akibat hukum terhadap penanggung utang sebagai …

108
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PRUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS KREDITUR MENURUT KEPALITAN (STUDI KASUS PT JAYA LESTARI) SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Menggapai Gelar Sarjana Hukum OLEH KRISTINA NATALIA NABABAN 130200215 DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATRA UTARA 2018 Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 05-Oct-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PRUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS

KREDITUR MENURUT KEPALITAN (STUDI KASUS PT JAYA LESTARI)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Menggapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

KRISTINA NATALIA NABABAN

130200215

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

2018

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya saya bisa menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya skripsi ini berjudul ‘‘AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS KREDITUR MENURUT PERATURAN KEPAILITAN ‘‘ ( STUDI KASUS PT JAYA LESTARI ) Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara .

Saya menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan ,Sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan agar dapat menjadi perbaikan dimasa yang akan datang .

Dan pada kesempatan berbahagia ini dengann penuh kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar besarnya kepada :

1. Bapak prof .Dr. Runtung Sitepu S.H.,M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatra Utara . 2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hkum Universitas

Sumatra Utara . 3. Bapak Dr. Saidin , S.H,.H.Hum ,selaku Pembantu Dekan I ,Fakultas Hukum Universitas

Smatra Utara . 4. Ibu Puspa Melati S.H ., M.Hum salaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Sumatra Utara . 5. Bapak Dr. Jelly Leviza , S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan III F akultas Hukum

Universitas Sumatra Utara 6. Bapak Prof.Dr.Bismar Nasution , S.H.,M.H., selaku Ketua Hukum Departemen Ekonomi 7. Ibu Prof.Dr Sunarmi ,S.H.,MH. selaku Dosen Pembimbing I . Terimakasih banyak atas

saran , arahan dan masukan yang membangun dalam setiap bimbingan , serta waktu yang ibu berikan sehingga saya menyelesikan skripsi ini .

8. Ibu Tri Murti Lubis, S.H.,MH. Selaku Dosen Pembimbing II Dan juga Seketaris Departemen Hukum Ekonomi .Terimakasih atas bimbingan ,saran ,nasihat ,dan ilmu yang ibu berikan selama ini disetiap bimbingan dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini ( My fav dosen )

9. Seluruh Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik , serta membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara .

10. Kepada Orangtua penulis yang saya sayangi yang tidak lelahnya meberikan semangat dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan perkuliahan ini .

11. Kepada bg Dede dan bg Ecis yang tidak lelahnya memberikan semangat dan doa kepada penulis selama perkuliahan ini . Merekalah sumber inspirasi dan motivasi terbesar penulis

Universitas Sumatera Utara

ii

untuk menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan strata satu ( SI )

12. Kepada bg Mamen , bg Simon , bg Jijong , Wendi , Kak tua , kak Vero , kak Duma . 13. Kepada bg Wanson Purba ( ONSON ) yang tiada lelahnya meberikan semangat dan doa

kepada penulis selama pengerjaan skrpisi ini dari awal hingga akhir . yang selalu sabar menemani penulis dan paling cerewet ketika penulis malas untuk mengerjak skrpisi ini .

14. Kepada teman – teman seperjuangan yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skrpisi ini dengan baik

15. Seluruh pihak yang telah membantu baik baik selama perkuliahaan maupun penulisn skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu . Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Medan, Maret 2018 Penulis

Universitas Sumatera Utara

iii

ABSTRAK

Akibat Hukum Terhadap Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan Yang Dinyatakan pailit Atas Kreditur Menurut Peraturan Kepailitan

(Studi Kasus PT Sari Jaya Lestari)

Pengaturan yang mengatur secara spesifik terhadap kedudukan hukum guarantor dalam kepailitan, terutama guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagai Penanggung. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, tercermin dalam perbedaan pendapat ahli hukum serta perbedaan penafsiran Hakim terkait kedudukan hukum guarantor. Tujuan analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui kedudukan hukum Penjamin yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam kepailitan serta untuk mengetahui penyelesaian terkait permasalahan hukum dimana Corporate Guarantor dipailitkan terlebih dahulu tanpa dipailitkannya Debitur dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus Pailit/2014 Tahun 2014.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. Alat pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan yang berlaku saat ini juga memungkinkan bagi guarantor untuk dipailitkan tanpa dipailitkannya Terjamin atau Debitur-utama. Sebagai studi kasus, dalam skripsi ini diteliti perkara kepailitan PT. Jaya Lestari yang dinyatakan pailit dalam kedudukan hukumnya sebagai guarantor. Kata Kunci :Kepailitan, Corporate Guarantor, Kedudukan Hukum.

Universitas Sumatera Utara

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR..................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................. ii

ABSTRAKSI ................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................ 5

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................... 6

D. Keaslian Penulisan ........................................................... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ...................................................... 8

F. Metode Penulisan............................................................19

G. Sistematika Penulisan......................................................22

BAB II Kepailitan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia ...............24

A. Tinjauan Umum Konsep Kepailitan .................................24

B. Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan ..............28

C. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit .........................32

D. Penyelesaian Hukum Berakhirnya Kepailitan ...................41

BAB III Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan

Atas Kreditur ................................................................50

A. Tinjauan Umum Mengenai Konsep Jaminan ....................50

B. Jenis-Jenis Penanggungan Utang .....................................58

Universitas Sumatera Utara

v

C. Hubungan Hukum Antar Pihak dalam

Penanggungan Utang ......................................................67

D. Hapusnya Penanggung Utang ..........................................79

BAB IV Akibat Hukum Atas Penyataan Pailit Terhadap

Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan

(Studi Kasus PT. Sari Jaya Lestari) ..............................81

A. Kasus Kepailitan PT Sari Jaya Lestari..............................81

B. Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan yang

Melepaskan Hak Istimewanya dalam Kepailitan...............88

C. Akibat Hukum Atas Pernyataan Pailit

PT. Sari Jaya Lestari ..................................................... 102

BAB V PENUTUP .................................................................... 110

A. Kesimpulan .................................................................. 110

B. Saran ............................................................................ 112

DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 113

Universitas Sumatera Utara

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor perekonomian, konsep penjaminan atau penanggungan merupakan konsep yang

tidak asing terdengar lagi. Fasilitas kredit atau jaminan menjadi kebutuhan masyarakat yang

menjalankan kegiatan di bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan, dan

kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan fasilitas

kredit dalam usahanya, mensyaratkan untuk adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut demi

keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi modal. Di sinilah arti penting dari

lembaga jaminan1. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi sebagai sarana perlindungan bagi

para kreditur berupa pemberian kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu

prestasi oleh debitur2

Jaminan ini terbagi menjadi dua golongan, yakni Jaminan Kebendaan dan Jaminan

Perorangan (borgtocht). Dalam jaminan kebendaan, objek jaminan berupa harta kekayaan yang

diberikan dengan memisahkan bagian dari harta kekayaan debitur maupun pihak ketiga, guna

menjamin pemenuhankewajiban-kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan cidera

janji atau wanprestasi. Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht), objek jaminan yang

diberikan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga guna menjamin

pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur apabila debitur yang bersangkutan

.

1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan

Jaminan Perorangan, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003), hal. 2. 2 Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal Hukum Bisnis (Volume

11, 2000), hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

2

wanprestasi3

Faktor jaminan menjadi faktor yang sangat penting bagi kreditor yang memerlukan

kepastian bahwa pinjaman yang diberikan itu akan dilunasi oleh debitor sesuai dengan janji yang

diberikan secara tepat

. Dalam KUH Perdata, ketentuan terkait penjaminan atau penanggungan diatur

dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850.

4

Dalam hal timbulnya suatu kredit macet antara Kreditur dan Debitur, pada hakikatnya

kepailitan tidak jarang menjadi pranata yang digunakan dalam dunia usaha, sebagai jalan keluar

dari penyelesaian proses utang-piutang yang macet. Kepailitan merupakan sita umum atas semua

kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

pengawasan hakim pengawas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) sendiri pada dasarnya tidak mengatur

secara khusus mengenai pihak yang dapat dinyatakan pailit. UUKPKPU hanya mengkategorikan

pihak yang dapat dinyatakan pailit dengan sebutan “debitur”. Bahwa yang dapat dinyatakan

pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya

. Dengan adanya jaminan perorangan, maka pihak kreditur dapat menuntut

kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk

membayar utangnya tersebut.

5

3 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis

(Volume 11, 2000), hal. 11. 4 J. Djohanshah, “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan Hutang”, dalam Emmy

Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hal. 65 5Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan, LN Nomor 131 Tahun 2004, TLN 4443, 2004, Undang-

Undang Nomor 37 Tahun 2004, Ps 2 ayat (1).

.

Universitas Sumatera Utara

3

Penjamin sebagai pihak yang memberikan jaminan merupakan pihak yang dapat diminta

pertanggungjawabannya apabila debitor tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Dalam

pemberian jaminan, seorang penjamin atau guarantor memiliki hak istimewa yang terdiri atas

hak untuk meminta agar harta benda debitur disita dan dilelang terlebih dahulu untuk melunasi

utang kepada kreditur 6 serta hak untuk meminta kepada kreditur pemecahan piutang dalam hal

terdapat lebih dari seorang penanggung7

Kasus yang berkaitan dengan kedudukan hukum dari seorang Perusahaan Jaminan

(Corporate Guarantor) dalam kepailitan, salah satunya terdapat dalam Putusan Mahkamah

Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Tahun 2014. Dalam putusan tersebut, PT. Rabobank

Indonesia mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Jaya Lestari yang berkedudukan sebagai

Corporate Guarantor dari PT. Golden Harvestindo, yang notabenenya merupakan debitur dari

PT Rabobank Indonesia berdasarkan sejumlah facility agreement. Dalam kedudukannya sebagai

. Pemberian hak-hak istimewa tersebut merupakan suatu

bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap penjamin/guarantor.

Penjamin diberikan kebebasan untuk mempertahankan atau untuk melepaskan hak istimewanya

tersebut.

Dengan dilepaskannya hak-hak istimewa Penjamin, maka dapat disimpulkan bahwa

Penjamin tidak dapat menuntut agar benda-benda Debitur terlebih dahulu disita dan dijual. Di

sisi lain dalam proses kepailitan, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akan kedudukan

Penjamin, sebab dimungkinkan diajukannya gugatan kepailitan kepada Penjamin sebagai Debitur

tanpa adanya suatu penetapan kepailitan terlebih dahulu atas harta Debitur Utama/Terjamin.

Kedudukan Penjamin yang telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagai debitur pailit menjadi

dipertanyakan dan perlu untuk diperjelas.

6 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita, 1989), Pasal 1831. 7Ibid., Pasal 1837 BW

Universitas Sumatera Utara

4

Corporate Guarantor, PT. Jaya Lestari secara tegas dalam Perjanjian Penjaminan telah

melepaskan hak hak istimewanya. Saat terjadi wanprestasi, PT. Rabobank Indonesia selaku

kreditur, tidak hanya menggugat pailit PT. Golden Harvestindo, namun juga menggugat pailit PT

Jaya Lestari. Pada tingkat pertama, permohonan pailit atas PT. Jaya Lestari dikabulkan.

Permohonan terhadap PT. Jaya Lestari dikabulkan pada tingkat pertama meskipun permohonan

pailit atas PT Golden Harvestindo selaku debitur utama telah ditolak di Pengadilan Niaga

maupun oleh Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali. Sementara permohonan

kepailitan yang diajukan terhadap PT. Jaya Lestari dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Surabaya,

meskipun setelah itu kepailitannya dibatalkan di tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung.

Penetapan pailit dalam hal ini dinyatakan terhadap guarantor meskipun debitur utama, yakni PT.

Golden Harvestindo tidak dinyatakan pailit dan terhadapnya belum dilakukan tindakan hukum

terkait dengan penyelesaian kewajibannya.

Putusan ini merupakan satu diantara banyak putusan kepailitan yang menunjukkan

perbedaan persepsi terkait kedudukan hukum dari Guarantor dalam proses kepailitan. Dimana

sampai saat ini belum terdapat pengaturan yang spesifik menjelaskan terkait kedudukan hukum

Guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam kepailitan. Terlebih terhadap

kedudukan hukum Corporate Guarantor dalam kepailitan, mengingat bentuknya sebagai badan

hukum, yang pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas, Guarantor dalam hal ini

menjalankan suatu usaha atau bisnis, dimana putusan pailit terhadapnya dapat berdampak

terhadap keeksistensian Perusahaan sebagai suatu badan usaha.

Berdasarkan uraian diatas Penulis bermaksud menulis Skripsi dengan judul “Akibat

Hukum Terhadap Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan yang Dinyatakan

Pailit Atas Kreditur Menurut Peraturan Kepailitan (Studi Kasus PT. Sari Jaya Lestari)”.

Universitas Sumatera Utara

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut

:

1. Bagaimana pengaturan hukum tentang penanggung utang menurut peraturan perundang-

undangan?

2. Bagaimana Pengaturan Kepailitan Dalam Sistem Hukum di Indonesia ?

3. Bagaimana akibat hukum dimana Guarantor ditetapkan pailit tanpa terdapatnya penetapan

pailit terhadap Terjamin atau Debitur Utama , terkait dengan kasus PT. Sari Jaya Lestari

dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Tahun 2014?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah meliputi tujuan umum dan

tujuan khusus:

a. Tujuan Umum

Tujuan Umum dari penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan praktis, yaitu

untuk memenuhi kebutuhan akan masukan bagi pembentukan perangkat hukum, terutama dalam

bidang hukum kepailitan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

lebih terkait kedudukan hukum Penjamin ditinjau melalui Hukum Kepailitan.

b. Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum Penjamin

yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam kepailitan serta untuk mengetahui

penyelesaian terkait permasalahan hukum dimana Corporate Guarantor dipailitkan terlebih

Universitas Sumatera Utara

6

dahulu tanpa dipailitkannya Debitur dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor

158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Tahun 2014.

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan tersebut di atas, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai

hal di antaranya:

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis

dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kepailitan.

b. Secara Praktis

Penelitian diharapkan bermanfaat untuk :

1. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam menyelesaikan masalah

hukum yang berkenaan dengan hukum dengan hukum kepailitan.

2. Dengan adanya penelitian ini maka Penulis dapat memberikan gambaran hukum tentang

bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan

terhadap anak perusahaan dalam kepailitan.

3. Memberikan pemahaman kepada insan perbankan terkait dengan dimungkinkanya

corporate guarantee dapat ikut serta dimohonkan pailit.

D. Keaslian Penulisan

Penelusuran kepustakaan, khususnya di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara penelitian tentang “Akibat Hukum Terhadap Penanggung Utang Sebagai

Jaminan Perusahaan Yang Dinyatakan pailit Atas Kreditur Menurut Peraturan

Universitas Sumatera Utara

7

Kepailitan (Studi Kasus PT. Sari Jaya Lestari)” tidak ditemukan judul penelitian yang sama,

dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional

dan objektif serta terbuka, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Penulis juga telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di

Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dapat mendukung tentang keaslian penulisan.

E. Tinjauan Kepustakaan

Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara

mengalokasikan suatu kekuasaan kepadannya untuk bertindak dalam rangka kepentingan

tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan kekuasaan

dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap

kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang

menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. Salah satu filosofi hukum kepailitan ialah

adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberi

manfaat, kegunaan dan kepastian hukum8

1. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu

hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti.

.

Keadilan menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di

depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa saja yang harus

diperlakukan sama atau sebaliknya. Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah

bahwa :

8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.53.

Universitas Sumatera Utara

8

2. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan

hak9

Untuk memperjelas ukuran keadilan sebagaimana yang diutarakan dari pendapat

Aristoteles di atas, maka debitur utama menuangkan ketentuan hak dankewajiban pemberi

garansi/penjaminan dalam bentuk perjanjian yang dinamakan dengan Perjanjian Pemberi

Garansi/Penjaminan yang memuat persetujuan dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si

berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatanya si berutang manakala orang itu sendiri

tidak memenuhinya (Pasal 1820 KUHPer). Dalam hal ini seorang pihak ketiga yang dimaksud

disini adalah Corporate Guarantee(CG) yang secara sukarela mengikatkan diri sebagai penjamin

yang akan memenuhi kewajiban debitur utama apabila si debitur utama lalai atau tidak mampu

lagi melaksanakan kewajibanya kepada kreditur. Perjanjian Pemberian Garansi/Penjaminan ini

berlaku mengikat dan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya

.

10

Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu:

.

Dengan kata lain antara debitur utama dengan CG memiliki kedudukan yang sama

terhadap kreditur.

11

1. Keadilan Disitributif yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut

jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya.

2. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya

tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.

Menurut W. Friedman, suatu undang-undang haruslah memberikan keadilan yang sama

kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi tersebut.12

9Ibid. 10 Pasal 1338 KUHPerdata. 11M.Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal.24

Hal

Universitas Sumatera Utara

9

ini menjadi dasar pertimbangan bagi CG dan debitur utama untuk mengetahui lebih jelas hak dan

kewajibannya sebagaimana tertuang dalamPerjanjian Pemberian Garansi/Penjaminan. Perjanjian

ini dapat memberikan keadilan yang sama terhadap CG dan debitur utama walaupun terdapat

perbedaan-perbedaan pemenuhan kewajiban-kewajiban antara pribadi-pribadi dalam memenuhi

kewajiban terhadap kreditur sebagaimana yang dimaksud oleh pendapat Friedmann di atas.

Dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut maka sebagaimana

ketentuan dari Pasal 1832 ayat 1 KUHPer yang menyatakan “Pengajuan permohonan pernyataan

pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk

menuntut supaya benda-benda atau harta kekayaan debitur disita dan dijual terlebih dahulu”.

Telah berlaku bagi CG oleh karena CG telah melepaskan hak istimewanya dengan adanya

perjanjian pemberian garansi/penjaminan tersebut. Dengan kata lain antara CG dan debitur

utama telah memiliki kedudukan yang sama. Teori keadilan digunakan untuk menganalisis

apakah perjanjian pemberian garansi telah memberikan keadilan bagi Kreditur, Debitur dan CG.

Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-

PKPU) Nomor 37 Tahun 2004 lahir bertujuan untuk kepentingan dunia usaha dalam

menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Kepailitan

merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk

membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga,

dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.13

12 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Dalam buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum,

diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal.7 13Imran Nating, Hukum Kepailitan, http//artikelhukumku.blogspot.com//, diakses tanggal 15 Juni 2012.

Bila debitur mempunyai banyak

kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua hutang kepada

kreditur, maka para kreditur akanberlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak,

untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara

10

Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena

harta debitur sudah habis, hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal

inilah yang menjadi maksud dan tujuan UUK-PKPU14

1. Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan diantara pemegang klaim

melawan debitur atau kekayaan debitur.

. Dengan lahirnya UUK-PKPU diharapkan

antara debitur dan kreditur dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka

masing-masing sehingga terwujudlah keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum

kepailitan tersebut adanya nilai keadilan. Dengan Lahirnya UUK-PKPU, pertanyaan berapa

besar pembagian piutang kepada kreditur telah diatur yaitu antara lain:

2. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian

mungkin dipertemukan.

3. Peraturan menentu kan siapa yang diprioritaskan, diantarapenagih-penagih, akan

mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa15

Ketiga pertimbangan yang telah diuraikan di atas memungkinkan bahwa kreditur

tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai pengganti rencana

pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal. Bagaimanapun para kreditur

akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatusistem yang mengikat semua kreditur

lain. Untuk mengijinkan debitur membuat perjanjian dengan kreditur lain yang akan memilih ke

luar daripada kerangka penyelesaian.

.

Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam undang-undang Nomor 37 Tahun

2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berisi antara lain

adalah :

14 Rudhy A. Lontoh, et.al.,Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal.75-76.

15Ibid.

Universitas Sumatera Utara

11

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas

keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain

pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan

lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha.

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan kelangsungan usahan

bagi perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan.

Dalam Kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai

kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas

keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangan-wenangan pihak penagih yang

mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur dengan tidak

mempedulikan kreditur lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum

formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum

perdata dan hukum acara perdata nasional16

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa

debitur akan secara nyata mengembalikan pinjamanya setelah jangka waktu pinjaman berakhir,

dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut jaminan. Asas yang pertama menentukan

.

