al-risalah jurnal studi agama dan pemikiran...

123
i Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah Al-Risalah Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam Volume IV, No. 2, Juni 2014 ISSN 2085-5818 Penasihat: Tutty Alawiyah AS Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Penanggung jawab: A.Ilyas Ismail Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Dewan Pakar: Achmad Mubarok, A. Wahib Mu’thi, Ahmad Satori, Ahmad Murodi Pemimpin Redaksi: Ahmad Zubaidi Dewan Redaksi Neneng Munajah, Masykuri Qurtubi, Sarbini Anim, Abdul Hadi Sekretaris Redaksi: Khalis Kohari Staf Redaksi: Sodikin Diterbitkan oleh: Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah Jl. Jatiwaringin No. 12 Pondok Gede Jakarta Timur 13070 Telp/Fax. 021-84990143; email: [email protected] Jurnal Al-Risalah terbit setahun dua kali, setiap bulan Desember dan Juni. Redaksi menerima tulisan dengan ketentuan: Kajian teoritik atau hasil penelitian yang relevan dengan dakwah dan pendidikan. Panjang tulisan 15-25 halaman. Diketik di atas kertas A4 dengan spasi ganda. Tulisan harus orisinil dan disertai footnote dan daftar pustaka.

Upload: hadung

Post on 22-Feb-2018

315 views

Category:

Documents


53 download

TRANSCRIPT

i

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

Al-Risalah Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam

Volume IV, No. 2, Juni 2014 ISSN 2085-5818

Penasihat:

Tutty Alawiyah AS Rektor Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta

Penanggung jawab: A.Ilyas Ismail

Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta

Dewan Pakar: Achmad Mubarok, A. Wahib Mu’thi,

Ahmad Satori, Ahmad Murodi

Pemimpin Redaksi: Ahmad Zubaidi

Dewan Redaksi

Neneng Munajah, Masykuri Qurtubi, Sarbini Anim, Abdul Hadi

Sekretaris Redaksi:

Khalis Kohari

Staf Redaksi: Sodikin

Diterbitkan oleh: Fakultas Agama Islam Universitas Islam As-Syafiiyah

Jl. Jatiwaringin No. 12 Pondok Gede Jakarta Timur 13070 Telp/Fax. 021-84990143; email: [email protected]

Jurnal Al-Risalah terbit setahun dua kali, setiap bulan Desember dan Juni. Redaksi menerima tulisan dengan ketentuan: Kajian teoritik atau hasil penelitian yang relevan dengan dakwah dan pendidikan. Panjang tulisan 15-25 halaman. Diketik di atas kertas A4 dengan spasi ganda. Tulisan harus orisinil dan disertai footnote dan daftar pustaka.

DAFTAR ISI Volume IV, No. 2, Juni 2014 Editorial ........................................................................................................... iii Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional Pasca Fatwa Haram MUI Ahmad Zubaidi ............................................................................................... 1 Pembiayaan Mudharabah (Bagi Hasil) Antara Perbankan Syari’ah Dengan Kajian Fiqih Khusnul Khatimah .............................................................................................. 14

Baitul Mal Wat Tamwil Koperasi Mikro Syariah untuk Mensejahterakan Masyarakat Kelas Bawah Mahfudz. .......................................................................................................... 32 Berkenalan Dengan Imam Abu Dawud Dan Sunannya A. Faqihuddin ................................................................................................... 47 Syiah Antara Paradigma Dan Problematika Masyarakat Madani Abdul Hamid .................................................................................................... 59 Dimensi Pendidikan Akhlak M. Dahlan R. .................................................................................................... 86 Latihan Mandiri Dalam Praktik Pemantapan Kemampuan Mengajar Mahasiswa Universitas Terbuka Marliza Oktapiani ............................................................................................. 106

iii

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

EDITORIAL

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan pertolongan-Nya rencana penerbitan Jurnal Dakwah dan Pendidikan Al-Risalah dapat terlaksana. Semoga langkah ini menjadi awalan yang baik dan terus berkelanjutan. Karena keberadaan sebuah jurnal ilmiah di tengah dunia akademik merupakan suatu keniscayaan untuk menopang keberlangsungan dunia akademis yang dinamis. Dinamika dunia akademik tidak hanya ditentukan oleh berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, tetapi juga oleh peningkatan mutu ilmu pengetahuan yang ditransformasikan dari pendidik ke peserta didik. Melalui jurnal ini para dosen diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman.

Pada edisi ini dimuat 7 (Sembilan) artikel ilmiah yaitu Hukum Bermuamalah dengan Bank Konvensional Pasca Fatwa Haram MUI ditulis oleh Ahmad Zubaidi, Pembiayaan Mudharabah (Bagi Hasil) Antara Perbankan Syari’ah Dengan Kajian Fiqih ditulis oleh Khusnul Khatimah, Baitul Mal Wat Tamwil Koperasi Mikro Syariah untuk Mensejahterakan Masyarakat Kelas Bawah Mahfudz, Berkenalan Dengan Imam Abu Dawud Dan Sunannya ditulis oleh A. Faqihuddin, Syiah Antara Paradigma Dan Problematika Masyarakat Madani ditulis oleh Abdul Hamid, Dimensi Pendidikan Akhlak ditulis oleh M. Dahlan R, dan Latihan Mandiri Dalam Praktik Pemantapan Kemampuan Mengajar Mahasiswa Universitas Terbuka Marliza Oktapiani.

Tulisan-tulisan ini akan menjadi wawasan baru dalam pemikiran kita, sehingga kita perlu membacanya dengan seksama dan diharapkan para pembaca budiman dapat memberikan respon pemikiran atas tulisan-tulisan di atas.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

1

HUKUM BERMUAMALAH DENGAN BANK KONVENSIONAL PASCA FATWA HARAM MUI

Oleh: Ahmad Zubaidi1

Abstrak

Perdebatan tentang hukum bunga pada bisnis lembaga keuangan konvensional tidak pernah selesai sungguhpun Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan Fatwa Haram bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional (LKK) yang menggunakan system bunga. Umat Islam, bahkan lembaga-lembaga islam, masih saja bermuamalah dengan lembaga-lembaga keuangan konvensional. Fenomena ini perlu dibaca secara konprehensif, apakah masih banyaknya umat Islam bermuamalah dengan LKK disebabkan ketiadaktahuan atau memang sengaja mengabaikan, atau barangkali sebagian umat Islam memiliki argumentasi lain untuk membolehkan bermuamalah dengan LKK. Argumentasi dharurat yang selama ini menjadi payung hukum pihak-pihak yang masih menghalalkan LKK, telah menunai kritik mendalam yang menyetakan bahwa tidak bermuamalah dengan LKK tidak akan menyebabkan kematian. Tulisan ini memberikan jawaban yang konprehensif, bahwa kemadharatan di bidang muamalah berbeda dengan kemadharatan dalam hal penghalalan makanan yang haram lidzatihi disaat dharurat. Kehadharuaratn dalam muamalah adalah ketika sendi-sendi muamalah menyebabkan manusia jatuh dalam kesulitan dalam pemenuhannya, maka itu diyakini sebagai hajah atau dharurat. Muamalah memiliki prinsip membuka kemudahan dan menutup kesulitan.

Keyword : Bunga (faidah/interest), Fatwa, Hajat, dharurat, Halal-Haram

PENDAHULUAN

Pada tahun 2004, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan Fatwa tentang Bunga. Dalam fatwa tersebut dinyatakan:

1 Adalah Dosen Program studi Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam

Universitas As-Syafiiyah Jakarta

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

2

1. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.

2. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram,baik di lakukan oleh Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.

Dalam fatwa tersebut juga ditentukan hukum bermu’amallah dengan lembaga keuangan konvensional 1. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan

Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak di bolehkan melakukan transaksi yang di dasarkan kepada perhitungan bunga.

2. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.

Dengan adanya fatwa MUI seperti di atas seolah ruang untuk bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional sudah hampir tidak ada, apalagi di daerah perkotaan yang rata-rata sudah ada cabang bank syariah. Tetapi kenyataannya sudah sepuluh tahun fatwa tersebut bergulir, umat Islam masih saja bermuamalah dengan bank konvensional seolah tidak menghiraukan hukumnya sebagaimana di fatwakan MUI. Kenyataan ini dapat dibaca dari market share perbankan syariah yang tidak bertambah secara signifikan. Hingga tahun 2013, market share perbankan syariah masih di angka 5 persen. Ini menunjukkan umat Islam tidak mempedulikan fatwa tersebut.

Terlepas dari respon umat Islam di atas, supaya tidak menimbulkan keraguan perlu dikaji kembali sejauhmana hukum bermuamalah dengan perbankan konvensional setelah terbitnya fatwa tersebut. Pasalnya jika dikatakan Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari’ah dan mudah di jangkau,tidak dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga, tentu kebanyakan perkotaan saat ini sudah ada bank syariah bahkan sampai ke kota kecamatan pun sudah ada. Lalu sejauhmana batasan sudah atau belum adanya bank syariah, apakah dalam satu desa, kecamatan, kabupaten atau kota atau radius kilometer tertentu?

Argumentasi MUI dalam membolehkan daerah-daerah yang belum ada bank syaraiahnya bermuamalah dengan bank syariah adalah karena

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

3

adanya hajat (keperluan) atau dharurat. Lalu sejauhmana batasan hajat atau dharurat dalam hal ini? Lalu kalangan yang masih bermualah dengan perbankan syariah adakah argumentasi lain bagi mereka selain dharurat/hajat?

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Riba

Riba menurut bahasa artinya ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar.2 Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil3. Kata riba juga berarti; bertumbuh menambah atau berlebih. Al-riba atau ar-rima makna asalnya ialah tambah tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba adalah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara’, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang disyaratkan dalam Al-Qur’an. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa inggris sebagai “usury”yang artinya “the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara para ulama’ fikih mendefinisikan riba dengan “ kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo.4

Wahbah Az-Zuhaili mengartikan riba sebagai berikut:

2 Zainuddin Ali, Hukum perbankan Syari’ah, 2008, Jakarta : Sinar Grafika. Hal 88, lihat

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktek, 2001, Jakarta : Gema

Insani, Hal. 37. Lihat Abdullaoh Saeed, Islamic Banking And Interest : A Study Of The

Probihition Of Riba And Itis Kontemporary. (Laiden: E Jibril 1996) 3 Zainudin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah.................hal. 88. Lihat M. Syafi’i Antonio,

Bank Syariah.....hal. 37. Lihat syafi’i Antonio. Wacana ualama’ dan cendikiawan, central bank of

Indonesia and Tazkia institute, Jakarta 1999. 4 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat kontemporer, 2000, Jogjakarta : UII

Press. Hal. 147

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

4

ع شياء �صوصة : وهو ا���دة ا

�ا � ا�ز

Riba menurut syara’ adalah tambahan dalam perkara-perkara tertentu. Abdurrahman Al-Jaziri mengemukakan bahwa riba adalah

penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang dipertukarkan tanpa ada ganti atas tambahan tadi. Menurut Syaikh Muhammad Abduh, riba adalah penambahan-penambahan yang disyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.

Riba menurut MUI5 adalah

a. Bunga (Interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang di per-hitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut,berdasarkan tempo waktu,diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.

b. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penagguhan dalam pembayaran yang di perjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah suatu kelebihan tertentu dalam penukaran barang yang sejenis atau jual beli barter maupun dalam utang piutang tanpa disertai imbalan dan penambahan itu disyaratkan dalam perjanjian.

2. Macam-macam Riba

a. Menurut Ulama Hanafiah

Jumhur ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba nasi'ah. 1) Riba Fadhl

Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah: "Tambahan harta pada akad jual-beli barang sejenis yang diukur atau ditimban.”6

5 Dalam Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tenteng Bunga (Interest/Faidah)

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

5

Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli pada barang sejenis yang dilakukan tidak berdasarkan cara yang dicontohkan oleh Rasulullah. Rasulullah mecontohkan apabila akad jual beli, maka harus dilakukan dengan cara kontan (yadan bi yadin), sama kuantitas dan kualitias (sawaa an bi sawain) pada yang mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satu benda tersebut. Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli antar barang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya agar terhindar dari unsur riba. Tetapi jika barang tersebut tidak sejenis maka dibolehkan tidak sama kualitas atau kwantitasnya.

Riba Fadl disebut juga riba buyu' yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa an bi sawa in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.

b. Riba Nasi'ah

Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi'ah adalah: "Memberikan kelebihan terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya.”7

Riba Nasi'ah disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.

6 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth.),

Juz. 5, h. 354. 7 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, tth.),

Juz. 5, h. 356.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

6

Nasi'ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghunmu (untung) muncul tanpa adanya al ghurmi (resiko), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada kemungkinan untung dan rugi.

Ibn Abbas, Usamah Ibn Zaid Ibn Arqam, Zubair, Ibn Jabir, dan lain-lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi'ah. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Tidak ada riba kecuali pada riba nasi'ah.”

Ulama lainnya menentang pendapat tersebut dan memberi-kan dalil-dalil yang menetapkan riba fadhl, sedangkan tabi'in sepakat tentang haramnya kedua riba tersebut dan perbedaan pendapat pun hilang.

Selain itu, mereka yang menyatakan bahwa hanya riba nasi'ah yang diharamkan kemungkinan tidak utuh dalam memahami hadis di atas. Asal hadis di atas adalah Nabi saw. ditanya tentang pertukaran antara gandum dan sya'ir, emas dan perak yang pembayarannya diakhirkan, kemudian Nabi saw. bersabda, "Tidak ada riba kecuali pada riba Nasi'ah. " Hadis ini lebih tepat diartikan bahwa riba nasi'ah adalah riba terberat dibandingkan dengan riba lainnya. Hal ini sama dengan pernyataan. "Tidak ada ulama di daerah ini kecuali Ahmad”, padahal kenyataannya, juga ada ulama selain Ahmad. Hanya saja Ahmad merupakan ulama yang paling disegani.

b.. Menurut Ulama Syafi'iyah

Ulama Syafi'iyah membagi riba menjadi tiga jenis.

1) Riha Fadhl

Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

7

pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

2) Riba Yad

Jual:beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu), yakni bercerai-berai antara dua orang yang akad sebelum timbang terima, seperti menganggap sempurna jual beli antara gandum dengan sya'ir tanpa harus saling menyerahkan dan menerima di tempat akad.

Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi'ah, yakni menambah yang tampak dari utang.

3) Riba Nasi'ah Riba Nasi'ah, yakni jual-beli yang pembayarannya

diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.

Menurut ulama Syafi'iyah, riba yad dan riba nasi'ah sama-sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis. Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang, sedangkan riba nasi'ah mengakhirkan hak dan ketika akad dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun sebentar. Al-Mutawalli menambahkan. jenis riba dengan riba qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi menempatkannya pada riba fadhl.

3. Ayat dan Hadits yang menunjukkan keharaman riba

Riba diharamkan berdasarkan Al-Quran, sunah, dan ijma':

a. Al-Quran

�ا �م ا�ر يع وحر�

ا# حل� ا$� وأ

Artinya: "Allah ielah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS.Al-Baqarah: 275)

وذروا ما ين ءامنوا ا+�قوا ا$� �

ها ا/ 12�ا إن كنتم 6ؤمن4 يا3 �فإن )A@?(ب> من ا�ر

6والFم ال ورسوM وLن تJتم فلFم رءوس أ ذنوا Pرب من ا$�

�م +فعلوا فأ

+ظلمون

)W@?(+ظلمون وال

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

8

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat'(dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. " (QS. Al-Baqarah : 278-279)

b. As-Sunah

اجتaبوا �سبع ا_و�قات قا�وا يا رسول اهللا وما هن قال ا��ك باهللا وا�سحر وقتل اlفس الj حرم اهللا إال باiق وأgل ا�ر�ا وأgل مال اefيم واdوc يوم

ا�زحف وقذف ا_حصنات ا_ؤمنات الغافالتArtinya: "Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, 'Tinggalkanlah tujuh dosa yang dapat membinasakan. ' Sahabat bertanya, 'Apakah itu, ya Rasulullah?' Jawab Nabi, (1) Syirik (mempersekutukan Allah); (2) Berbuat sihir (tenung); (3) Membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali yang hak; (4) Makan harta riba; (5) Makan harta anak yatim; (6) Melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang; dan (7) Menuduh wanita mukminat yang sopan (berkeluarga) dengan tuduhan zina. "(HR. Bukhari)

عن ابن 6سعود رv اهللا عنه قال رسول اهللا صu اهللا عليه وسلم لعن آgل ا�ر�ا و6ؤzه وyتبه وشاهده

Artinya; "Diriwayatkan oleh Ibn Mas'ud r.a. bahwa Rasulullah SAW. telah melaknat pemakan riba, yang mewakilinya, saksinya, dan penulisnya,” (HR. Abu Dawud dan lain-lain)

c. Ijma'

Seluruh ulama sepakat bahwa riba diharamkan dalam Islam.

4. Pendapat Ulama tentang Bunga Pada Bank Konvensional Ulama berbeda pendapat tentang hukum riba pada bank

konvensional. Berikut pendapat-pendapat ulama tersebut:

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

9

a. Abu Zahrah, guru besar pada Fakultas Hukum Universitas Kairo, Abu A'la al-Maududi di Pakistan, Muhammad Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa bunga bank itu (riba nasiah) dilarang oleh Islam oleh sebab itu ummat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa). Di antara ulama tersebut, Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah "darurat atau terpaksa" tetapi secara muflak beliau mengharamkan.

b. Mustafa Ahmad az-Zaqra, guru besar hukum Islam dan hukum perdata Universitas Syariah di Damaskus mengemukakan, bahwa riba yang diharamkan seperti riba yang beriaku pada masyarakat jahiliah, yang merupakan pemerasan terhadap orang yang lemah (miskin), yang bersifat konsumtif. Berbeda dengan yang bersifat produktif, tidak termasuk haram. Dr. Muhammad Hatta di Indonesia ini juga berpendapat demikian.

c. A. Hasan (Persis) berpendapat bahwa bunga bank (rente), seperti yang berlaku di Indonesia, bukan riba yang diharamkan karena tidak berlipat ganda sebagaimana yang dimaksud oleh firman Allah dalam surat Ali Imran: 130.

d. Majelis Tarjih Muhammadiah dalam muktamarnya di Sidoarjo 1968 memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank kepada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, artinya belum jelas halal haram-nya. Sesuai dengan petunjuk Hadis Rasulullah kita harus berhati-hati dalam menghadapi hal-hal yang masih syubhat itu. Dengan demikian kita boleh bermuamalah dengan bank apabila dalam keadaan terpaksa saja.

e. Lajnah Bahsul Masa'il Nahdhatul Ulama, Menurut Lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini: 1) Haram: sebab termasuk hutang yang dipungut rente. 2) Halal: Sebab tidak ada syarat pada waktu aqad, sementara adat

yang berlaku, tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. 3) Syubhat: (tidak tentu halal-haramnya) sebab para ahli hukum

berselisih pendapat tentangnya. Meskipun ada perbedaan pandangan, Lajnah memutuskan bahwa (pilihan) yang lebih berhati-hati ialah pendapat pertama, yakni menyebut bunga bank adalah haram.

f. Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurang-nya sejak

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

10

tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.

g. Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas Al Azhar, Cairo, pada bulan Muharram 1385 H./ Mei 1965, ditetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktek pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad Zarqa, Dr. Yusuf Qardhawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.

Dalam garis besarnya ada empat pendapat yang berkembang dalam masyarakat mengenai masalah riba ini, yaitu: 1) Pendapat yang mengharamkan. 2) Pendapat yang mengharamkan bila bersifat konsumtif, dan tidak

haram bila bersifat produktif. 3) Pendapat yang membolehkan (tidak haram). 4) Pendapat yang mengatakan syubhat.

Secara mayoritas Ulama mengharamkan bunga bank karena dianggap sebagai riba sebagaimana yang dilarang menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah.

5. Pendapat Yang Dipilih

Mayoritas pendapat ulama mengharamkan bunga bank

konvensional dan mengkategorikannya sebaga riba yang diharamkan Al-

Quran da Al-Sunnah. Namun faktanya mayotitas umat Islam masih

bermuamalah dengan perbankan syariah, bahkan di negara-negara Islam

sekalipun. Bahkan di Indonesia Majelis Ulama Indonesia telah

mengeluarkan fatwa resmi, namun umat islam napaknya tidak begitu

mempedulikan. Hal ini tergambar dari market share perbakan syariah di

Indonesia yang telah berjalan lebih dari 20 tahun tetapi capaiannya masih

rendah yaitu tidak lebih dari 5 %. Namun demikian sejatinya masih banyak

umat yang kebingungan dalam mentukan sikap untuk bermuamalah dengan

bank konvensional. Apalagi setelah MUI mengeluarkan fatwa haram.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

11

Banyak kalangan yang berpedoman pada argumentasi dharurat

dalam bermuamalah dengan perbankan kovensional sungguhpun kini sudah

ada bank syariah. Namun demikian alasan ini pun mendapat kritikan tajam

karena menurut para penolaknya persoalan bermualalah dengan perbankan

tidak dapat dikaitkan dengan dharurat. Karena kalau tidak bermuamalah

dengan bank konvensional tidak menimbulkan bahaya atau ancaman jiwa.

Bagi penulis, pendapat yang mengaramkan bunga bank secara

mutlak dan menganggap tidak ada pintu untuk memperbolehkanya adalah

tindakan menutup kemaslahatan. Karena di balik perbankan konvensional

ada kemaslahatan yang dapat diambil oleh masyarakat. Juga sebenarnya

menyamakan perbankan kovensional dengan praktik rente zaman jahiliah

adalah berbeda sebagaimana dikatakan Mustafa Zarqa dan A. Hasan. Hal ini

juga seperti ditegaskan oleh Abdullah Saeed, seorang professor dari

Universitas Melbourne keturunan Arab, yang berpendapat bahwa praktik

bunga bank pada bank konvensonal berbeda dengan praktik zaman pra

Islam. 8

Karena itu, dengan tetap mendukung dikembangkannya perbankan

syariah, kita harus arif dalam menyikapi hukum perbankan konvensional.

Tidak beranggapan seoalah-olah bank konvensional haram mutlak

sementara bank syariah dianggap syariah murni. Padahal kita juga menyadari

bahwa pengembangan bank syariah juga lebih banyak didasari oleh ijtihad

ulama dan inovasi-inovasi produk oleh pengelola petbankan syariah.

Karena itu, penulis mendukung pendapat yang mengatakan bahwa riba pada bank konvensional termasuk riba yang diharamkan tetapi umat Islam masih dibolehkan untuk bermuamalah dengan bank konvesional selagi bank syariah belum memberikan layanan yang luas dengan jaringan yang luas dan menawarkan produk-produk pembiayaan dan investasi yang prospektif dan kompetitif. Alasannya kebolehannya karena adanya hajat. Sedangkan hajat menurut para ulama ushul berkedudukan sama dengan dharurat, sebagaimana dalam kaidah:

اiاجة ت|ل م|لة ا�}ورة

8 Lihat Abdullah Saeed, “Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of

Interest and its Contemporary Interpretation”, (Leiden: Brill Academic Publisher, 1996).

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

12

Hajat itu sama kedudukannya dengan dharurat

Dan dharurat menyebabkan hal-hal yang dilarang menjadi dibolehkan. Ulama ushul merusmuskan kaidah:

ا��ورة ت�يح ا�حظورات

Keadaan darurat dapat menghalalkan hal-hal yang semula dilarang

Hanya saja penggunaan kaidah ini ditolak oleh pihak-pihak yang mendukung pengharaman mutlak bank konvensional dengan alasan kemadharatan dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan keterancaman jiwa. Di sinilah kita perlu mendefinisikan kembali pengertian dharurat dalam muamalah. Dalam arti bahwa kedharuratan dalam muamalah berbeda dengan kedharuratan keterancaman jiwa. Kedaruratan dalam muamalah ditandai munculnya kesulitan-kesulitan dalam kaifiyat (tata cara) bermuamalah. Karena Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam hal muamalah kebanyakan tidak memberikan pedoman yang rinci.

Ulama fiqih telah merumuskan kaidah9:

ب ا���س� ل

�ة مشق�

ا�

Kesulitan menuntut adanya kemudahan

Sekiranya umat Islam saat ini tidak diperbolehkan sama sekali untuk bermuamalah dengan bank konvensional, maka akan menyebabkan umat Islam akan mengalami kesulitan dalam bermuamalah maliah.

Pada saat ini, sungguhpun di berbagai kota dan daerah sudah ada bank syariah, namun masih dalam jumlah yang terbatas, padahal di era kehidupan modern ini semua serba cepat, hemat waktu, dan memberikan kemudahan, sehingga ketika keberadaan bank-bank syariah belum menyebar ke berbagai penjuru kota atau daerah, maka umat masih mengalami kesulitan. Apalagi di kota besar yang mengalami kemacetan. Jarak yang

9 Abd al-rahman bin Abi bakr al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut: Dar al-

Kutub al-Ilmiah, 1403 H), h. 76.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

13

dekat karena kemacetan memakan waktu yang lama. Tentu situasi ini dinilai oleh orang zaman sekarang sebagai kesulitan.

C. Kesimpulan

Setelah dibahas berbaga pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa umat Islam masih diperkenankan (dibolehkan) bermuamalah dengan bank konvensional sampai bank syariah mampu memberikan layanan yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan dengan produk-produk yang dapat menutupi kebutuhan masyarakat dalam muamalah maliah. Sehingga sungguhpun di suatu kota atau daerah sudah ada bank syariah, jika keberadaan bank syariah masih jauh dari umat yang memerlukan, maka hukum bermuamalat dengan bank konvensional hukumnya diperbolehkan.

DAFTAR PUSTAKA

Zainuddin Ali, Hukum perbankan Syari’ah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari teori ke praktek, Jakarta : Gema Insani, 2001.

Abdullaoh Saeed, Islamic Banking And Interest : A Study Of The Probihition Of Riba And Itis Kontemporary. Laiden: E Jibril 1996.

Antonio. Wacana ualama’ dan cendikiawan, central bank of Indonesia and Tazkia institute, Jakarta 1999.

Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat kontemporer, 2000, Jogjakarta : UII Press.

Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tenteng Bunga (Interest/Faidah)

Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, tth.

Abd al-rahman bin Abi bakr al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1403 H.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

14

PEMBIAYAAN MUDHARABAH (BAGI HASIL)

ANTARA PERBANKAN SYARI’AH DENGAN KAJIAN FIQIH

Oleh : Khusnul Khatimah1

Abstrak

Operasional perbankan syariah merupakan perpaduan antara aspek moral dan aspek bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari setiap usahanya serta menghindari bunga, hal ini bertujuan agar para nasabah tidak dirugikan dan adanya unsur keadilan antara pihak perbankan dan nasabah ketika usahanya mengalami kerugian. Pola bagi hasil terdiri dari dua model yaitu akad mudharabah dan akad musyarakah.

Lalu agaimana sesungguhnya sistem pembiayaan mudharabah menurut kajian fiqih, maka dalam materi ini hendak mencermati dan membahasa bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

Konsep mudharabah antara Fiqih muamalah dengan prakteknya pada perbankan syariah di Indonesia tidak seratus persen sesuai, ada beberapa perbesaan berdasarkan ijtihad yang dilakukan melalui Dewan Syariah Nasional (DSN). Diantaranya adalah jangka waktu dan jaminan. Menurut mayoritas ulama, tidak dibolehkan adanya jangka waktu dalam mudharabah. Namun, dikarenakan pembiayaan yang diberikan oleh bank banyak untuk perdagangan jangka pendek, maka DSN membolehkan adanya jangka waktu tersebut.

Keyword : Mudharabah, Shahibul Mal, Mudharib, Ro’sul Mal, Fiqih Muamalah.

A. Pendahuluan

Bank syariah atau bank islam merupakan sistem perbankan yang berbeda dengan bank konvensional yang telah lama beroperasi menggunakan konsep bunga. Konsep bunga tersebut merupakan unsur riba

1 Adalah Sekertaris Jurusan Prodi Perbankan Syariah FAI-UIA

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

15

yang telah dilarang oleh Islam dalam melakukan transaksi bisnis. Riba mengandung unsur eksploitasi juga menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat terutama bagi perbankan yang pasti menerima keuntungan tanpa tahu apakah debitor menerima keuntungan atau tidak. Dengan adanya larangan riba tersebut maka munculah perbankan syariah, keberadaannya yang mengutamakan sistem bagi hasil dan tidak mengandalkan bunga sebagai prinsip dasar perbankan syariah, diharapkan dapat memicu kesejahteraan masyarakat.

Operasional perbankan syariah merupakan perpaduan antara aspek moral dan aspek bisnis yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari setiap usahanya serta menghindari bunga, hal ini bertujuan agar para nasabah tidak dirugikan dan adanya unsur keadilan antara pihak perbankan dan nasabah ketika usahanya mengalami kerugian. Pola bagi hasil terdiri dari dua model yaitu akad mudharabah dan akad musyarakah. Mudharabah merupakan kerja sama antara dua pihak atau lebih dimana salah satu pihak menyediakan 100% dana/modal sementara pihak lain mengelola modal dan hasil usaha dibagi menurut rasio kesepakatan diawal. Dan musyarakah merupakan kerjasama antara dua orang atau lebih yang sepakat untuk sama-sama mengeluarkan modal dalam suatu usaha serta ikut andil dalam manajerial usaha bersama, risiko dan keuntungan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Pola ini merupakan akad bank syariah yang paling penting yang disepakati oleh ulama islam. Masih terkait dengan sistem pembiayaan bagi hasil, tentunya tidak terlepas dengan keterkaitannya dengan masyarakat baik sebagai nasabah maupun non nasabah. Salah satu keterkaitan tersebut adalah bagaimana sebetulnya masyarakat memahami sistem pembiayaan bagi hasil di bank syariah sehingga masyarakat mau menjadi mitra. Dalam sistem pembiayaan bagi hasil akan banyak ditemukan risiko yang akan berakibat pada kerugian bank syariah apabila bank syariah kurang selektif dalam memberikan pembiayaan dengan sistem bagi hasil.

Bahwa kegiatan-kegiatan investasi bank Islam oleh para teoritis Perbankan Islam membayangkan mesti di dasarkan pada dua konsep hukum : Mudharabah dan Musyarakah, atau yang dikenal dengan istilah Profit and Loss Sharing (PLS). Mereka berpendapat bahwa Bank Islam akan menyediakan sumber-sumber pembiayaan yang luas kepada para peminjam dengan prinsip berbagi-risiko, tidak seperti pembiayaan berbasis bunga dimana peminjamnya menanggung semua risiko. Namun dalam praktiknya, bank-bank Islam umumnya telah menyadari bahwa PLS, seperti yang dibayangkan para teoritisi, tidak dapat digunakan secara luas dalam Perbankan Islam dikarenakan risiko-risiko yang ditanggungkan kepada

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

16

Bank. Apakah konsep teoritis yang ditawarkan dengan sistem Mudharabah dalam Kajian fiqih dapat diaplikasikan secara murni pada Perbankan Islam dalam tingkat realitas?.

