acara pidana - resensi buku

21
RESENSI BUKU BEBERAPA TINJAUAN TENTANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA Oleh : R. Achmad S.Soema di Pradja, S.H Bandung, 1983 NAMA : Arthya Riezvan Syarief NPM : 110113080135 KELAS : B (SORE)

Upload: arthya-riezvan-syarief

Post on 19-Jun-2015

938 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Beberapa Tinjauan Tentang Hukum Pidana Dan Hukum Acara Pidana oleh R Achmad S Soeman di Pradja, S.H

TRANSCRIPT

Page 1: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

RESENSI BUKU

BEBERAPA TINJAUAN TENTANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM ACARA PIDANA

Oleh : R. Achmad S.Soema di Pradja, S.H

Bandung, 1983

NAMA : Arthya Riezvan Syarief

NPM : 110113080135

KELAS : B (SORE)

UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS HUKUM

2009BANDUNG

Page 2: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

I. PERUBAHAN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN AGRARIA JO. UNDANG-UNDANG No. 5

TAHUN 1960 dan PENGARUHNYA TERHADAP PASAL 385 KUHP

Hukum Pidana, seperti yang termuat di dalam WETBOEK VAN STRAFRECHT VOOR NEDERLANDSCH

Stbl. 1915-732 jis 1917 – 497, 645 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1918 dan kini berdasarkan

Undang Undang RI No.1 tahun 1946 jo. Undang Undang No. 73 tahun 1958 diberi nama KITAB UNDANG-

UNDANG HUKUM PIDANA dan disingkat menjadi KUHP bukan merupakan copy-an dan W.v.s Belanda

saja, karena ternyata telah banyak perubahan pasala sebanyak 259 pasala dan memuat 92 pasal baru.

Pada tanggal 24 September 1960 telah mulai berlaku Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang

PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA dan menurut undang-undang ini, tidak lagi dikenal hak atas

tanah berupa : “Indonesisvhe gebruiksrechten op het landsmein” seperti dimuat dalam pasal 385 KUHP

melainkan berupa “hak milik” dan lain lain hak jo. Pasal 16.

1. Tentang obyek terhadap perbuatan dimaksud dalam pasal 385 KUHP dilarang dilakukan orang.

Dengan adanya Pasal 385 KHUP yang dimuat dalam Bab tentang “penipuan” (Bedrog) dan

berada di bawah pasal 378 KUHP yang memuat perumusan mengenai perbuatan “penipuan”.

Lebih-lebih lagi apabila diingat bahwa ancaman pidana tertinggi bagi delick jo. Pasal 378 adalah

sama dengan ancaman pidanan tertinggi bagi tindak pidanan yang dimaksud dalam pasal 385

KUHP, yaitu 4 (empat) tahun.

Kenyataanya bahawa pasal VIII Undang-Undang No.I tahun 1946 telah tidak mengalami

perubahan apapun terhadap pasal 385 WvSNI. Sehingga sesuai dengan yang dicantumkan dalam

pasal III yang dimana harus dibaca “Indonesia” atau “Indonesisch (e) (en)” oleh karena itu dalam

pasal 385 KUHP tercantum istilah “Inlandsch” harus pula dibaca sebagai “Indonesisch (e)”.

Page 3: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

Maka dalam menterjemahkan pasal 385 KUHP kedalam bahasa Indonesia, status-status tanah

tidak usah turut diterjemahkan dan pasal tersebut akan berbunyi sebagai berikut:

Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 4 tahun :

1. Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan

hukum, menjual, menukarkan, atau mempertanggungkan di bawah credit verband, sesuatu

Indonesisch gebruiksrecht atas domein-negara atau atas particuliere landerijen atas sesuatu

dengan bangunan, tanaman atau perbenihan atas tanah dengan Indonesish gebruiksrecht,

sedangkan ia mengetahui bahwa ada orang lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu.

2. Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual, menukarakan atau mempertanggungkan di

bwah credit verband, sesuatu Indonesisch gebruiksrecht atas domein-negara atau atas

particuliere landerijen atas sesuatu dengan bangunan, tanaman atau perbenihan atas tanah

dengan Indonesish gebruiksrech yang telah dibebani dengan credit verband dengan tidak

memberitahukan adanya credit verband kepada pihak lain.

3. Barang siapa yang dengan maksud yang sama mempertanggungkan di bawah credit verband,

sesuatu Indonesisch gebruiksrecht atas domein-negara atau atas particuliere landerijen

dengan tidak memberitahukan kepada pihak lain, bahwa tanah-tanah itu telah digadaikan.

4. Barang siapa dengan maksud yang sama menggadaikan atau menyewa sebidang tanah atas

nama berlaku sesuatu Indonesisch gebruiksrecht sedangkan ia mengetahui bahwa ada orang

lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu.

5. Barang siapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan sebidang tanah atas mana

berlaku sesuatu Indonesisch gebruiksrecht yang sudah digadaikan, dengan tidak

memberitahukan kepada pihak lain tentang adanya gadaian itu.

Page 4: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

6. Barang siapa yang dengan maksud yang sama, menyewakan sebidang tanah atas mana

berlaku sesuatu Indonesisch gebruiksrecht untuk satu masa, sedangkan ia mengetahui bahwa

untuk masa itu telah disewakan kepada orang lain.

Dengan demikian, yang dilarang dilakukan orang dalam pasal 385 KUHP bukan saja berupa

perbuatan-perbuatan: menjual, mneyawakan, menggadaikan ataupun mempertanggungkan

sebidang tanah saja, melainkan perbuatan-perbuatan tersebut haruslah ditujukan pada suatu

obyek tertentu yakni berupa: “Indonesisch gebruiksrecht op het landsdomein” atau “op

particuliere landerijen”.

Sedangkan kesengajaan yang disyaratkan dalam delik 385 KUHP, haruslah berupa:

“Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”

Mengenai bentuk kesengajaan sedemikian ini, disyaratkan pula dalam delik 378 KUHP, yakni

mengenia perbuatan “penipuan”.

2. Tentang Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 dalam hubungan nya dengan hak-hak ataupun status

tanah dimaksud dalam pasal 385 KUHP .

Perlu ditegaskan lagi disini, bahwa obyek terhadap perbuatan orang dilarang dalam pasal 385

KUHP harus lah tertuju kepada:

“enig Indonesisch gebruiksrecht op het landsdomein of op particuliere landerijen”.

Sedangkan undang-undang yang memungkinkan terciptanya status tanah berupa: “Landsdomein”

dan “Particuliere Landerijen” dimaksud, adalah:

1. Agrarisch Wet Stbl. No 1870-55 ;

2. Agrarisch Besluit Stbl. 1870-188 ;

3. Agrarisch Domein Verkl. Stbl. 1875-119 a

Page 5: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

Yang kesemuanya itu, oleh Undang-Undang No. 5 tahun 1960 dinyatakan dicabut, dengan demikian

sejak berlakunya undang-undang tersebut yaitu semenjak tanggal 24 September 1960, status tanah

berupa “landsdomein” dan “particuliere landerijen” sudah dibuang dari kamus agrarian kita.

Dengan kata lain, sistem agraris yang telah ada sejak pada zaman Hindia Belanda telah dihapuskan

dan diganti dengan Hukum Agraria baru dilandaskan kepada hukum adat, yakni hukum asli

Indonesia yang telah disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat masa kini

3. Tentang arti dari perubahan perundang-undangan dalam Hukum-Pidana

Pasal 1 (2) KUHP mengatur tentang “peraturan-peraturan” apabila terjadinya “perubahan”

dalam perundang-undangan setelah seorang melakukan tindak-pidana, akan tetapi, sebelum ia

mulai diadili dan ternyata peraturan yang baru memuat hal-hal yang dapat menguntungkan bagi

tertuduh harus ditetapkan peraturan baru.

