amiodaron kelompok2 mfk 2013

64
MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN PENGGUNAAN AMIODARON PADA TERAPI ARITMIA Oleh: Kelompok 2 Dewi Septiyaningrum (051315153015) Iski Weni Pebriarti (051315153020) Ratna Nisa’ Anggraini (051315153022) Nevada Darari Farahiyah (051315153028) MAGISTER FAMASI KLINIK FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2013

Upload: nevada-farahiyah

Post on 01-Jul-2015

882 views

Category:

Health & Medicine


4 download

DESCRIPTION

pharmacy

TRANSCRIPT

Page 1: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN

PENGGUNAAN AMIODARON PADA TERAPI ARITMIA

Oleh:

Kelompok 2

Dewi Septiyaningrum (051315153015)

Iski Weni Pebriarti (051315153020)

Ratna Nisa’ Anggraini (051315153022)

Nevada Darari Farahiyah (051315153028)

MAGISTER FAMASI KLINIK

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2013

Page 2: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Amiodaron telah dikembangkan secara orisinil sebagai suatu agen antiangina

di Belgium (Labaz Inc.) pada tahun 1962. Kemudian kemampuan amiodaron

sebagai antiaritmia diobservasi. Pada awalnya investigasi penggunaan amiodaron

sebagai antiangina dan antiaritmia dapat diterima secara luas di Eropa dan

Amerika Selatan. Sediaan oral (200 mg/tablet) diterima baik oleh FDA (Food and

Drug Administration) untuk pengunaan di USA pada tahun 1985, dan

diindikasikan sebagai terapi untuk pasien dewasa dengan ventrikular aritmia di

mana terapi lain tidak efektif atau tidak ditoleransi dengan baik. Amiodaron

intravena disetujui oleh FDA pada tahun 1995 untuk indikasi yang sama

(Herendael and Dorian, 2010). Meskipun penggunaan amiodaron telah disetujui

oleh FDA sebagai salah satu terapi dari aritmia, amiodarone memiliki beberapa

macam efek simpang termasuk diantaranya adalah fotosensitivitas, hipotiroid dan

hipertiroid, toksisitas pulmoner, dan lain-lain (Vasallo and Trohman, 2007).

Ilmuan Argentina mulai menggunakan amiodaron untuk mengatasi aritmia

yang resisten sekitar tahun 1970. Meskipun indikasi amiodaron terbatas,

amiodaron adalah salah satu obat yang seringkali banyak diresepkan khusus

sebagai obat antiaritmia di Amerika Serikat (Vasallo and Trohman, 2007).

Amiodaron telah banyak digunakan dalam manajemen aritmia supraventrikular

dan ventrikular dan telah menjadi salah satu obat yang paling sering digunakan

sebagai obat antiaritmia dalam praktik klinik (Herendael and Dorian, 2010).

Amiodaron merupakan obat antiaritmia dengan beberapa aksi menguntungkan

yang cukup potensial dan telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian skala kecil.

Tinjauan evaluasi dan terapi diperlukan pada pasien aritmia berdasarkan

penelitian-penelitian yang mengarah pada penggunaan amiodaron terhadap pasien

aritmia sehingga diperoleh informasi tentang kondisi farmakologi klinik pasien

dan kejadian tertentu yang dialami pasien yang menunjang penggunaan

amiodaron baik sebagai terapi pengobatan maupun pencegahan beberapa jenis

aritmia.

Page 3: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

1.2 Tujuan

• Mengetahui definisi, penyebab dari aritmia beserta manajemen terapinya

secara umum.

• Mengetahui penggunaan amiodaron terhadap jenis aritmia dan kondisi

tertentu berdasarkan evidence base.

• Mengetahui indikasi, kontraindikasi, mekanisme dan farmakodinamik-

farmakokinetik dari amiodaron secara umum dan berdasarkan evidence

base.

• Mengetahui efek simpang amiodaron dan interaksinya dengan obat lain

atau makanan tertentu.

Page 4: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

BAB 2

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ARITMIA

2.1 Aritmia Jantung

2.1.1 Definisi Aritmia Jantung

Fungsi jantung dilatarbelakangi oleh kegiatan mekanik maupun listrik di

mana aktivitas mekanis jantung (kontraksi atrium dan ventrikel) terjadi sebagai

akibat dari aktivitas listrik jantung. Kontraksi miokard secara normal tidak bisa

terjadi tanpa adanya fungsi yang tepat dan normal dari sistem konduksi listrik

jantung. Depolarisasi listrik dari atrium menghasilkan kontraksi atrium, dan

depolarisasi ventrikel diikuti oleh kontraksi ventrikel. Malfungsi sistem konduksi

listrik jantung dapat mengakibatkan disfungsional kontraksi atrium dan/atau

ventrikel (Tisdale, 2008).

Aritmia adalah kelainan laju denyut jantung atau irama jantung yang

disebabkan oleh gangguan pembentukan (abnormal automaticity, triggered

automaticity) atau konduksi impuls (re-entry) atau kombinasinya (Aaronson &

Ward, 2007).

2.1.2 Penyebab Aritmia Jantung

Secara umum, aritmia jantung disebabkan oleh beberapa kondisi berikut:

a. Gangguan Induksi Impuls Otomatisasi Abnormal

Semua bagian dari sistem pengonduksi jantung menunjukkan

depolarisasi fase 4 spontan (otomatisasi), sehingga merupakan suatu

pacemaker laten atau potensial. Karena pacemaker pada SA node

memiliki denyut yang sangat tinggi (70-80 kali/menit) makan SA node

menyebabkan supresi yang berlebihan yang menghasilkan letupan

impuls pada AV node dan serabut Purkinje. Bila terjadi iskemia,

hipokalemia, pelepasan ketokolamin dapat mengakibatkan peningkatan

otomatisasi pada pacemaker laten ini sehingga menyebabkan dominasi

dari SA node yang mengakibatkan aritmia. Selain itu, sel – sel otot

jantung yang dalam keadaan normal bukan merupakan pacemaker laten,

bila potensial membran mengalami depolarisasi yang sesuai maka akan

Page 5: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

terjadi pembentukan inisiasi impuls relatif dan aritmia (Aaronson &

Ward, 2007; Loscarzo, 2010).

Phases 0–4 are the rapid upstroke, early repolarization, plateau, late repolarization, and diastole respectively.A ventricular action potential with a schematic of the ionic currents flowing during the phases of the action potential. Potassium current (IK1) is the principal current during phase 4 and determines the resting membrane potential of the myocyte. Sodium current generates the upstroke of the action potential (phase 0), activation of Ito with inactivation of the Na current inscribes early repolarization (phase 1). The plateau phase (2) is generated by a balance of repolarizing potassium currents and depolarizingcalciumcurrent. Inactivation of the calcium current with persistent activation of potassium currents (predominantly Ikr and IKs) cause phase 3 repolarization.

Gambar 2.1.1 Ventrikular aksi potensiasi (Loscarzo, 2010)

b. Gangguan Induksi Impuls: Otomatisasi yang Terpicu (Triggered

Automaticity)

Triggered automaticity dapat terjadi karena after depolarization yaitu

osilasi pada potensial membran yang terjadi selama atau setelah

tepolarisasi. Osilasi yang cukup besar dan mencapai ambang batas

potensial aksi dapat menginisiasi denyut jantung, bila berulang akan

menyebabkan aritmia secara langsung atau memicu re-entry.

After depolarization terdapat dua macam yaitu early after

depolarization (EAD) dan delayed after depolarization (DAD). EAD

terjadi selama fase plateu terminal atau repolarisasi potensial aksi,

dimana EAD lebih mudah timbul pada serabut purkinje di miosit

ventrikel atau atrium. Sedangkan DAD terjadi setelah repolarisasi

komplit dan disebabkan oleh peningkatan CA2+ selular yang berlebihan

sehingga menyebabkan aritmia (Aaronson & Ward, 2007; Loscarzo,

2010).

Page 6: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Gambar 2.1.2 Skema EAD dan DAD (Loscarzo, 2010)

c. Konduksi Impuls: Re-entry

Re-entry terjadi bila impuls yang ditunda pada regio miokardium

mengeksitasi kembali area miokardium disekitarnya lebih dari satu kali.

Re-entry membutuhkan kondisi :

a) Harus terdapat siklus anatomis dimana impuls dapat bersirkulasi

mengelilinginya. Siklus ini dapat menggunakan konduksi paralel

antara 2 cabang serabut purkinje atau AV node dan konduksi

atrioventrikular aksesoris

b) Konduksi impuls pada suatu titik dalam sirkulasi harus cukup

lambat untuk meningkatkan regio di depan impuls pulih dari

keadaan refrakter (regio ini disebut excitable gap)

c) Sirkuit juga harus mencangkup suatu zona blokade satu arah, yaitu

konduksi diblokade pada satu arah sedangkan sisi lain tidak

diblokade.

(Aaronson & Ward, 2007; Loscarzo, 2010).

Page 7: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Gambar 2.1.3. Diagram mekanisme re-entry (Loscarzo, 2010)

2.1.3 Terapi Aritmia Jantung

2.1.3.1 Kalsifikasi Obat Antiaritmia

Klasifikasi obat antiaritmia berdasarkan Vaughan - Williams,

pertama kali dijelaskan pada tahun 1970 dan yang kemudian diaplikasikan

secara meluas. Klasifikasi ini didasarkan pada efek obat tertentu pada

kecepatan konduksi ventrikel, repolarisasi/refractoriness dan otomatisitas.

Obat kelas I, adalah agen yang memblokir saluran natrium, terutama bekerja

menghambat otomatisitas ventrikel dan memperlambat kecepatan konduksi.

Namun, karena perbedaan potensi obat untuk memperlambat kecepatan

konduksi, obat golongan I dibagi lagi menjadi kelas IA, IB, dan IC. Obat-

obatan kelas IC memiliki potensi terbesar untuk memperlambat konduksi

ventrikel, obat kelas IA memiliki potensi menengah, dan obat kelas IB

memiliki potensi terendah, namun efeknya minimal terhadap kecepatan

konduksi. kelas II merupakan obat adrenergik inhibitor reseptor β (β-

blocker), obat kelas III adalah obat yang menghambat repolarisasi ventrikel

atau memperpanjang refractoriness, dan obat-obatan kelas IV adalah

Calcium Channel Blockers (CCB), diltiazem dan verapamil.

Klasifikasi obat antiaritmia Vaughan - Williams (Tabel 2.3.1)

Page 8: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

memperoleh kritik karena sejumlah alasan. Klasifikasi didasarkan pada efek

obat pada kondisi normal, bukan pada kondisi sakit, miokardium. Selain itu,

banyak dari obat tersebut dapat ditempatkan ke dalam lebih dari satu kelas.

Misalnya obat kelas IA, memperpanjang repolarisasi/refractoriness baik

melalui bahan aktif obat maupun bentuk metabolit aktif, dan karena itu juga

dapat ditempatkan di kelas III. Sotalol juga β-blocker, dan oleh karena itu

juga sesuai bila ditempatkan pada kelas II. Amiodarone menghambat

saluran sodium dan kalium, adalah inhibitor non-kompetitif reseptor β, dan

menghambat saluran kalsium, dan karenanya dapat ditempatkan ke beberapa

kelas. Namun, meskipun telah diupayakan untuk mengembangkan

klasifikasi obat berbasis mekanisme yang lebih baik dalam membedakan

tindakan obat antiaritmia, klasifikasi Vaughan–Williams terus digunakan

secara luas karena kesederhanaan dan fakta bahwa klasifikasi tersebut relatif

mudah diingat dan dipahami.

Tabel 2.3.1 Klasifikasi Vaughan Williams dari Obat Antiaritmia

Kelas

Obat Kecepatan Konduksi

Repolarisasi/ Refractoriness

Automatisitas

IA Quinidine ↓ ↑ ↓ProcainamideDisopyramide

IB Lidocaine 0/↓ ↓/0 ↓MexiletineTocainide

IC Flecainide ↓↓ 0 ↓MoricizinePropafenon

II β-blockersa 0 0 0AcebutololAtenololBetaxololBisoprololCarteololCarvedilolb

EsmololLabetalolMetoprololNadololPenbutololPindololPropanololTimolol

III Amiodaronec 0 ↑ 0Dofetilide

Page 9: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

IbutilideSotalol

IV CCBa 0 0 0DiltiazemVerapamil

2.1.3.2 Terapi Obat Berdasarkan Jenis Aritmia

Secara umum, aritmia jantung diklasifikasikan ke dalam dua

kategori besar, yaitu supraventrikular (yang terjadi di atas ventrikel) dan

ventrikel (yang terjadi dalam ventrikel). Nama-nama dari jenis aritmia

tertentu umumnya terdiri dari dua kata. Kata pertama menunjukkan lokasi

kelainan elektropsikologi yang mengakibatkan aritmia (sinus, AV node,

atrium, atau ventrikel), dan kata kedua menjelaskan aritmia dalam batasan

denyut jantung lambat (bradikardi) atau cepat (takikardi), ataupu jenis

aritmia (blok, fibrilasi, atau flutter).

• Aritmia Supraventrikular

a. Sinus Bradycardia

Sinus bradikardi adalah aritmia yang berasal dari SA node, ditentukan

oleh kecepatan denyut kurang dari 60 denyut per menit (bpm).

Pengobatan sinus bradikardi hanya diberikan pada pasien yang

mengalami gejala. Jika pasien mendapat obat yang dapat menyebabkan

sinus bradikardi, obat harus dihentikan bila memungkinkan. Jika pasien

tetap sinus bradikardi setelah penghentian obat dan setelah lima kali

waktu paruh obat berlalu, maka obat biasanya dapat ditetapkan bukanlah

sebagai etiologi aritmia. Dalam keadaan tertentu, penghentian obat

mungkin tidak diinginkan, sekalipun mungkin menjadi penyebab sinus

bradikardia simptomatik. Sebagai contoh, jika pasien memiliki riwayat

infark miokard atau HF, penghentian dari β-blocker tidak diinginkan,

↑, peningakatan/perpanjangan; ↓, penurunan; 0/↓, tidak ada perubahan atau mungkin terjadi penurunan; ↓/0, penurunan atau tidak ada perubahan*Adenosine dan digoxin adalah agen yang digunakan untuk manajemen aritmia yang tidak sesuai dengan klasifikasi Vaugan WilliamsaMemperlambat konduksi, perpanjangan periode refraktori, menurunkan automatsisitas pada jaringan SA node dan AV node, tetapi tidak pada ventrikelbKombinasi α dan β blokercAmiodarone memperlambat kecepatan konduksi dan menghambat automatisasi

Page 10: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

karena β–blocker telah terbukti mengurangi angka kematian dan

memperpanjang hidup pasien tersebut, dan manfaat dari terapi dengan β-

blocker lebih besar daripada risiko yang terkait dengan sinus bradikardi.

