airway m

33
 1 BAB I PENDAHULUAN Intubasi dalam keadaan gawat darurat merupakan tantangan besar bagi tenaga kesehatan dengan latar belakang pelatihan dan pengalaman yang berbeda. Tergantung kondisi fasilitas kesehatan, intubasi darurat dilakukan oleh berbagai tenaga kesehatan, termasuk terapist pernafasan (RT), dokter, dan perawat. Umumnya, mereka harus mengamankan jalan nafas pada pasien yang sedang kritis dengan k olaps pernafas an dan/atau kardiovaskular. Indikasi untuk intubasi darurat antara lain gagal nafas apapun etiologinya, pengamanan jalan napas, keadaan darurat neurologis, trauma, dan serangan jantung. Intubasi di luar kamar operasi atau instalasi gawat darurat (IGD) berisiko tinggi mengalami komplikasi yang dilaporkan sebesar 14-28%. 1-3 Komplikasi yang paling sering ditemui selama intubasi darurat antara lain komplikasi yang berkaitan dengan jalan napas (beberapa kali gagal intubasi, intubasi ke esofagus, aspirasi, trauma intubasi, dan cedera gigi), komplikasi jantung (hipotensi, disritmia, dan serangan jantung), dan hiperkarbia dan/atau hipoksemia. 1-4 Risiko komplikasi ini meningkat dengan sesuai jumlah percobaan intubasi. 5 Angka kematian segera setelah manajemen  jalan nafas darurat adalah 85-15% sedangkan istilah angka harapan hidup lama setelah intubasi darurat adalah 45 -55%. 1-3  Angka kematian yang menjadi tinggi setelah manajemen jalan napas darurat sangat multifaktorial yang merupakan hasil kombinasi faktor pasien, tenaga kesehatan, dan lingkungan. Kebanyakan pasien yang membutuhkan

Upload: annisa-setyanti

Post on 18-Jul-2015

275 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 1/33

1

BAB I

PENDAHULUAN

Intubasi dalam keadaan gawat darurat merupakan tantangan besar bagi

tenaga kesehatan dengan latar belakang pelatihan dan pengalaman yang berbeda.

Tergantung kondisi fasilitas kesehatan, intubasi darurat dilakukan oleh berbagai

tenaga kesehatan, termasuk terapist pernafasan (RT), dokter, dan perawat.

Umumnya, mereka harus mengamankan jalan nafas pada pasien yang sedang

kritis dengan kolaps pernafasan dan/atau kardiovaskular. Indikasi untuk intubasi

darurat antara lain gagal nafas apapun etiologinya, pengamanan jalan napas,

keadaan darurat neurologis, trauma, dan serangan jantung. Intubasi di luar kamar

operasi atau instalasi gawat darurat (IGD) berisiko tinggi mengalami komplikasi

yang dilaporkan sebesar 14-28%.1-3

Komplikasi yang paling sering ditemui

selama intubasi darurat antara lain komplikasi yang berkaitan dengan jalan napas

(beberapa kali gagal intubasi, intubasi ke esofagus, aspirasi, trauma intubasi, dan

cedera gigi), komplikasi jantung (hipotensi, disritmia, dan serangan jantung), dan

hiperkarbia dan/atau hipoksemia.1-4

Risiko komplikasi ini meningkat dengan

sesuai jumlah percobaan intubasi.5

Angka kematian segera setelah manajemen

 jalan nafas darurat adalah 85-15% sedangkan istilah angka harapan hidup lama

setelah intubasi darurat adalah 45 -55%.1-3

 

Angka kematian yang menjadi tinggi setelah manajemen jalan napas

darurat sangat multifaktorial yang merupakan hasil kombinasi faktor pasien,

tenaga kesehatan, dan lingkungan. Kebanyakan pasien yang membutuhkan

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 2/33

2

intubasi darurat adalah dalam kondisi kritis dan memiliki cadangan

kardiopulmoner yang sangat sedikit. Seringkali, lokasi pasien saat manajemen

 jalan napas darurat juga memberikan tantangan tambahan. Ketika suatu intubasi

dilakukan di lokasi seperti IGD atau unit perawatan intensif (intensive care unit 

[ICU]) dimana staf dan perawat telah berpengalaman dalam mengelola pasien

yang tidak stabil, kritis, jalan nafas yang sulit, dan kolaps kardiovaskular, makan

manajemen jalan nafas ini pun menjadi sangat efisien. Namun, situasi yang sama

dapat menjadi sangat tidak efisien jika dilakukan di lokasi seperti bangsal rumah

sakit dimana staf tidak secara rutin merawat pasien tidak stabil. Dalam tinjauan

pustaka ini akan dibahas pendekatan untuk manajemen jalan nafas beserta

komplikasi yang terkait.

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 3/33

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Evaluasi pasien

Dua pertanyaan penting saat dokter melakukan manajemen jalan nafas

yang harus dijawab adalah dapatkah saya melakukan ventilasi efektif dengan

masker dan bisakah saya mengintubasi pasien ini dengan aman. Pertanyaan-

pertanyaan ini sangat penting pada pasien yang harus mempertahankan respirasi

secara spontan dan akan memerlukan induksi farmakologis untuk memfasilitasi

intubasi. Meskipun intubasi trakea adalah tujuan akhir dari manajemen jalan

nafas, kemampuan untuk menyediakan ventilasi efektif dengan masker adalah

tindakan yang juga penting untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Tidak ada indikator tunggal dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi

untuk memprediksi apakah akan sulit untuk melakukan ventilasi masker,

laringoskopi, atau intubasi. Anamnesis dan pemeriksaan fisik seringkali

memberikan informasi yang berharga untuk memandu pengambilan keputusan

dalam manajemen jalan nafas.6

Komponen yang penting antara lain riwayat jalan

napas yang sulit serta riwayat penyakit yang melibatkan mulut, orofaring,

nasofaring, dan jalan nafas bagian atas. Sayangnya, dalam situasi darurat banyak 

pasien yang tidak dapat menjawab anamnesis karena status mental berubah atau

gangguan pernapasan sehingga tenaga kesehatan harus mengandalkan informasi

dari dokter lain yang sudah merawat pasien, meninjau kembali grafik tanda vital,

dan hasil pemeriksaan fisik sebelumnya. Sejumlah temuan fisik dan skema

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 4/33

4

klasifikasi dapat digunakan untuk memprediksi kesulitan ventilasi masker dan

intubasi. Skema yang biasa dipakai untuk memprediksi intubasi adalah skema

klasifikasi Mallampati yang didasarkan pada visualisasi uvula, palatum, dan

struktur-struktur faring pada pasien dalam kondisi terjaga dengan posisi duduk 

dan mulut terbuka serta lidah menjulur keluar.7

Meskipun klasifikasi Mallampati

merupakan salah satu prediktor yang sensitif untuk sebagian besar jalan napas

yang sulit, tetapi klasifikasi ini memiliki spesifisitas dan nilai prediktif positif 

yang rendah ketika digunakan sendiri.8

Prediktor penting lainnya dari saluran

napas yang sulit adalah bukaan mulut yang kecil (<4 cm), jarak thyro-mentum

(tiroid ke dagu) yang pendek (<6 cm), penurunan ekstensi leher, ketidakmampuan

untuk  prognath, dan leher yang pendek maupun tebal.8,9

Setiap temuan fisik ini

dilakukan di dalam kamar operasi elektif, pasien yang kooperatif, dan tidak dalam

situasi darurat.