Mengenai hal ini terdapat 3 ajaran, yaitu ajaran formal, ajaran meteril terbatas dan ajaran meteril

tidak terbatas.

1. Menurut ajaran formal

Dianut oleh simons, baru dapat dikatakan ada “perubahan” jika diadakan “perubahan” dalam

perundang-undangan pidana sendiri. Ajaran ini sudah lama ditinggalakan orang.

2. Menurut ajaran materil terbatas

Dianut oleh Van Geuns dengan “perubahan” dimaksudkan bukan tiap-tiap perubahan dalam

perundang-undangan, melainkan perubahan yang dialirkan dari perubahan keyakinan hukum

dan bukan sebagai akibat karena keadaan yang berubah.

Page 6: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

3. Menurut ajaran materil tak terbatas

Dianut oleh Van Genus dan Hoge Raad dalam kasus “Huurcommissie” Arrest 5-12-1921 N.J

1922 W 10850 dinyatakan bahwa “perubahan” dalam perundang-undangan berarti: “tiap-tiap

perubahan dalam perundang-undangan, yaitu dapat menguntungkan bagi diri tertuduh”.

Mahkamah Agung Indonesia dalam beberapa putusannya mensyaratkan adanya

“perubahan” dalam perundang-undangan hanya dalam hal, apabila terjadi “perubahan” dalam

“grondiee” nya (dasar pemikiran) lihat saja putusan tanggal 7-1-1964 No.143/K/Kr/1963 atau

dalam hal terjadi “perubahan” No.114 K/Kr/1963 dan 22-12-1964 L/Kr/1964

Jika kita telaah kembali kembali Penjelasan Umum dari Memori penjelasan UUPA

mengenai “Tujuan Undang-undang Pokok Agraria”, maka yang menjadi alas an-utama

dibentuknya UUPA ini adalah bahwa hukum agrarian yang berlaku selama ini (sebelum

dibentuknya UUPA) didasarkan pada tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan

sehingga karena itu bertentangan dengan kepentingan Rakyat dan Negara pada dewasa ini

dalam melaksanakan pembangunan.

Berdasarkan hal-hal tersebut, setelah berlakunya UUPA di mana “grondidee” dari

Hukum Agraria dari zaman Hindia Belanda telah berubah sama sekali, maka dengan sendirinya,

“norm”-nya pun dalam pasal 385 KUHP harus turut berubah/diubah, sehingga sejalan dengan

putusan-putusan Mahkamah Agung sepertitelah dikemukakan di atas, telah terjadi

“perubahan” dalam perundang-undangan.

Ditinjau dari sudut asas-asas seperti ditentukan dalam pasal V Undang-undang No.1

tahun 1964 maka dengan terbentuknya UUPA, pasal 385 KUHP merupakan peraturan, yang:

1. Seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan;

2. Tidak merupakan arti lagi.

Page 7: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

Kesimpulan:

UUPA member pengaruh terhadap berlakunya pasal 385 KUHP, yaitu sebagai penghapusan

berlakunya pasal 385 KUHP, singga dalam terjadinya perbuatan-perbuatan yang ditunjukan

orang terhadap/mengenai tanah milik stijl baru atau lama penuntutannya harus didasarkan

pada penuduhan pelanggara pasal-pasal KUHP tentang perbuatan “penipuan” (bedrog) jo. 385

KUHP dan tidak lagi mengenai pelanggaran dari pasal 385 KUHP.

