a3 - pneumonia

23
TUGAS FARMAKOLOGI TERAPAN STUDI KASUS PNEUMONIA I KELOMPOK III Ayu Arditha (2015000017) Ayu Astini (2015000018) Ballyna Cassanova (2015000019) Bernazal M (2015000020) Bonita Wening (2015000021) Chelson Fernico (2015000022) Chici Agimas (2015000023) Cicin Cintarsih (2015000024) Desi S. N (2015000144) Elisa (2015000145)

Upload: katarina-thealuffy-agrippina

Post on 28-Jan-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pneumonia

TRANSCRIPT

Page 1: A3 - Pneumonia

TUGAS FARMAKOLOGI TERAPAN

STUDI KASUS PNEUMONIA I

KELOMPOK III

Ayu Arditha (2015000017)

Ayu Astini (2015000018)

Ballyna Cassanova (2015000019)

Bernazal M (2015000020)

Bonita Wening (2015000021)

Chelson Fernico (2015000022)

Chici Agimas (2015000023)

Cicin Cintarsih (2015000024)

Desi S. N (2015000144)

Elisa (2015000145)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PANCASILA

JAKARTA

2015

Page 2: A3 - Pneumonia

BAB IPENDAHULUAN

A. PNEUMONIA

1. Definisi

Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru yang di

sebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). Pneumonia yang

disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk. Sedangkan peradangan

paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan

toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut pneumonitis.

2. Etiologi

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, yaitu bakteri,

virus, jamur dan protozoa. Nasib partikel infeksi yang terhirup namun masih berada

di jalan napas kecil dan alveoli berbeda sesuai dengan agen infeksi yang masuk.

Streptococcus pneumoniae menyebabkan eksudat inflamasi dalam jumlah besar ikut

membantu bakteri penyerang melalui pori yang ada di dalam alveoli hingga

dihancurkan oleh septum yang memisahkan lobus paru-paru. Sebaliknya influenza

menyebabkan inflamasi epitel pernapasan di dalam trakea dan bronki. Hal ini dapat

menyebabkan desquamation dan pneumonia hemoragi, atau infeksi bakteri

sekunder, yang menyebabkan paling sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus.

CAP berat paling sering terjadi karena Streptococcus pneumoniae, Legionella

pneumophila atau Klebsiella sp. Pneumonia yang lebih ringan dengan onset lebih

lambat (dimana terjadi batuk dan susah bernapas tanpe produksi dahak secara jelas)

dapat disebabkan oleh Mycoplasma pneumonia.

3. Klasifikasi Pneumonia

a. Berdasarkan Klinis dan epideologis :

1) Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)

2) Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia / masocomial

pneumonia)

3) Pneumonia aspirasi

4) Pneumonia pada penderita Immunocompromised

Page 3: A3 - Pneumonia

b. Berdasarkan bakteri penyebab

1) Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa

bekteri mempunyai tendensi menyerang seorang yang peka.

2) Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia

3) Pneumonia virus

4) Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama

pada penderita dengan daya tahan lemah (immunocompromised).

c. Berdasarkan predileksi infeksi

1) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi dan

orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen

kemungkinan sekunder disebabkan oleh onstruksi bronkus misalnya : pada

aspirasi benda asing atau proses keganasan

2) Bronkopneumonia. Ditandai dengan bercak-bercak infiltrat pada lapangan

paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering pada bayi dan

orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.

3) Pneumonia interstisial

4. Epidemiologi

Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah utama dalam kesehatan,

baik di negara yang sedang berkembang maupun yang sudah maju. Dari data

SEAMIC Health Statistic 2001 influenza dan pneumonia merupakan penyebab

kematian nomor 6 di Indonesia, nomor 9 di Singapura, nomor 6 di Thailand dan

nomor 3 di Vietnam. Laporan WHO menyebutkan bahwa penyebab kematian

tertinggi akibat infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk

pneumonia dan influenza.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes tahun 2011, penyakit saluran

napas bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab kematian di Indonesia. Di

SMF Paru RSUP Persahabatan tahun 2011 infeksi juga merupakan penyakit paru

utama, 58 % diantara penderita rawat jalan adalah kasus infeksi dan 11,6 %

diantaranya kasus nontuberkolisis, pada penderita rawat inap 58,8 % kasus infeksi

dan 14,6 % diantaranya kasus nontuberkolosis. Di RSUP H. Adam Malik Medan

53,8 % kasus infeksi dan 28,6 % diantaranya infeksi nontuberkolosis. Di RSUP Dr.

