a umar said, dari blitar ke paris

300

Click here to load reader

Upload: jagoo-indonesia

Post on 24-Mar-2016

346 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Saya dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1928, di desa Pakis, dekat Tumpang, kota kecil di dekat Malang (Jawa Timur). Bapak saya adalah seorang guru, tamatan Normaal School di Blitar. Jadi, bolehlah dikatakan bahwa saya adalah seorang anak yang semasa kecil, dalam masa kolonial Belanda, dibesarkan di lingkungan guru. Tahun 1941. Sampai masuknya tentara pendudukan Jepang dalam tahun 1941, belajar di HIS (Hollandsch Inlandse School) BLitar sampai tahun terakhir. 1941 - 1945. Selama pendudukan Jepang, belajar di SMP Kediri (Baluwerti). Selama belajar di SMP menjadi juara dalam bahasa Jepang, di bawah pimpinan pak Suwandi Tjitrowasito. 1945 - 1946. Menjelang akhir 1945 (November sampai permulaan 1946) ikut dalam pertempuran di Surabaya dan sekitarnya. Sebagai anggota rombongan pemuda dikirim oleh Kementerian Dalam Negeri RI ke Sumatera. 1947- 1948. Melanjutkan sekolah di Taman Madya (Taman Siswa) di Wirogunan Jogyakarta.

TRANSCRIPT

Page 1: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Buku Bermutu Program Pustaka Yayasan Adikarya Ikapi

Page 2: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

A

. Um

ar Said

A. U

mar S

aidA

. Um

ar Said

A. U

mar S

aidA

. Um

ar Said

Penerbit Yayasan Pancur SiwahJl. Gelong Baru Utara II D/11 Tomang, Jakarta 11440Tel. 021 7090 9223; 0812 9659 511e-mail: [email protected] Website: www.psbas.tk

Penggalian dan Penerbitan Sumberdaya Intelektual IndonesiaLantang Bicara, Tidak Sekadar Cari SelamatCerdas, Dewasa dan BertanggungjawabMendorong Kehidupan Bangsa yang Lebih Baik

Buku Perjalanan Hidup Saya ini berisiberbagai catatan tentang pengalamanseorang wartawan Indonesia, yang bisadikategorikan “luar biasa.” Di dalamnya

dapat dibaca sejarah hidup seorang wartawan yangamat berliku-liku, penuh dengan gejolak danperistiwa penting-penting. Pada umur tujuh belastahun A. Umar Said sudah ikut dalam pertempuran 10November di Surabaya yang kini terkenal sebagai HariPahlawan. Pada umur dua puluh lima tahun ia ikut dalam KonferensiInternasional Hak-hak Pemuda di Wina (Austria) dan mengunjungiTiongkok dalam tahun 1953 ketika Republik Rakyat Tiongkok baruempat tahun diproklamasikan. Kemudian selama tiga tahun menjadiwartawan Harian Rakjat, dan ketika pemberontakan PRRI pecah ditahun 1958, ia memimpin suratkabar Harian Penerangan di Padangsambil melakukan gerakan di bawah-tanah.

Antara tahun 1960-1965 ia memimpin harian Ekonomi Nasional diJakarta, dan menjadi bendahara Persatuan Wartawan Asia-Afrikamerangkap bendahara PWI-Pusat. Ia juga dipilih untuk menjadibendahara Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing(KIAPMA) di Jakarta tahun 1965 yang merupakan realisasi gagasan BungKarno dalam perjuangan menentang imperialisme-kolonialisme waktu itu.

Ketika G30S meletus ia berada di Aljazair, dankemudian terpaksa bermukim selama tujuh tahun di RRT

sebelum minta suaka politik di Perancis, tempat ia hidupdan melakukan berbagai kegiatan sampai sekarang.

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

Perjalanan Hidup Saya

A

. Um

ar Said

A. U

mar S

aidA

. Um

ar Said

A. U

mar S

aidA

. Um

ar Said

Page 3: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalananrefugié Hidup Saya

A. Umar SaidA. Umar SaidA. Umar SaidA. Umar SaidA. Umar Said

PPPPPengantar:engantar:engantar:engantar:engantar: H. Rosihan Anwar H. Rosihan Anwar H. Rosihan Anwar H. Rosihan Anwar H. Rosihan AnwarEpilog:Epilog:Epilog:Epilog:Epilog: Joesoef Isak Joesoef Isak Joesoef Isak Joesoef Isak Joesoef Isak

Penggalian dan Penerbitan Sumberdaya Intelektual IndonesiaLantang Bicara, Tidak Sekadar Cari SelamatBerpikir Cerdas, Dewasa dan BertanggungjawabMendorong Kehidupan Bangsa yang Lebih Baik

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

A

Um

ar Said

A U

mar S

aidA

Um

ar Said

A U

mar S

aidA

Um

ar Said

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

Perjalanan

Hidup

Saya

A

Um

ar Said

A U

mar S

aidA

Um

ar Said

A U

mar S

aidA

Um

ar Said

Page 4: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

4

A. Umar Said

(Hak Cipta © 2004 A. Umar Said)

Perjalanan Hidup Saya

ISBN 979-98252-7-x

Pengantar: H. Rosihan Anwar

Epilog: Joesoef Isak

Tata sampul dan isi : DN Pranowo

Cetakan pertama : November 2004

Penerbit : Yayasan Pancur SiwahJl. Gelong Baru Utara II D/11, Tomang,Jakarta 11440, Tel. 021 7090 9223; 0812 9659 511e-mail: [email protected]: www.psbas.tkhttp://www.pageabc.com/ditpran

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Lingkup Hak CiptaPasal 2:1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan

atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkantanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masingpaling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah),atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umumsuatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksuddalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dendapaling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 5: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

5

Buku ini dipilih sebagai Buku Bermutu

oleh Program Pustaka -Yayasan Adikarya

Ikapi melalui suatu proses seleksi

penilaian kompetitif dan selektif.

Program Pustaka merupakan program

bantuan penerbitan buku-buku bermutu,

hasil kerja sama antara Yayasan Adikarya

Ikapi dan The Ford Foundation,

tetapi The Ford Foundation tidak

terlibat dalam proses seleksi naskah

Page 6: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

6[vi]

Page 7: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

7

PPPPPengantarengantarengantarengantarengantarH. RH. RH. RH. RH. Rosihan Anwarosihan Anwarosihan Anwarosihan Anwarosihan Anwar

Pelaku utama buku ini Ayik Umar Said terpaut enam tahunusianya dengan saya dan menggambarkan dirinya antaralain sebagai wartawan. Ia mulai bekerja sebagai korektor

harian Indonesia Raja yang dipimpin oleh Mochtar Lubis padatahun 1950. Tiga tahun kemudian dia menjadi wartawan HarianRakjat, organ resmi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun1956 dia pergi ke Padang menjadi pemimpin redaksi harianPenerangan, milik seorang Tionghoa-Katolik, anggota Baperki yangpro golongan kiri. Pada tahun 1961 dia jadi pemimpin redaksisuratkabar Ekonomi Nasional di Jakarta.

Selain jadi wartawan koran-koran tadi Umar Said aktif dalamorganisasi wartawan seperti Persatuan Wartawan Indonesia(PWI) Pusat dan Persatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA). Disitu dia mendapat kesempatan bepergian ke luar negerimenghadiri konperensi internasional yang bersifat komunissecara terbuka atau disamarkan sebagai alat penyebarankomunisme. Pergaulannya baik di dalam maupun di luar negeritentulah pula dengan orang komunis atau crypto-komunis, sebabmelalui mereka itulah dia membikin dirinya dan kariernya maju.

Pada dasawarsa 1950-an saya pemimpin redaksi harianPedoman yang oleh kaum komunis dianggap sebagai suara PSI(Partai Sosialis Indonesia) pimpinan Sutan Sjahrir, dan dicapsebagai Soska (Sosialis Kanan) yang berarti musuh bebuyutanPKI. Pada masa itu saya tidak ingat mempunyai hubungan

[vii]

Page 8: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[8]

pribadi dengan wartawan Umar Said, rasanya tidak bersentuhanbahu secara profesional dengan dia, mungkin juga karena ketikaitu selagi dia bersemangat-semangatnya berada di kubu golongankiri, sedang aktif di sekretariat PWAA, koran saya sudah dilarangterbit oleh Presiden Soekarno (sejak 7 Januari 1961) dan statussaya diredusir menjadi non-person, artinya orang yang dianggaptidak lagi eksis dalam suatu masyarakat yang totaliter.

Tetapi nama-nama wartawan cs.nya yang disebutnya dalambukunya adalah familiar bagi telinga saya, seperti S. Tahsin, HasyimRahman, Tom Anwar, Joesoef Isak, Kadir Said, Zain Nasution,Djawoto, Supeno, Fransisca Fangidaj. Mereka membikin hidupsaya tidak nyaman. Mereka menyerang saya habis-habisan.Misalnya, Supeno dan Fransisca Fangidaj dari Harian Rakjatmengadukan saya karena tajuk rencana yang saya tulis dalamPedoman berjudul: “Pemberontakan PKI 18 September 1948,” yangmereka anggap sebagai penghinaan terhadap PKI. SidangPengadilan Negeri Jakarta memeriksa perkara saya, padahalwaktu itu surat kabar Pedoman sudah tidak terbit karena dilarangoleh Soekarno. Toh Supeno dan Fransisca bersikeras meneruskanpengaduan supaya saya dapat dihajar sampai kapok.

Ternyata Hakim Pengadilan Negeri Mr Sutidjan dan Jaksa JohnNaro SH memvonis saya “Dibebaskan.” Supeno dan Fransiscalalu gigit jari. Untuk diingat lagi, kedua orang ini adalah utusanIndonesia ke Konperensi Pemuda di Calcutta tahun 1948 di manasesuai dengan garis Andrei Zhdanov diumumkan pembentukanKominform dan dimulainya Perang Dingin antara blok Sovietdengan blok Barat. Supeno yang kemudian duduk dalampimpinan kantor berita Antara menjelang G-30-S/PKI telahmeninggal dunia di luar negeri. Fransisca Fangidaj menyapa sayadi Den Haag bulan Maret 1996 ketika saya berpidato di

[viii]

Page 9: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[9]

Pengantar

NieuweKerk atas undangan Instituut voor NederlandseGeschiedenis.

Saya ceritakan kembali semua ini tidak untuk mengorek-ngorek tambo lama atau membangkitkan kenangan pahit. Ini hanyadimaksud sebagai lukisan suatu Zeitgeist (semangat zaman), agarkita dapat menempatkan buku Umar Said ini dalam konteks yanglebih dimengerti. Lagi pula saya dapat menerima pendirianPresiden John F. Kennedy dalam bukunya Profiles in Courage, yaitu“In politics forgive, but never forget” (Dalam politik maafkanlah, tapijangan sekali-kali melupakan). Itulah juga sebabnya saya bersediamenulis kata pengantar buku ini untuk memenuhi permintaanpihak penerbit serta pihak Yayasan Adikarya IKAPI yang merekasebutkan “untuk rekonsiliasi.”

Pada hemat saya untuk melakukan rekonsiliasi, seperti terjadidi Afrika Selatan pasca Apartheid, perlu sebelumnya dijalankanusaha pembersihan jiwa, suatu katharsis, sehingga segala sesuatuuntuk selanjutnya dapat diluruskan dan didudukkan padatempat yang wajar dan proporsional. Dalam kaitan ini sayamengamati bahwa Umar Said kurang mendalam menggalisejarahnya sendiri. Dia tidak cukup menjelaskan kenapa diadahulu berada dalam kubu komunis. Dia tidak merasa perlumenjawab apakah dia mempunyai keterikatan ideologis yangkuat kepada ajaran komunis?

Ramadhan KH, sastrawan dan sejarawan, penulis biografimenceritakan kepada saya bahwa Sobron Aidit yang kini sepertiUmar Said berdiam di Paris meminta kepadanya menulis katapengantar untuk buku yang hendak diterbitkannya. Ramadhanmembaca sebuah sajak Sobron tentang Lenin dalam naskah itu,lalu menulis surat menanyakan apakah Sobron masih percayaserta menganut ideologi Marxisme-Leninisme? Sobron

[ix]

Page 10: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[10]

menjawab: tidak. Ramadhan KH ingin agar soalnya clear ataujelas, sebelum dia menulis kata pengantar untuk buku SobronAidit.

Saya tidak meminta Umar Said berbuat demikian. Kalau diamau mendiamkan masa lampau, yaitu “episode komunis” dalamkehidupannya, itu adalah urusannya. Cuma sayang dia tidakmenjalankan pembersihan jiwa dan dengan demikian membantugenerasi muda Indonesia memahami sejarah bangsa ini secaralebih mendalam.

Apakah Umar Said turut-turutan bergabung dalam kubugolongan kiri? Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Saya melihatmasa itu misalnya pelukis Basuki Resobowo yang lama bekerjabersama Usmar Ismail dalam perusahaan film Perfini pada suatuketika bergabung dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat),onderbouw dan mantelorganisatie PKI. Langkah Basuki itumengherankan saya, karena sebelumnya saya tidak pernahmendengar dia bicara mengenai simpatinya terhadap gerakankomunis. Dia orang yang tenang, seimbang, baik hati. Dia bukanorang yang menyerukan “Bersatulah proletariat seluruh dunia.”Dia tidak memaki-maki kapitalis, kolonialis, imperialis. Dia tidakmengutuk kaum borjuis, intelek didikan Barat. Dia tidakmenghujat kaum komprador dan feodal yang mendatangkanmalapetaka bagi rakyat Indonesia. Dia bukan tipe kader apparatchik.Dia mungkin hanya mau memastikan dirinya sebagai seniman,sebagai insan yang dihargai dan diperhitungkan. Self-respect-nyamenyebabkan Basuki ikut dalam kubu golongan kiri yangmenyambutnya dengan tangan terbuka. Dan sejak itu dia menjadisosok yang disanjung, dibawa ikut serta dalam delegasi kaumkomunis yang bepergian ke luar negeri. Kasusnya serupa denganhalnya pengarang urang Sunda Utuy Sontani. Dan ketika terjadi

[x]

Page 11: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[11]

Pengantar

G-30-S/PKI tahun 1965 Basuki terdampar di Peking. Kemudianpindah ke Jerman Barat, menetap di Negeri Belanda danmeninggal jauh dari tanah tumpah darahnya.

Saya paparkan kasus Basuki Resobowo tadi untuk menambahpengetahuan kita tentang zaman tahun 1960-an dan seterusnya,yang menimpa kehidupan putera-putera Indonesia dengan caraputus final, tidak lagi bisa terbalikkan.

Balik kepada Umar Said. Dia menceritakan pengalamannyaselama berada tujuh tahun di RRC. Kehidupan orang Indonesiayang menjadi eksil di Cina tidak seluruhnya sama jelek dansengsara. Tunjangan tiap bulan dari pemerintah RRC yangditerima oleh Djawoto, mantan Dubes RI di RRC, tidak begitujeleklah. Bila Djawoto kemudian pindah ke Negeri Belanda dan disana akhirnya tutup usia, maka Umar Said pun hengkang dariCina dan mencari suaka politik di Perancis. Ceritanya di negeriini, bagaimana dia survive, bertahan hidup, terus aktif dalamgerakan kaum kiri, bersama beberapa kawannya mendirikanRestoran Indonesia, akhirnya menjadi warganegara Perancisdengan nama André Aumars, semua itu memperlihatkankeuletannya, kegesitannya dan ketegarannya. Buat seorang anakasal Blitar-Malang, itu adalah suatu prestasi luar biasa.

Umar Said terus aktif bersama gerakan Amnesty Internationaldalam melakukan pembelaan terhadap tapol-tapol yang ditahandi Pulau Buru seperti Pramoedya Ananta Toer dll. Dia ikutmemperjuangkan kemerdekaan rakyat Timor Timur, kerjasamadengan Ramos Horta (kini Menlu Timor Leste). Diamengungkapkan pelanggaran HAM dan tindakan kekerasan yangdilakukan oleh rezim Orde Baru Soeharto.

Dia sempat terus jadi wartawan di kota Paris yang sendirimenerbitkan majalah dalam bahasa Perancis mengenai keadaan

[xi]

Page 12: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[12]

negeri Cina dan hubungan bisnis dengan pengusaha Cina.Kepandaiannya mengadakan kontak dengan orang-orang yangtepat membuat dia mampu mengatasi kesulitan-kesulitan.

Dalam kehidupan keluarga dia akhirnya dapat bergabungdengan istrinya yang berasal dari Solok, Sumatra Barat, setelahditinggalkannya selama belasan tahun, karena dia tidak beranikembali ke Indonesia. Kedua anak laki-lakinya yangditinggalkannya sebagai bocah kecil sudah dewasa ketika melihatayahnya pertama kali di Paris. Di mata orang Minang, Umar Saidmenjadi orang sumando.

Setelah jatuhnya Orde Baru Umar Said sering mengunjungiIndonesia, kadang-kadang sampai dua kali setahun. Diamengatakan sering sekali melakukan berbagai kegiatan mengenaiIndonesia, berkaitan dengan masalah pengembangan kehidupandemokratis, dengan pembelaan hak-hak asasi manusia, denganpemberantasan korupsi. Rupanya dia tidak mau menjadi “Rebelwithout a Cause.” Selalu saja ada cause, ada tujuan yangdiperjuangkannya.

Pada kunjungannya ke Indonesia itu saya beberapa kalikesomplok dengan Umar Said, antara lain di rumah SoebadioSastrosatomo, Jalan Guntur 45, Jakarta. Ketika Soebadio tokohPSI meninggal dunia (1918-1998) di antara para pelayat yangbertakziah menyampaikan duka cerita terdapat pula orang-orangyang dahulu berseberangan politik dengan dia, yang sukamenghujatnya sebagai Soska. Ketika saya tanya kepada UmarSaid apakah dia sudah jadi citoyen Perancis atau warganegaraPerancis dia menjawab iya.

Di hari tuanya, kini berusia 76 tahun, Umar Said merenungdan memaparkan apa yang menjadi pegangan hidupnya,bagaimana pandangannya sekarang mengenai berbagai hal.

[xii]

Page 13: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[13]

Pengantar

Nilai-nilai yang diutarakannya lebih mirip dengan anutan priayikecil, menyingkapkan dunia yang bersifat kleinburgerlijk atauburjuasi-kecil, sudah jauh dari filsafat “vive le principe, perisse lemonde,” hidup prinsip, biarlah hancur dunia, yang dulu gemarditeriakkan oleh pejuang komunis. Perjalanan hidup Umar Saidadalah “stranger than fiction,” lebih aneh daripada fiksi, namunbegitulah kenyataannya.

Dan apabila Ayik Umar Said orang sumando atau MonsieurAndré Aumars warganegara Perancis pada penutup bukunyamenyatakan bahwa dia akan ikut “dalam usaha bersamamenjadikan dunia kita ini menjadi milik bersama bagi sesamamanusia,” maka tinggallah saya mengucapkan: Good for you! Ça vabien!

Jakarta, 26 Agustus 2004

[xiii]

Page 14: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[14]

PPPPPengantar Pengantar Pengantar Pengantar Pengantar Penulisenulisenulisenulisenulis

Dua hari berturut-turut, tanggal 19 dan 20 Mei 1995, dirumah seorang teman Indonesia di Paris, saya bertemudengan Tjuk (Alex), teman sekelas ketika belajar di HIS

Blitar (sekolah Belanda), lebih dari setengah abad yang lalu.Peristiwa ini bagi saya merupakan kejadian yang penting.Alasannya macam-macam. Karena, di samping perasaan gembirabertemu dengan teman semasa kecil, ketika berbincang-bincangtentang macam-macam soal yang terjadi di tanah air, kami jugaberbicara tentang pengalaman-pengalaman kami berdua ketikaikut dalam pertempuran Surabaya di tahun 1945.

Kami saling mengingatkan bagaimana waktu itu, kami berduabersama-sama belasan pelajar SMP Kediri dan SGL Blitar(sebagian terbesar dari kelas terakhir) telah meninggalkan kotaKediri dengan tekad untuk ikut bertempur di Surabaya.Percakapan kami tentang pertempuran Surabaya menyinggungmacam-macam: markas BKR (Badan Keamanan Rakyat) di DarmoBoulevard 49, markas besar BPRI (Barisan Pembrontak RI) di hotelSimpang, pertempuran yang kami ikuti di Keputran danGunungsari dan lain-lain. Dan cerita tentang luka parah dikakinya karena ledakan mortir dan lain-lain.

Istri saya dan teman-teman Indonesia lainnya yang ikutmenghadiri percakapan kami itu kelihatan terheran-heranmendengar cerita ini. Mereka baru tahu, bahwa dalam hidup sayaada juga bagian yang semacam ini. Memang, tidak banyak orangyang tahu tentang masalah ini dan berbagai masalah-masalah

[xiv]

Page 15: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[15]

Pengantar

lainnya yang telah saya alami. Termasuk istri saya sendiri. Danjuga anak-anak saya. Kejadian ini menyadarkan saya tentangperlunya membuat catatan atau mémoire.

Memang, sudah berkali-kali ada teman-teman, baik yangberasal dari Indonesia, maupun yang berasal dari negeri-negerilain, yang mengusulkan supaya saya menulis sebuah mémoire ataumembikin catatan tentang pengalaman hidup saya. Tahun 2004ini, umur saya mencapai tujuh puluh enam tahun. Jadi, sudahtentulah banyak yang saya alami. Baik yang kecil-kecil dan tidakberarti atau yang bersifat biasa-biasa saja, maupun yang patutmenjadi kenang-kenangan, bagi saya sendiri pribadi. Tetapi,barangkali juga untuk diketahui oleh keluarga besar saya danorang-orang lainnya.

Saya berpisah dengan istri dan dua anak sejak September1965. Pertemuan pertama kali dengan istri adalah sesudah tigabelas tahun putus hubungan (tanpa kabar atau surat menyuratsama sekali) dan dengan kedua anak laki-laki kami ketika merekasudah berumur lebih dari delapan belas tahun.

Pertemuan kembali dengan mereka ini semuanya terjadi diParis. Karena itu, banyak hal yang tak mereka ketahui tentangapa yang telah saya alami dan saya kerjakan di masa lampau.

Memang, selama ini saya tidak banyak bercerita kepada anak-anak tentang masa lampau saya, dan istri saya pun tahu hanyasebagian atau sepotong-sepotong.

Saya juga sudah berpisah dengan adik-adik (enam orang)selama lebih dari tiga puluh tahun. Mereka tinggal di berbagaidaerah di Indonesia. Mereka, dan saudara-saudara lainnya, hanyamengira bahwa saya waktu itu ada di luar negeri. Bahkanmungkin, tadinya, ada yang menduga-duga bahwa saya sudah

[xv]

Page 16: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[16]

mati atau hilang begitu saja. Oleh karena situasi di tanah air, dankarena berbagai sebab lainnya, sampai 1995 saya tidak punyahubungan dengan mereka.

Bagi mereka itu semuanya, catatan atau tulisan ini adalahsebagai “laporan,” atau pelengkap tentang apa yang sudahmereka ketahui selama ini.

Perjalanan Hidup Saya ini disusun secara pokok-pokok, dan bisamerupakan bahan dasar bagi penulisan-penulisan selanjutnyadi kemudian hari. Karena, ada bagian-bagian yangmemungkinkan penguraian lebih panjang. Misalnya, tentangsebagian dari pengalaman-pengalaman ketika menjadi wartawandi Indonesia, sebelum hidup lama di perantauan. Atau, kehidupandi Tiongkok selama tujuh tahun dapat merupakan penulisantersendiri yang mungkin memerlukan banyak halaman. Demikianjuga pengalaman yang padat di Perancis selama lebih dari tigapuluh tahun (selama bekerja di Kementerian Pertanian Perancis,berdirinya restoran Indonesia di Paris, penerbitan majalahekonomi bulanan Chine Express, Komite Tapol di Paris dankegiatan-kegiatan lainnya).

Karena situasi yang tidak mudah untuk memperoleh data-data (tanggal-tanggal, peristiwa-peristiwa tertentu) maka adakemungkinan bahwa sejumlah data perlu disempurnakan.

Artinya, memoire ini memerlukan, secara berangsur-angsur,perbaikan atau penyempurnaan. Tulisan Perjalanan Hidup Saya iniditulis di Paris, dan dimulai tanggal 25 Mei 1995.

Kemudian selama tujuh tahun tersimpan dan hanya menjadibacaan sebagian kecil keluarga saya, atau hanya diketahui olehsejumlah kecil kawan-kawan terdekat saya. Perlu ditegaskan di

[xvi]

Page 17: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[17]

Pengantar

sini, bahwa tulisan ini bukanlah ulasan yang bersifat sejarahmengenai masa-masa tertentu. Dan keterangan-keteranganmengenai masalah-masalah tertentu tidaklah punya pretensisebagai pengkajian yang mendalam, tetapi hanya untukmenjelaskan hubungan saya dengan peristiwa-peristiwa ataukeadaan.

Cerita-cerita mengenai masa kecil, masa muda, dan masaselama hidup saya di perantauan mudah-mudahan dapatmembantu istri saya, anak-anak, para keluarga yang terdekat(adik-adik dan lain-lain) untuk lebih mengerti lagi tentang dirisaya, tentang apa yang telah saya lakukan, dan tentang mengapaperjalanan hidup saya menjadi demikian.

[xvii]

Page 18: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

18[xvi]

Catatan tentang tulisan ini

- Tulisan Perjalanan Hidup Saya ini mengutamakan persoalan-persoalan atau peristiwa-peristiwa yang adahubungannya dengan persoalan saya atau diri-pribadisaya. Karena itu, dalam catatan-catatan ini banyak “saya”-nya.

- Tulisan yang sekarang ini adalah tulisan yang dibuat dalamtahun 1995, ketika masih jaya-jayanya regime Orde Baru,yang semula dimaksudkan sebagai bahan bacaan bagianggota keluarga saya saja, serta sahabat-sahabat yangterdekat.

- Ada hal-hal yang memang dengan sengaja tidak ditulisatau tidak dicantumkan dalam tulisan ini, disebabkan olehpertimbangan-pertimbangan tertentu.

- Tetapi ada juga, tentunya, hal-hal yang seyogyanya ditulistetapi tidak tertulis atau belum disajikan, yang disebabkanoleh ketidaksengajaan.

- Sejumlah nama teman-teman Indonesia yang dicantumkandalam naskah ini dengan singkatan-singkatan, akan ditulisdengan nama lengkap dengan persetujuan mereka, dalampenyajian selanjutnya.

Page 19: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

19

Daftar Isi

vii Pengantar H. Rosihan Anwarxiv Pengantar Penulisxviii Catatan tentang tulisan ini

Babak 1Babak 1Babak 1Babak 1Babak 121 Hidup di Masa Penjajahan

Babak 2Babak 2Babak 2Babak 2Babak 243 Pengembaraan

Babak 3Babak 3Babak 3Babak 3Babak 367 Menjadi Wartawan

Babak 4Babak 4Babak 4Babak 4Babak 491 Wartawan di Gelanggang Internasional

Babak 5Babak 5Babak 5Babak 5Babak 5123 Menjadi Orang “Kelayaban”

Babak 6Babak 6Babak 6Babak 6Babak 6167 Rantai yang Kembali Tersambung

Babak 7Babak 7Babak 7Babak 7Babak 7215 Menjadi Pemilik Majalah dengan Membayar 1 F.

Babak 8Babak 8Babak 8Babak 8Babak 8247 Satu dari Enam Milyar

274 Epilog Joesoef Isak

289 Riwayat hidup singkat penulis

Page 20: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

20

Page 21: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

21

Babak 1

Hidup di Masa Penjajahan

Asal-usul dan keadaan keluarga besar saya

Saya dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1928 di Pakis,di suatu desa di dekat kota kecil di Jawa Timur yangbernama Tumpang, beberapa puluh kilometer dari

Malang. Kota kecil ini terletak di daerah pegunungan, dan udarasehari-hari di sini agak sejuk.

Bapak saya lahir di Blitar dan diberi nama Amirun oleh kakek.Kakek adalah orang Madura, yang ketika mudanya merantau dikota Blitar. Banyak saudara-saudara kakek (dekat dan jauh)tinggal di Kampung Maduran di kota ini. Setelah menjadi gurudan kawin dengan ibu, bapak mengambil nama Hardjowinoto.

Dari asal kekeluargaan ini, dapatlah dikatakan bahwa sayaadalah orang Jawa Timur. Barangkali juga karena itulah makasaya, sampai sekarang, suka sekali makan tempe, pecel dan tahu.Malang terkenal dengan tempenya, Blitar dengan pecelnya danKediri dengan tahunya. Mungkin juga, ini disebabkan karena sejakkecil saya tidak suka makan daging.

Dari pihak bapak, keluarga jauh saya terdiri dari orang-orangMadura yang tinggal di Blitar dan sekitarnya, yang kebanyakan

Page 22: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

22

(waktu di jaman kolonial Belanda) bekerja sebagai pedagang.Jarang yang menjadi pegawai negeri. Umumnya, mereka adalahorang-orang yang taat menjalani ajaran agama Islam. Bapak sayaadalah salah seorang di antara mereka ini yang dianggapmenonjol, karena berhasil menamatkan pelajarannya di NormaalSchool Blitar (sekolah guru).

Saya masih ingat, bagaimana ketika masih kanak-kanak(sekolah di HIS ) sering dibawa oleh bapak untuk mengunjungisanak kerabat Madura di Blitar. Kelihatan waktu itu bahwa bapakdihormati oleh orang-orang Kampung Maduran itu. Mungkin,karena pengalaman beliau yang demikian itu pulalah maka bapaksering mengatakan kepada saya, bahwa keinginan bapak ibu ialahsupaya saya menjadi “orang.” Kalau saya renungkan kembalimasa-masa yang sudah saya lewati, saya merasa bahwa, banyaksedikitnya, pesan bapak itu rupanya mempunyai pengaruh dalamkehidupan saya. Di samping adanya berbagai faktor lainnya.

Berlainan dengan keluarga pihak bapak, keluarga pihak ibutermasuk orang-orang yang terpandang di kota kecil Tumpang.Kakek adalah pengulu di mesjid kota ini, dan sanak-saudaranyajuga banyak yang menjadi “piyayi.” Di antara mereka ada yangmemakai gelar Panji (sebutan di Jawa Timur untuk mereka yangsetengah bangsawan, waktu itu).

Menurut ingatan saya yang remang-remang, ketika masihkecil saya merasakan juga perbedaan ini. Kalau saya dibawaberkunjung ke keluarga di pihak ibu, saya mempunyai perasaanbahwa mereka itu adalah orang-orang yang berpangkat, yangrelatif “berada” dan terpandang. Ini kelihatan dari rumah-rumahmereka yang cukup baik, dan tata-cara yang mereka pakai.

Ketika catatan ini mulai ditulis di Paris pada akhir Mei 1995,saya tidak tahu bagaimana keadaan adik-adik saya dan keadaan

Page 23: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

23

Hidup di Masa Penjajahan

keluarga jauh atau dekat, baik dari pihak bapak maupun daripihak ibu. Karena itu, ketika setelah saya mengetahui bahwa adakemungkinan untuk menghubungi lewat telpon sebagian dariadik-adik saya, saya segera melakukannya. Ini juga dalam rangkapenulisan catatan ini.

Pada tanggal 15 Juni 1995, saya dan istri saya menilpun keMalang, untuk menghubungi adik saya yang nomor 4. Saya sudahtidak bertemu dengannya selama tiga puluh satu tahun. Tentusaja, ini merupakan peristiwa penting bagi saya, yangmenimbulkan macam-macam perasaan dan keharuan. Karena,lewat percakapan telpon yang cukup panjang inilah saya dapatmengetahui, walaupun secara pokok-pokok, berbagai soal yangmenyangkut keluarga saya.

Dua hari kemudian saya menilpun adik saya yang nomor 3,yang kebetulan ada di Surabaya waktu itu. Percakapan yangmengharukan lewat telpon dengan dia menambah pengetahuansaya tentang keadaan adik-adik saya dan keluarga lainnya.

Dari hubungan dengan mereka inilah saya mengetahui bahwaadik-adik saya, dan bahkan anggota-anggota keluarga lainnya,masih dihantui oleh trauma dari kejadian-kejadian sekitar tahun1965. Saya mendapat kesan bahwa walaupun mereka gembiradengan hubungan yang kami jalin kembali dan walaupun merekajuga menunjukkan kesayangan kepada saya sebagai kakakmereka, terasa bagi saya bahwa mereka masih tercengkam olehketakutan.

Rupanya, berita-berita dalam pers Indonesia mengenaikejadian-kejadian di Kuba dalam permulaan tahun 1966(Konferensi Tricontinental di Havana), peristiwa di Siria dalamtahun 1967, artikel-artikel mengenai restoran Indonesia di Paris,atau kegiatan-kegiatan saya di PWI Pusat atau KWAA dan

Page 24: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

24

KIAPMA di Indonesia sebelum G30S, mempunyai efek yang sangatserius bagi mereka. Saya dapat mengerti sepenuhnya keadaanatau sikap yang begitu itu. Ini wajar. Sebab, di antara keluargaadik-adik ini ada juga yang mengalami peristiwa yangmenyedihkan sekali.

Pada tanggal 24 Juni 1995, saya mendapat kesempatan untukberbicara lewat telpon dengan adik-adik saya lainnya, yaitu Shtdan Snyt, yang kebetulan sedang berkumpul di Malang dalamrangka réuni dari keluarga-besar pihak ibu, yang diselenggarakantanggal 25 Juni 1995 di Malang. Dari pembicaraan ini, saya lebihyakin lagi bahwa trauma berat yang sudah mereka tanggungselama 30 tahun itu masih melekat pada mereka itu semua.

Kenyataan bahwa mereka takut menyebutkan nama Ayikdalam pembicaraan lewat telpon adalah ukuran tentangbagaimana seriusnya trauma ini. Bahkan, adik-adik saya itu,rupanya masih ketakutan jika menerima telpon dari saya,walaupun mereka senang.

Baru kemudianlah saya ketahui, bahwa dalam jangkapuluhan tahun, nama saya sudah tidak disebut-sebut lagi samasekali dalam daftar keluarga adik-adik saya. Artinya, mereka tidakpernah menyatakan (dalam kertas-kertas resmi atau silsilah danlain-lain) bahwa saya pernah ada, sebagai saudara.

Dari kenyataan semacam itulah saya melihat betapahebatnya dampak teror sistematis (dan terus menerus) yangdilakukan selama puluhan tahun oleh Orde Baru. Entah berapapuluh juta orang di Indonesia yang selama itu tidak berani, atausegan, untuk berhubungan dengan orang-orang yang dikenalsebagai orang “kiri,” komunis, atau pendukung Presiden Soekarno.

Page 25: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

25

Hidup di Masa Penjajahan

Masa kecil dan masa sekolah HIS di Blitar

Bagi saya, kenang-kenangan tentang bapak ibu adalah kenang-kenangan tentang masa-masa singkat ketika masih kecil. Sebab, sejak umur tujuh tahun, saya sudah

sering berpisah dengan bapak ibu. Tetapi, kenang-kenangantentang masa yang sepotong-sepotong bersama bapak ibu itukadang-kadang muncul kembali, pada waktu-waktu tertentu.

Ketika masih kecil, sebelum sekolah, saya sudah mulai bisamembaca sendiri sedikit-sedikit. Ketika itu, bapak menjadi“mantri guru” (kepala sekolah) dari sebuah Volkschool (SekolahRakyat) di Karangsemi, sebuah desa di daerah Nganjuk, dekatNgrajeg dan Baron.

Ketika umur enam-tujuh tahun saya dikirim oleh bapak untukmasuk kelas satu di HIS Kertosono. Jadi, ketika umur tujuh tahunsaya sudah dipondokkan ke salah satu keluarga di Kertosono,kota persimpangan jalan kereta api yang cukup penting di JawaTimur.

Saya masih ingat, bagaimana senang hati saya, kalau sebulanatau dua bulan sekali, saya bisa pulang ke Karangsemi, yangdilewati oleh Sungai Brantas itu. Pulangnya dengan kereta api,dan turun di stasion Baron atau Ngrajeg, dan dari situ naik dokaratau dijemput dengan sepeda oleh bapak atau oleh pembantuyang bernama Bardi.

Kembali ke Karangsemi selalu merupakan kegembiraan.Sebabnya macam-macam. Sampai sekarang saya masih ingat

Page 26: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

26

bagaimana senangnya ibu bertemu kembali dengan saya.

Terasa sekali bahwa saya dimanjakan olehnya. Mungkinkarena saya adalah anak sulung dari tujuh anak. Saya juga merasabahwa bapak sangat memperhatikan saya. Kalau saya kembalike Karangsemi, saya sering dibawa berkunjung ke rumah para“guru bantu” atau ke acara-acara lainnya.

Ibu, yang ketika mudanya berwajah cantik, bagi saya, adalahwanita yang halus. Dia - namanya Raden Nganten Siti Aminah -adalah anak seorang naib (pengulu) dari mesjid Tumpang (dekatMalang), keluarga yang waktu itu cukup dikenal di kota kecil diJawa Timur ini. Setelah bapak tamat Normaal School (sekolah guru)Blitar, ia diangkat sebagai guru di dekat Tumpang. Pada waktuitulah bapak ibu menjalin pernikahan dan saya lahir satusetengah tahun kemudian, pada tanggal 26 Oktober 1928. Menurutcerita bapak, saya diberi nama Umar Said, karena ia sangat kagumkepada tokoh perjuangan Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Saya masih ingat bahwa ibu sering menyiapkan makanankesukaan saya. Antara lain: kacang bawang, madu mongso (tapeketan hitam yang dikentalkan), ikan teri goreng. Ia tahu bahwasejak kecil saya tidak suka makan daging. Karena itu, ia seringmembuat masakan tanpa daging, umpamanya sambel gorengtempe. Di kalangan keluarga guru-guru di Karangsemi, ibuterkenal pandai membikin kue yang macam-macam, dankarenanya sering diminta untuk memberikan kursus. Membuatkue ini, sering terjadi petang hari. Ini terjadi semasa masih zamanBelanda, ketika bapak ibu punya seorang pembantu laki-laki danseorang pembantu perempuan. Di desa Karangsemi, orang-orangmemanggil bapak “ndoro Mantri,” dan saya dipanggil “gus.”

Walaupun setengah abad sudah lewat, Karangsemi kadang-kadang masih muncul dalam kepala. Teringat bagaimana saya

Page 27: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

27

Hidup di Masa Penjajahan

disuruh bapak menghidupkan lampu Stormking (dengan pompa)untuk menerangi rumah kami (rumah “ndoro Mantri”) yangbesar dan dikenal oleh banyak orang. Juga ingat bagaimana kalausudah lewat jam dua belas malam, ada ronda malam yang kelilingdesa dengan ketokan-ketokan yang nyaring dan “berlagu” danberteriak di depan rumah “Lek, lek, lur” (melèk, melèk, dulur! -bangunlah! saudara!). Atau, bagaimana perasaan saya menjadinglangut (bahasa Jawa: “pikiran melayang jauh, dicampur denganperasaan setengah sedih”), ketika malam hari mendengar gemagamelan-gamelan yang dimainkan di kejauhan.

Setelah setahun sekolah di Kertosono, saya dan adik saya yangnomor dua (laki-laki) dititipkan kepada nenek (ibu dari pihakbapak) di Blitar, untuk dimasukkan di sekolah HIS kota ini. Adiksaya yang nomor satu sudah sejak kecil ikut bersama nenek.

Semasa sekolah di Blitar dan tinggal bersama nenek,kehidupan kami bertiga sebagai anak-anak, cukup sulit. Sebab,wesel (pengiriman uang lewat pos) yang dikirim oleh bapakkepada nenek untuk ongkos kami bertiga rupanya pas-pasan saja,atau bahkan cupet. Itu sebabnya, kadang-kadang kami makan nasiputih tanpa lauk. Kami sudah senang sekali kalau bisa makannasi dengan blendrang (sisa sayur, yang dimasak kembali). Ketikanenek mulai jualan lontong di dekat rumah (kami tinggal di PasarLawas, pusat kota Blitar) di jalan yang namanya Herenstraat(sekarang Jalan Merdeka) makan kami sehari-hari menjadi agaklumayan. Karena bisa sering makan dari barang dagangan yangtak terjual.

Salah satu di antara kenang-kenangan masa kecil ialah kalaudisuruh oleh nenek untuk menyiapkan meja jualan (lincak) setiappagi hari untuk jualan lontong di tepi jalan besar Herenstraat itu.Karena sudah sekolah HIS, dan mulai agak besar, saya mulai

Page 28: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

28

merasa malu kalau kelihatan teman sekolah lainnya. Karena itupekerjaan ini saya lakukan pagi-pagi sekali, sebelum banyakorang lewat lalu lalang di jalan utama kota Blitar ini.

Nenek berusaha memelihara kami bertiga sebaik-baiknya.Karena, nenek sangat bangga punya anak (yaitu bapak saya) yangbisa lulus Normaal School, yang waktu itu merupakan prestasi yangpenting di zaman Belanda. Bapak dianggap oleh keluarga kakeksebagai kebanggaan, karena bisa jadi “priyayi.” Menurut ceritabapak, kakek ini sebenarnya berasal dari keluarga bangsawanyang “lari mengasingkan diri” dengan saudara-saudaranya dariMadura ke Blitar.

Saya sekolah di HIS Blitar dari kelas dua sampai naik kelastujuh. Adik-adik saya, Skn, Sht dan Nhyt juga sekolah di HISBendogerit ini. Di luar sekolah, setiap minggu kami bertiga adakegiatan kepanduan. Bapak menganjurkan untuk memasukikepanduan Hisbul Wathon, yang mengadakan macam-macamlatihan di Sekolah Muhammadiyah Blitar. Kegiatan kepanduanini merupakan permulaan bagi kami dalam kegiatan-kegiatansosial, pengumpulan dana untuk yatim piatu, dll. Juga dilatihuntuk berbicara atau berpidato.

Kehidupan semasa kecil di Blitar mungkin banyakmempengaruhi jalan hidup saya. Sebabnya macam-macam.Bapak selalu “mempamerkan” saya kepada para anggota keluarga(pihak bapak dan pihak ibu) dengan hasil-hasil sekolah saya diHIS. Saya pernah dibawa ke Gebang, gedung yang cukup besartempat tinggal “mbah Sosrodihardjo,” ayahanda PresidenSoekarno, untuk minta restunya. Sering sekali bapak berpesan(dalam bahasa Jawa, tentunya):

“Kau adalah harapan besar bagi bapak dan ibumu. Dan

Page 29: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

29

Hidup di Masa Penjajahan

hendaknya kau betul-betul bisa mendhem djero mikul duwur”

(maksudnya: menjunjung tinggi nama keluarga).