Insidensi ventilasi masker yang sulit pada pasien dewasa di ruang operasi

adalah 1,4-5%.10-14

Kesulitan ventilasi masker didefinisikan sebagai

ketidakmampuan untuk mempertahankan saturasi oksigen >90% dengan inspirasi

oksigen 100% atau untuk mencegah maupun membalikkan tanda-tanda dari

hipoventilasi dengan ventilasi masker bertekanan positif oleh tanpa bantuan

ventilasi dari ahli anestesi.15

Manuver seperti mengangkat dagu (chin lift ),

mendorong rahang ( jaw thrust ), ventilasi 2 tangan, dan penggunaan alan pembuka

 jalan nafas nasofaringeal atau orofaringeal dapat meningkatkan ventilasi masker.

Obat relaksan otot sering meningkatkan kualitas ventilasi masker ini.16

 

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 5/33

5

Meskipun keadaan dimana ventilasi masker tidak mungkin dilakukan

adalah salah satu keadaan yang paling menakutkan dalam manajemen jalan nafas,

insidensi, faktor risiko, dan outcome-nya justru baru-baru ini saja diteliti. Dalam

sebuah penelitian dengan jumlah subjek lebih dari 50.000 pasien yang telah

menjalani manajemen jalan nafas di ruang operasi, Kheterpal dkk melaporkan

ventilasi masker mustahil dilakukan pada 0,15% kasus.10,11

 

Prediktor atas keadaan dimana ventilasi masker tidak mungkin dilakukan

adalah riwayat radiasi leher sebelumnya, jenis kelamin laki-laki, diagnosis sleep

apnea, Mallampati kelas III atau IV, dan terdapat jenggot.11

Dua puluh lima

persen (19 dari 77) pasien dengan ventilasi masker yang sulit juga sulit untuk 

dilakukan intubasi dan dua dari pasien-pasien tersebut memerlukan pembuatan

 jalan nafas secara operatif.11

 

2.2.  Pra-oksigenasi

Pra-oksigenasi atau "denitrogenasi" dilakukan untuk menggantikan

nitrogen dalam paru dengan mengisi seluruh sisa kapasitas fungsional paru

dengan oksigen.17,18

Orang dewasa sehat yang menghirup udara ruangan (FIO2

0,21) akan mengalami desaturasi oksigen (SpO2 <90%) dalam waktu 2 menit

setelah apnea.19

Namun, orang sehat yang dilakuakn pra-oksigenasi dengan

oksigen 100% dapat mempertahankan saturasi oksigen di atas 90% selama lebih

dari 6 menit.20

Pra-oksigenasi dilakukan dengan menggunakan masker wajah

( face-mask ) ketat yang dihubungkan ke sumber oksigen yang segar dengan

pasokan oksigen 10 L/menit selama 3-5 menit. Baru-baru ini ditunjukkan bahwa

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 6/33

6

pemberian serangkaian 4 napas dengan volume sebesar kapasitas vital pada

sukarelawan sehat selama 30 detik atau 8 napas kapasitas vital selama 60 detik 

yang diberikan adalah setara pra-oksigenasi dengan PaO2 sampai 369 mm Hg.21,22

 

Namun, pra-oksigenasi kurang efektif pada pasien kritis dan waktu yang

diperlukan sampai terjadi desaturasi kritis pun berkurang.23,24

Penurunan kapasitas

residual fungsional, peningkatan konsumsi oksigen, dan adanya jalan pintas

intrapulmoner berkontribusi dalam menempatkan pasien kritis untuk mengalami

desaturasi cepat.23,24

Dalam satu penelitian pra-oksigenasi pada pasien kritis PaO2

meningkat setelah 4 menit pra-oksigenasi, yaitu dari 67 + - 20 mm Hg pada

awalnya menjadi 104 +/- 63 mm Hg, dibandingkan dengan pasien yang stabil

yang mengalami peningkatan PaO2yang secara signifikan lebih tinggi, yaitu dari

79 +/- 12 mm Hg menjadi 404 +/- 72 mm Hg.25

Pada pasien kritis,

memperpanjang pra-oksigenasi hingga 8 menit tidak signifikan lagi dalam

meningkatkan PaO2.24

 

Berbeda dengan pra-oksigenasi dengan masker wajah ketat, noninvasive

ventilation (NIV) mungkin lebih efektif. Baillard dkk melakukan penelitian

terhadap pasien hipoksemia yang diacak untuk mendapat perlakuan dengan

penggunaan NIV (untuk memberikan volume tidal 7-10 mL/kg dengan FIO2 1,0

selama 3 menit) atau bag-valve-mask yang ketat. Mereka melaporkan peningkatan

saturasi oksigen, penurunan nadir dari desaturasi, dan mengurangi waktu untuk 

pemulihan kelompok subjek yang mendapat pra-oksigenasi dengan NIV.25

 

Gudzenko dkk mendukung penggunaan NIV untuk pre-oksigenasi pada pasien

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 7/33

7

yang sebelumnya sudah dimulai dengan NIV sampai saat laringoskopi direk 

dilakukan.

2.3.  Farmakologi manajemen jalan nafas

2.3.1.  Agen induksi

Kecuali dipilih teknik intubasi dalam keadaan sadar atau pasien menjalani

resusitasi kardiopulmoner, kebanyakan pasien dilakukan induksi untuk 

memfasilitasi intubasi darurat. Tujuan induksi adalah untuk menghasilkan

keadaan tidak sadarkan diri, mengoptimalkan kondisi intubasi, dan mencegah

respon hemodinamik terhadap manipulasi jalan napas. Umumnya obat induksi

yang digunakan adalah benzodiazepin, barbiturat, narkotika, propofol, etomidate,

dan ketamin, baik sebagai agen tunggal maupun kombinasi dengan satu sama lain.