Soetomo Surabaya didapatkan data sekitar 180 pneumonia komuniti dengan angka

kematian antara 20 – 35 %. Pneumonia komuniti menduduki peringkat keempat dan

sepuluh penyakit yang dirawat per tahun.

Page 4: A3 - Pneumonia

5. Terapi

Dengan semakin berkembangnya resistansi obat, pengobatan empiris tradisional

semakin tidak efektif. Oleh sebab itu, pilihan antibiotik sebaiknya didasran kepada

materi terisolasi dan uji sensitivitas. Menurut tinjauan Cochrane tentang penggunaan

antibiotik untuk CAP pada orang dewasa, temuan RCT tidak memadai untuk

mengambil keputusan berdasarkan bukti yang ada. Diperlukan studi lebih lanjut

untuk mengambil keputusan semacam ini. Untuk anak-anak, Conchra menemukan

bahwa amoksisilin atau prokain penisilin menimbulkan efek yang lebih besar

daripada kotrimoksazol untuk pnegobatan CAP. Di tatanan rumah sakit, penisilin dan

gentamisin ditemukan lebih efektif daripada kloramfenikol, dimana amoksisilin oral

memberikan hasil yang sama dengan penisilin suntik. Dalam sebuah review lain

terhadap anak-anak yang menderita pneumonia berat, antibiotik oral ditemukan sama

efektifnya dengan antibiotik suntik, tanpa efek samping berupa risiko infeksi dan

tanpa biaya yang tinggi. Masih menurut sebuah review di Cochrane, azitromisin

ditemukan tidak lebih baik daripada Amoksisilin atau Amoksisilin beserta asam

clavulanat dalam pengobatan infeksi saluran pernapasan bawah. AMH

mencantumkan Amokisisilin sebagi pengobatan terdepan untuk eksaserbasi akut

bronchitis kronis dan CAP, dimana azitromisin intravena merupakan pengobatan

terdepan jika risiko kematian tinggi. Untuk CAP berat, penggunaan gentamicin

intravena dan ticarcillin beserta asam clavulanat lebih dianjurkan.

Pengobatan antibiotik tidak boleh ditunda jika pneumonia dicurigai ada, karena

kondisi pasien bisa memburuk dengan cepat. Transfer ke rumah sakit harus

dilakukan dengan segera untuk pasien yang mengalami pusing, hipotensi, atau angka

respirasi lebih dari 30 tarikan napas per menit. Untuk meningkatkan kelangsungan

hidup, dosis antibiotik yang pertama harus diberikan dengan injeksi sebelum pasien

pulang; benzilpenisilin adalah pilihan yang tepat.

Suatu sampel sputum dapat diperoleh untuk kultur dan sensitivitas, namun terapi

antibiotic tidak boleh ditunda saat menunggu hasilnya. Amoksisilin masih menjadi

pengobatan empiris pertama pada CAP meskipun penyebaran rantai S. pneumorziae

meningkat disertai penurunan kerentanan terhadap penisilin. Penisilin juga tidak

memiliki khasiat melawan M. pneumonia, C. pneumonia, dan L. pneumophila.

Antibiotik golongan makrolid dapat digunakan pada pasien yang alergi terhadap

penisilin, atau jika penisilin gagal, atau ketika dicurigai adanya M. pneumorziae.

Page 5: A3 - Pneumonia

Eritromisin adalah pilihan yang cocok meskipun frekuensi resistansi semakin

meningkat dan rekomendasi ini dapat berubah di masa yang akan datang.

