aku bangga menjadi guru

113
AKU BANGGA MENJADI GURU TITIN SUPRIATIN

Upload: titin-supriatin

Post on 20-Jul-2015

1.506 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Aku bangga menjadi guru

AKU BANGGA MENJADI GURU

TITIN SUPRIATIN

Page 2: Aku bangga menjadi guru

Aku Bangga Menjadi Guru

Titin Supriatin

EditorBaihaqi Nu’man

Desain SampulAanKhan.com

Tata LetakArkhanuddin

Penerbit: Lentera Ilmu CendekiaCetakan Pertama: Januari, 2012

PENERBIT LENTERA ILMU CENDEKIA

Jln. Kramat Raya No. 7-9 Senen Jakarta Pusat

Telp. 021-315 6126 Fax. 021-315 6126

e-mail : [email protected]

ISBN : 978-602-8969-52-9

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta 1987, Pasal 441. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

suatu ciptaan atau memberi ijin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyerahkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Page 3: Aku bangga menjadi guru

UUcapan Terima Kasih

Dengan segenap rasa, kuhadiahkan karya sederhana ini untuk:

Mimih Arisah, Almarhum Abah Sutomo, Emih Sukaesih

Sumasasmita, kakak dan adikku, terima kasih atas curahan doa, cinta dan kasih sayang yang telah menghantarkanku menjadi seperti sekarang ini.

Suami dan ayah anak-anakku, terima kasih telah mendampingi dan menemaniku melewati hari-hari.

Dengan segala ketegasan dan perhatianmu yang membuatku semakin dewasa dan berani bermimpi besar.

Anak-anakku sayang: Teteh Fida, A Azzam, A Miqdad dan De Zara. Terima kasih telah mewarnai hari-hari ibu lewat

keributan dan kelucuan yang kalian berikan kalianlah motivasi dan inspirasi terbesar ibu.

Dan untukmu, wahai para pejuang pendidikan, Tetaplah berkarya, mendidik dan mencerdaskan anak bangsa.

Sungguh, Aku Bangga Menjadi Guru!

Page 4: Aku bangga menjadi guru

4 Aku Bangga Menjadi Guru

“Rasulullah SAW adalah guru, maka jangan pernah berhenti menjadi guru kapan dan di mana kamu ada. Melalui kreativitas guru mari songsong karya-karya siswa sebagai sebuah ajang prestisius dalam kancah pendidikan. Jagalah anak didikmu, niscaya Allah akan menjagamu.”(Bunda Khobzah, -Manager Pendidikan LPIT Thariq Bin Ziyad)

Neng Titin Supriatin yang saya kenal. Dari namanya, eta mah Sunda. Namun, nama Titin saya pahami sebagai bahasa Jawa dari kata “titen”, yang memiliki arti orang yang sangat teliti atau yang suka “niteni” (memperhatikan) sesuatu (walaupun sepele) dan kemudian diramu dalam rangkaian kata (tulisan) yang inspiratif. Tulisan-tulisan dalam buku “Aku Bangga Menjadi Guru” banyak bersumber dari hal-hal atau pengalaman yang “sepele” (baca:sederhana) yang kemudian dengan kepiawaian kepenulisannya menjadi sebuah karya yang enak dan perlu dibaca karena selalu menimbulkan inspirasi bagi para pembacanya.(Drs. Hadhy Slamet Riyanto, Ak.MM. -Kepala Divisi Akuntansi PT. Indonesia Power, Manajer Umum LPIT Thariq Bin Ziyad)

Membaca buku ini menjadi keharusan bagi anak-anak kita, agar tertarik menjadi guru bangsa. Guru-guru yang mempunyai kompetensi, idealisme, yang bangga akan profesinya sangat dibutuhkan oleh bangsa ini untuk kejayaan di masa yang akan datang.(H. Moh. Ikhlas Sunandar, SE. -Wiraswasta)

Page 5: Aku bangga menjadi guru

5Aku Bangga Menjadi Guru

Sepatutnya kita mencium tangan guru-guru kita karena berkat jasanya kita bisa seperti ini. Saya Sangat appreciate terhadap Bu Titin yang telah mendedikasikan dirinya dalam dunia pendidikan. Materi bukan segala-galanya dalam hidup, maka menjadi seorang guru adalah satu panggilan mulia untuk berkarya.(H. Maman Rukmana, -Dirut. PT. Karsa insan Prakarsa Mandiri / Alumni STIP/ Guru)

Sangat apresiatif atas rencana sahabat saya yang ingin menerbitkan tulisannya menjadi buku, semoga hal ini menjadi inspirasi dan motivasi khususnya bagi saya pribadi, sebagai redaktur /saat itu masih sekretaris redaksi Tabloid Inta’jiah. Semoga langkah Bu Titin ini menjadi motor penggerak untuk terbentuknya “Komunitas minat dan bakat budaya baca, tulis dan cerita” yang diwacanakan di kalangan guru. Inilah salah satu karya dari guru menulis. Teruslah berkarya wahai para guru.(Dimyat, S.Ag. -Ketua PGSI kota Bekasi)

Kadang-kadang hal-hal kecil membuat kita terinspirasi, entah itu lewat anak-anak atau kejadian kecil. Adalah suatu usaha yang patut diacungi jempol (tangan, bukan kaki) untuk mengungkapkan kepada khalayak ramai sebagai pengingat dan pembelajaran menuju kebaikan. Terima kasih Bu Titin, sudah memberikan sebuah inspirasi dan pencerahan lewat tulisan-tulisannya. (H. Didin Wahidin, ST. Operating & Maintenance Exchange PT. Telkom)

Page 6: Aku bangga menjadi guru

6 Aku Bangga Menjadi Guru

14 tahun bersama berjuang di Thariq Bin Ziyad membuat saya begitu kental mengenal penulis. Seorang guru yang sederhana, gigih, dan bersahaja. Tantangan-tantangan dan kegalauan-kegalauan yang dihadapi senantiasa direspon positif hingga terinspirasi menjadi ‘karya-karya’ yang kreatif dan imajinatif. Pun keterampilan paedagogiknya diambil di UT Strata 4, namun jiwa sebagai pendidiknya sudah terpatri sebelum gelar S.P, S.Pd itu diambilnya, karena ia mendidik dengan hati dan cinta yang melahirkan kunci kegiatan belajar mengajar di muridnya yaitu senang dan suka belajar. Tak elak, anak-anak dekat dan dengar semua petuah dan nasihat yang sampaikan. Kesan ini masih teringat ketika di awal masuk menuju SD kelas 1, putri Bu Titin (Fida) masih harus belajar berkomunikasi lebih baik lagi, lebih konsentrasi, maka sang ibu (penulis) dengan sabar terus dan terus melatih dengan jiwa dan cintanya, dengan tangan dan teladannya hingga saat ini Fida tumbuh menjadi anak yang pintar, seimbang dalam intelektual, spiritual, dan emosional, belum lagi pengalaman-pengalaman sebagai pendidik di sekolah yang lebih kaya dan luar biasa.Dan hari ini, semua yang dirasa penulis itu ada dalam karya “Aku Bangga Menjadi Guru” semoga menjadi inspirasi bagi kita semua khususnya para praktisi pendidikan agar dengan membaca tulisan dan pengalaman yang tertuang dalam tulisan ini bisa memperkaya hati/jiwa dan pikir kita, amiin. Selamat Bu Titin, positive thinking make you better.(Siti Rohayati, S.Pd. Kepala Sekolah SDIT Thariq Bin Ziyad PHP)

Page 7: Aku bangga menjadi guru

7Aku Bangga Menjadi Guru

Seorang Guru adalah Seorang Inspirator Kehidupan

Dalam tulisan ini saya akan bercerita tentang seorang murid Sekolah Dasar, kelas V. Meski sangat belia umurnya, tapi kedewasaannya leboh matang dari usianya. Dia menjadi pengasuh yang matang untuk adik-adiknya. Dia jadi pemelihara rumahnya. Dia jadi role model tak hanya bagi adiknya, tapi juga bagi teman-temannya.

Bahkan ketika kedua orangtuanya berhaji, sang anak yang sedang kita bicarakan ini yang menjadi penjaga, pengasuh, adik dan rumahnya selama ditinggal. Dia seorang anak yang bertanggung jawab dan sangat penuh pengertian.

Singkat cerita, beberapa saat kemudian anak yang sedang kita bicarakan ini sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk. Saya tak tahu pasti sakit apa yang diderita dan menyerangnya. Tapi yang saya tahu, karena kesehatannya terus memburuk anak ini akhirnya dilarikan ke rumah sakit.

Beberapa waktu setelah di rumah sakit, kesehatannya tidak stabil, bahkan cenderung menurun. Saya ingin sedikit berbagi cerita tentang kisah selama anak kota ini berada di rumah sakit. Dia berinteraksi dengan sangat manis bersama para pasien yang lain, dengan orang-orang yang menjenguknya, juga dengan dokter dan perawatnya. Semua orang jatuh hati.

Ketika dirawat dia terus menerus meminta orang-orang di sekelilingnya agar membaca Al-Qur’an untuknya. Dia

Page 8: Aku bangga menjadi guru

8 Aku Bangga Menjadi Guru

merasa tenang, begitu katanya.Bahkan ketika kesehatannya memburuk, dan anak

perempuan kita yang satu ini harus menjalani perawatan intensif di ICU, dia bertanya kepada para suster yang merawatnya. “Suster hapal surat? Tolong bacakan Al-Qur’an untuk saya.”

Para dokter juga diminta dengan pertanyaan yang sama. Begitu juga orang-orang yang menjenguk dan membesuknya.

Kepada semua orang yang datang, anak gadis kita ini berpesan dan selalu berkata agar jangan lupa membaca Al-Qur’an. Harapan orang-orang tercinta di sekelilingnya adalah kesehatan dan kembali seperti sedia kala. Tapi Allah berkehendak lain, anak gadis tercinta ini akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Dia kembali kepada-Nya setelah meninggalkan banyak pesan kepada orang-orang tercinta di sekelilingnya agar tak putus untuk membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya. Anak gadis kita yang terkasih ini meninggalkan kita dengan cara yang terbaik, insya Allah, semoga rahmat Alah mengelilinginya selalu di sini, juga di sana.

Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana cara mendidik dan membesar anak gadis sehingga seperti dia. Dan kedua orangtua anak gadis ini menceritakan, salah satu yang berperan membangun dan membesarkan anaknya menjadi seperti yang dikenal banyak orang, adalah ibu gurunya.

Sang ibu guru sangat berpengaruh dalam kehidupannya. Tidak saja di sekolah, tapi juga di luar sekolah dan di rumah. Kepada orangtua di sekolah, anak gadis kita ini sering

Page 9: Aku bangga menjadi guru

9Aku Bangga Menjadi Guru

mengulang kembali kisah-kisah inspiratif yang ia dapatkan dari ibu gurunya pada kedua orangtua dan keluarganya. Kisah tentang surga dan neraka, kisah-kisah tentang sahabat nabi, kisah tentang pentingnya berjiwa suci, banyak sekali.

Dan pembaca yang budiman, tahukah Anda siapa guru berbudi yang telah sangat berpengaruh dalam kisah hidup anak gadis kita ini? Namanya Ibu Guru Titin Supriatin. Ya, penulis buku ini, buku yang sekarang ada di tangan para pembaca. Dan saya berharap, Anda semua, para pembaca budiman, mendapatkan manfaat yang besar dari buku yang ditulis dengan tulus ikhlas oleh seorang guru yang berbudi tinggi ini.

Saya berinteraksi dengan beliau melalui perjumpaan dalam acara-acara Teachers Working Group, sebuah organisasi tempat kami para guru belajar, menimba ilmu dan memotivasi diri. Menggali cara-cara baru dan menemukan bersama kegiatan-kegiatan yang menarik dan bermanfaat untuk anak murid kami. Dan salah satu program unggulan kami adalah bertema: Aku Bangga Menjadi Guru.

Saya percaya, jika bertemu dan bersilaturahmi, ada banyak hal dan kekuatan besar yang bisa kita temukan dan digali. Termasuk cara untuk mendidik, menunjukkan jalan kebaikan dan kebenaran, membangun karakter dan akhlak mulia anak-anak didik kita.

Buku ini dipersembahkan untuk para guru yang mulia, yang telah membaktikan hidupnya untuk menumbuhkan, merawat dan mengantarkan manusia. Buku ini adalah usaha besar dari penulisnya berbagi inspirasi agar guru menjadi lebih baik lagi. Karena kami percaya, guru yang baik adalah salah satu sumber dari kehidupan yang mulia. Great teachers,

Page 10: Aku bangga menjadi guru

10 Aku Bangga Menjadi Guru

better life. Selamat membaca!Salam hormat saya untuk para guru yang telah

memberikan hidupnya demi kehidupan yang lebih baik bagi manusia. Semoga Allah merahmati dan mencucurkan keberkahan dalam kehidupan para guru kita.

Herry NurdiPresident Teachers Working Group Indonesia

Page 11: Aku bangga menjadi guru

11Aku Bangga Menjadi Guru

Menu Buku Ini

Seorang Guru adtalah Seorang Inspirator Kehidupan 7

Prakata 12

Kita adalah Sang Motivator! 16

Virus “Alamat Palsu” 20

Waktu dan Kreativitas 24

Daster 28

Orangtua Pintar vs Orangtua Hebat 41

Siapa Bilang Nggak Mungkin? 44

Tuhan, Aku Membutuhkan-Mu 48

Bapak Ingin … 56

Mang Daan 61

Pemulung Itu... 65

Belajar Kepedulian pada “IRFAN” 67

Selamat Jalan Pak Karta 72

Aku Pasti Bisa! 80

Bu Titin, I Love You…! 84

Mimpi itu Gratis... 90

Tegar 95

Ya Rasulullah, Aku Rindu Padamu… 100

Aku Bangga Menjadi Guru 106

Profil Penulis 113

Page 12: Aku bangga menjadi guru

12 Aku Bangga Menjadi Guru

PrakataBismillahirrahmanirrahiiim,

Bermula dari sebuah keraguan dalam diri, sebagai seorang sarjana yang berlatar belakang bukan dari bidang kependidikan, muncullah sebuah pertanyaan, “Mampukah saya menjadi seorang guru yang baik bagi murid-murid saya?” Ditambah dengan pula rasa rendah diri yang kadang muncul saat berinteraksi dengan teman lama satu kampus dulu, sarjana pertanian kok jadi guru?

Namun dorongan untuk berinteraksi dengan dunia anak sungguh menggoda saya. Karena dunia mereka begitu indah, polos, dan penuh keceriaan. Hingga akhirnya saya terus bertahan mengajar sampai detik ini. Dan nyatanya, saya telah begitu banyak belajar dari mereka, murid-murid kecil saya. Terima kasih, kalian telah begitu banyak menginpirasi saya.

Beberapa kali saya pernah bertanya pada murid-murid saya, SD maupun SMP, siapa yang bercita-cita menjadi guru seperti saya. Hanya satu dua orang saja yang mengacungkan tangannya. Selebihnya rata-rata bercita-cita menjadi dokter, arsitek, pengusaha, insinyur, dan pekerjaan lain. Pokoknya yang penting bukan guru! Kadang saya malu dan tersenyum kecut mendengar jawaban mereka?

Mengapa kalian tidak ingin menjadi guru Nak? Jawaban mereka, karena ribet, nggak keren, gajinya kecil, murid-muridnya nakal, dan sebagainya. Atau kalau boleh saya bantu jawaban yang tidak tersirat dari mereka adalah “guru itu pekerjaannya tidak enak, sering marah-marahin murid.”

Page 13: Aku bangga menjadi guru

13Aku Bangga Menjadi Guru

Jawaban mereka adalah fakta nyata yang terjadi pada anak-anak negeri ini. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosok idola yang bisa menginspirasi anak-anak untuk menjadi seorang seperti gurunya. Sungguh ironis bukan, andai tak ada lagi generasi penerus para guru sekarang ini.

Buku ini berisi 18 judul yang merupakan kumpulan cataan inspiratif dan ditulis sebagai rangkaian ungkapan perasaan yang saya hadapi selama menjadi guru. Saya belajar mendalami dan memahami serta menjiwai karakter seorang guru idaman. Saya juga ingin berbagi bahwa dunia anak itu lucu, seru, dan menyenangkan. Saya juga ingin berbagi bahwa hal-hal sederhana dalam kehidupan juga dapat dijadikan sebuah pelajaran berharga hingga mampu menginspirasi dan memotivasi semangat untuk berkarya lebih baik baik lagi.

Dalam buku ini tergambar juga sisi kelemahan saya sebagai manusia dan seorang guru. Tidak terlepas dari rasa marah, sedih, kecewa, dan prasangka. Saya hanya ingin berbagi, bahwa ada saat di mana ketika seseorang mengalami kejatuhan dalam karier dan hidupnya, bukan berarti tamatlah sebuah kehidupan. Tapi harus bangkit dan menunjukkan sebuah karya yang lebih baik lagi. Walau hal yang menyadarkan itu sesuatu yang sederhana sekali.

Harapan yang ingin saya capai adalah mengajak pembaca (khususnya para guru) untuk meningkatkan kembali ruh dan motivasi mulia seorang guru dalam tugasnya mendidik generasi bangsa menjadi generasi terbaik. Mengajak para ayah dan bunda untuk memahami sisi manusiawi seorang guru dalam tugasnya mendidik putra dan

Page 14: Aku bangga menjadi guru

14 Aku Bangga Menjadi Guru

putri mereka. Mengajak para pembaca pada umumnya untuk bisa berkontribusi positif dalam dunia pendidikan dalam bentuk apapun. Sehingga dunia anak dan pendidikan akan semakin mengalami kemajuan dan mampu menghasilkan generasi yang saleh dan cerdas.

Dalam kesempatan ini, izinkan saya mengungkapkan rasa terima kasih kepada keluarga besar Thariq Bin Ziyad, teman-teman guru dan sahabat terbaik saya. Miss Inne, Pak Aan, dan tim penerbit, terima kasih atas bantuan, kerja sama, dukungan dan doa hingga buku ini dapat diterbitkan. Sungguh, satu hal tak terduga dalam rencana hidup saya adalah membuat sebuah buku.

Ungkapan rasa terima kasih juga saya hadirkan untuk Mas Herry Nurdi bersama Korps TWG (Teacher Working Group) nya, yang sudah begitu banyak mengispirasi saya dalam membuat tulisan ini. Jargon yang selalu dikumandangkan saat seminar maupun workshop telah menyatu dengan ruh dan jiwa saya sebagai seorang pendidik. Teruslah berkarya membentuk karakter guru bangsa yang tangguh.

Rasa syukur yang paling dalam saya persembahkan pada Allah SWT, Rabb semesta alam yang atas kehendak-Nya lah langkah-langkah ini dimudahkan. Terima kasih ya Allah atas doa dan mimpi yang Kau kabulkan. Semoga karya sederhana ini mampu menginspirasi dunia pendidikan di Indnesia

Bekasi, Januari 2012Penulis.

Page 15: Aku bangga menjadi guru

BERBAGI

Kita adalah Sang Motivator

Mencegah Virus “Alamat Palsu”

Waktu dan kreativitas

Daster

Orangtua Pintar Vs Orangtua Hebat

Siapa Bilang Nggak Mungkin

Tuhan, Aku membutuhkan-Mu

B

Page 16: Aku bangga menjadi guru

16 Aku Bangga Menjadi Guru

Kita adalah Sang Motivator!

“Bu guru Ja’far nangis bu!” Seorang murid perempuanku mengadu.

“Menangis? Memangnya kenapa Git, tumben Ja’far menangis. Coba kamu ajak dia menemui bu guru di sini.” Segera kukemasi beberapa buku yang baru selesai kunilai. Kureka beberapa kemungkinan yang menyebabkan Ja’far menangis. Kulukis sosok muridku yang berbadan paling kecil itu dalam benakku. Ja’far, berkelahikah? Ah, rasanya tak mungkin, Ja’far anak yang baik, tak punya musuh. Terjatuhkah waktu main benteng di halaman? Tapi tadi dia sempat berkata mau ke perpustakaan mencari buku yang tadi kubacakan di kelas. Ja’far gemar sekali membaca. Atau ada hal lain.”

“Nih bu, Ja’farnya.” Gita datang menuntun muridku yang baru kelas satu itu.

“Kenapa Far, ada apa nak? Tumben kamu menangis. Baru kali ini ibu melihatmu menangis. Jagoan kok nangis.” Aku merangkul pundaknya. Ja’far semakin menunduk. Bahunya berguncang semakin keras, menahan tangis. Aku semakin mengeratkan rangkulanku. Aku merasa ada sebuah peristiwa yang pasti sangat melukai perasaannya.

“Kenapa sih? Coba cerita sama bu guru!”“Ja’far malu bu. “ Bisik Ja’far. Kepalanya mendongak ke

arahku, kemudian melirik Gita yang masih ada di sampingnya. Oh… yap! Aku paham.

“Ehm, Gita main di luar dulu ya nak. Biar bu guru menyelesaikan masalah ini hanya berdua dengan Ja’far.

Page 17: Aku bangga menjadi guru

17Berbagi

Terima kasih kamu sudah menolong.” Aku meminta Gita keluar kelas.

Meluncurlah cerita ihwal menangisnya Ja’far. Walau dengan sedikit terbata, akhirnya aku mengerti. Rupanya kaos kaki Ja’far robek, bolong besar malah. Dan itu yang membuat teman-teman menertawakannya. Sementara ayah Ja’far belum bisa membelikan yang baru, karena uangnya terpakai untuk membeli kebutuhan yang lain. Aku mahfum benar, tidak semua muridku berasal dari keluarga yang mampu. Walau sebetulnya sekolah tempatku mengajar diperuntukkan untuk kalangan menengah ke atas, tapi ada beberapa di antara mereka yang masuk karena mendapat keringanan biaya. Jadi, kaos kaki robek bisa menjadi sebuah bahan tertawaan untuk murid-muridku.

