016
38
kesejahteraan rakyat. Panas bumi dalam hukum ini dianggap
sebagai kegiatan strategis nasional bersama dengan minyak,
gas, mineral, dan air tanah. Peraturan daerah tentang
rencana tata ruang harus mengacu pada undang-undang ini,
terutama pada sumber daya panas bumi di mana mereka
memiliki potensi; maka perkembangannya tidak akan terhalang
karenanya.
40. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5285)
mengamanatkan bahwa pembangunan pembangkit listrik panas
bumi dianggap sebagai salah satu kegiatan strategis
nasional yang harus memperoleh izin lingkungan, dan
kegiatan terkait yang wajib memiliki UKL/UPL dan/atau
AMDAL. Eksplorasi panas bumi adalah UKL/UPL yang diwajibkan
jika terletak di dalam atau di luar area konservasi.
Kegiatan eksploitasi juga mewajibkan AMDAL jika terletak di
dalam atau di luar area konservasi.
41. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Pemanfaatan Kawasan Hutan, telah memungkinkan pengembangan
energi panas bumi di dalam kawasan hutan lindung sebagai
kegiatan strategis nasional. Pembangunan tersebut harus
mendapatkan izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dan membayar retribusi yang memadai sebagai
Draft tanggal 8 September 2016
39
kontribusi pendapatan negara. Pemrakarsa proyek diwajibkan
menyerahkan proposal ke Kementerian bersama dengan dokumen
pendukung yang digariskan dalam peraturan.
42. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional juga mengatur pemanfaatan
sumber daya yang berkelanjutan untuk memberikan manfaat
bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dan mengakui panas bumi
sebagai kegiatan strategis nasional bersama dengan minyak,
gas, mineral, dan air tanah. Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional memberikan panduan untuk menyiapkan rencana jangka
panjang, rencana jangka menengah, rencana penggunaan lahan,
keseimbangan antara daerah, lokasi investasi, kawasan
strategis nasional, dan rencana tata ruang provinsi dan
kabupaten.
43. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Wilayah Cadangan Alam dan Konservasi Alam
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 56,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5217) memungkinkan untuk
kegiatan pengembangan panas bumi di kawasan konservasi
selama kegiatan tersebut tidak diklasifikasikan sebagai
proses penambangan (Pasal 35, ayat 1c). Kegiatan panas bumi
diatur sebagai jenis layanan pemanfaatan ekosistem hutan.
44. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012
tentang Kegiatan yang Wajib AMDAL mengkategorikan kegiatan
Draft tanggal 8 September 2016
40
pembangunan menjadi beberapa kelompok berdasarkan potensi
dampak lingkungan dan besar pengaruhnya terhadap manusia
dan lingkungan. Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap
kegiatan pembangunan di kawasan yang terdekat atau di dalam
kawasan alam yang dilindungi diwajibkan memiliki 'AMDAL';
namun, kegiatan eksplorasi panas bumi dikecualikan sehingga
UKL/UPL sudah cukup.
45. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010
tentang UKL/UPL dan SPPL mengatur bahwa proyek atau
kegiatan pembangunan yang tidak wajib memiliki 'AMDAL' maka
wajib memiliki UKL/UPL dimana dampak lingkungannya kurang
signifikan. Proyek-proyek ditetapkan sebagai wajib UKL/UPL
oleh gubernur dan/atau bupati berdasarkan penyaringan
sebelumnya. Peraturan tersebut juga mengatur pedoman dan
format penyusunan UKL/UPL, dan memberikan mandat bahwa
prosesnya diselesaikan oleh lembaga lingkungan hidup
setempat dalam waktu 14 hari kerja. Setelah pemrakarsa
proyek mengajukan proposal UKL/UPL kepada otoritas
lingkungan setempat, lembaga tersebut mengeluarkan
rekomendasi untuk UKL/UPL setidak-tidaknya 7 hari setelah
pengajuan proposal final yang akan digunakan oleh
pemrakarsa sebagai dasar untuk memperoleh izin lingkungan
dan untuk menerapkan pengelolaan dan pemantauan dampak
lingkungan.
Draft tanggal 8 September 2016
41
46. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012
tentang Pedoman tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup
menetapkan bagaimana menyiapkan dokumen lingkungan,
termasuk AMDAL, UKL/UPL dan SPPL, di mana dua yang pertama
merupakan persyaratan utama untuk mendapatkan izin
lingkungan. Peraturan tersebut memberikan penjelasan secara
rinci tentang dokumen lingkungan yang harus disiapkan oleh
para pemrakarsa proyek, termasuk untuk proyek-proyek
eksplorasi panas bumi yang tunduk pada persyaratan UKL/UPL.
47. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2012
tentang Pedoman Keterlibatan Publik pada Penilaian
Lingkungan dan Proses Perizinan Lingkungan. Peraturan
didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: a)
penyediaan informasi secara penuh dan transparan; 2) posisi
yang setara dari semua pemangku kepentingan; 3) keputusan
secara adil dan bijaksana; dan, 4) koordinasi, komunikasi
dan kerjasama antara para pihak yang terlibat. Hal ini
mengatur keterlibatan masyarakat dalam pembentukan AMDAL
dan penerbitan izin lingkungan melalui pengumuman,
penyediaan input, masukan dan konsultasi publik, serta
dalam tinjauan komisi AMDAL. Masyarakat mendefinisikan
sebagai: 1) pihak terdampak proyek; 2) pengawas lingkungan;
dan, 3) proses AMDAL dan pihak yang tekena dampak putusan.
Draft tanggal 8 September 2016
42
Peraturan ini mengatur prinsip-prinsip FPIC dan persyaratan
untuk pengungkapan.
48. Kementerian Lingkungan Hidup dan Peraturan Kehutanan Nomor
P.46/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2016 tentang Pemanfaatan Jasa
Lingkungan Panas Bumi di Taman Nasional, Taman Hutan Raya,
dan Taman Wisata Alam. Peraturan tersebut merupakan dasar
untuk memungkinkan pengembangan panas bumi di bagian
tertentu dari kawasan konservasi, termasuk pembangunan
infrastruktur, eksplorasi dan/atau pengeboran eksploitasi,
dan konstruksi pembangkit listrik
49. Ketika eksplorasi panas bumi berdampak pada benda cagar
budaya, maka UU No. 5/1992, "Mengenai Benda Cagar Budaya"
akan diterapkan. Hal ini mendefinisikan benda cagar budaya
sebagai "nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan
budaya", sebagai "suatu obyek atau sekelompok obyek buatan
manusia "; bergerak atau tidak bergerak; berusia setidak-
tidaknya lima puluh tahun atau benda alami dengan nilai
sejarah tinggi7.
50. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 (Undang-Undang Cagar
Budaya Nomor 11/2010) tentang Warisan Nasional, terutama
mengatur pedoman observasi dan pengumpulan data pada
7 UNESCO. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia tentang
hal-hal mengenai Cagar Budaya", hal. 3f. Diambil 6 Mei 2012.
Draft tanggal 8 September 2016
43
warisan budaya yang mungkin akan terpengaruh oleh kegiatan
proyek
3.2 Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
51. Berdasarkan tinjauan atas proyek-proyek serupa dan
penyaringan awal untuk lingkungan dan sosial, diantisipasi
bahwa Kebijakan Perlindungan Bank Dunia adalah relevan
dan/atau bisa dipicu oleh sub-proyek PPHEPB8:
Kebijakan Perlindungan yang Dipicu
oleh Proyek
Ya Tidak
Penilaian Lingkungan OP/BP 4.01 X
Habitat Alam OP/BP 4.04 X
Hutan OP/BP 4.36 X
Pengelolaan Seranggga OP 4.09 X
Sumber Daya Budaya Fisik OP/BP 4.11 X
Masyarakat Adat OP/BP 4.10 X
Pemukiman Baru Secara Tidak Sukarela
OP/BP 4.12
X
Keamanan Bendungan OP/BP 4.37 X
Proyek-proyek atas Jalan Air X
8 OP4.10 tentang Kebijakan ‘Masyarakat Adat’ dinilai dalam Bagian 7.2. OP 4.12
Kebijakan Pemukiman Kembali Secara Paksa dinilai di Bagian 6.2.
Draft tanggal 8 September 2016
44
Internasional OP/BP 7.50
Proyek-proyek di Area Sengketa OP/BP
7.60
X
52. OP 4.01 tentang Penilaian Lingkungan. Di bawah Komponen
proyek 1, proyek ini akan membiayai eksplorasi sumber daya
panas bumi di beberapa lokasi; namun, beberapa lokasi tidak
diketahui pada saat penilaian proyek. Sub-proyek akan jatuh
ke dalam baik Klasifikasi Kategori B atau Kategori A. Sub-
proyek Kategori B adalah di mana dampaknya bersifat lokal,
dapat dibatalkan dan siap dikelola dengan langkah-langkah
mitigasi standar dan sudah terbukti. Sub-proyek Kategori A
adalah sub proyek dengan potensi dampak lingkungan dan
sosial yang merugikan secara signifikan, sensitif,
kompleks, tidak dapat dibatalkan dan belum pernah terjadi
sebelumnya yang dapat mempengaruhi kawasan yang lebih luas
dari lokasi fasilitas yang merupakan bagian dari pekerjaan
fisik. Semua sub-proyek mungkin akan memerlukan Analisis
Dampak Lingkungan dan Sosial (ESIA) secara penuh dan
Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (RPLS) untuk
mengelola dan mengurangi dampak tersebut sesuai dengan OP
4.01.
Draft tanggal 8 September 2016
45
53. OP 4.04 tentang Habitat Alam menjabarkan kebijakan Bank
Dunia tentang konservasi keanekaragaman hayati dengan
mempertimbangkan layanan-layanan ekosistem dan pengelolaan
sumber daya alam dan yang digunakan oleh pihak terdampak
proyek (PAP). Proyek harus menilai dampak potensial
terhadap keanekaragaman hayati. Kebijakan secara ketat
membatasi keadaan di mana kerusakan pada habitat alami
dapat terjadi, dan melarang proyek-proyek yang mungkin
mengakibatkan kerugian yang signifikan terhadap habitat
alami. Jika lokasi prospek panas bumi terletak di daerah
yang ditunjuk sebagai hutan lindung (HL) atau 'kawasan
hutan lindung, untuk tetap berada di hutan untuk kawasan
perlindungan atau kawasan DAS', atau yang serupa, kebijakan
ini akan berlaku. Dampak akan dinilai dalam proses ESIA.
54. OP 4.11 tentang Sumber Daya Budaya Fisik (PCR) menetapkan
persyaratan Bank Dunia untuk menghindari atau mengurangi
dampak negatif yang dihasilkan dari pengembangan proyek
pada sumber daya budaya. Sangat mungkin bahwa PCR akan
ditemukan di dekat proyek eksplorasi panas bumi. Dalam
beberapa kasus di Indonesia, masyarakat setempat menganggap
manifestasi dari energi panas bumi sebagai hal yang sakral.
ESMF mencakup persyaratan untuk mempersiapkan Rencana
Pengelolaan PCR (PCRMP), yang akan dikembangkan sebagai
bagian dari proses ESIA dan RPLS, serta persyaratan untuk
Draft tanggal 8 September 2016
46
prosedur penemuan kesempatan yang harus dilampirkan pada
setiap ESMP.
55. OP 4.36 tentang Hutan. Kebijakan ini mengakui perlunya
mengurangi deforestasi dan mempromosikan konservasi dan
pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Daerah prospek panas
bumi bisa berada dalam kawasan hutan seperti yang
didefinisikan oleh status perlindungan berdasarkan pada
peraturan Pemerintah Indonesia serta definisi hutan
berdasarkan Kebijakan. Dampak pada kesehatan dan fungsi
hutan, dan dampak pada pihak yang terpengaruh yang
mengandalkan sumber daya hutan, akan dinilai sebagai bagian
dari ESIA dan proses Rencana Aksi Pemukiman Kembali serta
langkah-langkah mitigasi yang akan dimasukkan ke dalam RPLS
dan LARAP.
56. OP 4.37 tentang Keamanan Bendungan. Ketika Bank membiayai
suatu proyek yang meliputi pembangunan bendungan baru,
Kebijakan ini mengharuskan bendungan dirancang dan
konstruksinya diawasi oleh profesional yang berpengalaman
dan kompeten. Hal ini juga mensyaratkan bahwa Peminjam
mengadopsi dan menerapkan langkah-langkah keamanan
bendungan tertentu untuk desain, tender penawaran,
konstruksi, operasi, dan pemeliharaan bendungan dan
pekerjaan terkait. Kebijakan ini dipicu karena proses
pengeboran membutuhkan kolam penyimpanan dan pengendapan
Draft tanggal 8 September 2016
47
untuk air garam dan cairan pengeboran lainnya. Persyaratan
Kebijakan akan dimasukkan dalam kontrak EMC dan kontrak
pengeboran, dan kegiatan serta output akan dipantau di
bawah ESMF.
57. OP 4.10 tentang Masyarakat Adat. Kebijakan ini mengharuskan
pemerintah untuk terlibat dalam proses konsultasi yang
bebas, didahulukan dan diinformasikan dengan masyarakat
adat, seperti yang dijelaskan oleh kebijakan dalam situasi
di mana masyarakat adat hadir dalam, atau memiliki
keterikatan bersama pada, wilayah proyek dan untuk
penyusunan Rencana Masyarakat Adat (IPP) dan/atau Kerangka
Perencanaan Masyarakat Adat (IPPF).
58. OP 4.12 tentang Pemukiman Kembali secara Paksa. Kebijakan
ini membahas dampak ekonomi dan sosial secara langsung dari
kegiatan proyek yang akan menyebabkan (a) pengambilan paksa
tanah yang mengakibatkan (i) relokasi atau kehilangan
tempat tinggal, (ii) kehilangan aset atau akses terhadap
aset atau (iii) kehilangan sumber pendapatan atau mata
pencaharian dan (b) pembatasan secara paksa atas akses
terhadap taman yang ditetapkan secara sah dan kawasan
lindung yang mengakibatkan dampak buruk pada mata
pencaharian para pengungsi. Kebijakan membutuhkan tapak
infrastruktur proyek yang akan dipilih untuk menghindari
dampak tersebut seluruhnya atau untuk meminimalkannya
Draft tanggal 8 September 2016
48
sejauh mungkin. Jika hal ini tidak dapat dihindari,
kebijakan ini membutuhkan persiapan salah satu atau kedua
instrumen ini (i) Kerangka kebijakan pemukiman kembali,
(ii) Rencana Aksi Pemukiman Kembali, dan untuk konsultasi
yang bermakna dengan orang-orang yang berpotensi terkena
dampak. Kebijakan melarang sumbangan lahan Komunitas untuk
infrastruktur di lokasi tertentu.
3.3 Kesenjangan Analisis
59. Perbedaan signifikan antara peraturan perundang-undangan
ESIA / AMDAL Indonesia yang berkaitan dengan eksplorasi
panas bumi dan Kebijakan Bank adalah terkait instrumen
perlindungan yang berlaku. Pemerintah Indonesia menetapkan
bahwa hanya Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana
Pemantauan (UPL/UKL) diperlukan untuk eksplorasi panas bumi
terlepas dari dampak potensial, sedangkan OP4.01
mensyaratkan penilaian instrumen perlindungan yang
tergantung pada klasifikasi kegiatan berdasarkan risiko
(Kategori A, B, atau C). Kedua sistem Bank dan negara
sendiri dan akan diikuti, dan isi dari dokumen akan
diselaraskan jika mungkin; meskipun demikian, bagian
terpisah dari instrumen akan disiapkan untuk proses
persetujuan terpisah.
Draft tanggal 8 September 2016
49
60. OP4.01 tentang Penilaian Lingkungan mensyaratkan penilaian
atas 'proyek terkait' di mana mereka dianggap bagian dari
Kawasan Proyek yang terpengaruh (baik secara geografis,
atau dari waktu ke waktu), sedangkan peraturan dan undang-
undang Pemerintah Indonesia menganggap kegiatan proyek ini
terpisah.. Dalam Proyek ini, tahap eksploitasi dianggap
merupakan proyek terkait berdasarkan OP4.01 karena tahap
eksploitasi dapat diduga akan terjadi di masa yang akan
datang sebagai akibat dari kegiatan eksplorasi. Sementara
itu, peraturan dan undang-undang Pemerintah Indonesia
mengangggap setiap tahap sebagai proses izin lingkungan
yang terpisah, sehingga membutuhkan permohonan dan
perolehan persetujuan secara terpisah.
61. Peraturan dan undang-undang Pemerintah Indonesia baru-baru
ini telah diubah untuk menghilangkan hambatan dalam
melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi
di kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi, dan
membebaskan persyaratan seluruhnya untuk ESIA/AMDAL dalam
banyak kasus. Revisi peraturan ini memperhitungkan
penggunaan layanan ekosistem berdampak rendah dan panas
bumi diterima dan semakin dianggap sebagai kegiatan
strategis nasional. Sebaliknya, Penilaian Lingkungan Bank
No. OP4.01, OP4.04 tentang Habitat Alam dan OP4.36 tentang
Hutan telah mempertahankan persyaratan dan standar terlepas
Draft tanggal 8 September 2016
50
dari kegiatan-kegiatan tersebut. Bank mensyaratkan
penilaian dampak secara penuh sebelum penilaian sub-proyek;
dan memerlukan mitigasi yang signifikan, atau tidak akan
mendanai kegiatan eksplorasi tertentu -yang dapat
mengakibatkan degradasi atau penghapusan habitat kritis- di
kawasan hutan dan kawasan yang dilindungi.
62. Jika ada konflik antara sistem di suatu negara dan
Kebijakan Bank, standar tertinggi yang berlaku, yang
berarti bahwa pencegahan yang paling banyak, atau yang
paling ketat dalam hal menghindari atau meminimalkan dampak
sosial dan lingkungan, akan diikuti dalam rangka memenuhi
kedua sistem.
51
4 Di mana ada konflik antara sistem negara sendiri dan Kebijakan Bank, standar
tertinggi yang berlaku, yang berarti bahwa paling pencegahan, atau yang paling ketat
dalam hal menghindari atau meminimalkan dampak sosial dan lingkungan, akan diikuti
dalam rangka untuk memenuhi kedua sistem
52
5 LANGKAH-LANGKAH MITIGASI DAN DAMPAK TERHADAP LINGKUNGAN DAN SOSIAL YANG DIANTISIPASI
5.1 Kegiatan Pengeboran dan Ekplorasi Panas Bumi dan Infrastruktur serta Kegiatan
Terkait
63. Dampak yang diantisipasi dan langkah-langkah mitigasi berikut relevan untuk sub-
proyek eksplorasi di bawah PPHEPB Komponen 1. Dampak dan langkah tersebut juga
relevan untuk kegiatan yang mungkin didanai di bawah Komponen 3 (meskipun tidak ada
dana yang telah dialokasikan untuk komponen ini pada saat penilaian proyek).
Tabel 1 Aspek Lingkungan dan Sosial, Potensi Dampak dan Langkah-Langkah Mitigasi untuk
Kegiatan Eksplorasi Panas Bumi
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Habitat alami,
termasuk habitat
kritis
Pembukaan lahan untuk
bantalan sumur, jalan,
jaringan pipa dan
Hindari, atau minimalkan, pembangunan di
kawasan sensitif (habitat hutan, lanskap,
daerah pemandangan dll)
53
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Habitat dan
spesies air dan
darat
Pengguna sumber
daya hutan
Pengguna air
Estetika dan
lanskap
infrastruktur
pendukung akan
menyebabkan kerusakan
langsung atau
perusakan pada habitat
alami.
Hapus dan menonaktifkan infrastruktur setelah
eksplorasi dan rehabilitasi kawasan dengan
cepat, melakukan kontur kembali di mana
diperlukan untuk kondisi tanah alam dan tanam
kembali dengan spesies asli atau spesies
komersial (tergantung pada penggunaan lahan).
Siapkan rencana mitigasi untuk penggunaan lahan
dengan mengikuti kegiatan eksplorasi, bersama-
sama dengan masyarakat dan pemerintah setempat
untuk menghindari perkembangan sembarangan dan
potensi konflik.
Jalan, jaringan pipa
dan bantalan
pengeboran dapat
membuat gangguan dalam
lanskap alam dan
pemandangan.
Dampak tidak langsung
54
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
dari pembangunan yang
terinduksi (pertanian,
perburuan, izin lahan,
sengketa tanah) ke
kawasan hutan dan
kawasan alam yang
dilindungi.
Abstraksi air dan
pembuangan air dari
cairan limbah /
pengeboran yang
dirawat dan limbah
lainnya menyebabkan
Aliran limbah yang berbeda terpisah dan rawat
dengan metode kolam, dosis, pendinginan dan
metode lain sebelum dibuang ke tanah atau tubuh
air.
Hindari eksploitasi berlebihan terhadap sumber
daya air tawar – temuan beberapa sumber, ambil
55
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
dampak dampak langsung
atau tidak langsung
pada habitat dan
spesies.
Pencemaran air atau
abstraksi air
mempengaruhi pengguna
air lainnya.
Kemungkinan meluap
atau kegagalan kolam.
dari sungai dengan tingkat aliran tinggi, waktu
pengeboran untuk musim hujan, gunakan bendungan
atau kolam penyimpanan, tidak lebih dari 1/3
dari aliran rendah musiman dari fitur air
permukaan. Identifikasi penggunaan air lainnya
seperti irigasi pertanian dan pastikan tingkat
abstraksi yang berkelanjutan yang tidak
mengganggu penggunaan airnya, memancing dll
Buang ke sumur reinjeksi sedapat mungkin.
Gunakan kembali cairan pengeboran.
Gunakan tangki septik untuk mengolah air limbah
domestik sebelum dibuang ke tanah. Kosongkan
tangki septik secara berkala dan buang lumpur
56
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
ke TPA.
Perencanaan dan pengelolaan sumber daya, dalam
hubungannya dengan pejabat yang berwenang dan
masyarakat untuk menemukan kolam penyimpanan
yang jauh dari kawasan sensitif.
Desain kolam secara cermat sesuai dengan OP4.36
tentang Keamanan Bendungan dan pemantauan
struktur kolam untuk tanda-tanda kegagalan.
Pembuangan limbah
berbahaya dan padat
sembarangan ke zona
riparian dan cara air.
Pertahankan sistem yang aman atas pengelolaan
limbah bahan berbahaya dan padat sebagai bagian
dari prosedur operasi standar tentang
Konstruksi dan Pengeboran serta EMP.
Pisahkan aliran limbah dan daur ulang, kompos
57
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
dan gunakan kembali limbah di mana mungkin.
Jauhkan limbah secara rapi/tertutup/aman.
Buanglah limbah yang tidak dapat didaur ulang
ke tempat pembuangan limbah yang ditetapkan
yang memiliki izin dari pemerintah setempat.
Bersihkan dan hilangkan tumpahan dan pulihkan
tanah dengan cepat.
Latihlah staf untuk menggunakan peralatan
tumpahan dan menanggapi adanya insiden-insiden.
Larang pembuangan limbah.
Penangkapan dan
perburuan hewan oleh
pekerja.
Larang penangkapan dan perburuan, dan gunakan
sumber daya hutan, sebagai bagian dari
manajemen gugus tugas.
58
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Persaingan dengan
penduduk setempat
untuk sumber daya
hutan.
Penggunaan lahan,
dan tanah (dan
kontaminasi
permukaan dan air
tanah berikutnya)
Buanglah lumpur dan
cairan yang
terkontaminasi ke
tanah.
Hindari pembuangan cairan ke tanah.
Uji lumpur untuk kontaminan sebelum dibuang.
Lumpur yang terkontaminasi akan diperlakukan
sebagai limbah berbahaya dan dibuang ke TPA
berjajar.
Tumpahan bahan
berbahaya.
Pertahankan sistem yang aman atas pengelolaan
limbah bahan berbahaya dan padat sebagai bagian
dari prosedur operasi standar tentang
Konstruksi dan Pengeboran serta EMP.
membuang limbah padat
dan berbahaya secara
59
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
sembarangan. Pisahkan aliran limbah dan daur ulang, kompos
dan gunakan kembali limbah di mana mungkin.
Jauhkan limbah dengan rapi/tertutup/aman.
Buanglah limbah yang tidak dapat didaur ulang
ke tempat pembuangan limbah yang ditetapkan
yang memiliki izin dari pemerintah setempat.
Bersihkan dan hilangkan tumpahan dan pulihkan
tanah dengan cepat.
Latihlah staf untuk menggunakan peralatan
tumpahan dan tanggapi insiden-insiden.
Laranglah pembuangan limbah.
Kerugian atas humus,
tanah longsor dan
Hindari daerah berisiko tinggi seperti medan
terjal.
60
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
erosi berat lainnya
dari lokasi
pembangunan jalan,
jaringan pipa,
konstruksi bantalan,
lubang kotak pasir,
galian, isi.
Minimalkan pembukaan lahan, terutama di lereng.
Desain kestabilan pinggiran, perlindungan
lereng dan sistem drainase ke dalam desain
jalan, lubang kotak pasir dll
Kembalikan segera daerah yang terganggu dan
rusak/
Gunakan langkah-langkah pengendalian sedimen
dan erosi selama konstruksi (pagar, perangkap,
kolam pengolahan dll).
Ambil/buang material ke lokasi yang disetujui.
Fitur Panas Bumi Gangguan dari
pemompaan atau
reinjeksi air panas
Mengidentifikasi dan menghindari fitur
signifikan (nilai-nilai seperti budaya,
sejarah, spiritual, ilmiah, biologi, lanskap,
61
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
bumi, atau dari
abstraksi dari air
tawar.
Kerusakan dari
pembangunan jalan,
saluran pipa atau
kegiatan pendukung
lainnya.
ekowisata dll)
Hindari fitur panas bumi yang merusak atau
mengganggu dimana mungkin.
Memonitor aktivitas untuk mengidentifikasi
gangguan dari pemompaan atau reinjeksi.
Sesuaikan dengan pengujian dan reinjeksi sumur
dimana diperlukan untuk memitigasi dampak yang
signifikan.
Siapkan penghalang dan hindari gangguan fitur
dari operasi konstruksi di mana diperlukan.
Air tanah Kontaminasi air tanah
dari gangguan dengan
air panas bumi dari
Siapkan sumur dengan penutup yang sesuai dan
perlindungan kepala sumur untuk mencegah
kontaminasi.
62
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
sumur abstraksi atau
sumur reinjeksi.
Memonitor kedalaman sumur dan tekanan untuk
mengidentifikasi kebocoran awal dan memperbaiki
tutup sumur atau menonaktifkan sumur untuk
menghindari kontaminasi lebih lanjut.
Dampak pada tingkat
akuifer dari kelebihan
abstraksi untuk
pasokan air bersih.
Hasil model untuk memastikan penggunaan air
tanah yang berkelanjutan.
Gunakan berbagai sumber. Gunakan tangki
penyimpanan, kolam dan bendungan untuk
menyimpan air.
Suasana bising Operasi rig
pengeboran, lalu
lintas yang meningkat,
pengujian pembuangan
Rencanakan kerja untuk menghindari gangguan
pada waktu yang sensitif (malam, hari libur)
Carilah lokasi jauh dari reseptor kebisingan
sensitif seperti sekolah dan desa-desa.
63
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
yang tepat, mesin
berat, dan peledakan
untuk jalan atau
penggalian – seluruh
suara yang dikeluarkan
bukan yang sebaliknya
dialami di area
proyek.
Gangguan terhadap
hewan, kehidupan rumah
tangga, kehidupan
kerja, sekolah.
Membatasi lalu lintas melalui desa dan dekat
reseptor sensitif.
Gunakan penghalang kebisingan seperti gili-gili
(bunds) atau topografi alam.
Memperingatkan orang-orang sebelum pekerjaan
bising dimulai dan memberikan pilihan mitigasi
khusus untuk orang rentan (seperti relokasi
sementara).
Gunakan metode konstruksi dan peralatan yang
tepat (dan terus dipertahankan).
Gunakan Pedoman tingkat suasana kebisingan
(oleh reseptor):
64
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Reseptor Tingkatan Suara Maksimal
yang Diperkenankan (per
jam), dalam dB(A)
Siang Hari
07.00-22.00
Malam Hari
22.00-07.00
Perumahan;
kelembagaan;
pendidikan
55 45
Industrial;
perdagangan
70 0
Kondisi mutu
udara
Buang ke udara
kontaminan dari
pengujian dan
Cari lokasi jauh dari reseptor sensitif seperti
sekolah dan desa-desa.
Memperingatkan orang-orang sebelum pekerjaan
65
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
pengeboran sumur
(hidrogen sulfida,
merkuri, arsenik dll),
tergantung pada sifat
dari sumber daya.
dimulai dan memberikan pilihan mitigasi khusus
kepada orang rentan (seperti relokasi
sementara).
Perencanaan dan langkah-langkah keselamatan
untuk pelepasan gas yang tidak terkendali.
Remediasi/penggantian setiap vegetasi atau
panen yang rusak, dll.
Emisi debu dari
pembangunan jalan,
pembukaan lahan,
kegiatan lokasi.
Cari lokasi yang jauh dari reseptor sensitif
seperti sekolah dan desa-desa.
Mengontrol debu dengan air selama kondisi
berangin dan kering.
Tahap kegiatan pembukaan lahan dan
66
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
merehabilitasi daerah terbuka dengan cepat.
Infrastruktur
kritis
Kerusakan atau
kehancuran pada
infrastruktur kritis
(jalan, pelabuhan,
jembatan)
Meningkatkan infrastruktur sebelum digunakan.
Menyediakan infrastruktur yang baru dibangun.
Memperbaiki kerusakan infrastruktur setidaknya
pada kondisi pra-proyek.
Kesehatan dan
keselamatan kerja
Risiko yang berkaitan
dengan bekerja
menggunakan mesin,
kecelakaan lalu
lintas, jatuh ke
kolam, melepuh dari
cairan panas dan uap,
Sistem pemantauan gas.
Peralatan pelindung pribadi yang sesuai (PPE).
Pelatihan yang tepat.
Menerapkan sistem dan prosedur keselamatan.
Melindungi permukaan di mana bekerja dengan
cairan panas dan uap.
Kolam pagar dan lubang lumpur.
67
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
emisi gas beracun.
Resiko yang tidak
rutin seperti ledakan
sumur.
Kendaraan dan mesin yang dipeliharadengan baik.
Perencanaan dan pengelolaan insiden dan kondisi
darurat.
Pelatihan pertolongan pertama, dan rencana
untuk evakuasi ke rumah sakit.
Kepemilikan
tanah, mata
pencaharian dan
pemukiman kembali
Pemukiman kembali
secara paksa untuk
pertambangan, jalan,
bantalan sumur, pipa
dan lokasi lainnya di
mana lahan diperlukan,
menyebabkan hilangnya
mata pencaharian dan
Prioritaskan negosiasi penjual yang bersedia-
pembeli yang bersedia untuk perjanjian sewa
tanah atau pembelian tanah.
Berkonsultasi secara luas dan mengidentifikasi
semua orang yang terkena dampak, termasuk
penghuni liar.
Kompensasi sebesar nilai penggantian.
Gunakan panduan RPF untuk pembebasan lahan dan
68
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
pemutusan hubungan
sosial.
Kehilangan hasil
panen, struktur, dan
aset lainnya.
Membatasi akses ke
hutan atau sumber daya
lainnya.
pemukiman kembali.
Berkonsultasi secara luas dan libatkan
masyarakat dalam setiap perubahan akses dan
pengelolaan hutan.
Mengintegrasikan masalah pemukiman kembali dan
mata pencaharian dalam rencana manajemen
terpadu.
Kesejahteraan
Sosial
Permasalahan dan
keluhan dari
masyarakat yang
terkena dampak.
Konsultasi atas risiko dan dampak yang
merugikan dari proyek dan ciptakan kesempatan
untuk menerima pandangan masyarakat yang
terkena dampak atas proyek.
69
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Pembentukan mekanisme pengaduan untuk
mengumpulkan dan memfasilitasi penyelesaian
permasalahan dan keluhan masyarakat yang
terkena dampak mengenai kinerja lingkungan dan
sosial dari sponsor.
Pengungkapan publik yang transparan untuk
menginformasikan setiap tahapan dari proyek
melalui situs web, papan pengumuman, alat
telekomunikasi dan pertemuan-pertemuan publik.
Menyiapkan kuesioner publik yang dirancang
dengan baik dan terstruktur untuk menerima
umpan balik dari masyarakat yang terkena dampak
Kesehatan dan Risiko untuk pengamat Lokasi situs jauh dari reseptor sensitif.
70
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
keselamatan
masyarakat
dan masyarakat yang
berkaitan dengan
kecelakaan lalu
lintas, emisi gas
beracun,
Sistem pemantauan gas.
Sistem peringatan lalu lintas (kendaraan
percontohan, rambu-rambu lalu lintas)
Pelatihan pengemudi yang tepat.
Konsultasi masyarakat yang teratur.
Tanda-tanda peringatan.
Perencanaan kondisi darurat yang melibatkan
masyarakat.
Akses tidak sah ke rig
pengeboran dan kolam
penyimpanan/perawatan
Beri pagar sekitar lokasi sumur, kolam dan
lubang.
Tanda-tanda peringatan.
Konsultasi masyarakat secara teratur.
Kartu identitas diperlukan untuk menggunakan
71
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
akses jalan dan/atau bekerja di lokasi.
Sumber daya
budaya fisik.
Sejarah,
spiritual,
arkeologi, agama,
kematian, dll.
Gangguan, degradasi,
penodaan lokasi atau
artefak sebagai akibat
dari gangguan tanah,
pembebasan lahan,
dampak pada fitur
panas bumi atau
lanskap.
Cari lokasi jauh dari PCR.
Gunakan Rencana Pengelolaan PCR untuk
memulihkan dampak (mitigasi, minimalisasi,
relokasi dll).
Gunakan prosedur penemuan kesempatan untuk
berhenti bekerja segera saat menemukan PCR.
Masyarakat adat Dampak yang potensial
pada akses ke sumber
daya dan hubungan
terhadap tanah.
Konsultasikan sejak awal dan secara luas
(Konsultasi Bebas, Sebelumnya dan Terinformasi)
sesuai dengan IPPF, dalam bahasa dan
menggunakan metode yang tepat untuk kelompok
72
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Kurangnya akses untuk
memberi manfaat
proyek.
IP.
Masukkan IP dalam desain proyek, dan memastikan
yang memberikan tambahan manfaat kepada IP.
Menghindari dan meminimalkan kerusakan pada IP,
dan libatkan mereka untuk mengidentifikasi
mitigasi yang tepat.
5.2 Proyek-proyek Terkait: Pembangkitan Energi-Eksploitasi Panas Bumi dan Infrastruktur
dan Kegiatan Terkait
Tahap eksploitasi akan dianggap sebagai proyek terkait dengan sub-proyek eksplorasi
PPHEPB. Selain kegiatan yang tercantum dalam Tabel 1, kegiatan berikut akan
dipertimbangkan dalam proses penyaringan risiko yang berhubungan dengan proyek-proyek
terkait. Tujuan utama dari analisis awal ini hanyalah untuk menginformasikan pembuat
73
keputusan dengan informasi yang berguna dan relevan tentang ’kemampuan pengembangan’
'developability " dari sebuah lokasi sebelum adanya keputusan untuk mengeksplorasi dan
bukan untuk menyiapkan kajian atau analisis tambahan yang tidak perlu. Potensi dampak
utama dari pengembangan lokasi dan operasi pada tahap eksploitasi bersamaan dengan
persyaratan mitigasi dan perkiraan biaya akan dinilai melalui pemeriksaan lebih lanjut
karena informasi ini akan relevan dengan keputusan apakah ya atau tidak untuk
mengeksplorasi. Penilaian parsial ini merupakan bagian dari proses ESIA tetapi tidak akan
sepenuhnya dinilai sebagai untuk tahap eksplorasi. Tiga sampai lima halaman penilaian
cepat akan memenuhi persyaratan ini.
74
Tabel 2 Aspek Lingkungan dan Sosial, Potensi Dampak dan Langkah-Langkah Mitigasi untuk
Kegiatan Eksploitasi Panas Bumi (akan dinilai sebagian untuk menginformasikan para
pembuat keputusan apakah ya atau tidak untuk mengeksplorasi dan beberapa kemungkinan
praktik yang baik yang akan disarankan dalam rekomendasi ESIA untuk tahap eksploitasi)
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Habitat alami,
termasuk habitat
kritis
Habitat dan
spesies air dan
darat
Pengguna sumber
daya hutan
Pengguna air
Pembukaan lahan untuk
pembangkit listrik,
gardu, dan jalur
transmisi menyebabkan
kerusakan langsung
atau perusakan habitat
alami.
Hindari, atau minimalkan, pembangunan di daerah
sensitif (kawasan habitat, lanskap, pemandangan
dll)
Kembangkan rencana pengelolaan sumber daya
terpadu, termasuk peluang pembangunan berbasis
masyarakat, untuk mengelola dampak jangka
panjang dari pembangunan yang teriinduksi.
Kembangkan ini dengan berkoordinasi dengan
pemilik tanah terkait, masyarakat, Kementerian
Pembangkit listrik,
gardu, jaringan
75
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Estetika dan
lanskap
transmisi dapat
membuat gangguan dalam
lanskap alam dan
pemandangan.
dan pemerintah daerah untuk menghindari
pengembangan sembarangan dan potensi konflik.
Merahabilitasi daerah secara cepat, melakukan
kontur kembali di mana diperlukan untuk kondisi
tanah alam dan menanam kembali dengan spesies
asli atau spesies komersial (tergantung pada
penggunaan lahan).
Dampak tidak langsung
dari pembangunan yang
terinduksi (pertanian,
perburuan, izin tanah,
sengketa tanah) ke
kawasan hutan dan
kawasan alam yang
dilindungi.
Abstraksi air untuk Pisahkan aliran limbah yang berbeda dan
76
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
menara pendingin atau
keperluan rumah
tangga/kantor dan
pembuangan air dari
pendingin air dan
limbah lainnya
menyebabkan dampak
langsung atau tidak
langsung pada habitat
dan spesies.
Pencemaran air atau
abstraksi air
mempengaruhi pengguna
rawatlah melalui kolam, injeksi kimia (dosing),
pendinginan dan metode lain sebelum dibuang ke
tanah atau badan air. Prioritaskan pembuangan
ke sumur reinjeksi di atas badan air permukaan
dan tanah.
Hindari eksploitasi berlebihan terhadap sumber
daya air tawar-menemukan beberapa sumber,
mengambil dari sungai dengan tingkat tingkat
aliran tinggi, waktu pengeboran untuk musim
hujan, menggunakan bendungan atau kolam
penyimpanan, mengambil tidak lebih dari 1/3
dari aliran rendah musiman dari fitur air
permukaan. Mengidentifikasi penggunaan air
77
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
air lainnya.
Kemungkinan meluap
atau kegagalan pada
kolam.
lainnya seperti irigasi pertanian dan
memastikan tingkat abstraksi yang berkelanjutan
yang tidak mengganggu penggunaan airnya,
memancing, dll.
Penggunaan kembali air yang didinginkan untuk
penggunaan tanaman lain, atau gunakan sistem
putaran tertutup.
Gunakan tangki septik untuk mengolah air limbah
domestik sebelum dibuang ke tanah. Kosongkan
tangki septik secara teratur dan buanglah
lumpur ke tempat pembuangan akhhir.
Perencanaan dan pengelolaan sumber daya, dalam
hubungannya dengan pejabat yang berwenang dan
78
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
masyarakat untuk menemukan kolam penyimpanan
yang jauh dari daerah sensitif.
Desain kolam dengan cermat sesuai dengan OP4.36
tentang Keamanan Bendungan dan pemantauan
struktur kolam untuk tanda-tanda kegagalan.
Sumur meledak
melepaskan kontaminan.
Desain tanggap darurat untuk ledakan sumur dan
rangsangan jaringan pipa termasuk langkah-
langkah untuk penahanan tumpahan cairan panas
bumi.
Pemeliharaan kepala sumur dan jaringan pipa
cairan panas bumi secara berkala:
- Pengendalian dan inspeksi korosi
- Pemantauan tekanan
79
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
- Penggunaan peralatan pencegahan ledakan
(misal katup penutup)
Membuang belerang,
silika, dan karbonat
endapan yang terkumpul
dari menara pendingin,
sistem sikat udara,
turbin, dan pemisah
uap, dan limbah
berbahaya lainnya
secara sembarangan.
Memelihara sistem yang aman dari bahan
berbahaya dan pengelolaan limbah padat sebagai
bagian dari prosedur operasi standar untuk
Pembangkit Listrik dan Sistem Pengelolaan
Lingkungan.
Pisahkan aliran limbah dan daur ulang, kompos
dan menggunakan kembali limbah di mana mungkin.
Jauhkan limbah dengan rapi/tertutup/aman.
Membuang limbah yang tidak dapat didaur ulang
ke tempat pembuangan limbah yang ditunjuk yang
memiliki izin dari pemerintah setempat.
80
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Membersihkan dan menghilangkan tumpahan dan
memulihkan tanah dengan cepat.
Melatih staf untuk menggunakan peralatan
tumpahan dan menanggapi insiden-insiden.
Melarang pembuangan limbah.
Penangkapan dan
perburuan hewan oleh
pekerja.
Persaingan dengan
penduduk setempat
untuk sumber daya
hutan.
Melarang penangkapan dan perburuan, dan
penggunaan sumber daya hutan, sebagai bagian
dari pengelolaan gugus tugas. .
Pnggunaan lahan, Pembuangan belerang, Lumpur/endapan akan disimpan di daerah gili-
81
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
dan tanah (dan
kontaminasi
permukaan
berikutnya dan
air tanah)
silika, dan endapan
karbonat yang
terkumpul dari menara
pendingin, sistem
sikat udara, turbin,
dan pemisah uap ke
tanah.
gili.
Uji lumpur untuk pelindian kontaminan sebelum
dibuang.
Lumpur yang terkontaminasi akan dikeringkan,
dirawat sebagai limbah berbahaya dan dibuang ke
tempat pembuangan limbah yang berjajar.
Limbah yang tidak berbahaya akan ditimbun jauh
dari sumber air.
Tumpahan bahan
berbahaya.
Memelihara sistem yang aman dari bahan
berbahaya dan pengelolaan limbah padat sebagai
bagian dari prosedur operasi standar untuk
Pembangkit Listrik dan Sistem Pengelolaan
Lingkungan.
Membuang limbah padat
dan berbahaya lainnya
secara sembarangan.
82
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Aliran limbah yang terpisah dan daur ulang,
kompos dan menggunakan kembali limbah di mana
mungkin.
Jauhkan limbah dengan rapi / tertutup / aman.
Membuang limbah yang tidak dapat didaur ulang
ke tempat pembuangan limbah yang ditunjuk yang
memiliki izin dari pemerintah setempat.
Membersihkan dan menghilangkan tumpahan dan
memulihkan tanah secara cepat.
Melatih staf untuk menggunakan peralatan
tumpahan dan menanggapi insiden-insiden.
Melarang pembuangan limbah.
Kehilangan humus, Hindari daerah berisiko tinggi seperti medan
83
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
tanah longsor dan
erosi berat lainnya
dari lokasi
pembangunan
infrastruktur
distribusi dan
konstruksi lainnya.
terjal.
Meminimalkan pembukaan lahan, terutama di
lereng.
Gunakan jalan pengangkutan sementara dan
mengembalikan segera.
Mendesain kestabilan pinggiran, perlindungan
lereng dan sistem drainase ke dalam desain
lokasi.
Mengembalikan daerah yang terganggu dan rusak
dengan segera.
Menggunakan langkah-langkah pengendalian
sedimen dan erosi selama konstruksi (pagar,
perangkap, kolam pengolahan dll).
84
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Mengambil/membuang bahan ke lokasi yang
disetujui.
Fitur panas bumi Gangguan dari
pemompaan atau
reinjeksi air panas
bumi, atau dari
abstraksi dari air
permukaan.
Mengidentifikasi dan menghindari fitur
signifikan (nilai-nilai seperti budaya,
sejarah, spiritual, ilmiah, biologi, lanskap,
ekowisata dll)
Hindari fitur panas bumi yang merusak atau
mengganggu dimana mungkin.
Membuat model waduk panas bumi dan fitur panas
bumi. Memonitor aktivitas untuk
mengidentifikasi gangguan dari pemompaan atau
reinjeksi. Menyesuaikan produksi dan reinjeksi
dimana diperlukan untuk memitigasi dampak yang
85
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
signifikan.
Menyiapkan penghalang dan menghindari gangguan
dari konstruksi dan operasi yang diperlukan.
Air tanah dan
waduk panas bumi
Kontaminasi air tanah
dari gangguan dengan
air panas bumi dari
sumur abstraksi atau
sumur reinjeksi.
Siapkan sumur dengan penutup yang sesuai dan
perlindungan kepala sumur untuk mencegah
kontaminasi.
Memonitor kedalaman dan tekanan sumur untuk
mengidentifikasi kebocoran awal dan memperbaiki
penutup sumur atau menonaktifkan sumur untuk
menghindari kontaminasi lebih lanjut.
Analisis secara rinci terhadap struktur akuifer
dan penggunaan air tanah yang ada di daerah
pengembangan
86
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Penentuan pengguna air tanah yang ada di
sekitar sumur operasional (misalnya 1 km) harus
diidentifikasi. Selain itu, beberapa informasi
teknis tentang sumur air tanah yang ada
(misalnya kedalaman, aliran, dll) harus
dikumpulkan.
Dampak pada tingkat
akuifer dari abstraksi
yang berlebihan untuk
pasokan air bersih.
Hasil model untuk memastikan penggunaan air
tanah yang berkelanjutan.
Gunakan beberapa sumber air tawar. Gunakan
tangki penyimpanan, kolam dan bendungan untuk
menyimpan air.
Abstraksi yang
berlebihan pada sumber
Pemodelan abstraksi panas bumi dan reinjeksi.
Menemukan susunan dan reinjeksi sumur untuk
87
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
daya panas bumi, yang
mengarah ke penurunan,
intrusi garam, dampak
pada tingkat akuifer,
hasil panas bumi yang
berkurang
memaksimalkan efisiensi penggunaan sumber daya
panas bumi dan menghindari penurunan tanah.
Memantau penurunan tanah, tingkat air tanah dan
kualitas air.
Membangun dan memelihara sumur untuk
menghindari gangguan dengan air tanah.
Suasana bising Pekerjaan konstruksi,
kipas menara
pendingin, ejector
uap, dan ‘dengungan’
turbin.
Gangguan terhadap
hewan, kehidupan rumah
Rencanakan kerja untuk menghindari gangguan
konstruksi pada saat yang sensitif (malam, hari
libur)
Temukan lokasi yang jauh dari reseptor
kebisingan sensitif seperti sekolah dan desa-
desa.
Gunakan hambatan kebisingan seperti gili-gili,
88
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
tangga, kehidupan
kerja, sekolah.
atau topografi alam.
Gunakan Pedoman untuk tingkat kebisingan
suasana (oleh reseptor):
Receptor Maksimal tingkat suara yang
diperkenankan (per jam),
dalam dB(A)
Siang Hari
07.00-22.00
Malam Hari
22.00-07.00
Perumahan;
kelembagaan;
pendidikan
55 45
Industri;
perdagangan
70 0
89
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Kondisi mutu
udara
Emisi gas beracun dari
menara pendingin,
sistem menara
pendingin kontak
kondensor terbuka.
Tempatkan pabrik jauh dari reseptor sensitif
(emisi udara model untuk membantu identifikasi
lokasi pabrik yang sesuai).
Pertimbangan total atau sebagian re-injeksi gas
dengan cairan panas bumi.
Menggunakan alternatif pendinginan non-kontak
yang tertutup.
Tergantung pada karakteristik sumber, ventilasi
bahan kimia beracun (misalnya hidrogen sulfida
dan merkuri menguap non-terkondensasi) sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Tergantung pada karakteristik sumber,
penghapusan kemungkinan bahan kimia beracun
90
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
dari gas non-terkondensasi.
Infrastruktur
kritis
Kerusakan atau
kehancuran pada
infrastruktur kritis
(jalan, pelabuhan,
jembatan) selama
konstruksi.
Meningkatkan infrastruktur sebelum digunakan.
Menyediakan infrastruktur yang baru dibangun.
Memperbaiki kerusakan infrastruktur pada
setidaknya ke kondisi pra-proyek.
Kesehatan dan
keselamatan Kerja
Risiko yang berkaitan
dengan bekerja
menggunakan mesin,
kecelakaan lalu
lintas, jatuh ke
kolam, melepuh dari
Pemasangan system pemantauan dan peringatan
hidrogen sulfida.
Pengembangan rencana kontingensi untuk
peristiwa pelepasan hidrogen sulfida, termasuk
semua aspek yang diperlukan dari evakuasi
hingga saat dimulainya kembali operasi secara
91
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
cairan dan uap panas,
bekerja di ketinggian,
bekerja di lingkungan
yang bising, risiko
terkait lokasi
konstruksi.
Emisi gas beracun
selama operasi
pembangkit listrik
Eksposur yang tidak
rutin mencakup potensi
kecelakaan ledakan
selama operasi.
normal.
Penyediaan sebuah tim tanggap darurat, dengan
monitor hidrogen sulfida pribadi, alat bantu
pernapasan mandiri dan persediaan oksigen
darurat, dan pelatihan dalam penggunaan yang
aman dan efektif.
Pemberian ventilasi yang memadai terhadap
bangunan yang ditempati untuk menghindari
akumulasi gas hidrogen sulfida.
PPE yang sesuai.
Pelatihan yang tepat.
Menerapkan sistem dan prosedur keselamatan
lokasi tertentu (konstruksi dan operasi).
92
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Permukaan perisai di mana bekerja dengan cairan
dan uap panas.
Membuat pagar kolam dan lubang.
Kendaraan dan mesin yang dirawat dengan baik.
Perencanaan dan pengelolaan kondisi darurat dan
insiden.
Pelatihan pertolongan pertama, dan rencana
untuk evakuasi ke rumah sakit.
Desain tanggap darurat untuk ledakan sumur dan
rangsangan jaringan pipa termasuk langkah-
langkah untuk penahanan tumpahan cairan panas
bumi. Pemeliharaan secara rutin terhadap kepala
sumur dan pipa fluida panas bumi:
93
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
- Pengendalian dan inspeksi korosi
- Pemantauan tekanan
- Penggunaan peralatan pencegahan ledakan
(misalnya katup penutup).
Kepemilikan
tanah, Mata
Pencaharian dan
pemukiman kembali
Pemukiman kembali
secara paksa untuk
pembangkit listrik,
infrastruktur
distribusi, fasilitas
terkait (serta sumur
seperti yang
disebutkan dalam Tabel
1) yang menyebabkan
Prioritaskan negosiasi penjual yang bersedia -
pembeli yang bersedia untuk sewa tanah atau
pembelian tanah.
Berkonsultasi secara luas dan mengidentifikasi
semua orang yang terkena dampak, termasuk
penghuni liar.
Kompensasi sebesar nilai penggantian.
Gunakan pedoman RPF untuk pembebasan lahan
secara paksa dan pemukiman kembali.
94
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
hilangnya mata
pencaharian dan
pemutusan hubungan
sosial.
Kehilangan hasil
panen, struktur, dan
aset lainnya.
Membatasi akses ke
hutang atau sumber
daya lain.
Berkonsultasi secara luas dan melibatkan
masyarakat dalam setiap perubahan akses dan
pengelolaan hutan.
Mengintegrasikan masalah pemukiman kembali dan
mata pencaharian dalam rencana manajemen
terpadu.
95
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Dampak pada kegiatan
ekonomi lainnya
seperti pariwisata,
perikanan, pertanian.
Konsultasikan dengan perwakilan dari industri
yang terkena dampak pengembangan panas bumi.
Bekerja pada kesempatan untuk meningkatkan
manfaat pada sektor ini (seperti perbaikan
jalan atau listrik yang lebih dapat diandalkan)
atau meminimalkan dampak pada sektor ini,
sebagai bagian dari EMP dan rencana pengelolaan
terpadu.
Kesejahteraan
Sosial
Permasalahan dan
keluhan dari
masyarakat yang
terkena dampak.
Konsultasi mengenai risiko dan dampak yang
merugikan dari proyek dan penciptaan kesempatan
untuk menerima pandangan masyarakat yang
terkena dampak proyek.
Pembentukan mekanisme pengaduan untuk
96
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
mengumpulkan dan memfasilitasi penyelesaian
kekhawatiran dan keluhan dari masyarakat yang
terkena dampak mengenai kinerja lingkungan dan
sosial dari sponsor.
Pengungkapan kepada masyarakat secara
transparan untuk menginformasikan setiap fase
dari proyek melalui situs web, papan
pengumuman, alat telekomunikasi dan pertemuan-
pertemuan masyarakat.
Menyiapkan kuesioner untuk masyarakat yang
dirancang dengan baik dan terstruktur untuk
menerima umpan balik dari masyarakat yang
terkena dampak.
97
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
Kesehatan dan
keamanan
masyarakat
Risiko untuk pengamat
dan masyarakat yang
berkaitan dengan
kecelakaan lalu
lintas, emisi gas
beracun.
Lokasi situs jauh dari reseptor sensitif.
Operasi terus-menerus dari sistem pemantauan
gas hidrogen sulfida untuk memudahkan deteksi
dan peringatan dini.
Sistem peringatan lalu lintas konstruksi
(kendaraan percontohan, rambu-rambu lalu
lintas)
Pelatihan pengemudi yang tepat.
Konsultasi masyarakat secara rutin.
Tanda-tanda peringatan.
Perencanaan darurat mencakup masyarakat.
Akses yang tidak
berwenang ke lokasi
Berikan pagar di sekitar semua lokasi
konstruksi, pembangkit listrik dll
98
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
konstruksi atau
pembangkit listrik,
gardu dan pelataran
langsir.
Tanda-tanda peringatan dan pintu gerbang
keamanan.
Konsultasi masyarakat secara rutin..
Kartu Identitas (ID) diperlukan untuk
menggunakan akses jalan dan/atau bekerja di
lokasi
Sumber daya
budaya fisik.
Sejarah,
spiritual,
arkeologi, agama,
kematian, dll.
Gangguan, degradasi,
penodaan lokasi atau
artefak sebagai akibat
dari pembangunan
infrastruktur
pembangkit listrik
atau keselarasan dari
Cari lokasi yang jauh dari PCR.
Gunakan Rencana Pengelolaan PCR untuk
memulihkan dampak (mitigasi, minimalisasi,
relokasi dll).
Gunakan prosedur menemukan kesempatan untuk
berhenti bekerja segera saat penemuan PCR.
99
Aspek dan
Permasalahan
Lingkungan dan
Sosial
Potensi Dampak Langkah-Langkah Mitigasi
jalur transmisi.
Masyarakat Adat Dampak yang potensial
pada akses ke sumber
daya dan hubungan
dengan tanah.
Kurangnya akses
terhadap manfaat
proyek.
Konsultasikan sejak awal dan secara luas
(Konsultasi dengan Bebas, Sebelumnya dan
Terinformasi) sesuai dengan IPPF, dalam bahasa
dan menggunakan metode yang tepat untuk
kelompok IP.
Termasuk IP dalam desain proyek, dan memastikan
bahwa manfaat bertambah kepada IP.
Menghindari dan meminimalkan kerusakan pada IP,
dan libatkan mereka untuk mengidentifikasi
mitigasi yang tepat.
100
6 PROSEDUR OPERASIONAL PERLINDUNGAN SUB-PROYEK
6.1 Gambaran Iktisar
64. Setiap pembangunan sub-proyek panas bumi yang akan
dikembangkan untuk pendanaan di bawah PPHEPB akan melalui
penyaringan perlindungan dan proses pelaksanaan yang sama,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, dan dijelaskan di
bagian di bawah. Proses implementasi perlindungan yang
diuraikan dalam ESMF ini dapat dibagi menjadi dua pihak.
Pertama, PT SMI (atau konsultannya) bertanggung jawab untuk
penyaringan secara rinci dan penentuan instrumen
perlindungan yang memadai. Di sisi lain, persiapan
instrumen perlindungan dan pelaksanaan pengelolaan
perlindungan lingkungan dan sosial seperti pengambilalihan
lahan dan teknis bisa menjadi tanggung jawab entitas khusus
yang dikontrak oleh PT SMI melalui afiliasinya yang
memiliki pengalaman luas dan kemampuan dalam eksplorasi
panas bumi dan kegiatan eksploitasi.