Namun, obat-obatan untuk intubasi darurat harus digunakan dengan sangat hati-

hati karena potensi mereka untuk mempengaruhi hemodinamik, termasuk dampak 

langsung dari obat itu sendiri (misalnya, penurunan ritme vaskular atau depresi

miokardium) dan efek tidak langsung dari penurunan simpatik. Karena sering

gangguan pernapasan, hipoksemia, dan hiperkarbia, arus perpindahan simpatik 

pada pasien yang kritis pun meningkat sehingga hemodinamika relatif stabil.

Namun, setelah induksi, hipoksemia dan hiperkarbia sering meningkat, pernafasan

berkurang, dan outflow simpatik menurun secara drastis. Hal ini mengakibatkan

hipotensi pada 35-46% pasien setelah intubasi darurat.4

Selain itu, ventilasi

bertekanan positif dan PEEP meningkatkan tekanan intratorak yang menurunkan

venous return dan curah jantung. Menariknya, dalam sebuah penelitian

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 8/33

8

observasional tentang intubasi trakea darurat, pilihan agen induksi tidak 

mempengaruhi kejadian hipotensi, dan bahkan tidak adanya agen induksi

mengakibatkan hipotensi pada 46% pasien.4 

2.3.2.  Relaksan otot

Penggunaan relaksan otot untuk intubasi endotrakeal di luar kamar operasi

dan IGD masih kontroversial. Perhatian utama ditujukan terhadap potensi

kesulitan jalan napas secara tak terduga dan ketidakmampuan untuk ventilasi

maupun intubasi pasien. Namun, relaksan otot memperbaiki kondisi intubasi dan

mempermudah ventilasi masker. Selanjutnya, intubasi tanpa relaksan otot

membawa risiko yang signifikan untuk terjadinya komplikasi di laring dan plica

vocalia.26

Seperti telah dibahas sebelumnya, ketidakmampuan untuk ventilasi

adalah peristiwa langka, dan dengan persiapan yang benar, masalah ini dapat

ditangani dengan baik. Ketika relaksan otot digunakan untuk intubasi darurat,

onset cepat penting untuk memungkinkan pengamanan jalan napas secara cepat

pula. Dua relaksan otot yang paling umum digunakan untuk intubasi darurat

succinylcholine dan rocuronium.

2.4.   Rapid-sequence Intubation

 Rapid-sequence intubation (awalnya disebut rapid-sequence induction)

adalah pendekatan yang paling umum untuk mengamankan jalan napas di IGD,

ICU, dan kamar operasi saat ada kekhawatiran terjadinya aspirasi. Metode ini

meliputi pra-oksigenasi yang diikuti dengan pemberian agen induksi dan relaksan

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 9/33

9

otot dengan cepat. Setelah menunggu 45-60 detik (tanpa ventilasi masker) sejak 

agen induksi dan relaksan otot diberikan, laringoskopi direk dan intubasi

endotrakeal pun dilakukan. Penekanan pada kartilago krikoid pun diberikan

selama induksi cepat dilakukan untuk mencegah regurgitasi pasif isi perut.

Induksi cepat telah diadopsi dan digunakan secara luas di rumah sakit oleh

paramedis.27-29

Tingkat keberhasilan yang dilaporkan untuk induksi cepat ini

adalah >85% pada usaha pertama oleh ahli anestesi.30,31

 

Hal kontroversial dari induksi cepat ini adalah perlunya penekanan

krikoid. Penekanan krikoid pertama kali diperkenalkan oleh Sellick dan

dimaksudkan untuk memampatkan faring antara 2 struktur anatomi yang kaku

(kartilago krikoid dan vertebra servikal) sehingga mencegah regurgitasi isi

lambung.32

Namun, penelitian radiologis baru-baru ini mempertanyakan prinsip

dasar penekanan krikoid ini. Smith dkk menggunakan magnetic resonance

imaging (MRI) untuk menunjukkan bahwa pada lebih dari 50% esofagus pasien

bergeser ke lateral saat penekanan krikoid dilakuan dan tidak dapat dikompresi

oleh penekanan ini.33

Bukti yang diberikan Rice dkk bahwa bukan faring yang

terletak di bawah krikoid melainkan hipofaring dan hipofaring ini adalah struktur

stabil yang tidak bergerak dan dapat dikompresi hanya dengan 35% diameter.34

 

Masih pada topik yang mempertanyakan keefektifan penekanan krikoid, peneliti

lain telah menyatakan bahwa penekanan krikoid dapat mengganggu ventilasi

masker dan memperburuk visualisasi laringoskopi meskipun penekanan krikoid

tampaknya tidak meningkatkan angka kegagalan intubasi.35,36

Tidak ada bukti

klinis yang kuat untuk mendukung bahwa penekanan krikoid dapat mencegah

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 10/33

10

aspirasi.2,37,38

Di lain pihak, kita juga tidak memiliki bukti yang cukup untuk 

meninggalkan penekanan krikoid ini dan kegagalan dalam melakukan penekanan

krikoid ini memiliki konsekuensi medikolegal.39

 

2.5.  Pendekatan jalan nafas darurat

Pada tahun 1993 (direvisi pada tahun 2003), panduan dan algoritma

 American Society of Anesthesiologist  telah diterbitkan untuk manajemen jalan

nafas yang sulit.6

Algoritma ini banyak digunakan oleh ahli anestesi dalam

melakukan manajemen jalan napas. Namun, penggunaan algoritma untuk jalan

nafas darurat di luar kamar operasi masih belum diteliti. Stephens dkk 

mengevaluasi sebuah alternatif algoritma manajemen jalan nafas pada lebih dari

6.000 intubasi pasien trauma dalam situasi gawat darurat.40

Perbedaan utama

antara algoritma mereka dan algoritma  American Society of Anesthesiologist  

adalah tidak adanya pilihan untuk membangunkan pasien setelah induksi,

penggunaan induksi cepat pada semua pasien, dan keputusan lebih dini untuk 

melakukan operasi jalan napas (surgical airway). Dalam analisis retrospektif 

mereka, angka operasi jalan nafas sekunder setelah gagal intubasi adalah 0,3%.40

 

Jaber dkk baru-baru ini melakukan penelitian multicenter prospektif untuk 

mengevaluasi sebuah protokol manajemen intubasi untuk pasien di ICU.41

 

Protokol mereka terdiri atas langkah-langkah pra-intubasi (2 operator, loading

cairan, persiapan sedasi, dan pra-oksigenasi menggunakan NIV); langkah-langkah

intubasi (induksi cepat, penekanan krikoid), dan langkah-langkah post-intubasi

(konfirmasi penempatan endotracheal tube, norepinefrin untuk ketidakstabilan

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 11/33

11

hemodinamik, obat penenang jangka panjang, dan ventilasi perlindungan paru).