Terapi antibiotika untuk Pneumonia :

Subgrup Obat pilihan utama Alternatif

Ringan

Penisilin G; macrolid;aminopenisilin; macrolid; co-amoxiclav; macrolid;cephalosporin generasi ke-2 dan 3

Lecofloxacin, moxifloxacin

BeratCephalosporin generasi ke-3 dan makrolida

Cephalosporin generasi ke-3 + (levofloxacin atau moxifloxacin)

Berat dan resiko P. aeruginosa

Anti-pseudomonalCephalosporin + ciprofloxacin

Acylureidopenisilin/b-lactamase inhibitor + ciprofloxacin atau Carbapenem + ciprofloxacin

B. DISPEPSIA

1. Definisi dispepsia

Rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut bagian atas,

sedangkan menurut kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan

sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala perasaan perut

penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar diulu hati, yang berlangsung

sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan

sebelum diagnosis.

Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan

prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9 % pada tahun 1998 menjadi 3,3 % pada

tahun 2003. Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun

1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri

dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigestrium, mual, muntah, kembung, cepat

kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.

Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit,

tentunya termasuk juga didalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang

lebih dikenal sebagai penyakit maag.

2. Etiologi

Penyebab dari sindrom dispepsia adalah:

a. Adanya gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak

gaster/duodenum, gastritis, tumor, infeksi H. pylori

Page 6: A3 - Pneumonia

b. Obat-obatan : seperti obat antiinflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa

jenis Antibiotik, Digitalis, teofilin, DSB

c. Penyakit pada hepar, pankreas, sistem billier : hepatitis, pankreatitis, kolesistitis

kronik

d. Penyakit sistemik seperti : DM, penyakit tiroid dan penyakit jantung koroner

e. Bersifat fungsional yaitu : dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak didapat

adanya kelainan atau gangguan organik yang dikenal sebagai dispepsia

fungsional atau didpepsia non ulkus.

3. Klasifikasi

Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi yaitu dispepsia organik dan dispepsia

fungsional.

a. Dispepsia organik baru bisa dipastikan bila penyebabnya sudah jelas.

b. Dispepsia fungsional atau dispepsia non organik merupakan dispepsia yang tidak

ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi dari saluran makanan.

Dispepsia fungsional dibagi menjadi dua kelompok, yakni postprandial distress

syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distress syndrome

mewakili kelompok dengan perasaan bengah setelah makan dan perasaan cepat

kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih

konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya

postprandial distress syndrome.

4. Epidemiologi

Sebanyak 15-30% dari populasi umum pernah mengalami dispepsia. Dispepsia

dijumpai pada 30% dari pasien dokter praktik umum dan 60% dari semua pasien di

klinik gastroenterologi. Di negara barat, prevalensi dispepsia sebesar 7-14%. Dari

angka tersebut, yang berobat hanya 10-20%. Di Indonesia, data secara nasional

belum ada. Survei pernah dilakukan di Jakarta dan hasilnya menunjukkan 60% dari

1.650 penduduk yang disurvei mengalami dispepsia. Lain halnya dengan prevalensi

di Amerika Serikat yang besarnya 26% dan Inggris 41%.

Beberapa data penelitian epidemiologis yang berbasis populasi mengenai

dispepsia fungsional menunjukkan keterbatasan logistik untuk menyingkirkan

adanya penyakit struktural pada orang dengan jumlah yang besar. Prevalensi

uninvestigated dispepsia (UD) secara global bervariasi antara 7% - 45%, tergantung

dari definisi yang digunakan dan lokasi geografik, sedangkan prevalensi dispepsia

fungsional bervariasi antara 11% - 29,2%.

Page 7: A3 - Pneumonia

Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan

prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun

2003. Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat prevalensi

tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.

Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien

yang datang dengan dispepsia ternyata telah terinfeksi H. Pylori yang terdeteksi

setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.

5. Terapi

Penanganan pertama dilakukan dengan melihat alarm symptoms, yaitu anemia,

disfagia, hematemesis melena, berat badan turun, dan ada tanda obstruksi dari

esofagus. Jika tidak ada alarm symptoms, langsung diberi terapi empirik berupa obat.

Eksplorasi diagnostik dilakukan jika ada alarm symptoms, seperti endoskopi. Dari

tindakan tersebut dapat diketahui penyebabnya, organik atau tidak teridentifikasi.

