akuntansi sebagai realitas sosial - …karyailmiah.polnes.ac.id/images/download-pdf/arsip...
TRANSCRIPT
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1537 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
AKUNTANSI SEBAGAI REALITAS SOSIAL - PHENOMENOLOGY SUSTAINABILITY REPORTING KONSEP QUARDRANGLE BOTTOM LINE
(QBL) DIMENSI ENVIRONMENTAL PERFORMANCE
Muhammad Suyudi
(Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda)
Abstrak
Perusahaan sebagai organisasi bisnis, orientasi pada pengejaran atas laba (profit) selalu menjadi tujuan utama. Karena aspek ekonomis lebih dominan di banding aspek sosial hal ini berdampak pada terganggunya keseimbangan ekologis. Fenomena ini disebut sebagai „krisis lingkungan‟. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami berbagai fenomena pada suatu entitas bisnis akan perlunya dihadirkan „sustainability reporting’.
Paradigma penelitian ini adalah interpretif-fenomenologi. Teknik pengumpualn data melalui tahapan Getting in, Getting along, dan Logging the data. Analisis fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf Jerman Edmund Husserl (1859-1938), fenomenologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba menggambarkan apa yang tampak melalui pengalaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-pengandaian awal maupun spekulasi hipotetis. Hasil penelitian adalah berbagai „fenomena‟. Fenomena dimaksud dihadirkan melalui konsep quardrangle bottom line (QBL). Dimana environmental performance yang dicapai cenderung negatip bagi kehidupan yaitu dampak dari kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia (entitas) karena menurunnya kesadaran dan tanggungjawab yang tidak saja pada sesama manusia namun juga pada lingkungan dan Pencipta.
Kata Kunci: Sustainability Reporting, Interpretive-Fenomenology, Quardrangle Bottom Line
Environmental Performance.
PENDAHULUAN
Stop global warming! Begitulah kampanye
intensif yang dilakukan berbagai lembaga swadaya
masyarakat karena kondisi lingkungan yang
semakin memprihatinkan. Kalangan industri adalah
sasaran tembak kampanye tersebut. Bisa dipahami
memang, sebab selama ini kesadaran kalangan
bisnis terhadap lingkungan sangat rendah.
Kalaupun ada yang membuat laporan tentang
lingkungan jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Pentingnya dilakukan pembangunan berkelanjutan
diperlukan komitmen yang tinggi dari entitas untuk
menjalankan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
Kondisi lingkungan termasuk di Indonesia
saat ini cukup memprihatinkan, salah satu masalah
lingkungan hidup dimaksud adalah pemanasan
global (global warming). Menurut Hilman (2007: 17),
fenomena ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun
1900-an, di mana revolusi industri di Eropa dan
Amerika dimulai. Perkembangan revolusi industri
yang sangat pesat, dan dunia mulai diperkenalkan
dengan produksi masal. Pada masa ini dampak
pada lingkungan mulai terasa, namun hanya pada
skala lokal, dan menurunnya kualitas lingkungan
hidup hanya dapat dirasakan oleh mereka yang
tinggal di sekitar industri.
Industri tumbuh pesat dan meluas ke
seluruh dunia. Industri yang mulanya memberikan
dampak lingkungan pada daerah sekitarnya,
sekarang menimbulkan dampak lingkungan yang
dapat dirasakan di seluruh dunia. Dampak kegiatan
industri seperti, penyebaran penyakit, sulitnya air
bersih, global warming, pencemaran lingkungan dan
JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1538
lainnya menjadi permasalahan dunia yang tiada ber-
ujung, dampak dari tujuan yang mengabaikan
tatanan lingkungan dan sosial (Chwastiak dan
Young, 2003, Poerwanto, 2007, dan Daniri, 2008).
Manusia dan aktivitasnya (entitas) telah
melakukan daya ubah cukup jauh di luar ke-
mampuan daya dukung planet bumi, dan berbagai
peristiwa alam telah kita rasakan sebagai akibat dari
kerusakan alam. Fenomena ini merupakan masalah
serius, masalah kelangsungan hidup generasi yang
akan datang sehingga perlu ditemukan solusinya
oleh semua pihak dan oleh semua disiplin ilmu, ter-
masuk disiplin ilmu akuntansi.
Berbagai fenomena alam tak lepas dari
peran manusia (dunia bisnis) yang terus meng-
eksploitasi alam (resources) demi pencapaian
kepentingan ekonomi (profit) dengan mengabaikan
aspek sosial dan lingkungan. Konteks ini, Rahman
(2008) menyatakan bahwa konsep “paradigma
sustainability” dalam aktivitas bisnis tidak dapat dita-
war lagi. Keseimbangan aktivitas sosial, ekonomi
dan lingkungan sepatutnya mendapatkan tempat
yang memadahi dalam setiap aktivitas bisnis entitas.
Eksploitasi alam yang didasarkan pada
kepentingan ekonomi semata, pada saatnya akan
menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis.
Kondisi seperti ini disebut sebagai “krisis ling-
kungan”, yakni kesalahan dalam cara pengelolaan
sumber kebutuhan hidup manusia. Kegiatan entitas
yang berorientasi pada pencapaian laba setinggi-
tingginya tidak lagi menghiraukan dampak sosial
yang bakal terjadi pada alam. Kini tindakan ini harus
dibayar mahal oleh generasi sekarang dan generasi
yang akan datang. Capra (2004: 3) mengungkap-
kan:
Pada awal dua dasawarsa terakhir abad
keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam
suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis
kompleks dan multidimensional yang segi-seginya
menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan
mata pencaharian, kualitas lingkungan dan
hubungan sosial, ekonomi (akuntansi), teknologi,
dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi
intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang
belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan
sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita
dihadapkan pada catatan kepunahan ras manusia
yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet
ini.
Para ekonom [akuntan] memandang,
peningkatan produksi, perbaikan jalur distribusi dan
meningkatnya pola konsumsi masyarakat global
berarti peningkatan utilitas dan kesejahteraan
(welfare) yang diterima anggota masyarakat. Namun
kenyataannya, ada biaya yang harus ditanggung
dalam dimensi jangka panjang. Aktivitas produksi
tidak mencantumkan biaya sosial, biaya kerusakan
lingkungan hidup dan biaya masa depan dalam per-
hitungan akuntansinya (Ismawan, 1999: 99).
Sejalan berkembangnya konsep tanggung
jawab sosial dan lingkungan, Elkington (1997)
dengan teori TBL (Triple Bottom Line) pada bukunya
“Cannibals with forks, the triple bottom line of
twentieth century business”. Elkington mengem-
bangkan konsep TBL dalam istilah economic
prosperity, environmental quality dan social justice.
Dia berpandangan, „jika sebuah entitas ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka
harus memperhatikan triple-P’. Sustainability meru-
pakan pijakan bersama bagi kepentingan bisnis,
oleh Savitz dan Weber, (2006), dan Lako (2008)
dianggap sebagai the sustainability sweet sport,
sweet sport adalah tempat di mana pengejaran atas
laba bercampur dengan pengejaran atas kebaikan
bersama.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK) No.1 2007, menyatakan bahwa laporan
sustainability diposisikan sebagai laporan tambahan
atas laporan keuangan. Laporan keuangan kon-
vensional yang kita kenal lebih menyajikan informasi
tentang: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan,
beban, laba-rugi dan arus kas. Sedang laporan
keberlanjutan (sustainable reporting) ialah pelaporan
mandiri tentang kebijakan dan dampak atas kinerja
lingkungan, sosial dan ekonomi dari suatu korporasi
dan produknya. Perlunya dihadirkan laporan ini
untuk menunjukkan pentingnya dilakukan pemba-
ngunan berkelanjutan sebagai komitmen akan keles-
tarian dan kepedulian terhadap berbagai fenomena.
