all tesis3

128
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya. 1 Produk jasa perbankan, sepanjang memerlukan penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, maka produk tersebut menjadi produk perkreditan. 2 Kata kredit secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata Credere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan dilihat dari sisi bank adalah suatu keyakinan bahwa uang yang akan diberikan akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang dalam akta perjanjian kredit. Keyakinan bank tentu berdasarkan studi kelayakan usaha masing-masing debitur yang akan dibiayai. 3 1 ? Sutarno, S.H., M.M., Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : CV. Alfabeta, 2004), hlm. 1. 2 Try Widiyono, S.H., M.H., Sp.N., Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia. ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 256. 3 ? Suharno, Analisa Kredit, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm. 1. Universitas Indonesia

Upload: farizahkhansa

Post on 26-Jun-2015

1.030 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: All Tesis3

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perbankan merupakan salah satu sumber dana diantaranya dalam bentuk

perkreditan bagi masyarakat, perorangan, atau badan usaha untuk memenuhi

kebutuhan konsumsinya atau untuk meningkatkan produksinya.1 Produk jasa

perbankan, sepanjang memerlukan penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu, maka produk tersebut menjadi produk perkreditan.2

Kata kredit secara etimologi, berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata

Credere yang berarti kepercayaan. Kepercayaan dilihat dari sisi bank adalah suatu

keyakinan bahwa uang yang akan diberikan akan dapat dikembalikan tepat pada

waktunya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang tertuang dalam akta

perjanjian kredit. Keyakinan bank tentu berdasarkan studi kelayakan usaha

masing-masing debitur yang akan dibiayai.3

Sumber dana yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit

tersebut bukan dana milik bank sendiri karena modal perbankan juga sangat

terbatas, tetapi merupakan dana-dana masyarakat yang disimpan pada bank

tersebut sehingga perbankan berusaha dan berlomba-lomba menarik dan

mengumpulkan dana masyarakat agar bersedia menyimpan dananya pada bank

tersebut dengan berbagai undian, hadiah, dan iming-iming lainnya dengan tujuan

semata-mata agar masyarakat menyimpan dananya dalam bank untuk jangka

waktu yang lama. Dana yang disimpan masyarakat pada bank, pada umumnya

dalam bentuk tabungan, deposito, giro, setipikat deposito dan lain-lain. Dana

masyarakat yang terkumpul dalam jumlah yang sangat besar dengan jangka waktu

cukup lama merupakan sumber utama bagi bank dalam menyalurkan kembali

kepada masyarakat yang memerlukan dalam bentuk pinjaman atau kredit. Inilah

1

? Sutarno, S.H., M.M., Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung : CV. Alfabeta, 2004), hlm. 1.

2 Try Widiyono, S.H., M.H., Sp.N., Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia. ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 256.

3

? Suharno, Analisa Kredit, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm. 1.

Universitas Indonesia

Page 2: All Tesis3

2

yang dinamakan fungsi bank sebagai intermediasi. Karena itu suatu bank yang

tidak memiliki sumber dana dari masyarakat yang memadai akan sangat

mengganggu usaha dan kegiatan bank dan bank juga tidak mampu memperluas

ekspansinya.4

Fungsi utama bagi perbankan di Indonesia adalah sebagai penghimpun dan

penyalur dana masyarakat. 5 Fungsi perbankan tersebut dlama penerapannya

disesuaikan dengan jenis banknya dan sebagaimana yang terdapat dalam pasal 5

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, jenis-jenis bank adalah bank umum dan

bank perkreditan rakyat, yang masing-masing memiliki cakupan bidang usaha

yang berbeda. Terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan

ini, usaha bank umum meliputi :6

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk

lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. memberikan kredit;

c. menerbitkan surat pengakuan hutang;

d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk

kepentingan dan atas perintah nasabahnya;

e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk

kepentingan nasabah;

f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan

dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana

telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;

g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan

perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;

h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;

4

? Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.2.

5 Indonesia, Undang-Undang Perbankan, UU No.10 Tahun 1998, LN No.182 Tahun 1998, TLN No.3790, ps. 3.6

? Ibid., ps. 6.

Universitas Indonesia

Page 3: All Tesis3

3

i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak;

j. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya

dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;

k. membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian

dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan

ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;

l. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan

wali amanat;

m. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;

n. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa Perbankan sebagai salah

satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian

suatu negara, dimana kegiatan utamanya sebagai intermediasi pihak-pihak yang

mempunyai kelebihan dana (surplus of fund) dengan pihak-pihak yang

kekurangan dan memerlukan dana (lack of funds). Dalam rangka mencapai

kemanfaatan yang maksimal dari kegiatan perbankan tersebut perlu adanya aturan

dan ketentuan pokok sebagai dasar hukum dalam operasional perbankan yang

kemudian oleh pemeritah diundangkan berupa Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 yang merupakan amandemen dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan definisi bank

sebagai penghimpun dana dan kemudian disalurkan dalam bentuk kredit berbunyi

sebagai berikut :

a. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam

bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk

kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf

hidup rakyat banyak. 7

7

? Undang-Undang Perbankan, Ibid., ps. 1 angka 2.

Universitas Indonesia

Page 4: All Tesis3

4

b. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan

itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.8

Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di mana hak dan

kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan perjanjian

utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai berikut :9

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut

akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu

yang telah diperjanjikan.

b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak

dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh

tenggang waktu.

c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat

adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan

pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit

semakin tinggi resiko kredit tersebut.

d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit

yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek

perkreditan.

Kredit dapat dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima

kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis

kredit terdiri dari:10

a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau

konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta

kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan

8 Ibid., ps. 1 angka 11.9

? Febby M. Sukatendel, 2006. “Kredit dan Masalah Keuangan, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia”. YLBHI, Jakarta.10

? Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.221-224.

Universitas Indonesia

Page 5: All Tesis3

5

permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai

pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

b. Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada

bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan

sebagai dana untuk membiayai perkreditannya.

c. Kredit Langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada

lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia

memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan

program pengadaan barang.

Dalam pemberian kredit perbankan, selain tunduk pada peraturan

perundang-undangan, para pihak juga tunduk kepada perjanjian yang telah

disetujui dan disepakati oleh para pihak yang selanjutnya dituangkan dalam Akta

Perjanjian Kredit. Terjadinya perjanjian tersebut karena adanya pihak-pihak yang

membuat perjanjian sebagaimana hukum yang mengatur perikatan di Indonesia

terdapat dalam Buku III KUHPerdata yang berjudul Perikatan (verbintenissen);

yaitu yang dimaksud perikatan adalah suatu perhubungan hukum (mengenai

kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak kepada yang satu

untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya

ini diwajibkan memenuhi tuntutan.11 Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal

1313 KUHPerdata, yang berbunyi :12

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Buku III KUHPerdata tersebut berisi perikatan-perikatan yang timbul

karena perjanjian, sehingga biasa disebut Hukum Perjanjian yang mengandung

asas Kebebasan dalam Membuat Perjanjian, yang dapat disimpulkan dari pasal

1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara

sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.13

11

? Widjanarko, S.H., MBA, “Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan,” Kumpulan Tulisan, Infobank, (Jakarta, 1998) : 4.12

? Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 30, (Jakarta : Pradnya Paramita,1999), ps. 1313.13

? Widjanarko, op. cit., hlm. 23.

Universitas Indonesia

Page 6: All Tesis3

6

Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan

nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,

atau pembagian hasil keuntungan.14

Lebih lanjut mengenai perjanjian kredit perlu mendapat perhatian khusus

bagi pihak-pihak yang terkait, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang

sangat penting dalam pemberian, pengelolaannya maupun penatalaksanaan kredit

itu sendiri. Perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi yaitu diantaranya : 15

a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian

kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian

lain yang mengikutinya misalnya pengikatan jaminan.

b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan

hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur.

c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring

kredit yang menyangkut jangka waktu, cara penarikan kredit dan

pembayaran kembali serta besarnya bunga yang harus dibayar oleh debitur

serta perjanjian ikutan lainnya (accessoir).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mendalami tentang aspek

hukum dalam pemberian kredit yaitu khususnya tentang perjanjian kredit atau

yang dipersamakan dengan itu. Melalui penelitian mengenai “Aspek Hukum

Kerjasama Penyaluran Kredit Antara Bank X dengan PT Y”, diharapkan dapat

diketahui mengenai kedudukan hukum, hak dan kewajiban, hubungan hukum para

pihak, serta penyelesaian kredit berdasarkan kerjasama tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

14

? Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 158-160.

15 CH. Gatot Wardoyo, Sekitar Klausul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, Nopember-Desember 1992 hlm.64-69 dikutip dari: Drs. Muhammad Djumhana, S.H., Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 3, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 228.

Universitas Indonesia

Page 7: All Tesis3

7

Sesuai dengan judul tesis ini yaitu “Aspek Hukum Kerjasama Penyaluran

Kredit/Pembiayaan Antara Bank X dengan PT. Y” dan berdasarkan uraian latar

belakang tersebut di atas, maka permasalahan-permasalahan yang akan dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Permasalahan hukum apa yang terdapat dalam pelaksanaan kerjasama

penyaluran kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y dalam rangka

penyaluran kredit kepada Penerima Kredit (end user) ?

2. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian kredit berdasarkan perjanjian

restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak dicapai

dalam tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Menguraikan dan menganalisa aspek hukum kerjasama antara Bank X

dengan PT. Y dalam rangka penyaluran kredit ke Penerima Kredit, antara

lain kedudukan hukum, hak dan kewajiban serta hubungan hukum para

pihak dalam perjanjian kerjasama dan perjanjian kredit.

2. Menguraikan dan menganalisa permasalahan dalam penyelesaian kredit

berdasarkan perjanjian restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan berguna bagi masyarakat pada umumnya,

serta Bank X pada khususnya, yaitu :

1. Memberikan sumbangan pengetahuan kepada masyarakat mengenai

perjanjian kerjasama antara Bank dengan badan usaha lain dalam

penyaluran kredit ke Penerima Kredit/End User.

2. Memberikan solusi terhadap masalah-masalah yang timbul dalam

pelaksanaan dan penyelesaian kredit terkait dengan perjanjian kerjasama

antara Bank dengan badan usaha lain.

3. Memberikan masukan bagi Bank X untuk melakukan perbaikan dan

penyempurnaan sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian kerjasama dan

penyelesaian kredit sejenis di masa mendatang.

Universitas Indonesia

Page 8: All Tesis3

8

1.5. Kerangka Teori dan Definisi Operasional

Dalam rangka melaksanakan pembangunan, Bank sebagai salah satu

lembaga keuangan yang paling penting dan besar peranannya dalam kehidupan

masyarakat. Seiring dengan perkembangan masyarakat hukumpun mengalami

perkembangan masyarakat. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain

bergantung pada metodologi juga sangat ditentukan oleh teori.

Teori hukum mempunyai fungsi yaitu menerangkan atau menjelaskan,

menilai dan memprediksi serta mempengaruhi hukum positif, misalnya

menjelaskan ketentuan yang berlaku, menilai suatu peraturan atau perbuatan

hukum dan memprediksi hak dan kewajiban yang akan timbul dari suatu

perjanjian, teori hukum disusun dengan memperhatikan fakta-fakta dan filsafat

hukum, dalam tesis ini dipergunakan teori kepentingan umum (public interest)

dengan menggunakan prinsip kehati-hatian, karena teori ini berkaitan dengan

usaha perbankan dalam menghimpun dana masyarakat dalam bentuk tabungan

dan deposito yang kemudian ditempatkan/diberikan dalam bentuk kredit kepada

masyarakat yang kekurangan dana (lack of funds) dalam rangka meningkatkan

taraf hidup rakyat banyak. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang

Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yaitu “Dalam memberikan kredit, Bank Umum

wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk

melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.16

Fungsi dan peran bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara,

keberadaan aset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga

guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi.

Kepercayaan dari masyarakat juga diperlukan karena bank tidak memiliki uang

tunai yang cukup untuk membayar kewajiban kepada seluruh nasabahnya

sekaligus.

Adapun masyarakat menyimpan dananya di bank karena adanya unsur

kepercayaan terhadap bank tersebut, oleh karena itu bank dalam memberikan

kredit kepada debitur haruslah sesuai prinsip atau asas kehati-hatian mengingat

16

? Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps. 8.

Universitas Indonesia

Page 9: All Tesis3

9

dana yang diberikan oleh bank merupakan simpanan masyarakat yang

dipercayakan kepada bank, yang menyangkut kepentingan umum dalam jasa

keuangan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat banyak, sehingga perbankan

dalam menjalankan fungsinya harus mengenyampingkan kepentingan individual

karena terdapat kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan umum. Sehingga

dalam menjalankan peranannya bank bertindak sebagai salah satu bentuk lembaga

keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan jasa-jasa keuangan lainnya.

Adapun pemberian kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan

dana-dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga maupun dengan jalan

memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa uang giral. 17

Sedangkan kredit adalah suatu kepercayaan, dimana kreditur yang

memberikan kredit percaya bahwa debitur (penerima kredit) akan sanggup

memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik menyangkut jangka

waktunya maupun prestasi dan kontra prestasinya. 18

Salah satu obyek yang terpenting dalam hal ini adalah aspek hukum

karena sangat berperan dalam operasional perbankan, terdapat adanya perjanjian

di antara pelaku jasa perbankan yaitu bagi nasabah debitur terhadap bank yang

disebut dengan Perjanjian Kredit. Menurut Hukum Perdata Indonesia, salah satu

bentuk perjanjian pinjam meminjam yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata

pasal 1754 sampai dengan 1789, namun demikian dalam praktek perbankan

modern tidak hanya perjanjian pinjam meminjam melainkan adanya campuran

dengan bentuk perjanjian yang lainnya seperti perjanjian pemberian kuasa dan

perjanjian lainnya. Sehubungan dengan pemberian kredit oleh bank maka setiap

pemberian kredit tersebut haruslah dituangkan dalam perjanjian kredit (akad

kredit) secara tertulis dengan tetap harus dipedomani yaitu bahwa perjanjian

tersebut rumusanya tidak boleh kabur atau tidak jelas dan harus memperhatikan

keabsahan dan persyaratan secara hukum dengan menyebutkan jumlah besarnya

kredit, jangka waktu, tata cara pembayaran, serta persyaratan lainnya. Untuk

17

? Drs. O. P. Simorangkir, Kamus Perbankan, cet. 2, (Jakarta : Bina Aksara, 1989), hlm.33.18

? Drs. Muhammad Djumhana, S.H., op .cit., hlm. 365-366.

Universitas Indonesia

Page 10: All Tesis3

10

mencegah adanya kebatalan dari perjanjian, sehingga secara yuridis telah

memberikan perlindungan yang memadai bagi bank.19

Adapun definisi dari beberapa istilah yang sering digunakan penulis

sehingga dapat menunjang dan membantu dalam penulisan tesis ini adalah sebagai

berikut :

1. Bank

Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang

perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara,

bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya.

Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani

kebutuhan pembiyaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi

semua sektor perekonomian.20

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: 21

“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.

2. Debitur

Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.22 Selanjutnya

dalam penulisan tesis ini akan disebut debitur.

Debitur adalah One who owes a debt to another who is called the director;

one who may be compelled to pay a claim or demand; anyone lieable on a claim,

whether due or to become due. 23

19

? Ibid., hlm. 385. 20

? Hermansyah, S.H., M.Hum., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 1999), hlm. 7.

21 Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps.1 angka 2.

22

? Ibid., ps.1 angka 18.23

Universitas Indonesia

Page 11: All Tesis3

11

3. Kredit

Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan : 24

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian

Kualitas Aktiva Bank Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 11/2/PBI/2009 : 25

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk:a. cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah

yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari;b. pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang;c. pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.”

4. Perjanjian

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.26 Perjanjian dalam

KUHPerdata diatur dalam buku III tentang perikatan, bab kedua, bagian kesatu

sampai dengan bagian keempat.

Pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh Subekti menyebutkan

bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada

? Henry Black Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1990), hlm. 404.

24

? Indonesia, Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps.1 angka 11.25

? Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, PBI No.11/2/PBI/2009 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005, ps. 1 angka 5.

26

? Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op.cit., ps. 1313.

Universitas Indonesia

Page 12: All Tesis3

12

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal.27

Untuk memperjelas pengertian perjanjian, maka dapat ditemukan di dalam

doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan

hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan

menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan

perjanjian, yaitu : 28

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Di dalam teori baru tersebut, tidak hanya melihat perjanjian semata-mata

tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya. Ada tiga tahap untuk membuat

perjanjian, yaitu tahap pra-contractual (adanya penawaran dan penerimaan),

tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak)

dan tahap post-contractual (pelaksanaan perjanjian).29

Sementara M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian sebagai hubungan

hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang

memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.30

Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian perjanjian tersebut, maka

unsur-unsur di dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 31

a. Adanya Hubungan Hukum; Hubungan hukum merupakan hubungan yang

menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan

kewajiban.

27

? Prof. R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 20, (Jakarta : PT. Intermasa, 2004), hlm.1.28

? Salim H.S., Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, cet. 4, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm. 25-26.

29

? Ibid., hlm. 26.30

? M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet. 2., (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 6. 31

? Salim H.S., op. cit., hlm. 26.

Universitas Indonesia

Page 13: All Tesis3

13

b. Adanya Subyek Hukum; Subyek hukum yaitu pendukung hak dan

kewajiban.

c. Adanya Prestasi; Prestasi terdiri dari memberikan (menyerahkan) sesuatu,

melakukan sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

d. Di bidang harta kekayaan.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat sebagai berikut : 32

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. suatu hal tertentu;

d. suatu sebab yang halal.

5. Perjanjian Kredit

Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan

nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,

atau pembagian hasil keuntungan.33

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di

mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan

perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai

berikut :34

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut

akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu

yang telah diperjanjikan.

32

? Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op.cit., ps. 1320.33

? Sutan Remi Sjahdeini, op.cit.

34

? Drs. Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Perkreditan, cet. 4., (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 12-13.

Universitas Indonesia

Page 14: All Tesis3

14

b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak

dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh

tenggang waktu.

c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat

adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan

pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit

semakin tinggi resiko kredit tersebut.

d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit

yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek

perkreditan.

Prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan

kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga

disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati

sebelumnya.

6. Kerjasama

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kerjasama

adalah :35

a. Kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau pihak untuk

mencapai tujuan bersama;

b. Interaksi sosial antara individu atau kelompok secara bersama-sama

mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

1.6. Metode Penelitian

1.6.1. Tipe Penelitian

Penelitian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kegiatan

pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara

sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu

35

? Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 428.

Universitas Indonesia

Page 15: All Tesis3

15

hipotesis untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum.36 Sebagai upaya

melakukan penelitian terhadap pokok permasalahan yang ingin ditulis, penulis

dalam penulisan ini menggunakan metode penelitian normatif yang dikenal juga

dengan istilah penelitian kepustakaan. 37

1.6.2. Jenis Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dinamakan data primer (atau data dasar),

sedangkan yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka lazimnya dinamakan data

sekunder38. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan menggunakan data

primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan

pihak Bank X, sedangkan data sekunder diperoleh dengan melakukan penelusuran

kepustakaan atau dokumentasi atau berupa norma hukum tertulis sehingga alat

pengumpulan data dengan studi kepustakaan berupa bahan-bahan terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat39, antara lain

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005

tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer40, meliputi buku-buku,

36

? Ibid., hlm. 1163.