Page 8: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

II. PERWUJUDAN “IN CONCERTO” DARI PRINSIP YANG DIAMBIL SEMINAR HUKUM NASIONAL

1963 DALAM HUKUM PIDANA

Pada tahun 1963, Prof. Oemar Seno Adji S.H di dalam sebuah seminar di Jakarta,

mengemukakan prinsipnya dengan judul: “ASAS ASAS TATA HUKUM NASIONAL DALAM BIDANG

HUKUM PIDANA”. Dalam BAB ini akan di bahsa jawaban dari pertanyaan, apakah suatu prinsip yang

telah diambil oleh suatu seminar hukum dan dituangkan dalam sebuah Resolusi, dalam praktek

peradilan telah juga diterapkan dan apakah penerapan dari prinsip tersebut tidak bertentangan

dengan asas-asas hukm yang berlaku dalm Hukum Pidana.

1. Prinsip “Nullum Delictum” dan “Penafsiran” Hukum Pidana

Tiang utama dari Hukum Pidanan adalah asas yang termuat dalam KUHP dan dapat ditarik dari

perumusan pasal 1 ayat (1) KUHP dan dalam ilmu pengetahuan lebih dikenal dengan sebutan

“nullum delictum”. Yang menggariskan secara mutlak bahwa seseorang baru dapat dinyatakan

telah melakukan “perbuatan pidana”, yaitu apabila pebuatan yang telah diperbuat tadi terlebih

dahulu, dalam satu undang-undang, dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dilakukan

orang diancam pidana barang siapa yang melakukanya.

Apakah sesuatu ketentuan pidana jelas atau tidak, udang-undang pidan sendiri tidak dapat

menentukannya, sesuai dengan tugas dan kewajibannya. Oleh karena tidak dapat dipungkiri bahwa

Hakim berwenang dan berhak penuh untuk menafsirkan Undang-undang Pidana. Akan tetapi pada

umumnya para sarjana berpendapat, bahwa Hakim dilarang untuk menerapkan ketentuan pidana

secara analogi.

Page 9: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

Bagaimanakah pendapat para sarjana mengenai kemungkinan penerapan analogi dalam bidang

lain daripada pengancaman pidana? Jika kita teliti pendapat Hoge Raad dalam arrestnya pada

tanggal 4 Februari 1916 N.J. 1916 yang mengintrodusir asas baru ke dalam Hukum Pidana pada

saat-saat tersebut, yaitu “Green stra zonder schuld”“tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa penciptaan alas an penghapusan pidana baru

adalah diperkenankan dan tidak melanggar asas seperti tercantum pada pasal 1 ayat (1) KUHP.

Karena menurut sifatnya, alasan penghapusan pidana diadakan demi keadilan, jadi mengabdi

kepada keadilan yaitu apabila suatu ketentuan pidana dilaksanakan secara “kaku”, justru akan

menimbulkan ketidak-adilan.

Penulis buku ini berpendapat bahwa asas “green straf zonder schuld” ini, kini bukan lagi

merupakan asas yang berada di luar perundang-undangan, karena pasal 6 ayat (2) dari Undang-

undang No. 14 tahun 1970 tentang KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN,

menentukan:

“ Tiada seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena alat bukti yang syah

menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat

bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.”

2. Pasal V Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Dalam

Hubunganya Dengan Hukum Pidana yang Berlaku Sekarang.

Pemerintah Republik Indonesia yang pada masa itu berpusat di Yogyakarta dalam keadaan

agresi militer Belanda membentuk Undang-undang baru, yaitu “Undang-Undang NO. 1 tahun 1964”

tentang “PERATURAN HUKUM PIDANA”

Tujuan yang utama dari pembentukan undang-undang tersebut adalah bagi seluruh wilayah

Republik Indonesia, berdasarkan pasal II “Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar berhubungan

Page 10: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No.2”. Bahwa bagi

seluruh wilayah Republik Indonesia hanya berlaku satu kitab Undang-undang Pidana. Oleh karena

itu dalam pasal I ditentukan:

“Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10

Oktober 1945 No.2, menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana sekarang berlaku,

ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”.