Pada pasien ini, alat pacu jantung permanen mungkin digunakan untuk

memungkinkan kondisi pasien dalam mempertahankan terapi dengan β-

blocker.

Pengobatan akut pada pasien dengan simptom terutama terdiri dari

administrasi obat antikolinergik atropin, yang dapat diberikan dalam

dosis 0,5 mg intravena (IV) setiap 3 sampai 5 menit. Total dosis

maksimum atropin yang dianjurkan adalah 3 mg, namun dosis total ini

tidak boleh diberikan kepada pasien dengan sinus bradikardi, melainkan

lebih ditujukan untuk pasien dengan cardiac arrest karena asystole,

sebagai inhibisi vagal lengkap total dosis 3 mg dapat meningkatkan

kebutuhan oksigen miokard dan iskemia endapan atau takiaritmia pada

pasien dengan Coronary Artery Disease (CAD) sebagai kondisi yang

mendasarinya. Oleh karena itu, untuk pengelolaan sinus bradikardi, dosis

maksimum atropin harus sekitar 2 mg. Pada pasien dengan hemodinamik

tidak stabil atau sinus bradikardi simptomatik berat yang tidak responsif

terhadap atropin dan yang sering kambuh atau transvenous tidak tersedia

atau tidak efektif, epinefrin (2 sampai 10 mcg/menit, titrasi berdasarkan

respon) dan/atau dopamin (2 sampai 10 mcg/kg/menit) dapat diberikan.

Kedua obat tersebut merangsang reseptor α dan β adrenergik. Pada

pasien dengan sinus bradikardi yang disebabkan karena gangguan yang

mendasar (seperti kelainan elektrolit atau hipotiroidisme), manajemen

terapi dilakukan dengan cara memperbaiki gangguan tersebut.

b. AV Nodal Blockade

Insiden dari blokade AV node tidak diketahui. Blokade AV node mungkin

disebabkan oleh perubahan degeneratif di AV node. Pengobatan blokade

AV node tingkat/derajat pertama jarang diperlukan, karena gejala jarang

terjadi. Namun, EKG dari pasien dengan blokade AV node derajat

pertama harus dipantau untuk menilai kemungkinan perkembangan

blokade AV node derajat pertama menjadi derajat kedua ataupun ketiga.

Page 11: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Blokade AV node derajat ketiga membutuhkan perawatan, karena

bradikardi biasanya memunculkan gejala. Jika pasien mendapat obat

yang dapat menyebabkan sinus bradikardi, obat harus dihentikan bila

memungkinkan. Jika pasien tetap sinus bradikardi setelah penghentian

obat dan setelah lima kali waktu paruh obat berlalu, maka obat biasanya

dapat ditetapkan bukanlah sebagai etiologi aritmia. Dalam keadaan

tertentu, penghentian obat mungkin tidak diinginkan, sekalipun mungkin

menjadi penyebab sinus bradikardia simptomatik.. Sebagai contoh, jika

pasien memiliki riwayat infark miokard atau HF, penghentian dari β-

blocker tidak diinginkan, karena β–blocker telah terbukti mengurangi

angka kematian dan memperpanjang hidup pasien tersebut, dan manfaat

dari terapi dengan β-blocker lebih besar daripada risiko yang terkait

dengan sinus bradikardi. Pada pasien ini, alat pacu jantung permanen

mungkin digunakan untuk memungkinkan kondisi pasien dalam

mempertahankan terapi dengan β-blocker.

Pengobatan akut pada pasien yang mengalami blokade AV node dengan

derajat kedua atau ketiga terutama terdiri dari administrasi atropin, yang

dapat diberikan dalam dosis yang sama seperti yang direkomendasikan

untuk pengelolaan sinus bradikardi. Pada pasien dengan hemodinamik

tidak stabil atau blokade AV node dengan simptomatik berat yang tidak

responsif terhadap atropin dan yang sering kambuh atau transvenous

tidak tersedia atau tidak responsif, epinefrin (2 sampai 10 mcg/menit,

titrasi berdasarkan respon) dan/atau dopamin (2 sampai 10

mcg/kg/menit) dapat diberikan. Kedua obat tersebut merangsang reseptor

α dan β adrenergik. Pada pasien blokade AV node dengan derajat kedua

atau ketiga yang disebabkan karena gangguan yang mendasar (seperti

kelainan elektrolit atau hipotiroidisme), manajemen terapi dilakukan

dengan cara memperbaiki gangguan tersebut.

c. Atrial Fibrillation

Fibrilasi atrium (AF) adalah aritmia yang paling umum ditemui dalam

praktek klinis. Hal ini penting bagi dokter untuk memahami AF, karena

terkait dengan substansial morbiditas dan mortalitas serta karena

Page 12: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

banyaknya strategi untuk terapi obat yang tersedia. Obat yang digunakan

untuk mengobati AF seringkali memiliki indeks terapeutik sempit dan

profil efek samping yang luas.

Atrial fibrilasi diklasifikasikan sebagai AF paroksismal, persistent, atau

permanen (Gambar 2.3.1). Pasien dengan AF paroksismal memiliki

episode yang dimulai dengan tiba-tiba dan secara spontan, beberapa

menit hingga jam, atau selama 7 hari (jarang), dan berakhir juga secara

tiba-tiba dan spontan. Beberapa pasien dengan AF paroksismal memiliki

episode yang tidak berhenti secara spontan namun memerlukan

intervensi, dan ini dikenal sebagai AF persisten. Kira-kira sepertiga dari

pasien AF selanjutnya akan mengalami perkembangan menjadi AF

permanen, pasien ini seringkali berada pada kondisi ritme sinus yang

tidak normal, cenderung selalu mengalami AF.

Atrial fibrilasi dikaitkan dengan substansial morbiditas dan mortalitas.

Atrial fibrilasi dikaitkan dengan risiko stroke iskemik sekitar 5% per

tahun. Risiko stroke meningkat dua sampai tujuh kali lipat pada pasien

dengan AF dibandingkan dengan pasien tanpa aritmia jenis ini. Atrial

fibrilasi merupakan penyebab kira-kira satu dari setiap kejadian enam

Deteksi Awal

Paroksismal 1,4

(berhenti spontan)Menetap/Persistent 2,4

(tidak berhenti spontan)

Permanen 3

Gambar 2.3.1 Klasifikasi fibrilasi atrial1 Kejadian umumnya kurang dari atau sama dengan 7 hari (kebanyakan kurang dari 24 jam)2 Kejadian yang biasanya lebih lama dari 7 hari3 Kegagalan kardioversi atau tidak dilakukan4 Baik AF paroksismal atau menetap dapat mengalami kekambuhan

Page 13: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

stroke. Selama AF, kontraksi atrium tidak ada. Oleh sebab itu, karena

kontraksi atrium bertanggungjawab dalam mengisi ventrikel kiri sekitar

30%, darah yang tidak dikeluarkan dari atrium kiri ke ventrikel kiri akan

memenuhi atrium, khususnya di atrium kiri. Darah yang terkumpul

tersebut akan memfasilitasi pembentukan trombus yang selanjutnya dapat

beredar melalui katup mitral ke kiri ventrikel dan dapat dikeluarkan

selama kontraksi ventrikel. Trombus kemudian dapat bergerak melalui

arteri carotid menuju otak, mengakibatkan stroke iskemik. Fibrilasi

atrium menyebabkan perkembangan HF, akibatnya takikardi akan

menginduksi kardiomiopati. Fibrilasi atrium meningkatkan risiko

kematian sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan pasien tanpa AF,

penyebab kematian cenderung stroke atau HF.

1. Hemodynamically Unstable AF

Pasien dengan AF yang tidak stabil secara hemodinamik, perlu

menggunakan Direct Current Cardioversion (DCC) untuk konversi

ke irama sinus dengan segera. Ketidakstabilan hemodinamik dapat

didefinisikan sebagai keberadaan setiap salah satu dari berikut: (1)

pasien telah mengalami perubahan status mental, (2) hipotensi

(tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg) atau tanda-tanda syok

yang lain, (3) ventricular rate lebih besar dari 150 bpm, dan/atau (4)

pasien mengalami nyeri dada yang dirasakan sebagai iskemia

miokard. Direct Current Cardioversion adalah proses pemberian

kejut listrik yang disinkronisasi ke dada. Tujuan DCC adalah untuk

mendepolarisasi secara bersamaan semua sel miokard,

mengakibatkan gangguan dan pemutusan beberapa sirkuit reentrant

dan pengembalian ritme sinus normal. Tingkat energi awal kejut

listrik adalah 100 Joule (J); jika tidak berhasil, upaya kardioversi

dapat dilakukan pada 200, 300, dan 360 J. Pengiriman kejut listrik

disinkronkan dengan EKG oleh mesin cardioverter, sehingga muatan

listrik tidak disampaikan pada bagian akhir gelombang T (yaitu,

periode refrakter relatif), untuk menghindari pengiriman impuls

listrik yang mungkin dikonduksi secara abnormal, yang dapat

Page 14: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

membahayakan aritmia ventrikel.

2. Hemodynamically Stable AF

a) Ventricular Rate Control

Mengontrol ventricular rate dicapai dengan menghambat

proporsi impuls listrik yang dilakukan dari atrium ke ventrikel

melalui AV node. Oleh karena itu, obat-obatan yang efektif

untuk mengontrol ventricular rate adalah obat yang

menghambat konduksi impuls AV node: β-blocker, diltiazem,

verapamil, dan digoxin (Tabel 2.3.2). Amiodarone juga

menghambat konduksi AV node, namun tidak disukai untuk

mengontrol ventricular rate pada AF karena profil efek samping

obat yang tidak menguntungkan.

Pada pasien yang terdeteksi mengalami AF untuk kali pertama,

atau bagi pasien yang mengalami AF persisten, kontrol

ventricular rate awalnya biasa dicapai dengan menggunakan

obat intravena. Sebuah algoritma keputusan dalam memilih obat

tertentu untuk kontrol ventricular rate akut disajikan pada

Gambar 2.3.2. Secara umum, diltiazem IV adalah obat pilihan

untuk mengontrol ventricular rate pada pasien dengan fungsi

ventrikel kiri normal dan sering dapat dicapai dalam beberapa

menit. Pada pasien dengan HF karena disfungsi LV, digoxin

mungkin lebih disukai karena diltiazem dikaitkan dengan efek

inotropik negatif dan mungkin memperburuk HF. Namun, pada

pasien HF dengan gejala yang substansial sehingga tidak

diinginkan untuk menunggu efek digoksin yang baru terjadi

setelah 4 sampai 6 jam, diltiazem IV mungkin digunakan sampai

24 jam tanpa menginduksi terjadinya eksaserbasi HF pada

kebanyakan pasien.

Tabel 2.3.2 Obat untuk Mengendalikan Venticular Rate pada AF

Page 15: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Sebuah strategi keputusan untuk pengendalian laju jangka

Gambar 2.3.2 Algoritma Keputusan untuk Mengontrol Ventricular Rate Menggunakan Terapi Obat Intravena untuk Pasien yang Kali Pertama Mengalami AF atau AF Menetap dengan Hemodinamik Stabil*Diltiazem umumnya lebih dipilih daripada verapamil karena resiko yang lebih rendah terhadap hipotensi berat**Diltiazem intravena dapat digunakan dengan hati-hati hingga 24 jam pada pasien non DHF

Page 16: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

panjang pada pasien dengan paroksismal atau permanen AF

disajikan pada Gambar 2.3.3. Secara umum, digoxin efektif

untuk pengendalian ventricular rate pada saat pasien istirahat,

tetapi kurang efektif bila dibandingkan CCB atau β–blocker

untuk mengontrol ventricular rate pada pasien yang menjalani

aktivitas fisik, termasuk aktivitas sehari-hari. Hal ini mungkin

karena aktivasi sistem saraf simpatik selama latihan dan

aktivitas fisik akan menutupi efek stimulasi dari digoxin

terhadap sistem saraf parasimpatis. Oleh karena itu, pada pasien

dengan fungsi LV yang normal, CCB atau β-blocker lebih

disukai untuk mengontrol ventricular rate jangka panjang.

Diltiazem mungkin lebih dipilih daripada verapamil pada pasien

yang lebih tua karena insiden dari konstipasi yang lebih rendah.

Namun, pada pasien dengan HF, diltiazem oral dan verapamil

merupakan kontraindikasi akibat aktivitas inotropik negatif yang

dimilikinya dan cenderung memperburuk HF. Oleh karena itu,

obat yang disarankan pada populasi ini adalah β-blocker atau

digoxin. Mayoritas pasien HF menerima terapi β-blocker oral

dengan tujuan untuk mencapai penurunan angka kematian. Pada

pasien dengan HF yang mengalami perkembangan cepat

menjadi AF saat menerima terapi β-blocker, terapi dengan

digoxin harus diberikan dengan tujuan untuk mengontrol

ventricular rate. Untungnya, penelitian telah menemukan

kombinasi digoxin dan β-blocker efektif untuk pengendalian

ventricular rate, dimungkin karena akibat dari penekanan efek

penghambatan dari sistem saraf simpatik pada efikasi dari

digoxin.

Page 17: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Gambar 2.3.3 Algoritma Keputusan untuk Mengendalikan Ventricular Rate Jangka Panjang dengan Terapi Obat Oral pada Pasien dengan AF paroksismal atau permanen.

b) Conversion to Sinus Rhytm

Conversion to Sinus Rhythm Termination dari AF pada pasien

yang stabil secara hemodinamik dapat dilakukan dengan

menggunakan terapi obat antiaritmia atau DCC elektif. Obat-

obatan yang dapat digunakan untuk konversi ke irama sinus

disajikan pada Tabel 2.3.3; agen ini memperlambat kecepatan

konduksi atrium dan/atau memperpanjang refrakter,

memfasilitasi gangguan sirkuit reentrant dan memulihkan irama

sinus. DCC umumnya lebih efektif daripada terapi obat yang

digunakan untuk konversi AF ke irama sinus. Namun, pasien

yang menjalani DCC elektif harus disedasi dan/atau dianestesi

untuk menghindari ketidaknyamanan yang terkait dengan

penghamtaran listrik 100-360 J ke dada. Oleh karena itu, penting

bahwa pasien dijadwalkan untuk menjalani DCC elektif

berpuasa dalam waktu kurang lebih 8 sampai 12 jam sebelum

pelaksanaan untuk menghindari aspirasi isi perut selama periode

sedasi/anestesi. Hal ini sering kali menjadi faktor pertimbangan

dalam membuat keputusan antara menggunakan DCC elektif

atau terapi obat untuk konversi AF ke sinus ritme. Jika pasien

datang dengan AF yang membutuhkan konversi ke sinus ritme,

dan pasien telah makan pada hari itu, maka metode

Page 18: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

farmakologis harus digunakan untuk kardioversi pada itu hari,

atau DCC harus ditunda ke hari berikutnya untuk

memungkinkan untuk jangka waktu berpuasa sebelum prosedur.

