airway m
TRANSCRIPT
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 1/33
1
BAB I
PENDAHULUAN
Intubasi dalam keadaan gawat darurat merupakan tantangan besar bagi
tenaga kesehatan dengan latar belakang pelatihan dan pengalaman yang berbeda.
Tergantung kondisi fasilitas kesehatan, intubasi darurat dilakukan oleh berbagai
tenaga kesehatan, termasuk terapist pernafasan (RT), dokter, dan perawat.
Umumnya, mereka harus mengamankan jalan nafas pada pasien yang sedang
kritis dengan kolaps pernafasan dan/atau kardiovaskular. Indikasi untuk intubasi
darurat antara lain gagal nafas apapun etiologinya, pengamanan jalan napas,
keadaan darurat neurologis, trauma, dan serangan jantung. Intubasi di luar kamar
operasi atau instalasi gawat darurat (IGD) berisiko tinggi mengalami komplikasi
yang dilaporkan sebesar 14-28%.1-3
Komplikasi yang paling sering ditemui
selama intubasi darurat antara lain komplikasi yang berkaitan dengan jalan napas
(beberapa kali gagal intubasi, intubasi ke esofagus, aspirasi, trauma intubasi, dan
cedera gigi), komplikasi jantung (hipotensi, disritmia, dan serangan jantung), dan
hiperkarbia dan/atau hipoksemia.1-4
Risiko komplikasi ini meningkat dengan
sesuai jumlah percobaan intubasi.5
Angka kematian segera setelah manajemen
jalan nafas darurat adalah 85-15% sedangkan istilah angka harapan hidup lama
setelah intubasi darurat adalah 45 -55%.1-3
Angka kematian yang menjadi tinggi setelah manajemen jalan napas
darurat sangat multifaktorial yang merupakan hasil kombinasi faktor pasien,
tenaga kesehatan, dan lingkungan. Kebanyakan pasien yang membutuhkan
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 2/33
2
intubasi darurat adalah dalam kondisi kritis dan memiliki cadangan
kardiopulmoner yang sangat sedikit. Seringkali, lokasi pasien saat manajemen
jalan napas darurat juga memberikan tantangan tambahan. Ketika suatu intubasi
dilakukan di lokasi seperti IGD atau unit perawatan intensif (intensive care unit
[ICU]) dimana staf dan perawat telah berpengalaman dalam mengelola pasien
yang tidak stabil, kritis, jalan nafas yang sulit, dan kolaps kardiovaskular, makan
manajemen jalan nafas ini pun menjadi sangat efisien. Namun, situasi yang sama
dapat menjadi sangat tidak efisien jika dilakukan di lokasi seperti bangsal rumah
sakit dimana staf tidak secara rutin merawat pasien tidak stabil. Dalam tinjauan
pustaka ini akan dibahas pendekatan untuk manajemen jalan nafas beserta
komplikasi yang terkait.
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 3/33
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Evaluasi pasien
Dua pertanyaan penting saat dokter melakukan manajemen jalan nafas
yang harus dijawab adalah dapatkah saya melakukan ventilasi efektif dengan
masker dan bisakah saya mengintubasi pasien ini dengan aman. Pertanyaan-
pertanyaan ini sangat penting pada pasien yang harus mempertahankan respirasi
secara spontan dan akan memerlukan induksi farmakologis untuk memfasilitasi
intubasi. Meskipun intubasi trakea adalah tujuan akhir dari manajemen jalan
nafas, kemampuan untuk menyediakan ventilasi efektif dengan masker adalah
tindakan yang juga penting untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Tidak ada indikator tunggal dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
untuk memprediksi apakah akan sulit untuk melakukan ventilasi masker,
laringoskopi, atau intubasi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik seringkali
memberikan informasi yang berharga untuk memandu pengambilan keputusan
dalam manajemen jalan nafas.6
Komponen yang penting antara lain riwayat jalan
napas yang sulit serta riwayat penyakit yang melibatkan mulut, orofaring,
nasofaring, dan jalan nafas bagian atas. Sayangnya, dalam situasi darurat banyak
pasien yang tidak dapat menjawab anamnesis karena status mental berubah atau
gangguan pernapasan sehingga tenaga kesehatan harus mengandalkan informasi
dari dokter lain yang sudah merawat pasien, meninjau kembali grafik tanda vital,
dan hasil pemeriksaan fisik sebelumnya. Sejumlah temuan fisik dan skema
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 4/33
4
klasifikasi dapat digunakan untuk memprediksi kesulitan ventilasi masker dan
intubasi. Skema yang biasa dipakai untuk memprediksi intubasi adalah skema
klasifikasi Mallampati yang didasarkan pada visualisasi uvula, palatum, dan
struktur-struktur faring pada pasien dalam kondisi terjaga dengan posisi duduk
dan mulut terbuka serta lidah menjulur keluar.7
Meskipun klasifikasi Mallampati
merupakan salah satu prediktor yang sensitif untuk sebagian besar jalan napas
yang sulit, tetapi klasifikasi ini memiliki spesifisitas dan nilai prediktif positif
yang rendah ketika digunakan sendiri.8
Prediktor penting lainnya dari saluran
napas yang sulit adalah bukaan mulut yang kecil (<4 cm), jarak thyro-mentum
(tiroid ke dagu) yang pendek (<6 cm), penurunan ekstensi leher, ketidakmampuan
untuk prognath, dan leher yang pendek maupun tebal.8,9
Setiap temuan fisik ini
dilakukan di dalam kamar operasi elektif, pasien yang kooperatif, dan tidak dalam
situasi darurat.
