ali topan anak jalanan

244
1 ALI TOPAN ANAK JALANAN TEGUH ESHA

Upload: tangan-baja

Post on 25-Jul-2015

202 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

ALITOPANANAKJALANAN

TEGUH ESHA

2

3

ALI TALI TALI TALI TALI TOPOPOPOPOPANANANANANanakanakanakanakanak

JALJALJALJALJALANANANANANANANANANAN

PENERBIT

PT VISI GAGAS KOMUNIKAJAKARTA, 2000

TEGUH ESHATEGUH ESHATEGUH ESHATEGUH ESHATEGUH ESHA

4

ALI TOPANANAK JALANAN

Novel karya

TEGUH ESHA

Revisi dari novel yang diterbitkan oleh Cypresspada tahun 1977, berjudul:

ALI TOPAN ANAK JALANAN:

KESANDUNG CINTA

Desain Sampul:MERDEKA ADRAI

Ilustrasi:JAN MINTARAGA

Diterbitkan oleh:PT. VISI GAGAS KOMUNIKA (VISION 03)

Jalan Jati Agung No. 3 Jati PadangPasar Minggu, Jakarta 12540

Telp. (021) 78831022 � Fax. (021) 7815236

Desain Grafis:SYAIFUL AZRAM

Cetakan PertamaSeptember 2000

Percetakan:SMK GRAFIKA MARDI YUANA

BOGOR

5

Untuk anak-anak muda Indonesiayang tak mendapatkan cinta,kasih dan sayangserta teladan kebaikandari orangtuadan guru-guru mereka.

Teguh Esha

6

Sanksi Pelanggaran Pasal 44UU No. 7 Tahun 1987 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1982TentangHak Cipta:

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan ataumemperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidanadenganpidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau didenda

paling banyak Rp 100.000.000 (Seratus Juta Rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, ataumenjual kepada umum, suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran

Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana denganpidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp 50.000.000 (Lima Puluh Juta Rupiah).

Hak Cipta© TEGUH ESHA

7

SATU

Pagi hari, Senin pertama bulan Juli 1977.Langit biru muda memayungi Kebayoran Baru,Jakarta Selatan. Matahari mencorong di Timur. Ali

Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert menaiki motormasing-masing, ngebut di jalanan seputar Blok M,

Blok M adalah suatu blok perumahan dan pertokoanseluas kurang-lebih tiga kilometer persegi. Sebelah utara-nya dibatasi lapangan Markas Besar AngkatanKepolisian atau Mabak, sebelah timur dibatasi JalanIskandarsyah Raya, sebelah selatan dibatasi JalanMelawai Raya, dan sebelah baratnya dibatasi Jalan SiSingamangaraja. Kebayoran Baru terdiri dari beberapablok, dari A sampai S. Penduduknya umumnya pekerjadan pedagang kelas menengah dari luar Jakarta, yangberjumlah sekitar 400.000 orang.

Empat sekawan itu adalah murid-murid kelas III Pal -Pengatahuan Alam - satu SMA Bulungan I “Bulungan”yang terletak di ujung timur Jalan Mahakam, Blok CKebayoran Baru, yang berbatasan dengan Jalan SiSingamangaraja. Mereka tertawa gembira, berdansa dijalanan, itu istilah untuk sport jantung menyelip-nyelip-kan motor di sela-sela kendaraan yang melalu-lintas. Wa-jah-wajah tampan yang cerah, rambut-rambut yanggondrong melambai kena angin, dan bercanda sepanjangjalan merupakan merupakan manifestasi sikap bebasaktif anak-anak muda itu. Oleh kaum tua yang sedikitpikun, mereka dinamakan berandalan atau krosboi, tapimereka tak peduli.

8

Mereka ada di jalan Panglima Polim Raya. Lampuperempatan Jalan Pangporay —Panglima Polim Raya—dan Jalan Melawai Raya menyala kuning. Kemudianmerah. Kendaraan umum berhenti. Tapi Ali Topan dankawan-kawannya langsung saja tancap gas membelokke arah kiri, memotong kendaraan yang bergerak dariarah Blok M, langsung melaju ke Jalan Bulungan.

“He, bajingan!” seorang pengendara Toyota Corollatahun 1973 warna kuning memaki Ali Topan yang hampirditubruknya. Tapi Ali Topan tak menggubris cacian itu.Demikian pula kawan-kawannya. Mereka terlalu seringmendengar caci maki orang, jadi sudah kebal.

Ali Topan Cs tetap ngebut, membelok ke kanan di per-empatan Jalan Bulungan—Jalan Mahakam, dan terusmenggeblas lewat SMA Bulungan I yang tegak di ujungJalan Mahakam. Beberapa teman yang ada di depansekolah melambaikan tangan. Ali Topan Cs tak sempatmembalas mereka.

Nama SMA Bulungan I yang terletak di Jalan Maha-kam itu berasal dari riwayat dua SMA di Jalan Bulungan—yaitu SMA Bulungan Pagi dan SMA Bulungan Sore—yang dipisah menjadi dua karena dilokasi itu dibangunGelanggang Remaja Jakarta Selatan oleh PemerintahDaerah Khusus Istimewa Jakarta, atas inisiatif GubernurAli Sadikin yang beken dipanggil Bang Ali. SMABulungan Pagi menjadi SMA Bulungan I di jalanMahakam, sedangkan SMA Bulungan Sore menjadiSMA Bulungan II di Jalan Bulungan.

Gelanggang Bulungan—nama pop GRJS—diapit olehdua SMA bersaudara itu.

Pada hari peresmiannya, seorang murid lelaki yangpatah hati dengn guru perempuan menggambari dindingsekolah itu dengan lambang hati dan anak panah yang

9

patah dan angka Bulungan pakai cat merah darah. Sejaksaat itu nama sekolah itu beken dengan sebutan SMA“Patah Ati” atau SMA Bulungan di kalangan remajaKebayoran.

Pada formasi dua-dua mereka mengebut terus, memo-tong jalan raya, lurus menuju kawasan pertokoan BlokM. Sopir biskota, helicak, tuan-tuan di mobil mewahmaupun rakyat kelas menengah di atas sadel motor ma-sing-masing memaki kalang kabut, nyaris serempak,ketika para remaja itu seenak hati memotong jalanmereka.

Hei! Anjiiiing!” seorang muda yang menyetirMercedes memaki Ali Topan Cs.

“Sama, njiiiing!” Ali Topan balas memaki. Ia tampakpaling tampan, paling gagah dan paling brandal di antarakawanan anak-anak muda bersepeda motor trail itu.

Orang muda di belakang setir Mercedes itumengacungkan tinju ke arah punggung Ali Topan Cs.Muka sopir itu lancip kayak muka tikus. Ali Topan danGevaert kebetulan melihatnya dari kaca spion. Tanpakode etik lagi, kedua remaja itu me-rem motor mereka,dan mengepoti Mercedes itu. Tak sampai kesenggolmoncong Mercedes, Ali Topan dan Gevaert menancapgas, langsung menggeblas ke depan sambil tertawa kerassekali.

“Kurang ajaaar!” sopir Mercedes itu memaki. Wajah-nya merah padam. Wanita menor berusia 45 tahun yangduduk di belakang menekan dadanya. Kaget. Seoranggadis remaja berwajah lonjong yang duduk di sampingsopir Mercy itu menggigit bibir sedikit. Rambut panjang-nya yag hitam lebat diberi pita merah muda, menjadikan-nya terlihat manis. Ia merasa geli mendengar makian“anjiiing” dan “kurang ajar” yang terlontar dari mulut

10

tukang setir Mercy-nya.“Sudah. Jangan digubris, Boy,” si nyonya yang duduk

di belakang berseru. Suaranya rada serak, seperti suaraorang sakit TBC. Ia mengusap tas kulit hitam berukirannama: Ny. Surya. Wajahnya yang tirus dipoles bedak dangincu kemerahan tampak masam.

Sopir mobil yang dipanggil Boy patuh. Matanya meli-rik ke arah gadis di sebelahnya. ”Anak-anak sekarang iniberandalan semua,” gerutunya.

Nyonya Surya yang duduk di belakang bersuara lagi,“Jammu menunjukkan jam berapa, Anna?”

Gadis remaja yang manis itu melihat jam tangannya,lalu menjawab tanpa menoleh ke belakang, “Jam tujuhkurang sedikit, Mama....”

“Kurang sedikit itu berapa?” tanya Nyonya Surya.Sepasang mata Anna, putri nyonya Surya, melihat seki-

las arloji emas di pergelangan tangan kirinya. “Jam tujuhkurang tiga menit dan beberapa detik, mama,” katanya.

“Toko buku di Blok M buka jam berapa?” tanya sinyonya lagi.

“Biasanya sih jam tujuh persis, Mama,” jawab Anna.“Kalau tak biasa jam berapa?” Boy bertanya, iseng.Anna tak menjawab. Wajahnya cemberut. Sepasang

matanya yang lebar dan cemerlang seperti pagi menataplurus ke jalanan di depan. Samar-samar di kejauhan dili-hatnya anak-anak bermotor tadi membelok ke arah PasarMelawai, Blok M. Anna mengusap alisnya yang lebatdan indah.

Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert masuk ke hala-man Pasar Melawai yang menjadi pusat Blok M. Merekaberhenti dan mematikan mesin motor tepat di dekat tang-ga utama pusat pertokoan itu. Lalu naik satu per satu,menghitung anak-anak tangga. Mereka berdiri

11

seenaknya di tangga itu, memandang terminal biskotaBlok M di seberang jalan.

Para pekerja kantoran yang lewat di halaman beraspaldi dekat tangga menengok ke arah empat remaja bersera-gam putih-putih itu dengan pandangan sebal. Apalagiketika Ali Topan, sosok yang paling jantan dan tampanyang rambut gondrongnya melambai-lambai tertiupangin itu, menyeringai ke arah mereka.

Ali Topan memang keren. Tingginya 172 cm, dan agakkurus. Kulitnya sawo matang tua. Wajahnya lonjong de-ngan rahang kokoh dan tulang pip yang tak terlampaumenonjol. Hidungnya agak besar dan mancung. Dan,matanya, oh matanya! Sepasang mata itu lebar, besar,karakter istik, dengan bagian hitamnya yangmengesankan kebaikan hati, kecerdasan, kejujuran dankeberanian. Alis mata tebal seperti golok melengkungmenjadikan profil wajah itu wajah dengan sentuhan Jawayang sangat artistik!

Tiga kawannya cukup keren, tapi tak berkarakter dantak berkharisma seperti Ali Topan. Dudung yang berdirisatu level di bawah Ali Topan adalah anak kelahiran Ku-ningan, Jawa Barat, berwajah tirus dengan kulit berwarnalangsat dan sepasang mata agak sipit. Kepalanya agakbesar dan rambutnya ikal keriting.

Bobby dan Gevaert berdiri berdampingan satu level dibawah Dudung. Bobby berwajah agak bundar,rambutnya lurus, namun tak begitu lebat. Pupil matanyakecil, suka melirik ke kiri dan ke kanan. Sedang Gevaertberdarah campuran, ayah Padang dan ibu Jerman. Makasosoknya sosok indo: badan besar, rambut ikalkemerahan, tapi matanya hitam dan kulitnya putihkecoklatan. Hobinya fotografi.

“Berdiri terus bisa jadi tontonan gratis kita,” kata Ali

12

Topan. Ia duduk di anak tangga diikuti oleh Dudung danGevaert. Bobby tetap berdiri. Ia memang selalu inginberusaha menonjol dari Ali Topan, Dudung dan Gevaertkarena merasa dirinya anak paling kaya diantara mereka.Tetapi selalu gagal, karena urusan kepemimpinan me-nyangkut kharisma, kewibawaan, dan keunggulan pri-badi lainnya. Bukan kekayaan hartabenda.Bobby punmerasai pengaruh wibawa itu, tiap kali ia coba tentangdan tiap kali pula gagal. Akhirnya ia ikutan duduk di anaktangga seperti teman-temannya.

“Eh, itu Mercy yang tadi apa bukan, Pan?” tanyaDudung. Tangannya menunjuk ke arah Mercy yang barumasuk ke pelataran parkir pusat pertokoan Melawai.

Ali Topan memandang ke Mercy itu. “Kalau sopirnyacari gara-gara biar gua embat aja. Emang udah seminggutangan gua nggak ngeplak kepala orang,” katanya. Iaduduk. Tangannya sibuk membuang kulit rambutan yangmengotori tangga itu.

Mercedes diparkir di ujung kanan pusat pertokoan.Anna dan ibunya turun dari mobil itu, dan mereka lang-sung berjalan ke arah toko buku yang terletak di bagianbawah pertokoan, dekat tangga. Anna berjalan berdam-pingan dengan ibunya. Keduanya tak memperhatikansituasi sekitar.

Ali Topan Cs duduk seenaknya, pura-pura tak memper-hatikan Anna dan ibunya. Ali Topan mengambil sebatangrokok kretek yang diselipkan di kaus kakinya. Bobby,Dudung dan Gevaert juga melakukan hal serupa, meng-ambil rokok dari kaus kaki masing-masing. Ali Topanmencari-cari korek api di saku baju dan celana jeans-nya.Tapi korek api tidak ada.

“Ade korek, njing?” ia bertanya pada Bobby“Nggak, nggak ada, njing,” kata Bobby. Lalu Bobby

13

menoleh pada Dudung dan Gevaert.“Bujug buset, Ai juga nggak ada korek nih. You bawa

korek api, Vaert?” tanya Dudung pada Gevaert. Gevaertmenggelengkan kepalanya dengan gaya keren.

“Wah, kalau ada Magician lewat asik deh. Bisa mintaapi,” kata Ali Topan. Dan kebetulan sekali, seorang gelan-dangan pemungut puntung rokok lewat di dekat merekasambil memunguti puntung rokok. Ia menjumput sepun-tung rokok yang masih panjang. Diselipkannya puntungitu di bibirnya, lalu ia nyalakan puntung itu dengan korekapi yang diambilnya dari kantung di balik baju lusuhnya.

Ali Topan bergerak ke arah pemungut puntung. Dite-puknya bahu orang itu. “He, Bung Magician, bagi apanyadong…,” kata Ali Topan. Pemungut puntung itu menyo-dorkan rokoknya yang telah menyala. Ali Topan meng-hidupkan rokoknya.

“Thank you, Magician,” kata Ali Topan.“Ooh, you’re welcome,” jawab pemungut puntung

rokok.Ali Topan terkejut. Ia menatap “magician” yang kini

tersenyum manis. Ia bahkan memberikan tabik dengantangannya kepada Ali Topan. Ia tersenyum dan berlalu.

Ali Topan berjalan ke tempatnya semula. Rokok terse-lip di bibirnya. Begitu dia hendak duduk kembali, danGevaert menyambar rokok yang terselip di bibir itu de-ngan maksud minta apinya, mata Ali Topan yang bersinartajam menangkap gerakan melenggang Anna dan ibunyayang berjalan melewati tangga. Langsung Ali Topanmenggamit sobat-sobatnya.

“Pssst. Ada manusia cantik liwat, macks!” kata AliTopan.

Bobby, Dudung dan Gevaert yang sejak tadi sudahmelihat ibu dan anak itu—tapi masih tetap diam,

14

menunggu komando boss—mendadak jadi beringasdalam pengertian saling lomba bergaya genit untukmenarik perhatian Anna.

“He, macan, manusia cantik! Mau ke mane kite? Pagi-pagi begini udeh bikin hatiku bergetar?” kata Gevaert.

“Mau belanja duren sama mamih ya? Boleh dong me-nengok kemariin sejenak? Aku ingin memandang wajahlu yang antik. Oooh,” Bobby menyusul dengan kata-katagodaannya.

“Bujug buset. Dianya budek, boys! Sayang, cakep-cakep budek begitu, bisa rusak pasaran ….,” Dudungikut nimbrung.

Anna dan Ny Surya mendengar kata-kata mereka, tapitidak menggubris. Mereka berjalan terus menuju tokobuku. Nah, pada saat itulah Bobby melempar Anna de-ngan kulit rambutan. Tidak kena! Gevaert latah, melem-par juga. Tidak kena! Ali Topan dan Dudung bersamaanmelempar. Lemparan Dudung mengenai Nyonya Surya!Lemparan Ali Topan mengenai kepala Anna!

“Aduh!” Anna memekik. Nyonya Surya juga berbalikdan tangannya bertolak pinggang.

“Anak-anak kurang ajar kalian!” Nyonya Surya mem-bentak.

Bobby, Dudung dan Gevaert langsung melengos. AliTopan tidak melengos. Dengan pandangan matanya yangkhas, ditatapnya Anna dan Nyonya Surya. Annacemberut, Ny Surya melotot.

Ali Topan tetap memandang mereka dari ujung kakisampai kepala, seolah-olah menaksir, sampai berapabesar kemarahan ibu dan anak itu. Dan aneh, sungguhaneh, jantung Anna seakan-akan berhenti berdenyutketika matanya beradu pandang dengan mata Ali Topan.Lantas cemberut di wajahnya hilang tiba-tiba. Dan iapun

15

jadi sedikit grogi terkena pandangan mata Ali Topan yangberubah.

Pada detik-detik pertama, mata itu bersinar tajam danberingas, pada detik-detik berikutnya sinar mata AliTopan menjadi sayu dan sangat lembut!

Nyonya Surya merasakan keanehan itu. Dengan wajahsemakin marah, diraihnya tangan Anna dan diajaknyaberjalan lagi.

“Kamu kenal dia, Anna?” tanya Nyonya Surya dengandingin.

“Belum, Ma …,” jawab Anna pelahan.Nyonya Surya melirik sekejap mendengar jawaban

yang dirasakannya tidak wajar itu. Belum, Ma, belum…apa pingin kenalan? Demikian kata hati Nyonya Surya.

Maka diapun mempercepat langkahnya untukmengusir perasaan yang menyelip di hatinya. Perasaanitu semacam perasaan aneh. Dia melihat sesuatukelembutan yang tajam di mata anak muda penggodatadi. Sinar mata yang sangat magnetis. Dan ia, sebagaiseorang wanita, merasa bahwa anaknya sedikit tergetaroleh pandangan magnetis itu. Ia tidak mau Annabertatapan mata lebih lama lagi dengan anak kurang ajaritu. Instinknya menyatakan begitu.

Nyonya Surya berjalan cepat, ke arah pintu masuk tokobuku yang sedang dibuka oleh pegawai toko buku itu.Anna melepaskan tangannya dari cekalan ibunya. Dan,tanpa disadari, Anna menengok sebentar ke arahbelakang, memandang Ali Topan. Ia terkejut ketikapandang matanya langsung disambar oleh sinar mata AliTopan yang rupa-rupanya mengawasi terus sejak tadi.

Anna cepat melengos lagi. Ia malu!Dan ia bertambah malu ketika mendengar anak-anak

berandal itu bersuit menggoda. Fuuit! Fuuuuit! Fuuuit!

16

Anna bergegas menyusul ibunya yang sudah masuktoko buku. Dan ia tak mendengar suitan menggoda atau-pun percakapan diantara “perusuh-perusuh” itu. Annatak melihat bahu Topan ditepuk Bobby.

“He, Pan! Jangan bengong. Bagi apinya!” kata Bobby.Ali Topan tersadar dari suasana yang terasa agak aneh

baginya. “Ah, iya! Kok gua jadi bengong begini? Gara-gara itu cewek. Manis banget sih! Sayang nyaknya galakkayak herder,” kata Ali Topan. Ia memberikan api padaBobby.

“Manis sih manis, tapi lu liat dong bodigarnya di mobilitu! Sangar banget tampangnye,” Gevaert berkata. Eh,baru selesai Gevaert bicara, kuping para sobat itu mende-ngar bunyi klakson Mercedes.

“Tu, ape gue gilang? Dienye keki ngeliat majikannyekite godain. Kalau die anak ABRI kan kite bise repot?”kata Gevaert lagi.

“Lu liat tuh. Dienye keluar dari mobil. Eh, pake tolakpinggang lagi. Kayak Bonanza,” kata Bobby.

Ali Topan melihat ke arah Oom Boy yang sedang me-mandang mereka dengan geram. Ali Topan cuma senyumsaja, bahkan dia melambaikan tangan.

“Daag, Oom,” teriak Ali Topan.Oom Boy mengacungkan tinjunya.Ali Topan Cs tertawa keras sekali sambil memegangi

perutnya, seolah-olah sedang menyaksikan pertunjukanyang lucu.

Oom Boy makin geram diperlakukan seperti itu. Diamengacung-acungkan tinjunya.

“He, sopir! Kayak yang punya mobil aje gaya lu! Kemari kalau berani, gua beri kepelan lu!” Gevaertberteriak. Dudung langsung mendemonstrasikankembangan silat Cimande.

17

Oom Boy makin gemas melihat tingkah anak-anak itu.Tapi dia tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia cumamengepal-ngepalkan tinjunya saja. Perbuatannya itusemakin membuat geli Ali Topan dan kawan-kawannya.

“Gaya sepuluh, nyali nol!” teriak Bobby.“Eh, Bob! Ibu Mary liwat tuh! Dienya nengok ke kite!”

kata Gevaert.“Mane? Mane?” tanya Bobby.“Noh, die. Busyet, kepergok deh kite,” kata Dudung.Siapa sih Ibu Mary itu?Dia seorang perempuan. Rada cakep. Dan pinter berba-

hasa Inggris, karena memang guru bahasa Inggris diSMA Bulungan. Saat itu sebenarnya Ibu guru Mary tidakmelihat ke arah Ali Topan Cs. Dia tipe guru yang sedikitsok. Mungkin karena pandai berbahasa Inggris, dia sok.Apalagi dia paling suka membangga-banggakan diri,sudah pernah studi di Australia. Beberapa murid yangsebal memberi julukan “ibu guru peranakan Kanguru”kepadanya.

“Cabut, njing!” kata Ali Topan. Ia mendahului teman-temannya berlari menuju pasar tingkat atas. Bobby, Du-dung dan Gevaert mengikuti “boss” mereka. Motormasing-masing ditinggalkan di tempat.

Ali Topan Cs menghilang di ujung tangga.Ibu Mary lewat. Ia sebetulnya tak melihat anak-anak

itu. Tapi Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert merasakhawatir, sebab Pak Broto Panggabean, Kepala SekolahSMA Bulungan telah mengeluarkan peraturan yang ke-ras. Murid-murid SMA Bulungan dilarang keras menjadikrosboi. Barangsiapa ketahuan menjadi krosboi ataucenderung atau bisa dianggap bersikap laku seperti kros-boi, dijatuhi sanksi yang berat.

Para guru diperintahkan mengawasi murid-murid. Di

18

dalam maupun di luar sekolah. Kalau ada murid yangnampak begajul sedikit saja, mereka diinstruksikan men-catat dan melaporkan langsung ke Kepala Sekolahsebagai penanggung jawab apa yang dinamakan“komando operasi pengendalian dan penertiban murid-murid sekolah”. Dan banyak sekali guru yangmenyambut gagasan itu. Karena ada semacam peraturantak tertulis bahwa semakin banyak guru melaporkanmurid-murid yang dianggap krosboi, semakin banyakdia mendapatkan pujian dari Pak Broto Panggabean.Pujian itu sudah cukup memuaskan rupa-rupanya.

Tapi Ali Topan Cs lupa barangkali bahwa ibu Mary,walaupun sedikit sok, tidak berminat pada acara lapor-melapor itu. Maka itu Ali Topan Cs tetap berlari, terbirit-birit, menuruni tangga arah bagian dalam Pasar Melawaidan masuk ke luar lorong-lorong di dalam pasar. Tassekolah bergondal-gandul di bahu masing-masing.

Mereka muncul di emper bioskop Kebayoran. Merekaberhenti di situ.

Gevaert memeriksa tasnya. Diambilnya sebuah tustelCanon dari tasnya dan diperiksanya sebentar. Dia selalumembawa alat foto itu ke manapun ia pergi.

“Hai, lagi ngapain di sini? Nggak sekolah kalian?Mbolos melulu...” seorang anak perempuan menegurmereka. Gevaert membidikkan alat fotonya ke arah gadisitu.

“Gua potret lu, gua masukin Ibu Kota!” kata Gevaert.Gadis teman sekolah itu menutupi wajahnya dengan

tas sekolahnya dan lari cepat-cepat. “Tak usyah ya,emangnya gue artis?” kata gadis itu.

“Ada artis tampangnya kayak lu sih, bioskop-bioskoppada sepiiii!” Ali Topan berteriak, “yuk ah, macks, kitacabut. Di sini banyak intelnya. Ntar rusak acara kita. Kita

19

ke Ragunan aje, nengokin kawan-kawan lama,” tambah-nya.

“Oke, Bos,” kata Dudung. Ia berlari membuntuti AliTopan, menuju tempat parkiran motor mereka tadi. Taklama kemudian, empat sekawan itu mengeluarkan motormereka ke arah selatan. Mereka menuju ke Kebun Bina-tang Ragunan.

***

SMA Bulungan tampak ramai seperti biasanya. Rom-bongan murid dan guru memasuki halaman sekolah de-ngan langkah yang juga seperti biasanya, tergesa-gesa.Ali Topan Cs suka berkata bahwa gaya murid-murid danguru-guru sekolahnya seperti gaya orang bisnis. Soknguber waktu, biar dibilang rajin, katanya, setiap kalimelihat ada teman berjalan tergesa-gesa ke sekolah.

Sebuah Mercedes berhenti di depan gedung SMABulungan. Dari dalam mobil keluar Ny Surya dan Anna.Mereka merapikan pakaian sekilas, lalu melangkah ma-suk ke dalam sekolah. Beberapa murid melihat ke arahibu dan anak itu.

“Ada orang asing,” bisik seorang anak.“Warga negara baru barangkali…,” bisik anak lainnya.Nyonya Surya dan Anna tak mendengar bisik-bisik itu.

Bahkan, ia menghampiri dua anak yang sedang meman-dang mereka di depan sebuah kelas.

“Mm, mm, saya boleh tanya kantor Direktur Sekolahdi sebelah mana ya?” tanyanya.

“Di sebelah kulon,” jawab anak itu.“Kulon? Di mana kulon itu?”“Tu di sono tante. Anaknya mau dimasukin ke sini

ya?” kata anak itu. Nyonya Surya mendelik.

20

“Dimasukin? Apanya yang dimasukin?” kata NyonyaSurya. Tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergimeninggalkan dua anak itu.

“Terima kasih ya,” Anna berkata.“Gitu dong, sayaaang,” kata murid itu.Anna tersenyum manis, kemudian mengikuti ibunya

yang berjalan menuju ke kantor Direktur Sekolah.Pak Broto Panggabean, Direktur SMA Negeri Bulung-

an sedang duduk di kursinya, menyusun map dan buku-buku di meja kerjanya. Ia orang Batak kelahiran Medan45 tahun yang lalu. Tubuhnya pendek, kekar. Wajahnyabujur sangkar dengan bibir tebal. Sikapnya tegas, tapisuka humor. Dan hatinya hati seorang pendidik. NamaBroto yang khas Jawa itu diberikan oleh seorang Jawayang menolong kelahirannya.

Hadi, pembantu umumnya masuk. “Ada tamu, Pak,”kata Hadi. Suaranya cempreng sesuai dengan tubuhnyayang kecil kerempeng.

“Tamu siapa, hah? Pagi-pagi begini sudah bertamu-tamuan,” kata Pak Broto Panggabean.

“Nyonya Surya dan anaknya, Pak.”“Ooo, suruh mereka masuk.”Nyonya Surya dan Anna dipersilakan masuk oleh Hadi.“Selamat pagi, Pak Direktur,” sapa Ny Surya.“Oh, selamat pagi. Silakan, silakan duduk. Apa anak

yang manis ini anak ibu yang mau pindah sekolah ke sini.Iya?” kata Broto Panggabean.

“Begitulah kira-kira, Pak Broto. Jadi saya serahkansecara resmi anak saya ini pada Pak Broto, untuk dididiksebagaimana mestinya. Maklum, di sekolahnya yangdulu saya sangat khawatir, di sana banyak anak-anakmorfinis,” kata Nyonya Surya.

“Wah, memang bahaya morfin itu,” kata Pak Broto

21

Panggabean dengan aksen Medan yang khas. “Siapanama kau,” tanyanya ke arah Anna.

“Anna Karenina namanya,” Nyonya Surya yangmenjawab.

“Anna Karenina. Anna Karenina. Yah, yah, kau sayaterima bersekolah di sini, mengingat Bapak kenal baiksama orangtuamu. Tapi di sini peraturan ketat dan tidakpandang bulu. Mengerti?””kata Pak Broto.

Anna Karenina mengangguk.“Nah, cukup, Ibu Surya. Soal keuangan bisa diurus di

bagian administrasi,” kata Pak Broto Panggabean. Iamenunjuk bagian itu yang terletak di samping kantornya.

“Baik, terima kasih,” kata Nyonya Surya, “Anna baik-baik ya, jangan bikin malu mama dan papa,” tambahnya.

“Ya, Mama...” kata Anna.Nyonya Surya meninggalkan ruang itu setelah menci-

um pipi anaknya dengan ciuman bergaya orang Belanda.“Wah, disayang sekali rupanya, ya?” kata Pak Broto.Anna tersipu-sipu.“Tunggu sebentar, nanti Bapak antar kau ke kelasmu.”Anna Karenina mengangguk, bersamaan dengan dent-

ang bel tanda masuk klas dipukul orang.

***

Di kelas III Paspal 1.Murid-murid dan Ibu Mary masuk ke dalam kelas.

Wanita itu bertubuh pendek, sexy, berkacamata, usianya30 tahun. Anak-anak duduk di tempat masing-masing.Ibu Mary duduk di kursi guru. Ibu Mary mengeluarkancatatan absen harian, murid-murid mengeluarkan bukuInggris mereka. Ibu Mary batuk-batuk sebentar, lalumemanggil nama murid-murid sebagaimana biasanya,

22

didahului ucapan, “Good morning, every body” yangdijawab “Good morning, Miss,” oleh anak-anak.

“Abadi Karamoy!” seru Ibu Mary.“Yes, Miss!”“Abubakar Siddiq!”“Yes, Miss”“Ali T opan!”Tak ada jawaban.“Ali T opan!” Ibu Mary mengulang seruannya. Tetap

tak ada jawaban.Ibu Mary menengadahkan wajahnya, melihat ke arah

tempat duduk Ali Topan. Tempat duduk itu kosong.“Ke mana berandal itu, Maya?” tanya ibu Mary.Maya yang berwajah oval keibuan memang dikenal

dekat dengan Ali Topan. Murid yang duduk bersebelahandengan bangku kosong itu menggelengkan kepalanya. “Idon’t know, Miss,” katanya.

“Why you don’t know?”“ I don’t know,” jawab Maya. Dia grogi, takut diajak

omong cara Inggris terus oleh Ibu Mary.Beberapa anak tersenyum. Ibu Mary meneruskan

panggilannya.Pada saat itu, pintu diketuk dari luar.Pak Broto Panggabean masuk diikuti Anna Karenina.“Selamat pagi Ibu Mary. Selamat pagi anak-anak. Ini

ada satu murid baru, pindahan dari sekolah lain. Sayakenalkan, namanya Anna Karenina. Ketua kelas, tolongatur tempat duduk untuknya,” kata Pak Broto Pangga-bean.

“Siap, Pak,” kata Ridwan, ketua kelas III Paspal 1 yangduduk di bangku belakang.

“Nah, cukup itu, Bu Mary. Selamat belajar anak-anak!”kata Pak Broto Panggabean, kemudian ia pergi mening-

23

galkan kelas.Ibu Mary dan murid-murid mengawasi Anna Karenina

yang masih berdiri di depan kelas. Anna tersipu-sipu.Wajahnya bersemu dadu.

“What is your name, my dear?” tanya Ibu Mary.“Anna Karenina,” sahut Anna.“Beautiful,” gumam ibu Mary. Matanya mengawasi

Anna tanpa kedip. Dari ujung sepatu sampai rambutnyayang mengurai bak bunga mayang.

Terdengar bisik-bisik dari para murid.Anna Karenina merasa sedikit aneh ketika menatap

mata ibu Mary. Mata guru Bahasa Inggris itu tadinyabersinar biasa, seperti mata ibu guru lazimnya. Kemudiansinar mata itu berubah, seperti sedang “menaksir” keka-sihnya. Apalagi ketika Ibu Mary melemparkan senyumyang bermakna “naksir,” wah, Anna Kareninamerinding.

“Okay, okay, sit down, please…,” kata Ibu Mary.Ridwan, ketua kelas yang bertubuh tegap kayak tentara

maju ke depan, menunjukkan tempat duduk yang kosongbuat teman barunya.

”Untuk sementara kamu duduk di sini dulu, besok bisasaya atur yang lebih baik. Ya!” kata Ridwan. Annamengucapkan terima kasih.

“Eh, salaman dulu, dong,” seorang murid lelaki yangbertampang badung, “nama saya Sobirin,” tambahnya.Anak-anak langsung “gerr” mendengar ucapan Sobirin.Anna tersenyum. Tersipu-sipu.

Anna Karenina masih tersenyum ke kiri kanan. IbuMary yang mengawasi dari depan berkata: “Sudah,sudah. Senyumnya disimpan dulu. Kita lanjutkanpelajaran, please.”

Suasana tenang kembali.

24

Ibu Mary melanjutkan mengabsen para murid. Ia men-catat dua nama yang tidak masuk kelas pada jam pelajar-annya. Ali Topan dan Bobby.

Kemudian pelajaran Bahasa Inggris dimulai.

***

25

D UA

Pagi itu sekitar jam sepuluh.

Di rerumputan antara gerumbulan semak, diKebun Binatang Ragunan, Pasar Minggu, ada duaorang lelaki dan perempuan sedang berciuman.

Rupanya mereka merupakan sepasang kekasih yangasyik berpacaran. Sebentar-sebentar terdengar bunyi cap-cup, cap-cup, ditingkah suara si perempuan terkikik-kikik geli, ditambahi suara nafas ngos-ngosan dari silelaki yang juga sibuk melontarkan selangit rayuan dipagi itu.

“Mari kucium lagi, sayaaang,” rayu si lelaki dengangaya bintang film mesum dalam film nasional. Si lelakimemonyongkan mulutnya, mencoba mencium perem-puannya. Si perempuan berusaha mengelak, tapi rupa-rupanya usaha itu sekadar pura-pura saja, sebab ketikamonyongan mulut si lelaki mengubernya, ia pasrah saja.Cup cup. Mhh.

“Ah, abang nakal,” bisik si perempuan. Manja.“Nakal gimana? Ini kan enak? Mari kubikin lebih

mesra lagi, dengan teknik tinggi, sayaang,” rayu si lelaki,berteknik-teknik rupanya. Dipeluknya si perempuandengan pelukan bergaya kelasi mabuk. Si perempuanmanda saja, bahkan iapun ikut aktif menyambut pelukankekasihnya dengan pagutan ala Cobra di leher si lelaki.Zzzp. Keduanya tenggelam di laut kemesraan. Mainpiting-pitingan di rerumputan.

Mereka tak sadar bahwa ada seseorang mengintai“kerja” mereka itu.

26

Gevaert membidik pasangan yang sedang “sibuk” itudengan Canonnya. Dia atur fokus lensa, dan bergerakhati-hati mencari posisi yang paling sip dan aman.Gevaert merunduk di antara semak-semak.

Klik! Gevaert memotret mereka.Si perempuan tiba-tiba melepaskan diri dari pelukan

lelakinya. Tapi si lelaki dengan ketat memitingnya,hingga cuma kepalanya saja yang menengak-nengok kesekitarnya.

“Bunyi apa sih yang klik barusan?” bisik si perempuan.“Ah, ah, bunyi apa? Tak ada bunyi apa-apa,” sahut

lelakinya.“Sungguh, Bang. Kudengar bunyi klik. Ah, perasaanku

jadi tak enak.”“Ah, ah, bunyi anak macan barangkali. Dienakin terus

deh.” Si lelaki kembali memiting leher perempuannya. Lalu

dihujaninya leher, wajah dan bibir pacarnya denganciuman bertubi-tubi.

Gevaert menahan nafas. Otaknya sempat dibikinpening oleh pemandangan yang menggairahkan itu.Mati-matian dia menahan nafas supaya tidak ngos-ngosan.

Tiba-tiba pantatnya digigit semut. Secara refleks ta-ngannya menepuk pantatnya. Plak!

Suara tepukan itu cukup keras, membuat obyeknyaterkejut. Si lelaki melepaskan pelukannya dan melihat kearah semak-semak asal bunyi plak tadi. DilihatnyaGevaert mencangklong tustel. Tiba-tiba saja si lelakiberdiri, wajahnya beringas.

Gevaert mundur secepat kilat, wajahnya menyeringaimasam.

“He, siapa kau, babi!” hardik lelaki itu. Ia bergegas

27

mengejar Gevaert. Gevaert tahu bahaya maut mengan-cam, ia langsung melarikan diri sekencang-kencangnya.

Si lelaki tidak mengejar anak nakal itu. Dia cuma me-ngepal-ngepalkan tinjunya ke udara dan mulutnya me-lontarkan caci-maki yang bukan main sadisnya.

Sementara itu, Dudung, Bobby dan Ali Topan sedangsantai menikmati pagi di bawah pohon yang besar. Du-dung menelungkup di rerumputan, mandi sinar mataharipagi. Bobby duduk tenang, membaca komik Jan Minta-raga di dekatnya. Ali Topan berdiri di samping Dudung,kakinya menginjak pantat Dudung. Digerak-gerakkannya pantat Dudung dengan kakinya. Dudungtetap menelungkup. Pantatnya saja digerakkannya naik-turun mengikuti gerakan kaki Ali Topan.

“Hidup begini enak ya. Lepas, bebas, segar terasadalam hati,” kata Ali Topan. Bobby menengok kearahnya.

“Sik! Berpantun pula kau,” kata Bobby.“Enak sih enak, tapi sepatu lu itu bikin kotor celana

gua, Pan. Lu pikir gua nyucinya di Naga Payung? Guacuci sendiri tuh,” Dudung menggerundel.

“Babe lu aja suruh nyuci,” kata Ali Topan.“Doo, doo, babe gua suruh nyuci? Kalau dia tahu anak-

nya ke Jakarta pake acara bolos begini udah untung kalaugua kagak diamukin. Kalau babe gua ngamuk lu tau?Sekali tiup gua bisa jadi layangan!” kata Dudung. Ke-mudian ia duduk, menepiskan kaki Ali Topan yang masihmenginjak pantatnya.

“Eh, itu ngapain Gevaert terbirit-birit kayak orang gi-la?” Ali Topan berkata sambil tangannya menunjuk kearah Gevaert yang sedang kencang berlari ke arahmereka.

“Eh, Vaert, udah gila lu?” kata Ali Topan.

28

Gevaert cuma menjawab dengan ah, uh, ah, uh saja.Nafasnya tersengal-sengal. Ia menubruk Ali Topan.Mereka jatuh bergulingan.

”Vaert! Jangan becanda lu pagi-pagi,” kata Ali Topan.Gevaert bangkit segera. Ia menunjuk ke arah gerum-

bulan pohon.“Ah, uh, ah … gua mau ditembak orang, Pan. No, di

sono tuh orangnye …”Ali Topan melihat ke arah tunjukan Gevaert. Dudung

dan Bobby langsung berdiri, melihat ke arah yang sama.“Mana dia orangnye? Biar gua embat dia,” kata Ali

Topan.“Itu, itu dia, lagi ngeliat kemari.”“Buset, potongannya sih kayak pensiunan KKO ning!

Lu cari gara-gara apa sama dia Vaert?” tanya Ali Topan.“Gua bidik dia lagi miting cewenye.”“Set, dianye kemariin. Cabut aje buruan, njing. Tam-

pangnye kayak kuli begitu, repot kita ngelawan die. Po-tongan begitu, kita yang nabok kita yang sakit,” kataBobby.

“Iye. Sangar tampangnye, Bob. Udah jangan caripenyakit deh. Cabut, cabut,” kata Dudung. Dia bersiapmengambil langkah seribu.

“Uuh, lu Vaert, ngrusak acara aje. Uh!” kata Ali Topan.Dengan gemas dia ketuk kepala Gevaert.

Gevaert menyeringai. Tanpa banyak pernik lagi diamenyusul Dudung dan Bobby yang sudah berlari me-ninggalkan tempat itu, menuju tempat parkir motor me-reka.

Ali Topan melihat ke arah lelaki yang sedang marah-marah di samping perempuannya. Lelaki itu menge-palkan tinjunya ke arah Ali Topan. Ali Topan balas meng-acungkan tinjunya. Kemudian berlalu menyusul teman-

29

temannya, sembari ngakak!Bobby, Dudung dan Gevaert sudah nangkring di atas

sadel motor masing-masing, bergerak meninggalkantempat. Ali Topan mengambil motornya danmendorongnya menuruni jalan. Ia menyemplak sadelmotor, menghidupkan mesinnya, lalu menggeblaskanmotornya ke depan, menyusul para sahabatnya.

Mereka berlalu dari tempat itu.“Ke mane kite?” Gevaert bertanya.“Ke mane pale lu! Berhubung lu yang ngrusak acara, lu

kudu menghibur kite dengan bakmi baso!” kata AliTopan.

“Buset, setuju banget gua!” kata Bobby.“Bujug, gua nggak punya duit, Pan …,” Gevaert

mengeluh. Ia menengok ke Ali Topan, lalu ke arahDudung.

“Biar kali ini ogut yang traktir deh, Boss. KesianGevaert lagi miskin hari ini,” kata Dudung.

“Pokoknye ini hari gua musti makan bakmi baso ajadah. Sebab, kalau tidak makan bakmi baso, perut guabisa sakit maag… ,” kata Ali Topan. Ia tersenyum.

“Let’s go!” Gevaert berteriak. Ia ngebut ke depan.Acarapun beralih ke jalanan. Mereka saling susul me-

nyusul, mempertontonkan kebolehan masing-masing diatas motor. Jalanan Pasar Minggu yang baru dibetulkanoleh Bang Ali memang licin macam paha perawan kam-pung, asik buat ngebut. Udara segar, lalu lintas tidak be-gitu padat. Ali Topan dan para sahabatnya benar-benarlupa sekolah lupa rumah.

Mereka, terutama Ali Topan, merasa suntuk di sekolahdan di rumah. Maka, ia mengajak teman-temannya men-cari kegembiraan di luar rumah dan di luar sekolah.Apakah mereka lalu dicap sebagai anak-anak berandalan

30

yang merusak masa depan masing-masing, tak ada dalampikiran mereka.

“Kira-kira Good Goly Miss Mary itu ngaduin kita kePak Brotpang apa kagak, Bob?” teriak Ali Topan. Brot-pang itu panggilan pop murid-murid untuk Pak BrotoPanggabean.

“Acuh aja acuuuh. Kalau dia ngaduin, kita beber ajarahasia pribadinya di Ibu Kota! Dia kan beken sebagailesbian, iya kan Vaert?” kata Bobby. “Tak acuh,” kata AliTopan.

“Iya. Mpok gua tahu itu. Temen dia pernah diajak kehotel sama Si Mary itu,” kata Gevaert.

“Ah, gosip aja kali,” kata Ali Topan.“Uuuh, ya udah kalau kagak yakin. Mpok gua sih bukan

penggemar gosip, boss,” kata Gevaert.Ali Topan tidak menjawab. Dia sibuk menghindari se-

buah batu yang ada di tengah jalan.“Sialan itu batu, menghambat pembangunan aje,” ge-

rutu Ali Topan.“Pembangunan ape, Pan?” tanya Bobby yang meren-

dengi motor Ali Topan.“Pembangunan Orde Baru.”“Gile lu, kayak Pak Harto aje,” kata Bobby.“Aaah, kan die masih sodara sama babe gue. Lu nggak

yakin? Tanya aje sama die,” kata Ali Topan.“Nanyanye pegimane?” tanya Bobby.“Lu tanya aje. Eh, Pak Harto, kata Ali Topan, ente

besodara sama babenye? Brani apa kagak lu?” jelas AliTopan.

“Buset, bisa dateng kagak bisa pulang gua,” kataBobby.

“Emang kenape?” tanya Ali Topan lagi.“Sik. Pengawal Pak Harto kan galak banget?”

31

“Lu kira Pak Harto yang mane?” tanya Ali Topan.“Pak Harto presiden!” jawab Bobby,“Yee, bukan. Pak Harto oom gue yang rumahnya di

Pancoran!”Bobby melengak. Lantas dia tertawa terbahak-bahak.

“Sial lu!” katanya.Dudung dan Gevaert yang berendeng di belakang

mereka mencoba ke depan. Tapi dihalang-halangi olehAli Topan dan Bobby yang merapatkan formasi.

“Hey, bagi gua jalan dong,” Teriak Dudung.Ali Topan menoleh ke belakang. “Lu kire kue minta

dibagi-bagi?” katanya. Lalu dia menancap gas motornya,diikuti Bobby, Dudung dan Gevaert mencoba menyusul.

Mereka pun kebut-kebutan lagi, menuju Pasar Ma-yestik, Kebayoran Baru.

***

Jarak Pasar Minggu ke Majestik sekitar 10,5 Km, me-reka tempuh dalam waktu 8 menit, melalui Jalan GatotSubroto, Jembatan Semanggi dan Bunderan Senayan.Mayestik atau Mestik berasal dari nama bioskopMayestic yang terletak di Jalan Kiai Maja, di dekat TamanPuring.

Kawasan situ adalah kawasan pertokoan yangpedagangnya kebanyakan orang Minang. Orang-orangPadang—demikian sebutan umum orang Jakarta untuksemua orang Minangkabau— banyak pula yang menjadipenjahit, dan buka rumah makan di situ. Sedangkan parapenjual buah-buahan dan daging, kebanyakan orangBetawi— sebutan umum untuk waga Jakarta “asli”.

Pasar Mayestik tidak sebesar Pasar Melawai, dan hargabarang-barang disitu pun lebih murah dari pada Pasar

32

Melawai.Mereka langsung menuju ke kedai Pak Amin, penjual

bakmi baso langganan mereka yang berdagang di ujungJalan Tebah di bagian belakang Pasar Mayestik. Blok E.Kebetulan Pak Amin baru menyiapkan dagangannya.

“Lho, gini ari sudah nongol di sini. Apa nggak sekolahnih?” tanya Pak Amin.

“Yang sekolah, sekolah… yang ke sini, ke sini…,”sahut Ali Topan, “udah ada yang bisa dimakan PakAmin?” tambahnya.

“Ada, sudah siap. Sabar sebentar, ya.”“Air tehnya duluan deh. Aus nih kerongkongan kite,”

kata Gevaert.“Tuangin sendiri dah. Kayak orang baru aje,” kata Pak

Amin.Gevaert mengambil gelas 4 buah, lalu mengisikan air

teh panas untuk minum dia dan teman-temannya.“Makasih ah,” kata Ali Topan ketika Gevaert mengang-

surkan segelas air teh kepadanya, “ada bakat jadi waiterlu,” tambahnya.

“Waiter apaan sih?” tanya Dudung.Gevaert melirik ke arah Dudung. “Waiter itu tukang

ngelapin paha hostess di niteclub. Mau lu jadi hostess, ehwaiter?” kata Gevaert. “Sik, waiter aja kagak ngah. Dasarorang Kuningan lu,” tambahnya. Dudung cuma cengar-cengir saja. “Kuningan itu tempatnya orang sakti, bego,”cetusnya.

“Ngomong-ngomong dari mana kalian? Keringatnyakok deras begitu?” tanya Pak Amin.

“Udah deh, jangan nanya-nanya, laksanain tugas Andasaja, buruan,” kata Ali Topan, “kite belon makan baso nihdari kemaren,” tambahnya.

Pak Amin segera menyodorkan bakmi baso yang

33

disajikannya dalam mangkuk.“Sambelnya ambil sendiri semaunya! Pak Amin bikin

spesial dua botol hari ini,” kata Pak Amin. “Nah, selamatmakan deh,” tambahnya.

“Bismillahi rohmanir rohiiim,” Dudung ber-Bismillahsebelum meniup-niup kuah baso dan menyeruput kuahitu dengan mulutnya.

Ali Topan juga ber-Bismillah.Bobby yang Katolik dan Gevaert yang Protestan

berdoa cara Kristen.“Kalau semua pembeli saya seperti kalian semua, bisa

bawa berkah. Laris terus dagangan saya,” kata Pak Amin,“anak-anak jaman sekarang jarang ada yang ingetTuhan,” tambahnya.

“Kalau anak-anak muda sih inget terus, Pak Amin.Yang suka lupa sama Tuhan itu kan orangtua-orangtuamasa kini,” kata Ali Topan.

Ketiga temannya cuma mengangguk. Mereka asyikmakan bakmi baso yang hangat dan gurih berkat garemMadura.

Cepat sekali mereka makan. Gevaert usai lebih dulu.“Boleh nambah, Dung?” tanya Gevaert.“Bikin aje dua mangkok lagi. Kita nambah setengah-

setengah,” kata Dudung.“Lu emang remaja yang baik, Dung. Sering-sering ah

begitu,” kata Bobby. Dudung mangkak mendengarpujian itu. Sebagai anak “daerah,” dia cukup gembirabisa berteman dengan Ali Topan, Bobby dan Gevaertyang dianggapnya sangat “top” dan “modern”. Untukkegembiraannya itu Dudung tak segan-seganmengeluarkan uang guna mentraktir teman-temannya,hampir setiap saat. Ali Topan, Bobby dan Gevaert senangsaja dengan kebaikan Dudung itu. Tapi mereka juga tahu

34

diri. Kadang-kadang mereka bergantian mentraktir jikaDudung sedang tongpes karena kiriman uang dari“abahnya” terlambat datang.

Pak Amin menyodorkan dua mangkok bakmi baso.Gevaert membagi semangkok dengan Ali Topan. Bobbymembagi yang semangkok lagi dengan Dudung.

“Kalian ini rukunnya melebihi saudara kandung. Enakdilihatnya,” kata Pak Amin.

“Kalau enak tambahin basonya dong,” kata Ali Topan.Pak Amin tersenyum.“Doo, dimintain basonya cuma senyum saja dikau,”

kata Ali Topan.“Beliau khawatir kalau terlalu banyak menderita rugi.

Ntar kagak bisa ngembaliin kredit investasi kecilnya,”kata Bobby.

Ali Topan, Gevaert dan Dudung menengok ke Bobby.Mereka menampakkan wajah heran.

“Lu tau-tauan kredit investasi kecil. Siapa yang ngajar-in, Bob?” tanya Ali Topan.

“Pemerentah kan? Pemerentah kita kan ahli dalam soalkredit. Gimana sih lu? Nggak pernah baca koran ya?Percuma dong babe gue jadi Direktur Bank kalauanaknye kagak ngah soal kredit,” kata Bobby.

“Oh iye, gue lupa. Memang anak pinter lu,” kata AliTopan.

“Tampang kayak Bobby ini ada bakat jadi tukang ngeli-pet kredit kalau dia jadi pembesar,” kata Gevaert.

“Pssst! Jangan omong begituan ah. Nanti ada yangdengar bisa gawat,” bisik Pak Amin. Wajahnya kentarabetul ngeri mendengar obrolan anak-anak yang bebasaktif itu.

“Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayaritu baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak

35

apa-apa, iya apa nggak, macks?” kata Gevaert, “yangpenting kan bayar. Pemerentah kita kan juga sukangutang sama IGGI,” tambahnya.

“Apa itu IGGI. Tentara?” tanya Dudung.“Tentara?” Bobby bertanya, dahinya dikernyitkan.“Tentara Amerika kan begitu namanya.”Bobby menyentuh Dudung dan mendorongnya ke

belakang.“Wayyo! Tentara Amerika itu GI, bukan IGGI, bego!”

kata Bobby.“Orang dari daerah susah deh. IQ-nya jongkok terus,”

kata Gevaert.“Lu jangan bilang begitu, Vaert. Ntar gue nggak

bayarin, baru nyaho lu,” gerutu si Dudung.“Sik. Pakek main gertak lu. Sorry deh kalau tersing-

gung,” kata Gevaert.“Ngomong-ngomong, abis makan baso nggak enak

kalau nggak disambung pakek Dji Sam Soe. Gimanacaranya, Dung?”

“Oh, beres, Boss,” kata Dudung. Dia bangkit, dan pergike kios rokok di depan sebuah apotik. Jalannyamengesankan betul seperti orang desa yang baru panen.Orang tua Dudung petani kaya yang punya berhektar-hektar Sawah di Kuningan di Jakarta dia tinggal bersamabibinya di desa Petukangan Selatan, Kebayoran Lama,sekitar empat kilometer dari Mayestik.