Tabel 2.3.3 Obat yang Digunakan untuk Konversi AF Menuju Ritme Normal Sinus

Strategi keputusan konversi AF ke irama sinus ditampilkan

dalam Gambar 2.3.4. Strategi keputusan kardioversi sangat

tergantung pada durasi AF. Jika permulaan terjadinya AF dalam

waktu 48 jam, konversi ke irama sinus aman dan dapat dicoba

dengan DCC elektif atau terapi obat tertentu (Gambar 2.3.4).

Namun, jika durasi kejadian AF lebih lama dari 48 jam atau jika

ada ketidakpastian mengenai durasi kejadian, dua strategi untuk

konversi dapat dipertimbangkan. Karena data menunjukkan

bahwa thrombus dapat terbentuk di atrium kiri pada kejadian AF

dalam kurun waktu 48 jam atau lebih, konversi harus ditunda

kecuali diketahui bahwa trombus atrium tidak terbentuk. Pada

masa lalu, praktik secara umum terhadap pasien AF dengan

durasi lebih dari 48 jam adalah penggunaan obat antikoagulasi

dengan warfarin untuk mempertahankan International

Normalized Ratio (INR) selama 3 minggu, kemudian setelahnya

Page 19: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

kardioversi akan dilakukan. Pasien menerima terapi

antikoagulan selama 4 minggu selama pemulihan ritme sinus.

Pada masa kini, daripada pasien AF menerima terpai

antikoagulan selama 3 minggu dirumahnya, kini telah menjadi

praktik standar di berbagai institusi untuk melakukan

Transesophageal Echocardiogram (TEE) untuk menentukan

apakah terjadi trombus pada atrium, jika trombus tidak terjadi,

DCC atau kardioversi farmakologis dapat dilakukan dalam

waktu 24 jam. Jika strategi ini dipilih, pasien harus menjalani

antikoagulasi dengan heparin IV unfractionated, dengan dosis

yang ditargetkan untuk mencapai Partial Thromboplastin Time

(PTT) 60 detik (kisaran 50 sampai 70 detik), atau terapi warfarin

(target INR 2,5; kisaran 2 sampai 3) selama beberapa hari

sebelum pelaksanaan TEE dan kardioversi. Jika tidak terbentuk

trombus selama TEE dan kardioversi berhasil, pasien harus

menjalani antikoagulan dengan warfarin (target INR 2,5; kisaran

2 sampai 3) setidaknya selama 4 minggu. Jika trombus terbentuk

selama TEE, maka kardioversi harus ditunda dan antikoagulan

harus dilanjutkan hingga batas waktu yang tidak ditetapkan.

TEE lain harus dilakukan sebelum selanjutnya dilakukan upaya

kardioversi.

Page 20: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Konversi AF ke ritme sinus biasanya dilakukan pada pasien

yang pertama kali mengalami AF atau pada pasien dengan

peristiwa AF persisten. Pada pasien dengan permanen AF,

konversi ke ritme sinus biasanya tidak dilakukan karena

kardioversi tidak mungkin berhasil, dan pada pasien tersebut

yang ritme sinusnya dapat dipulihkan, biasanya AF berulang

segera sesudahnya.

c) Maintenance of Sinus Rhytm/Reduction in the Frequency of

Episodes of Paroxysmal AF

Pada kebanyakan pasien, pemeliharaan permanen dari ritme

sinus yang menyertai kardioversi adalah tujuan yang tidak

realistis. Banyak di antara mereka, meski tidak sebagian besar,

pasien mengalami kekambuhan AF setelah kardioversi. Oleh

Gambar 2.3.4 Algoritma Keputusan untuk konversi AF ke dalam Ritme Normal Sinus

Page 21: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

karena itu, tujuan yang lebih realistis bagi kebanyakan pasien

bukanlah pemeliharaan permanen irama sinus, tetapi lebih

kepada pengurangan frekuensi terjadinya peristiwa AF

paroksismal.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian telah

dilakukan untuk menentukan apakah terapi obat untuk

pemeliharaan ritme sinus lebih disukai daripada terapi obat yang

digunakan untuk mengontrol ventricular rate. Dalam studi ini,

pasien secara acak menerima terapi berupa obat untuk

mengontrol ventricular rate atau obat untuk mengontrol ritme

(Tabel 2.3.4). Studi ini tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan dalam mortalitas pasien yang menerima terapi kontrol

ritme dibandingkan mereka yang menerima terapi kontrol

ventricular rate. Namun, pasien yang menerima terapi untuk

kontrol ritme lebih mungkin dirawat di rumah sakit dan lebih

mungkin mengalami efek samping terkait dengan penggunaan

terapi obat. Oleh karena itu, terapi obat untuk tujuan memelihara

ritme sinus atau mengurangi frekuensi episode AF harus dimulai

hanya pada pasien dengan AF paroksismal yang terus

mengalami gejala meskipun telah menerima terapi obat untuk

mengontrol ventricular rate dalam dosis maksimal yang masih

dapat ditoleransi.

Tabel 2.3.4 Obat yang Digunakan untuk Mempertahankan Ritme Sinus/ Mengurangi Frekuensi Kejadian AF

Strategi keputusan untuk terapi pemeliharaan ritme sinus

disajikan pada Gambar 2.3.5. Terapi obat untuk pemeliharaan

ritme sinus dan/atau pengurangan frekuensi kejadian AF

Page 22: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

paroksismal tidak boleh dimulai pada pasien dengan kondisi

pemeriksaan tertentu yang mendasari penyebab AF, seperti

hipertiroidisme, melainkan, penyebab yang mendasari aritmia

harus diperbaiki.

d) Stroke Prevention

Semua pasien dengan AF paroksismal, persisten, atau permanen

harus menerima terapi untuk pencegahan stroke, kecuali

terdapat kontraindikasi berupa keberadaan kondisi yang

menyertai pasien. Sebuah strategi keputusan untuk pencegahan

stroke pada AF disajikan pada Gambar 2.3.6. Pada umumnya,

kebanyakan pasien memerlukan terapi dengan warfarin,

beberapa pasien tanpa faktor risiko tambahan untuk stroke,

penggunaan aspirin mungkin diterima. Bagi beberapa pasien,

pertimbangan serius dari manfaat warfarin bila diperbandingkan

dengan risiko perdarahan yang berhubungan dengan terapi

warfarin sangat diperlukan. Potensi risiko pendarahan yang

terkait dengan warfarin bisa melebihi manfaat pemakaian

warfarin pada pasien dengan INR pretreatment lebih besar dari

2,0, alkoholisme, antisipasi dari kurangnya kepatuhan pasien,

riwayat jatuh, atau saat terjadinya perdarahan diatesis. Dalam

situasi ini, risiko pendarahan pasien yang berhubungan dengan

Gambar 2.3.5 Algoritma Keputusan untuk Mempertahankan Ritme Sinus/Mengurangi Frekuensi Kejadian AF

Page 23: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

warfarin dinilai parah, termasuk risiko perdarahan intraserebral,

yang mungkin dikaitkan dengan sebagaimana serius

konsekuensi yang terkait dengan stroke trombotik.

d. Paroxysmal Supraventricular Tachycardia

Paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT) adalah istilah

yang mengacu pada sejumlah aritmia yang terjadi di atas ventrikel dan

yang memerlukan jaringan atrium atau AV node untuk inisiasi dan

pemeliharaan. Yang paling umum dari aritmia ini dikenal sebagai

atrioventricular reciprocating tachycardia, di mana aritmia disebabkan

oleh sirkuit reentrant yang melibatkan AV node atau jaringan yang

berdekatan dengan AV node. Jenis lain dari PSVT yang termasuk relatif

jarang yaitu sindrom Wolff-Parkinson-White, yang disebabkan oleh

reentry melalui jalur tambahan (aksesori) ekstra-AV node. Pada

pembahasan ini, istilah PSVT akan mengacu AV nodal reentrant

tachycardia. Sebagaimana PSVT dapat dikaitkan dengan iskemia

miokard atau infark, maka hal ini sering terjadi pada individu yang relatif

muda dengan tidak ada riwayat penyakit jantung.

PSVT dengan hemodinamik tidak stabil harus ditangani segera

menggunakan DCC dengan tingkat energi awal 50 J, jika upaya DCC

tidak berhasil, kardioversi berturut-turut dilakukan pada 100, 200, 300,

Gambar 2.3.6 Algoritma Keputusan untuk Mencegah Stroke dalam AF*Faktor resiko sroke: prior transient ischemic attack atau stroke; HF; rheumatic heart valve disease; prosthetic heart valve.·¶Target INR=2,5 (rentang 2-3)

Page 24: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

dan 360 J. Metode utama penanganan PSVT dengan hemodinamik stabil

adalah penghambatan konduksi impuls dan perpanjangan periode

refraktori dalam AV node. Sejak PSVT berkembang menyebar melalui

sirkuit reentrant melibatkan AV node, penghambatan konduksi dalam

nodus AV mengacaukan/mengganggu dan mengakhiri sirkuit reentrant.

Sebelum memulai terapi obat untuk penghentian PSVT dengan

hemodinamik stabil, beberapa metode nonfarmakologi sederhana yang

dikenal sebagai vagal maneuvers dapat dicoba. Vagal maneuvers

merangsang aktivitas sistem saraf parasimpatis, yang menghambat

konduksi AV node, memfasilitasi penghentian aritmia. Vagal maneuvers

yang paling sederhana dan diharapkan adalah batuk, yang merangsang

saraf vagus. Menginstruksikan pasien untuk batuk dua atau tiga kali

mungkin dapat berhasil mengakhiri PSVT tersebut. Vagal maneuvers lain

yang dapat dicoba adalah pijat sinus karotis, salah satu karotid sinus

terletak di leher di sekitar arteri karotis, pemijatan secara lembut

merangsang aktivitas vagal. Pijat sinus karotis tidak boleh dilakukan

pada pasien dengan riwayat stroke atau transient ischemic attack, atau

pada pasien yang bising karotid dapat terdengar pada auskultasi. Valsava

maneuver, di mana pasien berusaha keras melawan glotis yang tertutup,

juga dapat dicoba.

Jika usaha vagal maneuvers tidak berhasil, terapi obat intravena harus

dimulai. Obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengatasi PSVT

dengan hemodinamik stabil disajikan pada Tabel 2.3.5.

Tabel 2.3.5 Obat-obatan yang Digunakan untuk Menghentikan Paroxysmal Superraventricular Tachycardia

Page 25: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Strategi keputusan farmakologis untuk mengatasi PSVT dengan

hemodinamik stabil disajikan pada Gambar 2.3.7. Adenosine adalah obat

farmakologis pilihan untuk penghentian PSVT dan berhasil pada 90%

sampai 95% pasien. Obat ini dikaitkan dengan efek samping termasuk

flushing, sinus bradikardi atau blokade AV node, dan bronkospasme pada

pasien yang rentan. Selain itu, adenosin dapat menyebabkan nyeri dada

yang menyerupai ketidaknyamanan pada iskemia miokard, tetapi

sebenarnya tidak terkait dengan iskemia. Waktu paruh dari adenosin

adalah sekitar 10 detik, berdasarkan reaksi deaminasi dalam darah. Oleh

karena itu, dalam sebagian besar pasien, efek samping berupa durasi

pendek. Jika terapi adenosin tidak berhasil untuk penghentian PSVT,

pilihan terapi berikutnya tergantung pada apakah pasien memiliki HF

dan/atau depresi Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF).

Page 26: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

• Ventrikular Aritmia

a. Ventricular Premature Depolarizations

Ventricular Premature Depolarizations (VPDs) adalah impuls

listrik ektopik yang berasal dari jaringan ventrikel, menghasilkan

pelebaran, kecacatan, dan komplek QRS menjadi tidak normal.

Ventricular Premature Depolarizations juga biasa dikenal dengan istilah

lain, Premature Ventricular Contractions (PVCs), Ventricular Premature

Beats (VPBs), dan Ventricular Premature Contractions (VPCs).

Ventricular Premature Depolarizations terjadi dengan frekuensi

yang variabel, tergantung pada kondisi komorbiditas. Prevalensi VPDs

adalah sekitar 33% dan 12% masing-masing pada pria dengan dan tanpa

CAD, sedangkan pada perempuan, prevalensi VPDs adalah 26% dan

12% masing-masing pada wanita dengan dan tanpa CAD. Ventricular

Premature Depolarizations terjadi lebih umum pada pasien dengan

penyakit jantung iskemik, riwayat miokard infark, dan HF karena

disfungsi LV. Mungkin terjadi juga sebagai akibat dari hipoksia, anemia,

dan bedah jantung.

Ventricular Premature Depolarizations terjadi sebagai akibat dari

otomatisitas ventrikel abnormal, sebagai akibat dari peningkatan aktivitas

sistem saraf simpatik dan perubahan karakter elektropsikologi dari hati

selama miokard iskemia dan setelah miokard infark. Pada pasien dengan

Gambar 2.3.7 Algoritma Keputusan untuk Menghentikan Takikardi Supraventrikular Paroksismal

Page 27: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

latar belakang CAD atau riwayat miokard infark, kejadian VPDs adalah

terkait dengan peningkatan risiko kematian akibat kematian jantung

mendadak.

VPDs asimtomatik sebaiknya tidak diobati dengan terapi obat

antiaritmia. Berdasarkan pengetahuan, VPDs (complex atau frequent)

meningkatkan risiko kematian jantung mendadak pada pasien dengan

riwayat infark miokard, Cardiac Arrhythmia Suppression Trials (CAST I

dan II) menguji hipotesis bahwa terapi farmakologi pada VPDs

asimtomatik dengan flecainide, encainide, atau moricizine pada pasien

dengan sejarah infark miokard akan menyebabkan pengurangan insiden

kematian. Hasil uji coba menunjukkan bahwa tidak hanya kerja dari agen

antiaritmia yang tidak mengurangi risiko kematian jantung mendadak,

namun pasien yang menerima terapi encainide atau flecainide mengalami

peningkatan risiko kematian yang signifikan bila dibandingkan dengan

mereka yang menerima plasebo. Selama penelitian dengan moricizine

diteruskan, ditemukan kecenderungan terhadap peningkatan insiden

kematian pada pasien yang memperoleh obat antiaritmia tersebut. Sebuah

studi meta-analisis berikutnya, obat kelas I lainnya dari Vaughan-

Williams, termasuk quinidine, procainamide, dan disopyramide,

menunjukkan bahwa pasien dengan VPDs komplek yang memperoleh

obat tersebut disertai infark miokard juga mengalami peningkatan risiko

kematian. Oleh karena itu, semua bukti yang tersedia menunjukkan

bahwa pasien dengan VPDs komplek yang disertai infark miokard tidak

mendapat manfaat dari terapi dengan agen antiaritmia dan kebanyakan

dari obat tersebut meningkatkan risiko kematian. Oleh karena itu, VPDs

tanpa gejala sebaiknya tidak diobati.