Protokol manajemen intubasi dikaitkan dengan penurunan signifikan atas

terjadinya komplikasi yang mengancam nyawa pasien.

Gudzenko dkk menjelaskan sebuah sistem kerja untuk manajemen jalan

nafas. Dalam sistem kerja mereka, keadaan darurat napas ditangani oleh tim yang

terdiri dari terapist respirasi dan seorang ahli anestesi (1-3 tahun pelatihan

anestesi). Tim ini membawa tas airway bag darurat yang berisi peralatan jalan

napas yang penting untuk manajemen jalan nafas darurat. Peralatan yang

terorganisir dalam tas tersebut dapat mengurangi waktu untuk mencari

perlengkapan yang dibutuhkan dan dengan demikian berkontribusi terhadap

keselamatan intubasi.42

Seorang ahli bedah siap sedia di tempat selam 24 jam

sehari 7 hari seminggu untuk operasi jalan nafas sebagai alternatif kegagalan

intubasi. Ketika tim jalan nafas dipanggil untuk manajemen jalan nafas darurat,

evaluasi jalan nafas adalah langkah pertama. Jika dicurigai jalan napas yang sulit,

peralatan tambahan (seperti bronkoskopi fiber optik dan/atau videolaringoskop)

untuk manajemen jalan nafas pun segera diperoleh. Jika ada kecurigaan tinggi

untuk kemungkinan operaso jalan napas, tim bedah pun diberitahu dan hadir di

samping pasien sebagai alternatif sebelum mencoba intubasi. Semua peralatan

yang diperlukan harus tersedia sebelum induksi. Kehadiran tenaga perawat yang

terampil dan terapist respirasi juga sangat penting untuk manajemen jalan nafas

yang optimal. Kepastian akses intravena yang memadai dan ketersediaan

vasopressor diperlukan sebelum memberikan obat induksi karena tingkat

hipotensi dan instabilitas kardiovaskular setelah intubasi adalah 20-40% dari

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 12/33

12

kasus.4

Ketika semua peralatan yang diperlukan tersedia dan personil hadir, pasien

diposisikan dan dilakukan pra-oksigenasi. Untuk induksi, dapat digunakan

propofol atau kombinasi midazolam dan fentanyl, dengan penambahan relaksan

otot.43

Intubasi dikonfirmasi dengan deteksi end-tidal CO2, auskultasi, dan

akhirnya, rontgen toraks. Dalam kasus laringoskopi direk yang gagal dilakukan,

dan jika ventilasi masker dapat dipertahankan, teknik intubasi cadangan seperti

bronkoskopi fiber optik atau videolaringoskopi pun dapat dilakukan. Jika

pendekatan ini gagal, langkah terakhir dalam algoritma mereka adalah operasi

 jalan nafas.

2.6. Anatomi jalan nafas 

Keberhasilan intubasi, ventilasi, krikotirotomi dan anestesi regional untuk 

laring memerlukan pengetahuan detail dari anatomi jalan nafas.44

Gambar 1. Anatomi Jalan Nafas44

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 13/33

13

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung

yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars

oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi

kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring. Faring berbentuk U dengan

struktur fibromuskuler yang memanjang dari dasar tengkorak menuju kartilago

krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian depannya terbuka ke dalam rongga

hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan laringofaring (pars laryngeal).

Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis imaginasi mengarah ke posterior.

Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis memisahkan orofaring dari

laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah terjadinya aspirasi dengan

menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan. Laring adalah suatu rangka

kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot. Laring disusun oleh 9 kartilago:

tiroid, krikoid, epiglotis, dan (sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.44

Gambar 2. Anatomi Cricoid44

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial. Membran

mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi ophthalmic (V1) saraf 

trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian posterior oleh divisi maxila

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 14/33

14

(V2) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat serabut saraf sensori dari

saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan superior dan inferior dari

palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual (cabang dari saraf divisi

mandibula [V3] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal (saraf kranial yang ke 9)

untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan sepertiga bagian

posterior lidah. Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk 

sensasi rasa di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari

faring, tonsil dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10)

untuk sensasi jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang

merupakan cabang dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang

bersifat motoris dan saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring

antara epiglotis dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal

rekuren, mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea.44

Gambar 3. Persarafan Jalan Nafas44

Otot laring dipersarafi oleh saraf laringeal rekuren (cabang dari saraf 

laringeal superior) dengan pengecualian otot krikotiroid, yang dipersarafi oleh

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 15/33

15

saraf laringeal externa (motoris). Otot krikotiroid posterior mengabduksi pita

suara, seraya otot krikoaritenoid lateral adalah adduktor utama.44

Fonasi merupakan kerja yang simultan dari beberapa otot laring.

Kerusakan saraf motoris yang mempersarafi laring, menyebabkan gangguan

bicara. Gangguan persarafan unilateral dari otot krikotiroid menyebabkan

gangguan klinis. Kelumpuhan bilateral dari saraf laringeal superior bisa

menyebabkan suara serak atau suara lemah, tapi tidak membahayakan kontrol

 jalan nafas.

Paralisis unilateral dari saraf laringeal rekuren menyebabkan paralisis dari

pita suara ipsilateral, menyebabkan kemunduran dari kualitas suara. Pada saraf 

laringeal superior yang intact, kerusakan akut saraf laringeal rekuren bilateral

dapat menyebabkan stridor dan distress pernafasan karena masih adanya tekanan

dari otot krikotiroid. Jarang terdapat masalah jalan nafas pada kerusakan kronis

saraf laringeal rekuren bilateral karena adanya mekanisme kompensasi (seperti

atropi dari otot laringeal).44

Kerusakan bilateral dari saraf vagus mempengaruhi kedua saraf laringeal

rekuren dan superior. Jadi, denervasi vagus bilateral menyebabkan pita suara

flasid dan midposisi mirip seperti setelah pemberian suksinilkolin. Walaupun

fonasi terganggu berat pada pasien ini, kontrol jalan nafas jarang jadi masalah.

Pasokan darah untuk laring berasal dari cabang arteri tiroidea. Arteri

krikoaritenoid berasal dari arteri tiroidea superior itu sendiri, cabang pertama dari

arteri carotid externa dan menyilang pada membran cricotiroid bagian atas, yang

memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroidea superior

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 16/33

16

ditemukan sepanjang tepi lateral dari membran krikotiroid. Ketika merencanakan

krikotirotomi, anatomi dari arteri krikoid dan arteri tiroid harus dipertimbangkan

tetapi jarang berefek pada praktek klinis. Teknik paling baik adalah untuk tetap

pada garis tengah, antara kartilago krikoid dan tiroid.44

 

Tabel 1. Efek Luka Pada Laring Terhadap Suara

2.7. Teknik intubasi 

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi

pasien. Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala

pasien harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk 

mencegah ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi.