Laporan sustainability dengan konsep
quardrangle bottom line merupakan alternatif bentuk
laporan akuntansi yang tidak hanya menyajikan
laporan berupa angka-angka (materi). Namun juga
mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan
dicapai, baik itu pencapaian positip maupun negatif
dampak dari kegiatan ekonomi perusahaan.
Berangkat dari asumsi-asumsi di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah untuk memahami fenomena
pada suatu entitas akan perlunya dihadirkan laporan
keberlanjutan dari konsep quardrangle bottom line.
PEMAHAMAN KUTUB-KUTUB PARADIGMA
Sebagai alat, model penelitian di bidang
ilmu pengetahuan telah mengalami pergeseran
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1539 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
dramatik dan revolusioner. Cooper dan Hooper,
(1990), mengatakan „in accounting, research based
on the alternative paradigm emerged at the end of
1970s and 1980s’. Ungkapan ini menyiratkan bahwa
penelitian dibidang akuntansi telah bergeser,
metodologi ilmu pengetahuan akuntansi (sosial)
yang dulu mengandalkan “satu paradigma” tidak
lagi dapat diandalkan untuk mampu menjawab
semua research question.
Babak baru dalam studi akuntansi pun mulai
bermunculan dan bergeser dengan menggunakan
metode dan tujuan studi yang baru. Metodologi
telah menjadi pengimpor dari banyak disiplin ilmu
sosial. Metodologi itu meliputi Symbolic
Interactionism, Ethnomethodology, Marxism, Haber-
masism dan Critical theory, Gidden’s Structuration,
Gramscian concept, dekonstruksi Derrida,
Weberian, dan Foucouldian Perspective (Sukohar-
sono, 1998). Semua metodologi ini diadopsi para
peneliti akuntansi untuk mengkritisi studi akuntansi
yang sebelumnya dianggap menggunakan sudut
pandang tradisi onal yang dikenal dengan istilah
Positivism.
Perkembangan teori akuntansi positip
menjadi pesat (menggurita) laksana jamur yang tum-
buh di tempat lembab, kemudian menjadi dominan
dalam penelitian akuntansi (sosial), disebut sebagai
aliran arus utama (mainstream), dan penulis
menggunakan istilah aliran “kanan”. Istilah “kanan”
karena dalam terminologi filsafat modern telah
melembaga pemikiran oposisi biner, yang
menelorkan dikotomi antara “kanan” dan “kiri”.
Pemikiran modern menganggap bahwa “kanan”
selalu dalam posisi di atas (dominan), sementara
“kiri” pada posisi di bawah (marginal). Dalam
pandangan ekstrim bahwa paham positip (inti ajaran
modernitas) mempunyai sifat saling meniadakan
(mutually exclusive) pada dua hal yang berbeda,
misalnya paham ini hanya mengambil sifat obyektif
dan mengeliminasi sifat subyektif dalam rangka
mendapatkan ilmu pengetahuan yang obyektif
(Triyuwono, 2004).
Pandangan beda dari Burrell dan Morgan
(1979: 22) dengan membuat 2 (dua) asumsi tentang
sifat dasar ilmu pengetahuan sosial dan masyarakat,
meliputi dimensi subyektif-obyektif yang mene-
kankan pada sifat dasar ilmu pengetahuan dan
dimensi regulasi perubahan radikal yang lebih
menekankan pada sifat dasar masyarakat. Asumsi
tentang sifat dasar ilmu pengetahuan sosial tersebut
berkaitan dengan ontologi, epistemologi, sifat
manusia, dan metodologinya. Kedua dimensi
digabung dan membuat empat paradigma dalam
ilmu sosial (termasuk akuntansi). Paradigma di-
maksud sebagaimana gambar 01 berikut:
Berdasarkan keempat paradigma di atas,
semua disiplin ilmu sosial, termasuk akuntansi,
dapat dianalisis dengan asumsi meta-teori tentang
sifat dasar ilmu pengetahuan dengan dimensi
subyektif-obyektif, dan tentang sifat dasar masyara-
kat dengan dimensi regulasi/perubahan radikal.
Pergeseran paradigma tidak hanya menghendaki
suatu perluasan dalam persepsi tetapi juga
menyangkut nilai-nilai. Menarik untuk ditelaah
hubungan antara perubahan pemikiran dengan
perubahan nilai-nilai.
Paradigma Kualitatif–Interpretif–Fenomenologi:
Sebuah Metodologi Penelitian
Penelitian kualitatif adalah teropong atas
fenomena sosial (khususnya akuntansi) dengan
berbagai cara pandang (teropong), warna, bentuk,
macam, perilaku dan rasa, misalnya dengan aliran
konstruktivis, interpretif, feminis, postmodernis,
strukturalis, teori kritis, dekonstruktivis dan masih
banyak yang lainya (Sukoharsono, 2006).
Paradigma penelitian kualitatif mengungkapkan
bahwa hakikat kenyataan bersifat jamak, dibentuk,
dan merupakan keutuhan. Hubungan antara peneliti
dengan yang diteliti aktif bersama tidak dapat dipi-
sahkan, bersifat ideografik, dan terikat dengan nilai-
nilai (Moleong, 2006: 51).
Selama ini penelitian di bidang akuntansi
didominasi oleh arus utama (mainstream) yang
menggunakan metode kuantitatif antara tahun 1960-
an dan 1970-an. Tetapi pada akhir tahun 1970-an
dan 1980-an penelitian akuntansi sudah banyak
menggunakan jalan alternatif dalam melihat
fenomena akuntansi (menggunakan metode
kualitatif). Pada penelitian ini penulis menawarkan
jalan alternatif dalam melihat fenomena praktik
Gambar 01: Empat Paradigma Penelitian Kualitatif
Sumber: Burrell dan Morgan (1979: 22)
Radical Change
Radical Humanis Radical Structuralis
Regulation
Interpretive Fungtionalist
Objective View Subjective View
JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1540
akuntansi. Jalan alternatif dimaksud ialah meng-
gunakan pendekatan Interpretif–fenomenologi
(phenomenology approach)
Fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf
asal Jerman Edmund Husserl (1859-1938), Feno-
menologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba
menggambarkan apa yang tampak melalui peng-
alaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-peng-
andaian awal maupun spekulasi hipotetis. Mottonya
adalah “kembali kepada obyek itu sendiri” (zu den
sachen selbst), obyek harus diberikan kesempatan
untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologi guna
mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau)
(Letiche, 2006).