Dilihat dalam pandangan sejarah, sistem bagi-hasil yang diterapkan dalam perbankan Islam dalam bentuk mudharabah sesungguhnya merupakan suatu ciptaan yang baru sekarang ini. Bahkan bank Islam dalam pengertian sekarang sesungguhnya tidak ada dalam sejarah peradaban Islam lama ataupun pertengahan. Sebab cara kerja bank Islam sama saja dengan cara kerja bank konvensional. Karena itu, bagi hasil yang digunakannya berbeda dari bagihasil pada masa Rasulullah ataupun masa kehidupan para pakar hukum Islam lama. Bagi hasil pada masa Islam pertama dan abad pertengahan terjadi secara perseorangan atau antar individu sedangkan bagihasil dalam bank Islam terjadi pada dua tingkat, yakni bagi-hasil investor dengan bank dan bagi hasil bank dengan pengusaha. Perbedan itu lebih dipengaruhi segi kelembagaan bank itu sendiri.

Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem perbankan yang kredibel dan dapat dinimati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Tujuan dari perbankan syariah ini adalah menyediakan fasilitas keuangan dengan cara mengupayakan instrument-instrumen keuangan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan norma-norma syariah, juga bukan ditunjukan terutama untuk memaksimumkan keuntungan sebagaimana halnya sistem perbankan yang berdasarkan bunga, melainkan untuk memberikan keuntungankeuntungan sosio-ekonomis bagi orang-orang muslim. Praktek pembiayaan di perbankan syariah bahwa yang menjadi objek pembiayaan selain uang dan barang modal yakni menentukan besarnya jumlah uang untuk pembelian barang modal. Pengertian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah kegiatan yang berupa penyediaan uang dan barang dari pihak bank kepada nasabah sesuai kesepakatan yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil yang didasari prinsip bagi hasil.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

17

Bagaimana sesungguhnya sistem pembiayaan mudharabah menurut kajian fiqih, maka dalam materi ini hendak mencermati dan membahasa bagaimana konsep Mudharabah itu dikembangkan dalam fiqih dan dapat digunakan dalam Perbankan Islam.

B. Mudharabah dalam Kajian fiqih

1. Pengertian

Dalam fiqih Islam mudharabah merupakan salah satu bentuk kerjasama antara rab al-mal (investor) dengan seorang pihak kedua (mudharib) yang berfungsi sebagai pengelola dalam berdagang. Istilah mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan Qiradh. Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukul kakinya dalam menjalankan usaha2. Secara terminologi, para Ulama Fiqh mendefinisikan Mudharabah atau Qiradh dengan3 : “Pemilik modal (investor) menyerahkan modalnya kepada pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik bersama dan dibagi menurut kesepakatan”. Mudharib menyumbangkan tenaga dan waktunya dan mengelola kongsi mereka sesuai dengan syarat-syarat kontrak. Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada, akan dibagi antara investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian, jika ada, akan ditanggung sendiri oleh si investor4.

Mudharabah merupakan wahana utama bagi lembaga keuangan Islam untuk memobilisasi dana masyarakatdan untuk menyediakan berbagai fasilitas, antara lain fasilitas pembiayaan, bagi para pengusaha. Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahib al-maal)

2 Muhammad Syafi‟i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, hal. 95. Yang dikutip

dari M. Rawas Qal‟aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut:Darun-Nafs, 1985). 3 As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Jilid 22. hal. 18. dikutip dari DR. H. Nasrun Haroen, MA,

Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama), hal. 175-176. 4 Jaziri, Fiqh III, hal. 34; Saleh, Unlawful Gain, hal. 103; Abd. Al-Qadir, Fiqh al-

Mudharabah, hal. 8-9; Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hal. 66; El-asyker, The

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

18

mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dalam pandual kontribusi 100% modal kas dari shahib al-maal dan keahlian mudharib.Mudharabah juga merupakan suatu transaksi pembiayaan berdasarkan syariah, yang juga digunakan sebagai transaksi pembiayaan perbankan Islam, yang dilakukan oleh para pihak berdasarkan kepercayaan.Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam transaksi pembiayaan mudharabah, yaitu kepercayaan dari shahib al-maal kepada mudharib.

Kepercayaan merupakan unsur terpenting, karena dalam transaksi mudharabah, shahib al-mal tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari mudharib dan tidak boleh ikut campur di dalam pengelolaan proyek atau usaha yang notabene dibiayai dengan dana shahib al-mal tersebut. Tanpa adanya unsur kepercayaan dari shahib al-mal kepada mudharib, maka perjanjian transaksi mudharabah tidak akan terjadi. Karena unsur kepercayaan merupakan unsur penentu, maka dalam perjanjian mudharabah, shahib al-mal dapat mengakhiri perjanjian mudharabah secara sepihak apabila shahib al-mal tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap mudharib.

2. Hukum Mudharabah dan Dasar Hukumnya.

Secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali5, namun ayat-ayat Qur‟an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”6. Dalam Islam akad mudharabah dibolehkan, karena bertujuan untuk saling membantu antara rab al-mal (investor) dengan pengelola dagang (mudharib). Demikian dikatakan oleh Ibn Rusyd (w.595/1198) dari madzhab Maliki bahwa kebolehan akad mudharabah merupakan suatu kelonggaran yang khusus7. Meskipun

mudharabah tidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur‟an atau Sunnah, ia adalah sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan

5 Al-Qur‟an 2:273; 3:156; 4:101; 5:106; 73:20. 6 Asad, The Message, hal. 92, 905. 7 Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid II, hal. 178.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

19

oleh umat Islam, dan bentuk dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh. Dasar hukum yang biasa digunakan oleh para Fuqaha tentang kebolehan bentuk kerjasama ini adalah firman Allah dalam Surah al-Muzzammil ayat 20 :

رض ' ي�%ون وآخرون ... ضل من ي�تغون األ

ا�1 ف

Artinya : “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”. (Al-muzammil : 20)

� �����ا أن ���ح ���� ��� �� ر"� !�

Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198).

Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami „Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembah-lembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani). Dia katakan bahwa Nabi dan beberapa Sahabat pun terlibat dalam kongsi-kongsi mudharabah8. Menurut Ibn Taimiyyah, para fuqaha menyatakan kehahalan mudharabah berdasarkan riwayat-riwayat tertentu yang dinisbatkan kepada beberapa Sahabat tetapi tidak ada Hadits sahih mengenai mudharabah yang dinisbatkan kepada Nabi9.

8 Ibnu Hisyam, al-Sirat al-Nabawiyah I, hal.188; Ibnu Qudamah, Mughni V, hal.26. 9 Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatwa Syaikh al-Islam XXIX, hal. 101.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

20

3. Rukun dan Syarat Mudharabah

Sebagaimana akad lain dalam syariat Islam, agar mudharabah atau qirad mejadi sah, maka harus memenuhi rukun dan syarat mudharabah. Menurut mahzab Hanafi, apabila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak dipenuhi maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga akad tersebut menjadi fasid (rusak).

Sedangkan rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur Ulama ada 3 yaitu; dua orang yang melakukan akad (al-aqidani),modal ( ma’qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul). Ulama syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi enam rukun :

a. Pemilik modal (shohibul mal )

b. Pelaksana usaha (mudharib / pengusaha )

c. Akad dari kedua belah pihak ( Ijab dan kabul )

d. Objek mudharabah ( pokok atau modal)

e. Usaha (pekerjaan pengelolaan modal)

f. Nisbah keuntungan

Sedangkan menurut ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul saja, sedangkan sisa rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, sebagai syarat akad mudharabah.

Jadi dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah10 memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul sebagai syarat akad mudharabah. Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :

a. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.

10 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid IV, hal. 839.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

21

b. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungannya.

c. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.

4. Modal

Seperti dijelaskan di atas, bahwa modal harus berbentuk uang. Untuk menghindari bentuk perselisihan, kontrak mudharabah harus jelas jumlah modalnya. Modal mudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada saat dilanjutkan kontrak mudharabah. Karena dalam kontrak semacam ini si investor dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh kembali hutangnya sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari suatu hutang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat Madzhab Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi adalah hutang calon mudharib kepada investor11. Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada mudharib agar kontrak ini menjadi sah11. Mudharib bebas menginvestasikan dan menggunakan modal tersebut dalam batasbatas klausul kontrak mudharabah yang secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.

5. Manajemen

Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk kongsi, hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga, melibatkan diri dalam suatu

11 Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 73

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

22

kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain tanpa ditentukan oleh investor. Sehingga mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal. Dilihat dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan mudharib, Ulama Fiqh membagi mudharabah kepada dua jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan Mudharabah muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal dengan syarat dan batasan tertetu). Dalam mudharabah muthlaqah, mudharib boleh dan bebas menggunakan modal untuk membeli barang apapun dari siapapun dan kapanpun ia boleh menjual barang-barang mudharabah dengan cara tunai atau kredit bahkan ketika si mudharib dibatasi pun, ia bebas berdagang sesuai dengan praktik umumnya para pedagang12. Akan tetapi dalam mudharabah muqayyadah, mudharib harus mengikuti syarat -syarat dan batasan-batasan yang dikemukakan oleh investor. Misalnya, mudharib harus berdagang barang tertentu, pada tempat tertentu, dan membeli barang pada orang tertentu13. Menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, jika investor menentukan bahwa mudharib tidak boleh membeli kecuali dari orang tertentu, maka mudharabah itu batal14. Abu Saud, penulis kontemporer tentang Bank Islam, mengatakan :(mudharib) harus memiliki kebebasan muthlak dalam berdagang dengan uang yang diberikan kepadanya dan mengambil segala langkah/keputusan yang ia anggap tepat untuk memperoleh keuntungan maksimal. Segala syarat yang membatasi kebebasan semacam ini merusak keabsahan perjanjian mudharabah15.

6. Jangka Waktu

Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak mudharabah tidak boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab Hanafi dan Hambali membolehkan klausul demikian. Ulama yang berpendapat pertama memberikan argumen bahwa pembatasan waktu semacam ini bisa membuat peluang yang baik lepas dari tangan mudharib atau

12 Sarakhsi, Mabsuth XXII, hal. 38-39 13 Ibnu Qudamah, Op. Cit, hal. 26 dst. 14 Ibid, hal. 69 15 Abu Saud, Money, Interest and Qiradh, hal. 70

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

23

mengacaukan rencana-rencananya, sehingga mengakibatkan tidak dapat memperoleh keuntungan dari usaha yang telah dilakukan. Mengenai penghentian kontrak mudharabah, masing-masing dari pihak berhak untuk mengentikan kontrak tersebut dengan memberitahukan keputusan itu kepada pihak lain. Karena bagi mayoritas fuqaha mudharabah bukanlah suatu kontrak yang mengikat. Tak ada perbedaan pendapat ketika penghentian ini dilakukan sebelum mudharib mulai menjalankan mudharabah. Imam Syafi’i dan Hanafi mengungkapkan bahwa bahkan setelah mudharib menjalankan mudharabah, siapapun diantara kedua belah pihak bisa menghentikannya. Namun Imam Malik tidak mengizinkannya dalam penghentian kontrak semacam tersebut. Ketika kontrak mudharabah menjadi batal untuk alasan apapun, si mudharib harus diberi upah yang layak sebagai imbalan dari pekerjaan yang telah ia lakukan, meskipun dalam ketentuan mudharabah tidak demikian, namun dilakukan sebagai sebagai suatu kontrak upahan (ijarah). Hal tersebut berdasarkan klausul suatu kontrak upahan, dimana seorang pekerja harus diberi upah atas pekerjaannya16.

7. Jaminan

Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan yang bersifat „gadai‟ dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini dalam syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik dan Syafi’i17.

8. Pembagian Laba dan Rugi

Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak dibenarkan berdasarkan kedua komponen

16 Ibnu Rusyd, Op. Cit, hal. 181 17 Ibid, hal. 179

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

24

tersebut. Risiko yang terkandung juga menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan usahanya. Ketentuan suku laba bagi masing-masing pihak harus ditentukan sebelumnya dalam kontrak mudharabah. Suku laba harus berupa rasio dan bukan jumlah tertentu. Penetapan jumlah tertentu, misalnya seratus satuan mata uang, bagi salah satu pihak membatalkan mudharabah karena adanya kemungkinan bahwa keuntungan tidak akan mencapai jumlah yang ditetapkan ini.

Sebelum sampai kepada suatu angka laba, kongsi mudharabah harus dikonversikan menjadi uang, dan modal harus disisihkan. Mudharib berhak memotong seluruh biaya yang terkait dengan bisnis dari modal mudharabah. Pembagian keuntungan diantara dua pihak tentu saja harus berdasarkan proporsi dan tidak memberikan keuntungan sekaligus atau yang pasti kepada rab al-mal (investor). Investor tidak bertanggung jawab atas kerugian-kerugian di luar modal yang telah diberikannya18, ia hanya bertanggung jawab atas jumlah modal yang telah ditanamkan dalam kongsi. Untuk alasan inilah mudharib tidak diizinkan mengikat kongsi mudharabah dengan suatu jumlah yang melebihi modal yang telah ditanamkan oleh investor dalam kongsi tersebut. Setiap komitmen seperti itu harus dengan persetujuan investor bila investor harus bertanggung jawab atasnya. Namun jika mudharib melakukan kesalahan dan mengabaikan atas kesepakatan bersama dengan investor, maka akan menjadi tanggung jawab mudharib dari segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh pelanggaran itu. Oleh sebab itu, mudharabah dapat dianggap sebagai suatu kontrak dimana investor menanggung sedikit tanggung jawab, berbeda dengan mudharib yang menanggung tanggung jawab tidak terbatas. Sebanding dengan posisi yang tidak menguntungkan pada simudharib. Investor harus menanggung segala kerugian atau biaya kongsi mudharabah jika mudharib menjalankan tindakan-tindakan sesuai dengan syarat-syarat kontrak dan tidak melakukan salah-guna (misuse) atau salah-urus (mismanage) atas modal yang dipercayakan kepadanya.

18 Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip,Praktik, Prospek. (Serambi: Jakarta 2001), hal. 66

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

25

C. Mudharabah dalam Perbankan Islam

Pembahasan mudharabah dalam Perbankan Islam lebih cenderung bersifat aplikatif dan praktis, jika dibandingkan dengan literatur fiqh yang bersifat teoritis. Kontrak mudharabah bank-bank Islam saat ini sudah menjamur diseluruh dunia, terutama di Timur Tengah. Perbankan Islam telah menjadi istilah yang sudah tidak asing baik di dunia Muslim maupun di dunia Barat. Istilah tersebut mewakili suatu bentuk perbankan dan pembiayaan yang berusaha menyediakan layanan-layanan bebas „bunga‟ kepada para nasabah. Umumnya, kontrak mudharabah digunakan dalam perbankan Islam untuk tujuan dagang jangka pendek dan untuk suatu kongsi khusus. Kontrak-kontrak tersebut yang ada seringkali berarti jual-beli barang, yang menunjukkan sifat dagang dari kontrak ini19. Para nasabah bank Islam mengikuti kontrak-kontrak mudharabah dengan bank Islam. Mudharib (nasabah) setelah menerima dukungan pendanaan dari bank, membeli sejumlah atau senilai tertentu dari barang yang sangat spesifik dari seorang penjual dan menjualnya kepada pihak ketiga dengan suatu laba. Sebelum disetujuinya pendanaan, mudharib memberikan kepada bank segala perincian mendetail yang terkait dengan barang, sumber dimana barang dapat dibeli serta semua biaya yang terkait dengan pembelian barang tersebut. Kepada bank mudharib menyajikan pernyataan-pernyataan finansial yang disyaratkan menyangkut harga jual yang diharapkan, arus kas (cash flow) dan batas laba (profit margin), yang akan dikaji oleh bank sebelum diambil keputusan apapun tentang pendanaan. Biasanya bank akan memberi dana yang diperlukan jika ia telah cukup puas dengan batas laba yang diharapkan atas dana yang diberikan.

1. Modal

Kontrak-kontrak mudharabah bank Islam menentukan jumlah modal yang digunakan dalam kongsi. Ringkasnya, tidak ada dana tunai yang diberikan kepada mudharib. Jumlah modal diangsur ke dalam rekening mudharabah yang oleh bank dibuka untuk tujuan pengelolaan mudharabah. Karena umumnya mudharabah untuk tujuan pembelian barang-barang tertentu, maka bank sendirilah yang

19 FIBE, Contract of Mudharabah, Abdullah Saeed, Op. Cit, hal. 83

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

26

melakukan pembayaran kepada penjual. Dana-dana yang diberikan oleh bank sebagai modal tidak dalam penanganan mudharib dan ia tidak dapat menggunakannya untuk tujuan lain. Bagaimanapun juga, bank Islam, misalnya, menyatakan dalam kontrak mudharabah mereka bahwa mudharib tidak boleh menggunakan dana yang diberikan kepadanya untuk tujuan apapun selain yang telah ditetapkan dalam kontrak20, sebuah kalusul yang tampaknya agak kurang berarti dalam praktik.

2. Manajemen

Mudharib menjalankan mudharabah dan mengatur pembelian, penyimpanan, pemasaran, dan penjualan barang. Kontrak menetapkan secara detail bagaimana ia harus mengelola mudharabah. Mudharib harus memastikan bahwa deskripsi yang benar tentang barang telah tersedia pada saat pengajuan pendanaan. Ia pribadi bertanggung jawab atas segala kerugian atau biaya yang diakibatkan oleh suatu kesalahan atas spesifikasi karena bank tidak akan menanggung segala kerugian semacam ini. Ia harus menyimpannya baik-baik. Ringkasnya, mudharib harus mematuhi syarat-syarat terinci dari kontrak dalam kaitannya dengan manajemen kongsi, syarat-syarat yang mana umumnya ditentukan oleh bank.

3. Jangka Waktu

Jangka waktu yang digunakan dalam kontrak mudharabah umumnya ditetapkan oleh bank Islam, karena kontrak mudharabah juga umumnya digunakan untuk tujuan dagang jangka pendek. Kontrak mudharabah dalam bank Islam hendaknya mengklirkan (liquidated) dan modal bank beserta keuntungannya diserahkan pada waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, karena ada batas laba dari dana bank dihitung dengan mempertimbangkan jatuh tempo kontrak. Dari sudut pandang bank, sedikit saja penguluran dari waktu yang telah ditetapkan akan menempatkan bank dalam risiko, karena hal ini tidak akan memungkinkan dengan bank untuk mengubah rasio keuntungan yang sejak awal telah disepakati. Karena rasio keuntungan

20 JIB, Contract of Mudharabah; IIBD, Contract of Mudharabah.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

27

masih tetap konstan selama jangka waktu mudharabah, suatu penguluran dapat berarti pengurangan keuntungan atas modal yang diberikan. Beberapa bank Islam bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan mengusulkan bahwa jika mudharib tidak dapat sepenuhnya memanfaatkan dana selama jangka waktu yang telah ditentukan, maka ia harus memberikan ganti rugi kepada bank. IIBD (International Islamic Bank for Investment and Development)21 misalnya, menyataka : “Kontrak secara otomatis akan dibatalkan pada saat jatuh tempo. Mudharib harus mengembalikan dana mudharabah kepada investor dengan sedikit konpensasi atas penyimpanan dana selama waktu kontrak tanpa membuatnya produktif”.

4. Jaminan

Meskipun dalam fiqih tidak diperbolehkan investor untuk menuntut jaminan dari mudharib, bank-bank Islam umumnya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Hal ini mereka lakukan untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal ini diberikan kepada bank pada saat yang ditetapkan dalam kontrak. Jaminan dapat diberikan dari mudharib sendiri maupun dari pihak ketiga. Jaminan yang diminta oleh bankbank Islam tersebut tidak dibuat untuk memastikan kembalinya modal, tetapi untuk memastikan bahwa kinerja mudharib sesuai dengan syarat-syarat kontrak22. Salah satu klausul dalam kontrak mudharabah pada Faisal Islamic Bank of Egypt adalah “Jika terbukti bahwa mudharib menyalahgunakan atau tidak sungguh-sungguh dalam melindungi barang-barang atau dana-dana, atau bertindak bertentangan dengan syarat-syarat investor, maka mudharib harus menanggung kerugian, dan harus memberikan jaminan sebagai pengganti kerugian semacam ini”. Dalam kejadian yang maudharib bertanggung jawab atas kerugian seperti ini, penjamin diharuskan untuk memberikan ganti rugi kepada bank. Jika yang diberikan oleh penjamin belum mencukupi, maka mudharib harus memberikan jaminan tambahan dalam jangka waktu tertentu. Disampig jaminan tersebut, mudharib diharuskan untuk menyerahkan laporan-laporan

21 IIBD, Contract of Mudharabah. 22 FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

28

perkembangan berkala tentang kinerja umum mudharabah maupun tentang arus kas. Ia juga diwajibkan untuk selalu melakukan pencatatan atas keuangan yang terkait dengan kontrak, dan mengizinkan perwakilan bank untuk memeriksa catatan tersebut dan mengeditnya dan untuk menginvestarisasi di toko dan gudangnya kapanpun tanpa boleh ada darinya. Jika terjadi keterlambatan dalam menyerahkan pernyataan neraca atau laporan perkembangan berkala, maka akan berakibat pada pengurangan bagian laba mudharib sebanding dengan jangka waktu keterlambatannya. Bank mempunyai wewenang untuk mengambil alih manajemen proyek tersebut jika mudharib tidak dapat mencapai arus kas yang diproyeksikan atau pendapatan yang dibagikan. Bank juga dapat menuntut pembekuan mudharabah jika dilihat oleh bank bahwa tidak ada untungnya melanjutkan kontrak atau jika mudharib telah melanggar kalusul kontrak. Hal ini dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu ada peringatan atau proses hukum.

5. Pembagian Laba dan Rugi

Dalam pembagian laba dan rugi, secara teori, bank menanggung secara risiko, tetapi dalam praktik, dikarenakan sifat mudharabah bank Islam dan syarat-syarat yang ada di dalamnya, kerugian semacam ini mungkin akan jarang sekali terjadi. Bank Islam sepakat dengan nasabah mudharabahnya tentang rasio laba yang ditetapkan dalam kontrak. Rasio akan tergantung antara lain pada daya tawar si nasabah, prakiraan laba, suku bunga pasar, karakter pribadi nasabah dan daya jual barang, maupun jangka waktu kontrak. Jika mudharabah tidak menghasilkan suatu keuntungan, si mudharib tidak akan mendapatkan sedikitpun upah atas kerjanya. Dalam hal ini mengalami kerugian sepanjang tidak ditemukan bukti salah guna dan salah urus mudharib atas dana mudharabah atau sepanjang tidak ditentukan pelanggaran atas syarat-syarat yang ditetapkan oleh bank. Jika terbukti demikian, maka mudharib sendiri yang akan menanggung kerugian, dalam kasus mana jaminan yang terkait dengan tanggung jawab nasabah harus diberikan kepada bank. Pihak bank untuk mengambil alih dalam risiko dari setiap kerugian tidak begitu saja terjadi. Ia melewati bermacam-macam cara untuk menghilangkan ketidakpastian yang mungkin terjadi dalam kongsi mudharabah murni. Risiko aktuarial dalam kongsi mudharabah seperti yang digunakan

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

29

dalam perbankan Islam dapat diukur dan dapat dipastikan. Untuk alasan inilah, dapat dikatakan bahwa mudharabah bank Islam sedikit berbeda dengan penyelenggaraan investasi berisiko rendah maupun investasi bebas risiko manapun.

D. Kesimpulan

Mudharabah seperti yang dikembangkan dalam literatur fiqih adalah suatu kontrak dimana seorang yang terampil bisa menggunakan keterampilannya dengan uang dari investor dalam rangka menghasilkan

untung. Mudharabah tidak berdasarkan teks syari‟ah yang eksplisit, tetapi dia telah dipraktikkan sejak periode awal sejarah Islam. Mudharabah yang dikembangkan dalam fiqih adalah suatu kontrak dimana mudharib memiliki kebebasan yang diperlukan untuk menjalankan mudharabah dalam rangka menghasilkan laba. Karena mudharib merupakan pihak yang lebih lemah didalam kontrak yang per definisi, memberikan keterampilannya sebagai modal pada mudharabah, para Fuqaha tidak membolehkan adanya tuntutan jaminan terhadap mudharib. Di bawah perbankan Islam, mudharabah kemudian digunakan dalam kongsi-kongsi dagang berjangka pendek, yang di situ tidak ada transfer dana kepada pihak mudharib. Tidak ada kebebasan bertindak, karena semua bagian-bagian yang terperinci tentang bagaimana mudharabah harus dijalankan sudah ditetapkan di dalam kontrak. Peran mudharib terbatas pada melaksanakan atas kontrak. Konsep umum mudharabah (yaitu suatu bentuk pembiayaan modal usaha atau penyaluran kredit kepada mereka yang kekurangan dana tetapi memiliki keterampilan untuk menjalankan dagang atau bisnis dengan suatu keuntungan tidak pasti yang mugkin dapat atau mungkin tidak dapat diwujudkan) tidak tampil menjadi sesuatu yang menonjol atau yang cukup tampak dalam mudharabah perbankan Islam.

Konsep mudharabah antara Fiqih muamalah dengan prakteknya pada perbankan syariah di Indonesia tidak seratus persen sesuai, ada beberapa perbesaan berdasarkan ijtihad yang dilakukan melalui Dewan Syariah Nasional (DSN). Diantaranya adalah jangka waktu dan jaminan. Menurut mayoritas ulama, tidak dibolehkan adanya jangka waktu dalam mudharabah. Namun, dikarenakan pembiayaan yang diberikan oleh bank banyak untuk perdagangan jangka pendek, maka DSN membolehkan adanya jangka waktu tersebut.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

30

Juga yang berhubungan dengan jaminan pembiayaan mudharabah, pada prinsipnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. Untuk menjaga adanya kelalaian tersebut, maka bank mensyaratkan jaminan yang harus disimpan oleh mudharib. Sehingga apabila terjadi kerugian akibat kesalahan dan kelalaian mudharib, maka apabila mudharib tidak mampu membayar kerugian tersebut, jaminan dapat dicairkan untuk mengganti kerugian tersebut.

Daftar Pustaka

Abd. Al-Qadir, Fiqh al-Mudharabah,

Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah : Kritik atas Interpretasi Bunga Bank kaum Neo-Revivalis.

Abu Saud, Money, Interest and Qiradh,

Asad, The Message.

As-Sarakhsi, al-Mabsuth, Jilid 22.

El-asyker, The Islamic Bussines Enterprise.

FIBE, Contract of Mudharabah.

FIBS, Bank Faisal al-Islami al-Sudani.

Gema Insani 2001)

Ibnu Hisyam, al-Sirat al-Nabawiyah I.

Ibnu Qudamah, Mughni V.

Ibnu Rusyd, Bidayatul al-Mujtahid II.

Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatwa Syaikh al-Islam XXIX.

IIBD, Contract of Mudharabah.

Jaziri, Fiqh III,

JIB, Contract of Mudharabah.

M. Rawas Qal‟aji, Mu’jam Lughat al-Fuqaha, (Beirut:Darun-Nafs, 1985).

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

31

Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Al-Qaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, Prospek. (Serambi: Jakarta 2001).

Muhammad Syafi‟i antoni, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, (Jakarta:

Nasrun Haroen, Dr. MA, Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama).

Saleh, Unlawful Gain,

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid IV.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

32

BAITUL MAL WAT TAMWIL KOPERASI MIKRO SYARIAH UNTUK MENSEJAHTERAKAN

MASYARAKAT KELAS BAWAH

Oleh:

Mahfudz1

Abstrak

BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). Badan hukum adalah koperasi, karena itu secara otomatis di bawah pembinaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari kementerian ini. BMT lebih dari sekedar lembaga keuangan yang memiliki visi dan misi bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, tetapi juga berorientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat serta kalangan usaha kecil dan menengah. Berdasarkan hal tersebut, BMT perlu memaksimalkan peran dan eksistensinya ke depan, khususnya ketika memasuki era pasar bebas.

Persaingan usaha dan iklim ekonomi pada era pasar bebas akan menjadi daya tarik dan tantangan baru yang berat bagi BMT untuk menjadi lembaga keuangan mitra usaha kecil dan menengah. BMT perlu merestruktueisasi kelembagaannya dan mengoptimalkan perannya dalam membantu masyarakat dalam membangun ekonomi umat.

Kata Kunci: Baitul Maal, Tamwil, Ekonomi, Mikro, Pemberdayaan.

A. Pendahuluan

Salah satu perkembangan ekonomi syariah yang menggembirakan di Indonesia adalah munculnya lembaga keuangan syariah mikro yang hadit di tengah-tengah masyarakat, yaitu Baitul Maal Wat Tamwil (BMT). BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi

1 Adalah Ketua Program Studi Perbankan Syariah Fakutas Agama Islam Universitas

As-Syafiiyah Jakarta

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

33

simpan pinjam (KSP). Adapun bank umum merupakan lembaga keuangan makro sedangkan bank perkreditan rakyat merupakan lembaga keuangan menengah. Dari sekian banyak lembaga keuangan mikro seperti koperasi, BKD dan lainnya, BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syari’ah. Selain itu, BMT juga dapat dikatakan sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang keuangan. Ini disebabkan karena BMT tidak hanya bergerak dalam pengelolaan modal (uang) saja, tetapi BMT juga bergerak dalam pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Ini merupakan sebuah konsekwensi dari namanya itu sendiri yaitu bait al-mal wat tamwilyang merupakan gabungan dari kata baitul maal dan bait at-tamwil. Secara singkat, Bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan dana masyarakat yang disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-tamwil merupakan lembaga pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan orientasi profit dan komersial.

Badan hukum adalah koperasi, karena itu secara otomatis di bawah pembinaan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari kementerian ini. Sampai saat ini, selain peraturan tentang koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Mengengah.

Lalu apa dan bagaimana beroperasinya BMT sebagai lembaga keuangan non bank mikro, akan dibahasa dalam tulisan ini.

B. Pengertian Baitul Maal wat Tamwil (BMT)

Pengertian BMT bisa dilihat dari kata baitul maal dan baitul tamwiil, yaitu:2

1. Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil adalah Pengembangan Harta) melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha

2 M Amin Aziz, Pedoman Pendirian BMT (Baitul Maal wat Tamwil), (Jakarta: Pinbuk

Press, 2004), hlm. 1.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

34

mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya.

2. Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) menerima titipan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

Pengertian BMT di atas menegaskan bahwa BMT mempunyai dua jenis kegiatan, yaitu baitul tamwil dan baitul maal. Baitul Tamwil mengembangkan kegiatan usaha produktif dan investasi dalam rangka meningkatkan kualitas ekonomi para pengusaha kecil- menengah dengan mendorong kegiatan usaha menghimpun dana dan menyalurkannya kepada para pengusaha kecil-menengah. Sementara baitul maal menghimpun titipan dana zakat, infaq, dan shadaqoh, serta menjalankannya yang sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

Baitul mal wa tamwil merupakan lembaga ekonomi atau keuangan syariah non perbankan yang sifatnya informal. Disebut informal karena lembaga ini didirikan oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) yang berbeda dengan lembaga keuangan perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya. Oleh karena itu, selain berfungsi sebagai lembaga keuangan BMT juga bisa berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga keuangan ia menghimpun dana dari masyarakat (anggota BMT) dan menyalurkan dana kepada masyarakat (anggota BMT). Sebagai lembaga ekonomi ia juga berhak melakukan kegiatan ekonomi, seperti perdagangan, industri, dan pertanian.