37 Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, hlm. 52, cet.3, yang diterbitkan di Jakarta oleh Penerbit UI-Press pada tahun 1986, Penelitian hukum dapat dibedakan antara penelitian hukum normatif dengan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau masyarakat.

38

? Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. 3 (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hlm. 14. Lihat juga Rasyid Sartuni, Teknik Penyusunan Karya Ilmiah Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta : Nina Dinamika, 1986), hlm. 15.

39 Ibid.

40

? Ibid.

Universitas Indonesia

Page 16: All Tesis3

16

makalah-makalah atau karya ilmiah, jurnal-jurnal, serta artikel-artikel

yang berkaitan dengan permasalahan yang akan ditulis.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder41 seperti Kamus

Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris.

1.6.3. Metode Pengolahan Data

Data-data sekunder dan data-data primer yang telah diperoleh akan

dikumpulkan, kemudian diseleksi untuk diambil data khusus, yaitu data yang

lebih khusus berkaitan dengan permasalahan yang akan ditulis.

1.6.4. Cara Menganalisa Data

Data yang didapat akan dianalisa sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku dan kemudian akan dikaitkan dengan kaidah-kaidah yang ada dalam

konsep perjanjian kerjasama dalam rangka penyaluran kredit, sehingga

diharapkan dapat memberikan suatu analisis logis.

1.7. Kegunaan Teoritis dan Praktis

Faedah yang diharapkan dari tulisan ini sangat berguna, baik secara teoritis

maupun praktis, yaitu :

a. Kegunaan Teoritis

Memberikan sumbangan penting dan memperluas wawasan dalam

pemahaman konsep hukum perjanjian kerjasama dalam rangka penyaluran

kredit.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pikiran di bidang hukum

mengenai perkreditan untuk menentukan konsep kerjasama antara Bank

dengan badan usaha lain dalam rangka penyaluran kredit ke End User.

Selanjutnya Bank dan pihak-pihak lain yang terkait dapat melakukan

perbaikan dan penyempurnaan sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian

kerjasama dan penyelesaian kredit sejenis di masa mendatang.

1.8. Sistematika Penelitian

41 Ibid.

Universitas Indonesia

Page 17: All Tesis3

17

Dalam sistematika penelitian ini, penulis membagi pokok penulisan tesis

dalam 4 (empat) bab, dan dalam tiap-tiap bab tersebut terdapat pula beberapa sub

bab, dan dibagi lagi dalam pokok-pokok pembahasan, yaitu:

Dalam bab kesatu yaitu Pendahuluan, diuraikan mengenai Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka

Konsepsional, Metode Penelitian, Kegunaan Teoritis dan Praktis, serta

Sistematika Penelitian.

Dalam bab kedua membahas mengenai Tinjauan Umum Perkreditan dan

Pelaksanaannya Pada Bank X yang terdiri dari Tinjauan Umum Perkreditan, Buku

Pedoman Perusahaan Perkreditan Bank X, serta Pelaksanaan Kredit dalam

Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y.

Dalam bab ketiga membahas mengenai Aspek Hukum Kerjasama

Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y yang terdiri dari

Analisa Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X

dengan PT. Y, Analisa Perjanjian Kredit antara PT. Y dengan Penerima Kredit

(End User) dan Analisa Perjanjian Restrukturisasi Kredit antara Bank X dengan

PT. Y.

Bab keempat merupakan bab penutup yang menguraikan Kesimpulan dan

Saran.

BAB II

TINJAUAN UMUM PERKREDITAN

DAN PELAKSANAANNYA PADA BANK X

2.1. Tinjauan Umum Perkreditan

2.1.1. Pengertian Kredit

Universitas Indonesia

Page 18: All Tesis3

18

Bank dalam usahanya adalah menghimpun dana masyarakat dan kemudian

menyalurkan dana-dana tersebut dalam bentuk kredit. Menurut Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan : 42

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Kata-kata dalam pasal 1 ayat 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan “... penyediaan uang atau tagihan yang dapat

dipersamakan dengan itu...” dalam rumusan kredit tersebut dapat ditafsirkan

sangat luas. Produk jasa perbankan, sepanjang memerlukan penyediaan uang atau

tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, maka produk tersebut menjadi

produk perkreditan.43

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di

mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan

perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai

berikut :44

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut

akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu

yang telah diperjanjikan.

b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak

dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh

tenggang waktu.

c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat

adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan

pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit

semakin tinggi resiko kredit tersebut.

42

? Undang-Undang Perbankan, op.cit., ps. 1 ayat 11.43

? Try Widiyono, op. cit., hlm 256.44

? Drs. Thomas Suyatno, op. cit., hlm. 12-13.

Universitas Indonesia

Page 19: All Tesis3

19

d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit

yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek

perkreditan.

Dapat disimpulkan bahwa prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas

kredit yang diberikan kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya

tetapi juga disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati

sebelumnya dan unsur-unsur yang terdapat dalam kredit yaitu kepercayaan,

waktu, risiko dan prestasi.

2.1.2. Jenis-Jenis Kredit

Perkembangan kredit saat ini memang sudah jauh dari bentuk awalnya,

terutama karena berbagai kebutuhan manusia yang semakin beragam. Salah satu

bukti perkembangan kredit tersebut dapat dilihat melalui jenis-jenis kredit yang

dikenal saat ini. Begitu banyaknya jenis kredit memperlihatkan begitu eratnya

eksistensi kredit dengan usaha pemenuhan kebutuhan manusia. Sebenarnya

perkembangan jenis kredit tersebut tidak dapat dipisahkan dari kebijakan

perkreditan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan pembangunan.45 Kredit dapat

dibedakan menurut kriteria lembaga pemberi dan penerima kredit yang

menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka jenis kredit terdiri

dari: 46

a. Kredit Perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau

konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah atau bank swasta

kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan

permodalan, dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai

pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.

45

? Muhamad Djumhana, op. cit., hlm.233.

46 Ibid., hlm.221-224.

Universitas Indonesia

Page 20: All Tesis3

20

b. Kredit Likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada

bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan

sebagai dana untuk membiayai perkreditannya.

c. Kredit Langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada

lembaga pemerintah atau semi pemerintah. Misalnya Bank Indonesia

memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan

program pengadaan barang.

Kredit yang dimaksud dan akan dibahas oleh penulis adalah kredit

perbankan. Untuk lebih mudah memahaminya, jenis-jenis kredit perbankan

digolongkan berdasarkan kriteria yang digunakan, yaitu: 47

1. Penggolongan berdasarkan jangka waktu :

a. Kredit jangka pendek (short term loan).

b. Kredit jangka menengah (medium term loan).

c. Kredit jangka panjang (long term loan).

Jangka waktu untuk masing-masing kredit berbeda-beda, tergantung dari

ketentuan banknya. Misalnya untuk kredit jangka pendek ada bank yang

memberlakukan jangka waktu tidak lebih dari satu tahun, ada juga bank

yang memberlakukan jangka waktu untuk dua tahun.

2. Penggolongan berdasarkan dokumentasi :

a. Kredit dengan perjanjian tertulis.

b. Kredit tanpa surat perjanjian, yang dibagi menjadi :

i. Kredit lisan, yang saat ini sudah sangat jarang

ii. Kredit dengan instrumen surat berharga.

iii. Kredit cerukan, yang timbul karena : Penarikan atau

pembebanan giro yang melampaui saldonya; Penarikan atau

pembebanan R/C yang melampaui plafondnya.

3. Penggolongan berdasarkan bidang ekonomi :

a. Kredit sektor pertanian, perburuhan dan sarana pertanian.

b. Kredit sektor pertambangan.

47

? Munir Fuady (A), Hukum Perkreditan Kontemporer, cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.15-21.

Universitas Indonesia

Page 21: All Tesis3

21

c. Kredit sektor perindustrian.

d. Kredit sektor listrik, gas dan air.

e. Kredit sektor konstruksi.

f. Kredit sektor perdagangan, restoran dan hotel.

g. Kredit sektor pengangkutan, perdagangan dan komunikasi.

h. Kredit sektor jasa.

i. Kredit sektor lain-lain.

4. Penggolongan berdasarkan tujuan penggunaannya :

a. Kredit konsumtif, yang diberikan untuk keperluan konsumsi sehari-

hari.

b. Kredit produktif, yang terdiri dari :

i. Kredit investasi, untuk membeli barang modal atau barang yang

tahan lama.

ii. Kredit modal kerja atau kredit eksploitasi, untuk membeli modal

lancar yang habis dalam pemakaiannya.

iii. Kredit Likuiditas, untuk membantu perusahaan yang sedang

kesulitan likuiditas.

5. Penggolongan berdasarkan obyek yang ditransfer :

a. Kredit uang, yang pemberian dan pengembaliannya dilakukan dalam

bentuk uang.

b. Kredit bukan uang, yang pemberiannya dalam bentuk barang dan jasa,

namun pengembaliannya dalam bentuk uang.

6. Penggolongan berdasarkan waktu pencairannya :

a. Kredit tunai, yang pencairannya secara tunai atau dengan

pemindahbukuan ke rekening debitur.

b. Kredit tidak tunai, yang pencairannya tidak dilakukan saat pinjaman

dibuat, seperti :

i. Garansi Bank atau Stand by L/C, yang baru akan dibayar bila

terjadi perbuatan tertentu.

ii. Letter of Credit, yang merupakan jaminan pembayaran dalam

kegiatan ekspor impor.

7. Penggolongan berdasarkan cara penarikannya :

Universitas Indonesia

Page 22: All Tesis3

22

a. Kredit sekali jadi (aflopend), yang pencairannya sekaligus, seperti

tunai atau pemindahbukuan.

b. Kredit rekening koran, yang waktu penarikannya tidak teratur dan

dapat dilakukan berulang kali selama plafond kredit masih tersedia,

misalnya bilyet giro atau cek.

c. Kredit berulang-ulang (revolving loan), yang diberikan sesuai

kebutuhan selama dalam batas maksimum dan masih dalam jangka

waktu yang diperjanjikan.

d. Kredit bertahap, yang pencairannya dalam beberapa termin/bertahap.

e. Kredit tiap transaksi (self-liquidating credit) yang penarikannya

sekaligus untuk satu transaksi tertentu dan pengembaliannya diambil

dari hasil transaksi yang bersangkutan.

8. Penggolongan berdasarkan jumlah kreditur :

a. Kredit dengan kredit tunggal (single loan).

b. Kredit sindikasi (syndicated loan), yang mempunyai lebih dari satu

kreditur dengan satu kreditur sebagai lead creditor/lead bank.

9. Penggolongan berdasarkan pola penyaluran kredit :48

a. Kredit Channeling.

b. Kredit Executing.

c. Kredit Referensi

Selain kriteria yang digunakan di atas, masih banyak lagi kriteria yang

dapat digunakan untuk menggolongkan berbagai jenis kredit. Penjabaran semua

kriteria itu pada dasarnya hendak memperlihatkan perkembangan kredit yang

telah mengisi berbagai segi kegiatan manusia.

2.1.3. Kredit Pola Channeling, Executing dan Referensi

Sehubungan dengan kajian kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan pada

penulisan ini, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai kredit pola channeling,

executing dan referensi sebagai berikut : 49

48

? Try Widiyono, op. cit., hlm. 293.49

? Try Widiyono, ibid., hlm. 293-297.

Universitas Indonesia

Page 23: All Tesis3

23

Channeling agent merupakan pola pemberian kredit kepada debitur, tetapi

melalui lembaga/perusahaan (agent) yang berhubungan langsung dengan debitur.

Lembaga/perusahaan tersebut harus telah melakukan perjanjian kerja sama

dengan bank/kreditor. Dalam pemberian kredit berpola channeling atau executing

dapat berupa Kredit Investasi atau Kredit Modal Kerja atau kredit-kredit lainnya.

Ada perbedaan utama antara pola channeling dengan executing. Pada pola

channeling, kredit diberikan kepada debitur melalui lembaga/perusahaan lain.

Fungsi lembaga/perusahaan (agent) lain dalam pola channeling ditetapkan dalam

Perjanjian Kerjasama. Hal yang perlu diperhatikan adalah hak dan kewajiban

perusahaan (agent) tersebut, siapakah yang menandatangani perjanjian kredit.

Dalam hal perjanjian kredit ditandatangani antara debitur dengan agen, maka agen

yang bersangkutan wajib mendapatkan kuasa dari kreditur (bank) karena agen

dalam hal ini bertindak dalam kapasitasnya berdasarkan kuasa dan oleh karena itu,

untuk dan atas nama bank/kreditur. Sebagai kuasa, channeling agent tidak dapat

bertindak di luar kuasa yang diberikan. Dalam hal ini perlu diperhatikan,

khususnya dalam hal channeling agent diberikan hak untuk menetapkan secara

bebas suku bunga kredit kepada end user/debitur. Penetapan demikian wajib

didukung oleh kewenangan yang terdapat dalam perjanjian kerjasama. Jika tidak,

maka pemberian fasilitas kredit tersebut bukan merupakan tanggung jawab pihak

pemberi kuasa. Sementara, pola executing bukan demikian.

Pada pola channeling agent terdapat beberapa variasi yang masing-masing

mempunyai aspek hukum yang berbeda-beda dan wajib dimuat dalam perjanjian

kerjasama sebagai berikut :

a. Channeling agent dengan pola adanya kewajiban agen untuk mengambil

alih kredit (take over) jika end user/debitur wanprestasi. Dalam pola ini,

kreditur tidak perlu memberikan kuasa untuk melaksanakan hak-hak

kreditur dalam melakukan tagihan dan atau eksekusi agunan jika end

user/debitur wanprestasi.

b. Channeling agent dengan pola tidak adanya kewajiban agen untuk

mengambil alih kredit (take over) jika end user/debitur wanprestasi.

Dalam pola ini, kreditur wajib memberikan kuasa untuk melaksanakan

Universitas Indonesia

Page 24: All Tesis3

24

hak-hak kreditur dalam melakukan tagihan atau eksekusi agunan jika end

user/debitur melakukan wanprestasi.

c. Channeling agent dengan pola bahwa agen ikut membiayai kredit

tersebut, misalnya kreditur 75% dan agen 25%, yang juga dikenal joint

financing.

d. Channeling agent dengan pola pembelian kredit-kredit existing yang telah

dibiayai oleh lembaga pembiayaan, yang disebut juga dengan pola

purchasing agreement.

Oleh karena itu, hak-hak dan kewajiban agen harus diperinci dalam

perjanjian kerjasama channeling antara bank dengan agen. Hal yang penting

dalam perjanjian kerjasama, antara lain sebagai berikut :

a. Meneliti kapabilitas dari debitur, sesuai dengan syarat dan ketentuan yang

ditetapkan oleh bank. Dalam hal ini bank memberikan kuasa kepada agen

untuk bertindak atas nama bank dalam menandatangani SPPK (surat

pemberitahuan persetujuan kredit), PK (perjanjian kredit), pengikatan

agunan, penarikan dan atau penjualan agunan, mewakili bank di dalam dan

di luar pengadilan berkaitan dengan pelaksanaan pemberian fasilitas kredit

secara channeling.

b. Kewajiban-kewajiban agen dalam memberikan kredit kepada end user

menurut prosedur dan tata cara pemberian kredit yang sehat, termasuk

persyaratan calon debitur yang layak untuk diberikan fasilitas serta

meyakini dan bertanggung jawab atas seluruh dokumen kredit yang

diserahkan dan atau terkait dengan pemberian fasilitas kredit kepada end

user.

c. Persyaratan tata cara, isi SPPK, PK serta pengikatan agunan dan tingkat

suku bunga harus diketahui atau disetujui oleh bank, termasuk self

financing/persentase pembiayaan sendiri (end user).

d. Kewajiban agen untuk menagih kepada debitur dan menyerahkannya

kepada bank/kreditur.

e. Pernyataan dan tanggung jawab agen mengenai benda/barang yang

dibiayai (dibeli) end user merupakan tanggung jawab agen, baik

spesifikasi maupun kualitasnya.

Universitas Indonesia

Page 25: All Tesis3

25

f. Dibebaskan atau tidak dibebaskan untuk meningkatkan suku bunga kredit

dari bunga yang ditentukan oleh bank. Artinya, terdapat agen yang

dibolehkan menaikkan suku bunga kredit dari yang ditetapkan bank.

g. Menarik dan atau menjual jaminan kredit debitur.

h. Umum diperjanjikan juga bahwa agen harus menempatkan dananya pada

bank/kreditur dalam jumlah tertentu sebagai jaminan apabila debitur

ternyata menunggak/tidak membayar kredit.

i. Mengambil alih (take over) kredit oleh agen apabila debitur (end user)

wanprestasi, berikut sanksi apabila ternyata agen tidak mau atau tidak

mampu mangambil alih (take over).

j. Melaporkan semua kegiatan agen berdasarkan kewenangan yang diberikan

oleh bank yang termuat dalam surat kuasa.

Hal penting juga untuk dikemukakan, berdasarkan Keputusan Menteri

Keuangan RI No. 448/KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan, dalam

pasal 27 (1) dinyatakan bahwa perusahaan pembiayaan dilarang:

a. Menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro,

deposito, tabungan dan bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;

b. Menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai

jaminan atas utang kepada bank yang menjadi krediturnya; dan

c. Memberikan jaminan dalam segala bentuknya kepada pihak lain.

Dengan demikian, untuk membuat perjanjian kerja sama pemberian kredit

dengan pola channeling agent yang dalam perjanjian kerja samanya memuat

adanya take over atau buy back guarantee atau with recourse atau avalis harus

diperhatikan dan diyakini bahwa perusahaan yang menjadi channeling agent

tersebut bukan perusahaan pembiayaan.

Pengertian pemberian jaminan sebagaimana dimaksud dalam SK Menkeu

tersebut adalah pemberian jaminan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1820

KUHPerdata, yang menyatakan bahwa penanggungan adalah suatu persetujuan

dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan

diri untuk memenuhi pengikatannya si berutang manakala orang ini sendiri tidak

memenuhinya. Sedangkan pengertian buy back guarantee dalam pola channeling

agent adalah bahwa apabila debitur (end user) tidak dapat membayar

Universitas Indonesia

Page 26: All Tesis3

26

kewajibannya kepada bank, maka pihak channeling agent akan menjamin

pembayaran kewajiban debitur tersebut. Ini berarti pihak channeling agent

melakukan penjaminan apabila debitur (end user) tidak memenuhinya. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa pengertian buy back guarantee dalam pola

demikian hakikatnya adalah penjaminan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1820

KUHPerdata.

Dengan demikian, apabila pengertian buy back guarantee adalah termasuk

cakupan dalam pengertian penjaminan sebagaimana dikemukakan dalam pasal

1820 KUHPerdata tersebut, maka hal tersebut termasuk pengertian “penjaminan”

sebagaimana dimaksud dalam SK Menkeu di atas, yang apabila dilakukan oleh

perusahaan pembiayaan penjaminan, maka itu dilarang. Memperhatikan uraian

tersebut, maka kalusula buy back guarantee dalam perjanjian kerja sama dengan

perusahaan pembiayaan seyogianya dihindari karena hal ini bertentangan dengan

ketentuan Menkeu tersebut.

