adelina vidya - fkik

111
HUBUNGAN ANTARA SKOR MONOFILAMEN DENGAN ULKUS DIABETIKA DI KLINIK PERAWATAN LUKA RUMAT BEKASI Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) Disusun oleh : ADELINA VIDYA ARDIYATI 1110104000004 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Upload: daniel-evans

Post on 15-Jan-2016

34 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

Adelina Vidya - Fkik

TRANSCRIPT

Page 1: Adelina Vidya - Fkik

HUBUNGAN ANTARA SKOR MONOFILAMEN

DENGAN ULKUS DIABETIKA

DI KLINIK PERAWATAN LUKA RUMAT BEKASI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Disusun oleh :

ADELINA VIDYA ARDIYATI

1110104000004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014

Page 2: Adelina Vidya - Fkik
Page 3: Adelina Vidya - Fkik

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES

SCHOOL OF NURSING

SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF

JAKARTA

Undergraduate Thesis, June 2014

Adelina Vidya Ardiyati, NIM: 1110104000004

Correlation between Monofilament Score and Diabetic Ulcer in RUMAT

Clinic

xviii + 76 pages + 9 tables + 3 schemes + 2 pictures + 6 attachments

ABSTRACT

Diabetic ulcer is consider as main cause of low extremity amputation in diabetic

patient. The prevalence of diabetic ulcer as complication of diabetes mellitus

about 15%, and 85% non traumatic amputation is caused by diabetic ulcer that

wasn’t heal. Health professionals especially nurse should do the screening test as

an important thing to prevent amputation, repetition of diabetic ulcer, and to

identify risk of diabetic ulcer development.

The purpose of this study was to determine the correlation between monofilament

score and diabetic ulcer (degree of ulcer and frequencies of ulcer) in Clinic of

RUMAT. This research was an analytical quantitative research with cross

sectional design at α=0.05 level. Data collection was concluded on 35 respondents

using monofilament 10g. The result of this study showed that there is correlation

between monofilament score and degree of diabetic ulcer (p=0.002, r=-0.504), and

there is correlation between monofilament score and frequencies of diabetic ulcer

(p=0.019, r=-393).

The result is expected to be a consideration for health agencies to be able to do

screening test to identified cause of diabetic ulcer. Beside that treatment included

health education accurately in order to prevent increasing ulcer degree,

amputation, and repetition of ulcer.

Keywords: monofilament, diabetic ulcer, grade of ulcer, frequencies of ulcer.

Reference: 82 (years 1991-2014)

Page 4: Adelina Vidya - Fkik

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Juni 2014

Adelina Vidya Ardiyati, NIM: 1110104000004

Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik Perawatan

Luka RUMAT

xviii + 76 halaman + 9 tabel + 3 bagan + 2 gambar + 6 lampiran

ABSTRAK

Ulkus diabetika merupakan penyebab utama amputasi ekstermitas bawah pada

pasien dengan diabetes mellitus (DM). Sekitar 15% pasien DM akan mengalami

komplikasi berupa ulkus dan 85% amputasi non traumatik disebabkan oleh ulkus

diabetika yang tidak sembuh Skrining yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

khususnya perawat untuk mengetahui penyebab ulkus diabetika merupakan hal

yang penting untuk mencegah terjadinya amputasi, dan kejadian ulkus berulang,

serta untuk mengidentifikasi resiko pengembangan ulkus diabetika.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara skor

monofilamen dan ulkus diabetika (derajat ullkus dan frekuensi terjadinya ulkus) di

Klinik RUMAT. Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan

desain cross sectional dengan α=0.05. Pengambilan data dilakukan pada 35

responden dengan menggunakan alat monofilament 10g. Hasil analisis didapatkan

bahwa ada hubungan kuat antara skor monofilamen dan derajat ulkus diabetika

(p=0.002, r= 0.504), serta ada hubungan moderat antara skor monofilamen dan

frekuensi terjadinya ulkus diabetika (p=0.019, r= 0.393).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi

kesehatan agar dapat melakukan identifikasi untuk mengetahui penyebab

terjadinya ulkus. Di samping itu, penanganan dan pendidikan kesehatan yang

tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan derajat ulkus, amputasi, dan

kejadian ulkus berulang.

Kata kunci: Monofilamen, Ulkus Diabetika, Derajat Ulkus, Frekuensi Ulkus.

Referensi: 82 (tahun 1991-2014)

Page 5: Adelina Vidya - Fkik
Page 6: Adelina Vidya - Fkik
Page 7: Adelina Vidya - Fkik
Page 8: Adelina Vidya - Fkik

ii

RIWAYAT HIDUP

Nama : Adelina Vidya Ardiyati

Tempat Lahir : Candimas, 16 November

Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat :Gg. Keramat No.205 RT/RW 019/007 Ds. Candimas Kec.

Natar Kab. Lampung Selatan Prov. Lampung

Telepon : 0721-92403/ 085716138120

Email : [email protected]

Riwayat Pendidikan :

1. TK. Kartika Jaya : 1997-1998

2. SD N 1 Candimas, Lampung : 1998-2004

3. SMP N 1 Natar, Lampung : 2004-2007

4. SMA As-syafi’iyah 02 Bekasi : 2007-2010

5. S-1 Ilmu Keperawatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta : 2010-2014

Page 9: Adelina Vidya - Fkik

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT

yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam

kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT”.

Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapid an

sistematik sehingga mudah dipahami oleh pemmbaca. Penulis menyadari bahwa

penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih terbatasnya

pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memcahkan

masalah yang ada, serta mengeluarkan gagasan ataupun saran-saran. Oleh karena itu,

segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis

terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.

Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang

tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada

waktunya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tadjuddin, Sp.And., selaku Dekan

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep., M.KM, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan dan Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep.,M.Sc, selaku Sekretaris

Program Studi Ilmu Keperawatan atas kemudahan-kemudahan, petunjuk, serta

motivasi yang diberikan.

3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep., dan Ibu Yenita Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD,

selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang

telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar

kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Ns. Uswatun Hasanah, MNS., Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep., dan Ibu Yenita

Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD selaku Dosen Penguji Skripsi, terimakasih

sebesar-besarnya atas saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan

skripsi ini.

5. Ns. Uswatun Hasanah, MNS., selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima

kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing, menjadi tempat

berkeluh kesah, dan member motivasi selama 4 tahun duduk di bangku kuliah.

6. Segenap Staf Pengajar dan karyawan di lingkungan Program Studi Ilmu

Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam

Page 10: Adelina Vidya - Fkik

iv

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada

saya selama duduk di bangku perkuliahan.

7. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik serta Perpustakan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah banyak membantu dalam

pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Bpk. Dadang Suharto yang merupakan Kepala Klinik RUMAT serta seluruh

Staff dan karyawan klinik RUMAT (Ka Riska, Ka Lia, Ka Elfira, Ka Silvi, Ka

Netti, Pa Anam) yang telah banyak membantu peneliti dalam melakukan

penelitian.

9. Orang tuaku tercinta, Bpk. Sukardi dan Ibu Elly Repliyati yang telah

mendidik, mencurahkan seluruh kasih dan sayang tiada tara, mendo’akan

keberhasilan anaknya, serta memberikan bantuan baik moril maupun materiil

kepada penulis selama ini. Tak lupa, kakak dan adikku tersayang Mba Aster,

Aa Danang, Adik Nabila, dan seluruh keluargaku yang selalu menghiburku

dan memberikan semangat tanpa pamrih. Untuk sepupu terbaikku Mas agung,

terimakasih banyak bantuan dan semangatnya.

10. Teman-teman PSIK 2010, teman-teman pelangiku kaka fitri, desi, nina, nela,

dan rusti yang selalu menjadi tempat curahan hati, bisa membuatku tertawa

lepas untuk sejenak menghilangkan penat. Untuk sahabat terbaikku mba fidah

dan ifan, terimakasih banyak. Serta semua pihak yang telah mendoakan

selama proses pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran

dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk masa yang akan datang.

Semoga tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi para pembaca umumnya, dan

penulis pada khususnya.

Jakarta, Juni 2014

Adelina Vidya Ardiyati

Page 11: Adelina Vidya - Fkik

v

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul…………………………………………………………………….. i

Pernyataan Keaslian Karya ………………………………………………………. ii

Abstract …………………………………………………………………………… iii

Abstrak ……………………………………………………………………………. iv

Pernyataan Persetujuan …………………………………………………………….v

Lembar Pengesahan ……………………………………………………………..…vi

Daftar Riwayat Hidup ……………………………………………………………..viii

Kata Pengantar ………………………………………………………………….…ix

Daftar isi ………………………………………………………………………......xi

Daftar Singkatan ……………………………………………………………….….xvi

Daftar Tabel……………………………………………………………………..…xv

Daftar Gambar …………………………………………………………………....xvi

Daftar Bagan……………………………………………………………………… xvii

Daftar Lampiran………………………………………………………………….. xviii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1

B. Perumusan Masalah …………………………………………………….. 6

C. Pertanyaan Penelitian ……………………………………………………7

D. Tujuan Penelitian …………………………………………………...…... 8

E. Manfaat Penelitian ………………………………………………………. 9

Page 12: Adelina Vidya - Fkik

vi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus …………………………………………. 10

2. Tipe Diabetes Mellitus……………………………………………… 10

3. Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus ………………………………. 12

4. Komplikasi Diabetes Mellitus ………………………………………13

5. Penanganan Diabetes Mellitus …………………………………….. 14

B. Neuropati Diabetik

1. Definisi Neuropati Diabetik ……………………………………….. 14

2. Patogenesis Neuropati Diabetik……………………………………..16

3. Manifestasi Klinis Neuropati Diabetik ……………………………. 17

4. Diagnosis Neuropati Diabetik ……………………………………... 17

C. Ulkus Diabetika

1. Pengertian Ulkus Diabetika ………………………………………. 24

2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati………………….….25

3. Klasifikasi Ulkus Diabetika ………………………………………. 26

4. Tanda dan Gejala Ulkus Diabetika ……………………………….. 29

5. Proses Penyembuhan Ulkus ……………………………………….. 29

6. Faktor Resiko Ulkus Diabetika ……………………………………. 30

7. Pencegahan dan Pengolahan Ulkus Diabetika ……………………. 32

D. Kerangka Teori ………………………………………………………… 34

E. Penelitian Terkait ………………………………………………………. 35

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN

HIPOTESIS

A. Kerangka konsep ………………………………………………………. 37

B. Hipotesa penelitian ……………………………………………………. 38

C. Definisi Operasional …………………………………………………… 39

BAB IV METODE PENELITIAN

Page 13: Adelina Vidya - Fkik

vii

A. Desain Penelitian ………………………………………………………. 41

B. Populasi dan Sampel …………………………………………………… 41

C. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………………………….. 42

D. Alat Pengumpul Data ………………………………………………….. 42

E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………. 44

F. Kerangka Kerja ………………………………………………………… 45

G. Pengolahan Data ……………………………………………………….. 46

H. Analisa Data …………………………………………………………… 47

I. Etika Penelitian ………………………………………………………… 48

BAB V HASIL PENELITIAN

A. Profil RUMAT………………………………………………………….50

B. Hasil Uji Normalitas Data …………………………………………...…52

C. Hasil Analisis Univariat ………………………………………………..53

D. Hasil Analisis Bivariat …………………………………………………56

BAB VI PEMBAHASAN

A. Analisis Univariat ……………………………………………………. .58

B. Analisis Bivariat ……………………………………………………….68

C. Keterbatasn Penelitian …………………………………………………74

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan…………………………………………………………….75

B. Saran……………………………………………………………………76

Daftar Pustaka

Lampiran

Page 14: Adelina Vidya - Fkik

viii

DAFTAR SINGKATAN

ADA : American Diabetic Association

ADH : Anti Diuretic Hormone

AL : Asidosis Laktat

DepKes : Departemen Kesehatan

CNE : Clinical Neurological Examination

DM : Diabetes Mellitus

DNA : Denuclear Acid

DM : Diabetes Mellitus

EMG : Elektromiografi

HDL : High Density Lipid

HNK : Hiperosmolar Non Ketotik

IDDM : Insulin Dependent Diabetes Mellitus

KAD : Ketoasidosis Diabetik

MODY : Maturity Onset Diabetes of Young

NDS : Neuropathy Dissability Score

NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus

PJK : Penyakit Jantung Koroner

PTM : Penyakit Tidak Menular

Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

TBC : Tuberculosis

UT : University of Texas

VPT : Vibration Perception Threshold

WHO : World Health Organization

Page 15: Adelina Vidya - Fkik

ix

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Klasifikasi Derajat Luka Menurut University of Texas

3.1 Definisi Operasional

4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus

5.1 Hasil Uji Normalitas Data

5.2 Distribusi Frekuensi variabel Karakteristik Responden

di Klinik RUMAT April 2014

5.3 Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika

di Klinik RUMAT April 2014

5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat

Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014

5.5 Gambaran Frekuensi Terjadinya Ulkus pada Pasien Ulkus

Diabetika di Klinik RUMAT April 2014

5.6 Korelasi antara Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika

di Klinik RUMAT April 2014

28

38

48

52

53

54

55

56

56

Page 16: Adelina Vidya - Fkik

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Cara Melakukan Test Monofilamen 23

2.2 Lokasi Test Monofilamen 23

Page 17: Adelina Vidya - Fkik

xi

DAFTAR BAGAN

Halaman

2.1 Kerangka Teori 33

3.1 Kerangka Konsep 36

4.1 Kerangka Kerja 44

Page 18: Adelina Vidya - Fkik

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumen Perizinan

Lampiran 2. Informed Consent

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian dan Lembar Observassi

Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas Data

Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Univariat

Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Bivariat

Page 19: Adelina Vidya - Fkik

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu Penyakit Tidak Menular

(PTM). Perhatian terhadap Penyakit Tidak Menular (PTM) ini makin hari makin

meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya di masyarakat.

Pada tahun 2002, World Health Organization (WHO) menyatakan PTM

menyebabkan hampir 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Pada

tahun 2020 angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 73% kematian dan

60% kesakitan di seluruh dunia (WHO, 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2007 menunjukkan adanya peningkatan kasus PTM secara cukup

bermakna, hal ini menandakan adanya double burden (Depkes, 2009).

Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-

kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti

Penyakit Jantung Koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, Diabetes Mellitus

(DM), dan lain-lain (Soegondo, 2004).

DM merupakan salah satu PTM dan jumlah pasien DM di dunia mencapai

246 juta orang (WHO, 2007). Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah

pasien DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat, dengan

prevalensi 8,6% dari total penduduk (WHO, 2005). Secara global, WHO

menyatakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 1,1 juta penduduk mengalami

kematian akibat DM dengan prevalensi sekitar 1,9% dan pada tahun 2007

1

Page 20: Adelina Vidya - Fkik

2

dilaporkan bahwa terdapat 246 juta pasien DM, 6 juta kasus baru DM dan 3,5

juta penduduk mengalami kematian akibat DM. Dari seluruh kematian akibat

DM di dunia, 70% kematian terjadi di negara-negara berkembang.

Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung

berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat.

Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah pasien DM di Indonesia lebih dari 5 juta

pasien (Depkes RI, 2009). Prevalensi DM di Indonesia diperkirakan pada tahun

2030 mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Proporsi komplikasi

menahun DM di Indonesia tahun 2007 terdiri atas neuropati (60%), penyakit

jantung koroner (20,5%), ulkus diabetika (15%), retinopati (10%), dan nefropati

(7,1%) (Hastuti, 2008).

Pada pasien DM baik itu tipe I maupun tipe II terdapat dua jenis

komplikasi vaskuler yang mungkin timbul, yaitu komplikasi makrovaskuler dan

komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler ini mencakup penyakit

arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer. Sementara

komplikasi mikrovaskuler mencakup retinopati, nefropati, dan neuropati diabetika

(Smeltzer and Bare, 2001). Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka

pasien DM lima kali lebih besar untuk timbul gangren, tujuh belas kali lebih besar

untuk memiliki kelainan ginjal, dan dua puluh lima kali lebih besar untuk

terjadinya kebutaan (Permana, 2008). Berdasarkan penelitian Roza (2008) di

RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 terdapat 159 pasien DM yang

mengalami komplikasi. Proporsi pasien DM yang mengalami komplikasi yaitu

pasien DM yang mengalami Gangren (26,4%), hipertensi (17,6%), TBC (12,0%),

PJK (9,4%), nefropati diabetik (8,8%), retinopati diabetik (8,2%), hipoglikemia

Page 21: Adelina Vidya - Fkik

3

(7,5%), koma diabetik (5,0%), neuropati diabetika (3,1%), dan infeksi saluran

kemih (2,0%).