Jika penyebabnya organik maka dilakukan terapi definitif, sedangkan yang tidak

teridentifikasi diklasifikasikan sebagai dispepsia fungsional. Dalam konsensus

penatalaksanaan dispepsia 2003 yang dipresentasikan dr. Untung, jika alarm

symptoms negatif maka diberikan terapi obat selama 2 minggu, antara lain antasid,

H2 reseptor antagonis/Proton Pump Inhibitor, atau prokinetik. Jika gejala sudah tidak

ada maka terapi bisa dihentikan. Kondisi ini bisa berulang dan maksimal 3 kali.

Setelah itu dirujuk ke gastroenterologis atau internist dengan fasilitas endoskopi.

Terkait dispepsia fungsional, penanganan yang pertama yaitu memastikan

kepada pasien bahwa tidak ada kelainan pada saluran cerna bagian bawah.

Selanjutnya pasien dianjurkan untuk bergaya hidup lebih baik, misalnya konsumsi

makanan yang tidak menyebakan dispepsia dan berhenti merokok. Obat-obatan yang

bisa diberikan berupa antasid atau obat penghambat sekresi lambung, yaitu

H2receptor antagonis/PPI yang terdapat dalam Loprezole®. Produk Pharmasolindo

ini dalam setiap kapsulnya mengandung Lansoprazole 30 mg, yang diindikasikan

untuk penanganan ulkus duodenum, tumor gastrik, ulkus gastrik, dan refluks

esofagus. Penggunaan dengan antasid tidak dianjurkan, karena dapat mereduksi

bioavailabilitas dari lansoprazole. 

Pada pasien muda (usia kurang dari 40 tahun) dengan dispepsia tanpa disertai

alarm symptoms dapat diobati secara empiris dengan penghambat pompa proton atau

proton pump inhibitors (PPI), dengan atau tanpa prokinetik selama 2-3 minggu. PPI

harus diberikan dalam dosis omeprazole atau rabeprazole (20 mg), atau lanzoprazole

(30 mg), atau pantoprazole atau esomeprazole (40 mg) perhari. Endoskopi dianggap

Page 8: A3 - Pneumonia

tidak diperlukan karena keganasan dalam kelompok ini relatif rendah. Pilihan lain

adalah dengan melakukan tes non-invasif terhadap H.Pylori (urea nafas atau antigen

tinja) dan mengobatinya sesuai hasil tes.

Prokinetik disarankan digunakan pada dispepsia tipe dismotilitas, antagonis

reseptor dopamin: metoklopramide, domperidon (10 mg TDS) dapat digunakan.

Antidepresan amitriptilin 25 mg menjelang tidur juga dapat membantu. Bila disertai

kecemasan dapat juga diberi lorazepam. 

Page 9: A3 - Pneumonia

BAB IISTUDI KASUS

A. KASUS

Nama Pasien : Ny. W

Alamat : Tambun Rengas RT 009/007

Umur/BB : 32 Tahun / 45 kg

Tgl Masuk RS : 13 Oktober 2014

a. Anamnesis Pasien

• Diagnosa : CAP sp 52, sindrom dispepsia

• Keluhan Utama : Sesak nafas sejak 2 minggu sebelum masuk RS, sesak

bertambah bila beraktifitas

• Keluhan Lain : Demam kurang lebih 1 minggu naik turun, tidak terlalu tinggi,

mual, batuk selama 1 bulan, dahak kehijauan, nyeri di ulu hati sejak 2 minggu

SMRS.

b. Pemeriksaan Fisik

Data Klinik

TD (mmHg)(120/80)

Respirasi Rate (x/menit)(14-20)

Saturasi O2(%)

Nadi (x/menit)(60-100)

Suhu Tubuh

(0C)(36,6-37.2)

13/10/2014 110/80 30 82 102 36

14/10/2014 110/60 24 92 97 38

15/10/2014 110/70 28 92 88 39,9

16/10/2014 110/70 22 85 110 36,2

Page 10: A3 - Pneumonia

c. Data Klinik

Tanggal S O A p13/10 Sesak nafas sejak 2

minggu sebelum masuk RS, sesak bertambah bila beraktifitas

Kes cmTD : 110/70N : 100RR : 24S : 36Sat : 82%

CAP Sp 52Sindrom dispepsia

IVFDNaCl 0,9% 500 ml / 12 jamCeftriaxon inj 1x2 grAzitromycin 1x500 mgRanitidin 2x50 mgHP Pro 3x1