Pokok pikiran Husserl yang menjadi dasar
fenomenologi modern memberikan penekanan ter-
hadap proses abstrak dari kesadaran merangsang
para pemikir untuk mencari tahu bagaimana proses
mental seorang individu dapat membentuk hakikat
dunia sosial (praktik akuntansi). Dunia tidak dilihat
sebagai sesuatu yang dihadirkan kepada kesadaran
tetapi diciptakan dari proses subyektif pikiran
manusia. Peneliti diajak melepaskan semua peng-
andaian yang mungkin salah ketika sedang melihat
sesuatu.
Teknik Pengumpulan Dan Analisis Data
Teknik pengumpualn data dilakukan melalui
tahapan berikut: 1) Proses memasuki situs/lokasi
penelitian (getting in), 2) Proses bersosialisasi
selama berada dalam situs/lokasi penelitian (getting
along), dan 3) Proses pengumpulan data (logging
the data). Selama proses berlangsung informan
merupakan sumber informasi terpenting dalam
penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan
melalui interview, wawancara atau dialog formal dan
non formal. Demikian juga data sekunder lain untuk
melengkapi kecukupan informasi yang dibutuhkan.
Proses analisis data selama penelitian
dilakukan paling tidak ada 3 (tiga) tahapan utama
yang saling terkait, yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan. Kegiatan ini
sebagai sebuah jalinan sebelum, selama, dan se-
sudah tahapan pengumpulan data dalam bentuk
yang sejajar (Miles dan Huberman, 1992:19). Tiga
jenis kegiatan analisis data dan kegiatan pengum-
pulan data tersebut merupakan proses siklus yang
interaktif. Dari data yang berhasil dikumpulkan
kemudian dilakukan analisis data dengan meng-
gunakan metode analisis fenomenologi.
TINJAUAN AKUNTANSI : FENOMENA LAPORAN
KEUANGAN KONVENSIONAL
Laporan keuangan konvensional me-
rupakan media yang penting untuk menilai prestasi
dan kondisi ekonomis suatu perusahaan (Harahap
2004: 105). Bagi para analis yang terbatas untuk
melakukan pengamatan langsung, laporan ini akan
bermanfaat sebagai informasi tentang keadaan
entitas. Laporan keuangan yang menghadirkan
informasi akan menjadi bahan analisis bagi para
analis untuk pengambilan keputusan, karena
laporan ini mencerminkan posisi keuangan entitas,
hasil usaha entitas dalam suatu periode, dan arus
kas dalam periode tertentu.
Penyajian yang wajar dari laporan keuangan
sebagaimana dalam pernyataan kerangka dasar
penyusunan dan penyajian laporan keuangan (IAI
2007), mengandung arti bahwa laporan keuangan
sering dianggap menggambarkan pandangan yang
wajar atau menyajikan dengan wajar, posisi
keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan
suatu entitas. Sebagaimana penjelasan dalam
PSAK No. 1 paragraf 10 tentang kewajaran dalam
penyajian laporan keuangan (IAI, 2007), yang
berbunyi:
Laporan keuangan harus menyajikan
secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan,
perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan
dengan menerapkan PSAK secara benar disertai
pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam
catatan atas Laporan Keuangan. Informasi lain tetap
diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang
wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak
diharuskan oleh PSAK.
Gambar 02. “Once I Switched Over To Right Brain Thinking, My Accounting has Became Much More Creative” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com
Pada laporan keuangan konvensional,
penyajian secara wajar atas posisi keuangan, kinerja
keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas lebih
menggambarkan pada pencapaian dari sudut
pandang interen entitas (materi/laba). Sementara
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1541 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
entitas tidak bekerja pada ruang hampa (vacuum)
tanpa keterlibatan komunitas dan lingkungannya.
Konsep demikian sudah saatnya dikoreksi. Menurut
Triyuwono (2006: 107) akuntansi mainstream
dengan kepala „ego‟nya direfleksikan dalam bentuk
konsep income. Dengan ego yang tertanam dalam
dirinya, praktik akuntansi menekankan terciptanya
income bagi pemegang saham. Pandangan ini tidak
lain ialah konsep entity theory. Di mana Kam (1990:
307-8) mengatakan:
Bagi entity theory, penekanan dilakukan
pada penentuan income, dan oleh karena itu laporan
laba-rugi lebih penting dibanding dengan neraca.
Penekanan pada income mempunyai dua alasan:
(1) equityholders terutama mempunyai kepentingan
pada income, karena jumlah ini menunjukkan hasil
investasi mereka dalam periode tersebut; dan (2)
entitas akan eksis bila menghasilkan laba (profit).
Triyuwono (2006: 105) mengatakan bahwa
akuntansi harus dapat memenggal kepala “ego”nya
yang besar dan menumbuhkan tanaman altruisme
agar dapat menciptakan kedamaian dalam realitas
kehidupan bisnis. Akuntansi harus mengurangi
“kejantanan” nya dan menumbuhkan “kebetinaan”-
nya dengan menggunakan sudut pandang yang lain
dari “holistic wordview. Holistic wordview–Capra
(1996: 6) juga menambahkan pandangan dunia ini
dengan ecological worldview atau deep ecology–
memandang dunia (realitas) sebagai suatu kesatuan
yang tidak terpisahkan sebagai mana dikatakan
Capra:
Deep ecology tidak memisahkan manusia
–atau apa pun– dari lingkungan alam. Deep ecology
memandang dunia bukan sebagai kumpulan obyek
yang diisolasi, tetapi sebagai jaringan kerja
fenomena yang secara fundamental bersifat saling
berhubungan dan saling bergantung. Deep ecology
mengakui nilai intrinsik dari semua mahluk hidup
dan memandang manusia hanya sebagai satu mata
rantai khusus dalam jaringan kehidupan (1996: 7).
Bila demikian, berarti laporan keuangan
konvensional belum menghadirkan informasi seba-
gai wujud kehormatan, kepedulian dan akuntabilitas
terhadap alam (ekologi) yang telah di eksploitasi.
Karena laporan keuangan yang umum sekarang
lebih menyajikan informasi mengenai entitas
tentang: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan,
beban-beban, laba-rugi, dan arus kas. Ini semua
merupakan informasi capaian materi. Melihat fakta
sosial ini, informasi yang disajikan semata hasil ca-
paian kinerja jangka pendek (periodesasi pelaporan
akuntansi). Realitasnya, ada biaya yang harus di-
tanggung oleh entitas dalam dimensi jangka panjang
serta tingginya social cost yang ditanggung peme-
rintah dan masyarakat.
FENOMENA LAPORAN KEBERLANJUTAN
(SUSTAINABILITY REPORTING)
Permasalahan keberlanjutan telah menjadi
masalah serius menyangkut kelangsungan hidup
masa kini atas semua mahluk hidup yang mendiami
permukaan bumi. Krisis lingkungan tentunya tidak
terlepas dari peran dunia bisnis yang terus-menerus
berproduksi dengan mengabaikan aspek lingkungan
dan sosial demi keuntungan materi. Dalam konteks
ini, konsep paradigma sustainability dalam men-
jalankan aktifitas bisnis sudah tidak dapat ditawar-
tawar lagi Savitz dan Weber (2006), Lako (2008),
dan Rahman (2008). Keseimbangan aktivitas eko-
nomi, sosial, dan lingkungan sudah sepatutnya
dapat porsi memadai dalam setiap aktifitas bisnis
entitas yang diselenggarakan dalam kerangka tang-
gung jawab atas kebaikan bersama.