Kira-kira 15% pasien dengan DM mempunyai tanda dan gejala neuropati,

hampir 50% juga mempunyai gejala nyeri neuropatik dan gangguan hantaran

saraf. Neuropati paling sering dijumpai pada pasien DM yang berumur lebih dari

50 tahun, jarang dijumpai pada usia dibawah 30 tahun dan sangat jarang pada

anak-anak (Adams dan Victor, 2005). Neuropati merupakan komplikasi utama

dari DM yang mengakibatkan tingginya angka morbiditas. Prevalensi pasti tidak

diketahui dan dilaporkan bervariasi mulai dari 10% hingga 90% pada pasien DM

bergantung kepada kriteria dan metode yang digunakan. Hubungan yang kuat

antara hipergikemi dan perkembangan dari neuropati dilaporkan pada banyak

studi (Fazan dkk., 2010).

Deteksi dini neuropati diabetik sangat penting pada pasien DM. Ulkus

diabetika merupakan salah satu komplikasi DM yang ditandai dengan adanya

penyulit vaskuler (mikrovaskuler dan makrovaskuler) ditambah dengan neuropati

perifer dan kemudian infeksi sehingga terjadi ulkus diabetika (Soegiarto,

1998).Tiga faktor resiko terjadinya nekrosis jaringan pada ulkus diabetika yaitu

neuropati, iskemi, dan infeksi, diantaranya yang paling sering adalah neuropati

dan iskemi, sedangkan infeksi sebagai akibat lebih lanjut kedua faktor tersebut

(Edmonds dan Amanda, 1997). Neuropati ditandai rasa panas, mati rasa, rasa

kering, kadang sakit pada kaki dimana pulsasi arteri masih teraba. Ini berlawanan

dengan iskemi pada kaki yang teraba dingin dan pulsasi arteri tidak teraba sampai

timbul komplikasi tidak terasa sakit saat terjadi luka pada daerah yang mendapat

tekanan bahkan terjadi nekrosis dan gangren (Jennifer, 1998 dan Jude 1998).

Page 22: Adelina Vidya - Fkik

4

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik DM berupa

luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai dengan kematian jaringan

setempat (Robert G, 2002). Prevalensi pasien ulkus diabetika di Amerika Serikat

(2010) sebesar 15-20% dan angka mortalitas sebesar 17,6% bagi pasien DM dan

merupakan sebab utama perawatan pasien DM di rumah sakit. Penelitian kasus

kontrol di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 16% perawatan DM dan 23%

total hari perawatan adalah akibat ulkus diabetika dan amputasi kaki karena ulkus

diabetika sebesar 50% dari total amputasi kaki. Sebanyak 15% pasien DM akan

mengalami persoalan kaki suatu saat dalam kehidupannya (Djokomoeljanto,

1997).

Amputasi pada ekstermitas bawah sering diperlukan sebagai akibat

penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa DM), gangren,

trauma, deformitas kongenital, atau tumor ganas. Dari semua penyebab tadi,

penyakit vaskuler merupakan penyebab tertinggi amputasi ekstermitas bawah.

Amputasi dapat dianggap sebagai jenis pembedahan rekonstruksi drastis yang

digunakan untuk menghilangkan gejala, memperbaiki fungsi, dan menyelamatkan

atau memperbaiki kualitas hidup. Kehilangan ekstermitas memerlukan

penyesuaian besar, pasien harus menyesuaikan diri dengan adanya perubahan citra

diri permanen, yang harus diselaraskan sedemikian rupa sehingga tidak akan

menghilangkan rasa diri berharga (Brunner & Suddarth, 2001).

Berdasarkan hasil tesis yang disusun oleh Supriyanto pada tahun 2001di

RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan judul “Hubungan Antara Derajat Kaki

Diabetika Dengan Neuropati Perifer Dan Iskemi Perifer Pada Pasien Diabetika

Mellitus Tipe 2” disimpulkan bahwa semakin berat neuropati perifer semakin

Page 23: Adelina Vidya - Fkik

5

berat derajat kaki diabetika, namun dalam penelitian ini menggunakan alat

Elektromiogram ( EMG) sebagai instrumen untuk menentukan derajat keparahan

neuropati. Diagnosis neuropati tidak hanya dapat dilakukan menggunakan alat

EMG, belakangan ini mulai banyak berkembang alat atau metode-metode untuk

melakukan skrining dan diagnosis dini neuropati, diabetika seperti Clinical

Neurological Examination (CNE), tes vibrasi dengan garputala, maupun test

monofilamen (Misnadiarly, 2006; Waspadji, 2006; Djokomoeljanto, 1997).

Dalam penelitian ini akan menggunakan monofilamen 10g sebagai

instrumen untuk deteksi dini neuropati, berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Bambang Adi Setyoko pada tahun 2003 tentang “Nilai Diagnostik

Monofilamen 10 g dan skor Clinical Neurological Examination (CNE) Pada

Polineuropati Diabetika” disimpulkan bahwa monofilamen 10 g memiliki

sensitifitas yang baik bila digunakan untuk skrining dan diagnosis dini

polineuropati diabetika.

Kehilangan sensasi proteksi pada periferal neuropati merupakan penyebab

umum pada pasien ulkus diabetika. Penggunaan tes monofilamen adalah cara

terbaik untuk mengkaji neuropati diabetik. Pasien dengan sensasi kaki normal

biasanya dapat merasakan sentuhan monofilamen, tetapi pada pasien yang diduga

memiliki penurunan atau kehilangan sensasi proteksi tidak dapat merasakan

sentuhan monofilamen. Monofilamen merupakan alat yang mudah, tidak mahal,

dan tidak menimbulkan rasa nyeri, dan dapat digunakan pada pasien DM sebagai

screening awal untuk peripheral neuropati (Shrikhande, 2012). Tes ini dapat

memeriksa fungsi reseptor Merkel dan Meissner, dan hubungannya dengan

serabut saraf diameter besar, pasien DM memiliki resiko tinggi terjadinya masalah

Page 24: Adelina Vidya - Fkik

6

penurunan atau kehilangan sensasi pada serabut saraf tersebut (Perkins BA, 2001

dan Boulton, 1998).

Menurut peneliti, belakangan ini seiring dengan meningkatnya frekuensi

kejadian penyakit DM yang disertai komplikasi ulkus diabetika maka perhatian

terhadap penanganan ulkus diabetika semakin meningkat, mulai banyak

berkembang praktik-praktik keperawatan mandiri, salah satunya yaitu rumah

perawatan luka diabetika “RUMAT” yang berpusat di Bekasi. Berdasarkan hasil

studi pendahuluan melalui wawancara kepada salah satu perawat di klinik

RUMAT , sekitar tujuh puluh persen pasien datang dalam keadaan luka sudah

stadium lanjut atau derajat luka dua dan lebih. Sangat penting dan utama dalam

hal menentukan faktor resiko terjadinya ulkus, hal ini merupakan strategi

pencegahan ulkus, menghindari ulkus berulang, dan mencegah terjadinya

amputasi pada pasien ulkus diabetika. Perawat memiliki peran penting untuk

melakukan pengkajian. Banyak test yang dapat dilakukan untuk mengetahui

penyebab timbulnya ulkus diabetika, salah satu testnya yaitu menggunakan test

monofilamen untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah penurunan

sensorik atau tidak sebagai penyebab dari timbulnya ulkus diabetika.

B. Rumusan Masalah

Ulkus diabetika merupakan penyebab utama amputasi ekstermitas bawah

pada pasien dengan DM (Inlow, 2000). Sekitar 15% pasien DM akan mengalami

komplikasi berupa ulkus diabetika dalam hidupnya dan 85% amputasi non-

traumatik di sebabkan oleh ulkus diabetika yang tidak sembuh (Kumar, 1991

dalam Britis Columbia 2012). Kejadian ulkus diabetika ini adalah hasil dari

Page 25: Adelina Vidya - Fkik

7

kontribusi banyak faktor, tapi penyebab tersering adalah periferal neuropati yang

berhubungan dengan hilangnya sensasi proteksi, oleh karena itu tenaga kesehatan

harus mengkaji adanya periferal neuropati pada pasien untuk mengidentifikasi

resiko kekambuhan atau pengembangan ulksu diabetika (Meijer, 2005).

Identifikasi neuropati pada pasien DM sangat penting, bahkan dianjurkan

untuk melakukan evaluasi berkala. Bukti penelitian klinis menunjukkan manfaat

strategi skrining dan deteksi dini dalam menurunkan resiko ulkus diabetika dan

amputasi kaki. berkaitan dengan hal itu, diperlukan alat diagnosis yang sederhana,

murah, dan sensitif untuk mendeteksi dan mendiagnosis neuropati diabetika,

khususnya dalam pemakaian klinis praktis sehari-hari (Perkins, 2001 dan Vinik,

2000). Akhir-akhir ini, penggunaan monofilamen 10g telah banyak dikembangkan

para peneliti dan digunakan untuk tujuan skrining dan diagnosis neuropati

diabetika.

Sejauh ini belum pernah dilakukan skrining untuk mengetahui penyebab

utama terjadinya ulkus diabetika pada pasien yang melakukan perawatan luka di

klinik RUMAT. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik

untuk meneliti apakah ada hubungan antara skor monofilamen dengan ulkus

diabetika pada pasien di klinik RUMAT.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien ulkus diabetika di klinik RUMAT

(usia, jenis kelamin, riwayat DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus diabetika)?

2. Bagaimana skor monofilamen pada pasien ulkus diabetika di klinik

RUMAT?

Page 26: Adelina Vidya - Fkik

8

3. Bagaimana hubungan antara skor monofilamen terhadap derajat ulkus

diabetika di klinik RUMAT?

4. Bagaimana hubungan antara skor monofilamen terhadap frekuensi terjadinya

ulkus di klinik RUMAT?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara skor monofilamen terhadap ulkus diabetika

di klinik perawatan luka RUMAT.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis gambaran karakteristik pasien ulkus diabetika di klinik

RUMAT (usia, jenis kelamin, riwayat DM, frekuensi ulkus, derajat

ulkus diabetika).

b. Menganalisis skor monofilamen pada pasien ulkus diabetika di klinik

RUMAT.

c. Menganalisis hubungan antara skor monofilamen terhadap derajat ulkus

diabetika di klinik RUMAT.

d. Menganalisis hubungan antara skor monofilamen terhadap frekuensi

ulkus di klinik RUMAT.

Page 27: Adelina Vidya - Fkik

9

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Bagi peneliti, yaitu untuk menambah pengetahuan dan pengalaman meneliti

hubungan antara skor monofilamen terhaadap kejadian ulkus diabetika.

2. Bagi peneliti lain, yaitu sebagai penambah informasi dan bahan dasar untuk

melakukan penelitian tentang pengkajian penyebab ulkus diabetika dalam

ruang lingkup yang lebih besar.

3. Bagi pelayanan keperawatan, yaitu sebagai bahan masukan dan informasi

untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan yang komperhensif dan

paripurna kepada pasien ulkus diabetika.

4. Bagi ilmu keperawatan, yaitu sebagai masukan untuk perkembangan ilmu

keperawatan khususnya di bidang Keperawatan Medikal Bedah.

Page 28: Adelina Vidya - Fkik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DIABETES MELLITUS

1. Definisi

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.

Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin adalah suatu

hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam

darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (Smeltzer & Bare,

2001).

Diabetes mellitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa

darah yang melebihi normal (hiperglikemia) yang ditandai dengan ketiadaan

absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin

(Corwin, 2009).

2. Tipe DM

Ada beberapa tipe DM yang berbeda, penyakit ini dibedakan berdasarkan

penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Klasifikasi diabetes yang utama

adalah:

a. Tipe I: Diabetes Mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (IDDM)

1

Page 29: Adelina Vidya - Fkik

11

Kurang lebih 5% hingga 10% pasien mengalami DM tipe I, yaitu

diabetes yang tergantung insulin. Pada DM jenis ini, sel-sel beta

pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin

dihancurkan oleh suatu proses autoimun. Sebagai akibatnya,

penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa

darah. DM tipe satu ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya

terjadi pada usia 30 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).

b. Tipe II: Diabetes Mellitus tidak bergantung insulin (Non Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM))

Kurang lebih 90% hingga 95% pasien mengalami DM tipe II, yaitu

diabetes yang tidak tergantung insulin. DM tipe II terjadi akibat

penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). DM tipe II

pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan darah tetap

terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat

hipoglikemik oral. Pada sebagian pasien DM tipe II, obat oral tidak

mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan

penyuntikan insulin. DM tipe II paling sering ditemukan pada individu

yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas (Smaltzer & Bare, 2001).

c. DM Gestasional yaitu diabetes mellitus yang terjadi selama kehamilan.

d. DM yang berhubungan dengan keadaan atau gejala lainnya, menurut

ADA (American Diabetic Association) 2007 :

1) Defek genetik fungsi sel beta : Maturity Onset Diabetes of the

Young (MODY) 1,2,3 dan Denuclear Acid (DNA) mitokondria.

2) Defek genetik kerja insulin.

Page 30: Adelina Vidya - Fkik

12

3) Penyakit eksokrin pankreas, seperti pankreasitis, pankreatomi,

pankreatopati fibrokalkulus.

4) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, hipertiroidisme.

5) Karena obat/zat kimia: pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,

hormone tiroid, tiazid, dilantin, interferon, alfa dan lain-lain.

6) Infeksi: Rubella Congenital,cyitomegalovirus.

7) Sebab imunologi yang jarang: antibody insulin

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: Sindrom Down,

Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, dan lain-lain.

3. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis panyakit DM menurut Corwin (2009) adalah sebagai

berikut:

a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin) karena air mengikuti glukosa

yang keluar melalui urin.

b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar

dan keluarnya dan keluarnya urin yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel.

Dehidrasi instrasel mengikuti penurunan gradien konsultasi ke plasma

anti diuretik (ADH-vasopresin) dan menimbulkan rasa haus.

c. Polifagi (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pasca absorbsif yang

kronis, katabolisme protein dan lemak, kelaparan relatif sel, sering

terjadi penurunan berat badan tanpa terapi.

d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan

ketidakmampuan sebagian besar sel utnuk menggunakan glukosa

Page 31: Adelina Vidya - Fkik

13

sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis juga

menyebabkan kelelahan.

e. DM tipe 1 mungkin disertai rasa mual dan muntah.

4. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi pada DM dapat dibagi menjadi dua yaitu :

a. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan

hiperglikemia. Hiperglikemia dapat berupa, Keto Asidosis Diabetik

(KAD), Hiperosmolar Non Ketotik (HNK) dan Asidosis Laktat (AL).

Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg% dan

gejala yang muncul yaitu palpitasi, takikardi, mual, muntah, lemah, lapar

dan dapat terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Hiperglikemi yaitu

apabila kadar gula darah lebih dari 250 mg% dan gejala yang muncul

yaitu poliuri, polidipsi pernafasan kussmaul, mual, muntah, penurunan

kesadaran sampai koma (Soewondo,2006).

KAD menempati peringkat pertama komplikasi akut disusul oleh

hipoglikemia. Komplikasi akut ini masih merupakan masalah utama,

karena angka kematiannya cukup tinggi. Kematian akibat KAD pada

pasien DM tahun 2003 di negara maju berkisar 9 - 10%. Data komunitas

di Amerika Serikat, Rochester dikutip oleh Soewondo menunjukkan

bahwa insidens KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk

semua kelompok umur. Hasil pengamatan di Bagian Penyakit Dalam

RSCM selama 5 bulan (Januari - Mei) tahun 2002, terdapat 39 pasien

KAD yang dirawat dengan angka kematian 15% (Soewondo, 2006).

Page 32: Adelina Vidya - Fkik

14

b. Komplikasi Metabolik Kronik

Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh

darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetik) (Waspadji, 1999).

Angiopati diabetik untuk memudahkan dibagi menjadi dua yaitu:

makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler),

yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi

sekaligus bersamaan. Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah

sebagai berikut:

1) Mikrovaskuler :

a) Retinopati diabetik.

b) Nefropati.

c) Neuropati diabetik.

2) Makrovaskuler :

a) Penyakit jantung koroner.

b) Penyakit vaskuler perifer.

c) Penyakit serebrovaskuler.