Gambar 1 Penyaringan Sub-Proyek dan Proses Pelaksanaan
Perlindungan
101
6.2 Langkah 1: Penyaringan Dasar
65. Sebagai bagian dari proses identifikasi sub-proyek, PT SMI
(atau konsultan atas namanya) akan menyaring sub-proyek
menggunakan informasi desktop dan daftar periksa dalam
Lampiran A. Tujuannya adalah untuk memberikan kontribusi
pada pemilihan lokasi terbaik untuk pembangunan di bawah
PPHEPB. Pemeriksaan dasar pada awalnya dapat
mengidentifikasi potensi risiko lingkungan dan sosial
Tahap 6 Rekomendasi Pasca Eksplorasi
Rekomendasi untuk investasi hulu dan pengembangan sumber daya
Tahap 5 Implementasi dan Pemantauan (dilakukan oleh badan/afiliasi yang dikontrak)
ESMP Kontraktor, Pengawasan Kontraktor, Pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali, Pemantauan
Tahap 4 Izin dan Persetujuan
... dari pejabat berwenang Indonesia dan Bank Dunia
Tahap 3 Penyusunan Instrumen Perlindungan (dilakukan oleh badan/afiliasi yang dikontrak)
Pengadaan konsultan, penyelidik, dokumentasi, konsultasi dan pengungkapan
Tahap 2 Penyaringan secara Rinci dan Pemilihan Instrumen Perlindungan
Penyaringan berbasis lapangan, Penentuan kategori risiko (A, B, C) dan instrumen terkait (ESIA, ESMP, UKL/UP, LARAP, IPP).
Tahap 1 Penyaringan Dasar
Meja ulasan dan masukan ke dalam pilihan sub-proyek, Keputusan untuk bergerak maju ke penyaringan secara rinci
102
menggunakan informasi dari BG, peta, data yang
dipublikasikan dan google earth. Output dari pemeriksaan
dasar akan memberikan kontribusi prioritas dan seleksi sub-
proyek dan memberikan informasi latar belakang pada laporan
kelayakan sub-proyek.
6.3 Langkah 2: Penyaringan Secara Rinci
66. PT SMI (atau konsultan atas namanya) akan melakukan
kunjungan lokasi dan mengumpulkan data sekunder lebih
lanjut untuk menyaring risiko lingkungan dan sosial,
menggunakan daftar periksa skrining pada Lampiran B sebagai
panduan. Proses ini akan mengidentifikasi kemungkinan area
pengaruh, reseptor sensitif, dampak yang signifikan yang
diantisipasi yang akan membutuhkan perhatian khusus, Risiko
Bank Dunia Kategori (A, B), dan instrumen perlindungan yang
diperlukan. Proses penyaringan akan berfokus pada tahap
eksplorasi, dan juga mempertimbangkan dampak yang
signifikan dari tahap eksploitasi terkait. Permasalahan-
permasalahan tahap eksplorasi akan dinilai sebagai bagian
dari proses ESIA, sedangkan permasalahan-permasalahan tahap
eksploitasi akan melalui pemeriksaan lebih lanjut sebagai
bagian dari proses ESIA namun tidak sepenuhnya dinilai.
67. Output dari penyaringan secara rinci akan berkontribusi
terhadap laporan kelayakan sub-proyek. Sub-proyek tidak
akan melanjutkan pembangunan di bawah PPHEPB jika 'halangan
103
pada proses lebih lanjut' diidentifikasi dan gagal pada
tahap penyaringan secara rinci. Contohnya adalah saat sub-
proyek berpotensi memiliki dampak yang tidak dapat diubah
pada habitat kritis. Dampak potensial yang signifikan untuk
proyek-proyek terkait juga dapat dianggap sebagai 'halangan
pada proses lebih lanjut'.
6.3.1 Penyaringan terhadap Reseptor Sensitif dan Potensi Dampak
68. Penyaringan akan menghasilkan gambaran awal mengenai
wilayah pengaruh proyek dan akan mengidentifikasi reseptor
sensitif. Pertanyaan penyaringan akan membantu untuk
mengidentifikasi dampak sosial dan lingkungan yang
signifikan, seperti potensi konversi atau degradasi
terhadap habitat alami. Proyek-proyek terkait (seperti fase
eksploitasi) di dalam wilayah pengaruh proyek akan disaring
pada saat yang bersamaan tetapi potensi risiko dan dampak
akan dilaporkan secara terpisah..
6.3.2 Penyaringan terhadap Kebijakan Perlindungan Bank Dunia
69. Berdasarkan reseptor sensitif dan dampak potensial yang
signifikan, pertanyaan penyaringan akan membantu untuk
mengidentifikasi Kebijakan Perlindungan Bank Dunia untuk
setiap sub-proyek.
104
6.3.3 Penyaringan terhadap Kategori Risiko dari Bank Dunia No.
OP4.01
70. Bank Dunia mengklasifikasikan proyek ke dalam salah satu
dari tiga kategori (A, B dan C), tergantung pada jenis,
lokasi, sensitivitas, dan skala proyek dan sifat dan
besarnya potensi dampak lingkungan.
71. Kategori A: Ketika sub-proyek cenderung memiliki dampak
lingkungan yang merugikan secara signifikan yang sensitif,
beragam atau belum pernah terjadi sebelumnya. Dampak
tersebut dapat mempengaruhi area yang lebih luas dari
lokasi atau fasilitas untuk pekerjaan fisik. Contohnya
adalah: kegiatan eksplorasi dalam kawasan konservasi yang
dapat mengakibatkan dampak yang signifikan pada populasi
spesies yang terancam punah atau pada habitat kritis;
kegiatan eksplorasi yang dapat meningkatkan akses untuk
pengembangan induksi yang akan membahayakan masyarakat
adat. Sub-proyek juga akan dianggap Kategori A jika fase
(hulu) terkait mungkin bertanggung jawab atas dampak
lingkungan yang merugikan secara signifikan yang sensitif,
beragam atau belum pernah terjadi sebelumnya. Semua proyek
Kategori A diwajibkan untuk memiliki ESIA dan EMP.
72. Kategori B: Ketika dampak lingkungan yang merugikan sub-
proyek pada populasi manusia atau area yang penting dalam
lingkungan hidup (termasuk lahan basah, hutan, padang
105
rumput, dan habitat alam lainnya) lebih tidak merugikan
dibanding sub-proyek Kategori A. Dampak akan merujuk pada
lokasi-spesifik; Sebagai contoh, jika beberapa dampak, jika
ada, tidak dapat diubah dan langkah-langkah mitigasi dapat
dirancang lebih siap dibandingkan sub-proyek Kategori A.
Lingkup penilaian lingkungan untuk sub-proyek Kategori B
akan bervariasi berdasarkan hasil dari proses penyaringan.
Semua sub-proyek Kategori B juga akan mensyaratkan ESIA dan
EMP. Ruang lingkup ESIA akan didasarkan pada potensi
risiko, mengatasi dampak lingkungan negatif dan positif
yang potensial terhadap sub-proyek, dan merekomendasikan
langkah-langkah untuk mencegah, meminimalkan, mengurangi,
atau memberikan kompensasi atas dampak buruk dan
memperbaiki kinerja lingkungan.
73. Kategori C: Jika sub-proyek cenderung memiliki dampak
lingkungan yang minimal atau tidak ada yang merugikan. Di
luar penyaringan, tidak ada tindakan pengkajian lingkungan
lebih lanjut diperlukan untuk sub-proyek Kategori C.
Diharapkan tidak akan ada sub-proyek Kategori C di bawah
PPHEPB tersebut.
6.3.4 Pemilihan Instrumen Perlindungan
74. Penyaringan risiko dan proses kategorisasi akan
mengidentifikasi potensi signifikansi dampak sosial dan
lingkungan. Daftar periksa dalam Lampiran A dan Lampiran B
106
menguraikan proses pengambilan keputusan untuk memilih
instrumen perlindungan yang tepat untuk setiap sub-proyek.
6.3.4.1 UKL/UPL
75. Sesuai dengan peraturan di Indonesia, setiap proyek
eksplorasi panas bumi disyaratkan memiliki UKL/UPL. Format
dan isi dokumen yang disyaratkan disediakan dalam Lampiran
E. Untuk PPHEPB isi rencana mitigasi dan pemantauan UKL/UPL
akan sama dengan ESMP (lihat Bagian 5.3.4.3). Untuk
memenuhi OP4.01, ESMP akan berisi informasi tambahan
mengenai penilaian kapasitas dan rencana pengembangan
kapasitas, pengaturan pelaksanaan dan anggaran pelaksanaan.
6.3.4.2 Analisis Dampak Lingkungan dan Sosial
76. Setiap sub-proyek eksplorasi panas bumi di bawah PPHEPB
akan mensyaratkan ESIA. Luasnya, kedalaman dan jenis
analisis akan tergantung pada sifat, skala, dan potensi
dampak dari sub-proyek yang diusulkan. Proses penyaringan
akan mengidentifikasi lingkup ESIA.
77. Penilaian Lingkungan (EA) mengevaluasi risiko lingkungan
yang potensial dari proyek dan dampak di daerah yang
terkena pengaruh; dan mengidentifikasi cara meningkatkan
perencanaan proyek, desain dan implementasi dengan
mencegah, meminimalkan, mengurangi, atau memberikan
kompensasi atas dampak lingkungan yang merugikan dan
meningkatkan dampak positif, termasuk implementasi proyek
107
secara keseluruhan. Tindakan pencegahan akan lebih disukai
dibanding mitigasi atau langkah-langkah kompensasi setiap
kali dimungkinkan.
78. EA memperhitungkan lingkungan alam (udara, air dan tanah),
kesehatan dan keselamatan manusia, dan proyek terkait hal-
hal sosial (pemindahan paksa, Masyarakat Adat, dan kekayaan
budaya), lintas batas, dan aspek lingkungan global. EA
mempertimbangkan aspek alam dan sosial secara terpadu. EA
memperhitungkan aspek-aspek berikut:
variasi dalam sub-proyek dan kondisi negara;
temuan kajian lingkungan suatu negara;
kerangka kebijakan nasional secara keseluruhan, rencana
aksi lingkungan, peraturan perundang-undangan dan
perizinan dan persyaratan perizinan;
kemampuan PT SMI terkait aspek sosial dan lingkungan, dan
latar belakang kepatuhan terhadap hukum setempat dan
hukum nasional, termasuk hal-hal terkait lingkungan dan
konsultasi publik serta pemberitahuan; dan
kewajiban nasional berdasarkan perjanjian lingkungan
hidup internasional dan perjanjian yang relevan dengan
sub-proyek.
108
Sub-proyek yang bertentangan dengan kewajiban negara tersebut
sebagaimana diidentifikasi selama EA tidak akan didukung
berdasarkan GEUDP.
79. Penilaian dampak sosial dan strategi mitigasi akan mencakup
kegiatan-kegiatan berikut:
a. Survei penilaian sosial dari kelompok masyarakat yang
terkena dampak eksplorasi panas bumi: mengumpulkan
data yang relevan atas penghasilan, mata pencaharian,
akses ke layanan, adat istiadat dan norma-norma, dan
mengidentifikasi anggota masyarakat yang rentan dan
isu-isu gender;
b. Identifikasi persyaratan pembebasan lahan untuk tapak
proyek: penilaian mengenai status kepemilikan tanah,
pemahaman kesediaan masyarakat yang terkena dampak
untuk berpartisipasi dalam pembebasan lahan secara
sukarela atau terpaksa, dan pilihan dan preferensi
(secara potensi disarankan oleh orang-orang yang
terkena dampak) untuk skenario pembebasan lahan baik
secara sukarela maupun dengan paksaan;
c. Pengembangan pendekatan dan mekanisme untuk sewa lahan
bagi kepemilikan lahan bersama atau aset yang dimiliki
secara komunal;
d. Melakukan survei sumber daya budaya fisik (PCR) di
daerah, melalui konsultasi dengan masyarakat yang
109
terkena dampak dan para pemangku kepentingan, dan
identifikasi dan pemetaan aset warisan budaya seperti
situs budaya, agama, sejarah dan situs arkeologi,
termasuk situs sakral, kuburan dan tempat pemakaman;
dan
e. Melakukan penyaringan untuk kehadiran Masyarakat Adat
di wilayah pengaruh proyek akan dimasukkan dalam
Penilaian Sosial yang meninjau aspek-aspek penting
seperti yang tercantum dalam Lampiran J.
80. Metodologi ESIA akan mencakup proses penyaringan secara
rinci untuk mengidentifikasi potensi risiko dan masalah
dengan proyek-proyek terkait seperti fase eksploitasi dan
pendekatan mengenai bagaimana tahapan eksplorasi dan
eksploitasi panas bumi akan dipresentasikan dan
didiskusikan selama konsultasi. Sebuah penyaringan dan
penilaian risiko untuk tahap eksploitasi dan kegiatan
terkait lainnya akan dimasukkan dalam dokumen ESIA,
menyoroti risiko signifikan yang dapat mempengaruhi rencana
eksplorasi panas bumi, keputusan untuk merekomendasikan
eksploitasi, dan pada akhirnya bagaimana rencana
eksploitasi panas bumi dapat dikembangkan. Sebagai contoh,
jika ada risiko potensial yang tidak dapat diubah berkaitan
dengan perkembangan dalam kawasan konservasi, maka ini
harus jelas didokumentasikan dalam ESIA.
110
81. Kriteria khusus diwajibkan untuk sub-proyek ESIA Kategori
A. ESIA akan mencakup pemeriksaan potensi dampak lingkungan
yang negatif dan positif terhadap sub-proyek, dan akan
membandingkannya dengan alternatif-alternatif yang layak
(termasuk situasi 'tanpa sub-proyek'). Rekomendasi akan
dibuat dari langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah,
meminimalkan, mengurangi atau mengkompensasi dampak negatif
dan memperbaiki kinerja lingkungan.
6.3.4.3 Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Sosial
82. Setiap sub-proyek eksplorasi panas bumi di bawah PPHEPB
akan mensyaratkan ESMP. Lingkupnya akan tergantung pada
sifat, skala, dan potensi dampak dari sub-proyek yang
diusulkan. Isi dari ESMP disediakan dalam Lampiran D sesuai
dengan Kebijakan Bank Dunia OP4.01 tentang Penilaian
Lingkungan. Untuk PPHEPB, isi dari mitigasi ESMP dan
rencana pemantauan akan sama dengan UKL/UPL. Untuk memenuhi
OP 4.01, ESMP akan berisi informasi tambahan pada penilaian
kapasitas dan rencana pengembangan kapasitas, pengaturan
pelaksanaan dan anggaran pelaksanaan.
83. ESMP dapat mencakup sub-rencana khusus seperti Rencana
Pengelolaan Sumber Daya Budaya Fisik atau Rencana
Pengelolaan Keanekaragaman Hayati, untuk mengelola dampak
spesifik dan signifikan.
111
6.3.4.4 Instrumen Pengambilalihan Lahan dan Pemukiman Kembali
84. Matriks untuk mengidentifikasi instrument yang berlaku
untuk pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali:
Tabel 2 Matriks Instrumen Pengambilalihan Lahan dan Pemukiman
Kembali
Pemicu Instrumen
Pengambilalihan lahan secara sukarela
melalui penjual yang bersedia–pembeli yang
bersedia, atau pengaturan sewa.
Tidak ada instrumen
yang disyaratkan
Perjanjian
penjualan dan
faktur
didokumentasikan
Aset dipengaruhi oleh sub-proyek, namun
tidak terkait dengan pengambilalihan lahan
atau pemukiman kembali.
ESMP
(Lampiran D)
Ketika pembebasan lahan secara paksa untuk
sub-proyek mempengaruhi kurang dari 200
orang, kurang dari 10% dari aset produktif
rumah tangga dan/atau melibatkan relokasi
fisik.
Disingkat LARAP
(Lampiran L)
Ketika pembebasan lahan secara paksa untuk
sub-proyek mempengaruhi lebih dari 200
orang, mempengaruhi lebih dari 10% dari
LARAP yang
komprehensif
(Lampiran K)
112
aset produktif rumah tangga dan/atau
melibatkan relokasi fisik.
Ketika sub-proyek mengarah pada pembatasan
paksa terhadap akses taman yang ditetapkan
secara sah dan kawasan lindung yang
mengakibatkan dampak buruk pada mata
pencaharian pengungsi.
Rencana Aksi
sebagai akibat dari
Kerangka Proses
(Merujuk pada
OP4.12)
6.3.4.5 Instrumen Masyarakat Adat
85. Matriks untuk mengidentifikasi instrument Masyarakat Adat
yang berlaku:
Tabel 3 Matriks Instrumen Masyarakat Adat
Pemicu Instrumen
Masyarakat Adat dapat membentuk sebagian
dari penerima manfaat/orang yang terkena
dampak
Rencana Masyarakat
Adat berdasarkan
Penilaian Sosial
dalam ESIA
(Lampiran J)
Masyarakat adat ada di daerah pengaruh
proyek tetapi Penilaian Sosial
menyimpulkan bahwa sub-proyek tidak akan
berdampak buruk terhadap orang/penduduk.
Tidak ada
instrument yang
disyaratkan
113
6.3.5 Laporan pemeriksaan
86. Laporan pemeriksaan akan disusun oleh PT SMI (atau KPE atas
namanya) dan mencakup:
a. Formulir pemeriksaan secara lengkap (Lampiran A)
b. Deskripsi konteks lingkungan dan sosial, termasuk peta
dan foto.
c. Identifikasi daerah pengaruh proyek dan reseptor
sensitif.
d. Secara jelas menyatakan output pemeriksaan yang terkait
dengan proyek eksplorasi yang didanai, dan untuk setiap
kegiatan terkait seperti eksploitasi.
e. Kebijakan perlindungan Bank Dunia yang dipicu.
f. Kategorisasi Risiko Bank Dunia
g. Risiko lingkungan dan sosial yang signifikan, dengan
penilaian awal atas sifat dan skala penilaian dampak
dan/atau langkah-langkah mitigasi mungkin diperlukan
(seperti Rencana Pengelolaan Keanekaragaman, program
konsultasi yang komprehensif, penilaian dampak ekonomi
atau kesehatan).
h. Daftar instrumen perlindungan yang diperlukan (ESIA,
ESMP, UKL/UPL, LARAP, LARAP yang Disingkat, dan IPP)
dan program untuk menyusunnya, yang memperkirakan waktu
yang dibutuhkan, keahlian yang dibutuhkan, dan
anggaran. Catat permasalahan seperti kerangka waktu
114
atau anggaran yang dapat mempengaruhi kelayakan proyek
panas bumi atau rencana pembangunan.
i. Rekomendasi untuk desain rencana pengembangan panas
bumi, seperti lokasi situs pengeboran, lokasi pasokan
air bersih, penghindaran atas reseptor sensitif, dll.
Laporan pemeriksaan secara rinci dapat menyimpulkan
bahwa sub-proyek tidak layak berdasarkan permasalahan
potensi perlindungan yang signifikan.
6.4 Langkah 3: Persiapan, Konsultasi dan Pengungkapan
Instrumen-Instrumen Perlindungan (dapat dilakukan oleh
afiliasi PT SMI)
6.5
87. Kerangka Acuan (TOR) untuk instrumen perlindungan akan
disusun oleh PT SMI melalui afiliasinya dan dikaji oleh
Bank Dunia sebelum pekerjaan ditenderkan kepada konsultan
lingkungan dan sosial yang kompeten dan berkualitas. Bank
Dunia harus menjelaskan Kerangka Acuan (TOR) untuk Sub
proyek ESIA Kategori A sebelum dikeluarkan dalam permohonan
proposal. Konsultan dengan pengalaman dalam proses regulasi
Indonesia dan kebijakan perlindungan Bank Dunia akan
dilibatkan. Instrumen perlindungan akan diselesaikan secara
paralel dengan studi kelayakan, dan sebelum Bank Dunia
menjelaskan proyek untuk pendanaan dan dokumen kontrak
115
tender pengeboran diselesaikan. Pekerjaan perlindungan akan
memberi porsi ke dalam desain akhir dari rencana eksplorasi
panas bumi, dokumen tender, dll.
88. Ruang lingkup ESIA, ESMP, UKL/UPL dan IPP akan sepadan
dengan sifat dan skala potensi dampak. Ruang lingkup LARAP
atau disingkat LARAP akan ditentukan berdasarkan jumlah
PAP, dan sifat dan skala kompensasi dan pemulihan mata
pencaharian.
89. Konsultasi dan pengungkapan akan dilaksanakan berdasarkan
Bagian 8. PT SMI atau afiliasinya akan memimpin konsultasi
dengan dukungan dari konsultan.
90. PT SMI dan Bank Dunia akan mengkaji rancangan dokumen dan
memberikan umpan balik sebelum finalisasi.
6.6 Langkah 4: Izin dan Persetujuan
91. UKL/UPL akan diajukan untuk disetujui oleh Provinsi yang
relevan atau Badan Lingkungan Hidup Kabupaten. ESIA, RPLS,
LARAP dan IPP akan ditinjau dan disetujui oleh Bank Dunia.
Pekerjaan tidak akan dimulai di lokasi sampai dokumen telah
diperoleh dan persetujuan peraturan yang relevan telah
diberikan. Di Indonesia "Dokumen Persiapan Dan Pengadaan
Tanah" (berdasarkan UU No.2/2012 akan disetujui oleh
Gubernur dan/atau Kepala Kota/Kabupaten di mana proyek
berlokasi. Berdasarkan persetujuan ini, izin lokasi akan
116
dikeluarkan. LARAP dapat disusun berdasarkan dokumentasi
ini.
6.7 Langkah 5: Pelaksanaan dan Pemantauan
92. PT SMI akan menyusun proses implementasi yang rinci dalam
Manual Operasi Proyek. Singkatnya, implementasi akan
terjadi sebagai berikut:
a. PT SMI, atau KPE atas nama mereka, akan
mengintegrasikan aspek perlindungan ke dalam rencana
eksplorasi panas bumi (lokasi infrastruktur, metode
konstruksi, langkah-langkah mitigasi yang berkaitan
dengan desain dll).
b. PT SMI, atau KPE atas nama mereka, akan mencakup ESMP
di dokumen tender Kontraktor dan kontrak Kontraktor.
Proses pemilihan kontraktor akan mencakup kapasitas
untuk melaksanakan RPLS, dan UKL/UPL.
c. Kontraktor akan diminta untuk menyiapkan ESMP
Kontraktor sebelum pekerjaan dimulai. ESMP Kontraktor
akan mendokumentasikan, secara rinci, bagaimana
Kontraktor akan memenuhi peran dan tanggung jawab
sebagaimana didokumentasikan dalam ESMP Proyek.
d. Pekerjaan tidak akan dimulai pada lokasi (termasuk
pekerjaan-pekerjaan tambahan seperti akses jalan)
sampai pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali
117
telah selesai dan ESMP Kontraktor telah diizinkan oleh
PT SMI (dengan persetujuan dari Bank Dunia).
e. KPE akan memantau dan mengawasi pelaksanaan ESMP
Kontraktor dan bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan aspek-aspek lain dari Proyek ESMP
tidak di bawah kendali Kontraktor.
f. PT SMI atau afiliasinya akan melaksanakan IPP dan LARAP
dan mengkoordinasikan kegiatan dengan orang-orang dari
KPE dan (para) Kontraktor.
g. Pelatihan akan dilaksanakan oleh KPE dan/atau pihak
ketiga, di mana diperlukan, sesuai dengan rencana
pembangunan kapasitas di ESMP.
h. Supervisi, pemantauan dan pelaporan akan dilakukan
sesuai Pasal 9.4 dan persyaratan rinci ESMP.
6.8 Langkah 6: Rekomendasi Pasca Eksplorasi
93. Pemeriksaan perlindungan dan penilaian risiko dari ESIA
mengenai proyek-proyek terkait (dan setiap pelajaran dari
pelaksanaan proyek RPLS, LARAP dan IPP dan kegiatan
eksplorasi) akan menginformasikan penilaian kelayakan
sumber daya yang diproduksi mengikuti tahap eksploitasi,
serta rekomendasi dan pengambilan keputusan tentang
komersialisasi sumber daya masa yang akan datang untuk
pembangkit listrik. Ini dapat mencakup daftar kesimpulan
dan rekomendasi jika ada kemungkinan prospek panas bumi
118
yang rendah yang dikembangkan, atau dapat mencakup
rancangan atau Kerangka Acuan (TOR) akhir untuk ESIA dan
instrumen perlindungan lainnya jika prospek akan dikirim ke
pasar untuk pembangunan dalam jangka pendek.
6.9 Prosedur Operasional Penasihat Teknis
94. Kerangka Acuan untuk komponen Penasehat Teknis akan
membutuhkan:
a. Spesialis perlindungan untuk menjadi bagian dari tim,
di mana diperlukan (seperti Pedoman Praktik yang Baik,
dan KPE);
b. Saran dan output untuk mematuhi ESMF, RPF dan IPPF;
c. Saran dan output untuk sesuai dengan Kebijakan
Perlindungan Bank Dunia dan kebijakan mengenai Gender
dan Pengungkapan;
d. Konsultasi luas dengan para pemangku kepentingan
terkait, dan masyarakat di mana diperlukan; dan
e. Pengungkapan dokumen teknis.
95. Divisi Pengelolaan yang Berkelanjutan atas Bisnis dan
Perlindungan Sosial Lingkungan Hidup PT SMI (ESS & BCM)
(yang didukung oleh konsultan jika perlu), akan meninjau
output penasehat teknis dan memberikan komentar dan masukan
untuk memastikan konsistensi dengan dokumen kerangka
PPHEPB. Spesialis perlindungan Bank Dunia akan meninjau dan
memberikan komentar mengenai output penasehat teknis untuk
119
memastikan konsistensi dengan kebijakan dan dokumen
kerangka PPHEPB.
120
7 KERANGKA KEBIJAKAN PEMUKIMAN KEMBALI
7.1 Prinsip-Prinsip Pokok
96. Di bawah PPHEPB, ini Kerangka Kebijakan Pemukiman Kembali
(RPF) memberikan pedoman penyaringan pemukiman, penilaian,
pengaturan kelembagaan, dan proses mengenai Pemukiman
Kembali secara Paksa yang harus dipatuhi oleh staf
manajemen proyek, konsultan, dan pihak-pihak terkait. RPF
akan memandu persiapan Pembebasan lahan dan Rencana Aksi
Pemukiman Kembali (LARAP) untuk masing-masing sub-proyek.
OP 4.12 dari Bank Dunia tentang Pemukiman Kembali secara
Paksa menetapkan standar dalam mengatasi dan mengurangi
risiko akibat pemukiman kembali secara paksa, termasuk
kasus pengambilan tanah secara paksa.
97. Bank Dunia mengakui bahwa pengambilalihan lahan dan
pembatasan penggunaan lahan yang disebabkan oleh proyek
dapat memiliki dampak yang merugikan pada pengguna lahan
dan masyarakat. Di sini "pemukiman kembali secara paksa"
mengacu baik untuk pemindahan fisik (relokasi atau
kehilangan tempat tinggal) dan perpindahan ekonomi
(kehilangan aset atau akses terhadap aset yang menyebabkan
hilangnya sumber pendapatan atau mata pencaharian lainnya)
sebagai akibat dari kegiatan proyek. Pemukiman kembali
dianggap secara paksa ketika orang atau masyarakat yang
terkena dampak tidak memiliki hak untuk menolak
121
pengambilalihan lahan atau pembatasan penggunaan lahan yang
mengakibatkan pemindahan fisik atau ekonomi. Hal ini
terjadi dalam hal: (i) pengambilalihan secara sah, atau
pembatasan sementara atau permanen pada penggunaan lahan,
dan (ii) penyelesaian yang dinegosiasikan di mana pembeli
dapat mempergunakan untuk pengambilalihan atau
memberlakukan pembatasan hukum atas penggunaan lahan jika
negosiasi dengan penjual gagal.
98. Sejak pengambilalihan lahan untuk kegiatan pengeboran
kemungkinan akan dilakukan melalui mekanisme transaksi
tanah sukarela seperti kesediaan pembeli–kesediaan
penjual9, RPF ini menerangkan prinsip dan prosedur
pengambilalihan lahan yang dinegosiasikan. Namun, dalam
kasus apapun dampak ekonomi, sosial, atau lingkungan dari
kegiatan proyek (eksplorasi pengeboran) yang merugikan
selain pengambilalihan lahan (misalnya, hilangnya akses
terhadap aset atau sumber daya atau pembatasan penggunaan
lahan), dampak tersebut akan dihindari, diminimalisir,
dikurangi atau diberikan kompensasi melalui proses
penilaian sosial sebagai bagian dari penilaian dampak
lingkungan dan sosial. Namun, jika ada dampak sosial yang
9 Yaitu, transaksi-transaksi pasar dimana penjual tidak diwajibkan untuk
menjual dan pembeli tidak dapat menggunakan prosedur pengambilalihan atau
prosedur yang diwajibkan jika negosiasi gagal.
122
signifikan dari pengambilalihan lahan secara sukarela, PT
SMI akan mempertimbangkan menerapkan persyaratan Bank Dunia
OP 4.12 tentang Pemukiman Kembali secara Paksa untuk
menghindari, memulihkan atau mengurangi dampak.
99. Tujuan umum dari kebijakan Bank Dunia tentang pemukiman
kembali dengan Paksaan adalah sebagai berikut:
a. Pemukiman kembali dengan Paksaan harus dihindari jika
memungkinkan, atau diminimalkan, dengan mencari desain
proyek alternatif yang lain;
b. Jika tidak memungkinkan untuk menghindari pemukiman
kembali, kegiatan pemukiman kembali harus dirancang dan
dilaksanakan sebagai bagian dari program pembangunan
berkelanjutan, misalnya, menyediakan sumber daya yang
cukup untuk memungkinkan orang-orang yang dipindahkan
oleh proyek untuk berbagi manfaat proyek. Orang-orang
yang dipindahkan oleh proyek harus berkonsultasi dengan
serius dan diberikan kesempatan untuk berpartisipasi
dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemukiman
kembali; dan
c. Para pengungsi harus menerima bantuan dalam upaya
mereka untuk meningkatkan mata pencaharian dan standar
hidup mereka, atau setidaknya untuk memulihkan mereka,
secara riil, sampai tingkat sebelum perpindahan, atau
123
ke tingkat yang berlaku sebelum dimulainya proyek, mana
yang lebih tinggi.
100. Sebelum pelaksanaan kegiatan pengambilalihan lahan dan
pemukiman kembali, PT SMI akan mengadopsi pendekatan dan
metodologi penilaian sosial seperti yang minta oleh
persyaratan OP4.12 sebagai berikut:
a. Menghindari pemukiman kembali dengan Paksaan dan, jika
tidak dapat dihindari, meminimalkan potensi dampak;
b. Menilai dampak ekonomi dan sosial yang potensial dari
pengambilalihan lahan dengan Paksaan dan pemukiman
kembali pada PAP dan mata pencaharian mereka;
c. Mengidentifikasi kategori atas pihak yang terkena
dampak dan hak masing-masing;
d. Menetapkan proses konsultasi yang jelas dan partisipasi
terhadap PAP dalam persiapan dan perencanaan
pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali dengan
Paksaan, jika ada, serta penyebaran informasi kepada
PAP;
e. Mengkompensasi aset yang hilang atas biaya penggantian
penuh;
f. Memberikan kompensasi kepada pengguna lahan
informal/ilegal atas aset yang hilang dan memberikan
bantuan dalam relokasi, jika diperlukan;
124
g. Memberikan kompensasi dan mendapatkan akses hukum atas
tanah yang diambil alih sebelum memulai konstruksi;
h. Memberikan informasi dan mempersiapkan program-program
bantuan khusus bagi kelompok rentan termasuk orang-
orang yang tidak memiliki harta tak bergerak; dan
i. Menyediakan dan menyiapkan rencana untuk penanganan
keluhan dan pemantauan sesuai dengan RPF.
7.2 Hukum dan Kebijakan Indonesia Berkaitan dengan
Pengambilalihan Lahan
101. Eksplorasi panas bumi penting bagi pembangunan
infrastruktur energi, dan di bawah sistem negara ini
dikategorikan sebagai pengembangan kepentingan umum. Dalam
kasus pengambilalihan lahan untuk pembangunan infrastruktur
bagi kepentingan umum, setiap sub-proyek harus mengacu pada
UU 2 Tahun 2012 tentang P pengambilalihan lahan untuk
Kegiatan Proyek Bagi Kepentingan Umum. Berikut ini adalah
peraturan pelaksanaannya: Keputusan Presiden Nomor 71 tahun
2012, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
tahun 2012, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02
2013, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 tahun
2012. Keputusan Presiden Nomor 71 tahun 2012 telah diubah
empat kali. Perubahan utama adalah: Nomor 40 tahun 2014
(...pengambilalihan lahan hingga 45 hektar dapat langsung
dilakukan oleh lembaga yang membutuhkan tanah dengan
125
pemegang hak atas tanah melalui transaksi bisnis atau cara
lain yang disepakati oleh kedua belah pihak ...); Nomor 99
tahun 2014 (... Kepala Pelaksanaan Pengambilalihan lahan
mengeluarkan nilai kompensasi yang timbul dari penilai atau
penilai publik); Nomor 30 tahun 2015 (... Keuangan untuk
pengambilalihan lahan dapat bersumber dari perusahaan
(Badan Usaha) sebagai Badan yang membebaskan lahan telah
diberikan hak untuk bertindak atas nama negara, menteri,
lembaga pemerintah non kementerian, atau provinsi atau
pemerintah kabupaten, dan yang paling terbaru, No. 148 dari
2015 (...pengambilalihan lahan untuk tujuan pembangunan
kepentingan umum hingga 5 hektar tidak memerlukan surat
penetapan lokasi. Badan yang memerlukan lahan akan
menggunakan penilai untuk penilaian tanah ....).
102. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.02 tahun 2013 juga
telah diubah dengan Nomor 10/PMK 02 2016, yang menunjukkan
alokasi anggaran ambang batas untuk pengambilalihan lahan
untuk proyek pembangunan kepentingan umum. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 72 tahun 2012 menunjukkan dana
operasional dan dukungan atas pelaksanaan pengambilalihan
lahan untuk pengembangan kepentingan masyarakat bersumber
dari APBD.
103. Peraturan Kepala Biro Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 5
tahun 2012 telah diubah dengan No 6 tahun 2015, yang
126
menyoroti skema dana talangan ( bailout) untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur. Pemerintah merevisi Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nomor 6 tahun 2015
untuk Peraturan Perubahan Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pengadaan Tanah. Revisi ini membuka kesempatan bagi
pengusaha swasta untuk melakukan bailout10 (dana talangan)
dana pengambilalihan lahan untuk proyek-proyek
infrastruktur untuk kepentingan umum. Kemudian dana
talangan diganti dengan menggunakan dana APBN melalui
kementerian atau instansi terkait.
104. Pengambilalihan lahan untuk pembangunan kepentingan umum
harus dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah;
Rencana Pembangunan Nasional /Daerah; Rencana Strategis;
dan Rencana Kerja Badan yang membutuhkan tanah. Namun,
seperti yang ditunjukkan dalam Penjelasan Pasal 7 (2) UU 2
tahun 2012, kegiatan energi panas bumi adalah untuk tingkat
yang fleksibel, tidak pasti dan berubah-ubah. Karena itu,
perencanaan yang fleksibel diperlukan untuk memastikan
10 Dana talangan awal swasta untuk pengambilalihan lahan. Pendekatan ini akan
menguntungkan pembangunan jalan tol dan membantu Badan Pengatur Jalan Tol
(BPJT) dapat dengan cepat membangun jalan tol. Namun, Menteri Pekerjaan Umum
dan Perumahan (PUPR) juga mensyaratkan untuk menyusun peraturan teknis
tentang penggunaan pribadi dari dana talangan.
127
efektivitas dan efisiensi pengembangan sumber daya energi
panas bumi.
105. Undang-Undang No. 2 tahun 2012 telah meningkatkan secara
signifikan sistem negara untuk pemukiman kembali dengan
perlindungan yang lebih besar atas hak-hak pemilik properti
melalui konsultasi dan kompensasi yang adil. Hal ini juga
berkaitan dengan kompensasi untuk properti yang tidak
mempunyai bukti kepemilikan jika pengambilalihan lahan
diperlukan. Jika lahan tersebut secara publik dimiliki,
undang-undang tidak berlaku dan tanah yang diperlukan akan
dibebaskan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960,
di mana Pasal 18 menyatakan bahwa hak atas tanah dapat
diambil alih oleh pemerintah untuk kegiatan kepentingan
umum dengan memberikan kompensasi yang wajar sesuai dengan
prosedur yang diatur dalam UU tersebut. UU juga mengatur
bahwa entitas publik, termasuk perusahaan milik negara,
berhak untuk memperoleh tanah berdasarkan mekanisme ini11.
Demikian pula, perusahaan swasta juga dapat memperoleh
tanah dengan membangun kemitraan swasta publik dengan BUMN
dan instansi pemerintah yang memenuhi syarat.
11 Selain UU 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya, terdapat peraturan lain
yang berkaitan dengan pembebasan lahan dan pemukiman kembali untuk
kepentingan umum, seperti Keputusan Presiden Nomor 40 tahun 2016 tentang
Percepatan Pembangunan Infrastruktur Listrik yang memiliki aspek penting
dalam mengurangi waktu proses pembebasan lahan dan menentukan lokasi. Ini
dibahas lebih lanjut pada bagian 8.3. Sektor energi dalam dokumen ini.
128
106. Undang-undang 2 tahun 2012 dan peraturan pendukungnya
menetapkan bahwa penilaian kompensasi harus dilakukan oleh
"... Penilai Independen dan Profesional, yang memiliki
lisensi dari Kementerian Keuangan sebagai Penilai Publik
dan terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN)".
Masyarakat Penilai Indonesia (MAPPI) menerbitkan Standar
Penilaian 306, Penilaian dalam Konteks Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan untuk Kepentingan Umum, untuk memberikan
pedoman dan mendukung pelaksanaan UU No. 2 tahun 2012.
Standar tersebut mengikuti prinsip yang sama seperti UU, di
mana penentuan jumlah kompensasi berdasarkan pada "prinsip-
prinsip kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
transparansi, perjanjian, partisipasi, kesejahteraan,
keharmonisan dan keberlanjutan." Nilai Penggantian Wajar
adalah berdasarkan pada nilai pasar properti, dengan
memperhatikan unsur-unsur non-fisik yang terkait dengan
hilangnya kepemilikan properti, yang disebabkan oleh
pengambilalihan lahan Definisi Nilai Penggantian Wajar
mengikuti prinsip-prinsip yang sama sebagaimana definisi
untuk kompensasi seperti dikutip sebelumnya.
107. Penilaian terdiri dari komponen fisik dan non-fisik.
Komponen fisik yang akan dikompensasi mencakup: a) tanah;
b) ruang di atas dan di bawah tanah; dan c) bangunan; dan
129
d) fasilitas dan fasilitas pendukung bangunan. Komponen
non-fisik yang akan dikompensasi meliputi:
Hak pelepasan pemilik tanah, yang akan diberikan
sebagai premi dalam istilah moneter berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang ada. Penggantian
dapat mencakup hal-hal yang berkaitan dengan: a)
kehilangan pekerjaan atau kerugian bisnis, termasuk
perubahan profesi (sehubungan dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 33 huruf f Penjelasan); b)
kerugian emosional yang terkait dengan hilangnya tempat
tinggal akibat pengambilalihan lahan (dengan
memperhatikan UU No 2 tahun 2012 Pasal 1 Ayat 10, Pasal
2 penjelasan dan Pasal 9, ayat 2).
Biaya transaksi, seperti biaya pemindahan dan pajak
terkait.
Kompensasi untuk masa tunggu, yaitu, pembayaran untuk
memperhitungkan perbedaan waktu antara tanggal
penilaian dan tanggal pembayaran yang diperkirakan.
Hilangnya nilai sisa tanah, yang dapat dihitung atas
seluruh nilai tanah jika tidak bisa lagi digunakan
sebagaimana dimaksud.
130
Biaya kerusakan dan perbaikan fisik atas bangunan dan
struktur di atas tanah, jika ada, sebagai akibat dari
pengambilalihan lahan.
7.3 Kebijakan Perlindungan Bank Dunia OP4.12 Tentang Pemukiman
Kembali dengan Paksaan
108. Kebijakan ini bertujuan untuk menghindari pemukiman kembali
dengan Paksaan apabila memungkinkan. Namun, kebijakan ini
menetapkan jika diperlukan- persyaratan untuk
berpartisipasi dalam perencanaan pemukiman kembali, serta
penyediaan kompensasi yang meningkatkan, atau setidaknya
mengembalikan, pendapatan dan standar hidup. Pengalaman
Bank dengan proyek-proyek panas bumi di Indonesia terkait
pemukiman kembali dengan Paksaan menunjukkan bahwa tanah
diperoleh melalui transaksi komersial bukan
pengambilalihan, dan pemukiman kembali dengan Paksaan tidak
terjadi. Namun, RPF ini menetapkan prinsip-prinsip dan
prosedur untuk pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali
dalam hal terdapat kondisi ketika PT SMI harus meminta
pengambilalihan atau pemukiman kembali dengan Paksaan.
109. Bank Dunia OP 4.12 tidak berlaku untuk pemukiman kembali
yang timbul dari transaksi tanah secara sukarela (yaitu,
transaksi pasar di mana penjual tidak berkewajiban untuk
menjual dan pembeli tidak dapat melakukan ekspropriasi
atau prosedur wajib lainnya yang dikenakan sanksi oleh
131
sistem hukum dari negara tuan rumah jika negosiasi gagal).
Ini juga tidak berlaku atas dampak pada mata pencaharian di
mana proyek ini tidak mengubah penggunaan lahan dari
kelompok atau masyarakat yang terkena dampak.
7.4 Kesenjangan Analisis
110. Ada potensi perbedaan antara persyaratan kebijakan
perlindungan WB dan sistem negara dalam hal penegakan
tanggal akhir pada awal sensus dan survei lainnya.
Tujuannya adalah untuk mencegah tuntutan palsu dan masuknya
penduduk ke daerah proyek. Catatan akhir pada OP 4.12 Bank
Dunia 21 berbunyi: "Biasanya, tanggal akhir ini adalah
tanggal sensus dimulai. Tanggal akhir juga bisa menjadi
tanggal wilayah proyek itu digambarkan, sebelum sensus,
dengan ketentuan bahwa telah ada penyebaran informasi
publik yang efektif tentang daerah yang digambarkan, dan
penyebaran sistematis dan terus-menerus setelah delineasi
untuk mencegah arus penduduk lebih lanjut. Merujuk pada
Bagian 6.6 mengenai bagaimana ini akan dikelola untuk
PPHEPB. Potensi perbedaan lainnya berkaitan dengan
pemulihan mata pencaharian dan pemberian kompensasi non-
tunai. Sistem negara menunjukkan bahwa mata pencaharian
yang hilang ditutupi dengan kompensasi uang tunai,
sedangkan prosedur Bank berisi serangkaian tindakan yang
132
menjamin pemulihan mata pencaharian. Perkembangan terbaru
dari sistem negara telah menyoroti kebutuhan untuk
mengembangkan pedoman teknis untuk mengatasi relokasi
termasuk pemulihan mata pencaharian. Namun kecuali pedoman
telah dikeluarkan, proyek-proyek yang didanai Bank Dunia
harus terus menambahkan klausul yang berhubungan dengan
pemulihan mata pencaharian dan pemberian kompensasi non-
tunai.
7.5 Proses Persiapan dan Persetujuan Rencana Aksi Pemukiman
Kembali
111. Tergantung pada hasil ESIA, LARAP akan disusun ketika akan
ada pengambilalihan lahan secara paksa dan/atau pemukiman
kembali dan/atau pembatasan akses pada sumber daya. PT SMI
melalui afiliasinya akan menyusun LARAP sesuai dengan
persetujuan OP 4.12 Bank dan sistem negara.12 Pelaksanaan
LARAP mensyaratkan persetujuan Bank. Sub-bab berikut ini
merinci unsur-unsur yang diperlukan untuk menyusun LARAP.
12 Sesuai dengan sistem perlindungan negara, dalam tahap ini, PT SMI akan
membuat Rencana pengambilalihan lahan untuk Kepentingan Umum sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Rencana ini mengacu pada Perencanaan Daerah,
Perencanaan Tata Ruang dan prioritas pembangunan sebagaimana tercantum dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan Rencana Kerja
dari Instansi terkait.
133
7.5.1 Informasi yang diperlukan untuk pengambilalihan lahan
Pribadi atau Tanah Desa Secara Paksa
112. PT SMI melalui afilliasinya akan memberikan dokumentasi
mengenai kebutuhan pengambilalihan lahan (termasuk tanah
yang akan dibutuhkan untuk proyek di masa yang akan
datang). Para ahli pembangunan sosial Bank akan mengkaji
dokumen dan menentukan pemulihan jika ada keadaan yang akan
membahayakan sesuai dengan OP 4.12. Jika demikian,
informasi tambahan dan tindakan yang tepat mungkin
diperlukan oleh PT SMI.
113. PT SMI kemudian akan menggunakan format pelaporan tertutup
(Disingkat LARAP dalam Lampiran L atau LARAP penuh dalam
Lampiran K) untuk menyelesaikan isu-isu berikut:
a. Penilaian dampak sementara dan permanen terhadap
pengambilalihan lahan atau pengambilalihan, dan
kategori-kategori orang/rumah tangga yang terkena
dampak, jumlah tanah/bidang tanah yang terkena dampak,
persentase tanah/bidang tanah yang terkena dampak dalam
pemilikan tanah apapun, penggunaan tanah sebelum dan
sesudah pembebasan, penggunaan lahan sebelum dan jumlah
pemilik.
b. Dokumentasi atas situasi sosial ekonomi dari rumah
tangga yang terkena dampak, seperti aliran pendapatan
dan persentase penghasilan yang berasal dari tanah yang
134
diperoleh sesuai dengan persyaratan kebijakan upaya
perlindungan WB. Tujuannya adalah untuk memahami dampak
buruk pada mata pencaharian pengungsi dan memberikan
langkah-langkah pemulihan untuk memberikan kompensasi
atas kerugian pendapatan mereka.
c. Standar kompensasi yang diterapkan untuk kerugian tanah
sementara dan permanen, hilangnya hasil panen,
hilangnya pohon produktif, kehilangan tempat tinggal
dan usaha (mendokumentasikan nilai setara dengan biaya
penggantian penuh),
d. Hasil keputusan pengadilan, jika ada,
e. Penyediaan lahan pengganti, jika relevan, dan
f. Penyediaan dokumentasi untuk kelompok rentan,
penanganan keluhan dan pemantauan.
114. Berdasarkan hukum Indonesia, Rencana Pengambilalihan Lahan
dalam Dokumen Kepentingan Umum yang disusun dalam bentuk
dokumen perencanaan pengambilalihan lahan harus
mensyaratkan: (a) tujuan rencana pembangunan; (b)
konsistensi dengan Rencana Tata Ruang Daerah dan Rencana
Pembangunan Nasional/Daerah; (c) lokasi tanah; (d) ukuran
tanah yang dibutuhkan; (e) deskripsi status tanah (hukum
dan fisik); (f) estimasi masa pengambilalihan lahan; (g)
estimasi masa pelaksanaan konstruksi; (h) estimasi nilai
tanah; (i) rencana anggaran; dan (j) bahwa Rencana tersebut
135
harus dibuat berdasarkan studi kelayakan yang disusun
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Langkah
terakhir adalah penyampaian Rencana Pengambilalihan Lahan
dalam Dokumen Kepentingan Umum kepada Gubernur dengan
dokumen pendukung yang lengkap.
7.5.2 Informasi yang Diperlukan untuk Pengambilalihan Lahan Umum
115. OP4.12 juga berlaku di mana tanah publik (tanah milik
Pemerintah Indonesia atau pemerintah daerah) dibeli,
dipindahkan, disewakan atau digunakan secara
informal/sementara oleh PT SMI. Ini juga mencakup
kenikmatan-kenikmatan. Sementara transaksi tanah mungkin
'sukarela' oleh lembaga pemerintah, mungkin ada pihak
ketiga yang menggunakan tanah (penyewa, pengguna lahan
informal, penghuni liar dll) yang akan tunduk pada
pemukiman kembali secara Paksa.
116. Dalam hal ini, PT SMI akan menyerahkan Ringkasan
Pemeriksaan Dampak Sosial kepada Bank Dunia, dengan
menggunakan informasi dari Proses Pemeriksaan Secara Rinci
(Merujuk pada Bagian 5.3). PT SMI akan mendokumentasikan
mekanisme pemindahan, jumlah tanah, apakah itu digunakan
dan untuk tujuan apa, dan jumlah, nama, jenis kelamin dan
status pengguna tanah (misalnya, penyewa, pengguna
informal).
136
117. Untuk setiap sub-proyek yang memerlukan pemukiman kembali
secara paksa dari pihak ketiga dari tanah publik, PT SMI
akan menyusun LARAP, dan menyerahkan kepada Bank untuk
disetujui sebelum pelaksanaan pengambilalihan lahan. LARAP
akan mencakup penjelasan rinci tentang perencanaan dan
pelaksanaan pemukiman kembali sesuai dengan OP 4.12. Bank
Dunia. Ruang lingkup dan tingkat rincian LARAP akan
bervariasi dengan besarnya dan kompleksitas atas
permasalahan pengambilalihan lahan dan kompensasi. Rencana
tersebut akan menunjukkan jumlah dan kepemilikan persil
yang akan diambilalih atau tunduk pada sewa atau
kenikmatan, jumlah persil tanah yang terkena dampak,
perkiraan biaya tanah dan aset lainnya yang akan dibebaskan
atau tunduk pada akuisisi, tanggung jawab untuk pelaksanaan
dan jadwal untuk pengambilalihan. Bank Dunia akan meninjau
dan memastikan kesesuaian pengambilalihan lahan dan proses
pemukiman kembali pada OP4.12.
118. Setelah LARAP diberikan izin oleh Bank, LARAP akan
diungkapkan secara lokal di lokasi proyek dan di situs web
Infoshop Bank. PT SMI akan mereview afilisiasinya dan
memastikan bahwa pelaksanaan proyek ini sepenuhnya sesuai
dengan LARAP dan memberikan pemantauan yang memadai dan
pelaporan kegiatan yang ditetapkan dalam LARAP. Sebagai
bagian dari pelaksanaan LARAP, PT SMI akan memberikan
137
laporan triwulanan mengenai kegiatan pengambilalihan lahan
kepada Bank Dunia, sebagai bagian dari laporan kemajuan
proyek secara keseluruhan. Laporan ini akan menunjukkan
jumlah dan kepemilikan tanah yang terkena dampak dan
statusnya saat ini, kemajuan negosiasi dan banding, dan
harga yang ditawarkan dan pada akhirnya dibayar (dilaporkan
sebagai jumlah meter persegi atas seluruh bidang tanah dan
ukuran area spesifik yang diambilalih, dan jumlah per meter
persegi). Pada akhir proyek dan sebagai bagian dari laporan
penyelesaian proyek, PT SMI akan memberikan Bank dengan
audit penyelesaian.
119. Bank Dunia mengawasi pelaksanaan LARAP untuk memastikan
kepatuhan dengan OP 4.12. Jika perlu, Bank Dunia dapat
menghubungi pihak yang terkena dampak untuk mengkonfirmasi
keabsahan dan menentukan apakah proses dan hasil telah
memenuhi OP/BP 4.12 atau tidak. Namun, setelah penentuan
lokasi selama tahap persiapan, setiap transaksi tanah hanya
dapat dilakukan ke BPN. Pembekuan tanah telah diterapkan
ketika penentuan lokasi efektif.
120. Berdasarkan sistem negara, entitas yang bertanggung jawab
atas kegiatan dalam tahap persiapan - termasuk proses
persetujuan LARAP – adalah PT SMI dan Pemerintah Daerah.
Setelah dokumen tersebut diajukan oleh PT SMI, Gubernur
akan membentuk Tim Persiapan untuk pengambilalihan lahan
138
proyek. Berdasarkan instruksi Gubernur, Tim akan menyiapkan
'Penetapan Lokasi' mengikuti langkah-langkah di bawah ini:
a. Pemberitahuan rencana pembangunan;
b. Identifikasi rencana pembangunan;
c. Melakukan konsultasi publik mengenai rencana
pembangunan;
d. Pengumuman 'penentuan lokasi' (Penetapan Lokasi
Pembangunan);
e. Pengungkapan Penentuan Lokasi (yang akan dicetak dan
ditempatkan di Kantor Kelurahan), dan mengumumkan di
koran/media elektronik lokal.
7.6 Tanggal Akhir dan Kriteria yang Memenuhi Syarat untuk
Pihak-Pihak yang Terdampak
121. Setiap orang yang menderita kerugian atau kerusakan tanah, aset,
bisnis atau akses ke sumber daya produktif, sebagai akibat dari
pengambilalihan lahan secara Paksa atau pemukiman kembali,
berhak untuk mendapatkan kompensasi dan/atau bantuan pemukiman
kembali. Tanggal akhir kelayakan untuk kompensasi dan/atau
bantuan pemukiman kembali adalah hari terakhir selama
sensus/inventarisasi aset. Masyarakat yang terkena dampak akan
diinformasikan mengenai tanggal akhir melalui instansi yang
bertanggung jawab, orang tua dan tokoh masyarakat. Individu atau
kelompok yang tidak hadir pada saat pendaftaran tetapi yang
memiliki klaim yang sah atas keanggotaan dalam masyarakat yang
terkena dampak dapat diakomodasi.
139
122. Berdasarkan sistem negara, tanggal akhir ditentukan selama
tahap implementasi setelah verifikasi kelayakan telah
dilakukan (Lihat Bagian 6.7). Kantor Pertanahan (BPN)
tingkat provinsi akan bertanggung jawab atas kegiatan tahap
pelaksanaan, yang memiliki kewenangan untuk mendelegasikan
ke tingkat kabupaten13. Sebelum tanggal akhir, Kantor
Pertanahan akan melakukan langkah-langkah ini:
a. Mengembangkan tim implementasi, termasuk di tingkat
lokal;
b. Persediaan, identifikasi dan pengungkapan hasil;
c. Pengajuan keberatan dan verifikasi.
7.7 Bukti Kelayakan
123. PT SIM melalui afiliasinya yang akan bertanggung jawab atas
pengambilalihan lahan akan mempertimbangkan berbagai
formulir bukti sebagai bukti kelayakan untuk orang-orang
yang terkena dampak yang tercantum dalam RPF, misalnya, hak
hukum formal, seperti sertifikat pendaftaran hak atas
tanah, surat perjanjian penyewaan rangkap dua, perjanjian
sewa-menyewa, kuitansi sewa, izin bangunan dan perencanaan,
izin operasi bisnis, dan tagihan utilitas; atau sebagai
pengganti dari dokumentasi formal, surat pernyataan yang
13 Keputusan Kepala Kantor Pertanahan 2 tahun 2.013 tentang Pendelegasian
Wewenang Hak atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.
140
ditandatangani oleh pemilik tanah dan penyewa yang
disaksikan oleh pejabat berwenang administratif. Kriteria
untuk menetapkan klaim untuk kelayakan tanpa dokumentasi
apapun akan ditentukan berdasarkan kasus per kasus.
124. Hanya orang-orang yang terkena proyek yang disebutkan
selama sensus/inventarisasi aset harus memenuhi syarat
untuk mendapatkan kompensasi atau bantuan tambahan. Setiap
struktur baru atau penambahan pada struktur yang sudah ada
yang dilakukan setelah tanggal akhir tidak akan dianggap
terpengaruh, dan pemilik atau penghuni mereka tidak akan
dapat mengklaim kompensasi atau bantuan tambahan untuk ini,
kecuali mereka dapat menunjukkan bahwa sensus/inventarisasi
aset telah gagal untuk mengidentifikasi mereka sebagai
terkena dampak.
7.8 Kebijakan Penunjukkan
125. PAP berikut akan berhak untuk menilai kompensasi,
rehabilitasi, dan dukungan pemukiman kembali:
PAP kehilangan lahan, struktur, dan akses ke aset
tersebut, dan/atau harus pindah karena kehilangan mata
pencaharian, atau akses ke sumber pendapatan atau mata
pencaharian: Mereka dengan hak hukum penggunaan tanah
dan kepemilikan akan diberikan kompensasi atas tanah,
struktur dan aset ekonomi atas tanah dengan nilai
penggantian penuh. Mereka juga akan diberikan bantuan
141
pemukiman kembali sejalan dengan persyaratan kebijakan
Bank Dunia.
PAP kehilangan hasil panen atau pohon yang memberikan
mata pencaharian atau pendapatan: PAP ini akan segera
dibayarkan secara penuh dengan nilai penggantian pohon,
berdasarkan nilai kumulatif untuk seluruh kehidupan
produktif serta nilai tanah yang kosong. Jika lahan
harus dibebaskan sebelum tanaman dipanen, pemilik juga
akan dikompensasi untuk estimasi nilai tanaman.
PAP sebagai penyewa tanah: Penyewa akan dibantu untuk
menemukan tanah alternatif untuk menyewa. Bantuan
transisi mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa mata
pencaharian penyewa 'tidak terpengaruh.
PAP yang merupakan pengguna tanah ilegal atau informal:
PAP tanpa hak hukum yang diakui atau klaim atas tanah
yang mereka tempati tidak akan diberikan kompensasi
atas tanah, tetapi hanya untuk struktur dan aset
lainnya (pohon) di tanah berdasarkan nilai penggantian.
