adrenalin asma 1

Download Adrenalin Asma 1

If you can't read please download the document

Upload: dhamy-manesi

Post on 22-Nov-2015

37 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

artikel kesehatan

TRANSCRIPT

ADRENALIN; SEBAGAI BRONKODILATOR/BRONKOKONSTRIKTOR PADA KONDISI STRES

Oleh:HENY NITBANIB 151130021

PROGRAM STUDI ILMU FAAL DAN KHASIAT OBATDEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGIINSTITUT PERTANIAN BOGOR2014

Adrenalin; Sebagai Bronkodilator/Bronkokonstriktor pada Kondisi Stres.

Hormon AdrenalinKedua kelenjar adrenal masing-masing terletak di kutub superior dari kedua ginjal. Tiap kelenjar terdiri atas dua bagian yang berbeda yakni medula adrenal dan korteks adrenal. Medula adrenal merupakan 20 persen bagian kelenjar terletak di pusat kelenjar dan secara fungsional berkaitan dengan sistem saraf simpatis, mensekresi hormon Noradrenalin dan adrenalin (Norepinefrin dan Epinefrin). Kedua hormon ini merupakan katekolamin, yaitu kelas hormon yang disintesis dari asam amino tirosin (Campbell, 2008). Noradrenalin adalah neurotransmiter utama pada postganglionik saraf adrenergik simpatik. Noradrenalin disintesis di dalam ujung akson, disimpan di dalam vesikel kemudian dilepaskan oleh saraf ketika ada potensial aksi sepanjang saraf. Mekanisme pelepasannya tampak pada gambar di bawah ini:

Gambar 1. Mekanisme Pelepasan Noradrenalin Sumber: http://www.cvpharmacology.com/norepinephrine.htm

Di dalam hati, asam amino tirosin dibentuk dari fenilalanin melalui darah ditranspor ke dalam akson saraf simpatis, kemudian asam amino tirosin dikonversi menjadi DOPA oleh enzim tyrosine hydrolase. Oleh enzim dopa dekarboksilase, DOPA dikonversi menjadi dopamine yang kemudian ditranspor ke dalam vesikel lalu dikonversi menjadi noradrenalin oleh dopamine -hidroxylase. Aksi potensial sepanjang akson menyebabkan depolarisasi membran sehingga kalsium masuk ke dalam akson. Peningkatan kalsium intrasel menyebabkan vesikel berpindah dan menempel ke membran sehingga memungkinkan noradrenalin berdifusi keluar dari vesikel ke cairan ekstrasel. Noradrenalin berikatan dengan reseptor pada postsinaps dan merangsang respons organ efektor. Adrenalin disintesis dari noradrenalin dalam medula adrenal. Serat preganglionik dari saraf simpatis bersinaps dengan adrenal. Aktivasi serat preganglionik ini akan melepaskan asetilkolin yang kemudian terikat pada nikotinik reseptor postsinaps di jaringan. Hal ini menyebabkan stimulasi untuk mensintesis noradrenalin di dalam sel adenomedularis, tetapi tidak seperti saraf simpatik, ada enzim tambahan (phenylethanolamin-N-methyltransferase) yang menambahkan gugus metil pada molekul noradrenalin untuk membentuk epinefrin. Epinefrin dilepaskan ke dalam darah kemudian dibawa ke seluruh tubuh. Pengikatan noradrenalin ke reseptor bergantung pada konsentrasi noradrenalin di sekitar reseptor. Jika saraf berhenti melepaskan noradrenalin, maka konsentrasi noradrenalin di celah sinaps akan berkurang dan noradrenalin akan meninggalkan reseptor. Ada beberapa mekanisme noradrenalin dibawa dari ruang intrasel ke reseptor postsinaps. Sebagian besar noradrenalin (90%) diangkut kembali ke terminal saraf dengan sistem transportasi reuptake neuronal. Transporter ini diblokir oleh kokain, sehingga kokain meningkatkan konsentrasi noradrenalin sinaps dengan menghalangi reuptake dan rangkaian metabolisme. Ini adalah mekanisme utama dimana kokain merangsang fungsi jantung dan meningkatkan tekanan darah. Beberapa noradrenalin pada sinaps berdifusi ke kapiler dan dibawa ke jaringan melalui sirkulasi. Oleh karena itu level tertinggi dari aktivasi simpatik dalam tubuh akan meningkatkan konsentrasi noradrenalin dalam plasma dan metabolismenya. Beberapa noradrenalin pada sinaps dimetabolisme di dalam ruang ekstrasel sebelum mencapai kapiler. Sejumlah kecil noradrenalin (5%) diambil oleh jaringan postsinaps (disebut extraneural uptake) dan dimetabolisme. Noradrenalin dan adrenalin dimetabolisme oleh catechol-O-methyltransferase (COMT) dan monoamine oxidase (MAO). Produk akhir dari jalur ini adalah asam vanilylmandelic (VMA). Produk akhir ini, bersama dengan prekursor normetanephrine dan metanephrine, diukur di dalam urine dan plasma dalam diagnosa pnenochromocytoma yang merupakan penyebab hipertensi dan aritmia jantung (Richard, 2012).