5 Penanganan

Tujuan pengelolaan DM dibagi atas tujuan jangka pendek dan tujuan

jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan

atau gejala DM sehingga pasien dapat menikmati hidup sehat dan nyaman,

sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi

baik pada pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat

menekan angka morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 1997).

a. Edukasi atau penyuluhan

Page 33: Adelina Vidya - Fkik

15

b. Diet DM

c. Latihan fisik (Mirza, 2008; Waspadji, 1997)

B. Neuropati Diabetik

1. Definisi

Neuropati Diabetik merupakan kondisi heterogen dengan spektrum

kelainan yang luas, dan perkembangannya disebabkan oleh DM itu sendiri

atau berbagai faktor terkait yang memperberat penyakitnya. Definisi neuropati

perifer diabetik adalah terdapatnya gejala-gejala dan atau tanda-tanda dari

disfungsi saraf tepi pada pasien DM, tanpa ada penyebab lainnya (Vinik,

2000).

Neuropati merupakan salah satu komplikasi DM yang sering dijumpai.

Kekerapan neuropati diabetik akan meningkat sesuai dengan lamanya

mengidap DM dan hampir 50% akan mengalami polineuropati diabetik

setelah 25 tahun (Greene et al.,1997). Susunan saraf sangat rentan terhadap

komplikasi DM. Neuropati merupakan salah satu komplikasi DM yang khas,

sehingga neuropati diabetik dimasukkan dalam triopati DM, bersama nefropati

dan retinopati. Gambaran neuropati diabetik sangat beragam, mulai dari

onsetnya akut, reversible sampai insidius, tetapi progresif dan kemudian

menjadi irreversible (Waspadji, 1997; Soegiarto et al., 1998).

Beberapa teori yang dikemukakan untuk menjelaskan adanya neuropati

diabetik (Djokomoeljianto, 2001; Soegondo 1999) :

a. Sorbitol pathway

b. Oklusi vasa vasorum

Page 34: Adelina Vidya - Fkik

16

c. Penurunan mioinoitol

d. Menurunnya konduksi saraf

e. Perubahan sintesis dan perbaikan mielin sensorik dan motorik neuropati

f. Kelainan autonomik atau faktor pertumbuhan saraf

2. Patogenesis

Patogenesis neuropati diabetik merupakan suatu interaksi metabolik dan

faktor iskemik. Hiperglikemia mengakibatkan aktivasi polyol pathway, auto-

oksidasi glukosa, dan aktifasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap

perkembangan neuropati diabetik. Perubahan metabolisme ini, menyebabkan

tidak berfungsinya sel endotelial di pembuluh darah,dan berhubungan dengan

abnormalitas sel Schwann dan metabolisme axonal. Hiperglikemia

menyebabkan hipoksia endoneural oleh karena peningkatan resistensi

pembuluh darah endoneural. Hipoksia endoneural merusak transportasi axon

dan mengurangi aktivitas saraf sodium-potassium-ATPase. Gangguan ini

mengakibatkan atrofi pada axon dan gangguan konduksi saraf. (Reajeev,

2012).

3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari neuropati menurut Waspadji (2007), yaittu:

a. Neuropati Motorik

Keluhan yang menonjol adalah berkurangnya tenaga dan cepat lelah.

Pada pemeriksaan kekuatan otot terjadi penurunan atau kelemahan oleh

karena terputusnya akson baik secara lokal atau difusi dan terjadi

demielinisasi selektif sehingga terjadi hambatan pada kondusi hantaran

Page 35: Adelina Vidya - Fkik

17

saraf. Tanda objektif yang timbul berupa, menurun atau hilangnya reflek

tendo achiles dan sendi lutut (patela).

b. Neuropati Sensorik

Keluhan berupa: parestase, berarti adanya rasa kesemutan atau

perasaan tebal-tebal. Selain itu ada rasa terbakar, diestesi yaitu nyeri saat

diraba, hiperalgesia dimana nilai ambang nyeri turun, hiperestesi berarti

bila disentuh reaksinya terasa nyeri.

c. Penumpulan Saraf Sensorik

Penumpulan saraf perifer, penurunan pengecap dan sebagainya, dapat

juga gangguan rasa nyeri dan suhu terutama daerah sarung tangan dan

kaki.

4. Diagnosis Neuropati Diabetik

Sampai saat ini masih terus dikembangkan dan diteliti cara terbaik untuk

deteksi dan diagnosis neuropati diabetik, khususnya untuk kepentingan

klinis-praktis dalam praktek sehari-hari. Beberapa pemeriksaan yang dapat

dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis neuropati diabetik

menurut Djokomoeljianto (1997), Misnadiarly (2006), dan Waspadji (2006)

adalah:

a. Gejala klinis neuropati

Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan atau

parestesia atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan distal dan

atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan deformitas

pada kaki dan tangan, dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan

ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala

Page 36: Adelina Vidya - Fkik

18

otonom (Ginsberg, 2008). Sedangkan menurut Baradero (2009) meliputi,

riwayat rasa nyeri, kesemutan ekstermitas, tekanan darah ortostatik,

kekuatan otot, refleks, fungsi sensori.

Manifestasi klinis neuropati diabetik bergantung dari jenis serabut

saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena

lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau

difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinisnya

menjadi bervariasi diantaranya : Kesemutan, kebas, tebal, mati rasa,

rasa terbakar, seperti disobek (Sudoyo, 2007).

b. Clinical Neurological Examination (CNE)

Akhir-akhir ini pemeriksaan CNE dipergunakan untuk deteksi

maupun diagnosis polineuropati diabetik dalam praktek klinis sehari-

hari. CNE merupakan salah satu modifikasi dari pemeriksaan

Neuropathy Dissability Score (NDS), oleh karena NDS dianggap lebih

rumit dan sulit diaplikasikan dalam pemakaian klinis praktis. CNE

meliputi kajian fungsi sensoris, kekuatan otot kaki, dan refleks

pergelangan kaki, serta pada masing-masing pemeriksaan diberikan skor

tertentu. Pemeriksaan CNE meliputi tes pin prick, reflex tendo Achilles,

dan sentuhan ringan (kapas) (Valk GD et al.,1998).

c. Tes vibrasi dengan garputala

Tes vibrasi dengan garputala dapat dipakai sebagai alternatif untuk

menilai sensasi getar bila alat Biotesiometer untuk menilai Vibration

Perception Threshold (VPT) tidak tersedia (Boulton, 1998). Tes vibrasi

merupakan salah satu langkah awal dalam pemeriksaan somatosensorik

Page 37: Adelina Vidya - Fkik

19

(Harrison, 1999). Pemeriksaan sensasi primer dengan tes vibrasi ini

untuk melihat fungsi mekanoreseptor, terutama korpus pacini, yang

mungkin pada pendeerita DM mengalami masalah pada fungsi saraf ini

(Harrison, 1999).

Rasa vibrasi diperiksa dengan garpu tala, lebih baik garpu tala

yang besar yang memberikan vibrasi 128 Hz dalam satu detik.

Kelemahan vibrasi dengan menggunakan garpu tala ini cukup lambat

untuk penggunaan kuantitatif karena membutuhkan antara 15 dan 20

detik untuk merusak dibawah ambang penerimaan. Vibrasi biasanya

diperiksa pada tulang yang menonjol, terutama maleolus pada

pergelangan kaki, patella, spina iliaca interior, processus spinosus dari

corpus vertebra, sendi metacarpal-falangeal (ruas jari), processus

styloideus dari ulna, dan siku. Tempat kontrol tes vibrasi adalah

sternum dan dahi. Pemeriksa dapat membandingkan ambang pada

tempat yang ditunjuk pada pasien dengan diri sendiri. Perkiraan kasar

hilangnya derajat rasa vibrasi dapat dilakukan dengan menghitung detik

dimana pemeriksa dapat merasakan rasa vibrasi lebih lama dari pada

pasien. pasien harus jelas bahwa perhatian diarahkan pada rasa vibrasi

dan bukan hanya tekanan ujung garpu tala (Delf, 1996).

d. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)

Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk

memeriksa saraf perifer dan otot. Prinsip kerjanya adalah merekam

gelombang potensial yang ditimbulkan baik oleh saraf maupun otot.

Page 38: Adelina Vidya - Fkik

20

melalui prosedur-prosedur stimulasi listrik dan teknik perekaman dapat

mempelajari transmisi dan eksitabilitas saraf (Endang, 1999)

. Gelombang potensial dapat ditimbulkan dalam otot dengan

memberikan stimulus pada saraf motorik yang mengelolanya, untuk

mengukur kecepatan hantaran saraf motorik yaitu dengan merangsang

saraf motorik pada dua tempat disebelah proksimal dan distal.

Kerusakan pada akson yang berat, mengakibatkan aksi potensial tidak

dapat ditimbulkan (Vinik,2000; Endang,1999). Evaluasi saraf sensorik

dilakukan dengan memberikan stimulus pada saraf sensoris. Aksi

potensial saraf sensoris dapat direkam dengan elektrode permukaan

yang dililitkan pada jari. pengukuran kecepatan hantaran saraf sensoris

dengan menghitung jarak dari stimulus tunggal sampai elektrode

perekam dibagi dengan latensi. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan

dalam menghantarkan impuls dari tempat perangsangan sampai akson

terminal dan transmisi dari akson terminal ke motor end plate, sehingga

timbul potensial aksi (Endang, 1999).

Elektromiograf mendeteksi potensi listrik yang dihasilkan oleh sel

otot ketika otot aktif dan ketika sedang beristirahat. Pada neuropati,

akan didapatkan karakteristik seperti: Amplitudo potensial aksinya dua

kali normal disebabkan peningkatan jumlah serabut saraf per motor

unit, peningkatan durasi potensial aksi, penurunan jumlah motor unit

dari otot (Boulton, 2004).

Page 39: Adelina Vidya - Fkik

21

e. Test Monofilamen

Beberapa prinsip umum mengenai pemeriksaan sensorik: Pertama,

sebaiknya diingat bahwa pemeriksaan tergantung pada respon pasien

yang subjektif; karena itu, membedakan respon tergantung pada tingkat

kesadaran, motivasi, dan intelegensi pasien dan juga keterampilan

dimana pemeriksa memberikan tugas yang jelas. Kedua, pemeriksaan

sensorik sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang lelah. Ketiga,

pemeriksaan sensorik pada pasien yang tidak mempunyai keluhan

neurologik sebaiknya cukup singkat. Keempat, pasien diperiksa dengan

mata tertutup selama pemeriksaan sensasi primer (Delf, 1996).

Monofilamen 10g telah dipublikasikan secara luas sebagai salah

satu alat deteksi neuropati diabetik. Alat ini dipublikasikan sebagai

sarana yang murah, praktis, dan mudah digunakan untuk deteksi

hilangnya sensasi proteksi. Alat ini terdiri dari sebuah gagang plastik

yang dihubungkan dengan sebuah nilon monofilamen, sehingga akan

mendeteksi kelainan sensoris yang mengenai serabut saraf besar

(Armstrong, 2000).

Berbagai jenis dan ukuran monofilamen telah beredar di pasaran.

Salah satu alat yang sering dipakai adalah Semmes-Weinstein

monofilament, dengan variasi ukuran 1 g, 10 g, dan 75 g. Menurut

Levin ME dkk (1991), ukuran standar monofilamen yang biasa dipakai

adalah 10 g dengan ketebalan 5,07. Tes ini memeriksa fungsi reseptor

Merkel dan Meissner dan hubungannya dengan serabut saraf diameter

besar (Perkins BA, 2001 dan Boulton,1998).

Page 40: Adelina Vidya - Fkik

22

Beberapa penelitian memakai cara dan interpretasi yang berbeda-

beda dalam penggunaan monofilamen. Pemeriksaan monofilamen pada

penelitian ini menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh

British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada

tahun 2011, yaitu:

1) Menggunakan monofilamen ukuran 10g (5,07)

2) Meminta pasien membuka kaos kaki dan sepatunya.

3) Menjelaskan prosedur kepada pasien dan tunjukkan kepada pasien

monofilamen-nya.

4) Sebelum melakukan pemeriksaan pada kaki responden,

monofilamen diuji cobakan pada sternum atau tangan dengan tujuan

pasien dapat mengenal sensasi rasa dari sentuhan monofilamen.

5) Melakukan pemeriksaan pada salah satu tungkai yang memiliki

ulkus dengan kedua mata responden tertutup.

6) Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa,

penekanan dilakukan selama 2 detik, kemudian segera ditarik.

Gambar 2.1 Cara Melakukan Test Monofilamen

Page 41: Adelina Vidya - Fkik

23

7) Gunakan monofilamen pada 10 titik lokasi di kaki kiri dan kanan

seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.2 Lokasi Test Monofilamen

- Pemilihan titik lokasi yang acak akan mencegah pasien dari

perkiraan area selanjutnya.

- Jika terdapat ulkus, kalus, atau skar di kaki, gunakan

monofilamen pada area yang berdekatan.

- Jika pasien telah mengalami amputai, test dilakukan pada titik

lokasi yang memungkinkan saja.

8) Pada masing-masing lokasi dilakukan tiga kali pemeriksaan, jika

pasien terindikasi tidak merasakan monofilamen.

9) Penilaian hasil pemeriksaan :

- Positif: dapat merasakan tekanan monofilamen dan dapat

menunjukkan lokasi dengan tepat setelah monofilamen di

angkat, pada 2-3 kali pemeriksaan.

- Negatif: tidak dapat merasakan tekanan atau tidak dapat

menunjukkan lokasi dengan tepat, pada 2 dari 3 kali

pemeriksaan.

Page 42: Adelina Vidya - Fkik

24

10) Hasil positif skor =1, hasil negatif skor = 0. Sehingga skor total

pada satu kaki bervariasi antara 0-10.

11) Dalam mendokumentasikan hasil test monofilamen, jika tertulis 6/9

maka dapat diartikan bahwa pasien dapat merasakan sentuhan

monofilamen pada enam titik lokasi dan hanya dilakukan test pada

sembilan titik area dikarenakan ibu jari pasien yang telah

diamputasi.

C. Ulkus Diabetika

1. Pengertian

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes

mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya

kematian jaringan setempat (Frykberb, 2002). Ulkus diabetika merupakan luka

terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati

sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat

luka pada pasien yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi

infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Frykberb, 2002;

Misnadiarly, 2006; Riyanto, 2007).

2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati

Pada pasien DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi

komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf

karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan

akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya

Page 43: Adelina Vidya - Fkik

25

refleks otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa,

apabila pasien DM tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi

ulkus diabetika (Waspadji, 2007). Terjadi kerusakan saraf somatis dan

otonom, tetapi tidak ada gangguan sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering,

hangat, kesemutan, mati rasa, udem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki

teraba baik (Jeffcoate 1995, Gibbons 1995 ).

Neuropati pada DM dapat mengenai pada bagian sensorik, motorik,

maupun otonom. Patogenesis terjadinya neuropati diabetik masih penuh

kontroversi, teori yang banyak dianut adalah adanya defisiensi insulin dan

hiperglikemi yang menyebabkan:

a. Insufisiensi vaskuler pada sistem syaraf tepi.

b. Kelainan metabolisme molekuler dari sistem syaraf perifer dan

medulla spinalis.

Dilaporkan pula bahwa pembuluh darah intraneural mengalami penebalan

dinding dan penyempitan lumen seperti pada angiopati umumnya sehingga

terjadi iskemi syaraf dan terjadilah neuropati. Gangguan metabolisme pada

dendrit dan akson memberikan penjelasan lain, dimana gangguan metabolisme

lipid dan protein yang berfungsi mempertahakan keutuhan syaraf termasuk

produksi neurotransmitter berkurang sehingga terjadi gangguan konduksi.

(Wisramayasa,1997 ; Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999).

Proses degenerasi pada akson akan terus berlangsung terutama pada pasien

DM yang tidak terkontrol. Keadaan berkurangnya sensibilitas akibat

degenerasi seluler dari akson menyebabkan kurang pekanya pasien DM

terhadap rangsang nyeri, panas, trauma mekanis dan sebagainya, sehingga

Page 44: Adelina Vidya - Fkik

26

kulit telapak kaki akan terluka tanpa rasa, dan bila terjadi infeksi maka akan

terjadi ulkus akibat neuropati (Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999).

3. Klasifikasi Derajat Ulkus Diabetika

Beragam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika digunakan dalam upaya

menentukan perbedaan luka (tempat, kedalaman, ada atau tidak adanya

neuropati, infeksi, dan iskemi) (Livingston, 2008). Penggunaan sistem

klasifikasi derajat ulkus diabetika yang memberikan keseragaman gambaran

dan penjelasan luka akan membantu dalam merencanakan tindakan dan

memprediksi jangka waktu penyembuhan atau rencana amputasi (Livingston,

2008). Ada beberapa macam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika yang

sering digunakan: Sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner, Sistem

klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT), sistem klasifikasi

luka SAD (Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and Denervation) yang

merupakan hasil penelitian dari Department of Diabetes and endocrinology at

the University of Nottingham, Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound

Classification System (Wagner, 1981; Moffat, 2006; Sussman, 2007; Alan,

2009).

