alleuita
Embed Size (px)
TRANSCRIPT

„alleuita !“
Etnografi Mentawai
„moile moile!“
intro:
Kepulauan Mentawai:
Kepulauan Mentawai terdiri dari empat Pulau yang besar, yaitu Pagai Selatan/ Utara
(1.675 km2), Sipora (845km2) dan Siberut (4.030km2), terletak 85 sampai 155 km dari
pantai Sumatra Barat diantara Oº 55’ dan 3º 20’ Lintang Selatan dan 98º 31“ dan 100º 40’
Bujur Timur. Pada tahun 1999 Kepulauan Mentawai menjadi Kabupaten dengan ibu kota
Tua Pejat (Sipora) sebelumnya Kep. Mentawai masuk Kabupaten Pariaman..
Fakta geografi, geologi, biologi
- laut/ selat Mentawai sedalam 1500m.
- terpisah dari daratan lain sejak kira kira 500.000 tahun.
- flora dan fauna terpelihara dari perubahan evolusi dinamis di daratan Sunda Shelf (Sumatra,
Jawa, Kalimantan) dan benua Asia, sehingga menunjuk tingkat endemis yg.luar biasa (mamalia
65%).
- pulau non- vulkanis, dipenuhi lumpur, tanah liat bercampur kapur sedikit batuan schist dan
kwarts serta batuan vulkanis (dari Sumatra) yg. relatif mudah.
- susunan sedimen mudah, tidak tahan erosi menyebabkan dareah lapang, terpotong oleh banyak
sungai/ aliran air, sedikit berbukitan yang curam dengan puncak yang hampir rata tingginya
(tertinggi 384m.).
- pola drainase pulau yg. ruwet, batang air curam di berbukitan menjadi sungai/anak sungai yang
berkelok kelok di dataran.
- iklim khatulistiwa yang basah (curah hujan >3300mm/ tahun) tanpa musim kering sama sekali,
hujan terjadi lebih 50% hari setiap bulan, dengan curah hujan tertinggi pada bulan April
(290mm) dan Oktober (390mm).
- sering terjadi banjir dan sunggai selalu mengandung/ membawa banyak tanah lumpur yang
menciptakan daratan aluvial sepanjang pantai timur dengan garis pantai yang tidak rata banyak
teluk/ tanjung, pulau kecil serta berbatuan karang.

- pantai barat yang menerima gelombang Samudra Hindia langsung bergaris agak lurus dengan
pantai pasir/ batu dan tidak dapat dilayari kapal secara umum.
(WWF 1980: 3ff.)
Tipe hutan (P. Siberut)
- Hutan Primer Dipterocarp: terdapat di daratan tinggi yaitu bukit- bukit sampai ke punjak. Hutan
ini didominasi oleh pohon dari genus Dipterocarpus, Hopea dan Shorea (familia
Dipterocarpaceae), serta pohon besar dari genus Palaquium (familia Sapotaceae) dan
Hydnocarpus (familia Flacourtiaceae). Rata rata ketinggian kanopi sekitar 35m dengan pohon
menjulang setinggi 70m. Tumbuhan menjalar dan epifit hanya terdapat sedikit, seperti halnya
dengan rotan besar. Banyak jenis kayu berkualitas yang terdapat di Indonesia (Keruing,
Mersawa, Meranti, Kapur, Balau dll.) termasuk familia Dipterocarpaceae.
- Hutan Primer Campuran: terdapat di lereng bukit dan bukit rendah. Variasi tumbuhan besar
tanpa ada jenis yg. dominan dan vegitasi tanah sering rapat. Ketinggian kanopi rata rata 25-
30m, dengan hanya sedikit pohon menjulang diantara ada dari genus Shorea, Durio dan
Dipterocarpus. Di hutan ini terdapat juga banyak palma terutma Oncosperma horridum dan
beberapa jenis rotan dan banyak tumbuhan lain yang merambat sampai ke kanopi..
- Hutan Paya Tawar, terdapat di beberapa daerah daratan timur dan beberapa tempat di daerah
pendalaman. Tumbuhan tanah termasuk palma bulu, rotan, pandan dan aroids dengan pohon
terutama Terminalia phellocarpa.
- Hutan bakau terdapat sepanjang pantai timur dimana laut dankal dengan karang karang. Hutan
ini terdiri dari bakau pendek dari jenis Rhizophora dan pohon bakau dari jenis Bruguiera. Di
tepi muara sungai sampai ke pinggir hutan bakau terdapat Nipa fructicans.
- Hutan Barringtonia terdapat di daratan rendah di belakang tepi pantai barat yang curam. Disini
tumbuh pohon Casuarina equisetifolia diseling semak Barringtonia, Hibiscus dan Pandanus.
Sekitar 15% dari flora adalah endemis dan banyak tumbuhan yang tidak endemis memiliki ciri yang khas seperti Metroxylon sagu yang tumbuh sangat besar (tinggi sampai 18m).
Fauna
Dari Fauna Mentawai paling menarik adalah mamalia (27 spesis) dengan tingkat
endemis 65%, termasuk satwa terkemuka yaitu empat jenis kera/ monyet.
Mamalia carnivora besar tidak terdapat di kepulauan Mentawai dan pemangsa utama
adala ular sanca (Python reticulatus) yang sering makan ayam dan babi peliharaan.
Buaya (Crocodylos porosus) pernah sering dijumpai karena jarang diburu oleh
masyarakat Mentawai, tetapi tahun 1970an diburu hampir habis oleh pemburu

mendatang. Di perairan timur hidup mamalia laut ikan duyung (Dugon dugon), tetapi
satwa ini sangat terancam puna.
Empat primata Mentawai merupakan warisan alamiah Indonesia yg. sangat khusus, serta
berperan penting dalam kehidupan masyarakat Mentawai.
- Bilou (Hylobates klossii) merupakan ungko (gibbon) yang paling primitif antara ungko di
Indonesia. Bilou jarang sekali diburu oleh masyrakat karena terdapat banyak larangan (tabu),
tetapi sangat diancam oleh kegiatan logging.
- Joja (Presbytis potenziani) atau lutung Mentawai mempunyai tingkahlaku sosial yang unik
dalam marga lutung yang besar. Joja sering diburu dan juga sangat terancam oleh kegiatan
logging.
- Simakobu (Siamas concolor) menurut banyak ahli merupakan marga monyet sendiri, yang
paling dekat dengan marga Nasalis di Kalimantan. Simakobu terdapat dengan dua variasi warna
yaitu kelabu tua dan keemasan. Simakobu sangat mudah diburu karena tidak lari jauh tetapi coba
„bersembunyi“, tetapi yang berwarna emas agak ditakuti oleh masyarakat.
- Bokkoi (Macaca pagensis) paling dekat hubungan dengan beruk di Sumatra tetapi mempunyai
warna bulu dan pekik yang berbeda. Bokkoi hidup dalam kelompok paling besar dan mempunyai
habitat yang paling luas dan bervariasi diantara kera Mentawai. Bokkoi juga sering diburu tetapi
paling tahan terhadap kegiatan logging, karena kebiasan turun ke tanah.
Primata Mentawai menarik banyak perhatian (ilmuwan) internasional dan menjadi
primadona konservasi.
Demografi
Berkait dengan data demografis Kepulauan Mentawai terdapat beberapa hal yang
problematis, diantara;
- tidak diperbedakan antar penduduk asli (suku bangsa Mentawai) dan pendatang
- pola pemukiman tradisional yang berpisah pisah dan terpencil (khusus di
Siberut), serta sifat penduduk asli yang cenderung curiga terhadap instansi
pemerintah.
sehingga interpretasi data data berikut agar sulit:Siberut Sipora Pagai Jumlah
Census 1930: 9,268 (2,0 P/ km²) 3,892 (4,6 P/ km²) 4,940 (2,9PO/ km²) 18,100 1980: 18,149(4,0 P./ km²) 6,957 (8,2 P./ km²) 12,077 (7,2 P./ km²) 37,183 ~33,000 asli 2006: 64,235
(Nooy- Palm 1968: 161, WWF1980:1, www.wickipedia.com).