Mereka yang menggunakan tanah secara tidak resmi untuk
tujuan pertanian atau penggembalaan akan dibantu untuk
menemukan daerah alternatif.
PAP kehilangan mata pencaharian mereka karena
pengambilalihan lahan secara Paksa: PAP ini juga berhak
atas bantuan pemukiman kembali.
142
7.9 Biaya Penggantian Secara Penuh dan Perbaikan Mata
pencaharian
126. Kebijakan perlindungan Bank Dunia mensyaratkan bahwa
kompensasi harus dibayar dengan nilai penggantian selain
bantuan transisi. Tanah diganti dengan tanah dengan nilai
dan fasilitas yang sama. Aset mata pencaharian diganti
dengan aset dari nilai yang sama. Pembagian keuntungan
dijamin melalui mekanisme dukungan tambahan bilamana
mungkin.
7.10 Negosiasi Pengambilalihan Tanah/Transaksi Secara Sukarela
127. Negosiasi pengambilalihan tanah, atau transaksi secara
sukarela, akan menjadi metode yang lebih disukai untuk
membebaskan tanah. Lokasi situs pengeboran, dan
infrastruktur pendukung seperti akses jalan, adalah
fleksibel pada suatu titik, oleh karena itu, ada beberapa
negosiasi dimana lokasi dipilih berdasarkan 'kesediaan
pemilik tanah untuk menjual atau menyewa tanah.
128. PT SMI atau afiliasinya akan menerapkan prinsip-prinsip
berikut untuk negosiasi pengambilalihan tanah/transaksi
secara sukarela untuk tahap pengeboran eksplorasi:
Konsultasi Bermakna dengan PAP, termasuk konsultasi
tanpa hak kepemilikan yang sah atas tanah dan aset;
Penawaran harga yang wajar atas tanah dan aset lainnya
sebesar biaya pengganti. Pengurangan pajak penghasilan
143
atas transaksi tanah akan dikomunikasikan secara
terbuka dengan dan disetujui oleh PAP;
Transparansi dalam negosiasi dengan PAP untuk
mengurangi risiko asimetri informasi dan kekuatan tawar
menawar para pihak. Pihak eksternal yang independen
akan terlibat untuk mendokumentasikan dan memvalidasi
proses negosiasi dan penyelesaian.
129. Berdasarkan sistem negara, pengambilalihan lahan hingga 5 ha
dapat dilakukan melalui mekanisme kesediaan pembeli –
kesediaan penjual. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Indonesia Pasal 1458 tentang Jual dan Beli merinci prinsip-
prinsip dan garis besar kewajiban dan tanggung jawab
pembeli dan penjual. Berdasarkan Undang-undang ini,
mekanisme memiliki karakter wajib, di mana hak-hak yang
melekat pada tanah atau aset yang dijual tidak secara
otomatis dialihkan kepada pembeli. Tidak seperti transaksi
tanah yang dilakukan berdasarkan hukum adat, transaksi
tersebut masih mensyaratkan pengalihan hak kepemilikan
tanah. Pendaftaran tanah merupakan prasyarat untuk
mengalihkan tanah berdasarkan negosiasi pengambilalihan
lahan atau mekanisme kesediaan penjual dan pembeli
130. Peraturan Nasional Menteri Pertanian dan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 5/2012 menetapkan prosedur
pendaftaran tanah. Peraturan ini menjelaskan persyaratan
144
proses pendaftaran tanah dan pengambilihan, dan menetapkan:
(i) langkah-langkah untuk melakukan skala dan pemetaan
koordinat tanah dan prosedur survei yang disetujui, (ii)
peraturan yang berkaitan dengan valuasi di pasar tanah,
(iii) dokumentasi yang diperlukan, (iv) publikasi resmi
atas klaim dan hak kepemilikan, (v) mekanisme keberatan,
(vi) prosedur verifikasi hak kepemilikan, dan (vii)
penerbitan sertifikat tanah.
131. ”Namun, penilaian aset yang terkena dampak berdasarkan
lingkup PPHEPB akan mengikuti prosedur seperti yang
ditentukan oleh UU 2 tahun 2012 dan peraturan pendukung, di
mana penilaian kompensasi harus dilakukan oleh "... Penilai
Independen dan Profesional yang memiliki lisensi dari
Departemen Keuangan sebagai Penilai publik dan terdaftar di
Badan Pertanahan Nasional (BPN)". Masyarakat Penilai
Indonesia (MAPPI) menerbitkan Standar Penilaian (SPI) 306,
Penilaian dalam Konteks Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
untuk Kepentingan Umum, untuk mendukung pelaksanaan UU 2
tahun 2012. Standar Penilaian 306 berbagi prinsip-prinsip
yang sama seperti Hukum, yang mendasarkan pada penentuan
jumlah kompensasi pada prinsip-prinsip "manusia, keadilan,
kemanfaatan, kepastian, transparansi, perjanjian,
partisipasi, kesejahteraan, keharmonisan dan
keberlanjutan."
145
132. Nilai Penggantian Wajar adalah nilai kepemilikan, yang sama
dengan nilai pasar properti, dengan memperhatikan unsur-
unsur seperti kerugian kepemilikan non-fisik yang timbul
dari pengambilalihan lahan. Definisi Penggantian Nilai
Wajar adalah sama dengan definisi kompensasi dalam UU 2
tahun 2012.
133. Ruang Lingkup Penilaian terdiri dari komponen fisik dan
non-fisik. Komponen fisik yang akan dikompensasi meliputi:
a) tanah; b) ruang di atas dan di bawah tanah; c) bangunan;
dan d) fasilitas dan fasilitas pendukung bangunan. Komponen
non-fisik yang akan dikompensasi meliputi:
• Hak Pelepasan pemilik tanah, akan diberikan sebagai
premi dalam istilah moneter berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang ada. Penggantian dapat mencakup
hal-hal yang berkaitan dengan: a) kehilangan pekerjaan
atau kerugian bisnis, termasuk perubahan profesi
(sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012
Pasal 33 huruf f Penjelasan); b) kerugian emosional
yang terkait dengan hilangnya tempat tinggal akibat
pengambilalihan tanah (dengan memperhatikan UU No 2
tahun 2012 Pasal 1 Ayat 10, Pasal 2 penjelasan dan
Pasal 9, ayat 2).
• Biaya transaksi, seperti biaya pemindahan dan pajak
yang terkait.
146
• Kompensasi untuk masa tunggu, yaitu, pembayaran untuk
memperhitungkan perbedaan waktu antara tanggal
penilaian dan estimasi tanggal pembayaran.
• Hilangnya nilai sisa tanah, yang dapat dihitung atas
seluruh nilai tanah jika tidak bisa lagi digunakan
sebagaimana dimaksud.
• Biaya kerusakan dan perbaikan fisik atas bangunan dan
struktur di atas tanah, jika ada, sebagai akibat dari
pengambilalihan tanah.
147
8 KERANGKA PERENCANAAN MASYARAKAT ADAT
8.1 Tujuan dan Prinsip
134. IPPF ini akan diterapkan ketika Masyarakat Adat (IP) hadir
di daerah pengaruh sub-proyek seperti yang diidentifikasi
selama proses pemeriksaan sosial dan lingkungan atau
kemudian selama ESIA. Afiliasi PT SMI bertanggung jawab
untuk melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi
persyaratan yang digariskan oleh kerangka ini.
135. Tidak ada definisi Masyarakat Adat yang diterima secara
universal. Masyarakat Adat dapat disebut di berbagai
negara dengan istilah-istilah seperti: adat etnis
minoritas, penduduk asli, suku bukit, bangsa minoritas,
suku terasing, negara pertama, atau kelompok suku
(dikenal di Indonesia sebagai Suku Terasing (Masyarakat
Adat Terisolasi) atau Kelompok Adat Terpencil (Masyarakat
Hukum Adat)).
136. Istilah "Masyarakat Adat" digunakan dalam arti umum untuk
merujuk kepada suatu kelompok sosial dan budaya yang
berbeda yang memiliki karakteristik berikut dalam tingkatan
yang berbeda:
• Identifikasi diri sebagai anggota kelompok budaya asli
yang berbeda dan pengakuan identitas ini oleh orang
lain;
148
• Keterikatan kolektif terhahadap habitat yang berbeda
secara geografis atau wilayah leluhur di wilayah proyek
dan/atau sumber daya alam di dalam habitat dan wilayah;
• Budaya adat, ekonomi, sosial, atau lembaga politik adat
yang terpisah dari mereka yang mendominasi masyarakat
atau budaya;
• Bahasa asli, sering berbeda dari bahasa resmi negara
atau wilayah.
Memastikan apakah kelompok tertentu menganggap sebagai
Masyarakat Adat untuk tujuan yang mungkin memerlukan
penilaian teknis.
8.2 Peraturan perundang-undangan Indonesia berkaitan dengan
Perlindungan Masyarakat Adat
137. Ketika IP hadir dan terkena proyek, proyek harus memberikan
manfaat kepada dan perlu untuk mengelola dampak buruk pada
IP14. Kebijakan nasional Indonesia tentang Masyarakat Adat
meliputi: (1) Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 111/1999
tentang Pengembangan Masyarakat Adat Terisolasi (KAT), yang
memberikan definisi yang luas dari Masyarakat Adat dan
perlunya bantuan pemerintah; dan (2) Undang-Undang Nomor
14 Identifikasi IP berikut kriteria Bank (ayat 137). Identifikasi IP juga akan
memenuhi kriteria "Masyarakat Hukum Adat" -MHA- dirangkum dari Peraturan
Indonesia dan nilai-nilai setempat, serta informasi tambahan yang dikumpulkan
dari masing-masing kota.
149
41/1999 tentang UU Kehutanan yang mendefinisikan hutan
adat.15
138. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan IP
adalah: UUD 1945 (Amandemen) Bab 18 Ayat #2 dan Bab 281 Ayat #3.
Keberadaan masyarakat adat diakui dalam Konstitusi Pasal 18 dan
Nota Penjelasan nya. Ini menyatakan bahwa dalam mengatur wilayah
pemerintahan sendiri dan masyarakat adat, pemerintah perlu
menghormati hak-hak leluhur wilayah mereka. Setelah amandemen,
pengakuan atas keberadaan masyarakat adat diberikan dalam Pasal
18 B Ayat 2 (tentang "masyarakat hukum adat" dan pemerintah
daerah) dan Pasal 28 I Ayat 3 ("masyarakat tradisional" dan Hak
Asasi Manusia).
139. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (atau UU Dasar Agraria/UUPA). Pasal 2
Ayat 4, Pasal 3, dan Pasal 5 mengatur prinsip-prinsip umum
yang mengakomodasi pengakuan masyarakat adat, hak tanah
ulayat, dan hukum adat. Dalam perkembangan selanjutnya,
UUPA mengenai pengakuan hukum adat terkait dengan
"kepentingan nasional".
15 Salah satu perubahan mendasar terkait dengan Masyarakat Adat adalah
penerbitan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang mengubah
Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang kini telah menjadi
"hutan adat adalah hutan yang terletak di dalam wilayah masyarakat adat".
Sebelumnya, ada kata-kata "negara" dalam pasal tersebut. Dengan penghapusan
kata "negara" dari definisi tersebut, sekarang dipahami bahwa hutan adat kini
tidak lagi hutan Negara.
150
140. UU Kehutanan (UU No. 5 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999). UU ini membagi kawasan hutan menjadi dua
kategori: hutan negara dan hutan milik. Hutan negara adalah
hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak tercakup oleh
hak kepemilikan. Kategori hutan negara juga mencakup hutan
ulayat, atau hutan adat. Hutan milik adalah hutan yang
tumbuh di tanah yang tercakup oleh hak kepemilikan. Dengan
memasukkan hutan ulayat sebagai hutan negara, UU
mengabaikan hak ulayat masyarakat adat atas wilayah hutan
mereka.
141. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan
bahwa ambiguitas utama dalam Pasal 1 Undang-Undang
Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 dan secara resmi diakui bahwa
hutan adat adalah hutan negara yang terletak di wilayah
masyarakat adat. Pasal 5 dari UU yang sama direvisi untuk
memberikan mandat bahwa kategori hutan negara tidak
mencakup hutan adat. Putusan itu dibuat demi sebuah
permohonan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat
National di Indonesia, atau Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) pada bulan Maret 2012.16
16 Pada tahun 1999, kongres masyarakat adat Indonesia berlangsung, yang
dihadiri oleh lebih dari 200 perwakilan masyarakat adat dari 121 masyarakat
adat. Kongres menyepakati untuk membentuk aliansi nasional masyarakat adat,
AMAN. Pada tahun 2001, AMAN memiliki 24 organisasi afiliasinya di pulau-pulau
151
142. Peraturan Menteri Dalam Negeri (Depdagri) Nomor 52 Tahun
2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat
Adat, dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah daerah
mengenai masyarakat adat. Bupati/Walikota dapat membentuk
komite Masyarakat Adat di kabupaten/kota, yang berfungsi
untuk mengidentifikasi, memverifikasi dan memvalidasi
Masyarakat Adat. Hasil verifikasi dan validasi, kemudian
diserahkan kepada kepala daerah. Bupati/Walikota dapat
menerbitkan keputusan tentang pengakuan dan perlindungan
Masyarakat Adat berdasarkan rekomendasi komite.
143. Peraturan Menteri Kehutanan (Dephut) No. P.62/Menhut-
II/2013 (penyesuaian atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.44/2012) tentang Pembentukan Kawasan Hutan. Peraturan
Menteri Keuangan ini dikritik oleh AMAN karena menyamakan
kawasan hutan dengan hutan negara, yang mereka dianggap
bertentangan dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012.
144. Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri (Depdagri), Menteri
Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Badan Pertanahan
Nasional Nomor 79/2014; No: PB.3/Menhut-11/2014; No:
17/PRT/m/2014: No: 8/SKB/X/2014 tentang Tata Cara untuk
dan provinsi. AMAN memiliki beberapa tujuan, termasuk pemulihan kedaulatan
kepada masyarakat adat atas hukum sosial ekonomi dan kehidupan budaya, dan
kontrol atas tanah dan sumber daya alam dan mata pencaharian lainnya.
152
Menyelesaikan Konflik Pemilikan Tanah di Kawasan Hutan.
Peraturan ini mengakui bahwa ada hak-hak lain seperti hak
adat atas tanah hutan.
145. Peraturan Menteri Badan Pertanahan dan Pembangunan Tata
Ruang Nomor 9/2015 tentang Tata Cara Membangun Hak Tanah
Komunal di Tanah MHA dan Hidup Masyarakat di Daerah Khusus.
Peraturan ini mengatur hak komunal tidak hanya Masyarakat
Hukum Adat, tetapi juga kelompok orang yang berada dan
menggantungkan hidup di lahan yang sama. Masyarakat Hukum
Adat adalah sebuah komunitas terikat oleh hukum adat, baik
genealogis (nenek moyang) dan teritorial (kediaman yang
sama). Komunitas ini memiliki ikatan sosial-budaya dengan
tanah dan sumber daya untuk waktu yang lama. Sedangkan
"orang di daerah tertentu" adalah orang-orang yang
menguasai tanah selama setidaknya 10 tahun, yang bergantung
pada hasil hutan dan sumber daya alam, dan yang kegiatan
sosial-ekonomi yang ada terkait erat dengan daerah. Hak
komunal dibahas dalam Peraturan No. 9/2015 yang
kontroversial, karena mereka tidak membedakan sumber
legitimasi hak tanah komunal antara yang berdasarkan
keanggotaan untuk Masyarakat Hukum Adat versus penggunaan
lahan dan kepemilikan daerah dengan orang lain yang bukan
milik dari Komunitas selama jangka waktu yang diperpanjang.
Sebagai akibatnya, Peraturan ini telah mengangkat
153
permasalahan hukum, yaitu persaingan klaim antara kedua
kelompok ini.
146. Undang-Undang Nomor 6/2014 mengakui keberadaan Desa Adat.
Pemerintah daerah diberdayakan untuk mengevaluasi batas
wilayah suatu Masyarakat Hukum Adat dan menunjuk Desa Adat
melalui peraturan daerah. Tiga kriteria yang harus
dipenuhi: 1) adat dan hak-hak Masyarakat Hukum Adat
tradisional terus dilakukan dan dipertahankan oleh anggota
kelompok, 2) pelestarian atas Desa Adat dengan semua adat
dan hak-hak sesuai dengan perkembangan masyarakat, dan 3)
tujuannya adalah sejalan dengan prinsip-prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
8.3 Kebijakan Bank Dunia OP4. 10 tentang Masyarakat Adat
147. Kebijakan OP 4.10 Bank Dunia tentang Masyarakat Adat
mengakui bahwa Masyarakat Adat mungkin terkena berbagai
jenis risiko dan dampak dari proyek-proyek pembangunan.
Kebijakan ini mengharuskan proyek mengidentifikasi apakah
Masyarakat Adat terkena dampak proyek, dan secara tepat,
untuk melakukan kegiatan konsultasi khusus, dan
menghindari atau mengurangi dampak dari kelompok-kelompok
yang rentan. Lokasi kunjungan untuk mengkonfirmasi
kehadiran IP akan dilakukan sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan dalam IPPF ini.
154
8.4 Persyaratan Umum
8.4.1 Penghindaran atas Dampak yang Merugikan
148. Afiliasi PT SMI akan mengidentifikasi, melalui pemeriksaan
sosial dan lingkungan dan ESIA, komunitas Masyarakat Adat
yang mungkin ada di daerah pengaruh sub-proyek, serta
sifat dan tingkat kekayaan budaya sosial dan fisik yang
diharapkan, dampak lingkungan serta potensi manfaat kepada
mereka. PT SMI akan menghindari dampak merugikan apabila
dimungkinkan.
149. Ketika penghindaran tidak dimungkinkan, afiliasi PT SMI
akan meminimalkan, mengurangi atau mengkompensasi dampak
ini dengan cara yang sesuai dengan budaya. Tindakan yang
diusulkan akan dikembangkan dengan partisipasi informasi
dari Masyarakat Adat yang terkena dampak dan termasuk
dalam Rencana Pembangunan Masyarakat Adat (IPP) yang
terikat waktu, atau rencana pengembangan masyarakat yang
lebih luas, tergantung pada sifat dan skala dampak.
8.4.2 Pengungkapan Informasi, Konsultasi dan Partisipasi yang
Terinformasi
150. Afiliasi PT SMI akan membentuk hubungan yang berkelanjutan
dengan masyarakat adat yang terkena dampak sedini mungkin
dalam perencanaan sub-proyek dan sepanjang jangka waktu
sub-proyek. Dalam sub-proyek dengan akibat buruk pada
masyarakat adat yang terkena dampak, proses konsultasi akan
155
memastikan konsultasi mereka bebas, dilakukan dan
diinformasikan sebelumnya, (FPIC) dan memfasilitasi
partisipasi informasi mereka pada hal-hal yang mempengaruhi
mereka secara langsung, seperti langkah-langkah mitigasi
dampak yang diusulkan, berbagi manfaat dan peluang
pembangunan, dan isu-isu implementasi. Proses keterlibatan
masyarakat harus sesuai secara budaya dan sejalan dengan
potensi risiko dan dampak terhadap masyarakat adat. Secara
khusus, proses akan mencakup langkah-langkah berikut:
a. Libatkan badan perwakilan Masyarakat Adat (misalnya,
antara lain dewan tetua atau dewan desa);
b. Bersifat inklusif terhadap keduanya baik perempuan
maupun laki-laki dan dari berbagai kelompok umur yang
berbeda dengan cara yang sesuai budaya;
c. Menyediakan waktu yang cukup untuk proses pengambilan
keputusan kolektif IP ';
d. Memfasilitasi ekspresi IP atas pandangan mereka,
kepedulian, dan proposal dalam bahasa pilihan mereka,
tanpa manipulasi eksternal, gangguan, atau paksaan, dan
tanpa intimidasi;
e. Pastikan bahwa mekanisme pengaduan yang ditetapkan
untuk proyek ini adalah budaya yang tepat dan dapat
diakses untuk masyarakat adat; dan
156
f. Pastikan bahwa IPP tersedia untuk masyarakat adat yang
terkena dampak dalam bentuk, cara dan bahasa yang
tepat.
8.4.3 Manfaat Pembangunan
151. Melalui proses FPIC dan partisipasi informasi dari
masyarakat adat yang terkena dampak, afiliasi PT SMI akan
mengidentifikasi peluang untuk manfaat pembangunan budaya
yang sesuai. Kesempatan tersebut harus sepadan dengan
tingkat dampak proyek, yang bertujuan untuk meningkatkan
standar hidup mereka dan mata pencaharian dengan cara yang
sesuai dengan budaya, dan untuk mendorong keberlanjutan
jangka panjang dari sumber daya alam dimana mereka
bergantung. PT SMI akan mendokumentasikan manfaat
pembangunan dan menyediakannya secara cepat dan tepat.
8.5 Persyaratan Khusus
152. Karena Masyarakat Adat mungkin sangat rentan dengan keadaan
proyek, persyaratan yang tepat akan diperlukan seperti yang
dijelaskan di bawah ini. Ketika salah satu dari kasus-kasus
khusus berlaku, afiliasi PT SMI akan mempekerjakan dengan
melibatkan ahli eksternal yang berkualitas untuk membantu
dalam melakukan Penilaian Sosial dan memastikan inklusi
yang memadai mereka di IPP atau Rencana Pengembangan
Masyarakat.
157
8.5.1 Dampak atas Tanah Tradisional atau Tanah Adat Berdasarkan
Penggunaan
153. Masyarakat Adat sering dikaitkan dengan tanah adat mereka,
serta sumber daya alam dan budaya atas tanah. Sementara
tanah mungkin tidak berada di bawah kepemilikan 'hukum'
sesuai dengan hukum nasional, penggunaan lahan, termasuk
penggunaan musiman atau siklus, oleh masyarakat adat untuk
mata pencaharian mereka, atau tujuan budaya, upacara, atau
spiritual yang menentukan identitas dan komunitas mereka,
dapat dibuktikan dan harus sepatutnya didokumentasikan.
154. Jika lokasi sub-proyek diputuskan untuk berada di tanah
tradisional atau adat, dan dampak yang merugikan diharapkan
pada mata pencaharian, atau penggunaan budaya, upacara,
atau spiritual yang menentukan identitas dan komunitas
Masyarakat Adat, afiliasi PT SMI akan menghormati
penggunaannya dengan mengambil langkah-langkah berikut:
a. afiliasi PT SMI mendokumentasikan upaya untuk
menghindari atau setidaknya meminimalkan jejak proyek
yang diusulkan;
b. Para ahli harus dilibatkan untuk mendokumentasikan
penggunaan lahan bekerjasama dengan masyarakat adat
yang terkena dampak tanpa mengurangi klaim tanah
mereka;
158
c. Komunitas masyarakat adat yang terkena dampak
diberitahukan tentang hak-hak mereka sehubungan dengan
tanah mereka berdasarkan hukum nasional, khususnya
mengakui hak-hak adat atau penggunaan;
d. afiliasi PT SMI menawarkan kompensasi yang adil untuk
komunitas Masyarakat Adat yang terkena dampak dan
proses yang tepat yang sama dengan orang-orang dengan
kepemilikan tanah secara legal penuh, serta peluang
pengembangan yang sesuai dengan budaya (seperti
mekanisme pembagian keuntungan); dan/atau berbasis
lahan dan/atau dalam bentuk kompensasi sebagai
pengganti kompensasi tunai jika memungkinkan;
e. afiliasi PT SMI mengadakan negosiasi dengan itikad baik
dengan komunitas masyarakat adat yang terkena dampak,
dan mendokumentasikan informasi partisipasi dan hasil
dari negosiasi.
8.5.2 Relokasi Masyarakat Adat dari Tanah Tradisional atau
Tanah Adat
155. Afiliasi PT SMI akan mempertimbangkan rancangan proyek
alternatif untuk menghindari relokasi Masyarakat Adat dari
tanah tradisional atau adat yang dimiliki mereka secara
komunal. Jika relokasi tersebut tidak dapat dihindari,
proyek tidak akan dilanjutkan, kecuali afiiasi mengadakan
negosiasi dengan itikad baik dengan komunitas masyarakat
159
adat yang terkena dampak, dan mendokumentasikan partisipasi
informasi mereka dan hasil yang sukses dari negosiasi.
Setiap relokasi Masyarakat Adat harus konsisten dengan
kebijakan perlindungan Bank Dunia OP. 4.12 Tentang
Pemukiman Kembali secara Paksa. Apabila memungkinkan,
Masyarakat Adat yang direlokasi harus dapat kembali ke
tanah tradisional atau adat mereka, jika alasan untuk
relokasi mereka tidak ada lagi.
8.5.3 Sumber daya Budaya
156. Jika proyek mengusulkan untuk menggunakan sumber daya
budaya, pengetahuan, atau praktik Masyarakat Adat untuk
tujuan komersial, PT SMI akan memberitahu mereka tentang:
(i) hak-hak mereka berdasarkan hukum nasional; (Ii) ruang
lingkup dan sifat pembangunan komersial yang diajukan; dan
(iii) konsekuensi potensial dari pembangunan tersebut. PT
SMI tidak akan melanjutkan komersialisasi tersebut kecuali:
(i) mengadakan negosiasi dengan itikad baik dengan
komunitas masyarakat adat yang terkena dampak; (Ii)
mendokumentasikan partisipasi informasi mereka dan hasil
yang sukses dari negosiasi; dan (iii) menyediakan untuk
pembagian yang adil dan merata atas keuntungan dari
komersialisasi pengetahuan atau praktik yang sesuai dengan
kebiasaan dan tradisi mereka. Namun, hasil PPHEPB seperti
ini kecil kemungkinan terjadi.
160
161
9 KONSULTASI DAN PENGUNGKAPAN
9.1 Konsultasi Kerangka Perlindungan
157. ESMF tunduk pada konsultasi publik sebelum finalisasi.
Lembaga pemangku kepentingan pokok, seperti Kementerian
Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
pemerintah daerah, LSM, sektor swasta, akademisi,
media/pers, dll. akan diundang untuk mengadakan lokakarya
konsultasi yang diselenggarakan di Jakarta. Konsultasi akan
dibagi menjadi dua hari; hari pertama adalah untuk badan-
badan pemerintah, sektor swasta dan media; dan hari kedua
untuk LSM dan universitas.
158. Dokumen kerangka akan dibagi terlebih dahulu dengan
perwakilan dari lembaga-lembaga untuk memungkinkan masukan
konstruktif yang akan diberikan di lokakarya. Diskusi akan
berfokus pada kemudahan penggunaan dan pelaksanaan ESMF,
kecukupan mekanisme mitigasi perlindungan, dan kebutuhan
pelatihan bagi para pemangku kepentingan. Setelah
konsultasi, masukan pemangku kepentingan akan dicatat dan
dipertimbangkan sepatutnya untuk finalisasi ESMF. ESMF
final akan diungkapkan kepada publik di situs web PT SMI
dan Infoshop Bank Dunia.
162
9.2 Pedoman Praktik yang Baik tentang Konsultasi Penasihat
Teknik
159. Konsultan akan dilibatkan untuk menyusun pedoman praktik
yang baik, yang akan memerlukan analisis pemangku
kepentingan. Para konsultan akan terlibat dengan para
pemangku kepentingan utama sepanjang roses pengumpulan dan
berbagi informasi. Lembaga pemangku kepentingan kunci
termasuk Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (EBTKE), Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Badan Geologi, LSM, sektor swasta, lembaga
donor dan universitas. Rancangan dokumen pedoman akan
dibagi dengan perwakilan dari lembaga-lembaga, dan
diungkapkan di situs web PT SMI untuk diberikan komentar
dari publik yang lebih luas. Lokakarya akan diselenggarakan
untuk membahas isu-isu penting dan membantu finalisasi
dokumen.
9.3 Keterlibatan dan Konsultasi Pemangku Kepentingan atas Sub
Proyek Panas Bumi
160. Divisi Perlindungan Lingkungan dan Sosial di bawah
Direktorat Manajemen Risiko PT SMI (ESSBCM-Perlindungan
Lingkungan dan Sosial serta Pengelolaan Bisnis
Berkelanjutan) akan memimpin penyusunan ESIA, RPLS, LARAP
atau IPP. Dalam penyusunan TOR untuk pekerjaan ini, akan
memberikan kegiatan konsultasi kepada para pemangku
163
kepentingan secara rinci yang akan dilakukan oleh (para)
konsultan. PT SMI akan memimpin konsultasi publik dengan
dukungan dari konsultan dan pemerintah daerah. PT SMI akan
memastikan bahwa PT SMI memiliki dukungan yang diperlukan
untuk melaksanakan konsultasi, serta pembeli setempat dan
dukungan untuk rencana, yang disusun untuk mengurangi
dampak proyek.
9.3.1 Identifikasi Para pemangku kepentingan
161. PT SMI akan mengidentifikasi dan menyusun daftar pemangku
kepentingan lebih awal dalam kelayakan proyek dan pada
tahap pemeriksaan dasar, yang akan dikembangkan lebih
lanjut melalui tahap pemeriksaan secara rinci. Konsultan
pelindung akan diminta untuk melakukan analisis para
pemangku kepentingan sebelum proses konsultasi. Pemangku
kepentingan akan bervariasi tergantung pada lokasi sub-
proyek, namun diharapkan untuk menyertakan: masyarakat tuan
rumah, pemilik tanah dan pengguna, LSM lingkungan dan
sosial, lembaga pemerintah daerah, pemegang/pemilik konsesi
kehutanan, departemen kehutanan, departemen konservasi,
universitas dan organisasi peneliti lainnya dan pemilik
bisnis. Analisis pemangku kepentingan harus: a)
mengidentifikasi individu dan kelompok yang memiliki
kepentingan dalam proyek tersebut dan mereka yang
diharapkan akan terkena dampak proyek, b) mengidentifikasi
164
ahli dan informan kunci, c) menentukan perangkat komunikasi
yang sesuai.
9.3.2 Prinsip-prinsip Konsultasi
162. Prinsip-prinsip konsultasi adalah:
a. Memberikan informasi yang jelas, faktual dan akurat
secara transparan secara terus-menerus kepada pemangku
kepentingan masyarakat melalui konsultasi bebas yang,
diinformasikan terlebih dahulu;
b. Mendengarkan dan belajar tentang budaya dan kearifan
lokal dan sosial;
c. Memberikan kesempatan bagi para pemangku kepentingan
masyarakat untuk mengangkat isu-isu, memberikan saran
dan menyuarakan kepedulian dan harapan terkait Proyek
tersebut;
d. Terlibat dengan perempuan, laki-laki, tua, muda dan
anggota masyarakat yang rentan, serta orang-orang yang
mempunyai wewenang dan kekuasaan;
e. Menyediakan masukan kepada para pemangku kepentingan
tentang bagaimana kontribusi mereka telah
dipertimbangkan dalam pengembangan penilaian dan
perencanaan yang relevan;
f. Membangun kapasitas antara para pemangku kepentingan
masyarakat untuk menafsirkan informasi yang diberikan
kepada mereka;
165
g. Memperlakukan semua pemangku kepentingan dengan hormat,
dan memastikan bahwa semua personil proyek dan
kontraktor dalam berkomunikasi dengan para pemangku
kepentingan masyarakat melakukan hal serupa;
h. Menanggapi isu dan permintaan perizinan; dan
i. Membangun hubungan yang konstruktif dengan pemangku
kepentingan masyarakat yang diketahui memiliki pengaruh
melalui komunikasi yang sesuai.
9.3.3 Rencana Konsultasi
163. Konsultasi akan terjadi setidaknya dua kali: pertama selama
persiapan ESIA dan pengumpulan data dasar, dan lainnya
selama presentasi draft ESIA dan EMP. Konsultasi yang lebih
mungkin diperlukan jika terdapat masyarakat adat di wilayah
proyek, orang rentan di antara komunitas tuan rumah,
reseptor lingkungan sensitif dan dampak signifikan yang
membutuhkan komunikasi awal dan berkelanjutan dengan para
pemangku kepentingan. Konsultasi khusus dengan orang yang
terkena dampak pengambilalihan lahan dan pemukiman kembali
secara paksa, dan dengan komunitas Masyarakat Adat, harus
direncanakan sebagai tambahan terhadap konsultasi proyek
secara umum.
164. Konsultan pelindung akan menyusun rencana konsultasi
tertentu untuk setiap sub-proyek. Ini akan mencakup metode
dan prosedur sebagai berikut:
166
Analisis pemangku kepentingan – siapa yang akan
dikonsultasikan, bagaimana, kapan, oleh siapa, seberapa
sering;
Bagaimana perempuan dan anggota masyarakat yang rentan
akan dikonsultasikan;
Peran dan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan,
melakukan dan menindaklanjuti konsultasi (PT SMI,
Konsultan Pengelolaan Eksplorasi (KPE), konsultan
pelindung, dan pemerintah daerah);
komunikasi publik (lihat di bawah) termasuk bagaimana
masyarakat dapat berhubungan dengan PT SMI;
Rencana Pengungkapan - apa yang akan diungkapkan,
kapan, dan bagaimana;
Bagaimana umpan balik akan dikelola;
Daftar bahan dan alat yang akan digunakan.
9.4 Perangkat Konsultasi Publik
165. Komunikasi selama pengembangan sub-proyek akan melibatkan
mencari dan menyampaikan informasi, dan mencapai
kesepakatan melalui dialog. Tabel berikut merangkum
beberapa teknik yang paling umum yang digunakan untuk
menyampaikan informasi kepada masyarakat dan masing-masing
keunggulan dan kerugian. Konsultan pelindung dapat
167
menggunakan teknik ini dalam mengembangkan Rencana
Konsultasi.
Tabel 5 Teknik untuk menyampaikan informasi kepada publik
Technique Key points Advantages Disadvantages
Materi
yang
dicetak
Buletin informasi,
brosur, laporan:
Teks harus sederhana
dan non-teknis dan
relevan untuk
pembaca
Memberikan petunjuk
yang jelas tentang
cara untuk
mendapatkan
informasi lebih
lanjut
Langsung
Dapat
menyampaikan
informasi
secara rinci
Biaya-efektif
Menghasilkan
catatan
komunikasi
permanen
Menuntut
keterampilan
dan sumber daya
khusus
Tidak efektif
untuk para
pemangku
kepentingan
yang buta huruf
Tampilan
dan
lampiran-
lampiran
Dapat melayani baik
untuk
menginformasikan dan
untuk mengumpulkan
komentar
Harus ditempatkan di
mana kelompok
Dapat mencapai
pihak yang
sebelumnya
tidak diketahui
tuntutan
minimal
masyarakat
Biaya persiapan
dan staf
Tidak Cukup
tanpa teknik
pendukung
168
Technique Key points Advantages Disadvantages
sasaran berkumpul
atau berlalu secara
berkala
Media
cetak
Koran, siaran pers,
dan konferensi pers
semua dapat
menyebarkan sejumlah
besar dan berbagai
informasi
Mengidentifikasi
koran yang mungkin
akan tertarik dalam
proyek dan untuk
mencapai target
audiens
Menawarkan
cakupan
nasional dan
lokal
Dapat mencapai
banyak orang
dewasa yang
terpelajar
Dapat
memberikan
informasi
secara rinci
Kehilangan
kontrol
kehadiran
Hubungan dengan
media yang
banyak tuntutan
Tidak termasuk
buta huruf dan
miskin
Media
elektronik
Radio, internet,
media sosial, dan
video: Menentukan
cakupan (media
sosial, internet,
atau radio), jenis
viewer; objektivitas
Dapat dianggap
otoritatif
Banyak orang
memiliki akses
ke radio dan
ponsel
Media sosial
Merugikan
mereka yang
tidak memiliki
ponsel /akses
internet
169
Technique Key points Advantages Disadvantages
yang dirasakan, dan
jenis siaran yang
ditawarkan.
Menentukan bagaimana
menyebarkan alamat
tagar / web media
sosial dll. kepada
audiens.
murah
Iklan
Berguna untuk
mengumumkan
pertemuan publik
atau kegiatan
lainnya
Efektivitas
tergantung pada
persiapan yang baik
dan penargetan
Mendapatkan
kembali kontrol
kehadiran
Dapat
menimbulkan
kecurigaan
Sesi
informasi
formal
Target pengarahan:
Bisa diatur oleh
sponsor proyek atau
sesuai permintaan,
untuk kelompok
Berguna untuk
kelompok dengan
masalah
tertentu
Dapat
meningkatkan
harapan yang
tidak realistis
170
Technique Key points Advantages Disadvantages
masyarakat tertentu,
LSM dll.
Memungkinkan
diskusi rinci
tentang isu-isu
tertentu
Sesi
informasi
informal
Open House,
Kunjungan Lokasi,
dan Kantor Proyek:
Audiens yang dipilih
dapat memperoleh
informasi dari
tangan pertama atau
berinteraksi dengan
staf proyek.
Kunjungan harus
didukung dengan
materi tertulis yang
lebih rinci atau
briefing atau
konsultasi tambahan.
Memberikan
informasi
secara rinci
Berguna untuk
membandingkan
alternatif
Segera dan
langsung
Berguna ketika
proyek kompleks
keprihatinan
lokal
dikomunikasikan
kepada staf
Dapat membantu
mencapai para
pemangku
kepentingans
Kehadiran sulit
untuk
diprediksi,
menimbulkan
nilai
pembangunan
konsensus yang
terbatas
Dapat menuntut
perencanaan
yang cukup
kantor proyek
mungkin mahal
untuk
dioperasikan
dapat mahal
untuk
beroperasi
171
Technique Key points Advantages Disadvantages
bukan penduduk Hanya mencapai
sekelompok
kecil orang
Sumber: buku Sumber Penilaian Lingkungan Hidup Bank Dunia,
Nomor 26
Tabel 6 Teknik untuk mendengar publik
Technique Key points Advantages Disadvantages
Teknik survei
Wawancara, survei
formal, jajak
pendapat dan
kuesioner dengan
cepat dapat
menunjukkan siapa
yang tertarik dan
mengapa
Mungkin
terstruktur
(menggunakan
kuesioner tetap)
atau non-
terstruktur
pewawancara
Menunjukkan
bagaimana
kelompok ingin
terlibat
Memungkinkan
komunikasi
langsung dengan
masyarakat
Membantu
mengakses
pandangan
mayoritas
Kurang rentan
terhadap
pengaruh
Wawancara
yang lemah
akan kontra
produktif
Biaya tinggi
Membutuhkan
spesialis
untuk
menyampaikan
dan
menganalisis
Pertukaran
antara
keterbukaan
dan validitas
172
Technique Key points Advantages Disadvantages
berpengalaman atau
surveyor yang
terbiasa dengan
proyek yang harus
digunakan
Pra pengujian
pertanyaan
pertanyaan-
pertanyaan
pembuka-penutup
merupakan yang
terbaik
kelompok vokal
Mengidentifikasi
kepedulian
terkait dengan
kelompok sosial
Hasil perwakilan
statistik
Dapat menjangkau
orang-orang yang
tidak dalam
kelompok
terorganisir
statistik
Pertemuan
kecil
seminar umum, atau
kelompok fokus
menciptakan
pertukaran
informasi formal
antara sponsor dan
masyarakat; dapat
terdiri dari
individu-individu
yang dipilih
Memungkinkan
diskusi rinci
dan terfokus
Dapat bertukar
informasi dan
argumen
Cepat, pemantau
berbiaya rendah
untuk mengetahui
keinginan
Kompleks
untuk diatur
dan
dijalankan
Dapat
dialihkan
oleh
kelompok-
kelompok
173
Technique Key points Advantages Disadvantages
secara acak atau
anggota kelompok
sasaran; ahli
dapat diundang
untuk bertindak
sebagai nara
sumber.
masyarakat Suatu
cara untuk
menjangkau
kelompok
marjinal
minat khusus
Tidak
objektif atau
valid secara
statistik
Mungkin
terlalu
dipengaruhi
oleh
moderator
Pertemuan
besar
Pertemuan-
pertemuan publik
memungkinkan
masyarakat untuk
merespon langsung
pada presentasi
formal oleh
sponsor proyek.
Pertemuan yang
efektif
membutuhkan ketua
Berguna untuk
audiens tingkat
menengah
Memungkinkan
tanggapan
langsung dan
umpan balik
Memperkenalkan
kelompok
kepentingan yang
berbeda
Tidak cocok
untuk diskusi
rinci
Tidak pas
untuk
membangun
konsensus
Dapat
dialihkan
oleh
kelompok-
174
Technique Key points Advantages Disadvantages
yang kuat, agenda
yang jelas, dan
presenter atau
narasumber yang
baik.
kelompok
minat khusus
Kehadiran
sulit untuk
diprediksi
Masyarakat
penyelenggara/
pendukung
Pekerjaan ini erat
dengan kelompok
yang dipilih untuk
memfasilitasi
kontak informal,
mengunjungi rumah-
rumah atau tempat
kerja, atau hanya
tersedia untuk
umum.
Memobilisasi
kelompok yang
sulit dijangkau.
Potensi
konflik
antara
pengusaha dan
klien
Waktu yang
dibutuhkan
untuk
mendapatkan
umpan balik
Sumber: buku Sumber Penilaian Lingkungan Hidup Bank Dunia,
Nomor 26
175
10 PENGATURAN KELEMBAGAAN DAN PEMBANGUNAN KAPASITAS
166. Keberhasilan pelaksanaan ESMF, RPF dan IPPF tergantung pada
para pemangku kepentingan proyek. Bab ini memberikan
gambaran tentang pengaturan kelembagaan dari PPHEPB ini,
dan tanggung jawab masing-masing para pemangku kepentingan
untuk mengoperasikan instrumen perlindungan. Ini juga
mengatur analisis kapasitas PT SMI sebagai Badan Pelaksana
dengan tanggung jawab perlindungan utama dan rencana
pembangunan kapasitas.
10.1 Peran dan Tanggung Jawab Kelembagaan
Gambar 2 Kerangka Kelembagaan PPHEPB
176
Tabel 4 Peran dan Tanggung Jawab Perlindungan
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
Manajemen
PT SMI
Menyediakan sumber daya yang cukup (staf dan
anggaran) untuk staf dan konsultan PT SMI dalam
menjalankan peran dan tanggung jawab mereka
PT SMI –
Unit
Pengelolaan
Proyek
dengan KPE
Keterlibatan staf dengan keahlian pengawasan
perlindungan untuk memastikan pengawasan yang
memadai dan kepatuhan penuh pada semua dokumen
perlindungan.
Integrasi laporan pemeriksaan perlindungan dan
temuan-temuan ke dalam desain proyek dan
spesifikasi.
Memastikan bahwa desain teknisi yang berkualitas
merancang dan memberikan spesifikasi untuk kolam
penyimpanan, dan konstruksi kolam, manajemen dan
dekomisioning diawasi dan dipantau.
Integrasi RPLS, UKL/UPL, LARAP dan IPP ke dalam
desain proyek, spesifikasi, dokumen tender, dokumen
kontrak untuk kontraktor.
Menyediakan anggaran yang memadai dan kerangka
waktu untuk pengawasan perlindungan dan pelaksanaan
selama pengeboran.
Pengawasan ESMP kontraktor, manajemen kepatuhan,
177
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
manajemen ketidaksesuaian, dan penerbitan hukuman
sehari-hari, dengan laporan kepada PT SMI Divisi
ESS&BCM.
Membantu PT SMI Divisi ESS&BCM untuk menyelidiki
insiden dan keluhan, dan menyelesaikan masalah.
Memberikan pelatihan kepada kontraktor yang
diperlukan mengenai hal-hal teknis untuk mitigasi
dampak lingkungan dan sosial (misalnya kontrol
sedimen dan erosi).
Mengintegrasikan penilaian perlindungan dan output
ke dalam penilaian kelayakan untuk tender
pembangunan prospek panas bumi.
PT SMI
Divisi
ESS&BCM
Mengelola perlindungan melalui rencana pengelolaan,
melacak sumber, tugas, jangka waktu dll untuk
setiap sub-proyek.
Checklist pemeriksaan dasar untuk setiap sub-proyek
eksplorasi panas bumi.
Checklist pemeriksaan secara rinci, termasuk
pengelolaan output konsultan ', untuk masing-masing
sub-proyek eksplorasi panas bumi.
Mengawasi dan memberikan laporan pemeriksaan untuk
BG, PT SMI dan KPE.
178
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
Menyusun TOR untuk instrumen perlindungan sub-
proyek, anggaran estimasi dan mengelola pengadaan
perlindungan konsultan.
Mengelola penyusunan instrumen oleh konsultan,
meninjau rancangan instrumen perlindungan dan
memberikan komentar. Instrumen perlindungan yang
jelas untuk proses pengungkapan dan persetujuan.
Memimpin konsultasi sub-proyek, dalam kemitraan
dengan konsultan perlindungan dan pemerintah
daerah.
Mereview TOR untuk TA untuk dimasukkan pada aspek
perlindungan.
Mereview laporan TA, khususnya Materi Pedoman
Praktik yang Baik, untuk perlakuan yang tepat dari
perlindungan.
Mereview rancangan laporan kelayakan dan Laporan
Kapasitas Sumber Daya yang Tersirat dan memberikan
komentar.
Mereview rancangan spesifikasi teknis, dokumen
penawaran, kontrak kontraktor yang disusun oleh PT
SMI dan Manajer Proyek KPE dan memberikan komentar.
179
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
Afiliasi PT
SMI
Melaksanakan ESMP sub-proyek dan UPL/UKL, termasuk
mengelola pemantauan yang bukan merupakan tanggung
jawab Kontraktor.
Menerapkan LARAP, termasuk pengawasan terhadap
konsultan.
Melaksanakan IPP, termasuk pengawasan terhadap
konsultan.
Kontraktor Audit ESMP secara berkala, termasuk
kunjungan lapangan dan audit laporan.
Mengelola mekanisme penanganan keluhan (GRM),
termasuk koordinasi dengan GRM kontraktor.
Menindaklanjuti dan menyelesaikan insiden, keluhan
dan ketidaksesuaian.
Memberikan masukan dan rekomendasi perlindungan
kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
untuk tender prospek panas bumi. Tim harus bersedia
untuk menyajikan informasi kepada tim yang lebih
luas yang mungkin bertentangan dengan penilaian
teknis dan ekonomi kelayakan, untuk mencegah dampak
yang signifikan yang berpotensi dari pengembangan
panas bumi.
Memberikan pelatihan kepada PT SMI dan Manajemen
180
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
Proyek KPE dan Tim Pengawasan terhadap pelaksanaan
instrumen perlindungan dan sistem manajemen
perlindungan PT SMI.
Memberikan pelatihan teknis kepada kontraktor pada
GRM, pengelolaan pengaduan, keterlibatan masyarakat
dan aspek lain dari mitigasi dampak lingkungan dan
sosial jika diperlukan, atau merekrut konsultan
untuk melakukan pelatihan.
Pelaporan perlindungan secara triwulanan kepada
Bank Dunia dan pemangku kepentingan lainnya.
Menjaga dan memperbarui dokumen kerangka kerja yang
diperlukan.
Konsultan
Pelindung
Menyusun pemeriksaan perlindungan secara rinci.
Menyusun instrumen perlindungan.
Menyusun Rencana Konsultasi dan membantu PT SMI
dengan konsultasi.
Menerapkan LARAP atas nama PT SMI.
Menyediakan layanan pemantauan lingkungan dan
sosial sebagai bagian dari implementasi RPLS,
UPL/UKL, LARAP.
Memberikan TA untuk proyek-proyek seperti
181
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
pelaksanaan IPP atau pengelolaan keanekaragaman
hayati dan perjanjian kemitraan hutan di bawah
RPLS.
Menyediakan jasa manajemen GRM.
Memberikan pelatihan khusus kepada ESMP Kontraktor,
mitigasi dan pengelolaan dampak selama pengeboran,
konstruksi jalan dll, sistem manajemen pengamanan,
konsultasi dan topik lain yang dibutuhkan.
Kontraktor Kepatuhan penuh dengan RPLS dan UPL/UKL terhadap
seluruh kontrak.
Penyediaan Manajer Perlindungan di lokasi di
seluruh Kontrak.
Menyusun ESMP Kontraktor komprehensif sebelum
pekerjaan dimulai.
Melaksanakan ESMP Kontraktor terhadap seluruh
Kontrak, termasuk keterlibatan masyarakat,
menghindari dan mengelola dampak, pemantauan, GRM,
pengelolaan insiden, pelatihan dan tugas-tugas
lainnya.
Membangun, memelihara dan menonaktifkan kolam
sesuai dengan desain dan spesifikasi yang
disediakan oleh teknisi yang berkualitas dan
182
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
berpengalaman.
Mematuhi hukum Indonesia dan memperoleh izin apapun
yang diperlukan (limbah berbahaya, peledakan dan
bahan peledak, dll).
Memberikan laporan kepada KPE dan PT SMI.
Menjalani pelatihan yang diperlukan. Memastikan
semua staf sudah dilatih secara tepat, dan memiliki
peralatan pelindung yang sesuai setiap saat.
Ahli
Spesialis
Perlindungan
Bank Dunia
Mengawasi pelaksanaan kerangka perlindungan PPHEPB
dan instrumen sub-proyek melalui kunjungan lapangan
dan komunikasi dengan PT SMI Divisi ESS&BCM,
manajer proyek PT SMI dan KPE.
Memberikan pelatihan mengenai instrumen
perlindungan, pemeriksaan lingkungan dan sosial,
penilaian dan manajemen dampak, pengobatan kegiatan
terkait dan aspek lain dari kebijakan perlindungans
Bank Dunia.
Menyediakan pelatihan teknis yang relevan (atau
melibatkan konsultan spesialis).
Menerima laporan perlindungan triwulan dan
memberikan komentar.
Menindaklanjuti insiden signifikan yang berkaitan
183
Kelembagaan Peran dan Tanggung Jawab
dengan pembuangan, kesehatan dan keselamatan
(pekerja atau masyarakat), kerusuhan masyarakat,
pengambilalihan tanah dan pemulihan mata
pencaharian, dll.
10.2 Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial PT SMI
167. PT SMI memiliki pengalaman yang luas dalam mengelola
kebijakan perlindungan Bank Dunia dan donor lain
berdasarkan Dana Jaminan Investasi (IGF), Dana Fasilitas
Infrastruktur Indonesia (IIFF) dan Dana Pembangunan
Infrastruktur Wilayah (RIDF). PT SMI adalah perusahaan
pembiayaan infrastruktur yang didirikan pada tahun 2009
sebagai perusahaan milik negara (BUMN) yang sepenuhnya
dimiliki oleh Pemerintah Indonesia melalui Departemen
Keuangan (Depkeu). PT SMI memainkan peran aktif dalam
memfasilitasi pembiayaan infrastruktur, serta mempersiapkan
proyek dan melayani dalam peran penasehat untuk proyek-
proyek infrastruktur di Indonesia. PT SMI mendukung agenda
pembangunan infrastruktur pemerintah melalui kemitraan
publik-swasta dengan lembaga keuangan swasta dan
multilateral. Dengan demikian, PT SMI berfungsi sebagai
katalis dalam percepatan pembangunan infrastruktur di
Indonesia.
184
168. PT SMI telah mengembangkan system Pedoman Operasi dan
Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMS) khusus untuk
digunakan pada program yang mendukung investasi pemerintah
daerah melalui berbagai dana infrastruktur. Sistem
Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMS) PT. SMI
berdasarkan pada sistem suatu negara (misalnya peraturan di
Indonesia), dan menitikberatkan pada pengelolaan lingkungan
(dengan kesenjangan dalam hal manajemen dampak sosial,
pengambilalihan tanah, dan kesehatan dan keselamatan).
Namun, saat ini sedang diperbarui untuk mematuhi Standar
Kinerja IFC, Kebijakan Perlindungans Bank Dunia dan
kebijakan perlindungan donor lainnya.
169. ESMS memiliki proses untuk menyaring proyek yang diusulkan,
menentukan tingkat risiko lingkungan dan sosial, dan
melakukan penilaian uji tuntas, semuanya akan menentukan
kesenjangan dalam memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam ESMS. Pemrakarsa proyek pihak ketiga yang mencari
pembiayaan melalui dana yang dikelola PT SMI diperlukan
untuk menyiapkan rencana tindakan korektif (CAP) untuk
mengatasi kesenjangan yang diidentifikasi dalam penilaian
uji tuntas dan memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam
ESMS.
170. ESMS diawasi oleh Divisi Perlindungan Sosial Lingkungan dan
Pengelolaan Bisnis Berkelanjutan(ESS & BCM) di bawah
185
Direktorat Manajemen Risiko. Divisi E&S UESS&BCM ini
dipimpin oleh pemimpin tim yang berpengalaman. Bersama
dengan tim kecil spesialis lingkungan dan sosial, PT SMI
telah berkomitmen untuk memperluas Divisi ESS & BCM dan
mempekerjakan lebih banyak tenaga spesialis upaya
perlindungan lingkungan dan/atau sosial di masa yang akan
datang secepatnya, untuk memperkuat Divisi ESS & BCM.
Selain itu, PT SMI memiliki akses yang siap kepada
konsultan lingkungan dan sosial melalui Divisi Penasehat
Proyek.
171. Divisi ESS & BCM harus menjamin ESMF, RPF dan konsistensi
IPPF dan kesesuaian dengan ESMS dalam mengembangkan
prosedur manajemen perlindungan secara rinci dalam Manual
Operasi Proyek PPHEPB ini.
10.3 Pembangunan Kapasitas
172. Desain proyek PPHEPB meliputi peningkatan kapasitas untuk
perlindungan di industri panas bumi di Indonesia (TA
Komponen 2). KPE juga akan menyediakan kapasitas yang saat
ini tidak dalam PT SMI, termasuk bantuan dengan pengawasan
perlindungan selama pengeboran. Hal ini juga akan membantu
memperkuat pengawasan dan keterampilan manajemen proyek PT
SMI, termasuk pelatihan tentang output pengelolaan
konsultan
186
173. PT SMI akan membutuhkan untuk meningkatkan sumber daya staf
untuk manajemen ESMS oleh satu orang penuh waktu untuk
sepatutnya mengkoordinasikan semua persyaratan perlindungan
untuk setiap sub-proyek PPHEPB selama proyek. Atau,
perbedaan kapasitas bisa diisi oleh konsultan, yang bisa
melakukan tugas, seperti penyusunan TOR dan review output
dan audit pengawasan. Tugas perlindungan yang signifikan,
seperti pemeriksaan secara rinci dan penyusunan instrumen
perlidungan, akan dilakukan oleh konsultan yang memenuhi
syarat dan berpengalaman, akibat kurangnya staf atau
konsultan perlindungan lingkungan dan sosial dari PT SMI.
Namun, dalam waktu dekat PT SMI akan menyewa lebih banyak
ahli perlindungan untuk mengisi kesenjangan ini.
174. Staf dan konsultan yang bekerja pada PPHEPB, termasuk KPE,
akan mengambil bagian dalam acara pelatihan ESMF, RPF dan
IPPF pada awal pelaksanaan proyek, untuk memastikan bahwa
semua pihak memahami peran mereka dan memperoleh
keterampilan yang diperlukan. Ini akan mencakup siklus sub-
proyek dan tonggak untuk tugas-tugas perlindungan,
pengawasan, harapan komunikasi dan pelaporan, tugas yang
jelas tentang peran dan tanggung jawab, dan di mana
kesenjangan mungkin memerlukan pengisian melalui pekerjaan
staf atau konsultan tambahan. Peserta akan mencakup manajer
187
proyek dan staf perlindungan PT SMI, KPE, BG, EBKTE dan
staf Depkeu.
175. Topik-topik akan mencakup
Permasalahan-permasalahan lingkungan dan sosial terkait
dengan pengembangan panas bumi di Indonesia;
Kerangka tata kelola Indonesia dan persyaratan hukum
yang berlaku untuk proyek PPHEPB;
Sistem perlindungan dan pengelolaan lingkungan dan
sosial;
Struktur dan tujuan ESMF;
Operasionalisasi ESMF yang terdiri dari proses
penilaian yang terintegrasi dalam siklus bisnis melalui
studi kasus (pemeriksaan, mengidentifikasi persyaratan
hukum, penilaian dampak, mengidentifikasi langkah-
langkah mitigasi, kategorisasi);
Pemantauan proyek - Apa yang dipantau /ukuran, mengapa
dan seberapa sering;
penilaian dampak proyek (lingkungan dan sosial);
audit internal dan eksternal (tujuan, protokol,
pelaporan, tindakan korektif);
Pengelolaan Dokumen (perbarui kebijakan dan prosedur
ESMF berdasarkan perubahan eksternal dan internal,
revisi dalam format untuk mencatat informasi).
188
176. Sesi pelatihan kerangka akan diadakan setidaknya setiap
tahun untuk anggota tim baru, untuk memperbarui pemangku
kepentingan pada perubahan eksternal (persyaratan hukum,
perlindungan, dll), untuk berbagi pengalaman operasional,
dan untuk mengkomunikasikan revisi-revisi yang dilakukan di
ESMF. Ini akan disediakan oleh ahli spesialis perlindungan
Bank Dunia dan/atau konsultan eksternal pada tahap pertama,
dengan PT SMI dalam menjalankan lokakarya untuk sesi
pelatihan kedua dan selanjutnya.