16 Penjelasan Umum UUK-PKPU.

Universitas Sumatera Utara

12

apabila debitur ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur karena suatu

alasan tertentu, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,

baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan

utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini dituangkan

dalam Pasal 1131 KUHPerdata (KUHPer) yang berbunyi: “segala harta kekayaan debitur, baik

yang bergerak maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuksegala

perikatan debitur”17

Pasal 1131 KUH Perdata menentukan harta kekayaan debitur bukan hanya untuk

menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditur yang diperoleh dari perjanjian kredit

diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yangtimbul dari perikatan debitur.

Oleh karena Pasal 1131 KUH Perdata menentukan semua harta kekayaan (asset) debitur menjadi

agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditur tertentu saja tetapi juga semua

kreditur lainya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitur itu kepada para

krediturnya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu

ditentukan oleh Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan asas kedua yang menyangkut

jaminan

.

18

Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan : “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-

sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu

dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,

kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk

jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan tersebut terbagi

.

17 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.4-5. 18Ibid, hal.4-5.

Universitas Sumatera Utara

13

atas dua jenis, yaitu jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian

garansi yang dilakukan oleh badan hukum CG.

Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama dimana hak dan kewajiban yang

dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja

subjek pelakunya berbeda19.Bila CG subjeknya berupa badan usaha berbadan hukum maupun

badan usaha yang tidak berbadan hukum.Keberadaan penjamin disini personal guarantee

maupun CG berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat

dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk

melaksankan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan

adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar

utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut20.Jadi CG

berperan sebagai penjamin/guarantor bagi debitur pailit yang apabila debitur pailit tidak

membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas

benda yang telah dijaminkan oleh debitur pailit tersebut untuk melunasi utangnya, sedangkan

dalam hal penjaminnya/guarantornya adalah CG, maka apabila debitur pailitnya tidak mampu

melaksanakan kewajibanya maka guarantor tersebut bersedia melaksanakan kewajiban dari

debitur pailit tersebut. Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditur dapat menuntut

kepada penjamin/guarantor untuk membayar utang debiturpailit bila debitur pailit lalai atau tidak

mampu lagi membayar utangnya tersebut21

Berkaitan dengan pemberian garansi/jaminan dalam perusahaan yang biasanya

dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya

.

19 Adrian Sutedi, Op.cit, hal.151. 20 Salim, H.S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Hal

21. 21 Djuhaendah Hasan danSalmidjas Salam, Aspek Hukum Hak Jaminan Perorangan dan Kebendaan,

Jakarta, 2010.

Universitas Sumatera Utara

14

perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor dapat melakukan kewajiban debitur

apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur dan apabila penjamin

tidak dapat melakukan kewajibanya maka penjamindapat pailit oleh kreditur. Jadi kepailitan

perusahaan sebagai debitur utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor. Namun

penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak istimewa

penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor tidak diwajibkan

untuk melunasi kewajiban debitur kepada kreditur sebelum harta kekayaan debitur pailit disita

dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Apabila hasil penjualan tidak cukup untuk

melunasi hutangnya debitur, berarti penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban

debitur yang belum dipenuhinya kepada kreditur22

Berdasarkan perjanjian pemberian kredit yang termasuk dengan perjanjian pemberian

jaminan maka penjamin/guarantor dalam hal ini CG memiliki peran yang sama dengan debitur

pailit bila sewaktu-waktu debitur pailit lalai dalam melaksanakan kewajiban melakukan

pembayaran utang, dan dengan demikian ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUK-PKPU

telah berlaku, dimana dalam Pasal 24 UUK-PKPU telah memuat dengan jelas bahwa dengan

pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaanya yang

dimasukkan dalam harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan kata lain

penjamin dalam hal ini CG yang dinyatakan pailit tidak lagi dapat melakukan bisnis untuk dan

atas nama pribadinya. Dalam KUHPerdata dalam Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1850, dari

ketentuan Pasal dalam KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin

ataupenanggung adalah juga seorang debitur yang berkewajiban melunasi utang debitur kepada

.

22Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan TanggungMenanggung,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.24.

Universitas Sumatera Utara

15

krediturnya apabila tidak membayar utang apabila sudah jatuh waktu23

23 Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit, hal.98.

. Demikian halnya dengan

teori keadilan dengan adanya perjanjian pemberian jaminan, kedudukan antara CG dan debitur

pailit memiliki kedudukan yang sama, dan guarator haruslah bertindak sebagai pihak yang

melunasi kewajiban debitur bila si debitur gagal dalam melunasi hutangnya.

Berdasarkan hal tersebut maka para pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama dan

tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan merupakan persamaan hak dan

seseorang tidak boleh melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu

hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti seperti yang tertulis dalam

perjanjian pemberian jaminan yang mana ketentuan ini merupakan pernyataan Aristoteles

dengan teori keadilannya.

Berdasarkan asas yang terdapat dalam kepailitan, dapat dimaknai bahwa penggunaan

Pasal 1831 ayat 1,2,3,4 dan ayat 5 KUH Perdata dalam hal pemberian jaminan adalah berlaku

oleh karena adanya asas dalam kepailitan yaitu asas integrasi yang menyatakan terkait hukum

materiilnya, hukum perdata merupakan satu kesatuan dengan UUK-PKPU, sehingga guarantoor

wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang jo.Pasal 1831 ayat

1,2,3,4, dan ayat 5 KUH Perdata.

Berdasarkan penjelasan di atas maka untuk memperjelas istilah-istilah yang digunakan

penulis dalam hal ini Pentingnya defenisi sebagai bentuk tinjauan pustaka penulisan adalah untuk

menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh

karena itu, dalam penulisan skripsi ini dirumuskan konsepsi sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

16

1. Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak

ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan24

2. Penanggung atau Penjamin atau Guarantor adalah seorang pihak ketiga, yang guna

kepentingan si kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur, apabila

debitur tidak memenuhi kewajibannya.

.

3. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas

sebagaimana diatur oleh undng-undang ini25

4. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang

yang dapat ditagih di muka pengadilan.

.

5. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang

pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

6. Utang adalah Kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang

Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di

kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan

yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor

untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur26

.

24Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 12 25 Indonesia (1), Op. Cit., Ps. 1 angka (1) 26 Indonesia (1), op. cit., Ps. 1 angka (6)

Universitas Sumatera Utara

17

F. Metode Penulisan

Bentuk penelitian yang akan dipaikai oleh penulis adalah menggunakan bentuk

penelitian yuridis normatif27yang diartikan sebagai penelitian yangmengacu pada norma hukum

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan28

Tipologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dari sudut sifatnya ialah

penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu individu,

keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala

.

Alasan penggunaan penelitian hukum normatif ialah penelitian ini mengacu pada norma

hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku dan

mengikat masyarakat serta beberapa teori-teori pendukung lainnya.

29

27 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau yang lebih dikenal dengan penelitian

yuridis normatif pada dasarnya merupakan penelitian yang terdiri dari: a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematika hukum; c. penelitian terhadap sinkronisasi hukum; d. penelitian sejarah hukum; dan e. penelitian perbandingan hukum.

28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43 29 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum

Indonesia, 2001), hal. 4.

dimana

penelitian ini memaparkan mengenai penerapan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni

melalui studi dokumen, yaitu mencari dan mengumpulkan data berdasarkan data yang tertulis

seperti buku-buku, peraturan-peraturan, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang

berbentuk laporan, dan seterusnya.

Selain itu, penulis dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum penelitian berupa:

Universitas Sumatera Utara

18

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat30

2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer

, antara lain terdiri atas

peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait kepailitan, antara lain Failissement

Verordening (FV), Perpu Nomor 1 Tahun 1998, dan khususnya Undang-undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Serta

peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Penjamin atau Guarantor, yaitu

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

31

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus

.Bahan hukum sekunder tersebut antara lain berupaputusan Pengadilan Niaga serta

Mahkamah Agung yang berkaitan dengan kepailitan Penjamin atau Guarantor.

32

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa studi

dokumen. Data yang disajikan oleh peneliti adalah data deskriptif, dimana menjelaskan terkait

dengan kedudukan serta tanggung jawab hukum Penjamin yang telah melepaskan hak-hak

istimewanya dalam suatu proses kepailitan. Studi dokumen atau bahan pustaka berfungsi untuk

memberikan fakta-fakta yang secara tidak langsung memberikan suatu pemahaman atas

permasalahan yang sedang kita teliti

.

33

Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif

.

34

30 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 52. 31Ibid. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, 2001, Jakarta, hal. 9. 33Ibid. hlm. 66 34Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

2003), hal : 116.

, sebagai hasil

pengumpulan data melalui data sekunder, yaitu studi terhadap dokumen sehingga hasil dari

analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan yang dikaitkan dengan teori-teori, konsep yang

Universitas Sumatera Utara

19

mempunya relevansi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah.

Tujuannya ialah untuk menggambarkan sejelas-jelasnya mengenai pengaturan terkait kedudukan

hukum CG dalam kepailitan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

penerapannya dalam putusan hakim.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab Pendahuluan Penulis akan memaparkan latar belakang, pokok

permasalahan, definisi operasional, tujuan penulisan, dan metode penulisan.

BAB II KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Tinjauan Umum Konsep

Kepailitan, Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan, Akibat Hukum

Putusan Pernyataan Pailit dan Penyelesaian Hukum Berakhirnya Kepailitan.

BAB III PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN ATAS

KREDITUR

Pada bab ini akan membahas mengenai Tinjauan Umum Mengenai Konsep

Jaminan, Jenis-Jenis Penanggungan Utang, Hubungan Hukum Antar Pihak dalam

Penanggungan Utang dan Hapusnya Penanggung Utang.

BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PENYATAAN PAILIT TERHADAP

PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN (STUDI

KASUS PT SARI JAYA LESTARI)

Universitas Sumatera Utara

20

Pada bab ini akan membahas mengenai Kasus Kepailitan PT Sari Jaya Lestari,

Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan Yang Melepaskan Hak Istimewanya

dalam Kepailitan dan Akibat Hukum Atas Pernyataan Pailit PT. Sari Jaya Lestari.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Kesimpulan dan Saran, yaitu hasil

dari analisis yang merupakan jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan

judul penulisan skripsi ini, serta saran yang dapat bermanfaat sehubungan

dengan permasalahan yang terjadi kepada pihak-pihak terkait.

Universitas Sumatera Utara

21

BAB II

KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Konsep Kepailitan

Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Bila ditelusuri lebih

mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda,Perancis, Latin, dan

Inggris, dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasaBelanda, pailit berasal dari kata

“failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitusebagai kata benda dan kata sifat. Dalam bahasa

Perancis, pailit berasal dari kata“faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.

Dalam bahasaInggris dikenal kata “to fail” dengan arti yang sama; dalam bahasa Latin

disebut“faillute”. Di Negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili

dengan kata-kata “bankrupt” dan “bankruptcy”35

Bankruptcy is a general statutory attachment encompassing all the assets of the debtor. The bankruptcy only covers the assets. The personal status of an individual will not be affected by the bankruptcy; he is not placed under guardianship. A company also continues to exist after the declaration of bankruptcy. During the bankruptcy proceedings, act with regard to the bankruptcy estate can only be performed by the receiver, but other acts remain part of the domain of the debtor’s corporate organs

.

Jerry Hoff menggambarkan kepailitan sebagai:

36

Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untukselanjutnya disingkat

menjadi “UUK-PKPU”), dapat diketahui bahwa kepailitanadalah sita umum atas semua

kekayaan debitor pailit yang pengurusan danpemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah

.

35 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Rineka

Cipta, 1993, hal. 18. 36 Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, (Jakarta: Tatanusa, 1999), hal. 11, seperti dikutip oleh M. Hadi

Shubhan, Huku m Kepailitan: Prinsip Norma, dan Praktik di Pengadilan, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

22

pengawasan hakim pengawassebagaimana diatur dalam undang-undang ini.Dikatakan sita

umum, karena sita tersebut bukan untuk kepentingan seorangatau beberapa orang kreditor,

melainkan untuk semua kreditor atau dengan katalain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi

yang dimintakan oleh kreditor secaraperorangan.

Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta debitor, bukan

pribadinya. Jadi ia tetaplah cakap untuk melakukan perbuatan hukum kekayaan misalnya hak

sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya37

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari

persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak

mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.

Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo

tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status

pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang

memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila

kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar

utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy)

.

38

Ketentuan kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk melakukan

pembagian harta Debitor kepada Para Kreditornya dengan melakukan sita umum terhadap

seluruh harta Debitor yang selanjutnya dibagikan kepada Kreditor sesuai dengan hak

proporsinya.

.

39

37 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 7. 38 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Surabaya: Kencana

Prenada Media Group, 2008), hal. 3. 39Ibid., hal. 67.

Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan Debitor oleh Kurator kepada semua

Universitas Sumatera Utara

23

Kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.40

Debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditor tersebut.

Dalam hal seorang Debitor

hanya mempunyai satu Kreditor dan Debitor tidak membayar utangnya dengan sukarela, maka

Kreditor akan menggugat Debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan

seluruh harta.

41Hasil bersih

eksekusi harta Debitor dipakai untuk membayar Kreditor tersebut. Namun, dalam hal terdapat

banyak Kreditor dan harta kekayaan Debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua

Kreditornya, maka para Kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun

tidak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Hal itu mengakibatkan Kreditor yang datang

belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta Debitor sudah habis.42

Rumusan Pasal 1131 KUH Perdata menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan

seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta

kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya, maupun yang akan

Berdasarkan alasan tersebut, timbullah lembaga Kepailitan yang mengatur tata cara

yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditor.

Lembaga kepailitan berfungsi utuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran

tagihan-tagihan kepada para kreditor. Prinsip kepailitan dilatarbelakangi oleh ketentuan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan

bahwa segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala

perikatannya secara perseorangan.

40Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, ed., “Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum”,

Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hal. 96 41 Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang Penyelesaian

Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 75. 42Ibid., hal. 76.

Universitas Sumatera Utara

24

mengurangi jumlah harta kekayaannya. Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu

berada dalam keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu.43Sedangkan

jika ternyata dalam hubungan hukum harta kekayaan tersebut, seseorang memiliki lebih dari satu

kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu orang yang berhak atas pemenuhan

kewajiban tersebut, maka Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor

yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapat pemenuhan perikatan secara (1) pari

passu, yakni secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan, (2) pro

rata, yakni proporsional yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing

dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan

Debitor tersebut.44

B. Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan

Hukum Kepailitan di Indonesia secara historis dimulai sejak Indonesia berada di bawah

penguasaan Belanda yang kedua, yaitu pada tahun 1846 sampai tahun 1942.45

43 Kartini Muljadi, ”Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan”, dalam Emmy

Yuhassarie, ed., Op. Cit., hal. 164. 44Ibid. 45 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2012), hal. 20.

Mula-mula,

sebelum tahun 1945, kepailitan untuk kasus pedagang Indonesia diatur dalam Wetboek van

Koophandel (W.v.K.), Buku Ketiga, yang berjudul van de Voorzieningen in geval van

onvermogen van kooplieden atau Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang. Sedangkan

kepailitan untuk bukan pedagang diatur dalam Reglement op de Rechtsverordering atau disingkat

Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van

Universitas Sumatera Utara

25

Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu).46

Adanya dua macam peraturan kepailitan tersebut, selain tidak perlu, juga menimbulkan

banyak kesulitan, diantaranya ialah formalitas yang ditentukan terlalu banyak, banyak kesulitan

yang timbul dalam pelaksanaannya, biayanya tinggi, pengaruh kreditor terhadap jalannya

kepailitan terlalu sedikit, serta pelaksanaannya memakan waktu terlalu lama.

Dengan demikian,

sebelum tahun 1906, terdapat dua macam peraturan kepailitan yang berlaku di Hindia Belanda.

47

Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa.

Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia

Belanda pada waktu itu terhadap pendudukHindia Belanda. Meskipun FV hanya berlaku bagi

golongan Eropa, namun golongan penduduk Hindia Belanda selain golongan Eropa, dapat pula

menggunakan pengaturan tersebut. Golongan Timur Asing Cina dapat menggunakannya melalui

lembaga penerapan hukum (toepasselijkverklaring). Sementara golongan Bumiputra dan

golongan Timur Asing bukan Cina, dapat menggunakannya dengan menerapkan lembaga

penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige onderwerping) terhadap hukum perdata dan hukum

dagang Barat.

Sehingga, untuk

mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, pada tahun 1905 telah diundangkan

Faillissementsverordening (S. 1905-217).

48

Setelah tahun 1945, yaitu setelah penguasaan Belanda di Indonesia telah berakhir,

pengaturan terkait kepailitan yang diatur dalam Faillissementsverordening masih tetap berlaku.

Hal ini didasarkan oleh ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan

bahwa: “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum

46Sutan Remy Sjahdeni (1), Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening:Juncto Undang-

Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 25 47Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2004), hal. 3 48 Sutan Remy Sjahdeni (1), Op.Cit., hal. 27.

Universitas Sumatera Utara

26

diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan aturan tersebut, maka

seluruh perangkat hukum dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi

kemerdekaan, kecuali jika telah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung

dalam Pancasila dan UUD 1945. Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta

sempat pula menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen

1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan

yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang.49

Namun, peraturan kepailitanyang berlaku saat itu, yaitu Faillissementsverodening

kurang dapat diandalkan, antara lain karena upaya melalui kepailitan yang diatur dalam FV

sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Sehingga diperlukan suatu

peraturan kepailitan baru yang dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan Kreditor. Selain

itu desakan juga datang dari IMF sebagai pember iutang kepada pemerintah Republik Indonesia

yang berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari

keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia.

Tugas ini lama selesai, sehingga Peraturan Darurat

Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.

Faillissementsverordening terus diberlakukan hingga tahun 1998, dengan dilahirkannya

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas

Undang-undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Latar belakang dibentuknya Perpu

tersebut adalah dikarenakan krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997. Krisis

moneter yang disebabkan karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS

mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, menjadi

membengkak. Sehingga masyarakat Kreditor pun mencari-cari sarana yang dapat digunakan

untuk menagih hutangnya.

49Ibid., hal. 28

Universitas Sumatera Utara

27

Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah melahirkan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-

Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut kemudian disahkan sebagai

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian

telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 bukan merupakan Undang-

undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekedar mengubah dan menambah ketentuan

dalam Faillissementsverordening. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 1998, banyak ketentuan-

ketentuan yang disempurnakan, seperti:50

1. Penyempurnaan syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan, pemberian

kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan kepailitan.

2. Peneguhan fungsi Kurator, syarat-syarat untuk menjadi Kurator, termasuk kewajiban

Kurator.

3. Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan.

4. Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikanmasalah kepailitan

secara umum, yaitu dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, dst.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, kendatipun telah disempurnakan dan

disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun jika ditinjau dari substansinya masih terdapat

berbagai kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu perlu dibuat undang-undang kepailitan

modern yang merupakan produk pemerintah nasional,guna merespon kebutuhan dan

perkembangan hukum masyarakat. Sehubungan dengan itu, Pemerintah, pada 18 Oktober 2004,

mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).

50 Sutan Remy Sjahdeni (1), Op. Cit., hal. 34.

Universitas Sumatera Utara

28

Beberapa pokok substansi baru yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor37 Tahun

2004, antara lain:

1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Bab Ketentuan Umum yang mengatur

definisi operasional dibuatkan batasan pengertian, termasuk pengertian utang dan jatuh

tempo.

2. Mengenai syarat-syarat permohonan pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU), termasuk pemberian kerangka waktu yang pasti dalam

penanganan perkaranya yang dihitung sejak pendaftaran perkara sampai dengan putusan.

C. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit

1. Akibat Hukum Terhadap Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya

Berdasarkan bunyi Pasal 24 UUPKPU disebutkan bahwa terhitung sejak tanggal

putusan pernyataan pailit diucapkan, Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai

dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Artinya, Debitor pailit tidak

memiliki kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang

dimilikinya.51

Putusan pailit oleh Pengadilan tidak mengakibatkan Debitor kehilangan kecakapannya

untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya

kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya

saja. Debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum berupa misalnya menikah, atau membuat

perjanjian kawin atau menerima hibah, dst. Dengan kata lain, akibat kepailitan hanyalah terhadap

Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau dialihkan kepada

kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai Kurator.

51Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2004), hal. 50.

Universitas Sumatera Utara

29

harta kekayaan Debitor, namun Debitor sendiri tidaklah berada di bawah pengampuan. Debitor

tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya,

kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya

yang telah ada.

Dalam hal Debitor pailit adalah badan hukum, maka sebagai akibat putusan pernyataan

pailit, kekuasaan Direksi suatu Perseroan Terbatas dan badan-badan hukum lainnya untuk

mengelola perusahaan Debitor atau badan hukum tersebut “terpasung”, sekalipun mereka tetap

menjabat dalam jabatannya tersebut.52

Berdasarkan 21 UUK-PKPU disebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan

Debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama

kepailitan. Kecuali terhadap beberapa barang atau hak benda atas benda yang tetap berada di

bawah penguasaan dan pengurusan Debitor pailit. Secara rinci, yang dikecualikan dari harta

kepailitan disebutkan dalam Pasal 22 UUK-PKPU. Akibat hukum putusan pernyataan pailit

terhadap harta Debitor pailit adalah bahwa terhadap harta kekayaan debitor yang termasuk harta

pailit akan dijadikan sitaan umum. Dengan adanya sitaan umum, maka harta pailit dalam status

dihentikan dari segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta tersebut

diurus oleh Kurator.

Segala kewenangan pengurusan serta pengelolaan menjadi

beralih kepada Kurator, dan para pengurus badan hukum tidakmemiliki kendali terhadap

Kurator, sebaliknya mereka harus mematuhi petunjuk serta perintah Kurator.

53

Selanjutnya, sejalan dengan kewenangan Debitor pailit menyangkut harta kekayaannya

yang telah beralih kepada Kurator, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU, disebutkan bahwa

52 Sutan Remy Sjahdeni (2), Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 257. 53 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,

(Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 164.

Universitas Sumatera Utara

30

tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau

terhadap Kurator. Dengan adanya putusan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya segala

gugatan yang bersumber pada hak dan kewajiban kekayaan debitor pailit harus dimajukan

terhadap kuratornya. Demikian pula sebaliknya, apabila Debitor memiliki hak yang dapat

diajukan kepada pihak lain berkenaan dengan harta kekayaannya, maka gugatan terhadap pihak

lain itu tidak lagi dapat diajukan oleh Debitor tetapi oleh Kurator.

Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU, apabila ada pihak lain

mengajukan gugatan terhadap Debitor pailit dan kemudian gugatan itu mengakibatkan

penghukuman terhadap Debitor pailit, maka penghukuman tersebut tidak mempunyai kekuatan

terhadap harta pailit. Begitu pula untuk segala gugatan hukum dengan tujuan memenuhi

perikatan harta pailit selama dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada Debitor pailit sendiri,

hanya dapat diajukan dengan laporan untuk pencocokan. Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU

menentukan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, gugatan Kreditor yang sedang berjalan,

maka gugatan itu atas permintaan tergugat(Debitor) dapat ditunda dalam jangka waktu yang

ditetapkan oleh hakim, untuk memberikan kesempatan kepada tergugat agar perkara ini diambil

alih oleh Kurator.

Terkait dengan eksekusi-eksekusi putusan hakium lainnya, maka sejak putusan

pernyataan pailit ditetapkan, terhadap eksekusi putusan-putusan hakim yang menyangkut harta

kekayaan debitor pailit, harus dihentikan. Pasal 31 ayat (1) UUK-PKPU menyebutkan bahwa

putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap

setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan

Universitas Sumatera Utara

31

seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga

dengan menyandera Debitor.

2. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Timbal Balik

Putusan pernyataan pailit tidak mengikat perjanjian timbal balik yang diadakan oleh

Debitor pailit sebelum kepailitan diretapkan. Debitur pailit, atas izin Kurator, masih dapat

meneruskan pelaksanaan perjanjian timbal balik tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah

disepakati bersama. Mengenai hal ini, Pasal 36 UUK-PKPU menetapkan bahwa jika pada saat

putusan pernyataan pailit ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru

sebagian dipenuhi, pihak dengan siapa Debitor mengadakan perjanjian tersebut dapat meminta

kepada Kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut

dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dna pihak tersebut.

Namun, jika tidak tercapai kesepakatan mengenai jangka waktu yang dimaksud, Hakim

Pengawas yang menetapkan jangka waktu tersebut. Sekiranya dalam jangka waktu yang

dimaksud Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan

perjanjian tersebut, perjanjian pun berakhir. Pihak dengan siapa Debitor mengadakan perjanjian

dapat menuntut ganti rugi, dan dalam hal ini ia akan diperlakukan sebagai Kreditor Konkuren.

Sebaliknya, bila Kurator menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi perjanjian, maka

Kurator diwajibkan untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya melaksanakan perjanjian

tersebut.

Akan tetapi, untuk perjanjian yang mewajibkan Debitor untuk melakukan sendiri

perbuatan yang diperjanjikan, ketentuan dari Pasal 36 UUK-PKPU tersebut tidak dapat

diberlakukan. Hal yang sama juga diberlakukan untuk ketentuan perjanjian-perjanjian

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 UUK-PKPU.

Universitas Sumatera Utara

32

3. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Sewa

Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa dalam hal Debitor pailit

telah menyewa suatu barang, maka baik Kurator maupun pihak yang menyewakan barang

tersebut untuk sementara dapat menghentikan sewa, asalkan pemberitahuan mengenai

penghentian sewa tersebut dilakukan menjelang berakhirnya perjanjian sewa yang bersangkutan

sesuai dengan kebiasaan setempat. Selain itu, dalam waktu penghentian tersebut juga harus

diperhatikan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewa atau jangka waktu yang lazim.

Menurut UUK-PKPU, pemberitahuan penghentian harus diberikan setidaknya 90 (Sembilan

puluh) hari sebelum penghentian perjanjian sewa.

Namun, dalam hal perjanjian sewa merupakan perjanjian sewa menyewa dengan uang

muka dibayar terlebih dahulu, maka perjanjiannya tidak dapat dihentikan, kecuali menjelang hari

berakhirnya jangka waktu pembayaran uang di mukanya tersebut. Sejak hari putusan pernyataan

pailit ditetapkan, uang sewa secara langsung menjadi utang harta kepailitan.

4. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Kerja

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU, seorang pekerja yang bekerja pada Debitor

yang jatuh pailit dapat memutuskan hubungan kerjanya, dan Kurator juga dapat memutuskan

hubungan kerja tersebut dengan keharusan untuk mengindahkan jangka waktu yang ditentukan

dalam perjanjian kerja mereka atau yang ditentukan dalam Undang-undang. Hubungan kerja

tersebut hanya dapat diputuskan dengan ketentuan bahwa pemberitahuan tersebut harus

dilakukan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari. Sejak pernyataan

pailit berlaku, uang upah merupakan utang terhadap harta pailit.

5. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Hak Jaminan

Universitas Sumatera Utara

33

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU, dengan dikeluarkannya

putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, setiap Kreditor yang memegang Hak Gadai, Hak

Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik, atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat

mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

Namun, menurut Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU, eksekusi Kreditor pemegang hak

agunan atas kebendaan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari

terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Yang dimaksud dengan

penangguhan eksekusi jaminan utang adalah dalam masa-masa tertentu, sungguhpun hak untuk

mengeksekusi jaminan utang ada di tangan kreditor preferen (disebut pula kreditor separatis atau

kreditor dengan hak jaminan), tetapi kreditor preferen tersebut tidak dapat mengeksekusinya.54

a. Harta yang dimaksud sudah berada dalam pengawasan Debitor pailit atau Kurator.

Untuk masa tertentu, ia masih berada dalam “masa tunggu”; setelah masa tunggu

tersebut berlalu, ia baru dibenarkan untuk mengeksekusi jaminannya. Selama jangka waktu

penangguhan, yaitu 90 hari sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator dapat

menggunakan atau menjual harta pailit untuk kelangsungan usaha Debitor.

Namun dengan syarat-syarat, yaitu:

b. Untuk itu telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak

ketiga yang menuntut hartanya yang berada dalam pengawasan Debitor pailit atau Kurator.

Yang dimaksud dengan perlindungan yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan

untuk melindungi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan.

Perlindungan yang dimaksud, antara lain dapat berupa:55

1. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit.

54Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2004), hal. 56. 55Indonesia (1), Op. Cit., Penjelasan Pasal 56 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara

34

2. hasil penjualan bersih.

3. hak kebendaan pengganti; atau

4. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.

Harta yang dapat dijual oleh Kurator pun terbatas pada barang persediaan (inventory)

dan/atau barang bergerak (current asset), meskipun harta pailit tersebut dibebani hak agunan atas

kebendaan.Jangka waktu 90 hari sebagai jangka waktu penangguhan eksekusi harta kekayaan

Debitor pailit oleh Kreditor pemegang hak kebendaan tertentu, akan berakhir karena hukum pada

saat kepailitan diakhiri lebih dini atau pada saat keadaan insolvensi (insolventie) dimulai.

Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan

kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan

tersebut. Sekiranya permohonan ini ditolak oleh Kurator, Kreditor atau pihak ketiga dapat

mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas. Kemudian Hakim Pengawas

selambat-lambatnya satu hari sejak permohonan tersebut diajukan kepadanya, wajib

memerintahkan Kurator untuk segera memanggil para kreditor dan pihak yang mengajukan

permohonan kepada Hakim Pengawas dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk didengar

pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim Pengawas kemudian wajib untuk

memberikan putusan atas permohonan yang dimaksud dalam waktu paling lambat 10 hari sejak

permohonan diajukan.

Menurut Pasal 60 ayat (1) UUK-PKPU, Kreditor pemegang hak agunan atas kebendaan,

yang melaksanakan haknya mengeksekusi benda-benda agunan Debitor pailit, diwajibkan

memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator mengenai hasil penjualan benda-benda yang

menjadi agunan dan menyerahkan sisa penjualan yang telah dikurangi jumlah utang, bunga, dan

biaya, kepada Kurator. Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan, pemegang hak

Universitas Sumatera Utara

35

agunan atas kebendaan wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah

yang sama dengan tagihan yang diistimewakan. Sekiranya hasil penjualan tidak cukup untuk

melunasi piutang yang bersangkutan, maka pemegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak

agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengajukan tagihan pelunasan ataskekurangan tersebut

dari harta pailit sebagai Kreditor Konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan utang.

D. Penyelesaian Atas Hukum Berakhirnya Kepailitan

1. Perdamaian Atas Hukum Berakhirnya Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan mengenal dua macam perdamaian (accoord). Pertama, ialah

perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor dalam rangka PKPU sebelum Debitor dinyatakan

pailit oleh Pengadilan Niaga, yang diatur dalam Pasal 265 hingga Pasal 294 UUK-PKPU. Kedua,

adalah perdamaian yang ditawarkan setelah Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga diatur

dalam Pasal Bab II, Bagian Keenam, pada Pasal 144 sampai dengan Pasal 177 UUK-PKPU.

Menurut Pasal 144 UUK-PKPU, Debitor pailit berhak untuk menawarkan suaru

perdamaian kepada semua Kreditor secara bersama. Apabila perdamaian tersebut diterima dan

telah disahkan oleh Hakim Pengawas, maka kepailitan akan berakhir. Perdamaian dalam

kepailitan ini akan mengikat semua Kreditor termasuk Kreditor yang tidak memberikan suara

bahkan Kreditor yang tidak menyetujuinya. Karena itu, berdasarkan Pasal 151 UUK-PKPU,

rencana perdamaian diterima, apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih dari ½ jumlah

Kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara

diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diajui atau

yang untuk sementara diakui dari Kreditor konkuren atau kuasanya.

Universitas Sumatera Utara

36

Selanjutnya berdasarkan Pasal 152 UUK-PKPU menyebutkan bahwa apabila lebih dari

½ jumlah Kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan mewakili paling sedikit ½ dari jumlah

piutang para Kreditor yang mempunyai hak suara, menyetujui untuk menerima rencana

perdamaian, maka dalam jangka waktu paling lama 8 hari terhitung sejak pemungutan suara

pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.

Pada pemungutan suara kedua, para Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkannya pada

pemungutan suara pertama.

Menurut Pasal 145 ayat (1) UUK-PKPU, Rencana Perdamaian harus diajukan oleh

Debitor dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari sebelum diadakannya rapat

pencocokan utang atau rapat verifikasi. Apabila Rencana Perdamaian itu diajukan dalam jangka

waktu tersebut, Panitera Pengadilan Niaga dan Kurator harus mengumumkan Rencana

Perdamaian itu untuk dapat diketahui secara cuma-cuma oleh siapapun yang menghendaki.

Setelah rapat verifikasi, maka Rencana Perdamaian itu harus dibicarakan dan diambil keputusan

terhadapnya, kecuali dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 147 UUK-PKPU.

Rencana Perdamaian dibicarakan dalam dan diputuskan oleh rapat antara Debitor dan

para Kreditor yang khusus diadakan untuk itu. Apabila Rencana Perdamaian diterima,

Pengadilan akan memutuskan mengenai sah atau tidaknya perdamaian tersebut dan sidang akan

diadakan paling singkat 8 hari atau selambat-lambatnya 14 hari setelah persetujuan perdamaian

tercapai sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (3) UUK-PKPU.

Pengadilan memberikan penetapan sah atau tidaknya Rencana Perdamaian paling

lambat 7 hari setelah tanggal sidang dengan disertai alasannya. Menurut ketentuan Pasal 159 ayat

(2) UUK-PKPU, Pengadilan wajib untuk menolak pengesahan perdamaian apabila:

Universitas Sumatera Utara

37

a. harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda,

jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.

b. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; dan/atau

c. perdamaian tercapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih

Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur,tanpa menghiraukan apakah

Debitor atau pihak lain bekerjasama untuk mencapainya.

Dalam hal pengesahan perdamaian ditolak, dalam waktu 8 hari setelah penetapan para

Kreditor yang mendukung pengesahan perdamaian maupun Debitor itu sendiri, dapat

mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan tersebut.56

Para Kreditor yang piutangnya dijamin dengan Hak Tanggungan, Gadai, atau Hak

Istimewa berada di luar perdamaian. Para Kreditor tersebut tidak berhak untuk mengeluarkan

suara dalam hal pembahasan Rencana Perdamaian, dan perdamaian tersebut juga tidak mengikat

bagi mereka. Dengan pengecualian apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan

demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana

perdamaian tersebut.

57

Apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka

kepailitan berakhir.

Dengan pelepasan hak untuk didahulukan, maka Para Kreditor tersebut

berkedudukan menjadi Kreditor Konkuren.

58

56 Indonesia (1), Op. Cit., Pasal 160. 57Indonesia (1), Op. Cit., Pasal 149 58 Indonesia (1), Op. Cit., Pasal 166.

Hal ini berarti perdamaian yang diajukan oleh Debitor merupakan salah

satu jalan bagi Debitor pailit untuk dapat mengakhiri keadaan pailit. Dengan demikian, Kurator

wajib melakukan perhitungan dan pertanggungjawaban kepada Debitor pailit di hadapan Hakim

Pengawas. Dalam hal perdamaian tidak menetapkan ketentuan lain, Kurator wajib

mengembalikan kepada Debitor semua benda, uang, buku, dokumen yang termasuk harta pailit.

Universitas Sumatera Utara

38

Terhadap perdamaian yang telah disahkan, berdasarkan Pasal 170 UUK-PKPU, dapat

dituntut pembatalannya oleh setiap Kreditor dengan alasan Debitor lalai memenuhi isi

perdamaian. Dalam hal terdapat permohonan pembatalan perdamaian, maka Debitor pailit wajib

membuktikan bahwa ia telah memenuhi isi perdamaian tersebut. Kepada Debitor kemudian dapat

diberikan kelonggaran untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah

putusan pemberian kelonggaran diucapkan.

Dalam hal perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali dengan keadaan

seperti semula. Akibatnya, semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor pailit yang

dilakukan dalam jangka waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali kepailitan

tersebut, mengikat harta pailit. Setelah kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat

ditawarkanperdamaiann untuk kedua kalinya. Dengan kata lain, perdamaian hanya dapat

ditempuh sekali saja.

2. Insolvensi dan Pemberesan Harta Kepailitan

Berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU dinyatakan bahwa jika dalam rapat

verifikasi tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak

diterima, atau pengesaha perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaa insolvensi. Yang dimaksud

dengan keadaan insolvensi sendiri adalah keadaan tidak mampu membayar.59

Tindakan selanjutnya terhadap harta Debitor pailit adalah melakukan likuidasi yang

dilakukan oleh Kurator. Atas hasil likuidasi, Kurator akan mendistribusikannya kepada masing-

masing Kreditor dalam rangka pelunasan utang-utang Debitor kepada Kreditor tersebut yang

59 Indonesia (1), Op. Cit., Penjelasan Pasal 57 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara

39

piutangnya telah diakui dalam proses pencocokan atau verifikasi utang-piutang. Tindakan ini

disebut sebagai tindakan pemberesan harta pailit.

Menurut Pasal 184 ayat (1) UUK-PKPU, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal

15 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit

tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitor pailit apabila:

a. Usul untuk mengurus perusahaan Debitor pailit tidak diajukan dalam jangka waktu

sebagimana diatur dalam Undang-Undang, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak;

atau

b. Pengurusan terhadap perusahaan Debitor pailit dihentikan.

Meski demikian, menurut Pasal 184 ayat (2) UUK-PKPU, dalam hal perusahaan

dilanjutkan, dapat dilakukan penjualan benda yang termasuk harta pailit, yang tidak diperlukan

untuk meneruskan Perusahaan. Selain itu kepada Debitor pailit yang bersangkutan dapat

diberikan barang-barang berupa perabot rumah tangga, alat-alat medis, atau perabot kantor, yang

ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

Berdasarkan ketentuan Pasal 187 UUK-PKPU, setelah harta pailit berada dalam

keadaan insolvensi, maka Hakim Pengawas dapat mengadakan rapatdengan para Kreditor pada

hari, jam, dan tempat yang ditentukan untuk mengadakan pembicaraan mengenai tata cara

pemberesan harta pailit. Seluruh barang dalam hal ini harus dijual di hadapan umum atau secara

dibawah tangan dengan izin Hakim Pengawas. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 188 UUK-PKPU,

pada setiap waktu, jika menurut Hakim Pengawas tersedia cukup uang tunai, maka dapat

diperintahkan suatu pembagian kepada Para Kreditor yang piutangnya telah mendapatkan

pencocokan.

Universitas Sumatera Utara

40

Kurator dalam proses pemberesan harta pailit, mempunyai kewajiban untuk membuat

daftar pembagian yang harus dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas. Daftar tersebut

antara lain berisikan rincian penerimaan dan pengeluaran (termasuk didalamnya upah Kurator),

nama para Kreditor, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang, dan bagian yang wajib

diterima oleh setiap Kreditor. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh Hakim Pengawas

kemudian ditempatkan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh Kreditor. Selain itu

daftar pembagian juga diumumkan pada surat kabar. Selama tenggang waktu yang ditetapkan

oleh Hakim, Kreditor dapat melawan daftar pembagian tersebut dengan mengajukan surat

keberatan disertai alasan kepada Panitera Pengadilan.

Berdasarkan Pasal 202 UUK-PKPU, setelah kepada Kreditor yang telah dicocokkan

dibayarkan jumlah penuh piutang mereka, atau segera setelah daftar pembagian menjadi

mengikat maka berakhirlah kepailitan. Kurator kemudian diwajibkan untuk melakukan

pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan

pada surat kabar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UUK-PKPU. Kurator juga

diwajibkan untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang

telah dilakukannya, kepada Hakim Pengawas, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah

berakhirnya kepailitan.