Gambar 2. Metabolisme Noradrenalin dan Adrenalin Sumber: http://www.cvpharmacology.com/norepinephrine.htm

Peran Adrenalin pada Kondisi Stres (pada bronkus sebagai target organ)Ketika terjadi stres, tubuh akan segera bereaksi dimana medula adrenal akan mensekresikan adrenalin sebagai respons terhadap stres, entah itu rasa senang yang ekstrim atau bahaya yang mengancam nyawa dimana adrenalin pada sistem respirasi berfungsi melebarkan bronkiolus pada paru-paru untuk meningkatkan penghantaran oksigen ke seluruh tubuh guna peningkatan kemampuan kerja tubuh. Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut. Stresor adalah pengalaman yang menginduksi stres meliputi stresor psikologis, fisis, biologis, lingkungan ataupun sosial yang dapat mempengaruhi sistem saraf serta sistem neuroendokrin yang pada akhirnya membangkitkan respons sistem imun (Looker dan Gregson, 2005). Saraf yang menginervasi otot bronkial adalah sistem saraf otonom dimana tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Reseptor adrenergik terletak pada permukaan membran sel otot polos bronkial yaitu reseptor dan -adrenergik. Keseimbangan antara dan -adrenergik dikendalikan oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Ketika reseptor -adrenergik dirangsang oleh noradrenalin terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor -adrenergik dirangsang oleh adrenalin. Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang menyebabkan bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Melalui perangsangan/stimulus reseptor-beta (khususnya 2) pada bronkus yang diperantarai oleh protein terikat membran penggabung yang tergantung pada perangsang nukleotida guanin (GTP) menyebabkan aktivasi enzim adenilat siklase. Enzim ini mengubah ATP (adenosine triphosphat) menjadi cAMP (cyclic adenosine monophosphat) dengan membebaskan energi yang digunakan untuk proses-proses dalam sel. Siklik adenosin monofosfat merupakan second messenger utama bagi aktivasi reseptor yang berperan dalam perubahan fungsi seluler melalui perangsangan terhadap protein kinase. Meningkatnya kadar cAMP dalam sel menghasilkan efek bronkodilatasi.