Mengingat keadaan Republik Indonesia pada masa-masa tersebut, maka perubahan atau

penambahan yang diadakan oleh Undang-undang No.1 tahun 1946 menurut sifatnya adalah tidak

tetap dan menyeluruh, melainkan “temporer” yaitu sambil menunggu terbentuknya Undang-

undang Pidana baru yang sesuai dengan cita-cita serta pandangan hidup bangsa Indonesia.

Karena alasan-alasan tersebut diatas tadi, diadakanlah ketentuan seperti yang termuat dalam

pasal V, dalam Undang-undang No.1 tahun 1946, sebagai “Jalan keluar” kalau-kalau masih ada

pasal-pasal KUHP yang selayaknya harus dicabut, akan tetapi belum sempat dinyatakan tidak

berlaku.

Untuk jelasnya pasal V tersebut menentukan:

“Peraturan hukum pidana, yang seluruhnya atau sebagian sekarangtidak dapat dijalankan atau

bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak

mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku.”

3. Tugas dan Kewenangan Hakim-Pidana pada masa pembangunan sekarang ini.

Pasal 292 ayat (1) HIR, menentukan “De pengadilan negeri zal nar aanleiding van de akte van

verwizing en van hetgeen uit het onderzoek op de terrechztting is gebleken .....................................”

Dengan demikian, Pengadilan Negeri akan memutus perkara pidana terutama berdasarkan “Akte

pelimpahan perkara” dan “berdasarkan segala sesuatu yang terbukti di depan persidangan.”

Page 11: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas tadi, jelaslah bagi kita sekalian, bahwa menurut HIR yang

menuduh, melimpahkan, dan memberi atau mengambil keputusan tentang perkara yang

dikemukakan ke sidang Pengadilan Negeri, adalah hakim.

1. Kini telah dengan dibentuk dan diundangkanya Undang-Undang No.15 tahun 1961 tentang

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEDJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA yang dalam pasal 12 ayat

(1) secara tegas dan jelas menentukan:

“Jaksa membuat surat tuduhan”

2. Adapun dalam KUHAP, Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang tugas dan kewenangan Jaksa

mengaturnya dalam BAGIAN KETIGA pasal 13 berbunyi:

“Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”

3. Pasal 114 sub. d :

“membuat surat dakwaan”

4. Pasal 144 :

“Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari

sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan

penuntutannya.”

5. Pasal 230 :

Ayat (3) : "Ruang sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata menurut ketentuan

sebagai berikut :

a. Tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari temapt penuntut umum, terdakwa,

penasihat hukum, dan pengunjung;

b. Tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan tempat hakim;

Page 12: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

c. Tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan

tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum “

6. Pasal 143 KUHAP ;

“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :

a. Nama lengakap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat

tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan

menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.”

7. Pasal 57 KUHAP ;

Terdakwa atau penuntut umum behak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan

tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang

menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara

cepat.”

4. Penerapan Dari Prinsip Yang Diambil Seminar Hukum Nasional 1963 Ke Dalam Hukum Pidana

Salah satu sumber hukum adalah “jurisprudentie”, hukum yang diciptakan oleh dan karena

putusan Hakim. Hakim di dalam putusannya merumuskan lebih lanjut secara terperinci dari apa

yang di dalam masyarakat sudah dipandang sebagai hukum dan lalu merumuskannya sebagai

hukum.

Tidak dapat disangkal bahwa sebuah resolusi yang telah diambil dalam sebuah Seminar n.b

berupa SEMINAR HUKUM NASIONAL yang dihadiri oleh lebih-kurang 500 orang Sarjana Hukum dari

berbagai kalangan, merupakan pencerminan dari kehendak dan cita-cita yang hidup di dalam

masyarakat, karena mana, timbulah hasrat pada kami untuk meneliti, apakah hasil yang telah

diperoleh Seminar tadi juga ada pengaruhnya dalam pembentukan hukum di Negara kita, terutama

dalam putusan badan-badan peradilan.