BMT adalah lembaga keuangan yang dalam operasionalisasinya menganut system syariah dan fungsi utama yang diharapkan akan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat bawah karena BMT mempunyai peranan sebagai pengumpul dana bisnis maupun dana ibadah. BMT dapat digambarkan sebagai wadah untuk mengumpulkan harta yang bersumber dari potensi masyarakat, yang kemudian dimanfaatkan dan dikelola sesuai dengan tuntunan syariah, dari, oleh dan untuk masyarakat sendiri dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan dan memperkuat ekonomi umat. Dengan demikian maka jelas bahwa BMT adalah lembaga keuangan berkarakter syariah. Kegiatannya bertujuan pada penguatan dan pengembangan usaha rakyat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial. Namun demikian, BMT bukanlah semata-mata lembaga sosial, tetapi juga lembaga ekonomi yang dihalalkan untuk mencari profit melalui cara-cara yang

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

35

tidak bertentangan dengan syariah Islam (TIM Perumus BMT LPM UII, 1995: 1-3).

C. Fungsi dan Tujuan Baitul Maal wat Tamwil (BMT)

Didirikannya BMT pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas ibadah anggota BMT sehingga mampu berperan sebagai anggota khalifah Allah di muka Bumi, memakmurkan kehidupan ekonomi para anggota pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, serta membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat madani yang adil, makmur dan maju berlandaskan syariah Islam dan ridha Allah SWT.

Fungsi BMT menggabungkan dua konsep keuangan, yaitu perhimpunan dana (Baitul Maal) dan pendistribusian atau pembiayaan (Baitut Tamwil). Baitul Maal merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya menerima dan menyalurkan dana umat Islam yang bersifat non-komersial. Sumber dananya berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, sumbangan dan lain sebagainya. Penyalurannya dialokasikan kepada yang berhak (mustahiq), seperti fakir, miskin, muallaf, orang yang berjuang di jalan Allah, ghorimin (berutang), ibnu sabil, hamba sahaya dan amil.

Sedangkan fungsi “Baitul Tamwil” atau “Rumah Pembiayaan” memposisikan BMT sebagai lembaga keuangan umat Islam yang usaha pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau tabungan, dan menyalurkannya lewat pembiayaan usaha-usaha masyarakat yang produktif dan menguntungkan sesuai dengan sistem ekonomi syariah. Selain unit simpan pinjam, BMT juga bisa secara langsung bergerak di bidang usaha sektor riel, seperti usaha mikro, peternakan, perikanan, ekspor impor, kontraktor dan sebagainya.

BMT sebagai lembaga yang memadukan aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek agama sekaligus. Peran BMT hanya menjangkau pada kalangan ekonomi mikro. Karena hal ini disebabkan pihak Bank sangat minim untuk menjangkau kepada kalangan ekonomi mikro. Tujuan BMT dapat berperan melakukan hal-hal berikut:3

3 Ahmad Hasan Ridwan (Pengy.), BMT dan BANK ISLAM, Bani Quraisy, Bandung:

2004, hlm. 33

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

36

1. Membantu meningkatkan dan mengembangkan potensi umat dalam progam pengentasan kemiskinan.

2. Memberikan sumbangan aktif terhadap upaya pemberdayaaan dan peningkatan kesejahteraan umat.

3. Menciptakan sumber pembiayaan dan penyediaan modal bagi anggota dengan prinsip syari’ah.

4. Mengembangkan sikap hemat dan mendorong kegiatan gemar menabung.

5. Menumbuhkembangkan usaha-usaha yang produktif dan sekaligus memberikan bimbingan dan konsultasi bagi anggota di bidang usahanya.

6. Meningkatkan kesadaran dan wawasan umat tentang system dan pola perekonomian Islam.

7. Membantu para pengusaha lemah untuk mendapatkan modal pinjaman.

8. Menjadi lembaga keuangan alternative yang dapat menopang percepatan pertumbuhan ekonomi nasional.

Kaitannya dengan fungsi dan tujuan BMT, diharapkan dapat mengembangkan diri melakukan kegiatan usaha secara legal. Di antara pilihan yang paling tepat adalah melakukan dua pola pengembangan, yakni berbentuk Koperasi Syariah dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Selama beberapa waktu BMT dilaksanakan dalam bentuk koperasi syariah, tetapi setelah keluarnya UU No. 7/1992 dan PP No. 72/1992, BMT mulai mengembangkan diri menjadi lembaga keuangan yang mandiri.4

D. Jenis-Jenis Usaha BMT

BMT dalam melakukan usaha menghimpun dana dari masyarakat berupa simpanan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut:

1. Simpanan Mudharabah Biasa 2. Simpanan Mudharabah Pendidikan

4 Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia,

Uakarta; Usaha Kami, 1996), him. 216.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

37

3. Simpanan Mudharabah Haji 4. Simpanan Mudharabah Umrah 5. Simpanan Mudharabah Qurban 6. Simpanan Mudharabah Idul Fitri 7. Simpanan Mudharabah Walimahan 8. Simpanan Mudharabah Aqiqah 9. Simpanan Mudharabah Perumahan

Sedangkan BMT dalam usaha menyalurkan dana kepada masyarakat berupa pembiayaan mempunyai beberapa jenis usaha sebagai berikut: 1. Pembiayaan sewa barang (Al-Ijaroh) 2. Pembiayaan modal kerja (Murabahah) 3. Pembiayaan bagi hasil (Mudharabah) 4. Pembiayaan kerjasama (Musyarakah) 5. Pembiayaan investasi (Bai bi tsaman Ajil) 6. Pembiayaan kebijakan (Qhardul Hasan)

E. Pengertian dan Tujuan Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi menurut kebanyakan teorikus ekonomi Islam bersifat komprehensif, tidak terbatas pada variabel-variabel ekonomi semata, akan tetapi seperti ditegaskan oleh Khursyid meliputi aspek moral dan dan sosial5, material dan spritual. Di samping itu kata Khursyid pertumbuhan ekonomi tidak lepas dan keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu pada seluruh generasi, menghapus riba dan mewajibkan zakat. Pendapat lain menambahkan bahwa pertumbuhan ekonomi bertujuan untuk membersihkan dan mensucikan akidah dan membenarkan iman, Dengan demikian, terdapat perbedaan mendasar antara konsep pertumbuhan ekonomi menurut Islam dengan kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi Islami menurut pandangan Khursyid berasaskan filsafat yang berhubungan dengan al-tauhid. aI-rububiyah dan aI-istikhlaf6. Namun menurut Al-Fasi perbedaan tersebut Iebih disebabkan oleh sistem kapitalisme yang

5 Khursyid Ahmad. 85. AI-Tanmiyah aI-iqtisodiyah fi ithorin islamiyin, tarjarnah Rafiq

Almisri, Majalah Abhâs al-iqtisôd al-islâmi, nomor 2, bagian 2, hal. 5-46. 6 Ibid

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

38

membolehkan riba dan sistem sosialisme yang tidak terikat dengan agama.7

Sebagian penulis seperti Yusuf berpendapat bahwa pemberlakuan al-’urf untuk mengetahul pertumbuhan ekonomi tidak relevan dengan masyarakat muslim.8 Ketidak sesuaian ini kata Abdul Mannan karena adanya persoalan-persoalan yang tidak populer yang tidak dapat dijadikan dasar bagi pembangunan ekonomi bagi masyarakat non muslim. Pertumbuhan ekonomi dalam masyarakat muslim berdasarkan prinsip menggembirakan (at-targib) yang terdapat di dalam Al-Quran dan as-sunnah.

Tujuan Pembangunan ekonomi dalam islam menurut Yusuf untuk mewujudkan kehidupan yang baik (aI-hayat at-taiyibah) sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran : “waman ya’mal salihan min zakarin awu unsa falanuhyiyannhu hayatan tayyibah”.9

Mayoritas penulis tentang ekonomi Islam memahami konsep pembangunan ekonomi dari beberapa ayat Al-Qur’an seperti : “Huwallazi ansya’akum fi al-ard wasta’marakum tiha” (Q.S. Hud, 61). Ayat mi mengandung dua makna yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi. Pertama makna al-wujub atau kewajiban umat manusia untuk mengelola bumi sebagai lahan pertanian dan pembangunan. Kedua, ayat tersebut mengandung perintah Tuhan kepada umat manusia untuk membangun jagad raya. Perintah Allah tersebut bersifat wajib dan mutlak. Mayoritas penulis berpendapat kata al-’imârah (memakmurkan) identik dengan kata at-tanrniyah al-iqtisadiyah (pembangunan ekonomi).

Ayat lain yang juga relevan dengan pembangunan ekonomi adalah: “Wa ‘aiddu lahum ma istata’tum rnin quwwatin wa rnin ribath al-khail”. Ayat ini disebutkan oleh Al-Quran dalam kontek persiapan jihad. Seperti diketahui bahwa jihad tidak akan teriaksana kalau tidak ditopang oleh ekonomi yang bagus sehingga untuk mendukung keberhasilan jihad perlu membangun ekoriomi yang kuat. Jadi, perintah (wajib) melakukan jihad sekaligus dapat dipahami sebagai perintah membangun ekonomi. Ayat lain tentang pembangunan ekonomi adalah firman Allah: “Yâ

7 Al-Syaikh ‘Allal Al-Fasi. 1971. al-Islam wa rnutatollabât aI-tanmiyah fi mujtama’

alyaum (Dahran: Multaqâ al-tikr al-mslámi). h. 29. 8 lbrahim Yusuf. 1981. Istiratiyatu wa Tiknik al-Tanmiyah aI-lqtisodiyah fi al-Islam

(Kairo: Al-lttihâd al-Dauli Ii al-BunOk al-lslâmiyah), h. 221. 9 Muhammad Abd al-Mannan. tt. Al-Iqtisad al-lslami baina al-nazariyat wa al-tathbiq

(Al-Maktab al-árabi al-hadis), h. 221.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

39

ayyuhallazina amanCi anfiqu min tayyibati ma kasabtum” (Q.S. Al-Muluk 15). Ayat in mengandung makna wujub aI-infaq (kewajiban mengeluarkan beaya) dan membangun fasilitas yang mendukung keberhasilan kewajiban tersebut. Hukum membangun fasilitas yang mendukung realisasi terhadap perintah yang bersifat wajib adalah wajib pula. Di dalam kaidah fiqhiyah disebutkan : “ma la yatimmu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Dengan demikian, bekerja (al-kasbu) adalah suatu kewajiban alami dan al-kasbu menurut sebagian penulis adalah nama lain dan al-intaj (produksi). Dan sini kemudian para penulis muslim memahami adanya konsep pembangunan ekonomi di dalam ajaran syariah.10 Para penulis teori ekonomi Islam menyimpulkan bahwa setiap ayat yang menyebutkan kata al-kasbu, as-sa’yu, aI-infaq atau aI-dharbu fi al-ard (berpetualang di muka bumi) menunjuk pada satu makna yaltu aktifitas perekonoman. Dan ni menajdi dasar hukum membanguan ekonomi.

Di antara tujuan pembangunan ekonomi yang sering disebutkan dalam karya-karya kontemporer adalah untuk memenuhi kebutuhan yang memadai (al-had al-kifayah) bagi setiap masyarakat muslim. Asas yang mendasari ide al-had aI-kifayah dapat ditemukan daam tulisan-tulisan Abu Ubaid, As-Sarakhsi dan Al-Mawardi, dan kadang-kadang makna al-had al-kifayah tersebut secara inplisit terdapat dalam beberapa hadis Nabi tentang zakat. Al-Fanjari boleh dikatakan seorang penulis yang paling banyak menghubungkan konsep al-had aI-kifayah dengan pembangunan ekonomi.11

Dapat dipahami bahwa analisis mereka tentang tujuan pembangunan ekonomi berangkat dari niat untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan. Khursyid menambahkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan desentralisasi12 Sedangkan menurut Siddiqi tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan keseimbangan dan memperbaiki peradaban.

10 Dunya. 1984. TamwiIal-tanmiyah fi al-iqtisodaI-islami (Berut: Muassasah aI-risalah),

h.89. Lihat juga Bakhlt. All Khidar. 1404 H. Al-Tarnwil aI-dakhil Ii aI-tanmiyah al-iqtisadiyah dalam al-Islam (Jeddah: Al-Dar al-Suudiyah Ii al-Nasyr wa al-Tauzi’), h. 43.

11 Muhammad Syauqi Al-Fanjari. tt. Al-Islam wa al-Musykilah al-lqtisodiyah. (Maktabah al-Anglo al-Misriyah), h. 81

12 Khursyid, Tanmiyah, h. 59.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

40

F. BMT dan Pembangunan Ekonomi Umat

Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (syumul). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi. Islam adalah agama sempurna yang memuat berbagai persoalan kehidupan manusia, baik diungkapkan secara global maupun secara rinci. Secara substantif ajaran Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW terbagi kepada tiga pilihan, yakni: aqidah, syariah, dan akhlak. Ajaran Islam yang mengatur perilaku manusia, baik dalam kaitannya sebagai makhluk dengan Tuhannya maupun dalam kaitannya sebagai sesama makhluk, dalam term fiqh atau ushul al-fiqh disebut dengan Syariah. Sesuai dengan aspek yang diaturnya, Syariah ini terbagi kepada dua, yakni „ibadah dan muamalah. Ibadah adalah Syariah yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan muamalah adalah Syariah yang mengatur hubungan antar sesama manusia.

Pada gilirannya, kegiatan ekonomi sebagai salah satu bentuk dari hubungan antar sesama manusia, ia bukan merupakan bagian dari aqidah, akhlak, dan ibadah, melainkan bagian integral dari muamalah. Namun demikian, masalah ekonomi tidak lepas sama sekali dariaspek aqidah, akhlak maupun ibadah, sebab menurut perspektif Islam perilaku ekonomi harus diwarnai oleh nilai-nila, aqidah, akhlak, dan ibadah. Identifikasi kegiatan ekonomi dari muamalah ini dilakukannya hanya untuk menjelaskan kontruksi ajaran Islam secara keseluruhan.Ekonomi menurut Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah, dan merupakan bangunan yang didirikan diatas landasan landasan tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa. Sehubungan dengan hal tersebut, Al-Qur’an dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam memegang peranan penting dalam memberikan dasar-dasar pada sistem perekonomian menurut Islam.

Realita menunjukkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total penduduk Indonesia. Tentunya, mayoritas di antara mereka berasal dari umat Islam. Sementara itu, data menunjukkan bahwa 17,11% adalah angkatan kerja yang mencari pekerjaan atau menganggur, dan itu lebih dari 4,8 juta jiwa. Diantara

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

41

yang menganggur itu, ternyata lebih besar yang berpendidikan universitas 34% dan berpendidikan SLTA 40%.

Sampai saat ini, salah satu agenda penting umat Islam adalah masalah kemiskinan. Bahkan sebagaian besar umat Islam, terpuruk dalam bidang ekonomi di tengah kejayaan dan kegemilangan kelompok lain. Umat Islam berada dalam himpitan kemiskinan yang memprihatinkan. Di samping itu, sebagian besar umat Islam, khususnya para pedagang kecil, masih terjerat sistem ekonomi ribawi. Terdapat pula sejumlah lembaga yang mengatasnamakan (berkedok) koperasi, ternyata adalah rentenir penghisap darah umat. Sementara itu, dominasi ekonomi dan bisnis etnis tertentu semakin mengkristal dalam struktur ekonomi kerakyatan.

Menghadapi realitas dan tantangan itu, umat Islam harus bangkit untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Pedagang-pedagang kecil harus diberdayakan secara serius dan proporsional. Masyarakat miskin dan pedagang kecil tersebut harus dibebaskan dari tekanan rentenir. Kemudian, seluruh umat Islam ikut memajukan dan mendukung pedagang dan pengusaha muslim. Juga ikut berperan secara aktif membangun lembaga-lembaga keuangan syariah seperti BMT dan BPR Syariah. Salah satu lembaga keuangan Islam masa kini yang paling strategis dan fungsional untuk mengentaskan kemiskinan umat, adalah BMT (Baitul Mal wat Tanwil). Lewat lembaga BMT, masyarakat miskin dan pedagang kecil akan dilepaskan dari jeratan sistem riba (bunga) dan mengalihkannya kepada sistem ekonomi Islam yang disebut dengan bagi hasil (mudharabah, murabahah, dan musyarakah).

Kehadiran BMT sebagai lembaga keuangan yang bernuansa syariah, mempunyai peran strategi dan signifikan untuk membantu dan mendukung program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan umat dan mengurangi pengangguran. Sebagai lembaga keuangan, kehadiran BMT membawa sejumlah manfaat bagi umat, di antaranya meningkatkan kesejahteraan hidup lewat peningkatan perekonomian umat. Mendidik umat (anggota) untuk hidup hemat, ekonomis, tidak konsumtif dan berpandangan ke depan melalui sikap dan kebiasaan menyimpan. Masyarakat dapat memperoleh pelayanan modal usaha. Masyarakat mendapat pengarahan dan bimbingan dalam mengembangkan usaha yang produktif dan menguntungkan. Adanya akad pembiayaan yang berpola bagi hasil, akan melatih anggota berpikir kalkulatif dan musyawarah. Anggota akan terbiasa memegang amanah,

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

42

bersikap jujur dan mengembangkan tanggung jawab atas pembiayaan yang diterima.

Berdasarkan manfaat-manfaat BMT tersebut, maka kehadiran BMT dapat dikatakan sangat tepat dan strategis, karena BMT lahir pada saat seluruh bangsa Indonesia bertekad dan berusaha untuk meningkatkan kemakmuran, pemerataan dan pengentasan kemiskinan, seperti diamanatkan Garis-Garis besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993. Jadi BMT, berupaya meningkatkan dan memberdayakan ekonomi masyarakat akar rumput (grass root class), baik di perkotaan maupun di pedesaan. Kelahiran BMT juga dimaksudkan untuk melepaskan umat/masyarakat dari jeratan rentenir yang memberatkan dan menekan secara zalim lewat sistem ekonomi ribawi yang diharamkan Al-Qur’an.

Ketika Indonesia mengalami masa-masa sulit selama krisis ekonomi dan moneter, BMT banyak berperan hingga ke lapisan bawah. Dengan kata lain, BMT sering melakukan pendekatan dan bantuan kepada kalangan usaha kecil dan rnenengah untuk mendorong kemajuan usaha mereka. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab BMT untuk berperan dalam menyejahterakan masyarakat.

Hernandi de Soto dalam bukunya The Mystery of Capital (2001) menggambarkan betapa besarnya sektor ekonomi informal dalam memainkan perannya dalam aktivitas ekonomi di negara berkembang. Ia juga mensinyalir keterpurukan ekonomi di negara berkembang disebabkan ketidakmampuan untuk menumbuhkan lembaga permodalan bagi masyarakatnya yang mayoritas pengusaha kecil. Berdirinya lembaga keuangan syariah sejenis Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia merupakan jawaban terhadap tuntutan dan kebutuhan kalangan umat muslim. Kehadiran BMT muncul pada saat umat Islam mengharapkan adanya lembaga keuangan yang menggunakan prinsip-prinsip syariah dan bebas dari unsur riba yang diasumsikan haram.

Dalam perspektif dakwah Islam, kehadiran BMT dapat dipandang sebagai salah satu bentuk dakwah bil hal yang strategis dan merupakan realisasi dari pesan-pesan suci Al-Qur’an yang menyuruh kita agar berpihak dan membantu kaum dhu’afa. Sebagaimana di maklumi, Al-Qur’an sangat intens memberi perhatian khusus terhadap kaum lemah dan rakyat kelas bawah. Al-Qur’an mengecam keras orang-orang yang tidak memiliki kepedulian terhadap sesama (Al-Ma’un 1-7). Akhnas bin syarik, salah seorang hartawan di zaman Nabi dikutuk oleh

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

43

Allah. Ia tidak mempunyai kepedulian sosial kepada kaun dhu’afa dan merasa congkak dengan kekayaan yang ia miliki, bahkan ia menganggap harta yang dimilikinya dapat membuatnya kekal (Al-Humazah 1-4).

Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan di Indonesia mela1ui optimaliasi peran BMT adalah menerapkan strategi sebagai berikut:13

1. Pemerintah perlu memberikan keleluasaan pada upaya membangun infrastruktur dan suprastruktur ekonomi Islam sejenis BMT di Indonesia secara sistematis.

2. BMT-BMT dapat melaksanakan suatu bentuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui pelatihan dan pembinaan kelompok-kelompok usaha binaan untuk skala kecil dan menengah.

3. BMT-BMT dan kalangan investor menyalurkan kredit modal usaha kepada kelompok-kelompok usaha binaan tersebut.

4. BMT-BMT di bawah pengawasan dan arahan pemerintah dapat bekerja sama melakukan suatu pembinaan terhadap kalangan usaha kecil-menengah dalam rangka pemberdyaan ekonomi rakyat.

5. Pengembalian modal usaha yang disalurkan melalui BMT diatur dalam suatu mekanisme yang jelas, terstruktur, dan disepakati oleh pihak-pihak yang masuk dalam program tersebut.

Program tersebut hendaknya memberikan prioritas bagi pembinaan usaha kecil dan menengah karena fundamental ekonomi syariah lebih tepat dibangun dari bawah. Sasaran utama strategi tersebut adalah percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia agar tidak bergantung pada pinjaman utang luar negeri. Jika hal tersebut dilakukan terus-menerus, dapat berimplikasi pada pengambil alihan aset negara oleh bangsa lain dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai “bangsa kuli” di negeri sendiri. Langkah konkret yang dapat dilakukan oleh BMT adalah mendorong masyarakat miskin, usaha kecil dan menengah untuk mengembangkan berbagai kegiatan wirausaha (entrepreneurship).

13 Deni K. Yusup, Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Melalui Kemitraan Usaha BMT dan

UKM, makalah Diskusi Reguler BEMJ Muamalah KBM lAIN SGD Bandung, Mei 2004.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

44

Baitul Maal wat Tamwil (BMT) merupakan sebuah sarana pengelolaan dana dari umat, oleh umat dan untuk umat (Mashlahah amanah) yang bebas dari riba. BMT hadir sebagai sarana transformasi ekonomi dari pemilik uang kepada dhuafa dan pedagang kecil yang membutuhkan modal, BMT sebagai solusi pemberdayaan usaha micro, kecil dan menengah. Dari sinilah maka BMT memiliki 2 fungsi yaitu fungsi tamwil dan maal

Peranan BMT diharapkan akan memberikan konstribusi yang signifikan bagi pembangunan ekonomi kerakyatan:14

1. BMT akan berperan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat yang pada gilirannya membantu mengatasi kesenjangan ekonomi dan membantu pemulihan krisis ekonomi Indonesia.

2. BMT akan mampu menjadi landasan pembangunan koperasi sebagai wadah ekonomi rakyat yang tangguh dan mengakar dalam masyarakat. BMT diharapkan akan meningkatkan mutu dan kemampuan pembangunan koperasi sehingga peranannya lebih nyata dalam kehidupan ekonomi, baik di perkotaan apalagi di pedesaan.

3. BMT secara signifikan mendukung gerakan ekonomi kerakyatan yang dicanangkan GBHN. BMT akan mampu berkembang menjadi usaha ekonomi rakyat melalui pengembangan kewiraswastaan , penyediaan sarana dan latihan, bimbingan dan pemodalan agar dapat meningkatkan usahanya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

4. BMT mendukung program pencapaian peningkatan semangat kebersamaan dan manajemen yang lebih profesional. BMT berperan dalam menggerakkan peran aktif masyarakat dalam menumbuhkembangkan koperasi dengan meningkatkan kesadaran, kegairahan dan kemampuan berkoperasi seluruh lapisan masyarakat.

5. BMT berperan dalam menumbuhkan sikap kemandirian dalam masyarakat Indonesia melalui peningkatan peran serta rakyat,

14 M Amin Aziz, Pedoman Pendirian BMT (Baitul Maal wat Tamwil), (Jakarta: Pinbuk

Press, 2004), hlm. 56

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

45

efisiensi dan produktivitas rakyat dalam rangka peningkatan taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan lahir batin.

6. BMT terlibat penuh dalam program nasional dalam meningkatkan kemampuan dan peran usaha kecil, karena BMT secara signifikan memberi modal usaha kepada pengusaha kecil di samping memberikan pembinaan manajerial.

G. Kesimpulan

BMT lebih dari sekedar lembaga keuangan yang memiliki visi dan misi bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, tetapi juga berorientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat serta kalangan usaha kecil dan menengah. Berdasarkan hal tersebut, BMT perlu memaksimalkan peran dan eksistensinya ke depan, khususnya ketika memasuki era pasar bebas.

Persaingan usaha dan iklim ekonomi pada era pasar bebas akan menjadi daya tarik dan tantangan baru yang berat bagi BMT untuk menjadi lembaga keuangan mitra usaha kecil dan menengah. BMT perlu merestruktueisasi kelembagaannya dan mengoptimalkan perannya dalam membantu masyarakat dalam membangun ekonomi umat.

Tidak ada pilihan yang lebih baik bagi BMT selain berupaya mempertahankan kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat dengan cara memberikan pelayanan yang lebih dalam bentuk produk dan jasa keuangan keunggulannya. BMT diharapkan menjadi lembaga keuangan Non Bank yang mampu memberikan kontribusi besar bagi pembangunan ekonomi umat.

Daftar Pustaka

Ahmad Hasan Ridwan (Pengy.), BMT dan BANK ISLAM, (Bani Quraisy, Bandung: 2004)

Ahmad Hasan Ridwan M.Ag, Manajemen Baitul Mal Wa Tamwil, (Bandung, Pustaka Setia: 2013)

Al-Syaikh ‘Allal Al-Fasi. 1971. “al-Islam wa rnutatollabât aI-tanmiyah fi mujtama’ alyaum” (Dahran: Multaqâ al-tikr al-mslámi).

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

46

Deni K. Yusup, Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Melalui Kemitraan Usaha BMT dan UKM, makalah Diskusi Reguler BEMJ Muamalah KBM lAIN SGD Bandung, Mei 2004.

Yadi Janwari, “Lembaga-Lembaga Perekonomian Syari’ah” (Bandung, Pustaka Mulia: 2000)

Muhammad, “Lembaga Lembaga Keuangan Umat Kontemporer” (Yogyakarta, UII Press: 2000)

M Amin Aziz, Pedoman Pendirian BMT (Baitul Maal wat Tamwil), (Jakarta, Pinbuk Press, 2004)

M. Syafe’I Antonio, “Bank Islam: dari Teori ke Praktek” (Jakarta, Gema Insani Press: 2001)

Karnaen A. Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, (Jakarta; Usaha Kami, 1996)

Lukman Hakim, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Erlangga, Jakarta: 2012)

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

47

BERKENALAN DENGAN IMAM ABU DAWUD DAN SUNANNYA

Oleh: A. Faqihuddin*

Shahih Abu Dawud adalah salah satu dari kutub al-khamsah, yaitu shahih muslim, shahih bukhari, shahih nasa’I, sunan al-Tirmidzi dan shahih sunan Abu Dawud. Menurut jumhur ulama, sunan Abu Dawud mempunyai ranking sebagai urutan ketiga dari kutub al-sittah yang urutannya meliputi shahih al-Bukhari, shahih al-Muslim, sunan Abu Dawud, sunan Tirmidzi dan sunan Al-Nasa’i. Hanya saja ulama masih beda pendapat tenaang urutan keenam apakah kutub muwathth, imam malik atau sunan ibnu majah.

Kitab sunan Abu Dawud layak dijadikan standar untuk mengambil istimbath bagi ahli hukum Islam. Dalam hal ini para fuqoha mengatakan Abu Dawud telah menerjemahkan dengan sangat baik terhadap hadis-hadis yang menunjukkan pandangan para ulama serta pengetahuannya terhadap seluk beluk pengambilan dalil. Oleh karena itu para ulama berpendapat bahwa sunan Abu Dawud disepakati mayoritas ulama sebagai kitab standar.

Keyword : Hadis shahih, Matruk, Istimbah, Hadis standar.

A. Pendahuluan

Hadis atau disebut juga dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqririnya. Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur’an, sejarah perjalanan Hadis tidak terpisahkan dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri.

Tidak sebagaimana Al-Qur’an, dalam Hadis Nabi Muhammad SAW banyak mengandalkan hafalan para sahabatnya dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka.

Penulisan itu pun hanya bersifat dan untuk kepentingan pribadi, sejarah penulisan dan penghimpunan Hadis secara resmi baru terjadi sembilan puluh tahun kemudian setelah Nabi SAW wafat, yaitu pada masa

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

48

pemerintahan Umar bin Abdul Aziz.1 Pencatatan tersebut dilakukan atas perintah atau kebijakan khalifah.

Penulisan Hadis terus mengalami perkembangan pesat sehingga

melahirkan tokoh-tokoh Hadis dan pengarang-pengarang kitab-kitab hadis. Dalam masa-masa inilah lahir kutub Al-Khamsah, yaitu Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud Sunan Al-Nasa’i dan Sunan Al-Tirmidzi.2 Kitab-kitab inilah yang menjadi pegangan ahli istimbath hukum Islam dan mendapat perhatian luas para ulama.

Kitab Sunan Abu Dawud menurut jumhur ulama mempunyai

ranking sebagai urutan ketiga dari al-kutub al-sittah, yang urutannya meliputi: Shahih Al-bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Tirmidzi dan Sunan Al-Nasa’i. Hanya saja ulama masih berbeda pendapat tentang urutan ke enam apakah kutub Muwaththa’ Iman Malik atau Sunan Ibnu Majah.3

Ketika kitab Sunan Abu Dawud selesai disusun, Abu Dawud sendiri

memperlihatkan kepada gurunya yaitu Imam Ahmad bin Hambal. Imam Ahmad mengatakan dengan memuji bahwa kitab Sunan Abu Dawud itu baik, penilaian ini merupakan sekaligus bukti bahwa Kitab Sunan ini layak untuk dijadikan standar untuk mengambil istimbath bagi ahli hukum islam.

Dalam makalah yang sederhana ini, penulis akan mencoba mengkaji

Kitab Abu Dawud yang meliputi sosok pengarangnya, karakteristik kitabnya, metodologi penyusunannya dan beberapa tanggapan ulama hadis tentang kitab ini termasuk yang mengkritiknya dan juga akan mengemukakan tentang kitab-kitab yang mensyahkan Sunan ini yang menurut penilaian ulama hadis merupakan salah satu kitab yang mendapat banyak simpati sangat besar bahkan menurut Ilmu Hibban, Abu Dawud

1 M. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahehan Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

pendekatan sejarah (Cet III, Jakarta, Bulan Bintang, 1995) Hal 5. 2 Kutub Al-Khamsah merupakan kitab standar. Penetapan kestandaran tersebut

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan antara lain: pertama, hamper seluruh Hadis yang terdapat dalam kitab itu berkualitas shahih; kedua, hamper seluruh masalah telah termuat dalam kitab-kitab itu; ketiga susunan dan isinya, maupun dari segi kualitas hadis-hadisnya. Lihat ibid, hal 103-104.