Berbeda dengan channeling, dalam executing debitur adalah agen tersebut

langsung. Hubungan hukum antara agen dengan nasabahnya (nasabah agen/end

user) adalah hubungan hukum yang terpisah dengan hubungan hukum antara bank

dengan agen. Oleh karena agen adalah debitur, maka agen harus memenuhi syarat

dan ketentuan bidang perkreditan sebagaimana mestinya. Namun demikian,

biasanya untuk menetapkan syarat penarikan, antara lain ditentukan adanya

aplikasi nasabah agen yang mengajukan kredit kepada agen dan selanjutnya agen

tersebut meminta kepada bank untuk dapat menarik/mencairkan fasilitas kredit.

Hal terpenting dalam kredit pola executing adalah perjanjian kredit yang

dibuat harus lebih rinci, khususnya berkaitan dengan syarat penarikan, termasuk

pada kewajiban memberikan calon nasabah yang memenuhi syarat yang

ditentukan oleh kreditur, juga agunan yang diperlukan.

Disamping itu, terdapat pola pemberian kredit melalui agen, tetapi fungsi

agen hanyalah untuk memberikan referensi atas calon debitur kepada bank. Dalam

hal ini, fungsi agen semata-mata hanya sebagai sales atau pihak yang mencari

nasabah. Hak dan kewajiban pihak agen harus secara tegas diatur dalam perjanjian

kerja sama antara bank dengan agen karena, sekalipun sebagai referensi, agen

yang dalam perjanjian kerja samanya dapat sebagai penanggung kredit. Jadi, hal

Universitas Indonesia

Page 27: All Tesis3

27

terpenting dalam pola pemberian kredit melalui agen adalah hak, kewajiban, dan

tanggung jawab dari agen yang bersangkutan.

2.1.4. Prinsip-Prinsip dalam Pemberian Kredit

Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan pada siapa saja yang

memiliki kemampuan untuk itu melalui perjanjian utang piutang antara pemberi

utang (kreditur) di satu pihak dan penerima utang (debitur) di lain pihak. Setelah

perjanjian disepakati dan debitur telah menyerahkan sejumlah jaminan bagi kredit

yang diperolehnya, maka lahirlah kewajiban pada diri kreditur, yaitu untuk

menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur, dengan hak untuk

menerima kembali uang itu dari debitur pada waktunya, disertai dengan bunga

yang disepakati oleh para pihak pada saat perjanjian kredit tersebut disetujui oleh

para pihak.50

Dalam melakukan setiap usahanya, bank wajib memperhatikan prinsip

kehati-hatian (prudent principle).51 Hal tersebut tidak terkecuali dalam usaha

penyaluran kredit. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan-ketentuan yang harus

ditaati oleh bank sebagai upaya untuk meminimalisasi risiko akibat kredit dan

berkenaan dengan prinsip kehati-hatian bank. Ketentuan-ketentuan tersebut antara

lain penentuan Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK), rasio kredit terhadap

simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR), Rasio kecukupan modal (Capital

Adequacy Ratio/CAR), alokasi jumlah kredit untuk golongan usaha tertentu dan

batas minimum perolehan bank.52

Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,

sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan

yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya

tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk

50

? Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm.1.51

? Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Kualitas Aktiva Produktif, SK No. 30/267/KEP/DIR/1998, ps. 2.52

? Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, Manajemen Perkreditan Bank Umum, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 44-50.

Universitas Indonesia

Page 28: All Tesis3

28

memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan

mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP)53 yang

berlaku di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama atas

kemampuan debitur yang lazim menggunakan ukuran 5’Cs yaitu Watak

(Character), Kemampuan (Capacity), Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan

prospek usaha (Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui bahwa

usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan bankable.54

Karakter tidak diragukan lagi adalah faktor yang sangat penting untuk

dipertimbangkan jika ingin memberikan kredit. Apabila debitur tidak jujur,

curang, ataupun incompetence, maka kredit tidak akan berhasil tanpa perlu

memperhatikan faktor-faktor lainnya. Orang yang tidak jujur ataupun curang akan

selalu mencari jalan untuk mengambil keuntungan. Seseorang yang incompetence

menjalankan bisnis tidak diragukan lagi akan menjalankan bisnisnya dengan

buruk, dan hasilnya kredit akan mengandung resiko tinggi. Jika seseorang tidak

ingin membayar kembali kreditnya, kemungkinan ia akan mencari jalan untuk

menghindari membayar kembali. Untuk itu, penilaian karakter debitur harus

ditentukan sejak ia memulai langkah pertama untuk mendapatkan pinjaman.55

Sedangkan modal (capital) berhubungan dengan kekuatan keuangan dari

sipeminjam. Ada beberapa cara untuk menentukan apakah modal seseorang itu

memuaskan. Langkah pertama adalah mendapatkan laporan aset dan pasiva dari

sipeminjam dan harus dipastikan data tersebut akurat. Beberapa lembaga

pinjaman mempunyai aturan-aturan pinjaman yang memuat batas rasio maksimal

aset dan pasiva.56

53

? Bank Indonesia, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum.54

? Agus Santoso. “Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi,” (Makalah disampaikan pada Pelatihan Kriminalisasi Kredit Macet Perbankan sebagai Tindak Pidana Korupsi), Jakarta, 25-26 Januari 2010, hlm.1.

55

? Zulkarnain Sitompul. “Kendala dan Masalah,” (Makalah disampaikan pada Pelatihan Aspek Hukum Perkreditan bagi Staf PT Bank NISP Tbk), Jakarta, 16 September 2004, hlm.1.

56 Ibid., hlm.2.

Universitas Indonesia

Page 29: All Tesis3

29

Conditions, dapat dilihat melalui dua kategori, yaitu kondisi internal dan

kondisi eksternal yang akan mempengaruhi peminjam dan kemampuan debitur

untuk mengembalikan. Kedua belah pihak baik bank maupun debitur menyusun

kontrak yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kredit, biaya dan bunga.

Bank berhak mengetahui tujuan dari pinjaman. Hal ini membantu bank menilai

resiko dari pinjaman, tipe dari produk pinjaman dan keamanan apa yang

diperlukan. Bank tidak memberikan kredit untuk tujuan yang illegal misalnya

memberikan kredit untuk tujuan yang dapat membahayakan lingkungan.57

Collateral (agunan) diperlukan untuk menanggung pembayaran kredit

macet. Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa

agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau

pembiayaan yang diterimanya. Agunan berfungsi sebagai jaminan tambahan.

Kesulitan bank dalam melakukan analisis dengan menggunakan prinsip 5 C

sebagaimana dikemukakan di atas dapat diatasi dengan adanya skim penjaminan

atau skim asuransi kredit. Dengan adanya skim tersebut maka bank lebih mudah

menilai risiko kredit yang diberikannya.58

Kredit dari sisi bank merupakan sumber pendapatan yang memberikan

kontribusi yang cukup besar bagi pendapatan bank itu sendiri. Sedangkan bagi

debitur, kredit bagaikan suatu obat yang dapat menyembuhkan atau atau bahkan

dapat mematikan. Kenapa, karena bila kredit yang diberikan tidak sesuai dengan

kebutuhan debitur, maka kredit tersebut tidak bermanfaat karena tidak cukup

untuk membiayai usaha debitur, sehingga usaha debitur juga tidak jalan.

Akibatnya pada saat jangka waktu berakhir kredit tidak dapat diselesaikan

sebagaimana seharusnya. Demikian juga apabila berlebih diberikan akan

mematikan debitur, karena keuntungan atas obyek yang dibiayai tidak mencukupi

untuk membayar kewajibannya kepada bank sehingga memberi peluang dana

yang diberikan tidak digunakan sebagaimana seharusnya.59

57

? Ibid. dikutip dari PM Weaver & CD Kingsley, Banking & Lending Practice, (Sydney: Lawbook Co., 2001), hlm. 97-104.

58 Ibid.59

? Ibid.

Universitas Indonesia

Page 30: All Tesis3

30

Kegiatan perkreditan merupakan proses pembentukan aset bank. Kredit

merupakan risk asset bagi bank karena aset bank itu dikuasai oleh pihak luar bank

yaitu debitur. Setiap bank menginginkan dan berusaha keras agar kualitas risk

asset ini sehat, produktif dan collectable. Namun kredit yang diberikan kepada

debitur selalu ada resiko berupa kredit tidak dapat kembali tepat pada waktunya

yang dinamakan kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Kredit

bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak

mungkin menghindari adanya kredit bermasalah. Bank hanya dapat berusaha

menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi

ketentuan Bank Indonesia sebagai Pengawas Perbankan.60

2.1.5. Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank

Setelah memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang umum dikenal,

suatu bank juga mempunyai Pedoman Kebijakan Perkreditan Bank sebagaimana

yang diamanatkan oleh Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor

27/162/KEP/Dir.31 Maret 1995 tentang Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan

Perkreditan Bank (PPKPB). PPKPB tersebut mengatur mengenai bagaimana cara

memberikan kredit (prosedur), bagaimana memonitori kredit dan bagaimana

menyelematkan kredit bermasalah. Suatu kebijakan perkreditan bank minimal

memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 61

a. Portofolio kredit yang sehat.

b. Organisasi dan manajemen perkreditan.

c. Kebijakan persetujuan kredit.

d. Administrasi dan dokumentasi kredit.

e. Monitoring dan pengawasan kredit.

f. Penyelamatan dan penyelesaian kredit bermasalah.

Kebijakan ini dilakukan untuk menghindari dampak dari risiko kredit yang

mungkin terjadi antara lain adalah risiko usaha, risiko geografis, risiko

60

? Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Cet. II, (Bandung: Alfabeta, 2004), hlm. 263.61

? Rachmat Firdaus dan Maya Ariyani, op.cit., hlm. 41-52.

Universitas Indonesia

Page 31: All Tesis3

31

keramaian/keamanan/tawuran/perkelahian, risiko politik/kebijakan pemerintah,

risiko ketidakpastian dan risiko lainnya.62

Dengan memperhatikan prinsip dan pedoman kebijakan dalam perkreditan

bank di atas, tiap-tiap bank mempunyai kebebasan untuk mekanisme penyaluran

kredit. Mekanisme pemberian kredit adalah tahap-tahap yang harus dilalui

sebelum suatu kredit diputuskan untuk diberikan.63 Mekanisme pemberian kredit

tersebut meliputi persiapan kredit, analisis atau penilaian kredit, keputusan kredit,

pelaksanaan dan administrasi kredit, supervisi kredit dan pembinaan debitur. 64

Adapun tahap-tahap ini merupakan tahap umum dari suatu pemberian

kredit yang berupa tindakan yang harus dilakukan sejak diajukannya permohonan

kredit sampai dengan lunasnya kredit yang diberikan oleh bank tersebut : 65

1. Permohonan Kredit

Setiap nasabah yang ingin mendapatkan fasilitas kredit harus melampirkan

berkas permohonan kredit yang terdiri dari surat permohonan yang ditandatangani

secara lengkap dan sah, daftar isian yang disediakan oleh bank dan diisi dengan

benar dan lengkap oleh nasabah serta daftar lampiran lainnya. Surat permohonan

yang diterima harus dalam register khusus yang disediakan dan akan dinyatakan

lengkap jika telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Berkas permohonan

harus dipelihara dalam selama dalam proses dan bank biasanya menggunakan

Daftar Isian Permohonan Kredit untuk memudahkan bank memperoleh data yang

diperlukan.

2. Analisis Kredit

Dalam menganalisis kredit, hal-hal yang dilakukan meliputi wawancara

dengan pemohon kredit, pengumpulan data yang berhubungan dengan

permohonan kredit yang diiajukan nasabah, pemeriksaan atau penyidikan atas

kebenaran dan kewajiban mengenai hal yang dikemukakan nasabah dan

penyusunan laporan mengenai hasil penyidikan.

62

? Ibid., hlm. 36.63

? Ibid., hlm. 35.64

? Ibid., hlm. 91.65

? Thomas Suyatno, op. cit., hlm. 69.

Universitas Indonesia

Page 32: All Tesis3

32

Selain itu, kegiatan analisis yang harus dilakukan dalam pemberian kredit

antara lain :

a. Mempersiapkan pekerjaan penguraian dari segala aspek untuk

mempertimbangkan apakah permohonan kredit dapat diterima.

b. Menyusun laporan analisis yang diperlukan, berisi penguraian dan

kesimpulan serta penyajian alternatif sebagai bahan pertimbangan

untuk pengambilan keputusan dari permohonan kredit nasabah.

Setelah memperoleh data pokoknya maka yang harus dikerjakan adalah :

a. Penelitian data;

b. Penelitian atas realisasi-realisasi usaha;

c. Penelitian atas rencana-rencana usaha;

d. Penelitian dan penilaian barang jaminan tambahan;

e. Penelitian pendahuluan atas laporan keuangan (financial statement);

f. Analisis kebutuhan modal kerja;

g. Analisis kebutuhan investasi.

3. Keputusan atas Permohonan Kredit

Pihak yang berhak mengambil keputusan untuk meyetujui permohonan

kredit adalah Kepala Bagian Kredit/Cabang tanpa mengusulkan terlebih dahulu

kepada kantor pusat karena sudah sesuai dengan jenis yang telah dilakukan, tapi

jika permohonan diluar batas wewenangnya maka harus diusulkan terlebih dahulu

kepada kantor pusat melalui surat dan Bank Indonesia juga dapat memberikan

keputusan sesuai dengan wewenang yang ditentukan.

Setiap keputusan permohonan kredit harus memperhatikan penilaian

syarat-syarat umum yang pada dasarnya tercantum dalam laporan pemeriksaan

kredit dan analisis kredit serta bahan pertimbangan yang diperoleh harus

dibubuhkan secara tertulis (disposisi).

4. Penolakan Permohonan Kredit

Bagian Kredit/Cabang dapat menolak permohonan kredit yang secara jelas

dianggap oleh bank secara teknis tidak memenuhi persyaratan dan harus

disampaikan kepada nasabah secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya

atau setelah mendapat keputusan penolakan dari Direksi.

5. Persetujuan Permohonan Kredit

Universitas Indonesia

Page 33: All Tesis3

33

Bank akan memberikan persetujuan baik sebagian maupun seluruhnya

permohonan kredit dari calon nasabah debitur tetapi akan ditegaskan lebih dulu

mengenai syarat-syarat fasilitas kredit dan prosedur yang harus ditempuh oleh

nasabah dalam rangka melindungi kepentingan bank. Adapun langkah-langkah

yang harus dijalani adalah :

a. Surat penegasan persetujuan permohonan kredit kepada pemohon

dibuat secara tertulis dan dalam lima rangkap. Surat ini merupakan

satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari surat perjanjian kredit

karena dengan tegas telah disebutkan nomor dan tanggalnya.

b. Pengikatan jaminan.

c. Penandatanganan perjanjian kredit.

d. Penandatanganan surat aksep.

e. Membuat informasi untuk bagian lain, misalnya bagian kas dan bagian

ekspor/impor.

f. Pembayaran bea materai kredit.

g. Pembayaran provisi kredit atau commitment fee.

h. Mengasuransikan barang jaminan.

i. Membuat asuransi kredit.

6. Pencairan Fasilitas Kredit

Bank hanya menyetujui pencairan kredit oleh nasabah bila syarat-syarat

yang harus dipenuhi nasabah telah dilaksanakan. Pengikatan jaminan secara

sempurna dan penandatanganan warkat-warkat kredit (perjanjian kredit atau surat

aksep borgtocht) mutlak harus mendahului pencairan kredit. Dalam prakteknya,

pencairan kredit berupa pembayaran dan/atau pemindahbukuan atas beban

rekening pinjaman atau fasilitas lainnya, dengan cara antara lain menarik cek atau

giro bilyet, kuitansi maupun dengan dokumen lainnya. Setelah itu harus dilakukan

verifikasi yang meliputi pencocokan dan keabsahan pencairan, jumlah dan syarat

lainnya.

7. Pelunasan Fasilitas Kredit

Dengan dipenuhinya semua kewajiban nasabah terhadap bank berarti

kredit tersebut telah lunas dan berakibat hapusnya ikatan perjanjian kredit.

Universitas Indonesia

Page 34: All Tesis3

34

2.1.6. Penyelamatan dan Penyelesaian Kredit Bermasalah

Bank Indonesia memberikan penggolongan mengenai kualitas kredit

apakah kredit yang diberikan bank termasuk Performing Loan (kredit tidak

bermasalah) atau Non Performing Loan (kredit bermasalah). Kualitas dapat

digolongkan sebagai berikut : 66

a. Lancar

b. Dalam Perhatian Khusus

c. Kurang Lancar

d. Diragukan

e. Macet

Kualitas kredit yang termasuk dalam Non Performing Loan (kredit

bermasalah) adalah Kurang Lancar, Diragukan dan Macet.

Tindakan bank dalam usaha menyelamatkan atau menyelesaikan kredit

bermasalah akan beraneka ragam tergantung pada kondisi kredit bermasalah

tersebut. Misalnya apakah debitur kooperatif dalam menyelesaikan kredit

bermasalah atau tidak. Apabila debitur kooperatif dalam mencari solusi

penyelesaian kredit bermasalah dan usaha debitur masih memiliki prospek, maka

dilakukan restrukturisasi kredit. Sebaliknya bagi debitur yang memiliki itikad

tidak baik (tidak kooperatif) untuk penyelesaian kredit tergantung dari kuat

tidaknya dari aspek hukum perjanjian kredit, pengikatan barang jaminan, kondisi

fisik jaminan dan nilai jaminan karena jaminan inilah satu-satunya sumber

pengembalian kredit. Bagi debitur yang beritikad tidak baik namun dari aspek

hukum kuat maka tindakan hukum merupakan pilihan yang tidak dapat

dihindarkan, yaitu eksekusi barang jaminan oleh bank baik melalui pelelangan

umum maupun penjualan barang jaminan secara sukarela.

Mengingat bahwa kredit bermasalah tersebut membawa pengaruh pada

kelangsungan hidup bank, kepercayaan masyarakat, terganggunya kelancaran dan

laju pembangunan nasional secara keseluruhan, maka dilakukan langkah-langkah

penanganan yang bersifat antisipatif, yaitu dengan melakukan Restrukturisasi

66

? Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit., ps.12 ayat (3).

Universitas Indonesia

Page 35: All Tesis3

35

Kredit apabila prospek usahanya masih memungkinkan atau dilakukan tindakan

eksekusi jaminan untuk melunasi hutang/kewajibannya kepada bank.

Kredit bermasalah dapat disebabkan oleh dua macam sumber, yaitu faktor

intern dan faktor ekstern sebagai berikut :

1. Faktor Intern Penyebab kredit Bermasalah :67

a. Kebijaksanaan pemberian kredit yang terlalu ekspansif.

Peningkatan penghimpunan dana pihak ketiga yang cukup cepat

menyebabkan beberapa bank melakukan kebijakan pertumbuhan kredit

yang melebihi tingkat wajar, yang dilakukan untuk menghindari

terjadinya penumpukan dana yang ideal akibat penghimpunan dana

yang cukup besar. Bank seharusnya tetap melakukan kebijakan

pemberian kredit dengan prosedur yang berhati-hati untuk

menghindari terjadinya risiko kredit bermasalah. Kebijakan pemberian

kredit yang hanya didasarkan pada pencapaian target jumlah tertentu

tanpa memperhatikan aspek-aspek lainnya hanya akan menimbulkan

masalah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi tingkat kesehatan

bank di kemudian hari.

b. Penyimpangan pemberian kredit.

