abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf ·...

25
Abstrak Penelitian ini dilakukan berawal dari ketertarikan peneliti terhadap salah satu pasal yang terdapat pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan gelandangan merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara. Secara harafiah hal tersebut menjelaskan bahwa semua yang berkaitan dengan proses terbentuknya suatu Negara merupakan tugas dan tanggung jawab Negara itu sendiri. Tak terkecuali dengan berbagai lapisan masyarakat di dalamnya. Namun pada kenyataannya tugas yang seharusnya dilakukan oleh Negara tidak pernah dirasakan oleh lapisan masyarakat bawah seperti anak jalanan. Justru yang mereka terima adalah perlakuan dan tindakan kasar yang dilakukan oleh aparat Negara. Teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena ini adalah teori konstruksi sosial yang di populerkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori tersebut kemudian memunculkan suatu kenyataan sosial yang dibuat dari hasil ciptaan manusia melalui tiga tahapan simultan yakni ekternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Metode penelitian yang digunakan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dan pemilihan informan telah ditentukan dengan ktiteria tertentu, yakni memilih anak jalanan yang pernah mengalami tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparatur Negara dalam hal ini satuan polisi pamong praja Setelah melakukan tahapan penelitian, maka peneliti menghasilkan beberapa temuan- temuan pokok. Yakni pada tahap internalisasi terjadi pada saat kondisi pemenuhan kebutuhan hidup tidak lagi mendukung dan megharuskan seorang anak untuk terjun kejalan demi mencukupi kebutuhan keluarga ditambah dengan pengaruh yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya yang sebagian besar para pekerja jalanan. Kemudian berlanjut pada tahap objektivasi yang mereka peroleh dari cerita dan pengalaman sesama anak jalanan mengenai hal-hal yang membahayakan kehidupan mereka dari situlah memunculkan perbedaan pandangan tentang pengetahuan yang dimiliki sebelumnya mengenai gambaran umum aparat ketertiban satuan polisi pamong praja terhadap tindakan nyata yang sering mereka terima. Dari semua proses dan tahapan tersebutlah kemudian memunculkan aksi nyata berupa tindakan perlawanan yang mereka lakukan yang dikenal dengan tahapan eksternalisasi Keyword : konstruksi sosial, kekerasan, anak jalanan

Upload: truongque

Post on 27-Jun-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Abstrak

Penelitian ini dilakukan berawal dari ketertarikan peneliti terhadap salah satu pasal yang

terdapat pada UUD 1945 yang menyatakan bahwa fakir miskin dan gelandangan merupakan

kewajiban dan tanggung jawab Negara. Secara harafiah hal tersebut menjelaskan bahwa semua

yang berkaitan dengan proses terbentuknya suatu Negara merupakan tugas dan tanggung jawab

Negara itu sendiri. Tak terkecuali dengan berbagai lapisan masyarakat di dalamnya. Namun pada

kenyataannya tugas yang seharusnya dilakukan oleh Negara tidak pernah dirasakan oleh lapisan

masyarakat bawah seperti anak jalanan. Justru yang mereka terima adalah perlakuan dan

tindakan kasar yang dilakukan oleh aparat Negara.

Teori yang digunakan untuk menganalisis fenomena ini adalah teori konstruksi sosial

yang di populerkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Teori tersebut kemudian

memunculkan suatu kenyataan sosial yang dibuat dari hasil ciptaan manusia melalui tiga tahapan

simultan yakni ekternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Metode penelitian yang digunakan

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dan pemilihan informan telah

ditentukan dengan ktiteria tertentu, yakni memilih anak jalanan yang pernah mengalami tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh aparatur Negara dalam hal ini satuan polisi pamong praja

Setelah melakukan tahapan penelitian, maka peneliti menghasilkan beberapa temuan-

temuan pokok. Yakni pada tahap internalisasi terjadi pada saat kondisi pemenuhan kebutuhan

hidup tidak lagi mendukung dan megharuskan seorang anak untuk terjun kejalan demi

mencukupi kebutuhan keluarga ditambah dengan pengaruh yang diberikan oleh lingkungan

sekitarnya yang sebagian besar para pekerja jalanan. Kemudian berlanjut pada tahap objektivasi

yang mereka peroleh dari cerita dan pengalaman sesama anak jalanan mengenai hal-hal yang

membahayakan kehidupan mereka dari situlah memunculkan perbedaan pandangan tentang

pengetahuan yang dimiliki sebelumnya mengenai gambaran umum aparat ketertiban satuan

polisi pamong praja terhadap tindakan nyata yang sering mereka terima. Dari semua proses dan

tahapan tersebutlah kemudian memunculkan aksi nyata berupa tindakan perlawanan yang

mereka lakukan yang dikenal dengan tahapan eksternalisasi

Keyword : konstruksi sosial, kekerasan, anak jalanan

Page 2: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Abstract

This research was done starting from the attraction of researchers to one article in the

Constitution which States that the poor and homeless is a duty and responsibility of the State.

Literally it is explained that all processes relating to the formation of a country is the duty and

responsibility of the State itself. No exception with many different walks of life in it. But in fact

a task that should be carried out by the State was never perceived by the people under such as

street children. Thus they received rough treatment and action is performed by the apparatus of

the State.