Insidensi ventilasi masker yang sulit pada pasien dewasa di ruang operasi
adalah 1,4-5%.10-14
Kesulitan ventilasi masker didefinisikan sebagai
ketidakmampuan untuk mempertahankan saturasi oksigen >90% dengan inspirasi
oksigen 100% atau untuk mencegah maupun membalikkan tanda-tanda dari
hipoventilasi dengan ventilasi masker bertekanan positif oleh tanpa bantuan
ventilasi dari ahli anestesi.15
Manuver seperti mengangkat dagu (chin lift ),
mendorong rahang ( jaw thrust ), ventilasi 2 tangan, dan penggunaan alan pembuka
jalan nafas nasofaringeal atau orofaringeal dapat meningkatkan ventilasi masker.
Obat relaksan otot sering meningkatkan kualitas ventilasi masker ini.16
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 5/33
5
Meskipun keadaan dimana ventilasi masker tidak mungkin dilakukan
adalah salah satu keadaan yang paling menakutkan dalam manajemen jalan nafas,
insidensi, faktor risiko, dan outcome-nya justru baru-baru ini saja diteliti. Dalam
sebuah penelitian dengan jumlah subjek lebih dari 50.000 pasien yang telah
menjalani manajemen jalan nafas di ruang operasi, Kheterpal dkk melaporkan
ventilasi masker mustahil dilakukan pada 0,15% kasus.10,11
Prediktor atas keadaan dimana ventilasi masker tidak mungkin dilakukan
adalah riwayat radiasi leher sebelumnya, jenis kelamin laki-laki, diagnosis sleep
apnea, Mallampati kelas III atau IV, dan terdapat jenggot.11
Dua puluh lima
persen (19 dari 77) pasien dengan ventilasi masker yang sulit juga sulit untuk
dilakukan intubasi dan dua dari pasien-pasien tersebut memerlukan pembuatan
jalan nafas secara operatif.11
2.2. Pra-oksigenasi
Pra-oksigenasi atau "denitrogenasi" dilakukan untuk menggantikan
nitrogen dalam paru dengan mengisi seluruh sisa kapasitas fungsional paru
dengan oksigen.17,18
Orang dewasa sehat yang menghirup udara ruangan (FIO2
0,21) akan mengalami desaturasi oksigen (SpO2 <90%) dalam waktu 2 menit
setelah apnea.19
Namun, orang sehat yang dilakuakn pra-oksigenasi dengan
oksigen 100% dapat mempertahankan saturasi oksigen di atas 90% selama lebih
dari 6 menit.20
Pra-oksigenasi dilakukan dengan menggunakan masker wajah
( face-mask ) ketat yang dihubungkan ke sumber oksigen yang segar dengan
pasokan oksigen 10 L/menit selama 3-5 menit. Baru-baru ini ditunjukkan bahwa
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 6/33
6
pemberian serangkaian 4 napas dengan volume sebesar kapasitas vital pada
sukarelawan sehat selama 30 detik atau 8 napas kapasitas vital selama 60 detik
yang diberikan adalah setara pra-oksigenasi dengan PaO2 sampai 369 mm Hg.21,22
Namun, pra-oksigenasi kurang efektif pada pasien kritis dan waktu yang
diperlukan sampai terjadi desaturasi kritis pun berkurang.23,24
Penurunan kapasitas
residual fungsional, peningkatan konsumsi oksigen, dan adanya jalan pintas
intrapulmoner berkontribusi dalam menempatkan pasien kritis untuk mengalami
desaturasi cepat.23,24
Dalam satu penelitian pra-oksigenasi pada pasien kritis PaO2
meningkat setelah 4 menit pra-oksigenasi, yaitu dari 67 + - 20 mm Hg pada
awalnya menjadi 104 +/- 63 mm Hg, dibandingkan dengan pasien yang stabil
yang mengalami peningkatan PaO2yang secara signifikan lebih tinggi, yaitu dari
79 +/- 12 mm Hg menjadi 404 +/- 72 mm Hg.25
Pada pasien kritis,
memperpanjang pra-oksigenasi hingga 8 menit tidak signifikan lagi dalam
meningkatkan PaO2.24
Berbeda dengan pra-oksigenasi dengan masker wajah ketat, noninvasive
ventilation (NIV) mungkin lebih efektif. Baillard dkk melakukan penelitian
terhadap pasien hipoksemia yang diacak untuk mendapat perlakuan dengan
penggunaan NIV (untuk memberikan volume tidal 7-10 mL/kg dengan FIO2 1,0
selama 3 menit) atau bag-valve-mask yang ketat. Mereka melaporkan peningkatan
saturasi oksigen, penurunan nadir dari desaturasi, dan mengurangi waktu untuk
pemulihan kelompok subjek yang mendapat pra-oksigenasi dengan NIV.25
Gudzenko dkk mendukung penggunaan NIV untuk pre-oksigenasi pada pasien
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 7/33
7
yang sebelumnya sudah dimulai dengan NIV sampai saat laringoskopi direk
dilakukan.
2.3. Farmakologi manajemen jalan nafas
2.3.1. Agen induksi
Kecuali dipilih teknik intubasi dalam keadaan sadar atau pasien menjalani
resusitasi kardiopulmoner, kebanyakan pasien dilakukan induksi untuk
memfasilitasi intubasi darurat. Tujuan induksi adalah untuk menghasilkan
keadaan tidak sadarkan diri, mengoptimalkan kondisi intubasi, dan mencegah
respon hemodinamik terhadap manipulasi jalan napas. Umumnya obat induksi
yang digunakan adalah benzodiazepin, barbiturat, narkotika, propofol, etomidate,
dan ketamin, baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi dengan satu sama lain.