14/10 Sesak berkurang,mual Kes cmTD : 110/70N : 100RR : 24S : 36Sat : 92%

CAP Sp 52Sindrom dispepsiaMasalah: hiponatremia, hipoalbumin, peningkatan enzim transaminase

IVFDNaCl 0,9% 500 ml / 12 jamCeftriaxon inj 1x2 grAzitromycin 1x500 mgRanitidin 2x50 mgHP Pro 3x1

15/10 Batuk,mual Kes : cmTD : 110/70N : 88RR : 28S : 36,9Sat : 92%

CAP Sp 52Sindrom dispepsiaMasalah: hiponatremia, hipoalbumin, peningkatan enzim transaminase

IVFDNaCl 0,9% 500 ml / 12 jamCeftriaxon inj 1x2 grRanitidin 2x50 mgHP Pro 3x1Fluimycil 3x1 C

16/10 Demam, batuk berkurang,

Kes : cmTD : 110/70N : 110RR : 22S : 39,2Sat : 85%

CAP Sp 52Sindrom dispepsiaMasalah: peningkatan enzim transaminase

IVFDNaCl 0,9% 500 ml / 12 jamCeftriaxon inj 1x2 grRanitidin 2x50 mgHP Pro 3x1Fluimycil 3x1 C

Page 11: A3 - Pneumonia

d. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Nilai Rujukan SatuanTanggal

13/10 15/10Hematologi Darah rutin Leukosit Hitung jenis Netrofil Limfosit Monosit Eosinofil Basofil Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH

5-10 50-70 25-40 2-8 2-4 0-1 4,5-6,5 13,0-18,0 40-52 80-100 26-34 32-36 11,5-14,5 150-440

Ribu/mm3 % % % % % Juta/uL g/dL % fL pg % % Ribu/mm3

11.6 81.6 464.2 0.8 0.1 4.6 11.8 37 79.3 25.7 32.3 14.3 379

9.4584.8384.80.50.24.110.733812632.213.33371

e. Pemeriksaan Mikrobiologi

Spesimen: Sputum

Hasil:

BTA Negatif

Leukosit >40%

Epitel <10

f. Pemeriksaan Kimia Klinik

Pemeriksaan Kimia Klinik Nilai Rujukan SatuanHasil13/10

Analisa Gas DarahpH 7,34-7,44 7,425PCO2 35-45 mmHg 28,1PO2 85-95 mmHg 91,7HCO3 22-26 mmol/L 18,0TCO2 23-27 mmol/L 18,9Base Excess -2,5-2,5 mmol/L -4,8Std HCO3 22-26 mmol/L 20,6Saturasi O2 96-97 % 97,3Glukosa Darah Sewaktu <180 mg/dL 98ElektrolitNatrium (Na) 135-145 mmol/L 133Kalium (K) 3,5-4,5 mmol/L 4,1Klorida (Cl) 98-109 mmol/L 108Albumin 3,4-5 g/dL 3,1Bilirubin Total 0,1-1,1 mg/dL 0,7

Page 12: A3 - Pneumonia

Bilirubin Direk 0,1-0,4 mg/dL 0,40Bilirubin Indirek 0,0-0,7 mg/dL 0,30AST (SGOT) 0-37 U/L 73ALT (SGPT) 0-40 U/L 43

g. Profil Pengobatan Pasien

Nama ObatDosis Lazim

Regimen dosis

13 14 15 16

Azitromycin500mg 1x

sehari1x500 mg V V STOP

HP Pro (Ekstrak Siccum)

3x Sehari 3x1 tab VVV V-V -V- -V

Ranitidin inj50mg

2x sehari2x50 mg VV VV VV tV

Ceftriaxon inj

1g Sehari infeksi

yang parah 2-4g sehari

1x2 gr V V V V

Fluimycil syr (Acetylcsteine)

200 mg 3x1

3x1C t t

B. ANALISIS KASUS

1. Analisis anamnesa dan data klinik

Ny. W didiagosa CAP (Community Acquired Pneumonia) atau dengan kata lain

Pneumonia Komunitas, dan sindrom dispepsia yang ditandai dengan keluhan sesak nafas

sejak 2 minggu sebelum masuk RS, sesak bertambah bila beraktifitas, demam kurang

lebih 1 minggu naik turun, tidak terlalu tinggi, mual, batuk selama 1 bulan, dahak

kehijauan, nyeri di ulu hati sejak 2 minggu SMRS dan leukosit yang tinggi (46%) pada

hari pertama masuk rumah sakit. Menurut Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di

Indonesia, Pneumonia Komuniti adalah pneumonia yang didapat dimasyarakat.