Penyimpangan pemberian kredit terhadap prosedur atau kebijakan

yang ada pada umumnya disebabkan oleh kurangnya kuantitas maupun

kualitas pejabat-pejabat pemberi kredit selain disebabkan oleh adanya

dominasi pemutusan kredit oleh pejabat tertentu kepada bank yang

bersangkutan.

c. Itikad kurang baik pemilik/pengurus dan pegawai bank .

Praktek-praktek yang terjadi adalah pihak-pihak tersebut memberikan

kredit pada debitur yang sebenarnya tidak “bankable”. Kegiatan usaha

tersebut misalnya kegiatan-kegiatan yang kurang jelas tujuannya,

selain juga tidak jelas debiturnya (debitur fiktif), yaitu misalnya

penggunaan dana yang sebenarnya berbeda dengan yang tercantum

pada bukti-bukti yang ada.

67

? Siswanto Sutojo, Menangani Kredit Bermasalah : Konsep, Teknik dan Kasus. Cet.1. (Jakarta: Pustaka Binawan Pressindo, 1997), hlm.20-21.

Universitas Indonesia

Page 36: All Tesis3

36

d. Lemahnya sistem informasi kredit serta system pengawasan dan

administrasi kredit.

Oleh karena lemahnya sistem pengawasan dan administrasi kredit,

pimpinan bank tidak dapat memantau penggunaan kredit serta

perkembangan kegiatan usaha maupun kondisi keuangan debitur

secara cermat. Sebagai kelanjutannya, mereka tidak dapat segera

melakukan tindakan koreksi apabila terjadi penurunan kondisi bisnis

dan keuangan debitur atau terjadi penyimpangan dari perjanjian kredit.

Selain itu bank cenderung melakukan gambaran perkreditan yang lebih

baik dari keadaan yang sebenarnya kepada Bank Indonesia dengan

tujuan mendapatkan penilaian tingkat kesehatan yang lebih baik.

Padahal hal ini justru menyulitkan bank karena tidak memiliki

informasi yang akurat mengenai kredit bermasalah yang sebenarnya

sehingga bank tidak dapat mengambil langkah-langkah pencegahan

kredit bermasalah secara lebih dini.

2. Faktor Ekstern Penyebab Kredit Bermasalah :68

a. Kegagalan usaha debitur.

Kegagalan usaha debitur dapat dipengaruhi oleh beberapa factor yang

terdapat dalam lingkungan debitur. Faktor tersebu dapat berupa

kegagalan produksi, distribusi, pemasaran maupun adanya regulasi

terhadap suatu industri. Namun demikian, seharusnya bank dapat

mengantisipasi risiko-risiko tersebut pada saat melakukan penilaian

terhadap kelayakan usaha debitur. Pemberian kredit oleh bank dapat

dilakukan setelah pihak bank mendapatkan keyakinan yang tinggi

bahwa usaha debitur akan berjalan dengan aman dan tidak bersifat

spekulatif. Pengamatan yang cermat terhadap kecenderungan suatu

industry juga merupakan factor kunci terhadap keberhasilan suatu

usaha. Kejenuhan yang terjadi pada suatu industry dapat menyebabkan

runtunhnya industry tersebut yang selanjutnya akan menimbulkan pula

68

? Ibid., hlm. 22, dikutip dari seminar Penghapusan Kredit Macet: Problematika dan Pemecahannya yang diselenggarakan di Jakarta, 30 Agustus 1996, disampaikan oleh DR. Erman Munzir, Deputi Direktur Bank Indonesia.

Universitas Indonesia

Page 37: All Tesis3

37

dampak yang serius terhadap industry perbankan yang ikut membiayai

proyek-proyek pada industri tersebut.

b. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga.

Tingginya suku bunga kredit dan menurunnya kegiatan ekonomi

terutama pada sector-sektor usaha tertentu akibat adanya kebijakan

pemerintah untuk melakukan penyejukan perekonomian karena

kegiatan ekonomi yang overheated telah menjadi salah satu penyebab

kesulitan debitur untuk memenuhi kewajibannya kepada bank.

c. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur

Adanya iklim persaingan perbankan yang ketat sering dimanfaatkan

oleh calon debitur dengan cara tertentu yang mendorong bank

menawarkan persyaratan kredit yang lebih ringan dan jumlah kredit

yang lebih besar. Pada akhirnya pemberian kredit yang berlebihan

kepada debitur dari jumlah yang diperlukan dapat mendorong debitur

yang bersangkutan menggunakan kelebihan dana tersebut untuk tujuan

spekulatif.

d. Musibah yang terjadi pada usaha debitur atau kegiatan usahanya.

Beberapa kredit bermasalah yang sering terjadi memang karena adanya

musibah yang dialami oleh debitur, yaitu debitur meninggal dunia atau

sarana usahanya mengalami kebakaran sementara debitur dan atau

bank tidak melakukan pengamanan melalui penutupan asuransi. Selain

itu bencana alam seperti gempa bumi, banjir, badai, musim kemarau

yang berkepanjangan seringkali merusak atau menurunkan kapasitas

produksi, peralatan produksi yang dioperasikan oleh debitur.

Akibatnya jumlah produksi, hasil penjualan produk dan keuntungan

menurun yang mempunyai akibat lebih lanjut memburuknya likuiditas

keuangan debitur.

Tindakan penyelamatan kredit dilakukan oleh bank apabila debitur telah

menunjukkan gejala tidak mampu lagi untuk menyelesaikan kewajibannya kepada

pihak bank tepat pada waktunya.69 Dalam prakteknya penyelesaian kredit

69

? Suharno, op.cit., hlm. 174.

Universitas Indonesia

Page 38: All Tesis3

38

bermasalah yang oleh bank-bank dilakukan dengan dua alternatif, yaitu negosiasi

dan litigasi. Namun tetap diakui bahwa kedua alternatif tersebut terlepas dari

adanya bank-bank yang melakukan penagihan kredit macet dengan menggunakan

jasa “debt collector”.

Penyelesaian kredit bermasalah dengan negosiasi ini dilakukan terhadap

debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dapat

membayar bunga meskipun kemampuannya tetap melemah dan tidak dapat

membayar angsurannya. Bahkan terhadap debitur yang usahanya sudah tidak

berjalanpun dapat dilakukan penyelesaiannya dengan negosiasi sebagai contoh

yaitu apabila ratio agunan atau jaminan kredit masih mencukupi dan ada usaha

lain yang dianggap lebih layak dan dapat menghasilkan maka kepada debitur yang

bersangkutan dimungkinkan untuk diberikan suntikan baru yang hasilnua dapat

dipergunakan untuk membayar seluruh kewajibannya.

Semua upaya tersebut dapat disebut dengan kredit yang diselamatkan,

yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah atau macet kemudian terjadi

kesepakatan antara debitur dan bank untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti

dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi,

kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada.

Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut secara umum berupa : 70

1. Restrukturisasi Kredit

Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam

kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi

kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui : 71

a. penurunan suku bunga Kredit;

b. perpanjangan jangka waktu Kredit;

c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;

d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;

e. penambahan fasilitas Kredit; dan atau

f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.70

? Ibid., hlm. 174-175.71

? Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit., Ps.1 angka 25

Universitas Indonesia

Page 39: All Tesis3

39

Kredit dapat direstruktur apabila usaha debitur masih memiliki prospek

yang baik, telah atau mempunyai potensi kesulitan pembayaran pokok/bunga

kredit.

2. Novasi Kredit

Novasi kredit adalah tindakan penyelamatan dengan cara pengambilalihan

kredit oleh pihak ke III. Untuk itu bank harus melakukan analisa kredit

sebagaimana analisa debitur baru. Bila dari hasil analisa usaha debitur tersebut

layak maka permohonan novasi dapat disetujui dan sebaliknya.

Pada saat dilakukan novasi, secara otomatis fasilitas debitur lama (yang

diambil alih) dianggap telah lunas dan pihak yang mengambil alih pinjaman

merupakan debitur baru. Untuk itu semua perikatan dan perjanjian asesoris harus

diperbaharui.

Novasi (Pembaharuan Utang) diatur dalam Pasal 1413 KUHPerdata

sebagai berikut : 72

“ Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang : (1) Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama, yang dihapuskan karenanya;(2) Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya;(3) Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.”

Bentuk Novasi dapat dibedakan menjadi dua sebagai berikut :73

a. Novasi Objektif, yaitu suatu novasi dimana perikatan yang lama diganti

dengan perikatan yang baru, yang didalamnya mengandung suatu objek

perikatan yang lain berupa novasi objektif benda/zaaknya diganti, contoh

jual beli kendaraan diganti dengan jual beli rumah; novasi objektif

causanya diganti, contoh perjanjian jual beli diganti menjadi perjanjian

utang piutang.

72

? Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps. 1413. 73

? J. Satrio, S.H., Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Percampuran Hutang, cet.2., (Bandung : Alumni, 1999), hlm. 106-133.

Universitas Indonesia

Page 40: All Tesis3

40

b. Novasi Subjektif, yaitu suatu novasi dimana perikatan yang lama diganti

dengan perikatan yang baru, yang didalamnya mengandung suatu subjek

perikatan yang lain yaitu novasi subjektif aktif - kreditur lama digantikan

oleh kreditur yang baru; novasi subjektif pasif - debitur lama digantikan

oleh debitur yang baru, novasi ganda, novasi dan janji-janji untuk pihak

ketiga, exprommissio.

3. Likuidasi Agunan

Calon debitur umumnya diminta untuk menyediakan jaminan berupa

agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau

pembiayaan yang diterimanya. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan Nomor

10 tahun 1998 Pasal 8 ayat (1) yaitu :

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Dalam upaya penyelamatan kredit, likuidasi agunan merupakan alternatif

terakhir yang diambil oleh pihak bank. Hal ini biasanya akan memakan waktu

yang cukup lama, karena tidak seluruh debitur merelakan barang yang dijamnkan

disita oleh bank. Hambatan terbut dilakukan dengan melalui pengadilan. Setelah

berhasil dimenangkan bank, sering kali pihak bank masih harus mengeluarkan

sejumlah biaya khususnya untuk biaya perawatan. Akhirnya harga jual setelah

dikurangi biaya pengadilan dan perawatan lebih kecil dengan kerugian yang

diderita pihak bank (bunga plus pokok).

Beberapa alternatif penyelesaian kredit yang dapat dilakukan oleh bank

tergantung parah tidaknya usaha dan niat baik dari debitur itu sendiri untuk

menyelesaikan kewajibannya.

Pada saat kredit direstrukturisasi atau dinovasi sebagai tindakan preventif

bagi bank hal yang sangat penting penting mendapat perhatian adalah dari aspek

hukumnya, yaitu menyangkut :

1. Addendum perjanjian kredit

Maksudnya apakah dalam addendum telah tercantum dengan baik syarat-

syarat perubahan perjanjian kredit dengan adanya restrukturisasi yaitu antara lain

Universitas Indonesia

Page 41: All Tesis3

41

menyangkut, jangka waktu, besarnya suku bunga kredit, besarnya angsuran dan

jadwal angsuran kredit serta kemungkinan adanya tambahan kredit yang harus

diikuti dengan pertambahan penyerahan jaminan/ agunan oleh debitur yang nilai

ekonomisnya harus mengcover besarnya limit kredit.

2. Pengikatan terhadap barang jaminan

Maksudnya apakah barang jaminan/ agunan tersebut tidak cacat hukum

untuk dilakukan pengikatan sesuai dengan jenis pengikatannya, dan mutlak bahwa

pengikatan terhadap barang jaminan harus secara notarial, yaitu antara lain dalam

bentuk pengikatan secara Fiducia dan pengikatan dengan Hak Tanggungan yang

dibuat dihadapkan Notaris yang berwenang.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam pemberian kredit/

pelepasan kredit atau restrukturisasi kredit akan terlahirlah suatu perjanjian antara

dua pihak yaitu peminjam (debitur) dan yang meminjamkan (kreditur). Sebagai

pengaman terhadap kemungkinan terjadinya wansprestasi oleh debitur (tidak

memenuhi kesepakatan yang diperjanjikan) atas fasilitas kredit yang

dinikmatinya, maka sangat perlu untuk perjanjian pokok berikut perjanjian ikutan

(accesoir) dibuat secara notarial dihadapan notaris yang berwenang. Sedangkan

pengikatan atas barang-barang agunan akan dilakukan setelah perjanjian kredit

ditandatangani dan sebelum pencairan kredit.

2.2. Pelaksanaan Kredit pada Bank X

2.2.1. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan

Produk kredit yang dimiliki Bank X terdiri dari beberapa jenis kredit,

dibedakan berdasarkan kebutuhan dan persyaratan yang diberikan Bank, yaitu

sebagai berikut : 74

a. Kredit Modal Kerja;

b. Kredit Investasi;

c. Kredit Sindikasi (Joint Financing);

d. Kredit Bagi Komisaris dan Direksi;

74

? Keputusan Direksi Bank X tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan, SK Dir No.163 tahun 2010 tanggal 14 April 2010.

Universitas Indonesia

Page 42: All Tesis3

42

e. Kredit Bagi Pegawai Tetap Bank X;

f. Kredit Bagi Pegawai Honor Tetap Bank X;

g. Kredit Multiguna;

h. Kredit Multiguna Kembang;

i. Cash Collateral Credit;

j. Kredit Pemilikan Rumah;

k. Kredit Dana Talangan;

l. Kredit Laris;

m. Kredit Paket Lebaran;

n. Kredit Tenaga Kerja dan Wira Usaha Baru;

o. Kredit Bagi Golongan Usaha Skala Kecil (GUSK);

p. Kredit Dana Bergulir;

q. Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana;

r. Garansi Bank;

s. Letter of Credit;

t. Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN); dan

u. Kerjasama Penyaluran Pembiayaan.

Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko,

sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan

yang sehat. Bank harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang disalurkannya

tersebut dapat dikembalikan kembali oleh debitur tepat pada waktunya. Untuk

memperoleh keyakinan tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan

mengikuti prosedur pemberian kredit (Standard Of Procedure/SOP). Pada Bank

X, SOP diatur dalam Buku Pedoman Perusahaan (BPP). Terkait dengan

operasional kredit, BPP terdiri dari :

a. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan, diklasifikasikan ke dalam

empat buku pedoman yaitu Buku I Kebijakan Umum, Buku II Jenis-Jenis

Produk, Buku III Kebijakan dan Prosedur dan Buku IV Formulir dan

Petunjuk Pengisian;

b. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit, Non

Restrukturisasi Kredit, Penyisihan Penghapusan Aktiva, Hapus Buku dan

Universitas Indonesia

Page 43: All Tesis3

43

Hapus Tagih, diklasifikasikan ke dalam dua buku pedoman yaitu Buku I

Kebijakan Umun dan Buku II Sistem dan Prosedur.

Sehubungan dengan kajian yang akan dibahas, penulis akan memaparkan

mengenai SOP Bank X terkait dengan sistem dan prosedur dalam Kerjasama

Penyaluran Pembiayaan.

2.2.2. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Kerjasama Penyaluran

Pembiayaan

Pedoman kebijakan dan prosedur kerjasama penyaluran pembiayaan di

Bank X saat ini diatur dalam Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Buku

II Bab U. Kerjasama penyaluran pembiayaan adalah pemberian pembiayaan

kepada nasabah atau end user melalui lembaga penyaluran pembiayaan dengan

pola executing, channeling dan joint financing. 75

Executing adalah pinjaman yang diberikan kepada bank perkreditan rakyat

dalam rangka pembiayaan (untuk diterus pinjamkan) kepada nasabah mikro dan

kecil, Channeling adalah pinjaman yang diberikan oleh bank kepada nasabah

melalui “agent” yang tidak mempunyai kewenangan memutus pembiayaan

kecuali mendapat surat kuasa dari bank, sedangkan Joint financing adalah

pembiayaan bersama terhadap nasabah/end user yang dilakukan oleh bank

bersama dengan Bank Perkreditan Rakyat dan atau Multifinance.76

Sasaran pemberian pembiayaan nasabah/end user untuk kebutuhan

produktif maupun konsumtif melalui kerjasama dengan agen. 77 Pemberian

Pembiayaan melalui kerjasama dengan agen sebagai upaya untuk : 78

a. Meningkatkan pendapatan

b. Difersifikasi produk pembiayaan

c. Mengurangi resiko konsentrasi

d. Memberi nilai tambah bagi nasabah/end user

75

? Keputusan Direksi Bank X No.163 tahun 2010, op.cit. Sub Bab 01, angka (1). 76

? Ibid.77

? Ibid.78

? Ibid.

Universitas Indonesia

Page 44: All Tesis3

44

Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Buku II Bab U terdiri dalam

3 (tiga) Sub Bab, yaitu: 79

a. Sub bab 01: Ketentuan Umum

Ketentuan umum mengatur mengenai pengertian, tujuan, sasaran,

persyaratan administrasi agent (Lembaga Pembiayaan (multifinance),

Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Koperasi dan Bank Umum)

b. Sub bab 02 : Kebijakan Penyaluran Pembiayaan

Kebijakan Penyaluran Pembiayaan meliputi pola pembiayaan (executing,

channeling dan Joint Financing), persetujuan pembiayaan (kewenangan

proses, kewenangan memutus, penandatanganan), jenis penyaluran

pembiayaan (pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif),

maksimum pembiayaan, jangka waktu, sifat penyaluran pembiayaan,

bunga, provisi, biaya administrasi, agunan dan pengikatan, asuransi, cara

pembayaran kembali, denda dan keterlambatan.

c. Sub bab 03 : Prosedur Pembiayaan

Prosedur pembiayaan meliputi permohonan formulir pembiayaan, analisa

pembiayaan (analisa aspek usaha, analisa keuangan perusahaan), usulan

pembiayaan perusahaan, persetujuan pemberian pembiayaan, administrasi

kerjasama penyaluran pembiayaan (perjanjian kerjasama pembiayaan,

pengelolaan rekening).

2.2.3. Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit

Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit di Bank X diatur

dalam Buku Pedoman Perusahaan Restrukturisasi Kredit, Non Restrukturisasi

Kredit, Penyisihan Penghapusan Aktiva, Hapus Buku dan Hapus Tagih yaitu pada

Buku II Sistem dan Prosedur, Bab I, terdiri dari :80

a. Latar Belakang

79

? Ibid.80

? Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, Non Restrukturisasi, PPA, Hapus Buku dan Hapus Tagih, SK Dir No. 91 Tahun 2008 Tanggal 27 Juni 2008.

Universitas Indonesia

Page 45: All Tesis3

45

Restrukturisasi kredit mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia tentang

Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Nomor 11/9/PBI/2009 tentang

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005.

b. Prosedur Restrukturisasi Kredit

Prosedur Penanganan Kredit meliputi Prosedur Penanganan (Kredit ritel

dan konsumtif, kredit menengah dan korporasi), Dokumen pelengkap

(surat permohonan debitur, relas kredit, memorandum pengusulan).

c. Analisis Restrukturisasi Kredit

Analisis Restrukturisasi Kredit meliputi analisa dan rekomendasi usulan

(perpanjangan jangka waktu kredit, penurunan suku bunga kredit,

pengurangan tunggakan bunga kredit, penangguhan pembayaran

tunggakan bunga kredit (interest balloning payment), penambahan fasilitas

kredit, konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara, pengurangan

tunggakan pokok kredit, perlakuan untuk kredit konsumsi).

d. Keputusan Restrukturisasi Kredit

Keputusan Restrukturisasi kredit meliputi pembagian kewenangan

memutus hasil analisa.

e. Pemantauan

Pemantauan meliputi kegiatan-kegiatan pemantauan dan unit kerja yang

melakukan pemantauan.

f. Penggolongan Kualitas Kredit

Penggolongan Kualitas kredit terdiri dari kredit bermasalah dan kredit

hapus buku.

g. Pelaporan

Pelaporan meliputi proses laporan selama berjalannya restrukturisasi

kepada pihak internal Bank dan Bank Indonesia oleh Unit Kerja yang

bertanggung jawab.

h. Perlakuan Akuntansi

Perlakuan akuntansi mengatur mengenai penerapan perlakuan akuntansi

terhadap kredit-kredit yang telah direstrukturisasi.