177. Pelatihan perlindungan juga direncanakan sebagai berikut:
Pembangunan
Kapasitas
Audiens/Pesert
a
Pemberi
Pelatihan
Program
Pengawasan
terhadap
konsultan ESIA
dan LARAP
magang dan
melakukan
mentor
PT SMI Ahli
spesialis
perlindunga
n KPE atau
Bank Dunia
Sepanjang
proyek.
Pengawasan
Perlindungan
Konstruksi,
termasuk
KPE, PT SMI Konsultan
atau Pusat
Pembelajara
n
Sebelum
persiapan
dokumen tender
sub -proyek
189
Pembangunan
Kapasitas
Audiens/Pesert
a
Pemberi
Pelatihan
Program
Kontraktor
ESMP dan
pengelolaan
ketidaksesuaia
n dan insiden.
Lokakarya /
lingkungan
belajar
interaktif.
Perlindunga
n Bank
Dunia
pertama kali.
Menyusun dan
melaksanakan
Kontraktor
ESMP.
Kontraktor Konsultan
atau Pusat
Pembelajara
n
Perlindunga
n Bank
Dunia
Setelah
negosiasi
kontrak dan
sebelum
penyusunan
ESMP
Kontraktor dan
mulai
pekerjaan
pengeboran.
Setidaknya
sekali per
190
Pembangunan
Kapasitas
Audiens/Pesert
a
Pemberi
Pelatihan
Program
sub-proyek
Pelatihan
teknis tentang
aspek-aspek
pengelolaan
perlindungan
Kontraktor Konsultan,
organisasi
pelatihan
industri
Sebagaimana
disyaratkan
sepanjang
proyek, untuk
aspek-aspek
tertentu yang
diidentifikasi
melalui ESMP,
program
ketidaksesuaia
n atau
kejadian.
178. PT SMI akan menjaga catatan-catatan dari program pelatihan,
termasuk rincian seperti agenda, durasi, pemberi pelatihan
dan kualifikasi pemberi pelatihan untuk melakukan
pelatihan, dan daftar hadir peserta. PT SMI akan
mempertahankan rencana tahunan untuk pelatihan.
10.4 Anggaran
Tabel 5 Estimasi Anggaran untuk Pembangunan Kapasitas
191
Tugas Estimasi
Biaya US$
Catatan
Rekruitmen staf di unit E&S Tidak
tersedia
Biaya PT SMI
Keterlibatan konsultan untuk
melakukan pemeriksaan dan
menyusun dokumen
perlindungan untuk empat
lokasi sub-proyek.
Tidak
tersedia
Ini sepenuhnya
dibiayai dari hibah
GEF.
Lokakarya ESMF, RPF dan IPPF
internal untuk staf PPHEPB
(x4)
$5,000
Ini sepenuhnya
dibiayai dari hibah
GEF.
Mentoring staf Divisi
ESS&BCM dan magang oleh tim
perlindungan Bank Dunia
Tidak
tersedia
Akan terjadi sebagai
bagian dari
pengawasan proyek
oleh staf Bank.
Lokakarya pengawasan
perlindungan konstruksi (x4) $60,000
Ini sepenuhnya
dibiayai dari hibah
GEF.
Bantuan menyusun ESMP
Kontraktor $40,000
Ini sepenuhnya
dibiayai dari hibah
GEF.
Pelatihan teknis/tematik $50,000 Ini sepenuhnya
192
Tugas Estimasi
Biaya US$
Catatan
untuk Para Kontraktor dan
Pengawas
dibiayai dari hibah
GEF.
Total Estimasi $155,000
193
11 PEMANTAUAN DAN PELAPORAN
179. PT SMI akan bertanggung jawab untuk melakukan pemantauan
dan pelaporan atas pelaksanaan perlindungan lingkungan dan
sosial, yang akan dilakukan oleh afiliasinya. Ini akan
menjadi bagian dari system pemantauan dan pelaporan proyek
secara keseluruhan yang digariskan dalam Manual Operasi
Proyek PPHEPB. Pemantauan perlindungan akan mencakup:
a. PT SMI Divisi ESS&BCM akan melakukan pemantauan secara
berkala terhadap pelaksanaan dokumen kerangka sebagai
bagian dari mengumpulkan dan menganalisis data dan
informasi untuk pelaporan proyek triwulan. Ini termasuk
menganalisis efektivitas pemeriksaan dan perangkat lain
dalam kerangka kerja, jenis dan jumlah kegiatan
pelatihan dan orang-orang yang dilatih, GRM dan
manajemen keluhan, manajemen mutu dan ketepatan waktu
pengiriman dari konsultan, ketersediaan sumber daya
(staf, anggaran) untuk melakukan kerangka tanggung
jawab, kepatuhan/ketidakkepatuhan dengan kerangka
kerja, kebijakan perlindungan Bank Dunia dan hukum dan
peraturan Indonesia.
b. PT SMI akan melibatkan sebuah lembaga pemantau
independen untuk mengkaji dan mengaudit proses
pengambilalihan lahan secara paksa, pemukiman kembali
dan pemulihan mata pencaharian.
194
c. Tim perlindungan Bank Dunia akan melakukan misi
pengawasan untuk memantau kepatuhan dan kemanjuran
terhadap kerangka kerja perlindungan dan kepatuhan
dengan Kebijakan Perlindungan Bank secara lebih luas.
Rekomendasi untuk perbaikan akan didokumentasikan dalam
suatu memorandum (mission aide memoire).
d. PT SMI akan melibatkan sebuah perusahaan/organisasi
independen untuk melaksanakan audit lingkungan dan
sosial atas proyek. Ini akan dilakukan sebelum review
tengah semester. Ruang lingkup audit akan mencakup
tinjauan desain dan efektifitas implementasi kerangka
kerja yang akan diadopsi dalam Proyek. Hal ini akan
meninjau struktur kerangka, isi dan cakupan kegiatan
potensial, dampak dan langkah-langkah mitigasi,
interpretasi dari kerangka kerja pada Manual Operasi
Proyek dan perangkat pengelolaan proyek lainnya.
Wawancara dan observasi tentang keefektifan struktur
organisasi, pelatihan, dan kapasitas dan kemampuan
anggota tim untuk melakukan tanggung jawab mereka.
Kunjungan lapangan juga akan dilakukan untuk mengkaji
efektivitas langkah-langkah mitigasi lingkungan dan
sosial yang digariskan dalam dokumen perlindungan.
180. Setiap sub-proyek ESMP akan berisi program pemantauan
khusus yang akan mendokumentasikan pemantauan dampak sosial
195
dan lingkungan dan pemantauan keefektifan ESMP, ESMP
Kontraktor dan tugas pengawasan. Informasi ini akan
memberikan kontribusi untuk pemantauan dan pelaporan
kerangka. LARAP dan IPP juga akan berisi program pemantauan
khusus untuk memantau dampak dan audit prosedur untuk
kompensasi, pemulihan mata pencaharian dan program
pengembangan masyarakat lainnya
181. Matriks pelaporan diatur di abawah ini:
Tabel 9 Matriks Pelaporan Perlindungan
Jenis dan Isi Laporan Program Tanggung
Jawab:
Pelaporan
kepada:
Pelaksanaan ESMF, RPF dan
IPPF: Laporan pemeriksaan,
kegiatan sub proyek dan
kemajuannya (penyusunan
instrumen, pelaksanaan,
penutupan)
Pemantauan dan output
pemeriksaan
Keluhan / Ringkasan GRM
Laporan insiden
Kegiatan peningkatan pelatihan
dan kapasitas.
Triwulanan Divisi
ESS&BCM
PT SMI
Bank
Dunia
196
11.1.1.1
Pelaporan Pengawasan
Perlindungan Pengeboran
Kemajuan proyek
Pemantauan dan output
pemeriksaan
Pelatihan
Keluhan / Ringkasan GRM
insiden
Pembaruan kerangka
Bulanan KPE/PT
SMI
Divisi
ESS&BCM
PT SMI
Laporan Pemantauan Lingkungan
dan Sosial Sub-proyek ESMP UKL
/UPL
Triwulanan Konsultan PT SMI
Laporan Pemantauan Independen
Sub-proyek LARAP
Bulanan Konsultan PT SMI
197
12 MEKANISME PEMULIHAN PENGADUAN
12.1 Pendahuluan
182. Sebagai bagian dari mandatnya untuk menjadi bank
pembangunan infrastruktur nasional di masa yang akan
datang, PT SMI mempromosikan transparansi dan akuntabilitas
untuk pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan di
negara ini, tidak hanya dari perlindungan perspektif
lingkungan dan sosial, tetapi juga dari sudut pandang
teknis, keuangan, ekonomi dan politik. Dalam penjelasan
ini, PT SMI terbuka untuk masukan yang konstruktif dan
aspirasi dari masyarakat dan pemangku kepentingan atas
proyek PPHEPB. Sebagai bagian dari upaya untuk mencapai
tujuan tersebut, PT SMI memiliki Mekanisme Penanganan
Keluhan (GRM) untuk memberikan pelayanan sebagai suatu
perangkat yang efektif untuk identifikasi awal, penilaian,
dan penyelesaian keluhan pada sub-proyek PPHEPB..
12.2 Pendekatan atas Pemulihan Pengaduan
183. PT SMI akan menggunakan sistem GRM Perusahaan mereka untuk
mendokumentasikan dan mengelola keluhan sub-proyek PPHEPB.
Divisi Audit Internal (IA) PT SMI merupakan pihak yang
bertanggung jawab untuk GRM tersebut. Divisi ini ada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden
Direktur PT SMI. Divisi IA akan menerima semua masukan,
keluhan, aspirasi, ide-ide yang ditujukan kepada PT SMI.
198
Divisi IA akan meneruskannya ke Divisi yang bertanggung
jawab untuk disesuaikan dengan subyek/masalah. dengan
subyek/ hal. Sudah ada pedoman untuk Whistle Blowing System
(WBS) dari PT SMI, yaitu "Pedoman Sistem Pelaporan
Pelanggaran". Ada tautan di situs web SMI terkait dengan
orang-orang http://192.168.29.251:81/wbssmi/. Divisi IA
akan meneruskan masalah terkait perlindungan pada Divisi
Perlindungan Lingkungan Sosial dan Pengelolaan Bisnis
Berkelanjutan (Business Continuity Managemen)t (ESS & BCM).
184. Para anggota yang terkena dampak dari masyarakat, para
pemangku kepentingan, masyarakat adat atau individu, dan
PAP akan dapat mengajukan keluhan dan mendapatkan respon
yang memuaskan pada waktu yang tepat. Sistem ini akan
merekam dan mengkonsolidasikan keluhan dan tindak
lanjutnya. Sistem ini akan dirancang tidak hanya untuk
keluhan mengenai persiapan dan pelaksanaan LARAP dan IPP,
tetapi juga untuk menangani keluhan dari berbagai jenis
masalah (termasuk isu-isu perlindungan sosial lingkungan
dan lainnya) yang terkait dengan proyek yang dibiayai oleh
PT SMI dan Bank Dunis di bawah Proyek ini.
185. Tujuan dari GMR adalah untuk:
199
Responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang terkena
dampak sub-proyek dan untuk menangani dan menyelesaikan
keluhan mereka;
Sajikan sebagai saluran untuk meminta pertanyaan,
mengundang saran, dan meningkatkan partisipasi
masyarakat;
Kumpulkan informasi yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kinerja operasional;
Meningkatkan legitimasi proyek antara para pemangku
kepentingan;
Mempromosikan transparansi dan akuntabilitas; dan
Mencegah penipuan dan korupsi dan mengurangi risiko
proyek.
12.3 Mekanisme Pemulihan Pengaduan PPHEPB
186. PPHEPB GRM akan sebagai berikut:
Langkah 1: Titik akses/ serapan komplain:
a. Titik fokus yang mudah diakses dan dipublikasikan
dengan baik atau pengguna yang menghadapi 'help desk'
akan dibentuk dalam PT SMI dan dengan masing-masing
Kontraktor pengeboran.
b. Saluran serapan akan mencakup surel, SMS, halaman web,
dan tatap muka. Saluran penyerapan akan dipublikasikan
200
dan diiklankan melalui media setempat dan melalui
Kontraktor.
c. Anggota staf yang menerima pengaduan secara lisan akan
dibuatkan dalam bentuk tertulis sebagai bahan
pertimbangan Menyadari bahwa banyak keluhan dapat
diselesaikan 'di tempat' dan secara informal oleh staf
proyek, ada peluang untuk mendorong penyelesaian
informal ini untuk melakukan login di sini untuk (i)
mendorong respon; dan (ii) memastikan bahwa keluhan
yang berulang atau yang minor sedang dicatat dalam
sistem.
d. Sistem GRM Kontraktor akan dikoordinasikan dengan GRM
proyek PT SMI PPHEPB sehingga semua keluhan tercatat
dalam sistem PT SMI GRM.
e. GRM akan memiliki kemampuan untuk menangani keluhan
anonim.
f. Pengguna akan diberikan tanda terima dan peta jalan
'roadmap' yang mengatakan kepadanya bagaimana proses
keluhan bekerja dan kapan harus mengharapkan informasi
lebih lanjut.
Tahap 2: Buku Pencatatan Pengaduang.
g. Semua keluhan akan dicatat secara tertulis dan dipelihara
dalam database sederhana.
201
h. Keluhan yang diterima akan diberi nomor yang akan
membantu pelacakan kemajuan keluhan pelapor melalui
database.
i. Pengadu akan diberikan tanda terima dan selebaran yang
menggambarkan prosedur dan batas waktu GRM (staf harus
dilatih untuk membaca ini secara lisan untuk pengadu buta
huruf).
j. Bila memungkinkan, buku pencatatan keluhan akan mendata
keluhan yang dibuat melalui sistem informal atau
tradisional, seperti dewan desa atau tetua.
k. Hal ini seringkali membutuhkan pelatihan masyarakat
setempat dan menempatkan hubungan formal antara sistem
tradisional dan PPHEPB GRM (bisa mengambil bentuk
perjanjian lisan atau Nota Kesepahaman tertulis).
l. Minimal, database akan melacak dan melaporkan kepada
publik keluhan yang diterima, keluhan yang diselesaikan
dan keluhan yang telah mencapai tahap mediasi. Database
juga akan menunjukkan masalah yang diangkat dan lokasi di
sekitar lingkaran keluhan.
Langkah 3: Penilaian, pengakuan dan respon
m. Kelayakan akan menjadi langkah prosedural untuk
memastikan bahwa isu yang diangkat adalah relevan
dengan proyek.
202
n. Keluhan yang tidak dapat diselesaikan di tempat akan
diarahkan ke titik fokus pengaduan yang akan memiliki 5
hari kerja untuk menilai permasalahan ini dan
memberikan tanggapan tertulis kepada pengadu, yang
mengakui penerimaan dan merinci langkah-langkah
berikutnya yang akan diambil.
o. Keluhan akan dikategorikan sesuai dengan jenis masalah
yang diajukan dan dampak pada lingkungan/penggugat jika
dampak yang diangkat dalam komplain terjadi.
Berdasarkan kategorisasi ini, keluhan akan
diprioritaskan berdasarkan risiko dan ditugaskan untuk
tindak lanjut yang tepat.
p. Penilaian terhadap permasalahan akan mempertimbangkan
berikut ini:
Siapa yang bertanggung jawab untuk merespon keluhan
ini? Apakah Kontraktor, KPE, PT SMI, atau pihak
lain? Hal ini diantisipasi bahwa mayoritas isu yang
diangkat selama persiapan sub-proyek akan bersifat
informatif atau umpan balik yang memerlukan koreksi
yang bersifat minor; ini pada umumnya akan
ditangani oleh PT SMI. Selama konstruksi,
mayoritas keluhan akan menjadi tanggung jawab
Kontraktor. Pengaduan 'puncak gunung es'
kemungkinan akan menjadi tanggung jawab orang-orang
203
yang mencerminkan perlawanan langsung ke sub-proyek
atau konflik terbuka antara para pemangku
kepentingan. Isu-isu ini tidak mungkin diselesaikan
melalui GRM dan harus ditangani di tingkat
tertinggi yang sesuai baik di dalam negara atau
Bank Dunia. Isu-isu risiko lebih tinggi akan
membutuhkan kemandirian yang lebih besar untuk
menangani, sedangkan umpan balik-tingkat yang lebih
rendah dapat dan harus ditangani sendiri," yaitu
oleh Kontraktor atau PT SMI.
Apa itu tingkat risiko keluhan? Apakah itu risiko
rendah, risiko menengah, atau risiko tinggi?
Beberapa pelatihan akan diperlukan untuk memastikan
staf yang melaksanakan GRM menyadari apa yang akan
merupakan masalah berisiko lebih tinggi untuk
proyek dan entitas mana harus menangani keluhan
seperti itu.
Apakah keluhan diatasi sudah disampaikan di tempat
lain? Jika masalah sudah ditangani, misalnya oleh
pengadilan setempat atau badan mediasi, atau dalam
Bank Dunia, maka masalah akan dikeluarkan dari
proses pemulihan pengaduan untuk menghindari
duplikasi dan kebingungan di pihak pelapor.
204
q. Penyelesaian: Setelah permasalahan di atas telah
dipertimbangkan, pengadu akan ditawarkan opsi untuk
penyelesaikan masalah mereka. Opsi yang ditawarkan
kemungkinan akan berupa salah satu dari tiga kategori
berikut:
Keluhan yang masuk mandat PT SMI atau Kontraktor dan
penyelesaian dapat ditawarkan segera sesuai dengan
permintaan yang dibuat oleh pengadu. Tanggapan akan
menjelaskan bagaimana dan kapan penyelesaian akan
diberikan oleh klien dan nama dan kontak informasi
dari anggota staf yang bertanggung jawab untuk itu.
Keluhan yang masuk mandat PT SMI atau Kontraktor
tetapi ada berbagai pilihan untuk penyelesaian yang
dapat dipertimbangkan dan/atau sumber khusus
diperlukan. Tanggapan akan mengundang pengadu untuk
mengadakan pertemuan dalam membahas pilihan ini.
Keluhan tidak masuk atau sebagian berada di bawah
mandat PT SMI. Tanggapan akan menunjukkan bahwa
pengaduan telah dirujuk pada institusi yang sesuai
(misalnya Pengaduan terkait dengan pemukiman kembali
akan diteruskan ke Komite Pemukiman Kembali), yang
akan melanjutkan komunikasi dengan pengadu.
Langkah 4: Pengajuan Banding
205
r. Ketika kesepakatan belum tercapai, pengadu akan
ditawarkan proses banding. Ini akan melalui pengadilan
nasional, kecuali pengadu meminta fasilitas atau
mediasi melalui pihak ketiga.
Jika pengadu menerima pilihan, dan kesepakatan
tercapai, implementasi akan dipantau oleh layanan
mediasi dan suatu berita acara akan
ditandatangani menunjukkan pengaduan telah
diselesaikan.
Jika pengadu tidak menerima pilihan ini atau jika
ia/dia menerima tetapi kesepakatan tidak
tercapai, kasus ini akan ditutup. Pengadu dapat
meminta pemulihan melalui pengadilan atau
mekanisme lain yang tersedia di tingkat negara.
Langkah 5: Mengatasi dan menindaklanjuti
s. Ketika ada kesepakatan antara pengadu dan PT SMI atau
kontraktor tentang bagaimana keluhan tersebut akan
diselesaikan, berita acara akan disusun dan
ditandatangani oleh kedua belah pihak. Setelah
implementasi selesai, berita acara baru akan
ditandatangani yang menyatakan bahwa pengaduan telah
diselesaikan.
206
t. Semua dokumen pendukung dari pertemuan yang diperlukan
untuk mencapai keputusan akan menjadi bagian dari
arsip yang berhubungan dengan keluhan. Ini akan
mencakup pertemuan yang telah meningkat ke tingkat
banding atau ditangani oleh pihak ketiga.
u. PT SMI akan menyiapkan laporan-laporan rutin (bulanan
atau triwulanan) kepada publik yang dapat melacak
pengaduan yang diterima, teratasi, tidak teratasi, dan
yang dirujuk kepada pihak ketiga. Tim proyek Bank
Dunia akan menerima baik data pengaduan mentah atau
laporan bulanan, dalam rangka mendukung PT SMI dalam
identifikasi dini dari risiko yang berkembang.
v. Data GRM akan tersedia untuk memberi umpan ke dalam
laporan-laporan Bank Dunia dalam menunjukkan respon
dan keputusan permasalahan lebih dini (dan membantu
tim Bank mengidentifikasi keluhan yang belum
diselesaikan dan membutuhkan perhatian).
12.4 Penilaian GRM atas Sub-proyek
187. Pendekatan untuk pengaduan pemulihan pada tingkat sub-
proyek akan melibatkan hal-hal berikut:
1. Penilaian terhadap risiko dan potensi keluhan dan sengketa
untuk setiap sub proyek:
188. Divisi ESS&BCM harus memahami isu-isu yang - atau cenderung
- di jantung sengketa yang berkaitan dengan masing-masing
207
sub-proyek, seperti kejelasan atas hak tanah atau isu-isu
perburuhan. Untuk ini, konsultan ESIA harus melakukan
review isu-isu secara cepat, pemangku kepentingan, dan
kapasitas kelembagaan untuk setiap sub-proyek selama
penyusunan ESIA, sangat bergantung pada informasi yang ada
dari masyarakat sipil dan lembaga non-negara lainnya.
Ulasan harus memetakan siapa para pemangku kepentingan
utama untuk masalah ini dan apa sifat perdebatan tersebut
(informasi, terpolarisasi, dll). Perhatian harus ditujukan
pada budaya penyelesaian sengketa setempat dan khususnya
untuk kapasitas dan rekam jejak dari para pemangku
kepentingan untuk menyelesaikan sengketa melalui mediasi
atau negosiasi yang konstruktif.
2. Penilaian kapasitas
189. Tinjauan ini juga harus mencakup ketersediaan, kredibilitas
dan kemampuan institusi lokal untuk mengatasi masalah yang
berkaitan dengan kegiatan pengeboran dan eksplorasi panas
bumi. Untuk masing-masing lembaga yang diharapkan untuk
menangani masalah ini, penilaian kredibilitas harus
dilakukan, berdasarkan kriteria berikut:
Legitimasi: apakah struktur pemerintahan yang diterima
secara luas dianggap cukup independen dari pihak-pihak
terhadap keluhan tertentu?
208
Aksesibilitas: apakah itu memberikan bantuan yang cukup
untuk mereka yang menghadapi hambatan seperti bahasa,
melek huruf, kesadaran, biaya, atau takut akan
pembalasan?
Prediktabilitas: apakah itu menawarkan prosedur yang
jelas dengan kerangka waktu untuk setiap tahap dan
kejelasan tentang jenis hasil yang dapat (dan tidak
bisa) diberikan?
Keadilan: apakah prosedur secara luas dianggap adil,
terutama dalam hal akses informasi dan peluang untuk
partisipasi yang berarti dalam keputusan akhir?
Kompatibilitas Hak: apakah hasil konsisten dengan
standar nasional dan internasional yang berlaku? Apakah
itu membatasi akses ke mekanisme penanganan lainnya?
Transparansi: apakah prosedur dan hasil cukup
transparan untuk memenuhi kepentingan publik yang
dipertaruhkan?
Kemampuan: apakah memiliki sumber daya teknis, manusia
dan keuangan yang diperlukan untuk menangani isu-isu
yang dipertaruhkan?
3. Rencana Aksi
209
190. Rencana aksi harus merupakan sub-proyek tertentu, tetapi
harus berfokus pada langkah-langkah nyata yang dapat
diambil selama penyusunan dan pelaksanaan untuk memperkuat
kapasitas penanganan keluhan.
210
Lampiran A. CHECKLIST PEMERIKSAAN DASAR
Instruksi:
Langkah 1 Proses Pemeriksaan Perlindungan adalah untuk
memberikan kontribusi pada identifikasi awal dari lokasi yang
cocok untuk studi kelayakan panas bumi dan pengembangan
eksplorasi. Lengkapi checklist pemeriksaan dasar dengan
menggunakan google earth, peta, laporan teknis dan data yang
diterbitkan lainnya. Mendokumentasikan data yang dikumpulkan
hingga saat ini, dan menggambarkan sub-proyek dalam hal dasar
(jenis infrastruktur yang mungkin diperlukan, sifat kegiatan).
Pemeriksaan dasar juga akan mengidentifikasi potensi risiko dari
fase eksploitasi terkait.
Siapkan laporan singkat untuk menyertakan checklist yang diisi,
merinci temuan yang signifikan dan memberikan rekomendasi untuk
studi kelayakan dan proses pemeriksaan secara rinci. Melampirkan
peta dan data pendukung yang relevan. Memberikan analisis
terpisah mengenai potensi risiko dari tahap eksploitasi terkait,
mencatat setiap risiko baru atau risiko yang mungkin memiliki
dampak yang lebih signifikan.
Nama sub-
proyek:________________________________________________________
Lokasi:_________________________________________________________
Provinsi:_______________________________________________________
211
Uraian kegiatan yang diusulkan (pengeboran sumur pengujian,
akses jalan, kamp pekerja, dll.):___________
________________________________________________________________
________________________________________________________________
__________________
________________________________________________________________
__________________
Uraian kegiatan Proyek terkait seperti pengeboran sumur
ekploitasi dan pembangkitan
energi:_________________________________________________________
__________________
________________________________________________________________
____________________
________________________________________________________________
____________________
________________________________________________________________
____________________
Data yang terkumpul (tandai seluruhnya yang berlaku,
dan jelaskan jika perlu):
Peta Topografi
212
Data yang terkumpul (tandai seluruhnya yang berlaku,
dan jelaskan jika perlu):
Prospek Panas bumi dan data sumber daya (dari tim
teknis)
Gambar di Google earth
Peta/data kepemilikan tanah
(peta hutan, peta kepemilikan tanah, peta penggunaan
tanah, dll.)
Rencana Tata Ruang Kabupaten dan Provinsi
Anggaran rumah tangga, kebijakan Kabupaten dan
Provinsi, dll:
Data demografi/data sensus
Data meteorology
Dokumen-dokumen atau data yang dipublikasikan
(daftar):
213
214
Checklist Pemeriksaan Dasar
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
215
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah terdapat
lanskap unik atau luar
biasa atau fitur panas
bumi atau geologi di
daerah tersebut?
OP 4.01 tentang
Penilaian
Lingkungan
216
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah terdapat mata
pencaharian ekonomi
atau subsisten yang
sangat bergantung pada
sumber daya alam di
daerah tersebut
(ekowisata, pertanian
OP 4.01 tentang
Penilaian
Lingkungan
OP4.36 tentang
Hutan
217
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah terdapat hutan,
danau, rawa, lahan
gambut, daerah
pesisir, sungai di
daerah tersebut?
OP4.04 tentang
Habitat Alam
OP4.36 tentang
Hutan
218
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah terdapat
spesies yang punah
atau terancam punah
yang mungkin ada di
daerah tersebut?
OP4.04 tentang
Habitat Alam
219
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah terdapat
kawasan lindung
(seperti taman
nasional, kawasan
konservasi dll) di
daerah tersebut?
OP4.04 tentang
Habitat Alam
OP4.36 tentang
Hutan
220
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah terdapat situs
budaya nasional atau
internasional yang
signifikan, situs
arkeologi, situs
spiritual, atau PCR
lain di daerah
OP4.09 tentang
Sumber Daya Budaya
Fisik
221
Apakah ada kemungkinan
bahwa Masyarakat Adat17
akan hadir di daerah
tersebut sehingga
konsultasi khusus dan
Penilaian Sosial
diperlukan?
OP4.10 tentang
Masyarakat Adat
Apakah ada tanah atau
sumber daya yang
dimiliki secara
komunal di daerah
tersebut sehingga
pengambilalihan tanah
mungkin rumit?
OP4.12 tentang
Pemukiman Kembali
Secara Paksa
222
17 Masyarakat etnis, minoritas, masyarakat adat, sesuai karakteristik yang didefinisikan yang tercantum dalam
ayat 137, Bagian 7.1.
223
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah ada lahan
pribadi atau lahan
kehutanan di mana
pengambilalihan tanah
dapat dinegosiasikan?
(Perhatikan bahwa 'ya'
adalah aspek positif
OP4.12 tentang
Pemukiman Kembali
Secara Paksa
224
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Apakah mungkin bahwa
orang akan dibatasi
untuk mengakses
kawasan lindung untuk
tujuan mata
pencaharian?
OP4.12 tentang
Pemukiman Kembali
Secara Paksa
225
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
Risiko atau manfaat
lainnya yang
teridentifikasi namun
tidak ada dalam
daftar:
226
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
227
Pertanyaan Pemeriksaan
untuk Daerah pengaruh
Eksplorasi Panas Bumi
*
* Catatan di checklist
atau dalam laporan
terlampir di mana
permasalahan-
permasalahan mungkin
hanya berhubungan
dengan proyek-proyek
terkait seperti
eksploitasi hilir
Jawaban Kebijakan Terkait
Ya?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Ya, terkait dengan
proyek terkait
(misalnya eksploitasi)?
Peringkat signifikan,
Risiko sedang atau
kecil atas potensi
dampak
Memberikan rincian
tentang peta atau dalam
checklist dan membuat
rekomendasi untuk 1)
tahap Pemeriksaan
secara rinci dan 2)
laporan kelayakan
Tidak?
Tidak diketahui, tetapi
mungkin?
Resiko rendah. Lanjutkan
ke pertanyaan
pemeriksaan berikutnya.
Membuat rekomendasi
untuk tahap Pemeriksaan
secara rinci untuk
setiap risiko yang tidak
diketahui.
228
Lampiran B. CHECKLIST PEMERIKSAAN SECARA RINCI
Instruksi:
Ahli spesialis lingkungan dan sosial yang kompeten akan
dilibatkan untuk menyelesaikan pemeriksaan secara rinci.
Dengan menggunakan studi kelayakan dan informasi teknis lainnya
pada sumber daya panas bumi dan potensi eksplorasi, dan hasil
dari proses pemeriksaan dasar, melakukan proses pemeriksaan
perlindungan untuk mengidentifikasi risiko lingkungan dan
sosial, kebijakan Bank Dunia yang dipicu, dan perlindungan
instrumen yang diperlukan. Gunakan checklist dengan tepat dan
untuk mendokumentasikan hasil.
Kegiatan-kegiatan Pemeriksaan:
a. Mengkaji data yang dipublikasikan, melakukan kunjungan
lapangan, mengumpulkan data primer, dan berkonsultasi
dengan lembaga lingkungan hidup dan perencanaan daerah
untuk membahas rencana tata ruang dan peraturan,
menilai kapasitas kelembagaan dan berkonsultasi dengan
informan penting/para pemangku kepentingan.
b. Memetakan wilayah potensi pengaruh kegiatan eksplorasi
panas bumi, berdasarkan data teknis pada lokasi situs
dengan baik dan infrastruktur utama (jalan, kamp-kamp,
peningkatan dermaga dll).
229
c. Memetakan wilayah potensi pengaruh yang akan mencakup
kegiatan terkait (kegiatan eksploitasi misalnya:
pembangkit listrik, sumur-sumur produksi, dan jalur
transmisi atau distribusi).
d. Mengidentifikasi reseptor sensitif di daerah pengaruh
proyek seperti: hutan, habitat alami (darat dan air),
kawasan lindung (taman nasional, kawasan konservasi),
lokasi yang memiliki kepentingan ekologi, masyarakat,
aset masyarakat, pemilik tanah, masyarakat adat
dan/atau tanah/domain mereka, tanah komunal/sumber daya
mereka, sumber daya budaya fisik, fitur panas bumi,
lanskap dan bentuk geologi.
e. Mengidentifikasi usia lahan dan penggunaan lahan.
Mengidentifikasi pengguna dan kegunaan air.
Mengidentifikasi hukum setempat yang berlaku dan
kerangka perencanaan.
f. Mengidentifikasi pemangku kepentingan dan sentimen
mereka tentang pengembangan panas bumi.
g. Menggunakan pendapat profesional dan akses
berpengalaman untuk menilai potensi dampak signifikan
pada reseptor sensitif dari kegiatan eksplorasi dan
kegiatan terkait. Sampaikan dan jawab setiap pertanyaan
di checklist.
230
h. Pemicu kebijakan: Dari checklist, mengidentifikasi
kebijakan yang dipicu oleh sub-proyek (termasuk
kegiatan terkait).
i. Kategori pemeriksaan: Klasifikasikan sub-proyek sebagai
kategori A jika ada salah satu jawaban di checklist
memicu A, jika tidak klasifikasikan sub-proyek sebagai
kategori B. Jika salah satu aspek dari kegiatan terkait
memicu sub-proyek A maka akan diklasifikasikan sebagai
Kategori A.
j. Instrumen perlindungan: Daftar semua instrumen yang
relevan sesuai dengan checklist pemeriksaan. Catat di
mana tugas-tugas tertentu untuk ESIA diperlukan,
seperti Penilaian Sosial bagi Masyarakat Adat.
Pelaporan:
Memberikan laporan lengkap dengan rincian seperti yang tercantum
di atas, data pendukung dan peta, dan checklist lengkap seperti
yang dijelaskan dalam Bagian 5.3.5.
Detail sub-proyek
Nama sub-
proyek:_________________________________________________________
Lokasi:_________________________________________________________
___________
231
Provinsi:_______________________________________________________
______________
Uraian Kegiatan yang
Diusulkan:____________________________________________________
________________________________________________________________
________________
________________________________________________________________
_______________
________________________________________________________________
__________________
Reseptor sensitif yang signifikan
___________________________________________________________
________________________________________________________________
_________________
________________________________________________________________
_________________
________________________________________________________________
_________________
Uraian Kegiatan
Terkait:____________________________________________________
________________________________________________________________
________________
________________________________________________________________
_______________
232
________________________________________________________________
__________________
Reseptor Sensitif yang Signifikan terhadap Kegiatan Terkait
_______________________________________
________________________________________________________________
_________________
________________________________________________________________
_________________
________________________________________________________________
_________________
233
Perlindungan Pemeriksaan, Pemicu Kebijakan dan Cheklist Instrumen Perlindungan
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
234
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah dampak sub-
proyek cenderung
memiliki dampak
lingkungan yang
merugikan secara
signifikan yang
sensitif,18 beragam
atau belum pernah
terjadi sebelumnya?19
Berikan penjelasan
singkat:
OP 4.01
tentang
Penilaian
Lingkunga
n
Jika “Tidak”:
Kategori B
Jika “Ya”: Kategori A
ESIA, ESMP, UKL/UPL
235
18 Sensitif (yaitu, dampak potensial dianggap sensitif jika dampak tersebut mungkin tidak dapat diubah,
misalnya, secara permanen mempengaruhi fitur lanskap yang signifikan. 19 Skala besar yang disebabkan pembangunan pertanian dengan tebang dan bakar ke daerah-daerah berhutan.
236
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah dampak proyek
cenderung memiliki
dampak sosial yang
merugikan secara
signifikan yang
sensitif, beragam atau
belum pernah terjadi
sebelumnya?20 Berikan
penjelasan singkat.
OP 4.01
tentang
Penilaian
Lingkunga
n
Jika “Tidak”:
Kategori B
Jika “Ya”: Kategori
A
ESIA, ESMP, UKL/UPL
20
237
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah dampak tersebut
mempengaruhi area yang
lebih luas dari lokasi
atau fasilitas yang
tunduk pada pekerjaan
fisik dan apakah
dampak lingkungan yang
merugikan secara
signifikan dapat
diubah? Berikan
penjelasan singkat:
OP 4.01
tentang
Penilaian
Lingkunga
n
Jika “Tidak”:
Kategori B.
Jika “Ya”: Kategori
A
ESIA, ESMP, UKL/UPL
238
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
memiliki manfaat
positif terhadap
lingkungan atau
sosial? Berikan
penjelasan singkat:
OP 4.01
tentang
Penilaian
Lingkunga
n
Jika “Tidak”:
Kategori B.
Jika “Ya”: Kategori
B
ESIA, ESMP, UKL/UPL
239
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
berdampak negatif
terhadap sumber daya
budaya fisik?21 Harap
berikan justifikasi
singkat.
OP 4.11
tentang
Sumber
Daya
Budaya
Fisik
Jika "Ya/Signifikan":
Kategori A.
Susun Rencana
Pengelolaan PCR
sebagai bagian dari
ESMP.
Jika Ya/Sedang atau
Ya/Kecil: Kategori
B.
Jika 'Tidak': Gunakan
kesempatan temukan
prosedur.
240
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
melibatkan konversi
atau degradasi habitat
alami yan tidak
kritis? Harap berikan
justifikasi singkat.
OP 4.04
tentang
Habitat
Alam
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya/Signifikan”:
Kategori A.
Jika“Ya/Sedang atau
Ya/Kecil’: Kategori
B
21 Contoh sumber daya budaya fisik adalah situs arkeologi atau sejarah, situs agama atau spiritual, terutama
situs-situs yang diakui oleh pemerintah.
241
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
melibatkan konversi
atau degradasi habitat
alami yang kritis?22
OP 4.04
tentang
Habitat
Alam
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya/Signifikan”:
tidak memenuhi syarat
untuk pembiayaan
proyek karena tidak
sesuai dengan
Kebijakan.
Jika “Ya/Sedang atau
Ya Kecil”: Kategori A
242
22Sub-proyek yang secara signifikan mengubah atau menurunkan habitat alami kritis seperti dilindungi secara
hukum, secara resmi diusulkan untuk mendapat perlindungan, diidentifikasi oleh sumber otoritatif untuk
nilai konservasi tinggi, atau diakui sebagai dilindungi oleh masyarakat lokal tradisional, tidak memenuhi
syarat untuk pembiayaan Bank.
243
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah sub-proyek
melibatkan
pengambilaihan lahan
secara paksa?
Signifikan> 200 orang
pengungsi atau 10%
dari aset rumah tangga
yang terkena dampak.
Sedang <200 orang atau
10% dari aset rumah
tangga yang terkena
dampak.
OP 4.12
tentang
Pemukiman
Kembali
Secara
Paksa
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya/Significan”:
Kategori A, LARAP
Jika “Ya/Sedang”:
Kategori B,
Disingkat LARAP
244
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah sub-proyek
melibatkan kehilangan
aset atau akses ke
aset, atau kehilangan
sumber pendapatan atau
mata pencaharian
sebagai akibat dari
pengambilalihan tanah
secara paksa? Harap
berikan justifikasi
singkat
OP 4.12
tentang
Pemukiman
Kembali
Secara
Paksa
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya/Significan”:
Kategori A, LARAP
Jika “Ya/Sedang atau
Kecil”: Kategori B,
Disingkat LARAP
245
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah sub-proyek
melibatkan hilangnya
aset tetapi bukan
sebagai akibat dari
pengambilalihan tanah
secara paksa?
OP4.01
Tentang
Penilaian
Lingkunga
n
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya”: Kategori
B.
Mengelola kompensasi
sebesar nilai
penggantian
berdasarkan ESMP.
246
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Apakah terdapat
Masyarakat Adat di
wilayah proyek ?:
Mengidentifikasi
sendiri sebagai bagian
dari kelompok sosial
dan budaya yang
berbeda, dan
Mempertahankan intuisi
budaya, ekonomi,
sosial dan politik
yang berbeda dari
masyarakat dan budaya
yang dominan ?, dan
Berbicara dengan
bahasa atau dialek
yang berbeda?, dan
OP4.10
tentang
Masyaraka
t Adat
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya”: Kategori A
Merujuk IPF untuk
persyaratan Penilaian
Sosial dalam ESIA dan
IPP.
247
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
langsung atau tidak
langsung memberikan
keuntungan atau
menargetkan Masyarakat
Adat?
OP4.10
tentang
Masyaraka
t Adat
Jika tidak terdapat
IP dalam daerah
proyek, atau
pertanyaan ini tidak
terkait, masukkan
Tidak Tersedia dalam
setiap kolom.
Jika “Tidak ada
manfaat atau target”
atau “Ya Manfaat atau
target”: Kategori A.
Sampaikan di
Penilaian Sosial dan
penyusunan IPP.
248
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
langsung atau tidak
langsung mempengaruhi
praktik sosial-budaya
tradisional dan
kepercayaan Masyarakat
Adat? (Misalnya dalam
membesarkan anak,
kesehatan, pendidikan,
seni, dan tata
kelola)?
OP4.10
tentang
Masyaraka
t Adat
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya”: Kategori
A
Merujuk IPF untuk
persyaratan Penilaian
Sosial dalam ESIA dan
IPP.
249
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek
mempengaruhi sistem
mata pencaharian
Masyarakat Adat?
(Misalnya, sistem
produksi pangan,
pengelolaan sumber
daya alam, kerajinan
dan perdagangan,
status pekerjaan)?
OP4.10
tentang
Masyaraka
t Adat
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya”: Kategori
A
Merujuk IPF untuk
persyaratan Penilaian
Sosial dalam ESIA dan
IPP.
250
Pertanyaan
*Catatan pada
checklist atau dalam
laporan terlampir di
mana permasalahan
mungkin hanya
berhubungan dengan
proyek-proyek terkait
seperti eksploitasi
hilir
Jawaban Jika Ya
Kebijakan
yang
dipicu
Kategori dan
Instrumen
Perlindungan
Ya
Signifikan,
Sedang, Kecil
Tidak
Akankah proyek berada
di daerah (tanah atau
wilayah) yang
diduduki, dimiliki,
atau digunakan oleh
Masyarakat Adat, dan /
atau diklaim sebagai
tanah leluhur?
OP4.10
tentang
Masyaraka
t Adat
Jika “Tidak”: Merujuk
pada pertanyaan
pemeriksaan
berikutnya.
Jika “Ya”: Kategori
A
Merujuk IPF untuk
persyaratan Penilaian
Sosial dalam ESIA dan
IPP.
251
Lampiran C. GARIS BESAR LAPORAN ESIA UNTUK KATEGORI SUB
PROYEK
Dengan mengacu pada Lampiran B pada OP 4.01 - Isi Laporan
Penilaian Lingkungan untuk Proyek Kategori A.
Laporan ESIA untuk proyek Kategori A berfokus pada isu-isu
lingkungan yang signifikan atas suatu proyek. Ruang lingkup
laporan dan tingkat detail harus sepadan dengan potensi dampak
proyek. Laporan yang disampaikan kepada Bank disusun dalam
bahasa Inggris dan ringkasan eksekutif dalam bahasa Inggris.
Laporan ESIA harus mencakup hal-hal berikut (tidak harus dalam
urutan yang ditampilkan):
(a) Ringkasan Eksekutif. Secara ringkas membahas temuan
yang signifikan dan tindakan yang direkomendasikan.
(b) Kebijakan, hukum, dan kerangka administrasi. Membahas
kebijakan, hukum, dan kerangka administratif di mana
EA dilakukan. Menjelaskan persyaratan lingkungan atas
setiap pemodal. Mengidentifikasi kesepakatan
lingkungan internasional yang relevan dimana negara
ini merupakan pihak.
(c) Deskripsi Proyek. Secara ringkas menggambarkan proyek
yang diusulkan dan geografis, ekologi, sosial, dan
konteks sementara, termasuk investasi offsite yang
mungkin diperlukan (misalnya, pipa yang didedikasikan,
akses jalan, pembangkit listrik, penyediaan air,
252
perumahan, dan bahan baku dan fasilitas penyimpanan
produk). Menunjukkan kebutuhan untuk rencana pemukiman
kembali atau rencana pembangunan Masyarakat Adat
(lihat juga paragraph (h)(v) di bawah). Biasanya
mencakup sebuah peta yang menunjukkan lokasi proyek
dan daerah pengaruh proyek.
(d) Data dasar. Menilai dimensi wilayah studi dan
menjelaskan kondisi fisik, biologis, dan sosial
ekonomi yang relevan, termasuk perubahan yang
diantisipasi sebelum proyek dimulai. Juga
memperhitungkan kegiatan pembangunan saat ini dan yang
diusulkan dalam wilayah proyek tetapi tidak secara
langsung terhubung ke proyek. Data harus relevan
dengan keputusan tentang lokasi proyek, desain,
operasi, atau langkah-langkah mitigasi. Bagian ini
menunjukkan keakuratan, keandalan, dan sumber data.
(e) Dampak lingkungan. Memperkirakan dan menilai dampak
positif dan negatif kemungkinan proyek, secara
kuantitatif sejauh mungkin. Mengidentifikasi langkah-
langkah mitigasi dan dampak negatif residual yang
tidak dapat dikurangi. Mengeksplorasi peluang untuk
peningkatan lingkungan. Mengidentifikasi dan
memperkirakan tingkat dan kualitas data yang tersedia,
kesenjangan data kunci, dan ketidakpastian terkait
253
dengan prediksi, dan menentukan topik yang tidak
memerlukan perhatian lebih lanjut.
(f) Analisis alternatif. Secara sistematis membandingkan
alternatif layak untuk lokasi proyek, teknologi,
desain, dan operasi yang diusulkan termasuk situasi
"tanpa proyek" dalam hal potensi dampak lingkungan
mereka; kemungkinan memitigasi dampak tersebut; modal
dan biaya berulang mereka; kesesuaian dengan kondisi
setempat; dan kelembagaan, pelatihan, dan persyaratan
pemantauan. Untuk setiap alternatif, mengkuantifikasi
dampak lingkungan sejauh mungkin, dan melampirkan
nilai ekonomi jika memungkinkan. Menyatakan dasar
untuk memilih desain proyek tertentu yang diusulkan
dan membenarkan tingkat emisi yang direkomendasikan
dan melakukan pendekatan untuk pencegahan dan
pengurangan polusi.
(g) Rencana pengelolaan lingkungan dan sosial (ESMP).
Meliputi langkah-langkah mitigasi, pemantauan, dan
penguatan kelembagaan; lihat garis di Lampiran D.
(h) Lampiran-lampiran
Daftar pihak penyusun laporan EA - individu dan
organisasi.
254
Rujukan--materi tertulis baik yang dipublikasikan
dan tidak dipublikasikan, yang digunakan dalam
penyusunan studi.
Catatan atas pertemuan antar agen dan konsultasi,
termasuk konsultasi untuk memperoleh pandangan
informasi dari orang-orang yang terkena dampak dan
organisasi non-pemerintah setempat (LSM). Catatan
tersebut menentukan cara apa pun selain konsultasi
(misalnya, survei) yang digunakan untuk mendapatkan
pandangan dari kelompok yang terkena dampak dan LSM
setempat.
Tabel-tabel menyajikan data yang relevan yang
disebut atau diringkas dalam teks utama.
Daftar laporan terkait (misalnya, rencana pemukiman
kembali atau rencana pembangunan masyarakat adat).
255
Lampiran D. TEMPLATE RENCANA PENGELOLAAN LINGUNGAN DAN
SOSIAL
Dengan merujuk pada Lampiran C pada Kebijakan Perlindungan Bank
Dunia OP 4.01 – Rencana Pengelolaan Lingkungan
(a) Rencana pengelolaan lingkungan dan sosial sub-proyek (ESMP)
terdiri dari himpunan mitigasi, pemantauan, dan langkah-
langkah institusional yang akan diambil selama pelaksanaan
dan operasi untuk menghilangkan dampak lingkungan dan
sosial yang merugikan, mengimbangi mereka, atau
menguranginya ke tingkat yang dapat diterima. Rencana
tersebut juga mencakup tindakan yang diperlukan untuk
menerapkan langkah-langkah ini. Untuk mempersiapkan sebuah
ESMP, PT SMI akan (a) mengidentifikasi serangkaian
tanggapan terhadap potensi dampak yang merugikan;
(b) menentukan persyaratan untuk memastikan bahwa tanggapan
tersebut dibuat secara efektif dan pada waktu yang tepat;
dan
(c) menjelaskan cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lebih
khusus, ESMP akan mencakup komponen-komponen berikut.
Mitigasi
ESMP mengidentifikasi langkah yang tepat dan hemat biaya yang
dapat mengurangi potensi dampak lingkungan yang merugikan secara
signifikan untuk tingkat yang dapat diterima. Rencana tersebut
meliputi langkah-langkah kompensasi jika langkah-langkah
256
mitigasi tidak layak, tidak hemat biaya, atau tidak cukup.
Secara khusus, ESMP:
a. mengidentifikasi dan merangkum semua dampak lingkungan yang
dapat diantisipasi yang merugikan secara signifikan
(termasuk yang melibatkan masyarakat adat atau pemukiman
kembali secara paksa);
b. menjelaskan - dengan rincian teknis - masing-masing langkah
mitigasi, termasuk jenis dampak yang berkaitan dan kondisi
di mana diperlukan (misalnya, terus menerus atau dalam hal
darurat), bersama-sama dengan desain, deskripsi peralatan,
dan prosedur operasi, yang sesuai;
c. memperkirakan setiap dampak lingkungan yang potensial dari
langkah-langkah ini; dan
d. memberikan tautan dengan rencana mitigasi lainnya
(misalnya, untuk pemukiman kembali secara paksa, Masyarakat
Adat, atau kekayaan budaya) yang diperlukan untuk proyek
tersebut.
Pemantauan
Pemantauan lingkungan selama pelaksanaan proyek memberikan
informasi tentang aspek-aspek lingkungan utama dari proyek ini,
terutama dampak lingkungan dari proyek dan efektivitas langkah-
langkah mitigasi. Informasi tersebut memungkinkan peminjam dan
Bank untuk menilai keberhasilan mitigasi sebagai bagian dari
pengawasan proyek, dan memungkinkan tindakan korektif yang harus
257
diambil bila diperlukan. Oleh karena itu, RPLS mengidentifikasi
tujuan monitoring dan menentukan jenis monitoring, dengan
keterkaitan terhadap dampak yang dinilai dalam laporan ESIA dan
langkah-langkah mitigasi yang dijelaskan dalam RPLS. Secara
khusus, bagian pemantauan RPLS mengatur:
a. deskripsi spesifik, dan rincian teknis, langkah-langkah
pemantauan, termasuk parameter yang akan diukur, metode
yang akan digunakan, lokasi pengambilan sampel, frekuensi
pengukuran, batas deteksi (jika sesuai), dan definisi
ambang batas yang akan memberikan sinyal perlunya tindakan
korektif; dan
b. prosedur pemantauan dan pelaporan untuk (i) memastikan
deteksi dini dari kondisi yang memerlukan tindakan mitigasi
tertentu, dan (ii) memberikan informasi tentang kemajuan
dan hasil mitigasi.
Pengembangan Kapasitas dan Pelatihan
Untuk mendukung pelaksanaan tepat waktu dan efektif komponen
proyek lingkungan dan tindakan mitigasi, RPLS mengacu pada
penilaian ESIA tentang keberadaan, peran, dan kemampuan unit
lingkungan di lokasi atau di tingkat agen dan kementerian. Jika
perlu, RPLS merekomendasikan pendirian atau perluasan unit
tersebut, dan pelatihan staf, untuk memungkinkan pelaksanaan
rekomendasi ESIA. Secara khusus, RPLS memberikan gambaran
spesifik pengaturan kelembagaan - yang bertanggung jawab untuk
258
melaksanakan mitigasi dan pemantauan tindakan (misalnya, untuk
operasi, pengawasan, penegakan, pemantauan pelaksanaan, tindakan
perbaikan, pembiayaan, pelaporan, dan pelatihan staf). Untuk
memperkuat kemampuan pengelolaan lingkungan di lembaga yang
bertanggung jawab untuk implementasi, banyak ESMP mencakup satu
atau lebih topik tambahan berikut: (a) program bantuan teknis,
(b) pengadaan peralatan dan perlengkapan, dan (c) perubahan
organisasi.
Jadwal pelaksanaan dan Estimasi Biaya
Untuk semua tiga aspek (mitigasi, pemantauan, dan pembangunan
kapasitas), RPLS mengatur (a) jadwal pelaksanaan untuk langkah-
langkah yang harus dilakukan sebagai bagian dari proyek,
menunjukkan pentahapan dan koordinasi dengan rencana pelaksanaan
proyek secara keseluruhan; dan (b) modal dan perkiraan biaya
berulang dan sumber dana untuk melaksanakan ESMP. Angka-angka
ini juga terintegrasi ke dalam total tabel biaya proyek.
Integrasi ESMP dengan Proyek
Keputusan peminjam untuk melanjutkan dengan proyek, dan
keputusan Bank untuk mendukungnya, yang didasarkan pada harapan
bahwa EMP akan dijalankan secara efektif. Akibatnya, Bank
mengharapkan rencana lebih spesifik dalam deskripsi terhadap
tindakan mitigasi dan pemantauan individu dan tugas tanggung
jawab institusional, dan itu harus diintegrasikan ke dalam
keseluruhan perencanaan, desain, anggaran, dan pelaksanaan
259
proyek. Integrasi tersebut dicapai dengan mendirikan ESMP dalam
proyek sehingga rencana tersebut akan menerima dana dan
pengawasan bersama dengan komponen lainnya.
Tabel berikut ini adalah template yang disarankan untuk
ringkasan mengenai rencana mitigasi dan pemantauan untuk tahap
eksplorasi dan pengembangan kegiatan panas bumi.
A. TEMPLATE RENCANA MITIGASI UNTUK EKSPLORASI
Biaya
kepada:
Tanggung
Jawab
Kelembagaan
kepada
:
Komentar
(misalnya
dampak
sekunder
atau
kumulatif
)
Fase Damp
ak
Tindak
an
Mitiga
si
Mema
sang
Mengo
peras
ikan
Memas
ang
Mengo
peras
ikan
Fase
eksplorasi
Fase
dekomisioni
ng
260
B. RENCANA PEMANTAUAN UNTUK EKSPLORASI
Biaya
kepada:
Tanggung
Jawab
Kelembagaa
n kepada
:
Fase Apa
(par
amet
er)
Dima
na
Bag
aim
ana
(pe
ral
ata
n)
Kapa
n
(fre
kuen
si)
Men
gap
a
Mema
sang
Meng
oper
asik
an
Mema
sang
Meng
oper
asik
an
Fase
eksplorasi
Fase
dekomisioni
ng
261
Lampiran E. FORMAT UKL/UPL
Format berikut adalah Format untuk Rencana Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (UPL). Format
ini menggambarkan dampak dari kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan dan bagaimana hal itu ditangani. Sebagai bagian
integral dari UKL/UPL, Pernyataan Jaminan Pelaksanaan UKL/UPL
juga termasuk. Format ini sesuai dengan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 16/2012 yang dapat dirujuk untuk panduan
lebih lanjut.
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
Surat Pernyataan dari Manajemen Proyek
a. Surat pernyataan dari manajemen proyek akan
menyatakan akuntabilitas mereka untuk
memastikan bahwa Rencana Pengelolaan
Lingkungan (UKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (UPL) akan dilakukan. Surat
pernyataan ini harus ditandatangani di atas
materai yang diakui oleh Kepala BLHD (badan
lingkungan setempat) dan Kepala Pemerintah
Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota).
b. Manajemen proyek terdiri dari pihak-pihak
262
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
yang menyiapkan dan melaksanakan Kegiatan
proyek, pihak-pihak yang bertanggung jawab
untuk operasi dan pemeliharaan atas Kegiatan
Proyek, dan pihak lain yang bertanggung jawab
untuk pengelolaan dan pemantauan lingkungan
I. uraian manajemen proyek
1.1 Nama
perusahaan
……………………………….
1.2 Nama Badan
Manajemen
Proyek
Nama entitas manajemen proyek dan deskripsi
pekerjaan mereka pada setiap tahap Kegiatan
Proyek, yang harus mencakup:
a. Badan atau kantor yang bertanggung jawab atas
penyusunan dan pelaksanaan Kegiatan Proyek.
b. Badan atau kantor yang bertanggung jawab atas
operasi dan pemeliharaan Kegiatan Proyek
setelah pekerjaan selesai.
c. Badan atau kantor yang bertanggung jawab atas
pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
1.3 Alamat,
Nomor Telepon
Alamat jelas lembaga atau kantor yang disebut
yang terkait dengan Kegiatan Proyek sesuai
263
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
dan Faks,
Website dan
dengan titik 1,1 di atas.
II. Uraian kegiatan Proyek dan dampaknya
2.1 Nama
Kegiatan Proyek
Nama Kegiatan Proyek secara jelas dan lengkap.
2.2 Lokasi
Kegiatan Proyek
a. Lokasi Kegiatan Proyek secara jelas dan
lengkap: Kelurahan/Desa, Kabupaten/kota, dan
Provinsi dimana Kegiatan Proyek dan
komponennya berlangsung.
b. Lokasi Kegiatan Proyek harus ditarik dalam
peta menggunakan skala yang memadai
(misalnya, 1: 50.000, disertai dengan lintang
dan bujur lokasi).
2.3 Skala dan
Kegiatan Proyek
Estimasi skala dan jenis Kegiatan Proyek
(menggunakan unit pengukuran yang dapat
diterima). Sebagai contoh: pembangunan pasar
kapasitas tertentu mungkin perlu disertai dengan
fasilitas pendukung sejalan dengan Rencana
Pengelolaan Lingkungan yang harus menyebutkan
264
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
jenis komponen serta skala.