“Lu, pinter aje motong kompas, Pan,” Bobby nyeletuk.Ali Topan cuma nyengir saja. Dia repot mencungkil

sisa-sisa bakmi yang menyelip di antara giginya.Dudung datang bawa rokok Dji Sam Soe. Bungkusan

rokok yang belum dibuka itu diberikan pada Ali Topan.“Ente yang merawanin, Boss,” katanya.

Pak Amin menekap mulutnya mendengar ucapan

36

Dudung. Dalam batinnya dia berkata, anak jaman seka-rang omongannya nggak kira-kira.

“Jadi berapa duit semuanya, Pak Amin?” tanyaDudung. Dia ambil seribu rupiah dari dompetnya.

“Enem ratus saja. Pakai kembali apa nggak?” kata PakAmin.

Dudung memberikan uangnya. “Kalau mau berantemsama kita sih boleh nggak pakek kembali, Pak Amin,”katanya. Pak Amin cuma terkekeh-kekeh. Dia membe-rikan uang kembalian pada Dudung. “Terima kasih ah,”katanya.

Ali Topan, Dudung, Gevaert dan Bobby menyemplakmotor masing-masing. Rokok Dji Sam Soe menyelip dibibir mereka. Tak lama kemudian, 4 sekawan itu tampakmengendarai motor mereka secara sopan.

“Ke mane kite?” tanya Bobby.“Ke mane kek,” jawab Ali Topan.Ke mane kek itu berarti pergi ke mana saja tanpa tujuan

yang jelas. Mereka berkeliling Kebayoran, sampai waktubiasanya pulang sekolah.

Jam dua belas seperempat siang, Ali Topan dkk masihduduk-duduk di bawah pohon-pohon cemara di tepiLapangan Bola Blok S di jalan Senopati. Mereka minumes cincau. Beberapa orang lain minum es cincau pula.

Ali Topan melihat ke arah matahari. “It’s time to cabut,friends,” katanya. Ia mengambil uang Rp 200 dari sakucelananya yang ia berikan ke tukang jual es cincau yangduduk di bangku kecil di antara dua gentong kayu berisicincau.

Lalu Ali Topan dkk berjalan ke motor trail masing-masing yang diparkir di pinggir lapangan. Mereka me-naiki motor masing-masing. Ali Topan menepuk bahuGevaert di sampingnya, dan mengerjapkan matanya

37

tanpa diketahui Dudung dan Bobby. Itu kode.“Kita bikin atraksi dulu, muterin lapangan, lalu kita

bubaran pulang ke rumah orang tua masing-masing,” kataAli Topan. Hampir bersamaan mereka menghidupkanmesin motor masing-masing. Gas dimainkan, suara knal-pot motor-motor itu nyaring memekakkan telinga.

“Let’s go!” teriak Ali Topan sambil memacu motornyake lapangan, diikuti teman-temannya. Mereka memacumotor mengelilingi lapangan searah jarum jam dalamformasi barisan. Setelah selesai putaran pertama, merekamengubah formasi berjajar empat. Tukang cincau danmanusia-manusia lainnya yang menonton bertepuk ta-ngan...

Usai putaran kedua Ali Topan mengangkat tangankirinya, diikuti teman-temannya. Lalu mereka keluar la-pangan diiringi tepuk tangan dan sorakan para penonton.

Mereka masih bersama sampai perempatan jalan Seno-pati - Wijaya II. Lalu Ali Topan dan Bobby terus ke jalanWijaya II, sedangkan Dudung dan Gevaert belok kananke arah CSW.

Di cabang jalan dekat kompleks PTIK, Bobby belokkanan ke arah jalan Tirtayasa, sedangkan Ali Topan terus.Bobby mengira Ali Topan akan langsung pulang ke ru-mahnya di Cipete, kawasan Selatan luar Kebayoran Baru.Ternyata tidak. Ali Topan melaju ke rumah Gevaert dijalan Radio Dalam. Ada suatu rahasia yang akan diperli-hatkan oleh Gevaert kepada Ali Topan.

Gevaert telah menunggu di bangku bambu di bawahpohon ceri di halaman rumahnya, ketika Ali Topan da-tang. Rumah orang tua Gevaert kecil, bercat putih, tapitampak bersih dan rapi. Ali Topan memarkir motornyaberdampingan dengan motor Gevaert di bawah pohonceri. Ia memetik beberapa buah ceri.

38

“”Nyak lu ada?” tanya Ali Topan.“Lagi di Cipanas sama babe gue,” kata Gevaert. “Lu

mau nunggu di sini atau mau ngikut ke kamar gelap?”lanjutnya.

“Gue ngikut aje...,” kata Ali Topan. Suaranyatersendat. Wajahnya muram.

Gevaert punya studio kecil di sudut halaman rumahnya,yang ia jadikan kamar gelap dan tempat penyimpananhasil karyanya serta buku-buku fotografi. Ali Topan sukahasil foto Gevaert utamanya yang hitam putih. Tapi iasendiri kurang atau belum berminat mendalaminya,walau Gevart ingin mengajarinya. Ali Topan cukupmemahami teori dasarnya saja dari buku yang ia baca distudio Gevaert beberapa bulan yang lalu.

Mereka sudah berada di dalam studio foto. Gevaertmengambil segulungan film hitam putih yang telah iacuci. Lalu ia mengelar gulungan film itu dan memper-hatikannya di depan lampu.

Ruang studio itu berukuran tiga meter persegi yangdibagi dua dengan dinding triplek berpintu kecil. Ruangberpintu itu adalah kamar gelap tempat Gevaert mencucidan mencetak film-filmnya. Gevaert dan Ali Topan ma-suk ke ruang itu. Beberapa minggu yang lalu Ali Topanpernah ikut mencetak film di ruang gelap ini. Ia tidaktahan bau larutan bromide yang dipakai untuk menimbul-kan gambar atau foto.

Waktu itu ia cuma bertahan beberapa menit saja,mungkin karena belum biasa. Tapi sekarang ia bertekadmengikuti proses pencetakan beberapa foto oleh Gevaertsampai selesai.

Di ruang itu ada lampu kecil 5 watt berwarna hijaumenyala di dinding. Sinarnya temaram. Lampu itudihubungkan dengan sakelar yang dipaku pada sebuah

39

meja kayu yang merapat ke dinding. Di atas meja itu adaenlarger atau alat pembesar gambar dalam filmberbentuk seperti kubah kecil. Di bagian atas kubah alatitu ada lampu spot untuk menyoroti film yang diletakkanoleh Gevaert pada lensa pembesar di bagian bawahnya.Di dekat alat pembesar gambar itu ada blaskom plastikbarisi larutan bromide untuk menimbulkan ataumencetak gambar pada kertas foto yang diletakkan padasuatu papan putih yang diberi alat pengukur kertas. Disebelahnya ada satu baskom lagi berisi H2O alias airuntuk membilas kertas foto dari larutan bromide, dengancara merendam dalam air itu.

Gevaert bersiap mengoperasikan alat pembesargambar. Ali Topan berdiri di sampingnya. Ia tegangjantungnya berdetak lebih kencang.

“Okey, kita lihat dulu gambarnya,” kata Gevaert. Iamemadamkan lampu hijau, hingga ruang itu gelap gulita.Lalu ia menyalakan lampu spot yang segera menyorotkanfilm di bawahnya. Gambar dua orang - seorang wanitadan seorang lelaki muda - sedang berpelukan di tepikolam renang terpeta pada bidang putih di atas meja.

Ali Topan menarik dan mengeluarkan udara berat lewathidungnya. Gevaert mengatur fokus pada alat pencetakfoto itu, hingga bayangan dua orang itu agak jelas.

Gevaert memadamkan lampu spot. Dan segeramengambil bungkusan kertas foto berukuran kartuposdari kotak kertas di laci meja. Ia mengambil selembarkertas foto berukuran kartupos dan segera membungkuskembali lembaran-lembaran kertas foto lainnya, sertamemasukannya ke laci.

Gevaert menaruh keras foto pada bidang pencetakan-nya. Lalu ia menyalakan lampu spot sekejap, sekitar duaatau tiga detik. Dan memadamkannya kembali. Kertas

40

foto yang telah disinari tadi segera ia masukkan ke dalambaskom berisi larutan bromide. Kemudian ia mencetaklagi foto lainnya hasil potretannya.

Usai proses pencetakan foto itu, Gevaert menyalakanlampu biasa untuk menerangi ruang dan membuka pintuuntuk mengusir kepengapan.

Sementara itu, wajah Ali Topan tegang mengawasifoto-foto ibunya sedang bercumbu dengan seorang anakmuda di kolam renang, yang sedang sirendam dalambaskom berisi air.

Gevaert menepuk lengan Ali Topan. “Sorry, Pan...kalau hasil potretan gua itu bikin lu nggak enak ati...,”kata Gevaert.

Ali Topan memandangi teman baiknya itu. “Terimakasih, Vaert... terima kasih...,” kata Ali Topan dengansuara sangat sedih. “Dua kali lu nolong gue... ngedapetinbukti tentang kebrengsekan orangtua gue. Gue nggakbakal lupain itu. Lu bener-bener sahabat gue...” lanjutnya.Air bening mengalir dari sepasang mata dukanya.

Gevaert ikut berlinangan airmata. Segera ia mengelapfoto-foto itu dengan kain putih. Dan mengeringkan foto-foto itu dengan pengering rambut. Kemudian memberi-kan foto-foto itu kepada Ali Topan.

Ali Topan menyelipkan foto-foto itu di sela-sela bukupelajarannya. Lalu ia pamit kepada Gevaert sambilmengusap airmatanya. Gevaert memandangi Ali Topanmendorong motornya ke tepi jalan. Setelah menghidup-kan mesin motornya, Ali Topan menengok ke arah Ge-vaert dan melambaikan tangannya. Gevaert membalaslambaian sahabat yang ia kagumi itu. Dan airmatanyapun mengalir karena ia turut merasakan betapa perih rasahati sahabat yang selama ini selalu membela dia bila diamengalami kesulitan.

41

TIGA

Senja bergerak. Matahari jam lima lewat beberapadetik pun bergerak. Biasan sinar kuning merahjingga mewarnai langit kelabu putih di arah Barat.

Biasan warna senja itu pun mengenai sebuah rumahputih-biru di jalan Cipete di Kelurahan Cilandak. Rumahitu terletak di tanah seluas 700 meter persegi. Bentuknyabergaya Joglo menghadap ke arah Timur. Dindingnyaputih, kayu-kayu kusen, pintu, dan risplangnya biru tua.

Dengan paviliun dan garasi mobil di sayap kanan dankiri rumah buatan tahun 1956 itu, total luas bangunannya350 meter persegi. Halamannya ditanami rumput gajah.Tanaman bluntas menglilingi halaman berpagar besiyang sewarna dengan pintu rumah. Pohon-pohon palembesar berjajar di tepi jalan depan rumah yang berhadapandengan taman kota seluas 600 meter persegi. Pohonmangga Indramayu di depan garasi sedang berbunga.Sedangkan pohon rambutan Aceh Pekat di depanpaviliun belum lagi berbunga.

Angin semilir membawa debu. Sebuah Fiat Sportwarna tembaga masuk ke halaman rumah itu, berhenti didepan teras. Pak Amir, ayah Ali Topan turun dari mobil,berjalan menuju pintu rumahnya. Tangan kanannyamembawa Samsonite, tangan kirinya menenteng jas.Dasinya yang sudah dilonggarkan sejak dari dalammobil, melilit di lehernya.

Bejunya merk Kern kotak-kota putih-kelabu mudadengan dua kancing atas dibuka memberi kesan ‘mboys’,gaya muda. Tubuhnya tinggi, 170 cm, atletis, melang-

42

kah tegap. Wajahnya oval, ganteng dengan kumis danrambut dicukur rapi, memberi kesan lebih muda dariusianya yang 49 tahun. Ia seorang pemborong bangunanyang sukses. Anaknya tiga orang. Boyke, Windy, dan AliTopan. Boyke sejak dua tahun yang lau ia sekolahkan keAustralia.

Pintu rumah dibuka oleh Mbok Yem, pelayan keluargayang sudah 13 tahun bekerja.

“Bikinkan madu telor, Mbok. Aku capek sekali,” kataPak Amir.

“Inggih, Ndoro,” jawab Mbok Yem. Dia menutuppintu, dan bergegas lari ke dapur untuk membuatkanmadu telor pesanan majikannya. Pak Amir berjalan santaike dalam kamarnya.

Mbok Yem seorang janda asal Semarang yang berusia51 tahun. Suaminya seorang penjaga pintu kereta apimenceraikannya karena mau kawin lagi. Anaknyadibawa oleh suaminya. Mbok Yem kemudian merantauke Jakarta, dan bekerja pada keluarga Amir sejak AliTopan berumur 5 tahun. Mbok Yem bertubuh kurus, agaktinggi dan rambutnya selalu digelung. Wajahnya bundar,suka menginang dan menyanyi tembang-tembang Jawalama. Ia sangat menyayangi Ali Topan yang ia asuhdengan cinta.

Pak Ihin, sopir Pak Amir, memarkir mobil di bawahpohon rambutan. Sopir setengah tua yang bernamalengkap Solihin itu membuka kap mesin mobil, untukmendinginkan udaranya. Lalu ia memasang pipa plastikdan membuka keran untuk mencuci mobil.

Di dapur, Mbok Yem mengaduk madu Sumbawa dandua butir telur ayam kampung yang sudah diberi jeruknipis secukupnya.

“Ndoro Kakung sekarang sering bener minum madu

43

telor. Setiap hari dua kali. Gawat,” Mbok Yem berbicarasendiri sembari menata gelas berisi madu telor dan airsirup markisa di baki. Ia tak sadar bahwa majikannyasedang berdiri menunggu di depan pintu dapur. “Hm!Hm!” Pak Amir berdehem, Mbok Yem terperanjat.“Ngomong apa kamu, Yem. Gawat, gawat apa?” tanyaPak Amir.

“Eh saya jadi kaget. Ini madu telornya sudah siap,Ndoro,” kata Mbok Yem. Wajahnya menunduk. MbokYem membawa jamu itu ke ruang tengah. Majikannyamembuntuti dari belakang. Begitu gelas jamu itu ditaruhdi meja, langsung Pak Amir meminumnya cepat-cepat.Kemudian ia mencuci mulutnya dengan es sirup markisa.Ia duduk bersantai di kursi ruang tengah untuk memberikesempatan madu telor masuk ke dalam perutnya.

Suara motor yang bising membuatnya tersentak. AliTopan datang. Ia memarkir motornya di dekat sopir yangsedang mencuci mobil ayahnya.

“Selamat sore, Den,” sapa Pak Ihin.“Eh, papa mau ngayab ke mana lagi malam ini Bang

Ihin?” tanya Ali Topan.“Saya tidak tahu, Den.”“Mau main perempuan lagi ya. Dapet komisi berapa

kamu?” kata Ali Topan sambil berjalan masuk ke rumah.Pak sopir mengernyitkan dahi, dan menggeleng-geleng-kan kepalanya. Ucapan Ali Topan rupa-ruoanya menan-cap di hatinya.

Masuk ke ruang tengah, Ali Topan melihat ayahnyasedang duduk santai, mengisap cerutu. Tanpa mengucap-kan salam, tanpa menggubris ayahnya, Ali Topan nyelo-nong masuk kamarnya di bagian belakang ruang itu.Wajahnya kusut.

“Ali!” bentakan ayahnya membuat Ali Topan berhenti.

44

Ia tak menjawab. Diam saja di tempatnya. Seperti pa-tung.

“Ali! Ke sini kamu!” kata ayahnya. Pak Amir mene-ngok ke arah anaknya. Ali Topan tepat membalikkanbadannya. Kedua ayah dan anak itu bertatapan. Sinarmata Ali Topan yang tajam menatap mata ayahnya sepertiorang asing.

“Ada apa, Papa?” kata Ali Topan. Ia melangkah mende-kati tempat duduk ayahnya.

“Duduk situ, papa mau tanya sesuatu!” kata Pak Amir.Ali Topan duduk di depan ayahnya. “Tanya apa?”

katanya.“Dari mana saja kamu? Gini hari baru pulang.”“Biasa-biasa saja, Pa.”“Biasa-biasa saja bagaimana? Kamu ini kalau ditanya

orangtua, selalu menjawab seenaknya saja. Biasa-biasa,jawaban macam apa itu! Sembarangan!”

Ali Topan melihat ke arah ayahnya. Dengan gaya santaidia mengangkat kakinya dan mencabut sebatang rokokdari tempat “khas” itu. Ia nyalakan rokok dengan korekapi Ronson milik ayahnya yang tergeletak di meja.

“Gaya kamu itu lho yang bikin orang nggak tahan!Tahu apa tidak kamu? Gaya kamu itu macemnya koboitengik. Sama sekali tidak ada respeknya sama orangtua.Ada orangtua duduk, dilewati saja tanpa bilang numpangliwat kek atau permisi kek atau kentut pun tidak. Nyelo-nong saja. Apa kamu menganut mode Slonong Boys ya?”kata Pak Amir. Kesal betul dia.

“Abis kalau nggak ada perlunya bilang apa-apa, maubilang apa? Saya bosen basa-basi. Soalnya …”Terbayang olehnya foto-foto mamanya di kolam renang.

“Soalnya kenapa? Soalnya kamu saja yang tidak tahuaturan. Apa di sekolahmu memang tidak diajar etiket dan

45

sopan santun!”“Udah, udah deh, nggak usah bawa-bawa sekolah, eti-

ket atau sopan santun segala. Percuma belajar sopansantun kalau yang mengajari juga tidak mau memakaisopan santun itu,” kata Ali Topan. Dia hendak bangkit,tapi ayahnya menyuruh tetap duduk. Geram betul PakAmir mendengar omongan anaknya yang dianggap asalbunyi itu. Ia tak tahu rasa hati anaknya.

“Dari mana kamu?” kata Pak Amir. Nadanya melunak.“Biasa.”“Kamu nggak punya persediaan kata-kata lain kecuali

biasa-biasa itu, he? Gayamu itu lho, bikin orangtua pu-sing.”

Ali Topan diam saja. Dia menikmati rokoknya dengangaya orangtua. Matanya mengawasi asap rokok yangdibuatnya bundar-bundar.

“Jadi kebiasaan sekolah sekarang ini berangkat pagipulangnya malam, begitu?” kata ayahnya.

“Iya. Seperti orang kantoran,” kata Ali Topan.“Orang kantoran bagaimana?”“Banyak teman saya bilang, bapak mereka kalau

berangkat pagi, pulang ke rumah pagi lagi. Kadang-kadang nginep di motel sama cabo!”

Alis Pak Amir terangkat tiba-tiba. “Kau nyindir aku,heh?” katanya. Matanya melotot. Wajahnya merahseperti tembaga. Dia merasa tersindir betul.

Ali Topan menatap mata ayahnya dengan hati mantap.Kemudian ia berdiri dan berjalan meninggalkan sangayah yang tiba-tiba berlagak seperti orang pilon. AliTopan masuk ke kamarnya. Ayahnya berjalan ke kamarmandi. Mbok Yem melihat dari celah pintu dapur.

Di dalam kamar, Ali Topan menekan tombol lampu didekat pintu. Plap! Lampu menyala, kamar jadi terang

46

benderang. Ali Topan tegak menatap ruang pribadinyaitu. Matanya redup memendam keperihan. Tapi mata itutiba-tiba menyala ketika memandang sebuah poster besaryang terpampang di dinding, di atas tempat tidurnya. ”Ahouse is not a home,” demikian kalimat di poster itu.

Ali Topan membeli poster itu dari sebuah toko di BlokM. Poster itu ia beli dengan uangnya sendiri, sebagaihadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri. Barangkalilucu, tapi begitulah halnya. Poster itu berukuran 70x90cm, bergambar sarang laba-laba di atas dasar hitam.Tulisannya kelabu muda.

Sebuah radio merk Phillips terletak di meja kecil didekat tempat tidurnya. Radio itu juga merupakan temansekamar Ali Topan, sebagai penghibur hati. Pemancarradio yang disukainya adalah Bonaparte-52 dan Juliet &Romeo (J&R).

Bonaparte yang terletak di Jalan Leuser disukainyakarena selalu memutarkan musik pop dari The Beatlesdan Koes Bersaudara yang dikaguminya. Ia memangpenggemar fanatik The Beatles. Sedangkan J&R yangterletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, disukainyakarena studio itu pintar memilih musik yang cocok de-ngan suasana untuk mengiringi pembacaan syair lagu-lagu folk, balada dan country tahun 60-an, 70-an danlagu-lagu pop.

Lagipula para penyiarnya tidak norak dalammembawakan acara. Ali Topan bahkan menganggapBonaparte dan J&R seakan-akan didirikan memanguntuk menghibur dirinya.

Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Buku-buku. Segala macam buku. Ada buku politik SangPangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa bukukarya Bung Karno serta kumpulan pidato presiden perta-

47

ma Republik Indonesia itu. Ada buku sejarah, terutamasejarah pergerakan kebangsaan dan sejarah Indonesialama, juga buku-buku biografi. Ada buku novel pop. Ko-mik Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Buku kumpulansyair Bob Dylan dan berjilid-jilid buku serial silat Cina.Dan… di antara buku-buku itu terkadang ada buku sten-silan yang kalau ditinjau dari segi pornografi, cukupmengasyikkan!

Ali Topan menutup pintu kamar dan menguncinya. Iaberjalan ke radio. Dihidupkannya radio itu, dan diputar-nya gelombang J&R.

“Penyiar Johnny dan operator Ikhsan sedang repotmenghibur teman-teman di rumah yang sedang belajaratau ngelamun. Semoga musik yang kami putarkan daristudio dapat melenyapkan lamunan buruk dan menda-tangkan impian indah serta rejeki di malam ini. He hehe…,” demikian suara penyiar J&R.

Suara ketawa he he he itu disambung dengan musikmanis dari The Hollies, Too Young Too Be Married. AliTopan merebahkan dirinya ke tempat tidur. Matanya ter-pejam. Ia menikmati suasana sendiri. Sendiri.

Tiba-tiba ia melompat bangun dan duduk di lantai bera-las tikar pandan. Ia mengambil sebuah buku dari dalamtasnya dan mengambil foto-foto yang dicetak Gevaerttadi. Foto Nyonya Amir dan seorang anak muda yangsedang berpelukan, tertawa-tawa dan bermesraan dikolam renang. Ia gelar foto-foto itu di atas tikar pandan,dan ia pandangi dengan cermat untuk memastikan apakahwanita berpakaian renang hitam polkadot puth itu benar-benar mamanya.

Sesungguhnya, fakta itu telah pasti. Matanya pun taksangsi. Namun ada suatu keinginan dalam hatinya, bahwawanita dalam foto itu bukan mamanya.

48

Ali Topan sedih sekai menghadapi kenyataan yangbahkan dalam mimpi pun tak pernah diharapkan terjadioleh seorang anak yang mendabakan ibunya seorangwanita utama. Bukan seorang tante girang jalang yangterkenal di kawasan Kebayoran.

Sudah cukup lama —sekitar delapan bulan— omonganjelek tentang mamanya yang suka “main” dengan anak-anak muda itu ia dengar dari teman-temannya penyiar-penyiar radio di Kebayoran. Ia pernah menyampaikangosip itu ke mamanya. Apa kata si mama? “Kamu nggakusah ikut campur urusan orangtua,” begitu katamamanya. “Omongan begitu kok didengar. Manabuktinya ?” lanjut mamanya.

Tapi hari ini Ali Topan memegang bukti itu yaitu foto-foto hasil potretan Gevaert. Ternyata Gevaert telah cukuplama menyimpan filmnya. Tapi baru tadi malam ia mem-beri tahu Ali Topan lewat telepon.

“Tadinya gue mau bakar film itu, Pan. Karena gue pikirlu bisa marah ke gue dan persahabatan kita putus. Tapi...gue mikir lagi, lu pernah tulis di buku gue bahwa kitanggak boleh lari dari kenyataan. Don’t run away fromreality,” begitu kata Gevaert lewat telepon.

“Kalau lu bakar itu film, lu bukan kawan gue, Vaert,”kata Ali Topan. “Besok kita cetak itu foto. Tapi Bobbyama Dudung nggak perlu tau.”

Lewat telepon itu Gevaert bercerita lagi bahwa sebulanyang lalu ketika ia disetrap tiga hari gara-gara tertangkapbawa buku porno ke sekolah, ia tiap hari berenang dikolam renang Senayan. Surat dari wali kelas untuk orang-tuanya ia bakar. Dan ia menulis sendiri surat permintaanmaaf dengan mesin tik dan memalsu tanda-tangan ayah-nya.

“Pada hari kedua gue ke kolam renang itu, sekitar jam

49

sepuluh, gue liat mama lu sama cowok. Diem-diem gueambil tustel gue, terus gue potret mereka pake lensatele..,” cerita Gevaert tentang bagaimana ia secarakebetulan memotret Nyonya Amir dan cowoknya.

Dua kali ia mendapatkan bukti. Yang pertama, sekitarempat bulan yang lalu pada saat liburan sekolah. Gevaertmengajak dia, Dudung dan Bobby menginap di villanyadi Cipanas. Malam harinya mereka membayar seorangpenjaga villa sewaan untuk mengintip pasangan yangsedang ngesex itu Pak Amir, papanya sendiri bersamaseorang pelacur...

Ali Topan mendengar ketukan di pintu kamarnya. Iahafal itu ketukan mbok Yem. Ia sedang bersedih, inginmenyendiri. Tapi akhirnya ia bangun juga dan membukapintu. Mbok Yem berdiri membawa baki berisi air jerukdingin.

Pak Amir keluar dari kamar mandi, berjalan masuk kekamarnya. Mbok Yem mengangkat gelas bekas madutelor dari meja. Dibawanya gelas kotor itu ke dapur, mele-wati kamar Ali Topan. Di depan kamar Ali Topan, MbokYem berhenti sebentar dan melongok ke pintu yang tertu-tup itu. Kemudian Mbok Yem berjalan terus ke dapur.

Ali Topan menelungkup di tempat tidur. Lalu mene-lentang lagi. Pada posisi begitu ia mengambil sebatangrokok dari kaus kakinya. Dinyalakannya rokok itu,kemudian ia isap. Musik The Hollies memang asyikdinikmati sembari merokok, begitu kata hati Ali Topan.Ia melamun. Dikepulkannya asap rokok menjadi bulatan.Begitu terus-menerus, sampai asap memenuhi kamarnya.Dan ia terbatuk-batuk oleh rokok itu.

“Waduh, waduh! Asep rokoknya kayak asep sepur saja,Den Bagus. Jadi sumpek dong, kamarnya. Itu kan, udahmulai batuk-batuk,” kata Mbok Yem.

50

Ali Topan mengangkat kedua kakinya ke atas, kemu-dian dengan gaya akrobatik ia melenturkan kaki itu kekasur. Dengan cara itu ia duduk di tempat tidurnya. Iamenyemburkan asap rokok ke arah Mbok Yem.

“Owalaah! Kok Mbok Yem malah disembur sama aseprokok. Sudah, brenti ngrokoknya, Den Baguuus! Nggakbaik, masih sekolah sudah banyak ngrokok. Ini, minumair jeruk saja biar seger buger,” kata Mbok Yem. Ia mem-berikan gelas pada Ali Topan.

“Terima kasih, Mbok,” kata Ali Topan, lalu diminum-nya air jeruk itu sampai habis!

Mbok Yem geleng-geleng kepala menyaksikankelakuan anak asuh yang dia sayangi itu. Ali Topan,selesai minum, mengangsurkan gelas pada Mbok Yem.Mbok Yem mengambil gelas itu dan menaruhnya di dekatradio. Kemudian perempuan tua itu duduk di tepi tempattidur. Tangannya mengelus rambut dan dahi Ali Topandengan penuh kasih sayang.

“Kok anget, Den Bagus. Sakit ya? Implensa?” kataMbok Yem. Ali Topan memegangi tangan Mbok Yem.

“Eh. Mbok. Kalau manggil aku nggak usah raden bagusraden bagusan, kenapa siiih? Kayak panggilan ketoprakaja. Nggak betah kupingku dengernya!” kata Ali Topan.

“Lho, habis mau panggil apa? Apa mau panggil DenAyu? Den Ayu itu panggilan buat perempuan, DenBagus. Masa gitu dibilang kayak ketoprak. Yang beneraja dooong,” kata Mbok Yem.

“Panggil saja mack gitu, atau jack juga boleh.”“Mek? Jek? Apa itu?”“Aah, bodo lu Mbok, ah. Eit, sorry, bukan bodoh, tapi

belum paham cara panggil orang modern,” kata AliTopan. Ia menyeringai.

“Biarin dibilang bodo. Memang Mbok Yem bodo,

51

Mbok Yem nggak sekolah, biariiin. Kalau Mbok Yempinter kan nggak jadi babu, Den Baguuuus,” kata MbokYem. Ucapannya bernada pasrah, dan itu sama sekalibebas dari rasa tersinggung atau rasa lain yang sejenis itu.

Ali Topan mencium punggung tangan Mbok Yem.Mbok Yem ternganga. Lalu senyum arif. Ia tahu bahwamajikan mudanya itu juga sayang padanya. Majikan mu-danya itu, walaupun omongannya suka sembrono, tapihatinya baik dan peka. Ia sayang majikan mudanya,seperti sayangnya pada anaknya sendiri yang kini ikutsuaminya setelah mereka bercerai.

“Mbok, tolong bukain jendela dooong,” pinta AliTopan. Segera Mbok Yem melaksanakan order itu. Iabuka jendela dan mengipas udara kamar dengan serbetyang selalu tersampir di pundaknya.

“Jangan keliwat banyak ngrokok, Den Bagus. Nantisakit. Kalau sakit kan Mbok yang repot,” kata MbokYem. Ali Topan memandang Mbok Yem. Ia tersentuholeh ucapan perempuan itu. Tanpa bicara, Ali Topanmematikan rokok di asbak dekat radio. Mbok Yemtersenyum padanya. Ali Topan pun tersenyum padaMbok Yem.

“Kalau bukan Mbok Yem siapa lagi yang mau repot?Apa Mbok Yem nggak mau direpotin? Kalau nggak maudirepotin, bilang dong dari kemaren…,” kata Ali Topandengan nada mengajuk.

“Bukan gituuu, Den Bagus. Kalau den bagus sakit,Mbok kan sediiih. Mbok sih mau saja direpotin. KanMbok sudah pasrah nglakoni hidup ini sebagai abdidisini. Abdi kan memang kerja buat repot-repot DenBagus,” kata Mbok Yem.

Tiba-tiba ia tertegun melihat ke foto-foto di atas tikar.Mbok Yem membungkuk mengamati foto-foto nyonya

52

Amir dan seorang anak muda di kolam renang. MbokYem melihat ke Ali Topan. Ali Topan melihat ke MbokYem. “Ini Ndoro Putri ?” tanya mbok Yem, pahit.

“Ya, mamaku, Mbok...,” kata Ali Topan.“Siapa anak muda itu?” tanya Mbok Yem sambil berdiri

lagi.Mata Ali Topan menatap tajam ke arah Mbok-nya.

Lalu, segera ia memutar gelombang radio, untuk mengu-sir berbagai rasa dari hatinya. Ia menghentikan putar-annya setelah musik pop The Beatles menggema di ruangitu. Gelombang radio Bonaparte-52!

Akhir lagu Mister Postman dilanjutkan dengan laguStrawberry Fields Forever dari The Beatles. Ketika laguitu memasuki refrainnya, Ali Topan membesarkanvolume suara radio itu, hingga musik dan vokal JohnLennon dkk menggema keras di ruang kamarnya.

Living is easy with eyes closedmisunderstanding all you seeit’s getting hard to be someonebut it’s all works outit doesn’t matter much to me...Mbok Yem buru-buru keluar dari kamar, karena men-

dengar suara pintu dihempaskan dari arah kamar PakAmir.

Pak Amir memang menghempaskan pintu lemari sete-lah ia mengeluarkan setelan jas sport-nya. Hobi Pak Amirmemang begitu, suka menghempas-hempaskan pintu,seakan-akan ia dilanda kemarahan yang sangat besar.Padahal itu cuma kamuflase. Hatinya sebenarnya tertawageli setelah menghempaskan pintu itu. Di masa mudanyaia pemain teater, jadi pintar akting.

Ia berdandan secara kilat. Mengenakan sport-jas kotak-kotak coklat tua dengan pantalon krem. Dia memakai

53

sepatu Bally yang harganya Rp 44.000, kemudian me-nyemprotkan parfum ke sapu tangan, lengan jasnya dandi bagian bawah pantalonnya. Kemudian ia bercerminsebentar, menyisir rambutnya dan membetulkan letakkacamatanya. Lalu ia membuka tas Samsonite dan meng-ambil segumpal uang kertas dari dalam tas itu, kemudianmemasukkan uang itu ke saku celananya.

Lalu ia keluar dari kamarnya.Tepat pada saat ia hendak menutup pintu kamar, Mbok

Yem sedang berjalan dari kamar mandi. Pak Amirmenampakkan wajah serius, diangker-angkerkan supayakelihatan berwibawa betul.

“Mbok, saya mau rapat. Ng… anak monyet yang satuitu jangan boleh ngayab lagi. Suruh belajar gitu! Kalauibu tanya, bilang saya rapat, gitu. Dengar, Mbok?” kataPak Amir.

“Saya, Tuan!” jawab Mbok Yem sambil membung-kukkan badannya dalam gaya orang Jawa jamanpenjajahan.

Pak Amir menutup pintu kamarnya, lalu berjalankeluar. Kemudian ia menghampiri mobilnya yang sudahsiap di depan pintu.

Pak Ihin membukakan pintu mobil dan Pak Amirmasuk ke dalamnya. Mbok Yem mengunci pintu. Laluberjalan masuk ke dalam tanpa melihat ke arah mobilyang bergerak meninggalkan halaman rumah.

Suasana malam biasa-biasa saja. Warna langit biasa-biasa saja. Tapi memang udara agak dingin di luar.

***Boutiqe Srigala yang terletak di Jalan Sunan Kalijaga

merupakan salah satu boutiqe eksklusif di daerahKebayoran. Jalan Sunan Kalijaga memang tidak seramaiJalan Melawai Raya yang lebih dekat dengan pusat

54

pertokoan Blok M, tetapi jalan itu memberi kesan tersen-diri yang justru lebih memantaskan Srigala sebagaialamat orang-orang kaya Kebayoran, Menteng maupunTebet, memperoleh pakaian siap pakai dari berbagaimerk terkenal. Srigala khusus butik lelaki.

Lepas waktu Isya’, sebuah mobil Holden Premier war-na hitam pekat berhenti di depan butik. Seorang nyonyaberumur sekitar 43-an keluar mobil digandeng seorangpemuda umur 27-an yang tadi menyetir mobil itu. Merekaberjalan memasuki butik, bergandengan mesra sekali.

“Punggungnya nggak dingin?” tanya si pemuda sambilmengusap punggung si nyonya yang terbuka karena iamemakai gaun backless.

“Dingin? Masa ada jij masih dingin?” kata si nyonya.Keduanya tersenyum seperti sepasang pengantin remajasaja.

Seorang nona penjaga butik menyambut merekadengan sopan santun komersilnya.

“Daag Tante, selamet malem… Sampe kangen deh,sudah lama nggak kemari… baju baru Kern dan Cavallosudah hampir habis diborong orang, tapi masih sayasisain buat… mm… buat siapa siih?” Kata penjaga butik.Senyumnya legit ke arah pemuda yang berlagak pilon.

“Eh, Zus Lenda, apa belum kenal? Ini ponakan Ik yangbaru, paling baru. Tommy, kenalan sama Zus Lenda…,”kata si nyonya.

Tommy dan Zus Lenda bersalaman. Keduanyasenyum-senyum. Si nyonya tampak bangga ketikamelihat sinar mata ‘naksir’ Zus Lenda pada Tommy.

“Ganteng, ya Zus?” kata si nyonya.“Wah, ganteng sekali. Paling ganteng dari semua

ponakan tante yang dulu-dulu. Ini sih barang eksklusif,he he he,” kata Zus Lenda, “ini ponakan yang dari Jerman

55

atau dari London, Tante Amir?” tambahnya.“Dari Tebet saja…,” jawab si nyonya yang ternyata

bernama Nyonya Amir itu. Ia memang istri Pak Amir,jadi ibu Ali Topan status formilnya.

Pemuda Tommy itu bukan ponakan dalam arti sebe-narnya, melainkan ponakan dalam arti semu yang biasadipakai di kalangan tante-tante girang. Ponakan ituartinya kekasih gelap. Memang Nyonya Amir itu seorangtante girang yang beken di Kebayoran. Hal itu termasukmasalah yang membuat Ali Topan kesal, malu dan selalumenderita batin.

“Ayo, young! Katanya pingin baju Cavallo merah, min-ta aja sama Zus Lenda,” kata Ny Amir, “Zus, tolong dehpilihkan warna merah, dan yang biru itu sekalian,” tam-bahnya.

“Ukuran berapa?” tanya Zus Lenda.“M …,” sahut Tommy. Tampak ia malu-malu kucing.Segera Zus Lenda mengambil baju-baju Cavallo warna

merah dan biru dari lemari butik, lalu dihamparkannya didepan Tommy. “Mau coba dulu?” katanya.

“Sudahlah, sudah cocok itu …,” kata Nyonya Amir,“bungkus saja langsung,” tambahnya.

Zus Lenda langsung memasukkan baju-baju itu kedalam tas plastik ber-merk Srigala. Nyonya Amir meng-ambil 7 lembar Rp 5.000-an, disodorkannya pada ZusLenda. “Cukup, Zus?” katanya.

“Kurang seribu, Tante… tapi biar deh, korting seribu.”“Trims deh. Oke, saya langsung saja, ada acara lain,

Zus Len,” kata Nyonya Amir.“Silakan. Trima kasih Tante. Trima kasih Tommy,”

kata Zus Lenda. Ia mengantarkan tamunya sampai pintu.Senyumnya segera berubah setelah mobil Holden yangmembawa Nyonya Amir dan Tommy pergi. Senyum ko-

56

mersil yang cerah berubah jadi senyum iri hati yang sedih.Zus Lenda seorang perawan menjelang senja.

Mobil Holden Premier itu meluncur di jalanan. Tommymenyetir mobil dengan wajah cerah. Nyonya Amir terse-nyum memandanginya.

“Puas, young? Cavallo merahnya?” tanya NyonyaAmir.

“Oooouw, puas sekali, Tante … Tapi mahal amat ya?Rasanya sayang amat duit segitu banyak cuma dapet duabaju saja,” kata Tommy. Omongannya itu bermaknabasa-basi, berkait di ujungnya.

“Aah, buat Tommy tak ada rasa sayang tante keluarkanuang. Yang penting Tommy puas, senang, tante juga puas,senang. Kan gitu, Tom? Ha ha ..”

“Terima kasih, Tante ..”“Oow, kembali kasih, young… tapi nyetirnya jangan

terlalu pelan dong, tante kan sudah capek, ingin dipijetsama Tommy… hm... hem,” kata Ny Amir. Ia mencubitpaha Tommy. Tommyo menangkap tangannya danmengusap tangan itu. Nyonya Amir kembali mencubitpaha Tommy. Dan bukan cuma mencubit paha saja.Tangan itu menjadi liar dan aktif ke sana ke mari.

“Ke Garden, Tante? Langsung?” kata Tommy.“Langsung, young…”Tommy menancap gas. Mobil melaju ke arah Tebet. Di

situ ada penginapan Garden, tempat orang-orangmemadu cinta gelap.

***Di rumah, kesepian menggerayangi hati Ali Topan.

Suasana sepi seperti itu begitu sering melingkupinya.Rumah kosong, ayah dan ibunya pergi mencari kesibukanmasing-masing.

Boyke, abangnya sudah jauh. Di Sidney Australia. Ka-

57

barnya belajar di sekolah bisnis. Ia dua kali mengirimkartupos bergambar kanguru ke Ali Topan. Isinya itu keitu saja: tentang cuaca di Sidney, dan nasihat agar AliTopan jangan bandel-bandel, harus rajin sekolah, jangansuka membantah papa dan mama dan jangan suka ber-tengkar dengan Windy.

Ali Topan membalas menasehati Boyke lewat kartuposbergambar monyet: Kalau belajar bisnis ngapain lu jauh-jauh ke Australia ? Buang-buang duit. Lu belajar ajesama Cina-cina di sini. Atau lu belajar nyogok pejabatsama papa.

Boyke marah sekali dikirimi kartupos bergambar mo-nyet dan nasihat itu. Ia mengirim balasan kartuposbergambar anjing dengan kalimat: Kurang ajar lu! Awaskalau gue pulang, gue hajar!

Wajah Boyke yang klimis tapi mesum terbayang dibenak Ali Topan. Usianya 4 tahun di atas Ali Topan.Kelakuannya konyol karena terlalu dimanjakan olehpapa dan mamanya. Ali Topan tak pernah merasa dekatdengan dia, dan tak pernah respek. Abangnya itu seorangpesolek dan gemar foya-foya seperti papanya. Hatinyahati pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggungjawab !

Boyke dikirim ke Australia oleh papanya sebetulnyauntuk menutupi suatu skandal. Ia menghamili Sinah,pembantu keluarga mereka asal Karto Suro yang beusia18 tahun.

Sinah disuruh menggugurkan janinnya yang telah ber-usia dua bulan oleh Pak Amir. Dan diberi uang Rp 75.000untuk biaya pengguguran itu. “Besok kamu biar diantarpak sopir ke dokter kenalanku. Sesudah selesai, kamuakan saya beri uang lagi,” kata Pak Amir seperti yangdiungkapkan Sinah ketika Ali Topan mengetahui kasus

58

itu pada malam harinya.Ali Topan semula memang tak tahu ada kasus Sinah

hamil disebabkan aktivitas seksual Boyke. Mbok Yemdan Pak Ihin yang tahu kasus itu disuruh tutup mulut olehPak Amir dan nyonya Amir. Ali Topan tahu ketika malamitu ia menyuruh Mbok Yem menanyakan kaos oblongnyayang bergambar lambang ‘peace’ ke Sinah.

“Sinah sudah dua hari ini ndak nyuci pakaian, DenBagus. Dia sakit,” kata Mbok Yem.

“Suruh ke dokter, dong...,” kata Ali Topan polos.“Akan ke dokternya mbesok,” kata Mbok Yem.Ali Topan heran. “Kok besok? Kenapa nggak tadi sore?

Atau malam ini? Emangnnya Sinah sakit apa, Mbok?”“Ndak tahu sakit apa,” kata Mbok Yem lantas cepat-

cepat pergi ke dapur. Ia takut membongkar rahasia itu.Ali Topan penasaran. Ia ke kamar Sinah, maksudnya

akan bertanya Sinah sakit apa. Ali Topan kaget ketikadengan polosnya disertai airmata bercucuran Sinahmengungkapkan kasus itu.

“Lu dosa kalo gugurin anak lu! Jangan mau! Bisa siallu seumur hidup! Dan kalo lu mati dimasukin ke neraka,”kata Ali Topan kepada Sinah. “Daripada begitu, lu pulangaje ke desa lu dan lu lahirin anak lu di sono. Omonganorangtua gue yang kagak bener jangan lu turutin, Sinah...”

Ternyata omongan Ali Topan itu masuk ke hati Sinah.Malam hari itu juga Sinah pergi secara diam-diam darirumah majikannya. Mbok Yem pun tak tahu. Sampaisekarang.

Esok harinya Pak Amir, nyonya Amir, Boyke danWindy sibuk mencari-cari Sinah. Pak Amir menyuruhsopir naik kereta api ke desa Sinah. Tapi Sinah tak ada dirumah orangtuanya. Sinah seperti hilang ditelan bumi.

Beberapa geng dukun yang dibilang sebaga “orang

59

pinter” dimintai bantuan oleh nyonya Amir untuk mene-mukan Sinah. Macet! Hingga, sebulan kemudian, setelahPak Amir, nyonya Amir dan Boyke putus asa, Boykedikirim ke Australia dengan alasan sekolah bisnis.

Ali Topan berlagak bodo seperti anak yang nggak taupersoalan. Karena ia merasa dirinya pun dianggap nggakada sebagai anggota keluarga yang mestinya diberi tahuurusan apa pun yang menyangkut keluarga.

Pernah, malam sebelum keberangkatan Boyke, Windydatang ke kamar Ali Topan. Waktu itu jam sembilan ma-lam, Ali Topan sedang belajar. Windy adalah seorangyang keras kepala, berfikiran negatif, congkak, kalaungomong selalu dengan nada tinggi dengan kecende-rungan mencela atau memvonis.Kecuali kalau dia sedangingin berbasa-basi.

“Pan! Sinah ke mana sih? Nggak ngomong-ngomongtau-tau ngabur aje dari rumah ini! Gue rasa dia itu kepeletsama orang terus diajak kawin!” kata Windy malam itu.

Ali Topan selalu muak kalau mendengar nada dan gayabicara kakak perempuannya yang nggak enak di kupingnggak enak di hati itu. “Lu nanya apa nanya?” kata AliTopan tanpa melihat ke Windy.

“Heh! Gue nanya! Dan lu brenti dulu belajar kalo gueajak ngomong! Payah lu!” hardik Windy. Ia berkacakpinggang sambil merokok di ambang pintu. Ali Topandiam, berusaha menahan rasa muaknya.

“Heh! Denger kagak sih lu? Kayak ngomong samatembok aja gue...” kata Windy. “Gue kan kakak lu!”

Ali Topan menaruh bukunya. Ia menatap Windy.“Kalau lu kakak gue, terus lu boleh ngebentak-bentakgue? Sarap lu!” kata Ali Topan. Windy membelalak. “Eh!Eh! Ngatain gue sarap! Berani lu ya?” kata Windy.

“Emang lu sarap..,” kata Ali Topan Lalu ia memencet

60

tombol on pada tape recordernya dan volumenya disetelpol. Lagu Tomorrow Tomorrow dari The Bee Gees yangsudah separuh putaran menggelegar di kamar itu. Windybergegas meninggalkan kamar si bungsu sambil meng-umpat-umoat.

Esok malamnya, ketika ikut mengantar Boyke ke ban-dar udara, Ali Topan memperhatikan betapa Ruby, pacarBoyke menangis tersedu-sedu di pelukan Boyke disaksi-kan oleh tante Hernadi —mama si Ruby— dan teman-teman mereka. Windy dan nyonya Amir menghibur Rubydengan kata-kata indah.

“Boyke nggak lama kok...,” kata Windy.“Ini kan demi masa depan kalian juga,” kata nyonya

Amir. “Boyke pasti akan selalu setia kepada Ruby,”lanjutnya. Dan sebagainya yang bikin Ali Topan geli.Sementara Pak Amir berdiri dengan gaya sok hebat bisamenyekolahkan anaknya ke luar negeri. Sementaramatanya jelalatan ke mana-mana.

“Aah, gentong nasi - gentong nasi, ngelebih-lebihinpemain ketoprak lu pade,” gumam Ali Topan yang berdiribersama Mbok Yem di luar kerumunan mereka.

“Ngomong apa?” tanya mbok Yem waktu itu.“Di sini nggak ada yang jual ketoprak, Mbok,” kata Ali

Topan yang tersadar ia ngomong sendirian.“Hus ! Nanti malem saja mbok bikinkan. Aneh, orang-

orang sedih mengantar mas Boyke, kamu malah pinginketoprak,” kata mbok Yem.

“Kencurnya banyakin entar ya, Mbok...”“Ya udah, nanti!” kata Mbok Yem sambil mencubit

lengan Ali Topan.“Biar berasa ancur-ancurannye..,” kata Ali Topan

sambil menggandeng lengan Mbok Yemnya.Potongan-potomgan peristiwa masa lalu itu berkilasan

61

dalam memori Ali Topan. Peristiwa yang menjadi bagiandari tragedi kehancuran moral keluarganya. Dan tragediitu masih berlangsung.

Ali Topan berjalan hilir mudik di ruang tengah, ruangdepan, lalu kembali ke kamarnya. Radio masih mengge-makan musik The Beatles dari studio Bonaparte.Lagunya Mother Nature’s Son...

Born a poor young country boyMother Nature’s SonAll day long I’m sitting singing songsFor everyone …

“Den Bagus, nggak mandi? Sudah malem. Mbok sudahsediakan air panas tuh. Mesin pemanas air di kamar mandilagi rusak,” suara Mbok Yem halus menyapa Ali Topandari pintu. Ali Topan berbalik menghadap Mbok Yem.

“Heh, kaget gua!” katanya. “Gua nggak mau mandipake aer panas, Mbok,” tambahnya.

“Lho kok nggak mau kenapa? Bandel, badannya angetdisuruh mandi pakai air anget nggak mau. Kalau begituraup saja.”

“Apa itu raup? Raup itu cebok, ya Mbok?” kata AliTopan. Dia tersenyum geli ke arah Mbok Yem dan simbok melotot.

“Ooo, raup saja nggak tau. Raup itu cuci muka!”“Bahasa apa itu raup?”“Lho, bahasa Jowo to?”“Oow, bohoso Jowo? Guo soh orong Njokorto, Mbok?

Bukon orong Njowo… ho ho ho,” kata Ali Topan. Diaterpingkal-pingkal.

Mbok Yem ikut ketawa. Dia suka kalau melihat DenBagusnya ketawa macam itu. Pokoknya asal Den Bagus-

62

nya tidak kelihatan bersedih hati dan muram, Mbok Yemsudah senang.

“Raup apa mandi air anget?” kata Mbok Yem.“Kalau mandi air anget keseringan bisa impoten,

Mbok! Tau impoten apa nggak?”“Mboten…,” kata Mbok Yem, “ayo deh, mandi saja

sana,” tambahnya. Mbok Yem meninggalkan Ali Topan.Mother Nature’s Son dari The Beatles usai.Ali Topan mencopot pakaiannya, lalu pergi mandi.

Mbok Yem masuk ke kamar, membereskan kamar itu.Usai Mother’s Nature Son, terdengar suara penyiar co-

wok radio Bonaparte yang vokalnya cempreng. “BuatAli Topan di mana saja berada, kami akan putarkan lagukesenangannya, The Fool On The Hill. Atas permintaanMaya dengan ucapan: ”Eh kamu kemana aja sih koknggak ada beritanya. Aku kangen loh...”

“Aduh duh duuh yang kangen... kesian amat... Kalaumemang yang namanya Ali Topan itu nggak ada kabar-kabarnya, nggak usah dikangen-kangenin... Entarkegeeran dienya... Putusin aje... Kayak layangan... Distudio Bonaparte banyak stok kok... he he he... Terutamayang sedang ngablak nih... Aku baru pat-ar loh... he hehe... Okey Maya.. dan Ali Topan dan para monitorBonaparte di Kebayoran Baru dan sekitarnya, selamatmendengarkan dan salam kompak dari apung-apung aliasanak pungut Napoleon Bonaparte.” Penyiar itumengoceh panjang tanpa putus.

Lalu terdengarlah nada-nada piano intro lagu yangmenakjubkan itu, disusul vokal Paul McCartney yangkebocah-bocahan.

Day after day, alone on a hillThe man with the foolish grin iskeeping perfectly still

63

But nobody wants to know himthey can see that he’s just a fooland never gives an answerBut the fool on the hiilsees the sus going downand the eyes in his headsee the world spinning round...

Well on the way, head in a cloudThe man of the thousand voices istalking perfectly loud...But nobody ever hear himor the sound he appears to makeAnd he never seems to noticeBut the fool om the hillsees the sun going downand the eyes in his headsee the world spinning round...

“Lagu opo iki ! Mbok nggak ngerti...,” gerutu mbokYem ditengah interlude lagu yang tiupan flute-nyafilosofis banget.

Dari kamar mandi di samping kamar itu terdengar suaralantang Ali Topan menjerit menyanyikan bait akhir syairlagu yang menyindir orang-orang dungu yang mengolok-olok seorang bijak yang menyendiri di suatu bukit sebagaithe fool.

Ooo.. Oooh!He never listens to them!He knows they’re the fools..!!

***

64

EMPAT

Malam itu pukul sembilan lewat sepuluh menit. Disebuah jalan raya yang menuju ke kota Bogor,Fiat Sport Pak Amir melaju kencang. Sopir te-

nang menatap jalanan di depannya. Pak Amir tenang me-mangku seorang perempuan di jok belakang. Pak Amirbukan rapat malam ini, sebagaimana yang dikatakannyapada Mbok Yem. Pak Amir bukan rapat melainkan ‘ra-pet’. Perempuan muda belia yang ada di pangkuannya ituseorang pelacur. Dia mengambil pelacur itu dari seoranggermo di Jatinegara.

