alih guna lahan dan neraca karbon terestrial

Upload: titi-rohmayanti

Post on 10-Jul-2015

473 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

ALIH GUNA LAHAN DAN NERACA KARBON TERESTRIAL

Kurniatun Hairiah dan Daniel Murdiyarso

WORLD AGROFORESTRY CENTRE, ICRAF S.E. ASIA

Kritik dan saran dialamatkan kepada: Prof. Dr. Kurniatun Hairiah Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian, Jl Veteran 65145, Malang Telp: 0341-564355 Fax: 0341-564333 Email: [email protected] dan [email protected] Prof. Dr. Daniel Murdiyarso Institut Pertanian Bogor, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Bogor Email: [email protected]

Terbit bulan Juli 2007 copyright World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Untuk tujuan kelancaran proses pendidikan Bahan Ajaran ini bebas untuk difotocopi sebagian maupun seluruhnya

Diterbitkan oleh: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office PO Box 161 Bogor, Indonesia Tel: +62 251 625415, 625417; Fax: +62 251 625416 Email: [email protected] Ilustrasi cover: Wiyono Tata letak: Tikah Atikah

2

DAFTAR ISI1. PENDAHULUAN .................................................................................................... 4 2. KARBON TERESTRIAL DAN PERUBAHAN IKLIM ............................................... 8

2.1. Siklus karbon global ..........................................................................................8 2.2. Penyebab terjadinya perubahan iklim global....................................................12 2.3 Cadangan karbon terestrial ................................................................................14 2.4 Alih-guna lahan sebagai sumber dan rosot karbon ...........................................23 2.5 Perkiraan dampak perubahan iklim ..................................................................253. TERTARIKKAH PETANI PADA CADANGAN KARBON?..................................... 29

3.1 Mengapa petani melakukan pembakaran? ........................................................29 3.2. Teknik pembukaan lahan dan penurunan cadangan karbon .............................344. PENGUKURAN CADANGAN KARBON ............................................................... 38

4.1. Karbon di atas permukaan tanah.......................................................................41 4.2 Karbon di bawah permukaan tanah...................................................................41 4.3 Tanah gambut....................................................................................................47 4.4 Studi kasus: Cadangan C rata-rata per siklus tanam di Jambi ..........................47 4.5 Usaha memaksimalkan cadangan karbon di tingkat bentang lahan: sistem 'segregasi' atau 'integrasi' .........................................................................................505. SIMULASI CADANGAN C ................................................................................... 53

5.1. Mengapa kita harus menggunakan simulasi model? ........................................53 5.2 Model CENTURY: simulasi pada alih guna lahan...........................................53 5.3. Contoh hasil simulasi........................................................................................566. PERDAGANGAN KARBON INTERNASIONAL .................................................... 60

6.1. 6.2. 6.3. 6.4.

Kenapa karbon diperdagangkan?.....................................................................60 Skema Clean Development Mechanism (CDM) .............................................61 Mekanisme non-Kyoto.....................................................................................74 Persiapan Indonesia dalam perdagangan C......................................................78

BAHAN BACAAN ...................................................................................................... 82 KAMUS ISTILAH....................................................................................................... 86

3

Tujuan 1. Mempelajari dampak alih-guna lahan terhadap cadangan karbon terestrial pada tingkat global dan lokal 2. Memahami praktek yang dilakukan petani dalam melakukan kegiatan tebang-dan-bakar untuk persiapan lahan 3. Membahas dampak jangka panjang alih-guna lahan terhadap cadangan karbon terestrial dengan menggunakan simulasi model CENTURY 4.0 4. Mempelajari peranan karbon terestrial dalam perdagangan karbon internasional untuk perlindungan iklim global

1. PENDAHULUANPada prinsipnya unsur-unsur iklim seperti suhu udara dan curah hujan dikendalikan oleh keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer. Rata-rata jumlah radiasi yang diterima bumi seimbang dengan jumlah yang dipancarkan kembali ke atmosfer setelah digunakan untuk menguapkan air, memanaskan udara dan memanaskan permukaan tanah. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh keberadaan gas-gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi balik atau radiasi gelombang panjang dari permukaan bumi, sehingga suhu atmosfer atau udara bumi meningkat. Karena kondisi ini sama dengan kondisi di dalam rumah kaca maka gas-gas tersebut disebut gas rumah kaca (GRK) dan akibat yang ditimbulkan disebut efek rumah kaca. Tanpa GRK yang memiliki waktu tinggal (life time) yang panjang, suhu bumi diperkirakan mencapai 34 oC lebih dingin dari yang kita alami sekarang. Masalahnya adalah bahwa konsentrasi GRK saat ini sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Hal ini disebabkan oleh adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer sebagai akibat kegiatan manusia (anthropogenic) dalam hal konsumsi bahan bakar fosil (BBF) sejak revolusi industri pada pertengahan tahun 1880an dan aligguna lahan. Walaupun pada dekade terakhir ini emisi CH4 mengalami penurunan hingga 22 juta Mg th-1 dari 37 juta Mg th-1 pada dekade terdahulu, dan emisi N2O juga menurun sedikit dari 3,9 menjadi 3,8 juta Mg th-1, tetapi emisi CO2 meningkat lebih dari dua kali lipat dari 1400 juta Mg th-1 menjadi 2900 juta Mg th-1 dalam dekade yang sama. Secara umum adanya akumulasi peningkatan emisi GRK antropogenik meningkatkan konsentrasi GRK (Tabel 1), akibatnya suhu atmosfer bumi sekarang menjadi 0,5 oC lebih panas dibanding suhu pada jaman pra-industri. Dalam jangka panjang suhu bumi akan cenderung semakin panas dari suhu yang seharusnya kita rasakan jika kita tidak berupaya menurunkan dan menstabilkan konsentrasi GRK.

4

Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama Karakteristik Konsentrasi pada pra-industri Konsentrasi pada 1992 Konsentrasi pada 1998 Laju kenaikan per tahun Persen kenaikan per tahun Masa hidup (tahun) Kemampuan memperkuat radiasiKeterangan: ppmv: part per million by volume ppbv: part per billion by volume

CO2 290 ppmv 355 ppmv 360 ppmv 1,5 ppmv 0,4 5-200 1

CH4 700 ppbv 1714 ppbv 1745 ppbv 7 ppbv 0,8 12-17 21

N2O 275 ppbv 311 ppbv 314 ppbv 0,8 ppbv 0,3 114 206

Meskipun konsentrasi dan laju pertumbuhan CH4, dan N2O relatif rendah, tetapi kemampuan memperkuat radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang (yang bersifat panas) jauh lebih besar dibanding CO2 yang konsentrasi dan pertumbuhannya lebih besar. Kedua GRK tersebut masing-masing mampu memperkuat radiasi sekitar 20 dan 200 kali kemampuan CO2. Hal ini berarti bahwa kenaikan yang sekecil apapun dari kedua GRK tersebut harus tetap dikendalikan. Uap air (H2O) sebenarnya juga merupakan GRK yang penting dan pengaruhnya dapat segera dirasakan. Misalnya pada saat keawanan dan kelembaban tinggi pada saat menjelang turun hujan, udara terasa panas karena radiasi gelombang-panjang tertahan uap air atau mendung yang menggantung di atmosfer. Namun H2O tidak diperhitungkan sebagai GRK yang efektif dan tidak dipergunakan dalam prediksi perubahan iklim karena keberadaan atau masa hidup (life time) H2O sangat singkat (9,2 hari). Sementara itu untuk CO2, CH4, dan N2O seperti terlihat dalam Tabel 1 cukup panjang. Mengingat begitu banyaknya kemungkinan penyebab terjadinya peningkatan suhu dan pada gilirannya curah hujan dan faktor-faktor iklim lainnya, beberapa pertanyaan kemudian muncul. Apakah benar GRK antropogenik penyebab utamanya? Dari mana kita tahu GRK di atmosfer itu antropogenik? Kontroversi ini kemudian terjawab ketika para ilmuwan mencoba memisahkan antara perubahan faktor-faktor iklim yang disebabkan oleh pembakaran BBF dan alih-guna lahan (khususnya deforestasi) dari pengaruh faktor alami (Tabel 2). Termasuk dalam faktor alami ini adalah faktor internal (interaksi atmosfer dan lautan) dan faktor eksternal (variasi input radiasi matahari dan konsentrasi partikel aerosol di atmosfer atas) yang secara historis telah berperan dalam menentukan suhu bumi.

5

Tabel 2. Pemisahan pengaruh unsur-unsur antropogenik dan alami GRK antropogenik

GRK alami Internal Interaksi antara lautan dan atmosfer

Eksternal Input energi matahari

Pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak, dan gas alam) Alih-guna lahan

Letusan gunung api

Bagaikan seorang dokter, upaya ini seperti mencari penyebab demamnya pasien yang datang ke rumahsakit dengan suhu badan 40oC. Setelah memeriksa kondisi fisik luarnya, dokter akan menyarankan pasien pergi ke laboratorium untuk memeriksakan darah atau air seni, sebab demam hanyalah gejala belaka. Diagnosis seperti ini juga dilakukan untuk melihat penyebab naiknya suhu bumi. Antara lain melalui pengamatan lapisan atmosfer atas dengan radiosonde dan penginderaan jauh hanya mampu merekonstruksi data selama 40 tahun. Akan tetapi jangka pengamatan itu terlalu pendek untuk dapat menjelaskan pengaruh manusia. Selanjutnya diagnose dilakukan dengan pemodelan yang melibatkan lebih banyak unsur antropogenik yang mungkin mempengaruhi suhu bumi, termasuk diantaranya konsentrasi GRK yang akan menimbulkan efek rumahkaca yang memanaskan atmosfer dan partikel aerosol sulfat yang justru akan mendinginkan atmosfer. Adapun unsur alami yang dipertimbangkan di dalam pemodelan adalah aerosol dari letusan gunung api, variabilitas matahari, dan kondisi topografi. Untuk menguji validitas model sirkulasi global (Global Circulation Model, GCM) para peneliti lantas membandingkan hasil pemodelan dan hasil pengamatan jangka panjang. Hasil yang diperoleh adalah: Adanya kesesuaian hasil pemodelan dan pengamatan dalam jangka 30-50 tahun Informasi yang dihasilkan tidak hanya berupa tabulasi tetapi juga dalam bentuk peta sehingga diperoleh gambaran mengenai variabilitas horisontal dan vertikal baik secara ruang (geografis) maupun waktu Pengaruh faktor antropogenik dan alam dapat dipisahkan Memasukkan aerosol antropogenik ke dalam perhitungan akan memperbaiki hasil prediksi model Untuk membuktikan bahwa karbon yang meningkat jumlahnya adalah antropogenik, para ilmuwan melakukan studi detail tentang inti karbon di laboratorium dan pengamatan di stasiun-stasiun dalam jangka yang sangat panjang. Dari studi ini mereka menemukan bahwa pertama, karakteristik inti atom karbon yang berasal dari pembakaran BBF berbeda dengan inti karbon dari emisi alam. Karena fosil telah terpendam di lapisan dalam sejak puluhan juta tahun yang lalu maka sifat radioaktif inti karbon nya sudah hilang sementara karbon alami yang berasal dari permukaan atau dekat permukaan bumi intinya memiliki porsi radioaktif yang cukup besar. Meningkatnya 6

konsentrasi karbon radioaktif rendah telah menyebabkan "pengenceran" kadar radioaktif karbon atmosfer secara keseluruhan. Kedua, dari hasil rekaman yang terdapat pada lingkar pohon (tree rings) ditunjukkan bahwa fraksi karbon -14 radioaktif makin mengecil dalam kurun waktu antara tahun 1850 hingga 1950. Ketiga, pengamatan jangka panjang di puncak Gunung Mauna Loa di Hawaii yang berada di tengah-tengah Samudera Pasifik dan di Kutub Selatan. Data konsentrasi CO2 di atmosfer dan di dalam contoh es yang diambil dari dua tempat yang tidak mengalami gangguan berupa lonjakan, GRK antropogenik tersebut direkonstruksi dalam kurun waktu 1850 hingga 2000 menunjukkan peningkatan konsentrasi CO2 yang cukup berarti dari 290 hingga 360 ppm seperti terlihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Konsentrasi CO2 di atmosfer yang direkonstruksi dari pengukuran langsung di atmosfer dan di dalam contoh es di kutub (Sumber: IPCC, 2001) Gambar 2 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun yang lalu peningkatan suhu bumi sebesar 0,5 oC telah dipengaruhi oleh peningkatan CO2 di atmosfer. Dengan pola konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi seperti sekarang, Gambar 2 juga menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 100 tahun mendatang konsentrasi CO2 akan meningkat dua kali lipat dibanding zaman industri, yaitu sekitar 580 ppm. Dalam kondisi demikian prediksi jangka panjang berbagai GCM memperkirakan peningkatan suhu bumi antara 1,7 - 4,5 oC. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) peningkatan suhu global sebesar itu akan disertai oleh naiknya tinggi muka air laut antara 15 hingga 95 cm. Hal ini terjadi karena mengembangnya volume air dan mencairnya es di kedua kutub bumi. Tentu saja variasi perubahan akan terjadi dari satu wilayah ke wilayah lain. Lebih jauh dikemukakan bahwa peningkatan suhu tertinggi terjadi pada musim dingin di Benua Arktika. Peningkatan suhu pada malam hari akan lebih besar dibanding peningkatan suhu siang hari.