3. Rehabilitasi

Berdasarkan kepailitan telah berakhir (insolvensi) dan semua Kreditor telah mendapat

pembayaran piutang secara penuh, maka Debitor pailit maupun ahli warisnya dapat mengajukan

permohonan rehabilitasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik

Debitor yangsemula dinyatakan pailit, melalui putusan Pengadilan yang berisi keterangan bahwa

Debitor telah memenuhi kewajibannya. Pasal 215 UUK-PKPU menyatakan bahwa setelah

Universitas Sumatera Utara

41

berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 (yaitu berakhirnya kepailitan

karena diberikannya pengesahan perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap), Pasal 202

(yaitu berakhirnya kepailitan karena telah dibayarnya secara penuh piutang para Kreditor yang

telah dicocokkan piutangnya atau berakhirnya kepailitan karena pembagian penutup telah

memperoleh kekuatan hukum yang pasti), dan Pasal 207 (yaitu kepailitan harta warisan), maka

Debitor pailit atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan

Niaga yang semula memeriksa kepailitan yang bersangkutan.

Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli waris tidak akan diterima,

kecuali jika pada surat permohonan dilampirkan bukti-bukti yang menyatakan bahwa semua

Kreditor yang diakui telah memperoleh pembayaran secara memuaskan. Dalam hal permohonan

rehabilitasi diterima, maka Pengadilan harus segera mengumumkannya dalam paling sedikit 2

(dua) surat kabar harian. Selanjutnya, dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah

permohonan rehabilitasi dumumkan, setiap Kreditor yang diakui dapat memajukan perlawanan

atas permohonan rehabilitasi tersebut, dengan memajukan surat keberatan yang disertai alasan-

alasan kepada kepaniteraan Pengadilan Niaga. Perlawanan hanya dapat diajukan apabila

persyaratan dalam Pasal 216 UUK-PKPU tidak dipenuhi, yakni apabila:

a. Debitor tidak membayar semua tagihan-tagihan kepada Kreditor yang mengajukan

perlawanan.

b. Kreditor yang mengajukan perlawanan tidak puas atas piutang yangdibayarkan oleh

Debitor.

Setelah lewat jangka waktu 2 bulan, maka terlepas diajukan atau tidaknya perlawanan,

Pengadilan Niaga harus menyatakan mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Jika

rehabilitasi dikabulkan, putusan ini harus diucapkan di muka sidang yang terbuka untuk umum

Universitas Sumatera Utara

42

dan selanjutnya dicatat dalam register umum yang diadakan Panitera Pengadilan Niaga.

Terhadap putusan Pengadilan Niaga ini tidak dapat diajukan permohonan Kasasi.

Universitas Sumatera Utara

43

BAB III

PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN

ATAS KREDITUR

A. Tinjauan Umum Mengenai Konsep Jaminan

1. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan

Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.

Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya

tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.60

Adapun selain istilah jaminan, dikenal istilah agunan untuk menggambarkan suatu

bentuk jaminan tambahan. Agunan lazimnya digunakan untuk mendapatkan fasilitas dari bank,

sebagai bentuk jaminan yang diserahkan oleh debitur (nasabah) kepada Bank. Pengertian dari

agunan berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, adalah jaminan tambahan yang

diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Selain itu, menurut Hartono Hadisoeprapto jaminan

adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur

akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.”

61

Hukum jaminan, menurut J. Satrio diartikan sebagai peraturan hukum yang mengatur

mengenai jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Sementara, menurut H.

Salim HS, hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur

60H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),

hal. 21 61 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, ed. 1, cet. 1, Yogyakarta:

Liberty,2000. hal. 50.

Universitas Sumatera Utara

44

hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan

jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.62

Menurut kedua pasal tersebut, tanpa diperjanjikan seluruh kekayaan debitur secara

yuridis telah menjadi jaminan bagi pelunasan utang-utangnya.Jaminan secara umum ini terlalu

luas sehingga dirasakan kurang cukup dankurang aman, hal ini disebabkan karena suatu waktu

harta kekayaan debiturdapat habis. Disamping itu jaminan umum ini berlaku untuk semua

kreditur.Sehingga apabila ada beberapa kreditur, sebagian diantaranya kemungkinan tidak lagi

mendapat bagian.

Rumusan jaminan dalam undang-undang terdapat

dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, yang berbunyi:

Pasal 1131

Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.

Pasal 1132 Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan, penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang untuk didahulukan.

63

Jaminan khusus dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu jaminankebendaan dan

perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan bendabergerak dan tidak bergerak.

Yang termasuk dalam jaminan benda bergerak,meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan

Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi jaminan umum dan

khusus.

62 H. Salim, Op. Cit, hal. 6. 63 Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Ditya

Bakti, 1989), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

45

benda tidak bergerak meliputihak tanggungan, fidusia, dan hipotik. Sedangkan jaminan

perorangan meliputi borg, tanggung-menanggung (tanggung renteng), dan garansi bank.64

2. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan

Pada dasarnya, perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu

perjanjian pokok dan perjanjian accessoir. Perjanjian pokok,menurut Rutten adalah, perjanjian-

perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri.65Sementara perjanjian accessoir

adalah suatu perjanjianyang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.66

Mengenai sifat perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat

accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan pada perjanjian pokok.67

Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, maka perjanjian jaminan memperoleh

akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lain, yaitu:

68

a. Adanya tergantung pada perjanjian pokok.

b. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok.

c. Jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian ikut batal.

d. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok.

e. Jika perutangan pokok beralih karena cessie, subrogasi, maka perjanjianikut beralih juga

tanpa adanya penyerahan khusus.

Terkait bentuknya, perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan

dan tertulis. Pada perjanjian dalam bentuk lisan, sejak terjadinya konsensus kedua belah pihak,

maka sejak saat itulah terjadinya perjanjian pembebanan jaminan. Perjanjian pembebanan

64 H. Salim, Op.Cit., hal. 9. 65 J. Satrio (1), Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti), seperti dikutip oleh

H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 29. 66H. Salim, Op. Cit., hal. 30. 67Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok HukumJaminan dan

Jaminan Perorangan, cet.3, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003), hal. 37 68Ibid.

Universitas Sumatera Utara

46

jaminan dalam bentuk tertulis, dapat dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta

autentik.69

3. Penggolongan Jaminan

Pada umumnya, jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum

Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut

obyeknya, menurut kewenangan menguasainya, dan lain-lain sebagai berikut:70

a. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-undang dan jaminan yang lahir karena

perjanjian.

Jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang ialah jaminan yang adanya ditunjuk oleh

Undang-undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak. Jaminan yang lahir karena ketentuan

Undang-undang salah satunya adalah jaminan umum yang terdapat dalam pasal 1131 KUH

Perdata. Selain itu, oleh Undang-undang juga ditentukan ada jenis-jenis lembaga jaminan yang

pemenuhannya didahulukan dari piutang-piutang yang lain. Oleh Undang-undang ditentukan

bahwa hak privilege adalah suatu hak yang diberikan kepada seorang kreditur, didahulukan

pemenuhannya daripada kreditur-kreditur yang lain semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

Juga tergolong sebagai jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang adalah hak retensi, yang

diatur dalam sejumlah pasal-pasal dalam KUH Perdata. Hak-hak tersebut adalah hak-hak yang

bersifat memberikan jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang.

Selain itu terdapat hak-hak yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu antara para

pihak. Tergolong jenis ini adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, fidusia, penanggungan

(borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung, dan lain-lain. 71

69 H. Salim, Op.Cit, hal. 31. 70 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 43.

Universitas Sumatera Utara

47

b. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus

Untuk kepentingan kreditur yang mengadakan perutangan, undang-undang

memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur dan mengenai semua harta benda

debitur. Baik mengenai benda bergerak maupun tak bergerak, baik benda yang sudah ada

maupun yang masih akan ada, semua menjadi jaminan bagi seluruh perutangan debitur. Jaminan

yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur

dan sebagainya disebut jaminan umum. Artinya benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus

dan tidak diperuntukkan untuk kreditur, sedang hasil penjualan benda jaminan itu dibagi-bagi di

antara para kreditur seimbang dengan piutangnya masing-masing.

Para kreditur tersebut mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih

didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Kreditur demikian disebut kreditur konkuren.

Jaminan umum timbul dari Undang-undang, tanpa perlu diperjanjikan oleh para pihak terlebih

dahulu. Para kreditur konkuren semuanya secara bersama memperoleh jaminan umum yang

diberikan oleh Undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan

Pasal 1132 KUH Perdata.

Adapun, selain jaminan umum, dikenal penggolongan jaminan berupa jaminan khusus.

Jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan

debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat

perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai

jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup

membayar atau memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi.

71Arwakhudin Widiarso, Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Tesis Fakultas Hukum

Universitas Airlangga, 2009, hal. 19

Universitas Sumatera Utara

48

Lembaga jaminan khusus yang bersifat kebendaan antara lain, seperti hipotik, hak

tanggungan, gadai, fidusia, dst. Sementara jaminan yang bersifat perorangan antara lain,

berwujud: borgtocht (Perjanjian Penanggungan), Perjanjian Garansi, Perjanjian Tanggung-

Menanggung, dan seterusnya.

c. Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Hak Perorangan

Hukum Perdata mengenal jaminan yang bersifat hak kebendaan dan hakperorangan.

Jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang

mempunyai ciri-ciri: mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat

dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat

diperalihkan. Sementara, jaminan yang bersifat perorangan ialah jaminan yang menimbulkan

hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur

tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya.

Adapun sifat dari hak-hak jaminan dapat dibedakan menjadi yang bersifat hak

kebendaan dan yang bersifat hak perorangan. Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang

langsung terhadap bendanya. Sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung

antara perorangan yang satu dengan yanglain. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan

bermaksud memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya atau hak tagih)

kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan

piutangnya.

Sementara jaminan yang bersifat perorangan memberikan hak verhaal kepada kreditur,

terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Ciri

khas dari jaminan yang bersifat kebendaan, ialah dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan)

terhadap siapapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak

Universitas Sumatera Utara

49

yang umum maupun yang khusus, juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya. Hak tersebut

selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dalam arti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak

hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan hak eksekusi.

Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi:

1) adai, diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata.

2) Fidusia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

3) Hak tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan, sebelumnya diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata.

4) Hipotik, diatur dalam Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992tentang Pelayaran.

5) P enanggung (borg).

6) Tanggung-menanggung.

7) Perjanjian garansi, diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata.

d. Jaminan atas benda bergerak dan tak bergerak

Menurut sistem Hukum Perdata pembedaan atas benda bergerak dan tak bergerak

mempunyai arti penting dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan penyerahan,

daluwarsa (verjaring), kedudukan berkuasa (bezit), danpembebanan/jaminan. Dalam Hukum

Perdata terutama mengenai lembaga jaminan, penting sekali arti pembagian benda bergerak dan

benda tidak bergerak. Dimana atas dasar pembedaan benda tersebut, menentukan jenis lembaga

jaminan atau ikatan kredit yang mana yang dapat dipasang untuk kredit yang akan diberikan.

Jika benda jaminan berupa benda bergerak, maka dapat dipasang lembaga jaminan yang

berbentuk gadai atau fidusia, sedang jika benda jaminan itu berbentuk benda tetap, maka sebagai

Universitas Sumatera Utara

50

lembaga jaminan dapat dipasang hipotik atau hak tanggungan (credietverband).72

B. Jenis-Jenis Penanggungan Utang

Adapun yang menjadi jenis-jenis dalam penanggungan utang adalah sebagai berikut:

1. Personal Guarantee

Personal Guarantee adalah perjanjian antara kreditur dan penanggung, dimana seorang

mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi hutang debitur, baik itu karena

ditunjuk oleh kreditur (tanpa sepengetahuan atau persetujuan debitur) maupun yang

diajukan oleh debitur atas perintah dari kreditur.73

2. Corporate Guarantee

Disebut personal guarantee adalah jika

yang ditunjuk sebagai penjamin atau penanggung adalah orang perorangan.

Pada asasnya, sebenarnya tidak ada halangan untuk menerima badan hukum sebagai pihak

yang memberikan penanggungan. Badan hukum menurut R. Subekti adalah suatu badan

atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang

manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan

hakim.74

72Ibid., hal. 49 73 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 105. 74Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hal. 19.

Jaminan Perusahaan atau Corporate Guarantee adalah salah satu bentuk dari

perjanjian penanggungan hutang (borgtocht). Di Indonesia, belum terdapat peraturan yang

secara khusus mengatur mengenai jaminan perusahaan, maupun jenis perusahaan yang

dapat dijadikan sebagai penjamin dalam suatu pemberian kredit. Namun dalam praktiknya,

yang paling sering memberikan jaminan perusahaan adalah perusahaan yang berbentuk PT

(Perseroan Terbatas).

Universitas Sumatera Utara

51

Molengraaff mengartikan perusahaan (dalam arti ekonomi) adalah keseluruhan

perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh

penghasilan, dengan cara memperdagangkan, menyerahkan barang, atau mengadakan perjanjian-

perjanjian perdagangan.75

Kewajiban perusahaan penjamin dalam suatu penanggungan hutang adalah sama

dengan penjamin perorangan. Dalam hal ini apabila debitur (si berhutang) melakukan

wanprestasi, maka perusahaan penjamin berkewajiban untuk memenuhi segala prestasi yang

telah diperjanjikan antara debitur dan kreditur. Sebagai badan hukum, maka pemegang saham

perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan

dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah

diambilnya. Dengan demikian dalam perseroan, pemegang saham hanya bertanggung jawab

sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.

Dilihat dari bentuk hukum, perusahaan diklasifikasikan menjadi

perusahaan berbadan hukum dan perusahaan bukan berbadan hukum.

76

Oleh karena statusnya sebagai badan hukum, terdapat beberapa perbedaan antara orang-

perorangan yang berkedudukan sebagai guarantor dan perusahaan yang berkedudukan sebagai

guarantor. Salah satunya adalah terkait kewenangan bagi Perusahaan untuk menjadi Penjamin.

Untuk mengetahui apakah suatu badan hukum tertentu dapat bertindak sebagai penanggung,

harus dilihat dulu anggaran dasarnya.

77

75 Mollengraaf, sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika,

(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 26. 76Ibid, hal. 46. 77J. Satrio (1), Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht)dan Perikatan

Tanggung Menanggung, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 219.

Anggaran Dasar adalah salah satu syarat yang wajib

dimiliki Perusahaan pada saat pendirian. Anggaran Dasar merupakan bagian dari Akta Pendirian

perseroan terbatas. Sebagai bagian dari Akta Pendirian, Anggaran Dasar memuat aturan main

dalam perseroan, yang menentukan setiap hak dan kewajiban dari pihak-pihak dalam Anggaran

Universitas Sumatera Utara

52

Dasar, baik perseroan itu sendiri, pemegang saham, pengurus (Direksi maupun Komisaris)

perseroan.78

Dalam Anggaran Dasar Perusahaan, perlu dilihat apakah terdapat ketentuan yang secara

tegas melarang Perusahaan untuk bertindak sebagai Penanggung. Di lain pihak, jika tidak

terdapat ketentuan tegas yang mengatur mengenai kewenangan perusahaan tersebut, maka kita

perlu melihat maksud dan tujuan pendirian perseroan dan dihubungkan dengan perikatan yang

hendak dijamin dengan penanggungan, apakah keduanya selaras atau tidak. Sehingga perlu

ditinjau apakah tujuan perikatan yang hendak dijamin tersebut selaras dengan tujuan yang

hendak dicapai badan hukum tersebut.

Anggaran Dasar merupakan aturan main perseroan, yang tidak hanya mengikat para

pihak yang mengadakannya, tetapi juga pihak ketiga lainnya yang berhubungan hukum dengan

perseroan, termasuk di dalamnya para pemegang saham, pengurus perseroan. Anggaran Dasar

perusahaan haruslah memuat sekurang-kurangnya hal-hal yang tercantum dalam Pasal 15 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

79

Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah siapa yang menurut anggaran dasar badan

hukum, berwenang untuk mewakili badan hukum tersebut dalam memberikan

penanggungan.

80Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

(selanjutnya disebut “UUPT”), dinyatakan secara jelas bahwa Perseroan Terbatas adalah badan

hukum. Sebagai subjek hukum, maka badan hukum mempunyai beberapa unsur, yaitu81

a. perkumpulan orang (organisasi).

:

78 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 29. 79 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 219. 80Dini Nemandasari, Tanggung Gugat Pihak Penanggung (Borg) Dalam Perjanjian Penanggungan

Akibat Debitur Wanprestasi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008. Hal. 31 81 Chidir Ali, Op. Cit., hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

53

b. dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum.

c. mempunyai harta kekayaan tersendiri.

d. mempunyai pengurus.

e. mempunyai hak dan kewajiban.

f. dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.

Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat memiliki segala

hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang-perorangan. Sehingga guna

melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dibentuklah organ-organ Perusahaan yang mempunyai

fungsi dan tugas masing-masing. Organ-organ tersebut antara lain:

a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

RUPS merupakan organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah

dan tujuan perseroan. RUPS memliki segalawewenang yang tidak diberikan kepada

Direksi dan Komisaris perseroan. Wewenang RUPS diatur secara khusus dalam UUPT

maupun dalam Anggaran Dasar Perusahaan.82

b. Direksi

Dalam UUPT kewenangan RUPS antara

lain meliputi: (1) penetapan perubahan anggaran dasar; (2) penetapan pengurangan modal;

(3) pemeriksaan, persetujuan, dan pengesahan laporan tahunan; (4) penetapan penggunaan

laba, dst.

Direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan

berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan, baik

di dalam maupun di luar pengadilan. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan

dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam menjalankan

tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap

82 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

54

tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan

sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa

yang ditentukan dalam Anggaran Dasar.83

c. Komisaris

Namun, jika Direksi melakukan perbuatan yang

merugikan perseroan dan berada di luar batas dan kewenangan yang dilakukannya sesuai

dengan Anggaran Dasar, maka Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas

perbuatannya tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 6 UUPT, Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas

untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau secara khusus sesuai dengan

anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

Dalam hal pengalihan serta penjaminan harta kekayaan Perseroan, UUPT mewajibkan

direksi perseroan untuk meminta persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham

Perseroan. Dalam hal Direksi bermaksud untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan

utang seluruhatau sebagian besar harta kekayaan Perseroan. Direksi, dalam hal ini,

diwajibkan untuk meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham, untuk menjadikan

jaminan utang harta kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% jumlah kekayaan

bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain

maupun tidak.84 Namun, dalam hal tindakan pengalihan serta penjaminan harta kekayaan

Perseroan tersebut dilakukan oleh Direksi sebagai pelaksanaan kegiatan usaha Perseroan

sesuai dengan anggaran dasar, maka persetujuan RUPS tidak diwajibkan untuk diperoleh.85

83Ibid., hal. 97. 84 Indonesia (3), Undang-Undang Perseroan Terbatas, LN Nomor 106 Tahun 2007, TLN 4756, 2007,

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 102 ayat (1) huruf a. 85Ibid., Pasal 102 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara

55

Jika pengalihan dan penjaminan harta kekayaan Perseroan dilakukan tanpa persetujuan

RUPS, maka UUPT menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan

sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.86 Pada praktiknya,

kewajiban ini dibuat dalam suatu kuantifikasi persentase tertentu dan dimuat dalam

Anggaran Dasar Perseroan sebagai dasar dan acuan bagi tidak hanya Perseroan dan

Pemegang Saham, melainkan juga pihak ketiga yang bermaksud melakukan hubungan

hukum dengan Perseroan.87

Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan yang bertujuan untuk mengalihkan

atau menjaminkan seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan hanya sah jika

rapat tersebut dihadiri oleh Pemegang Saham yang mewakili sekurang-kurangnya ¾ (tiga

perempat) bagian dari jumlah suara yang hadir atau diwakili daalam rapat tersebut.

Keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara

yang dikeluarkan, kecuali Anggaran Dasar menentukan kuorum kehadiran atau persyaratan

pengambilan keputusan yang lebih besar. Dalam hal pengambilan keputusan RUPSuntuk

mengalihkan atau menjaminkan kekayaan Perseroan, berlaku ketentuan Pasal 89 UUPT.