3 Abu Dawud Sulaeman Al-Sajistani, Sunan Abi Dawud, Juz I, Beirut, Dar Al-Fikr, 1994, hal 11.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

49

seorang imam yang sangat luas ilmunya dan kuat hafalannya, wara dan imannya sangat teguh yang kesemuanya itu berangkat dari kitab sunannya.4

B. ABU DAWUD DAN KITAB SUNANNYA.

1. Riwayat Hidupnya

Adalah Sulaeman bin Asy’as bin Ishak bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amr bin Imaran al-Ahwazi al-Sijistani, nama lengkap Abu Dawud, (202 H – 275 H).5 Abu Dawud menuntut ilmu sejak kecil, kemudian mengembara ke berbagai negeri, diantara negeri yang dikunjunginya adalah Hijaz, Mesir, Irak, Aljazair, dan Kurasan.6 Di negeri-negeri itulah Abu Dawud bertemu dengan sejumlah imam-imam penghafal hadis dan mendengar hadis dari para imam tersebut.

Ayah Abu Dawud, Al Asy'ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadis yang meriwayatkan hadis dari Hamad bin Zaid, dan demikian juga saudaranya Muhammad bin Al Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadis dan ilmu-ilmunya juga merupakan teman perjalanan dia dalam menuntut hadis dari para ulama ahli hadis. Abu Dawud sudah berkecimpung dalam bidang hadis sejak berusia belasan tahun. Hal ini diketahui mengingat pada tahun 221 H, dia sudah berada di Baghdad, dan di sana dia menemui kematian Imam Muslim, sebagaimana yang dia katakan: "Aku menyaksikan jenazahnya dan mensholatkannya".

Ada sejumlah empat puluh sembilan orang ulama hadis yang telah menjadi guru dan menyampaikan riwayat hadis kepada Abu Dawud diantaranya Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal al-Syaibani, yang terkenal sebagai pengarang Musnad Ahmad bin Hambal (164H-241H) yang juga dikenal sebagai guru Imam Bukhari dan Imam Muslim.7 Diantara guru-guru yang lain adalah Al-Qanabiy, Sulaiman bin Harb, Abu Amr adh-Dhariri, Abu Walid ath-Thayalisi, Abu Zakariya Yahya bin Ma'in, Abu

4 Syamsuddin Muhammad bin Ahmad, syiar A’lam al-Nubala’, Risalah, hal 212. 5 Abu al-Ula Muhammad Abd Rahim al-Mubarokafury, Muqaddimah Tuhfat al-

Ahwazi Syarah Jami’ al-Tirmidzi, Cet III, Juz I, Madinah Al-Munawaroh, Maktabah al Salafiah, 1386 H/ 1967 M, hal 128.

6 Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis wa Musthalahuhu, Daaral-Fikr, 1975 M, hal 415-416.

7 Muhammad bin Alwi al-Maliki, Al-Manhal fi Ushul al-Hadis al-Syarif, Jeddah, Cet V, Hal V, hal 297.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

50

Khaitsamah, Zuhair bin Harb, ad-Darimi, Abu Ustman Sa'id bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah dan ulama lainnya.

Beberapa murid Abu Dawud yang meriwayatkan hadis sebagaimana yang disebut Al-Husainy dalam kitabnya Ushul Al-Hadis al-Nabawi.8 Antara lain sebagai berikut: Abu Isa al-Tirmidzi,9 Abu Abdurrahman al-Nasa’I,10 Abu Bakar bin Abu Dawud,11 Abu Ali al-Laluiy,12 Abu Bakar bin Dassah,13 dan murid lain yang juga sekaligus sekretaris Abu Dawud adalah Al Imam Al Hafid Abu Isa Ishaq bin Musa bin Said al–Ramli yang memiliki periwayatan yang menyerupai atau mendekati periwayatan Abu Bakar bin Dassah.

Tentang akhlak dan kepribadian Abu Dawud, kebanyakan para ulama mengakui bahwa Abu Dawud dikenal sebagai tokoh hadis yang mendalam pengetahuan agamanya, tekun ibadah, shaleh, ‘wara’, kokoh pendiriannya, serta Zahid. Dan dia menghafal dan memahami hadis beserta illat-nya. Oleh karena itu dia mendapat kehormatan dari para ulama untuk dipersamakan dengan gurunya, Imam Ahmad bin Hambal dalam hal derajat ibadah, ilmu dan kewaraannya.14 Dan sebagian ulama mengatakan bahwa Abu Dawud sebagai Sayyid Al-Huffadz, yaitu penghulu dari ulama yang menguasai seluk beluk ilmu hadis dan hafal ratusan ribu hadis Nabi SAW lengkap dengan matan dan sanad-nya, demikian menurut Abdullah Muhammad al-Zahabi.15

Abu Dawud adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya dan mencapai darjat tinggi dalam ibadah, kesucian diri, wara' dan kesalehannya. Ia adalah seorang sosok manusia utama yang patut diteladani perilaku, ketenangan jiwa dan keperibadiannya. Sifat-sifat Abu Dawud ini

8 Al-Husainy, Abd. Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi: Ulumuhu wa

Maqayisuhu, Dan Al-Syunuqi, Hal 212. 9 Terkenal sebagai pengarang kitab al-jami’ at-Tirmidzi 10 Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali

bin Sinan bin Bahar al-Kurasani al-Qadi, lahir tahun 215 H. 11 Putra sendiri dari Abu Dawud, nama lengkapnya Abu Bakar Abdullahbin Abu

Dawud (230-316 H) 12 Murid yang memiliki periwayatan paling baik karena ia adalah orang yang terakhir

menerima imlak (dikte) kitab Sunan Abu Dawud langsung dari Abu Dawud. 13 Murid yang memiliki periwayatan yang lengkap mendekati periwayatan al-Lu’lu

(lihat Al-Husalini, ibid). 14 Muhammad Abu Syhbah, Fi Rihab Al-Sunnah Al-Kutub al Shihah, al-Sittah, Kairo,

1989, Hal 104. 15 Abu Abdullah Muhammad Ibn Usman al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al Rijal,

Daar al-Fikr , 1382 H, hal 96.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

51

telah diungkapkan oleh sebahagian ulama yang menyatakan: “Abu Dawud menyerupai Ahmad bin Hanbal dalam perilakunya, ketenangan jiwa dan kebagusan pandangannya serta keperibadiannya. Ahmad dalam sifat-sifat ini menyerupai Waki', Waki menyerupai Sufyan as-Sauri, Sufyan menyerupai Mansur, Mansur menyerupai Ibrahim an-Nakha'i, Ibrahim menyerupai 'Alqamah dan ia menyerupai Ibn Mas'ud. Sedangkan Ibn Mas'ud sendiri menyerupai Nabi SAW dalam sifat-sifat tersebut.”

Sifat dan keperibadian yang mulia seperti ini menunjukkan atas kesempurnaan keberagamaan, tingkah laku dan akhlak. Abu Dawud mempunyai pandangan dan falsafah sendiri dalam cara berpakaian. Salah satu lengan bajunya lebar namun yang satunya lebih kecil dan sempit. Seseorang yang melihatnya bertanya tentang kenyentrikan ini, ia menjawab: "Lengan baju yang lebar ini digunakan untuk membawa kitab-kitab, sedang yang satunya lagi tidak diperlukan. Jadi, kalau dibuat lebar, hanyalah berlebih-lebihan.

Abu Dawud adalah juga merupakan "bendera Islam" dan seorang hafiz yang sempurna, ahli fiqh dan berpengetahuan luas terhadap hadith dan ilat-ilatnya. Ia memperoleh penghargaan dan pujian dari para ulama, terutama dari gurunya sendiri, Ahmad bin Hanbal. Al-Hafiz Musa bin Harun berkata mengenai Abu Dawud: "Abu Dawud diciptakan di dunia hanya untuk hadith, dan di akhirat untuk surga. Aku tidak melihat orang yang lebih utama melebihi dia." Sahal bin Abdullah At-Tistari, seorang yang alim mengunjungi Abu Dawud. Lalu dikatakan kepadanya: "Ini adalah Sahal, datang berkunjung kepada tuan." Abu Dawud pun menyambutnya dengan hormat dan mempersilahkan duduk. Kemudian Sahal berkata: "Wahai Abu Dawud, saya ada keperluan keadamu." Ia bertanya: "Keperluan apa?" "Ya, akan saya utarakan nanti, asalkan engkau berjanji akan memenuhinya sedapat mungkin," jawab Sahal. "Ya, aku penuhi maksudmu selama aku mampu," tandan Abu Dawud. Lalu Sahal berkata: "Jujurkanlah lidahmu yang engkau pergunakan untuk meriwayatkan hadith dari Rasulullah SAW. sehingga aku dapat menciumnya." Abu Dawud pun lalu menjulurkan lidahnya yang kemudian dicium oleh Sahal. Ketika Abu Dawud menyusun kitab Sunan, Ibrahim al-Harbi, seorang ulama ahli hadith berkata: "Hadith telah dilunakkan bagi Abu Dawud, sebagaimana besi dilunakkan bagi Nabi Dawud."

Ungkapan tersebut merupakan kata-kata simbolik dan perumpamaan yang menunjukkan atas keutamaan dan keunggulan seseorang di bidang penyusunan hadith. Ia telah mempermudah yang sulit,

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

52

mendekatkan yang jauh dan memudahkan yang masih rumit dan pelik. Abu Bakar al-Khallal, ahli hadith dan fiqh terkemuka yang bermadzhab Hanbali, menggambarkan Abu Dawud sebagai berikut; Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy'as, imam terkemuka pada zamannya adalah seorang tokoh yang telah menggali beberapa bidang ilmu dan mengetahui tempat-tempatnya, dan tiada seorang pun pada masanya yang dapat mendahului atau menandinginya. Abu Bakar al-Asbihani dan Abu Bakar bin Sadaqah senantiasa menyinggung-nyingung Abu Dawud kerana ketinggian darjatnya, dan selalu menyebut-nyebutnya dengan pujian yang tidak pernah mereka berikan kepada siapa pun pada masanya.

Kitab-kitab yang dikarang abu Dawud adalah diantaranya (1) Kitab Al-Sunan, (2) Kitab Al-Marasil, (3) Kitab Al-Qadar, (4) Kitab An-Nasikh Wal Mansukh, (5) Kitab Fadhail Al-Amal, (6) Kitab Al-Zuhud, (7) Kitab Dalail Al-Nubuwwah, (8) Kitab Ibtida’ Al-Wahyi, (9) Kitab Akhbar Al-Khawaraij.16 Di antara kitab-kitab ini yang paling popular adalah Kitab Al-Sunan yang biasa dikenal dengan Sunan Abu Dawud.

2. Karakteristik Kitab Sunan Abu Dawud

Imam Abu Dawud menyusun kitabnya di Baghdad. Minat utamanya adalah syariat, jadi kumpulan hadits-nya berfokus murni pada hadits tentang syariat. Setiap hadits dalam kumpulannya diperiksa kesesuaiannya dengan Al-Qur'an, begitu pula sanadnya. Dia pernah memperlihatkan kitab tersebut kepada Imam Ahmad untuk meminta saran perbaikan.

Di kalangan umat Islam kitab sunan Abu Dawud sangat terkenal. Abu Dawud dalam menyusun Sunannya berdasarkan pada bab-bab fiqih dan berisikan hukum-hukum Islam saja dan tidak disebutkan dalam kitab ini kisah-kisah, nasehat-nasehat, berita-berita yang telah terjadi ataupun yang akan terjadi, demikian halnya dengan fadhailul amal.17

Banyak ulama yang meriwayatkan hadits dari dia, di antaranya Imam Turmudzi dan Imam Nasa'i. Al Khatoby mengomentari bahwa kitab tersebut adalah sebaik-baik tulisan dan isinya lebih banyak memuat fiqh daripada kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Ibnul A'raby berkata, barangsiapa yang sudah menguasai Al-Qur'an dan kitab "Sunan Abu

16 Muhammad Abu Syhbay, Fi Rihab, op cit, hal 108. 17 Muhammad Mustafa A’Zami, Studies in Hadith Methodology and Literatur, Terj. A.

Yamin, Cet II. 1996, Pustaka Hidayah, Bandung, hal 154.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

53

Dawud", maka dia tidak membutuhkan kitab-kitab lain lagi. Imam Al-Ghazali juga mengatakan bahwa kitab "Sunan Abu Dawud" sudah cukup bagi seorang mujtahid untuk menjadi landasan hukum.

Hadis-hadis Abu Dawud selalu dijadikan landasan hukum bagi para fuqoha dan mereka menyatakan bahwa Abu Dawud telah menterjemahkan dengan sangat baik terhadap hadis-hadis yang menunjukkan pada pandangan mazhab ulama, serta pengetahuannya terhadap seluk beluk pengambilan dalil. Oleh karena itu kitab ini sangat terkenal dikalangan fuqoha sebagai kumpulan-kumpulan hadis-hadis hukum.18

Mengenai hadis-hadis yang shahih maupun tidak shahih, Abu Dawud mempunyai kejelasan dalam menyikapi hadis ini dengan jelas, sebagaimana Abu Dawud menyebutkan dalam kitabnya ada hadis-hadis shahih, ada yang menyerupai dan mendekati shahih, serta ada hadis-hadis yang memiliki banyak kelemahan. Baik yang shahih maupun yang lemah akan dijelaskan keshahihan dan kelemahannya.19 Hal ini dijelaskan Abu Dawud sendiri; bahwa tidak ada dalam kitab Sunan yang aku susun ini yang diambil dari orang yang hadisnya Matruk. Apabila didalamnya ada hadis yang munkar dan tidak ada hadis munkar dalam bab-bab kitab Sunan yang tidak dijelaskan.20

Salah seorang ulama ulum al-Hadis, Ibnu al-Shalah mengatakan, bahwa dalam Kitab Sunan Abu Dawud kami tidak menemukan hadis Hasan yang disebutkan secara mutlak, sebagaimana tidak ditemukan dalam Kitab Shahih Bukhari dan Muslim. Hadis yang demikian ini kata Ibnu Al-Shalah adalah hadis Hasan menurut Abu Dawud.21

Mengenai sistematika penyusunan kitab ini, dapat diketahui bahwa kitab ini terdiri dari dua buah kitab atau jilid, yaitu Jilid I yang terdiri atas dua juz, yaitu juz I (340 halaman), juz II (345 halaman) dan Jilid II terdiri atas dua juz yaitu juz III (372 halaman) dan juz IV (370 halaman) tanpa tahun terbitan.

Sedangkan tema pokok yang dipergunakan dalam Kitab Sunan ini mirip dengan kitab fiqih. Hal ini dapat dilihat dari komposisi bab yang digunakan Abu Dawud, misalnya judul tema Kitab al-Thaharah, kemudian

18 Ibid, hal 155. 19 Muhammad Ajjaj al-Khatib, op cit, hal 319. 20 Ibid. 21 Zaenuddin Abdul Rahim Ibnu al-Husaen al-Iraqy, Al-Taqyid wa al-Idhah, al-

Makatabah al-Tijariyah, Makkah, hal 53.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

54

ditulis judul bab. Bab al-Tkahalli inda qadla’ al-Hajjah, baru kemudian ditulis nomor angka urut hadisnya, dimulai dari juz I sampai juz IV nomor urut terakhir adalah 5274. Dengan demikian jumlah hadis yang terdapat dalam Kitab Sunan Abu Dawud adalah sebanyak 5274 hadis.

Di atas telah disebutkan bahawa isi Sunan Abu Dawud itu memuat hadis sebanyak 4.800 buah hadis. Namun sebahagian ulama ada yang menghitungnya sebanyak 5.274 buah hadis. Perbedaan jumlah ini disebabkan bahawa sebahagian orang yang menghitungnya memandang sebuah hadis yang diulang-ulang sebagai satu hadis, namun yang lain menganggapnya sebagai dua hadis atau lebih. Dua jalan periwayatan hadis atau lebih ini telah dikenal di kalangan ahli hadis. Abu Dawud membagi kitab Sunannya menjadi beberapa kitab, dan tiap-tiap kitab dibagi pula ke dalam beberapa bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah, di antaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi ke dalam bab-bab. Sedangkan jumlah bab sebanyak 1,871 buah bab.

C. Pendapat Ulama Terhadap Kitab Sunan Abu Dawud

Karya-karya di bidang hadis sebelum Abu Dawud, kitab-kitab Jami' Musnad dan sebagainya disamping berisi hadis-hadis hukum, juga memuat hadis-hadis yang berkenaan dengan amal-amal yang terpuji (fada'il a'mal) kisah-kisah, nasehat-nasehat (mawa'iz), adab dan tafsir. Cara demikian tetap berlangsung sampai datang Abu Dawud. Maka Abu Dawud menyusun kitabnya, khusus hanya memuat hadis-hadis hukum dan sunnah-sunnah yang menyangkut hukum. Ketika selesai menyusun kitabnya itu kepada Imam Ahmad bin Hanbal, dan Ibn Hanbal memujinya sebagai kitab yang indah dan baik. Abu Dawud dalam sunannya tidak hanya mencantumkan hadis-hadis shahih semata sebagaimana yang telah dilakukan Imam Bukhari dan Imam Muslim, tetapi ia memasukkan pula kedalamnya hadis shahih, hadis hasan, hadis dha'if yang tidak terlalu lemah dan hadis yang tidak disepakati oleh para imam untuk ditinggalkannya. Hadis-hadis yang sangat lemah, ia jelaskan kelemahannya. Cara yang ditempuh dalam kitabnya itu dapat diketahui dari suratnya yang ia kirimkan kepada penduduk Makkah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunannya. Abu Dawud menulis sbb: "Aku mendengar dan menulis hadis Rasulullah SAW sebanyak 500.000 buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadis yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut aku himpun hadis-hadis shahih, semi shahih dan yang mendekati shahih. Dalam kitab itu aku tidak mencantumkan sebuah hadis

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

55

pun yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Segala hadis yang mengandung kelemahan yang sangat ku jelaskan, sebagai hadis macam ini ada hadis yang tidak shahih sanadnya. Adapun hadis yang tidak kami beri penjelasan sedikit pun, maka hadis tersebut bernilai salih (bias dipakai alasan, dalil), dan sebahagian dari hadis yang shahih ini ada yang lebih shahih daripada yang lain. Kami tidak mengetahui sebuah kitab, sesudah Qur'an, yang harus dipelajari selain daripada kitab ini.

Para ulama pada umumnya memberi penilaian yang sangat positif terhadap Kitab Sunan Abu Dawud. Misalnya Abu Sulaeman Ahmad bin Muhammad Al-Khattabi dalam kitab Aun al-Ma’bud mengatakan bahwa kitab Sunan Abu Dawud adalah kitab yang tidak tertandingi dalam masalah agama, telah diterima baik oleh umat Islam.22

Dalam pada itu, Ibnu al-Qayyim ketika memberi komentar tetang kitab Sunan ini mengatakan bahwa Kitab Sunan Abu Dawud menenpati posisi istimewa dalam pandangan Allah, dimana kitab tersebut sebagai penengah diantara ulama-ulama Islam, sebagai pemisah pertentangan dan perselisihan, maka juru penengah menggunakan kitab tersebut, para muhaqqiq menjadi lega. Kitab-kitab tersebut memuat sejumlah hadis-hadis hukum yang disusun secara tertib dan teratur.23

Dari berbagai komentar dan pujian para ulama tersebut di atas bukan berarti kitab sunan ini terlepas dari kritik ulama, terdapat beberapa ulama yang secara terang-terangan mengkritik kitab sunan ini misalnya Imam Ibnu al-Jauzi, dalam kritiknya ia mengatakan bahwa terdapat sembilan buah hadis maudhu’ dalam kitab sunan ini. Al-Jauzi dikenal sebagai tokoh terlalu mudah menuduh suatu hadis itu sebagai hadis maudhu.24 Kritikan ini telah ditanggapi oleh Imam al-Syuyuthi, bahwa seandainya dibandingkan dengan ribuan hadis yang shahih yang dikemukakan oleh Abu Dawud, kesembilan hadis tersebut tidak ada artinya.

Dalam pada itu Ibu Hajar al-Asqani, Imam nawawi dan Ibnu Taymiyah mengkritik Sunan Abu Dawud ini dalam beberapa segi: pertama, tidak ada penjelasan kualitas hadis dan sanad; kedua, adanya hadis Dhaif dengan tanpa penjelasan; ketiga, adanya kemiripan antara Abu Dawud

22 Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq, Abady, Awn al-Ma’bud Syarah Sunan

Abu Dawud, Juz III, Cet II, Al-Makatabah Al-Salafiyah, 79m hal 5. 23 Al-Husain Abd. Majid Hasyim, op cit, hal 321. 24 Muhammad Abu Syahbah, op cit, hal 113.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

56

dengan Ibnu al-Hambal dalam mentolerir hadis-hadis yang oleh sementara kalangan dinilai sebagai hadis Dha’if.25

Imam Al-Hafiz Ibnul Jauzi juga mengkritik beberapa hadis yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadis-hadis maudhu’ (palsu). Jumlah hadis tersebut sebanyak 9 buah hadis. Walaupun demikian, disamping Ibnul Jauzi itu dikenal sebagai ulama yang terlalu mudah memvonis "palsu", namun kritik-kritik telah ditanggapi dan sekaligus dibantah oleh sebahagian ahli hadis, seperti Jalaluddin as-Suyuti. Dan andaikata kita menerima kritik yang dilontarkan Ibnul Jauzi tersebut, maka sebenarnya hadis-hadis yang dikritiknya itu sedikit sekali jumlahnya, dan hampir tidak ada pengaruhnya terhadap ribuan hadis yang terkandung di dalam kitab Sunan tersebut. Kerana itu kami melihat bahawa hadis-hadis yang dikritik tersebut tidak mengurangi sedikit pun juga nilai kitab Sunan sebagai referensi utama yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya.

D. Sarah dan Mukhtasar Sunan Abu Dawud

Begitu besar pengaruh Sunan Abu Dawud terhadap umat Islam, sehingga memperoleh perhatian yang besar dari ulama hadis, karena itu telah banyak ulama yang memberi syarah dan ikhtisar pada kitab ini diantaranya ialah:

1. Kitab Ma’alim al-Sunan, disusun oleh al-Imam Abu Sulaeman Ahmad bin Ibrahim bin al-Khattab (W.388 H), dinamakan syarah Ma’alim al-Sunan dan syarah ini sangat memperlihatkan aspek bahasa, meneliti riwayat dan mengistimbath hukum. Kitab ini terdiri dari lima jilid.26

2. Kitab Al-Mahalu ‘Azbu al-Maurud Syardu Sunan Abu Dawud, disusun oleh seorang ulama ma’rifat Syaikh Mahmud bin Muhammad bin Khattab al-Subki.

Dalam kitab ini al-Subki menerangkan tentang peristiwa yathadis, menjelaskan kata-kata yang sulit, mengungkap hukum dan adat dari hadis tersebut. Dan menyebutkan nama perawi hadis tertentu selain Abu Dawud dan menunjukkan derajat hadis shahih, Hasan atau dha’if. Akan

25 Endang Soetary, op cit. 26 Syaekh Khalil Ahmad al-Sahanafury, Baddzl-alMajhud Fi Halil Abi Dawud, Juz I,

Daar Al-Kutub, hal 5.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

57

tetapi sebelum menyelesaikan kitab ini Al-Subki wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 1352 H.27

3. Mukhtasar Sunan Abu Dawud, Imam al-Hafid Abd al-Azim al-Munziri (w 656 H) penyusun Kitab al-Targhib wa al-Tarhib menulis ikhtisar Sunan Abu Dawud dengan nama al-Mujtaba. Setiap hadis al-Muziri menyebutkan ulama lain dari lima imam hadis yang juga meriwayatkan hadis tersebut.

4. Perbaikan Mukhtashar. Kitab Mukhtashar karya al-Munziri diatas telah disepakati dan sekaligus disyahkan oleh imam Muhammad bin Abu Bakar Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w 751 H). Ibnu al-Qayyim memberi beberapa tambahan penjelasan mengenai kelemahan hadis yang dijelaskan oleh al-Munziri, menegaskan keshahihan hadis yang belum dishahihkan, serta membahas tentang yang musykil.28 Dan juga menguraikan beberapa masalah secara panjang dan lebar.

E. Kesimpulan

Uraian-uraian tersebut diatas dapat memberi gambaran kepada kita beberapa kesimpulan antara lain: Pertama, Kitab Sunan Abu Dawud telah disepakati oleh mayoritas ulama sebagai Kitab standar dan termasuk dalam kelompuk Kutub al-Khamsah, dimana kitab ini menduduki peringkat ketiga setelah shahih Bukhari dan Muslim; Kedua, kitab ini telah disusun secara sistematis berdasarkan model penyusunan kitab-kitab fiqih; Ketiga Abu Dawud dalam menyusun kitab Sunannya lebih banyak mengemukakan hadis-hadis shahih, disamping ada juga yang drajatnya lebih lemah. Namun Abu Dawud mengatakan dengan jujur drajat hadis tersebut.

Daftar Pustaka

A’zami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadith Methodology and Literature, alih bahasa A. Yamin, cet II, Bandung; Pustaka Hidayah, 1996.

Abadiy, Abu al-Thayyib Muhammad Syams al-Haq. Awn al-Ma’bud Syarah Sunan abi Dawud, cet III, Juz III, ttp: al-Makatabat al-Salafiyah, 1979.

27 Muhammad Abu Syuhbah, op cit, hal 114. 28 Ibid, hal 115.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

58

Abu Syhbah, Muhammad. Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihah al-Sittah Kairo: tp, 1389 H/ 1989 M

Al-Dahabi Abu Abd. Allah Muhammad Ibn Utsman. Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, ttp: Daar al-Fikr, 1382H/ 1963M

Al-Husainy, Abd. Majid Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi: Ulumuhu wa Maqayisuhu, ttp Daar al-Syuruq, tth.

Al-Iraqy, Zainuddin Abd. Rahim Ibn al-Husain, al-Taqyid wa al-Idhah. Mekkah: al Maktabah al-Tijariyah, tth.

Ismail M. Syuhudi, Kaidah Keshalihan Hadis Telaah Kritis dan Tinjaan dengan Pendekatan Sejarah, cet III, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.

Al-Khatib, Muhammad Ajaj, Usul al-Hadis wa Mushthalahuh, Beirut: Daar al-Fikr, 1395 H/ 1975 M

Al-Mubarakafury, abu al-‘Ula Muhammad Abd Rahman bin ‘Abd. Rahim, Muqaddimah Tuhdat al-Ahwazi Syarah Jami’ al-Tirmizi, cet III, Juz I, Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Salafiyah, 1386 H/ 1967 M.

Al-Saharnafury, Syaikh Khalil Ahmad. Baddzi al-Majhud fi Halli Abi Dawud Juz I, ttp: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, tth.

Al-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, Juz I, beirut: Daar al-Fikr, 1994.

Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Cet.III, Bandung: Amal Bakti Press, 2000

Al-Zahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Usman. Syiar A’Lam al-Nubala, Juz XIII, ttp: Muassasah al-Risalah, tth.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

59

SYIAH ANTARA PARADIGMA

DAN PROBLEMATIKA MASYARAKAT MADANI

Oleh : Abdul Hamid1

Abstrak

Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas seputar Syiah, permasalahan-permasalahannya dengan pembentukan masyarakat madani, serta selusinya.

Dalam kajian ini disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah Imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah ini, secara garis besar terdapat beberapa macam, dianataranya, konsepsi tentang Ahlulbait, al-bada’, as-syurah, Imamah, dan paham-paham lainnya yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni.

Kata Kunci: Syiah, Ahlul bait, Imamiah, Ghulat, Madani

A. PENDAHULUAN

Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam Islam. Keduanya adalah Ahlussunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain, sebagaimana yang kini bisa kita saksikan di negara-negara seperti Irak dan Lebanon.

1 Adalah Sekertaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam FAI UIA

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

60

Terlepas dari hubungan antara keduanya yang kerap kali tidak harmonis, Syi’ah sebagai sebuah mazhab teologi menarik untuk dibahas. Diskursus mengenai Syi’ah telah banyak dituangkan dalam berbagai kesempatan dan sarana. Tak terkecuali dalam tulisan ini. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas seputar Syiah, permasalahan-permasalahannya dengan pembentukan masyarakat madani, serta selusinya. Semoga karya sederhana ini dapat memberikan gambaran yang utuh, objektif, dan valid mengenai Syi’ah yang pada gilirannya dapat memperkaya wawasan kita sebagai seorang Muslim.

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Syi’ah

a. Syi’ah adalah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa ‘Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Dari segi bahasa, kata Syi’ah berarti pengikut, atau kelompok atau golongan, seperti yang terdapat dalam surah al-Shâffât ayat 83 yang artinya: “Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)”.2

b. Syi’ah secara harfiah berarti kelompok atau pengikut. Kata tersebut dimaksudkan untuk menunjuk para pengikut ‘Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin pertama ahlulbait. Ketokohan ‘Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang telah diberikan Nabi Muhammad sendiri, ketika dia (Nabi Muhammad) masih hidup.3

c. Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang berkeyakinan bahwa yang paling berhak menjadi imam umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw ialah keluarga Nabi saw sendiri (Ahlulbait). Dalam hal ini, ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (paman Nabi saw) dan ‘Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu sekaligus menantu Nabi saw) beserta keturunannya.4

2Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1997), cet. ke-4, h. 5. 3Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:

Djambatan, 1992), h. 904.

4Muhammad Amin Suma, dalam Taufik Abdullah, ed., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), cet. ke-3, h. 343.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

61

d. Perkataan Syi’ah secara harfiah berarti pengikut, partai, kelompok, atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara khusus, perkataan “Syi’ah” mengandung pengertian syi’atu ‘Aliyyin, pengikut atau pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.5

e. Kata Syi’ah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syi’ah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai ‘Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.6

f. Secara lingusitik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.

2. Sejarah Syi’ah

Para penulis sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syi’ah. Sebagian menganggap Syi’ah lahir langsung setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar di Balai Pertemuan Saqifah Bani Sa’idah. Pada saat itu muncul suara dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin yang menuntut kekhalifahan bagi ‘Ali bin Abi Thalib. Sebagian yang lain menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan atau pada masa awal kepemimpinan ‘Ali bin Abi Thalib.7

Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah ‘Ali dengan pihak pemberontak Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.8 Akibat kegagalan itu, sejumlah

5Soekama Karya, dkk., Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Logos

Wacana Ilmu, 1996), cet. ke-1, h. 125.

6Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah, (Bandung : Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.

7Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h.5.

8 Ibid. Lihat juga Joesoef Sou’yb, Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982), cet. ke-1, h. 11. Penjelasan lebih lengkap tentang perang Shiffin dan tahkîm, lihat Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Akar-akar

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

62

pasukan ‘Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan ‘Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut ‘Ali).