“Oom, bagi rokoknya dong. Emmy pingin ngrokokdeh,” pelacur muda itu berkata. Mulutnya dimonyongkanke mulut Pak Amir.

“He he he, rokok sih boleh. Rokok besar apa rokokkecil? He he he …”

“Ah, si Oom ini… suka begitu… rokok kecil dong.Rokok besarnya nanti saja.”

“Lho, begitu apanya? Kan bener, Oom tanya mau rokokbesar apa rokok kecil? Rokok besar itu cerutu, Oom jugabawa, tapi cuma sebatang, kalau rokok kecil adasebungkus.”

Pelacur Emmy mencium jidat “Oom” Amir. Pak Amirbalas mencium pipinya. Keduanya berciuman. Emmytak jadi minta rokok. Malah yang merokok klepas-klepussopir mobil itu, yang bulu kuduknya merinding mende-ngar cap-cup-cap-cup, serta helaan nafas erotis darimajikan dan gendaknya.

***

65

Di depan garasi rumah Pak Amir.Ali Topan memakai jeans putih, kaos oblong biru dan

jaket jeans lengan buntungnya. Ia membawa buku tulisyang diselipkan di sela pinggang celananya. Barusan Ge-vaert menelepon ngajak belajar bersama. Ia menyemplakmotornya. Mbok Yem geleng-geleng kepala di dekat ga-rasi melihat Ali Topan.

“Sudah, nggak usah pergi lagi, Den Bagus. Tadi bapakpesen supaya den bagus di rumah saja. Jangan pergi, DenBagus …,” kata Mbok Yem.

“Sumpek di rumah, Mbok. Aku mau belajar di rumahGevaert. Aku pergi dulu ya, Mbok.”

Ali Topan menghidupkan mesin motornya.“Daah, Mbok.”“Daaah.”Ali Topan melambaikan tangan ke Mbok Yem. Mbok

Yem melambaikan tangan ke den bagusnya itu. Ali Topanlangsung menggeblas dengan motornya. Ia tak mau teng-gelam dalam kesedihan.

“Ati-ati di jalan Den Baguuus! Jangan ngebuuuut,”teriak Mbok Yem. Tapi teriakannya itu ditelan oleh deruknalpot motor. Ali Topan tidak mendengarnya.

***Di rumah Gevaert.Gevaert mengatur buku-buku pelajaran di kamarnya.

Dia bersiul-siul lagu sembarangan. Tampaknya gembirabetul dia. Tina, kakak perempuan Gevaert muncul di pin-tu kamar. “Assiiiik deh, bersiul-siul sendiri. Ada apa sih,Vaert? Baru dapet undian harapan ya?” kata Tina.

Gevaert tak menengok. Dia tetap bersiul-siul dan me-nata buku-bukunya.

“Gevaert! Budeg lu ya? Ditanya orang diem aje!”Gevaert menoleh ke arah Tina. Dia menyeringai.

66

“Eh, orang lu? Gue kirain bukan,” katanya, “iye, iye,eh iye besok mau ulangan, jadi gua menyenang-nyenangkan diri dong. Biar kagak grogi Tin! Ng, tulungbikinin kopi sama sediain roti dong, kawan-kawan guemau studi di sini, Tin,” tambahnya.

Tina mencibirkan bibirnya.“Wuuu, enak aje. Emangnye gue babu lu?”“Yeee, kalau babu cakepnya kayak lu, stimbat tutup

dong!”“Ah sialan lu…”“Iye deh, sialan ya sialan, cuma tulungin dong. Masa

gua yang musti bikin kupi. Ntar rasanya kayak aercomberan dong, Zusye …,” kata Gevaert, “yang saturada enceran ya, buat si Topan. Dienye kagak doyan kupikentel,” tambahnya.

Tina tertegun. Wajahnya mendadak cerah.“Eh, die dateng juga? Boleh deh gue bikinin. Tapi,

ngomong-ngomong, die udah punya cewe apa belon sihVaert? Siapa sih ceweknya?”

“Lu naksir dia? Jangan macem-macem lu. Ngaca dong,ngaca… umur lu berape, Tin…”

“Kalau gua naksir emang kenape? Nggak boleh? Ituhak gue dong. Hak asasi! Lu kan juga naksir temen gua.Gantian boleh dong …”

Tina menyeringai ke adiknya. Gevaert mikir.“Siape temen lu yang gua taksir? Tampang udah kayak

oplet semua begitu …”“Ngepet lu!”Gevaert ketawa. Tina juga ketawa. Mereka akrab seba-

gai kakak-adik, walaupun tampaknya sering bertengkar.Tina, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Ro-musha, memang rada cerewet, sedangkan Gevaert sukausil.

67

“Uh, teman-teman gue di Romusha banyak yang naksirAli Topan deh Vaert. Anaknya keren banget sih.”

“Temen-temen lu udah pada ngaca apa belon? Kalautampangnye masih kayak oplet sih lu bilangin, suruhpergi ke bengkel Chow Brothers dulu supaya dipermak.Sorry aje, gang kite nggak terima cewek opletan!”

“Ih, sadis deh lu! Ntar gue bilangin sama si Poppy barutahu lu.”

Poppy itu kawan se-fakultas Tina yang ditaksirGevaert.

“Wauuuuw, jangan dong, sayaaang. Kalau si Poppysih barang mulus tuh. Pokoknya bakal bini gua dia. Lubilangin, gua larang dia naksir-naksir orang lain. Tunggulamaran gue aje, ye? Heh heh heh.”

Tina tertawa manis mendengar ucapan adiknya.“Tapi tuker sama Ali Topan dong. Poppy buat lu, Ali

Topan buat gua,” kata Tina.“Eh, lu serius nih?”“Dua rius… Tampangnya hensem, tongkrongannya

macho, babenya kaya... Woow! Gue mau deh langsungkawin ha.. ha.. ha..!”

Gevaert tiba-tba serius menatap mata Tina. Kakaknyaheran. “Kenape lu ? Nggak setuju kalo gue kawin samasahabat lu? Kan asyik dia jadi abang ipar lu... Dan lumanggil dia Bang Ali.. Eh, Bang Ali ! Bang Ali ! Kayakkalo kita manggil Gubernur... hi hi hi hi..,” celotah Tina.

Gevaert menggaruk-garuk kulit kepalanya. “Entar kalodie dateng lu jangan sekali-kali ngomong soal babe ataunyaknye! Die kagak demen...,” kata Gevaert.

“Lho, kenape? Emang die anak pungut ?” tanya Tina.“Udah deh... pokoknya sedih deh setorinye...,” kata

Gevaert.Terdengar derum motor masuk halaman.

68

“Tina! Tolong suruh masuk die!” teriak Gevaert. Tinaberlari ke pintu. Dia sibak gorden, melihat keluar.

Ali Topan tampak memarkir motornya. Ia menggerai-kan rambutnya yang gondrong. Kemudian berjalan kepintu. Tina memperhatikannya. Hati Tina mpot-mpotan.

Ali Topan memijit bel pintu.Tina membukakan pintu. Tina tersenyum maniiis.“Haiii apa kaaabaaaar …,” sapa Tina.“Sip sip aje, Tin. Si Gevaert ada?” tanya Ali Topan.

Wajahnya netral.Tina menunjuk ke arah kamar adiknya.Gevaert muncul di pintu. “Masup, Pan! Jangan kela-

maan lu di situ, ntar Mpok gua naksir!” kata Gevaert.Tina tersipu-sipu. Wajahnya yang putih mendadak

dironai warna merah. Darah naik ke wajahnya.“Ah, becanda lu, Vaert!” kata Ali Topan.Dia menengok Tina. “Terima kasih dibukain pintu,

Tin,” katanya. Tina tak menjawab. Dia masih malu atasolok-olok Gevaert.

Ali Topan berjalan masuk ke kamar Gevaert.“Tampang netral banget, Pan. Semua beres?” tanyaGevaert.

“Gua sih beres. Yang laennya kagak... Gua lagi malesbelajar, mack. Gua males ngapa-ngapain,” kata AliTopan.

“Nggak ape-ape, yang penting lu dateng. Mpok gueudah gue suruh bikin kupi. Ntar lagi juga anjing-anjingkite dateng.”

Baru selesai Gevaert bicara, terdengar suara motormasuk halaman lagi. “Noh, mereka. Bener apa kagakfeeling gua!” kata Gevaert.

Bobby dan Dudung memang datang. Mereka memarkirmotornya di dekat motor Ali Topan. Keduanya langsung

69

masuk ke rumah.“Salam lekuuuum,” Dudung memberi salam.“Iye, lekum salaaam! Masup aje masuuuup!” Gevaert

berteriak dari dalam kamarnya.Bobby dan Dudung masuk ke kamar Gevaert.“Hei njing! Sepi banget rumah lu! Mami lu lagi pergi

ya?” kata Bobby.“Lagi ngayab dia,” jawab Gevaert.Bobby melihat ke Ali Topan yang duduk tenang di lan-

tai. “Eh, lu? Ampir gue nggak lihat. Sorry boy,” katanya.“Sori, sorrii,” kata Dudung membeo Bobby. Dia me-

nyalami tangan Ali Topan dan Gevaert dengan gaya khasorang Kuningan, dengan dua tangan. Ali Topan menjabattangan Dudung sekilas saja. Tina-tiba terbayang foto-foto mamanya di kolam renang...

“Wah, kelihatannya kurang semangat, Pan. Ada kasusapa nih? Broken home?” kata Dudung. Dia membanyol.

Ali Topan tersenyum. Ia coba menetralkan perasaanyalagi. “Brokentut!” katanya.

Sobat-sobatnya ketawa.Tina datang bawa kopi.“Ck ck ck. Serpisnya kagak tahan. Cepet betul.

Memang mpok kite ini berhati beludru ibarat katanya,”kata Bobby.

“Aah... jangan ngerayu lu Bob. Gua bukan cewek ra-yuan,” kata Tina. Dia toh tersnyum.

“Cewek panggilan!” Ali Topan nyeletuk.Tina membelalak. Tangannya goyang, baki di tanga-

nnya ikut goyang, kopi hampir tumpah. Tapi Ali Topansegera tersenyum. Dan itu cukup mengobati ‘kekagetan’Tina mendengar olok-olokan tadi.

“Terima kasih, Tin,” kata Ali Topan.“Kembali kasih,” kata Tina.

70

Tina keluar.Dudung, Bobby dan Ali Topan langsung menyambar

gelas kopi masing-masing.“Uw, panas mack,” kata Bobby.“Makanye, sabar dikit. Jangan kayak orang ngga

pernah kenal kupi aje, mack,” kata Gevaert.“Ngomong-ngomong, ternyata besok kita ada ulangan

nih. Gua mau studi,” kata Gevaert lagi.“Kelas kita sih nggak ulangan ya Bob?” kata Ali Topan.“Minta-minta sih nggak ada. Tapi siapa tau? Guru-

guru kita makin nambah aje nyentriknye. Suka ngasihulangan tanpa bilang dulu. Siap-siap aje ah. Aljabar yaVaert?”

Bobby menjumput buku Ilmu Aljabar dari meja.Dudung ikut-ikutan melihat Aljabar.Ali Topan tenang-tenang menyulut rokok.Dia merasa capek. Pikirannya penuh ketegangan yang

dibawa dari rumahnya.Sampai jam setengah satu mereka berkumpul di situ.

Lantas mereka pamit.Bulan temaram. Ali Topan mengandaarai motornya

perlahan-lahan. Perasaan dan pikirannya melayang se-perti malam.

71

LIMA

Ali Topan bangun jam setengah delapan. Rasanyamasih ngantuk dan capek. Tapi Mbok Yem ngototmembangunkannya. “Cepet mandi, Den Bagus.

Terus sekolah. Sarapan dulu,” kata Mbok Yem.Ali Topan mandi cepat-cepat. Lalu berpakaian cepat-

cepat. Ia tak memakai seragam batik yang ditetapkanoleh Kepala Sekolah. Ia lebih suka memakai jeans saja,walaupun dia seringkali ditegur di sekolah karena hal itu.

Dia lewat kamar ayah dan ibunya yang masih tertutup.“Nggak sarapan, Den Bagus?”“Nggak! Kata Ali Topan, “aku berangkat, Mbok.”Mbok Yem mengantarkan Ali Topan ke depan. Dia

tunggu sampai Ali Topan berangkat dengan motornya.Kemudian dia masuk untuk membereskan kamar AliTopan.

Mbok Yem mencibirkan bibir ke arah pintu kamarmajikan tuanya. Uh, orangtua kok brengsek begitu,gumamnya.

Ali Topan ngebut ke sekolah. Ia sudah terlambat satujam pelajaran. Sebetulnya jam pertama dan jam keduaadalah jam Agama Islam. Tapi sudah dua minggu PakGuru Agama Islam cuti ke Padang. Dan guru-guru jampelajaran berikutnya suka iseng, menggeser maju jampelajaran supaya lebih cepat bebas tugas harian.

Ketika Ali Topan sampai di depan pintu kelasnya,suasana memang sepi. Pak Guru Ilmu Aljabar tampakberdiri membelakangi pintu, mengawasi murid-murid-nya.

72

“Selamat pagi, Pak!” kata Ali Topan.Pak Guru Ilmu Belajar, Pak Surono, menoleh ke pintu.

Ali Topan masuk ke dalam kelas.“Waduh, ulangan nih Pak.”“Iya. Kenapa? Kalau tidak mau ikut keluar saja sana!”

kata Pak Surono.“Wah, rugi dong, Pak,” kata Ali Topan, “boleh kan

saya ikut, Pak?” tambahnya. Pak Surono yang terkenalacuh tak acuh cuma menganggukkan kepalanya. AliTopan langsung menuju ke bangkunya. Bobby sudahduduk di bangku itu.

Ali Topan tertegun melihat ke bangku belakang. Iakaget betul melihat Anna duduk di bangku belakang itu.Gadis manis yang diganggunya di Blok M kemarin, kokbisa nyasar ke situ? Kata hatinya.

Anna memandang sekilas padanya. Tampak jugakekagetan Anna. Tapi gadis itu cepat mengalihkanperhatiannya ke soal-soal aljabar.

Ali Topan duduk di bangkunya. Dia menyikut Bobby.“Bob! Itu cewek yang kemaren kita godain?” bisiknya.“Hei! Jangan menganggu orang yang sedang bekerja

kau!” suara keras Pak Surono menggelegar. Murid-muridlangsung melihat ke arah Ali Topan. Ali Topan menyeri-ngai. Dia mengacungkan tangannya.

“Minta kertasnya, Pak!” kata Ali Topan.Ali Topan berjalan ke depan, mengambil kertas ulang-

an.“Boleh pinjam pulpennya sekalian, Pak? Pulpen saya

ketinggalan,” kata Ali Topan. Dia cuma iseng menggodaPak Rono saja.

“Kau ini ada-ada saja. Kalau nggak punya pulpen yatulis saja pakai jari!” kata Pak Surono.

Ali Topan nyengir. Dia kembali ke bangkunya, dan

73

langsung menggarap soal-soal ulangan yang terdapat dipapan tulis.

Buat Ali Topan tak sulit menggarap soal ulangan itu.Ali Topan adalah murid terpandai di sekolahnya sejakkelas satu dulu. Kecerdasannya di atas rata-rata anakseusianya. Ketika masih kecil, belum bersekolah, iasudah dapat membaca dan menulis. Dan menghitungangka-angka. Bukan hanya menghafal, tapi jugapenjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagianbilangan. Sejak kecil ia gemar membaca dan bertanyatentang yang dia baca: Buku-buku cerita, buku-bukupelajaran Boyke dan Windy, majalah-majalah,suratkabar dan bahkan kertas-kertas bekas pembungkusdari pasar dan toko.

Teman-teman dan bahkan guru-gurunya heran, bagai-mana mungkin anak berandal yang tak pernah terlihatbelajar, tampak santai di sekolah itu dapat menjadi muridterpandai di sekolah. Lagipula, Ali Topan beberapa kalimemenangkan lomba mengarang se Jakarta yang meng-angkat nama sekolahnya. Ketika naik kelas dua, padaupacara bendera, ia disuruh menjelaskan di depan semuamurid dan guru-guru bagaimana cara dia belajar.

“Saya ini suka membaca dan menuliskan intisari apayang saya baca. Dan menyusun daftar pertanyaan apa-apa yang saya belum mengerti. Saya bertanya kepadaayah saya, ibu saya, kakak-kakak saya sampai merekabosen dan sering marah-marah. Marah-marah itu ternyatakarena disebabkan mereka tidak tahu atau tidak mengertijawabannya. Maka saya bertanya kepada orang lainnya.

”Dan kalau mau tahu, mengapa saya terlihat santai disekolah,karena semua buku pelajaran selama setahun su-dah saya baca dan saya mengerti pokok-pokok isinya.Dan yang penting, tidak semua penulis buku-buku pela-

74

jaran itu pandai menyampaikan pengetahuan yangmereka miliki dalam bentuk tulisan.

”Jelasnya, seorang ahli Ilmu Kimia atau Biologi belumtentu pandai menyampaikan ilmu yang mereka dapatkanitu secara tertulis, apalagi dalam bentuk buku. Hinggamurid-murid kesulitan mempelajari ilmu itu. Nggak se-perti kalau kita baca novel atau cerita silat Cina. Maka,saya sering menyunting atau menuliskan kembali buku-buku itu dengan gaya novel atau cerita silat, hingga sayadapat mengerti dengan jelas tentang ilmu yang dia-jarkan...,” kata Ali Topan.

“Menurut saya, kalau orang mau pinter begitu caranya.Kalau ada di antara teman-teman yang mau mengikuticara itu, ya ikutin aja...,” lanjutnya yang disambut tepuk-tangan guru-guru dan murid-murid. Bahkan Dudung danGevaert berseru, “hidup Ali Topan!”

“Dan... kenapa kalau mengerjakan soal-soal ulanganatau ujian, saya kerjakan yang gampang lebih dulu. Yangpasti bener jawabannya. Yang susah-susah belakanganaja, supaya nggak ngabis-ngabisin waktu. Kalau memangada soal-soal yang saya nggak tahu jawabannya ya sayanggak jawab daripada salah. Kalau salah bukannya jebloknilainya, tapi minus... Bukan begokit Pak Brot Pang haha ha ha....,” Ali Topan mengakhiri ceramahnya yangdisambut tawa riuh rakyat se-SMA Bulungan I itu. PakBroto Pangabean tertawa pula sambil mengepalkan tinjuke arah murid kesayangannya itu. “Kalau aku bukanDirektur di sini sudah ku bilang kimak-lah kau AliTopan...,” gerutunya.

Ali Topan benar. Dalam tempo kurang dari setengahjam, ia sudah berhasil menggarap empat dari lima buahsoal ulangan aljabar itu. Kemudian dia berhenti meng-garap soal kelima. Dia menoleh ke belakang sesaat untuk

75

memandang wajah Anna. Kebetulan Anna pun sedangmemandang ke arahnya. Ali Topan mengerjapkan matake Anna. Anna melengos dan menggigit saputangannya.

Beberapa murid saja yang tahu kerjapan mata itu, ter-masuk Maya, gadis yang duduk sebangku dengan Anna.Maya itu termasuk gadis sopan, tidak banyak tingkah.Ali Topan suka pada Maya sebagai teman. Diam-diam,Maya mencintai Ali Topan walaupun dia sukamendengar cerita bahwa Ali Topan itu anak keluargaacak-acakan.

Ali Topan menyikut Bobby.“Pssst! Kok dia nyasar ke sini, Bob?” bisiknya.“Heh. Kerjain soal dulu deh. Cewek urusan belakang,”

gerutu Bobby. Bobby sedang menggarap soal terakhir.“Bagi contekannya dooong...,” bisik Bobby.

Rupanya soal itu agak menyulitkan Bobby. Dia mene-ngok ke Ali Topan, minta contekan. Pan, Pan, pssst. No-mer lima kasih tau dooong. Gue kerepotan niih,” bisikBobby.

“Iye, Bob! Cakep dienye!” kata Ali Topan. Cukupkeras, sehingga seluruh kelas, termasuk Pak Surono.

Pak Guru itu menengok ke arah mereka. Bobby lang-sung pias wajahnya. Ali Topan menampilkan senyumblo’on.

“He! Ada apa kau, Ali Topan!” kata Pak Guru.“Ini, teman saya nanya …,” Ali Topan tak meneruskan

kalimatnya.Pak Surono penasaran. Dia menghampiri Ali Topan

dengan wajah marah. “Apa kau bilang?” kata Pak Surono.“Begini, Pak. Bobby nanya sama saya, anak baru itu

cakep apa kagak, katanya, saya bilang memang cakep…”Pak guru melotot ke Ali Topan. Lalu ia memandang

Anna yang duduk dengan wajah tertunduk dan mengigit-

76

gigit bibir. “Kau ada bakat merayu rupanya...,” kata PakSurono. Ia tersenyum kecil. Dan murid-muridpun terse-nyum lega.

Bel berdentang. Ulangan selesai. Murid-murid menye-rahkan hasil ulangan mereka pada Pak Surono, lalu keluarkelas satu per satu.

Bobby berendeng dengan Ali Topan. Wajahnya masihmemendam rasa marah. “Lu. Kalau mau matiin kawanjangan begitu dong caranya, Pan,” kata Bobby.

“Gue kan hanya just a joke, Bob,” kata Ali Topan. Diamenyodorkan rokok pada Bobby. Bobby pun segeramengusir rasa marahnya.

Pak Surono yang baru saja keluar dari kelas, melihatacara pemberian rokok itu. Dia berhenti melangkah,mengambil rokok dari kantongnya. Pak Surono berde-hem. Ali Topan menengok Pak Surono. Dengan wajahpenuh senyum, Ali Topan mendekati dan menyalakanapi buat gurunya. “Mm, terima kasih,” kata Pak Surono.Ali Topan mengangguk. Pak Surono terus berjalanmenuju kantor guru.

***Di kantor Direktur Sekolah.Pak Broto Panggabean sedang berbincang-bincang

dengan Ibu Dewi, guru pengawas khusus mengenai kela-kuan para murid. Ibu Dewi bukan guru tetap di SMABulungan I. Ia ditugaskan oleh Kantor Perwakilan De-partemen P dan K menyangkut pembinaan remaja intra-sekolah.

Ibu Dewi itu cantik, tamatan Fakultas Psikologi Uni-versitas Romusha. Ia menjadikan murid-murid sebagaiobyek penelitian untuk menyusun buku ”KenakalanRemaja di Jakarta”.

“Jadi, bagaimana situasi dan kondisi anak-anak kita

77

akhir-akhir ini, Ibu Dewi?” kata Pak Broto Panggabean.“Menjelang ujian ada kecenderungan surutnya pelang-

garan peraturan dan disiplin sekolah, Pak. Tapi tentu kitaharus tetap waspada, siapa tahu ada pengaruh dari luaryang memanfaatkan situasi ini untuk mengeruhkan sua-sana,” kata Ibu Dewi.

“Tentu, tentu, kewaspadaan dan security demi stabilitasnasional, heh heh heh, harus ditingkatkan, heh heh … ”kata Pak Broto Panggabean.

“Yang menggembirakan dan membuat irihati sekolahlain, sekolah kita ini bebas narkotika, Pak. Tapi di lainhal, anak-anak sini terkenal sebagai jagoan ngebut. AliTopan, Bobby dan beberapa murid perlu diawasi secarakhusus,” kata Ibu Dewi.

“Tapi bukan berarti kita memperlakukan merekaseperti orang tahanan militer, kan? Heh heh heh…” kataPak Broto Panggabean setengah bercanda.

“Kalau perlu, apa boleh buat. Demi menjunjung tingginama sekolah dan korps pendidik! Bukankah kita inginagar sekolah ini bebas sepenuhnya dari kenakalan re-maja?” jelas Ibu Dewi.

“Betul demikian, namun saya lebih setuju kita pakaimetode pendekatan yang lebih lunak, Bu Dewi.” PakBroto mencoba menawar.

“Ah, Pak Broto ingin selalu berlunak-lunak saja. Kitajangan terlalu memberi kemanjaan pada anak-anak yangsudah punya bakat nakal. Preventif lebih baik, bukanbegitu Pak? Nah, saya permisi dulu, Selamat pagi,” kataIbu Dewi. Ia keluar, mengontrol situasi.

Ali Topan duduk di kantin sendiri. Bobby berkumpuldengan teman-temannya yang lain, menunggu jam pela-jaran berikutnya. Ali Topan merokok dengan asyiknya.Bibi kantin yang cerewet memperhatikannya.

78

“Kok masih merokok di sekolah? Kan sudah dilarang?Kemarin banyak anak-anak kena razia. Mereka di-strapoleh Ibu Dewi,” kata bibi kantin

“Coba aja berani nyetrap gue, gue pecat!” kata AliTopan. Bibi kantin melotot.

“Heh, jangan keras-keras ngomongnya, nanti kede-ngaran ibu pengawas,” katanya.

“Ala, babe gue aja nggak berani ngelarang gue ngero-kok, Bi. Apalagi Ibu Dewi, dia ngempanin gue jugakagak!” kata Ali Topan. Nadanya keras betul.

Ibu Dewi muncul di pintu kantin.“Siapa yang mau kau pecat heh?” kata Ibu Dewi dengan

nada dingin. Ali Topan kaget. Ia menoleh ke arah IbuDewi. Bibi kantin pura-pura mencuci piring kotor. AliTopan diam. Ia merokok terus.

“Buang rokok itu, Ali Topan!” kata Bu Dewi. Ibu Dewimenghampiri Ali Topan. Tangannya bertolak pinggang.Ali Topan memandang Ibu Dewi.

“Oooh Ibu. Selamat pagi, Bu,” kata Ali Topan.“Buang rokok itu, Ali Topan!”“Sayang, masih panjang, bu. Tidak ekonomis kalau

dibuang,” kata Ali Topan dingin.“Saya perintahkan, buaaaang!” hardik Ibu Dewi.“Saya tidak biasa diperintah dengan cara begitu,” kata

Ali Topan dengan tenang. Ia berdiri meneguk tehmanisnya. Ia membayar Rp 50 pada bibi kantin,kemudian berjalan keluar kantin.

Di dekat pintu, Ali Topan berhenti. Ia mematikanrokoknya di telapak sepatunya, kemudian memasukkanpuntung rokok itu di sela-sela kaus kakinya. Tanpamenoleh lagi, ia berjalan santai menuju kelasnya.

Wajah Ibu Dewi merah padam. Dengan langkah cepatia berjalan menuju kantor Direktur Sekolah. Pak Broto

79

yang sedang bekerja terkejut melihat Ibu Dewi memasukiruangannya dengan langkah cepat dan wajah marah..

“Bapak harus memanggil Ali Topan!” teriak Ibu Dewi,“Dia telah menghina saya,” sambungnya. Nafasnyatersengal-sengal karena rasa marah yang memuncak.

“Lho, ada apa, Bu?” tanya Pak Broto.“Ali Topan! Di depan murid-murid lain di kantin, anak

kurang ajar itu menentang saya! Kurang ajar sekali! Apakarena dia murid istimewa maka dia berani bertingkahsemau-maunya di sekolah ini! Bapak harus bertindak!Harus! Kalau perlu keluarkan saja murid biadab itu! Ka-lau Bapak tidak menghukum dia, saya akan laporkan keDepartemen!” kata ibu Dewi.

“Tenang... tenang Bu Dewi. Persoalan sebenarnya apa?Tolong jelaskan dulu... Sabar... minum dulu...,” kata PakBroto Pangabean.

“Saya menangkap basah dia sedang merokok di kantin!Saya menyuruh dia mematikan rokoknya, dia tidak mau!Malah saya mau dia pecat katanya... Memangnya dia itusiapa?” kata Bu Dewi. “Bapak harus memanggil dia seka-rang juga !”

Pak Broto mengernyitkan dahi.“Hadiiii!” teriaknya.Hadi, sekretaris umumnya tergopoh-gopoh datang dari

meja kerjanya yang terletak di ujung ruang.“Ya, Pak!” kata Hadi.“Panggil Ali Topan ke sini. Cepat!”Hadi tergopoh-gopoh keluar. Setengah berlari ia me-

nuju kelas Ali Topan.Ali Topan duduk di lantai depan kelasnya. Ia melihat

Anna yang sedang bercakap-cakap dengan Maya. Hadidatang tergopoh-gopoh.

“Ali T opan, kamu dipanggil Pak Direktur sekarang

80

juga,” kata Hadi.“Ada perlu apa?” tanya Ali Topan.“Mana saya tahu?”“Kamu harus tahu dong apa yang diinstruksikan oleh

Boss kamu! Sana, balik lagi, tanya sama Pak Direktur,ada urusan apa mangil-manggil gue!” kata Ali Topan.

“Aaaah, ayolah! Nanti saya kena marah nih,” kata Hadimengajuk. Ali Topan berdiri, lalu berjalan bersama Hadi.

Ali Topan masuk ke dalam ruang Direktur. Disitu sudahmenanti Pak Broto dan Ibu Dewi dengan wajah kaku. AliTopan mengangguk pada Pak Broto dan Ibu Dewi.“Selamat pagi,” kata Ali Topan.

“Ali Topan! Tau, kenapa kau kupanggil? Kau makintidak tahu aturan. Kau telah melanggar disiplin sekolah,kau telah berani menghina Ibu Dewi. Paham kau?” teriakPak Broto.

“Kurang begitu paham, Pak. Harap diperinci satu persatu.”

Pak Broto Panggabean diam. Ibu Dewi mengerutkandahinya.

“Kau tadi merokok di kantin! Kau saya tegur dan mem-bantah dengan cara krosboi! Betul?” kata Ibu Dewi.

“Oooh, kalau itu betul,” kata Ali Topan. Dia menam-pilkan wajah serius. Kepalanya mengangguk-angguk.Pengakuannya yang gamblang justru di luar dugaan PakBroto dan Ibu Dewi. Kedua guru itu saling memandang,mulut Bu Dewi melongo, ia kehilangan kata-kata.

“Jadi, bagaimana?” kata Pak Broto, untuk mengisi sua-sana bengong.

“Ya, saya mengaku apa yang saya perbuat. Kalau bapaknilai salah, ya saya salah … ,” kata Ali Topan. “Sayapakai cara krosboi karena ibu Dewi juga pake cara cross-teacher...”

81

“Huh! Harusnya anak semacam ini dikeluarkan sajadari sekolah kita!” kata Bu Dewi. Ia memandang tajampada Ali Topan.

“Jadi, Ali Topan… ng… daftar tentang kelakuannegatifmu di sekolah sudah begitu banyak. Saya tidaktahu lagi mau taruh di mana daftar kenakalanmu ini, danyang akan datang! Saya tahu, mungkin kau beranggapandirimu pandai, otak kau lihai dan nilaimu selalu bagusdalam setiap pelajaran. Tapi … itu semua tidak adaartinya kalau kelakuanmu dapat nilai minus! Kau camkanitu! Nah sekarang, keluar kau!” kata Pak BrotoPanggabean. Ucapannya keras betul, tapi heran wajahnyatetap tampak memendam perasaan welas asih.

Ali Topan mengangguk. Dia berjalan keluar tanpabicara apa-apa lagi. Memang dia sudah bosan bicara,sudah bosan memberikan alasan kenapa dia bersikapbegini begitu. Sikapnya yang melanggar peraturan bukantidak disadarinya, malah dia sengaja membuat tindakanyang “nakal”. Soalnya dia sudah sering memprotesbeberapa peraturan sekolah dan kelakuan guru-guru yangdia nilai tidak cocok dengan program pendidikan danpengajaran.

Ali Topan berjalan tenang masuk ke dalam kelasnya.Pelajaran Bahasa Inggris pada jam ke-3 dan ke-4 belummulai.

Murid-murid sedang menunggu Bu Mary, sang guruBahasa Inggris. Ali Topan muncul dengan wajah tenangdan berdiri di pintu, memandang teman-temannya. Iamemandang Maya, Ridwan, Bobby dan semua teman-temannya yang duduk tenang di bangku masing-masing.Mereka diam, seperti menunggu pidato Ali Topan.

“Anak-anak. Mengapa wajahmu sepertiplembungan?” kata Ali Topan.

82

Grrrrr. Ketawa meledak memenuhi kelas. Suasanayang diam berubah seperti biasa. Ribut kasak kusuk.

“Buset si hostess Dewi cari gara-gara lagi sama gue,”kata Ali Topan. Dia berjalan ke bangkunya.

“Emang kenape, Pan? Dendam lama?” Bobbynyeletuk.

“Biaseeee … kita ogah mboooking die tadi malem, eh,dienya marah-marah …”

Grrr lagi.“Eh, Pan! Kenape lu ogah mbooking die? Kan bodinya

lumayan mulus …,” seseorang dari belakang berteriak.Ali Topan menoleh ke belakang. Pas saat itu, Annamelihat padanya. Keduanya saling berpandangan. AliTopan tidak jadi mengucapkan kata-kata kasar tentangIbu Dewi. Dia melambaikan tangan dengan manis kearah Anna. “Hallo, sayang ….,” bisik Ali Topan. AnnaKarenina menundukkan wajahnya.

Ibu Mary muncul di pintu.“Good morning everybody,” sapa Bu Mary seperti

biasa.“Good morning, Miss,” sahut anak-anak.Ibu Mary langsung duduk di kursinya dan mengabsensi

murid-muridnya. Pada giliran nama Ali Topan iaberhenti.

“Saya ada Bu Mary. Saya tidak mbolos …,” kata AliTopan dengan kalem. Grrr lagi tak dapat ditahan keluardari mulut teman-temannya. Ibu Mary pun terpaksamenyunggingkan senyum ‘Pepsodent’.

“Kamu memang berandal, Ali Topan. Tapi bagus jugakalau kamu sadar, sebelum ditanya sudah mengaku,” kataBu Mary. Dia melanjutkan mengisi daftar hadir murid-murid. Lalu segera memulai pelajaran Bahasa Inggris.Dan seperti biasanya juga, ia memulainya dengan, “Once

83

upon a time....”“There was a poor boy who living in the house of The

Rising Sun...,” celetuk Ali Topan. Grrr... grrr-an lagi tawateman-temannya sekelas termasuk Anna Karenina yangmenutupi mulutnya dengan saputangan. “Bengal sekalideh...,” bisik gadis itu sambil memandang Maya. “Sesuaidengan namanya... Ali Topan...,” lanjutnya.

“Memang... tapi dia itu jenius... Dan baik hati..,” bisikMaya.

“Oh ya?” bisik Anna Karenina. Ia memandang sekilaske arah Ali Topan. Matanya ceria. Maya tiba-tiba merasacemburu.

84

ENAM

Rumah keluarga Surya di sudut jalan RRI VII No. 88sekitar 2 km arah Barat dari Blok M tampak lebihmegah dari rumah-rumah di kiri-kanannya.

Rumah itu bercat putih berarsitektur ‘klasik’ seperti puridi negeri-negeri Eropa. Di berandanya ada dua tiangbeton besar kembar yang bentuknya seperti tiang Yunani.

Lebar bangunan yang menghadap ke Barat itu sekitar15 meter. Halaman depannya ditumbuhi rumput Pekingdengan jalanan mobil beraspal dari pintu gerbang kegarasi di sayap kanan gedung itu.

Halaman itu berpagar tembok yang atasnya diberipecahan kaca. Sekelompok pepohonan pisang merah disebelah kiri beranda. Di depan beranda ditanami rumpunmawar dan melati. Tak ada satu pun pohon buah-buahan.

Nonya Surya membuka-buka majalah Femina di ruangtengah rumahnya. Oom Boy sedang membersihkan akimobil dengan air panas. Jam dinding di rumah itu, yangdisetel lebih cepat lima menit, berdentang. Nyonya Suryamenutup Femina. Ia melongok ke halaman.

“Booy! Sudah jam setengah satu! Tolong jemputponakanmu!” teriak Ny Surya. Oom Boy mengangguk.Ia buang air panas dari teko ke halaman, kemudian melapaki mobil dengan kain kuning.

“Boooy! Ayuuuuh daaaan … sudah waktunya Annapulang …,” teriak Ny Surya.

“Beres!”Boy menutup kap mesin, kemudian ia berlari ke kran

untuk mencuci tangannya. Setelah itu, dia berlari ke

85

mobil.“Cepat pulang, Boy!” teriak Ny Surya yang melongok

dari jendela.“Okey!”Boy menghidupkan mesin mobil, langsung menancap

pedal gas. Mercedes melesat keluar halaman.

***

Anna berjalan bersama Maya menuju pintu gerbangsekolah. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaertmenuntun motor masing-masing di belakang mereka.

“Bagaimana kesan hari ini, An?” tanya Maya.“Yaaah, boleh juga. Anak-anaknya suka melucu ya?

Kayaknya enak juga suasana di sini,” kata Anna.“Mudah-mudahan kamu betah,” kata Maya, “eh,

rumah kamu dimana sih?” tambahnya.“Lho, tadi kan udah saya kasih tau. Lupa?”“Iya, Jalan RRI, nomernya lupa.”“RRI tujuh, nomer delapan puluh delapan!”“Ooh, iya. Kapan-kapan boleh main dong?”“Boleh saja… ng… iya, iya, boleh…,” kata Anna,

tampaknya dia agak ragu dengan pembolehannya itu.Maya tidak sempat menangkap keraguan itu, karena

Ali Topan menowel tangannya dari belakang. “Maubonceng, May? Bobby tuh nawarin. Boncengannya laginganggur,” kata Ali Topan.

“Ah, takut ah.. Kalian suka ngebut sih,” kata Maya.“Allaaah, som som. Bilang aje ogah naik motor. Ngarti

deh, anak orang kaya memang begitu. Maunya Mercyterus,” kata Ali Topan.

Maya tak mengerti arah tujuan ucapan Ali Topan. Iamenampakkan wajah bingung. Mercy? Kapan dia punya

86

Mercy? Tapi. Anna yang merasa kena sindir, menoleh keAli Topan. Ali Topan langsung mengirimkan senyumansimpatik ke Anna.

“Betul begitu kan, ya Anna?” kata Ali Topan.Anna Karenina mengernyitkan dahinya. Ia tidak

menjawab. Ia memandang Ali Topan dengan tenang danberani. Ada keanggunan tersendiri dari pandangan Annayang terasa di hati Ali Topan.

“Ooh iya, kita belum kenalan secara resmi. Nama sayaAli Topan. Saya yang nimpuk kamu dengan kulitrambutan di Blok M kemarin,” kata Ali Topan.

“Saya sudah tahu,” kata Anna Karenina, “terima kasihatas keterus-terangan kamu,” tambahnya. Kemudian iamenoleh ke arah Maya, “Maya saya pulang dulu ya?Saya mau naik Mercy, kamu mau ikut?” kata AnnaKarenina dengan wajah anggun.

Maya menggelengkan kepalanya. Anna Kareninaberjalan cepat menuju mobil Mercy. Oom Boymelambaikan tangan ke arahnya.

Ali Topan terpaku di tempatnya memandang AnnaKarenina yang berjalan dengan mantap. Tap-tup-tap-tup,hentakan langkah Anna di aspal jalan terasa sebagai suatuhentakan aneh di hati Ali Topan. Gaya Anna, yanganggun dan sedikit dingin, merupakan satu keangkuhanyang menghantam perasaan Ali Topan. Biasanya diayang acuh tak acuh sama perempuan. Kini, dia yangdiangkuhi. Dan dia tak mampu bikin apa-apa, kecualibengong saja.

“Kenapa lu, Pan? Kayak plembungan,” kata Gevaert.“Udah deh, repot kalau kita ikutin gaya dia. Cakep, naikMercy, buset, ayuh dah, cabut kita!” tambahnya. Gevaertlangsung menstarter motornya, diikuti Bobby.

Ali Topan tersedar. Dia menghidupkan motornya,

87

diikuti Dudung. Knalpot meledak-ledak suaranya,sampai Maya menutup kuping. Maya tetap menutupkuping, walaupun 4 sekawan itu telah melesat ke depan.Ketika suara knalpot makin lirih, barulah Maya berjalanmeninggalkan tempatnya untuk pulang ke rumahnya diJalan Barito. Dia biasa berjalan kaki dari rumah kesekolah, karena jarak rumahnya ke sekolah hanya sekitar700 meter. Dia termasuk anak berjiwa sederhana,walaupun ayahnya, Pak Utama yang Kolonel TNI-ADtidak tergolong kelompok masyarakat ekonomi rendah.

Rumah Maya berukuran kecil. Bentuknya sepertirumah di daerah Priangan, tempat asal orangtuanya.Tamannya asri, dipenuhi pohon bunga dan pohon hiasyang tidak mahal tapi karena pengaturannya sangatbagus, taman itu tampak enak dipandang mata. Mayaadalah anak bungsu keluarga Utama. Tiga kakaknyalelaki semua, Suryana, Permana dan Eddy. Suryana danPermana sudah menikah, tinggal di mertua masing-masing. Eddy masih kuliah di ITB bagian Geologi dantinggal di Bandung.

Maya sampai di rumahnya. Nyonya Utama sedangmenata makan siang. Maya, seperti kebiasaannya, mene-mui ibunya lebih dulu untuk memberi kecupan. Ibu dananak itu bentuknya mirip. Nyonya Utama tampak lebihmuda beberapa tahun dari usianya yang 50 tahun.

”Daag, sayang, capek yah? Oooh, anak mamih, tiaphari jalan kaki. Kasihan, kasihan… Sebentar mamih bikinminum ya?” kata Nyonya Utama, nadanya penuh dengankasih sayang.

“Kok pakek kasihan, mih? Nanti Maya jadi manja nih.Jalan kaki kan bikin sehat, lagian uang helicaknya bisaditabung buat beli sepeda mini,” kata Maya. Dia berjalanke kamarnya.

88

Ibunya tersenyum simpul memandangi Maya. “Anakmanis, bagus betul jalan pikirannya,” gumam Ny Utama.Ia makin tersenyum dengan penuh kegembiraan ketikasuara Maya berkumandang menyanyikan Cingcang-keling, lagu rakyat Sunda.

“Kalau sudah lapar, makan duluan, Maya!” teriakNyonya Utama.

Maya mengambil celana pendek jeans dan kaos oblonguntuk ganti baju sekolahnya, kemudian ia ke kamarmandi, kencing.

Maya keluar dari kamar mandi.“Maya!” seru Ny Utama.“Ya, mih. Ada apa, mih?”“Kalau lapar boleh makan duluan. Mamih tunggu

papih pulang nanti,” kata Nyonya Utama, “mamihbikinkan karedok,” tambahnya.

“Asik deh. Tapi mamih makan juga ya, papih kan lamapulangnya.”

“Biar deh, mamih tunggu papih saja.”Maya makan ditunggu oleh Nyonya Utama. Keduanya

tampak akrab pertanda komunikasi lancar.***

Ali Topan cs makan gado-gado di warung Bibi Sexy disudut jalan Panglima Polim III. Warung gado-gado BibiSexy merupakan salah satu tempat kumpul favorit anak-anak muda Kebayoran. Dinamakan Bibi Sexy karenapenjual gado-gado memang sexy. Ali Topan yang mulaimemberi julukan itu. Bibi sexy, memang sexy orangnyadan sexy juga omongannya. Dia sedikit latah, kemung-kinan dia sengaja melatahkan diri —suka menyebut alatkelamin wanita dan lelaki kalau digoda oleh anak-anakmuda itu— untuk lebih melariskan dagangannya.

“Nggak nambah?” tanya Bibi Sexy pada Ali Topan cs.

89

“Kalau nambah pakai orangnya sih boleh-boleh saja,”jawab Gevaert, “Kalau nambah gado-gadonya, keberatankita,” tambahnya.

“Enak aje ngomongnye, lu kire gua apaan, eh apaan…”“Prempuan!” kata Bobby.“Heh heh heh, iye, prempuan…. Ah bisa aje lu, pinter

ngomongnye. Di sekolahin sih, ye, jadi pinterngomongnye,” kata Bibi Sexy terkekeh-kekeh..

Bobby tak melayani Bibi Sexy. Dia menoleh ke AliTopan.

“Pan, diomongin apa lu sama Pak Brotpang,” tanyaBobby.

“Dia bilang, kalau gue masih bandel, gua maudikawinin sama si Anna …”

“Cuih!” Bobby meludah ke tanah.“Wah, gua juga mau kalau caranya begitu. Cewek

cakep, punya Mercy. Nggak dapet ceweknya, Mercynyapun jadi,” kata Gevaert.

“Cuih!” Bobby meludah lagi, seolah-olah jijikmendengar ucapan itu.

“Lu cuah cuih cuah cuih ada apa Bob? Ada piling jugasama Anna ya?” tanya Dudung. Bobby membelalakkanmatanya.

“Sama-sama naksir sih boleh aje. Free competition,man!” kata Gevaert. Bobby melengos, Ali Topan cumatertawa kecil mendengar ucapan Gevaert tadi.

“Tapi syaratnya juga ada. Demi persatuan dan kesatuanOrde Jalanan, urusan cewek tidak boleh membuat kitapecah,” kata Dudung.

”Oh iya, gua setuju itu. Cewek kan paling gampangditunggangi oleh pihak-pihak yang ingin menunggangi,iye kan… heh heh heh heh…,” Gevaert menimpali, “kitaharus sopan, tidak boleh main tunggang-tunggangan,”

90

tambahnya. Beberapa anak dari geng lain ikut terkekeh-kekeh mendengar ucapan Gevaert.

“Kira-kira siapa ya yang berhasil mempersuntingAnna, Vaert?” tanya Dudung.

“Yang berkompetisi siapa dulu? Kalau gua jelas tidakberminat, Anna bukan smaak gua man! Terlalu alim buatgua. Gua berminat sama cewek-cewek yang agresip.Yang bawaannye mau nyontok aje… heh heh heh,” kataGevaert. “Kalau lu, gimana Dung? Gua denger diKuningan lu sudah ada anak tiga,” tambahnya.

“Wa, pitnah tuh,” kata Dudung.“Jadi, tinggal Bobby sama Ali Topan dong. Langsung

final. Gua pegang Bobby, lu pegang Ali Topan Dung!Taruhannye sebungkus Dji Sam Soe,” kata Gevaert.

“Jadi!” kata Dudung mantap.Dudung bersalaman dengan Gevaert.Bobby berpandangan dengan Ali Topan. Keduanya

tersenyum.“Kalau nggak ada rival memang rasanya nggak enak

untuk memenangkan perjuangan, Bob,” kata Ali Topan,“terima kasih lu mau jadi sparring partner gua,” tambah-nya. Dia menyalami Bobby dan menjabat tangantemannya. Bobby tersipu-sipu.

“Berhubung kita berdua nggak ikut bertanding, tentukita nggak usah bayar gado-gado ya Dung? Setuju?” kataGevaert.

“Oke, oke, gua yang bayar!” Bobby menyela, “berapasemua, Bibi Sexy?” katanya.

“Lima ratus perak,” kata Bibi Sexy.Bobby membayar gado-gado. Ali Topan beranjak ke

motornya, diikuti Gevaert dan Dudung.“Gua langsung pulang, mack,” kata Ali Topan.Ali Topan menghidupkan motornya, kemudian berlalu.

91

Dudung mengikutinya. “Nanti malem ngembun kite?”tanya Dudung ketika ia merendengi motor Ali Topan.“Nggak. Gua ada acara khusus,” kata Ali Topan.

“Boleh ngikut?”“Nggak!”Ali Topan melambaikan tangannya, lalu

menggeblaskan motornya ke depan. Dudung mengertiisyarat itu. Ia membiarkan Ali Topan pergi.

***Ali Topan datang ke rumah Maya.“Assalamualaikum!” serunya.“Waalaikum salaaaam!” seru Nyonya Utama dari

dalam, dan muncul di depan pintu.“Selamat siang, Tante. Saya ingin bertemu Maya,” kata

Ali Topan.“Oooh, saya kira kyai dari mana. Ayoh masuk,” kata

Nyonya Utama. Ali Topan masuk dan duduk di sebuahkursi malas yang ada di ruang depan itu.

“Mayaaa! Ada tamu!” seru Ny Utama sambil berjalanke belakang.

Maya muncul di pintu. “Halo, ngapain siang-siang kesini?” tanya Maya. Ali Topan tersenyum. Iamenggoyang-goyangkan kursi malas. Mayamendekatinya.

“Tumben nih. Ada apa, Pan?” tanya Maya. Wajahnyagembira

“Minum dulu, dong baru kita ngomong,” kata AliTopan.

“Oooh kesini cuma mau minta minum? Minum apa?”tanya Maya.

“Apa aje deh, air garem juga boleh.”“Oke, oke.”Ali Topan tampak melamun ketika Maya datang

92

membawa dua gelas es sirup. “Ini, minumnya boss,” kataMaya. “Thank you,” kata Ali Topan. Ia langsungmengambil segelas air sirup dan meminumnya.

“Uaaahg! Ali Topan menguak dan memuntahkan airsirup yang telah diminumnya. Maya tertawa terbahak-bahak.

“Gile lu, May. Lu kasih garem beneran,” kata AliTopan. Mulutnya mendecah-decah. Maya makin kerastertawa. “Kamu kan minta air garem. Udah bagus dikasihsirup, jadi ada merah-merahnya,” kata Maya. “yang inies sirup asli,” tambahnya sambil memberikan gelas yanglain pada Ali Topan. Ali Topan mengambil gelas itu, lalumencicipinya lebih dulu dengan ujung lidahnya. Terasamanis, ia langsung menenggak es sirup itu.

“Mau lagi?” tanya Maya ketika Ali Topan sudahmenghabiskan minumannya.

“Ogah ah,” kata Ali Topan.“Nah. Sekarang boleh ngomong dong. Mau apa ke

sini?” tanya Maya.“Langsung aja nih?”“Langsung saja.”“Gua mau nanya tentang Anna?”“Naksir?”“Iya.”“Tanya aja langsung sama orangnya. Kan dia yang

kamu taksir. Kenapa musti nanya sama saya?” Nada suaraMaya kurang enak.

“Begini, May. Kamu kan cewek yang paling baik samagua. Maka itu gua datang ke sini. Soalnya, kemaren guabikin setori sama si Anna dan ibunya, sungguh mati guanggak tau kalau dia bakal masuk kelas kita. Kemaren sih,hati gua udah dag-deg-dug-plas. Sekarang makin deg-deg-plas deh. Tulung tanyain sama Anna, dia dendam

93

nggak sama gua,” kata Ali Topan tanpa tedeng aling-aling.

“Komisinya berapa prosen?”“Tin persen,” kata Ali Topan, “mau diambil sekarang

uang mukanya juga boleh,” tambahnya sambiltersenyum.

Dan, Maya paling suka melihat senyuman Ali Topan.Menurut Maya, senyuman Ali Topan benar-benarsenyuman yang sempurna. Mulutnya terbuka sedikit,deretan giginya muncul memberikan kesan sexy dansorot matanya bagai telaga yang dingin dan dalam sekali.Teduh, demikian penilaian hati Maya jika melihatsenyuman Ali Topan.

Sejak kelas satu, Maya sudah mendambakan jadikekasih Ali Topan. Ia selalu baik kepada Ali Topan. Mayasatu-satunya gadis di sekolah mereka yang dekat denganAli Topan. Karena Ali Topan menganggap dia sebagaisahabat.

“Oke deh. Gua bantu lu,” kata Maya, “sekarang lu cepatpulang, gua mau tidur siang,” tambahnya.

“Gua suka berteman sama lu karena lu cewek yangtegas, May. Terima kasih atas segala bantuan, perhatiandan kebijaksanaan anda,” kata Ali Topan. Dia bangkitdan berjalan ke pintu.

“Udah deh, jangan ngobral rayuan disini. Nggak adayang beli,” kata Maya.

“Pamitin sama nyak lu, ya.”Maya mengangguk.Ali Topan menyemplak motornya, berlalu dari situ.

94

TUJUH

Esok harinya di sekolah.Ali Topan cs berkumpul di tempat parkir motor.

Dudung dan Gevaert bercanda seperti biasa. AliTopan dan Bobby agak diam. Kompetisi bebas merebuthati Anna rupanya berpengaruh sekali pada hati masing-masing. Bagi Ali, tak ada persoalan, Bobby memangselalu ingin menyaingi dirinya, di bidang apapun.Kemenangan Bobby yang menonjol cuma satu, yakniorangtuanya lebih kaya dari orangtua Ali Topan. Bobbysuka memamerkan hal itu, walaupun hanya dalamomongan saja. Ia selalu membanggakan kekayaanayahnya.