2.4 Komponen
Kegiatan Proyek
dalam uraian
singkat
Penjelasan singkat dan jelas pada setiap
komponen dari Kegiatan Proyek yang memiliki
dampak lingkungan yang potensial. Komponen
pekerjaan harus dibagi berdasarkan tahapan
sebagai berikut:
a. Pra-konstruksi, misalnya: mobilisasi tenaga
kerja dan material, transportasi, dll
b. Konstruksi, misalnya penggunaan air tanah,
meletakkan pipa utilitas, dll
c. Operasi dan Pemeliharaan: Pasca konstruksi,
misalnya: pembersihan bahan limbah yang
digali, dll
Juga, melampirkan bagan alur/diagram untuk
menjelaskan aliran pekerjaan yang harus
dilakukan, jika dapat diterapkan.
III POTENSI
DAMPAK
LINGKUNGAN
Jelaskan secara singkat dan jelas tentang
Aktivitas Proyek dengan dampak lingkungan yang
potensial, jenis dampak yang mungkin terjadi,
besarnya dampak, dan hal-hal lain yang
265
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
dibutuhkan untuk menggambarkan setiap potensi
dampak lingkungan pada lingkungan alam dan
sosial. Deskripsi tersebut dapat disajikan dalam
tabulasi, dengan masing-masing kolom mewakili
masing-masing aspek. Penjelasan mengenai ukuran
atau besarnya dampak harus disertai dengan unit
pengukuran berdasarkan undang-undang dan
peraturan yang berlaku atau analisis ilmiah
tertentu. .
IV. Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan
4.1 Rencana
Pengelolaan
Lingkungan
a. Rencana Pengelolaan Lingkungan (UKL) terdiri
dari rencana itu sendiri, serta pihak yang
bertanggung jawab, frekuensi intervensi,
jadwal pelaksanaan, dan jenis mekanisme
(misalnya: prosedur manajemen, metode, dll)
untuk mengurangi dampak lingkungan yang
teridentifikasi pada Bagian III di atas.
b. Rencana tersebut dapat disajikan dalam format
tabel, yang minimal berisi kolom berikut:
jenis dampak, sumber, besarnya, ambang batas,
266
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
rencana pengelolaan, dan frekuensi
intervensi, pihak yang bertanggung jawab, dan
keterangan lainnya.
4.2 Rencana
Pemantauan
Lingkungan
a. Rencana Pemantauan Lingkungan (UPL) terdiri
dari rencana itu sendiri, pihak yang
bertanggung jawab, frekuensi intervensi,
jadwal pelaksanaan, dan jenis mekanisme
(misalnya: prosedur untuk pemantauan, metode,
dll) untuk memantau rencana pengelolaan
lingkungan yang dijelaskan dalam bagian 4.1
di atas.
b. Rencana tersebut dapat disajikan dalam format
tabel, yang minimal berisi kolom berikut:
jenis dampak, sumber, besarnya, ambang batas,
rencana pengelolaan, dan frekuensi
intervensi, pihak yang bertanggung jawab, dan
keterangan lainnya. Dalam rencana pemantauan
ini, ambang batas harus mematuhi peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan
dampak lingkungan sebagaimana telah
diidentifikasi dalam Bagian III di atas.
267
Judul Bab/Sub
Bab
Isi/Keterangan
V. TANDA
TANGAN DAN
STEMPEL KANTOR
Setelah dokumen UKL / UPL disiapkan dan lengkap,
Manajer Proyek harus menandatangani dan
membubuhkan stempel resmi pada dokumen.
VI. RUJUKAN Masukkan berbagai rujukan yang digunakan dalam
penyusunan UKL/UPL.
VII. LAMPIRAN-
LAMPIRAN
Lampirkan dokumen atau informasi yang relevan
dengan UKL/UPL, yaitu tabel yang menampilkan
hasil pemantauan, dan lain-lain.
268
Lampiran F. PERNYATAAN JAMINAN UNTUK UKL/UPL
No:…………………….
Dalam upaya untuk mencegah, mengurangi dan / atau mengatasi
potensi dampak lingkungan dari Pekerjaan
Kontruksi.............................. , di Kabupaten /
Provinsi .............. serta sesuai dengan tugas dan wewenang
Dinas ................ , Kabupaten / Provinsi akan melaksanakan
Rencana Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (UPL) dan termasuk rekomendasi dari UKL / UPL ke
dalam Desain Secara Rinci.
Untuk tahap berikutnya, yang merupakan pekerjaan fisik,
pelaksanaan rekomendasi dari UKL / UPL dilakukan oleh pihak yang
bertanggung jawab untuk pekerjaan fisik, yang merupakan "Satker
.............. ....... Kabupaten / Provinsi .................. "
Pernyataan ini dibuat sebagaimana mestinya, sebagai konfirmasi
untuk mendukung Rencana Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Rencana
Pemantauan Lingkungan (UPL) pada Pekerjaan Konstruksi untuk
Pembangunan .................. ....., di Kabupaten / Provinsi
.............
Lokasi,.........................., Tanggal…..………..
DINAS…………….………………............
269
KABUPATEN/PROVINSI.......................
Satker
NAMA .................................
270
Lampiran G. PROSEDUR PENEMUAN KESEMPATAN PCR
Definisi. Kesempatan menemukan adalah penemuan yang tidak
disengaja atas arkeologi, sejarah, budaya, dan materi tetap
selama konstruksi atau operasi proyek. Prosedur kesempatan
menemukan adalah prosedur spesifik proyek yang akan diikuti jika
warisan budaya yang tidak diketahui sebelumnya ditemui selama
kegiatan proyek. Prosedur tersebut pada umumnya mencakup
persyaratan untuk memberitahu otoritas yang relevan atas benda
atau lokasi yang ditemukan oleh para ahli warisan budaya; untuk
memagari area atau lokasi penemuan untuk menghindari gangguan
lebih lanjut; untuk melakukan penilaian atas benda atau lokasi
yang ditemukan oleh para ahli warisan budaya; untuk
mengidentifikasi dan menerapkan tindakan yang sesuai dengan
persyaratan dari Bank Dunia dan hukum Indonesia; dan untuk
melatih personil proyek dan pekerja proyek pada prosedur
menemukan kesempatan.
Tujuan.
Untuk melindungi sumber daya budaya fisik dari
dampak merugikan atas kegiatan proyek dan
mendukung pelestariannya.
Untuk mempromosikan pembagian keuntungan yang
merata dari penggunaan PCR.
Prosedur.
271
a. Jika PT SMI, konsultan atau kontraktor mereka menemukan
situs arkeologi, situs sejarah, sisa-sisa dan benda-
benda, termasuk kuburan dan/atau kuburan individu selama
penggalian atau konstruksi, mereka harus:
b. Menghentikan kegiatan konstruksi di daerah menemukan
kesempatan;
c. Menggambarkan dan memberi pagar pada situs atau daerah
yang ditemukan;
d. Mengamankan situs untuk mencegah kerusakan atau
kehilangan benda bergerak. Dalam kasus barang bergerak
antik atau sensitif, penjaga malam harus disiapkan sampai
pemerintah daerah yang bertanggung jawab atau Departemen
Kebudayaan Kabupaten/Provinsi, atau Lembaga Arkeologi
setempat sudah siap ntuk mengambil alih;
e. Melarang pekerja atau pihak lain untuk mengambil objek;
f. Memberitahu semua personil sub-proyek atas penemuan dan
mengambil tindakan pencegahan perlindungan awal;
r. Mencatat kesempatan menemukan objek dan tindakan awal;
s. Memberitahu dengan segera kepada pemerintah setempat yang
bertanggung jawab dan Lembaga Arkeologi terkait;
t. Pemerintah daerah yang bertanggung jawab akan bertugas
melindungi dan melestarikan situs sebelum memutuskan
prosedur yang tepat berikutnya. Ini akan membutuhkan
evaluasi awal mengenai temuan yang akan dilakukan oleh
272
Lembaga Arkeologi setempat. Arti dan pentingnya temuan
harus dinilai sesuai dengan berbagai kriteria yang
relevan dengan warisan budaya; termasuk nilai-nilai
estetika, sejarah, ilmiah atau penelitian, sosial dan
ekonomi;
u. Keputusan tentang bagaimana menangani temuan harus
diambil oleh otoritas yang bertanggung jawab. Hal ini
dapat mencakup perubahan tata letak sub-proyek (seperti
ketika menemukan benda budaya yg tdk dpt dipindahkan atau
arkeologi penting) konservasi, pelestarian, pemulihan dan
penyelamatan;
v. Pelaksanaan keputusan otoritas mengenai pengelolaan
temuan harus disampaikan secara tertulis oleh otoritas
setempat yang relevan;
w. Langkah-langkah mitigasi dapat mencakup perubahan desain
sub-proyek/tata letak, perlindungan, konservasi,
restorasi, dan/atau pelestarian situs dan/atau benda;
x. Pekerjaan konstruksi di lokasi bisa dilanjutkan hanya
setelah izin diberikan dari pemerintah setempat yang
bertanggung jawab mengenai perlindungan warisan tersebut;
dan
y. PT SMI, konsultan dan kontraktor mereka, akan bekerja
sama dengan pemerintah daerah terkait untuk memantau
semua kegiatan konstruksi dan memastikan bahwa tindakan
273
pelestarian yang memadai diambil dan karenanya situs
warisan dilindungi.
274
Lampiran H SAMPEL FORMULIR PENGADUAN
No. Rujukan
Nama Lengkap
Mohon beri tanda
bagaimana anda ingin
dihubungi (surat,
telepon, surel).
Mohon beri tanda bagaimana anda ingin
dihubungi
Provinsi/Kabupaten
Tanggal
Kategori pengaduan
1. Atas pengabaian (rumah sakit, rumah
umum)
2. Atas aset/properti yang terkena
dampak proyek
3. Atas infrastruktur
4. Atas penurunan atau kerugian total
atas sumber pendapat
5. Atas permasalahan lingkungan hidup
(misalnya polusi)
6. Atas pekerjaan
7. Atas lalu lintas, transportasi dan
risiko lainnya
8-Lain-lain (Mohon jelaskan):
275
Uraian Pengaduan Apa yang terjadi? Kapan itu terjadi? Dimana
itu terjadi? Apa hasil dari masalah itu?
Apa yang Anda inginkan untuk terjadi dalam menyelesaikan
masalah tersebut?
Tanda tangan: Tanggal:
276
Lampiran I. SAMPEL FORMULIR PENUTUPAN PENGADUAN
Nomor tutup pengaduan:
Menetapkan tindakan segera
yang diperlukan:
Menetapkan tindakan jangka
panjang yang diperlukan (jika
perlu):
Kompensasi yang dibutuhkan? [ ] YA [
] TIDAK
KENDALI ATAS TINDAKAN PEMULIHAN DAN KEPUTUSAN
Tahap-tahap Tindakan Pemulihan Batas waktu dan Lembaga
yang Bertanggung jawab
1.
2.
3.
4.
5.
KOMPENSASI DAN TAHAP AKHIR
Bagian ini akan diisi dan ditandatangani oleh pengadu setelah
dia menerima biaya kompensasi dan pengaduannya telah dipulihkan.
Catatan:
Nama-Nama Keluarga dan Tanda Tangan
Tanggal…./…../…..
277
Dari Pengadu:
Wakil Lembaga/Perusahaan yang Bertanggung Jawab
Jabatan-Nama-Nama Keluarga dan Tanda Tangan
278
Lampiran J. ISI UMUM RENCANA PEMBANGUNAN MASYARAKAT ADAT
Latar Belakang dan Konteks
i. Proyek dan komponen proyek
ii. Uraian singkat tentang Masyarakat Adat / etnis minoritas (IP
/ EM) di negara proyek yang relevan
iii. Kerangka hukum yang relevan
iv. Ringkasan temuan mengenai Penilaian Sosial (bagian dari
ESIA), termasuk antara lain:
a. data dasar dari IP/ EM
b. Peta daerah pengaruh proyek dan daerah yang dihuni oleh IP
/ EM
c. Analisis struktur sosial IP/ EM dan sumber-sumber
pendapatan
d. Persediaan sumber daya yang digunakan oleh IP / EM, dan
data teknis pada sistem produksi mereka
e. Informasi tentang praktik dan pola budaya
f. Hubungan IP / EM pada kelompok lokal / nasional lainnya
v. Dampak utama yang positif pada proyek pada IP / EM
vi. Dampak utama yang negatif pada proyek pada IP / EM
Tujuan IPP
i. Menerangkan tujuan IPP
279
Kegiatan Pengembangan dan/atau Mitigasi
i. Menguraikan detail kegiatan pengembangan
ii. Menguraikan detail kegiatan mitigasi
Strategi untuk Partisipasi IP/EM
i. Menguraikan mekanisme untuk partisipasi IP / EM dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
ii. Menguraikan prosedur untuk menyampaikan keluhan oleh IP / EM
Pengaturan Kelembagaan
i. Mengidentifikasi tugas dan tanggung jawab utama dalam
perencanaan, pengelolaan, dan pemantauan pembangunan, dan / atau
kegiatan mitigasi
ii. Mengidentifikasi peran LSM atau organisasi IP / EM dalam
melaksanakan pembangunan dan / atau kegiatan mitigasi.
Anggaran dan Pembiayaan
i. Mengidentifikasi biaya pengembangan dan / atau biaya
kegiatan mitigasi dan sumber pendanaan
Pengawasan, Pemantauan dan Evaluasi
i. Menetapkan pengaturan untuk pengawasan, pemantauan, dan
evaluasi
ii. Strategi dan jadwal implementasi
280
iii. Menyusun rencana pemantauan internal mengenai sasaran
pembangunan utama dan /atau kegiatan mitigasi
281
Lampiran K. ISI PENGAMBILALIHAN LAHAN DAN RENCANA AKSI
PEMUKIMAN KEMBALI (LARAP)
Ruang lingkup dan tingkat detail dari rencana pemukiman kembali
bervariasi dengan besarnya dan kompleksitas pemukiman kembali
secara paksa. Rencana ini didasarkan pada informasi terkini dan
informasi yang dapat dipercaya tentang (a) pemukiman kembali
yang diusulkan dan dampaknya terhadap pengungsi dan kelompok
lain yang terkena dampak yang merugikan, dan (b) masalah hukum
yang terlibat dalam pemukiman kembali. Rencana pemukiman kembali
mencakup unsur-unsur di bawah ini, sebagaimana relevan.
1. Deskripsi proyek. Gambaran umum proyek dan identifikasi
wilayah proyek.
2. Potensi dampak. Identifikasi komponen atau kegiatan proyek
yang menimbulkan pemukiman kembali; zona dampak dari
komponen atau kegiatan tersebut; alternatif yang
dipertimbangkan untuk menghindari atau meminimalkan
pemukiman kembali; dan mekanisme yang ditetapkan untuk
meminimalkan pemukiman kembali, sejauh mungkin, selama
pelaksanaan proyek.
3. Tujuan. Tujuan utama dari program pemukiman kembali.
4. Studi Sosioekonomi. Temuan studi sosial ekonomi yang akan
dilakukan pada tahap awal persiapan proyek dan dengan
keterlibatan pengungsi yang berpotensi, termasuk hasil
survei sensus yang mencakup:
282
a. penghuni daerah yang terkena dalam saat ini untuk
membangun pondasi untuk desain program pemukiman
kembali dan untuk mengecualikan arus masuk berikutnya
dari orang-orang untuk kelayakan atas kompensasi dan
bantuan pemukiman kembali;
b. karakteristik standar rumah tangga pengungsi, sistem
produksi, tenaga kerja, dan organisasi rumah tangga;
dan informasi dasar tentang mata pencaharian (termasuk,
sebagaimana relevan, tingkat produksi dan penghasilan
yang diperoleh dari kegiatan ekonomi formal dan
informal) dan standar hidup (termasuk status kesehatan)
dari populasi pengungsi;
c. besarnya kerugian yang diperkirakan – seluruhnya atau
sebagian aset, dan tingkat perpindahan, fisik atau
ekonomi;
d. Informasi tentang kelompok rentan atau orang-orang
sebagaimana diatur dalam OP 4.12, ayat 8, untuk siapa
ketentuan khusus mungkin harus dilakukan; dan
e. Ketentuan untuk memperbarui informasi pada mata
pencaharian dan standar hidup secara berkala para
pengungsi sehingga informasi terbaru tersedia pada saat
perpindahan mereka.
5. Studi lainnnya menguraikan berikut ini
283
a. kepemilikan tanah dan sistem pengalihan, termasuk
inventarisasi sumber daya alam yang merupakan milik
umum, dari mana orang memperoleh mata mata pencaharian
dan rezeki mereka, system hak pakai hasil non
kepemilikan (termasuk perikanan, penggembalaan, atau
penggunaan kawasan hutan) diatur oleh mekanisme alokasi
tanah yang diakui setempat;
b. pola interaksi sosial di masyarakat yang terkena
dampak, termasuk jaringan sosial dan sistem dukungan
sosial, dan bagaimana mereka akan terkena dampak
proyek;
c. infrastruktur publik dan pelayanan sosial yang akan
terkena dampak; dan
d. karakteristik sosial dan budaya dari komunitas
pengungsi, termasuk deskripsi lembaga formal dan
informal (misalnya, organisasi masyarakat, kelompok
ritual, lembaga swadaya masyarakat (LSM)) yang mungkin
relevan dengan strategi konsultasi dan untuk merancang
dan melaksanakan kegiatan pemukiman kembali.
Kerangka hukum. Temuan-temuan analisis mengenai kerangka hukum,
yang meliputi
a. lingkup kekuasaan domain utama dan sifat kompensasi
yang terkait dengan itu, baik dari segi metodologi
penilaian dan waktu pembayaran;
284
b. prosedur hukum dan administrasi yang berlaku, termasuk
deskripsi dari solusi yang tersedia untuk pengungsi
dalam proses peradilan dan jangka waktu normal untuk
prosedur tersebut, dan setiap alternatif mekanisme
penyelesaian sengketa yang tersedia yang mungkin
relevan dengan pemukiman kembali dalam proyek;
c. hukum yang relevan (termasuk hukum adat dan
tradisional) yang mengatur kepemilikan lahan, penilaian
aset dan kerugian, kompensasi, dan hak penggunaan
sumber daya alam; hukum pribadi adat yang terkait
dengan perpindahan; dan hukum lingkungan dan peraturan
kesejahteraan sosial;
d. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
kegiatan pemukiman kembali;
e. kesenjangan, jika ada, antara hukum setempat yang
meliputi domain utama dan pemukiman kembali dan
kebijakan pemukiman kembali dari Bank, dan mekanisme
untuk menjembatani kesenjangan tersebut; dan
f. Langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk menjamin
pelaksanaan yang efektif dari kegiatan pemukiman
kembali di bawah proyek, termasuk, yang sesuai, proses
untuk mengakui klaim atas hak-hak hukum atas tanah -
285
termasuk klaim yang berasal dari hukum adat dan
penggunaan tradisional (lihat OP 4.12, ayat 15 b).
g. kesenjangan, jika ada, antara hukum setempat yang
meliputi domain utama dan pemukiman kembali dan
kebijakan pemukiman kembali dari Bank, dan mekanisme
untuk menjembatani kesenjangan tersebut; dan
h. Langkah-langkah hukum yang diperlukan untuk menjamin
pelaksanaan yang efektif dari kegiatan pemukiman
kembali di bawah proyek, termasuk, yang sesuai, proses
untuk mengakui klaim atas hak-hak hukum atas tanah -
termasuk klaim yang berasal dari hukum adat dan
penggunaan tradisional (lihat OP 4.12, ayat 15 b).
Kerangka kelembagaan. Temuan-temuan dari analisis kerangka
kelembagaan yang meliputi
a. identifikasi instansi yang bertanggung jawab untuk
kegiatan pemukiman kembali dan LSM yang mungkin
memiliki peran dalam pelaksanaan proyek;
b. penilaian terhadap kapasitas kelembagaan lembaga dan
LSM tersebut; dan
c. Langkah-langkah yang diusulkan untuk meningkatkan
kapasitas kelembagaan lembaga dan LSM yang bertanggung
jawab untuk pelaksanaan pemukiman kembali.
286
Kelayakan. Definisi pengungsi dan kriteria untuk menentukan
kelayakan atas kompensasi mereka dan bantuan pemukiman kembali
lainnya, termasuk tanggal akhir terkait.
Penilaian dan kompensasi atas kerugian. Metodologi yang akan
digunakan dalam menilai kerugian untuk menentukan biaya
pengganti mereka; dan deskripsi dari jenis dan tingkat
kompensasi yang diusulkan menurut hukum setempat dan langkah-
langkah tambahan tersebut sebagaimana diperlukan untuk mencapai
biaya penggantian atas aset yang hilang.
Langkah-langkah pemukiman kembali. Keterangan tentang paket
kompensasi dan langkah-langkah pemukiman kembali lainnya yang
akan membantu setiap kategori pengungsi yang memenuhi syarat
untuk mencapai tujuan dari kebijakan tersebut (lihat OP 4.12,
ayat 6). Selain layak secara teknis dan ekonomis, paket
pemukiman kembali harus kompatibel dengan preferensi budaya
pengungsi, dan siap berkonsultasi dengan mereka.
Pemilihan lokasi, persiapan lokasi, dan relokasi. Tempat
relokasi alternatif dipertimbangkan dan penjelasan dari mereka
yang dipilih, meliputi
a. pengaturan kelembagaan dan teknis untuk
mengidentifikasi dan menyiapkan lokasi relokasi, apakah
pedesaan atau perkotaan, dimana kombinasi potensi
produktif, keuntungan lokasi, dan faktor lainnya
setidaknya sebanding dengan keuntungan dari lokasi
287
lama, dengan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk
membebaskan dan memindahkan tanah dan sumber daya
tambahan;
b. langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah
spekulasi tanah atau masuknya orang yang tidak memenuhi
syarat pada lokasi yang dipilih;
c. prosedur untuk relokasi fisik di bawah proyek, termasuk
jadwal untuk persiapan dan pemindahan lokasi; dan
d. pengaturan hukum untuk mengatur kepemilikan dan
memindahkan hak kepemilikan kepada para pemukim
kembali.
Pelayanan perumahan, infrastruktur, dan sosial. Rencana untuk
menyediakan (atau untuk membiayai penyediaan para pemukim
kembali atas) pelayanan perumahan, infrastruktur (misalnya,
pasokan air, jalan pengumpan), dan sosial (misalnya, sekolah,
pelayanan kesehatan); rencana untuk memastikan layanan sebanding
dengan penduduk tuan rumah; setiap pembangunan lokasi yang
diperlukan, rekayasa, dan desain arsitektur untuk fasilitas ini.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Uraian tentang batas-
batas wilayah relokasi; dan penilaian terhadap dampak lingkungan
dari pemukiman kembali dan langkah-langkah yang diusulkan untuk
mengurangi dan mengelola dampak tersebut (dikoordinasikan sesuai
dengan kajian lingkungan dari investasi utama yang membutuhkan
pemukiman kembali).
288
Partisipasi masyarakat. Keterlibatan para pemukim kembali dan
masyarakat tuan rumah,
a. deskripsi strategi untuk konsultasi dengan dan
partisipasi pada para pemukim kembali dan tuan rumah
dalam desain dan pelaksanaan kegiatan pemukiman
kembali;
b. ringkasan pandangan yang diungkapkan dan bagaimana
pandangan tersebut diperhitungkan dalam penyusunan
rencana pemukiman kembali;
c. tinjauan atas alternatif pemukiman kembali yang
disajikan dan pilihan yang dibuat oleh pengungsi
mengenai pilihan yang tersedia bagi mereka, termasuk
pilihan yang berkaitan dengan bentuk-bentuk kompensasi
dan bantuan pemukiman kembali, untuk relokasi individu
sebagai keluarga atau sebagai bagian dari masyarakat
yang sudah ada atau kelompok kekerabatan, untuk
mempertahankan pola organisasi kelompok yang ada, dan
untuk mempertahankan akses ke benda cagar budaya
(misalnya tempat ibadah, pusat-pusat ziarah, kuburan);
dan
d. Pengaturan yang dilembagakan dengan mana pengungsi
dapat mengkomunikasikan keprihatinan mereka pada
pejabat berwenang proyek selama perencanaan dan
pelaksanaan, dan langkah-langkah untuk memastikan bahwa
289
kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat adat, etnis
minoritas, tidak memiliki tanah, dan perempuan secara
memadai terwakili.
Integrasi dengan populasi setempat. Langkah-langkah untuk
memitigasi dampak pemukiman kembali pada pemukim setempat
1. konsultasi dengan masyarakat setempat dan pemerintah
daerah;
2. pengaturan untuk tender yang cepat atas pembayaran yang
jatuh tempo dimana sejumlah atas tanah atau aset lain yang
disediakan untuk para pemukim kembali;
3. pengaturan untuk menangani konflik yang mungkin timbul
antara pemukim kembali dan masyarakat setempat; dan
4. Setiap langkah yang diperlukan untuk meningkatkan layanan
(misalnya, layanan pendidikan, air, kesehatan, dan
produksi) di masyarakat setempat untuk membuat mereka
setidaknya sebanding dengan layanan yang tersedia untuk
para pemukim kembali.
Prosedur pengaduan. Prosedur yang terjangkau dan dapat diakses
untuk penyelesaian sengketa pihak ketiga yang timbul dari
pemukiman; mekanisme pengaduan tersebut harus memperhitungkan
ketersediaan jalan peradilan dan masyarakat dan mekanisme
penyelesaian sengketa tradisional.
Tanggung jawab organisasi. Kerangka organisasi untuk pelaksanaan
pemukiman kembali, termasuk identifikasi instansi yang
290
bertanggung jawab untuk pengiriman tindakan pemukiman dan
penyediaan layanan; pengaturan untuk memastikan koordinasi yang
tepat antara lembaga dan yurisdiksi yang terlibat dalam
pelaksanaan; dan langkah-langkah (termasuk bantuan teknis) yang
diperlukan untuk memperkuat kapasitas lembaga pelaksana untuk
merancang dan melaksanakan kegiatan pemukiman kembali; ketentuan
untuk memindahkan ke otoritas setempat atau transmigran sendiri
dalam bertanggung jawab untuk mengelola fasilitas dan layanan
yang disediakan di bawah proyek dan untuk memindahkan tanggung
jawab lain dari badan pelaksanaan pemukiman kembali, saat
dibutuhkan.
Jadwal pelaksanaan. Jadwal pelaksanaan yang mencakup semua
kegiatan pemukiman kembali mulai dari persiapan sampai
pelaksanaan, termasuk tanggal target untuk pencapaian manfaat
yang diharapkan bagi pemukim kembali dan pemukim setempat dan
mengakhiri berbagai bentuk bantuan. Jadwal harus menunjukkan
bagaimana kegiatan pemukiman kembali terkait dengan pelaksanaan
proyek secara keseluruhan.
Biaya dan anggaran. Tabel menunjukkan perkiraan biaya per item
untuk semua kegiatan pemukiman kembali, termasuk tunjangan untuk
inflasi, pertumbuhan penduduk, dan kontinjensi lainnya; Jadwal
untuk pengeluaran; sumber dana; dan pengaturan untuk kelancaran
dana, dan dana untuk pemukiman kembali, jika ada, di daerah-
daerah di luar yurisdiksi lembaga pelaksana.
291
Pemantauan dan evaluasi. Pengaturan untuk pemantauan kegiatan
pemukiman kembali oleh badan pelaksana, dilengkapi dengan
pemantau independen yang dianggap tepat oleh Bank, untuk
memastikan informasi yang lengkap dan obyektif; indikator
pemantauan kinerja untuk mengukur input, output, dan hasil untuk
kegiatan pemukiman kembali; keterlibatan para pengungsi dalam
proses pemantauan; evaluasi dampak pemukiman kembali untuk
jangka waktu yang wajar setelah semua kegiatan pembangunan
pemukiman dan terkait telah selesai; menggunakan hasil
pemantauan pemukiman kembali untuk memandu pelaksanaan
berikutnya.
292
Lampiran L. ISI SINGKATAN PENGAMBILALIHAN LAHAN DAN RENCANA
AKSI PEMUKIMAN KEMBALI
1. Deskripsi proyek: Gambaran umum proyek dan identifikasi
wilayah proyek
2. Potensi dampak: Identifikasi (i) komponen sub-proyek atau
kegiatan yang memerlukan pengambilalihan lahan, (ii) zona
dampak dari komponen/kegiatan tersebut
3. Sensus atas Pihak yang Terkena Dampak Proyek (PAP): Hasil
sensus dan inventarisasi aset, termasuk (i) daftar WTP,
membedakan antara mereka dengan hak atas tanah dan mereka
yang tidak, dan (ii) inventarisasi bidang dan struktur yang
terkena dampak.
4. Analisis Hukum: Deskripsi langkah-langkah hukum untuk
menjamin pelaksanaan yang efektif dari pengambilalihan
tanah di bawah sub-proyek, termasuk, yang sesuai, proses
untuk mengenali klaim untuk hak hukum untuk tanah termasuk
klaim yang berasal dari hukum adat dan penggunaan
tradisional.
5. Kelayakan: Identifikasi PAP yang akan memenuhi syarat untuk
kompensasi dan penjelasan tentang kriteria yang digunakan
untuk menentukan kelayakan
293
6. Penilaian aset dan perhitungan kompensasi kerugian: Uraian
tentang prosedur yang akan diikuti untuk menentukan bentuk
dan jumlah kompensasi yang akan ditawarkan kepada PAP.
7. Konsultasi dengan orang-orang yang akan kehilangan tanah
dan aset lainnya: Deskripsi kegiatan yang dilakukan untuk
(1) menginformasikan PAP tentang dampak proyek dan prosedur
dan pilihan kompensasi, dan (2) memberikan kesempatan PAP
untuk menyatakan pendapat mereka
8. Tanggung jawab Organisasi: Deskripsi singkat mengenai
kerangka organisasi untuk melaksanakan pengambilalihan.
9. Jadwal Pelaksanaan: Jadwal pelaksanaan yang mencakup
pengambilalihan lahan, termasuk tanggal target untuk
penyerahan kompensasi. Jadwal harus menunjukkan bagaimana
kegiatan pengambilalihan lahan terkait dengan pelaksanaan
proyek secara keseluruhan.
10. Biaya dan anggaran: Perkiraan biaya untuk pengambilalihan
lahan untuk sub-proyek.
11. Prosedur Pengaduan: Prosedur yang terjangkau dan dapat
diakses untuk penyelesaian pihak ketiga terhadap sengketa
yang timbul dari pengambilalihan lahan; mekanisme pengaduan
tersebut harus memperhitungkan ketersediaan jalan peradilan
dan masyarakat dan mekanisme penyelesaian sengketa
tradisional.
294
12. Pemantauan: Pengaturan untuk memantau kegiatan
pengambilalihan tanah dan penyerahan kompensasi kepada PAP.
295
1
PT SARANA MULTI INFRASTRUKTUR
GEOTHERMAL ENERGY UPSTREAM DEVELOPMENT PROJECT
ENVIRONMENTAL AND SOCIAL MANAGEMENT FRAMEWORK
INCORPORATING:
RESETTLMENT POLICY FRAMEWORK
INDIGENOUS PEOPLES’ PLANNING FRAMEWORK
Draft V2 for Consultation Purposes
July 2016
2
TABLE OF CONTENTS
1 INTRODUCTION ................................................................................................................................ 6
Background 6 1.1 Project Objectives 7 1.2 Project Description 7 1.3 Detailed Sub-Project Descriptions 10 1.4
2 THE GEUDP SAFEGUARD FRAMEWORKS ....................................................................................... 16
3 SAFEGUARDS LAWS, REGULATIONS AND POLICIES ....................................................................... 17
Indonesian Laws and Regulations relating to Environmental Management and Impact 3.1Assessment 17
World Bank Policies 20 3.2 Gap Analysis 22 3.3
4 ANTICIPATED ENVIRONMENTAL AND SOCIAL IMPACTS AND MITIGATION MEASURES ............... 24
Geothermal Exploration – Drilling Activities and Associated Infrastructure and Activities24 4.1 Linked Projects: Geothermal Exploitation – Energy Generation and Associated 4.2
Infrastructure and Activities 32 5 SUB-PROJECT SAFEGUARDS OPERATIONAL PROCEDURES ............................................................ 42
Overview 42 5.1 Step 1: Basic Screening 43 5.2 Step 2: Detailed Screening 43 5.3 Step 3: Preparation, Consultation and Disclosure of Safeguards Instruments 48 5.4 Step 4: Clearances and Approvals 48 5.5 Step 5: Implementation and Monitoring 49 5.6 Step 6: Post Exploration Recommendations 49 5.7 Technical Advisory Operational Procedures 49 5.8
6 RESETTLEMENT POLICY FRAMEWORK ........................................................................................... 51
Key Principles 51 6.1 Indonesian Laws and Policies Relating to Land Acquisition 52 6.2 World Bank Safeguard Policy OP4.12 Involuntary Resettlement 54 6.3 Gap Analysis 55 6.4 Process for Preparing and Approving Resettlement Action Plan 55 6.5 Cut-off Date & Eligibility Criteria for Affected Persons 58 6.6 Proof of Eligibility 58 6.7 Entitlement Policy 59 6.8 Full Replacement Cost and Livelihoods Restoration 59 6.9
Negotiated Land Acquisition / Voluntary Transaction 59 6.107 INDIGENOUS PEOPLES’ PLANNING FRAMEWORK ......................................................................... 62
Objectives and Principles 62 7.1 Indonesian Laws and Regulations relating to Indigenous Peoples Safeguards 62 7.2 World Bank Policy OP4.10 Indigenous Peoples 64 7.3 General Requirements 65 7.4 Special Requirements 66 7.5
8 CONSULTATION AND DISCLOSURE ................................................................................................ 68
Safeguard Framework Consultation 68 8.1 Good Practice Guidance on Technical Advisory Consultation 68 8.2 Stakeholder Engagement and Consultation on Geothermal Sub-Project 68 8.3
3
Public Consultation Tools 70 8.49 INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS AND CAPACITY BUILDING ........................................................ 73
Institutional Roles and Responsibilities 73 9.1 PT SMI Environmental and Social Management System 76 9.2 Capacity Building 77 9.3 Budget 79 9.4
10 MONITORING AND REPORTING ..................................................................................................... 81
11 GRIEVANCE REDRESS MECHANISM ............................................................................................... 83
Introduction 83 11.1 Approach to Grievance Redress 83 11.2 The GEUDP Grievance Redress Mechanism 84 11.3 GRM Assessments for Sub-projects 86 11.4
Appendix A. BASIC SCREENING CHECKLIST ......................................................................................... 88
Appendix B. DETAILED SCREENING CHECKLISTS ................................................................................. 95
Appendix C. ESIA REPORT OUTLINE FOR CATEGORY A SUB-PROJECTS ............................................ 105
Appendix D. ENVIRONMENTAL AND SOCIAL MANAGEMENT PLAN TEMPLATE ............................... 107
Appendix E. FORMAT OF UKL/UPL .................................................................................................... 110
Appendix F. STATEMENT OF ASSURANCE FOR UKL/UPL .................................................................. 114
Appendix G. PCR CHANCE FIND PROCEDURE .................................................................................... 115
Appendix H. SAMPLE OF GRIEVANCE FORM ..................................................................................... 117
Appendix I. SAMPLE GRIEVANCE CLOSE OUT FORM ........................................................................... 118
Appendix J. GENERIC CONTENTS OF INDIGENOUS PEOPLES’ DEVELOPMENT PLAN ........................... 119
Appendix K. CONTENT OF LAND ACQUISITION AND RESETTLEMENT ACTION PLAN (LARAP) .......... 121
Appendix L. CONTENTS OF AN ABBREVIATED LAND ACQUISITION AND RESETTLEMENT ACTION PLAN 126
4
LIST OF ABBREVIATIONS
AOI Area of Influence
AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Environmental Impact Assessment)
BG Badan Geologi (Geological Agency)
BPN Badan Pertanahan National (National Land Bureau)
BPS Badan Pusat Statistik (National Statistical Bureau)
Bupati Head of Regency
CTF Climate Technology Fund
DED Detailed Engineering Design
DG Directorate General
DG EBTKE Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi [Renewable Energy and
Energy Conservation]
EA Environmental Assessment
ESIA Environmental and Social Impact Assessment
ESMF Environment and Social Management Framework
ESMP Environment and Social Management Plan
GEF Global Environment Facility
GFF Global Fund Facility
GEUDP Geothermal Energy Upstream Development Project
GIS Geographical Information System
GNZ Government of New Zealand
GOI Government of Indonesia
GRM Grievance Redress Mechanism
IBRD International Bank for Reconstruction and Development
IGF Investment Guarantee Fund
IIFF Indonesia Infrastructure Finance Facility
IPs Indigenous Peoples
IPDP Indigenous Peoples’ Development Plan
IPPF Indigenous Peoples’ Planning Framework
ISA Indonesian Society of Appraisers
5
KAT Kelompok Adat Terasing (Isolated Indigenous Community)
Kecamatan Sub-District
Keppres Keputusan Presiden (Presidential Decree)
LARAP Land Acquisition and Resettlement Action Plan
MEMR Ministry of Energy and Mineral Resources
MHA Masyarakat Hukum Adat (Customary Law Community)
MoF Ministry of Finance
MW Megawatt
NGO Non-government Organization
PAP Project Affected Person
PCR Physical Cultural Resources
PCRMP Physical Cultural Resources Management Plan
PPP Pubic Private Partnership
PT SMI PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)
RUPTL Electricity Supply Business Plan or Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
SOE State Owned Enterprise
SPPL Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
(Letter of Environmental Management and Monitoring)
TA Technical Assistance
tCO2 Tons of Carbon Dioxide
TOR Terms of Reference
UKL/UPL Upaya Pengelolaan Lingkungan - Upaya Pemantauan Lingkungan (Environmental
Management and Monitoring Plan)
UUD Undang-undang Dasar (Constitution)
6
1 INTRODUCTION
This document details the environmental and social safeguard policies, principles, procedures, 1.
institutional arrangements, and workflows of PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) (PT SMI) to
guide the avoidance, minimization, or mitigation of any adverse environmental or social impacts of
infrastructure projects supported by the Geothermal Energy Upstream Development Project
(GEUDP).
Background 1.1
Over the past decade, Indonesia has seen strong economic growth and job creation. Indonesia’s 2.
rapid economic growth has been fuelled by an ever-expanding power sector. Nonetheless,
keeping up with high electricity demand is a key development challenge. In an effort to reconcile
the national electrification and economic development plans, the Government of Indonesia (GOI)
has put forward the Electricity Supply Business Plan or Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
(RUPTL), 2015-2024. Geothermal development is a pillar of the country’s Low Carbon Growth
Strategy and a key development priority for the GOI1. It is also one of the best options to provide a
base load response to fast-growing energy demand and diversify the energy mix in Indonesia.
Geothermal power is expected to contribute to the country’s greenhouse gas emission reduction
efforts, which targets a 29% cut by 2030 compared with a Business-As-Usual emissions projection
that starts in 20102.
Despite the geothermal potential and the focus of GoI and development partners, only about 5% 3.
of the total resources indigenous to Indonesia are currently developed to produce power. Against
a potential of approximately 27 GW, only about 1.3 GW of geothermal capacity has been
developed.
Slower-than-desired geothermal development is imputable to low levels of private sector 4.
participation, which in turn are in large part due to resource risk - a key barrier to geothermal
development which remains unaddressed in Indonesia. Realizing this, GOI’s renewed emphasis on
geothermal development includes a number of policy interventions specifically designed to
address resource risk and mobilize private capital.
PT SMI, in collaboration with the World Bank, is preparing the GEUDP with the objective to 5.
facilitate investments in geothermal-based electricity through government-sponsored, pre-license
1 The relevant national policies include: (i) Indonesia’s Second National Climate Change Communication (2009); (ii) the
Indonesia Green Paper (2009); (iii) the GOI National Energy Policy (2005); (iv) the Energy Blueprint 2005 – 2025; (v) Indonesia's National Long-Term Development Plan 2005-2025, and National Medium-Term Development Program for 2010 – 2014 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah, or RPJM); (vii) the National Action Plan for Climate Change (2007); (viii) the Development Planning Response to Climate Change (2008); (ix) the Climate Change Roadmap for the National Medium-Term Development Program for 2010 – 2014 (2009); (x) Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change Mitigation (2009). 2 Indonesia’s Intended Nationally Determined Contribution, 2015
7
drilling and by providing technical assistance and capacity building. The focus of this Project will be
on the geothermal power development market in Eastern Indonesia, where electrification rates
are lowest, poverty rates are highest and electricity generation is heavily reliant on diesel.
PT. SMI will be implementing agency of GEUDP, and is responsible for preparing the environmental 6.
and social safeguard documents and for safeguards management throughout the Project.
Project Objectives 1.2
The Project Development Objective is to facilitate investments in geothermal energy. The focus of 7.
the Project will be on the geothermal power market in Eastern Indonesia in order to increase
access to electricity in areas with high poverty rates and expensive diesel-fired power generation.
Project Description 1.3
The Project has three components, namely: (i) Component 1: Risk Mitigation for Geothermal 8.
Exploratory Drilling; (ii) Component 2: Technical Assistance and Capacity Building; and possibly3 (iii)
Component 3: Investment Support for Geothermal Exploitation as a follow-up to the CTF/GEF
support.
1.3.1 Component 1: Risk Mitigation for Geothermal Exploratory Drilling
Design Background: Component 1 focuses on supporting government-sponsored exploration 9.
drilling (the riskiest part of the geothermal development process as shown in the shaded area in
the schematic below). This approach has been used in several countries. The most recent is
Turkey, where a government agency funds exploration and drilling in selected areas and auctions
off the sites shown to be feasible for power production to private developers. Results are
promising: Turkey has the fastest growing geothermal sector in the world; and most of that growth
is based on development of fields where its geological agency (MTA) has carried out exploration
drilling, thus greatly reducing resource risk. Other countries that have taken this approach with
successful results are the US, New Zealand and Japan.
3 Refer Section 1.3.3 which outlines when and how this Component may be funded in future.
8
Business Model: If the exploration – to be executed by a service company on behalf of GoI – is 10.
successful, a development and operation license will be issued to a developer. At the time of
securing project financing, the developer will be required to repay the total cost of exploration
plus a risk premium to a dedicated fund within PT SMI. The replenishment of the PT SMI and CTF
support would ensure sustainability in the risk mitigation scheme. Based on the typical size of
plants observed, it is estimated that 65 MW could come on-line as a result of the exploration
drilling financed under this Project.
Geographic Focus and Scope of Drilling Activities: Site selection will be based on the utilization of 11.
geothermal resources to displace high-cost fossil alternatives outside the main load centers, where
electrification rates are lowest and electricity generation is heavily reliant on diesel. Site
screenings (including technical and safeguards) are expected to be conducted on a rolling-basis
based on suggestions made by the Ministry of Energy and Mineral Resources (MEMR) / Badan
Geologi (BG) and it is expected that four sites will be developed as a result of the Project. For each
site, a report will be prepared on the basis of the following information: (i) general details,
including location, prior surveys and plans, map of location; (ii) land denomination (e.g.
conservation forest, protection forest, etc.) ; (iii) field concept and summary of resource
estimation; (iv) summaries of geology, geophysics, geochemistry surveys; (v) summary of
temperature gradient wells; (vi) social and environmental issues; (vii) existing electricity
infrastructure in the area, including projected demand and power supply, transmission and
distribution lines; and (viii) probable type of development (e.g. flash, binary). The share of early-
stage exploration to be executed by a service company on behalf of GoI (or how many exploration
or reinjection wells will be drilled before a field is auctioned off) depends on findings from these
reports. Feasibility reports will be updated with the results from exploration drilling. If the
defined work area is considered feasible, these reports will form part of the tendering package for
the exploitation work area.
Expected Outcomes: Component 1 will deliver drilled wells, which provide data that serve as 12.
inputs to investment decisions. Assuming a portfolio of several smaller projects in Eastern
Indonesia, the Project is expected to directly enable 65 MW of new geothermal power capacity,
which, based on ESMAP estimates of development costs of about $6 million per MW, would imply
commercial investments of about US$390 million. The proposed concept involves setting up a
revolving Facility through which the funds used for exploration drilling will flow back to the facility
through repayment from developers who are successful in securing project financing. Given the
revolving nature of the Facility, it is expected that funds will flow back over three-year cycles for 15
years and that their use may enable 260 MW and about US$1.56 billion of new capacity and
investment.
9
1.3.2 Component 2: Technical Assistance and Capacity Building
This component will be financed by the Global Environment Facility (GEF). Building on the 13.
previous GEF engagement with the Indonesian geothermal sector4, GEF support will mainly be
focused on strengthening the indigenous capabilities for geothermal development by providing the
resources needed in order to establish an efficient and effective exploration and tendering
program5. Specifically, support to the government-sponsored drilling program will largely be
provided for carrying out geology, geochemistry and geophysics surveys (3G surveys) and
topographic mapping for candidate sites.
Support will be also made available for the preparation of drilling, well completion and resource 14.
assessment reports (based on 3G surveys), as well as for the bidding process for exploration
service companies. It is envisioned that such support will be carried out by specialist service
providers coordinated by an Exploration Management Consultant (EMC). In addition, technical
assistance will include the services of a Geothermal Consultant to support capacity building for
MEMR’s Geothermal Directorate (EBTKE). It is expected that the EMC will be financed by the GEF
grant and the Geothermal Consultant will be financed by a grant from the Government of New
Zealand (GNZ). The GNZ grant is designed complement CTF and GEF-supported activities. The GNZ
grant will support GoI on: (i) establishment of an effective GIS-enabled database by collating and
analyzing existing and new resource data, potentially to be housed within BG; (ii) building
methodology for robust resource and reserve estimation and reporting protocol to an
internationally acceptable standard; (iii) methodology for prioritization of potential sites for
geothermal development; and (iv) capacity building for MEMR and PT SMI for tendering and
executing an exploration program.
Moreover, the TA will also produce a ‘good practice’ guide for preparing Indigenous Peoples Plan 15.
(IPP), Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP), Environmental and Social Impact
Assessment (ESIA) and Environmental Management Plan (EMP) for exploration and exploitation of
geothermal energy. This will be in the form of framework documents or guidance materials that
will cover IPDP, LARAP, ESIA and EMP under Indonesian regulations and World Bank’s and other
donors’ safeguards. The purpose is to further reduce barriers to geothermal development by
providing standardized approaches to safeguards, as well as guiding expectations about the
technical rigor and quality of the work required. An area of focus will be good practice guidance
for the development of geothermal indirect use in conservation areas and forests. The Indonesian
government is proposing new regulations to enable geothermal development in Wildlife Reserves,
4The Geothermal Power Generation Development Project: through a US$4 million Global Environment Facility (GEF) grant, the
project assisted MEMR’s US$5 million commitment to develop a pricing and compensation policy mitigate geothermal resource risks, and strengthen domestic capabilities in the sector, in particular to competitively tender new transactions. 5The geothermal development process comprises a number of sequential tasks. A possible breakdown includes: (i) Preliminary
Survey; (ii) Exploration; (iii) Test Drillings; (iv) Project Review and Planning; (v) Field Development; (vi) Construction; (vii) Start-Up and Commissioning; and (viii) Operation and Maintenance. For further details, please refer to the ESMAP “Geothermal Handbook: Planning and Financing Power Generation”.
10
National Parks, Botanical Forest Parks and Natural Tourist Parks under a Utilization Permit for
Geothermal Environmental Services Region.
Finally, GEF funding will also be employed to ensure seamless coordination with the other key 16.
players in the geothermal development landscape in Indonesia and that adequate administrative
functions are in place.
1.3.3 Component 3: Investment Support for Geothermal Exploitation
It is being considered to finance a third Component as a follow-up to the CTF/GEF support. 17.
Moving upstream in the geothermal development process to take full advantage of Indonesia’s
vast resource potential would also require post-exploration risk mitigation support. During the
exploitation phase of geothermal development, such a support could be provided through debt
finance instruments with enhancements such as insurance schemes. To support new investment,
WB is considering a US$300 million IBRD loan for mid-stream development (i.e. steam-field
drilling). The sequencing of investments in the geothermal development process implies that
Component 3 will be triggered upon successful completion of standard exploration drillings –
hence the need to commit IBRD resources in due course only.
Detailed Sub-Project Descriptions 1.4
1.4.1 Geothermal Development – Overview
Geothermal development happens in a series of phases. These phases are defined in a number of 18.
ways across the industry; the World Bank’s ESMAP6 uses the following:
Phase 1: Preliminary Survey
Phase 2: Exploration
Phase 3: Test Drillings
Phase 4: Project Review and Planning
Phase 5: Field Development
Phase 6: Construction
Phase 7: Start Up and Commissioning
Phase 8: Operations and Maintenance
With some subtle overlaps in the details, in broad terms the GOI’s regulatory definition of
‘Geothermal Exploration’ is Phase 1 to Phase 4 and ‘Geothermal Exploitation’ is Phase 5 to Phase 8.
1.4.2 Geothermal Exploration
Geothermal Exploration sub-projects will be funded under Component 1 of the GEUDP. The sub-19.
projects will: 1) contribute to further define the nature and scale of the geothermal resource
6 ESMAP. 2012. Geothermal Handbook: Planning and Financing Power Generation. Technical Report.
11
within geothermal prospects identified by the GOI, and 2) support an investment package for a
developer to take the project through to exploitation. Referring to Paragraph 18, the Geothermal
Exploration funded by GEUDP covers the following phases or activities:
Phase 1: Preliminary Survey
Data collection, ESIA and permits, planning for exploration
Phase 2: Exploration
Surface and subsurface testing, seismic data, prefeasibility study
Phase 3: Test Drillings
Land acquisition and permits
Well drilling, well testing, reservoir simulations
Phase 4: Project Review and Planning
Evaluation and decision making
The location of exploration investments is currently unknown, and will be identified through a 20.
prioritization process undertaken by EBTKE and BG and will be informed by the GEUDP safeguard
framework documents. The sensitivity of the geothermal development locations is unknown at
the time of project appraisal, but there is potential for physical cultural resources (PCR), natural
habitats, forests, protected areas, outstanding or unique landscapes and geological/geothermal
features, Indigenous Peoples, vulnerable or non-resilient communities, subsistence livelihoods
(relying on private, forest or communal resources), and sensitive economic activities such as
tourism to be present in the project’s Area of Influence (AOI).
The Project’s AOI will include the direct and indirect impacts of the project infrastructure and 21.
supporting facilities. It includes access routes, quarries, workers’ camps, disposal areas, fresh
water resources, wastewater discharge locations, resettlement areas, and unplanned
developments such as spontaneous settlements, logging and land clearance along roads and
pipeline routes. The AOI also includes that of linked projects, regardless of funding sources that
are directly or significantly related to geothermal exploration. This includes future geothermal
exploitation.
Well drilling and testing will include the following activities: 22.
New and upgraded transport infrastructure: Due to the remoteness of some geothermal
prospect areas, and the nature of transport infrastructure out of the main centers, it is
probable that the sub-projects will include upgrades to ports, wharves, bridges and roads.
New infrastructure and new access roads may be required, depending on the distance of
drilling pads and other project infrastructure from serviced areas. New infrastructure and
roads are likely to require land acquisition and this may be involuntary or voluntary
depending on the location. Quarrying may be required to provide sand and aggregates for
construction.
12
Mobilization / demobilization: Moving large drilling rigs and heavy traffic can cause access
disruptions and safety issues to other road users.
Well pad preparation: Land for test well pads is only required on a short-term basis unless
the well is identified as a future production well. Locations are usually flexible to avoid
sensitive receptors and land can typically be negotiated on a willing buyer-willing seller, or
lease arrangement. Land clearance and pad preparation will be required for up to 4 or 5
well sites per exploration activity. The land requirements are approximately 1.5 -2 hectares
per pad, which includes the storage and treatment ponds.
Drilling: Well depth can vary depending on the resource, but are usually deep (1000m to
over 2500m). Each well will take approximately 45 to 50 days of around-the-clock drilling to
complete. Drilling is noisy, and the rig and well pad will be lit for night-time operations.
Fresh water is required to provide cooling and lubrication during drilling, and carry rock
cutting to the surface. Synthetic polymers (xanthan gum and starch or cellulose derivatives)
and solid barium sulphate are added in this process.
Management of drilling muds / fluids and rock: Drilling muds (bentonite clay), additives and
fluids will be stored in settlement ponds adjacent to the well pad. Solids will accumulate at
the bottom and the treated liquids will be discharged to reinjection wells or to surface
water. Decommissioning may involve converting the ponds for community or private use,
or returning the site to the pre-development condition. Pipelines will be required to
transport fluids to reinjection wells. Rock will be used as fill in suitable sites nearby, unless
they are considered hazardous and likely to leach contaminants, in which case they will be
disposed to a lined landfill. Designated landfills may be required as part of project
infrastructure, as it is unlikely that there will be suitable landfills operating in the locality.
Well testing and management of geothermal fluids (brine): A significant amount of brine will
be extracted during testing. This liquid typically contains heavy metals and can contain high
concentrations of boron, arsenic and fluoride. Brine ponds will store brine until it is
reinjected or treated and discharged to surface water. Ponds will be located on or near the
well pad. Decommissioning may involve converting the ponds for community or private use,
or returning the site to the pre-development condition. Pipelines will be required to
transport fluids to the reinjection wells. Steam plumes will be emitted during testing, and
this can be noisy and create an aerosol or droplet discharge to neighbouring land. Gases
(carbon dioxide and hydrogen sulphide) will be emitted during testing, which can produce
localized ‘acid’ rain at high concentrations.
Support facilities: Due to the remoteness of some prospect areas it is probable that sub-
projects will require on-site workers camps and maintenance facilities. These will require
waste management, wastewater treatment and disposal, fresh water supplies, health and
safety of workers and community, and provision of services.
1.4.3 Linked Projects - Geothermal Exploitation
At the time of project appraisal, any activities in the Geothermal Exploitation Phase will not be 23.
funded by GEUDP. This may change during project implementation if funds are subsequently
allocated to Component 3 for ‘mid-stream’ development (further field development / well drilling).
13
Any geothermal exploitation activities are, in any case, considered linked projects and within the 24.
Project Area of Influence of any geothermal exploration sub-project funded by GEUDP and
therefore it is relevant under World Bank safeguard policies to screen the potential environmental
and social risks as part of Component 1’s sub-project preparation and implementation. However,
as this project shall focus on the exploration stage, the screening process and evaluation of key
potential impacts of site development and operation at exploitation stage shall be assessed with
the ultimate purpose to inform decision makers about the ‘developability’ of a site prior to the
decision to explore or not. It is not for requesting to prepare unnecessary additional studies or
analyses. In addition, some possible good practices during exploitation stage such as H2S
monitoring, mitigation of possible impact to tourism (from geothermal over abstraction) and
impact to surrounding community (ground water, air emission, ambient air quality) and best
practice in emergency preparedness for blow out and H2S incidents and preventive maintenance
for geothermal liquid pipe corrosion etc are to be suggested in the ESIA recommendation.
The Geothermal Exploitation Phases6 and relevant safeguards impacts and activities are: 25.
Phase 4: Project Review and Planning
Feasibility study, ESIA and permits, drilling plan
Phase 5: Field Development
Land acquisition and permits
Well drilling (production, reinjection, cooling water), well testing, reservoir
simulations
Phase 6: Construction
Pipelines, power plant, substation and transmission
Phase 7: Start Up and Commissioning
Phase 8: Operations and Maintenance
Managing well operations and brine reinjection
Managing the geothermal resource, reservoir monitoring and simulations
Generating electricity
Managing emissions, noise and waste
Well decommissioning
Make up well drilling, well testing, reservoir simulations
Exploitation activities will also include all of those mentioned in paragraph 19 for the exploration 26.
phase. The scale of field development / well drilling will be larger than the exploration phase, with
10 - 20 well pad sites required for production and reinjection wells (depending on the size and
location of the resource) and pipelines connecting the well(s) and the power plant. Permanent
14
land acquisition will be required for pads, roads, pipelines, ponds, distribution infrastructure etc.
In addition, exploitation linked to GEUDP will involve the following activities:
Construction of geothermal power plants,7 switch yard, substation and distribution
infrastructure: land acquisition (involuntary or voluntary), construction related hazards,
wastes, noise and workforce. Temporary land uses such as workers’ camps and workshops.
Emissions to air from cooling towers: concentrations of contaminants such as mercury,
carbon dioxide, methane and hydrogen sulfide, depending on geohydrology of location.
Discharges are warmer than ambient air temperature.
Emission of noise: from geothermal plant operation, mainly the cooling tower fans, steam
ejectors and turbine ‘hum’.
Solid and hazardous waste: domestic waste, hazardous waste from workshops/maintenance
and mineral precipitate sludge from cooling towers, scrubbers, steam separators etc.
Discharge of wastewater: reinjection to the deep geothermal aquifer of geothermal fluids.