Pendirian kalangan Syi’ah bahwa ‘Ali bin Abi Thalib adalah imam atau khalifah yang seharusnya berkuasa setelah wafatnya Nabi Muhammad saw telah tumbuh sejak beliau masih hidup, dalam arti bahwa Nabi Muhammad sendirilah yang menetapkannya. Dengan demikian, menurut Syi’ah, inti dari ajaran Syi’ah itu sendiri telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw.9

Terlepas dari semua pendapat tersebut, yang jelas adalah bahwa Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Mu’awiyah dan ‘Ali. Di antara pasukan ‘Ali pun terjadi pertentangan antara yang tetap setia dan yang membangkang.10

3. Ajaran-ajaran Syi’ah a. Ahlulbait

Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam, istilah itu secara khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad saw. Ada tiga bentuk pengertian Ahlulbait. Pertama, mencakup istri-istri Nabi Muhammad saw dan seluruh Bani Hasyim. Kedua, hanya Bani Hasyim. Ketiga, terbatas hanya pada Nabi sendiri, ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan imam-imam dari keturunan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam Syi’ah bentuk terakhirlah yang lebih populer.11

1) Al-Bada

Dari segi bahasa, bada’ berarti tampak, yang sebelumnya masih samar-samar atau berarti pula munculnya pendapat baru.

Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in, (Bandung: Mizan Pustaka, 2004), cet. ke-1, h. 155-185.

9Ibid, h. 5. Lihat juga Abubakar Aceh, Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam, (Solo: Ramadhani, 2001), h. 17-21

10Ibid. 11Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 10.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

63

Bada’ dengan beberapa arti di atas berkaitan erat dengan di dahuluinya ketidaktahuan, atau muculnya pengetahuan baru, sifat tersebut mustahil bagi Allah swt, akan tetapi Syiah menisbatkan sifat “bada” ini kepada Allah swt.12

Ar-Rayyan bin As-Shalt berkata:

ا�مر وان ما بعث اهللا نJيا إال بتحر�م: سمعت ا�رضا عليه ا�سالم يقول .يقر هللا با#داء

saya pernah mendengar Ar-Ridho berkata: Allah tidak mengutus nabi ecuali diperintahkan untuk mengharamkan khamr, dan diperintahkan untuk menetapkan sifat bada’ kepada Allah.13

Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah swt.14

2) Asyura

Asyura berasal dari kata ‘asyarah, yang berarti sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi’ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husain bin ‘Ali dan keluarganya di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan pada tahun 61 H di Karbala, Irak. Pada upacara peringatan asyura tersebut, selain mengenang perjuangan Husain bin ‘Ali dalam menegakkan kebenaran, orang-orang Syi’ah juga membaca salawat bagi Nabi

12Muhammad as-Salafi, Min Aqa’id as-Syiah, Terj., Abu Salman., Menyingkap Kesesatan

Aqidah Syiah, Bandung : Pustaka ash-Shaqiyyah, h. 15 13Abdul as-Satar, Butlan Aqa’id as-Syiah, Makkah : al-Makatabah al-Imdadiyyah, 1408

H, h. 24 14Muhammad as-Salafi, Terj., loc. cit. Namun dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi

Islam, Ensiklopedi Islam…, h. 10-11. Mengatakan bahwa menurut Syi’ah, perubahan keputusan Allah itu bukan karena Allah baru mengetahui suatu maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui oleh-Nya (seperti yang sering dianggap oleh berbagai pihak). Dalam Syi’ah keyakinan semacam ini termasuk kufur. Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan, “Barangsiapa yang mengatakan Allah swt baru mengetahui sesuatu yang tidak diketahui-Nya, dan karenanya Ia menyesal, maka orang itu bagi kami telah kafir kepada Allah swt.” Menurut Syi’ah lagi, perubahan itu karena adanya maslahat tertentu yang menyebabkan Allah swt memutuskan suatu perkara sesuai dengan situasi dan kondisi pada zamannya. Misalnya, keputusan Allah mengganti Isma’il as dengan domba, padahal sebelumnya Ia memerintahkan Nabi Ibrahim as untuk menyembelih Isma’il as.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

64

saw dan keluarganya, mengutuk pelaku pembunuhan terhadap Husain dan keluarganya, serta memperagakan berbagai aksi (seperti memukul-mukul dada dan mengusung-usung peti mayat) sebagai lambang kesedihan terhadap wafatnya Husain bin ‘Ali. Di Indonesia, upacara asyura juga dilakukan di berbagai daerah seperti di Bengkulu dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam bentuk arak-arakan tabut.15 Acara-acara yang hina ini mereka lakukan setiap tahun, dan perlu diketahui bahwa Rasulullah saw melarang perbuatan ini, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim tentang pelarangan memukul pipi dan menyobek-nyobek saku. Syiah (rafidha) adalah sekte yang paling banyak mendustakan hadist nabi.16

3) Imamah

Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi saw wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah kenabian.17 Atau, dalam pengertian Ali Syari’ati, adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.18 Dalam Syi’ah, kepemimpinan itu mencakup persoalan-persoalan keagamaan dan kemasyarakatan. Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat. Pada umumnya, dalam Syi’ah, kecuali Syi’ah Zaidiyah, penentuan imam bukan berdasarkan kesepakatan atau pilihan umat, tetapi berdasarkan wasiat atau

15Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 11. Pembahasan mengenai asyura dan

tabut selengkapnya lihat Azyumardi Azra (Kata Pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar, ed., Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian, (Bandung: Mizan, 2000), cet. ke-1, h. 20-21.

16Muhammad as-Salafi, Terj., loc. cit.

17Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. Cit.

18Ali Syari’ati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad, (Bandung: Mizan Pustaka, 1995), cet. ke-2, h. 65.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

65

penunjukan oleh imam sebelumnya atau oleh Rasulullah langsung, yang lazim disebut nash.19

4) Ishmah

Dari segi bahasa, ‘ishmah adalah bentuk mashdar dari kata ‘ashama yang berarti memelihara atau menjaga. ‘Ishmah ialah kepercayaan bahwa para imam itu, termasuk Nabi Muhammad, telah dijamin oleh Allah dari segala bentuk perbuatan salah atau lupa.20 Ali Syari’ati mendefinisikan ‘ishmah sebagai prinsip yang menyatakan bahwa pemimpin suatu komunitas atau masyarakat—yakni, orang yang memegang kendali nasib di tangannya, orang yang diberi amanat kepemimpinan oleh orang banyak—mestilah bebas dari kejahatan dan kelemahan.21 Dikutip oleh Al-Kuilani dalam bukunya Ushulul Kaafi: Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata

�ن خزان علم اهللا �ن ترا�ة ا6ر اهللا �ن قوم معصو6ون، ا6ر اهللا تعا� نا ون� عن معصيeنا �ن حجة اهللا ا#الغة � من دون ا�سماء بطاعت

.وفوق األرض

“Kami adalah gudangnya ilmu Allah dan kami penterjemah perintah Allah serta kami kaum yang ma’sum, semua manusia diwajibkan taat kepada kami, dan dilarang menyelisihi kami, dan kami menjadi saksi atas perbuatan manusia di bawah langit dan di atas bumi.22

Al-Khumaini berkata dalam salah satu tulisannya:

“Bahwa para imam mereka lebih utama dari pada para nabi dan rasul, dan mereka memiliki kedudukan atau tingkatan yang tidak tercapai oleh para malaikat dan para rasul. Ia juga mengatakan : “bahwa Para imam dapat mengetahui apa saja jika menghendakinya”, dari Ja’far ia berkata “Imam bisa mengetahui apa saja jika memang menghendakinya dan mereka

19Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. Cot. Pembahasan tentang imamah secara

lengkap lihat Nashir Makarim Syirazi, Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H), cet. ke-2, h. 76-92.

20Ibid.

21Ali Syari’ati, op. cit., h. 62. 22Abdul as-Satar, op. cit., h. 27

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

66

mengetahui kapan mereka mati, dan mereka tidak akan mati melainkan karena keinginan mereka sendiri”.23

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata :

“Rafidhah menyangka bahwasannya urusan agama diserahkan kepada para pendeta, halal adalah yang menurut mereka halal dan haram adalah yang menurut mereka haram dan konsep keagamaan adalah yang mereka syariatkan.24

5) Mahdawiyah

Berasal dari kata mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat itu disebut Imam Mahdi. Dalam Syi’ah, figur Imam Mahdi jelas sekali. Ia adalah salah seorang dari imam-imam yang mereka yakini. Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, misalnya, memiliki keyakinan bahwa Muhammad bin Hasan al-Askari (Muhammad al-Muntazhar) adalah Imam Mahdi. Di samping itu, Imam Mahdi ini diyakini masih hidup sampai sekarang, hanya saja manusia biasa tidak dapat menjangkaunya, dan nanti di akhir zaman ia akan muncul kembali dengan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat dunia.25

5) Marja’iyyah atau Wilayah al-Faqih

Kata marja’iyyah berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu. Sedangkan kata wilâyah al-faqih terdiri dari dua kata: wilâyah berarti kekuasaan atau kepemimpinan; dan faqîh berarti ahli fiqh atau ahli hukum Islam. Wilâyah al-faqîh mempunyai arti kekuasaan atau kepemimpinan para fuqaha.26

23 Muhammad as-Salafi, Terj., loc. cit.

24 Ibid.

25Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. cit

26Ibid

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

67

6) Raj’ah

Kata raj’ah berasal dari kata raja’a yang artinya pulang atau kembali. Raja’ah adalah keyakinan akan dihidupkannya kembali sejumlah hamba Allah swt yang paling saleh dan sejumlah hamba Allah yang paling durhaka untuk membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah swt di muka bumi, bersamaan dengan munculnya Imam Mahdi.27 Sementara Syaikh Abdul Mun’eim al-Nemr28 mendefinisikan raj’ah sebagai suatu prinsip atau akidah Syi’ah, yang maksudnya ialah bahwa sebagian manusiaakan dihidupkan kembali setelah mati karena itulah kehendak dan hikmat Allah, setelah itu dimatikan kembali. Kemudian di hari kebangkitan kembali bersama makhluk lain seluruhnya. Tujuan dari prinsip Syi’ah seperti ini adalah untuk memenuhi selera dan keinginan memerintah. Lalu kemudian untuk membalas dendam kepada orang-orang yang merebut kepemimpinan ‘Ali.29

Muhammad Baqir mengatakan :

فإنه سيaشق جدار ق� رسول )قبيل القيامة(إذا ظهر ا_عدي عليه ا�سالم . ثم يصلبهما اهللا ص م ، و�رج أبا بFر وعمر من ق�هما فيحييهما

Jika Imam Mahdi telah keluar (waktu medekati qiamat), ia akan membongkar (samping) dinding kubur Rasul saw, kemudian ia akan mengeluarkan Abu Bakar dan Umar, kemudian menyalibnya.30

Dikatakan oleh Al-Majlisi dalam bukunya Haqqul Yaqin mengutip perkataan Muhammad al-Baqir: “Ketika Al-Mahdi muncul ia akan menghidupkan Aisyah ummmul mu’minin untuk dihukum rajam.31

7) Taqiyah

Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap

27Ibid.

28Beliau adalah mantan Menteri Wakaf dan al-Azhar, Mesir.

29Al-Nemr, Sejarah…, h. 146. 30Abdul as-Satar, op. cit., h. 103 31 Muhammad as-Salafi, Terj., op. cit., h. 38

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

68

penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.32 Perilaku taqiyah ini boleh dilakukan, bahkan hukumnya wajib dan merupakan salah satu dasar mazhab Syi’ah.33 Al-Kuilani menukilkan bahwa Abu Abdillah berkata : “Hai Abu Umar sesungguhnya sembilan puluh persen dari agama ini adalah taqiyyah, tidak ada agama bagi orang yang tidak bertaqiyyah dan taqiyyah mutlak dalam segala hal, kecuali dalam urusan khamar dan mengusap khuf (sepatu slop).” Dinukil juga oleh al-Kuilani dari Abu Abdillah: “Jagalah agama kalian, tutupilah dengan taqiyyah, tidak dianggap beriman seseorang sebelum ia bertaqiyyah.34

8) Tawassul

Adalah memohon sesuatu kepada Allah dengan menyebut pribadi atau kedudukan seorang Nabi, imam atau bahkan seorang wali suaya doanya tersebut cepat dikabulkan Allah swt. Dalam Syi’ah, tawassul merupakan salah satu tradisi keagamaan yang sulit dipisahkan. Dapat dikatakan bahwa hampir setiap doa mereka selalu terselip unsur tawassul, tetapi biasanya tawassul dalam Syi’ah terbatas pada pribadi Nabi saw atau imam-imam dari Ahlulbait. Dalam doa-doa mereka selalu dijumpai ungkapan-ungkapan seperti “Yâ Fâthimah isyfa’î ‘indallâh” (wahai Fathimah, mohonkanlah syafaat bagiku kepada Allah), dsb.35

4. Sekte-sekte Syi’ah

Para ahli umumnya membagi sekte Syi’ah ke dalam empat golongan besar, yaitu Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, dan Kaum Ghulat. Golongan Imamiyah pecah menjadi beberapa golongan. Yang terbesar adalah golongan Itsna ‘Asyariyah atau Syi’ah Duabelas. Golongan lainnya adalah golongan Isma’iliyyah.36

Selain itu terdapat juga pendapat lain. Misalnya dari al-Syahrastani. Beliau membagi Syi’ah ke dalam lima kelompok, yaitu Kaisaniyah,

32Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op. cit., h. 12-13. Lihat juga Syari’ati,

Islam…, h. 67.

33Al-Nemr, Sejarah…, h. 146. Lihat juga Syirazi, Inilah…, h. 105-107. 34 Muhammad as-Salafi, Terj., op. cit., h. 41

35Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc. Cit.

36Ibid., h. 6.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

69

Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Isma’iliyah.37 Sedangkan al-Asy’ari membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok besar, yaitu: Syi’ah Ghaliyah, yang terbagi lagi menjadi 15 kelompok; Syi’ah Imamiyah (Rafidhah), yang terbagi menjadi 14 kelompok; dan Syi’ah Zaidiyah, yang terbagi menjadi 6 kelompok.38

Joesoef So’uyb dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah membagi Syi’ah ke dalam beberapa sekte, yaitu : Sekte Imamiyah (yang kemudian pecah menjadi Imamiyyah Sittah dan Itsna ‘Asyariyah), Zaidiyah, Kaisaniyah, Isma’iliyah, Qaramithah, Hasyasyin, dan Fathimiyah.39

Sementara itu, Abdul Mun’im al-Hafni dalam Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, mengklasifikasikan Syi’ah secara rinci sebagai berikut:

1. Al-Ghaliyah: Bayaniyah, Janahiyah, Harbiyah, Mughiriyah, Manshuriyah, Khithabiyah, Mu’ammariyah, Bazighiyah, ‘Umairiyah, Mufadhaliyah, Hululiyah, Syar’iyah, Namiriyah, Saba’iyah, Mufawwidhah, Dzamiyah, Gharabiyah, Hilmaniyah, Muqanna’iyah, Halajiyah, Isma’iliyah.

2. Imamiyah: Qath’iyah, Kaisaniyah, Karbiyah, Rawandiyah, Abu Muslimiyah, Rizamiyah, Harbiyah, Bailaqiyah, Mughiriyah, Husainiyah, Kamiliyah, Muhammadiyah, Baqiriyah, Nawisiyah, Qaramithah, Mubarakiyah, Syamithiyah, ‘Ammariyah (Futhahiyah), Zirariyah (Taimiyah), Waqifiyah (Mamthurah-Musa’iyah-Mufadhdhaliyah), ‘Udzairah, Musawiyah, Hasyimiyah, Yunusiah, Setaniyah.

3. Zaidiyah: Jarudiyah, Sulaimaniyah, Shalihiyah, Batriyah, Na’imiyah, Ya’qubiyah.40

37Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedi Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan

Gerakan Islam, terj. Muchtarom, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), cet. ke-1, h. 572.

38Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 572. 39Sou’yb, Pertumbuhan…, h. 13-196. 40Al-Hafni, Ensiklopedi Golongan…, h. 575-576.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

70

C. Syiah dan Problematika Masyarakat Madani 1. Konsep Masyarakat Madani

Konsep masyarakat madani tidak langsung terbentuk dalam format seperti yang dikenal sekarang ini. Bahkan konsep ini pun masih akan berkembang terus akibat dari proses pengaktualisasian yang dinamis dari konsep tersebut di lapangan. Konsep masyarakat madani memiliki rentang waktu pembentukan yang sangat panjang sebagai hasil dari akumulasi pemikiran yang akhirnya membentuk profile konsep normatif seperti yang dikenal sekarang ini.41

Kadang, masyarakat madani dipahami sebagai masyarakat sipil, terjemahan civil society yang lahir di Barat pada abad ke-18. Hal tersebut diperkuat oleh latar belakang dimunculkannya civil society di Indonesia, sebagai kaunter terhadap dominasi ABRI (nama waktu itu untuk tentara dan polisi di Indonesia) yang menerapkan doktrin dwi fungsi, dimana ABRI memerankan tugas-tugas sipil sebagai penyelenggara lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hampir semua kepala pemerintahan dari pusat sampai daerah dipegang oleh ABRI. Kebencian terhadap ABRI semakin dalam ketika mereka terkooptasi oleh rezim Soeharto untuk membungkam rakyat yang kritis terhadap gaya pemerintahan yang feodal dan otoriter. Orang juga tahu kalau ABRI berada di belakang semua aksi teror dan penculikan terhadap para aktivis demokrasi.42

Para intelektual Muslim menjadikan Amerika Serikat sebagai model dari bentukan civil society. Di Amerika kekuasaan negara sangat terbatas dan tidak bisa mengintervensi hak-hak individu (biasa disebut dengan small stateness), namun sangat kuat dalam bidang pelaksanaan hukum. Sedangkan di Indonesia, yang terjadi adalah sebalinya. Akibatnya, di Indonesia sering terjadi pergantian

41 Thoha Hamim, Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang

Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 112-113.

42 Ibid

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

71

pemerintahan, karena penegakkan hukum masih lemah dan MPR/DPR mempunyai kekuasaan yang besar.43

Kita boleh menjadikan Amerika sebagai model dan bukan mengekor karena perbedaan situasi dan kondisi dari kedua negara tersebut. Kita mungkin dapat belajar dari pelaksanaan hukum di sana, dan mengkoreksi posisi negara yang lemah vis-à-vis masyarakat. Islam mengembangkan prinsip keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Dalam bidang hukum pun demikian, karena negara tidak boleh tunduk kepada keinginan masyarakat yang menyimpang dari akal sehat seperti menuruti suara mayoritas yang menghendaki diperbolehkannya minuman keras.

Tidak benar jika ingin mewujudkan masyarakat madani harus memperlemah posisi eksekutif seperti yang terjadi di Amerika. Selain bertentangan dengan prinsip keseimbangan, juga mengingkari sejarah masyarakat madani ciptaan Nabi Muhammad SAW yang berbentuk negara. Kesan salah tersebut terjadi karena lahirnya civil society bersamaan dengan konsep negara modern, yang bertujuan: Pertama, untuk menghindari lahirnya negara absolut yang muncul sejak abad ke-16 di Eropa. Kedua, untuk mengontrol kekuasaan negara. Atas dasar itu, perumus civil society 44 menyimpulkan bahwa teori negara modern mencakup dua tema sentral yaitu sovereignty; dan political economy, the problem of the relationship of state power to civil society.45

Hegel dan Rousseau memandang negara modern lebih dari sekedar penjamin bagi berkembangnya civil society, karena negara modern didirikan atas dasar persamaan semua warga negara, maka negara tidak hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan akhir tertentu bersama, seperti penjamin aturan pasar agar setiap individu dapat mengejar keperluannya, melainkan merupakan puncak dari sistem sosial, dimana nilai tertinggi bukan pada individu melainkan pada kehidupan bersama.46

43Abdul Qodri Azizy, Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-

Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 87

44 Andrew Gamble, An Introduction to Modern Social and Political Thought, Hongkong: Macmillan Education Ltd,

1988, tpn, h. 47-48 45 Ibid, h. 54 46 Ibid, h. 56

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

72

Adam Seligman47 mengemukakan dua penggunaan istilah civil society dari sudut konsep sosiologi, yaitu dalam tingkatan kelembagaan (organisasi) sebagai tipe sosiologi politik dan membuat civil society sebagai suatu fenomena dalam dunia nilai dan kepercayaan. Dalam pengertian yang pertama, civil society dijadikan sebagai perwujudan suatu tipe keteraturan kelembagaan dan dijadikan jargon untuk memperkuat ide demokrasi yang mempunyai delapan karakteristik, yaitu:

(1) the freedom to form and join organizations, (2) freedom of expression, (3) the right to vote, (4) eligibility for public office, (5) the right of political leaders to compate for support and votes, (6) alteernative sources of information (what we would call a free press, (7) free and fair elections, and (8) institutions for making government policies depend on votes and other expressions of preference.

Dari delapan karakteristik demokrasi yang merupakan tugas negara modern, maka kita tahu bahwa negara mempunyai tugas untuk mengembangkan masyarakat madani.48

2). Rekonstruksi Masyarakat Madani dan Konsep Negara Islam

Kata negara berasal dari kata staat (Belanda dan Jerman), state (Inggris) dan etat (perancis). Pertumbuhan stelsel negara modern dimulai pada abad ke-17 M di benua Eropa, karenanya istilah staat mempunyai sejarah sendiri. Istilah ini mula-mula dipergunakan di Eropa Barat pada abad ke-15 M. Anggapan umum yang diterima adalah bahwa kata staat (state, etat) dialihkan dari kata bahasa Latin status atau statum.49

Dalam pengertian istilah, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolitis dari kekuasaan yang sah.50 Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa untuk berdirinya sebuah negara diperlukan beberapa persyaratan, yaitu (1)

47 Abdul Qodri Azizy, op. cit, h. 88-89 48 Ibid, 90 49 Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Putera Bardin, 1999), h. 90. 50 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992), h.

40.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

73

daerah teritorial, (2) rakyat atau warga negara, (3) sejumlah pejabat, (4) peraturan perundang-undangan, dan (5) kekuasaan yang sah. Negara sebagai gejala sosial, di mana terdapat sejumlah besar manusia hidup bersama-sama dalam satu sistem hukum, dikendalikan oleh suatu kekuasaan dan dapat menimbulkan pertanyaan dari mana asal negara itu muncul.51

Dalam perkembangannya konsep negara, yang juga disebut dengan perspektif negara (state perspective) menganggap negara sebagai unsur yang paling dominan dalam proses politik. Negara dalam pendekatan ini adalah negara yang tidak dapat dilepaskan dari statusnya sebagai sebuah organisasi unggul (par excellence). Keunggulan negara sebagai sebuah organisasi dapat dilihat dari berbagai segi, seperti keunikan struktur keanggotaan, ruang lingkup, fungsi, dan alat-alat yang digunakan dalam menunaikan tugasnya.52

Konsep negara sebagaimana banyak digunakan para sarjana ilmu politik sebelum Perang Dunia II mendapat kritik dari aliran behavioristik karena beberapa kelemahan. Pertama, negara yang dianggap sebagai organisasi unggul tidak selamanya menduduki posisi sentral. Dalam masyarakat industri maju, kekuasaan tidak berpusat pada negara, melainkan terdistribusi pada negara-negara bagian dan kekuatan politik dalam masyarakat. Kedua, konsep negara dianggap terlalu melihat negara hanya dari sisi yuridis-formalistiknya belaka, sehingga negara terlihat sebagai gejala politik yang statis. Ketiga, dalam kenyataannya, yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara, melainkan elit yang memegang jabatan tersebut.53

Dalam kajian Islam, istilah negara dapat dipadankan dengan istilah daulah, khilafah, hukumah, dan imamah. Daulah adalah kelompok sosial yang menetap disuatu wilayah tertentu dan terorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan. Istilah ini dipakai pertama kali oleh Dinasti ‘Abbasiyah pada pertengahan abad ke-8 M. Khilafah pada asalnya berarti perwakilan dan pergantian atau jabatan

51Para sarjana tidak sependapat mengenai asal mula negara sehingga menimbulkan

berbagai macam teori. Ada teori yang mendasarkan pada ketuhanan, ada yang mencari dalam suatu perjanjian masyarakat dan ada yang mendasarkan pada kekuasaan. Lihat M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Sumatera: Mandar Maju, 1990), h. 23.

52 Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Sipress, 1994), h. 38.

53 Ibid., h. 38-9

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

74

khalifah. Dalam politik Islam syi‘i, khilafah harus didasarkan pada dua hal penting, yaitu ijma’ (konsensus elit politik) dan bay’ah (pemberian legitimasi).54 Sedangkan kata hukumah, secara etimologi berarti pemerintah. Kata tersebut digunakan dalam arti pemerintahan kira-kira mulai pada abad ke-19 M. Namun dalam perkembangan selanjutnya, istilah hukumah selalu dikaitkan dengan teori Sayyid Qutub, yaitu teori hakimiyyah.55 Kata imamah sering digunakan untuk menyebut negara atau pemerintahan, terutama dikalangan Syi’ah.

Sebelum menjelaskan lebih lanjut tantang konsep negara Islam (Isalamic state), perlu kiranya penulis menjelaskan tentang makna “sistem politik” dalam Islam. Sistem politik, sebagaimana dijelaskan oleh Munawir Sjadzali, adalah “suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan, kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan, kepada siapa pelaksana kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawab.56

Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa hal yang berkaitan dengan sistem politik, yaitu: (1) sumber kekuasaan negara; (2) pelaksana kekuasaan; (3) dasar dan cara menentukan penguasa; dan (4) tanggung jawab pelaksana kekuasaan, kepada siapa dan bagaimana bentuknya. Dilihat dari sisi historis, persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam bukanlah masalah keyakinan atau pun fiqh, melainkan masalah siyasah (politik). Sewaktu Nabi Muhammad menyiarkan Islam di Mekah, beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat dan mandiri. Baru setelah hijrah ke- Madinah, Nabi dan umat Islam mempunyai kedudukan yang baik dan kekuatan yang diperhitungkan.57

54Lihat Hatim Gazali, Makna Negara dalam Islam dalam Tedi Kholiludin, Runtuhnya

Negara Tuhan: Membongkar Otoritarianisme dalam Wacana Politik Islam, (Semarang: INSEDE, 2005), h. 113-4.

55 Ibid 56 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta : UI-press, 1990), cet. ke-1, h. 2-

3. 57 Peristiwa hijrah Nabi dari Mekah ke Madinah diakui oleh banyak sejarawan

sebagai momen penting bagi kekuatan Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Lihat Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates, London and New York: Longman, 1986, hlm. 34-5; Lihat juga M. Husein Haikal, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 18.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

75

Di Madinah, Nabi sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan pada akhirnya menjadi sebuh negara, yang daerah kekuasaannya di akhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain, di Madinah Nabi Muhammad bukan hanya sebagai seorang rasul saja, melainkan juga sebagai “kepala negara”.58 Pada tahun 628 M., Nabi Muhammad saw dan para pengikutnya merasa telah memiliki kekuatan yang cukup untuk mengadakan sebuah perjanjian dengan penduduk Mekah. Perjanjian yang kemudian hari terkenal dengan nama perjanjian Hudaibiyah itu membuktikan keunggulan akan sense of compromise and statemenship (kesadaran untuk berkompromi dan sikap kenegarawanan Nabi). Perjanjian ini merupakan modal penting bagi Nabi dan umat Islam untuk mengembangkan ajaranajaran Islam, tidak hanya sekedar doktrin-doktrin teologis dan syari’ah saja, melainkan juga dalam masalah politik.59

Misi Nabi Muhammad untuk memperkenalkan keyakinan baru dan meletakkan pondasi bagi terwujudnya sebuah moral community (masyarakat beradab) sepenuhnya telah terealisir di tengah-tengah kebebasan suku Arab yang tanpa batas. Beliau telah berhasil mengajarkan sebuah doktrin yang dapat menggantikan sistem yang berlaku saat itu. Pada masa inilah “negara Islam” (islamic state) pertama kali muncul dan sebuah pondasi sistem legal dan politik yang baru mulai terbangun. Masa ini dikenal dengan nama masa apostelic (kenabian) atau periode pertama sejarah Islam yang ditandai oleh kepemimpinan spiritual dan politik Nabi Muhammad. G.E. Von Grunebaum sebagaimana dikutip oleh Paydar mendeskripsikan sifat dasar negara Islam (negara syari’ah) sebagai berikut:

Islam adalah komunitas Allah. Dia merupakan kebenaran abadi dan pemberi kehidupan bagi mereka. Dia merupakan pusat dan tujuan pengalaman spiritual mereka. Dia juga penguasa tertinggi komunitas ini di mana Ia tidak hanya mengatur tetapi juga memerintah. Dia-lah yang menjadi raison de etre bagi eksistensi negara Islam. Dia adalah Tuhan YME serta penguasa tertinggi yang menopang dan menjustifikasi keberlangsungan negara Islam. Prinsip ini menjadikan tentara muslim menjadi pasukan Allah (jundullah). Dia lebih-lebih merasuk dalam

58 Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press,

2001), Jilid I, h. 88. 59 Manoucher Paydar, Legitimasi Negara Islam: Problem Otoritas Syari’ah dan

Politik Penguasa, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003, h. 20-1.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

76

seluruh kehidupan komunitas muslim serta menempatkan kehidupan pribadi tiap-tiap anggotanya di bawah pengawasan langsung dan kekuasaan absolut-Nya.60

Dengan demikian, prinsip dari doktrin negara Islam adalah bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Allah. Sedangkan dalam teori modern tentang negara (state) kedaulatan berada di tangan manusia. Para ahli politik Islam berbeda pendapat tentang konsep negara syari’ah. Kebanyakan mereka mendasarkan berdirinya negara syari’ah (shari‘ah state) atau negara Islam (islamic state) sejak Nabi Muhammad menyebarkan Islam di Madinah, terutama setelah dibuatnya perjanjian tertulis yang dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam ini mengatur kehidupan dan hubungan antara komunitas-komunitas yang merupakan komponen masyarakat majemuk di Madinah, yaitu kaum Islam (Muhajirin dan Anshar), orang-orang Yahudi dan sisa-sisa suku Arab yang belum mau menerima Islam dan masih tetap menyembah berhala.61

Perjanjian ini sangat menarik karena dijadikan dasar oleh kebanyakan penulis dan peneliti sejarah Islam serta para pakar politik Islam sebagai konstitusi negara Islam pertama.62 Hal yang menarik dari Piagam Madinah adalah ketetapan-ketetapannya yang tidak menyebut tentang bentuk pemerintahan, struktur kekuasaan, perangkat-perangkat pemerintahan sebagai lazimnya suatu konstitusi. Hal ini menarik karena di samping muatannya tidak seperti lazimnya suatu konstitusi, namun para pakar menyebutnya sebagai konstitusi, sebab muatannya hanya berupa prinsip-prinsip dibidang mu’amalah sebagaimana al-Qur’an dalam bidang yang sama hanya menyebut prinsip-prinsipnya saja dan tidak menetapkan sistem dan bentuk pemerintahan.63

Prinsip-prinsip mu’amalah yang diterapkan oleh Nabi pada periode Madinah ini merupakan aturan-aturan yang lebih rinci dari prinsip-prinsip Islam yang turun pada periode Mekah, karena pada periode Madinah ini dimulai pembentukan masyarakat. Tata kehidupan keluarga diatur, hukum perkawinan disyariatkan, hubungan hidup perekonomian, hukum pidana, hubungan antara umat Islam dan non