88

3. Bank Guarantee

Salah satu penanggungan utang yang berupa jaminan perusahaan yang diatur lebih

lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah garansi bank (bank

garansi) yang diterbitkan oleh Bank Umum.89

86Ibid., Pasal 102 ayat (4). 87 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2004), hal. 65. 88 Indonesia, Op. Cit., Pasal 102 ayat (5). 89M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2007), hal. 21

Bank Garansi (BG) adalah jaminan yang diberikan

oleh bank, maksudnya bank menyatakan suatu pengakuan tertulis yang isinya menyetujui

Universitas Sumatera Utara

56

mengikatkan diri kepada penerima jaminan dalam jangka waktu dan syarat-syarat tertentu

apabila dikemudian hari ternyata si terjamin ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada si

penerima jaminan.90

a. Pihak bank sebagai pihak yang memberikan jaminan disebut sebagai penjamin.

Bank garansi merupakan suatu bentuk jaminan yang merupakan

perkembangan dari borgtocht (penanggungan hutang). Bank Garansi adalah suatu jenis

penanggungan, dimana yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank.

Bank garansi terjadi jika Bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung

pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada

kreditur. Di dalam pemberian BG terdapat tiga pihak, yaitu:

b. Pihak nasabah sebagai pihak yang dijamin, disebut sebagai terjamin.

c. Pihak lain sebagai pihak yang menerima jaminan, disebut sebagai penerima jaminan.

Dalam bank garansi, Bank baru bersedia memberikan garansi jika kepada Bank telah

disetorkan sejumlah uang tertentu, sebesar garansi yang akan diberikan oleh Bank.91

Ketiga jenis penanggungan di atas memiliki beberapa perbedaan prinsip, terutama

antara jaminan perorangan dan jaminan perusahaan dengan jaminan bank:

BG berada

dalam berada dalam lingkup hukum perjanjian perdata. BG digolongkan dalam perjanjian

penanggungan karena garansi bank merupakan suatu perjanjian dimana satupihak (borg)

menyanggupi pada pihak lainnya (seorang berpiutang) bahwa ia menanggung pembayaran suatu

hutang apabila si berhutang tidak dapat memenuhi janjinya. Sehingga secara umum ketentuan

garansi bank diatur dalam Buku III Bab XVII KUH Perdata, sebagai bagian dari Perjanjian

Penanggungan Utang yang tercantum dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata.

92

90Muhammad Djumhana., Op. cit., hal. 460. 91 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 106. 92 Sunu Widi Purwoko (ed.), Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan, (Jakarta: Tim Nine

Seasons , 2011), hal. 179.

Universitas Sumatera Utara

57

a. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan adalah kewajiban yang lahir karena

perjanjian, sementara jaminan bank/lembaga keuangan adalah produk atau kegiatan usaha

dari bank/lembaga keuangan.

b. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan timbul didasari perjanjian penjaminan yang

ditandatangani bersama antara pihak penjamin dengan kreditor. Jaminan bank didasari

kesepakatan antara bank sebagai penjamin dengan pihak terjamin.

c. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan untuk menjamin/menanggung

seluruh kewajiban utang debitor, sementara jaminan bank hanya menjamin/menanggung

sebagian kewajiban pembayaran utang debitor.

d. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan utk menanggung kewajiban utang,

sementara jaminan bank tidak harus menanggung utang, misalnya menjamin performa

kontraktor (performance bond), menjamin keikutsertaan dalam tender (bid bond),

pemenuhan kewajiban kepada pihak bea cukai (custom bond), dll.

e. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan terlebih dahulu meminta

persetujuan pasangan pihak penjamin (perorangan) atau persetujuan Dewan Komisaris dan

RUPS (Perusahaan), sementara untuk jaminan bank tidak memerlukan persetujuan tersebut

karena merupakan pelaksanaan kegiatan usaha.

f. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan tanpa mewajibkan pihak yang

dijamin untuk membayar fee atau biaya penjaminan kepada perorangan atau perusahaan

penjamin. Sebaliknya, jaminan bank mewajibkan pihak yang dijamin terlebih dahulu

membayar fee atau biaya penjaminan dalam jumlah tertentu.

Universitas Sumatera Utara

58

g. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diberikan oleh pihak yang terkait dengan

debitor atau pihak yang dijamin. Jaminan bank diberikan kepada pihak manapun yang

memenuhi syarat tertentu yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.

C. Hubungan Hukum Antar Pihak dalam Penanggungan Utang

Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah

akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus

diperhatikan baik oleh si penanggung maupun kreditur. Sekalipun perjanjian penanggungan

kelihatannya hanya membebankan kewajiban-kewajiban bagi penanggung karena penanggung

mengikatkan diri untuk memenuhi prestasi atau hutang untuk kepentingan kreditur, namun dalam

hubungan hukum tersebut juga menimbulkan hak-hak bagi penanggung. Hak-hak demikian oleh

Undang-Undang diberikan kepada penanggung, merupakan perlindungan bagi penanggung

terhadap perlakuan atau tindakan dari kreditur yang memberatkan penanggung.93

1. Hak dan Kewajiban Penanggung

Dalam melaksanakan kewajibannya oleh Undang-Undang, penanggung diberikan hak-

hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan kepada si penanggung. Hak-hak

penanggung tersebut menurut ketentuan Undang-undang, berupa:

a. Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning).

Ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata merupakan ketentuan yang menetapkan hak istimewa

penanggung.94

Pasal 1831 KUH Perdata menyatakan bahwa:

Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.

93Ibid., hal. 91. 94 M. Bahsan, Op.Cit.,hal. 19.

Universitas Sumatera Utara

59

Tanggung jawab borg (penanggung) pada asasnya bersifat subsidair, dimana yang pokok

adalah kewajiban debitur-utama terhadap kreditur, sedang borg barulah berperan, apabila

debitur wanprestasi.95 Prinsip tersebut dituangkan oleh pembuat undang-undang dalam

Pasal 1831 KUH Perdata, dengan memberikan hak utama kepada penanggung, untuk

dalam hal ia digugat di depan pengadilan, menangkisnya dengan mengemukakan eksepsi

agar harta kekayaan debitur-utama dieksekusi lebih dahulu untuk diambil sebagai

pelunasan. Tangkisan tersebut harus dikemukakan sebelum atau pada saat jawaban pertama

pada tingkat peradilan pertama atas gugatan debitur terhadap borg.96

Hak istimewa penanggung ini membawa akibat hukum bahwa penanggung tidak

diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum ternyata bahwa

harta kekayaan debitor yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penanggung, telah

disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitor yang telah disita tersebut tidak

mencukupi untuk memenuhi kewajiban debitor kepada kreditor. Dalam hal yang demikian

berarti penanggung hanya akan melunasi sisakewajiban debitor yang belum dipenuhinya

kepada kreditor.

97 Bahwa sebagai akibatnya, dalam peristiwa seperti itu, kepada borg

diletakkan kewajiban untuk menunjukkan adanya harta debitur-utama yang dapat disita

dan dieksekusi, dan disamping itu, borg wajib membayari lebih dahulu biaya sita dan

eksekusi.98

Berkaitan dengan hak istimewa penanggung sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan

Pasal 1831 KUH Perdata tersebut, penanggung dapat melepaskan hak istimewanya, yaitu

dengan menyatakan tunduk kepada ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata pada perjanjian

95 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 113. 96 Lihat Pasal 1833 KUH Perdata. 97Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit., hal. 24. 98R. Subekti, Op. Cit., Pasal 1834.

Universitas Sumatera Utara

60

penanggungan yang dibuatnya.99

1) Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si

berhutang lebih dahulu disita dan dijual. Pelepasan hak yang demikian biasanya

diminta oleh kreditur agar ia dapat menuntut langsung pada penanggung untuk

pemenuhan piutangnya, demi kepentingan si kreditur.

Sebagai pengecualian dari hak si penanggung untuk

menuntut lebih dahulu penjualan harta debitur demikian, ialah:

2) Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama si berhutang utama secara

tanggung menanggung. Dalam hal demikian akibat-akibat perutangannya diatur

menurut asas-asas yang ditetapkan untuk perutangan tanggung-menanggung.

3) Jika si berhutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang mengenai dirinya secara

pribadi.

4) Jika si berhutang berada dalam keadaan pailit.

5) Jika penanggungan itu diperintahkan oleh hakim.100

Dalam hal penanggung menyatakan melepaskan hak istimewanya, yang bersangkutan tidak

dapat menuntut agar harta pihak peminjam disita dan dijual lebih dahulu bila pihak

peminjam ingkar janji. Bilaharta penanggung tidak cukup untuk melunasi utang pihak

peminjam, kemudian harta pihak peminjam akan disita dan dijual. Walaupun demikian,

dalam praktiknya sering dilakukan penggugatan baik kepada penanggung maupun kepada

pihak peminjam secara bersamaan.

101

Pemberian hak utama “ambil pelunasan dari debitur lebih dahulu”kepada borg, selain

merupakan salah satu wujud perlindungan undang-undang terhadap borg, juga sesuai

99M. Bahsan, Op.Cit., hal. 20. 100 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hal. 92. 101 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung,

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 98

Universitas Sumatera Utara

61

dengan kedudukan borg, yang perikatannya bersifat subsidair. Namun, pembuat

undang-undang sendirimemberikan peluang bagi borg untuk secara sukarela melepaskan

hakutama tersebut.Terkait dengan kedudukan debitur yang berada dalam

keadaanpailit, maka berdasarkan Pasal 1832 angka 4, si penanggung tidak dapatmenuntut

supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijualuntuk melunasi utangnya,

jika si berutang berada dalam keadaan pailit.Penundukkan terhadap Pasal 1832 KUH

Perdata, dalam hal ini berartimengecualikan hak istimewa penanggung untuk menuntut

pelunasandari debitur terlebih dahulu.Ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata tersebut dibuat

sejalan denganketentuan Pasal 131 dan Pasal 155 Failissement Verordening (FV),

yangberbunyi:

Pasal 131 (1) Kreditur yang piutangnya dijamin oleh seorang penanggung dapat mengajukan

diri untuk piutang itu, dikurangi jumlah yang telah diterima dari penanggung yang bersangkutan.

(2) Penanggung berhak atas pembayaran kembali uang yang telah dibayarkan kepada seorang kreditur. Selain itu penanggung berhak atas piutang sebanyak jumlah yang telah dibayarkan kepada kreditur, sebagai piutang yang bersyarat, selama kreditur yang bersangkutan tidak mengajukan tentang hal itu.

Pasal 155 Walaupun sudah ada perdamaian, para kreditur tetap mempunyai hak terhadap para penanggung dan semua pengikut serta utang dari debitur pailit tersebut.

J. Satrio berpendapatdalam hal demikian menyuruh kreditur menagih debitur-utama yang

sudah pailit hanya memperpanjang waktuyang tidak berguna sebab sebagai akibat dari

kepailitan, karena debitur tidak dapat membayar lagi dan seluruh harta kekayaannya

sekarang ada dalam kepailitan dan dikuasai oleh kurator.102

102 J. Satrio, Op.Cit., hal 121.

Dalam kaitannya dengan Pasal

1832 angka 4 KUH Perdata, menunjukkan bahwa dalam hal debitor telah dinyatakan pailit,

Universitas Sumatera Utara

62

maka tidak mungkin lagi bagi penanggung untuk menuntut supaya benda debitor terlebih

dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.

Terkait dengan kewajiban penanggung dalam suatu perdamaian yang dilakukan antara

debitur dengan kreditur dalam kepailitan, maka berdasarkan Pasal 155 ayat (1) FV,

menegaskan bahwa perdamaian yang dicapai oleh debitur dengan para kreditur konkuren

dalam kepailitan tidaklah menghapuskan hak kreditur konkuren tersebut untuk menuntut

penanggung dari debitur tersebut.103Ditambah dengan ketentuan Pasal 154 FV104

b. Hak untuk membagi hutang (voorrecht van schuldsplitsing).

yang

menyatakan bahwa hasil perdamaian yang dicapai oleh debitor dalam kepailitan dengan

kreditur konkuren mengikat pula diri penanggung debitor tersebut, dan selanjutnya menjadi

dasar pengajuan gugatan atau kepailitan bagi penanggung. Sehingga berdasarkan ketentuan

tersebut diatas, dengan diputuskannya kepailitan terhadap diri debitur, maka penanggung

kehilangan hak istimewanya, yang diberikan dalam Pasal 1831 jo. Pasal 1834 KUH

Perdata.

Selain hak untuk menuntut terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUH

Perdata, termasuk sebagai hak istimewa penanggung adalah hak untuk membagi hutang

(voorrecht van schuldsplitsing). Jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa

orang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk suatu hutangdan untuk seorang

debitur yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh

hutang.105

103 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit.., hal. 161. 104 92 Pasal 154 FV: Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dalam

hubungannya dengan surat pemberitaan rapat pencocokan piutang sekedar tidak dibantah oleh debitur pailit menurut Pasal 122 merupakan bagi semua piutang yang diakui, suatu alas hak yang dapat dijalankan terhadap debitur dan semua orang yang telah menjadi penanggung.

105 R. Subekti, Op. Cit., Pasal 1836.

Ketentuan Undang-undang memberikan hak bagi masing-masing penanggung

Universitas Sumatera Utara

63

ini untuk membagi hutangnya,yaitu pada waktu digugat untuk pemenuhan hutang dapat

menuntut agarsi kreditur terlebih dahulu membagi-bagi piutangnya untuk bagian-bagian

dari penanggung.106

Dengan konsepsi yang demikian, berarti setiap penanggung yang dituntut untuk memenuhi

perikatan debitor adalah berhak dan berwenanguntuk meminta pemecahan atau pembagian

kewajiban debitor, menurutbesarnya imbangan penanggungan utang yang diberikan oleh

Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai penanggungan utang yang

diberikan oleh lebih dari seorang penanggungutang dalam tiga pasal, yang dimulai dari

Pasal 1836 hingga Pasal 1838KUH Perdata, yang secara lengkapnya berbunyi:

Pasal 1836 Jika beberapa orang telah mengikatkan dan sebagai penanggung untuk seorang debitor yang sama, lagi pula untuk utang yang sama, maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh utang itu.

Pasal 1837 Namun itu masing-masing dari mereka, jika ia tidak telah melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemecahan utangnya, pada pertama kalinya ia digugat di muka Hakim, dapat menuntut supaya kreditor lebih dahulu membagi piutangnya, dan menguranginya hingga bagian masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah. Jika pada waktu salah seorang penanggung menuntut pemecahan utangnya, seorang atau beberapa orang teman penanggung berada dalam keadaan tak mampu, maka penanggung tersebut diwajibkan membayar untuk orang-orang yang tak mampu itu menurut imbangan bagiannya; tetapi ia tidak bertanggung jawab jika ketidakmampuan orang-orang itu terjadi setelahnya pemecahan utangnya.

Pasal 1838 Jika si berpiutang sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka tak bolehlah ia menarik kembali pemecahan utang itu, biarpun beberapa orang di antara para penanggung tidak mampu sebelum ia telah membagi-bagi utangnya.

106 Sri Soedewi Masjschoen Sofwan, Op.Cit., hal. 93.

Universitas Sumatera Utara

64

masing-masing penanggung. Walau demikian, dalam hal setelah pemecahanutang

dilakukan, kemudian salah satu atau lebih penanggung, yang menurut ketentuan Pasal 1836

KUH Perdata terikat dalam perikatan tanggung-menanggung, menjadi tidak mampu untuk

memenuhi kewajibannya, maka bagian dari kewajiban penanggung-penanggung ini akan

dibagi secara prorata kepada penanggung-penanggung yang masih ada menurut besarnya

imbangan kewajiban masing-masing terhadap debitor.107

Sejalan dengan sifat tanggung menanggung yang diberikan dalam Pasal 1823 KUH

Perdata, hak istimewa penanggung untuk meminta pembagian dan pemecahan kewajiban

mereka dapat ditiadakan dengan menjanjikan peniadaan hak istimewa tersebut dalam

setiap penanggungan utang yang diadakan antara kreditor dengan masing-masing

penanggung. Bahkan berdasarkan rumusan Pasal 1837 ayat (1) KUH Perdata, hak untuk

meminta pemecahan utang tanggung menanggung bagi para penanggung hanya dapat

diajukan pada saat pertama kali digugat di hadapan hakim pengadilan, dalam bentuk

eksepsi. Sehingga jika tidak dikemukakan dalam jawaban gugatan pertama, demi hukum

masing-masing penanggung bertanggung jawab untuk seluruh piutang kreditor sebagai

debitor dalam perikatan tanggung menanggung pasif.

Tetapi dalam hal kreditor secara

sukarela telah membagi atau memecah tuntutannya kepada masing-masing penanggung,

maka pembagian atau pemecahan tersebut tidak dapat dibatalkan kembali.

108

Dalam hal terjadi pelepasan hak untuk membagi hutang oleh para penanggung, maka disini

terjadi “hoofdelijkheid”, perutangan tanggung menanggung antara para penanggung. Oleh

karena itu, maka berlakulah ketentuan perutangan tanggung menanggung, misalnya pasal

1280, 1283, 1284 KUH Perdata, ialah:

107 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit.., hal. 153. 108 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra

Aditya Bakti), 1989, hal. 15.

Universitas Sumatera Utara

65

1) Masing-masing debitur dapat dituntut untuk seluruh hutang, dan pemenuhan hutang

oleh salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya terhadap si

berhutang.

2) Bahwa si debitor yang dipilih kreditor dapat ditagih, dengan tidak ada kemungkinan

bagi debitor untuk minta agar hutangnya dipecah.

3) Tuntutan yang ditujukan pada salah seorang debitor tidak menjadi halangan bagi si

kreditor untuk juga melaksanakan haknya terhadap debitor lainnya.109

c. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat.

Hak untuk mengajukan tangkisan dari si penanggung lahir dari perjanjian penanggungan,

juga lahir karena sifat accessoir dari perjanjian penanggungan. Pasal 1847 KUH Perdata

diatur pada bagian yang mengatur mengenai hapusnya penanggungan, tetapi ternyata di

dalam pasal tersebut diatur tentang hak yang dapat dikemukakan borg pada umumnya.

Pasal 1847 KUH Perdata menyebutkan bahwa:

Si penanggung utang dapat menggunakan terhadap si berpiutang segala tangkisan yang dapat dipakai oleh si berutang utama dan mengenai utangnya yang ditanggung itu sendiri. Namun tak bolehlah ia mengajukan tangkisan-tangkisan yang melulu mengenai pribadi si berutang.

Di sini pembuat undang-undang membedakan antara tangkisan yang mengenai pribadi

debitur-utama dan yang mengenai hutang itu sendiri. Tangkisan yang mengenai pribadi

debitur-utama, umpamanya adalah ketidakcakapan bertindak atau adanya (kesempatan)

penundaan pembayaran (terme de grace).110

109 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 94. 110 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 109.

Yang dimaksud oleh Pasal 1847 KUH Perdata

adalah bahwa tangkisan-tangkisan yang dipunyai debitur-utama, yang dapat dikemukakan

oleh borg adalah tangkisan-tangkisan yang mengenai “hutang/perikatan” itu sendiri, seperti

misalnya: perikatan tersebut bertentangan dengan undang-undang, tata karma atau

Universitas Sumatera Utara

66

ketertiban umum; dapat juga berupa tangkisan, bahwa berdasarkan ketentuan waktu,

tagihan tersebut belum matang untuk ditagih atau perikatan itu, dengan kompensasi telah

menjadi hapus.111

Hak borg berdasarkan Pasal 1847 KUH Perdata merupakan hak yang diberikan oleh

undang-undang sendiri, sehingga penggunaannya tidak bergantung dari debitur-utama.

Sekalipun debitur-utama tidak memanfaatkan tangkisan tersebut, tetapi borg tetap dapat

menggunakannya.

Tangkisan yang bertalian denganpribadi si debitur menurut Undang-

undang tidak dapat diajukan oleh penanggung.

112

d. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan subrogasi)

akibat perbuatan kesalahan kreditur.

113

Si penanggung berhak untuk diberhentikan dari penanggungan jika karena perbuatan si

kreditur si penanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak terhadap hak-

haknya, hipotiknya, dan hak-hak utama dari kreditur. Pasal 1848 KUH Perdata menyatakan

bahwa “si penanggung dibebaskan apabila ia karena salahnya si berpiutang, tidak lagi

dapat menggantikan hak-haknya, hipotik-hipotiknya, dan hak-hak istimewanya dari si

berpiutang itu”. Hak demikian itu timbul sebagai akibat adanya ketentuan bahwa bagi

penanggung yang telah membayar, karena hukum akan menggantikan semua hak-hak

kreditur terhadap debitur. Jika ini tidak terlaksana karena kesalahan dari kreditur maka

akibatnya penanggung akan diberhentikan sebagai penanggung dan perjanjian

penanggungannya akan gugur.