Setiap kami pulang ke Karangsemi (setahun sekali, waktulibur panjang), saya disuruh sungkem kepada bapak ibu, dan ibuselalu melangkahi tubuh saya yang jongkok di depannya. Saat-saat begini ini terasa bagi saya ada sesuatu yang khidmat.

Masa kecil di Blitar mungkin juga sudah membentukkecenderungan-kecenderungan saya, yang rupanya tercerminkemudian dalam kehidupan saya. Saya masih ingat bagaimana,sendirian atau dengan adik-adik, saya sering melakukanperjalanan jauh, dengan jalan kaki. Umpamanya, ke CandiPenataran atau ke Gunung Pegat, jang jauhnya beberapa puluhkilometer. Atau, bagaimana kalau malam Minggu, menontonwayang kulit di tempat-tempat yang jauh.

Di belakang rumah kami di Blitar tinggal seorang pelukis dansekaligus penggambar reklame yang terkenal di kota ini, yaitupak Sugihardjo. Kadang-kadang, saya disuruhnya untukmembantu pekerjaan mengecat yang gampang-gampang, ataupekerjaan-pekerjaan lainnya, sambil main-main. Saya seringmemperhatikan pekerjaannya beserta pegawai-pegawainyadalam mengerjakan gambar-gambar reklame untuk bioskop SieWie Khong dan lain-lain. Ia pernah mengatakan kepada sayabahwa kepandaiannya membuat gambar atau reklame adalahhasil belajar sendiri. Kadang-kadang ada ucapannya yang anti-Belanda, dan setelah Jepang masuk juga menjadi anti-Jepang. Sayabelum mengerti apa artinya itu semua waktu itu.

Kemudian, ada seorang yang bernama pak Natak yangmembuat minuman semacam Sarsaparila di gedung bagianbelakang rumah pak Sugihardjo ini. Kelihatannya, dalam

Page 30: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

30

tindakan-tindakan sehari-harinya, adalah sebagai pengusahaatau pedagang biasa saja. Tetapi, sebenarnya ia adalah salah satutokoh penting dari jaring-jaringan di bawah tanah PKI yangbergerak selama zaman Belanda dan Jepang di daerah Kedirikhususnya dan Jawa Timur umumnya. Ini baru saya ketahuikemudian setelah saya sudah bekerja sebagai wartawan diJakarta.

Pada tanggal 8 Desember 1941, pemerintah Jepang menyerangpangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang terbesar diPasifik, yaitu pelabuhan Pearl Harbor. Tentara Jepang yang sudahmenduduki sebagian dari daratan Tiongkok dan Manchuria,diperintahkan untuk menguasai Asia Tenggara dan sebagiankepulauan Pasifik. Karena serangan Pearl Harbor inilahpemerintah Amerika Serikat mengumumkan perang terhadapJepang.

Demikian juga pemerintah Belanda. Waktu itu Belanda sudahdiduduki Jerman, tetapi Gubernur Jenderal Hindia Belanda masihberkuasa. Ia mengeluarkan pernyataan perang terhadap Jepang.Tetapi, menghadapi serangan tentara Jepang yang sangat kuatwaktu itu, perlawanan tentara Hindia Belanda dapat dipatahkandalam waktu sebentar saja. Pada tanggal 8 Maret 1942,pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati(Jawa Barat).

Dengan menyerahnya pemerintah Hindia Belanda, makamulailah pemerintahan pendudukan militer Jepang di Jawa danSumatra, yang diserahkan kepada Angkatan Darat. AngkatanLaut Jepang diserahi tugas untuk menguasai pemerintahan militeruntuk daerah-daerah lainnya di Indonesia (Kalimantan danIndonesia Timur).

Page 31: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

31

Hidup di Masa Penjajahan

Ketika Jepang mulai menyerang Indonesia (seranganBalikpapan dan lain-lain), dan karena situasi makin tidak jelasarahnya, kami meninggalkan HIS dan kembali ke Karangsemi(Nganjuk). Dan ketika tentara Jepang telah menduduki Indonesiaseluruhnya, saya meneruskan sekolah sebentar di Nganjuk.Selama sekolah di kelas terakhir Sekolah Dasar di Nganjuk inilahsaya mulai belajar bahasa Jepang. Kemauan bapak untuk terusmenyekolahkan saya amat besar.

Ketika saya “mondok” di rumah seorang guru (temannya) diNganjuk, bapak sering mengantar saya dengan sepeda dariKarangsemi. Jaraknya kira-kira tiga puluh kilometer, danbiasanya malam hari. Hal ini masih jelas dalam ingatan, karenadi sepeda itu dipasang lampu sepeda yang memakai sumbu danminyak tanah yang dicampur minyak kelapa.

Page 32: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

32

Masa remaja di Kediri

Kediri merupakan bagian dari hidup yang penting bagisaya. Karena berbagai hal, yang antara lain seperti yangdiuraikan di bawah ini. Selama sekolah di SMP mulai

tahun 1942 (Chugakkoo, dalam bahasa Jepangnya ), usia sayamenginjak remaja.

Untuk memasuki SMP ini, juga kali ini, bapak mengantar sayauntuk dipondokkan kepada guru Muhammadiyah Kediri, yangkemudian menjadi guru di SMP Kediri. Namanya Masadjar. Iaadalah anak seorang guru yang tinggal di Malang, teman bapaksaya. Mondok di rumah pak Masadjar ini membuka hati sayakepada berbagai hal. Dia adalah pendidikan HKS (HollandscheKweekschool, semacam Sekolah Guru Atas) di Bandung. Ia adalahbujangan tua, mempunyai langgam hidup yang rapih,berdisiplin, dan disenangi oleh murid-murid.

Ketika ia tahu bahwa saya tidak makan daging, maka iamembuka diri bahwa ia juga vegetarier (vegetarian) dan bahwa ketikasekolah di HKS ia sudah tertarik kepada Theosofie. Ia seringbercerita tentang loge Theosofie di Bandung, tentang gurunya(orang Belanda) yang theosoof juga, tentang tokoh-tokoh Theosofieyang terkenal seperti Dr. Annie Besant, Blavatsky, Krishnamurti.Banyak buku-buku karangan mereka ini (dalam bahasa Belanda)menjadi bacaan saya. Saya mulai melakukan samadi (kontemplasidan konsentrasi) dan menaruh perhatian kepada masalah-masalah kebatinan.

Tetapi, selama saya mondok di rumahnya, ia juga sering

Page 33: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

33

Hidup di Masa Penjajahan

bicara-bicara tentang masalah-masalah yang menyangkutpergerakan kebangsaan. Perlakuannya terhadap saya sangat baik,dan menganggap seperti adiknya sendiri saja. Mungkin inidisebabkan oleh hubungan antara bapaknya dan bapak saya.Kehidupan saya sebagai anak sekolah yang “mondok” di rumahgurunya, dengan sendirinya berjalan amat teratur.

Selama belajar di SMP Kediri inilah saya rajin belajar bahasaJepang. Karena, sejak belajar di kelas terakhir di Sekolah Rakyatdi Nganjuk, saya sudah tertarik kepada bahasa ini. Di SekolahRakyat inilah saya mengenal huruf Jepang Katakana dan kemudianHiragana. Ada nyanyian-nyanyian Jepang yang saya sukai waktuitu, dan yang sampai lama sekali masih saya ingat (bahkan sampaisekarang, lima puluh tahun kemudian!).

Kemajuan saya dalam belajar bahasa Jepang sangat menonjoldi SMP Kediri. Karenanya, saya pernah menjadi juara bahasaJepang untuk Kediri-Syuu (Keresidenan Kediri). Bantuan gurubahasa Jepang di SMP ini, yaitu pak Suwandi Tjitrowasito, besarsekali. Saya sering sekali ke rumahnya. Atas pengaturannyalahsaya sering diundang ke rumah opsir-opsir Jepang yang bertugasdi bidang sipil (orang-orang Jepang yang memakai tanda bungaSakura), untuk berbicara dalam bahasa Jepang.

Waktu itu, idaman saya ialah menjadi jurubahasa. Karenaitu saya belajar hanashikata (cara berbicara) dan chujuri-kata (caramengarang). Di samping itu, entah berapa huruf Jepang (Hon-ji)telah saya hafal waktu itu. Begitulah, masa-masa di SMP Kedirisaya lalui, sampai kelas tiga. Sementara itu, di SMP Kediri jugadiajarkan olahraga yang mirip latihan perang-perangan (kyooren).Juga sering diadakan kinroo-hooshi (semacam kerja sukarela). Inisesuai dengan program umum dalam pendidikan dan pengajaranzaman pendudukan tentara Jepang waktu itu.

Page 34: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

34

Pada permulaan pendudukan Jepang propaganda merekaadalah bahwa perang yang dilancarkan Jepang adalah untukmembebaskan benua Asia dari kekuasaan Barat, untukmembentuk “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia TimurRaya.” Untuk ini diperlukan Jepang sebagai pimpinannya. Makadilancarkanlah slogan “Nippon Cahaya Asia, Nippon PelindungAsia, Nippon Pemimpin Asia.” Bung Karno dan Bung Hatta, yangdibebaskan oleh Jepang dari tawanan Belanda, telah melakukantaktik bekerja sama dengan Jepang, dalam rangka persiapan-persiapan untuk menghadapi perkembangan selanjutnya dikemudian hari.

Tanggal 1 Maret 1943, organisasi Pusat Tenaga Rakyat (Putera)dibentuk, untuk memimpin rakyat dalam rangka menghapuspengaruh-pengaruh Barat dan membangkitkan semangat untukmembela Asia Raya. Slogan lain yang sering terdengar waktu ituadalah “Inggris kita linggis, Amerika kita strika.” Saya masih ingatbahwa kadang-kadang saya membaca majalah Asia Raja yangditerbitkan di Jakarta. Guru saya, pak Suwandi Tjitrowasitosering menulis artikel dalam majalah ini. Pada waktu itudianjurkan oleh pimpinan militer Jepang dan Putera untukmempelajari bahasa Jepang.

Organisasi Putera waktu itu dipimpin oleh Empat Serangkai:Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, K. H. Mansur dan Ki HadjarDewantara. Organisasi yang luas dan yang tersebar sampai jauhdi daerah-daerah ini merupakan alat yang baik bagi pemimpin-pemimpin Indonesia untuk mempersiapkan rakyat dalammerebut kemerdekaan. Sebagian pemimpin-pemimpin Indonesiawaktu itu meramalkan bahwa kemerdekaan itu bisa dicapai padaakhir Perang Dunia ke-II.

Sementara itu, Jepang yang dengan perang kilatnya telah

Page 35: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

35

Hidup di Masa Penjajahan

menempati keunggulan di seluruh medan perang Pasifik, dalamtahun 1941 dan 1942 mulai mengalami kemunduran-kemunduran.

Untuk mempertahankan daerah yang begitu luas supayajangan direbut oleh Sekutu, maka rakyat Indonesia dikerahkanuntuk “membela diri” (yang sebenarnya adalah membantuJepang). Macam-macam organisasi atau gerakan dibentuk olehJepang, antara lain, Himpunan Kebaktian Jawa (Jawa Hookokai)dan Majlis Islam A’ la Indonesia (MIAI).

Pada tanggal 9 Maret 1943 dibentuk organisasi semi-militerdi seluruh Jawa dan Sumatera, yang ditujukan untuk melatihpara pemuda dari umur 14-22 tahun. Organisasi ini melebarsampai di pedesaan-pedesaan yang terkecil di Jawa. Untukmembantu tugas keamanan kepolisian dibentuk Keibodan. Danuntuk mengerahkan wanita-wanita dibentuk Fujinkai. Semuanyadikerahkan untuk membantu Tentara Jepang dalam peperanganmelawan Sekutu. Pada tanggal 14 September 1944 dibentukBarisan Pelopor, dengan dipimpin oleh Ir Soekarno. Semuanyaini merupakan gerakan besar-besaran dan latihan berskala luasbagi pemuda-pemuda Indonesia waktu itu, yang ternyatakemudian merupakan persiapan penting untuk menghadapiperistiwa-peristiwa sesudah proklamasi 17 Agustus 1945.

Ketika Jepang makin merasa bahwa perlawanan terhadapSekutu tidak dapat dihadapi oleh tentaranya sendiri, makadibentuklah juga tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta) padatanggal 3 Oktober 1943. Banyak calon-calon perwira telah dilatiholeh Jepang di Bogor, dan kemudian di berbagai daerah juga, untukmenjadi komandan batalyon (Daidancho), komandan kompi(Chudancho), komandan peleton (Syodancho), komandan regu(Budancho). Jepang berharap bahwa Peta akan menjadi bantuanutama bagi pasukan-pasukan Jepang. Tetapi, Peta kemudian

Page 36: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

36

berobah menjadi tentara yang pada hakekatnya adalah tentaraIndonesia di bawah pimpinan Jepang, dengan semangatnasionalisme yang tinggi. Akhirnya, setelah 17 Agustusdiproklamasikan, Peta inilah yang juga kemudian melucutitentara Jepang di berbagai daerah, juga di daerah Kediri

Peristiwa yang saya dengar ketika masih sekolah di SMPKediri adalah pemberontakan Peta yang terkenal di Blitar. Inimerupakan pemberontakan yang terbesar terhadappemerintahan militer Jepang. Pada tanggal 14 Februari 1945,seorang komandan peleton (Syodancho) yang bernama Supriadimemimpin satu pemberontakan seluruh batalyon yang bertugasdi Blitar (di Karesidenan Kediri ada dua batalyon Peta waktuitu). Sebab-sebab dari pemberontakan Peta Blitar adalah karenatidak tahannya prajurit-prajurit Peta melihat kesengsaraanrakyat di daerah Blitar (dan daerah-daerah lain di KaresidenanKediri). Banyak rakyat yang mati karena kelaparan dan karenakerja paksa untuk kepentingan pemerintahan militer Jepang. Diantara rakyat yang sengsara ini terdapat keluarga para prajuritPeta. Pemberontakan itu gagal karena kurangnya koordinasidengan batalyon-batalyon lainnya, dan karena keunggulan Jepangwaktu itu. Supriadi “hilang,” dan pimpinan-pimpinanpemberontakan lainnya diadili di depan Mahkamah MiliterJepang di Jakarta.

Pemberontakan Peta di Blitar ini sangat besar pengaruhnyabagi berkembangnya (secara diam-diam) semangat anti-Jepangdi kalangan masyarakat, dan terutama di kalangan pemuda didaerah Jawa Timur. Dalam suasana yang demikian inilah sayalewatkan masa remaja, selama sekolah di SMP Kediri, sampaidiproklamasikannya Kemerdekaan bangsa Indonesia, padatanggal 17 Agustus 1945.

Page 37: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

37

Hidup di Masa Penjajahan

Revolusi Agustusdan mulainya pertempuran di Surabaya

Ketika 17 Agustus diproklamasikan di Jakarta oleh BungKarno dan Bung Hatta dalam tahun 1945 saya ada diKediri. Pada masa-masa selanjutnya terjadilah

peristiwa-peristiwa yang hanya bisa saya ingat samar-samarsekarang ini: peristiwa perlucutan senjata tentara Jepang diberbagai tangsi di daerah keresidenan Kediri oleh Peta danorganisasi-organisasi pemuda, dan mulainya pelajar-pelajar SMPKediri dan berbagai badan perjuangan melakukan kegiatan-kegiatan. Tetapi, masih jelas dalam ingatan saya, bagaimana sayaikut, bersama-sama dengan banyak orang lainnya, beramai-ramai menuju rumah penjara Kediri, untuk membebaskan orang-orang yang ditahan oleh Jepang.

Saya tahu, bahwa paman saya, Boeamin ditahan oleh KenpeitaiJepang di penjara ini. Paman Boeamin adalah seorang yangpandai bahasa Jepang dan pernah menjadi jurubahasa Jepanguntuk Kenpeitai (polisi militer) di Blitar. Entah bagaimana, padatahun 1943-1944 diketahui oleh Kenpeitai bahwa ia termasukgerakan di bawah tanah untuk menentang Jepang. Ia disiksasecara kejam, digantung dan disuruh minum air sabun banyak-banyak. Karena itu, ketika ada orang-orang di kalangan KNI Kediri(Komite Nasional Indonesia) berbicara untuk membebaskantahanan-tahanan Jepang dari rumah penjara Kediri, saya ikut.

Saya masih ingat, bahwa kecuali paman Boeamin, banyaktahanan-tahanan Jepang lainnya yang telah dikeluarkan pada

Page 38: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

38

saat itu. Salah seorang di antara tahanan itu terdapat wanita,yang waktu itu masih muda, yaitu yang bernama Umi Sardjono(Ia menjabat sebagai pimpinan GERWANI sampai terjadinyaG30S dalam tahun 1965). Pidatonya yang bersemangat danberapi-api di depan orang banyak, yang berkerumun di depanpintu penjara, sangat mengesankan bagi saya. Mungkin ini jugamerupakan faktor bagi perkembangan pikiran-pikiran saya dikemudian hari.

Paman Boeamin ini, keluarga Madura dari pihak bapak,pernah tinggal bersama bapak ibu di Karangsemi, di desa yangjauh dari kota itu. Ia pandai masak dan pandai menjahit, sehinggaakhirnya diminta untuk memberikan kursus bagi ibu-ibu. Ia jugapandai bahasa Jepang dan bahasa asing lainnya. Ini terjadi, ketikamenjelang masuknya tentara Jepang. Rupanya, ia tinggal dirumah kami di Karangsemi itu untuk menyembunyikan diri.Tahu-tahu, setelah tentara Jepang menduduki Indonesia, kamidengar bahwa ia bekerja sebagai jurubahasa Kenpeitai.

Selanjutnya, kami dengar bahwa ia ditahan oleh Kenpeitaikarena tersangkut dalam gerakan di bawah tanah menentangJepang.

Proklamasi 17 Agustus 1945 telah didahului oleh serentetanperistiwa-peristiwa penting yang berkenaan dengan kekalahanJepang dalam Perang Pasifik, dan ditanda-tanganinya oleh Jepangpernyataan menyerah tanpa bersyarat pada tanggal 15 Agustus1945 kepada Sekutu.

Sebelum itu, pimpinan pemerintahan dan militer Jepangsudah mulai merasa, sejak permulaan 1945, bahwa pukulan-pukulan militer Sekutu di berbagai medan di Pasifik sudah makinmelumpuhkan mesin peperangan Jepang. Dalam keadaan begini,pimpinan tentara pendudukan Jepang di Jawa membentuk Badan

Page 39: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

39

Hidup di Masa Penjajahan

Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu JunbiChoosakai), dan kemudian pada tanggal 7 Agustus 1945 dibentukPanitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), di mana dudukIr. Soekarno, Drs. Moh Hatta dan Dr Radjiman.

Pada tanggal 15 Agustus 1945, ketiga pemimpin Indonesia initiba kembali ke Jakarta dari pertemuan mereka dengan MarsekalAngkatan Darat Jepang Terauchi yang bermarkas di Dalat,Vietnam Selatan. Marsekal Jepang ini memberitahukan kepadaketiga pemimpin Indonesia itu bahwa pemerintah Jepang telahmengambil keputusan untuk memberikan kemerdekaan kepadaIndonesia, yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda.Pimpinan gerakan pemuda di Jakarta waktu itu mendesak kepadamereka bertiga untuk segera memproklamasikan kemerdekaanIndonesia. Sesudah berlangsungnya persiapan-persiapanmengenai teks proklamasi dan langkah-langkah lain, makadibacakanlah teks proklamasi yang ditandatangani olehSoekarno-Hatta itu pada tanggal 17 Agustus oleh Ir. Soekarno.

Pada tanggal 19 Agustus dibentuk Komite Nasional IndonesiaPusat (KNIP) yang berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rakyat,sebelum terbentuknya DPR hasil pemilihan umum. BadanKeamanan Rakyat (BKR) dibentuk di mana-mana, yangmerupakan alat bagi KNI. Tetapi, di samping itu banyak sekalibadan-badan perjuangan yang juga telah dibentuk oleh berbagaigolongan dalam masyarakat. Badan-badan perjuangan ininamanya macam-macam, dan suasana perjuangan untukmembela Republik Indonesia meluap-luap di mana-mana,termasuk di daerah keresidenan Kediri. Setelah Jepang kalah, makaTentara Sekutu ditugaskan untuk mengisi kekosongan danmengatur penyerahan tentara Jepang yang terdapat di mana-mana waktu itu. Sesudah tentara Sekutu masuk ke Indonesia,

Page 40: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

40

maka secara berangsur-angsur tentara Jepang ditarik dariIndonesia. Sebelum ditarik, banyak terjadi bentrokan-bentrokanbersenjata antara pasukan-pasukan bersenjata rakyat dan tentaraJepang di banyak tempat.

Pasukan-pasukan rakyat ini merebut persenjataan Jepang,dan korban-korban telah banyak jatuh. Kemudian, setelah tentaraSekutu mendarat, terjadi juga bentrokan-bentrokan. Sebab,pemerintah Belanda telah menyusupkan aparat-aparatnya danmembonceng dalam Tentara Sekutu, dengan tujuan untukkemudian menguasai kembali jajahannya. Karena itu, terjadilahinsiden-insiden bentrokan bersenjata dengan Tentara Sekutu diberbagai tempat di Indonesia, antara lain di Surabaya.

Proklamasi kemerdekaan dan mulainya pertempuran-pertempuran di Surabaya, dan pidato-pidato Bung Tomo lewatradio yang selalu berapi-api menggugah semangat banyakpemuda-pemuda di Kediri, di antaranya juga pelajar-pelajar SMPKediri. Pada masa-masa permulaan revolusi ini banyak pelajar-pelajar yang sudah tidak bersekolah lagi. Pelajaran-pelajarankelas terakhir SMP juga sudah sering saya tinggalkan, sepertibanyak teman lainnya.

Waktu itu, di antara kami pelajar-pelajar sudah terjadipertentangan: belajar terus atau ikut berjuang. Saya memilih yangkedua, mengikuti semangat muda. Maka mulailah masa-masayang penuh avontuur dalam suasana revolusi yang melanda JawaTimur waktu itu.

Semangat perjoangan untuk membela Republik Indonesiayang baru diproklamasikan dalam bulan Agustus di Jakartamakin menggelora di Jawa Timur dengan terjadinya “insidenbendera” di Hotel Yamato di Jalan Tunjungan pada tanggal 19September 1945. Waktu itu, ada orang-orang Belanda yang

Page 41: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

41

Hidup di Masa Penjajahan

mengibarkan bendera Merah Putih Biru di atas Hotel tersebut.

Kejadian ini membuat kemarahan rakyat, terutama pemuda-pemuda yang tergabung dalam berbagai barisan perjuangan.Segera bendera itu diturunkan, yang warna biru dirobek-robekdan Merah-Putihnya dikibarkan kembali.

“Radio Pembrontak” mempunyai peranan penting dalammengobarkan semangat perjuangan di seluruh Jawa Timur waktuitu. Apalagi setelah terjadi pertempuran antara BarisanKeamanan Rakyat (pasukan-pasukan yang macam-macamwaktu itu) dengan Tentara Sekutu. Tentara Sekutu ini - Brigade49/Divisi India ke-23, yang kebanyakan terdiri dari orang-orangInggris, Gurkha dan orang-orang India lainnya - mendarat diSurabaya pada tanggal 25 Oktober 1945.

Page 42: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

42

Page 43: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

43

Babak 2

PPPPPengembaraanengembaraanengembaraanengembaraanengembaraan

Mengembara di Jawa dan Sumatera

Ada seorang teman yang tinggal di Ngrajeg, tidak jauhdari Karangsemi. Umurnya satu tahun atau dua tahunlebih tua dari saya. Waktu itu (bulan-bulan September-

Oktober tahun 1945) dia mengajak saya untuk mengumpulkandana untuk perjoangan. Ia mempunyai pistol colt dengan sejumlahpeluru. Salah satu idenya: mengumpulkan sumbangan daripenumpang-penumpang kereta api jurusan Kediri-Kertosono-Surabaya. Untuk itu, dibuatlah sebuah kotak dari kaleng, yangditandai “Untuk perjuangan,” dan diberi gembok.

Selama sebulan lebih kami berdua menjelajahi sepanjang jalankereta api untuk menyodorkan kotak kaleng ini kepadapenumpang-penumpang. Suasana revolusi dan semangatperjuangan berkobar-kobar di mana-mana, dan di mana-manabanyaklah orang yang mau memberi sumbangan. Hasilnya tidakbanyak yang bisa kami serahkan kepada badan perjuangansetempat waktu itu, tetapi kami berdua dapat menjelajahiberbagai kota, dan menyaksikan suasana revolusi waktu itu.Dengan cara begini, kami berdua dapat mengelilingi sebagian daripulau Jawa lewat jalan kereta api Utara dan Selatan. Kalaumalam, kami menginap di wagon kereta api (waktu itu masih

Page 44: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

44

dibolehkan) di setasiun terakhir. Ini merupakan perjalanan jauhyang pertama kali saya lakukan. Pengenalan berbagai daerah yangsedang berjuang itu juga mempengaruhi pikiran-pikiran sayaselanjutnya.

Sejak itu, saya sudah mulai jarang pulang ke Karangsemi.Waktu itu, rumah Karangsemi banyak saudara bapak ibu yangsecara bergiliran tinggal untuk sementara. Ada yang untukmengungsi dari Surabaya, karena situasi tidak menentu.Sementara itu, saya selalu mondar-mandir Kediri-Blitar- Malang-Surabaya. Kalau ke Surabaya, saya menginap di rumah saudarajauh bapak saya, yang mendiami rumah kecil di dekat setasiunGubeng Kuburan.

Selama masa-masa inilah kami mengunjungi markas BPRI(Barisan Pembrontakan Rakyat Indonesia), yang waktu itu penuhdengan pemuda-pemuda yang menyandang senapan atau pestoldan mengenakan pita (ikat kepala) Merah Putih di kepala mereka.

Sekembali dari Surabaya, seorang teman sekolah di SMPKediri mengatakan kepada saya bahwa ada utusan dari organisasipemuda di Jakarta (Angkatan Muda Indonesia) yang membawatugas dari Kepala Polisi Negara (Kementerian Dalam Negeri) untukmengirimkan ke Sumatera satu rombongan pemuda dari daerah-daerah yang sedang bergolak di pulau Jawa.

Tugasnya ialah untuk membantu pengobaran semangatrevolusi di Sumatera yang waktu itu juga sudah bergolak diberbagai tempat. Tentu saja, dalam suasana waktu itu kamidengan gembira menerima tawaran itu. Pertempuran-pertempuran di Surabaya yang saya saksikan dari dekat, danperjalanan sepanjang jalan kereta api di pulau Jawa, merupakanpersiapan yang baik bagi saya untuk menjalankan misi keSumatera ini.

Page 45: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

45

Pengembaraan

Dua orang pemuda dari Kediri ini (saya dan Gatot Iskandar)kemudian menuju ke Jakarta, yang waktu itu masih dikuasai olehTentara Sekutu. Setelah tinggal di Sawah Besar beberapa hari,maka rombongan yang terdiri dari belasan orang inimeninggalkan Pasar Ikan dengan kapal kecil bermotor menujuLampung. Di antara belasan orang ini terdapat Rivai Apin (yangkemudian terkenal sebagai penyair). Tetapi, tidak jauh dari pantaiUtara, mesin kapal bermotor ini mengalami kerusakan. Kapal inilama sekali terombang-ambing oleh gelombang yang cukup besar.Jangkar yang dilepaskan putus. (Dari pengalaman itulah,rupanya, lahir sajak Rivai Apin (almarhum) yang berjudul“Jangkar Putus”).

Kami terpaksa meneruskan perjalanan ke Sumatra, dengansusah payah, lewat darat dengan menerobos Banten. DaerahBanten waktu itu juga sedang dilanda suasana revolusi 17Agustus. Rombongan kami menginap di gedung KeresidenanBanten di kota Serang dan diterima dengan hangat oleh ResidenBanten waktu itu, Kyai Haji Chatib. Setelah beberapa harimengaso di rumah Residen Banten, kami meneruskan perjalananke Lampung lewat Merak. Dengan perahu layar yang kecil, kamimelewati Selat Sunda dan mendarat di Labuhan.

Mulailah dari sini perjalanan kami selama sebulan lebih diSumatera. Rombongan yang belasan orang ini dibagi menjaditiga bagian, untuk Sumatera Selatan, Sumatera Tengah danSumatera Utara. Saya mendapat bagian Sumatera Selatan denganbeberapa orang. Di mana-mana kami disambut baik di berbagaikota, terutama oleh bupati-bupati atau kepala-kepala kota kecil,antara lain: Teluk Betung, Kotabumi, Lubuk Linggau, Kertapati,Bukit Asam, dan berbagai kota atau distrik kecil lainnya diLampung dan Sumatera Selatan. Waktu itu kami diberi “kartu

Page 46: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

46

tugas” yang berwarna Merah-Putih dan ditandatangani olehKepala Polisi Negara S. Sukanto atas nama Kementerian DalamNegeri Republik Indonesia. Kartu tugas ini “ampuh” sekali waktuitu untuk mendapat berbagai bantuan atau fasilitas.

Inilah perkenalan pertama saya dengan Sumatera. Perjalananselama sebulan lebih ini kami lakukan dengan kereta api, busatau truk. Makan, tempat penginapan dan uang saku tidak menjadipersoalan. Suasana revolusi yang juga melanda Sumatera Selatan(dan Lampung) waktu itu dengan hangat menyambut kedatanganrombongan pemuda dari Jawa. Mereka dengar, dari radio ataulewat saluran-saluran lainnya, tentang suasana revolusi di Jawa,tentang pertempuran-pertempuran di Surabaya, di Jawa Baratdan di berbagai daerah lainnya.

Setiba kami di kota Palembang, kami menginap beberapa haridi rumah Dr. A.K. Gani, yang waktu itu juga sering penuh dengananak-anak muda. Kota Palembang waktu itu baru saja mengalamibentrokan-bentrokan senjata dengan pihak Tentara Sekutu(sebenarnya tentara Belanda). Saya masih ingat bagaimanakagum saya terhadap seorang staf Dr. A.K. Gani, yang denganfasih menggunakan bahasa Inggris ketika berbicara lewat telepondengan perwakilan Tentara Sekutu. Kesan ini mempunyaipengaruh yang besar dalam jalan hidup saya di kemudian hari.

Page 47: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

47

Pengembaraan

Nyawa ekstra di Surabaya

Kota Kediri masih terus berkobar dalam suasanaperjuangan waktu kami kembali dari Sumatera. IPPIKediri, yang gedungnya berdekatan dengan SMP kami

(di Jalan Baluwerti), selalu penuh dengan kesibukan-kesibukan.Sebagian pelajar-pelajar meneruskan pelajaran mereka, dengandiejek oleh sebagian lainnya. BKR (Badan Keamanan Rakyat)Pelajar telah dibentuk di mana-mana di Jawa Timur, juga di Kediri.Saya menggabungkan diri dengan mereka.

Dan pada suatu waktu, belasan orang di antara kami (umurrata-rata 17-18 tahun), yang terdiri dari pelajar-pelajar SMPKediri dan SGL Blitar (Sekolah Guru Laki-laki) bertekad untukikut berjuang di kota Surabaya. Di antara kami ini termasuk Tjuk(Alex) yang pada tanggal 19 dan 20 Mei 1995 telah bicara-bicaradi Paris tentang kenang-kenangan mengenai apa yang kami alamiwaktu itu.

Kami berangkat dengan bus dari Kediri tanggal 9 November1945 malam, dan tiba di Wonokromo keesokan harinya menjelangpagi hari. Kami hanya bersenjatakan granat saja (rampasan dariserdadu-serdadu Jepang yang dilucuti). Tidak lama kemudiansampailah berita bahwa pertempuran besar-besaran sedangberkobar di berbagai bagian kota Surabaya. Rombongan kamiyang terdiri dari belasan orang ini sudah tidak sabar untukmenunggu pengaturan di Wonokromo.

Kami segera mengambil inisiatif untuk masuk kota Surabayadan menghubungi Markas BPRI (Barisan Pemberontak Republik

Page 48: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

48

Indonesia) di Hotel Simpang, yang waktu itu dipimpin oleh BungTomo dan Bung Sumarsono.

Kepada kami semua telah dibagikan senjata dan topi baja.Saya mendapat senjata karaben Jepang dan topi baja. Rombongankami yang belasan orang ini (dari Kediri dan Blitar) dengan segeradiberi tugas, untuk bersama-sama dengan pasukan-pasukanlainnya mulai ikut dalam pertempuran-pertempuran melawanTentara Sekutu (Belanda). Kami tidak memerlukan latihanberbaris dan sebagainya. Karena selama belajar di SMP, kamimendapat latihan perang-perangan.

Malam harinya kami selalu mundur untuk beristirahat(makan dan mandi) di Asrama Jalan Darmo 49. Waktu itu, makanbukanlah menjadi soal. Kami lihat makanan banyak sekali, yangsebagian terbesar terdiri dari sumbangan rakyat.

Dalam hari-hari berikutnya, kami diberi tugas untuk patroliatau menjaga pos-pos tertentu. Antara lain di Keputran,Tambaksari, Undakan, Gunungsari dan lain-lain. Pada satu harikami mendapat tugas untuk menduduki pos di Tambaksari.Waktu itu daerah pos kami dihujani mortir oleh pihak TentaraSekutu (di dalamnya terdapat pasukan Belanda). Peristiwa inijuga sangat berkesan sampai sekarang bagi kami berdua, limapuluh tahun kemudian. Sebab, di saat-saat inilah kami berduadiberi nyawa ekstra.

Saya, bersama beberapa teman lainnya, menduduki sebuahpos perlindungan. Tjuk bertugas di tempat yang agak jauh,bersama-sama teman-teman lainnya. Hujan mortir itu, yangdiluncurkan oleh Tentara Sekutu, benar-benar lebat sekali.Ledakan-ledakan yang memekakkan telinga berdentum-dentumdi sekitar jarak yang luas, juga di kanan kiri lobang perlindungansaya.

Page 49: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

49

Pengembaraan

Entah karena apa, suatu saat saya ingin keluar dari lobangperlindungan. Ketika baru merangkak-rangkak sejauh enammeter, sebuah mortir jatuh tepat mengenai lobang perlindunganyang baru saja saya tinggalkan.

Karena terdengar suara yang mengaduh dan menjerit, makasaya kembali ke lobang perlindungan setelah asap berkurang. Disitulah saya lihat pemandangan yang mengerikan. Tiga atauempat badan telah hancur, dan kelihatan usus-usus yangberserakan. Mereka tewas semua. Bagi saya, dalam peristiwainilah saya telah mendapat “nyawa ekstra.” Saya bersama-samateman-teman lainnya yang masih hidup, dengan cepat menjauhidaerah yang dihujani mortir ini, untuk kemudian mengundurkandiri ke daerah yang agak jauh.

Sejak itu, saya tidak melihat lagi teman saya Tjuk ini, danbaru bertemu kembali di Jakarta sesudah tahun 1950-an, danketika saya sudah menjadi wartawan. Menurut ceritanya di Paris,waktu itu kaki kirinya luka berat karena tembakan mortir, danagak lama dirawat di rumah sakit di Malang. Ia perlihatkan (diParis, di depan teman-teman Indonesia lainnya) bekas-bekas lukaparahnya, yang lebih dari lima puluh tahun kemudian masihkelihatan keseriusannya. Ia juga mengatakan bahwa, baginya, iamendapat “nyawa ekstra” dalam peristiwa ini.

Perasaan bahwa saya mendapat “nyawa ekstra” dalampertempuran di Surabaya ini merupakan faktor penting dalampenentuan tindakan-tindakan saya selanjutnya, seperti yangdiuraikan kemudian dalam tulisan ini. Secara garis besar bisadisimpulkan bahwa saya merasa makin mudah untuk melakukanhal-hal yang mengandung risiko, karena toh sudah nyawa ekstra.

Setelah mundur dari kota Surabaya, saya putus dengan indukpasukan. Saya kembali ke Kediri sebentar dan kemudian ke

Page 50: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

50

Karangsemi. Di waktu itulah bapak ibu yang menyayangi sayadan selalu berbicara tentang keinginan mereka supaya “jadiorang,” menganjurkan supaya saya meneruskan sekolah. Karenaitulah saya memutuskan untuk melanjutkan SMA saya di Jogya,di Taman Madya.

(Catatan: Pasukan marinir Belanda mendarat di Tg Priok

dalan bulan Desember 1945, dan untuk menjaga keamanan

Presiden Soekarno dan Wk Presiden Hatta, mereka dipindahkan

ke Jogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946. Kemudian,

ibukota RI juga dipindahkan ke kota ini).

Jogya, waktu itu merupakan ibukota revolusi, pusatpemerintahan, pusat perjuangan politik, Balai Perguruan TinggiGajah Mada (sebelum jadi Universitas), Pusat PB IPPI, danorganisasi-organisasi perjuangan lainnya. Dalam suasana yangdemikianlah saya belajar dengan tekun bahasa Inggris, bahasaJerman dan Perancis di Taman Madya ini. Nama para guru waktuitu yang masih saya ingat sampai sekarang adalah antara lain: kiPratolo, ki Subroto, ki Kuntjoroningrat. Asrama kami, yangterletak di belakang Pendopo Besar Taman Siswa ( JalanWirogunan) adalah gedung milik ki Pratolo. (Sebutan ki adalahtradisi di Tawan Siswa, yang artinya adalah guru atau orangyang berilmu).

Belajar di Taman Madya memberikan kesempatan kepadasaya untuk tertarik kepada masalah-masalah pendidikan. Sayasering meminjam buku dari guru-guru tentang masalahpendidikan atau ilmu jiwa (psikologi), umpamanya karangan FritsKunkel dan lain-lain.

Kehidupan di asrama sangat sederhana, dan makan jugaterbatas sekali. Karena uang kiriman dari bapak sangat terbatas,

Page 51: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

51

Pengembaraan

maka tidak pernah makan di luar (di warung, apalagi restoran).

Kalau jalan-jalan di kota Jogya, selalu jalan kaki, atau pinjamsepeda kepunyaan teman asrama. Kalau bisa pinjam sepeda,maka saya pergunakan untuk keliling-keliling kota Jogya yangwaktu itu penuh dengan kejadian-kejadian politik yang penting.Saya pernah beberapa kali mengunjungi kantor PB IPPI di TuguKulon, untuk mengetahui kegiatan-kegiatan IPPI. Sebab, teman-teman SMP Kediri banyak yang aktif terus di IPPI Kediri atau IPPIJawa Timur. Kalau berjalan-jalan di Malioboro hanyalah untuklihat-lihat saja, makan di warung pun tidak pernah. Kalau maumencukur rambut, saya cari yang murah, yaitu di bawah pohondi dekat Mangkunegaran. Membaca koran atau majalah selaludari pinjam-pinjam dari teman. Kesenangan saya adalahberjalan-jalan di stasion kereta api Tugu dan melihat turunnaiknya penumpang-penumpang yang berdatangan dari jauhdan dari daerah-daerah yang sedang bergolak. Pemandangansemacam itu menumbuhkan cita-cita saya untuk bisa merantaujauh. Belajar di Taman Madya ini hanya berlangsung sampai aksipolisionil Belanda ke-I, yang terjadi mulai Juli 1947.

(Catatan sejarah: Tentara Sekutu yang mendarat di

Surabaya untuk pertama kali pada tanggal 25 Oktober 1945

adalah bagian dari AFNEI (Allied Forces for the Netherlands

East Indies). Tentara ini terdiri dari tentara Inggris - Divisi

India - yang kebanyakan terdiri dari orang-orang India,

Ghurka dll. Untuk daerah Surabaya, Tentara Sekutu ini

dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby.)

Pemuda-pemuda dan rakyat Surabaya waktu itu sudahcuriga, bahwa di dalam Tentara Sekutu telah membonceng tentaraBelanda dan orang-orang NICA. Sejumlah orang-orang dari

Page 52: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

52

Tentara Sekutu ditangkap oleh pasukan-pasukan rakyat waktuitu, dan Tentara Sekutu menyerbu penjara tempat tawanan-tawanan itu ditahan. Ini dianggap tantangan bagi rakyat danpemuda Surabaya. Pada tanggal 28 Oktober, pos-pos TentaraSekutu yang tersebar di Surabaya diserang oleh pasukan-pasukanrakyat. Dalam pertempuran di dekat Jembatan Merah, JenderalMallaby tewas.

Rupanya, pimpinan Tentara Sekutu waktu itu menganggapremeh semangat dan kekuatan pasukan-pasukan rakyat. Satuultimatum dilancarkan kepada kekuatan-kekuatan bersenjatarakyat (yang banyak dan macam-macam ketika itu). Ultimatumini dianggap keterlaluan dan menusuk perasaan. Antara laindisebutkan dalam ultimatum supaya: semua pimpinan danorang-orang yang bersenjata (termasuk pimpinan RadioPemberontak) menyerahkan senjata mereka di tempat-tempatyang telah ditentukan, menyerahkan diri dalam barisan denganmengangkat tangan di atas kepala, bersedia untukmenandatangani surat perjanjian menyerah tanpa bersyarat.Batas waktu ultimatum itu adalah jam 06.00 tanggal 10 November1945.

Ultimatum itu dianggap penghinaan, dan tidak dihiraukanoleh semua pasukan rakyat. Maka pecahlah pertempuranSurabaya yang terkenal itu. Tentara Sekutu mengerahkan lebihdari satu divisi infanteri dengan senjata modern sertaperlengkapan militer lainnya, dan dalam pertempuran yangberlangsung hampir tiga minggu itu, Tentara Sekutu juga dibantuoleh kapal-kapal perang Inggris serta pesawat-pesawat udaradari Royal Air Force. Karena sengitnya pertempuran-pertempuran dan banyaknya orang yang gugur, maka 10November ini kemudian diresmikan sebagai Hari Pahlawan.

Page 53: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

53

Pengembaraan

Menjadi guru di Malang

Pada suatu waktu saya kembali ke rumah bapak ibu diNganjuk. Pekerjaan bapak sebagai guru waktu itu sudahpindah, dari desa Karangsemi ke dalam kota Nganjuk, di

salah satu SMP. Keadaan ekonomi secara keseluruhan waktu itusulit. Demikian juga halnya rumah tangga bapak ibu. Karena,bapak ibu terpaksa menerima dua kemenakan jauh yang sudahditinggalkan bapak ibu mereka (karena meninggal). Adik-adikjuga memerlukan biaya sekolah dan lain-lain keperluan. Terasasekali, melihat cara berpakaian bapak ibu dan makanan sehari-hari di rumah, bahwa keadaan sulit sekali.

Pada suatu hari, saya melihat pemandangan menyedihkanyang menggugah hati. Kutang ibu kelihatan robek-robek. Iamengatakan bahwa untuk membikin kutang yang baru sangatsulit waktu itu. Saya menangis, dia juga, di depan bapak. Sayatidak bicara banyak, tetapi di dalam hati sudah bertekad bahwasaya harus mandiri, dan jangan jadi beban lagi. Ini berarti bahwasaya tidak akan meneruskan sekolah ke Jogya lagi, dan harusmencari jalan untuk hidup sendiri.

