al muruu'ah

13
Makassar, 16 Mei 2014 TUGAS AKHLAK AL-MURUU’AH – BERBUDI TINGGI OLEH: Novi safitri Nurdin 110 212 0037 Siti Aisyah Al-Humaerah 110 212 0038 Irvan renaldi 110 212 0052 FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: syahaisyahais

Post on 08-Dec-2015

19 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

arti al muruu'ah...

TRANSCRIPT

Page 1: al muruu'ah

Makassar, 16 Mei 2014

TUGAS AKHLAKAL-MURUU’AH – BERBUDI TINGGI

OLEH:

Novi safitri Nurdin 110 212 0037

Siti Aisyah Al-Humaerah 110 212 0038

Irvan renaldi 110 212 0052

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2014

Page 2: al muruu'ah

ADA banyak sekali akhlak mulia yang dianjurkan oleh Islam. Sedemikian kental

warna akhlak mulia ini dalam Islam sampai-sampai Rasulullah bersabda,

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang baik –

dalam riwayat lain: yang mulia.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad dan al-Hakim, dari

Abu Hurairah).

Karena macam akhlak mulia yang sangat banyak, maka simpul dan pengikat pun

menjadi sangat penting, agar tidak lepas dan tercecer. Salah satu simpul pengikatnya

disebut dengan Muru’ah.

Menurut Mausu’ah Fiqh al-Qulub, Muru’ah adalah: “Mengerjakan segenap akhlak

baik dan menjauhi segenap akhlak buruk; menerapkan semua hal yang akan

menghiasi dan memperindah kepribadian, serta meninggalkan semua yang akan

mengotori dan menodainya.”

Hanya saja, karena luasnya cakupan, sebagian ulama’ kemudian meneliti akhlak

mana saja yang menjadi pilar tegaknya muru’ah ini. Ar-Rabi’ bin Sulaiman berkata:

saya mendengar Imam asy-Syafi’i berkata, “muru’ah itu mempunyai empat pilar,

yaitu berakhlak baik, dermawan, rendah hati, dan tekun beribadah.”

Bila kita renungkan, ternyata keempat pilar tersebut menopang banyak sekali akhlak-

akhlak mulia yang lain, sekaligus menyingkirkan akhlak-akhlak buruk.

Pertama-tama, jelas kunci Muru’ah adalah memiliki tindak-tanduk dan kebiasaan

yang baik. Tanpanya seseorang tidak pantas menyandang sifat muru’ah, sebab

seluruh bagian yang lain akan kehilangan induk.

Sebab, kebaikan dan keburukan itu selalu menarik akhlak sejenisnya untuk datang,

sebagaimana dikatakan ‘Urwah bin az-Zubair (ulama’ Tabi’in), “Bila engkau melihat

seseorang melakukan kebaikan, ketahuilah bahwa kebaikan itu memiliki saudara-

saudara pada diri orang tersebut. Bila engkau melihat seseorang melakukan

keburukan, ketahuilah bahwa keburukan itu mempunyai saudara-saudara pada diri

Page 3: al muruu'ah

orang tersebut. Karena sesungguhnya kebaikan itu menunjukkan saudaranya, dan

demikian pula keburukan itu menunjukkan saudaranya.” (Riwayat Abu Nu’aim

dalam al-Hilyah).

Pilar kedua, yaitu kedermawanan, sesungguhnya merupakan refleksi dari itsar

(mengutamakan orang lain), futuwwah (murah hati), tidak cinta dunia, saling

menolong dalam kebajikan dan takwa, mendatangkan kegembiraan kepada sesama,

dsb. Menurut al-Qur’an, manusia sebenarnya cenderung enggan melepaskan haknya

kepada orang lain, pelit, dan lebih senang jika diberi. Allah berfirman, “Dan manusia

itu menurut tabiatnya adalah kikir.” (QS. An-Nisa’: 128).