The theory used to analyze this phenomenon is a social construction theory in populerkan

by Peter l. Berger and Thomas Luckmann. The theory is then gave rise to a social reality that is

created from the results of human creation through three simultaneous stages namely

ekternalisasi, objektivasi and internalization. Research methods used in this research is a

qualitative method, and the selection of informants has been determined with a certain ktiteria,

who chose the street children who had been subjected to acts of violence committed by the State

apparatus in this police unit of teachers ' praja

After doing research, the researcher stages producing some basic findings. I.e.

internalization stages occurred during conditions of fulfillment of necessities of life are no longer

supported and megharuskan a child to dive kejalan in order to fullfill the needs of family,

coupled with the influence exerted by the environment surrounding that most workers in the

streets. It continues on phase objektivasi they earn from the stories and experiences of fellow

street children about the things that endanger the lives of those that gave rise to differences of

view on knowledge previously owned about a general overview authorities order police actions

against teachers ' praja frequently they receive. Of all processes and stages that later gave rise to

the real action in the form of the action of the resistance they did what is known as the stages of

externalization

Keywords: construction, social violence, street children

Page 3: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Anak jalanan merupakan fenomena sosial di perkotaan yang sangat kompleks

dan terus meningkat jumlah kuantitas dan kualitasnya. Munculnya fenomena anak

jalanan tersebut disebabkan berbagai faktor terkait seperti peradigma pembangunan

yang sentralistik yang menjadikan kota lebih berkembang di bandingkan desa dan

daerah tertinggal lainnya. Sehingga kontras terlihat ketimpangan pembangunan yang

pada akhirnya menimbulkan derasnya arus imigran yang berlomba-lomba mendatangi

kota dengan harapan mampu mengubah nasib. Sejalan dengan kebutuhan ekonomi yang

harus mereka cukupi, secara tidak langsung dari adanya pembangunan yang bersifat

sentralistik turut juga melahirkan dan menambah permasalahan yang baru. Minimnya

jumlah lapangan pekerjaan dan keterampilan yang di miliki oleh para imigran akan

memberikan dampak tersendiri dalam menentukan arah pembangunan yang

dikehendaki. Di satu sisi dengan adanya pembangunan sentralistik akan menjadikan

tumpuan dan harapan baru namun di satu sisi akan menimbulkan persaingan yang ketat

yang pada akhirnya membawanya pada kehidupan jalanan yang akan menghiasi setiap

sudut kota.

Minimnya akses informasi yang mereka dapatkan dalam upaya pemenuhan

kebutuhan ekonomi menjadikan masyarakat yang berada pada posisi menengah ke

bawah semakin terjerat dengan kondisi dan keterbatasan pemenuhan kebutuhan

hidup yang harus mereka jalani. Sehingga mau tidak mau mereka harus bersusah

payah untuk terus dapat menghasilkan pundi-pundi pendapatan dan memanfaatkan

Page 4: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

segala sesuatu yang bisa menambah pendapatan perekonomian keluarga termasuk

dengan cara mempekerjakan anak. Temuan data yang dilakukan Mustain dkk (2001)

juga memperkuat adanya bukti bahwa “krisis ekonomi yang terjadi pada seluruh

pelosok daerah tidak hanya menyebabkan anak terpuruk dalam kondisi hubungan

kerja yang merugikan dan eksploitatif tetapi juga tidak menutup kemungkinan

memaksa mereka masuk pada sektor-sektor yang sesungguhnya sangat tidak dapat di

toleransi”.1 Terjadinya krisis ekonomi yang tak kunjung usai menyebabkan batas

toleransi mereka terhadap kasus eksploitasi dan pelibatan anak dalam kegiatan

produktif menjadi longgar sebab di nilai sebagai faktor pendorong yang tak

terelakkan bahkan terkadang upaya yang mereka lakukan dalam pemenuhan

kebutuhan ekonomi sangatlah bertentangan dengan nilai dan norma yang bisa

membahayakan keselamatan dirinya sendiri seperti melakukan tindakan perampasan,

pencurian sampai mempekerjakan anak di bawah umur kedalam sektor yang

berbahaya. Yang dari semua itu mereka lakukan hanya sebatas untuk pemenuhan

kebutuhan ekonomi saja.

Di sejumlah penelitian dalam buku Odi Shalahudin menyebutkan, “ada

sekitar 200-300 juta anak yang terpaksa bekerja di seluruh dunia bahkan FNV

sebuah organisasi non politik di belanda memperkirakan jumlah pekerja anak

bertambah sekitar 80,000 anak setiap harinya. Anak-anak ini tersebar ke dalam

berbagai bentuk dan sektor pekerjaan yang dimasuki anak. Salah satunya adalah

kegiatan yang terpusat di jalanan”.2 Seiring dengan minimnya lapangan pekerjaan

yang tersedia serta tingginya kebutuhan hidup yang harus terpenuhi menjadikan

1 Bagong Suyanto & Sri Sanituti.2002.program penanganan pekerja anak di sektor berbahaya di jawa timur.hal 32 2 Odi Shalahudin.2004.dibawah bayang-bayang ancaman hal 98

Page 5: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

masyarakat yang berada pada posisi menengah kebawah menjadi semakin miskin

dan tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih mereka yang berada

pada basis miskin perkampungan kota sehingga mau tak mau anak-anaklah yang

menjadi alternatif dalam mendukung perekonomian keluarga. Salah satu jalan

termudah yang tidak memerlukan berbagai persyaratan adalah melakukan kegiatan-

kegatan di jalanan. Pada masa krisis inilah keberadaan mereka sangat mudah

dijumpai di berbagai lokasi kegiatan yang semakin meluas di setiap kota.

Keberadaan anak jalanan yang menonjol berikut situasinya yang buruk merupakan

cerminan dampak krisis yang paling mudah dilihat dan dirasakan. Hal inilah yang

tampaknya melahirkan keprihatinan berbagai pihak.

Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang

perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-

mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan

kondisi anak jalanan yang buruk dimana kelompok ini belum mendapatkan hak-

haknya bahkan sering terlanggar. Menguak kehidupan anak jalanan, terkesan

membuka lembaran hitam perjalanan manusia. Anak-anak yang selayaknya menikmati

dunianya dengan bermain serta berkembang secara wajar seiring dengan pertumbuhan

usianya, nyatanya berada dalam situasi yang jauh berbeda. Anak-anak terpaksa untuk

mengarungi kehidupan yang sangat berat, syarat dengan konflik dan penuh dengan

nuansa kekerasan. Mereka harus berjuang keras mengembangkan taktik dalam

menapaki perjalanan hidupnya. Kegiatan mencari uang untuk dirinya ataupun keluarga

selalu dibayang-bayangi oleh berbagai bentuk ancaman, selain itu mereka harus bisa

Page 6: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

mempertahankan hidup dan menghindari situasi-situasi yang mengancam

keberadaannya.

Seperti diketahui pada umumnya, kasus kekerasan terhadap anak merupakan

suatu wacana sosial yang sangat santar dibicarakan dan menjadi isu sentral dewasa ini,

entah dalam bentuk kekerasan verbal maupun non verbal ( fisik ) yang terjadi dikarena

tidak berfungsinya suatu nilai atau norma dalam lingkungan tersebut sehingga

menyebabkan suatu ketimpangan yang berimbas pada suatu kekerasan dan bentuk

penyimpangaan lainnya. Sejak situasi krisis pada tahun 1998 mulai merambah di

berbagai wilayah. Kesadaran akan pentingnya permasalahan anak tampak mulai

meningkat sejak adanya pantauan dan permasalahan yang terjadi pada anak. Dalam

hal ini kedudukan anak tidak lagi diperlakukan secara istimewa layaknya sang anak,

lebih dari itu mereka dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya dan menjalankan

kewajiban seperti orang dewasa pada umumnya. Adanya peran sebagai bahan

pelampiasan dan penyalur kebutuhan oleh si pelaku baik kebutuhan ekonomi, seksual

maupun emosi menambah beban anak jalanan. Tak jarang dari mereka yang menerima

perlakuan tersebut mengalami ketekutan, gangguan traumatis sampai hilangnya

semangat dan masa depan sang anak.

Permasalahan anak jalanan merupakan permasalahan sosial yang cukup serius

di Indonesia. Laporan dunia menyebutkan bahwa terdapat 30 juta anak tinggal dan

menjaga diri mereka sendiri di jalan. Dalam bukunya (Childhope, 1991 dalam Tauran,

2000) Mengatakan bahwa jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat

pada 30 tahun mendatang. Komisi Perlindungan Anak Nasional (KPAI) telah

mencatat, terjadi 417 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi selama Januari-April

Page 7: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

2007. Hal tersebut mencakup kekerasan fisik (89 kasus), kekerasan seksual (118

kasus), dan kekerasan psikis (210 kasus). Di antaranya 226 kasus terjadi di sekolah.

Sedangkan periode yang sama tahun sebelumnya menunjukkan terjadi 247 kasus

kekerasan fisik (29 kasus terjadi di sekolah), kekerasan seksual 426 kasus (67 kasus di

sekolah), kekerasan psikis 451 kasus (96 kasus di sekolah).3 Fakta yang ada di

lapangan diperkirakan lebih memprihatinkan. Bahkan diperkirakan kekerasan terhadap

anak sudah mencapai titik kritis karena terjadi setiap dua menit sekali dan ironisnya

hal tersebut dilakukan oleh orang-orang terdekat mereka sendiri seperti orang tua,

tetangga, guru sampai aparat negara yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam

melindungi anak-anak. Hal ini diperkuat adanya laporan program, hasil monitoring

dan pemberitaan media massa yang pada penelitiaan ini menunjuk kota semarang

sebagai lokasi survei, mengungkap situasi buruk kekerasan yang dialami oleh anak

jalanan. Data PAJS menunjukan bahwa di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-

Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus

yang mana (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian, Satpol PP dan TNI)

yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka.4

Hal semacam ini di akibatkan oleh banyak faktor, perbedaan interpretasi antara

petugas ketertiban dan anak jalanan menjadi salah satu penyebab timbulnya

kekerasan. Kegiatan anak jalanan yang dianggap sebagai biang ketidaktertiban umum,

seperti mengamen, menjadi alasan utama keganasan Satpol PP. Tindakan kekerasan

yang dilakukan oleh petugas memiliki indikator tidak rasional terhadap anak jalanan

khususnya. hal tersebut dikarenakan tidak adanya kesinambungan antara pemerintah

3 Kekerasan anak jalanan. Diakses 29 september 2012. http:/social development center.com/ 4 ibid

Page 8: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

dan petugas ketertiban dalam menangani kebutuhan yang di inginkan oleh anak

jalanan.

Menurut konvensi hak anak (KHA) sesuai pasal 37 b

Tidak seorang pun dapat dirampas kemerdekaannya secara tidak sah atau

sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan dan pemenjaraan seorang

anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya

terakhir untuk jangka waktu sesingkat-singkatnya.

Dari pernyataan pasal diatas sudah menjelaskan bahwa tidak seorang pun boleh

dirampas hak dan kemerdekaanya termasuk tindakan kekerasan yang dilakukan aparat

penegak hukum dalam menertipkan tata kota. Jika hal tersebut sangtlah diharuskan,

tentunya cara yang digunakan hendaknya cara yang solutif. Selain itu permasalahan

yang dihadapi anak jalanan tidak hanya berasal dari lingkungan dan faktor ekonomi

dimana mereka berada. Tetapi hal tersebut juga berasal dari cara aparatur negara

dalam membina dan mengatasi fenomena anak jalanan. Pada hasil penelitian

sebelumnya tercatat bahwa kekerasan juga dilakukan oleh aparatur negara ( Satuan

Polisi Pamong Praja ) dalam menangani anak jalanan yang sebenarnya dalam hal ini

sangat tidak boleh dilakukan karena sesuai dengan UUD 1945 pasal 28 b ayat 2

disebutkan bahwa

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan deskriminasi.