“Ja’far, bu guru ingin berbagi cerita sama kamu, maukah kamu mendengarnya?” Sambil menunggu jawaban Ja’far, kucoba mengumpulkan potongan-potongan kisah hidup yang pernah kualami sewaktu kecil dahulu, ah ya… Ja’far mengangguk. Aku pun memulai ceritaku.

“Saat ibu seusiamu, ibu pergi ke sekolah tak pernah memakai sepatu. Ibu hanya memakai sandal jepit. Seragam pun tidak. Padahal teman-teman yang lain memakainya. Awalnya ibu malu sekali. Hampir-hampir ibu minta berhenti bersekolah. Apalagi setiap ibu bertanya pada orangtua ibu kenapa aku nggak dibelikan seragam dan sepatu, mereka bilang belum punya uang. Rasanya sedih sekali tapi ibu sangat ingin bersekolah. Karena ibu ingin menjadi anak yang pintar. Akhirnya ibu bersama kakak laki-laki ibu punya ide berjualan es mambo sepulang sekolah. Kebetulan di belakang rumah ada lapangan bola yang sering dipakai untuk

Page 18: Aku bangga menjadi guru

18 Aku Bangga Menjadi Guru

bertanding, jadi kami bisa berjualan di sana. Alhamdulillah jualan kami selalu laku. Uang keuntungan dari berjualan kami kumpulkan. Akhirnya ibu bisa membeli sepatu dan seragam sendiri, tanpa meminta pada orangtua. Ya, walaupun lama terkumpulnya tapi tidak apa-apa.“

“Ibu tidak malu di sekolah diejek teman-teman ibu?” Ja’far bertanya antusias.

“Ehm… awalnya ibu malu juga kalau ketemu teman saat ibu berjualan es. Tapi lama-lama ibu tidak peduli, ibu mencari uang dengan halal kok, tidak mencuri, yang penting bisa terus bersekolah memakai seragam dan sepatu. Alhamdulillah, ibu selalu masuk tiga besar di sekolah dahulu.”

Air mata Ja’far menyurut. Mata bulatnya menatapku penuh takjub. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin Ja’far membayangkan Bu Titin kecil yang sedang berkeliling lapangan menjajakan es sambil berteriak : “Es… es…,” atau membayangkan Bu Titin kecil yang sedang diejek teman-temannya karena ke sekolah tidak memakai seragam dan sepatu. Ah, entahlah. Yang jelas, Ja’far mulai tersenyum malu. Kemudian menyeka hidung dan pipinya yang basah.

“Terima kasih ya Bu Titin. Kalau ibu bisa seperti itu, aku yakin aku juga bisa seperti itu. Boleh kan aku juga berjualan di sekolah?”

“Oh, tentu saja boleh…!” Subhanallah. Tak sampai dalam hitungan menit, Ja’far

sudah tertawa ceria bersama temannya yang lain. Melupakan kesedihan dan ejekan teman-temannya. Melupakan aku yang duduk termenung sendirian sambil tersenyum. Duhai Rabb Yang Maha Sempurna dalam penciptaan. Alangkah sederhananya pekerjaan “menyembuhkan” luka hati

Page 19: Aku bangga menjadi guru

19Berbagi

seorang anak kecil. Tak butuh energi yang banyak. Tak perlu teriakan amarah. Tak ada uang yang harus dikeluarkan. Yang diperlukan hanyalah telinga untuk mendengar dengan penuh kesabaran. Yang diperlukan hanyalah senyum tulus dan pengakuan. Yang diperlukan hanyalah kalimat-kalimat penuh motivasi dari lubuk hati kasih sayang. Karena kita adalah Sang Motivator. Motivator ulung bernama guru. Wallahua‘lam bish shawab.

Bekasi, 10 Maret 2011

Page 20: Aku bangga menjadi guru

20 Aku Bangga Menjadi Guru

Virus “Alamat Palsu”

Ke mana ke mana di mana…Kuharus mencari ke mana...

Kekasih tercinta tak tahu di manaLama tak datang ke rumah…

Tiga orang murid kecilku bergoyang sambil menyanyikan syair lagu tadi. Bernyanyi dan bergoyang tepat di depan meja guru yang aku duduki dengan lesu pada jam istirahat pertama itu. Maksud mereka sangat baik dan sungguh mengharukan, menghibur Bu Titin yang sedang lesu karena sariawan. Bahkan kalau boleh aku bagikan pada kalian apa yang diucapkan salah seorang di antara mereka yang berkata seperti ini,

“Inilah dia persembahan lagu untuk guru kami tercinta…”. Lalu dengan gaya yang kocak mereka pun kompak menyanyikan lagu “ Alamat Palsu” nya Ayu Ting Ting itu.

Loh… loh… Kok Bu Titin tahu dan hafal sih lagu itu?Lah ya jelas saja! Karena setiap hari selama sepekan

semenjak lagu itu populer, hampir semua anak menyanyikan lagu itu di kelasku. Aku sampai, maaf, bosan mendengarnya. Bukan hanya karena ditilik dari segi syair, tapi lagu itu tidak ada puitis-puitisnya. Tapi dari sisi isi materi lagu pun, tidaklah pantas dinyanyikan oleh anak-anak usia SD. Tapi apa mau dikata? Aku hanya guru yang separuh waktu saja mendampingi mereka. Sedangkan sebagian besar waktu lainnya mereka lewatkan dan habiskan di rumah.

Page 21: Aku bangga menjadi guru

21Berbagi

Rasa penasaran mendorongku untuk bertanya pada murid-murid kecilku, lagu apa itu, siapa yang menyanyikan dan di mana mereka mendengarnya? Jawaban mereka tidak cukup membuatku puas. Untung beberapa guru sempat membahasnya di kantor. Bahkan ada salah seorang di antara mereka mengatakan bahwa lagu itu sudah di download hampir oleh 2 juta orang. Wow! Luar biasa. Akhirnya aku terdorong juga untuk ikut “ngintip” si alamat palsu ini di Youtube (karena aku dan keluargaku sudah sejak lama mencanangkan program no TV wacth). Oh ini rupanya virus bernama “Alamat Palsu” itu! Memang dasyat goyangan penarinya. Dahsyat suara penyanyinya. Dahsyat juga pengaruhnya pada jiwa dan perilaku sang penonton tayangan itu, yang sebagiannya adalah anak dan muridku.

Sebetulnya fenomena seperti ini bukan sekali dua terjadi di sekolah tempatku mengajar. Berita hangat “tak pantas”, gosip, trend mode atau lagu yang seharusnya belum boleh dikonsumsi oleh anak-anak sudah seperti aliran air yang mengalir begitu saja. Di mana ada trend baru, maka anak-anak pun akan kena imbas informasinya, bahkan ikut-ikutan arus di dalamnya. Jangankan mereka yang masih polos dan belum sepenuhnya paham apa yang mereka tonton, guru pun ternyata tak ‘kebal’ terhadap virus dunia infotainment ini. Virus Ustad “Solmed” (yang aku pikir punya arti ustad yang hangat dan bersahabat, ternyata kependekan dari Soleh Memed, maklum kurang gaul, red) dan virus “Alhamdulillah, sesuatu banget” nya Syahrini, adalah dua virus teranyar lain yang aku tahu sedang mewabah saat ini.

Apa yang harus dan bisa kita lakukan untuk membentengi diri dan anak kita dari dahsyatnya virus infotainment ini?

Page 22: Aku bangga menjadi guru

22 Aku Bangga Menjadi Guru

Gencarnya dunia hiburan di media dan kebutuhan kita akan informasi adalah dua hal yang kadang dilematis dan beririsan kepentingan. Di satu sisi kita tak ingin ikut terbawa arus “orang kebanyakan”, tapi satu sisi yang lain anak-anak kita sudah “terpolusi” virus yang sepele namun membahayakan tersebut, hingga mau tak mau kita harus tahu seperti apa sih dan bagaimana kita harus meluruskannya.

Ada beberapa kiat yang mungkin bisa dijadikan cara untuk mencegah “virus” macam “alamat palsu” nya Ayu Ting Ting itu.

Pertama, dampingi mereka selalu. Ajak mereka bicara dan diskusi tentang apa yang mereka tiru dari apa yang mereka tonton. Mengapa mereka suka dan menirunya. Apa kebaikan dari hal tersebut dan apa keburukannya. Giring opini mereka bahwa itu belum cocok untuk mereka nyanyikan atau mereka tiru.

Kedua, ajaklah mereka untuk mendengarkan cerita, kisah atau dongeng yang sarat dengan kandungan nilai positif. Gunakan bahasa sederhana yang mudah dipahami. Lebih bagus lagi jika kita bisa menirukan gaya pendongeng profesional. Menggunakan suara dan mimik yang sesuai dengan tokoh. Pasti seru dan asik! Ini bisa dijadikan tandingan untuk tayangan-tayangan yang tidak sehat tadi.

Ketiga, ajarkan mereka lagu anak-anak dan lagu-lagu yang Islami. Kalau mau jujur, aku sendiri tak mengikuti perkembangan lagu anak trend terkini. Karena lagu anak kalah jauh jumlahnya dari lagu remaja dan orang dewasa. Beruntungnya aku punya stok gudang lagu anak yang masih aku hafal sampai setua ini. Kalaupun sudah lupa, kita tinggal bertanya pada “Google” pasti berderet lagu anak-anak bisa

Page 23: Aku bangga menjadi guru

23Berbagi

kita pelajari. Apalagi lagu anak zaman dahulu itu syairnya bagus-bagus dan sesuai sekali dengan kebutuhan mereka.

Keempat, adakalanya kita harus ‘lebay’. Lebay (berlebihan) mengkampanyekan sesuatu hal kebaikan, walaupun kebaikan itu kesannya ‘jadul’ banget. Contoh sederhana, anak-anak biasanya trend makan fast food (padahal nilai gizinya mendekati ‘zero’), kita bisa dengan hebohnya bertanya, “Uhm… siapa yang suka makan serabi? Atau kue cucur? Wah… bu guru senang banget loh kue serabi dan cucur. Enaaaak deh rasanya…. “ Apalagi gaya kampanye kita meyakinkan, pasti anak-anak akan penasaran untuk mengikuti kita. Bukankah kita adalah panutan mereka. Apa kata bu guru atau pak guru pasti akan mereka ikuti.

Kelima, sempatkan selalu berkomunikasi dengan orangtua mereka. Buat sebuah jembatan komunikasi dengan mereka, agar visi dan misi antara guru dan orangtua tidak jauh berbeda, sehingga anak pun punya pegangan yang kuat dalam mengadopsi dan menindaklanjuti sebuah trend baru yang sedang berkembang. Insya Allah, jika sekolah (guru) dan orangtua mempunyai kesamaan visi dan misi, sebesar dan sehebat apa pun virus “globalisasi” akan bisa dibentengi penyebarannya oleh anak-anak kita. Alhamdulillah… sesuatu banget kan? Wallahua’lam bish shawab.

Bekasi, 25 September 2011

Page 24: Aku bangga menjadi guru

24 Aku Bangga Menjadi Guru

Waktu dan Kreativitas

Bermula dari ketidaksengajaan. Sabtu siang itu, usai rapat pekanan di sekolah, aku hunting buku ke Gramedia Metropolitan Mall. Sebetulnya tidak ada niat untuk mencari buku-buku tertentu. Ya seketemunya saja deh, buku apa yang akan ‘berjodoh’ denganku hari itu.

Sebuah buku bercover gadis berkepala plontos sedang bertangisan dengan ayahnya menarik minat beliku. Surat Kecil Untuk Tuhan, begitu judul yang tertulis. Sudah lama juga aku penasaran dengan buku itu. Buku yang sampai detik aku membelinya, sudah dicetak belasan kali dalam satu tahun.

Tidak puas dengan cuma sebuah buku, mataku kemudian sibuk mencari mangsa berikutnya. Ingatanku melayang pada acara workshop tentang pembuatan media belajar menggunakan program macroflash yang aku ikuti beberapa hari yang lalu. Aku tertarik untuk lebih dalam mempelajarinya secara otodidak. Sayangnya aku tidak bisa mengikuti workshop kemarin dengan tuntas. Di samping waktunya yang singkat dan juga karena keterbatasan pengetahuanku tentang dunia software yang satu ini. Aku pikir, mungkin aku bisa mempelajarinya sendiri lewat buku. Rasa penasaran segera mendorong langkahku ke arah rak berlabel ‘komputer’, sambil mataku terus memilah dan mencari, mana buku yang aku butuhkan.

Ahaaa, ini dia! Akhirnya aku menemukan sebuah buku tebal dengan judul sangat menggoda, yaitu “Macroflash 5.6”. Segera saja aku ambil buku itu dari rak-rak yang berjejer rapi.

Page 25: Aku bangga menjadi guru

25Berbagi

Tapi eit… tunggu dulu! Aku melihat ada sebuah judul yang lebih menarik lagi di sebelahnya, yaitu “Membuat Comic Strip Instan Untuk Hobi dan Profesional” Wah…!

Dengan ‘lahap’ kubuka dan kubaca beberapa hal penting di dalamnya. Subhanallah… ini dia yang aku butuhkan: membuat komik untuk presentasi, cocok sekali dengan hobiku bercerita dan mendongeng pada anak-anak dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Pasti kegiatan belajar kami akan lebih asik dan menarik dengan bantuan sebuah media yang menunjang.

Singkat cerita, penuh antusias aku baca buku seharga Rp. 36.900,- itu. Aku tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca lebih detail. Kupikir akan lebih baik jika langsung kupraktikkan saja apa yang ditutorkan si penulis dalam bukunya, lalu…Let’s see the next, apa yang terjadi? Jawaban singkatnya cuma dua kata saja: Subhanallah dan Astaghfirullah.

Subhanallah nya, karena aku merasa gembira mendapatkan sebuah ilmu baru tentang pembuatan sebuah media belajar, yang jujur saja, masih belum banyak orang yang memanfaatkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Padahal jika mau, sudah demikian berkembangnya dunia informasi dan teknologi yang bisa kita manfaatkan untuk kemajuan kualitas pendidikan anak bangsa. Cara pembuatannya pun saat dipraktikan begitu mudah dan menyenangkan. Apalagi buat aku yang ngak ada basic keilmuan komputer. Hanya bermodal tekad, nekad, dan keinginan kuat untuk memberikan yang terbaik dalam dunia pendidikan anak.

Astaghfirullah nya, aku jadi lupa diri dan waktu. Aku begitu asik dengan mainan baru itu. Aku bisa berjam-jam

Page 26: Aku bangga menjadi guru

26 Aku Bangga Menjadi Guru

ber’khalwat’ dengan laptop kesayanganku. Meng’klak-klik’ mouse. Mengkhayal konsep cerita (kebetulan aku seorang penghayal ulung, jadi pas pisan dan ada penyalurannya). Browsing. Download gambar dan lagu. Pokoknya seru banget. Aku tidak peduli rasa penat letih setelah seharian direcoki murid-murid kecilku. Aku tidak merasakan capenya digelayuti dua balitaku kanan kiri yang berebut duduk di pangkuanku saat asik berkhayal di depan komputer. Karena kemudian, aku bisa mengakhiri kerjaku semalaman suntuk dengan kata alhamdulillah. Dada berdebar saking girangnya dan rasa puas saat bisa menghasilkan sebuah karya yang baru; komik bergambar sesuai dengan tema belajar yang akan aku sampaikan dalam kegiatan belajar dan mengajar di kelasku. Sungguh menyenangkan! Terbayang ekspresi murid-murid kecilku saat aku bercerita dengan bantuan cerita bergambar yang kubuat sendiri. Dan saat itulah sebetulnya yang aku tunggu: binar bahagia yang terpancar dari wajah-wajah mereka.

Dari pengalaman ini, ada sebuah hal yang ingin kujadikan catatan penting bagi diriku sendiri, yaitu tentang pentingnya ‘waktu’ dan ‘kreativitas’ bagi seorang pendidik dan pengajar sepertiku. Bagaimana kita harus bisa memanfaatkan waktu untuk terus berkarya dan berkreativitas positif. Rasanya waktu tak pernah cukup andai kita bisa mengisinya dengan hal-hal baru yang bermanfaat. Selalu ada tantangan dan rasa penasaran untuk terus membuat karya. Apalagi aku sadar betul, bahwa waktu tak pernah berhenti barang sejenak untuk rehat. Dia terus bergulir dan berlari. Menerjang detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun. Tugas kita adalah mengisinya dengan berbagai kreativitas yang produktif. Karya yang indah

Page 27: Aku bangga menjadi guru

27Berbagi

walau sederhana, bernilai positif dan terpenting bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita.

Karena kehidupan adalah pemisalan sebuah kegiatan melukis di atas kertas. Kertas kehidupan kita mirip sejenis kertas tissue yang bergulung-gulung. Panjang dan bahkan kadang kita tak tahu di mana ujungnya. Begitu pula waktu dan kreatifitas dalam kehidupan. Kertas itu adalah waktu dan kreativitas adalah tintanya. Apa jadinya, andai Allah tiba-tiba menghentikan waktu kehidupan kita, sementara kertas kehidupan itu belum kita isi atau hanya sedikit yang sudah kita lukisi dengan kreatifitas kita? Jawaban apa yang akan kita beri pada hari di mana pertanyaan itu akan muncul : “Kau gunakan untuk apa waktumu selama hidup”. Wallahua’lam bish shawab.

Bekasi, 20 Oktober 2011(Catatan kecil untuk diri : Apa pun dan siapa pun kamu,

jadilah yang terbaik!)

Page 28: Aku bangga menjadi guru

28 Aku Bangga Menjadi Guru

Daster

“Fida… paket untuk kamu!” Seru Bunda Nurul dari balik pintu kamar 7-4. Fida mendongak, mengalihkan pandangan dari buku kimianya. Beberapa kepala dalam kamar ikut menoleh.

“Wah, enak ya… Fida dapat kiriman lagi.” Komentar Fauzia. “Apaan isinya Fid, makanan ya…?” Mata bulatnya mengedip penasaran.

“Paling pesananku, kamus bahasa Arab. Eh, tapi entahlah, sepertinya ada yang lain nih, dipegang kok empuk-empuk gitu…”. Fida meraba-raba paket yang terbungkus kertas coklat di tangannya.

“Puding kali…”. Celetuk Rifa tanpa menoleh, sibuk dengan PR kimia-nya.

“Puding? Yang bener aja Rif…. “ Nabila yang asyik baca novel sambil tiduran tersenyum geli. “Dalam paket begini mana mungkin ada puding, udah bonyok dari sananya, berapa sih nilai IPA kamu?”

“Emang, lihat aja dari kemarin Rifa ngotak-ngatik PR kimia terus.” Selly ikut nimbrung. Rifa cuma bisa nyengir kuda.

“Makanya neng, kalo Bunda Rina lagi nerangin tuh dengerin, jangan ngitung bulu mata melulu…” . Kata Nabila lagi. Ditutupnya buku tebal yang belum selesai dibacanya itu.

“Ngitung bulu mata?” Selly bertanya bingung. “Tidur neng.” jawab Nabila. Mata bulatnya semakin

Page 29: Aku bangga menjadi guru

29Berbagi

membesar, gemas pada Selly yang dianggapnya agak lola. Saat itulah matanya tertaut pada sebuah benda dalam genggaman Fida yang kini sudah duduk bersila di lantai. “Ih… Fida, apaan tuh… lihat dong!” Nabila bergegas mendekati Fida.

“Apaan Fid, kerudung ya…?” Nabila penasaran. Tangannya ikut memegang kain lembut yang baru saja dipegang Fida. Fida merobek kertas pembungkus paket lebih lebar. Rasa penasaran menggelitik hatinya.

“Tahu nih, tapi warnanya lucu ya.” Fida menarik kain warna warni itu dibantu Nabila. Sehelai baju panjang terbuat dari kain batik. Coraknya lucu bernuansa cerah. Warnanya saling silang merah, biru, kuning, dan hijau. Sungguh indah.

“Apaan sih.” Fauzia yang sedari awal sudah penasaran, kini mendekat, diikuti hampir seisi penghuni kamar. Tangannya mengambil alih kain dari pegangan Fida. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. Meneliti sejenak. Pada detik berikutnya, tawanya langsung meledak. “Hahaha ya ampun Fid, ini kan daster!”

Entah karena memang lucu atau karena solidaritas sesama teman sekamar, kini hampir seluruh gadis-gadis berusia 13-14 tahun itu mengikik geli.

“Iya Fid, ini mah daster atuh. “ Aufa yang asli Subang menguatkan kata-kata Fauzia. Tangannya separuh menutup mulut menahan tawa.

“Emangnya kenapa sih, daster kan baju perempuan, bagus lagi warnanya, kok kalian tertawa.?” Selly, seperti biasa, terbengong tak mengerti. Boro-boro tertawa, senyum aja nggak, yang ada hanya tatapan polos tanda tak ngeh.

“Ya ampun Sell, nggak ngikut trend mode ya.“ Bitha

Page 30: Aku bangga menjadi guru

30 Aku Bangga Menjadi Guru

menyela. Maklumlah, konon kabarnya mama Bitha punya beberapa outlet busana muslim yang tersebar di beberapa kota besar. Pastilah tahu mode-mode busana remaja yang lagi trend. “Daster itu kan!” Lanjut Bitha sambil sudut matanya melirik Fida yang hanya tersenyum kecut. “Maaf ya Fid, daster itu kan pakaiannya nenek-nenek atau nggak emak-emak.”

Gerr… Tawa kembali memenuhi ruang. Hembusan angin pegunungan desa Tambak Mekar menerbangkan suara gelak itu ke setiap sudut lain asrama putri Boarding School SMPIT Assyifa. Menggiring berpasang kaki yang berlarian kemudian. Menuju sumber suara tawa berasal.