Sebagaimana UU No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. “…perusahaan ber-
bentuk Perseroan yang menjalankan usaha di
bidang pengelolaan sumberdaya alam atau ber-
kaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk
menjalankan tanggung jawab sosial dan
lingkungan.” Kondisi ini memunculkan pertanyaan,
apakah entitas menyajikan informasi sosial dan ling-
kungan dalam laporan tahunannya, semata sebagai
strategi untuk memaksimalkan laba atau upaya
memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam
peraturan?. Padahal, bisa saja entitas
melaksanakan praktik sustainability report
berdasarkan kebutuhan yang melebihi pertimbangan
ekonomi maupun ketentuan yang dipersyaratkan
oleh peraturan. Jawaban atas pertanyaan ini dalam
banyak literatur sering didasarkan pada teori-teori,
antara lain legitimasi theory (Parsa dan Kouhy,
2002; dan Tilling, 2004).
Berbagai motivasi mendorong entitas
menyajikan informasi mengenai dampak sosial dan
lingkungan pada laporan tahunannya, yang
umumnya berpijak pada legitimasi theory, yaitu
untuk memenuhi ketentuan kontrak pinjaman,
memenuhi ekspektasi masyarakat, meligitimasi
tindakan entitas serta untuk menarik investor
(Basamalah dan Jermias, 2005; Sayekti dan
Wandabio, 2007).
JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1542
Gambar 03. “Designated area of outstanding natural profitability” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com
Dari paparan tersebut dapat diketahui bila
penggunaan legitimasi theory akan sejalan dengan
konsep akuntansi konvensional yang menganggap
praktik sustainability report yang dilakukan entitas
bebas nilai (value-free) karena terdapat unsur keter-
paksaan melalui pertimbangan ekonomi serta keten-
tuan yang dipersyaratkan peraturan. Hal ini ber-
tentangan dengan konsep akuntansi kontenporer,
bahwa praktik sustainability report tidak bebas nilai
(not value-free) karena dilakukan tanpa unsur keter-
paksaan yang melebihi pertimbangan ekonomi atau
ketaatan pada peraturan, sebagai wujud kesadaran
dengan berpegang pada nilai etika dan moralitas.
KINERJA LINGKUNGAN: MENGUNGKAP
FENOMENA SUSTAINABILITY DI ANTARA
DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN
Meneropong berbagai fenomena, Isu
lingkungan bukan merupakan isu baru, persoalan
semakin menarik dikaji seiring perkembangan
teknologi dan ekonomi global. Secara perlahan
telah terjadi perubahan pola hidup yang secara lang-
sung atau tidak langsung memberikan pengaruh
pada lingkungan hidup. Era industrialisasi di satu
sisi menitikberatkan penggunaan teknologi seefisien
mungkin, acapkali mengabaikan aspek kelestarian.
Kenyataan ini, menurut Keraf (1997) menunjukkan
bahwa bisnis mempengaruhi (segala aspek)
kehidupan. Ini berarti bahwa bisnis sangat
menentukan baik-buruknya (kualitas) kehidupan dan
budaya masyarakat modern. Pengabaian atas tang-
gung jawab dan kewajiban moral, ternyata
menimbulkan persoalan sosial dan ekologi yang
serius (Ismawan 1999: 55-7, Capra 2002a: 11, Gorz
2003, Keraf 2005: 170-1, Zohar dan Marshall 2006:
37).
FENOMENA ALAM DIMENSI LOKAL DAN
GLOBAL: PERLUNYA DIHADIRKAN BENTUK
PERTANGGUNG JAWABAN „LAI’
Adanya perubahan paradigma pemba-
ngunan sebagai gagasan yang lahir dari hasil
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) di Rio
De Janeiro, Brazil 1992. Tentang perlunya
perubahan dari paradigma yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi (economic growth) ke
paradigma pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Isu kelestarian telah
merubah financial modeling menjadi financial return
plus, misalnya dengan munculnya economic value
added, full cost accounting dan ancangan
manajemen lain. Investasi korporasi menjadi makin
peka terhadap stakeholder dan ekspektasi sosial
(society expectation).
Semenjak kemenangan logika industrial
berupa revolusi industri yang membawa
konsekwensi pada menguatnya perusahaan di atas
elemen sosial lainnya, menggiring manusia menuju
peradaban industri dengan segala kompleksitas
yang terus berevolusi menuju bentuknya yang paling
akhir. Sejarah telah mencatat dengan sempurna
bagaimana perjalanan hubungan industrial antara
manusia, perusahaan dan lingkungan saling ber-
singgungan, menyatu dan bahkan mengintimidasi
satu sama lain menuju satu tujuan yaitu
kepentingan.
Fakta itu teramati dan telah menjadi realitas
bukan sekedar fenomena. Bila dorongan berbagai
kepentingan dan orientasi materi telah menimbulkan
masalah dan berdampak pada terganggunya
keseimbangan alam. Alhasil, bumi tidak mampu lagi
menyerap apa yang turun dari langit akibatnya
menimbulkan banjir dan berbagai bencana
menyertai. Peristiwa ini telah memberi inspirasi pada
peneliti dalam melihat praktik akuntansi dan kon-
tribusinya pada permasalahan ekologi, sosial, dan
ekonomi. Nilai-nilai ini perlu dikolaborasi antara kon-
sep teoritis dengan local wisdom yang digali dari
entitas dan komunitas.
Berikut hasil eksplorasi berbagai fenomena
lingkungan, teropong praktik akuntansi dari konsep
quardrangle bottom line (QBL) dimensi Environ-
mental Performance:
1. FENOMENA MELEMAHNYA DAYA DUKUNG
DAERAH DARI
BANJIR DAN
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1543 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
TANAH LONGSOR
Perlawanan menyikapi berbagai fenomena
tak luput dari perhatian masyarakat, mahasiswa,
aktivis LSM, dan pencinta lingkungan. Aksi terjadi
karena kebijakan yang kurang berpihak pada
kelestarian. Kaltim Pos dalam Headline-nya “Kota
Tepian Sakit Parah”. Menjelang Hari Bumi 22 April
2009, menulis …banjir beberapa waktu merupakan
fenomena berbeda, bukan karena banjir kiriman,
tetapi bukti daerah telah sakit parah. “Samarinda
tidak memiliki daya dukung lagi bahkan untuk
menampung hujan lokal”. Saat ini 66,5% wilayah
yang dulunya benteng pertahanan banjir telah ber-
ubah menjadi areal pertambangan dan pembukaan
hutan untuk kuasa pertambngan, hal ini yang me-
nyebabkan banjir, tanah longsor, pendangkalan sun-
gai, hilangnya berbagai biota sungai karena air yang
keruh, dan pembalakan hutan yang merajalela.1
Samarinda dengan luas daratan mencapai
718,23m2, ternyata dikelilingi kegiatanh eksplorasi
kuasa pertambngan batu bara. Direktur Walhi Kaltim
mengatakan:2
Bagaimanapun musibah banjir yang terjadi
di wilayah Samarinda adalah akumulasi dari ber-
bagai kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari
kegiatan penambangan dan eksploitasi hutan.
