akibat krisis ekonomi pada masa orde

30
Akibat Krisis Ekonomi pada Masa Orde Baru 4 Votes 1. Pada 1 Agustus 1997, kurs rupiah melemah dari Rp 2.575,00 menjadi Rp 16.000,00, per dolar amerika akibat lemahnya sistem ekonomi Indonesia. Hal ini menyebabkan hutang Indonesia membengkak. 2. Pada akhir tahun 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank, kemudian disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas mengawasi 40 bank bermasalah. 3. Rapuhnya fondasi perekonomian yang dibiayai dengan hutang sehingga mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan dan mendorong munculnya krisis Multi Dimensi 4. Hancurnya pusat-pusat perekonomian di berbagai kota besar di Indonesia. 5. Kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan. 6. Terjadi berbagai bentuk penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat 7. Terjadi beberapa aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Upload: rian0877

Post on 24-Sep-2015

105 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

jh

TRANSCRIPT

Akibat Krisis Ekonomi pada Masa OrdeBaru

4 Votes

1. Pada 1 Agustus 1997, kurs rupiah melemah dari Rp 2.575,00 menjadi Rp 16.000,00, per dolar amerika akibat lemahnya sistem ekonomi Indonesia. Hal ini menyebabkan hutang Indonesia membengkak.

2. Pada akhir tahun 1997, pemerintah melikuidasi 16 bank, kemudian disusul membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas mengawasi 40 bank bermasalah.

3. Rapuhnya fondasi perekonomian yang dibiayai dengan hutang sehingga mengakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan dan mendorong munculnya krisis Multi Dimensi

4. Hancurnya pusat-pusat perekonomian di berbagai kota besar di Indonesia.

5. Kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan.

6. Terjadi berbagai bentuk penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat

7. Terjadi beberapa aksi mahasiswa di berbagai kota di seluruh Indonesia.Krisis Sosial Akhir Orde Baru

Hubungan Krisis Multidimensi Terhadap Krisis Sosial Pada Akhir Orde Baru di Indonesia

Krisis sosial merupakan dampak dari keseluruhan krisis multidimensi pada orde baru.

Pada krisis politik ditandai dengan munculnya KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme). Dengan adanya korupsi hak rakyat jatuh ditangan pejabat negara sehingga rakyat tidak dapat menggunakan haknya. Sedangkankolusi dan nepotisme menyebabkan rakyat sulit mendapatkan posisi kenegaraan, contohnya menjadi pegawai negeri. Selain adanya KKN, partai-partai politik tidak dapat menampung aspirasi rakyat dengan baik dan Partai Golkar yang selalu unggul pada setiap pemilihan umum. Sehingga Pemilu dirasa percuma oleh rakyat.

Pada krisis ekonomi ditandai dengan munculnya inflasi, contohnya krisis mata uang rupiah, sehingga menyebabkan kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat, dan pada setiap perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia melakukan PHK besar-besaran pada pegawainya karena perusahaan tidak bisa membayar gaji pegawai.

Pada krisis hukum ditandai dengan munculnya ketidakadilan terhadap perlakuan hukum, contohnya pada persidangan pengadilan sangat sulit mewujudkan keadilan bagi rakyat karena hakim-hakim selalu melayani kehendak penguasa.

Krisis multidimensi inilah yang berdampak pada krisis sosial yaitu kesenjangan sosial, diskriminasi ras, dan kesenjangan pembangunan.

1. Diskriminasi ras, seperti etnis tionghoa yaitu dengan adanya kebijakan pemerintah yaitu Surat Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya menjadi nama yang berbau Indonesia.

2. Kesenjangan sosial sering terjadi pada perbedaan derajat antara rakyat dengan penguasa negara. Sehingga rakyat yang miskin menjadi semakin miskin dan penguasa Negara yang kaya menjadi semakin kaya.

3. Kesenjangan pembangunan yaitu perbedaan pembangunan yang terjadi di kota besar terutama di Pulau Jawa lebih diperhatikan dibandingkan dengan kota kecil atau daerah pelosok. Di kota besar pembangunan lebih diperhatikan oleh pemerintah, sehingga kota besar pembangunannya lebih cepat berkembang.[archives limit=7]

6 . Latar Belakang Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru Harus di akui bahwa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam rentang waktu yang panjang. Pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak positif dan negatif. Dampak posotif tercatat dalam bentuk penurunan angka kemiskinan absolut yang diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan rakyat secara rata-rata. Adapun dampak negatif yang muncul adalah kerusakan lingkungan hidup, perbedaan ekonomi antar daerha, antar golongan pekerjaan , dan antar kelompok dalam masyarakat yang terasa semakin tajam.

Pembangunan yang menjadi ikon pemerintahan Orde Baru ternyata menciptakan kelompok masyarakat yang terpinggirkan (marginalisasi sosial). Namun di sisi lain, pembangunan di masa Orde baru juga telah menimbulkan konglomerasi dan bisnis yang sarat dengan KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik,ekonomi ,dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Meskipun berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi,namun secara fundamental pembangunan nasional sangat rapuh .

Dibidang politik , pemerintah Orde Baru memiliki cara tersendiri utnuk menciptakan stabilitas yang diinginkan,salah satunya dengan menjadikan Golkar sebagai mesin politik. Didalam tubuh Golkar terdapat 3 jalur yang menjadi tumpuan kekuatannya, yaitu ABRI Birokrat, dan Golkar ( jalur ABG). Tidak mengherankan jika Golkar selalu menjadi pemenang dalam pemilu-pemilu selama masa Orde Baru. Keberadaan Golkar yang sebenarnya diperlukan sebagaii sarana dan arena penyaluran aspirasi rakyat,ternyata dijadikan sebagai alat kekuasaan atau alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Golkar menjadi partai pendukung utama Soeharto dalam DPR/MPR. Akibatnya kepemimpinan presiden Soeharto bertahan 32 tahun.

