akibat hukum terhadap penanggung utang sebagai …
TRANSCRIPT
AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PRUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS
KREDITUR MENURUT KEPALITAN (STUDI KASUS PT JAYA LESTARI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Menggapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH
KRISTINA NATALIA NABABAN
130200215
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
2018
Universitas Sumatera Utara
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya saya bisa menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya skripsi ini berjudul ‘‘AKIBAT HUKUM TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN YANG DINYATAKAN PAILIT ATAS KREDITUR MENURUT PERATURAN KEPAILITAN ‘‘ ( STUDI KASUS PT JAYA LESTARI ) Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara .
Saya menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan ,Sehingga kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan agar dapat menjadi perbaikan dimasa yang akan datang .
Dan pada kesempatan berbahagia ini dengann penuh kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar besarnya kepada :
1. Bapak prof .Dr. Runtung Sitepu S.H.,M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatra Utara . 2. Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hkum Universitas
Sumatra Utara . 3. Bapak Dr. Saidin , S.H,.H.Hum ,selaku Pembantu Dekan I ,Fakultas Hukum Universitas
Smatra Utara . 4. Ibu Puspa Melati S.H ., M.Hum salaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Sumatra Utara . 5. Bapak Dr. Jelly Leviza , S.H.,M.Hum selaku Wakil Dekan III F akultas Hukum
Universitas Sumatra Utara 6. Bapak Prof.Dr.Bismar Nasution , S.H.,M.H., selaku Ketua Hukum Departemen Ekonomi 7. Ibu Prof.Dr Sunarmi ,S.H.,MH. selaku Dosen Pembimbing I . Terimakasih banyak atas
saran , arahan dan masukan yang membangun dalam setiap bimbingan , serta waktu yang ibu berikan sehingga saya menyelesikan skripsi ini .
8. Ibu Tri Murti Lubis, S.H.,MH. Selaku Dosen Pembimbing II Dan juga Seketaris Departemen Hukum Ekonomi .Terimakasih atas bimbingan ,saran ,nasihat ,dan ilmu yang ibu berikan selama ini disetiap bimbingan dengan penuh kesabaran hingga skripsi ini ( My fav dosen )
9. Seluruh Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara yang telah mengajar dan memberikan ilmu yang terbaik , serta membimbing penulis selama menjalani studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara .
10. Kepada Orangtua penulis yang saya sayangi yang tidak lelahnya meberikan semangat dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan perkuliahan ini .
11. Kepada bg Dede dan bg Ecis yang tidak lelahnya memberikan semangat dan doa kepada penulis selama perkuliahan ini . Merekalah sumber inspirasi dan motivasi terbesar penulis
Universitas Sumatera Utara
ii
untuk menjalani pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan strata satu ( SI )
12. Kepada bg Mamen , bg Simon , bg Jijong , Wendi , Kak tua , kak Vero , kak Duma . 13. Kepada bg Wanson Purba ( ONSON ) yang tiada lelahnya meberikan semangat dan doa
kepada penulis selama pengerjaan skrpisi ini dari awal hingga akhir . yang selalu sabar menemani penulis dan paling cerewet ketika penulis malas untuk mengerjak skrpisi ini .
14. Kepada teman – teman seperjuangan yang telah membantu dan memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skrpisi ini dengan baik
15. Seluruh pihak yang telah membantu baik baik selama perkuliahaan maupun penulisn skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu . Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, Maret 2018 Penulis
Universitas Sumatera Utara
iii
ABSTRAK
Akibat Hukum Terhadap Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan Yang Dinyatakan pailit Atas Kreditur Menurut Peraturan Kepailitan
(Studi Kasus PT Sari Jaya Lestari)
Pengaturan yang mengatur secara spesifik terhadap kedudukan hukum guarantor dalam kepailitan, terutama guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagai Penanggung. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum, tercermin dalam perbedaan pendapat ahli hukum serta perbedaan penafsiran Hakim terkait kedudukan hukum guarantor. Tujuan analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui kedudukan hukum Penjamin yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam kepailitan serta untuk mengetahui penyelesaian terkait permasalahan hukum dimana Corporate Guarantor dipailitkan terlebih dahulu tanpa dipailitkannya Debitur dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus Pailit/2014 Tahun 2014.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data melalui penelusuran dokumen-dokumen maupun buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. Alat pengumpulan data yang dipergunakan berupa dokumen. Teknik analisis data yang dipakai adalah teknik analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan yang berlaku saat ini juga memungkinkan bagi guarantor untuk dipailitkan tanpa dipailitkannya Terjamin atau Debitur-utama. Sebagai studi kasus, dalam skripsi ini diteliti perkara kepailitan PT. Jaya Lestari yang dinyatakan pailit dalam kedudukan hukumnya sebagai guarantor. Kata Kunci :Kepailitan, Corporate Guarantor, Kedudukan Hukum.
Universitas Sumatera Utara
iv
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................. ii
ABSTRAKSI ................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .......................................... 6
D. Keaslian Penulisan ........................................................... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ...................................................... 8
F. Metode Penulisan............................................................19
G. Sistematika Penulisan......................................................22
BAB II Kepailitan Dalam Sistem Hukum Di Indonesia ...............24
A. Tinjauan Umum Konsep Kepailitan .................................24
B. Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan ..............28
C. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit .........................32
D. Penyelesaian Hukum Berakhirnya Kepailitan ...................41
BAB III Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan
Atas Kreditur ................................................................50
A. Tinjauan Umum Mengenai Konsep Jaminan ....................50
B. Jenis-Jenis Penanggungan Utang .....................................58
Universitas Sumatera Utara
v
C. Hubungan Hukum Antar Pihak dalam
Penanggungan Utang ......................................................67
D. Hapusnya Penanggung Utang ..........................................79
BAB IV Akibat Hukum Atas Penyataan Pailit Terhadap
Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan
(Studi Kasus PT. Sari Jaya Lestari) ..............................81
A. Kasus Kepailitan PT Sari Jaya Lestari..............................81
B. Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan yang
Melepaskan Hak Istimewanya dalam Kepailitan...............88
C. Akibat Hukum Atas Pernyataan Pailit
PT. Sari Jaya Lestari ..................................................... 102
BAB V PENUTUP .................................................................... 110
A. Kesimpulan .................................................................. 110
B. Saran ............................................................................ 112
DAFTAR PUSTAKA.................................................................. 113
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sektor perekonomian, konsep penjaminan atau penanggungan merupakan konsep yang
tidak asing terdengar lagi. Fasilitas kredit atau jaminan menjadi kebutuhan masyarakat yang
menjalankan kegiatan di bidang perdagangan, perindustrian, perseroan, pengangkutan, dan
kegiatan-kegiatan dalam proyek pembangunan. Kegiatan-kegiatan tersebut memerlukan fasilitas
kredit dalam usahanya, mensyaratkan untuk adanya jaminan bagi pemberian kredit tersebut demi
keamanan modal dan kepastian hukum bagi si pemberi modal. Di sinilah arti penting dari
lembaga jaminan1. Jaminan secara hukum mempunyai fungsi sebagai sarana perlindungan bagi
para kreditur berupa pemberian kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu
prestasi oleh debitur2
Jaminan ini terbagi menjadi dua golongan, yakni Jaminan Kebendaan dan Jaminan
Perorangan (borgtocht). Dalam jaminan kebendaan, objek jaminan berupa harta kekayaan yang
diberikan dengan memisahkan bagian dari harta kekayaan debitur maupun pihak ketiga, guna
menjamin pemenuhankewajiban-kewajiban debitur apabila debitur yang bersangkutan cidera
janji atau wanprestasi. Sedangkan dalam jaminan perorangan (borgtocht), objek jaminan yang
diberikan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga guna menjamin
pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur kepada kreditur apabila debitur yang bersangkutan
.
1 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, cet. 3 (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003), hal. 2. 2 Djuhaendah Hasan, Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan, Jurnal Hukum Bisnis (Volume
11, 2000), hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
2
wanprestasi3
Faktor jaminan menjadi faktor yang sangat penting bagi kreditor yang memerlukan
kepastian bahwa pinjaman yang diberikan itu akan dilunasi oleh debitor sesuai dengan janji yang
diberikan secara tepat
. Dalam KUH Perdata, ketentuan terkait penjaminan atau penanggungan diatur
dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850.
4
Dalam hal timbulnya suatu kredit macet antara Kreditur dan Debitur, pada hakikatnya
kepailitan tidak jarang menjadi pranata yang digunakan dalam dunia usaha, sebagai jalan keluar
dari penyelesaian proses utang-piutang yang macet. Kepailitan merupakan sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU) sendiri pada dasarnya tidak mengatur
secara khusus mengenai pihak yang dapat dinyatakan pailit. UUKPKPU hanya mengkategorikan
pihak yang dapat dinyatakan pailit dengan sebutan “debitur”. Bahwa yang dapat dinyatakan
pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih
kreditornya
. Dengan adanya jaminan perorangan, maka pihak kreditur dapat menuntut
kepada penjamin untuk membayar utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk
membayar utangnya tersebut.
5
3 Mariam Darus Badrulzaman, Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum Bisnis
(Volume 11, 2000), hal. 11. 4 J. Djohanshah, “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan Hutang”, dalam Emmy
Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2003), hal. 65 5Indonesia (1), Undang-Undang Kepailitan, LN Nomor 131 Tahun 2004, TLN 4443, 2004, Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004, Ps 2 ayat (1).
.
Universitas Sumatera Utara
3
Penjamin sebagai pihak yang memberikan jaminan merupakan pihak yang dapat diminta
pertanggungjawabannya apabila debitor tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Dalam
pemberian jaminan, seorang penjamin atau guarantor memiliki hak istimewa yang terdiri atas
hak untuk meminta agar harta benda debitur disita dan dilelang terlebih dahulu untuk melunasi
utang kepada kreditur 6 serta hak untuk meminta kepada kreditur pemecahan piutang dalam hal
terdapat lebih dari seorang penanggung7
Kasus yang berkaitan dengan kedudukan hukum dari seorang Perusahaan Jaminan
(Corporate Guarantor) dalam kepailitan, salah satunya terdapat dalam Putusan Mahkamah
Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Tahun 2014. Dalam putusan tersebut, PT. Rabobank
Indonesia mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Jaya Lestari yang berkedudukan sebagai
Corporate Guarantor dari PT. Golden Harvestindo, yang notabenenya merupakan debitur dari
PT Rabobank Indonesia berdasarkan sejumlah facility agreement. Dalam kedudukannya sebagai
. Pemberian hak-hak istimewa tersebut merupakan suatu
bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang terhadap penjamin/guarantor.
Penjamin diberikan kebebasan untuk mempertahankan atau untuk melepaskan hak istimewanya
tersebut.
Dengan dilepaskannya hak-hak istimewa Penjamin, maka dapat disimpulkan bahwa
Penjamin tidak dapat menuntut agar benda-benda Debitur terlebih dahulu disita dan dijual. Di
sisi lain dalam proses kepailitan, hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum akan kedudukan
Penjamin, sebab dimungkinkan diajukannya gugatan kepailitan kepada Penjamin sebagai Debitur
tanpa adanya suatu penetapan kepailitan terlebih dahulu atas harta Debitur Utama/Terjamin.
Kedudukan Penjamin yang telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagai debitur pailit menjadi
dipertanyakan dan perlu untuk diperjelas.
6 R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita, 1989), Pasal 1831. 7Ibid., Pasal 1837 BW
Universitas Sumatera Utara
4
Corporate Guarantor, PT. Jaya Lestari secara tegas dalam Perjanjian Penjaminan telah
melepaskan hak hak istimewanya. Saat terjadi wanprestasi, PT. Rabobank Indonesia selaku
kreditur, tidak hanya menggugat pailit PT. Golden Harvestindo, namun juga menggugat pailit PT
Jaya Lestari. Pada tingkat pertama, permohonan pailit atas PT. Jaya Lestari dikabulkan.
Permohonan terhadap PT. Jaya Lestari dikabulkan pada tingkat pertama meskipun permohonan
pailit atas PT Golden Harvestindo selaku debitur utama telah ditolak di Pengadilan Niaga
maupun oleh Mahkamah Agung pada tingkat Peninjauan Kembali. Sementara permohonan
kepailitan yang diajukan terhadap PT. Jaya Lestari dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Surabaya,
meskipun setelah itu kepailitannya dibatalkan di tingkat Kasasi oleh Mahkamah Agung.
Penetapan pailit dalam hal ini dinyatakan terhadap guarantor meskipun debitur utama, yakni PT.
Golden Harvestindo tidak dinyatakan pailit dan terhadapnya belum dilakukan tindakan hukum
terkait dengan penyelesaian kewajibannya.
Putusan ini merupakan satu diantara banyak putusan kepailitan yang menunjukkan
perbedaan persepsi terkait kedudukan hukum dari Guarantor dalam proses kepailitan. Dimana
sampai saat ini belum terdapat pengaturan yang spesifik menjelaskan terkait kedudukan hukum
Guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam kepailitan. Terlebih terhadap
kedudukan hukum Corporate Guarantor dalam kepailitan, mengingat bentuknya sebagai badan
hukum, yang pada umumnya berbentuk Perseroan Terbatas, Guarantor dalam hal ini
menjalankan suatu usaha atau bisnis, dimana putusan pailit terhadapnya dapat berdampak
terhadap keeksistensian Perusahaan sebagai suatu badan usaha.
Berdasarkan uraian diatas Penulis bermaksud menulis Skripsi dengan judul “Akibat
Hukum Terhadap Penanggung Utang Sebagai Jaminan Perusahaan yang Dinyatakan
Pailit Atas Kreditur Menurut Peraturan Kepailitan (Studi Kasus PT. Sari Jaya Lestari)”.
Universitas Sumatera Utara
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut
:
1. Bagaimana pengaturan hukum tentang penanggung utang menurut peraturan perundang-
undangan?
2. Bagaimana Pengaturan Kepailitan Dalam Sistem Hukum di Indonesia ?
3. Bagaimana akibat hukum dimana Guarantor ditetapkan pailit tanpa terdapatnya penetapan
pailit terhadap Terjamin atau Debitur Utama , terkait dengan kasus PT. Sari Jaya Lestari
dalam perkara Putusan Mahkamah Agung Nomor 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Tahun 2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah meliputi tujuan umum dan
tujuan khusus:
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum dari penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan praktis, yaitu
untuk memenuhi kebutuhan akan masukan bagi pembentukan perangkat hukum, terutama dalam
bidang hukum kepailitan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan
lebih terkait kedudukan hukum Penjamin ditinjau melalui Hukum Kepailitan.
b. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus dari penulisan ini adalah untuk mengetahui kedudukan hukum Penjamin
yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dalam kepailitan serta untuk mengetahui
penyelesaian terkait permasalahan hukum dimana Corporate Guarantor dipailitkan terlebih
Universitas Sumatera Utara
6
dahulu tanpa dipailitkannya Debitur dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor
158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Tahun 2014.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan tersebut di atas, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai
hal di antaranya:
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis
dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum kepailitan.
b. Secara Praktis
Penelitian diharapkan bermanfaat untuk :
1. Memberikan sumbangan kepada penegak hukum terutama dalam menyelesaikan masalah
hukum yang berkenaan dengan hukum dengan hukum kepailitan.
2. Dengan adanya penelitian ini maka Penulis dapat memberikan gambaran hukum tentang
bagaimana hak istimewa dalam perjanjian pemberian garansi oleh induk perusahaan
terhadap anak perusahaan dalam kepailitan.
3. Memberikan pemahaman kepada insan perbankan terkait dengan dimungkinkanya
corporate guarantee dapat ikut serta dimohonkan pailit.
D. Keaslian Penulisan
Penelusuran kepustakaan, khususnya di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara penelitian tentang “Akibat Hukum Terhadap Penanggung Utang Sebagai
Jaminan Perusahaan Yang Dinyatakan pailit Atas Kreditur Menurut Peraturan
Universitas Sumatera Utara
7
Kepailitan (Studi Kasus PT. Sari Jaya Lestari)” tidak ditemukan judul penelitian yang sama,
dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional
dan objektif serta terbuka, keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Penulis juga telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di
Perpustakaan Fakultas Hukum USU. Hal ini dapat mendukung tentang keaslian penulisan.
E. Tinjauan Kepustakaan
Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan kepadannya untuk bertindak dalam rangka kepentingan
tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan kekuasaan
dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak setiap
kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang
menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang. Salah satu filosofi hukum kepailitan ialah
adanya nilai keadilan sehingga hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberi
manfaat, kegunaan dan kepastian hukum8
1. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu
hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti.
.
Keadilan menurut Aristoteles ialah perlakuan yang sama bagi mereka yang sederajat di
depan hukum, tetap menjadi urusan tatanan politik untuk menentukan siapa saja yang harus
diperlakukan sama atau sebaliknya. Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah
bahwa :
8 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal.53.
Universitas Sumatera Utara
8
2. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti persamaan
hak9
Untuk memperjelas ukuran keadilan sebagaimana yang diutarakan dari pendapat
Aristoteles di atas, maka debitur utama menuangkan ketentuan hak dankewajiban pemberi
garansi/penjaminan dalam bentuk perjanjian yang dinamakan dengan Perjanjian Pemberi
Garansi/Penjaminan yang memuat persetujuan dimana seorang pihak ketiga guna kepentingan si
berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatanya si berutang manakala orang itu sendiri
tidak memenuhinya (Pasal 1820 KUHPer). Dalam hal ini seorang pihak ketiga yang dimaksud
disini adalah Corporate Guarantee(CG) yang secara sukarela mengikatkan diri sebagai penjamin
yang akan memenuhi kewajiban debitur utama apabila si debitur utama lalai atau tidak mampu
lagi melaksanakan kewajibanya kepada kreditur. Perjanjian Pemberian Garansi/Penjaminan ini
berlaku mengikat dan sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya
.
10
Aristoteles juga mengemukakan dua macam keadilan yaitu:
.
Dengan kata lain antara debitur utama dengan CG memiliki kedudukan yang sama
terhadap kreditur.
11
1. Keadilan Disitributif yaitu keadilan yang memberikan kepada setiap orang jatah menurut
jasanya, ia tidak dibenarkan menuntut bagian yang sama banyaknya.
2. Keadilan Komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya
tanpa mengingat jasa-jasa perorangan.
Menurut W. Friedman, suatu undang-undang haruslah memberikan keadilan yang sama
kepada semua walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi tersebut.12
9Ibid. 10 Pasal 1338 KUHPerdata. 11M.Solly Lubis, Diktat Teori Hukum, (Medan: USU, 2010), hal.24
Hal
Universitas Sumatera Utara
9
ini menjadi dasar pertimbangan bagi CG dan debitur utama untuk mengetahui lebih jelas hak dan
kewajibannya sebagaimana tertuang dalamPerjanjian Pemberian Garansi/Penjaminan. Perjanjian
ini dapat memberikan keadilan yang sama terhadap CG dan debitur utama walaupun terdapat
perbedaan-perbedaan pemenuhan kewajiban-kewajiban antara pribadi-pribadi dalam memenuhi
kewajiban terhadap kreditur sebagaimana yang dimaksud oleh pendapat Friedmann di atas.
Dengan adanya perjanjian pemberian garansi/jaminan tersebut maka sebagaimana
ketentuan dari Pasal 1832 ayat 1 KUHPer yang menyatakan “Pengajuan permohonan pernyataan
pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk
menuntut supaya benda-benda atau harta kekayaan debitur disita dan dijual terlebih dahulu”.
Telah berlaku bagi CG oleh karena CG telah melepaskan hak istimewanya dengan adanya
perjanjian pemberian garansi/penjaminan tersebut. Dengan kata lain antara CG dan debitur
utama telah memiliki kedudukan yang sama. Teori keadilan digunakan untuk menganalisis
apakah perjanjian pemberian garansi telah memberikan keadilan bagi Kreditur, Debitur dan CG.
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-
PKPU) Nomor 37 Tahun 2004 lahir bertujuan untuk kepentingan dunia usaha dalam
menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Kepailitan
merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan dalam hal ini pengadilan niaga,
dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya.13
12 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Dalam buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum,
diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hal.7 13Imran Nating, Hukum Kepailitan, http//artikelhukumku.blogspot.com//, diakses tanggal 15 Juni 2012.
Bila debitur mempunyai banyak
kreditur dan harta kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar lunas semua hutang kepada
kreditur, maka para kreditur akanberlomba dengan segala cara baik yang halal maupun tidak,
untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu.
Universitas Sumatera Utara
10
Kreditur yang datang belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena
harta debitur sudah habis, hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal
inilah yang menjadi maksud dan tujuan UUK-PKPU14
1. Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan diantara pemegang klaim
melawan debitur atau kekayaan debitur.
. Dengan lahirnya UUK-PKPU diharapkan
antara debitur dan kreditur dapat mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka
masing-masing sehingga terwujudlah keadilan diantara mereka, karena salah satu filosofi hukum
kepailitan tersebut adanya nilai keadilan. Dengan Lahirnya UUK-PKPU, pertanyaan berapa
besar pembagian piutang kepada kreditur telah diatur yaitu antara lain:
2. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta di dalam proses pembagian
mungkin dipertemukan.
3. Peraturan menentu kan siapa yang diprioritaskan, diantarapenagih-penagih, akan
mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa15
Ketiga pertimbangan yang telah diuraikan di atas memungkinkan bahwa kreditur
tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai pengganti rencana
pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditur tunggal. Bagaimanapun para kreditur
akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatusistem yang mengikat semua kreditur
lain. Untuk mengijinkan debitur membuat perjanjian dengan kreditur lain yang akan memilih ke
luar daripada kerangka penyelesaian.
.
Hal ini sesuai dengan asas yang terkandung dalam undang-undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang berisi antara lain
adalah :
14 Rudhy A. Lontoh, et.al.,Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal.75-76.
15Ibid.
Universitas Sumatera Utara
11
1. Asas Keseimbangan
Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas
keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya
penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitur yang tidak jujur, di lain
pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan
lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan Usaha.
Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan kelangsungan usahan
bagi perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan.