7

Gambar 2. Perubahan suhu udara 100 tahun yang lalu dan yang akan datang akibat peningkatan konsentrasi GRK yang diprediksi oleh berbagai model sirkulasi global (Sumber: IPCC, 2001).

2. KARBON TERESTRIAL DAN PERUBAHAN IKLIM2.1. Siklus karbon globalDimulainya kehidupan di bumi ini menyebabkan terjadinya konversi CO2 di atmosfer dan di lautan menjadi bentuk-bentuk C organik maupun anorganik lautan dan terestrial. Sejak ribuan tahun yang lalu perkembangan kehidupan di berbagai ekosistem alami membentuk suatu siklus yg menggambarkan pertukaran C yang terjadi secara alami antara atmosfer, lautan dan daratan. Pola pertukaran ini lambat laun telah dan akan terus berubah karena adanya aktivitas manusia. Aktivitas tersebut telah meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer dari 285 ppmv pada jaman revolusi industri tahun 1850an menjadi 336 ppmv di tahun 2000. Jadi dalam kurun waktu 150 tahun konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat sekitar 28 %. Sumber (source), rosot (sink) dan kenaikan CO2 dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel ini terlihat bahwa setiap tahun konsentrasi CO2 atmosfer bumi bertambah dengan laju yang sangat tinggi. Bahkan kenaikan dalam dekade terakhir telah meningkat dua kali lipat dari dekade sebelumnya.

8

Tabel 3. Sumber, rosot dan peningkatan emisi CO2 (Gt C/th) * 1980-1989 1. Sumber 5.5 + 0.3 Pembakaran BBF dan produksi 1.6 + 1.0 semen Alih-guna lahan tropis

1990-1999 6.3 + 0.4 1.7 + 0.8

Emisi total2. Rosot Atmosfer Lautan Pertumbuhan hutan sub tropis

7.1 + 1.13.2 + 0.2 2.0 + 0.5 0.5 + 0.5

8.0 + 0.63.2 + 0.1 1.7 + 0.5 0.2 + 0.2

Penyerapan totalPeningkatan CO2 Sumber: IPCC (1995), IPCC (2001) *) catatan: 1 Gt = 1 gigaton = 1 x 109 ton (Ton = Mega gram)

5.7 + 1.51.4 + 1.5

5.1 + 0.72.9 + 0.6

Menarik untuk diperhatikan bahwa alih-guna lahan di daerah tropis merupakan sumber CO2 terbesar kedua setelah pembakaran BBF. Artinya negara berkembang yang memiliki hutan luas seperti Indonesia yang masih memerlukan lahan baru untuk usahataninya perlu merencanakan dengan matang kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan konversi hutan dan deforestasi. Jika upaya konversi hutan masih harus dilanjutkan, maka para ilmuwan perlu memberi masukan ilmiah bagi usaha tersebut, sehingga pilihan-pilihan yang diambil tetap mempertimbangakn keberlanjutan usahatani dengan tingkat produktivitas lahan yang tetap tinggi sementara memperhatikan kaidah lingkungan, baik untuk kepentingan lokal maupun global. Cadangan karbon Siklus karbon global dapat disederhanakan dalam Gambar 3. Dari gambar tersebut terlihat bahwa cadangan karbon (di dalam kotak) tertinggi adalah di lautan, yaitu sekitar 39.000 Gt C atau sekitar 80 % dari jumlah seluruh karbon yang ada di alam, yaitu sekitar 48.000 Gt. Urutan cadangan terbesar kedua adalah fosil yang menyimpan karbon sekitar 6000 Gt. Selanjutnya, cadangan karbon di hutan yang meliputi biomasa pohon dan tanah hanya sekitar 2500 Gt. Sedang atmosfer menampung karbon sekitar 800 Gt.

9

Gambar 3.

th-1) yang berkaitan dengan adanya gangguan manusia. Data diambil berdasarkan nilai rata-rata 1989-1998 (Sumber : Ciais et al., 2000). Fluks karbon Aliran karbon (C-fluks) digambarkan dengan tanda panah dalam satuan Gt C th-1. Proses ini terdiri dari pelepasan (emission) dan penyerapan (sequestration). Penggunaan bahan bakar fosil (dan pabrik semen) yang melepaskan CO2 sekitar 6,3 Gt C th-1, dengan penyerapan karbon tahunan sekitar 2,3 Gt oleh lautan dan sekitar 0,7 Gt oleh ekosistem daratan, dan sisanya 3,3 Gt masuk ke dalam cadangan karbon di atmosfer. Penggunaan karbon organik dari fosil berlangsung lebih cepat dari pembentukannya dan hanya sekitar 0,2 Gt th-1 dapat kembali melalui proses sedimentasi dalam waktu yang panjang. Penyerapan CO2 neto oleh lautan per tahunnya relatif kecil dibandingkan dengan pertukaran CO2 antara atmosfer dan lautan. Pada tempat dengan garis lintang rendah di tropika umumnya, tingkat pelepasan CO2 ke atmosfer lebih banyak dari pada penyerapannya, hal sebaliknya terjadi pada tempat dengan garis lintang tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada ekosistem daratan, penyerapan CO2 sekitar 0,7 Gt C th-1 suatu jumlah yang relatif rendah bila dibandingkan dengan fluksnya. Vegetasi menyerap karbon sekitar 60 Gt th-1, tetapi jumlah dilepaskan melalui respirasi dan pembakaran

Siklus karbon global yang menunjukkan cadangan karbon (Cstock) yang ada di bumi (dalam Gt) dan fluks karbon (dalam Gt

10

hampir sama dengan jumlah yang diserap. Beberapa dekade terakhir, ekosistem tropis merupakan sumber karbon karena adanya alih-guna hutan atau deforestasi dalam jumlah yang besar. Di lain pihak, hutan di daerah sub tropis umumnya telah pulih kembali karena turunnya deforestasi dan naiknya laju pertumbuhan hutan sebagai akibat dari peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Besarnya peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer masih terus diperdebatkan, jumlah karbon yang terdapat pada ekosistem terestrial (vegetasi+tanah) sekitar 3,5 kali jumlah karbon yang terdapat di atmosfer. Jumlah ini selalu berubah tergantung pada proses fotosintesis dan respirasi tanaman. Secara umum, tanah di daerah sub tropis menyimpan CO2 relatif lebih banyak dibanding vegetasi yang tumbuh di atasnya, tetapi untuk untuk daerah tropis kondisi tersebut hanya dijumpai pada tanah gambut, karena sebagian cadangan karbon tersimpan di dalam biomassa. Bila di waktu yang akan datang kita lakukan ekstrapolasi, maka pertama kali yang harus dipertimbangkan adalah penggunaan BBF. Bila jumlah energi per kapita terus meningkat karena meningkatnya jumlah penduduk, maka hal ini akan meningkatkan konsentrasi CO2 di atmosfer dalam jumlah yang sangat besar. Jadi usaha menekan pelepasan CO2 ke atmosfer merupakan agenda utama kita. Isu paling hangat adalah yang berhubungan dengan kesamaan hak antar negara. Negara berkembang beranggapan bahwa: Negara maju yang telah mengemisikan GRK sejak lama dan dalam jumlah yang besar, bertanggungjawab menurunkan emisinya dengan target jumlah dan waktu yang jelas Negara berkembang harus mendapat kesempatan melanjutkan pembangunan ekonominya dan tetap mempunyai hak dalam meningkatkan emisi melalui peningkatan konsumsi BBF dan alih-guna lahan. Dalam kesepakatan internasional pemerintah negara-negara di dunia ini telah menyepakati tingkat penurunan emisi untuk setiap negara maju dengan prinsip tanggungjawab bersama tetapi dengan kewajiban yang berbeda (common but differenciated responsibility). Isu ini merupakan debat utama di tingkat internasional yang berhubungan ketika Protokol Kyoto dilahirkan. Melalui mekanisme Kyoto negara berkembang dapat berpartisipasi dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) yang akan dibahas dalam Bab 6. Faktor penghambat Secara umum, lautan dan daratan berperanan penting dalam menyerap CO2. Serapan karbon neto oleh lautan merupakan penyangga utama dalam memperlambat peningkatan CO2 atmosfer. Lautan secara aktif melakukan pertukaran CO2 dengan atmosfer, terutama dalam bentuk karbon anorganik terlarut. Namun demikian lautan menyerap karbon hanya dalam jumlah sedikit karena kelarutan CO2 dalam air sangat lambat dan tergantung pada percampuran antara air di lapisan permukaan dengan dasar lautan. Untuk serapan karbon secara biologi, sangat penting untuk mengurangi polusi. Aktivitas biologi yang berperanan penting dalam menyerap CO2 yang hanya terjadi pada lapisan yang berada pada beberapa meter di bawah permukaan air laut. Salah satu faktor utama yang membatasi aktivitas biologi 11

tersebut adalah fluks hara (terutama unsur besi, Fe) dari daratan misalnya debu dari padang pasir. Serapan karbon oleh ekosistem daratan dapat juga berperan sebagai penyangga tetapi tingkatannya masih lebih kecil bila dibandingkan dengan peran lautan. Hal penting yang banyak dibicarakan bahwa karbon yang disimpan dengan cara tersebut bersifat sementara, masih rawan untuk mengalami perubahan dan akan terlepas kembali ke atmosfer. Usaha mengurangi emisi, bila terjadi, diyakini tidak akan mampu untuk mencegah pemanasan global. Usaha peningkatan serapan hanya akan memperlambat peningkatan konsentrasi GRK, karena emisinya jauh lebih besar. Di masa yang akan datang usaha penurunan emisi atau pelepasan karbon ke atmosfer harus diutamakan jika pokok permasalahan perubahan iklim hendak dipecahkan. Dengan hanya melihat pada besarnya cadangan karbon dan fluks karbon yang ada saat ini, terkesan bahwa usaha meningkatkan cadangan karbon di sistem daratan merupakan kontribusi yang sangat berarti dalam mememecahkan masalah peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer. Namun demikian, dengan jalannya waktu akan ada resiko bahwa karbon yang tersimpan sebagai cadangan karbon di daratan akan kembali lepas ke atmosfer. Berdasarkan model terbaik yang dapat mensintesis proses ekologis yang ada dapat diramalkan bahwa dengan meningkatnya CO2 dan suhu di atmosfer, maka pengaruh pemupukan CO2 akan berakhir, sedang tingkat respirasi akan meningkat. Dengan demikian sistem daratan akan menjadi sumber karbon neto. Jadi, usaha meningkatkan simpanan di daratan dengan meningkatkan cadangan karbon di pepohonan dan hutan, tetapi dilain pihak bisnis penggunaan BBF harus ditangani sesegera mungkin. Penyerapan karbon oleh ekosistem terestrial ini masih merupakan fungsi daratan yang sangat relevan masa transisi dalam upaya memenuhi target ekonomi global dan upaya memenuhi kebutuhan akan energi dengan jalan yang lebih ramah lingkungan. Perlu dicari bentuk sumber energi alternative yang terbarukan dan dapat menggantikan BBF secara berangsurangsur. Bahan Diskusi Bahas beberapa pola penggunaan lahan yang dapat berperan nyata dalam

perlindungan cadangan karbon pada ekosistem terestrial Diskusikan jangka waktu berlangsungnya peranan ekosistem tertestrial Bahas resiko pelepasan CO2 ke atmosfer dengan adanya peningkatan cadangan karbon pada ekosistem terestrial

2.2. Penyebab terjadinya perubahan iklim globalPerubahan iklim terjadi terutama berhubungan dengan berubahnya komposisi gas di atmosfer. Hal ini mempengaruhi keseimbangan antara radiasi matahari yang datang dengan gelombang panjang yang dipantulkan 12

kembali sebagai panas (lihat Gambar 4). Efek ini sama dengan kondisi di dalam rumah kaca yang memungkinkan sinar matahari untuk masuk tetapi energi panas yang keluar sangat sedikit, sehingga suhu di dalam rumah kaca sangat tinggi. Dengan demikian pemanasan global disebut juga efek rumahkaca dan gas yang menimbulkannya disebut gas rumah kaca (GRK).

