web viewadapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui ... teori kontrol, konsep 3r, proses...
Post on 03-Feb-2018
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENDEKATAN REALITAS
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
NAMA :
SEMESTER :
KELAS :
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
BAUBAU
2015
KATA PENGANTAR
Syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat Allah Rabbul ‘Alamin
yang tiada henti-hentinya mengalirkan segala kearifan dalam setiap kalbu
hambanya yang haus dan cinta akan ilmu yang dengannya tiada akan pernah
kering samudera pikir dan terbukalah setiap mata hati. Begitu pula dengan segala
rahmat dan hidayah-Nya-lah sehingga makalah yang berjudul ”Pendekatan
Realitas” dapat terselesaikan.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang turut membantu dalam penyusunan Makalah ini.
Demikianlah Makalah ini dibuat dan tidak menutup kemungkinan dalam
penyusunannya terdapat kekurangan dan kesalahan didalamnya. Oleh karena itu,
kami mengharapkan saran dan komentarnya yang dapat dijadikan masukan dalam
penyusunan laporan tugas selanjutnya.
Baubau, April 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................
B. Tujuan.................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................
A. Sejarah Perkembangan Pendekatan Realistis.....................................
B. Ciri-Ciri Pendekatan Realistis............................................................
C. Pandangan Tentang Manusia..............................................................
D. Konsep Dasar.....................................................................................
E. Teori Kontrol......................................................................................
F. Konsep 3R...........................................................................................
G. Proses Konseling................................................................................
H. Tahap-tahap Konseling......................................................................
I. Tujuan Konseling.................................................................................
J. Peran dan Fungsi Konselor..................................................................
BAB III PENUTUP...........................................................................................
A. Kesimpulan.........................................................................................
B. Saran...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan kita, realita selalu dikaitkan dengan kenyataan. Pendekatan
Realistis dikembangkan oleh William Glasser, seorang psikolog dari California.
Istilah Reality ialah suatu standar atau patokan obyektif, yang menjadi kenyataan
atau realitas yang harus diterima. Realitas atau kenyataan itu dapat berwujud suatu
realitas praktis, realitas sosial, atau realitas moral. Sesuai dengan pandangan
behavioristik, yang terutama disoroti pada seseorang adalah tingkah lakunya yang
nyata.
Tingkah laku itu dievaluasi menurut kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan
realitas yang ada.
Dalam pendekatan ini, konselor dalam hal ini guru BK bertindak aktif, direktif,
dan didaktik. Dalam konteks ini, konselor berperan sebagai guru dan sebagai
model bagi klien dalam hal ini peserta didik. Disamping itu, guru BK juga
membuat kontrak dengan klien untuk mengubah perilakunya. Ciri yang sangat
khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejadian di masa lalu,
tetapi lebih mendorong klien untuk menghadapi realitas. Pendekatan ini juga tidak
memberi perhatian pada motif-motif bawah sadar sebagaimana pandangan kaum
psikoanalis. Akan tetapi, lebih menekankan pada pengubahan tingkah laku yang
lebih bertanggung jawab dengan merencanakan dan melakukan tindakan-tindakan
tersebut.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Sejarah
Perkembangan Pendekatan Realistis, Ciri-Ciri Pendekatan Realistis, kebutuhan-
kebutuhan dasar psikologis manusia, Konsep Dasar, Teori Kontrol, Konsep 3R,
Proses Konseling, Tahap-Tahap Konseling, Tujuan Konseling, serta Peran dan
Fungsi Konselor dalam pendekatan realitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Pendekatan Realistis
William Glasser merupakan lulusan dari the Case Institute of Technology
sebagai Insinyur kimia pada tahun 1944 di usia 19 tahun, kemudian ia mengambil
master di bidang Psikologi Klinis pada usia 23 tahun di Universitas yang sama.
Pada tahun 1956 ia menjadi kepala bagian psikiatri di the Ventura School of Girls
yang merupakan institusi untuk menangani kenakalan remaja perempuan. Pada
saat inilah Glasser mengembangkan konsep pendekatan realistis. Melalui buku
pertamanya yang berjudu “Mental Health or Mental Illmess” (1961) ia
menuangkan landasan pemikirannya mengenai landasan berfikir dari teknik dan
konsep dasar terapi realitas.