Pasien dengan gejala VPDs sebaiknya diterapi dengan β-blocker,

sebagaimana kebanyakan pasien dengan gejala VPDs yang memiliki latar

belakang CAD. Penggunaan β-blocker telah menunjukkan penurunan

kematian dari populasi dan telah ditunjuk sebagai supresi VPD yang

efektif.

b. Ventricular Tachycardia

Page 28: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Ventricular tachycardia adalah serangkaian tiga atau lebih VPDs

secara berturut-turut pada tingkat yang lebih besar dari 100 bpm.

Ventricular tachycardia didefinisikan sebagai non-sustained (tak

berkelanjutan) jika berlangsung kurang dari 30 detik dan berakhir secara

spontan, VT berkelanjutan berlangsung lebih lama dari 30 detik dan tidak

berakhir secara spontan, melainkan memerlukan intervensi terapetik

untuk penghentian.

Ventricular tachycardia biasanya diawali oleh VPD yang terjadi

selama periode refrakter relatif, yang memprovokasi reentry dalam

jaringan ventrikel. VT berkelanjutan memerlukan intervensi segera,

karena jika tidak diobati, ritme dapat menyebabkan kematian jantung

mendadak melalui ketidakstabilan hemodinamik dan terjadinya pulseless

VT atau melalui degenerasi dari VT ke VF.

Ventricular tachycardia dengan hemodinamik tidak stabil harus

segera diakhiri menggunakan DCC dengan 100 J dan meningkatkannya

menjadi 200, 300, dan 360 J. Pada kejadian VT di mana pasien tidak

memiliki denyut (sehingga tidak ada tekanan darah), asynchronous

defibrillation harus dilakukan, dimulai dengan 200 J dan meningkatkan

menjadi 300 dan 360 J.

Obat yang digunakan untuk mengatasi VT dengan hemodinamik

stabil disajikan pada Tabel 2.3.6. Pemberian obat intravena diperlukan.

Sebuah algoritma keputusan dalam memanajemen VT dengan

hemodinamik stabil disajikan pada Gambar 2.3.8. Amiodarone dianggap

sebagai pilihan lini pertama agen antiaritmia untuk manajemen VT,

terlepas dari pasien yang memiliki latar belakang fungsi LV. Pada pasien

dengan fungsi LV normal yang tidak merespon amiodaron, procainamide

IV dapat diberikan. Data menunjukkan efikasi yang cukup besar dari

procainamide bila dibandingkan dengan lidokain. Namun, pada pasien

dengan HF karena disfungsi LV, procainamide harus dihindari, sebab

adanya peningkatan risiko hipotensi dan merupakan obat yang dapat

menginduksi torsades de pointes serta akibat aktivitas inotropik negatif.

Tabel 2.3.6 Obat-obatan yang digunakan untuk Mengatasi Takikardi Ventrikular

Page 29: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

c. Ventricular Fibrillation

Fibrilasi ventrikel yang tidak teratur, tidak terorganisir, dan

aktivitas listrik yang kacau pada ventrikel mengakibatkan adanya

ventrikel depolarisasi, akibatnya denyut, cardiac output, dan tekanan

darah menurun.

Fibrilasi ventrikel didefinisikan sebagai fibriliasi ventrikel

hemodinamik tidak stabil adalah berdasarkan tidak adanya denyut nadi

dan tekanan darah. Manajemen awal mencakup perbekalan/perlengkapan

dasar yang menunjang kehidupan, termasuk sarana panggilan bantuan

Gambar 2.3.8 Algoritma Keputusan untuk Mengatasi Takikardi Ventrikular dengan Hemodinamik Stabil

Page 30: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

dan inisiasi Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Oksigen harus

diberikan segera setelah disiapkan. Terutama, defibrilasi harus dilakukan

sesegera mungkin. Hal ini penting untuk memahami bahwa satu-satunya

cara yang berhasil untuk mengakhiri VF dan mengembalikan irama sinus

adalah defibrilasi listrik. Defibrilasi harus dicoba menggunakan 200 J,

setelah itu CPR harus dilanjutkan segera ketika defibrilator diisi, jika

kejutan pertama tidak berhasil, defibrilasi berikutnya sebaiknya 360 J.

Jika VF menetap setelah satu atau dua kejutan defibrilasi, terapi

obat dapat diberikan. Tujuan administrasi obat dalam terapi VF adalah

untuk memfasilitasi kesuksesan defibrilasi. Terapi obat saja tidak akan

mengakibatkan penghentian VF. Obat yang digunakan untuk

memfasilitasi defibrilasi pada pasien dengan VF tercantum pada Tabel

2.3.7. Pemberian obat sebaiknya teselama CPR, sebelum atau setelah

penghantaran kejut defibrilasi. Agen vasopresor epinefrin atau vasopresin

diberikan pada awal, karena telah bahwa bahwa faktor penting dalam

keberhasilan defibrilasi adalah pemeliharaan tekanan perfusi koroner

yang dapat dicapai melalui efek vasokonstriksi dari obat tersebut. Sebuah

algoritma keputusan untuk pengobatan VF disajikan pada Gambar 2.3.9.

Epinephrine dan vasopressin sama efektifnya untuk memfasilitasi

kesuksesan defibrilasi yang memberikan harapan hidup bagi pasien yang

masuk rumah sakit dan keluar dari rumah sakit dengan kondisi cardiac

arrest karena VF.

Page 31: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Amiodarone lebih efektif dibandingkan lidokain untuk

memfasilitasi defibrilasi yang mengarah harapan hidup pasien yang

masuk rumah sakit dengan kondisi VF, hal ini merupakan alasan bahwa

administrasi amiodarone dianjurkan lebih awal dari administrasi lidokain

dalam algoritma keputusan. Perhatikan bahwa dosis amiodaron yang

dianjurkan untuk administrasi selama upaya resusitasi untuk VF (Tabel

2.3.7) berbeda dari dosis yang direkomendasikan untuk administrasi

penghentian VT (Tabel 2.3.6).

Tabel 2.3.7 Obat-obatan yang Memfasilitasi Defibrilasi pada Pasien dengan Fibrilasi Ventrikular

d. Torsades de Pointes

Gambar 2.3.9 Algoritma Keputusan untuk Resusitasi Fibrilasi Ventrikular

Page 32: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Torsades de pointes adalah VT polimorfik spesifik yang terkait

dengan perpanjangan interval QT pada ketukan sinus yang mendahului

aritmia.

Pada pasien dengan faktor risiko torsades de pointes, obat yang

meniliki potensi menyebabkan perpanjangan interval QT dan torsades de

pointes harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati, dan monitoring

interval QT harus sering dilakukan.

Manajemen yang dimaksud dari obat yang menginduksi torsades

de pointes termasuk juga penghentian pemakaian agen yang berpotensi

menjadi penyebab. Pasien torsades de pointes dengan hemodinamik tidak

stabil harus menjalani DCC langsung. Pada pasien torsades de pointes

dengan hemodinamik stabil, kelainan elektrolit seperti hipokalemia dan

hipomagnesemia harus diperbaiki. Torsades de pointes dengan

hemodinamik stabil sering diterapi dengan magnesium intravena, terlepas

apakah pasien hipomagnesemia atau tidak. Magnesium telah dibuktikan

berguna untuk mengakhiri torsades de pointes pada pasien

normomagnesemia. Magnesium intravena mungkin diberikan dalam

dosis 1 sampai 2 g, diencerkan dalam 50 sampai 100 mL D5W, diberikan

selama 5 sampai 10 menit, dosis dapat diulang dengan total 12 g.

Alternatif lain berupa infus magnesium kontinu dapat dimulai

setelah bolus pertama, dengan kecepatan 0,5 sampai 1 g/jam. Alternatif

treatment meliputi insersi transvena dari alat temporari pacemaker untuk

menambah kecepatan denyut, yang memperpendek interval QT dan dapat

mengakhiri torsades de pointes, isoproterenol intravena 2 sampai 10

mcg/menit, untuk meningkatkan denyut jantung dan mempersingkat

interval QT, lidokain intravena yang dapat mempersingkat durasi dari

repolarisasi ventrikel, atau fenitoin intravena, yang juga dapat

mempersingkat durasi repolarisasi ventrikel, diberikan dengan dosis 10

sampai 15 mg/kg, diinfuskan dengan kecepatan 25 sampai 50 mg/menit.

BAB 3

Page 33: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

PENGGUNAAN AMIODARONE BERDASARKAN EVIDENCE BASE

3.1 Aritmia Ventrikular

Aritmia ventrikular adalah kondisi yang banyak dijumpai di mana-mana dan

merupakan gabungan dari Premature Ventricular Complexes (PVCs) tunggal yang

mengarah pada kejadian Sudden Cardiac Death (SCD) akibat aritmia ventrikular

dan fibrilasi ventrikular. Tujuan terapi pada pasien aritmia ventrikular adalah

untuk menekan gejala dan mencegah kejadian fatal (Cannom and Prystowsky,

1999). Algoritma terapi pada pasien dengan aritmia ventrikular berdasarkan salah

satu penelitian jenis RCT ditampilkan dalam Gambar 2.2.1.1.

Tinjauan evidence base berdasarkan indikasi klinik dalam peresepan amiodaron

sebagai terapi aritmia ventrikular adalah sebagai berikut:

α. Aritmia ventrikular yang disertai dengan infark miokardia

Pasien dengan ektopi ventrikular kompleks yang disertai infark miokardia

beresiko untuk Sudden Cardiac Death (SCD).

1) Basel Antiarrhythmic Study of Infarct Survival (BASIS) menunjukkan

penurunan total kematian dan SCD dengan amiodaron sebagai

profilaksis. Pasien menjalani follow-up hanya selama 1 tahun dan

Gambar 2.2.1.1 Algoritma Terapi Berdasarkan Salah Satu Penelitian RCT untuk Pasien dengan Aritmia Ventrikular (Cannom and Prystowsky, 1999).

Page 34: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

penggunaan β-blocker dibatasi.

1. Canadian Amiodarone Myocardial Infarction Arrhythmia Trial

(CAMIAT) dan European Myocardial Infarction Amiodarone Trial

(EMIAT) keduanya menunjukkan penurunan kematian aritmia dengan

penggunaan amiodaron.

Tabel 2.2.1.1 Penggunaan Amiodaron pada Pasien AV yang Disertai MISumber Jumlah

PartisipanPopulasi Randomisasi Keluaran

BASIS, 1990 312 Mengalami MI; sering kali asimptomatik atau aritmia ventrikular berulang

Terapi obat tunggal vs amiodaron vs placebo

• Penurunan kematian total amiodaron dibandingkan dengan plasebo

• Penurunan terhadap kejadian aritmia dengan penggunaan amiodaron

• Penurunan kematian tidak signifikan dengan terapi obat antiaritmia tunggal

CAMIAT, 1997 1202 Mengalami MI; ≥ 10 PVCs/jam atau NSVT

Amiodaron vs placebo

Penurunan pada VF resusitasi atau kematian akibat aritmia

EMIAT, 1997 1486 Mengalami MI; LVEF ≤ 40%

Amiodaron vs placebo

• Tidak ada penurunan pada kematian total

• Signifikan (35%) menurunkan risiko pada kematian akibat aritmia

β. Aritmia Ventrikular dan CHF

Percobaan Grupo de Estudio de la Sobrenda en la Insuficiencia Cardiaca en

Argentina (GESICA) adalah suatu percobaan acak skala besar terhadap

amiodaron sebagai profilaksis (300 mg/hari) pada pasien dengan CHF

(NYHA kelas II hingga IV). Terjadi penurunan SCD secara signifikan,

penurunan kematian seiring perkembangan CHF, dan penurunan kematian

secara umum.

χ. Pencegahan Primer dari SCD pada Iskemia Kardiomiopati dan Non-Iskemia

Kardiomiopati

Tabel 2.2.1.2 Penggunaan Amiodaron pada Pasien Pencegahan Primer SCD pada

Page 35: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Iskemia dan Non-Iskemia KardiomiopatiSumber Jumlah

PartisipanPopulasi Randomisasi Keluaran

Iskemia Kardiomiopati

MADIT, 1996 196 Mengalami MI; LVEF ≤ 35%; NSVT asimptomatik; NYHA kelas I-III; inducible VT refractory terhadap intravena procainamid pada studi elektrofisiologi

Terapi antiaritmia (74% amiodaron) vs ICD

Penurunan dalam kematian total degan terapi ICD

MUSTT, 1999 704 CAD; LVEF ≤ 40%; NSVT; inducible VT pada studi elektrofisiologi

Terapi pengendali elektrofisiologi (antiaritmia atau ICD) vs terapi konvensional

• Penurunan kematian total dengan terapi tunggal pengendali elektrofisiologi menggunakan ICD

• Amiodaron digunakan 10% dari pasien kelompok antiaritmia

MADIT II, 2002 1232 Mengalami MI; LVEF ≤ 30% Terapi konvensional vs ICD (bukan kelompok obat antiaritmia)

Penurunan kematian total dengan terapi ICD

SCD-HeFT, 2005 2521 NYHA kelas II/III CHF (iskemi dan non-iskemi)

Terapi konvensional vs amiodaron vs ICD

• Penurunan kematian dengan terapi ICD pada pasien dengan iskemia kardiomiopati

• Amiodaron memiliki efek netral terhadap kematian

Non Iskemia Kardiomiopati

CAT, 2002 104 NYHA kelas II/III; perluasan kardiomiopati non-iskemia; LVEF ≤ 30%; NSVT asimptomatik

Terapi konvensional vs ICD (bukan kelompok obat antiaritmia)

Tidak ada penurunan kematian total dalam terapi menggunakan ICD

AMIOVIRT, 2003

103 NYHA kelas I-III; perluasan kardiomiopati non-iskemia; LVEF ≤ 35%; NSVT asimptomatik

Amiodaron vs ICD Tidak ada penurunan kematian total dalam terapi menggunakan ICDPola yang mengarah pada perbaikan aritmia free survival dengan penggunaan amiodaron

DEFINITE, 2004 458 NYHA kelas I-III; perluasan kardiomiopati non-iskemia; LVEF ≤ 36%; ≥ 10 PVCs/jam atau NSVT

Terapi konvensional vs ICD (bukan kelompok obat antiaritmia)

• Penurunan kematian total tidak signifikan dengan terapi ICD

• Penurunan signifikan pada kematian dari aritmia dengan terapi ICD

SCD-HeFT, 2005 2521 NYHA kelas II/III CHF (iskemi dan non-iskemi); LVEF ≤ 35%

Terapi konvensional vs ICD

• Penurunan kematian dengan terapi ICD pada pasien dengan non iskemia kardiomiopati