Namun, obat-obatan untuk intubasi darurat harus digunakan dengan sangat hati-
hati karena potensi mereka untuk mempengaruhi hemodinamik, termasuk dampak
langsung dari obat itu sendiri (misalnya, penurunan ritme vaskular atau depresi
miokardium) dan efek tidak langsung dari penurunan simpatik. Karena sering
gangguan pernapasan, hipoksemia, dan hiperkarbia, arus perpindahan simpatik
pada pasien yang kritis pun meningkat sehingga hemodinamika relatif stabil.
Namun, setelah induksi, hipoksemia dan hiperkarbia sering meningkat, pernafasan
berkurang, dan outflow simpatik menurun secara drastis. Hal ini mengakibatkan
hipotensi pada 35-46% pasien setelah intubasi darurat.4
Selain itu, ventilasi
bertekanan positif dan PEEP meningkatkan tekanan intratorak yang menurunkan
venous return dan curah jantung. Menariknya, dalam sebuah penelitian
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 8/33
8
observasional tentang intubasi trakea darurat, pilihan agen induksi tidak
mempengaruhi kejadian hipotensi, dan bahkan tidak adanya agen induksi
mengakibatkan hipotensi pada 46% pasien.4
2.3.2. Relaksan otot
Penggunaan relaksan otot untuk intubasi endotrakeal di luar kamar operasi
dan IGD masih kontroversial. Perhatian utama ditujukan terhadap potensi
kesulitan jalan napas secara tak terduga dan ketidakmampuan untuk ventilasi
maupun intubasi pasien. Namun, relaksan otot memperbaiki kondisi intubasi dan
mempermudah ventilasi masker. Selanjutnya, intubasi tanpa relaksan otot
membawa risiko yang signifikan untuk terjadinya komplikasi di laring dan plica
vocalia.26
Seperti telah dibahas sebelumnya, ketidakmampuan untuk ventilasi
adalah peristiwa langka, dan dengan persiapan yang benar, masalah ini dapat
ditangani dengan baik. Ketika relaksan otot digunakan untuk intubasi darurat,
onset cepat penting untuk memungkinkan pengamanan jalan napas secara cepat
pula. Dua relaksan otot yang paling umum digunakan untuk intubasi darurat
succinylcholine dan rocuronium.
2.4. Rapid-sequence Intubation
Rapid-sequence intubation (awalnya disebut rapid-sequence induction)
adalah pendekatan yang paling umum untuk mengamankan jalan napas di IGD,
ICU, dan kamar operasi saat ada kekhawatiran terjadinya aspirasi. Metode ini
meliputi pra-oksigenasi yang diikuti dengan pemberian agen induksi dan relaksan
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 9/33
9
otot dengan cepat. Setelah menunggu 45-60 detik (tanpa ventilasi masker) sejak
agen induksi dan relaksan otot diberikan, laringoskopi direk dan intubasi
endotrakeal pun dilakukan. Penekanan pada kartilago krikoid pun diberikan
selama induksi cepat dilakukan untuk mencegah regurgitasi pasif isi perut.
Induksi cepat telah diadopsi dan digunakan secara luas di rumah sakit oleh
paramedis.27-29
Tingkat keberhasilan yang dilaporkan untuk induksi cepat ini
adalah >85% pada usaha pertama oleh ahli anestesi.30,31
Hal kontroversial dari induksi cepat ini adalah perlunya penekanan
krikoid. Penekanan krikoid pertama kali diperkenalkan oleh Sellick dan
dimaksudkan untuk memampatkan faring antara 2 struktur anatomi yang kaku
(kartilago krikoid dan vertebra servikal) sehingga mencegah regurgitasi isi
lambung.32
Namun, penelitian radiologis baru-baru ini mempertanyakan prinsip
dasar penekanan krikoid ini. Smith dkk menggunakan magnetic resonance
imaging (MRI) untuk menunjukkan bahwa pada lebih dari 50% esofagus pasien
bergeser ke lateral saat penekanan krikoid dilakuan dan tidak dapat dikompresi
oleh penekanan ini.33
Bukti yang diberikan Rice dkk bahwa bukan faring yang
terletak di bawah krikoid melainkan hipofaring dan hipofaring ini adalah struktur
stabil yang tidak bergerak dan dapat dikompresi hanya dengan 35% diameter.34
Masih pada topik yang mempertanyakan keefektifan penekanan krikoid, peneliti
lain telah menyatakan bahwa penekanan krikoid dapat mengganggu ventilasi
masker dan memperburuk visualisasi laringoskopi meskipun penekanan krikoid
tampaknya tidak meningkatkan angka kegagalan intubasi.35,36
Tidak ada bukti
klinis yang kuat untuk mendukung bahwa penekanan krikoid dapat mencegah
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 10/33
10
aspirasi.2,37,38
Di lain pihak, kita juga tidak memiliki bukti yang cukup untuk
meninggalkan penekanan krikoid ini dan kegagalan dalam melakukan penekanan
krikoid ini memiliki konsekuensi medikolegal.39
2.5. Pendekatan jalan nafas darurat
Pada tahun 1993 (direvisi pada tahun 2003), panduan dan algoritma
American Society of Anesthesiologist telah diterbitkan untuk manajemen jalan
nafas yang sulit.6
Algoritma ini banyak digunakan oleh ahli anestesi dalam
melakukan manajemen jalan napas. Namun, penggunaan algoritma untuk jalan
nafas darurat di luar kamar operasi masih belum diteliti. Stephens dkk
mengevaluasi sebuah alternatif algoritma manajemen jalan nafas pada lebih dari
6.000 intubasi pasien trauma dalam situasi gawat darurat.40
Perbedaan utama
antara algoritma mereka dan algoritma American Society of Anesthesiologist
adalah tidak adanya pilihan untuk membangunkan pasien setelah induksi,
penggunaan induksi cepat pada semua pasien, dan keputusan lebih dini untuk
melakukan operasi jalan napas (surgical airway). Dalam analisis retrospektif
mereka, angka operasi jalan nafas sekunder setelah gagal intubasi adalah 0,3%.40
Jaber dkk baru-baru ini melakukan penelitian multicenter prospektif untuk
mengevaluasi sebuah protokol manajemen intubasi untuk pasien di ICU.41
Protokol mereka terdiri atas langkah-langkah pra-intubasi (2 operator, loading
cairan, persiapan sedasi, dan pra-oksigenasi menggunakan NIV); langkah-langkah
intubasi (induksi cepat, penekanan krikoid), dan langkah-langkah post-intubasi
(konfirmasi penempatan endotracheal tube, norepinefrin untuk ketidakstabilan
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 11/33
11
hemodinamik, obat penenang jangka panjang, dan ventilasi perlindungan paru).