“Hey… ada apaan sih? Girang betul nampaknya kalian nih.” Sesosok gadis berkacamata dan berjilbab hijau muda menjulurkan kepalanya di pintu. Beberapa detik berikutnya bermunculan pula kepala-kepala berjilbab aneka warna lainnya.

“Eh, Arin. Sini deh. Masa Fida dapat kiriman daster dari ibunya. Hi…hi….” Bitha melambai ke arah Pintu.

“Ha… daster? Ya ampun Fid, ibu kamu lucu banget sih.Daster mah biasanya dipakai ibu-ibu, malah nenekku hampir setiap hari pakai daster kalau di rumah.” Arin ikut terkekeh.

“Tuh kan Fid, betul kata aku.” berkata Bitha sambil memamerkan daster itu pada teman-teman kamar sebelah yang kini sudah berdiri mengelilingi Fida.

“Oh, begitu ya. Ya ampun! Ibu … ibu…” Fida mau tak mau ikut tertawa. Berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

“Eh, lihat deh, aku cobain ya.“ Bitha memakaikan daster itu ke tubuh mungilnya, sambil mematut-matut diri di depan cermin kamar.

Page 31: Aku bangga menjadi guru

31Berbagi

“Hik…hik… kamu mirip nenek aku Bith. Mirip banget deh. Duh, jadi kangen nenek nih…” Komentar Arin sambil tertawa lepas. Tawanya, juga tawa teman seisi kamar, menyisakan pedih dan kesal di hati Fida. Mengoarkan sejumlah rutukan dalam hati : Ngapain sih ibu ngirim daster? Daster kan tidak ada dalam daftar barang permintaanku. Padahal nama barang-barang yang diminta untuk dikirim hampir selalu diulang saat ibu telepon ke asrama setiap malam Sabtu. Malam yang selalu ditunggu Fida. Karena malam itu Fida bisa menumpahkan rasa rindu dan segala cerita seru, sedih maupun gembira pada ibu. Wanita mulia berhati lembut yang selalu sabar mendengarkan curhatnya. Curhat tentang segala kejadian di sekolah dan asrama, dari A sampai Z dengan detail. Ibu yang selalu membuat Fida rindu rumah. Rindu ceritanya, rindu kelucuannya saat menceritakan ulah murid-muridnya (ibu Fida kan seorang guru kelas 1 SD negri), rindu masakannya, rindu nasehat dan kata-kata bijaknya. Rindu … ah, semuanya! Tapi daster ini, telah menguapkan rindu itu menjadi buih kecewa dan malu! Malu yang teramat!

Bayangin deh! Ditertawakan seisi kamar. Ditertawakan teman kamar-kamar lain. Belum lagi jadi bahan obrolan hot news penghuni asrama dalam rentang beberapa hari berikutnya. Dari kelas 7 sampai kelas 9. Apalagi kelas 8! Hhhh… Aroma perseteruan yang turun temurun antara kelas 7 dengan kelas 8, dari abad awal sejarah berdirinya asrama sampai kini, semakin memperparah suasana hati Fida. Fida jadi semakin tak nyaman saat berjalan di sepanjang koridor kamar kelas 8. Padahal bangunan asrama kelas 8 adalah jalan terdekat menuju perpustakaan. Mogok beberapa hari

Page 32: Aku bangga menjadi guru

32 Aku Bangga Menjadi Guru

nggak ke perpus? Nggak tahan! Mendingan nggak makan deh dari pada nggak baca buku! Tapi bisik-bisik tentang daster membuat kupingnya menjadi panas. Terlebih kalau ada kakak kelas yang dengan sengaja bergosip ria saat Fida lewat depan kamar mereka. Menggosipkan apalagi kalau bukan tentang daster. Hhh, lagi-lagi daster. Aduh ibu, jadi ingin cepet-cepet curhat nih. Tak sabar rasanya menunggu malam Sabtu tiba. Malam jatah kamar 7-4 untuk bertelepon ria dengan keluarga.

~~~

“Bunda, aku pinjem HP nya ya!” Fida menghampiri Bunda Nurul yang tengah duduk manis di kantor asrama. “Mau SMS ibu, boleh kan?” Pinta Fida dengan tatap penuh harap.

“Baru juga hari Rabu Fid, ada perlu penting ya?” Bunda Nurul tersenyum lembut. Ditatapnya Fida penuh selidik. Fida mengangguk lesu. Aneh… tumben nih anak, biasanya ceria. “Ada apa sih, kok lesu gitu?”

Fida duduk di kursi sebelah Bunda Nurul. Ada keinginan untuk curhat sama beliau. Bunda Nurul kan bunda pendamping kamar 7-4, siapa tahu bisa sedikit mengurangi rasa sedih itu. Tapi… malu ah! Nanti ditertawakan. Masalah sepele seperti ini saja. Loh… loh… udah tahu sepele kok aku pikirin. Tapi masalahnya, tema obrolan tentang daster itu masih belum reda juga. Bikin pusing. Pokoknya harus bilang sama ibu, kalau aku mau balikin tuh daster!

“Ibu telpon aku ya nanti malam, kalau nggak bisa, kasih tahu kapan bisanya.” Begitu bunyi SMS yang tertera di layar HP. Fida menekan tombol send. Dan melesatlah pesan itu ke

Page 33: Aku bangga menjadi guru

33Berbagi

HP ibu, hanya dalam hitungan beberapa detik. “Assalamualaikum teh.” Terdengar suara lembut ibu

dari HP Bunda Nurul. Raut lesu Fida berubah seketika. Ada rona cerah di sana.

“Waalaikum salam. Ini ibu ya, kok cepet banget langsung telpon, ibu ada di mana? Kok nomornya lain?” Fida memberondong ibu dengan beberapa pertanyaan tanpa jeda.

“Iya, ini ibu. Ibu masih di sekolah, kebetulan ibu lagi nggak punya pulsa, jadi pakai telpon sekolah. Ada apa teh.Oh iya, kiriman ibu sudah sampe belum?”

“Sudah. Ibu yang masukin daster ya?” Fida separuh berbisik, takut terdengar Bunda Nurul yang kini tengah sibuk dengan komputer di hadapannya.

“Iya… emang kenapa? Bagus kan? Habis, ibu lihat baju tidur kamu udah jelek-jelek. Malu kan dilihat sama teman-teman yang lain? Kebetulan ibu punya sedikit uang, harga daster kan jauh lebih murah.”

“Ah ibu… justru itu masalahnya.” Fida memotong kalimat ibu, nada suaranya mulai tersendat menahan tangis. “Aku…aku jadi malu….”

“Memangnya kenapa? Ada yang salah ya sama daster kiriman ibu itu?”

“Bukan begitu.” Rengek Fida, “Teman-teman nertawain aku. Malahan hampir seluruh asrama ngomongin aku… .” Fida mulai terisak. Kalimatnya terdengar tak jelas di telinga ibu.

“Sst… teh, tenang dong. Bicaranya jangan sambil nangis. Ibu nggak jelas nih. Emangnya kenapa dengan daster itu. Ibu pikir daster itu bagus buat kamu. Kan enak sore-sore pakai daster, santai dan lagi pula praktis dipakai untuk tidur

Page 34: Aku bangga menjadi guru

34 Aku Bangga Menjadi Guru

atau untuk sekadar jalan di sekitar asrama.” Ibu coba untuk menenangkan. Tetapi gagal. Fida malah semakin tak dapat menahan tangisnya.

“Emang bagus…tapi teman-teman bilang daster itu baju nenek-nenek. Aku malu bu. Aku malu….” Suara Fida terputus-putus di sela isaknya.

“Cup teh… jangan nangis ah. Ya udah, kalo kamu malu nggak usah dipakai. Simpan aja ya. Sabar ya. Maafin ibu kalau begitu.” Hening mengambang di udara untuk beberapa saat. Ibu menghela napas panjang dan menghembuskannya pelan. Berharap bisa mengurangi sesak yang tiba-tiba saja sudah menggunung di dada. Sesak membayangkan teteh, panggilan sayang untuk sulungnya, mengalami beban yang cukup berat di sana. Ditertawakan dan diolok-olok teman-temannya? Hampir oleh seluruh teman-temannya, hanya karena sepotong pakaian bernama daster? Ah, anakku!

“Ya udah ya teh. Simpan saja dasternya. Sabar ya, ibu nggak bisa lama-lama.” Belum sempat terucap salam. Ibu tak tahan. Ibu tak ingin Fida tahu, ada yang menetes di kedua sudut matanya. Dengan pelan disusutnya air mata itu dengan ujung jilbabnya.

~~~

Angin pagi itu berhembus pelan dari celah jendela perpustakaan. Menyentuh lembut ujung jilbab Fida yang masih menekuni kumpulan cerpen pengarang kesayangannya. Namun konsentrasinya pecah tak beraturan. Wajah-wajah yang dirindukan, sudah 2 kali kunjungan ini tak tampak di hadapannya. Wajah ibu dan ketiga adiknya: Azzam, Miqdad dan si bungsu Zara. Hanya ayah yang berusaha untuk bisa

Page 35: Aku bangga menjadi guru

35Berbagi

datang pada kunjungan bulan kemarin. Itu pun naik angkutan umum. Lebih irit katanya. Sedangkan untuk kunjungan kali ini ayah hanya menitipkan sedikit uang tambahan jajan dan setoples kacang bawang buatan ibu, pada teman pengajian ayah.

Sedih rasanya melihat teman-teman yang lain bercengkrama bersama keluarga masing-masing. Lebih baik bersembunyi di sini, di perpustakaan. Berselancar menjelajahi dunia lain. Dunia yang diciptakan oleh penulis-penulis buku terkenal. Mengurangi sedikit kesedihan yang berpendar di hati. Untungnya Fida tak pernah bosan untuk membaca dan untungnya pula perpustakaan selalu buka di hari Sabtu dan Minggu.

“Sedang apa ya ayah, ibu dan adik-adikku di sana.” Bisik Fida dalam hati, matanya menerawang jauh, melintas kaca jendela dan pilar-pilar tinggi yang berjejer di sepanjang lorong perpustakaan. “Hmmm, pagi-pagi begini biasanya mereka beres-beres rumah. Ayah ngepel, ibu masak makanan yang enak, Azzam dan Miqdad pasti sedang berantem dan ibu akan teriak-teriak melerai. Ade Zara paling ngikutin terus di sisi ibu.” Fida tersenyum sendiri. Bayangan ayah, ibu, dan adik-adiknya menari-nari di pelupuk mata. Duh rindunya. Pipi Fida membasah. Air mata sudah berguliran di sana.

“Fida, kenapa?” Seseorang menyentuh bahunya, “Kamu nangis ya?”

“O… eh, Arin…” Tergeragap Fida menjawab. Dilihatnya Arin sudah berdiri di sisinya. “Nggak Rin. “ Dusta Fida, buru-buru disekanya air mata itu dengan kedua tangannya.

“Jangan bohong, kenapa sih? Karena nggak dijenguk sama orangtua kamu ya?” Tebak Arin. Ditariknya kursi di

Page 36: Aku bangga menjadi guru

36 Aku Bangga Menjadi Guru

sebelah Fida, kemudian duduk di sana. “Aku juga nggak dijenguk kok.”

“Oh ya? Emang kenapa?” Fida sedikit terhibur dengan kehadiran Arin. Rasa kecewanya pada Arin yang menertawakan daster kiriman ibu sudah jauh-jauh hari dilupakan.

“Orangtuaku baru bisa jenguk aku pekan depan.”“Enak doong. Nah aku? Entah kapan mereka datang lagi

ke sini. Kunjungan terakhir hampir dua bulan lagi, sekalian penjemputan libur kenaikan kelas. Padahal aku tuh udah kangen sama mereka. Terutama sama ibu. Apalagi terakhir ibu telpon, kami ngobrol nggak tuntas.”

“Eh, kalau kamu mau, ikut aja pulang ke Bekasi bareng aku.”

Bola mata Fida membesar. Ada harapan berpendar di sana. Saat itu juga hatinya bersorak girang. “Ah yang bener? Emang boleh ya? Kapan kamu pulang? Sama siapa?”

“Iya, beneran. Pekan depan bapak mau jemput aku. Tanteku nikah. Jadi aku boleh minta izin pulang kan?”

“Terus aku gimana, kalo ditanya Bunda Etin kenapa aku pulang, alasannya apa dong?” Fida mulai ragu kembali.

“Bilang aja kangen berat, sudah dua kunjungan nggak ditengok. Lagian kamu belum pernah ambil jatah pesiar kan? Pasti Bunda Etin ngizinin deh.” Arin meyakinkan Fida.

“Eh, iya juga ya. Asyik. Alhamdulillah. Benar ya Rin, pekan depan aku ikut kamu. Nanti aku mau bikin kejutan buat ayah ibuku. Aku turun di tol timur aja ya, habis itu naik angkot ke rumah. Siiip deh!”

Fida bersorak girang. Kegembiraannya melegakan hati Arin. Arin diam-diam ikut sedih melihat Fida menderita.

Page 37: Aku bangga menjadi guru

37Berbagi

Apalagi sejak kejadian dua pekan lalu, saat Fida mendapat kiriman daster itu. Arin tahu bagaimana perasaan Fida. Arin juga menyesal sudah ikut menertawakan Fida, teman dekatnya waktu di sekolah dasar dahulu.

~~~

“Ya… aku sudah siap Rin!” Teriak Fida dari balik pintu lemarinya. Tangannya menyambar bungkusan plastik berisi daster yang dikirim ibu dua minggu yang lalu. “Ups, hampir kelupaan, daster ini kan mau kukembalikan. Menuh-menuhin lemari aja. “

“Cepatan sedikit Fid. Bapak sudah selesai ngurus surat izinnya tuh. Punya kamu juga sudah diurusin.” Arin menggamit tangan Fida tak sabar. “Eh, bawa apaan tuh?” tunjuk Arin ke arah kantong plastik dalam genggaman Fida.

“Hehehe…daster yang kemarin kamu ketawain. Mau aku bawa pulang aja.” Enteng Fida menjawab. Langkahnya ringan dan gesit. Ingin segera sampai di Bekasi. Kejutan yang menyenangkan buat semua. Pasti ayah dan ibu kaget melihatnya ada di depan pintu dengan tiba-tiba. Hmm… Fida melangkah pasti. Senyuman tak lepas mengembang di bibirnya. Senyum yang terus mengembang sampai tiba di pintu tol dan berpisah dengan Arin.

“Terima kasih ya Rin. Terima kasih ya pak. Hati-hati di jalan. Assalamualaikum.” Fida menutup pintu mobil. Melambaikan tangan pada Arin dengan riang. Kemudian berjalan menuju halte di seberang. Sebuah angkot bernomor 19 berhenti di depannya.

Fida segera saja melangkah masuk ke dalamnya. Hatinya bersenandung riang di antara penumpang yang sudah penuh

Page 38: Aku bangga menjadi guru

38 Aku Bangga Menjadi Guru

sesak. Senandung merdu yang melagukan nyanyian rindu pada ayah dan ibu, juga adik-adiknya.

Mata Fida menelusuri deretan ruko yang berdiri kokoh di tepi jalan. Jalan yang selalu dilewatinya jika hendak pergi ke sekolah dahulu. Di ujung ruko sana ada gang. Gang menuju rumah Fida. Fida akan turun di sana. Hatinya semakin riang. Matanya bergerak-gerak meneliti sepanjang ruko. Hmm…siapa tahu ibu atau adik-adik ada di salah satu toko itu.

Ups, hey…tuh… benar kan? Itu, sosok perempuan berjilbab kaos merah marun tua, itu kan ibu. Di sebelahnya? Tak salah lagi! Gadis kecil berjilbab lucu itu kan de Zara? Tangan mungilnya tak lepas dari rok ibu. Ta…tapi, kenapa ibu membawa nampan besar di kepalanya ya? Dan… ibu meneriakkan sesuatu nampaknya. Terlihat dari gerak bibirnya dari kejauhan. Seolah sedang menjajakan sesuatu.

Fida semakin penasaran. Mobil melaju pelan melewati kedua sosok yang teramat dikenalnya itu. Seketika Fida terpana. Ibu meneriakkan kata-kata ”Tempe… tempe … “

“Ibu… ibu berjualan tempe?” Desisnya pelan. Teramat pelan. Tak terdengar malah. “Sejak kapan? Kenapa? Bukankah ibu sudah punya gaji dari hasil mengajar? Apakah usaha ayah sedang ada masalah, sampe ibu harus berjualan keliling seperti itu? Ya Allah.” Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Fida. Membuatnya ingin segera tiba di rumah untuk mendapatkan jawaban.

“Tempe… tempe…” Suara ibu terdengar semakin jelas. Fida semakin terpaku. Ibu… penampilan ibu sangat jauh berbeda kini. Butiran keringat menempel di kening dan sela-sela jilbabnya. Ibu kelihatan kurusan sekarang. Pantas saja kunjungan mereka ke asrama terputus. Pantas saja obrolan

Page 39: Aku bangga menjadi guru

39Berbagi

di telepon tak bisa selama dulu. Pantas saja ibu hanya bisa membelikannya sepotong daster ketimbang baju tidur lucu seperti punya teman-temannya yang lain. Ah, ibu… jerit Fida dalam hati. Tak sadar tangannya mendekap ransel berisi daster pemberian ibu yang akan dikembalikannya. Maafkan teteh bu!

~~~

Senja di kaki bukit Desa Tambak Mekar. Desiran anginnya yang sejuk mengiringi langkah Fida yang berjalan dengan anggun. Tubuh bongsornya berbalut daster bernuansa cerah, berpadu jilbab senada, menambah kecantikan yang terpancar dari wajah riangnya. Tak peduli beberapa teman yang melihatnya berjalan di lorong asrama terkikik geli. Tak peduli suara-suara sumbang kakak kelas yang meledeknya. Fida tetap melangkah riang. Menuju papan tempat majalah dinding terpasang. Selembar kertas terselip di tangannya. Ditempelnya kertas itu di sana. Dibacanya sekali lagi puisi hasil tulisan tangannya itu. Tulisan yang terukir indah dari lubuk hatinya yang paling dalam. Seulas senyum mengembang di bibirnya.

Page 40: Aku bangga menjadi guru

40 Aku Bangga Menjadi Guru

DasterkuTak peduli tampilanku seperti bibi-bibiTak peduli gayaku serupa ibu-ibu atau emak-emakTak peduli orang menyandingkanku bak nenek-nenekTak peduli aku pada semua ituPeduliku hanya untuk butiran keringat ibuPeduliku hanya pada tetesan air mata ibuPeduliku hanya untuk pengorbanan ayahPeduliku hanya pada harapan dan doa merekaLalu, Mengapa aku harus gulana dan raguMengenakanmu, bukankah ada tanda untukkuTanda cinta, kerelaan dan pengorbanan ibu Yang tersirat indah dalam wujudmu : dasterku…

Bekasi, 10 April 2010(Untuk sulungku : sabar dan syukur adalah senjata utama

dalam hidupmu, nak!)

Page 41: Aku bangga menjadi guru

41Berbagi

Orangtua Pintar vs

Orangtua Hebat

“Sekarang aku tahu. Ternyata ada orangtua pintar dan orangtua hebat di zaman sekarang ini.” Begitu kalimat yang diucapkan anakku Azzam pada suatu malam. Telingaku sejenak berdiri tegak. Aku tertarik mendengarnya. Wah, siap-siap aku dikritik nih, bisikku was-was.

“Oh ya? Apa tuh ciri-cirinya? Coba jelaskan dong pada ibu.” Aku semakin penasaran. Aku masuk kategori mana nih dalam pandangan si kritikus ini?

“Ciri orangtua pintar lebih banyak memberikan perhatian pada anaknya dengan cara memenuhi segala kebutuhan materinya saja. Uang, barang-barang, dan kemewahan. Pokoknya, apa yang diminta anak, pasti akan dipenuhi. Kalo orangtua hebat cirinya, lebih banyak membimbing dan mengarahkan kehidupan anaknya sesuai kebutuhan.”

“Kalau begitu, ibu dan ayah masuk golongan yang mana?” Kejarku makin antusias. “Orangtua hebat.” Jawab anakku tanpa ekspresi, menandakan dia memang serius dan tak berniat untuk menyanjung atau ada keinginan di balik jawabannya itu.

Alhamdulillah, bisikku dalam hati sambil bernapas lega. Aku jadi penasaran, siapa atau dari mana anakku tahu tentang orangtua pintar dan hebat ini? “Kamu tahu dari mana tentang orangtua pintar dan orangtua hebat ini?”

“Dari Pak guru.”

Page 42: Aku bangga menjadi guru

42 Aku Bangga Menjadi Guru

“Oh… begitu ya?” Subhanallah! Aku jadi terharu. Bukan karena anakku

mengatakan kami orangtua hebat. Tapi lebih pada begitu besarnya peran guru dalam menyampaikan informasi positif dan membangun karakter anak didiknya.

Aku jadi teringat bagaimana anak-anakku tumbuh dewasa setelah mendapat pendidikan, hatta mereka masih duduk di bangku TK. Terkadang aku surprise mendapati hal-hal baru yang mampu dilakukan anak-anakku, karena aku merasa ada beberapa bagian yang tidak kuajarkan pada mereka. Seperti bisa cebok sendiri, memakai sepatu atau baju sendiri, membaca doa harian, menulis dan membaca, dan banyak hal lain lagi yang membuat aku selalu harus mengucap subhanallah dan alhamdulillah.

Seperti yang kudapati pula di sebuah sore saat pulang dari tempat bekerja. Terdengar ramai dari sebuah TPA, suara anak-anak membaca doa untuk orangtua, “Rabbighfirli waliwalidayya, warhamhuma, kamaa robbayaani shoghiroo. Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangiku di waktu kecil.”