Gambar 4. Gas rumahkaca yang menyelimuti atmosfer bumi akan menyerap radiasi gelombang panjang yang memanaskan bumi (Sumber: UNEP/WMO, 2000)

Gas apa saja yang termasuk dalam kelompok gas rumah kaca? Gas-gas yang

telah disepakati pada tingkat internasional adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), perfluorokarbon (PFC) dan hidrofluorokarbon (HFC) dan sulfurheksfluorida (SF6). Untuk memudahkan perhitungan pencapaian komitmen atu target penurunan emisi, semua gas dinyatakan dalam ekivalen terhadap CO2 dengan memperhitungkan berat molekulnya. Tiga GRK pertama sering juga disebut sebagai GRK utama yang laju emisi dan konsentrasinya di atmosfer semakin meningkat dengan meningkatnya kegiatan manusia yang menggunakan BBF untuk pembangkit tenaga listrik, transporatsi, industri serta kegiatan lain yang berhubungan dengan alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan pemukiman. Beberapa kegiatan manusia yang mempengaruhi emisi GRK antara lain adalah: Penggunaan bahan bakar fossil (BBF). Terjadi pada sektor energi, industri, dan transportasi. Kegiatan ini dapat dikendalikan dengan teknologi yang rendah emisi atau menggunakan energi yang terbarukan Alih-guna lahan. Melibatkan sektor kehutanan, pertanian, perkebunan dan pemukiman. Kegiatan ini dapat menjasi sumber (source) dan rosot (sink) GRK, tergantung dari tipe penggunaan lahannya.

13

2.3 Cadangan karbon terestrialBeberapa faktor yang mempengaruhi serapan karbon neto oleh ekosistem terestrial adalah adanya alih-guna lahan (misalnya lahan hutan dikonversi menjadi lahan pertanian) dan adanya respon ekosistem daratan terhadap pemupukan CO2 , deposisi hara, variasi iklim dan adanya gangguan (misalnya kebakaran hutan). Ketiga faktor tersebut saling berinteraksi dengan hasil yang ditentukan oleh kekuatan setiap faktor. Separuh dari Produktivitas Primer Bruto (Gross Primary Productivity, GPP) global yang terakumulasi pada suatu sistem bentang alam akan direspirasikan ketika sistem itu bernafas dan mengambil oksigen alam. Karena itu bahan organik atau bahan kering yang tersimpan dalam bentuk biomasa dan seresah atau Produktivitas Primer Neto (Net Primary Productivity, NPP) juga hanya separuhnya. Penebangan hutan atau untuk pembukaan lahan atau panen pada lahan pertanian selanjutnya akan meningkatkan emisi CO2 ke atmosfer. Karbon yang telah disimpan sebagai biomasa tanaman akan dilepaskan ke atmosfer lewat penebangan, pembakaran atau dekomposisi bahan organik di atas dan di bawah permukaan tanah selama dan setelah penebangan dan pembakaran hutan. Dengan demikian cadangan karbon pada ekosistem tersebut direduksi cukup substansial menjadi Produktivitas Ekosistem Neto (Net Ecosystem Sementara itu ekosistem masih mengalami gangguan Productivity, NEP). dari waktu ke waktu berupa kebakaran, hama dan penyakit sehingga Produktivitas Biome Neto (Net Biome Productivity, NBP) yang tersimpan dalam jangka pendek menjadi semakin kecil. Dengan demikian untuk mempelajari neraca karbon global, diperlukan pengetahuan tentang hubungan antara cadangan karbon dengan sistem penggunaan lahan. Secara skematis perubahan cadangan karbon dari waktu ke waktu dalam proses ekosistem dapat dilihat pada Gambar 5. Dari skema di atas terlihat bahwa GPP yang biasanya diukur pada seluruh bagian tanaman yang berfotosintesa sebagai gambaran mengenai banyaknya bahan kering yang diakumulasikan per satuan waktu (tahun) mencapai 120 Gt C th-1. Setelah mengalami respirasi, NPP sistem tersebut yang diukur langsung pada seluruh bagian tanaman dalam bentuk biomasa jaringan tanaman mencapai 60 Gt C th-1. Sementara itu dekomposisi bahan organik telah menurunkan NPP menjadi NEP hingga sebesar 10 Gt C th-1. NEP merupakan selisih antara tingkat produksi karbon dari biomasa tanaman dengan tingkat dekomposisi bahan organik dari bagian mati (nekromasa) tanaman (heterotrophic respiration). Respirasi heterotropik tersebut mencakup kehilangan karbon karena dikonsumsi herbivore dan melalui dekomposisi bahan organik oleh organisma tanah. NEP dapat diduga melalui dua jalan: (1) mengukur perubahan cadangan karbon dalam vegetasi dan tanah per tahun, (2) mengintegrasikan jumlah fluks CO2 per jam atau setiap harinya ke`dalam dan keluar vegetasi dan mengintegrasikannya per tahun. Integrasi NEP harus dinyatakan per dekade.

14

Gambar 5. Cadangan karbon terestrial berdasarkan pelepasan (emission) atau penyerapan (sequestration) pada berbagai tingkat proses ekosistem (Sumber: IGBP Carbon Working Group, 2000) NBP adalah produksi neto bahan organik per wilayah yang mencakup satu kisaran ekosistem atau satu biome, termasuk juga di dalamya adalah respirasi heterotropik dan proses lainnya yang menyebabkan hilangnya karbon dari ekosistem (misalnya terangkut panen, serangan hama dan penyakit, penebangan dan kebakaran hutan, dsb). Besarnya global NBP (0.7 1.0 Gt C th-1) ini relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah fluks karbon atmosfer dan biosfer. Pengukuran NBP ini dilakukan untuk jangka waktu panjang karena gangguan frekuensi gangguan relatif jarang. Pertimbangan dalam perhitungan serapan karbon Potensi ekosistem terestrial dalam mengurangi konsentrasi CO2 atmosfer tergantung dari macam ekosistem yang meliputi: komposisi spesies yang ada, struktur dan distribusi umur tanaman (terutama untuk hutan). Faktor lain yang cukup mempengaruhi adalah kondisi setempat seperti iklim, tanah, adanya gangguan alam dan macam pengelolaan. Penyerapan CO2 dari atmosfer setiap tahun terjadi di dalam ekosistem tanaman yang sedang tumbuh, seperti hutan tanaman dan hutan sekunder yang terbentuk setelah adanya penebangan, pembakaran atau gangguan lainnya. Pada hutan tua di daerah tropika basah, akumulasi biomasa terus berlangsung sehingga diperoleh akumulasi biomasa yang sangat tinggi. Namun hal ini hanya terjadi pada tingkat pohon, tetapi tidak pada tingkat ekosistem hutan, karena tingkat

15

dekomposisi bahan organik di hutan kurang lebih sama dengan tingkat penyerapan CO2. Perkecualian terjadi pada hutan gambut, dimana akumulasi CO2 justru terjadi di dalam lapisan organik di permukaan tanah. Jadi, dekomposisi merupakan kunci utama. Karbon atmosfer diserap oleh vegetasi dan diakumulasikan dalam biomasa. Berapa lama CO2 tinggal di dalam biomasa vegetasi tersebut sebelum dilepaskan kembali sebagai CO2 melalui proses dekomposisi atau melalui peristiwa pembakaran. Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan pengetahuan konsep waktu-paruh karbon, yaitu hilangnya 50 % karbon masa bagian tanaman per satuan waktu (tahun). Waktu-paruh karbon ini bervariasi untuk berbagai macam bagian tanaman, misalnya untuk seresah daun sekitar 0,3 tahun, 1 tahun untuk cabang pohon, 4 tahun untuk kayu balok, dan sekitar 20-30 tahun untuk batang pohon yang masih hidup. Fotosintesis karbon atmosfer oleh vegetasi adalah pengurangan konsentrasi karbon sementara atau semi-permanen. Jadi, besarnya karbon yang diserap (Mg ha-1) oleh vegetasi dapat diperkirakan dengan hitungan sebagai berikut:

C terserap = NPP (Mg ha-1 th-1) x waktu-paruh C dari bagian tanamanDalam penggunaan definisi tersebut, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan Produk kayu. Bila karbon diakumulasikan dalam kayu atau bagian tanaman lainnya, kemudian tanaman dipanen dan diangkut ke luar plot dan waktu-paruh karbonnya dapat diturunkan (misalnya, jika kayu tersebut dipakai sebagai kayu bakar) atau dinaikkan (misalnya, jika kayu tersebut diawetkan dengan bahan kimia, atau disimpan dalam lingkungan kering, atau disimpan dalam air). Kesulitan yang dihadapi dengan pemberian definisi di atas bahwa penyerapan karbon oleh suatu sistem sangat tergantung kepada nasib produk tersebut di tempat lainnya. Waktu-paruh kayu tergantung pada penggunaannya setelah penebangan, apakah dipakai sebagi kayu bakar, kayu bangunan, parabot rumah tangga, dan sebagainya. Produk tanaman tersebut selanjutnya berpindah ke pasar di kota, digunakan orang dan selanjutnya akan mengalami dekomposisi. Arang. Jika produk kayu dijadikan arang yang mempunyai waktu-paruh amat lama (hampir 100% tahan lapuk). Bila rambu untuk waktu-paruh ini tidak dipertimbangkan maka pengarangan produk hutan dengan teknologi yang benar akan merupakan jalan terbaik untuk penyerapan CO2 di atmosfer, karena pembakaran hutan menghasilkan arang dalam jumlah yang relatif kecil dibanding dengan jumlah CO2 yang dilepas ke atmosfer. Sampah kota. Bila pengelolaan sampah kota dimodifikasi lebih mengarah pada konservasi karbon tersebut, maka system pertanian konvensional merupakan mekanisme yang sangat penting dalam usaha pengurangan karbon di atmosfer. Hutan alam. Hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam

16

pertumbuhannya sangat sedikit menyerap CO2, karena hutan tua telah mencapai keseimbangan dimana tingkat pembentukan dan pelapukan berimbang. Pada hutan alami, bila satu pohon tua tumbang akan membentuk celah yang memungkinkan sinar matahari masuk ke permukaan tanah sehingga memungkinkan beberapa tumbuhan baru (sapling) tumbuh. Tumbuhan baru ini terus tumbuh hingga ukurannya mencapai ukuran pohon yang telah tumbang tersebut. Jadi hutan secara keseluruhan merupakan mosaik dari berbagai umur dan macam vegetasi yang akan mencapai keseimbangan antara karbon yang hilang dan yang diakumulasi, asalkan celah yang terbentuk hanya pada skala kecil. Bila banyak hutan alam harus diremajakan misalnya setelah ada kejadian bencana alam angin topan atau karena ada kebakaran, maka keseimbangan baru akan terbentuk tetapi waktu yang dibutuhkan sangat lama. Maka perbedaan antara NEP dan NBP menjadi sangat penting. Hal ini menjadi sumber perdebatan apakah hutan Amazon di Brazil merupakan rosot karbon atau bukan. Hasil pengukuran karbon pada hutan tua di Amerika Tengah dan kepulauan Karibia selalu meningkat setiap waktu. Tetapi harus diingat bahwa hutan-hutan tersebut masih dalam fase pemulihan setelah adanya bencana badai. Guna menghindari kompleksitas batasan yang disebutkan di atas, maka pemantauan penyerapan karbon dari atmosfer ini selanjutnya diukur dari besarnya cadangan karbon yang ada dalam satu bentang lahan yang mencakup berbagai sistem penggunaan lahan (lihat Bahan Ajaran ASB 1) dengan berbagai macam penutupan lahan. Perhitungan cadangan karbon dalam siklus tanaman Pada bahan ajaran ini, pembahasan akan lebih difokuskan pada cadangan karbon (C-stock) yang ada di alam dan umur rata-rata atau ratarata lamanya hidup dalam sistem penggunaan lahan (averaged C-stock) pada skala lokal. Untuk mengukur cadangan karbon per siklus tanam dalam suatu sistem penggunaan lahan, kita perlu tahu cadangan karbon yang ada pada berbagai fase pertumbuhan tanaman. Secara sederhana dapat dijelaskan secara skematis dalam Gambar 6. Dalam satu siklus tanam terdapat Tc adalah periode lahan ditanami tanaman pangan setelah tebas dan bakar hutan atau setelah panen, ketika itu cadangan karbon minimum, Cmin. Gambar tersebut juga menunjukkan periode akumulasi karbon yang meningkat secara linier, Tf. Dengan demikian peningkatan akumulasi karbon hingga mencapai cadangan karbon maksimum, Cmax adalah:

Ic = (Cmax - Cmin)/Tf

17

ChutanTotal cadangan C, Mg ha-1

Cmax

Crata2 0 Bero Tc Tf1 Tc Bero Tf2

Crata2 Cmin

Waktu, tahun

Gambar 6.