Pneumonia komuniti ditandai dengan batuk-batuk bertambah, batuk produktif, demam,

leukosit 40%, respirasi rate 20 x/menit, saturasi O2 rendah ≤ 90%, pCO ≤ 35 mmHg.

Hal ini sesuai dengan anamnesa dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien.

2. Tujuan pengobatan

a. IVFDNaCl 0,9% 500 ml / 12 jam

Indikasi: Digunakan untuk menjaga keseimbangan larutan elektrolit karena infus

ini berisi elektrolit Na dan Cl

b. Ceftriaxon inj 1x2 gr

Page 13: A3 - Pneumonia

Indikasi: Antibiotik golongan sefalosporin generasi 3, digunakan untuk

pengobatan infeksi berat seperti penumonia atau saluran pernapasan bagian

bawah.

Dosis: inj 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada infeksi berat: 2-4 g/hari dosis

tunggal

Kontra indikasi: Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin, gangguan

ginjal, kehamilan dan menyusui. Kontraindikasi untuk bayi di bawah 6 bulan

ES: Mual; muntah; diare. HEMA: Eosinophilia; neutropenia; limfositosis;

leukositosis; trombositopenia; penurunan fungsi trombosit; anemia; anemia

aplastik; perdarahan. HEPA: Disfungsi hati, hasil tes fungsi hati yang abnormal

sementara.

c. Azitromycin 1x500 mg

Dosis lazim: 500 mg per hari

Indikasi: infeksi yang disebabkan oleh organisme yang peka, infeksi saluran

nafas atas, infeksi saluran nafas bawah (pneumonia, bronkitis), infeksi kulit dan

jaringan lunak, penyakit hubungan seksual

Kontra indikasi:gangguan fungsi hati

ES: mual, muntah nyeri perut, diare, konstipasi, pankreatitis, hepatitis, pusing

IO: berinteraksi dengan golongan siklosporin, antasida, antagonis kalsium,

antidepresan, antidiabetes, diuretik, teofilin

d. Ranitidin 2x50 mg

Indikasi : Gejala akut tukak duodenum dan mempercepat penyembuhannya.

Dosis kecil dapat mencegah kambuhnya tukak duodenum. Digunakan untuk

Pengobatan dan perawatan ulkus duodenum.

Dosis: oral: 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sebelum tidur

(tukak lambung dan tukak duodenum) selama 4-8 mnggu. Injeksi i.v: 50 mg

yang diencerkan dalam 20 ml sodium klorida 0,9% (konsentrasi 25 mg/mL)

dapat diulang stiap 6-8 jam.

ES: Diare; mual; sakit perut; muntah; dispepsia; perut kembung; sembelit; mulut

kering; eruktasi; gastroenteritis; perdarahan dubur; melena; anoreksia; mulut

ulserasi; stomatitis; disfagia; gingivitis; nafsu makan meningkat.

e. HP Pro 3x1

Digunakan untuk pengobatan hepar

Page 14: A3 - Pneumonia

BAB IIIPEMBAHASAN

Pada pneumonia komuniti yang dialami oleh Ny. W, dokter memberikan terapi

antibiotika azitrhomisin (1 x 500mg) secara peroral dan ceftriaxon (1 x 2g) secara intravena

untuk mengatasi kondisi tingginya nilai leukosit 46%. Pemilihan azithromisin dan ceftizoxime

sebagai antibiotika karena diduga lebih kuat melawan bakteri Gram negatif dibandingkan

Gram Positif. Azitromisin merupakan antibiotika golongan makrolida yang mekanisme

kerjanya dengan menghambat sintesis protein sedangkan Ceftizoxime merupakan antibiotik

golongan sefalosforin generasi ketiga dengan mekanisme kerjanya adalah menghambat

sintesis dinding sel bakteri. Pemberian kedua obat ini lebih efektif terhadap bakteri S.