Entah bagaimanapun. Tetapi, kerja apa? (Umur saya waktuitu sudah sembilan belas tahun). Saya meninggalkan Nganjuk,kemudian ke Blitar, ke rumah nenek di Pasarlawas. Di sini keadaanjuga sama saja, bahkan lebih sulit lagi. Ini terjadi kira-kirapertengahan 1947, ketika terjadi aksi polisionil ke-I dari TentaraBelanda. Blitar masih belum diduduki, tetapi orang sudah banyakyang menduga bahwa itu akan terjadi tidak lama lagi. Kemudian

Page 54: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

54

dengan bersepeda pergi ke rumah nenek - dari keluarga ibu - diTumpang (dekat Malang), tempat berkumpul banyak paman-paman dan saudara-saudara, yang datang mengungsi dari mana-mana. (rumah nenek di Tumpang cukup besar). Di situlah sayamendengar bahwa istri salah satu paman sedang dirawat dirumah sakit Malang, ketika Malang diserang dan didudukiTentara Belanda. Seluruh keluarga Tumpang sangat khawatirtentang keadaan bulik (ibu-cilik, tante) saya ini.

Saya menawarkan diri untuk mengambil bulik dari rumahsakit Malang untuk dibawa ke Tumpang. Banyak orang yang tidaksetuju. Karena bapak ibu saya termasuk dihormati oleh keluargaTumpang, dan saya termasuk anak yang disayangi oleh keluargabesar pihak ibu. Karena itu, mereka tidak rela jika terjadi apa-apa atas diri saya.

Tekad saya untuk menyelamatkan bulik besar sekali waktuitu. Dengan sepeda, saya lewati kota-kota kecil dan desa menujuMalang, antara lain Pakis, Wendit, Blimbing. Makin dekat dengankota Malang makin banyak penjagaan pos Tentara Belanda. Entahkarena saya dianggap masih kecil, atau tidak mempunyai gayadan wajah sebagai pemberontak, maka bisa saja saya melewatipos-pos Belanda ini, dengan kadang-kadang mengambil jalankecil-kecil dan melingkar. Akhirnya, saya bisa membawa bulik,dengan susah payah, ke Tumpang. Saya masih ingat bahwakejadian ini merupakan peristiwa penting untuk keluargaTumpang waktu itu. Saya dianggap pahlawan oleh mereka.Apakah “nyawa ekstra” yang saya dapat dari pertempuranSurabaya ada perannya di sini? Entahlah.

Kemauan untuk mandiri dan jangan jadi beban bapak ibudalam situasi ekonomi yang sulit waktu itu telah mendorong sayauntuk mencari pekerjaan di Malang, yang baru saja diduduki

Page 55: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

55

Pengembaraan

Tentara Belanda. Situasi pemerintahan yang masih kacau waktuitu memungkinkan saya untuk dengan mudah mendapatpekerjaan sebagai guru sekolah rakyat. Waktu itu, sekolah-sekolahbaru dibuka kembali, dan terdapat kekurangan tenaga guru.Karena itu, ketika saya mendaftarkan diri di kantor pendidikan,dengan mudah saya diterima.

Mulailah sejak itu (mulai umur sembilan belas tahun), sayahidup untuk pertama kali dengan mendapat gaji sendiri, denganmengajar di sekolah rakyat di Bandarangin (dekat sektor kotaMalang yang indah, yang waktu itu dikenal sebagai Bergenbuurt,daerah gunung). Mula-mula mengajar di kelas dua, untuk anak-anak kecil. Kemudian mengajar ilmu bumi di kelas 5. Saya senangdengan tugas yang baru ini. Karena dengan anak-anak yang sudahagak besar, saya dapat bercerita tentang berbagai kota di Jawadan Sumatera, dengan pengetahuan atau pengalaman yang sudahsaya alami (harap ingat cerita tentang kotak kaleng yangdisodorkan di sepanjang jalan kereta api Surabaya-Semarang-Jakarta-Bandung-Jogya, dan perjalanan ke Sumatera).

Mengajar di Sekolah Rakyat di Bandarangin itu tidak lama,kira-kira hanya enam bulan. Karena ada pertentangan pendapatdengan kepala sekolah, saya minta berhenti. Ia tidak setuju dengancara saya mengajar murid-murid yang dianggap terlalu bebasdan ada bau-baunya perjuangan. (Rupanya pengaruh belajar diTaman Madya ada juga). Setelah berhenti, saya pindah keSurabaya, untuk mencari pekerjaan baru.

Selama bekerja di Malang dan Surabaya, di daerahpendudukan Belanda, dengan sendirinya saya terpisah darisuasana perjuangan di daerah RI. Pada waktu itu terjadi berbagaiperistiwa penting bagi sejarah Indonesia, antara lain:

Pada tanggal 25 Maret 1947 ditandatangani persetujuan

Page 56: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

56

Linggajati di Istana Rijswijk di Jakarta (sekarang Istana Merdeka),antara delegasi Indonesia (Sutan Sjahrir, Mr. Moh. Roem, Mr.Susanto Tirtoprodjo, Dr. A.K. Gani) dan delegasi Belanda(Schermerhorn, Van Mook dll).

Pada tanggal 4 Mei 1947, Negara Pasundan diproklamasikanoleh Soeria Kartalegawa, yang oleh Belanda disokong menjadiPresidennya. Di Kalimantan Barat, Van Mook mendudukkanSultan Pontianak Hamid Algadri II sebagai Kepala DaerahIstimewa Borneo Barat.

Sementara itu, pada tanggal 5 Mei 1947, pemerintah RImemutuskan untuk mempersatukan semua kekuatan bersenjatarakyat. Waktu itu, di samping Tentera Rakyat Indonesia (TRI)terdapat laskar-laskar rakyat yang macam-macam. Kekuatan-kekuatan bersenjata ini akhirnya dilebur menjadi TentaraNasional Indonesia (TNI) pada tanggal 3 Juni 1947.

Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan seranganbesar-besaran dan serentak terhadap daerah-daerah RI. Di pulauJawa Belanda mengerahkan tiga divisi dengan perlengkapanperang yang modern. Di Jawa Timur dikerahkan satu divisi.Serangan Belanda ini dinamakan Aksi Militer Belanda Pertama.

Page 57: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

57

Pengembaraan

Dari Surabaya ke pertempuran lagi

Di Surabaya mula-mula bekerja di toko buku Van Dorp.Pekerjaan saya sebagai pegawai rendahan di tokobuku ini juga tidak lama (tiga bulan). Tidak betah,

karena sering disuruh mengantar bungkusan-bungkusan bukukepada pemesan-pemesan. Kadang-kadang terpaksamenggunakan sepeda yang ada gerobaknya di belakang, untukmengangkut karton-karton yang berisi buku-buku atau barangcetakan. Orang-orang Belanda yang mengurusi toko buku iniumumnya memperlakukan saya dengan baik (mungkin karenasaya bisa berbahasa Belanda), tetapi mengayuh sepeda-gerobaksepanjang jalan Tunjungan atau jalan-jalan besar lainnya, adaperasaan malu juga. Dalam hati: saya pernah jadi guru dan pernahbertempur melawan Tentara Sekutu, mengapa jadi begini?

Karena itu saya melamar lagi ke Onderwijse Dienst Jawa Timur(Dinas Pengajaran) untuk mengajar lagi. Rupanya administrasipemerintahan waktu itu sudah berjalan baik. Sebab ketikamendapat panggilan, Hoofd-opziener (Pengawas Kepala)mengatakan bahwa dalam berkas-berkas saya ada laporan dariDinas Pendidikan di Malang bahwa saya mempunyai persoalanketika bekerja di Sekolah Rakyat Bandarangin (di Malang). Iamengatakan bahwa saya bisa diterima untuk bekerja lagi disebuah Sekolah Rakyat, tetapi ia memberi pesan supaya apa yangterjadi di Malang jangan diulangi lagi.

Selama bekerja di Malang dan kemudian di Surabaya, selaluada perasaan bahwa saya sudah mengkhianati perjuangan.

Page 58: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

58

Perasaan ini selalu terbawa-bawa. Ketika ada sahabat dekat diSMP Kediri bersama istrinya juga datang dari “pedalaman”(daerah RI) ke Surabaya, untuk menjadi guru Sekolah Rakyat juga,maka saya merasa lega juga. Sebab teman lama ini termasukpengurus IPPI Jawa Timur. Untuk jangka waktu yang singkat,kami bertiga tinggal serumah.

Pekerjaan mengajar di Sekolah Rakyat ini juga tidak lama,hanya beberapa bulan saja. Pada tanggal 18 Desember 1948 Yogyadiserbu oleh pasukan payung Belanda yang diikuti olehpenyerbuan Tentara secara besar-besaran. Di koran-koranBelanda dan di radio tersiar kabar bahwa Bung Karno danpemimpin-pemimpin RI lainnya ditangkap, untuk kemudiandiungsikan ke pulau Bangka. Terjadi lagilah pergolakan dalamhati saya. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya? Semangatmudalah rupanya waktu itu yang berbicara dan mengambilkeputusan.

Saya membuat tulisan beberapa halaman, di jelaskan dalamtulisan ini bahwa saya sudah mengambil keputusan untukberjuang lagi dan meninggalkan pekerjaan sebagai guru.

Tulisan ini kemudian saya bawa ke Tumpang. Saya katakankepada paman-paman dan nenek bahwa saya akanmenggabungkan diri kepada teman-teman yang sedang melawanBelanda, entah di mana. Kepada paman-paman dipesankansupaya tulisan itu disampaikan kepada bapak ibu di Nganjuk,yang waktu itu masih dalam kekuasaan RI. Saya ingat bahwapaman terkejut membaca tulisan ini (dan takut), karena tulisanitu mengandung kalimat-kalimat yang bersifat kata-kataperpisahan: perkataan rela mati, dsb., dsb.

Inilah merupakan kunjungan yang terakhir ke Tumpang,sampai saya singgah lagi sepuluh tahun kemudian dengan istri

Page 59: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

59

Pengembaraan

saya tahun 1959, ketika kami mengadakan perjalanan bulan madudan sowan bapak ibu di Blitar. Buat saya Tumpang menempatitempat yang khusus dalam hati, walaupun jarang mengunjunginenek. Sebab lahir di Pakis, dekat Tumpang ini, dan pada suatukali, ketika masih kecil, pernah diajak oleh bapak mengunjungirumah tempat lahir saya itu.

Sesudah menitipkan tulisan itu kepada keluarga Tumpang,dengan sepeda saya menuju daerah Kediri, dengan melewatijalan-jalan kecil yang berdekatan dengan Krian, Mojokerto,Jombang. Saya menuju daerah Kediri, karena menduga bahwateman-teman yang sedang berjuang, terutama Tentara Pelajar(TRIP), ada di daerah ini. Dalam suasana perjuangan melawanBelanda ketika itu, untuk menginap bukanlah soal. Di tiap kelurahanbisa saja menginap, tanpa bayar. Sebab, sejak revolusi pecah, oranghilir mudik. Ada yang mengungsi, ada yang berjuang. Bahkan,makan juga tidak terlalu susah. Bukan main solidaritas dansumbangan rakyat waktu itu. “Orang kota,” atau yang kelihatanterpelajar, mendapat penyambutan yang baik di desa-desa.

Betul saja dugaan saya. Ketika sudah meninggalkan daerahJombang mau menuju daerah Kediri, saya dapat mengetahui(sudah lupa bagaimana caranya) bahwa di dekat Cukir adamarkas pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Sayamendekati markas itu, dan bertemulah dengan teman-temanlama dari SMP Kediri, yang waktu itu meneruskan perjuangan.Di antaranya ada juga yang ikut pertempuran 10 November diSurabaya. Dengan sendirinya, dengan gembira saya disambutoleh mereka, ketika menyatakan ingin menggabungkan diridengan mereka.

Saya berkumpul dengan mereka tidak lama, tidak sampaisebulan. Tetapi sempat mengikuti operasi penyerangan kilat kota

Page 60: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

60

Jombang. Jarak dari markas kami sampai kota Jombang kira-kira20 km. Persenjataan kami cukup baik waktu itu, ada mitraliur12,7 juga, di samping masing-masing memanggul karaben ataustengun. Saya kebagian karaben. Kami berangkat sore haridengan jalan kaki. Diperhitungkan bahwa serangan harusdiadakan pagi-pagi sekali, sekitar jam 4 atau 5 pagi. Pasukanyang dikerahkan jumlahnya sekitar 40 orang. Operasi kilat waktuitu dimaksudkan untuk mengacau jaluran besar Surabaya-Kertosono, yang merupakan urat nadi lalu lintas yang pentinguntuk Tentara Belanda.

Untuk melaksanakan operasi kilat itu, kami berjalan semalamsuntuk sampai pagi hari. Dalam kegelapan yang kadang-kadangdiseling dengan lampu senter, kami berjalan dengan ngantukketika sudah lewat tengah malam. Ada yang berjalan sambilsetengah tidur. Rupanya bisa juga begitu. Berjalan secara otomatisdan tanpa kesadaran, walaupun tidak lama.

Tembak menembak ini tidak sampai setengah jam. Tetapi kamiberada di pinggiran kota Jombang sampai beberapa jam (sebelumdan sesudah serangan). Kemudian, karena sudah makin siang,pasukan diperintahkan cepat-cepat untuk mundur meninggalkankota Jombang dan mengaso di suatu desa yang jauh dari jalanyang bisa dilewati mobil. Siang harinya kami tinggal di desa itu,untuk berlindung. Karena, tidak baik melakukan perjalanan disiang hari, untuk menghindari pesawat terbang musuh dan jugasupaya jangan ketahuan terlalu banyak oleh penduduk desa-desayang kami lewati.

Beberapa waktu setelah melancarkan serangan kilat keJombang teman-teman TRIP merencanakan meninggalkan Cukiruntuk pindah lagi ke daerah lain. Pada waktu itulah sayamengambil keputusan lain, setelah banyak berpikir. Apa akan

Page 61: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

61

Pengembaraan

terus mengikuti pasukan?

Disamping itu, terdengar berita bahwa Tentara Belanda makinjauh menggerogoti daerah-daerah RI. Saya juga dengar kemudianbahwa pak guru Masadjar, yang saya pondoki bertahun-tahun,tewas di Kediri ketika Tentara Belanda memasuki kota itu. Padasuatu hari saya memberitahu teman-teman di TRIP bahwa sayatidak meneruskan ikut mereka. Pada masa-masa itu, begitu itubisa saja. Orang mau berjuang ya disambut, kalau sudah tidakmau lagi ya boleh saja.

Keinginan untuk kembali ke rumah bapak ibu di Nganjuksudah kecil sekali, karena bayangan kesulitan ekonomi bagi rumahtangga bapak ibu dan situasi di “pedalaman” waktu itu.

Saya ingin mencari pengalaman-pengalaman baru danlapangan yang lebih luas untuk kehidupan selanjutnya dikemudian hari. Saya bertekad untuk melawat jauh. Makaberangkat lagilah saya dengan sepeda kembali ke Surabaya, tetapidengan tekad untuk tinggal sebentar saja di situ. Di Surabayamencari keterangan-keterangan tentang kemungkinan pergi keJakarta dengan kapal laut.

Tidak lama kemudian, saya membeli tiket kapal KPM di kelasgeladak untuk menuju Jakarta, juga bersama sepeda saya. Initerjadi sebelum penyerahan kedaulatan kepada RI dalam bulanDesember 1949. Maka mulailah halaman-halaman baru dalamsejarah hidup saya, setelah masa empat tahun yang penuh dengangejolak semangat muda dan sering mengandung bahaya, yaitumasa muda yang diliputi oleh suasana revolusi yang menggelorawaktu itu.

Page 62: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

62

Dari pelayan hotel ke penterjemah

Ketika turun dari kapal KPM di pelabuhan Tg Priok,dengan membawa sepeda dan satu koper kecil, tentu saja timbul pertanyaan: mau ke mana? Memang, pernah

saya menginap beberapa hari di salah satu rumah di Sawah Besar,menjelang pergi ke Sumatera beberapa tahun sebelumnya. Tetapi,alamatnya sudah lupa dan juga tidak ada kontak lagi denganpengurus API yang mengirim kami (dua pemuda dari Kediri), keSumatera.

Saya naikkan saja sepeda dan kopor kecil ke dalam kereta apiyang menuju Meester Cornelis (Jatinegara). Memang adapersediaan uang sedikit waktu itu, yaitu sisa dari gaji menjadiguru, yang dihemat-hemat. Seturun dari kereta api di MeesterCornelis, saya bertanya-tanya kepada orang-orang di sekitarsetasiun di manakah ada penginapan yang murah. Memanglogisnya, atau biasanya, di dekat setasiun selalu ada hotel ataupenginapan.

Kebetulan sekali, di dekat setasiun ada hotel atau rumahpenginapan yang bernama “Penginapan Surakarta.” Pemiliknyaseorang wanita janda yang berasal dari Solo dan sudah lamatinggal di Jakarta, namanya ibu Sri (entah Sri apa selanjutnya).Kepada ibu Sri saya katakan bahwa saya datang dari Surabaya,dan pernah bekerja sebagai guru, dan datang ke Batavia (Jakarta,sekarang) untuk mencari pekerjaan. Karena itu saya minta diberikamar yang semurah-murahnya.

Page 63: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

63

Pengembaraan

Untuk malam itu, dan beberapa malam kemudian, sayadibolehkan tidur di atas tikar di lantai, di ruangan luar (jadi bukandi kamar). Beberapa hari berjalan begitu. Pada satu saat, karenakesibukan dia dan pegawainya sedang tidak ada, saya dimintaitolong untuk menerima tamu dan mengisi buku tamu. Melihattulisan tangan saya baik, ia mengatakan bahwa selanjutnya sayabisa menginap di “hotel” itu (selalu di lantai dan di luar kamar)tanpa bayar, sampai saya mendapat pekerjaan.

Kadang-kadang, umumnya pada malam hari, ada MP Belanda(polisi militer) yang datang ke rumah penginapan (waktu itumasih belum penyerahan kedaulatan) untuk memeriksa apakahada “teroris” (maksud mereka pejuang-pejuang RI) yangmenginap. Karena saya bisa bahasa Belanda, maka saya disuruholeh ibu Sri untuk menghadapi polisi militer Belanda itu. Lama-lama saya mendapat kepercayaannya, dan sering disuruhmengecapkan buku tamu ke Kantor Polisi Meester Cornelis. Sayakemudian dianggap sebagai pekerja rumah penginapan itu,dengan diberi makan dan uang saku. Dan kalau ada kamar yangkosong, saya boleh tidur di dalamnya (tidak di lantai luar lagi).Tetapi, kadang-kadang juga saya disuruh mencuci kain sepreitempat tidur yang dipakai oleh tamu-tamu. Dan ini pekerjaanyang tidak saya sukai. Sebab, walaupun penginapan ini bukanpenginapan pelacuran, tetapi sering juga ada tamu-tamu yangmembawa wanita. Sudah tentulah saya tidak puas dengan hidupsecara demikian.

Namun, saya senang juga tinggal di penginapan ini, karenabisa bertemu dan berkumpul dengan sejumlah pejuang-pejuangdari daerah “pedalaman” (Tentara Pelajar, pasukan KRIS dan lain-lain) yang juga terpaksa menginap dengan cara-cara yang murah.Di antara mereka terdapat teman lama saya Idham Idris, yang

Page 64: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

64

kemudian bekerja di Kementerian Penerangan, dan pernah sama-sama ikut mendarat di pulau Ambon dalam rangka operasi militeruntuk menumpas RMS.

Sambil menunggu kesempatan yang lebih baik, sayameneruskan belajar di Taman Madya bagian bahasa, di JalanGaruda (Kemayoran), untuk menyambung pelajaran di Jogya,yang terputus karena situasi. Ini berjalan tidak lama. Sebab, tekaduntuk mencari pekerjaan lain makin mengeras. Kemudian sayaberhasil diterima bekerja di kantor agen KPM di Tanjong Priok,sebagai pegawai bagian arsip. Ini juga karena bisa berbahasaBelanda. Sehabis kerja kantor di KPM, saya masih selalu kembalidi rumah penginapan Surakarta ini, untuk meneruskan pekerjaanmenerima tamu dan lain-lain.

Kesempatan tinggal di rumah penginapan Surakarta ini sayapergunakan secara intensif sekali untuk belajar bahasa Inggris,sambil bekerja di KPM di Tanjong Priok. Mengapa? Karenapekerjaan di bagian arsip kantor agen KPM ini tidakmenyenangkan sama sekali. Sangat menjemukan. Menguasaisecara baik bahasa Inggris ini merupakan tekad keras dan kegiatanutama sehari-hari dan setiap ada waktu yang terluang. Waktuitu saya berpendapat bahwa sesudah penyerahan kedaulatankepada RI, peran bahasa Belanda akan makin berkurang.

Setelah merasa cukup untuk menguasainya, pada suatu harisaya melamar pekerjaan di Kantor Penghubung Angkatan LautAmerika di Jalan Raden Saleh. Pada hari itu jugalah saya dites(percobaan) oleh salah seorang Amerika petugas kantor, dengandisuruh menterjemahkan bahan-bahan mengenai laut sekitarJawa, dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris. Dari hasil percobaanitu saya diterima untuk bekerja sementara, dengan tugasmenyelesaikan penterjemahan bahan-bahan mengenai laut

Page 65: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

65

Pengembaraan

sekitar pulau Jawa itu. Pekerjaan itu selesai dalam tiga bulan.Setelah selesai pekerjaan penterjemahan itu, saya minta suatusurat keterangan bahwa sudah pernah bekerja di kantor itu.Ternyata kemudian bahwa surat keterangan dalam bahasaInggris dan dicap oleh United States Naval Liaison Office itu sangatlahberharga.

Dengan terus menjadikan penginapan Surakarta sebagaipangkalan, saya mencari pekerjaan lain. Dengan membawa suratketerangan Kantor Penghubung Angkatan Laut itu saya melamarpekerjaan di kantor suratkabar Indonesia Raja, di Jalan Pecenongan48. Dalam wawancara dengan Mochtar Lubis diajukan olehnyaberbagai pertanyaan. Saya ceritakan bahwa pernah belajar diTaman Madya di Jogya dan pernah ikut Tentara Pelajar danpengalaman-pengalaman lainnya.

Tentulah sangat gembira hati saya waktu itu bahwa lamaranakhirnya diterima olehnya. Ini terjadi dalam tahun 1950. Makamulailah sejak itu kehidupan dalam jurnalistik, yang masih sayateruskan di Paris, hampir setengah abad kemudian, dengan disana-sini diselipi oleh kegiatan atau profesi lainnya. Profesikewartawananlah yang kemudian menjadi bagian yang utamadalam sejarah hidup saya, yaitu, kehidupan yang ternyata penuhdengan peristiwa dan pengalaman yang macam-macam, sepertiyang diuraikan dalam bagian-bagian berikutnya dalam catatanPerjalanan Hidup Saya ini.

Page 66: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

66

Page 67: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

67

Babak 3

Menjadi WMenjadi WMenjadi WMenjadi WMenjadi Wartawanartawanartawanartawanartawan

Dari korektor menjadi wartawan

Profesi kewartawanan saya dimulai di suratkabarIndonesia Raja sebagai korektor. Suratkabar ini waktuitu baru berdiri sekitar satu tahun. Pekerjaan sebagai

korektor ini memberikan kesempatan bagi saya mengenal secarapermulaan berbagai segi teknik jurnalistik. Sebab denganmengoreksi proefdruk (cetakan percobaan), secara langsung atautidak langsung, dengan disadari atau tidak, ini dapat merupakanberbagai latihan: bahasa, lay-out, cara menyusun berita, ataumengarang artikel, dan pengetahuan umum tentang berbagaimasalah.

Pekerjaan sebagai korektor ini saya lakukan berbulan-bulan,terutama di percetakan Molenaar (perusahaan Belanda) di JalanPintu Air. (Waktu itu di percetakan ini dicetak juga, antara lain,suratkabar berbahasa Belanda Nieuwsgier dan Pedoman). Meskipungaji waktu itu kecil, pekerjaan di suratkabar ini menyenangkansaya. Waktu itu umur saya mencapai dua puluh dua tahun.

Apalagi, ketika saya diberi kesempatan untuk mulai membuatberita-berita kota, di samping meneruskan pekerjaan sebagaikorektor. Sering sekali, terutama pada masa-masa yang lalu,wartawan-wartawan di berbagai negeri memulai profesijurnalistik mereka dengan menjadi cub reporter atau city reporter.

Page 68: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

68

Pekerjaannya ialah membuat “berita-berita kecil” mengenaiberbagai kejadian di kota, umpamanya perampokan, tabrakanlalu lintas, kebakaran, upacara-upacara, banjir, dll.

Waktu itu, saya bersama-sama reporter-reporter kota dariberbagai suratkabar di Jakarta setiap pagi berkumpul di KantorBesar Polisi Jakarta, untuk mendapat beraneka-ragam berita yangdilaporkan oleh kantor-kantor polisi di seluruh Jakarta. Dariberita-berita kepolisian ini masing-masing reporter dapatmenyusun berita kecil atau panjang. Kadang-kadang, dapat jugaberita kepolisian ini menjadi bahan untuk pengusutan lebih jauhbagi reporter yang bersangkutan.

Pekerjaan sebagai reporter kota waktu itu membukakesempatan bagi saya untuk kemudian menulis berita-berita danartikel-artikel yang menyangkut berbagai soal, kecuali tentangmasalah-masalah parlemen, Istana Merdeka, atau masalah-masalah kepartaian dan politik. Untuk ini ada wartawan-wartawan lainnya yang ditugaskan. Lambat-laun bidangpekerjaan saya sebagai wartawan makin meluas. Mengadakaninterviu-interviu di berbagai Kementerian (Pertanian, PerhubunganLaut, AURI, dan sebagainya) dan menulis artikel atau reportase,yang dibubuhi dengan nama A. Umar Said.

Pada kesempatan yang memungkinkan, sekarang ini inginjuga saya dapat melihat kembali berbagai tulisan saya yangsudah dimuat di Indonesia Raja itu. Walaupun sudah lewat limapuluh tahun, mungkin saja Museum Nasional atau perpustakaan-perpustakaan tertentu di Indonesia masih ada yang menyimpanpenerbitan-penerbitan masa itu. Sebab, sampai pertengahantahun 1953, cukup banyak tulisan-tulisan saya yang sudahdimuat dalam suratkabar ini.

Page 69: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

69

Manjadi Wartawan

Di antara kenang-kenangan penting tentang pengalamanketika bekerja di suratkabar Indonesia Raja termasuklah tugasjurnalistik untuk mengikuti operasi penumpasan RMS, ekspedisiPalang Merah Indonesia ke Indonesia Timur, dan mengikutiperjalanan Bung Karno ke Indonesia Timur. Ini terjadi dalamtahun-tahun 1950 dan 1953.

Dua wartawan suratkabar Jakarta, saya dan Subekti dariPedoman, dan seorang jurupotret dari Kementerian Penerangan(Idham Idris) ditugaskan mengikuti operasi besar-besaran untukmenumpas pemberontakan RMS. Sebelum itu, dengan mendapatdukungan dari Belanda dan dengan menghasut serdadu-serdaduKNIL, Dr Soumokil memproklamasikan pada tanggal 25 April1950 berdirinya Republik Maluku Selatan. Karena ini merupakangerakan separatis, maka Pemerintah Pusat di Jakarta mengambilsikap tegas terhadap gerakan ini.

Pada tanggal 14 Juli 1950, pasukan-pasukan tentara Pusatmendarat di kepulauan ini. Kami mengikuti pendaratan batalyon-batalyon dari Diponegoro dan Brawijaya di daerah Tulehu (pulauAmbon), sesudah berhari-hari menunggu di kapal perang.Operasi ini dipimpin oleh Kolonel Kawilarang. Di antara pimpinanoperasi militer ini juga terdapat Letkol Daan Yahya. Sejumlahkapal perang ALRI (korvet-korvet) juga dikerahkan untuk operasigabungan ini.

Dalam operasi inilah gugur Letkol Slamet Riyadi, yangmemimpin salah satu batalyon dari Divisi Diponegoro. Saya danIdham Idris terus mengikuti operasi ini beberapa minggu, sampaijatuhnya Benteng Paso, yang merupakan pertahanan RMS yangkuat sekali. Setelah jatuhnya pertahanan RMS lainnya di BatuMerah, kota Ambon dapat dibebaskan dari tangan RMS.

Perlawatan lainnya di daerah Indonesia Timur sebagai

Page 70: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

70

wartawan adalah ketika Markas Besar PMI, yang waktu itudipimpin oleh Dr Sumarno, mengirimkan kapal ekspedisi PMIuntuk memberi bantuan perikemanusiaan kepada penduduk dikepulauan Maluku dan daerah-daerah lain di Indonesia Timur.Waktu itu, karena adanya pemberontakan RMS, hubungan lautdengan banyak pulau-pulau terputus. Banyak pulau yang sudahempat bulan, bahkan lebih, tidak dikunjungi kapal. Karena itu,penduduk kekurangan makanan, tidak ada beras, tidak adaminyak, tidak ada sabun, tidak ada gula.

Kapal ekspedisi PMI itu (kapal besar, yang disewa dari KPM)mengelilingi pulau-pulau Buru, Seram, Banda, Aru, Kai, Tanimbar,Sawu, Roti, Flores dan lain-lainnya. Setiap singgah di pulau-pulauitu, barang-barang kebutuhan hidup yang pokok diserahkankepada pemerintahan setempat. Dari perjalanan inilah sayamelihat untuk pertama kalinya, betapa indahnya bagian Timurtanah air kita ini.

Pernah juga, dalam masa-masa itu, saya termasukrombongan wartawan yang mengikuti perjalanan PresidenSoekarno untuk mengelilingi Indonesia Timur. Ini adalahperjalanan Presiden RI yang pertama kalinya ke bagian Timurdari tanah air kita. Karena itu, sambutan rakyat di mana-manasangat meriah. Tempat-tempat yang dikunjungi selamaperjalanan ini adalah Makasar, Ambon, Banda, Timor (dariKupang, Presiden berkunjung juga ke Atambua dan Atapupu),Flores, Sumba, dan Bali.

Singkatnya, periode ketika saya bekerja di suratkabar IndonesiaRaja, adalah langkah permulaan dari kehidupan saya sebagaiwartawan, yang kemudian diikuti oleh tahap-tahap kehidupanlainnya yang beraneka-ragam, baik di bidang jurnalistik maupunpolitik.

Page 71: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

71

Manjadi Wartawan

Semasa saya bekerja di Indonesia Raja, di tanah air terjadiberbagai peristiwa yang penting-penting, sebagai kelanjutan dariterbentuknya kembali negara kesatuan Republik Indonesia.Setelah melalui perundingan yang memakan waktu lama, makakerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik IndonesiaSerikat (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.

Negara RIS, yang presidennya adalah Bung Karno, terdiri daritujuh negara bagian, yaitu RI Yogya, Indonesia Timur, Pasundan,Jawa Timur, Madura, Sumatra Selatan dan Sumatra Timur.

Di samping itu ada sembilan “satuan kenegaraan yang tegaksendiri,” yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, KalimantanTenggara, Banjar, Dayak Besar, Bangka, Belitung, Riau dan JawaTengah.

Negara-negara bagian dan satuan kenegaraan yang banyakitu didirikan oleh Belanda dengan maksud untuk memecah-mecahkesatuan bangsa dan memencilkan Republik Indonesia. SetelahBelanda mengakui kedaulatan RIS, maka dengan sendirinyaeksistensi negara-negara bagian ini makin tidak ada artinya. Disamping itu, tuntutan rakyat dan berbagai organisasi untukkembali ke negara kesatuan makin lama makin kuat. Akhirnya,pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan RepublikIndonesia terbentuk kembali.

Dengan adanya banyak partai waktu itu, maka sistimdemokrasi parlementer liberal yang meniru-niru cara Baratmenyebabkan sering jatuh bangunnya secara berturut-turutberbagai kabinet, yang dibentuk atas dasar kepartaian.Pemerintahan berjalan tidak stabil, dan program kerja banyakyang tidak sempat ditangani secara tuntas, karena selalu adarongrongan dari berbagai pihak. Kabinet Natsir (yangkebanyakan terdiri dari menteri-menteri dari golongan Masjumi)

Page 72: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

72

hanya berumur enam setengah bulan (sampai 21 Maret 1951).Kabinet Sukiman (koalisi Masjumi-PNI) jatuh dalam bulanFebruari 1952 (berumur hanya sepuluh bulan). Kabinet Wilopo(PNI) bisa berumur satu tahun dua bulan, dan jatuh pada tanggal2 Juni 1953. Selama kabinet Wilopo inilah terjadi peristiwa 17Oktober 1952, ketika sebagian dari pimpinan Angkatan Darat“mendemonstrasi” DPR dan Istana dengan moncong meriam.

Ketika terjadi peristiwa-peristiwa ini, saya sebagai wartawanmerasakan bahwa Indonesia Raja sudah mulai menunjukkansikapnya yang makin kritis terhadap Bung Karno. Sedangkan,saya sendiri makin banyak berhubungan dengan orang-orangdari SOBSI, Pemuda Rakjat, baik dalam kapasitas sebagaiwartawan maun pun secara pribadi. Salah seorang di antarasahabat saya waktu itu adalah Soerjono, yang bekerja di majalahSunday Courier (Jalan Pintu Besar) yang dipimpin oleh Siauw GiokTjan. Kedekatan saya dengan Soerjono adalah juga karena kamisama-sama berasal dari Blitar.

Page 73: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

73

Manjadi Wartawan

Ke luar negeri untuk pertama kali

Pekerjaan sebagai wartawan di suratkabar Indonesia Rajaini menyebabkan terjalinnya hubungan denganberbagai orang dari macam-macam golongan atau

organisasi di Jakarta. Hubungan-hubungan ini kadang-kadangtidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan saya sebagaiwartawan. Umpamanya, pernah saya diminta untuk membantupekerjaan P4S (Panitia Persiapan Pesta Pemuda Sedunia), yangberkantor di kantor Perbepbsi (Persatuan Bekas PejuangBersenjata Seluruh Indonesia) di Jakarta. Waktu itu, P4S dipimpinoleh Francisca Fangiday. Ketika Pesindo mengadakan kongresnya(yang terakhir) untuk dilebur menjadi Pemuda Rakjat, saya jugadiminta untuk memberi bantuan. Kongres ini diadakan di gedungMiss Tjitjih di Jalan Kramat. Beberapa malam saya ikut membantumenstensil bahan-bahan Kongres.

Dalam tahun 1953, di Wina diselenggarakan KonferensiInternasional Hak-Hak Pemuda. Konferensi internasional ini jugamengharapkan dikirimkannya suatu delegasi dari Indonesiauntuk menghadirinya. Maka disusunlah nama-nama anggotadelegasi Indonesia yang terdiri dari lima orang, antara lain daribekas Pesindo, Perbepbsi, dan organisasi pemuda Murba. Sayawaktu itu mewakili wartawan muda.

Kunjungan ke Wina ini tidak dalam kedudukan saya sebagaiwartawan Indonesia Raja. Sebab, ketika minta cuti (tanpa gaji)kepada pemimpin redaksi (Mochtar Lubis) dengan menjelaskanbahwa saya akan menghadiri konferensi internasional di Wina

Page 74: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

74

itu, ia menegaskan penolakannya. Alasannya ialah bahwaKonferensi itu adalah konferensi komunis. Ia juga menekankanbahwa kata-kata “Indonesia Raja” dalam paspor (yang sayadapat dari kantor imigrasi Jakarta) haruslah dicabut.

Karena sikapnya yang demikian itu, maka saya memutuskanuntuk mengundurkan diri dari Indonesia Raja. Bagi saya, konferensidi Wina itu penting sekali, dan karenanya haruslah dicari segalajalan untuk bisa menghadirinya. Oleh karena itu, ketika Panitia(Indonesia) menyatakan bahwa keuangannya sempit sekali, makasaya berusaha mencari dana sendiri untuk biaya tiket pesawatterbang ke Wina itu. Untuk dapat membeli tiket pesawat terbang,saya mengadakan semacam kontrak (perjanjian) denganpimpinan redaksi suratkabar Sin Po (yang kemudian menjadiWartabhakti) bahwa akan menulis sejumlah artikel mengenaiperjalanan ke luar negeri itu. Artikel-artikel tentang perjalananke luar negeri itu kemudian dimuat oleh Sin Po secara berturut-turut dalam tahun 1953 itu juga.

Maka berangkatlah rombongan lima orang ini denganpesawat KLM menuju Wina. Waktu itu pesawat KLM jarak jauhmasih memakai baling-baling, dan untuk pergi ke Wina perlumemakan waktu empat hari, dengan menginap di Bangkok,Calcutta, Kairo dan Zurich. Selama di Konferensi di Wina sayabertindak juga sebagai jurubahasa rombongan, karenapenguasaan bahasa Inggris saya yang baik.

Konferensi internasional di Wina ini diadakan ketika dibanyak bagian kota masih kelihatan gedung-gedung yang hancurkarena Perang Dunia ke-II, walaupun perang sudah selesaidelapan tahun.

Tanda-tanda atau sisa-sisa perang lainnya juga masihbanyak. Ini adalah perjalanan saya ke Eropa yang pertama kali,

Page 75: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

75

Manjadi Wartawan

juga bagi anggota-anggota rombongan lainnya. Kami semuanyawaktu itu tidak punya uang valuta asing yang cukup. Karenanya,ketika menginap di hotel di Zurich, kami hanya minum air saja.Dan ketika kami menuju Wina dengan kereta api, kami kelaparansemuanya.

Untunglah setelah tiba di stasiun Wina, kami segera diajakmasuk restoran oleh panitia. Konferensi di Wina berlangsungbeberapa hari. Setelah konferensi selesai, kami diberi kesempatanuntuk beristirahat beberapa hari di suatu tempat peristirahatanyang namanya Semmering. Di sinilah saya buat artikel-artikelmengenai konferensi dan cerita perjalanan lainnya, yangkemudian dimuat oleh Sin Po. (Ketika saya kembali ke Jakarta,saya senang mendengar dari orang-orang yang memberikanpujian setelah membaca tulisan-tulisan saya itu). Kemudian,sebagian dari rombongan ini kembali ke Indonesia, sedangkansaya dengan seorang teman lagi (Suryono Hamzah) pergi keBukares.

Di Bukares kami disambut oleh Panitia Persiapan FestivalPemuda Sedunia. Di situ dibicarakan tentang persiapan turutsertanya delegasi Indonesia dalam Festival di Bukares itu.(Delegasi Indonesia terdiri dari beberapa puluh orang). SetelahBukares, kami kembali ke Indonesia lewat Tiongkok. Perjalananitu kami tempuh dengan kereta api. Mula-mula Bukares -Moskow, dan kemudian Moskow - Peking dengan kereta apiTransiberia. Bukan main lamanya naik kereta api ini. Ingat saya,kami memerlukan lima-enam hari untuk melewati Siberia menujuIrkutsk.

Setiba kami di Peking, kami menjadi tamu Liga PemudaKomunis Tiongkok, dan diterima oleh Wu Xuechien (yangkemudian menjadi Wakil Perdana Menteri dalam tahun 90-an )

Page 76: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

76

beserta istrinya Pi Ling. Inilah perkenalan saya pertama kalinyadengan Tiongkok. Waktu itu, lapangan Tian An Men masih kecilsekali. Suasana kemenangan revolusi Tiongkok masih terasa dimana-mana. Sebab berdirinya Republik Rakyat Tiongkok barudiproklamasikan empat tahun sebelum kami datang ke Peking.Selama di Peking kami ikut serta dalam berbagai acara. GabunganPemuda Se-Tiongkok waktu itu sedang mempersiapkan Kongresmereka yang pertama.

Banyak dari apa yang saya lihat di Tiongkok waktu itumerupakan hal yang baru bagi saya. Kejujuran orang dalam jual-beli, kerelaan orang untuk bekerja bakti dan keramahtamahanpada tamu asing, dan kehangatan pada kami yang datang dariIndonesia. Ketika kami hendak kembali ke Indonesia, ada dua orangpemuda-pemudi yang ditugaskan khusus untuk menemani kamiselama perjalanan kereta api Peking - Kanton - Lowu yangmemakan lima hari. Waktu itu, kalau makan di wagon-restoran,penumpang-penumpang hanya membayar lauk saja, nasinyagratis.

Dari Kanton kami menyeberangi jembatan Lowu untukmemasuki Hongkong, yang terasa sekali sebagai “dunia yang lain”waktu itu. Kapal KPM yang bernama Tjiluwah-lah yang membawakami kembali ke Indonesia dari Hongkong. Di kapal ini kamibertemu dengan seorang Indonesia, yang juga baru mengunjungiTiongkok, tetapi untuk jangka waktu yang agak lama. NamanyaAsmu, yang kemudian menjadi pimpinan BTI (Barisan TaniIndonesia), dan “hilang” tidak tentu rimbanya, sebagai akibatpembantaian besar-besaran dalam tahun 1965-1966 oleh aparat-aparat militer Soeharto.

Page 77: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

77

Manjadi Wartawan

Bekerja di Harian Rakjat

Setelah kembali ke Jakarta dari perjalanan ke luar negeri(seluruhnya memakan waktu kira-kira dua bulan) sayatidak bekerja lagi di suratkabar Indonesia Raja, tetapi di

suratkabar Harian Rakjat. Pekerjaan sebagai wartawan di HarianRakjat ini berlangsung tiga tahun, antara tahun 1953 dan 1956.

Semasa saya bekerja di Harian Rakjat, pemerintahan (kabinet)dibentuk oleh Mr. Ali Sastroamidjojo (dari PNI) bersama-samadengan Partai Persatuan Indonesia Raja (PIR) dan NahdatulUlama (NU). Kabinet ini berumur agak panjang, yaitu dua tahun(antara Juli 1953-Juli 1955). Selama kabinet Ali inilah KonferensiAsia-Afrika dapat diselenggarakan di Bandung antara tanggal18 sampai 24 April 1955. Kabinet Ali jatuh karena ada masalahdalam Angkatan Darat.

Ketika Bung Karno sedang berada di Saudi Arabia untukmenunaikan ibadah haji, Wakil Presiden Hatta menunjuk Mr.Burhanuddin Harahap (Masjumi) untuk membentuk kabinet barutanpa ikutnya PNI. Di bawah pemerintahan kabinet BurhanuddinHarahap inilah dilangsungkan pemilihan umum yang pertama,seperti yang telah direncanakan oleh kabinet-kabinet yangterdahulu. Pemilihan umum ini diadakan pada tanggal 29September 1955 untuk anggota DPR dan pada tanggal 15Desember 1955 untuk anggota konstituante. Pada umumnya,pemilihan umum ini berjalan sangat lancar dan aman, walaupundi sana-sini terjadi insiden kecil-kecil.