Treatment and discharge of cooling water and other wastewater to reinjection wells or
surface water.
Well operations: well production reduces over time and wells are eventually abandoned and
‘make-up wells’ commissioned. The activities will be similar to those described in Paragraph
22.
Renewable energy supply to local grids: construction and operation of distribution
infrastructure. Comparative reduction in greenhouse gas emissions compared with diesel
generation. Delivery of electricity to new customers and delivery of low-carbon electricity
into the existing grid.
1.4.4 Technical Advisory
1.4.4.1 Good Practice Guidelines
The guidelines will inform future geothermal development activities and therefore will have an 27.
enduring impact on the geothermal industry. For this reason, the approach, outputs and capacity
building provided through technical advisory will be consistent with in-country systems, Bank
safeguard policies and this ESMF. Stakeholder consultation and disclosure will be a key part of the
approach.
7 Three types of power plants are operating today:
Dry steam plants, which directly use geothermal steam to turn turbines;
Flash steam plants, which pull deep, high-pressure hot water into lower-pressure tanks and use the resulting flashed steam to drive turbines; and
Binary-cycle plants, which pass moderately hot geothermal water by a secondary fluid with a much lower boiling point than water. This causes the secondary fluid to flash to vapor, which then drives the turbines.
15
1.4.4.2 Exploration Management Consultant
The TOR for the Exploration Management Consultant will include, in particular, requirements to 28.
comply with OP 4.37 Safety of Dams in the design and supervision components of the scope of
work. The bidding documents and Contractors’ contracts will accordingly include requirements of
OP 4.37 Safety of Dams. The Contractors must design, construct, operate and decommission the
settlement and storage ponds in accordance with the policy and the EMC must supervise the
Contractor.
16
2 THE GEUDP SAFEGUARD FRAMEWORKS
The objective of the Environmental and Social Management Framework (ESMF) is to provide 29.
reference and guidance for the project management staff, consultants, and other related parties
participating in the GEUDP on a set of principles, rules, procedures and institutional arrangements
to screen, assess, manage and monitor the mitigation measures of environmental and social
impacts of the investments, the exact location and dimension, hence area of influence, of which
are not known at Appraisal Stage. The ESMF is the safeguard instrument prepared for appraisal as
per World Bank safeguard policy OP4.01 Environmental Assessment.
The purpose of issuance of this GEUDP ESMF is to ensure that all stakeholders involved in the 30.
project comply with the requirements, procedures and regulations related to environmental
management in accordance to prevailing GOI regulations and supplemental provisions in
compliance with relevant World Bank Safeguard Policies.
The Resettlement Policy Framework (RPF) is contained in Section 6 and is the safeguard 31.
instrument prepared under World Bank safeguard policy OP4.12 Involuntary Resettlement to
ensure compliance with the policy and the laws of GOI relating to involuntary land acquisition and
resettlement.
The Indigenous Peoples Planning Framework (IPPF) is contained in Section 7 and is the safeguard 32.
instrument prepared in accordance with World Bank safeguard policy 4.10 Indigenous Peoples to
comply with the policy and the laws of GOI relating to the management of impacts and benefits of
projects to Indigenous Peoples (sometimes referred to as ethnic minorities).
17
3 SAFEGUARDS LAWS, REGULATIONS AND POLICIES
Below is a summary of regulations, laws and policies relating to environmental and social 33.
safeguards that are relevant for the ESMF. A summary of laws, policies and regulations relating to
involuntary land acquisition and resettlement are provided in the RPF (Section 6) and those
relating to Indigenous Peoples are provided in the IPPF (Section 7.2).
Indonesian Laws and Regulations relating to Environmental Management and Impact 3.1
Assessment
In the case of environmental and social management, the geothermal exploration sub-projects 34.
funded by GEUDP must refer to Law (UU) No. 32/2009 on Environmental Management and
Protection, and Government Regulation (PP) No. 27/2012 on Environmental Permit, Regulation of
the Minister of Environment No. 16/2012 on Guidelines for Preparing Environmental Documents
(AMDAL and UKL/UPL), Law No. 26/2007 on Spatial Planning, and Ministry of Environment
Regulation No. 5/2012 on the Types of Activities requiring AMDAL, Act No. 21 of 2014 on
Geothermal.
Act No. 32 of 2009 on the Protection and Management of the Environment (State Gazette of the 35.
Republic of Indonesia Year 2009 Number 140, Supplement to Statute Book No. 5059) with the
main principles on guaranteeing the continued existence of all living things and conservation of the
ecosystem, maintaining the conservation of environmental functions, and achieving the
environmental congruence, harmony and balance. With regard to the geothermal activities, the
law regulates the instruments for preventing pollution and/or damage to the environment, such as
UKL/UPL and/or AMDAL.
Act No. 21 of 2014 on Geothermal has changed the geothermal activities from mining to indirect 36.
use, which allows the activities to be sited in the protected forest area, and where it is the case,
the law on environmental protection prescribes that such activities should prepare full EIA or
AMDAL for both exploration and exploitation.
Act No. 41 of 1999 on Forestry based on the sustainability of forest ecosystem and its functions for 37.
both economic purposes and ecology. The development activities other than forestry are
permissible in a selective manner in order to avoid significant damage that can reduce forest
functions. The strategic development activities that are avoidable can be permitted with prudent
approach, such as for mining, electricity, communication, and water installation. Hence, this
applies also to geothermal development that can be implemented in forest areas, even in
protection forest.
Act No. 5 of 1990 on Conservation of Natural Resources and Ecosystems (State Gazette of the 38.
Republic of Indonesia Year 1990 Number 49, Supplement to State Gazette No. 3419) that regulates
the ecosystem and habitats to support the livelihood, as well as its biodiversity to be studied,
conserved, and utilized sustainably. The geothermal permit holders have to implement these
18
regulations, in particular where the locations are within and in the proximity of the protected and
conservation areas. The geothermal development in the forest areas, as well as in the protected
and conservation forest areas are permissible and considered as the utilization of its
environmental services. This should be done in a prudent manner with the implementation of the
forest and biodiversity sustainability principles. Such activity should obtain relevant permits from
the Ministry of Environment and Forestry.
Act No. 26 of 2007 on Spatial Plan regulates the utilization planning of the land, marine, and air, 39.
including what is within the earth, as one sovereignty for human and wildlife and their livelihood.
The basic principle of the spatial plans is the sustainable utilization of the resources for people’s
welfare. Geothermal in this law is considered as a nationally strategic activity along with oil, gas,
mineral, and groundwater. The local bylaws on spatial plans have to refer to this law, especially on
geothermal resource where they have potency; hence its development will not be hindered
accordingly.
Government Regulation No. 27 of 2012 on Environmental Permit (State Gazette of the Republic of 40.
Indonesia Year 2012 Number 48, Supplement to State Gazette No. 5285) mandates that
geothermal power plant development is considered as one of the nationally strategic activities
that need to obtain environmental permit, and related activities for which are mandatory to have
UKL/UPL and/or AMDAL. Geothermal exploration is UKL/UPL-mandatory if located inside or
outside any conservation area. Exploitation activities are also AMDAL-mandatory if located inside
or outside any conservation area.
Government Regulation No. 24 of 2010 on Forest Area Utilization, has allowed geothermal energy 41.
development within the protected forest areas as a nationally strategic activity. Such development
should obtain the permit from the Ministry of Environment and Forestry and pay adequate levy as
contribution to state revenues. The project proponent is required to submit the proposal to the
Ministry along with the supporting documents outlined in the regulation.
Government Regulation No. 26 of 2008 on National Spatial Plan also provides for sustainable 42.
utilization of the resources to benefit the Indonesian people’s welfare and recognizes geothermal
as a nationally strategic activity along with oil, gas, mineral, and groundwater. The National Spatial
Plan provides guidance for preparing the long-term plans, mid-term plans, land use plan, balance
between the regions, investment locations, national strategic areas, and provincial and district
spatial plans.
Government Regulation No. 28 of 2011 on the Management of Natural Reserve Area and Nature 43.
Conservation (State Gazette of the Republic of Indonesia Year 2011 Number 56, Supplement to
Statute Book No. 5217) allows for geothermal development activities in conservation areas so long
as they are not classified as a mining process (Article 35, verse 1c). Geothermal activities are
regulated as a type of service utilization of forest ecosystem.
19
Ministry of Environment Regulation No. 5 of 2012 on Activities that are AMDAL Mandatory 44.
categorizes development activities into several groups based on its potential environmental
impacts and their magnitude to affect humans and the environment. The regulation states that
any development activities in proximate or inside protected natural areas are ‘AMDAL-mandatory’;
however, geothermal exploration activities are exempt so UKL/UPL is sufficient.
Ministry of Environment Regulation No. 13 of 2010 on UKL/UPL and SPPL prescribes that projects 45.
or development activities that are not ‘AMDAL-mandatory’ are UKL/UPL-mandatory where the
environmental impacts are less significant. The projects are designated as UKL/UPL-mandatory by
the governors and/or head of districts based on prior screenings. The regulation also provides
guidance and format of the preparation of the UKL/UPL, and mandates that its processing be
completed by the local environmental agencies within 14 working days. After the project
proponent submits the UKL/UPL proposal to the local environmental authority, the agency issues
the recommendation of UKL/UPL at the least 7 days after the submission of the final proposal that
will be used by the proponent as the basis for obtaining environmental permit and for
implementing environmental impacts management and monitoring.
Ministry of Environment Regulation No. 16 of 2012 on Guidance on Environmental Documents 46.
Preparation prescribes how to prepare environmental documents, including AMDAL, UKL/UPL and
SPPL, where the first two are key requirements to obtain the environmental permit. The regulation
provides a detailed description of environmental documents to be prepared by the project
proponents, including for geothermal exploration projects subject to UKL/UPL requirement.
Ministry of Environment Regulation No. 17 of 2012 on Guidelines for Public Involvement in 47.
Environmental Assessment and Environmental Permitting Process. The regulation based on the
principles that: a) information provision in full and transparent; 2) equal position of all
stakeholders; 3) resolution in fair and wise manner; and, 4) coordination, communication and
cooperation among the involve parties. It regulates the public involvement in the AMDAL
establishment and environmental permit issuance through announcement, inputs provision,
feedbacks and public consultation, as well as in the AMDAL review commission. The public defines
as: 1) project affected people; 2) environmental watchdog; and, 3) AMDAL process and decision
affected people. The regulation prescribes the FPIC principles and requirements for disclosure.
Ministry of Environment and Forestry Regulation No. P.46/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2016 on The 48.
utilization of Geothermal Environmental Services at National Parks, Grand Forest Parks, and
Nature Recreation Parks. The regulation is the basis for allowing geothermal development in
specified parts of conservation area, including infrastructure development, exploration and/or
exploitation drilling, and power plant construction.
When the geothermal exploration impacts cultural property, Law No. 5/1992, “Regarding Cultural 49.
Property” (Benda Cagar Budaya) will be applied. It defines a cultural property “of important value
20
for history, science, and culture", as being “a man-made object or group of objects”; movable
(bergerak) or immovable (tidak bergerak); aged at least fifty years or natural objects with high
historical value8.
Law No. 11 of 2010 (Undang-Undang Cagar Budaya No. 11/2010) on National Heritage, especially 50.
prescribes guidance on observation and data collection on cultural heritage that may be affected
by project activities.
World Bank Safeguard Policies 3.2
Based on desk review of similar projects and preliminary environmental and social screenings, it is 51.
anticipated that the following World Bank Safeguard Policies are relevant and/or could be
triggered by the GEUDP sub-projects9:
Safeguard Policies Triggered by the Project Yes No
Environmental Assessment OP/BP 4.01 X
Natural Habitats OP/BP 4.04 X
Forests OP/BP 4.36 X
Pest Management OP 4.09 X
Physical Cultural Resources OP/BP 4.11 X
Indigenous Peoples OP/BP 4.10 X
Involuntary Resettlement OP/BP 4.12 X
Safety of Dams OP/BP 4.37 X
Projects on International Waterways OP/BP 7.50 X
Projects in Disputed Areas OP/BP 7.60 X
OP 4.01 Environmental Assessment. Under project Component 1, the project will fund 52.
exploration of geothermal resources at several sites; however, the locations are not known at the
time of project appraisal. The sub-projects will fall into either Category B or Category A
Classification. Category B sub-projects would be where the impacts would be local, reversible and
8 UNESCO. Compilation of Law and Regulation of the Republic of Indonesia Concerning Items of Cultural Property", pp. 3f.
Retrieved 6 May 2012. 9 OP4.10 Indigenous Peoples’ Policy is assessed in Section 7.2. OP 4.12 Involuntary Resettlement Policy is assessed in Section
6.2.
21
readily managed with proven or standardized mitigation measures. Category A sub-projects are
those with significant, sensitive, complex, irreversible and unprecedented potential adverse
environmental and social impacts that may affect an area broader than the sites of facilities
subject to physical work. All sub-projects will likely require a full Environmental and Social Impact
Assessment (ESIA) and Environmental and Social Management Plan (ESMP) to manage and
mitigate such impacts in accordance with OP 4.01.
OP 4.04 Natural Habitats outlines the World Bank policy on biodiversity conservation taking into 53.
account ecosystem services and natural resource management and those used by project affected
people (PAP). Projects must assess potential impacts on biodiversity. The policy strictly limits
circumstances under which damage to natural habitats can occur, and prohibits projects that likely
result in significant loss of critical natural habitats. Where a prospective geothermal site is located
in an area that is designated as hutan lindung (HL) or ‘protected forest area, to remain in forest
cover for watershed protection’ or conservation area, or similar, this policy will apply. Impacts will
be assessed in the ESIA process.
OP 4.11 Physical Cultural Resources (PCR) sets out World Bank requirements to avoid or mitigate 54.
adverse impacts resulting from project development on cultural resources. It is likely that PCR will
be found near geothermal exploration projects. In some cases in Indonesia, local communities
consider the manifestations of geothermal energy as sacred. The ESMF includes the requirements
for preparing PCR Management Plans (PCRMP), which will be developed as part of the ESIA and
ESMP processes, as well as requirement for a chance find procedure to be attached to every ESMP.
OP 4.36 Forests. This policy recognizes the need to reduce deforestation and promote sustainable 55.
forest conservation and management. The prospect geothermal areas could be within a forest
area as defined by its protection status based on the GoI regulations as well as definition of forests
under the Policy. The impacts on forest health and functions, and the impacts on affected persons
that rely on forest resources, will be assessed as part of the ESIA and Resettlement Action Plan
processes and mitigation measures will be incorporated into the ESMP and LARAP.
OP 4.37 Safety of Dams. When the Bank finances a project that includes the construction of a new 56.
dam, this Policy requires that the dam be designed and its construction supervised by experienced
and competent professionals. It also requires that the Borrower adopt and implement certain dam
safety measures for the design, bid tendering, construction, operation, and maintenance of the
dam and associated works. The Policy is triggered because the drilling process requires storage
and settling ponds for brine and other drilling fluids. The requirements of the Policy will be
included in the EMC contracts and drilling contracts, and the activities and outputs will be
monitored under the ESMF.
OP 4.10 Indigenous Peoples. This policy requires the Government to engage in a process of free, 57.
prior and informed consultations with indigenous peoples, as described by the policy in situations
22
where indigenous peoples are present in, or have collective attachment to, the project area and
for the preparation of an Indigenous Peoples Plan (IPP) and/or Indigenous Peoples Planning
Framework (IPPF).
OP 4.12 Involuntary Resettlement. This policy addresses direct economic and social impacts from 58.
the projects activities that will cause (a) involuntary taking of land resulting in (i) relocation or loss
of shelter, (ii) loss of assets or access to assets or (iii) loss of income sources or livelihoods and (b)
involuntary restriction of access to legally designated parks and protected areas resulting in
adverse impacts on the livelihoods of the displaced persons. The policy requires siting of project
infrastructure to be so chosen so as to avoid these impacts altogether or to minimize them to the
extent possible. Where these cannot be avoided, the policy requires the preparation of either or
both of these instruments (i) resettlement policy Framework, (ii) Resettlement Action Plan, and for
meaningful consultations with potentially affected people. The policy prohibits Community
donations of lands for location-specific infrastructure.
Gap Analysis 3.3
The significant difference between the Indonesian ESIA/AMDAL laws and regulations relating to 59.
geothermal exploration and Bank Policies relates to the applicable safeguard instrument. The GOI
prescribes that only an Environmental Management Plan and Monitoring Plan (UPL / UKL) is
required for geothermal exploration regardless of potential impacts, whereas OP4.01 requires an
assessment of safeguard instrument depending on the classification of activity based on risk
(Category A, B, or C). Both the Bank and country’s own systems will be followed, and the content
of documents will be harmonized where possible; however, separate sets of instruments will be
prepared for separate approval processes.
OP4.01 Environmental Assessment requires an assessment of ‘linked projects’ where they are 60.
considered part of the Project Area of Influence (either geographically, or over time), whereas the
GOI laws and regulations consider project activities discretely. In this Project, the exploitation
phase is considered a linked project under OP4.01 because it foreseeably will occur in the future as
a result of exploration activities. Meanwhile, the GoI laws and regulations consider each phase as
a separate environmental permit process, and thus require separate application and obtainment
of approvals accordingly.
GoI laws and regulations have recently been amended to remove barriers to carrying out 61.
geothermal exploration and exploitation activities in forests and protected areas, and exempting
requirements for full ESIA/AMDAL in many cases. These regulatory revisions take into account the
low-impact use of ecosystem services and that geothermal is accepted and increasingly considered
as a nationally strategic activity. In contrast, the Bank’s OP4.01 Environmental Assessment,
OP4.04 Natural Habitats and OP4.36 Forests have maintained its requirements and standards
regardless of the activities. The Bank requires full impact assessment before sub-project appraisal;
23
and would either require significant mitigations, or not fund certain exploration activities – that
may result in degradation or removal of critical habitats – in forests and protected areas.
Where there is conflict between the country’s own systems and the Bank Policies, the highest 62.
standard prevails, meaning that the most precautionary, or the most restrictive in terms of
avoiding or minimizing social and environmental impacts, will be followed in order to comply with
both systems.
24
4 ANTICIPATED ENVIRONMENTAL AND SOCIAL IMPACTS AND MITIGATION MEASURES
Geothermal Exploration – Drilling Activities and Associated Infrastructure and Activities 4.1
The following anticipated impacts and mitigation measures are relevant for exploration sub-projects under GEUDP Component 1. They are 63.
also relevant for activities that may be funded under Component 3 (although no funds have been allocated to this component at the time
of project appraisal).
Table 1 Environmental and Social Aspects, Potential Impacts and Mitigation Measures for Geothermal Exploration Activities
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Natural habitats, including
critical habitats
Aquatic and terrestrial
habitats and species
Forest resource users
Water users
Aesthetics and landscapes
Land clearance for well pads,
roads, pipelines and supporting
infrastructure will cause direct
damage or destruction to natural
habitats.
Avoid, or otherwise minimize, development in sensitive areas (forest
habitats, landscapes, scenic areas etc.)
Remove and decommission infrastructure after exploration and rehabilitate
areas quickly, re-contour where necessary to natural ground conditions and
replant with native species or commercial species (depending on land use).
Prepare a mitigation plan for land use following the exploration activities,
together with communities and local authorities to avoid indiscriminate
development and potential conflict.
Roads, pipelines and drilling pads
can create intrusions into natural
and scenic landscapes.
Indirect impacts from induced
development (agriculture,
poaching, land clearances, land
disputes) into forested areas and
protected natural areas.
Water abstractions and discharges
to water of treated wastewater /
drilling fluids and other wastes
cause direct or indirect impacts on
habitats and species.
Separate different waste streams and treat via ponds, dosing, cooling and
other methods before discharge to land or water bodies.
Avoid overexploitation of freshwater resources – find multiple sources, take
from streams with high flow rate, time drilling for the rainy season, use
storage dams or ponds, take no more than 1/3 of the seasonal low flow
25
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Pollution of water or water
abstractions affects other water
users.
Possible overflow or failure of
ponds.
from surface water features. Identify other water uses such as farm
irrigation and ensure sustainable abstraction rates that do not interfere
with their water use, fishing etc.
Discharge to reinjection wells wherever possible.
Reuse of drilling fluids.
Use septic tanks to treat domestic waste water before discharge to land.
Empty septic tanks regularly and dispose sludge to landfill.
Resource planning and management, in conjunction with authorities &
communities to locate storage ponds away from sensitive areas.
Careful design of ponds in accordance with OP4.36 Safety of Dams and
monitoring of pond structures for signs of failure.
Indiscriminate dumping of
hazardous and solid waste to
riparian zones and water ways.
Maintain safe systems of hazardous materials and solid waste management
as part of Construction and Drilling standard operating procedures and
EMP.
Separate waste streams and recycle, compost and reuse waste where
possible.
Keep waste tidy / covered / secure.
Dispose of unrecyclable waste to designated landfills that have permits
from local authorities.
Clean and remove spills and remediate land quickly.
Train staff to use spill equipment and respond to incidents.
Prohibit dumping of waste.
26
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Poaching and hunting of animals
by workers.
Competition with locals for forest
resources.
Prohibit poaching and hunting, and use of forest resources, as part of
workforce management.
Land use, and soils (and
subsequent surface and
groundwater
contamination)
Discharge of contaminated muds
and fluids to ground.
Avoid discharging fluids to ground.
Test muds for contaminants prior to disposal.
Contaminated muds will be treated as hazardous waste and disposed to
lined landfill.
Spills of hazardous materials. Maintain safe systems of hazardous materials and solid waste management
as part of Construction and Drilling standard operating procedures and
EMP.
Separate waste streams and recycle, compost and reuse waste where
possible.
Keep waste tidy / covered / secure.
Dispose of unrecyclable waste to designated landfills that have permits
from local authorities.
Clean and remove spills and remediate land quickly.
Train staff to use spill equipment and respond to incidents.
Prohibit dumping of waste.
Indiscriminate dumping of solid
and hazardous waste.
Loss of topsoil, landslides and
other severe erosion from road
construction, pipelines, pad
construction, borrow pits, quarries,
Avoid high risk areas such as steep terrain.
Minimize land clearance, especially on slopes.
Design bank stability, slope protection and drainage systems into road
27
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
fill sites. design, borrow pit design etc.
Restore disturbed and damaged areas immediately.
Employ sediment and erosion control measures during construction (fences,
traps, treatment ponds etc.).
Take / dispose material to approved sites.
Geothermal features Interference from pumping or
reinjection of geothermal water, or
from abstraction of freshwater.
Damage from road construction,
pipelines or other ancillary
activities.
Identify and avoid significant features (values such as cultural, historical,
spiritual, scientific, biological, landscape, ecotourism etc.)
Avoid damaging or disturbing geothermal features where possible.
Monitor activity to identify interference from pumping or reinjection. Adjust
well testing and reinjection where necessary to mitigate significant impacts.
Provide barriers and avoid disturbances to features from construction
operations where necessary.
Groundwater Contamination of groundwater
from interference with geothermal
water from abstraction wells or
reinjection wells.
Prepare wells with appropriate casing and well head protection to prevent
contamination.
Monitor well levels and pressure to identify leaks early and repair casing or
decommission wells to avoid further contamination.
Impacts on aquifer levels from
over-abstraction for fresh water
supplies.
Model yield to ensure sustainable groundwater use.
Use multiple sources. Use storage tanks, ponds and dams to store water.
Ambient noise Drilling rig operations, increased
traffic, well discharge testing,
heavy machinery, and blasting for
roads or quarrying – all emit noise
Plan work to avoid disturbances at sensitive times (night, holidays)
Locate sites away from noise-sensitive receptors such as schools and
villages.
28
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
not otherwise experienced in the
project area.
Disturbances to animals, domestic
life, working life, schooling.
Restrict traffic through villages and near sensitive receptors.
Use noise barriers such as bunds, or the natural topography.
Warn people before noisy work begins and provide specific mitigation
options to vulnerable people (such as temporary relocation).
Use appropriate construction methods and equipment (and keep
maintained).
Use Guidelines for ambient noise levels (by receptor):
Receptor Maximum allowable Leq (hourly), in dB(A)
Daytime
07.00-22.00
Nighttime
22.00-07.00
Residential; institutional;
educational
55 45
Industrial; commercial 70 0
Ambient air quality Discharge to air of contaminants
from well testing and drilling
(hydrogen sulfide, mercury, arsenic
etc.), depending on the nature of
the resource.
Locate sites away from sensitive receptors such as schools and villages.
Warn people before work begins and provide specific mitigation options to
vulnerable people (such as temporary relocation).
Safety planning and measures for uncontrolled gas releases.
Remediation / replacement of any damaged vegetation, crops etc.
Dust emissions from road
construction, land clearance, site
activities.
Locate sites away from sensitive receptors such as schools and villages.
Control dust with water during windy and dry conditions.
29
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Stage land clearance activities and rehabilitate open areas quickly.
Critical infrastructure Damage or destruction to critical
infrastructure (roads, ports,
bridges)
Upgrade infrastructure prior to use.
Provide new, purpose-built infrastructure.
Repair damaged infrastructure to at least the pre-project condition.
Occupational health and
safety
Risks relating to working with
machinery, traffic accidents, falling
into ponds, scalding from hot fluids
and steam, toxic gas emissions.
Non-routine risks such as well blow
outs.
Gas monitoring systems.
Appropriate personal protective equipment (PPE).
Appropriate training.
Implement safety systems and procedures.
Shielding surfaces where working with hot fluids and steam.
Fencing ponds and mud pits.
Well maintained vehicles and machinery.
Emergency and incident planning and management.
First aid training, and plans for evacuation to hospital.
Land ownership, livelihood
and resettlement
Involuntary resettlement for
quarries, roads, well pads,
pipelines and other sites where
land is required, leading to loss of
livelihood and social disconnection.
Loss of crops, structures, and other
assets
Prioritize willing buyer-willing seller negotiations for land lease or land
purchase.
Consult widely and identify all affected persons, including squatters.
Compensate at replacement value.
Use the RPF guidance for involuntary land acquisition and resettlement.
Restricting access to forests or Consult widely and engage communities in any changes to forest access and
30
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
other resources. management.
Integrate resettlement and livelihood issues into the integrated
management plans.
Social Wellbeing Concerns and complaints of
affected communities.
Consultation on risks and adverse impacts of the project and creation of
opportunities to receive affected communities’ views on project.
Establishment of grievance mechanism to collect and facilitate resolution of
affected communities’ concerns and grievances regarding the sponsor’s
environmental and social performance.
Transparent public disclosure to inform each phase of the project through
web site, notice boards, telecommunication tools and public meetings.
Establishing well designed and structured public questionnaire to receive
feedback from affected communities
Community health and
safety
Risks to bystanders and community
relating to traffic accidents, toxic
gas emissions,
Location of sites away from sensitive receptors.
Gas monitoring systems.
Traffic warning systems (pilot vehicles, roadside signs)
Appropriate training of drivers.
Regular community consultation.
Warning signs.
Emergency planning includes community.
Unauthorized access to drilling rigs
and storage / treatment ponds
Fencing around well site, ponds and pits.
Warning signs.
31
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Regular community consultation.
ID required to use access road and/or work on site.
Physical cultural resources.
Historic, spiritual,
archaeological, religious,
graves, etc.
Disturbance, degradation,
desecration of sites or artefacts as
a result of land disturbances, land
acquisition, impacts on geothermal
features or landscapes.
Locate sites away from PCR.
Use the PCR Management Plan to remedy impacts (mitigation,
minimization, relocation etc.).
Use the chance find procedure to stop work immediately on the discovery
of a PCR.
Indigenous Peoples Potential impacts on access to
resources and connection to the
land.
Lack of access to benefits of the
project.
Consult early and extensively (Free, Prior and Informed Consultation) in
accordance with the IPPF, in language and using methods appropriate to the
IP group.
Include IP in the project design, and ensure that benefits accrue to IP.
Avoid and minimize harm to IP, and engage with them to identify
appropriate mitigation.
32
Linked Projects: Geothermal Exploitation – Energy Generation and Associated Infrastructure and Activities 4.2
The exploitation phase will be considered as a linked project to the GEUDP exploration sub-projects. In addition to those activities that are listed in Table 1, the following activities will be considered in the process of screening of risks associated with linked projects. The ultimate purpose of this initial analysis is merely to inform decision makers with useful and relevant information about the ‘developability” of a site prior to the decision to explore and is not to prepare unnecessary additional studies or analyses. Key potential impacts of site development and operation at exploitation stage along with mitigation requirements and approximate costs shall be assessed through further screening as this information will be relevant to the decision whether or not to explore. This partial assessment is as part of the ESIA process but will not be fully assessed as for the exploration phase. Three to five pages quick assessment would satisfy this requirement.
Table 2 Environmental and Social Aspects, Potential Impacts and Mitigation Measures for Geothermal Exploitation Activities (to be partially assessed to inform decision makers whether or not to explore and some possible good practices are to be suggested in the ESIA recommendation for exploitation stage)
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Natural habitats, including
critical habitats
Aquatic and terrestrial
habitats and species
Forest resource users
Water users
Aesthetics and landscapes
Land clearance for power station,
substation, and transmission lines
cause direct damage or destruction
to natural habitats.
Avoid, or otherwise minimize, development in sensitive areas (habitats,
landscapes, scenic areas etc.)
Develop integrated resource management plans, inclusive of community-
driven development opportunities, to manage long term impacts from
induced development. Develop this in coordination with relevant land
owners, communities, Ministries and local authorities to avoid
indiscriminate development and potential conflict.
Rehabilitate areas quickly, re-contour where necessary to natural ground
conditions and replant with native species or commercial species
(depending on land use).
Power station, substation,
transmission lines can create
intrusions into natural and scenic
landscapes.
Indirect impacts from induced
development (agriculture,
poaching, land clearances, land
disputes) into forested areas and
protected natural areas.
Water abstractions for cooling Separate different waste streams and treat via ponds, dosing, cooling and
33
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
towers or domestic / office use and
discharges to water of cooling
water and other wastes cause
direct or indirect impacts on
habitats and species.
Pollution of water or water
abstractions affects other water
users.
Possible overflow or failure of
ponds.
other methods before discharge to land or water bodies. Prioritize
discharges to reinjection wells over surface water bodies and land.
Avoid overexploitation of freshwater resources – find multiple sources, take
from streams with high flow rate, time drilling for the rainy season, use
storage dams or ponds, take no more than 1/3 of the seasonal low flow
from surface water features. Identify other water uses such as farm
irrigation and ensure sustainable abstraction rates that do not interfere
with their water use, fishing etc.
Reuse of cooled water for other plant uses, or use closed loop systems.
Use septic tanks to treat domestic waste water before discharge to land.
Empty septic tanks regularly and dispose sludge to landfill.
Resource planning and management, in conjunction with authorities &
communities to locate storage ponds away from sensitive areas.
Careful design of ponds in accordance with OP4.36 Safety of Dams and
monitoring of pond structures for signs of failure.
Well blow-outs discharging
contaminants.
Design of emergency response for well blowout and pipeline raptures
including measures for containment of geothermal fluid spills.
Regular maintenance of wellheads and geothermal fluid pipelines:
- corrosion control and inspection
- pressure monitoring
- use of blowout prevention equipment (e.g. shutoff valves)
Indiscriminate dumping of sulfur, silica, and carbonate precipitates
Maintain safe systems of hazardous materials and solid waste management
as part of Power Station standard operating procedures and Environmental
34
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
collected from cooling towers, air scrubber systems, turbines, and steam separators, and other hazardous wastes to riparian zones and water ways.
Management System.
Separate waste streams and recycle, compost and reuse waste where
possible.
Keep waste tidy / covered / secure.
Dispose of unrecyclable waste to designated landfills that have permits
from local authorities.
Clean and remove spills and remediate land quickly.
Train staff to use spill equipment and respond to incidents.
Prohibit dumping of waste.
Poaching and hunting of animals
by workers.
Competition with locals for forest
resources.
Prohibit poaching and hunting, and use of forest resources, as part of
workforce management.
Land use, and soils (and
subsequent surface and
groundwater
contamination)
Discharge of sulfur, silica, and carbonate precipitates collected from cooling towers, air scrubber systems, turbines, and steam separators to land.
Sludge / precipitates to be stored in bunded areas.
Test sludge for leachability of contaminants prior to disposal.
Contaminated sludge will be dewatered, treated as hazardous waste and
disposed to lined landfill.
Non-hazardous wastes will be buried away from water sources.
Spills of hazardous materials. Maintain safe systems of hazardous materials and solid waste management
as part of Power Station standard operating procedures and Environmental
Management System.
Separate waste streams and recycle, compost and reuse waste where
Indiscriminate dumping of other
solid and hazardous waste.
35
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
possible.
Keep waste tidy / covered / secure.
Dispose of unrecyclable waste to designated landfills that have permits
from local authorities.
Clean and remove spills and remediate land quickly.
Train staff to use spill equipment and respond to incidents.
Prohibit dumping of waste.
Loss of topsoil, landslides and
other severe erosion from
distribution infrastructure
construction and other
construction sites.
Avoid high risk areas such as steep terrain.
Minimize land clearance, especially on slopes.
Use temporary haulage roads and restore promptly.
Design bank stability, slope protection and drainage systems into site
design.
Restore disturbed and damaged areas immediately.
Employ sediment and erosion control measures during construction (fences,
traps, treatment ponds etc.).
Take / dispose material to approved sites.
Geothermal features Interference from pumping or
reinjection of geothermal water, or
from abstraction of surface water.
Identify and avoid significant features (values such as cultural, historical,
spiritual, scientific, biological, landscape, ecotourism etc.)
Avoid damaging or disturbing geothermal features where possible.
Model the geothermal reservoir and geothermal features. Monitor activity
to identify interference from pumping or reinjection. Adjust production and
36
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
reinjection where necessary to mitigate significant impacts.
Provide barriers and avoid disturbances from construction and operations
where necessary.
Groundwater and
geothermal reservoir
Contamination of groundwater
from interference with geothermal
water from abstraction wells or
reinjection wells.
Prepare wells with appropriate casing and well head protection to prevent
contamination.
Monitor well levels and pressure to identify leaks early and repair casing or
decommission wells to avoid further contamination.
Detailed analysis of aquifer structure and existing groundwater use at
development area
Determination of existing groundwater users in the vicinity of the
operational wells (e.g. 1 km) should be identified. In addition, some of
technical information about existing groundwater wells (e.g. depth, flow,
etc.) should be collected.
Impacts on aquifer levels from
over-abstraction for fresh water
supplies.
Model yield to ensure sustainable groundwater use.
Use multiple sources of fresh water. Use storage tanks, ponds and dams to
store water.
Over-abstraction of geothermal
resource, leading to subsidence,
saline intrusion, impacts on aquifer
levels, reduced geothermal yield
Modelling of geothermal abstractions and reinjections.
Locate make up and reinjection wells to maximise the efficient use of the
geothermal resource and avoid land subsidence.
Monitor ground subsidence, groundwater levels and water quality.
Construct and maintain wells to avoid interference with groundwater.
Ambient noise Construction works, cooling tower
fans, the steam ejector, and the
Plan work to avoid construction disturbances at sensitive times (night,
37
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
turbine ’hum’.
Disturbances to animals, domestic
life, working life, schooling.
holidays)
Locate sites away from noise-sensitive receptors such as schools and
villages.
Use noise barriers such as bunds, or the natural topography.
Use Guidelines for ambient noise levels (by receptor):
Receptor Maximum allowable Leq (hourly), in dB(A)
Daytime
07.00-22.00
Nighttime
22.00-07.00
Residential; institutional;
educational
55 45
Industrial; commercial 70 0
Ambient air quality Toxic gas emissions from cooling
tower, open contact condenser
cooling tower systems.
Locate plant away from sensitive receptors (model air emissions to assist
with identification of suitable location of plant).
Consideration of total or partial re-injection of gases with geothermal fluids.
Using closed non-contact cooling alternatives.
Depending on the characteristics of source, venting of toxic chemicals (i.e.
hydrogen sulfide and non-condensable volatile mercury) in line with current
regulations.
Depending on the characteristics of source, removal of possible toxic
chemicals from non-condensable gases.
Critical infrastructure Damage or destruction to critical
infrastructure (roads, ports,
Upgrade infrastructure prior to use.
38
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
bridges) during construction. Provide new, purpose-built infrastructure.
Repair damaged infrastructure to at least the pre-project condition.
Occupational health and
safety
Risks relating to working with
machinery, traffic accidents, falling
into ponds, scalding from hot fluids
and steam, working at height,
working in a noisy environment,
construction site-related risks.
Toxic gas emissions during
operation of power plant
Non-routine exposures include
potential blowout accidents during
operation.
Installation of hydrogen sulfide monitoring and warning systems.
Development of a contingency plan for hydrogen sulfide release events,
including all necessary aspects from evacuation to resumption of normal
operations.
Provision of an emergency response teams, with personal hydrogen sulfide
monitors, self-contained breathing apparatus and emergency oxygen
supplies, and training in their safe and effective use.
Provision of adequate ventilation of occupied buildings to avoid
accumulation of hydrogen sulfide gas.
Appropriate PPE.
Appropriate training.
Implement site specific safety systems and procedures (construction and
operation).
Shielding surfaces where working with hot fluids and steam.
Fencing ponds and pits.
Well maintained vehicles and machinery.
Emergency and incident planning and management.
First aid training, and plans for evacuation to hospital.
Design of emergency response for well blowout and pipeline raptures
including measures for containment of geothermal fluid spills. Regular
39
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
maintenance of wellheads and geothermal fluid pipelines:
- corrosion control and inspection
- pressure monitoring
- use of blowout prevention equipment (e.g. shutoff valves).
Land ownership, livelihood
and resettlement
Involuntary resettlement for
power plant, distribution
infrastructure, associated facilities
(as well as wells as mentioned in
Table 1) leading to loss of
livelihood and social disconnection.
Loss of crops, structures, and other
assets.
Prioritize willing buyer-willing seller negotiations for land lease or land
purchase.
Consult widely and identify all affected persons, including squatters.
Compensate at replacement value.
Use the RPF guidance for involuntary land acquisition and resettlement.
Restricting access to forests or
other resources.
Consult widely and engage communities in any changes to forest access and
management.
Integrate resettlement and livelihood issues into the integrated
management plans.
Impacts on other economic
activities such as tourism, fishing,
agriculture.
Consult with the representatives of industries that could be affected by
geothermal development. Work on opportunities to enhance the benefits
to the sector (such as improved roads or more reliable electricity) or
minimize impacts on the sector, as part of the EMP and integrated
management plans.
Social Wellbeing
Concerns and complaints of
affected communities.
Consultation on risks and adverse impacts of the project and creation of
opportunities to receive affected communities’ views on project.
40
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
Establishment of grievance mechanism to collect and facilitate resolution of
affected communities’ concerns and grievances regarding the sponsor’s
environmental and social performance.
Transparent public disclosure to inform each phase of the project through
web site, notice boards, telecommunication tools and public meetings.
Establishing well designed and structured public questionnaire to receive
feedback from affected communities
Community health and
safety
Risks to bystanders and community
relating to traffic accidents, toxic
gas emissions.
Location of sites away from sensitive receptors.
Continuous operation of the hydrogen sulfide gas monitoring systems to
facilitate early detection and warning.
Construction traffic warning systems (pilot vehicles, roadside signs)
Appropriate training of drivers.
Regular community consultation.
Warning signs.
Emergency planning includes community.
Unauthorized access to
construction sites or power plant,
substation and switch yard.
Fencing around all construction sites, power plant etc.
Warning signs and security gates.
Regular community consultation.
ID required to use access road and/or work on site.
Physical cultural resources.
Historic, spiritual,
Disturbance, degradation,
desecration of sites or artefacts as
a result of construction of power
Locate sites away from PCR.
Use the PCR Management Plan to remedy impacts (mitigation,
41
Environmental and Social
Aspects and Issues
Potential Impacts Mitigation Measures
archaeological, religious,
graves, etc.
station infrastructure or alignment
of transmission lines.
minimization, relocation etc.).
Use the chance find procedure to stop work immediately on the discovery
of a PCR.
Indigenous Peoples Potential impacts on access to
resources and connection to the
land.
Lack of access to benefits of the
project.
Consult early and extensively (Free, Prior and Informed Consultation) in
accordance with the IPPF, in language and using methods appropriate to the
IP group.
Include IP in the project design, and ensure that benefits accrue to IP.
Avoid and minimize harm to IP, and engage with them to identify
appropriate mitigation.
42
5 SUB-PROJECT SAFEGUARDS OPERATIONAL PROCEDURES
Overview 5.1
Each geothermal development sub-project to be developed for funding under GEUDP will go 64.
through the same safeguards screening and implementation process, as shown in Figure 1, and
described in the sections below. Safeguard implementation process outlined in this ESMF can be
divided into two parties. First, PT SMI’s (or its consultant) is responsible for the detailed
screenings and the determination of appropriate safeguards instruments. On the other hand, the
preparation of safeguards instruments and the implementation of environmental and social
safeguards management such as land acquisition and technical could become a responsibility of a
dedicated entity contracted by PT SMI through its affiliate that has extensive experience and
capability in geothermal exploration and exploitation activities.
Figure 1 Sub-project Screening and Safeguard Implementation Process
Step 6 Post Exploration Recommendations
Recommendations for downstream investment and resource development
Step 5 Implementation and Monitoring (conducted by the contracted agency/ affiliate)
Contractors' ESMP, Contractor Supervision, Land aquisition and resettlement, Monitoring
Step 4 Clearances and Approvals
... from Indonesian authorities and World Bank
Step 3 Preparation of Safeguard Instrument (conducted by the contracted agency/ affiliate)
Procurement of consultants, investigations, documentation, consultation, and disclosure
Step 2 Detailed Screening and Selection of Safeguard Instrument
Field-based Screening, Determination of risk categority (A, B, C) and appropriate instruments (ESIA, ESMP, UKL/UP, LARAP, IPP).
Step 1 Basic Screening
Desk review and input into sub-project selection, Decision to move forward to detailed screening
43
Step 1: Basic Screening 5.2
As part of the sub-project identification process, PT SMI (or consultant on its behalf) will screen the 65.
sub-projects using desktop information and the checklist in Appendix A. The purpose is to
contribute to the selection of best sites for development under GEUDP. The basic screening can
preliminarily identify potential environmental and social risks using information from BG, maps,
published data and google earth. The outputs of the basic screening will contribute to sub-project
prioritization and selection process and provide background information to the sub-project
feasibility report.
Step 2: Detailed Screening 5.3
PT SMI (or a consultant on its behalf) will the conduct a site visit and collect further secondary data 66.
to screen for environmental and social risks, using the screening checklists in Appendix B as a
guide. This process will identify a probable area of influence, sensitive receptors, anticipated
significant impacts that will require particular attention, the World Bank Risk Category (A, B), and
the safeguard instruments required. The screening process will focus on the exploration phase,
and also consider significant impacts from the linked exploitation phase. Exploration phase issues
will be assessed as part of the ESIA process, whereas exploitation phase issues will be go through
further screening as part of the ESIA process but will not be fully assessed.
The outputs of the detailed screening shall contribute to the sub-project feasibility report. A sub-67.
project will not proceed to development under GEUDP if a ‘show stopper’ is identified and fails the
detailed screening step. An example would be where a sub-project would potentially have
irreversible impacts on critical habitats. Significant potential impacts for linked projects may also
be considered a ‘show stopper’.
5.3.1 Screening of Sensitive Receptors and Potential Impacts
The screening will produce a preliminary description of the project area of influence and will 68.
identify sensitive receptors. The screening questions will assist to identify potentially significant
social and environmental impacts, such as the potential conversion or degradation of natural
habitats. Linked projects (such as the exploitation phase) within the project area of influence will
be screened at the same time but the potential risk and impacts will be separately reported.
5.3.2 Screening of World Bank Safeguard Policies
Based on the sensitive receptors and potentially significant impacts, the screening questions will 69.
assist to identify the relevant World Bank Safeguard Policies for each sub-project.
5.3.3 Screening of World Bank OP4.01 Risk Category
The World Bank classifies projects into one of three categories (A, B and C), depending on the type, 70.
location, sensitivity, and scale of the project and the nature and magnitude of its potential
environmental impacts.
44
Category A: When the sub-project is likely to have significant adverse environmental impacts that 71.
are sensitive, diverse or unprecedented. These impacts may affect an area broader than the sites
or facilities subject to physical works. Examples are: exploration activities within conservation
areas which may result in significant impacts on a population of endangered species or on a critical
habitat; exploration activities that may improve access for induced development that will cause
harm to Indigenous Peoples. A sub-project will also be considered Category A if the linked
(downstream) phase may be responsible for significant adverse environmental impacts that are
sensitive, diverse or unprecedented. All Category A projects are required to have an ESIA and
EMP.
Category B: When the sub-project’s adverse environmental impacts on human populations or 72.
environmentally important areas (including wetlands, forests, grasslands, and other natural
habitats) are less adverse than those of Category A sub-projects. Impacts would be site – specific;
For example, if few of the impacts, if any, would be irreversible and mitigation measures can be
designed more readily than for Category A sub-projects. The scope of environmental assessment
for a Category B sub-project will vary based on the outcomes of the screening process. All
Category B sub-projects will also require an ESIA and EMP. The scope of the ESIA will be based on
the potential risks, address the sub-project’s potential negative and positive environmental
impacts, and recommend measures to prevent, minimize, mitigate, or compensate for adverse
impacts and improve environmental performance.
Category C: If the sub-project is likely to have minimal or no adverse environmental impacts. 73.
Beyond screening, no further environmental assessment action is required for a Category C sub-
project. It is expected that there will be no Category C sub-projects under the GEUDP.
5.3.4 Selection of Safeguards Instruments
The risk screening and categorization process will identify the potential significance of social and 74.
environmental impacts. The checklists in Appendix A and Appendix B outline a decision-making
process for selecting appropriate safeguards instruments for each sub-project.
5.3.4.1 UKL/UPL
In accordance with Indonesian regulations, every geothermal exploration project is required to 75.
have a UKL/UPL. The required format and contents of the document is provided in Appendix E.
For the GEUDP the content of the UKL/UPL mitigation and monitoring plans will be the same as the
ESMP (see Section 5.3.4.3). To comply with OP4.01, the ESMP will contain additional information
on capacity assessment and capacity building plans, implementation arrangements and
implementation budget.
45
5.3.4.2 Environmental and Social Impact Assessment
Every geothermal exploration sub-project under GEUDP will require an ESIA. The breadth, depth 76.
and type of analysis will depend on the nature, scale, and potential impacts of the proposed sub-
project. The screening process will identify the scope of the ESIA.
The Environmental Assessment (EA) evaluates a project’s potential environmental risks and 77.
impacts in its area of influence; and identifies ways of improving project planning, design and
implementation by preventing, minimizing, mitigating, or compensating for adverse environmental
impacts and enhancing positive impacts, including throughout the project implementation.
Preventive measures will be favored over mitigation or compensatory measures whenever
feasible.
An EA takes into account the natural environment (air, water and land), human health and safety, 78.
and project-related social (involuntary resettlement, Indigenous Peoples, and cultural property),
trans-boundary, and global environmental aspects. The EA considers natural and social aspects in
any integrated way. It takes into account the following aspects:
variations in sub-project and country conditions;
findings of country environmental studies;
overall national policy framework, environmental actions plans, legislations and licensing and
permitting requirements;
PT SMI’s capabilities related to the environment and social aspects, and its history of
compliance with national and local laws, including those on environment and public
consultation and notification; and
national obligations under international environmental treaties and agreements relevant to
the sub-project.
Sub-projects that would contravene such country obligations as identified during the EA will not be
supported under the GEUDP.
The social impact assessment and mitigation strategy will encompass the following activities: 79.
a. Social assessment survey of the community groups impacted by the geothermal exploration:
collecting relevant data on income, livelihoods, access to services, customs and norms, and
identifying vulnerable community members and gender issues;
b. Identification of land acquisition requirements for the project footprint: assessments of the
land ownership status, understanding of affected peoples’ willingness to participate in
voluntary or involuntary land acquisition, and accordingly apposite options and preferences
(potentially suggested by affected people) for both voluntary and involuntary land
acquisition scenarios;
c. Development of approach and mechanism for land lease for collective land ownership or
communally owned assets;
46
d. Undertaking of a survey of physical cultural resources (PCR) in the area, through consultation
with the affected communities and stakeholders, and identification and mapping of cultural
heritage assets such as cultural, religious, historical and archaeological sites, including
sacred sites, graveyards and burial places; and
e. Screening for presence of Indigenous Peoples in the project area of influence will be
included in the Social Assessment reviewing key aspects as listed in Appendix J.
The ESIA methodology will include a detailed screening process to identify the potential risks and 80.
issues with linked projects such as the exploitation phase and the approach to how the phases of
geothermal exploration and exploitation will be presented and discussed during consultation. A
screening and risk assessment for the exploitation phase and any other linked activities will be
included in the ESIA document, highlighting significant risks that may affect the geothermal
exploration plan, the decision to recommend exploitation, and how the geothermal exploitation
plan may be developed as a result. As an example, if there are potential irreversible risks relating
to developments within conservation areas, then this should be clearly documented in the ESIA.
Specific criteria will be mandatory for Category A sub-project ESIA. The ESIA will include an 81.
examination of the sub-project’s potential negative and positive environmental impacts, and will
compare them with those of feasible alternatives (including the ‘without sub-project’ situation).
Recommendations will be made of any measures needed to prevent, minimize, mitigate or
compensate for adverse impacts and improve environmental performance.
5.3.4.3 Environmental and Social Management Plan
Every geothermal exploration sub-project under GEUDP will require an ESMP. The scope will 82.
depend on the nature, scale, and potential impacts of the proposed sub-project. The contents of
an ESMP are provided in Appendix D consistent with World Bank Policy OP4.01 Environmental
Assessment. For the GEUDP, the content of the ESMP mitigation and monitoring plans will be the
same as the UKL/UPL. To comply with OP 4.01, the ESMP will contain additional information on
capacity assessment and capacity building plans, implementation arrangements and
implementation budget.
An ESMP may include specific sub-plans such as a Physical Cultural Resources Management Plan, 83.
or Biodiversity Management Plan, to manage specific and significant impacts.
5.3.4.4 Land Acquisition and Resettlement Instruments
Matrix for identifying the applicable instrument for land acquisition and resettlement: 84.
Table 3 Land Acquisition and Resettlement Instrument Matrix
Trigger Instrument
Voluntary land acquisition through a willing buyer-willing seller, or No instrument required
47
lease arrangement. Sales agreements and invoices
are documented.
Assets are affected by a sub-project, but not related to land
acquisition or resettlement.
ESMP
(Appendix D)
When involuntary land acquisition for a sub-project affects less
than 200 people, less than 10% of households’ productive assets
are affected and/or does not involve physical relocation.
An abbreviated LARAP
(Appendix L)
When involuntary land acquisition for a sub-project affects more
than 200 people, affects more than 10% of households’ productive
assets and/or involves physical relocation.
A comprehensive LARAP
(Appendix K)
When a sub-project leads to involuntary restriction of access to
legally designated parks and protected areas resulting in adverse
impacts on the livelihoods of displaced persons.
A Plan for Action as a result of
a Process Framework
(Refer to OP4.12)
5.3.4.5 Indigenous Peoples’ Instruments
Matrix for identifying the applicable instrument for Indigenous Peoples: 85.
Table 4 Indigenous Peoples’ Instrument Matrix
Trigger Instrument
Indigenous Peoples may form a portion of the beneficiaries /
persons affected
An Indigenous Peoples’ Plan
based on a Social Assessment
in the ESIA (Appendix J)
Indigenous Peoples are in the project area of influence but the
Social Assessment concludes that the sub-project will not adversely
impact the people / population.
No instrument required
5.3.5 Screening Report
The screening report will be prepared by PT SMI (or EMC on its behalf) and include: 86.
a. Completed Screening Forms (Appendix A)
b. Description of the environmental and social context, including maps and photos.
c. Identification of the project area of influence and sensitive receptors.
d. Clearly state the screening outputs related to the funded exploration project, and to any
linked activities such as exploitation.
e. World Bank safeguard policies triggered.
f. World Bank Risk Categorization
g. Significant environmental and social risks, with a preliminary assessment of the nature and
scale of impact assessment and/or mitigation measures likely to be required (such as
48
Biodiversity Management Plans, a comprehensive consultation program, economic or health
impact assessments).
h. List of required safeguards instruments (ESIA, ESMP, UKL/UPL, LARAP, Abbreviated LARAP,
and IPP) and a program to prepare them, estimating the time required, expertise required,
and budget. Note any issues such as timeframes or budgets that may affect geothermal
project feasibility or the development plan.
i. Recommendations for the design of the geothermal development plan, such as the location
of drilling sites, location of fresh water supplies, the avoidance of sensitive receptors, etc.
The detailed screening report may conclude that the sub-project is not feasible based on
significant potential safeguards issues.
Step 3: Preparation, Consultation and Disclosure of Safeguards Instruments (can be conducted 5.4
by PT SMI’s affiliate)
5.5
Terms of Reference (TOR) for safeguards instruments will be prepared by PT SMI through its 87.
affiliate and reviewed by the World Bank before the work is tendered to competent and qualified
environmental and social consultants. The World Bank must clear the TOR for Category A sub-
project ESIA before it is issued in a request for proposal. Consultants with experience in
Indonesian regulatory processes and World Bank safeguard policies will be engaged. The
safeguards instruments will be completed in parallel with the feasibility studies, and before the
World Bank clears the project for funding and the drilling contract bid documents are finalized.
The safeguards work will feed into the final design of the geothermal exploration plan, bid
documents, etc.
The scope of the ESIA, ESMP, UKL/UPL and IPP will be commensurate to the nature and scale of 88.
potential impacts. The scope of the LARAP or abbreviated LARAP will be determined based on the
number of PAPs, and the nature and scale of compensation and livelihood restoration.
Consultation and disclosure will be carried out as per Section 8. PT SMI through its affiliate will 89.
lead consultation with support from the consultants.
PT SMIand the World Bank will review draft documents and provide feedback prior to finalization. 90.
Step 4: Clearances and Approvals 5.6
The UKL/UPL will be submitted for approval by the relevant Provincial or District Environment 91.
Agency. The final ESIA, ESMP, LARAP and IPDP will be subject to review and approval by the
World Bank. No work is to begin on site until the documents have been cleared and the relevant
regulatory approvals have been awarded. In Indonesia “Dokumen Persiapan dan Pengadaan
Tanah” (based on UU No.2/2012 will be approved by the Governor and/or Head of the City/District
where the project locates. Base on this approval, the location permit will be issued. LARAP can be
prepared based on this documentation.
49
Step 5: Implementation and Monitoring 5.7
PT SMI will prepare detailed implementation processes in the Project Operations Manual. In brief, 92.
implementation will occur as follows:
a. PT SMI, or the EMC on their behalf, will integrate safeguards aspects into geothermal
exploration plans (location of infrastructure, construction methods, mitigation measures
relating to design etc.).
b. PT SMI, or the EMC on their behalf, will include the ESMP in the Contractor’s bid documents
and the Contractor’s contract. Contractor’s selection process will include the capacity to
implement ESMP, and UKL/UPL.
c. The Contractor will be required to prepare a Contractor’s ESMP before work begins. The
Contractor’s ESMP will document, in detail, how the Contractor will fulfill its roles and
responsibilities as documented in the Project ESMP.
d. No work will begin on site (including ancillary works such as access roads) until land
acquisition and resettlement has been completed and the Contractor’s ESMP has been
cleared by PT SMI (to the satisfaction of the World Bank).
e. The EMC will monitor and supervise the Contractor’s ESMP implementation and be
responsible for implementing other aspects of the project ESMP not under the Contractor’s
control.
f. PT SMI through its affiliate will implement the IPP and LARAP and coordinate the activities
with those of the EMC and the Contractor(s).
g. Training will be carried out by EMC and/or a third party, where necessary, in accordance
with the capacity building plans in the ESMP.
h. Supervision, monitoring and reporting will be carried out as per Section 9.4 and the detailed
requirements of the ESMP.
Step 6: Post Exploration Recommendations 5.8
Safeguards screening and risk assessments from the ESIA regarding linked projects (and any 93.
learnings from the implementation of the project ESMP, LARAP and IPP and exploration activities)
will inform the resource feasibility assessments that are produced following the exploitation
phase, as well as the recommendations and decision making regarding future commercialization of
the resource for electricity generation. This may include a list of conclusions and
recommendations if there is a low possibility of the geothermal prospects being developed, or may
include draft or final TOR for ESIA and other safeguards instruments if the prospect will be
delivered to market for development in the short term.
Technical Advisory Operational Procedures 5.9
Terms of Reference for Technical Advisory components will require: 94.
a. Safeguards specialists to be part of the team, where necessary (such as the Good Practice
Guidance, and the EMC);
b. Advice and outputs to comply with the ESMF, RPF and IPPF;
50
c. Advice and outputs to be consistent with World Bank Safeguards Policies and policies on
Gender and Disclosure;
d. Broad consultation with relevant stakeholders, and the public where necessary; and
e. Disclosure of technical documents.