Sistem perwakilan pun bersifat semu,bahkan hanya dijadikan sarana untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Dalam setiap pemilihan presiden melalui lembaga MPR , Soeharto selalu terpilih. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik . kejanggalan dan ketidak beresan tersebut merugikan rakyat. Banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya. Hal ini terjadi karena demokratisasi di bangun melaluin KKN.

Ketidakberesan juga dapat dilihat dari konsep Dwifungsi ABRI yang telah berkembang menjadi kekaryaan. Peran kekaryaan ABRI semakin masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan benegara. ABRI telah melupakan jati diri sebenarnya. Bidang-bidang yang seharusnya masyarakat berperan lebih besar, ternayata diiisi personil dari TNI dan Polri seperti jabatan lurah, bupati, walikota, gubernur pada masa Orde Baru banyak diduduki oleh militer. Dunia bisnis pun tak luput dari Intervensi TNI/Polri.

Segala produk kebijakan ekonomi dan politik selama Orde baru teramat birokratis,tidak demokratis,dan cenderung KKN. Kondisi kian diperparah oleh upaya penegakan hukum yang sangat lemah. Hal ini dapat dilihat pasca jatuhnya Presiden Soeharto, hukum pada masa Orde Baru tidak mampu menjerat para konglomerat dan polotisi nakal yang telah menggunakan uang rakyat. Hal ini menunjukan bahwa hukum telah diciptakan untuk keuntungan pemerintah yang berkuasa.

Kondisi sosial-politik tersebut semakin diperburuk oleh krisi moneter yang melanda negeri ini sejak Orde Baru ternyata rapuh dan tak mampu menahan badai krisis moneter tersebut. Dipasaran mata uang dunia nilai rupiah terus merosot terhadap dollar Amerika.

Krisis moneter memicu terjadinya kemorosotan ekonomi secara luas. Perbankan nasional terpuruk dan banyak bank beku operasi (BBO). Dunia usaha,khuhusnya usaha kecil dan menengah (UKM), tidak berkutik dan banyak yang dulung tikar. Pemutusan hubungan kerja(PHK) tampak terjadi dibanyak tempat. Harga sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako) yang menjadi kebutuhan masyarakat sehari-hari melambung tinggi,bahkan sampai terjadi kelangkaan.

Krisis moneter dan ekonomi merebak semakin meluas dan menjadi krisis multidimensional. Di tengah situasi semakin melemahnya nilai rupiah,aksi massa,aksi buruh, dan aksi mahasiswa juga terjadi di berbagai tempat. Mereka menuntut agar pemerintah segera mengadakan pemulihan ekonomi, sehingga harga-harga sembako turun, tidak lagi ada PHK dan lain sebagainya. Dalam aksi massa, warga negara keturunan Tonghoa tidak luput dari amukan massa. Toko-toko dan tempat usahanya dibakar. Tidak sedikit wanita keturunan Tionghoa menjadi korban tindak asusila dalam aksi tersebut. Sebagai reaksi atas ketidakmakmuran hak mereka hidup di Indonesi, banyak warga keturunan Tionghoa eksodus atau meninggalkan Indonesia.

Krisi moneter mengakibatkan kerawanan kondisi sosial dan kerentanan terhadap ancaman kerusuhan dan aksi kekerasan. Situasi ini berkorelasi terhadap kondisi politik. Aksi-aksi yang semula dilakukan massa secara sporadis dan bersifat lokal kemudian berubah menjadi gerakan moral atau kepeloporan mahasiswa. Berawa dari gerakan moral,aksi bergeser memasuki ranah politik,yaitu menuntut Soeharto mundur dari jabatan presiden. Semua ini merupakan puncak kekecewaan rakyat atas krisi yang melanda Indonesia.

7. Berakhirnya Pemerintahan Orde Baru1. Faktor Penyebab Munculnya Reformasi

Perjalanan panjang sejarah Orde Baru di Indonesia dapat melaksanakan pembangunan sehingga mendapat kepercayaan dalam dan luar negeri. Mengalawai perjalannya pada dasawarsa 60-an rakyat sangat menderita pelan-pelan keberhasilan pembangunan melalui tahapan dalam pembangunan lima tahun (Pelita) sedikit demi sedikit kemiskinan rakyat dapat dientaskan. Sebagai tanda terima kasih kepada pemerintah Orde Baru yang berhasil membangun negara, Presiden Soeharto diangkat menjadi "Bapak Pembangunan ".Temyata keberhasilan pembangunan tersebut tidak merata, maka kemajuan Indonesia temyata hanya semu belaka. Ada kesenjangan yang sangat dalam antara yang kaya dan yang miskin. Rakyat mengetahui bahwa hal ini disebabkan cara-cara mengelola negara yang tidak sehat ditandai dengan merajalela korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Protes dan kritik masyarakat seringkali dilontarkan namun pemerintah Orba seolah-olah tidak melihat, dan mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju kepada kebijaksanaan pemerintah selalu dituduh sebagai "PKI", subversi, dan sebagainya.Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah, seakan menjerit lebih-lehih banyak perusahaan yang terpaksa melakukan "PHK" karyawannya. Diperburuk lagi dengan kurs rupiah terhadap dolar sangat rendah. Disinilah para mahasiswa, dosen, dan rakyat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah. Setiap hari mahasiswa dan rakyat mengadakan demonstrasi mencapai puncaknya pada bulan Mei 1998, dengan berani meneriakkan reformasi bidang politik, ekonomi, dan hukum.Pada tanggal 20 Mei 1998 Presiden Soeharto berupaya untuk memperbaiki program Kabinet Pembangunan VII dengan menggantikan dengan nama Kabinet Reformasi, namun tidak mendapat tanggapan rakyat. Pada hari berikutnya tanggal 21 Mei 1998 dengan berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, Presiden Soeharto terpaksa menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden Prof. DR. B.J. Habibie.