60 Ibid., Lihat juga G.E. Von Grunebaum, Medievel Islam, (Chicago: University of

Chicago, 1953), h. 142. 61 Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 10. 62 J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah

Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, (Jakarta: RajaGrafindo dan LSIK, 1996), h. 8. 63 Ibid

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

77

Islam, sikap permusuhan dari kaum Quraisy terhadap umat Islam diatur dalam aturan-aturan hukum antar negara. Dari sinilah, menurut Azhar Basyir, untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam lahir “negara” di bawah pimpinan Nabi Muhammad sendiri.64

Ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad pada periode Madinah ini banyak berkaitan dengan tata hidup kemasyarakatan dan bernegara, misalnya Qs. al-Nisa : 59 dan hadis-hadis Nabi riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa’i yang mengajarkan bahwa “tidak boleh taat kepada seorang pun dalam hal yang merupakan durhaka kepada Allah, taat hanya dalam hal yang ma’ruf”. Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi yang diajarkan pada periode Madinah diperoleh suatu ketentuan bahwa menurut ajaran Islam, yang menjadi asas dalam kehidupan bernegara adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Sedangkan tujuan negara menurut ajaran Islam adalah terlaksananya ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasul dalam kehidupan masyarakat, menuju kepada tercapainya kesejahteraan hidup di dunia, material dan spiritual, perseorangan dan kelompok, serta mengantarkan kepada tercapainya kebahagiaan di akhirat kelak.65

Meskipun prinsip-prinsip bernegara diajarkan oleh Nabi Muhammad dalam periode Madinah, tetapi hal yang berkaitan dengan konsep negara dan pemerintahan Islam tidak disebutkan secara jelas. Hal inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan pendapat dan pandangan di kalangan pemikir Muslim dan memunculkan perbedaan pandangan yang cukup panjang. Perbedaan pandangan tersebut, menurut Dien Syamsuddin, tidak hanya berhenti pada dataran teoritis konsepsional, tetapi juga memasuki wilayah politik praktis, sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Penyebab perbedaan pandangan tersebut selain oleh faktor sosio-kultural yakni perbedaan latar belakang sejarah dan sosial budaya umat Islam, juga disebabkan oleh faktor yang bersifat teologis, yakni tidak adanya keterangan yang tegas (clear-cutexplanation) tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah.66

64 Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, (Yogyakarta: UII Press,

2000), h. 25-6. 65 Ibid., h. 27-8 66 Dien Syamsuddin, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta :

Logos Wacana Ilmu, 2000), cet. ke-1, h. 39.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

78

Apabila dihubungkan dengan kenyataan sekarang, maka permasalahannya bisa menjadi lebih rumit karena konsep negara adalah konsep modern yang datang dari dunia Barat, yang tidak ada presedennya dalam sejarah Islam. Dalam perspektif Barat, negara disebut negara-bangsa (nation-state) yang terbentuk atas dasar solidaritas kebangsaan. Negara adalah fenomena modern yang terbentuk sebagai manifestasi nasionalisme yang melanda dunia pada paroh abad ke-20 M. Dengan merujuk pada pemaparan Dien Syamsuddin tentang negara dan pemerintahan, dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak cukup kuat untuk menunjukkan tentang konsep negara dalam Islam.67

3) Kontroversi Teologi Ajaran Syiah

Perbedaan pendapat antar mazhab dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Jika kita menelusuri sejarah, akan ditemukan perselisihan antara kelompok fiqh dan ushul Sunni, misalnya antara Asyariah dan Mu'tazilah atau antara pengikut Hanbali, Hanafi dan Syafi'i dan begitu pula pada kelompok-kelompok Syi'ah. Perbedaan yang paling mendasar antara mazhab Syiah dengan yang lainnya adalah loyalitas kepada keluarga Nabi (Ahlul Bait) sehingga mazhab Syiah juga dikenal sebagai mazhab Ahlul Bait.68

Kaum Syiah meyakini hak kekhalifahaan ada pada Ahlul Bait Nabi. Kekhalifahan yang dimaksud bukan sekedar sebagai pemimpin ummat melainkan sebagai pelanjut tugas kenabian, memberikan bimbingan dan petunjuk kepada ummat. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang amat berharga, yaitu kitab Allah dan Ahlul Baitku”.69 Dalam hadits ini Rasulullah mengingatkan tentang Ahlul Bait sebanyak tiga kali. Ibnu Hajar juga meriwayatkan dalam kitabnya ash-Shawa’iq dengan lafadz sedikit berbeda. Rasul menamakan keduanya, al-Qur'an dan Ahlul Bait sebagai ats-Tsaqalain. Ats-Tsaql berarti sesuatu yang berharga, mulia,

67 Ibid., h. 40-3. 68 Baca Henri Chamber-Loir dan Claude Guillot, terj. Ziarah dan Wali di Dunia

Islam,(Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1995), h. 219-222. Baca juga Mengapa Kita Menolak Syiah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Sehari Tentang Syi'ah, di Aula Masjid Istiqlal Jakarta, tanggal 21 September 1997 M. Bandingkan dengan Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, (Jakarta : Al-Kautsar, 2002), cet. ke-1, h. 107-114

69 HR. Muslim

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

79

terjaga dan suci karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu agama, hikmah dan hukum syariat.70

Mengapa tidak cukup hanya dengan al-Qur’an ?. Allah SWT berfirman, “Tidak ada sesuatupun yang Kami luputkan dalam Kitab”.71 Dengan ayat ini, Allah SWT menegaskan bahwa tidak ada yang tertinggal dan semuanya telah tersampaikan dalam al-Qur'an. Namun, bukankah ayat-ayat al-Qur’an tidak terjelaskan secara terperinci ?. Sewaktu Rasul masih hidup, Rasullah yang menjelaskan secara terperinci hukum-hukum Islam yang disebutkan secara umum dalam al-Qur'an. Namun, apakah semuanya telah dijelaskan oleh Rasul ? Karenanya sepeninggal Rasul harus ada yang tahu interpretasi al-Qur'an dan makna sejatinya, bukan berdasarkan logika sendiri, yang terkadang benar dan juga bisa salah, namun berdasarkan pengetahuan Ilahiahnya tentang karakter esensi Islam. Al-Qur'an dan Ahlul Bait adalah dua pusaka Nabi yang suci, Allah menjelaskan kesucian Ahlul Bait dalam Surah al-Ahzab ayat 33.72 Dan setelah Rasul merekalah yang lebih banyak memahami al-Qur’an, “Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah”.73 Dan merekalah yang pertama-tama mendapatkan ilmu langsung dari Rasulullah, “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”.74

Dengan demikian, maka mengikuti Ahlul Bait sepeninggal Rasul SAW adalah sesuatu yang wajib, sebagaimana mengikuti al-Qur'an, terlepas siapa yang dimaksud Ahlul Bait, hal ini membutuhkan pembahasan yang lebih lanjut. Yang penting disini adalah keberadaan Ahlul Bait Nabi di sisi kitab Allah akan tetap berlangsung hingga datangnya hari kiamat dan tidak ada satupun masa yang kosong dari kehadiran mereka.75

Tidak ada yang memiliki keyakinan seperti ini selain Syiah, dimana mereka mengatakan wajib adanya imam dari kalangan Ahlul Bait pada setiap zaman, yang telah disucikan oleh Allah swt sesuci-sucinya,

70 Syarafuddin al-Musawai, Dialog Sunnah dan Syiah, (Bandung : Mizan, 1983), cet. ke-

1, h. 240 71 QS. Al-An'am : 38 72 Syarafuddin al-Musawai, op. cit., h. xxxi 73 QS. Al-Ahzab:34 74 QS. Asy-Syu'ara : 214 75 Nabil Hamid al-Muadz, Bagaimana Mencintai Rasulullah SAW, (Jakarta : Gema

Insani, 2002), cet. ke-1, h. 117

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

80

dan kaum muslimin wajib untuk mengenal dan mengikuti mereka, “Siapa yang mati sementara ia tidak tahu imamnya, maka ia akan mati bagai matinya jahiliyah.76 “Dan pada hari Kami panggil seluruh manusia bersama imamnya masing-masing.77 Oleh karena itu, Muslim Syiah meyakini, Imam Ali bin Abi Thalib as yang berhak menjadi khalifah sebagaimana sabda Rasulullah, “Ali di sisiku ibarat Harun di sisi Musa kecuali kenabian, karena tidak ada Nabi setelahku”.78 Dan bukankah Nabi Musa as pernah berpesan kepada Nabi Harun as, “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku”.79 Dan kepemimpinan setelah Imam Ali dilanjutkan oleh keturunannya yang berasal dari Bani Quraisy, “Setelah aku ada 12 imam, semuanya dari Quraisy”.80

Hal lain yang selalu dijadikan tuduhan kepada muslim Syiah yang membuat mereka dinyatakan kafir dan keluar dari agama Islam adalah adanya keyakinan kaum Syiah bahwa al-Qur'an mengalami perubahan atau kaum Syiah memiliki al-Qur'an yang berbeda dengan kaum muslimin lainnya. Ini hanyalah fitnah belaka, sebab sampai saat ini tak ada seorangpun yang mampu menunjukkan Al-Qur'an Syiah yang berbeda dengan Al-Qur'an ummat Islam pada umumnya. Perbedaan pendapat tentang Al-Qur'an hanyalah berkisar kapan dan siapa yang mengumpulkan Al-Qur'an. Kaum Sunni meyakini, pada zaman Rasulullah SAW, Al-Qur'an masih dalam berbentuk lembaran-lembaran yang ditulis pada batu, kulit binatang dan pada tulang-tulang yang kemudian disatukan dan dijadikan satu kitab yang utuh pada zaman kekhalifaan Usman bin Affan. Kaum Syiah meyakini, Allah SWT sendirilah yang menurunkan, menjaga dan mengumpulkan Al-Qur'an sehingga tersusun menjadi ayat-ayat dalam sebuah kitab yang sebagaimana kita baca. Allah SWT berfirman, "Sungguh, Kamilah yang menurunkannya (Al-Qur'an) dan Kamilah yang menjaganya”.81 Dan ayat lain, "Sungguh, Kamilah yang akan mengumpulkannya (ayat-ayat Al-Qur'an) dan membacakannya, maka apabila telah Kami bacakan ikutilah pembacaannya, kemudian Kamilah yang akan menjelaskan”.82

76 HR. Bukhari-Muslim 77 Qs. Al-Isra :71 78 Bukhari no 129, dan Muslim no 360

79 Qs. Al-A'raf : 142 80 M. Nasib ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta : Gema

Isani, 1999), J. ke-2, cet. ke-1, h. 58 81 Qs. Al-Hijr :9 82 Qs. Al-Qiyamah : 17-19

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

81

Menurut Syiah, jika dalam penyusunan Al-Qur'an ada campur tangan selain Allah dan Rasul-Nya maka kitab itu tidak akan suci lagi dan akan menimbulkan banyak perselisihan dalam penyusunannya sebab siapapun merasa berhak menyusun ayat-ayat Al-Qur'an sesuai yang dikehendaki. Kalaupun dalam kitab-kitab hadits Syiah didapatkan hadits yang terkesan meragukan kesucian Al-Qur'an, ulama-ulama Syiah sudah berkali-kali memberikan bantahan dan penjelasan bahwa hadits tersebut dha'if dan tidak bisa dijadikan pegangan. Sebab keberadaan hadits-hadits dha'if dan maudhu juga terdapat pada kitab-kitab hadits Ahlus Sunnah. Justru, bagi kaum Syiah hadits yang meskipun dari segi sanad dinyatakan shahih namun jika bertentangan dengan pesan Al-Qur'an maka kaum Syiah membuangnya. Kaum Syiahpun meyakini, apa yang telah dihalalkan oleh Rasulullah akan tetap halal sampai kiamat, dan semuanya sepakat Nikah Mut'ah dan ziarah kubur pernah dihalalkan oleh Rasulullah untuk diamalkan kaum muslimin. Kalaupun ada yang menyalahgunakan nikah mut'ah ataupun melakukan praktik kesyirikan dan kebid'ahan dalam ziarah kubur itu lain soal, bukan menjadi dalil berubahnya hukum sesuatu menjadi haram dan terlarang.

4) Rekonsiliasi Antara Sunni dan Syiah

Senjata paling ampuh yang ada di tangan musuh-musuh Islam adalah mengobarkan koflik lama antara Sunni dan Syiah. Di semua negeri muslim tanpa kecuali, abdi kolonialisme sibuk menciptakan perselisihan di kalangan kaum muslimin atas nama agama dan simpati kepada Islam. Cukuplah Irak, Afganistan dan Lebanon menjadi korban provokasi itu. Bukankah kita sudah cukup menderita akibat perselisihan lama ini, sehingga lebih bijak untuk menahan diri dan menghormati pendapat yang berseberangan dengan kita.83

Konflik horizontal yang terjadi berlarut-larut di negeri ini salah satu penyebabnya karena kurangnya rasa toleransi. Intoleransi melemahkan kekuatan, merusak martabat dan menyebabkan bangsa kita tetap dalam keterjajahan kekuatan asing. Karenanya persatuan adalah sebuah keniscayaan. Namun patut diketahui, persatuan muslim yang dikehendaki tidaklah berarti mazhab-mazhab muslim harus mengabaikan keyakinan-keyakinan prinsipil mereka demi persatuan dan mengesampingkan kekhasan mazhab. Keyakinan dan prinsip praktis

83 M. Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta : Mizan, 2007), cet. ke-1, h. 95

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

82

adalah hak asasi yang tidak boleh diganggu gugat. Kita dituntut untuk mengembangkan keagamaan dalam konstruk pemahaman seperti itu sehingga dapat memberikan tawaran segar dan mencerahkan bagi Indonesia hari ini dan masa depan. Karenanya, keberadaan kelompok-kelompok yang tidak tertarik membahas ikhtilaf mazhab secara ilmiah sangat disayangkan. Yang dibutuhkan adalah keberanian memandang perspektif mazhab lainnya selayaknya orang alim yang sedang mencari kebenaran, dan menyadari bahwa hanya kebenaranlah yang sepatutnya diikuti.84

Orang yang berakal tidak akan menentukan kebenaran atas dasar figur seseorang, akan tetapi atas dasar bukti dan argumentasi. Maka dengan mengenal kebenaran, ia juga akan mengenal orang-orang yang benar. Dalam subjek apa saja, tidak tahu adalah sikap yang paling aman. Namun haruskah kita tetap berkubang dalam ketidaktahuan sementara keimanan membutuhkan semangat Horace: Sapere aude!, yakni berani tahu. Sebab, sebagaimana pesan Ali ra, “Seseorang cenderung memusuhi yang tidak diketahuinya”.

D. Penutup

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Syi’ah adalah salah satu aliran dalam Islam yang meyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah Imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. Doktrin-doktrin yang diyakini para pengikut Syi’ah ini, secara garis besar terdapat beberapa macam, dianataranya, konsepsi tentang Ahlulbait, al-bada’, as-syurah, Imamah, dan paham-paham lainnya yang dalam banyak hal memiliki perbedaan (pemahaman) dengan kalangan Sunni. Dalam Syi’ah juga terdapat berbagai macam sekte atau kelompok yang memiliki perbedaan satu sama lain dalam memandang ajaran-ajaran seperti tertulis di atas. Penulis berharap, dengan makalah yang sangat singkat ini, dapat memberikan gambaran kepada kita tentang paham Syiah dan problem-problem seputar ajaran-ajarannya.

84 Baca Wirawan Sukarwo, Tentara Bayaran AS di Irak, (Jakarta : Gagas Media, 2009),

cet. ke-1, h. 287-312

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

83

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, cet. ke-3.

Aceh, Abubakar. Perbandingan Mazhab Syi’ah: Rasionalisme dalam Islam. Solo: Ramadhani, tpn, tcn

Al-Hafni, Abdul Mun’im. Ensiklopedia Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, terj. Muchtarom. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006, cet. ke-1.

Al-Muadz, Nabil Hamid, Bagaimana Mencintai Rasulullah SAW, Jakarta : Gema Insani, 2002, cet. ke-1

Al-Nemr, Abdul Mun’eim. Sejarah dan Dokumen-dokumen Syi’ah. T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988.

Ar-Rifa’I, M. Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta : Gema Isani, 1999, J. ke-2, cet. ke-1

As-Satar, Abdul, Butlan Aqa’id as-Syiah, Makkah : al-Makatabah al-Imdadiyyah, 1408 H.

Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History: Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, terj. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan Pustaka, 2004, cet. ke-1.

Azizy, Abdul Qodri, Masyarakat madani Antara Cita dan Fakta: Kajian Historis-Normatif. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, tcn,

Basyir, Ahmad Azhar, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2000, tcn

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka, 1992, tcn

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam Jilid 5. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet. ke-4.

Gamble, Andrew, An Introduction to Modern Social and Political Thought, Hongkong: Macmillan Education Ltd, 1988, tcn

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

84

Gazali, Hatim, Makna Negara dalam Islam dalam Tedi Kholiludin, Runtuhnya Negara Tuhan: Membongkar Otoritarianisme dalam Wacana Politik Islam, Semarang: INSEDE, 2005, tcn,

Grunebaum, G.E. Von, Medievel Islam, Chicago: University of Chicago, 1953, tcn

Haikal, M. Husein, Pemerintahan Islam, terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, tcn

Hamim, Thoha. Islam dan Civil society (Masyarakat madani): Tinjauan tentang Prinsip Human Rights, Pluralism dan Religious Tolerance. Dalam Ismail SM dan Abdullah Mukti, Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000. Tcn

Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Putera Bardin, 1999, tcn

Karya, Soekama, dkk. Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1996, cet. ke-1.

Kennedy, Hugh, The Prophet and the Age of the Caliphates, London and New York: Longman, 1986, tcn

Loir, Henri Chamber dan Claude Guillot, terj. Ziarah dan Wali di Dunia Islam,Jakarta, PT. Serambi Ilmu Semesta, 1995, tcn

Lubis, M. Solly, Ilmu Negara, Sumatera: Mandar Maju, 1990, tcn

Menolak Syiah, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Sehari Tentang Syi'ah, di Aula Masjid Istiqlal Jakarta, tanggal 21 September 1997 M. Bandingkan dengan Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Jakarta : al-Kautsar, 2002, cet. ke-1

Mizan al-Hikmah 2 : 160, h. no. 2879,

lihat dalam https://qitori.wordpress.com/2007/06/20/khazanah-ahlul-bait-nabi. Di akses tanggal 6 Juli, 2011

Muhammad as-Salafi, Min Aqa’id as-Syiah, Terj., Abu Salman., Menyingkap Kesesatan Aqidah Syiah, Bandung : Pustaka ash-Shaqiyyah.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UI Press, 2001, J-I, tcn

Paydar, Manoucher, Legitimasi Negara Islam: Problem Otoritas Syari’ah dan Politik Penguasa, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003, tcn

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

85

Pulungan, J. Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an, Jakarta: RajaGrafindo dan LSIK, 1996, tcn

Sihbudi, M. Riza, Menyandera Timur Tengah, Jakarta : Mizan, 2007, cet. ke-1

Sou’yb, Joesoef. Pertumbuhan dan Perkembangan Aliran-aliran Sekta Syi’ah. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1982, cet. ke-1.

Sukarwo, Wirawan, Tentara Bayaran AS di Irak, Jakarta : Gagas Media, 2009, cet. ke-1

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Jakarta : UI-press, 1990, cet. ke-1

Syamsuddin, Dien, Etika Agama Dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000, cet. ke-1

Syarafuddin al-Musawai, Dialog Sunnah dan Syiah, Bandung : Mizan, 1983, cet. ke-1

Syari’ati, Ali. Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, terj. M.S. Nasrulloh dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan Pustaka, 1995, cet. ke-2.

Syirazi, Nashir Makarim. Inilah Aqidah Syi’ah, terj. Umar Shahab. Jakarta: Penerbit Al-Huda, 1423 H, cet. ke-2.

Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992.

Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, Yogyakarta: Sipress, 1994, tcn

Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar, ed. Syi’ah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan, 2000, cet. ke-1.

http://www.al-shia.com

http://www.ijabi.org

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

86

DIMENSI PENDIDIKAN AKHLAK

Oleh : M. Dahlan R.

Abstrak

Kesempurnaan manusia, atau lebih disebut dengan manusia yang kaffah ternyata tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual yang dimilikinya,melainkan melekat dan terikat dengan sikap dan tingkah laku kehidupan sehari-harinya, tingkah laku itu menjadi ciri asasi seorang manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain,bagian dari karakteristik manusia yang menghantarkannya pada kesempurnaan ciptaan, ialah akhlak atau tingkah laku. Kecerdasan dan tingginya intelektual tidaklah menjadi sempurna tanpa dibarengi dengan keluhuran tingkah laku yang muncul dan diperlihatkan dalam kehidupannya, bahkan sejarah sudah memberikan gambaran yang nyata bahwa 19 dari 21 kehancuran yang terjadi disebabkan karena kebusukan dari dalam atau karena rusaknya sikap dan tingkah laku. Disaat krisis tingkah laku yang menggejala diseluruh lini kehidupan Islam datang dengan pembentukan manusia seutuhnya, dengan menghadirkan tuntunan perilaku yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia, kehadiran Akhlak menjadi solusi dalam membina dan menggarahkan manusia agar sampai pada kesempurnaannya sebagai mahkluk dibandingkan dengan makhluk yang ada.

Keyword : manusia, proses, ahlak,solusi,sempurna A. Pendahuluan

Secara etimologi akhlak ialah jamak dari khuluq ( khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat1. Dalam kamus al Munjid khuluq berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat2. Dalam bahasa Yunani khuluq disamakan dengan ethicos, yang artinya adab kebiasaan, perasaan batin, kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan, kemudian ethicos berubah menjadi etika3. Menurut Sofyan Sauri akhlak disebut juga dengan ilmu tingkah laku/perangai (‘ilm al

1A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,1997.hlm.11 2Luis Ma’luf, Kamus al Munjid, Beirut : Al Maktabah Al Khatulikiyah,tth,hlm.194 3Sahilun A.Tinjauan Akhlak,Surabaya : Al Ikhlas,1991,hlm.14

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

87

suluk) atau tahzib al akhlak (falsafah akhlak) atau al hikmah al ‘amaliyaah yang dimaksud adalah pengetahuan tentang keutamaan-keutamaan dan cara yang memperolehnya, agar jiwa menjadi bersih dan pengetahuan tentang kehinaan-kehinaan jiwa mensucikannya4.

Dilihat dari sudut terminologi, para ahli berbeda pendapat, Menurut Ahmad Amin akhlak adalah kebiasaan kehendak dalam artian bahwa kehendak itu bila membiasakan sesuatu maka kebiasaanya itu disebut akhlak, contoh bila kehendak membiasakan memberi, kebiasaan kehendak itu ialah akhlak,Akhlak itu menurutnya menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan langsung berturut-turut5. Dalam al Mu’jam al Wasit definisi akhlak disebutkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, biak dan buruk, tanpa memutuhkan pemikiran danpertimbangan6.

ا�لق حال �لنفس راسخة تصدر عنها االعمال من خ� او � من غ� حاجة ا� فكر ورؤ�ة

Imam Gazali juga memiliki pemahaman yang serupa tentang akhlak, menurutnya akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan7

ا�لق عبارة عن هيئة   اlفس راسخة عنها تصدر االنفعال �سولة و�� من غ� حاجة ا� فكر ورؤ�ة

Senada dengan ungkapan diatas telah diungkapkan oleh Hamzah Ya’qub dalam bukunya Etika Islam, bahwa pengertian akhlak adalah ilmu yang menentukan batas baik dan buruk, antara terpuji dan tercela, tentang perkataan dan perbuatan atau perbuatan manusia lahir dan batin, akhlak juga merupakan ilmu pengetahuan yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk, ilmu yang mengajarkan pergaulan manusia dan

4Sofyan Sauri, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam,Bandung : Rizqi

Press,tth,hlm. 160 5Amin, Ahmad, Al Akhlak, alih bahasa oleh Farid Ma’ruf dengan judul Etika ( Ilmu

Akhlak), Jakarta: PT Bulan Bintang,1995,cet.VIII.hlm. 62 6Ibrahim Anis, Al Mu’jam al Wasit, Mesir : Daar al Ma’arif, 1972, hlm. 202.Lihat pula

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1992,hlm. 2 7Imam al Gazali,Ihya ‘Ulum Al Din, Kairo : Al Masyhad al Husain,tth,hlm.56

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

88

menyatakan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan pekerjaan mereka8.

Akhlak sering disebut juga karakter. Menurut Simon Philips karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan. Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan kepribdaian yang lain9. Sesungguhnya karakter semakna dengan akhlak, demikian pula dengan istilah-istilah yang lain, seperti nilai, moral dan etika dan budi pekerti hanya sumbernya yang berbeda, jika akhlak secara tegas bersumberkan agama sementara karakter lebih bersumberkan konstitusi,masyarakat,dan keluarga, pendapat yang lain yang menguatkan persamaan itu adalah pendapat Muslim Nurdin yang mengatakan bahwa akhlak adalah seperangkat nilai yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau suatu sistem nilai yang mengatur pola sikap dan tindakan manusia10. Soegarda Poerbakawatja juga mengatakan bahwa akhlak ialah budi pekerti,watak,kesusilaan, dan kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliknya dan terhadap sesama manusia11.

B. Pembahasan

Yang menjadi dimensi atau objek akhlak adalah perbuatan-perbuatan manusia yang dapat diberi hukum baik atau buruk, dengan kata lain seluruh perkataan,sikap dan perbuatan yang dilakukan manusia12. Hal senada disampaikan Al-Ghazali yang memiliki pandangan tidak jauh berbeda, beliau menyatakan pembahasan akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu atau kelompok13.

8Hamzah Ya’qub, Etika Islam,Bandung : Diponegoro,1993,hlm.12 9M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan

Cerdas, Surakarta : Yuma Pustka,2010,Cet.III, hlm.9 10Muslim Nurdin,et.al., Moral Islam Dan Kognisi Islam, Bandung : CV Alfabeta, 1993,

Cet.I.,hlm.205 11Soegarda Poerbakawatja, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta : Gunung

Agung,1976,hlm. 9 12Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Pustaka

Pelajar,1996, hlm. 45 13Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000, cet. III,

hlm.10

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

89

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa problem manusia dan tindakannya adalah salah satu substansi pokok bahasan dalam akhlak14. Secara garis besar dimensi akhlak terbagi pada tiga kategori: akhlak kepada Allah, akhlak pada manusia dan akhlak pada alam sekitar/lingkungan.

1. Akhlak Kepada Allah

Ahlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap dan perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai ciptaan Allah kepada Allah sebagai penciptanya. Sikap dan perbuatan manusia terhadap Allah dilandasi dengan :Pertama, Allah sebagai pencipta manusia seperti termaktub dalam Surat Al Thoriq ayat 5-7:

ينظر اإل¢سان 6م� خلق �رج من ¤4 - خلق من ماء دافق - فل

ائب ب وال§�ل ا�ص1

Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?, Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan Kedua, karena Allahlah yang telah menciptakan manusia

dengan kesempurnaan panca indranya,hal ini tertuang dalam Surat al Nahl ayat 78 :

مون ش©ئا وجع هاتFم ال +عل �6

خرجFم من ¤طون أ

أ Fم وا$�

ل ل

Fم ªشكرون �عل

مع واألبصار واألفئدة ل ا�س�

Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.

Ketiga, tidak hanya menciptakan dan menyempurnaan manusia dengan panca indranya menjadi manusia yang hidup dengan kesempurnaan tapi Allah juga menyediakan segala kebutuhan yang dibutuhkan oleh manusia untuk kehidupannya,ini terlihat dalam firman Allah dalam Surat Al Jatsiyah ayat 12-13 :

14Tafsir, et al., Moralitas Al - Qur'an dan Tantangan Modernitas, Yogyakarta : Gama

MediaOffset, 2002 , hlm.198

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

90

6ره وJdتغوا من ك »يه بأ

فل

حر dجري ال Fم ا#

ر ل ي سخ�

� ا/ ا$�

Fم ªشكرون �عل

ماوات وما - فضله ول Fم ما ا�س�

ر ل وسخ�

رون �يعا منه إن� ذ�ك آليات لقوم 2تفك األرض �

Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur. Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

Keempat,Ketika kesempurnaan hidup diberikan pada manusia,kesempurnaan penciptaan manusi,dan kesempurnaan bekal kehidupan diberikan,maka Allah mengangkat manusia menjadi makhluk yang paling mulia dibandingkan dengan makhluk yang lain, ungkapan ini dapat kita temukan pada Surat al Israa ayat 70 :

يبات حر ورز°ناهم من الط� وا#�

ناهم ال

منا ب³ آدم و²ل قد كر�

ول

ن خلقنا +فضيال ناهم µ كث� 6م�ل وفض�

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan. Menurut Kahar Masyhur akhlak terhadap Allah itu

diantaranya cinta dan ikhlas kepada Allah, berbaik sangka kepada Allah, Rela terhadap qadar dan qodho, bersyukur atas nikmat, berserah diri pada Allah, senantiasa mengingat Allah, memikirkan keindahan ciptaan Allah dan melaksanakan apa yang diperintahkan Allah15

15Kahar Masyhur,Membina Moral Ahlak,Jakarta : Rieneka Cipta,1994,hlm.20

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

91

Akhlak kepada Allah akan terpancarkan dari aqidah yang benar,maka pengakuan terhadap Allah (aqidah)16 yang utuh dan totalitas menjadi landasan utama dalam berakhlak, maka akhlak kepada Allah harus terjaga dalam dalam pikiran,yaitu dengan selalu menjaga pikiran kita dari memandang bahwa Allah memiliki kekurangan, karena itu merupakan akhlak yang tidak santun pada Allah. akhlak pada Allah juga harus terjaga dalam hati, yaitu dengan tidak berpaling kecuali kepadaNya dan menjadikan hati kita selalu dekat dengan Allah, dan akhlak pada Allah juga harus terlihat dan terjaga dalam amal perbuatan, yaitu tidak melakukan perbuatan yang Allah murka. Berkenaan dengan tiga kondisi tersebut Para ulama berkata”Barang siapa yang berakhlak dengan ketiga akhlak tersebut,yakni pikirannya mensucikan Allah dari segala kekuranga, hatinya selalu bersama Allah dan perbuatannya di ridhai Allah, maka dia termasuk golongan yang dicintai Allah”17.

2. Akhlak Kepada Sesama Manusia

Dalam kehidupannya manusia selalu berinteraksi dengan manusia yang lain, karena memang manusia sesungguhnya tidak akan mampu berdiri dengan sendirinya, kecuali bantuan orang lain, dalam hal menerima bantuan itulah manusia melakukan interaksi dengan manusia yang lain, dalam hal interaksi inilah manusia harus bisa memahami dengan siapa ia berinteraksi, dan harus bagaimana ia berinteraksi, sehingga interaksi yang dilakukan akan dapat menimbulkan manfaat, jauh dari kesalahpahaman, sebab timbulnya kesalahpahaman merupakan bagian dari kesalahan beriteraksi melalui komunikasi.