Etnografi „emis“
“Emis” dan “Etis” adalah istilah yang digunakan dalam Ilmu Sosial/Antropologi untuk mengambarkan pendekatan (penelitian) dan sudut pandang (tulisan/ karya) yang berbeda...
emis bermakna “dengan mata orang dalamnya (insider)” satu kebudayaan atau sistem sosial , yaitu sudut pandang satu deskripsi adalah perpspektif dari objek penelitian sendiri.
etis bermakana “lihat dari luar”, yaitu satu deskripsi yang bersandar pada pengetahuan dan leksikal sang peneliti.
Legenda:
italic kata bahasa Mentawai
„... “ arti kata/ makna
/ synonim
→ kutipan/ referensi literatur
nama klasifikasi ilmiah (biologi)
Sejarah Etnografi:
Di abad ke 16.- 17. pengatahuan di Negara Barat tentang kepulauan Mentawai terbatas pada
laporan pelaut yg amat jarang. 1561 Dias, 1600 Neck, Pieresz (“Nassau”,”Goed Fortuin”),
1621 Beaulieu (“Montabey”)
Di pertengahan abad ke 18. orang inggris (dari Bengkulu) mencoba bangun perkebunan di
Pagai (“Poggy”)
Di abad ke 19. Kepulauan Mentawai dan penduduknya mulai diteliti dan dideskripsi
meskipun kualitas penelitian dan tulisan beragam (Crisp 1799, v. Rosenberg 1853, Maas
1905, Kruit 1924, Wirz 1929, Loeb 1935)
Dengan Nooy- Palm (1976) dan Wagner (1988) dll., dan terutama Reimar Schefold 1972,
1974, 1988 dll. catat era etnografi modern/ berkualitas.
Etnolimguistik:
nganga Mentawai „Bahasa Mentawai“
- termasuk rumpun bahasa Austronesia
- kerabat dengan bahasa Austronesia terdekat (Nias dan Batak) hanya sekitar 17%
- terpecah paling sedikit ke dalam 13 dialek geografis
- perbedaan leksikal terbesar terdapat antar dialek Terekan (Sib. Utara) dan Sipora/ Pagai
dengan angka kesamaan (Swadeshlist) hanya 64%

- tingkat kesamaan leksikal yg. besar terdapat antar Sarereiket, Silaoinan. Saibi di Siberut
(berkisar antar 88% - 93%) dan dialek Sikakap (Pagai), Sipora, Taileleu dan Maileppet
(Sib.Sel) dengan 93% - 94%.
- perbatasan leksikostatistik yang cukup jelas terdapat antar kelompok empat dialek selatan
tersebut dan dialek lainya.
- tingkat kerabat antar dialek di Siberut Utara lebih kecil dibanding antar dialek Siberut
Selatan dan Sipora serta Pagai.
(Pampus 1989)
kosmologi
manua: langit
laggo: bulan
urat: hujan
koat: laut
aggau: musim badai/ anggau (Aug- Nov)
sulu: mata hari→ sun (Cannizzaro 1964: 191).
katciu: kiri
katoet: kanan
sirimanua: „yang hidup“,manusia
sasareu: „yang dari jauh“, orang asing/ pendatang (istilah berdampak negatif),
dugunakan untuk orang Indonesia lain tetapi tidak untuk orang barat
(turi)
simanteu: laki laki/ suami→ man (Krämer 1907: 41), man living in a lalep
(Nooy- Palm 1972: 44), man/ maskulin/ southern language also
husband (Pampus 1989: 82).
sinanalep: perembuan/ istri→ married in a lalep living woman/
referenceterminus for all feminin kin in the first parentalgeneration
(Nooy- Palm 1968: 204), woman/ feminin (Pampus 1989:
82).
sakalagan: penduduk Pagai→ „man of the village“(„manusia desa“), /
inhabitants N- a. S-Pagais (Nooy- Palm 1972: 41), sakalagai

(Krämer 1907: 41); dialect of Sipora, N- a. S- Pagai (Wagner 1988:
239).
sakalelegan: penduduk Sipora→inhabitants of Siporas (Nooy- Palm 1972: 41),
sakobau (Nooy- Palm 1972: 41), sakobou (Krämer 1907: 41).
bangunan/ pemukiman
uma: rumah suku → house of sib (Börger 1932: 21), community house/
exogam, patrilineare, genealogical unit (Suzuki 1958: 8), big hut of a
rimata (Cannizzaro 1964:50), meeting hall (Wirz 1929: 15), big
house (Pleyte 1901: 6), longhouse (Lindsay 1992: 11), patrilinear
Klan/ Klanhaus (Wagner 1981: 4, Schefold 1988 a: 120, 229), group
of population (Rassers 1927: 146).
lalep: keluarga, rumah keluarga→ family (Schefold 1988 a: 219); house
(Börger 1932: 20), / ..with altar a. cooking place (Nooy- Palm 1972:
42); family/ family house (Karny 1926: 35; Cannizzaro 1964: 47),
extended family (Suzuki 1958: 8), family house/ family room in a
uma (Loeb 1935: 161/ 162).
sapou: pondok ladang, rumah keluarga→ fieldhut (Loeb 1928: 410).
rusuk: pondok “remaja/ asmara“, institusi hubungan pranikah di Sipora, →
„pre marriage“- hut without buluat (Nooy- Palm 1972: 43),
bachelor- widow house (Loeb 1935: 161)/ familyhouse beside a uma
at Siberut (Schefold 1988 a: 120). / purusuat house without
sanctuary (Coronese 1980: 23).
sapou abak: pondok sampan→ boat house (Kis- Jovac 1980: 28).
sapou gougou: pondok ayam→ chicken shelter (Kis- Jovak 1980: 26).
tobat: atap→ roof/ roofelemet (Kis- Jovak 1980: 23; Maass 1902: 248).
ruag: ruang/ pembagian uma→ space in a uma between two cross-
constructions (Schefold 1988 a: 108).

arigi: tonggak rumah→ housepost (Schefold 1980: 25), arigi batukerebau
main post of an uma (Coronese 1980: 13).
siegge legeu: „Yang tunggu cuaca yg. bagus“, tonggak uma khusus (tempat
bakkatkatsaila)→ „who wait for good weather“/ least errected
housepost of an uma (Schefold 1972: 37).
baibai: peran rumah→cross- beam in an uma constrution (Kis- Jovak 1980:
20).
orat: tangga rumah→ carved tree log, which function as stairs (Schefold
1988 a: 112).
gare/ laibo: beranda muka→front/ access gangway (Schefold 1988 a::112).
kalaibokat
tengan uma: „tengah rumah“, ruang pertama→„center of the house“/ first room
(Schefold 1988 a: 114).
puturukat: tempat tari→ dance floor of an uma (Coronese 1980: 144; Schefold
1988 a: 115).
bat uma: bat sapou „didalam rumah“, ruang kedua/ dapur→ bat sapou „inner
part of the house“, second room/ kitchen (Schefold 1988 a: 296;
118).
abu: tempat api→ fireplace
gare ka kot uma: beranda belakang→ platform in the back / rear gangway (Schefold
1988 a: 120).
bakkat katsaila: „pemilik katsaila“, jimat utama dalam uma / seperangkat daun
gaib→ main fetisch of an uma (Schefold 1980: 105).
buluat: jimat utama dalam uma/ lalep→ main altar (Loeb 1935: 162), fetisch
of flowers, plants (Nooy- Palm 1968: 178), altar in a lalep (Nooy-
Palm 1976: 296), fetisch im lalep (Coronese 1980: 13), sibuluat
house altar (Karny 1926: 35).
ngong: gong perunggu→ bronzegong (Coronese 1980: 151).