Protokol manajemen intubasi dikaitkan dengan penurunan signifikan atas
terjadinya komplikasi yang mengancam nyawa pasien.
Gudzenko dkk menjelaskan sebuah sistem kerja untuk manajemen jalan
nafas. Dalam sistem kerja mereka, keadaan darurat napas ditangani oleh tim yang
terdiri dari terapist respirasi dan seorang ahli anestesi (1-3 tahun pelatihan
anestesi). Tim ini membawa tas airway bag darurat yang berisi peralatan jalan
napas yang penting untuk manajemen jalan nafas darurat. Peralatan yang
terorganisir dalam tas tersebut dapat mengurangi waktu untuk mencari
perlengkapan yang dibutuhkan dan dengan demikian berkontribusi terhadap
keselamatan intubasi.42
Seorang ahli bedah siap sedia di tempat selam 24 jam
sehari 7 hari seminggu untuk operasi jalan nafas sebagai alternatif kegagalan
intubasi. Ketika tim jalan nafas dipanggil untuk manajemen jalan nafas darurat,
evaluasi jalan nafas adalah langkah pertama. Jika dicurigai jalan napas yang sulit,
peralatan tambahan (seperti bronkoskopi fiber optik dan/atau videolaringoskop)
untuk manajemen jalan nafas pun segera diperoleh. Jika ada kecurigaan tinggi
untuk kemungkinan operaso jalan napas, tim bedah pun diberitahu dan hadir di
samping pasien sebagai alternatif sebelum mencoba intubasi. Semua peralatan
yang diperlukan harus tersedia sebelum induksi. Kehadiran tenaga perawat yang
terampil dan terapist respirasi juga sangat penting untuk manajemen jalan nafas
yang optimal. Kepastian akses intravena yang memadai dan ketersediaan
vasopressor diperlukan sebelum memberikan obat induksi karena tingkat
hipotensi dan instabilitas kardiovaskular setelah intubasi adalah 20-40% dari
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 12/33
12
kasus.4
Ketika semua peralatan yang diperlukan tersedia dan personil hadir, pasien
diposisikan dan dilakukan pra-oksigenasi. Untuk induksi, dapat digunakan
propofol atau kombinasi midazolam dan fentanyl, dengan penambahan relaksan
otot.43
Intubasi dikonfirmasi dengan deteksi end-tidal CO2, auskultasi, dan
akhirnya, rontgen toraks. Dalam kasus laringoskopi direk yang gagal dilakukan,
dan jika ventilasi masker dapat dipertahankan, teknik intubasi cadangan seperti
bronkoskopi fiber optik atau videolaringoskopi pun dapat dilakukan. Jika
pendekatan ini gagal, langkah terakhir dalam algoritma mereka adalah operasi
jalan nafas.
2.6. Anatomi jalan nafas
Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi regional untuk
laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.44
Gambar 1. Anatomi Jalan Nafas44
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 13/33
13
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk U dengan
struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago
krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga
hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).
Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior.
Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari
laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan
menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka
kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago:
tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.44
Gambar 2. Anatomi Cricoid44
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Membran
mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf
trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 14/33
14
(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari
saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari
palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi
mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9)
untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian
posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk
sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari
faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10)
untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang
merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang
bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring
antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal
rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.44
Gambar 3. Persarafan Jalan Nafas44
Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf
laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 15/33
15
saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita
suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.44
Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring.
Kerusakan saraf motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan
bicara. Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan
gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa
menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol
jalan nafas.
Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari
pita suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf
laringeal superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral
dapat menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan
dari otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis
saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti
atropi dari otot laringeal).44
Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal
rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara
flasid dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun
fonasi terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang jadi masalah.
Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri
krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari
arteri carotid externa dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang
memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 16/33
16
ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan
krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan
tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap
pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.44
Tabel 1. Efek Luka Pada Laring Terhadap Suara
2.7. Teknik intubasi
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi
pasien. Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala
pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk
mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi.
Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis
langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang
(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join
menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 17/33
17
Gambar 4. Pipa trakeal dengan stylet44
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien
yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki
jalan nafas yang sulit.44
Gambar 5. Posisi dan Cara Intubasi dengan Macintosh Blade45
Intubasi Orotracheal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka
lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 18/33
18
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam
vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle
diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk
melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan
dari gigi harus dihindari. Pipa trakeal atau Tracheal Tube (TT) diambil dengan
tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi).