Glasser menggunakan istilah Reality therapy pada tahun 1964 pada manuskrip
yang berjudul “Reality Therapy: A Realistic Approach to the Young Offender”.
Pada tahun 1968 Glasser mendirikan the Institute for Reality Therapy di Los
Angeles.
B. Ciri-Ciri Pendekatan Realistis
Ada 8 ciri yang menentukan pendekatan realitas sebagai berikut :
1. Terapi realitas menolak tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa
bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari
ketidak bertanggung jawaban.
2. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis.
Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah laku yang tidak
bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan
tingkah laku yang bertanggung jawab.
3. Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada
perasaan-perasaan dan sikap-sikap. Meskipun tidak menganggap
perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, tetapi realitas
menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang.
4. Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi
realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam
menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang
membantu kegagalan yang dialaminya. Terapi ini beranggapan bahwa
perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan
membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan
destruktifnya.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang
konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia
memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap
bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para
terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka
menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu
klien.
6. Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek
ketaksadaran. Teori psikoanalitik, yang berasumsi bahwa pemahaman
dan kesadaran atas proses-proses ketaksadaran sebagai suatu prasyarat
bagi perubahan kepribadian, menekankan pengungkapan konflik-
konflik tak sadar melalui teknik-teknik seperti analisis transferensi,
analisis mimpi, asosiasi-asosiasi bebas, dan analisis resistensi.
Sebaliknya, terapi realitas menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh
klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak
mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana dia bisa terlibat
dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang berhasil yang berlandaskan
tingkah laku yang bertanggung jawab dan realistis.
7. Terapi realitas menhapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa
pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan
bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana
mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan
hubungan terapiutik.
8. Terapi realitas menekankan tanggng jawab, yang oleh Glasser(1965,
hlm 13) didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuha sendiri dan melakukannya dengan cara tidak
mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-
kebutuhan mereka”. Belajar tanggung jawab adalah proses seumur
hidup.
C. Pandangan Tentang Manusia
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara
konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupannya dan harus
dipenuhi. Ketika seseorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh satu
faktor, yaitu terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Keterhambatan tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita,
yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak
menyenangkan. Mengacu pada teori hirarki kebutuhan yang dikemukakan oleh
Maslow, Glasser mendasari pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk
dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain.
Secara rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia,
yang meliputi:
a. Cinta (Beloging/Love)
Salah satu kebutuhan psikologis manusia adalah kebutuhannya untuk merasa
memiliki dan terlibat atau melibatkan diri dengan orang lain. kebutuhan ini
disebut Glasser sebagai Identity Society, yang menekankan pentingnya hubungan
personal. Beberapa aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain:
persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi
kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk: Social
beloging, work beloging dan family beloging.
b. Kekuasaan (Power)
Kebutuhan atas kekuasaan meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa berharga,
dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya diekspresikan melalui
kompetisi dengan orang-orang disekitar kita, memimpin, mengorganisir,
meyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta
pendapat bagi orang lain, melontarkan ide atau gagasan dan sebagainya.
c. Kesenangan (Fun)
Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Pada anak-anak, terlihat
dalam aktifitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus
berkembang hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan,
bersantai, melucu, humor, dan sebagainya.
d. Kebebasan (Freedom)
Kebebasan merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan
dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan, memutuskan
akan melanjutkan studi pada jurusan apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat
ketempat lain. kebutuhan-kebutuhan tersebut bersifat universal, tetapi dipenuhi
dengan cara yang unik oleh masing-masing manusia. Glasser memiliki pandangan
yang optimis tentang kemampuan dasar manusia, yaitu kemampuan untuk belajar
memenuhi kebutuhannya dan menjadi orang yang bertanggung jawab. Tingkah
laku yang bertanggung jawab merupakan upaya manusia mengontrol lingkungan
untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi realita yang dialami dalam
kehidupannya.
Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhannya, menurut Glasser orang
tersebut mencapai identitas sukses. Ini terkait dengan konsep perkembangan
kepribadian yang sehat, yang ditandai dengan berfungsinya individu dalam
memenuhi kebutuhan psikologisnya secara tepat (Hansen, Warner, dan Smith).