Sementara itu pada UUD 1945 pasal 34 ayat 1 menyatakan

“fakir miskin dan gelandangan dipelihara oleh negara“.

Page 9: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Sangat jelas artinya bahwa sudah seharusnya pemerintah bertanggung jawab

atas pemeliharaan dan pembinaan anak terlantar termasuk anak jalanan. dalam hal ini

terjadi kesenjangan antara peraturan yang ditulis oleh negara dengan kenyataan pada

umumnya. Di pihak aparatur negara khususnya polisi pamong praja menyatakan hal

tersebut merupakan bagian dari pembinaan namun pada kenyataannmya hal tersebut

malah memunculkan permasalahan yang baru bagi para anak jalanan. Karna dalam hal

ini tindakan aparatur negara cenderung dianggap sebagai ancaman yang setiap kali

menggunakan cara kekerasan dalam proses pembinaannya. Kemunculan fakir miskin

dan gelandangan merupakan tanggung jawab negara. Termasuk cara pembinaan dan

mekanisme pembelajarannya. Maka dari itu untuk menjadikan penelitian ini sebagai

penelitian yang valid. Penulis akan melakukan penelitian lebih dalam tentang persepsi

anak jalanan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara guna

tercapainya suatu perubahan dan evaluasi pemerintah maupun negara.

I.2. Rumusan masalah

Kehidupan jalanan sangat erat sekali dengan fenomena kekerasan khususnya

yang terjadi pada kehidupan anak jalanan. Hal tersebut tidak terlepas dari peran

aparatur negara ( Satuan Polisi Pamong Praja ) yang menggunakan tindak kekerasan

dalam membina dan mengatasi fenomena anak jalanan. Maka dari itu fokus

permasalahan ini adalah Bagaimana konstruksi sosial yang dibangun oleh anak

jalanan terhadap tindakan penertiban yang dilakukan satuan polisi pamong praja ?

Page 10: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

I.3. Tujuan penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini antara lain untuk

mengetahui dan sekaligus menganalisis cara anak jalanan dalam mengkonstruksi

tindak kekerasan yang dilakukan oleh satuan polisi pamong praja di Surabaya. Selain

itu, tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam tentang

berbagai hal yang menjadi permasalahan sekaligus mengetahui mekanisme survival

yang digunakan oleh anak jalanan dalam menghadapi rutinitasnya sebagai anak

jalanan

I.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara

lain:

I.4. 1. Manfaat Teoritis

Bagi ilmuan Sosiologi diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memperdalam,

memperkaya dan mengembangkan wacana dalam ilmu sosiologi khususnya

wacana sosiologi sosial serta dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan untuk

penelitian selanjutnya di masa yang akan datang.

I.4. 2. Manfaat Praktis

Bagi anak-anak jalanan, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan

pemahaman baru dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada di

jalanan.

Page 11: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Bagi Panti Sosial atau Rumah Singgah, dari hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai pedoman dalam penanganan maupun bimbingan terhadap anak jalanan.

Bagi Pemerintah khususnya Dinas Sosial, semoga dapat dijadikan bahan acuan

dalam upaya penanganan permasalahan-permasalahan sosial khususnya masalah

anak jalanan

II.I. KAJIAN TEORITIK

Penelitian ini menggunakan Teori Konstruksi Sosial yang didapat dari buku

karya Peter L. Berger & Thomas Luckmann. Teori ini digunakan sebagai fondasi

utama dalam menganalisis fenomena sosial mengenai konstruksi sosial tentang pola

kekerasan yang dilakukan oleh aparatur negara dalam menangani anak jalanan.

Perumusan Berger tentang hubungan timbal balik di antara realitas sosial yang bersifat

objektif dengan pengetahuan yang bersifat subjektif dilandaskan pada tiga konsep.

Pertama adalah realitas dalam kehidupan sehari-hari. Realitas ini menerangkan bahwa

realitas yang terpenting adalah realitas yang dialami oleh individu dalam kehidupan

sehari-hari. Mereka memaknai kenyataan yang selalu dialami mampu menghadirkan

sesuatu yang bersifat khas dalam kehidupannya. Sehingga apabila salah satu rutinitas

yang dilakukan menghilang hal tersebut akan menimbulkan perasaan dan pemahaman

yang berbeda. Individu hanya akan membayangkan realitas yang paling dekat dengan

dirinya sehingga untuk memanipulasinya jauh lebih mudah. Tak jarang konstruksi

pemikiran dalam masyarakat cendrung menjadikan dasar pemikiran yang seragam.

Kedua adalah interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Berger dan

Page 12: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Lucman, realitas sosial dialami oleh individu bersama dengan individu lainnya. Dalam

pengertian ini berarti orang lain bukan hanya bagian atau objek dalam realitas

kehidupan sehari-hari individu, tetapi mereka juga bisa dipandang sebagai realitas

sosial itu sendiri. secara lebih jelas pengalaman individu tentang sesamanya

merupakan aspek yang penting untuk ditelaah dari konstruksi realitas dalam diri

seseorang. Ketiga adalah bahasa dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam

hal ini tindakan yang dilakukan oleh individu akan mempunyai respon tersendiri bagi

individu lain terlepas objektif atau subjektif tindakan yang dilakukannya. Mereka

menilai berdasarkan makna yang di tampilkan dalam interaksi seseorang atau

sekelompok manusia kepada yang lain.

Konstruksi sosial mensyaratkan kemampuan berpikir secara logis dan

nonlogis. Dalam pengertian, berpikir secara kontradiktif dan dialektis. Peneliti

diharuskan memiliki kemampuan mensintesiskan gejala-gejala sosial yang kelihatan

kontradiktif dalam suatu sistem interpretasi yang sistematis, ilmiah, dan argumentatif.