Dalam Kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai
kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas
keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenangan-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap debitur dengan tidak
mempedulikan kreditur lainnya.
4. Asas Integrasi
Asas integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formal dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional16
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan untuk memantapkan keyakinan kreditur bahwa
debitur akan secara nyata mengembalikan pinjamanya setelah jangka waktu pinjaman berakhir,
dalam hukum terdapat beberapa asas menyangkut jaminan. Asas yang pertama menentukan
.
16 Penjelasan Umum UUK-PKPU.
Universitas Sumatera Utara
12
apabila debitur ternyata pada waktunya tidak melunasi utangnya kepada kreditur karena suatu
alasan tertentu, maka harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari menjadi agunan atau jaminan
utangnya yang dapat dijual untuk menjadi sumber pelunasan utang itu. Asas ini dituangkan
dalam Pasal 1131 KUHPerdata (KUHPer) yang berbunyi: “segala harta kekayaan debitur, baik
yang bergerak maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi jaminan untuksegala
perikatan debitur”17
Pasal 1131 KUH Perdata menentukan harta kekayaan debitur bukan hanya untuk
menjamin kewajiban melunasi utang kepada kreditur yang diperoleh dari perjanjian kredit
diantara mereka, tetapi untuk menjamin semua kewajiban yangtimbul dari perikatan debitur.
Oleh karena Pasal 1131 KUH Perdata menentukan semua harta kekayaan (asset) debitur menjadi
agunan bagi pelaksanaan kewajibannya bukan kepada kreditur tertentu saja tetapi juga semua
kreditur lainya, maka perlu ada aturan main tentang cara membagi aset debitur itu kepada para
krediturnya apabila aset itu dijual karena tidak dapat membayar utang-utangnya. Aturan main itu
ditentukan oleh Pasal 1132 KUH Perdata yang merupakan asas kedua yang menyangkut
jaminan
.
18
Pasal 1132 KUH Perdata menyatakan : “kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-
sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, secara garis besar dikenal 2 (dua) macam bentuk
jaminan, yaitu jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan tersebut terbagi
.
17 Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, hal.4-5. 18Ibid, hal.4-5.
Universitas Sumatera Utara
13
atas dua jenis, yaitu jaminan yang dilakukan oleh pribadi (personal guarantee) dan pemberian
garansi yang dilakukan oleh badan hukum CG.
Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip yang sama dimana hak dan kewajiban yang
dimiliki pemberi garansi (penjamin) pada kedua jenis penanggungan tersebut identik, hanya saja
subjek pelakunya berbeda19.Bila CG subjeknya berupa badan usaha berbadan hukum maupun
badan usaha yang tidak berbadan hukum.Keberadaan penjamin disini personal guarantee
maupun CG berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penjamin), bahwa debitur dapat
dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dan penjamin bersedia untuk
melaksankan kewajiban debitur tersebut bila debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Dengan
adanya garansi/jaminan ini, pihak kreditur dapat menuntut kepada penjamin untuk membayar
utang debitur bila debitur lalai atau tidak mampu untuk membayar utangnya tersebut20.Jadi CG
berperan sebagai penjamin/guarantor bagi debitur pailit yang apabila debitur pailit tidak
membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditur dapat menuntut eksekusi atas
benda yang telah dijaminkan oleh debitur pailit tersebut untuk melunasi utangnya, sedangkan
dalam hal penjaminnya/guarantornya adalah CG, maka apabila debitur pailitnya tidak mampu
melaksanakan kewajibanya maka guarantor tersebut bersedia melaksanakan kewajiban dari
debitur pailit tersebut. Dengan adanya jaminan tersebut maka pihak kreditur dapat menuntut
kepada penjamin/guarantor untuk membayar utang debiturpailit bila debitur pailit lalai atau tidak
mampu lagi membayar utangnya tersebut21
Berkaitan dengan pemberian garansi/jaminan dalam perusahaan yang biasanya
dilakukan oleh penjamin/guarantor dalam perjanjian pemberian kredit, maka dengan adanya
.
19 Adrian Sutedi, Op.cit, hal.151. 20 Salim, H.S, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Hal
21. 21 Djuhaendah Hasan danSalmidjas Salam, Aspek Hukum Hak Jaminan Perorangan dan Kebendaan,
Jakarta, 2010.
Universitas Sumatera Utara
14
perjanjian pemberian garansi/jaminan, penjamin/guarantor dapat melakukan kewajiban debitur
apabila debitur tidak dapat melakukan kewajibannya terhadap kreditur dan apabila penjamin
tidak dapat melakukan kewajibanya maka penjamindapat pailit oleh kreditur. Jadi kepailitan
perusahaan sebagai debitur utama sangat berpengaruh kepada penjamin/guarantor. Namun
penjamin/guarantor dalam hal ini mempunyai hak istimewa sehingga hak istimewa
penjamin/guarantor ini membawa akibat hukum bahwa penjamin/guarantor tidak diwajibkan
untuk melunasi kewajiban debitur kepada kreditur sebelum harta kekayaan debitur pailit disita
dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Apabila hasil penjualan tidak cukup untuk
melunasi hutangnya debitur, berarti penjamin/guarantor hanya akan melunasi sisa kewajiban
debitur yang belum dipenuhinya kepada kreditur22
Berdasarkan perjanjian pemberian kredit yang termasuk dengan perjanjian pemberian
jaminan maka penjamin/guarantor dalam hal ini CG memiliki peran yang sama dengan debitur
pailit bila sewaktu-waktu debitur pailit lalai dalam melaksanakan kewajiban melakukan
pembayaran utang, dan dengan demikian ketentuan yang diatur dalam Pasal 24 UUK-PKPU
telah berlaku, dimana dalam Pasal 24 UUK-PKPU telah memuat dengan jelas bahwa dengan
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaanya yang
dimasukkan dalam harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan kata lain
penjamin dalam hal ini CG yang dinyatakan pailit tidak lagi dapat melakukan bisnis untuk dan
atas nama pribadinya. Dalam KUHPerdata dalam Pasal 1831 sampai dengan Pasal 1850, dari
ketentuan Pasal dalam KUHPerdata tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin
ataupenanggung adalah juga seorang debitur yang berkewajiban melunasi utang debitur kepada
.
22Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan TanggungMenanggung,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal.24.
Universitas Sumatera Utara
15
krediturnya apabila tidak membayar utang apabila sudah jatuh waktu23
23 Sutan Remi Sjahdeini, Op.cit, hal.98.
. Demikian halnya dengan
teori keadilan dengan adanya perjanjian pemberian jaminan, kedudukan antara CG dan debitur
pailit memiliki kedudukan yang sama, dan guarator haruslah bertindak sebagai pihak yang
melunasi kewajiban debitur bila si debitur gagal dalam melunasi hutangnya.
Berdasarkan hal tersebut maka para pihak memiliki hak dan kewajiban yang sama dan
tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan merupakan persamaan hak dan
seseorang tidak boleh melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti “lawfull” yaitu
hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti seperti yang tertulis dalam
perjanjian pemberian jaminan yang mana ketentuan ini merupakan pernyataan Aristoteles
dengan teori keadilannya.
Berdasarkan asas yang terdapat dalam kepailitan, dapat dimaknai bahwa penggunaan
Pasal 1831 ayat 1,2,3,4 dan ayat 5 KUH Perdata dalam hal pemberian jaminan adalah berlaku
oleh karena adanya asas dalam kepailitan yaitu asas integrasi yang menyatakan terkait hukum
materiilnya, hukum perdata merupakan satu kesatuan dengan UUK-PKPU, sehingga guarantoor
wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang jo.Pasal 1831 ayat
1,2,3,4, dan ayat 5 KUH Perdata.
Berdasarkan penjelasan di atas maka untuk memperjelas istilah-istilah yang digunakan
penulis dalam hal ini Pentingnya defenisi sebagai bentuk tinjauan pustaka penulisan adalah untuk
menghindarkan pengertian atau penafsiran yang berbeda dari satu istilah yang dipakai. Oleh
karena itu, dalam penulisan skripsi ini dirumuskan konsepsi sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
16
1. Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak
ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan24
2. Penanggung atau Penjamin atau Guarantor adalah seorang pihak ketiga, yang guna
kepentingan si kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitur, apabila
debitur tidak memenuhi kewajibannya.
.
3. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur oleh undng-undang ini25
4. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang
yang dapat ditagih di muka pengadilan.
.
5. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang
pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.
6. Utang adalah Kewajiban yang dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang
Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di
kemudian hari atau kontingen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor
untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur26
.
24Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., hal. 12 25 Indonesia (1), Op. Cit., Ps. 1 angka (1) 26 Indonesia (1), op. cit., Ps. 1 angka (6)
Universitas Sumatera Utara
17
F. Metode Penulisan
Bentuk penelitian yang akan dipaikai oleh penulis adalah menggunakan bentuk
penelitian yuridis normatif27yang diartikan sebagai penelitian yangmengacu pada norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan28
Tipologi penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dari sudut sifatnya ialah
penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat suatu individu,
keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi suatu gejala
.
Alasan penggunaan penelitian hukum normatif ialah penelitian ini mengacu pada norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku dan
mengikat masyarakat serta beberapa teori-teori pendukung lainnya.
29
27 Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau yang lebih dikenal dengan penelitian
yuridis normatif pada dasarnya merupakan penelitian yang terdiri dari: a. penelitian terhadap asas-asas hukum; b. penelitian terhadap sistematika hukum; c. penelitian terhadap sinkronisasi hukum; d. penelitian sejarah hukum; dan e. penelitian perbandingan hukum.
28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm. 43 29 Sri Mamudji et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Indonesia, 2001), hal. 4.
dimana
penelitian ini memaparkan mengenai penerapan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata serta ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Jenis data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yakni
melalui studi dokumen, yaitu mencari dan mengumpulkan data berdasarkan data yang tertulis
seperti buku-buku, peraturan-peraturan, dokumen-dokumen resmi, hasil-hasil penelitian yang
berbentuk laporan, dan seterusnya.
Selain itu, penulis dalam penelitian ini menggunakan bahan hukum penelitian berupa:
Universitas Sumatera Utara
18
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat30
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer
, antara lain terdiri atas
peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait kepailitan, antara lain Failissement
Verordening (FV), Perpu Nomor 1 Tahun 1998, dan khususnya Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Serta
peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Penjamin atau Guarantor, yaitu
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
31
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus
.Bahan hukum sekunder tersebut antara lain berupaputusan Pengadilan Niaga serta
Mahkamah Agung yang berkaitan dengan kepailitan Penjamin atau Guarantor.
32
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data berupa studi
dokumen. Data yang disajikan oleh peneliti adalah data deskriptif, dimana menjelaskan terkait
dengan kedudukan serta tanggung jawab hukum Penjamin yang telah melepaskan hak-hak
istimewanya dalam suatu proses kepailitan. Studi dokumen atau bahan pustaka berfungsi untuk
memberikan fakta-fakta yang secara tidak langsung memberikan suatu pemahaman atas
permasalahan yang sedang kita teliti
.
33
Metode analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif
.
34
30 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 52. 31Ibid. 32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, 2001, Jakarta, hal. 9. 33Ibid. hlm. 66 34Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2003), hal : 116.
, sebagai hasil
pengumpulan data melalui data sekunder, yaitu studi terhadap dokumen sehingga hasil dari
analisa tersebut dapat ditarik kesimpulan yang dikaitkan dengan teori-teori, konsep yang
Universitas Sumatera Utara
19
mempunya relevansi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah.
Tujuannya ialah untuk menggambarkan sejelas-jelasnya mengenai pengaturan terkait kedudukan
hukum CG dalam kepailitan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
penerapannya dalam putusan hakim.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab Pendahuluan Penulis akan memaparkan latar belakang, pokok
permasalahan, definisi operasional, tujuan penulisan, dan metode penulisan.
BAB II KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Tinjauan Umum Konsep
Kepailitan, Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan, Akibat Hukum
Putusan Pernyataan Pailit dan Penyelesaian Hukum Berakhirnya Kepailitan.
BAB III PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN ATAS
KREDITUR
Pada bab ini akan membahas mengenai Tinjauan Umum Mengenai Konsep
Jaminan, Jenis-Jenis Penanggungan Utang, Hubungan Hukum Antar Pihak dalam
Penanggungan Utang dan Hapusnya Penanggung Utang.
BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PENYATAAN PAILIT TERHADAP
PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN (STUDI
KASUS PT SARI JAYA LESTARI)
Universitas Sumatera Utara
20
Pada bab ini akan membahas mengenai Kasus Kepailitan PT Sari Jaya Lestari,
Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan Yang Melepaskan Hak Istimewanya
dalam Kepailitan dan Akibat Hukum Atas Pernyataan Pailit PT. Sari Jaya Lestari.
BAB V PENUTUP
Pada bab ini penulis akan membahas mengenai Kesimpulan dan Saran, yaitu hasil
dari analisis yang merupakan jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan
judul penulisan skripsi ini, serta saran yang dapat bermanfaat sehubungan
dengan permasalahan yang terjadi kepada pihak-pihak terkait.
Universitas Sumatera Utara
21
BAB II
KEPAILITAN DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Konsep Kepailitan
Secara etimologi, istilah kepailitan berasal dari kata “pailit”. Bila ditelusuri lebih
mendasar, istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda,Perancis, Latin, dan
Inggris, dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam bahasaBelanda, pailit berasal dari kata
“failliet” yang mempunyai arti ganda, yaitusebagai kata benda dan kata sifat. Dalam bahasa
Perancis, pailit berasal dari kata“faillite” yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran.
Dalam bahasaInggris dikenal kata “to fail” dengan arti yang sama; dalam bahasa Latin
disebut“faillute”. Di Negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan diwakili
dengan kata-kata “bankrupt” dan “bankruptcy”35
Bankruptcy is a general statutory attachment encompassing all the assets of the debtor. The bankruptcy only covers the assets. The personal status of an individual will not be affected by the bankruptcy; he is not placed under guardianship. A company also continues to exist after the declaration of bankruptcy. During the bankruptcy proceedings, act with regard to the bankruptcy estate can only be performed by the receiver, but other acts remain part of the domain of the debtor’s corporate organs
.
Jerry Hoff menggambarkan kepailitan sebagai:
36
Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untukselanjutnya disingkat
menjadi “UUK-PKPU”), dapat diketahui bahwa kepailitanadalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan danpemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
.
35 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia, Jakarta: Rineka
Cipta, 1993, hal. 18. 36 Jerry Hoff, Indonesian Bankruptcy Law, (Jakarta: Tatanusa, 1999), hal. 11, seperti dikutip oleh M. Hadi
Shubhan, Huku m Kepailitan: Prinsip Norma, dan Praktik di Pengadilan, Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
22
pengawasan hakim pengawassebagaimana diatur dalam undang-undang ini.Dikatakan sita
umum, karena sita tersebut bukan untuk kepentingan seorangatau beberapa orang kreditor,
melainkan untuk semua kreditor atau dengan katalain untuk mencegah penyitaan dari eksekusi
yang dimintakan oleh kreditor secaraperorangan.
Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai harta debitor, bukan
pribadinya. Jadi ia tetaplah cakap untuk melakukan perbuatan hukum kekayaan misalnya hak
sebagai keluarga, hak yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya37
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari
persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak
mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-utang tersebut kepada para kreditornya.
Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo
tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status
pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang
memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila
kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar
utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy)
.
38
Ketentuan kepailitan merupakan aturan yang mempunyai tujuan untuk melakukan
pembagian harta Debitor kepada Para Kreditornya dengan melakukan sita umum terhadap
seluruh harta Debitor yang selanjutnya dibagikan kepada Kreditor sesuai dengan hak
proporsinya.
.
39
37 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 7. 38 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan, (Surabaya: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hal. 3. 39Ibid., hal. 67.
Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan Debitor oleh Kurator kepada semua
Universitas Sumatera Utara
23
Kreditor dengan memperhatikan hak-hak mereka masing-masing.40
Debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada Kreditor tersebut.
Dalam hal seorang Debitor
hanya mempunyai satu Kreditor dan Debitor tidak membayar utangnya dengan sukarela, maka
Kreditor akan menggugat Debitor secara perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang dan
seluruh harta.
41Hasil bersih
eksekusi harta Debitor dipakai untuk membayar Kreditor tersebut. Namun, dalam hal terdapat
banyak Kreditor dan harta kekayaan Debitor tidak cukup untuk membayar lunas semua
Kreditornya, maka para Kreditor akan berlomba dengan segala cara, baik yang halal maupun
tidak untuk mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Hal itu mengakibatkan Kreditor yang datang
belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karena harta Debitor sudah habis.42
Rumusan Pasal 1131 KUH Perdata menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan
seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta
kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya, maupun yang akan
Berdasarkan alasan tersebut, timbullah lembaga Kepailitan yang mengatur tata cara
yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para Kreditor.
Lembaga kepailitan berfungsi utuk mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran
tagihan-tagihan kepada para kreditor. Prinsip kepailitan dilatarbelakangi oleh ketentuan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan
bahwa segala kebendaan debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya secara perseorangan.
40Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, ed., “Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan Hukum”,
Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hal. 96 41 Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, Penyelesaian Utang-Piutang Penyelesaian
Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 75. 42Ibid., hal. 76.
Universitas Sumatera Utara
24
mengurangi jumlah harta kekayaannya. Demikianlah harta kekayaan setiap orang akan selalu
berada dalam keadaan yang dinamis dan selalu berubah-ubah dari waktu ke waktu.43Sedangkan
jika ternyata dalam hubungan hukum harta kekayaan tersebut, seseorang memiliki lebih dari satu
kewajiban yang harus dipenuhi terhadap lebih dari satu orang yang berhak atas pemenuhan
kewajiban tersebut, maka Pasal 1132 KUH Perdata menentukan bahwa setiap pihak atau kreditor
yang berhak atas pemenuhan perikatan, haruslah mendapat pemenuhan perikatan secara (1) pari
passu, yakni secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan, (2) pro
rata, yakni proporsional yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing
dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan
Debitor tersebut.44
B. Pengaturan Hukum Para Pihak dalam Kepailitan
Hukum Kepailitan di Indonesia secara historis dimulai sejak Indonesia berada di bawah
penguasaan Belanda yang kedua, yaitu pada tahun 1846 sampai tahun 1942.45
43 Kartini Muljadi, ”Kreditor Preferens dan Kreditor Separatis dalam Kepailitan”, dalam Emmy
Yuhassarie, ed., Op. Cit., hal. 164. 44Ibid. 45 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, (Jakarta: PT. Tatanusa, 2012), hal. 20.
Mula-mula,
sebelum tahun 1945, kepailitan untuk kasus pedagang Indonesia diatur dalam Wetboek van
Koophandel (W.v.K.), Buku Ketiga, yang berjudul van de Voorzieningen in geval van
onvermogen van kooplieden atau Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang. Sedangkan
kepailitan untuk bukan pedagang diatur dalam Reglement op de Rechtsverordering atau disingkat
Rv (S.1847-52 jo. 1849-63), Buku Ketiga, Bab Ketujuh, yang berjudul: Van den Staat van
Universitas Sumatera Utara
25
Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu).46
Adanya dua macam peraturan kepailitan tersebut, selain tidak perlu, juga menimbulkan
banyak kesulitan, diantaranya ialah formalitas yang ditentukan terlalu banyak, banyak kesulitan
yang timbul dalam pelaksanaannya, biayanya tinggi, pengaruh kreditor terhadap jalannya
kepailitan terlalu sedikit, serta pelaksanaannya memakan waktu terlalu lama.
Dengan demikian,
sebelum tahun 1906, terdapat dua macam peraturan kepailitan yang berlaku di Hindia Belanda.
47
Faillissementsverordening ini hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa.
Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda pada waktu itu terhadap pendudukHindia Belanda. Meskipun FV hanya berlaku bagi
golongan Eropa, namun golongan penduduk Hindia Belanda selain golongan Eropa, dapat pula
menggunakan pengaturan tersebut. Golongan Timur Asing Cina dapat menggunakannya melalui
lembaga penerapan hukum (toepasselijkverklaring). Sementara golongan Bumiputra dan
golongan Timur Asing bukan Cina, dapat menggunakannya dengan menerapkan lembaga
penundukan diri secara sukarela (Vrijwillige onderwerping) terhadap hukum perdata dan hukum
dagang Barat.
Sehingga, untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, pada tahun 1905 telah diundangkan
Faillissementsverordening (S. 1905-217).
48
Setelah tahun 1945, yaitu setelah penguasaan Belanda di Indonesia telah berakhir,
pengaturan terkait kepailitan yang diatur dalam Faillissementsverordening masih tetap berlaku.
Hal ini didasarkan oleh ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang menyatakan
bahwa: “Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
46Sutan Remy Sjahdeni (1), Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening:Juncto Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 25 47Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004), hal. 3 48 Sutan Remy Sjahdeni (1), Op.Cit., hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
26
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Berdasarkan aturan tersebut, maka
seluruh perangkat hukum dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi
kemerdekaan, kecuali jika telah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila dan UUD 1945. Pada tahun 1947, pemerintah pendudukan Belanda di Jakarta
sempat pula menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodsregeling Faillissementen
1947). Tujuannya ialah untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan
yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang.49
Namun, peraturan kepailitanyang berlaku saat itu, yaitu Faillissementsverodening
kurang dapat diandalkan, antara lain karena upaya melalui kepailitan yang diatur dalam FV
sangat lambat prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Sehingga diperlukan suatu
peraturan kepailitan baru yang dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan Kreditor. Selain
itu desakan juga datang dari IMF sebagai pember iutang kepada pemerintah Republik Indonesia
yang berpendapat pula bahwa upaya mengatasi krisis moneter Indonesia tidak dapat terlepas dari
keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri dari para pengusaha Indonesia.
Tugas ini lama selesai, sehingga Peraturan Darurat
Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.