Mendengar alunan doa itu, ada air mata haru yang menetes di pipiku. Aku membayangkan wajah tulus para guru yang sedang mengajar dengan penuh semangat. Tak peduli anak didiknya ribut atau berperilaku menjengkelkan. Dengan sabar mereka menghadapinya. Semakin banyak masalah yang dihadapi, semakin semangat mereka menaklukannya.

Terima kasih guru anak-anakku, telah kau ajarkan begitu banyak hal baru pada anak-anak kami. Telah kau ajarkan do’a yang begitu indah untuk kami para ayah dan ibu.

Page 43: Aku bangga menjadi guru

43Berbagi

Dari keikhlasan bapak dan ibu guru pulalah anak-anak bisa membaca do’a itu dengan lancar. Kami tahu, doa anak yang saleh akan terus mengalirkan pahala bagi kami hingga tiba di yaumil hisab nanti. Semoga pahala dan keberkahan senantiasa terus mengalir atas amal yang bapak dan ibu guru lakukan pada putra dan putri kami. Amin ya rabbal alamin.

Page 44: Aku bangga menjadi guru

44 Aku Bangga Menjadi Guru

Siapa Bilang Nggak Mungkin?

Kalimat itu yang pertama terucap, saat rangkaian ibadah haji yang aku jalani usai. Kalimat yang terucap dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran atas terwujudnya mimpi yang sedari dahulu tertanam di hati, yaitu mimpi untuk pergi ke Baitullah di negeri para nabi. Bagaimana tidak bersyukur dan bahagia? Karena mendapati kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pergi ke sana ternyata cukup besar untuk ukuranku yang cuma seorang guru SD ini. Apalagi guru SD swasta di pinggiran kota Jakarta, gajinya kalau dihitung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder saja. 35 juta! Bayangkan! Dari mana aku bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Kalaupun bisa dikalkulasikan, paling-paling kemungkinannya adalah harus menabung dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal trend ONH dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Maka semakin lengkaplah pembenaran sebuah statemen yang mengatakan bahwa rukun Islam yang kelima itu kan PERGI HAJI JIKA MAMPU. Ah, jika mampu ini kok. Kalau nggak mampu? Ya sudahlah!

“Guru SD, bisa naik haji? Ah, mana mungkin?” “Dapat warisan kali, atau dapat tunjangan sertifikasi?” “Barangkali ada yang ngehajiin.” Yang lebih santun mungkin “Subhanallah (dalam hati berbisik, masa iya sih)” adalah kalimat tak terucap yang aku tangkap dari sorot wajah teman-teman dan yang mereka ucapkan saat mendengar berita tentang akan pergi hajinya aku waktu itu. Dengan segala rasa hormat dan

Page 45: Aku bangga menjadi guru

45Berbagi

keyakinan, aku jawab: Siapa bilang nggak mungkin? Aku telah membuktikannya! Pergi haji dengan uang yang aku kumpulkan rupiah demi rupiah. Uang gajiku sendiri. Gaji seorang guru SD! Maka dalam kesempatan ini, aku ingin berbagi kiat dan pengalaman bagaimana akhirnya bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu.

Pertama sekali yang harus ditanamkan adalah niat yang ikhlas. Kerinduan yang terus menerus. Tekad yang kuat bahwasannya ibadah haji ini adalah salah satu rukun Islam yang jika kita belum memenuhinya, maka belum sempurna ke-Islaman kita. Mohon maaf apabila pandangan ini keliru, tapi begitulah pandangan aku pribadi. Pandangan seperti itu pula lah yang memacu tekad agar aku harus bisa melaksanakan perintah Allah ini dengan segera, karena kita tak tahu, apakah besok Allah masih memberikan kita waktu untuk hidup. Aku ingin menghadap Allah, dalam keadaan sempurna rukun Islamku.

Setelah menanamkan keyakinan itu, mulailah untuk melakukan aksi. Aksi pertama adalah menabung. Masih ingat lagu zaman kita kecil dahulu? Bang bing bung yok, kita nabung. Tang ting tung yok, jangan dihitung. Tahu tahu nanti kita dapat untung. Berapa pun uang yang kita punya, setelah setoran awal tabungan tentunya, kita bisa menyisihkannya untuk pergi haji. Jangan pernah dihitung atau dipikirkan. Biarkan saja mengalir apa adanya. Bolehlah sesekali dihitung dan diterawang, duh kok lama banget ya nggak ngumpul-ngumpul uangnya. Tapi itu bisa jadi menambah semangat kita untuk terus menabung dan berusaha.

Putuskan mengumpulkan biaya untuk naik haji sebagai prioritas utama. Jadi, kebutuhan-kebutuhan lain yang

Page 46: Aku bangga menjadi guru

46 Aku Bangga Menjadi Guru

sekiranya tidak penting-penting amat tundalah terlebih dahulu. Semisal ingin beli mobil, pasang AC, beli baju baru, HP baru, dan lain-lain. Fokuskan untuk satu tujuan itu: Naik haji! Terkadang memang sedih ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara memenuhi kebutuhan sesuai keinginan hati yang memang penting juga, atau menabung agar cepat terkumpul biaya untuk pergi ibadah haji. Maka, hiburlah hati dengan kalimat : “Ya Allah, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kewajibanku atas syariat-Mu. Kurelakan menepikan hasrat dan inginku yang lain demi mendapat cinta dan ridho-Mu. Maka mudahkanlah ya Rabb.”

Terakhir adalah perbanyak doa dan rendahkan hati. Karena banyak cerita yang membuktikan bahwa pergi ke tanah suci memang benar-benar panggilan dan undangan dari Allah. Banyak orang kaya dan mampu pergi, tapi hatinya belum tergerak untuk ke sana. Ada orang yang sudah siap berangkat, tak jadi pergi karena satu dua alasan atau peristiwa yang membuatnya batal pergi. Tapi bukanlah pula dijadikan alasan belum pergi haji karena belum dapat panggilan dari Allah. Bukankah sudah jelas dikatakan dalam Al-Qur’an surah Ali Imran : 97 “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.“ Wahyu Allah itulah adanya sebuah bukti, bahwa Allah sebetulnya telah memberi perintah dan memanggil kita untuk segera memenuhinya. Selagi kita bisa untuk penuhi panggilan-Nya, maka segeralah penuhi panggilan itu dengan berlari!

Tunggu apa lagi? Just do it! Segera lakukan langkah awal untuk membuktikan kesungguhan bahwa kita benar-benar ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Karena

Page 47: Aku bangga menjadi guru

47Berbagi

aku yakin, setiap kita pasti sangat ingin pergi haji. Mulailah menabung. Buktikan bahwa jika kita bersungguh-sungguh, maka tak ada lagi kalimat mana mungkin? Man jadda wa jadda! Keajaiban itu akan datang tanpa diduga. Allah berikan kemudahan pada kita dalam proses awal maupun akhir perjalanan ibadah haji kita. Di sana pun banyak kebahagiaan dan kedamaian yang kita temui. Kita dapat berdiri tepat di hadapan kiblat shalat kita : Ka’bah. Serasa tak ada hijab antara kita dengan Sang Pencipta. Kita bisa rasakan kehadiran Rasulullah, karena di sanalah jejak-jejak kehidupan beliau pernah ada. Kita bisa melipatgandakan pahala sampai ratusan ribu pahala ibadah di sana. Kita bisa bertemu, mengenal dan merasakan indahnya persaudaraan Islam dengan umat muslim dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak pandang warna kulit dan bahasa. Subhanallah, sungguh pergi haji adalah hadiah terindah yang Allah berikan di sepanjang usia kehidupanku. Wallahua’lam bish shawwab.

Bekasi, 28 Januari 2011(Jazakillah pada keluarga besar Thariq Bin Ziyad atas do’a

dan dukungannya)

Page 48: Aku bangga menjadi guru

48 Aku Bangga Menjadi Guru

Tuhan, Aku Membutuhkan-Mu

Hari ini tepat satu bulan aku mengajar di kelas satu yang baru di tahun ajaran yang baru pula. Tahun kedelapan di mana aku kembali dipercaya menjadi wali kelas satu. Beban yang tidak bisa dianggap ringan. Karena seperti biasa, kelelahan pasti akan menjadi makananku sehari-hari di semester awal. Di hari pertama saja aku dibuat tak berdaya oleh ulah lima orang murid kecilku. Ada yang merengek terus minta ditungguin ibunya, ada yang jalan-jalan ke sana ke mari selama pelajaran berlangsung, mengganggu teman. Ada yang hobinya cuat-ciat ngajak berantem temannya. Ada yang maunya main bola saja di luar kelas. Ada yang ngoceh terus selama aku berbicara di depan kelas. Aku bicara satu kalimat, dia yang melanjutkan berkalimat-kalimat. Seru dan melelahkan! Hingga tiba di rumah, belum juga jam dinding menunjuk ke angka 7 malam, aku sudah terkapar tak berdaya di kamarku.

Namun tidak seperti biasanya, aku tak bisa tidur dengan segera malam ini, padahal badan rasanya sudah penat tak karuan. Bermacam masalah kembali bermunculan satu persatu tadi siang di sekolah. Tes formatif pertama untuk murid-muridku sungguh melelahkan. Aku harus membacakan soal satu per satu dengan volume suara paling maksimal yang aku miliki. Belum lagi harus berkeliling dari satu bangku ke bangku yang lain untuk memastikan kalau muridku sudah mengerti dan menuliskan jawaban mereka dengan baik. Belum sampai soal kelima, aku mendengar

Page 49: Aku bangga menjadi guru

49Berbagi

suara tangisan di bangku barisan ketiga. Segera kuhampiri muridku yang sesenggukan itu,

“Kamu kenapa, nak? Kok tiba-tiba menangis?”“Huhuhu… aku tidak bisa Bu Titin. Bagaimana menulis

jawabannya, huhuhu….”“Oh, begini nak… kamu cukup menyilang huruf A, B

atau C saja…” Jawabku sambil agak termangu. Ya Allah, ternyata masih ada saja yang luput dari pengawasan. Teman-teman yang lain sudah nomor 5, anak ini nomor 1 saja belum dijawab. Aduh bagaimana ini?

“Bu! Bu! Air minumku tumpah nih, hiks…hiks…hiks…” Belum kelar masalah satu, di baris paling belakang ada kejadian lain lagi. Gelas Tupperware milik muridku yang lain sudah tergeletak di lantai, isinya berkeliaran memenuhi permukaan lantai, basah mendekati banjir! Belum lagi banjir oleh air mata dan suara tangisnya. Aku makin panik.

Untungnya aku masih bisa menyelesaikan semua itu dengan baik. Namun baru saja aku bernapas lega dan menyandarkan tubuh di kursi ruang guru, sebuah SMS masuk ke telepon genggamku. Isinya sungguh membuatku terpaku,

“Bu Titin, hari ini Racca tidak bisa masuk, kurang sehat. Katanya kemarin dipukulin sama Dimas. Apa betul Bu? Mohon penjelasannya.”

Hua…. ingin rasanya aku menangis. Racca dipukul sama Dimas? Kapan ya? Kok aku sampai tidak “ngeh” begini? Mendadak kepalaku pening. Belum lima menit aku berpikir. Ada SMS berikutnya yang masuk, lebih “menyengat “ lagi kalimatnya.

“Saya sangat menyesalkan kejadian ini. Apalagi ibu

Page 50: Aku bangga menjadi guru

50 Aku Bangga Menjadi Guru

sebagai wali kelas tidak memberitahukan kejadian ini. Bukan apa-apa bu, saya khawatir terjadi apa-apa pada putra semata wayang saya. Kalau betul Racca sakit karena dipukul Dimas, ibu harus bertanggung jawab!”

Gubrakkk! Ingin rasanya aku terbang dulu ke awan. Menghilang sejenak untuk menyembunyikan air mata yang tiba-tiba saja sudah berdesakan ingin tumpah. Aku bingung harus menjawab apa ? Kalau aku katakan aku tidak tahu kejadian ini, sungguh tidak bertanggungjawabnya aku! Tapi memang itu yang sebenarnya. Setahuku tidak terjadi apa-apa kemarin di kelasku. Dimas memang suka berantem, tapi tidak sampai seperti itu aku rasa. Racca juga memang sama bandelnya, suka meledek dan iseng. Kemampuan akademik pun masih jauh tertinggal dibanding teman-temannya. Ya Allah bagaimana ini?!

Segera aku panggil Dimas yang kebetulan sedang bermain bola di halaman sekolah. Kugenggam tangannya erat. Kupeluk pundaknya hangat. Kuajak Dimas duduk di bawah rindangnya pohon mangga dan cempaka yang berjejer rapi di tepi sepanjang lapangan basket.

“Anakku, boleh Bu Titin bertanya tentang kejadian kemarin. Apa betul Dimas memukul Racca? “ Tanyaku lembut. Dimas menatapku takut-takut. Lalu menjawab dengan suara terbata.

“I…iya Bu. Habisnya dia duluan ngatain aku oon. Aku kan nggak mau dikatain itu.”

“Oh, begitu ya? Uhm… memang bagaimana ceritanya Racca sampai berkata seperti itu pada Dimas?”

“Begini bu ceritanya!”Dimas pun menceritakan kronologis kejadiannya.

Page 51: Aku bangga menjadi guru

51Berbagi

Peristiwa itu terjadi pada jam istirahat. Padahal awalnya mereka berdua bermain bersama, bercanda lalu main kata-kataan, akhirnya sampailah pada peristiwa itu. Dimas emosi dan tak terima dikatakan oon alias bloon oleh Racca. Dipukulah Racca. Racca balas memukul. Dimas balas lagi dengan lebih emosi, memukul berkali-kali. Ah, anak-anak ada saja ulah mereka yang membuat guru dan orangtua jadi bingung! Terutama aku, wali kelas mereka, yang seharusnya tahu apa yang terjadi pada murid-muridku. Tapi guru juga kan hanya manusia biasa? Butuh waktu untuk istirahat dan mengumpulkan tenaga, tidak bisa selamanya mendampingi anak-anak.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 01.30 dini hari. Masya Allah! Mataku belum bisa terpejam dengan nyaman juga. Lintasan-lintasan peristiwa tadi siang terus mengganggu dan mengusikku. Baru kali ini dalam sejarah aku menjadi wali kelas 1 mendapat teguran cukup keras dari orangtua murid. Tidakkah mereka tahu, betapa aku banting tulang dan mengerahkan segenap tenaga dan cara untuk mengajar dan mendidik anak-anak mereka? Anak mereka pipis atau pup di celana, siapa yang mengurusi? Anak mereka menangis dan merasa tak nyaman di sekolah, siapa yang berusaha untuk membujuk dan memeluknya? Anak mereka tidak mau makan bekal makan siangnya, siapa yang memotivasi bahkan bisa sampai menyuapinya? Kadang bahkan ada yang tidak bawa alat tulis, tidak bawa uang jajan, pasti kami tak tinggal diam. Tapi, sudahlah! Tak ada gunanya aku berkeluh kesah, aku butuh menyelesaikan hal ini secepat mungkin. Aku butuh tempat curhat sekarang juga!

Segera aku bangun dari tempat tidurku. Menuju kamar

Page 52: Aku bangga menjadi guru

52 Aku Bangga Menjadi Guru

mandi dan berwudhu. Menggelar sajadah dan memulai shalat malamku. Tuhan, aku ingin bertemu dengan-Mu malam ini, seperti malam-malam yang lainnya. Aku ingin bercerita tentang segalanya pada-Mu. Aku ingin berbagi resah dan gundah yang sungguh tak sanggup aku memikulnya sendiri. Aku teramat lelah ya Rabb. Tolonglah aku. Biarkan aku bisikkan pada bumi tempat keningku beradu dan bibirku mendesahkan tangis. Biarkan jiwa lemahku bersandar pada kokohnya kasih sayang-Mu. Aku hanya makhluk-Mu yang lemah dan tiada daya. Maka kupasrahkan kelemahan diri ini keharibaan-Mu, wahai Zat yang Maha Rahim. Tolong bantu aku untuk kuat dan tabah menghadapi semuanya. Tolong bantu aku agar bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik. Bantu aku juga agar bisa mendidik dan mengajak murid-muridku untuk menjadi anak yang shaleh, menjadi anak yang patuh dan mudah diarahkan. Dimas, Racca, Ghiffari, Hamzah, Baskoro, semuanya. Bantu aku juga agar bisa berkomunikasi dengan baik pada orangtua mereka, karena mereka adalah mitraku dalam mendidik dan mengajari putra dan putri mereka.

Dalam untaian doa dan linangan air mata itu, kubayangkan wajah murid-murid kecilku, kubisikkan nama-nama mereka dengan khusyu’. Kulukis tawa dan keceriaan mereka di antara harapanku. Ya Allah mereka adalah amanah untukku. Maka berilah aku kemudahan dan kekuatan untuk bisa menjalankan amanah itu sebaik-baiknya. Sungguh, tak ada daya dan kekuatan diri yang lemah ini, selain kekuatan yang Kau pinjamkan untukku. Ya Rabb, seandainya aku boleh meminta, tolonglah aku. Jangan pernah tinggalkan aku. Aku akan selalu membutuhkan-Mu. Selalu membutuhkan-Mu dalam tiap detak jantung dan helaan napasku!

Page 53: Aku bangga menjadi guru

53Berbagi

Bekasi, 23 Oktober 2011 (Catatan kecil untukmu : Jadikan Allah sebagai muara dari

segalanya. Bukankah sudah kau buktikan keajaiban itu Ada, karena Dia ada!!!)

Page 54: Aku bangga menjadi guru

54 Aku Bangga Menjadi Guru

Page 55: Aku bangga menjadi guru

INSPIRASI

Bapak Ingin…

Mang Daan

Pemulung Itu

Belajar Kepedulian Pada Irfan

Selamat Jalan Pak Karta

I

Page 56: Aku bangga menjadi guru

56 Aku Bangga Menjadi Guru

Bapak Ingin …

Jam dinding di kantorku menunjukkan pukul 16.00. Saatnya aku mengakhiri kerja hari itu. Segera kukemas tasku dan bergegas menuju pintu gerbang sekolah untuk pulang. Dari jauh aku melihat titik kecil benda bergerak mendekat ke arahku. Perlahan titik itu membesar dan menunjukkan wujud yang makin jelas. Apalagi sesekali terdengar suara yang teramat aku kenal dari benda bergerak itu, “Pu… Sa..puuu “.

Sebuah ide mendadak muncul di kepalaku. Tukang sapu keliling itu mengingatkanku. Alat-alat kebersihan di rumah sudah tidak layak lagi untuk dipakai dan tentu saja layak untuk membeli yang baru. Segera kudekati penjual sapu yang sedang meneriakkan dagangannya dengan suara yang lantang : “Puuuu…. Sa puuuu…”

Penjual sapu itu ternyata sudah sangat sepuh. Namun badannya masih terlihat kekar dan kuat. Kulitnya legam terbakar sinar matahari. Sorot matanya tajam namun ramah. Terseok-seok langkahnya menarik gerobak yang sarat dengan barang-barang dagangan. Sapu, pengki, sapu lidi, ember, bakul, dan lain-lain. Sebersit iba menyentuh hatiku. Ya Allah, aku nggak bisa membayangkan betapa berat bapak ini membawa gerobaknya berkeliling kampung menjajakan dagangannya dari rumah ke rumah. Beratnya beban yang dibawa mungkin tak akan terasa jika hari itu hasil jualan yang didapat banyak. Tapi bagaimana kalau tak ada yang membeli satu barang pun?

Page 57: Aku bangga menjadi guru

57Inspirasi

Lintasan rasa empati membuatku tak berpikir dua kali. Transaksi jual beli pun terjadi. Aku membeli beberapa barang yang kuperlukan. Juga membeli barang-barang yang sebetulnya tidak terlalu aku perlukan. Rasa iba tadi yang mendorongku untuk melakukannya. Kemudian aku membayar barang-barang yang kubeli.

“Ini pak uangnya, jadi berapa semuanya?” Aku menyerahkan selembar uang limapuluh ribuan.

“Waduh neng, punten… nggak ada kembaliannya. Semuanya jadi tiga puluh lima ribu. Bapak baru kaluar pisan.” Jawab si bapak dengan logat sunda yang kental.

“Oh, begitu ya pak. Uhm… kumaha atuh, saya nggak punya uang pas lagi.” Aku merasa tak enak juga untuk membatalkan, padahal aku sudah memegang beberapa benda di tanganku.

“Ia Neng, Bapak baru kaluar. Tadi pagi habis nganter anak sekolah ke pesantren di luar kota. Jadi baru balik tadi siang. Reureuh sakedap (istirahat sebentar, red.) terus baru bapak jualan lagi. Jadi belum dapat uang, nih lihat… “ Si bapak menjelaskan panjang lebar. Terakhir dia membuka laci uangnya yang terletak menyatu di ujung gerobak. Cuma ada beberapa lembar ribuan dan beberapa keping recehan. Rasa iba menyentuhku kembali.

“Uhm… baik bapak. Nggak apa-apa. Kebetulan rumah saya dekat dari sini. Kalau begitu kita ke rumah saya saja dulu. Mudah-mudahan ada uang pas di rumah.” Akhirnya aku mengajak si bapak ke rumah yang hanya berjarak satu blok dari sekolah tempatku mengajar.

Si bapak pun mengikutiku dari belakang. Menyeret gerobaknya dengan penuh semangat. Sementara pikiranku

Page 58: Aku bangga menjadi guru

58 Aku Bangga Menjadi Guru

me-review ulang percakapan tadi. Si bapak baru berjualan sesore ini, apa ada yang masih mau beli? Padahal baru keliling dua blok saja, pasti matahari sudah tenggelam di ujung barat sana. Berapa uang yang bisa didapatnya hari ini? Dan tadi, dia mengatakan keterlambatannya karena harus mengantarkan anaknya masuk pesantren. Subhanallah.