2. Krisis Ekonomi

Diawali krisis moneter yang melanda Asia Tenggara sejak bulan Juli 1997 berimbas pada Indonesia, bangunan ekonomi Indonesia temyata belum kuat untuk menghadapi krisis global tersebut. Krisis ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah turun dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 pada 1 Agustus 1997. Tercatat di bulan Desmeber 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar mencapai R. 5.000,00 perdolar, bahkan mencapai angka Rp. 16.000,00 perdolar pada sekitar Maret 1997. Nilai tukar rupiah semakin melemah,pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0 % sebagai akibat lesunya ikiim bisnis. Kondisi moneter mengalami keterpurukan dengan dilikuidasinya 16 bank pada bulan Maret 1997. Untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan mengeluarkan Kredit Likuidasi Bank Indonesia (K.LBI), temyata tidak membawa hasil sebab pinjaman BLBI terhadap bank bermasalah tersebut tidak dapat mengembalikan. Dengan demikian pemerintah harus menanggung beban utang yang cukup besar. Akibatnya kepercayaan dunia intemasional mulai menurun. Krisis moneter ini akhimya berdampak pada krisis ekonomi sehingga menghancurkan sistem fundamental perekonomian Indonesia.

a. Utang Negara Republik Indonesia.

Penyebab krisis diantaranya adalah utang luar negeri yang sangat besar, terhitung bulan Pebruari 1998 pemerintah melaporkan tentang utang luar negeri tercatat:

- utang swasta nasional Rp. 73,962 miliar dolar AS + utang pemerintah Rp. 63,462 miliar dolar AS, jadi utang seluruhnya mencapai 137,424 miliar dolar AS. Data ini diperoleh dari pernyataan Ketua Tim Hutang-Hutang Luar Negeri Swasta (HLNS), Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada 6 Pebruari 1998.

Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal harganya. Mereka tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangannya. Hampir semua negara tidak mau menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat karena kolusi dan korupsi.

b. Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945.

Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kurang memperhatikan dengan seksama kondisi riil masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah, sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri. Akibatnya yang terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun gross national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai diatas US$ 1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan rakyat sebenamya, karena uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat. Rakyat secara umum masih miskin dan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Yang terjadi adalah berkembangnya ekonomi kapitalis yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli korupsi, dan kolusi.

c. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Masa Orde Baru dipenuhi dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme menyebabkan runtuhnya perekonomian Indonesia. Korupsi yang menggerogoti keuangan negara, kolusi yang merusak tatanan hukum, dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan kawan menjadi pemicu lahimya reformasi di Indonesia.

Walaupun praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme ini telah merugikan banyak pihak, termasuk negara tapi tidak dapat dihentikan karena dibelakangnya ada suatu kekuatan yang tidak tersentuh hukum.

d. Politik Sentralisasi

Pemerintahan Orde Baru menjalankan politik sentralistik, yakni bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya peranan pemerintah pusat sangat menentukan, sebaliknya pemerintah daerah tidak 'punya peran yang signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah diangkut ke pusat pembagian yang tidak adil inilah menimbulkan ketidakpuasan rakyat dan pemerintah daerah. Akibatnya mereka menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya (Papua).

Proses sentralisasi bisa dilihat adanya pola pemberitaan pers yang Jakarta sentries. Terjadinya banjir informasi dari Jakarta (pusat) sekaligus dominasi opini dari pusat. Pola pemberitaan yang cenderung bias Jakarta, terutama di halaman pertama pers. Kecenderuangan ini sangat mewamai pola pemberitaan di halaman pertama pers di daerah.

3. Krisis Politik

Krisis politik pada akhir orde baru ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilihan Umum 1997 yang dinilai penuh kecurangan, Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang didukung fmansial maupun secara politik oleh pemerintah memenangkan pemilu dengan meraih suara mayoritas. Golkar yang pada mulanya disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu tahun sebelum peristiwa G30S/PKI tepatnya lahir pada tanggal 20 Oktober 1964. Dan memang tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah. Disamping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 Nopember 1971 ikut menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya. Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, karena tidak ada satupun kritik dari infra struktur politik ini yang berani mencundangi dirinya.

Kemenangan Golongan Karya dinilai oleh para pengamat politik di Indonesia dan para peninjau asing dalam pemilu yang tidakjujur dan adil (jurdil) penuh ancaman dan intimidasi terhadap para pemilih di pedesaan. Dengan diikuti dukungan terhadap Jenderal (Pum) Soeharto selaku ketua dewan pembina Golkar untuk dicalonkan kembali sebagai presiden pada sidang umum MPR tahun 1998 temyata mayoritas anggota DPR/MPR mendukung Soeharto menjadi presiden untuk periode 1998-2003.

Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya menimbulkan permasalahan masa pemerintahan Orde Baru, kedaulatan rakyat ada ditangan kelompok tertentu, bahkan lebih banyak dipegang pihak penguasa. Kedaulatan ditangan rakyat yang dilaksanakan sepenuhnya MPR dilaksanakan de jure secara de facto anggota MPR sudah diatur dan direkayasa sehingga sebagian besar anggotanya diangkat dengan sistem keluarga (nepotisme). Rasa ketidak percayaan rakyat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu gerakan reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan rektomya menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme.

Gerakan reformasi menuntut pembaharuan lima paket undang-undang politik yang menjadi sumber ketidakadilan, yaitu :

(1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum;

(2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPR/MPR;

(3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya;

(4) UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum;

(5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

4. Krisis Hukum.

Orde Baru banyak terjadi ketidak adilan dibidang hukum, dalam kekuasaan kehakiman berdasar Pasal 24 UUD 1945 seharusnya memiliki kekuasaan yang merdeka terlepas dari kekuasaan eksekutif, tapi kenyataannya mereka dibawah eksekutif. Dengan demikian, pengadilan sulit terwujud bagi rakyat, sebab hakim harus melayani penguasa. Sehingga sering terjadi rekayasa dalam proses peradilan.

Reformasi diperlukan aparatur penegak hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprodensi, ajaran-ajaran hukum, dan bentuk praktek hukum lainnya. Juga kesiapan hakim, penyidik dan penuntut, penasehat hukum, konsultan hukum dan kesiapan sarana dan prasarana.

5. Krisis Kepercayaan

Pemerintahan Orde Baru yang diliputi KKN secara terselubung maupun terang-terangan pada bidang parlemen, kehakiman, dunia usaha, perbankan, peradilan, pemerintahan sudah berlangsung lama sehingga disana-sini muncul ketidakadilan, kesenjangan sosial, rusaknya system politik, hukum, dan ekonomi mengakibatkan timbul ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintahan dan pihak luar negeri terhadap Indonesia.

C. MASA REFORMASI1. Pengertian ReformasiReformasi merupakan suatu perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan politi, ekonomi, social dan budaya yang berbau Orde baru. Atau membangun kembali, menyusun kembali.

2. Sistematika Pelaksanaan UUD 1945 pada Masa Orde ReformasiPada masa orde Reformasi demokrasi yang dikembangkan pada dasarnya adalah demokrasi dengan berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Pelaksanaan demokrasi Pancasila pada masa Orde Reformasi dilandasi semangat Reformasi, dimana paham demokrasi berdasar atas kerkyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dilaksanakan dengan rahmat Tuhan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, selalu memelihara persatuan Indonesia dan untuk mewujudkan suatu keadilan sosila bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan demokasi Pancasila pada masa Reformasi telah banya member ruang gerak kepada parpol dan komponen bangsa lainnya termasuk lembaga permusyawaratan rakyat dan perwakilan rakyat mengawasi dan mengontrol pemerintah secara kritis sehingga dua kepala negara tidak dapat melaksanakan tugasnya sampai akhir masa jabatannya selama 5 tahun karena dianggap menyimpang dari garis Reformasi.

Ciri-ciri umum demokrasi Pancasila Pada Masa Orde Reformasi :

1. Mengutamakan musyawarah mufakat

2. Mengutamakan kepentingan masyarakat , bangsa dan negara

3. Tidak memaksakan kehendak pada orang lain

4. Selalu diliputi oleh semangat kekeluargaan

5. Adanya rasa tanggung jawab dalam melaksanakan keputusan hasil musyawarah

6. Dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati yang luhur

7. Keputusan dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan

8. Penegakan kedaulatan rakyar dengan memperdayakan pengawasan sebagai lembaga negara, lembaga politik dan lembaga swadaya masyarakat

9. Pembagian secara tegas wewenang kekuasaan lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.

10. Penghormatan kepada beragam asas, cirri, aspirasi dan program parpol yang memiliki partai

11. Adanya kebebasan mendirikan partai sebagai aplikasi dari pelaksanaan hak asasi manusia

Setelah diadakannya amandemen, UUD 1945 mengalami perubahan. Hasil perubahan terhadap UUD 1945 setelah di amandemen :

Pembukaan

Pasal-pasal: 21 bab, 73 pasal, 170 ayat, 3 pasal peraturan peralihan dan 2 pasal aturan tambahan.

3. Kronologi Perjuangan Menegakkan Era Reformasi 5 Maret 1998 Dua puluh mahasiswa Universitas Indonesia mendatangi Gedung DPR/MPR untuk menyatakan penolakan terhadap pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan pada Sidang Umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional.Mereka diterima Fraksi ABRI.

11 Maret 1998 Soeharto dan BJ Habibie disumpah menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

14 Maret 1998 Soeharto mengumumkan kabinet baru yang dinamai Kabinet Pembangunan VII.

15 April 1998 Soeharto meminta mahasiswa mengakhiri protes dan kembali ke kampus karena sepanjang bulan ini mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi swasta dan negeri melakukan berunjukrasa menuntut dilakukannya reformasi politik.

18 April 1998 Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jendral Purn. Wiranto dan 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengadakan dialog dengan mahasiswa di Pekan Raya Jakarta namun cukup banyak perwakilan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang menolak dialog tersebut.

1 Mei 1998 Soeharto melalui Menteri Dalam Negeri Hartono dan Menteri Penerangan Alwi Dachlan mengatakan bahwa reformasi baru bisa dimulai tahun 2003.