umat simagere: „mainan roh“, patung burung/ ukiran kayu →„Spielzeug für die
Seelen“ toy for the souls/ geschnitzte und bemalte Vogelskulpturen
(Schefold 1988 a: 440).
jaraik: jimat, ukiran kayu → Ornamentale Holzschnitzerei/ Fetisch
tuddukat: seperangkat (tiga atau empat) gendang kayu→ dreiteilige
Schlitztrommeln, drumset of three pieces (Halusa 1938: 15).
laggai: „batu/ krakal“, kampung→„Kiesel/ Stein“, Bezeich. f. den
Herkunftsort einer Person auf Siberut, place of origin of a person
(Schefold 1988 a: 236), Dorf, village (Krämer 1907: 37; Börger
1932: 20; Nooy- Palm 1972: 42)), lälägai Dorfgemeinschaft (Pleyte
1901: 31).
pulaggajat: lembah sungai/ wilayah pemukiman→ Talschaft, settlements in a
valley (Schefold 1988 a: 236).
sibakkat laggai: „pemilik batu“/suku pemilik tanah→„Besitzer der Steine“/
Eigentümer eines Klangebietes/ erste Siedler (Schefold 1988 a: 230).
sitoi: „yang datang“, pendatang baru di satu wilayah→„Der
Ankömmling“/ Zuwanderer/ Neuling in einem Siedlungsgebiet
(Nooy- Palm 1972: 43; Schefold 1988 a: 230; Djajadinata 1968:
245), plural: tatoit (Nooy- Palm 1968: 170).
barasi: „bersih“, desa/ dusun→ (Reeves 2001)
oinan: air, bat ... sunggai→ Wasser/ Fluß (Coronese 1980: 14), (Nooy-
Palm 1968: 170), Wasser (Pampus 1989: 86).
porak: bumi/ tanah→ land, earth (Reeves 2001,Loeb 1935: 169),)
tinunggulu: ladang baru→Neuangelegtes Rodungsfeld (Schefold 1988 a: 138).
mone: ladang
leleu: rimba/ bukit→Wald (Börger 1932: 25).
alaman: pondok pemburu→Einfacher Jagdunterschlupf/ Hütte (Schefold
1988 a: 129, 326).
struktur, kehidupan sosial/ kerabat
uma: patriklan, suku→Deszendenzgruppe

lalep: keluarga inti→ Kernfamilie
muntogat: „punyai anak“, nama untuk Deszendenskategori yg. eksogam di
Sipora, Pagai→ exogamer Klan, Patrilinie auf Sipora u. Pagai ca. 25
(Nooy- Palm 1972: 42; ebd 1976: 288; Schefold 988 a: 246).
rara: „kelompok“,Deszendenzkategori yg. eks, d, Siberut→„Schar“/
Name für die Patriklans auf Siberut (Schefold 1988 a: 229),/
patrilineare, genealogische Einheit auf Siberut (Loeb 1935: 180).
nappit: adopsi seorang oleh satu uma→ Adoption eines Erwachsenen in die
uma- Gemeinschaft (Schefold 1988 a: 220).
ale(i): teman/ panggilan laki² untuk laki² seumur, adik laki²
moto: teman/ pang. laki². u. perembuan s., adik p
elei: teman/ pang. perembuan u. laki² s., adik laki²
maite: teman/ pang. per. u. per. s., adik p.
saraina: saudara/ panggilan untuk teman
siripo: sahabat(an)→ Freundschaftsbündnis/ - partner (Schefold 1988 a:
248).
sinuruk: kawan/ pembantu→ Helfer (Schefold 1988: 254)
ama(n)...(oni toga): „Ayah(dari)..nama anak pertama“→.„Vater (von)...“ (Schefold 1988
a: 179).
mae: panggillan untuk ayah
bai...oni toga: „Ibu...(dari)“→„Mutter von ...“ (Schefold 1988 a: 179).
baboi: pangg. untuk ibu
ina: „ibu“→mother, Mutter (Nooy- Palm 1972: 42; Schefold 1988 a:
260).
teu..oni toga: „Ayah/ Ibu ...(dari)…→ Vater/ Mutter von..(jika satu anak telah
meninggal)
toga: anak → Kind, child (Pampus 1989: 82)
siruak: anak adopsi→ Adoptivkind (Schefold 1988 a: 247).

bojok: orang tua (satu satunya anak meninggal)→ Eltern eines verstorbenen
Kindes (Schefold 1988 a: 179).
lumang: janda
gobbai: duda
sikolik: bayi laki²→ Bezeichnung für männl. Säuglinge auf Sipora und Pagai
(Nooy- Palm 1968: 215).
sijiji: bayi perembuan
sigoiso: „si kecil“ pangg. anak laki laki→„Kleine(r)“/ Bezeichnung für
männl. Kleinkinder auf Sipora und Pagai (Nooy- Palm 1968: 215),
siboitok Siberut.
sibaibai: pangg. anak perembuan
silainge: „si ganteng“ pangg. remaja laki²/ bujang→„Schöner“/ Jugendlicher/
adoleszenter Mann (Schefold 1988 a: 188; Nooy- Palm 1972: 43).
siokko: „si gemuk“ remaja perembuan/ gadis→„Wohlgenährte“/
adoleszentes Mädchen (Schefold 1988 a: 188; Nooy- Palm 1972:
44).
baja: saudara laki² ayah/ panggilan laki² (tua)/ „Bapak“→ VaBr (Nooy-
Palm 1972: 42)
kalabai: saudara per. ibu/ pang. per.(tua)/ “Ibu”→ Tante (Börger 1932: 53),
MuSw (Nooy- Palm 1972: 42; Schefold 1988 a: 260).
teteu: leluhur, hantu gempa bumi / kakek, nenek/cucu dari ego/ orang
sederajat→ ancester/ crocodile on / widow (Loeb 1935: 166),
Großvater/ myth. Erdbebengeist (Karny 1926: 35; Coronese 1980:
15), Referenzterminus für alle Verwandten in der 2. Parental- und
Filialgeneration und darüber bzw, darunter (Schefold 1988 a: 260).
lakut: ipar laki l.→ SwM
eira: ipar per.→ BrFr (Schefold 1988 a: 248).
kameinan: saudara per. ayah, istri saudara laki l. ibu→ VaSw (Loeb 1935: 192;
Nooy- Palm 1972: 42), VaSw, MuBrFr (Schefold 1988 a: 260).
kamaman: saudara laki laki ibu, suami saudara per. ayah→ MuBr, VaSwMa
(Loeb 1935: 181; Nooy- Palm 1972: 42).

taliku: menantu/ mertua→„Mein Faden“, Schwiegersohn/- tochter
(Schefold 1988 a: 261) / - vater/ - mutter (Loeb 1928: 422).
titi: tatoo/ rajahan→ Tatauierung (Nooy- Palm 1976: 299; Loeb 1928:
411; Maass 1902: 135), dada - lambinan, sigoiso, baya karurukan,
perut- loina, simabiau, sugasuga, paha - bakapan , lengan- para,
tangan- takup (Krämer 1907: 39)
pasi piat sot: acara runcing gigi→ Spitzmeißeln der Zähne/ Ritual (Lindsay 1992:
66).
(m)aila: malu
(se)sere: „kaitan“, tunangan→ „Bindung“/ Verlobung (Schefold 1988 a: 250).
putalimougat: pernikahan→ Ehebündnis (Schefold 1988 a: 249).
patalaga: perantara/ wasit perkawinan→ Vermittler bei einer Heirat/
Schiedsrichter (Schefold 1988 a: 137, 228).
iba pangurei: “uang jemput”/ biaya pihak perembuan berupa babi besar.
alat toga/ saki saina:“emas kawin“/ biaya pihak laki laki sesuai iba pangurei.
panilo: kategori emas kawin (mata sagu, mata toitet, durian, kuali, babi
dll.).
pulakebat: penguyauan (hilang sejak ~ 1900)→ Kopfjagd (Schefold 1988: 231)
pako: keadaan permusuhan/ rivalitas antar dua uma yang
terinstitutionalisasi dalam bentuk persaingan (terutama perburuhan).
totopoi: mainan angin/ tanda keadaan pako→ Windrad in den Baumkronen
(Karny 1926: 63), totobä (Maass 1902: 227).
sikerei: dukun→ Priester (Pleyte 1901: 31), Medizinmann/ - frau (Nooy-
Palm 1972: 44; Wagner 1981: 4), / Geisterbeschwörer (Karny 1926:
35); Zauberpriester (Börger 1932: 25.
rimata: pemimpin puliajat/ ketua uma→Kopf der uma/
Zeremonialgemeinschaft (Nooy- Palm 1972: 43; Karny 1926: 35),