Kuasa penambangan (KP) batu bara memiliki andil
terbesar menghantarkan bencana banjir di wilayah
ini. Demikian juga pengusaha kehutanan yang tidak
patuh pada ketentuan yang ada, telah menurunkan
fungsi hutan yang sebenarnya sebagai paru-paru
dunia, tempat tumbuh kembangnya flora dan fauna,
area resapan air, erea produksi gas O2 dan area pe-
nyerapan gas CO2 dan lainnya.
Fenomena lingkungan seperti, banjir dan
tanah longsor kiranya belum cukup menjadi bukti
bila telah terjadi kerusakan lingkungan. Penyebab
tentu banyak salah satunya karena eksploitasi
sumberdaya alam yang melampaui batas, baik itu
melalui pembalakan hutan, pengerukan sumberdaya
(resources) di perut bumi oleh kuasa penambangan,
dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Silang
pendapat terus terjadi di antara mereka dan terus
berkelit dari tanggung jawab dan menganggap
dirinya bersih.
1 Surat kabar harian Kaltim Pos, “Kota Tepian Sakit Parah”,
Terbit hari Rabu, 21 April 2009, h. 27. 2 Isar Wardana, Direktur Walhi Kaltim, “Dialog TVRI Kaltim
bersama Wahana Lingkungan Hidup”, Bekerja sama dengan HKTI Kaltim, Tanggal 1 Juni 2009.
Gambar 04. “DANGER This Water not Suistable for Drinking” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com.
Menurut peneliti, kalaupun durasi banjir dan
tanah longsor yang terjadi kini jangka pendek.
Namun untuk jangka panjang akibat dari meng-
hilangnya tegakan pohon dampak industri HPH dan
KP akan berdampak pada menurunnya daya serap
air, daya serap karbondioksida, daya produksi oksi-
gen, dan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Bila
ini terus berlanjut maka tidak menutup kemungkinan
krisis air bersih dan problematika lingkungan yang
terjadi kini akan mengalirkan air mata di masa
mendatang (baca: kesulitan dan penderitaan).
2. FENOMENA BISNIS SEKTOR KEHUTANAN
CENDERUNG TIDAK SUSTAINABLE
Mengapa bisnis sektor kehutanan
cenderung tidak sustainable?. Pada level permu-
kaan, terdapat isu semisal menyusutnya
sumberdaya alam (resources) dan kerusakan
lingkungan yang menyertainya dan semua ini tak
kurang aktualnya meskipun sudah terus-menerus
diperbincangkan (Zohar dan Marshall, 2006: 37-8).
Menilai keberhasilan suatu bisnis tidak cukup
dengan indikator ekonomi (seperti tingkat
produktivitas, efisiensi, dan laba) sebagai indikator
keberhasilan manajer maupun korporasi. Perlu
indikator lain yang menjelaskan dampak positip dan
negatif terhadap lingkungan.
Paradigma yang menempatkan manusia
dan alam sebagai yang terpisah, manusia sebagai
subyek dan ukuran kepentingan, dan alam sebagai
obyek eksploitasi, dipandang hanya sebagai
barang/komoditas ekonomi semata (teori
antroposentrisme). Konsekuensinya ialah eksploitasi
dan pemanfaatan alam yang sebesar-besarnya
untuk kepentingan manusia menjadi sah dan wajar.
Benar-benar alam direduksi pada fungsi tunggal,
yakni barang ekonomi sebagai alat pemuas kebu-
tuhan manusia. Maka, alam yang mestinya dijaga
kelestariannya telah menjadi jarahan dan pesta pora
kepentingan.
JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1544
Gambar 05. “One Day Son, all of this will be yours” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www.CartoonStock. com.
Fenomena kelangkaan bahan baku berkait
pada kerusakan hutan akibat pembalakan liar (ilegal
logging) dan kesalahan manajemen kehutanan
semakin mempersulit eksistensinya. Di tambah lagi
sulitnya modal terkait keengganan perbankan
mengucurkan dana. Perbankan menilai industri
kehutanan dengan rapor merah akibat pelbagai
kasus keterlibatannya dalam kesalahan manajemen
di waktu lalu. Kemudian industri sejenis di Malaysia
dan China yang telah mampu mengganti mesin-
mesin industri berteknologi mutakhir. Kedua negara
pesaing itu dapat berproduksi dengan lebih efisien,
sehingga harga jual produk lebih murah dan diminati
oleh pasar internasional.
Fenomena lain, sudah bukan rahasia lagi,
bila industri kehutanan jadi bulan-bulanan lewat ber-
bagai pungutan yang ilegal sehingga keuangan
entitas tidak aman. Bila menengok ke belalakang,
kondisi usaha sektor ini di tahun 2005 jauh lebih
baik. Tahun itu, masih terdapat 25 industri yang
beroperasi dengan 60.000-an pekerja, dengan
kapasitas produksi 75-80% atau rata-rata dua kali
lipat dari kondisi saat ini. Sampai akhir 2008, ting-
gal tersisa 7 industri yang masih beroperasi yaitu;
Intracawood Manufacturing, Idec Alwi, Tirta Maha-
kam, Balikpapan Forest Industry, Rimba Raya
Lestari, Inne Dong Hwa, Sumalindo Lestari Jaya.
Ketujuh industri tersebut tetap berproduksi dengan
kapasitas produksi 30%. 3
Entitas yang sejak awal telah menunjukkan
kekuatannya dengan memegang tiga syarat, yakni
modal (capital), kekuasaan (power) dan Hak
(legality). Dengan syarat itu ia memiliki keleluasaan
mengelola kekayaan alam dan menjualnya ke pasar
lokal dan internasional. Dari sini, entitas dapat
3 Kompas.com. Ketua Apkindo Kaltim Taufan Tirkaa-
miana,“Tersisa Tujuh Perusahaan Kayu Lapis di Kaltim” 1 Maret 2009. Diakses 19 Oktober 2009.
dinilai berhasil mencapai tujuan pendiriannya „profit
oriented’.
Tuntutan yang semakin kuat dari negara-
negara pasar produk atas praktik bisnis yang ber-
basis sustainable development tidak bisa
diremehkan. Meningkatnya tekanan pada mas-
yarakat negara berkembang untuk menerapkan
standar serupa dengan negara maju, maka
komitmen untuk kembali pada lingkungan menjadi
suatu pilihan tepat, apalagi 75% hasil penjualan
diperoleh dari hasil ekspor. Namun apa yang terjadi,
dampak krisis 2008:
Harus diakui menjadi pionir sustainable
forest management tidak selamanya menjanjikan
kinerja keuangan yang bagus. Ini terlihat di tahun
2008 entitas mencatatkan kerugian bersih Rp262,5
miliar, dibandingkan laba bersih di tahun 2007
mencapai Rp27,6 miliar (Kompas.Com. 24 Mei
2009).
Fenomena ini karena ketergantungan yang
cukup tinggi pada pasar ekspor, dan sifat produk
yang berkait dengan industri properti yang meng-
alami perlambatan signifikan di berbagai negara
dampak krisis. Dari fenomena tersebut, manajemen
berkeyakinan bila praktik bisnis yang sustainable
harus memperhatikan quardrangle bottom line.
Tentunya dengan catatan hal ini mendapat
dukungan penuh dari pemerintah sehingga praktik
sustainable forest management tidak menjadikan
entitas yang menerapkan menjadi kehilangan
kemampuan bersaing.