“Bapak maaf, putra bapak di sekolahkan di pesantren mana? Bukankah di Bekasi banyak sekolah juga, gratis lagi pak.” Aku bertanya penasaran.

“Eta neng, pesantren di Subang. Bapak kan memang kawit (asal) na mah dari Subang. Di sini cuma numpang cari nafkah. Ah, siapa bilang gratis neng? Tatangga bapak sekolah di negeri juga ada saja bayarannya. Lagi pula bapak ingin anak bapak nggak cuma pintar, tapi juga bisa ngaji. Ibadahnya rajin, otaknya juga cerdas. Biar kalau sudah dewasa nanti bisa jadi ustad. Jadi orang yang berguna untuk masyarakat. Nggak seperti bapak yang cuma keliling bawa gerobak, capek. Bapak teh ingin pisan neng, biar lah bapak cari uang ke sana ke sini buat biaya anak-anak sekolah. Biar mereka sekolah yang tinggi. Da kerasa sama bapak, orang bodoh teh nasibnya ya seperti bapak ini.” Jelas si bapak di antara napasnya yang tersengal menarik gerobak yang berat. Penjelasannya yang panjang dan lebar membuatku terpaku dalam keharuan.

Subhanallah. Lewat sosok tua nya yang sederhana. Lewat semangatnya yang tak lekang di sengat terik sinar matahari dan terpaan debu jalanan. Lewat tatap mata yang optimis memandang kehidupan masa depan. Lewat langkah gagah menerjang badai kehidupan. Lewat perkataan bijaknya yang mengandung harapan akan pencerahan negeri ini. Aku bisa belajar satu hal : mimpi (harapan).

Page 59: Aku bangga menjadi guru

59Inspirasi

Tentang mimpi, siapa pun tidak melarang untuk bermimpi. Tidak akan ada seorang pun yang protes seindah apa kita ingin bermimpi. Mimpi itu gratis kok! Maka bermimpilah! Lukiskan impian indah tentang hari ini dan esok. Karena kehidupan tidak hanya berhenti sampai hari ini. Masih jauh dan panjang perjalanan hidup kita ke depan. Dengan adanya mimpi, kita punya harapan. Kita punya cita-cita dan tujuan yang jelas. Kita juga jadi lebih terarah menjalankan hidup. Untuk apa hidup dan ke mana kita bermuara pada akhirnya.

Aku masih tertegun berdiri di pintu gerbang rumahku. Bapak penjual sapu itu kembali menarik gerobak dagangannya. Meneruskan perjalanan pencarian nafkahnya hari itu yang belum tuntas. Suaranya yang lantang terdengar semakin sayup menjauh dariku. Dan akhirnya tenggelam di ujung jalan sana. Namun ada satu kalimat ucapannya yang sampai detik aku menuliskan kisah ini masih terngiang : “Bapak ingin anak bapak menjadi orang yang pintar dan berguna untuk masyarakat neng.”

Sebuah kalimat harapan dari seorang ayah pada anaknya. Harapan yang aku yakini juga dimiliki oleh para ayah di seluruh pelosok penjuru dunia. Harapan yang membuat para ayah bertahan untuk terus berusaha dan bekerja keras mencari nafkah. Menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya sampai mereka mampu untuk mandiri dan berkarya.

Aku menghela napas panjang. Kalimat “Bapak ingin…” seolah ditujukan untukku. Aku jadi teringat wajah para murid kecilku. Bertanya dalam benak, apakah mereka tahu dan mengerti apa yang diharapkan ayah dan ibu mereka? Apakah

Page 60: Aku bangga menjadi guru

60 Aku Bangga Menjadi Guru

mereka ikut merasakan betapa ayah dan ibu mereka bekerja keras untuk kenyamanan hidup anak-anaknya? Apakah mereka. Ah, tak penting untuk mencari tahu apakah mereka yang lainnya, apalagi untuk menjawab pertanyaan itu. Yang harus aku tekadkan dan catat dalam hati adalah : Jadilah motivator bagi murid-muridku, agar mereka terpacu untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal. Menjadi manusia yang punya manfaat bagi orang-orang di sekitar. Membantu mewujudkan harapan dan cita-cita mereka. Juga harapan ayah dan ibu mereka. Mendidik dan mengajar putra dan putri yang mereka amanahkan padaku. Semoga, aku bisa penuhi harapan itu! Bismillah.

“Bapak, aku ingin dan sangat ingin, memenuhi harapanmu!”

Bekasi, 22 Oktober 2011(Untuk para ayah yang dengan ikhlas berkorban demi

putra/putrinya.)

Page 61: Aku bangga menjadi guru

61Inspirasi

Mang Daan(Kenangan Sosok di Masa Kanakku)

Seorang teman di jejaring social facebook tak sengaja telah menginspirasiku untuk menuliskan tentang sosok sederhana yang ingin kutuliskan di sini. Tokoh yang satu ini tak seterkenal menteri pendidikan, tak sehebat Pak B.J Habiebie, tak setampan Dude Herlino atau segagah Dede Yusuf. Bahkan sebaliknya, sosok ini teramat sangat sederhana di mataku, juga di mata orang-orang kebanyakan desaku pada waktu itu.

Penampilannya biasa-biasa saja. Bahkan boleh dibilang kumuh dan kusut. Seragam kesehariannya adalah sebagai berikut : Kemeja lusuh, kadang ada tambalan di beberapa tempat. Beralas kaki sandal butut, terkadang malah sepatu yang ujungnya sudah sedikit menganga. Mengepit tas kulit imitasi tanpa tali penggantung yang juga sama bututnya. Tas kulit itu berisi perkakas pekerjaannya sehari-hari, yaitu kertas gambar, pensil (yang sering diselipkannya di sela-sela kuping saat bekerja), benang jahit atau senar, jarum besar dan lem sepatu. Pekerjaan beliau memang multi talenta, kadang menjahit dan mengesol sepatu, kadang membuatkan gambar untuk anak-anak bahkan kadang pekerjaan makelar pun dilakoninya. Namun di kalangan kami, para anak-anak dan remaja, beliau lebih dikenal sebagai tukang gambar dan sol sepatu. Kalau kami ada PR menggambar, pasti yang kami tunggu di depan rumah adalah beliau.

Mang (om, paman, red) Daan, begitu kami memanggil

Page 62: Aku bangga menjadi guru

62 Aku Bangga Menjadi Guru

beliau. Kami selalu merindukan kehadirannya. Kalau kami tak punya PR menggambar, Mang Daan kami minta untuk bercerita tentang apa saja. Mang Daan akan dengan senang hati menceritakan pengalamannya bertemu dengan orang-orang. Mang Daan juga akan menceritakan bahwa si Anu minta digambarkan ini, si Anu pesan gambar itu. Atau Beliau akan bercerita tentang hal-hal yang ditemuinya di jalan. Ada cerita horor, cerita sedih, atau cerita lucu. Kami akan selalu senang mendengarnya. Apalagi cerita-cerita lucunya. Karena Mang Daan akan mengakhiri ceritanya dengan tawa khas beliau dan kata : kagugu nya (lucu ya, red).

Mang Daan lebih mirip seorang tokoh legendaris bagi masyarakat di kampungku. Dari zaman ayah-ibuku, kakakku hingga zamanku, Mang Daan selalu setia pada pekerjaannya. Mengesol sepatu dan menjadi tukang gambar untuk anak-anak. Menggambar kuda, kambing, bebek atau apa saja yang diminta anak-anak. Tak ada yang berubah dari penampilannya. Terakhir, saat aku duduk di bangku SMA, hanya sebuah kacamata bekas, yang kadang copot sebelah lensanya, menambah asesoris penampilannya. Maklumlah, usia tak bisa dibohongi dan tak bisa menghalangi semakin melemahnya fungsi anggota tubuh. Langkah kaki Mang Daan pun tidak segagah dulu lagi. Mang Daan terkadang kulihat mengayuh PIT (sepeda, red) ontelnya dengan kayuhan yang lemah.

Ada sebuah kebiasaan Mang Daan yang sungguh membuatku terkesan dan terharu. Mang Daan bukanlah orang yang pintar dan ahli. Beliau hanyalah sosok yang teramat sederhana, bahkan mungkin menduduki kasta rendah di masyarakatku. Namun Beliau mempunyai kepedulian yang

Page 63: Aku bangga menjadi guru

63Inspirasi

besar terhadap orang-orang di sekitarnya. Terutama anak-anak usia sekolah. Jika ada yang meminta jasanya untuk menggambar atau mengesol sepatu, Mang Daan tidak pernah memasang tarip berapa rupiah jasanya harus dibayar. Bahkan sering beliau memberikan jasa sol sepatu dan gambar gratis pada anak-anak yang tidak punya uang untuk membayarnya. Beliau selalu tersenyum dan tertawa menerima apa pun yang kami berikan. Beliau pasti akan bertanya, “Boga duit deh?” (punya uang tah?) Kalau ada yang menggelengkan kepala tanda tak punya uang, beliau berkata, “Geus teu naon-naon… nu penting maneh bisa sakola, teu dicarekan ku guru…” (Sudah, tidak apa-apa. Yang penting kamu bisa bersekolah dan tidak dimarahi guru). Subhanallah.

Hampir lebih dari sepuluh tahun, sosok sederhana itu telah pergi menghadap Sang Khalik. Namun namanya masih kami kenang dengan lekat di memori kehidupan kami. Mungkin ada di antara kami yang pernah beliau tolong telah menjadi orang besar dan sukses. Sangat mungkin. Aku hanya bisa berharap, ketulusan dan kepedulian Mang Daan bisa dijadikan sebuah contoh teladan yang mulia bagi kita semua. Walau hanya sekedar menjahitkan sepatu yang rusak atau menggambarkan binatang, namun jika dilakukan dengan hati yang tulus dan gembira, tetap itu adalah dulang sumber pahala yang besar dan membuahkan surga bagi sang pelakunya.

Mang Daan adalah salah satu tokoh pahlawan pendidikan bagiku. Kepeduliannya yang besar pada anak-anak, menurutku patut mendapatkan dua acungan jempol. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak pada zamanku secara tidak langsung telah belajar menggambar dengan sederhana,

Page 64: Aku bangga menjadi guru

64 Aku Bangga Menjadi Guru

dari seorang Mang Daan lah anak-anak bisa belajar ketulusan dalam memberi. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak bisa pandai bercerita dan tertawa lepas. Dari seorang Mang Daan lah anak-anak bercermin bagaimana menjalani pahit getirnya hidup. Aku yakin, sedikit banyaknya Mang Daan telah memberikan inspirasi hidup buat kami. Pelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang akan kami bawa sampai nanti.

Ada sebuah catatan penting yang ingin aku garis bawahi. Bahwa ternyata ketika kita ingin memberi, jangan menunggu kita kaya terlebih dahulu. Karena memberi tidaklah identik dengan memberi dalam bentuk materi. Banyak hal yang bisa kita bagikan untuk orang lain. Keramahan kita, kepedulian kita, senyum, sapa, kasih sayang, adalah kekayaan moral yang bisa dibagi tanpa harus menunggu waktu dan kesempatan. Wallahu ‘alam bish shawab.

Bekasi, 2 November 2011(Untuk mereka yang pernah ada dalam kehidupan masa

kanakku. Terimakasih karena telah mengispirasi dan berbagi. )

Page 65: Aku bangga menjadi guru

65Inspirasi

Pemulung Itu...

Pagi itu seperti biasa, aku berjalan menyusuri lorong kecil menuju sekolah tempatku mengajar. Lorong kecil itu berada tepat di samping halaman sekolah. Halaman sekolah dengan jalan hanya dibatasi dinding tembok yang tinggi. Bersembulan rerimbunan daun mangga, cempaka dan beringin dari balik temboknya yang kokoh itu. Alunan murotal dari kaset yang dilantunkan terdengar jelas menyelusup telingaku. Sejuk dan indah didengar. Sesekali aku ikuti bacaannya dengan tartil.

Kulihat di ujung lorong jalan, dari arah yang berlawanan, seorang pemulung tengah mengais sampah dari bak penampungan besar yang dibangun di depan sekolahku. Dia terlihat sibuk dan khusyu’ mencari dan memilah barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Kemudian memasukkan rongsokan-rongsokan itu ke dalam karung yang sedari tadi menggantung di bahunya. Setelah tak ada barang yang bisa diambilnya lagi, pemulung itu berjalan mendekat arahku. Ah, just PEMULUNG... bisikku, sambil meneruskan bacaan. Tapi eit... tunggu dulu! Aku menangkap sesuatu yang menarik. Bibir pemulung itu bergerak komat-kamit seperti yang aku lakukan. Oh, rupanya dari bibir pemulung itu keluar juga ayat-ayat yang dibaca dari kaset murottal. Subhanallah.Aku tertegun dalam kagum yang luar biasa! Sekali lagi, subhanallah.

Ada malu yang mengguncang hati dan kesadaranku. Ya Rabb, ampuni si lemah ini. Dari kusam dan kotornya

Page 66: Aku bangga menjadi guru

66 Aku Bangga Menjadi Guru

penampilan sang pemulung tadi, ternyata keluar ayat-ayat indah dari bibirnya. Dia ikut menghapal dan murojaah Al-Qur’an! Sesuatu yang hampir tak kutemui di zaman kekinian. Jangankan seorang pemulung, mereka-mereka yang lebih terhormat dan punya kedudukan terpandang di masyarakat pun tidak. Ah! Tak pantas rasanya aku berkomentar. Just for myself! Look at yourself, dear. Tak malukah kau pada sang pemulung itu? dia menghapal Al-Qur’an! dan kau?! Ayo, bangkitkan kembali semangat menghapalmu! Bergerak lewati batas juz 30!

Dalam jeda waktu yang cukup lama aku masih tertegun dalam haruku. Pemulung itu telah memberiku sebuah pelajaran yang indah: Senantiasa mengingat Allah SWT dalam setiap detik dan hela napas.

Bekasi, 10 Maret 2011(Untukmu yang pernah berikrar di depan ka’bah bahwa

kau akan menjaga dan memambah hapalan Qur’anmu.)

Page 67: Aku bangga menjadi guru

67Inspirasi

Belajar Kepedulian pada “Irfan”

Ramadhan bulan penuh keberkahan. Sayang sekali Ramadhan telah berlalu terkejar Syawal. Kepergiannya menyisakan kesedihan di hati kita. Karena pada bulan Ramadhan lah kita saling berlomba meraih keberkahan dan ridha-Nya. Berpuasa (so pasti!), shalat tarawih, tadarus Qur’an, menyediakan makanan berbuka untuk orang-orang, dan yang paling booming adalah menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Subhanallah. Semoga keberkahan mengalir pada siapa saja yang telah berhasil mengisi hari-hari di bulan itu.

Bicara tentang kepedulian pada fakir miskin dan anak yatim, tiba-tiba aku teringat peristiwa beberapa bulan yang telah lewat. Peristiwa itu terjadi pada suatu hari di sebuah pagi yang cerah. Seperti biasa aku menyiapkan murid-murid berbaris di depan kelas saat bel masuk kelas usai berdentang. Kali ini aku agak kecewa, karena tidak seperti biasanya, murid-murid kecilku masih asik duduk-duduk di kursi mereka. Ada yang bergerombol, ada juga yang duduk menyendiri. Beberapa anak saja yang sudah berdiri di depan kelas. Yang lebih membuatku “dongkol” adalah mereka tidak hanya asik duduk, tapi masing-masing mulut mereka mengulum sebatang permen kojek dengan nyamannya. Tak memperdulikan teriakanku untuk cepat keluar dan berbaris di depan kelas. Akhirnya aku bimbing tangan mereka satu per satu untuk ke luar kelas. Bayangkan! Dua puluhan anak yang harus aku gandeng! Hah… Benar-benar sebuah ujian untuk kesabaranku.

Page 68: Aku bangga menjadi guru

68 Aku Bangga Menjadi Guru

“Ini kan gara-gara Irfan bu!“ Seorang murid yang sudah berdiri di depan kelas sedari tadi berbisik di telingaku. Matanya mencuri pandang pada Irfan yang dengan santainya mulai ikut berbaris.

“Memangnya kenapa dengan Irfan?” Aku mulai terpropokasi. Kupandangi Irfan penuh selidik. Sosok kecil berbadan kekar itu senyum-senyum tanpa merasa berdosa. Di bahunya tersanding sebuah tas kecil yang dipasang melintang melintasi bahu dan badannya. Mirip inang-inang tukang kredit yang suka berkeliaran di pasar-pasar.

“Irfan jualan permen bu. Lihat saja, teman-teman hampir semuanya makan permen.”

Ups…! Betul juga! Memalukan! Ini sudah keterlaluan. Pagi-pagi seharusnya murid-muridku berbaris rapih untuk kemudian membaca ikrar, citra sekolah dan berdoa bersama. Bagaimana bisa khusyu’ melakukan semua itu, kalau mulut mereka tersumpal permen kojek? Permen kojek yang dijual Irfan! Hah… darahku sudah mulai naik ke kepala. Kemarahan sudah ada di ujung lidah. Tapi, sabar bu guru! Sebuah bisikan batin mengingatkanku. Oh, baiklah… aku akan bersabar, tapi lihat nanti di dalam kelas!

Setelah anak-anak masuk kelas aku menasehati murid-muridku bahwa tidak baik makan permen pagi-pagi. Selain merusak gigi, merusak kekhusuan baris dan persiapan belajar. Kukatakan pada mereka, aku tidak melarang mereka makan atau minum, tapi ada saat-saat tertentu hal itu tak boleh dilakukan.

“Iya nih bu. Gara-gara Irfan sih pake jualan permen segala.” Hampir separuh muridku berteriak menyalahkan Irfan. Tangan mereka menunjuk Irfan berbarengan. Irfan

Page 69: Aku bangga menjadi guru

69Inspirasi

merengut malu. Tapi senyum masih terpasang dengan manis di wajahnya. Aku jadi tak tega. Tapi aku tetap harus mengingatkannya.

“Irfan, betul kata teman-temanmu, ibu juga tidak melarang siapa pun berjualan. Tapi ada waktu juga untuk berjualan dan barang apa yang boleh dijual. Jadi ibu mohon kalian memahami ini. Irfan, ibu nanti mau bicara sama kamu!” Kataku di depan anak-anak. Suaraku yang tegas rupanya membuat Irfan gentar juga. Tanpa diminta dia bangun dari kursinya dan menghampiriku. Kemudian tas selempangnya diberikan padaku dengan takut-takut.

“Nih Bu Titin, aku kasihkan deh uang jualanku.” Aku jadi trenyuh. Tapi eit… awas, jangan-jangan ini taktik Irfan untuk menggagalkan “punishmen” yang akan aku beri untuknya.

Saat bel istirahat berbunyi, Irfan kupanggil. Kemudian aku menasehatinya kembali panjang pendek, dengan gaya bahasa yang bisa dimengerti oleh anak usia kelas 1. Irfan menatapku penuh perhatian. Setelah kuanggap Irfan mengerti apa yang aku katakan, aku tersenyum dan menyuruhnya pergi.

“Nah… sekarang kamu boleh istirahat dan boleh jualan lagi. Dan ingat, tolong jangan diulangi lagi apa yang terjadi pada pagi hari ini.”

“Baik bu, terima kasih. Tapi ehmm…, tolong hitungkan uang hasil jualanku dong bu.” Irfan membuka tasnya kemudian mengeluarkan berlembar-lembar uang ribuan dari dalamnya. Subhanallah, banyak juga uang yang dia dapat!

“Banyak sekali uangnya Fan…Betul ini hasil jualanmu semua?” Kataku setengah tak yakin.

“Betul bu, nanti sore uang ini aku berikan pada mamaku

Page 70: Aku bangga menjadi guru

70 Aku Bangga Menjadi Guru

untuk kusumbangkan pada korban bencana alam.”Ups! Menyumbang korban bencana alam?! Masya Allah.

Sejenak aku tertegun dalam rasa kaget bercampur kagum yang luar biasa. Subhanallah. Kekaguman itu mengalir deras ke pembuluh nadi dan otakku. Air mata pun tiba-tiba menetes tanpa kuminta. Dengan haru kupeluk Irfan segera.

“Betul uang ini untuk korban bencana alam anakku?” Tanyaku dalam kalimat yang terbata.

“Iya! Kata mamaku, kemarin malam rumah warga kampung sebelah perumahan elit di kawasan tempat mamaku bekerja tanahnya longsor akibat hujan deras. Jadi aku ingin membantu mereka. Kasihan kan bu, rumah mereka hancur.”

Oh, Irfan anakku… murid kecilku yang kadang selalu ada saja ulahnya. Ternyata kali ini aku keliru besar! Maafkan bu guru ya nak! Tanpa menunggu waktu segera kukirimkan sort message kepada mamanya. Kutulis beberapa kalimat di layar telepon genggamku.

Terima kasih ibu, sudah mempercayakan pendidikan putra ibu di sekolah kami. Ananda Irfan yang saleh, telah membuat saya bangga dan meneteskan air mata haru pagi ini. Ananda berjualan permen dan memberikan uang hasil jualannya untuk korban bencana alam. Sebuah pelajaran kepedulian yang sederhana tapi luar biasa! Yang bahkan tidak sempat terpikir oleh saya, ibu gurunya.

Sekali lagi kupeluk Irfan dan kucium pipinya, kubisikkan sebaris kalimat ini, “Subhanallah. Terima kasih nak, kamu murid ibu yang baik. Kamu telah berikan ibu sebuah pelajaran untuk selalu peduli pada sesama!”