Diagram kehilangan karbon selama penebangan hutan dan reakumulasi karbon selama bera (fallow, f) atau regenerasi hutan Tf setelah beberapa periode tanam untuk tanaman pangan,Tc (Palm et al., 1999)

Dari gambar tersebut juga dapat diduga cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (Tf ) adalah:

CavgF = 0.5 * (Cmin + Cmax)Maka untuk seluruh sistem menjadi:

Cavg = Tf * (Cmax + Cmin)/(2*(Tf + Tc))dimana:

Cmin : cadangan karbon minimum dalam suatu sistem Cmax : cadangan karbon maksimum dalam suatu sistem Tc : periode ketika Cmin dari setiap sistem Tf : periode yang dibutuhkan untuk mencapai Cmax dari titik Cmin

Bila Tc diabaikan, maka Cavg = 0.5 * (Cmax + Cmin), ini berarti tidak tergantung pada waktu Tf atau tingkat akumulasi C per tahunnya. Ini semua berarti bahwa pohon yang pertumbuhannya cepat (misalnya sengon) akan mempunyai cadangan karbon rata-rata per siklus tanam sama dengan pohon yang pertumbuhannya lambat (misalnya jati), jika kedua jenis hutan tersebut akan di tebang pada kondisi berat biomasa yang sama. Gambar 7 menunjukkan rotasi pada sistem tumpang sari berbasis pohon atau agroforestri dengan nilai cadangan karbon maksimum (Cmax) dicapai pada waktu (Tm) sebelum satu masa rotasi tanam berakhir (Tr). Sebagai contoh kebun kopi, Cmax akan dicapai sekitar 7 tahun setelah fase penanaman (establishment phase), tetapi produksi akan terus berlangsung hingga 5 tahun (production phase), dengan demikian akan diperoleh waktu rotasi 12 tahun, pada saat kebun akan ditebang dan dilakukan regenerasi kopi dari batang lama. Cadangan karbon per siklus tanam untuk sistem 18

penggunaan lahan tersebut ditentukan oleh nilai rata-rata cadangan karbon pada berbagai fase rotasi tanam.ChutanTotal cadangan C, Mg ha-1

Cmax C rata-2

Cmin

Tc

Tf

Tm Waktu, tahun

Gambar 7. Diagram kehilangan karbon selama penebangan hutan dan reakumulasi karbon selama masa pertumbuhan dan masa produksi pada sistem berbasis pohon (Palm et al., 1999). Seperti pada contoh sebelumnya cadangan karbon per rotasi tanam untuk periode Tf adalah:

CavgF = 0.5 * (Cmin + Cmax)Dalam periode Tm cadangan karbon akan mencapai maksimum, Cmax Maka, cadangan karbon untuk seluruh sistem menjadi:

Cavg = (Tc * Cmin + 0.5 * Tf * (Cmin + Cmax) + Tm * Cmax ) /(Tc + Tf +Tm)[fase tan pangan] [ fase pertumbuhan ] [fase produksi] [total waktu per sistem] Untuk menyederhanakan hitungan maka:

Cavg = [ (Tc + 0.5 *Tf)* Cmin + (0.5 * Tf + Tm)* Cmax] /(Tc + Tf +Tm)dimana Tm = periode dimana sistem mempertahankan Cmax

Contoh perhitungan Penghitungan cadangan karbon untuk kebun kopi dengan masa pertumbuhan 7 tahun untuk mencapai biomasa maksimum, kemudian diikuti 5 tahun lagi masa produksi sebelum akhirnya pohon kopi ditebang dan tumbuh kembali.

19

Untuk Tf 7 tahun dan Cmin = 0 konsisten dengan nilai Cmax = 15.4 Mg ha-1, maka Ic = 2.2 Mg C ha-1 th-1, Nilai cadangan karbon per rotasi tanam (Cta1) selama fase pertumbuhan = (Ic*Tf)/2 = Cmax/2 = 7.7 Mg ha-1. Nilai cadangan karbon rotasi tanam untuk seluruh sistem adalah nilai ratarata dari seluruh fase = [0 + 7*7.7 + 5*15.4]/12 = (3.5 + 5 )* 15.4/12 = 10.9 Mg ha-1 Pada umumnya dalam satu siklus produksi sistem pertanian, agroforestri atau hutan akan melalui beberapa fase, dimana tingkat produksi setiap fase akan berbeda dengan fase yang lain. Untuk menghindari kerumitan dalam pengukuran kehilangan dan penyerapan karbon pada setiap waktu per tahunnya, maka diasumsikan parameter pengukuran cadangan karbon ratarata per siklus tanam pada suatu sistem penggunaan lahan (time averaged C-stock) dapat mewakili seluruh perbedaan berdasarkan waktu dan ruang. Cadangan karbon rata-rata per siklus tanam tergantung kepada: Besarnya cadangan karbon - maximum dan - minimum yang terdapat dalam suatu system, terutama pada saat sebelum dan setelah masa panen, Tingkat akumulasi karbon dalam biomasa tanaman selama masa pertumbuhan, yang menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai cadangan karbon -maksimum (dimulai dari cadangan karbon minimum) Waktu rotasi Bila kita telah mengukur cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (Mg ha-1) pada setiap sistem penggunaan lahan maka dampak alih-guna lahan akan ditunjukkan oleh perbedaan antara cadangan karbon sesudah dan sebelum kejadian alih-guna lahan. Artinya evaluasi cadangan karbon tergantung pada konteks dan macam perbandingan yang akan diuji, misalnya suatu sistem penggunaan lahan lain (sebagai contoh pertanian intensif) yang menyebabkan emisi CO2 ke atmosfer dibandingkan dengan hutan alami; sistem pertanian berbasis tanaman semusim dengan sistem pertanian berbasis pohon, dan sebagainya. Jadi hutan industri dapat pula menjadi penyerap karbon bila keberadaannya menggantikan sistem yang memiliki cadangan karbon rendah seperti padang rumput, atau justru meyebabkan hilangnya karbon dari system bila keberadaanya menggantikan hutan alami sekunder yang masih mempunyai cadangan karbon lebih tinggi dari pada cadangan karbon-ratarata per siklus tanaman dari hutan industri.

20

Dua kenyataan yang saling bertentanganTerjadinya proses erosi dan pembentukan arang setelah pembakaran merupakan dua isu yang sering menimbulkan kerancuan dalam perdebatan penyerapan karbon atmosfer. Erosi telah disepakati untuk dimasukkan dalam daftar factor penyebab hilangnya C. Namun demikian, adanya proses erosi ini banyak tanah (termasuk bahan organik tanah = BOT) terangkut dan diendapkan di lain tempat yang lebihnrendah (pada rawa, atau dasar lautan) sehingga tidak hilang dari siklus karbon global. Transnsportasi karbon ke lain tempat ada kemungkinan justru merupakan konservasi karbon, karena BOT pada daerah rawa yang bereaksi masam justru terlindungi dari serangan organisma tanah sehingga proses dekomposisi tidak terjadi. Jadi erosi secara potensial mempunyai kontribusi besar terhadap proses penyerapan karbon di atmosfer, dimana bentang lahan (landscape) tetap tertutup vegetasi dan tetap dapat mempertahankan GPP. Bila ditinjau dari sudut pandang usaha meningkatkan cadangan karbon di alam ini, maka setiap usaha pengelolaan lahan yang ditujukan untuk mengurangi kehilangan tanah karena erosi justru merugikan! Terbentuknya arang dapat menyimpan karbon untuk jangka waktu yang sangat lama. Setelah pembakaran vegetasi hutan, seringkali meninggalkan arang walaupun jumlahnya relatif sedikit bila dibandingkan dengan jumlah yang hilang. Bila regenerasi hutan terjadi, dan cadangan karbon rata-rata persiklus tanaman meningkat karena arang yang terbentuk sebelumnya masih ada dalam tanah. Jadi usaha meningkatkan erosi dan pembakaran hutan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan cadangan karbon global? Apa komentar anda? Mungkin skala waktu yang kita pergunakan di sini tidak tepat !

Bahan Diskusi

Latihan Hitung rata-rata cadangan karbon per siklus tanam untuk HTI yang ditanami pohon

yang cepat pertumbuhannya seperti sengon (Paraserianthes falcataria), jika diketahui tingkat akumulasi karbon, Ic = 9 Mg C ha-1 th-1 dan lamanya siklus berproduksi (Tf) = 8 tahun, Tmax dan Tc = 0. Hitung pula rata-rata cadangan karbon per siklus tanam untuk pohon yang lambat pertumbuhannya, dengan Ic = 4.5 Mg C ha-1 th-1 dan lamanya siklus berproduksi, Tf = 16 tahun Berapa besarnya Cmax untuk setiap sistem?

Pertanyaan untuk diskusi kelompok Apakah dengan menanam pohon selalu meningkatkan cadangan karbon? Pada saat bagaimana pohon tidak meningkatkan cadangan karbon? Bagaimana strategi anda dalam mengurangi CO2 di atmosphere? Jelaskan!

21

Perhitungan cadangan karbon dalam skala nasional

Pendekatan yang kita gunakan dengan menetapkan cadangan karbon rata-rata per siklus tanam pada skala lokal ini dapat dipakai untuk pengukuran penyerapan karbon pada skala nasional. Metodologi perhitungan neraca karbon yang direkomendasikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah berdasarkan konsep sederhana, dimana total karbon terestrial pada waktu t sama dengan produk per bagian (fraksi) luasan dari satu seri SPL dan merupakan suatu penciri cadangan karbon (typical C-stock) yang dihubungkan dengan SPL pada waktu t . Berikut adalah persamaan sederhana yang mungkin dapat mempermudah dalam memahaminya:

At = Ai ,ti =1

n

(1)

A merupakan total luas unit lahan (misalnya per negara, atau propinsi) yang terdiri dari berbagai macam sistem penggunaan lahan, sebanyak n, yang boleh dikatakan exclusive. Maka fraksi area, ait dapat didefinisikan sebagaiberikut:

a i ,t =

Ai ,t At

(2)

Maka total cadangan karbon pada saat t menjadi:

Ct = Ai ,t Ci ,t = At ai ,t C i ,ti =1 i =1

n

n

(3)

Dimana Ci,t adalah cadangan karbon per unit area pada SPL i , pada saat t, dan perubahan cadangan karbon pada interval waktu t -> t+1 sebagai:C t >t +1 = At +1 a i ,t +1C i ,t +1 At a i C i ,ti =1 i =1 n n

(4)

Bila total area tidak berubah (maka At = At+1) dan klasifikasi SPL masih tetap, berarti net penyerapan karbon atau emisi karbon neto menjadi :

n Ct >t +1 = At (ai ,t +1Ci ,t +1 ai ,t Ci ,t ) i =1

(5)

Persamaan ini dapat ditulis ulang dengan memisahkan faktor/hal yang berhubungan dengan perubahan rata-rata cadangan karbon per unit area dalam suatu kelas I, dan factor lain yang berhubungan dengan perubahan area dalam kelas i:

22

n C t >t +1 = At (ai ,t (C i ,t +1 Ci ,t ) + (ai ,t +1 ai ,t )Ci ,t ) i =1

(6)

Metodologi IPCC yang digunakan saat ini adalah didasarkan pada persamaan (6) dan termasuk estimasi peningkatan rata-rata cadangan karbon per klas system penggunaan lahan. Dan banyak ketidak menentuan yang muncul pada monitoring di tingkat nasional adalah yang berhubungan dengan peningkatan cadangan karbon. Pada pelaksanannya memang cenderung ada pengukuran peningkatan cadangan karbon tetapi mengabaikan kehilangan karbon. Untuk pengukuran tingkat nasional asumsi pengukuran pada berbagai fase SPL yang menghasilkan rata-rata cadangan karbon per siklus tanam mungkin lebih dapat diterima, kecuali bila umur rata-rata pohon atau hutan mengalami perubahan, menjadi meningkat atau menurun. Disini kita dapat menyederhanakan prosedur penghitungan dengan mengemas rangkaian waktu cadangan karbon yang spesifik sebagai satu sistem penggunaan lahan (misalnya pada sistem lading berpindah, system tebang pilih, sistem tanam gilir tanaman pangan dan bero), dengan rata-rata cadangan karbon persiklus tanam tidak dibatasi oleh waktu, maka persamaan (6) dapat disederhanakan menjadi:

n C t >t +1 = At Ci (ai ,t +1 ai ,t ) i =1

(7)

Yang berarti bahwa perubahan cadangan dapat diukur dari perubahan fraksi area dari berbagai sistem penggunaan lahan, dikalikan dengan rata-rata cadangan karbon per siklus tanam dari masing-masing kelas.