• Amiodaron memiliki efek netral terhadap kematian

Page 36: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

δ. Pencegahan Sekunder pada SCD

Tabel 2.2.1.3 Penggunaan Amiodaron pada Pasien Pencegahan Sekunder SCDSumber Jumlah

PartisipanPopulasi Randomisasi Keluaran

CASCADE, 1993

228 KRS dengan selamat VF arrest; ≥ 10 PVCs/jam atau inducible VT/VF inducible pada studi elektrofisiologi

Amiodaron empiris vs pengendali elektrofisiologi/obat antiaritmia konvensional pengendali Holter

• Amiodaron lebih efektif daripada obat antiaritmia konvensional dalam mencegah cardiac death dan kejadian aritmia

• Amiodaron punya efek simpang yang signifikan

AVID, 1997 1016 Pasien yang selamat dari VT/VF/ cardiac arrest; VT dengan sinkop; VT dengan LVEF ≤ 40%

Obat antiaritmia (97% amiodaron, 3% sotalol) vs ICD

Penurunan kematian total dengan terapi ICD

CASH, 2000 288 Pasien yang selamat dari VT/VF/ cardiac arrest

Obat antiaritmia: metoprolol atau amiodaron vs ICD

• Penurunan kematian total tidak signifikan dengan terapi ICD

• Amiodaron memiliki efikasi yang sama dengan metoprolol

CIDS, 2000 659 Pasien yang selamat dari VT/VF/ cardiac arrest; VT dengan sinkop; simptomatik VT (≥ 150/menit) dengan LVEF ≤ 35%

Amiodaron vs ICD • Penurunan kematian total tidak signifikan dengan terapi ICD

• Penurunan arrhytmic death tidak signifikan dengan terapi ICD

ε. Tambahan pada Terapi ICD

Pasien yang menerima terapi ICD mungkin akan sering kali mengalami

aritmia yang membawa pada kondisi shock. Penggunaan amiodaron bersama

β-blocker lebih efektif daripada sotalol atau β-blocker yang digunakan

sebagai terapi tunggal dalam mencegah shock. Amiodaron berpeluang dalam

memperlambat laju takikardi ventrikular.

φ. HCM dan Aritmia Ventrikular

Pasien dengan hypertrophic cardiomyopathy (HCM) dan aritmia ventrikular

memiliki peningkatan risiko terhadap SCD. Pasien dengan 1 atau lebih faktor

risiko mayor sebaiknya disarankan untuk profilaksis ICD. ICD diindikasikan

untuk pencegahan sekunder pada pasien dengan HCM. Berdasarkan

penggunaan ICD, beberapa percobaan non acak skala kecil menyatakan

bahwa amiodaron profilaksis dapat menurunkan SCD, walaupun penggunaan

rutin amiodaron profilaksis tidak direkomendasikan. Amiodaron adalah

Page 37: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

alternatif yang dapat diterima pada pasien dengan HCM yang menolak terapi

ICD.

γ. Takikardi Ventrikular dengan Hemodinamik Stabil

Amiodaron intravena sangat bermanfaat dalam terapi manajemen akut dari

VT dengan hemodinamik yang stabil. VT yang stabil bukanlah suatu hal yang

dianggap tidak berbahaya pada pasien dengan penyakit jantung struktural.

AVID registry (4595 pasien) memperlihatkan bukti percobaannya bahwa

terdapat pola yang mengarah pada peningkatan kematian pada VT stabil bila

dibandingkan dengan VT unstable. Petugas klinis disarankan untuk

mempertimbangkan ablasi kateter, terapi ICD atau keduanya saat aritmia akut

dalam kondisi stabil.

η. Cardiac Arrest dan Electrical Storm

Electrical Storm didefinisikan sebagai VT atau VF yang terjadi sebanyak 2

kali atau lebih dalam jangka waktu 24 jam, biasanya memerlukan kardiovensi

elektrik atau defibrilasi. Percobaan non acak skala kecil menyatakan bahwa

amiodaron merupakan terapi yang aman dan efektif untuk kambuhan yang

menetap pada aritmia ventrikular. Amiodaron intravena lebih efektif daripada

lidokain untuk pasien KRS dengan resisten VT terhadap shock dan

epinefrin.Pasien dengan kondisi electrical storm yang disertai MI yang

diterapi dengan kombinasi oral amiodaron dan β-blocker memiliki luaran

yang paling baik.

ι. Perioperative

Suatu meta analisis dari amiodaron profilaksis perioperative menunjukkan

adanya penurunan AF/flutter, takiaritmia ventrikular, stroke, dan

mempersingkat lama tinggal di RS setelah bedah kardiak. Studi Prophylactic

Oral Amiodarone for the Prevention of Arrhythmias That Begin Early After

Revascularization (PAPABEAR), yaitu RCT skala besar, membandingkan

perioperative amiodaron (10 mg/kg/hari dimulai 6 hari sebelum dan

diteruskan selama 6 hari setelah bedah) dengan plasebo. Hasilnya adalah

penurunan yang signifikan pada takiaritmia atrial poatoperative. Toksisital

terbatasi karena amiodaron digunakan dalam durasi pendek.

Page 38: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Tinjauan evidence base berdasarkan dosis penggunaan amiodaron sebagai terapi

aritmia ventrikular adalah sebagai berikut:

a. Dosis Selama Kejadian VT/VF

Efikasi amiodaron dalam penghentian ventricular aritmia telah diuji

dalam praktek klinis. Dua RCT (Randomized Control Trial) telah

mengevaluasi pemberian amiodaron secara iv pada kejadian cardiac arrest

saat keluar rumah sakit. The Amiodarone in out-of-hospital Resuscitation of

refractory Sustained Ventricular Tachycardia (ARREST), yaitu suatu studi

yang membandingkan pemberian amiodaron secara iv (300 mg) dengan

placebo, secara blinded, randomized trial pada pasien dengan shock-

refractory ventricular fibrillation saat keluar rumah sakit pulseless VT; 44%

pasien yang menerima amiodaron dan 34% pasien menerima plasebo

bertahan sampai di rumah sakit (p=0,03). Amiodaron vs lidokain dalam studi

Prehospital Ventricular Fibrillation Evaluation (ALIVE), membandingkan

amiodaron (5 mg/kg) dengan lidokain (1,5 mg/kg) dalam blinded,

randomized trial dalam pasien secara blinded, randomized trial yang keluar

rumah sakit, resisten terhadap tiga guncangan, injeksi intravena epinefrin dan

syok yang lebih jauh, VF berulang setelah pemberian defibrilasi yang

berhasil; 22,8% pasien yang diterapi amiodaron bertahan dan tidak masuk

rumah sakit dan 12% pasien yang diterapi dengan lidokain yang tidak masuk

rumah sakit. Tidak ada plasebo-controlled trials yang menunjukkan

keefektifan amiodaron dalam menghentikan secara hemodinamis takikardi

ventricular monomorfik (mVT).

Suatu kelompok peneliti multisenter amiodaron intravena mengevaluasi

efek amiodaron intravena secara hemodinamis dalam destabilisasi refraktori

venticular aritmia dibandingkan dengan lidokain, procainamid, dan bretilium

pada pasien yang MRS yang memiliki kelainan pada struktur jantung dan

ketiadaan perpanjangan QT atau kejadian yang disebabkan oleh obat. Dua

range dosis obat dipilih, pasien dipilih secara acak dibagi ke dalam kelompok

Page 39: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

yang berbeda regimen dosisnya : 125,500 atau 2000 mg amiodaron IV/24

jam, dan 500, 1000, atau 2000 mg amiodaron IV/24 jam. Infus supplemen

(150 mg) amiodaron diberikan untuk mengatasi ventrikular aritmia untuk

mencegah penghentian pada kelompok dosis rendah, tetapi secara potensial

terjadi pada efek obat dengan dosis yang lebih tinggi dengan kejadian VT/VF

berulang. Secara statistik peningkatan signifikan terkait dosis ditemukan pada

saat terjadi aritmia berulang antara kelompok dosis 125 mg dan 1000 mg

pada studi pertama dan antara 500 mg dan kombinasi kelompok dosis 1000

mg dan 2000 mg pada 12 jam pertama dalam studi kedua (4.8 jam dan > 12

jam). Dalam kedua studi, rata-rata jumlah suplemen infus menurun secara

signifikan dengan meningkatnya dosis amiodaron. Frekuensi terjadinya efek

samping sama di semua kelompok dosis pada kedua studi.

Dalam studi ketiga pada kelompok yang sama, pasien secara random

diberi 125 mg atau 1000 mg amiodaron IV/24 jam atau bretilium 2500 mg/24

jam. Dalam studi ini, dosis tinggi amiodaron lebih efektif daripada bretilium

dalam pencegahan kejadian berulang aritmia, selama 0-6 jam. Kejadian

hipotensi tertinggi ada pada kelompok bretilium.

Pada pola kejadian berulang VT/VF dibutuhkan waktu 12-24 jam untuk

amiodaron iv mencapai efikasi penuh. Kejadian berulang terjadi sesaat

setelah amiodaron diberikan, dengan kata lain kejadian berulang pada 12-24

jam pertama tidak menunjukkan bahwa obat tidak efektif (Herendael and

Dorian, 2010).

b. Dosis Pencegahan VT/VF

Suatu penelitian Randomized Clinical Trial telah menetapkan superioritas

transvenous ICD lebih dari obat anti aritmia untuk terapi pencegahan pada

pasien dengan resiko tinggi ventricular aritmia, baik pencegahan primer

maupun sekunder. ICD menjadi terapi terpilih pada pasien dengan resiko

aritmia tersebut. Meskipun efikasi amiodaron dalam pencegahan pada sudden

cardiac death telah dikembangkan sebelum era ICD.

Pada suatu studi meta analisis, randomized trial menunjukkan amiodaron

mengurangi angka kematian 10-19%. Resiko pengurangan sama pada

pencegahan primer setelah infark miokardialatau pada pasien dengan CHF

Page 40: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

atau pencegahan sekunder setelah cardiac arrest. Pada suatu data dari 2 RCT,

European Amiodaron Myocardial Infarction Trial (EMIAT) dan Canadian

Amiodaron Myocardial Infarction Trial (CAMIAT), mengevaluasi

penggunaan amiodaron untuk pencegahan primer pada pasien yang recovery

dari miokardial infark, cardiac death, dan resuscitated cardiac arrest, secara

signifikan lebih rendah pada pasien yang menerima amiodaron dibandingkan

dengan plasebo, jika mereka juga menerima terapi beta bloker.

Sebaliknya, tidak ada ketentuan untuk terapi amiodaron tanpa diiringi

ICD pada pasien dengan stable chronic low LVEF, pada pencegahan primer

dan sekunder. Pada pencegahan sekunder, terapi dengan amiodaron (jika

menggunakan beta bloker) mungkin dapat sebagai alternatif untuk ICD pada

pasien dengan LVEF > 35%, minimal penggunaan jangka pendek.

Pada penerima ICD, amiodaron serta terapi ablasi, mungkin memainkan

peranan penting dalam pengurangan penggunaan alat terapi. Suatu studi RCT,

Optimal Pharmalogical Therapy in Cardioverter Defibrillator Patients

(OPTIC) membandingkan amiodaron (200 mg) plus beta bloker dengan

sotalol saja (240 mg, diadjust sesuai fungsi ginjal) atau beta bloker saja

(bisoprolol 10 mg atau ekivalen) pada 412 pasien yang menerima dual-

chamber ICD untuk VT terrinduksi maupun spontan atau ventricular

fibrillation (VF) dan LVEF ≤ 40% atau syncope. Semua ICD dioptimasi

untuk menghindari syok. Selama satu tahun follow up, syok terjadi pada 41

pasien (38,5%) pada pengguna betabloker saja; 26 pasien (24,3%) pada

pengguna sotalol saja; dan 12 pasien (10,3%) pada pengguna amiodaron plus

betabloker. Amiopdaron plus beta bloker secara signifikan menurunkan resiko

syok dibandingkan dengan beta bloker saja dan sotalol saja. Terdapat

kecenderungan pada sotalol untuk menurunkan resiko syok dibandingkan

dengan beta bloker saja.

Tidak ada studi RCT yang telah diterbitkan yang membandingkan

profilaksi ablasi dengan obat antiaritmia untuk pengurangan alat terapi ICD

pada pasien penerima ICD. Rekomendasi terapi ICD pada pasien dengan

penyakit perubahan struktur jantung dengan beta bloker pada saat ICD

implan. Jika pasien mengalami kejadian VT atau VF berulang dengan gejala

Page 41: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

syok, penambahan amiodaron dengan dosis maintenance 200 mg sekali sehari

dan beta bloker perlu dipertimbangkan. Meskipun hasil uji ablasi

menjanjikan, tidak jelas apakah hasil ablasi akan sama untuk pasien non

iskemik atau yang tidak pernah mengalami sebelumnya. Dapat disimpulkan,

ablasi merupakan first line terapi yang direkomendasikan (Herendael and

Dorian, 2010).

3.2 Pengendalian Laju Ventrikel

Amiodarone memperlambat laju ventrikel di AF, bahkan ketika sinus irama

tidak dikembalikan normal, Penurunan laju terjadi segera setelah administrasi

intravena. Administrasi intravena amiodaron mengontrol laju ventrikel

sebagaimana keefektifan dari diltiazem pada pasien dengan kondisi yang kritis,

dengan sedikit kejadian hipotensi. Sebaliknya, agen kelas I dapat meningkatkan

laju ventrikel. ACC/AHA/ESC menetapkan amiodarone intravena sebagai

rekomendasi kelas IIa untuk mengendalikan laju secara akut pada pasien dengan

AF saat tindakan lain tidak berhasil atau kontraindikasi (level evidence C).

Amiodaron oral tidak tepat sebagai terapi lini pertama untuk mengendalikan

laju ventrikel secara kronis. jika β-blocker, calcium channel blockers, atau digoxin

(tunggal atau kombinasi) tidak efektif, ablasi AV junction dan implantasi alat pacu

jantung mungkin lebih baik daripada penggunaan kronis amiodaron. Amiodaron

oral dalam pengaturan non akut ditetapkan oleh ACC/AHA/ESC sebagai

rekomendasi kelas IIb (level evidence C). Karena kardioversi atau embolisasi

dapat terjadi, maka antikoagulasi (3 minggu terapi warfarin atau intravena heparin

ditambah transesophageal echocardiography tanpa trombus) adalah penting

sebelum memulai terapi dengan amiodarone pada AF yang terjadi selama lebih

dari 48 jam. Warfarin harus dilanjutkan selama 4 minggu post konversi.