Page 78: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

78

Pemilihan umum ini didahului oleh kampanye partai-partaipolitik (yang jumlahnya banyak sekali) yang membikin suasanamenjadi hangat dalam masyarakat. Peranan SOBSI (SentralOrganisasi Buruh Seluruh Indonesia) makin penting, demikianjuga BTI dan organisasi-organisasi massa lainnya. Sebagai hasilpemilihan umum ini, empat partai mencapai jumlah suara yangbesar, yaitu PNI, Masjumi, NU dan PKI. Banyak orang tidakmenduga bahwa NU dan PKI juga keluar sebagai pemenang yangbesar. Dengan saringan pemilihan umum ini, berbagai partai guremdengan sendirinya tersisih, karena tidak mendapat dukungansuara.

Dalam suasana seperti itulah saya bekerja di suratkabar HarianRakjat. Sering saya membuat berita-berita tentang kegiatanberbagai organisasi massa: kongres, pemogokan, atau peristiwa-peristiwa penting lainnya. Di samping itu saya juga seringmelakukan editing (menyiapkan atau mengolah berita-berita yangberasal dari Antara atau koresponden-koresponden daerah,sebelum diturunkan kepada tukang set). Kadang-kadang saya jugamembantu pekerjaan korektor. Kami sering bekerja sampai pagi,sampai koran “naik cetak.”

Peristiwa yang saya anggap penting dalam periode ini adalahketika meliput Konferensi Bandung. Karena, bukan saja sayamenyaksikan secara langsung peristiwa yang bersejarah bagikemerdekaan banyak negeri yang masih dijajah waktu itu(terutama di Afrika), tetapi juga membuat tulisan-tulisan ataureportase mengenai Konferensi yang kemudian menjadi amatterkenal dalam dunia internasional waktu itu. Saya masih ingatKonferensi pers yang diadakan oleh PM India, Javaharlal Nehru.Juga bagaimana PM Chou En Lai dari RRT dan PM Nasser (dariMesir) mendapat sambutan hangat di mana-mana.

Page 79: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

79

Manjadi Wartawan

Konferensi Asia-Afrika (atau Konferensi Bandung) merupakanforum yang penting bagi Indonesia untuk menyebarkan politikluar negerinya yang bebas aktif. Pada masa itu, sepuluh tahunsesudah selesainya Perang Dunia ke-II dan empat tahundihentikannya Perang Korea, masih banyak negeri-negeri Afrikadan Asia yang menginginkan kemerdekaan yang penuh dariimperialisme dan kolonialisme Barat. Karena itu, banyakpemimpin dan rakyat dari berbagai negeri menyambut denganamat hangat ide penyelenggaraan Konferensi Bandung ini.

Setelah didahului oleh Konferensi Colombo yang dihadirioleh Perdana Menteri Indonesia, India, Pakistan, Birma danSrilanka, dan pertemuan lanjutannya di Bogor, makadilangsungkanlah dalam bulan April 1955 Konferensi Bandung.Dalam Konferensi ini diundang pemimpin-pemimpin terkemukadari negara-negara: Indonesia, India, Pakistan, Birma, Srilanka,Afghanistan, Kambodja, Republik Rakyat Tiongkok, Mesir,Ethiopia, Pantai Gading, Iran, Irak, Jepang, Jordania, Laos, Libanon,Liberia, Libia, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Siria,Muangthai, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, dan Yaman.Juga hadir dalam Konferensi itu, sebagai peninjau, wakil-wakilpenting dari berbagai organisasi yang sedang berjuang untukkemerdekaan (terutama dari Afrika).

Sudah tentu, pihak Barat waktu itu tidak senang denganadanya Konferensi Bandung ini. Tokoh Presiden Soekarno makinmenjadi sorotan pihak Barat. Kehadiran banyak pemimpin-pemimpin seperti Abdul Gamal Nasser, Jawaharlal Nehru,Bandaranaike, Kaisar Haile Selassi, Pham Phan Dong, Chou En-lai merupakan ukuran jelas tentang pentingnya Konferensi ini.

Demikian juga hasil-hasil keputusannya, mengenai kerjasamadi bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan setiakawan dalam

Page 80: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

80

memperjuangkan kebebasan berbagai bangsa dari penjajahan.Ikut-sertanya Republik Rakyat Tiongkok dan Vietnam menambahpentingnya Konferensi ini bagi kedua negara ini. Karena,Konferensi Bandung merupakan tahap penting dalam usahamenerobos blokade diplomatik terhadap kedua negeri ini di bidangpolitik internasional.

Sudah tentu saja, saya merasa bangga waktu itu dapatmeliput kejadian yang penting ini, dengan membuat reportase-reportase dan menyaksikannya secara langsung dan dari dekat.Waktu itu umur saya sudah menginjak dua puluh tujuh tahun,dan baru saja kembali dari perjalanan ke Wina dan kemudian keTiongkok. Untuk dapat menyiarkan berita-berita tentangKonferensi ini lebih cepat, maka telah diatur cara begini: tulisan-tulisan yang sudah saya tik kemudian saya bawa dengan sepedamotor saya (IFA, bikinan Jerman Timur) ke stasiun Bandung, dandiserahkan kepada petugas SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) untukditeruskan ke Harian Rakjat di Jakarta. Cara ini lebih cepat daripadalewat pos. Untuk hal-hal yang urgen dan pendek-pendek,hubungan dengan redaksi bisa saya lakukan lewat telpon.

Dalam Konferensi Bandung ini pulalah dicetuskan gagasanoleh wartawan-wartawan Indonesia (antara lain oleh alm. SyarifSulaiman) untuk mengadakan persatuan wartawan dari negara-negara yang anti-imperialisme dan anti-kolonialisme di Asia danAfrika. Gagasan ini kemudian baru terlaksana dalam tahun 1963,dengan dilangsungkannya Konferensi Wartawan Asia-Afrika diJakarta yang melahirkan PWAA. Dalam mengenang kembali itusemuanya, saya merasa bangga bahwa bisa ikut serta dalammerealisasi gagasan besar itu, yaitu lewat kegiatan di KWAA danPersatuan Wartawan Asia-Afrika (PWAA) sejak tahun 1963.

Page 81: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

81

Manjadi Wartawan

Dengan Harian PENERANGAN diPadang

Dalam tahun 1956 diterima berita bahwa di Padang adasatu suratkabar yang memerlukan penggantianpimpinan redaksi. Suratkabar itu namanya Harian

Penerangan, milik seorang keturunan Tionghoa, Lie Oen Sam, yangmenjadi pengurus Baperki (organisasi yang mayoritasnya adalahorang-orang keturunan Tionghoa). Ketika saya dijajagi apakahsaya mau menanganinya, maka saya terima juga, walaupundengan agak ragu-ragu. Sebab, waktu itu, di daerah-daerah sudahmulai terdengar suara-suara yang anti-Pusat atau anti-Soekarno.Di samping itu, sering terdengar juga, bahwa hidup di daerahMinangkabau tidaklah mudah bagi seorang pendatang, kalautidak pandai-pandai membawakan diri. Mengingat itu, jauhsebelum berangkat, saya minta nasehat-nasehat kepada seorangyang berasal dari Minangkabau, yaitu bekas Komisaris BesarPolisi dalam masa-masa revolusi di Sumatera Barat,Bachtaruddin. Banyak nasehat-nasehatnya yang kemudiansangat membantu pekerjaan saya di Padang.

Maka berangkatlah saya pada suatu hari dalam tahun 1956dengan pesawat terbang ke Padang, suatu daerah yang belumpernah saya kenal sama sekali waktu itu. Jelaslah waktu itubahwa pekerjaan sebagai pimpinan redaksi suatu suratkabarharian merupakan tantangan baru.

Saya memulai pekerjaan sebagai wartawan dalam tahun 1950,dan enam tahun kemudian sudah memimpin suratkabar.

Page 82: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

82

Kehidupan sebagai wartawan di Padang tidaklah mudah,dan ternyata kemudian juga mengandung berbagai risiko, ketikameletus Dewan Banteng dan pemberontakan besar-besarandengan diproklamasikannya PRRI. Pemberontakan PRRIterhadap pemerintah pusat ( Jakarta) dengan mendirikanpemerintah tandingan merupakan kontra-revolusi yangmendapat bantuan dari kekuatan asing, khususnya AmerikaSerikat, waktu itu.

Saya berumur dua puluh tujuh tahun (menginjak dua puluhdelapan tahun) ketika memikul tanggung jawab sebagai pimpinanredaksi suratkabar daerah. Penerbitan ini oplahnya kecil sekaliwaktu itu, sekitar 1500 sampai 2000 eksemplar. Mesin cetaknya(mesin Babcock, namanya) sudah kuno, dan memasukkan kertaske mesin haruslah satu per satu. Saya masih ingat nama tukangcetaknya, yaitu pak Pado, orang Minang yang sudah agak tua,dan baik hati. Percetakannya hanya punya satu mesin intertype,yang sudah amat tua juga, sehingga sebagian huruf-huruf (daritimah) yang dipakai untuk mencetak suratkabar itu haruslahdisusun dengan tangan.

Wakil Pimpinan Redaksi suratkabar ini adalah seoranganggota partai PSI, demikian juga korektornya. Bagianadministrasinya dirangkap oleh bagian percetakan. Koran inisudah terbit sejak Padang masih diduduki oleh Belanda.Pemiliknya, Lie Oen Sam, adalah orang Katolik yang baik, yangmenjadi pengurus Baperki Sumatra Barat. Orang tuanya tadinyamemiliki tanah dan rumah yang cukup banyak di kota Padangini. Hubungan saya dengan dia baik sekali. Sampai sekarang punsaya masih ingat akan kebaikan hati dia, ketika bersama-samamenghadapi berbagai situasi sulit selama masa-masa DewanBanteng dan PRRI. (Kemudian, ketika sudah ada di Paris, saya

Page 83: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

83

Manjadi Wartawan

mendengar bahwa ia meninggal di Belanda karena sakit).

Dalam situasi yang sulit dewasa itu, saya bekerja keras untukmemajukan suratkabar ini, dengan bekerja dari jam delapan pagisampai jam delapan malam (deadline dan koreksi terakhir jam 6-7sore, dan dicetak malam hari sampai pagi). Sentimen daerah yangdikobarkan waktu itu, agitasi anti-Pusat yang makin lama makinsanter, dan suara-suara anti-PKI yang makin tajam, amatlahmenyulitkan saya. Waktu itu, suratkabar lainnya di Padang, yangbernama Haluan, telah mensinyalir opini umum tentangkedatangan saya di Padang dengan memuat berita bahwa HarianPenerangan diganti pimpinannya oleh Umar Said yang pernahbekerja di Harian Rakjat.

Untuk berusaha memajukan suratkabar, Harian Peneranganmembentuk perkumpulan sastra dan seni “Arena Muda” (yangdiasuh oleh anak-anak IPPI, antara lain Mawie Ananta Djoni).Dan ketika terusan Suez diserang Israel, juga menampungpendaftaran pemuda-pemuda yang ingin sukarela ikut dalamperang melawan Israel. Situasi dalam tahun 1956 sudah mulaipanas. Aksi-aksi perlawanan atau pembangkangan DewanBanteng (di Sumatera Barat), Dewan Garuda (di Sumatera Selatan)dan Dewan Gajah (di Sumatera Utara) makin menjurus ke arahpemberontakan. Dewan-dewan ini, yang didirikan oleh perwira-perwira Angkatan Darat merupakan tulang punggung bagigerakan-gerakan di daerah-daerah, yang pada waktu itumengajukan tuntutan macam-macam kepada Pemerintah Pusat,dengan alasan-alasan politik dan ekonomi. Sebenarnya, dibelakang itu semua, adalah komplotan besar-besaran antarakekuatan reaksioner di dalam negeri dan kekuatan asing, untukmelawan politik Presiden Soekarno dan melawan PKI.

Page 84: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

84

Dalam keadaan yang demikian saya masih dapat pergi keJakarta beberapa kali sampai tahun 1957. Teman-teman di Jakartapada waktu itu juga sudah ada yang mulai menyatakankekuatiran mereka terhadap keselamatan saya. Tetapi sayakembali juga ke Padang. Untuk menghadapi situasi yang terasamenyempitkan itu dan untuk mempersiapkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi selanjutnya, saya makin hati-hatidalam pekerjaan sehari-hari.

Memimpin suratkabar yang pro Pemerintah Pusat di tengah-tengah “pusat pemberontakan” adalah pekerjaan yang memakansyaraf sehari-hari waktu itu. Banyak orang tahu, terutamapimpinan kekuasaan daerah, bahwa saya mempunyai pendirianpolitik yang pro-Pusat. Menjelang proklamasi PRRI, isi suratkabarsecara setapak demi setapak saya ubah. Apalagi setelah terdengarbahwa orang-orang PKI mulai ditangkapi, dan bahkan wanita-wanita Jawa yang jualan jamu pun mulai ditahan, maka saya“banting setir.”

Pernyataan-pernyataan Pemerintah Pusat tidak saya muatlagi. Ataupun kalau dimuat, selalu disertai komentar, atau diubahisinya. Umpamanya: “pemerintah pusat dengan licik dangegabah menyatakan . . . ,” atau “Karena takut menghadapituntutan yang adil Dewan-dewan daerah, maka . . .”

Pada tanggal 10 Februari 1958, sebagai persiapan dan alasanuntuk melancarkan gerakan separatis, Letkol Achmad Huseinsebagai Ketua Dewan Banteng melancarkan ultimatum kepadaPemerintah Pusat dan menuntut supaya Kabinet Djuandamengundurkan diri dalam tempo 5 X 12 jam. Ultimatum ini kamimuat secara besar-besaran dalam Harian Penerangan. PemerintahPusat bertindak tegas menghadapi ulimatum ini. Letkol A. Huseindan perwira-perwira penting lainnya dipecat, dan Komando

Page 85: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

85

Manjadi Wartawan

Daerah Militer Sumatera Tengah (KDMST) dibekukan dandinyatakan langsung ada di bawah komando KSAD.

Gerakan-gerakan separatis ini menjadi makin lebih nyatadengan diproklamasikannya “Pemerintah Revolusioner RepublikIndonesia” (PRRI) pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Letkol A.Husein. Sebagai pimpinan PRRI diangkat Mr. SjafruddinPrawiranegara dengan jabatan Perdana Menteri, dibantu olehtokoh-tokoh PSI dan Masjumi.

Page 86: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

86

PRRI dan Operasi 17 Agustus

Setelah PRRI diproklamasikan di Bukittingi, situasi makinmenjadi lebih sulit lagi bagi saya. Isi suratkabar makinkami ubah. Umpamanya, ketika RPKAD sudah mulai

diterjunkan dengan payung di Pakanbaru dan terjadipertempuran-pertempuran di berbagai kota, maka kami karang-karanglah berita-berita yang kami terima lewat radio atau lewatMorse. Seorang wartawan kami (Rd. Syt) pernah bekerja di PHB(bagian penghubung tentara), dan karena itu ia bisa mengikutisiaran-siaran yang dikirimkan lewat radio dengan Morse.

Selama itu hubungan pesawat terbang antara Padang danJakarta terputus, demikian juga hubungan laut. Kami membuatberita-berita untuk dimuat suratkabar hanya berdasarkan siaranradio, baik RRI Pusat maupun RRI Padang dan Bukittinggi. Berita-berita mengenai makin dekatnya D-day pendaratan tentara Pusatkami ketahui dari berita-berita yang disiarkan oleh wartawan-wartawan luar negeri serta hubungan-hubungan antara kapal-kapal yang mengangkut tentara Pusat (lewat bahasa kode Morse).

Saya merasa beruntung waktu itu, karena ketika kapal-kapalperang ALRI sudah menunggu di kejauhan dari pantai laut kotaPadang, saya tidak mengalami penangkapan. Mungkin, karenapada waktu itu pasukan-pasukan dan aparat-aparat lainnya yangmendukung PRRI sudah ditarik mundur jauh ke pedalaman.Memang kelihatan ada kepanikan waktu itu, terutama setelahkapal-kapal perang itu menembaki bagian-bagian tertentu kotaPadang.

Page 87: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

87

Manjadi Wartawan

Sebelum terjadinya penembakan-penembakan meriam darikapal, saya bersama wartawan kami itu (Ridwan S.) berhari-hari tidur di kantor, sambil menunggu-nunggu dengan hati yangtak tenang pendaratan Tentara Pusat. Pada tanggal 17 April 1958,ketika kami bangun tidur dan turun dari loteng persembunyian(di atas kantor), kami lihat di jalan di depan kantor pasukan-pasukan Tentara Pusat. Saya segera mencari tahu di mana beradapimpinan operasi. Di situlah saya bertemu kembali dengan MayorSukendro (bagian Intel AD). Ketika ada di Jakarta, saya pernahbertemu beberapa kali dengan dia, bersama-sama denganwartawan-wartawan suratkabar Jakarta lainnya.

Pimpinan Operasi 17 Agustus menyarankan kepada sayauntuk segera menerbitkan kembali Harian Penerangan, walaupununtuk daerah terbatas, karena situasi di sebagian besar daerahmasih belum normal. Pada masa-masa selanjutnya kami bekerjasama dengan Bagian Penerangan Operasi 17 Agustus (KaptenMoein). Pada tanggal 4 Mei 1958 “ibukota” PRRI, Bukittinggi, jatuhke dalam tangan Tentara Pusat.

Walaupun perlawanan PRRI tidaklah begitu kuat waktu itu,tetapi operasi gabungan Angkatan Darat, Angkatan Laut danUdara (Komando Operasi 17 Agustus dengan dipimpin olehKolonel A. Yani) ini memakan waktu yang agak lama. Sebab,pasukan-pasukan PRRI dan pemimpin-pemimpin mereka telahditarik mundur ke daerah-daerah pedalaman yang jauh, untukmelakukan gerilya.

Setelah tertangkapnya pimpinan PRRI beberapa bulanberikutnya (antara lain Mr Sjafrudin Prawiranegara, Moh. Natsir,Letkol Ahmad Husein dan lain-lain), maka kehidupan di SumateraBarat berangsur-angsur kembali normal. Hubungan lalu lintasyang terputus menjadi lebih lancar, dan sekolah-sekolah mulai

Page 88: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

88

di buka kembali.

Dengan selesainya pemberontakan PRRI, maka berakhirlahketegangan-ketegangan antara Pusat dan daerah-daerah, yangdikobarkan oleh gerakan-gerakan separatis. Tetapi PemerintahPusat waktu itu masih menghadapi banyak persoalan-persoalansulit lainnya.

Keadaan ekonomi Indonesia makin memburuk. Operasi untukmenumpas pemberontakan daerah-daerah telah memakan biayayang amat besar. Dengan kekalahan PRRI, sikap permusuhannegara-negara Barat terhadap Presiden Soekarno kelihatan makinkeras.

Setelah PRRI dapat dikalahkan, tenaga redaksi HarianPenerangan diperbanyak dengan merekrut sejumlah teman. Diantara mereka terdapat seorang yang lolos dari kamp konsentrasi“Situjuh,” ketika terjadi pembunuhan besar-besaran. Semuatahanan di kamp ini dibrondong dengan senapan mesin olehpasukan PRRI, tetapi ia (Zulkifli Suleman) sempat menjatuhkandiri dan ditimpa oleh mayat yang lain. Kemudian, untukmenceritakan kejadian-kejadian yang mengerikan ini ia telahmembuat buku yang berjudul Laporan dari kamp maut.

Dengan makin terkonsolidasinya situasi normal di SumateraBarat, maka kegiatan di Sumatera Barat tidak hanya terbatasdalam kewartawanan. Antara lain, saya ikut serta aktif dalamMusyawarah Besar Kebudayaan Adat Sumatera Barat. Pernahjuga diajak oleh Peperda (Penguasa Perang Daerah) untukmengunjungi kepulauan Mentawai dan daerah-daerah lain.

Sekarang, ketika menulis Perjalanan Hidup Saya ini saya masihingat akan saat-saat tertentu semasa bekerja di daerah PRRI ini.Sering sekali merasa takut kalau ditangkap. Sebab, waktu itu saya

Page 89: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

89

Manjadi Wartawan

juga ada hubungan dengan gerakan-gerakan di bawah tanah yangpro-Pusat.

Untuk pekerjaan itu, pernah saya lakukan pertemuan-pertemuan malam hari di salah satu kuburan di pinggiran kotaPadang. Dengan sejumlah “penghubung” gerakan di bawah tanahtelah juga saya atur tanda-tanda tertentu. Umpamanya,kapankah dan bagaimanakah mereka bisa datang ke kantorredaksi suratkabar supaya tidak diketahui oleh orang lain. Atau“jangan masuk” ke kantor, kalau ada tanda-tanda tertentu, sebabwaktu itu sedang ada “orang lain” yang tidak perlu mengetahuitentang pertemuan kami.

Singkatnya, pengalaman selama memimpin koran kecil ditengah-tengah daerah pemberontakan PRRI ini merupakanbagian yang meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Sebab,masa-masa itulah Republik Indonesia mengalami saat-saat yangpaling gawat. Pemberontakan PRRI-Permesta adalah, padaintinya, komplotan besar-besaran untuk melawan politik BungKarno, dalam situasi “Perang Dingin” yang makin memanaswaktu itu. Komplotan ini (yang terdiri dari sejumlah pimpinanmiliter di daerah-daerah dan tokoh-tokoh partai Masjumi danPSI) mendapat dukungan besar dari pihak Barat (baca: AmerikaSerikat).

Page 90: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

90

Page 91: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

91

Babak 4

WWWWWartawan di Gelanggangartawan di Gelanggangartawan di Gelanggangartawan di Gelanggangartawan di GelanggangInternasionalInternasionalInternasionalInternasionalInternasional

Pernikahan dengan gadis Solok

Di kota Padang inilah saya menikah pada tanggal 29Desember 1958 dengan seorang gadis Minang dari Solok.Bagian yang ini dari Perjalanan Hidup Saya ditulis dengan

maksud untuk lebih diketahui oleh anak-anak dan anggota-anggota keluarga besar (adik-adik dan saudara-saudara sayalainnya). Walaupun mungkin sudah ada hal-hal yang merekaketahui. Sebab, pernikahan kami ini, yang merupakan kejadianpenting bagi kehidupan kami berdua, ternyata di kemudian harimengalami periode-periode yang sulit, yang disebabkan oleh OrdeBaru.

Asal mulanya begini: ada teman-teman (orang Minang), yangpada suatu hari, sambil berkelakar, menanyakan kepada saya,mengapa masih membujang terus, padahal sudah sepantasnyauntuk membentuk keluarga. Saya menjawab dengan ketawabahwa belum menemukan calon yang cocok di hati. Mereka iniadalah orang-orang yang ketika masa PRRI, secara sembunyi-sembunyi, sering berhubungan dengan saya, dalam rangkakegiatan gerakan di bawah tanah.

Pada suatu hari, salah seorang di antara mereka mengundangsaya untuk datang ke rumahnya. Rupanya ada maksud tertentudi balik undangan itu. Waktu itu ia sedang menerima tamu dari

Page 92: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

92

Solok, seorang gadis pelajar SMA. Setelah bicara macam-macam,ia cari cara atau alasan supaya saya bisa melihat gadis ini.Kemudian ia bertanya, kira-kira begini: bagaimana kalau dia?Waktu itu saya ragu menjawab, walaupun hati sudah tertarikjuga.

Keesokan harinya saya ditanya lagi, dan saya menjawabbahwa perlu bicara langsung dengan dia. Kemudian diaturlaholeh teman itu pertemuan di antara kami berdua. Saya sudahlupa, entah apa saja yang kami bicarakan berdua waktu itu, danbagaimana pembicaraan itu. Singkatnya kami berdua sudahsetuju untuk “kawin gantung” dulu (waktu itu ia sedang di kelastiga SMA), sedangkan peresmian perkawinan itu ditunda sampaiia menamatkan SMA-nya. “Kawin gantung” kami ini dilakukanpada tanggal 29 Desember 1958 malam oleh seorang petugasKantor Urusan Agama Padang Barat, dengan disaksikan olehsejumlah teman terdekat dan bapak istri saya. Sebagai tandakawin gantung ini, kami memesan dua pasang cincin mas di salahsatu toko mas. Beberapa hari kemudian ia kembali ke Solok untukmeneruskan sekolah. Sejak itu, ia beberapa kali pergi ke kotaPadang dari Solok.

Upacara peresmian perkawinan kami merupakan satuperistiwa besar bagi keluarga istri dan banyak teman waktu itu.Dalam surat undangan untuk perkawinan kami tercantum satuderetan nama-nama yang ikut mengundang, antara lain:Gubernur Sumatera Barat (Kaharudin Datuk Rangkajo Basa),Kepala Staf Peperda, Lie Oen Sam, Nazar Moenek dan orang-orangterkemuka lainnya di Padang waktu itu.

Boleh dikatakan bahwa pesta perkawinan itu terutamadiadakan oleh banyak teman. Mereka ramai-ramai menyumbangkambing dan bahan makanan lainnya untuk tamu yang banyak

Page 93: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

93

Wartawan di Gelanggang Internasional

sekali. Beberapa puluh ekor kambing disembelih dan dimasakoleh ahli masak kambing yang terkenal di Padang (orangketurunan India). Dua grup orkes secara bergantian ikutmeramaikan pesta itu. Karangan bunga banyak sekali, dansejumlah telegram ucapan selamat juga kami terima dari teman-teman di Jakarta. Untuk upacara perkawinan itu saya “turun,”secara adat Minangkabau, dari rumah Nazar Moenek (temandekat, seorang PNI Sumatra Barat), dan diantar naik mobil KepalaStaf Peperda.

Sudah tentu, pesta perkawinan kami yang diramaikan olehbanyak orang waktu itu adalah suatu peristiwa penting bagi sayasendiri dan bagi keluarga istri. Banyaknya orang yang datangdalam peresmian perkawinan itu, yang dilangsungkan selamadua hari, merupakan suatu event (peristiwa) untuk teman-teman

Page 94: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

94

dan rekan-rekan di Harian Penerangan.

Beberapa waktu kemudian kami mengadakan perjalananbulan madu yang agak lama ke Jawa. Untuk itu, ada seorang temanTionghoa, pemilik pabrik minyak kelapa (The Soe Soei) yangmemberikan cadeau berupa alat potret Rolleiflex. Pada waktu itu,Rolleiflex adalah merk yang sangat terkenal. Pada saat itulah sayaperkenalkan istri kepada keluarga di Surabaya, Malang dan bapakibu serta adik-adik di Blitar. Di Jakarta kami menginap agak lamadi rumah teman lama (Soeryono), yang bekerja sebagai wartawanjuga.

Pada tahun 1960 saya mendapat tawaran untuk menjadiPemimpin Redaksi harian Ekonomi Nasional di Jakarta. Istri sayasetuju untuk menangani pekerjaan baru ini. Bahkan, pada waktuitu seluruh keluarga istri (bapak ibu dan adik-adik) juga inginmeninggalkan Solok untuk mencari penghidupan baru di Jakarta.Maka, dalam bulan Januari 1961 berangkatlah kami ramai-ramaidengan kapal Kowamaru ke Jakarta. Waktu itu istri saya sudahmengandung anak pertama kami beberapa bulan.

Page 95: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

95

Wartawan di Gelanggang Internasional

Pekerjaan di suratkabar EKONOMINASIONAL

Setelah mengalami masa-masa yang sulit dan mengandungberbagai risiko di Padang, maka periode ketika bekerjasebagai Pemimpin Redaksi harian Ekonomi Nasional di

Jakarta adalah periode yang padat, dan mencakup berbagaiperistiwa yang sangat penting dalam kehidupan sayaselanjutnya.

Mula-mula, suratkabar Ekonomi Nasional dicetak di percetakantua “Pemandangan” yang terletak di dekat Pasar Senen. Koranini hanya empat halaman, seperti halnya kebanyakan suratkabarpada waktu itu, dan staf redaksinya hanya beberapa orang.Pemimpin Umumnya adalah Suleiman Sutadiredja. Kami bekerjakeras untuk memajukan suratkabar ini dalam kondisi yang sulit.Karena percetakan tua, jadi hasil cetakannya juga kurang baik.Di samping itu, ada problim keuangan. Saya selalu kerja malamdan sering pulang pagi.

Lebih dari satu tahun kami bertahan terus. Akhirnyaditemukanlah jalan untuk keluar dari kesulitan ini. SuratkabarEkonomi Nasional kemudian tergabung dalam grup Suryapraba/Wartabhakti. Sejak itu, suratkabar ini dicetak juga dalampercetakan yang termasuk modern waktu itu, yang terletak diJalan Asemka (Kota). Iklan bertambah, demikian juga oplahnya.Kemudian staf redaksi kami bertambah juga, antara lain denganmasuknya Kadi N. Arif dan Chris Hutabarat. Ekonomi Nasionaladalah koran sore, dan dicetak jam satu siang. Kami mulai bekerjapagi sekali (jam tujuh).

Page 96: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

96

Suratkabar ini dilarang terbit beberapa hari setelah terjadinyaG30S. Waktu itu saya ada di Aljazair.

Kepindahan ke Jakarta ini kami beritahukan juga kepadabapak ibu di Blitar. Dan supaya bapak ibu bisa mengikutipekerjaan saya, maka kepadanya dikirimkan koran setiap hari.Ini juga merupakan salah satu cara untuk membikin senang hatimereka. Dalam tahun ini jugalah lahir Iwan, di klinik Dr Suhartodi Jalan Kramat Raya. Saya masih ingat ketika mengantar istridengan becak, ketika ia merasa sudah dekat melahirkan. Waktuitu, kami tinggal di jalan kecil di Kepu Selatan (dekat Pasar Senen),di satu rumah yang dikontrak beberapa tahun. Bersama kamijuga tinggal bapak ibu mertua dan adik-adik. Gaji saya waktu itutidaklah begitu besar, dan kehidupan sehari-hari kami sederhanasaja.

Antara 13-16 Agustus tahun 1963 diselenggarakan Kongreske-II PWI seluruh Indonesia di Jakarta, yang melahirkan PengurusPusat PWI yang baru. Dalam komposisi yang baru ini telah

Page 97: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

97

Wartawan di Gelanggang Internasional

terpilih Karim D.P. (sebagaiKetua Umum), MahbubDjunaedi Soepeno danSoewarno (Ketua),Satyagraha (Sekjen) dan sayasebagai Bendahara. Kompo-sisi kepengurusan yangdemikian itu adalah sebagaimanifestasi penerapan poli-tik Bung Karno, yang waktuitu menganjurkan pengga-langan kekuatan NASAKOM(Nasionalis, Agama, Komu-nis), termasuk di bidang pers(media massa).

Sejak menjadi PemimpinRedaksi Ekonomi Nasionalinilah saya mulai sering keluar negeri. Saya sering sekali,secara berturut-turut, men-dapat undangan untukmenghadiri berbagaiInternational Fairs (Leipzig diRDD, Brno di Cekoslowakia,Plovdiv di Bulgaria, Poznandi Polandia) atau undangan-undangan lainnya. Umpama-nya, pernah diundang olehKementerian Luar NegeriInggris untuk mengunjungi

Page 98: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

98

Inggris, dan kemudian jugaJerman Barat, dan Belgia.Pernah terjadi bahwa dalamsatu tahun saya pergi keluarnegeri tiga kali.

Ketika anak laki-laki yangpertama sudah agak besar,istri bekerja di bagian iklandi Wartabhakti. Ini berjalanhampir dua tahun. Mula-mula, ia sering saya boncengdengan scooter (merknya“Rabbit”). Kemudian iadijemput dengan mobilpegawai. Saya sering meng-ajaknya menghadiri ber-bagai peristiwa penting(resepsi-resepsi di berbagaikedutaan, acara-acara diIstana Negara dan IstanaBogor, pengumpulan danaKWAA dan lain-lain).

Kemudian, pekerjaan diEkonomi Nasional ini juga sayarangkap sebagai pimpinanmajalah ekonomi Pemba-ngunan, yang berkantor diJalan Kebon Sirih. Karenasaya juga merangkap jabatanbendahara PWAA, maka

Page 99: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

99

Wartawan di Gelanggang Internasional

kesibukan sangat padat sekali. Sebab, boleh dikatakan setiap harisaya harus bekerja di tiga kantor: Ekonomi Nasional, PWI Pusatdan PWAA. Beberapa hari sekali saya mengunjungi juga kantormajalah Pembangunan. Di samping itu juga bertugas, seminggusekali, mengajar di Akademi Jurnalistik “Abdul Rifai.” ScooterRabbit itu (buatan Jepang) sangat membantu pekerjaan yangsibuk sekali setiap harinya.

Selama bekerja di Ekonomi Nasional saya juga pernah -bersama-sama Karim D.P. (Wartabhakti), Mahbub Djunaedi (DutaMasyarakat), Suhardi (Sulindo) - mengikuti perjalanan PresidenSukarno, dalam tahun 1962, ke Manila, Pnompenh dan Tokio.Kunjungan kenegaraan ke Manila dan Pnompenh itu mendapatsambutan hangat. Di Istana Malacanang, Presiden D. Macapagalmengadakan resepsi besar-besaran, setelah pembicaraan keduakepala negara tentang Maphilindo selesai (Maphilindo: gagasankerjasama antara Malaysia, Philipina dan Indonesia, dalambidang politik dan ekonomi). Di Pnompenhlah kami menyaksikanbetapa Pangeran Norodom Sihanouk waktu itu menunjukkanpenghargaan atau hormatnya yang amat tinggi kepada PresidenSoekarno. Anggota-anggota rombongan - termasuk parawartawan - mendapat tanda kehormatan dari Ratu Kosamak (ibuPangeran Sihanouk) berupa medali mas.

Saya bekerja di harian Ekonomi Nasional dalam situasi politikdalam negeri yang mengalami perobahan-perobahan besar.Untuk menghadapi situasi tidak stabil yang disebabkan olehsistim demokrasi liberal dan terancamnya persatuan dankesatuan bangsa, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarnomengeluarkan dekrit pembubaran Konstituante, berlakunyakembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUD-S(ementara).Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang terkenal

Page 100: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

100

dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) kemudiandijadikan oleh MPRS sebagai Haluan Negara. Sesuai denganketentuan UUD 1945, Presiden Soekarno membentuk kabinet yangdipimpinnya sendiri. Dewan Pertimbangan Agung, DewanPerancang Nasional dibentuk, dengan anggota-anggotanyaditunjuk oleh Presiden. Menurut UUD 1945, Presiden tidakbertanggung jawab kepada DPR, tetapi kepada MPRS, sebagaiganti Konstituante. Sejak itulah berlaku di Indonesia sistimDemokrasi Terpimpin. Pada tahun 1960 DPR hasil pemilihanumum dinyatakan bubar dan dibentuklah DPR Gotong Royong.Dalam DPRGR ini ketiga partai terbesar PNI, NU dan PKImendapat suara yang terbanyak, yang kemudian oleh PresidenSoekarno disebut sebagai kekuatan golongan Nasakom.

Page 101: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

101

Wartawan di Gelanggang Internasional

Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA)

Dalam tahun 1962, saya bersama-sama sejumlah teman-teman wartawan lainnya (antara lain: S. Tahsin,Joesoef Isak, Tom Anwar, Hasyim Rahman) menghadiri

Kongres I.O.J. (International Organisation of Journalists) diBudapest. Di Kongres I.O.J. inilah kami mengumpulkan tandatangan dari banyak peserta kongres yang datang dari Asia-Afrika.Pengumpulan tanda tangan ini dimaksudkan untuk mendukungdiselenggarakannya Konferensi Wartawan Asia-Afrika olehwartawan-wartawan Indonesia, sebagai kelanjutan dariKonferensi Bandung dalam tahun 1955.

Dalam situasi pertentangan ideologi (yang terjadi sejak 1960)antara Tiongkok dan Uni Soviet, inisiatif kami di Budapest inimendapat sambutan dari delegasi Tiongkok di kongres IOJ itudan juga dari berbagai delegasi lainnya. Setelah kongres selesai,saya dan Tahsin diundang oleh Persatuan Wartawan SeluruhTiongkok (PWST) datang ke Peking untuk membicarakan lebihlanjut ide penyelenggaraan KWAA ini.

Maka berangkatlah kami berdua ke Tiongkok dengan pesawatterbang. Di Peking, kami mengadakan rapat berkali-kali denganpimpinan PWST, antara lain Teng Kang (pimpinan kantor beritaXinhua), Mei Yi (Direktur Radio), Li Pingchuan (PWST). Kami jugaditerima oleh Menteri Luar Negeri Chen Yi, yang menegaskandukungan erat Tiongkok akan terselenggaranya KWAA.Suratkabar Tiongkok Renmin Ribao (Harian Rakjat) memuat fotokami berdua dengan Menlu Chen Yi di halaman pertamanya.

Page 102: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

102

Menjurut rencana kami waktu itu, KWAA itu perlu diadakandalam tahun 1963 di Jakarta. Waktu yang tersedia memang sempitsekali, sedangkan untuk mengadakan konferensi internasionalyang cukup besar itu diperlukan banyak persiapan. Karenanya,sekembali kami ke Jakarta segeralah PWI seluruh Indonesiamengadakan langkah-langkah. Sesuai dengan situasi politik danopini umum waktu itu, ide penyelenggaraan KWAA ini (antara24 April-1 Mei 1963) mendapat sambutan pemerintah (baik Pusatmaupun Daerah) dan berbagai partai dan organisasi.

Setelah diadakan rapat-rapat berkali-kali di antara paraanggota grup IOJ dan berbagai anggota PWI cabang Jakarta (yangdiketuai oleh Joesoef Isak) maka terbentuklah Panitia Pusat KWAA.Panitia Pusat KWAA ini diketuai Djawoto, sebagai seorangwartawan senior yang terkemuka, dan juga Ketua PWI Pusat.Dalam berbagai kegiatan yang diadakan Panitia Pusat KWAA inijuga ikut serta secara aktif Koerwet Kartaadiredja, mantanwartawan yang dekat dengan lingkungan Bung Karno. Sayadipilih menjadi Bendahara Panitia Pusat KWAA ini, yang waktuitu berkantor di Press House (Wisma Warta) di dekat HotelIndonesia.

Oleh karena kesibukan-kesibukan yang padat, maka beberapaminggu sebelum berlangsungnya KWAA, kami terpaksa tidur diPress House. Pekerjaan saya sebagai Bendahara KWAA waktuitu selalu mengadakan rapat-rapat dengan berbagai seksi Panitia(penerimaan tamu, transport, penterjemahan, makanan, dan lain-lain) untuk: membikin rencana pengeluaran, mengkontrol keluar-masuknya uang. Banyak sekali teman-teman wartawan Jakartayang dikerahkan untuk menangani berbagai seksi ini, antara lain:Hasyim Rachman, Tom Anwar, S. Tahsin, Kadir Said, ZainNasution dan lain-lain.

Page 103: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

103

Wartawan di Gelanggang Internasional

KWAA dalam tahun 1963 merupakan peristiwa pentingdalam sejarah kewartawan Indonesia. Namun, karena politikOrde Baru, peristiwa ini telah sengaja dibikin “kecil” selamapuluhan tahun. Padahal, KWAA pernah menjadi event nasionalyang besar. Cabang-cabang PWI di seluruh Indonesia membentukPanitia KWAA setempat di seluruh negeri yang ditugaskanmengumpulkan dana dan kampanye mobilisasi pendapat umum.Simpati yang luas pada ide KWAA ini didorong oleh situasi dalamnegeri dan juga situasi politik internasional pada waktu itu.

Presiden Soekarno mengucapkan Trikomando Rakyat(Trikora) pada tanggal 19 Desember 1961 yang isinya:

1. Gagalkan pembentukan Negara Boneka Papua buatanBelanda.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah AirIndonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankankemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Pada tanggal 11 Januari 1962, Presiden membentuk KomandoMandala Pembebasan Irian Barat dengan Mayor Jenderal Soehartosebagai Panglima. Dalam bulan Februari 1962 Komando Mandalamulai menggerakkan pasukan-pasukan untuk memasuki IrianBarat lewat laut, dan dalam bulan Maret diterjunkan pasukanpayung. Akhirnya, Belanda melihat bahwa tidaklah mungkinuntuk selanjutnya menghadapi pasukan-pasukan Indonesia.Karenanya, pada tanggal 15 Agustus 1962 ditandatangani di NewYork oleh Belanda dan Indonesia suatu persetujuan yangmenyatakan bahwa 1 Mei 1963 wilayah Irian Barat akandiserahkan kepada Indonesia dengan syarat adanya pemilihan

Page 104: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

104

atau penentuan pendapat rakyat.

Sementara itu, campur tangan Amerika di Vietnam Selatanmakin menyolok. Pertentangan antara RRT dan Taiwan (yangdisokong oleh Amerika Serikat) juga menajam. Presiden Soekarnomencanangkan adanya bahaya nekolim (neo-kolonialisme-imperialisme) bagi negeri-negeri Asia-Afrika yang sudah merdekaatau baru merdeka. Sudah jelas, bahwa yang disasar oleh PresidenSoekarno waktu itu adalah kekuatan-kekuatan Barat, yang secaralangsung atau tidak langsung, terbuka atau tertutup, menyokonggolongan-golongan atau daerah-daerah yang melawan politikPresiden Soekarno. Waktu itu, Inggris berusaha untuk menjadikanMalaysia sebagai negeri bonekanya. Oleh karena itu, bisadikatakan bahwa KWAA secara garis besar mengemban politikyang sejalan dengan politik Presiden Soekarno dan dengankeputusan-keputusan Konferensi Bandung mengenai berbagaihal.

Berkat bantuan antusias berbagai pihak dan Panitia yangbekerja keras, KWAA berjalan dengan lancar. Suksesnya mempunyaigema yang besar, baik di dalam negeri mau pun di luar negeri. Setelahselesai konferensi, Panitia KWAA minta kepada salah satu kantorakuntan di Jakarta untuk memeriksa jalannya keuangan selamapersiapan dan penyelenggaraan konferensi. Ini merupakan kejadianyang termasuk “istimewa” juga pada masa itu.

Sebab, belum pernah ada tindakan semacam itu sebelumnya,yang dilakukan oleh panitia-panitia lainnya yang telahmenyelenggarakan kegiatan-kegiatan besar semacam itu. Hasilpemeriksaan akuntan itu, yang menyatakan bahwa pengelolaankeuangan KWAA berjalan baik, kemudian diumumkan secara luasdi dalam pers.

Page 105: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

105

Wartawan di Gelanggang Internasional

Mungkin karena pengalaman ini jugalah maka ketika dalambulan Agustus (tanggal 13-16) diadakan Kongres PWI ke 11 diJakarta saya dipilih menjadi Bendahara PWI Pusat. Demikian juga,setelah dibentuk Panitia Konferensi Internasional Anti PangkalanMiliter Asing (KIAPMA), saya juga ditunjuk menjadiBendaharanya, bersama dengan Ridwan Basar sebagai wakilsaya.