2.4 Alih-guna lahan sebagai sumber dan rosot karbonSehubungan dengan penghitungan rata-rata cadangan karbon per siklus tanam, kita dapat kembali ke Bahan Ajaran ASB 1 yang berhubungan dengan penutupan dan penggunaan lahan. Di dalam Protokol Kyoto hanya dikenal dua penutupan lahan, yaitu hutan dan non-hutan. Pernyataan ini memang lebih sederhana untuk tujuan globalisasi, tetapi dikotomi ini tidak membantu dalam pengukuran cadangan karbon di daratan, karena kurang tepatnya pendefinisian hutan yang dipakai. Vegetasi yang ada di hutan alami berbeda dari dari satu tempat dengan tempat yang lain. Cadangan karbonnya berkisar berkisar antara 20 hingga 400 Mg C-1 ha-1 tergantung pada jenis dan kompisisi ekosistem hutan, letak geografis, tanah, dan iklimnya. Pengelolaan hutan juga menentukan cadangan karbon dan perubahannya dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh pertumbuhan dan gangguan termasuk hama penyakit dan kebakaran. Gambar 8 menunjukkan hubungan antara klasifikasi penutupan lahan dengan cadangan karbon, dan dari gambar tersebut dapat kita lihat bahwa berbagai system penggunaan lahan memberikan berbagai macam penutupan lahan pada berbagai fase dalam satu siklus. Besarnya rata-rata cadangan 23

karbon pada suatu system penggunaan lahan tergantung pada tingkat akumulasi karbon pada berbagai fase dalam satu siklus, dan juga tergantung pada waktu yang dibutuhkan per fase.

Gambar 8. Hubungan antara penutupan lahan, system penggunaan lahan (dengan berbagai penutupan lahan pada berbagai stadia dalam satu siklus hidup) dan cadangan karbon; Sistem penggunaan lahan 2 dan 1 adalah bero panjang dan pendek, 3 adalah lahan dengan sedikit gangguan akibat penebangan hutan; AF1 = system agroforestri sederhana, AF2= agroforestry komplek Untuk sistem rotasi tumpang gilir tanaman pangan dan bera (Gambar 9), rata-rata cadangan karbon menurun dengan meningkatnya intensitas penggunaan lahan. Dalam perhitungan neraca karbon berdasarkan persamaan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem ladang berpindah tidak meningkatkan penyerapan karbon dari atmosfer dan juga tidak melepaskan karbon ke atmosfer, namun demikian adanya intensifikasi penggunaan lahan dalam sistem ladang berpindah tersebut tidak menambah pelepasan karbon ke atmosfer.

24

Gambar 9. Rata-rata cadangan karbon pada sistem ladang berpindah dan sistem rotasi tanaman pangan dan bera, sebagai fungsi dari (a) lamanya bera, (b) intensitas penanaman (fraksi luasan lahan yang ditanami per tahunnya), dengan peningkatan cadangan karbon selama masa bera 6 Mg C ha-1 th-1 hingga 100 Mg C ha-1 dan 1 Mg C ha-1 th-1 atau lebih; bila penanaman diasumsikan 2 tahun per siklus.

2.5 Perkiraan dampak perubahan iklimIklim (kondisi rata-rata untuk jangka panjang) dan cuaca (kondisi saat ini) sulit untuk diramalkan, karena keduanya merupakan hasil interaksi berbagai proses yang berpeluang terhadap adanya sedikit gangguan dapat berubah menjadi badai. Banyak sekali model tersedia untuk meramalkan perubahan iklim global, namun masih banyak perbedaan mendasar untuk meramalkan pada tempat-tempat yang spesifik di bumi ini. Salah satu akibat dari adanya pemanasan global adalah adanya kemungkinan mencairnya es di kutub bumi dan meningkatnya tinggi permukaan air lautan seperti yang telah banyak dibicarakan dalam sejarah geologi. Peningkatan permukaan air lautan itu akan menenggelamkan banyak pulau yang cukup subur dan berpenduduk cukup padat, misalnya Bangladesh dan pulau-pulau lain di Asia Tenggara. Pemecahan secara teknis misalnya dengan pembangunan tanggul-tanggul, penyedaan pompa air dan sebagainya akan memerlukan investasi yang sangat besar. Perubahan iklim global ini sebenarnya diawali oleh adanya "pergeseran iklim", yang berarti akan diikuti oleh perubahan sistem pengelolaan lahan. Hal ini memungkinkan suatu negara akan dirugikan, dan negara lain diuntungkan. Kondisi ini membuka peluang timbulnya konflik sosial. Namun demikian untuk vegetasi dan fauna alami, perubahan iklim lokal mungkin terjadi terlalu cepat sehingga keaneka ragaman hayati akan berkurang sebagai akibat terbatasnya lahan hutan atau adanya "pulau-pulau" hutan di tengah lahan pertanian. Dengan demikian, flora dan fauna tidak dapat mengikuti pergeseran iklim yang terjadi.

25

Perdebatan perubahan iklim di tingkat global masih terus berlangsung, namun masih ada sedikit keraguan yang beralasan sehubungan dengan pentingnya usaha mengurangi emisi GRK sampai pada tingkat yang tidak membahayakan iklim bumi. Di dalam bahan ajar ini, diskusi kita akan lebih difokuskan pada CO2 yang lebih dominan oleh adanya alih guna. Meskipun kenaikan suhu udara dan muka air laut kelihatannya kecil, beberapa tempat atau ekosistem atau masyarakat tertentu akan sangat rentan (vulnerable) menghadapi perubahan tersebut. Kondisinya akan diperburuk apabila kemampuan ekosistem atau masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim rendah. Peningkatan suhu yang besar terjadi pada daerah lintang tinggi, sehingga akan menimbulkan berbagai perubahan lingkungan global yang terkait dengan pencairan es di kutub, distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati. Sementara itu daerah tropis atau lintang rendah akan terpengaruh dalam hal produktivitas tanaman, distribusi hama dan penyakit tanaman dan manusia. Peningkatan suhu pada gilirannya akan merubah pola dan distribusi curah hujan. Kecenderungannya adalah bahwa daerah kering akan menjadi makin kering dan daerah basah menjadi makin basah sehingga kelestarian sumberdaya air akan terganggu. Padi dan serealia lainnya sangat peka terhadap perubahan suhu udara meskipun kecil. Bagian reproduktif yang dinamakan spikelet akan menjadi steril jika suhu meningkat, sehingga mempengaruhi produktivitasnya. Sebuah model fisiologis yang dikembangkan di International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina, ORYZA1 digunakan untuk menduga perubahan produksi padi akibat perubahan iklim. Model ini digabungkan dengan GCM yang dikembangkan oleh GFDL, GISS, dan UKMO. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4. Ekosistem alami seperti terumbu karang juga sangat peka terhadap kenaikan suhu, apalagi jika kenaikan tersebut permanen. Dari peristiwa ElNino tahun 1997 yang sementara saja, banyak terumbu karang di Asia Tenggara yang mengalami pemutihan (bleaching). Kejadian seperti ini sangat menurunkan kualitas dan fungsi terumbu karang (lihat Tabel 5). Jika pemanasan suhu air laut terus berlangsung, maka pemulihannya akan sulit terjadi. Dengan tendensi (trend) yang diuraikan di atas, perubahan iklim jelas merupakan ancaman bagi ekosistem terumbu karang.

26

Tabel 4.Skenario model sirkulasi global untuk menduga perubahan produksi padi di Asia dengan model ORYZA1 (Sumber: Matthews et al., 1995b). Iklim saat ini Resolusi horisontal Resolusi vertikal Konsentrasi CO2 awal (ppm) Perubahan suhu (oC) Perubahan curah hujan (%) Model ORYZA1 Produksi total (kt) Perubahan (%) 434.136 GFDL 4.4ox7.5o 9 300 +4,0 +8 462,472 6,5 GISS 7,8ox10,0o 9 300 +4,2 +11 415,129 -4,4 UKMO 5,0ox7,5o 11 323 +5,2 +15 409,793 -5,6

Keterangan: GFDL: Geophysical Fluid Dynamics Laboratory GISS: Goddard Institute for Space Studies UKMO: United Kingdom Meteorological Office

Tabel 5.Dampak peningkatan suhu terhadap produksi padi dan pemutihan terumbu karang di beberapa negara Asia Negara Indonesia Malaysia Filipina Thailand Singapura Perubahan produksi padi (%) -3 sampai -4 -22 sampai -12 -14 sampai 14 -4 sampai 8 Referensi Parry et al. (1992) Parry et al. (1992) Matthews et al (1995) Parry et al. (1992) Pemutihan terumbu karang (%)* 30 40 80 50 90

*) Sumber: Wilkinson et al. (2000)

Air adalah sumberdaya alam yang sangat diperlukan dalam berbagai aspek kehidupan manusia, baik untuk keperluan domestik, industri mapun pertanian. Dengan iklim yang berubah besaran dan distribusi air juga akan mengalami perubahan dan dalam jangka panjang kelestarian sumberdaya air memerlukan perhatian yang serius. Tempat-tempat yang kering seperti Afrika akan mengalami kekeringan yang lebih hebat, sementara tempattempat basah seperti sebagian besar daerah tropis akan mengalami kondisi lebih basah. Konsekuensi meningkatnya ketersediaan air adalah banjir, erosi dan tanah longsor karena meningkatnya surplus dari suatu daerah tangkapan air. Tabel 6 menunjukkan dampak peningkatan suhu dan curah hujan terhadap surplus dan defisit neraca air serta erosi di tiga buah Daerah Aliran

27

Sungai (DAS) di Indonesia yang padat penduduk dan merupakan penghasil pangan yang strategis. Tabel 6.Akibat peningkatan suhu dan curah hujan di tiga DAS penting di Indonesia menurut perkiraan model GISS (Sumber: Murdiyarso, 1994) DAS Citarum + 32 - 38 + 15 DAS Brantas + 35 - 18 + 18 DAS Saddang + 135 - 100 + 40

Surplus neraca air (%) Defisit neraca air (%) Erosi (%)

Dengan meningkatnya surplus air yang bersamaan dengan menurunnya defisit, maka limpasan permukaan dan aliran sungai pun akan meningkat. Curah hujan dengan jumlah yang lebih besar biasanya disertai dengan intensitas yang tinggi, akibatnya erosi juga meningkat. Situasinya akan makin buruk apabila vegetasi penutup lahan dan upaya-upaya konservasi tanah tidak ditingkatkan.

Pertanyaan untuk diskusi kelompok Apakah dengan menanam pohon selalu meningkatkan cadangan karbon? Pada saat bagaimana pohon tidak meningkatkan cadangan karbon? Bagaimana strategi anda dalam mengurangi CO2 di atmosphere? Jelaskan!

28

3. TERTARIKKAH PETANI PADA CADANGAN KARBON?Pertanyaan Apakah tebas bakar vegetasi hutan pada saat awal pembukaan lahan pertanian akan mengurangi cadangan C di daratan? Mengapa petani selalu menggunakan teknik tebas dan bakar? Adakah teknik alterntif lain yang dapat ditawarkan?