Dalam hal berinteraksi dengan manusia yang lain, manusia dituntut untuk mampu berbuat dan bersikap yang baik tanpa menyakiti manusia yang lain, Dalam pandangan Islam sikap yang

16Aqidah akan lurus dan benar jika keyakinan dan kepercayaan terhadap Allah juga

lurus dan benar,dan itu menjadi dasar akhlak bagi seorang muslim,karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran darinya. LihatAli Abdul Halim Mahmud,Ahlak Mulia,Jakarta : GIP,2004,hlm.84.

17Amru Muhammad Khalid, al Shobru wa al dzauq. Kairo : Asy-Syirkah ad-Dauliyah,cet,I 2002,alih bahasa oleh Ahmad Faozan dengan judul, Sabar dan Santun,Jakarta : Pustaka al Kautsar,2003,hlm.160

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

92

baik yang tercermin dalam sikap dan perbuatan pada manusia atau dalam hal ini sikap interaksi yang kita sebut dengan akhlak, interaksi yang baik merupakan manifestasi dari iman seseorang terhadap Allah, ia juga merupakan penghargaan dan penghormatan pada orang lain, dengan interaksi yang baik menandakan seseorang telah menghargai dan menghormati orang lain, penghormatan pada orang lain dalam ajaran Islam merupakan bukti nyata berimannya seseorang pada Allah S.W.T., sebagaimana disabdakan oleh Nabi S.A.W:

رم جاره يك

خر فل

وم اآل

fوا من ¶ن يؤمن با$�

“Barang siapa yang beriman kepada Allah maka ia harus menghormati tetangganya” ( HR.Muslim nomor 5673)18

Tentu penghormatan dalam hadits tersebut adalah dengan memperlakukan mereka dengan sikap yang baik. Penekanan sikap baik terhadap tetangga itu perlu diwujudkan dalam bentuk realitas dalam kehidupan tidak hanya dalam batas retorika semata, seperti tolong menolong dan bekerja sama,Al-Qur’an menyebutkan dalam Surat Al Nisaa ayat 36:

قر· ين إحسانا و�ذي ال وا

وا به ش©ئا و�ا�

¹ �ª وال واºبدوا ا$�

نب احب با« نب وا�ص�

ار ا«

قر· وا«

ار ذي ال

مساك4 وا«

تا¼ وا�

fوا

2مانFم إن� ا$�Jيل وما 6لكت أ ال ½ب1 من ¶ن �تاال وابن ا�س�

فخورا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.

Maka mengembangkan hubungan yang baik diantara manusia menjadi sebuah keharusan dalam memelihara hubungan antar manusia. Dalam Islam melakukan hubungan yang tidak baik

18Imam Muslim,Shohih Muslim, Beirut : Daar al Fikr,1978,hlm.134

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

93

dengan manusia yang lain, atau bersikap dan berbuat kejahatan pada manusia yang lain disejajarkan dengan lemahnya iman, bahkan didalam sebuah hadis Nabi mengatakan, batalnya sebuah keimanan seoseorang dikarenakan ia melakukan perbuatan-perbuatan yang membuat tetangganya tidak merasa nyaman dengan perbuatan tersebutseperti sabda Nabi S.A.W :

“Demi Allah, ia tidak beriman, demi Allah ia tidak beriman, demi Allah, ia tidak beriman, beliaupun ditanya siapa yang anda maksudkan wahai Rasulullah?, beliau menjawab orang yang tetangganya merasa tidak nyaman dengan ulah bicaranya” ( HR Muslim )19

Sikap yang baik tidak hanya dianjurkan pada manusia yang lain tapi pada diri sendiri sekalipun perlu dan harus dilakukan, akhlak terhadap diri sendiri itulah yang digambarkan oleh Nabi S.A.W sebagai manusia yang sempurna imannya,yaitu manusia yang mampu memperlihatkan sikap yang baik terhadap dirinya dan orang lain,Nabi menyampaikan dalam sabdanya:

إيمانا أحسنهم خلقاأgمل ا_ؤمن4

“Sesungguhnya yang paling baik imannya diantara kalian adalah yang paling baik akhlaknya” (HR Thirmidzi)20

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar. Maka pergaulan antar manusia harus mengindahkan akhlak yang diatur oleh agama demi terciptanya kerukunan antar manusia.

19Imam Muslim,Shahih Muslim, Beirut : Dar al Fikr,1978, hlm.214 20Muhammad Nasiruddin al Albani, Shohih Sunan al Thirmidzi,Jakarta:Pustaka

Amani,2003, hlm. 894

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

94

3. Akhlak Kepada Alam (Lingkungan)

Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Lingkungan adalah wadah yang didalamnya ditampung berbagai jenis makhluk dan benda mati yang beraneka ragam, kehidupan manusia di alam ini menuntut adanya interaksi antara dirinya dengan alam lingkungannya.

Interaksi manusia dengan alam lingkungan perlu dilakukan dengan tata kelola yang baik atau sikap yang baik terhadap lingkungan, tata kelola atau sikap inilah yang disebut dengan akhlak terhadap lingkungan. Akhlak terhadap lingkungan sejatinya bukan hanya untuk kepentingan manusia itu sendiri yang juga menggantungkan kepada makhluk lain, tetapi juga memelihara seluruh makhluk Allah ini karena tidak ada kehidupan di dunia ini tanpa ketergantungan, salahsatu ketergantungan manusia adalah terhadap alam lingkungan.

Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya dan mampu mendayagunakan alam sebaik-baiknya21, bahkan manusia disebut sebagai mandataris Tuhan sebagaimana diungkapkan oleh Mujiono Abdullah bahwa sebagai pengelola lingkungan hakekatnya manusia berperan sebagai mandataris Tuhan atau sebagai kepanjangan tangan Tuhan22.

Munculnya akhlak atau sikap maupun tata kelola terhadap alam lingkungan oleh manusia disebabkan beberapa alasan,diantaranya yaitu : pertama, ketergantungan manusia pada alam, kedua, sesuatu telah diciptakan dengan keseimbangan,

21Balitbang Agama Islam Depag,Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Lingkungan Hidup, Jakarta : Depag,1984, hlm.45-46 22Mudjiono Abdullah,Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’an,Jakarta :

Paramadina, 2002,hlm.210

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

95

Ketiga,segala yang ada di alam untuk manusia, keempat,alam sebagai rezeki23.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan merusak dan memperlakukan alam semaunya akan tetapi manusia harus merawat memelihara dan menjaga kelestarian alam, dari sini terlihat tugas dan tanggung jawab manusia untuk memanfaatkan, melestarikan,dan memelihara serta menjaganya untuk kepentingan manusia24.

Membahananya isu dunia tentang kerusakan lingkungan dengan segala aspeknya yang berkaitan denganya, disebabkan karena perilaku manusia terhadap lingkungan dan alam sekitar yang tidak memahami tugas dan fungsi sebagai manusia, yang seharusnya berbuat dan melaksanakan tugas yang diridhoi Tuhan diatas permukaan bumi ini25. Sementara alam sudah diciptakan dengan keseimbangan dan keserasian yang diatur dan berjalan menurut ekosistem apabila fungsi dalam mata rantai tersebut terganggu dan gangguan itu melebihi ekosisitem untuk memulihkan sendiri secara alami, maka akan terjadi masalah lingkungan hidup26.

Dua perilaku manusia yang menonjol yang diperlakukan terhadap alam, pertama Prilaku antroposentri, yaitu sikap dan perilaku yang rakus terhadap alam, memperlakukan alam sesuka hatinya tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi, sikap yang merasa bahwa manusia adalah pemilik alam dan pelaku utama alam ini hingga merasa bahwa manusia adalah pusat dari alam ini, sikap inilah yang menghantarkan manusia pada ekploitasi besar-besaran pada alam, guna memenuhi kebutuhan tanpa diiringi secara baik pelestarian alam dan toleransi lingkungan sehingga menimbulkan krisis lingkungan yang berbahaya27.

23Muchlis M. Hanafi, ed, Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta : Kementrian Agama

RI, 2012,hlm.9-11 24H.A.R,Tilaar,Perubahan Sosial dan Pendidikan,Jakarta : PT Gramedia Widia

Sarana,2002, hlm.180 25Balitbang Agama Islam Depag,Islam untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Lingkungan Hidup, Jakarta : Depag,1984,hlm.35 26Harun M. Husain,Lingkungan Hidup masalah Pengelolaan dan penengakan hukum,

Jakarta : Bumi Aksara,1993,hlm.17 27M. Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fikih,Bandung:

RemajaRosdakarya,2002,hlm.38

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

96

Kesadaran tentang pentingnya akhlak terhadap lingkungan baru disadari ketika permasalahan lingkungan mendapat perhatian hampir dari semua negara dunia, terutama terjadi pada dasawarsa 1970an, dimana perhatian itu muncul setelah diadakannya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Stockholm pada tanggal 5 juli 1972 yang kemudian dikenal dengan konferensi Stockholm, dan pada hari dan tanggal itupula dijadikan dasar sebagai hari lingkungan hidup sedunia28.

Munculnya kerusakan alam lingkungan ini juga merupakan bagian dari ulah dan perbuatan manusia, dalam kontek ini jauh sebelum persoalan-persoalan lingkungan hidup ini muncul dan menghantui penduduknya, Islam telah lebih dulu memberi peringatan-peringatan lewat ayat-ayat Al-Qur’an,seperti dalam Surat Al Ruum Ayat 41:

يدي ا�lاس fذيقهم ¤عض حر بما كسبت أ وا#

�فساد ال

ظهر ال

هم يرجعون �عل

ي عملوا ل

� ا/

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Semua itu terjadi sebagai cerminan sikap kebebasan yang

dimiliki telah disalahartikan karena manusia bukanlah pemilik bumi tapi manusia adalah penerima titipan dari Tuhan sebagai bekal untuk hidup walaupun alam ini memang diperuntukkan untuk manusia bahkan ditundukkanpun untuk manusia,seperti difirmankan Allah dalam SuratAl Ahqof Ayat 13 :

Àم� استقا6وا فال خوف عليهم وال هم ½زنون ين قا�وا ر�1نا ا$� �

إن� ا/

Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir

28Syafieh, Islam dan Kelestarian Lingkungan,[online],poskan Jum’at 12 April 2013

http://sfaieh74.blogspot.com/2013/04/islam-dan-kelestarian-lingkungan-studi.html, 04 September 2013. 12:20

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

97

juga dalam Surat Al Baqarah Ayat 29:

اهن� ماء فسو� ا�س�

يعا Àم� استوى إ� Fم ما األرض �ي خلق ل

�هو ا/

ء عل Â لFيم سبع سماوات وهو ب

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu. Oleh Karen itu dalam memanfaatkan bumi ini tidak boleh

semena-mena dan seenaknya saja dalam mengekploitasinya, pemanfaatan berbagai sumber daya alam baik yang ada dilaut maupun didaratan dan didalam hutan harus dilakukan secara proposional dan rasional untuk kemaslahatan masyarakat banyak dan generasi penerusnya serta menjaga ekosistemnya, peringatan Allah dalam hal ini Surat Al ‘Araaf Ayat 56:

وال +فسدوا األرض ¤عد إصالحها وادعوه خوفا وطمعا إن� ر²ة ا$� 4aمحس

قر�ب من ا�

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik Menyadari hal itu maka dalam pelaksanaan pembangunan

sumber daya alam harus dengan rasional, pengendalian sumber kekayaan harus diusahakan dengan sekuat tenaga dan strategi dengan tidak merusak tata lingkungan dan tata tertib hidup manusia, perlu diusahakan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dan bisa menjaga kelestarian sehingga bisa dimanfaatkan secara berkesinambungan29,teknologi yang tidak dimanfaatkan dengan benar, maka akan menjadi mesin-mesin perusak lingkungan yang sangat berbahaya30.

29Ali Yafi, Merintis Fikih Lingkungan Hidup,Jakarta : Yayasan Amanah,2006.hlm.231 30M. Abdurrahman, DinamikaMasyarakat Islam Dalam wawasan Fikih,Bandung:

Remaja RosdaKarya,2002,hlm.39

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

98

Upaya untuk mengatasi keadaan ini maka perlu adanya kesatuan dan kesadaran sikap dan perilaku manusia terhadap pemanfaatan sumber daya alam yang ada, secara singkat setiap warga planet bumi ini dalam upaya mengelola sumber daya alam dalam lingkungan hidup harus berdasarkan etika lingkungan demi kelangsunagan kesejahteraan yang berkelanjutan,tidak hanya sekedar suatu landasan etika setempat(lokal)tetapi meluas kepada landasan etika lingkungan global yang bersifat internasional31.

Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, singkatnya kita diberi hak untuk mengelola dan memanfaatkan agar kita bisa memenuhi kebutuhan dengan cukup bukan berlebih, sikap seperti inilah yang menghantarkan manusia pada sikap yang kedua terhadap alam lingkungan sikapAntropocosmic.

Antropocosmicadalah sikap bahwa manusia bagian dari alam, tidak hanya itu manusia mempunyai peran dan tugas untuk memelihara alam, manusia mendapat tugas untuk memakmurkan alam, memakmurkan berarti menjadikan alam bermanfaat, bukan mengekploitasi besar-besaran dan berlebihan.

Tugas memakmurkan itu tidak lepas dari kemuliaan manusia yang memiliki daya naluri,daya nalar dan daya nala,kedudukan manusia terhadap alam sungguh unik karena manusia merupakan makhluk bebas lingkungan, artinya habitat atau tempat hidup manusia bukanlah sesuatu yang tetap,tidak seperti makhluk Allah yang lain, makhluk lain bisa terganggu habitatnya dan bahkan bisa punah jika habitatnya rusak, tidak demikian halnya dengan manusia yang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan baru32. Manusia juga dilebihkan dari makhluk yang lain dalam penciptaannya, sebagaimana Allah firmankan Surat Al Israa Ayat 70 :

يبات حر ورز°ناهم من الط� وا#�

ناهم ال

منا ب³ آدم و²ل قد كر�

ول

ن خلقنا +فضيال ناهم µ كث� 6م�ل وفض�

Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri

31Denda Surono Prawiro Atmodjo,Pendidikan Lingkungan Kelautan,Jakarta : Rineka

Cipta, tth,hlm.1 32Shudarto P. Hadi, khalifah di Bumi, Mutiara Ramadhan,Suara Merdeka,07 Agustus

2011,hlm.1

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

99

mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan Yang demikian mengantarkan manusia bertanggung jawab,

sehingga ia tidak melakukan perusakan. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah S.W.T. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan manusia untuk menyadari bahwa semuanya adalah makhluk Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Sikap inilah yang menjadi kewajiban manusia sebagai khalifah dimuka bumi dengan menjaga dan mengurus bumi dan segala yang ada didalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya, dalam hal ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya33.

Sikap kekhalifahan ini telah dicontohkan dan ditekankan oleh Rasulullah SAW,betapa perhatian Rasulullah sangat besar pada alam lingkungan,lihatlah bagaimana Rasulullah memerintahkan untuk menanam benih yang ada ditangan sekalipun kiamat hampir tiba, sebagaimana Rasulullah S.A.W sabdakan :

حدÄم اعة و�يد أ م إن قامت ا�س�

�يه وسل

عل ص�u ا$� ا$�

رسول

قال

يفعل فسيلة فإن است 2قوم ح�Å 2غرسها فل

ن ال

طاع أ

“Sekiranya kiamat datang sedang ditanganmu ada anak pohon kurma, maka jika dapat ( terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu )”. ( HR.Ahmad Nomor 12512 )

Sikap dan perilaku terhadap alam memiliki pungsi dan peranan penting dalam Islam sehingga Rasulullah menganggap sebagai sebuah sedekah sekalipun apa yang dilakukan terhadap alam itu bukan manusia yang memanfaatkan atau mengambil hikmah dari perbuatan kita itu.

33Harun Nasution,Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan,1992,hlm,542

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

100

و يزرع م ما من 6سلم 2غرس غرسا ا

� عليه وسل ص�u ا$� قال رسول ا$�

صدقة

M ن¶ �

و بهيمة إالو ا¢سان ا

� ا زرÇ »يÆ منه ط�

“Rasulullah Saw bersabda Tiadalah seoarng dari kalangan orang Islam yang menanam atau menanam benih tanaman, kemudian burung, atau manusia,ataupun binatang ternak yang memakan( buah tanaman itu),kecuali baginya memperoleh pahala sedekah “ ( HR Bukhori,1082)34. Dalam Riwayat yang lain “….. Kecuali baginya memperoleh pahala sedekah sampai hari kiamat” ( HR.Muslim)35. Betapa penting dan berharganya akhlak terhadap lingkungan,

tidak hanya dilakukan dalam kondisi terkendali, dalam kondisi perangpun akhlak terhadap lingkungan ini sangat diperlukan. Ketika Abu Bakar mengutus pasukan ke Syam untuk menaklukan negeri itu, Abu Bakar memberikan wasiat yang salah satu dari wasiat itu adalah dilarang untuk menebang pohon yang sedang berbuah, betapa mulianya akhlak terhadap alam lingkungan dalam Islam

+

6وصيك بع� ال�

ÈLقطعن� و+

كب�ا هرما وال

صبيÉا وال

ة والقتلن� ا6رأ

ة واللg

�مأ

� بع�ا إال

+عقرن� شاة وال

�ن� 6Çرا وال �ر Ê

شجرا مثمرا وال

Ë

Ì

ل وال +غل

°ن�ه وال � +غر

وال

ال

ر°ن� �

Í

“Dan aku wasiatkan kepadamu sepuluh perkara,diantaranya yaitu: Jangan membunuh perempuan, jangan membunuh anak-anak, jangan membunuh oraqng-orang yang sudah tua, jangan memotong pohon yg sedang berbuah, jangan meruntuhkan bangunan, jangan memotong domba, jangan memotong unta kecuali bila domba dan unta itu untuk dimakan, jangan membakar pohon kurma dan jangan pula

34Imam Bukhari,Shahih Bukhari,Mesir : Daar al Hadits,tt,hlm 579,bab ma jaa fil harsi

wal majarogah),lihat pula Muhtashar Shahih Al Imam Al Bukhori,Muhammad Nasiruddin Al Bani,Jakarta : Pustaka Azzam,2007,hlm.188

35Imam Muslim,Shohih Muslim, Beirut : Daar al Fikr,1978,juz 9, hlm.214, bab fadhl al

‘arsi wa al zar’i

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

101

menneggelamkannya, jangan berlaku khianat, jangan menakut-nakuti rakyat”.( HR Malik nomor 1018)36 Berkaitan dengan akhlak terhadap lingkungan Sayyed

Hossein Nasr dikutip oleh Ahmad Fuad Fanani memberikan penjelasan, menurutnya ada dua hal yang perlu dirumuskan. Pertama,formulasi dan upaya untuk memperkenalkan sejelas-jelasnya apa yang disebut dengan hikmah perennial Islam tentang tatanan alam, signifikansi religious dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan, kedua,menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang bersifat teologis, dan jika perlu memperluas penerapannya sejalan dengan prinsip-prinsip masing-masing agama yang ada dimuka bumi ini37.

Maka akhlak atau sikap terhadap lingkungan harus dipahami sebagai penyadaran terhadap kelestarian dan penjagaan keseimbangan alam lingkungan sehingga manusia mampu berbuat yang terbaik buat kelestarian alam,diantara perbuatan tersebut adalah : 1. Pengembangan hubungan keselarasan antara manusia dengan

lingkungan sehingga memiliki kesadaran lingkungan 2. Pengelolaan sumber-sumber alam secara bijaksana 3. Mencegah kemorosotan mutu dan meningkatkan mutu

lingkungan sehingga menaikkan kualitas hidup sebagi titik temu bagi pengembangan seiring dengan pengembangan lingkungan

4. Membimbing manusia dari proses perusak lingkungan menjadi Pembina lingkungan dalam lingkungan sosial yang memiliki sistem nilai keselarasan antar manusia,lingkungan dan masyarakat

Sesungguhnya akhlak itu tidak terbatas hanya apa yang dibahas dalam tiga hal tersebut melainkan lebih dari itu sebagaimana disampaikan oleh Faruq Nasution yang menjelaskan bahwa ruang lingkup akhlak bahwa Ruang lingkup akhlak tersebut tidak terbatas sebagaimana sub-sub yang sudah dicatatkan, akan tetapi lebih dari itu dari sikap dan tindak seseorang yang terlihat etis yang lebih banyak berkonotasi membatasi kepentingan sendiri

36Imam Malik bin Anas, Al Muwatho Lil Imam Malik,Jakarta :Pustaka Azami,2006,

hlm.671,Lihat juga, ( HR Baihaqi nomor 17927) 37Ahmad Fuad Fanani,Berteologi Yang Ramah Lingkungan,Republika,16 Januari 2007.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

102

demi kepentingan orang banyak38. Gambaran akhlak seperti ini termaktub dalam Al-Quran Surat Al-Hasyr Ayat 9 :

ما موت وما ٱسب�ح $� ين +بو�ءو ٱو ٱ�س� �

ار و ٱ/ �إليمن من ٱ

ÐعلىÒو�ؤثرووتوا

أا م� �دونفيصدورهمحاجة6 Ô

هموال

fLمنهاجرÒقبلهميحب1و

وyنبهمخصاصةو نفسهمو�

ك هم ۦمن يوق شح� نفسه أ

Ð Õو

�مفلحون ٱفأ

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ´mencintai´ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.

C. Kesimpulan

Untuk menjadi manusia yang berakhlak mulia, manusia berkewajiban menjaga dirinya dengan cara memelihara kesucian lahir dan batin, berusaha melakukan dengan penuh kesadaran dan ikhtiar serta memikirkan sebab dan akibat baik atau buruk dari apa yang telah atau akan dilakukannya. Setiap orang juga harus menerapkan akhlak mulia dalam berbagai segi kehidupan dan menjauhi dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik yang merupakan perbuatan yang berlawanan dengan akhlak yang baik. Akhlak mulia harus ditanamkan dan dipraktekkan sejak dari kehidupan dalam rumah tangga atau keluarga, sampai kepada lingkungan alam pada umumnya.

Tiga dimensi akhlak yaitu akhlak kepada Allah, akhlak kepada manusia dan akhlak kepada alam, menjadi sebuah keharusn untuk dilakukan dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ttidak dikatan berakhlak jika satu diantara tiga dimensi itu dilupakan, atau setidaknya tidak memiliki akhlak yang baik jika meninggalkan satu diantara ketiganya.

38Faruq Nasution,Materi Pendidikan Agama Islam,Jakarta: Eldina,1997.hlm. 137

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

103

DAFTAR PUSTAKA

A., Sahilun, Tinjauan Akhlak,Surabaya : Al Ikhlas,1991

Abdullah, Mudjiono,Agama Ramah Lingkungan Perspektif al-Qur’an,Jakarta : Paramadina, 2002

Abdurrahman, M., Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fikih,Bandung: RemajaRosdakarya,2002

Abdurrahman, M., DinamikaMasyarakat Islam Dalam wawasan Fikih,Bandung: Remaja RosdaKarya,2002

Amin, Ahmad, Al Akhlak, alih bahasa oleh Farid Ma’ruf dengan judul Etika ( Ilmu Akhlak), Jakarta: PT Bulan Bintang,1995,cet.VIII

Anas, Imam Malik bin, Al Muwatho Lil Imam Malik,Jakarta :Pustaka Azami,2006

Anis, Ibrahim, Al Mu’jam al Wasit, Mesir : Daar al Ma’arif, 1972

Asmaran, Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1992

Atmodjo, Denda Surono Prawiro,Pendidikan Lingkungan Kelautan,Jakarta : Rineka Cipta, tth

Balitbang Agama Islam Depag,Islam untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup, Jakarta : Depag,1984

Balitbang Agama Islam Depag,Islam untuk pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup,Jakarta : Depag,1984

Bani, Muhammad Nasiruddin Al,Jakarta: Pustaka Azzam,2007

Bani, Muhammad Nasiruddin Al, Shohih Sunan al Thirmidzi,Jakarta:Pustaka Amani,2003

Bukhari, Imam,Shahih Bukhari,Mesir: Daar al Hadits,tth

Djatnika, Rachmat, Sistem Etika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Pustaka Pelajar,1996

Fanani,Ahmad Fuad, Berteologi Yang Ramah Lingkungan,Republika,16 Januari 2007.

Gazali, Imam al,Ihya ‘Ulum Al Din,Kairo : Al Masyhad al Husain,tth

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

104

Hadi, Shudarto P., khalifah di Bumi, Mutiara Ramadhan,Suara Merdeka,07 Agustus 2011

Hanafi, Muchlis M., ed, Pelestarian Lingkungan Hidup, Jakarta : Kementrian Agama RI, 2012

Hidayatullah, M. Furqon, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas, Surakarta : Yuma Pustka,2010,Cet.III

Husain, Harun M.,Lingkungan Hidup masalah Pengelolaan dan penengakan hukum, Jakarta : Bumi Aksara,1993

Khalid, Amru Muhammad, al Shobru wa al dzauq. Kairo :Asy-Syirkah ad-Dauliyah,cet,I 2002,alih bahasa oleh Ahmad Faozan dengan judul, Sabar dan Santun,Jakarta : Pustaka al Kautsar,2003

Ma’luf, Luis, Kamus al Munjid, Beirut : Al Maktabah Al Khatulikiyah,tth

Mahmud, Ali Abdul Halim,Ahlak Mulia,Jakarta : GIP,2004

Masyhur, Kahar,Membina Moral Ahlak,Jakarta : Rieneka Cipta,1994

Muslim, Imam,Shahih Muslim, Beirut : Dar al Fikr,1978

Mustofa, A., Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,1997

Nasution,Faruq, Materi Pendidikan Agama Islam,Jakarta: Eldina,1997

Nasution, Harun,Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta : Djambatan,1992

Nata, Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000, cet. III

Nurdin, Muslim,et.al., Moral Islam Dan Kognisi Islam, Bandung : CV Alfabeta, 1993, Cet.I.

Poerbakawatja, Soegarda, Ensiklopedia Pendidikan, Jakarta : Gunung Agung,1976

Sauri, Sofyan, Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam,Bandung : Rizqi Press,tth

Syafieh, Islam dan Kelestarian Lingkungan,[online],poskan Jum’at 12 April 2013 http://sfaieh74.blogspot.com/2013/04/islam-dan-kelestarian-lingkungan-studi.html, 04 September 2013. 12:20

Tafsir, et al., Moralitas Al - Qur'an dan Tantangan Modernitas, Yogyakarta : Gama MediaOffset, 2002

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

105

Tilaar, H.A.R,,Perubahan Sosial dan Pendidikan,Jakarta : PT Gramedia Widia Sarana,2002

Ya’qub, Hamzah, Etika Islam,Bandung : Diponegoro,1993

Yafi, Ali, Merintis Fikih Lingkungan Hidup,Jakarta : Yayasan Amanah,2006.hlm.231

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

106

LATIHAN MANDIRI DALAM PRAKTIK PEMANTAPAN KEMAMPUAN MENGAJAR MAHASISWA UNIVERSITAS

TERBUKA

Oleh: Marliza Oktapiani1

Abstrak

Tujuan dari penulisan artikel ini untuk mengelaborasi pentingnya Latihan Mandiri dalam Praktek Mengajar dalam meningkatkan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM). Sesuai dengan hakekat belajar mandiri dalam system belajar jarak jauh, pelaksanaan latihan mandiri merupakan tanggung jawab mahasiswa. Kualitas dan keberhasilan dalam latihan mandiri sangat bergantung kepada kemauan dan kemampuan mahasiswa dalam berlatih mandiri. Berdasarkan analisis dari literatur yang tersedia, ditemukan bahwa kemauan yang berkaitan dengan anggapan pentingnya latihan dapat menentukan tingkat pencapaian kemampuan mengajar. Ini berarti bila mahasiswa beranggapan bahwa berlatih merupakan suatu kebutuhan maka ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh, maka tentunya akan membawa kepada peningkatan kemampuan mengajar.

Kata Kunci: Latihan Mandiri, Pemantapan, Kemampuan Mengajar

A. PENDAHULUAN

Sistem pendidikan jarak jauh dan sistem pengajaran jarak jauh lebih diartikan bagi proses belajarnya dan pengajaran jarak jauh berfokus pada pengajarannya. Jarak jauh juga diartikan jauhnya jarak antara mahasiswa dan pengajar, proses instruksinya menggunakan media cetak non cetak ,computer,internet,siaran radio,dan telivisi,sedangkan proses belajarnya mengandalkan belajar mandiri. Cara belajar mandiri menghendaki mahasiswa untuk belajar atas prakarsa atau inisiatif sendiri,belajar mandiri dapat dilakukan secara sendiri atau kelompok . Pemantapan Kemampuan

1 Dosen Tetap Fakultas Agama Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

107

Mengajar(PKM) dilakukan secara bertahap dengan menggunakan pola berlapis berulang. Sebagai paket pembinaan dan pengembangan melalui pendidikan dalam jabatan bagi para guru.Pelaksanaan mengajar dilakukan di sekolah dimana guru tersebut bertugas. Setiap tahapan latihan harus diikuti karena setiap tahapan latihan diharapkan secara berangsur-angsur akan meningkatkan dan memantapkan kemampuan mengajar yang akhirnya dapat merubah prilaku mengajar yang lebih baik. Latihan secara bertahap dan sistematis dilakukan secara terbimbing maupun mandiri. Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM) merupakan salah satu mata kuliah dari kelompok mata kuliah prilaku berkarya,adalah mata kuliah yang mewajibkan praktik mengajar.Kegiatan PKM dimulai dari orientasi mahasiswa,latihan praktek,dan pengambilan nilai ujian.

Latihan mandiri adalah salah satu tahanpan pelaksanaan praktik pemantapan kemampuan mengajar dengan pola berlapis berulang. Maksud dari pola berlapis berulang ialah mahasiwa menyusun serangkaian kegiatan pembelajaran yang terdiri dari penyusunan RP ,melakukan latihan /praktik pembelajaran,disertai balikan yang bersumber dari hasil refleksi dan diskusi dengan teman sejawat/supervisor,serta perbaikan terhadap perencanaan dan pelaksanaan mengajar berikutnya dengan memanfaatkan hasil refleksi dan balikan saat diskusi. Latihan mandiri adalah tahapan dimana mahasiswa secara mandiri melakukan perbaikan pembelajaran dikelasnya sendiri yang didampingi oleh teman sejawat dengan mengunakan pola berlapis berulang sebanyak 8 (delapan) kali. Sesuai dengan hakekat belajar mandiri dalam system jarak jauh pelaksanaan latihan mandiri merupakanpakan tanggung jawab mahasiswa ,kualitas dan keberhasilan dalam latihan sangat bergantung kepada kemauan dan kemampuan mahasiswa dalam berlatih. Kemauan yang berkaitan dengan anggapan pentingnya latihan dapat menentukan tingkat pencapaian kemampuan mengajar,ini berati bila mahasiswa beranggapan bahwa berlatih merupakan suatu kebutuhan maka ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh tentunya akan membawa kepada peningkatan kemampuan mengajar. Begitu juga sebaliknya bila mahasiswa menganggap bahwa latihan mandiri adalah sebagai formalitas maka mahasiswa tidak akan memperoleh apa-apa. Kemampuan yang berkaiatan dengan belajar dan berlatih secara efisien juga ikut menentukan pencapaian peningkatan kemampuan mengajar sebab mahasiswa yang mampu belajar dan berlatih secara efisien adalah mahasiswa yang memiliki disiplin diri,inisiatif,bertindak,tanggung jawab,dean keinginan belajar yang kuat. Hal ini bisa dilihat dari cara mengatur waktu,dan berlatih secara teratur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan PKM . Teman sejawat memiliki tugas utama

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

108

memberi masukan atas rencana dan praktek pembelajaran agar dalam tugasnya tidak mengalami kesulitan.