Balon TT harus berada dalam trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop
ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan
dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama
ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada
mukosa trachea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk
menentukan tekanan balon yang adekuat.44
Gambar 6. Teknik Intubasi44
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ( Endotracheal Tube) ada di
intratracheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 19/33
19
trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa
diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2
dengan capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak TT di trachea,
tapi tidak dapat mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi
bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat
dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot
balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid,
karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post
operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat
dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.44
Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan usaha karena
hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan meningkatkan keberhasilan,
seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan
mandren, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta
bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face
mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube,
cricotirotomi dengan jet ventilasi, tracheostomi). Petunjuk yang dikembangkan
oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana
terapi.44
Intubasi Nasotracheal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat
hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang
hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 20/33
20
lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5 – 0,25%) menyebabkan
pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,
pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan
hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan
blok saraf dapat digunakan.44
TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan
dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh
dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung
proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur
dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, laringoskope, digunakan
adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea
tanpa kesulitan. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan kateter
nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan
adanya resiko masuk ke intrakranial.44
2.8. Teknik ekstubasi
Secara umum, ekstubasi paling baik dilakukan ketika pasien dalam
keadaan teranestesi dalam atau sadar. Pada beberapa kasus, pemulihan dari obat
neuromuskuler blok harus adekuat sebelum ekstubasi. Jika digunakan obat blok
neuromuskuler dan pasien dilakukan kontrol ventilasi dan karena itu harus
weaning dari ventilator sebelum dilakukan ekstubasi.
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 21/33
21
Gambar 7. Algoritma Airway46
Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar)
harus dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara
anestesi dalam dan anestesi dangkal ini biasanya nyata selama pengisapan faring:
setiap reaksi terhadap tindakan suction (misalnya tahan nafas, batuk) merupakan
tanda dari anestesi dangkal, sedangkan bila tidak ada reaksi disebut dalam
keadaan anestesi dalam. Buka mata atau melakukan gerakan sesuai perintah
menunjukkan pasien telah sadar.
Ekstubasi pada pasien sadar, biasanya disertai batuk. Reaksi ini
meningkatkan denyut jantung, tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 22/33
22
vena central, tekanan arteri. Ini dapat juga menyebabkan luka operasi terbuka dan
berdarah kembali. Adanya TT pada pasien asmatik, dapat mencetuskan terjadinya
bronchospasme. Walaupun konsekuensi ini dapat menurun dengan pemberian
lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi
dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik pada pasien tidak dapat
mengtolerir efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra indikasi pada pasien
dengan resiko untuk aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya sulit untuk
dikontrol setelah ekstubasi.44
Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi
dalam atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk
mengurangi resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi
dengan O2 100% pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah
ekstubasi. Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari iktana atau plester dan
balon dikemperskan. Apakah ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau inspirasi
tidak terlalau pentng. ETT diangkat dalam sekalai narik dengan gerakan yang
halus dan kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil
untuk transportasi ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen
melalui face mask tetap diberikan selama transportasi.
2.9. Perawatan pasca intubasi
Periode segera setelah intubasi darurat dapat memberikan beberapa
tantangan bagi dokter, seperti memelihara ketidakstabilan hemodinamik,
menyediakan obat penenang jangka panjang, dan memulai ventilasi mekanik yang
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 23/33
23
sesuai. Hipotensi seringkali terjadi karena efek gabungan dari hipovolemia,
ventilasi bertekanan positif, dan obat induksi.40 Resusitasi cairan dan dukungan
vasopresor seringkali diperlukan untuk mencapai target tekanan darah selama
periode ini.
Intubasi berikutnya penting untuk pasien yang cukup tenang karena pasien
mungkin masih mengalami kelumpuhan sisa dari relaksan otot yang diberikan
selama induksi. Propofol lebih disukai karena mudah dititrasi tetapi kombinasi
benzodiazepin dengan narkotika juga digunakan di banyak center dan
mengakibatkan lebih sedikit kejadian hipotensi.
Pada periode pasca intubasi, penting untuk memberikan ventilasi pasien
dengan pengaturan sedemikian rupa sehingga meminimalkan cedera paru.47-49
Sementara masih terjadi perdebatan mengenai pengaturan yang tepat tersebut,
volume tidal 6-8 mL/kg berat badan ideal dengan PEEP 5-10 cm H2O tampak
masuk akal untuk digunakan. Langkah-langkah ini akan memperlancar transisi
untuk merawat pasien ICU.
2.10. Komplikasi manajemen jalan nafas
Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,
trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau
malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau
intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.44,50
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 24/33
24
Trauma jalan napas
Instrumetasi dengan blade laringoskop besi dan pemasangan dari TT yang
kaku sering menimbulkan trauma pada jaringan lunak jalan nafas. laringoskop dan
intubasi dapat membawa kearah rentang komplikasi dari nyeri tenggorokan ke
trachea stenosis. Kebanyakan dari ini disebabkan tekanan eksternal dari struktur
jalan nafas yang sensitif dalam jangka waktu lama. Ketika tekanan ini melampaui
tekanan darah kapiler dan tekanan darah arteriol ( kira-kira 30mmHg), jaringan
ishemia dapat menyebabkan inflamasi, ulserasi, granulasi dan stenosis.
Pengembungan dari balon TT ke tekanan minimum yang menimbulkan tidak
adanya kebocoran selama tekanan ventilasi positif (biasanya kurang dari
20mmHg) mengurangi aliran darah ke trakhea 75% pada sisi balon.