Faillissementsverordening terus diberlakukan hingga tahun 1998, dengan dilahirkannya
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Latar belakang dibentuknya Perpu
tersebut adalah dikarenakan krisis moneter yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997. Krisis
moneter yang disebabkan karena melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS
mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta asing, menjadi
membengkak. Sehingga masyarakat Kreditor pun mencari-cari sarana yang dapat digunakan
untuk menagih hutangnya.
49Ibid., hal. 28
Universitas Sumatera Utara
27
Sebagai hasil desakan IMF tersebut, akhirnya pemerintah melahirkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang tentang Kepailitan (Perpu Kepailitan). Perpu tersebut kemudian disahkan sebagai
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998. Perpu Nomor 1 Tahun 1998 sebagaimana kemudian
telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 bukan merupakan Undang-
undang Kepailitan yang baru melainkan hanya sekedar mengubah dan menambah ketentuan
dalam Faillissementsverordening. Melalui Perpu Nomor 1 Tahun 1998, banyak ketentuan-
ketentuan yang disempurnakan, seperti:50
1. Penyempurnaan syarat-syarat dan prosedur permintaan pernyataan kepailitan, pemberian
kerangka waktu yang pasti bagi pengambilan putusan pernyataan kepailitan.
2. Peneguhan fungsi Kurator, syarat-syarat untuk menjadi Kurator, termasuk kewajiban
Kurator.
3. Penegasan upaya hukum yang dapat diambil terhadap putusan pernyataan kepailitan.
4. Penegasan dan pembentukan peradilan khusus yang akan menyelesaikanmasalah kepailitan
secara umum, yaitu dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, dst.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, kendatipun telah disempurnakan dan
disesuaikan dengan perkembangan zaman, namun jika ditinjau dari substansinya masih terdapat
berbagai kekurangan dan kelemahan. Oleh sebab itu perlu dibuat undang-undang kepailitan
modern yang merupakan produk pemerintah nasional,guna merespon kebutuhan dan
perkembangan hukum masyarakat. Sehubungan dengan itu, Pemerintah, pada 18 Oktober 2004,
mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU).
50 Sutan Remy Sjahdeni (1), Op. Cit., hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
28
Beberapa pokok substansi baru yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor37 Tahun
2004, antara lain:
1. Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Bab Ketentuan Umum yang mengatur
definisi operasional dibuatkan batasan pengertian, termasuk pengertian utang dan jatuh
tempo.
2. Mengenai syarat-syarat permohonan pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), termasuk pemberian kerangka waktu yang pasti dalam
penanganan perkaranya yang dihitung sejak pendaftaran perkara sampai dengan putusan.
C. Akibat Hukum Putusan Pernyataan Pailit
1. Akibat Hukum Terhadap Debitor Pailit dan Harta Kekayaannya
Berdasarkan bunyi Pasal 24 UUPKPU disebutkan bahwa terhitung sejak tanggal
putusan pernyataan pailit diucapkan, Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai
dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Artinya, Debitor pailit tidak
memiliki kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang
dimilikinya.51
Putusan pailit oleh Pengadilan tidak mengakibatkan Debitor kehilangan kecakapannya
untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya
kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya
saja. Debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum berupa misalnya menikah, atau membuat
perjanjian kawin atau menerima hibah, dst. Dengan kata lain, akibat kepailitan hanyalah terhadap
Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau dialihkan kepada
kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai Kurator.
51Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004), hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
29
harta kekayaan Debitor, namun Debitor sendiri tidaklah berada di bawah pengampuan. Debitor
tidak kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut dirinya,
kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya
yang telah ada.
Dalam hal Debitor pailit adalah badan hukum, maka sebagai akibat putusan pernyataan
pailit, kekuasaan Direksi suatu Perseroan Terbatas dan badan-badan hukum lainnya untuk
mengelola perusahaan Debitor atau badan hukum tersebut “terpasung”, sekalipun mereka tetap
menjabat dalam jabatannya tersebut.52
Berdasarkan 21 UUK-PKPU disebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan
Debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan. Kecuali terhadap beberapa barang atau hak benda atas benda yang tetap berada di
bawah penguasaan dan pengurusan Debitor pailit. Secara rinci, yang dikecualikan dari harta
kepailitan disebutkan dalam Pasal 22 UUK-PKPU. Akibat hukum putusan pernyataan pailit
terhadap harta Debitor pailit adalah bahwa terhadap harta kekayaan debitor yang termasuk harta
pailit akan dijadikan sitaan umum. Dengan adanya sitaan umum, maka harta pailit dalam status
dihentikan dari segala macam transaksi dan perbuatan hukum lainnya sampai harta tersebut
diurus oleh Kurator.
Segala kewenangan pengurusan serta pengelolaan menjadi
beralih kepada Kurator, dan para pengurus badan hukum tidakmemiliki kendali terhadap
Kurator, sebaliknya mereka harus mematuhi petunjuk serta perintah Kurator.
53
Selanjutnya, sejalan dengan kewenangan Debitor pailit menyangkut harta kekayaannya
yang telah beralih kepada Kurator, berdasarkan Pasal 26 ayat (1) UUK-PKPU, disebutkan bahwa
52 Sutan Remy Sjahdeni (2), Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal. 257. 53 M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan,
(Surabaya: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 164.
Universitas Sumatera Utara
30
tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau
terhadap Kurator. Dengan adanya putusan pernyataan pailit, maka dengan sendirinya segala
gugatan yang bersumber pada hak dan kewajiban kekayaan debitor pailit harus dimajukan
terhadap kuratornya. Demikian pula sebaliknya, apabila Debitor memiliki hak yang dapat
diajukan kepada pihak lain berkenaan dengan harta kekayaannya, maka gugatan terhadap pihak
lain itu tidak lagi dapat diajukan oleh Debitor tetapi oleh Kurator.
Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 26 ayat (2) UUK-PKPU, apabila ada pihak lain
mengajukan gugatan terhadap Debitor pailit dan kemudian gugatan itu mengakibatkan
penghukuman terhadap Debitor pailit, maka penghukuman tersebut tidak mempunyai kekuatan
terhadap harta pailit. Begitu pula untuk segala gugatan hukum dengan tujuan memenuhi
perikatan harta pailit selama dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada Debitor pailit sendiri,
hanya dapat diajukan dengan laporan untuk pencocokan. Pasal 28 ayat (1) UUK-PKPU
menentukan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, gugatan Kreditor yang sedang berjalan,
maka gugatan itu atas permintaan tergugat(Debitor) dapat ditunda dalam jangka waktu yang
ditetapkan oleh hakim, untuk memberikan kesempatan kepada tergugat agar perkara ini diambil
alih oleh Kurator.
Terkait dengan eksekusi-eksekusi putusan hakium lainnya, maka sejak putusan
pernyataan pailit ditetapkan, terhadap eksekusi putusan-putusan hakim yang menyangkut harta
kekayaan debitor pailit, harus dihentikan. Pasal 31 ayat (1) UUK-PKPU menyebutkan bahwa
putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap
setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan
Universitas Sumatera Utara
31
seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
dengan menyandera Debitor.
2. Akibat Hukum Terhadap Perjanjian Timbal Balik
Putusan pernyataan pailit tidak mengikat perjanjian timbal balik yang diadakan oleh
Debitor pailit sebelum kepailitan diretapkan. Debitur pailit, atas izin Kurator, masih dapat
meneruskan pelaksanaan perjanjian timbal balik tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati bersama. Mengenai hal ini, Pasal 36 UUK-PKPU menetapkan bahwa jika pada saat
putusan pernyataan pailit ditetapkan terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru
sebagian dipenuhi, pihak dengan siapa Debitor mengadakan perjanjian tersebut dapat meminta
kepada Kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut
dalam jangka waktu yang disepakati oleh Kurator dna pihak tersebut.
Namun, jika tidak tercapai kesepakatan mengenai jangka waktu yang dimaksud, Hakim
Pengawas yang menetapkan jangka waktu tersebut. Sekiranya dalam jangka waktu yang
dimaksud Kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan
perjanjian tersebut, perjanjian pun berakhir. Pihak dengan siapa Debitor mengadakan perjanjian
dapat menuntut ganti rugi, dan dalam hal ini ia akan diperlakukan sebagai Kreditor Konkuren.
Sebaliknya, bila Kurator menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi perjanjian, maka
Kurator diwajibkan untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya melaksanakan perjanjian
tersebut.
Akan tetapi, untuk perjanjian yang mewajibkan Debitor untuk melakukan sendiri
perbuatan yang diperjanjikan, ketentuan dari Pasal 36 UUK-PKPU tersebut tidak dapat
diberlakukan. Hal yang sama juga diberlakukan untuk ketentuan perjanjian-perjanjian
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 UUK-PKPU.
Universitas Sumatera Utara
32
3. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Sewa
Berdasarkan Pasal 38 ayat (1) UUK-PKPU ditentukan bahwa dalam hal Debitor pailit
telah menyewa suatu barang, maka baik Kurator maupun pihak yang menyewakan barang
tersebut untuk sementara dapat menghentikan sewa, asalkan pemberitahuan mengenai
penghentian sewa tersebut dilakukan menjelang berakhirnya perjanjian sewa yang bersangkutan
sesuai dengan kebiasaan setempat. Selain itu, dalam waktu penghentian tersebut juga harus
diperhatikan jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewa atau jangka waktu yang lazim.
Menurut UUK-PKPU, pemberitahuan penghentian harus diberikan setidaknya 90 (Sembilan
puluh) hari sebelum penghentian perjanjian sewa.
Namun, dalam hal perjanjian sewa merupakan perjanjian sewa menyewa dengan uang
muka dibayar terlebih dahulu, maka perjanjiannya tidak dapat dihentikan, kecuali menjelang hari
berakhirnya jangka waktu pembayaran uang di mukanya tersebut. Sejak hari putusan pernyataan
pailit ditetapkan, uang sewa secara langsung menjadi utang harta kepailitan.
4. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UUK-PKPU, seorang pekerja yang bekerja pada Debitor
yang jatuh pailit dapat memutuskan hubungan kerjanya, dan Kurator juga dapat memutuskan
hubungan kerja tersebut dengan keharusan untuk mengindahkan jangka waktu yang ditentukan
dalam perjanjian kerja mereka atau yang ditentukan dalam Undang-undang. Hubungan kerja
tersebut hanya dapat diputuskan dengan ketentuan bahwa pemberitahuan tersebut harus
dilakukan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari. Sejak pernyataan
pailit berlaku, uang upah merupakan utang terhadap harta pailit.
5. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Hak Jaminan
Universitas Sumatera Utara
33
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU, dengan dikeluarkannya
putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, setiap Kreditor yang memegang Hak Gadai, Hak
Fidusia, Hak Tanggungan, Hipotik, atau Hak Agunan atas kebendaan lainnya, dapat
mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Namun, menurut Pasal 56 ayat (1) UUK-PKPU, eksekusi Kreditor pemegang hak
agunan atas kebendaan ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Yang dimaksud dengan
penangguhan eksekusi jaminan utang adalah dalam masa-masa tertentu, sungguhpun hak untuk
mengeksekusi jaminan utang ada di tangan kreditor preferen (disebut pula kreditor separatis atau
kreditor dengan hak jaminan), tetapi kreditor preferen tersebut tidak dapat mengeksekusinya.54
a. Harta yang dimaksud sudah berada dalam pengawasan Debitor pailit atau Kurator.
Untuk masa tertentu, ia masih berada dalam “masa tunggu”; setelah masa tunggu
tersebut berlalu, ia baru dibenarkan untuk mengeksekusi jaminannya. Selama jangka waktu
penangguhan, yaitu 90 hari sejak putusan pernyataan pailit ditetapkan, Kurator dapat
menggunakan atau menjual harta pailit untuk kelangsungan usaha Debitor.
Namun dengan syarat-syarat, yaitu:
b. Untuk itu telah diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan Kreditor atau pihak
ketiga yang menuntut hartanya yang berada dalam pengawasan Debitor pailit atau Kurator.
Yang dimaksud dengan perlindungan yang wajar adalah perlindungan yang perlu diberikan
untuk melindungi kepentingan Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan.
Perlindungan yang dimaksud, antara lain dapat berupa:55
1. ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit.
54Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2004), hal. 56. 55Indonesia (1), Op. Cit., Penjelasan Pasal 56 ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
34
2. hasil penjualan bersih.
3. hak kebendaan pengganti; atau
4. imbalan yang wajar dan adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya.
Harta yang dapat dijual oleh Kurator pun terbatas pada barang persediaan (inventory)
dan/atau barang bergerak (current asset), meskipun harta pailit tersebut dibebani hak agunan atas
kebendaan.Jangka waktu 90 hari sebagai jangka waktu penangguhan eksekusi harta kekayaan
Debitor pailit oleh Kreditor pemegang hak kebendaan tertentu, akan berakhir karena hukum pada
saat kepailitan diakhiri lebih dini atau pada saat keadaan insolvensi (insolventie) dimulai.
Kreditor atau pihak ketiga yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permohonan
kepada Kurator untuk mengangkat penangguhan atau mengubah syarat-syarat penangguhan
tersebut. Sekiranya permohonan ini ditolak oleh Kurator, Kreditor atau pihak ketiga dapat
mengajukan permohonan tersebut kepada Hakim Pengawas. Kemudian Hakim Pengawas
selambat-lambatnya satu hari sejak permohonan tersebut diajukan kepadanya, wajib
memerintahkan Kurator untuk segera memanggil para kreditor dan pihak yang mengajukan
permohonan kepada Hakim Pengawas dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk didengar
pada sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Hakim Pengawas kemudian wajib untuk
memberikan putusan atas permohonan yang dimaksud dalam waktu paling lambat 10 hari sejak
permohonan diajukan.
Menurut Pasal 60 ayat (1) UUK-PKPU, Kreditor pemegang hak agunan atas kebendaan,
yang melaksanakan haknya mengeksekusi benda-benda agunan Debitor pailit, diwajibkan
memberikan pertanggungjawaban kepada Kurator mengenai hasil penjualan benda-benda yang
menjadi agunan dan menyerahkan sisa penjualan yang telah dikurangi jumlah utang, bunga, dan
biaya, kepada Kurator. Atas tuntutan Kurator atau Kreditor yang diistimewakan, pemegang hak
Universitas Sumatera Utara
35
agunan atas kebendaan wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah
yang sama dengan tagihan yang diistimewakan. Sekiranya hasil penjualan tidak cukup untuk
melunasi piutang yang bersangkutan, maka pemegang hak tanggungan, hak gadai, atau hak
agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengajukan tagihan pelunasan ataskekurangan tersebut
dari harta pailit sebagai Kreditor Konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan utang.
D. Penyelesaian Atas Hukum Berakhirnya Kepailitan
1. Perdamaian Atas Hukum Berakhirnya Kepailitan
Undang-Undang Kepailitan mengenal dua macam perdamaian (accoord). Pertama, ialah
perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor dalam rangka PKPU sebelum Debitor dinyatakan
pailit oleh Pengadilan Niaga, yang diatur dalam Pasal 265 hingga Pasal 294 UUK-PKPU. Kedua,
adalah perdamaian yang ditawarkan setelah Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
Perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga diatur
dalam Pasal Bab II, Bagian Keenam, pada Pasal 144 sampai dengan Pasal 177 UUK-PKPU.
Menurut Pasal 144 UUK-PKPU, Debitor pailit berhak untuk menawarkan suaru
perdamaian kepada semua Kreditor secara bersama. Apabila perdamaian tersebut diterima dan
telah disahkan oleh Hakim Pengawas, maka kepailitan akan berakhir. Perdamaian dalam
kepailitan ini akan mengikat semua Kreditor termasuk Kreditor yang tidak memberikan suara
bahkan Kreditor yang tidak menyetujuinya. Karena itu, berdasarkan Pasal 151 UUK-PKPU,
rencana perdamaian diterima, apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih dari ½ jumlah
Kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara
diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diajui atau
yang untuk sementara diakui dari Kreditor konkuren atau kuasanya.
Universitas Sumatera Utara
36
Selanjutnya berdasarkan Pasal 152 UUK-PKPU menyebutkan bahwa apabila lebih dari
½ jumlah Kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan mewakili paling sedikit ½ dari jumlah
piutang para Kreditor yang mempunyai hak suara, menyetujui untuk menerima rencana
perdamaian, maka dalam jangka waktu paling lama 8 hari terhitung sejak pemungutan suara
pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.
Pada pemungutan suara kedua, para Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkannya pada
pemungutan suara pertama.
Menurut Pasal 145 ayat (1) UUK-PKPU, Rencana Perdamaian harus diajukan oleh
Debitor dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari sebelum diadakannya rapat
pencocokan utang atau rapat verifikasi. Apabila Rencana Perdamaian itu diajukan dalam jangka
waktu tersebut, Panitera Pengadilan Niaga dan Kurator harus mengumumkan Rencana
Perdamaian itu untuk dapat diketahui secara cuma-cuma oleh siapapun yang menghendaki.
Setelah rapat verifikasi, maka Rencana Perdamaian itu harus dibicarakan dan diambil keputusan
terhadapnya, kecuali dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 147 UUK-PKPU.
Rencana Perdamaian dibicarakan dalam dan diputuskan oleh rapat antara Debitor dan
para Kreditor yang khusus diadakan untuk itu. Apabila Rencana Perdamaian diterima,
Pengadilan akan memutuskan mengenai sah atau tidaknya perdamaian tersebut dan sidang akan
diadakan paling singkat 8 hari atau selambat-lambatnya 14 hari setelah persetujuan perdamaian
tercapai sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (3) UUK-PKPU.
Pengadilan memberikan penetapan sah atau tidaknya Rencana Perdamaian paling
lambat 7 hari setelah tanggal sidang dengan disertai alasannya. Menurut ketentuan Pasal 159 ayat
(2) UUK-PKPU, Pengadilan wajib untuk menolak pengesahan perdamaian apabila:
Universitas Sumatera Utara
37
a. harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan suatu benda,
jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian.
b. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin; dan/atau
c. perdamaian tercapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih
Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur,tanpa menghiraukan apakah
Debitor atau pihak lain bekerjasama untuk mencapainya.
Dalam hal pengesahan perdamaian ditolak, dalam waktu 8 hari setelah penetapan para
Kreditor yang mendukung pengesahan perdamaian maupun Debitor itu sendiri, dapat
mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung mengenai penetapan tersebut.56
Para Kreditor yang piutangnya dijamin dengan Hak Tanggungan, Gadai, atau Hak
Istimewa berada di luar perdamaian. Para Kreditor tersebut tidak berhak untuk mengeluarkan
suara dalam hal pembahasan Rencana Perdamaian, dan perdamaian tersebut juga tidak mengikat
bagi mereka. Dengan pengecualian apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan
demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana
perdamaian tersebut.
57
Apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
kepailitan berakhir.
Dengan pelepasan hak untuk didahulukan, maka Para Kreditor tersebut
berkedudukan menjadi Kreditor Konkuren.
58
56 Indonesia (1), Op. Cit., Pasal 160. 57Indonesia (1), Op. Cit., Pasal 149 58 Indonesia (1), Op. Cit., Pasal 166.
Hal ini berarti perdamaian yang diajukan oleh Debitor merupakan salah
satu jalan bagi Debitor pailit untuk dapat mengakhiri keadaan pailit. Dengan demikian, Kurator
wajib melakukan perhitungan dan pertanggungjawaban kepada Debitor pailit di hadapan Hakim
Pengawas. Dalam hal perdamaian tidak menetapkan ketentuan lain, Kurator wajib
mengembalikan kepada Debitor semua benda, uang, buku, dokumen yang termasuk harta pailit.
Universitas Sumatera Utara
38
Terhadap perdamaian yang telah disahkan, berdasarkan Pasal 170 UUK-PKPU, dapat
dituntut pembatalannya oleh setiap Kreditor dengan alasan Debitor lalai memenuhi isi
perdamaian. Dalam hal terdapat permohonan pembatalan perdamaian, maka Debitor pailit wajib
membuktikan bahwa ia telah memenuhi isi perdamaian tersebut. Kepada Debitor kemudian dapat
diberikan kelonggaran untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
putusan pemberian kelonggaran diucapkan.
Dalam hal perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali dengan keadaan
seperti semula. Akibatnya, semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh Debitor pailit yang
dilakukan dalam jangka waktu antara pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali kepailitan
tersebut, mengikat harta pailit. Setelah kepailitan dibuka kembali, maka tidak dapat
ditawarkanperdamaiann untuk kedua kalinya. Dengan kata lain, perdamaian hanya dapat
ditempuh sekali saja.
2. Insolvensi dan Pemberesan Harta Kepailitan
Berdasarkan Pasal 178 ayat (1) UUK-PKPU dinyatakan bahwa jika dalam rapat
verifikasi tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak
diterima, atau pengesaha perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaa insolvensi. Yang dimaksud
dengan keadaan insolvensi sendiri adalah keadaan tidak mampu membayar.59
Tindakan selanjutnya terhadap harta Debitor pailit adalah melakukan likuidasi yang
dilakukan oleh Kurator. Atas hasil likuidasi, Kurator akan mendistribusikannya kepada masing-
masing Kreditor dalam rangka pelunasan utang-utang Debitor kepada Kreditor tersebut yang
59 Indonesia (1), Op. Cit., Penjelasan Pasal 57 ayat (1).
Universitas Sumatera Utara
39
piutangnya telah diakui dalam proses pencocokan atau verifikasi utang-piutang. Tindakan ini
disebut sebagai tindakan pemberesan harta pailit.
Menurut Pasal 184 ayat (1) UUK-PKPU, dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal
15 ayat (1) UUK-PKPU, Kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit
tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan Debitor pailit apabila:
a. Usul untuk mengurus perusahaan Debitor pailit tidak diajukan dalam jangka waktu
sebagimana diatur dalam Undang-Undang, atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak;
atau
b. Pengurusan terhadap perusahaan Debitor pailit dihentikan.
Meski demikian, menurut Pasal 184 ayat (2) UUK-PKPU, dalam hal perusahaan
dilanjutkan, dapat dilakukan penjualan benda yang termasuk harta pailit, yang tidak diperlukan
untuk meneruskan Perusahaan. Selain itu kepada Debitor pailit yang bersangkutan dapat
diberikan barang-barang berupa perabot rumah tangga, alat-alat medis, atau perabot kantor, yang
ditunjuk oleh Hakim Pengawas.