Dalam proses pembentukan identitas, individu mengembangkan keterlibatan
secara emosional dengan orang lain. Individu perlu merasakan bahwa orang lain
memberi perhatian kepadanya dan berpikir bahwa dirinya memiliki arti. Proses ini
berlangsung sejak bayi. Bagi anak-anak, interaksi dengan orang tua (ibu) atau
orang dewasa lain, membuat anak belajar merasakan keterlibatan orang lain,
kedekatan, kehangatan psikologis, dan ikatan emosional. Dari pengalaman
tersebut, anak belajar bagaimana menerima dan memberi kasih sayang, dan
belajar bahwa dirinya memiliki arti bagi orang lain dan orang lain juga berarti
bagi dirinya.
Bila sejak kecil anak tidak merasakan bagaimana menerima dan memberi kasih
sayang, pada tahap kehidupan berikutnya, ia mengalami kesulitan dalam
mencintai, memberi kasih sayang atau belajar bagaimana ia berarti bagi dirinya
juga bagi orang lain. jika kebutuhan psikologisnya sejak awal tidak terpenuhi,
maka seseorang tidak mendapatkan pengalaman belajar bagaimana memenuhi
kebutuhan psikologisnya atau orang lain. belajar bagaimana bertingkah laku yang
bertanggung jawab merupakan hal yang sangat penting bagi perkembangan anak
untuk mencapai “identitas sukses”. Anak memperolehnya dengan dengan terlibat
pada berbagai aktivitas yang memenuhi kebutuhannya melalui interaksi dengan
orang tua yang bertanggung jawab, yaitu yang menunjukkan keterlibatan dalam
pengasuhan anaknya dengan menjadi model, melatih kedisiplinan, dan mencintai,
dan sebagainya.
Dapat dirumuskan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:
1. Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya.
2. Tingkah laku seseorang merupakan upaya mengontrol lingkungan untuk
memenuhi kebutuhannya.
3. Individu ditantang untuk mengahadapi realita tanpa memperdulikan
kejadian-kejadian di masa lalu, serta tidak memberi perhatian pada sikap dan
motivasi di bawah sadar.
4. Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.
D. Konsep Dasar
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya, masing-masing individu juga memiliki kebutuhan yang beragam,
dimana kebutuhan tersebut bersifat unik pada masing-masing individu, dan tentu
saja keinginan atau kebutuhan tersebut terkadang berbeda dengan individu yang
lain.
Ketika seseorang dapat memenuhi apa yang diinginkan, kebutuhan tersebut
terpuaskan dan tentu saja ia akan merasa senang. Tetapi, jika apa yang
diperolehnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan dan sangat bertolak
belakang dari apa yang dibutuhkan, maka orang tersebut akan frustasi, dan pada
akhirnya akan terus memunculkan perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan
dan merasa benar-benar terpenuhi.
Artinya, ketika timbul perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang
diperoleh, membuat individu terus memunculkan perilaku-perilaku yang spesifik,
yang membuatnya terlihat berbeda dengan yang lain.
Jadi, perilaku yang dimunculkan oleh masing-masing individu ada tujuannya,
yaitu dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan dengan apa
yang diperoleh, atau muncul karena dipilih dan diinginkan sendiri oleh individu.
Perilaku manusia merupakan perilaku total (total behavior), atau perilaku
sepenuhnya yang terdiri dari doing (melakukan), thinking (berpikir), feeling
(Merasakan) dan psysiology (fisiologis).
Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah perilaku yang bertujuan dan
dipilih sendiri, maka Glasser menyebutnya dengan teori kontrol.
E. Teori Kontrol
Penerimaan terhadap realita, menurut Glasser harus tercermin dalam perilaku total
yang mengandung empat komponen, yaitu: berbuat (doing), berfikir (thinking),
merasakan (feeling), dan menunjukkan respon-respon fisiologis (physiology).
Seperti halnya keempat roda mobil membawa arah mobil berjalan, demikian
halnya keempat komponen dari total behavior tersebut menetapkan arah hidup
individu.