PT SMI Environmental Social Safeguard and Business Continuity Management (ESS&BCM) 95.
Division (supported by consultants if necessary), will review technical advisory outputs and
provide comment and input to ensure consistency with GEUDP framework documents. The World
Bank safeguards specialists will review and comment on technical advisory outputs to ensure
consistency with policies and GEUDP framework documents.
51
6 RESETTLEMENT POLICY FRAMEWORK
Key Principles 6.1
Under the GEUDP, this Resettlement Policy Framework (RPF) provides guidance on resettlement 96.
screening, assessment, institutional arrangements, and processes regarding Involuntary
Resettlement to be complied with by project management staff, consultants, and related parties.
The RPF will guide the preparation of Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP) for
each sub-project. The World Bank OP 4.12 on Involuntary Resettlement sets the standards on
addressing and mitigating risks resulting from involuntary resettlement, including any case of
involuntary land taking.
The World Bank recognizes that land acquisition and land use restrictions induced by the project 97.
can have adverse impacts on land users and communities. Here “involuntary resettlement” refers
both to physical displacement (relocation or loss of shelter) and economic displacement (loss of
assets or access to assets that leads to loss of income sources or other means of livelihood) as a
result of the project activities. Resettlement is considered involuntary when affected persons or
communities do not have the right to refuse land acquisition or restrictions on land use that result
in physical or economic displacement. This occurs in cases of: (i) lawful expropriation, or
temporary or permanent restrictions on land use, and (ii) negotiated settlements in which the
buyer can resort to expropriation or impose legal restrictions on land use if negotiations with the
seller failed.
Since acquisition of the land for drilling activities is likely to be conducted through voluntary land 98.
transaction mechanisms such as willing seller-willing buyer10, this RPF outlines negotiated land
acquisition principles and procedures. However, in cases of any adverse economic, social, or
environmental impacts from project activities (exploration drilling) other than land acquisition
(e.g., loss of access to assets or resources or restrictions on land use), such impacts will be avoided,
minimized, mitigated or compensated for through the process of social assessment as part of the
environmental and social impact assessment. However, if there are significant social impacts from
voluntary land acquisition, PT SMI will consider applying the requirements of the World Bank OP
4.12 on Involuntary Resettlement to avoid, remedy or mitigate the impacts.
The overall objectives of the Bank's policy on involuntary resettlement are the following: 99.
a. Involuntary resettlement should be avoided where feasible, or minimized, exploring all
viable alternative project designs;
b. Where it is not feasible to avoid resettlement, resettlement activities should be designed
and executed as part of a sustainable development program, e.g., providing sufficient
10 That is, market transactions in which the seller is not obliged to sell and the buyer cannot resort to expropriation or other
compulsory procedures if negotiations fail
52
resources to enable the persons displaced by the project to share in project benefits.
Persons displaced by the project should be meaningfully consulted and be given the
opportunity to participate in the planning and implementation of resettlement programs;
and
c. Displaced persons should receive assistance in their efforts to improve their livelihoods and
living standards, or at least to restore them, in real terms, to pre-displacement levels, or to
levels prevailing prior to the project commencement, whichever is higher.
Prior to implementation of land acquisition and resettlement activities, PT SMI will adopt the 100.
following approaches and methodology of social assessment as required by OP4.12 requirements:
a. Avoid involuntary resettlement and, if unavoidable, minimize its potential impacts;
b. Assess the potential economic and social impacts of involuntary land acquisition and
resettlement on PAP and their livelihoods;
c. Identify categories of affected persons and their respective entitlements;
d. Set out clear process of consultation with and participation of PAPs in the preparation and
planning of involuntary land acquisition and resettlement, if any, as well as information
dissemination to the PAPs;
e. Compensate for lost assets at full replacement cost;
f. Compensate informal/illegal land users for lost assets and provide assistance in relocating, if
needed;
g. Compensate and obtain legal access to expropriated land before starting construction;
h. Provide information and prepare special assistance programs for vulnerable groups
including the persons without any immovable property; and
i. Provide and prepare plans for grievance redress and monitoring in line with the RPF.
Indonesian Laws and Policies Relating to Land Acquisition 6.2
Geothermal exploration is important for energy infrastructure development, and under the 101.
country system it is categorized as public interest development. In case of land acquisition for
infrastructure development for public purposes, any sub-project should refer to Law 2 of 2012 on
Land Acquisition for Project Activity for Public Interest. The following are its implementing
regulations: Presidential Decree No. 71 of 2012, Head of National Land Bureau Regulation No. 5 of
2012, Minister of Finance Regulation No. 13 / PMK.02 of 2013, and Ministerial of Home Affairs
Regulation No. 72 of 2012.
The Presidential Decree No. 71 of 2012 has been amended four times. The key changes are: No. 102.
40 of 2014 (…Land acquisition up to 45 hectare can be directly conducted by the agency needing
land with holders of land right through a business transaction or other way agreed by both
parties…); No. 99 of 2014 (…Head of Land Acquisition Implementation issues compensation value
resulted from appraiser or public appraiser); No. 30 of 2015 (…Finance for land acquisition can be
sourced from a company (Badan Usaha) as Agency acquiring the land has been given the right to
act on behalf of the state, ministerial, non-ministerial government agency, or provincial or district
government; and the most updated one, No. 148 of 2015 (…Land acquisition for public interest
53
development purpose up to 5 hectares does not need location determination letter. Agency
needing land to use appraiser for land valuation…).
Minister of Finance Regulation No. 13/PMK.02 of 2013 has been also amended by No. 10 / PMK 103.
02 of 2016, which indicates a threshold budget allocation for land acquisition for public-interest
development projects. Minister of Home Affairs Regulation No. 72 of 2012 indicated operational
and supporting land acquisition implementation for public interest development source from a
regional budget.
Head of National Land Bureau (BPN) Regulation No. 5 of 2012 has been amended by No. 6 of 104.
2015, which highlights a bailout scheme to accelerate infrastructure development. The
government revised the Ministerial of Agrarian and Spatial Planning (ATR) Regulation No. 6 of 2015
for the Amendment Regulation of the National Land Bureau (BPN) No. 5 of 2012 on Technical
Guidelines for the Implementation of Land Acquisition. This revision open up the opportunity for
private entrepreneurs to bailout11 (dana talangan) land acquisition fund for public-interest
infrastructure projects. Then bailout is replaced using state budget funds through the relevant
ministries or agencies.
Land acquisition for public interest development shall be performed in accordance with the 105.
Regional Spatial Plan; the National/Regional Development Plan; the Strategic Plan; and the
Working Plan of the Agency needing land. However, as indicated in Elucidation of Article 7 (2) of
Law 2 of 2012, geothermal energy activities are to a degree flexible, uncertain and changeable.
Because of this, flexible planning is required in order to ensure the effectiveness and efficiency of
the development of geothermal energy resources.
Law 2 of 2012 has significantly improved the country system for resettlement with greater 106.
protection for the rights of property owners through consultation and fair compensation. It also
deals with compensation for non-titled property if land acquisition is required. If the land is
publically owned, the law do not apply and the required land would be cleared according to Law
No. 5 of 1960, in which its Article 18 states that the rights on land may be expropriated by the
government for public-interest activities by providing reasonable compensation in accordance to
procedures stipulated in the Law. The Law also stipulates that public entities, including state-
owned companies, are eligible to acquire land under this mechanism12. Similarly, private
11 Private bails advance funds for land acquisition. This approach will benefit toll roads development and helps Toll Road
Regulatory Agency (BPJT) can quickly build toll road. However, Minister Public Works and Housing (PUPR) also requires to prepare technical regulations of the private use of the bailout fund. 12
Beside the Law 2 of 2012 and its implementing regulations, there are other regulations related to the land acquisition and resettlement for public interest, such as the Presidential Degree No. 40 of 2016 concerning the Acceleration of the Development of Electricity Infrastructure that has significant aspects in reducing the time of land acquisition process and determining the location. This is discussed more in the section 8.3. Energy Sector in this document
54
companies can also acquire land by establishing public private partnerships with state-owned
enterprises and eligible government agencies.
Law 2 of 2012 and its supporting regulations stipulate that valuation of compensation should be 107.
done by “…Independent and Professionals Appraisers, who have a license from the Ministry of
Finance as Public Appraiser and registered in National Land Bureau (BPN)”. The Indonesian Society
of Appraisers (MAPPI) issued the Valuation Standard 306, Valuation in the Context of Land
Acquisition for Development for Public Interest, to guide and support the implementation of Law 2
of 2012. The Standard follows the same principles as the Law, where determination of the
compensation amount is based on the “principles of humanity, fairness, usefulness, certainty,
transparency, agreement, participation, welfare, harmony and sustainability.” Fair Replacement
Value is the based on the market value of the property, with attention to non-physical elements
associated with loss of property ownership, caused by the land acquisition. The definition of Fair
Replacement Value follows the same principles as that for compensation as cited earlier.
Valuation consists of physical and non-physical components. Physical components that will be 108.
compensated include: a) land; b) space above- and under-ground; and c) buildings; and d)
amenities and facilities supporting the building. Non-physical components to be compensated for
includes:
Disposal rights of landowners, to be given as a premium in monetary terms under existing
legislations. The substitutions may include matters relating to: a) loss of employment or loss
of business, including change of the profession (with respect to Law No. 2 of 2012 Article 33
letter f of the Elucidation); b) emotional loss associated with loss of shelter as a result of
land acquisition (with due regard to the Act No. 2 in 2012 Article 1 Paragraph 10, Article 2
the elucidation and Article 9, paragraph 2).
Cost of transaction, such as moving expenses and corresponding taxes.
Compensation for waiting period, that is, payment to account for the time difference
between the valuation date and the estimated payment date.
Loss of value of the remaining land, which can be calculated over the entire land value if it
can no longer be used as intended.
Physical damage and repair costs to building and structure atop the land, if any, as a result
of land acquisition.
World Bank Safeguard Policy OP4.12 Involuntary Resettlement 6.3
This policy aims to avoid involuntary resettlement where possible. However, it sets out – where 109.
necessary – requirements for participation in resettlement planning, as well as compensation
provision that improves, or at least restores, incomes and living standards. The Bank's experience
with geothermal projects in Indonesia with regard to involuntary resettlement indicates that land
is acquired through commercial transactions rather than expropriation, and involuntary
resettlement does not occur. However, this RPF establishes the principles and procedures for land
55
acquisition and resettlement in case there are instances when PT SMI must invoke involuntary
acquisition or resettlement.
The World Bank OP 4.12 does not apply to resettlement resulting from voluntary land 110.
transactions (i.e., market transactions in which the seller is not obliged to sell and the buyer
cannot resort to expropriation or other compulsory procedures sanctioned by the legal system of
the host country if negotiations fail). It also does not apply to impacts on livelihoods where the
project is not changing the land use of the affected groups or communities.
Gap Analysis 6.4
There is potential gap between WB safeguard policy requirements and the country system in 111.
terms of enforcement of cut-off date at the beginning of census and other surveys. The aim is to
prevent fraudulent claims and population influx to project area. The World Bank’s OP 4.12
endnote 21 reads: “Normally, this cut-off date is the date the census begins. The cut-off date could
also be the date the project area was delineated, prior to the census, provided that there has been
an effective public dissemination of information on the area delineated, and systematic and
continuous dissemination subsequent to the delineation to prevent further population influx. Refer
to Section 6.6 for how this will be managed for the GEUDP. Another potential gap relates to the
restoration of livelihoods and provision of non-cash compensation. The country system indicates
that lost livelihoods are covered by cash compensation, whereas Bank procedures contain a series
of actions that guarantee the restoration of livelihoods. The latest development of the country
system has highlighted the need to develop a technical guidance to cope with relocation including
restoration of livelihoods. However unless the guidance has been issued, World Bank-financed
projects should continue adding clauses that relate to the restoration of livelihoods and provision
of non-cash compensation.
Process for Preparing and Approving Resettlement Action Plan 6.5
Depending on the ESIA results, LARAP will be prepared when there will be involuntary 112.
acquisition of land and/or resettlement and/or restriction of access to resources. PT SMI through
its affiliate will prepare a LARAP in compliance with the Bank OP 4.12 and the country system13.
Implementation of the LARAP requires the Bank’s prior approval. The following sub-chapters detail
the required elements to prepare a LARAP.
13 In accordance to the country safeguard system, in this stage, PT SMI shall make a Plan of Land Acquisition in the Public
Interest in accordance with the laws and regulations. The Plan shall refer to the Regional Planning, Spatial Planning and the development priority as stated in the Medium – Term Development Plan, Strategic Plan, and the Working Plan of the relevant Agencies.
56
6.5.1 Required Information for the Involuntary Acquisition of Private or Village Land
PT SMI through its affiliate will first provide documentation regarding land acquisition needs 113.
(including the lands that will be needed for the project in future). The Bank’s social development
specialist will review the documents and determine remedies if there are any circumstances that
would jeopardize compliance with OP 4.12. If so, additional information and an appropriate course
of action may be required by PT SMI.
PT SMI will then use the enclosed reporting formats (Abbreviated LARAP in Appendix L or the 114.
full LARAP in Appendix K) to cover the following issues:
a. Assessment of the temporary and permanent impacts of land acquisition or expropriation,
and categories of persons/households affected, number of lands/plots affected, percentage
of land/plots affected in any landholding, land use before and after acquisition, prior land
use and number of owners.
b. Documentation of the socioeconomic situations of affected households, such as income
stream and percentage of income derived from the acquired land in line with the WB
safeguard policy requirements. The aim is to understand the adverse impacts on livelihoods
of displaced persons and provide restoration measures to compensate for their income
losses.
c. Compensation standards applied for temporary and permanent loss of land, loss of crops,
loss of productive trees, loss of residence and businesses (documenting the value equivalent
to full replacement cost),
d. Result of court decisions, if any,
e. Provision for replacement land, if relevant, and
f. Provision of documentation for vulnerable groups, grievance redress and monitoring.
Under Indonesian Law, Land Acquisition Plan in the Public Interest Document prepared in the 115.
form of a land acquisition planning document must entail: (a) objectives of the development plan;
(b) consistency with the Regional Spatial Planning and the National/Regional Development Plan; (c)
land location; (d) land size needed; (e) description of the land (legal and physical) status; (f)
estimated period of land acquisition; (g) estimated period of construction implementation; (h)
estimated land value; (i) budget plan; and (j) that the Plan shall be made under a feasibility study
prepared in accordance with the laws and regulations. The last step is submission of the Land
Acquisition Plan in the Public Interest Document to the Governor with complete supporting
documents.
6.5.2 Required Information for the Acquisition of Public Land
OP4.12 also applies where public land (land owned by GOI or local government) is 116.
purchased, transferred, leased or used informally/temporarily by PT SMI. This also
includes easements. While the land transaction may be ‘voluntary’ by the Government
agency, there may be third parties who use the land (tenants, informal land users,
squatters etc.) that will be subject to involuntary resettlement.
57
In this case, PT SMI will submit a Social Impact Screening Summary to the World Bank, using 117.
information from the Detailed Screening Process (Refer Section 5.3). PT SMI will document the
transfer mechanism, the amount of land, whether it is in use and for what purpose(s), and the
number, name, gender and status of land-users (e.g., tenants, informal users).
For each sub-project that requires involuntary resettlement of third parties from public land, PT 118.
SMI will prepare a LARAP, and submit to the Bank for approval before implementation of land
acquisition. LARAPs will include a detailed description of resettlement planning and
implementation in compliance with the World Bank OP 4.12. The scope and level of details of the
LARAP will vary with the magnitude and complexity of the land acquisition and compensation
issues. The Plan will indicate the number and ownerships of parcels to be acquired or subject to
lease or easement, the number of parcels affected, estimated cost of the land and other assets to
be acquired or subject to the acquisition, responsibility for execution and schedule for acquisition.
The World Bank will review and ensure conformance of the land acquisition and resettlement
process to OP4.12.
Once the LARAP is cleared by the Bank, it will be disclosed locally at the project site and on the 119.
Bank’s Infoshop website. PT SMI will review its afiliate and ensure that project implementation is
fully consistent with the LARAP and provide adequate monitoring and reporting of the activities set
out in the LARAP. As part of LARAP implementation, PT SMI will provide a quarterly report of land
acquisition activities to the World Bank, as part of the overall project progress report. The report
will indicate the number and ownership of parcels affected and their current status, progress of
negotiations and appeals, and the price offered and finally paid (reported as number of square
meters of the original whole plot and the size of the specific area acquired, and amount per square
meter). At the end of the project and as part of project completion report, PT SMI will provide the
Bank with a completion audit.
The World Bank supervises LARAP implementation to ensure compliance with OP 4.12. If 120.
necessary, it may contact affected parties to confirm the validity and determine whether or not
the process and outcomes have complied with OP/BP 4.12. However, following the location
determination during the preparation stage, any land transaction can only be done to the BPN.
The land freeze has been applied when location determination is effective.
Under the country system, the responsible entities for activities in the preparation stage – 121.
including the LARAP approval process – are PT SMI and Local Government. After the document is
submitted by PT SMI, the Governor will establish a Preparation Team for the project land
acquisition. Under the Governor’s instruction, the Team will prepare the ‘Penetapan Lokasi’
following the below steps:
a. Notice of the development plan;
b. Identification of the development plan;
58
c. Undertaking public consultation concerning the development plan;
d. Announcement of the ‘location determination’ (Penetapan Lokasi Pembangunan);
e. Disclosure of the Determination of Location (to be printed and placed at the Kelurahan
Office), and announcing it in local paper/electronic media.
Cut-off Date & Eligibility Criteria for Affected Persons 6.6
Any person who suffers a loss or damage to land, assets, business or access to productive 122.
resources, as a result of involuntary land acquisition or resettlement, will be eligible for
compensation and/or resettlement assistance. The cut-off date for eligibility for compensation
and/or resettlement assistance is the last day during the census/inventory of assets. The affected
communities will be informed of the cut-off date through the responsible agencies, community
elders and leaders. Individuals or groups that are not present at the time of registration but who
have a legitimate claim to membership in the affected community can be accommodated.
Under the country system, the cut-off date is determined during the implementation stage after 123.
verification of eligibility has been conducted (See Section 6.7). The provincial-level Land Office
(BPN) will be responsible for the implementation stage activities, which it has the authority to
delegate to the district level14. Prior to the cut-off date, the Land Office will conduct these steps:
a. Developing the implementation team, including at the local level;
b. Inventory, identification and disclosure of result;
c. Filing the objection and verification.
Proof of Eligibility 6.7
PT SIM through its affiliate who will be in charge for land acquisition will consider various forms 124.
of evidence as proof of eligibility for affect people as stated in the RPF, for example, formal legal
rights, such as land title registration certificates, leasehold indentures, tenancy agreements, rent
receipts, building and planning permits, business operating licenses, and utility bills; or in lieu of
formal documentation, an affidavit signed by land owners and tenants witnessed by the
administrative authority. Criteria for establishing claims to eligibility without any documentation
will be determined on a case-by-case basis.
Only project affected persons enumerated during the census/inventory of assets shall be eligible 125.
for compensation or supplemental assistance. Any new structures or additions to existing
structures carried out after the cut-off date will not be considered affected, and their owners or
occupants will not be able to claim compensation or supplemental assistance for these, unless
they can demonstrate that the census/inventory of assets has failed to identify them as affected.
14 Head of Land Office Decree 2 of 2013 concerned about the Delegation of Authority for Land Rights and Land Registration
Activities
59
Entitlement Policy 6.8
The following PAP will be entitled to value compensation, rehabilitation, and resettlement 126.
support:
PAPs losing land, structures, and access to those assets, and/or having to relocate due to loss
of livelihood, or access to income sources or means of livelihood: Those with legal right of
land use and ownership will be compensated for land, structures and economic assets on
land at full replacement value. They will also be provided with resettlement assistance in
line with the World Bank policy requirements.
PAPs losing crops or trees providing livelihood or income: These PAPs will be fully
compensated at replacement value of the trees, based on the cumulative value for its entire
productive life as well as bare land value. If land must be acquired before the crops are
harvested, owners will also be compensated for the estimated crop value.
PAPs as land renter: Renters will be assisted to find an alternative land to rent. Transitional
assistance may be necessary to ensure that renters’ livelihoods are not affected.
PAP who are illegal or informal users of land: PAPs without recognized legal rights or claim
to the land they are occupying will not be compensated for land, but only for the structures
and other assets (trees) on land based on replacement value. Those using land unofficially
for agricultural or grazing purposes will be assisted to find alternative areas.
PAPs losing their livelihoods due to involuntary land acquisition: These PAPs are also entitled
to resettlement assistance.
Full Replacement Cost and Livelihoods Restoration 6.9
The World Bank safeguard policy requires that compensation be paid at replacement value in 127.
addition to transitional assistance. Land is replaced with that of equal value and amenities.
Livelihood assets are replaced with those of equal value. Benefit sharing is assured through
additional support mechanisms where possible.
Negotiated Land Acquisition / Voluntary Transaction 6.10
Negotiated land acquisition, or voluntary transaction, will be the preferred method for acquiring 128.
land. The location of the drilling sites, and supporting infrastructure such as access roads, are
flexible to a point, therefore, there can be some negotiations as to which site is selected based on
land-owners’ willingness to sell or lease land.
PT SMI through its affiliate will apply the following principles for negotiated land acquisition / 129.
voluntary transaction for exploration drilling stage:
Meaningful consultations with PAPs, including those without legal title to land and assets;
Offer of fair price for land and other assets at replacement cost. Deduction of income tax
for land transaction will be openly communicated with and agreed by the PAPs;
Transparency in negotiation with PAPs to reduce risks of asymmetry of information and
bargaining power of the parties. An independent external party will be engaged to
document and validate the negotiation and settlement process.
60
Under the country system, acquisition for land of up to 5 ha can be done through the willing 130.
seller-willing buyer mechanism. Indonesian Civil Laws (Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
Chapter 1458 on Selling and Buying spells out the principles and outlines buyer and seller
obligations and responsibilities. Under this Law, the mechanism has an obligatory character,
where the rights attached to the land or assets sold are not automatically transferred to the buyer.
Unlike land transaction conducted under a customary law (hukum adat), such transactions still
require transfer of the land ownership right. Land registration is a precondition for land transfer
under a negotiated land acquisition or willing buyer-willing seller mechanism.
The Minister for Agriculture and the Head of the National Land Bureau’s National Regulation No. 131.
5/2012 specifies procedures for land registration. It outlines requirements for the land registration
and acquisition process, and prescribes: (i) steps for scaling and mapping the land coordinates and
accepted survey procedures, (ii) regulations pertaining to valuation in the land markets, (iii)
necessary documentation, (iv) official publication of claim and title, (v) objection mechanism, (vi)
title verification procedures, and (vii) issuance of land certificates.
However, valuation of the affected assets under the scope of GEUDP would follow the 132.
procedures as prescribed by Law 2 of 2012 and supporting regulations, under which valuation of
compensation should be done by “…Independent and Professionals Appraisers who have license
from Ministry of Finance as Public Appraiser and registered in National Land Bureau (BPN)”. The
Indonesian Society of Appraisers (MAPPI) issued the Valuation Standard (SPI) 306, Valuation in the
Context of Land Acquisition for Development for Public Interest, to support the implementation of
Law 2 of 2012. Valuation Standard 306 shares the same principles as the Law, which bases the
determination of compensation amount on the principles of “humanity, fairness, usefulness,
certainty, transparency, agreement, participation, welfare, harmony and sustainability.”
The Fair Replacement Value is the value of the ownership, which equals the market value of a 133.
property, with attention to elements such as non-physical losses of ownership resulting from land
acquisition. The Fair Replacement Value definition is same as definition for compensation in the
Law 2 of 2012.
The Scope of Valuation consists of physical and non-physical components. Physical components 134.
that will be compensated for include: a) land; b) space above- and under-ground; c) buildings; and
d) amenities and facilities supporting the building. Non-physical components to be compensated
for include:
Disposal rights of land-owners, to be given as a premium in monetary terms under existing
legislations. The substitutions may include matters relating to: a) loss of employment or loss
of business, including change of the profession (with respect to Law No. 2 of 2012 Article 33
letter f of the Elucidation); b) emotional loss associated with loss of shelter as a result of
land acquisition (with due regard to the Act No. 2 in 2012 Article 1 Paragraph 10, Article 2
the elucidation and Article 9, paragraph 2).
61
Cost of transaction, such as moving expenses and corresponding taxes.
Compensation for waiting period, that is, payment to account for the time difference
between the valuation date and the estimated payment date.
Loss of value of the remaining land, which can be calculated over the entire land value if it
can no longer be used as intended.
Physical damage and repair costs to building and structure atop the land, if any, as a result
of land acquisition.
62
7 INDIGENOUS PEOPLES’ PLANNING FRAMEWORK
Objectives and Principles 7.1
This IPPF will be applied when Indigenous Peoples (IPs) are present in a sub-project’s area of 135.
influence as identified during the social and environmental screening process or subsequently
during the ESIA. PT SMI ‘s affiliate is responsible for implementing the necessary actions to meet
the requirements outlined by this framework.
There is no universally accepted definition of Indigenous Peoples. Indigenous Peoples may be 136.
referred to in different countries by such terms as: indigenous ethnic minorities, aboriginals, hill
tribes, minority nationalities, scheduled tribes, first nations, or tribal groups (known in Indonesia
as Suku Terasing (Isolated Indigenous Community) or Kelompok Adat Terpencil (Customary Law
Community)).
The term “Indigenous Peoples” is used in a generic sense to refer to a distinct social and cultural 137.
group possessing the following characteristics in varying degrees:
Self-identification as members of a distinct indigenous cultural group and recognition of this
identity by others;
Collective attachment to geographically distinct habitats or ancestral territories in the
project area and/or to the natural resources in these habitats and territories;
Customary cultural, economic, social, or political institutions that are separate from those of
the dominant society or culture;
An indigenous language, often different from the official language of the country or region.
Ascertaining whether a particular group consider as Indigenous Peoples for purpose may require
technical judgment.
Indonesian Laws and Regulations relating to Indigenous Peoples Safeguards 7.2
When IPs are present and affected by the project, the project should provide benefit to and 138.
need to manage adverse impacts on the IPs15. Indonesia’s national policies on Indigenous Peoples
includes: (1) Presidential Decree (Keppres) No. 111/1999 concerning Development of Isolated
Indigenous Community (KAT), which provides a broad definition of Indigenous Peoples and the
need for government assistance; and (2) Law No. 41/1999 concerning Forestry Law which defines
customary forest16.
Identification of IPs follows the Bank’s criteria (paragraph 137). Identification of IPs will also meet the criteria of “Masyarakat Hukum Adat”-MHA- summarized from Indonesian Regulations and local values, as well as additional information gathered from respective cities. 16
One fundamental change is related to Indigenous Peoples is the issuance of Constitutional Court Decision No. 35/PUU-X/2012 which changed Article 1 point 6 of Law No. 41/1999 on Forestry, which has now become “customary forest is a forest located within the area of an indigenous community”. Before, there was a word of “state” in the article. With elimination of the word “state” from the definition, now it is understood that customary forests is now no longer a state forest.
63
Other laws and regulations related to IPs are: UUD 1945 (Amendment) Chapter 18 Clause #2 and 139.
Chapter 281 Clause #3. The existence of adat communities is recognized in the Constitution Article
18 and its Explanatory Memorandum. It states that in regulating a self-governing region and adat
communities, the government needs to respect the ancestral rights of those territories. After
amendments, recognition of the existence of adat communities was provided in Article 18 B Para.
2 (concerning “adat law community” and regional government) and Article 28 I Para. 3
(“traditional community” and Human Rights).
Act No. 5 of 1960 concerning Basic Regulations on Agrarian Principles (or Basic Agrarian Law / 140.
BAL). Article 2 Para. 4, Article 3, and Article 5 provide general principles that accommodate
recognition of adat communities, ulayat land rights, and adat laws. In later developments, BAL
recognition of adat law is tied to “national interest”.
Forestry Acts (Act No. 5 of 1967 and Act No. 41 of 1999). The Act divides forest area into two 141.
categories: state forest and proprietary forest. State forest is forest growing on land not covered
by proprietary rights. The state forest category also covers ulayat, or adat forest. Proprietary
forest is forest growing on land covered by proprietary rights. By including ulayat forest as state
forest, the Act ignores ulayat rights of adat communities over their forest area.
The Constitutional Court Decision No. 35/PUU-X/2012 resolved a major ambiguity in Article 1 of 142.
the Forestry Act No. 41 of 1999 and formally recognized that customary forests are state forests
located in the areas of customary communities. Article 5 of the same Law was revised to mandate
that state forest category does not cover customary forest. The ruling was made in favor of a
petition filed by Indonesia’s National Indigenous Peoples Alliance, or Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) in March 2012. 17
Ministerial of Home Affairs (MOHA) Regulation No. 52 of 2014 on Guidelines for the Recognition 143.
and Protection of Indigenous Peoples, can be used as a reference for local governments regarding
customary communities. The Regent/Mayor may form a committee on Indigenous Peoples in the
regencies/cities, which serves to identify, verify and validate Indigenous Peoples. Results of the
verification and validation, then submitted to the head region. The Regent/Mayor can issue
decision on the recognition and protection of Indigenous Peoples based on the committee’s
recommendations.
Ministerial of Forestry Regulation (MoF) No. P.62/Menhut-II/2013 (adjustment of Ministerial of 144.
Forestry Regulation No. P.44/2012) on the Establishment of Forest Area. This MoF regulation was
17 In 1999, a national congress of Indonesian indigenous peoples took place, attended by over 200 adat community
representatives from 121 indigenous peoples. The Congress agreed to establish a national alliance of indigenous peoples, AMAN. By 2001, AMAN had 24 affiliated organizations in islands and provinces. It has several objectives, including the restoration of sovereignty to adat communities over their socioeconomic laws and cultural life, and control over their lands and natural resources and other livelihoods.
64
criticized by AMAN for equating forest area with state forest, which they perceived to be against of
the Constitutional Court Decision No. 35/PUU-X/2012.
Joint Regulation of Ministerial of Home Affairs (MOHA), Ministerial of Forest, Ministerial of 145.
Public Works and National Land Bureau No. 79/2014; No: PB.3/Menhut-11/2014; No:
17/PRT/m/2014: No: 8/SKB/X/2014 on Procedures to Settle Land Ownership Conflict in Forest
Area. This regulation recognized that there are other rights such as customary rights over forest
land.
Ministerial Regulation of the Land Agency and Spatial Development No. 9/2015 on the 146.
Procedures to Establish the Land Communal Rights on the MHA Land and Community Living in the
Special Area. This regulates communal rights of not only the Customary Law Community, but also
other groups of people residing and depending in the same land area. Customary Law Community
is a community bound by customary law, both genealogically (common ancestor) and territorially
(similar residence). These Communities have a socio-cultural bond with the land and its resources
for a long time. Whereas “people in certain areas” are people who control the land for at least 10
years, who depend on forestry products and natural resources, and whose existing socio-economic
activities are closely linked to the area. Communal rights addressed in Regulation No. 9/2015 are
controversial, because they not distinguish the source of legitimacy for communal land rights
between that based on membership to the Customary Law Community versus the land use and
ownership of the area by other people not belonging to the Community for an extended period of
time. Consequently, the Regulation has raised legal issues, namely competing claims between
these two groups.
Law No. 6/2014 recognizing the existence of the Customary Village (Desa Adat). The local 147.
government is empowered to evaluate the boundary of a Customary Law Community’s area and
designate a Customary Village through local regulation. Three criteria must be met: 1) the
traditional customs and rights of the Customary Law Community are being practiced and
maintained by members of the group, 2) the preservation of a Customary Village with all their
traditional customs and rights is in accordance with the development of society, and 3) the
purpose is in line with the principles of the Unitary Republic of Indonesia.
World Bank Policy OP4.10 Indigenous Peoples 7.3
The World Bank’s OP 4.10 Indigenous Peoples recognizes that Indigenous Peoples may be 148.
exposed to different types of risks and impacts from development projects. The policy requires
that projects identify whether Indigenous Peoples are affected by the project, and accordingly, to
undertake specific consultation activities, and avoid or mitigate impacts on these potentially
vulnerable groups. Site visits to confirm IPs presence will be done in accordance with the
requirements specified in this IPPF.
65
General Requirements 7.4
7.4.1 Avoidance of Adverse Impacts
PT SMI’s affiliate will identify, through the social and environmental screening and ESIA, 149.
communities of Indigenous Peoples that may be present in the sub-project’s area of influence, as
well as the nature and degree of the expected social and physical cultural properties,
environmental impacts as well as potential benefits to them. PT SMI shall avoid adverse impacts
whenever feasible.
When avoidance is not feasible, PT SMI’s affiliate will minimize, mitigate or compensate for 150.
these impacts in a culturally appropriate manner. The proposed actions will be developed with
the informed participation of affected Indigenous Peoples and included in a time-bound
Indigenous Peoples Development Plan (IPDP), or a broader community development plan,
depending on the nature and scale of impacts.
7.4.2 Information Disclosure, Consultation and Informed Participation
PT SMI’s affiliate shall establish an ongoing relationship with the affected IPs communities as 151.
early as possible in the sub-project planning and throughout the life of the sub-project. In sub-
projects with adverse impacts on affected IPs communities, the consultation process will ensure
their free, prior, and informed consultation (FPIC) and facilitate their informed participation on
matters that affect them directly, such as proposed impact mitigation measures, sharing of
development benefits and opportunities, and implementation issues. The process of community
engagement will need to be culturally appropriate and correspond with the potential risks and
impacts to the Indigenous Peoples. In particular, the process will include the following steps:
a. Involve Indigenous Peoples’ representative bodies (for example, councils of elders or village
councils, among others);
b. Be inclusive of both women and men and of various age groups in a culturally appropriate
manner;
c. Provide sufficient time for IPs’ collective decision-making process;
d. Facilitate the IPs’ expression of their views, concerns, and proposals in the language of their
choice, without external manipulation, interference, or coercion, and without intimidation;
e. Ensure that the grievance mechanism established for the project is culturally appropriate
and accessible for IPs communities; and
f. Ensure that the IPDP is available to the affected IPs communities in an appropriate form,
manner and language.
7.4.3 Development Benefits
Through the FPIC process and informed participation of the affected IPs communities, PT SMI’s 152.
affiliate shall identify opportunities for culturally appropriate development benefits. Such
opportunities should be commensurate with the degree of project impacts, aimed at improving
their living standards and livelihoods in a culturally appropriate manner, and to fostering the
66
long-term sustainability of the natural resources on which they depend. PT SMI will document
development benefits and provide them in a timely and equitable manner.
Special Requirements 7.5
Because Indigenous Peoples may be particularly vulnerable to the project circumstances, 153.
appropriate requirements will be required as described below. When any of these special cases
apply, PT SMI’s affiliate will engage qualified external experts to assist in conducting the Social
Assessment and ensuring their adequate inclusion in the IPDP or Community Development Plan.
7.5.1 Impacts on Traditional or Customary Land under Use
Indigenous Peoples are often tied to their customary land, as well as the natural and cultural 154.
resources on the land. While the land may not be under ‘legal’ ownership pursuant to national
laws, the use of the land, including seasonal or cyclical uses, by the IPs communities for their
livelihoods, or cultural, ceremonial, or spiritual purposes that define their identity and
community, can be substantiated and need to be duly documented.
If the sub-project location is decided to be on traditional or customary land, and adverse 155.
impacts are expected on the livelihoods, or cultural, ceremonial, or spiritual uses that define the
identity and community of the Indigenous Peoples, PT SMI’s affiliate will respect their use by
taking the following steps:
a. PT SMI’s affiliate documents its efforts to avoid or at least minimize the proposed project
footprint;
b. Experts is to be engaged to document land uses in collaboration with the affected
Indigenous Peoples communities without prejudicing their land claim;
c. The affected Indigenous Peoples communities are informed of their rights with respect to
their land under national laws, particularly those recognizing customary rights or use;
d. PT SMI’s affiliate offers the affected Indigenous Peoples communities fair compensation
and due process similar to those with full legal land title, as well as culturally appropriate
development opportunities (such as benefit-sharing mechanisms); and/or land-based
and/or in-kind compensation in lieu of cash compensation where feasible;
e. PT SMI’s affiliate enters into good faith negotiation with the affected Indigenous Peoples
communities, and documents their informed participation and outcomes of the negotiation.
7.5.2 Relocation of Indigenous Peoples from Traditional or Customary Lands
PT SMI’s affiliate shall consider alternative project designs to avoid relocation of Indigenous 156.
Peoples from their communally held traditional or customary land. If such relocation is
unavoidable, it will not proceed with the project, unless it enters into a good faith negotiation with
the affected Indigenous Peoples communities, and documents their informed participation and a
successful outcome from the negotiation. Any relocation of Indigenous Peoples will need to be
consistent with the World Bank safeguard policy OP. 4.12 Involuntary Resettlement. Where
67
feasible, the relocated Indigenous Peoples should be able to return to their traditional or
customary land, should the reason for their relocation cease to exist.
7.5.3 Cultural Resources
Where a project proposes to use the cultural resources, knowledge, or practices of Indigenous 157.
Peoples for commercial purposes, PT SMI shall inform them of: (i) their rights under national laws;
(ii) the scope and nature of the proposed commercial development; and (iii) the potential
consequences of such development. PT SMI shall not proceed with such commercialization unless
it: (i) enters into a good faith negotiation with the affected Indigenous People communities; (ii)
documents their informed participation and a successful outcome from the negotiation; and (iii)
provides for fair and equitable sharing of benefits from commercialization of such knowledge or
practice consistent with their customs and traditions. However, this is an unlikely outcome of the
GEUDP.
68
8 CONSULTATION AND DISCLOSURE
Safeguard Framework Consultation 8.1
The ESMF is subjected to public consultation prior to its finalization. Key stakeholder 158.
institutions, such as Ministry of Finance, Ministry of Energy and Mineral Resources, local
governments, NGOs, private sector, the academia, the media/press, etc. will be invited to a
consultative workshop held in Jakarta. The consultation will be divided into two days; first day will
be for the government entities, private sectors and the media; and the second day for NGOs and
universities.
The framework document will be shared in advance with representatives from the institutions 159.
to allow for constructive inputs to be provided at the workshop. Discussions will focus on the ease
of use and implementation of the ESMF, adequacy of safeguard mitigation mechanisms, and
training needs for stakeholders. Following the consultations, stakeholders’ inputs would be duly
recorded and considered for the finalization of the ESMF. The final ESMF will be publicly disclosed
on PT SMI website and the World Bank Infoshop.
Good Practice Guidance on Technical Advisory Consultation 8.2
Consultants will be engaged to prepare good practice guidance, which shall entail a stakeholder 160.
analysis. The consultants will engage with key stakeholders throughout the process to gather and
share information. Key stakeholder institutions include Ministry of Finance, Ministry of Energy and
Mineral Resources (/EBTKE), Ministry of Environment and Forestry, Badan Geologi, NGOs, private
sector, donor agencies and universities. The draft guidance document will be shared with
representatives of the institutions, and disclosed on PT SMI’s website for comments from the
broader public. Workshops will be held to discuss key issues and assist with finalization of the
document.
Stakeholder Engagement and Consultation on Geothermal Sub-Project 8.3
The Environmental Social Safeguard Division t under PT SMI’s Risk Management Directorate 161.
(ESSBCM-Environment and Social Safeguards and Business Continuity Management) shall lead the
preparation of ESIA, ESMP, LARAP or IPP. In drafting the TOR for these works, it will provide
detailed stakeholder consultation activities to be carried out by the consultant(s). PT SMI will lead
public consultation(s) with support from the consultant and local government. This will ensure
that PT SMI has the necessary support to carry out consultations, as well as local buy-in and
support for the plans, which are prepared to mitigate project impacts.
8.3.1 Stakeholder Identification
PT SMI shall identify and prepare stakeholder list early in project feasibility and at the basic 162.
screening step, which will be further developed through the detailed screening step. The
safeguards consultants will be required to undertake a stakeholder analysis before the
consultation process. Stakeholders will vary depending on the sub-project location, but are
expected to include: host communities, land owners and users, environmental and social NGOs,
69
local government agencies, forestry concession holders/owners, forest departments, conservation
departments, universities and other research organizations and business owners. A stakeholder
analysis shall: a) identify the individuals and groups with interest in the project and those expected
to be affected by the project, b) identify experts and key informants, c) determine the nature and
scope of consultation with each type of stakeholder, and d) determine the appropriate
communication tools.
8.3.2 Consultation Principles
The principles for consultation are: 163.
a. Providing clear, factual and accurate information in a transparent manner on an on-going
basis to community stakeholders through free, prior and informed consultation;
b. Listening and learning about local and social culture and wisdom;
c. Providing opportunities for community stakeholders to raise issues, make suggestions and
voice their concerns and expectations with regard to the Project;
d. Engaging with women, men, elderly, youth and vulnerable community members, as well as
those in positions of authority and power;
e. Providing stakeholders with feedback on how their contributions have been considered in
the development of relevant assessments and plans;
f. Building capacity among community stakeholders to interpret the information provided to
them;
g. Treating all community stakeholders with respect, and ensuring that all project personnel
and contractors in contact with community stakeholders do the same;
h. Responding to issues and requests for permission; and
i. Building constructive relationships with identified influential community stakeholders
through appropriate levels of contact.
8.3.3 Consultation Plan
Consultation will occur at least twice: once during ESIA preparation and baseline data collection, 164.
and another during presentation of the draft ESIA and EMP. More consultation may be required if
there are Indigenous Peoples in the project area, vulnerable people among the host community,
sensitive environmental receptors and significant impacts that require early and ongoing
communications with stakeholders. Specific consultation with people affected by involuntary land
acquisition and resettlement, and with Indigenous Peoples communities, shall be planned in
addition to general project consultations.
The safeguards consultant will prepare a consultation plan specific to each sub-project. It will 165.
include methods and procedures for the following:
Stakeholder analysis – who will be consulted, how, when, by whom, how often;
How women and vulnerable community members will be consulted;
70
Roles and responsibilities for coordinating, undertaking and following up on consultations
(by PT SMI, Exploration Management Consultant (EMC), safeguards consultants, and local
government);
public communications (see below) including how the public can get in touch with PT SMI;
Disclosure plan – what will be disclosed, when, and how;
How feedback will be managed;
List of materials and tools that will be used.
Public Consultation Tools 8.4
Communication during sub-project development will involve seeking and imparting information, 166.
and reaching agreements through dialogue. The following table summarizes some of the most
commonly used techniques for conveying information to the public and their respective
advantages and disadvantages. The safeguards consultant may use any of these techniques in
developing the Consultation Plan.
Table 5 Techniques for conveying information to the public Technique Key points Advantages Disadvantages
Printed
materials
Information bulletins, brochures,
reports: Text should be simple and
non-technical and relevant to the
reader
Provide clear instructions on how to
obtain more information
Direct
Can impart detailed
information
Cost-effective
Yields a permanent record
of communication
Demands specialized skills
and resources
Not effective for illiterate
stakeholders
Displays and
exhibits
Can serve both to inform and to
collect comments
Should be located where the target
audience gathers or passes regularly
May reach previously
unknown parties
Minimal demands the public
Costs of preparation and
staffing
Insufficient without
supporting techniques
Print media
Newspapers, press releases, and
press conferences can all
disseminate a large amount and wide
variety of information
Identify newspapers likely to be
interested in the project and to reach
the target audience
Offers both national and
local coverage
Can reach most literate
adults
Can provide detailed
information
Loss of control of
presentation
Media relationships are
demanding
Excludes illiterates and the
poor
Electronic
Media
Radio, internet, social media, and
video: Determine the coverage
(social media, internet, or radio), the
types of viewer; the perceived
objectivity, and the type of broadcast
May be considered
authoritative
Many people have access to
radio and cell phones
Social media is cheap
Disadvantages those
without cell phones /
internet access
71
Technique Key points Advantages Disadvantages
offered.
Determine how to disseminate the
social media hashtag / web address
etc. to the audience.
Advertising
Useful for announcing public
meetings or other activities
Effectiveness depends on good
preparation and targeting
Retain control of
presentation May engender suspicion
Formal
information
sessions
Targeted briefing: Can be arranged
by project sponsor or by request, for
a particular community group, NGO
etc.
Useful for groups with
specific concerns
Allow detailed discussion of
specific issues
May raise unrealistic
expectations
Informal
information
sessions
Open House, Site Visits, and Field
Offices: A selected audience can
obtain first-hand information or
interact with project staff. Visits
should be supported with more
detailed written material or
additional briefings or consultations.
Provide detailed
information
Useful for comparing
alternatives
Immediate and direct
Useful when the project is
complex
Local concerns are
communicated to staff
May help reach non-
resident stakeholders
Attendance is difficult to
predict, resulting in limited
consensus-building value
May demand considerable
planning
Field offices can be costly
to operate
Only reach a small group of
people
Source: World Bank Environmental Assessment Sourcebook, Number 26
Table 6 Techniques for listening to the public Technique Key points Advantages Disadvantages
Survey
techniques
Interviews, formal surveys, polls and
questionnaires can rapidly show who
is interested and why
May be structured (using a fixed
questionnaire) or non-structured
Experienced interviewers or
surveyors familiar with the project
should be used
Pre-test the questions
Shows how groups want to
be involved
Allows direct communication
with the public
Helps access the views of the
majority
Less vulnerable to the
influence of vocal groups
Identifies concerns linked to
Poor interviewing is
counter-productive
High cost
Requires specialists to
deliver and analyse
Trade-off between
openness and statistical
validity
72
Technique Key points Advantages Disadvantages
Open-ended questions are best social grouping
Statistically representative
results
Can reach people who are
not in organized groups
Small
Meetings
Public seminars, or focus groups
create formal information exchanges
between the sponsor and the public;
may consist of randomly selected
individuals or target group members;
experts may be invited to serve as a
resource.
Allows detailed and focused
discussion
Can exchange information
and debate
Rapid, low-cost monitor of
public mood
A way to reach marginal
groups
Complex to organize and
run
Can be diverted by special
interest groups
Not objective or
statistically valid
May be unduly influenced
by moderators
Large
Meetings
Public meetings allow the public to
respond directly to formal
presentations by project sponsors.
Effective meetings need a strong
chairman, a clear agenda, and good
presenters or resource people.
Useful for medium-sized
audiences
Allow immediate response
and feedback
Acquaint different interest
groups
Not suitable for detailed
discussions
Not good for building
consensus
Can be diverted by special
interest groups
Attendance is difficult to
predict
Community
organizers/
advocates
These work closely with a selected
group to facilitate informal contacts,
visit homes or work places, or simply
be available to the public.
Mobilize difficult-to-reach
groups.
Potential conflicts
between employers and
clients
Time needed to get
feedback
Source: World Bank Environmental Assessment Sourcebook, Number 26
73
9 INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS AND CAPACITY BUILDING
The successful implementation of the ESMF, RPF and IPPF depends on project stakeholders. 167.
This chapter provides an overview of the GEUDP’s institutional arrangements, and the
responsibilities of each stakeholder for operationalizing the safeguards instruments. It also
provides an analysis of the PT SMI’s capacity as the Implementing Agency with key safeguard
responsibilities and a plan for capacity building.
Institutional Roles and Responsibilities 9.1
Figure 2 GEUDP Institutional Framework
Table 7 Safeguards Roles and Responsibilities
Institution Roles and Responsibilities
PT SMI
management
Provide sufficient resources (staff and budget) for PT SMI staff and consultants to
undertake their roles and responsibilities.
PT SMI – Project
Management
Unit with EMC
Engagement of staff with safeguards supervision expertise to ensure adequate
supervision and full compliance with all safeguards documents.
Integration of safeguards screening reports and findings into project design and
specifications.
Ensure that qualified engineers design and provide specifications for storage ponds,
and that pond construction, management and decommissioning is supervised and
74
Institution Roles and Responsibilities
monitored.
Integration of ESMP, UKL/UPL, LARAP and IPP into project design, specifications,
tender documents, contract documents for contractors.
Provide sufficient budget and timeframes for safeguards supervision and
implementation during drilling.
Supervision of Contractors’ ESMP, compliance management, non-conformance
management, and issuance of penalties on a day-to-day basis, with reports to the
PT SMI ESS&BCM Division.
Assist PT SMI ESS&BCM Division to investigate incidents and complaints, and
resolve issues.
Provide training to Contractors as required on technical matters of environmental
and social impact mitigation (e.g. sediment and erosion control).
Integrate safeguards assessments and outputs into the feasibility assessment for
tendering the geothermal prospect development.
PT SMI
ESS&BCM
Division
Manage safeguards via a management plan, keeping track of resources, tasks,
timeframes etc. for each sub-project.
Basic screening checklists for each geothermal exploration sub-project.
Detailed screening checklists, including the management of consultants’ outputs,
for each geothermal exploration sub-project.
Oversee and provide screening reports to BG, PT SMI and EMC.
Prepare TOR for sub-project safeguard instruments, estimate budgets and manage
the procurement of safeguards consultants.
Manage the preparation of instruments by the consultants, review draft safeguard
instruments and provide comments. Clear safeguards instruments for disclosure
and approval processes.
Lead sub-project consultation, in partnership with safeguards consultants and local
government.
Review TOR for TA for inclusion of safeguards aspects.
Review TA reports, in particular the Good Practice Guidance Materials, for
appropriate treatment of safeguards.
Review draft feasibility reports and Inferred Resource Capacity Reports and provide
comment.
Review draft technical specifications, bid documents, Contractors contracts
75
Institution Roles and Responsibilities
prepared by PT SMI and EMC Project Managers and provide comment.
PT SMI’s Affiliate Implement the sub-project ESMP and UPL / UKL, including managing monitoring
that is not the responsibility of the Contractor.
Implement the LARAP, including the supervision of consultants.
Implement the IPDP, including the supervision of consultants.
Audit Contractors ESMP on a regular basis, including site visits and audits of reports.
Manage the grievance redress mechanism (GRM), including coordination with
Contractors’ GRM.
Follow up and close out incidents, complaints and non-conformances.
Provide safeguards input and recommendations to Ministry of Energy and Mineral
Resources for tendering geothermal prospects. The team must be willing to
present information to the wider team that may conflict with the technical and
economic assessment of feasibility, in order to prevent potentially significant
impacts from geothermal development.
Provide training to PT SMI and EMC Project Management and Supervision Team on
the implementation of safeguards instruments and the PT SMI safeguards
management system.
Provide technical training to Contractors on GRM, complaints management,
community engagement and other aspects of environmental and social impact
mitigation where necessary, or recruit consultants to perform training.
Quarterly safeguards reporting to World Bank and other stakeholders.
Maintain and update framework documents as required.
Safeguards
Consultants
Prepare detailed safeguard screening.
Prepare safeguards instruments.
Prepare Consultation Plans and assist PT SMI with consultation.
Implement LARAP on behalf of PT SMI.
Provide environmental and social monitoring services as part of ESMP, UPL / UKL,
LARAP implementation.
Provide TA for projects such as IPDP implementation or biodiversity management
and forest partnership agreements under ESMP.
76
Institution Roles and Responsibilities
Provide GRM management services.
Provide specialist training on Contractors ESMP, mitigation and management of
impacts during drilling, road construction etc., safeguards management systems,
consultation and other topics as required.
Contractors Full compliance with the ESMP and UPL / UKL throughout the contract.
Provision of Safeguards Managers on site throughout the Contract.
Prepare a comprehensive Contractors ESMP before works begin.
Implement the Contractors ESMP throughout the Contract, including community
engagement, avoidance and management of impacts, monitoring, GRM, incident
management, training and other tasks.
Construct, maintain and decommission ponds in accordance with designs and
specifications provided by qualified and experienced engineers.
Comply with the laws of Indonesia and obtain any permits as necessary (hazardous
waste, blasting and explosives, etc.).
Provide reports to EMC and PT SMI.
Undergo training as required. Ensure all staff are suitably trained, and have suitable
protective equipment at all times.
World Bank
Safeguards
Specialists
Supervise the implementation of GEUDP safeguards frameworks and sub-project
instruments through site visits and communications with the PT SMI ESS&BCM
Division, PT SMI project managers and the EMC.
Provide training on safeguards instruments, environmental and social screening,
impact assessment and management, treatment of linked activities and other
aspects of World Bank safeguards policies.
Provide technical training where relevant (or engage specialist consultants).
Receive quarterly safeguards reports and comment.
Follow up on significant incidents relating to discharges, health and safety (workers
or community), community unrest, land acquisition and livelihood restoration, etc.
PT SMI Environmental and Social Management System 9.2
PT SMI has extensive experience in managing World Bank’s and other donors’ safeguards 168.
policies under the Investment Guarantee Fund (IGF), Indonesia Infrastructure Facility Fund (IIFF)
and the Regional Infrastructure Development Fund (RIDF). PT SMI is an infrastructure financing
company established in 2009 as a state-owned enterprise (SOE) wholly owned by the GoI through
the Ministry of Finance (MOF). PT SMI plays active role in facilitating infrastructure financing, as
77
well as preparing projects and serving in an advisory role for infrastructure projects in Indonesia.
PT SMI supports the government’s infrastructure development agenda through public-private
partnerships with private and multilateral financial institutions. As such, PT SMI serves as a
catalyst in accelerating infrastructure development in Indonesia.
PT SMI has developed a specific Operations Manual and Environmental and Social Management 169.
System (ESMS) for use on its programs supporting local government investments through various
infrastructure funds. PT. SMI’s Environmental and Social Management System (ESMS) is based on
the country system (i.e. Indonesian regulations), and heavily weighted to environmental
management (with gaps in terms of social impact management, land acquisition, and health and
safety). However, it is currently being updated to comply with IFC Performance Standards, World
Bank Safeguards Policies and other donors’ safeguards policies.
The ESMS has processes to screen proposed projects, determine environmental and social risk 170.
level, and carry out due diligence assessment, all of which will determine the gaps of meeting the
requirements specified in the ESMS. A third party project proponent seeking financing via a PT
SMI-administered fund is required to prepare a corrective action plan (CAP) to address the gaps
identified in the due diligence assessment and meet the requirements specified in the ESMS.
The ESMS is overseen by the Environmental Social Safeguard and Business Continuity 171.
Management (ESS&BCM) Division under the Risk Management Directorate. This E&S UESS&BCM
Division it is headed by an experienced team leader. Along with a small team of environmental and
social specialists, PT SMI has commited to expand the ESS&BCM Division and recruit more
environmental and/or social safeguard specialists in the very near future, to strengthen the
ESS&BCM Division. Besides, PT SMI has ready access to environmental and social consultants
through the Project Advisory Division.
The ESS&BCM Division shall ensure the ESMF, RPF and IPPF’s consistency and conformance to 172.
the ESMS in developing detailed safeguards management procedures in the GEUDP’s Project
Operations Manual.
Capacity Building 9.3
The GEUDP project design includes capacity building for safeguards in the geothermal industry 173.
in Indonesia (TA Component 2). The EMC will also provide capacity that is not currently within PT
SMI, including assistance with safeguards supervision during drilling. It shall also assist with
strengthening PT SMI‘s supervisory and project management skills, including trainings on
managing consultants’ outputs.
PT SMI will need to bolster the staffing resources for ESMS management by one full time person 174.
to duly coordinate all safeguards requirements for each GEUDP sub-project for the duration of the
Project. Alternatively, the capacity gap could be filled by a consultant, who could undertake tasks,
78
such as preparation of TOR and review of outputs and supervision audits. Significant safeguards
tasks, such as detailed screening and preparation of safeguards instruments, will be done by
qualified and experienced consultants, as the lack of environmental and social safeguard staff of
PT SMI. However, in the very near future PT SMI will recruit more safeguard experts to fill this gap.
Staff and consultants working on the GEUDP, including the EMC, will take part in ESMF, RPF and 175.
IPPF training events at the beginning of project implementation, to ensure that all parties
understand their roles and obtain the required skills. It will cover the sub-project cycle and the
milestones for safeguards tasks, supervision, communication and reporting expectations, clear
assignment of roles and responsibilities, and where gaps may require filling through employment
of additional staff or consultants. Attendees will include PT SMI project managers and safeguard
staff, EMC, BG, EBKTE and MoF staff.
Topics will include: 176.
Environment and social issues linked to geothermal development in Indonesia;
Indonesian governance framework and legal requirements applicable to GEUDP projects;
Environment and social safeguards and management systems;
ESMF structure and objectives;
Operationalization of ESMF comprising assessment processes integrated in business cycle
through case studies (screening, identifying legal requirements, impact assessment,
identifying mitigation measures, categorization);
Monitoring of projects – What to monitor / measure, why and how often;
Impact assessment of projects (environmental and social);
Internal and external audit (objectives, protocol, reporting, corrective actions);
Document management (update to ESMF policy and procedures based on external and
internal changes, revisions in formats for recording information).
Framework training sessions will be held at least annually for new team members, to update 177.
stakeholders on external changes (legal requirements, safeguards, etc.), for operational
experience-sharing, and to communicate revisions carried out in the ESMF. It will be provided by
the World Bank safeguards specialists and/or an external consultant in the first instance, with PT
SMI running the workshops for second and subsequent training sessions.