Page 71: Aku bangga menjadi guru

71Inspirasi

Bekasi, September 2011(Untuk murid kecilku Irfan)

Page 72: Aku bangga menjadi guru

72 Aku Bangga Menjadi Guru

Selamat Jalan Pak Karta

Pagi yang sejuk. Burung-burung kenari yang biasa bertengger di ranting-ranting pohon mangga berkicau riang. Matahari pun tersenyum mengiringi langkah kaki-kaki kecil berseragam merah putih yang mulai memasuki halaman.

“Assalamualaikum, Ricky. Wah gagah sekali pagi ini.” Sapa seorang bapak tua berseragam putih biru, dengan senyum khasnya yang menyejukkan.

“Ah, Pak Karta bisa aja. Bapak lebih gagah. Sayangnya gigi bapak sudah ompong. He..he…he.” Balas Ricky dengan candanya yang membuat Pak Karta, satpam sekolah kami, ikut tertawa.

“Teeeet…..teeeeet….teeeeeeet…” Bel sekolah berbunyi. Anak-anak yang baru turun dari mobil jemputan mempercepat langkahnya. Yang masih berada di dalam mobil berteriak panik.

“Aduh, cepetan dong, pintunya keburu ditutup nih. Lihat, Pak Karta sudah mau nutup pintu gerbang!”

“Sabar Hani! Pak Karta nggak akan sejahat itu. Pak Karta kan baik.”

“Iya…dulu aja, waktu aku baru kelas satu, aku kan suka nangis tuh karena takut ditinggal mamaku, eh, Pak Karta nemenin aku di luar kelas. Baik deh. Aku diceritain dongeng, lama-lama aku jadi betah di sekolah, nggak nangis lagi.”

Hani jadi tenang. Mata bulatnya memperhatikan Pak Karta dari balik jendela mobil. Kakek tua itu memang baik. Walaupun beliau satpam, tapi jarang marahin anak-anak kalo

Page 73: Aku bangga menjadi guru

73Inspirasi

mereka bandel. Bahkan menganggap anak-anak seperti cucunya sendiri. Hani ingat, bagaimana paniknya Pak Karta waktu ada kakak kelas yang terjatuh dari pohon mangga. Pak Karta langsung menggendongnya ke klinik. Padahal anak yang jatuh itu nakal banget sama Pak Karta. Suka ngeledekin Pak Karta, kalau dinasehati malah melawan.

“Assalamualaikum Hani! Wah, tumben nih terlambat.” Suara Pak Karta yang berat tapi lembut itu membuat hati Hani semakin tenang.

“Waalaikum salam Pak Karta. Maaf Hani terlambat. Tadi macet sekali.”

“Oh, begitu…ya sudah, ayo cepat masuk kelas. Lihat tuh Bu Lily sudah menunggu.”

“Iya pak. Terima kasih…” Begitulah. Rutinitas pagi di sekolah kami. Anak-anak

memasuki gerbang sekolah dengan riang. Disambut senyum dan sapa ramah bapak dan ibu guru. Walaupun ada di antara anak-anak yang masih kelihatan mengantuk, tapi itu pasti tidak akan berlangsung lama. Karena kemudian, mereka akan menjadi anak-anak ceria dan tak kenal lelah untuk terus bergerak dan belajar berbagai ilmu.

~~~

Pagi kembali tiba. Masih sejuk dan cerah seperti kemarin. Burung-burung kenari pun sudah memulai konsernya dari semenjak matahari bangun dari tidurnya. Mereka meloncat riang dari satu ranting pohon ke ranting yang lainnya. Beberapa orang anak berseragam hijau putih mulai memasuki pintu gerbang dengan riang seperti kemarin.

“Assalamualaikum anak-anak.” Sapaan kali ini berbeda

Page 74: Aku bangga menjadi guru

74 Aku Bangga Menjadi Guru

dari kemarin. Suaranya begitu lembut. Karena itu suara ibu kepala sekolah.

“Waalaikum salam.” jawab mereka dengan semangat. “Pak Karta kemana bu, kok tidak kelihatan. Biasanya

Pak Karta sudah menunggu kami.” Ricky bertanya penuh rasa heran. Pandangannya menyapu sudut-sudut halaman sekolah yang luas. “Pak Karta kenapa ya bu?”

“Oh, iya… sepertinya hari ini beliau tidak masuk nak. Ibu kurang tahu kenapa sebabnya. Mungkin sakit.”

“Oh…”Pak Karta tidak masuk hari ini. Tidak ada yang membuka

dan menutup pintu gerbang sekolah kalau ada tamu. Tidak ada yang meniupkan pluitnya kalau ada yang berkelahi atau memanjat pohon mangga. Tidak ada yang mengingatkan anak-anak untuk segera berwudhu untuk shalat dzuhur atau ashar. Tidak ada juga yang mengantarkan makanan dari orang tua untuk murid ke kelas-kelas. Bahkan tidak ada yang mengingatkan anak-anak untuk memakai sepatu bila main bola di halaman.

“Asyik. Pak Karta tidak masuk. Kita bisa main bola sepuasnya.” Sorak Fathur girang. Fathur paling tidak suka kalau disuruh Pak Karta push up gara-gara tidak bersepatu kalau main bola.

“Yang bener?!” Dino bertanya girang. Badannya yang tambun langsung bergoyang riang, saat Fathur menjawab dengan semangat.

“Sueeer! Pokoknya hari ini aku traktir kalian es bon-bon yang di depan itu. Mumpung Pak Karta gak ada. Kita bisa bebas keluar masuk pintu gerbang.”

Begitulah suasana hari itu. Sekolah sedikit kacau. Tapi

Page 75: Aku bangga menjadi guru

75Inspirasi

semuanya masih berjalan lancar. Insya Allah besok akan normal kembali, seandainya Pak Karta sudah masuk.

~~~

Pukul 10. Aku tergesa-gesa memasuki pintu gerbang sekolah. Kudorong pintu gerbang dengan ujung roda motorku. Brak! Sedikit keras. Ups!

“Bu guru!” Teriak murid-muridku dari dalam kelas. Suara mereka seperti sebuah koor alto. Keras dan riuh. Aduh kenapa sih. Pasti mengganggu kelas yang lain. Terburu-buru aku menuju pos satpam untuk absen. Tak ada Pak Karta di sana. Mataku terpaku pada sebuah pengumuman yang menempel di jendela kaca. Dengan rasa penasaran aku membacanya. Innalilahi wa innailaihi roji’un. Telah berpulang ke rahmatullah Bapak Karta, satpam SDIT Thariq Bin Ziyad. Pada hari ini Pukul 8.00. Astaghfirullah. Ya Allah! Dadaku berdegup kencang. Wajah Pak Karta langsung melintas di benakku. Ya Allah, laki-laki tua yang mengingatkanku pada almarhum ‘abah’ itu akhirnya dipanggil oleh Sang Pencipta.

“Bu guru, Pak Karta kan meninggal.” Sebuah suara dari sampingku. Aku menoleh refleks. Kudapati sosok mungil Ela menatapku sendu. “Ela sedih deh. Baru kemaren Ela kasih kue ulang tahun. Pak Karta senang banget. Kok hari ini sudah pergi.” Bola mata Ela berkaca-kaca. Kemudian mulai terdengar isaknya.

Kupeluk tubuh kecilnya penuh haru. Tak terasa pipiku pun ikut basah. Deras. Ela memelukku erat. Seperti seorang anak dan cucu yang kehilangan ayah dan kakeknya.

“Bu guru, Pak Karta meninggal bu. Pak Karta meninggal.” Sekejap berikutnya anak-anak yang lain ikut merubungiku.