Berdasarkan ketentuan Pasal 187 UUK-PKPU, setelah harta pailit berada dalam
keadaan insolvensi, maka Hakim Pengawas dapat mengadakan rapatdengan para Kreditor pada
hari, jam, dan tempat yang ditentukan untuk mengadakan pembicaraan mengenai tata cara
pemberesan harta pailit. Seluruh barang dalam hal ini harus dijual di hadapan umum atau secara
dibawah tangan dengan izin Hakim Pengawas. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 188 UUK-PKPU,
pada setiap waktu, jika menurut Hakim Pengawas tersedia cukup uang tunai, maka dapat
diperintahkan suatu pembagian kepada Para Kreditor yang piutangnya telah mendapatkan
pencocokan.
Universitas Sumatera Utara
40
Kurator dalam proses pemberesan harta pailit, mempunyai kewajiban untuk membuat
daftar pembagian yang harus dimintakan persetujuan kepada Hakim Pengawas. Daftar tersebut
antara lain berisikan rincian penerimaan dan pengeluaran (termasuk didalamnya upah Kurator),
nama para Kreditor, jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang, dan bagian yang wajib
diterima oleh setiap Kreditor. Daftar pembagian yang telah disetujui oleh Hakim Pengawas
kemudian ditempatkan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat oleh Kreditor. Selain itu
daftar pembagian juga diumumkan pada surat kabar. Selama tenggang waktu yang ditetapkan
oleh Hakim, Kreditor dapat melawan daftar pembagian tersebut dengan mengajukan surat
keberatan disertai alasan kepada Panitera Pengadilan.
Berdasarkan Pasal 202 UUK-PKPU, setelah kepada Kreditor yang telah dicocokkan
dibayarkan jumlah penuh piutang mereka, atau segera setelah daftar pembagian menjadi
mengikat maka berakhirlah kepailitan. Kurator kemudian diwajibkan untuk melakukan
pengumuman mengenai berakhirnya kepailitan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan
pada surat kabar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UUK-PKPU. Kurator juga
diwajibkan untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai pengurusan dan pemberesan yang
telah dilakukannya, kepada Hakim Pengawas, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
berakhirnya kepailitan.
3. Rehabilitasi
Berdasarkan kepailitan telah berakhir (insolvensi) dan semua Kreditor telah mendapat
pembayaran piutang secara penuh, maka Debitor pailit maupun ahli warisnya dapat mengajukan
permohonan rehabilitasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah pemulihan nama baik
Debitor yangsemula dinyatakan pailit, melalui putusan Pengadilan yang berisi keterangan bahwa
Debitor telah memenuhi kewajibannya. Pasal 215 UUK-PKPU menyatakan bahwa setelah
Universitas Sumatera Utara
41
berakhirnya kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 (yaitu berakhirnya kepailitan
karena diberikannya pengesahan perdamaian yang telah berkekuatan hukum tetap), Pasal 202
(yaitu berakhirnya kepailitan karena telah dibayarnya secara penuh piutang para Kreditor yang
telah dicocokkan piutangnya atau berakhirnya kepailitan karena pembagian penutup telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti), dan Pasal 207 (yaitu kepailitan harta warisan), maka
Debitor pailit atau ahli warisnya berhak mengajukan permohonan rehabilitasi kepada Pengadilan
Niaga yang semula memeriksa kepailitan yang bersangkutan.
Permohonan rehabilitasi baik oleh Debitor maupun ahli waris tidak akan diterima,
kecuali jika pada surat permohonan dilampirkan bukti-bukti yang menyatakan bahwa semua
Kreditor yang diakui telah memperoleh pembayaran secara memuaskan. Dalam hal permohonan
rehabilitasi diterima, maka Pengadilan harus segera mengumumkannya dalam paling sedikit 2
(dua) surat kabar harian. Selanjutnya, dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari setelah
permohonan rehabilitasi dumumkan, setiap Kreditor yang diakui dapat memajukan perlawanan
atas permohonan rehabilitasi tersebut, dengan memajukan surat keberatan yang disertai alasan-
alasan kepada kepaniteraan Pengadilan Niaga. Perlawanan hanya dapat diajukan apabila
persyaratan dalam Pasal 216 UUK-PKPU tidak dipenuhi, yakni apabila:
a. Debitor tidak membayar semua tagihan-tagihan kepada Kreditor yang mengajukan
perlawanan.
b. Kreditor yang mengajukan perlawanan tidak puas atas piutang yangdibayarkan oleh
Debitor.
Setelah lewat jangka waktu 2 bulan, maka terlepas diajukan atau tidaknya perlawanan,
Pengadilan Niaga harus menyatakan mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Jika
rehabilitasi dikabulkan, putusan ini harus diucapkan di muka sidang yang terbuka untuk umum
Universitas Sumatera Utara
42
dan selanjutnya dicatat dalam register umum yang diadakan Panitera Pengadilan Niaga.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga ini tidak dapat diajukan permohonan Kasasi.
Universitas Sumatera Utara
43
BAB III
PENANGGUNG UTANG SEBAGAI JAMINAN PERUSAHAAN
ATAS KREDITUR
A. Tinjauan Umum Mengenai Konsep Jaminan
1. Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie.
Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya
tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitur terhadap barang-barangnya.60
Adapun selain istilah jaminan, dikenal istilah agunan untuk menggambarkan suatu
bentuk jaminan tambahan. Agunan lazimnya digunakan untuk mendapatkan fasilitas dari bank,
sebagai bentuk jaminan yang diserahkan oleh debitur (nasabah) kepada Bank. Pengertian dari
agunan berdasarkan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, adalah jaminan tambahan yang
diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Selain itu, menurut Hartono Hadisoeprapto jaminan
adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur
akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.”
61
Hukum jaminan, menurut J. Satrio diartikan sebagai peraturan hukum yang mengatur
mengenai jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap debitur. Sementara, menurut H.
Salim HS, hukum jaminan adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur
60H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005),
hal. 21 61 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, ed. 1, cet. 1, Yogyakarta:
Liberty,2000. hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
44
hubungan hukum antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan pembebanan
jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.62
Menurut kedua pasal tersebut, tanpa diperjanjikan seluruh kekayaan debitur secara
yuridis telah menjadi jaminan bagi pelunasan utang-utangnya.Jaminan secara umum ini terlalu
luas sehingga dirasakan kurang cukup dankurang aman, hal ini disebabkan karena suatu waktu
harta kekayaan debiturdapat habis. Disamping itu jaminan umum ini berlaku untuk semua
kreditur.Sehingga apabila ada beberapa kreditur, sebagian diantaranya kemungkinan tidak lagi
mendapat bagian.
Rumusan jaminan dalam undang-undang terdapat
dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, yang berbunyi:
Pasal 1131
Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.
Pasal 1132 Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya, pendapatan, penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang untuk didahulukan.
63
Jaminan khusus dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu jaminankebendaan dan
perorangan. Jaminan kebendaan dibagi menjadi jaminan bendabergerak dan tidak bergerak.
Yang termasuk dalam jaminan benda bergerak,meliputi: gadai dan fidusia, sedangkan jaminan
Ruang lingkup kajian hukum jaminan meliputi jaminan umum dan
khusus.
62 H. Salim, Op. Cit, hal. 6. 63 Subekti, Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: PT Citra Ditya
Bakti, 1989), hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
45
benda tidak bergerak meliputihak tanggungan, fidusia, dan hipotik. Sedangkan jaminan
perorangan meliputi borg, tanggung-menanggung (tanggung renteng), dan garansi bank.64
2. Sifat dan Bentuk Perjanjian Jaminan
Pada dasarnya, perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
perjanjian pokok dan perjanjian accessoir. Perjanjian pokok,menurut Rutten adalah, perjanjian-
perjanjian, yang untuk adanya mempunyai dasar yang mandiri.65Sementara perjanjian accessoir
adalah suatu perjanjianyang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok.66
Mengenai sifat perjanjian jaminan lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat
accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan pada perjanjian pokok.67
Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, maka perjanjian jaminan memperoleh
akibat-akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lain, yaitu:
68
a. Adanya tergantung pada perjanjian pokok.
b. Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok.
c. Jika perjanjian pokok batal, maka perjanjian ikut batal.
d. Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok.
e. Jika perutangan pokok beralih karena cessie, subrogasi, maka perjanjianikut beralih juga
tanpa adanya penyerahan khusus.
Terkait bentuknya, perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan
dan tertulis. Pada perjanjian dalam bentuk lisan, sejak terjadinya konsensus kedua belah pihak,
maka sejak saat itulah terjadinya perjanjian pembebanan jaminan. Perjanjian pembebanan
64 H. Salim, Op.Cit., hal. 9. 65 J. Satrio (1), Hukum Jaminan Hak-Hak Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti), seperti dikutip oleh
H. Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 29. 66H. Salim, Op. Cit., hal. 30. 67Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok HukumJaminan dan
Jaminan Perorangan, cet.3, (Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta, 2003), hal. 37 68Ibid.
Universitas Sumatera Utara
46
jaminan dalam bentuk tertulis, dapat dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta
autentik.69
3. Penggolongan Jaminan
Pada umumnya, jenis-jenis lembaga jaminan sebagaimana dikenal dalam Tata Hukum
Indonesia dapat digolong-golongkan menurut cara terjadinya, menurut sifatnya, menurut
obyeknya, menurut kewenangan menguasainya, dan lain-lain sebagai berikut:70
a. Jaminan yang lahir karena ditentukan oleh Undang-undang dan jaminan yang lahir karena
perjanjian.
Jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang ialah jaminan yang adanya ditunjuk oleh
Undang-undang tanpa adanya perjanjian dari para pihak. Jaminan yang lahir karena ketentuan
Undang-undang salah satunya adalah jaminan umum yang terdapat dalam pasal 1131 KUH
Perdata. Selain itu, oleh Undang-undang juga ditentukan ada jenis-jenis lembaga jaminan yang
pemenuhannya didahulukan dari piutang-piutang yang lain. Oleh Undang-undang ditentukan
bahwa hak privilege adalah suatu hak yang diberikan kepada seorang kreditur, didahulukan
pemenuhannya daripada kreditur-kreditur yang lain semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
Juga tergolong sebagai jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang adalah hak retensi, yang
diatur dalam sejumlah pasal-pasal dalam KUH Perdata. Hak-hak tersebut adalah hak-hak yang
bersifat memberikan jaminan yang ditentukan oleh Undang-undang.
Selain itu terdapat hak-hak yang adanya harus diperjanjikan terlebih dahulu antara para
pihak. Tergolong jenis ini adalah hipotik, gadai, hak tanggungan, fidusia, penanggungan
(borgtocht), perjanjian garansi, perutangan tanggung-menanggung, dan lain-lain. 71
69 H. Salim, Op.Cit, hal. 31. 70 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 43.
Universitas Sumatera Utara
47
b. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus
Untuk kepentingan kreditur yang mengadakan perutangan, undang-undang
memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur dan mengenai semua harta benda
debitur. Baik mengenai benda bergerak maupun tak bergerak, baik benda yang sudah ada
maupun yang masih akan ada, semua menjadi jaminan bagi seluruh perutangan debitur. Jaminan
yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur
dan sebagainya disebut jaminan umum. Artinya benda jaminan itu tidak ditunjuk secara khusus
dan tidak diperuntukkan untuk kreditur, sedang hasil penjualan benda jaminan itu dibagi-bagi di
antara para kreditur seimbang dengan piutangnya masing-masing.
Para kreditur tersebut mempunyai kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih
didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Kreditur demikian disebut kreditur konkuren.
Jaminan umum timbul dari Undang-undang, tanpa perlu diperjanjikan oleh para pihak terlebih
dahulu. Para kreditur konkuren semuanya secara bersama memperoleh jaminan umum yang
diberikan oleh Undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan
Pasal 1132 KUH Perdata.
Adapun, selain jaminan umum, dikenal penggolongan jaminan berupa jaminan khusus.
Jaminan khusus timbul karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan
debitur yang dapat berupa jaminan yang bersifat kebendaan ataupun jaminan yang bersifat
perorangan. Jaminan yang bersifat kebendaan ialah adanya benda tertentu yang dipakai sebagai
jaminan, sedangkan jaminan yang bersifat perorangan ialah adanya orang tertentu yang sanggup
membayar atau memenuhi prestasi manakala debitur wanprestasi.
71Arwakhudin Widiarso, Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Tesis Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 2009, hal. 19
Universitas Sumatera Utara
48
Lembaga jaminan khusus yang bersifat kebendaan antara lain, seperti hipotik, hak
tanggungan, gadai, fidusia, dst. Sementara jaminan yang bersifat perorangan antara lain,
berwujud: borgtocht (Perjanjian Penanggungan), Perjanjian Garansi, Perjanjian Tanggung-
Menanggung, dan seterusnya.
c. Jaminan yang bersifat Kebendaan dan Hak Perorangan
Hukum Perdata mengenal jaminan yang bersifat hak kebendaan dan hakperorangan.
Jaminan yang bersifat kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang
mempunyai ciri-ciri: mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat
dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dan dapat
diperalihkan. Sementara, jaminan yang bersifat perorangan ialah jaminan yang menimbulkan
hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur
tertentu, terhadap harta kekayaan debitur seumumnya.
Adapun sifat dari hak-hak jaminan dapat dibedakan menjadi yang bersifat hak
kebendaan dan yang bersifat hak perorangan. Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang
langsung terhadap bendanya. Sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung
antara perorangan yang satu dengan yanglain. Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan
bermaksud memberikan hak verhaal (hak untuk meminta pemenuhan piutangnya atau hak tagih)
kepada si kreditur, terhadap hasil penjualan benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan
piutangnya.
Sementara jaminan yang bersifat perorangan memberikan hak verhaal kepada kreditur,
terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya. Ciri
khas dari jaminan yang bersifat kebendaan, ialah dapat dipertahankan (dimintakan pemenuhan)
terhadap siapapun juga, yaitu terhadap mereka yang memperoleh hak baik berdasarkan atas hak
Universitas Sumatera Utara
49
yang umum maupun yang khusus, juga terhadap para kreditur dan pihak lawannya. Hak tersebut
selalu mengikuti bendanya (droit de suite) dalam arti bahwa yang mengikuti bendanya itu tidak
hanya haknya tetapi juga kewenangan untuk menjual bendanya dan hak eksekusi.
Jaminan kebendaan dapat digolongkan menjadi:
1) adai, diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata.
2) Fidusia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.
3) Hak tanggungan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, sebelumnya diatur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata.
4) Hipotik, diatur dalam Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992tentang Pelayaran.
5) P enanggung (borg).
6) Tanggung-menanggung.
7) Perjanjian garansi, diatur dalam Pasal 1316 KUH Perdata.
d. Jaminan atas benda bergerak dan tak bergerak
Menurut sistem Hukum Perdata pembedaan atas benda bergerak dan tak bergerak
mempunyai arti penting dalam berbagai bidang yang berhubungan dengan penyerahan,
daluwarsa (verjaring), kedudukan berkuasa (bezit), danpembebanan/jaminan. Dalam Hukum
Perdata terutama mengenai lembaga jaminan, penting sekali arti pembagian benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Dimana atas dasar pembedaan benda tersebut, menentukan jenis lembaga
jaminan atau ikatan kredit yang mana yang dapat dipasang untuk kredit yang akan diberikan.
Jika benda jaminan berupa benda bergerak, maka dapat dipasang lembaga jaminan yang
berbentuk gadai atau fidusia, sedang jika benda jaminan itu berbentuk benda tetap, maka sebagai
Universitas Sumatera Utara
50
lembaga jaminan dapat dipasang hipotik atau hak tanggungan (credietverband).72
B. Jenis-Jenis Penanggungan Utang
Adapun yang menjadi jenis-jenis dalam penanggungan utang adalah sebagai berikut:
1. Personal Guarantee
Personal Guarantee adalah perjanjian antara kreditur dan penanggung, dimana seorang
mengikatkan diri sebagai penanggung untuk memenuhi hutang debitur, baik itu karena
ditunjuk oleh kreditur (tanpa sepengetahuan atau persetujuan debitur) maupun yang
diajukan oleh debitur atas perintah dari kreditur.73
2. Corporate Guarantee
Disebut personal guarantee adalah jika
yang ditunjuk sebagai penjamin atau penanggung adalah orang perorangan.
Pada asasnya, sebenarnya tidak ada halangan untuk menerima badan hukum sebagai pihak
yang memberikan penanggungan. Badan hukum menurut R. Subekti adalah suatu badan
atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang
manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan
hakim.74
72Ibid., hal. 49 73 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 105. 74Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hal. 19.
Jaminan Perusahaan atau Corporate Guarantee adalah salah satu bentuk dari
perjanjian penanggungan hutang (borgtocht). Di Indonesia, belum terdapat peraturan yang
secara khusus mengatur mengenai jaminan perusahaan, maupun jenis perusahaan yang
dapat dijadikan sebagai penjamin dalam suatu pemberian kredit. Namun dalam praktiknya,
yang paling sering memberikan jaminan perusahaan adalah perusahaan yang berbentuk PT
(Perseroan Terbatas).
Universitas Sumatera Utara
51
Molengraaff mengartikan perusahaan (dalam arti ekonomi) adalah keseluruhan
perbuatan yang dilakukan secara terus-menerus, bertindak keluar, untuk memperoleh
penghasilan, dengan cara memperdagangkan, menyerahkan barang, atau mengadakan perjanjian-
perjanjian perdagangan.75
Kewajiban perusahaan penjamin dalam suatu penanggungan hutang adalah sama
dengan penjamin perorangan. Dalam hal ini apabila debitur (si berhutang) melakukan
wanprestasi, maka perusahaan penjamin berkewajiban untuk memenuhi segala prestasi yang
telah diperjanjikan antara debitur dan kreditur. Sebagai badan hukum, maka pemegang saham
perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah
diambilnya. Dengan demikian dalam perseroan, pemegang saham hanya bertanggung jawab
sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.
Dilihat dari bentuk hukum, perusahaan diklasifikasikan menjadi
perusahaan berbadan hukum dan perusahaan bukan berbadan hukum.
76
Oleh karena statusnya sebagai badan hukum, terdapat beberapa perbedaan antara orang-
perorangan yang berkedudukan sebagai guarantor dan perusahaan yang berkedudukan sebagai
guarantor. Salah satunya adalah terkait kewenangan bagi Perusahaan untuk menjadi Penjamin.
Untuk mengetahui apakah suatu badan hukum tertentu dapat bertindak sebagai penanggung,
harus dilihat dulu anggaran dasarnya.
77
75 Mollengraaf, sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam Dinamika,
(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 26. 76Ibid, hal. 46. 77J. Satrio (1), Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht)dan Perikatan
Tanggung Menanggung, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 219.
Anggaran Dasar adalah salah satu syarat yang wajib
dimiliki Perusahaan pada saat pendirian. Anggaran Dasar merupakan bagian dari Akta Pendirian
perseroan terbatas. Sebagai bagian dari Akta Pendirian, Anggaran Dasar memuat aturan main
dalam perseroan, yang menentukan setiap hak dan kewajiban dari pihak-pihak dalam Anggaran
Universitas Sumatera Utara
52
Dasar, baik perseroan itu sendiri, pemegang saham, pengurus (Direksi maupun Komisaris)
perseroan.78
Dalam Anggaran Dasar Perusahaan, perlu dilihat apakah terdapat ketentuan yang secara
tegas melarang Perusahaan untuk bertindak sebagai Penanggung. Di lain pihak, jika tidak
terdapat ketentuan tegas yang mengatur mengenai kewenangan perusahaan tersebut, maka kita
perlu melihat maksud dan tujuan pendirian perseroan dan dihubungkan dengan perikatan yang
hendak dijamin dengan penanggungan, apakah keduanya selaras atau tidak. Sehingga perlu
ditinjau apakah tujuan perikatan yang hendak dijamin tersebut selaras dengan tujuan yang
hendak dicapai badan hukum tersebut.
Anggaran Dasar merupakan aturan main perseroan, yang tidak hanya mengikat para
pihak yang mengadakannya, tetapi juga pihak ketiga lainnya yang berhubungan hukum dengan
perseroan, termasuk di dalamnya para pemegang saham, pengurus perseroan. Anggaran Dasar
perusahaan haruslah memuat sekurang-kurangnya hal-hal yang tercantum dalam Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
79
Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah siapa yang menurut anggaran dasar badan
hukum, berwenang untuk mewakili badan hukum tersebut dalam memberikan
penanggungan.
80Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
(selanjutnya disebut “UUPT”), dinyatakan secara jelas bahwa Perseroan Terbatas adalah badan
hukum. Sebagai subjek hukum, maka badan hukum mempunyai beberapa unsur, yaitu81
a. perkumpulan orang (organisasi).
:
78 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 29. 79 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 219. 80Dini Nemandasari, Tanggung Gugat Pihak Penanggung (Borg) Dalam Perjanjian Penanggungan
Akibat Debitur Wanprestasi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2008. Hal. 31 81 Chidir Ali, Op. Cit., hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
53
b. dapat melakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum.
c. mempunyai harta kekayaan tersendiri.
d. mempunyai pengurus.
e. mempunyai hak dan kewajiban.
f. dapat digugat atau menggugat di depan Pengadilan.
Sebagai suatu badan hukum, pada prinsipnya perseroan terbatas dapat memiliki segala
hak dan kewajiban yang dapat dimiliki oleh setiap orang-perorangan. Sehingga guna
melaksanakan hak dan kewajiban tersebut dibentuklah organ-organ Perusahaan yang mempunyai
fungsi dan tugas masing-masing. Organ-organ tersebut antara lain:
a. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
RUPS merupakan organ perseroan yang paling tinggi dan berkuasa untuk menentukan arah
dan tujuan perseroan. RUPS memliki segalawewenang yang tidak diberikan kepada
Direksi dan Komisaris perseroan. Wewenang RUPS diatur secara khusus dalam UUPT
maupun dalam Anggaran Dasar Perusahaan.82
b. Direksi
Dalam UUPT kewenangan RUPS antara
lain meliputi: (1) penetapan perubahan anggaran dasar; (2) penetapan pengurangan modal;
(3) pemeriksaan, persetujuan, dan pengesahan laporan tahunan; (4) penetapan penggunaan
laba, dst.
Direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan
berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan, baik
di dalam maupun di luar pengadilan. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan
dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Dalam menjalankan
tugasnya, Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekuensi bahwa setiap
82 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
54
tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan
sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa
yang ditentukan dalam Anggaran Dasar.83
c. Komisaris
Namun, jika Direksi melakukan perbuatan yang
merugikan perseroan dan berada di luar batas dan kewenangan yang dilakukannya sesuai
dengan Anggaran Dasar, maka Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas
perbuatannya tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 6 UUPT, Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas
untuk melakukan pengawasan secara umum dan/atau secara khusus sesuai dengan
anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.
Dalam hal pengalihan serta penjaminan harta kekayaan Perseroan, UUPT mewajibkan
direksi perseroan untuk meminta persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham
Perseroan. Dalam hal Direksi bermaksud untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan
utang seluruhatau sebagian besar harta kekayaan Perseroan. Direksi, dalam hal ini,
diwajibkan untuk meminta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham, untuk menjadikan
jaminan utang harta kekayaan Perseroan; yang merupakan lebih dari 50% jumlah kekayaan
bersih Perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain
maupun tidak.84 Namun, dalam hal tindakan pengalihan serta penjaminan harta kekayaan
Perseroan tersebut dilakukan oleh Direksi sebagai pelaksanaan kegiatan usaha Perseroan
sesuai dengan anggaran dasar, maka persetujuan RUPS tidak diwajibkan untuk diperoleh.85
83Ibid., hal. 97. 84 Indonesia (3), Undang-Undang Perseroan Terbatas, LN Nomor 106 Tahun 2007, TLN 4756, 2007,
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 102 ayat (1) huruf a. 85Ibid., Pasal 102 ayat (3).
Universitas Sumatera Utara
55
Jika pengalihan dan penjaminan harta kekayaan Perseroan dilakukan tanpa persetujuan
RUPS, maka UUPT menyatakan bahwa perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan
sepanjang pihak lain dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik.86 Pada praktiknya,
kewajiban ini dibuat dalam suatu kuantifikasi persentase tertentu dan dimuat dalam
Anggaran Dasar Perseroan sebagai dasar dan acuan bagi tidak hanya Perseroan dan
Pemegang Saham, melainkan juga pihak ketiga yang bermaksud melakukan hubungan
hukum dengan Perseroan.87
Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Perseroan yang bertujuan untuk mengalihkan
atau menjaminkan seluruh atau sebagian besar harta kekayaan Perseroan hanya sah jika
rapat tersebut dihadiri oleh Pemegang Saham yang mewakili sekurang-kurangnya ¾ (tiga
perempat) bagian dari jumlah suara yang hadir atau diwakili daalam rapat tersebut.
Keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit ¾ bagian dari jumlah suara
yang dikeluarkan, kecuali Anggaran Dasar menentukan kuorum kehadiran atau persyaratan
pengambilan keputusan yang lebih besar. Dalam hal pengambilan keputusan RUPSuntuk
mengalihkan atau menjaminkan kekayaan Perseroan, berlaku ketentuan Pasal 89 UUPT.
88
3. Bank Guarantee
Salah satu penanggungan utang yang berupa jaminan perusahaan yang diatur lebih
lanjut dengan suatu peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah garansi bank (bank
garansi) yang diterbitkan oleh Bank Umum.89
86Ibid., Pasal 102 ayat (4). 87 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hal. 65. 88 Indonesia, Op. Cit., Pasal 102 ayat (5). 89M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2007), hal. 21
Bank Garansi (BG) adalah jaminan yang diberikan
oleh bank, maksudnya bank menyatakan suatu pengakuan tertulis yang isinya menyetujui
Universitas Sumatera Utara
56
mengikatkan diri kepada penerima jaminan dalam jangka waktu dan syarat-syarat tertentu
apabila dikemudian hari ternyata si terjamin ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada si
penerima jaminan.90
a. Pihak bank sebagai pihak yang memberikan jaminan disebut sebagai penjamin.
Bank garansi merupakan suatu bentuk jaminan yang merupakan
perkembangan dari borgtocht (penanggungan hutang). Bank Garansi adalah suatu jenis
penanggungan, dimana yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank.
Bank garansi terjadi jika Bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung
pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada
kreditur. Di dalam pemberian BG terdapat tiga pihak, yaitu:
b. Pihak nasabah sebagai pihak yang dijamin, disebut sebagai terjamin.
c. Pihak lain sebagai pihak yang menerima jaminan, disebut sebagai penerima jaminan.
Dalam bank garansi, Bank baru bersedia memberikan garansi jika kepada Bank telah
disetorkan sejumlah uang tertentu, sebesar garansi yang akan diberikan oleh Bank.91
Ketiga jenis penanggungan di atas memiliki beberapa perbedaan prinsip, terutama
antara jaminan perorangan dan jaminan perusahaan dengan jaminan bank:
BG berada
dalam berada dalam lingkup hukum perjanjian perdata. BG digolongkan dalam perjanjian
penanggungan karena garansi bank merupakan suatu perjanjian dimana satupihak (borg)
menyanggupi pada pihak lainnya (seorang berpiutang) bahwa ia menanggung pembayaran suatu
hutang apabila si berhutang tidak dapat memenuhi janjinya. Sehingga secara umum ketentuan
garansi bank diatur dalam Buku III Bab XVII KUH Perdata, sebagai bagian dari Perjanjian
Penanggungan Utang yang tercantum dalam pasal 1820 sampai dengan pasal 1850 KUH Perdata.
92
90Muhammad Djumhana., Op. cit., hal. 460. 91 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 106. 92 Sunu Widi Purwoko (ed.), Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan, (Jakarta: Tim Nine
Seasons , 2011), hal. 179.
Universitas Sumatera Utara
57
a. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan adalah kewajiban yang lahir karena
perjanjian, sementara jaminan bank/lembaga keuangan adalah produk atau kegiatan usaha
dari bank/lembaga keuangan.
b. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan timbul didasari perjanjian penjaminan yang
ditandatangani bersama antara pihak penjamin dengan kreditor. Jaminan bank didasari
kesepakatan antara bank sebagai penjamin dengan pihak terjamin.
c. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan untuk menjamin/menanggung
seluruh kewajiban utang debitor, sementara jaminan bank hanya menjamin/menanggung
sebagian kewajiban pembayaran utang debitor.
d. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan utk menanggung kewajiban utang,
sementara jaminan bank tidak harus menanggung utang, misalnya menjamin performa
kontraktor (performance bond), menjamin keikutsertaan dalam tender (bid bond),
pemenuhan kewajiban kepada pihak bea cukai (custom bond), dll.
e. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan terlebih dahulu meminta
persetujuan pasangan pihak penjamin (perorangan) atau persetujuan Dewan Komisaris dan
RUPS (Perusahaan), sementara untuk jaminan bank tidak memerlukan persetujuan tersebut
karena merupakan pelaksanaan kegiatan usaha.
f. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diterbitkan tanpa mewajibkan pihak yang
dijamin untuk membayar fee atau biaya penjaminan kepada perorangan atau perusahaan
penjamin. Sebaliknya, jaminan bank mewajibkan pihak yang dijamin terlebih dahulu
membayar fee atau biaya penjaminan dalam jumlah tertentu.
Universitas Sumatera Utara
58
g. Jaminan perorangan dan jaminan perusahaan diberikan oleh pihak yang terkait dengan
debitor atau pihak yang dijamin. Jaminan bank diberikan kepada pihak manapun yang
memenuhi syarat tertentu yang sudah ditetapkan terlebih dahulu.
C. Hubungan Hukum Antar Pihak dalam Penanggungan Utang
Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur dan penanggung, maka lahirlah
akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus
diperhatikan baik oleh si penanggung maupun kreditur. Sekalipun perjanjian penanggungan
kelihatannya hanya membebankan kewajiban-kewajiban bagi penanggung karena penanggung
mengikatkan diri untuk memenuhi prestasi atau hutang untuk kepentingan kreditur, namun dalam
hubungan hukum tersebut juga menimbulkan hak-hak bagi penanggung. Hak-hak demikian oleh
Undang-Undang diberikan kepada penanggung, merupakan perlindungan bagi penanggung
terhadap perlakuan atau tindakan dari kreditur yang memberatkan penanggung.93
1. Hak dan Kewajiban Penanggung
Dalam melaksanakan kewajibannya oleh Undang-Undang, penanggung diberikan hak-
hak tertentu yang sifatnya memberikan perlindungan kepada si penanggung. Hak-hak
penanggung tersebut menurut ketentuan Undang-undang, berupa:
a. Hak untuk menuntut lebih dahulu (voorrecht van uitwinning).
Ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata merupakan ketentuan yang menetapkan hak istimewa
penanggung.94
Pasal 1831 KUH Perdata menyatakan bahwa:
Si penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.
93Ibid., hal. 91. 94 M. Bahsan, Op.Cit.,hal. 19.
Universitas Sumatera Utara
59
Tanggung jawab borg (penanggung) pada asasnya bersifat subsidair, dimana yang pokok
adalah kewajiban debitur-utama terhadap kreditur, sedang borg barulah berperan, apabila
debitur wanprestasi.95 Prinsip tersebut dituangkan oleh pembuat undang-undang dalam
Pasal 1831 KUH Perdata, dengan memberikan hak utama kepada penanggung, untuk
dalam hal ia digugat di depan pengadilan, menangkisnya dengan mengemukakan eksepsi
agar harta kekayaan debitur-utama dieksekusi lebih dahulu untuk diambil sebagai
pelunasan. Tangkisan tersebut harus dikemukakan sebelum atau pada saat jawaban pertama
pada tingkat peradilan pertama atas gugatan debitur terhadap borg.96
Hak istimewa penanggung ini membawa akibat hukum bahwa penanggung tidak
diwajibkan untuk melunasi kewajiban debitor kepada kreditor sebelum ternyata bahwa
harta kekayaan debitor yang cidera janji tersebut, yang ditunjuk oleh penanggung, telah
disita dan dijual, dan hasil penjualan harta kekayaan debitor yang telah disita tersebut tidak
mencukupi untuk memenuhi kewajiban debitor kepada kreditor. Dalam hal yang demikian
berarti penanggung hanya akan melunasi sisakewajiban debitor yang belum dipenuhinya
kepada kreditor.
97 Bahwa sebagai akibatnya, dalam peristiwa seperti itu, kepada borg
diletakkan kewajiban untuk menunjukkan adanya harta debitur-utama yang dapat disita
dan dieksekusi, dan disamping itu, borg wajib membayari lebih dahulu biaya sita dan
eksekusi.98
Berkaitan dengan hak istimewa penanggung sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan
Pasal 1831 KUH Perdata tersebut, penanggung dapat melepaskan hak istimewanya, yaitu
dengan menyatakan tunduk kepada ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata pada perjanjian
95 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 113. 96 Lihat Pasal 1833 KUH Perdata. 97Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit., hal. 24. 98R. Subekti, Op. Cit., Pasal 1834.
Universitas Sumatera Utara
60
penanggungan yang dibuatnya.99
1) Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si
berhutang lebih dahulu disita dan dijual. Pelepasan hak yang demikian biasanya
diminta oleh kreditur agar ia dapat menuntut langsung pada penanggung untuk
pemenuhan piutangnya, demi kepentingan si kreditur.
Sebagai pengecualian dari hak si penanggung untuk
menuntut lebih dahulu penjualan harta debitur demikian, ialah:
2) Apabila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama si berhutang utama secara
tanggung menanggung. Dalam hal demikian akibat-akibat perutangannya diatur
menurut asas-asas yang ditetapkan untuk perutangan tanggung-menanggung.
3) Jika si berhutang dapat mengajukan suatu tangkisan yang mengenai dirinya secara
pribadi.
4) Jika si berhutang berada dalam keadaan pailit.
5) Jika penanggungan itu diperintahkan oleh hakim.100
Dalam hal penanggung menyatakan melepaskan hak istimewanya, yang bersangkutan tidak
dapat menuntut agar harta pihak peminjam disita dan dijual lebih dahulu bila pihak
peminjam ingkar janji. Bilaharta penanggung tidak cukup untuk melunasi utang pihak
peminjam, kemudian harta pihak peminjam akan disita dan dijual. Walaupun demikian,
dalam praktiknya sering dilakukan penggugatan baik kepada penanggung maupun kepada
pihak peminjam secara bersamaan.
101
Pemberian hak utama “ambil pelunasan dari debitur lebih dahulu”kepada borg, selain
merupakan salah satu wujud perlindungan undang-undang terhadap borg, juga sesuai
99M. Bahsan, Op.Cit., hal. 20. 100 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hal. 92. 101 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung Menanggung,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
61
dengan kedudukan borg, yang perikatannya bersifat subsidair. Namun, pembuat
undang-undang sendirimemberikan peluang bagi borg untuk secara sukarela melepaskan
hakutama tersebut.Terkait dengan kedudukan debitur yang berada dalam
keadaanpailit, maka berdasarkan Pasal 1832 angka 4, si penanggung tidak dapatmenuntut
supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijualuntuk melunasi utangnya,
jika si berutang berada dalam keadaan pailit.Penundukkan terhadap Pasal 1832 KUH
Perdata, dalam hal ini berartimengecualikan hak istimewa penanggung untuk menuntut
pelunasandari debitur terlebih dahulu.Ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata tersebut dibuat
sejalan denganketentuan Pasal 131 dan Pasal 155 Failissement Verordening (FV),
yangberbunyi:
Pasal 131 (1) Kreditur yang piutangnya dijamin oleh seorang penanggung dapat mengajukan
diri untuk piutang itu, dikurangi jumlah yang telah diterima dari penanggung yang bersangkutan.
(2) Penanggung berhak atas pembayaran kembali uang yang telah dibayarkan kepada seorang kreditur. Selain itu penanggung berhak atas piutang sebanyak jumlah yang telah dibayarkan kepada kreditur, sebagai piutang yang bersyarat, selama kreditur yang bersangkutan tidak mengajukan tentang hal itu.
Pasal 155 Walaupun sudah ada perdamaian, para kreditur tetap mempunyai hak terhadap para penanggung dan semua pengikut serta utang dari debitur pailit tersebut.
J. Satrio berpendapatdalam hal demikian menyuruh kreditur menagih debitur-utama yang
sudah pailit hanya memperpanjang waktuyang tidak berguna sebab sebagai akibat dari
kepailitan, karena debitur tidak dapat membayar lagi dan seluruh harta kekayaannya
sekarang ada dalam kepailitan dan dikuasai oleh kurator.102
102 J. Satrio, Op.Cit., hal 121.
Dalam kaitannya dengan Pasal
1832 angka 4 KUH Perdata, menunjukkan bahwa dalam hal debitor telah dinyatakan pailit,
Universitas Sumatera Utara
62
maka tidak mungkin lagi bagi penanggung untuk menuntut supaya benda debitor terlebih
dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya.
Terkait dengan kewajiban penanggung dalam suatu perdamaian yang dilakukan antara
debitur dengan kreditur dalam kepailitan, maka berdasarkan Pasal 155 ayat (1) FV,
menegaskan bahwa perdamaian yang dicapai oleh debitur dengan para kreditur konkuren
dalam kepailitan tidaklah menghapuskan hak kreditur konkuren tersebut untuk menuntut
penanggung dari debitur tersebut.103Ditambah dengan ketentuan Pasal 154 FV104
b. Hak untuk membagi hutang (voorrecht van schuldsplitsing).
yang
menyatakan bahwa hasil perdamaian yang dicapai oleh debitor dalam kepailitan dengan
kreditur konkuren mengikat pula diri penanggung debitor tersebut, dan selanjutnya menjadi
dasar pengajuan gugatan atau kepailitan bagi penanggung. Sehingga berdasarkan ketentuan
tersebut diatas, dengan diputuskannya kepailitan terhadap diri debitur, maka penanggung
kehilangan hak istimewanya, yang diberikan dalam Pasal 1831 jo. Pasal 1834 KUH
Perdata.
Selain hak untuk menuntut terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUH
Perdata, termasuk sebagai hak istimewa penanggung adalah hak untuk membagi hutang
(voorrecht van schuldsplitsing). Jika dalam perjanjian penanggungan terdapat beberapa
orang yang mengikatkan diri sebagai penanggung untuk suatu hutangdan untuk seorang
debitur yang sama, maka masing-masing penanggung terikat untuk seluruh
hutang.105
103 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit.., hal. 161. 104 92 Pasal 154 FV: Putusan pengesahan perdamaian yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dalam
hubungannya dengan surat pemberitaan rapat pencocokan piutang sekedar tidak dibantah oleh debitur pailit menurut Pasal 122 merupakan bagi semua piutang yang diakui, suatu alas hak yang dapat dijalankan terhadap debitur dan semua orang yang telah menjadi penanggung.
105 R. Subekti, Op. Cit., Pasal 1836.
Ketentuan Undang-undang memberikan hak bagi masing-masing penanggung
Universitas Sumatera Utara
63
ini untuk membagi hutangnya,yaitu pada waktu digugat untuk pemenuhan hutang dapat
menuntut agarsi kreditur terlebih dahulu membagi-bagi piutangnya untuk bagian-bagian
dari penanggung.106
Dengan konsepsi yang demikian, berarti setiap penanggung yang dituntut untuk memenuhi
perikatan debitor adalah berhak dan berwenanguntuk meminta pemecahan atau pembagian
kewajiban debitor, menurutbesarnya imbangan penanggungan utang yang diberikan oleh
Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur mengenai penanggungan utang yang
diberikan oleh lebih dari seorang penanggungutang dalam tiga pasal, yang dimulai dari
Pasal 1836 hingga Pasal 1838KUH Perdata, yang secara lengkapnya berbunyi:
Pasal 1836 Jika beberapa orang telah mengikatkan dan sebagai penanggung untuk seorang debitor yang sama, lagi pula untuk utang yang sama, maka masing-masing adalah terikat untuk seluruh utang itu.
Pasal 1837 Namun itu masing-masing dari mereka, jika ia tidak telah melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemecahan utangnya, pada pertama kalinya ia digugat di muka Hakim, dapat menuntut supaya kreditor lebih dahulu membagi piutangnya, dan menguranginya hingga bagian masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah. Jika pada waktu salah seorang penanggung menuntut pemecahan utangnya, seorang atau beberapa orang teman penanggung berada dalam keadaan tak mampu, maka penanggung tersebut diwajibkan membayar untuk orang-orang yang tak mampu itu menurut imbangan bagiannya; tetapi ia tidak bertanggung jawab jika ketidakmampuan orang-orang itu terjadi setelahnya pemecahan utangnya.
Pasal 1838 Jika si berpiutang sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka tak bolehlah ia menarik kembali pemecahan utang itu, biarpun beberapa orang di antara para penanggung tidak mampu sebelum ia telah membagi-bagi utangnya.
106 Sri Soedewi Masjschoen Sofwan, Op.Cit., hal. 93.
Universitas Sumatera Utara
64
masing-masing penanggung. Walau demikian, dalam hal setelah pemecahanutang
dilakukan, kemudian salah satu atau lebih penanggung, yang menurut ketentuan Pasal 1836
KUH Perdata terikat dalam perikatan tanggung-menanggung, menjadi tidak mampu untuk
memenuhi kewajibannya, maka bagian dari kewajiban penanggung-penanggung ini akan
dibagi secara prorata kepada penanggung-penanggung yang masih ada menurut besarnya
imbangan kewajiban masing-masing terhadap debitor.107
Sejalan dengan sifat tanggung menanggung yang diberikan dalam Pasal 1823 KUH
Perdata, hak istimewa penanggung untuk meminta pembagian dan pemecahan kewajiban
mereka dapat ditiadakan dengan menjanjikan peniadaan hak istimewa tersebut dalam
setiap penanggungan utang yang diadakan antara kreditor dengan masing-masing
penanggung. Bahkan berdasarkan rumusan Pasal 1837 ayat (1) KUH Perdata, hak untuk
meminta pemecahan utang tanggung menanggung bagi para penanggung hanya dapat
diajukan pada saat pertama kali digugat di hadapan hakim pengadilan, dalam bentuk
eksepsi. Sehingga jika tidak dikemukakan dalam jawaban gugatan pertama, demi hukum
masing-masing penanggung bertanggung jawab untuk seluruh piutang kreditor sebagai
debitor dalam perikatan tanggung menanggung pasif.
Tetapi dalam hal kreditor secara
sukarela telah membagi atau memecah tuntutannya kepada masing-masing penanggung,
maka pembagian atau pemecahan tersebut tidak dapat dibatalkan kembali.
108
Dalam hal terjadi pelepasan hak untuk membagi hutang oleh para penanggung, maka disini
terjadi “hoofdelijkheid”, perutangan tanggung menanggung antara para penanggung. Oleh
karena itu, maka berlakulah ketentuan perutangan tanggung menanggung, misalnya pasal
1280, 1283, 1284 KUH Perdata, ialah:
107 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit.., hal. 153. 108 Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung: Citra
Aditya Bakti), 1989, hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
65
1) Masing-masing debitur dapat dituntut untuk seluruh hutang, dan pemenuhan hutang
oleh salah seorang debitur membebaskan debitur-debitur lainnya terhadap si
berhutang.
2) Bahwa si debitor yang dipilih kreditor dapat ditagih, dengan tidak ada kemungkinan
bagi debitor untuk minta agar hutangnya dipecah.
3) Tuntutan yang ditujukan pada salah seorang debitor tidak menjadi halangan bagi si
kreditor untuk juga melaksanakan haknya terhadap debitor lainnya.109
c. Hak untuk mengajukan tangkisan gugat.