“Ada perkembangan maju, Pan?” Gevaert bertanya.Ali Topan tak menjawab. Gevaert menoleh ke Bobby.“Babe gue mau beli Mercy, Vaert. Yang lebih keren dariMercy Anna. Gua yang disuruh miara itu Mercy.Terpaksa mulai sekarang gue mau kursus mesin Mercydong,” kata Bobby, “kalau babe lu mau beli apa, Pan?”tambahnya sambil menoleh ke Ali Topan.

“Babe gue mau beli mobil pompa tai, buat nyedot taiyang ada di kepala koruptor-koruptor!” kata Ali Topan,“makanya sejak sekarang lu suruh babe lu ati-ati, Bob.Ntar kepale babe lu yang kesedot, kan nggak lucu,”tambahnya.

“Anjing lu!” maki Bobby. Dia melotot pada Ali Topan.Tapi yang dipelototi tenang-tenang saja. Ali Topan malahmelihat ke arah Maya yang sedang melenggang masukkelas. Ali Topan bergerak sebat meninggalkan teman-

95

temannya, memburu Maya.“Maya!”Maya menghentikan langkahnya di pintu kelas. Ia

menoleh ke Ali Topan yang memburunya.“Gimana, May?” tanya Ali Topan. Maya hendak

menjawab, tapi dibatalkannya. Ali Topan menowellengan Maya. Maya menowel lengan Ali Topan kembali.

“May, gimana, udah ada info?” tanya Ali Topan.“Itu dia si Anna dateng, gua tanyain dulu ya?” kata

Maya. Dia melambai ke Anna yang sedang berjalan kearah mereka. Ali Topan cengar-cengir saja. Akhirnya diamenowel Maya. ““May, kalau gini caranya biar gua ajadeh yang nanya sendiri. Nggak pake perantara-perantaraan lagi,” kata Ali Topan.

Anna mendekati mereka. Ali Topan langsungmenyambutnya.

“Selamat pagi, Anna. Gimana, tidurnya enak tadimalem? He he he,” kata Ali Topan. Anna Kareninamengernyitkan dahinya.

Mustinya dia marah atau tersinggung kalau ada anaklelaki yang pagi-pagi sudah menyambutnya dengangurauan ‘kasar’ itu. Tapi entah kenapa, senyuman AliTopan mampu mengusap hatinya.

“Oh, baik, selamat pagi,” kata Anna. Dia melihat Maya.Maya mengerjapkan mata kepadanya. Ali Topan batuk-batuk kecil.

“Begini, An, waktu itu saya yang nimpuk kamu pakaikulit rambutan, ng…”

“Saya sudah tahu. Lalu kamu mau apa?” kata Anna.“Nggak sih…. Saya mau nanya, apa kamu dendam

sama saya?” kata Ali Topan.“Saya nggak pernah dendam sama orang. Tapi

perbuatan kamu itu nggak bagus. Tau apa nggak?” kata

96

Anna. Dia mencoba untuk marah, tapi Ali Topan melihatsorot mata yang sama sekali gagal untuk marah di mataAnna. Ali Topan tahu, Anna memang tidak marah, tapigayanya anggun, hingga dia sungkan bersikap macem-macem, seperti kebiasaannya kalau menghadapi gadis-gadis lain.

“Kalau kamu nggak dendam, terima kasih deh,” kataAli Topan.

“Tapi lain kali jangan gitu ya, Ali Topan,” kata Anna.Pada saat ia menyebut nama Ali Topan dengan lembut,

hati pemilik nama itu terasa seperti dikipasi bidadari.Sejuk betul. Ali Topan terpaku memandang wajah Anna.Anna Tersenyum, lalu menarik tangan Maya. Merekamasuk kelas.

Suuuiiiiiiiit! Suiiiiiiiiiiiiit! Suitan khas Dudungterdengar nyaring. Ali Topan menoleh. Dudung, Gevaertdan Bobby melihat ke arahnya. Dudung mengacungkanjempol. Gevaert tersenyum. Bobby menekuk wajahnya.

Ali Topan bersiul-siul menunggu ketiga temannya. AliTopan merangkul Bobby dan masuk kelas. Dudung danGevaert berjalan terus menuju kelas mereka.

Bel tanda masuk sekolah berdentang-dentang.***

Ketika bel usai sekolah berdentang-dentang, Annabergegas keluar dari kelasnya. Ia ingin menghindari olok-olok yang sudah mulai gencar di kelas maupun di sekolah,tentang dirinya yang langsung dikaitkan dengan AliTopan. Di dalam kelas Maya memang bilang kalau AliTopan ada perhatian padanya. Serius, bisik Maya tadi.Ah, Anna jadi ngeri mendengarnya. Apa-apaan sih? Barusehari masuk sekolah sudah ada permainan serius-se-riusan. Gawat ah. Makanya Anna cepat-cepat keluar. Iaingin cepat-cepat ke mobil. Pulang.

97

Ali Topan memang anak nekat. Dia naksir betul samaAnna. Dia ingin bergerak sebat, dan selalu bergerak sebatkalau sudah punya sesuatu keinginan. Ia berjalan cepatmenyusul Anna yang hampir sampai di pintu gerbang.

“Karenina!” seruan Ali Topan. Anna menoleh. Siapamemanggilnya Karenina? Ali Topan sudah berdiri dibelakangnya.

“Karenina! Ng… kenapa lekas pulang… ng,” AliTopan terbata-bata. Anna Karenina menampilkanpandangan aneh.

“Itu urusan saya,” katanya. Ia menatap Ali Topandengan pandangan tak mengerti, “kenapa kamumengintil saya terus?” tambahnya.

Ali Topan tertegun. Ia tak bisa menjawab. UcapanAnna Karenina langsung menyentuh harga dirinya. Tiba-tiba ia sadar bahwa ia terlampau gegabah. Emosional.Tiba-tiba ia merasa malu pada diri sendiri karenamenganggap diri terlalu yakin bisa merebut simpati AnnaKarenina. Ia terlalu spontan, terlalu ingin cepatmenyodorkan perhatian pada Anna. Ternyata AnnaKarenina menyambutnya dengan dingin.

“Ooh, maaf… kalau saya menganggu kamu…,” kataAli Topan. Segera dia berbalik langkah meninggalkanAnna.

Anna tertegun. Ali Topan merupakan makhluk anehbaginya. Apa maunya? Naksir? Serius? Uh! Anna takmau berpikir apapun. Dia melanjutkan langkah menujumobil yang sudah ditongkrongi oleh Oom Boy.

“Itu monyet mau apa, An?” tanya Oom Boy dengandingin. Matanya yang bersinar licik menatap tajam kemata Anna.

“Nggak apa-apa,” kata Anna.“Nggak mengganggu kau?”

98

“Ah, dia anak baik kok.”Oom Boy tercengang. Ucapan Anna terasa mengganjal

hatinya. Dia merasa cemburu. Dia melihat ke murid-murid sekolah yang berjalan keluar. Di antara merekatampak Ali Topan cs. Cuih! Oom Boy meludah.

“Oom Boy ngapain sih! Cepetan pulang!” kata Anna.Oom Boy menstarter mobilnya. Kemudian merekaberlalu.

Sampai di rumahnya, Anna Karenina langsung turun.Ia membanting pintu mobil dengan keras.

“Begitu caranya bilang terima kasih ya?” kata OomBoy dengan dingin. Anna terus berlari ke rumah. Diaselalu muak pada Oom Boy. Perasaan halusnyamengatakan agar ia berhati-hati pada lelaki itu.

Di ruang tengah, Anna melihat ibunya sedangbercakap-cakap dengan seorang tamu. Anna melewatimereka. Ia menyalami mamanya, “Daaahh mama …”

“Anna, kasih salam pada Tante Sun!” kata Ny Surya.Anna berpaling pada tamu ibunya. Ia menyalami

tangan Tante Sun, tamu mamanya bertubuh tinggi besardan menor dandanannya. Usianya sepantaran denganNyonya Surya. Wanita itu memakai gaun terusan cokelatdari bahan mahal. Kalung dan cincinnya gemerlapan. Iaseorang pedagang berlian yang baru menawarkan berlianke Nyonya Surya. Anna baru pertama kali melihat dia.

“Hm, cantiknya anakmu, Zus. Kalau Agus turut taditentu dia senang sekali berkenalan,” kata Tante Sun,“Siapa namamu, Nak?” tambahnya.

“Anna Karenina,” kata Anna.“Wajahnya cantik, namanya cantik. Lain kali kau musti

saya kenalkan dengan Agus. Pasti serasi,” katanya. TanteSun mendesah-desah seakan-akan mengagumi barangantik. Anna tak suka dilihat dengan cara begitu. Ia permisi

99

ke kamarnya. Ia tak mau mendengar omongan yangmenrutunya kurang bermutu. Agus? Agus siapa? Kenapamusti kenalan sama dia? Sorry ya. Kalimat-kalimat itubergalau sekejap di kepalanya. Dia tak mendengarobrolan ibunya dan Tante Sun jadi beralih ke Agus dandirinya.

“Agus itu memang anak lelaki yang terlalu memilihteman wanita lho, Zus. Maklum, sekolahnya di London,jadi terbiasa melihat anak perempuan yang genit-genit.Tapi saya kira dia senang sekali bisa berkenalan dengansi Anna. Kalau cocok kita bisa jadi besan kan? Hih hihhih…,” kata Tante Sun.

“Waah, Anna masih kecil kok, Mbakyu. Masih sibuksekolah. Dan anak saya yang satu itu kesayangan bapak-nya, jadi agak dipingit, tidak gampang-gampang anaklelaki mendekat,” kata Nyonya Surya.

“Lho iya Zus. Punya anak perempuan harus hati-hati,kalau salah langkah bisa kita punya cucu di luar rencana,”kata Tante Sun. Ucapannya itu membuat Nyonya Suryaterkesiap. Wajahnya merah.

Mereka masih ngobrol beberapa saat. Kemudian TanteSun permisi pulang karena berkali-kali dilihatnyaNyonya Surya melihat ke arah jam dinding besar di ruangtamu.

“Saya permisi dulu, Zus. Sudah siang,” kata Tante Sun.“Lho, kok terburu-buru, Mbakyu?” kata Nyonya

Surya, padahal hatinya memang ingin agar tamunya cepatpulang.

“Lain kali saja saya mampir,” kata Tante Sun, “danmengenai berlian itu, tolong deh ditawar-tawarkan,””tambahnya.

”Iya, Mbakyu. Nanti saya tanyakan pada teman-teman,” kata Nyonya Surya. Dia mengantarkan tamunya

100

sampai ke halaman. Begitu mobil tamunya berlalu,seketika itu Nyonya Surya menampilkan wajah tak sedappada Oom Boy yang berjalan mendekatinya.

“Ada orang kok begitu macamnya ya Boy. Mau mainbesan-besanan. Dikiranya kalau anaknya lulusan Londongampang saja kenalan sama si Anna,” kata Ny Surya.

“Siapa sih? Kok lucu dia?” kata Oom Boy.“Gimana Anna di sekolah?” Kira-kira pergaulannya

bagus apa tidak?” Ny Surya balas bertanya. Oom Boymenampilkan mimik aneh.

“Masih ingat anak-anak di Blok M kemarin dulu yangmelempar Anna dengan kulit rambutan?” tanya OomBoy. Ny Surya tampak berpikir. Kemudian iamengangguk-angguk.

“Kenapa?” tanyanya.“Kulihat Anna intim sama mereka. Rupa-rupanya

mereka satu kelas sama si Anna. Musti hati-hati, Zus.Malah ada satu anak yang menguntit si Anna ketika keluardari sekolah,” kata Oom Boy.

“Siapa?”“Tanya saja sama Anna.”Oom Boy masuk ke dalam kamarnya yang penuh de-

ngan gambar-gambar ‘sexy’. Ia sebenarnya tidak punyahubungan dengan keluarga Surya. Ia hanya anak seorangteman keluarga itu. Ayahnya, seorang pedagang diMedan, mengirimkan Boy ke Jakarta untuk kuliah dikedokteran tiga tahun yang lampau.

Resminya, Boy dititipkan pada keluarga Surya. TapiBoy dikeluarkan dari Sekolah Tinggi Kedokteran karenadua tahun berturut-turut tinggal di tingkat persiapan. Iatidak kembali ke Medan, tapi tetap tinggal di keluargaSurya dan sudah dianggap keluarga sendiri. Ia diserahimerawat mobil pribadi merangkap sopir! Tapi gaya orang

101

ini melebihi anak kandung Pak Surya. Dia pintarmengambil hati Nyonya Surya, itulah sebabnya.

Anna Karenina itu anak bungsu keluarga Surya. IkaJelita, kakak satu-satunya, telah menikah dan tinggal ber-sama suaminya di Depok. Mereka kawin lari karena tidakdisetujui oleh Tuan dan Nyonya Surya. Ika Jelita hamillebih dulu, hal itulah yang menjadikan Tuan dan NyonyaSurya berlaku sangat ketat mengawasi Anna.

Anna melamun di dalam kamarnya. Wajah Ali Topansangat mengganggunya. Ia mencoba untuk menghapuswajah itu, tapi senyuman yang terlalu memikat memangsulit dihapuskan begitu saja. Anna Karenina merasakansebuah keanehan. Ia baru bertemu Ali Topan, itupundimulai dengan peristiwa yang tidak bagus. Tapi kenapadia tak berhasil sedikitpun untuk bersikap galak, marahdan judes seperti yang dilakukannya pada semua temanlelakinya selama ini?

Di sekolah tadi Ali Topan mengejarnya dan berbicarapadanya. Dia melihat sorot mata yang tentu saja bisa diatangkap apa maknanya. Lagipula Maya telah menyam-paikan pesan, Ali Topan naksir padanya. Dan gosip yangmulai ramai di dalam kelas tentang pertaruhan beberapaanak lelaki, termasuk Ali Topan, untuk memacarinyasedikit banyak membuatnya berpikir. Ada juga perasaanbangga, baru dua hari sudah mampu menjadi pusatperhatian di sekolah, tapi kenapa begitu cepat ya?

“Anna!” ter iakan Ny Surya membuyarkanlamunannya. Ia bergegas membuka pintu dan melongokkeluar.

“Lagi ganti baju, Ma!” teriaknya.“Kalau sudah, mama tunggu di meja makan!” kata Ny

Surya.“Iya Mama!”

102

Anna menutup pintu kembali. Ia masih sempat mela-munkan wajah Ali Topan yang tak bisa lepas dari pikiran-nya. Akhirnya Anna tersenyum pada bayangan itu. Iamenghela nafas, menyesal betul kenapa tadi bersikapdingin pada pemilik wajah itu? Aaaaah, Anna menghelanafas. Dia cepat berganti baju.

Siang itu seperti siang-siang yang telah lalu. Di mejamakan Anna Karenina ditanya macam-macam olehibunya. Biasanya Anna merasa muak dengan tanya jawabyang sifatnya semacam “laporan harian” itu, tapi wajahAli Topan yang simpatik melahirkan kegembiraan dihatinya. Anna Karenina diam-diam merasa ditemani olehbayangan Ali Topan. Perasaan itu membuat perasaannyaringan ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan ibunya.

***Ali Topan cs berada di rumah Gevaert. Mereka sibuk

menyerpis motor masing-masing. Gevaert mengertiseluk-beluk mesin motor, lagipula fasilitas berupa oli danbensin selalu tersedia di rumahnya. Mereka menyerpismotor di garasi. Di teras, ada segerombolan mahasiswiUniversitas Panca Sakti sedang repot “belajar”. Rasanyamereka tidak bisa belajar sungguh-sungguh, karena Tinadan teman-temannya sering mengikik dan berbisik-bisikmengenai Ali Topan.

“Itu teman Mpok lu ada yang bisa dibawa, Vaert? Kalauada kita bawa aja ke kamar,” kata Bobby, “soalnye gualagi patah hati nih, maklum aja mack,” tambahnya. Iamelirik Ali Topan yang sibuk mengisi oli mesin.

“Yang nganggur sih banyak, Bob, cuman taripnyamahal, mack. No pek ceng!” kata Gevaert. Ucapannyamembuat Ali Topan, Bobby dan Dudung tertawa terba-hak-bahak. Suara tawa itu terdengar sampai di telingakawanan mahasiswi di teras. Mereka semua menengok

103

ke garasi.“Jadi lu nyerah sama Topan, Bob? Menang dong gua,

Vaert. Sebungkus Dji Sam Soe lu bayar ke gua, Vaert,”kata Dudung.

“Nyerah sih kagak, Dung. Kita mengalah sama teman,iya kagak Pan?” kata Bobby.

“Oh, iya. Itu omongan paling bagus yang pernah dengardari mulut lu, man! Kalah adalah kalah,” kata Ali Topan.Dia mengerjapkan mata ke arah Dudung. Dudung datangmenyalaminya, diikuti Gevaert.

“Selamat ye? Kalau kawin undang-undang kita ah,”kata Gevaert. Ali Topan tersenyum. Stel yakin.

“Lu, nggak nyalamin gua, Bob?” kata Ali Topan, “jadiresmi gitu, biar dada gua lapang betul buat nyatronin siAnna,” tambahnya. Dengan senyum kecut Bobbymenyalami tangan Ali Topan.

“Ngomong-ngomong, gua besok mau mudik, mack,”kata Dudung dengan gaya Sunda tulen. Ia membungkukpada teman-temannya.

“Asal bawa oleh-oleh, gua doain lu,” kata Gevaert.“Sip. Kita foya-foya deh nanti,” kata Dudung, “tapi

soal kalah taruhan tetap berlaku, Vaert,” tambahnya.“Jangan kuatir!”Gevaert merogoh sakunya, mengambil uang Rp 200

yang diberikannya pada Dudung. “Impas, ye?” katanya.“Sip.”Dudung mencium uang itu, lalu memasukkannya ke

dalam saku jaketnya.Dari teras, Tina berteriak ke arah mereka.“Haaaiiii! Minumnya di siniiiiii!”“Okeee!,” teriak Ali Topan. Dia membereskan

kerjanya, lalu mencuci tangan dengan bensin.“Kita ke sana dulu, ye,” kata Bobby.

104

“Lu pilih kelir deh sono,” kata Ali Topan. Diamengakak sekeras-kerasnya. Tiga temannyamenyambung dengan ketawa yang tak kalah nyaringnya.Para mahasiswi di teras tidak tahu bahwa ketawa itu cumaketawa bikinan saja.

Selesai membersihkan tangan, Ali Topan menyusul keteras. Ia disambut senyum manis dari para mahasiswi.

“Eh, Dita, Mira, Sandra, ini dia orangnya, katanya maukenalan …,” kata Tina. Dia berpaling ke Ali Topan danberkata: “Mereka pingin kenalan sama kamu, Pan!”

“Boleh saja, asal ada duitnya,” kata Ali Topan sambilmenyalami para mahasiswi itu satu per satu.

“Berapa duit?” kata Dita.“Tergantung jamnya, dan diperhitungkan sewa

kamar,” kata Gevaert menyela.“Ih! Omongan adik lu sadis, Tina! Tabok dia Tin!” kata

Mira.Tina menghampiri Gevaert, pura-pura mau memukul

kepala adiknya, Gevaert pasang kuda-kuda.“Eit, kalau lu nabok gua, gua suruh Dudung nyipok lu

ya,” kata Gevaert. Tina langsung mundur. Merekatertawa semua.

Begitulah anak-anak SMA bercanda gembira denganpara mahasiswi. Perbedaan umur tidak menghambatmereka.

Suasana tetap meriah sampai mereka pulang ke rumahmasing-masing. Ali Topan agak terhibur juga olehsuasana itu. Tapi setelah pulang dari rumah Gevaert,ketika dia seorang diri mengendarai motornya, diamerasa muram lagi. Wajah Anna Karenina danucapannya yang dingin membuatnya gelisah.

105

DELAPAN

Dudung langsung berangkat ke Kuningan, JawaBarat, siang hari itu juga. Ia naik motor dari rumahGevaert, sendiri. Ia sampai di rumah orangtuanya

di Kuningan, malam hari lepas Isya’. Ayahnya, HajiAkhmad Mubaraq, ibunya, dan Romlah adiknya baruselesai sholat Isya’ ketika ia datang.

Haji Akhmad Mubaraq, Nyi Haji dan Romlah sangatgembira melihat Dudung. Bagi mereka, Dudung adalahharapan di masa depan. Bukan dari segi materi, karenaHaji Akhmad Mubaraq termasuk petani kaya diKuningan. Dudung lebih merupakan harapan untukmemperoleh simbol ‘anak sekolahan’ yang bisa meng-angkat nama keluarga di kalangan orang sedesa. Olehsebab itu, segala apapun yang diminta Dudung denganalasan ‘untuk keperluan sekolah’ selalu di-ACC olehorangtuanya.

“Jadi uangmu sudah habis, sekarang perlu uang lagi,Dung? Banyak juga ongkos anak sekolah di Jakarta ya.Tapi jangan kuatir, abah akan kasih terus supaya sekolahDudung berhasil, dan Dudung bisa jadi orang pinter.Abah bangga kalau punya anak yang jadi mahasiswa.Bukan begitu, Fat…’” kata Haji Akhmad ketika Dudungmengemukakan maksudnya. Yang dimaksudkannya‘Fat’ adalah ibu Dudung yang bernama Sitti Fatima.

“Sip deh, Abah! Pokoknya percaya sama Dudung. PastiDudung sukses bawa ijajah buat Abah dan Mamah,” kataDudung. Dia stil yakin dan bersemangat sekali.

“Tapi Dudung harus sering kasih kabar ke Abah dan

106

Amak, biar kami di sini tahu keadaan Dudung di Jakarta.Mamah suka kangen kalau Dudung lama tak memberikabar,” kata ibu Dudung.

“Romlah sih nggak perlu surat Kang Dudung, tapi SiRofiqoh, anak Pak Lurah itu yang suka nanya KangDudung terus. Rofiqoh takut kalau Kang Dudung kawinsama orang Jakarta,” kata Romlah.

Dudung mengangguk-angguk mendengarkan ucapanayah, ibu dan adiknya. Rofiqoh, Rofiqoh, kata hatinya.Rofiqoh itu nama gadis manis yang jadi pacaranyasemasa di Sekolah Dasar. Rasanya ia dulu begitu terpikatoleh Rofiqoh, malah dulu ia pernah berjanji untuk kawindengannya. Tapi urusan masa lalu. Sejak dia kenalJakarta, dan mulai berpikir ala anak-anak Jakarta sertamelihat gadis-gadis Jakarta yang sexy, kenangan akanRofiqoh jadi luntur.

“Kang Dudung sudah punya pacar di Jakarta?” Perta-nyaan Romlah menyadarkannya.

“Yaaah, banyak cewek yang naksir Kang Dudung diJakarta, tapi Kang Dudung masih mikir-mikir, Om,” kataDudung. Ia panggil adiknya dengan Om saja.

“Artis-artis, ya Kang?” tanya Romlah.“Macem-macem, Om. Ada bintang pilem, ada

penyanyi, ada anak jendral, banyak deh.”“Astaghfirullaaaah. Betul begitu, Dung? Lain kali ajak

kemari, Abah mau lihat,” kata Haji Akhmad. Istrinyamembelalakkan mata. Pak Haji Akhmad tertawa ter-kekeh-kekeh.

“Ayo dong, Bah, duitnya. Dudung perlu banyak nih.Buat bayar ujian, buat beli blu-jins dan jajan sama teman-teman Dudung. Kan nggak enak kalau Dudung terus-terusan dijajanin sama anak-anak. Malu, masa anak HajiAkhmad Mubaraq ditraktir melulu,” kata Dudung. Ia

107

mengajuk hati ayahnya.“Asal jangan maen perempuan, Dung. Haraam itu,”

kata Haji Akhmad. Ia bangkit dari kursinya dan berjalanmengambil uang ke dalam kamarnya. Tak lama ia keluarlagi dan memberikan segumpal uang kertas padaanaknya. “Dengar Dung, uang ini harus dipakai secaramanfaat, jangan dibuat maen perempuan atau maen judi.Abah dengar Jakarta sekarang jadi kota perempuan jahatdan tempat orang maen judi. Paham?” kata Haji Akhmad.

“Dudung paham, bah,” kata Dudung. Ia menerimauang itu dan memasukkan ke saku jaket blue-jeans-nya.

“Mustinya nginep barang semalem, Dung, Mamah,Abah dan Om masih sono,” kata ibunya. Dalam bahasaKuningan, ’sono’ artinya rindu.

“Wah, besok Dudung mesti masuk sekolah. Kan bukanhari libur. Nanti kalau libur deh, Dudung ajak teman-teman Dudung nginep disini. Sekarang Dudung langsungbalik ke Jakarta saja, biar nggak kemaleman di jalan,””kata Dudung.

”Nggak capek, Dung? Nanti kalau capek bisa masukangin. Nanti jatuh di jalanan,” kata mamahnya.

Nyi Akhmad menghampiri anaknya. Diusapnya kepalaDudung dengan lembut. Dudung mencium tanganmamahnya. “Jangan khawatir Mamah. Dudung pakaijaket blu-jins, angin takut masuk ke dalam badan,” kataDudung. Mak, abah dan Romlah tersenyum mendengarucapan Dudung.

“Jadi langsung ke Jakarta? Ati-ati Dung. Abah danMamah doakan,” kata abahnya.

“Jangan lupa sholat, juga ngajinya, biar Allah tetapmelindungi Dudung,” kata Nyi Akhmad. Dia mengusapkepala anaknya. Dudung memeluk ibunya, kemudianmencium pipi ibunya seperti gaya anak Jakarta mencium

108

pipi–mami mereka. Nyi Akhmad mengusap pipi yangbaru dicium anaknya. Geli rasanya dicium dengan carabegitu.

“Kok, diusap, Mah?” tanya Romlah.“Abis nyiumnya kayak orang Belanda, Mamah jadi

geli,” kata Nyi Akhmad.“Bukan kayak orang Belanda, Mah, itu ciuman gaya

Kebayoran. Belanda udah kagak ada di sana, yang adaorang Amerika,” kata Dudung. Ia melepaskan pelukanmamahnya, lalu pergi ke abahnya yang memandangnyadengan sorot mata bangga. Dudung menunduk di depanabahnya, lalu mencium tangan sang abah sekali lagi. HajiAkhmad mengusap-usap rambut Dudung yanggondrong. Mulutnya membaca A-Fatihah.

“Selamet kau Nak…,” katanya.“Berkat doa Abah dan Mamah,” kata Dudung.

Kemudian ia menoleh ke Romlah. Romlah datangmendekatinya.

“Kang Dudung, Om mau dicium pipi,” kata Romlah. Iamengangsurkan pipinya. Dudung mencium pipi sangadik. Cup! Romlah senang betul, dia membayangkandirinya seperti anak gadis Kebayoran Baru yang lincahdan hangat.

“Kalau datang lagi bawain Lepis yang kancingnyaenam belas, Kang Dudung,” kata Romlah. Dudungtersenyum.

“Jangankan kancing enam belas, Lepis yang kancing-nya enam lusin juga Kang Dudung bawain buat Om. TapiOm jangan nakal-nakal ya,” kata Dudung. Nasehatnyapersis nasehat anak Gedongan di Kebayoran. Romlahmengangguk-angguk. Ia merasa bangga punya kakakDudung. Gayanya sekarang keren betul. Jaket stelan blu-jins dengan celananya. Kacamata hitam yang melongok

109

dari dalam kantung jaket menambah kegagahankakaknya itu.

“Permisi Abah, Mamah, Dudung pergi. Ayuh, Om,”kata Dudung. Lalu ia berjalan keluar diantarkan olehadik, abah dan emaknya.

Dudung menyemplak sepeda motornya. Dia memakaikacamata hitam, kemudian mengaca di kaca spion. Mesinmotor dihidupkannya. Suara knalpot menderu-derukarena Dudung sengaja memainkannya seperti gayapembalap motor.

Dengan membaca Bismillah, Dudung memasukkangigi satu motornya. Motor berjalan perlahan. Romlah,abah dan mamahnya melambaikan tangan. Dudungmembalas lambaian mereka. Gigi dua dimasukkannya,motor melaju ke depan. Beberapa gadis tetangganyamemandang Dudung dengan penuh kekaguman darihalaman rumah mereka masing-masing. Dudungtersenyum pada mereka. Gigi tiga dimasukkannya.Lantas dia ngebut ke depan, lenyap dari pandangan matagadis-gadis yang kagum itu.

****

110

SEMBILAN

Esok harinya, usai jam sekolah.Anna berjalan bersama Maya, keluar dari pintu

gerbang sekolah. Anna menggamit tangan Maya.“Maya, besok malam kamu datang ya ke rumah saya.

Ada pesta kecil. Bisa datang ya?” kata Anna.“Pesta apa, An?” tanya Maya.“Saya ulang tahun. Pesta kecil-kecilan kok. Datang ya.

Dan…,” Anna ragu-ragu meneruskan ucapannya. Ia me-nyimpan senyum kecil di sudut bibirnya.

“Ada apa?” tanya Maya.Oom Boy membunyikan klakson mobil tanda agar

Anna segera datang. Anna Karenina tidak menggubrisisyarat itu. Dia menyentuh lengan Maya dan berkata lirih,“Ng… kalau Ali Topan mau datang juga boleh. Tolongbilang ya, Anna mengundang dia dan juga Bobby,Dudung serta Gevaert….” Wajah Anna agak merahwaktu mengatakan hal itu. Tapi segera Maya meng-angguk dan berkata iya.

Entah kenapa, Maya suka sekali mendengar Annamengundang Ali Topan. Dia merasa punya satu beritayang sangat eksklusif buat Ali Topan.Selama ini diamengambil sikap diam-diam sebagai ’mak comblang’bagi pembangunan cinta Anna Karenina dan Ali Topan.Kini ada undangan itu, Maya merasa percomblangannyamulai menampakkan hasilnya.

Maya merasa Ali Topan memang jatuh hati ke Anna. Iatahu diri, karena merasa cintanya hanya sepihak ke AliTopan. Ia memilih tetap jadi sahabat Ali Topan. Maya

111

seorang gadis yang realistis dan siap berkorban untukkebahagiaan Ali Topan. Karena ia tahu di balik keberan-dalan dan kejeniusannya, Ali Topan tidak bahagia karenakebrengsekan orangtuanya. Ali Topan pernah bilang itukepadanya.

Anna Karenina berlari kecil menuju Mercedesnya,karena dari belakang tampak Ali Topan cs menuntunmotor masing-masing menuju pintu gerbang.

Oom Boy langsung menggelindingkan Mercy-nya.Sekilas matanya melirik ganas ke arah Ali Topan cs.Cuih! Oom Boy meludah ke jalanan. Dalambayangannya dia meludahi muka Ali Topan. AnnaKarenina melengos ke arah lain. Ia benci betul melihatkelakuan Oom Boy yang menjijikkan itu.

Maya tersenyum kecil ke arah Ali Topan cs yangmendekatinya.

“Ada apa senyam-senyum gini ari, May? Udah gilalu!” kata Gevaert, “nanti kucium baru rasa kau,”tambahnya.

“Ih!” Maya memekik. Wajahnya yang penuh senyummendadak berubah masam. Dia memandang tajam kearah Gevaert.

“Vaet! Sok aksi lu! Kayak yang kecakepan aja!” kataMaya. Gevaert bukan marah, justru tertawa terbahak-bahak.

“Bagus, gitu dong jadi cewek. Kalau dikatain cowokjangan kalah gertak, katain lagi, lebih sadis lebih nikmat,”kata Gevaert.

Sekali lagi Maya menampakkan wajahnya yanggarang. Dia melotot ke arah Gevaert. Dia ingin meninjumuka Gevaert, anak Indo yang suka konyol itu. Dimatanya, Gevaert tak pernah beres. Selalu berusahamembuat lelucon, sialnya lelucon Gevaert tak pernah

112

kena baginya. Entah karena keadaannya yang tidakmengizinkan, entah karena dia sebal pada Gevaert.

Maya tak pernah tahu bahwa Gevaert diam-diam naksirpadanya. Tapi Gevaert cuma berani naksir di dalam hati.Dia merasa malu kalau ada yang tahu bahwa dia naksirMaya. Ia pun tak mengungkapkan perasaan yang iapendam itu ke taman-temannya.Tapi Maya merasakangetaran itu...

“Doo dooo, kalau cemberut gitu makin manis aje, May.Ntar gua tukarin ayam lu. Tampang kayak lu bisa lakulima ayam negeri tambah telor dua kilo,” kata Gevaert.Ali Topan, Bobby dan Dudung tertawa serempak men-dengar lelucon Gevaert. Tapi Maya gusar betul. Tanpabanyak cingcong, Maya melayangkan tangan kirinya.Plaar! Muka Gevaert ditamparnya. Gevaert terkejut,demikian juga Ali Topan, Bobby, Dudung dan beberapaanak lain yang menyaksikan peristiwa itu. Bahkan Mayasendiri pun terkejut melihat “hasil karya”-nya. WajahGevaert yang putih bertanda lima jarinya.

Tapi aneh. Gevaert tak marah. Ia justru tersenyum ma-nis ke arah Maya, walaupun dia tetap mengusap-usapwajahnya. Tak seorangpun menduga betapa bahagia hatiGevaert saat itu. Tamparan Maya, di depan umum,dirasakan sebagai ungkapan kasih sayang.

Maya cepat reda dari kegusarannya. Wajahnya tampakmenyesal.

“Kamu sih, Vaert, suka bikin panas orang. Siang-siangbegini becanda. Mending kalau lucu,” kata Maya. Tapiwajahnya menyunggingkan senyuman. Gevaert merasa-kan senyuman itu sebagai obat. “Kamu jangan marahbeneran dong. Kan saya cuma becanda aja. Sorry deh,May,” kata Gevaert.

“Saya juga sorry deh,” kata Maya. Wajahnya berubah

113

manis kembali. Dia memandang Ali Topan yangtersenyum simpul. Maka iapun ingat pesan Anna untukAli Topan.

“Eh, Topan kamu diundang ke rumah Anna besok ma-lam. Dia ulang tahun,” kata Maya, “Bobby, Dudung danGevaert juga diundang,” tambahnya. Ali Topan kaget.

“Nggak salah denger, May?” Apa? Coba tolongdiulang sekali lagi?” kata Ali Topan.

“Warta berita cukup sekali. Yuk daah…,” kata Maya.Ia lalu berjalan meninggalkan Ali Topan cs.

“Maya!” seru Ali Topan.Tapi Maya tidak menggubris seruan itu. Maya berjalan

terus. Ali Topan langsung mengejar Maya dengan mo-tornya. Ia merendengi jalan Maya.

”Sorry deh, Maya. Tapi jangan cepet tersinggung dong.Lu kan temen gua yang paling baik,” kata Ali Topanmengajuk hati Maya.

“Kamu sih suka nggak mau percaya omongan orang.Udah bagus dikasih kabar, eh masih nggak percaya.Terserah deh,” kata Maya. Ia terus berjalan.

Yihuuuuuuuuy! Ali Topan memekikkan perasaangembiranya.

“Trims, Maya, trims. Pokoknya jasa lu gua ukir di da-lam hati seumur hidup,” kata Ali Topan. Maya tersenyum.

“Emang kerajinan perak diukir-ukir,” katanya. Iamempercepat jalannya. Ali Topan melambaikan tanganke arah sobat-sobatnya.

Yihuuuuui! Ali Topan memainkan gas motornya, simotor langsung mencelat ke depan. Bobby dan Dudungsegera mengejarnya. Gevaert merendengi Maya.

“Maya, mau gua boncengin?” kata Gevaert denganlembut. Maya menoleh.

“Terima kasih deh. Gua senang jalan kaki.”

114

“Oke deh, gua jalan dulu ya? Ati-ati Maya,” kataGevaert.

“Iya. Lu juga ati-ati...” kata Maya.Dia langsung memacu motornya, menyusul tiga

temannya ke arah utara. Maya memandangi Gevaertsampai lenyap bersama motornya.

***Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Ali Topan sudah

datang di sekolah. Tidak seperti biasanya, Ali Topanduduk di bangkunya. Beberapa teman yang datang agakheran melihat “keluar-biasaan” Ali Topan.

“Tumben lu datang pagi dan duduk di kelas, Pan. Udahsadar?” kata Ridwan, ketua kelasnya.

“Sadar sih dari dulu gua sadar. Cuma terus terang nih,sejak gua punya bini, bangun gua subuh teruuuus, Wan,”kata Ali Topan.

“Siapa bini lu?” seorang teman menyela. Di sekolahmemang sudah santer gosip tentang Ali Topan jatuh cintasama Anna Karenina, tapi si teman tadi sekadar isengbertanya, mungkin sekaligus untuk mentes Ali Topan.

“Masa lu kagak tahu siapa bini gua?” kata Ali Topan.Tepat pada saat Ali Topan selesai berkata, Anna

Karenina muncul di pintu kelas. Anna tersenyum padaAli Topan dan teman-temannya yang lain.

”Selamat pagi!” kata Anna pada mereka.“Selamat pagi, bidadari,” Ridwan, ketua kelas

membalasnya.Ridwan mengerjapkan mata ke arah Anna Karenina.

Kerjapan mata itu membuat Anna tersipu-sipu. Ali Topanlangsung menengok ke Ridwan. Ridwan mengerjap pulake arahnya.

Ketua kelas itu jelas menggoda Ali Topan. Ali Topancuma bisa senyam-senyum sendiri. Dia yang biasa

115

‘paling rame’ di dalam kelas, bahkan di sekolah, seakan-akan tak bisa berkutik. Hatinya berdenyut lebih keras.

Dari rumah dia sudah berniat untuk menyalami AnnaKarenina. Dia sudah mengatur gaya dan mimik yangpaling baik dan paling simpatik pada saat mengucapkanselamat ulang tahun. Itu didorong oleh kepercayaan bah-wa pesan yang disampaikan Maya tentang undangan dariAnna, benar-benar pesan asli. Tapi dia jadi sangsi ketikamelihat Anna Karenina masuk ke dalam kelas dengansikap yang biasa, sikap yang sedikit acuh tak acuh.

Anna tak memberikan salam khusus untuknya. Iamengucapkan selamat pagi pada Ridwan, Rudi, Dododan teman-teman lainnya, tapi sedikitpun tak memberiperhatian khusus padanya. Padahal Ali Topan sudahmenyiapkan diri sejak tadi malam untuk menyambut hariini. Ternyata hari ini tidak sesuai dengan harapan harikemarinnya. Ali Topan tidak tahan dengan situasi galauyang melingkupinya. Pikirannya dipenuhi sesuatu yangtidak enak.

Dia jadi curiga, apakah Maya sengaja mempermain-kannya? Apakah Maya mengirim pesan palsu? Rasanyatidak mungkin. Maya tahu, bahkan seluruh manusia disekolah ini tahu bahwa seorang yang punya nama AliTopan tidak pernah bisa dipermainkan! Aneh. Aneh.Aneh.

Otak Ali Topan dipenuhi kata-kata itu. Jangankanmengucapkan selamat pagi, melirikpun tidak dia, padahaljelas-jelas dia melewati bangku Ali Topan. Huh! Keang-kuhan model begini baru seumur hidup dirasakannya.Biasanya dia yang selalu mengambil inisiatif dalamsituasi macam apapun. Kini dia nyata-nyatadipermainkan situasi di luar dirinya. Ali Topan gelisah!

Bobby masuk ke dalam kelas. Dudung dan Gevaert

116

yang bersamaan datang ke sekolah melongok dari pintukelas. Bobby berjalan ke bangkunya dan menaruh tasnyadi atas meja. Kelas III Pal ada dua kelas. Ali Topan danBobby di kelas III Pal 1, Dudung dan Gevaert di kelas IIIPal 2.

“Tumben lu, pagi-pagi udah nongol, Pan. Pantesankagak nyamper gua. Tau begitu kan nggak gua tungguin,”kata Bobby. Dia melirik ke Ali Topan, lalu melirik AnnaKarenina yang sibuk membersihkan bangkunya.

“Udah lupa sama kawan,” Gevaert berkata dari pintu.Ali Topan makin gelisah. Teman-temannya bercanda,

tapi rasanya gurauan mereka merupakan sindiran yangkena betul ke hatinya yang sedang gelisah.

Ali Topan berdiam diri. Wajahnya agak tegang.Dudung dan Gevaert melihat wajah yang tegang itu.Mereka tahu gelagat. Pasti Ali Topan sedang serius, sebabdia biasanya paling ramai dalam setiap pertemuan, dimana saja dan kapan saja. Dudung menowel Gevaert.“Ayo dulu, Vaert. Ntar aja kita tanya urusan si Topan,”kata Dudung. Gevaert mengangguk.

“Oke bunga-bunga harapan bangsa... Selamat belajar,semoga sukses,” kata Gevaert. Omongannya serius, tapinadanya bercanda. Ali Topan berdiam diri. Dia sedangsibuk menekan kegelisahannya.

Maya datang. Ali Topan langsung memandang tajamke arahnya.

“Hai, apa kabar?” sapa Maya. Ia berjalan mendekatiAli Topan, hendak terus ke bangkunya di bagianbelakang. Ali Topan semakin mempertajam pandanganmatanya. Maya kaget dipandang dengan cara begitu.

“Eh, kamu kenapa sih?” tanya Maya. Ia berhenti didepan Ali Topan. Ali Topan menatap Maya.

Ali Topan penasaran. Semalam ia menghubungi Maya

117

lewat telepon, ingin mendapat penegasan tentang un-dangan ulang tahun Anna, tapi Maya tak di rumah. Bukania tak percaya, tapi ia ingin Maya menceritakan secararinci adegan dialog Anna Anna ketika menyampaikanundangan lisan itu. Dan minta tolong agar Maya me-mintakan undangan tertulis. Maya nggak mau. Maka AliTopan agak marah kepada dia. Maya juga jadi kesal keAli Topan.

Maya yang merasa tidak ada apa-apa balas menatapAli Topan. Keduanya berpandangan.

“Maya! Sini dong!” seru Anna Karenina. Ia tak cumaberseru. Anna Karenina menghampiri bangku Ali Topan.Anna tersenyum pada Maya. Dan ia tersenyum juga padaAli Topan.

“Ada apa sih? Kok diem-dieman?” kata Anna.“Nggak tau nih. Salah makan kali dia, pagi-pagi udah

melototin gua,” kata Maya. Berani betul gadis ini. AliTopan sampai kaget mendengar ucapannya. Secararefleks dia bangkit dari duduknya. Wajahnya tegangbetul. Dia cuma mendengus, kemudian berjalan keluarkelas. Maya dan Anna berpandangan. Bobby dan teman-teman lain menyaksikan adegan itu dengan heran.

“Ada apa sih, dia Bob? Kok kayaknya marah samagua?” tanya Maya. Bobby cuma mengangkat bahunya.Maya memandang Anna, kemudian dia berjalan kebangkunya. Anna Karenina mengikutinya dari belakang.

“May,” bisik Anna, “saya jadi takut mau kasih ini samadia,” tambahnya. Anna memperlihatkan sebuah amplopyang diselipkan di sebuah buku yang dibawanya. Mayamemandang Anna.

“Kamu kasih saja langsung ke dianya,” bisik Maya.Anna Karenina menggelengkan kepalanya.

“Saya malu, May,” bisik Anna.

118

“Malu? Emang kamu nggak pake baju, pake malusegala,” gumam Maya. “Ayo deh, kita keluar. Kamu kasihdia deh buru-buru,” tambahnya. Maya menarik tanganAnna Karenina. Mereka keluar kelas.

Ali Topan sedang duduk sendiri menyender pilar diujung Barat sekolah. Maya dan Anna melihatnya. AliTopan melirik sekilas ke arah mereka, lalu dia membuangpandangannya ke arah lain.

“Pssst, kamu kasih sendiri deh. Cepetan,” bisik Maya.“Ah malu, ah. Kita berdua dong,” bisik Anna Karenina.“Kalau malu ya udah!” Maya berkata dengan nada

gemas. Anna juga kaget mendengar nada gemas itu. Diamemandangi Maya.

“Gimana dong?” katanya.“Terserah deh. Tapi jelas kalau kamu nggak undang

langsung dia, dia nggak bakalan mau dateng. Kamubelum kenal adat dia sih,” kata Maya. Dia membalikkanbadan, hendak masuk kembali ke dalam kelas.

“Kamu tunggu di sini dong. Ya?” kata Anna. Diaberjalan cepat dan langsung menuju Ali Topan.

Ali Topan mendengar kedatangannya, tapi sedikitpuntidak menengok. Dalam hati kecilnya merasa, pasti Annadan Maya keluar mengandung maksud tertentu padadirinya. Tapi dia sudah terlanjur ‘tersinggung’ dan mem-bangun prasangka buruk pada gadis-gadis itu. Dia berpra-sangka Maya dan Anna punya rencana aneh, semacampermainan yang sukar diduga. Dan dia tak bernafsu untukikut dalam permainan itu.

Anna Karenina berhenti di samping Ali Topan. AliTopan menggosok-nggosok sepatunya yang berdebudengan telapak tangannya. Sama sekali dia tidakmenengok ke atas, walaupun ujung sepatu Anna tampakjelas di sampingnya. Malah mau rasanya dia menggaet

119

betis si Anna dan menjatuhkan gadis itu supaya tahubahwa Ali Topan tidak bisa ‘dipermainkan’.

“Haiiii,” suara lembut meluncur dari bibir AnnaKarenina. Ali Topan mendengar teguran itu. Hatinyasedikit bergetar. Tapi dia tetap berusaha untuk berdiamdiri. Dia merasa kurang percaya bahwa teguran itu berasaldari Anna.

“Ali T opan… kamu kok diam saja? Kenapa?” suaralembut Anna Karenina memasuki telinganya. Sungguhmenyejukkan.

Perasaan Ali Topan kembali tergetar. Perlahan, sangatperlahan, dia menengadah. Sepasang matanya memand-ang ke atas dan berlabuh di wajah manis Anna Karenina.Sepasang mata gadis itu bersinar lembut, hangat, bibirnyaseparuh terbuka menyungging seulas senyum yangpolos. Seketika buyarlah segala kemelut di dalam hati AliTopan. Tatapan mata Anna Karenina mengusir segalaprasangka yang ada di kepalanya.

“Haaaaiiii,” bisik Ali Topan, “kamu panggil saya?”tambahnya. Anna Karenina mengangguk. Ali Topansegera berdiri.

“Kamu sedang apa?” bisik Anna.“Sedang melamun?”“Melamun apa sih?”“Melamunkan kamu,” kata Ali Topan tegas.Anna Karenina tersentak oleh jawaban yang mantap

itu. Wajahnya bersemu dadu. Dia jengah. Ia menunduk.Mulutnya serasa terkunci. Kemudian ia menengadahkembali, memandang Ali Topan. Wajah yang selalumembayang dan senyuman yang selalu dilamunkannyakini berada di dekatnya.

Sorot mata Ali Topan terasa meluluhkan semangatnya.Maka hati gadis manis itupun tergetar. Getaran itu

120

mengalir ke jari-jari tangannya dan membuat buku yangdipegangnya turut tergetar. Sebuah amplop jatuh daridalam buku itu. Ali Topan bergerak sebat memungutamplop itu dan diberikannya pada Anna.

“Itu untuk kamu,” bisik Anna.“Dari siapa?” tanya Ali Topan. Anna Karenina tak perlu

menjawab lagi karena Ali Topan membaca namanya diamplop itu sebagai alamat yang dituju dan Anna Kareninasebagai si pengirim. Ali Topan membuka mulutnya,hendak mengucapkan terima kasih. Namun AnnaKarenina sudah membalikkan diri dan berjalan cepatmenuju kelas.

Bel tanda masuk berdentang-dentang.Ali Topan melihat amplop itu dan memasukkannya ke

dalam sakunya. Iapun berjalan menuju kelas.Langkahnya mantap, walaupun banyak anak yangmemandang ke arahnya. Ia tak peduli.

***Jam pertama Ilmu Kimia.Ali Topan tak punya minat mengikuti pelajaran itu. Dia

ingin agar semua pelajaran cepat berlalu. Saku bajunyaterasa berat seperti berisi batu. Sebentar-sebentar diameraba sakunya untuk mencek apakah surat dari Annamasih ada, apa sudah lenyap. Dia ingin segera membukaamplop dan membaca surat berharga itu. Apa sih isinya?

Ketika Pak Hartanto sedang menuliskan rumus-rumusKimia di papan tulis, secepat kilat Ali Topan mengambilsurat dari sakunya. Bobby melirik kepadanya. Ali Topanmenutupi mulut dengan jari telunjuk, isyarat agar Bobbydiam-diam saja. Pelahan tapi pasti, Ali Topan membukasampul surat yang ditutup dengan sedikit perekat plastik.Dia ambil kertas surat hijau dan membuka lipatannya.

121

Jakarta, 1 Agustus 1978

Ali Topan Yang ….Kamu datang ke rumah saya nanti malam yaTeman-teman kamu juga boleh datangHari ini saya ulang tahun

Anna Karenina

p.s. Nggak usah bawa kado deh. Pokoknya datang saja jam 19.30 tepat.

Isi surat cukup pendek, tapi sangat menggoncangkanperasaan! Tangan kirinya yang memegang surat itubergetar.

“Lu ngapain sih, kayak orang mabok aja,” gumamBobby. Ali Topan tersadar. Ia cepat melipat kembali suratkertas hijau itu. Sebelum dimasukkannya ke dalamamplop, diciumnya surat itu dengan mesra.

“Lu kenapa, Pan?” gumam Bobby lagi. Disikutnyalengan Ali Topan. Ali Topan cuma menjawab dengansebuah senyuman. Ia memasukkan surat itu ke dalamsakunya kembali.

Pak Hartanto mulai memberikan pelajaran. Murid-murid menyimak dengan baik, kecuali Ali Topan danAnna Karenina. Kedua remaja itu merasa gerah di dalamkelas. Pikiran mereka tidak penuh berkonsentrasi ke IlmuKimia. Mereka sibuk dengan lamunan masing-masing.

Jam-jam pelajaran berikutnya, mereka tetap tidak bisaberkonsentrasi secara penuh. Saat bel berdentang-dentang tanda usai sekolah, barulah hati keduanya merasalega.

122

Anna Karenina keluar kelas lebih dulu. Dia berjalancepat menuju mobilnya. Oom Boy sudah siap di belakangstir. Tanpa banyak pernik lagi Oom Boy menghidupkanmesin mobil dan langsung menancap gas. Mercedes ituseakan-akan melonjak meninggalkan tempat parkirnya.

Ali Topan dikelilingi tiga sobatnya di tempat parkirmotor. Ia baru saja memberitahu mereka tentangundangan dari Anna.

“Dia bilang sih nggak usah bawa kado, tapi mana enakkita datang nggak bawa kado? Gengsi kita, man! Guapikir-pikir… gimana nih kalau kita patungan, sorangberapa kek, buat beli kado yang rada pantes,” kata AliTopan.

“Yeee, enak banget lu. Lu yang punya minat masa kitamusti ikut repot?” kata Bobby, “kalau emang nggak adaduit, nggak usah gengsi-gengsian deh,” tambahnya.

Ali Topan sudah mengira Bobby pasti bersikapdemikian. Bobby manusia pelit dan paling pintar mencarialasan untuk menutupi sifatnya itu.

“Menurut lu gimana Vaert?” tanya Ali Topan.“Gua sih lagi bokek, mack. Jadi percuma gua kasih

pendapat. Gua bilang oke, gua nggak bisa patungan. Guabilang nggak oke, sulit juga, soalnya kita kan satu geng.Jadi gua abstain deh,” kata Gevaert, “Tapi menurut guasih, Anna ogah dibawain kado, kalau kita bawain jugananti dia tersinggung kan jadi repot,” tambahnya.

Ali Topan tampak berpikir. Dia tidak menanyaiDudung sebab dia tahu Dudung pasti berkata oke, apapunyang dia ajukan. Dia tahu sifat Dudung, sifat anak desayang polos. Apalagi Dudung baru pulang mudik, pastiduitnya banyak. Tapi Ali Topan tak ingin menggangguDudung. Dia berpikir, ada benarnya juga perkataanBobby —walaupun pahit—kalau nggak punya duit

123

nggak usah gengsi-gengsian!“Oke deh! Kita jalan,” kata Ali Topan, “nanti malam

ngumpul di rumah Gevaert jam tujuh ya?” tambahnya.Ketiga temannya berkata iya.

Mereka langsung pulang ke rumah masing-masing,tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikiranmereka. Yang jelas, terasa ada suasana baru memasukikehidupan persahabatan mereka. Selama ini mereka sea-kan-akan menganggap bahwa dunia ini hanya berisi 4manusia, tapi kini ada seorang gadis memasuki duniamereka. Masing-masing lalu menyadari situasi itu, situasiyang mulai berubah, tapi mereka tidak tahu apakah iaberubah baik atau buruk bagi persahabatan merekaberempat.