Dorfvorsteher (Pleyte 1901: 31), Ratspräsident (Cannizzaro 1964:
49), Zeremonienmeister (Schefold 1982: 77), Ältester (Wagner
1981: 4.
tae: racun gaib→Schädliche Wirkung eines Gegenstands (Cannizzaro
1964: 55), Giftstoff (Loeb 1935: 202; Schefold 1988 a: 215).
pananae: „yang letak tae“/ dukun hitam→ „Der/ die das tae legt“/ Zauberer,
Hexe (Loeb 1935: 203; Schefold 1988 a: 212), pananai
Giftmischerin (Maass 1902: 102).
tippu sasa: „memukul sasa (rotan)/ ordal hukum→„Schlagen des Rotang“/
Ordal (Schefold 1972: 32; Coronese 1980: 126).
tulou: denda→Strafe/ Buße (Schefold 1982: 77).
tulou sinanalep: denda selingkuhan→„Buße für die Frau“/ Schadensersatzzahlung
beim Ehebruch (Schefold 1988 a: 258).
tulou paboko: denda tuduhan/ dusta→„Buße für die Verleumdung“ (Schefold
1972: 33; Coronese 1980: 126).
kepercayaan/ religi
arat sabulungan: „adat seperangkat bunga“ (Rudito 2006), „Religion der geopferten
Gaben“ (Cannizzaro 1964: 51), traditionelle Religion (Coronese
1980: 14).
pasailukat: bahasa sikerei (Reeves 2001)
simagere: jiwa/roh segala yg. hidup→Seele des lebenden Menschen (Börger
1932: 25; Loeb 1935: 193), / Tieres (Nooy- Palm 1972: 44), Geister
(Lindsay 1992: 11), Seele (Schefold 1988 a: 271), magere (Coronese
1980: 14).
ukkui: roh leluhur/ ayah (Sipora)→ Familienvater (Cannizzaro 1964: 51), /
ältester Mann einer Kernfamilie (Loeb1935: 175), Vater (Nooy-
Palm 1972: 42),/ im Süddialekt (Pampus 1989: 82), Vorfahren/

Geister (Lindsay 1992: 14), Seelen der Verstorbenen/ Ahnen
(Schefold 1988 a: 273), saukui Ahnenseele auf Siberut (Loeb 1935:
193).
kina: gelar/ panggilan untuk jiwa/ roh dalam acara religi→ Geist, welches
jedes Ding besitzt (Börger1932: 51; Loeb 1935: 194, Coronese 1980:
13), kina ulau „oh Helles“/ Sammelbegriff für Geister im Ritual
(Schefold 1988 a: 273).
ketsat: jiwa/ roh kematian→ Seele des Menschen, die diesen beim Tod
verläßt (Börger 1932: 25; Loeb 1935: 193; Nooy- Palm 1972: 44;
Coronese 1980: 13; Schefold 1988 a: 271), ketiat Seele/ Hirn
(Cannizzaro 1964: 50), kätjat Seele/ Hirn (Pleyte 1901: 28).
anitu: roh (orang mati) yg. jehat→Böse Totenseele (Pleyte 1901: 28),
Ahnenseele (Coronese 1980: 13), sanitu (Loeb 1935: 193;
Cannizzaro 1964: 46; Börger 1932: 25; Lindsay 1992: 13), sanitu
sikatai „Geist des Fiebers“ (Coronese 1980: 14).
ina oinan: „ibu air“, hantu sungai, buaya→ „Mutter des Wassers“ / myth.:
Flussgeist (Loeb 1935: 192; Nooy- Palm 1972: 44), sikaoinan
Flußgeist/ Krokodil (Schefold 1982: 74).
taikabagakoat: „yg. di dalam laut“→Meeresgeister (Börger 1932: 25; Loeb 1935:
192).
taikabagapolak: „yg. di dalam bumi“Erdgeister (Börger 1932: 25; Loeb 1935: 192).
taikaleleu: „yg. di gunung/ rimba“→Waldgeister (Börger 1932: 25; Loeb 1935:
192), saikaleleu (Schefold 1988 a: 74).
taikamanua: „yg. di langit“→ Himmelsgeister (Börger 1932: 25; Loeb 1935: 192;
Coronese 1980: 15), guter Schöpfergeist (Cannizzaro 1964: 46),
saikamanua (Schefold 1988 a: 73).
pitto: hantu jehat/ roh mayat/ bangkai manusia→ Böse Geister der
menschlichen Kadaver (Schefold 1988 a: 194, 369), pitok (Coronese
1980: 14).
gaut: seperangkat tumbuhan gaib→ Mittlerpflanzen/ Pflanzen mit starken
Seelen

aileleppet: bunga „dingin“→ „kuehlende“Graptophyllum pictum (L.) Griffith,
Acanthaceae (Ave 1990: 52).
pilok: bunga/tumbuhan „memutar“→”abdrehende” Costus speciosus
(Koenig) Smith, Zingiberaceae (Ave 1990: 54; Zahorka 2000a: 4)
soga: bunga „memanggil“→“rufende“ Microsorium nigrescens,
Polypodiaceae (Ave 1990: 55; Zahorka 2000a: 4).
badjou: kekuatan gaib/ sinar (berbahaya) satu benda → Böse Kraft (Börger:
1932: 44), badju schlechter Einfluss eines Gegenstandes/ Dings
(Loeb 1935: 190), bajou Strahlung/ Kraft jeden Dings
(Schefold 1970: 17; 1988 a: 272).
lia: „korban ayam“/ ritual, acara religi→ Kleines (Hühner-) opfer
(Börger 1932: 52), Familienritus (Loeb 1935: 174; Suzuki 1958: 8),
Sühneopfer der Familie (Cannizzaro 1964: 51), Opferhuhn/
Phase eines puliaijat (Schefold 1988 a: 350), Ritual welches im lalep
stattfindet (Coronese 1980: 14).
seggei- rimata: yang dekat „rimata”→ „Der, der nahe beim rimata ist“/Assistent,
Vertreter des rimata (Nooy- Palm 1968: 195), sege- rimata
Unterhäuptling (Börger 1932: 24). sirimata
sikaute lulak: „yg. di ujung lulak“, pembantu rimata→ „der am Troganfang“
(Helfer des rimata) (Loeb 1935: 177) / Jagdführer (Nooy- Palm
1972: 44), s. ka ute.
lia pangabela: „lia untuk tangan yg muncul“/ acara kelahiran→„lia für die
herauskommende Hand“ / (Schefold 1988 a: 178), liat kabebela
Geburtsritus (Loeb 1932: 187), punen kabelaat (Coronese 1980:
170).
lia lailai ngalou: „lia kalung manik“/ acara pemb. nama→Namensgebungsritual
(Schefold 1988 a: 178), „lia der Perlenkette“.
lia abinnen: acara untuk anak sekitar satu tahun
puliajat: „perkerjaan lia“/ ritual besar→ „Das Beschäftigtsein mit dem lia“/
gr. Ritual auf Siberut (Schefold 1988 a: 23¸ Lindsay 1992: 12).