3.3 Konversi Atrial Fibrillation (AF) ke Ritme Sinus Normal

Amiodaron merupakan salah satu obat yang dapat digunakan untuk konversi

ke ritme sinus. Terapi untuk konversi ini dengan memperlambat kecepatan

konduksi atrial dan atau memperpanjang refractory (waktu dimana sel dan fiber

tidak mengalami depolarisasi), memfasilitasi penghambatan reentrant circuits dan

Page 42: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

perbaikan ritme sinus. Konversi AF ke ritme sinus biasanya dilakukan pada pasien

yang terdeteksi AF atau pada pasien yang mengalami AF persisten (Tisdale,

2008).

Efektivitas penggunaan amiodarone dalam konversi AF ke ritme sinus diuji oleh

sebuah studi meta analisis (Letelier, 2003). Penelitian ini bertujuan meninjau

efektivitas amiodarone dalam konversi AF ke ritme sinus selama periode 4

minggu. Metode yang dilakukan adalah dua reviewer melakukan pencarian secara

sistematis, randomized trial pada database, dilengkapi oleh hand searches dan

menghubungi para ahli. Penelitian ini membandingkan amiodarone dengan

placebo, digoksin, atau Ca channel blocker untuk konversi AF ke ritme sinus,

yang dievaluasi metodologi dan ringkasan data dari masing-masing studi terpilih.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini, antara lain:

Pasien dengan AF dengan beberapa sebab dan durasi.

Intervensi yang dilakukan adalah dengan pemberian amiodarone

dikombinasikan dengan placebo, digoksin, CCB atau tanpa perlakuan (grup

kontrol).

Outcome utama terdiri dari konversi ke ritme sinud selama periode 4 minggu

atau kurang.

Desain penelitian meliputi randomized atau quasi randomized clinical trial.

Dari identifikasi 382 citation, dilakukan proses seleksi hingga didapat 21 yang

memenuhi kriteria inklusi. Berikut diagram proses seleksi hingga didapat 21 studi:

Page 43: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Berikut ini karakteristik 21 studi yang digunakan:

Page 44: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Berikut ini diagram hasil penelitian:

Hasil studi tersebut, amiodarone efektif untuk konversi atrial fibrillation ke

ritme sinus.

Page 45: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

BAB 4

AMIODARONE

Amiodarone hydrochloride berbentuk serbuk kristal putih, sangat sedikit larut

dalam air, larut sebagian dalam alkohol (Sweetman, 2009).

4.1 Indikasi

Amiodarone digunakan pada aritmia jenis atrial fibrillation melalui

pengendalian laju ventrikular dan konversi ke ritme sinus dan untuk aritmia jenis

ventricular aritmia, baik pada ventrikular takikardi maupun ventrikular fibrilasi

(Cannom, 1999; Herendael, 2010, Letelier, 2003; Tisdale, 2011; Vasallo, 2007).

4.2 Mekanisme Kerja

Amiodarone merupakan antiaritmia kelas III yang menghambat stimulasi

adrenergik (sebagai inhibitor nonkompetitif reseptor alfa dan beta adrenergik),

mempengaruhi sodium, potassium, calcium channel, memperpanjang durasi

potensial aksi dan refractory period pada sel jantung (miokard), menurunkan AV

conduction dan fungsi sinus node (Lacy, 2009; Tatro, 2003).

4.3 Dosis

Loading dose dan maintenance dose yang lebih rendah lebih dipilih pada

wanita dan pasien dengan berat badan rendah.

Page 46: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Dosis Oral

Indikasi DosisLoading Dose Maintenance Dose

AnakAntiaritmia 10-20mg/kgBB/hari dalam

1-2 dosis selama 4-14 hari, atau sampai didapat dosis adekuat atau munculnya efek samping.

Pengurangan dosis sampai 5 mg/kgBB/hari untuk beberapa minggu atau 200-400 mg/1,73m2/hari diberikan sekali sehari. Jika tak terjadi aritmia berulang, dosis diturunkan menjadi 2,5 mg/kgBB/hari, 5-7 hari perminggu.

DewasaVentricular arrhyithmia

800-1600 mg/hari dalam 1-2 dosis selama 1-3 minggu, saat dosis adekuat dicapai, dosis diturunkan menjadi 600-800 mg/hari dalam 1-2 dosis selama 1 bulan.

400 mg/hari.

(dosis lebih rendah direkomendasikan untuk supraventricular arrhythmia)

Atrial Fibrillation

1,2 – 1,8 g/hari dalam dosis terbagi hingga total 10 g

200 – 400 mg/hari

Atau400 mg sehari 3 kali selama 5 - 7 hari, dilanjutkan 400 mg/hari selama 1 bulan, selanjutnya 200 mg/hari.atau10 mg/kgB/hari selama 14 hari, dilanjutkan 300 mg/hari selama 4 minggu, dilanjutkan maintenance dose 100 – 200 mg/hari.

Dosis Intravena (IV)

Indikasi DosisLoading Dose Maintenance Dose

AnakAntiaritmia 5 mg/kgBB selama 30 menit,

dapat diulang 3 kali jika tak ada respon.

2 – 20 mg/kgBB/hari (5 – 15 mcg/kgBB/menit) dengan continuous infusion.

Pulseless VF atau VT

5 mg/kgBB (maksimum 300 mg/dosis) rapid IV bolus atau IO, diulang untuk dosis maksimum sehari 15 mg/kgBB.

Perfusing tachycardia

5 mg/kg (maksimum 300 mg/dosis) IV selama 20 – 60 menit atau IO, dapat diulang sampai dosis maksimum 15 mg/kgBB/hari.

Page 47: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

DewasaAtrial fibrillation

5-7 mg/kgBB selama 30-60 menit (sebagai loading dose), selanjutnya 1,2-1,8 g/hari infus continuous atau dosis oral terbagi sampai total 10 g.

200 – 400 mg/hari

atau 5 mg/kgBB selama 30 menit, infusion 1 mg/menit selama 6 jam, dilanjutkan 0,5 mg/menit.

Ventricular arrhythmia

• Breakthrough VF atau VT: dosis tambahan 150 mg dalam 100 mL

D5W selama 10 menit. (loading dose IV untuk VT dan untuk fasilitas defibrilasi pada VF via IV juga mungkin diberikan, tapi yang utama 300 mg IV dilarutkan dalam 20-30 mL D5W).

• Pulseless VF atau VT: IV push, awal 300 mg dalam 20-30 mL NS

atau D5W, jika VF atau VT terulang, dosis tambahan 150 mg dilanjutkan dengan infus 1 mg/menit selama 6 jam, (maintenance dose untuk VT. 0,5 mg/menit selama 18 jam), selanjutnya 0,5 mg/menit (maksimum dosis sehari 2,1 g).

• Stable VT atau SVT: 24 jam pertama 1050 mg , dilanjutkan

regimen:Step 1: 150 mg (100 mL) selama 10 menit pertama (3 mL dalam 100 mL D5W).Step 2: 360 mg (200 mL) selama 6 jam selanjutnya (18 mL dalam 500 mL D5W), 1 mg/menit.Step 3: 540 mg (300 mL) selama 18 jam selanjutnya, 0,5 mg/menit.Setelah 24 jam pertama, 0,5 mg/menit dengan konsentrasi 1-6 mg/mL.

Penggantian dari terapi IV ke oral:

Lama Terapi IV Infusion Dosis Oral yang Digunakan untuk Terapi

Lanjutan< 1 minggu 800 – 1600 mg/hari1 – 3 minggu 600 – 800 mg/hari> 3 minggu 400 mg/hari

Selama pemakaian terapi amiodarone (≥ 4 bulan), t ½ eliminasi metabolit aktif

amiodarone adalah 61 hari. Penggantian terapi tidak diperlukan pada pasien

tersebut jika terapi oral tidak dilanjutkan selama < 2 minggu karena perubahan

konsentrasi amiodarone dalam serum tidak signifikan.

Untuk pasien lansia: tidak ada guideline khusus. Pemilihan dosis harus secara

hati-hati, dengan dosis rendah dan perlu dilakukan titrasi secara perlahan untuk

mengevaluasi respons pasien.

Page 48: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Untuk pasien yang menjalani hemodialisis: obat tidak terdialisis (0% - 5%), dosis

tambahan tidak diperlukan.

Gangguan hepar: penyesuaian dosis diperlukan jika terdapat gangguan hepar,

tidak ada guideline khusus, jika enzim pada hepar meningkat 2-3 kali dari normal,

maka dilakukan penurunan dosis atau tidak melanjutkan terapi amiodarone.

(Lacy, 2009; Tatro, 2003; Tisdale, 2008; Tisdale, 2011).

Cara pemberian:

• Oral: diminum bersama makan, jika dosis tinggi sekali sehari menimbulkan

ketidaknyamanan di GI tract atau intoleransi GI, maka obat diberikan dalam

dosis terbagi.

• IV: jika IV infusion > 1 jam, gunakan konsentrasi ≤ 2 mg/mL.

(Lacy, 2009)

Intravena Formulasi

Beberapa kesulitan praktis muncul ketika formulasi terakhir amiodaron

intravena harus diberikan dalam kondisi darurat. Dengan formulasi ini amiodaron

harus disedot dari ampul kaca (karena adsorpi untuk plastik dan karet), kemudian

disaring dan diencerkan sebelum digunakan. Ketika terburu-buru atau disedot

terlalu cepat obat mungkin membentuk busa yang dapat mengganggu dosis yang

tepat. Arus formulasi ini juga kompatibel dengan larutan elektrolit selain

dekstrosa dalam air. Selanjutnya, kosolven yang mungkin sebagian besar

bertanggung jawab atas efek yang mungkin merugikan dari hipotensi.

Pertimbangan praktis dapat menyebabkan cukup keterlambatan dalam

pemberian obat dan mencegah bolus mendorong obat. Karena pemberian obat

yang cepat telah terbukti penting, upaya telah difokuskan pada pengembangan

formulasi alternatif amiodaron, termasuk emulsi dengan tokoferol, suspensi

amiodaron dalam buffer laktat, amiodaron dilarutkan dalam metoksi poli (etilena

oksida)-blok-poli (ester) micell dan amiodaron dilarutkan dalam sulfobutylether-

7-beta-siklodekstrin (Captisol (R)). Pada bulan Desember 2008, formulasi yyang

terakhir ini bermerek Nexteron (R), telah disetujui oleh FDA, dengan indikasi

label yang sama sebagai formulasi disetujui sebelumnya, yang hemodinamik dan

Page 49: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

secara electrophysiologis lembam, dan ditoleransi, namun tidak diketahui

toksisitas organ dalam manusia. Formulasi ini kompatibel dengan solusi ionik

selain dekstrosa dalam air, tidak menyerap ke plastik dan dapat dikemas dalam

jarum suntik yang telah terisi (pre-filled syringes) yang dapat memberikan

dorongan intravena segera setelah terdapat akses intravena (Herendael and

Dorian, 2010).

4.4 Farmakokinetik-Farmakodinamik

Aspek Farmakokinetik-

Farmakodinamik

Keterangan

Mula kerja (onset of action) Oral: 2 hari sampai 3 minggu

IV: dapat lebih cepatPeak effect 1 minggu sampai 5 bulan, setelah pemberian

injeksi IV, efek maksimum dicapai 1-30 menit

dan bertahan selam 1-3 jam.Lama efek setelah terapi

dihentikan

7 hari sampai 50 hari (pada anak lebih singkat

dibandingkan dewasa).Volume distribusi Vd: 66 L/kg (range: 18-148 L/kg)

dapat menembus plasenta, konsentrasi pada ASI

lebih tinggi daripada konsentrasi pada plasma

maternal.Protein binding 96%Metabolisme di hepar, oleh CYP2C8 dan CYP3A4,

metabolitnya N-desethylamiodarone bersifat

aktif, dapat mengalami resirkulasi enterohepatik. Bioavailabilitas Oral ~ 50%, kecepatan absorpsi meningkat

dengan adanya makanan.t 1/2 eliminasi terminal 40 - 55 hari (range 26 – 107 hari), pada

anak lebih cepatEkskresi feses, urin (< 1% sebagai unchanged drug)

(Lacy, 2009; Sweetman, 2009)

4.5 Kontraindikasi

Page 50: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Hipersensitivitas terhadap amiodarone, iodine dan komponen lain dalam

formulasi.

Disfungsi tiroid.

Severe sinus node dysfunction.

Second and third degree heart block, bradycardia causing syncope (kecuali

pada pasien dengan functioning pacemaker artificial).

Hindari penggunaan IV pada severe respiratory failure, circulatory collapse,

atau severe arterial hypotension. Hindari penggunaan injeksi bolus pada

congestive heart failure atau kardiomiopati.

Syok kardiogenik.

Kehamilan (kategori D).

Menyusui (terekskresi di ASI).

(Joint National Committee, 2009; Lacy, 2009).

4.6 Efek Samping

Efek Samping yang umum pada amidaron, banyak berhubungan dengan dosis

dan reversible dengan pengurangan dosis. Namun karena waktu paruh dari

amiodaron cukup panjang dan efek samping dapat berkembang setelah

pengobatan dihentikan. Efek samping kardiovaskular yang terkait dengan

amiodaron termasuk bradikardi yang parah, sinus arrest, dan gangguan konduksi.

Hipotensi berat dapat mengikuti infus intravena, khususnya (meskipun tidak

secara khusus) pada laju infus yang cepat (Sweetman, 2009).

Amiodaron mungkin juga menghasilkan takiaritmia ventrikel, torsade de

pointes (suatu bentuk umum dan khas takikardia ventrikel polimorfik (VT)

ditandai dengan perubahan bertahap dalam amplitudo dan memutar dari kompleks

QRS di sekitar garis isoelektrik) telah dilaporkan tetapi tampaknya sedikit terjadi

pada amiodaron dibandingkan dengan antiaritmia yang lain. Jarang terjadi gagal

jantung dapat dipercepat atau diperburuk. Amiodaron mengurangi transformasi

perifer tiroksin (T4) untuk tri-iodothyroninn (T3) dan meningkatkan pembentukan

reverse T3. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi tiroid dan dapat menyebabkan

hipo atau hipertiroidisme. Terdapat laporan toksisitas paru yang parah termasuk

fibrosis paru dan pneumonitis interstitial. Efek ini biasanya reversibel pada

Page 51: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

penarikan amiodaron tetapi berpotensi fatal. Amiodaron dapat mempengaruhi hati

tes faal hati yang mungkin menjadi abnormal dan resiko sirosis atau hepatitis, dan

kematian akibat penyakit ini telah dilaporkan.