Konstruksi sosial menjelaskan adanya dialektika antara diri (self) dengan dunia sosio-

kultural. Adapun dialektika ini berlangsung dalam satu proses dengan tiga “momen”

simultan, yakni: (1) ekstrenalisasi: penyesuaian diri dengan dunia sosiokultural

sebagai produk dunia manusia (“society is a human product”), (2) objektivasi:

interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses

institusionalisasi, (“society is an objective reality”), dan (3) internalisasi: individu

mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial,

tempat individu menjadi anggotanya (“man is a social product”).

Page 13: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, pencetus teori konstruksi sosial,

mengatakan bahwa realitas sosial terdiri dari: realitas objektif 5,realitas simbolik

6,

dan realitas subjektif 7 Pemikiran Berger dan Luckmann banyak terpengaruh ajaran

dan pemikiran Schutzian8 tentang fenomenologi “makna-makna subjektif” dari

pemikiran Weberian, Durkhemian-Parsonian mengenai struktur, Dialektika Marxian,

serta interaksi simbolik dari Mead. Dalam pemikiran tentang dialektika, nampaknya

Berger sejalan dengan pemikiran Marx begitupula dengan pemikiran Durkhaim bahwa

masyarakat sebagai realitas objektif yang mempunyai kekuatan memaksa sekaligus

sebagai fakta sosial.

III.1. PEMBAHASAN

Semua manusia tentunya pasti akan memiliki sebuah konstruksi sosial atau

pembentukan sebuah makna sosial di dalam dirinya masing-masing yang kemudian

dapat dipahami oleh orang lain. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagai

kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia mempunyai makna subyektif bagi diri

mereka. Dalam bukunya Peter L Berger mengatakan bahwa hubungan konstruksi

sosial dengan interaksi sosial sangatlah berkaitan. Hal tersebut merupakan produk

sosio-kultural atas kehidupan sehari-hari seorang individu. konstruksi sosial pada

dasarnya akan mulai terbentuk melalui suatu proses interaksi yang terjadi antara

5 Realitas objektif terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar individu dan realitas itu dianggap sebagai suatu kenyatan 6 Realitas simbolik merupakan ekspresi simbolik dari realitas objektif dalam berbagai bentuk 7 Terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses interaksi 8 Alfred schutz adalah guru besar berger yang ahli fenomenologi dan melatar belakangi pemikirannya

Page 14: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

individu dengan keluarga maupun dengan lingkungan dimana ia tinggal. Menjadi anak

jalanan memang bukanlah cita-cita yang mereka harapkan, tak pernah terlintas dalam

benak mereka bahwa nasib dan masa depannya akan menjadi sesulit ini namun itulah

kenyataan yang harus mereka jalani. Pola hidup yang serba kekurangan menjadikan

keluarga anak jalanan berfikir dua kali jika mereka tidak mempunyai penghasilan

tambahan. Namun disatu sisi pemenuhan kebutuhan ekonomi harus bisa tercukupi tak

jarang mereka memutuskan hanya memenuhi kebutuhan yang benar-benar menjadi

prioritas saja seperti makan, sewa rumah, belanja dan keperluan rumah tangga lainnya

sehingga kebutuhan sekolah dan pendidikan lainnya mereka abaikan. Adanya peran

tunggal yang dilakukan oleh beberapa orang tua informan dalam penelitian ini juga

menjadikan beban tersendiri bagi nasib anak-anak jalanan, karena mereka harus

bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan yang harus mereka cukupi bersama orang

tua dan anggota keluarganya yang masih ada, tak jarang mereka pun memutuskan

untuk bekerja pada sektor-sektor yang berbahaya.

Berawal dari kondisi serba kekurangan itulah anak-anak yang seharusnya

mengikuti proses belajar disekolah terpaksa harus membantu orang tuanya dengan

cara menjadi anak jalanan dengan harapan bisa sedikit meringkankan beban orang tua

mereka. Dalam hal ini keberadaan anak dalam keluarga bisa dikatakan telah

mengalami pergeseran nilai dari yang seharusnya menjalani kehidupan mereka untuk

belajar, bermain dan berkembang namun harus mereka hilangkan dan

memanfaatkannya dalam bentuk kerja demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Selain himpitan ekonomi yang menjadi salah satu faktor munculnya anak jalanan,

faktor lainnya yang turut memberikan kontribusi kemunculan anak jalanan yaitu pola

Page 15: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

belajar yang teramat sulit yang dirasakan oleh anak-anak sebelum menjadi anak

jalanan sehingga pada akhirnya prestasi yang mereka capai tidaklah maksimal dan

terjadilah ketidak naikan kelas bahkan yang lebih tragis dari semua itu mereka

memilih keluar atau tidak melanjutkan sekolah. Banyaknya waktu yang mereka punya

dan tidak adanya kegiatan yang bisa dilakukan menjadikan jalanan sebagai alternatif

dalam mengisi kekosongan waktunya. Selain itu kemunculan anak jalanan juga terjadi

akibat pengaruh teman dan lingkungan yang didominasi oleh para pekerja jalanan.