Rigid laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis

langsung untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang

(sekitar 5-10 cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito join

menempatkan pasien pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari

tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 17/33

17

Gambar 4. Pipa trakeal dengan stylet44

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.

Preoksigenasi dengan beberapa ( 4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam

dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak 

mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien

yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki

 jalan nafas yang sulit.44

Gambar 5. Posisi dan Cara Intubasi dengan Macintosh Blade45 

Intubasi Orotracheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka

lebar, blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk 

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 18/33

18

menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring

dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam

vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle

diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk 

melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan

dari gigi harus dihindari. Pipa trakeal atau Tracheal Tube (TT) diambil dengan

tangan kanan, dan ujungnya dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi).

Balon TT harus berada dalam trachea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop

ditarik dengan hati- hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan

dengan sedikit udara yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama

ventilasi tekanan positif, untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada

mukosa trachea. Merasakan pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk 

menentukan tekanan balon yang adekuat.44

Gambar 6. Teknik Intubasi44

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan

capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ( Endotracheal Tube) ada di

intratracheal. Jika ada keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 19/33

19

trakhea, cabut lagi ETT dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa

diplester atau diikat untuk mengamankan posisi. Walaupun deteksi kadar CO2 

dengan capnograf yang merupakan konfirmasi terbaik dari letak TT di trachea,

tapi tidak dapat mengecualikan intubasi bronchial. Manifestasi dini dari intubasi

bronkhial adalah peningkatan tekanan respirasi puncak. Lokasi pipa yang tepat

dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal notch sambil menekan pilot

balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas level kartilago cricoid,

karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan suara serak pada post

operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak disengaja. Posisi pipa dapat

dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang diperlukan kecuali dalam ICU.44

Kegagalan intubasi jangan diikuti dengan pengulangan usaha karena

hasilnya akan sama. Perubahan harus dilakukan meningkatkan keberhasilan,

seperti mengatur kembali posisi pasien, penurunan ukuran pipa, pemasangan

mandren, memilih blade yang berbeda, mencoba lewat hidung atau meminta

bantuan dokter anestesi lainnya. Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan face

mask, pilihan pengelolaan jalan nafas yang lain (contoh LMA, combitube,

cricotirotomi dengan jet ventilasi, tracheostomi). Petunjuk yang dikembangkan

oleh ASA untuk penanganan jalan nafas yang sulit, termasuk algoritma rencana

terapi.44

Intubasi Nasotracheal 

Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa TT masuk lewat

hidung dan nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang

hidung yang dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 20/33

20

lebih gampang. Tetes hidung phenylephrine (0,5  –  0,25%) menyebabkan

pembuluh vasokonstriksi dan menyusutkan membran mukosa. Akan tetapi,

pemberian tetes hidung phenyleprine yang berlebihan dapat menimbulkan

hipertensi, takikardi dan lain lain. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan

blok saraf dapat digunakan.44

TT yang telah dilubrikasi dengan jeli yang larut dalam air, dimasukkan

dipergunakan didasar hidung, dibawah turbin inferior. Bevel TT disisi lateral jauh

dari turbin. Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung

proksimal dari TT harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur-angsur

dimasukan hingga ujungnya terlihat di orofaring, laringoskope, digunakan

adduksi pita suara. Seringnya ujung distal dari TT dapat dimasukan pada trachea

tanpa kesulitan. Memasukkan TT melalaui hidung atau pemasangan kateter

nasogastrik berbahaya pada pasien dengan trauma wajah yang berat disebabkan

adanya resiko masuk ke intrakranial.44

2.8. Teknik ekstubasi

Secara umum, ekstubasi paling baik dilakukan ketika pasien dalam

keadaan teranestesi dalam atau sadar. Pada beberapa kasus, pemulihan dari obat

neuromuskuler blok harus adekuat sebelum ekstubasi. Jika digunakan obat blok 

neuromuskuler dan pasien dilakukan kontrol ventilasi dan karena itu harus

weaning dari ventilator sebelum dilakukan ekstubasi.

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 21/33

21

Gambar 7. Algoritma Airway46

Ektubasi saat anestesi dangkal (keadaan antara anestesi dalam dan sadar)

harus dihindari karena meningkatkan resiko laringospasme. Perbedaan antara

anestesi dalam dan anestesi dangkal ini biasanya nyata selama pengisapan faring:

setiap reaksi terhadap tindakan suction (misalnya tahan nafas, batuk) merupakan

tanda dari anestesi dangkal, sedangkan bila tidak ada reaksi disebut dalam

keadaan anestesi dalam. Buka mata atau melakukan gerakan sesuai perintah

menunjukkan pasien telah sadar.

Ekstubasi pada pasien sadar, biasanya disertai batuk. Reaksi ini

meningkatkan denyut jantung, tekanan intrakranial, tekanan intraokuli, tekanan

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 22/33

22

vena central, tekanan arteri. Ini dapat juga menyebabkan luka operasi terbuka dan

berdarah kembali. Adanya TT pada pasien asmatik, dapat mencetuskan terjadinya

bronchospasme. Walaupun konsekuensi ini dapat menurun dengan pemberian

lidokain 1,5 mg/kg intravena 1-2 menit sebelum suction dan ekstubasi, ekstubasi

dalam anestesi yang dalam mungkin lebih baik pada pasien tidak dapat

mengtolerir efek ini. Sebaliknya, ekstubasi mungkin kontra indikasi pada pasien

dengan resiko untuk aspirasi atau pada orang yang jalan nafasnya sulit untuk 

dikontrol setelah ekstubasi.44

Tanpa membedakan apakah ekstubasi dilakukan saat pasien dalam anestesi

dalam atau sudah sadar, faring pasien harus dibersihkan sebelum ekstubasi untuk 

mengurangi resiko terjadinya aspirasi atau spasme laring. Pasien harus diventilasi

dengan O2 100% pada kasus dimana jalan nafas sulit dikendalikan setelah

ekstubasi. Tepat sebelum ekstubasi, ETT dilepaskan dari iktana atau plester dan

balon dikemperskan. Apakah ETT diangkat pada akhir ekspirasi atau inspirasi

tidak terlalau pentng. ETT diangkat dalam sekalai narik dengan gerakan yang

halus dan kemudian diberikan O2 100% melalui face mask sampai pasien stabil

untuk transportasi ke ruang pemulihan. Di beberapa pusat pendidikan, oksigen

melalui face mask tetap diberikan selama transportasi.

