aff orif - general anestesia (ralat final)
DESCRIPTION
vvsfTRANSCRIPT
BAB I
STATUS UJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama
Umur
Berat Badan
Jenis kelamin
Alamat
Pekerjaan
Tanggal periksa
Diagnosis
: Ny. WJ
: 44 tahun
: 70 Kg
: Perempuan
: Terban GK V/446 RT/RW 15/3 YK
: PNS
: 27 Agustus 2012
: Post op ORIF radius sinistra
B. ANAMNESIS
(Dilakukan secara autoanamnesis, pada tanggal 27 Agustus 2012 di bangsal
Bedah dengan melihat rekam medis pasien atas izin dokter yang merawat)
1. Keluhan utama
Tidak Ada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang untuk kontrol dan melepas hasil operasi ORIF radius sinistra
yang telah berlangsung pada tanggal 6 April 2011.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riyawat Penyakit Jantung : disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat Gastristis : disangkal
4. Riwayat Keluarga
Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
1
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
A : Clear, TMD > 6 cm , M II
B : Spontan, RR : 18x/menit, vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
C : TD = 120/80 mmHg, N = 70x/menit, S1-S2 reguler
D : compos mentis, E4V5M6
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorak Foto : Cor dan Pulmo dalam batas normal
2. Antebrachii Sinistra : Union fraktur dengan plate and screw radius ulna
sinistra
3. EKG : normal sinus rythm
4. EEG : Tidak dilakukan
5. Laboratorium : dalam batas normal
Hb : 13,1 Al : 8,94
AE : 4,90 AT : 297
HMT : 39,6 E/B/B/S/L/M : 1/0/1/75/19/4
PPT : 12,7 detik APTT : 35 detik
C. PTT : 13,2 detik C. APTT : 29,6 detik
GDS : 102 Ureum : 33
Kreatinin : 0,65 Natrium : 137,8
Kalium : 4,44 Clorida : 105,7
HbSAg : negatif
E. DIAGNOSIS KERJA
Pre Op aff ORIF radius sinistra dengan status Fisik ASA I
Rencana General Anesetesi
F. PENATALAKSANAAN
1. Persiapan Operasi
- Lengkapi Informed Consent Anestesi
2
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Tidak menggunakan perhiasan/kosmetik
- Tidak menggunakan gigi palsu
- Memakai baju khusus kamar bedah
2. Premedikasi : Midazolam 3 mg; Fentanyl 50 µg
3. Diagnosis Pra Bedah : Post Orif radius & ulna sinistra
4. Diagnosis pasca Bedah : Aff ORIF radius & ulna sinistra
5. Jenis Anestesi : General Anestesi
6. Teknik : Semi Closed, napas spontan assist, LMA
no.3
7. Induksi : Propofol 100 mg
8. Pemeliharaan : 02, N2O, Sevoflurane
9. Obat-obat : Ondansentron 4 mg, Ketorolac 30 mg
10. Jenis Cairan : Ringer laktat
11. Kebutuhan cairan selama Operasi
MO : 140 ml
PP : 1120 cc
SO : 420 cc
Keb. Cairan jam I : 1120 cc
Keb. Cairan jam II/III : 840 cc
EBV : 4550 cc
12. Instruksi Pasca Bedah
Posisi : Head up
Infus : Ringer laktat 20 tpm
Antibiotik : Sesuai dr. Operator
Analgetik : Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/IV mulai jam 17.20
Anti muntah : Inj. Ondansentron 4 mg/8 jam/IV K/P mulai jam 17.20
Lain-lain : - Awasi Vital sign dan KU
- Jika sadar penuh, Peristaltik (+) , mual (-), muntah (-),
coba minum makan perlahan.
- Bed rest 24 jam post op.
13. Lama Operasi : 40 menit
3
14. Maintanence anastesi
B1 (Breathing) : Suara nafas vesikuler, nafas terkontrol,
B2 (Bleeding) :Perdarahan ± 75 cc
B3 (Brain) : Pupil Isokor
B4 (Bladder) : tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : BU (-)
B6 (Bone) : Intak
15. Monitoring pasca Operasi
Skor Lockharte/Aldrete Pasien
Jam I (per 15’) Jam II Jam III Jam IV
Aktivitas 1 2
Respirasi 1 2
Sirkulasi 2 2
Kesadaran 2 2
Warna kulit 2 2
Skor total 8 10
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fraktur Radius & Ulna
1) Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan/atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan.
Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang
dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila
trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya
jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada
keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh. Salah satu jenis fraktur yaitu
fraktur radius ulna dimana fraktur tersebut mengenai tulang radius ulna karena
rudapaksa termasuk fraktur dislokasi proximal atau distal radioulnar joint
(Fraktur Dislokasi Galeazzi dan Montegia). Fraktur Galeazzi adalah fraktur
radius distal disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal
sementara. Fragmen distal angulasi ke dorsal. Pada pergelangan tangan dapat
diraba tonjolan ujung distal ulna. Fraktur dislokasi Galeazzi terjadi akibat
trauma langsung pada wrist, khususnya pada aspek dorsolateral atau akibat
jatuh dengan outstreched hand dan pronasi forearm. Pasien dengan nyeri pada
wrist atau midline forearm dan diperberat oleh penekanan pada distal
radioulnar joint
2) Patofisiologi
Mekanisme trauma pada antebrachii yang paling sering adalah
jatuh dengan outstreched hand atau trauma langsung. Gaya twisting
menghasilkan fraktur spiral pada level tulang yang berbeda. Trauma
langsung atau gangguan angulasi menyebabkan fraktur transversal pada
level tulang yang sama. Bila salah satu tulang antebrachii mengalami
fraktur dan menglami angulasi, maka tulang tersebut menjadi lebih pendek
terhadap tulang lainnya. Bila perlekatan dengan wrist joint dan humerus
5
intak, tulang yang lain akan mengalami dislokasi (fraktur dislokasi
Galeazzi/ Monteggia).
3) Pemeriksaan Klinis
Gejala yang didapatkan dapat berupa:
1. Deformitas di daerah yang fraktur: angulasi, rotasi (pronasi atau
supinasi) atau shorthening
2. Nyeri
3. Bengkak
Pemeriksaan fisik harus meliputi evaluasi neurovascular dan
pemeriksaan elbow dan wrist. Dan evaluasi kemungkinan adanya
sindrom kompartemen.
4) Kontra indikasi Operasi
Keadaan umum jelek
5) Diagnosis fraktur
1) Anamnesis
Biasanya penderita datang dengan suatu trauma (traumatik,
fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan
ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus
dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di
daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi pada daerah lain. Penderita
biasanya datang karena adanya nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi
anggota gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.
2) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
i. Syok, anemia atau perdarahan
ii. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang
belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan
abdomen
6
iii. Fraktur predisposisi, misalnya pada fraktur patologis
3) Pemeriksaan lokal
Inspeksi
Bandingkan dengan bagian yang sehat
Posisi anggota gerak
Keadaan umum penderita secara keseluruhan
Ekspresi wajah karena nyeri
Adanya tanda-tanda anemia karena perdarahan
Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk
membedakan fraktur tertutup atau fraktur terbuka
Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai
beberapa hari
Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan
kependekan
Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada
organ-organ lain
Perhatikan kondisi mental penderita
Keadaan vaskularisasi
Palpasi (Feel)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya
mengeluh sangat nyeri.
Temperatur setempat yang meningkat
Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya
disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat
fraktur pada tulang
Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan
secara hati-hati.
Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi
arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai
dengan anggota gerak yang terkena.
7
Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian
distal daerah trauma , temperatur kulit.
Pengukuran tungkai terutama pada tungkai bawah untuk
mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai.
Pergerakan (Moving)
Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan
secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang
mengalami trauma. Pada pederita dengan fraktur, setiap gerakan
akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh
dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara
sensoris dan motoris serta gradasi kelelahan neurologis, yaitu
neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis. Kelaianan saraf yang
didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan
masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan
patokan untuk pengobatan selanjutnya.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan
keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri
serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaliknya kita
mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi
sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.