114

111 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2003. 112Ibid., hal. 113. 113Ibid., hal. 92. 114 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 96.

Dalam praktek adanya hak untuk diberhentikan dari si

penanggung sangat merugikan kedudukan kreditur. Karena biasanya jika suatu piutang

Universitas Sumatera Utara

67

dijamin dengan jaminan-jaminan lain selain penanggungan, maka untuk pemenuhannya

kreditur akan berusaha untuk terlebih dahulu menjual barang-barang jaminan itu. Namun

sebaliknya jika ditinjau dari segi kepentingan si penanggung, maka dengan dijualnya

benda-benda jaminan hutang, si penanggung nantinya menjadi tidak terjamin dengan

benda-benda jaminan itu, yang akan beralih kepadanya karena subrogasi, jika ia membayar

hutangnya nanti.115

D. Hapusnya Penanggung Utang

Dalam praktek perbankan, demikepentingan si kreditur, senantiasa

diadakan janji dengan tegas dalam akta perjanjian penanggungan agar si penanggung

melepaskan haknya untuk minta diberhentikan sebagai penanggung.

Hak-hak Penanggung sebagaimana tersebut diatas, dalam hal ini dapat dibedakan

menjadi hak umum dan hak istimewa dari Penanggung. Termasuk sebagai hak istimewa dari

Penanggung antara lain adalah hak untuk menuntut lebih dahulu dan hak untuk membagi hutang.

Secara umum dalam ketentuan Pasal 1845 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Perikatan

yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana yang

menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya.” Dengan rumusan ini berarti

berlakulah ketentuan Pasal 1381 KUH

Perdata yang berbunyi:

Perikatan hapus: 1. karena pembayaran. 2. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. 3. karena pembaharuan utang. 4. karena perjumpaan utang atau kompensasi. 5. karena percampuran utang. 6. karena pembebasan utang. 7. karena musnahnya barang yang terutang. 8. karena kebatalan atau pembatalan.

115 Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan

Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberti Offset, 1980), hal. 97-98.

Universitas Sumatera Utara

68

9. karena berlakunya suatu syarat pembatalan yang diatur dalam Bab I buku ini. 10. karena lewatnya waktu, yang diatur dalam suatu bab tersendiri.

Dengan demikian, maka segala hal yang disebutkan dalam Pasal 1381 KUH Perdata dan

ketentuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal tersebut, berlaku umum bagi

hapusnya perikatan penanggung demi hukum.116

Percampuran hutang yang disebutkan dalam pasal ini adalah percampuran kualitas

debitur-utama dan penanggung. Dengan bercampurnya kualitas debitur-utama dan borg pada

satu orang yang sama, maka borg adalah juga debitur. Dengan itu tidak berarti bahwa

penanggungan menjadi hapus, dan karenanya adalah logis jika berdasarkan Pasal 1846 KUH

Perdata, kreditur tetap berhak menuntut penanggung dari si penanggung.

Selain itu, berdasarkan sifat ikutan atau

accessoir dari perjanjian penanggungan utang ini terhadap perikatan pokok, maka hapusnya

perikatan pokok, kecuali yangdisebutkan dalam Pasal 1821 ayat (2) KUH Perdata demi hukum

juga dapatmenghapuskan perikatan yang lahir dari perjanjian penanggungan utang ini.

Berkaitan dengan hapusnya penanggungan utang, perlu diperhatikanketentuan-

ketentuan yang mengecualikan Pasal 1845 jo. Pasal 1381 KUH Perdata,yaitu antara lain pada

Pasal 1846 KUH Perdata dinyatakan bahwa:

Percampuran yang terjadi di antara pribadinya si berutang utama dan pribadinya si penanggung utang, sekali-kali tidak mematikan tuntutan hukum si berpiutang terhadap orang yang telah memajukan diri sebagai penanggungnya si penanggung.

117

Ketentuan Pasal 1849 KUH Perdata menunjuk pada penghapusan piutang sebagai akibat

dari pembayaran menurut Pasal 1389 KUH Perdata yang diterima secara sukarela oleh kreditor.

Dengan penerimaan tersebut secara sukarela oleh kreditor, maka perikatan pokok menjadi hapus

116 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit., hal. 202. 117 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 225.

Universitas Sumatera Utara

69

dengan segala konsekuensinya bagi penanggung utang.118 Tetapi sesuai dengan syarat Pasal

1384, bahwa barang itu kemudian berdasarkan keputusan Pengadilan harus diserahkan kepada

orang lain, maka in betaling giving tersebut menjadi batal dan prestasi debitur menjadi tetap

terhutang, dengan konsekuensinya, borg tetap terikat.119

118 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit., hal. 211. 119Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung: Alumni, 2007),

hal. 37.

Universitas Sumatera Utara

70

BAB IV

AKIBAT HUKUM ATAS PENYATAAN PAILIT

TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI

JAMINAN PERUSAHAAN (STUDI KASUS PT. SARI JAYA LESTARI)

A. Kasus Kepailitan PT. Sari Jaya Lestari

1. Kasus Posisi Secara Umum

Perkara ini didaftar dengan Nomor Register Perkara 38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby. PT.

Bank Rabobank International Indnesia, suatu perusahaan perbankan yang didirikan berdasarkan

hukum Negara Republik Indonesia, berkedudukan di Plaza 89, Lantai 9, Jl. H. R. Rasuna Said

Kav. X-7 Nomor 6, Jakarta, sebagai pemohon pailit, terhadap PT. Jaya Lestari, suatu perseroan

terbatas yang didirikan berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia,

berkedudukan di Jl. Kedung Cowek Nomor 235, Surabaya, sebagai Termohon Pailit.

Terhadap Termohon diajukan permohonan pailit dalam kedudukannya sebagai

Corporate Guarantor dari PT. Golden Harvestindo berdasarkan Continuing Guarantee atau

Perjanjian Penjaminan Berkelanjutan. PT. Golden Harvestindo merupakan Debitur dari Bank

Rabobank berdasarkan Facility Agreement No. LA/CA/1279/2006 tanggal 8 Juni 2006, yang

dibuat antara PT. Golden Harvestindo dengan Bank Rabobank. Perjanjian Penjaminan dalam hal

ini dibuat oleh Termohon Pailit untuk menjamin pembayaran dan pelunasan utang PT. Golden

Harvestindo terhadap Pemohon.

Dalam Perjanjian Penjaminan yang dibuat antara Pemohon Pailit dengan Termohon

sebagai Penjamin, Termohon telah melepaskan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh seorang

Universitas Sumatera Utara

71

Penjamin. Termohon telah mengesampingkan antara lain, ketentuan Pasal 1430, 1831, 1833,

1837, 1838, 1843, 1847, 1848, 1849, dan 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon, Pengadilan Negeri

Surabaya mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan untuk seluruhnya serta

menyatakan Termohon, yaitu PT. Jaya Lestari, pailit dengan segala akibat hukumnya. Terhadap

putusan dari Pengadilan Niaga Surabaya tersebut, kemudian Termohon mengajukan kasasike

Mahkamah Agung dengan Nomor Register Perkara 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014.

2. Perkara di Tingkat Pertama

Dalam permohonan pernyataan pailit yang diajukan, Pemohon mendalilkan bahwa

Termohon merupakan Debitur dari Pemohon berdasarkan Perjanjian Penjaminan Berkelanjutan

yang dibuat pada tanggal 8 Juni 2006 untuk menjamin pembayaran kembali dan/atau pelunasan

utang dari PT. Golden Harvestindo kepada Termohon. Pemohon kemudian mendalilkan bahwa

dalam perjanjian penjaminan, Termohon telah melepaskan hak-hak istimewa Penjamin, dengan

mengesampingkan Pasal 1430, 1831, 1833, 1837, 1838, 1843, 1847, 1848, 1849, dan 1850 KUH

Perdata.

Selanjutnya Pemohon mendalilkan bahwa berdasarkan Facility Agreement yang

diberikan, PT. Golden Harvestindo telah tidak melakukan pembayaran sejumlah US$

1.771.032,59 yang telah jatuh tempo tanggal 30 Juni 2011. Sehingga syarat pailit berdasarkan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa Termohon telah tidak membayar

lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, oleh Pemohon dianggap

telah terpenuhi. Pemohon juga mendalilkan bahwa selain Termohon, Pemohon mempunyai

kreditur lain, yaitu PT. Bank Central Asia Tbk., Cabang Pasuruan, yang memberikan fasilitas

kredit berdasarkan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia Nomor Laporan:

Universitas Sumatera Utara

72

15/123684157/DPIP/PIK tertanggal 2013. Sehingga berdasarkan dalil Pemohon, Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah terpenuhi.

Atas permohonan tersebut, Termohon mengajukan eksepsi, antara lain eksepsi ne bis in

idem, yaitu bahwa permohonan pernyataan pailit telah diajukan sebelumnya oleh Pemohon pada

Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara Nomor 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134

PK/Pdt.Sus/2012 tanggal 12 November 2012, dengan subjek maupun objek perkara yang sama.

Terkait pokok perkara, Termohon mendalilkan bahwa Termohon hanya berkedudukan sebagai

Penjamin dari Debitur Utama, yaitu PT. Golden Harvestindo, dimana kedudukan dari Penjamin

adalah sebagai pihak accessoir. Pihak Termohon juga mendalilkan tidak terpenuhinya

ketentuanPasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai syarat pembuktian

sederhana.

Pertimbangan Hakim:

Terhadap permohonan pernyataan pailit, Pengadilan Niaga padaPengadilan

Negeri Surabaya menjatuhkan Putusan Nomor 38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby tanggal 13 Januari

2014, yang dalam Pertimbangan Hakim Dalam Pokok Perkara menyatakan:

Bahwa inti pokok permasalahan atas permohonan Pemohon adalah Pemohon

merupakan Kreditur dari Termohon sebagaimana telah ditandatanganinya Facility Agreement

tanggal 08 Juni 2006 Nomor LA/CA/1279/2006 dan berdasarkan Continuing Guarantee

(Perjanjian Peninjauan Berkelanjutan) tanggal 8 Juni 2006, Termohon Pailit adalah Debitur dari

Pemohon Pailit.

Bahwa pada kenyataannya PT. Golden telah tidak memenuhi kewajiban pembayaran

fasilitas kredit yang diberikan oleh Pemohon Pailit yang secara keseluruhan berjumlah US $

Universitas Sumatera Utara

73

1.771.032, 59 (satu juta tujuh ratus tujuh puluh satu ribu tiga puluh dua dolar amerika serikat dan

lima puluh Sembilan sen) dan telah jatuh waktu pada tanggal 30 Juni 2011.

Bahwa Pemohon Pailit telah menunjuk kepada Termohon secara patut untuk membayar

kewajiban utangnya tersebut pada tanggal 5 Januari 2012 dan tanggal 6 Januari 2012, namun

hingga saat permohonan pernyataan pailit a quo diajukan, Termohon Pailit tidak juga

melaksanakan kewajibannya kepada Pemohon Pailit.

Menimbang bahwa Termohon selain mempunyai utang kepada Pemohon juga memiliki

Kreditur lain, yaitu PT. Bank Central Asia, Tbk Cabang Pasuruan. Dengan demikian, Pemohon

mendalilkan bahwa pada faktanya terdapat utang yang telah jatuh waktu dan adanya 2 (dua)

Kreditur, sehingga permohonan Pemohon pernyataan pailit wajib untuk dikabulkan.

Selanjutnya, Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Surabaya meyakini berdasarkan

bukti P-24, P-25 yaitu pendapat hukum dari ahli hukum J. Satrio, serta bukti P-26 dan P-27 yaitu

putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, membuktikan bahwa seorang

Penanggung (Borg) dapatdimohonkan secara bersama-sama dengan Debitur utama. Sehingga

menurutpertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, PT. Jaya Lestari, sebagai Termohon,

dinyatakan Pailit, dan permohonan yang diajukan PT. Rabobank International dikabulkan.

3. Perkara di Tingkat Kasasi

Di tingkat Kasasi, PT. Jaya Lestari, sebelumnya sebagai Termohon Pailit, mengajukan

permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Dalam memori Kasasi, Pemohon Kasasi

(sebelumnya Termohon Pailit) kembali mendalilkan bahwa telah terjadi ne bis in idem atas

permohonan yang diajukan Termohon Kasasi (sebelumnya sebagai Pemohon Pailit), dengan

alasan bahwa pada tanggal 6 Maret 2012 Pemohon telah mengajukan permohonan pernyataan

pailit yang diajukan terhadap PT. Golden Harvestindo sebagai Termohon I, Daphnis Ekadriya

Universitas Sumatera Utara

74

Natahamidjaja (Komisaris PT. Golden Harvestindo) sebagai Termohon II, Lucky Lumanto

(Direktur PT. Golden Harvestindo) sebagai Termohon IV, serta PT. Jaya Lestari sebagai

Termohon

II. Perkara dengan register Nomor 06/PAILIT/2012/PN.Niaga.Sby. tersebut dinyatakan

tidak dapat diterima dan tidak dikabulkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Surabaya, yang inti dari putusannya berbunyi

“Menolak Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon”. Terhadap putusan

Pengadilan Niaga tersebut pihak PT. Bank Rabobank mengajukan upaya hukum Peninjauan

Kembali kepada Mahkamah Agung dengan register Nomor Perkara: 134 PK/Pdt.Sus/2012.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali atas perkara a

quo.

Pemohon dalam memori kasasi kembali mendalilkan bahwa dengan kedudukan

hukumnya sebagai Penjamin/Guarantor berdasarkan perjanjian yang bersifat accessoir, ia bukan

sebagai subjek hutang “manakala” terhadap Debitur belum dilakukan tindakan eksekusi harta

kekayaannya terlebih dahulu untuk membayar hutang/kewajibannya kepada Pemohon Pailit.

Terutama dalam kasus ini, kedudukan dari Debitur-utama masih tidak disentuh sama sekali oleh

Pemohon dan tidak ada tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan Debitur-utama.

Selain itu, Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa permohonan pernyataan pailit dianggap

prematur, dikarenakan PT. Bank Rabobank International masih memiliki barang-barang jaminan

yang diberikan oleh Debitur-utama sesuai dengan Akta Jaminan Fidusia, sehingga Pemohon

Pailit/Termohon Kasasi seharusnya perlu melaksanakan hal-hal yang tercantum dalam Akta

Jaminan Fidusia terlebih dahulu.

Pertimbangan Hakim:

Universitas Sumatera Utara

75

Majelis Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung membenarkan beberapa keberatan-

keberatan kasasi yang diberikan oleh PT. Jaya Lestari yaitu telah terdapat kesalahan dalam

penerapan hukum. Antara lain, bahwa PT. Jaya Lestari bersama-sama dengan PT. Golden

Harvestindo, dkk., sudah pernahdiajukan untuk dipailitkan berdasarkan perkara No.

06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012, yang amarnya “menolak

permohonan pailit”. Bahwa selain itu, alasan dimohonkan pailit untuk Termohon Pailit/Pemohon

Kasasi adalah sama dengan alasan pailit dalam perkara a quo, yaitu dalam kedudukannya sebagai

Penjamin terhadap PT. Golden Harvestindo.

Sehingga berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, pertimbangan

Judex Factie Pengadilan Niaga adalah keliru dikarenakan ne bis in idem. Meskipun asas ne bis in

idem tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, namun bukan berarti asas

tersebut tidak dapat diterapkan dalam hukum kepailitan, karena sepanjang tidak diatur secara

khusus dalam hukum kepailitan, maka asas umum dalam perkara perdata adalah tetap berlaku.

Bahwa dikarenakan permohonan pailit yang diajukan Pemohon Pailit terhadap

Termohon Pailit dalam perkara Nomor 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134

PK/Pdt.Sus/2012 telah ditolak yang berarti bahwa putusan mengandung artian putusan positif,

sehingga Termohon Pailit tidak dapat lagi diajukan untuk kedua kalinya dalam perkara ini,

sehingga putusan Judex Facti harus dibatalkan dengan menolak permohonan pailit.

Terkait kedudukan hukum Termohon Pailit sebagai Penanggung, Majelis Hakim

Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan seharusnya ditujukan oleh Kreditor atau

Pemohon Pailit kepada Debitur yang memperoleh fasilitaskredit, yaitu PT. Golden Harvestindo.

Dimana terdapat jaminan berupa perjanjian jaminan fidusia Nomor 26 dan 27 tanggal 8 Juni

Universitas Sumatera Utara

76

2005 dimana sesuai ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perbankan, jaminan tersebut harus dilelang terlebih dahulu.

Akhirnya berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan kasasi yang diajukan oleh PT.

Jaya Lestari tersebut dikabulkan dan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri

Surabaya Nomor 38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby tanggal 13 Januari 2014 dibatalkan.

B. Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan yang Melepaskan Hak Istimewanya dalam

Kepailitan

1. Penanggung Sebagai Debitor

Pasal 1 angka 1 UUKPKPU menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Debitor adalah

orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya

dapat ditagih di muka pengadilan. Selanjutnya,Pasal 1 angka 6 UUKPKPU menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan utangadalah:

Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka pengertian utang dalam UUKPKPU adalah

pengertian dalam arti luas yang mempunyai makna sebagaiprestasi yang harus dibayar, yang

timbul sebagai akibat dari perikatan. Istilahutang dalam hal ini merujuk pada kewajiban dalam

lapangan hukum perdata.Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau utang dapat timbul

dari perjanjian maupun dari undang-undang. Terdapat kewajiban untukmemberikan sesuatu,

berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

Universitas Sumatera Utara

77

Salah satucontoh kewajiban yang timbul dari Perjanjian adalah kewajiban

Penjamin(Guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinajamn Debitur-utamakepada

Kreditur.Kewajiban seorang Guarantor timbul melalui perjanjian penanggungan yang dibuat

antara Guarantordengan Kreditur. Perjanjian penanggungandibuat demi kepentingan Debitur,

namun menghasilkan kewajiban hukum bagi Guarantor yang wajib untuk dipenuhi.

Menurut J. Satrio, dalamhubungan hukum antara Kreditur dengan Debitur, Penanggung

berkedudukansebagai pihak ketiga, namun, Penanggung dengan sukarela telah mengikatkandiri

sebagai Debitur kepada Kreditur untuk prestasi yang sama (paling tidak dengan nilai yang sama)

dengan Debitur-utama.120

1. Yahya Harahap, berpendapat bahwa:

Sehingga, dapat dikatakanbahwa sesudah Debitur-utama

wanprestasi, Kreditur mempunyai dua orangDebitur yang sama-sama dapat ditagih untuk seluruh

hutang dan pembayaranoleh yang satu membebaskan yang lain.Dalam kedudukannya sebagai

Penanggung atas Debitur-utama, makaPenanggung mempunyai kewajiban untuk memenuhi

prestasi Debitur-utamaterhadap Kreditor. Terkait status hukum dari Penanggung sebagai

Debituryang dapat dipailitkan, beberapa ahli hukum berpendapat:

“Borg atau Guarantor menurut Pasal 1820 KUH Perdata, bukan debitur. Tetapi hanya seseorang yang mengikat diri untuk memenuhi perikatan apabila debitor sendiri tidak memenuhi. Dalam kedudukan perikatan yang demikian baik secara teknis dan substantif, penjamin bukan berubah menjadi debitor. Kedudukannya secara yuridis telah dilembagakan secara murni dalam bentuk BORGTOCHT.”121

2. Denny Kailimang, S.H.:

122

“Sebagai debitur, Penanggung/Guarantor dapat saja dipailitkan dengan syarat Penanggung/Guarantor mempunyai lebih dari 1 kreditur, berarti selain mempunyai

120 J. Satrio (1), Op. Cit., hal. 42. 121 Yahya Harahap, “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, Makalah, Bukti T-3 dalam perkara

Nomor 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST. 122 Denny Kailimang, “Problematik yang Dihadapi Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal

Guarantee atau Corporate Guarantee Sehubungan Dengan Gugatan Kepailitan”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 412.