Page 76: Aku bangga menjadi guru

76 Aku Bangga Menjadi Guru

Melihat aku menangis mereka ikut menangis. Kali ini koor alto berubah menjadi sebuah koor ‘requiem’nya mozart yang sendu. Innalillahi wa inna illaihi roji’un. Semoga Allah menerima Pak Karta di sisi-Nya. Dengan segala kedamaian kubur bagi orang-orang yang saleh.

~~~

Pagi kembali berganti. Sudah sepekan ini kulihat anak-anak setia menanti kedatangan Pak Karta di pintu gerbang sekolah. Walaupun mereka tahu Pak Karta tak akan pernah kembali. Tapi kerinduan untuk bertemu membuat mereka masih berharap sosok tua bersepeda ‘Umar Bakri’ itu akan muncul di pintu gerbang. Hani, Fathur, Ricki, Ela, Dino, dan anak-anak yang lain tak hentinya membicarakan kepergian Pak Karta. Demikian juga bapak-ibu guru dan orangtua murid.

“Hani, kok belum masuk kelas. Bel kan sudah dari tadi berbunyi.” Tegurku pada Hani yang masih mematung di pintu gerbang.

“Ehm… anu bu, Hani…Hani kangen sama Pak Karta.” Suara Hani terbata. Matanya berkaca-kaca. Aku merengkuh bahunya lembut.

“Ibu juga kangen. Tapi mau bagaimana lagi. Kita hanya bisa berdoa semoga Pak Karta di sana bahagia. Yuk masuk, Pak Karta pasti akan senang jika anak-anak belajar dengan rajin dan tertib.”

Burung-burung kenari masih berkicau di antara ranting pohon mangga. Matahari pun masih bersinar ceria. Seperti kemarin. Menemani kami belajar dengan tenang.

Page 77: Aku bangga menjadi guru

77Berbagi

Walau ada yang terasa hilang di sini. Namun kami akan tetap menyimpannya dalam kenangan yang indah. Sosokmu yang bersahaja dan ramah. Wajahmu yang memancarkan kesalehan dan ketabahan. Semangat juangmu dalam menghadapi kehidupan, akan kami jadikan teladan. Selamat jalan Pak Karta. Biarkan kami merindukanmu dan merasakan kehadiranmu di sini, di pintu gerbang sekolah kita.

(Untuk Pak Karta (alm) : Terima kasih telah menjadi bagian dari kami.)

Page 78: Aku bangga menjadi guru

78 Aku Bangga Menjadi Guru

Page 79: Aku bangga menjadi guru

MOTIVASI

Aku Pasti Bisa

I Love U, Bu Titin

Mimpi

Tegar

Ya Rasulullah, Aku Rindu Pada-mu

Aku Bangga Jadi Guru

M

Page 80: Aku bangga menjadi guru

80 Aku Bangga Menjadi Guru

Aku Pasti Bisa!

Hari itu adalah hari yang melelahkan bagi Bu Tita, seorang guru kelas 1 sebuah sekolah dasar swasta. Padahal hari itu Bu Tita, sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Jadwal dan rencana kegiatan harian, panduan guru, bahkan alat peraga dan LKS penunjang kegiatan belajar mengajar sudah tersedia komplit. Tapi saat masuk kelas, segala rencana yang sudah terprogram dalam kepala buyar sudah. Apa pasalnya?

Berawal dari tangisan Zaidan, yang pagi itu datang ke sekolah terlambat. Kelas yang semula tertib, berubah menjadi seramai pasar. Apalagi saat raungan Zaidan membahana kelas, karena tak ingin ditinggal pergi ibunya. Tangan gempalnya memegangi rok ibunya dengan erat. Sementara sang ibu berkeras melepas pegangannya. Bu Tita berusaha memegang badan bongsor Zaidan agar bisa lepas dari ibunya. Akhirnya, Zaidan bisa dipegang dan dikendalikan, setelah memakan waktu 10 menit, dengan segala bujuk rayu dan kata-kata motivasi. Namun baru saja Bu Tita mendudukkan Zaidan di kursinya, terdengar teriakan anak-anak lainnya, “Bu guru, Farel berantem sama Naufal… Farelnya nangis bu…” Hhh… napas lega Bu Tita pun mengambang di udara. Berganti dengan tumbuhnya ‘tanduk’ di kepala. Belum lagi di jam berikutnya, air minum Linda yang tumpah membasahi meja dan lantai. Dava yang BAB di celana. Faza yang tidak mau makan. Semakin menambah ‘tanduk-tanduk’ lain bertumbuhan di kepala. Bahkan ‘ekor’!

Page 81: Aku bangga menjadi guru

81Motivasi

Rangkaian masalah itu tidak cukup hanya hari itu. Bisa jadi dalam 1 pekan berulang 3 sampai 4 kali! Kadang masalah yang sama, kadang berganti dengan problem yang lain. Tapi tetap intinya: masalah! Membuat pening kepala dan penat tubuh. Yang lebih parah lagi terkadang memunculkan sebuah keputusasaan dan sebuah keinginan untuk berhenti saja menjadi seorang guru. Apalagi jika masalah itu ditambah dengan masalah pribadi, keluarga, orangtua murid yang complain, dan lingkungan kerja yang kurang mendukung. So, apa yang harus dilakukan?

Katakan aku pasti bisa menghadapi masalah ini! Itulah hal pertama yang sebaiknya dilakukan. Sebuah kalimat sederhana. Terdiri dari 3 kata, yang jika diucapkan seorang balita pun akan mudah dikatakan. Apalagi oleh kita, yang menurut katagori departemen ketenagakerjaan, tergolong ke dalam manusia usia produktif. Produktif dari segi komunikasi maupun produktif dari segi kerja nyata.

Namun pada kenyataannya, tak banyak di antara kita yang mau mengatakan 3 kata sederhana ini dalam kehidupan sehari-hari. Manakala kita dihadapkan pada permasalahan hidup yang sederhana, apalagi permasalahan yang rumit. Bahkan kita cenderung berusaha untuk menghindari masalah, dengan dalih tak mau repot ataupun malas menghadapinya. Padahal terkadang, ketika akhirnya kita terpaksa harus menghadapinya juga, kita bisa menyelesaikan masalah tersebut tanpa kita sadari. Dan tatkala masalah itu berakhir, kita mengatakan: Finally…akhirnya…. Dengan sebuah tarikan napas panjang yang lega.

Kalau kita mau jujur, masalah sebenarnya adalah bumbu penyedap dalam kehidupan. Hidup tanpa masalah membuat

Page 82: Aku bangga menjadi guru

82 Aku Bangga Menjadi Guru

dinamika kehidupan berjalan stagnan. Pasif. Cenderung membuat seseorang jadi non kreatif, alias tidak cerdas. Karena dengan adanya masalah, seseorang dituntut untuk berusaha menghadapi dan berpikir, bagaimana dia bisa menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan lebih dari itu, seorang yang kreatif dan cerdas, akan rindu dan merasa tertantang dengan semakin banyaknya masalah dan rintangan yang ia hadapi. Seperti dituliskan salah seorang tokoh dari 18 tokoh Abad ke-20 yang paling dikagumi, Helen Keller : “Bergembiralah! Jangan pikirkan kegagalan hari ini, pikirkanlah kesuksesan yang akan datang esok. Sukses akan diraih jika engkau gigih dan akan engkau temukan kegembiraan dalam menaklukan berbagai rintangan.” (Dikutip dari : Wanita Pembawa Cahaya: Kisah Helen Keller, Gadis Buta Tuli Bisu yang Menginspirasi Dunia).

Maka hadapilah masalah dengan tenang. Yakinkan hati bahwa kita bisa menanganinya dengan baik. Tentu saja dengan taktik dan metode yang kita kuasai. Trial dan error adalah hal biasa dalam menyelesaian sebuah permasalahan. Bahkan akan memperkaya perbendaharaan metode pendekatan kita dalam menghadapi permasalahan. Dan setelah kita mampu menghadapi setiap masalah, kita pun akan bisa mengatakan dan meyakinkan pada orang lain dan bahkan pada murid-murid kita di kelas : Katakan aku pasti bisa! Jangan menyerah apalagi mengatakan aku tak bisa!

Ada sebuah pengalaman menarik yang pernah saya alami, yang ingin saya bagi dalam tulisan ini. Pengalaman yang terjadi setahun lalu, saat saya mengajar murid-murid kelas 1 SD. Ketika saya mengajarkan sebuah pelajaran, banyak di antara murid saya mengatakan: “Bu guru, aku tidak bisa.”

Page 83: Aku bangga menjadi guru

83Motivasi

Saat itu saya menjawab: “Jangan pernah mengatakan aku tak bisa nak. Katakan aku bisa! aku pasti bisa! Karena Allah menciptakan manusia dengan bahan baku yang sama. Kalau teman-teman yang lain bisa, maka kamu pun pasti bisa!”

Subhanallah, ternyata kekuatan kata aku pasti bisa berdampak luar biasa. Sejak saat itu, jika ada seorang murid saya mengatakan aku tak bisa, maka teman yang lain akan menjawab katakan aku pasti bisa. Maka murid saya itu langsung bersemangat untuk mengerjakan tugasnya dengan baik. Bahkan hati saya sangat tersentuh saat seorang murid perempuan saya menulis sebuah surat yang masih saya simpan sampai saat ini. Surat itu berisi rangkaian kalimat sederhana :

“Bu guru, terima kasih, sekarang aku sudah bisa membaca Al-Qur’an. Karena ibu pernah bilang padaku, katakan aku pasti bisa. Aku selalu mengingat kata-kata itu. Dan aku bisa membuktikannya sekarang. Ternyata aku bisa baca Al-Qur’an.”

Berkaca dari pengalaman tersebut, ayo! Mari kita coba untuk selalu mengatakan aku pasti bisa saat menghadapi setiap permasalahan. Dan rasakan sensasi kata-kata itu menjalari otak kita, untuk kemudian otak kita akan memerintahkan bagian tubuh yangn lain bergerak untuk memulai tahapan-tahapan penyelesaian masalah tersebut. Diiringi awalan kata bismillah, insya Allah kita akan merasakan dampak yang luar biasa dari kekuatan kata-kata aku pasti bisa!

Semangat mengalahkan kelemahan dan menguatkan tubuh… yakinlah itu!

Page 84: Aku bangga menjadi guru

84 Aku Bangga Menjadi Guru

Bu Titin, I Love You…!

Baru saja aku menerima slip gaji bulan terakhir. Penasaran aku membuka dan melihat berapa besaran angka yang tertera di sana. Seperti yang kuperkirakan, angka rupiahnya turun beberapa ratus ribu dari biasanya. Ada perih yang menggigit tiba-tiba di hatiku. Bahkan air mata sudah mulai merembes di kedua kelopak mataku. Tuhan, jangan biarkan aku menangis. Sungguh! Aku tak ingin menangisi sesuatu yang sudah aku persiapkan diri untuk kuat menghadapinya. Tolonglah Tuhan, bisikku berkali-kali.

Ya, aku tahu semua ini akan menimpa diriku. Setelah kejadian yang sangat “patal” itu, beberapa waktu yang telah silam. Peristiwa itu mungkin memang tak seharusnya terjadi, andai aku bisa seperti teman guru yang lain. Tidak usah banyak protes dan banyak tingkah terhadap kebijakan orang-orang di atas sana. Apalagi posisiku saat itu sedang menanjak di level yang lebih tinggi dari teman-teman yang lain. Seharusnya aku manut dan mendukung tiap kebijakan para pejabat di atasku. Tapi entah mengapa, hati kecilku terus terusik untuk mengoreksi sebuah kebijakan yang menurutku salah. Bahkan bisikan nurani itu terus mendesak di setiap ujung shalat malamku. Saat aku berkhalwat dan bermunajat di hadapan-Nya. Hingga akhirnya aku putuskan untuk menyampaikan sesuatu yang menurutku benar (dan bahkan mungkin oleh teman-teman yang lain, hanya saja mereka tak berani) di hadapan semua yang hadir pada majelis syuro akbar pertemuan rutin kami.

Page 85: Aku bangga menjadi guru

85Motivasi

Ternyata apa yang aku lakukan berakibat patal. Hingga aku merasa, semuanya berjalan lamban dan terasa menyakitkan sesudahnya. Sampai akhirnya saat diumumkan nama-nama para pimpinan di awal tahun ajaran baru, namaku tidak ada lagi di antara nama yang disebutkan. Entahlah. Apa betul memang karena “ketidakpatuhan”ku yang mengganggu atau karena memang “ketakmampuan”ku dalam bekerja. Yang jelas, aku harus menerima kenyataan bahwa aku harus menjadi wali kelas kembali. Sungguh ironis. Di saat orang bergembira dengan kenaikan jabatan dan pangkat yang berimbas pada meningkatnya gaji yang diperoleh, aku justru mengalami hal sebaliknya. Jabatan dan gajiku turun dengan drastis. Aku harus menerima semua itu dengan lapang dada. Sebuah konsekuensi dari sebuah keputusan untuk bertindak. Semoga aku tidak salah langkah, walau sebagian orang mungkin mencibir dan menertawakanku. Aku yakini satu hal : Allah Maha Tahu segalanya. Aku tak pernah menyesali apa yang kulakukan.

Mungkin memang sudah guratan takdir, hal ini harus menimpaku. Aku yang semestinya bisa terus meningkatkan karier di barisan pimpinan, ternyata harus kembali ke titik nadir sebuah awal perjalanan : menjadi guru kembali! Tapi sungguh, aku tak akan pernah menyesali keputusanku untuk menjadi ‘guru biasa saja’. Tak akan pernah. Apalagi setelah peristiwa yang sungguh membuatku terharu hari itu, hari di mana aku menerima slip gaji pertama untuk posisi jabatanku yang turun menjadi guru kelas kembali. Sementara teman-teman yang lain justru gembira melihat kenaikan gaji yang mereka peroleh.

Page 86: Aku bangga menjadi guru

86 Aku Bangga Menjadi Guru

Masih terekam dengan jelas, sore itu aku pun pulang dengan hati sedih. Motor tuaku seolah tahu suasana hatiku saat itu, hingga ia patuh berjalan lambat menyusuri lalu lintas jalan raya yang padat merayap. Air mataku akhirnya tak dapat kubendung. Mereka tumpah membasahi pipiku. Tuhan, tolonglah aku tak ingin menangisi sesuatu yang tak pernah aku sesali untuk melakukannya. Tolonglah Tuhan! Bisikku kembali berkali-kali.

Aku tak sekuat yang aku perkirakan. Bohong besar ternyata kalau sebelumnya aku selalu berkata pada diriku sendiri, bahwa aku pasti bisa menghadapi konsekuensi dari turunnya jabatanku ini. Rasa malu, marah, belum lagi penyesalan dari keluargaku atas kecerobohan yang aku buat, ternyata kadang membuatku menjadi lemah juga. Hari itu aku bisa merasakannya. Bisikan untuk keluar saja dari tempat kerja dan mencari kerja yang baru sesuai dengan keinginan dan anganku mulai menggoda hatiku kembali. Ditingkah persetujuan dari rasa marahku, karena merasa diperlakukan tidak adil. Apa sebaiknya aku putuskan untuk kembali ke duniaku yang sesungguhnya, dunia pertanian? Berulang kali aku mengkaji dan bertanya dalam hati, di antara deru motor tuaku. Terngiang kembali percakapan beberapa hari yang lalu dengan suamiku,

“Ada lowongan untuk PNS di dinas pertanian yah, apa ibu coba ikut tes saja ya?”

“Boleh juga dari pada ibu kelihatannya merana seperti ini. Kalau ayah jadi ibu, mungkin ayah sudah go out saja deh.”

“Baiklah, ibu coba”Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Tuhan, kalau memang

Page 87: Aku bangga menjadi guru

87Motivasi

takdirku untuk berhenti dari dunia pendidikan, aku ridha, aku akan menyiapkan diri untuk pergi. Walau teramat berat rasanya meninggalkan dunia yang aku cintai itu. Bergaul dan berkeseharian dengan dunia anak-anak yang polos dan ceria. Bersama mereka, serasa aku berada di dunia tanpa duka. Anak-anak sering mebuatku tersenyum dan tertawa. Sungguh, tak dapat kubayangkan betapa sepi duniaku tanpa kehadiran murid-murid kecilku.

Bahuku berguncang menahan tangis. Untung kaca helm melindungi kepala dan wajahku, hingga tak ada orang yang melihatku dalam kondisi menyedihkan itu. Tiba-tiba, dari arah yang berlawanan, aku mendengar suara teriakan beberapa remaja bersepeda menyapaku.

“Bu Titin, I Love You.!”Refleks aku mencari sumber suara itu. Beberapa orang

ikut menengok kaget ke arah mereka. Oh, Subhanallah! Kelompok remaja berseragam SMP itu ternyata mantan muridku saat mereka SD dulu.

“I Love You Bu Titin, so much.” Kembali mereka berteriak dan melambaikan tangan ke arahku di antara deru motor dan klakson mobil yang bersahutan. Orang-orang yang mendengar teriakan mereka ikut menoleh ke arahku. Aku membalas lambaian tangan mereka dengan gugup. Ada geletar bahagia yang tak dapat aku lukiskan saat itu. Betapa harunya aku mendapat ungkapan cinta dari murid-muridku di tengah khalayak ramai seperti itu. Aku merasa seperti seorang selebritis yang punya banyak penggemar. Aku merasa orang-orang yang berada di sekitarku tersenyum bangga juga untukku. Aku merasa 5 orang remaja bersepeda itu terlihat bak ratusan remaja yang tengah melambaikan

Page 88: Aku bangga menjadi guru

88 Aku Bangga Menjadi Guru

tangan dan menyerukan kalimat yang sama untukku :”I love you, Bu Titin.”

Subhanallah. Seketika rasa sedih itu menyurut. Ada semangat baru yang menyala kembali di hatiku. Tumbuh sebuah kesadaran bahwa jabatan dan materi bukanlah apa-apa dibanding kebahagiaan yang kudapat dari ungkapan cinta yang tulus para muridku. Berkelebat kembali potongan-potongan peristiwa saat aku menjadi wali kelas mereka. Kadang ada rasa jengkel dan marah, kadang tertawa, bercanda dan bermain bersama. Bahkan kadang menangis bersama mereka. Semoga saja kebersamaan yang pernah kami alami akan terus dikenang sampai mereka dewasa dan menjadi orang-orang besar. Walau mungkin aku tak akan pernah mendapat materi atau apa pun dari mereka, saat mereka berhasil suatu hari nanti. Aku cukup bangga dan bahagia bahwa aku pernah menjadi bagian dari hidup mereka. Membimbing dan mengajari mereka hal-hal baru yang belum mereka tahu saat mereka kecil dulu.

Terima kasih anak-anakku untuk cinta yang kalian ungkapkan pada bu guru. Biarlah ibu tetap menjadi guru seperti ini. Ibu berjanji pada diri sendiri, akan berusaha untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kualitas ibu sebagai seorang pengajar dan pendidik, agar bisa menghasilkan karya terbaik dan mampu mencetak generasi yang berkualitas dan tangguh di masa depan. Sungguh, ibu tak akan pernah menyesali keputusan ibu, untuk tetap memilih jadi seorang guru! Guru yang biasa saja, tapi punya kualitas yang luar biasa. Guru yang tangguh menghadapi tantangan kehidupan.

Page 89: Aku bangga menjadi guru

89Motivasi

Bekasi, 24 Oktober 2011(Catatan kecil untukmu : biarkan bumi menyimpan namamu dalam diamnya, teruslah kau berlari dan

berkarya!)

Page 90: Aku bangga menjadi guru

90 Aku Bangga Menjadi Guru

Mimpi itu Gratis...

“Apa impian ibu yang ibu anggap sudah tercapai sampai hari ini ?” Pertanyaan suamiku yang tiba-tiba itu membuatku agak tercenung, bingung.

“Hm... apa ya?”“Kalo ayah, Alhamdulillah... rasanya beberapa bahkan

hampir semua mimpi yang pernah ayah rajut dalam benak dari selagi muda, sudah tercapai. Menikah, punya empat orang anak, punya rumah di daerah yang ayah inginkan, punya mobil, insya Allah naik haji, ya hampir semua.”

Aku masih terdiam. Hebat betul ‘sayap hidupku’ ini, batinku. Rencana hidupnya memang bermula dari mimpi-mimpi. Sedangkan aku? Kubiarkan hidup mengalir bagaikan air. Ikuti saja ke mana alirannya akan menuju. Yang penting aku bisa menghadapi batu, karang, sampah atau kotoran yang kuanggap sebagai cobaan hidup, bersama aliran itu.

“Bahkan kini ayah punya mimpi untuk lima belas atau dua puluh tahun yang akan datang.” Kembali suamiku berkata. Matanya berbinar cerah menatapku yang masih terbengong, bingung.

“Apa?” Balasku takjub.“Hmm ibu pasti tertawa.”“Lho, ngapain tertawa. Bukankah kita sudah sepakat,

bahwa: apa sih yang tidak mungkin kalo kita meminta pada Allah? Apapun permintaan kita, urusan dunia kek, urusan akhirat kek.” Aku sedikit cemberut. Tertawa itu kan melecehkan, ya ga mungkinlah, wong namanya juga bercerita

Page 91: Aku bangga menjadi guru

91Motivasi

tentang impian, apa salahnya. “Hmm ayah punya mimpi menjadi bupati.”Ups! Eit... bener kan! Hik..hik... hik... akhirnya aku tak

tahan untuk tidak tertawa. “Tuh, kan!”“Eh, sory, bukan begitu. Hanya mimpi yang aneh ibu

rasa. Kok bisa mimpi jadi bupati. Jauh dari basic aja gitu. Ayah sekarang menekuni dunia perdagangan. Cenderung menjauh dari dunia perpolitikan karena sedang dikecewakan. Kok bisa.”

“Eit ingat, tak ada yang tak mungkin kalo kita memintanya pada Allah. Lagi pula, ayah sih hanya ingin membuktikan bahwa sebenarnya ayah juga bisa kok untuk berprestasi. Ayah prihatin melihat kondisi kepemimpinan sekarang ini. Ayah ingin bisa menjadi Umar bin Abdul Aziz, atau Said bin Amir al-Jumhi, yang bisa meredam ego keduniawiannya saat mereka menjadi pemimpin. Bupati kita sekarang aja, lima belas tahun yang lalu tuh bukan siapa-siapa.”

“Ya deh, amiin. Kalau ibu sih ga muluk-muluk. Ibu punya impian jadi penulis dan guru yang kaya raya. Kalau sudah kaya, ibu mau membuat perpustakaan dan sekolah untuk anak-anak yatim-piatu dan dhuafa. Kalau ibu jadi penulis yang produktif, ibu juga nggak ingin minta dibayar. Biarkan uang hasil tulisan ibu disumbangkan untuk anak yatim-piatu dan dhuafa itu. Ibu ingin menjadi sahabat mereka. Sahabat terdekat anak-anak yatim dan dhuafa. Sungguh, ibu teramat ingin.“ Kalimatku mulai terbata pada akhirnya. Ya, aku selalu terbawa perasaan saat membayangkan impianku itu.

Bayangan di masa kanakku berkelebat. Aku teringat teman-teman masa kecilku dahulu. Di antaranya ada seorang

Page 92: Aku bangga menjadi guru

92 Aku Bangga Menjadi Guru

anak lelaki bertubuh kurus. Usianya lebih muda beberapa tahun dariku. Ia tinggal bersama ayahnya. Namun lebih sering ‘ngalong’ di rumah siapa saja yang saat itu ia tertidur. Bahkan tak jarang tidur di teras rumahku yang sering dijadikan tempat ‘kongkow’ nya para pemuda. Ibunya bukan tak mau mengasuh dan mengurusnya. Ibunya sedang mencari nafkah ke luar negeri sebagai TKW. Jadi temanku ini tak ada yang mempedulikan. Bahkan sekolah atau tidak pun, tak ada yang mengingatkan. Aku yang mudah merasa kasihan, langsung berinisiatif untuk menjadikannya adik angkat dan menyemangatinya untuk bersekolah.

Ada lagi kisah tentang si Rasyid. Teman masa kanakku juga. Ibunya meninggal dunia saat ia berusia kurang dari sepuluh tahun. Akhirnya tinggallah Rasyid bersama ayahnya. Itu pun dengan kepengurusan yang seadanya. Badannya ‘budugan’, bajunya robek di sana sini. Kadang tak makan seharian ketika ayahnya pergi bekerja. Tentang sekolahnya? Jangan ditanya. Untuk makan saja susah, apalagi untuk sekolah. Apalagi kemudian sang bapak menyusul sang ibu menghadap ilahi.

Duhai Rabb, kasihan kan mereka, tidak ada yang peduli! Makanya aku sangat ingin menjadi bagian dari hidup mereka. Ingin melihat mereka bahagia dan tertawa. Ingin membantu membuatkan sekolah untuk mereka, supaya mereka kelak bisa mandiri dan punya peran dalam kehidupan mereka di masyarakat kelak. Mereka pun punya kesempatan dan hak yang sama dengan anak-anak yang lain. Hak mereka adalah kewajiban bagi kita. Kewajiban untuk berbagi sebagian rejeki yang telah Allah berikan pada kita.

“Bagus, sebuah impian yang bagus. Yakinlah, tak

Page 93: Aku bangga menjadi guru

93Motivasi

ada yang tak mungkin bila kita memintanya pada Allah!” Suamiku tak menertawakanku. Justru memberikan motivasi yang membuat semangatku hidup. Semangat untuk terus menyimpan dan membangun mimpi-mimpiku kembali.

“Kalau begitu, Ade ingin jadi mentri pendidikan deh. Biar sekolah orang-orang gratis!” Tiba-tiba anakku nomor dua, Abdullah Azzam, yang sedari tadi asik dengan mainannya, menyeletuk ringan.

“Amin nggak apa-apa. Mimpi Ade sungguh indah dan mulia. Siapa pun boleh bermimpi. Mimpi itu gratis kok. Semoga Allah mendengarkan harapan kita malam ini.”

Aku menatap putra nomor duaku itu dengan pandangan takjub. Ternyata dia punya pemikiran yang dewasa juga! Segera aku aminkan dengan khusyu’ harapan dan mimpinya itu. Aku sangat berharap, satu saat nanti akan ada generasi penerus yang mempunyai idealisme tinggi untuk membangun negeri ini. Generasi yang tidak hanya sekadar punya idealisme tinggi, namun bisa menjaga dan mengawalnya sampai akhir hidup. Walau mimpi itu tak bisa terwujud oleh anak-anakku, mungkin bisa terwujud oleh murid-murid kecilku.

Nah, mari kita rajut mimpi-mimpi kita. Andai mimpi itu sudah tercapai, buatlah kembali mimpi yang baru! Mimpi indah yang mampu membangkitkan gairah hidup kita. Mimpi yang akan memandu langkah kita dalam menjalani hari-hari di masa depan. Tulislah rencana-rencana hidup kita dengan pensil, namun berikanlah penghapusnya pada Tuhan. Biarkan Dia yang menghapus rencana-rencana kita yang salah, dan menggantikannya dengan yang baru, yang lebih baik untuk hidup kita.

Page 94: Aku bangga menjadi guru

94 Aku Bangga Menjadi Guru

Untuk sayap hidupku, pasangan yang telah Allah pilihkan untukku, terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku. Dengan segala kekurangan dan kelebihanmu, kau telah

memacuku untuk menjadi kuat dan mandiri.

Page 95: Aku bangga menjadi guru

95Motivasi

Tegar

“Mohon perhatian kepada nama-nama yang disebutkan berikut ini, diharapkan segera berkumpul di ruang kepala sekolah.” Demikian awal bunyi panggilan yang menggema di seantero sekolah pagi itu. Kupingku langsung berdiri, menyimak.

“Bapak Yosef Wahyono, Bapak Momon Salamon, Bapak Firman Sumpena, Bapak Oke Haryadi, Bapak Malik Sejahtera, Ibu Sinta, Ibu frita, Ibu ….” Sembilan nama yang disebutkan, tak termasuk namaku. Namun sebuah pertanyaan menggantung di hati : Ada apa ya?

Jawaban kudapat lewat sedikit bisikan dari teman di kantor guru: “Tufung.…” Sambil matanya agak mendelik sebal, karena namanya pun tak termasuk daftar yang dipanggil tadi.

“Oh…” Jawabku acuh. Tapi, Ups!!! Tunggu dulu. Kéheula. Sakedap! Kalau nggak salah Tufung itu kan kependekan dari tunjangan fungsional? Itu loh, tunjangan finansial yang dialirkan pemerintah pusat untuk guru-guru PNS maupun swasta. Oh no, it’s trouble atuh. Kok namaku dan nama beberapa teman yang lebih sepuh nggak ada ya? Padahal tahun-tahun sebelumnya kita dapat tunjangan tersebut. Wah, ada apa nih. Aya naon yeuh. Yang pasti sih, ini bukan keinginan sekolah, apalagi keinginan kepala sekolah. Beliau pasti menginginkan kesejahteraan bagi seluruh staf-nya. Tapi mau gimana lagi? Mau teriak : “Oi… ini tidak adil!”. Bukan karena iri pada teman-teman satu sekolah yang dapat loh,

Page 96: Aku bangga menjadi guru

96 Aku Bangga Menjadi Guru