Pengembangan balon lebih dari 20 mmHg atau adanya hipotensi dapat secara total
menghentikan aliran darah mukosa.50
Adanya cropu pasca intubasi disebabkan karena edema glotik, laring,
trakea sangat berbahaya terutama pada anak-anak. Keuntungan dari kortikosteroid
(misalnya deksametason 0,2 mg/kg sampai maksimal 12 mg) dalam mencegah
edema jalan nafas pasca ekstubasi masih kontroversi, akan tetapi, telah
ditunjukkan manfaatnya pada anak dengan croup yang disebabkan oleh penyebab
lain. Paralisis pita suara akibat kompresioi balon atau trauma lain pada saraf
laringeal rekuren menyebabkan suara serak dan meningkatnya resiko aspirasi.
Beberapa komplikasi ini menurun dengan dengan menggunakan ETT yang sesuai
dengan anatomi jalan nafas (misal Lindholm Anatomical Tracheal Tube).
Kejadian serak pascaoperasi menimgkat pada pasien obesitas, intubasi sulit,
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 25/33
25
dianestesi lama. Pemakaian lubrikan yang laru dalam air atau salep anestesi pada
ujung atau balon ETT tidak menurunkan kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi
atau suara serak. ETT yang lebih kecil (no 6,5 untuk wanita atau no 7 untuk pria)
menyebabkan menurunnya keluhan nyeri tenggorokan. Pengulangan usaha
laringoskopi selama intubasi yang sulit dapat menimbulkan edema periglotik dan
ketidak mampuan ventilasi dengan facemask.50
Tabel 2. Komplikasi intubasi44
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 26/33
26
Kesalahan posisi pipa
Intubasi esofageal yang tidak disengaja dapat menyebabkan keadan yang
mendebarkan. Pencegahan komplikasi ini tergantung dari visualiasi langsung
ujung ETT melalui pita suara,dengarkan secara seksama untuk mendengar dari
suara nafas bilateral dan tidak adanya gargling pada lambung saat diventilasi
lewat TT, analisis dari gas exhalasi tentang adanya CO2 (metode yang paling
dipercaya), radiografi dada.50
Walaupun telah dikonfirmasikan bahwa pipa ada di trakhea, tapi belum
tentu posisinya betul. Intubasi yang terlalu dalam umumnya akibat pipa masuk ke
bronkhus kanan disebabkan sudutnya lebih landai. Diagnosa intubasi bronkhial
adalah suara nafas unilateral, hipolsia dyang diketahui dengan pulse oksimetri,
ketidakmampuan mengpalpasi balon ETT pada sternal notch selama
pengembangan balon, dan penurunan breathing bag compliance (tekanan puncak
inspirasi yang tinggi).50
Sebaliknya, insersi kedalaman ETT yang tidak adekuat dimana posisi
balon ada di laring, dapat merupakan predisposisi trauma laring. Kedalaman yang
tidak adekuat dapat dideteksi dengan palpasi balon diatas kartilago
tiroidea.Disebabkan karena tidak ada satu teknikpun mencegah kemungkinan
kesalahan penempatan ETT, pemeriksaan minimal harus meliputi auskultasi dada,
capnograf secara rutin, dan palpasi balon. Kalau posisi pasien dirubah,
penempatan pipa ETT harus diperiksa lagi. Ekstensi leher atau rotasi lateral dapat
memindahkan ETT jauh dari karina, sebaliknta fleksi leher memindahkan tube
menuju karina.50
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 27/33
27
Respon fisiologi terhadap alat jalan nafas
Laringoskopi dan intubasi trachea mengganggu refleks jalan nafas pasien
dan dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Pemasangan LMA berhubungan
dengan berkurangnya perubahan sistem hemodinamik. Perubahan hemodinamik
ini dapat dilemahkan dengan pemberian obat intravena: lidokain (1,5 mg/kg) 1-2
menit, remifentanil (1,0 µg/kg) 1 menit, alfentanil (10-20µg/kg) 2-3 menit atau
fentanil (0,5 – 1,0µg/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Obat hipotensi termasuk
sodium nitroprusid, nitroglicerin, hydralazin, beta bloker dan kalsium bloker,
telah ditunjukkan efektif untuk menumpulkan transient hipertensi akibat
laringoskopi dan intubasi. Disritmia jantung -terutama ventrikuler bigeminus –
jarang terjadi selama intubasi dan biasanya menunjukkan anestesi yang dangkal.
Laryngospasme adalah spasme yang sangat kuat dari otot laring karena
rangsang sensoris dari saraf laringeal superior. Rangsangan stimulus termasuk
sekresi faring atau lewatnya TT melalui laring saat ekstubasi. Laringospasme ini
umumnya dicegah oleh ekstubasi pasien saat anestesi dalam atau dalam keadaan
sadar penuh, tapi dapat saja terjadi, walaupun jarang pada pasien sadar. Terapi
dari laringospasme termasuk memberikan ventilasi tekanan positip lembut dengan
bag anestesi dan face mask menggunakan O2 100% atau memberikan lidokain
intravena (1-1,5mg/kg). Jika laringospasme menetap dan terjadi hipoksia,
suksinilkolin (0,25 – 1mg/kg) (biasanya dengan dosis lebih rendah) harus
diberikan agar otot laring menjadi lemas dan dapat dilakukan kontrol ventilasi.
Tekanan intratorakal negatif yang besar akibat usaha pasien selama laringospasme
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 28/33
28
dapat menyebabkan edema paru tekanan negatif bahkan pada orang dewasa muda
sehat sekalipun.50
Walaupun laringospasme menunjukkan reflek sensitivitas abnormal,
aspirasi dapat terjadi dari depresi reflek laring setelah intubasi yang lama dan
anestesi umum.