2 Mei 1998 Pernyataan itu diralat dan kemudian dinyatakan bahwa Soeharto mengatakan reformasi bisa dilakukan sejak sekarang (tahun 1998-an).

4 Mei 1998 Mahasiswa di Medan, Bandung dan Yogyakarta menyambut kenaikan harga bahan bakar minyak ( 2 Mei 1998 ) dengan demonstrasi besar- besaran. Demonstrasi itu berubah menjadi kerusuhan saat para demonstran terlibat bentrok dengan petugas keamanan. Di Universitas Pasundan Bandung, misalnya, 16 mahasiswa luka akibat bentrokan tersebut.

5 Mei 1998 Demonstrasi mahasiswa besar besaran terjadi di Medan yang berujung pada kerusuhan.

9 Mei 1998 Soeharto berangkat ke Kairo, Mesir untuk menghadiri pertemuan KTT G -15. Ini merupakan lawatan terakhirnya keluar negeri sebagai Presiden RI.

12 Mei 1998 Aparat keamanan menembak empat mahasiswa Trisakti yang berdemonstrasi secara damai. Keempat mahasiswa tersebut ditembak saat berada di halaman kampus.

13 Mei 1998 Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi datang ke Kampus Trisakti untuk menyatakan duka cita. Kegiatan itu diwarnai kerusuhan.

14 Mei 1998 Soeharto seperti dikutip koran, mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan. Ia mengatakan itu di depan masyarakat Indonesia di Kairo. Sementara itu kerusuhan dan penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek seperti Supermarket Hero, Super Indo, Makro, Goro, Ramayana dan Borobudur. Beberapa dari bagunan pusat perbelanjaan itu dirusak dan dibakar. Sekitar 500 orang meninggal dunia akibat kebakaran yang terjadi selama kerusuhan terjadi.

15 Mei 1998 Soeharto tiba di Indonesia setelah memperpendek kunjungannya di Kairo. Ia membantah telah mengatakan bersedia mengundurkan diri. Suasana Jakarta masih mencekam. Toko toko banyak di tutup. Sebagian warga pun masih takut keluar rumah.

16 Mei 1998 Warga asing berbondong bondong kembali ke negeri mereka. Suasana di Jabotabek masih mencekam.

19 Mei 1998 Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam seperti Nurcholis Madjid, Abdurachman Wahid, Malik Fajar, dan KH Ali Yafie. Dalam pertemuan yang berlangsung selama hampir 2,5 jam (molor dari rencana semula yang hanya 30 menit) itu para tokoh membeberkan situasi terakhir, dimana eleman masyarakat dan mahasiswa tetap menginginkan Soeharto mundur.

Permintaan tersebut ditolak Soeharto. Ia lalu mengajukan pembentukan Komite Reformasi. Pada saat itu Soeharto menegaskan bahwa ia tak mau dipilih lagi menjadi presiden.

Namun hal itu tidak mampu meredam aksi massa, mahasiswa yang datang ke Gedung MPR untuk berunjukrasa semakin banyak.

Sementara itu Amien Rais mengajak massa mendatangi Lapangan Monumen Nasional untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional.

20 Mei 1998 Jalur jalan menuju Lapangan Monumen Nasional diblokade petugas dengan pagar kawat berduri untuk mencegah massa masuk ke komplek Monumen Nasional namun pengerahan massa tak jadi dilakukan. Pada dinihari Amien Rais meminta massa tak datang ke Lapangan Monumen Nasional karena ia khawatir kegiatan itu akan menelan korban jiwa. Sementara ribuan mahasiswa tetap bertahan dan semakin banyak berdatangan ke gedung MPR / DPR. Mereka terus mendesak agar Soeharto mundur.

21 Mei 1998 Di Istana Merdeka, Kamis, pukul 09.05 Soeharto mengumumkan mundur dari kursi Presiden dan B. J. Habibie disumpah menjadi Presiden RI ke-tiga.

1. Masa Pemerintahan Presiden Habibie(1998-1999)Tugas B.J. Habibie adalah mengatasi krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menciptakan pemerintahan yang bersih, berwibawa bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Hal ini dilakukan oleh presiden untuk menjawab tantangan era reformasi.

a. Dasar Hukum B. J. Habibie menjadi Presiden. Naiknya Habibie menggantikan Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakanhalitu konstitusional dan inskonstitusional. Yangmengatakankonstitusional berpedoman Pasal 8 UUD 1945, "Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya,ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Adapun yang mengatakan inskonstitusional berlandaskan ketentuan Pasal 9 UUD 1945,"Sebelum Presiden meangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan MPR atau DPR".Secara hukum materiel Habibie menjadi presiden sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal (hukum acara) hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi konstitusional. Saat itu DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, maka harus ada alas an yang kuat dan dinyatakan sendiri oleh DPR.

b. Langkah-langkah Pemerintahan B. J. Habibie 1. Pembentukan Kabinet Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998 yang meliputi perwakilan militer (TNI-POLRI), PPP, Golkar dan PDI.

2. Upaya Perbaikan EkonomiDengan mewarisi kondisi ekonomi yang parah"Krisis Ekonomi"Presiden B.J. Habibie berusaha melakukan langkah-langkah perbaikan, antara lain :

a) Merekapitalisasi perbankan.

b) Merekonstruksi perekonomian nasional.

c) Melikuidasi beberapa bank bermasalah.

d) Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga dibawah Rp. 10.000,00.

e) Mengimplementasikan refbrmasi ekonomi yang disyaratkan IMF.