***Mbok Yem sedang bercakap-cakap dengan Windy,

kakak perempuan Ali Topan, ketika Ali Topan masuk kedalam kamarnya.

“Hei!” seru Windy.“Hei!” seru Ali Topan sambil melemparkan tas sekolah

ke tempat tidurnya. Windy mendekatinya, lalu memelukAli Topan dan mencium pipi si adik.

“Apa kabar nih? Kangen gua, Pan. Mbok Yem bilanglu suka ngayab terus, jarang ada di rumah. Gimanasekolah lu? Beres? Terusin deh sekolah, jangan males.Sekolah itu penting buat masa depan. Kalau orang nggaksekolah itu bisa susah hidupnya. Lu nggak mau jaditukang-minta kan?” kata Windy. Dia selalu begitu,artinya selalu banyak memberi nasehat kapan saja, dimana saja.

Ali Topan hafal sikap kakaknya itu. Suka sekalimemberi nasehat pada orang lain. Ali Topan suka bosandengan nasehat Windy yang itu ke itu melulu, yang bagi

124

Ali Topan hal itu tak lebih dan tak kurang sebagai ‘overkompensasi’ dari jiwa Windy yang tidak stabil.

“Tumben lu inget ini rumah? Gue kira lu nggak maubalik lagi ke sini,” kata Ali Topan. Windy diam saja.

“Gua kangen sama lu,” kata Windy.“Kalau kangen, lu bawa aja foto gua,” kata Ali Topan.

Dia tersenyum. Windy ikut tersenyum. Mereka sama-sama maklum bahwa senyuman mereka bersifatseadanya.

“Jeruk peresnya habis. Minum air es saja Den Bagus?”Mbok Yem menyela.

“Ya, Mbok,” kata Ali Topan sambil menepuk bahuMbok Yem.

“Mama ke mana sih? Masih belum insap juga ya?Kapan sih mama dan papa insap ya, Pan?” gumam Windysetelah Mbok Yem keluar kamar.

Ali Topan heran. Tumben Windy mengkritik papa danmama mereka. Selama ini Windy tak peduli. Ia sibukdengan urusannya sendiri dengan teman-temannya yangnggak jelas.

“Aaaah, biar aja deh, Win. Mau insap kek, mau kagakkek, mereka sendiri yang mikul dosanya. Rasanya lucukalau kita ngasih nasehat sama orangtua kita, iya kagak?”

“Tapi kan kita jadi malu sama orang-orang lain. Guajadi nggak ngarti apa maunya sih mama dan papa begitu.Kerdil amat jiwa mereka ya?”

Mbok Yem masuk membawa segelas air es.Ali Topan meminum air es itu, setengah gelas. Sisanya

diberikan pada Windy. Windy meminum air itu. MbokYem keluar kamar, dia mengerti bahwa lebih baik diatidak hadir di saat kakak beradik itu sedang ‘‘berbicara’’.

“Soal mau sih emang malu. Tapi keadaannya runyambegini lantas kita mau apa? Gua kan ribut melulu sama

125

Papa. Ntar kebanyakan ribut gua kuwalat lagi. Men-dingan cari idup sendiri-sendiri deh, Win,” kata AliTopan.

“Nggak begitu dong. Mereka kan orang tua kita. Kalaumereka khilaf, kan kita yang ngasih tahu.”

“Kalau ember bocor kena dibikin betul, kalau mentalorang yang bocor kan susah nyoldernya. Menurut guasih, emang sekarang lagi jamannya orangtua jadi rusak.Bukan cuma orangtua kita, Win, orangtua temen-temengua juga kebanyakan rusak semua. Udah jamannya,” kataAli Topan.

Ali Topan mencopot sepatunya, kemudian mencopotpakaiannya di depan Windy. Windy memandang adiknyadengan sorot mata sedih. Si adik ini suka kasar dan plas-plos omongannya, tapi kebanyakan benar dan logis.

“Lu mau pergi lagi?” tanya Windy ketika dilihatnyaAli Topan membuka lemari dan mengeluarkan baju dancelana jeans.

“Nanti malem gua pergi,” jawab Ali Topan.“Ke mane?”“Ke rumah cewek.”“Siapa cewek lu? Ceritain dong.”“Lu kira gua pengarang yang suka cerita perkara

cewek. Pokoknya cewek gua tampangnya kayak Mercy,bukan kayak oplet, Win,” kata Ali Topan sambil ketawa.Windy ketawa juga.

“Anak jendral siapa? Biasanya yang tampang Mercykan anak jendral,” kata Windy, berolok-olok. Ali Topanmengakak. Kemudian dia diam tiba-tiba. Ia memandangWindy.

“Win, gua mau tanya. Kalau cewek ulang tahun itupantesnya dikasih kado apa sih?” tanyanya.

Windy berpikir. “Dia punya hobi apa?” tanya Windy.

126

“Gua bukan tanya kesukaannya, gua tanya apa yangpantes. Gua baru kenal tiga hari mana gua tahu apa yangdia suka. Yang gua tahu dia suka naik Mercy. Kalau guaturuti kesukaannya kan gawat! Yang umum deh, yangmurah tapi dia bisa seneng, kita beliin apa ya Win?”

“Kita? Kita siapa?”Ali Topan tersenyum.“Begini. Lu susah betul nangkep omongan gua. Gua

mau beli kembang buat cewek, tapi gua nggak punyaduit, jadi gua minta duit sama lu. Ha ha ha.”

Ali Topan memeluk kakaknya. Windy meronta-ronta.“Lepasin ah! Badan lu bau tuh!” teriak Windy.Tapi Ali Topan tak mau melepaskan dekapannya.“Kalau lu kasih duit baru gua lepasin,” kata Ali Topan.“Iyaaaa…..”Ali Topan melepaskan pelukannya sambil tertawa-

tawa. Windy meninju perut adiknya. Dia membuka tas,mengeluarkan Rp 3.000.

“Lu beliin kembang nih. Kalau lu naksir bener samacewek itu lu beli’in kembang mawar, kalau lu nggaknaksir lu beli’in kembang plastik,” kata Windy.

“Sip.”Ali Topan menerima uang itu.“Tapi jangan lupa,” kata Windy sambil berjalan keluar.“Apa?”“Jangan lupa nulis di kartu ulang tahun, kalau duit buat

beli kembang itu dari Mpok lu!” seru Windy. Ali Topantertawa sekeras-kerasnya.

Sehabis makan siang bersama Windy, Ali Topan pergimembeli bunga di pasar bunga Blok B. Penjual bungadisuruhnya mengantar bunga itu secepatnya ke alamatAnna Karenina.

***

127

Jam 18.30. Ali Topan sudah rapi. Ia memakai celanajeans krem dan baju kotak-kotak kecil warna merah.Rambutnya yang gondrong sudah dikeramasinya waktumandi, kini hampir kering.

Ali Topan menyisir rambutnya di depan cermin. Jarangsekali dia menyisir rambut. Untuk Anna Karenina, diaspesial menyisir rambut. Selesai menyisir rambut, iamasih berdiri di depan cermin. Malam ini dia sedikitgenit, memperhatikan segala segi wajah dandandanannya. Setelah dirasanya cukup keren, ia bersiapkeluar kamar. Jam 19.00 harus sudah berkumpul denganBobby, Gevaert dan Dudung untuk berangkat bersamake rumah Anna.

Mbok Yem muncul di depan pintu kamar. Tangannyamenggenggam kalung rantai perak milik Ali Topan yangketinggalan di kamar mandi. Kalung itu diberikannyapada Ali Topan.

“Terima kasih, Mbok. Hampir aku lupa,” kata AliTopan. Ia langsung memakai kalung itu, tapi tiba-tibakalung itu diloloskannya kembali. Ia mengamati kalungperak yang dulu dibelinya dengan harga murah dariseorang tukang loak. Sudah lebih dari dua tahun kalungitu dipakainya.

“Ada apa Den Bagus?” tanya Mbok Yem ketika melihatAli Topan berpikir-pikir.

“Ah, nggak, nggak apa-apa,” kata Ali Topan. Ia masukke kamarnya lagi. Dicarinya sebuah amplop dandirobeknya sehelai kertas dari sebuah buku tulisnya. AliTopan menuliskan sesuatu di kertas itu, lalu memasukkankertas dan kalung ke dalam amplop. Direkatkannyaamplop itu dengan perekat plastik, lalu ditulisinyaamplop itu: Untuk Anna Karenina dari Ali Topan.Amplop dimasukkannya ke dalam saku bajunya,

128

kemudian ia keluar kamar.“Mbok, aku berangkat ya,” katanya, “bilangin juga

pada Windy,” tambahnya. Mbok Yem mengangguk.Ali Topan berangkat dari rumah dengan hati gembira.

Sepanjang jalan ia tersenyum manis sendiri. Ia memberi-kan sesuatu yang istimewa untuk Anna Karenina.Semoga Anna menerimanya dengan senang hati,demikian kata hati Ali Topan.

Ia tidak mengepot-ngepotkan motornya malam ini. Iasangat berlaku sopan di jalanan.

***

129

SEPULUH

Jam 22.00 di rumah Anna.Sudah banyak orang datang di pesta ulang tahun

Anna. Ada yang tua, ada remaja dan ada juga anak-anak kecil. Undangan itu terdiri dari famili keluargaSurya, relasi dekat dan teman-teman baik Anna.

Upacara meniup lilin dan menyanyikan lagu PanjangUmur belum dimulai, karena yang punya hajat sedangmenunggu beberapa undangan. Yang ditunggu itu, tamupenting bagi Tuan Surya, yaitu seorang wiraswastawanmuda yang baru tumbuh, tokoh dari salah satu gruppengusaha di Jakarta. Ia seorang wanita muda bernamaTiara, putri seorang pejabat tinggi yang punya pengaruhbesar di pemerintahan. Tiara itu bukan teman Anna,melainkan relasi ayahnya yang diberi undangan khususuntuk hadir.

Jam 20.10 manusia yang bernama Tiara itu belumtampak juga. Hampir semua tamu sudah merasa tidaksabar untuk menyantap hidangan yang sudah‘menantang’ di atas meja makan. Beberapa tamu mulaimain gosip, terutama orang-orang tua dari geng familikeluarga Surya. Ibu-ibu dan tante-tante sudah sama-samarepot berbisik-bisik, yang menurut istilah Jawa itu disebut‘ngrasani’. Tapi wajah mereka bisa kelihatan berseri-seri walaupun sesungguhnya bisik-bisik mereka berisisindiran pada yang punya hajat.

Anna Karenina sendiri tampak gelisah. Beberapatemannya sudah langsung bertanya, kenapa acara belumdimulai. Anna cuma bilang bahwa ada tamu yang

130

ditunggu.Ketika jam 20.13 Tiara tidak muncul, Tuan Surya

mengambil keputusan untuk memulai acara. Segera iamemanggil Anna Karenina untuk berdiri di depan 17batang lilin yang ditancapkan pada sebuah kue tarcis.

Pak Surya sendiri yang memimpin acara. Ia bertepuk-tepuk tangan seperti orang memanggil ayam-ayampiaraan. Dan, para tetamu itupun datang bergerombolmengelilingi meja upacara. Oom Boy menyalakan lilinulang tahun. Seseorang sudah siap dengan alat pemotret.

Suasana hening. Pak Surya berpidato.Ia pidato tentang ini dan itu yang ada hubungannya

dengan kelahiran Anna. Iapun memimpin doa untukkebaikan Anna Karenina.

Ketika ia hendak sampai pada akhir doanya, derumansuara motor terdengar memasuki halaman rumah.Keheningan suasana terganggu sesaat. Para hadirinsempat menoleh ke arah halaman. Mereka melihat 4sosok manusia mematikan mesin motor. Pak Suryamenutup doanya. Amin. Para hadirin beramin-amin pula.Begitu selesai, Pak Surya bertepuk tangan sekali lagi danmeminta para hadirin bersama-sama menyanyikan laguPanjang Umur. Maka merekapun bernyanyilah.

Empat penunggang motor yang baru datang adalah AliTopan, Bobby, Gevaert dan Dudung. Mereka langsungmasuk ke dalam dan langsung menuju kerumunan orangyang bernyanyi. Ali Topan cs menganggukkan kepalakepada orang-orang yang memandangi mereka dengansorot mata bertanya-tanya. Anna tersenyum ke Ali Topan.Wajah gadis manis itu berseri-seri.

Lagu selesai, Anna meniup lilin. Para hadirin bertepuktangan. Tuan dan Ny Surya menciumi pipi Anna,kemudian para tetamu bergantian menyatakan selamat

131

hari ulang tahun dengan cara masing-masing. Ada yangcuma menyalami tangan Anna, ada pula yang ikut-ikutanmencium pipi Anna.

Ali Topan berjalan menghampiri Anna, diikuti olehtiga sahabatnya. Anna cepat-cepat melepaskangenggaman tangan seorang famili yang menyalaminya.

“Haai, kirain nggak dateng...?” Anna berbasa-basi.“Dateng dong, masa diundang nggak dateng,” kata Ali

Topan, “Ng… selamat ulang tahun Anna, semogapanjang umur dan… bahagia,” tambahnya. Ia menyalamiAnna dengan hangat sekali. Wajah Ali Topan berseri-seri. Anna pun demikian pula. Keduanya nyaris lupabahwa di sekitar mereka banyak manusia lain yangmemperhatikan dengan pandangan bertanya-tanya,kalau tidak ada seseorang berdehem dengan sengaja.Oom Boy yang berdehem itu.

“Terima kasih ya, bunganya baguuus sekali, Annasenang sekali deh,” kata Anna. Ia melepaskangenggaman tangan Ali Topan. Tapi Ali Topan tidaksegera beranjak untuk memberikan giliran teman-temannya mengucapkan selamat pada Anna. Ali Topanmengambil amplop dari kantungnya dan memberikannyapada Anna.

“Ini untuk kamu, An,” kata Ali Topan.“Apa sih? Kok repot-repot?” kata Anna, “terima kasih

ya,” kata Anna. Ia menerima pemberian Ali Topan. Di-timang-timangnya amplop berisi kalung itu, lalu dira-banya dengan jarinya. Wajahnya tampak senang sekali.

“Kamu simpan baik-baik ya,” bisik Ali Topan, lalu diaundur ke belakang. Bobby, Dudung dan Gevaert berturut-turut menyalami Anna.

Ali Topan melihat ke sekitarnya. Tuan dan Ny Suryaberdiri memperhatikannya. Ny Surya berbisik-bisik pada

132

suaminya. Kelihatan sekali sorot mata Ny Surya tidaksenang melihat kehadiran Ali Topan. Ali Topanmenghampiri ayah dan ibu Anna. Ia mengulurkan tanganpada Tuan Surya.

“Selamat untuk Anna, Oom,” kata Ali Topan. TuanSurya mengangguk dan menjabat tangan Ali Topan. Iamenggumamkan terima kasih yang tidak jelas terdengardi telinga Ali Topan. Ali Topan menyalami Nyonya Suryadengan mengucapkan selamat pula untuk Anna, tapiNyonya Surya tidak segera menyambut uluran tanganAli Topan. Nyonya Surya menatap mata Ali Topankemudian dia memperhatikan Ali Topan dari atas kebawah.

Oom Boy berdehem di sebelahnya. Nyonya Surya danAli Topan sama-sama melirik ke arah Oom Boy. AliTopan melihat sinisme yang terang-terangan di wajahOom Boy. Ia merasa suasana yang tidak enak. Cepat iamelihat ke arah Nyonya Surya. Tangannya masihdiulurkan untuk menyalami Nyonya Surya. NyonyaSurya menyentuh sedikit tangan Ali Topan kemudiancepat-cepat menarik tangannya, seolah-olah jijikmenyentuh tangan itu.

“Kamu yang ada di Blok M waktu itu ya,” kata NySurya. Pandangan matanya dingin. Beberapa tetamumelihat adegan yang kaku itu.

“Iya, Tante…,” kata Ali Topan. Ah, suasana sungguhtidak enak bagi Ali Topan. Dia merasa bahwa kehadiran-nya tidak disukai oleh Nyonya Surya. Dia maklum. AnnaKarenina juga maklum akan situasi yang tidak enak itu.Hatinya berdebar-debar. Semua orang di ruang itumemusatkan pandangan pada Ali Topan.

Untunglah Tuan Surya bertindak bijaksana. Dia mene-pukkan tangannya lalu berkata keras-keras pada para

133

hadirin, menyilakan makan.Nyonya Surya membuang muka dari pandangan Ali

Topan. Dia segera berjalan meninggalkan Ali Topan.Nyonya Surya ikut menyilakan para tetamu.

Suasana kaku berubah luwes dan gembira kembali.Para tetamu tidak lagi memperhatikan Ali Topan. AnnaKarenina menghampiri Ali Topan yang tegak berdiri.

“Hey, ayo dong makan…,” kata Anna dengan lembut.Wajah Ali Topan tampak tegang. Ia tidak tersenyum padaAnna. Anna merasakan ketegangan itu. Ia menunduk.Ada kesedihan merambati hatinya.

Bobby, Dudung dan Gevaert datang. Bobbymenyentuh lengan Anna. “Kok kue ulang tahunnyanggak dipotong, An?” kata Bobby.

“Buat disimpan tahun depan ya?” kata Gevaert.Dua kalimat itu mampu menyadarkan Ali Topan dan

Anna. Keduanya tersenyum. Ali Topan menyentuhlengan Anna. “Sorry, Anna,” bisik Ali Topan. Kemudianmengajak Anna dan teman-temannya. Matanya redup.

Hidangan di meja berlimpah ruah. Ada ayampanggang, ayam goreng, sambal goreng ati dan pete, sopsarang burung, bakmi, ayam goreng, capcay, sateMadura, dan banyak lagi jenis makanan yang tampaksangat sedap. Tapi Ali Topan cuma mengambilseperempat piring nasi putih, sesendok acar ketimun danbawang merah serta sayap ayam goreng.

“Kok sedikit makannya? Ayo, jangan malu-malu,”seorang tante berwajah ramah menegur Ali Topan. AliTopan melirik padanya. Ia tersenyum singkat pada AliTopan dan mengerjapkan matanya dengan genit. AliTopan tak menggubris kerjapan mata sembrono itu. Iaberjalan ke tempat minum, mengambil segelas air thedingin, lalu berjalan menuju halaman. Ali Topan duduk

134

di bawah lampu taman.“Kok sedikit sekali makannya. Takut gemuk ya, Pan,”

seorang gadis menyapanya. Ali Topan menengok.“Hai, Maya. Gua kira siapa lu? Gua lagi kagak napsu

makan nih,” kata Ali Topan. Maya duduk disampingnya.Bobby, Dudung dan Gevaert datang beruntun.

“Hai.”“Hai.”“Hai.”Mereka berhai-hai-an.“Makanannye sih enak-enak, tapi gua nggak napsu

banget ye,” kata Ali Topan. Ia menyendok nasi danmenyuapkannya ke mulut Maya yang sedang mangap.Maya terperanjat, tapi nasi suapan Ali Topan begitu tepatmasuk ke dalam mulutnya.

Maya memekik. Nasi tumpah dari mulutnya. Ali Topandan kawan-kawannya tertawa. Maya memukul lenganAli Topan.

“Sialan deh, ih,” kata Maya. Toh mulutnya tersenyum.“Abis mulut lu nganggur, jadi gua suapin deh lu,” kata

Ali Topan.“Badung lu nggak kira-kira deh,” kata Maya sembari

membersihkan mulutnya dengan saputangan.Anna datang. Wajahnya sedih. Ia berdiri di dekat Ali

Topan, matanya redup.“Kamu marah ya,” katanya.“Siapa?” tanya Ali Topan.“Kamu.”“Marah sama siapa?”“Sama mama saya.”“Ah, nggak. Mama kamu kan yang marah pada saya,”

kata Ali Topan. Ia mendongak. Dilihatnya wajah Anna.Ah, mata gadis itu berkaca-kaca.

135

“Hei, kenapa?” kata Ali Topan. Ia berdiri perlahan.Wajah Anna tampak sedih dan muram. Matanya makin

berkaca-kaca. Ali Topan tiba-tiba merasa iba. Dan tiba-tiba pula ia mengusap airmata yang menetes di pipi Annadengan tangannya.

“Kamu jangan nangis,” bisik Ali Topan. Lembut sekali.Anna terhisak. Ia mengusap airmata dengan

saputangan.“Aaaaah, saya cengeng ya,” kata Anna. Seketika ia

tersenyum. Ali Topan juga tersenyum. Bobby, Dudungdan Gevaert pun pura-pura tidak melihat adegan itu.Maya, yang tidak tahu persoalan di dalam rumah,terheran-heran.

“Kamu masuk deh, layani tamu-tamu yang lain,” kataAli Topan. Anna mengangguk. Ia menyentuh tangan AliTopan, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Mayamengikutinya dari belakang.

***Ali Topan makan dengan cepat. Nasi putih tak lagi

dikunyahnya secawajar, demikian juga sayap ayamgoreng. Dia cepat menyelesaikan makannya, lalu me-minum air teh dingin. Teman-temannya malah asyik me-nikmati makanan mereka ketika Ali Topan mulai mero-kok. Ia tak banyak berbicara dan bercanda walaupunsahabat-sahabatnya mencoba untuk membuat lelucon-lelucon. Ali Topan lebih senang menikmati rokoknya,karena rokok itu terasa membebaskan dirinya dari kete-gangan dan rasa sumpek yang membuat hatinya gelisah.

Ia gelisah karena sikap ayah dan ibu Anna yang kakudan dingin. Ia tahu alasan Nyonya Surya kenapa bersikapseperti itu, tapi ia toh merasa sikap demikian itu terlaluberlebih-lebihan. Tapi iapun merasa, di pihaknya sendiri,bahwa kelakuannya tempo hari melempar kulit rambutan

136

juga berlebih-lebihan.“Busyet!” katanya tiba-tiba.“Memang busyet!” sahut Gevaert, tanpa tahu

juntrungan kenapa tiba-tiba Ali Topan menyebutkan kataitu. Ali Topan jadi tersenyum pahit. Ia memandangi wajahtiga temannya yang asyik menyantap makanan.

“Don’t put until tomorrow what you can do today,”kata Dudung. Tanpa juntrungan.

“Apa artinya?” tanya Gevaert.“Teu, nyaho,” kata Dudung berbahasa Sunda.“Kalau gua tau artinya,” kata Bobby, “jangan biarkan

mereka lapar,” tambahnya. Lalu mengakak sekeras-kerasnya. Gevaert dan Dudung mengikik-ngikik. Lucubetul. Tapi Ali Topan cuma tersenyum dingin. Dia sedangkesal karena rasa gelisah makin mendesaknya.

“He, kalau ketawa jangan keras-keras! Tau sopansedikit, Bung!” seseorang membentak. Suaranya serius.

Ali Topan cs menengok ke arah suara itu. Oom Boy! Iaberdiri di dekat mobil di halaman yang agak gelap.Rupanya sejak tadi ia memperhatikan Ali Topan cs.

“Pssst. Tukang parkirnya marah-marah,” kata Gevaert.“Udah, diem aje, mack. Jangan cari ribut,” kata

Dudung.Ali Topan setuju sekali dengan ucapan Dudung. Ia

membuang pandangan dari Oom Boy yang masihmelotot.

“Tongkrongan selangit, mack. Kita jadi geli,” bisikBobby.

“Kalau ketemu di jalanan kita gebukin aja rame-rame,biar nyaho,” kata Dudung.

Ali Topan melihat ke arah teman-temannya.“Cepetan deh makan, kita cabut buru-buru. Gua merasa

sebagai tamu yang tidak disukai, mack. Kalau bukan

137

pesta Anna sih, gua obrak-abrik ini pesta,” kata Ali Topan.Bobby, Dudung dan Gevaert buru-buru menyelesaikan

makan mereka, lalu buru-buru minum.“Langsung cabut nih, Boss?” tanya Dudung.“Mau ngapain lagi di sini?” jawab Ali Topan.“Ayoh dah. Perut kenyang emang nggak enak diajak

ribut,” kata Bobby. Ia berdiri merendengi Ali Topan.Dudung dan Gevaert pun segera berdiri. Merekamenunggu komando Ali Topan.

“Kita datang tampak muka, pergi tampak punggung,”kata Ali Topan. Suaranya berwibawa.

Anna Karenina tidak bisa berkata apa-apa ketika AliTopan berpamitan. Soalnya Ali Topan langsung mintadiri pada ayah dan ibunya. Anna sedih, tapi iapun maklumakan situasi.

“Jangan tersinggung ya, An,” kata Ali Topan. AnnaKarenina diam saja. Ia mencengkam lengan Maya yangsetia menemaninya.

Ali Topan cs segera pergi.Pesta ulang tahun tetap berjalan.Dan airmata seorang gadis berlinangan.

***Hari sudah jauh malam. Pesta sudah lama selesai. Anna

Karenina menelungkupkan kepalanya di meja di dalamkamarnya. Ia menangis. Tangannya menggenggamkalung dari Ali Topan. Kado-kado yang lain berserakandi lantai di dekat lemari pakaiannya.

Kedatangan Ali Topan cs menjadikan ibunya marah.Tadi Anna dimarahi di depan beberapa tamu, walaupunmereka famili, yang ikut-ikutan “menasihati” supayajangan bergaul dengan anak jalanan. Anna sebal betul,sedih betul. Untung teman-temannya sudah pulang ketika“peristiwa” itu terjadi, kalau tidak ia bisa malu sekali.

138

Teman-temannya pasti akan mengatakan bahwa ibunyakolot, udik, kampungan dan sebagainya.

Anna mengusap airmatanya. Kalung perak dari AliTopan diusapnya. Kartu ucapan selamat dibacanyaberulang-ulang. Semakin dibacanya, semakin ringan pe-rasaan hatinya. Kalung perak diciuminya dengan mesra,didekapnya erat-erat, lalu diciuminya berulang-ulang,akhirnya kalung itu dipakainya. “Terima kasih, sayang,”bisiknya. Airmatanya masih menitik. Dan wajah AliTopan yang punya senyuman khas, terbayang-bayang.Anna ingin sekali Ali Topan ada didekatnya, mengusapairmatanya dan menghibur hatinya.

Anna Karenina melamun terus sampai jauh malam.Kado-kado yang menumpuk di dekat lemari tak dibuka-nya. Ia merasa bahagia sekaligus sedih pada hari ulangtahun kali ini. Bukan karena ia menginjak usia 17 yangmenandakan masa dewasanya sebagai gadis, tapi lebihistimewa lagi karena di dalam hatinya kini ada seseorang,Ali Topan, yang dengan caranya sendiri masuk ke dalamhati itu dan bersemayam di dalamnya.

Akhirnya Anna tertidur dihimbau lamunannya. Iabermimpi. Indah sekali impiannya. Di sebuah padangrumput ia berlari-lari kecil. Ali Topan menemaninya.Mereka bernyanyi-nyanyi…

***Keesokan harinya di sekolah, Anna kecewa. Ali Topan

tidak masuk sekolah. Ditanyakannya pada Maya, tapiMaya tidak tahu ke mana Ali Topan. Bobby, Dudung danGevaert pun cuma memandanginya dengan dingin ketikaia mencoba bertanya tentang Ali Topan. Anna merasateman-teman Ali Topan bersikap kaku dan acuh tak acuh.

“Ada apa nanya-nanya Ali Topan, emang dia punyautang sama lu?” kata Bobby dengan nada yang sinis

139

sekali.Anna menggigit bibirnya. Perasaannya tidak keruan

mendengar perkataan itu. Untung ada Maya yang seakan-akan tahu perasaannya dan mau menemani sepanjangwaktu.

Hari berikutnya, Ali Topan tetap tidak masuk sekolah.

***

140

SEBELAS

Ali Topan dengan rambut kusut, wajah muram danblue-jeans lusuh berdiri di kios majalah yangterletak di samping toko sepatu Bata di Blok M.

Munir, pemuda Medan, pemilik kios itu memperhatikanAli Topan.

“Nggak sekolah kau, Pan?” tanya Munir dalam aksenBataknya yang kental. Ali Topan memandang Munir,acuh tak acuh.

“Lu sendiri sekolah apa kagak? Sok pake nanya-nanyagua lagi,” kata Ali Topan.

“Ah, pukimak kau lah,” kata Munir mengeluarkan’makian’ gaya Medan.

“Kau yang pukimak, lah,” kata Ali Topan. Munirmenyeringai. Ia tidak marah karena sudah akrab betuldengan lagak Ali Topan.

“Kau habis begadang ya? Tampang kau kusut ‘kali,ah,” kata Munir.

“Lu ngoceh aje dari tadi, Nir. Makan pepaya tadi pagi?”kata Ali Topan.

“Kalau makan pepaya kenapa memangnya?”“Kayak burung kutilang, kalau dikasih pepaya ngoceh

terus sepanjang hari,” kata Ali Topan. Munir tertawa.Seorang anak penjaja rokok dipanggil oleh Ali Topan.“Dji Sam Soe tiga batang, Bang,” kata Ali Topan. Ia

memberikan Rp 100 pada penjaja rokok.Ali Topan memberikan sebatang Dji Sam Soe pada

Munir, yang sebatang disulutnya, sisanya diselipkannyadi tempat biasa.

141

“Kalau udah gua kasih rokok, boleh dong gua lihat-lihat majalah, Nir?” kata Ali Topan.

“Biasanya kau main comot saja, nggak pakai kasihrokok.”

Ali Topan menjumput Newsweek, kemudian ia berjalanke tangga dan duduk di situ. Tanpa menghiraukan oranglalu-lalang, Ali Topan membalik-balik majalah berba-hasa Inggris itu.

***Maya baru pulang dari sekolah dan mampir di kios

Munir siang itu.“Bang, Gadis yang baru sudah terbit?” tanya Maya.“Sudah,” kata Munir. Ia mengambil Majalah Gadis dan

membungkusnya, kemudian diberikan pada Maya.“Apalagi?” tanya Munir.Maya tak menjawab. Ia sedang mengamati Ali Topan

yang sedang asyik membaca Newsweek. Pelan-pelanMaya mendekati Ali Topan.

“Heh!” Maya berseru sambil menepuk bahu Ali Topan.Ali Topan kaget, secara refleks tangannya menangkaptangan Maya.

“Eh, lu May!”Ali Topan melepaskan cekalannya. Ia berdiri segera.“Ngapain lu?” tanya Ali Topan.“Ngapain? Kamu yang ngapain di sini. Udah dua hari

mbolos, ih, nggak merasa ya, ada yang patah hati,” kataMaya.

“Eh, ada juga yang bisa kau bikin patah hati, Pan.Playboy pulak kau rupanya,” Munir menyela. Ali Topanmembelalakkan matanya. “Lu jangan ikut nimbrung, ah,”kata Ali Topan. Ia menaruh Newsweek di tempatnya, ke-mudian menggamit lengan Maya. Maya segeramengikuti Ali Topan.

142

“Hoi! Bayar dulu majalahnya!” Munir berteriak.“Oh iya, hampir lupa,” kata Maya. Ia berbalik dengan

wajah tersipu-sipu, lalu bergegas membayar majalahyang dibelinya, kemudian cepat berjalan menyusul AliTopan. Munir menggeleng-gelengkan kepalanyamemandang Ali Topan dan Maya yang berjalan pergi.

“Gila. Tampang Si Topan kusut begitu masih bisa bikinanak gadis mabuk kepayang. Boleh juga dia,” gumamMunir.

“Itu namanya tampang kusut yang berbobot, Bang,”sahut Erwin, anak Medan penjual mainan plastik yangberdagang di dekat kios Munir.

Ali Topan dan Maya berhenti di depan sebuah tokobuku. Mereka pura-pura melihat buku-buku yangdipajang di dalam etalase.

“Gimana kabar sekolahan, Maya?” bisik Ali Topan.“Kabar sekolahan atau kabar Anna Karenina?” Maya

menggoda. Ali Topan tersenyum manis mendengar goda-an itu. Maya juga tersenyum, namun matanyamemandang Ali Topan secara aneh.

“Gua lagi kumel ya? Lu malu dilihat orang bersamagua, May?” tanya Ali Topan.

“Ssssshhhh… bukan gitu. Lu kayaknya makin kumalmakin cakep kok,” kata Maya. Ali Topan menyikutlengan Maya.

“Ceritain kabar sekolahan dong. Gua lagi nggak enakpikiran nih, jadi gua cuti dua hari.”

“Kalau saya kasih sesuatu, besok kamu cuti terussampai setahun ya?”

“Mau kasih duit lu?”Maya tersenyum lagi. Kemudian ia membuka tas

sekolahnya dan mengambil sepucuk surat dari celah-celah buku. Surat itu diberikannya pada Ali Topan.

143

”Nih baca. Dari kekasihmu.”Ali Topan ternganga. Ia hampir tak mempercayai

pendengarannya. Mimpikah? Mimpikah dia? Mayamemberikan surat itu.

“Udah jangan bengong!” kata Maya.“Dari dia? Surat dari dia? Betul nih May?” Ali Topan

tergagap-gagap.“Kalau bukan dari dia, lalu dari siapa? Emangnya

pacarmu ada berapa biji?” Kata Maya, “tadi di kelas dianulis surat ini dan minta tolong pada saya untuk me-nyampaikan ke kamu. Saya pikir, kamu saya telpon darirumah supaya mengambil surat titipan kilat itu. Eh,kebetulan kamu di sini, jadi lebih bagus lagi, saya nggakusah capek-capek nelpon kamu,” tambahnya.

“Oooo… ooo… ooo…” Ali Topan cuma bisa o, o, o, osaja mendengar omongan Maya yang beruntun itu. Iabahkan lupa mengucapkan terima kasih pada Maya,padahal Maya kelihatannya menunggu ucapan itu.

“Terima kasih ya,” kata Maya. Ali Topan melengak.“Duilah, kok kamu yang bilang terima kasih. Saya

dong, terima kasih, terima kasih, terima kasiiiih, Mayayang maniiiiis,” kata Ali Topan.

“Uuh, merayu lagi. Udah deh saya mau pulang,” kataMaya, “besok mbolos lagi ya,” tambahnya. Mayabergerak meninggalkan tempat itu. Ali Topan mencekallengannya.

“Kalau saya nggak nganter kamu pulang itu namanyanggak lucu dong, Maya. Anak cakep jalan sendiri, nantidiculik orang jahat kan Kebayoran rugi,” kata Ali Topan.Percuma Maya meronta-ronta, Ali Topan tetap mencekallengannya dan membawanya ke tempat parkir motor.

“Tapi kamu jangan ngebut dong. Saya takut kalau kamungebut,” kata Maya ketika ia duduk diboncengan motor.

144

“Beres deh. Apa saja yang kamu minta hari ini, asaljangan minta duit, saya usahakan untuk memenuhinya,”kata Ali Topan.

“Tumben ngomongnya pakai tata bahasa Indonesiayang baik. Saya-kamu saya-kamu-an. Biasanya lu-guelu-gue-an,” kata Maya.

Ali Topan tertawa gembira. Mayapun ikut merasakankegembiraan temannya yang eksentrik itu. Sepanjangjalan ke rumah Maya, Ali Topan tanya perihal Anna.Maya tak banyak cerita. Ia hanya mengatakan bahwaAnna tampak sedih.

“Kamu baca saja suratnya, kan lebih sip,” kata Maya.“Nanti dong, sambil naik motor mana bisa baca surat?

Nanti jatuh, dengkul kamu lecet kan saya musti ganti.Kalau di toko ada dengkul palsu, kalau langka kan sayadituntut oleh orangtua kamu,” kata Ali Topan dengannada lucu. Maya mengikik geli. Ia senang sekali men-dengar Ali Topan bisa berbicara dengan tatabahasa yangbaik. Sepanjang jalan, Maya tersenyum sendiri.

Mereka sampai di depan rumah Maya. Maya melompatturun.

“Nggak usah mampir ya,” kata Maya.“Ngapain mampir, nanti dikasih makan kan nggak

enak,” kata Ali Topan bergurau. “Oke deh ya, terimakasih sekali lagi,” tambahnya. Ia menggeblas motornya,berlalu. Maya berlari-lari kecil masuk ke rumahnya.

***Ali Topan menghentikan motornya di bawah pohon

Mahoni di Jalan Limau yang sepi. Ia buru-buru –burumembuka sampul surat dan membaca isinya.

Ali Topan Sayang ….Anna sangat menyesal atas peristiwa pada malam

145

ulang tahun Anna. Anna mengerti jika kamu dan teman-teman kamu tersinggung atas perlakuan orang tua sayayang sadis dan kejam. Anna minta maaf ya? Mau kankamu memberi maaf Anna?

Surat ini Anna kirimkan via Maya, karena Anna belumberani datang ke rumah kamu. Nggak apa-apa ya?

Oh iya, kalung pemberian kamu baguus sekali. Annasudah memakainya dan akan Anna pakai selalu.

Terima kasih atas kebaikan kamu. Semoga Tuhan YangMaha Esa membalas kebaikan kamu dengan cinta kasih.Sekian dulu.

Salam dari Anna Karenina.

p.s. Anna ingin kamu besok masuk sekolah ya.

Ali Topan menghembuskan nafas panjang pertandakelegaan hatinya. Surat itu dibacanya sekali lagi, seolah-olah tidak percaya bahwa Anna menulis surat yang begitumanis isinya. Diciumnya surat itu berulang-ulang, tepatpada tanda tangan Anna.

“Anna sayang… besok saya masuk deh…,”katanyapada dirinya sendiri.

Rasanya tak puas-puasnya Ali Topan mencium danmemandangi tanda tangan Anna, tapi ia jadi malu hatikarena ada dua orang lewat memperhatikannya denganpandangan aneh serta lucu. Ali Topan cepat–cepat me-masukkan surat itu ke dalam kantongnya, kemudian ber-lalu meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalananpulang ke rumahnya, Ali Topan bersiul-siul gembira. Ba-ru pertama kali dalam “sejarah” hidupnya, Ali Topanmenerima surat cinta, untung dia tidak gila akibat gempakegembiraan yang melanda kalbunya.

Sampai di rumah, ia langsung masuk kamar dan

146

mengunci pintu. Radio yang selama ini berfungsi sebagaiteman dalam kamar tidak disentuhnya. Ia menghempas-kan diri ke tempat tidur dan senyam senyum sendirian.Bantal dipeluknya dan diciumnya berkali-kali.

Sejenak kemudian ia sudah melompat dari tempat tidurdan berjalan mondar mandir di dalam kamarnya. Ia ber-cermin dan berbicara dengan wajahnya di dalam cermin.Ia tersenyum ia tertawa-tawa kecil. Anak jalanan yangbegitu brutal bisa juga dibikin bingung oleh sebuah suratcinta. Anna. Anna. Anna. Anna. Anna. Berkali-kali mu-lutnya menggumamkan nama gadis yang telah membuathatinya goncang.

Tak lama ia sudah meninggalkan cermin itu. Ia dudukdi lantai menghadapi meja kecil di sisi tempat tidur.Sebuah kertas yang dirobeknya dari buku tulis terhampardi meja itu. Bolpen di tangan kanannya Ia mencoba menu-lis surat balasan untuk Anna, tapi ia repot memperolehkata-kata yang dianggapnya cocok menyuarakan pe-rasaannya. Ia ingin romantis dalam surat, tapi kalimat-kalimat yang telah ditulisnya terasa begitu romantisseperti rayuan orang-orang cengeng. Ia merasa geli danmalu hati sendiri ketika membaca kalimat-kalimat’cintanya’. Berkali-kali ia ganti kertas, berkali-kali iamenulis suratdan berkali-kali pula ia meremas kertas itudan membuangnya ke bawah tempat tidur.

“Wah lama-lama buku gua habis dong, An...,” gumam-nya. Dan ia kaget ketika gumaman itu di dengarnyasendiri. Akhirnya, ia menguatkan hati. Ditulisnya sebuahsurat, hampir tanpa berfikir lagi, dan ia tak mau membacasurat itu karena takut batal lagi. Begitu selesai menandata-ngani surat cintanya, ia melipat kertas surat dan mencariamplop. Tapi amplop merupakan barang yang belumpernah ada didalam daftar barang-barang inventarisnya,

147

karena ia tak pernah merasa memerlukan benda itu.Di dalam kamar ayah dan ibunya pasti ada benda itu,

tapi Ali Topan malas mengambilnya. Akhirnya surat itucuma dia tutup dengan pita rekat plastik laludiselipkannya surat itu ke dalam sebuah buku.

Suara langkah Mbok Yem terdengar. Ali Topan cepatmenghidupkan radio.

“Den Bagus, Den Bagus!,” Mbok Yem memanggil dariluar karena pintu kamar dikunci oleh Ali Topan.

Ali Topan membukakan pintu. “Kalau manggil raden-radenan lagi gua nggak mau jawab, Mbok. Serius nih,”kata Ali Topan.

“Habis Mbok harus manggil apa? Tuan muda?” tanyaMbok Yem.

“Panggil Gus Topan, gitu.”“Ooh, gituuu… iya deh Den Bagus, eh, Gus Topan…

he he,” kata Mbok Yem, “ngapain pintu dikunci?”“Nggak ngapa-ngapain,” kata Ali Topan. Ia kembali ke

mejanya, mengambil buku berisi surat cintanya.“Mau ke mana? Makan dulu deh,”kata Mbok Yem.“Aku pergi sebentar…,”kata Ali Topan. Ia berjalan ke

ruang depan.Ibunya keluar dari pintu kamar.“Hallo… mau ke mana anak mama?”sapa Ny. Amir.Ali Topan memandang ibunya. Wajah ibunya agak

pucat, rambutnya semrawut dan seputar matanya cekung.“Mama sakit?” tanya Ali Topan. Ny. Amir tersenyum

dan menggelengkan kepalanya.Ali Topan menatap mata ibunya. Nyonya Amir

melengos. Mereka berpandangan lagi,tapi dua pasangmata mereka hanya merefleksikan getaran kosong danasing dari hati masing-masing.

“Ali pergi dulu, Ma…,”kata Ali Topan. Ia berlalu dari

148

hadapan ibunya.“Mau ke mana kau?” tanya Nyonya Amir.“Mau ke rumah Maya,” kata Ali Topan sambil berjalan

keluar.Nyonya Amir menghela napas. Ia mengerti kenapa

anaknya bersikap acuh tak acuh kepadanya.Deruman suara motor Ali Topan terdengar bagaikan

deruman singa yang sedang marah. Nyonya Amir terdiamdi tempatnya. Ia menutup wajahnya dengan dua telapaktangannya.

Di depan pintu kamar Ali Topan, Mbok Yem berdirimemperhatikannya.

Maya hendak tidur siang ketika Ali Topan datang kerumahnya.

“Ngapain? Saya mau tidur siang nih,” kata Maya.“Mau titip surat buat… si dia,” kata Ali Topan, “sorry

mengganggu ya,” tambahnya. Ali Topan memberikanbuku berisi surat kepada Maya. Maya tersenyum mene-rimanya.

“Rajin juga sih. Isinya rayuan melulu ya?” Maya meng-goda. Ali Topan tersipu-sipu.

“Nggak tau deh Maya. Mau dibilang rayuan kek,cetusan hati nurani kek, atau rintihan dan ratapan yangcengeng, terserah deh. Gua juga nggak tahu apa na-manya,” kata Ali Topan, “Gi deh, tidur siang biar awetmuda. Dan terima kasih ya atas kebaikan kamu,” tambah-nya. Ali Topan permisi pulang. Maya masih menggoda-nya: “Eh, titipan kilat kan musti ada ongkos kirimnya,Pan?” Ali Topan merandek dan berpaling

“Titipan surat cinta ongkosnya berupa cipokan, mau?”katanya.

“Ih,enak aja lu!” kata Maya sambil meringis. Dan iamakin meringis ketika Ali Topan mengirimkan ciuman

149

jarak jauh via tangan kanan yang dikecupnya. Mayamelengos. Ali Topan tertawa senang, dan segera berlalukarena Ny. Utama muncul dari dalam rumah.

“Teman kamu yang satu itu lucu juga, tapi lucunyaberbahaya, Maya. Jangan-jangan kamu jatuh cinta samadia,” kata Ny. Utama.

“Maunya sih jatuh cinta, Mama. Tapi dia sudah adayang punya…,” kata Maya.

“Jadi kamu patah hati dong?” Nyonya Utamamenggoda anaknya.

“Ah, nggak juga, emangnya hati Maya dari kayu…,”kata Maya, ”dia kemari mau titip surat buat kekasih-nya…,” tambahnya sambil menunjukkan buku berisisurat Ali Topan.

Keduanya tertawa kecil, lalu berpelukan, masuk kedalam rumah, seperti dua orang sahabat yang manis…

***

150

DUA BELAS

Esok harinya di sekolah. Maya memberikan titipandari Ali Topan kepada Anna Karenina.“Nih, balasan dari dia,” kata Maya.

“Oh ya? Terima kasih Maya,” kata Anna. Ia cepatmemasukkan buku itu ke dalam tasnya. Hatinyaberdebar-debar. Ia ingin segera membaca surat balasanitu, tapi beberapa teman yang baru datang lewat di sisibangkunya.

“Kamu ke rumahnya?” tanya Anna.“Ih, gengsi dong. Saya ketemu dia di blok-M, tampang-

nya kusut banget, begitu saya kasih surat kamu tampang-nya jadi berseri-seri seperti penyanyi pop di layar tivi,”kata Maya sambil senyum. Anna mencubit lengan Maya.

“Dia masuk apa tidak hari ini?” tanya Anna.“Nggak tahu, emangnya saya ibunya apa yang musti

tahu segala urusan dia,” jawab Maya. Wajah Anna Kare-nina bersemu dadu karena godaan itu.

Bel sekolah berdentang. Jam pertama hari itu adalahjam yang paling tidak disukai oleh murid-murid, yaitu“pembinaan budi pekerti” oleh Ibu Dewi. Ali Topanmemberi sebutan “pendidikan over acting” untuk jampelajarannya.

Ibu Dewi masuk ke dalam kelas. Ia memakai pakaianyang selalu mengikuti mode dan mahal, sesuatu yangtidak cocok dengan jabatannya sebagai pembina budipekerti. Dandanan wajahnya pun, yang ditandai dengangincu menyala, bedak tebal, bulu mata palsu sangat mem-bantu pandangan negatif murid-murid terhadap dirinya.

151

Pertama kali Ibu Dewi melihat ke arah bangku AliTopan. Tak pernah sekalipun ia melihat Ali Topan siap ditempatnya ketika ia masuk. Kalau tidak kesiangan,sampai hampir habis jam pembinaannya, pasti Ali Topantidak masuk. Dan ia tak habis mengerti kenapa muridyang satu itu begitu berani terbuka menantangnya.

“Dia ke mana?” tanya Ibu Dewi pada Boby.“Saya tidak tahu, Bu,” jawab Boby.Itu adalah tanya jawab yang rutin, semacam pendahulu-

an untuk acara ‘pidato’ muluk-muluk tentang budipekerti, sopan santun, moral baik dan buruk serta lain-lain dongengan lagi.

Biasanya, kalau ada Ali Topan, selalu saja ada peristiwayang lucu dibuatnya, yang menguap keraslah, yangberlagak mengantuk, atau jatuhnya setumpukan buku kelantai. Bahkan pernah ada seekor tikus got berlari kiankemari di dalam kelas dan mengakibatkan kelas geger,anak-anak perempuan naik semua ke atas bangkumereka, bahkan Ibu Dewi lari terbirit-birit ke luar sampaiterkencing-kencing. Dugaan kuat Ali Topan yangmembuat ulah, tapi dugaan itu tak bisa dibuktikan,akhirnya dibekukan.

Ali Topan bangun tidur pada pukul 7.23 wib. Selesaimandi pada pukul 7.31 wib, ia segera mengenakan busanahariannya, jeans bluwek dan kemeja batik cap Dua Bedil.Seharusnya busana seragam SMA Bulungan bukan jeansbluwek, dan batik cap Dua Bedil, tapi celana biru mudadengan baju batik Keris. Ali Topan selalu merasa gerahkalau memakai seragam sebagai yang ditentukan olehKepala Sekolah. Oleh karena itu, ditambah catatan yanghampir setiap hari dicatat oleh ibu-ibu dan bapak-bapakguru sehubungan dengan kelakuannya yang “bebas-ak-tif,” maka nilai budi pekerti Ali Topan tidak pernah bagus.

152

Tanpa sarapan pagi, Ali Topan berangkat ke sekolahpada pukul 7.44. Ia mengendarai motornya sebagaimanaanak-anak muda Jakarta yang sedang puber, yaitu ngebut.Seringkali ia ditangkap polisi lalu lintas karena penge-butannya, tapi sering kali pula ia dibebaskan karena polisidiberinya alasan yang masuk akal. Ia selalu mengatakan,ketika ditanya kenapa ngebut, bahwa ia hanya mencontohadegan ngebut di dalam film luar dan dalam negeri.

”Kalau Bapak ingin agar saya berhenti ngebut, cobaBapak larang adegan ngebut di film-film itu,” demikiankatanya senantiasa. Ketika polisi-polisi itu menunjukkangejala “perdamaian di bawah tangan”, Ali Topan sukajuga membual, dengan mengatakan dia anak jenderal.Secara psikologis dia tahu, berdasarkan pengalamanorang lain, polisi–polisi itu agak ngeri jika ada seseorangremaja mengaku anak jenderal. Tapi pernah juga sekalitempo dia membentur “batu”, ketika seorang polisilalulintas tidak peduli apa yang ia bualkan, dan Ali Topankena “tilang” di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yangterletak di kampung Slipi.

Dia memang jagoan mengendarai motor. Dalam tempo3 menit dia sudah sampai di Jalan Wijaya II. Ia sukamengambil jalan memutar ke sekolahnya yang terletak diJalan Mahakam, untuk menikmati tikungan-tikungan ke-cil yang terdapat di situ. Pada saat ia menikung dari JalanWijaya II ke arah Panglima Polim Tiga, ban motornyamendadak kempes. Ali Topan menghentikan motornyadan memeriksa ban depan yang kempes. Ia mendapatisebuah paku besar menancap di ban motornya.

“Sialan, lu anak siapa sih paku! Nggak disekolahin yasama bapak lu! Pagi-pagi begini bikin kempes ban motorgua!” Ali Topan menggerutu. Ia berusaha mencabut pakuitu, tapi tidak bisa, karena paku itu menancap dan

153

bengkok di dalam ban. Dengan wajah kesal Ali Topanmenuntun motornya ke arah tukang tambal ban yangmembuka bengkel di ujung Jalan Panglima Polim Tiga.

“Pagi-pagi sudah kena musibah rupanya…” kata tukantambal ban seorang muda asal Medan.

“Iya. Musibah gua kan rejeki lu, Bang! Bisa banget luomong musibah-musibahan,” jawab Ali Topan. Diamemarkir motornya di depan tukang bengkel yangtersipu-sipu mendengar kata-katanya.

“Kena paku rupanya? Di mana?” kata tukang tambalban.

“Di Bandung!,” sahut Ali Topan, “gua tinggal inimotor, nanti siang gua ambil,” tambahnya sembarimelemparkan kunci motor pada tukang tambal ban yangbengong itu tanpa banyak pernik, Ali Topan berjalanpergi, menyambung perjalanannya.

Ali Topan berjalan kaki dengan santai. Ia bersiul-siulgembira. Kedua buah tangannya berada didalam sakujeans. Indah sekali pagi, nyaman sekali hatinya.

Seorang pengendara motor dari arah belakang berhentidi dekatnya. Dia Teddy, anak kelas I-7. “Eh, tumbenjalan kaki, Pan. Ke mana motor lu?” tanya Teddy, “udahtelat nih. Lu naik deh,” tambahnya.

“Hei, lu Ted. Ban motor gue pecah kena paku. Yuk ,gua nebeng dah,” kata Ali Topan. Dia memboncengTeddy.

Sampai di sekolah Ali Topan melompat turun. “Terimakasih, Ted,” kata Ali Topan, kemudian ia segera berlarimenuju kelasnya. Teddy menuntun motornya ke tempatparkir.

Ali Topan sampai di depan kelas, tapi dia tidaklangsung masuk. Dia berdiri di dekat pilar di depan kelas.Suara Ibu Dewi membuatnya enggan masuk, namun

154

perasaannya ingin betul masuk ke dalan untuk melihatAnna.

Di dalam kelas, Ibu Dewi mulai “berdakwah”. Murid-murid segera diam. Memperhatikannya.