Anak-anak yang sebelumnya berada pada pengawasan orang tua dan

mengikuti semua peraturan rumah tangga menilai bahwa para pekerja jalanan yang

berada di lingkungannya sering kali mempunyai gaya hidup yang bebas tanpa aturan

hal tersebut secara tidak langsung menjadikan tanda tanya besar bagi anak sehingga

timbulah rasa penasaran dan akhirnya mencoba mengikuti apa yang dilakukan oleh

temannya dalam lingkungan tersebut. adanya kesamaan latar belakang baik dalam

permasalahan keluarga maupun kondisi perekonomian yang serba kekurangan

menjadikan anak-anak yang sebelumnya berada pada lingkungan rumah beralih pada

lingkungan jalanan. Dijalanan mereka merasa bebas tanpa adanya pengawasan yang

diberikan orang tuanya permasalahan yang selama ini dirasa cukup memberatkan

semua mereka lampiasakan pada kehidupan jalanan. Adanya pendapatan yang mereka

terima dari hasil usahanya sendiri menjadikan mereka semakin nyaman dengan

kondisi kehidupan jalanan. Kehidupan jalanan yang mereka jalani tidak hanya sebatas

pada pemenuhan kebutuhan pribadi saja, lebih dari itu. Meraka juga harus menerima

konsekuensi dari pilihan hidup yang mereka jalani yakni kerasnya kehidupan jalanan

yang sewaktu-waktu bisa mengancam keberadaan mereka.

Page 16: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Banyaknya resiko yang harus mereka hadapi seperti aksi pemalakan oleh anak

jalanan yang lebih besar, premanisme, tertabrak oleh pengendara lain khususnya

dalam penelitian ini sampai bermasalah dan kontak fisik dengan aparat yang

menertibkan telah menjadi bagian dari kesaharian mereka. Diantara banyaknyanya

ancaman yang terjadi ada beberapa hal yang benar-benar menjadikan mereka trauma

dan seringkali dianggap sebagai ancaman dalam setiap rutinitasnya yakni kejaran

aparat yang menertibkan. Berdasarkan pengalaman pelaksanaan razia di berbagai kota,

mulai muncul berbagai reaksi dan pandangan-pandangan yang intinya melakukan

razia pada keberadaan anak jalanan tidak akan pernah efektif. Adapun hal yang terjadi

justru bermunculan kasus-kasus yang menempatkan anak jalanan sebagai korban

tindakan kekerasan yang sering kali sangat tidak manusiawi dan mengabaikan hak-hak

mereka sebagai manusia yang dilakukan oleh petugas razia yakni satuan polisi

pamong praja. Besarnya beban dan ancaman yang harus mereka tanggung selama

berada dijalan menjadikan mereka peduli antara satu sama lain, perasaan itulah yang

kemudian mendorong mereka membentuk suatu kelompok anak jalanan.

Adanya kelompok-kelompok anak jalanan serta tingginya solidaritas yang

mereka lakukan terhadap sesama anak jalanan menjadikan interaksi yang mereka

bangun semakin mendalam sehingga sangat memungkinkan untuk mereka dalam

bantu-membantu atau sekedar hanya bercerita mengenai pengalaman yang pernah

dialami terhadap tindakan kasar yang dilakukan oleh aparat dalam melakukan

merazia. Seringnya tindakan kasar yang diterima oleh anak-anak jalanan sedikit demi

sedikit telah merubah jalan pikirannya tentang keberadaan aparat itu sendiri yang

kemudian menjadi suatu ketakutan yang sewaktu-waktu bisa mengancam keberadaan

Page 17: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

anak jalanan. Lalu pemikiran tersebut berlanjut khususnya pada pengalaman pribadi

yang pernah mereka alami. Pada tahap inilah konstruksi yang semuala masih menjadi

keraguan berubah menjadi suatu keyakinan, bahwa keberadaan aparat satpol pp yang

bertugas identik dengan sesuatu yang menakutkan khususnya tindakan yang bersifat

kekerasan. Rutinitas sehari-hari yang sering mereka jalani secara tidak disadari

membentuk suatu pola pikir bahwa keberadaan dan tindakan yang mereka terima

sebagai suatu hal yang biasa. dengan keberadaan aparat, semakin memperjelas

ingatannya bahwa tindakan yang dilakukan aparat ketertiban sangatlah mempunyai

dampak dan efek yang sangat besar dalam kehidupannya yaitu rasa trauma dan

ketakutan yang mendalam. Seringnya perlakuan kasar yang mereka terima baik terjadi

secara langsung maupun terjadi pada anak jalanan yang lain menjadikan dugaan yang

selama ini mereka asumsikan menjadi suatu kebenaran yang mutlak bahwa

keberadaan aparat ketertiban sarat dengan tindakan kekerasan dalam mengatasi anak-

anak jalanan yang semua itu mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hariannya.

Inilah yang kemudian dikatakan oleh berger sebagai suatu proses objektifikasi yang

kemudian memunculkan sebuah tindakan yang tercermin dalam proses ekternalisasi.

proses eksternalisasi merupakan suatu tindakan yang terlahir dari interaksi

yang dibangun oleh individu dengan lingkungannya yang kemudian tergambar dalam

aktivitas sehari-hari. Pemahaman yang mereka terima dari lingkungan dimana anak

jalanan tinggal secara perlahan akan merubah pemahaman awal masing-masing

individu bahwa apa yang mereka asumsikan selama ini tentang tindakan yang

dilakukan aparat ketertiban tidaklah sama dengan kenyataan yang mereka terima

dalam kehidupannya. Perubahan yang didapatkan anak-anak jalanan baik dalam

Page 18: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

kelompok, pengalaman dan cerita sesama anak jalanan pada akhirnya dikostruksikan

kembali pada kehidupan masing-masing individu.