3. Reformasi di Bidang PolitikPresiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan dan merencakan pemilu yang luber dan jurdil, sehingga dapat dibentuk lembaga tinggi negara yang betul-betui representatif. Tindakan nyata dengan membebaskan narapidana politik diantaranya yaitu :

(1) DR. Sri Bintang Pamungkas dosen Universitas Indonesia (UI) dan mantan anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto.

(2) Mochtar Pakpahan pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan dalam tahun 1994

.

i. Kebebasan Menyampaikan PendapatKebebasan ini pada masa sebelumnya dibatasi, sekarang masa Habibie dibuka selebar-lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam bentuk rapat umum dan unjuk rasa. Dalam batas tertentu unjuk rasa merupakan manifestasi proses demokratisasi. Maka banyak kalangan mempertanyakan mengapa para pelaku unjuk rasa ditangkap dan diadili. Untuk menghadapi para pengunjuk rasa Pemerintah dan DPR berhasil menciptakan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang "kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ".Diberlakukannya undang-undang tersebut bukan berarti keadaan menjadi tertib seperti yangdiharapkan. Seringkali terjadi pelanggaran oleh pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, akibatnya banyak korban dari pengunjuk rasa dan aparat keamanan. Hal ini disebabkan oleh :

(1) Undang-undang ini belum begitu memasyarakat.

(2) Pengunjuk rasa memancing permasalahan, dan membawa senjata tajam.

(3) Aparat keamanan ada .yang terpancing oleh tingkah lakupengunjukrasa sehinggatidakdapat mengendalikan diri.

(4) Ada pihak tertentu yang sengaja menciptakan suasana panas agar negara menjadi kacau.

Krisis ini merupakan momentum koreksi historis bukan sekedar lengsemya Soeharto dari kepresidenan tapi yang paling penting membangun kelompok sipil lebih berpotensi untuk membongkar praktek KKN, otonomi daerah, dan lain-lainnya. Dimana krisis multidimensi ini berkaitan dengan sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik yaitu kurang memperhatikan tuntutan otonomi daerah sebab sebab segala kebijakan untuk daerah selalu ditentukan oleh pemerintah pusat.

5. Masalah Dwi Fungsi ABRI Gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI maka petinggi militer bergegas-gegas melakukan reorientasi dan reposisi peran sosial politiknya selama ini. Dengan melakukan reformasi diri melalui rumusan paradigma baru yaitu menarik diri dari berbagai kegiatan politik.

Pada era reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi dari 75 orang menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri, mulai tanggal 5 Mei 1999 Kepolisian RI memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara RI. Istilah ABRI berubah menjadi TNI yaitu angkatan darat, laut, dan udara.

6. Reformasi di Bidang Hukum Pada masa pemerintahan Orde Baru telah didengungkan pembaharuan bidang hukum namun dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan karakter elitnya. Misalnya UU Ketenagakerjaan tetap saja adanya dominasi penguasa. DPR selama orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya memihak penguasa bukan memihak kepentingan masyarakat.

Prasyarat untuk melakukan rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik yang melahirkan keadaan demokratis dan DPR yangrepresentatif mewakili kepentingan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah dan DPR merupaka'n kunci untuk pembongkaran dan refbrmasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu : substansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang independen. Mengingat produk hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat kreatifitas masyarakat. Adanya praktek KKN sebagai imbas dari adanya aturan hukum yang tidak adil dan merugikan masyarakat.

7. Sidang Istimewa MPR Salah satu jalan untuk membuka kesempatan menyampaikan aspirasi rakyat ditengah-tengah tuntutan reformasi total pemerintah melakasanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10-13 Nopember 1998, diharapkan benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat dengan perdebaaatan yang lebih segar, dan terbuka.

Pada saat sidang berlangsung temyata diluar gedung DPR/MPR Senayan suasana kian memanas oleh demonstrasi mahasiswa dan massa sehingga anggotaMPR yang bersidang mendapat tekanan untuk bekerja lebih keras, serius, cepat sesuai tuntutan reformasi.

Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 ketetapan, yaitu :

a. Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang : Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara

b. Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN.

c. Tap MPR No. XH/MPR/1998 tentang : Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indinesia.

d. Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang : Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

e. Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tentang : Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.

f. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang : Hak Asasi Manusia.

g. Tap MPR No. VII/MPR/1998 tentang : Perubahan dan Tambahan atas Tap MPR Nomor : I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah dengan ketetapan MPR yang terakhirNomor: I/MPR/1998.

h. Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tentang : Perubahan dan Penambahan atas Tap MPR No. III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.

i. Tap MPR No. III/V/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang referendum.

j. Tap MPR No. IX/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN.

k. Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam rangka Penyukseskan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.

l. Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang : mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai DasarNegara.

8. Pemilihan Umum 1999 Faktor politik yang penting untuk memulihkan krisis multidimensi di Indonesia yaitu dilaksanakan suatu pemilihan urnum supaya dapat keluar dari krisis diperlukan pemimpin yang dipercaya rakyat. Asas pemilihan urnum tahun 1999 adalah sebagai berikut:

1) Langsung,Pemilih mempunyai hak secara langsung memberi suara sesuai kehendak nuraninya tanpa perantara.

2) Umum,bahwa semua warga negara tanpa kecuali yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia 17 tahun berhak memilih dan usia 21 tahun berhak dipilih.

3) Bebas,tiap warga negara berhak menentukan pilihan tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun/pihak manapun.