Dalam kehidupan sehari hari petani akan terlibat dengan urusan cadangan C baik pada bagian di atas tanah maupun yang ada dalam tanah, tetapi istilah yang dipergunakan berbeda, dan keterlibatannya mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan yang sedang kita bicarakan dalam bahan ajaran ini. Menurut pandangan petani, cadangan karbon di atas tanah merupakan sumber produk (buah, getah, kayu bangunan atau kayu bakar), merupakan tanda batas kepemilikan lahan, pengatur iklim mikro dengan adanya naungan, dan hubungan spiritual dsb. Cadangan karbon bagian bawah terdiri dari sistem perakaran tanaman dan bahan organik tanah. Petani menganggap bahwa cadangan karbon bagian bawah tanah sebagai sumber produk pohon (misalnya untuk obatobatan dan untuk parabot atau hiasan rumah tangga), sumber kesuburan tanah (secara fisik, kimia dan biologi) baik untuk jangka pendek maupun panjang. Namun demikian, sebagian besar cadangan karbon tersebut hilang dalam bentuk asap karena adanya kegiatan pembakaran. Pada awal alih guna lahan biasanya petani menebas dan membakar semua pohon dan tumbuhan bawah, bahkan seringkali membiarkan balok kayu besar teronggok di atas permukaan tanah. Selanjutnya pada akhir musim kering (sebelum musim tanam) petani akan membakar hasil tebasan tersebut. Teknik tebas bakar ini merupakan teknik pembukaan lahan yang paling populer dan sering dilakukan oleh petani kecil maupun perkebunan besar di Asia Tenggara karena mudah dan murah. Bila kita ingin memotivasi petani untuk mempertahankan dan meningkatkan cadangan karbon misalnya dengan menghindari kegiatan pembakaran, atau menanam lebih banyak pepohonan, maka terlebih dahulu kita harus memahami pandangan petani akan cadangan karbon. Selain itu diperlukan juga pemahaman akan transformasi karbon dalam tanah. Bagaimana pandangan petani terhadap cadangan karbon di daratan ini dapat dilihat di kolom 1 dan 2.

3.1 Mengapa petani melakukan pembakaran?

Pada umumnya petani di daerah tropis mengatakan Tak ada api, tak ada pertanian, api memberikan beberapa keuntungan antara lain: a. Penyediaan hara lewat abu sisa pembakaran sebagai pupuk bagi tanaman

29

b. Perbaikan struktur tanah yang berguna bagi perkembangan akar tanaman c. Menekan pertumbuhan gulma. Kebanyakan tumbuhan bawah (gulma) mati ikut terbakar sehingga lahan bebas dari gulma d. Mengurangi masalah hama dan penyakit e. Membersihkan permukaan tanah dari batang pohon yang tumbang sehingga memudahkan petani untuk berjalan pada lahannya

Kolom 1. Mampukah petani mengestimasi cadangan C di lahannya? Seandainya usaha meningkatkan cadangan karbon (C) di daratan berhasil dengan jalan mempromosikan teknik alternatif dalam pengelolaan lahan, maka petani sebagai pengguna lahan primer harus mengerti minimal besarnya cadangan C yang ada. Bila pemberian insentif bagi petani yang berusaha mempertahankan cadangan C dapat terlaksana, maka kriterianya harus berhubungan dengan konsep dan pengetahuan petani. Oleh karena cadangan C terbesar di daerah tropika basah adalah terletak pada bagian di atas permukaan tanah, maka kita bisa coba pergunakan ketegori yang biasa digunakan petani dalam menyatakan ukuran pohon. Ukuran pohon biasanya dinyatakan kecil, sedang dan besar, apakah ini cukup memadai untuk mengestimasi cadangan C? Sebagai contoh, petani karet di daerah Jambi (Sumatra) dalam menyatakan banyaknya kayu bangunan (timber) biasanya menggunakan m3 seperti yang dilakukan di pasar. Namun demikian, petani menggunakan ukuran volume ini berhubungan dengan harga per volume kayu bangunan di pasaran. Jadi, pohon yang kayunya tidak mempunyai nilai komersial, maka pohon tersebut dianggap tidak mempunyai volume. Kesimpulan sederhana yang dapat ditarik adalah nilai suatu pohon ditentukan oleh nilai ekonominya yang setiap saat dapat berubah. Suatu pohon dapat dianggap tidak bernilai bila harganya murah sekali. Tetapi suatu saat nanti nilai pohon bisa menjadi tinggi bila permintaan pasar tinggi. Jadi, petani dapat mengestimasi besarnya cadangan karbon tetapi hanya pada pohon penghasil kayu bangunan untuk tujuan ekonomi, bukan untuk tujuan penyerapan konsentrasi CO2 di udara.

-- Abu sebagai pupuk: Pengaruh pembakaran terhadap ketersediaan haraKebanyakan hara yang ada dalam biomasa vegetasi hutan masih kembali ke dalam tanah melalui abu hasil pembakaran, kecuali nitrogen (N) dan sulfur (S) yang hampir semuanya menguap sebagai gas. Karbon dan N di atas permukaan tanah banyak yang hilang menguap selama pembakaran, tetapi kehilangan C dan N dalam tanah relatif kecil bila dibandingkan dengan kehilangan di atas permukaan tanah (Andriesse, 1989). Banyak hasil penelitian telah dilaporkan bahwa pH tanah setelah pembakaran meningkat dengan tajam karena bayaknya masukan kation basa. Banyaknya hara tersedia setelah pembakaran bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya.

30

Ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi efek pembakaran terhadap kesuburan tanah: (a) (a) Kandungan hara di dalam vegetasi dan seresah sebelum terbakar (b) (b) Tingkat kemanasan pada permukaan tanah. Faktor ini berpengaruh langsung terhadap kesuburan kimia tanah, terutama terhadap ketersediaan fosfor (P), kesuburan fisik dan populasi mikrobia tanah. Hasil pengukuran di Lampung menunjukkan bahwa pembakaran meningkatkan konsentrasi semua kation sehingga meningkatkan pH tanah secara nyata (Kolom 3). Besarnya peningkatan konsentrasi hara dalam tanah ini biasanya berkaitan dengan umur vegetasi hutan yang dibakar, semakin tua umur vegetasi biasanya semakin banyak pula hara yang dilepas. Oleh karena peningkatan hara di hutan sebagian besar tersimpan di dalam kayu dan bagian ini tidak mudah terbakar, maka tingkat perbaikan kesuburan tanah dengan bero jangka panjang biasanya relatif kecil. Selain itu tingkat pembakaran (atau tepatnya intensitas pembakaran yang tinggi) sangat menentukan besarnya hara yang masuk kembali ke dalam tanah.

---Pembakaran memperbaiki struktur tanahAdanya pembakaran dapat mengubah beberapa sifat fisik tanah. Ketterings (1999), melaporkan bahwa pada tingkat intensitas pembakaran yang tinggi beberapa karakteristik fisik tanah mengalami perubahan, antara lain berat isi (BI) tanah dibagian atas (0-5 cm) dari 0.83 0.03 kg dm-3 meningkat menjadi 0.90 0.03 kg dm-3. Tetapi pada intesitas pembakaran yang rendah tidak berpengaruh nyata terhadap BI tanah. Meningkatnya BI tanah setelah pembakaran, mungkin disebabkan banyak bahan organik tanah yang terbakar maka terjadi pengkerutan tanah sehingga tanah menjadi padat.

31

Kolom 2. Pengelolaan lahan dan cadangan C: Pemahaman konsep petani lokal

Macam pengelolaan lahan yang dilakukan oleh petani sangat menentukan besarnya cadangan karbon di kebunnya. Pengurangan jumlah pembakaran vegetasi pada suatu lahan akan sangat membantu usaha mempertahankan cadangan karbon terrestrial. Namun di lapangan, diperoleh informasi bahwa petani selalu melakukan pembakaran pada setiap pembukaan lahan. Bisakah usaha pembakaran ini dihilangkan sama sekali dari usaha pertanian? Berikut adalah contoh kasus dari daerah Jambi. Hasil perbincangan Tim peneliti ICRAF dengan petani karet di Rantau Pandan, Jambi tentang pengelolaan lahan yang dipraktekkan, diperoleh suatu pengalaman yang dapat dipakai sebagai contoh. Pertanyaannya adalah sebagai berikut: "Bagaimana cara Bapak menanam karet di kebun?" Petani mengatakan: "Tebas bakar semak belukar terlebih dahulu baru tanam karet". Tetapi belakangan, tim peneliti tersebut banyak mejumpai di lapangan bahwa petani juga menanam karet di dalam celah yang ada diantara pohon-pohon karet tua yang biasa disebut dengan "sisipan". Pada sistem sisipan ini petani tidak melakukan pembakaran dalam kegiatan pertaniannya. Bahkan petani juga merawat celah tersebut untuk memperoleh sinar matahari yang cukup bagi tanaman karet muda, dengan jalan memangkas cabang pohon di sekitarnya. Selanjutnya peneliti menyadari, bahwa sistem ini mempunyai potensi yang cukup besar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). ---Mengapa kita tidak memperoleh jawaban tersebut lebih awal? Nampaknya penggunaan istilah 'tanam' bagi petani artinya 'menanam bibit pada tanah kosong' yang berbeda dengan 'sisipan' yang artinya 'menanam bibit baru diantara tanaman tua'. Dari contoh pengalaman ini, pemahaman konsep dan pengetahuan petani lokal sangat dibutuhkan. Tetapi pertanyaan berikutnya muncul, faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk memilih teknik "sisipan" tersebut? Karena disisi lain kita pahami bahwa, sistem sisipan ini mempunyai beberapa kerugian antara lain: (a) pertumbuhan tanaman baru menjadi lebih lambat karena terlalu banyak naungan dari pohon karet tua di sekitarnya, (b) tidak mungkin menanam tanaman semusim misalnya padi atau ubi kayu. Walaupun dilain sisi ada juga keuntungannya yaitu jumlah tenaga kerja dan modal yang dibutuhkan rendah. Usaha pemahaman bagaimana sikap petani dalam menghadapi kedua hal yang berlawanan dan faktor apa saja yang mempengaruhi macam keputusan yang diambil ini sangat diperlukan karena keputusan yang diambil tentu saja akan bervariasi sekali dampaknya terhadap cadangan C.

32

Kolom 3. Pembakaran vegetasi meningkatkan konsentrasi kation tanah Salah satu alasan petani membakar vegetasi pada saat pembukaan lahan pertaniannya adalah untuk mendapatkan pupuk gratis lewat abu hasil pembakaran. Unsur hara apa saja yang masih ada dalam abu tersebut? Sebagai contoh pada tahun 1997, di daerah Lampung Utara terjadi musim kemarau cukup panjang sehingga terjadi kebakaran hutan dimana-mana. Hutan alami berumur sekitar 25 tahun terbakar. Segera setelah kebakaran abu yang tertinggal dipermukaan tanah diambil dan dipisahkan dari contoh tanah. Contoh tanah diambil pada kedalaman 0-3 cm dan 3-5 cm. Contoh abu dan tanah dianalisis konsentrasi haranya, hasil analisis tanah disajikan dalam Tabel 10. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa pH tanah meningkat minimal 1 unit, karena adanya akumulasi kation basa dapat dipertukar yang sangat besar. Tabel 10. Komposisi hara pada tanah di hutan sekunder sebelum dan sesudah pembakaran (van Noordwijk et al., 1998). Kedalaman cm pH H2O Corg % P-Olsen, K+ Ca2+ mg kg-1 cmole kg-1 Mg2+

KCl

0-5 5 - 10 0-3 3-5 5 - 10

Sebelum terbakar Setelah terbakar

6.2 5.6 8.1 8.3 7.2

4.7 4.6 7.5 7.2 6.0

2.44 2.12 7.15 4.28 1.94

5.0 2.051.4 25.6 6.70 384

0.20 0.20 5.37 2.02 0.29 176

1.44 1.85 25.5 14.8 3.12 23.6

0.62 0.52 4.47 3.46 0.63 17.6

Abu pada permukaan tanah

Pada tanah masam peningkatan pH tanah ini sangat menguntungkan karena akan mengurangi tingkat keracunan Al, namun Ketterings (1999) menyatakan bahwa penurunan tingkat keracunan Al lebih dipengaruhi oleh pemanasan dari pada oleh peningkatan pH. Penurunan kandungan C hanya terjadi pada kedalaman 5-15 cm. Kandungan kation dapat dipertukar dan juga P tersedia meningkat sangat nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa tebas dan bakar adalah teknik yang efektif untuk meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman yang ditanam pada musim berikutnya, namun mengapa tebas dan bakar ini ramai diperdebatkan akhir-akhir ini?