Menurut berger konstruksi sosial adalah sesuatu yang mengalami sebuah

dialektika terhadap pemaknaan sosial, dalam hal ini dapat terlihat pada saat proses

eksternalisasi yang ditemui pada masing-masing anak jalanan. Individu yang

mengidentifikasikan dirinya sebagai anak jalanan akan mengalami pemaknaan

subjektif yang mereka terima melalui realitas dalam kesehariannya serta pengaruh dan

kebiasaan yang terjadi dalam lingkungannya. Dalam hal ini dimaksudkan adalah

pemaknaan terhadap seringnya perlakuan kasar petugas yang mereka terima dalam

kehidupan sehari-hari serta pemahaman yang didapakan didalam lingkungannya

tentang suatu hal yang harus di hindari selama berada dijalan yang mereka dapatkan

saat proses internalisasi. Proses eksternalisasi akan menjadi sebuah realitas baru bagi

masing-masing individu dan akan mengakibatkan perbedaan pemaknaan subjektif

sesuai dengan individu yang mengkonstruksinya dan dari situlah memunculkan suatu

perubahan yang dalam hal ini berupa tindakan yang dilakukan oleh anak jalanan.

Imam mengatakan bahwa tindakan yang mereka lakukan bersifat semaunya sendiri,

suka marah-marah dan sering melakukan tindakan kasar namun hal tersebut tidak

menjadikan imam dan teman-temannya jera. sesekali aksi perlawanan yang mereka

lakukan seperti pada penangkapannya yang barusan terjadi kemarin. Dalam aksinya

imam berusaha untuk melarikan diri dengan cara memukul dan menggigit tangan

petugas yang hendak menangkapnya, tak hanya itu tangis dan cacian juga menjadi

senjata utama imam dalam melakukan perlawanan terhadap tindakan yang dilaukan

oleh aparat satpol pp, secara spontan hal tersebut menimbulkan perhatian teman-teman

Page 19: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

imam dan mereka pun langsung membantu imam dalam upaya melarikan diri. Begitu

juga dengan para anak jalanan yang lain seperti indah, riko dan tomi dalam upayanya

untuk mempertahankan dirinya, ia sering kali melakukan berbagai tindakan

perlawanan seperti mencaci maki petugas, perang mulut sampai kontak fisik yang

mereka lakukan baik secara perorangan maupun pengeroyokan. Dalam hal ini yang

sering melakukan aksi pengeroyokan tersebut yakni riko dan tomi. Mereka

menuturkan, tindakan yang mereka lakukan sebagai aksi pembalasan dan langkah

akhir dalam upaya mempertahankan diri mengingat banyaknya tindakan kasar yang

sudah mereka terima selama ini. Dari pengalaman itulah mereka belajar tentang apa

yang menjadi kendala baginya serta kewajibannya dan tindakan apa yang harus

mereka lakukan agar dapat terus mempertahankan keberadaan dan kelompoknya.

VI.1. KESIMPULAN

Pada bab ini akan dijelaskan kesimpulan yang didasarkan pada pertanyaan

penelitian yang telah ditentukan. Berdasarkan temuan data yang telah diperoleh,

peneliti mendapatkan konstruksi tentang reaksi anak jalanan terhadap pola

penanganan kekerasan yang dilakukan oleh satuan polisi pamong praja yang terbentuk

dari 3 proses simultan yakni eksternalisasi, internalisasi dan obyektifasi.

Proses internalisasi pada awalnya di peroleh dari kehidupan yang serba

kekurangan yang pada akhirnya memaksa mereka untuk mempunyai penghasilan

tambahan. Sementara itu, untuk dapat terus memenuhi kebutuhan hidupnya, mereka

harus mencarinya pada kehidupan jalanan yang artinya harus banyak meluangkan

Page 20: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

waktu, tenaga dan pikirannya berada di jalan dan mengabaikan tugasnya sebagai

pelajar yang kemudian anak terancam putus sekolah dan dikeluarkan dari sekolah.

Banyaknya waktu yang mereka punya dan tidak adanya kegiatan yang bisa dilakukan

semakin menjadikan jalanan sebagai alternatif dalam mengisi kekosongan waktunya.

Adanya pengaruh dan iming-iming yang didominasi oleh para pekerja jalanan senior

di lingkungannya juga menjadikan harapan baru bagi anak-anak untuk mendapatkan

penghasilan yang lebih tanpa harus bersusah payah mencari pekerjaan lain dan

pastinya terbebas dari segala peraturan yang ada. secara tidak langsung hal tersebut

menjadikan tanda tanya besar bagi anak dan menimbulkan rasa penasaran yang pada

akhirnya membawa pada kehidupan jalanan yang sesungguhnya.

Proses objektivasi mereka terima sebelum anak-anak yang hendak

memutuskan untuk menjadi anak jalanan menganggap bahwa keberadaan aparat

ketertiban bukanlah sebagai sesuatu yang menakutkan bahkan bisa dikatakan sebagai

pembantu masyarakat. Namun kenyataannya setelah mereka benar-benar menjadi

bagian dari anak jalanan pandangan yang mereka berikan sebelumnya tidak berlaku

lagi, Semua itu akan berbalik secara total karena suatu proses yang mereka jalani

dalam rutinitas kehidupannya. Seringnya tindakan kasar yang diterima oleh anak-anak

jalanan sedikit demi sedikit telah merubah jalan pikirannya dan menjadikan hal

tersebut sebagai suatu kebenaran yang mutlak bahwa keberadaan aparat ketertiban

sarat dengan tindakan kekerasan dalam mengatasi anak-anak jalanan yang semua itu

mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hariannya.