Bronchospasme adalah respons reflek lainnya terhadap intubasi dan
banyak terjadi pada pasien astma. Bronchospasme kadang kadang merupakan
petunjuk adanya intubasi bronchial. Efek patofisiologi lain dari intubasi termasuk
peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler.50
Malfungsi pipa trakhea
TT tidak selalu berfungsi seperti yang diinginkan. Kerusakan katup atau
balon umum terjadi dan harus dieksklusi sebelum pemasangan. Obstruksi TT
dapat disebabkan karena kusutnya pipa, aspirasi benda asing, atau dari sekret yang
kental dalam lumen.50
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 29/33
29
BAB III
PENUTUP
Manajemen jalan nafas darurat menghadapi tantangan yang cukup berat
bagi tenaga kesehatan karena tingginya tingkat keparahan penyakit pasien tersebut
dan risiko komplikasi yang dapat terjadi. Kunci sukses untuk manajemen jalan
napas darurat adalah evaluasi pasien serta kehadiran personel, peralatan, dan obat-
obatan yang diperlukan. Faktor yang sangat menentukan adalah performa
manajemen jalan nafas oleh tim yang berpengalaman.
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 30/33
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Benedetto WJ, Hess DR, Gettings E, Bigatello LM, Toon H, Hurford WE,
Schmidt U. Urgent tracheal intubation in general hospital units: an
observational study. J Clin Anesth 2007;19(1):20-24.
2. Schwartz DE, Matthay MA, Cohen NH. Death and other complications of
emergency airway management in critically ill adults. A prospective
investigation of 297 tracheal intubations. Anesthesiology 1995;82(2):367-
376.
3. Jaber S, Amraoui J, Lefrant JY, Arich C, Cohendy R, Landreau L, et al.
Clinical practice and risk factors for immediate complications of endotrachealintubation in the intensive care unit: a prospective, multiple-center study. Crit
Care Med 2006;34(9):2355-2361.
4. Mort TC. Complications of emergency tracheal intubation: hemodynamic
alterations – part I. J Intensive Care Med 2007;22(3):157-165.
5. Mort TC. Emergency tracheal intubation: complications associated with
repeated laryngoscopic attempts. Anesth Analg 2004;99(2):607- 613.
6. Practice guidelines for management of the difficult airway: an updated report
by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of
the Difficult Airway. Anesthesiology 2003;98(5):1269-1277. Erratum in:Anesthesiology 2004;101(2):565.
7. Mallampati SR, Gatt SP, Gugino LD, Desai SP, Waraksa B, Freiberger D, et
al. A Clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study.
Can Anaesth Soc J 1985;32(4):429-434.
8. El-Ganzouri AR, McCarthy RJ, Tuman KJ, Tanck EN, Ivankovich AD.
Preoperative airway assessment: predictive value of a multivariate risk index.
Anesth Analg 1996;82(6):1197-1204.
9. Karkouti K, Rose DK, Wigglesworth D, Cohen MM. Predicting difficult
intubation: a multivariable analysis. Can J Anaesth 2000; 47(8):730-739.
10. Kheterpal S, Han R, Tremper KK, Shanks A, Tait AR, O’Reilly M, et al.
Incidence and predictors of difficult and impossible mask ventilation.
Anesthesiology 2006;105(5):885-891.
11. Kheterpal S, Martin L, Shanks AM, Tremper KK. Prediction and outcomes of
impossible mask ventilation: a review of 50,000 anesthetics. Anesthesiology
2009;110(4):891-897.
12. Han R, Tremper KK, Kheterpal S, O’Reilly M. Grading scale for mask
ventilation. Anesthesiology 2004;101(1):267.
13. Asai T, Koga K, Vaughan RS. Respiratory complications associated with
tracheal intubation and extubation. Br J Anaesth 1998;80(6): 767-775.
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 31/33
31
14. Langeron O, Masso E, Huraux C, Guggiari M, Bianchi A, Coriat P, et al.
Prediction of difficult mask ventilation. Anesthesiology 2000;92(5):1229-
1236.
15. Caplan RA, Benumof JL, Berry FA, Blitt CD, Bode RH, Cheney FW, et al.
Practice guidlines for management of the difficult airway - a report by the
American Society of Anesthesiologists Task Force on management of the
difficult airway. Anesthesiology 1993;78(3):597-602.
16. Szabo TA, Reves JG, Spinale FG, Ezri T, Walters RD. Neuromuscular
blockade facilitates mask ventilation (abstract). Anesthesiology
2008;109(A):184.
17. Benumof JL. Preoxygenation: best method for both efficacy and efficiency?
Anesthesiology 1999;91(3):603.18. Hamilton WK, Eastwood DW. A study of denitrogenation with some
inhalation anesthetic systems. Anesthesiology 1955;16(6):861-867.
19. Barash P, Cullen B, Stoelting R. Clinical anesthesia. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2006.
20. Jense HG, Dubin SA, Silverstein PI, O’Lear y-Escolas U. Effect of obesity on
safe duration of apnea in anesthetized humans. Anesth Analg 1991;72(1):89-
93.
21. Gold MI, Duarte I, Muravchick S. Arterial oxygenation in conscious patients
after 5 minutes and after 30 seconds of oxygen breathing. Anesth Analg1981;60(5):313-315.
22. Baraka AS, Taha SK, Aouad MT, El-Khatib MF, Kawkabani NI.
Preoxygenation: comparison of maximal breathing and tidal volume
breathing techniques. Anesthesiology 1999;91(3):612.