Universitas Sumatera Utara

78

kewajiban membayar utang kepada kreditur (pemohon pailit) juga mempunyai utang kepada kreditur lainnya dan salah utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.”

3. Pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.,123

“Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadapseorang penjamin atau penanggung dapat diajukan tanpa mengajukan permohonan pernyataan pailit pula kepada debitor hanyalah apabila penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda atau harta kekayaan debitor disita dan dijual terlebih dahulu.”

4. J. Djohansjah berpendapat bahwa:124

“Dalam hal si Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya, maka Penanggung tersebut dapat dianggap telah mengambilalih semua tanggung jawab si Debitor terhadap si Kreditor. Selanjutnya si Kreditor dapat memilih siapa yang akan dituntutnya si Debitor ataukah si Penanggung atau dengan kata lain si Kreditor dapat memohon kepailitan si Penanggung tanpa terlebih dahulu momohon kepailitan terhadap si Debitor.”

Selain itu, perbedaan penafsiran terkait kedudukan hukum Guarantor juga dapat

dilihat melalui beragamnya pertimbangan hakim dalam putusan-putusan penetapan kepailitan,

yaitu antara lain:

1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 K/N/1999:

“Bahwa i.c. termohon sebagai Guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya maka kreditor dapat secara langsung menuntut Termohon untuk memenuhi kewajibannya.”

2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 19/PK/N/2000:

”Bahwa meskipun ada pelepasan hak istimewa dari penanggung/penjamin sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1832 BW tetapi tidak berarti kedudukan penanggung/penjamin (guarantor) dapat menggantikan debitor, karena ketentuan pasal 1832 BW hanya bersifat memberi kewenangan kepada kreditor untuk menyita barang penanggung/penjamin (guarantor) untuk melunasi hutang penanggung/penjamin (guarantor) kehilangan haknya untuk menuntut agar barang-barang debitor dahulu yang disita.”

3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 35 K/N/2001 tertanggal 10 Oktober 2001:

123 Sutan Remy Sjahdeni (1), Op. Cit., hal. 99. 124 J. Djohansah, Op. Cit., hal. 46.

Universitas Sumatera Utara

79

”Lagi pula mengenai perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir dari suatu perjanjian pokok, dengan demikian penjamin tidak dapat menggantikan kedudukan debitor. Pelepasan hak istimewa diartikan bahwa kreditor berhak menuntut barang-barang penjamin untuk melunasi hutang debitor.”

4. Putusan MA Nomor 922 K/PDT/1995: “Dalam kasus personal guarantee atau BORGTOCHT harus ditegaskan azas penjamin selamanya adalah penjamin (guarantor always guarantor) atas pembayaran hutang principal apabila principal tidak membayar atautidak mampu membayar hutang kepada Debitor. Oleh karena itu status keperdataan principal tidak dapat dialihkan kepada Guarantor di luar tuntutan pembayaran hutang principal. Konsekuensi logis dari azas tersebut, kepada Guarantor tidak dapat pailit atau wanprestasi yang dilakukan principal. Yang dapat dituntut dari Guarantor adalah pelunasan hutang principal baik dalam bentuk bersama-sama dengan principal atau terhadap Guarantor.”

5. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst jo. Putusan Mahkamah

Agung RI Nomor 02/K/N/1999:

“Mengabulkan permohonan pernyataan pailit dan menyatakan Debitur Prinsipal/Utama dan Penanggung/Guarantor pailit, dengan pertimbangan bahwa Termohon I (Debitur Prinsipal/Utama) dan Termohon II (Penanggung/Guarantor) terbukti tidak dapat membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.”

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, terkait kedudukan

hukum Penanggung sebagai Debitur belum dinyatakan secaraeksplisit oleh Undang-Undang.

Sehingga, selama ini putusan kepailitan atas Penanggung diputuskan dengan

mempertimbangkan yurisprudensi maupun pendapat para ahli hukum yang keduanya tidak

mempunyai kekuatan hukummengikat. Tidak terdapatnya pengaturan hukum yang jelas terkait

kepailitan Penanggung mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Undang-

Undang.

2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

80

Kembali kepada makna dari Penanggungan berdasarkan Pasal 1820 KUH Perdata,

yaitu bahwa:

Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.

KUH Perdata secara jelas mendefinisikan penanggungan sebagai suatu perjanjian yang

dibuat “untuk kepentingan si berpiutang”. Perjanjianpenanggungan adalah perjanjian yang

bersifat accessoir terhadap perjanjianpokoknya. Kausa perjanjian penanggungan adalah untuk

memperkuat perjanjian pokok.125

Hak-hak yang pada umumnya dikecualikan olehPenanggung dalam perjanjian

penanggungan adalah hak untuk menuntut disitadan dijualnya barang Debitor terlebih dahulu

(Pasal 1831 KUH Perdata), hakuntuk membagi hutang (Pasal 1837 KUH Perdata), hak untuk

mengajukantangkisan gugatan (Pasal 1847 KUH Perdata), serta hak untuk diberhentikandari

penanggungan (Pasal 1848 KUH Perdata). Konstruksi hukum atas Penanggung yang tidak

Pada hakikatnya, berdasarkan Pasal 1831 KUH Perdata,

kewajiban Penanggung untuk membayar timbul pada saat harta benda milik Debitur-utama telah

disita dan dilelang terlebih dahulu dan hasilnya tidak cukup untukmelunasi kewajibannya atau

dalam hal Debitur-utama telah tidak mempunyaiharta apapun.

Hal ini sejalan dengan konsep penanggungan yang ditinjau daricara pemenuhannya

bersifat subsidair, yang memiliki makna bahwa peran Penanggung muncul setelah Debitur-

utama tidak memenuhi kewajibanperikatannya dengan baik sebagaimana mestinya.Guarantor

dalam praktik, pada umumnya akan diminta untukmelepaskan hak-hak istimewanya sebagai

Penanggung dengan tujuan untukmenguatkan kedudukan Kreditor manakala Debitor-utama tidak

mampu untukmelunasi hutang-hutangnya.

125 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang , 2008, hal.28.

Universitas Sumatera Utara

81

melepaskan hak-hakistimewanya adalah jelas. Bahwa kewajiban Penanggung, sesuai dengan

sifataccessoir dari perjanjian penanggungan, baru muncul saat Debitur-utama telah tidak dapat

memenuhi kewajibannya dan harta milik Debitur-utama telah disita dan dilelang, namun

masih tidak dapat melunasi hutang-hutangnya terhadap Kreditor. Dengan demikian, apabila

dikaitkan dengan proseskepailitan, maka kedudukan hukum Penanggung dalam proses kepailitan

jugamenjadi jelas, yaitu bahwa Penanggung tidak dapat dinyatakan pailit sebelumharta milik

Debitur-utama telah disita dan dilelang, dan hasil penjualantersebut tidak cukup untuk

menutupi sisa hutang Penanggung.

Terkait hal ini,Elijana S.H. berpendapat bahwa:

“Untuk Guarantoryang tidak melepaskan Hak-Hak Istimewanya, Kreditur harus menggugat Debitur Utama terlebih dahulu setelah Harta Debitur utama disita dan dilelang tetapi tidak cukup hasilnya untuk melunasi seluruh utangnya jadi masih ada sisa utang yang belum terbayar atau telah terbukti Debitur Utama telah tidak mempunyai Harta apapun lagi atau Debitur utama telah dinyatakan Pailit oleh Kreditur lain baru kemudian Kreditur dapat menagih utang Debitur Utama kepada Guarantor. Apabila Guarantor setelah ditagih olehKreditur tetap tidak mau bayar maka Kreditur dapat mengajukan permohonan agar Penanggung/Guarantor dinyatakan Pailit.”126

Dalam kepailitan, kedudukan hukum Penanggung menjadi kabur karena tidak jelasnya

pengaturan dalam peraturan perundang-undangan terkait kedudukanhukum Penanggung.

Terutama dalam hal Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya.Pada dasarnya

penjaminan merupakan “a second pocket to pay if the firstshould be empty”.

127

126 Elijana S., “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”,

dalam Penyelesaian Utang-Piutang Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 405.

127 Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Jaminan Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana dikutip dalam Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta, 2004), hal. 96.

Dari sini dapat

dilihat bahwa Penanggung merupakan pihak yang diminta pertanggungjawabannya apabila

Universitas Sumatera Utara

82

Debitor telah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Sejalan dengan pemikiran tersebut

diatur dalam Pasal 1832 ayat (4) KUH Perdata bahwa:

Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika si berutang berada dalam keadaan pailit.

Berdasarkan Pasal 1832 KUH Perdata, kewajiban Penanggung serta kedudukannya

sebagai Debitur muncul secara otomatis ketika Debitur-utama berada dalam keadaan pailit.

Berdasarkan Pasal 1832 ayat (4), makakewajiban Penanggung muncul pada saat Debitur-

utama telah terbukti tidakmampu untuk membayar hutang-hutangnya atau telah dinyatakan

pailit.Perihal tersebut Kartini Muljadi berpendapat perihal kepailitan Penanggungbahwa:

“Hal hilangnya hak istimewa Penanggung jika Debitur dipailitkan adalah konsekuensi logis dari kepailitan yang merupakan suatu sitaan umum terhadap seluruh kebendaan yang merupakan harta kekayaan Debitor. Dengan sitaan umum, maka tidak ada lagi harta kekayaan milik Debitor yang berada dalam keadaan bebas yang dapat ditunjuk oleh Penanggung sebagai pelunasan kewajiban Debitor kepada Kreditor.”128

1. Pengecualian atas Pasal 1831 KUH Perdata mengakibatkan Penanggung dapat langsung

dituntut oleh Kreditor untuk memenuhi hutang Debitur-utama, tanpa adanya kewajiban

Kreditor untuk menuntut disita dan dijualnya harta milik Debitor-utama terlebih dahulu.

Undang-Undang memberikan kebebasan bagi Penanggung untuk mengecualikan hak-

hak istimewanya, dengan menyatakannya secara tegas dalam perjanjian penanggungan.

Pengecualian atas hak-hak istimewa tersebut menimbulkan akibat hukum antara lain:

2. Pengecualian atas Pasal 1837 KUH Perdata mengakibatkan dalam hal terdapat lebih dari

seorang Penanggung, maka Penanggung tidak dapat meminta pemecahan hutang diantara

mereka. Konsekuensi dari pengecualian atas pasal ini adalah bahwa para penanggung

128 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 184.

Universitas Sumatera Utara

83

tersebut bertanggung jawab untuk seluruh utang Debitur-utama dan masing-masing

Penanggung dapat dituntut untuk menanggung seluruh hutang dari Debitur-utama.

3. Pengecualian atas Pasal 1847 KUH Perdata mengakibatkan Penanggung kehilangan hak

untuk mengajukan tangkisan. Penanggung berdasarkan Pasal 1847 KUH Perdata

mempunyai hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat digunakan Debitur terhadap

Kreditur, kecuali tangkisan yang berkaitan dengan keadaan pribadi Debitur sendiri.

Sehingga Pasal 1847 memberikan hak bagi Penanggung untuk dapat mengajukan semua

tangkisan yang berhubungan dengan hutang.

4. Pengecualian atas Pasal 1848 KUH Perdata mengakibatkan Penanggung tidak dapat

meminta untuk dibebaskan dari penanggungan dikarenakan kesalahan Kreditor yang

menyebabkan terhalangnya hak subrogasi Penanggung.

Terkait dengan kapan Debitor yang melepaskan hak-hak istimewanya dapat dinyatakan

pailit, berdasarkan yurisprudensi putusan-putusan Pengadilan Niaga serta pendapat para ahli

hukum, telah dapat diterima bahwa Guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya

dapat secara langsung dimohonkan pailit. Elijana S.H. menyatakan dalam buku Penyelesaian

Utang bahwa :

Untuk Guarantor yang telah melepaskan Hak-hak Istimewanya apalagi untuk Guarantor yang telah menyatakan dirinya bertanggung jawab renteng dengan Debitur-utama terhadap utang Debitur-utama kepada Kreditur maka Kreditur dapat langsung mengajukan permohonan kepailitan terhadap Guarantor tersebut. Asal agar permohonan Kreditur dapat dikabulkan, kuasa Kreditor dapat membuktikan di persidangan Niaga bahwa Guarantor termohon Pailit telah melepaskan Hak-hak Istimewanya dan bahwa Guarantor tersebut telah menyatakan diri/mengikatkan diri bertanggung jawab renteng dengan Debitur-utama terhadap utang Debitur-utama.

Pasal 1832 ayat (1) KUH Perdata pada umumnya dijadikan sebagai dasar hukum untuk

menuntut dipailitkannya Penanggung secara langsung. Dalamhal Penanggung tidak melepaskan

Universitas Sumatera Utara

84

hak istimewanya, maka kewajiban hukumPenanggung belum terdapat sampai barang-barang

milik Debitur-utama dijual terlebih dahulu. Namun, dalam hal Penanggung telah melepaskan hak

istimewanya, maka berakibat bahwa Penanggung bertanggung jawab atashutang Debitur-utama

tanpa adanya kewajiban bagi Kreditur untuk menyitadan menjual barang-barang milik Debitur-

utama terlebih dahulu.Dalam kaitannya dengan proses kepailitan, ketentuan KUH Perdata

yangmemungkinkan seorang Penanggung untuk dipailitkan, menimbulkan akibatbanyak dari

Penanggung yang dipailitkan tanpa dipailitkannya Debitur-utama.

3. Berdasarkan UUK-PKPU

Terkait dengan kedudukan hukum Guarantor, UUKPKPU tidak mengatur secara

spesifik, sehingga pengaturan atas kepailitan Guarantor lebih banyak mengacu pada

ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. UUKPKPU

mensyaratkan bahwa pihak yang dapat dimohonkan pailit adalah yang memenuhi ketentuan

Pasal 2 ayat (1)UUKPKPU, yaitu:

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Selama Guarantor memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU jo. Pasal 8 ayat (4)

UUKPKPU, maka Hakim pada Pengadilan Niaga diwajibkan untuk mengabulkan permohonan

pernyataan pailit yang diajukan atas Debitor.

Mengenai kapan Penanggung sebagai Debitur dapat dipailitkan, UUKPKPU tidak

mengatur secara tegas. Namun, apabila konsep penanggungan dalam KUH Perdata kita tarik

dalam hukum kepailitan, maka dapat dikatakan bahwa bagi Penanggung yang telah melepaskan

hak-hak istimewanya, terhadapnya dapat secara langsung diajukan permohonan pailit. Hal

Universitas Sumatera Utara

85

dikecualikannya Pasal 1831 KUH Perdata, mengakibatkan kewajiban hukum Penanggung

muncul secara demi hukum, saat Debitur-utama wanprestasi atau cidera janji. Sehingga dengan

telah timbulnya kewajiban tersebut, Penanggung dapat dinyatakan telah berkedudukan hukum

sebagai Debitur yang dapat dinyatakan pailit.

Dalam hal Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya, maka ia dapat dianggap

telah mengambil alih semua tanggung jawab Debitor terhadap Kreditor.129

Berdasarkan KUH Perdata, Penanggung dapat dianggap berkedudukan sebagai Debitur.

Hal ini didasarkan pada Pasal 1820 KUH Perdata, dimana Penanggung mengadakan perjanjian

dengan Kreditor untuk kepentingan dari Debitur-utama. Penjamin atau penanggung adalah juga

seorang Debitor yang berkewajiban untuk melunasi utang Debitor kepada Kreditor atau Para

Kreditornya apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih.

Selanjutnya, Kreditor

dapat memilih siapa yang akan dituntutnya. Dalam hal ini, tentu Kreditor akan memilih pihak

yang mempunyai aset yang dapat memenuhi tagihannya. Sehingga, Kreditor dapat memohon

kepailitan Penanggung tanpa terlebih dahulu memohon kepailitan terhadap Debitor. Kebebasan

yang diberikan terhadap Kreditor tersebut oleh Undang-Undang ditambah dengan syarat

kepailitan yang memudahkan Kreditor untuk mengajukan pailit bagi Debitur, mengakibatkan

semakin banyaknya Penanggung yang dipailitkan tanpa dipailitkannya Debitur-utama.

130

Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1832 ayat (1) KUH Perdata, maka tidak

terdapat larangan bagi Kreditur untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada Penanggung

tanpa kewajiban untuk mempailitkan Debitur-utama terlebih dahulu. Namun, mengingat syarat

Sehingga dapat ditafsirkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2ayat (1) UUKPKPU juga

memungkinkan bagi dipailitkannya Penanggung sebagai Debitor.

129 J. Djohansah, Op. Cit., hal. 69. 130 Sutan Remy Sjahdeni (2), Op. Cit., hal. 98.

Universitas Sumatera Utara

86

kepailitan berdasarkan UUKPKPU, yang memudahkan dijatuhkannya putusan kepailitan atas

Debitur, maka pengaturan berdasarkan KUH Perdata maupun UUKPKPU cenderung dapat

merugikan Penanggung.

UUKPKPU tidak mengatur bahwa Debitur harus berada dalam keadaan tidak mampu

untuk dinyatakan pailit. Jika dibandingkan dengan syarat kepailitan dalam

Faillissementsverordening, yang mensyaratkan keadaan berhenti membayar, maka secara

yuridis, UUKPKPU belum memberikan perlindungan yang cukup terhadap Debitor solven.

Dalam konteks penanggungan, syarat kepailitan terhadap Penanggung dalam hal ini tidak

memberikan perlindungan terhadap Penanggung dari Kreditor nakal. Dewasa ini, pengaturan

berdasarkan KUH Perdata maupun UUKPKPU memungkinkan bagi Kreditor untuk mengajukan

pailit atas Debitor yang masih solven. Perubahan Undang-Undang Kepailitan di Indonesia dalam

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 cenderung semakin melindungi kepentingan Kreditor.

Filosofi Kepailitan menurut Professor Radin adalah: “a purpose of all bankruptcy laws

is to provide a collective forum for sorting out the rights of the various claimants against the

assets of a debtor where there are not enough assets to go around.”131

Ketentuan syarat kepailitan yang diatur dalam UUKPKPU cenderung sangat sederhana,

dikarenakan syarat kepailitan dalam UUKPKPU yang tidak membedakan Debitur yang “tidak

Hal ini berarti bahwa

sesungguhnya Kepailitan merupakan suatu debt collection system, yang bertujuan untuk

memberikan forum kolektif bagi para Kreditor untuk memperoleh pembagian keuntungan atas

aset Debitor, ketika tidak terdapat aset Debitor yang cukup untuk melunasi piutang yang

dimiliki. Berdasarkan filosofi ini, Debitor yang dapat dinyatakan pailit seharusnya adalah mereka

yang tidak mampu (insolvent) keuangannya, artinya lebih besar utang daripada aset.

131 Radin, The Nature of Bankruptcy, (1940) sebagaimana dikutip dalam David G. Epstein, Steve H.

Nickles, dan James J. White (ed.), Bankruptcy, (West Publishing Co.: Minnesota, 1993), hal. 2.

Universitas Sumatera Utara

87

mampu” dan yang “tidak mau” untuk membayar hutang. Dalam kaitannya dengan kepailitan

Guarantor hal ini dapat merugikan Guarantor terutama pada kasus dimana Guarantor

dinyatakan pailit tanpa dipailitkannya Debitur-utama.

Permohonan kepailitan pada umumnya diajukan terhadap Penanggung atas utang

Debitur-utama terhadap Kreditor. Dalam hal Debitur-utama telah terlebih dahulu dipailitkan atau

harta bendanya telah dieksekusi, sehingga Debitur-utama tidak mampu lagi untuk melunasi

hutangnya, diajukannya Penanggung sebagai Debitur pailit menjadi hal yang logis, terlihat

melalui ketentuan Pasal 1832 ayat (4) KUH Perdata. Namun, dengan keadaan UUKPKPU yang

cenderung lebih melindungi kepentingan Kreditor, yang dapat dilihat melalui mudahnya syarat

pengajuan permohonan pailit, maka lembaga kepailitan tidak lagi berfungsi sebagai salah satu

jalan keluar dari kebangkrutan, melainkan sering digunakan sebagai salah satu pranata hukum

dalam penagihan utang.