Maka, kedermawanan adalah tindakan melawan nafsu-nafsu serakah, egois, cinta

dunia, dsb. Allah menyanjung orang-orang yang bisa melawan kecenderungan negatif

tersebut dalam QS. Al-Hasyr: 9, ketika mengisahkan kedermawanan kaum Anshar

kepada kaum Muhajirin. Senada dengan ini Allah berfirman pula dalam QS. at-

Taghabun: 16.

ه� �ف�س� ن ح� ش وق� ي و�م�ن م� ك نفس�� أل� � �را ي خ� �نف�قوا و�أ ط�يعوا

� و�أ م�عوا و�اس� م� �ط�ع�ت ت اس� م�ا �ه� الل �قوا ف�ات

�حون� �مف�ل ال هم �ك� �ئ و�ل ف�أ

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah serta

taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk (kemanfaatan) dirimu (di dunia dan

akhirat). Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah

orang-orang yang beruntung.”

Untuk pilar muru’ah yang ketiga, yaitu rendah hati (tawadhu’), kita bisa memahami

betapa hebatnya akhlak ini dengan merenungkan kisah Adam, Malaikat, dan Iblis

sebagaimana disitir al-Qur’an.

Sungguh, kesombonganlah yang membuat Iblis menolak bersujud kepada Adam. Ia

merasa lebih baik dan lebih mulia, sehingga tidak mau menghormati Adam. Allah

pun murka kepada Iblis, melaknatnya, dan mengusirnya dari surga. Sebaliknya,

Page 4: al muruu'ah

dengan rendah hati para malaikat serta-merta bersujud. Qatadah berkata, “Iblis iri

kepada Adam atas kemuliaan yang Allah berikan kepada Adam. Dia berkata: ‘Aku

tercipta dari api, sedangkan dia ini dari tanah.’ Maka, awal mula dosa-dosa adalah

kesombongan. Musuh Allah itu merasa dirinya lebih hebat sehingga tidak mau

bersujud kepada Adam.” (Riwayat as-Suyuthi dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur, pada

QS. al-Baqarah: 34).

Dengan kata lain, ketawadhu’an akan menyemai amal-amal shalih, sebagaimana

kesombongan pasti membuahkan aneka dosa dan maksiat. Di balik ketawadhu’an

seseorang, ketika sikapnya ini benar-benar tulus dan bukan topeng palsu, sebenarnya

bersemayam banyak akhlak dan adab yang lain, seperti muhasabah (introspeksi diri),

gemar berlomba dalam kebaikan, tidak mencari-cari aib orang lain, menghormati

orang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dsb.

Pilar terakhir Muru’ah adalah tekun beribadah. Bagian ini menyiratkan dua hal

sekaligus.

Pertama, tidak ada keshalihan hakiki yang tidak disertai dengan kedekatan kepada

Allah, apalagi yang tanpa iman. Walaupun seseorang telah menyempurnakan 3 pilar

muru’ah yang lain, jika dia malas beribadah, maka kebaikan-kebaikannya rawan

tercemari oleh motif-motif yang salah, sehingga sia-sia. Dengan ibadahlah maka hati

seseorang akan lebih terjaga.

Kedua, ibadah akan mewariskan keteguhan hati dan kesabaran, sehingga

mendatangkan istiqamah. Dengan istiqamah diatas kebaikan, maka kehormatan

seseorang terjaga, dan inilah puncak muru’ah.

Muru’ah adalah kata sifat yang diambil dari kata benda “Mar’u” yang berarti manusia

atau orang . Muru’ah pada mulanya berarti sifat yang dimiliki oleh manusia. Sifat

tersebutlah yang membedakan manusia dari hewan dan makhluk lain pada umumnya.

Istilah ini dipakai dalam agama Islam dalam pengertian mengaplikasikan akhlak yang

Page 5: al muruu'ah

terpuji dalam segala aspek kehidupan serta menjauhkan akhlak yang tercela sehingga

seseorang senantiasa hidup sebagai orang terhormat dan penuh kewibawaan.

Iman Mawardi, salah seorang tokoh mazhab Syafi’i, menurutnya muru’ah adalah :

“Menjaga kepribadian atau akhlak yang paling utama sehingga tidak kelihatan pada

diri seseorang sesuatu yang buruk atau hina.”