punen: ritual besar (Pagai, Sipora)→ Dorf- / uma- ritual (Suzuki 1958: 8),
religiöses Fest (Loeb 1929: 190; Karny 1926:35; Halusa 1938: 18;
Eichberg 1982: 29), Verhaltensmaßregeln (Wirz 1927: 486),
Tabu (Pleyte 1901: 31).
seggejet: „gardu“/ simbol pintu dari bambu→ Symbolisches Tor (Schefold
1988 a: 397).
lia sabeu: „lia besar“, hari II. puliajat→„Großes lia“/ zweiter Tag einer
puliaijat- Phase (Schefold 1988 a: 393, 437).
lia siboitok: „lia kecil“, hari I. p.→„Kleines lia“/ erster Tag einer puliaijat- Phase
(Schefold 1988 a: 327, 435).
punen puenegetat: pembangunan uma-punen/ - beim uma- Neubau/ Initationritual
(Nooy- Palm 1972: 44), punen eneget (Coronese 1980: 172).
simaeru: „yg. baik"→„Gut“ (Schefold 1988 a: 496), maeru (Pampus 1989:
89).
eeru sikatai: „perbaiki secara buruk“ fase I. ritual→„Gut machen auf schlechte
Weise“ / erste Hauptphase eines puliaijat (Schefold 1988 a: 327).
eeru simaeru: „perbaiki secara baik“ fase II. ritual→„Gut machen auf gute
Weise“ / zweite Hauptphase eines puliaijat (Schefold 1988 a: 435).
bitbit sikatai: „menyapu yang buruk“ a.d.r.→ „Ausfegen des Schlechten“/
Zeremonie im puliaijat (Schefold 1988 a: 378).
bitbit simaeru: „menyapu yang baik“ a.d.r.→„Einfegen des Guten“/ Zeremonie im
puliaijat (Schefold 1988 a: 387).
betu si pitto: „memukul pitto“ a.d.r.→„Schlagen der pitto“/ Phase eines puliaijat
(Schefold 1988 a: 377; Lindsay 1992: 44, 45).
silimen: daging persembahan→Opferspeise (Loeb 1935: 163), Opferfleisch
(Coronese 1980: 176; Schefold 1988 a: 465).
aggaret: persembahan kelapa a.d.r.→Kokosnußopfer/ Zeremonie im puliaijat
(Schefold 1988 a: 338 ff.).
irik: persembahan hati ayam a.d.r.→Hühnerleberopfer/ Zeremonie im
puliaijat (Schefold 1988 a: 363, 412).

nini: persembahan daging asap a.d.r.→Opfer aus geräuchertem Fleisch/
Zeremonie im puliaijat (Schefold 1988 a: 373).
buburai: „meludah“ a.d.r.→„Spucken“/ Phase eines puliaijat (Schefold 1988
a: 370), masiburai Zeremonie während des punen (Coronese
1980: 172).
paletsei utet iba: „menjamu kepala daging“ a.d.r.→ „Versorgen der Jagdtrophäen“/
Zeremonie im puliaijat (Schefold 1988 a: 389).
panaitai lauru: „mencari lauru“ acara ramalan dengan usus ayam,
a.d.r.→„Anstreben des lauru“/ Zeremonie im puliaijat (Schefold
1988 a: 376).
lauru: „tajam“, tanda/ ramalan pemburu →„Die Schärfe“/ Teil des
Bindegewebes beim Darmorakel, welches über den Jagderfolg
Aufschluß gibt (Schefold 1973: 14; Coronese 1980: 130).
salou: „payung“, tanda/ ramalan musibah→„Beschirmung“/ Teil des
Bindegewebes beim Darmorakel, welcher über zu erwartende
Krankheiten Auskunft gibt (Schefold 1973: 14; Coronese 1980:
130).
teinungake saina: „membuat babi hatinya“, ramalan hati/ jantung babi→ „Den
Schweinen das Herz machen“ / Divinationsritus/ Phase eines
puliaijat (Schefold 1988 a: 359).
akulak: daging (yg. bagus)
iba: ikan/ daging
atei: hati/ lefer
keikei: tabu, larangan→Tabuvorschriften (Coronese 1980: 13; Schefold
1988 a: 282; Lindsay 1992: 17).
katsaila: „pengalih“, jimat peserta acara→„Vorbeiführer“/ Palmfieder/
Zeremonie im puliaijat (Schefold 1988 a: 330), Blumenfetisch in
einer uma (Loeb 1935: 162; Nooy- Palm 1968: 182), Abwehrfetisch
(Börger 1932: 47; Coronese 1980: 13).

mágeri: mandi, bersihkan diri→ Rituelle Reinigung (Schefold 1988 a: 327).
rau: mandi bayi→Bad/ Wasser (Börger 1932: 23, 48); zeremonielles Bad
einer Mutter mit ihrem Säugling (Schefold 1988 a: 178).
otsai: Nahrungsanteile/ Portionen (Schefold 1988 a: 305, 463).
laggek: obat→ Heilmittel/ Medizin (Wagner 1981: 8; Schefold 1988 a: 288),
rituelle Medizin (Coronese 1980: 14), lagge (Cannizzaro 1964: 35).
siaggai laggek: “yang tahu obat”/ pengobatmabesik: sakit (ringan) misal. luka potongoringen: sakit (berat, biasa berikut demam tinggi)/ kehilangan simagereurai: nyanyi
turuk: tari
lajo: „berlayar“, tari trance→„Segeln“/ Trancetanz (Schefold 1988 a:
403).
ekonomi/ teknologi
subsistens
sagu: sago/ rumpia→ Sago/- palme, Metroxylon sagu.
- tumbuhan hapaxanth (sekali dalam hidup berbunga), masa infloresens (berbunga) setelah 8-
17 tahun, tinggi: 10- 15m, Ø 30-100cm.
- data riset ekologi: satu batang 1250 kg berdiri dari: kulit 400 kg (32%) sumsum 850 kg
(68%), yg. mengandung tepung (85% Karbohidrat) 250 kg (29%), air 425 kg (50%), serat
175 kg
- dengan 236.5 jam kerja hasil tepung sebanyak 618,8 kg atau sekitar 1,5 juta kkal. (2410
kkal./ kg), yaitu kebutuhan seorang untuk 500 hari, jadi satu hari kerja (8jam) untuk 17 hari
makan.
- sagu mengandung sedikit sekali zat gizi lain, tetapi mudah menjadi sumber protein melalui
“panen” ulat sagu dan sebagai pangan ternak.
(Flach 1981: 4).
mata.. sagu/duriat..: rumpun/ sejumlah (5-6) pohon (sagu, durian dll.)→ Sproßgebiet der
Sagopalme (Schefold 1988 a: 137).

kukuilu: pemukul sagu→ Sagoklopfer (Kis- Jovak 1980: 28; Schefold 1988 a:
133).
bolobog sagu: karanjang dari pelapa sagu
pusuagat: pondok/ pencucian sagu→ Sagostampfanlage (Kis- Jovak 1980: 26).
dedeibu: alat menimba dari kulit kayu
karug: (dinding) tempat mencuci sagu
tapi: saring karug dari serat kelapa
tapperi: tempat (anyaman daun) menyimpan sago→Sagobehälter aus
Sagoblattfiedern (Schefold 1988 a: 134), tapiri (Maass 1902: 224).
purut, kaloba: daun sagu/ daun loba (rotan) untuk panggang sagu
tamara: ulat sagu (Rhynchoporus ferrugineus)
saina: babi →Hausschwein (Schefold 1988 a: 140; Loeb 1928: 412).
gougou: ayam→Huhn (Krämer 1907: 40; Schefold 1988 a: 140),
Ekskurs ternakgou gou ayam
beudogdog anak baru turunbeuloisiat anak mulai teriakbeumainong („sebesar beo“) bulu tumbuh
♀ ♂beungorud (sebesar sejenis merpati) beukailaba („sebesar burung enggang“)siteilakubbeu sisotsolod / tara au mata teile („jalu sebsar
mata katak“)simanosap (hampir bertelur) sikailak / tara anna polat („jalu belum
runjing“)situi (sudah bertelur) silaluk (jalu panjang)
saina babisikairumun anak baru lahir (di hutan)sibausuggru anak baru datang ke rumahsabbe saki „sekali beli“sikabaugad „telinga sudah potong“/ jantan sudah kebiri
♀ ♂sipususu betina bunting pertama beusemeteaouanaksemeteaouanak silepakkioiri gigi belum keluar simaitcananak sekali melahirkan beusigelak siteikereg induk besar babui jantan besarsigelak betina besar tidak beranak
oilut: wabah/ penyakit mematikan (leher bengkak,pernafasan terganggu)
pada ternak, manusia bisa juga terinfeksi melalui cairan
roiget: karancang ayam (rotan)→ Hühnerkorb (Schefold 1988 a: 140),
doiget.