“Anak-anak, hari ini Ibu akan menerangkan satumasalah yang menyangkut tatacara pergaulan kaummuda. Masalah ini sangat penting agar kalian bisamenjadi pelajar teladan. Judul masalah sudah Ibupilihkan, yaitu Bagaimana Memperoleh Manfaat DariPergaulan. Sungguh, hal ini penting bagi kalian, karenaanak-anak muda jaman sekarang sedang menjadiperhatian kaum pendidik dan masyarakat akibat makinhari makin tinggi angka kenakalan remaja di Jakarta,”kata Ibu Dewi. Ia berkata dengan suara nyaring danmimiknya selalu khas, gerak kelopak mata dan bibir yanggenit seperti penyiar tivi serta tangan yang selalumenjentik-jentik debu kapur yang jatuh ke busananya.

Murid-murid diam, tapi sebagian besar pikiran merekabukan kepada masalah yang sedang dibicarakan melain-kan kepada gerak kelopak mata dan bibir Ibu Dewi, yangsok anggun itu.

“Mengerti kalian?” tanya Ibu Dewi. Murid-muridserempak mengatakan pengertian mereka. Ibu Dewi tam-pak suka dengan jawaban yang serempak itu. Ia melirikke murid-murid di barisan belakang, kemudian menu-liskan “ceramahnya.”

Anna Karenina mengambil surat dari Ali Topan, laluditaruhnya di bawah tas sekolah yang ditaruhnya di atasmeja. Ketika Ibu Dewi sedang asyik menulis teori-teoripergaulan, ia mempergunakan kesempatan itu untukmembaca surat dari Ali Topan. Begitu Ibu Dewi selesaimenulis dan mulai berbicara lagi, Anna segera mendo-ngak, melihat ke arah Ibu Dewi. Hal itu dilakukannya

155

berulangkali.Rupanya Ibu Dewi sempat melihat sikap Anna itu,

namun ia pura-pura tidak tahu.“Jadi, yang paling penting di dunia ini, adalah budi

pekerti, sebab, seperti kata pepatah, manusia bolehpandai seperti profesor, tapi kalau dia tidak punya budipekerti, maka ia tidak ada arti sama sekali bagimasyarakat. Mengerti anak-anak?” kata Ibu Dewi.

“Mengertiiiiii!” sahut murid-murid, serempak.Anna Karenina cuma menggumam saja, ia tidak bermi-

nat untuk ikut-ikutan berteriak seperti teman-temannyayang serempak menyambut pernyataan Ibu Dewi.

Ibu Dewi berbalik menghadap papan tulis lagi. Iamenuliskan sesuatu, tapi tiba-tiba ia berbalik menghadapke arah para murid. Tepat pada saat itu Anna Kareninasedang mengangkat tasnya, menarik kertas surat dari AliTopan.

“Hei, kamu! Sedang bikin apa kamu?” kata Ibu Dewi.Tangannya menunjuk Anna Karenina yang terkejut men-dengar tegurannya. Secara refleks Anna menyimpankembali surat dari Ali Topan ke bawah tasnya. Wajahnyatampak gugup sekali. Ia tidak menjawab.

Ibu Dewi menghampiri Anna. Para murid yang lainlangsung memusatkan perhatian mereka ke arah Ana danIbu Dewi.

Ibu Dewi membalik tas Anna dan mengambil surat daribawah tas itu. “Apa ini?” tanya Ibu Dewi.

Anna Karenina tidak menjawab . Wajahnya pias. IbuDewi membaca surat Ali Topan itu. Wajahnya berubahsinis. Ia mengangkat surat itu, lalu membaca isi suratdengan suaranya yang nyaring. Anna Karenina cumabengong saja. Perasaannya sangat risau sekali.

“Wah, wah, wah …Surat cinta dari kekasih. Bukan

156

main romantisnya…,” Ibu Dewi dengan sinis,“Kekasihku yang rupawan, aku merindukanmu siang danmalam, apakah engkau begitu pula?” tambahnya. AnnaKarenina tersentak. Surat Ali Topan tidak begitubunyinya. Ibu Dewi mengada-ada. Segera Annamenundukkan kepala karena Ibu Dewi memandangnyadengan bengis.

Di luar, Ali Topan merasa tegang. Ia mendengar suaraIbu Dewi yang sedang marah kepada Anna. Dan ia tahuIbu Dewi mengada-ada dengan pembacaan surat yangtidak cocok dengan surat yang ditulisnya untuk Anna.’Apakah Anna mendapat surat dari orang lain?’ demikianpikirnya. Maka ia menunggu perkembangan selanjutnya.Ia waspada.

Di dalam kelas Ibu Dewi berkacak pinggang di depanAnna. Anna tetap merunduk. Murid-murid lainnya diam.

“Hei! Inilah contoh anak yang baik sekalikelakuannya,” kata Ibu Dewi sinis. “Ada gurumenerangkan pelajaran di depan kelas, dia asyikmembaca surat cinta dari kekasihnya!” tambahnya.

Anna Karenina merunduk terus.Ibu Dewi menyentuh dagu Anna, lalu mengangkat

dagu itu, hingga Anna terpaksa menengadah,memandangnya.

“Kamu murid baru di sini ya! Coba berdiri di depankelas!” kata Ibu Dewi. Anna Karenina berdiri, perlahan,lalu berjalan di depan kelas. Ia merasa telah membuatkesalahan, oleh sebab itu ia pasrah menerima hukumanapapun. Ibu Dewi menggenggam surat rampasannya. Iamenghampiri Anna, dan berdiri di depan Anna.

“Hei, Kamu ke sini untuk belajar atau untuk caripacar?” tanya Ibu Dewi.

Anna tidak menjawab. Ia melihat surat yang di

157

genggam Ibu Dewi. Yang tak habis dipikirnya, kenapaIbu Dewi membaca surat tidak sesuai dengan tulisanaslinya?

Ibu Dewi memandangnya dengan tajam, kemudian iaberpaling ke arah murid-murid yang lain.

“Hai, kalian kiranya ingin mendengarkan pembacaansurat cinta, bukan?” katanya. Murid-murid tak ada yangmenjawab. Maya dan Boby berpandangan. Keduanyamengangkat bahu.

Ibu Dewi memberikan surat rampasannya pada Anna.“Kau, bacalah! Supaya semua teman tahu bagaimana

hebatnya pacarmu yang bernama Ali Topan itumerangkai kalimat cinta!,” kata Ibu Dewi.

Di luar kelas, Ali Topan tersentak mendengar namanyadisebut. Sudah pasti, sudah pasti surat yang ditulisnyauntuk Anna yang jadi perkara. Tanpa pikir dua kali, AliTopan melangkah masuk ke dalam kelas. Wajahnyategang, pandangannya matanya menyapu seluruh kelas,lalu hinggap di wajah Ibu Dewi. Ditatapnya mata IbuDewi. Kemarahan terbayang diwajahnya.

“Ini dia pahlawan cinta kita!,” Ibu Dewi berseru, “hei,kau baca surat itu!, serunya lagi, pada Anna Karenina.Anna tergetar. Ia memandang Ali Topan dan Ali Topanjuga memandangnya. Tiba-tiba Ali Topan mengulurkantangannya, meminta surat itu.

“Biar saya yang membacanya, An,” katanya.Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi membelalakkan

matanya. Menghadapi Ali Topan selalu membuatnyakehilangan akal. Karena itu ia selalu memunculkankemarahan dan sinisme yang galak.

“Ibu Dewi, karena saya yang membuat surat ini, sayakira lebih tepat jika saya yang membacanya…,” kata AliTopan.

158

“Boleh juga, Bung!” kata Ibu Dewi.Tanpa banyak pernik, Ali Topan membaca suratnya.

Anna Karenina Yang Manis!Saya senang sekali menerima suratmu. Saya tiba-tiba

jadi bersemangat dan hidup terasa tidak suram lagi.Rasanya, baru pertama kali dalam sejarah hidup sayasampai hari ini, saya menerima perhatian yangmenakjubkan. Surat Anna saya bawa ke manapun sayapergi. Setiap saat saya ingin membacanya. Nah, sekiandulu. Oh ya, soal saran kamu supaya saya rajin sekolah,itu gampang diatur. Terima kasih.

Ali Topan

Ali Topan selesai membaca suratnya. Ia memberikansurat itu kembali pada Anna. Teman-temannya ada yangtertawa mengikik mendengar Ali Topan membaca surat.Tapi tak ada yang berani mengeluarkan cemoohan.Teman-teman sudah kenal Ali Topan. Mereka respekpadanya. Respek campur ngeri.

“Sekarang kamu yang baca,” kata Ibu Dewi pada Anna.Anna, Ali Topan dan murid-murid lainnya terkejut.Mereka menganggap Ibu Dewi keterlaluan. Lagipula,yang menjadi pertanyaan anak-anak, kenapa bunyi IbuDewi lain dengan bunyi Ali Topan mengenai surat itu?Apakah Ibu Dewi mengada-ada tadi?

“Saya kan sudah membaca, Ibu Dewi?” tanya AliTopan. Nadanya lembut.

“Kalau saya suruh dia baca kamu mau apa? Atau kalausaya mau sobek-sobek surat kamu, lantas kamu mauapa?” kata Ibu Dewi. Ia berpaling ke Anna. “Ke sinikansurat itu!,” katanya.

159

Anna memberikan surat itu. Ibu Dewi merobek-robeksurat itu dengan tenang dan membuang robekan kertasitu tepat kena wajah Ali Topan dan berhamburan ke lantai.Beberapa potongan menempel di baju dan tassekolahnya.

Kelas dicekam sunyi. Semuanya menunggu reaksi AliTopan. Mereka memastikan, Ali Topan naik pitam. Kaliini mereka salah duga. Ali Topan mampu menekanemosinya. Perlahan ia membungkuk, berjongkokmemunguti robekan kertas suratnya. Dikumpulkannyarobekan kertas itu di tangan kirinya, kemudian ia berdirilagi. Dia berikan robekan surat pada Anna Karenina,kemudian ia berpaling ke Ibu Dewi.

“Terima kasih atas kebijaksanaan Ibu,” kata Ali Topan.Kata-katanya merendah, tapi nadanya dingin betul.

“Saya tidak butuh terima kasih kamu!,” kata Ibu Dewi.Ali Topan tersenyum.“Boleh kami duduk, Ibu?” katanya. Tenang.“Kamu menghina saya ya?” kata Ibu Dewi.“Tidak.”“Tapi sikap kamu kurang pantas! Kamu sok jago.

Keluar kamu! Saya muak melihat tampangmu! Sana! Keluar!”

“Jangan begitu dong, Bu. Masa saya mau sekolahdisuruh keluar? Itu kan kurang bijaksana namanya,” kataAli Topan.

“Kamu selalu membantah! Anak berengsek!” kata IbuDewi.

Dia berjalan ke meja, mengambil tasnya, lalu keluarcepat-cepat. Wajahnya geram betul.

Ali Topan menarik tangan Anna, mengajaknya kembalike bangkunya.

“Wan, sorry kalau gue bikin kacau lagi,” kata Ali Topan

160

pada Ridwan, ketua kelasnya.“Sorry sih sorry, Pan. Tapi gua ini yang repot. Mendi-

ngan lu aja jadi ketua kelas, soalnya guru-guru kan tahu-nya gua terus. Gua udah capek dipanggil ke kantor,katanya gua nggak becus memimpin kelas,” kata Ridwan.

“Boleh aja gue jadi ketua kelas, tapi pakai syarat. Kalaukita boleh pakai busana yang sedikit nyentrik danmerokok di dalam kelas, oke saja. Lu bilang deh ke PakBroto,” kata Ali Topan. Tentu saja teman temannyatertawa. Grrr. Suasana jadi segar lagi.

Di Kantor Direktur Sekolah. Pak Broto Panggabeanmendengar “laporan” Ibu Dewi. Seperti biasanya, IbuDewi mendramatisir laporannya dengan airmata yangmeleleh dipipinya.

Pak Broto Panggabean memanggil sekretarisnya.“Hadi, Ali Topan suruh menghadap,” kata Pak Broto.“Ya, Pak,” kata Hadi. Dia berjalan cepat ke luar. “Anak

setan itu kok nggak bosen dipanggilin terus. Gua aja yangdisuruh manggil udah bosen. Dia dia juga,” gumam Hadipada dirinya sendiri.

Hadi sampai di kelas, berdiri di depan pintu sambilcengar cengir. Dia melambai ke arah Ali Topan.

“Hallo Boss. Urusan biasa dah!” kata Hadi. Murid-murid ketawa.

“Biasa apaan?” kata Ali Topan.“Dipanggil Godfather,” kata Hadi.“Eh, bego ! God itu nggak ber-father dan father itu

bukan God,” kata Ali Topan. “Lu bilangin ke PakBrotpang... jadi Direktur Sekolah kok kerjaannyamanggil-manggil murid sih. Apa nggak ada kerjaan lainyang lebih bermanfaat buat pembangunan?” kata AliTopan. Grrrrrrrrrr lagi teman temannya.

“Saya nggak tahu. Nanti saja tanya yang

161

bersangkutan,” kata Hadi, “Sekarang ayo dah, kita kesono, daripada... daripada...” tambahnya.

Ali Topan berjalan keluar kelas diiringi komentar jahilyang ke luar dari mulut teman-teman kelasnya. AnnaKarenina tidak ikut berkomentar. Dia menundukkankepalanya. Maya juga diam.

Ali Topan menghadap Pak Broto Panggabean.“Selamat Pagi, Pak,” kata Ali Topan.“Iya. Pagi pagi kau bikin perkara lagi. Ini Ibu Dewi

melaporkan kelakuan kau yang brengsek. Dan, pelajaranterhenti. Itu berarti kau bikin rugi teman teman kau yanglain,” kata Pak Broto Panggabean.

Ali Topan diam saja. Percuma menjawab, sebabjawabannya akan sama seperti jawaban pada setiap kalidipanggil Pak Broto. Pak Broto Panggabean mengusap-usap kumisnya yang tebal.

“Aku sudah capek marah-marah. Kau rupanya punyaadat eksentrik ya. Semakin hebat dimarahi semakin hebatberengsek kau! Nah, tadi Ibu Dewi melapor, katanya kaupacaran di dalam kelas. Main surat cinta dengan Anna,murid baru itu. Nah, Ibu Dewi minta supaya kita bikinpertemuan antara kau, Anna, orang tua kau dan orangtuaAnna dengan kami di sini. Kau menghadap lagi besokpagi jam delapan,” kata Pak Broto Panggabean.

Ali Topan keluar dengan wajah lesu, tanpa permisipada Pak Broto. Ibu Dewi ditengokpun tidak olehnya.Jalannya rada loyo. Dia memikirkan kegawatan esokhari. Sudah jelas urusan bakal jadi meriah.

Dia membayangkan wajah ibu Anna yang non-kom-promis itu, wajah ayah Anna yang rada acuh, sopir Mercyyang namanya Oom Boy dengan tampang klimis yangmenjijikkan. Wajah tiga manusia aneh itu akan bertemudengan wajah Ibu Dewi yang sinisnya bukan kepalang,

162

wajah Pak Broto Panggabean yang rada blo’on. Amit-amit deh. Dan dia membayangkan Anna Karenina bakalketakutan menghadapi orangtua-orangtua yang aneh itu.

Membayangkan Anna, dia menggeplak jidatnyasendiri. Sampai di depan kelas Ali Topan masihmenggeplak-geplak jidatnya sendiri. Kusut pikirannya.

Ali Topan masuk ke dalam kelasnya. Teman temannyamemandang padanya.

“Gimana, Pan?”tanya Bobby.“Prihatin, mek!,” sahutnya. Dia menghampiri Anna

Karenina, dan berdiri di depan gadis manis yang merasasebagai gadis paling apes di seluruh dunia.

“An! Besok orang tua kamu bakal disuruh datang olehpenguasa sekolah ini. Orangtua saya juga di panggil, tapijelas mereka nggak bakal datang. Besok kita berdua bakaldiadili di depan orang-orang tua itu. Saya harap kamutabah,” kata Ali Topan. Suaranya cukup keras sehinggaanak anak lain bisa mendengarnya.

“Bakalan seru dong, Pan. Kalau perlu kite rubuhin ajesekolahan kagak berbobot ini,” Wandi, anak betawi aslimencuap.

“Iya, Pan kita culik sekalian Pak Broto dan Ibu Dewi.Kite ceburin ke Bina Ria biar dimakan jaws!” kata I Soen,peranakan Cina-Sunda yang duduk sebangku denganRidwan. Teman teman sekelas, termasuk Ali Topan &Anna tertawa mendengar leluconnya.

“Apa lu kate?” kata Bobby, ”dimakan jaws? Udahpinter ngomong Inggris lu, Cina!” tambahnya dalan nadabergurau.

“Pejajaran lu, Bob. Gue bukan Cina, gue orang Sundatau? Sekali lagi lu ngatain gue Cina, gue embat lu,” kata ISoen. Tampangnya dibikin seperti orang marah.

“Sorry boy, I belum tau. Tapi kalau lu mau jual sih, gue

163

beli embatan lu,” kata Bobby. Tampangnya distel serius.“Ah, kagak, gua becanda aja, Bob,” kata I Soen, lalu ia

melihat Ali Topan dan berkata, ”jadi gimana Boss? Youatur deh, I follow!” Ali T opan yang sedang prihatintertawa ketawa ha-ha-hi-hi mendengar celotehan I Soen.Anna Karenina juga tertawa terpingkal pingkal. Merekalupa sejenak pada ‘musibah’ yang menimpa diri mereka.

Kelas menjadi gaduh oleh suara ketawa bebas-aktifyang spontan ke luar dari mulut seluruh murid di situ.Humor demi humor yang ditimpa komentar ‘asbun’merupakan obat mujarab pengusir hati yang gundah.

Di tengah tengah keriuhan suasana, Hadi datangmembawa instruksi khusus dari Pak Direktur. Isi instruksiitu pendek tapi tegas: kelas III Paspal 1 distrap, tidakboleh memperoleh pelajaran hari itu. Murid murid harustetap di kelas, tidak boleh ke luar tanpa izin langsung daridirektur.

“Jangankan distrap sehari, sebulan juga kita masih oke.Dia pikir kita sedih kali, padahal sih gembira betul hatikita,” kata I Soen.

Ali Topan meminta maaf kepada teman-temannya atasketerlibatan mereka karena perbuatannya. Sepertibiasanya, teman-temannya mengerti, karena hanyapengertian itu yang bisa mereka berikan kepada sesamateman.

Saat pulang, Ali Topan mengantar Anna ke gerbangsekolah.

“Anna, apa pikiranmu soal urusan besok?” tanya AliTopan. Anna memandang sayu pada Ali Topan, lalumenggelengkan kepalanya dan berkata tidak tahu.

“Kamu merasa takut?” tanya Ali Topan. Annamenggeleng.

“Kamu merasa kecewa pada saya?”

164

“Mungkin!” sahut Anna Karenina.Ali Topan terkesima mendengar jawaban itu. Ia

memandang Anna dengan tajam. Tapi Anna menunduksaja. Bahkan gadis itu mempercepat jalannya langsungmenuju Mercy yang sudah menunggu.

Ketika Mercy disopiri Oom Boy bergerak meninggalk-an gedung sekolahnya, Anna melirik sekejap ke arah AliTopan yang berdiri dengan aksi di pintu gerbang. Duatangannya masuk ke kantong celana dan pandanganmatanya gagah sekali. Anna Karenina tidak tahu kalaugaya yang keren itu ditampilkan Ali Topan untukmenutupi perasaan hatinya yang terpukul oleh jawabanAnna.

“Mungkin?” gumam Ali Topan. Lantas ia tersenyumsendirian. Ia menarik napas berat, lalu berbalik langkah,berjalan menuju tempat parkir motor. Bobby, Dudungdan Gevaert menunggu di situ.

“Gimana, Pan?” tanya Gevaert.“Mungkin,” sahut Ali Topan. Ia menghidupkan

motornya, lalu meninggalkan tempat parkir, diikutiteman temannya.

***

165

TIGA BELAS

Pagi hari di rumah Anna.Oom Boy baru datang dari mengantar Anna ke

sekolah. Ia masuk ke ruang tengah, memperhatikanNyonya Surya yang sedang merawat pohon pohon kerdil.Tuan Surya membaca Kompas di kursi rotan di dekatistrinya. Keduanya asyik dengan kesibukan masingmasing.

Oom Boy menyiulkan lagu “Bujangan” Koes Plusdengan gaya norak. Dia membayangkan dirinya sepertiMurry penyanyi di layar Televisi Republik Indonesiaalias TVRI. Tuan Surya tak memberi reaksi apa apa, tapiNyonya Surya tersenyum kecil dan menegur Boy,“Gembira betul kau hari ini, Boy.”

“Biar awet muda,” sahut Boy.“Kau sudah merasa tua? Berapa sih umurmu yang

sebetulnya?” tanya Nyonya Surya sambil terus mengaturpohon pohon kerdilnya.

“Jalan tiga puluh dua,” kata Boy.“Wah. Hampir telat dong. Cepat ah cari istri. Kau kan

cukup keren, kenapa sih tak mau cari pacar? Nanti akudan abangmu yang melamarkan sebagai ganti orangtuamu,” kata Nyonya. Surya. Tuan Surya menurunkankorannya, melihat ke arah Boy dan istrinya. Dia terse-nyum kecil pula dan berkata, “Tampang keren kalaunggak ada duit juga percuma, Boy. Anak gadis sekarangmana mau punya suami sopir.”

Boy cuma meringis saja. Dia memahami kenapa TuanSurya bicara begitu. Tuan Surya sudah berkali-kali

166

menyuruhnya bekerja, tapi Boy sendiri masih belum mau.Ia lebih suka menjadi sopir. Terus terang, ia ingin selaludekat Anna Karenina. Ia diam diam menaruh hati padaAnna. Tuan dan Nyonya Surya tidak tahu hal itu. Boypunya sifat cemburu. Ia merasa buta kalau Anna tidakberada di dekatnya. Cuma ia sendiri dan Tuhan AllahSubhannahu Wa Taala yang paham perasaan cinta yangterpendam di hati Boy.

“Dia belum ada pekerjaan yang cocok, Pap. Biar saja.Nanti kan ada waktunya dia punya pekerjaan yang hebat.Jadi pengusaha muda ya Boy?” Kata Nyonya. Surya.

“Pengusaha muda dalam bidang jual beli angin?” kataTuan Surya. Ia terkekeh-kekeh, menaruh Kompas yangdibacanya, kemudian masuk ke dalam kamarnya.

Nyonya Surya menoleh ke arah Boy. “Biar saja diaberkata begitu, Boy. Jangan dimasukkan ke hati,”katanya. Nyonya Surya memang lebih suka Boymenyopiri dan merawat mobilnya. Boy tersenyumpadanya. Kemudian ia berjalan ke kamarnya.

Tuan Surya berdandan di kamarnya. Ia termasukpecandu kerja. Ia selalu gerah melihat Boy tidak maubekerja, padahal sudah berkali-kali ia menawarkankesempatan bekerja pada pemuda itu. Ia akhirnya punyakesimpulan bahwa pemuda semacam Boy adalahpemuda yang tidak jelas tujuan hidupnya. Orangnyagampang putus asa, maunya berfantasi saja. Dia seringmengatakan bahwa fantasi itu memang perlu untukmanusia pekerja yang mendambakan sukses besar. TapiBoy cuma fantasi-fantasian saja. Kuliah gagal, bekerjaogah. Tuan Surya tak habis pikir. Berhubung Boy ituanak sahabat karibnya, ia enggan mengusir pemuda itu.Lagipula istrinya selalu membela Boy.

Mobil Volvo hijau-apel, mobil kantor Tuan Surya

167

sudah siap di garasi. Sopir Mat Hasan asal Cirebon sudahduduk di belakang setir. Majikannya punya kebiasaanunik, tidak mau dibukakan pintu atau dibawakan tas.

Tuan Surya selesai berdandan. Ia keluar denganmenenteng tas Samsonite warna hitam pekat. Iamenghampiri istrinya.

“Mam, aku berangkat,” katanya. Dikecupnya jidatistrinya. Nyonya Surya mengecup dagu Tuan Surya.

“Nggak usah mampir di stimbat ya?” kata NyonyaSurya. Suaminya cuma terkekeh-kekeh kecil.

Tuan Surya naik mobil lalu berangkat ke kantornya.***

Di kantor Direktur SMA Bulungan I. Hadi memasuk-kan surat-surat “dinas” ke sebuah map. Surat surat ituberasal dari Pak Direktur untuk orang tua Anna Kareninadan Ali Topan. Mereka diminta datang untuk“konsultasi” perkara “surat cinta” Ali Topan kepadaAnna yang diributkan Ibu Dewi kemarin.

Hadi memasukkan map ke dalam kantong plastik laluberjalan ke luar menuju tempat parkir motor dinasnya.Pekerjaan mengantar surat panggilan ke alamat Ali Topanhampir merupakan pekerjaan rutin bagi sekretaris PakDirektur itu.

Dia bahkan sudah kenal baik dengan babu tua di rumahAli Topan. Untung Mbok Yem, babu itu sudah tua, cobamasih muda barangkali aku bisa jatuh cinta betul samaMbok Yem, demikian pikiran Hadi sambil mendorongmotornya ke pintu gerbang sekolah.

Selama ini memang Mbok Yem itu yang menemuinyajika ia disuruh mengantar surat “konsultasi” ke alamatAli Topan. Ibu atau Ayah anak muda itu tak sekalipundijumpainya di rumah. Dia hafal betul sambutan MbokYem setiap kali datang. “Lho kok dateng lagi. Ada apa to

168

kok dateng dateng ke sini lagi? Mau minta sumbanganbuat sekolahnya Ndoro saya?” begitu sambutan MbokYem. Dan Mbok Yem pasti terkekeh-kekeh.Membayangkan muka Mbok Yem yang terkekeh-kekehitu Hadi jadi tersenyum sendiri. Geli dia.

“Mbok Yem sayang, aku datang lagi…,”kata Hadi padadirinya sendiri. Maka ia jadi terkekeh-kekeh pula sambilmenghidupkan mesin motornya. Dia masih tersenyum-senyum sendiri di jalanan menuju ke rumah Ali Topan.

Di rumah Ali Topan, Mbok Yem sedang menemuitukan sayur bernama Bang Entong. Bang Entong, orangBetawi Aseli merupakan tukang sayur langganan MbokYem. Ada historisnya kenapa Mbok Yem memilih BangEntong, sebab dari Bang Entong dia bisa kursus praktisbahasa Jakarta.

Bang Entong sudah selesai memberikan sayur yangdibeli Mbok Yem. Dia menghitung-hitung hargapenjualannya.

“Awas, jangan naikin harge seenaknye, ye. Saye udehkenyang banget diomelin nyonye saye, Bang Entong,”kata Mbok Yem. Bang Entong cuma tertawa kecil. Diamasih repot menghitung-hitung harga penjualansayurannya. Mbok Yem jadi sewot. Dia ingin Bang En-tong menjawab, sebab dengan begitu dia bisa berdialog.

“He, Bang Entong, kuping lu budek ye? Gue nanyain,lu jawabin dong. Nanti gue bise sewot, eh elu gue kagakbayar bayar acan ye,” kata Mbok Yem. Bang Entongketawa terbahak-bahak mendengar omongan MbokYem.

“Ya Alloh, Mbok. Ngocehnya jangan kasar kasar dong.Ntar diketawain tetangge,” kata Bang Entong, “nihsemuenye dua rebu tige ratus jigo,” kata Bang Entong.

“Udeh pakek diskon tuh? Jangan lupe ye, diskonnye

169

sepuluh persen. Kalok kurang gue berenti aje jadilangganan. Pokoknye bisa putus aje hubungan kite,” kataMbok Yem.

“Ngarti dah ngarti,” kata Bang Entong sembari nyolekpaha Mbok Yem, “eh jangan kate sepuluh persen,sembilan pulu persen juga saye kasiin, Mbok. Asal …,”tambahnya.

“Asal ape?”.“Asal ente mudaan lagi tige pulu taon,” kata Bang

Entong. Dia menjulurkan tangannya untuk menyolekMbok Yem, tapi Mbok Yem mengepret tangan itu.“Jangan suka begitu ah, malu dilihat tetangga,” kataMbok Yem tersipu-sipu.

“Kalok malu, buruan dah bayarinnye. Pacar-pacar ayeyang laen udeh pade ngebet nungguin saye,” kata BangEntong. Mbok Yem melotot. Rada cemburu jugamendengar omongan Bang Entong. “Ya udah, pergiburuan ke pacarnye nyang laen. Kagak usyah kemariinlagi,” kata Mbok Yem, merajuk. Bang Entongmenggaruk-garuk pantatnya sembari cengar-cengir.

“Ayo dong sayang? Mbok Yem biar udeh tuaan,pokoknye saye paling betah aje di sini. Ayo dong buruanduitnye, sayang,” rayu Bang Entong. Mbok Yem masihmerengut, padahal hatinya berbunga kena rayuan BangEntong yang “kontemporer” itu.

“Awas kalok saya denger Bang Entong pacaran samababu-babu laen. Putus aje hubungan kite,” kata MbokYem. Ia mengeluarkan uang Rp 2.500,- untuk membayarsayur mayur yang dibelinya.

“Kembalinye besok aje ye? Kagak ade duit kecil nih,sayang,” kata bang Entong. Dia menggoda Mbok Yem.

“Tak ada kembali, tak boleh pergi,” kata Mbok Yem.Bang Entong melemparkan uang kembali ke tampah

170

tempat sayur mayur mbok Yem.“Permisii. Trime kasii,” kata bang Entong. Dia

mengangkat pikulannya, kemudian berjalan pergi. Pan-tatnya sengaja digoyang-goyangkan dengan “sexy”.Mbok Yem menggigit bibirnya melihat goyangan pantatbang Entong. Dia terpesona oleh goyangan pantat tukangsayur itu.

Sesudah Bang Entong tidak tampak lagi barulah MbokYem mengangkat tampah dan berjalan masuk ke dalamrumah. Baru sampai pintu, dia berhenti karenamendengar suara sepeda motor memasuki halamanrumah. Hadi, pengendara motor itu melambaikan tanganke arahnya.

“Halo, saya dateng lagi,” Hadi berseru. Ia mematikanmesin motornya, memarkir di tengah halaman, lalumenghampiri Mbok Yem.

“Lho, kok dateng-dateng lagi? Ada urusan penting lagiya Dik Hadi,” kata Mbok Yem. Hadi mengambil suratdari dalam map.

“Biasa. Surat panggilan. Ibu dan bapak harus mengha-dap hari ini juga. Anaknya kurang ajar di sekolahan,”kata Hadi. Mbok Yem memberengut.

“Kurang ajar? Siapa yang kurang ajar? Jangan sembar-angan ngatain Ndoro saya kurang ajar, nanti sayasampluk kowe, Di,” kata Mbok Yem, bersungut-sungut.

“Pokoknya terserah. Saya nggak mau banyak bicaralagi,” kata Hadi. Dia menaruh surat panggilan itu di atassayur mayur, kemudian berbalik ke tempat motornya.Dia menghidupkan motornya lalu meninggalkan rumahAli Topan.

Mbok Yem berjalan masuk ke dalam rumah. Dia me-naruh sayur mayur di dapur. Ia mengambil suratpanggilan itu dan diamat-amatinya dengan seksama.

171

Kemudian ia berjalan ke ruang tengah. Surat panggilanitu ditaruhnya dia atas meja.

Nyonya Amir muncul dari kamarnya. Wajahnya pucatsekali. Dia sakit selesma.

“Ada surat dari sekolahannya Den Bagus, NdoroPutri,” kata Mbok Yem. Dia mengambil surat dari atasmeja, menyerahkannya pada Nyonya Amir.

Nyonya Amir membuka surat itu dan membacanya.Ekspresi wajahnya tak berubah. Dia melipat kembalisurat itu dan memasukkannya ke dalam sampulnya.

“Aku sedang sakit. Tidak bisa datang,” katanya. Suratitu diberikan lagi pada Mbok Yem.

“Katanya penting sekali, Ndoro Putri. Harus datang kesekolahan Den Bagus,” kata Mbok Yem.

“Aku sakit,” kata Ny. Amir. Lalu dia berjalan ke kursidan duduk di situ. Termangu-mangu.

Mbok Yem segera menyingkir dari hadapan NyonyaAmir. Di dalam hatinya dia menggerutu dan mencaci-maki ‘ndoro putrinya’. Anak sendiri tidak diurusi, anakorang lain disayang seperti suami, demikian gerutuanMbok Yem. Tapi Nyonya Amir tetap berdiam diri,termangu-mangu, entah memikirkan hal apa.

Mbok Yem tidak tahu. Yang dia tahu, berdasarkanpengalaman menerima surat dan pembicaraan denganHadi, Den Bagus Ali Topan-nya sedang dilandakesusahan di sekolah. Ia sayang betul pada Ali Topan tapiia tak bisa apa-apa. Ia cuma babu. Babu tua. Denganpikiran ‘tak habis pikir’, Mbok Yem masuk ke dapur danmeneruskan kerjanya.

***Nyonya Surya sedang mencuci tangan di dapur rumah-

nya. Ia telah selesai ‘meruwat’ bonsai, pohon-pohonkerdil kesayangannya. Boy bersiul-siul lagi tak jelas di

172

kamar mandi yang terletak di dekat dapur. Boy memang‘penggemar’ kamar mandi. Dan penghuni rumah sudahmaklum dengan ‘kegemarannya’ yang khas itu.

“Boy! Boy!” Ny. Surya berteriak.Boy tetap bersiul-siul di kamar mandi. Dia kurang men-

dengarkan teriakan Nyonya Surya.Nyonya Surya berteriak-teriak lagi, memanggil na-

manya.“Yak! Sebentar!” Boy menyahut dari kamar mandi.Tak lama kemudian, Boy ke luar dari kamar mandi.

Wajahnya tampak berseri-seri, tapi jalannya agak loyo.Ia ke dapur menjumpai Nyonya Surya.

“Boy, sebentar lagi tolong antarkan aku ke salon ya.Aku mau krimbat,” kata Nyonya Surya.

“Bolehlah. Tapi tak lama kan?” tanya Boy, “aku kanharus menjemput Anna,” tambahnya.

“Ah, ah, kau penuh perhatian pada Anna. Aku senangsekali.”

Boy menyeringai. Ia mengusap-usap wajahnya. Belberdering.

“Siapa lagi, pagi-pagi begini sudah mertamu,” kataNyonya Surya, “tolong lihat, Boy. Kalau Nyonya Winata,bilang aku sudah pergi,” tambahnya.

Boy bergegas ke ruang depan. Ia melihat Hadi berdiridi depan pintu.

“Bung siapa? Ada urusan apa ke sini?” tanya Boy,tanpa membuka pintu. Hadi berdiri dan memandangnyadengan aneh. Sok bener, gumam Hadi. Boy akhirnyamembuka pintu.

“Di sini rumah Anna Karenina?” tanya Hadi.“Iya, betul, ada apa?”Hadi menyodorkan surat panggilan.“Apa ini?” tanya Boy.

173

“Bung baca saja sendiri,” kata Hadi. Kemudian ia pamitdan berjalan pergi meninggalkan rumah itu. Boy memba-lik-balik surat itu, lalu bergegas ke dapur, menemuiNyonya Surya.

“Siapa Boy?”. tanya Ny. Surya.“Dari sekolah si Anna,” kata Boy sambil menyerahkan

surat. Nyonya Surya terbelalak. “Dari sekolah si Anna?Ada apa sih?” tanyanya. Segera dibukanya surat itu. Dandibacanya.

“Waduh Boy, Boy, Boy! Kita cepat-cepat ke sekolah siAnna. Ini surat panggilan penting. Waduh, ada apa ya?Udah, cepat sana siap-siap, aku nggak jadi ke salon,” kataNy. Surya. Ia segera lari, terbirit-birit, ke kamarnya.

Tak berapa lama Boy dan Nyonya Surya naik mobilmenuju SMA Bulungan I. Di perjalanan, mereka salingbertanya jawab, menduga-duga. Mengenai maksud dantujuan surat panggilan itu.

Di kantor Direktur SMA Bulungan I, Ali Topan danAnna Karenina duduk menghadap Pak BrotoPanggabean. Ibu Dewi duduk di kursi, di dekat pintu.

Hadi datang, tergopoh-gopoh. Langsung memberilaporan pada bossnya. “Surat sudah saya sampaikan kerumah Anna Karenina, Pak. Sebentar lagi mungkinmereka datang,” kata Hadi.

“Orang Ali Topan?” tanya Pak Broto Panggabean.“Saya tidak tahu, Pak. Tapi suratnya sudah saya

sampaikan pada Mbok Yem,” kata Hadi.“Mbok Yem? Siapa dia?” tanya Pak Broto.“Itu…itu… pembantu rumah Ali Topan, Pak,” kata

Hadi.“Oh ya? Baiklah,” kata Pak Broto. Hadi lantas ke luar

dari ruang itu.Pak Broto Panggabean memandang Ali Topan. “Ke

174

mana orang tua kau, Ali Topan?” tanyanya.“Saya tak tahu, Pak. Jika mereka pergi tak pernah

memberi tahu saya,” sahut Ali Topan. Pak Broto, IbuDewi, dan Anna Karenina terkejut mendengar jawabanAli Topan yang tegas itu.

“Jangan asbun kau!,” kata Pak Broto. Beliau melototke arah Ali Topan.

“Bukan asbun, pak, tapi fakbun,” kata Ali Topan.“Apa itu fakbun?”“Fakta bunyi!”Heh heh heh, Pak Broto tertawa terkekeh kekeh.

Ketawanya yang spontan itu mengejutkan Ibu Dewi. Ibuguru centil itu melotot. Ha ha ha. Ali Topan tertawa. Laludiam. Ibu Dewi makin sengit. Ia merasa diledek.

Ibu Dewi melotot, merengut, wajahnya merahmenahan marah. Tapi Ali Topan cengar-cengir saja.Beberapa waktu kemudian, Hadi masuk, mengiringNyonya Surya dan Boy. Nyonya Surya terkesiap melihatAli Topan dan Anna.

“Selamat pagi. Selamat pagi. Mari. Silakan,” kata PakBroto. Nyonya Surya dan Boy masuk, diperkenalkanlebih dulu dengan Ibu Dewi.

Nyonya Surya dan Boy masih menatap Anna dan AliTopan.

“Ada apa ini, An,” kata Nyonya Surya dengan nadadingin. Pak Broto menyela. “Aaa, begini… silahkanduduk dulu. Begini… sebetulnya tidak ada perkara yangserius, tapi Ibu kami undang untuk sekedar konsultasisaja mengenai… mengenai… putri Ibu..,” kata Pak Broto.

“Anna! Kau bikin apa di sini ha?!” Nyonya Suryamenghardik anaknya. Lalu dia menuding Ali Topan danberkata keras: “Kamu bikin apa sama anak saya?Memang kamu anak kurang ajar!”

175

“Sabar, sabaar, Ibu. Biar Ibu Dewi menjelaskan dudukperkaranya,” kata Pak Broto Panggabean. Hati gurukepala ini agak menyesal melihat perkembangan yangtidak enak. Harusnya dia kelarkan saja persoalan, tanpamembuat pertemuan semacam ini. Tapi semuanya sudahterlanjur.

Ibu Dewi dengan lancar tentu dengan tambahanbumbu-bumbu penyedap kata-kata dan mimik yangdramatis. Tak percuma dia ikut grup teater tatkala kuliahdi IKIP dulu. Dramatis betul suasana dibikinnya.“Begitulah, Ibu Surya. Saya selaku guru pengawas yangditugaskan langsung oleh Departemen merasabertanggung jawab penuh atas nama baik sekolah ini,dan untuk mecegah supaya murid-murid tidak terjuremuske jurang kenistaan dan kenakalan remaja,” demikiankata penutup Ibu Dewi. Nyonya Surya, Boy dan Annatampak tegang. Tapi Ali Topan malah tersenyum kecil.

“Ibu Dewi, tadi itu ada kesalahan kecil. Bukanterjuremus, tapi terjerumus,” kata Ali Topan.

Ibu Dewi melengak. Demikian pula hadirin lainnya.Mulut Ibu Dewi terbuka. Sebelum ia bicara, Ali Topansudah buka mulut: ”Menurut tata bahasa Indonesia yangbaik, pembicaraan Ibu Dewi agak kurang teratur, hinggasulit dipahami maknanya,” Mak! Langsung wajah IbuDewi merah sebagai muka orang Belanda kesentrongsinar mentari.

“Kurang ajar!” perkataan itu ke luar dengan dahsyatdari mulut Ibu Dewi. Seluruh emosinya meledak. Ia taktahan menerima aksi Ali Topan. Ia pikir kemarahannyasudah setinggi langit, tapi Ali Topan tak bergeming.Dengan tenang ia menyodok kaki kemarahannya yangrapuh. Soal tata bahasa masih sempat dibawa-bawanya.Benar-benar kurang ajar!

176

Ibu Dewi menghentakkan kaki, lalu ke luar ruang. Iatersedu sedan. Suasana di dalam ruang jadi hening. Lang-kah-langkah Ibu Dewi yang nyaring merupakan ilustrasisuara yang terdengar. Tek tok tek tok tek tok. Makin jauh,makin berkurang bunyi hak sepatu lancipnya menjejaklantai koridor sekolah.

Kelas-kelas yang dilewatinya hening. Para murid danguru melongok sejenak. Melihat kelebatan Ibu Dewi,mereka menerka, pasti ada sesuatu yang terjadi.

Ibu Dewi ke luar dari gedung sekolah. Ia memanggiltaksi President yang lewat. Taksi berhenti. Sopirnyamembukakan pintu. Ibu Dewi masuk ke dalam. “Ke JalanJendral Sudirman. Departemen P dan K,””kata Ibu Dewi.Sopir taksi manggut, kemudian menancap gas taksinya.

Di ruang direktur, suasana terasa runyam bagi AnnaKarenina. Seujung kukupun ia tak menyangka kalausituasi berkembang ruwet begitu. Ia baru tahu dan yakinakan “Siapa Ali Topan,” sebagaimana diceritakan olehMaya. Ali Topan itu susah ditebak adatnya. ’Nyentriksih,’ demikian kata Maya. ’Dia sebetulnya anak yangbaik. Tapi suka nekat. Dan nekatnya nggak ketulungan.’Begitu rekomendasi yang diterima Anna, pada hari-hariyang lewat.

Ali Topan duduk dengan gaya masa bodo. Ia sedikitpuntidak memandang ke arah Nyonya Surya dan Boy.Sekilas tadi, waktu masuk, ia melirik mereka, danmenangkap sinar mata yang tak enak buat dipandang.Makanya ia tak menggubris mereka. Ia duduk dengantenang, menggosok-gosok dengkulnya.

“Heh! Ali Topan! Kau benar-benar trouble maker! Akutak bisa bicara apa-apa lagi. Rasanya aku cuma inginmenempeleng kau. Tapi aku tahu itu tidak pantas,” kataPak Broto Panggabean. Nadanya dingin. Ali Topan acuh

177

tak acuh saja. Dia mengartikan omongan direktur sekolahitu secara lain. Pak Broto tak berani menepelengnya,sebab, dulu pernah ada peristiwa, Pak Idris, guru olahragamenampar Ali Topan, kemudian, sehari sesudahperistiwa itu, Pak Idris digebuki berandal-berandal PasarMelawai. Mengingat itu, Ali Topan tersenyum.

“Kenapa kau tersenyum, heh?” tanya Pak Broto. AliTopan menoleh, memandang tepat di antara dua biji matadirektur sekolahnya. Lalu ia tersenyum lagi, senyumanyang susah diterka Pak Broto, apakah senyuman itu asalsenyuman, ataukah senyuman menganggap enteng.

“Kau keluarlah! Nanti kutempeleng kau!” hardik PakBroto. Ali Topan berdiri. Tapi ia tidak beranjak daritempatnya. Ia menoleh ke arah Anna Karenina. Gadis itupucat pasi. Wajahnya melukiskan kecamuk perasaannya.

“Anna juga boleh ke luar, Pak?” tanya Ali Topan sambilmenoleh ke arah Pak Broto.

“Anna tetap tinggal di sini!” Nyonya Surya berteriak.Tangannya mencekal lengan Anna.

“Saya harap Anna tidak dijatuhi hukuman apapunakibat peristiwa ini, Pak Broto. Semua kesalahan atasrekening saya,” kata Ali Topan. Ia melirik Pak Broto,kemudian melangkah ke pintu. Boy menghadang dipintu. Wajah Boy tegang, matanya mengandung sinarkebencian yang hebat. Ali Topan berhenti tepat di depanBoy. Boy masih menghadang.

“Numpang lewat,” kata Ali Topan. Tapi Boy tetapmenghadang. Pelahan Ali Topan menengadah. Sinarmatanya menyapu wajah Boy. Boy bergidik melihat sinarmata Ali Topan yang sangat beringas. Tanpa sadar diamenyingkir ke tepi. Ali Topan mendengus, lalu berjalanke luar. Ia kembali ke kelasnya.

Walaupun ia sudah tidak berada di ruang Direktur, tapi

178

‘wibawa’ dari sikapnya membuat orang-orang di ruangitu terpaku. Pak Broto mengusap-usap dagunya, NyonyaSurya dan Boy saling memandang, dan Anna Kareninamenunduk. Masing-masing berpikir tentang Ali Topan.

Akhirnya Boy bicara. “Anak begitu mustinya dipecatsaja dari sekolah ini, Pak. Kalau tidak, dia bisa bikinhitam nama bapak dan jadi racun bagi murid-murid lain.”

Nyonya Surya menyambung, “Itu sangat betul, Pak.Lihat saja, anak saya jadi korbannya yang entah yang keberapa. Dan ibu guru tadi… Ibu Dewi, dibuatnya begitumarah.”

Pak Broto diam saja. Kepalanya manggut-manggutmacam burung kuntul di tengah sawah. Manggut-manggut itu gayanya yang khas, dan tidak selalu berartimengiyakan pendapat orang lain.

“Yah. Begitulah. Saya tidak bisa bicara apa-apa lagi.Kita tunggu berita dari Ibu Dewi. Saya kira dia akanmelapor ke Departemen P dan K. Nah, terima kasih ataskedatangan Ibu. Saya harap komunikasi begini bisadilanjutkan demi kebaikan bersama, guru, orang tuamurid dan si murid sendiri. Begitu?” kata Pak Broto. Iaingin mengakhiri pertemuan.

“Tapi, bagaimana selanjutnya? Harus ada sanksi beratuntuk anak berandal itu. Kalau tidak, saya bisa bikinbesar ini perkara. Saya kenal orang-orang berkuasa diHankam. Jadi, betul-betul bapak harus bertindak,” kataNyonya Surya. Pak Broto manggut-manggut lagimenyungging senyum yang khas Medan.

“Ibu tunggu kabar saja,” katanya. Kemudian iaberpaling ke Anna dan berkata, “Nah, Anna bolehkembali ke dalam kelas. Seperti kata Ali Topan tadi,kesalahan semuanya atas rekening dia.”

Anna Karenina mengangguk. Ia berpaling ke arah

179

ibunya. Nyonya Surya memandang pula kepadanya. Boyikut melihat Anna.

“Lebih aman kau pulang saja sekarang, Anna,” kataBoy. Anna menatap mata Boy, lalu dengan gaya tidaksenang, ia melengos.

“Iya, begitu juga baik. Ayo, Anna, ambil tas kamu,”kata Nyonya Surya, kemudian ia berpaling ke arah Boy,“Boy, kawal dia,” katanya.

Dengan kesal Anna menuruti “kebijaksanaan” itu. Iapamit pada Pak Broto. Pak Broto mengelus rambutmuridnya, lalu mengantar ke luar ruang. Boy, mengikutiAnna dari belakang. Nyonya Surya juga pamit. Iaberjalan mengikuti Boy dan Anna.

Pak Broto memperhatikan mereka, kemudian masukke dalam kantornya.

“Hadiiiii!,” serunya. Hadi datang segera.“Ada apa, Pak?”Pak Broto melotot.“Pakai tanya lagi. Mana es teh buatku? Dan Dji Sam

Soe sebungkus, bon dulu di kantin. Cepat kau! Kepalakupening melihat muka kau yang macam beruk itu!” hardikPak Broto. Ia melampiaskan kedongkolan pada Hadi.

“Siap, Pak!” kata Hadi. Lalu berjalan mundur ke pintu.Sampai di luar ia berlari sekencang-kencangnya kekantin.

“He, bibi! Mana es teh aku? Dan Dji Sam Soe sebung-kus, ngebon dululah! Cepat kau antar ke kamar Bapakkita, Si Broto Panggabean, bah!” kata Hadi pada bibikantin. Bibi kantin tertawa.

“Kalau di sini berani bilang Si Broto Panggabean. Ka-lau di depan orangnya… huh!, bisa dibikin beres kamu,Di,” kata Bibi Kantin. Sambil tertawa-tawa, segera mem-buat es teh manis. Setelah selesai, ia berikan es teh dan

180

sebungkus Dji Sam Soe pada Hadi. “Salam buat PakBroto,” kata bibi kantin.

“Salam pakai cium?”“Hus!” Bibi kantin melotot. Hadi terbahak-bahak

sambil pergi membawa es teh dan Dji Sam Soe. Begitu Hadi sampai dan menaruh gelas es teh manis,

langsung Pak Broto menyambar minuman itu dan me-nenggak seperti orang menenggak tuak. Segelas es tehmanis amblas dengan sekejap mata. Lalu membukabungkus Dji Sam Soe dengan gigi taringnya.

Hadi segera mengundurkan diri. Pintu kantor Pak Brotoditutupnya dari luar. Hadi tahu, pada saat seperti itu, PakBroto tidak boleh diganggu gugat.

Pak Broto mengambil sebatang Dji Sam Soe,mengeluarkan tembakau separuh. Kemudian iamengambil bungkusan ganja dari laci mejanya. Ganja itudicampur dengan tembakau yang sudah dikeluarkannya,kemudian dimasukkan lagi ke dalam rokok. Sisatembakau dan ganja disimpannya di dalam amplop. PakBroto sulit menghilangkan kebiasaan mengganja yangdilakukan sejak masih muda, di Medan dulu.

***Sebuah pesawat terbang kertas melayang di dalam

kelas. Pesawat itu melayang-layang, lalu menukik, danmendarat di kepala Maya. Lantas terdengar suara ketawadari teman-temannya. Ketawa Ali Topan terdengarpaling keras. Ia yang melayangkan pesawat terbangkertas itu.

Maya tidak marah. Ia tahu, Ali Topan sedang kesal.Anna Karenina sudah pulang bersama Ibunya dan Boy.Di depan pintu, tadi, Boy berdiri dengan gaya sok angker.Ali Topan melemparnya dengan sebutir permen Chiclets.Kena kepalanya. Ketika Anna mengambil tasnya, ia tak

181

berkata apa-apa. Wajahnya merunduk.Ridwan menghampiri Ali Topan. Ia berbisik-bisik. Ali

Topan mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ridwankembali ke tempat duduknya.

Ali Topan berdiri. Ia mengambil tas sekolahnya, laluberjalan ke pintu. Teman-temannya memperhatikan.

Di tengah pintu, sambil tetap menghadap ke luar, AliTopan berseru: “He, kenyung-kenyung. Gua poskulduluan. Kalian belajar baek-baek, ye?!”

“Iyeeeee..,” teman-temannya serempak menyahut.Lantas Ali Topan berlalu. Langkahnya tenang,

pandangannya lurus ke depan. Ia terus berjalan, melewatikoridor, kantor guru-guru, pintu gerbang sekolah danmenyeberangi jalan.

Ia terus berjalan. Pelan tapi pasti. Menuju Jalan Pang-lima Polim Tiga, tempat tukang tambal ban motor &mobil.

Motornya sudah siap ketika ia sampai. Bannya sudahditambal, dan bodinya sudah dibersihkan oleh penambalban.

“Ada berapa lobang?” tanya Ali Topan.“Dua lobang. Pakunya panjang sih,” kata penambal

ban.“Brokap?”.“Dua lobang, duaratus deh.”Ali Topan membayar Rp 200, lalu mengambil sepeda

motornya.Tak lama kemudian, ia sudah nangkring di atas

motornya. Ia tak ngebut. Motornya dijalankannya pelan-pelan.

Ia langsung pulang ke rumahnya.

***

182

EMPAT BELAS

Esoknya, sekitar pukul 10.00 Waktu IndonesiaBarat, Hadi datang ke rumah Ali Topan, membawasepucuk surat keputusan Direktur SMA Bulungan

I, mengenai skorsing. Selama satu bulan penuh, ia tidakdiizinkan mengikuti pelajaran sekolah.