3. FENOMENA KECENDERUNGAN MINAT DAN
KESADARAN KONSUMEN BERALIH KE
PRODUK KAYU BERBAHAN BAKU DARI
HUTAN LESTARI
Fenomena terkini, negara tujuan ekspor,
khususnya terhadap produk yang dihasilkan dari
eksploitasi hutan menyaratkan adanya audit
lingkungan dan laporan lingkungan. Masyarakat
konsumen menyaratkan entitas memiliki label
produk yang ramah lingkungan (melakukan audit
lingkungan dan laporan lingkungan). Di luar negeri
seperti di Inggeris, ada investor yang tergabung
dalam social responsible investor (SRI) yang hanya
membeli saham bila entitas itu tidak hanya membuat
laporan keuangan tapi juga menyiapkan laporan
sustainability (Darwin, 2007: 12).
Laporan sustainability membutuhkan
payung, apa payungnya? yakni “Masyarakat dan
Pasar”. Bila dua payung ini bersinergi tidak menutup
kemungkinan kesadaran perlunya laporan keber-
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1545 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
lanjutan akan tinggi seperti di luar negeri. Laporan ini
pada dasarnya tergantung kiri, kanan, atas dan
bawah. Atas adalah pelanggan, bawah adalah
supplier, kanan dan kiri adalah kompetitor atau
pesaing dan masyarakat.
Kecenderungan minat dan kesadaran dari
konsumen beralih ke produk kayu berbahan baku
dari hutan lestari (eco-product atau eco-solution
product) merupakan fenomena baru yang men-
cerminkan kesadaran manusia akan perlunya
kelestarian. Hal ini telah lama dicermati dan disikapi
oleh segenap jajaran manajemen sampai pekerja di
lapangan untuk menciptakan produk ramah ling-
kungan dan berpihak pada kelestarian. Komitmen
kelestarian memastikan bahwa salah satu teknis
pengelolaan hutan lestari adalah melakukan imp-
lementasi Chain of Custody (CoC). Program ini
bertujuan untuk menjaga dan menverifikasi asal-usul
(wood legaly verification and timber tracking) dengan
memanfaatkan penerapan teknologi tinggi yaitu
barcode system (BS). Dengan BS dapat dilakukan
update data kayu online dari areal hutan sampai ke
industri pengolahan.
Komitmen pada kelestarian hendaknya
bukan sekadar upaya ikut-ikutan tren ”go green”
yang sedang populer. Konsep dan praktek bisnis
idealnya dan seharusnya dikonstruksi dalam desain
yang holistik dan ekologis, yakni memperhatikan
kepentingan dan mempertahankan eksistensi bentuk
keberadaan yang ada dalam alam. Kesejahteraan
yang dibangun harus dilihat dan ditempatkan dalam
suatu harmoni kehidupan yang sebanding antar
semua spesies dan tidak hanya pada suatu bentuk
akumulasi modal (materi) untuk dominasi kepen-
tingan manusia (entitas) dengan mengabaikan
kelestarian. Kesadaran pentingnya keseimbangan
dengan alam harus diupayakan untuk meredam dan
meminimalkan dampak negatip dari aktifitas
ekonomi entitas.
Gambar 06. “G + N Accountants” 2007 © Original Artis Reproduction rights obtainable from
www.CartoonStock.com
Laporan keuangan sebagai representasi
dari entitas juga merupakan sebuah proses
perubahan konsep ideologi masyarakat modern
yang abstrak menuju dalam bentuk-bentuk
kongkret. Terlihat dari tujuan laporan keuangan
yang hanya ingin menyenangkan para pemegang
saham dengan menunjukkan laba yang tinggi. Bila
demikian ideologi kapitalisme telah menjangkiti
dalam proses penyusunan laporan keuangan, hal
ini berdampak pada pemitosan tentang kinerja
entitas yang dapat dikatakan berhasil yaitu dengan
membukukan laba yang tinggi. Jika terus
dilanjutkan dan menjadi pedoman bagi para
akuntan maka akan mempunyai konsekuensi yang
tidak bisa dihindari, yaitu segala upaya akan
dilakukan demi mengejar laba yang tinggi agar
pemegang saham dapat tersenyum lega.
4. FENOMENA DEFORESTASI DAN DEGRADASI
HUTAN DISINYALIR PEMICU KERUSAKAN
LINGKUNGAN (HUTAN)
Pengaturan hasil hutan dalam sistem
pengelolaan hutan produksi di Indonesia kembali
menjadi fenomena yang penting. Adanya wacana
pengurangan jatah tebangan atau yang lebih dikenal
dengan istilah “soft landing” dari Departemen
Kehutanan RI dipandang sebagai salah satu upaya
untuk mengurangi degradasi hutan. Saat ini,
Propinsi Kalimantan Timur pada era desentralisasi
mengalami perubahan dalam pengelolaan
sumberdaya.
Kalimantan Timur yang terdiri dari 14
daerah tingkat dua (kabupaten/kota). Perubahan
yang terjadi seiring dengan visi dan misi di masing-
masing daerah kabupaten/kota, diyakini sebagai
salah satu usaha untuk mempercepat peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah dan
pembangunan di wilayah kabupaten baru.
Pengembangan tersebut dimungkinkan daerah
dapat lebih intensif memperhatikan dan mengawasi
sepak terjang masyarakat dan para pengusaha HPH
maupun pengusaha KP dalam melakukan aksinya.
Faktanya, tidak malah menjadi lebih baik
“raja-raja kecil di daerah” sepertinya bersikap balas
dendam atas apa yang telah diperbuat terhadap
sumberdaya alam di daerahnya oleh “raja-raja besar
di pusat pada masa lalu”. Fenomena kerusakan
hutan karena deforestasi dan degradasi, disinyalir
karena perilaku dari masyarakat, pangusaha dan
penguasa di daerah yang lebih berfikir bagaimana
mencapai kepentingan ekonomi tanpa memper-
dulikan dampak yang ditimbulkan dari kerusakan
JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1546
lingkungan. Namun demikian tidak berarti tanggung
jawab pada lingkungan (ekologi) menjadi wewenang
kabupaten/kota sendiri:
Deforestisasi yang mengancam, salah
satunya akibat dari awal mula pengelolaan sumber
daya hutan Indonesia telah bermasalah. Peng-
elolaan hutan Indonesia diserahkan pemerintah ke
entitas yang mengajukan izin pengelolaan. Peng-
elolaan pihak swasta dengan izin pemanfaatan HPH
inilah yang disinyalir telah meluluh lantakkan hutan
hijau Indonesia” (Ikhsan, 2008).
Deforestasi di Indonesia sebagian besar
akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang
korup, yang menganggap sumberdaya alam,
khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan
untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi.