Hak untuk mengajukan tangkisan dari si penanggung lahir dari perjanjian penanggungan,
juga lahir karena sifat accessoir dari perjanjian penanggungan. Pasal 1847 KUH Perdata
diatur pada bagian yang mengatur mengenai hapusnya penanggungan, tetapi ternyata di
dalam pasal tersebut diatur tentang hak yang dapat dikemukakan borg pada umumnya.
Pasal 1847 KUH Perdata menyebutkan bahwa:
Si penanggung utang dapat menggunakan terhadap si berpiutang segala tangkisan yang dapat dipakai oleh si berutang utama dan mengenai utangnya yang ditanggung itu sendiri. Namun tak bolehlah ia mengajukan tangkisan-tangkisan yang melulu mengenai pribadi si berutang.
Di sini pembuat undang-undang membedakan antara tangkisan yang mengenai pribadi
debitur-utama dan yang mengenai hutang itu sendiri. Tangkisan yang mengenai pribadi
debitur-utama, umpamanya adalah ketidakcakapan bertindak atau adanya (kesempatan)
penundaan pembayaran (terme de grace).110
109 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 94. 110 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 109.
Yang dimaksud oleh Pasal 1847 KUH Perdata
adalah bahwa tangkisan-tangkisan yang dipunyai debitur-utama, yang dapat dikemukakan
oleh borg adalah tangkisan-tangkisan yang mengenai “hutang/perikatan” itu sendiri, seperti
misalnya: perikatan tersebut bertentangan dengan undang-undang, tata karma atau
Universitas Sumatera Utara
66
ketertiban umum; dapat juga berupa tangkisan, bahwa berdasarkan ketentuan waktu,
tagihan tersebut belum matang untuk ditagih atau perikatan itu, dengan kompensasi telah
menjadi hapus.111
Hak borg berdasarkan Pasal 1847 KUH Perdata merupakan hak yang diberikan oleh
undang-undang sendiri, sehingga penggunaannya tidak bergantung dari debitur-utama.
Sekalipun debitur-utama tidak memanfaatkan tangkisan tersebut, tetapi borg tetap dapat
menggunakannya.
Tangkisan yang bertalian denganpribadi si debitur menurut Undang-
undang tidak dapat diajukan oleh penanggung.
112
d. Hak untuk diberhentikan dari penanggungan (karena terhalang melakukan subrogasi)
akibat perbuatan kesalahan kreditur.
113
Si penanggung berhak untuk diberhentikan dari penanggungan jika karena perbuatan si
kreditur si penanggung menjadi terhalang atau tidak dapat lagi bertindak terhadap hak-
haknya, hipotiknya, dan hak-hak utama dari kreditur. Pasal 1848 KUH Perdata menyatakan
bahwa “si penanggung dibebaskan apabila ia karena salahnya si berpiutang, tidak lagi
dapat menggantikan hak-haknya, hipotik-hipotiknya, dan hak-hak istimewanya dari si
berpiutang itu”. Hak demikian itu timbul sebagai akibat adanya ketentuan bahwa bagi
penanggung yang telah membayar, karena hukum akan menggantikan semua hak-hak
kreditur terhadap debitur. Jika ini tidak terlaksana karena kesalahan dari kreditur maka
akibatnya penanggung akan diberhentikan sebagai penanggung dan perjanjian
penanggungannya akan gugur.
114
111 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2003. 112Ibid., hal. 113. 113Ibid., hal. 92. 114 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., hal. 96.
Dalam praktek adanya hak untuk diberhentikan dari si
penanggung sangat merugikan kedudukan kreditur. Karena biasanya jika suatu piutang
Universitas Sumatera Utara
67
dijamin dengan jaminan-jaminan lain selain penanggungan, maka untuk pemenuhannya
kreditur akan berusaha untuk terlebih dahulu menjual barang-barang jaminan itu. Namun
sebaliknya jika ditinjau dari segi kepentingan si penanggung, maka dengan dijualnya
benda-benda jaminan hutang, si penanggung nantinya menjadi tidak terjamin dengan
benda-benda jaminan itu, yang akan beralih kepadanya karena subrogasi, jika ia membayar
hutangnya nanti.115
D. Hapusnya Penanggung Utang
Dalam praktek perbankan, demikepentingan si kreditur, senantiasa
diadakan janji dengan tegas dalam akta perjanjian penanggungan agar si penanggung
melepaskan haknya untuk minta diberhentikan sebagai penanggung.
Hak-hak Penanggung sebagaimana tersebut diatas, dalam hal ini dapat dibedakan
menjadi hak umum dan hak istimewa dari Penanggung. Termasuk sebagai hak istimewa dari
Penanggung antara lain adalah hak untuk menuntut lebih dahulu dan hak untuk membagi hutang.
Secara umum dalam ketentuan Pasal 1845 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Perikatan
yang diterbitkan dari penanggungan hapus karena sebab-sebab yang sama, sebagaimana yang
menyebabkan berakhirnya perikatan-perikatan lainnya.” Dengan rumusan ini berarti
berlakulah ketentuan Pasal 1381 KUH
Perdata yang berbunyi:
Perikatan hapus: 1. karena pembayaran. 2. karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan. 3. karena pembaharuan utang. 4. karena perjumpaan utang atau kompensasi. 5. karena percampuran utang. 6. karena pembebasan utang. 7. karena musnahnya barang yang terutang. 8. karena kebatalan atau pembatalan.
115 Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberti Offset, 1980), hal. 97-98.
Universitas Sumatera Utara
68
9. karena berlakunya suatu syarat pembatalan yang diatur dalam Bab I buku ini. 10. karena lewatnya waktu, yang diatur dalam suatu bab tersendiri.
Dengan demikian, maka segala hal yang disebutkan dalam Pasal 1381 KUH Perdata dan
ketentuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal tersebut, berlaku umum bagi
hapusnya perikatan penanggung demi hukum.116
Percampuran hutang yang disebutkan dalam pasal ini adalah percampuran kualitas
debitur-utama dan penanggung. Dengan bercampurnya kualitas debitur-utama dan borg pada
satu orang yang sama, maka borg adalah juga debitur. Dengan itu tidak berarti bahwa
penanggungan menjadi hapus, dan karenanya adalah logis jika berdasarkan Pasal 1846 KUH
Perdata, kreditur tetap berhak menuntut penanggung dari si penanggung.
Selain itu, berdasarkan sifat ikutan atau
accessoir dari perjanjian penanggungan utang ini terhadap perikatan pokok, maka hapusnya
perikatan pokok, kecuali yangdisebutkan dalam Pasal 1821 ayat (2) KUH Perdata demi hukum
juga dapatmenghapuskan perikatan yang lahir dari perjanjian penanggungan utang ini.
Berkaitan dengan hapusnya penanggungan utang, perlu diperhatikanketentuan-
ketentuan yang mengecualikan Pasal 1845 jo. Pasal 1381 KUH Perdata,yaitu antara lain pada
Pasal 1846 KUH Perdata dinyatakan bahwa:
Percampuran yang terjadi di antara pribadinya si berutang utama dan pribadinya si penanggung utang, sekali-kali tidak mematikan tuntutan hukum si berpiutang terhadap orang yang telah memajukan diri sebagai penanggungnya si penanggung.
117
Ketentuan Pasal 1849 KUH Perdata menunjuk pada penghapusan piutang sebagai akibat
dari pembayaran menurut Pasal 1389 KUH Perdata yang diterima secara sukarela oleh kreditor.
Dengan penerimaan tersebut secara sukarela oleh kreditor, maka perikatan pokok menjadi hapus
116 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit., hal. 202. 117 J. Satrio (1), Op.Cit., hal. 225.
Universitas Sumatera Utara
69
dengan segala konsekuensinya bagi penanggung utang.118 Tetapi sesuai dengan syarat Pasal
1384, bahwa barang itu kemudian berdasarkan keputusan Pengadilan harus diserahkan kepada
orang lain, maka in betaling giving tersebut menjadi batal dan prestasi debitur menjadi tetap
terhutang, dengan konsekuensinya, borg tetap terikat.119
118 Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit., hal. 211. 119Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, (Bandung: Alumni, 2007),
hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
70
BAB IV
AKIBAT HUKUM ATAS PENYATAAN PAILIT
TERHADAP PENANGGUNG UTANG SEBAGAI
JAMINAN PERUSAHAAN (STUDI KASUS PT. SARI JAYA LESTARI)
A. Kasus Kepailitan PT. Sari Jaya Lestari
1. Kasus Posisi Secara Umum
Perkara ini didaftar dengan Nomor Register Perkara 38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby. PT.
Bank Rabobank International Indnesia, suatu perusahaan perbankan yang didirikan berdasarkan
hukum Negara Republik Indonesia, berkedudukan di Plaza 89, Lantai 9, Jl. H. R. Rasuna Said
Kav. X-7 Nomor 6, Jakarta, sebagai pemohon pailit, terhadap PT. Jaya Lestari, suatu perseroan
terbatas yang didirikan berdasarkan dan tunduk pada hukum Negara Republik Indonesia,
berkedudukan di Jl. Kedung Cowek Nomor 235, Surabaya, sebagai Termohon Pailit.
Terhadap Termohon diajukan permohonan pailit dalam kedudukannya sebagai
Corporate Guarantor dari PT. Golden Harvestindo berdasarkan Continuing Guarantee atau
Perjanjian Penjaminan Berkelanjutan. PT. Golden Harvestindo merupakan Debitur dari Bank
Rabobank berdasarkan Facility Agreement No. LA/CA/1279/2006 tanggal 8 Juni 2006, yang
dibuat antara PT. Golden Harvestindo dengan Bank Rabobank. Perjanjian Penjaminan dalam hal
ini dibuat oleh Termohon Pailit untuk menjamin pembayaran dan pelunasan utang PT. Golden
Harvestindo terhadap Pemohon.
Dalam Perjanjian Penjaminan yang dibuat antara Pemohon Pailit dengan Termohon
sebagai Penjamin, Termohon telah melepaskan hak-hak istimewa yang dimiliki oleh seorang
Universitas Sumatera Utara
71
Penjamin. Termohon telah mengesampingkan antara lain, ketentuan Pasal 1430, 1831, 1833,
1837, 1838, 1843, 1847, 1848, 1849, dan 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Atas permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh Pemohon, Pengadilan Negeri
Surabaya mengabulkan permohonan kepailitan yang diajukan untuk seluruhnya serta
menyatakan Termohon, yaitu PT. Jaya Lestari, pailit dengan segala akibat hukumnya. Terhadap
putusan dari Pengadilan Niaga Surabaya tersebut, kemudian Termohon mengajukan kasasike
Mahkamah Agung dengan Nomor Register Perkara 158 K/Pdt.Sus-Pailit/2014.
2. Perkara di Tingkat Pertama
Dalam permohonan pernyataan pailit yang diajukan, Pemohon mendalilkan bahwa
Termohon merupakan Debitur dari Pemohon berdasarkan Perjanjian Penjaminan Berkelanjutan
yang dibuat pada tanggal 8 Juni 2006 untuk menjamin pembayaran kembali dan/atau pelunasan
utang dari PT. Golden Harvestindo kepada Termohon. Pemohon kemudian mendalilkan bahwa
dalam perjanjian penjaminan, Termohon telah melepaskan hak-hak istimewa Penjamin, dengan
mengesampingkan Pasal 1430, 1831, 1833, 1837, 1838, 1843, 1847, 1848, 1849, dan 1850 KUH
Perdata.
Selanjutnya Pemohon mendalilkan bahwa berdasarkan Facility Agreement yang
diberikan, PT. Golden Harvestindo telah tidak melakukan pembayaran sejumlah US$
1.771.032,59 yang telah jatuh tempo tanggal 30 Juni 2011. Sehingga syarat pailit berdasarkan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 bahwa Termohon telah tidak membayar
lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, oleh Pemohon dianggap
telah terpenuhi. Pemohon juga mendalilkan bahwa selain Termohon, Pemohon mempunyai
kreditur lain, yaitu PT. Bank Central Asia Tbk., Cabang Pasuruan, yang memberikan fasilitas
kredit berdasarkan Sistem Informasi Debitur Bank Indonesia Nomor Laporan:
Universitas Sumatera Utara
72
15/123684157/DPIP/PIK tertanggal 2013. Sehingga berdasarkan dalil Pemohon, Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah terpenuhi.
Atas permohonan tersebut, Termohon mengajukan eksepsi, antara lain eksepsi ne bis in
idem, yaitu bahwa permohonan pernyataan pailit telah diajukan sebelumnya oleh Pemohon pada
Pengadilan Negeri Surabaya dalam perkara Nomor 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134
PK/Pdt.Sus/2012 tanggal 12 November 2012, dengan subjek maupun objek perkara yang sama.
Terkait pokok perkara, Termohon mendalilkan bahwa Termohon hanya berkedudukan sebagai
Penjamin dari Debitur Utama, yaitu PT. Golden Harvestindo, dimana kedudukan dari Penjamin
adalah sebagai pihak accessoir. Pihak Termohon juga mendalilkan tidak terpenuhinya
ketentuanPasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengenai syarat pembuktian
sederhana.
Pertimbangan Hakim:
Terhadap permohonan pernyataan pailit, Pengadilan Niaga padaPengadilan
Negeri Surabaya menjatuhkan Putusan Nomor 38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby tanggal 13 Januari
2014, yang dalam Pertimbangan Hakim Dalam Pokok Perkara menyatakan:
Bahwa inti pokok permasalahan atas permohonan Pemohon adalah Pemohon
merupakan Kreditur dari Termohon sebagaimana telah ditandatanganinya Facility Agreement
tanggal 08 Juni 2006 Nomor LA/CA/1279/2006 dan berdasarkan Continuing Guarantee
(Perjanjian Peninjauan Berkelanjutan) tanggal 8 Juni 2006, Termohon Pailit adalah Debitur dari
Pemohon Pailit.
Bahwa pada kenyataannya PT. Golden telah tidak memenuhi kewajiban pembayaran
fasilitas kredit yang diberikan oleh Pemohon Pailit yang secara keseluruhan berjumlah US $
Universitas Sumatera Utara
73
1.771.032, 59 (satu juta tujuh ratus tujuh puluh satu ribu tiga puluh dua dolar amerika serikat dan
lima puluh Sembilan sen) dan telah jatuh waktu pada tanggal 30 Juni 2011.
Bahwa Pemohon Pailit telah menunjuk kepada Termohon secara patut untuk membayar
kewajiban utangnya tersebut pada tanggal 5 Januari 2012 dan tanggal 6 Januari 2012, namun
hingga saat permohonan pernyataan pailit a quo diajukan, Termohon Pailit tidak juga
melaksanakan kewajibannya kepada Pemohon Pailit.
Menimbang bahwa Termohon selain mempunyai utang kepada Pemohon juga memiliki
Kreditur lain, yaitu PT. Bank Central Asia, Tbk Cabang Pasuruan. Dengan demikian, Pemohon
mendalilkan bahwa pada faktanya terdapat utang yang telah jatuh waktu dan adanya 2 (dua)
Kreditur, sehingga permohonan Pemohon pernyataan pailit wajib untuk dikabulkan.
Selanjutnya, Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Surabaya meyakini berdasarkan
bukti P-24, P-25 yaitu pendapat hukum dari ahli hukum J. Satrio, serta bukti P-26 dan P-27 yaitu
putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, membuktikan bahwa seorang
Penanggung (Borg) dapatdimohonkan secara bersama-sama dengan Debitur utama. Sehingga
menurutpertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, PT. Jaya Lestari, sebagai Termohon,
dinyatakan Pailit, dan permohonan yang diajukan PT. Rabobank International dikabulkan.
3. Perkara di Tingkat Kasasi
Di tingkat Kasasi, PT. Jaya Lestari, sebelumnya sebagai Termohon Pailit, mengajukan
permohonan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Dalam memori Kasasi, Pemohon Kasasi
(sebelumnya Termohon Pailit) kembali mendalilkan bahwa telah terjadi ne bis in idem atas
permohonan yang diajukan Termohon Kasasi (sebelumnya sebagai Pemohon Pailit), dengan
alasan bahwa pada tanggal 6 Maret 2012 Pemohon telah mengajukan permohonan pernyataan
pailit yang diajukan terhadap PT. Golden Harvestindo sebagai Termohon I, Daphnis Ekadriya
Universitas Sumatera Utara
74
Natahamidjaja (Komisaris PT. Golden Harvestindo) sebagai Termohon II, Lucky Lumanto
(Direktur PT. Golden Harvestindo) sebagai Termohon IV, serta PT. Jaya Lestari sebagai
Termohon
II. Perkara dengan register Nomor 06/PAILIT/2012/PN.Niaga.Sby. tersebut dinyatakan
tidak dapat diterima dan tidak dikabulkan oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya, yang inti dari putusannya berbunyi
“Menolak Permohonan Pailit yang diajukan oleh Pemohon”. Terhadap putusan
Pengadilan Niaga tersebut pihak PT. Bank Rabobank mengajukan upaya hukum Peninjauan
Kembali kepada Mahkamah Agung dengan register Nomor Perkara: 134 PK/Pdt.Sus/2012.
Dalam putusannya, Mahkamah Agung menolak permohonan Peninjauan Kembali atas perkara a
quo.
Pemohon dalam memori kasasi kembali mendalilkan bahwa dengan kedudukan
hukumnya sebagai Penjamin/Guarantor berdasarkan perjanjian yang bersifat accessoir, ia bukan
sebagai subjek hutang “manakala” terhadap Debitur belum dilakukan tindakan eksekusi harta
kekayaannya terlebih dahulu untuk membayar hutang/kewajibannya kepada Pemohon Pailit.
Terutama dalam kasus ini, kedudukan dari Debitur-utama masih tidak disentuh sama sekali oleh
Pemohon dan tidak ada tindakan pemberesan terhadap harta kekayaan Debitur-utama.
Selain itu, Pemohon Kasasi mendalilkan bahwa permohonan pernyataan pailit dianggap
prematur, dikarenakan PT. Bank Rabobank International masih memiliki barang-barang jaminan
yang diberikan oleh Debitur-utama sesuai dengan Akta Jaminan Fidusia, sehingga Pemohon
Pailit/Termohon Kasasi seharusnya perlu melaksanakan hal-hal yang tercantum dalam Akta
Jaminan Fidusia terlebih dahulu.
Pertimbangan Hakim:
Universitas Sumatera Utara
75
Majelis Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung membenarkan beberapa keberatan-
keberatan kasasi yang diberikan oleh PT. Jaya Lestari yaitu telah terdapat kesalahan dalam
penerapan hukum. Antara lain, bahwa PT. Jaya Lestari bersama-sama dengan PT. Golden
Harvestindo, dkk., sudah pernahdiajukan untuk dipailitkan berdasarkan perkara No.
06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012, yang amarnya “menolak
permohonan pailit”. Bahwa selain itu, alasan dimohonkan pailit untuk Termohon Pailit/Pemohon
Kasasi adalah sama dengan alasan pailit dalam perkara a quo, yaitu dalam kedudukannya sebagai
Penjamin terhadap PT. Golden Harvestindo.
Sehingga berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, pertimbangan
Judex Factie Pengadilan Niaga adalah keliru dikarenakan ne bis in idem. Meskipun asas ne bis in
idem tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, namun bukan berarti asas
tersebut tidak dapat diterapkan dalam hukum kepailitan, karena sepanjang tidak diatur secara
khusus dalam hukum kepailitan, maka asas umum dalam perkara perdata adalah tetap berlaku.
Bahwa dikarenakan permohonan pailit yang diajukan Pemohon Pailit terhadap
Termohon Pailit dalam perkara Nomor 06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134
PK/Pdt.Sus/2012 telah ditolak yang berarti bahwa putusan mengandung artian putusan positif,
sehingga Termohon Pailit tidak dapat lagi diajukan untuk kedua kalinya dalam perkara ini,
sehingga putusan Judex Facti harus dibatalkan dengan menolak permohonan pailit.
Terkait kedudukan hukum Termohon Pailit sebagai Penanggung, Majelis Hakim
Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan seharusnya ditujukan oleh Kreditor atau
Pemohon Pailit kepada Debitur yang memperoleh fasilitaskredit, yaitu PT. Golden Harvestindo.
Dimana terdapat jaminan berupa perjanjian jaminan fidusia Nomor 26 dan 27 tanggal 8 Juni
Universitas Sumatera Utara
76
2005 dimana sesuai ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan, jaminan tersebut harus dilelang terlebih dahulu.
Akhirnya berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan kasasi yang diajukan oleh PT.
Jaya Lestari tersebut dikabulkan dan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya Nomor 38/Pailit/2013/PN.Niaga.Sby tanggal 13 Januari 2014 dibatalkan.
B. Kedudukan Hukum Perusahaan Jaminan yang Melepaskan Hak Istimewanya dalam
Kepailitan
1. Penanggung Sebagai Debitor
Pasal 1 angka 1 UUKPKPU menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Debitor adalah
orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya
dapat ditagih di muka pengadilan. Selanjutnya,Pasal 1 angka 6 UUKPKPU menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan utangadalah:
Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun dalam mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka pengertian utang dalam UUKPKPU adalah
pengertian dalam arti luas yang mempunyai makna sebagaiprestasi yang harus dibayar, yang
timbul sebagai akibat dari perikatan. Istilahutang dalam hal ini merujuk pada kewajiban dalam
lapangan hukum perdata.Menurut Pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau utang dapat timbul
dari perjanjian maupun dari undang-undang. Terdapat kewajiban untukmemberikan sesuatu,
berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
77
Salah satucontoh kewajiban yang timbul dari Perjanjian adalah kewajiban
Penjamin(Guarantor) untuk menjamin pembayaran kembali pinajamn Debitur-utamakepada
Kreditur.Kewajiban seorang Guarantor timbul melalui perjanjian penanggungan yang dibuat
antara Guarantordengan Kreditur. Perjanjian penanggungandibuat demi kepentingan Debitur,
namun menghasilkan kewajiban hukum bagi Guarantor yang wajib untuk dipenuhi.