Page 106: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

106

Kegiatan di PWAA dan PWI Pusat

Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta (24 April-1Mei 1963) telah menghasilkan terbentuknya PersatuanWartawan Asia-Afrika (PWAA). Telah ditentukan

bahwa sekretariatnya terdiri dari perwakilan persatuanwartawan dari lima negara Asia dan lima negara Afrika. DariAfrika telah terpilih: Aljazair, Mali, Afrika Selatan , Tanzania, danGinea. Dari Asia: Indonesia, Srilanka, Siria, RRT dan Jepang.Kedudukan sekretariat telah ditentukan di Jakarta. Dan sekretarisjenderal-nya yang dipilih waktu itu adalah Djawoto, yangmewakili Indonesia.

Sejak terbentuknya PWAA, maka saya tetap terus aktif dalamsekretariat dengan tugas utama mengurusi keuangan sertaurusan-urusan sehari-hari yang bersangkutan dengan paraSekretaris PWAA yang menetap di Jakarta. Waktu itu, adasekretaris-sekretaris dari Afrika Selatan (Lionel Morrison), Siria(Aboukos), Srilanka (Manuweera), Jepang (Ichihei Sugiyama), RRT(Yang Yi) . Mereka tinggal, atas biaya PWAA, di Press House(Wisma Warta) yang terletak di Jalan Thamrin, dekat HotelIndonesia. Wisma Warta ini sekarang sudah dibongkar dandijadikan Hotel Grand Hyatt. Sekretariat PWAA menyewaruangan besar dalam Wisma Warta ini.

Untuk pekerjaan sekretariat direkrut tenaga-tenaga yangcukup banyak, antara lain untuk menangani tugas sebagaiinterpreter (Inggris, Perancis, dan Arab), bagian keuangan, bagian

Page 107: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

107

Wartawan di Gelanggang Internasional

majalah (Inggris dan Perancis). Di antara staf sekretariat terdapat:Ny. Urip, Ashari, Adnan Basalamah. Untuk keperluan sekretariatada mobil tersendiri. Di samping itu, ada tenaga-tenaga sukarela,yang sering datang ke sekretariat untuk ikut menangani macam-macam hal, antara lain S.Tahsin, Hasyim Rachman, Tom Anwar,Joesoef Isak dan lain-lain.

Sebagai penanggung jawab keuangan PWAA dan penghubungdengan sekretaris-sekretaris luar negeri, saya setiap hariberkantor di sekretariat. Urusan sehari-hari cukup banyak, dariyang serius sampai hal-hal yang “tetek-bengek.” Maklumlah,kelakuan orang macam-macam, dan permintaan para sekretarisluar negeri juga kadang-kadang tidak mudah untuk dipenuhi.Sebab, sering sekali sekretariat PWAA dan sekretaris-sekretarisnya mendapat undangan untuk menghadiri berbagairesepsi dari kedutaan-kedutaan yang begitu banyak di Jakarta.Hubungan dengan pejabat-pejabat Kementerian Luar Negeri diPejambon waktu itu erat sekali (antara lain, dan terutama sekali,dengan Ganis Harsono).

Bagi saya, pekerjaan di sekretariat PWAA cukup menarik. Sayasepenuhnya bisa menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa-kerja sehari-hari (working language) dengan para sekretaris. DenganAboukos dari Siria saya gunakan bahasa Perancis yang masihdalam tingkat rendah waktu itu. Dengan pekerjaan di sekretariatini, saya dapat memperluas pandangan mengenai berbagai soalAsia-Afrika, yang waktu itu sedang mengalami pergolakan-pergolakan besar. Semua ini merupakan perbekalan yang penting,ketika kemudian saya bertugas sebagai Kepala Sekretariat PWAAdi Peking, sesudah terjadinya G30S.

Selama menangani pekerjaan di PWAA saya pernah bertugasuntuk keliling ke negeri-negeri Arab bersama Aboukos (sekretaris

Page 108: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

108

dari Siria), Ashari (dari Palembang), dan Adnan Basalamah(penterjemah bahasa Arab). Kami kunjungi waktu itu negeri Mesir,Siria, dan Irak.

Aboukos waktu itu merupakan tenaga aktif dalam rangkaperjuangan negeri-negeri Arab untuk membela perjuanganrakyat Palestina. Dan PWAA telah mengambil berbagai keputusantegas untuk memihak rakyat Palestina melawan Israel. Demikianjuga mengenai perjuangan rakyat Afrika Selatan dalam melawanApartheid.

Kemudian, pada suatu waktu saya juga pernah mengunjunginegeri-negeri Afrika bagian Timur untuk mengkonsolidasihubungan PWAA dengan organisasi wartawan di berbagai negeridi bagian benua ini. Kami bertiga berangkat bersama Yang Yi(sekretaris dari RRT) dan Fransisca Nasution sebagaipenterjemah. Dalam perjalanan yang cukup lama ini telah kamikunjungi: Mesir, Sudan, Uganda, Tanzania (termasuk Zanzibar),Somalia, dengan menginap beberapa hari di Ethiopia dan Kenya(Nairobi). Waktu itu, di mana-mana kami menyaksikan bahwawartawan-wartawan dan pejabat-pejabat penting di berbagainegeri ini menaruh respek kepada politik luar negeri Indonesia,dan bahwa nama Presiden Soekarno memang dihormati olehbanyak orang di banyak negeri.

Konferensi Bandung selalu dikaitkan dengan Indonesia danSoekarno. Sebagai orang Indonesia, saya merasa sangat bangga.Saya masih ingat bahwa untuk perjalanan ke Afrika bagian Timurini, artikel-artikel saya telah disiarkan oleh Kantor Berita Antara,dan dimuat oleh berbagai suratkabar di Indonesia.

Setelah dipilih sebagai bendahara PWI Pusat, kesibukan-kesibukan setiap hari makin bertambah. Sebab, kegiatan di PWAA

Page 109: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

109

Wartawan di Gelanggang Internasional

(tanpa gaji) dan di PWI Pusat (juga tanpa gaji) saya lakukansambil merangkap pekerjaan sebagai Pimpinan Redaksi EkonomiNasional. Dari sinilah saya mendapat gaji. Karena itu, sayaberusaha bekerja seperti biasa setiap hari. Karena koran EkonomiNasional harian sore, maka pekerjaan saya yang utama adalahpagi hari, sampai “naiknya” pers di tengah hari. Pekerjaan pagihari ini adalah menyeleksi berita-berita untuk diedit lebih lanjutoleh rekan-rekan lainnya, mengadakan sidang-sidang redaksi,dan membikin editorial.

Pekerjaan sebagai bendahara di PWI Pusat saya lakukansetelah berkantor beberapa jam di PWAA, biasanya menjelangsore hari. Dengan melakukan kegiatan sehari-hari semacam itu,maka boleh dikatakan bahwa kehidupan sehari-hari antara tahun1963 sampai September 1965 adalah amat padat, karena harusberkantor secara rutin tiap hari di tiga tempat, bahkan di empattempat (walaupun tidak setiap hari, yaitu di kantor redaksimajalah Pembangunan). Di samping itu, masih ada lagi beraneka-ragam kegiatan (resepsi di berbagai kedutaan, rapat-rapat politik,dan kegiatan-kegiatan penting lainnya). Oleh karena banyaknyakegiatan-kegiatan semacam itu, dalam waktu yang lama sekali,saya sering pulang ke rumah selalu malam sekali.

Semua tugas penting ini saya lakukan ketika umur saya sudahmenginjak antara tiga puluh lima sampai tiga puluh tujuh tahun.Karena suasana politik di Indonesia waktu itu sarat denganperjuangan untuk pembebasan Irian Barat, pengganyanganproyek Malaysia, pengembangan solidaritas perjuangan rakyatAsia-Afrika dan lain-lain, maka kehidupan saya sebagaiwartawan juga sangat erat terkait dengan persoalan-persoalanitu semua.

Page 110: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

110

Kongres I.O.J. di Chili dan G30S

Dalam bulan September 1965 di Santiago (ibukotaChili)dilangsungkan Konferensi I.O.J. (OrganisasiWartawan Internasional). Sudah sejak beberapa tahun

sebelumnya, sejumlah wartawan Indonesia menggabungkan diridalam Grup I.O.J. Indonesia.

Untuk konferensi di Chili ini grup Indonesia ini juga mendapatundangan untuk hadir dalam kongres itu, sebab Indonesiamenduduki tempat sebagai salah satu dari beberapa WakilPresiden organisasi internasional ini.

Grup IOJ Indonesia telah menunjuk saya untuk ikut dalamdelegasi Indonesia untuk menghadiri kongres ini. DelegasiIndonesia itu terdiri dari tiga orang, yaitu Francisca Fangidayyang mewakili Harian Rakjat, seorang dari suratkabar SuluhIndonesia dan saya. Kecuali itu, Sekretariat PWAA jugamenugaskan saya untuk singgah di Aljazair, dalam perjalanankembali dari Santiago menuju tanah air. Tugas saya waktu ituialah untuk membicarakan dengan persatuan wartawan Aljazairmengenai persiapan KWAA yang ke-2. Karena, dalam sidang-sidang sebelumnya, konferensi PWAA telah memutuskan untukmenyelenggarakan KWAA yang ke-2 di benua Afrika, danAljazairlah yang diputuskan untuk menyelenggarakannya.

Pada tanggal 14 malam kami bertiga berangkatlah dariKemayoran dengan pesawat CSA (Cekoslowakia) menuju Prahadan kemudian ke Santiago. Keberangkatan saya kali ini diantar

Page 111: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

111

Wartawan di Gelanggang Internasional

oleh istri dengan becak kelapangan terbang Kema-yoran, yang letaknya tidakjauh dari rumah kami diKepu Selatan. Rupanya,sejak kali inilah kamiberpisah lama sekali, danbaru tiga belas tahunkemudian bertemu kembalidi lapangan terbangSchiphol (Amsterdam).

Dalam sidang-sidangIOJ di Santiago ini delegasikami menghadapi sikapyang tidak begitu hangatlagi dari delegasi Sovietbeserta pendukung-pendukungnya, yang terdiri dari negeri-negeri Eropa Timur lainnya. Kami bekerja sama erat dengandelegasi-delegasi persatuan wartawan RRT (dipimpin oleh LiPingchuan), dari Jepang, Korea Utara, dan Vietnam. Ketika itu,pertentangan ideologi antara Peking dan Moskow makinmenajam, dan ini tercermin juga dalam sidang-sidang.

Walaupun begitu, hubungan pribadi saya dengan PresidenIOJ (Maurice Hermann, dari Perancis) dan Sekjennya (Jiri Meisner,dari Cekoslowakia) tetap baik.

Setelah konferensi IOJ selesai, ada program yang diatur olehPanitia setempat untuk mengunjungi berbagai tempat di Chili.Francisca Fangiday dan teman dari Suluh Indonesia mengikutiprogram itu, antara lain dengan mengunjungi kota Valparaisodan daerah pertambangan. Tetapi, karena ada tugas ke Aljazair,

Page 112: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

112

maka saya meninggalkan Chili lebih dahulu. Saya menuju Parisdan kemudian ke Alger. Ini terjadi akhir bulan September 1965.

Sesudah tinggal beberapa hari di Alger, maka pada tanggal 1Oktober, tersiar berita terjadinya peristiwa G-30-S di Jakarta.Selama beberapa hari saya sering menghubungi KBRI untukmenanyakan kelanjutan perkembangan peristiwa ini. Selain itu,dalam hari-hari itu, selalu mempertimbangkan tindakan apakahyang harus saya lakukan selanjutnya: kembali pulang keJakartakah atau bagaimana?

Kemudian tersiarlah berita bahwa sejumlah suratkabarditutup, termasuk Ekonomi Nasional dan Wartabhakti. Sejak itu, sayaputuskan untuk tidak kembali dulu ke Jakarta, sambil menungguperkembangan selanjutnya. Waktu itu saya tahu bahwa di Pekingsedang ada delegasi Indonesia yang besar, (yang terdiri dariberbagai organisasi, termasuk juga delegasi resmi pemerintahyang diketuai oleh Wakil PM Chaerul Saleh) untuk menghadiriperayaan Hari Nasional Tiongkok 1 Oktober. Sebelummeninggalkan Jakarta menuju Chili, saya sudah mendengarbahwa sejumlah wartawan ikut dalam delegasi PWI dalamperayaan 1 Oktober itu (antara lain Soepeno, Ketua PWI Pusat).

Dari Alger saya mengadakan kontak dengan teman-temandelegasi PWI yang ada di Peking. Kemudian saya mendapatanjuran dari Soepeno untuk tidak kembali langsung ke Jakarta,tetapi supaya singgah dulu ke Peking untuk mengikutiperkembangan selanjutnya. Di Paris saya tinggal beberapa hari,dan akhirnya bertemu dengan Francisca Fangiday di kota ini,yang meninggalkan Chili setelah selesai dengan acarakunjungannya ke Valparaiso dan daerah lainnya.

Dalam perundingan dengan Francisca di Paris itu kamimengambil kesimpulan bahwa sebaiknya kami berdua

Page 113: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

113

Wartawan di Gelanggang Internasional

menggabungkan diri dengan delegasi PWI yang sedang beradadi Peking waktu itu, dan tidak kembali langsung ke Jakarta dulu.Sebab, makin banyak berita yang tersiar bahwa sejumlah besarkawan-kawan telah ditangkapi dan dibunuhi, dan situasi diIndonesia makin tidak menentu.

Maka berangkatlah saya dari Paris, pada pertengahan atauakhir Oktober 1965, menuju Peking. Di Peking saya bertemudengan banyak orang Indonesia, yang menjadi tamu pemerintahTiongkok dalam rangka perayaan Hari Nasional 1 Oktober itu.Mereka terdiri dari orang-orang yang tergabung dalam delegasiPKI, SOBSI, Lekra, BTI, Pemuda Rakyat, HSI, Gerwani, danorganisasi-organisasi massa lainnya. Di samping itu, ada jugadelegasi resmi pemerintah Indonesia atau delegasi MPRS.

Dengan kedatangan di Peking dalam akhir tahun 1965 makamulailah, sejak itu, kehidupan saya di Tiongkok selama tujuhtahun.

Page 114: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

114

Sekretariat PWAA pindah ke Peking

Selama hari-hari pertama di Peking, saya dan teman-temanIndonesia lainnya, selalu dengan tekun mengikuti berita-berita mengenai tanah air, terutama lewat radio Voice of

America, BBC, Radio Australia, radio NHK dll. Kami ikuti dengansedih berbagai berita tentang penangkapan dan pembunuhanyang makin banyak dilakukan di mana-mana di seluruh tanahair, dan tindakan-tindakan lainnya oleh militer di bawahpimpinan Soeharto.

Kami dengar bahwa akhir Oktober masih bisa jugadiselenggarakan di Jakarta Konferensi Internasional AntiPangkalan Militer Asing (yang sudah direncanakan sejak lama,di mana saya menjadi bendaharanya). Kemudian, kamimengetahui dari cerita-cerita berbagai kenalan yang menghadirikonferensi itu (antara lain Rewi Alley, orang Selandia Baru yangsudah puluhan tahun tinggal di Tiongkok dan Willy Harianja,teman Indonesia yang tadinya termasuk pimpinan SOBSI) tentangbetapa tegangnya suasana selama konferensi, yang berlangsungdi Hotel Indonesia. Konferensi internasional ini masih bisa dibukaoleh Presiden Soekarno, dalam keadaan yang sudah makin kacau,karena banyaknya penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh PKI dan ormas.

Tidak lama kemudian terdengarlah berita bahwa paraSekretaris PWAA (waktu itu: Manuweera dari Srilanka, ChenChuanpi dari Tiongkok, Aboukos dari Siria, Morrison dari Afrika

Page 115: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

115

Wartawan di Gelanggang Internasional

Selatan, Sugiyama dari Jepang) berpendapat bahwa dengantindakan-tindakan penguasa militer terhadap sejumlah petugassekretariat PWAA dan rekan-rekan wartawan Indonesia yangerat hubungannya dengan PWAA, maka situasi di Indonesiasudah tidak memungkinkan lagi bagi organisasi ini untukmenjalankan fungsinya seperti yang sudah-sudah. Sebab, secaragaris besar, tujuan perjuangan PWAA adalah sejalan dengan -bahkan mendukung aktif - politik Presiden Soekarno. Namun,sekarang Presiden Soekarno mengalami berbagai kesulitan.

Satu demi satu mereka meninggalkan Jakarta, dan ada yanglangsung menuju Tiongkok (Sugiyama, bersama istri dananaknya). Pegawai-pegawai sekretariat berusaha menghilanguntuk menyelamatkan diri dari penangkapan. Setelah ChenChuanpi (wakil Tiongkok di Sekretariat) juga meninggalkanJakarta dan kembali ke Peking, ia lebih jelas menceritakan kepadakami semua kejadian-kejadian yang menyangkut SekretariatPWAA.

Pada waktu itulah ia menyerahkan sebuah foto kedua anaklaki-laki kami yang waktu itu masih memakai celana pendek(Iwan umur empat tahun, dan Budi umur satu tahun lebih).

Ketika menulis bagian tulisan ini, saya tanyakan kepada istribagaimana asal-usul foto yang saya terima di Peking itu, iamenceritakan yang berikut: Sekretaris PWAA dari Jepang,Sugiyama, ketika bertemu dengan istri di Wisma Wartamengatakan bahwa ia beserta istri dan anaknya akanmeninggalkan Jakarta. Sugiyama bertanya apakah ada foto duaanak kami, karena ia nantinya akan bisa meneruskannya kepadasaya. Kemudian ia tidak bertemu lagi dengan Sugiyama, tetapidengan seorang Tiongkok (penterjemah bahasa Inggris di PWAA)yang mengatakan supaya foto itu diserahkan kepada kantor-

Page 116: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

116

berita Xinhua di Jalan Tanah Abang Bukit. Akhirnya, sampaijugalah foto itu di Peking, yang kemudian menjadi simpanan sayayang berharga selama bermukim di Tiongkok.

Setelah para sekretaris luar negeri PWAA meninggalkanJakarta, dan situasi makin menunjukkan bahwa SekretariatPWAA tidak dapat dipertahankan lagi di Indonesia yangmengalami perobahan besar-besaran, maka kami bicarakandengan Persatuan Wartawan Seluruh Tiongkok untukmemindahkannya ke negeri lain. Pernah ada pikiran untukmemindahkannya ke Pnompenh (Kamboja). Ternyata bahwapikiran ini dianggap tidak ideal. Kemudian diusulkan untukdipindah ke Peking saja. Sebabnya, antara lain, ialah adanyaDjawoto di Peking. Ia adalah Sekjen PWAA yang diangkat olehKWAA tahun 1963. Namun, kemudian ia diangkat oleh PresidenSoekarno untuk menjadi Duta Besar RI di Peking. Sejak itu,kedudukan Sekjen PWAA digantikan oleh Joesoef Isak.

Dengan perspektif ini, dan karena pertimbangan-pertimbangan lainnya, Djawoto menanggalkan jabatannyasebagai Duta Besar RI, dan tidak mau memenuhi perintahKementerian Luar Negeri untuk kembali ke Jakarta. Beberapabulan kemudian, diselenggarakanlah konferensi pleno SekretariatPWAA (sebelas negeri Asia-Afrika) di Peking. Dalam konferensiini telah diambil berbagai keputusan, antara lain meresmikankembali Djawoto sebagai Sekjen, dan juga pindahnya Sekretariatke Peking. Waktu itulah saya ditetapkan sebagai Kepala KantorSekretariat PWAA.

Pekerjaan sebagai Kepala Kantor Sekretariat, di bawahpimpinan Sekjen, bermacam-macam: mengatur rapat-rapat,mengkoordinasi pekerjaan sekretariat, ikut mengurusi kebutuhankehidupan sekretaris-sekretaris (Manuweera, Aboukos,

Page 117: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

117

Wartawan di Gelanggang Internasional

Sugiyama, Morrison dan Gora Ibrahim dari Afrika Selatan,Kajunjumele dari Tanzania), bertindak sebagai master of ceremonydalam pertemuan-pertemuan penting yang diselenggarakan olehPWAA. Dalam hal ini, saya lama sekali bekerja sama dengan YangYi, sekretaris Tiongkok yang pernah bekerja di kantor PWAA diJakarta beberapa tahun.

Kantor Sekretariat PWAA mula-mula diadakan di HotelPeking yang terletak tidak jauh dari Tian An Men. Kami mula-mula juga tinggal di Hotel ini selama beberapa tahun. Akhirnyadi pindah di Chiaotaokou, di suatu kompleks di mana tinggaljuga para sekretaris luar negeri PWAA.

Penghidupan kami termasuk istimewa waktu itu. Sepertihalnya gaji expert asing lainnya (umpamanya: Anna Louis Strongdari Amerika, Muller dari Jerman, Israel Epstein dari Amerika,Rewy Alley dari Selandia Baru dll), gaji kami amat besar waktuitu, bahkan jauh lebih besar dari menteri-menteri Tiongkok. Gajisaya 550 Yuan, demikian juga Soepeno. Djawoto mendapat gajisekitar 700 Yuan (untuk sekedar perbandingan, waktu itu gajiresmi Mao Tsetong adalah sekitar 350 Yuan dan Perdana MenteriChou Enlai sekitar 300 Yuan).

Kepindahan PWAA ke Peking yang disebabkan perobahanbesar situasi di Indonesia, telah mendorong organisasiinternasional ini untuk menjadi penentang Orde Baru-nyaSoeharto, sambil terus menggalang solidaritas perjuangan rakyatberbagai negeri di Afrika dan Asia dalam menentang imperialismedan neo-kolonialisme. Namun, karena seluruh Tiongkok sedangdilanda oleh Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP), yangmenimbulkan beraneka-ragam ekses, maka kegiatan-kegiatanPWAA ini juga mengalami berbagai hambatan atau kesulitan. Disamping itu, PWAA telah kehilangan sumber inspirasinya atau

Page 118: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

118

motor-spiritualnya yang utama, yaitu Bung Karno danKonferensi Bandung. Karena, Bung Karno telah dilikwidasi olehSoeharto dan pendukung-pendukungnya.

Page 119: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

119

Wartawan di Gelanggang Internasional

Perjalanan terakhir sebagai delegasiPWAA

Walaupun seluruh Tiongkok memasuki periode RBKP(Revolusi Besar Kebudayaan Proletar), kesibukanpekerjaan di PWAA waktu itu cukup banyak pada

permulaannya. Penerbitan majalah PWAA dalam bahasa Inggris,Perancis dan Arab, yang sudah dimulai di Jakarta, dilanjutkan diPeking. Kami semua setiap hari bekerja terus di kantor, danseminggu sekali mengadakan rapat Sekretariat. Sebagai KepalaSekretariat saya selalu mengikuti sidang-sidang Sekretariat.

Dalam tahun 1967, saya ikut dalam delegasi PWAA untukmenghubungi organisasi-organisasi wartawan di negeri-negeriSiria, Mesir, Aljazair, Maroko, Senegal, Mali, Guinea, Sierra Leone,Congo (Brazaville). Waktu itu saya berangkat dari Peking bersamaLionel Morrison (Sekretaris dari Afrika Selatan) dan Aboukos (dariSiria). Untuk mengadakan perjalanan jauh dengan tugas PWAAini saya menggunakan laissez passer (surat jalan, yang berupapaspor) yang dikeluarkan oleh pemerintah Tiongkok

Ketika di Kairo, suasana waktu itu masih diliputi oleh baruselesainya perang Mesir-Israel di padang pasir Sinai danterancamnya Terusan Suez. Duta Besar RRT, Huang Hua, waktuitu dengan ramah menyambut kami, dengan pengaturan-pengaturan yang baik mengenai transport, penginapan danpengaturan-pengaturan lainnya. Kami ikut menghadiri resepsiHari Nasional RRT (1 Oktober) yang diadakan di gedung Kedutaanyang megah dan besar itu.

Page 120: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

120

Dari Mesir kemudian kami menuju Siria. Di sini terjadilahsatu peristiwa yang menjadi “heboh” dalam suratkabar-suratkabar Indonesia waktu itu. Berbagai suratkabar memuatberita dengan kepala-kepala besar, yang antara lain mengatakan:“Umar Said tertangkap basah di Siria,” “Umar Said diperiksapolisi Siria,” dan bahwa ketika diperiksa ia mengucurkan keringatdingin karena ketakutan dan lain-lain. Yang terjadi adalahsingkatnya sebagai berikut:

Sebelum berangkat meninggalkan Peking ada seorang kawanIndonesia yang memesan supaya dibikinkan berbagai cap palsuKantor Imigrasi pelabuhan Tanjung Priuk dan pelabuhan udaraKemayoran. Ketika sudah tiba di Damas (ibukota Siria) sayamenghubungi salah satu percetakan, yang dapat membuat klise.Ternyata percetakan ini adalah langganan KBRI di Damas.Rupanya, entah karena apa, pengurus percetakan ini kemudianmenghubungi KBRI.

Mungkin untuk mengecek. Karena tahu bahwa saya memesancap palsu ini, KBRI mengajukan protes kepada Kementerian LuarNegeri Siria, dan minta diambil tindakan. Memang, sayakemudian mendapat kunjungan dari polisi, dan dengan sopandibawa ke kantor besar polisi Damas. Di situ pertanyaan diajukanmengapa saya menyuruh membuat cap palsu. Saya berikanberbagai penjelasan, antara lain bahwa itu untuk teman-temanIndonesia yang ingin kembali ke Indonesia, karena keluargamereka banyak yang dibunuhi oleh para penentang PresidenSoekarno.

Ketika polisi menyebut bahwa tindakan saya itu melanggarhukum, maka saya jelaskan bahwa saya tahu bahwa pemerintahSiria juga membantu perjoangan rakyat Palestina, dan bahwabantuan itu diberikan dengan berbagai cara, baik dengan cara

Page 121: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

121

Wartawan di Gelanggang Internasional

yang legal maupun illegal. Saya minta jawaban itu ditulis dalamproses-verbal.

Beberapa jam saya disuruh menunggu keputusan Partai Baathyang waktu itu sedang bersidang. Kemudian, seorang pembesarpolisi Siria menyampaikan kepada saya bahwa pimpinan PartaiBaath (partai yang berkuasa) memutuskan bahwa sayadibebaskan dari segala tuntutan, dan menyatakan juga bahwamereka menaruh simpati kepada korban-korban dalam peristiwadi Indonesia. (Saya kemudian mengambil kesimpulan bahwajawaban saya mengenai bantuan rakyat Siria kepada perjuanganrakyat Palestina, baik dengan cara legal maupun illegal itu adalahjawaban yang tepat. Saya tahu bahwa Partai Baath dalam jangkalama mengagumi politik Presiden Soekarno mengenai perjuanganrakyat-rakyat Arab. Dan mereka tahu bahwa kedudukan PresidenSoekarno sudah makin terjepit).

Rupanya, perjalanan saya sebagai delegasi PWAA ke negeri-negeri Arab dan Afrika kali ini menjadi perhatian KementerianLuar Negeri di Jakarta. Memang mudah saja hal ini diketahuioleh berbagai KBRI. Sebab, kedatangan delegasi ini selaludiberitakan dalam suratkabar negeri-negeri yang kami kunjungi.Tetapi, walaupun KBRI atau Kementerian Luar Negeri di Jakartamengajukan protes-protes, negeri-negeri yang bersangkutan tidakbisa berbuat apa-apa.

Sebab, saya tidak menggunakan paspor Indonesia, dan sayadatang atas nama organisasi internasional yang bertujuan untukmengokohkan hubungan persahabatan antara organisasi-organisasi berbagai negeri untuk memupuk setiakawan Asia-Afrika. Oleh karena itulah, ketika mendarat di lapangan terbangAljazair, saya diperiksa sebentar oleh imigrasi, dan kemudiandibolehkan memasuki negeri ini dengan leluasa untuk

Page 122: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

122

mengadakan rapat-rapat umum di kota Constantine, Oran danlain-lain. Di berbagai negeri yang kami kunjungi, kami menjaditamu dari organisasi wartawan setempat atau KementerianPenerangan.

Dari pembicaraan dengan tokoh-tokoh Afrika selamaberkunjung ke berbagai negeri tersebut, kami mendapat kesanbahwa peristiwa pembunuhan besar-besaran di Indonesia dandisingkirkannya Presiden Soekarno dari pimpinan pemerintahan,mereka ikuti dengan perasaan sedih atau kecewa besar. Merekamenyatakan bahwa semangat Konferensi Bandung mengalamikemunduran besar atau pasang surut, dan bahwa PWAA jugatidak akan bisa berperan seperti sebelumnya. Hal ini saya rasakanbetul secara pribadi. Sebab, dengan apa yang telah dilakukanoleh Soeharto beserta pendukung-pendukungnya di Indonesia,dalam perjalanan yang kali ini, saya sudah tidak bisa lagiberbicara tentang Semangat Bandung atau perjuanganmenentang nekolim, seperti pada masa-masa yang lalu.

Setelah selesai mengadakan perjalanan jauh ini, saya kembalike Peking, ketika RBKP makin melanda seluruh negeri. Inilahperjalanan saya terakhir ke berbagai negeri dengan tugas PWAA.

Page 123: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

123

Babak 5

Menjadi Orang “Kelayaban”Menjadi Orang “Kelayaban”Menjadi Orang “Kelayaban”Menjadi Orang “Kelayaban”Menjadi Orang “Kelayaban”

Kehidupan di Tiongkok selama tujuh tahun

Saya hidup di Tiongkok selama 7 tahun, mulai akhir 1965sampai permulaan 1973. Dan Tiongkok saya tinggalkanketika RBKP belum selesai. Secara pokok kehidupan saya

adalah di PWAA. Ketika seluruh Tiongkok mengalami kekacauandan berbagai peristiwa dalam rangka RBKP, maka sebagai tamuasing kami mendapat pelayanan khusus dan keselamatan kamidijaga betul-betul. Memang, walaupun kehidupan kami baik,namun terasa sekali bahwa kebebasan terbatas sekali waktu itu.Hubungan dengan keluarga sulit sekali bagi saya waktu itu. Sebab,tidak mungkin sama sekali berkirim surat langsung dari Peking,karena hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRT terputus,dan suasana permusuhan sangat tajam. Selain itu, saya tidaktahu bagaimana situasi keluarga waktu itu, dan apakah masihtinggal di Kepu. Saya hanya pernah mengirimkan surat dan bukutentang jahit-menjahit bikinan Jepang (buku patron) lewatseorang teman Jepang yang tinggal di Tokio, dialamatkan kerumah kami di Kepu Selatan.

Waktu itu sebagai percobaan saja, atau untung-untungan.Ini terjadi dalam tahun 1966. Kemudian, setelah bisa bertemukembali dengan istri saya di Perancis, ia mengatakan bahwa

Page 124: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

124

kiriman itu memang ia terima. Saya juga pernah menerimasuratnya dari Jakarta lewat alamat teman Jepang itu. Itulah suratmenyurat antara kami, yang hanya terjadi satu kali.

Kecuali pekerjaan di PWAA, kehidupan saya di Tiongkok dimasa RBKP diisi dengan belajar bahasa Tionghoa, dan diskusi-diskusi dengan teman-teman mengenai masalah perkembangansituasi di Indonesia. Dengan belajar bahasa Tionghoa, waktu itusaya dapat berbicara agak baik dengan orang-orang Tiongkok.(Sampai tahun 1995, ketika tulisan ini dibuat, saya masih bisamenggunakan bahasa Tionghoa untuk percakapan-percakapansederhana. Itu sesudah dua puluh delapan tahun meninggalkanTiongkok). Saya juga lewatkan waktu dengan belajar fotografi,dengan membikin kamar gelap sendiri beserta perlengkapannya.

Untuk dapat mengikuti perkembangan di Indonesia, kamiterbitkan penerbitan stensilan yang dinamakan “BahanPertimbangan.” Isinya adalah kutipan-kutipan berita, artikel ataubahan-bahan lain yang disiarkan oleh suratkabar dan majalah-majalah di Indonesia. Saya juga mengambil peran aktif dalampenerbitan ini, yang ditujukan terutama untuk teman-temanIndonesia yang bermukim di Tiongkok atau di negeri-negeri lain(Korea Utara, Eropa Timur dan lain-lain).

Ketika baru saja tinggal di Peking, bersama-sama denganteman-teman Indonesia lainnya saya ikut dalam KonferensiPengarang Asia-Afrika di Peking. Juga ikut menghadiri KonferensiTrikontinental di Havana (Kuba) sebagai delegasi tandingan yangdikirim oleh Jakarta. Di situlah delegasi kami pernah ditemui olehFidel Castro yang datang secara khusus di hotel kami (HotelHavana Libre). Saya masih ingat bagaimana dalam pertemuanitu Fidel Castro menyatakan keprihatinannya yang besarterhadap apa yang terjadi atas gerakan kiri di Indonesia.

Page 125: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

125

Menjadi Orang “Kelayaban”

Dan dalam rangka kegiatan PWAA, berbagai kunjungan telahdiatur oleh pemerintah ke berbagai daerah di Tiongkok. Yangmasih tinggal dalam ingatan adalah kunjungan Sekretariat PWAAke pegunungan Cingkangshan, tempat yang bersejarah bagirevolusi Tiongkok. Karena, di situlah lahir kekuatan bersenjataTentara Merah, yang kemudian melakukan Long March ribuankilometer yang tersohor itu.

Ketika RBKP makin mendalam, teman-teman Tiongkokmengundang juga anggota-anggota Sekretariat PWAA untukmenghadiri “rapat-rapat pengkritikan” terhadap tokoh-tokohdan kader-kader Partai Komunis. Rapat-rapat pengkritikan iniberlangsung di seluruh negeri dan kebanyakan diselenggarakanoleh Garda Merah atau “Barisan Berontak” yang macam-macamwaktu itu. Pengalaman ini merupakan ingatan yang tidak selalumenyenangkan. Karena, pernah juga kami melihat bagaimanaMarsekal Peng Teh Huai disuruh jongkok-jongkok oleh anak-anakmuda, sambil dimaki-maki dan ditarik-tarik rambutnya. Berbagaiekses telah terjadi di mana-mana, dan situasi menjadi kacau sekali.

Dalam suasana yang beginilah pada waktu itu juga terjadi dikalangan orang-orang Indonesia yang ada di Tiongkokkecenderungan yang menurut penglihatan sekarang merupakanekses. Selama di Tiongkok saya pernah ikut mengalami hidup dipedesaan, bersama-sama teman Indonesia lainnya. Dalam rangkaRBKP, waktu itu dianjurkan kepada kaum intelektual untukbelajar kerja kasar atau “kerja badan.”

Selama hidup di desa ini, kami hidup sebagai petani: menanamjagung, kacang tanah, tomat dll. Kami mengangkuti tahi manusiauntuk dipakai sebagai pupuk. Ada juga yang belajar pertukangankayu. Di samping tanam menanam, saya juga belajar di bagianpertukangan kayu. Ada teman-teman lainnya yang kebagian

Page 126: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

126

tugas memelihara babi atau kambing. Ketika hidup di desa, kamimendapat uang saku 20 Yuan (untuk beli sabun, atau kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti sikat gigi atau odol, atau beli bir dll).Makan, rokok dan pakaian diberikan secara gratis.

Dalam keterbatasan kehidupan di desa yang sedangtenggelam dalam suasana RBKP itu kami ciptakan sendiriberbagai kegiatan lainnya. Selain banyak diskusi-diskusi tentangsoal-soal yang terjadi di Indonesia, penerbitan dengan stensil“Bahan Pertimbangan” diteruskan. Saya pernah ikut dalamsandiwara yang diciptakan oleh teman-teman sendiri, ikutmenyanyi di atas panggung. Rekreasi lainnya waktu itu adalah:menembak burung, berenang (kalau sudah musim panas),kegiatan musik, belajar bahasa Tionghoa, melihat film (hanyaempat atau enam film yang diputar selama RBKP!). Pengalamandi desa ini tidak sepenuhnya negatif bagi banyak orang. Tetapi,bagi orang-orang yang terlalu lama terpisah dari kehidupanmasyarakat yang “normal,” kehidupan dalam penampungansementara di desa itu telah menimbulkan berbagai effek.

Page 127: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

127

Menjadi Orang “Kelayaban”

Persiapan-persiapan meninggalkanTiongkok

Setelah bermukim lama di Tiongkok dan hidup dalamsuasana RBKP yang penuh keterbatasan bagi orangasing, maka keinginan untuk bisa meninggalkan Tiongkok

(dengan tujuan dan sebab yang bermacam-macam) makin timbulsecara nyata di kalangan orang-orang Indonesia, yang terpaksabermukim sementara di negeri ini karena situasi di tanah air.Sebagian dari teman-teman ini sudah ada yang meninggalkanTiongkok sejak 1971. Ada yang menuju Moskow atau BerlinTimur, dan ada yang ke Eropa Barat.

Dalam suasana begini inilah dalam tahun 1973 saya dimintaoleh sejumlah teman-teman untuk mempelajari kemungkinan-kemungkinan atau mencari jalan dan mengadakan persiapan-persiapan, bagi mereka yang ingin pulang ke tanah air atau keluardari Tiongkok, dengan berbagai cara. Dengan mempertimbangkanberbagai pengalaman yang sudah saya peroleh lewat kegiatan-kegiatan di masa-masa sebelum itu, maka saya terimalah usulmereka ini. Sudah tentu, banyak soal yang harus dihadapi dandipecahkan untuk bisa melaksanakannya.

Pertama-tama adalah masalah paspor. Paspor Indonesia sayasudah lewat batas waktunya. Tidak mungkinlah bergerak dinegeri orang dengan paspor yang sudah tidak berlaku. Memang,ketika bekerja di PWAA di Jakarta, kami pernah mendapat ServicePassport dari Kementerian Luar Negeri (Deplu), sebagai

Page 128: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

128

manifestasi dari kerjasama yang erat antara Kementerian LuarNegeri RI dengan PWAA. Tetapi, ketika sudah bekerja di Peking,Service Passport ini tidak saya gunakan lagi. Oleh karena itu, untukmelakukan tugas yang baru ini, saya harus menggunakan pasporIndonesia. Maka, kami ambil putusan: memperpanjang sendiribatas waktu masa berlakunya paspor saya ini. Untuk ini kamiharus membikin stempel palsu KBRI dan mengarang namapetugas yang memperpanjangnya.

Dengan stempel palsu KBRI (yang dibikin sendiri) itulahpaspor Indonesia saya diperpanjang batas waktunya. Dengantujuan untuk mengetahui berbagai kemungkinan tentang adanyapeluang untuk keluar dari Tiongkok atau pulang ke tanah air itusaya pergi ke berbagai negeri di Eropa: Perancis, Itali, Swiss,Jerman Barat, Yugoslavia. Di Swiss saya menginap dua malam dirumah pengarang terkenal Han Suyin. Ketika masih bekerja diPWAA kami pernah bertemu di rumah Rewy Alley, teman dariSelandia Baru itu (Han Suyin pernah menghadiri sidangKonferensi Pengarang Asia-Afrika di Peking).

Di Paris saya menemui Regis Bergeron, orang Perancis yangpernah ikut serta dalam KIAPMA (Konferensi International AntiPangkalan Militer Asing) di Jakarta. Waktu itu ia sudah membukatoko buku “Le Phenix” yang menjual buku-buku mengenaiTiongkok. Melalui dialah saya berkenalan dengan berbagai orangPerancis yang kemudian berguna untuk kegiatan-kegiatanselanjutnya, setelah bisa berada di Paris, antara lain: AnnickMiské (seorang wanita Perancis, penerbit majalah dalam bahasaPerancis Africa-Asia), Alain Geismar (tokoh dalam peristiwa yangterkenal di Perancis, yaitu “Mei 68”).

Dari pengalaman berkeliling ini saya mengetahui bahwabepergian dengan menggunakan paspor Indonesia yang

Page 129: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

129

Menjadi Orang “Kelayaban”

“diperpanjang sendiri” adalah mungkin. Karena, petugas-petugasimigrasi di berbagai negeri tidak tahu apakah cap yang ada dalampaspor saya itu palsu atau asli. Tetapi, walaupun begitu, selamaperjalanan ke mana-mana waktu itu, saya selalu dibuntuti olehperasaan tidak aman. Sebab, menggunakan paspor yang tidaksah adalah pelanggaran hukum.

Ketakutan utama saya waktu itu bukanlah kalau ditahan ataudipenjarakan oleh pemerintah negeri-negeri tertentu, tetapi kalaudiusir dan dikembalikan ke Indonesia, karena melanggar hukum,yaitu menggunakan paspor yang sudah tidak berlaku lagi, atauyang memakai cap palsu. Apalagi, dalam tahun 1966 KBRI di Kairotelah mengumumkan maklumat dari Jakarta bahwa pasporsejumlah orang Indonesia telah dinyatakan dicabut atau tidakberlaku lagi, termasuk paspor saya dan Ibrahim Isa, yang selamabertahun-tahun mewakili Indonesia dalam AAPSO (Afro-AsianPeople’s Solidarity Organisation) di Cairo.

Peristiwa percobaan pembuatan stempel palsu di Siria dalamtahun 1966, yang diberitakan dalam berbagai suratkabarIndonesia juga merupakan faktor ketakutan saya ini. Selamakeliling di berbagai negeri Eropa dalam rangka mencari tempat-tempat berpijak dan mengumpulkan informasi mengenai masalahminta suaka politik, mencari pekerjaan, dan mencari kontak-kontak, saya selalu menghindari bertemu dengan orang-orangIndonesia, dan menjauhi KBRI.

Memang, di masa-masa yang lalu (ketika masih bekerja diPWAA dan Ekonomi Nasional) saya sudah sering bepergian keberbagai negeri Eropa, tetapi dalam situasi yang “normal.” Jaditidak ada perasaan ketakutan. Kali ini terpaksa berkelana dalamsituasi yang “tidak sah” bagi negeri-negeri yang saya kunjungi.Bukan hanya pemerintah Indonesia saja yang bisa bertindak,

Page 130: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

130

tetapi juga negeri-negeri yang saya kunjungi.

Dari perjalanan ini telah didapat pengetahuan, walaupunsecara garis besar, mengenai berbagai masalah, umpamanya:peraturan-peraturan mengenai orang asing, kemungkinan mintasuaka dll. Di samping itu, pengalaman bagaimana melewatiimigrasi di berbagai airport, atau masalah-masalah yang agakbersifat “teknis” juga telah didapat. Jadi, kasarnya, perjalananini merupakan latihan yang amat penting bagi langkah-langkahkami semua selanjutnya. Dengan pengetahuan atau pengalamansekadarnya ini saya kemudian kembali lagi ke Peking.