Pertumbuhan industri pengolahan hasil kayu dan
perkebunan di Indonesia terbukti sangat meng-
untungkan selama bertahun-tahun, dan keuntu-
ngannya digunakan oleh rejim sebagai alat untuk
memberikan penghargaan dan mengontrol kroni,
teman, dan mitra potensialnya. Pertumbuhan eko-
nomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan
secara berkelanjutan (sustainable) dan hak
penduduk lokal. Fenomena yang terjadi dampak
ketidaklestarian ini adalah: 4
a. Banyak HPH melanggar pola tradisional hak kepe-
milikan lahan. Akuntabilitas pengelolaan hutan
sangat lemah, banyak hutan dieksploitasi berlebi-
han. Menurut klasifikasi pemerintah, hampir 30%
konsesi HPH masuk kategori "sudah ter-
degradasi".
b. HTI dipromosikan besar-besaran dan disubsidi
sebagai cara menyediakan pasokan kayu bagi
industri pulp di Indonesia. Hampir 9 juta ha lahan
sebagian besar ialah hutan alam, telah dialokasi-
kan untuk pembangunan hutan tanaman industri.
Lahan ini telah ditebang habis atau dalam waktu
dekat akan ditebang habis. Namun hanya 2 juta
ha ditanami, sisanya 7 juta ha menjadi lahan
terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
c. Lonjakan perkebunan kelapa sawit, merupakan
penyebab lain deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan
dikonversi menjadi perkebunan hingga akhir 1997,
terus bertambah tiap tahun dan hutan ini hampir
dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi
lahan yang benar-benar dikonversi ke perkebunan
sawit hanya 2,6 juta ha, dan perkebunan baru
untuk tanaman keras luasnya mencapai 1-1,5 juta
4 Indonesian Forestry Sector: Discusson of Data Analysis and
Current Policy Issues. Presentasi oleh EPIQ/NRM of USAID pada Winrock International, Arlington, VA. 1 Agustus 2005.
ha. Sisanya 3 juta ha lahan yang sebelumnya
hutan kini terlantar.
d. Produksi kayu dari konsesi HPH, hutan tanaman
industri dan konversi hutan secara keseluruhan
menyediakan kurang dari setengah bahan baku
yang diperlukan industri perkayuan di Indonesia.
Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangan-
nya dipenuhi dari ilegal logging. Pencurian skala
besar dan merajalela di Indonesia; setiap tahun
50-70% pasokan kayu untuk industri ditebang
secara ilegal.
e. Peran petani tradisional skala kecil, dibandingkan
dengan penyebab deforestasi lainnya, merupakan
subyek kontroversi yang besar. Dari tahun 1990
bahwa para peladang berpindah mungkin bertang-
gung jawab sekitar 20% hilangnya hutan. Data ini
diterjemahkan pembukaan lahan sekitar 4 juta ha.
f. Program transmigrasi, sejak 1960-an sampai akhir
Orba, memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke
pulau lainnya. Program ini diperkirakan Dephut
membuka hutan hampir 2 juta ha selama periode
tersebut. Juga, para petani kecil dan penanam
modal skala kecil oportunis juga ikut andil
penyebab deforestasi, mereka membangun lahan
perkebunan sawit dan coklat.
g. Pembakaran secara sengaja oleh pemilik per-
kebunan skala besar untuk membuka lahan, dan
masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan
atau kegiatan HPH mengakibatkan kebakaran
besar yang tidak terkendali. Lebih dari 5 juta ha
hutan terbakar tahun 1994 dan 4,6 juta ha tahun
1997-1998. Sebagian besar lahan tak terurus dan
kini tumbuh menjadi semak belukar.
Praktik penanganan dampak purna
pembalakan dalam upayanya mempertahankan
kelestarian, ternyata tidak sepenuhnya mampu
mengembalikan fungsi dan martabat hutan sebagai-
mana sebelum dijamah dan di eksploitasi oleh
manusia. Upaya yang dilakukan seperti penuturan
dari Bapak “AM” bahwa, Pendekatan untuk meng-
urangi dampak degradasi dan deforestasi hutan
pasca pembalakan dilakukan melalui tiga pen-
dekatan, yaitu: 1) pendekatan untuk penutupan
lahan dan sifat fisik tanah; 2) pendekatan untuk
memperbaiki struktur vegetasi, potensi dan kondisi
flora; dan 3) pendekatan silvikultur pengelolaan
hutan tanaman produksi. Memerlukan waktu yang
lama, tenaga dan biaya tidak sedikit untuk mengem-
balikan fungsi hutan sebagaimana sebelumnya.
Keperawanan hutan yang telah direnggut manusia
(entitas) harus dikembalikan fungsinya sebagai
hutan yang menghidupi seluruh penghuninya.
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1547 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
Komitmen dan tanggung jawab mengem-
balikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia men-
jadi penting, hutan dan sumberdayanya tidak hanya
diperuntukkan untuk kepentingan generasi masa kini
namun juga generasi masa datang. Adalah relevan
untuk mengkaji kembali cakupan tentang tanggung
jawab entitas dengan mengacu pada konsep stake-
holder dalam pengertiannya yang luas. Stakeholder
yang tidak hanya mereka yang mempunyai
kekuasaan dan legitimasi, tetapi juga berbagai
komponen yang memiliki kepentingan atas
keberadaan entitas. Dengan model/konsep seperti
ini, maka akan memungkinkan suatu konsep
tanggung jawab yang lebih akomodatif dan memper-
hitungkan kepentingan semua pihak, baik manfaat
yang akan diterima maupun potensi negatip yang
akan terjadi.
Akuntansi sebagai salah satu media informasi
entitas bisnis, yang merekam setiap aktifitas
ekonomi perusahaan sudah pada tempatnya bila
para pelaku ekonomi perusahaan menyajikan suatu
bentuk laporan yang mencerminkan keberpihakan
dan kepedulian yang tidak semata berorientasi pada
kepentingan stakeholer namun juga berorientasi
pada kelestarian laingkungan.
SIMPULAN
Melalui paradigma interpretif diketahui
bahwa: Komitmen entitas untuk melakukan bisnis
secara lestari yang didasarkan pada prisip “keadilan
yang seimbangan”, artinya “apa yang bisa diambil
dari alam harus ada yang bisa ditanam”; komitmen
ini nampak baru sekedar pada tataran wacana yang
belum menjadi fakta. Bila entitas diibaratkan
sebagai tempat “penampung air (tandon air)” maka
perlu dibuat pipa-pipa yang dapat menghubungkan
ke kran-kran air, artinya “apa yang dapat dinikmati
shareholders harus juga dapat dinikmati oleh stake-
holders”. Model interaksi sosial yang dibangun lebih
sebagai kamuflase agar entitas mendapat dukungan
dari lingkungan sosialnya; Hasil peneropongan pada
konsep „QBL‟ dimensi kinerja lingkungan disadari
maupun tidak telah mewarnai sikap individu maupun
kelompok dalam penyesaian satuan pekerjaan
(praktik akuntansi).
Dari berbagai fenomena yang ada perlu
diyakini bila praktik bisnis yang sustainable harus
memperhatikan kelestarian ekologi, dengan catatan
hal ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah
sehingga praktik sustainable forest management
tidak membuat entitas yang menerapkan menjadi
kehilangan kemampuan bersaing; Implementasi
konsep qurdrangle bottom line dimensi environ-
mental performance yang dibangun idealnya karena
dorongan „kebutuhan‟ bukan „kewajiban‟, sehingga
lebih bermakna dalam membangun harmonisasi
antara shareholders dan stakeholders.