Universitas Indonesia

Page 46: All Tesis3

46

2.3. Pelaksanaan Kredit dalam Kerjasama Penyaluran Kredit/

Pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y

2.3.1. Pemberian Kredit

Bank X dalam salah satu kegiatan usahanya adalah memberi kredit atau

pembiayaan kepada masyarakat dengan berbagai jenis kredit diantaranya yaitu

Kerjasama Penyaluran Pembiayaan (kredit channeling). Untuk itu dalam rangka

mengembangkan bisnis ritel, Bank X melakukan kerjasama dengan PT. Y yang

merupakan perusahaan multifinance yang bergerak di bidang kredit/pembiayaan

untuk pembelian kendaraan bermotor.

Kerjasama kedua belah pihak tersebut dilakukan dengan beberapa tahapan

sebagai berikut :

a. Permohonan kerjasama

PT. Y dengan suratnya tertanggal 11 Oktober 2006 mengajukan

Permohonan Kerjasama Fasilitas Channeling kepada Bank X sejumlah Rp.

25.000.000.000,- (dua puluh lima milyar rupiah).

b. Analisa

Berdasarkan permohonan kerjasama PT. Y, Bank X melakukan analisa

kredit dengan mempertimbangkan berbagai aspek, yaitu aspek umum dan

manajemen, aspek hubungan dengan bank, aspek pemasaran, aspek teknis

dan produksi/pembelian, aspek keuangan.

Bank X juga melakukan mitigasi risiko atas risiko kredit, risiko pasar,

risiko likuiditas dan risiko operasional serta melakukan kunjungan ke

salah satu cabang PT. Y di Pekanbaru.

c. Keputusan

Hasil analisa kemudian ditindaklanjuti dengan menyampaikan

Memorandum Pengusulan Kredit ke Komite Pemutus Kredit yang terdiri

dari direktur utama, direktur keuangan, direktur pemasaran dan direktur

kepatuhan. Selanjutnya, permohonan PT. Y disetujui oleh seluruh anggota

Komite Pemutus Kredit sejumlah Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima

Universitas Indonesia

Page 47: All Tesis3

47

milyar rupiah) dengan masing-masing direktur memberikan pertimbangan

dan pendapat.

Berdasarkan keputusan Komite Pemutus Kredit, Bank X menerbitkan

Surat Pemberitahuan Persetujuan Kredit (SPPK) Kerjasama Penyaluran

Pembiayaan atas nama PT. Y pada tanggal 4 April 2007, berisi mengenai

persetujuan kredit disertai penjelasan mengenai ketentuan dan persyaratan

yang sifatnya belum mengikat.

d. Penandatanganan Perjanjian Kerjasama

Setelah ketentuan dan persyaratan yang diberikan oleh Bank X telah

disepakati oleh PT. Y, dibuatlah Perjanjian Kerjasama Penyaluran

Pembiayaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 20

April 2007.

Pelaksanaan kredit berdasarkan Kerjasama Penyaluran Pembiayaan tersebut

dilakukan dengan cara Bank X memberikan kuasa kepada PT. Y baik dalam

pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor

kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan, maupun

dalam pelaksanaan segala hak-hak Bank X yang timbul sehubungan dengan

pemberian kredit/pembiayaan tersebut.81

Pihak/nasabah yang menerima fasilitas kredit/pembiayaan untuk pembelian

kendaraan bermotor dari Bank X dilakukan melalui kantor cabang PT.Y di

seluruh Indonesia berdasarkan Perjanjian Kredit antara nasabah dengan PT.Y

sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada PT.Y.82 Selanjutnya, nasabah wajib

membayar secara berkala dalam jumlah tertentu sebagai angsuran kepada Bank X

melalui PT.Y.83 Perlu diketahui bahwa kredit untuk pembelian kendaraan

bermotor tersebut disalurkan kepada masyarakat yang mayoritas pekerjaannya

adalah petani kelapa sawit.

81

? Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan PT Y untuk Pembelian Kendaraan Bermotor tanggal 20 April Tahun 2007, ps. 1. 82

? Ibid.83

? Ibid.

Universitas Indonesia

Page 48: All Tesis3

48

Plafond kredit/pembiayaan yang disalurkan oleh Bank X kepada nasabah

melalui PT. Y bersifat nonrevolving sampai dengan sejumlah 25 milyar rupiah.84

Penyaluran dan atau pencairan kredit/pembiayaan oleh Bank X kepada PT. Y

dilaksanakan secara bertahap, berdasarkan permintaan PT. Y, setelah PT. Y

menyampaikan kepada Bank X berupa: 85

a. Surat permohonan pencairan kredit/pembiayaan;

b. Daftar alokasi penyaluran kredit/pembiayaan dan jadwal pembayaran

angsuran nasabah;

c. Tembusan perjanjian kredit/pembiayaan, perjanjian fidusia dan surat kuasa

pembebanan jaminan fidusia;

Jaminan atas kredit/pembiayaan yang disalurkan oleh Bank X melalui

PT.Y kepada nasabah berupa Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB)

kendaraan yang dibiayai Bank X dan Corporate Guarantee dari Holding

Company yang dibuat secara notariil.86

2.3.2. Restrukturisasi Kredit

Setelah kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan berjalan selama satu

tahun, terjadi kesulitan pembayaran dari para end user (penerima kredit) yang

disebabkan adanya penurunan harga kelapa sawit dunia yang drastis. Hal ini

mengakibatkan angsuran atau pembayaran kembali kredit ke Bank X menjadi

terhambat dan kualitas kredit menjadi memburuk. Sehubungan dengan

permasalahan tersebut PT. Y mengajukan proposal penyelasaian kredit dengan

restrukturisasi kredit tertanggal 30 Desember 2008.

Bank X segera mengambil upaya penyelamatan kredit, berdasarkan

permohonan debitur tersebut, dengan suratnya (surat pemberitahuan persetujuan

restrukturisasi kredit/ SPPRK) tertanggal 27 April 2009 berisi persetujuan untuk

melakukan restrukturisasi tersebut. Kemudian akta perjanjian restrukturisasi kredit

ditandatangani antara Bank X dengan PT. Y pada tanggal 29 Juni 2009.

84

? Ibid., ps.2.85

? Ibid., ps.4.86

? Ibid., ps. 6.

Universitas Indonesia

Page 49: All Tesis3

49

Tindakan penyelamatan kredit dilakukan oleh bank apabila debitur telah

menunjukkan gejala tidak mampu lagi untuk menyelesaikan kewajibannya kepada

pihak bank tepat pada waktunya.87

Semua upaya tersebut dapat disebut dengan kredit yang diselamatkan,

yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah atau macet kemudian terjadi

kesepakatan antara debitur dan bank untuk diperbaiki, yang tentunya diikuti

dengan suatu perjanjian kredit yang baru, baik berupa novasi, subrogasi,

kompensasi atau hanya berupa addendum atas perjanjian kredit yang telah ada.

Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut secara umum berupa : 88

Restrukturisasi Kredit; Novasi Kredit dan Likuidasi Agunan.

Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam

kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi

kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui : 89

a. penurunan suku bunga Kredit;

b. perpanjangan jangka waktu Kredit;

c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;

d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;

e. penambahan fasilitas Kredit; dan atau

f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara.

Berdasarkan Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit

Bank X, pelaksanaan restrukturisasi kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut : 90

a. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur-debitur yang

mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit, memiliki

prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit

direstrukturisasi.

87

? Suharno, op.cit., hlm. 174.88

? Ibid., hlm. 174-175.89

? Peraturan Bank Indonesia tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, op. cit.90

? Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit.

Universitas Indonesia

Page 50: All Tesis3

50

b. Restrukturisasi kredit dilarang dilakukan oleh Bank, jika bertujuan hanya

untuk menghindari : penurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan

pembentukan PPA91, atau penghentian pengakuan pendapatan bunga

secara akrual.

c. Restrukturisasi kredit harus dilakukan berdasarkan analisis yang cermat,

memperhatikan praktek-praktek perbankan yang sehat (good corporate

governance) dan penerapan manajemen risiko secara memadai. Selain itu

untuk menjaga obyektivitas, maka restrukturisasi kredit wajib dilakukan

oleh pejabat yang lebih tinggi dari pejabat yang memutus pemberian

kredit.

d. Restrukturisasi Kredit diharapkan dapat memperbaiki kualitas kredit,

sebagai upaya untuk menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL)

terhadap eksposur kredit secara keseluruhan.

e. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis sebagain dasar

pelaksanaan Restrukturisasi Kredit yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko sebagaimana diatur oleh

ketentuan Bank Indonesia.

Pola-pola restrukturisasi kredit di Bank X adalah sebagai berikut : 92

a. Perpanjangan jangka waktu kredit;

b. Penurunan suku bunga kredit;

c. Pengurangan tunggakan bunga kredit;

d. Penangguhan pembayaran tunggakan bunga kredit;

e. Penambahan fasilitas kredit;

f. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara;

g. Pengurangan tunggakan pokok kredit;

Pelaksanaan dengan pola ini belum dapat diaplikasikan pada Bank X.

h. Perlakuan untuk kredit konsumtif;

91

? Berdasarkan PBI No.11/9/2009 tentang Penilaian Kualitas Aktiva, ps.1 angka 19, Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas Aktiva.92

? Surat Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit., Bab 1 huruf (C) angka (5).

Universitas Indonesia

Page 51: All Tesis3

51

Pada kredit konsumtif, penyelesaian fasilitas kredit lama dan memberikan

fasilitas kredit baru dengan jumlah angsuran dan jangka waktu yang telah

disepakati oleh debitur dan bank.

Semua upaya tersebut diharapkan dapat memperbaiki kualitas kredit di

Bank X yang semula tergolong kredit bermasalah atau macet menjadi kredit

lancar.

BAB III

ASPEK HUKUM KERJASAMA PENYALURAN

KREDIT/PEMBIAYAAN ANTARA BANK X DENGAN PT. Y

Menjawab permasalahan dalam penulisan ini, perlu dilakukan beberapa

analisa antara lain Analisa Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan

antara Bank X dengan PT.Y, Analisa Perjanjian Kredit antara PT.Y dengan End

User (penerima kredit) dan Analisa Penyelesaian Kredit.

Analisa terhadap perjanjian kerjasama dan perjanjian kredit dilakukan

dengan menitikberatkan pada kedudukan hukum perjanjian, ruang lingkup

perjanjian serta hak dan kewajiban para pihak. Sedangkan analisa penyelesaian

kredit dititik beratkan pada pembayaran kembali kredit dan perjanjian

restrukturisasi kredit.

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang

berbunyi:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Untuk memperjelas pengertian perjanjian, maka dapat ditemukan di dalam

doktrin. Menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah perbuatan

hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan

Universitas Indonesia

Page 52: All Tesis3

52

menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan

perjanjian, yaitu : 93

“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”

Di dalam teori baru tersebut, tidak hanya melihat perjanjian semata-mata

tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya. Ada tiga tahap untuk membuat

perjanjian, yaitu tahap pra-contractual (adanya penawaran dan penerimaan),

tahap contractual (adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak)

dan tahap post-contractual (pelaksanaan perjanjian).94

Sementara M. Yahya Harahap mengartikan perjanjian sebagai hubungan

hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, yang

memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan kepada pihak lain untuk menunaikan prestasi.95

Berdasarkan uraian dari beberapa pengertian perjanjian tersebut, maka

unsur-unsur di dalam perjanjian adalah sebagai berikut : 96

a. Adanya Hubungan Hukum

Hubungan hukum merupakan hubungan yang menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.

b. Adanya Subyek Hukum

Subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban.

c. Adanya Prestasi

Prestasi terdiri dari memberikan (menyerahkan) sesuatu, melakukan

sesuatu, atau tidak melakukan sesuatu.

d. Di bidang harta kekayaan.

Selanjutnya, mengenai asas-asas dalam suatu perjanjian, Pasal 1338

KUHPerdata menyebutkan : 97

93

? Salim H.S., op. cit., hlm. 25-26.94

? Ibid., hlm. 26.95

? M. Yahya Harahap, op. cit, hlm. 6. 96

? Salim H.S., op. cit., hlm. 26.97

? Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps.1338.

Universitas Indonesia

Page 53: All Tesis3

53

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Pasal ini berisikan asas hukum yang biasa disebut asas “kebebasan

berkontrak”, yang berarti setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian

dengan siapa saja, isinya apa saja, namanya apa saja. Kata “semua” menunjukan

perjanjian yang dimaksud tidak hanya perjanjian bernama, tetapi juga perjanjian

tak bernama. Dalam kata “semua” terkandung azas partij autonomie.98

Selain asas kebebasan berkontrak, Pasal 1338 KUHPerdata ini juga

memuat asas “Pacta Sunt Servanda”, yaitu asas yang menyatakan bahwa

perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi para pembuatnya. Berdasarkan

Pasal 1320 KUHPerdata, syarat sah perjanjian adalah : kesepakatan; kecakapan

para pihak; obyek tertentu dan kausa yang halal.

Disamping kedua asas tersebut, Pasal 1338 KUHPerdata juga mengandung

asas “Konsensualisme”, yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian itu

mengikat setelah adanya kata sepakat atau kesepakatan. Keterikatan para pihak

pada perjanjian adalah keterikatan pada isi perjanjian yang ditentukan oleh

mereka sendiri. Karena isinya mereka tentukan sendiri, maka sebenarnya orang

terikat pada janjinya sendiri, janji yang diberikan kepada pihak lain dalam

perjanjian.99

Setelah tercapai kesepakatan oleh kedua belah pihak, maka lahirlah

perjanjian yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak tersebut. Pelaksanaan

yang dimaksud di sini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban yang

telah diperjanjikan oleh pihak-pihak agar perjanjian tersebut mencapai tujuannya.

Masing-masing pihak harus melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan tepat

sesuai dengan apa yang telah disetujui untuk dilakukan.100

98

? Mariam Darus Badrulzaman, K.U.H.Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1996), hlm. 107. 99

? J. Satrio, Hukum Perikatan : Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku II, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 145. 100

? Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung : Alumni, 1982), hlm. 102.

Universitas Indonesia

Page 54: All Tesis3

54

3.1. Analisa Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara

Bank X dengan PT.Y

3.1.1 Hak dan Kewajiban Para Pihak

Perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, dibuat dengan judul

perjanjian “Perjanjian Kerjasama Perjanjian Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara

Bank X deangan PT. Y untuk Pembelian Kendaraan Bermotor”, ditandatangani

oleh para pihak di hadapan notaris di Jakarta pada tanggal 20 April 2007. Secara

hukum, perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y bukanlah merupakan

perjanjian kredit, namun pada kenyataannya perjanjian kerjasama dimaksud

mencantumkan klausul-klausul sebagaimana diatur dalam suatu perjanjian kredit

seperti ketentuan mengenai Plafond, Bunga, Denda, Jaminan dan lain sebagainya.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kerjasama

adalah : 101

a. Kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh beberapa orang atau pihak untuk

mencapai tujuan bersama;

b. Interaksi sosial antara individu atau kelompok secara bersama-sama

mewujudkan kegiatan untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara Bank X dengan

PT.Y, tiga tahap dalam pembuatan perjanjian kerjasama tersebut adalah :

a. Pra-contractual

Perjanjian bermula dari Surat Permohonan dari PT. Y kepada Bank X

untuk melakukan kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan, kemudian

ditanggapi dengan persetujuan Bank X dalam Surat Pemberitahuan

Persetujuan Kredit (SPPK).

b. Contractual

Persesuaian pernyataan kehendak (kesepakatan) antara Bank X dan PT. Y

dituangkan dalam akta “Perjanjian Kerjasama Perjanjian Penyaluran

Kredit/Pembiayaan antara Bank X deangan PT. Y untuk Pembelian

Kendaraan Bermotor”.

c. Post Contractual

101

? Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 428.

Universitas Indonesia

Page 55: All Tesis3

55

Pelaksanaan perjanjian berupa pemenuhan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati antara

Bank X dan PT. Y.

Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kerjasama antara Bank X dengan

PT. Y disusun dalam beberapa pasal sebagai berikut :

a. Pasal 1 : Ruang Lingkup dan Pengertian

b. Pasal 2 : Plafond dan Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan

c. Pasal 3, 4 : Tujuan Kredit/Pembiayaan

d. Pasal 5 : Pelunasan dipercepat

e. Pasal 6 : Jaminan Kredit dan Asuransi

f. Pasal 7 : Tarif Bunga Kredit/Pembiayaan dan Provisi

g. Pasal 8 : Hak dan Kewajiban

h. Pasal 9 : Laporan dan Pemeriksaan

i. Pasal 10 : Pembukaan Rekening

j. Pasal 11 : Jangka Waktu

k. Pasal 12 : Pengakhiran Perjanjian

l. Pasal 13 : Force Majeur

m. Pasal 14 : Larangan Pengalihan Hak

n. Pasal 15 : Pemberitahuan

o. Pasal 16 : Penyelesaian Perselisihan dan Domisili Hukum

p. Pasal 17 : Addendum

q. Pasal 18 : Lain-lain

Pada Perjanjian Kerjasama tersebut, Bank X sebagai Pihak Pertama dan

PT.Y sebagai Pihak Kedua. Ruang lingkup perjanjian kerjasama ini seperti

tersebut di atas telah diatur pada pasal 1 ayat (1), berbunyi :

“Ruang lingkup kerjasama ini adalah penyaluran kredit/pembiayaan oleh Pihak Pertama kepada masyarakat untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua merk Kanzen, Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki melalui Pihak Kedua.”

Disamping itu dijelaskan pula pada pasal 1 ayat (2) bahwa :

“Pihak Kedua bertindak sebagai kuasa Pihak Pertama, baik dalam pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan tersebut, maupun dalam pelaksanaan segala hak-hak

Universitas Indonesia

Page 56: All Tesis3

56

Pihak Pertama yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit/pembiayaan tersebut pada ayat 1 pasal ini, kuasa mana apabila diperlukan akan dibuat secara tersendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta ini.”

Hak dan Kewajiban Bank X dan PT Y dalam Perjanjian Kerjasama akan

dijelaskan sebagai berikut.

Hak Bank X diatur pada Pasal 8 ayat (1) yaitu :

a. Menerima data dan dokumen Nasabah dari PT. Y;

b. Melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan dan dokumen calon

Nasabah sesuai dengan persyaratan dan ketentuan Bank X;

c. Menerima pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga atas

kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank X kepada Nasabah setelah

diperhitungkan dengan hak PT. Y berdasarkan ketentuan pasal 7 ayat (4)

Perjanjian ini;

d. Menerima pembayaran dari PT. Y dalam hal nasabah wanprestasi guna

pelunasan kredit/pembiayaannya sesuai dengan yang ditetapkan dalam

huruf l ayat (2) pasal ini mengenai Hak-Hak PT. Y.

e. Meninjau kembali kerjasama kredit/pembiayaan ini apabila terdapat

penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran kredit/pembiayaan

kepada Nasabah.