33

Pertanyaan (c) Apakah semua biomasa tanaman habis terbakar selama pembukaan lahan? Berapa banyaknya yang tertinggal dan berapa yang hilang terbakar? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya biomasa yang tertinggal? (d)

3.2. Teknik pembukaan lahan dan penurunan cadangan karbonSetelah tebas dan bakar, tidak selalu semua bahan tanaman yang ada di atas tanah habis terbakar (lihat contoh kasus di dalam kolom 4). Hal ini tergantung kepada: a) Kelembaban. Pagi hari biasanya lebih lembab dari pada malam hari, oleh karena itu pembakaran biasanya dilakukan pada siang hari. b) Posisi dalam lereng, biasanya api lebih mudah menjalar ke atas lereng dari pada ke bawah c) Angin. Angin kencang dapat menjadi 'kipas' karena membawa oksigen lebih banyak sehingga memicu kobaran api besar dan suhu menjadi lebih panas.

34

Kolom 4. Efek tebas dan bakar hutan sekunder terhadap cadangan karbon (Prayogo et al., 2000)

Untuk penyediaan lahan pertanian, petani di daerah Jambi melakukan tebas bakar hutan sekunder, tetapi ada juga petani yang tidak melakukan pembakaran. Pengukuran cadangan karbon (C) dilakukan pada ke dua kondisi tersebut di atas untuk mengetahui seberapa besar cadangan C yang hilang selama pembakaran, dan seberapa besar cadangan C yang dapat diselamatkan seandainya pembukaan lahan dilakukan tanpa pembakaran. Ternyata dengan adanya pembakaran, sekitar 66 % dari total cadangan C yang ada hilang terbakar. Tetapi bila tidak ada pembakaran, maka kehilangan cadangan C hanya sekitar 22 % saja (Gambar 10) karena sebagian besar biomasa tanaman (tunggul, batang pohon) tetap tinggal di atas permukaan tanah dan beberapa pohon yang bermanfaat tetap dipelihara. Sedang untuk kondisi tanahnya, tidak mengalami terlalu banyak perubahan pada ke dua teknik yang diuji.

3.3 Bahan organik tanah: kehilangan dan penambahannya dalam tanah dan siapa yang membutuhkannya?

Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan penurunan cadangan karbon tanah. Hal ini terutama disebabkan oleh adanya beberapa aktivitas pada lahan pertanian antara lain melalui pengangkutan panen, pembakaran sisa panen, pengolahan tanah, pengairan dan penyiangan gulma. Kegiatan tersebut akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik tanah sehingga kandungan bahan organik tanah (BOT) pada

35

lahan pertanian umumnya menurun dengan cepat sekitar 20 - 50 % dari kondisi di hutan. Penurunan kandungan bahan organik tanah (BOT) ini menyebabkan terjadinya degradasi kesuburan tanah (Hairiah et al., 2000). Umumnya karbon memasuki rantai ekosistem lewat daun selama proses fotosisntesis, dan selanjutnya diakumulasikan dalam biomasa tanaman. Namun demikian sekitar separuh karbon yang diasimilasi (diserap) oleh tanaman diangkut ke bagian bawah tanah antara lain melalui akar yang tumbuh dan yang mati, melalui oksidasi substansi organik perakaran, dan melului pembenaman seresah yang ada diatas permukaan tanah ke dalam tanah baik secara biologi maupun mekanik (Gambar 11). Akumulasi netto dari BOT akan terjadi melalui kegiatan pengembalian sisa panen, membiarkan seresah (daun, cabang, ranting dan akar) kembali ke dalam tanah. Akar tanaman memberikan kontribusi cukup besar terhadap peningkatan BOT karena letaknya yang menyebar dalam profil tanah dan adanya hubungan yang sangat erat dengan partikel tanah. Keeratan hubungan antara akar dan partikel tanah ini sangat menentukan jumlah air dan hara yang diangkut ke bagian atas tanaman, yang selanjutnya akan mempengaruhi besarnya masukan seresah yang kembali ke dalam tanah, demikian seterusnya akan kembali diserang oleh organisma tanah dan masuk ke dalam pool BOT. Jadi, BOT tersusun dari bahan organik setengah lapuk, mikroorganisma dan asam humik yang tahan lapuk.

Gambar 11. Siklus karbon pada lahan (plot) petani

--Pentingnya bahan organik tanah bagi petaniPada sistem pertanian masukan rendah, BOT merupakan kunci utama dari keberlanjutan dari produktivitas tanaman. Pada skala global tidak kalah pula pentingnya, cadangan karbon dalam tanah mempunyai kontribusi besar terhadap neraca karbon. Guna mempertahankan keberlanjutan sistem produksi tanaman di daerah tropika basah, BOT perlu dikelola karena mempunyai banyak fungsi penting yang secara skematis ditunjukkan dalam Gambar 12. Produksi deposisi bahan organik memberikan substrat bagi proses mikrobiologi tanah

36

dan akumulasi BOT. Proses penting yang terlibat adalah yang berhubungan dengan fungsi BOT yang berpengaruh langsung terhadap faktor penghambat pertumbuhan lain seperti kemasaman, keracunan, erosi tanah dan ketersedian air dan hara.Fungsi BOT:Supply hara

TeknologiPemupukan

Alternatif :

Buffer hara Buffer air Struktur tanah Lain 2x, Hama dllBudidaya tanam : Tebang +bakar Ladang berpindah

Pemupukan bertahap Pengapuran Irigasi Pengolahan tanah Media artificial Fumigasi dsb

intensifikasi

Hidroponik hortikultura

Gambar 12. Hubungan skematis antara fungsi bahan organik tanah dengan berbagai sistem pertanian dan tekhnologi alternatif (Van Noordwijk et al., 1997).

Pada sistem pertanian yang canggih (masukan tinggi) misalnya sistem hidroponik, beberapa fungsi BOT seperti penyangga hara (buffer), penahan air, perbaikan struktur tanah dan pengendali hama dan penyakit, masingmasing dapat dimanipulasi dengan teknologi pemupukan, irigasi, pemanfaatan soil conditioner dan penyemprotan insektisida. Namun di daerah tropika basah, sistem ini masih belum terjangkau untuk petani kecil dan BOT masih tetap menjadi prioritas utama. Adanya kegiatan pertanian misalnya pengolahan tanah, pengairan, pengapuran memberikan banyak pengaruh yang menguntungkan terhadap peningkatan produksi tanaman karena adanya peningkatan kecepatan dekomposisi dan mineralisasi BOT oleh organisma tanah. Kenyataan ini bertentangan dengan tujuan lain dimana BOT perlu dipertahankan sebagai cadangan karbon dalam tanah. Bila tidak ada usaha untuk penggantian BOT yang telah hilang, dimungkinkan peladang akan membuka lahan pertanian baru dan meninggalkan lahan yang telah terdegradasi. Pada kebanyakan lahan terdegradasi di Asia, akan tertutup oleh alang-alang (Imperata cylindrica). Alang-alang tersebut paling tidak dapat memperlambat kerusakan lahan lebih lanjut.

37

4. PENGUKURAN CADANGAN KARBONPada bab 2 telah ditunjukkan data besarnya cadangan karbon pada berbagai sistem penggunaan lahan pada skala global. Untuk memperoleh gambaran cadangan karbon pada skala global, diperlukan pengukuran pada skala plot. Data cadangan karbon pada skala plot tersebut berguna untuk: (a) Mengetahui cadangan karbon secara kuantitatif yang ada saat ini, baik di atas maupun di dalam tanah, yang dapat mewakili salah satu sistem penutupan lahan sebagai bagian dari suatu sistem penggunaan lahan. (b) Mengekstrapolasi cadangan karbon rata-rata per siklus tanam (timeaveraged C stock) dari setiap sistem penggunaan lahan (lihat bab 1). (c) Data cadangan karbon dapat dipakai sebagai masukan model simulasi (seperti CENTURY) untuk mempelajari dinamika karbon tanah dalam hubungannya dengan alih guna lahan dan dampak selanjutnya terhadap perubahan iklim global (Bab 1). Selanjutnya hasil ekstrapolasi cadangan karbon skala plot ke tingkat global ini dapat dihubungkan dengan hasil pengukuran keanekaragaman hayati dan perhitungan ekonomis (profitablity assessment). Dengan demikian dapat diperhitungkan 'trade off' ' (untung ruginya) diantara beberapa keuntungan lingkungan global lainnya dan keuntungan pribadi dari masing-masing petani (Lihat Bahan ajaran Agroforestri 9, ICRAF 2003). Pada prinsipnya ada 2 metoda yang dapat dipakai untuk menghitung kehilangan dan akumulasi karbon pada suatu lahan: (a) Mengukur flux karbon dan (b) Mengukur cadangan karbon yang ada di lahan. Pengukuran flux karbon cukup rumit karena konsentrasi CO2 di udara selalu berubah setiap saat. Pertukaran CO2 antara vegetasi dan atmosfer secara langsung terjadi melalui 2 proses, sebagai gas yang diserap dan dilepaskan oleh vegetasi. Ini berarti flux- nya sulit untuk dipisahkan dan diukur. Methoda utama yang digunakan adalah berdasarkan pada teknik 'korelasi eddy'. Aliran udara umumnya turbulen dan 'eddy' yang terdiri dari udara yang bergerak ke atas dan ke bawah. Pengukuran CO2 diudara dapat dilakukan dengan menggunakan sensor pada skala waktu detik yang dapat memisahkan pergerakan udara ke atas dan ke bawah, maka flux netto dapat dihitung sepanjang siang dan malam hari. Namun demikian, pengintegrasian hasil pengukuran ini ke dalam neraca C tahunan tidak begitu penting pengaruhnya.

Pengukuran cadangan karbon? Apa saja yang harus diukur?

Seperti telah dibicarakan di bab 1, Gambar 2 bahwa cadangan karbon global dapat dibagi menjadi beberapa pool, yaitu: lautan, daratan, atmosfer dan berbagai pool karbon lainnya. Beberapa komponen cadangan karbon dalam ekosistem daratan dapat dilihat di Tabel 7

38

Definisiekosistem (daratan) yang meliputi komponen biomasa dan nekromasa, baik di atas permukaan tanah dan di dalam tanah (Bahan organik tanah, akar tanaman dan mikroorganisma) per satuan luasan lahan. Satuannya adalah Mg ha-1 (mega gram per ha = ton per ha). Biomasa yaitu masa (kg ha-1) bagian vegetasi yang masih hidup yang meliputi masa dari tajuk pohon, tanaman semusim dan tumbuhan bawah atau gulma. Nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak,atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang belum terdekomposisi atau terdekomposisi sebagian. Bahan Organik tanah (BOT) adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah terdekomposisi sebagian atau keseluruhan dan telah menyatu dengan tanah. Dalam praktek biasanya BOT dipisahkan dari bahan organik (BO) berdasarkan ukurannya, BOT memiliki ukuran < 2 mm sedang BO berukuran > 2 mm.

Cadangan karbon (C-stock) adalah jumlah karbon yang disimpan di terrestrial

Pool cadangan karbon di atas permukaan tanah, terdiri dari pool bagian hidup tanaman (biomasa): batang, cabang, daun dari pohon, tanaman menjalar termasuk juga dari tumbuhan epiphite dan tumbuhan bawah. Untuk tanaman pertanian termasuk di dalamnya adalah tanaman utama yang ditanam dan gulma. Selain itu, termasuk juga pool bagian tanaman yang telah mati (nekromasa) termasuk batang pohon yang tumbang dan tergeletak di atas permukaan tanah; batang pohon mati tetapi masih tegak tinggal di atas permukaan tanah; daun, cabang, ranting, bunga dan buah yang gugur; termasuk juga arang sisa pembakaran. Pool cadangan karbon di bawah permukaan tanah, yang meliputi akar tanaman baik yang masih hidup maupun sudah mati, organisma tanah. Selain itu, masih ada pula pool karbon -organik yang meliputi berbagai bentuk asam humus, arang, C terjerap dalam lapisan humus-besi (iron-humus pans) dan di dalam konkrei. Pool karbon lain yang jangan dilupakan adalah produksi hutan (kayu bangunan, kayu bahan pulp, getah, buah-buahan), produksi pertanian (bahan pangan, serat, pakan, bahan bakar) yang diangkut ke luar lahan.