Page 131: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

131

Menjadi Orang “Kelayaban”

Minta suaka politikdi Paris

P ada tahun 1974 saya meninggalkan lagi Tiongkok, tetapikali ini dengan maksud untuk tidak kembali lagi ke negeriini, sambil menunggu datangnya saat bisa kembali ke

tanah air. Karena berbagai pertimbangan, maka Paris telahmenjadi pilihan. Di antara pertimbangan-pertimbangan itu,antara lain: saya merasa bahwa hubungan-hubungan yang telahdigalang di Paris sebelumnya secara relatif sudah memadai, danPerancis terkenal sebagai negeri tempat suaka politik. Di sampingitu, saya merasa lebih menguasai bahasa Perancis dibandingkandengan bahasa Jerman atau Belanda (sudah lupa banyak).

Sebelum memasuki Perancis saya tinggal agak lama di JermanBarat (Hamburg) di rumah seorang kawan Indonesia, yangmemasuki Hamburg juga dengan paspor yang diperpanjangsendiri masa berlakunya. Ketika perjalanan keliling dalam tahun1973 saya telah berhubungan dengan salah satu pengacara kiridi Hamburg, yang kemudian membantu urusan suaka politikteman saya tersebut. Permintaannya untuk mendapatkan suakapolitik ini diterima oleh pemerintah Jerman Barat, dan kemudiania bekerja sebagai pegawai di pelabuhan Hamburg.

Ketika saya tinggal di Hamburg, saya sering berhubungandengan Regis Bergeron dan seorang kawan Indonesia, yangbeberapa bulan sebelumnya sudah lebih dulu datang ke Parisdari Tiongkok. Kepadanya saya minta bantuan untukmenyiapkan langkah-langkah saya untuk bisa minta suaka di

Page 132: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

132

Paris. Waktu itu,atas bantuan RegisBergeron, ia meng-hubungi kantor pe-ngacara yang amatterkenal di Paris,yaitu Henri Leclerc.Saya minta kepadamereka supayamemberitahukan“lampu hijau,” ka-pan saya bisa ter-bang dari Hamburgke Paris. Pada

tanggal 14 September 1974 saya terbang ke Paris. Di lapangan-terbang Roissy, pemeriksaan imigrasi dan Police de l’Air (PolisiUdara) tidak lama. Rupanya kantor pengacara sudahmemberitahukan kepada mereka tentang kedatangan saya untukminta suaka politik. Waktu itu masih agak mudah untuk mintasuaka politik di Perancis. Saya diberi secarik kertas, di situdinyatakan bahwa saya harus sesegera mungkin melaporkan dirikepada polisi setempat.

Saya dijemput di bandar udara Charles de Gaulle (Paris) olehkawan Indonesia saya itu (Bis) yang kemudian membawa sayamenginap di kantor Comite Vietnam. Comite Vietnam inimengkoordinasi perjuangan anti-Amerika dan dipimpin olehseorang pendeta katolik Vietnam. Beberapa hari kemudian sayamenyewa kamar murah di rue Castagnarie, di dekat métroPlaisance (arrondissement 15).

Page 133: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

133

Menjadi Orang “Kelayaban”

Untuk mengurus permintaan suaka politik ini, kantorpengacara Henri Leclerc menunjuk pengacara muda yangnamanya Yann Chouq. Beberapa waktu kemudian saya diperiksaoleh polisi (juga DST, dinas rahasia Perancis). Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan selama pemeriksaan ini adalah yangrutin: sejarah hidup singkat, mengapa datang ke Perancis untukminta suaka politik, rencana selama tinggal di Paris dll.

Tetapi, ada hal yang penting untuk dicatat mengenaipemeriksaan polisi (DST) waktu itu. Polisi-polisi (dua orang) yangmemeriksa telah berpesan supaya kalau saya mau mendapat ijintinggal di Perancis, maka saya harus mau berhubungan terusdengan dia. Ia minta supaya setiap minggu menelpon dia, danuntuk itu ia berikan nomor telpon dan namanya (entah namabenar atau bukan). Saya merasakan permintaannya ini sebagaiancaman dan pemerasan, dan mau menggunakan saya sebagaiinforman mereka. Karena itu, saya laporkan masalah ini kepadapengacara Yann Chouq. Dengan tegas ia mengatakan supayajangan memenuhi permintaan orang-orang itu. Sebab sekalidipenuhi, maka akan bisa panjang buntutnya, katanya.

Ketika menerima panggilan lagi dari mereka, polisi yangpernah memeriksa saya itu menanyakan dengan nada setengahmenggertak mengapa saya tidak menilpun dia, sesuai denganpermintaannya. Saya menjawab, bahwa setelah banyak berpikirtentang permintaannya itu, maka berpendapat bahwa hal itutidak baik untuk saya sendiri dan juga tidak baik bagi dia(jelasnya: jawatannya atau kantornya). Ia bertanya lagi, mengapa?Saya jelaskan bahwa pada suatu waktu di kemudian hari sayaingin menulis memoire tentang kehidupan saya selama di Perancis.”Kalau memenuhi permintaan anda, maka saya tidak tahubagaimana harus menulisnya tentang hal ini,” kata saya.

Page 134: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

134

Mendengar hal ini, ia menjawab “ça va, ça va” (sudahlah, sudahlah)dan gagallah dengan begitu usaha pemerasan mereka.

Apalagi, pada waktu itu saya bisa menunjukkan kepadamereka bahwa saya sudah mendapat kartu penduduk sementaradari polisi (Prefecture de Police), melalui prosedur yang normal.Dari sini kelihatan bahwa usaha pemerasan (atau ancaman)mereka itu adalah tindakan yang berdasarkan inisiatif pribadisaja. Atau, setidak-tidaknya, memang tidak ada koordinasi yangbaik di antara berbagai bagian dari kepolisian (dinas rahasia).Sejak itu, saya tidak ada hubungan lagi dengan mereka.

Page 135: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

135

Menjadi Orang “Kelayaban”

Menciptakan pijakan-pijakan pertama diParis

Sejak hari kedua tiba di Paris, saya sudah bertemu (dikantor Comite Vietnam itu), dengan Odile Chartier danDenis Priyen, yang waktu itu juga membantu kegiatan-

kegiatan Comite ini.

Hubungan hari-hari pertama ini kemudian dilanjutkandengan kegiatan-kegiatan bersama yang bentuknya macam-macam. Persahabatan dengan Odile Chartier ini masihberlangsung sampai sekarang. Menggalang persahabatan adalahpenting untuk bisa mengadakan langkah-langkah, baik untukkepentingan pribadi atau untuk kepentingan orang lainnya.

Apalagi, karena hidup di negeri asing, maka kebutuhan inilebih terasa lagi. Karena itu, sejak permulaan tiba di Perancis,masalah ini menjadi usaha utama. Dengan melalui kenalan-kenalan pertama, saya usahakan untuk menerobos lingkungan-lingkungan lainnya, yang kemudian makin lama dan melebar.

Di Perancis, seperti halnya di berbagai negeri lainnya, adalahtidak mudah untuk bisa diterima begitu saja oleh suatulingkungan. Tetapi, kalau sudah diterima oleh satu lingkungan,dengan sikap yang correct dapatlah kemudian ditembuslingkungan-lingkungan yang lain. Untuk mencapai tujuan ini,sering dituntut kesediaan untuk membantu atau bersikap ringantangan.

Page 136: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

136

Dalam rangkainilah saya pernahikut mengecat danmengerjakan hal-hal yang lain, ketikatoko buku/penerbitl’Harmattan akandibuka, dan jugasesudahnya. Danitu pun tanpabayar.

Toko buku ataupenerbit adalahtempat strategisuntuk: mencarik o n t a k - k o n t a k ,mengenal berbagaiorganisasi, berke-

nalan dengan orang-orang terkemuka di macam-macamlingkungan. Kebetulan sekali, pengurus toko buku/penerbitl’Harmattan ini (yang tadinya terletak di jalan Rue des QuatreVents, dekat Odeon) adalah para bekas pendeta Katolik yang “kiri”atau mempunyai simpati kepada Dunia Ketiga, terutama Afrika.

Untuk memulai kegiatan politik mengenai Indonesia, sayaangkat masalah yang “acceptable”(bisa diterima) bagi golonganyang luas, yaitu masalah Tapol [Tahanan Politik]. Karena, masalahini menyangkut kepedulian (sensibilité) banyak orang, maka ketikaberbagai organisasi Perancis dihubungi, mudahlah kontakselanjutnya dijalin.

Page 137: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

137

Menjadi Orang “Kelayaban”

Dua setengah bulan sesudah saya tiba di Paris, sayamendapat surat keterangan dari pimpinan majalah TémoignageChrétien bahwa saya adalah pembantu “freelance” mereka. Inipenting bagi saya yang sedang minta suaka politik waktu itu.

Tetapi, untuk bisa berkomunikasi dengan baik, perlulahpenguasaan bahasa yang memadai. Karena ada di Perancis, makasaya usahakan dengan berbagai cara, dan dengan ketekunan,untuk belajar bahasa ini. Dengan bahasa yang cukup baik, kitalebih mudah untuk berkomunikasi. Ini penting, untuk dapatmenyampaikan, menyajikan soal-soal supaya bisa diterima ataudimengerti dengan baik. Maka belajarlah saya lebih lanjut bahasaPerancis lewat satu kursus di Sorbonne, selama beberapa bulan.Ini sambil menunggu keluarnya Kartu Réfugié (kartu pemintasuaka politik).

Sebelumnya, saya memang sudah bisa juga bahasa Perancis,sekadar untuk berkomunikasi secara sederhana. Setelahmenunggu kira-kira lima bulan, maka saya terimalah KartuRéfugié dari OFPRA (Kantor Perancis yang mengurusi orang-orangasing yang minta suaka politik). Sesudah keluarnya kartu OFPRAini, maka hati menjadi lega sekali. Sebab, ini berarti bahwa sayatidak bisa diusir lagi dari Perancis, dan juga bahwa saya mendapatperlindungan (keselamatan) dari pemerintah Perancis. Ini berartibahwa pemerintah Indonesia sudah tidak bisa secarasembarangan mengganggu lagi keselamatan saya. Di sampingitu, sejak itu saya dapat minta Titre de Voyage Perancis, yang berlakusebagai paspor untuk mengadakan perjalanan ke berbagai negeri.Maka, sejak itu saya mulai bisa bergerak ke mana saja, tanpa adaketakutan, karena mendapat perlindungan negara Perancis.

Setelah mendapat Kartu Réfugié ini masih tinggal lagi masalahpenting yang harus dipecahkan, yaitu mencari pekerjaan. Sebagai

Page 138: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

138

orang asing, yangbelum menguasaisecara baik bahasaPerancis, sejak se-mula saya tidakpunya ilusi untukdapat mencaripekerjaan yangm u l u k - m u l u k .Jelaslah bahwawalaupun profesisaya selama iniadalah dalam jur-nalistik, tetapi un-tuk bekerja dibidang pers Peran-cis adalah sulitsekali, walaupunhanya sebagai ko-rektor, atau sebagai

tukang ketik. Apalagi bekerja sebagai pegawai negeri di kantorpemerintahan.

Lama sekali saya mencari, dari iklan-iklan di suratkabar ataumajalah-majalah, pekerjaan sebagai jaga malam, upas kantor,atau pekerjaan-pekerjaan lainnya yang tidak memerlukanpenguasaan bahasa Perancis secara baik.

Juga mendaftarkan diri ke suatu “kantor penempatan tenaga”bagi orang-orang asing yang terletak di depan stasiun Gare deLyon. Saya juga mendatangi banyak hotel di Paris untukmenawarkan diri sebagai “veilleur de nuit” (jaga malam di resepsi)

Page 139: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

139

Menjadi Orang “Kelayaban”

dengan senjata bahwa bisa bahasa Inggris secara baik, sedikitbahasa Jerman dan bahasa Belanda. Pikiran saya waktu itu ialahbahwa dengan menjadi jaga malam ini, maka saya akanmempunyai banyak waktu untuk belajar bahasa dan banyakmembaca.

Pada suatu hari, selama satu malam saya pernah ditest untukbekerja di hotel Sevres-Babylon, sebagai veilleur de nuit merangkapstandardiste (tukang telepon). Test ini berjalan tidak lancar, sebabsering melakukan kesalahan ketika harus menyambung telepon,yang waktu itu masih harus dicolok-colokkan. Karena test inidianggap gagal, maka saya hanya bekerja satu malam saja, dankeesokan harinya dibayar untuk pekerjaan saya yang satu malamitu.

Saya coba lagi di hotel lainnya di dekat Tour Eiffel (sudahlupa namanya). Ini juga hanya dua malam. Mungkin bahasaPerancis saya dianggap kurang baik, ketika menghadapi tamu-tamu. Makin lama saya makin panik, sebab persediaan uang terusberkurang, untuk makan, transport, dan sewa kamar yang sangatkecil yang terletak di rue Castagnary. Karena itu, berusaha terusdengan keras mencari juga “pekerjaan sementara,” dengan tiaphari melihat iklan-iklan di banyak gedung, termasuk di AllianceFrançaise, tetapi tanpa hasil.

Pada suatu hari saya menerima telegram dari KantorPenempatan Tenaga di depan Gare de Lyon, supaya segeramenghadap petugas kantor itu. (Waktu itu, tidak punya telepondi kamar). Segera saja keesokan harinya saya buru-buru menemuipetugas itu (wanita setengah tua yang amat simpatik). Iamengatakan bahwa ada permintaan tenaga, sebagai huissier (upaskantor) di salah satu badan di Kementerian Pertanian Perancis.

Page 140: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

140

Bukan main senang hati saya waktu itu. Apalagi setelah tahukeesokan harinya, bahwa saya dapat diterima untuk bekerja dikantor Kementerian Pertanian itu. Beberapa bulan kemudian sayaperlukan untuk menemuinya lagi (namanya Mme David), untukmenyatakan terima kasih bahwa berkat pertolongannya sayamendapat pekerjaan. Seandainya sekarang ini, sesudah dua puluhtujuh tahun kemudian, saya bisa bertemu dengan dia lagi, akansaya katakan kepadanya, bahwa pertolongan dia itu merupakankejadian yang amat penting bagi “Perjalanan Hidup Saya.”

Page 141: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

141

Menjadi Orang “Kelayaban”

Bekerja di Kementerian Pertanianselama tujuh tahun

Peristiwa diterimanya lamaran untuk bekerja di SMAR(Société Mutualiste du Ministère d’Agriculture) adalahbagian yang amat besar artinya bagi jalan hidup saya.

Sebab, lewat masa inilah saya mulai bisa meletakkan dasar-dasaruntuk kehidupan dan kegiatan-kegiatan selanjutnya di berbagaibidang di Perancis. Dan selama masa tujuh tahun bekerja dikantor itu pulalah terjadi berbagai peristiwa yang menjadipengalaman penting bagi saya.

Cerita tentang hari pertama kali saya menghadap pimpinanSMAR saja mengandung hal-hal yang tetap menjadi kenang-kenangan sampai sekarang. Pada hari itu, pagi-pagi sekali sayamengatakan kepada huissier SMAR (orang Perancis yang sudahtua sekali) bahwa saya perlu menghadap pimpinan kantor.

Seorang wanita muda (Jocelyne Pagliarini), sekretaris dariSekjen SMAR, menerima saya. Saya jelaskan bahwa sudahmenerima telegram dari Kantor Penempatan Tenaga yangmenyatakan bahwa saya harus menghadap kantornya mengenailowongan yang perlu diisi.

Jocelyne Pagliarini, waktu itu kelihatan keheran-heranan adaorang yang berwajah Asia yang melamar. Kemudian ia membawasaya untuk menghadap kepalanya, yaitu André Dussolier yangmenjabat sebagai Sekjen. Di luar segala dugaan sebelumnya,Sekjen ini sangat ramah tamah.

Page 142: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

142

Bahkan da-lam wawancaraini ia menyebutsaya sebagai“frère” (saudara).Dalam wawan-cara dengannya,saya jelaskan ri-wayat hidup danmengapa datangke Perancis un-tuk minta suakapolitik. Karenapenjelasan-penje-lasan itu, makad i t e r i m a l a hlamaran saya se-bagai huissier (upaskantor) denganpercobaan sela-ma tiga bulan.

Pekerjaan di kantor ini selama tujuh tahun juga mengalamiperobahan-perobahan. Mula-mula, tugas sehari-hari adalahpergi ke bank, mengamplopi surat-surat, dan pergi ke kantor pos.Kemudian, karena tulisan saya dianggap baik, diberi pekerjaantulis menulis. Selanjutnya, ditugaskan untuk mengantar danmengambil dokumen-dokumen dari berbagai departemen ataubagian dari Kementerian Pertanian.

Saya berusaha bersikap baik terhadap semua pegawai. Disamping itu, berusaha terus memperbaiki bahasa Perancis saya.

Page 143: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

143

Menjadi Orang “Kelayaban”

Sebab, saya pernahmengalami peristiwayang cukup menyakit-kan hati. Ketika adaseorang pegawai yangminta trombone (jepitankertas) dan saya tidakmengerti apa artitrombone, maka pega-wai ini mengatakankepada teman-teman-nya bahwa saya“orang bodoh.”

Sekjen SMAR,seorang Katolik yangjuga menjadi Direkturmajalah organisasikeagamaan yangbernama Pax Christi,bersikap baik sekaliselama saya bekerja dikantor ini. Demikian juga sekretaris wanitanya, Jocelyne. Sayadiperlakukan secara baik sekali, walaupun pekerjaan saya hanyasebagai huissier. Karena dalam tahun-tahun berikutnya ia tahubahwa saya melakukan berbagai kegiatan mengenai Tapol diIndonesia, ia menghubungkan saya dengan salah seorang pendetayang aktif di Pax Christi.

Masa-masa permulaan pekerjaan di SMAR merupakanperiode adaptasi yang penting bagi saya dalam masyarakatPerancis. Di seluruh kantor yang pegawainya berjumlah sekitar

Page 144: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

144

tujuh puluh orang itu, hanya sayalah satu-satunya orang Asia.Dan ketika makan di ruangan kantin Kementerian yang besar itu,masih ada saja yang melihat saya dengan mata yang sepertikeheran-heranan.

Perlakuan baik dari Sekjen itu nyata sekali ketika istri sayabisa datang untuk pertama kalinya ke Perancis. Dengan mudahdan simpati Sekjen kantor itu memberikan perlop kepada sayauntuk menjemput istri di Belanda. Bahkan ia mengusahakanadanya bantuan (sebesar 2000 F, yang waktu itu adalah jumlahyang lumayan) untuk kedatangannya. Karena, selama bekerjabeberapa tahun di kantor ini, ia mengetahui bahwa saya sudahlama berpisah dengan keluarga.

Kemudian, setelah istri sudah bisa datang ke Paris, dan seringsaya bawa ke kantor (suatu hal yang “luar biasa” juga) danmenemani saya bekerja, ia tidak keberatan juga. Bahkan, sebagaihal yang lebih mengherankan lagi bagi banyak pegawai kantoritu, pernah beberapa kali saya dan istri diajak makan siang satumeja dengan pimpinan tertinggi kantor itu, yaitu Presiden SMAR.Ini juga merupakan satu sikap yang mempunyai arti besar bagikami.

Ketika mulai bekerja di SMAR, saya tinggal beberapa tahundi satu kamar kecil (tanpa kamar mandi, dan WC-nya juga“umum,” artinya dipakai bersama-sama dengan penghunigedung lainnya) di rue de Lappe, depan Balajo (Bastille). Kemudian,dengan perantaraan SMAR, saya mendapat rumah HLM (rumahsosial dengan sewa murah) di Soisy sous Montmorency, yangterdiri dari dua kamar. Pada tahun 1980, juga dengan perantaraanSMAR, didapatkanlah rumah dengan empat kamar yang terletakdi Noisy Le Grand.

Page 145: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

145

Menjadi Orang “Kelayaban”

Karena makin lama kegiatan-kegiatan politik dan sosial sayajuga makin banyak, maka pekerjaan di SMAR itu juga sangatmembantu. Saya sering menggunakan telepon kantor untuk hal-hal di luar urusan kantor. Kemudahan untuk minta cuti jugamerupakan hal yang membantu berbagai kegiatan waktu itu.

Ketika Sekjen André Dussolier sudah pensiun, saya masihbeberapa kali bertemu. Ia menyatakan kegembiraannyamengetahui kemajuan-kemajuan yang telah saya capai dalamberbagai hal. Ia pernah juga menghadiri hari ulang tahunRestoran Indonesia. Ketika saya sudah menerbitkan majalahekonomi bulanan dalam bahasa Perancis Chine Express, kepadanyakadang-kadang juga saya kirimkan berbagai nomor. Ketika dalamtahun 1995 ia merayakan ulang tahun perkawinannya yang ke-50, saya kirim ucapan selamat. Ini sebagai tanda terima kasihatas bantuannya yang diberikannya dalam tahun 1975 dan jugaatas sikapnya yang bersahabat selama saya bekerja di badanKementerian Pertanian Perancis itu.

Page 146: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

146

Kegiatan-kegiatan di luar pekerjaan diKementerian Pertanian Perancis

Sejak semula saya berpendapat bahwa pekerjaan diKementerian Pertanian Perancis itu adalah hanya bersifatsementara, sambil menunggu terjadinya perobahan

situasi di Indonesia. Tetapi, ini tidak berarti bahwa saya harushanya “cari hidup” saja. Karena pada waktu itu, banyak teman-teman Indonesia yang mengharapkan supaya saya juga bisamelakukan berbagai kegiatan, demi kepentingan bersama.

Berdasarkan pengalaman orang-orang lain, saya berpendapatbahwa adalah penting untuk berusaha melakukan berbagaikegiatan. Sebab, dalam praktek, ini bukan hanya perlu untukkepentingan diri sendiri saja, tetapi juga untuk kepentingan oranglain.

Sejak masalah hidup sehari-hari sudah terpecahkan denganpekerjaan di Kementerian Pertanian Perancis, maka sayaberusaha untuk melakukan banyak kegiatan. Sebab, hanyamelalui kegiatanlah bisa digalang hubungan-hubungan.Hubungan-hubungan ini kemudian bisa berkembang menjadipersahabatan, asal bisa memupuknya secara tepat dan tekun.

Dari berbagai praktek banyak orang, saya melihat adanyapelajaran yang berikut: mula-mula kita mencari orang atauhubungan lewat kegiatan bersama. Kemudian, setelah kitabanyak melakukan kegiatan dan diketahui orang, orang mencarikita.

Page 147: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

147

Menjadi Orang “Kelayaban”

Memang, untuk mencapai tingkat ini, diperlukan sekalipengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan bahkan juga uang. Padamasa-masa itu, ada orang yang mengatakan kepada saya bahwamemberikan pertolongan kepada orang adalah, secara langsungatau tidak langsung, pada akhirnya juga berarti menolong dirisendiri.

Dalam tahun-tahun permulaan bekerja di KementerianPertanian Perancis, saya mulai berusaha menulis artikel-artikeltentang situasi Indonesia dan menampilkan masalah Tapol bagimajalah-majalah Perancis yang progresif atau yang bersimpatiterhadap Dunia Ketiga, antara lain dalam Croissance des JeunesNations, mingguan Temoignage Chrétien. (Sudah tentu, sayamemerlukan bantuan teman-teman Perancis untuk mengkoreksibahasanya). Kemudian, artikel saya mengenai masalah“demokrasi di Indonesia” dimuat dalam bulanan Le MondeDiplomatique.

Dalam akhir tahun 1975 terjadi penyerbuan tentara Indonesiake Timor Timur dan terjadi pembunuhan di mana-mana. KetikaJose Ramos Horta berkunjung ke Belanda dalam tahun 1976, makasaya perlukan pergi dari Paris untuk menemuinya, danmerundingkan dengan dia kemungkinan baginya datang kePerancis untuk berbicara di depan banyak orang mengenaikejadian-kejadian waktu itu. Setelah ia menyatakan setuju, makakemudian saya hubungi Robert Ageneau (waktu itu pimpinanpenerbit L’Harmattan, bersama Odile Chartier dan Denis Priyen).

Maka diadakanlah, untuk pertama kalinya di Paris, rapatmengenai Timor Timur yang dihadiri oleh kira-kira dua ratusorang. Rapat yang diadakan di gedung Albert Lapparent itu di-pimpin oleh Jean Chesnaux (profesor terkenal), Regis Bergeron(peserta KIAPMA di Jakarta), Robert Ageneau, dan pendeta Katolik

Page 148: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

148

Jean Cardonnel.Maka sejak itu,berdirilah KomiteTimor, yangsampai tahun 2002ini masih hidupdan melakukanterus kegiatannyaselama lebih daridua puluh limatahun.

Dalam tahun1976 diseleng-garakan RencontreNationale CCFD(Comite CatholiqueContre Faim etpour le Déve-loppement) di Nice.Oleh karena sayasudah mulai meng-adakan kegiatan-

kegiatan mengenai Indonesia, maka saya diundang untuk ikutserta dalam pertemuan besar ini. Waktu itu, petugas CCFD yangmengurusi Asia adalah seorang Spanyol, Jose Osaba.

Dengan petugas inilah kemudian, dalam tahun-tahunberikutnya, digalang kerjasama untuk berbagai hal mengenaiIndonesia. Kemudian, pekerjaan CCFD untuk Asia ini diteruskanoleh Sergio Regazzoni, seorang warganegara Swiss keturunanItalia, yang telah berbuat banyak untuk Indonesia. Hubungan

Page 149: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

149

Menjadi Orang “Kelayaban”

dengan CCFD ini saya teruskan sampai sekarang dandikembangkan juga oleh teman-teman Indonesia lainnya.

Di Perancis ada organisasi Protestan, namanya CIMADE.Organisasi ini terkenal sebagai badan yang sering menolongorang-orang yang mengalami kesulitan - terutama yang datangdari negeri-negeri Dunia Ketiga - dan membantu mereka yangdipersekusi oleh penguasa berbagai negeri. Saya menggalanghubungan dengan salah seorang petugasnya, yaitu MarcelHenriet (seorang pastur). Ia mengikuti kejadian-kejadian diIndonesia, terutama masalah pembunuhan besar-besaran dalam1965 dan masalah para tapol, yang dalam tahun-tahun 1966-1967-1968 pernah mencapai ratusan ribu (Golongan A, B dan C).Kemudian pastur ini menjadi pengurus Komite Tapol di Paris,yang saya dirikan bersama-sama dengan teman-teman Perancislainnya.

Ketika dalam tahun 1976 saya menghubungi bekas PresidenCCFD, Philippe Farine, untuk mendirikan Komite Tapol diPerancis, ia segera saja menerima tawaran untuk menjadiPresidennya. Wakil Presiden badan ini adalah André Jeanson,tokoh terkemuka dalam gerakan buruh di Perancis, sedangkansekretarisnya adalah Marcel Henriet. Komite ini menerbitkanmajalah bulanan dalam bahasa Perancis yang bernamaINDONESIE, dan mengadakan berbagai kampanye untukpembebasan Tapol di pulau Buru.

Dengan Partai Sosialis Perancis, hubungan telah saya adakanuntuk berbagai keperluan, sebelum dan selama memegangpemerintahan, setelah terpilihnya François Mitterrand sebagaiPresiden. Karena hubungan inilah maka telah bisa dikumpulkantanda tangan dari tokoh-tokoh penting Partai Sosialis, untukmendesak direhabilitasikannya semua hak Pramoedya Ananta

Page 150: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

150

Toer dan para eks-tapollainnya. Tokoh-tokoh inikemudian ada yangmenjadi perdanamenteri atau menteri-menteri, setelah partaiini berkuasa.

Berkat hubungansemacam ini pulalahmaka dapat diusahakanberkunjungnya tokoh-tokoh PKI (yangbermukim di RRT) keParis, dengan namasamaran. Juga denganPartai Sosialis ini telahbisa diadakan semacam“memorandum” (lewatPhilippe Farine) tentangkemungkinannya kira-kira dua puluh kawan-kawan Indonesia untuk

minta suaka politik di Perancis (terutama dari RRT dan Albania).

Dalam tahun-tahun pertama setelah datang ke Perancis, sayajuga telah mengadakan hubungan dengan PCF-ML (PartaiKomunis Perancis-ML) yang dipimpin oleh Jacques Jurquet.Waktu itu Regis Bergeron mempunyai kaitan yang erat denganpartai ini. Hubungan saya dengan PCF-ML ini kemudianmemungkinkan adanya kerjasama untuk masuknya ke Perancisseorang kawan Indonesia dari RRT, untuk minta suaka politik.

Page 151: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

151

Menjadi Orang “Kelayaban”

Solidaritas kawan-kawan Perancis dari Partai ini tercermin ketikakawan Indonesia ini terpaksa “diselundupkan” lewat perbatasanJerman-Perancis dengan jalan yang berliku-liku, ketika saljusedang turun dengan amat lebatnya.

Selain dengan PCF-ML (yang boleh dikatakan anti-Moskowdan pro-Peking), saya kemudian juga mengadakan hubungandengan PCF (Partai Komunis Perancis) yang sejak sebelum PerangDunia ke-II sudah memainkan peran penting dalam kehidupanpolitik negeri ini. Pada permulaannya, hubungan saya denganPCF dilakukan lewat kegiatan-kegiatan di Fête de l’Humanité, suatupesta besar yang diadakan setiap tahun oleh suratkabar partaiini.

Kemudian terjalinlah hubungan dengan Max Zins dan AndréLeplat, petugas-petugas partai yang mengurusi soal-soal Asia.Tokoh-tokoh PKI yang bermukim di RRT, yang dapat datang keParis dalam tahun 1981 telah berhubungan dengan mereka.Dengan kedatangan kawan-kawan Indonesia lainnya yangbermukim di Perancis, maka hubungan ini kemudian dapatdikembangkan lewat berbagai cara dan bentuk.

Hubungan-hubungan penting lainnya juga telah terjalin lewatkegiatan-kegiatan bersama dengan Lucien Jailloux, seoranginsinyur Perancis yang pernah bekerja di bendungan listrikJatiluhur sebelum peristiwa 1965. Berkat kerjasamanya itulahmaka selama beberapa tahun sejak 1978, telah bisa diadakan diParis, “Soirée indonésienne,” dengan mengadakan pemutaran film,menjual saté dan gulai kambing, menyajikan musik dannyanyian. Sumbangan Lucien Jailloux ini tidak sedikit waktu itu.Termasuk juga dalam melakukan hal-hal lain, antara lain untukmemasukkan lewat perbatasan Jerman empat teman-temanIndonesia lainnya yang perlu minta suaka politik di Perancis.

Page 152: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

152

Kegiatan-kegiatanyang bersifat sosialdan politik yangberbagai macam itutelah memudahkanterjalinnya hubungandengan France Terred’Asile, suatu badan(NGO) yang mem-bantu orang-orangyang ingin mintasuaka politik diPerancis, dan yangjuga telah berbuatbanyak untuk teman-teman Indonesia(terutama lewat petu-gasnya, MadameBoineau). Demikianjuga halnya denganACAT (satu badanKristen humaniter)lewat petugasnyaMarie-Jo Cocher.

Kemudian, hubungan yang telah dijalin lewat Partai Sosialis telahmemungkinkan kontak dengan Madame Danielle Mitterrand.

Page 153: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

153

Menjadi Orang “Kelayaban”

Kegiatan-kegiatan mengenai Tapol danEx-tapol

Ketika mulai tinggal di Paris sejak bulan September 1974,saya sudah menjadikan masalah Tapol dan peristiwa pembunuhan besar-besaran di Indonesia sebagai

kegiatan utama. Sebab, masalah ini waktu itu merupakan isuyang bisa menarik perhatian banyak orang di Perancis. Waktuitu di pulau Buru sudah ditahan kira-kira sepuluh ribu orang,dan ratusan ribu tapol lainnya masih dipenjarakan dalampenjara-penjara yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dengan mengangkat masalah Tapol dan pembunuhan besar-besaran ini, maka secara langsung dan tidak langsung masalahpolitik pemerintahan Orde Baru bisa dipersoalkan di depan opinipublik di Perancis. Dengan cara mengemukakan masalah yangkelihatannya hanya bersifat humaniter saja, sebenarnya danpada akhirnya masalah politik juga terangkat.

Ketika permintaan suaka belum diterima (belum mendapatkartu dari OFPRA), maka saya terpaksa hati-hati sekali dalammelakukan kegiatan ini. Karena, ketika menandatangani suratpermintaan suaka, ada bagian di mana saya harus menyatakanbahwa saya tidak melakukan kegiatan politik.

Tetapi, saya lakukan juga kegiatan-kegiatan ini, justru untukmenggalang relasi-relasi, yang dibutuhkan untuk mencaritumpuan berpijak yang lebih kuat.

Page 154: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

154

Ketika sudahmenerima karturéfugié dari OFPRApun, banyak ke-giatan-kegiatanyang saya lakukandengan cara-carayang tidak terbu-ka. Oleh karenaitu, di kalanganCCFD, Cimade,Amnesty Inter-national, Liguedes Droits del’Homme atauorganisasi-orga-nisasi lainnya,saya dikenal olehbanyak temandengan namaAlberto atau Nico.Untuk artikel yang

disiarkan dalam Témoignage Chrétien saya gunakan nama PierreAubonne.

Baru beberapa tahun kemudianlah saya menggunakan namaUmar Said dalam artikel yang dimuat oleh Le Monde Diplomatiquedan majalah-majalah lainnya.

Kegiatan mengenai Tapol dan masalah-masalah situasi diIndonesia inilah yang telah membuka jalan bagi saya untukmempunyai hubungan yang relatif cukup luas di Perancis.

Page 155: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

155

Menjadi Orang “Kelayaban”

Menurut pengamatan saya, mempersoalkan Tapol, Ex-tapolIndonesia dapat menimbulkan simpati banyak orang. Karena,orang melihat bahwa kita bekerja untuk kepentingan humaniter,untuk banyak orang yang sedang dianiaya dengan cara-cara yangkejam, dan untuk keluarga para Tapol dan Ex-tapol yangjumlahnya jutaan.

Oleh karena itu, ketika dalam tahun 1977 saya minta kepadabekas Presiden CCFD (Philippe Farine) dan pimpinan Cimade(Marcel Henriet) untuk menjadi pengurus Komite Tapol Perancis,segera saja mereka menyatakan kesediaan mereka.

Sejak itu, dengan berkantor di Rue Babylone nomor 68, sayabersama Hasibah (wanita keturunan Aljazair), mengadakanmacam-macam kegiatan. Ini saya lakukan sambil bekerja terusdi Kementerian Pertanian, dan dengan menggunakan namasamaran Alberto untuk hubungan-hubungan.

Dengan sengaja, nama saya tidak dicantumkan dalamsusunan pengurus Komite Tapol ini, walaupun sebagian terbesarpekerjaan telah saya pikul.

Di antara kegiatan-kegiatan yang agak menonjol dari KomiteTapol ini ialah petisi kepada pemerintah Indonesia untukmenuntut dipulihkannya secara penuh hak-hak dan kebebasanmenulis bagi Pramoedya Ananta Toer dan rehabilitasi hak sipilbagi para Ex-Tapol.

Petisi ini ditandatangani dalam tahun 1981 oleh tokoh-tokohPartai Sosialis yang kemudian menduduki jabatan-jabatanpenting dalam pemerintahan.

Tokoh-tokoh tersebut antara lain: Pierre Mauroy (PerdanaMenteri), Alain Savary (Menteri Pendidikan), Piere Beregovoy(Sekjen Kepresidenan dan kemudian Perdana Menteri juga),

Page 156: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

156

Laurent Fabius(kemudian men-jabat PerdanaMenteri), LouisMermaz (KetuaParlemen), PierreJoxe (Menteri DalamNegeri), Jean LeGarrec, GastonDeferre, LionelJospin, Paul Quiles,Jean PierreChevenement, LouisLe Pensec, Jean PierreCot, Marcel Debarge,Jean Poperen, danlain-lain.

Kegiatan me-ngenai soal Tapol,Ex-Tapol dan masa-lah demokrasi diIndonesia ini di-lancarkan denganbermacam-macam

cara, mengeluarkan press-release, menerbitkan bulletin, membikindossier, men-supply bahan-bahan, menghadiri rapat-rapatorganisasi lainnya, ikut dalam Fête de l’Humanité. Pekerjaan-pekerjaan ini telah dilakukan bertahun-tahun sejak 1975, padaumumnya sore atau malam hari sesudah keluar kantor SMARdan pada hari-hari week-end. Penulisan artikel atau berbagai dossier

Page 157: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

157

Menjadi Orang “Kelayaban”

telah saya laku-kan sejak tinggaldi kamar yangkecil dan sempitsekali (2,5 x 3 m) didaerah Bastille(Rue de Lappe).

Sudah tentu,berbagai kegiatanitu memakanwaktu dan tena-ga yang cukupbanyak. Tetapisaya senang me-n g e r j a k a n n y a ,karena denganbegini bisa men-jalin hubungandengan banyakorganisasi dantokoh-tokoh ber-bagai kalangan.Hubungan-hubungan ini terbukti banyak gunanya di kemudianhari untuk menangani macam-macam urusan.

Kemudian, dengan kedatangan teman-teman Indonesialainnya, maka beranekaragam kegiatan-kegiatan ini bisadikerjakan bersama-sama.

Pengalaman waktu itu menunjukkan bahwa apa yang terjadidi Indonesia di bawah Orde Baru menarik perhatian banyakorang. Banyak kasus yang mencerminkan adanya penindasan

Page 158: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

158

berskala besardan luar biasa.Bagi banyakorang Perancis,atau orang Baratpada umumnya,beranekaragamtindakan peme-rintah Indonesiawaktu itu diang-gap sebagai halyang tidak bisaditerima olehhati nurani danakal sehat, dankarenanya perludikutuk.

Surat-surat semacam ini kami terima dari berbagai pihak.Jerih payah mengadakan hubungan-hubungan ini akhirnyaberbuah juga. Di samping ada orang-orang yang memang sensitifterhadap masalah-masalah perikemanusiaan ada juga organisasi-organisasi yang memang memikul misi untuk melawankejahatan-kejahatan semacam masalah Tapol dan Ex-Tapol diIndonesia. Umpamanya: ACAT (Action Chrétien pour l’Abolitionde la Torture), Commission Justice et Paix dari Dewan UskupPerancis, Amnesty International, Cimade dll.

Mereka ini, pada umumnya, senang untuk dihubungi dandiajak bekerja sama untuk melancarkan berbagai kegiatan. Danbanyak di antara mereka yang merasa bangga bisa berbuatsesuatu untuk orang-orang yang menjadi korban dari tindakan

Page 159: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

159

Menjadi Orang “Kelayaban”

sewenang- wenang.

Tetapi, kegiatan semacam ini, untuk bisa berhasil jugamemerlukan syarat-syarat, umpamanya: ketekunan, sikap yangkorek, ketulusan hati dalam melaksanakan kegiatan, bisamenunjukkan integritas dan reputasi. Orang yang mempunyaireputasi yang baik akan lebih mudah untuk mendapatkansimpati dan kerjasama dari banyak pihak.

Melakukan berbagai kegiatan mengenai soal-soal humaniter(seperti Tapol dan Ex-Tapol) dapat menjangkau lingkungan-lingkungan yang luas, tanpa mempersoalkan secara tegas masalahideologi. Sebab, di antara orang-orang atau organisasi-organisasiyang diajak kerjasama ini banyak juga yang anti-komunis. Daripengalaman bisa dilihat bahwa banyak juga orang-orangPerancis (atau dari bangsa lain) yang tidak suka kepada ideologikomunis, tetapi mau membela orang-orang PKI atau yangdituduh PKI, hanya karena pertimbangan-pertimbanganperikemanusiaan, rasa keadilan dan akal sehat.

Dengan dibebaskannya para Tapol dari pulau Buru danpuluhan ribu lainnya dari berbagai penjara, Komite Tapol makinberkurang kegiatannya, dan kemudian pengurus-pengurusnya(yang resmi terbuka) mengusulkan untuk dibubarkan saja, danakhirnya dihentikan dalam tahun 1982. Pada waktu itu, sayasudah mengundurkan diri dari pekerjaan di KementerianPertanian Perancis, dan mulai menangani persiapan-persiapanuntuk berdirinya SCOP Fraternité dan Restoran Indonesia.Pekerjaan ini telah memakan waktu dan tenaga, dan makin lamamakin padat dalam beberapa tahun berikutnya.

Page 160: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

160

Fête de l’Humanité

Sejak berpuluh-puluh tahun, di Paris diselenggarakan Fêtede l’Humanité, yang merupakan semacam pesta rakyatuntuk mengumpulkan dana bagi suratkabar PCF (Partai

Komunis Perancis). Pesta ini, biasanya diadakan selama dua hari(Sabtu dan Minggu) dalam bulan September. Di Perancis pestatahunan ini cukup dikenal sebagai pesta terbesar yang bisadiadakan secara regular. Selama ini, sekitar 300 000 sampai 500000 orang ikut serta dalam pesta selama dua hari ini.

Menurut tradisi, dalam pesta ini ada bagian yang dinamakan“Cité Internationale.” Di sinilah terdapat bermacam-macam standyang diselenggarakan oleh macam-macam organisasi, gerakanatau partai dari berbagai negeri. Stand-stand ini berfungsi sebagaitempat untuk menyebarkan informasi tentang persoalan-persoalan yang menyangkut negeri masing-masing, danmemupuk rasa setiakawan dalam melawan hal-hal yangmerugikan kepentingan rakyat banyak, menggugat penindasanoleh penguasa yang sewenang-wenang dan lain-lain.

Dengan perlunya melakukan kampanye informasi mengenaisituasi di Indonesia waktu itu, dan juga tentang Tapol danpersoalan-persoalan Timor Timur, maka sejak tahun 1977, ber-sama-sama teman-teman Perancis dan Indonesia, kami telah ikutserta dalam kegiatan Fête ini. Yang pertama kali ialah dalam tahun1977, dengan menyelenggarakan stand Timor Timur, bersama-sama dengan bekas pendeta Jean Guilvout, Robert Ageneau dan

Page 161: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

161

Menjadi Orang “Kelayaban”

istrinya, dengan dibantu oleh teman-teman dari toko/penerbitl’Harmattan (Maité, Marie-Thérèse, Marie-Cecile dan lain-lain).Penyelenggaraan stand selama dua hari dan mengikuti kegiatan-kegiatan di Cité Internationale dalam Fête ini merupakan waktuyang mengasyikkan. Sebab, dengan stand ini kita dapatmenyajikan kepada pengunjung-pengunjung pesta berbagaiinformasi mengenai keadaan di Indonesia dan Timor Timur. Kitajuga bisa mengetahui bagaimana orang-orang lain di berbagainegeri sedang memperjuangkan sesuatu. Jadi ada suasanasetiakawan.

Menurut pengalaman, penyelenggaraan stand ini jugamemungkinkan adanya berbagai kontak baru, yang kemudianbisa meningkat menjadi persahabatan untuk melakukanberanekaragam kegiatan bersama.