Kewajiban Bank X yang diatur dalam Pasal 8 ayat (1) adalah menyediakan

plafond kredit/pembiayaan sejumlah Rp. 25.000.000.000,00 (dua puluh lima

milyar rupiah).

Hak PT. Y dalam Pasal 8 ayat (2) adalah menerima selisih bunga

sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini serta pendapatan-

pendapatan lain yang merupakan hak atau keuntungan PT. Y berdasarkan

Perjanjian ini. Pasal 7 ayat (4) berbunyi :

“Tarif bunga yang dibebankan oleh Pihak Kedua kepada Nasabah adalah sebesar tarif bunga yang ditetapkan oleh Pihak Pertama pada ayat (1) Pasal ini ditambah dengan tarif bunga (spread) untuk keuntungan Pihak Kedua yang ditentukan oleh Pihak Kedua.”

Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (6), Pihak Pertama (Bank X) menetapkan

bunga pinjaman sebesar 16% (enam belas persen) efektif pertahun dihitung dari

Universitas Indonesia

Page 57: All Tesis3

57

pencairan kredit dan setiap pencairan kredit dikenakan provisi sebesar 1% (satu

persen) yang langsung dipotong dari pencairan kredit.

Kewajiban PT. Y diatur dalam Pasal 8 ayat (2) sebagai berikut:

a. Menjamin dan bertanggung jawab atas kelancaran pembayaran Angsuran

Nasabah kepada Bank X sesuai jadwal yang ditetapkan;

b. Mencari, menyeleksi dan memutuskan calon Nasabah yang akan

memperoleh kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor

dengan memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 1 perjanjian ini dan tidak terdapat kredit/pembiayaan ganda atas

nama Nasabah yang sama.

c. Menerapkan prinsip-prinsip pemberian kredit/pembiayaan dan manajemen

kredit/pembiayaan yang sehat dan berlaku umum di Indonesia, untuk

mengurangi timbulnya risiko sehubungan dengan pemberian

kredit/pembiayaan.

d. Mengadakan evaluasi atas permohonan kredit/pembiayaan yang diajukan

oleh calon Nasabah berikut dokumen penununjangnya, kelayakan usaha

serta kemampuan pembayarannya.

e. Menyetujui atau menolak permohonan kredit/pembiayaan yang diajukan

oleh calon Nasabah, termasuk untuk jenis kendaraan yang akan dibiayai.

f. Menandatangani perjanjian dengan Nasabah antara lain Perjanjian Fidusia,

Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia dan Surat Kuasa Menjual.

g. Menetapkan besarnya jumlah kredit/pembiayaan yang akan diberikan

berikut tarif bunga sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (4) Perjanjian

ini, denda serta biaya-biaya lain yang dikenakan kepada Nasabah dengan

tetap berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.

h. Melakukan pemotongan pajak, bea atau iuran sebagaimana ditetapkan oleh

ketentuan perpajakan yang berlaku.

i. Meneliti keabsahan semua dokumen yang berkaitan dengan Perjanjian

Kredit/Pembiayaan.

j. Menyimpan asli dokumen Perjanjian Kredit/Pembiayaan dan surat-surat

lainnya yang berkaitan dengan pemberian kredit/pembiayaan.

Universitas Indonesia

Page 58: All Tesis3

58

k. Membukukan kredit/pembiayaan, melakukan perhitungan jumlah

kredit/pembiayaan yang diberikan, jumlah hutang pokok dan bunga serta

biaya yang terhutang oleh setiap Nasabah.

l. Menerima pembayaran angsuran kredit/pembiayaan baik berupa angsuran

pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan

pemberian kredit/pembiayaan serta mengeluarkan kuitansi atau tanda bukti

pembayaran yang sah.

m. Menyetorkan semua dan setiap pembayaran yang diterima berdasarkan

huruf (k) di atas setelah diperhitungkan dengan hak atau keuntungan PT. Y

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) Perjanjian ini kepada Bank

X.

n. Dalam hal Nasabah wanprestasi maka :

i) Sebagai kuasa dari Bank X, melakukan setiap tindakan hukum yang

diperlukan guna melindungi kepentingan Bank X, diantaranya tetapi

tidak terbatas pada mengeluarkan surat peringatan, somasi, penagihan

kepada Nasabah dan pihak-pihak lainnya sehubungan dengan

administrasi penyelesaian kredit/pembiayaan;

ii) Melaporkan kepada Bank X mengenai hasil dari langkah-langkah

penyelesaian yang telah diambil terhadap Nasabah yang wanprestasi

yang meliputi : Melakukan penguasaan dan penarikan barang jaminan

kredit/pembiayaan; Melakukan penjualan atau dengan cara lain

mengalihkan hak atas kendaraan bermotor yang dibiayai kepada pihak

manapun menurut harga pasar yang wajar dengan memperhitungkan

hasil penjualan barang jaminan dengan jumlah yang terhutang oleh

Nasabah; Mengajukan gugatan, klaim, penyitaan, pengaduan dan

tindakan hukum lainnya tanpa ada yang dikecualikan di hadapan badan

peradilan, arbitrase, kepolisian atau pihak-pihak lain yang berwenang

sehubungan dengan pelaksanaan hak-hak Bank X.

o. Apabila terdapat Nasabah menunggak pembayaran angsuran lebih dari 3

(tiga) kali angsuran, maka PT. Y wajib mengupayakan untuk mendapatkan

kembali dana atau porsi kredit/pembiayaan Bank X yang telah disalurkan

oleh Bank X melalui PT. Y kepada Nasabah tersebut dengan menyetorkan

Universitas Indonesia

Page 59: All Tesis3

59

seluruh dana atau porsi kredit/pembiayaan yang disalurkan dalam waktu

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Nasabah

menunggak.

p. Apabila PT. Y tidak melakukan penyetoran pada tanggal yang ditentukan

sebagaimana dimaksud dalam butir 2.2. huruf k Pasal ini, maka PT. Y

wajib membayar denda keterlambatan sebesar 150% (seratus lima puluh

persen) dari tarif bunga yang berlaku pertahun untuk per hari

keterlambatan dihitung dari jumlah tertunggak.

Ketentuan mengenai jaminan kredit diatur dalam Perjanjian Kerjasama

pasal 6 ayat (1) sampai dengan ayat (4) dimana Bank X sebagai Pihak Pertama

dan PT. Y sebagai Pihak Kedua sebagai berikut :

“(1) Sebagai jaminan atas kredit/pembiayaan yang disalurkan/dicairkan oleh Pihak Pertama melalui Pihak Kedua kepada Nasabah, maka Nasabah tersebut wajib menyerahkan jaminan tersebut berupa, asli Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) kendaraan yang dibiayai.(2) Asli Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini dismpan oleh Pihak Kedua sampai kredit dinyatakan lunas oleh Pihak Pertama.(3) Pihak Kedua wajib menyampaikan secara tertulis kepada Pihak Pertama setiap akhir bulan, jumlah Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang telah diserahkan oleh Nasabah kepada Pihak Kedua dan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) yang sedang dalam proses pengurusan.(4) Corporate Guarantee dari Holding Company yang dibuat secara notariil.”

Ketentuan-ketentuan tersebut baik dari segi bahasa maupun materi yang

dikandung banyak memiliki hal-hal yang inkonsistensi sehingga perlu dikaji dari

Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1988 dan Buku Pedoman

Perusahaan Bank X.

Dari sisi bahasa antara lain istilah “Penyaluran Pembiayaan”, yang

digunakan dalam perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, lebih tepat

digunakan pada produk perbankan syariah, sedangkan Bank X adalah termasuk

perbankan konvensional. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1

angka 12 dijelaskan bahwa :

“Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau

Universitas Indonesia

Page 60: All Tesis3

60

kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”

Dalam perbankan konvensional, istilah yang lebih tepat digunakan untuk

penyaluran dana ke masyarakat adalah “Kredit” sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 11 :

“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

Kemudian, penggunaan istilah “Nasabah/end user” untuk menyebut

penerima/pengguna kredit pada perjanjian kerjasama antara Bank X dan PT. Y

juga kurang tepat. Namun demikian, hal ini diatur dalam Buku Pedoman

Perusahaan Bank X mengenai Kerjasama Penyaluran Pembiayaan yang

berbunyi:102

“Nasabah/end user adalah pihak yang memperoleh pembiayaan melalui Lembaga Penyaluran Perkreditan, baik pembiayaan produktif maupun pembiayaan konsumtif”.

Dalam Perjanjian Kerjasama Pasal 1 ayat (3) huruf (c) dijelaskan pengertian dari

Nasabah sebagai berikut :

“Nasabah adalah pihak yang menerima fasilitas kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan dari Pihak Pertama melalui Kantor Cabang Pihak Kedua di seluruh Indonesia yang tidak termasuk dalam daftar orang-orang yang mempunyai kredit bermasalah di Pihak Pertama, Pihak Kedua maupun Bank Indonesia dan tidak terdapat kredit/pembiayaan ganda atas nama calon end user yang sama”.

Sedangkan istilah end user, walaupun seringkali disebutkan pada perjanjian

kerjasama dimaksud, tidak dijelaskan pengertiannya. Pada praktek perbankan,

istilah ini sering digunakan dalam kerjasama penyaluran kredit103 walaupun tidak

dikenal dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, sedangkan istilah

102

? Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, op. cit., Sub Bab 01 angka (1) huruf (f).103

? Penulis melihat penggunaan istilah “end user” pada suatu akta “Perjanjian Kerjasama Dalam Rangka Pemberian Fasilitas Pembiayaan (Joint Financing)” tanggal 24 Juli 2007 yang dilaksanakan oleh PT. Bank Mandiri, Tbk.

Universitas Indonesia

Page 61: All Tesis3

61

“Nasabah” dalam Pasal 1 angka 16 sampai dengan angka 18 berturut-turut

dijelaskan sebagai berikut :

“Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank; Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan; Nasabah Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”

Dengan demikian, istilah “Nasabah” yang digunakan dalam perjanjian kerjasama

antara Bank X dan PT. Y masih bersifat luas, karena dalam undang-undang

pengertian Nasabah sendiri dibedakan lagi menjadi dua yaitu Nasabah Penyimpan

dan Nasabah Debitur. Penulis berpendapat istilah yang lebih tepat digunakan

untuk menyebut penerima kredit adalah Nasabah Debitur, Debitur ataupun End

User.

3.1.2 Kedudukan Hukum Para Pihak

Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai penyaluran kredit dengan

pola channeling. Pada pola channeling seperti pada kajian penulisan ini, kredit

diberikan kepada end user (penerima kredit) melalui PT. Y (lembaga/perusahaan

lain). Fungsi lembaga/perusahaan lain dalam pola channeling ditetapkan dalam

Perjanjian Kerjasama. Berdasarkan Perjanjian Kerjasama Pasal 1 ayat (2), PT. Y

sebagai channeling agent bertindak sebagai kuasa dari Bank X dalam rangka

penyaluran kredit/pembiayaan kepada masyarakat.

Sekalipun secara etimologi, surat kuasa dapat diartikan sebagai surat yang

berisi pemberian sebagian kekuasaan atau hak yang dimiliki oleh subyek hukum

kepada subyek hukum lainnya untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, tetapi

undang-undang telah memberikan batasan yang diatur dalam pasal 1792

KUHPerdata, yang menyatakan bahwa pemberian kuasa adalah suatu persetujuan

dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang lain, yang

menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.104

Batasan tersebut mempunyai 4 (empat) unsur penting :105

104

? Try Widiyono, Op. Cit., hlm. 47.105

Universitas Indonesia

Page 62: All Tesis3

62

a. Adanya Persetujuan

Unsur ini merupakan unsur dalam suatu perikatan yang lahir oleh karena

adanya persetujuan (vide Pasal 1233 jo Pasal 1313 KUHPerdata). Pasal

1313 KUHPerdata menyatakan suatu persetujuan adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Hal lain yang penting berkaitan dengan persetujuan

ini adalah Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat-syarat

sahnya suatu persetujuan, yaitu : sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan

suatu sebab yang halal.

b. Antara Pemberi kepada Penerima Kuasa

Surat kuasa diberikan oleh oleh pemberi kuasa kepada pihak lain.

Ketentuan ini maksudnya adalah surat kuasa tersebut diberikan dari dan

untuk subjek hukum, baik orang atau badan. Dimaksud dengan subjek

hukum tersebut harus memenuhi unsur kecakapan dan punya kewenangan

bertindak. Berkaitan dengan badan ini perlu diperhatikan aspek hukum

korporasi, yakni hukum yang mengatur mengenai berbagai badan, baik

badan hukum maupun bukan badan hukum.

c. Bertindak atas Nama Pemberi Kuasa

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa pemberi kuasa dalam surat

kuasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri, oleh karena itu

diwakili oleh pihak lain. Perwakilan itu memberi konsekuensi bahwa

seakan-akan pemberi kuasa tersebut hadir dalam melakukan perbuatan

hukum tersebut. Kehadiran penerima kuasa tersebut mewakili pemberi

kuasa, sebatas dengan kuasa atau kewenangan yang diberikan oleh pihak

pemberi kuasa. Di luar kuasa atau kewenangan yang diberikan oleh

pemberi kuasa, maka pihak penerima kuasa harus bertanggung jawab

sendiri.

Jadi, harus diperhatikan dasar bertindak atau dasar pemberian kuasa

tersebut (kewenangan bertindak). Dalam hal tertentu, kewenangan tersebut

perlu kita minta buktinya untuk meyakini kewenangan itu. Kewenangan

? Ibid., hlm. 47-50.

Universitas Indonesia

Page 63: All Tesis3

63

itu harus dilihat, baik pihak pemberi kuasa maupun kuasanya, apakah

pemberi kuasa bertindak atas dirinya sendiri atau dalam suatu jabatan

tertentu. Jika dalam kapasitas tertentu, wajib disebutkan dasarnya juga.

Apabila telah memenuhi syarat-syarat tersebut berarti perbuatan tersebut

seakan-akan dilakukan sendiri oleh pemberi kuasa. Penerima kuasa hanya

bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa. Semua akibat hukum yang

ditimbulkan merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa. Oleh karena

itu, berdasarkan pasal 1799 KUHPerdata, pemberi kuasa dapat menggugat

secara langsung orang dengan siapa si kuasa telah bertindak dalam

kedudukannya dan menuntut daripadanya pemenuhan persetujuannya.

d. Untuk Menyelenggarakan Suatu Urusan

Suatu pemberian kuasa dimaksudkan untuk mewakili pihak pemberi kuasa

kepada penerima kuasa dalam suatu urusan. Oleh karena itu, suatu urusan

tersebut wajib dicantumkan dalam suatu surat kuasa. Jadi, yang

dikuasakan tersebut harus jelas serta rinci dan sedapat mungkin tidak dapat

diinterpretasikan lain sehingga tidak mudah menimbulkan dispute.

Sehubungan dengan kajian mengenai kerjasama penyaluran

kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y, hal yang perlu diperhatikan

adalah hak dan kewajiban PT. Y, siapakah yang menandatangani perjanjian

kredit. Dalam hal perjanjian kredit ditandatangani antara end user sebagai

penerima kredit dengan PT. Y sebagai agen, maka PT. Y wajib mendapatkan

kuasa dari Bank X sebagai kreditur karena PT. Y dalam hal ini bertindak dalam

kapasitasnya berdasarkan kuasa dan oleh karena itu, untuk dan atas nama Bank X.

Sebagai kuasa, PT. Y sebagai channeling agent tidak dapat bertindak di luar kuasa

yang diberikan. Dalam hal ini perlu diperhatikan, khususnya dalam hal channeling

agent diberikan hak untuk menetapkan secara bebas suku bunga kredit kepada end

user. Penetapan demikian wajib didukung oleh kewenangan yang terdapat dalam

perjanjian kerjasama. Jika tidak, maka pemberian fasilitas kredit tersebut bukan

merupakan tanggung jawab pihak pemberi kuasa.

Kedudukan PT. Y dalam perjanjian kerjasama adalah sebagai kuasa bank

dalam melakukan penyaluran kredit dengan mewakili bank dalam

Universitas Indonesia

Page 64: All Tesis3

64

penandatanganan perjanjian kredit, hal ini diatur dalam pasal 1 ayat (2) sebagai

berikut :

“Pihak Kedua bertindak sebagai kuasa Pihak Pertama, baik dalam pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan tersebut, maupun dalam pelaksanaan segala hak-hak Pihak Pertama yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit/pembiayaan tersebut pada ayat 1 pasal ini, kuasa mana apabila diperlukan akan dibuat secara tersendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta ini.”

Disamping itu, ketentuan mengenai penandatanganan perjanjian kredit

tersebut diatur pula dalam Buku Pedoman Perusahaan Bank X mengenai

Kerjasama Penyaluran Pembiayaan sebagai berikut: 106

”(1) Perjanjian Kredit ditandatangani antara Bank X dengan Debitur yang diajukan oleh Agen atau antara Agen dengan Debitur.(2) Penandatanganan Perjanjian Kredit berdasarkan kuasa dari Bank X kepada Agen dituangkan dalam perjanjian kerjasama penyaluran pembiayaan.”

Kuasa yang dimaksud pada Perjanjian Kerjasama pasal 1 ayat (2) sampai

saat ini tidak dibuat secara tersendiri, dengan demikian kuasa hanya diberikan

terbatas pada hal-hal yang diatur dalam pasal 1 ayat (2) tersebut di atas, yaitu

kuasa untuk :

a. Pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan

bermotor roda dua kepada masyarakat;

b. Pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan;

c. Pelaksanaan segala hak-hak Bank X yang timbul sehubungan dengan

pemberian kredit/pembiayaan.

Konsekuensi hukum dari kuasa yang tercantum dalam Perjanjian

Kerjasama adalah PT. Y bertindak mewakili/atas nama Bank X dalam pemberian

kredit kepada end user. Namun demikian, walaupun Bank X telah memberikan

kuasa kepada PT. Y untuk melaksanakan pemberian kredit/pembiayaan tersebut,

kuasa ini dibatasi oleh klausul yang terdapat pada pasal 8 Perjanjian Kerjasama

mengenai Hak-Hak Bank X sebagai berikut :

106

? Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, SK Dir. No.66 Tahun 2003 tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, ps. 5 ayat (1) dan ayat (2).

Universitas Indonesia

Page 65: All Tesis3

65

a. Menerima data dan dokumen Nasabah dari PT. Y;

b. Melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan dan dokumen calon

Nasabah sesuai dengan persyaratan dan ketentuan Bank X;

c. Menerima pembayaran angsuran hutang pokok dan bunga atas

kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank X kepada Nasabah setelah

diperhitungkan dengan hak PT. Y;

d. Menerima pembayaran dari PT. Y dalam hal nasabah wanprestasi guna

pelunasan kredit/pembiayaannya;

e. Meninjau kembali kerjasama kredit/pembiayaan ini apabila terdapat

penyimpangan-penyimpangan dalam penyaluran kredit/pembiayaan

kepada Nasabah (end user).