2.9. Perawatan pasca intubasi

Periode segera setelah intubasi darurat dapat memberikan beberapa

tantangan bagi dokter, seperti memelihara ketidakstabilan hemodinamik,

menyediakan obat penenang jangka panjang, dan memulai ventilasi mekanik yang

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 23/33

23

sesuai. Hipotensi seringkali terjadi karena efek gabungan dari hipovolemia,

ventilasi bertekanan positif, dan obat induksi.40 Resusitasi cairan dan dukungan

vasopresor seringkali diperlukan untuk mencapai target tekanan darah selama

periode ini.

Intubasi berikutnya penting untuk pasien yang cukup tenang karena pasien

mungkin masih mengalami kelumpuhan sisa dari relaksan otot yang diberikan

selama induksi. Propofol lebih disukai karena mudah dititrasi tetapi kombinasi

benzodiazepin dengan narkotika juga digunakan di banyak center dan

mengakibatkan lebih sedikit kejadian hipotensi.

Pada periode pasca intubasi, penting untuk memberikan ventilasi pasien

dengan pengaturan sedemikian rupa sehingga meminimalkan cedera paru.47-49

 

Sementara masih terjadi perdebatan mengenai pengaturan yang tepat tersebut,

volume tidal 6-8 mL/kg berat badan ideal dengan PEEP 5-10 cm H2O tampak 

masuk akal untuk digunakan. Langkah-langkah ini akan memperlancar transisi

untuk merawat pasien ICU.

2.10. Komplikasi manajemen jalan nafas

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,

trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau

malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi selama laringoskopi atau

intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.44,50

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 24/33

24

Trauma jalan napas

Instrumetasi dengan blade laringoskop besi dan pemasangan dari TT yang

kaku sering menimbulkan trauma pada jaringan lunak jalan nafas. laringoskop dan

intubasi dapat membawa kearah rentang komplikasi dari nyeri tenggorokan ke

trachea stenosis. Kebanyakan dari ini disebabkan tekanan eksternal dari struktur

 jalan nafas yang sensitif dalam jangka waktu lama. Ketika tekanan ini melampaui

tekanan darah kapiler dan tekanan darah arteriol ( kira-kira 30mmHg), jaringan

ishemia dapat menyebabkan inflamasi, ulserasi, granulasi dan stenosis.

Pengembungan dari balon TT ke tekanan minimum yang menimbulkan tidak 

adanya kebocoran selama tekanan ventilasi positif (biasanya kurang dari

20mmHg) mengurangi aliran darah ke trakhea 75% pada sisi balon.

Pengembangan balon lebih dari 20 mmHg atau adanya hipotensi dapat secara total

menghentikan aliran darah mukosa.50 

Adanya cropu pasca intubasi disebabkan karena edema glotik, laring,

trakea sangat berbahaya terutama pada anak-anak. Keuntungan dari kortikosteroid

(misalnya deksametason 0,2 mg/kg sampai maksimal 12 mg) dalam mencegah

edema jalan nafas pasca ekstubasi masih kontroversi, akan tetapi, telah

ditunjukkan manfaatnya pada anak dengan croup yang disebabkan oleh penyebab

lain. Paralisis pita suara akibat kompresioi balon atau trauma lain pada saraf 

laringeal rekuren menyebabkan suara serak dan meningkatnya resiko aspirasi.

Beberapa komplikasi ini menurun dengan dengan menggunakan ETT yang sesuai

dengan anatomi jalan nafas (misal Lindholm Anatomical Tracheal Tube).

Kejadian serak pascaoperasi menimgkat pada pasien obesitas, intubasi sulit,

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 25/33

25

dianestesi lama. Pemakaian lubrikan yang laru dalam air atau salep anestesi pada

ujung atau balon ETT tidak menurunkan kejadian nyeri tenggorokan pasca operasi

atau suara serak. ETT yang lebih kecil (no 6,5 untuk wanita atau no 7 untuk pria)

menyebabkan menurunnya keluhan nyeri tenggorokan. Pengulangan usaha

laringoskopi selama intubasi yang sulit dapat menimbulkan edema periglotik dan

ketidak mampuan ventilasi dengan facemask.50

 

Tabel 2. Komplikasi intubasi44

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 26/33

26

Kesalahan posisi pipa

Intubasi esofageal yang tidak disengaja dapat menyebabkan keadan yang

mendebarkan. Pencegahan komplikasi ini tergantung dari visualiasi langsung

ujung ETT melalui pita suara,dengarkan secara seksama untuk mendengar dari

suara nafas bilateral dan tidak adanya gargling pada lambung saat diventilasi

lewat TT, analisis dari gas exhalasi tentang adanya CO2 (metode yang paling

dipercaya), radiografi dada.50

Walaupun telah dikonfirmasikan bahwa pipa ada di trakhea, tapi belum

tentu posisinya betul. Intubasi yang terlalu dalam umumnya akibat pipa masuk ke

bronkhus kanan disebabkan sudutnya lebih landai. Diagnosa intubasi bronkhial

adalah suara nafas unilateral, hipolsia dyang diketahui dengan pulse oksimetri,

ketidakmampuan mengpalpasi balon ETT pada sternal notch selama

pengembangan balon, dan penurunan breathing bag compliance (tekanan puncak 

inspirasi yang tinggi).50

Sebaliknya, insersi kedalaman ETT yang tidak adekuat dimana posisi

balon ada di laring, dapat merupakan predisposisi trauma laring. Kedalaman yang

tidak adekuat dapat dideteksi dengan palpasi balon diatas kartilago

tiroidea.Disebabkan karena tidak ada satu teknikpun mencegah kemungkinan

kesalahan penempatan ETT, pemeriksaan minimal harus meliputi auskultasi dada,

capnograf secara rutin, dan palpasi balon. Kalau posisi pasien dirubah,

penempatan pipa ETT harus diperiksa lagi. Ekstensi leher atau rotasi lateral dapat

memindahkan ETT jauh dari karina, sebaliknta fleksi leher memindahkan tube

menuju karina.50

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 27/33

27

Respon fisiologi terhadap alat jalan nafas

Laringoskopi dan intubasi trachea mengganggu refleks jalan nafas pasien

dan dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Pemasangan LMA berhubungan

dengan berkurangnya perubahan sistem hemodinamik. Perubahan hemodinamik 

ini dapat dilemahkan dengan pemberian obat intravena: lidokain (1,5 mg/kg) 1-2

menit, remifentanil (1,0 µg/kg) 1 menit, alfentanil (10-20µg/kg) 2-3 menit atau

fentanil (0,5 – 1,0µg/kg) 4-5 menit sebelum laringoskopi. Obat hipotensi termasuk 

sodium nitroprusid, nitroglicerin, hydralazin, beta bloker dan kalsium bloker,

telah ditunjukkan efektif untuk menumpulkan transient hipertensi akibat

laringoskopi dan intubasi. Disritmia jantung -terutama ventrikuler bigeminus  –  

 jarang terjadi selama intubasi dan biasanya menunjukkan anestesi yang dangkal.