4) Rahasia,tiap pemilih dijamin pilihannya tidak diketahui oleh pihak manapun dengan cara apapun

5) Jujur,semuapihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu (penyelenggara/pelaksana, pemerintah, pengawas, pemantau, pemilih, dan yang terlibat secara langsung) harus bersikap dan bertindak jujur yakni sesuai aturan yang berlaku.

6) Adil,bahwa pcmilili dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, bebas dari kecurangan pihak manapun.

Sebagaimana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden B.J. Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemilihan umum. Maka dicabutlah lima paket undang-undang tentang politik yaitu UU tentang :

1) Pemilu,

2) Susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang DPR/MPR,

3) Parpol dan Golongan Karya,

4) Referendum,

5) Organisasi Masa.

Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru yang diratifikasi pada tanggal 1 Pebruari 1999 oleh Presiden B.J. Habibie yaitu :

1) UU Partai Politik,

2) UU Pemilihan Umum, dan

3) UU Susunan serta Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Adanya undang-undang politik tersebut menggairahkan kehidupan politik di Indonesia, sehingga muncul partai-partai politik yangjumlahnya cukup banyak, tidak kurang dari 112 partai politik yang lahir dan mendaftar ke Departemen Kehakinam namun setelah diseleksi hanya 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilu. Pelaksana pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang terdiri atas wakil pemerintah dan parpol peserta pemilu.

Pemungutan suara dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Juni 1999 berjalan lancar dan tidak ada kerusuhan seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Dalam perhitungan akhir hasil pemilu ada dua puluh satu partai politik meraih suara untuk menduduki 462 kursi anggota DPR.

9. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1999 Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Jenderal (Pum) Rudini menetapkan jumlah anggota MPR berdasarkan hasil pemilu 1999 yang terdiri dari anggota DPR (462 orang wakil dari parpol dan 38 orang

TNI/PoIri), 65 orang wakil-wakil Utusan Golongan, dan 135 orang Utusan Daerah. Maka MPR melaksanakan Sidang Umum MPR Tahun 1999tanggal 1-21 Oktober 1999. Sidang mengesahkan Prof. DR. H. Muhammad Amin Rais, MA (PAN) sebagai Ketua MPR, dan Ir. Akbar Tandjung (Partai Golkar) sebagai Ketua DPR.

Dalam pencalonan presiden muncul tiga nama calon yang diajukan oleh fraksi-fraksi di MPR, yaitu KH Abdurrahman Wahid (PKB), Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P), Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (PBB), Namun sebelum pemilihan Yusril mengundurkan diri. Hasil pemilihan dilaksanakan secara voting KH. Abdurrahman Wahid mendapat 373 suara, Megawati mendapat 313 suara, dan 5 abstein. Dalam pemilihan wakil presiden dengan calon Hj.Megawati Soekamoputri (PDI-P) dan DR. Hamzah Haz (PPP) dimenangkan oleh Megawati Soekarnoputri.

Pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekamoputri menyusun Kabinet Persatuan Nasional, yang terdiri dari: 3 Menteri Koordinator (Menko Polkam, Menko Ekuin, dan Menko Kesra), 16 menteri yang memimpin departemen, 13 Menteri Negara.

Pemerintahan Presiden KH.Abdurrahman Wahid (1999-2001) ini tidak dapat berlangsung lama pada akhir Juli 2001 jatuh lewat Sidang Istimewa MPR akibat perseteraunnya dengan DPR dan kasus Brunaigate serta Buloggate, kemudian melalui Sidang Istimewa MPR yang kemudian melantik Wakil Presiden Hj. Megawati Sukamoputri menjadi Presiden RI ke-5 (2001 - 2004) dan DR. H.Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi wakil presiden ke-9 (2001-2004).

2. Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) Pada tanggal 20 Oktober 1999, MPR berhasil memilih Presiden Republik Indonesia yang ke-4 yaitu KH. Abdurrahman Wahid dengan wakilnya Megawati Soekarnoputri. Pada masa pemerintahan Gus Dur, ada beberapa persoalan yang dihadapi yang merupakan warisan dari pemerintahan Orde Baru yaitu :

a. Masalah praktik KKN yang belum terselesaikan.

b. Pemulihan ekonomi.

c. Masalah BPPN.

d. Kinerja BUMN.

e. Pengendalian Inflasi.

f. Mempertahankan kurs rupiah.

g. Masalah jejaring pengaman sosial (JPS).

h. Masalah disintegrasi dan konflik antar umat beragama.

i. Penegakan hukum dan penegakan HAM.

1. Pembaharuan yang dilakukan pada masa Pemerintahan Gus Dur adalah: Membentuk Kabinet Kerja untuk mendukung tugas dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, Gus Dur membentuk kabinet kerja yang diberi nama Kabinet Persatuan Nasional yang anggotanya diambil dari perwakilan masing-masing partai politik yang dilantik pada tanggal b28 Oktober 1999. Di dalam Kabinet Persatuan Nasional terdapat dua departemen yang dihapuskan, yaitu Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.

Bidang Ekonomi : Untuk mengatasi krisis moneter dan memperbaiki ekonomi Indonesia, dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertugas untuk memecahkan perbaikan ekonomi Indonesia yang belum pulih dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dewan Ekonomi nasional diketuai oleh Prof. Dr. Emil Salim, wakilnya Subiyakto Tjakrawerdaya dan sekretarisnya Dr. Sri Mulyani Indraswari.