Glasser menjelaskan bahwa hal ini secara langsung dapat mengubah cara kita
merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang
sangat sulit dilakukan. Kunci untuk mengubah perilaku total terletak pada
pemilihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu,
reaksi dan respon fisiologis termasuk dalam proses tersebut.
Ketika seseorang berhasil memenuhi kebutuhannya, menurut Glasser orang
tersebut mencapai identitas sukses. Pencapaian identitas sukses itu terikat pada
konsep 3R, yaitu keadaan dimana individu dapat menerima kondisi yang
dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan total behavior (perilaku total) yakni
melakukan sesuatu, berfikir, merasakan, dan menunjukkan respon-respon
fisiologis secara bertanggung jawab, sesuai realita, dan benar.
F. Konsep 3R
Dalam Bassin (1976:83-85) Glasser menggambarkan konsep ini sebagai berikut:
a. Responsibility (tanggung jawab)
Kemampuan individu untuk memnuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang
lain.
b. Reality (kenyataan)
Kemampuan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi
kebutuhannya. Setiap individu harus memenuhi bahwa ada dunia nyata, dimana
mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi
masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan
yang ada dan apa adanya.
c. Right (kebenaran)
Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara umum, sehingga
tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu
mengevaluasi diri dan sendiri bila melakukan sesuatu melalui perbandingan
tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang
diterima secara umum.
G. Proses Konseling
Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada
perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, klien ditekankan untuk melihat perilaku
yang dapat diamati dari pada motif-motif bawah sadarnya.
Dengan demikian klien dapat menyadari serta mengevaluasi apakah perilakunya
tersebut cukup efektif dalam memnuhi kebutuhannya atau tidak. Jika dirasa
perilaku-perilaku yang ditampilkan tidak membuat klien merasa puas, maka
konselor mengarahkan klien/konseli untuk melihat peluang-peluang yang dapat
dilakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Perilaku
yang bertanggung jawab merupakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan
kenyataan yang dihadapi, oleh Glasser disebut penerimaan terhadap realita.
Dengan demikian dapat konseli menyelesaikan tekanan-tekanan dan permasalahan
yang dialaminya.
Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke
penerimaan realitas yang terjadi selama proses konseling adalah:
1. Konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang
dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Di sini klien/konseli
terdorong untuk mengenali dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan
untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah apa yang diinginkan, konseli lalu
mengevaluasi apakan yang ia lakukan ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut.
2. Konseli fokus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan
masa lalu. Tahap ini merupakan kesadaran konseli untuk memahami bahwa
kondisi yang dialaminya bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudia
mereka mulai menentukan alternatif apa yang harus dilakukan. Dimana
klien dituntut untuk mengubah perilaku secaara total, tidak hanya sikap dan
perasaan, namun juga pikiran dan tindakan mereka.
3. Konseli/klien diharapkan mampu untuk mengevaluasi perilakunya,
merupakan kondisi dimana ia harus membuat penilaian tentang apa yang
telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan sistem nilai yang berlaku
dimasyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya atau
sebaliknya, apakah realistis atau dapat dipercaya.
4. Konseli mulai merencanakan perubahan yang dikehendakinya dan
komitmen terhadap apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang
ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan klien/konseli, bersifat konkrit
atau jelas pada bagian mana dari perilakunya sendiri yang akan diubah,
realistis dan melibatkan perbuatan positif. Rencana itu juga harus dilakukan
dengan segera dan berkesinambungan.
H. Tahap-tahap Konseling
Proses konseling dalam pendekatan realistis berpedoman pada dua unsur utama
yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang
menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada klien/konseli.
Secara praktis, Thompson, et. Al. Mengemukakan delapan tahap dalam konseling
realita:
1. Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli (be friend)
Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan bersikap otentik, hangat,
dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor harus
dapat melibatkan diri pada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan
ramah. Dengan demikian konseli akan terbuka dan bersedia menjalani proses
konseling jika ia merasakan konselor/guru Bknya terlibat, bersahabat, dan dapat
dipercaya.
Konselor juga perlu menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli.
Koinseling realistis selalu berpedoman bahwa perilaku total (total behavior)
hampir selalu dipilih. Karenanya, tingkah laku yang lebih efisien dan lebih
membantu diperlukan bagi konseli yang sedang menghadapi masalah.