Proses eksternalisasi mereka terima dari lingkungan dimana anak jalanan

tinggal serta seringnya perlakuan kasar petugas yang mereka terima dalam kehidupan

Page 21: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

sehari-hari sehingga pada proses tersebut akan menjadi sebuah realitas baru bagi

masing-masing individu dan akan mengakibatkan perbedaan pemaknaan subjektif

sesuai dengan individu yang mengkonstruksinya. Dari situlah memunculkan suatu

perubahan yang dalam hal ini berupa tindakan yang dilakukan oleh anak jalanan

VI.2. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dalam memahami konstruksi sosial yang

diberikan oleh anak jalanan terhadap tindakan yang dilakukan satpol pp maka penulis

mencoba untuk memberikan saran sebagai berikut:

1. Program dan upaya penanganan dalam mengurangi jumlah anak jalanan yang

dilakukan oleh pemerintah dengan cara mengadakan razia merupakan suatu

langkah yang solutif. Namun dari semua itu hendaknya perlu dikaji kembali

baik cara ataupun metode yang digunakan agar memperoleh hasil yang

maksimal. Anak jalanan bukanlah sampah masyarakat yang harus dihindari

dan dihilangkan dari kehidupan. Mereka juga sama membutuhkan perhatian,

pembelajaran dan perlindungan. Oleh karena itu penanganan dan berbagai hal

yang mereka butuhkan tidaklah bisa disamakan dengan yang lain. Pemerintah

hendaknya memberikan pembelajaran dan kebutuhan yang mereka inginkan

bukan memaksa untuk mengikuti peraturan yang ada.

2. Satpol PP dan aparatur Negara lainnya hendaklah bukan menjadi sesuatu yang

menakutkan bagi masyarakat dan bukan pula menjadi penentu sekaligus

penghukum tentang salah dan benar seseorang melainkan menjadikan

Page 22: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

keberadaan aparatur Negara sebagai pelindung sekaligus pengayom

masyarakat tidak terkecuali dengan anak jalanan. Adapun cara yang

seharusnya digunakan dalam menangani anak jalanan adalah cara-cara yang

persuasif yang lebih mengedepankan proses interaksi yang komunikatif

3. Peneliti berharap agar ada penelitian yang mengusung tema tentang konstruksi

sosial yang diberikan oleh anak jalanan terhadap tindakan yang dilakukan

satpol pp ini lebih lanjut. Hal ini disarankan agar penelitian-penelitian yang

nantinya akan dilaksanakan dapat mengungkap lebih tajam mengenai realita

konstruksi sosial anak jalanan terhadap tindakan yang dilakukan oleh satpol pp

khususnya yang ada di Surabaya. Begitu banyak tema yang bisa diambil dan

dijadikan sebagai bahan penelitian yang tanpa disadari ada di tengah-tengah

masyarakat. Sulitnya menggali informasi akan menjadi tantangan tersendiri

bagi peneliti selanjutnya untuk mengungkap realitas yang ada. Setiap

informasi akan menjadi pengetahuan yang sangat berharga bagi pembaca,

terutama bagi pembaca yang kurang paham menganai konstruksi sosial anak

jalanan terhadap tindakan yang dilakukan oleh satpol pp.

Page 23: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Berger, peter L.dan Thomas Luckmann. 1996. The social construksion of reality

: A treatise in the sociology of knowledge. New york : double day

Budiono , 1997, pendidikan dan perubahan sosial ekonomi, yogyakarta : Aditya

medika

Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan terhadap anak : fenomena masalah sosial

kritis indonesia. Bandung : penerbit nuansa

Mathew j.miles dan A. Michael Huberman.1992.Analisi Data Kualitatif: Buku

sumber tentang metode-metode baru.UI press.Jakarta.

Neuman, W. Lawrence.(2000). Social Research Methods. Qualitative and

Quantitative Approaches. Allyn and Bacon. Boston.

Pengertian Konvensi HAK Anak unicef

Poloma, Margaret M. 2007, Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Samuel, hanneman. 2012. Peter L. Berger : sebuah pengantar ringkas. Depok :

kepik

Suyanto, Bagong dkk.(eds). 2000.tindak kekerasan terhadap anak: masalah dan

upaya pemantauannya.surabaya : kerjasama LPA Jatim dan Unicef

Suyanto, bagong dkk 2000 tindak kekerasan mengintai anak-anak : studi

terhadap hak-hak anak di Jawa timur. Surabaya : lutfansah

mediatama.

Page 24: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

Suyanto, Bagong dan Sri Sanituti Hariadi 2002 krisis & child abuse kajian

sosiologis tentang kasus pelanggaran hak anak dan anak yang

membutuhkan perlindungan khusus. Surabaya : Airlangga University

press.

Suyanto, bagong & Sri Sanituti.2002.program penanganan pekerja anak di

sektor berbahaya di jawa timur. Surabaya : lutfansah mediatama

Suyanto, Bagong. 2010.masalah sosial anak. Jakarta : kencana

Shalahudin,odi. 2004. Di bawah bayang-bayang ancaman. Semarang : yayasan

setara

Skripsi :

Bastian, Johan, 2010 Dampak Dari Eksploitasi Dan Mekanisme Survival

Anak Jalanan ( Studi Deskriptif Tentang Tindakan Child Abuse

Terhadap Anak Jalanan Di Kota Surabaya ) Undergraduate

Theses Airlangga University.

Artikel dan Jurnal Online :

Kekerasan Anak Jalanan. Diakses 29 september 2012. http:/social

development center.com/

Satpol PP Dilarang Razia Anak Jalanan. Di akses 12 oktober

2012.http://www.republika.co.id

Surat Terbuka Anak Jalanan Di Lindungi Negara. 2007 di akses 28 januari

2013 http://siaranpers.blogspot.com/

Harian Online kabar Indonesia 21 september 2008. Diakses pada tanggal 8

januari 2013

Page 25: Abstrak - journal.unair.ac.idjournal.unair.ac.id/download-fullpapers-kmnts56da37962dfull.pdf · anak haruslah sesuai dengan hukum dan hanya diterapkan sebagai upaya terakhir untuk

www.jatim.bps.go.id diakses pada jum’at 15 november 2013

Tindakan arogan satpol pp di Medan.2012.Alleybambboes.wordpress.com.di

akses 12 oktober 2012