Gambar 3. Rangsangan Adrenergik pada Reseptor

Peran Adrenalin pada Penderita AsmaAsma merupakan penyakit inflamasi kronis yang melibatkan beberapa sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf. Pada asma terjadi mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf (Supartini dkk 1995). Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) dalam Global Strategy for Asthma Management and Prevention, asma merupakan penyakit infamasi kronik saluran napas dengan banyak sel serta elemen seluler yang berperan, serta berhubungan dengan hiperresponsivitas jalan napas dengan manifestasi berupa episode berulang dari mengi, sesak napas, rasa berat di dada, dan batuk terutama malam atau dini hari dan sering bersifat reversibel secara spontan atau dengan pengobatan.Asma sering dicirikan sebagai alergi, idiopatik atau nonalergi atau gabungan. (1) Asma alergi disebabkan oleh alergen misalnya serbuk sari, binatang, makanan, dan jamur. Pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma; (2) Asma idiopatik atau nonalergi tidak berhubungan tidak berhubungan dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat mencetuskan serangan. Beberapa agen farmakologi, sepert aspirin dan agen antiinflamasi nonsteroid lain, pewarna rambut, antagonis beta-adrenergik, dan agen sulfit (pengawet makanan), juga mungkin menjadi faktor. Serangan asma idiopatik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan emfisema; (3) asma gabungan adalah bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergi maupun nonalergi. Pertimbangan terbaru dalam bidang Psikoneuroimunologi (PNI) menghubungkan antara stres psikososial, sistem saraf pusat, perubahan dalam fungsi imun dan endokrin menghasilkan jalur biologi yang masuk akal diduga dimana stres berdampak pada tanda-tanda asma. Jalur biologi bagaimana stres berpengaruh pada respons imun saat serangan asma meliputi aksis Hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), aksis sympathetic-adrenal medullary (SAM) dan lengan dari sistem saraf otonom yaitu sympathetic nervous system (SNS) dan parasympathetic nervous system (PNS). Epinefrin dan norepinefrin mempunyai efek pada sel natural killer (NK) dan penurunan regulasi interferon (IFN), hal tersebut diinterpretasikan sebagai deviasi imun kearah T-helper (Th)-2. Pergeseran Th-1 ke Th-2 selama stres penting pada asma sebab dapat menaikkan respons humoral terhadap alergen yang memudahkan inflamasi dan obstruksi jalan napas.Stresor mempunyai kemampuan untuk mengaktifkan SNS. Stimulasi SNS menghasilkan pelepasan sistemik epinefrin dan norepinefrin. Reseptor adrenergik berada pada sel T dan B, reseptor tersebut dapat mengatur bentuk respons humoral yang terlibat dalam asma meliputi pelepasan interleukin (IL)-4, IL-5 dan IL-13 mengikuti paparan alergen, pelepasan histamin oleh aktivasi sel mast, perekrutan eosinofil dan aktivasi eosinofil di jalan napas (Surjanto dkk 2010). Mekanisme serangan asma karena paparan alergen adalah sebagai berikut: alergen yang masuk ke dalam tubuh akan diolah oleh Antigen Presenting Cell (APC) yaitu sel dendritik dan makrofag, kemudian dipresentasikan kepada sel T naive (Th0). Selanjutnya sel T naive akan berkembang menjadi Th1 atau Th2 tergantung dari sifat antigen, karakteristik APC, dan konsentrasi sitokin lokal. Sumber sitokin yang mempengaruhi diferensiasi sel T naive adalah APC (khususnya sel dendritik), sel epitel dan otot saluran napas, sel T, eosinofil, sel mast, makrofag, fibroblast.