23. Benumof JL, Dagg R, Benumof R. Critical hemoglobin desaturation will
occur before return to an unparalyzed state following 1 mg/kg intravenous
succinylcholine. Anesthesiology 1997;87(4):979-982.
24. Mort TC, Waberski BH, Clive J. Extending the preoxygenation period from 4
to 8 mins in critically ill patients undergoing emergency intubation. Crit Care
Med 2009;37(1):68-71.
25. Baillard C, Fosse JP, Sebbane M, Chanques G, Vincent F, Courouble P, et al.
Noninvasive ventilation improves preoxygenation before intubation of
hypoxic patients. Am J Respir Crit Care Med 2006; 174(2):171-177
26. Fuchs-Buder T, Mencke T, Echternach M, Kleinschmidt S, Lux P, Barth V,
et al. Laryngeal morbidity and quality of tracheal intubation: a randomized
controlled trial. Anesthesiology 2003;98(5):1049-1056.
27. Pearson S. Comparison of intubation attempts and completion times before
and after the initiation of a rapid sequence intubation protocol in an air
medical transport program. Air Med J 2003;22(6):28-33.
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 32/33
32
28. Bulger EM, Copass MK, Maier RV, Larsen J, Knowles J, Jurkovich GJ. An
analysis of advanced prehospital airway management. J Emerg Med
2002;23(2):183-189.
29. Bernard S, Smith K, Foster S, Hogan P, Patrick I. The use of rapid sequence
intubation by ambulance paramedics for patients with severe head injury.
Emerg Med (Fremantle) 2002;14(4):406-411.
30. Sagarin MJ, Barton ED, Chng YM, Walls RM. Airway management by US
and Canadian emergency medicine residents: a multicenter analysis of more
than 6,000 endotracheal intubation attempts. Ann Emerg Med
2005;46(4):328-336.
31. Levitan RM, Rosenblatt B, Meiner EM, Reilly PM, Hollander JE. Alternating
day emergency medicine and anesthesia resident responsibility formanagement of the trauma airway: a study of laryngoscopy performance and
intubation success. Ann Emerg Med 2004; 43(1):48-53.
32. Sellick BA. Cricoid pressure to control regurgitation of stomach contents
during induction of anaesthesia. Lancet 1961;2(7199):404-406.
33. Smith KJ, Dobranowski J, Yip G, Dauphin A, Choi PT. Cricoid pressure
displaces the esophagus: an observational study using magnetic resonance
imaging. Anesthesiology 2003;99(1):60-64.
34. Rice MJ, Mancuso AA, Gibbs C, Morey TE, Gravenstein N, Deitte LA.
Cricoid pressure results in compression of the postcricoid hypopharynx: the
esophageal position is irrelevant. Anesth Analg 2009;109(5):1546-1552.
35. Haslam N, Parker L, Duggan JE. Effect of cricoid pressure on the view at
laryngoscopy. Anaesthesia 2005;60(1):41-47.
36. Turgeon AF, Nicole PC, Trepanier CA, Marcoux S, Lessard MR. Cricoid
pressure does not increase the rate of failed intubation by direct laryngoscopy
in adults. Anesthesiology 2005;102(2):315-319.
37. Butler J, Sen A. Cricoid pressure in emergency rapid sequence induction.
Emerg Med J 2005;22(11):815-816.
38. Fenton PM, Reynolds F. Life-saving or ineffective? An observational study
of the use of cricoid pressure and maternal outcome in an African setting. IntJ Obstet Anesth 2009;18(2):106-110.
39. Lerman J. On cricoid pressure: “may the force be with you”. Anesth Analg
2009;109(5) :1363-1366.
40. Stephens CT, Kahntroff S, Dutton RP. The success of emergency
endotracheal intubation in trauma patients: a 10-year experience at a major
adult trauma referral center. Anesth Analg 2009;109(3):866-872.
41. Jaber S, Jung B, Corne P, Sebbane M, Muller L, Chanques G, et al. An
intervention to decrease complications related to endotracheal intubation in
5/16/2018 Airway m - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 33/33
33
the intensive care unit: a prospective, multiple-center study. Intensive Care
Med;36(2):248-255.
42. Wilcox SR, Bittner E, George E, Buckley VF, Schmidt UH. Improvement in
emergency airway equipment transport. Respir Care 2010;55(7):852-857
43. Schmidt UH, Kumwilaisak K, Bittner E, George E, Hess D. Effects of
supervision by attending anesthesiologists on complications of emergency
tracheal intubation. Anesthesiology 2008;109(6):973-977.
44. Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc Graw-
Hill Companies, Inc. United State.
45. Dorsch IA, Dorsch SE. Understanding anesthesia equipment construction.
Care and Complication. William and Wilkins. 1991
46. Practice Guidelines for management of the difficult airway: an update report
by the American Society of Anesthesiologist Task Force on Management of
the Difficult Airway. Anesthesiology 2003,98:1296
47. The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. Ventilation with lower
tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury
and the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med
2000;342(18):1301-1308.
48. Talmor D, Sarge T, Malhotra A, O’Donnell CR, Ritz R, Lisbon A, et al.
Mechanical ventilation guided by esophageal pressure in acute lung injury. N
Engl J Med 2008;359(20):2095-2104.49. Chiumello D, Carlesso E, Cadringher P, Caironi P, Valenza F, Polli F, et al.
Lung stress and strain during mechanical ventilation for acute respiratory
distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med 2008;178(4):346-355.
50. Nugraha, Arya. 2009. Manajemen Jalan napas: komplikasi laringoskop dan
intubasi. Available on http://www.google.com/komper diakses tanggal 15
Oktober 2010