6) Penatalaksanaan/Pengobatan
Tujuan dari penatalaksanaan/pengobatan adalah untuk menempatkan
ujung-ujung dar patah tulang supaya satu sama lain saling berdekatan dan
8
untuk menjaga agar mereka tetap menempel sebagai mana mestinya. Patah
tulang lainnya harus benar-benar tidak boleh digerakkan (imobilisasi).
Imobilisasi bisa dilakukan melalui:
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang.
b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di
sekitar tulang yang patah
c. Penarikan (traksi) : menggunakan beban untuk menahan sebuah
anggota gerak pada tempatnya.
d. Fiksasi internal : dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan
atau batang logam pada pecahan-pecahan tulang..
7) Teknik Penanganan terapi konservatif dan operasi
Metode Penanganan Konservatif
Prinsipnya dengan melakukan traksi ke distal dan kembalikan posisi
tangan berubah akibat rotasi. Posisi tangan dalam arah benar dilihat
letak garis patahnya
1/3 proksinal posisi fragmen proksimal dalam supinasi untuk dapat
kesegarisan fragmen distal supinasi.
1/3 tengah posisi radius netral maka posisi distal netral.
1/3 distal radius pronasi maka posisi seluruh lengan pronasi,
setelah itu dilakukan immobilisasi dengan gips atas siku
Metode Penanganan Operatif
Empat eksposur dasar yang direkomendasikan:
a) Straight ulnar approach untuk fraktur shaft ulna
b) Volar antecubital approach untuk fraktur radius proximal
c) Dorsolateral approach untuk fraktur shaft radius, mulai dari
kapitulum radius sampai ¼ distal shaft radius
d) Palmar approach untuk fraktur radius 1/3 distal
9
i. Posisikan pasien terlentang pada meja operasi. Meja hand sangat
membantu untuk memudahkan operasi. Tourniquet dapat digunakan
kecuali bila didapatkan lesi vaskuler.
ii. Ekspos tulang yang mengalami fraktur sesuai empat prinsip diatas.
iii. Reposisi fragmen fraktur seoptimal mungkin
iv. Letakkan plate idealnya pada sisi tension yaitu pada permukaan
dorsolateral pada radius, dan sisi dorsal pada ulna. Pada 1/3 distal
radius plate sebaiknya diletakkan pada sisi volar untuk menghindari
tuberculum Lister dan tendon-tendon ekstensor.
v. Pasang drain, luka operasi ditutup lapis demi lapis
8) Perawatan Pasca Bedah
1) Drain dilepas 24-48 jam post operatif atau sesuai dengan produksinya
2) Elevasi lengan 10 cm di atas jantung
3) Mulai latihan ROM aktif dan pasif dari jari-jari, pergelangan tangan,
siku sesegera mungkin setelah operasi
9) Follow Up
Fisioterapi aktif ROM tangan, pergelangan dan siku
Melakukan X Ray kontrol 6 minggu dan 3 bulan sesudahnya
Penyembuhan biasanya setelah 16-24 minggu, selama ini hindari olah
raga kontak dan mengangkat beban lebih dari 2 kilogram.
B. Tata Laksana Anestesi dan Reanimasi pada Aff ORIF Radius Ulna
Sinistra
1. Batasan
Tindakan anestesi yang dilakukan pada operasi penangkatan plate
dan screw dari tulang radius dan ulna
2. Masalah anestesi dan Reanimasi
Ancaman depresi nafas akibat manipulasi dada
Perdarahan luka operasi
3. Penatalaksanaan Anestesi dan Reanimasi
10
Penilaian status pasien
Evaluasi status generalis dengan pemeriksaan fisik dan penunjang
yang lain sesuai dengan indikasi
4. Persiapan Pra Operatif
Persiapan rutin
Persiapan donor
5. Premedikasi
Diberikan secara intravena 30 – 45 menit pra induksi dengan obat-obat
sebagai berikut:
Midazolam : 0,05 – 0,10 mg/kgBB
Fentanyl : 1-2 µg/kgBB
6. Pilihan Anestesi
Anestesi umum inhalasi (imbang) dengan pemasangan LMA atau
pipa endotrakea.
7. Terapi Cairan dan Tranfusi
Diberikan cairan pengganti perdarahan apabila perdarahan yang
terjadi < 20 % dari perkiraan volume darah dan apabila > 20%, berikan
tranfusi darah.