Gambar 4. Mekanisme Serangan Asma

Stimulasi antigen yang berasal dari alergen dan antigen ekstraselular menyebabkan terbentuknya IL-4 dengan konsentrasi tinggi sehingga sel T naive berdiferensiasi menjadi sel Th2. Interleukin 4 berperan mengahambat terbentuknya sel Th1. Sel Th2 akan mensekresikan sitokin seperti Interleukin 4, 5, dan 13 (IL-4, IL-5, IL-13). Interleukin 4 dan 13 menyebabkan sel B berdiferensiasi menjadi sel Plasma yang memproduksi IgE. Interleukin 5 menyebabkan terjadinya eosinofilopoiesis dan aktivasi eosinofil. Antibodi IgE akan berikatan dengan reseptor Fc pada sel mast dan basofil (Rosa dkk, 2006).Antibodi IgE merupakan antibodi yang cenderung melekat pada sel mast dan sel basofil. Apabila ada alergen maka IgE langsung berespon dan berikatan dengan alergen lalu melekat pada sel mast. Ikatan antara antigen dengan IgE yang berada pada sel mast menyebabkan sel plasma berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel mast dan sel basofil. Ketika IgE yang ada pada permukaan sel mast mengadakan ikatan silang yang dihubungkan oleh antigen, sel mast teraktivasi dan mengekspresikan ligan CD40 dan mensekresi IL-4. IL-4 pada akhirnya berikatan dengan reseptornya yang berada pada sel B yang teraktivasi. Ikatan IL-4 dengan reseptor yang ada pada sel B menimbulkan Class Switching yang mengarah pada pembentukkan antibodi IgE yang lebih banyak. Mekanisme ini terjadi in vivo pada daerah yang mengalami inflamasi akibat adanya allergen (Jenkins, 2000). Selain mensekresikan IL-4, perlekatan IgE dan sel mast menimbulkan perubahan bentuk pada sel mast dan mengaktivasinya bahkan sampai menimbulkan pecahnya sel mast sehingga mengeluarkan mediator seperti histamin, kemotaktik eosinofil, protease, kemotaktik neutrofil, heparin dan faktor pengaktif trombosit (Guyton, 2007). Stresor psikologis yang diterima di otak melalui sistem limbik kemudian diteruskan ke hipothalamus ditanggapi sebagai stress perception dan kemudian diterima sistem endokrin sebagai stress responses. Stresor psikologis akan merangsang sistem adrenergik di saraf pusat, serat saraf pascasinaptik simpatis dan medula adrenal yang akan melepaskan katekolamin. Pada penderita asma terdapat penyekatan pada reseptor -adrenergik. Pada kondisi stress, keadaan ini menyebabkan adrenalin tidak bisa menduduki reseptor lalu mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, terjadi pengalihan ke sel Th2 sehingga peran imunitas humoral lebih dominan. Melalui sumbu CRH-sel mast, CRH yang dilepas hipotalamus dapat mempengaruhi sel mast melalui reseptor CRHR1 di permukaan sel mast, sehingga terjadi degranulasi sel mast dengan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya sehingga terjadi peradangan di daerah bronkus.Jika reseptor- dari sistem adrenergis terhambat maka sistem kolinergis akan mendominasi dan menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi. Pada asma idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti stres, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Stimulasi saraf parasimpatis, menyebabkan pelepasan asetilkolin. Asetilkolin pada reseptor muskarinik dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronki akan mengaktivasi enzim guanisiklase untuk mengubah GTP (guanosine triphosphat) menjadi cGMP (cyclic guanosine monophosphat). Fosfodiesterase kemudian memecah cGMP menjadi GMP (guanosine monophosphat). Peningkatan kadar GMP ini akan mengakibatkan bronkokonstriksi. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang telah dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan konstriksi otot polos (Rifai, 2011).Berdasarkan pembahasan di atas, pada orang normal yang mengalami stres, adrenalin berfungsi sebagai bronkodilator yang berfungsi melebarkan bronkiolus pada paru-paru untuk meningkatkan penghantaran oksigen ke seluruh tubuh guna peningkatan kemampuan kerja tubuh, sedangkan pada penderita asma yang mengalami stres terjadi bronkonstriksi karena pada penderita asma terjadi penyekatan pada reseptor- sehingga adrenalin tidak dapat berikatan dengan reseptor-. Adrenalin kemudian mempengaruhi keseimbangan sel Th1/Th2, terjadi pengalihan ke sel Th2 sehingga peran imunitas humoral lebih dominan. Melalui sumbu CRH-sel mast, CRH yang dilepas hipotalamus dapat mempengaruhi sel mast melalui reseptor CRHR1 di permukaan sel mast, sehingga terjadi degranulasi sel mast dengan pelepasan histamin dan mediator peradangan lainnya sehingga terjadi peradangan di daerah bronkus. Penyekatan ini juga menyebabkan reseptor- yang lebih dominan terangsang oleh noradrenalin sehingga terjadi bronkokonstriksi. Akibat lain yang ditimbulkan oleh penyekatan pada reseptor dari sistem adrenergis yaitu terjadi perubahan dari kondisi normal dimana sistem kolinergis yang mendominasi sehingga jumlah asetilkolin yang dilepas meningkat; asetilkolin secara langsung menimbulkan bronkokonstriksi dan juga merangsang pembentukan mediator radang.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell dan Reece. 2008. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 3. PT Gelora Aksara Pratama.Eddy Surjanto, Yusup Subagio Sutantu, Natalie Duye. 2010. Peran Stres pada Serangan Asma. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. File:///D:/Respirasi/Fakultas%20Kedokteran%20UNS%20_20Peran%20Stres%20Pada%20Serangan%20Asma.htmlGlobal Initiative for Asthma (GINA) 2009. Global Strategy for Asthma Management and Prevention, http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411Guyton and Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.Jenkins CR. 2000. Asthma and the leukotriene inhibitors. Medical Progress.Looker , Tery dan Olga Gregson. 2005. Managing Stress: Yogyakarta.Richrard. 2012. Cardiovaskular Pharmacology Concepts: Norepinephrine, Epinephrine and Acetylcholine - Synthesis, Storage, Release and Metabolism. http://www.cvpharmacology.com/norepinephrine.htmRifai. 2011. Buku Ajar Alergi dan hipersensitifitas. Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Brawijawa. Malang.Mitchell RN, Kumar V. Penyakit Imunitas. 2007. Dalam: Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, Rosa MS, Pinto AM. Cytokines. Dalam: Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE, editor. Tietz Textbook of Clinical Chemistry and Molecular Diagnostic, 4th ed. United States of AmericaSupartini N, Santoso DI, Kardjito T. 1995. Konsep baru patogenesis asma bronkial. J Respir Indo.