Untuk stand Indonesia dalam tahun-tahun 1977, 1978, 1979,1980, 1981 banyak orang Perancis, Belanda, Jerman, bahkan jugaAustralia, yang ikut serta memeriahkannya. Untuk tahun 1982diperlukan lebih dari 400 kg daging untuk membikin saté yangdijual dalam stand selama dua hari. Pernah lebih dari dua puluhorang teman dari Belanda ikut serta dalam stand ini, demikianjuga lebih dari tiga puluh orang dari Jerman. Mereka semua tidurdalam tenda-tenda besar dan kecil, dengan menggunakan karungtidur (slaapzak) dan selimut tebal.

Teman-teman Indonesia di Paris telah banyak mencurahkantenaga untuk terselenggaranya stand Indonesia dalam pesta besarini. Selama beberapa tahun, banyak teman-teman Perancis yangikut serta, dan banyak yang ikut tidur dalam tenda atau dalamstand. Yang menggembirakan kita semua waktu itu ialah suasanagotong royong yang tulus. Melihat bahwa banyak teman-temannon-Indonesia ikut serta dalam persoalan-persoalan mengenai

Page 162: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

162

Indonesia adalahsesuatu yangmenghangatkanhati kita semua.

Untuk tahun-tahun 1980, 1981,1982 dan 1983,makin banyak te-naga yang dibu-tuhkan untukberamai -ramaim e n a n g a n imacam-macampekerjaan yangtegang selamabeberapa hari ini.Untuk mendapat

sekedar gambaran tentang besarnya volume kegiatan-kegiatanini dapat dilihat dari angka-angka seperti berikut untuk tahun1983: diperlukan untuk selama dua hari 4 000 kertas serbet-tangan, 3500 piring plastik, 3 500 garpu plastik, 4 000 gelas plastik,1 000 pisau makan plastik, 1 000 sendok plastik. Untuk Fête tahun1983 itu kami pesan 400 kg daging kambing untuk dibikin 14 000tusuk saté, yang harus dijual selama dua hari! Di samping itu,kami bikin juga beberapa tong gulai kambing. Menanak nasi sajaharus berpuluh-puluh kali, dalam tong yang besar-besar. Dapatdibayangkan bahwa kegiatan selama Fête yang dua hari ituadalah gila-gilaan sibuknya.

Sudah tentu, untuk mengkoordinasi kegiatan semacam itutidaklah mudah. Bisa dimengerti bahwa pernah terjadi ke-

Page 163: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

163

Menjadi Orang “Kelayaban”

tegangan, perge-sekan antara satudan lainnya. Mak-lumlah macam-macam watakorang, dan kadang-kadang problimjuga kompleks.Namun, betapapunjuga, selama jangkayang cukup lama,pesta besar inipernah menjadikancah solidaritasyang mengasyik-kan bagi kitasemua.

Selama ber-t a h u n - t a h u n ,biasanya persiapan telah dilakukan beberapa bulan sebelumnya:menghubungi orang-orang yang diajak serta, membikin pamflet,menyiapkan poster dan foto untuk eksposisi, menulis dossier danlain-lain. Sebagian dari pekerjaan-pekerjaan ini pernah dikerjakanoleh sejumlah teman-teman Indonesia di Paris, di kamar sayayang kecil di Rue de Lappe (Bastille), dan kemudian di apartemendi Soisy/Montmorency. Ikut-sertanya stand Indonesia dalamkegiatan Fête de l’Humanité juga merupakan kesempatan bagikita semua untuk menunjukkan kepada umum di Perancis, bahwakita berbuat sesuatu untuk orang-orang di Indonesia yang sedangdalam penderitaan dan kesengsaraan waktu itu, sebagai akibat

Page 164: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

164

politik Orde Baru.Kenalan-kenalankita yang dekat(orang Perancis)m e n y a t a k a np e n g h a r g a a nmereka terhadapkegiatan-kegiatansemacam ini.

Kita semua se-nang melihat bah-wa stand exposisikita banyak dikun-jungi orang, dantanda tangan untukpetisi tentang Tapol,Ex-Tapol dan HakAzasi Manusia diIndonesia meme-nuhi kertas yang

bertumpuk-tumpuk. Kita juga gembira bahwa restoran kitasangat laku. Sebab, keuntungan dari pemasukan restoran pentingsekali untuk bisa membayar sewa tanah, sewa bangunan stand,sewa kursi dan meja. Inilah bantuan kita juga kepada suratkabarl’Humanité. Memang, kegiatan di Fête de l’Humanité tidak bisamemberikan keuntungan keuangan bagi pribadi masing-masing,bahkan sebaliknya. Bisa dikatakan rugi waktu dan rugi tenagaselama berhari-hari, dan biasanya letih luar biasa. Tetapi, soalini memang terserah kepada pandangan masing-masing. Sebab,orang-orang Perancis atau orang negeri lainnya yang ikut

Page 165: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

165

Menjadi Orang “Kelayaban”

menangani stand Indonesia juga demikian.

Bahkan mereka datang dari jauh, dan ada yang menyediakanwaktu empat-lima hari, bahkan lebih, untuk kegiatan ini. Dalamhal ini, bantuan Pascal Lutz dan Lucien Jailloux sangat berharga.Lucien Jailloux telah banyak mengkoordinasi kegiatan standIndonesia-Timor untuk tahun 1983. Karena pada waktu iturestoran Indonesia baru saja buka (belum umur setahun), makabanyak sekali persoalan yang harus ditanggulangi. Kami masihikut dalam kegiatan Fête tahun 1983, tetapi tidak seperti dalamtahun-tahun yang sebelumnya.

Setelah itu kita tidak ikut lagi dalam kegiatan-kegiatan Fêtede l’Humanité, disebabkan oleh kesibukan-kesibukan kita direstoran koperasi kita “Indonesia.”

Page 166: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

166

Page 167: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

167

Babak 6

RRRRR antai yang Kantai yang Kantai yang Kantai yang Kantai yang KembaliembaliembaliembaliembaliTTTTTersambungersambungersambungersambungersambung

Pertemuan kembali yang pertama kalidengan istri

Pertemuan kembali yang untuk pertama kalinya denganistri adalah dalam tahun 1978. Itu terjadi di Belanda,sesudah kami berpisah tanggal 14 September 1965 di

bandar udara Kemayoran untuk pergi ke Chili. Artinya, sesudahtiga belas tahun berpisah, yang disebabkan oleh situasi.

Selama saya ada di RRT, dan kemudian sesudah bermukim diPerancis selama empat tahun, saya tidak ada hubungan dengankeluarga, karena saya tidak tahu di mana alamatnya danbagaimana cara untuk bisa menghubunginya, tanpamenimbulkan risiko bagi mereka, istri dan anak-anak. Jadi, sayamenunggu dengan sabar, sampai saatnya tiba.

Hubungan kembali ini dimungkinkan oleh kedatangan di Paris,dalam tahun 1977, seorang teman lama, yaitu Joesoef Isak. Dalampembicaraan kami di kamar sempit di Bastille (rue de Lappe), iamenanyakan apakah saya ada hubungan dengan keluarga saya.Saya jawab bahwa tidak tahu di mana mereka tinggal waktu itu,dan bahwa ragu untuk menulis surat ke alamat kami yang lama diKepu Selatan. Ia berjanji bahwa sekembali di Jakarta ia akanberusaha mencari tahu bagaimana keadaan keluarga saya itu.

Page 168: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

168

Kira-kira setahun kemudian, saya menerima surat darisahabat lama ini yang menegaskan bahwa setelah bertanya kemana-mana, maka ditemukanlah alamat istri saya dan bahkansudah menemuinya. Tidak lama kemudian, pada suatu pagi hari,saya menerima telepon dari istri saya dari Jakarta. Inilahpercakapan kami yang pertama kali sejak tiga belas tahunberpisah.

Tidak perlulah ditulis bagaimana perasaan saya waktu itu.Sejak itu, maka diaturlah cara-cara untuk berkorespondensi.Kemudian, setelah istri saya dapat memperoleh paspor dengancara-cara yang tidak mudah, maka ia memutuskan untuk datangke Paris.

Bersama keluarga Tahsin (yang tinggal di Belanda) sayamenjemput istri di bandar udara Amsterdam. Dengan sengaja,rute perjalanan memang diatur demikian. Tidak langsung ke Paris.Waktu itu kami masih sangat hati-hati, bahkan mungkin agakketerlaluan. Tetapi, untuk menjaga segala kemungkinan, danuntuk ketenteraman hati istri saya, lebih baiklah begitu. Kamimenginap satu malam di keluarga Tahsin, dan keesokan harinyadengan kereta api ke Paris, ke apartemen yang baru (HLM) diSoisy Montmorency.

Bermacam-macamlah cerita istri saya tentang pengalamanselama berpisah. Tentang bagaimana dalam hari-hari danminggu-minggu pertama, menghadapi situasi setelah terjadinyaG30S. Semua buku-buku, foto, dan segala barang yang adahubungan dengan saya telah dibakar.

Dalam jangka lama sekali, sampai anak-anak menjadi besar,telah dikatakan bahwa bapaknya tidak ada. Ia mulai hidupdengan menjahit pakaian, dan kemudian bekerja di salah satuapotik di Jakarta.

Page 169: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

169

R antai yang Kembali Tersambung

Untuk mencari ketenteraman hati dan untuk keselamatanseluruh keluarga (bapak ibu, adik-adik dan kedua anak), merekakemudian pindah dari rumah yang di Kepu Selatan (dekat PasarSenen). Hubungan dengan kenalan-kenalan lama atau teman-teman saya telah diputuskan atau dihindari sama sekali oleh istrisaya. Karena, kebanyakan teman-teman telah ditahan ataudibunuh. Suasana yang penuh dengan ketakutan ini selalumenghantui seluruh keluarga, dalam jangka yang lama sekali.Seperti halnya yang dialami oleh banyak sekali keluarga diIndonesia waktu itu, bahkan sampai sekarang, tiga puluh tahunkemudian.

Dengan hidup bersama-sama dengan bapak ibu, kakak danadik-adiknya, istri saya membesarkan kedua anak (yang sayatinggalkan ketika masih berumur empat tahun dan satu tahun),sampai mereka masing-masing memasuki ITB. Istri saya

Page 170: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

170

berusaha dengan segala daya, supaya kedua anak dapat belajardengan baik. (Cerita-cerita tentang kehidupan mereka selama ituberaneka-ragam).

Karena mendapat cuti dan bantuan sekedarnya dari SMAR,maka kami mengadakan perjalanan ke Italia untuk seminggulamanya. Kemudian, selama ia tinggal di Paris hampir tiga bulan,kami sering sekali diundang oleh teman-teman Perancis. Banyakyang ingin menyatakan ikut sukacita mereka atas peristiwa kamiberdua ini. Sebab, bagi mereka, pertemuan kembali setelahperpisahan tiga belas tahun adalah hal yang luar biasa.

Dengan kedatangan istri saya di Paris, dapatlah kamibicarakan tentang kehidupan keluarga selanjutnya, antara laintentang masalah kelanjutan sekolah anak-anak. Sejak itu pulalahibu saya di Blitar tahu bahwa saya ada di Perancis. (Waktu itu,bapak sudah wafat di Blitar).

Page 171: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

171

R antai yang Kembali Tersambung

Kedatangan kedua anak di Perancis

Dalam tahun 1979, di airport Roissy saya bertemu untukpertama kalinya dengan Iwan, yang waktu ituberumur delapan belas tahun. Sudah tentu, ia tidak

kenal saya. Tetapi saya mengenalnya, karena pernah melihatfotonya, yang dibawa oleh ibunya sebelumnya.

Perjumpaan kembali antara bapak-anak yang sudah lamatidak pernah bertemu ini tentu saja menimbulkan perasaan yangmudah dibayangkan. Demikian juga halnya ketika saya, untukpertama kalinya, bertemu kembali dengan Budi dalam tahun 1983di Paris. Waktu itu ia sudah berumur delapan belas tahun juga.Ia saya tinggalkan ketika masih berumur satu tahun. Jadi, ia samasekali tidak pernah mengenal bapaknya, sampai hari itu.Kedatangannya di airport Paris kami jemput berdua dengan Iwan.Dengan kehadiran mereka berdua di Paris, maka terjalinlahkembali keluarga saya seutuhnya. Kedatangan kedua anak inijuga melalui proses dan banyak persiapan. Kontak-kontak danpersahabatan yang sudah dijalin melalui berbagai kegiatan sejakkedatangan saya di Paris telah memberikan bantuan untuklangkah kemudian. Pentingya penggalangan persahabatan diberbagai kalangan ini lebih-lebih lagi terasa ketika timbulmasalah-masalah kehidupan keluarga yang perlu dipecahkan.Setelah dapat berhubungan kembali dengan istri saya, makapendidikan lanjutan anak-anak menjadilah soal yang perlu kamitangani. Sebab, untuk biaya studi Iwan di ITB memerlukan biayayang besar dan berat untuk dipikul sendiri oleh istri. Ditambah

Page 172: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

172

lagi dengan biaya pendidikan untuk Budi yang juga sudahmemasuki ITB. Waktu itu, walaupun gaji saya di KementerianPertanian juga kecil, tetapi sudah berketetapan hati untukmeneruskan pendidikan kedua anak kami itu. Sebagai langkahpertama, saya datangkan Iwan, untuk meneruskan pelajarannyadi Perancis, dan meninggalkan ITB.

Pertemuan kembali dengan Iwan terjadi ketika saya masihbekerja di Kementerian Pertanian dan masih tinggal di apartemenHLM di Soisy sous Montmorency. Setelah belajar bahasa Perancissatu tahun, kemudian Iwan masuk di Universitas Paris XIII diVilletaneuse yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Sejakitulah Iwan melihat kegiatan-kegiatan bapaknya yang bermacam-macam, antara lain mengenai Tapol, Timor Timur, Filipina danlain-lain. Di rumah ini jugalah diterima banyak tamu, baik yangberbangsa lain maupun teman-teman Indonesia sendiri.

Kedatangan Budi terjadi ketika kami sudah pindah ke NoisyLe Grand, dan sesudah mendirikan Restoran Indonesia. Waktuitu, di rumah juga masih tinggal banyak teman-teman Indonesiayang silih berganti berdatangan dari Moskow, RRT, Albania, danjuga kawan-kawan dari Malaysia.

Sebagai bapak, saya merasa lega bahwa pada akhirnya bisamengusahakan kedua anak ini dapat melanjutkan pelajaranmereka di Universitas di Perancis. Dan juga merasa senang bahwasudah bisa meneruskan daya upaya istri saya (dan keluarga istrisaya lainnya) untuk membesarkan dan mengurus pendidikankedua anak ini selama saya tinggalkan begitu lama, yangdisebabkan oleh situasi. Tanpa kehadiran saya, kedua anak initelah berhasil lulus ujian masuk ke ITB, suatu ukuran yang baiktentang pendidikan dan pelajaran mereka.

Karena, untuk masuk ITB tidaklah mudah. Dari sini kelihatan

Page 173: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

173

R antai yang Kembali Tersambung

seriusnya penanganan istri saya terhadap pendidikan kedua anakini ketika mereka masih kecil dan menjelang remaja, walaupunmenghadapi keadaan yang sulit.

Ketika sudah berkumpul kembali dengan kedua anak yangwaktu itu sudah menjadi dewasa, saya merasa senang, sebagaibapak, melihat bahwa mereka berdua mempunyai sikapkehidupan (life style) yang cukup baik. Mereka berdua rajin belajar,bersikap baik terhadap orang dan hormat kepada bapak ibunya,tidak royal, suka hidup sederhana. Lega juga hati kami melihatmereka tidak terjerumus ke dalam jalan yang bisa menyesatkan.

Saya menyadari bahwa pertemuan kembali dengan merekaadalah sesudah perpisahan yang lama sekali. Bolehlah dikatakanbahwa kami belum saling mengenal sebelumnya. Oleh karenaitu, diperlukan suatu proses untuk pengenalan kembali danadaptasi. Dan karena mereka sudah dewasa, maka saya juga perlumengambil sikap yang sepadan.

Sebagai bapak, saya merasa senang juga melihat bahwa keduaanak kami suka bekerja keras atau tekun. Sebab, dari pengalamansaya sendiri sudah terbukti bahwa, biasanya, hanya dengan tekadkeras dan ketekunan yang membaja sesuatu bisa dicapai. Kegiatansaya menjelang tua dengan menerbitkan Chine Express jugamenunjukkan bahwa dengan kegigihan yang luar biasa barulahpenerbitan ini bisa hidup terus selama kurang lebih sepuluhtahun, walaupun dengan mengalami berbagai kesulitan yangtidak sedikit.

Dari praktek kehidupan sehari-hari dan dengan kegiatan sayayang bermacam-macam mereka melihat sendiri bahwa bapakmereka mempunyai langgam hidup tertentu. Dari sini merekamungkin melihat pentingnya mempunyai kebiasaan hidupsederhana dan hemat, tetapi tidak perlu segan-segan

Page 174: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

174

mengeluarkan biaya kalau memang diperlukan. Mempunyaikemauan yang keras dan tekun memperjuangkan sesuatu usahaatau rencana adalah syarat keberhasilan yang penting. Sukamenolong orang dan bersikap baik terhadap orang adalah jugahal yang sudah ternyata sekali berguna untuk diri sendiri.

Secara tidak langsung, saya juga selalu berusaha untukmenunjukkan bahwa sikap rendah hati adalah hal yang dihargaiorang. Ini saya rasakan dalam praktek melalui berbagai kegiatan.Walaupun sudah mengalami berbagai peristiwa yang pentingatau memperoleh prestasi-prestasi tertentu, saya tidakmenyombongkannya. Membual adalah hal yang tidak baik,karena akibatnya sering negatif. Kita sendiri tidak suka melihatorang yang congkak, atau tak bersikap baik terhadap kita. Jadikita harus juga jangan berbuat yang demikian terhadap oranglain.

Ketika memoire ini ditulis dalam tahun 1995, kedua anak kamiini sudah mempunyai pekerjaan. Dari pendidikan yang merekaperoleh, saya melihat bahwa mereka sudah punya pijakan baikuntuk langkah-langkah kehidupan mereka selanjutnya. Ini semuamembikin tenteram hati kami, sebagai orang tua.

Saya akan merasa senang dan lega, kalau dengan membacacatatan “Perjalanan Hidup Saya” ini, mereka akan lebih mengertitentang bapaknya, dan tentang apa saja yang telah dialaminyasejak masa mudanya, dan apa yang dikerjakannya selama merekaditinggalkan sampai dewasa. Mudah-mudahan, mereka jugalebih mengerti tentang apa yang sedang dikerjakan oleh bapakmereka sekarang ini, dan juga yang di kemudian hari.

Page 175: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

175

R antai yang Kembali Tersambung

Di depan pengadilan Perancis

Sejak permulaan saya bermukim di Perancis, saya selaluberusaha untuk menerapkan prinsip berikut: sejauhmungkin dan sedapat mungkin menghindari hal-hal yang

melanggar peraturan-peraturan atau hukum Perancis, apalagiyang bersifat kriminil. Terutama, waktu sedang dalam prosesminta suaka politik dan belum mendapat status refugié politique.

Bahkan, kemudian, walaupun telah mendapat status réfugiépolitique saya harus berusaha terus supaya jangan ada noda dibidang hukum ketika hidup di negeri ini. Karenanya, walaupunbanyak kegiatan dan hubungan-hubungan dengan berbagaikalangan di Paris, saya hindari hubungan dengan organisasi-organisasi yang, menurut dugaan, adalah “gawat” atau sedangdisorot keras oleh badan-badan keamanan negara (intel atau dinasrahasia dan lain-lain). Hal ini adalah wajar. Sebab, saya menduga,bahwa karena saya pernah menyatakan bahwa saya adalahpetugas di PWAA di Peking selama bertahun-tahun (atau karenasebab-sebab lainnya yang tidak saya ketahui), maka ketika mintasuaka politik, terasalah bahwa pemeriksaan terhadap sayadilakukan secara agak serius.

Contohnya adalah yang berikut: Dalam interogasi ituditanyakan siapa sajakah yang saya hubungi di Perancis?Mengapa minta suaka di Perancis? Apa saja rencana sayaselanjutnya kalau nanti tinggal di Perancis? Dan negeri-negerimana sajakah yang saya kunjungi dalam waktu-waktu terakhir

Page 176: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

176

ini? Sebenarnya, pertanyaan-pertanyaan semacam itu adalah soalrutin saja. Adalah tugas yang wajar bagi polisi, intel, atauberbagai macam dinas rahasia suatu negara untukmengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang sesuatusoal yang dianggap penting bagi keselamatan atau keamanannegaranya.

Dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu,waktu itu saya berpendapat bahwa perlu menunjukkan dirisebagai seorang yang tidak mungkin membahayakan keamanannegara Perancis. Juga saya tegaskan bahwa walaupun pernahmelakukan berbagai kegiatan politik, namun kegiatan itu adalahdalam rangka menentang rejim Soeharto dan banyak berkisarsekitar masalah-masalah humaniter. Mengenai hubungan-hubungan di Perancis saya sebutkan nama-nama petugas CCFD,Cimade, France Terre d’Asile dan lain-lain yang memang adahubungan dengan saya, dalam rangka pengurusan permintaansuaka politik. Tentang mengapa minta suaka politik di Perancis,jawab saya adalah klasik: Perancis terkenal sebagai negeri tempatsuaka.

Karena itulah, maka saya berusaha betul-betul supaya dalamberbagai kegiatan sosial dan politik tidaklah melanggar peraturanatau hukum negeri ini. Kalau pun ada, janganlah sampai bersifatkriminil. Pada umumnya, prinsip ini bisa saya pegang terus,walaupun pada suatu hari, saya (bersama seorang temanPerancis) terpaksa dihadapkan ke sidang pengadilan Peranciskarena suatu perkara. Namun, walaupun dihadapkan kepengadilan, saya tidak pernah melihatnya sebagai suatu perkarakriminal, yang bisa menyebabkan rasa malu karena telahmelakukan suatu kejahatan. Bahkan sebaliknya, merasa bahwaapa yang saya lakukan adalah suatu tindakan politik dan

Page 177: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

177

R antai yang Kembali Tersambung

perikemanusiaan, yang harus saya lakukan, demi kebaikan.Ceritanya singkatnya adalah sebagai berikut:

Dalam tahun 1981, ada empat teman Indonesia (dua suamiistri) yang perlu minta suaka politik ke Perancis. Mereka datangdengan pesawat terbang dari Peking.

Sudah kami atur sebelumnya (lewat surat-surat) supaya sayabisa menemui mereka di daerah transit internasional di bandarudara Zurich, untuk membicarakan langkah-langkahselanjutnya. Di bagian transit internasional bandar udara Zurichinilah kami tulis surat kepada pimpinan France Terre d’Asile (DrDe Wangen) bahwa keempat teman ini akan memasuki perbatasanPerancis untuk minta suaka politik. Dalam surat yang disusunselama berjam-jam itu dijelaskan sebab-sebab dan alasanmengapa harus minta suaka politik ke Perancis. Surat itukemudian diposkan dengan express (kilat) di bandar udara itujuga.

Sebelumnya, dengan seorang teman Perancis, Lucien Jailloux,telah kami rencanakan bagaimana cara-cara memasukkan merekamelewati daerah perbatasan antara Jerman dan Perancis. Sayakenal tempat penerobosan ini (di dekat Forbach), karena dalamtahun-tahun sebelumnya, seorang teman Indonesia lainnya jugatelah diteroboskan dengan bantuan seorang petugas partai PCF-ML. Ketika itu, karena pengalaman pertama, dan situasinya jugasulit (hujan salju lebat sekali), maka operasi penerobosan untukteman Indonesia itu dilakukan dalam suasana yang tegang sekali.

Singkatnya, setelah kami berlima bisa mendarat di lapanganterbang Dusseldorf, dan kemudian berhasil melewati perbatasan,maka dengan mobil Lucien Jailloux (yang datang khusus dari Parisuntuk operasi penerobosan ini) kami memasuki daerah Perancislebih jauh.

Page 178: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

178

Tetapi, keti-ka kami semuasudah gembiradengan keberha-silan itu, kamikepergok mobilpatroli polisi.Kami ditangkapsemua, dandiperiksa. Dalampemeriksaan itukami jelaskan,dengan berba-gai alasan danp e n j e l a s a n ,bahwa mereka

berempat itu memasuki wilayah Perancis memang tanpa visatetapi dengan tujuan untuk minta suaka politik. Sesudah polisimemeriksa saya dengan mengajukan macam-macam pertanyaan(pekerjaan saya di Kementerian Pertanian, alamat dan lain-lain)dan konsultasi dengan Procureur de la République (Jaksa PenuntutUmum) di daerah itu, maka keesokan harinya, mereka berempatdibolehkan meneruskan perjalanan ke Paris.

Di Paris mereka melapor kepada polisi dan France Terred’Asile, untuk mengurus segala macam kertas-kertas yangdiperlukan. Sudah tentu, mereka juga mengalami interogasi dariintel polisi (Renseignements Generaux), seperti halnya peminta suakapolitik lainnya.

Beberapa bulan kemudian, berkat bantuan dari Mme Boisneaudi France Terre d’Asile, mereka berempat mendapat kartu dari

Page 179: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

179

R antai yang Kembali Tersambung

OFPRA yang menyatakan bahwa mereka mendapat status sebagaipelarian politik di Perancis.

Setengah tahun kemudian, dalam bulan Desember 1981, sayadan Lucien Jailloux mendapat panggilan dari pengadilan Forbach(daerah perbatasan antara Jerman dan Perancis) untuk diadili,dengan alasan bahwa kami berdua telah melanggar hukum karenamemasukkan orang-orang asing ke Perancis secara tidak sah.Untuk menghadapi persoalan ini, kami minta pembelaan dariseorang pengacara (advokat) yang banyak hubungannya denganPCF (Partai Komunis Perancis). Dalam penjelasan di depanpengadilan, baik pengacara Perancis itu maupun saya sendiri,mengemukakan berbagai alasan politik dan humaniter dalamperkara ini.

Kami menekankan bahwa memasuki wilayah Perancis tanpavisa terlebih dulu dibolehkan, untuk minta suaka politik,berhubung dengan situasi di Indonesia. Akhirnya, kami berduadibebaskan dari tuntutan. Teman-teman Indonesia yangberempat, yang juga ikut hadir dalam sidang pengadilan itu, jugatidak mendapat tuntutan apa-apa. Karena, mereka sudahmendapat kartu réfugié, beberapa bulan sebelum sidangpengadilan ini dilangsungkan. Ini adalah pengalaman saya yangpertama kali (dan satu-satunya) dihadapkan di depan pengadilanPerancis sebagai terdakwa. Tetapi bukan karena urusan kriminil,melainkan karena urusan yang berhubungan dengan politik danperikemanusiaan. Karena itu, saya sedikit pun tidak merasamenyesal atau “kecil hati” mengenai kejadian ini, bahkansebaliknya. Di samping itu, dengan kejadian ini maka rasapersahabatan kami dengan Lucien Jailloux dan teman-temanPerancis di France Terre d’Asile juga makin erat.

Kemudian ternyata, bahwa peristiwa ini masih ada

Page 180: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

180

buntutnya. Beberapa waktu kemudian, saya masih menerimapanggilan dari badan kepolisian yang cukup penting (Quaid’Orfevre). Dalam pemeriksaan ini mereka menjelaskan bahwamenurut informasi yang mereka kumpulkan selama ini, sayasudah mengurusi cukup banyak orang-orang Indonesia yangmemasuki Perancis. Pertanyaan mereka ialah apakah sayamenerima pembayaran untuk kegiatan itu. Dalam jawabankepada polisi yang memeriksa, saya tekankan aspek politik danhumaniter dalam urusan-urusan itu, juga dengan menunjukkantentang apa saja yang sudah saya lakukan selama ini.

Mungkin, karena mereka juga sudah mempunyai informasilainnya mengenai saya, interogasi itu berhenti sampai di situsaja, dan saya tidak pernah mendapat gangguan lagi.

Page 181: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

181

R antai yang Kembali Tersambung

Meninggalkan Kementerian Pertanian

Sejak tahun 1971 teman-teman Indonesia yang terpaksabermukim di RRT, secara berangsur-angsur dan sedikitdemi sedikit meninggalkan negeri ini menuju ke berbagai

negeri lainnya. Ada yang ke Hongkong, Canada, ke Uni Soviet(waktu itu), ke Jerman Timur. Bahkan, pada permulaan ada jugayang menuju Aljazair, Mozambique, atau Kuba.Tetapi kebanyakandi antara mereka minta suaka politik ke Belanda, Jerman Barat,Denmark, Swedia, Belgia, dan Perancis.

Mereka meninggalkan RRT didorong oleh beranekaragamsebab. Ada yang karena memang sudah tidak betah lagi tinggaldi negeri yang waktu itu sedang dilanda oleh RBKP (RevolusiBesar Kebudayaan Proletar), yang menimbulkan macam-macamsituasi di negeri ini.

Keadaan kacau waktu itu menyebabkan kehidupan sehari-hari “tidak normal” bagi banyak orang, termasuk bagi teman-teman dari Indonesia. Ada yang ingin bisa pulang ke tanah airuntuk berbuat sesuatu. Ada yang disebabkan oleh motif-motifpribadi atau pertimbangan politik yang macam-macam. Adayang karena masalah “intern” yang terjadi di berbagai kelompokatau kalangan dalam masyarakat kecil Indonesia di Tiongkokwaktu itu.

Dalam situasi yang demikian saya telah diminta oleh berbagaiteman untuk membantu mereka secara berangsur-angsur. Karenaitu, selama beberapa tahun saya sering mondar-mandir ke

Page 182: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

182

Belanda, Jerman Barat, Swiss, untuk menjemput mereka dilapangan terbang, dan mengantar sebagian dari teman-temanini ke berbagai tujuan sementara, atau mengadakan langkah-langkah permulaan bagi sebagian di antara mereka untuk mintasuaka di berbagai negeri.

Sejumlah kecil di antara mereka ini ada yang, secaraberangsur-angsur, memasuki Perancis untuk minta suaka.Bantuan organisasi France Terre d’Asile sangatlah penting untukmenyelesaikan urusan-urusan mereka dalam menghadapi tahap-tahap permulaan permukiman teman-teman ini di Perancis(penampungan sementara, belajar bahasa Perancis, jaminansosial sekadarnya dll). Secara berangsur-angsur, dan denganmelalui beraneka-ragam kesulitan, urusan mereka untuk mintasuaka itu kemudian bisa terselesaikan.

Pada waktu-waktu permulaan tiba di Perancis, berbagaiteman tinggal di apartemen saya di Soisy sous Montmorency ataudi Noisy Le Grand. Kemudian, di antara mereka ini ada yangdikirim ke tempat-tempat penampungan sementara di kota-kotalain, seperti Pau, Gien, Lure (dekat Besançon). Selama menungguselesainya pengurusan masalah suaka politik, mereka belajarbahasa Perancis dan mempelajari berbagai masalah yangmenyangkut kehidupan di negeri yang baru ini, umpamanyamasalah belajar atau kursus dan mencari pekerjaan.

Sejumlah dari antara teman-teman ini ada yang mendapatpenampungan sementara di Paris dari France Terre d’Asile. Setelahmemperoleh status sebagai réfugié, maka masalah mencaripekerjaan untuk menunjang kehidupan sehari-hari selamabermukim di Perancis menjadi problim yang amat penting untukdipecahkan. Karena, bantuan sosial pun ada batas waktunya.

Pada tanggal 31 bulan Maret 1982 saya mengajukan demission

Page 183: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

183

R antai yang Kembali Tersambung

(berhenti kerja) dari kantor SMAR (suatu bagian dari KementerianPertanian Perancis), tempat saya telah bekerja sejak 21 April 1975.Jabatan saya terakhir di kantor itu sebagai employé de bureau(pegawai).

Pekerjaan di kantor ini telah saya lakukan selama tujuhtahun, sambil (di luar kantor, terutama sore hari atau malam,dan hari Sabtu dan Minggu), melakukan beranekaragam kegiatansosial dan politik. Selama melakukan berbagai kegiatan sosial danpolitik inilah maka bisa dijalin perkenalan dan persahabatandengan berbagai tokoh organisasi “kiri,” Katolik, Protestan, danjuga di kalangan partaipolitik. Di antara sahabat-sahabat ini adalah LouisJoinet (penasehat hukumPerdana Menteri Perancis),Phillipe Texier (Kemen-terian Dalam Negeri),Danielle Degues (Boutiquede Gestion de Paris), PascalLutz (teman yang banyakmembantu RestoranIndonesia, di kemudianhari).

Berbagai pertimbang-an telah mendorong sayauntuk minta berhenti daripekerjaan di KementerianPertanian ini. Pada waktuitu, sudah makin terasabahwa pekerjaan di

Page 184: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

184

kantor itu tidak memberikan perspektif lebih jauh lagi bagikehidupan profesional saya. Menurut perhitungan waktu itu,jabatan employé de bureau ini sudah maksimum, dengan status sayasebagai orang asing dan réfugié. Gaji saya yang terakhir di SMARpada waktu itu adalah 4 872 Francs. Timbullah kejenuhan dalampekerjaan ini. Ada keinginan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Dengan pengalaman dalam berbagai kegiatandi Paris sebelum itu, saya merasa bahwa sudah cukupmemperlengkapi diri untuk menempuh kehidupan baru. Disamping itu, ada keinginan juga untuk ikut membantumemecahkan persoalan teman-teman Indonesia yang mulaiberdatangan ke Perancis, yang memerlukan pekerjaan untukkehidupan sehari-hari.

Setelah berhenti dari kantor SMAR saya minta kepada Assedic(suatu badan yang mengurusi orang-orang yang menganggur)supaya bisa mendapat tunjangan selama belum bisa bekerja lagi.Menurut ketentuan yang biasa, bagi orang yang minta berhentidengan sukarela tidaklah mudah untuk mendapatkan tunjangan.Namun, setelah dikemukakan berbagai alasan, maka sayadibolehkan menerima tunjangan Assedic sebulan 3 500 F selamadua tahun (tetapi tidak saya jalani sepenuhnya, karena sudahbekerja di Restoran Indonesia).

Ternyatalah dari pengalaman selanjutnya, bahwa berhentidari kantor SMAR ini merupakan keputusan yang tepat. Karena,sejak itu tersedialah waktu yang cukup banyak untuk menanganiberbagai hal, terutama persiapan untuk didirikannya SCOPFraternité dan Restoran Indonesia pada akhir 1982.

Page 185: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

185

R antai yang Kembali Tersambung

Persiapan-persiapan berdirinyarestoran Indonesia

Sejak berhenti dari kantor SMAR dan menerima tunjanganAssedic mulai Maret 1982, kegiatan-kegiatan saya diberbagai bidang masih berjalan terus, walaupun

mengalami perobahan-perobahan berhubung dengan terjadinyaberaneka-ragam perkembangan.

Kegiatan-kegiatan dengan Komite TAPOL yang diketuai olehPhilippe Farine makin berkurang, karena sebagian terbesar paratapol, termasuk yang di pulau Buru, sudah dibebaskan. Kegiatanyang tetap teratur adalah yang bersangkutan dengan KomiteTimor, yang sudah berdiri sejak 1976, dan penyelenggaraan soiréeindonésienne bersama-sama banyak teman-teman Indonesia danPerancis lainnya. Dalam soirée indonésienne ini kita sajikan masakan-masakan Indonesia (gulai dan sate), nyanyian, ceramah danpemutaran film. Kegiatan ini juga punya peran untuk menggalangpersahabatan dengan berbagai orang, yang ternyata bergunauntuk masa-masa kemudian. Meskipun kelihatannya hanya kecil,tetapi dalam prakteknya kegiatan-kegiatan semacam inimemerlukan persiapan berhari-hari dan memakan waktu dantenaga yang tidak sedikit (menempelkan affiche, mengirimkanundangan, meneleponi teman-teman).

Dalam tahun 1981 dan 1982 ini, kita masih ikut serta dalamFête de l’Humanité, dengan mendirikan “Stand Indonesia” yangcukup besar dan menarik perhatian banyak orang. (Teman kita

Page 186: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

186

Pascal Lutz ikutdalam Fête ini denganmemotongi daginguntuk dibikin saté.

Untuk tahun 1982kita pesan lebih dari 400kg daging). Dalam Fête del’Humanité tahun 1982(bulan September)inilah kita umumkanbahwa kita tidak lamalagi akan mendirikanrestoran Indonesia.Kita menjual bon(semacam karcis) yangbisa dipakai untukmakan di restoran yangakan kita dirikankemudian.

Sementara itu,makin bertambah

jugalah jumlah teman-teman Indonesia yang datang dariTiongkok dan negeri-negeri lainnya untuk bermukim di Perancis.Masalah mencari pekerjaan menjadi makin mendesak bagibanyak teman. Walupun saya berhak menerima tunjanganAssedic selama dua tahun, maka saya mulailah mempelajarikemungkinan-kemungkinan untuk mendirikan perusahaan,tempat banyak teman bisa bekerja. Sebab, pada waktu itu sudahmulai susah untuk mencari pekerjaan bagi orang-orang asing,bahkan juga bagi réfugié yang mendapat hak untuk bekerja.

Page 187: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

187

R antai yang Kembali Tersambung

Sejak bulan April 1982, dan selama beberapa bulan, sayamulai membeli buku-buku tentang bagaimana mendirikanperusahaan di Perancis, dan mengadakan konsultasi denganAgence de Création d’Entreprises dll. Juga mempelajari peraturan-peraturan tentang kemungkinan untuk mendapat tunjangan/bantuan dari pemerintah atau organisasi-organisasi untukmendirikan perusahaan dalam rangka menciptakan kerja danmengurangi pengangguran.

Waktu itu, dengan terpilihnya M. François Mitterrand sebagaiPresiden dan terbentuknya pemerintahan yang baru denganpimpinan M. Pierre Mauroy sebagai Perdana Menteri, berbagaiorganisasi (association) ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial,antara lain untuk melawan pengangguran.

Dengan ALDEA (Agence de Liaison pour le Développement del’Economie Alternative, yang waktu itu dipimpin oleh PatriceSauvage) dan Boutique de Gestion de Paris (yang dipimpin olehDanielle Desgué) diadakan konsultasi tentang berbagai aspek yangmenyangkut persiapan untuk mendirikan perusahaan yang bisamenampung banyak tenaga (perusahaan apa, bagaimanamendapatkan dana, masalah-masalah juridis dll). Dari konsultasi-konsultasi ini makin jelas bahwa ide untuk mendirikan toko buku,percetakan, toko kerajinan tangan, pressing (pencucian) dll.tidaklah merupakan proyek yang ideal. Sebab, perusahaan-perusahaan semacam itu tidak bisa mempekerjakan banyakorang.

Dari konsultasi dengan berbagai organisasi-organisasiPerancis dan teman-teman Indonesia, maka akhirnya lahirlahide untuk mendirikan restoran Indonesia yang khususmenyajikan masakan-masakan Indonesia. Pengalaman beberapatahun sebelumnya dalam menjual masakan Indonesia (saté, gulai,

Page 188: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

188

pisang goreng dan lain-lain) di Fête l’Humanité dan soirée indonésiennememberikan harapan besar bahwa masakan Indonesia akanmenarik bagi orang-orang Perancis. Kenyataan bahwa waktu itutidak ada satu pun restoran Indonesia di Paris juga merupakanfaktor pertimbangan untuk memilih proyek ini. Ide untukmendirikan restoran ini disambut hangat oleh sebagian besarteman-teman Indonesia dan Perancis. Tetapi ada juga yangmeragukan apakah proyek ini bisa terwujud, sebab tidak adamodal yang tersedia dan juga tidak ada yang mempunyaipengalaman dalam mendirikan perusahaan dan mengelolarestoran. Jadi rintangan atau kesulitan-kesulitan cukup banyakyang harus diatasi. Sejak ide untuk mendirikan restoran ini sudahmakin matang, maka sejak bulan Mei 1982 saya mencurahkantenaga sehari-harinya untuk berusaha merealisasikan gagasanini. Dan karena sudah démission (minta berhenti) dari pekerjaan diKementerian Pertanian, dan menerima tunjangan dari Assedic,maka bisa digunakan waktu sepenuhnya untuk usaha ini.

Mulailah saya membeli buku “Bagaimana mendirikanrestoran” dan mengamati cara-cara bekerja di restoran di Paris,sambil menyusun dossier d’études (feasibility study). Dalam prosesini, terlihatlah bahwa badan hukum yang paling ideal dariperusahaan yang akan didirikan itu seyogyanya adalah koperasi.Karena, bentuk hukum koperasi yang ditopang oleh dossier yangbaik (tujuan, orientasi, cara pengelelolaan dan lain-lain), bisamerupakan daya tarik dalam mencari dana untuk modal.

Sementara itu, walaupun datangnya “dana” masih belumjelas, saya mulai menghubungi restoran-restoran yang maudijual atau dioperkan, yang memasang iklan di berbagaisuratkabar atau majalah. Dengan melakukan perundingan-perundingan dengan pemilik-pemilik restoran itu, maka

Page 189: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

189

R antai yang Kembali Tersambung

didapatlah secara berangsur-angsur pengetahuan tentangberbagai aspek restoran (pentingnya tempat, luasnya ruangan,kapasitas kursi, segi-segi juridis dan masalah-masalah lain).

Dalam usaha mencari restoran yang mau dijual ataudioperkan ini, maka saya telah mencurahkan waktu yang tidaksedikit untuk mendatangi berbagai daerah kota Paris. Dalammengunjungi berbagai tempat ini, saya sering ditemani olehseorang kawan, yang akhirnya juga menjadi salah seorang diantara anggota badan pendiri usaha koperasi kita ini, yaituSobron Aidit.

Perkenalan saya (lewat Danielle Desgué) dengan GeorgesHébré, pemimpin restoran koperasi “Le Temps des Cerises” waktuitu, merupakan bantuan yang besar dalam masa-masa persiapanini. Dengan dialah, statuts (anggaran dasar) SCOP Fraternitédisusun. Statuts ini secara resmi ditandatangani pada tanggal 26November 1982. (Dan, kemudian, ia bersedia menjadi anggotadari SCOP kita, atas nama Le Temps des Cerises). Ia memberikesempatan kepada saya dan kawan-kawan Indonesia lainnya,untuk job-training (stage) beberapa waktu di restorannya, danmenggalang persahabatan dengan berbagai teman yang bekerjadi restorannya.

Bantuan dari teman-teman ALDEA juga besar dalammempersiapkan berdirinya SCOP Fraternité dan restoran kita.ALDEA adalah suatu LSM Perancis yang bertujuan untukmembantu berdirinya perusahaan yang didirikan atas prinsip-prinsip “alternatif,” artinya prinsip yang tidak hanyamementingkan segi komersial saja, melainkan juga segi sosial,kemanusiaan dll.