Laryngospasme adalah spasme yang sangat kuat dari otot laring karena

rangsang sensoris dari saraf laringeal superior. Rangsangan stimulus termasuk 

sekresi faring atau lewatnya TT melalui laring saat ekstubasi. Laringospasme ini

umumnya dicegah oleh ekstubasi pasien saat anestesi dalam atau dalam keadaan

sadar penuh, tapi dapat saja terjadi, walaupun jarang pada pasien sadar. Terapi

dari laringospasme termasuk memberikan ventilasi tekanan positip lembut dengan

bag anestesi dan face mask menggunakan O2 100% atau memberikan lidokain

intravena (1-1,5mg/kg). Jika laringospasme menetap dan terjadi hipoksia,

suksinilkolin (0,25  –  1mg/kg) (biasanya dengan dosis lebih rendah) harus

diberikan agar otot laring menjadi lemas dan dapat dilakukan kontrol ventilasi.

Tekanan intratorakal negatif yang besar akibat usaha pasien selama laringospasme

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 28/33

28

dapat menyebabkan edema paru tekanan negatif bahkan pada orang dewasa muda

sehat sekalipun.50

Walaupun laringospasme menunjukkan reflek sensitivitas abnormal,

aspirasi dapat terjadi dari depresi reflek laring setelah intubasi yang lama dan

anestesi umum.

Bronchospasme adalah respons reflek lainnya terhadap intubasi dan

banyak terjadi pada pasien astma. Bronchospasme kadang kadang merupakan

petunjuk adanya intubasi bronchial. Efek patofisiologi lain dari intubasi termasuk 

peningkatan tekanan intrakranial dan intraokuler.50

Malfungsi pipa trakhea

TT tidak selalu berfungsi seperti yang diinginkan. Kerusakan katup atau

balon umum terjadi dan harus dieksklusi sebelum pemasangan. Obstruksi TT

dapat disebabkan karena kusutnya pipa, aspirasi benda asing, atau dari sekret yang

kental dalam lumen.50

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 29/33

29

BAB III

PENUTUP

Manajemen jalan nafas darurat menghadapi tantangan yang cukup berat

bagi tenaga kesehatan karena tingginya tingkat keparahan penyakit pasien tersebut

dan risiko komplikasi yang dapat terjadi. Kunci sukses untuk manajemen jalan

napas darurat adalah evaluasi pasien serta kehadiran personel, peralatan, dan obat-

obatan yang diperlukan. Faktor yang sangat menentukan adalah performa

manajemen jalan nafas oleh tim yang berpengalaman.

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 30/33

30

DAFTAR PUSTAKA

1.  Benedetto WJ, Hess DR, Gettings E, Bigatello LM, Toon H, Hurford WE,

Schmidt U. Urgent tracheal intubation in general hospital units: an

observational study. J Clin Anesth 2007;19(1):20-24.

2.  Schwartz DE, Matthay MA, Cohen NH. Death and other complications of 

emergency airway management in critically ill adults. A prospective

investigation of 297 tracheal intubations. Anesthesiology 1995;82(2):367-

376.

3.  Jaber S, Amraoui J, Lefrant JY, Arich C, Cohendy R, Landreau L, et al.

Clinical practice and risk factors for immediate complications of endotrachealintubation in the intensive care unit: a prospective, multiple-center study. Crit

Care Med 2006;34(9):2355-2361.

4.  Mort TC. Complications of emergency tracheal intubation: hemodynamic

alterations – part I. J Intensive Care Med 2007;22(3):157-165.

5.  Mort TC. Emergency tracheal intubation: complications associated with

repeated laryngoscopic attempts. Anesth Analg 2004;99(2):607- 613.

6.  Practice guidelines for management of the difficult airway: an updated report

by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Management of 

the Difficult Airway. Anesthesiology 2003;98(5):1269-1277. Erratum in:Anesthesiology 2004;101(2):565.

7.  Mallampati SR, Gatt SP, Gugino LD, Desai SP, Waraksa B, Freiberger D, et

al. A Clinical sign to predict difficult tracheal intubation: a prospective study.

Can Anaesth Soc J 1985;32(4):429-434.

8.  El-Ganzouri AR, McCarthy RJ, Tuman KJ, Tanck EN, Ivankovich AD.

Preoperative airway assessment: predictive value of a multivariate risk index.

Anesth Analg 1996;82(6):1197-1204.

9.  Karkouti K, Rose DK, Wigglesworth D, Cohen MM. Predicting difficult

intubation: a multivariable analysis. Can J Anaesth 2000; 47(8):730-739.

10.  Kheterpal S, Han R, Tremper KK, Shanks A, Tait AR, O’Reilly M, et al.

Incidence and predictors of difficult and impossible mask ventilation.

Anesthesiology 2006;105(5):885-891.

11.  Kheterpal S, Martin L, Shanks AM, Tremper KK. Prediction and outcomes of 

impossible mask ventilation: a review of 50,000 anesthetics. Anesthesiology

2009;110(4):891-897.

12.  Han R, Tremper KK, Kheterpal S, O’Reilly M. Grading scale for mask 

ventilation. Anesthesiology 2004;101(1):267.

13.  Asai T, Koga K, Vaughan RS. Respiratory complications associated with

tracheal intubation and extubation. Br J Anaesth 1998;80(6): 767-775.

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 31/33

31

14.  Langeron O, Masso E, Huraux C, Guggiari M, Bianchi A, Coriat P, et al.

Prediction of difficult mask ventilation. Anesthesiology 2000;92(5):1229-

1236.

15.  Caplan RA, Benumof JL, Berry FA, Blitt CD, Bode RH, Cheney FW, et al.

Practice guidlines for management of the difficult airway - a report by the

American Society of Anesthesiologists Task Force on management of the

difficult airway. Anesthesiology 1993;78(3):597-602.

16.  Szabo TA, Reves JG, Spinale FG, Ezri T, Walters RD. Neuromuscular

blockade facilitates mask ventilation (abstract). Anesthesiology

2008;109(A):184.

17.  Benumof JL. Preoxygenation: best method for both efficacy and efficiency?

Anesthesiology 1999;91(3):603.18.  Hamilton WK, Eastwood DW. A study of denitrogenation with some

inhalation anesthetic systems. Anesthesiology 1955;16(6):861-867.