Klasifikasi derajat luka menurut Wagner (1981) dikutip dalam

(Clifford, 2012; Livingston, 2008, Gries, 2003; Moffat, 2006; Alan, 2009;

Roy, 2006; Waspadji, 2007), yaitu:

Derajat 0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi

memiliki resiko tinggi terjadi ulkus (mungkin disertai kelainan bentuk kaki;

Claw, Callus, Hallux, valgus, dll)

Derajat 1 : Ulkus superfisialis dan terbatas pada kulit atau jaringan subkutan

Page 45: Adelina Vidya - Fkik

27

Derajat 2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon, dan tulang,

tanpa osteomielitis atau abses.

Derajat 3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang, dengan osteomielitis atau

abses.

Derajat 4 : Gangren yang terlokalissir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal

dengan atau tanpa selulitis.

Derajat 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT)

menggunakan derajat Wagner 1 sampai 3, tetapi disetiap derajat ditambahkan

tahapan-tahapan luka: A = tidak ada infeksi atau iskemia; B = infeksi, tidak

iskemia; C = iskemia, tidak infeksi; D = infeksi dan iskemia (Alan, 2009).

Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT) mengkaji

kedalaman luka, ada atau tidak adanya nya infeksi, dan ada atau tidak adanya

tanda klinis iskemi pada ekstermitas bawah (Lavery, 1996). Sistem klasifikasi

ini menggunakan sebuah matriks yang menggambarkan derajat luka pada

aksis horizontal dan tahapan luka pada aksis vertikal (Lavery, 1996; Gries;

200; Alan, 2009; Roy, 2012).

Stage Grade

0 1 2 3

A Pre-post lesi ulkus, kulit

utuh

Ulkus superficial

Ulkus dalam, ke tendon/kapsul

Penetrasi luka ke tulang

B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia

D Infeksi dan

iskemia Infeksi dan

iskemia Infeksi dan iskemia Infeksi dan

iskemia

Tabel 2.1 University of Texas and San Antonio Wound Classification system, Modified from Armstrong, 1996.

Page 46: Adelina Vidya - Fkik

28

Sistem klasifikasi luka SAD merupakan tambahan dari sistem klasifikasi

luka menurut University of Texas, SAD menambahkan area ulkus cross-

sectionl dan ada atau tidak adanya neuropati perifer di setiap derajat luka

(Moffat, 2006).

Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound Classification System:

Klasifikasi ulkus diabetika berdasarkan warna merupakkan sistem klasifikasi

yang popular karena cukup sederhana dan mudah digunakan. Tiga warna

yaitu: merah, kuning, dan hitam, digunakan untuk mengkaji warna permukaan

luka. Sistem Tiga Warna pada mulanya di ciptakan sebagai alat untuk

penatalaksanaan langsung, dengan setiap warna membutuhkan terapi khusus

yang sesuai dengan kondisi luka. Luka yang berwarna merah diartikan bersih,

sedang dalam proses penyembuhan, dan sedang mengalami granulasi. Luka

yang berwarna kuning mengindikasikan terjadinya infeksi, terdapat jaringan

nekrotik, dan membutuhkan pembersihan atau debridemen. Luka yang

berwarna hitam merupakan jaringan nekrotik dan membutuhkan pembersihan

serta debridemen. Luka yang berwarna merah merupakan karakteristik luka

yang diharapkan (Sussman, 2007).

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ulkus diabetika menurut Misnadiarly (2006), yaitu :

a. Sering kesemutan.

b. Nyeri kaki saat istirahat.

c. Sensasi rasa berkurang.

d. Kerusakan jaringan (nekrosis).

e. Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea.

Page 47: Adelina Vidya - Fkik

29

f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.

g. Kulit kering

5. Proses Penyembuhan Ulkus

Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan

semua cedera jaringan lunak, baik luka ulsratif kronik, seperti dekubitus, dan

ulkus tungkai. Proses fisiologis penyembuhan luka menurut Moya J (2003) dibagi

ke dalam 4 fase utama, yaitu:

a. Respons inflamasi akut terhadap cedera: mencakup hemostasis, pelepasan

histamin dan mediator lain dari sel-sel yang rusak, dan migrasi sel darah

putih (leukosit polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak

tersebut.

b. Fase destruktif: Pembersihan jaringan yang mati dan yang mengalami

devitalisasi oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag.

c. Fase proliferatif: yaitu pada saat pembuluh darah baru yang diperkuat oleh

jaringan ikat menginfiltrasi luka. Jaringan granulasi merupakan kumpulan

vaskular (nutrisi untuk makrofag dan fibroblast) dan saluran getah bening

(mencegah edema dan sebagai drainase) yang membentuk matriks

granulasi yang turut menjadi lini pertahanan terhadap infeksi. Jaringan

granulasi terus diproduksi sampai kavitas ulkus terisi kembali. Pada fase

ini tampak epitelisasi dimana terbentuk tepi luka yang semakin landai.

d. Fase maturasi: mencakup re-epitelisasi, konstruksi luka dan reorganisasi

jaringan ikat.

Dalam kenyataannya, fase-fase penyembuhan tersebut saling tumpang

tindih dan durasi dari setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang

Page 48: Adelina Vidya - Fkik

30

sempurna bergantung pada beberapa faktor termasuk ukuran dan tempat luka,

kondisi fisiologis umum pasien, adanya bantuan ataupun intervensi dari luar

yang ditunjukkan dalam rangka mendukung penyembuhan.

6. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya ulkus diabetika pada pasien DM menurut hasil

penelitian Hastuti pada tahun 2008, terdiri atas:

a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah berdasarkan hasil penelitian

Hastuti pada tahun 2008, yaitu:

1) Umur ≥ 60 tahun.

2) Lama DM ≥ 10 tahun.

b. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah (termasuk kebiasaan dan gaya

hidup) menurut Djokomoeldjanto (1997) dan Frykberb (2002), yaitu:

1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer).

2) Obesitas.

3) Hipertensi.

4) Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol.

5) Kadar glukosa darah tidak terkontrol.

6) Insusifiensi Vaskuler karena adanya Aterosklerosis yang disebabkan :

a) Kolesterol total tidak terkontrol.

b) Kolesterol High Density Lipid (HDL) tidak terkontrol.

c) Trigliserida tidak terkontrol.

7) Kebiasaan merokok.

8) Ketidakpatuhan diet DM.

9) Kurangnya aktivitas fisik.

Page 49: Adelina Vidya - Fkik

31

10) Pengobatan tidak teratur.

11) Perawatan kaki tidak teratur.

12) Penggunaan alas kaki tidak tepat.

7. Pencegahan dan Pengelolaan Ulkus diabetik

Menurut Levin (1988) dalam Moya J (2004), penatalaksanaan ulkus kaki

diabetik memerlukan pengobatan yang agresif dalam jangka pendek, hal

tersebut mencakup: debridemen lokal radikal pada jaringan sehat, terapi

antibiotik sistemik untuk mengurangi infeksi diikuti dengan tes sensitivitas

antibiotik, kontrol diabetes untuk meningkatkan efisiensi sistem imun, posisi

tanpa bobot badan untuk ulkus plantaris, perawatan pada kaki yang luka.

Pemilihan balutan luka yang tepat merupakan hal yang penting, tetapi

hanyalah bagian dari terapi tersebut di atas. Dengan mempertimbangkan

keadaan tersebut, maka penggunaan agens topikal yang tidak tepat justru

dapat memperburuk situasi yang memang sudah tidak baik itu. selain itu, kaki

harus dijaga agar tetap kering. Merendam kaki dapat menyebabkan maserasi

antara jari kaki dan meningkatkan resiko terhadap infeksi. Perhatian untuk

melakukan rehidrasi kulit yang kering di sekitar ulkus dan di atas tungkai

bawah juga harus diberikan. Apabila ada ulkus yang sukar disembuhkan

dengan segala pengobatan, maka dokter dapat meminta pemeriksaan X-Ray

agar dapat meniadakan kemungkinan osteomielitis atau tertahannya benda

asing yang tidak dirasakan oleh pasien (Moya J, 2004).

Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetik untuk mencegah komplikasi

lebih lanjut adalah :

a. Memperbaiki kelainan vaskuler.

Page 50: Adelina Vidya - Fkik

32

b. Memperbaiki sirkulasi.

c. Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll).

d. Edukasi perawatan kaki.

e. Pemberian obat-obat yang tepat untuk dan obat vaskularisasi, obat untuk

penurunan gula darah maupun menghilangkan keluhan dan penyulit DM.

f. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.

g. Menghentikan kebiasaan merokok.

h. Merawat kaki secara teratur setiap hari

i. Penggunaan alas kaki tepat

j. Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan

termis, yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan.

k. Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya

adrenalin, nikotin.

l. Memeriksakan diri secara rutin dan memeriksa kaki setiap kontrol

walaupun ulkus diabetik sudah sembuh (Misnadiarly, 2006)

Page 51: Adelina Vidya - Fkik

34

D. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Modifikasi Armstrong, 2000; Hastuti, 2008; Misnadiarly, 2006; Soewondo, 2006;

Waspadji, 2006

Diabetes Mellitus

Komplikasi

Kronis (Waspadji,2006)

Akut : - KAD - HNK - Asidosis Laktat

(Soewondo,2006)

Makrovaskuler

Penyakit serebrovaskuler

Penyakit Vaskuler Perifer

PJK Diagnostik

- Pemeriksaan fisik - CNE - Persepsi vibrasi

dengan garpu tala - EMG - Test Monofilamen

(Misnadiarly 2006; Armstrong, 2000)

Neuropati diabetes

Trauma: - Mekanis - Termis - Kimiawi

Mikrovaskuler

Nefropati

Retinopati diabetik

ulkus diabetika

Faktor Resiko: - Usia - Lama Menderita DM

(Hastuti, 2008)

Page 52: Adelina Vidya - Fkik

35

E. Penelitian Terkait

Judul Tahun Peneliti Sampel Desain instrumen Hasil

Hubungan Faktor

Resiko Neuropati

dengan Kejadian

Ulkus Kaki Pada

Pasien Diabetes

Mellitus di RSUD

Moewardi Surakarta

2012 Okti Sri

Purwanti

(Dosen

PSIK Univ.

Muhamma

diyah

Surakarta)

68 orang Analitik

observasion

al dengan

case control

Monofilament

10g

Terdapat Hubungan neuropati

sensorik dengan kejadian ulkus kaki

(p value 0,001), neuropati otonom

dengan kejadian ulkus kaki (p value

0,037), neuropati motorik dengan

kejadian ulkus kaki (p value 0,001).

Nilai Diagnostik

monofilament 10g

dan skor Clinical

Neurological

Examination (CNE)

pada polineuroppati

Diabetik

2003 Bambang

Adi

Setyoko

(Tesis

Dokter

Spesialis I)

76 pasien Cross

sectional

study

Monofilament

10g, lembar

pemeriksaan

CNE,

Elektromiografi

(EMG)

Dengan alat EMG sebagai metode

acuan, sensitifitas dan spesivisitas

monofilament 10g masing-masing

adalah 80,6% dan 57,1%. Sedangkan

sensitifitas dan spesivisitas CNE

masing-masing adalah 87,1% dan

71,4%.

Hubungan antara

derajat kaki diabetic

dengan neuropati

perifer dan iskemik

2001 Supriyanto

(Tesis

Dokter

Spesialis I)

70 orang Cross

sectional

Elektromiografi

, dan Doppler

untuk menilai

Ankle Pressure

Terdapat hubungan bermakna antara

neuropati perifer dengan derajat KD

(C=0,63, p=0,0001).

Terdapat hubungan bermakna antara

Page 53: Adelina Vidya - Fkik

36

perifer pada penderita

Diabetes Mellitus

Tipe 2

Index (API) iskemi perifer dengan derajat KD

(C=0,56, p=0,0002).

Iskemi perifer dengan neuropati

perifer tidak ada hubungan bermakna

(C=0,36, p=0,3004).

Faktor-Faktor Resiko

Ulkus Diabetika pada

Penderita Diabetes

Mellitus

2008 Rini Tri

Hastuti

(Tesis

Megister

Epidemiolo

gi)

72 orang Analitik

observasion

al dengan

desain case

control

Timbanggan,

pengukur tinggi

badan,

Kuesioner,

Catatan Medis

penderita.

Faktor risiko ulkus diabetika adalah

lama DM ≥ 10 tahun, kadar

kolesterol ≥ 200 mg/dl, kadar HDL ≤

45 mg/dl, ketidakpatuhan diet DM,

kurangnya latihan fisik, perawatan

kaki tidak teratur dan penggunaan

alas kaki tidak tepat dengan

memberikan sumbangan terhadap

ulkus diabetika sebesar 99,9 %

Page 54: Adelina Vidya - Fkik

BAB III

KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan

bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis

bebrapa fakor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2008).

Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada studi pustaka, maka peneliti

membuat kerangka konsep untuk memudahkan mengidentifikasi konsep-konsep

sesuai penelitian sehingga dimengerti. Kerangka konsep dalam penelitian ini

terdiri dari variabel bebas (independen) yaitu skor monofilamen dan variabel

terikat (dependen) yaitu ulkus diabetika.

Variabel Independent Variabel Dependent

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Skor Monofilamen Terhadap Ulkus

Diabetika di Klinik RUMAT

skor monofilamen

(0-10)

Ulkus Diabetika - Derajat ulkus (0-5) - Frekuensi terjadinya

ulkus

37

Page 55: Adelina Vidya - Fkik

38

B. HIPOTESIS

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2009). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini

adalah :

Hipotesis alternatif (Ha) :

1. Ada hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di

klinik RUMAT.

2. Ada hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi ulkus di klinik

RUMAT.

Sedangkan Ho Sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus

diabetika di klinik RUMAT.

2. Tidak ada hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi ulkus di

klinik RUMAT.

Page 56: Adelina Vidya - Fkik

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil Skala Skor Monofilament

skor yang didapatkan untuk mengukur sensorik (neuropati) pada pasien ulkus diabetika dengan menggunakan monofilament.

Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa, penekanan dilakukan selama 2 detik pada 10 lokasi, kemudian segera ditarik, dilakukan sampai tiga kali pemeriksaan jika hasilnya negatif, pemeriksaan hanya dilakukan pada salah kaki yang memiliki ulkus.

Monofilament 10g

Skor 1 : Hasil positif, yaitu masih dapat merasakan sentuhan monofilament pada satu titik. Skor 0 : Hasil negatif, yaitu tidak dapat merasakan sentuhan monofilament pada satu titik. Total skor bervariasi antara 0-10 pada.

Rasio

Derajat Luka Tingkat keparahan luka saat dilakukan penelitian

Observasi Klasifikasi derajat ulkus menurut wagner

0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi memiliki resiko tinggi terjadi ulkus (mungkin disertai kelainan bentuk kaki; claw, callus, hallux, valgus, dll) 1: Ulkus superfisialis dan terbatas pada kulit atau jaringan subkutan. 2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon dan tulang tanpa adanya abses atau osteomielitis.

Ordinal

39

Page 57: Adelina Vidya - Fkik

40

3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang,dengan osteomielitis atau abses. 4 : Gangren yang terlokalisir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis. 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

Frekuensi ulkus

Jumlah ulkus yang pernah dimiliki pasien.

- Kuesioner Rasio

Usia Umur responden terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir

- Kuesioner Rasio

Jenis Kelamin Merupakan pertanda gender seseorang

- Kuesioner 1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

Riwayat DM Lama pasien diketahui memiliki penyakit DM.

- Kuesioner Rasio

Page 58: Adelina Vidya - Fkik

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi analitik kuantitatif dengan

metode penelitian Cross Sectional. Desain penelitian ini dilakukan dalam satu

waktu sehingga disebut cross sectional. Penelitian Cross Sectional meneliti suatu

kejadian pada titik waktu dimana variabel dependen dan variabel independen

diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007).

B. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam

Hidayat,2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien DM dengan

dengan komplikasi ulkus diabetika yang melakukan perawatan luka ulkus di

klinik RUMAT Kabupaten Bekasi selama bulan April 2014, yaitu berjumlah

44 pasien.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian

jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat,2008).