Disamping itu, diatur pula dalam Pasal 4 mengenai Permintaan Penyaluran

Kredit/ Pembiayaan bahwa penyaluran kredit/pembiayaan oleh Bank X melalui

PT. Y dilakukan setelah terlebih dahulu PT. Y menyampaikan tembusan

perjanjian kredit/pembiayaan dan accesoirnya antara PT. Y dengan end user dan

PT. X melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk pencairan

kredit. Selanjutnya, Bank X berhak menolak permohonan pencairan kredit dari

PT. Y jika Calon Nasabah tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh

Bank X.

Apabila dilihat dari tujuan penyaluran kredit/pembiayaan sesuai dengan

Pasal 2 jo Pasal 3 Perjanjian Kerjasama, plafond kredit/pembiayaan disalurkan

oleh Bank X kepada end user melalui PT. Y dengan sifat Non Revolving

(sekaligus), maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan PT. Y dalam perjanjian

kerjasama ini bukan sebagai Debitur. Disamping itu, berdasarkan hak-hak Bank X

dalam Perjanjian Kerjasama, Bank X tetap menjalankan fungsinya sebagai Bank

karena Bank X juga melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan dan

dokumen dari Calon Nasabah serta dapat menolak permohonan pencairan kredit.

Dengan demikian, Bank X merupakan Kreditur dari end user.

Dilihat dari bentuk perjanjiannya, yaitu Perjanjian Kerjasama, dan

berdasarkan kedudukan hukum Bank X (Pihak Pertama) dengan PT. Y (Pihak

Kedua) sebagai pemberi kuasa dan penerima kuasa, maka hubungan hukum antara

Universitas Indonesia

Page 66: All Tesis3

66

Bank X dengan PT. Y adalah sebagai mitra usaha sebagaimana dijelaskan dalam

komparisi (pembukaan) perjanjian kerjasama sebagai berikut :

“Bahwa dalam rangka mengembangkan bisnis ritel, Pihak Pertama bermaksud menjalin kerjasama dengan perusahaan pembiayaan (multi finance) sebagai mitra usaha dalam memberikan kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor kepada masyarakat”.

Dalam kerjasama ini, Bank X memperoleh keuntungan berupa provisi dan

bunga pinjaman sebagai akibat dari meluasnya penyaluran kredit ke masyarakat

melalui PT. Y. Sedangkan di lain pihak, PT. Y memperoleh keuntungan berupa

spread (selisih) antara bunga pinjaman dari bank dengan bunga pinjaman kepada

end user.

Berdasarkan konstruksi dan hubungan hukum yang ada, wanprestasi end

user terkait dengan pembayaran kembali/pelunasan kredit ke Bank X bukanlah

menjadi tanggung jawab dari PT. Y. Seharusnya tanggung jawab PT. Y hanya

terbatas pada pemberian kredit/pembiayaan dan tindakan wanprestasi dari PT. Y

hanya meliputi penyimpangan-penyimpangan atas penyaluran kredit yang tidak

sesuai dengan perjanjian kerjasama.

3.2 Analisa Perjanjian Kredit antara PT. Y dengan Penerima Kredit

3.2.1 Hak dan Kewajiban Para Pihak

Perjanjian antara PT. Y dengan penerima kredit (end user), dibuat dengan

judul perjanjian “Perjanjian Pembiayaan Konsumen”, ditandatangani oleh para

pihak secara bawah tangan (tidak notariil). Perjanjian Pembiayaan Konsumen

tersebut merupakan perjanjian kredit/pembiayaan sebagaimana diatur pada pasal 1

ayat 3 huruf e Perjanjian Kerjasama sebagai berikut :

“Perjanjian Kredit/Pembiayaan adalah perjanjian yang dibuat oleh dan antara Pihak Kedua dengan Nasabah sebagai pelaksanaan dari Perjanjian ini yang bentuk dan isinya sesuai dengan ketentuan/standard yang berlaku pada Pihak Kedua”.

Pembuatan Perjanjian Kredit antara PT.Y dengan end user terdiri dari tiga tahap

sebagai berikut :

a. Pra-contractual

Universitas Indonesia

Page 67: All Tesis3

67

Perjanjian bermula dari Surat Permohonan dari end user untuk

memperoleh fasilitas dana pembiayaan berupa sejumlah uang untuk

pembelian kendaraan bermotor, kemudian ditanggapi dengan persetujuan

PT. Y.

b. Contractual

Persesuaian pernyataan kehendak (kesepakatan) antara PT. Y dengan end

user dituangkan dalam akta “Perjanjian Pembiayaan Konsumen”.

c. Post Contractual

Pelaksanaan perjanjian berupa pemenuhan hak-hak dan kewajiban-

kewajiban sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati antara

PT. Y dengan end user.

Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user

disusun dalam beberapa pasal sebagai berikut :

a. Pasal 1 : Fasilitas Pembiayaan

b. Pasal 2 : Jumlah Fasilitas Pembiayaan

c. Pasal 3 : Tata Cara Pembayaran

d. Pasal 4 : Hak dan Kewajiban atas Barang Jaminan

e. Pasal 5 : Wanprestasi

f. Pasal 6 : Berakhirnya Perjanjian

g. Pasal 7 : Lain-Lain

h. Pasal 8 : Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia

i. Pasal 9 : Penyelesaian Perselisihan

j. Pasal 10 : Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia

k. Pasal 11 : Kuasa

Berdasarkan komparisi (pembukaan) perjanjian kredit antara PT. Y dengan

end user, tidak disebutkan bahwa PT. Y merupakan kuasa dari Bank X dalam

meyalurkan kredit, sehingga dalam kedudukan hukumnya PT. Y bertindak sendiri

sebagai kreditur atau dengan kata lain tidak mewakili Bank X. Akibat hukumnya

adalah perjanjian tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan perjanjian

kerjasama antara Bank X dengan PT. Y. Disamping itu, perjanjian kredit tersebut

dapat dimohonkan kembali kepada bank lain untuk pencairan kredit serupa.

Berdasarkan perjanjian kredit ini, Hak dan Kewajiban para pihak meliputi:

Universitas Indonesia

Page 68: All Tesis3

68

Hak end user adalah memperoleh pinjaman uang melalui fasilitas

pembiayaan untuk pembelian barang dari penjual berupa satu unit kendaraan

bermotor roda dua dengan spesifikasi sesuai dengan permohonan end user,

sedangkan kewajiban end user diatur dalam pasal 3 jo pasal 4 perjanjian kredit

sebagai berikut :

a. Membayar kembali hutang pembiayaan (pokok dan bunga) dengan cara

mengangsur dengan tertib dan teratur sesuai jadwal pembayaran angsuran

tanpa terlebih dahulu dilakukan penagihan/pemberitahuan oleh PT. Y dan

pembayaran dilakukan pada hari kerja di tempat PT. Y.

b. Membayar denda keterlambatan sebesar 2 ‰ (dua permil) perhari dari

jumlah angsuran yang tertunggak atas setiap keterlambatan pembayaran

angsuran hutang pembiayaan.

c. Menyerahkan setiap unit sepeda motor merk apapun yang dibeli oleh end

user dari penjual melalui akad pembiayaan dari PT. Y sebagai Barang

Jaminan, kemudian barang jaminan tersebut diikat secara Fidusia dan

tunduk pada Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia.

Hak PT. Y adalah memperoleh pembayaran kembali hutang pembiayaan

dari end user berupa pokok dan bunga dan hak-hak lain dalam Perjanjian

Pemberian Jaminan Fidusia, sedangkan kewajiban PT. Y, dalam pasal 1 jo pasal 2

ayat (1) perjanjian kredit, adalah memberikan pinjaman uang melalui fasilitas

pembiayaan dengan jaminan hak milik secara Fidusia kepada end user untuk

pembelian barang dari penjual berupa satu unit kendaraan bermotor roda dua

dengan spesifikasi sesuai dengan permohonan end user.

Ketentuan mengenai keadaan wanprestasi oleh end user diatur dalam Pasal

5 sebagai berikut :

a. Penerima Fasilitas lalai dan/atau tidak dan/atau gagal memenuhi satu atau

lebih kewajiban sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian ini dan/atau

Perjanjian Pemberian Jaminan Fidusia.

b. Penerima Fasilitas tidak/lalai melakukan pembayaran angsuran Hutang

Pembiayaan pada tanggal jatuh tempo angsuran.

c. Barang jaminan yang berada di bawah penguasaan Penerima

Fasilitas/Pemberi Jaminan hilang atau musnah.

Universitas Indonesia

Page 69: All Tesis3

69

d. Barang jaminan disita atau terancam oleh suatu tindakan penyitaan oleh

pihak lain atau siapapun juga dan karena sebab apapun.

e. Penerima Fasilitas atau Pemberi Jaminan dinyatakan pailit, diletakkan di

bawah pengampuan, meninggal dunia atau mengajukan penundaan

pembayaran hutang.

3.2.2 Kedudukan Hukum Para Pihak

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.107

Perjanjian Kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditur dengan

nasabah sebagai nasabah debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah-nasabah debitur untuk

melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan,

atau pembagian hasil keuntungan.108

Dalam kredit perbankan, hubungan hukum antara Bank dengan Debitur

pada prinsipnya didasarkan pada perjanjian kredit.

Ketentuan mengenai penandatanganan perjanjian kredit dalam rangka

pemberian/penyaluran kredit kepada end user diatur dalam Buku Pedoman

Perusahaan Bank X mengenai Kerjasama Penyaluran Pembiayaan sebagai

berikut:109

”(1) Perjanjian Kredit ditandatangani antara Bank X dengan Debitur yang diajukan oleh Agen atau antara Agen dengan Debitur.(2) Penandatanganan Perjanjian Kredit berdasarkan kuasa dari Bank X kepada Agen dituangkan dalam perjanjian kerjasama penyaluran pembiayaan.”

107

? Undang-Undang Perbankan, op. cit., ps. 1 angka 11.108

? Sutan Remi Sjahdeini, op.cit.

109 Keputusan Direksi Bank X tentang Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, No.66 Tahun 2003, op.cit., ps. 5 ayat (1) dan ayat (2).

Universitas Indonesia

Page 70: All Tesis3

70

Disamping itu dijelaskan pula pada pasal 1 ayat (2) perjanjian kerjasama antara

Bank X (Pihak Pertama) dengan PT. Y (Pihak Kedua) bahwa :

“Pihak Kedua bertindak sebagai kuasa Pihak Pertama, baik dalam pelaksanaan pemberian kredit/pembiayaan untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua kepada masyarakat, pengadministrasian pemberian kredit/pembiayaan tersebut, maupun dalam pelaksanaan segala hak-hak Pihak Pertama yang timbul sehubungan dengan pemberian kredit/pembiayaan tersebut pada ayat 1 pasal ini, kuasa mana apabila diperlukan akan dibuat secara tersendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari akta ini.”Secara hukum, perjanjian tersebut merupakan perjanjian kredit, karena

dalam perjanjian disebutkan bahwa PT. Y bertindak sebagai Pemberi Fasilitas

(kreditur) dan end user bertindak sebagai Penerima Fasilitas (debitur). Di samping

itu, perjanjian tersebut telah memenuhi unsur-unsur perjanjian kredit.

Perjanjian Kredit merupakan perjanjian antara debitur dan kreditur di

mana hak dan kewajibannya termuat dalam perjanjian tersebut dan dikenal dengan

perjanjian utang piutang, dimana terdapat unsur-unsur di dalamnya sebagai

berikut :110

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut

akan dibayar kembali oleh sipenerima kredit dalam jangka waktu tertentu

yang telah diperjanjikan.

b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit dengan pembayaran kembali tidak

dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh

tenggang waktu.

c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit mempunyai risiko akibat

adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian kredit dengan

pembayaran kembali. Semakin panjang jangka waktu pemberian kredit

semakin tinggi resiko kredit tersebut.

d. Prestasi, atau obyek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang,

tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dalam obyek kredit

yang menyangkut uanglah yang sering dijumpai dalam praktek

perkreditan.

110

? Drs. Thomas Suyatno, op. cit., hlm. 12-13.

Universitas Indonesia

Page 71: All Tesis3

71

Prestasi yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan

kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga

disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati

sebelumnya.

Pada perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user telah dipenuhi unsur-

unsur perjanjian kredit, yaitu :

a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari PT. Y bahwa kredit tersebut akan

dibayar kembali oleh end user dalam jangka waktu tertentu yang telah

diperjanjikan. Keyakinan ini didasarkan pada analisa dan evaluasi atas

permohonan kredit dan pengikatan jaminan yang diberikan oleh end user.

b. Waktu, yaitu bahwa pemberian kredit kepada end user dengan

pembayaran kembali tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan

melainkan dipisahkan oleh jangka waktu kredit.

c. Risiko, yaitu bahwa setiap pemberian kredit kepada end user mempunyai

risiko yang akan ditanggung oleh PT. Y.

d. Prestasi, atau obyek kredit diberikan dalam bentuk uang sejumlah

pembelian kendaraan bermotor yang dimohonkan oleh end user. Prestasi

yang wajib dilakukan oleh end user adalah tidak semata-mata melunasi

utangnya tetapi juga disertai dengan bunga.

Berdasarkan ketentuan dalam perjanjian kerjasama dan Buku Pedoman

Perusahaan tersebut, seharusnya PT. Y bertindak sebagai kuasa dari Bank X untuk

menandatangani perjanjian kredit/pembiayaan dengan end user, sehingga

hubungan hukum yang harusnya terbentuk dari perjanjian yang berjudul

“Perjanjian Pembiayaan Konsumen” tersebut adalah Bank X sebagai Kreditur dan

end user sebagai Debitur.

Pada bagian penutup dari perjanjian kredit ini disebutkan bahwa Bank

sebagai mediasi. Hal yang perlu dicermati adalah dari awal perjanjian Bank sama

sekali tidak disebut sebagai pihak dalam perjanjian tersebut, selain itu kedudukan

Bank sebagai mediasi tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

3.3. Analisa Penyelesaian Kredit

3.3.1. Pembayaran Kembali Kredit

Universitas Indonesia

Page 72: All Tesis3

72

Hak Bank X sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) angka 1 huruf c

perjanjian kerjasama adalah menerima pembayaran angsuran hutang pokok dan

bunga atas kredit/pembiayaan yang diberikan oleh Bank X kepada end user

setelah diperhitungkan dengan hak PT. Y.

Sehubungan dengan pembayaran kembali kredit ini, kewajiban PT. Y

dalam perjanjian kerjasama, yaitu pada Pasal 8 ayat (2) angka 2 huruf (l) dan (m),

sebagai berikut :

a. Menerima pembayaran angsuran kredit/pembiayaan dari end user baik

berupa angsuran pokok, bunga, denda maupun biaya-biaya lainnya yang

berkaitan dengan pemberian kredit/pembiayaan serta mengeluarkan

kuitansi atau tanda bukti pembayaran yang sah.

b. Menyetorkan semua dan setiap pembayaran yang diterima dari end user

setelah diperhitungkan dengan hak atau keuntungan PT. Y.

Selanjutnya, dalam Pasal 10 ayat (1) perjanjian kerjasama mengenai

Pembukaan Rekening diatur bahwa PT. Y wajib membuka rekening pada Bank X

guna menampung pencairan kredit/pembiayaan dan pembayaran angsuran serta

biaya-biaya lain. Kemudian pada Pasal 10 ayat (2) diatur bahwa Bank X diberi

kuasa oleh end user untuk mendebet rekening PT. Y sebagaimana dimaksud

dalam ayat 1 pasal ini. Ketentuan pada pasal 10 ayat (2) tersebut tidak sesuai

dengan kaidah hukum, karena seharusnya kuasa pendebetan rekening PT. Y

diberikan oleh PT. Y sebagai pemilik rekening, bukan oleh end user.

Mengenai pembayaran kembali, telah diatur dalam perjanjian kerjasama,

yaitu pada Pasal 8 ayat (2) angka 2 huruf (n) dan (o), bahwa kewajiban PT. Y

dalam hal end user wanprestasi adalah :

a. Sebagai kuasa dari Bank X, melakukan setiap tindakan hukum yang

diperlukan guna melindungi kepentingan Bank X, diantaranya tetapi tidak

terbatas pada mengeluarkan surat peringatan, somasi, penagihan kepada

end user dan pihak-pihak lainnya sehubungan dengan administrasi

penyelesaian kredit/pembiayaan;

b. Melaporkan kepada Bank X mengenai hasil dari langkah-langkah

penyelesaian yang telah diambil terhadap end user yang wanprestasi;

Universitas Indonesia

Page 73: All Tesis3

73

c. Apabila terdapat end user yang menunggak pembayaran angsuran lebih

dari 3 (tiga) kali angsuran, maka PT. Y wajib mengupayakan untuk

mendapatkan kembali dana atau porsi kredit/pembiayaan yang telah

disalurkan oleh Bank X melalui PT. Y kepada end user tersebut dengan

menyetorkan seluruh dana atau porsi kredit/pembiayaan yang disalurkan

dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender sejak end

user menunggak.

d. Apabila PT. Y tidak melakukan penyetoran pada tanggal yang ditentukan,

maka PT. Y wajib membayar denda keterlambatan sebesar 150% (seratus

lima puluh persen) dari tarif bunga yang berlaku pertahun untuk per hari

keterlambatan dihitung dari jumlah tertunggak.

Kemudian, pada Pasal 8 ayat (1) angka 1 huruf d perjanjian kerjasama,

Bank X berhak menerima pembayaran dari PT. Y dalam hal end user wanprestasi

guna pelunasan kredit/pembiayaannya.

Ketentuan mengenai pembayaran kembali tersebut menimbulkan

inkonsistensi antara kedudukan hukum PT. Y selaku kuasa dan mitra usaha dari

Bank X dengan kewajibannya menanggung pelunasan kredit/pembiayaan end user

selaku debitur dalam hal terjadi wanprestasi oleh end user. Selain itu, ketentuan

mengenai keadaan wanprestasi debitur tidak diatur dalam perjanjian kerjasama

antara Bank X dengan PT. Y, melainkan hanya diatur dalam perjanjian kredit

antara PT. Y dengan end user.

3.3.2. Perjanjian Restrukturisasi Kredit

Setelah kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan berjalan selama satu

tahun, yaitu tahun 2008, terjadi kesulitan pembayaran dari para end user

(penerima kredit) yang disebabkan adanya penurunan harga kelapa sawit dunia

yang drastis akibat krisis ekonomi global. Hal ini mengakibatkan

angsuran/pembayaran kembali kredit ke Bank X menjadi terhambat dan kualitas

kredit menjadi memburuk. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Bank X

segera mengambil upaya penyelamatan kredit.

Universitas Indonesia

Page 74: All Tesis3

74

Adapun bentuk penyelamatan kredit tersebut secara umum berupa : 111

Restrukturisasi Kredit; Novasi Kredit dan Likuidasi Agunan. Berdasarkan

Pedoman Kebijakan dan Prosedur Restrukturisasi Kredit Bank X, pelaksanaan

restrukturisasi kredit harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 112

a. Restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan terhadap debitur-debitur yang

mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga kredit, memiliki

prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah kredit

direstrukturisasi.

b. Restrukturisasi kredit dilarang dilakukan oleh Bank, jika bertujuan hanya

untuk menghindari : penurunan penggolongan kualitas kredit, peningkatan

pembentukan PPA, atau penghentian pengakuan pendapatan bunga secara

akrual.

c. Restrukturisasi kredit harus dilakukan berdasarkan analisis yang cermat,

memperhatikan praktek-praktek perbankan yang sehat (good corporate

governance) dan penerapan manajemen risiko secara memadai. Selain itu

untuk menjaga obyektivitas, maka restrukturisasi kredit wajib dilakukan

oleh pejabat yang lebih tinggi dari pejabat yang memutus pemberian

kredit.

d. Restrukturisasi Kredit diharapkan dapat memperbaiki kualitas kredit,

sebagai upaya untuk menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL)

terhadap eksposur kredit secara keseluruhan.

e. Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis sebagain dasar

pelaksanaan Restrukturisasi Kredit yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari kebijakan manajemen risiko sebagaimana diatur oleh

ketentuan Bank Indonesia.