Penggunaan jangka panjang dari amiodaron menyebabkan perkembangan

jinak microdeposits dan kornea menjadi coklat kekuningan pada mayoritas pasien,

kadang-kadang dikaitkan dengan halo berwarna terang, gejala ini bersifat

reversible jika terapi dihentikan. Reaksi fotosensitivitas juga umum terjadi dan

yang lebih jarang perubahan warna kulit menjadi biru-kelabu. Dampak merugikan

lainnya termasuk benign intracranial hypertension, hemolitik atau anemia

aplastik, neuropati perifer, paraesthesia, miopati, ataksia, tremor, mual, muntah,

rasa logam, mimpi buruk, sakit kepala, sulit tidur, kelelahan dan epididimitis.

Tromboflebitis dapat terjadi jika amiodaron disuntikkan teratur atau melalui infus

untuk periode berkepanjangan lewat vena perifer. Injeksi intravena yang cepat

telah berhubungan dengan syok anafilaksis, hot flushes, berkeringat dan mual.

Telah dikemukakan amiodarone yang meningkatkan fosfolipidosis dapat

menjelaskan beberapa efek sampingnya. Kandungan yodium pada amiodarone

memberikan kontribusi terhadap toksisitasnya.

4.6.1 Efek Samping pada Keseimbangan Elektrolit

Hiponatremia terkait dengan sindrom sekresi yang tidak normal hormon

antidiuretik telah dilaporkan pada pasien yang memakai amiodarone. Dalam

setiap kasus, hiponatremia membaik ketika dosis amiodaron dikurangi atau

dihentikan.

Monitoring : Data Lab Elektrolit

4.6.2 Efek Samping pada Mata

Pemeriksaan celah lampu menunjukkan kelainan kornea pada 103 dari 105

pasien yang diobati dengan amiodaron selama 3 bulan sampai 7 tahun. Kelainan

pada tingkat lanjut terdiri dari pola whorled dengan kekeruhan granular yang

sama. Deposit kornea menjadi lebih padat jika dosis amiodaron ditingkatkan dan

mengalami regresi jika dosis diturunkan. Gejala okular dilaporkan hanya pada 12

pasien. Fotofobia dilaporkan pada 3 pasien, sementara 2 memiliki haloes (suatu

Page 52: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

lingkaran cahaya) visual, 1 pasien dengan pandangan kabur, dan 6 lainnya

mengalami iritasi pada kelopak mata. Namun iritasi pada kelopak mata dianggap

sebagai reaksi kulit fotosensitif dan penglihatan kabur bukan karena disebakan

oleh amiodaron. Pada 16 pasien amiodaron ditarik dengan penjernihan lengkap

pada kelainan kornea dalam waktu 7 bulan dan pemantauan rutin oftalmologi

dianggap tidak perlu pada pasien tanpa gejala okular (Sweetman, 2009). Sebuah

efek yang lebih serius amiodaron pada mata adalah optik neuropati. Neuropati

optik dan neuritis dengan gangguan penglihatan telah dilaporkan dengan

amiodaron dan UK licensed product information telah merekomendasikan bahwa

pemeriksaan mata tahunan harus dilakukan. Patologi neuropati optik yang

diakibatkan oleh deposisi lipid, seperti dengan bentuk lain dari efek samping

amiodaron (Aronson, 2005).

Monitoring : Kondisi mata pada pasien

4.6.3 Efek Samping pada Genitalia

Pembengkakan dan nyeri skrotum epididimis telah dilaporkan dengan

amiodaron. Waktu onset bervariasi antara 7-71 bulan setelah memulai pengobatan

dan resolusi terjadi dalam waktu 10 minggu meskipun kelanjutan dari terapi

amiodaron pada beberapa pasien. Mekanisme reaksi tidak diketahui, tetapi dalam

1-2 pasien konsentrasi desetilamiodaron dalam sperma 5 kali lipat dalam serum.

4.6.4 Efek Samping pada Jantung

Amiodaron memiliki potensi untuk memicu aritmia, memperpanjang

interval QT dan ada laporan torsade de pointes. Namun review dari literatur

menunjukkan bahwa frekuensi kejadian proaritmik rendah. Resiko torsade de

pointes juga tampaknya menjadi lebih rendah dengan amiodaron dibandingkan

dengan antiaritmia yang lain, kemungkinan disebabkan oleh adanya terapi

tambahan seperti Ca Channel Bloker.

• Disaritmia ventrikel

Amiodaron dapat memperpanjang interval QT, dan ini terkait dengan torsade

de pointes, meskipun hal ini jarang terjadi. Efek ini dipicu oleh hipokalemi.

Disaritmia ventrikel karena obat dapat eithermonomorfik atau polimorfik.

Page 53: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Obat-obatan kelas Ia sangat mungkin menyebabkan disritmia polimorfik,

seperti amiodaron (meskipun pada tingkat rendah). Sebaliknya obat kelas Ic

lebih memungkinkan menyebabkan disaritmia monomorfik (.

• Disaritmia atrial

Amiodaron telah dilaporkan menyebabkan atrial flutter pada 10 pasien yang

telah diberikan untuk mengatasi paroxysmal atrial fibrilasi. Pada 9 orang yang

mengalami atrial flutter berhasil diterapi dengan ablasi kateter. Namun selama

8 bulan pada masa follow-up setelah ablasi, atrium fibrilasi terjadi pada dua

pasien yang terus diterapi amiodaron, ini adalah tingkat yang lebih rendah

kekambuhannya dibandingkan pada pasien yang atrial flutter tidak dikaitkan

dengan amiodaron. Oleh karena itu, penulis menyarankan bahwa pasien

dengan atrial flutter sekunder akibat amiodarone diberikan untuk fibrilasi

atrium, ablasi kateter memungkinkan kelanjutan terapi amiodaron.

Amiodarone kadang-kadang dapat menyebabkan atrial flutter bahkan untuk

mengobatinya telah menjadi laporan tujuh kasus (enam pria dan satu wanita

berusia 34-75 tahun) 1:1 atrial flutter dengan amiodaron per oral. Empat dari

mereka mendasari atrial flutter, tidak ada yang memiliki hipertiroidisme.

Disritmia awal 2 : 1 atrial flutter (n=4), 1 : 1 atrial flutter (n=2), atau atrial

fibrilasi (n=1). Satu pasien mendapat 200 mg/per hari dan satu mendapat 400

mg/hari ditambah carvedilol. Kelima pasien menerima dosis loading 9200 (sd

2400) mg lebih dari 10 mg (sd 4) hari). Ada faktor trigger pemicu adrenergik

(eksersi, demam, stimulasi esofageal atau suatu beta-adrenoreseptor agonis

aerosol) pada lima pasien.

Dalam semua kasus ablasi frekuensi radio efektif. Tidak jelas sampai sejauh

mana kasus atrial fibrilasi dipicu oleh obat-obatan, meskipun frekuensi dari

atrial flutter pada penelitian sebelumnya dengan propafon terjadi kasus serupa.

• Bradikardia

Bradikardia telah dilaporkan terjadi pada sekitar 5% dari pasien yang

memakai amiodaron. Dari 2559 pasien dirawat di unit perawatan jantung

intensif lebih dari 3 tahun, 64 dengan masalah jantung utama iatrogenik

ditinjau. Dari mereka, 58 mengalami disritmia, terutama bradydysritmia,

sekunder untuk amiodaron, beta bloker, sekunder untuk amiodaron, beta

Page 54: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

bloker, kalsium channel bloker, ketidakseimbangan elektrolit, dan gabungan

dari bebereapa gejala tersebut. Amiodaron menjadi penyebab dalam 19 kasus,

dibandingkan dengan 44 kasus disebabkan beta bloker dan 28 untuk ca

channel bloker. Dari 56 pasien dengan sinus bradikardia, 10 orang mendapat

kombinasi amiodaron dan beta-bloker, 6 mengonsumsi amiodaron dan 3 orang

memakai amiodaron ditambah Ca channel bloker.

• Blok Jantung

Pada seorang wanita 66-tahun mengkonsumsi amiodarone 1200 mg/minggu

ada ditandai perpanjangan interval QT, untuk 680 ms, gelombang P berikutnya

jatuh dalam refraktori sebelumnya mendahului dan tidak mampu untuk

memulai konduksi. Hal ini mengakibatkan blok atrioventrikular. Amiodaron

dihentikan dan interval QT dinormalisasi dengan time-course konsisten

dengan panjang waktu paruh amiodaron. Sebuah terapi berikutnya dengan

amiodaron intravena menyebabkan perpanjangan lebih lanjut interval QT.

4.6.5 Efek Samping pada Metabolisme Lemak

Amiodaron meningkatkan konsentrasi fosfolipid dalam jaringan dan ini

mungkin menjadi penyebab beberapa efek merugikan. Meskipun hiperlipidemia

dapat berakibat pada hipotiroidisme, amiodaron juga dapat meningkatkan kadar

kolesterol secara independen dari efek tiroid. Efek pada konsentrasi trigliserida

tidak jelas.

4.6.6 Efek Samping pada Liver

Amiodaron sering menyebabkan peningkatan aktivitas serum aspartat

transaminase dan laktat dehidrogenase sekitar dua kali normal, tanpa perubahan

alkali fosfatase (ALP) atau bilirubin dan tanpa bukti klinis disfungsi liver.

Perubahan semacam ini awalnya dilaporkan sementara dan berhubungan dengan

dosis, kondisi akan kembali ke normal bila dosis dikurangi. Namun amiodaron

juga dapat menyebabkan kerusakan hati, yang biasanya berupa hepatitis terkait

dengan hepatitis alkoholik, dalam beberapa kasus ada perkembangan sirosis.

Resiko kerusakan hati pada pasien yang memakai amiodaron tidak diketahui,

tetapi kerusakan yang relatif berat dapat terjadi bahkan tanpa gejala dan terkait

Page 55: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

dengan perubahan dalam tes faal hati.

4.6.7 Efek Samping pada Paru-paru

Toksisitas paru adalah salah satu efek samping yang parah yang

berhubungan dengan terapi amiodaron. Beberapa literatur telah menyarankan

bahwa mungkin terjadi pada hingga 10% pasien. Resiko toksisitas paru-paru

adalah sekitar 5-6% dan terbesar selama 12 bulan terapi dan antara pasien berusia

40 tahun ke atas dengan tingkat kematian sekitar 9%. Amiodarone menyebabkan

kerusakan paru-paru baik oleh deposisi langsung fosfolipid dalam jaringan paru-

paru atau oleh jaringan paru-paru atau oleh beberapa imunologis reaksi

termediasi. Mekanisme lain termasuk kerusakan media oksidan, efek deterjen

langsung dan efek toksik langsung iodida. Aktivitas serum laktat dehodrogenase

(LDH) mungkin terkait dengan terjadinya amiodaron-induced pneumonitis.

Aktivitas LDH di cairan lavage bronchoalveolar juga meningkat, mekanismenya

antara lain kebocorna laktat dehidrogenase dari sel interstitial paru ke dalam

darah. Tentu saja, kenaikan dalam aktivitas serum LDH sangat non spesfifik, dan

tidak jelas apakah hal itu juga timbul dalam cairan lavage bronchoalveolar jika

dalam kondisi lain.

4.6.8 Efek Samping pada Sistem Saraf

Toksisitas neurologis merupakan efek samping amiodaron. Sebuah studi dari

10 pasien diobati dengan amiodaron selama lebih dari dari 2 tahun menemukan

bahwa ada korelas antara dosis tinggi dengan konsentrasi serum yang tinggi dari

amiodaron. Efek lainnya lainnya yang telah dilaporkan termasuk delirium,

parkinsonian tremor dan psueotumor cerebri. Pada pasien dengan rentang usia 54-

80 tahun terjadi kondisi delirium, dalam sekitar 4-17 hari pemakaian terapi

amiodaron. Kondisi ini meningkat jika penggunaan amiodaron dihentikan

(withdrawal). Neuropati perifer kemungkinan disebabkan lipidosis intraseluler.

4.6.9 Efek Samping pada Kulit dan Rambut

Page 56: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Efek samping pada kulit yang umum terjadi adalah reaksi fotosensitif.

Pasien yang terkena disarankan untuk memakai pakaian pelindung dan

menghindari papara sinar matahari. Sediaan sunblock topikal yang mengandung

Zn atau titanium oksida, dapat mengurangi resiko dan pengurangan dosis

amiodaron juga mungkin berguna. Fotosensitifitas mungkin akan berlanjut selama

beberapa minggu setelah penghentian terapi amiodaron karena distribusi yang

luas. Blue grey dan golden-brown pigmentation akibat kulit terpapar cahaya telah

dilaporkan selama penggunaan long-term terapi amiodaron. Pigmentasi biasanya

berjalan lambat dan bersifat reversibel jika terapi dihentikan, tetapi mungkin tidak

sepenuhnya hilang. Konsentrasi rata-rata amiodaron dan metabolit desetilnya pada

pigmen kulit yang terpapar ditemukan 10 kali lipat konsentrasi pada kulit yang

tidak terpapar. Perubahan warna pada cairan semen dan keringat juga telah dicatat.

Vasculitis kulit, dermatitis exfoliatif dan necrolisis epidermal toksiisitas juga

dilaporkan sebagai efek samping amiodaron. Alopecia juga dilaporkan sebagai

efek samping amiodaron, namun efek menumbuhkan rambut juga dilaporkan

dimiliki oleh amiodaron dengan mekanisme aktifitas vasodilator. Ekstravasasi

akibat injeksi amiodaron juga dapat menyebabkan necrosis kulit yang parah.

4.6.10 Efek Samping pada Fungsi Tiroid

Amiodaron memiliki efek kompleks pada fungsi tiroid, dimana pasien

euthyroid tetap menerima terapi amiodaron, hipotiroid dan hipertiroid dapat

terjadi. Amiodaron mempunyai efek langsung pada kelenjar tiroid, tetapi juga

mengubah konsentrasi serum pada hormon tiroid, yang dapat mempersulit

interpretasi hasil lab tes fungsi tungsi tiroid. Penggunaan amiodaron menghasilkan

suatu penurunan pada konversi tiroksin periferal (T4) menjadi T3 dan suatu

peningkatan pada reverse konsentrasi T3.

Basal serum konsentrasi TSH meningkat awalnya tetapi cenderung kembali

normal setelah sekitasr 3 bulan pengobatan. Prevalensi klinis hipo- dan

hipertiroidisme tampaknya berkorelasi dengan asupan diet yodium, dengan

kejadian hipotiroidisme lebih umum pada area yanng cukup intak yodiumnya dan

hipertiroidisme di area dengan asupan yodium rendah. Meskipun mekanisme

toksisitas yang tepat belum diketahui, amiodaron memiliki kandungan yodium

Page 57: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

yang tinggi (sekitar 75 mg yodiun dalam setiap tablet 200 mg) dan kandungan

yodium yang tinggi dapat mempengaruhi tiroid terutama pada pasien dengan

underlying subclinical thyroid defect. Mekanisme autoimun mungkin juga

berkontribusi dan antitiroid antibodi dapat terdeteksi selama pemakaian

amiodaron. Loading yodium tinggi nampaknya merupakan mekanisme utama dari

hipotiroid, tetapi untuk hipertiroid ada 2 mekanisme.Type I amiodaron-induced

tirotoksikosis nampaknya mempresipitasi loading yodium, sedangkan tipe II

amiodaron-induced tirotoksikosis akibat destruksi tiroiditis yang disebabkan oleh

efek samping langsung pada kelenjar tiroid. Penilaian fungsi tiroid dianjurkan

pada pasien sebelum memulai terapi amiodaron dan dilakukan rutin secara berkala

selama terapi. Konsentrasi TSH harus diukur bersamaan dengan T3 dan T4.