sigeta: anjing →Hund (Schefold 1988 a: 142), jo jo auf d. Südinseln und in
Nordsiberut (Pampus 1989: 85), sibutuan (Maass 1906: 451).
iba: ikan/ daging→Eßbares Fleisch, - leleu aus dem Wald/ Hirsch, Affe,
Wildschwein; - koat aus der See/ Schildkröte (Schefold 1982: 71), /
Fisch (Loeb 1928: 412).
lulak: piring pipih kayu→ Hölzerne Eßplatte.
sisip: sendok menimba dari kelapa→ Schöpfkelle aus Kokosschale u. Holz
(Kis- Jovak 1980: 28; Maass 1902: 226).
gigiok: parut (rotan labi) →Raspel aus d. Blattstiel von Rotan.
ubek: tembakau→Tabak (Maass 1902: 161).
duriat: durian, „Durio zibethinus“
toktuk: durian (duri panjang) Durian sp. (D. carinatus Mast.?, D. graveolens
Becc.?), Bombacaceae (Ave 1992: 93, Dep. Hut 1998: 1.1.)
pusinoso: durian (duri menegah) „Durian sp.?”
peigu: cempedak (nangka?), Artocarpus. integer, (A. heterophylus?),
Moraceae (Ave 1990: 93; Dep.Hut. 1998: 1.1.),
gette: kladi→Taro, „Colocasia esculenta“ (Börger 1932: 46).
mago: pisang (sekitar 20 macam)→ Banane, Musa sapientum; Musa
paradisiacal dll. (Franke 1992: 267).
bio: ubi →Cassava Alocasia sp., Araceae (Ave1990: 137)
abak: sampan→Kanu (Loeb 1935: 170; Schefold 1988 a: 157).
kalab(b)a: sampan (perang) besar→Großes (Kriegs)kanu ( Maas 1902: 20,
1906: 452; Loeb 1928: 412; Schefold 1988 a: 158).
baluga: dayung (rakitan)
sinaiming: dayung → Einteiliger Paddel (Schefold 1988 a: 158).
teg(l)e: parang→ Buschmesser (Coronese 1980: 15; Schefold 1988 a: 157).
teinuktuk: beliung (mata bulat)
ogud: kapak/ beliung (mata agak)
papati: beliung kecil
rourou: busur (poula)→ Bogen (Maas 1906: 446).

silogui: anak panah→Pfeil (Schefold 1988 a: 144), logui (Maass 1902: 222).
bigulu: ujung panah (ariribug)
ligteg: tali busur (baiko)
bugbug: tempat anak panah→Pfeilköcher aus Bambus.
omai: racun anak panah dibuat dari daggi, lainggit dan daro→ poison
sosoat: tombak→ Speer (Schefold 1988 a: 146), soat (Maass 1902: 142), s.
ulpup.
patara: tombak ikan→ Harpunenspeer (Maass 1902: 148).
subba: tangguk/ jaring tangan perembuan
kinisou: obor→Fackel (Börger 1932: 52), kisou (Maass 1902: 9; Schefold
1988 a: 488).
pangisou: mencari ikan malam→ Nachtfischen mit Fackeln (Schefold 1988 a:
488).
panu: jaring tepi→ Großes Scherennetz der Frauen (Maass 1902: 17; Loeb
1935: 207; Nooy- Palm 1976: 285; Schefold 1988 a: 149)).
leggeu: lukah→ Fischreuse (Kis- Jovak 1980:28).
tapi sabeutubu: jerat rusa
punung sabeutubu: perangkap rusa/ lubang.
pepeka: perangkap rusa / jebakan tali.
lapara: perangkap rusa/ jebakan bambu buluk runjing.
lululup: perangkap babi/ monyet→ Schweine/ Affenfalle.
oopa: karanjang punggung kecil→Tragkorb aus Rotang (Kis- Jovak 1980:
28).
oore: karanjang punggung terbuka
jaragjag karanjang punggung besar
tatala: karanjang, tempat simpan barang di rumah (anyaman halus)
kabit: cawat→Lendenschurz aus Baumbast (Maass 1902: 223; Schefold
1980: 72).

komak: rok→ Frauenschurz aus Baststoff oder zerschlitzten Bananen- oder
Palmblättern (Schefold 1988 a: 162; Maass 1902: 221).
leppei: baju, dari kulit baiko(laki laki) atau daun pisang (perembuan)→
Oberbekleidung/ ponchoartiges Hemd (Schefold 1980: 72).
letju: gelang/ anyaman dari rotan
bachulu: koper/ tas benda sikerei dari pelapa sagu
sabo: rok tari/ hias sikerei→ Bunter Tanzschurz der sikerei (Schefold 1988
a: 206).
sineibak: rok istri sikerei→ Bunte Schürze der sikerei- Frauen (Schefold 1988
a: 206).
luat: hias kepala sikerei, istrinya→ Kopf/ Haarschmuck der sikerei
(Börger 1932: 25), Haarschmuck (Schefold 1980: 75).
teteku: hias kepala besar istri sikerei→Kopfschmuck der sikerei- Frauen
(Schefold 1988 a: 443).
ngalou: hias (jimat) dari manik manik→Amulett für ein Neugeborenes
(Nooy Palm 1976: 297).
gejeneng: lonceng perunggu sikerei
bagbag: pesan tuddukat→Mitteilung in der Trommelsprache auf dem
tuddukat (Schefold 1973: 57).
kajeuma: gendang→Trommeln m. Fell/ Hautbespannung.
lelega: alat musik→ Xylophonähnliche Klanghölzer (Halusa 1938: 10).
pipiau: suling→ Mundflöte aus Bambus (Loeb 1935: 171; Halusa 1938: 15)
balatu: pisau/ kris→Dolchmesser (Schefold 1988 a: 157).
balugui: pisau ukir→ Schnitzmesser (Schefold 1988 a: 157).
parittei: pisau→Dolch (Schefold 1988 a: 157), palite (Maass 1902: 221).
papae: pahat→ Meißel (Schefold 1988 a: 157).
papalo: pelindung pohon kelapa→ Palmschutzvorrichtung (Volz 1906: 108).
papakkuru: tugal→ Grabstock (Schefold 1988 a: 138).
pupuse: bor→Bohrer (Schefold 1988 a: 157).