39

Tabel 7. Beberapa komponen penyusun pool C daratan (Ciais et al., 2000)pool C Masukan C Lokasi Asimilasi Tanaman ATAS TANAH OrganiK HIDUP Biomasa Pohon & tanaman berkayu lainnya MATI Nekromasa Pohon Bagian mati berkayu tetapi kasar di masih atas tegak permukaan tanah AnorganiK Humus Produk hutan Produk tanaman CO2 dari dekomposisi CO2, CO, CH4 dari pembakaran & gangguan lainnya CO2, CH4 dari dekomposisi Horizon OA pada tanah gambut, BOT pada horison tanah mineral Arang Fauna tanah DALAM TANAH Mikrobia C dalam konkresi Anorganic C tanah (ACT) Substansi (Ca2CO3, etc.) BO Partikel & BO terlarut Bikarbonat dalam air C Keluar

Daun, buah, batang, cabang & ranting

Lantai htan

Tumbuhan bawah Binatang Seresah

BO kasar BO halus (daun + tangkainya) Halus Kasar

Kompos, kotoran TANAH Subsoil +Top soil

Akar hidup

Halus Kasar

Akar mati

Hujan & masukan anorganik lainnya

40

4.1. Karbon di atas permukaan tanah Estimasi biomasa pohon dan persamaan alometrikProporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya terdapat di komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang dan tinggi pohon. Persamaan alometrik untuk estimasi biomasa pohon di hutan tropika alam dengan berbagai kondisi iklim dan berbagai jenis hutan telah lama dikembangkan (Brown, 1997), namun untuk pohon-pohon spesifik yang umum dijumpai dalam sistem agroforestri masih belum banyak tersedia. Untuk itu masih diperlukan pengembangan persamaan alometrik baru dengan jalan mengukur diameter batang dan menebang pohon dan menimbangnya. Pengembangan persamaan ini memang membutuhkan tenaga dan beaya yang tinggi, namun bila persamaan telah diperoleh maka persamaan dapat dipakai untuk mengestimasi biomasa jenis pohon yang sama. Sayangnya, masih ada ketidak pastian bahwa persamaan alometrik untuk pohon hutan yang telah dikembangkan oleh Brown (1997) tidak dapat dipergunakan di lokasi baru, karena estimasi biomasa yang diperoleh dua kali lebih tinggi dari berat sesungguhnya (Ketterings et al., 2001). Pengembangan banyak persamaan alometrik yang baru tidak akan menyelesaikan masalah ketidak-pastian dalam mengestimasi biomasa pohon, kecuali bila tingkat pemahaman kita akan latar belakang persamaan alometrik dan hubungannya dengan bentuk percabangan pohon lebih ditingkatkan. Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah hutan merupakan pool karbon penting yang harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat. Estimasi biomasa pohon tumbang, dapat dilakukan dengan mengukur volume batang. Batang pohon yang berupa cylinder, diukur diameter batang dan panjangnya. Untuk memperoleh berat masa kayu, maka volume kayu harus dikoreksi dengan berat jenis kayu. Untuk itu contoh kayu perlu diambil dan ditetapkan berat jenisnya karena banyak kayu pohon mati telah mengalami pelapukan sehingga BJ nya telah berkurang. Bila masih belum terlapuk informasi BJ kayu pohon ini dapat dicari di daftar berat jenis kayu di http://www.worldagroforestrycentre.org , asalkan diketahui namanya (nama lokal atau nama ilmiah). Prosedur pengukuran cadangan karbon di lapangan dapat dilihat pada Bahan Ajaran ASB-ICRAF, 4 B.

4.2 Karbon di bawah permukaan tanah Biomasa akarAkar adalah salah satu pool karbon yang juga penting dalam siklus karbon, karena akar dapat mentransfer karbon dalam jumlah besar langsung ke dalam tanah yang mungkin keberadaannya dalam tanah sudah cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih terkonsentrasi pada akar-akar besar (diameter >2

41

mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih terpusat pada akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya (life cycle). Sama halnya dengan estimasi biomasa di bagian atas permukaan tanah yang didasarkan pada diameter batang, di bagian bawah ini juga dapat diestimasi dengan mengukur diameter akar proksimal (akar utama yang langsung berhubungan dengan batang pokok pohon). Dasar teori hubungan ini dapat dijumpai dalam teori "Fractal branching properties of root sistems" (van Noordwijk dan Purnomosidhi, 1995). Prosedur pengukuran cadangan karbon di lapangan dapat dilihat pada Bahan Ajaran ASB, 4 B.

Bahan Organik Tanah (BOT)Kandungan BOT merupakan hasil dekomposisi dari bahan organik yang kecepatan dekomposisinya dipengaruhi oleh karakteristik tanah aslinya (inherent properties), vegetasi dan lokasi atau tempat. Kapasitas penyimpanan karbon dalam tanah bervariasi tergantung kepada: (a) Tekstur tanah. Kandungan liat dan lempung yang tinggi memperlambat terjadinya dekomposisi bahan organik dan BOT, karena secara fisik liat menghalangi akses mikrobiota. Hal ini dikarenakan letak BOT di dalam pori yang sangat kecil, seperti terperangkap dalam agregat tanah dan akan tinggal ber-ratus ratus tahun lamanya. (b) Letak bentang lahan (landscape position) dan tingkat drainasi. Tanah gambut, tergenang akan meperlambat terjadinya dekomposisi. (c) Mineralogi (tanah volkanik muda berpotensi tinggi sebagai cadangan karbon) (d) Gangguan tanah secara fisik (pengolahan tanah meningkatkan dekomposisi) Mengingat bervariasinya kondisi karbon tanah dan lambatnya respon tanah terhadap alih guna lahan (sekitar 10 tahun), menyebabkan kita sulit untuk mengevaluasi dampak alih guna lahan terhadap cadangan karbon tanah yang hanya didasarkan pada data hasil survey satu kali saja. Metoda penjajagan (inventory) cadangan karbon tanah yang berkembang pada tingkat nasional saat ini adalah berdasarkan pada estimasi cadangan karbon pada kondisi alami dan perubahan relatif yang disebabkan oleh kegiatan pertanian. Termasuk di dalamnya adalah kegiatan pengolahan tanah, pengairan dan penurunan masukan organik relatif terhadap kondisi vegetasi alami. Contoh perhitungan karbon tanah pada kondisi vegetasi alami (cadangan karbon potensial) dapat diperoleh di kolom 5. Estimasi cadangan karbon potensial dapat dikembangkan dengan menggunakan banyak data karbon tanah dari hasil survey tanah yang umumnya tersedia di banyak negara tropis sebagai data masukan dan/atau menggunakan simulasi model yang telah tervalidasi. Sebagai contoh, pengaruh kandungan liat terhadap kandungan referensi karbon tanah 42

hutan di Sumatra yang sejalan dengan hasil peramalan model simulasi CENTURY (van Noordwijk et al., 2000). Banyak data referensi karbon yang tersedia di daerah tropika yang belum pernah dianalisa potensinya, data tersebut mungkin dapat dimanfaatkan untuk menggambarkan kondisi karbon tanah pada lokasi yang spesifik. Perbedaan antara kondisi karbon saat ini dengan cadangan karbon potensial selanjutnya oleh Van Noordwijk et al. (1997, 1998; kolom 6) disebut dengan "defisit kejenuhan C" (C saturation deficit).

Kolom 5. Estimasi besarnya referensi C tanah sebagai cadangan C potensial Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian, menyebabkan turunnya kandungan BOT. Pengukuran BOT ini biasanyanya ditunjukkan dengan kandungan total C dalam tanah. Tetapi hasil pengukuran kandungan total C yang diperoleh biasanya sangat bervariasi antar titik pengambilan contoh, sehingga sulit untuk diinterpertasi. Tingginya variasi kandungan C tanah, ini dipengaruhi oleh kandungan liat dan debu tanah, pH tanah dan ketinggian tempat. Untuk itu kandungan BOT yang optimal harus dikoreksi dengan kandungan liat dan pH tanahnya, yang selanjutnya disebut sebagai Cref. Perhitungan sederhana telah dikembangkan oleh Van Noordwijk et al. (1997) yang menggunakan banyak data tanah hasil survey di Sumtra adalah sebagai berikut: Cref = (Zcontoh/ 7.5)- 0.42 exp(1.333 + 0.00994* %liat + 0.00699* %debu 0.156*pHKCl + 0.000427 * ketinggian tempat) + 0.834 (bila tanah Andisol) + 0.363 (utk hutan rawa atau tanah gambut atau tanah basah) di mana : Zcontoh = kedalaman pengambilan contoh tanah, cm Ketinggian tempat = letak tempat di atas permukaan laut, m Informasi ketinggian tempat ini dipergunakan untuk mengkoreksi perubahan suhu karena adanya perbedaan ketinggian tempat.

Catatan

Persamaan ini hanya berlaku untuk tanah mineral. Untuk tanah volkanik muda dan tanah-tanah basah maka harus dikembangkan persamaan baru.

Pengaruh alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian terhadap penurunan cadangan karbon dalam tanah relatif lebih kecil dari pada bagian di atas permukaan tanah. Perubahan cadangan karbon (baik positif maupun negatif) dalam tanah adalah berkaitan dengan pengelolaan tanah, umumnya penurunan cadangan karbon dalam tanah kurang dari 20 Mg C ha-1. Jumlah penurunan ini lebih rendah dari penurunan cadangan karbon di atas permukaan tanah, terutama bila hutan dialihkan menjadi sistem penggunaan lahan berbasis pohon.

43

Namun demikian, perhitungan ini mungkin akan berubah bila informasi cadangan karbon di lapisan bawah tanah telah diperoleh. Berubahnya kondisi cadangan karbon di bagian atas akan mempengaruhi cadangan karbon dalam tanah, maka informasi besarnya cadangan karbon dalam tanah juga diperlukan dalam penetapan cadangan karbon.

Kolom 6. Defisit kejenuhan karbon (C-saturation deficit) Untuk semua jenis tanah, kandungan BOT selanjutnya dapat dihitung 'defisit kejenuhan C' nya (Carbon saturation deficit) berdasarkan pada besarnya perbedaan antara kandungan total BOT (Ctotal atau Corg) pada kondisi sekarang dengan kandungan BOT hutan yang telah dikoreksi (Cref). Hutan yang dipilih sebagai referensi harus mempunyai jenis tanah yang sama tetapi mempunyai masukan bahan organik terus menerus CsatDeficit = (Cref - Corg) / Cref = 1 - Corg / Cref Dimana, Corg/Cref = Kandungan total C organik relatif terhadap tanah hutan yang mempunyai tekstur dan pH yang sama Cref = kandungan C organik tanah hutan yang dipakai sebagai referensi

Distribusi C di dalam profil tanahMeningkatnya kedalaman tanah diikuti oleh semakin berkurangnya kandungan karbon, karena masukan bahan organik dari luar tanah banyak terkumpul di permukaan tanah. Bahan organik yang ada di permukaan tanah sebagian besar mengalami dekomposisi dan mineralisasi, sehingga banyak hara tersedia di permukaan tanah. Tingginya ketersediaan hara di permukaan tanah menyebabkan banyak akar tanaman (terutama akar halus) tumbuh di lapisan atas, dengan demikian sebaran karbon menjadi jauh lebih banyak di lapisan atas. Namun demikian, penurunan cadangan karbon di lapisan bawah berjalan lebih lambat dari pada di lapisan atas karena berkurangnya aktivitas organisma tanah di lapisan bawah. Selain itu, cadangan karbon di lapisan bawah lebih terlindungi dari gangguan fisik (misalnya pengolahan tanah). Dengan demikian setelah alih guna lahan penurunan kandungan karbon tanah berjalan sangat lambat. Jadi bila ditinjau dari cadangan karbon potensial, maka cadangan karbon lapisan bawah ini jauh lebih besar dari pada pada lapisan tanah paling atas, bahkan mungkin besarnya sama. Namun karena besarnya variabilitas kandungan karbon dalam tanah sebagai akibat bervariasinya sebaran perakaran, dan kondisi lingkungan dalam tanah, maka pengukuran dampak alih guna lahan terhadap cadangan

44

karbon di lapisan tanah bawah sulit dilakukan. Pengukuran tersebut hanya mungkin dilakukan pada percobaan terkontrol yang telah dipersiapkan dengan seksama dan dilakukan dalam jangka panjang. Untuk kondisi di Indonesia, penghitungan distribusi karbon di dalam profil tanah pernah dilakukan terhadap beberapa contoh tanah dari seluruh propinsi Jambi. Contoh tanah diambil oleh tim survey tanah PUSLITTANAK Bogor pada tahun 1983 dan 1993 (Gambar 13). Dari hasil survey diketahui ada 14 jenis tanah dari 10 jenis sistem tutupan lahan, pada 14 lokasi dari 4 wilayah (regency). Tanah gambut pada daerah rawa, tanah hutan alami dan tanah bekas hutan alami memiliki kandungan karbon sekitar 40 % atau lebih, tetapi pada umumnya tanah lapisan atas mengandung karbon < 7 %.

Gambar 13. Hubungan antara kandungan total C tanah (Corg ) dengan kedalaman tanah pada tanah mineral keri