Sedangkan menurut Nursalam (2003) sampling adalah cara atau metode

pengambilan sampel untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling yang

41

Page 59: Adelina Vidya - Fkik

42

akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh atau total

sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil semua anggota

populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan bila populasinya kecil, seperti

bila sampelnya kurang dari tiga puluh maka anggota populasi tersebut diambil

seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian (Hidayat, 2008). Sampel yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu semua pasien ulkus diabetika yang

melakukan perawatan luka di klinik RUMAT pada saat dilakukan

pengambilan data, yaitu 35 pasien dengan kriteria inklusi sebagai berikut :

1. Pasien ulkus diabetika yang terdata pada hari pertama pengambilan data di

tiap klinik.

2. Pasien yang memiliki ulkus diabetika di salah satu kaki.

3. Pasien ulkus diabetika yang bersedia menjadi responden.

C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2014 di tiga cabang Klinik

Perawatan Luka Diabetes RUMAT Kabupaten Bekasi, yaitu RUMAT Bekasi,

RUMAT Cikarang, dan RUMAT Tambun. Klinik RUMAT dipilih karena klinik

ini khusus menangani pasien-pasien ulkus diabetika dengan total pasien pada

tahun 2013 di tiga cabang klinik RUMAT berjumlah 278 pasien, selain itu

responden datang langsung ke klinik perawatan luka ini sehingga mempermudah

jalannya penelitian.

D. ALAT PENGUMPUL DATA

1. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data pada penelitian ini adalah :

a. Menggunakan alat monofilament 10 g.

Page 60: Adelina Vidya - Fkik

43

b. kuesioner untuk responden yang menggambarkan karakteristik

responden, berisi Inisial nama, usia, jenis kelamin, lama menderita DM,

riwayat luka sebelumnya, frekuensi perawatan kaki.

c. Lembar Penilaian untuk melihat skor monofilamen dan derajat ulkus

diabetika.

2. Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan instrumen dalam menjalankan

fungsi ukurnya (Azwar, 2012). Penelitian Booth dan Young menunjukkan

tidak semua monofilamen yang diproduksi pabrik memiliki kualitas yang

sama baiknya. Lebih lanjut penelitian tersebut juga merekomendasikan sebuah

monofilamen 10g sebaiknya digunakan maksimal 10 pasien per hari dan

visko-elastisnya dapat pulih kembali setelah diistirahatkan 24 jam (Booth and

Young, 2000; Armstrong, 2000).

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta

tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam,

2009). Berbagai faktor ekstrinsik dan intrinsik berpengaruh pada reliabilitas

monofilamen. Faktor-faktor ekstrinsik meliputi prosedur peemeriksaan

(frekuensi dan lokasi pemeriksaan, dan belum ada standart baku), dan

subyektifitas (tingkat kepercayaan) respons pasien terhadap pemeriksaan

monofilamen, sedangkan faktor-faktor intrinsik meliputi perbedaan radius dan

panjang filamen, serta elastisitas bahan monofilamen (Booth and Young,

2000).

Peneliti telah melakukan test bagaimana cara melakukan pemeriksaan

monofilamen yang diuji oleh Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan klinik

Page 61: Adelina Vidya - Fkik

44

RUMAT sebelum melakukan pengambilan data dan dinyatakan lulus,

sehingga dapat menghasilkan data yang valid.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Beberapa hal yang perlu dipersiapkan peneliti sebelum penelitian yaitu

mempersiapkan prosedur-prosedur pengumpulan data. Adapun langkah-

langkahnya sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

1. Mengajukan surat permohonan studi pendahuluan kepada Ketua Program

Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Mengurus perizinan studi pendahuluan di klinik perawatan luka RUMAT.

3. Melakukan konsultasi dengan pembimbing skripsi tentang hasil studi

pendahuluan dan instrument yang akan digunakan dalam penelitian.

b. Tahap Pelaksanaan

1. Mengajukan surat permohonan penelitian kepada Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Mengurus perizinan pelaksanaan penelitian di klinik perawatan luka

RUMAT.

3. Menentukan sampel penelitian.

4. Meminta responden menandatangani lembar persetujuan (informed

concent), dengan didahului oleh penjelasan tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan prosedur pelaksaan penelitian.

5. Mengisi lembar kuesioner yang berisi karakteristik responden (inisial nama,

usia, jenis kelamin, frekuensi ulkus, derajat ulkus, dan lama memiliki DM)

Page 62: Adelina Vidya - Fkik

45

6. Melakukan test monofilament dan mengobservasi derajat ulkus diabetika.

Waktu untuk melakukan test monofilament sekitar 15 menit, sedangkan

proses pengambilan data dilakukan selama dua minggu.

Test monofilamen dilakukan setelah responden dilakukan pencucian luka

dan menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh British Columbia

Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada tahun 2011.

7. Setelah kuesioner diisi oleh peneliti, test monofilamen dan observasi derajat

luka pasien telah dilakukan, peneliti melakukan pengecekan data apakah

data sudah sesuai.

8. Data yang sudah lengkap kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti

menggunakan program komputer.

c. Tahap akhir

1. Menyusun laporan.

2. Penyajian hasil penelitian dalam sidang.

F. KERANGKA KERJA

Bagan 4.1 Kerangka Kerja

Pemilihan sampel, pasien ulkus diabetika

test monofilament dan observasi derajat ulkus

informed consent

pengisian kuesioner

karakteristik pasien

pengolahan dan analisa

data

Hasil

Page 63: Adelina Vidya - Fkik

46

G. PENGOLAHAN DATA

Pada langkah selanjutnya setelah data sudah dikumpulkan semua adalah

melakukan pengolahan data sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki data tersebut,

pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer.

1. Edit data

Edit data yaitu memeriksa data yang telah dikumpul melalui kuesioner dan

lembar hasil pemeriksaan. Hal ini diperlukan di lapangan untuk meneliti

kembali apakah isian dalam lembar pertanyaan sudah cukup baik untuk

diproses dan dilaksanakan di lapangan, sehingga bila terdapat kekurangan

segera dilengkapi.

2. Pengkodean

Masing-masing variabel penelitian diberi kode berupa angka yang

selanjutnya dimasukkan dalam lembaran tabel kerja untuk memudahkan entri

di komputer.

3. Tabulasi

Tabulasi merupakan kegiatan meringkas jawaban dari kuesioner menjadi

satu tabel induk yang memuat semua jawaban responden. Jawaban responden

akan dikumpulkan dalam bentuk kode-kode yang disepakati untuk

memudahkan pengolahan data selanjutnya.

4. Aplikasi data / pengujian data

Menggunakan uji statistik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada

penelitian ini peneliti menggunakan bantuan komputer (Saryono, 2011).

Page 64: Adelina Vidya - Fkik

47

H. ANALISA DATA

1. Analisa Univariat

Analisa ini dilakukan untuk memperoleh gambaran karakteristik masing-

masing variabel yang diteliti. Variabel yang dianalisis adalah variabel usia,

jenis kelamin, lama menderita DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus, dan skor

monofilamen. Pada analisis univariat ini, data kategorik dijelaskan dengan

distribusi frekuensi melalui ukuran persentase atau proporsi. Sedangkan data

numerik dijelaskan dengan mean, median, standar deviasi, dan nilai minimal

serta nilai maksimal.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang telah

dirumuskan, yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen (skor

monofilamen) dan variabel independen (ulkus diabetika). Analisa bivariat

menggunakan uji korelasi Spearman dengan derajat kemaknaan 95% atau

nilai alpha 0,05.

Melalui uji korelasi Spearman akan diperoleh nilai P, dengan

menggunakan tingkat kemaknaan 95% atau nilai alpha 0,05, sehingga jika

nilai P < 0,05 maka hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau

menunjukkan ada hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependen, dan apabila nilai P > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak

bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel

dependen. Uji korelasi Spearman adalah uji statistik yang ditujukan untuk

mengetahui hubungan anatara dua atau lebih variabel berskala ordinal atau

numerik, dan cara untuk menginterpretasikan sejauh mana hubungan antara

Page 65: Adelina Vidya - Fkik

48

variabel independen dan variabel dependen berdasarkan koefisien korelasi

adalah sebagai berikut:

Koefisien Kekuatan Hubungan 0.00

0.01-0.09 0.10-0.29 0.30-0.49 0.50-0.69 0.70-0.88

>0.90

Tidak ada hubungan Hubungan kurang berarti

Hubungan Lemah Hubungan moderat

Hubungan kuat Hubungan sangat kuat

Hubungan mendekati sempurna Interpretasi tersebut berlaku sama pada hubungan positif (+) dan negatif (-)

Sumber : de Vaus, Survey in Social Research, 5th Ed, 2002

Tabel 4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus

I. ETIKA PENELITIAN

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat,

2008). Etika dalam penelitian yang harus diperhatikan menurut Notoatmodjo

(2002) adalah :

1. Informed Consent

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan diberikan

sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti. Lembar ini

dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian sehingga subjek

mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti

tidak boleh memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek.

Page 66: Adelina Vidya - Fkik

49

2. Anonimity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode

pengganti nama responden.

3. Confidentiality

Confidentiality adalah Informasi yang telah dikumpulkan dari responden

akan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk

pengembangan ilmu.

4. Prinsip keamanan

Prinsip keamanan digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan

dan ketidaktepatan lokasi saat dilakukan pemeriksaan monofilamen,.

Pemeriksaan monofilamen dilakukan pada kaki yang memiliki ulkus

sehingga beresiko terjadinya ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan, untuk

itu perawat pada klinik tersebut selalu mendampingi peneliti saat peneliti

melakukan pengambilan data untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dan

membantu menetukan titik lokasi dilakukannya pemeriksaan monofilamen.

Page 67: Adelina Vidya - Fkik

BAB V

HASIL PENELITIAN

Bab ini akan memaparkan secara lengkap hasil penelitian hubungan skor

monofilamen dan ulkus diabetika di klinik perawatan luka RUMAT, yang dibahas

dengan menggunakan analisa univariat dan bivariat.

A. Profil RUMAT

1. Gambaran Umum RUMAT

RUMAT adalah Jaringan Rumah Perawatan Luka yang direncanakan berada

tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Didirikan atas dasar kepedulian dan

keprihatinan terhadap banyaknya pasien penyakit diabetes (diabetisi) yang harus

diamputasi anggota tubuhnya ketika terjadi luka yang menahun (kronis), seolah-

olah amputasi adalah satu-satunya cara agar luka tidak menyebar ke bagian tubuh

yang lain. Padahal amputasi bisa dicegah dan dihindari ketika luka tersebut

ditangani secara tepat. Karena sesungguhnya tubuh kita adalah sistem yang sangat

hebat yang mampu mengobati diri sendiri (auto recovery), dan kami pada

dasarnya hanya menfasilitasi dan memastikan agar auto recovery itu bisa

berlangsung dengan baik. Jadi luka pada diabetisi bisa tersembuhkan.

Di Rumat, pasien luka apapun jenisnya, akan ditangani dan dirawat dengan

metode modern wound dressing yang sudah teruji secara internasional sehingga

dapat tercapai kesembuhan, yang terprediksi waktunya. Metode perawatan luka

ini menggunakan metode balutan lembab (moist wound dressing) dan bahan

topikal terapi yang tepat untuk masing-masing jenis luka.

50

Page 68: Adelina Vidya - Fkik

51

2. Motto

Sesuai dengan slogan kami “Stop Amputasi” dan motto kami 3C: Care

Credible Competent, pasien akan dilayani dan ditangani oleh petugas yang sudah

terlatih dan tersertifikasi sebagai Perawat Spesialis Luka, dengan tujuan untuk

sedapat mungkin menghindari amputasi.

3. Visi

Menghindari amputasi, dengan metode perawatan yang sudah teruji secara

internasional, sehingga dapat tercapai kesembuhan, yang terprediksi waktunya.

4. Misi

a. Luka menjadi tidak berbau, sehingga menjadikan pasien lebih percaya diri

ketika berhubungan dengan orang lain

b. Tidak diperlukan penggantian balutan setiap hari, yang artinya menghemat

waktu dan tidak mengganggu aktivitas rutin

c. Mengurangi nyeri saat balutan dibuka yang bisa jadi sangat menyiksa bagi

sebagian orang

d. Mengurangi resiko infeksi sehingga tercegah dari sakit tambahan yang tidak

perlu

e. Melisiskan jaringan mati lebih cepat hingga pertumbuhan jaringan baru bisa

segera terjadi sebab tidak terkubur jaringan mati tersebut

f. Harapan sembuh lebih cepat.

Page 69: Adelina Vidya - Fkik

52

5. Lokasi RUMAT

Lokasi Rumat tersebar di beberapa kota, saat ini terdiri dari 13 cabang

RUMAT yang berpusat di Bekasi. Beberapa cabang RUMAT lain seperti di

Jakarta, Tangerang, Indramayu, Solo, Tasik, Kuningan, Majalengka, dan

Lampung.

B. Hasil Uji Normalitas Data

Sebelum dilakukan uji analisis univariat maupun bivariat, kenormalan data

terlebih dahulu harus diuji. Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji

Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50 (Dahlan, 2010). Jika nilai Shapiro-Wilk

<0.05 maka data diasumsikan tidak berdistribusi normal, begitu sebaliknya. Berikut

ini adalah hasil uji normalitas data pada masing-masing variabel penelitian:

Tabel 5.1: Hasil Uji Normalitas Data

Variabel Shapiro-Wilk Distribusi Data Jenis Kelamin Usia Riwayat DM Skor Monofilamen Derajat Ulkus Diabetika Frekuensi ulkus

0.000 0.000 0.000 0.120 0.000 0.000

Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal

Normal Tidak Normal Tidak Normal

Dari tabel 5.1 di atas, diasumsikan bahwa hanya data dari variabel skor

monofilamen yang berdistribusi normal , dan data dari variabel lainnya diasumsikan

tidak berdistribusi normal karena nilai Shapiro-Wilk <0.05. Jika hasil uji normalitas

data didapatkan minimal satu variabel berdistribusi tidak normal maka analisis

selanjutnya menggunakan uji statistik non parametrik (Arikunto, 2006). Pada

Page 70: Adelina Vidya - Fkik

53

penelitian ini, variabel yang dihubungkan adalah variabel skor monofilamen sebagai

variabel independen, dengan variabel derajat ulkus diabetika dan variabel frekuensi

terjadinya ulkus sebagai variabel dependen. Variabel-variabel tersebut berskala rasio

dan ordinal sehingga uji non parametrik yang digunakan untuk analisis bivariat

adalah Spearman Rank (Dahlan, 2010).

C. Hasil Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden di Klinik Perawatan Luka RUMAT Bekasi

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Karakteristik Responden di Klinik Rumat April 2014 (n=35)

Variabel Frekuensi Persentase Mean

Median SD Nilai

Min-Max Jenis Kelamin

a. Laki-laki b. Perempuan

17 18

48.6% 51.4%

Usia (Tahun) a. 31-50 b. 51-60 c. 61-70

9 18 8

25.7% 51.4% 22.9%

53.91 54.00

9.98

31-70

Riwayat DM (Tahun) a. 0-4 b. 5-9 c. 10-14 d. 15-20

12 10 8 5

34.3% 28.6.% 22.9% 14.3%

7.51 7.00

4.84

0-17

Tabel 5.2 di atas menunjukkan hasil bahwa perbandingan responden

laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan nilai yang berarti,

responden berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 17 responden (48,6%),

sedangkan responden perempuan sebesar 18 responden (51,4%).

Page 71: Adelina Vidya - Fkik

54

Rata-rata usia responden adalah 54 tahun dengan usia termuda 31

tahun dan tertua 70 tahun. Sebagian besar responden berada pada rentang usia

51-60 tahun, yaitu sebesar 18 responden (51,4%).

Rata-rata riwayat DM responden adalah 7 tahun, dengan waktu

memiliki DM terbaru adalah satu bulan atau 0 tahun dan terlama adalah 17

tahun. Lama responden memiliki DM terbanyak adalah 5 tahun dengan

standar deviasi 4.84. Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa

sebagian besar responden berada pada rentang lama DM <10 tahun, yaitu

sebanyak 22 responden (62,9%), dan rentang lama DM ≥10 tahun, yaitu

sebanyak 13 responden (37.1%).

2. Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

Tabel 5.3 Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT pada Bulan April 2014 (n=35)

Variabel Mean Median Std. Deviation Nilai Min-Max

Skor Monofilamen

6.31 6.00 2.49 1-10

Skor monofilamen dalam penelitian ini berada pada rentang 1 sampai 10.

Pada tabel 5.3 di atas menggambarkan bahwa rata-rata skor monofilamen pasien

ulkus diabetika adalah 6 dengan skor monofilamen terendah 1dan skor

monofilamen tertinggi 10. Skor monofilamen terbanyak adalah 5 dengan standar

deviasi 2.49.