Yang menerima surat itu Nyonya Amir. Ali Topansedang berada di kamarnya.

Nyonya Amir membaca surat keputusan itu, kemudianpergi ke kamar Ali Topan. Ia masuk ke kamar anaknyadan mendapati Ali Topan sedang tidur-tiduran. NyonyaAmir duduk di ranjang Ali Topan.

“Kamu tidak sekolah hari ini?” tanya Nyonya Amir.“Males,” jawab Ali Topan.“Kenapa males?”“Kemarin ribut di sekolah.”“Kenapa ribut?”“Biasa.”“Biasa apa?”“Soal cewek.”“Lho, sudah punya cewek? Kok mama nggak di kasih

tahu?”Ali Topan tak menjawab. Ia merasa aneh. Mamanya

kok lain sekali hari ini? Kok menaruh perhatian banget?Ia menelentang, memandang ibunya. Ibunya tampaktersenyum. Tapi wajahnya pucat sekali.

“Ada apa?” tanya Ny. Amir.“Mama tumben nanya-nanya. Udah insap ya?” kata

Ali Topan.

183

Mamanya terperanjat. Wajahnya yang pucat makinpucat. Tapi senyumnya masih diusahakan keluar, untukmengurangi rasa kagetnya.

“Kepala Sekolahmu mengirim ini,” kata Nyonya Amir.Ia menunjukkan surat pada anaknya.

“Apa itu? Surat skorsingya? Atau Ali dipecat darisekolah?” tanya Ali Topan.

“Baca saja sendiri,” kata Nyonya Amir. Ia memberikansurat itu pada anaknya. Ali Topan membaca surat itu.Ekspresi wajahnya tidak berubah. Tenang-tenang sajatampaknya.

“Kamu nakal betul ya di sekolah, kok sampai di skorsbegitu lama. Jangan nakal dong Ali.”

“Ha ha ha. Jaman sekarang memang jamannya orangnakal, Mama. Kalau nggak ada orang nakal, nggak ramedunia,” kata Ali Topan.

Nyonya Amir tertegun. Darahnya tersirap. Kata-kataanaknya terasa sebagai ratusan jarum yang menancap diulu hatinya. Dipandangnya wajah anaknya, tapi terba-yang wajah lelaki tanggung yang bukan anaknya. Sema-kin ia memandang Ali Topan, semakin terbayang wajahanak-anak muda yang menjadi “gigolo”-nya. Kepalanyaterasa pening mendadak. Pandangan matanyaberkunang-kunang.

“Apa kamu bilang?” bisiknya. Ali Topan memandang-nya. Sepasang mata seakan-akan layu. Sinar matanyasuram, mengandung kecewa.

“Maaf, Mama, Ali nggak suka keadaan di rumah ini.Ali nggak mengerti kemauan mama dan papa. Terusterang Ali kecewa,” kata Ali Topan.

Nyonya Amir tertegun. Peningnya menjadi-jadi. Sebe-tulnya rasa pening itu hampir tak bisa ditahannya, tapike-aku-annya sebagai seorang ibu tidak bisa menerima

184

ucapan anaknya, sekalipun ucapan itu mengandungkebenaran.

“Kamu memang tidak akan pernah bisa mengerti!”gumamnya. Lalu ia bangkit, dan segera berjalan ke luar.Pintu kamar Ali Topan dibantingnya. Surat hukuman darisekolah melayang jatuh kelantai.

Sesaat Ali Topan memandang daun pintu yangdibanting dan surat hukuman yang terletak dilantai.Laluiapun bangkit, dari tempat tidurnya. Matanya terasapanas. Sekuat tenaga ia tahan airmata yang hendak keluar, namun sia-sia. Iapun menunduk. Butir-butir airmatajatuh ke lantai. Ia menangis, terisak-isak.

Dadanya terasa sesak, hatinya terasa hampa. Ia inginsekali berteriak sekuat-kuatnya. Ia ingin meledakkanseluruh perasaan yang terpendam lama, rasa kecewaberasal dari rasa kehilangan sesuatu, yaitu perhatianibunya. Dulu mamanya nggak begitu. Masih biasa-biasasaja. Seperti mamanya waktu ia masih kecil. Meskipuncerewet, dan kalau bicara membentak-bentak, tapi masihwaras. Mamanya berubah sejak tahu suaminya mainperempuan. Dia jadi kacau.

Ia tidak berteriak. Ia hanya terisak-isak. Ia tak mauberteriak kepada ibunya, walaupun sekujur tubuh danseisi jiwanya ingin berteriak, Hentikan, hentikan semuakegilaan di rumah ini!!!

Ia memejamkan mata sejenak dan menarik napaspanjang-panjang. Kedua tangannya mengepal.Ditinjunya udara berkali-kali untuk melampiaskantekanan perasaan di dalam jiwanya.

Akhirnya ia terkulai lemas.Perlahan dibukanya kelopak matanya.Bibirnya terbuka. Ia menyebut nama Tuhan.Lalu ia berjalan mengambil celana blue jeans dan jaket-

185

nya. Dikenakannya pakaian itu, kemudian sepatunya.Dengan tubuh terkulai ia pergi ke kamar mandi.

Diciduknya air, diusapnkan ke wajahnya. Demikian ber-kali-kali. Sesudah itu ia menyenduk air dengan tangan-nya, untuk berkumur-kumur. Lalu ia ke luar.

Tak lama kemudian, Ali Topan naik motor mening-galkan rumahnya. Ia ngebut!

***Ali Topan memacu motornya di jalanan. Wajahnya

muram. Pikirannya kusut. Ia merasa sebagai anak palingmalang di Jakarta.

Dalam keadaan risau begini, ia ingin sendiri. Ia tidakmembutuhkan siapapun. Tidak Gevaert, tidak Bobby,dan tidak Dudung! walaupun mereka teman-teman seper-mainan, ia sedikit sekali bicara tantang keadaannya dirumah. Teman-temannya itu mendengar-dengar perihalrumah tangganya yang kacau balau, tapi bukan dari dia.

Kebayoran memang bukan sekecil Subang, tapi untukurusan permainan seks-gelap, seperti yang dikerjakanoleh kedua orangtuanya, rasanya setiap hidung anakKebayoran tahu. Terutama ikhwal ibunya, yangmendapat sebutan Tante Dun Hill –karena selalumerokok Dun Hill– setiap pemuda hidung belang rasanyabelum sah kalau belum pernah pergi dengannya, begitukelakar para muda Kebayoran.

Dan ayahnya? Tak ada rotan, akar pun jadi, kelakarmereka. Artinya, tak ada perempuan lacur, bencongpunjadi!

“Gilak!” teriak Ali Topan.Ia kaget sendiri mendengar teriakannya, sebab pengen-

dara mobil di sampingnya melotot ke arahnya, kaget.Ali Topan mengebutkan motornya di antara mobil-

mobil sedan di jalur cepat Jalan Raya Jendral Sudirman.

186

Seharusnya ia masuk ke jalur lambat, tempat khusus bagipengendara motor yang dicampur dengan biskota. Tapiia tak peduli jalur lambat. Ia ingin cepat. Ia tak pedulisumpah serapah oom-oom di dalam mobil yang marahkarena ia tidak mematuhi aturan lalulintas jalan raya. Iasedang sumpek.

Ia mengepotkan motornya di antara kendaraan lainnyadengan kecepatan 80 sampai 90 km per jam. Ia terusmenggeblas. Lewat kolong jembatan Semanggi. Duapolisi lalulintas yang sedang patroli menudingnya. TapiAli Topan masa bodo saja. Ia menggeblas terus. Polisimengejarnya.

Di Bendungan Hilir ia masuk ke jalur lambat. Kece-patan motornya dikuranginya. Ia menyelipkan motornyadi balik bis PPD, hingga polisi patroli kehilangan jejak-nya.

Polisi itu celingukan, mencari-cari Ali Topan. Ia heran,cepat betul anak tanggung itu menghilang. Ia tidak tahuAli Topan bersembunyi di balik bis kota. Ali Topanmengintip polisi yang melaju ke depan sambil celingukanmencarinya.

Sampai Bunderan Hotel Indonesia, Ali Topan masihmerendengi bis PPD. Ia melihat penumpang dan kondek-tur bis PPD ketawa-tawa melihatnya. Mereka tahu kela-kuannya mempermainkan polisi.

“Udah, kebut aje, polisinya udah ngilang,” katakondektur bis. Ali Topan diam saja. Malas menjawab.

Lepas dari bunderan HI, Ali Topan memacu motornyakembali. Ia lurus ke arah utara. Ia ingin segera sampai dipantai Bina Ria, salah satu tempat yang disenanginyauntuk menyendiri.

Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langitberwarna merah marong. Ombak makin besar dan angin

187

makin kencang. Ali Topan berdiri tegak menatap cakra-wala. Rambutnya yang hitam lebat dan gondrongdihembus angin, menambah kegagahannya.

Sekujur tubuhnya lusuh. Dan perutnya terasa lapar.Sudah berjam-jam ia merenung sendiri berdialog denganangin dan laut. Sepatunnya penuh pasir. Demikian pulacelana jeans-nya.

Ia berjalan ke tepi pantai. Dimasukkannya kakinya kelaut, sebatas paha. Celana dan bajunya basah kuyup. Iamengambil pasir dari dalam laut. Digenggammya pasiritu, lalu dilemparkannya ke tengah. Kemudian ia mencuciwajahnya dengan air laut. Dijilatinya tangannya yangbasah. Asin. Dan agak pahit. Hausnya makin mencekik.

Akhirnya ia berbalik, berjalan menuju semak tempat iamemarkir motornya. Diangkatnya sang motor, ditepuk-tepuknya sadelnya. Lalu ia menyemplakinya.

Sebelum berlalu, ia menoleh ke arah laut. “Aku pulangdulu ya laut, kapan-kapan aku ke sini lagi,” katanya.Lantas ia hidupkan motornya, dan berlalu dari situ.

***Sementara itu di rumah Anna. Ia duduk di hadapan

bapaknya, di ruang tengah. Boy dan ibunya turut jugadalam pertemuan itu. Anna sedang dimarahi olehbapaknya perkara hubungannya dengan Ali Topan.

“Kenapa jadi begini, Anna? Papa kan sudah bilangberkali-kali agar membatasi pergaulan dengan anak anakyang tidak cocok dengan derajat kita. Kau harus selaluingat bahwa kau masih punya tetesan darah bangsawan.Itu masih berlaku, walaupun orang bilang sekarang jamanmodern. Bagaimanapun modernnya jaman, tetapi tetapada perbedaan derajat antara tetesan bangsawan dengantetesan darah rakyat biasa yang tidak jelas asal usulnya,”kata Pak Surya.

188

“Saya tak mengerti soal itu, Papa,” sahut Anna.“Kau memang tak pernah mau mengerti. Pokoknya,

mengerti atau tidak, Papa ingin kau menurut aturan, titik!Di sekolah yang dulu, kau bergaul sembarangan. Sesudahdipindahkan ke sekolah baru, masih begitu saja,” kataPak Surya.

“Mustinya dia sekolah di rumah saja, biar tak bikinpusing orangtua. Saya pun sanggup mengajarnya, kalaudiminta,” sela Boy.

Anna benci sekali mendengar ucapan Boy. Kebencian-nya ditunjukkan dengan cara melihat Boy denganpandangan jijik.

“Gua nggak mau belajar sama kamu, bangsat!” kataAnna.

Semua kaget mendengar makian Anna. Tak ada yangmenyangka dia berani memaki Boy. Boy melengak, tapisegera berpura-pura tenang. Ia mengawasi Anna. Boytersenyum kecil.

“Sejak kau pakai kalung itu, kau suka marah-marah,An?” kata Boy. Ucapan yang acuh tak acuh itu justruberakibat hebat. Anna membelalak.

“Oh, begitu kau bilang, Boy?” kata Pak Surya, “Cobakulihat kalungmu, An,” ucapnya pada Anna. Pak Suryamenjamah kalung di leher Anna. Anna mencoba me-ngelak, tapi tangan ayahnya sudah menyentuh kalungitu.

“Coba buka,” kata Pak Surya. Anna diam saja.“Diguna-gunai melalui kalung itu dia, Pa,” kata nyonya

Surya yang sangat terpengaruh oleh ucapan Boy.“Coba buka, Papa mau lihat,” kata Pak Surya kembali.Anna masih diam. Tapi wajahnya memperlihatkan

penolakan yang hebat. Ia sangat marah pada Boy, bencipada hasutannya yang dipercaya oleh ayah dan ibunya.

189

Kedua orangtuanya memang sangat percaya padatahayul.

Pak Surya menarik kalung Anna perlahan. Anna tetapbertahan. Berulang-ulang Pak Surya memintanya untukmembuka kalung itu.

“Besok papa belikan kalung emas bermata berlianuntuk ganti kalung ini, Anna. Bukalah,” kata pak Surya.Anna menggeleng-nggelengkan wajahnya. Air matanyaberlinang.

“Biar… biar Anna pakai kalung ini saja, Papa. Bolehya Papa? Kalung ini tida ada guna-gunanya… percayadeh Papa…,” kata Anna dengan bibir bergetar menahanperasaan yang tertekan.

“Aaaah, cerewet!” kata Pak Surya, sambil menyentakkalung itu. Putus! Anna memekik. Lehernya terasa sakit,tapi hatinya lebih sakit lagi. Maka iapun menangislah.Terisak-isak.

Pak Surya menggenggam kalung itu. Ia mencium-ciumbenda itu, seperti kelakuan dukun klenik yang sedangmengendus setan.

“Hm. Hm… bau melati… ini pasti ada apa-apanya…,”gumam Pak Surya. Ia melihat ke istrinya, lalu mengang-surkan kalung itu. Nyonya Surya membaui kalung itu,mengendus-ngendus dengan penuh semangat.Pikirannya sudah dipenuhi oleh guna-guna. Begituterbaui olehnya bunga melati, iapun mengangguk-angguk. Ia menoleh ke arah Boy. Boy melirik Annadengan gaya sinis betul. Sinar “kemenangan” menyertaitatapan sinisnya itu.

Anna Karenina tak tahan melihat kelakuan mereka.Dalam kedongkolannya, ia merasa sedikit geli. Tentusaja kalung itu bau melati, karena memang diolesinyakalung dari Ali Topan dengan parfum Jasmine yang bau

190

sari melati. Ia ingin menjelaskan hal itu, tapi ketikadilihatnya kelakuan ayah ibunya seperti dukun, iamembatalkan maksudnya.

“Untung Boy memberi ingat. Kalau tidak, bahaya! Bisakecolongan lagi kita,” kata nyonya Surya. Pak Suryamengangguk-anggukkan kepalanya, seperti burung kun-tul. Boy ikut-ikutan mengangguk-angguk. Anna inginsekali meludahi muka Boy. Ingin sekali.

“Besok bawa anakmu ke Mbah Ruspi, Ma,” kata PakSurya. Mbah Ruspi yang dimaksudkannya itu adalahseorang tua yang menjadi dukun keluarga.

“Saya tidak mau!” kata Anna dengan keras.“Tuh, tuh, guna-gunanya masih nempel,” kata Nyonya

Surya. Pak Surya langsung mendekati Anna.Disentuhnya dahi Anna, dengan maksud meraba-raba“setan” yang dianggapnya menyarangi Anna. Annamenepis tangan ayahnya.

“Wah, setannya bandel betul! Melawan!” kata PakSurya. Gila betul orangtua ini. Dia menangkapnya tanganAnna. Lalu dipegangnya kuat-kuat. Pikirannya dipenuhibayangan anaknya kena guna-guna. Sebelah tangannyamengusap dahi Anna. Anna memejamkan matanya. Iatak sanggup menahan kesedihan hati yang bercampurrasa marah yang sangat. Perlakuan orangtuanya sungguhketerlaluan.

Ia cuma bisa menangis. Terisak-isak.Pak Surya melepaskan sentuhannya. Ia membiarkan

Anna menangis. Malah ditontonnya anaknya yangsedang menangis.

***Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. Ia

mengebutkan kendaraannya supaya cepat sampai dikebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di

191

warung Tegal di belakang kantor polisi Komwil 74, salahsatu tempatnya biasa makan dengan teman-temannya.

Di depan gedung Sarinah ia terkesiap. Mobil ayahnyatampak di antara kendaraan yang lain. Ditancapnya gasmotornya untuk menyusul mobil itu.

Mobil itu memang mobil ayahnya. Pak Amir tampaksedang tertawa-tawa, menyetir mobilnya. Di sebelahnyaduduk seorang perempuan. Ia sama sekali tak mengirakalau anaknya sedang membuntuti di samping sebuahmobil lain di belakangnya.

“Badanku capek, pegel semua. Kau harus memijatiaku Marta,” kata pak Amir, sambil menyubit pahaperempuan bawaannya. Marta mengaduh, tapimembiarkan tangan Pak Amir tetap di atas pahanya.Bahkan ketika tangan itu menggerayang ke mana-manatetap dibiarkannya.

“Sabar ah, sabar… sebentar lagi aku tekuk semuatulang-tulang, Oom Amir, supaya hilang capeknya,” kataMarta.

“Wah, kalau tulang ditekuk-tekuk, tambah capekdong.”

“Iya, capek, tapi kan enak,” sambil tertawa cekikikan.Pas dia ketawa begitu, Ali Topan merendengi mobil

Pak Amir. Ali Topan memandang tajam ke arah ayahnya,Pak Amir kaget melihat Ali Topan. Setir mobilnya sampaiterlepas dan mobilnya sedikit ngepot. Marta ikut kagetkarena mobil itu hampir menghajar mobil lain.

Pak Amir mencoba tersenyum wajah ke anaknya, tapiAli Topan menampakkan wajah murka.

“Dari mana kau?” sapa Pak Amir, mencoba beramahtamah.

Ali Topan tak menjawab. Ia membuang pandangannya.Lalu memacu motornya ke depan. Pak Amir malah

192

melambatkan mobilnya.“Siapa sih, Oom?” tanya Marta.“Anak saya…,” kata Pak Amir.“Wah, ganteng ya. Bisa pinjem dong saya...,” kata

Marta.“Hus! Bapaknya saja, jangan anaknya…,” kata Pak

Amir. Ia melotot. Tapi tangannya menggerayangi pahaMarta kembali.

“Nanti dia mengadu ke ibunya. Bisa gawat nih, Oom,”kata Marta.

“Nggak, nggak. Dia nggak suka ngadu. Nanti kalaungadu saya tempelengi,” sahut Pak Amir.

Mereka sampai di bundaran Hotel Indonesia. Lampulalulintas hijau. Pak Amir terus membelokkan mobilnyake Hotel Indonesia.

Ali Topan mengebutkan motornya. Perutnya yanglapar tiba-tiba tak terasa lagi. Kelaparannya lenyap, kalaholeh kepahitan hatinya. Seringkali ia memergoki ayahnyamembawa perempuan, yang sekali lirik saja diketahuinyasebagai perempuan bawaan. Bahkan pernah dulu iabersama Bobby, Dudung dan Gevaert berlibur ke daerahPuncak, dan mengintip orang bercinta di sebuah villa.Yang diintipnya ayahnya sendiri.

Tak terasa ia sampai di bunderan Senayan. Matanyaperih kena angin dan debu malam. Diusapnya matanyadengan tangan kiri, lalu mengebut lagi ke jurusan CSW.

Wajah Anna Karenina terbayang tiba-tiba. Danrindunya pun datang bersama bayangan wajah gadisnya.Tiba-tiba pula hatinya berdetak. Serasa ada sesuatu yangtidak enak mengganjal perasaannya. Tiba-tiba ada suatutarikan perasaan yang kuat, keinginannya bertemudengan Anna. Ia ingin tahu apakah Anna dimarahi olehorangtuanya karena persoalan di sekolah sianghari tadi.

193

Tiba-tiba pikiran khasnya muncul, didorong oleh instinkaneh yang dimilikinya. Ali Topan memang punya instinktajam. Ia sering bergerak instinktif. Spontan.

Begitu instinknya memberi sinyal berupa perasaaningin ketemu Anna, Ali Topan langsung menurutikehendak itu. Ia menahan rasa laparnya. Motornyalangsung ditujukan ke arah rumah Anna. Dia ingin datangke rumah gadisnya.

***Anna Karenina masih duduk diam di kursinya. Ia masih

tetap dibanjiri nasehat dan petuah oleh ayah dan ibunya.Sudah bosan dia mendengar petuah dan nasehat yang

diobral, yang itu ke itu melulu.Tapi untuk beranjak pergi, ia masih ngeri. Ia belum

pernah memberontak secara total. Pemberontakannyaselama ini cuma terbatas pada memaki Boy, ataumembantah omongan orangtuanya secara kecil-kecilan,dan akhirnya menangis.

Keluarga Anna Karenina memang termasuk keluargayang sedikit sableng. Istilah ilmiahnya, ayah dan ibuAnna, kehilangan rasionalisme dalam mendidik anak-anak mereka. Emosi lebih berbicara. Subyektif sekali.Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak kecil melihatboneka-boneka.

Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalanhidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata-mata datang dari pihak orangtua. Kebebasanberpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukaidan tidak disukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalamhati. Tak pernah diberi kesempatan. Mereka lupa, betapamasyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitucepat. Kaum muda makin menuntut kebebasan, danmemperoleh hal itu dari masyarakat, sedangkan kaum

194

tua yang koppig menjadi dungu dan tolol, membunuhwibawanya sendiri, karena memusuhi hak kebebasananak-anak mereka.

Perang nilai, pembaharuan dan kekolotan yang penuhbasa basi dan kemunafikan, melahirkan banyakkepahitan. Di antara kepahitan itu makin banyaknyajumlah ‘unwanted child,’ bayi-bayi yang dicetak dalamkepanikan. Motif cinta ataukah nafsu, begitu kabur. Dantidak menjadi peduli.

Ika Jelita, kakak perempuan Anna Karenina, termasukdalam kasus itu. Ia memang jelita bagai porselen. Sialnya,ayah dan ibunya menganggap Ika seperti barang antik,bukan sebagai manusia. Rumah merupakam semacammuseum. Ika seperti patung kuno yang ditaruh di dalamlemari kaca. Hanya bisa dilihat, boleh ditaksir, tapi takboleh menaksir orang yang disukainya. Sampai padawaktunya ia pantas pacaran, pacarpun dipilihkan olehorangtuanya. Ada anak jendral pensiunan, ada anakdokter jiwa, ada anak pedagang kaya, dan ada keturunanbangsawan Yogya.

Bukan tak ganteng, bukan tak punya cinta, tapi Ikasudah punya pacar. Namanya Muhammad Iqbal, anakBetawi asli. Ia anak yang soleh dan cukup terpelajar.Miskinpun tidak, karena orangtuanya punya sawah dankebun buah-buahan. Tabiatnya baik. Orangnya rendahhati. Yang utama, Ika mencintainya, dan iapun mencintaiIka dengan sepenuh hati. Tapi, Tuan dan Nyonya Suryatidak setuju Ika pacaran dengan Muhammad Iqbal. Iqbalkampungan, kata mereka. Dan segerobak kejelekanlainnya yang diada-adakan.

Ika dan Iqbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet.Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat.Mereka lupa, makin ketat aturan, makin deras larangan,

195

makin hebat cinta berjuang mencari jalannya.Sampai pada batas cinta tak bisa kompromi dengan

peraturan rumah, Ika-pun hamil oleh Iqbal. Atas dasarcinta sama cinta, suka sama suka. Dan, orangtua akhirnyatak punya kesaktian lagi, kecuali mengusir Ika denganbekal caci-maki. Begitu ceritanya.

Kini Anna mengalami nasib sama walau tak serupa.Orangtuanya masih belum kapok. Mereka tak maumenimba pelajaran dari pengalaman mereka sendiri. Jiwaanaknya tak diselami, kemauannya tidak ditimbang-timbang. ’Pokoknya, prek deh buat Ali Topan,’ demikiankeputusan mereka.

Mereka tak menyadari, orangtua pun bisa kuwalatkalau mengkorup hak asasi anaknya. Mereka lupa bahwamereka bukan Sang Maha Kuasa. Padahal Tuhan telahmenanamkan benih cinta di setiap hati umat-Nya. Danbenih itu punya bunga-bunga. Bunga bunga cinta punyakeindahan masing-masing. Dan, tak bisa ditahan mekardan wanginya. Kalau menahan mekarnya bunga, kalaumembekap wanginya, itulah melawan takdir.

Rupanya, pikiran Tuan dan Nyonya Surya tidak sampaike situ. Jadinya, mereka takabur. Menganggap entengcinta muda-mudi. Kalau diterus-teruskan, mereka meng-anggap enteng Tuhan anak-anak itu. Mereka pikir,barangkali, Tuhan anak-anak muda berbeda denganTuhan mereka.

Anna, Ia gadis yang sedikit nyentrik. Kemauannyalebih keras dari Ika, kakaknya. Bedanya dengan Ika,Anna lebih ekstrovert, terbuka. Ia masih punya setitikharapan, orang tuanya membolehkan ia bergaul denganAli Topan. Tapi ia kecewa, karena Ali Topan sudahdistempel sebagai pemuda begajulan.

Yang mencemaskan Anna, adalah manusia bernama

196

Boy. Sebagai gadis, Anna punya perasaan, Boy menak-sirnya. Taksiran itu habis-habisan. Boy pandai menyem-bunyikan minatnya dari pandangan orangtua Anna. Tapinafsu yang terpancar dari dua matanya, tak lolos daripandangan Anna. Anna ngeri betul pada Boy. Matanyaseperti mata tukang perkosa di film-film. Buas dan laparbetul!

Selama ini Anna cuma bisa memendam kengeriannya.Lagi pula ia tidak bisa sembarangan omong, khawatirkalau Boy menjadi-jadi, jika tahu Anna membaca jalanpikirannya yang mesum. Anna khawatir Boy jadi ge-eralias gede rasa.

Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kese-jukan di dalam hati. Tapi orang tuanya menganggapjustru sebagai badai yang memporak-porandakansegalanya. Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Annakesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambilkeputusan untuk memberontak, merebut haknya, sepertiIka.

***Ketukan di pintu membuat semua orang menoleh. Dan

semua orang itu terkejut ketika tahu siapa tamu mereka.Ali Topan!

Sejenak mereka terpana. Tuan Surya mengernyitkandahi, Nyonya Surya menunjukkan aksi bengong, Boymeringis, dan Anna berhenti menangis!

Ali Topan berdiri tegak. Ia menanti persilaan dari siempunya rumah. Ternyata persilaan itu tak kunjungdatang. Yang datang justru kejutan lain.

“Usir anak gila itu, Boy!” seru Tuan Surya.Tersirap darah Anna mendengarnya. Ia mengangkat

kepalanya, melihat ke arah Boy yang berjalan ke pintu.Anna jadi nekat. Dengan sebat ia bergerak, berlari ke

197

pintu.“Anna! Kembali!” ayahnya berteriak. Tapi Anna tetap

berlari, membuka pintu.“Topaaan…,” bisik Anna, tangannya menyentuh

lengan Ali Topan. Ali Topan tersenyum. Mereka salingmenggenggam tangan, tak menggubris Boy yangmeringis di dekat mereka.

Genggaman itu lepas ketika Tuan Surya datang danmenggeprak tangan mereka! Anna Karenina ditariknyake dalam, lalu ia berdiri murka di depan Ali Topan.

“Jahanam! Pergiiii!” hardiknya.Ali Topan menganggukkan kepalanya dengan sopan

namun gagah. Kemudian ia memutar badannya, danberjalan dari hadapan orangtua yang murka itu.

Diiringi isak tangis Anna Karenina, ia menyemplakmotornya, lantas pergi dari rumah itu.

Hatinya puas bisa bertemu dengan Karenina.

***

198

LIMA BELAS

Munir, pemilik kios koran dan majalah di sampingtoko sepatu Bata Blok M, sedang repot membe-nahi dagangannya ketika Ali Topan datang. Ali

Topan langsung menyomot Kompas.“Nir, ada berita rumah digusur atau tukang becak

ditangkepin?” kata Ali Topan.“Di Kompas ada, tapi yang lebih seru di Ibu Kota, gong.

Nenek-nenek diperkosa kira-kira juga ada di situ,” kataMunir. Ia memberikan Ibu Kota pada Ali Topan.

“Makasih!” sahut Ali Topan, kemudian ia duduk dibangku milik Munir.

Ia membaca.Munir meneruskan kerjanya, mengatur koran-koran

dan majalah.Seorang petugas keamanan Blok M datang ke kios itu

dan berdiri di dekat Munir. Ia menyomot beberapamajalah.

“Minjam dulu ah, buat bacaan di kantor,” katanya.Munir tak menjawab. Mulutnya separuh ternganga. Ali

Topan melirik ke arah petugas keamanan itu. Kebetulansi petugas memandangnya.

“Ada apa liat-liat?” kata si petugas.Ali Topan kaget. Dalam hatinya ia berkata, galak amat

petugas itu.“Situ kenapa liat-liat saya?” kata Ali Topan.Si petugas melengak. Ia melotot.“Mau saya gampar kamu?” katanya.“Lho, ada kasus apa?” kata Ali Topan sembari mema-

199

jang senyuman bertendens. Si petugas tak menjawab.Tapi matanya makin melotot.

“Jangan melotot begitu dong, nanti saya takut,” kataAli Topan. Munir dan beberapa penjual mainan anak-anak tersenyum mendengar omongan Ali Topan. Merekasenang melihat petugas keamanan yang sok itudipermainkan oleh Ali Topan.

”Mau gua gampar? Banyak bacot kau!” kata si petugas.Ia bergerak mendekati Ali Topan, tangannya diangkatuntuk menggampar Ali Topan. Langsung saja Ali Topanberdiri.

“Kalau mau dipecat sama bapak saya, coba gampar!”kata Ali Topan. Ia berkacak pinggang. Gagah sekali.

Petugas keamanan keder juga melihat gaya Ali Topan,lagi pula ia berpikir siapa gerangan bapak si anak mudaini.

“Bapak kamu siapa?” tanyanya, melembut.“Bapak saya orang!”Munir dan teman-temannya tertawa. Petugas

keamanan melihat ke arah mereka. Wajahnya merahpadam menahan amarah. Tapi ia tak berani bertindaksembarangan.

“Bapak kamu jendral ya?” tanya si petugas,meyakinkan dirinya sendiri.

“Punya KTP apa enggak, berani berani nanya bapaksaya? Nanti saya sebut nama bapak saya, situ kaget lagi.Udah pergi sana saya tak ada tempo melayani situ,” kataAli Topan. Lantas ia duduk kembali, dan melanjutkanbacaannya. Petugas keamanan ragu sejenak, tapi kemu-dian ia memutuskan untuk menuruti perasaan kedernya.Sambil menyandang perasaan malu, ia ngeloyor pergi.

“Gila lu, Pan! Untung dia ngeri, kalau dia kalap kanrepot lu,” kata Munir.

200

“Waah, boss kita ini hebat ‘kali. Gertakannya mantap‘kali. Hebaaat,” kata seorang penjual mainan.

Ali Topan cuma tersenyum.“Gertakan begitu ada elmunya tuh, bukan sembarang

gertakan,” kata Ali Topan sembari tersenyum lebar.“Elmu apa, Boss?” kata penjual mainan anak-anak.“Wah, itu nggak boleh sembarangan dikasih tahu,” kata

Ali Topan. Ia menaruh Kompas dan Ibu Kota, lalungeloyor pergi.

“Makasih, Nir,” katanya.“Sama sama,” kata Munir.Ali Topan berhenti sebentar di toko Bata, melihat lihat.

Lalu berjalan lagi ke arah Pasar Melawai bagianbelakang.

Melewati lorong-lorong kecil bagian toko-toko tekstil,ia bersiul-siul lagu sembarangan. Sapaan halo dari parapegawai toko-toko tekstil dijawabnya dengan halo juga.

Di ujung lorong ada seorang gadis memanggilnamanya.

“Hai, Maya, ngapain?” sahut Ali Topan sambilmenghampiri Maya yang tersenyum manis.

“Disuruh mama beli kain kelambu,” kata Maya.“Lho, kok masih pakai kelambu? Kan ada Raid?”“Mama alergi kalau bau obat-obatan semprot, jadi

pakai kelambu. Kamu dari mana? Kangen deh,” kataMaya.

“Kalau kangen, beliin rokok dong,” kata Ali Topan.Penjual tekstil yang mendengar omongan itu, kertawa

he he he. Maya yang sudah hafal kebiasaan Ali Topanmengangguk pertanda paham.

“Tunggu sebentar ya, saya selesaikan transaksi dulu,”kata Maya. Ia pun membayar harga kain kelambu yangtelah dibelinya.

201

Tak lama kemudian, kedua teman itu berjalan menujukios rokok yang terletak di samping bioskop Kebayoran.Maya membelikan sebungkus Dji Sam Soe dan Ali Topanmenyatakan terima kasih sepenuh hatinya.

“Ke mana kita? Ada cerita apa di sekolah? Bagaimanakabar cewek gua? Apakah Ibu Dewi sudah meninggaldunia? Dan Pak Brotpang apa sehat sehat atau masihpilek?” pertanyaan Ali Topan beruntun menyambarkuping Maya.

Maya tertawa renyai. Ia senang betul pada Ali Topan.Segalanya deh. Stel habis senangnya pada Ali Topan.Memang, Maya diam-diam memendam perasaan naksirpada temannya yang keren dan badung itu. Tapi taksir-annya cuma mampu dipendam di dasar laut nuraninya,sebab ia maklum bahwa Ali Topan tak ada minat padanyadalam soal cinta menyinta.

Cukup kasihan sebenarnya kalau ada gadis sedikitmanis seperti Maya, yang punya cita-cita memelukgunung padahal menyusuri bukitnya pun sudah ngeridia, ngeri kalau ditolak. Dan, tidak mengherankan tidakpula disesalkan kalau Maya memendam sedikit birahipada anak manusia yang kerennya stel habis model AliTopan, sebab, bidadaripun, umpama katanya, jikamelihat cucu Adam yang tampangnya orisinil seperti AliTopan, runtuhlah imannya dan bisa kejadian ia mintapensiun sebagai bidadari.

Maya bercerita perihal Anna Karenina yang setiap harinampak sendu dan merana, perihal ulangan ulangan yangmembadai menjelang ujian, perihal Ibu Dewi yang makinmerajalela dan perihal macam macam yang bisadiceritakan.

“Wah, kasihan kekasih hati pujaan jantung gua, May,”kata Ali Topan, “hatinya tersiksa menanggung derita.

202

Tapi tolong bilang sama dia, May, jangan kuatir tentangnasib gua, gua cukup makan, cukup minum dan istirahatnyenyak.”

“Anna kuatir kalau kamu nggak lulus ujian nanti. SiMeinar malah bilang sama Anna, kalau perlu dia maulapor papanya, supaya urusan skorsing kamu ditinjaukembali. Kan papa si Meinar jendral di Hankam. Tapicewek kamu nggak mau,” kata Maya.

“Wah, betul itu, jangan bawa bawa Hankam deh buatsoal sepele kayak gini, entar diketawain marmut kan repotkita? Jangan deh, jangan mengundang kekuatan luar.Tapi bilang sama Meinar, gua mengucapkan terima kasihatas i’tikad baiknya,” kata Ali Topan. Terharuperasaannya mendengar rencana Meinar, temansekelasnya yang cukup dahsyat itu.

“Terus kamu nggak belajar? Nanti gimana dong kalaunggak lulus, mengulang lagi setahun?”

“Soal belajar kan nggak cuma di sekolahan, Maya.Apalagi sekolahan brengsek begitu, keseringan sekolahbisa miring otak kita. Pokoknya, kalau gua nggak lulusujian nanti, lu boleh sunat gua lagi.”

“Ih! Geli!”Ali Topan ketawa.Maya menutup mulutnya dengan tas sekolahnya,

menahan tawa pula. Rasanya, kata-kata paling jorok punyang keluar dari mulut Ali Topan, indah kedengaran dikupingnya.

Mereka sudah sampai di pelataran Pasar Melawai. Didekat tempat parkir motor, Ali Topan melihat petugaskeamanan yang galak, melihat ke arahnya. Sinar mataorang itu tampak mencorong, mengandung amarah. Disebelahnya ada seorang temannya lagi yang juga menga-wasi Ali Topan. Bekesiur hati Ali Topan, merasakan gela-

203

gat yang kurang cocok dengan seleranya saat itu. AdaMaya, tak enak bikin setori. Tapi Ali Topan bukan AliTopan namanya, kalau di saat gawat tidak menemukanakal kancil. Sekira tiga langkah sampai di depan petugaskeamanan itu, ia memandang Maya dengan serius. Laluia berkata dengan nada keras.

“Papa si Meinar pangkatnya Mayor Jendral apa LetnanJendral, May? Rasanya udah naek pangkat dong dia.Masa dari dulu cuma Mayor Jendral terus? Kan kariernyadi Hankam hebat tuh!”

Maya memandang Ali Topan dengan perasaan heran.Yang lebih heran, sampai mundur selangkah, adalah duapetugas keamanan. Mendengar Ali Topan menyebutjendral, ngerilah hati mereka. Lantas beliau-beliau itupura-pura membuang muka ke atap Pasar Melawai.

Ali Topan berjalan dengan gaya koboy, mengambilmotornya. Dihidupkannya motor, dan sengaja dimain-kannya gas motornya sekeras-kerasnya, hingga Mayamenutup kuping dan berteriak-teriak. Ia baru berhentiberteriak setelah Ali Topan menormalkan gas motornya.

“Kalau mau ngebut saya nggak mau diantar pulang,mendingan jalan kaki,” kata Maya, mengajuk.

“Sorry boy.”“Boy lagi, emangnya gua cowok.”He he he he he he he. Ha ha ha ha ha ha.. Hu hu h u hu hu

hu hu. Ho ho hi hu ho ho hi hu. Ali Topan kumat urak-annya. Sepanjang jalan ke rumah Maya ia tertawa renyaibak kicauan burung kukuk beluk. Jalan motor dilambat-kannya hingga Maya senanglah hatinya. Berbunga betulhati Maya bisa memeluk pinggang Ali Topan. Rasanya,matipun tidak penasaran.

Ketika motor sampai di rumah Maya, buyarlahlamunan indah gadis itu. Pelukan tangannya di pinggang

204

Ali Topan merosot otomatis. Wajahnya rada tersipu-sipubak wajah perawan dicolek penyamun.

“Mampir dulu?” kata Maya.“Makasih deh. Lain kali saja. Oom masih ada urusan

laen,” kata Ali Topan. Sembari melepas senyumbertendens, ia memacu sepeda motornya. Ia bermaksudmenjenguk sahabatnya, Bobby, mau nanya soal-soalulangan dan catatan-catan pelajaran sahabat itu.

***Bobby sedang mendengarkan kaset Dino, Dessy and

Billy, ketika Ali Topan nongol di kamarnya.“Hello friend, apakah revolusi sudah selesai?” tegur

Ali Topan sembari menyelipkan sebatang Dji Sam Soe dibibirnya.

“Hai, revolusi mendingin karena Che Guevara sedangdiskors oleh Fidel Castro,” sahut Bobby.

“Bagaimana dengan konsep-konsep penanamanmodal, Aljabar dan Kimia Organik dalam rangkapembangunan ujian kita?”

“Ada tuh di tas gua. Lengkap dengan data-data komisibuat pejabat yang berwenang memutuskan.”

Ali Topan melemparkan sebatang Dji Sam Soe ke arahBobby yang tetap duduk relaks di tempat tidurnya.

“Apakah LNG-nya bisa dirojer?”Ali Topan melemparkan korek api cap orang keling

mikul kendi. Bobby menyulut rokoknya dengan gayateknokrat. Gaya tinggi.

Ali Topan mengambil tas Bobby dari rak buku, lalumemberikan tas itu pada pemiliknya. Ia tidak mau meng-ambil sendiri buku catatan Aljabar dan Kimia di situ.Bobby mengambilkan buku-buku dan catatannya.

“Lu apa-apa minta dilayani. Kapan berentinyakelakuan begitu, friend,” kata Bobby.

205

“Itulah yang dinamakan tatakrama, friend. John Lenonmenyebutnya etiket. Yang udah-udah, gua baca di bukuCan’t Buy Me Love sih begitu. Kalau gelas ada tatak-annya, kalau manusia ada tatakramanya, begitu friend.”

“Buku apa? Can’t Buy Me Love? Nggak salah tuh,yang gua baca sih buku Blowin’ In the Wind,” kata Bobby,senyum dia.

“Yeaaah, sama juga. Tapi yang lebih klasik mah dibuku Pileuleuyan yang diedit oleh Nyi Upit Sarirosa,”sahut Ali Topan, disambungnya dengan heh he heh heh.Bobby pun ber-heh heh heh heh pula.

Ali Topan mencatat apa yang perlu dicatatnya.Ringkas. Sempurna. Bobby sudah hafal kejeniusan AliTopan dalam urusan pelajaran. Dia sudah bosan herandan bertanya-tanya, bagaimana caranya otak Ali Topanbekerja. Ia yang punya catatan rapi, belajar cukup getol,tapi jarang dapat angka tujuh pada setiap ulangan Aljabaratau Kimia. Sedangkan Ali Topan yang rasanya kesekolah cuma iseng, dan hidupnya semi acak-acakan,ulangannya paling apes dapat 8. Kalau nggak sungkansama Pak Guru, dia selalu dapat 9 atau 10. Brilian-lah,begitu kalau orang Barat bilang.

“Jadi skorsing gua berakhir pas dua hari menjelangminggu tenang, Bob? Lama juga gua cuti nih,” kata AliTopan, seusai merapikan catatannya.

“Nggak juga. Gua denger sih, Pak Borot mau meninjaukeputusan itu. Dia tiap hari negosiasi sama Bu Dewi. Guarasa sih skorsing lu dipersingkat. Paling-paling lu disuruhminta maaf secara tertulis di atas plat segel.”

“Minta maap? Lu kira lebaran pake acara minta maap.Emoh aku!”

“Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?”kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi,

206

gaya teknokrat sama Ali Topan.“Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini.

Yang kucita-citakan adalah menjadi suami yang baik bagiistriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakkukelak, kalau Tuhan mengizinkan lho,” sahut Ali Topandengan irama tukang pantun.

“Seandainya Tuhan tidak memberi izin kepadamu,apakah yang kau cari Ali Topan?” tanya Bobby, menahantawa.

“Seandainya ada acara begitu ya tidak apa-apa, sebabTuhan itu Maha Bijaksana.”

“Bijaksana apa bijaksini.”“Eh lu jangan kurang ajar, Bob! Dosa ngoceh semba-

rangan becandain Tuhan. Lu kire Tuhan itu statusnyekayak Oom lu? Baek-baek lu ngoceh. Ntar bisu nggaketauan sebabnye lu,” kata Ali Topan. Serius die.

Bobby senyum-senyum kecil. Tapi hatinya memangtakut. Dia merasa keterlaluan dalam soal Tuhan. Untukmenetralisir suasana, dia membesarkan volume musikDino, Dessy and Billy-nya.

“Ngomong punya ngomong, gimana kabar Dudungsama Gevaert? Apa semuanya baek?”

“Baek, cuman rada kurang ajar.”“Di pasal berape kurang ajarnye?”“Di pasal perkosaan. Masak sih, Dudung and Gevaert

berani-beranian naksir perempuan. Si Dudung naksir siMeiske anak Gang Kembang, Si Gevaert naksir Farahanak Jalan Tumaritis. Berbarengan lagi cintanya, kanrepot?”

“Kapan peristiwanye? Dan gimana silsilahnye si Farahsama si Meiske itu? Anak orang baek-baek apa anakseniman? Anak ABRI atawa anak pegawe negri? Dimana lahirnye, di mana bahenolnye? Pegimane guratan

207

nasibnya, ngajak kaya apa ngajak miskin? Itu semuamusti diitung dulu, Bob.”

“Nah, itu die, Boss. Gua kan repot. Tiap istirahat udahpade bedua-duaan, kayak pejabat sama bintang pilemgitu. Rasenye, pengen gua goreng aje itu anak dua.Bandel sih, dapet perempuan nggak bagi-bagi.”

“Ooh begituuu? Coba deh nanti Oom tanya mereka,kenapa tidak membagi perempuan padamu, Bobiiih.”

“Eh, jangan manggil Bobih begitu dong, kayakpanggilan orang Gunung Kembung...”

Kedua sobat itu tertawa bersama-sama. Renyah.Sesudah capek ketawa dan bosen ngobrol, Ali Topanpermisi pulang.

“Nanti malem ke rumah Gevaert, Bob. Kongko-kongko.”

“Jangan kebanyakan kongko, ujian sudah di depancongor kita, Pan. Ntar ngga lulus gua bisa ngga diakuanak oleh babe gua.”

“Oh ya?”***

Malam harinya mereka berkumpul. Ceritanya belajarbareng, tapi toh acara saling ‘ngeledek’ tetap berjalan.Tiga nama perempuan: Anna Karenina, Farah danMeiske merupakan topik yang menyenangkan Bobby. Iamenyatakan bahwa perempuan itu cenderung merusakkarier, mengganggu pelajaran. Ia mengatakan, sebelumjadi sarjana, sebaiknya orang lelaki jangan pacaran samaperempuan. Bahaya, katanya.

“Tergantung perempuannya, kalau hatinya memangbusuk, ya merusak, kalau hatinya baik ya bikin baik,Bob. Kalau si Farah mah, rasanya berhati emas,” kataGevaert.

“Berapa karat?”

208

“Dua puluh lima karat!”“Wah. Monas kalah dong?”“Jangan sentimen lu. Belon kena sentuh perempuan lu

ya? Sekali kena panah asmara, mabok dah lu.”“Oh ya?”“Iya.”“Yah, mudah-mudahan deh gua kuat iman. Rasanya

sih, tipe ideal gua belum lahir ke dunia. Kalau perempuanbiasa saja sih, sorry deh, geli gua. Paling dikit sih selevelsama Putri Caroline dari Monaco.”

“Lu ngomong gitu waras apa lagi sakit?” kata AliTopan.

“Waras. Kenapa? Gua kan gini-gini masih ada tetesandarah biru. Bangsawan Yogya, mack. Asal paham saja.”

“Oo darah nenek moyang lu kecampuran tinta dong?Lu jual ke pabrik Parker bisa laku tuh.”

Sampai disitu ledek-meledek selesai. Ali Topan tahu,kalau diteruskan, Bobby bisa kalap. Omongandibelokkan ke buku-buku pelajaran. Demikian sampaijauh malam.

***

209

ENAM BELAS

Enam belas hari sebelum ujian, skorsing Ali Topandicabut. Pak Broto Panggabean berhasil melem-butkan hati Ibu Dewi, sehingga Ali Topan tak perlu

minta maaf di atas kertas bersegel. Soalnya Pak Brotopernah memanggil Ali Topan, Ali Topan berkeras lebihbaik tidak usah ikut ujian daripada disuruh minta maaf.Pak Broto yang bijaksana memahami kekerasan jiwamuridnya. Lantas segalanya bisa diselesaikan dengancaranya yang bijak.

Kepada Ibu Dewi ia memberi jaminan pribadi danmengatakan bahwa Ali Topan menyatakan penyesalan,secara lisan serta berjanji tidak berbuat ulah liar lagi.Kepada Ali Topan ia berkata bahwa Ibu Dewi jugamenyatakan penyesalan telah membesar-besarkanpersoalan. Begitu cara Pak Broto Panggabean.

Sampai hari ujian sekolah tiba, teman-teman sekelasmelihat bahwa hubungan Ali Topan dan Anna Kareninamendingin. Mereka mengira peristiwa yang lalu menjadisebab gawatnya hubungan itu. Ali Topan jarang bicaradengan Anna. Dan, Anna pun mengambil sikap yangsama. Sebetulnya tidak begitu. Itu cuma taktik merekasaja. Ali Topan telah memberi surat pada Anna. Isinyasingkat.

Anna sayang. Sampai ujian selesai, kita bikin situasimendingin dulu deh. Kamu belajar baik-baik, sayapundemikian. Kamu berkonsentrasi untuk lulus, sayapundemikian pula. Sesudah ujian selesai, kita bikin

210

keindahan yang lebih dari masa lalu. Pokoknya, begitudeh. Kita bersandiwara sedikit, biar nggak jadi bahangosip.

Okey sayang?Harus okey dong.Cintamu selalu,Ali Topan.

Demikian bunyi surat yang disampaikan langsung olehAli melalui kantor pos. Surat itu dialamatkan ke rumahAnna, dengan nama pengirim Siti Sundari.

Maka ujianpun berlangsung seperti yang direncanakanoleh pemerentah. Tenang, lancar dan beres.

Para murid menjalani ujian dengan perasaan sepertibapak dan ibu mereka. Ada yang gelisah, ada yang grogi,ada yang deg deg gung, ada yang tenang dan ada pulayang menggerung-gerung karena merasa goblog. Tapitak ada yang bunuh diri.

Ali Topan merasa mantap. Anna Karenina pundemikian pula. Bobby sedikit grogi. Dudung pas-pas-an.Gevaert stel yakin.

“Kita telah bekerja maksimal, kalau nggak ada sabotaserasanya kita boleh mendaftar ke UI. Coba Dung, besoktanya ke UI apa pendaftaran mahasiswa baru sudahdibuka untuk umum,” kata Ali Topan ketika hari terakhirujian telah mereka lewati.

“Bagian naon?” tanya Dudung.“Bagian yang bisa demonstrasi!” sahut Ali Topan, lalu

ketawa yang disambut oleh ketiga temannya dengan nadayang berlainan.

Hari libur melahirkan peristiwa yang aneh bagi 4sekawan itu. Gevaert diusir oleh orangtua Farah ketika iaberkunjung ke rumah perempuan yang ditaksirnya itu.

211

Soalnya sederhana. Pada suatu malam ia kepergokmencipok pipi Farah di teras rumah pas bapak si Farahmelongok dari celah pintu. Sejak peristiwa naas itu,Gevaert patah arang.

“Nyipoknya cuma sedikit, tapi malunya itu nggakketulungan, mack,” kata Gevaert kepada Dudung. Ia takberani mengadukan ikhwalnya ke Ali Topan, takuttemannya itu mendatangi rumah Farah dan melabrakbapak si Farah. Dia mengadu pada Dudung, sebab merasasenasib.

Dudung sendiri mengalami malam apes juga. Rupanya,Meiske itu punya pacar seabreg-abreg. Ketika Dudungmengunjunginya pertama kali pada suatu malamMinggu, di rumah Meiske berderet tiga buah mobil. Fiat125 dan Mercedes 200 milik anak-anak geng Ngos-ngosan, sedangkan Toyota Hardtop milik anak gengRemember Me. Di depan hidung Dudung, yang datangpakai motor saja, Meiske dicium oleh Troy, anak gangRemember Me. Nyiumnya sih nyerobot, hingga Dudungdan anak-anak geng Ngos-ngosan yang melihat jadimerinding. Tapi berhubung Meiske cengar-cengir saja,urusan tidak bisa ditarik panjang.

“Harga diri gua rasanya kebanting banget, Vaert. Soaltampang sih, berani diadu gua, tapi soal materi nyerahdeh,” kata Dudung bersungut-sungut, “gua pikir siMeiske nggak materialis, eh ternyata gila harta juga,”tambahnya.

“Menang di tampang kalah di bensin, gitu Dung? Lujajal lain kali, bawa bensin dua drum,” kata Gevaert.

“Buat apa?”“Buat bakar rumah si Meiske!”Dudung menyeringai.“Nasib kita kayak cerita di komik saja, kebagian

212

apesnya melulu. Gua mau nekat kayak si Topan, belumsanggup rasanya. Gila, babe si Farah punya pestol. Kalaugua ditembak bisa celaka. Iya kalau kena jantunglangsung meninggal, kalau kena mata kaki kan nyeribetul, Dung,” kata Gevaert.

“Kabar dia sama Anna gimana ya? Ada perkembanganbaru apa kagak ya? Perlu juga kita tanya boss kita. Jangankita melulu yang kebagian apes, dia juga mesti ngerasaindong,” kata Dudung.

Ketika mereka menemui Ali Topan di rumahnya, wajahpemimpin mereka tampak memuaskan. Ali Topan baruselesai membaca surat dari Anna, pakai tanda romantis.Surat itu ditandai dengan tanda gambar gincu daribibirnya.

“Waduh, sudah sampai taraf hot,” kata Gevaert ketikaAli Topan memperlihatkan tanda gambar bibir itu.