2. Fokus Pada Perilaku Sekarang
Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor
menanyakan kepada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua
ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan
ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu
konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan
dalam menghadapi kondisi tersebut.
Secara rinci, tahap ini meliputi:
a) Eksplorasi “picture album” (keinginan), kebutuhan, dan persepsi
b) Menanyakan keinginan-keinginan konseli
c) Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli
d) Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang apa yang diinginkan
orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaian konseli melihat hal tersebut.
Pada tahap kedua ini juga konselor perlu mengatakan kepada konseli apa yang
dapar dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari konseli, dan bagaimana
konselor melihat situasi tersebut, kemudian membuat komitmen untuk konseling.
3. mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan
secara spesivik apa saja yang dilakukan konseli, cara pandang dalam konseling
Realita, akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan
pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia
mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang
harus diatasi bukan kecemasan konseli, tapi hal-hal apa saja yang telah
dilakukannya untuk menghadapi ujian.
4. Konseli Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan
perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi
konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tapi membimbing
konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk
mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
5. Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan
masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan
membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggungjawab. Rencana yang
disusun sifatnya spesifik dan konkret. Ha-hal apa yang akan dilakukan konseli
untuk keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinaya.
6. Membuat Komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya
bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
7. Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah
disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan
perubahan perilaku konseli.
Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah
direncanakannya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk
dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali
rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor
selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil
ia lakukan.
Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan dengan kata
“mengapa” sebab kecendrungannya konseli akan bersikap defensif dan mencari
alasan. Konselor juga tidak memberikan hukuman, mengkritik, dan berdebat,
tetapi adapkan konseli dengan konsekuensi, menurut Gleser, memberikan
hukuman akan mengurangi keterlibatan konseli dan menyebabkan ia merasa lebih
gagal.
8. Tindak Lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseling mengevaluasi
perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan
yang telah ditetapkan belum dicapai.
I. Tujuan Konseling
Layanan konseling ini bertujuan menbantu konseli mencapai identitas berhasil.
Konseli yang mengetahui identitasnya, akan mengetahui langkah-langkah yang
akan ia lakukan dimasa yang akan lakukan dimasa yang akan datang dengan
segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan kembali pada
kenyataan hidup. Sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realitas.
J. Peran dan Fungsi Konselor
Fungsi konselor dalam pendekatan realitas adalah melibatkan diri dengan konseli,
bersikap direktif dan ditaktif, yaitu berperan seperti guru yang mengarahkan dan
dapat saja mengkonfrontasi, sehingga konseli mampu menghadapi kenyataan. Di
sini, terapis sebagai fasilitataor yang membantu. konseli agar bisa menilai tingkah
lakunya sendiri secara realistis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendekatan Realitas adalah suatu standar atau patokan obyektif, yang menjadi
kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas atau kenyataan itu dapat
berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial, atau realitas moral. Yang paling
sering disoroti pada seseorang adalah tingkah lakunya yang nyata. Tingkah laku
itu dievaluasi menurut kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan realitas yang ada,
dengan menitikberatkan tanggung jawab yang dipikul setiap orang untuk
berprilaku sesuai dengan realitas yang dihadapi.
B. Saran
Bertanggung jawab merupakan hasil dari aneka usaha belajar memenuhi
kebutuhan kitadalam realita hidup, yang menghadapkan kita pada norma-norma
realitas, adat istiadat sosial, nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak-gerik
yang lain. Oleh karena itu janganlah kita memiliki keinginan bertindak sesuka
hati, hendaklah kita menunjukkan tingkah laku yang tepat dan menghindari
tingkah laku yang salah. Tugas kita sebagai seorang konselor hendaklah
membantu dalam proses konseling untuk menilai tingkah laku klien dari sudut
bertindak secara bertanggung jawab. Dengan demikian, proses konseling akan
menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri dan, dimana perlu, menggantikan
tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
http://bimbingannews.blogspot.com/2012/12/pendekatan-konseling-realistis.html
Latipun. 2003. Psikologi Konseling. Malang : Universitas Muhammadiyah Malang.Corey. Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. (Semarang
press,1995,SEMARANG)
top related