Page 72: Adelina Vidya - Fkik

55

3. Derajat Ulkus Diabetika Pasien di Klinik RUMAT

Derajat ulkus diabetika dikategorikan menjadi 6, namun dari seluruh

responden dalam penelitian ini hanya memiliki derajat ulkus diabetika 1 sampai 4.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki

derajat ulkus diabetika 2, yakni sebanyak 17 responden (48.6%). Hal tersebut

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)

Derajat Ulkus Frekuensi Persentase

Derajat 1 5 14.3% Derajat 2 17 48.6% Derajat 3 8 22.9% Derajaat 4 5 14.3%

Total 35 100.0%

4. Frekuensi Ulkus pada Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

Rata-rata frekuensi terjadinya ulkus berdasarkan hasil analisis data dalam

penelitian ini adalah 2, dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1. Frekuensi

ulkus terbanyak adalah 1 dengan standar deviasi 0.76. Hal tersebut dapat dilihat

pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5 : Gambaran Frekuensi Terjadinya Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)

Variabel Mean Median Std. Deviation Nilai

Min-Max Frekuensi

ulkus 1.69 2.00 0.76 1-4

Page 73: Adelina Vidya - Fkik

56

D. Hasil Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk menganalisis data dari dua variabel yang

berbeda. Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan

antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di Klinik RUMAT, dan

hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi terjadinya ulkus di Klinik

RUMAT. Teknik analisis dilakukan dengan uji korelasi Spearman.

Tabel 5.6 : Korelasi Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April

2014 (n=35)

Derajat Ulkus

Frekuensi ulkus

Spearman’s rho

Skor Monofilamen

Koefisien korelasi (r)

Sig (2-tailed)

−0.504

0.002

−0.393

0.019

1. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik

RUMAT

Dari tabel 5.6 di atas, hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.002.

Hal tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel skor monofilamen dan

variabel derajat ulkus diabetika (p < 0.05). Dari hasil koefisien korelasi diketahui

nilai r = −0.504. Hal itu berarti hubungan antara kedua variabel merupakan

hubungan yang kuat karena berada pada rentang koefisien korelasi antara 0.50-

0.69. Korelasi tersebut signifikan pada level 0.05 (2-tailed). Sementara itu,

koefisien korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya hubungan antara

variabel skor monofilamen dan variabel derajat ulkus diabetika merupakan

Page 74: Adelina Vidya - Fkik

57

hubungan yang terbalik, yaitu semakin tinggi skor monofilamen maka semakin

rendah derajat ulkus diabetika, begitu pula sebaliknya semakin rendah skor

monofilamen maka derajat ulkus diabetika semakin tinggi.

2. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Frekuensi Ulkus di Klinik

RUMAT

Dari tabel 5.6 di atas, hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.019. Hal

tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel skor monofilamen dan

variabel frekuensi ulkus diabetika (p < 0.05). Dari hasil koefisien korelasi

diketahui nilai r = −0.393. Hal itu berarti hubungan antara kedua variabel

merupakan hubungan yang moderat karena berada pada rentang koefisien korelasi

antara 0.30-0.49. Korelasi tersebut signifikan pada level 0.05 (2-tailed).

Sementara itu, koefisien korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya

hubungan antara variabel skor monofilamen dan variabel frekuensi ulkus

diabetika merupakan hubungan yang terbalik, yaitu semakin tinggi skor

monofilamen maka semakin rendah frekuensi terjadinya ulkus dan semakin

rendah skor monofilamen maka semakin tinggi frekuensi terjadinya ulkus.

Page 75: Adelina Vidya - Fkik

BAB VI

PEMBAHASAN

Pembahasan pada penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang

karakteristik pasien, skor monofilamen pasien, derajat ulkus diabetika, frekuensi

terjadinya ulkus, hubungan antara skor monofilamen dan derajat ulkus, serta

hubungan skor monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus di klinik RUMAT. Pada

akhir pembahasan, peneliti juga menyertakan keterbatasan penelitian.

A. Analisa Univariat

1. Gambaran Karakteristik Pasien di Klinik RUMAT

a. Jenis kelamin

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin laki-

laki dan perempuan tidak jauh berbeda yaitu 1:1.06, jenis kelamin laki-laki

lebih sedikit (48.6%) di bandingkan jenis kelamin perempuan (51.4%).

Peneliti lain, Osei dkk di Amerika mendapatkan pasien ulkus diabetika

dengan perbandingan laki-laki : wanita adalah 1:2.2 dimana wanita lebih dari

dua kali lipat.

Hal tersebut dikarenakan perubahan hormonal pada perempuan

menopause akan meningkatkan resiko DM tipe 2 dan diikuti pula berbagai

komplikasi baik akut maupun kronis, salah satunya neuropati dan angiopati

perifer yang dapat mengakibatkan ulkus diabetika (Mayasari, 2012).

Perempuan yang telah mengalami menopause, kadar gula darah menjadi tidak

terkontrol karena terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron.

Hormon-hormon tersebut mempengaruhi bagaimana sel-sel tubuh merespon

58

Page 76: Adelina Vidya - Fkik

59

insulin. perempuan lebih beresiko menderita DM karena secara fisik memiliki

peluang peningkatan BMI lebih besar (Irawan, 2010).

Hasil penelitian lain yang tidak sejalan, seperti Suyono (2006)

mendapatkan hasil perbandingan laki-laki : wanita adalah 1.7 : 1 dimana laki-

laki lebih banyak dan di Amerika Serikat diperkirakan bahwa laki-laki secara

signifikan beresiko lebih tinggi memiliki ulkus diabetika dari pada wanita

(Moya J, 2004). Hal tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh

Hastuti bahwa jenis kelamin bukan termasuk ke dalam salah satu faktor

terjadinya ulkus diabetika (Hastuti, 2008).

Perbedaaan hasil tersebut diatas kemungkinan disebabkan oleh proporsi

responden dan lebih banyak wanita yang melakukan perawatan luka secara

rutin di klinik RUMAT, serta menurut pendapat peneliti wanita memiliki

kontrol gula darah yang buruk dan jarang melakukan olahraga sehingga lebih

mudah terjadi neuropati diabetik yang dapat menyebabkan ulkus diabetika.

b. Usia

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa usia responden terbanyak

berada pada rentang usia 51-60 tahun yaitu sebesar 51.4% sedangkan

responden yang berada pada rentang usia 61-70 tahun sebesar 22.9%. Hasil

penelitian ini sejalan oleh hasil penelitian Hastuti (2008) yang menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan antara usia >60 tahun dengan kejadian ulkus

diabetika.

WHO menjelaskan bahwa setelah usia 30 tahun kadar glukosa darah puasa

akan naik 1-2 mg/dL/tahun dan gula darah 2 jam setelah makan akan naik 5,6

Page 77: Adelina Vidya - Fkik

60

– 13 mg/dL/tahun (WHO, 2000). Waspadji (2006) menegaskan bahwa proses

penuaan menyebabkan penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga

terjadi makroangiopati, yang akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah

salah satunya pembuluh darah besar atau sedang di tungkai bawah sehingga

lebih mudah terjadi neuropati dan angiopati diabetik yang beresiko tinggi

terjadinya ulkus diabetika.

Penelitian lain yang tidak sejalan dengan hasil penelitian ini yaitu

penelitian kasus kontrol di Lowa oleh Robert (2002) yang menunjukkan

bahwa usia pasien ulkus diabetika pada usia tua >60 tahun 3 kali lebih banyak

dari udia muda <55 tahun. Singh, Armstrong & Lipsky (2005) menjelaskan

bahwa usia >60 tahun merupakan faktor resiko ulkus diabetika, karena pada

usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses penuaan

sehingga terjadi penurunan sekresi atau resistensi insulin yang menyebabkan

kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah kurang

optimal dan secara berkelanjutan akan terjadi berbagai komplikasi kronis

termasuk ulkus diabetika.

Hasil analisa logistik regresi yang dilakukan oleh Teguh (2005) dapat

disimpulkan bahwa semakin tua umur pasien maka resiko untuk terjadinya

neuropati diabetika adalah 1.136 kali lebih besar dibandingkan dengan yang

lebih muda (p=0.002). Menurut peneliti perbedaan hasil dalam penelitian ini

disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan pola makan yang dilakukan oleh

pasien DM belakangan ini, menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan kondisi

Page 78: Adelina Vidya - Fkik

61

fisik seseorang dapat terjadi pada usia yang lebih muda sehingga rentan untuk

terjadinya neuropati diabetik yang kaitannya dengan kejadian ulkus diabetika.

c. Riwayat DM

Riwayat DM dalam analisis dikategorikan menjadi lama DM <10

tahun dan lama DM ≥10 tahun untuk mengetahui faktor resiko terjadinya

ulkus diabetika. Proporsi responden yang memiliki lama DM ≥10 tahun

sebesar 37.1% sedangkan proporsi responden yang memiliki lama DM < 10

tahun sebesar 62.9%, hasil analisis ini menunjukkan bahwa jumlah responden

yang memiliki lama DM < 10 tahun lebih besar dari pada jumlah responden

yang memiliki lama DM ≥10 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil

penelitian Boulton (2002) yang menjelaskan bahwa lama menderita DM >5

tahun akan menyebabkan berbagai komplikasi kronis seperti neuropati dan

angiopati yang disebabkan oleh kadar glukosa darah yang tidak terkendali.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Rini yang mengatakan bahwa lama memiliki DM ≥10 merupakan faktor

resiko terjadinya ulkus diabetika dan penelitian yang dilakukan di USA oleh

Boyko (1999) pada 749 pasien DM dengan hasil bahwa lama DM ≥10 tahun

merupakan faktor resiko terjadi ulkus diabetika (Hastuti, 2008 dan Boyko,

1999). Waspadji (2006) menegaskan bahwa ulkus diabetika terjadi pada

pasien DM yang telah mencapai 10 tahun atau lebih.

Page 79: Adelina Vidya - Fkik

62

Apabila kadar glukosa darah tidak terkendali, akan muncul komplikasi

yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati dan

mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan neuropati yang

mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya robekan atau luka

pada kaki pasien DM yang sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan

neuropati perifer (Waspadji, 2006). Hal ini diperkuat oleh Frykberb (2002)

yang mengatakan bahwa neuropati diabetik cenderung terjadi sekitar 10 tahun

setelah menderita DM, sehingga kelainan kaki diabetik dan ulkus diabetika

dapat terjadi setelah itu.

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan banyak penelitian lain dan

teori-teori yang telah diungkapkan diatas, bisa saja dikarenakan perbedaan

proporsi responden dan sebagian besar responden dalam penelitian ini

memiliki kontrol gula darah yang buruk serta tidak melakukan perawatan kaki

dengan baik sehingga lebih cepat terjadi neuropati perifer dan berbagai

komplikasi lainnya. Selain itu, di Negara berkembang seperti Indonesia

penanganan terhadap penyakit kronis belum sebaik di Negara maju, program

pencegahan dan pendidikan kesehatan yang diberikan juga belum optimal.

2. Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

Monofilamen dengan berbagai ukuran telah banyak diteliti untuk skrining dan

deteksi neuropati diabetik dalam upaya mencegah terjadinya ulkus, dan kejadian

ulkus berulang. Monofilamen 10g pada umumnya dipakai sebagai ukuran

standar, serta dari berbagai penelitian menunjukkan hasil lebih baik

Page 80: Adelina Vidya - Fkik

63

dibandingkan monofilamen ukuran 1g dan 75g (Armstrong, 2000; Perkins,

2002).

Pada penelitian ini dipilih 10 titik lokasi pada masing-masing telapak kaki,

yaitu sisi plantar pertama, ketiga, dan kelima; sisi plantar pertama, ketiga, dan

kelima metatarsal;sisi plantar pertengahan bagian medial dan lateral; sisi plantar

tumit; dan sisi dorsal sela ibu jari kaki dan jari telunjuk kaki (Hess, 2005).

Kehilangan sensasi proteksi secara umum ditandai oleh ketidakmampuan pasien

untuk merasakan monofilamen pada empat titik atau lebih (Hess, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Setyoko (2003) dari 76 pasien DM yang

dilakukan pemeriksaan EMG didapatkan 62 pasien neuropati diabetik (81.6%)

dan 14 pasien tidak mendukung neuropati (18.4%) sedangkan hasil pemeriksaan

monofilamen 10g dengan skor 0 didapatkan 44 pasien neuropati dan 18 pasien

tidak menunjukkan neuropati, lima pasien menunjukkan neuropati dengan

pemeriksaan monofilamen namun EMG tidak mendukung neuropati, pada 9

kasus, baik monofilamen maupun EMG tidak mendukung neuropati. Hasil

penelitian monofilamen 10g jika dibandingkan dengan EMG sebagai standar

baku untuk menentukan neuropati memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas

masing-masing 70.9% dan 64.3% dengan skor 0 sebagai titik potong. Bila

dipakai skor ≤6 sebagai batasan didapatkan sensitifitas 80.6% dan spesifisitas

57.1%. Untuk tujuan deteksi dini neuropati nilai sensitifitas yang tinggi lebih

penting dari pada spesifisitas.

Dari 35 pasien ulkus diabetika diketahui skor monofilamen bervariasi antara

1-10, rata-rata skor monofilamen responden 6 dengan standar deviasi 2.5. Skor

Page 81: Adelina Vidya - Fkik

64

monofilamen paling banyak yaitu 5 dengan jumlah responden 7 orang, dan 4

orang responden memiliki skor monofilamen 10 yang menunjukkan bahwa tidak

semua pasien ulkus diabetika mengalami penurunan sensasi proteksi.

Hasil penelitian di atas dapat dijelaskan melalui teori yang mengatakan bahwa

tidak semua ulkus diabetika di akibatkan oleh masaalah neuropati tetapi bisa juga

oleh penyebab lain seperti iskemia dan infeksi.

Neuropati diabetik adalah satu dari banyak komplikasi diabetes jangka

panjang yang mengakibatkan sekitar 50% pasien diabetes. Neuropati sangat

berkaitan dengan durasi dan tingkat keparahan hiperglikemia. Prevalensi

neuropati meningkat seiring dengan peningkatan durasi DM dan rendahnya

kontrol glukosa (Rajeev, 2012). Kontrol glukosa yang buruk dan durasi DM

yang lama merupakan faktor resiko utama terjadinya neuropati diabetik. Durasi

diabetes yang lebih lama dihubungkan dengan tiga kali lipat kemungkinan

terjadinya perkembangan neuropati diabetik. Faktor resiko lain seperti usia tua,

obesitas, hipertensi, hiperlipidemia, merokok, konsumsi alkohol (Rajeev, 2012).

penelitian yang dilakaukan oleh Purwanti (2012) menggunakan alat

monofilamen 10 gram dan menggunakan cut of point 0, mengatakan bahwa

pasien ulkus diabetika sebagian besar mengalami neuropati sensoriik (85.3%).

Penelitian yang dilakukan oleh Miranda et al (2005) dengan menggunakan

monofilamen 10 gram sebagai instrumen penelitian mengatakan bahwa 52 dari

93 pasien ulkus diabetika mengalami neuropati diabetik dengan melakukan test

monofilamen pada empat titik dan menggunakan cut of point ≥ 1 untuk

Page 82: Adelina Vidya - Fkik

65

menyatakan terjadinya neuropati pada responden, dengan nilai sensitifitas dan

spesifisitas masing-masing 81% dan 63%.

3. Gambaran Derajat Ulkus Diabetika Pasien di Klinik RUMAT

Beragam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika digunakan dalam upaya

menentukan perbedaan luka (tempat, kedalaman, ada atau tidak adanya neuropati,

infeksi, dan iskemi) (Livingston, 2008). Beberapa macam sistem klasifikasi yang

digunakan untuk menentukan derajat luka, yang paling sering digunakan adalah

sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner, yang dikembangkan oleh Wagner

dan Meggitt (Hess, 2005). Dalam penelitian ini, peneliti juga menggunakan

sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner yaitu dengan klasifikasi derajat

luka 0 sampai derajat luka 5.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa dari 35 responden, 5 orang memiliki

derajat luka 1, 17 orang memiliki derajat luka 2, 8 orang memiliki derajat luka 3,

dan 5 orang memiliki derajat luka 4. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian

besar responden memiliki ulkus diabetika derajat 2.