8. Pemulihan Anestesi
Segera setelah operasi, hentikan aliran obat anesthesia, berikan
oksigen 100%
Berikan obat penawar pelumpuh otot
Bersihkan jalan nafas
Ekstubasi dilakukan setelah pasien nafas spontan dan adekuat serta
jalan nafas sudah bersih
9. Pasca bedah/anestesi
Dirawat diruang pulih, sesuai dengan tata laksana pasca anestesi
Perhatian khusus pada periode ini adalah ancaman depresi nafas
akibat nyeri dan kompresi luka operasi
Pasien dikirim kembali keruangan setelah memenuhi kriteria
penegeluaran
11
C. General Anestesia
Tindakan anestesi dilakukan dengan menghilangkan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau
reversible. Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan kunjungan praanestesi adalah
untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi
diantaranya :
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Mengurang mual dan muntah pasca bedah
Mengurangi isi cairan lambung
Membuat amnesia
Memperlancar induksi anestesi
Meminimalkan junmlah obat anestesi
Mengurangi reflek yang membahayakan.
1. Obat Premedikasi
a. Midazolam
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi,
induksi dan pemeliharaan anestesi. Midazolam merupakan suatu golongan
imidazo-benzodiazepin dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan
benzodiazepine. Dibandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat
karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya singkat. Pada pasien
orang tua dengan perubahan organik otak atau gangguan fungsi jantung dan
pernafasan, dosis harus ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2
menit setelah penyuntikan.
12
Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kgBB, disesuaikan dengan
umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg. Pada orang tua dan pasien
lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB.
Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi
dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
b. Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB,
termasuk sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah
ditemukan remifentanil, suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya,
telah digunakan untuk meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid
dosis tinggi yang deberikan selama operasi dapat menyebabkan kekakuan
dinding dada dan larynx, dengan demikian dapat mengganggu ventilasi secara
akut, sebagaimana meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan
dengan perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan
sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai
suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk
memberikan efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya
efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria
dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak
bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu
neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi
fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik, yang mungkin
disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di striatum. Efek ini
di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan hanya untuk anestesi,
meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca operasi. Obat ini tersedia
dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam bentuk kombinasi
tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu butypherone yang
berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk menimbulkan
analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disebut sebagai neurolepanestesia.
13
c. Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena.
Tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuscular
atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2
jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan penggunannya dibatasi untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dan
penggunannya sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manula atau gangguan faal ginjal
dibatasi maksimal 60 mg. sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu
30 mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik
dan antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan
dengan opioid.Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin
di perifir tanpa menggangu reseptor opioid di sistema saraf pusat. Tidak
dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri
persalinan,wanita sedang menyusui, usia lanjut, anal usia < 4 tahun, gangguan
perdarahan.
d. Ondansentrone
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif yang dapat
menekan mual dan muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi.
Ondansetron mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan
basal rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat
terjadi konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh.
Metabolisme obat ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan
glukonida atau sulfat dalam hati.5 Dosis ondansentron yang biasanya diberikan
untuk premedikasi antara 4-8 mg/kgBB. Dalam suatu penelitian kombinasi
antara Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea
ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi anestesi merupakan
suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi
trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.
2. Obat Induksi
Profofol
14
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja cepat dengan
karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa pusing dan mual-mual.
Profofol merupakan cairan emulsi minyak-air yang berwarna putih yang
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg) dan mudah larut dalam
lemak. Profopol menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh
GABA. Propofol adalah obatanestesi umum yang bekerja cepat yang efek
kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik.
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500ug/kgBB/menit
infuse. Dosis sedasi 25-100ug/kgBB/menit infuse. Pada pasien yang
berumur diatas 55 tahun dosis untuk induksi maupun maintanance anestesi
itu lebih kecil dari dosis yang diberikan untuk pasien dewasa menyebabkan
depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga
asetilkolin tidak dapat bekerja.
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasinya
selama 20-45 menit dan dapat meningkat menjadi 2 kali lipat pada suhu 250
C, kecepatan efek kerjanya 1-2 menit.