Page 13: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

III. HUKUM –PIDANA, HAKIM DAN MASALAH PEMIDANAAN PARA “PENGEMIS” dan

“GELANDANGAN”

Bulan November 1974 oleh beberapa surat kabar yang terbit di Jakarta diberitakan, bahwa

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur telah mengadili para “pengemis dan “gelandangan”

atas tuduhan melakukan perbuatan – perbuatan seperti dimaksud dalam pasal – pasal 504 dan 505

dan kepada mereka telah pula dijatuhkan pidana berupa “kurungan”, beberapa hari

Berita yang tersebar menimbulkan banyak tanggapan dan sorotan dari berbagai kalangan antara

lain dari Muladi, S.H Fakultas Hukum UNDIP yang di muat dalam Koran Kompas tanggal 25

November 1964 dengan Judul “Haruskan Pengemis di Hukum?”

Dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menentukan : “ Fakir miskin dan anak –

anak yang terlantar, dipelihara oleh Negara”. Juga Pasal V dari Undang-Undang No.1 Tahun 1946

menegaskan hal yang sama.

Sekedar untuk menambah pengetahuan, perlu rasanya disini diberitakan bahwa dalam

Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960/ tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional

Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, II, Bidang Kesejahteraan, Sub. Kesejahteraan

Sosial-angka 9. Telah ditentukan :

a) Melarang dengan Perundangan :

1. Pengemisan

2. Pelacuran

3. Perjudian

4. Pemadatan

5. Perdagangan Manusia

6. Penghisapan (Woeker)

Page 14: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

7. Pergelandangan

b) Mengatur dengan Perundangan :

1. Perlindungan anak

2. Pemeliharan anak terlantar , baik segi preventif maupaun kuratif nya.

3. Pemeliharan fakir miskin

4. Pemeliharaan orang tua / jompo

c) Mendirikan kamp pendidikan dan latihan kerja untuk :

1. Mendidik dan melatih bekerja anak nakal

2. Mendidik dan melatih pemuda – pemuda / pemudi – pemudi yang menganggur sesuai

dengan dabak – bakatnya untuk kemudian di salurkan sebagai tenaga pembangunan ke

berbagai sector.

Kesimpulan:

Walaupun Rancangan Undang-Undang dimaksud tadi dengan dicabutnya Ketetapan MPRS

No.II/MPRS/1960 yang menjadi landasananya kini telah tidak menjadi undang-undang, namun

mengingat adanya Pasal V Undang-undang No.1 Yahun 1946 dapat disimpulkan, bahwa pasal-pasal

504 dan 505 KUHP termasuk pula ke dalam penggolongan yang:

“ Seleuruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan” ataupun “tidak mempunyai arti lagi”.

Jika kita mau meninjau masalah penghukuman “pengemis” dan “gelandangan” dari sudut dan

usaha pemasyarakatan, pada dewasa ini. Apakah dengan hukuman pidana yang dijatuhkan oleh

Pengadilan Negeri Jakarta Utara/Timur kepada mereka, berupa kurungan atau hukuman pidana

kurungan selama 7 dan 13 hari, akan bermanfaat untuk dapat membina mereka sehingga kelak

mereka “ke luar” dan “tidak akan mengulangi lagi praktek” tersebut? Bukan dikarenakan mereka

telash merasa “kapok” namun ini dirasakan paling penting dikarenakan mereka telah mendapat

Page 15: ACARA PIDANA - RESENSI BUKU

kesempatan untuk mendapatkan suatu keterampilan sehingga mereka dapat berusaha di berbagai

lapangan sesuai dengan bakat dan kemampuannya dan mereka dapat pula menyumbangkan

tenaga nya secara positif dan efektif bagi usaha pembangunan, setidak-tidaknya memperoleh

kesempatan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan untuk member sekedar jaminan hidup bagi

dirinya sendiri atau keluarganya.