patiti: alat merajah→Tatauiergerät (Maass 1902: 228; Le Lièvre 1992: 54;
Schefold 1988 a: 186).
simabiau: Querlaufende Bauchtatauierung (Krämer 1907: 39).
sugasuga: Senkrechte Bauchtataueierung (Krämer 1907: 38).
tutuine: mainan anak→Kreisel mit zwei Rotationskörpern (Eichberg 1989:
153).
cash-crops
rotan rotan (Palmae, Calamoideae) sudah menjadi bahan dagang selama beberapa abad,
kemudian cash- crop pertama yang mengakhibatkan over exploitation tiga jenis
komersial utama, yaitu: bebeged („Calamus manan Miqu.“), sasa („Calamus
caesius“) dan loba („Calamus ornatus“ / Simbolon 1997: 53; „C. zollingeri ?“
/Agus 1996: 7; „Daemonorops sp.?“ /Depart. Kehutanan 1995: 72), oleh karena
hanya dipanen tumbuhan liar (tidak ditanam). pelege
gaharu gaharu (aloewood) atau simoite („Aquilaria malaccensis Lamk.; Thymlaeaceae”)
adalah bahan dari pohon mati yang terinfeksi dari sejenis jamur. Pada tahun 1985
gaharu mencapai harga sangat tinggi (kualitas superior: Rp 1,5 juta / kg atau ca.
$US 850 / kg), dan menjadi sumber pendapatan yang baik tetapi tidak terlestari,
karena seluruh pohon gaharu dibabat habis, dan sekarang kayu gaharu boleh
dikatakan musnah (Department Kehutanan 1998b: Lamp1.1., Lamp10: 9).
Pengaruh negatif lain dari „gaharu boom“ adalah kelebihan pemburuhan terhadap
binatang tertentu (burung, tupai/ loga) dengan senapang angin yang dibeli dalam
jumlah besar.
nilam Dari daun kering didapatkan dengan cara penyulingan sehingga menghasilkan
minyak nilam atau Patchouli (Ave 1990: 171; Moestafa 1992: 59). Minyak nilam
(Pogostemon cablin, Lamiaceae) dibutuhkan oleh industri kosmetika sebagai
bahan fiksasi wangi, dan dibeli terutama oleh Negeri Eropa Barat, USA dan
Jepang. Meskipun sudah sejak 1970 dipromosikan oleh Department Perindustrian,
penanaman nilam secara umum dan luas dimulai di Kepulauan Mentawai sekitar
1995. Saat itu harga gaharu telah turun dan sebaliknya harga nilam meningkat dari
ca. Rp 20.000 / kg (ca. $US 9 / kg) pada 1994 (Departemen Kehutanan 1995: 78)
mencapai Rp 1.500.000 / kg (ca. $US 175) pada pertengahan 1998. Hampir setiap
keluarga di Mentawai membuka ladang seluas paling sedikit 0,5- 1 hektar dan
mulai menanam sejenis nilam lokal (patikkoilok). Alat sulingan, yang dibuat dari
drum minyak bekas, dibeli oleh pedagang setempat dengan harga ca. Rp 500.000
(ca. $US 60; 1998). Tetapi kemudian harga nilam turun sampai Rp 90.000 / kg (ca.

$US 12) pada tahun 1999. Akhibat fluktuasi harga tersebut banyak produsen
mengalami kerugian dan berhenti produksi, alat sulingan pun cepat hancur.
cengkeh tanaman cengkeh mempunyai peran besar bagi ekonomi masy. di Pagai dan Sipora
tetapi hanya di wilayah tertentu di Siberut. Fluktuasi harga komoditas ini juga
cukup besar dan pada ketengah 1990an harga yang merosot mengakhibatkan
banyak pemilik pohon tidak panen cengkehnya.
flora / fauna
bilou: siamang kerdil→Gibbon „Hylobates klossii“ (WWF 1980: 39ff.).
bokkoi: kera→Mentawaimakake, „Macaca nemestrina pagensis“ (WWF
1980: 45).
simakobu: monyet ekor pendek→ Schweinsaffe/ Langurenart, „Simias
concolo r “ (Schefold 1988 a: 66; WWF 1980: 43).
joja: lutung Mentawai (Presbytis potenziani).
sibeutubu: rusa→ Hirsch, Sambar, „Cervus unicolor oceanus“ (WWF 1980:
54), sipangangasa (Schefold 1988 a: 66), simatsura (Nooy- Palm
1976: 279).
dujong: dugong→ Seekuh, „Dugong dugong“ (WWF 1980: 54).
siaggau: burung
simaigi: babi hutan „Sus christatus“
simalina: penyu
baiko: pohon terok/ tarok „Artocarpus sp. (elasticus?),Moraceae “
katuka: pohon (abag, lulag) Shorea pauciflora King, Diptereocapaceae
poula: (sejenis) pohon aren→ Zucker- oder Arenpalme, „Arenga obtusifolia
Martius, Palmae,Araceae“ (Zahorka 2000: 2; or local variety?)
katsaila (rel.)
ariribug: nibung „Oncosperma horridum, (Oncosperma tigillaria?), Arecaceae
→ enggeu (rel.-) (Dep.Kehut. 1998: 1.1.)
kiniu: kunyit→Gelbwurzel „Curcuma longa“

lainggit: tumbuhan racun/ akar tuba, racun saraf, „Derris elliptica Benth.,
Fabacea“→ Hülsenfrüchtler; neurotoxin and haematotoxin (Zahorka
2000: 14,15)
daggi: tumbuhan (kulit) racun, melumpuhkan jantung→„Ervatamia
peduncularis, King et Gamble, Apocynaceae”→ (Hundsgiftgewächs;
paralysing (lähmend) heart poison (Zahorka 1998: 105). !!bukan
„Antiaris toxicaria“/ Ipuh.
daro: lado kutu, komponen racun „Capsicum sp., Solanaceae“
sakole: tebu→ Zuckerrohr, „Saccharum officinarum“ (Maass 1902: 160).
Ave, W. u. Sunito,S. : „Medical Plants of Siberut. A WWF Report.“ Gland/ CH.1990
Bellwood, Peter, S.: „Prehistory of the Indo- Malaysian archipelago.“ Centrecourt, London,
1985 Orlando.
Börger, F.: „Vom Punen der Mentaweier.“ und „Wie ein Punen bei den
1932 Mentaweiern abläuft.“ In: „Berichte der Rheinischen Missionsgesellschaft.“
Jahrg. 89. S. 18- 28 u. 44- 54. Barmen/ Wuppertal.
Cannizzaro, A.: „Und die Seinen nahmen Ihn auf. Bei der Urbevölkerung der
1964 Mentawai- Inseln.“ Wien, München.
Coronese, Stefano: „Una religione che muore. La cultura delle Isole Mentawai
1980 nell´impatto con il mondo moderno.“ Bologna.
Depart. Kehutanan: „Rencana Pengelolaan Taman Nasional Siberut. Buku III. Lampiran“ Jakarta. 1998
Eichberg; Henning: „Blumen im Haar sind verboten. In einem Dorf der Mentawaier in
1981 Indonesien.“ Dalam: Duerr, H.P. (Hrsg.): „Unter dem Pflaster liegt der
Strand. Zeitschrift für Kraut und Rüben. Bd. 8.“ S. 7- 41. Berlin.

1989: „Eine andere Sinnlichkeit. Körper und Gesellschaft in Mentawai.“ In: Wagner,
W. (Hrsg.): „Mentawai. Identität im Wandel auf indonesischen Außeninseln.“ S.
149- 197. Bremen.
Flach, M.: „Yield Potential of Sagopalm and ist Realisation. Sago Starch.“ In:
1977 „Sago- 76 : Papers of the First International Sago Symposium.“ S. 157- 177.
Kuala Lumpur.
1981 „Possibilities for Increasing Yields of Sagopalms.“ In: „Symposium Mengenat.
Pembangunan Sosio- Economi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan
Hidup Pulau Siberut.“ Padang.
Karny, Heinrich H.: „Auf den Glücksinseln.“ In: „Natur. Illustrierte Halbmonatszeitschrift
1926 für Naturfreunde. Bd.17. S. 9- 16, 28- 39, 59- 67, 80- 89, 102- 110.
Leipzig.
Kis- Jovak, J.I.: „Autochthone Architektur auf Siberut.“ ETH Zürich.
1980
Kruyt. A. C.: „De Mentaweiers.“ In: „Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en
1923 Volkenkunde, uitgegeven door het Koninklijk Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen. 62. Hal. 1- 188. Batavia.
Lindsay, C. W.: „Mentawai- Schamane. Wächter des Regenwalds.“ Frankfurt a. M.
1992
Loeb, Edwin M.: „Mentawei Social Organization.“ Dalam: „American Anthropologist. N.
1928 Hal. Vol. 30.“ Hal. 408- 433. Arlington.
1929: „Mentawei Religious Cult.“ Dalam: „University of California Puplication in
American Archaelogy and Ethnology. Vol. 25.“ Hal. 186- 247: Berkeley/
California.
1935: „The Mentawei Islands.“ In: ebd. u. Heine- Geldern, R. (Hrsg.): „Sumatra
its History and people.“ S.158- 207. Wien.
ebd. u. Broek, J.O.: „Social Organization and the Long House in Southeast Asia.“ In:

1947 American Anthropologist. N. S. Vol. 49.“ S. 414- 425. Arlington.
Maass, Alfred: „Bei liebenswürdigen Wilden.“ Berlin.
1902
1905: „Ta kä- käi- käi Tabu.“ In: „Zeitschrift für Ethnologie. Jahrg. 37.“ S.153- 162.
Berlin.
1906: „Die primitive Kunst der Mentawai- Insulaner.“ In: „Zeitschrift für Ethnologie.
Jahrg. 38.“ S.433- 455. Berlin.
1912: „Durch Zentral- Sumatra. Bd. 2.“ Berlin.
Marschall, W.: „Sind die Kulturen von Mentawei altinonesisch?“ Dalam: „Paideuma 1966
Vol. 11-12.“ S. 128- 134. Wiesbaden.
Morris, Max: „Die Mentawai- Sprache.“ Berlin.
1900
Nooy- Palm, Hetty: „The culture of the Pagai- islands and Sipora, Mentawei.“ Dalam : „Tropical
1968 Man: yearbook of the Anthropology Departm. Royal Tropical Institute.
Vol. 1.“ Hal. 152- 241. Leiden.
1972: „Mentaweians“ In: LeBar Frank M. (Hrsg.): „Ethnic Groups of Insular
Southeastasia. Vol. I: Indonesia, Andaman Islands, and Madagascar.“ S. 41-
44. New Haven.
1976: „Mentaweians.“ Dalam: LeBar, Frank M.(Hrsg.): „Insular Southeast Asia:
Ethnographic Studies. Vol. 2.“ S. 278- 301. New Haven.
Pampus, Karl H.: „Zur dialektgeographischen Gliederung des Mentawai- Archipels.“
1989 a, b (a) dan „Überlegungen zur Orthographie des Mentawaiischen.“(b)
Dalam: Wagner, W. (Hrsg.): „Mentawai. Identität im Wandel auf
indonesischen Ausseninseln.“ S. 61- 101 u. 103- 118. Bremen.

Persoon, Gerard: „Beyond Dreaming: Envirol Planning for Man and Nature on Siberut
1989 (West Sumatra, Indonesia).“ Dalam: Wagner, W. (Hrsg.): „Mentawai. Identität im
Wandel auf indonesischen Ausseninseln.“ Hal. 199- 224. Bremen.
Pleyte, C.M.: „Die Mentawei- Inseln und ihre Bewohner.“ Dalam: „Globus. Illustrierte
1901 Zeitschrift für Länder und Völkerkunde.“ Hal. 1- 32. Braunschweig.
Santesson C.G.: „Pfeilgifte und ethnographische Notizen von dem Mentawei-
1939 Archipel(Ostindien).“ Dalam: „Ethnos.Vol.4.“ S. 129- 146. Stockholm.
Schefold, Reimar: „Divination in Mentawai.“ Dalam: „Tropical Man: yearbook of the
1972 Anthroplogy Departm. Royal Tropical Institute Vol. 3.“ Hal. 10- 87. Leiden.
1973: „Schlitztrommeln und Trommelsprache in Mentawai.“ In: „Zeitschrift für
Ethnologie. 98.“ Hal. 36- 73.
1976: „Religious Involution; Internal Change, and its Consequences, in the Taboo-
System of the Mentawaians.“ In: „Tropical Man: yearbook of the Anthropology
Departm. Royal Tropical Institute. Vol. 5.“ Hal. 46- 81. Leiden.
1980: „Spielzeug für die Seelen.“ Zürich.
1981: „The traditional culture of Siberut.“ In: „Symposium Mengenat.
Pembangunan Sosio- Economi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan
Hidup Pulau Siberut.“ Padang.
1982: „The Culinary Code in the puliaijat Ritual of the Metawaians.“ In: „Biijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Deel 138.“ S. 64- 97. Leiden.
1988: „Lia: das grosse Ritual auf den Mentawai- Inseln.“ Berlin.
1989 a,b: „The Origins of the Woman on the Raft: On the Prehistory of the
Mentawaians.“(a) dan „Religiöse Involution auf den Mentawaiinseln:
Veränderungen in den Tabubestimmungen und ihre Folgen.“(b) Dalam: Wagner,
W. (Hrsg.): „Mentawai. Identität im Wandel auf indonesischen Ausseninseln.“
S. 1- 26 u. 119- 147. Bremen.

Suzuki, P: „Critical Survey of Studies on the Anthropology of Nias, Mentawai
1958 and Enggano.“ ´S- Gravenhage/ NL.
Velde, P. van de: „The Prehistory of Indonesia: An Introduction.“ Dalam: ebd. (Hrsg.): 1984
„Prehistoric Indonesia. A Reader.“ Leiden.
Vivelo, Frank. R.: „Handbuch der Kulturanthropologie.“ Stuttgart (1. Aufl. 1981). 1995 (Org.:
„Cultural Anthropology Handbook. A Basic Introduction.“ New York 1978).
Volz; Wilhelm: „Beiträge zur Anthropologie und Ethnographie von Indonesien. Zur
1906 Kenntniss der Mentawei- Inseln.“ Dalam: „Archiv für Anthropologie. Neue Folge
Bd. 4.“ S. 93- 109. Braunschweig.
Wagner, Wilfried: „Some Preliminary Remarks on the Social History of Mentawai (West Sumatra/
1981 Indonesia).“ Dalam: „Symposium Mengenal Pembangunan Sosio- Economi,
Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup Pulau Siberut.“ Padang.
1988 „Zur Geschichte der Mentawai Inseln.“ Dalam: Pampus,K.H. u. Nothofer,
B. (Hrsg.): „Die deutsche Malaiologie.“ Heidelberg.
1989: „Das Pagaiabenteuer der East India Company.“ Dalam: ebd. (Hrsg.): „Mentawai.
Identität im Wandel auf indonesischen Ausseninseln.“ S.27- 60. Bremen.
Wallace, A.F.C.: „Mentaweian Social Organisation.“ In: „American Anthropologist.
1951 N.S. Vol. 53.“ S. 370- 375. Arlington.
Wirz, Paul: „Auf den “Glücksinseln“.“ In : „Die Koralle: Magazin für alle
1927 Freunde von Natur und Technik. Bd.3.“ Berlin.
1929: „Nias. Die Insel der Götzen. Bilder aus dem westlichen Insulinde.“ Zürich.
1950: „Der Ersatz für die Kopfjägerei und die Trophäenimitation; unter besonderer
Berücksichtigung der vom Verfasser auf Neuguinea und Sabirut (Mentawei)
gesammelten Objektem.“ In: „Beiträge zur Gesellungs- und Völkerwissenschaft,
R. Thurnwald gewidmet.“ S. 411- 434. Berlin.

WWF: „Saving Siberut: A Conservation Masterplan.“ Bogor.
1980
Zahorka, Herwig1998a “OMAI - Die Pfeilgiftmixtur der neolithischen Jäger auf der indonesischen Mentawai-Insel Siberut, eine letale Mischung dreier Arten (Ervatamia, Derris, Capsicum).“ In: Der Palmengarten 62/2 : S.103-108, Frankfurt/M.2000 „The Arrow Poison Chemical Composition with a Neolithic Tribeal Community in Siberut - Indonesia.“ In: EXPLORASI, Vol.4, No.1: S.14-15. ISSN
No.0854-9222. Indonesian Network for Plant Conservation, Indonesian Istitute of Sciences LIPI. Botanical Garden Bogor, Indonesia