Amiodaron-induced hipertiroid adalah masalah yang lebih kompleks dan

mungkin sulit untuk didiagnosa dan dimanage. Gejala umumnya antara lain

takikardi, tremor, penurunan berat badan, gugup, lekas marah, namun dalam kasus

lain munculnya kembali angina atau emmburuknya aritmia mungkin merupakan

suatu indikasi. Amiodarone biasanya dihentikan jika hipertiroid klinis

berkembang, tetapi dapat diperpanjang jika diperlukan. Pengobatan tipe I

biasanya dengan obat carbimazole, thiamazole atau propylthiouracil. Dalam kasus

resiten kalium perklorat, dapat digunakan tiourea untuk m. engurangi loading

yodium tiroid. Lithium karbonat juga telah digunakan sebagai alternatif, namun

fungsiny belum established. Pada tipe II tirotoksikosis, pengobatan biasanya

dengan kortikosteroid, dan mereka juga dapat digunakan dengan tiourea. Media

oral cholecystografik kontras seperti seperti iopanoic acid juga digunakan tetapi

nampaknya kurang efektif. Radio-iodin dapat digunakan tetapi mungkin tidak

efektif jika uptake radio iodin oleh tiroid rendah akibat loading iodin dari

amiodaron. Radio-iodin juga telah digunakan untuk memungkinkan restart

pemberian terapi pada pasien dengan riwayat amiodaron-induced hipertiroidisme.

Tiroidektomi mungkin juga memiliki peran dalam pengobatan pada resistensi

amiodaron-induced hipertiroidisme.

4.7 Interaksi Obat dan Makanan

Page 58: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

Amiodaron harus digunakan hati-hati dengan obat yang lain yang dapat

menginduksi bradikardi, seperti beta bloker, Ca Channel bloker dan dengan anti

aritmia yang lain. Obat digunakan dengan obat aritmogenik terutama yang dapat

memperpanjang interval QT seperti antipsikotik fenotiazin, anti depresan trisiklik,

halofantrine dan terfenadin, juga harus dihindari obat yang menyebabkan

hipokalemi atau hipomagnesemia yang juga bisa meningkatkan resiko aritmia

dengan amiodaron.

Amiodaron dimetabolisme oleh sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dan

CYP2C8 dan interaksi mungkin terjadi dengan inhibitor enzim ini, terutama

dengan inhibitor CYP3A4 seperti HIV-protease inhibitor, cimetidin dan grapefruit

juice. Inducer enzim seperti rifampisin dan fenitoin dapat mengurangi konsentrasi

amiodaron. Selain itu amiodaron adalah inhibitor sitokrom P450 beberapa

isoenzim, termasuk CYP3A4 dan CYP2D6, sehingga dalam konsentrasi plasma

yang lebih tinggi dari obat lain dimetabolisme oleh enzim ini, contohnya antara

lain termasuk siklosporin, clonazepam, digoxin, flecainid, fenitoin, procainamid,

quinidin, simvastatin, dan warfarin. Amiodarone juga menghambat P-glikoprotein

dan dapat mempengaruhi obat yang merupakan P-glikoprotein substrat. Berikut

ini interaksi amiodaron dengan beberapa obat dan makanan (Baxter, 2010):

11 Amiodaron + Betabloker

• Efek Samping : Hipotensi, bradikardi, fibrilasi ventrikel dan asistole

muncul pada pasien yang diterapi amiodaron dengan propranolol,

metoprolol atau sotalol.

• Mekanisme : Amiodaron meningkatkan kadar metoprolol yang dapat

meningkatkan efek terapi. Meskipun analisis studi klinis menyarankan

bahwa kombinasi amiodaron dan beta bloker dapat menguntungkan, efek

samping potensial harus tetap diwaspadai.

11 Amiodaron + Kalsium Channel Bloker

• Efek Samping : Peningkatan efek kardiak depresan

• Mekanisme : Potensiasi dari negatif chronotropics, jika pemberian

amiodaron bersamaan dengan pemberian diltiazem maupun verapamil

11 Amiodaron + Siklosporin

Page 59: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

• Efek Samping : nefrotoksisitas

• Monitoring : dosis

11 Amiodaron + Digoxin

• Efek samping : toksisitas digitalis, interaksi terjadi pada kebanyakan

pasien, dan akan jelas terlihat setelah beberapa hari

• Monitoring : dosis

11 Amiodaron + disopiramid

• Efek samping : Peningkatan efek prolong dari Interval QT, menyebabkan

resiko aditif, mengarah ke perkembangan torsade de pointesdan berpotensi

mengancam nyawa

• Monitoring : Dosis, dosis harus dikurangi 30-50% beberapa hari setelah

memulai terapi amiodaron. Kebutuhan terapi disopiramid harus dipantau,

dan dihentikan jika memungkinkan. Dosis awal disopiramid harus sekitar

setengah dari dosis normal yang dianjurkan

11 Amiodaron + diuretik

• Efek samping : resiko hiperkalemi

• Mekanisme : ringan-moderat inhibitor CYP3A4 diperkirakan

meningkatkan kadar eplerenon, yang dapat meningkatkan resiko

hiperkalemi

11 Amiodaron + flecainid

• Efek samping : Kadar flecainid meningkat 50% oleh amiodaron, suatu

penelitian melaporkan kejadian torsade de pointes pada pasien menerima

terapi amiodaron dan flecainid

• Monitoring : mengurangi dosis sepertiga hingga setengah jika

ditambahkan terapi amiodaron, dan monitoring efek samping flecainid.

Interaksi mungkin terjadi 2 minggu atau lebih.

11 Amiodaron + grapefruit juice

• Efek samping : Meningkatkan konsentrasi amiodaron

• Mekanisme : inhibisi metabolisme amiodaron menjadi metabolitnya,

meningkatkan kadar AUC amiodaron 50% dan meningkatkan kadar serum

84%, yang dapat memicu toksisitas

Page 60: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

11 Amiodaron + H2Bloker

• Efek samping : peningkatan sedang kadar amiodaron pada beberapa pasien

111 Amiodaron + levotiroksin

• Efek samping : peningkatan kadar TSH dan juga menyebabkan

hipotiroidisme

• Monitoring : Tes fungsi tiroid pada semua pasien sebelum memulai terapi

amiodaron

111 Amiodaron + lidocain

• Efek samping : suatu laporan menunjukkan kejadian kejang pada seorang

pasien yang menerima terapi lidokain, 2 hari setelah amiodaron dan

sinoatrial arrest pada pasien lain dengan sick sinus syndrome pada pasien

yang menerima 2 obat tersebut bersamaan.

• Monitoring : kondisi klinis pasien

111 Amiodaron + fenitoin

• Efek samping : Kadar serum fenitoin dapat meningkat dengan amiodaron,

ditandai pada beberapa individual (berdasarkan laporan, terjadi 4 kali

peningkatan). Kadar serum amiodaron berkurang dengan adanya fenitoin.

• Monitoring : Pengurangan dosis 25-30% pada fenitoin telah

direkomendasi pada pasien yang mendapat 2-4 mg/kg perhari, tetapi harus

diingat bahwa perubahan pada dosis fenitoin mungkin dapat menyebabkan

pada kadar fenitoin, karena kinetik fenitoin merupakan kinetik non-linear.

Efek klinis dari efek amiodaron, tidak begitu jelas.

111 Amiodaron + warfarin dan antikoagulan oral lainnya

• Efek samping : Efek antikoagulan warfarin, phenprocoumon dan

acenocoumarol meningkat karena amiodarone pada kebanyakan pasien

dan pendarahan mungkin terjadi. Interaksi obat ini lambat (sampai 2

minggu).

• Dosis : Dosis warfarin dan phenprocoumon harus dikurangi dengan

sepertiga sampai dua pertiga jika amiodaron ditambahkan. Dosis

acenocoumarol harus berkurang antara 30% - 50%. Namun, pengurangan

Page 61: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

dosis yang disarankan hanya secara general untuk tiap individu pasien

mungkin perlu lebih atau kurang. INR.

• Monitoring : INR (International Normalised Ratio) (waktu protrombin

time) seharusnya dimonitor selama pemberian terapi. Satu studi

menyarankan pemantauan mingguan pada 4 minggu pertama.

111 Amiodaron + Statin

• Efek samping : Ada beberapa bukti tingginya insiden miopati ketika

amiodaron diberikan dengan dosis tinggi simvastatin, namun, kasus

miopati dan rhabdomyolysis jarang dilaporkan pada pasien yang memakai

kombinasi ini. Lovastatin memiliki interaksi yang sama dengan

amiodaron.

• Monitoring : Hal ini umumnya direkomendasikan bahwa dosis simvastatin

tidak boleh melebihi 20 mg per hari pada pasien yang menerima terapi

amiodaron, kecuali manfaat klinis yang cebderung lebih besar daripada

peningkatan resiko miopati dan rhabdomyolisis. Namun salah satu

produsen obat di Inggris, melabelkan kontraindikasi pada obat golongan

statin. Para produsen lovastatin menunjukkan dosis maksimum 40 mg

sehari pada penggunaan bersamaan dengan amiodaron.

4.8 Precaution dan Monitoring

Amiodaron tidak boleh diberikan kepada pasien dengan kondisi bradikardi,

blok sino-atrial, AV blok atau gangguan konduksi parah lainnya (kecuali pasien

memiliki alat pacu jantung), hipotensi berat, atau gagal napas. Amiodaron dapat

digunakan tetapi dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung. Gangguan

elektrolit harus diperbaiki sebelum memulai pengobatan. Penggunaan amiodaron

harus dihindari pada pasien dengan sensitivitas yodium, atau terbukti memilik

gangguan tiroid. Pasien yang menerima terapi amiodaron harus menghindari

paparan sinar matahari. Fungsi tiroid harus dipantau secara teratur untuk

mendeteksi amiodaron-induced hiper- atau hipotiroidisme. Konsentrasi tiroksin,

tri-iodotironin dan tirotropin (TSH) harus diukur, penilaian klinis penting namun

tidak dapat diandalkan begitu saja. Tes fungsi hati dan paru juga harus dilakukan

secara teratur pada pasien pada terapi jangka panjang. Pemeriksaan optalmologik

Page 62: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

seharusnya juga dilakukan rutin setiap tahun. Meskipun ekskresi urin bukan rute

utama eliminasi amiodaron dan metabolitnya, ada kemungkinan adanya akumulasi

yodium pada gangguan renal. Injeksi intravena amiodaron harus diberikan secara

perlahan. Jika infus diperpanjang atau berulang dibutuhkan untuk terapi,

penggunaan kateter vena sentral harus dipertimbangkan. Beberapa kontra indikasi

untuk amiodaron mungkin tidak terjadi bila pemberian secara intravena dalam

kondisi darurat (emergency) (Sweetman, 2009).

4.9 Stabilitas

Amiodarone hydrochloride disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari

cahaya, dan suhu yang terlalu tinggi.

Amiodarone direkonstitusi dengan D5W hingga didapat 1-6 mg/mL,

campuran stabil pada suhu kamar selama 24 jam pada polyolefin atau kaca,

atau selama 2 jam dalam PVC. Infus > 2 jam harus ditempatkan pada kaca

atau botol polyolefin. Jangan menggunakan evacuated glass container. Buffer

dapat menyebabkan presipitasi

(Lacy, 2009; Trissel, 2009).

Page 63: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

DAFTAR PUSTAKA

1. Aaronson, Philip I. dan Ward, Jeremy P.T. 2007. At a Glance Sistem

Kardiovaskular edisi 3. Jakarta : Erlangga

2. Aronson, JK. 2005. Meyler’s Side Effects of Drugs, The International

Encyclopedia of Adverse Drug Reaction and Interactions 15th Edition.

Oslo. p. 148-173

3. Baxter, Karen. 2010. Stockley’s drug Interaction, 9th ed. London:

Pharmaceutical press. P. 41-45.

4. Cannom, D.S., and Prystowsky, E.N., 1999. Clinical Cardiology Management

of Ventricular Arrhythmias: Detection, Drugs and Devices. American

Medical Association. Vol. 281, No.2.

5. Harris, L., McKenna, WJ., Rowland, E., Holt, DW., et al., 1983. Side Effects

of Long-Term Amiodarone Therapy. Dallas. American Heart Association,

Inc. p.1-8.

6. Herendael, H.V., and Dorian, P., 2010. Vascular Health and Risk Management:

Review Amiodarone for the Treatment and Prevention of Ventricular

Fibrillation and Ventricular Tachycardia. Dove Medical Press Ltd., Vol. 6, p.

465-472.

7. Joint National Committee, 2009. British National Formulary, 58th Ed.

London: BMJ Group and RPS Publishing.

8. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2009. Drug

Information Handbook, 18th Ed., United States: Lexi Comp Inc.

9. Letelier, L.M., Udol, K., Ena, J., Weaver, B., Guyatt, G.H., 2003.

Effectiveness of Amiodarone for Conversion of Atrial Fibrillation to Sinus

Rhythm. Arch Intern Med, Vol.163, p.777-785.

10. Loscarzo, Joseph. 2010. Harrison’s : Cardiovascular Medicine. New York :

Mc Graw Hill

11. Sweetman S.C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference. 36th Ed.

London: The Pharmaceutical Press.

Page 64: Amiodaron kelompok2 mfk 2013

12. Tatro, David S., 2003. A to Z Drug Facts. Facts and Comparisons.

13. Tisdale, J.E., 2008. Arrhythmias. In: Burns, M.A.C., Wells, B.G.,

Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro,

J.T., Pharmacotherapy Principles and Practice, The McGraw-Hill

Companies, Inc..

14. Tisdale, J.E., 2011. Arrhythmias. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C.,

Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., Pharmacotherapy, A

Pathophysiologic Approach, The McGraw-Hill Companies, Inc..

15. Trissel, L.A., 2009. Handbook of Injectable Drug, 15th Ed. Maryland:

American Society of Health-System Pharmacists, Inc.

16. Vassalo, P, and Trohman, R.G., 2007. Clinical Review: Prescribing

Amiodarone: An Evidence Based Review of Clinical Indications. Journal

American Medical Association, Vol. 298, No. 11.