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada
sambungan saraf-otot mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga
asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sring digunakan
ialah neostigmin dengan dosis (0,04-0,08 mg/kgBB) atau obat
antikolinergik lainnya. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus
disertai obat vagolitik seperti atropin dosis 0,01-0,02 mg/kgBB atau
glikopirolat 0,005-0,01 mg/kgBB sampai 0,2-0,3 mg/kgBB pada dewasa.
3. Maintanance
a. N2O
N2O (gas gelak, laughling gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)
diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat sampai 240°C (NH4 NO3
2H2O + N2O) N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau manis,
tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian anestesi
15
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat anestesik lemah,
tetapi analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri
menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian,
tetapi dikombinasi dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan
sebaagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O akan
cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah
hipoksia difusi. Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2
100% selama 5-10 menit. Penggunaan dalamane stesi umumnya dipakai
dalam kombinasi N2O : O2 yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk
mendapatkan efek analgesik digunakan dengan perbandingan 20% : 80%,
untuk induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O sangat
berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothorak, pneumomediastinum,
obstruksi, emboli udara dan timpanoplasti.
b. Sevoflurane
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat
dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan
belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Walaupun dirusak oleh kapur soda
(soda lime, baralime), tetapi belum ada laporan membahayakan terhadap
tubuh manusia.
16
BAB III
PEMBAHASAN
Diagnosis Post op ORIF radius sinistra didapatkan dari anamnesis, catatan
rekam medic pasien dan hasil pemeriksaan penunjang untuk mengetahui keadaan
umum pasien dan memastikan apakah operasi penyambungan tulang radius dan
ulna telah layak untuk dilepas atau tidak
Status fisik pada pasien ini dimasukkan ke dalam ASA I (pasien dengan
kelainan sistemik ringan yang tidak berhubungan dengan pembedahan, dan pasien
masih dapat melakukan aktivitas sehari-hari). Teknik general anestesi inhalasi
pada pasien ini dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif lama,
yaitu sekitar 1 jam.
Pada pasien ini diberikan premedikasi berupa midazolam 3 mg (0,05-0,1
mg/kgBB) intravena. Selanjutnya dilakukan tindakan preoksigenasi dengan
Oksigen masker 4 liter/menit. Induksi anestesia dilakukan dengan pemberian
propofol 100 mg (2 – 2,5 mg/kgBB) (intravena), yang segera setelah itu dilakukan
pemasangan LMA no.3. Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan
N2O 50%, O2 50%, dan Sevoflurane 2 vol % dengan cara inhalasi dengan mesin
anestesia. Selama operasi berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk
membantu ahli anestesi mendapatkan informasi fungsi organ vital selama
perioperasi, supaya dapat bekerja dengan aman. Monitoring secara elektronik
membantu ahli anestesi mengadakan observasi pasien lebih efisien secara terus
menerus. Selama operasi berlangsung juga tetap diberikan cairan intravena RL.
Setelah operasi selesai, dilakukan tindakan suction dan reoksigenasi dengan
Oksigen 2-3 liter/menit.
Pasien dipindah ke ruang pemulihan dan dilakukan observasi sesuai skor
Aldrete. Bila pasien tenang dan Aldrete Score ≥ 8 dan tanpa nilai 0, pasien dapat
dipindahkan ke bangsal. Pada kasus ini Aldrete Score-nya yaitu kesadaran 1
(merespon bila nama dipanggil), aktivitas motorik 1 (dua ekstremitas dapat
digerakkan), pernapasan 2 (bernapas tanpa hambatan), sirkulasi 2 (tekanan darah
dalam kisaran <20% sebelum operasi), dan warna kulit 2 (merah muda). Jadi
Aldrete Score pada pasien ini adalah 8 sehingga layak untuk pindah ke bangsal.
17
BAB IV
KESIMPULAN
Seorang wanita, 44 tahun, denga post op ORIF radius et ulna sinistra
direncanakan operasi aff ORIF dengan teknik general anestesi inhalasi dengan
pemasangan LMA (no.3) nafas spontan bantu, dan pemeriksaan status preoperatif
pasien ASA I.
18