Pola-pola restrukturisasi kredit di Bank X adalah sebagai berikut : 113

a. Perpanjangan jangka waktu kredit;

b. Penurunan suku bunga kredit;

111

? Ibid., hlm. 174-175.112

? Keputusan Direksi Bank X tentang Restrukturisasi, op. cit., Bab I huruf (A).113

? Ibid., Bab I huruf (C) angka (5).

Universitas Indonesia

Page 75: All Tesis3

75

c. Pengurangan tunggakan bunga kredit;

d. Penangguhan pembayaran tunggakan bunga kredit;

e. Penambahan fasilitas kredit;

f. Konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara;

g. Pengurangan tunggakan pokok kredit; Pelaksanaan dengan pola ini belum

dapat diaplikasikan pada Bank X.

h. Perlakuan untuk kredit konsumtif; Pada kredit konsumtif, penyelesaian

fasilitas kredit lama dan memberikan fasilitas kredit baru dengan jumlah

angsuran dan jangka waktu yang telah disepakati oleh debitur dan bank.

Terbentur dengan kesulitan yang dialami oleh end user dalam pembayaran

kembali kredit, PT. Y mengajukan proposal penyelesaian kredit dengan

restrukturisasi kredit tertanggal 30 Desember 2008, kemudian Bank X dengan

suratnya (surat pemberitahuan persetujuan restrukturisasi kredit/ SPPRK)

tertanggal 27 April 2009 memutuskan untuk menyetujui restrukturisasi kredit

tersebut.

Bank X dan PT. Y sepakat dan setuju untuk melakukan restrukturisasi

kredit dengan membuat akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit pada tanggal 29

Juni 2009 yang mengatur beberapa hal :

a. Perpanjangan jangka waktu fasilitas kredit selama 24 bulan sejak tanggal

kredit jatuh tempo;

b. Mengubah pola kredit dari kredit channeling menjadi kredit executing;

c. Jumlah rekening pinjaman yang sebelumnya sesuai dengan jumlah dan

atas nama end user menjadi satu rekening pinjaman atas nama PT. Y;

d. Jaminan restrukturisasi yang semula hanya berupa BPKB (Bukti

Pemilikan Kendaraan Bermotor) yang fisiknya disimpan oleh PT. Y serta

corporate guarantee, kemudian ditambah dengan jaminan piutang PT. Y

atas end user yang diikat dengan Jaminan Fidusia.

Penandatanganan Akta Perjanjian Restrukturisasi Kredit antara Bank X

dengan PT. Y tersebut dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan fisik BPKB

sebagai jaminan kredit dan diikat secara bawah tangan, serta penyerahan jaminan

tagihan/piutang PT. Y atas end user kepada Bank X yang diikat secara Fidusia

dan didaftarkan kepada instansi yang berwenang.

Universitas Indonesia

Page 76: All Tesis3

76

Sehubungan dengan Perjanjian Restruturisasi Kredit yang dibuat antara

Bank X dan PT. Y, perlu dilihat kembali kedudukan hukum para pihak yaitu Bank

X sebagai Kreditur, PT. Y selaku Agen/Kuasa dari Bank X, dan End User sebagai

Debitur.

Dalam kredit perbankan, hubungan hukum antara Bank dengan Debitur

pada prinsipnya didasarkan pada Perjanjian Kredit, sehingga pelaksanaan

restrukturisasi dapat dilakukan dengan mengubah ketentuan-ketentuan pada

perjanjian kreditnya. Perjanjian Kredit yang dimaksud dalam kajian ini telah

dijelaskan sebelumnya adalah Perjanjian Kredit/Pembiayaan antara PT. Y (selaku

Kuasa dari Bank X) dengan Penerima Kredit/End User yang dibuat dengan judul

“Perjanjian Pembiayaan Konsumen”.

Berdasarkan kesepakatan antara Bank X dengan PT. Y restrukturisasi

kredit dilakukan antara lain dengan melakukan perubahan yang mendasar,

sebagaimana diatur pada Perjanjian Restrukturisasi Kredit Pasal 2 dan Pasal 3

ayat (1) meliputi :

a. Jumlah rekening pinjaman yang sebelumnya sesuai dengan jumlah dan

atas nama end user menjadi satu rekening pinjaman atas nama PT. Y;

b. Mengubah pola kredit dari kredit channeling menjadi kredit executing;

Ada perbedaan utama antara pola channeling dengan executing. Pada pola

channeling, kredit diberikan kepada debitur melalui lembaga/perusahaan lain.

Fungsi lembaga/perusahaan (agent) lain dalam pola channeling ditetapkan dalam

Perjanjian Kerjasama. Dalam hal perjanjian kredit ditandatangani antara debitur

dengan agen, maka agen yang bersangkutan wajib mendapatkan kuasa dari

kreditur (bank) karena agen dalam hal ini bertindak dalam kapasitasnya

berdasarkan kuasa dan oleh karena itu, untuk dan atas nama bank/kreditur.

Sedangkan kredit dengan pola executing, debitur adalah agen tersebut langsung.

Hubungan hukum antara agen dengan nasabahnya (nasabah agen/end user) adalah

hubungan hukum yang terpisah dengan hubungan hukum antara bank dengan

agen. Oleh karena agen adalah debitur, maka agen harus memenuhi syarat dan

ketentuan bidang perkreditan sebagaimana mestinya.

Sehubungan dengan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam

Perjanjian Restrukturisasi Kredit tersebut kedudukan debitur dalam pelaksanaan

Universitas Indonesia

Page 77: All Tesis3

77

kredit telah berubah, kedudukan hukum end user sebagai debitur telah digantikan

oleh PT. Y sebagai debitur baru.

Secara hukum, perbuatan seperti ini merupakan suatu Pembaharuan Utang

atau Novasi, sehingga perbuatan ini harus ditegaskan secara tegas dan nyata. Hal

ini diatur dalam pasal 1417 KUHPerdata sebagai berikut : 114

“ Delegasi atau pemindahan, dengan mana seorang berutang memberikan kepada orang yang mengutangkan padanya seorang berutang baru mengikatkan dirinya kepada si berpiutang, tidak menerbitkan suatu pembaharuan utang, jika si berpitang tidak secara tegas menyatakan bahwa ia bermaksud membebaskan orang berutang yang melakukan pemindahan itu, dari perikatannya.”

Pengalihan tersebut semakin mempertegas bahwa benar kedudukan PT. Y

pada perjanjian kerjasama berkedudukan hukum sebagai mitra usaha, bukan

sebagai debitur dari Bank X.

Novasi baru terjadi kalau kreditur, setelah menerima/menyetujui persoon

debitur yang baru, dengan tegas menyatakan bahwa ia membebaskan debitur lama

dari keterikatannya berdasarkan perikatan yang lama dari kewajibannya

berprestasi (lebih lanjut) terhadap kreditur.115

Pada prakteknya, Novasi tersebut tidak secara tegas dinyatakan dalam

suatu Perjanjian Pembaharuan Utang (Novasi). Akibat hukum yang muncul dari

peristiwa seperti itu adalah bahwa paling-paling kreditur sekarang mempunyai

tambahan seorang debitur lagi yang dapat ditagih untuk memenuhi perikatan yang

ada antara kreditur dengan debitur. 116 Seharusnya pelaksanaan restrukturisasi

kredit sebagaimana dijelaskan di atas, didahului dengan pembuatan Akta

114

? Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], op. cit., ps. 1417. 115

? J. Satrio, S.H., op. cit., hlm. 118. 116

? Pitlo, Verbintenissenrecht, hlm. 279; Vollmar, Verbintenissenrecht, hlm. 461, mengatakan bahwa dalam hal demikian, pada novasi yang tidak selesai maka paling-paling ada borgtocht (penanggungan) atau penyediaan diri untuk menjadi debitur serta (mede-schuldenaar). P. Scholten, “Overnemen van en toetreding tot eens anders schuld” dalam V.G., hlm. 298 menganggap syarat yang seperti tersebut dalam pasal 1417 [Burgerlijk Wetboek] perlu karena tidak tertutup kemungkinan bahwa memang maksud para pihak adalah hanya mau menambah seorang debitur disamping debitur yang lama, sehingga bukan dengan penerimaan debitur yang baru debitur lama terbebaskan, tetapi yang benar adalah dengan pembayaran oleh debitur baru debitur lama menjadi bebas. Dikutip dari J. Satrio, S.H., ibid., hlm. 119.

Universitas Indonesia

Page 78: All Tesis3

78

Perjanjian Pembaharuan Utang (Novasi) antara Bank X dengan PT. Y. Kemudian,

dibuat Akta Perjanjian Kredit antara Bank X dengan PT. Y secara terpisah.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan dalam bab-bab

terdahulu dari tesis ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Permasalahan hukum yang terdapat dalam pelaksanaan kerjasama

penyaluran kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y dalam rangka

penyaluran kredit ke end user (penerima kredit) adalah sebagai berikut :

a. Ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian Kerjasama antara Bank X

dengan PT. Y baik dari segi bahasa maupun materi yang dikandung

banyak memiliki hal-hal yang inkonsistensi sehingga perlu dikaji dari

Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1988 dan Buku

Pedoman Perusahaan Bank X sebagai berikut :

i) Dilihat dari bentuk perjanjian yang mendasari kerjasama ini, yaitu

“Perjanjian Kerjasama Penyaluran Kredit/Pembiayaan antara

Bank X dengan PT. Y untuk Pembelian Kendaraan Bermotor”,

dan berdasarkan kedudukan hukum Bank X (Pihak Pertama)

dengan PT. Y (Pihak Kedua) sebagai pemberi kuasa dan penerima

kuasa, maka hubungan hukum antara Bank X dengan PT. Y

adalah sebagai mitra usaha sebagaimana dijelaskan dalam

komparisi perjanjian kerjasama.

ii) Berdasarkan hubungan hukum yang ada antara Bank X dengan

PT. Y, sebagai mitra usaha yang diatur dalam perjanjian

kerjasama penyaluran kredit kepada end user, PT. Y bertanggung

jawab hanya terbatas pada pemberian kredit/pembiayaan dan

tindakan wanprestasi dari PT. Y hanya meliputi penyimpangan-

penyimpangan atas penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan

perjanjian kerjasama. Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi

PT. Y untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh keadaan

Universitas Indonesia

Page 79: All Tesis3

79

wanprestasi dari end user.Berdasarkan tujuan penyaluran

kredit/pembiayaan sesuai dengan Pasal 2 jo Pasal 3 Perjanjian

Kerjasama bahwa plafond kredit/pembiayaan disalurkan oleh

Bank X kepada end user melalui PT. Y, maka kedudukan PT. Y

dalam perjanjian kerjasama ini bukan sebagai Debitur, melainkan

sebagai Agen atau Kuasa dari Bank X. Disamping itu, Bank X

juga berhak melakukan analisa dan evaluasi terhadap permohonan

dan dokumen dari calon Nasabah (end user), maka diketahui

bahwa Bank X tetap menjalankan fungsinya sebagai Bank.

iii) Dalam hubungan mitra usaha ini, Bank X memperoleh

keuntungan berupa provisi dan bunga pinjaman sebagai akibat

dari meluasnya penyaluran kredit ke masyarakat melalui jasa PT.

Y, sedangkan di lain pihak PT. Y memperoleh keuntungan berupa

spread (selisih) antara bunga pinjaman dari bank dengan bunga

pinjaman kepada end user.

iv) Istilah “Penyaluran Pembiayaan” yang digunakan dalam

perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y lebih tepat

digunakan pada produk perbankan syariah, sedangkan Bank X

adalah termasuk perbankan konvensional. Dalam perbankan

konvensional, istilah yang lebih tepat digunakan untuk penyaluran

dana ke masyarakat adalah “Kredit” sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka 11.

v) Istilah “Nasabah” yang digunakan dalam perjanjian kerjasama

antara Bank X dan PT. Y masih bersifat luas, karena dalam

undang-undang pengertian Nasabah sendiri dibedakan lagi

menjadi dua yaitu Nasabah Penyimpan dan Nasabah Debitur.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis berpendapat agar istilah

yang lebih tepat digunakan untuk menyebut penerima kredit

adalah Nasabah Debitur, Debitur ataupun End User.

b. Dalam kredit perbankan, hubungan hukum antara Bank dengan

Debitur pada prinsipnya didasarkan pada Perjanjian Kredit.

Universitas Indonesia

Page 80: All Tesis3

80

Sehubungan dengan hal tersebut terdapat permasalahan sebagai

berikut :

i) Perjanjian antara PT. Y dengan end user yang dibuat dengan judul

“Perjanjian Pembiayaan Konsumen” merupakan perjanjian kredit

dimana PT. Y (Kuasa dari Bank X) berkedudukan sebagai Kreditur

dan end user berkedudukan sebagai Debitur. Namun demikian,

berdasarkan komparisi (pembukaan) perjanjian kredit antara PT. Y

dengan end user, tidak disebutkan bahwa PT. Y merupakan kuasa

dari Bank X dalam meyalurkan kredit, sehingga dalam kedudukan

hukumnya PT. Y bertindak sendiri sebagai kreditur atau dengan

kata lain tidak mewakili Bank X. Akibat hukumnya adalah

perjanjian tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan

perjanjian kerjasama antara Bank X dengan PT. Y. Disamping itu,

perjanjian kredit tersebut dapat dimohonkan kembali kepada bank

lain untuk pencairan kredit serupa.

ii) Pada bagian penutup dari perjanjian kredit ini disebutkan bahwa

Bank sebagai mediasi. Hal yang perlu dicermati adalah dari awal

perjanjian Bank sama sekali tidak disebut sebagai pihak dalam

perjanjian tersebut, selain itu kedudukan Bank sebagai mediasi

tidak memiliki dasar hukum yang jelas.

2. Pelaksanaan penyelesaian kredit dilakukan dengan tahapan awal adalah

pembayaran kembali kredit, namun pada kenyataannya telah terjadi

kesulitan pembayaran dari para end user (penerima kredit) sehingga

kualitas kredit menjadi memburuk. Sehubungan dengan permasalahan

tersebut, Bank X segera mengambil upaya penyelamatan kredit dengan

cara merestrukturisasi kredit tersebut. Hal-hal yang dikaji dalam

penyelesaian kredit ini adalah permasalahan dalam ketentuan mengenai

Pembayaran Kembali Kredit dan pelaksanaan restrukturisasi kredit.

a. Pada ketentuan mengenai Pembayaran Kembali Kredit terdapat

inkonsistensi yaitu :

Universitas Indonesia

Page 81: All Tesis3

81

i) Ketidaksesuaian antara kedudukan hukum PT. Y selaku kuasa dan

mitra usaha dari Bank X dengan kewajibannya menanggung

pelunasan kredit/pembiayaan end user selaku debitur dalam hal

terjadi wanprestasi oleh end user. Selain itu, ketentuan mengenai

keadaan wanprestasi debitur tidak diatur dalam perjanjian

kerjasama antara Bank X dengan PT. Y, melainkan hanya diatur

dalam perjanjian kredit antara PT. Y dengan end user.

ii) Dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) perjanjian kerjasama

mengenai Pembukaan Rekening diatur bahwa PT. Y wajib

membuka rekening pada Bank X guna menampung pencairan

kredit/pembiayaan dan pembayaran angsuran serta biaya-biaya

lain, selanjutnya Bank X diberi kuasa oleh end user untuk

mendebet rekening PT. Y. Ketentuan mengenai kuasa pendebetan

rekening ini tidak sesuai dengan kaidah hukum, karena seharusnya

kuasa pendebetan rekening PT. Y diberikan oleh PT. Y sebagai

pemilik rekening, bukan oleh end user.

b. Selanjutnya, dalam “Perjanjian Restrukturisasi Kredit antara Bank X

dengan PT. Y” telah disepakati bahwa pola kredit diubah dari kredit

channeling menjadi kredit executing, sehingga kredit masing-masing

end user beralih menjadi satu kredit dengan atas nama PT. Y.

Kedudukan hukum end user sebagai debitur telah digantikan oleh PT.

Y sebagai debitur baru. Pengalihan tersebut semakin mempertegas

bahwa benar kedudukan PT. Y pada perjanjian kerjasama

berkedudukan hukum sebagai mitra usaha, bukan sebagai debitur dari

Bank X.

Secara hukum, perbuatan seperti ini merupakan suatu

Pembaharuan Utang atau Novasi. Namun demikian, pada prakteknya

perjanjian tersebut tidak didahului dengan Perjanjian Pembaharuan

Utang (Novasi) yang mencakup peralihan hak dan kewajiban dari end

user selaku debitur lama kepada PT. Y selaku debitur baru.

Universitas Indonesia

Page 82: All Tesis3

82

4.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang telah penulis kemukakan di

atas, maka penulis memberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Sehubungan dengan permasalahan yang terdapat pada pelaksanaan

kerjasama penyaluran kredit/pembiayaan antara Bank X dengan PT. Y,

perlu dilakukan suatu penyempurnaan dalam Buku Pedoman Perusahaan

Bank X mengenai konsep hukum yang tepat dalam penyaluran kredit

dengan pola kerjasama pembiayaan (channeling), terutama mengenai

hubungan hukum antara Bank selaku Kreditur, Lembaga Pembiayaan

selaku Agen dengan End User selaku Debitur, mengingat bahwa suatu

hubungan hukum dan kedudukan para pihak akan menentukan tanggung

jawab atau akibat hukum bagi para pihak.

2. Hubungan hukum antara Bank X dengan End User adalah hubungan

antara Debitur dengan Kreditur, sehingga perjanjian kredit yang dibuat

seharusnya berdasarkan standar dan pedoman peraturan perkreditan yang

ada di Bank X, bukan standar yang ada di PY. Y (Kuasa dari Bank X).

Selanjutnya klausul yang harus dimasukkan di dalam perjanjian tersebut

adalah penegasan bahwa PT. Y bertindak selaku Kuasa dari Bank X.

3. Seharusnya restrukturisasi kredit antara Bank X dengan PT. Y didahului

dengan membuat Perjanjian Pembaharuan Utang (Novasi), karena

perbuatan Novasi harus secara tegas dinyatakan. Kemudian, Novasi

tersebut diikuti dengan Perjanjian Kredit tersendiri antara Bank X selaku

Kreditur dengan PT. Y selaku Debitur.

4. Dalam Buku Pedoman Perusahaan Bank X sama sekali tidak diatur

mengenai Novasi Kredit (Pembaharuan Utang), padahal pada praktek

perbankan hal ini sudah lazim dilakukan, untuk itu perlu adanya

penyempurnaan Buku Pedoman Perusahaan Bank X sehubungan dengan

Novasi Kredit dalam rangka penyelamatan kredit.

Universitas Indonesia

Page 83: All Tesis3

83

Universitas Indonesia