Pneumoniae dan azitromisin yang efektif terhadap bakteri atipikal. Pasien Ny. W menderita

infeksi yang disebabkan oleh bakteri S. Pneumoniae.

Pasien juga mengeluh merasakan nyeri pada ulu hati (sindrom dispepsia). Pada kondisi

ini pasien diberi ranitidin injeksi. Ranitidin bekerja dengan cara memblok reseptor histamin

H2 dalam sel-sel parietal lambung sehingga menghambat sekresi asam lambung dimana asam

lambung berlebih dapat menimbulkan rasa tidak nyaman diperut sehingga menimbulkan nyeri

pada ulu hati. Dosis ranitidin yang dipakai yaitu 2x50 mg (1 ampul mengandung 25mg/mL x

2 mL) sehari. Dosis lazim ranitidin adalah 3-4 kali 50 mg sehingga dosis ranitidin yang

diberikan sebaiknya ditingkatkan.

Pada hari ke-4 dan ke-5 pasien juga diberikan obat fluimycil yang merupakan obat

golongan mukolitk karena pasien mengalami keluhan batuk. Fluimycil bekerja dengan cara

mengencerkan sekret saluran nafas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan

mukopolisakarida dari sputum. Selain itu fluimycil juga tidak memiliki efek samping tukak

lambung. Pada Ny. W pemberian Fluimicyl melebihi dosis lazimnya sehingga disarankan

untuk menurunkan dosisnya mengikuti dosis lazimnya yakni 200 mg 3 kali sehari. Dari hasil

pemerikaan fisik ditemukan adanya SGOT dan SGPT yang melebihi batas dikarenaka efek

samping dari pengguaan obat azitromicin sehingga untuk mengembalikan fungsi hati

diberikan HP pro.

Page 15: A3 - Pneumonia

BAB IVKESIMPULAN

Hasil analisa kasus pasien Ny.W berdasarkan data pasien, SOAP pengobatan pasien, dan

studi literatur terkait, menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasien Ny.W didiagnosa mengalami Pneumonia komuniti (Community Acquired

Pneumonia) yang disebabkan oleh bakteri S. Pneumoniae sehingga memerlukan terapi

dengan antibiotika yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. Pneumoniae, yaitu

dengan Azitromisin dan Ceftriaxone .

2. Pasien Ny.W juga memiliki nyeri pada ulu hati (sindrom dispepsia) sehingga diberikan

ranitidin injeksi dengan dosis 2x50 mg (1 ampul mengandung 25mg/mL x 2 mL) sehari.

Dosis yang diberikan terlalu rendah dari dosis lazim 50 mg tiap 6-8 jam sehingga perlu

dilakukan peningkatan dosis ranitidin menjadi 3 kali sehari.

3. Pasien Ny.W juga mengalami keluhan batuk sehingga diberikan Fluimycil untuk

mengencerkan sekret saluran nafas dan tidak memiliki efek samping tukak lambung.

4. Penggunaan obat azitromicin dapat meningkatkan bilirubin total sehingga untuk

menurunkan kadar bilirubin total diberikan HP pro.

Page 16: A3 - Pneumonia

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti : Pedoman Diagnosis

dan Penatalaksanaan di Indonesia.

2. Syamsudin dan Keban Sesilian Andriani. 2013. Buku Ajar Farmakoterapi Gangguan

Saluran Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Informatorium Obat Nasional

Indonesia. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

4. Diambil dari: www. jurnalmedika.com. Diakses tanggal 25 September 2015.

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Interpretasi Klinik. 2011. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Page 17: A3 - Pneumonia

PERTANYAAN DAN JAWABAN DISKUSI (KELOMPOK 3 Pneumonia)

1. Mengapa antibiotik yang digunakan menggunakan obat kombinasi, sedangkan

azitromisin memiliki efek samping terhadap hati?

Penggunaan kombinasi diperlukan untuk menghindari risiko resistensi antibiotik yang

lebih besar. Umumnya pengobatan menggunakan antibiotik mengikuti standar yang telah

ditetapkan oleh rumah sakit berdasarkan empiris pada awal pengobatan.