19.  Barash P, Cullen B, Stoelting R. Clinical anesthesia. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2006.

20.  Jense HG, Dubin SA, Silverstein PI, O’Lear y-Escolas U. Effect of obesity on

safe duration of apnea in anesthetized humans. Anesth Analg 1991;72(1):89-

93.

21.  Gold MI, Duarte I, Muravchick S. Arterial oxygenation in conscious patients

after 5 minutes and after 30 seconds of oxygen breathing. Anesth Analg1981;60(5):313-315.

22.  Baraka AS, Taha SK, Aouad MT, El-Khatib MF, Kawkabani NI.

Preoxygenation: comparison of maximal breathing and tidal volume

breathing techniques. Anesthesiology 1999;91(3):612.

23.  Benumof JL, Dagg R, Benumof R. Critical hemoglobin desaturation will

occur before return to an unparalyzed state following 1 mg/kg intravenous

succinylcholine. Anesthesiology 1997;87(4):979-982.

24.  Mort TC, Waberski BH, Clive J. Extending the preoxygenation period from 4

to 8 mins in critically ill patients undergoing emergency intubation. Crit Care

Med 2009;37(1):68-71.

25.  Baillard C, Fosse JP, Sebbane M, Chanques G, Vincent F, Courouble P, et al.

Noninvasive ventilation improves preoxygenation before intubation of 

hypoxic patients. Am J Respir Crit Care Med 2006; 174(2):171-177

26.  Fuchs-Buder T, Mencke T, Echternach M, Kleinschmidt S, Lux P, Barth V,

et al. Laryngeal morbidity and quality of tracheal intubation: a randomized

controlled trial. Anesthesiology 2003;98(5):1049-1056.

27.  Pearson S. Comparison of intubation attempts and completion times before

and after the initiation of a rapid sequence intubation protocol in an air

medical transport program. Air Med J 2003;22(6):28-33.

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 32/33

32

28.  Bulger EM, Copass MK, Maier RV, Larsen J, Knowles J, Jurkovich GJ. An

analysis of advanced prehospital airway management. J Emerg Med

2002;23(2):183-189.

29.  Bernard S, Smith K, Foster S, Hogan P, Patrick I. The use of rapid sequence

intubation by ambulance paramedics for patients with severe head injury.

Emerg Med (Fremantle) 2002;14(4):406-411.

30.  Sagarin MJ, Barton ED, Chng YM, Walls RM. Airway management by US

and Canadian emergency medicine residents: a multicenter analysis of more

than 6,000 endotracheal intubation attempts. Ann Emerg Med

2005;46(4):328-336.

31.  Levitan RM, Rosenblatt B, Meiner EM, Reilly PM, Hollander JE. Alternating

day emergency medicine and anesthesia resident responsibility formanagement of the trauma airway: a study of laryngoscopy performance and

intubation success. Ann Emerg Med 2004; 43(1):48-53.

32.  Sellick BA. Cricoid pressure to control regurgitation of stomach contents

during induction of anaesthesia. Lancet 1961;2(7199):404-406.

33.  Smith KJ, Dobranowski J, Yip G, Dauphin A, Choi PT. Cricoid pressure

displaces the esophagus: an observational study using magnetic resonance

imaging. Anesthesiology 2003;99(1):60-64.

34.  Rice MJ, Mancuso AA, Gibbs C, Morey TE, Gravenstein N, Deitte LA.

Cricoid pressure results in compression of the postcricoid hypopharynx: the

esophageal position is irrelevant. Anesth Analg 2009;109(5):1546-1552.

35.  Haslam N, Parker L, Duggan JE. Effect of cricoid pressure on the view at

laryngoscopy. Anaesthesia 2005;60(1):41-47.

36.  Turgeon AF, Nicole PC, Trepanier CA, Marcoux S, Lessard MR. Cricoid

pressure does not increase the rate of failed intubation by direct laryngoscopy

in adults. Anesthesiology 2005;102(2):315-319.

37.  Butler J, Sen A. Cricoid pressure in emergency rapid sequence induction.

Emerg Med J 2005;22(11):815-816.

38.  Fenton PM, Reynolds F. Life-saving or ineffective? An observational study

of the use of cricoid pressure and maternal outcome in an African setting. IntJ Obstet Anesth 2009;18(2):106-110.

39.  Lerman J. On cricoid pressure: “may the force be with you”. Anesth Analg

2009;109(5) :1363-1366.

40.  Stephens CT, Kahntroff S, Dutton RP. The success of emergency

endotracheal intubation in trauma patients: a 10-year experience at a major

adult trauma referral center. Anesth Analg 2009;109(3):866-872.

41.  Jaber S, Jung B, Corne P, Sebbane M, Muller L, Chanques G, et al. An

intervention to decrease complications related to endotracheal intubation in

5/16/2018 Airway m - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/airway-m 33/33

33

the intensive care unit: a prospective, multiple-center study. Intensive Care

Med;36(2):248-255.

42.  Wilcox SR, Bittner E, George E, Buckley VF, Schmidt UH. Improvement in

emergency airway equipment transport. Respir Care 2010;55(7):852-857

43.  Schmidt UH, Kumwilaisak K, Bittner E, George E, Hess D. Effects of 

supervision by attending anesthesiologists on complications of emergency

tracheal intubation. Anesthesiology 2008;109(6):973-977. 

44.  Morgan, G. Edward. 2005. Clinical Anesthesiology, 4th Edition. Mc Graw-

Hill Companies, Inc. United State.

45.  Dorsch IA, Dorsch SE. Understanding anesthesia equipment construction.

Care and Complication. William and Wilkins. 1991

46.  Practice Guidelines for management of the difficult airway: an update report

by the American Society of Anesthesiologist Task Force on Management of 

the Difficult Airway. Anesthesiology 2003,98:1296

47.  The Acute Respiratory Distress Syndrome Network. Ventilation with lower

tidal volumes as compared with traditional tidal volumes for acute lung injury

and the acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med

2000;342(18):1301-1308.

48.  Talmor D, Sarge T, Malhotra A, O’Donnell CR, Ritz R, Lisbon A, et al.

Mechanical ventilation guided by esophageal pressure in acute lung injury. N

Engl J Med 2008;359(20):2095-2104.49.  Chiumello D, Carlesso E, Cadringher P, Caironi P, Valenza F, Polli F, et al.

Lung stress and strain during mechanical ventilation for acute respiratory

distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med 2008;178(4):346-355.

50.  Nugraha, Arya. 2009. Manajemen Jalan napas: komplikasi laringoskop dan

intubasi. Available on http://www.google.com/komper diakses tanggal 15

Oktober 2010