Menurut J. Satrio, dalamhubungan hukum antara Kreditur dengan Debitur, Penanggung
berkedudukansebagai pihak ketiga, namun, Penanggung dengan sukarela telah mengikatkandiri
sebagai Debitur kepada Kreditur untuk prestasi yang sama (paling tidak dengan nilai yang sama)
dengan Debitur-utama.120
1. Yahya Harahap, berpendapat bahwa:
Sehingga, dapat dikatakanbahwa sesudah Debitur-utama
wanprestasi, Kreditur mempunyai dua orangDebitur yang sama-sama dapat ditagih untuk seluruh
hutang dan pembayaranoleh yang satu membebaskan yang lain.Dalam kedudukannya sebagai
Penanggung atas Debitur-utama, makaPenanggung mempunyai kewajiban untuk memenuhi
prestasi Debitur-utamaterhadap Kreditor. Terkait status hukum dari Penanggung sebagai
Debituryang dapat dipailitkan, beberapa ahli hukum berpendapat:
“Borg atau Guarantor menurut Pasal 1820 KUH Perdata, bukan debitur. Tetapi hanya seseorang yang mengikat diri untuk memenuhi perikatan apabila debitor sendiri tidak memenuhi. Dalam kedudukan perikatan yang demikian baik secara teknis dan substantif, penjamin bukan berubah menjadi debitor. Kedudukannya secara yuridis telah dilembagakan secara murni dalam bentuk BORGTOCHT.”121
2. Denny Kailimang, S.H.:
122
“Sebagai debitur, Penanggung/Guarantor dapat saja dipailitkan dengan syarat Penanggung/Guarantor mempunyai lebih dari 1 kreditur, berarti selain mempunyai
120 J. Satrio (1), Op. Cit., hal. 42. 121 Yahya Harahap, “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, Makalah, Bukti T-3 dalam perkara
Nomor 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST. 122 Denny Kailimang, “Problematik yang Dihadapi Debitur/Kreditur Berkaitan dengan Personal
Guarantee atau Corporate Guarantee Sehubungan Dengan Gugatan Kepailitan”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 412.
Universitas Sumatera Utara
78
kewajiban membayar utang kepada kreditur (pemohon pailit) juga mempunyai utang kepada kreditur lainnya dan salah utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.”
3. Pendapat Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H.,123
“Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadapseorang penjamin atau penanggung dapat diajukan tanpa mengajukan permohonan pernyataan pailit pula kepada debitor hanyalah apabila penjamin atau penanggung telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda atau harta kekayaan debitor disita dan dijual terlebih dahulu.”
4. J. Djohansjah berpendapat bahwa:124
“Dalam hal si Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya, maka Penanggung tersebut dapat dianggap telah mengambilalih semua tanggung jawab si Debitor terhadap si Kreditor. Selanjutnya si Kreditor dapat memilih siapa yang akan dituntutnya si Debitor ataukah si Penanggung atau dengan kata lain si Kreditor dapat memohon kepailitan si Penanggung tanpa terlebih dahulu momohon kepailitan terhadap si Debitor.”
Selain itu, perbedaan penafsiran terkait kedudukan hukum Guarantor juga dapat
dilihat melalui beragamnya pertimbangan hakim dalam putusan-putusan penetapan kepailitan,
yaitu antara lain:
1. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 39 K/N/1999:
“Bahwa i.c. termohon sebagai Guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya maka kreditor dapat secara langsung menuntut Termohon untuk memenuhi kewajibannya.”
2. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 19/PK/N/2000:
”Bahwa meskipun ada pelepasan hak istimewa dari penanggung/penjamin sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 1832 BW tetapi tidak berarti kedudukan penanggung/penjamin (guarantor) dapat menggantikan debitor, karena ketentuan pasal 1832 BW hanya bersifat memberi kewenangan kepada kreditor untuk menyita barang penanggung/penjamin (guarantor) untuk melunasi hutang penanggung/penjamin (guarantor) kehilangan haknya untuk menuntut agar barang-barang debitor dahulu yang disita.”
3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 35 K/N/2001 tertanggal 10 Oktober 2001:
123 Sutan Remy Sjahdeni (1), Op. Cit., hal. 99. 124 J. Djohansah, Op. Cit., hal. 46.
Universitas Sumatera Utara
79
”Lagi pula mengenai perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir dari suatu perjanjian pokok, dengan demikian penjamin tidak dapat menggantikan kedudukan debitor. Pelepasan hak istimewa diartikan bahwa kreditor berhak menuntut barang-barang penjamin untuk melunasi hutang debitor.”
4. Putusan MA Nomor 922 K/PDT/1995: “Dalam kasus personal guarantee atau BORGTOCHT harus ditegaskan azas penjamin selamanya adalah penjamin (guarantor always guarantor) atas pembayaran hutang principal apabila principal tidak membayar atautidak mampu membayar hutang kepada Debitor. Oleh karena itu status keperdataan principal tidak dapat dialihkan kepada Guarantor di luar tuntutan pembayaran hutang principal. Konsekuensi logis dari azas tersebut, kepada Guarantor tidak dapat pailit atau wanprestasi yang dilakukan principal. Yang dapat dituntut dari Guarantor adalah pelunasan hutang principal baik dalam bentuk bersama-sama dengan principal atau terhadap Guarantor.”
5. Putusan Pengadilan Niaga Nomor 18/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst jo. Putusan Mahkamah
Agung RI Nomor 02/K/N/1999:
“Mengabulkan permohonan pernyataan pailit dan menyatakan Debitur Prinsipal/Utama dan Penanggung/Guarantor pailit, dengan pertimbangan bahwa Termohon I (Debitur Prinsipal/Utama) dan Termohon II (Penanggung/Guarantor) terbukti tidak dapat membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.”
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku, terkait kedudukan
hukum Penanggung sebagai Debitur belum dinyatakan secaraeksplisit oleh Undang-Undang.
Sehingga, selama ini putusan kepailitan atas Penanggung diputuskan dengan
mempertimbangkan yurisprudensi maupun pendapat para ahli hukum yang keduanya tidak
mempunyai kekuatan hukummengikat. Tidak terdapatnya pengaturan hukum yang jelas terkait
kepailitan Penanggung mengakibatkan perbedaan penafsiran terhadap ketentuan Undang-
Undang.
2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Universitas Sumatera Utara
80
Kembali kepada makna dari Penanggungan berdasarkan Pasal 1820 KUH Perdata,
yaitu bahwa:
Penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
KUH Perdata secara jelas mendefinisikan penanggungan sebagai suatu perjanjian yang
dibuat “untuk kepentingan si berpiutang”. Perjanjianpenanggungan adalah perjanjian yang
bersifat accessoir terhadap perjanjianpokoknya. Kausa perjanjian penanggungan adalah untuk
memperkuat perjanjian pokok.125
Hak-hak yang pada umumnya dikecualikan olehPenanggung dalam perjanjian
penanggungan adalah hak untuk menuntut disitadan dijualnya barang Debitor terlebih dahulu
(Pasal 1831 KUH Perdata), hakuntuk membagi hutang (Pasal 1837 KUH Perdata), hak untuk
mengajukantangkisan gugatan (Pasal 1847 KUH Perdata), serta hak untuk diberhentikandari
penanggungan (Pasal 1848 KUH Perdata). Konstruksi hukum atas Penanggung yang tidak
Pada hakikatnya, berdasarkan Pasal 1831 KUH Perdata,
kewajiban Penanggung untuk membayar timbul pada saat harta benda milik Debitur-utama telah
disita dan dilelang terlebih dahulu dan hasilnya tidak cukup untukmelunasi kewajibannya atau
dalam hal Debitur-utama telah tidak mempunyaiharta apapun.
Hal ini sejalan dengan konsep penanggungan yang ditinjau daricara pemenuhannya
bersifat subsidair, yang memiliki makna bahwa peran Penanggung muncul setelah Debitur-
utama tidak memenuhi kewajibanperikatannya dengan baik sebagaimana mestinya.Guarantor
dalam praktik, pada umumnya akan diminta untukmelepaskan hak-hak istimewanya sebagai
Penanggung dengan tujuan untukmenguatkan kedudukan Kreditor manakala Debitor-utama tidak
mampu untukmelunasi hutang-hutangnya.
125 Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang , 2008, hal.28.
Universitas Sumatera Utara
81
melepaskan hak-hakistimewanya adalah jelas. Bahwa kewajiban Penanggung, sesuai dengan
sifataccessoir dari perjanjian penanggungan, baru muncul saat Debitur-utama telah tidak dapat
memenuhi kewajibannya dan harta milik Debitur-utama telah disita dan dilelang, namun
masih tidak dapat melunasi hutang-hutangnya terhadap Kreditor. Dengan demikian, apabila
dikaitkan dengan proseskepailitan, maka kedudukan hukum Penanggung dalam proses kepailitan
jugamenjadi jelas, yaitu bahwa Penanggung tidak dapat dinyatakan pailit sebelumharta milik
Debitur-utama telah disita dan dilelang, dan hasil penjualantersebut tidak cukup untuk
menutupi sisa hutang Penanggung.
Terkait hal ini,Elijana S.H. berpendapat bahwa:
“Untuk Guarantoryang tidak melepaskan Hak-Hak Istimewanya, Kreditur harus menggugat Debitur Utama terlebih dahulu setelah Harta Debitur utama disita dan dilelang tetapi tidak cukup hasilnya untuk melunasi seluruh utangnya jadi masih ada sisa utang yang belum terbayar atau telah terbukti Debitur Utama telah tidak mempunyai Harta apapun lagi atau Debitur utama telah dinyatakan Pailit oleh Kreditur lain baru kemudian Kreditur dapat menagih utang Debitur Utama kepada Guarantor. Apabila Guarantor setelah ditagih olehKreditur tetap tidak mau bayar maka Kreditur dapat mengajukan permohonan agar Penanggung/Guarantor dinyatakan Pailit.”126
Dalam kepailitan, kedudukan hukum Penanggung menjadi kabur karena tidak jelasnya
pengaturan dalam peraturan perundang-undangan terkait kedudukanhukum Penanggung.
Terutama dalam hal Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya.Pada dasarnya
penjaminan merupakan “a second pocket to pay if the firstshould be empty”.
127
126 Elijana S., “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding Company”,
dalam Penyelesaian Utang-Piutang Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 405.
127 Asrul Sani, Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Jaminan Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana dikutip dalam Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2, (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta, 2004), hal. 96.
Dari sini dapat
dilihat bahwa Penanggung merupakan pihak yang diminta pertanggungjawabannya apabila
Universitas Sumatera Utara
82
Debitor telah tidak mampu lagi memenuhi kewajibannya. Sejalan dengan pemikiran tersebut
diatur dalam Pasal 1832 ayat (4) KUH Perdata bahwa:
Si penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika si berutang berada dalam keadaan pailit.
Berdasarkan Pasal 1832 KUH Perdata, kewajiban Penanggung serta kedudukannya
sebagai Debitur muncul secara otomatis ketika Debitur-utama berada dalam keadaan pailit.
Berdasarkan Pasal 1832 ayat (4), makakewajiban Penanggung muncul pada saat Debitur-
utama telah terbukti tidakmampu untuk membayar hutang-hutangnya atau telah dinyatakan
pailit.Perihal tersebut Kartini Muljadi berpendapat perihal kepailitan Penanggungbahwa:
“Hal hilangnya hak istimewa Penanggung jika Debitur dipailitkan adalah konsekuensi logis dari kepailitan yang merupakan suatu sitaan umum terhadap seluruh kebendaan yang merupakan harta kekayaan Debitor. Dengan sitaan umum, maka tidak ada lagi harta kekayaan milik Debitor yang berada dalam keadaan bebas yang dapat ditunjuk oleh Penanggung sebagai pelunasan kewajiban Debitor kepada Kreditor.”128
1. Pengecualian atas Pasal 1831 KUH Perdata mengakibatkan Penanggung dapat langsung
dituntut oleh Kreditor untuk memenuhi hutang Debitur-utama, tanpa adanya kewajiban
Kreditor untuk menuntut disita dan dijualnya harta milik Debitor-utama terlebih dahulu.
Undang-Undang memberikan kebebasan bagi Penanggung untuk mengecualikan hak-
hak istimewanya, dengan menyatakannya secara tegas dalam perjanjian penanggungan.
Pengecualian atas hak-hak istimewa tersebut menimbulkan akibat hukum antara lain:
2. Pengecualian atas Pasal 1837 KUH Perdata mengakibatkan dalam hal terdapat lebih dari
seorang Penanggung, maka Penanggung tidak dapat meminta pemecahan hutang diantara
mereka. Konsekuensi dari pengecualian atas pasal ini adalah bahwa para penanggung
128 Kartini Muljadi, Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 184.
Universitas Sumatera Utara
83
tersebut bertanggung jawab untuk seluruh utang Debitur-utama dan masing-masing
Penanggung dapat dituntut untuk menanggung seluruh hutang dari Debitur-utama.
3. Pengecualian atas Pasal 1847 KUH Perdata mengakibatkan Penanggung kehilangan hak
untuk mengajukan tangkisan. Penanggung berdasarkan Pasal 1847 KUH Perdata
mempunyai hak untuk mengajukan tangkisan yang dapat digunakan Debitur terhadap
Kreditur, kecuali tangkisan yang berkaitan dengan keadaan pribadi Debitur sendiri.
Sehingga Pasal 1847 memberikan hak bagi Penanggung untuk dapat mengajukan semua
tangkisan yang berhubungan dengan hutang.
4. Pengecualian atas Pasal 1848 KUH Perdata mengakibatkan Penanggung tidak dapat
meminta untuk dibebaskan dari penanggungan dikarenakan kesalahan Kreditor yang
menyebabkan terhalangnya hak subrogasi Penanggung.
Terkait dengan kapan Debitor yang melepaskan hak-hak istimewanya dapat dinyatakan
pailit, berdasarkan yurisprudensi putusan-putusan Pengadilan Niaga serta pendapat para ahli
hukum, telah dapat diterima bahwa Guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya
dapat secara langsung dimohonkan pailit. Elijana S.H. menyatakan dalam buku Penyelesaian
Utang bahwa :
Untuk Guarantor yang telah melepaskan Hak-hak Istimewanya apalagi untuk Guarantor yang telah menyatakan dirinya bertanggung jawab renteng dengan Debitur-utama terhadap utang Debitur-utama kepada Kreditur maka Kreditur dapat langsung mengajukan permohonan kepailitan terhadap Guarantor tersebut. Asal agar permohonan Kreditur dapat dikabulkan, kuasa Kreditor dapat membuktikan di persidangan Niaga bahwa Guarantor termohon Pailit telah melepaskan Hak-hak Istimewanya dan bahwa Guarantor tersebut telah menyatakan diri/mengikatkan diri bertanggung jawab renteng dengan Debitur-utama terhadap utang Debitur-utama.
Pasal 1832 ayat (1) KUH Perdata pada umumnya dijadikan sebagai dasar hukum untuk
menuntut dipailitkannya Penanggung secara langsung. Dalamhal Penanggung tidak melepaskan
Universitas Sumatera Utara
84
hak istimewanya, maka kewajiban hukumPenanggung belum terdapat sampai barang-barang
milik Debitur-utama dijual terlebih dahulu. Namun, dalam hal Penanggung telah melepaskan hak
istimewanya, maka berakibat bahwa Penanggung bertanggung jawab atashutang Debitur-utama
tanpa adanya kewajiban bagi Kreditur untuk menyitadan menjual barang-barang milik Debitur-
utama terlebih dahulu.Dalam kaitannya dengan proses kepailitan, ketentuan KUH Perdata
yangmemungkinkan seorang Penanggung untuk dipailitkan, menimbulkan akibatbanyak dari
Penanggung yang dipailitkan tanpa dipailitkannya Debitur-utama.
3. Berdasarkan UUK-PKPU
Terkait dengan kedudukan hukum Guarantor, UUKPKPU tidak mengatur secara
spesifik, sehingga pengaturan atas kepailitan Guarantor lebih banyak mengacu pada
ketentuan-ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. UUKPKPU
mensyaratkan bahwa pihak yang dapat dimohonkan pailit adalah yang memenuhi ketentuan
Pasal 2 ayat (1)UUKPKPU, yaitu:
Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Selama Guarantor memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU jo. Pasal 8 ayat (4)
UUKPKPU, maka Hakim pada Pengadilan Niaga diwajibkan untuk mengabulkan permohonan
pernyataan pailit yang diajukan atas Debitor.
Mengenai kapan Penanggung sebagai Debitur dapat dipailitkan, UUKPKPU tidak
mengatur secara tegas. Namun, apabila konsep penanggungan dalam KUH Perdata kita tarik
dalam hukum kepailitan, maka dapat dikatakan bahwa bagi Penanggung yang telah melepaskan
hak-hak istimewanya, terhadapnya dapat secara langsung diajukan permohonan pailit. Hal
Universitas Sumatera Utara
85
dikecualikannya Pasal 1831 KUH Perdata, mengakibatkan kewajiban hukum Penanggung
muncul secara demi hukum, saat Debitur-utama wanprestasi atau cidera janji. Sehingga dengan
telah timbulnya kewajiban tersebut, Penanggung dapat dinyatakan telah berkedudukan hukum
sebagai Debitur yang dapat dinyatakan pailit.
Dalam hal Penanggung telah melepaskan hak-hak istimewanya, maka ia dapat dianggap
telah mengambil alih semua tanggung jawab Debitor terhadap Kreditor.129
Berdasarkan KUH Perdata, Penanggung dapat dianggap berkedudukan sebagai Debitur.
Hal ini didasarkan pada Pasal 1820 KUH Perdata, dimana Penanggung mengadakan perjanjian
dengan Kreditor untuk kepentingan dari Debitur-utama. Penjamin atau penanggung adalah juga
seorang Debitor yang berkewajiban untuk melunasi utang Debitor kepada Kreditor atau Para
Kreditornya apabila tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih.
Selanjutnya, Kreditor
dapat memilih siapa yang akan dituntutnya. Dalam hal ini, tentu Kreditor akan memilih pihak
yang mempunyai aset yang dapat memenuhi tagihannya. Sehingga, Kreditor dapat memohon
kepailitan Penanggung tanpa terlebih dahulu memohon kepailitan terhadap Debitor. Kebebasan
yang diberikan terhadap Kreditor tersebut oleh Undang-Undang ditambah dengan syarat
kepailitan yang memudahkan Kreditor untuk mengajukan pailit bagi Debitur, mengakibatkan
semakin banyaknya Penanggung yang dipailitkan tanpa dipailitkannya Debitur-utama.
130
Apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1832 ayat (1) KUH Perdata, maka tidak
terdapat larangan bagi Kreditur untuk mengajukan permohonan kepailitan kepada Penanggung
tanpa kewajiban untuk mempailitkan Debitur-utama terlebih dahulu. Namun, mengingat syarat
Sehingga dapat ditafsirkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2ayat (1) UUKPKPU juga
memungkinkan bagi dipailitkannya Penanggung sebagai Debitor.
129 J. Djohansah, Op. Cit., hal. 69. 130 Sutan Remy Sjahdeni (2), Op. Cit., hal. 98.
Universitas Sumatera Utara
86
kepailitan berdasarkan UUKPKPU, yang memudahkan dijatuhkannya putusan kepailitan atas
Debitur, maka pengaturan berdasarkan KUH Perdata maupun UUKPKPU cenderung dapat
merugikan Penanggung.
UUKPKPU tidak mengatur bahwa Debitur harus berada dalam keadaan tidak mampu
untuk dinyatakan pailit. Jika dibandingkan dengan syarat kepailitan dalam
Faillissementsverordening, yang mensyaratkan keadaan berhenti membayar, maka secara
yuridis, UUKPKPU belum memberikan perlindungan yang cukup terhadap Debitor solven.
Dalam konteks penanggungan, syarat kepailitan terhadap Penanggung dalam hal ini tidak
memberikan perlindungan terhadap Penanggung dari Kreditor nakal. Dewasa ini, pengaturan
berdasarkan KUH Perdata maupun UUKPKPU memungkinkan bagi Kreditor untuk mengajukan
pailit atas Debitor yang masih solven. Perubahan Undang-Undang Kepailitan di Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 cenderung semakin melindungi kepentingan Kreditor.
Filosofi Kepailitan menurut Professor Radin adalah: “a purpose of all bankruptcy laws
is to provide a collective forum for sorting out the rights of the various claimants against the
assets of a debtor where there are not enough assets to go around.”131
Ketentuan syarat kepailitan yang diatur dalam UUKPKPU cenderung sangat sederhana,
dikarenakan syarat kepailitan dalam UUKPKPU yang tidak membedakan Debitur yang “tidak
Hal ini berarti bahwa
sesungguhnya Kepailitan merupakan suatu debt collection system, yang bertujuan untuk
memberikan forum kolektif bagi para Kreditor untuk memperoleh pembagian keuntungan atas
aset Debitor, ketika tidak terdapat aset Debitor yang cukup untuk melunasi piutang yang
dimiliki. Berdasarkan filosofi ini, Debitor yang dapat dinyatakan pailit seharusnya adalah mereka
yang tidak mampu (insolvent) keuangannya, artinya lebih besar utang daripada aset.
131 Radin, The Nature of Bankruptcy, (1940) sebagaimana dikutip dalam David G. Epstein, Steve H.
Nickles, dan James J. White (ed.), Bankruptcy, (West Publishing Co.: Minnesota, 1993), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
87
mampu” dan yang “tidak mau” untuk membayar hutang. Dalam kaitannya dengan kepailitan
Guarantor hal ini dapat merugikan Guarantor terutama pada kasus dimana Guarantor
dinyatakan pailit tanpa dipailitkannya Debitur-utama.
Permohonan kepailitan pada umumnya diajukan terhadap Penanggung atas utang
Debitur-utama terhadap Kreditor. Dalam hal Debitur-utama telah terlebih dahulu dipailitkan atau
harta bendanya telah dieksekusi, sehingga Debitur-utama tidak mampu lagi untuk melunasi
hutangnya, diajukannya Penanggung sebagai Debitur pailit menjadi hal yang logis, terlihat
melalui ketentuan Pasal 1832 ayat (4) KUH Perdata. Namun, dengan keadaan UUKPKPU yang
cenderung lebih melindungi kepentingan Kreditor, yang dapat dilihat melalui mudahnya syarat
pengajuan permohonan pailit, maka lembaga kepailitan tidak lagi berfungsi sebagai salah satu
jalan keluar dari kebangkrutan, melainkan sering digunakan sebagai salah satu pranata hukum
dalam penagihan utang.