Bidang Sosial Budaya : Untuk mengatasi masalah disintegrasi dan konflik antarumat beragama, Gus Dur memberikan kebebasan dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Hak itu dibuktikan dengan adanya beberapa keputusan presiden yang dikeluarkan, yaitu :

Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 mengenai Pemulihan Hak Sipil Penganut Agama Konghucu. Etnis Cina yang selama Orde Baru dibatasi, maka dengan adanya Keppres No. 6 dapat memiliki kebebasan dalam menganut agama maupun menggelar budayanya secara terbuka seperti misalnya pertunjukan Barongsai.

Menetapkan Tahun Baru Cina (IMLEK) sebagai hari besar agama, sehingga menjadi hari libur nasional.

Disamping pembaharuan-pembaharuan di atas, Gus Dur juga mengeluarkan berbagai kebijakan yang dinilai Kontroversial dengan MPR dan DPR, yang dianggap berjalan sendiri, tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan, melainkan diselesaikan sendiri berdasarkan pendapat kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.

Kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kontroversial dari berbagai kalangan yaitu :

1) Pencopotan Kapolri Jenderal Polisi Roesmanhadi yang dianggap Orde Baru.

2) Pencopotan Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudradjat, yang dilatarbelakangi oleh adanya pernyataan bahwa Presiden bukan merupakan Panglima Tinggi.

3) Pencopotan Wiranto sebagai Menkopolkam, yang dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis dengan Gus Dur.

4) Mengeluarkan pengumuman tentang menteri Kabinet Pembangunan Nasional yang terlibat KKN sehingga mempengaruhi kinerja kabinet menjadi merosot.

5) Gus Dur menyetujui nama Irian Jaya berubah menjadi Papua dan mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora.

Puncak jatuhnya Gus dur dari kursi kepresidenan ditandai oleh adanya Skandal Brunei Gate dan Bulog Gate yang menyebabkan ia terlibat dalam kasus korupsi, maka pada tanggal 1 Februari 2006 DPR-RI mengeluarkan Memorandum yang pertama sedangkan Memorandum yang kedua dikeluarkan pada tanggal 30 Aril 2001. Gus Dur menanggapi memorandum tersebut dengan mengeluarkan maklumat atau yang biasa disebut Dekrit Presiden yang berisi antara lain :

Membekukan MPR / DPR-RI

Mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk pemilu dalam waktu satu tahun.

Membubarkan Partai Golkar karena dianggap warisan orde baru

Dalam kenyataan, Dekrit tersebut tidak dapat dilaksanakan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuaran hokum, maka MPR segera mengadakan Sidang Istimewa pada tanggal 23 Juli 2001 dan Megawati Soekarnoputri terpilih sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur berdasarkan Tap MPR No. 3 tahun 2001 dengan wakilnya Hamzah Haz.

3. Masa Pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004) Megawati dilantik di tengah harapan akan membawa perubahan kepada Indonesia karena merupakan putri presiden pertama Indonesia, Soekarno. Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.

Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat Indonesia, menurun seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang dingin.

Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan untuk mempertahankan kekuasaannya sebagai presiden.

Pada tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung pertamanya. Ujian berat dihadapi Megawati untuk membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia. Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan yang hebat baginya.

Pemerintahan Gotong Royong

Kabinet Gotong Royong adalah kabinet pemerintahan Presiden RI kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Kabinet ini dilantik pada tahun 2001 dan masa baktinya berakhir pada tahun 2004. Kinerja Pemerintahan Megawati Soekarnoputri sangat mengecewakan. Megawati tidak tampil sebagai seorang presiden, melainkan lebih sebagai ketua umum partai. Akibatnya, roda pemerintahan tidak berjalan sebagaimana diharapkan banyak orang dan cita-cita reformasi.

Penilaian itu dilontarkan Kelompok Kerja (Pokja) Petisi 50 dalam evaluasi akhir tahun Petisi 50 yang berjudul "Catatan Akhir Tahun 2002, Pernyataan Keperihatinan".

Sebagai pemimpin bangsa, menurut Petisi 50, Presiden Megawati sangat mudah dipengaruhi. Selain itu, para pembantunya di jajaran kabinet kelihatan sangat tidak solid. Hal itu terjadi karena para menteri masing-masing mengusung kepentingan partai politik (parpol) dari mana mereka berasal.

4. Masa Pemerintahan Susilo Bambang YudhoyonoPemerintahan Indonesia Bersatu Jilid 1 (ERA SBY-JK) pada tahun 2004-2009 Kabinet Indonesia Bersatu 1 (Inggris: United Indonesia Cabinet) adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet ini dibentuk pada21 Oktober2004dan masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada5 Desember2005, Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden melakukan perombakan kedua pada7 Mei2007.

Susunan Kabinet Indonesia Bersatu pada awal pembentukan (21 Oktober 2004), perombakan pertama (7 Desember 2005), dan perombakan kedua (9 Mei 2007)

Pada periode ini, pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya Bantuan Langsung Tunai (BLT), PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.

Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid II (era SBY-Boediono) pada tahun 2009-2014 Kabinet Indonesia Bersatu 2 adalah kabinet pemerintahan Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono. Susunan kabinet ini berasal dari usulanpartai politik pengusul pasangan SBY-Boediono padaPilpres 2009 yang mendapatkan kursi diDPR(Partai Demokrat,PKS,PAN,PPP, danPKB) ditambahPartai Golkaryang bergabung setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009, serta kalangan profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh Presiden SBY pada21 Oktober 2009dan dilantik sehari setelahnya. Pada19 Mei 2010, Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan.

Pada periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :

1.BI rate

2.Nilai tukar

3.Operasi moneter

4.Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.

Dengan kebijakan-kebijakan ekonomi diatas, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang akan berpengaruh pula pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.