Abdullah al-Anshari al-Harawi seorang tokoh mazhab Hambali, mengatakan, orang

dikatakan memiliki muru’ah apabila akalnya dapat mengendalikan syahwatnya. Dari

itu, al-Harawi menyimpulkan bahwa muru’ah ialah “mengaplikasikan akhlak yang

terpuji dan menjauhi akhlak yang tercela dan hina.”

Bertolak dari definisi terakhir ini. Ibnu Qayim al-Jauziah mengatakan bahwa muru’ah

berlaku pada perkataan, perbuatan, dan niat setiap orang. Orang yang dapat

memelihara perkataan, perbuatan, dan niatnya, sehingga senantiasa berjalan sesuai

dengan tuntunan agama, disebut orang yang memiliki muru’ah . Lebih jauh, Ibnu

Qoyim membagi muru’ah atas tiga tingkatan:

Pertama, muru’ah terhadap diri sendiri; yaitu mempertahankan dan melaksanakan

akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang rendah dan tercela, kendatipun hanya

diketahui oleh diri sendiri sehingga hal demikian menjadi milik pribadinya ketika

bergaul dalam masyarakat. Misalnya, orang yang tetap menutup auratnya sekalipun

berada ditempat sepi .

Kedua, muru’ah terhadap sesama makhluk; yaitu senantiasa berakhlak luhur dan

menjauhi akhlak tercela ditengah khalayak ramai, sanggup menahan diri terhadap

sesuatu yang tidak disenangi dan dapat memetik mamfaat dari suatu keburukan yang

timbul ditengah masyarakat.

Ketiga, muru’ah terhadap Allah SWT; yaitu merasa malu terhadap Allah SWT

sehingga membuat seseorang senantiasa berupaya melakukan segala perintah-Nya

dan menjauhi segala larangan-Nya .

Page 6: al muruu'ah

Islam mengajarkan muru’ah kepada setiap pemeluknya, seperti tercermin dalam al-

Qur’an surat al-A’raf ayat 33 yang artinya:

Katakanlah, “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak

ataupun yang tersembunyi, perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang

benar.”

Demikian pula Allah berfirman dalam surat al-Imran ayat 139:

“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan jangan (pula) kamu bersedih hati, padahal

kamulah orang – orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang – orang

beriman ”.

Dan di dalam ayat lain, Surat an-Nazi’at ayat 40 – 41:

Dan adapun orang – orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri

dari keinginan hawa nafsunya . Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).

Adapun Hadits Nabi yang menegaskan hal ini adalah:

Rasulullah Saw bersabda,“Kemuliaan seseorang ialah (pada) agamanya dan Muru’ah

(pada) akalnya dan keluhuran akhlaknya” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan al-Baihaqi).

Sikap muru’ah tidak terlepas dari penerapan, pemeliharaan hak dan kewajiban, baik

berupa hak Allah Swt (Huquq Allah), hak manusia (Huquq al-‘ibad), maupun hak

bersama antara Allah SWT dan manusia (Huquq al-Musytarakah).

1. Hak Allah SWT. Berupa hubungan manusia dengan Allah dalam upaya

mengagungkan-Nya dan menegakan syi’ar-Nya, sebagaimana sholat, puasa, haji,

zakat, dan amar ma’ruf nahi mungkar ataupun mewujudkan manfaat umum yang

dapat dirasakan oleh masyarakat banyak . contoh, penegakan hukum dan

pemeliharaan kesejahteraan umum(masyarakat) . Pelaksanaan hak – hak Allah itu

merupakan kewajiban bagi manusia .

2. Hak manusia. Berupa pemeliharaan kemaslahatan seseorang, baik dalam bentuk

umum . Seperti, memelihara kesehatan, anak, dan harta dan lain – lain . Maupun

Page 7: al muruu'ah

dalam bentuk khusus seperti memelihara kepentingan pembeli dan penjual (dalam

perdagangan), hak ibu dalam mengasuh anak, hak bapak menjadi wali, dsb .