“Udah ditentukan apa belon?” tanya Dudung.“Apanya?”“Kawinnya!”“Gua bagian nerima kadonya aja, Pan. Kali-kali aja

ada arloji yang nyelip,” kata Gevaert menggoda.“Gua bagian nyari orkesnya. Bakal ngibing,” kata

Dudung.Ali Topan berhaha-hihi mendengar olok-olok kedua

temannya itu.“Cita-cita sih setinggi bintang, sayang bintangnya ngga

selamanya bersinar terang, mack. Rasanya sih gua bakalbackstreet. Gua sendiri sih nggak doyan backstreet-backstreet-an, tapi Anna nekat aja,” kata Ali Topan.

“Rasanya semua orang pacaran di dunia ini pakai acarabackstreet. Orang dulu backstreet-nya lebih serem, itukata papa gua, Pan,” kata Gevaert.

“Iya, tapi mereka kan nggak fair. Rasanya gua belum

213

pernah dengar ada orang tua ngaku backstreet pada jamanmereka pacaran dulu. Memang begitu, seperti kata orangbijaksana, manusia sering lupa dengan kelakuannyasendiri. Ibarat King Kong di depan kacamata nggakeliatan tapi Cucu Monyet di seberang hutan keliatansampai ke biji-bijinya! Aih, sudahlah, ngomong soalorangtua bikin capek kita aja, Vaert. Pokoknya kita bikinsejarah sendiri sajalah,” kata Ali Topan dengan gagah.Kalau dia sudah bicara yang agak berbau filsafat, teman-temannya mengiyakan saja. Kagum.

“Jadi, gimana sambungan percintrongan lu samaAnna?” tanya Gevaert lagi.

“Ali T opan berusaha, Tuhan menentukan,” jawab AliTopan, “kalian bantu doa saja,” sambungnya.

“Ada komisinya dong?”“Ada! Ada! Tinggal pilih saja, mau kepalan tangan

kanan atau tangan kiri. Tangan kanan masuk kuburan,tangan kiri nyangkut di rumah sakit,” sahut Ali Topansambil tersenyum khas.

Dudung meleletkan lidahnya. Gevaert menggaruk-garuk kulit kepalanya. Mereka memandang Ali Topanyang sangat mereka kagumi kegagahannya.

“Tunggu kabar lebih lanjut deh, kalian. Gua mau bikinkejutan cinta dalam beberapa hari ini,” kata Ali Topan. Iamengerjapkan mata ke arah Dudung dan Gevaert, laluberjalan pergi meninggalkan mereka.

***Tidak sulit bagi Ali Topan melaksanakan niatnya untuk

berhubungan dengan Anna, walaupun telepon di rumahAnna disensor. Ia pergi ke rumah Maya dan minta tolonggadis itu menilponkan Anna. Begitu hubungan sudahdidapat, Maya memberikan kesempatan kepada AliTopan.

214

Nyonya Surya yang menerima tilpon dan menyampai-kan pada Anna, tidak pernah mengira bahwa yangkemudian mengobrol di pesawat telepon itu Ali Topanyang sangat dibencinya. Ia tidak tahu, pembicaraan ditilpon itu adalah pembicaraan yang gawat. Ali Topan danAnna merencanakan pertemuan rahasia.

***

215

TUJUH BELAS

Dua hari kemudian di Taman Ria Senayan. Mataharibergerak pelahan, sinarnya menghangati pagi. AliTopan dan Anna Karenina berjalan bergandengan

tangan dari pintu masuk menuju pohon flamboyan yangtegak di tepi danau Angsa Hitam. Disebut Danau AngsaHitam sebab danau itu tempat memelihara angsa-angsahitan yang didatangkan dari luar negeri.

Bunga-bunga flamboyan melayang ditiup angin,menari-nari bagaikan balerina, jatuh ke permukaandanau, sopan tampaknya.

“Pagi yang indah sekali,” gumam Ali Topan sambilmemandang wajah Anna Karenina, “seindah lagu KoesBersaudara,” sambungnya. Kemudian, sambilmelangkah pelahan, Ali Topan menyenandungkan laguPagi yang Indah Sekali ciptaan Tonny Koeswoyo. AnnaKarenina mendengarkan dengan seksama senandung AliTopan:

Pagi yang indah sekaliMembawa hati bernyanyiWalau gadisku ‘tlah pergiDan tak kan mungkin kembali …………

Anna Karenina tercekam mendengarkan syair laguyang dinyanyikan Ali Topan. Ia berhenti melangkah.Matanya sayu mengawasi Ali Topan.

“Gadismu t’lah pergi? Siapa yang pergi? Kenapa diapergi, Topan?” tanya Anna Karenina dengan lemah

216

lembut.Ali Topan memandang Anna. Ia tersenyum, lalu meng-

gandeng Anna, berjalan lagi menuju rerumputan dibawah flamboyan. Ali Topan duduk, tapi Anna tetapberdiri.

“Ayo duduk, Anna...,” kata Ali Topan.“Kamu belum menjawab pertanyaanku.”“Soal nyanyian tadi?”Anna Karenina mengangguk.Ali Topan tertawa kecil.“Yang pergi itu gadisnya Tonny Koeswoyo, bukan

gadisnya Ali Topan. Perginyapun di dalam lagu. Ngerti,An?” kata Ali Topan, “ayo duduk dong. Jangan sampaipagi yang indah ini pecah oleh kesedihan yang aneh,”sambungnya.

“Kamu merasa sedih?” tanya Anna sambil duduk didepan Ali Topan.

Ali Topan tak menjawab. Ia memandang AnnaKarenina dengan seksama. Tampak olehnya sinar matagadis itu menyimpan kesedihan, walaupun bibirnyamengulum senyuman.

“Kamu merasakan kesedihan yang aneh?” tanya Annalagi. Ali Topan mengangguk. Ia memang merasakansesuatu, semacam kesedihan yang halus sekali, tidakkentara, tapi hadir dalam suasana yang indah.

“Kamu sih nyanyi lagu itu. Lagunya bagus, tapi sedihya?”

“Iya,” kata Ali Topan polos.“Seharusnya kita gembira bisa bertemu.”“Ya, seharusnya begitu. Nah, ayolah kita bergembira.

La la la la la la ...,” kata Ali Topan. Iapun bertralala, cukupkeras, sehingga sepasang angsa hitam yang sedangberenang berduaan di danau kecil menengok ke arahnya.

217

Ali Topan menunjuk ke arah angsa-angsa hitam, laluberkata terus:

“Lihat, lihatlah! Angsa angsa hitam memandang kita.Mungkin keduanya berbisik-bisik, bicara tentang kita,An. Tuh, tuh, tuh mereka tersenyum pada kita.”

“Mana ada angsa tersenyum?”“Pasti mereka tersenyum. Dan pasti mereka bisik bisik

tentang kita. Kamu tahu apa yang mereka bicarakan,An?”

“Tahu.”“Apa?”“Yang jantan bilang, he liat tuh Si Ali Topan sedang

merayu ceweknya.”Ali Topan tertawa tergelak gelak mendengar perkataan

Anna yang sungguh di luar dugaannya. Sukacita sekalihati Ali Topan. Demikian pula hal Anna Karenina.Pasangan remaja yang sedang diamuk cinta itu lantaslupa pada kesedihan yang baru saja mereka bicarakan.

“Kamu tau apa ngga, kenapa angsa itu bulunya hitam?”tanya Ali Topan.

“Nggak tauk!”“He, pikir dulu dong. Belum apa-apa udah bilang nggak

tauk!”“Kami juga mikir dong, kalau ngasih pertanyaan yang

bener. Angsa bulu hitamlah ditanya kenapa bulunyahitam. Kamu tanya aja sendiri ke angsanya, jangan tanyasaya,” kata Anna Karenina. “Kalau kamu bertanyakenapa saya cantik, mungkin saya bisa jawab,”sambungnya sembari mengulum senyuman bertendens.

Ali Topan melengak. Ternyata Anna pandai pula berse-loroh.

“Lho, kamu cantik toh? Saya baru tahu.” Kata AliTopan. Wajahnya distel bodo.

218

Anna kaget mendengar perkataan itu.“Menurut kamu, saya ini cantik apa tidak?”“Menurut saya sih biasa-biasa saja,” sahut Ali Topan.“Uh! Memerah lah wajah Anna mendengar perkataan

yang lugas itu. Mulutnya terbuka bahna bengongnya. Iamenjublag seperti patung. Matanya berkedap kedipseperti angsa hitam.

“Lho, mengapa? Apa saya salah omong?”Anna menggeleng.“Kamu marah?”Anna menggeleng lagi. Sinar matanya mendingin. Tadi

itu ia punya niat bermanja manja pada Ali Topan. Ia inginsekali dipuji cantik oleh Ali Topan. Ternyata jawabanyang ke luar bukan sebagaimana yang diinginkan.

Ali Topan segera meraba perasaan Anna. Sambilmemajang senyuman, iapun berkata lembut, “Janganmarah dong. Siapa yang tidak tahu kalau kamu cantik?Lihat! Bunga flamboyan, angsa hitam dan telaga sertaseisi taman ria ini, masih kalah cantik denganmu, Anna.Tadi itu, saya bilang kamu biasa-biasa saja, supaya jangankelewat mekar, tau?”

“Nggak!”“Nggak tau?”“Masa bodo!”“Siapa yang bodo?”“Kamu!”Ali Topan ketawa keras sekali. Anna tampak keki betul

oleh godaan-godaannya. Wajah Anna cemberut, omong-annya ketus, tapi sinar matanya makin lama makin berbi-nar. Ada keriaan di antara cahaya matanya.

Ali Topan menjentik ujung hidung Anna. Dan gadisitupun tersenyumlah.

“Kamu nakal,. Suka menggoda saya,” kata Anna.

219

“Lho, apa kamu nggak pengen saya goda?”Anna mendelik, bahna kagetnya.“Pengen? Pengen? Amit amit jabang bayi! Emangnya

saya perempuan murahan ya/!” kata Anna. Dia mendelikterus sampai biji matanya hampir keluar. Marah betulrupanya.

“Lho, saya main-main kok kamu serius?” kata AliTopan dengan penuh kerendahan hati. Ditatapnya Anna,ditembaknya gadis itu dengan senyuman yang polos, dandiusapnya anak rambut yang jatuh di kening sang gadis.

Maka hati Anna luluh. Kemarahannya mereda.Senyumnya muncul kembali pelahan lahan.

“Ali Topaaan…,” gumam Anna. Manja.“Hm? Apa sayang?”“Kamuu…. Kamu…..”“Kenapa?”“Jangan nakal ya?”Ali Topan tak menjawab. Ia mengerjap-ngerjapkan

matanya saja. Anna Karenina menatapnya, menunggujawaban. Tapi Ali Topan tak mau menjawab.

“Kamu nggak denger saya ngomong?” tanya Anna.“Dengar.”“Saya harap kamu jangan nakal ya? Ngerti maksud

saya?”Ali Topan tak mengerti bahwa maksud Anna,

janganlah ia nakal dalam pengertian bangor, main-mainkan perempuan. Kalau hati Anna bisa ngomong,tidak lebih tidak kurang, kata-kata yang ke luar darihatinya adalah: “I love you, my darling. I love you banget.Tapi you musti love me juga dong. You jangan love ceweklain ……”

“Kalau lelaki nggak nakal bisa sepi Kebayoran. Nggakada entertainment,” kata Ali Topan,yang masih bodo

220

dalam soal percintaan. Kata-kata bersayap yang ke luardari mulut Anna, sulit ditangkapnya. Dia pikir, Annaberharap agar ia jangan suka ngebut, tidak boleh bega-dang, dilarang bergentayangan di jalanan, dan lain lainkegiatan rutinnya.

“Ah, kamu...,” kata Anna, “susah mengerti.”“Lho, kan betul. Kalau anak lelaki nggak berandalkan

lucu. Anak lelaki diam di rumah udah liwat jamannya,Anna.”

“Liwat gimana?”“Iya, sudah liwat, kayak tukang bakso. Nanti kalau ada

lagi jaman yang lain, kita panggilin deh,” seloroh AliTopan.

Anna Karenina tertawa geli. Lelucon Ali Topan benar-benar pas di hatinya. Hatinya terbebas, rasanya dunia lainsekali. Lebih indah dan lebih menyenangkan.

Dipandanginya wajah Ali Topan yang keren.Ali Topanpun memandangi wajah Anna yang profilnya

mirip film Diana Rigg.“Anna….”“Hm?”“Bagaimana perasaan kamu pagi ini?”Anna Karenina mendongak ke arah langit, menahan

senyum kecil di bibirnya, lalu menjawab, “Biasa biasasaja.”

“Kurang ajar. Kamu balas dendam ya?”Anna mendelik karena makian itu.“Ih! Kamu kalau omong seenak perut aja!” kata Anna

dengan keras, “lihat-lihat orangnya dong, kamu pikir sayaini babu kamu apa, seenaknya memaki kurang ajar! Sayabenci kamu!” sambungnya.

Dengan wajah kaku dan sinar mata menyala-nyala,Anna segera berdiri. Ali Topan menyekap mulutnya. Ia

221

merasa menyesal. Makian kurang ajar itu begitu losmenyeplos ke luar dari mulutnya.

“Anna…. Saya tidak bersungguh-sungguh mamakikamu. Saya menyesal betul ……..,” kata Ali Topan. Iaberdiri pula, merendengi Anna. Tapi Anna segera mama-lingkan muka ke arah angsa hitam yang berenang-renangdi danau buatan.

“Anna…..,” kata Ali Topan, lembut sekali.Anna diam saja. Hatinya kesal betul. Baru pertama kali

dalam hidupnya ada orang memakinya kurang ajar, danorang itu justru Ali Topan yang disayanginya. Dalamhatinya ia merasa sedih betul. Baru mulai jatuh sayang,baru mulai bersemi bunga bunga cinta, orang itu sudahberani memakinya kurang ajar secara lugas. Bagaimanakalau sudah kawin nanti dan beranak cucu? Barangkalibisa dibelah-belahnya tulang belulangku, demikian katahati Anna.

Anna termenung. Hatinya sedih betul. Ingin rasanyaberlari menjauhi Ali Topan yang kasar, tapi ada perasaanlain yang menahannya. Ia sendiri tak tahu daya tarik apayang menyebabkan ia tak sanggup berbuat apa-apa didepan Ali Topan. Jangankan berhadapan, pada saat iaberjauhan, tak saling tampak muka, angan-angan danperasaannya tetap lengket pada Ali Topan.

Tak terasa airmata membasahi pipi Anna. Ia menangis.Terbayang olehnya, jalan nekat yang diambilnya untukbisa bertemu Ali Topan pagi ini. Pada saat ibunya ke wc,dan Boy sedang membeli bensin, Anna pergi darirumahnya. Ia mencegat taksi yang segera membawanyake warung gado-gado Bibi Sexy. Ali Topan sudahmenunggu. Dari warung Bibi Sexy, mereka langsung keTaman Ria Senayan.

Merana betul hatinya mengingat makian yang

222

diterimanya dari Ali Topan. Ia cuma bisa menangis.“Anna… jangan menangis…,” bisik Ali Topan, sambil

membelai rambut Anna dengan jemarinya. Tapi Annasemakin menangis. Bahunya terguncang-guncangmenahan tangisan. Ingin rasanya berlari ke tengah danaudan membenamkan kepalanya di dalam air. Ingin rasanyamembunuh diri. Tapi itu semua tak sanggup dilakukan-nya. Ia cuma bisa menangis. Dan menutupi wajahnyadengan kedua belah tangannya. Airmata mengalir diantara jemarinya.

Plak! Plok! Plak! Plok! Plak! Plok!Bunyi gamparan yang keras terdengar di belakangnya.

Anna menoleh, refleks. Apa yang terjadi membuatnyaheran, dan otomatis mengerem tangisannya. Ali Topantelah menggampari dirinya sendiri. Kedua pipinyaberwarna merah, darah mengalir dari bibirnya!

“Topaaaan!”Anna memekik, tubuhnya direbahkan keAli Topan. Mereka berpelukan. Anna membenamkankepalanya di pelukan Ali Topan, dan Ali Topan mengu-sap-usap rambut gadisnya.

Angin berhembus.Bunga-bunga flamboyan berguguran, melayang

seperti kupu-kupu merah.Angsa-angsa hitam berenang berkejaran.Indah sekali.

***Jam tiga siang lewat beberapa menit, mereka mening-

galkan Taman Ria Senayan. Anna senyum, demikianpula Ali Topan. Ali Topan dengan gembiramemboncengkan Anna Karenina. Pelukan Anna dipinggangnya terasa kuat dan hangat.

Rupanya, kehangatan masih belum boleh berlama-lama mereka rasakan. Tepat di depan rumah Panbers Club

223

Band di Jalan Hang Tuah Raya, sebuah Mercy memotongmotor Ali Topan, dan menggiringnya ke pinggir jalan.Dua manusia bertampang murka turun dari Mercy itu.Ayah Anna dan Boy.

“Kamu bawa lari anakku, he?!” begitu kata ayah Annasambil langsung menghantam muka Ali Topan dengantinjunya. Bug! Bug! Ali Topan terjengkang saja dari sadelmotornya! Melihat Ali Topan terjengkang, Boy ikutnimbrung, menyepak perut Ali Topan! Begh! Begitu diamengayunkan kakinya, hendak menyepak kepala, AliTopan berkelit dan menangkap kaki itu. Langsungdipuntirnya, dan Boy langsung menggrusak jatuh!

Fans Panbers yang kebetulan memenuhi rumah grupitu, berhamburan ke luar, menonton pergumulan itu!

Anna yang mencoba memisahkan, ditarik ke dalammobil oleh ayahnya. Ia meronta ronta dan menjerit jerit,tapi tak berdaya.

“Boy! Sudah!” teriak Tuan Surya. Boy mendengarteriakan itu, tapi ia tak berdaya memenuhinya, Ali Topanyang gusar mengamuk bagaikan badai! Dihajarnya Boyhabis habisan. Dalam sekejap, mata Boy bengapn. Dangiginya rontok dua kena dengkul Ali Topan.

Para penonton bersorak sorai.Hayooo! Hayooo! Hembat teruuuuus! Sodok! Sodok!

Libas! Libas! Horeeeeee! Yihuuuuuuuuy!Sorak sorai itu terhenti, ketika Tuan Surya

m,engacungkan laras pistol ke arah Ali Topan, danberkata dingin: “Berhenti! Atau saya tembak kamu!”

Ali Topan menghentikan hajarannya. Ia memandangTuan Surya dengan penuh kebencian. Ia ingin rasanyamenghajar batok kepala orang tua itu., supaya copot daribatang lehernya. Tapi ada Anna di antara mereka……

Boy beringsut-ingsut ke mobil.

224

Tuan Surya mebukakan pintu, Boy pun masuklah.Disopiri Tuan Surya, mereka berlalu. Anna duduk di

belakang, memandang Ali Topan. Sepanjang jalan iamemprotes ayahnya. Tapi si ayah tak menggubris protesitu. Ia langsung menancap pedal gas Mercy, menujurumah.

Ali Topan menjetik-jentikkan tanah yang mengotoripakaiannya. Orang-orang masih berkerumun meman-dangnya.

“Ada apa sih?” satu orang bertanya.Ali Topan melirik orang itu.“Ada tawon!” sahutnya, asal nyeplos.Orang-orang ketawa. Tapi Ali Topan tidak. Ia segera

menuju motornya, lantas minggat dari hadapanpenonton-penonton gratisan itu.

***

225

DELAPAN BELAS

Sejak peristiwa makdikipa di depan rumah Panbers,Anna Karenina berstatus orang tahanan dirumahnya sendiri. Ke mana-mana dikuntit t’ruus.

Perkara dimarahi, cuma caci maki dalam bahasa Arabsaja yang belum diterimanya. Bahasa Belanda, bahasaIndonesia, bahasa Inggris dan bahasa daerah, sudah.

Larangan ke luar rumah berlaku 24 jam, kecuali pergidengan ibunya dan Boy. Lebih sial lagi, diam-diamayahnya menghubungi Tekhab, polisi Team Khusus AntiBandit, untuk keamanan dan ketertiban Anna.

Sudah jelas Anna kesal dan bosen memperolehperlakuan kurang ajar itu. Tapi ia masih belum bisabergerak. Pesawat telepon pun tidak boleh disentuhnya.Komunikasi diblokir sama sekali.

Ia ingin minggat. Itu keputusan hatinya.Keinginan itupun datanglah pada suatu malam. Ayah

dan ibunya sedang menemui tetamu di ruang depan. Boysedang disuruh beli rokok dan “seafood” untuk menjamutetamu. Para pelayan sedang repot di dapur.

Anna bersiap-siap.Untuk men-check situasi, ia pura-pura pergi ke dapur.“Beliin kue pukis, Dah!” kata Anna pada Saodah, pela-

yan khususnya. Diberikannya uang Rp.500 pada Saodah.“Cepetan ya,” Anna lagi. Meyakinkan.“Iya, Non,” sahut Saodah.Begitu Saodah pergi, Anna Karenina segera beraksi.Ia masuk ke kamar mandi, dan mengunci pintunya dari

dalam. Dari balik tumpukan pakaian kotor di kamar man-

226

di, diambilnya tas plastik berisi celana jeans dan tigabuah kaos oblong.

Kamar mandi itu berjendela kaca yang cumadigerendel saja. Di luarnya, terdapat taman bungaanggrek milik Nyonya Surya, di samping kiri rumah.

Anna membuka gerendel jendela dengan hati-hati.Kemudian, ia molos dari jendela itu. Tidak seorangpuntahu.

Sampai di luar, ia memasang kupingnya. Terdengartawa ria para tamu dan orangtuanya dari kamar tamu, dandengan dentingan cangkir-cangkir dari arah dapur.

Setelah melongok-longok ke kanan kiri, Anna berlari,mengendap-endap di antara pohon-pohon anggrek.

Untuk mencapai jalan raya, ia harus melewati pintubambu. Dari pintu itu, ia masih harus melewati halamandepan rumahnya yang terbuka. Jika ayah atau ibunyamelihat ke arah halaman, sudah pasti ia ketahuan. Annatak mau gegabah. Ia mengatur langkah selanjutnya,sambil tetap merunduk di antara pohon-pohon anggrek.

Saat repot mencari akal, mobil Mercy masuk kehalaman. Anna kaget. Dan nyalinya menciut. Jika Boysampai tahu, gagallah rencananya.

Bor memarkir Mercedes di depan pintu, hingga agakmenutupi pandangan dari dalam ke luar. Annamendengar pintu mobil di tutp dan langkah kaki Boymenuju rumah. Dengan menguatkan hati, ia bergeraksebat ke pintu bambu. Dibukanya pintu itu perlahan-lahan. Kemudian melongok ke luar. Hatinya lega tatkalamelihat situasi membantu rencananya. Mobil Mercedesmenghalangi pandangan langsung ayah dan ibunya. Iabisa berjalan jongkok, atau merangkak, jika Tuhanmengizinkan, dalam beberapa detik ia sudah bisamencapai jalan raya. Setelah itu, urusan bisa lebih sip.

227

Anna mengatur nafasnya.Disebutnya nama Tuhan. Lalu ia beraksi. Digigitnya

tas plastik berisi pakaian dan dompet uangnya, kemudiania merangkak cepat. Jarak yang cuma beberapa metersaja terasa panjang baginya. Hampir-hampir iatersungkur karena kepalanya terasa pening tiba-tiba.Maklum, ia belum pernah merangkak lagi semenjak bayidulu. Matanya berkunang-kunang, tapi ditahannyasekuat tenaga. Jika kali ini gagal, tak ada kesempatanlagi, demikian kata hatinya. Semangatnya untuk bebastergugah lagi, bernyala-nyala. Diteruskannyamerangkak. Terus. Terus. Terus. Akhirnya sampai juga.

Anna ternegah-engah di depan pintu halaman rumah-nya. Kaki dan tangannya terasa pegal. Telapak tangannyaperih. Tapi hatinya tetap kuat.

Ia berjalan ke pohon mahoni di tepi jalan di depanrumahnya. Dari situ ia menoleh, memandang ke arahrumah. Cahaya lampu menerangi halaman. Genting-genting hitam. Hatinya tercekat, dilanda kesedihan,ketika melihat rumahnya. Ingin ia tetap tinggal. Tapiperasaannya tak sanggup menahan tekanan yangdilancarkan oleh orangtuanya. Apalagi ada Boy, manusiayang tak disukainya.

Suara tawa ayahnya memenuhi udara. Terbahak-bahak. Anna menggigit bibirnya. Ia muak pada suara itu.Suara tawa orang yang egois dan kejam.

Tanpa buang tempo lagi, Anna berlari menyeberangijalan. Sebuah taksi kebetulan lewat. Distopnya.

“Ke mana?” tanya sopir taksi, setelah Anna masuk kedalam taksinya.

“Ke rumah Maya!” sahut Anna, tanpa sadar.“Ke rumah Maya? Di mana?” tanya sopir taksi.Anna menyebutkan alamat Maya. Pak sopir taksi

228

mengantarkannya, tanpa banyak bicara.Taksi berhenti di depan rumah Maya. Argometer

menunjukkan Rp 360. Anna memberikan Rp 500.“Nggak usah dikembaliin,” katanya.“Terima kasih.”Taksi pergi lagi.Anna Karenina berdiri, melihat arlojinya. Jam 21.07.

Sesudah taksi menghilang di tikungan, Anna masuk kerumah Maya.

Pembantu rumah membukakan pintu untuknya.“Lho, Neng Anna? Sama siapa malem-malem ke sini?

Neng Maya lagi nonton pilem sama bapak dan ibu,” bisikBik Isah, pembantu rumah Maya.

“Pergi?”Bik Isah mengangguk. “Ada perlu penting?”Anna berpikir sebentar.“Boleh pinjem telepon, Bik?”“Boleh, boleh. Silakan.”Anna diantarkan ke tempat telepon. Bik Isah memper-

hatikannya dengan heran.“Rupanya seperti sedang bingung, Neng?”“Ah, nggak ada apa-apa, Bik!” kata Anna sambil

memutar nomer tilpon.***

Ali Topan sedang mengambil apel dari lemari es, ketikatilpon berdering. Mula-mula dibiarkannya deringan itu.Lama-lama ia merasa risi.

Ia pergi ke tempat telepon, dan mengangkatgagangnya. Lantas ia terkejut ketika mendengar suaraAnna.

“Halo! Anna! Apa kabar?”Secara singkat Anna membeberkan kisahnya.“Okey! Okey! Aku datang!” kata Ali Topan.

229

Kemudian, tanpa membuang tempo lagi, ia bergegas kekamarnya, mengambil jaket, lalu keluar mengambilmotornya.

Kurang dari lima menit, Ali Topan sudah sampai dirumah Maya. Dijumpainya Anna yang menunggu dikamar tamu.

“Haiii…”“Hai…..”Keduanya berhai-hai dan tertawa riang.“Kangen deh.”“Aku juga kangen.”Mereka tertawa lagi. Lalu saling berpegangan tangan.

Saling memandang. Keduanya tak mampu berkata-katalagi. Sorot mata penuh kerinduan telah berarti sangatbanyak.

“Hem! Hem!” Bik Isah berdehem dari pintu. Ali Topandan Anna baru tersedar bahwa mereka sedang berada dirumah orang.

“Yuk, kita pergi,” kata Ali Topan.“Yuk,” kata Anna.Mereka pamit pada Bik Isah.“Lho, nggak nunggu?” Bik Isah nyeletuk.“Nunggu siapa?” tanya Ali Topan.“Nunggu diusir.”“Sialan lu, Bik! Becanda kaya anak-anak sekolahan

aje,” kata Ali Topan. Tapi ia tidak marah. Annapuntersenyum. Rasanya, keindahan pertemuan merekamampu mengusap dan mendinginkan rasa marah yangbagaimanapun besarnya.

Di luar hawa dingin. Ali Topan mencopot jaketnya,dikenakannya pada Anna.

“Kamu aja yang pakai. Dingin,” kata Anna.“Biarin. Kamu aja yang pakai.” Ali Topan memaksa.

230

Akhirnya Anna mau juga.“Ke mana kita?”“Ke rumah Mbak Ika, di Depok.”Ali Topan menghidupkan motornya. Anna

membonceng di belakangnya.“Pegangan baik-baik, An.”Anna menurut. Dirapatkannya badannya ke punggung

Ali Topan dan dipeluknya tubuh gacoannya dengan eratdan wah. Lantas sepasang remaja yang sedang dibadaicinta itu, berlalu, menyatu dengan malam, menuju Depokyang terletak di luar kota.

Di rumah Anna sedang ada acara makan malam. PakSurya dan istrinya ramah sekali menjamu tetamunya. Dimata para relasi, keluarga Surya memang dikenal ramah-tamah dan baik budi bahasanya.

“Mana anakmu, Sur?” tanya Pak Karno, tetamunya.“Dia sedang ngadat, mengeram di kamarnya,” kata Pak

Surya.“Lho, kenapa ngadat? Suruh keluar dong.”“Tidak mau dia. Biarlah.”Pak Karno memanggil Saodah yang mengantarkan

tusukan gigi.“He, bik, panggilkan nonamu. Bilang, mau dikasih duit

sama Pak Karno, gitu,” kata Pak Karno. Bik Saodahmelihat ke arah majikannya, menunggu persetujuan.

“Tak usah, tak usah bilang mau dikasih duit. Bilangsaja, Pak Karno ingin ketemu. Sana, cepat,” kata PakSurya.

Saodahpun pergilah ke kamar nonanya.Ia memutar pegangan pintu. Terkunci.Ia mengetuk lebih keras dan memamnggil lebih gencar,

tetap tak ada jawaban.Akhirnya ia kembali lagi ke ruang makan, melaporkan

231

hasil kerjanya yang sia-sia.“Saya nggak dijawab, Tuan.”“Lho, kenapa ngga dijawab?”“Saya kurang paham. Barangkali Neng Anna sudah

tidur. Tadi saya disuruh beli kue pukis, tapi sewaktu sayaantarkan, pintu kamarnya dikunci.”

“Lho, kok bisa begitu?” tanya Pak Surya.“Apa makan pil tidur? Atau narkotik?” tanya Pak

Karno. Orang ini memang sedikit bego. Profesinyapelukis ekspresif, jadi kalau ngoceh juga ekspresif betul.

“Hus!” istrinya yang pendiam, meng-hus-nya. PakKarno tertawa terkekeh-kekeh.

“Aku cuma berkelakar saja,” katanya. Tapi kelakarnyakali ini tak masuk di otak Pak Surya yang sedangdiganggu oleh pikiran curiga.

“Coba aku lihat dia!” kata Pak Surya, lantas segerabangkit dari kursinya dan berjalan menuju kamar Anna.

“Anna! An! Annaaaa! Buka pintuu!” seru Pak Surya.Berulang-ulang ia memanggil nama anaknya, berkali-kali ia menggedor pintu kamar itu, tapi bunyi kentutpuntak terdengar dari dalam.

Akhirnya beliau penasaran seperti Oma Irama. Danbermaksud membongkar pintu.

“Bongkar saja pintunya, Pap!” seru istrinya, memberisemangat. Sang istri merasa malu pada tetamunya, karenaanaknya bandel, tak mau mendengar panggilan orangtua.

Ditonton oleh tetamunya, Pak Surya memasang kuda-kuda. Tangan kanannya diangkat ke atas, tangan kirinyaditekuk ke bawah puser. Kaki kanannya ditekuk sedikitke belakang seperti gaya Iswadi menendang bola, sedangkaki kirinya diajukan ke depan seperti gaya tukangnandak di Pasar Senen. Setelah mengempos nafas sesaat,diterjanglah pintu kamar Anna. Gubragh! Jebollah pintu

232

yang terbuat dari tripleks itu. Pak Surya kehilangankeseimbangan dirinya, ngusruk ke dalam kamar yangkosong!

“Haaah?” ia cuma bisa bengong, karena takmenjumpai Anna di dalam kamar.

Pak Karno dan Nnyona Surya yang terbirit-birit kedalam kamar, menjadi heran pula.

“Lho, kosong? Ke mana anakmu?” tanya Pak Karnosambil membantu Pak Surya berdiri.

“Kemana dia Mam?” Pak Surya malah balik bertanyapada istrinya. Nyonya Surya cuma menagngkat bahusaja. Boy yang terburu-buru datang, dan para babu yangkaget karena mendengar suara gedubragan, jugamenampilkan wajah tak tahu.

“Anakmu minggat, Mam!” kata Pak Surya.“Lho, kok minggat? Gimana to duduk-perkaranya?”

Pak Karno menyela, “apa dia tak betah di rumahnya?”Pak Surya dan istrinya saling berpandangan.“Coba cari dulu di sekeliling rumah, Mam,” kata Pak

Surya. Istrinya menurut. Kemudian, semua orang menca-ri Anna. Pencaharian yang sia-sia.

“Boy, siapkan mobil!” kata Pak Surya, setelah pastianaknya kabur dari rumah. Kemudian ia menoleh ke PakKarno. “Wah, maafkan saya, Pak Karno. Saya musti carianak saya. Teruskan daharnya, biar ditemani istri sayasaja.”

“Waa, iyaa, anak hilang musti dicari. Soal makan, tidakusah ditemani juga tidak apa-apa, Pak Surya…,” kataPak Karno dengan nada polos.

“Terima kasih atas pengertiannya….,” kata Pak Surya.“Mudah-mudahan anakmu cepet ketemu,” balas Pak

Karno.Lalu keduanya saling membungkuk seperti gaya

233

pegawai kraton Yogya.“Saya pamit dulu. Permisiiii.”“Monggoooo,” sahut tetamunya.Pak Surya segera keluar.“Cepat jalan, Boy!” perintahnya, ketika sudah masuk

ke dalam mobil.“Ke mana?”“Pokoknya jalan saja dulu.”Boy patuh. Mobil dijalankan cepat meninggalkan

rumah, diikuti pandangan mata cemas dari Nyonya Suryadan para pembantu rumahnya.

Jam 02.37 dinihari, Pak Surya dan Boy pulang kerumah. Tanpa Anna.

Ny Surya membukakan pintu untuk mereka.“Bagaimana, Pa?” tegurnya.“Tak ada. Sudah kucari ke mana-mana,” sahut Pak

Surya, lesu.“Jadi, bagaimana dong?”“Esok saja kita cari lagi. Kalau perlu minta bantuan

polisi. Sekarang aku letih, ingin tidur,” kata Pak Suryamenggerumel.

Nyonya Surya termangu-mangu mendengar kata-katasuaminya. Perasaannya melayang ke masa lalu.Kenangannya langsung ke Ika, yang akhirnya kawintanpa rencana.

“Apa dia tak pergi sama anak bergajul itu, Pa?” tanyaNyonya Surya. Yang dimaksudkannya Ali Topan.

“Besok sajalah kita urus lagi. Kepalaku pening, takbisa mikir apa-apa lagi, Mam...,” kata Pak Surya, lalumasuk ke kamar tidurnya.

***

234

SEMBILAN BELAS

Depok adalah sebuah kota kecil yang terletak diantara Jakarta dan Bogor. Kota ini terkenal dengan“Belanda” Depoknya, yakni satu macam masya-

rakat pribumi yang “di-belanda-kan” oleh orang-orangBelanda pada zaman penjajahan dulu. Menurut ceritanya,beberapa keluarga pribumi Depok diberi nama familiBelanda, diajar berbicara Belanda dan apapun yangberbau penjajah gila tersebut.

Setelah Indonesia merdeka dan Belanda pergi dariDepok, kelompok masyarakat binaan penjajah ituberkembang tanpa majikan. Kultur yang ke-belanda-belandaa-an terbentur lagi pada kultur pribumi asli. Tapisampai sekarang, sisa-sisa budaya “binaan” ”tu masihmembekas pada kelompok masyarakat Depok.

Maka, orang luar Depok akan heran, kalau menjumpaiorang Depok yang kerjanya jadi tukang gali sumur, kulittubuhnya putih karena panu yang merata di sekujurtubuhnya, bisa bicara Belanda. Rudy dan Riem De Wolfdari grup The Blue Diamond yang beken itu, jugakelahiran Depok.

Ika dan suaminya menempati sebuah rumah kecil didekat rumah kelahiran Rudy dan Riem. Rumah merekakecil tapi asyik, merupakan hadiah perkawinan dari ayahIqbal. Ika yang mendesak untuk tinggal di Depok, karenamerasa tidak betah hidup di Jakarta, berdekatan denganorangtua yang membencinya.

Iqbal punya beberapa truk yang disewakan, di sampingitu, ia menjadi leveransir pasir untuk proyek-proyek

235

pembangunan di Jakarta. Istrinya membuka usaha esmambo. Jadi, dalam soal materi mereka cukup, namunmereka masih merasa belum tentram benar. Setiap saatmereka menunggu agar Tuan dan Nyonya Surya maumengakui Saibun sebagai cucu. Saibun adalah anak lelakimereka yang sudah berumur satu setengah tahun.

“Aku khawatir, Papa dan Mama menuduh kitamendalangi pelarian Anna dan pacarnya itu. Kita makindibenci saja nantinya,” kata Ika pada suaminya. Merekaduduk di ruang kerja Iqbal di bagian depan rumah. AliTopan dan Anna sudah dua hari di rumah mereka.

“Kamu merasa mendalangi apa tidak?” tanya Iqbal.“Tidak.”“Ya sudah.”Ika memandang suaminya. Matanya memang meman-

carkan kekhawatiran yang besar. Ia khawatir, kasusnyaakan terulang pada adiknya. Ia takut Anna hamil, sepertiperistiwanya sendiri. Sebagai kakak—ia ingin Anna padasaatnya—menikah dengan cara baik-baik.

“Kenapa bengong?” tanya suaminya.“Kuatir.”“Anna bunting?”Ika mengangguk.“Nggak usah kuatir. Mereka anak baik. Nggak seperti

kita,” kata suaminya, sambil tersenyum. Ika pun terse-nyum.

Jam berdentang, pukul sembilan.Sepasang kupu-kupu terbang dekat mereka. Bagus

warna bulunya.“Bakal ada tamu gede nih,” kata Iqbal.“Moga-moga bawa rejeki,” sahut istrinya, sambil

memandang kupu-kupu yang terbang kian ke mari.***

236

Jam setengah satu, Anna dan Ali Topan datang daritempat main mereka, persawahan di bagian TimurDepok. Mereka pacaran di sawah-sawah.

Iqbal dan Ika tersenyum menyambut mereka.“Sudah capek?” tanya Ika.“Capek apa? Nggak capek, cuma laper,” sahut Anna.“Kalau lagi pacaran memang rasanya nggak capek-

capek ya,” goda Ika sambil bermain mata dengansuaminya.

“Idih! Bisa aja, Mbak Ika,” sahut Anna. Wajahnyabersemu dadu, malu. Ali Topan tersenyum simpul saja.

“Nggak usah malu, kita udah paham. Kan kita jugapernah pacaran, ya Pa,” Ika masih menggoda.

“Mana Saibun?” Anna mencoba mengalihkan pembi-caraannya. Ia merasa malu digoda secara terbuka olehkakaknya.

“Sedang main ke rumah tetangga. Belajar cari makansendiri,” kata Iqbal. Bicaranya pelahan, tapi bikin ketawasemua orang.

Saat mereka sedang ketawa-tawa, datanglah kejutan.Terdengar dua buah kendaraan berhenti di depan rumahmereka. Satu Jip Willys berisi empat orang polisi, satulagi Mercedes Benz disopiri Boy, mengangkut Tuan danNyonya Surya.

Pucat wajah Anna melihat ayah-ibunya datang bersamaalat negara. Ika juga agak gemetar. Ali Topan dan Iqbaltetap tenang.

Tuan dan Ny Surya tampak ragu-ragu turun dari mobil.Masih ada rasa angkuh. Jangankan menginjak rumahanak mantu, sedangkan si anak mantu datang ke ruamhminta berkah saja, mereka usir.

Para polisi bersiap. Dua orang polisi dari Komwilko74, Jakarta Selatan, dua orang lagi polisi Depok sebagai

237

penunjuk jalan.“Ini rumahnya, Pak!” seorang agen polisi Depok ber-

kata pada Pak Surya. Barulah Pak Surya turun, diikutiistrinya dan Boy. Mereka berdiri. Garang.

Iqbal membukakan pintu.Ika muncul di belakangnya, berlari menyambut orang-

tuanya.“Mamaaa! Papaaaa!” seru Ika. Ia membuka tangannya,

hendak memeluk ayah dan ibunya. Tapi wajah orangtua-nya tegang. Jangankan menyambut dengan pelukan,tersenyum pun tidak! Apalagi ketika Tuan Surya melihatIqbal, rasa bencinya kambuh dengan hebat.

“Mana Anna? Suruh keluar dia!” hardik Pak Surya.“Silakan masuk Papa. Silakan Mama...,” Ika memohon

pada papa dan mamanya. Airmatanya berlinang-linang.“Tak perlu! Tak perlu masuk!” kata Pak Surya.Suasana tegang. Ketegangan yang mengharukan.“Anna di sini, Ika?” suara lembut memecah

ketegangan. Suara Nyonya Surya. Ibu ini akhirnya takmampu menahan keharuan hatinya. Terlalu lama iamemendam kerinduan. Terlalu lama ia mencobamengalahkan kerinduan dengan keangkuhan.

Ika melihat ibunya. Airmatanya bercucuran. Bahagiasekali mendengar namanya dipanggil oleh sang Ibu yangdirindukannya. Tak sanggup berkata-kata, Ika mengham-bur ke pelukan ibunya. Ny Surya mendekap anaknya.Mereka bertangisan.

Saat itulah Anna Karenina muncul bersama Ali Topan!Anna berdiri di depan pintu. Tangannya mencekal lenganAli Topan.

“Anna! Ke mari kau!” Pak Surya berteriak. Nadanyamasih kerras dan kaku. Ia seperti tak terpengaruh olehkeharuan yang hadir dari pelukan Ika dan istrinya.

238

Anna tak beranjak dari tempatnya.“Anna!”Anna tetap diam. Hatinya diliputi rasa haru melihat

kakak dan ibunya bertangisan melepas kerinduan. Sekuattenaga dicobanya menahan keharuan itu. Anna berpikir,orangtuanya membawa-bawa polisi untuk menangkapAli Topan. Maka itu ia bertahan. Ia tak mau meninggalkanAli Topan.

Merah padam wajah Pak Surya karena Anna takmematuhi instruksinya.

Ia berpaling pada alat-alat negara yang dibawanya, lalumenuding Ali Topan.

“Itu dia yang membawa lari anak saya! Tangkap dia,Pak!”

Dua polisi Komwilko 74 bergerak ke arah Ali Topan.Mereka menampilkan gaya David Toma yang sukamereka tonton di layar tivi.

“Papa! Apa-apaan sih! Suruh pergi orang-orang ini!”teriak Anna Karenina. Ia makin menguatkan cekalannya,memeluk Ali Topan. Ali Topan berdiri tegak, matanyatak gentar menatap agen-agen polisi yang mendekatinya.

“Bapak-bapak mau nangkep saya, apa ada surat perin-tahnya?” tanya Ali Topan.

Agen-agen polisi itu tersenyum. Salah seorang diantara mereka mengeluarkan surat perintah penangkapandari kantong celananya dan menunjukkannya pada AliTopan.

“Lebih baik adik ikut kami secara baik-baik. Jangankami dipaksa mengambil jalan kekerasan,” kata polisi itusambil tangan kanannya mengusap-usap gagang pistolyang mencuat dari sarungnya.

“Dia nggak boleh ditangkap! Dia nggak bersalah! Sayayang mau lari ke sini!” Anna membentak polisi itu.

239

“Anna! Tutup mulut kamu!” hardik Pak Surya. Iamakin tak sabar melihat kelakuan anaknya. Annamenatap ayahnya. Wajahnya menegang. Tiba-tiba iaberteriak, sangat keras” “Kamu jahat, Papa!”

Bagaikan geledek cacian itu menyambar telinga PakSurya. Mulutnya sampai terbuka, tak bisa omong apa-apa, bahna kaget dan gusarnya. Dan, tidak cuma dia.Semua yang hadir tak pernah menyangka, Anna memakiayahnya secara terbuka.

“Sayaaaang… tidak boleh gitu…,” suara lirih AliTopan terdengar, mengkontra ketegangan situasi. Suaraitu lembut, menyelusup sampai ke hati Anna Karenina.Pelan, namun penuh wibawa. Anna sampai mendongak,merasa tak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulutAli Topan.

Ali Topan tersenyum padanya. Senyuman yangmengandung kesedihan. Anna menangkap sinar sedih dimata Ali Topan.

“Kau pergilah ke ayah dan ibumu… Kau dengar?” bisikAli Topan. Anna tak sanggup mendengarkan bisikan itu.Kata-kata yang sedih. Kata-kata seorang jantan yangkehilangan kasih-sayang. Sedih, namun tetap bersikapgagah.

“Kamu…. Kamu ke mana?” bisik Anna.“Kamu dengar perkataan saya?” Ali Topan balas

berbisik.Anna mengangguk.“Kamu mau menurutinya?”Anna memandang Ali Topan. Perasaannya mengata-

kan, Ali Topan tengah bertempur dengan hatinya sendiri.Ali Topan sayang padanya, tapi tak mau menghancurkanhubungan antara orangtua dan anaknya. Ali Topan tahu,ia sejak mula tak disukai oleh orangtua Anna Karenina.

240

Puncak ketidaksukaan mereka terbukti dengan hadirnyaalat-alat negara yang hendak menangkapnya.

Ia tidak takut. Ia hanya merasa sedih. Jika orangtuaAnna tidak menyukainya, kenapa harus dimasukkan?

Semua orang menyaksikan adegan itu. Ali Topanmembelai rambut, mengusap dagu Anna, dengan lembut.Kemudian ia membimbing Anna, dibawanya ke tempatTuan Surya.

Baru beberapa langkah, Anna berhenti. Ia tahu maksudAli Topan sangat mulia. Ali Topan mengalahkan kepen-tingan dirinya, demi utuhnya sebuah keluarga.

“Topan...,” bisik Anna. Pandangan mereka bertemu.“Kamu dengar Anna. Ada saatnya kita bertemu, ada

saatnya kita berpisah. Awan tak pernah abadi menahansinar matahari. Kau mengerti?” bisik Ali Topan.

Anna tak mengerti. Ia menggeleng-gelengkan kepala-nya. Ali Topan tertawa kecil.

“Nah, lain hari kau akan mengerti...”Ia membimbing Anna, menyerahkannya pada Pak

Surya.“Oom, saya sayang pada Anna, dan Anna pun sayang

pada saya. Jika Oom dan Tante tidak suka pada saya,sayapun tidak bisa memaksa. Saya cuma berharap, Oomjangan menyakiti Anna. Dia tidak bersalah..,” kata AliTopan dengan gagah.

Tuan Surya mendengus seperti babi. Ia tak mau banyakbicara lagi.

Digamitnya Anna, dibawanya ke mobil. Boy segeramenyusul. Lelaki itu dengan sigap duduk di belakang stirmobil.

Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika.“Ika boleh ke rumah, Papa?” tanya Ika.Pak Surya mengangguk-angguk. ”Datanglah, datang-

241

lah….” katanya berulang-ulang.Meledaklah kebahagiaan Ika mendengar jawaban

ayahnya. Dipeluknya kepala sang ayah. Diciuminyaberulang-ulang pipi ayahnya. Pak Surya mengelusrambut anaknya.

Iqbal datang mendekati.Pak Surya menoleh padanya.“Kau bawa anak-istrimu ke rumah malam ini ya…,”

katanya.“Terima kasih, Pak,” kata Iqbal.“Nah. Kami pergi dulu. Urusan sudah selesai…,” kata

Pak Surya.Nyonya Surya duduk di belakang, menghibur hati

Anna.Boy menghidupkan mesin mobil.Kemudian mereka berlalu, meninggalkan para polisi,

suami istri Iqbal dan Ali Topan, dengan perasaan danpikiran yang berlainan.

Agen polisi Kebayoran menepuk pundak Ali Topandari belakang. “Jiwa Anda besar, Dik,” katanya. Ika, Iqbaldan tiga polisi yang lain serentak mengangguk, mengiya-kan.

Ali Topan menggeraikan rambutnya.“Kasih sayang yang besar membuat jiwa manusia

besar, Pak. Sayang, tak setiap orang memilikinya...,”sahut Ali Topan.

Agen polisi itu tersenyum.“Tapi urusan dinas saya masih harus dijalankan. Adik

turut ke Komwilko 74, untuk menjelaskan persoalannya.Okey?” kata polisi itu dengan nada ramah.

“Saya mah okey sajaa…,” kata Ali Topan, lalu sembarimemandang Ika ia pun menyambung, ”Jangankan keKomwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan

242

pergi, jika diperlukan.”Ika tersenyum mendengar jawaban yang mewah itu!

***Langit putih.Matahari mencorong di atas Depok.Angin bertiup dari Selatan, Debu debu cokelat

beterbangan, mengusap wajah Ali Topan yang sedangmemacu sepeda motornya. Keempat polisi di dalam jipWillys mengikutinya dari belakang. Mereka kembaliJakarta.

“Anak yang gagah itu mau kita apakan?” kata seorangpolisi, pada temannya yang menyopir jip.

“Kita bikin jadi Tekhab saja, rasanya pas betul.”“Dia bisa jadi agen yang paling keren nantinya. Moga

moga saja dia mau.”Ali Topan tak mendengar dialog itu. Ia sedang mela-

mun. Panasnya sinar mentari, keringnya debu-debu jalan-an Depok, tak mampu mengusir bayangan wajah AnnaKarenina dari dalam hatinya. Ia sedih benar, namunbukan kesedihan yang cengeng. Ia tak menangis, namunhatinya merintih-rintih. Kasih sayang telah hilang. Takseorangpun yang menjadi miliknya kini. Ia sendirian lagi.

“Annaaa, Annaaa, Annaaa,” bisiknya.Hanya suara angin yang menjawab bisikannya.“Hampaaa, hampaaa, hampaaa,” keluhnya lagi.“Jangaaan, jangaaan, jangan menghampaa,” angin

serasa menjawab keluhannya. Angin itu berhembus daridalam jiwanya sendiri.

Ali Topan tersadar. Ia menggertak gigi.“Selaksa kesedihan, sejuta kekecewaan, tak boleh

membuatku mati,” bisiknya.“Tuhan, berikan cintamu padaku.”“Tuhan, berikan cintamu padaku.”

243

“Tuhan, berikan cintamu padaku.”Berkali-kali Ali Topan memanggil Tuhannya, untuk

mengusir kesedihan.Sampai akhirnya, semangatnya membadai lagi.

Bayangan Anna Karenina yang tadinya bersatu dengankesedihan, terasa melangit. Dalam khayalnya, iamemandang kepergian bayangan yang makin lamamakin jauuuh. Cekaman suasana yang tak terlukiskan itutanpa sadar mendorongnya untuk bernyanyi. Maka iapunbernyanyilah di atas motornya yang berjalan pelahan-lahan.

Pagi yang indah sekaliMembawa hati bernyanyiWalau gadisku t’lah pergiDan tak kan mungkin kembaliHm yaaa…………..

selesai

244

“Membaca bukunya, kita seperti diajak menonton potretkehidupan remaja berandalan yang suka bergentayangandi jalan-lalan kota Jakarta. Struktur ceritanya kokoh, alurnyaluwes dan dialog-dialog di setiap halaman jelasmerefleksikan karakterisasi para tokoh.“

Eddy Satya Dharma (Suara Karya, 14 November 1977)

“Buku yang memikat untuk bacaan remaja, juga pentinguntuk orangtua masa kini.Kisah seorang anak muda yangpunya kemungkinan besar untuk jadi tokoh terkemuka dimasyarakat di kemudian hari!”

Zulkarnaini (Pelita, 23 Desember 1977)

“Tanyalah anak-anak muda baik cewek maupun cowok,siapa yang belum pernah baca Ali Topan. Mereka kaummuda itu. bukan hanya senang karena bahasanya pop,bahasa mereka, tapi Juga memang karena dunia anak mudadibela. Anak muda pengin sambil memejamkan mata, lantasterbang ke langit biru. Ali Topan adalah mimpi.“

N. Wonoboyo (Minggu Merdeka, 19 Februari 1978)

“Teguh Esha berhasil nenghadirkan tokoh pemberontakdalam diri Ali Topan. Karakterisasinya kuat dan konsisten.Sebuah watak yang tak pernah berubah namun kuat danpatent. Ali Topan, novel dengan karakter!”

Yakob Sumarjo (Pikiran Rakyat, 17 Mei 1978)

ALI TOPAN

Penerbit:PT Visi Gagas Komunika

Jl. Jati Agung No. 3 Jati PadangPasar Minggu, Jakarta 12540

Telp. (021) 78831022, 7815236e-mail: [email protected]

ANAK JALANAN