Penelitian lain oleh Supriyanto (2001), dari 35 responden dengan ulkus

diabetika yang melakukan rawat jalan di RSUP Kariadi semarang dengan

menggunakan klasifikasi derajat luka menurut Wagner didapatkan hasil pada

analisa univariat yaitu derajat ulkus 1 sebanyak 13 orang (18.6%), ulkus diabetika

derajat 2 sebanyak 10 orang (14.3%),dan ulkus diabetika derajat 3 sebanyak 13

orang (17.1%). Dari hasil analisa univariat tersebut tidak didapatkan perbedaan

yang signifikan antara responden yang memiliki derajat luka 1, derajat luka 2, dan

derajat luka, tetapi derajat luka 1 memiliki nilai persentase tertinggi.

Page 83: Adelina Vidya - Fkik

66

Pasien DM yang gula darahnya tidak terkontrol, lebih mudah untuk tumbuh

kembangnya bakteri-bakteri daripada pasien yang terkendali dan orang-orang

yang tidak menderita DM (Misnadiarly, 2006).

Menurut peneliti, kurangnya pengetahuan dan kesadaran pasien ulkus

diabetika terhadap perawatan luka yang tepat dapat menyebabkan perburukan

perkembangan luka dan dapat meningkatkan derajat luka, serta keterlambatan

pasien ulkus diabetika dalam menyadari masalah pada kaki mereka juga dapat

mengakibatkan perburukan kondisi luka dan tidak jarang sampai harus dilakuakn

amputasi. Untuk meminimalisir kondisi tersebut diatas sebaiknya pihak RS/klinik

melakukan pemeriksaan rutin kesehatan kaki pasien DM dan memberikan

pendidikan kesehatan terkait perawatan kaki yang tepat dan kiat-kiat yang dapat

dilakukan untuk mencegah terjadinya ulkus diabetika.

4. Gambaran Frekuensi Ulkus pada Pasien Ulkus Diabetika di Klinik

RUMAT

Hasil analisis data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang

baru pertama kali memiliki ulkus diabetika sebanyak 16 orang, 15 orang

responden menyatakan bahwa saat ini adalah kedua kalinya responden memiliki

ulkus diabetika, 3 orang responden menyatakan saat ini merupakan ulkus

diabetika yang ke-tiga kalinya, dan 1 orang responden menyatakan saat ini

adalah ke-empat kalinya responden memiliki ulkus diabetika. Data tersebut dapat

disimpulkan bahwa responden yang memiliki riwayat luka sebelumnya lebih

banyak dibandingkan responden yang tidak memiliki riwayat luka sebelumnya.

Page 84: Adelina Vidya - Fkik

67

Ada tiga faktor yang berperan dalam ulkus diabetik, yaitu neuropati, iskemia,

dan infeksi. Biasanya, amputasi harus dilakukan (Baradero, 2009). Pada pasien

DM, infeksi pada kaki sangat mudah terjadi. Hal ini bila sudah terjadi

vaskulopati dan neuroati (sensorik, motorik, dan otonom), pasien tidak akan

merasakan jika ada robekan/luka pada kaki sehingga beresiko tinggi untuk

terjadinya ulkus dan kekambuhan ulkus (Riyanto, 2007).Kejadian ulkus pada

pasien DM sekitar 15%, faktor resiko yang paling utama adalah masalah

neuropati diabetik, dan 3-4% diantaranya akan mengalami infeksi. Pada pasien

DM infeksi pada kaki merupakan problem yang penting dan sulit untuk diatasi.

Infeksi pada kaki diabetes merupakan satu indikasi terbanyak DM yang harus

dirawat dan di amputasi. Pada umumnya infeksi terjadi setelah pasien memiliki

masalah neuropati. Sekitar 85% pasien yang diamputasi sebelumnya memiliki

riwayat ulkus dikaki (Riyanto, 2007).

Menurut peneliti, hilangnya sensori pada kaki bisa mengakibatkan trauma

berulang dan potensial untuk ulkus. Perubahan mikrovaskular dan

makrovaskular dapat mengakibatkan iskemia jaringan dan infeksi. Neuropati,

iskemia, dan infeksi bisa menyebabkan gangren, amputasi, dan potensial

terjadinya ulkus berulang, maka dari itu sangat penting sekali bagi pasien DM

untuk dapat mengontrol gula darah dengan baik, melakukan olahraga sesuai

kemampuan dan toleransi tubuh, melakukan perawatan kaki secara rutin,

penggunaan alas kaki yang tepat, dan juga menghindari faktor-faktor resiko lain

yang dapat menyebabkan terjadinya ulkus diabetika.

Page 85: Adelina Vidya - Fkik

68

B. Analisa Bivariat

1. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Derajat Ulkus Diabetika di

Klinik RUMAT

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan kuat antara skor

monofilamen dan derajat ulkus diabetika (p = 0.002, r = −0.504). Koefisien

korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, arinya hubungan antara variabel

skor monofilamen dan variabel derajat ulkus diabetika merupakan hubungan yang

terbalik, yaitu semakin tinggi skor monofilamen maka semakin rendah derajat

ulkus diabetika dan semakin rendah skor monofilamen maka semakin tinggi

derajat ulkus diabetika.

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Purwanti (2012) menggunakan monofilamen 10g sebagai instrumen dalam

penelitiannya, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara

neuropati sensorik dan kejadian ulkus diabetika (p=0.001Penelitian lain yang

dilakukan oleh Supriyanto (2001) dengan menggunakan EMG dan monofilamen

10g sebagai instrumen untuk menilai neuropati responden, penelitian ini

menyimpulkan bahwa semua pasien ulkus diabetika derajat 2 dan 3 memiliki

kelainan neuropati perifer berat, sedangkan hasil normal dan neuropati ringan

hanya dimiliki pada pasien dengan ulkus diabetika derajat 0, serta terdapat

hubungan bermakna antara neuropati perifer dan derajat ulkus diabetika

(p=0.001), yang berarti semakin berat neuropati perifer semakin berat derajat

ulkus diabetika.

Page 86: Adelina Vidya - Fkik

69

Ulkus merupakan salah satu keadaan yang terjadi akibat adanya

komplikasi makroangiopati dan neuropati diabetik (Boulton, 2004). Dengan

adanya neuropati perifer pasien akan mengalami gangguan sensorik, yang

menyebabkan hilang atau menurunnya sensasi nyeri pada kaki sehingga pasien

mengalami trauma tanpa terasa yang mengakibatkan ulkus pada kaki. Umumnya

ulkus diabetika diakibatkan oleh trauma ringan pada kaki yang tidak sensitif

(Boulton, 2004).

Menurut peneliti, berdasarkan teori-teori dan hasil penelitian yang telah

dikemukakan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pada pasien-pasien dengan

neuropati perifer, pengurangan maupun hilangnya sensasi nyeri pada kaki dapat

menyebabkan tidak diperhatikannya trauma akibat pemakaian sepatu, trauma-

trauma kecil, dan kuku jari kaki yang cacat. Berkurangnya sensibilitas kulit pada

penonjolan tulang dan sela-sela jari sering menghambat deteksi dari luka-luka

kecil pada kaki. Sehubungan dengan hal tersebut sebaiknya pasien-pasien

neuropati diabetik harus menjaga kesehatan kaki dengan melakukan perawatan

dan pemeriksaan kaki secara rutin. Apabila ada ulkus yang sulit disembuhkan

dengan segala pengobatan, maka tenaga kesehatan dapat meminta pemeriksaan

X-Ray dan melakukan pemeriksaan laboraturium untuk melihat leukosit pasien

agar dapat meniadakan kemungkinan osteomielitis, gangren, atau tertahannya

benda asing yang tidak dirasakan oleh pasien.

2. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Frekuensi Ulkus di Klinik

RUMAT

Page 87: Adelina Vidya - Fkik

70

Hasil uji statisik menunjukkan bahwa ada hubungan moderat antara skor

monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus (p = 0.019, r = −0.393 ). Koefisien

korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya hubungan antara variabel

skor monofilamen dan variabel frekuensi ulkus diabetika merupakan hubungan

yang terbalik, dimana semakin tinggi skor monofilamen maka semakin rendah

frekuensi terjadinya ulkus dan semakin rendah skor monofilamen maka semakin

tinggi frekuensi terjadinya ulkus diabetika.

Penelitian lain yang dilakukan oleh McGill et al (2005) didapatkan hasil

bahwa 55% ulkus terjadi akibat dari trauma karena penggunaan alas kaki. Faktor

resiko terjadinya ulkus diabetika yaitu pasien yang memiliki riwayat ulkus

sebelumnya atau riwayat amputasi sebelumnya dengan nilai P<0.0001 dan

pasien DM dengan masalah neuropati dengan nilai P = 0.03 (P<0.005). Dapat

disimpulkan bahwa pasien dengan riwayat ulkus sebelumnya dan memiliki

masalah neuropati memiliki resiko terjadinya kekambuhan ulkus atau kejadian

ulkus berulang. Responden dengan neuropati diabetik juga mengalami ulkus

lebih cepat dari pada rresponden yang tidak memiliki masalah neuropati saat

dilakukan observasi selama 12 bulan.

Penelitian yang dilakukan oleh Crawford et al (2010) menyatakan bahwa

insiden terjadinya ulkus kaki diabetika di dalam cohort study ini adalah <2%,

hasil penelitian ini lebih rendah dari pada hasil penelitian lain (8-19%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama satu tahun ini didapatkan hasil

bahwa beberapa faktor yang berhubungan secara signifikan terhadap kejadian

ulkus adalah riwayat amputasi sebelumnya, ketidakmampuan membedakan

Page 88: Adelina Vidya - Fkik

71

temperatur, kegagalan mempertahan tekanan darah normal, ketidakmampuan

merasakan sentuhan monofilamen, dengan masing-masing item memiliki nilai

P<0.001, yang berarti bahwa penelitian yang dilakukan oleh Crawfard sejalan

dengan penelitian yang saya lakukan, yaitu terdapat hubungan antara hasil test

monofilamen dan kejadian ulkus berulang.

Lebih dari 50% amputasi non traumatik merupakan akibat dari komplikasi

ulkus diabetika, dan disertai dengan tingginya angka mortalitas, reamputasi dan

amputasi kontralateral. Bahkan setelah hasil perawatan dan penyembuhan luka

bagus, angka kekambuhan ulkus diabetika diperkirakan sekitar 66%, dan resiko

amputasi meningkat sampai 12%, hal tersebut erat kaitannya dengan masalah

neuropati pada pasien DM (Frykberb, 2002; Jones, 2007).

Beberapa faktor resiko untuk penyakit vaskuler dan neuropati perifer pada

pasien diabetes tidak dapat diobati, misalnya usia dan lamanya menderita

diabetes, tetapi banyak pula faktor resiko yang dapat ditangani, misalnya

merokok, hipertensi, hiperlipidemia, hiperglikemia, dan obesitas. Dengan

mendorong seorang pasien diabetes untuk berhenti merokok dan menuruti

nasehat ahli gizi dapat sangat mengurangi komplikasi jangka panjang secara

signifikan. Perawat mempunyai peranan khusus dalam memperkuat nasehat yang

diberikan kepada pasien dalam upaya mencegah perburukan ulkus dan kejadian

ulkus berulang, sama baiknya seperti dalam penatalaksaan luka setempat (Moya

J, 2004).

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi terjadinya ulkus diabetika dan

kekambuhan ulkus menurut Canadian Diabetic Association (2013) adalah

Page 89: Adelina Vidya - Fkik

72

perawatan kaki harian, pencucian kaki, pengeringan kaki, kelembutan kaki,

penggunaan alas kaki, pemotongan kuku dan pencegahan cedera kaki. Aspek

yang memiliki pengaruh secara signifikan berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Dena (2014) yaitu perawatan kaki harian, pengeringan kaki, kelembutan

kaki, penggunaan alas kaki, dan pencegahan cedera kaki pasien ulkus diabetika

memiliki self care kaki yang buruk terhadap aspek-aspek tersebut. Sedangkan

aspek pencucian kaki dan pemotongan kuku tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap kejadian ulkus diabetika dan kejadian ulkus berulanng.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan diperkuat oleh beberapa

penelitian lain, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara skor

monofilamen yang mengindikasikan neuropati dan frekuensi terjadinya ulkus

diabetika, hal ini dikarenakan jika pasien telah mengalami masalah neuropati

maka pasien tidak dapat merasakan sensasi pada kaki atau mengalami penurunan

terhadap sensasi proteksi pada kaki sehingga beresiko tinggi terjadinya trauma

berulang yang tidak dirasakan oleh pasien dan dapat mengakibatkan terjadinya

kekambuhan ulkus.

Menurut peneliti, masalah neuropati didukung oleh beberapa faktor lain yang

berperan terhadap peningkatan frekuensi terjadinya ulkus diabetika yaitu kontrol

gula darah yang buruk dan perawatan kaki yang tidak tepat.

Page 90: Adelina Vidya - Fkik

73

C. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari adanya keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian ini.

Keterbatasan penelitian tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Tidak melihat kadar HBA1C dalam menetukan berapa lama riwayat pasien

memiliki DM, hanya penilaian subjektif dari responden.

Page 91: Adelina Vidya - Fkik

BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil analisis univariat untuk variabel karakteristik responden (jenis kelamin,

usia, lama menderita DM) di Klinik RUMAT pada bulan April 2014, yaitu:

Persentase jenis kelamin terbanyak adalah wanita (51.4%), usia responden terbanyak

berkisar antara 51–60 tahun (51.4%), dan riwayat DM terbanyak yaitu <10 tahun

(62.9%).

Berdasarkan hasil penelitian hubungan skor monofilamen dan ulkus diabetika di

Klinik Perawatan Luka RUMAT, dapat disimpulkan bahwa variabel dependen yaitu

skor monofilamen memiliki hubungan dengan variabel independen yaitu ulkus

diabetika (derajat ulkus dan frekuensi terjadinya ulkus), ditandai dengan hasil analisis

bivariat pada hubungan antara skor monofilamen dan derajat ulkus diabetika

didapatkan nilai p=0.002, dengan koefisien korelasi bernilai negatif r= −0.504 yang

berarti hubungan antara kedua variabel merupakan hubungan yang kuat dan terbalik,

dimana skor monofilamen yang tinggi disertai dengan derajat ulkus yang rendah, dan

sebaliknya, dan hubungan diantara kedua variabel tersebut merupakan hubungan

yang kuat. Begitu pula dengan hasil analisis bivariat pada hubungan antara skor

monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus, didapatkan nilai p=0.019, dengan

koefisien korelasi bernilai negatif (r −0.393) yang berarti hubungan antara kedua

variabel merupakan hubungan yang terbalik, dimana skor monofilamen yang tinggi

disertai dengan frekuensi terjadinya ulkus yang rendah, begitu pula sebaliknya, dan

75

Page 92: Adelina Vidya - Fkik

76

kekuatan hubungan diantara kedua variabel tersebut merupakan hubungan yang

moderat.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan maka dapat

diberikan beberapa saran kepada berbagai pihak yang berkenaan dengan skor

monofilamen dan ulkus diabetika sebagai berikut:

1. Bagi Pasien

Bagi pasien DM atau pasien yang memiliki riwayat ulkus perlu melakukan

perawatan kaki secara rutin dan melakukan kontrol kesehatan kaki secara berkala

serta memiliki kesadaran yang tinggi untuk segera melakukan perawatan luka

yang tepat jika diketahui memiliki luka.

2. Bagi Klinik/RS

Tenaga kesehatan di klinik/RS perlu memberikan pendidikan kesehatan mengenai

kontrol gula darah yang baik dan perawatan kaki yang tepat. Melakukan

screening test pada pasien DM untuk mengetahui seberapa besar resiko terjadinya

ulkus yang dimiliki pasien DM tersebut, mengadakan program cek kesehatan kaki

secara berkala.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan

mendalam mengenai faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian ulkus

berulang dan tingginya derajat ulkus, serta sebaiknya menggunakan rancangan

penelitian analitik observasional secara prospektif dengan case control sehingga

hasil penelitian menjadi lebih baik.

Page 93: Adelina Vidya - Fkik

77

Bagi peneliti selanjutnya, untuk melihat hubungan neuropati dengan ulkus

diabetika, bisa menggunakan monofilamen 10g sebagai deteksi dini neuropati

perifer dan divalidasi menggunakan EMG sebagai standar baku untuk

mendiagnosis neuropati.

Page 94: Adelina Vidya - Fkik

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, Dena. 2014. Perbedaan Self Care Kaki Penderita DM Tipe 2 Dengan

Ulkus dan Tanpa Ulkus di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Semarang: FKIK Universitas Jendral Sudirman.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka

Cipta.

A.J.M.Boulton, et.al. 2004. Neuropathic Diabetic foot ulceration .Engl.J. Med.351.