Safeguards training is also planned as follows: 178.
Capacity Building Audience / Participants Trainer Program
Supervision of ESIA and
LARAP consultants
On the job training and
mentoring
PT SMI EMC or World Bank
Safeguard Specialists
Throughout the
project.
Supervision of EMC, PT SMI Consultant or the Once prior to
79
Capacity Building Audience / Participants Trainer Program
Construction
Safeguards, including
Contractors ESMP and
management of non-
conformances and
incidents.
Workshop / interactive
learning environment.
World Bank Safeguard
Learning Centre
preparation of first
sub-project bid
documents.
Preparing and
implementing a
Contractors’ ESMP.
Contractor Consultant or the
World Bank Safeguard
Learning Centre
After contract
negotiation and
prior to
preparation of
Contractor’s ESMP
and start of drilling
works.
At least once per
sub-project
Technical training on
aspects of safeguards
management
Contractor Consultant, Industry
training organization
As required
through the
project, for specific
aspects identified
through the ESMP,
non-conformance
or incident.
PT SMI will maintain records of the training programs, including details such as agenda, 179.
duration, trainers and trainers’ qualifications for conducting training, and participants’ attendance
sheet. PT SMI will maintain an annual plan for training.
Budget 9.4
Table 8 Budget Estimate for Capacity Building
Task Cost Estimate $US Notes
Recruitment of staff in E&S Unit NA PT SMI cost
Engagement of consultants to undertake
screening and prepare safeguards documents
for four sub-project sites.
NA
This will be fully financed from
GEF grant.
Internal ESMF, RPF and IPPF workshops for $5,000 This will be fully financed from
80
Task Cost Estimate $US Notes
GEUDP staff (x4) GEF grant.
Mentoring of ESS&BCM Division staff and on
the job training by World Bank safeguards
team
NA
Will occur as part of project
supervision by Bank staff.
Construction safeguards supervision
workshops (x4) $60,000
This will be fully financed from
GEF grant.
Assistance preparing Contractors ESMP $40,000
This will be fully financed from
GEF grant.
Technical / thematic training for Contractors
and Supervisors $50,000
This will be fully financed from
GEF grant.
Total Estimate $155,000
81
10 MONITORING AND REPORTING
PT SMI shall be responsible for the monitoring and reporting on the efficacy of the 180.
environmental and social safeguards implementation that is being done by its affiliate. It will be
part of an overall project monitoring and reporting system outlined in the GEUDP Project
Operations Manual. Safeguards monitoring will include:
a. PT SMI ESS&BCM Division will undertake periodic monitoring of the implementation of the
framework documents as part of collecting and analyzing data and information for quarterly
project reporting. This includes analyzing the effectiveness of screening and other tools in
the frameworks, type and number of training events and people trained, GRM and
complaints management, management of quality and timeliness of deliverables from
consultants, availability of resources (staff, budget) to undertake framework responsibilities,
compliance/non-compliance with frameworks, World Bank safeguard policies and
Indonesian laws and regulations.
b. PT SMI will engage an independent monitoring agency to review and audit the involuntary
land acquisition, resettlement and livelihood restoration processes.
c. The World Bank safeguards team will undertake supervision missions to monitor compliance
and efficacy of safeguard frameworks and compliance with the Bank Safeguard Policies
more broadly. Recommendations for improvements will be documented in mission aide
memoire.
d. PT SMI will engage an independent company / organization to carry out an environmental
and social audits of the project. This will be done once prior to the mid-term review. The
scope of the audit will include a review of the design and implementation effectiveness of
the frameworks to be adopted under the Project. This would review the structure of the
frameworks, content and coverage of potential activities, impacts and mitigation measures,
interpretation of the frameworks into the Project Operations Manual and other project
management tools. Interviews and observations on the efficacy of organizational
structures, training, and the capacity and ability of team members to undertake their
responsibilities. Site visits will also be carried out to review the effectiveness of
environmental and social mitigation measures outlined in safeguards documents.
Each sub-project ESMP will contain a specific monitoring program that will document social and 181.
environmental impact monitoring and the monitoring of the efficacy of the ESMP, Contractor’s
ESMP and supervision tasks. This information will contribute to the framework monitoring and
reporting. LARAP and IPDP will also contain specific monitoring programs for impact monitoring
and auditing of procedures for compensation, livelihood restoration and any other community
development programs.
A matrix of reporting is provided below: 182.
Table 9 Matrix of Safeguards Reporting
Report Type and Content Program Responsibility: Reporting
82
to:
ESMF, RPF and IPPF implementation:Screening
reports, Sub project activities and progress
(instrument preparation, implementation, closure)
Monitoring and audit outputs
Complaints/GRM summary
Incident reports
Training and capacity building activities.
10.1.1.1
Quarterly PT SMI
ESS&BCM
Division
World Bank
Drilling Safeguards Supervision Reporting
Project progress
Monitoring and audit outputs
Training
Complaints / GRM Summary
Incidents
Framework updates
Monthly EMC / PT SMI PT SMI
ESS&BCM
Division
Sub-project ESMP UKL/UPL Environmental and Social
Monitoring Report
Quarterly Consultant PT SMI
Sub-project LARAP Independent Monitoring Report Monthly Consultant PT SMI
83
11 GRIEVANCE REDRESS MECHANISM
Introduction 11.1
As part of its mandate to become a future national infrastructure development bank, PT SMI 183.
promotes transparency and accountability for sustainable infrastructure development in the
country, not only from the environmental and social safeguards perspectives but also from the
technical, financial, economic and political viewpoints. In this light, PT SMI is open to constructive
inputs and aspirations from the public and stakeholders of the GEUDP project. As part of the
efforts to achieve these objectives, PT SMI has a Grievance Redress Mechanism (GRM) to serve as
an effective tool for early identification, assessment, and resolution of complaints on GEUDP sub-
projects.
Approach to Grievance Redress 11.2
PT SMI will use their Corporate GRM system to capture and manage GEUDP sub-project 184.
grievances. The Internal Audit (IA) Division of PT SMI is the one that responsible for the GRM. It
is under and reporting directly to the President Director of PT SMI. The IA Division will receive all
the inputs, complaints, aspirations, ideas that is addressed to PT SMI. The IA Division will pass
them on to the responsible Divsiion with adjust to the subjects/matters. There is already a
guidance for a Whistle Blowing System (WBS) of PT SMI, namely “Pedoman Sistem Pelaporan
Pelanggaran”. There is a link in SMI’s website related to the people
http://192.168.29.251:81/wbssmi/. The IA Division will pass the issues related to the
safeguards on to the Environmental Social Safeguard and Business Continuity Management
(ESS&BCM) Division.
Affected members of the public, stakeholders, IPs communities or individuals, and PAPs will be 185.
able to file complaints and to receive satisfying responses in a timely manner. The system will
record and consolidate complaints and their follow-ups. This system will be designed not only for
complaints regarding the preparation and implementation of LARAP and IPDP, but also for
handling complaints of any types of issues (including environmental and other social safeguards
issues) related to the projects financed by the PT SMI and the Word Bank under this Project.
The purpose of the GRM is to: 186.
Be responsive to the needs of people impacted by the sub-project and to address and resolve their grievances;
Serve as a conduit for soliciting inquiries, inviting suggestions, and increasing community participation;
Collect information that can be used to improve operational performance;
Enhance the project’s legitimacy among stakeholders;
Promote transparency and accountability; and
84
Deter fraud and corruption and mitigate project risks.
The GEUDP Grievance Redress Mechanism 11.3
The GEUDP GRM will be the following: 187.
Step 1: Access point / complaint uptake:
a. An easily accessible and well publicized focal point or user-facing ‘help desk’ will be set up
within PT SMI and with each drilling Contractor.
b. Uptake channels will include email, SMS, webpage, and face-to-face. The uptake channels
will be publicized and advertised via local media and via the Contractor.
c. Staff members who receive complaints verbally will put in writing for them to be
considered. Recognizing that many complaints may be resolved ‘on the spot’ and informally
by project staff, there are opportunities to encourage these informal resolutions to be
logged here to (i) encourage responsiveness; and (ii) ensure that repeated or low-level
grievances are being noted in the system.
d. The Contractor’s GRM system will be coordinated with the PT SMI GEUDP project GRM so
that all complaints are captured within the PT SMI GRM system.
e. The GRM will have the ability to handle anonymous complaints.
f. The user will be provided with a receipt and ‘roadmap’ telling him/her how the complaint
process works and when to expect further information.
Step 2: Grievance log
g. All complaints will be logged in writing and maintained in a simple database.
h. Complaints received will be assigned a number that will help the complainant track progress
via the database.
i. Complainants will be handed a receipt and a flyer that describes the GRM procedures and
timeline (staff should be trained to read this orally for illiterate complainants).
j. Where possible, the grievance log will capture complaints being made via informal or
traditional systems, such as village councils or elders.
k. This will often require training local people and putting in place a formal link between the
traditional systems and the GEUDP GRM (this could take the form of a verbal agreement or
a written MoU).
l. At a minimum, the database will track and report publicly the complaints received,
complaints resolved and the complaints that have gone to mediation. The database will also
show the issues raised and location of complaints circle around.
Step 3: Assessment, acknowledgment, and response
m. Eligibility will be a procedural step to ensure that the issue being raised is relevant to the
project.
n. Complaints that cannot be resolved on the spot will be directed to the grievance focal point
who will have 5 working days to assess the issue and provide a written response to the
complainant, acknowledging receipt and detailing the next steps it will take.
85
o. Grievances will be categorized according to the type of issue raised and the effect on the
environment/claimant if the impacts raised in the complaint were to occur. Based on this
categorization, the complaint will be prioritized based on risk and assigned for appropriate
follow up.
p. Assessment of the issue will consider the following:
Who is responsible for responding to this grievance? Is it the Contractor, EMC, PT SMI,
or someone else? It is anticipated that the majority of issues raised will be during the
sub-project preparation will be informational in nature or feedback that requires small
course corrections; these should generally be handled by PT SMI. During construction,
the majority of complaints will be the responsibility of the Contractor. The ‘tip of the
iceberg’ complaints will likely be those reflecting outright opposition to a sub-project or
open conflict between stakeholders. These issues are unlikely to be resolved via a GRM
and should be handled at the highest appropriate level within either the country or the
World Bank. Higher risk issues will require greater independence to handle, whereas
lower-level feedback can and should be handled “in-house,” i.e. by the Contractor or PT
SMI.
What is the risk-level of this complaint? Is it low risk, medium risk, or high risk? Some
training will be required to ensure staff implementing the GRM are aware of what would
constitute a higher-risk issue for the project and which entity should handle such a
complaint.
Is the complaint already being addressed elsewhere? If an issue is already being
handled, for example by a local court or mediation body, or within the World Bank, then
the issue will be excluded from the grievance redress process in order to avoid
duplication and confusion on the part of the complainant.
q. Resolution: Once the above issues have been considered, the complainant will be offered
option(s) for resolution of their issue. The option offered is likely to fall into one of the
following three categories:
The complaint falls under the mandate of PT SMI or the Contractor and resolution can
be offered immediately according to the request made by the complainant. The
response will describe how and when resolution will be provided by the client and the
name and contact information of the staff member responsible for it.
The complaint falls under the mandate of PT SMI or the Contractor but various options
for resolution can be considered and/or extraordinary resources are required. The
response will invite the complainant to a meeting to discuss these options.
The complaint does not fall or partially falls under the mandate of PT SMI. The response
will indicate that the complaint has been referred to the appropriate body (e.g.
Complaints related to resettlement will be forwarded to the Resettlement Committee),
which will continue communications with the complainant.
Step 4: Appeals
r. Where an agreement has not been reached, the complainant will be offered an appeals process. This will be through the national courts, unless the complainant requests facilitation or mediation via a third party.
86
If the complainant accepts the options, and an agreement is reached, implementation will be monitored by the mediation service and a minute will be signed signaling the complaint has been resolved.
If the complainant does not accept these options or if he/she does but an agreement is
not reached, the case will be closed. The complainant may seek redress through courts
or other mechanisms available at the country level.
Step 5: Resolve and follow-up
s. Where there is an agreement between the complainant and PT SMI or contractor on how
the complaint will be resolved, a minute will be drafted and signed by both parties. After
due implementation of it, a new minute will be signed stating that the complaint has been
resolved.
t. All supporting documents of meetings needed to achieve resolution will be part of the file
related to the complaint. This will include meetings that have been escalated to an appeals
level or are handled by a third party.
u. PT SMI will provide regular (monthly or quarterly) reports to the public that track the
complaints received, resolved, not resolved, and referred to a third party. The World Bank
project team will receive either the raw grievance data or the monthly reports, in order to
support the PT SMI in early identification of developing risks.
v. The GRM data will be available to feed into World Bank reports to demonstrate
responsiveness and early resolution of issues (and help Bank teams identify outstanding
complaints in need of attention).
GRM Assessments for Sub-projects 11.4
The approach to redress grievance at the sub-project level will involve the following: 188.
1. Assessment of risks and potential grievances and disputes for each sub-project:
The ESS&BCM Division must understand the issues that are – or are likely to be – at the heart of 189.
disputes related to each sub-project, such as clarity over land rights or labor issues. For this, the
ESIA consultant must conduct a rapid review of contentious issues, stakeholders, and institutional
capacity for each sub-project during the ESIA preparation, strongly relying on existing information
from civil society and other non-state institutions. The review must map who the key stakeholders
to these issues are and what the nature of the debate is (informed, polarized, etc.). Attention
must be paid to the local dispute resolution culture and particularly to the capacity and track-
record of stakeholders to settle disputes through mediation or constructive negotiation.
2. Capacity assessment
The review must also cover the availability, credibility and capabilities of local institutions to 190.
address the issues related to geothermal drilling and exploration activities. For each of the
institutions that are expected to deal with these issues, a credibility assessment must be
undertaken, based on the following criteria:
87
Legitimacy: is its governance structure widely perceived as sufficiently independent from
the parties to a particular grievance?
Accessibility: does it provide sufficient assistance to those who face barriers such as
language, literacy, awareness, cost, or fear of reprisal?
Predictability: does it offer a clear procedure with a time frame for each stage and clarity on
the types of results it can (and cannot) deliver?
Fairness: are its procedures widely perceived as fair, especially in terms of access to
information and opportunities for meaningful participation in the final decision?
Rights compatibility: are its outcomes consistent with applicable national and international
standards? Does it restrict access to other redress mechanisms?
Transparency: are its procedures and outcomes transparent enough to meet the public
interest concerns at stake?
Capability: does it have the necessary technical, human and financial resources to deal with
the issues at stake?
3. Action plan
Action plans must be sub-project-specific, but should focus on tangible steps that can be taken 191.
during preparation and implementation to strengthen grievance redress capacity.
88
Appendix A. BASIC SCREENING CHECKLIST
Instructions:
Step 1 of the Safeguards Screening Process is to contribute to the early identification of suitable sites for
geothermal feasibility studies and exploration development. Complete the basic screening checklist
using google earth, maps, technical reports and other published data. Document the data collected to
date, and describe the sub-project in basic terms (type of infrastructure that may be required, nature of
activities).
The basic screening will also identify potential risks from the linked exploitation phase.
Provide a short report to accompany the filled in checklist, detailing significant findings and providing
recommendations for the feasibility study and the detailed screening process. Attach relevant maps and
supporting data. Provide a separate analysis of potential risks from the linked exploitation phase, noting
any new risks or risks that may have more significant impacts.
Sub-project Name:_____________________________________________________________
Location:____________________________________________________________________
Province:_____________________________________________________________________
Description of Proposed Activities (test well drilling, access roads, workers camps etc.):___________
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
Description of linked Project activities such as exploitation well drilling and energy
generation:___________________________________________________________________________
____________________________________________________________________________________
____________________________________________________________________________________
____________________________________________________________________________________
Data collected (tick all that apply, and explain where necessary):
Topographic maps
Geothermal prospect and resource data (from technical team)
Google earth images
89
Data collected (tick all that apply, and explain where necessary):
Land tenure maps / data
(forest maps, land ownership maps, land use maps etc.)
District and Provincial Spatial Plans
District and Provincial bylaws, policies etc:
Demographic data / census data
Meteorological data
Published documents or data (list):
90
Basic Screening Checklist
Screening Question for
Geothermal Exploration Area of
Influence*
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such
as downstream exploitation
Answer Relevant Policy
Yes?
Unknown but possible?
Yes, associated with linked project
(e.g. exploitation)?
Rank Significant, Moderate or
Minor Risk of potential impacts
Provide details on map or in
checklist and make
recommendations for 1) the
detailed screening phase and 2)
feasibility report
No?
Unknown but unlikely?
Low risk. Proceed to next screening
question.
Make recommendations for the
detailed screening phase for any
unknown risks.
Are there unique or remarkable
landscapes or geothermal or
geological features in the area?
OP 4.01 Environmental
Assessment
Are there economic or subsistence
livelihoods that rely heavily on
natural resources in the area
(ecotourism, subsistence
agriculture or fisheries, logging,
irrigation)?
OP 4.01 Environmental
Assessment
OP4.36 Forests
Are there forests, lakes, wetlands,
peatlands, coastal areas, rivers in
the area?
OP4.04 Natural habitat
OP4.36 Forests
91
Screening Question for
Geothermal Exploration Area of
Influence*
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such
as downstream exploitation
Answer Relevant Policy
Yes?
Unknown but possible?
Yes, associated with linked project
(e.g. exploitation)?
Rank Significant, Moderate or
Minor Risk of potential impacts
Provide details on map or in
checklist and make
recommendations for 1) the
detailed screening phase and 2)
feasibility report
No?
Unknown but unlikely?
Low risk. Proceed to next screening
question.
Make recommendations for the
detailed screening phase for any
unknown risks.
Are there any endangered or
critically endangered species likely
to be in the area?
OP4.04 Natural habitats
Are there any protected areas
(such as national parks,
conservation areas etc.) in the
area?
OP4.04 Natural habitats
OP4.36 Forests
Are there any nationally or
internationally significant cultural
sites, archaeological sites, spiritual
sites, or other PCR in the area?
OP4.09 Physical Cultural
Resources
92
Screening Question for
Geothermal Exploration Area of
Influence*
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such
as downstream exploitation
Answer Relevant Policy
Yes?
Unknown but possible?
Yes, associated with linked project
(e.g. exploitation)?
Rank Significant, Moderate or
Minor Risk of potential impacts
Provide details on map or in
checklist and make
recommendations for 1) the
detailed screening phase and 2)
feasibility report
No?
Unknown but unlikely?
Low risk. Proceed to next screening
question.
Make recommendations for the
detailed screening phase for any
unknown risks.
Is there a possibility that
Indigenous People18 will be
present in the area so that specific
consultation and a Social
Assessment is required?
OP4.10 Indigenous Peoples
Is there communally owned land
or resources in the area so that
land acquisition may be
complicated?
OP4.12 Involuntary
Resettlement
18 Ethnic communities, minorities, indigenous communities, as per the defining characteristics listed in Paragraph 137, Section 7.1.
93
Screening Question for
Geothermal Exploration Area of
Influence*
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such
as downstream exploitation
Answer Relevant Policy
Yes?
Unknown but possible?
Yes, associated with linked project
(e.g. exploitation)?
Rank Significant, Moderate or
Minor Risk of potential impacts
Provide details on map or in
checklist and make
recommendations for 1) the
detailed screening phase and 2)
feasibility report
No?
Unknown but unlikely?
Low risk. Proceed to next screening
question.
Make recommendations for the
detailed screening phase for any
unknown risks.
Is there private land or forestry
land where land acquisition can be
negotiated? (Note that ‘yes’ is a
positive aspect of the project).
OP4.12 Involuntary
Resettlement
Is it likely that people will be
restricted from accessing
protected areas for livelihood
purposes?
OP4.12 Involuntary
Resettlement
Other risks or benefits identified
not on the list:
94
Screening Question for
Geothermal Exploration Area of
Influence*
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such
as downstream exploitation
Answer Relevant Policy
Yes?
Unknown but possible?
Yes, associated with linked project
(e.g. exploitation)?
Rank Significant, Moderate or
Minor Risk of potential impacts
Provide details on map or in
checklist and make
recommendations for 1) the
detailed screening phase and 2)
feasibility report
No?
Unknown but unlikely?
Low risk. Proceed to next screening
question.
Make recommendations for the
detailed screening phase for any
unknown risks.
95
Appendix B. DETAILED SCREENING CHECKLISTS
Instructions:
Competent environmental and social specialists will be engaged to complete the detailed screening. Using the feasibility study and other technical information on the geothermal resource and exploration potential, and the results of the basic screening process, undertake a safeguard screening process to identify environmental and social risks, World Bank policies triggered, and safeguards instruments required. Use the checklist as a prompt and for documenting results. Screening Activities:
a. Review published data, carry out field visits, gather primary data, and consult with the local
environmental and planning agencies to discuss their spatial plans and bylaws, assess
institutional capacity and consult with key informants / stakeholders.
b. Map the potential area of influence of geothermal exploration activities, based on technical
data on the location of well sites and key infrastructure (roads, camps, wharf upgrades etc.).
c. Map the potential area of influence that would include linked activities (e.g. exploitation
activities: power plant, production wells, and transmission or distribution lines).
d. Identify sensitive receptors in the project area of influence such as: forests, natural habitats
(terrestrial and aquatic), protected areas (national parks, conservation areas), sites of
ecological importance, communities, community assets, land owners, indigenous people
and/or their lands / domain, communal land / resources, physical cultural resources,
geothermal features, landscapes and geological forms.
e. Identify land tenure and land uses. Identify water users and uses. Identify applicable local
laws and planning frameworks.
f. Identify stakeholders and their sentiment about geothermal development.
g. Using professional opinion and experience assess potentially significant impacts on sensitive
receptors from the exploration activities and linked activities. Address and answer each
question in the checklist.
h. Policy trigger: From the checklist, identify the policies triggered by the sub-project (including
linked activities).
i. Category Screening: Classify the sub-project as Category A if any one of the answers in the
checklist triggers an A, otherwise classify the sub-project as Category B. If any of the aspects
of the linked activities triggers an A the sub-project will be classified as Category A.
j. Safeguard instruments: List all of the relevant instruments as per the screening checklist.
Note where specific tasks for the ESIA are required, such as Social Assessment for
Indigenous Peoples.
Reporting:
k. Provide a full report with the details as listed above, supporting data and maps, and the
completed checklist as described in Section 5.3.5.
96
Sub-project Details
Sub-project Name:_____________________________________________________________
Location:____________________________________________________________________
Province:_____________________________________________________________________
Description of Proposed Activities:____________________________________________________
________________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
Significant Sensitive Receptors___________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
Description of Linked Activities:____________________________________________________
________________________________________________________________________________
_______________________________________________________________________________
__________________________________________________________________________________
Significant Sensitive Receptors of Linked Activities_______________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________
97
Safeguard Screening, Policy Triggering and Safeguard Instrument Checklist
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Are the sub-project impacts likely to
have significant adverse
environmental impacts that are
sensitive,19 diverse or
unprecedented?20 Provide brief
description:
OP 4.01
Environmental
Assessment
If “No”: Cat B
If “Yes”: Cat A
ESIA, ESMP, UKL/UPL
Are the project impacts likely to
have significant adverse social
impacts that are sensitive, diverse
or unprecedented?21 Provide brief
description.
OP 4.01
Environmental
Assessment
If “No”: Cat B
If “Yes”: Cat A
ESIA, ESMP, UKL/UPL
19 Sensitive (i.e., a potential impact is considered sensitive if it may be irreversible, e.g., permanently affect significant landscape features.
20 Large scale induced slash and burn agricultural development into forested areas.
98
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Do the impacts affect an area
broader than the sites or facilities
subject to physical works and are
the significant adverse
environmental impacts irreversible?
Provide brief description:
OP 4.01
Environmental
Assessment
If “No”: Cat B.
If “Yes”: Cat A
ESIA, ESMP, UKL/UPL
99
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Will the project have positive
environmental or social benefits?
Provide brief description:
OP 4.01
Environmental
Assessment
If “No”: Cat B.
If “Yes”: Cat B
ESIA, ESMP, UKL/UPL
Will the project adversely impact
physical cultural resources?22 Please
provide brief justification.
OP 4.11
Physical
Cultural
Resources
If “Yes / Significant”: Cat A.
Prepare PCR Management Plan as
part of ESMP.
If Yes / Moderate or Yes / Minor:
Cat B.
If ‘No’: Use chance find
procedures.
Will the project involve the
conversion or degradation of non-
critical natural habitats? Please
provide brief justification.
OP 4.04
Natural
Habitats
If ‘No’: Refer to next screening
question.
If “Yes / Significant”: Cat A.
If “Yes / Moderate or Yes / Minor’:
Cat B
22 Examples of physical cultural resources are archaeological or historical sites, religious or spiritual sites, particularly sites recognized by the government.
100
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Will the project involve the
conversion or degradation of critical
natural habitats?23
OP 4.04
Natural
Habitats
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes/Significant”: not eligible for
project financing as would be
inconsistent with the Policy.
If “Yes / Moderate or Yes Minor”:
Cat A
Does the sub-project involve
involuntary land acquisition?
Significant >200 people displaced or
10% households’ assets affected.
Moderate <200 people or 10% of
households’ assets affected.
OP 4.12
Involuntary
Resettlement
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes / Significant”: Cat A, LARAP
If “Yes / Moderate”: Cat B,
Abbreviated LARAP
23Sub-projects that significantly convert or degrade critical natural habitats such as legally protected, officially proposed for protection, identified by authoritative sources for their high conservation value, or recognized as protected by traditional local communities, are ineligible for Bank financing.
101
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Does the sub-project involve loss of
assets or access to assets, or loss of
income sources or means of
livelihood as a result of involuntary
land acquisition? Please provide
brief justification
OP 4.12
Involuntary
Resettlement
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes / Significant”: Cat A, LARAP
If “Yes / Moderate or Minor”: Cat
B, Abbreviated LARAP
Does the sub-project involve loss of
assets but not as a result of
involuntary land acquisition?
OP4.01
Environmental
Assessment
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes”: Cat B.
Manage compensation at
replacement value under ESMP.
102
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Are there Indigenous People
present in the project area?:
Self-identify as part of a distinct
social and cultural group, and
Maintain cultural, economic, social
and political intuitions distinct from
the dominant society and culture?,
and
Speak a distinct language or
dialect?, and
Been historically, socially and/or
economically marginalized,
disempowered, excluded and/or
discriminated against?
OP4.10
Indigenous
Peoples
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes”: Cat A
Refer IPF for requirements for
Social Assessment in the ESIA and
IPDP.
103
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Will the project directly or indirectly
benefit or target Indigenous
Peoples?
OP4.10
Indigenous
Peoples
If there are no IP in the project
area, or this question is otherwise
not relevant, put NA in each
column.
If “No benefit or target” or “Yes
benefit or target”: Cat A. Address
in Social Assessment and IPDP
preparation.
Will the project directly or indirectly
affect Indigenous Peoples'
traditional socio-cultural and belief
practices? (E.g. child-rearing, health,
education, arts, and governance)?
OP4.10
Indigenous
Peoples
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes”: Cat A
Refer IPF for requirements for
Social Assessment in the ESIA and
IPDP.
Will the project affect the livelihood
systems of Indigenous Peoples?
(e.g., food production system,
natural resource management,
crafts and trade, employment
status)?
OP4.10
Indigenous
Peoples
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes”: Cat A
Refer IPF for requirements for
Social Assessment in the ESIA and
IPDP.
104
Question
*Note on the checklist or in an
attached report where issues may
relate only to linked projects such as
downstream exploitation
Answer If Yes
Policy
triggered
Category and Safeguard
Instrument Yes
Significant,
Moderate, Minor
No
Will the project be in an area (land
or territory) occupied, owned, or
used by Indigenous Peoples, and/or
claimed as ancestral domain?
OP4.10
Indigenous
Peoples
If “No”: Refer to next screening
question.
If “Yes”: Cat A
Refer IPF for requirements for
Social Assessment in the ESIA and
IPDP.
105
Appendix C. ESIA REPORT OUTLINE FOR CATEGORY A SUB-PROJECTS
With reference to Annex B to OP 4.01 - Content of an Environmental Assessment Report for a Category A
Project.
An ESIA report for a Category A project focuses on the significant environmental issues of a project. The
report’s scope and level of detail should be commensurate with the project’s potential impacts. The
report submitted to the Bank is prepared in English and the executive summary in English.
The ESIA report should include the following items (not necessarily in the order shown):
(a) Executive summary. Concisely discusses significant findings and recommended actions.
(b) Policy, legal, and administrative framework. Discusses the policy, legal, and
administrative framework within which the EA is carried out. Explains the environmental
requirements of any co-financiers. Identifies relevant international environmental
agreements to which the country is a party.
(c) Project description. Concisely describes the proposed project and its geographic,
ecological, social, and temporal context, including any offsite investments that may be
required (e.g., dedicated pipelines, access roads, power plants, water supply, housing,
and raw material and product storage facilities). Indicates the need for any resettlement
plan or Indigenous Peoples development plan (see also sub-para. (h)(v) below).
Normally includes a map showing the project site and the project’s area of influence.
(d) Baseline data. Assesses the dimensions of the study area and describes relevant
physical, biological, and socioeconomic conditions, including any changes anticipated
before the project commences. Also takes into account current and proposed
development activities within the project area but not directly connected to the project.
Data should be relevant to decisions about project location, design, operation, or
mitigation measures. The section indicates the accuracy, reliability, and sources of the
data.
(e) Environmental impacts. Predicts and assesses the project’s likely positive and negative
impacts, in quantitative terms to the extent possible. Identifies mitigation measures and
any residual negative impacts that cannot be mitigated. Explores opportunities for
environmental enhancement. Identifies and estimates the extent and quality of
available data, key data gaps, and uncertainties associated with predictions, and
specifies topics that do not require further attention.
(f) Analysis of alternatives. Systematically compares feasible alternatives to the proposed
project site, technology, design, and operation—including the "without project"
situation--in terms of their potential environmental impacts; the feasibility of mitigating
106
these impacts; their capital and recurrent costs; their suitability under local conditions;
and their institutional, training, and monitoring requirements. For each of the
alternatives, quantifies the environmental impacts to the extent possible, and attaches
economic values where feasible. States the basis for selecting the particular project
design proposed and justifies recommended emission levels and approaches to
pollution prevention and abatement.
(g) Environmental and social management plan (ESMP). Covers mitigation measures,
monitoring, and institutional strengthening; see outline in Appendix D.
(h) Appendixes
List of EA report preparers--individuals and organizations.
References--written materials both published and unpublished, used in study
preparation.
Record of interagency and consultation meetings, including consultations for
obtaining the informed views of the affected people and local non-governmental
organizations (NGOs). The record specifies any means other than consultations (e.g.,
surveys) that were used to obtain the views of affected groups and local NGOs.
Tables presenting the relevant data referred to or summarized in the main text.
List of associated reports (e.g., resettlement plan or indigenous people development
plan).
107
Appendix D. ENVIRONMENTAL AND SOCIAL MANAGEMENT PLAN TEMPLATE
With reference to Annex C to World Bank Safeguard Policy OP 4.01 - Environmental Management Plan
A sub-project’s environmental and social management plan (ESMP) consists of the set of mitigation,
monitoring, and institutional measures to be taken during implementation and operation to eliminate
adverse environmental and social impacts, offset them, or reduce them to acceptable levels. The plan
also includes the actions needed to implement these measures. To prepare an ESMP, PT SMI will (a)
identify the set of responses to potentially adverse impacts; (b) determine requirements for ensuring
that those responses are made effectively and in a timely manner; and (c) describe the means for
meeting those requirements. More specifically, the ESMP will include the following components.
Mitigation
The ESMP identifies feasible and cost-effective measures that may reduce potentially significant adverse
environmental impacts to acceptable levels. The plan includes compensatory measures if mitigation
measures are not feasible, cost-effective, or sufficient. Specifically, the ESMP:
a. identifies and summarizes all anticipated significant adverse environmental impacts
(including those involving indigenous people or involuntary resettlement);
b. describes--with technical details--each mitigation measure, including the type of impact to
which it relates and the conditions under which it is required (e.g., continuously or in the
event of contingencies), together with designs, equipment descriptions, and operating
procedures, as appropriate;
c. estimates any potential environmental impacts of these measures; and
d. provides linkage with any other mitigation plans (e.g., for involuntary resettlement,
Indigenous Peoples, or cultural property) required for the project.
Monitoring
Environmental monitoring during project implementation provides information about key
environmental aspects of the project, particularly the environmental impacts of the project and the
effectiveness of mitigation measures. Such information enables the borrower and the Bank to evaluate
the success of mitigation as part of project supervision, and allows corrective action to be taken when
needed. Therefore, the ESMP identifies monitoring objectives and specifies the type of monitoring, with
linkages to the impacts assessed in the ESIA report and the mitigation measures described in the ESMP.
Specifically, the monitoring section of the ESMP provides:
a. a specific description, and technical details, of monitoring measures, including the
parameters to be measured, methods to be used, sampling locations, frequency of
measurements, detection limits (where appropriate), and definition of thresholds that will
signal the need for corrective actions; and
b. monitoring and reporting procedures to (i) ensure early detection of conditions that
necessitate particular mitigation measures, and (ii) furnish information on the progress and
results of mitigation.
Capacity Development and Training
108
To support timely and effective implementation of environmental project components and mitigation
measures, the ESMP draws on the ESIA’s assessment of the existence, role, and capability of
environmental units on site or at the agency and ministry level. If necessary, the ESMP recommends the
establishment or expansion of such units, and the training of staff, to allow implementation of ESIA
recommendations. Specifically, the ESMP provides a specific description of institutional arrangements--
who is responsible for carrying out the mitigation and monitoring measures (e.g., for operation,
supervision, enforcement, monitoring of implementation, remedial action, financing, reporting, and
staff training). To strengthen environmental management capability in the agencies responsible for
implementation, most ESMPs cover one or more of the following additional topics: (a) technical
assistance programs, (b) procurement of equipment and supplies, and (c) organizational changes.
Implementation Schedule and Cost Estimates
For all three aspects (mitigation, monitoring, and capacity development), the ESMP provides (a) an
implementation schedule for measures that must be carried out as part of the project, showing phasing
and coordination with overall project implementation plans; and (b) the capital and recurrent cost
estimates and sources of funds for implementing the ESMP. These figures are also integrated into the
total project cost tables.
Integration of ESMP with Project
The borrower’s decision to proceed with a project, and the Bank’s decision to support it, are predicated
in part on the expectation that the EMP will be executed effectively. Consequently, the Bank expects the
plan to be specific in its description of the individual mitigation and monitoring measures and its
assignment of institutional responsibilities, and it must be integrated into the project’s overall planning,
design, budget, and implementation. Such integration is achieved by establishing the ESMP within the
project so that the plan will receive funding and supervision along with the other components.
The following tables are the suggested template for summary of the mitigation and monitoring plans for
the exploration and development phase of geothermal activities.
A. TEMPLATE MITIGATION PLAN FOR EXPLORATION
Cost to: Institutional
Responsibility to:
Comments
(e.g. secondary
or cumulative
impacts) Phase Impact Mitigating
Measure
Install Operate Install Operate
Exploration phase
Decommissioning
Phase
109
B. MONITORING PLAN FOR EXPLORATION
Cost to: Institutional
Responsibility
to:
Phase What
(param
eter)
Wher
e
How
(equi
pme
nt)
When
(freque
ncy)
Why Install Operat
e
Install Operat
e
Exploration phase
Decommissioning
Phase
110
Appendix E. FORMAT OF UKL/UPL
The following form is the Format for the Environmental Management Plan (UKL) and Environmental
Monitoring Plan (UPL). It describes the impact of the planned activities on the environment and how it
will be managed. As an integral part of the UKL/UPL, the Statement of Assurance for Implementation of
UKL/UPL also included. This format complies with the Regulation of the Minister of Environment No.
16/2012 which can be referred to for further guidance.
Title of Chapter/Sub-
Chapter
Content/Remarks
Statement Letter from Project Management
a. The statement letter from project management will state their
accountability to ensure that the Environmental Management Plan (UKL)
and Environmental Monitoring Plan (UPL) will be done. This statement
Letter should be signed on a stamp duty acknowledged by the Head of
BLHD (local environmental agency) and the Head of Local Government
(Governor/Bupati/Mayor).
b. Project management consists of those parties who prepare and
implement the Project Activities, those parties who are responsible for
the operations and maintenance of the Project Activities, and other
parties responsible for environmental management and monitoring.
I. description OF project management
1.1 Company Name ……………………………….
1.2 Name of Project
Management Entity
Name of project management entity and their job description at each stage
of the Project Activities, which should include:
a. Agency or office responsible for the preparation and implementation of
Project Activities.
b. Agency or office responsible for the operations and maintenance of the
Project Activities after the work is completed.
c. Agency or office responsible for environmental management and
monitoring.
1.3 Address, Number Clear address of the named agencies or offices related to the Project
111
Title of Chapter/Sub-
Chapter
Content/Remarks
Phone and Fax, Website
and Email
Activities in accordance to the point 1.1 above.
II. Description of Project Activities and its impact
2.1 Project Activities
Name
Name of Project Activities in a clear and complete manner.
2.2 Project Activities
Location
a. Location of the Project Activities in a clear and complete manner:
Kelurahan/Village, District/city, and Province where the Project Activities
and its components take place.
b. Location of the Project Activities should be drawn in a map using an
adequate scale (for example, 1:50.000, accompanied with latitude and
longitude of the location).
2.3 Scale of the Project
Activities
An estimation of the scale and type of Project Activities (using accepted units
of measurement). For example: the construction of a market of certain
capacity may need to be accompanied by supporting facilities in line with the
Environmental Management Plan that must mention the type of component
as well as the scale.
2.4 Component of
Project Activities in brief
outline
A brief and clear explanation on any component of the Project Activities
which have potential environmental impacts. Work components should be
divided based on stages as follows:
a. Pre-construction, for example: mobilization of workforce and materials,
transportation, etc.
b. Construction, for example the use of ground water, laying out of utility
pipes, etc.
c. Operations and Maintenance: Post-construction, for example: clearing of
excavated waste material, etc.
Also, attach the flowchart/diagram to explain the flow of work to be done, if
applicable.
III POTENTIAL
ENVIRONMENTAL
Explain in a brief and clear manner about any Project Activities with potential
environmental impacts, type of impacts which might occur, magnitude of
112
Title of Chapter/Sub-
Chapter
Content/Remarks
IMPACT impacts, and other matters needed to describe any potential environmental
impacts on the natural and social environment. Such descriptions can be
presented in tabulation, with each column representing each of the aspects.
A description of the size or magnitude of the impacts should be accompanied
with measurement units based on applicable laws and regulations or specific
scientific analysis.
IV. environmental management and monitoring program
4.1 Environmental
Management Plan
a. The Environmental Management Plan (UKL) consists of the plan itself, as
well as the party in charge, frequency of interventions, implementation
schedule, and types of mechanisms (e.g.: procedures for management,
methods, etc.) in order to mitigate the environmental impacts identified
Section III above.
b. The plan can be presented in a table format, which at minimum contains
the following columns: type of impact, source, magnitude, threshold,
management plan, and frequency of interventions, party in charge, and
other remarks.
4.2 Environmental
Monitoring Plan
a. The Environmental Monitoring Plan (UPL) consists of the plan itself, party
in charge, frequency of interventions, implementation schedule, and
types of mechanisms (e.g.: procedures for monitoring, methods, etc.) in
order to monitor the environmental management plan described in
section 4.1 above.
b. The plan can be presented in a table format, which at minimum contains
the following columns: type of impact, source, magnitude, threshold,
management plan, and frequency of interventions, party in charge, and
other remarks. In this monitoring plan, the thresholds should comply
with the prevailing laws and regulations which are applicable according
to the environmental impacts as already identified in Section III above.
V. SIGNATURE
AND OFFICE SEAL
After the UKL/UPL document is prepared and complete, the Project Manager
should sign and put an official seal on the document.
VI. REFERENCE Insert various references used in the preparation of UKL/UPL.
113
Title of Chapter/Sub-
Chapter
Content/Remarks
VII. ATTACHMENTS Attach any relevant documents or information to the UKL/UPL, e.g. tables
displaying the monitoring results, and others.
114
Appendix F. STATEMENT OF ASSURANCE FOR UKL/UPL
No:…………………….
In an effort to prevent, minimize and/or address the potential environmental impacts from the
Construction Work of.............................., in the District/Province of.............. as well as in accordance to
the duty and authority of the Dinas................, of the District/Province of shall carry out an
Environmental Management Plan (UKL) and Environmental Monitoring Plan (UPL) and include the
recommendations from UKL/UPL into the Detailed Design.
For the next stage, which is the physical work, implementation of the recommendations from UKL/UPL
shall be done by the party in charge for the physical work, which is “Satker..................... of the
District/Province..................”
This statement is duly made, as confirmation to support the Environmental Management Plan (UKL) and
Environmental Monitoring Plan (UPL) on the Construction Work for the Construction of .......................,
in the District/Province of..............
Location,.........................., Date…..………..
DINAS…………….………………............
DISTRICT/PROVINCE OF .......................
Satker
NAME .................................
115
Appendix G. PCR CHANCE FIND PROCEDURE
Definition. A chance find is archaeological, historical, cultural, and remain material encountered
unexpectedly during project construction or operation. A chance find procedure is a project-specific
procedure which will be followed if previously unknown cultural heritage is encountered during project
activities. Such procedure generally includes a requirement to notify relevant authorities of found
objects or sites by cultural heritage experts; to fence off the area of finds or sites to avoid further
disturbance; to conduct an assessment of found objects or sites by cultural heritage experts; to identify
and implement actions consistent with the requirements of the World Bank and Indonesian law; and to
train project personnel and project workers on chance find procedures.
Objectives.
To protect physical cultural resources from the adverse impacts of project
activities and support its preservation.
To promote the equitable sharing of benefits from the use of PCR.
Procedure.
a. If PT SMI, their consultants or their Contractors discover archeological sites, historical sites,
remains and objects, including graveyards and/or individual graves during excavation or
construction, they shall:
b. Halt the construction activities in the area of the chance find;
c. Delineate and fence the discovered site or area;
d. Secure the site to prevent any damage or loss of removable objects. In cases of removable
antiquities or sensitive remains, a night guard shall be arranged until the responsible local
authorities or the District/Provincial Department of Culture, or the local Institute of
Archaeology if available to take over;
e. Forbid any take of the objects by the workers or other parties;
f. Notify all sub-project personnel of the finding and take the preliminary precaution of
protection;
g. Record the chance find objects and the preliminary actions;
h. Notify the responsible local authorities and the relevant Institute of Archaeology
immediately (within 24 hours or less);
i. Responsible local authorities would be in charge of protecting and preserving the site before
deciding on subsequent appropriate procedures. This would require a preliminary
evaluation of the findings to be performed by the local Institute of Archaeology. The
significance and importance of the findings should be assessed according to the various
criteria relevant to cultural heritage; those include the aesthetic, historic, scientific or
research, social and economic values;
j. Decisions on how to handle the finding shall be taken by the responsible authorities. This
could include changes in the sub-project layout (such as when finding an irremovable
remain of cultural or archeological importance) conservation, preservation, restoration and
salvage;
116
k. Implementation for the authority decision concerning the management of the finding shall
be communicated in writing by relevant local authorities;
l. The mitigation measures could include the change of sub-project design/layout, protection,
conservation, restoration, and/or preservation of the sites and/or objects;
m. Construction work at the site could resume only after permission is given from the
responsible local authorities concerning safeguard of the heritage; and
n. PT SMI, their consultants and their contractors, shall cooperate with the relevant local
authorities to monitor all construction activities and ensure that the adequate preservation
actions are taken and hence the heritage sites protected.
117
Appendix H. SAMPLE OF GRIEVANCE FORM
Reference No
Full Name
Please mark how you wish to be
contacted (mail, telephone, e-
mail).
Please mark how you wish to be contacted
Province/District
Date
Category of the Grievance
1. On abandonment (hospital, public housing)
2. On assets/properties impacted by the project
3. On infrastructure
4. On decrease or complete loss of sources of income
5. On environmental issues (ex. pollution)
6. On employment
7. On traffic, transportation and other risks
8-Other (Please specify):
Description of the Grievance What did happen? When did it happen? Where did it happen? What is
the result of the problem?
What would you like to see happen to resolve the problem?
Signature: Date:
118
Appendix I. SAMPLE GRIEVANCE CLOSE OUT FORM
Grievance closeout number:
Define immediate action required:
Define long term action required (if necessary):
Compensation Required? [ ] YES [ ] NO
CONTROL OF THE REMEDIATE ACTION AND THE DECISION
Stages of the Remediate Action Deadline and Responsible Institutions
1.
2.
3.
4.
5.
COMPENSATION AND FINAL STAGES
This part will be filled and signed by the complainant after s/he receives the compensation fees and
his/her complaint has been remediated.
Notes:
Name-Surname and Signature
Date…./…../…..
Of the Complainant:
Representative of the Responsible Institution/Company
Title-Name-Surname and Signature
119
Appendix J. GENERIC CONTENTS OF INDIGENOUS PEOPLES’ DEVELOPMENT PLAN
Background and Context
i. The project and project components
ii. Brief description of Indigenous Peoples/ethnic minorities (IP/EM) in the relevant project country
iii. Relevant legal framework
iv. Summary of the findings of the Social Assessment (part of ESIA), including among others:
a. Baseline data of IP/EM
b. Maps of the area of project influence and the areas inhabited by IP/EM
c. Analysis of the IP/EM social structure and income sources
d. Inventories of the resources used by IP/EM, and technical data on their production systems
e. Information on cultural practices and patterns
f. Relationships of IP/EM to other local/national groups
v. Key positive project impacts on IP/EM
vi. Key negative project impacts on IP/EM
Objectives of the IPDP
i. Explain the purpose of the IPDP
Development and/or Mitigation Activities
i. Describe detail of development activities
ii. Describe detail of mitigation activities
Strategy for IP/EM Participation
i. Describe mechanism for participation by IP/EM in planning, implementation, and evaluation
ii. Describe procedures for redress of grievances by IP/EM
Institutional Arrangements
i. Identify main tasks and responsibilities in planning, managing, and monitoring development,
and/or mitigation activities
120
ii. Identify role of NGOs or IP/EM organizations in implementing the development and/or
mitigation activities.
Budget and Financing
i. Identify development and/or mitigation activity costs and funding resources
Supervision, Monitoring, and Evaluation
i. Specify arrangements for supervision, monitoring, and evaluation
ii. Implementation strategy and schedule
iii. Prepare a plan for internal monitoring of the targets of the major development and/or
mitigation activities
121
Appendix K. CONTENT OF LAND ACQUISITION AND RESETTLEMENT ACTION PLAN (LARAP)
The scope and level of detail of the resettlement plan vary with the magnitude and complexity of
involuntary resettlement. The plan is based on up-to-date and reliable information about (a) the
proposed resettlement and its impacts on the displaced persons and other adversely affected groups,
and (b) the legal issues involved in resettlement. The resettlement plan covers the elements below, as
relevant.
1. Description of the project. General description of the project and identification of the project
area.
2. Potential impacts. Identification of the project component or activities that give rise to
resettlement; the zone of impact of such component or activities; the alternatives considered
to avoid or minimize resettlement; and the mechanisms established to minimize resettlement,
to the extent possible, during project implementation.
3. Objectives. The main objectives of the resettlement program.
4. Socioeconomic studies. The findings of socioeconomic studies to be conducted in the early
stages of project preparation and with the involvement of potentially displaced people,
including a. the results of a census survey covering
a. current occupants of the affected area to establish a basis for the design of the resettlement
program and to exclude subsequent inflows of people from eligibility for compensation and
resettlement assistance;
b. standard characteristics of displaced households, production systems, labour, and
household organization; and baseline information on livelihoods (including, as relevant,
production levels and income derived from both formal and informal economic activities)
and standards of living (including health status) of the displaced population;
c. the magnitude of the expected loss--total or partial--of assets, and the extent of
displacement, physical or economic;
d. Information on vulnerable groups or persons as provided for in OP 4.12, para. 8, for whom
special provisions may have to be made; and
e. Provisions to update information on the displaced people's livelihoods and standards of
living at regular intervals so that the latest information is available at the time of their
displacement.
5. Other studies describing the following
122
a. land tenure and transfer systems, including an inventory of natural resources which are a
common property, from which people derive their livelihoods and sustenance, non-title-
based usufruct systems (including fishing, grazing, or use of forest areas) governed by local
recognized land allocation mechanisms;
b. the patterns of social interaction in the affected communities, including social networks and
social support systems, and how they will be affected by the project;
c. public infrastructure and social services that will be affected; and
d. Social and cultural characteristics of displaced communities, including a description of
formal and informal institutions (e.g., community organizations, ritual groups,
nongovernmental organizations (NGOs)) that may be relevant to the consultation strategy
and to designing and implementing the resettlement activities.
Legal framework. The findings of an analysis of the legal framework, covering
a. the scope of the power of eminent domain and the nature of compensation associated with
it, in terms of both the valuation methodology and the timing of payment;
b. the applicable legal and administrative procedures, including a description of the remedies
available to displaced persons in the judicial process and the normal timeframe for such
procedures, and any available alternative dispute resolution mechanisms that may be
relevant to resettlement under the project;
c. relevant law (including customary and traditional law) governing land tenure, valuation of
assets and losses, compensation, and natural resource usage rights; customary personal law
related to displacement; and environmental laws and social welfare legislation;
d. laws and regulations relating to the agencies responsible for implementing resettlement
activities;
e. gaps, if any, between local laws covering eminent domain and resettlement and the Bank's
resettlement policy, and the mechanisms to bridge such gaps; and
f. Any legal steps necessary to ensure the effective implementation of resettlement activities
under the project, including, as appropriate, a process for recognizing claims to legal rights
to land--including claims that derive from customary law and traditional usage (see OP 4.12,
para.15 b).
g. gaps, if any, between local laws covering eminent domain and resettlement and the Bank's
resettlement policy, and the mechanisms to bridge such gaps; and
123
h. Any legal steps necessary to ensure the effective implementation of resettlement activities
under the project, including, as appropriate, a process for recognizing claims to legal rights
to land--including claims that derive from customary law and traditional usage (see OP 4.12,
para.15 b).
Institutional Framework. The findings of an analysis of the institutional framework covering
a. the identification of agencies responsible for resettlement activities and NGOs that may
have a role in project implementation;
b. an assessment of the institutional capacity of such agencies and NGOs; and
c. Any steps that are proposed to enhance the institutional capacity of agencies and NGOs
responsible for resettlement implementation.
Eligibility. Definition of displaced persons and criteria for determining their eligibility for compensation
and other resettlement assistance, including relevant cut-off dates.
Valuation of and compensation for losses. The methodology to be used in valuing losses to determine
their replacement cost; and a description of the proposed types and levels of compensation under local
law and such supplementary measures as are necessary to achieve replacement cost for lost assets.
Resettlement measures. A description of the packages of compensation and other resettlement
measures that will assist each category of eligible displaced persons to achieve the objectives of the
policy (see OP 4.12, para. 6). In addition to being technically and economically feasible, the resettlement
packages should be compatible with the cultural preferences of the displaced persons, and prepared in
consultation with them.
Site selection, site preparation, and relocation. Alternative relocation sites considered and explanation of
those selected, covering
a. institutional and technical arrangements for identifying and preparing relocation sites, whether
rural or urban, for which a combination of productive potential, locational advantages, and
other factors is at least comparable to the advantages of the old sites, with an estimate of the
time needed to acquire and transfer land and ancillary resources;
b. any measures necessary to prevent land speculation or influx of ineligible persons at the
selected sites;
c. procedures for physical relocation under the project, including timetables for site preparation
and transfer; and
d. Legal arrangements for regularizing tenure and transferring titles to resettlers.
124
Housing, infrastructure, and social services. Plans to provide (or to finance resettlers' provision of)
housing, infrastructure (e.g., water supply, feeder roads), and social services (e.g., schools, health
services); plans to ensure comparable services to host populations; any necessary site development,
engineering, and architectural designs for these facilities.
Environmental protection and management. A description of the boundaries of the relocation area; and
an assessment of the environmental impacts of the proposed resettlement and measures to mitigate
and manage these impacts (coordinated as appropriate with the environmental assessment of the main
investment requiring the resettlement).
Community participation. Involvement of re-settlers and host communities,
a. a description of the strategy for consultation with and participation of re-settlers and hosts
in the design and implementation of the resettlement activities;
b. a summary of the views expressed and how these views were taken into account in
preparing the resettlement plan;
c. a review of the resettlement alternatives presented and the choices made by displaced
persons regarding options available to them, including choices related to forms of
compensation and resettlement assistance, to relocation of individuals as families or as
parts of pre-existing communities or kinship groups, to sustaining existing patterns of group
organization, and to retaining access to cultural property (e.g. places of worship, pilgrimage
centers, cemeteries);5 and
d. Institutionalized arrangements by which displaced people can communicate their concerns
to project authorities throughout planning and implementation, and measures to ensure
that such vulnerable groups as indigenous people, ethnic minorities, the landless, and
women are adequately represented.
Integration with host populations. Measures to mitigate the impact of resettlement on any host
1. consultations with host communities and local governments;
2. arrangements for prompt tendering of any payment due the hosts for land or other assets
provided to resettlers;
3. arrangements for addressing any conflict that may arise between resettlers and host
communities; and
4. Any measures necessary to augment services (e.g., education, water, health, and production
services) in host communities to make them at least comparable to services available to
resettlers.
125
Grievance procedures. Affordable and accessible procedures for third-party settlement of disputes
arising from resettlement; such grievance mechanisms should take into account the availability of
judicial recourse and community and traditional dispute settlement mechanisms.
Organizational responsibilities. The organizational framework for implementing resettlement, including
identification of agencies responsible for delivery of resettlement measures and provision of services;
arrangements to ensure appropriate coordination between agencies and jurisdictions involved in
implementation; and any measures (including technical assistance) needed to strengthen the
implementing agencies' capacity to design and carry out resettlement activities; provisions for the
transfer to local authorities or resettlers themselves of responsibility for managing facilities and services
provided under the project and for transferring other such responsibilities from the resettlement
implementing agencies, when appropriate.
Implementation schedule. An implementation schedule covering all resettlement activities from
preparation through implementation, including target dates for the achievement of expected benefits to
resettlers and hosts and terminating the various forms of assistance. The schedule should indicate how
the resettlement activities are linked to the implementation of the overall project.
Costs and budget. Tables showing itemized cost estimates for all resettlement activities, including
allowances for inflation, population growth, and other contingencies; timetables for expenditures;
sources of funds; and arrangements for timely flow of funds, and funding for resettlement, if any, in
areas outside the jurisdiction of the implementing agencies.
Monitoring and evaluation. Arrangements for monitoring of resettlement activities by the implementing
agency, supplemented by independent monitors as considered appropriate by the Bank, to ensure
complete and objective information; performance monitoring indicators to measure inputs, outputs,
and outcomes for resettlement activities; involvement of the displaced persons in the monitoring
process; evaluation of the impact of resettlement for a reasonable period after all resettlement and
related development activities have been completed; using the results of resettlement monitoring to
guide subsequent implementation.
126
Appendix L. CONTENTS OF AN ABBREVIATED LAND ACQUISITION AND RESETTLEMENT ACTION
PLAN
1. Description of the project: General description of the project and identification of the project
area
2. Potential impacts: Identification of (i) the sub-project component or activities requiring land
acquisition, (ii) zone of impact of such components/activities
3. Census of the Project Affected Persons (PAPs): Results of the census and inventory of assets,
including (i) a list of PAPs, distinguishing between those with land rights and those without, and
(ii) an inventory of plots and structures affected.
4. Legal Analysis: Descriptions of legal steps to ensure the effective implementation of land
acquisition under the sub-project, including, as appropriate, a process for recognizing claims to
legal rights to land- including claims that derive from customary law and traditional usage
5. Eligibility: Identification of the PAPs who will be eligible for compensation and explanation of
the criteria used to determine eligibility.
6. Valuation of assets and calculation of compensation for losses: A description of the procedures
that will be followed to determine the form and amount of compensation to be offered to PAPs.
7. Consultations with people who shall lose land and other assets: A description of the activities
carried out to (1) inform PAPs about the impacts of the project and the compensation
procedures and options, and (2) give the PAPs opportunities to express their opinions
8. Organizational responsibilities: A brief description of the organizational framework for
implementing land acquisition.
9. Implementation schedule: An implementation schedule covering land acquisition, including
target dates for the delivery of compensation. The schedule should indicate how the land
acquisition activities are linked to the implementation of the overall project.
10. Costs and budget: Cost estimates for land acquisition for the sub-project.
11. Grievance procedure: Affordable and accessible procedures for third-party settlement of
disputes arising from land acquisition; such grievance mechanisms should take into account the
availability of judicial recourse and community and traditional dispute settlement mechanisms.
127
12. Monitoring: Arrangements for monitoring land acquisition activities and the delivery of
compensation to PAPs.
top related