Terutama dalam hal Penanggungnya adalah badan hukum atau CG yang berbentuk
Perseroan Terbatas. Penanggung diajukan pailit berdasarkan utang pokok Debitur-utama dengan
Kreditur. UUKPKPU dalam hal ini tidak memberikan perlindungan hukum terhadap Debitur
yang masih solven yang dinyatakan pailit. Terutama bagi Debitur pailit yang berstatus Perseroan
Terbatas, dimana kepailitan memberikan kemungkinan terjadinya pembubaran Perseroan
Terbatas, sebagaimana diatur dalam Pasal 142 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa:
Pembubaran Perseroan terjadi karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Universitas Sumatera Utara
88
C. Akibat Hukum Atas Pernyataan Pailit PT. Sari Jaya Lestari
Dalam sub bab ini, penulis akan menganalisa kasus permohonan pernyataan pailit yang
diajukan terhadap CG dalam kasus kepailitan PT.Jaya Lestari. Sesuai dengan judul dan tema dari
skripsi ini, maka penulis akan menganalisa pertimbangan majelis hakim di tingkat pertama
maupun tingkat kasasi. Penulis dalam hal ini akan langsung memfokuskan pada pertimbangan
hakim yang menyangkut kedudukan CG dalam praktek kepailitan di Indonesia, sehingga penulis
tidak akan membahas pertimbangan hakim yang tidak berkaitan dengan kepailitan CG.
1. Kedudukan Hukum PT. Jaya Lestari Sebagai Penanggung
Dalam perkara yang telah diuraikan di atas, PT. Jaya Lestari dinyatakan pailit dalam
kedudukan hukumnya sebagai Penanggung dari PT. Golden Harvestindo. PT. Jaya Lestari
dinyatakan pailit karena dianggap memenuhi persyaratan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, yaitu:
a. Mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor, yaitu:
1) PT. Rabobank International Indonesia, berdasarkan Continuing Guarantee tertanggal
8 Juni 2006, dan
2) PT. Bank Central Asia Tbk., Cabang Pasuruan, berdasarkan SistemInformasi Debitur
Bank Indonesia Nomor Laporan: 15/123684157/DPIP/PIK tertanggal 29 Oktober
2014.
b. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dapat dilihat melalui belum dibayarnya fasilitas kredit yang diberikan Pemohon Pailit
terhadap PT. Golden Harvestindo, yang telah jatuh tempo sejak tanggal 30 Juni 2011,
namun belum terdapatpembayaran oleh PT. Golden Harvestindo.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan KUH Perdata serta UUK-PKPU,
Penanggung dianggap berkedudukan sebagai Debitur. Sehingga, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo.
Universitas Sumatera Utara
89
8 ayat (4) UUK-PKPU, selama Debitur memenuhi ketentuan tersebut di atas dan dapat
dibuktikan secara sederhana, Pengadilan Niaga diharuskan untuk memenuhi pernyataan pailit.
Terlebih lagi, dalam pertimbangan hakim Pengadilan Niaga di tingkat pertama, kedudukan
hukum PT. Jaya Lestari sebagai Penanggung yang telah melepaskan hak-hak istimewanya
dianggap menjadikannya sejajar sebagai Debitur dari PT. Bank Rabobank International
Indonesia.
Secara yuridis, berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata serta UUK-PKPU,
Penanggung dapat dinyatakan pailit dalam kedudukan hukumnya132
Selanjutnya, bahwa pada saat permohonan pailit diajukan terhadap PT. Jaya Lestari, PT.
Golden Harvestindo atau Debitur-utama telah mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum
. Namun dalam kasus ini,
terdapat kejanggalan dimana permohonan pailit terhadap Debitur-utama diterima namun
permohonan pailit terhadap Penjamin justru dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Pasalnya,
kewajiban hukum dari Penanggung pada hakikatnya bersifat subsidair. Dalam hal Debitur-utama
telah dinyatakan pailit ataupun harta kekayaannya telah dieksekusi oleh Kreditur dan tidak
tersisa lagi harta untuk membayar lunas hutang, maka menjadi logis apabila Penanggung dituntut
untuk memenuhi pembayaran dan jika ia tidak mampu, untuk diajukan permohonan pailit atas
Penanggung.
Putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Surabaya tidak mempertimbangkan
bahwa sebelumnya terhadap Guarantor telah diajukan permohonan kepailitan secara bersamaan
dengan Debitur-utama. Adapun permohonan kepailitan yang diajukan terhadap Debitur-utama,
yaitu PT. Golden Harvestindo, telah ditolak berdasarkan Putusan No.
06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012. Sehingga, aset dari Debitur-
utama sama sekali belum disentuh oleh Kreditur.
132 M. Bahsan, Op.Cit., hal. 20
Universitas Sumatera Utara
90
(PMH) terhadap Kreditur, berkaitan dengan perjanjian baku yaitu Facility Agreement Nomor
LA/CA/1279/2006. Dengan objek gugatan pembatalan perjanjian yang dibuat antara Debitur-
utama dengan Kreditur. Sehubungan dengan perkara tersebut, telah terdapat Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 548/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel tertanggal 15 Mei 2012 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan Nomor 502/PDT/2012/PT.DKI, yang menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat perjanjian dan/atau akta yang dibuat antara atau berkaitan
dengan Penggugat dengan Tergugat. Putusan tersebut menyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di bawah tangan antara Kreditur
dengan PT. Jaya Lestari.
Menurut Penulis, Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga Surabaya, telah kurang cermat
dalam memutus. Hal ini mengingat, Majelis Hakim tidakmempertimbangkan terdapatnya
putusan, seperti Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 548/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel jo.
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan Nomor 502/PDT/2012/PT.DKI serta Putusan Nomor
06/Pailit/2012/PN.Niaga.Sby jo. Nomor 134 PK/Pdt.Sus/2012 yang berdampak hukum terhadap
kedudukan hukum dari PT. Jaya Lestari sebagai Debitur dalam perkara ini.
2. Upaya Serta Dampak Hukum Atas Pernyataan Pailit Terhadap PT.Jaya Lestari
Dalam kasus kepailitan yang diajukan atas PT. Jaya Lestari, Penulis berpendapat bahwa
sesungguhnya tidak terdapat urgensi bagi PT. Jaya Lestari untuk dipailitkan oleh Kreditur. Hal
ini dikarenakan, pada proses pemeriksaan perkara di tingkat Kasasi, diketahui bahwa dalam
pembuatan Facility Agreement Nomor LA/CA/1279/2006 antara Kreditur dengan Debitur-
utama, perjanjian kredit tersebut diikat dengan beberapa perjanjian jaminan, antara lain:
a. Akta Jaminan Fidusia (Piutang) Nomor 26 Tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di hadapan
Linda Herawati, S.H., Notaris di Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
91
b. Akta Jaminan Fidusia (Bahan Persediaan) Nomor 27 Tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di
hadapan Linda Herawati, S.H., Notaris di Jakarta.
c. Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di bawah tangan dalam bahasa
Inggris oleh Tuan Daphnis Natahamidjaja dan Tuan Lucky Lumanto.
d. Continuing Guarantee tanggal 8 Juni 2006 yang dibuat di bawah tangan dalam bahasa
Inggris oleh PT. Jaya Lestari.
Dalam perkara ini, terlihat bahwa perjanjian kredit antara Kreditur dengan Debitur-
utama dibebankan tidak hanya dengan jaminan perorangan, namun juga jaminan kebendaan.
Berdasarkan fakta hukum di atas, maka Kreditur adalah Kreditur pemegang hak kebendaan atau
kreditur separatis yang memegang hak jaminan kebendaan, berupa hak jaminan fidusia. Perlu
diingat bahwa hak kebendaan merupakan hak yang memberikan kedudukan diutamakan bagi
Kreditur, dan dalam kepailitan, memberikan kedudukan hak separatis dalam Kepailitan. Menurut
ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU,Kreditur pemegang gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
UUK-PKPU tidak mensyaratkan secara normatif bahwa Kreditor separatis atau Kreditor
yang memegang hak jaminan yang didahulukan diwajibkan untuk terlebih dahulu mengeksekusi
jaminan sebelum mengajukan permohonan kepailitan. Hal ini terlihat melalui ketentuan Pasal 1
angka 2 UUK-PKPU, yang dalam Penjelasannya menyatakan bahwa Kreditor yang dimaksud
dalam ayat tersebut termasuk Kreditur Separatis maupun Kreditor Preferen, tidak hanya Kreditor
Konkuren. Sehingga, berdasarkan UUK-PKPU, tidak terdapat larangan bagi PT. Bank Rabobank
untuk secara hukum sebagai Kreditor Separatis mengajukan permohonan pailit. Namun,
mengingat dalam kasus ini, permohonan kepailitan diajukan kepada PT. Jaya Lestari dalam
Universitas Sumatera Utara
92
kedudukannya sebagai Guarantor, maka Penulis dalam hal ini sependapat dengan pertimbangan
hakim Kasasi pada Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa gugatan seharusnya diajukan
oleh Kreditur terhadap Debitur yang memperoleh fasilitas kredit, yaitu PT. Golden Harvestindo.
Dimana, sebagai jaminan, telah terdapat perjanjian jaminan fidusia Nomor 26 dan 27 tanggal 8
Juni 2006, yang berdasarkan Undang-Undang Perbankan jaminan tersebut harus dilelang terlebih
dahulu. Seperti pemilik hak kebendaan atau hak agunan pada umumnya, pemilik hak fidusia,
dalam hal ini Kreditur, dapat mengabaikan kepailitan dan memisahkan jaminannya dari harta
pailit, sesuai ketentuan Pasal 55 ayat (1) UUKPKPU.
Dengan dibuktikan keberadaan jaminan kebendaan menunjukkan bahwa tidak terdapat
urgensi dipailitkannya Penanggung dalam perkara ini. Sehingga seharusnya, terhadap
Penanggung tidak perlu dimohonkan kepailitan oleh Kreditur. Namun, keadaan pengaturan
UUKPKPU serta KUH Perdata saat ini memberatkan kedudukan hukum Penanggung, sehingga
membuka jendela bagi Kreditur untuk dengan sangat mudah mempailitkan Penanggung.
Sementara, dampak hukum dari kepailitan terhadap Penanggung, yang dalam kasus ini
adalah sebuah badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas, sangat merugikan. Prinsip kepailitan
terhadap Perseroan Terbatas padahakikatnya tidak dapat dipisahkan dari gejala kebangkrutan
suatu perseroan terbatas dimana pranata kepailitan adalah merupakan salah satu bentuk
pembubaran suatu perseroan terbatas yang sedang mengalami gejala kebangkrutan di samping
bentuk pembubaran lainnya.133
133 Rudhy A.Lontoh,dkk, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaaan kewajiban
Pembayaran Utang, (Jakarta: Alumni, 2001), hal.78-79.
Dalam kasus ini, Penanggung merupakan suatu Badan Hukum
yang juga terhadapnya berlaku ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Saat ini, kepailitan perseroan digunakan untuk membangkrutkan perseroan
dan bukan sebaliknya sebagai alternatif solusi penyelesaian kebangkrutan perseroan.
Universitas Sumatera Utara
93
Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberi makna bahwa
kepailitan adalah solusi dari masalah penyelesaian utang Debitor yang sedang mengalami
kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum
untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suatu Debitor sebenarnya
tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam
konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan financial dari usaha Debitor.134 UUKPKPU
menganut prinsip bahwa kepailitan merupakan suatu debt collective proceeding, yang terlihat
dari ditentukannya syarat materiil untuk mempailitkan subjek hukum, yakni mempunyai dua atau
lebih Kreditor serta salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih.135
Selain itu, dikarenakan putusan kepailitan berlaku secara serta merta (uit ver baar bij
voor raad), hal ini juga merugikan bagi Guarantor, sebagai Debitur yang dicabut kepailitannya.
Setelah Majelis Hakim menyatakan Debitur pailit, maka proses kepailitan dimulai meskipun ada
upaya hukum dari Debitur.
Prinsip
kemudahan mempailitkan tersebut bahkan ditambah lagi dengan ketentuan pembuktian yang
sederhana.
136
Dalam kasus PT. Jaya Lestari, putusan Majelis Hakim pada Pengadilan Niaga dan pada
Mahkamah Agung bersifat bertolak belakang, dimana putusan pada Pengadilan Niaga Majelis
Hakim mengabulkan permohonan kepailitan, sementara pada Mahkamah Agung pernyataan
tersebut dibatalkan. Hal ini pada akhirnya, menimbulkan kerugian materiil tidak hanya terhadap
PT. Jaya Lestari selaku Perusahaan yang telah dinyatakan pailit, namun juga menimbulkan
Debitur tidak memiliki kewenangan pemilikan dan pengurusan
atas seluruh hartanya dan diambil alih oleh Kurator.
134 Sunarmi,Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta: Softmedia, 2010. 135Ibid., hal. 196. 136 Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2004),
cet. 2., hal. 133.
Universitas Sumatera Utara
94
kerugian bagi Kreditur, yaitu PT. Bank Rabobank International Indonesia. Pada akhirnya, kasus
ini diselesaikan oleh para pihak secara damai dan melalui jalur perdata.137
137 Wawancara Ibrahim Senen, pada tanggal 19 Juni 2015.
Universitas Sumatera Utara
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang memberikan jaminan yang tertuju terhadap semua kreditur dan mengenai
semua harta benda debitur. Baik mengenai benda bergerak maupun tak bergerak, baik
benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada, semua menjadi jaminan bagi seluruh
perutangan debitur. Jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan
menyangkut semua harta kekayaan debitur. Para kreditur tersebut mempunyai kedudukan
yang sama, tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya. Kreditur
demikian disebut kreditur konkuren. Jaminan umum timbul dari Undang-undang, tanpa
perlu diperjanjikan oleh para pihak terlebih dahulu. Para kreditur konkuren semuanya
secara bersama memperoleh jaminan umum yang diberikan oleh Undang-undang,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1132 KUH Perdata.
2. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37Tahun 2004. memberikan
ketentuan terhadap permohonan kepailitan, hal ini dapat disimpulkan bahwa permohonan
pernyataan pailit terhadap seorang Debitor hanya dapat diajukan apabila memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Debitor terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua
Kreditor; atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu Kreditor.
b. Debitor tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu Kreditornya.
c. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.
Universitas Sumatera Utara
96
Syarat tersebut di atas bersifat kumulatif. Artinya seluruh syarat itu harus dipenuhi dan
dibuktikan oleh pemohon pailit di depan Majelis Hakim.
3. Pengaturan dalam KUH Perdata maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
memungkinkan bagi Guarantor yang telah melepaskan hak-hak istimewanya, untuk
dinyatakan pailit tanpa terdapat pernyataan pailit maupun pemberesan aset atas Debitur-
utama terlebih dahulu. Melalui perkara kepailitan PT. Jaya Lestari, terlihat bahwa
sebenarnya pada kasus-kasus kepailitan Guarantor, terkadang tidak terdapat urgensi bagi
Guarantor untuk dipailitkan. Namun, dengan kondisi peraturan perundang-undangan,
yakni UUKPKPU yang cenderung lebih melindungi kepentingan Kreditor, lembaga
kepailitan tidak lagi berfungsi sebagai salah satu jalan keluar dari kebangkrutan atau jalan
keluar dari ketidakmampuan Debitur untuk membayar hutang-hutang, melainkan
digunakan sebagai salah satu sarana penagihan utang. Dalam konteks penanggungan,
lembaga kepailitan digunakan sebagai sarana bagi Kreditur untuk menagih hutang kepada
Guarantor untuk dengan mudah memperoleh pelunasan, tanpa mempertimbangkan
keadaan keuangan dari Guarantor tersebut sendiri. Dalam kasus PT. Jaya Lestari, upaya
penyelesaian yang ditempuh oleh PT. Jaya Lestari adalah upaya hukum kasasi. Dalam
kaitannnya dengan kasus PT. Jaya Lestari diperlukan pengaturan yang secara khusus dan
komprehensif terkait kedudukan hukum Guarantor dalam kepailitan.
Universitas Sumatera Utara
97
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis mengajukan saran terhadap Regulator,
bahwa sangat perlu terdapat kepastian hukum serta kesamaan pendapat mengenai kedudukan
hukum guarantor dalam kepailitan. . Pengaturan terkait Penanggung dalam kepailitan sampai
saat ini masih banyak didasarkan pada yurisprudensi, dan belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan secara lengkap dan komprehensif. Kepastian hukum terkait kedudukan
hukum guarantor dalam kepailitan diperlukan agar tidak terdapat perbedaan penafsiran atas
pengaturan hukum yang berlaku, yang menimbulkan pertimbangan hakim yang saling bertolak
belakang. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan hukum, untuk menjamin kepastian hukum, serta
untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan, perlu dibentuk
ketentuan yang lengkap mengenai lembaga jaminan berbentuk Penanggungan ini.
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Ali, Chidir. 1987. Badan Hukum. Bandung: Penerbit Alumni Bahsan, M. 2007. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada Djohanshah J. 2003. “Kreditor Separatis dan Preferens , serta tentang Penjaminan Hutang”,
dalam Emmy Yuhassarie, ed., Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum
Friedmann W. 1993. Teori dan Filsafat Hukum Dalam buku Telaah Kritis Atas Teori-Teori
Hukum, diterjemahkan dari buku aslinya Legal Theory oleh Muhammad Arifin. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hartini. Rahayu. 2008. Hukum Kepailitan, cet. 2. Jakarta: Kencana Hadisoeprapto, Hartono. 2000. Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, ed. 1, cet.
1. Yogyakarta: Liberty Hoff Jerry. 1999. Indonesian Bankruptcy Law. Jakarta: Tatanusa. Irawan, Bagus.2007. Aspek-Aspek Hukum kepailitan; Perusahaan; dan Asuransi, Bandung:
Alumni. Lontoh Rudhy A. dkk. 2001, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni. Lubis. M.Solly. 2010. Diktat Teori Hukum. Medan: USU. Mamudji Sri. Dkk. 2001. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Indonesia Mollengraaf, 2000. Sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman, Hukum Ekonomi dalam
Dinamika. Jakarta: Penerbit Djambatan Muljadi, Kartini. Gunawan Widjaja, 2004. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada Nemandasari, Dini. 2008. Tanggung Gugat Pihak Penanggung (Borg) Dalam Perjanjian
Penanggungan Akibat Debitur Wanprestasi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Purwoko, Sunu Widi 2011. Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan. Jakarta:
Tim Nine Seasons
Universitas Sumatera Utara
Rahardjo Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti Salim, H. 2005. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, ed.2. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada Sinaga M .Syamsudin. 2012. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa Situmorang M. Victor dan Hendri Soekarso. 1993. Pengantar Hukum Kepailitan Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta. Sjahdeni Remy Sutan. 2002. Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening:Juncto
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, _____________, 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Sofwan Masjchoen Sri Soedewi. 2003. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, cet. 3 Yogyakarta: Liberty Offset Yogyakarta. Soekanto Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press Subekti R. 1989. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bandung: Pradnya Paramita. _______________, 1989. Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia.
Bandung: PT Citra Ditya Bakti Subhan M. Hadi. 2008. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Pengadilan.
Surabaya: Kencana Prenada Media Group. Sunarmi,2010, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta:
Softmedia. Sutarno, 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta. Suyudi, Aria, 2004. Kepailitan di Negeri Pailit. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia Usman, Rachmadi. 2004. Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama Widiarso Arwakhudin, 2009, Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan, Tesis Fakultas
Hukum Universitas Airlangga Widjaja Gunawan dan Kartini Muljadi. 2002. Penanggungan Utang dan Perikatan Tanggung
Menanggung. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Universitas Sumatera Utara
Widjaja, Gunawan. 2004. Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, 2006. Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada Yuhassarie. Emmy, Tri Harnowo. 2004. “Kepailitan dan Transfer Aset Secara Melawan
Hukum”, Makalah Menelaah Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan. Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum.
B. Perundang-Undangan Republik Indonesia tentang Undang-Undang Kepailitan _____________, tentang Undang-Undang Perseroan Terbatas Undang-Undang KUHPerdata UUK-PKPU C. Jurnal dan Internet Badrulzaman D. Mariam. 2000. Beberapa Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Jurnal Hukum
Bisnis. Volume 11. Elijana S, 2001. “Proses Mengajukan Permohonan Pailit Terhadap Guarantor dan Holding
Company”, dalam Penyelesaian Utang-Piutang Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, dan Benny Ponto. Bandung: Alumni
Harahap, Yahya “Masalah Pailit Dikaitkan dengan Guarantor”, Makalah, Bukti T-3 dalam
perkara Nomor 037/Pailit/2001/PN.Niaga/JKT.PST Hasan Djuhaendah. 2000. Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan. Jurnal Hukum
Bisnis Volume 11. Kailimang. Denny, 2001, “Problematik yang Dihadapi Debitur/Kreditur Berkaitan dengan
Personal Guarantee atau Corporate Guarantee Sehubungan Dengan Gugatan Kepailitan”, dalam Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Rudhy A Lontoh, Denny Kaiilimang, dan Benny Ponto. Bandung: Alumni
Nating Imran. Hukum Kepailitan, http//artikelhukumku.blogspot.com//, diakses tanggal 15 Juni
2012.
Universitas Sumatera Utara
Radin, 1993. The Nature of Bankruptcy, (1940) sebagaimana dikutip dalam David G. Epstein,
Steve H. Nickles, dan James J. White (ed.), Bankruptcy, (West Publishing Co.: Minnesota)
Sani, Asrul. 2004. Tinjauan Hukum Mengenai Praktek Pemberian Jaminan Pribadi dan Jaminan
Perusahaan, Varia Peradilan, Edisi 101, hal. 144, sebagaimana dikutip dalam Aria Suyudi, Kepailitan di Negeri Pailit, cet.2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia: Jakarta
Wawancara Ibrahim Senen, pada tanggal 19 Juni 2015.
Universitas Sumatera Utara