Penerapan pola berlapis berulang dimaksudkan agar kesalahan yang terjadi dalam latihan praktik tidak akan berlarut-larut. Untuk merealisasikan peran teman sejawat dalam latihan mandiri teman sejawat perlu mengenal dan memahami tugas dan fungsi dalam pelaksanaan latihan mandiri dalam pelaksanaan pemantapan kemampuan mengajar. Bagi prktikan perlunya pemahaman betapa pentingnya latihan mandiri sebagai keberhasilan dalam perbaikan pembelajaran.

B. RUMUSAN MASALAH

Artikel ini akan mengkaji pelaksanaan latihan mandiri praktik pemantapan kemampuan mengajar untuk meningkatkan ketrampilan mengajar mahasiswa dan akan mengupas tentang pentingnya kemandirian mahasiswa dalam melakukan latihan praktik pemantapan kemampuan mengajar dan bagaimana teman sejawat seharusnya mengamati praktikan berlatih mengajar

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Konsep Kemandirian Belajar

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kemandirian diartikan hal atau keadaan dapat berdiri sendiri tanpa tergantung kepada orang lain. Dalam psikologi kemandirian termasuk dalam lingkup sifat (traits) seseorang . Sifat merupakan struktur mental seseorang yang menunjukan adanya konsistensi. Menurut Cattel (dalam Sumadi, 2001) traits adalah suatu struktur mental, ialah suatu kesimpulan yangtimbul dari tinkah laku yang dapat diamati, untuk menunjukan keajegan dan ketepatan dalam bertingkal laku. Pendapat senada diajukan oleh Atkinson (dalam Nasar Mohamed) bahwa yang dimaksud traits adalah apa-apa bentuk sifat yang membedakan seseorang itu dengan individu yang lain dengan kadar kekal dan konsisten. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sifat adalah cirri seseorang menunjukan tingkah laku yang konsisten . Oleh karena itu kemandirian adalah salah satu segidari sifat seseorang makadalam mengkaji konsepkemandirian harus dilihat sebagai bahagian kepribadian Koentjaraningkrat memberikan difinisi

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

109

kepribadian sebagai suatu susunan unsure-unsur akaldan jiwa yang menentukan perbedaan tingkah atau tindakan individu manusia itu. Selanjutnya dengan bahasa popular istilah kepribadian juga berarti cirri-ciri watak seseorang individu konsisten,yang memberikan kepadanya suatu identitas sebagai individu yang khusus. Dijelaskan pula dalam bahasa se-hari-hari, bahwa seseorang tertentu mempunyai kepribadian yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut mempunyai cirri watak yang diperlihatkan secara lahir,konsisten dan konsekuen dalam tingkah laku sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lainnya.

Pandangan Holsten mengenai kaitan antara kepribadian dan kemandirian adalah kepribadian dipakai untuk menandakan penampilan seseorang yang sifat dan perbuatannya mencerminkan keswakaryaan (kemandirian). Kepribadian dan kemandirian sifatnya saling menetapkan dan menguatkan. Kemandirian dapat juga diungkap sebagaimkeswakaryaan dalam berbuat sendiri secara aktif yang dapat dilihat dan dicatat dalam pengambilan keputusan,dalam memberikan pendapat penilaian. Masih dalam hubungan dengan swakarya,keadan mandiri ditunjukan dengan adanya inisiatif dan bertindak dalam merespon segala sesuatu yang muncul secara spontan, hal ini sebagai cerminan percaya,diri dari seseorang yang mandiri. Pendapat yang senada disampaikan oleh Schaefer ,orang yang mandiri digambarkan sebagai berdiri diatas kaki sendiri adalah orang yang dapat mengatur dirinya sendiri, dapat mengambil inisiatif,mengatasi sendiri kesulitan-kesulitan dan ingin melakukan hal-hal untuk dan oleh dirinya senndiri.

Cara belajar mandiri menghendaki mahasiswa untuk belajar atas prakarsa atau inisiatip sendiri,belajar mandiri dapat dilakukan secara sendiri maupun secara kelompok baik dalam kelompok tutorial maupun kelompok praktik.Belajar mandiri sangat ditentukan oleh belajar secara effisien,untuk belajar secara effisien mahasiswa harus memiliki disiplin diri,mempunyai inisiatip tinggi,melakukan tindakan yang tepat,bertanggung jawab,harus dapat mengatur waktunya dengan baik,dan belajar sesuai dengan jadwal yang ditentukan sendiri. Pengalaman belajar seperti itu dapat menimbulkan sikap dan perbuatan yang cenderung melayani diri sendiri tanpa bergantung pada orang lain,perbuatan seperti itu menandakan keswakaryaan( kemandirian) Tingkat kemandirian mahasiswa berhubungan dengan tingkat keberhasilan mahasiswa ,semakin tinggi tingkat kemandirian mahasiswa maka akan mendapatkan hasil belajar yang lebih tinggi pula.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

110

Kemandirian belajar mahasiswa merupakan aktivitas yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk memperoleh pengetahuan,sikap dan ketrampilan tanpa adanya paksaan dari siapapun. Prakarsa belajar muncul secara internal dari mahasiwa atas dasar kesadaran untuk menentukan cara belajar yang dilakukan. Konsep kemandirian dalam belajar mencakup motivasi intrinsik ialah bentuk motivasi suatu dorongan yang secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar. Dalam belajar terdapat task commitmen (pengikatan diri dalam tugas) adalah yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet meskipun mengalami macam-macam rintangan dan hambatan melakukan tugas yang telah menjadi tanggung jawabnya karena yang bersangkutan telah mengikatkan diri terhadap tugas tersebut atas kehendak sendiri.

2. Pemantapan Kemampuan Mengajar

Pemantapan kemampuan mengajar (PKM) semula bernama program pengalaman lapangan (PPL) adalah salah satu mata kuliah dari kelompok mata kuliah prilaku berkarya. Pemantapan Kemampuan Mengajar adalah mata kuliah berpraktek yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitaas Terbuka. Pemantapan kemampuan mengajar merupakan muara program dari mahasiswa FKIP, sebagai muara program berarti bahwa semua pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai mata kuliah sebelumnya akan ditampilkan dalam kegiatan Pemantapan Kemampuan Mengajar dan diharapkan akan menunjukkan adanya perubahan prilaku mengajar yang lebih efektif. Mata kuliah ini berisikan petunjuk-petunjuk latihan mengaplikasikan teori yang telah dituangkan atau dipelajari pada modul-modul sebelumnya seperti latihan merencanakan, melaksanakan dan menilai proses pembelajaran serta administrasi sekolah dan bimbingan belajar di sekolah. 2Sebagai syarat untuk dapat mengikuti mata kuliah Pemantapan Kemampuan Mengajar yang berbobot 4 SKS ini, adalah mahasiswa telah menempuh dan lulus Mata Kuliah Keilmuan dan Mata Kuliah Keterampilan serta Mata Kuliah Prilaku berkarya. Secara umum PKM bertujuan untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berlatih menerapkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang telah diperolehnya melalui berbagai mata kuliah, ke dalam pengelolaan kegiatan pembelajaran di kelasnya sendiri. Secara khusus mahasiswa diharapkan mampu: 1) menyusun rencana pembelajaran, 2) melaksanakan pem-belajaran.

2 Tim Penulis, UT Diskripsi Mata Kuliah, Edisi kedua, (Jakarta: Universitas Terbuka,

2003) p.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

111

Menurut Wardani IGAK, Peningkatan kemampuan mengajar merupakan suatu proses pembentukan ketrampilan yang dilandasi oleh pengetahuan ketrampilan dan sikap yang mantap, yang diharapkan telah terbentuk ketika menempuh mata kuliah sebelumnya,3 selanjutnya juga dijelaskan bahwa proses pembentukan ketrampilan mengajar, haruslah dilakukan secara bertahap dan sistematis. Latihan yang bertahap dan sistematis ini disediakan dalam mata kuliah Pemantapan Kemampuan Mengajar. Dan menurut Wakitri Program pengalaman lapangan merupakan bagian dari paket program pengembangan/ peningkatan kemampuan guru melalui program dalam jabatan dan calon guru melalui program prajabatan.4 Selanjutnya dijelaskan lebih lanjut bahwa program pengembangan/peningkatan kemampuan guru diarahkan terhadap peningkatan tugas guru sebagai suatu profesi sehingga senantiasa meningkat ke arah terwujudnya tugas, peranan suatu fungsi guru secara ideal. Dalam hal ini Winarno Surachmad dalam Warkitri dkk. menjelaskan bahwa guru dianggap sebagai suatu profesi bila mana ia memiliki persyaratan dasar, ketrampilan teknik serta didukung oleh sikap yang mantap.

Selanjutnya persyaratan dasar, ketrampilan teknik, sikap yang mantap itu meliputi 4 kompetensi yaitu:

1) Kompetensi profesional, yaitu pengetahuan yang luas serta dalam dan bidang studi yang akan diajarkan beserta penguasaan metodologis dalam arti memiliki metode yang tepat serta mampu menggunakan berbagai metode dalam proses belajar mengajar,

2) Kompetensi personal, yaitu sikap kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber identifikasi bagi subyek. Intinya ia memiliki kepribadian yang patut diteladani, sehingga mampu melaksanakan kepemimpinan Tut Wuri Handayani, Ing Madyo Mangun Karso, Ing Ngarso Sun Tulodo,

3) Kompetensi sosial, yaitu kemampuan berkomunikasi sosial baik dengan murid, sesama guru, kepala sekolah serta dengan masyarakat luas,

4) Kemampuan memberikan pelayanan sebaik-baiknya yang berarti mengutamakan nilai kemanusiaan.

3 Wardani, IGAK, Materi Pokok Pemantapan Kemampuan Mengajar, PGSD,

(Jakarta: Universitas Terbuka, 2003) p. 1 4 H. Wakitri, dkk., Materi pokok Pemantapan Kemampuan Mengajar, Cet. 6,(

Jakarta: Universitas Terbuka, 2001) pp.1-24

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

112

Untuk dapat mencapai tingkat penguasaan kemampuan, khususnya kemampuan profesional tidak cukup hanya dengan membaca atau membahas serta mendalami uraian teoritis tetapi perlu dijiwai dengan pengalaman nyata dengan melaksanakan serangkaian kegiatan praktek dari program pengalaman lapangan. Program Pengalaman Lapangan (PPL) menurut Yusufhadi Miarso “adalah usaha untuk meningkatkan penguasaan atas kompetensi profesional melalui praktikum dalam lingkungan yang sesungguhnya.5 Selanjutnya dijelaskan pula kekeliruan dalam memahami PPL sebagai praktek mengajar.

Pendapat lain tentang Program Pengalaman Lapangan (PPL) diajukan oleh Suparno dkk mendefinisikan bahwa program pengalaman lapangan adalah suatu program dalam prajabatan maupun dalam jabatan guru, yang dirancang untuk melatih para calon guru menguasai kemampuan keguruan yang utuh terintegrasi, sehingga setelah menyelesaikan pendidikannya mereka siap secara mandiri mengemban tugas sebagai guru.6 Pendapat senada tentang program pengalaman lapangan, merupakan salah satu kegiatan kurikuler yang harus dilaksanakan oleh mahasiswa, yang mencakup latihan mengajar serta terbimbing dan terpadu untuk memenuhi persyaratan pembentukan profesi kependidikan.7

Dari penjelasan para tokoh diatas tentang beberapa pandangan mengenai Pemantapan Kemampuan Mengajar bahwasannya merupakan suatu program yang aplikatif dan terpadu antara sebuah teori dan praktek yang diarahkan kepada peningkatan kemampuan mengajar. Pengertian tentang kemampuan menurut Richard adalah meliputi kemampuan individu untuk mengadaptasikan diri dalam perubahan-perubahan seperti sikap dan perbuatan (prilaku)8 Dalam hal ini ketiga ranah atau domain yakni ranah kognitif, afektif dan spikomotor menyatu didalam prilaku manusia yang saling terkait. Kemampuan juga dapat diartikan sebagai pengorganisasian hasil belajar dan dapat dilihat secara nyata pada penampilan seseorang.

5 Yusufhadi, op.cit.p.20 6 Anah Suhaenah dkk, Pedoman Pelaksanaan PPL (Jakarta : Depdikbud. 1996). p. 1 7 Turney. C. et.al, Microteaching : Research. Theory and Practice. (Sidney : Sidney

University Press, 1982). pp. 91-95. 8 Norman A. Sprinthall and Richard C. Sprinthall, Educational Psychology (New York :

Development Wisley Pub Co; 1976). pp. 207-210.

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

113

3. Hasil Belajar Pemantapan Mengajar

Hasil belajar adalah salah satu unsur dalam kegiatan pembelajaran, membicarakan hasil belajar tidak terlepas dari kegiatan pembelajaran yang merupakan suatu proses belajar. Dalam proses belajar mengajar secara akademik kegiatan mahasiswa terbuka jarak jauh pada hakikatnya sama dengan perguruan tinggi biasa, yaitu mengacu pada tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Secara umum pemantapan kemampuan mengajar bertujuan untuk memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berlatih menerapkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang telah diperoleh melalui berbagai mata kuliah ke dalam kegiatan pembelajaran di kelasnya sendiri. Aspek pengetahuan yang diharapkan sudah dimiliki oleh mahasiswa adalah: a) memiliki pengetahuan praktis dalam mengaplikasikan teori pengelolaan kegiatan belajar mengajar, b) memiliki pengetahuan dalam hal menyusun perencanaan pengajaran sesuai dasar teori yang mantap, c) memiliki pengetahuan dalam hal melaksanakan rencana pembelajaran sesuai dengan teori yang mantap, d) memilikii pengetahuan dalam hal menilai keberhasilan pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan teori yang mantap. Dan aspek-aspek ketrampilan yang diharapkan sudah dimiliki adalah: a) Ketrampilan untuk mengaplikasikan teori pengelolaan kegiatan belajar mengajar, b) Ketrampilan menyusun rencana pengelolaan kegiatan belajar mengajar, c) Ketrampilan melaksanakan pembelajaran, d) ketrampilan menilai keberhasilan pelaksanaan mengajar. Selanjutnya aspek sikap yang diharapkan sudah dimiliki adalah: a) sikap guru profesional, b) kesadaran untuk selalu meningkatkan keprofesionalannya, c) kemantapan dalam menjalankan tugas profesional guru.

Secara khusus mahasiswa diharapkan dapat menyusun rencana pembelajaran dan melaksanakan pembelajaran. Proses belajar mengajar adalah proses yang diatur sedemikian rupa menurut langkah-langkah tertentu, agar pelaksanaannya mencapai hasil yang diharapkan, pengaturan ini dituangkan dalam bentuk perencanaan pembelajaran dan setiap perencanaan selalu berkenaan dengan perkiraan mengenai apa yang akan dilakukan. Demikian halnya dalam pelaksanaan pembelajaran memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada waktu melaksanakan pembelajaran. Banyak bentuk perencanaan pembelajaran, namun pada prinsipnya perencanaan pembelajaran merupakan satuan program pembelajaran dalam satuan terkecil yang paling sedikit memuat, tujuan yang ingin dicapai, kegiatan pembelajaran, metode dan alat bantu mengajar serta evaluasi atau penilaian. Tujuan berfungsi untuk menentukan

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

114

arah kegiatan pembelajaran, bahkan atau isi berfungsi untuk memberi isi atau makna terhadap tujuan, metode dan alat berfungsi untuk menentukan cara bagaimana mencapai tujuan, sedangkan penilaian berfungsi untuk mengukur seberapa jauh tujuan yang telah dirumuskan telah tercapai. Pelaksanaan pembelajaran adalah mengkoordinasikan unsur-unsur atau komponen pembelajaran. Dalam pelaksanaan pembelajaran tentunya sesuai dengan perencanaan pembelajaran yang sudah ditentukan, ini berarti bahwa pengajar dituntut untuk memberi bentuk pada apa yang telah direncanakan. Melaksanakan rencana pembelajaran adalah usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pembelajaran seperti, tujuan bahan, metode serta evaluasi agar dapat mempengaruhi siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Sujana ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan guru dalam melaksanakan strategi mengajar yaitu : pertama adalah tahapan mengajar kedua penggunaan model atau pendekatan mengajar dan ketiga penggunaan prinsip mengajar.9 yang menunjang kemampuan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran. Materi yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran telah dikaji sebelumnya dalam berbagai mata kuliah antara lain seperti: Kapita selekta pendidikan, Strategi belajar mengajar dan mata kuliah yang berkaitan dengan mata pelajaran. Dalam diskripsi mata kuliah, mata kuliah PKM berisikan petunjuk-petunjuk latihan mengaplikasikan teori yang telah dituangkan atau dipelajari pada modul-modul sebelumnya, seperti latihan merencanakan, melaksanakan dan menilai proses pembelajaran serta administrasi sekolah dan bimbingan belajar di sekolah.

Bila dilihat dari kedalaman dan keluasan, pengkajian materi PKM merupakan materi yang sifatnya adalah penyegaran dan pemantapan pemahaman. Sebagai pegangan dalam penyegaran dan memantapkan pemahaman secara singkat materi PKM, Wardani, IGAK mengelompokkan menjadi tiga bagian besar yaitu:10 a) Rambu-rambu penyusunan rencana pembelajaran, b) Ke-trampilan dasar mengajar, c) Alat penilaian. Rambu-rambu penyusunan rencana pembelajaran membahas tentang format rencana pembelajaran, rambu-rambu pengembangan setiap komponen, materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian. Ketrampilan dasar mengajar membahas tentang 8 ketrampilan dasar mengajar yang wajib dikuasai oleh seorang guru. Alat penilaian membahas tentang APKG 1 dan

9 Sudjana. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung : CV. Sinar Baru. 1991).

Pp.20-25 10 Wardiman, IGAK. Op.cit, p. 5

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

115

APKG 2. APKG 1 digunakan untuk menilai kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran, sedangkan APKG 2 digunakan untuk menilai kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Dari ruang lingkup materi PKM tersebut, dalam penyajiannya kepada mahasiswa, selain penyegaran dan memantapkan pemahaman materi-materi yang menyangkut kemampuan merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, mahasiswa juga dilatih untuk membuat rencana dan pelaksanaan pembelajaran. Kegiatan pendalaman teori dasar pengelolaan pengajaran diarahkan untuk lebih mendalami dan menyadari konsep dasar dari pengelolaan pengajaran, sehingga para mahasiswa memiliki kemantapan diri dalam melaksanakan pengelolaan pengajaran, karena didasari oleh konsep dasar teknik maupun prosedur ilmiah. Kegiatan praktek pengelolaan pengajaran diarahkan untuk meningkatkan ketrampilan mengaplikasikan teori dasar pengelolaan pengajaran sehingga para mahasiswa memiliki kepercayaan diri dalam mengelola pengajaran. Dengan demikian mahasiswa diharapkan mampu merubah prilaku mengajar ke arah yang lebih efektif. PKM dilakukan secara bertahap, sesuai dengan penjelasan sebelumnya bahwa peningkatan kemampuan mengajar merupakan suatu proses pembentukan ketrampilan, yang dilandasi oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang mantap. Proses pembentukan ketrampilan, lebih-lebih ketrampilan mengajar harus dilakukan secara bertahap dan sistematis, karena kemampuan keguruan sangat komplek tidak mungkin dilakukan sekaligus. Sebagai upaya untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam praktek, dan sebagai latihan penguasaan ketrampilan PKM menerapkan pola berlapis-berulang. Pola berlapis berulang adalah suatu pola kegiatan yang dimulai dari pengkajian teori selalu disertai dengan praktek, diskusi tentang hasil praktek, kemudian perbaikan.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

116

Gambar. 1 Pola Kegiatan PKM dikembangkan dari Panduan PKM. Tim FKIP UT, 2004.

Kegiatan PKM dimulai dari orientasi mahasiswa, latihan praktek, pengambilan nilai ujian. Orientasi PKM diikuti oleh mahasiswa, Supervisor 2 /teman sejawat, supervisor dan penguji. Sesuai dengan hakikat belajar mandiri dalam sistim belajar jarak jauh, pelaksanaan latihan merupakan tanggung jawab mahasiswa, kualitas latihan sangat tergantung kepada kemauan dan kemampuan mahasiswa dalam berlatih. Kemauan yang berkaitan dengan anggapan pentingnya latihan dapat menentukan tingkat pencapaian kemampuan mengajar, ini berarti bila mahasiswa beranggapan bahwa berlatih merupakan suatu kebutuhan maka ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh, tentunya akan membawa kepada peningkatan kemampuan mengajar. Begitu pula sebaliknya bila mahasiswa menganggap bahwa latihan adalah sebagai formalitas mahasiswa tidak akan memperoleh apa-apa. Kemampuan yang berkaitan dengan belajar dan berlatih secara efisien juga ikut menentukan pencapaian peningkatan kemampuan mengajar, sebab mahasiswa yang mampu belajar dan berlatih secara efisien adalah mahasiswa yang memiliki disiplin diri, inisiatif, bertindak, tanggung jawab dan keinginan belajar yang kuat, hal seperti ini dapat dilihat dari

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

117

caranya mengatur waktu belajar secara efisien, dan belajar/berlatih secara teratur berdasarkan jadwal belajar. Agar melaksanakan latihan secara bertahap dan sistematis mahasiswa dilengkapi dengan petunjuk teknis akademis dalam bentuk bahan ajar yang meliputi Panduan PKM, Materi PKM, APKG 1 dan APKG 2, yang akan memandu mahasiswa dalam melaksanakan latihan. PKM dilakukan secara bertahap dengan menggunakan pola berlapis berulang. Sebagai paket pembinaan dan pengembangan melalui pendidikan dalam jabatan bagi para guru peserta Akta Mengajar dilaksanakan di sekolah dimana guru peserta program Akta Mengajar tersebut bertugas. Setiap Setiap tahap-tahap latihan harus diikuti karena setiap pentahapan latihan diharapkan secara berangsur-angsur akan meningkatkan dan memantapkan kemampuan mengajar yang akhirnya dapat merubah prilaku mengajar yang lebih baik.

Pentahapan latihan itu meliputi:

Pertama, Latihan praktek mandiri dengan Supervisor 2/teman sejawat.

Kegiatan latihan dimulai dari memperdalam rambu-rambu penyusunan rencana pembelajaran, menyusun 8 RP, men-diskusikan 8 RP, merevisi 8 RP berdasarkan diskusi, menentukan komponen pembelajaran, mempraktekkan 8 RP yang diamati oleh teman sejawat dengan menggunakan lembar observasi, terakhir mendiskusikan hasil observasi.

Kedua, Latihan / Praktek dengan supervisor

Latihan/praktek dengan supervisor dilakukan setelah mahasiswa berlatih/praktek dengan teman sejawat sebanyak 8 kali dengan pola berlapis berulang. Dengan dibimbing supervisor mahasiswa menyusun 2 RP secara berlapis berulang dan mahasiswa mempraktekannya dengan diamati dan dinilai oleh supervisor dengan menggunakan APKG 1 dan APKG 2.

Ketiga, Setelah mahasiswa merasa siap dan mantap dalam berlatih dengan teman sejawat dan berlatih / praktek dengan supervisor mahasiswa diperbolehkan mengikuti ujian dengan prosedur mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian dengan persyaratan menyerahkan 10 RP, 8 lembar observasi dan surat rekomendasi ujian dari supervisor.

Supervisor 2/ Teman sejawat adalah guru yang dipilih oleh mahasiswa untuk memberikan masukan, mengamati, mendiskusikan latihan praktek di sekolah guru tersebut dapat dipilih dan sekolah tempat mengajar atau latihan. Supervisor adalah guru/dosen yang ditugaskan oleh UPBJJ-UT

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

118

untuk membimbing mahasiswa dan pelaksanaan pembelajaran, sedangkan penguji adalah guru/dosen atau supervisor yang ditugaskan untuk menguji mahasiswa. Jika ketiga tahapan latihan PKM dilaksanakan maka dapat diprediksi kegiatan pembelajaran berjalan dengan lancar, sehingga diharapkan akan memberi peluang tercapainya tujuan pembelajaran sehingga akan tercapai pula hasil belajar yang diharapkan. Dalam interaksi belajar sistim pendidikan jarak jauh, mahasiswa melaksanakan kegiatan belajar secara mandiri, untuk mata kuliah yang tidak mewajibkan praktik atau praktikum pada pertengahan semester mahasiswa mengerjakan tugas mandiri dan pada akhir semester mahasiswa mengikuti kegiatan ujian akhir semester. Selanjutnya untuk mata kuliah yang mewajibkan praktik, seperti mata kuliah Pemantapan Kemampuan Mengajar. mahasiswa melaksanakan praktik secara mandiri dengan teman sejawat, dilanjutkan praktik dengan dibimbing oleh supervisor, dan setelah siap mahasiswa mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian PKM. Evaluasi hasil belajar mahasiswa Universitas Terbuka dilakukan dalam bentuk tugas mandiri, tugas-tugas tatap muka rancangan khusus, ujian praktik dan praktikum ujian lisan, ujian akhir semester dan ujian komprehensif tertulis. Untuk program studi tertentu terdapat mata kuliah yang evaluasi hasil belajarnya melalui ujian pemantapan kemampuan profesional.11

4. Penerapan Latihan Mandiri

Latihan mandiri dilakukan sebanyak 10 kali dengan pola berlapis berulang yang dilakukan dalan kelas sendiri, 8 kali dilakukan dengan teman sejawad.yang diamati dengan menggunakan APKG. Untuk mengamati perencanaan pembelajaran dan APKG 2 untuk mengamati pelaksanaan pembelajaran. Teman sejawat adalah teman sebaya yang berada satu sekolah dengan seorang praktikan yang mempunyai persyaratan tertentu seperti ijazah,lama mengajar,dapat memberikan masukan yang obyektif,,berpengalaman mengajar . Dalam tahap persiapan teman sejawat hendaknya: a) mempelajari panduan PKM yang diterima dari mahasiswa terutama yang terkait dengan alat penilaian guru baik APKG 1 maupun APKG 2 dan harus memahami tugas-tugas sebgai teman sejawat. b) menyimak pembekalan dan penjelasan tentang PKM ,jadwal dan latihan dan setelah menerima lembar penilaian hendaknya dipelajari terlebih dahulu. Agar dapat mendapatkan informasi yang akurat dalam pengamatan pelaksanaan perbaikan pembelajaran alat penilaian guru harus dikuasai

11 Tim Penulis ., Katalog, Universitas Terbuka 2003, (Jakarta: Universitas

Terbuka,2003). p. 21

Al-Risalah Volume IV, No. 2, Juni 2014

119

dengan baik terutama tentang penjelasan –penjesasan indikator dalam menentukan besaran skala penilaian. Selain itu kepekaan menentukan besaran nilai dalam skala penilaian memerlukan kepekaan profesi yang dalam dan jujur.

D. KESIMPULAN

Sesuai dengan hakekat belajar mandiri dalam system jarak jauh pelaksanaan latihan mandiri merupakan tanggung jawab mahasiswa, kualitas dan keberhasilan dalam latihan sangat bergantung kepada kemauan dan kemampuan mahasiswa dalam berlatih. Kemauan yang berkaitan dengan anggapan pentingnya latihan dapat menentukan tingkat pencapaian kemampuan mengajar,ini berati bila mahasiswa beranggapan bahwa berlatih merupakan suatu kebutuhan maka ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh tentunya akan membawa kepada peningkatan kemampuan mengajar. Begitu juga sebaliknya bila mahasiswa menganggap bahwa latihan mandiri adalah sebagai formalitas maka mahasiswa tidak akan memperoleh apa-apa. Kemampuan yang berkaiatan dengan belajar dan berlatih secara efisien juga ikut menentukan pencapaian peningkatan kemampuan mengajar sebab mahasiswa yang mampu belajar dan berlatih secara efisien adalah mahasiswa yang memiliki disiplin diri,inisiatif,bertindak,tanggung jawab,dean keinginan belajar yang kuat. Hal ini bisa dilihat dari cara mengatur waktu,dan berlatih secara teratur sesuai dengan petunjuk pelaksanaan PKM . Teman sejawat memiliki tugas utama memberi masukan atas rencana dan praktek pembelajaran agar dalam tugasnya tidak mengalami kesulitan.

Teman sejawat merupakan kata kunci keberhasilan yang kedua dalam bagi latihan mandiri mahasiswa dalam melakukan latihan mandiri dengan pola berlapis berulang . Kegiatan perbaikan pembelajaran sebanyak delapan kali yang setiap latihan diawali dan diakhiri dengan refleksi dapat mengurangi kesalahan=kesalahan dalam praktek pembelajaran..Refleksi yang dilakukan oleh teman sejawat yang berupa catatan kelemahan dan kekuatan dalam menperbaiki pembelajaran dapat meningkatkan ketrampilan mengajar praktikan.

Volume IV, No. 2, Juni 2014 Al-Risalah

120

DAFTAR PUSTAKA

Suryabrata Sumadi, Psikologi Pendidikan, Ed.1.Cet 10 (Jakarta: Grafindo Persada, 2001)

Gagne, M, Kondisi Belajar dan Teori Pembelajaran, Munandir, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, DepDikBud, 1989)

Gredler, Margaret E. Bell, Belajar dan Membelajarkan, Munandir Ed.1 Cet 2, (Jakarta: Grafindo Persada, 1994)

Clifford T. Morgan dan Richard A. King, Introduction to Psychology. (Japan: Mc Graw- Hull, 1975)

Tim Penulis ., Katalog, Universitas Terbuka 2003, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2003).

Belajar Dan Ketrampilan Mengajar. (Jakarta :PAU-PPAI.UT., 1994)

Lindren H.S, Educational Psychology in the Classroom. (New York: John and Sons Inc.,1972)

Anah Suhaenah dkk, Pedoman Pelaksanaan PPL (Jakarta : Depdikbud. 1996)

Turney. C. et.al, Microteaching : Research. Theory and Practice. (Sidney : Sidney University Press, 1982)

N ni, IGAK, Materi Pokok Pemantapan Kemampuan Mengajar, PGSD, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2003)

H. Wakitri, dkk., Materi pokok Pemantapan Kemampuan Mengajar, Cet. 6,( Jakarta: Universitas Terbuka, 2001)

W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran Ed disempurnakan cet.4 (Jakarta : Grasindo. 1996)

Witherington, Cronbach. Lee J. Teknik-teknik belajar dan mengajar, (Bandung:: Jemars, 1982)

Benyamin S. Bloom. Taxonomy of Educational Objectives. Handbook. I. Cognitive Domain (New York Longman. 1981)

Tim Penulis, UT Diskripsi Mata Kuliah, Edisi kedua, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2003) p ana Sudjana,. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,,1990)