3. Hak bersama antara Allah SWT dan manusia . Berupa hak yang disatu sisi dapat

dipandang sebagai hak Allah karena menyangkut manfaat umum, tetapi disisi lain

dapat pula dipandang sebagai hak manusia, karena menyangkut pemeliharaan

kemaslahatan seseorang(individu) .

Sebagai contoh : Hak Allah SWT ditempatkan pada hak manusia atau sebaliknya .

Seperti, Hak wali memaafkan seseorang dalam hukum qisas (pembunuhan) . Disini

sebenarnya, terdapat hak Allah SWT yaitu terpeliharanya masyarakat dari kejahatan.

Tetapi disisi lain terdapat pula hak wali (manusia) yaitu memaafkan orang yang

membunuh orang yang berada dibawah perwaliannya . Dalam hal ini, ulama fiqih

menetapkan bahwa hak manusia lebih dominan daripada hak Allah didalam kasus

tersebut. untuk itu seorang wali diberi hak untuk memaafkan orang yang membunuh

orang yang berada dibawah perwaliannya.

Memelihara hak – hak tersebut sesuai dengan posisinya merupakan kewajiban setiap

muslim untuk menegakannya dimanapun ia berada .

Al-Mawardi memandang bahwa sikap muru’ah merupakan perhiasan pribadi seorang

Muslim : Menjadi bukti keutamaan budi dan menjadi tanda kemuliaannya .

Keutamaan akhlak menurut Mahmut Syaltut; merupakan tujuan utama Islam, karena

itu Allah tidak menjadikan iman sebagai dasar agama dan tidak menjadikan ibadah

sebagai tiangnya . Melainkan menjadikan iman dan ibadah untuk memberi kesan

yang baik kepada jiwa, sehingga menjadi salah satu unsur dalam pembentukan akhlak

yang utama.

Tidak hanya itu, muru’ah merupakan alat pencegah paling ampuh bagi pribadi

muslim, agar tidak jatuh kedalam kejahatan . Muru’ah adalah benteng yang mencegah

Page 8: al muruu'ah

kita dari jalan hidup yang hina, mencegah banyak kejahatan dan perbuatan –

perbuatan tercela.

Mengutip perkataan Muhamad Husin Thabattaba’i (tokoh Syi’ah) :

Kebanyakan kejahatan, seperti membunuh, merampok, mencuri, mencopet, bersaksi

palsu, menjilat, berkhianat, dan menjual diri kepada penjajah adalah buah dari

kerakusan dan sikap hidup menggantungkan diri kepada orang lain . Sebaliknya

orang yang memiliki sikap Muru’ah dan bangga dengan harga dirinya, tidak akan

tunduk kepada kebesaran siapapun selain kebesaran Tuhan yang Maha Tinggi.

Al-Mawardi melihat dua hal yang mendorong terlaksananya sikap muru’ah pada diri

seseorang yaitu :

Pertama, orang tersebut memiliki ketinggian cita – cita.

Kedua, orang tersebut memiliki kemuliaan jiwa .

Sekalipun demikian untuk terealisasinya sikap muru’ah diperlukan enam syarat

diantaranya:

a). Tiga syarat internal (fi nafsih), yang terdapat didalam jiwa seseorang tanpa

memerlukan keterkaitan dengan orang lain:

al-Iffah, yakni memelihara diri dari hal – hal yang buruk dan hina.

al-Nazahah, yakni bersih diri.

al-Siyanah, yakni menjaga diri dari sesuatu yang tercela.

b). Tiga syarat eksternal (fi qhayrihi) yang berada diluar diri seseorang dalam

keterkitannya dengan orang lain:

al-Muazarah, yakni suka membantu.

al-Muyasarah, yakni suka mempermudah.

al-Ifdhal, yakni mengutamakan orang lain.

Page 9: al muruu'ah

Dengan tiga syarat internal (fi nafsih), seorang muslim akan sanggup

mempertahankan diri dari hal – hal buruk yang dilarang agama . Serta tiga syarat

eksternal (fi qhayrih) seorang muslim akan sanggup berbuat baik terhadap

sesamanya.