SARAN
Model penelitian seperti ini hendaknya tidak
berhenti sampai di sini. Sebagai penganut
paradigma post-positivisme [kualitatip]. Dengan
tetap memperhatikan dinamika pada konteks
lapangan, maka model penelitian ini tidak dimaksud-
kan untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat
generalisasi atas fenomena pada umumnya. Suatu
praksis tentu memiliki keunikan tersendiri yang
dimungkinkan berbeda satu entitas dengan lainnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, saran yang dapat
disampaikan adalah:
Dimensi Internal, Perluasan dimensi per-
tanggungjawaban entitas perlu ditingkatkan dengan
lebih tepat guna, karena bila dalam suatu lingkungan
entitas bertumbuh jurang pemisah antara si-kaya
dan si-miskin berarti kontribusi pada lingkungan
sosial melalui program CSR perlu ditinjau kembali;
Dimensi Eksternal, Secara personal
kepedulian pada lingkungan bisa mulai sejak dini
melalui pendidikan formal, non-formal maupun
informal; melalui majelis taklim, ceramah, pelatihan,
seminar dan lainnya. Di lingkungan pendidikan
formal, sudah saatnya pemerintah memasukkan
materi seputar upaya pelestarian lingkungan pada
mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup,
sebagai mata pelajaran wajib, bukan sekadar
muatan lokal, dari mulai tingkat dasar hingga
Universitas. Di Perguruan Tinggi, praktik reboisasi
bisa dimasukkan satu paket dalam program KKN
mahasiswa. Mahasiswa turut mendorong sekaligus
terlibat dengan masyarakat dalam proses reboisasi
hutan.
Di lingkungan pendidikan non-formal dan
informal termasuk pesantren dan majelis taklim,
para ustad sudah saatnya diberi informasi mengenai
kerusakan alam yang memprihatinkan. Kemudian
mereka didorong untuk menanamkan kepedulian
pada lingkungan, khususnya kelestarian alam.
Pemahaman pada para santri dan jamaahnya
sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama,
dalam posisi mereka sebagai khalifatullah fil ardh.
DAFTAR PUSTAKA
Burrell, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Soci-ological Paradigms and Organisational
JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Riset / 1548
Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann.
Capra, Fritjof. 2002a. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi Dan Kehidupan, Terje-mahan (Pasaribu). Yogyakarta. Penerbit Fajar Pustaka Baru,.
Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban, Ter-jemahan (Thoyibi), Yogyakarta. Penerbit Bentang Pustaka.
Chawastiak, M. and Young J.J. 2003. Silences An-nual Reports, Critical Perspectives on Accounting, 14, 533-552. Albuquerque, NM 87131, USA.
Daniri, Mas Achmad. 2008. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Di akses 18 Agustus.
Darwin, Ali. 2007. Sustainability Reporting: Kom-petensi Baru Akuntansi Manajemen, Maka-lah Seminar Nasional, Nop. UB. Malang.
Darwin, Ali. 2007. Audit Lingkungan Keharusan?. Majalah Akuntan Indonesia, edisi No. 3/Tahun I/ Nop, h. 12.
Elkington, John. 1997. Can-nobals with forks, Gab-riola Island, British Columbia, Canada. New Society.
Gorz, Andre. 2003. Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Cetakan ke-2 Yogyakarta. Penerbit Insist. Press.
Global Reporting Initiative (GRI). 2000. Sustainability Reporting Guidelines on Economic, Environ-mental and Social Performance, June, New York, GRI.
Harahap, Sofyan S. 2004. Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta, penerbit Buku Baik.
Hilman, Masnellyarti. 2007. Akuntansi Indonesia. Mitra dalam Perubahan. Edisi No.3/Tahun I/Nop. h. 17.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.01 Tentang Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan. Jakarta, penerbit Salemba Empat.
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.32 Tentang Akuntansi Kehutanan. Jakarta. Penerbit Salemba Empat.
Indriantoro, Nur, dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis, untuk Akun-tansi dan Manajemen. Yogyakarta, penerbit BPFE.
Ismawan, Indra. 1999. Risiko Ekologis di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Yogyakarta.
Kaltim Pos. 2009. Kota Tepian Sakit Parah. Kaltim Pos. 21 April. h. 27.
Kam, Venon. 1990. Accounting Theory. Secend edition. New York: John Wiley and Sons.
Kerap, A. Sonny. 1997. Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta, penerbit Kanisius.
Lako, Andreas. 2008. Akuntansi CSR, Majalah Swa, No 02/XXIV/24 edisi Jan - 5 Feb.
Letiche, Hugo. 2006. Relationality and Pheno-menological Organizational Studies. Tamara Journal Vol 5 Issue 5.3 2006: pp.7-18.
Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Rohidi) dari Qualitative Data Analysis. Jakarta: penerbit UI.
Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit Remaja Rosdakarya.
Morgan, Gareth. 1988. Accounting as Reality Con-strucntion: Towards a New Epistemology for Accounting Practice. Accounting Organiza-tions and Society, Vol. 13 No. 5: 477-485.
Muhadjir, Noeng. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta, penerbit Rake Sarasin.
Parsa S. dan R. Kouhy. 2002. Disclosure of Social Information by UK Companies-ACose of Legitimacy Theory.Global Business and Economics Review-Anthology. 460.473.
Poerwanto 2007. Budaya Perusahaan, Yogyakarta, penerbit Pustaka Pelajar.
Puspawardhani, Verena. 2008. World Wild Fund
(WWF) Indonesia_di BandaAceh_http://www.-
detik.com Sabtu (30/6/2008), diakses Agustus.
Rahman, Taufik. 2008. Ancaman Krisis Energi dan Corporate Sustainability. Lingkar Studi CSR. Bogor.
Sayekti, Yosefa dan Ludavicus Sensi Wondabio. 2007. Pengaruh CSD Disclosure terhadap Earning Response Coefficient (Suatu studi empiris pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia. SNA X, Unhas, Makasar.
Sukoharsono, Eko Ganis. 1998. Accounting in a „New‟ History: A Disciplinary Power and
http://www.karyailmiah.polnes.ac.id
Riset / 1549 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605
Knowledge of Accounting, International Journal of Accounting and Business Society, Vol 6, No 2.
Sukoharsono, E.G. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnography, dan Case Study. Pelatihan Metodologi Penelitian. Program A3 Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang. Mei.
Sriyanto. 2007. Akuntansi Hijau Sarana Pende-teksian Dini Bencana Lingkungan. Jurnal “Akuntan Indonesia” ed. 3 (I), Nop. 23-26.
Tribun Kaltim. 2009. Nilai Ekspor Plywood Anjlok 54 persen. http://tribunkaltim, 28 April, di akses 26 Oktober.
Triyuwono, Iwan. 2006. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. Jakarta, Raja Gra-findo Persada.
Triyuwono, I. 2009. Spiritualitas Manunggaling Kawula Lan..: Prinsip dan Jalan Menuju Praktik Akuntansi dan Bisnis yang Islami. Seminar Nasional Akuntansi “Tiga Pilar Standar Akuntansi Indonesia”. FE. UB Malang, Juli.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas.
Wardana, Isar. 2009. Dialog TVRI Kaltim bersama Wahana Lingkungan Hidup, Bekerja sama dengan HKTI Kaltim, Juni.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2006. Spiritual Capital, Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terjemahan, Helmi Mustofa, Ban-dung, penerbit Mizan Pustaka. #