Terutama dalam hal Penanggungnya adalah badan hukum atau CG yang berbentuk

Perseroan Terbatas. Penanggung diajukan pailit berdasarkan utang pokok Debitur-utama dengan

Kreditur. UUKPKPU dalam hal ini tidak memberikan perlindungan hukum terhadap Debitur

yang masih solven yang dinyatakan pailit. Terutama bagi Debitur pailit yang berstatus Perseroan

Terbatas, dimana kepailitan memberikan kemungkinan terjadinya pembubaran Perseroan

Terbatas, sebagaimana diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa:

Pembubaran Perseroan terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Universitas Sumatera Utara

88

C. Akibat Hukum Atas Pernyataan Pailit PT. Sari Jaya Lestari

Dalam sub bab ini, penulis akan menganalisa kasus permohonan pernyataan pailit yang

diajukan terhadap CG dalam kasus kepailitan PT.Jaya Lestari. Sesuai dengan judul dan tema dari

skripsi ini, maka penulis akan menganalisa pertimbangan majelis hakim di tingkat pertama

maupun tingkat kasasi. Penulis dalam hal ini akan langsung memfokuskan pada pertimbangan

hakim yang menyangkut kedudukan CG dalam praktek kepailitan di Indonesia, sehingga penulis

tidak akan membahas pertimbangan hakim yang tidak berkaitan dengan kepailitan CG.

1. Kedudukan Hukum PT. Jaya Lestari Sebagai Penanggung

Dalam perkara yang telah diuraikan di atas, PT. Jaya Lestari dinyatakan pailit dalam

kedudukan hukumnya sebagai Penanggung dari PT. Golden Harvestindo. PT. Jaya Lestari

dinyatakan pailit karena dianggap memenuhi persyaratan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu:

a. Mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor, yaitu:

1) PT. Rabobank International Indonesia, berdasarkan Continuing Guarantee tertanggal

8 Juni 2006, dan

2) PT. Bank Central Asia Tbk., Cabang Pasuruan, berdasarkan SistemInformasi Debitur

Bank Indonesia Nomor Laporan: 15/123684157/DPIP/PIK tertanggal 29 Oktober

2014.

b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,

dapat dilihat melalui belum dibayarnya fasilitas kredit yang diberikan Pemohon Pailit

terhadap PT. Golden Harvestindo, yang telah jatuh tempo sejak tanggal 30 Juni 2011,

namun belum terdapatpembayaran oleh PT. Golden Harvestindo.

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan KUH Perdata serta UUK-PKPU,

Penanggung dianggap berkedudukan sebagai Debitur. Sehingga, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo.

Universitas Sumatera Utara

89

8 ayat (4) UUK-PKPU, selama Debitur memenuhi ketentuan tersebut di atas dan dapat

dibuktikan secara sederhana, Pengadilan Niaga diharuskan untuk memenuhi pernyataan pailit.

Terlebih lagi, dalam pertimbangan hakim Pengadilan Niaga di tingkat pertama, kedudukan

hukum PT. Jaya Lestari sebagai Penanggung yang telah melepaskan hak-hak istimewanya

dianggap menjadikannya sejajar sebagai Debitur dari PT. Bank Rabobank International

Indonesia.

Secara yuridis, berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata serta UUK-PKPU,

Penanggung dapat dinyatakan pailit dalam kedudukan hukumnya132

Selanjutnya, bahwa pada saat permohonan pailit diajukan terhadap PT. Jaya Lestari, PT.

Golden Harvestindo atau Debitur-utama telah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum

. Namun dalam kasus ini,

terdapat kejanggalan dimana permohonan pailit terhadap Debitur-utama diterima namun

permohonan pailit terhadap Penjamin justru dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Pasalnya,

kewajiban hukum dari Penanggung pada hakikatnya bersifat subsidair. Dalam hal Debitur-utama

telah dinyatakan pailit ataupun harta kekayaannya telah dieksekusi oleh Kreditur dan tidak

tersisa lagi harta untuk membayar lunas hutang, maka menjadi logis apabila Penanggung dituntut

untuk memenuhi pembayaran dan jika ia tidak mampu, untuk diajukan permohonan pailit atas

Penanggung.

Putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Surabaya tidak mempertimbangkan

bahwa sebelumnya terhadap Guarantor telah diajukan permohonan kepailitan secara bersamaan

dengan Debitur-utama. Adapun permohonan kepailitan yang diajukan terhadap Debitur-utama,

yaitu PT. Golden Harvestindo, telah ditolak berdasarkan Putusan No.

06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012. Sehingga, aset dari Debitur-

utama sama sekali belum disentuh oleh Kreditur.

132 M. Bahsan, Op.Cit., hal. 20

Universitas Sumatera Utara

90

(PMH) terhadap Kreditur, berkaitan dengan perjanjian baku yaitu Facility Agreement Nomor

LA/CA/1279/2006. Dengan objek gugatan pembatalan perjanjian yang dibuat antara Debitur-

utama dengan Kreditur. Sehubungan dengan perkara tersebut, telah terdapat Putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan Nomor 548/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel tertanggal 15 Mei 2012 jo. Putusan

Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan Nomor 502/PDT/2012/PT.DKI, yang menyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat perjanjian dan/atau akta yang dibuat antara atau berkaitan

dengan Penggugat dengan Tergugat. Putusan tersebut menyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di bawah tangan antara Kreditur

dengan PT. Jaya Lestari.

Menurut Penulis, Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Surabaya, telah kurang cermat

dalam memutus. Hal ini mengingat, Majelis Hakim tidakmempertimbangkan terdapatnya

putusan, seperti Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 548/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel jo.

Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan Nomor 502/PDT/2012/PT.DKI serta Putusan Nomor

06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012 yang berdampak hukum terhadap

kedudukan hukum dari PT. Jaya Lestari sebagai Debitur dalam perkara ini.

2. Upaya Serta Dampak Hukum Atas Pernyataan Pailit Terhadap PT.Jaya Lestari

Dalam kasus kepailitan yang diajukan atas PT. Jaya Lestari, Penulis berpendapat bahwa

sesungguhnya tidak terdapat urgensi bagi PT. Jaya Lestari untuk dipailitkan oleh Kreditur. Hal

ini dikarenakan, pada proses pemeriksaan perkara di tingkat Kasasi, diketahui bahwa dalam

pembuatan Facility Agreement Nomor LA/CA/1279/2006 antara Kreditur dengan Debitur-

utama, perjanjian kredit tersebut diikat dengan beberapa perjanjian jaminan, antara lain:

a. Akta Jaminan Fidusia (Piutang) Nomor 26 Tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di hadapan

Linda Herawati, S.H., Notaris di Jakarta.

Universitas Sumatera Utara

91

b. Akta Jaminan Fidusia (Bahan Persediaan) Nomor 27 Tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di

hadapan Linda Herawati, S.H., Notaris di Jakarta.

c. Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di bawah tangan dalam bahasa

Inggris oleh Tuan Daphnis Natahamidjaja dan Tuan Lucky Lumanto.

d. Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di bawah tangan dalam bahasa

Inggris oleh PT. Jaya Lestari.

Dalam perkara ini, terlihat bahwa perjanjian kredit antara Kreditur dengan Debitur-

utama dibebankan tidak hanya dengan jaminan perorangan, namun juga jaminan kebendaan.

Berdasarkan fakta hukum di atas, maka Kreditur adalah Kreditur pemegang hak kebendaan atau

kreditur separatis yang memegang hak jaminan kebendaan, berupa hak jaminan fidusia. Perlu

diingat bahwa hak kebendaan merupakan hak yang memberikan kedudukan diutamakan bagi

Kreditur, dan dalam kepailitan, memberikan kedudukan hak separatis dalam Kepailitan. Menurut

ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU,Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

UUK-PKPU tidak mensyaratkan secara normatif bahwa Kreditor separatis atau Kreditor

yang memegang hak jaminan yang didahulukan diwajibkan untuk terlebih dahulu mengeksekusi

jaminan sebelum mengajukan permohonan kepailitan. Hal ini terlihat melalui ketentuan Pasal 1

angka 2 UUK-PKPU, yang dalam Penjelasannya menyatakan bahwa Kreditor yang dimaksud

dalam ayat tersebut termasuk Kreditur Separatis maupun Kreditor Preferen, tidak hanya Kreditor

Konkuren. Sehingga, berdasarkan UUK-PKPU, tidak terdapat larangan bagi PT. Bank Rabobank

untuk secara hukum sebagai Kreditor Separatis mengajukan permohonan pailit. Namun,

mengingat dalam kasus ini, permohonan kepailitan diajukan kepada PT. Jaya Lestari dalam

Universitas Sumatera Utara

92

kedudukannya sebagai Guarantor, maka Penulis dalam hal ini sependapat dengan pertimbangan

hakim Kasasi pada Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa gugatan seharusnya diajukan

oleh Kreditur terhadap Debitur yang memperoleh fasilitas kredit, yaitu PT. Golden Harvestindo.

Dimana, sebagai jaminan, telah terdapat perjanjian jaminan fidusia Nomor 26 dan 27 tanggal 8

Juni 2006, yang berdasarkan Undang-Undang Perbankan jaminan tersebut harus dilelang terlebih

dahulu. Seperti pemilik hak kebendaan atau hak agunan pada umumnya, pemilik hak fidusia,

dalam hal ini Kreditur, dapat mengabaikan kepailitan dan memisahkan jaminannya dari harta

pailit, sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU.

Dengan dibuktikan keberadaan jaminan kebendaan menunjukkan bahwa tidak terdapat

urgensi dipailitkannya Penanggung dalam perkara ini. Sehingga seharusnya, terhadap

Penanggung tidak perlu dimohonkan kepailitan oleh Kreditur. Namun, keadaan pengaturan

UUKPKPU serta KUH Perdata saat ini memberatkan kedudukan hukum Penanggung, sehingga

membuka jendela bagi Kreditur untuk dengan sangat mudah mempailitkan Penanggung.

Sementara, dampak hukum dari kepailitan terhadap Penanggung, yang dalam kasus ini

adalah sebuah badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, sangat merugikan. Prinsip kepailitan

terhadap Perseroan Terbatas padahakikatnya tidak dapat dipisahkan dari gejala kebangkrutan

suatu perseroan terbatas dimana pranata kepailitan adalah merupakan salah satu bentuk

pembubaran suatu perseroan terbatas yang sedang mengalami gejala kebangkrutan di samping

bentuk pembubaran lainnya.133

133 Rudhy A.Lontoh,dkk, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaaan kewajiban

Pembayaran Utang, (Jakarta: Alumni, 2001), hal.78-79.

Dalam kasus ini, Penanggung merupakan suatu Badan Hukum

yang juga terhadapnya berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas. Saat ini, kepailitan perseroan digunakan untuk membangkrutkan perseroan

dan bukan sebaliknya sebagai alternatif solusi penyelesaian kebangkrutan perseroan.

Universitas Sumatera Utara

93

Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberi makna bahwa

kepailitan adalah solusi dari masalah penyelesaian utang Debitor yang sedang mengalami

kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum

untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suatu Debitor sebenarnya

tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam

konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan financial dari usaha Debitor.134 UUKPKPU

menganut prinsip bahwa kepailitan merupakan suatu debt collective proceeding, yang terlihat

dari ditentukannya syarat materiil untuk mempailitkan subjek hukum, yakni mempunyai dua atau

lebih Kreditor serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih.135

Selain itu, dikarenakan putusan kepailitan berlaku secara serta merta (uit ver baar bij

voor raad), hal ini juga merugikan bagi Guarantor, sebagai Debitur yang dicabut kepailitannya.

Setelah Majelis Hakim menyatakan Debitur pailit, maka proses kepailitan dimulai meskipun ada

upaya hukum dari Debitur.

Prinsip

kemudahan mempailitkan tersebut bahkan ditambah lagi dengan ketentuan pembuktian yang

sederhana.

136

Dalam kasus PT. Jaya Lestari, putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga dan pada

Mahkamah Agung bersifat bertolak belakang, dimana putusan pada Pengadilan Niaga Majelis

Hakim mengabulkan permohonan kepailitan, sementara pada Mahkamah Agung pernyataan

tersebut dibatalkan. Hal ini pada akhirnya, menimbulkan kerugian materiil tidak hanya terhadap

PT. Jaya Lestari selaku Perusahaan yang telah dinyatakan pailit, namun juga menimbulkan

Debitur tidak memiliki kewenangan pemilikan dan pengurusan

atas seluruh hartanya dan diambil alih oleh Kurator.

134 Sunarmi,Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Softmedia, 2010. 135Ibid., hal. 196. 136 Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004),

cet. 2., hal. 133.

Universitas Sumatera Utara

94

kerugian bagi Kreditur, yaitu PT. Bank Rabobank International Indonesia. Pada akhirnya, kasus

ini diselesaikan oleh para pihak secara damai dan melalui jalur perdata.137

137 Wawancara Ibrahim Senen, pada tanggal 19 Juni 2015.

Universitas Sumatera Utara

95

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur dan mengenai

semua harta benda debitur. Baik mengenai benda bergerak maupun tak bergerak, baik

benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada, semua menjadi jaminan bagi seluruh

perutangan debitur. Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan

menyangkut semua harta kekayaan debitur. Para kreditur tersebut mempunyai kedudukan

yang sama, tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Kreditur

demikian disebut kreditur konkuren. Jaminan umum timbul dari Undang-undang, tanpa

perlu diperjanjikan oleh para pihak terlebih dahulu. Para kreditur konkuren semuanya

secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh Undang-undang,

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata.

2. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37Tahun 2004. memberikan

ketentuan terhadap permohonan kepailitan, hal ini dapat disimpulkan bahwa permohonan

pernyataan pailit terhadap seorang Debitor hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

a. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua

Kreditor; atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu Kreditor.

b. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu Kreditornya.

c. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.

Universitas Sumatera Utara

96

Syarat tersebut di atas bersifat kumulatif. Artinya seluruh syarat itu harus dipenuhi dan

dibuktikan oleh pemohon pailit di depan Majelis Hakim.

3. Pengaturan dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

memungkinkan bagi Guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya, untuk

dinyatakan pailit tanpa terdapat pernyataan pailit maupun pemberesan aset atas Debitur-

utama terlebih dahulu. Melalui perkara kepailitan PT. Jaya Lestari, terlihat bahwa

sebenarnya pada kasus-kasus kepailitan Guarantor, terkadang tidak terdapat urgensi bagi

Guarantor untuk dipailitkan. Namun, dengan kondisi peraturan perundang-undangan,

yakni UUKPKPU yang cenderung lebih melindungi kepentingan Kreditor, lembaga

kepailitan tidak lagi berfungsi sebagai salah satu jalan keluar dari kebangkrutan atau jalan

keluar dari ketidakmampuan Debitur untuk membayar hutang-hutang, melainkan

digunakan sebagai salah satu sarana penagihan utang. Dalam konteks penanggungan,

lembaga kepailitan digunakan sebagai sarana bagi Kreditur untuk menagih hutang kepada

Guarantor untuk dengan mudah memperoleh pelunasan, tanpa mempertimbangkan

keadaan keuangan dari Guarantor tersebut sendiri. Dalam kasus PT. Jaya Lestari, upaya

penyelesaian yang ditempuh oleh PT. Jaya Lestari adalah upaya hukum kasasi. Dalam

kaitannnya dengan kasus PT. Jaya Lestari diperlukan pengaturan yang secara khusus dan

komprehensif terkait kedudukan hukum Guarantor dalam kepailitan.

Universitas Sumatera Utara

97

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran terhadap Regulator,

bahwa sangat perlu terdapat kepastian hukum serta kesamaan pendapat mengenai kedudukan

hukum guarantor dalam kepailitan. . Pengaturan terkait Penanggung dalam kepailitan sampai

saat ini masih banyak didasarkan pada yurisprudensi, dan belum diatur dalam peraturan

perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif. Kepastian hukum terkait kedudukan

hukum guarantor dalam kepailitan diperlukan agar tidak terdapat perbedaan penafsiran atas

pengaturan hukum yang berlaku, yang menimbulkan pertimbangan hakim yang saling bertolak

belakang. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hukum, untuk menjamin kepastian hukum, serta

untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, perlu dibentuk

ketentuan yang lengkap mengenai lembaga jaminan berbentuk Penanggungan ini.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Chidir. 1987. Badan Hukum. Bandung: Penerbit Alumni Bahsan, M. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada Djohanshah J. 2003. “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan Hutang”,

dalam Emmy Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum

Friedmann W. 1993. Teori dan Filsafat Hukum Dalam buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori

Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hartini. Rahayu. 2008. Hukum Kepailitan, cet. 2. Jakarta: Kencana Hadisoeprapto, Hartono. 2000. Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, ed. 1, cet.

1. Yogyakarta: Liberty Hoff Jerry. 1999. Indonesian Bankruptcy Law. Jakarta: Tatanusa. Irawan, Bagus.2007. Aspek-Aspek Hukum kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung:

Alumni. Lontoh Rudhy A. dkk. 2001, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni. Lubis. M.Solly. 2010. Diktat Teori Hukum. Medan: USU. Mamudji Sri. Dkk. 2001. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Indonesia Mollengraaf, 2000. Sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam

Dinamika. Jakarta: Penerbit Djambatan Muljadi, Kartini. Gunawan Widjaja, 2004. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada Nemandasari, Dini. 2008. Tanggung Gugat Pihak Penanggung (Borg) Dalam Perjanjian

Penanggungan Akibat Debitur Wanprestasi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Purwoko, Sunu Widi 2011. Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan. Jakarta:

Tim Nine Seasons

Universitas Sumatera Utara

Rahardjo Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti Salim, H. 2005. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada Sinaga M .Syamsudin. 2012. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa Situmorang M. Victor dan Hendri Soekarso. 1993. Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta. Sjahdeni Remy Sutan. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening:Juncto

Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, _____________, 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Sofwan Masjchoen Sri Soedewi. 2003. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum

Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet. 3 Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta. Soekanto Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press Subekti R. 1989. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bandung: Pradnya Paramita. _______________, 1989. Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.

Bandung: PT Citra Ditya Bakti Subhan M. Hadi. 2008. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan.

Surabaya: Kencana Prenada Media Group. Sunarmi,2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta:

Softmedia. Sutarno, 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta. Suyudi, Aria, 2004. Kepailitan di Negeri Pailit. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan

Indonesia Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama Widiarso Arwakhudin, 2009, Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Tesis Fakultas

Hukum Universitas Airlangga Widjaja Gunawan dan Kartini Muljadi. 2002. Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung

Menanggung. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Universitas Sumatera Utara

Widjaja, Gunawan. 2004. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, 2006. Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada Yuhassarie. Emmy, Tri Harnowo. 2004. “Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan

Hukum”, Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.

B. Perundang-Undangan Republik Indonesia tentang Undang-Undang Kepailitan _____________, tentang Undang-Undang Perseroan Terbatas Undang-Undang KUHPerdata UUK-PKPU C. Jurnal dan Internet Badrulzaman D. Mariam. 2000. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum

Bisnis. Volume 11. Elijana S, 2001. “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding

Company”, dalam Penyelesaian Utang-Piutang Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto. Bandung: Alumni

Harahap, Yahya “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, Makalah, Bukti T-3 dalam

perkara Nomor 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST Hasan Djuhaendah. 2000. Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan. Jurnal Hukum

Bisnis Volume 11. Kailimang. Denny, 2001, “Problematik yang Dihadapi Debitur/Kreditur Berkaitan dengan

Personal Guarantee atau Corporate Guarantee Sehubungan Dengan Gugatan Kepailitan”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto. Bandung: Alumni

Nating Imran. Hukum Kepailitan, http//artikelhukumku.blogspot.com//, diakses tanggal 15 Juni

2012.

Universitas Sumatera Utara

Radin, 1993. The Nature of Bankruptcy, (1940) sebagaimana dikutip dalam David G. Epstein,

Steve H. Nickles, dan James J. White (ed.), Bankruptcy, (West Publishing Co.: Minnesota)

Sani, Asrul. 2004. Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Jaminan

Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana dikutip dalam Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta

Wawancara Ibrahim Senen, pada tanggal 19 Juni 2015.

Universitas Sumatera Utara