karena insya Allah, di sekolah kita selalu diterapkan asas adil, peduli, dan kasih sayang. Tapi ini lebih ditujukan pada orang di atas sana yang telah mengatur ini semua! Atau mau demo ke gedung DPRD yang letaknya tak jauh dari bangunan sekolah? Ini juga bukan kebiasaan kaum kita, yang menganut asas istiqomah, ikhlas, qonaah. Apalagi untuk urusan uang, yang notabene urusan dunia full. Ngisinkeun ah! Akhirnya ya sudahlah. Memang hanya orang-orang yang beriman saja yang berhak mendapat.

Gambaran peristiwa di atas memang real, nyata terjadi baru-baru ini. Menambah helaan nafas berat yang memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kami, guru-guru swasta yang ada di distrik kota. Bukan karena ketidak ikhlasan kami dalam menjalankan tugas. Tapi lebih pada sebuah hak, yang memang sudah sepantasnyalah kami dapatkan. Karena kalau mau dirunut dan didata, ketidak adilan itu tidak hanya baru kali ini saja terjadi. Tapi sudah sering. Beberapa contohnya adalah sertifikasi guru dalam jabatan, baru satu orang yang tembus sertifikasi. Honor daerah yang tidak tahu kabar kelanjutannya. THR guru dari Pemda yang masih disunat sana-sini, padahal besarnya tidak lebih dari harga sekarung beras 20 Kg. Astaghfirullah.

Terlepas dari gunjang-ganjing persoalan hak guru di level institusi, adalah sebuah nurani sehat yang masih bisa mengendalikan semua itu. Dalam ketidakpastian: hendak kemanakah, lalu bagaimanakah nasib kami selanjutnya?, dunia pengabdian tetaplah bergulir seperti sebuah roda. Jika pengabdian itu terhenti, maka bagaimanalah nasib anak-anak didik kita? Yang pada merekalah tercermin segala obsesi dan idealisme yang tertancap erat saat kita memilih

Page 97: Aku bangga menjadi guru

97Motivasi

guru sebagai ladang amalan hidup. Obsesi dan idealisme bahwa suatu saat negeri ini akan berubah. Berubah menjadi lebih baik, dibawah pimpinan yang mungkin, salah satunya, atau bahkan semuanya, adalah murid-murid yang pernah kita bina dan didik. Subhanallah, alangkah indahnya! Sekarang kita mungkin memang belum mendapatkan kue pembangunan itu, tapi insya Allah, kita sudah menanamkan pondasi kejujuran, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan untuk generasi masa datang.

Kisah menarik berikut mungkin bisa kita jadikan sebuah renungan. Seorang guru sederhana, dengan pengabdian lebih dari dua puluh tahun, tak kunjung mendapatkan hak seperti pada umumnya teman sejawatnya. Tatkala beliau ditanya, bagaimana perasaan saat menghadapi masalah seperti ini, beliau dengan wajah ikhlas penuh senyum berkata: “Saya tak menginginkan apa-apa dalam hidup ini. Tapi kalau boleh saya meminta pada Allah, satu hal saja, yang bahkan saya rela gadaikan seluruh hidup dan pengabdian saya, yaitu semoga murid-murid saya, anak didik saya, berhasil dalam menghadapi hidupnya. Berhasil menjadi orang saleh dan punya arti bagi kehidupan orang banyak.”

Subhanallah, tak ada yang lebih indah dari ungkapan cinta dan pengabdian yang mendalam dari seorang guru, seperti gambaran peran yang diungkapkan seorang teman sejawat dalam facebooknya : “Puisi Aku Seorang Guru. Lihatlah, seharian aku telah diminta menjadi seorang aktor, teman, penemu barang hilang, psikologi, pengganti orang tua, penasehat, hakim, pengarah, motivator, dan pembimbing ruhani murid-muridku.”

Ungkapan cinta dan pengabdian yang tulus, akan

Page 98: Aku bangga menjadi guru

98 Aku Bangga Menjadi Guru

berbuah ketulusan dan cinta yang sama dari murid-murid kita. Seperti diungkapkan beberapa di antara mereka kepada guru-gurunya di bawah ini:

“Bu guru, ibulah orang terakhir yang akan saya lupakan di dunia ini.”

“Bu guru, ibu seperti buku dyariku, selalu mau mendengarkan aku saat suka maupun sedih. Aku sayang sama ibu.”

“Pak guru, kalau aku jadi dokter nanti, bapak berobat sama aku gratis!”

“Kalau aku jadi pilot nanti, aku mau ngajak bu guru dan pak guru ke Mekkah, untuk ibadah haji.”

Masih banyak lagi ungkapan cinta dan sayang mereka yang lain. Membuat hati kita menjadi haru, tak ingin rasanya melepas status dari seorang guru. Membuat kita tetap bisa bertahan untuk tegar. Sampai kapan pun. Kita harus tetap tegar! Karena tegar adalah bukti sebuah cinta. Cinta pada pengabdian kepada Allah dan Rasul-Nya.

Page 99: Aku bangga menjadi guru

99Motivasi

Bila engkau bekerja dengan cintaItu berarti engkau menenun dengan sutra dari hatimu

Seakan kekasihmu sendiri yang mengenakannyaItu berarti engkau menabur dalam kelembutan, memetik

dengan sukacitaSeakan kekasihmu sendiri yang menikmatinya di meja

perjamuanKerja adalah cinta yang nyata, kasih yang tampak.

(Bekasi, 6 Desember 2009 : Untuk para pahlawan pendidikan.)

Page 100: Aku bangga menjadi guru

100 Aku Bangga Menjadi Guru

Ya Rasulullah, Aku Rindu Padamu…

Aku tak pernah mengenalmu. Aku pun tak pernah bertemu dengan sosokmu. Kemarin, kemarin lusa, hari ini, esok, atau esok lusa, bahkan mungkin hingga kehidupan di dunia ini terhenti. Aku mungkin tak akan pernah bisa melihat wajahmu yang agung dan meneduhkan. Padahal sungguh, keharuman dan kebesaran namamu terlanjur mendarah daging dalam benakku, hingga kerinduan itu kadang membuat dadaku bergetar. Melebihi getaran rindu akan ayah, ibu atau manusia yang aku cintai lainnya.

Namamu yang agung telah sering aku dengar semenjak aku mengenal dunia pendidikan bernama madrasah. Sejarah hidup dan kemuliaan akhlakmu mulai aku pelajari dengan seksama tatkala aku berkenalan dengan dunia dakwah. Biografi yang memuat tentang dirimu dari masa sebelum lahir dan sesudah wafatmu tak pernah bosan kubaca dan kusimak, membuatku semakin jatuh hati dan merindui sosok agungmu. Lalu bagaimana caranya agar aku bisa bertemumu duhai kekasih?

Karena hari demi hari, zaman dan waktu semakin menjauh dari masamu, namamu memang sering bergema dan diagungkan ribuan bahkan jutaan umatmu di berbagai penjuru dunia. Shalawat dan salam tak lekang digumamkan mengiringi setiap sebutan namamu. Namun bukan itu yang ingin kudengar. Bukan wahai Rasulullah. Bukan hanya sekedar itu.

Page 101: Aku bangga menjadi guru

101Motivasi

Aku merindui kembalinya nilai-nilai Islam yang pernah kau tanamkan dalam kehidupan umat ini. Aku menantikan saat di mana akhlak luhur yang pernah kau contohkan menjadi adab harian kami kembali. Aku inginkan hukum-hukum Islam kembali tegak di muka bumi ini. Aku berharap umat mu bisa berdiri dengan dada tegak dan wajah penuh senyum kedamaian mengayomi seluruh penjuru dunia. Menebar kasih sayang dan perdamaian di manapun berada. Aku ingin, sangat ingin dunia ini disesaki manusia-manusia yang berakhlak sepertimu. Jujur, amanah, penuh tanggung jawab, mengasihi sesama, cerdas, tegas, dihormati kawan dan lawan, dan sederet akhlak dan sifat muliamu yang lainnya.

Duhai kekasih Allah, ada rangkaian cerita yang sangat ingin kubagi denganmu saat ini. Saat kesedihan semakin menggunung namun aku tak tahu kepada siapa akan kubagi. Kesedihan yang kudengar, kulihat, kubaca dan kualami dari berbagai lintasan peristiwa dan waktu. Kesedihan tentang banyak hal. Tentang kehidupan sosial, kehidupan ekonomi, budaya, politik dan agama di negriku, bahkan di seluruh negri yang di dalamnya berkembang juga Islam, agama dan risalah yang telah kau wariskan untuk kami, umatmu.

Aku terkenang perjalanan ziarahku setahun lalu di tanah suci-Nya. Jauh-jauh hari geletar rindu sudah bergema merdu menantikan perjumpaan dengan negri di mana kau pernah ada. Terbayang dalam benakku, sosok kharismatikmu berdiri dan memimpin umat dengan bijak dan penuh kasih. Tergambar dalam pikirku betapa tak mudah kau semai benih ajaran-Nya pada umat di zamanmu. Pengorbanan jiwa, raga, darah, dan cucuran air mata tak terhitung lagi jumlahnya. Ejekan, cacian, hinaan, dan kekerasan adalah bagian yang tak

Page 102: Aku bangga menjadi guru

102 Aku Bangga Menjadi Guru

pernah terlewatkan dalam hidupmu. Namun kau tak pernah mengeluh ya Rasulullah.

Berkelebat lintasan peristiwa, saat kau sujud dengan khusyu’ di depan Ka’bah. Seseorang melemparimu dengan kotoran unta yang menjijikan, hingga Fatimah putri kesayanganmu membersihkannya sambil bercucuran air mata. Kau tak membalas perlakuan itu. Kau hanya diam dan berdoa pada Rabbmu. Kau mohonkan ampunan untuk orang yang menganiayamu itu dan mengatakan bahwa dia lakukan itu karena tak tahu. Subhanallah.

Melintas kembali sepotong cerita tentang pengemis buta yang selalu memaki dan menjelek-jelekkan namamu pada setiap orang dan mengatakan bahwa kau seorang gila dan pendusta. Namun kau malah dengan setia dan penuh kasih menyuapi pengemis itu setiap hari. Tak sedikitpun terlintas niatmu untuk membalas perlakuannya. Hatimu begitu jernih dan penuh welas asih.

Terngiang kembali kisah yang pernah diceritakan guru madrasahku dulu tentang begitu cintanya kau pada anak yatim. Hingga kau mengatakan bahwa kedudukan anak yatim dan dirimu bagaikan dua jari yang saling bersisian. Dekat dan tak terpisahkan. Bahkan kau menjajikan surga bagi mereka yang mengikuti jejakmu untuk mengasihi dan menyantuni mereka.

Pernah kubaca juga sebuah kisah tentang seekor kucing yang selalu setia menemani dan menantimu saat kau shalat. Hingga suatu malam saking lelahnya ia menungguimu bersujud dalam qiyamulailmu, ia pun tertidur. Saat kau ucapkan salam akhir shalatmu dan hendak beranjak bangun, kau lihat kucing itu tertidur lelap di atas gamismu

Page 103: Aku bangga menjadi guru

103Motivasi

yang menjuntai. Kau tak tega untukmembangunkan atau memindahkannya. Kau lebih memilih untuk menunggunya bangun terlebih dahulu. Lalu barulah kau beranjak pergi menuju masjidmu. Subhanallah.

Kilasan cerita dan kisah tadi sungguh membuatku ingin bertemumu ya Rasulullah. Karena kini tak kutemui lagi manusia berakhlak mulia sepertimu. Bahkan saat aku berada dekat sekali dengan tanah kelahiranmu. Saat aku merasakan kehadiranmu dalam masjid pertama yang kau bangun di Madinah. Saat aku berada di bawah Raudah tempat jasadmu dimakamkan bersisian dengan dua sahabat terkasihmu, Abu Bakar dan Umar. Umatmu saling berdesakan di depan pusaramu, saling dorong tanpa belas kasih.

Cerita lain, masih saat aku berada di tanah kelahiranmu. Saat kami akan berangkat dari pondok penginapan kami menuju masjidil haram atau sebaliknya, dari Masjidil Haram ke pemondokan, umatmu saling dorong, saling berebut mendahului dan berdesakan, tak peduli perempuan atau nenek-nenek yang terdorong. Tak ada yang menawarkan diri untuk memberikan kesempatan pada perempuan atau para ibu, yang pada zamanmu begitu kau muliakan. Bahkan beberapa kasus perkelahian pun terjadi akibat perang mulut karena tidak saling menghormati dan mengalah. Saat itu aku menjerit sedih dalam bisik lirihku, dan kucoba katakan pada mereka, “Tak sadarkah saudaraku, di mana kita berdiri saat ini. Di tanah tempat Rasulullah lahir! Tidakkah kita malu?”

Hatiku makin pedih tatkala kulihat sepasang kakek nenek berjalan tertatih di antara rombongan kafilahnya saat berangkat melempar jumrah. Tangan mereka bertautan satu sama lain. Erat dan berharap bisa saling menguatkan langkah

Page 104: Aku bangga menjadi guru

104 Aku Bangga Menjadi Guru

kaki yang harus mengikuti iringan jamaah yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan. Bukan hanya karena tubuh renta mereka yang membuatku menangis, tapi mereka berdua membawa beban barang yang menurutku berat. Tangan kurus dan keriput si nenek menuntun suaminya yang mengekor dengan patuh. Masing-masing tangan mereka yang lain membawa sebuah koper. Karena mereka hendak melempar jumrah sekaligus hendak pulang kembali ke pemondokan mereka di sekitar Masjidil Haram. Tak ada seorang pun yang peduli, padahal puluhan bahkan ratusan orang di sekitarnya adalah para lelaki gagah dan kuat. Ya Rasulullah, rasa kasih sayang pada umatmu itu telah menguap entah ke mana. Aku hanya bisa menangis dalam ketakberdayaanku.

Dan malam ini, saat aku menuliskan segala keluh kesah ini ditemani siaran berita radio kesayanganku, sebuah berita duka membuat dadaku sesak dan terluka: Tawuran! Tawuran! Tawuran! Trend itu kembali terulang. Ratusan tubuh terluka dan puluhan nyawa remaja dan pemuda meregang nyawa di ujung senjata tajam. Sebuah kesia-siaan yang teramat nyata. Aku tak mengerti kenapa? Mungkin karena mereka tak pernah mendengar lagi kisah indah tentangmu. Mungkin akhlak muliamu sudah jarang diceritakan kembali oleh orang di sekitar mereka. Kisah dan cerita tentangmu ya Rasulullah yang selalu menggugah dan menginspirasi hidup. Lama terkubur dalam sejarah dan buku belaka. Aku ingin, sangat ingin membacakan dan membisikannya kembali pada mereka, dengan wajah antusias dan rindu berjumpamu. Bahwa dulu pernah hidup, manusia mulia serupamu, yang diutus Tuhan untuk mencerahkan kehidupan. Rahmat bagi sekalian alam. Aku ingin mengenalkanmu pada mereka, hidup di zamanmu

Page 105: Aku bangga menjadi guru

105Motivasi

yang damai dan penuh cinta. Aku ingin murid-murid kecilku membangun kembali peradaban mulia itu satu hari nanti saat mereka dewasa. Aku ingin! Sungguh ya Rasulullah. Aku rindu padamu! Untuk itulah aku masih bertahan di sini. Menemani hari murid-murid kecilku di sekolah. Untuk berbagi kisah dan cerita tentangmu.

Bekasi, 18 November 2011

(Untukmu sang pejuang pendidikan, tugas utamamu adalah meneruskan risalah Nabi dan Rasulmu.)

Page 106: Aku bangga menjadi guru

106 Aku Bangga Menjadi Guru

Aku Bangga Menjadi Guru

Pagi itu, 8 November 2011. Dengan dada berdebar dan semangat membara, aku tinggalkan suami , anak, murid-murid kecilku, teman dan sekolah tempat mengajarku. Sebuah bus berkapasitas dua puluh orang telah menungguku di tepi jalan raya arah Bogor-Bekasi. Tujuan kami pagi itu adalah gedung LPMP Jawa Barat, yang terletak di Padalarang Bandung. Tempat yang akan mengarantina kami , para guru swasta kota Bekasi terpilih program sertifikasi guru dalam jabatan angkatan 13 melalui jalur PLPG.

Wajah dan sosok teman satu bus yang serba baru membuatku sedikit gugup. Beruntung sehari sebelumnya kami telah mengadakan pertemuan untuk membahas beberapa hal tentang keberangkatan dan apa saja yang bisa kami lakukan secara gotong royong dalam pelatihan nanti. Sehingga jeda waktu antara perkenalan dan adaptasi hanya membutuhkan waktu beberapa jam saja. Yang lebih membuatku salut dan kagum adalah rangkaian peristiwa setelah kami menyatu dalam sebuah kelompok kelas yang sama.

Kelas kami sungguh unik. Kelas kami sungguh seru. Unik, karena di dalamnya terkumpul individu-individu dari berbagai sekolah swasta dengan latar belakang yang berbeda. Ada sekolah swasta nasional, sekolah Kristen, Katolik, dan Islam. Namun perbedaan itu ternyata bisa melebur dalam kebersamaan dan kekompakan yang indah. Seru, karena dalam kegiatan pelatihan ini penuh dengan

Page 107: Aku bangga menjadi guru

107Motivasi

canda dan tawa yang bisa meluruhkan rasa jemu dan letih kami seharian, bahkan sampai larut malam untuk tetap bisa bertahan mengikuti berbagai kegiatan.

Bayangan tentang “seram”nya PLPG ternyata sirna sejak hari pertama kami tiba di tempat. Bagiku pribadi, sungguh satu pengalaman baru yang “wah” mengikuti rangkaian kegiatan selama pelatihan. Tiap moment dan tokoh yang berperan dalam acara aku catat baik dalam benak, karena semuanya selalu menyisakan catatan khusus di hatiku.

Hari pertama berjalan lancar. Hanya daftar ulang dan ferivikasi data untuk melihat kevalidan data dan ijazah kami. Pembagian kamar, setiap satu kamar diisi oleh dua peserta. Pembukaan, dilanjutkan dengan pembagian kelompok, pemilihan ketua kelompok dan tes awal untuk mengukur kemampuan pengetahuan kami sebelum mendapat materi pelatihan.

Hari kedua dan ketiga kami mendapat materi tentang pendalaman materi pelajaran dari pukul 07.30 sampai pukul 17.30. Dosen pemateri yang kami dapat sungguh menginspirasiku. Dari sisi materi kami memang belum mendapatkan satu hal yang berarti, karena waktu yang singkat tak cukup untuk mengejar materi pelajaran secara keseluruhan. Kami lebih banyak sharing dan berbagi pengalaman tentang kenyataan yang ada di lapangan. Dari sisi semangat dan pengalaman mengajar mereka di lapangan patut aku acungkan jempol. Bukan bermaksud “melucu” tapi memang benar-benar bisa dijadikan sebuah keteladanan buatku pribadi. Dari dua belas dosen yang menemani kelas kami selama pelatihan, separuhnya adalah “kakek-nenek” yang masih punya semangat untuk mengajar dan belajar.

Page 108: Aku bangga menjadi guru

108 Aku Bangga Menjadi Guru

Mereka semuanya berasal dari luar kota Bandung. Datang jauh-jauh dari luar kota untuk berbagi ilmu dan pengalaman. Terlepas itu memang sudah sebuah tugas dan kewajiban bagi mereka, tapi aku tetap salut atas perjuangan dan semangat mereka untuk terus mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan seumur hidup, begitu istilah mereka. Karena mereka masih kuliah untuk mencapai S-3 di usia yang sudah tidak muda lagi.

Hari keempat, kelima dan keenam kami mulai melakukan workshop pembuatan administrasi dan perencanaan pembelajaran. Kegiatan yang cukup menyita energy dan waktu. Dari pukul 07.30 sampai pukul 20.30 kami berkutat dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK), Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan silabus, evaluasi dan pembuatan media pembelajaran. Dipandu oleh dosen yang baik hati, lucu dan penuh keakraban, kami melakukan kegiatan ini dengan santai. Selama kami bekerja membuat tugas di kelas, iringan musik dan lagu terdengar menyemangati. Berbeda dengan kelas yang lain, hening dan serius. Aku benar-benar bersyukur mendapati kelas kelompok sepert ini. Saling mendukung dan menolong.

Hari ketujuh ujian tertulis. Cukup menegangkan sesi ini. Kabar di awal pelatihan yang mengumumkan bahwa ada lebih dari seribuan orang yang tidak lulus di ujian tulis ini membuat kami kebat kebit. Aku pribadi tak putusnya berdoa dan berharap pada-Nya untuk dimudahkan dan dilancarkan dalam tes. Aku ingat malam sebelum tes, aku kirimkan kalimat motivasi untuk semua teman satu kelasku agar dapat melewati ujian dengan baik, begini isi SMS ku:

“Dear fren, selamat menempuh ujian hari esok. Tetap

Page 109: Aku bangga menjadi guru

109Motivasi

semangat dan berusaha dengan baik. Tunjukkan pada murid-murid kita, bahwa kita adalah guru terbaik yang mereka miliki. Semoga kesuksesan bersama kita. Hingga kita akan katakan dengan yakin: aku bangga menjadi guru!”

Hari kedelapan dan kesembilan, kami lebih sibuk lagi. Kali ini kami memasuki latihan mengajar dan ujian mengajar (feer teaching). Namun kesibukan itu tidak berlaku untuk kelompok kecilku. Lagi-lagi aku mendapatkan kemudahan pada sesi ini. Dosen yang “aneh/nyleneh” tapi inspiratif sekali buatku pribadi. Beliau tidak meminta kami membuat RPP seperti dosen yang lain. Beliau lebih banyak berbagi hal baru yang benar-benar membuka “kepala” kami. Hal baru yang sebenarnya sangat mendasar dan membantu kami untuk membuat perencanaan belajar dengan mudah tanpa harus bertele-tele.

Beliau mengatakan rangkaian kalimat yang membuat kami tertegun dan merasa tersanjung bangga, “Saya ada di sini, karena guru SD. Dulu saya murid yang bandel, susah diatur dan bodoh. Namun berkat dorongan motivasi dari guru SD saya, saya bisa seperti ini. Menjadi orang yang punya peran bagi masyarakat. Insya Allah sebentar lagi saya akan meraih gelar professor saya. Maka tegakkan kepala dan banggalah dengan profesi anda. Karena lewat tangan andalah dasar-dasar pendidikan manusia dibentuk dan dibina. Tangan para guru Sekolah Dasar!” Serasa mendapat siraman hujan yang segar dan manis mendengar kata-kata motivasi tersebut. Geletar semangat mengalir ke seluruh persendian tubuhku. Allahu Akbar!

Penuh syukur saat semuanya berakhir dengan lancar dan sukses. Banyak hal penting yang bisa kucatat di sini.

Page 110: Aku bangga menjadi guru

110 Aku Bangga Menjadi Guru

Pelatihan ini bukanlah satu jeda program pemerintah yang diciptakan tanpa butuh pengorbanan lebih dari kita para guru tersertifikasi. Amanah yang cukup berat telah dibebankan oleh pemerintah dan masyarakat pada kita. Harapan akan semakin maju dan membaiknya kualitas pendidikan anak bangsa adalah mimpi dan tujuan yang harus kita kejar dan wujudkan.

Maka mari kita perbaiki kesalahan-kesalahan lama pengajaran kita pada anak didik kita. Mari kita tingkatkan semangat dan kemampuan untuk menjadi motivator, inspirator, dan fasilitator ulung bagi murid kita. Bukan hal mustahil satu hari nanti murid-murid kita menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Murid-murid kita menjadi orang yang punya peran besar dan manfaat bagi masyarakat. Murid-murid kita akan datang dan tersenyum bangga, mencium punggung tangan kita dan berkata: ”Bu Guru/ Pak Guru, terima kasih atas bimbingannya, inilah saya, murid bapak dan ibu guru. Kini saya sudah menjadi orang yang berguna dan membanggakan.”

Aku jadi teringat satu peristiwa di hari ketiga pelatihan. Tanpa kuduga sama sekali, salah seorang teman kuliahku di IPB dulu menelpon tiba-tiba. Tentu saja aku merasa kaget dan surprise. Tujuh belas tahun kami tak pernah kontak, bayangkan! Dia bertanya apa aktivitasku sekarang. Aku jawab dengan canda, aku cuma mengajar anak SD. Ada memang sedikit rasa “minder” saat menjawab pertanyaannya itu. Karena jujur, di antara teman-teman alumni angkatanku, mungkin hanya aku yang berkutat di dunia pendidikan dasar. Sementara temanku yang lain banyak yang bekerja di bank, pengusaha, dosen, dan pekerjaan lain yang lebih bonafide.

Page 111: Aku bangga menjadi guru

111Motivasi

Namun di ujung percakapan kami, aku berkata padanya bahwa aku bangga menjadi guru SD, profesi ini adalah pilihan hidup yang akan aku jalani dengan segala keyakinan dan ketekunan. Aku yakin bahwa aku bisa menjadi yang terbaik, dan melahirkan generasi terbaik pula. Amiin, insya Allah.

Kebanggaan tidak hanya terbatas pada karena telah tersertifikasinya kami. Kebanggaan bukan hanya sebatas pada karena gelar “Guru Profesional” sudah tergenggam di tangan kami. Kebanggan juga bukan hanya karena kemudian penghasilan/gaji kami bertambah sesudah ini. Namun kebanggan itu justru karena kami kini punya tugas penting yang sangat menentukan kemajuan bangsa ini. Kami harus menjadi pahlawan-pahlawan pendidikan yang berkualitas, bermoral, bermasyarakat, berkarakter kuat, tulus dan ikhlas mengabdi pada masyarakat. Mencetak generasi masa depan yang berkualitas dan handal. Bisa melanjutkan perjalanan kehidupan bangsa dan negara yang bermartabat, penuh rasa kasih sayang dan kedamaian. Semoga kami bisa mengemban dan menjalankan amanah itu dengan baik, seperti yang diharapkan seluruh elemen masyarakat di bumi pertiwi ini! Wallahua’lam bish shawab.

Catatan kecil PLPG angkatan 13 (8-16 November 2011, LPMP Jawa Barat)

Page 112: Aku bangga menjadi guru

112 Aku Bangga Menjadi Guru

(Kenang-kenangan kecil untuk teman-teman FSDS (Forum Sekolah Dasar Swasta)Kecamatan Rawa Lumbu, Kota Bekasi : Agus Susianto (ketua kelas C), Nina, Didin, Rojak (Al Huda), Nur’ain, Yanti, Nana, Sapari, (Al Azhar Kemang), Yeni (Al Aziiz), Ririn dan Yuyun (Husnayain),

Istiqomah (Bani Saleh), Ratna, Yayah, Siti Nurjanah (Tunas Global), Suster Lisbet, Heribertus Kebu, Sukarjo, Pontianus Mujianto(Santa Lusia), Sulastri, Sarwidi (Widya Bakti), Siti

Mualifah (Mutiara Baru), Susan, Florensia, Florentinus, Stephanus Mujiono, Yohana, Paulince, Yasinta, Yuliana,

Margaretha, Hendricus, A. Sudiyono, (Marsudirini),Terima kasih juga untuk para dosen pembimbing: Bpk.

Dian Indihadi, Bpk. Dede Abdurrahman, Ibu Tiurlina, Bu Yayah, Bpk. D.Wahyudin, Bpk. Kanda R, Bpk. Agus

Muharam, dan Bpk. Respati Mulyanto).

Page 113: Aku bangga menjadi guru

113Aku Bangga Menjadi Guru

Profil Penulis

Titin Supriatin, S.P. Penulis yang tak pernah kenyang dengan dunia pendidikan ini kelahiran Cirebon. Dari sekolah dasar hingga SMA beliau menamatkannya di kota Cirebon, dan melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor Program Sosial Ekonomi Pertanian.

Kemampuannya di bidang mengajar diperdalam di Universitas Terbuka Universitas Negeri Jakarta hingga memperoleh Akta Mengajar IV. Sebelum itu penulis sudah aktif menjadi Guru komputer di SMEA Muhammadiyah Ciledug-Cirebon, Guru MDA Al Husnayain Harapan Baru Bekasi. Dan kini beliau memberikan pengabdian menjadi Guru di SDIT Thariq bin Ziyad Pondok Hijau Bekasi.

Telah banyak hasil karya tulisan beliau yang mengisi di beberapa media antara lain; bulletin Annisa DKM Al Ghiffari- IPB, Cerpen di majalah Paras , opini di majalah Nikah, dan lolos seleksi untuk buku antologi “mengejar jodoh”, serta menjadi kontributor lepas bulletin Intajiyah.

Penulis mempunyai motto hidup : Be The Best, Be Inspiration People.