Alan, J. Sinclair. 2009. Diabetes in Old Age. USA: DP.

Ariyanti. (2012). Hubungan perawatan kaki dengan resiko kaki diabetes di RS.PKU

Muhammadiyah Yogyakarta (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia.

Armstrong DG. 2000. The 10-g Monofilament. The diagnostic divining rod for the

diabetic foot. Diabetes Care.

Azwar, S. 2012. Penyusunan Skala Psikologi Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandeira, Fransisco, et al. 2014. Endocrinology and Diabetes: A Problem-Oriented

Approach. New York: Springer.

Baradero, mary., dkk. 2009. Klien gangguan endokrin : Seri asuhan keperawatan.

Jakarta : EGC.

Booth J, Young MJ. 2000. Differences in the Performance of Commercially Available

10-g Monofilaments. Diabetes Care.

Boyko, A. 1999. A Prospective Study of Risk Factor For Diabetic Foot Ulcer. The

Seattle Diabetic Foot Study. USA: Departement of Medicine of Washington.

Canadian Diabetic Association. 2013. Foot Care: A Step Toward Good Health.

Diabetes.cal-800-banting (9 Juni 2014).

Chawla, Rajeev. 2012. Complication of Diabetes. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publisher.

Chadwick, P. 2002. An exploration of the knowledge, beliefs, behaviours and

decisions of people with type 2 diabetes who develop a foot ulcer. British

Journal of Podiatry 5.

Page 95: Adelina Vidya - Fkik

Crawford, F. et al .2010. The Risk of Foot Ulceration in People With Diabetes

Screened in Community Settings: Findings from a Cohort Study. Oxford

University Press.

Dahlan, Muhamad Sopiyudin. 2010. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi

5. Jakarta: Salemba Medika.

Depkes R.I., 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta.

Djokomoeljianto. 1997. Tinjauan Umum tentang Kaki Diabetes. Dalam:

Djokomoeljianto dkk, editor, Kaki Diabetik Patogenesis dan

Penatalaksanaannya. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Djokomoeljianto. 2000. Management of Type 2 Diabetik Melitus. A New Dimension

in the Treatment of type 2 diabetik: Repaglinide. Novo Dexa. PIT PAPDI,

Semarang.

E.B.Jude and A.J.M.Boulton. End-stage complications of diabetic neuropathy

Diab.Rev.7.

Endang, K. 1999. Elektrodiagnosis pada Polineuropati. Simposium pengelolaan

paripurna nyeri neuropati dalam menyongsong millennium III. Semarang.

Frykberb, Robert G.Risk Factor, Pathogenesis and Management of Diabetic Foot

Ulcers, Des Moines University, Iowa, 2002.

G.E.Reiber,L.et,al. 1999. Causal pathways for incident lower extremity ulcers in

patients with diabetic from two settings. Diab Care.157–162

Gibbons GW. 1995. The Diabeetic foot. In : Becker KL. Principles and Practice of

Endocrinology and Metabolism. Second eds. John Wiley & Sons Chichester.

New York.

Ginsberg, lionel. 2008. Lecture Notes:Neurologi Edisi Kedelapan. Penerbit Erlangga.

Gries, F Arnold., et al. 2003. Textbook of Diabetic Neuropathy. New York : Thieme.

Gustaviani, Reno. 2006. Diagnosa dan Klasifiksi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam jilid III. Hal. 1857-1859. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Hastuti, R., 2008. Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes

Mellitus. Tesis Mahasiswa Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro

Page 96: Adelina Vidya - Fkik

Harrison. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam.Vvolume 1. Jakarta: EGC.

Hermawan, Anreas. 2009. Rahasia Menyembuhkan diabetes Secara Tuntas dan

Alami.http://apitherapy.Terapad.com/resources/24982/uploadedfiles/eBook.R

ahasia Menyembuhkan Diabetes Secara Tuntas dan Alami-pdf- (01 November

2013).

Hess, Cathy Thomas. 2005. Wound Care. United States of Ammerica: Lippincott

Williams & Wilkins.

Hidayat, Aziz Alimul. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa

Data. Jakarta: Salemba Medika

Inlow, S., et al. 2000. Best practices for the prevention, diagnosis and treatment of

diabetic foot ulcers. Ostomy/Wound Management.

Irawan, D. 2010. Prevalensi dan Faktor Resiko Diabetes Tipe 2 di Daerah Urban

Indonesia (Tesis). Jakarta: FKMUI

Heitzman, J. 2010. Foot Care for Patient with Diabetes, Topics in Geriatric

Rehabilitation.Vol 25. No.3. Wolter Kluwer Health. Lippincott Williams &

Wilkins.

Jeffcoate W, Macfarlane R. 1995. The Diabetic Foot An Illustrated guide to

management Chapman & Hall Medical. London.

Jude EB, Splittlet M, Connort H, Boulton AJM. 1999. The Diabetic Foot. Diabetic

Association Diabetic Medicine.

Khrisna, A, 2001. Masnawi, Bersama Jalaluddin Rumi Menggapai Langit Biru Tak

Berbingkai. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kumar S., et al. 1991. Semmes Weinstein Monofilaments: A simple effective and

inexpensive screening device for identifying diabetic patients at risk of foot

ulceration. Diabetes Research and Clinical Practice.

Lavery LA, Armstrong DG, Harkless LB. 1996. Classification of Diabetic Foot

Wounds. J Foot Ankle Surg.

Livingston, Matthew. 2008. Wagner Classification of Diabetic Foot Ulcers.

http://care.diabetesjournals.org/content/24/1/84.full (diakses pada tanggal 10

mei 2014)

Page 97: Adelina Vidya - Fkik

Mayasari, L. 2012. Wanita menopause lebih beresiko diabetes mellitus. Diakses dari

http://www.health.detik.com (5 Juni 2012)

McGill, M., Molyneaux, and Yue, K.D. 2005. Which Diabetic Patients Should

Receive Podiatry Care? An Objective Analysis. Internal Medicine Journal (10

Mei 2014)

Meijer, J.G,. et al. 2005. Back to basics in diagnosing diabetic polyneuropathy with

the tuning fork. Diabetes Care.

Miranda, B. Palma, et al. 2005. A Comparison of the Monofilament with Other

Testing Modalities for Foot Ulcer Susceptibility. USA: Elsevier.

Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Ulcer, Infeksi, Gangren. Jakarta: Penerbit

Populer Obor.

Mohlan H. Delf, Robert T. Manning. 1996. Major diagnosis fisik. Jakarta: EGC

Moffat, Marilyn. 2006. Integumentary Essentials. USA : SLACK Incorporated.

Morison, Moya J., 2003. Manajemen Luka. Editor edisi bahasa Indonesia, Florinda,

Monica Ester, sari kurnianingsih. Jakarta: EGC

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta:

Rineka Cipta.

Nursalam. 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.

Jakarta: Salmeba medika.

Perkins, B.A. et al. 2001. Simple screening tests for peripheral neuropathy in the

diabetic clinics. Diabetes Care.

Permana, H., 2008. Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta pada Diabetes.

www.pustaka.unpad.ac.id (23 oktober 2013).

Purwanti, Okti Sri. 2012. Hubungan Faktro Resiko Neuropati dengan Kejadian Ulkus

Kaki Pada Pasien DM di RSUD Moewardi Surakarta.Surakarta: Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

Riyanto, D. 2007. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam: Darmono, dkk, editors. Naskah

Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit Dalam.

Semarang: Universitas Diponegoro.

Page 98: Adelina Vidya - Fkik

Roy, H. Serge. Wolf, L. Steven. Scalzitti, A. David. 2012. The Rehabilitation

Specialist. New York.

Roza, V., 2008. Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus Dengan Komplikasi yang

Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2006. Skripsi Mahasiswa

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Sarwono, Waspadji. 2007. Kaki Diabetik: Kaitannya dengan Neuropati Diabetik.

Kaki Diabetik Patogenesis dan Penatalaksanaan. Badan Penerbit Universitas

Diponegoro Semarang.

Sausa, Valmi, D., Zauszniewski, Jaclene., A. 2005. Toward a Theory of Diabetes

Self-Care Management. Journal of Theory Construction and Testing.

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu

Setyoko, Bambang Adi. 2003. Nilai Diagnostik Monofilamen 10g dan Skor Clinical

Neurological Examination (CNE) pada polineuropati diabetic. Tesis Program

Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Setyonegoro, K., 2009 ( adapted 1982). Pusat Penelitian dan Pengembangan Kalbe

Farma. Jakarta: Cermin dunia kedokteran.

Shahab, Alwi. 2006. Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus. http://dokter

alwi.com/diabetes.html (01 November 2013).

Shrikhande, Gautam V. 2012. Diabetes and Pperipheral Vascular disease: Diagnosis

and Management. New York : Humana Press.

Smaltzer, Suzanne C dan Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Kepeprawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth Vol 3. Jakarta: EGC.

Soegondo, S, dkk., 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Soewondo, P., et.al. 2010. The Diab Care Asia 2008 study –Outcomes on control and

Complications of Type 2 Diabetic Patients in Indonesia. Majalah Diabetik

Indonesia.

Soewondo, P., 2006. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Aru W, dkk, editors, Ilmu

Penyakit Dalam Jilid III Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit FK UI.

Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbit

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Page 99: Adelina Vidya - Fkik

Supriyanto. 2001. Hubungan Antara Derajat Kaki Diabetik Dengan Neuropati

Perifer dan Iskemi Perifer Pada Penderita DM Tipe 2. Tesis Program

Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Sussman, C. Barbara, M., and Jensen, B. 2007. Wound Care: A collaborative

Practice Manual. Lippincott Williams & Wilkins.

Suyono, Slamet. 2006. Diabetes Melitus di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam jilid III. Hal. 1857-1859. Jakarta: Pusat Penerbit Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK UI.

Vinik AI, et.al. 2001. Diabetes Mellitus. A fundamental and Clinical text.2th ed.

Philadelphia; Lippincott Williams & Wilkins.

Vivienne, S.F. et al. 2007. Self-efficacy outcome expectation and self care behavior

in people with type 2 diabetes in Taiwan. Journal Compilation.

W. Sudoyo Aru, dkk. 2007. Buku Ajar: Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4, Jilid III.

Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran.

Wagner FW. 1981. The Dysvascular Foot: A System of Diagnosis and Treatment.

Foot Ankle.

Waspadji, Sarwono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 3, Edisi 4. Jakarta:

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

WHO. 2000. Pencegahan diabetes Mellitus (Laporan Kelompok Studi WHO), alih

bahasa dr. Arisman. Jakarta : Hipokrates.

WHO. 2004. Global Burden Disease Report. www.who.int (23 oktober 2013)

WHO. 2008. Integrated Chronic Disease Prevention and Control. www.who.int (23

oktober 2013)

WHO. 2010. Global Burden of Chronic Noncommunicable Diseases.

www.who.int/bulletin/volumes/88/12/10-077891/en/ (23 oktober 2013)

Wisramayasa G, Ari Sutjahjo. 1997. Neuropati Diabetik Patogenesis dan

Penatalaksanaan. Majalah Diabetik Indonesia.

Xu Yin, T.D. et al. 2008. Factor Influencing Diabetes Self-Management in Chinese

People with type II Diabetes. Research in Nursing & Health.

Page 100: Adelina Vidya - Fkik
Page 101: Adelina Vidya - Fkik
Page 102: Adelina Vidya - Fkik

LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN

Saya, Adelina Vidya Ardiyati dari Program Studi Ilmu Keperawatan UIN

Syarif Hidayatulloh Jakarta akan melakukan penelitian yang berjudul

“HUBUNGAN ANTARA SKOR MONOFILAMEN DENGAN ULKUS

DIABETIKA DI KLINIK PERAWATAN LUKA RUMAT”.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skor

monofilamen dengan kejadian ulkus diabetika di klinik perawatan luka RUMAT

Bekasi.

Saya sebagai peneliti ingin mengajak bapak/ibu untuk ikut serta dalam

penelitian ini. Penilitian ini membutuhkan waktu sekitar dua minggu, dengan

jangka waktu keikutsertaan masing-masing responden selama kurang lebih 45

menit.

A. Kesukarelaan untuk ikut penelitian

Bapak/Ibu bebas memilih keikutsertaan dalam penelitian ini tanpa ada

paksaan. Bila Bapak/Ibu sudah memutuskan untuk ikut, bapak/ibu juga bebas

untuk mengundurkan diri/berubah pikiran setiap saat tanpa dikenai denda atau

sanksi apapun.

Bila bapak/ibu tidak bersedia untuk berpartisipasi maka bapak/ibu tetap akan

mendapatkan perawatan luka seperti biasanya.

B. Prosedur Penelitian

Apabila bapak/ibu bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini, bapak/ibu

diminta menandatangani lembar persetujuan ini. Prosedur selanjutnya adalah:

1. Bapak/Ibu akan diberikan kuesioner untuk mengisi: Inisial Nama, Usia, Jenis

Kelamin, Lama memiliki DM, Frekuensi terjadinya ulkus diabetika.

Bapak/Ibu juga diminta untuk mengisi kuesioner yang telah disediakan oleh

peneliti untuk mengetahui karakteristik demografi Bapak/Ibu.

Page 103: Adelina Vidya - Fkik

2. Peneliti akan melakukan test monofilamen dan mengobservasi luka bapak/ibu

untuk menetukan derajat luka bapak/ibu.

C. Kewajiban Responden

Sebagai subyek penelitian, Bapak/ibu berkewajiban mengikuti aturan atau

petunjuk peneltian seperti yang tertulis diatas. Bila ada yang belum jelas,

bapak/ibu bisa bertanya lebih lanjut kepada peneliti.

D. Kerahasiaan

Semua informasi yang berkaitan dengan identitas responden akan

dirahasiakan dan hanya akan diketahui oleh peneliti. Hasil penelitian akan

dipublikasikan tanpa identitas responden.

E. Informasi tambahan

Bapak/ibu diberi kesempatan untuk menanyakan semua hal yang belum

jelas sehubungan dengan penelitian ini. Bila sewaktu-waktu bapak/ibu

membutuhkan penjelasan lebih lanjut, bapak/ibu dapat menghubungi saya

Adelina Vidya Ardiyati pada No Hp 085716138120.

Page 104: Adelina Vidya - Fkik

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth,

Bapak/Ibu

di

Tempat

Dengan Hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Adelina Vidya Ardiyati

Nim : 1110104000004

Status : Mahasiswa Ilmu Keperawatan UIN Jakarta

Dengan ini memohon kepada Bapak/Ibu untuk bersedia menjadi responden pada

penelitian yang saya lakukan yang berjudul “HUBUNGAN ANTARA SKOR

MONOFILAMEN DENGAN ULKUS DIABETIKA DI KLINIK PERAWATAN

LUKA RUMAT BEKASI”.

Demikian Saya sampaikan, atas perhatian dan kesediaan Bapak/Ibu saya ucapkan

terimakasih.

Hormat Saya,

Adelina Vidya Ardiyati

Page 105: Adelina Vidya - Fkik

LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN

Judul : Hubungan Antara Skor Monofilamen Dengan Ulkus Diabetika Di Klinik

Perawatan Luka Rumat Bekasi.

Peneliti : Adelina Vidya Ardiyati

Nomer Hp : 085716138120

Pembimbing :

1. Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep.

2. Yenita Agus M.Kep.,Sp.Mat.,PhD

Saya telah memahami tujuan, manfaat, prosedur, gambaran resiko daan

ketidaknyamanan yang mungkin terjadi, serta penjaminan kerahasiaan identitas

pada penelitian ini. Tanpa adanya unsur paksaan dan secara sukarela saya

bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

Jakarta, April 2014

Tanda Tangan Responden Tanda Tangan Peneliti

Adelina Vidya Ardiyati

Page 106: Adelina Vidya - Fkik

KUESIONER DAN LEMBAR OBSERVASI PENELITIAN

Hubungan Antara Skor MonofilamenDengan Ulkus Diabetika Di Klinik

Perawatan Luka Rumat Bekasi

I. IDENTITAS RESPONDEN

Tanggal pengisian :

No. Kode :

1. Inisial Responden :

2. Usia :

3. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan

4. Lama menderita DM :

5. Frekuensi ulkus :

6. Derajat luka :

7. Skor Monofilamen :

II. HASIL TEST

Page 107: Adelina Vidya - Fkik

Lampiran

Hasil Uji Normalitas Data

Hasil Uji Univariat

Page 108: Adelina Vidya - Fkik
Page 109: Adelina Vidya - Fkik
Page 110: Adelina Vidya - Fkik

Hasil Uji Bivariat

Page 111: Adelina Vidya - Fkik

Hasil Crosstabulation