Pimpinan mereka telah ikut mencarikan dana dengan menghu-

Page 190: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

190

bungi instansi-instansi dan orga-nisasi-organisasi.ALDEA telahmenunjuk salahseorang pengu-rusnya (Jean Mata)untuk menanganipembukuan res-toran kita. Peker-jaan ini ia lakukansampai beberapatahun, yang meru-pakan juga sema-cam “kursus”management, dengan“ h o n o r a r i u mpersahabatan.”

Persahabatan dengan Pascal Lutz (yang waktu itu masihbekerja sebagai direktur asrama - foyer - orang-orang Afrika diSaint Denis) merupakan pengalaman yang penting. Sebab, sejakia ikut menangani kegiatan-kegiatan di Fête de l’Humanité selamabeberapa tahun, persahabatan ini diteruskan ketikamempersiapkan berdirinya SCOP Fraternité dan restoran kita.

Ketika diajukan usul kepadanya, apakah ia bersedia untukmenjadi gérant (pemegang kuasa) dari SCOP yang akan kitadirikan, maka ia menyambutnya dengan hangat. Ia menyatakanbahwa ia setuju untuk menemani usaha kita, karena tujuan usahaini cocok di hatinya.

Penggalangan persahabatan melalui berbagai kegiatan

Page 191: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

191

R antai yang Kembali Tersambung

sebelumnya dengant e m a n - t e m a nPerancis lainnya,seperti Jean YvesL a v a y s s i è r e ,Paulette Gereaud,juga sangat pentinguntuk menghadapimasa-masa mendi-rikan SCOP Frater-nité ini.

Bukan saja me-reka telah ikutmenyumbangkanpikiran yang ba-nyak mengenai ma-cam-macam soal,tetapi juga kemudi-an bersedia menjadianggota SCOP.Bahkan, merekatelah berani menan-datangani surat jaminan (ikut bertanggung-jawab menuruthukum) ketika kita membikin kontrak pembayaran sebanyak 400000 Franc (ditambah 80.000 F untuk berbagai biaya untukadvokat, pajak transfer dan lain-lain) dengan pemilik restoran“Le Madras” (Mme Zachet), walaupun waktu itu masih belumpasti dari mana datangnya dana yang diperlukan sebagai modal.

Rasa persahabatan yang telah digalang dengan merekasebelum 1982 itu telah mendorong saya untuk mengusulkan nama

Page 192: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

192

“Fraternité” bagi koperasi (SCOP) yang akan kita dirikan dan yangakan mendirikan restoran. Ini untuk memanifestasikanpersaudaraan antara teman-teman Indonesia dan Perancis, yangmendukung lahirnya ide ini.

Mengenai nama yang akan diberikan kepada restoran telahdiusulkan kepada teman-teman untuk mengambil nama“Indonesia” saja. Ini lebih jelas bagi banyak orang, daripada namalainnya seperti Nusantara, Bali, Borobudur.

Untuk mencari tempat yang baik dan yang harganya tidaktinggi, memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Lebihdari tiga puluh restoran yang “dijual” telah dikunjungi selamatiga bulan. Akhirnya kita temukan restoran “Le Madras,” lewatiklan di Figaro.

Page 193: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

193

R antai yang Kembali Tersambung

Pencarian dana yang berliku-liku

Setelah konsep mengenai pendirian SCOP Fraternité danpembukaan restoran sudah mulai konkrit, makasampailah kepada langkah-langkah yang mutlak harus

diayunkan, yaitu: mencari dana sebagai modal dan mencaritempat. Ini juga merupakan jalan yang cukup berliku-liku dancukup sulit untuk dilalui waktu itu. Sebab, kita tidak mempunyaimodal yang diperlukan waktu itu. Sedangkan untuk mendirikanrestoran yang sedang saja (lebih dari lima puluh tempat, tetapisederhana) ketika itu diperlukan modal lebih dari 350.000 Francs.

Pekerjaan mencari dana telah dimulai dengan menghubungiCCFD (melalui Jose Osaba) dan Cimade (Marcel Henriet) dankemudian, mulai akhir Agustus 1982, dengan mengajukanpermintaan subsidi (subvention) kepada pemerintah PerancisDirection Départemental de Travail et d’Emploi (DDTE) untuk penciptaankerja bagi enam orang. Waktu itu, menurut sirkuler resmipemerintah, setiap penciptaan satu pekerjaan bisa mendapatbantuan pemerintah sebanyak 40 000 Francs (dengan programE.I.L., Emploi d’Initiative Locale).

Dalam surat yang panjang kepada M. Patrick Bot dari DDTE,saya jelaskan alasan-alasan mengapa kita memerlukan bantuan,antara lain:

- dengan mendirikan SCOP yang mau membuka restoran,kami ingin membikin sendiri alat kerja dan menciptakankerja untuk réfugié dari Indonesia.

Page 194: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

194

- dengan motivasi sosial-ekonomi dan orientasi koperasi,kami ingin memberikan citra (image) yang berbeda darikebanyakan réfugié politique lainnya.

- menciptakan kerja sendiri berarti bagi kami melepaskandiri dari mentalité d’assisté, dan keluar dari situasi passivité,l’improductivité dan l’assistanat (keluar dari situasi selaludibantu atau mengandalkan bantuan, dan pasif atau tidakproduktif).

- dengan mengambil contoh dari suksesnya restorankoperasi “Le Temps des Cerises,” maka proyek SCOP kamipasti akan berhasil juga.

- bantuan pemerintah adalah untuk langkah permulaan saja(démarrage), sebab dengan entusiasme, dinamisme dan tekadyang keras, kami yakin bahwa proyek kami kemudian akanberhasil

Ternyata kemudian, bahwa bantuan pemerintah yangdijanjikan lewat program E.I.L. ini juga tidak mudah didapat.Perundingan, telepon dan surat-surat yang berkali-kali selamabeberapa bulan telah dilakukan. Kemudian, disampaikan oleh DDTEberita yang sangat mengecewakan dan membikin panik, yaitubahwa Monsieur le Prefet dari Paris memveto negatif usul yangdiajukan oleh DDTE. Dalam hal ini, Danielle Desgué telah ikutberjuang dengan keras dalam sidang-sidang komisi untuk E.I.L. ini.Juga tidak berhasil. Akhirnya, terpaksalah saya hubungi Louis Joinet(penasehat hukum Perdana Menteri), untuk turun tangan.

Berkat bantuannya, maka keputusan yang lama dapat ditinjaukembali, dan kita berhasil mendapat bantuan 4 EIL, artinya 160 000F sebagai subsidi dari pemerintah dalam rangka penciptaan kerja.

Page 195: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

195

R antai yang Kembali Tersambung

Karena ada hu-bungan yang cukupbaik dengan CCFD(Philippe Farine, JoseOsaba dll), makapermintaan bantuanuntuk mendirikan res-toran ini tidaklahbegitu sulit waktu itu.Dengan mengajukanbahan-bahan yanglengkap, termasukDossier provisoire(rencana sementara)yang terdiri dari duapuluh dua halaman,saya ajukan dengantertulis pada tanggal25 Agustus 1982 permintaan bantuan sebesar 100 000 F danpinjaman sebesar 50 000 F untuk dikembalikan selama tiga-limatahun. Permintaan bantuan sebesar 100 000 F ini kemudiandikabulkan, tetapi permintaan pinjaman yang 50 000 F tidak.

Dengan surat tertanggal 20 Januari 1983, pastur MarcelHenriet dari Cimade (yang bersedia menerima tawaran sayauntuk menjadi Sekretaris dari Komite Tapol) memberitahukanbahwa “setelah mempelajari proyek pembukaan restorankoperasi untuk menciptakan kerja bagi réfugié politique Indonesia,maka Cimade telah memutuskan untuk memberikan bantuansebesar 50 000 F. Surat ini disertai kata-kata bahwa inisiatif ini“courageuse” (berani) dan mengharapkan sukses bagi usaha teman-

Page 196: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

196

teman Indonesia yang dijiwai oleh energi dan keuletan.

Dengan bantuan-bantuan dari pemerintah, CCFD danCimade, maka telah terkumpul dana sebesar 310.000 F sebagaimodal. Tetapi, jumlah ini masih jauh dari mencukupi kebutuhanuntuk mengoper (membeli) restoran “Le Madras” sebesar 400 000F ditambah dengan 80 000 F untuk droits de mutation (biaya danpajak pengoperan). Jadi, masih harus dicari lagi dana sebesar170.000 F. Ini merupakan jumlah yang tidak sedikit. Karena itu,

Page 197: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

197

R antai yang Kembali Tersambung

maka teman-teman Indonesia di Paris, yang waktu itu entusiasuntuk membuka restoran ini, melakukan mobilisasi ke mana-mana untuk mengumpulkan dana tambahan, baik berupabantuan maupun pinjaman. Teman-teman kita Ib dan Budimandengan giat menghubungi teman-teman Indonesia lainnya diBelanda dan Jerman. Dari pengerahan mereka ini berhasil didapatpinjaman sekitar 60 000 F (Wrn 15 000 F, Ks Brhmn 20 000 F, UtyMd 26.000 F) dan bantuan perseorangan kira-kira sebesar 5 000 F.Bantuan mereka yang berupa pinjaman atau “hadiah” inimerupakan dukungan moril yang besar bagi kita semua. Untukmenutup kekurangan dana ini juga telah kita cari pinjaman dariteman-teman di Tiongkok, yang berjumlah sekitar 85.000 F.

Banyak teman-teman Perancis juga telah memberikanpinjaman atau sumbangan untuk pembukaan restoran kita. Diantaranya terdapat seorang pejabat Kementerian Perindustrian,Gerard Malabouch, yang menyerahkan cek sebesar 15 000 F.Memang ia suka kepada Indonesia, tetapi mengapa ia memberikancek sebesar itu, saya tidak tahu.

Bantuan spontan juga diberikan oleh Denis Pryen, direkturpenerbit l’Harmattan sebesar 1.500 F, sahabat Amerika AnneStohler 3 500 F. Di samping itu, ALDEA pernah meminjami 36 000F, demikian juga teman-teman dari Malaysia sebesar 30.000 F.Dana yang berbentuk macam-macam ini datang secaraberangsur-angsur, dan merupakan “bensin” untuk bulan-bulansebelum dan sesudah restoran buka.

Demikianlah, restoran kita ini telah berdiri dengan uang yangsedikit sebagai modal pribadi masing-masing, tetapi denganmodal lain yang tidak kurang pentingnya: kemauan keras danbekerja keras. Ini telah dimanifestasikan oleh banyak kawan-kawan, baik sebelum maupun sesudah restoran dibuka.

Page 198: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

198

Bekerja di restoran

Periode semasa bekerja di restoran Indonesia di Paris

merupakan bagian dari hidup kami semua yang sangatmenarik, kalau dilihat dari macam-macam segi. Periode

ini telah juga lebih memperkaya “halaman” kehidupan saya yangsudah berliku-liku, dan juga memberikan kesempatan untukbelajar mengenal hal-hal baru yang selama ini belum pernah sayalakukan. Umpamanya: menyambut tamu restoran dengan baik,menerima pesanan, mengantar makanan, mengerjakanpengelolaan restoran yang menyangkut macam-macam bidang.

Pada permulaannya, ketika restoran akan dibuka dan sudahberjalan beberapa waktu lamanya, kami semua berusaha untukbelajar dari George Hébré (Le Temps de Cerises) dan Mme Zachetdan anaknya (restoran Le Madras), bagaimana berhubungandengan fournisseur (untuk supply bahan dapur, minuman, kopi),peraturan-peraturan tentang restoran (kebersihan, pemadamkebakaran, lisensi minuman), peraturan jam kerja pegawai,masalah URSSAF, pajak, berurusan dengan bank dll. Dari JeanMata (ALDEA) yang mengurusi pembukuan telah didapat jugapelajaran-pelajaran yang berharga.

Memang, ketika di Indonesia saya pernah menjadi BendaharaPWI Pusat dan PWAA (kemudian KIAPMA), dan pemimpinredaksi suratkabar dan majalah, tetapi masalah tata bukurestoran dan lagi pula di Perancis, adalah soal yang baru samasekali. Jadi, memerlukan pengenalan baru, walaupun secara garisbesar.

Page 199: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

199

R antai yang Kembali Tersambung

Ketika restoran akan dibuka, teman-teman Indonesia yangada di Paris dan kota-kota lainnya (Gien, Lure dll), dan jugabanyak teman-teman Perancis yang selama bertahun-tahunsebelumnya sudah melakukan kegiatan-kegiatan bersama (soirée,Fête de l’Humanité dll) telah bekerja keras untuk menangani macam-macam pekerjaan. Sekitar lima belas orang waktu itu telahdikerahkan. Ada yang membuat papan nama “RestoranINDONESIA” yang besar dan panjang (sekitar tiga meter), adayang mengecat WC dan tangga, langit-langit salle, dinding dapur.Semua ini dikerjakan dengan sukarela selama kira-kira seminggu.Wajah restoran Le Madras kita ubah dan dapur serta cave (gudangbawah) yang tadinya kotor sekali kita rombak. Suasana gotongroyong dan entusias waktu itu sangat berkesan, sampai sekarang.

Beberapa hari setelah ditandatanganinya kontrak “jual-belitempat,” saya dan seorang kawan Indonesia lainnya (Em) sudahmulai tidur di bangku restoran, mengingat banyaknya soal yangharus dihadapi. Bersama banyak teman-teman lainnya kitasemua bertekad untuk membikin restoran kita ini sesegeramungkin mendapat sukses. Sebab, waktu itu hutang masihbanyak (kepada Le Madras), dan setiap bulan harus menyetor 60000 F selama 6 bulan. Ini merupakan jumlah yang tidak kecil, dankita tidak bisa main-main. Karena bisa berurusan denganpengadilan.

Dan kita tidak ingin membikin kesulitan bagi keempat temanPerancis yang sudah menyatakan dukungan mereka pada proyekkita ini dengan menandatangani “surat jaminan tanggung jawab”bahwa setoran utang itu akan kita penuhi setiap bulan. Olehkarena itu, keberhasilan yang cepat adalah mutlak waktu itu.

Berbagai cara telah kita tempuh untuk membikin pembukaanrestoran kita ini bisa dimulai dengan baik sekali. Tiga hari berturut-

Page 200: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

200

turut kita undangt e m a n - t e m a ndekat dan ke-n a l a n - k e n a l a n(orang Perancis)untuk makan(dengan memba-yar) di restorankoperasi yangbaru kita buka. Inisekaligus untukmerayakan ber-sama-sama mereka pembukaan restoran dan jugamemperkenalkan masakan-masakan Indonesia. Juga untukmenyatakan terima kasih kepada para penyumbang, sepertiteman-teman dari CCFD, Cimade, ALDEA, Boutique de Gestionde Paris, France Terre d’Asile, Louis Joinet, Odile Chartier danlain-lain. Juga teman-teman dari SMAR (Kementerian Pertanian).

Sejak berdirinya restoran, kita banyak menghubungiorganisasi-organisasi yang mempunyai haluan simpatikterhadap masalah-masalah humaniter, Dunia Ketiga, paraemigran, para pelarian politik dan lain-lain. Kepada mereka kitaberitahukan tentang berdirinya restoran koperasi yang berhaluan“économie sociale” dan menganjurkan supaya organisasi-organisasiitu atau anggota-anggotanya mengunjungi restoran kita. Dalamsuatu periode tertentu cukup banyak langganan-langganan kitayang datang dari organisasi-organisasi semacam AmnestyInternational, Freres des Hommes, Terres des Hommes, Fédérationde la Mutualité Française, Secours Populaires Français dan banyakorganisasi lainnya.

Page 201: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

201

R antai yang Kembali Tersambung

Seperti halnyabanyak kawan lainnya,selama bekerja direstoran ini, saya telahmelakukan juga peker-jaan apa saja, dari yangpaling kecil sampaiyang paling besar. Sayaanggap bahwa itusemua merupakanpelengkap dari “Perja-lanan Hidup Saya,”sesudah mengalamik e g i a t a n - k e g i a t a nsebagai wartawan diIndonesia, di PWI Pusat,di PWAA dan diPerancis. Tetapi, yangsaya sukai adalah ketikamelayani langganan.Sebab, ini memberikankesempatan untuk bisamemberikan kese-nangan kepada tamudengan berbagai cara.Saya merasa puaskalau mereka menya-

takan kepuasan mereka juga.

Kepuasan langganan adalah kunci bagi suksesnya restoran.Sebab, mereka akan berbicara kepada orang lain tentang restoran

Page 202: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

202

kita, dan datang lagi lain kali, bahkan dengan membawa oranglain. Di antara tamu-tamu kita ada yang menjadi langganan setiadan bahkan kemudian menjadi sahabat, sejak mereka mendatangirestoran kita untuk pertama kalinya dua puluh tahun yang lalu.

Ketika restoran dibuka akhir Desember 1982, umur sayasudah 54 tahun. Dalam tahun-tahun selanjutnya, secaraberangsur-angsur berbagai pekerjaan saya mulai ditangani olehteman-teman lainnya. Seorang di antaranya, Soeyoso, sayausulkan untuk menggantikan saya sebagai penanggung jawabutama. Usul ini diterima oleh teman-teman, termasuk teman-teman Perancis. Sebab, sejak akhir tahun 1984, sambil bekerja direstoran, saya meneruskan pekerjaan saya dalam tulis-menulis,terutama mengenai hubungan ekonomi antara Perancis danIndonesia.

Pekerjaan ini saya lakukan di rumah setiap pagi, sebelumkerja di restoran. Akhirnya saya bekerja sama dengan satuorganisasi Perancis yang bernama Association TEC (Technique,Emploi, Coopération). Association ini kemudian, dalam bulan Mei1986, menerbitkan dossier d’études saya dalam bahasa Perancis (209halaman), dengan titel France-Indonésie, 1986 -1989.

Dalam tahun 1985, saya mengadakan perjalanan sebulan diTiongkok guna mengumpulkan bahan-bahan untuk menerbitkandossier tentang hubungan Perancis dan Tiongkok, dengan titelFrance-Chine, An 2000. Dan dalam tahun 1986, saya diminta olehCCFD untuk menemani Sergio Regazzoni (petugas yang mengurusibagian Asia) mengunjungi Korea Utara dan Tiongkok. Sejak itu,kegiatan saya mengenai masalah-masalah Tiongkok makinintensif. Saya kemudian menyampaikan demission (minta berhenti,secara sukarela) sebagai pegawai restoran, tetapi tetap sebagaianggota koperasi.

Page 203: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

203

R antai yang Kembali Tersambung

Sejak itu, walaupun sudah tidak bekerja lagi sebagai pegawai,saya masih terus mengikuti perkembangan atau jalannya restorankita. Karena kesibukan yang luar biasa padatnya denganmenerbitkan Chine Express, maka saya sudah makin jarang datangke restoran. Tetapi, saya usahakan untuk selalu hadir dalam rapat-rapat koperasi, dan memberikan sumbangan pikiran kepadateman-teman yang meneruskan usaha ini. Kadang-kadang sayadatang juga ke restoran, untuk urusan-urusan tertentu dan untukmengadakan rendezvous (perjumpaan) dengan berbagai orangdalam rangka kegiatan-kegiatan yang lain.

Page 204: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

204

Ciri-ciri utama restoran kita

Ketika catatan ini mulai ditulis dalam bulan Juni 1995,restoran koperasi kita sudah berjalan tiga belas tahun(dan sudah dua puluh tahun, ketika website ini mulai

diluncurkan dalam bulan Oktober 2002). Banyaklah kiranya yangdapat ditulis mengenai restoran ini oleh kita semua, mengingat“keunikan” restoran ini, kalau dilihat dari berbagai segi. Kawankita Sobron Aidit telah memulai pekerjaan penting ini, dengan,antara lain, menerbitkan bukunya yang berjudul Kisah intel dansebuah warung.

Restoran koperasi kita memang unik atau “khas” dalambanyak hal. Orientasi économie sociale yang telah kita pilih bersama-sama ternyata bisa berjalan dengan baik, berkat tekad kawan-kawan kita semua untuk mempertahankannya. Walaupun,kadang-kadang, dengan di sana-sini mengalami kesalahan dankekurangan. Rupanya, orientasi perusahaan kita yang berbentukkoperasi ini juga menarik perhatian banyak orang Perancis.Karena itu, TF-1, Antenne 2 dan FR 3, (tiga stasion televisi utamaPerancis) pernah menayangkan reportase tentang restoran kita.Berbagai majalah Perancis juga telah menulis. Nyonya DanielleMitterrand (istri Presiden Perancis) juga telah datang berkali-kali bersama rombongannya.

Dalam waktu yang cukup panjang, perusahaan kita telahberhasil menjadi tempat penampungan bagi banyak teman-teman, baik untuk jangka lama maupun singkat. Dalam rangka

Page 205: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

205

R antai yang Kembali Tersambung

kebutuhan restorandan juga untuk mem-berikan pertolongan,berbagai orang telahpernah bekerja diperusahaan restoran-koperasi kita ini.Bukan hanya orang-orang Indonesia sajayang pernah bekerjadi restoran kita.Melainkan juga yangdari negeri-negeri lain,umpamanya: Senegal,M a d a g a s c a r ,Malaysia, Thailand,Belanda, Jerman,Rusia, Perancis,Korea, Kuba, danChili.

Dalam masa-masa yang lalurestoran kita telah

berhasil menjadi batu loncatan sementara bagi sejumlah teman-teman Indonesia, yang setelah bekerja sebentar di tempat kita,kemudian berhasil mendapatkan pekerjaan di tempat lain yanglebih sesuai dengan kesukaan atau kebutuhan pribadi merekamasing-masing. Restoran kita juga telah menjadi semacam“tempat adaptasi” bagi sejumlah teman-teman kita, dalammemasuki masyarakat Perancis (seperti halnya kantor SMAR bagisaya sendiri, ketika baru datang ke Perancis).

Page 206: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

206

Keberhasilan restoran kita secara bisnis juga telahmenimbulkan image yang baik terhadap kita semuanya. Berbagaiteman Perancis (Louis Joinet, Mme Boineau, Philippe Farine, SergioReggazoni, Marie-Jo Cocher, dan teman-teman Pascal Lutz danbanyak lagi lainnya) telah menyatakan hal ini. Gema mengenairestoran kita juga terdengar di negeri-negeri lain di luar Perancis,dan banyak teman-teman Indonesia mengikuti perkembanganrestoran kita dengan perasaan senang dan bahkan ikut merasabangga. Beraneka-ragam organisasi dan perseorangan - baik yangdi Perancis maupun yang di luar Perancis - yang telah membantuberdirinya restoran kita, juga menyatakan kegembiraan merekadengan apa yang sudah dicapai oleh usaha kolektif ini.

Karena itu, tepatlah bahwa kita semua terus bekerja kerasuntuk mensukseskan kelanggengan usaha restoran ini. Sebab,bukan saja ini penting untuk kehidupan bagi banyak teman. Tetapijuga untuk tidak mengecewakan bagitu banyak orang (Indonesia,Perancis dan lain-lain) yang telah membantu kita, dan menaruhharapan akan keberhasilan usaha yang unik ini, yang telah merekamanifestasikan sejak berdirinya restoran, dan bahkansebelumnya.

Untuk itu, restoran ini perlu tetap terus menerusmempertahankan rentabilitas, efisiensi kerja, entusiasme kerja,disiplin diri, administrasi yang baik, dan suasana kerja yangmenyenangkan bagi semuanya.

Pelayanan yang hangat terhadap langganan perludipertahankan. Membikin senang langganan adalah kunci pentinguntuk membikin restoran kita makin “menonjol” di Paris. Isihalaman-halaman Livre d’Or (buku tamu), yang sekarangberjumlah tujuh belas itu (sampai pertengahan tahun 2002)merupakan ciri khas kita.

Page 207: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

207

R antai yang Kembali Tersambung

Persahabatan dengan Pascal Lutz, yang selama dua puluhtahun telah bersedia menemani perjalanan restoran kita (tanpagaji sedikit pun), merupakan ciri khas juga dari restoran kita.Sebagai “gérant bénévole” (pengurus secara sukarela) ia telahmelakukan macam-macam urusan, yang kadang-kadang sulituntuk kita tangani sendiri. Faktor ini - yang relatif jarang dijumpaidi Perancis - merupakan hal yang menarik bagi banyak orang.Sebab ini juga merupakan refleksi dari adanya hubungan danpengertian yang cukup baik antara dia dan kita semua yangbekerja di restoran ini. Mudah-mudahan saja, persahabatan inimasih bisa diteruskan sejauh mungkin. Ini bisa terus memberiarti atau isi yang konkrit kepada nama SCOP “Fraternité”(Persaudaraan).

Kita semua sudah mengalami masa-masa yang mengandungsuka duka, pahit manis, pasang surut, dengan restoran ini. Baiksecara pribadi kita masing-masing maupun secara kolektif.Macam-macam soal, baik yang serius maupun yang bersifat tetek-bengek telah terjadi di kalangan kita. Ini adalah sesuatu yangwajar. Kita semua adalah manusia-manusia biasa, seperti yangterdapat di mana-mana. Dan manusia adalah kompleks ataurumit. Namun, bahwa restoran kita masih bisa terus berdirisampai 2002, dan berjalan dengan baik, adalah suatu prestasikolektif yang tidak kecil.

Saya pribadi merasa senang dapat mengikuti perkembanganrestoran ini, sejak lahirnya ide untuk mendirikannya danmeyaksikan pertumbuhannya sekarang. Ketika membalik-baliklagi halaman-halaman Dossier provisoire (semacam feasibility study,yang terdiri dari dua puluh dua halaman, dan memakan waktubeberapa bulan untuk menyusunnya) dan merenungkan kembaliberbagai bagian mengenai rencara mendirikan projek restoran

Page 208: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

208

kita ini, saya merasa senang.

Sekarang ini dapat kita lihat bersama-sama bahwa sebagiandari tujuan yang tercantum dalam Dossier sudah menjadikenyataan. Mengingat pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, saya berketetapan hati untuk terus bisa menemaniperjalanan restoran ini, sampai batas-batas kemungkinan dan dimana diperlukan. Teman-teman yang bekerja di restoran iniselama bertahun-tahun sudah berusaha supaya alat kerja kolektifuntuk penghidupan banyak orang ini bisa berjalan dengan baik.Di antara mereka ada yang dengan aktif mengambil inisiatifmacam-macam untuk selalu mengadakan perbaikan-perbaikandalam berbagai bidang (umpamanya pengelolaan keuangan,perbaikan wajah restoran, kualitas makanan) .

Suksesnya restoran kita merupakan kebanggaan kita masing-masing bahwa kita sudah bisa bersama-sama menciptakan kerjasendiri di Perancis yang sedang dilanda pengangguran.

Ketika jutaan orang Perancis minta bantuan sosial kepadapemerintah untuk hidup (dengan tunjangan sosial dan lain-lain)kita setiap tahun menyetor kepada pemerintah ratusan ribu Francberupa TVA, pajak perusahaan, pajak pendapatan pegawai,asuransi kesehatan, asuransi pensiun, dana sosial URSSAF danlain-lain. Entah berapa juta Franc yang sudah disetor kepadapemerintah Perancis selama ini oleh kita semua, lewat penciptaankerja kita sendiri ini.

Pernah pada suatu waktu, seorang tamu restoran yang lanjutumurnya dan sudah pensiun, mengatakan kepada saya: “Sayaterima kasih kepada kalian yang bekerja di restoran ini.” Danketika saya tanya mengapa, ia menjawab: “Sebab pekerjaanorang-orang seperti kalian inilah yang membayari kehidupan

Page 209: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

209

R antai yang Kembali Tersambung

saya.” Ucapan-ucapan semacam ini merupakan bukti bahwa adapenghargaan orang Perancis terhadap kehadiran kita di negeriini. Kehadiran yang positif, dan yang tidak menjadikan bebanbagi masyarakat Perancis. Bahkan sebaliknya.

Dengan suksesnya restoran kita, kita bisa menegakkan kepala,bukan saja terhadap orang-orang Perancis, tetapi juga terhadaporang-orang Indonesia yang tidak menyukai kita, terhadap KBRIdan penguasa-penguasa di Indonesia. Jadi, ada “aspek politiknya”juga. Untuk menunjukkan bahwa kita-kita yang di”kucil”kan olehmereka itu justru mendapat teman banyak dan mempunyaidukungan yang tidak kecil dari berbagai pihak. Sejak lama merekaberusaha memboikot usaha kita, dan diplomat-diplomatIndonesia dilarang datang ke restoran kita. Kita menjadi “krikil”di mata mereka. Tetapi, usaha kita jalan terus. (Syukurlah, bahwasejak tahun 2002 ini, sikap negatif semacam itu sudah berobah).

Dalam tahun 1994, berkumpullah di Paris banyak utusan LSMyang datang dari berbagai daerah Indonesia, untuk mengikutikonferensi mengenai Indonesia. Berkat pengaturan beberapa orangdi antara teman-teman Indonesia yang tinggal di Paris, sebagianbesar dari utusan-utusan LSM ini pernah makan beberapa kalidi restoran kita. Di antara mereka ini banyak yang menyatakanpenghargaan kepada usaha kolektif kita ini. Ucapan-ucapanmereka ini mempunyai arti yang dalam.

Page 210: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

210

Keluarga berkumpul kembali

Dalam bulan Januari 1984 istri saya datang lagi ke Parisuntuk menyusul kedua anak kami yang sejak beberapatahun sebelumnya juga sudah di Paris. Sejak itu,

keluarga yang pernah terpisah karena terjadinya G-30-S bisabersatu kembali. Peristiwa dalam bulan September 1965, yangdiikuti oleh berbagai kejadian yang mengerikan bagi berpuluh-puluh juta orang di Indonesia, juga menimbulkan trauma bagikeluarga saya. Dengan penggabungan kembali keluarga (réunionfamiliale) di Perancis ini, sedikit demi sedikit dan melalui tahapyang lama, trauma ini mulai bisa dikikis.

Kami berempat tentu saja senang bahwa bisa berkumpulkembali, setelah mereka bertiga harus hidup begitu lama tanpasaya. Kedua anak kami itu baru bertemu dengan bapaknya setelahmereka berumur delapan belas-sembilan belas tahun. Sayatinggalkan istri saya (dalam bulan September 1965) ketika baruhidup bersama enam tahun, dan memulai lagi kehidupan bersamatiga belas tahun kemudian. Dan ini terjadi di luar negeri.

Sewaktu di Indonesia untuk menghindari kesulitan-kesulitanyang bisa ditimbulkan oleh pemerintah Indonesia, mereka bahkankadang-kadang harus menyatakan (kepada banyak orang daninstansi-instansi pemerintah di Indonesia) bahwa saya sudahmati. Atau, dengan mengubah nama dan pekerjaan saya(umpamanya: Said, pedagang). Atau, dengan mengatakan bahwasudah bercerai, dan segala macam dalih palsu lainnya. Sampai

Page 211: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

211

R antai yang Kembali Tersambung

umur belasan tahun, kedua anak kami tidak tahu siapa bapaknya.Karena, seluruh keluarga istri saya juga menyembunyikan halini.

Walaupun sudah hidup di Perancis, selama bertahun-tahunkami semua terpaksa hati-hati sekali. Segala cara telah ditempuhsupaya jangan terlalu banyak orang Indonesia (kecuali teman-teman terdekat) yang mengetahui tentang hubungan kitaberempat. Masing-masing dari kami berempat terpaksa mencarialamat yang berbeda-beda dalam kartu penduduk masing-masing, walaupun sebenarnya mereka satu rumah juga dengansaya. Dalam hal ini, bantuan selama bertahun-tahun yangdiberikan teman-teman Perancis adalah besar. Sebab dengan carabegitu, mereka dapat memperpanjang paspor Indonesia di KBRItanpa menggunakan alamat saya.

Hal semacam ini aneh kelihatannya. Inilah salah satu contohbetapa besarnya trauma atau ketakutan bagi banyak orang diIndonesia yang disebabkan oleh tindakan-tindakan terorpsikologis pemerintah Indonesia, yang dilakukan dalam jangkalama sekali. Banyak orang yang tidak salah apa-apa, menjadikorban ketakutan selama belasan tahun, bahkan puluhan tahun.Istri dan kedua anak saya termasuk dalam golongan ini, padahalmereka tidak mempunyai kesalahan apa-apa.

Memang, keadaan keluarga saya ini masih relatif“mendingan” dibandingkan dengan nasib begitu banyak keluargalainnya di Indonesia, umpamanya keluarga adik di Blitar. Adikwanita ini, kawin dengan seorang guru yang menjadi pimpinanPGRI Non-vaksentral di Blitar. Sebagai kelanjutan dari peristiwaG-30-S suaminya ditangkap tentara di Blitar, dan kemudian“dihilangkan.” Sampai sekarang, keluarga tidak tahu di manakuburannya. Dalam jangka yang lama sekali, trauma yang sangat

Page 212: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

212

dalam telah meng-hantui kehidupanseluruh keluarganya.

Bagi saya, ber-kumpul kembali de-ngan keluarga jugamemerlukan penye-suaian diri dengansituasi baru ini, sebagaikepala keluarga.Sebab, cukup lamahidup terpisah darimereka sebagai bu-jangan, dengan kebi-asaan hidup yangcukup montang-manting.Di samping itu - dansudah sewajarnya,sebagai setiap manusialainnya - masing-masing mempunyaiwatak, cara berpikir,kesukaan, dan lang-gam sendiri-sendiri. Ini juga memerlukan adaptasi bagi masing-masing, dalam suasana dan lingkungan baru.

Setelah keluarga berkumpul lagi, maka masalah kehidupansehari-hari juga harus mendapat pemecahan. Kita berusahauntuk hidup sederhana dan hemat. Pada masa-masa permulaansesudah datang ke Paris, istri saya berusaha untuk meneruskanpekerjaannya dalam jahit-menjahit untuk penduduk di sekitar

Page 213: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

213

R antai yang Kembali Tersambung

rumah tempat tinggal kita. Kita telah masukkan beberapa kaliselebaran-selebaran dalam kotak pos penduduk. Hasilnyalumayan, walaupun tidak banyak. Kemudian istri saya jugabekerja di restoran Indonesia.

Sementara itu, saya juga terus bekerja di restoran, sambilmenangani pekerjaan tulis-menulis atau kegiatan-kegiatan lain,antara lain: penulisan dossier soal hubungan Perancis-Indonesia,dan kemudian rencana pembuatan dossier France-Chine An 2000.Pekerjaan ini, yang saya kerjakan setiap malam atau setiap pagihari, merupakan langkah-langkah yang akhirnya menjurus kekegiatan untuk menerbitkan Chine Express. Walaupun lebihterbatas daripada yang sudah-sudah, saya juga meneruskankegiatan-kegiatan lainnya, umpamanya mengenai masalah paraeks-tapol dan masalah Timor Timur dll.

Berdasarkan pengalaman mereka sendiri yang dialami diIndonesia dan di Perancis, istri dan kedua anak saya makin lamamakin mengerti tentang apa yang sudah saya kerjakan di masa-masa yang lalu.

Mereka juga melihat pentingnya adanya perobahan-perobahan di Indonesia, di mana demokrasi dicekik, hak-hak asasimanusia diinjak-injak, dan penguasa-penguasa bertindaksewenang-wenang, sehingga menimbulkan kesengsaraan dansiksaan bagi begitu banyak orang. Pengertian mereka tentangapa yang saya lakukan adalah penting, sebab ini juga merupakansokongan moral. Sejak itu, saya merasa lega.

Mereka memang melihat apa yang saya kerjakan. Dan sayajuga bicara tentang berbagai soal, tetapi belum banyakmenceritakan tentang “Perjalanan Hidup Saya” seperti yangtertulis dalam halaman-halaman ini. Kalaupun mereka tahu,

Page 214: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

214

hanyalah sepotong-sepotong. Saya akan merasa senang, bahwadengan membaca tulisan-tulisan ini, mereka bisa lebih mengertitentang diri saya, dan tentang apa yang saya kerjakan.

Saling pengertian adalah perlu bagi kehidupan berkeluarga.Dan saya berusaha menjaga masalah yang penting ini. Tetapi,sebagai manusia biasa, adanya perbedaan pendapat mengenaimacam-macam soal adalah wajar. Dan kehidupan keluargamemerlukan kompromi yang terus menerus, toleransi yang besar,dan penyesuaian diri dengan kepentingan keluarga keseluruhan.

Sudah sewajarnya, seperti kebanyakan keluarga lainnya,bahwa kadang-kadang terjadi juga pergesekan. Dalam hal yangbegini, yang penting adalah dicapainya suatu penyelesaian, demikebaikan seluruh keluarga.

Sebagai bapak keluarga saya sekarang merasa tenteramtentang hari kemudian yang dihadapi mereka berdua. Daripendidikan yang sudah mereka peroleh dan sikap hidup yangmereka miliki, mereka akan bisa berhasil mengarungi samuderakehidupan yang penuh dengan macam-macam soal dan rumitini. Dari pengamatan sampai sekarang, ada juga hal lain yangpenting, yaitu bahwa kedua anak kami menaruh respek kepadakedua orang tua mereka.

Dalam umur yang makin meningkat terus, keinginan kamiialah supaya kehidupan keluarga yang disertai kerukunan dansaling pengertian ini bisa dipertahankan. Dan kami senang bahwakedua anak ini telah dapat menjaga dan membantu orang tuamereka.

Page 215: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

215

Babak 7

Menjadi PMenjadi PMenjadi PMenjadi PMenjadi Pemilik Majalahemilik Majalahemilik Majalahemilik Majalahemilik Majalahdengan Membayar 1 Fdengan Membayar 1 Fdengan Membayar 1 Fdengan Membayar 1 Fdengan Membayar 1 F.....

Pentingnya kegiatan

Sejak minta suaka politik di Perancis dalam bulanSeptember 1974, saya merasa yakin akan pentingnyamenggalang persahabatan dengan berbagai orang. Sebab,

saya hidup di perantauan, dan waktu itu sedang menghadapipersoalan-persoalan. Terutama masalah permintaan suaka-politik. Ketika itu, saya kuatir sekali bahwa permintaan ini ditolakoleh pemerintah Perancis. Sebab kalau ditolak, maka akan gagallahbanyak rencana. Padahal, keberhasilan suaka di Paris ini sangatpenting bagi saya dan bagi sejumlah teman-teman Indonesialainnya. Di samping itu saya ingin menjalankan kegiatan.

Untuk ini semua, saya berusaha keras untuk mencari kontak-kontak yang luas, mencari teman dan menggalang persahabatan,dengan berbagai jalan. Kontak-kontak ini, dalam masa-masapermulaan, dilakukan dengan menghadiri atau ikut serta dalamkegiatan yang diadakan oleh berbagai organisasi atauperkumpulan Perancis. Saya masih ingat bagaimana, pada akhirtahun 1974, sering mengikuti acara-acara weekend yang diadakanoleh Communauté de Base dari golongan kiri Katolik, bersama-samaOdile Chartier, Denis Priyen, Yves Barou (dari PSU, Parti SosialisteUnifié) dan lain-lain.

Page 216: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

216

Dalam kegiatanyang diselengga-rakan di suatubiara Katolik itu,d i d i s k u s i k a nberbagai soal yangm e n y a n g k u tm a s y a r a k a tPerancis waktuitu: sistim peme-rasan oleh kapita-lisme, soal DuniaKetiga, soal demo-krasi dan lain-lain.

M e n u r u tp e n g a l a m a n ,m e n g i k u t ikegiatan-kegiatantertentu, bisamerupakan jalan

pintas untuk menjalin kontak yang lebih dekat dengan berbagaiorang. Karena, dengan melakukan kegiatan bersama mengenaisesuatu, kita bisa bergaul dengan orang-orang yang sedikit-banyaknya memiliki titik-titik persamaan: pendirian politik,pandangan, kesukaan atau kecenderungan atau kebalikannya.

Dengan begitu, kita mengenal orang dan mengenal situasi darikontak langsung. Melalui praktek begini, kita bisa memperluasjaringan perkenalan dan juga persahabatan.

Permulaan hubungan saya dengan Louis Joinet adalah karenakegiatan-kegiatan mengenai Timor Timur. Ia telah memberikan

Page 217: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

217

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

bantuan untuk me-n y e l e s a i k a npersoalan-perso-alan yang dihadapirestoran kita.

B i a s a n y a ,untuk meningkat-kan kontak atauhubungan menjadip e r s a h a b a t a n ,dibutuhkan sya-rat-syarat. Orangbisa menjadi saha-bat kalau sama-sama senang dansaling menghar-gai. Di sini berlakutuntutan timbalbalik. Kita bersa-habat denganorang lain bukanhanya dengan tu-juan untuk mintatolong saja, tetapijuga harus berse-dia untuk membe-rikan pertolongan kepadanya.

Orang lain ingin bersahabat dengan kita, karena berbagaisebab juga. Mungkin karena senang dengan kita, atau memerlukankita. Keperluan ini bisa macam-macam.

Artikel yang saya buat empat bulan sesudahsaya datang ke Paris, dan diterbitkan oleh

majalah Témoignage Chrétien pada tgl 2 Januari1975. Waktu itu, pimpinan redaksinya, J.P.LSéguillon mengusulkan nama samaran Pierre

Eaubonne untuk artikel ini

Page 218: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

218

Tetapi, kalau kita lihat kemudian bahwa ia hanya maumenarik keuntungan saja dari kita, biasanya persahabatan yangdemikian ini tidak langgeng. Persahabatan juga menuntut adanyasaling memberi, dalam macam-macam bentuk dan melalui berbagaicara.

Persahabatan yang bisa dijalin lewat kegiatan bersama (bentuk-nya dan bidangnya bisa macam-macam) biasanya secara relatifbisa awet. Sebab, melalui praktek bersama, kita saling mengenal.Tindakan atau perbuatan konkrit, bukan hanya omongan, bisamerupakan ukuran bagi kita masing-masing.

Dalam berbagai kegiatan, kita bisa saja melakukan kesalahan,besar atau kecil. Ini lumrah. Sebab, hanya orang yang tidakberbuatlah yang tidak melakukan kesalahan. Yang penting ialahbahwa kita berusaha memperbaiki kesalahan itu dan berusahameneruskan usaha.

Ketika kita masih kecil, kita semua pun jatuh bangun untukbelajar berjalan. Kalau kita ingat ini semua, kita jadinya jugamudah untuk memaafkan kesalahan atau kekurangan orang lain,atau untuk membantu orang lain memperbaiki kesalahannya.

Dalam kegiatan bersama, melalui praktek untuk menanganimacam-macam soal, kelihatanlah kwalitet masing-masing, dari segikemampuan, kemauan dan pandangan hidup. Dalam perjalananhidup saya, saya telah temui berbagai peristiwa atau pengalaman,yang menunjukkan bahwa praktek adalah penting, dan melaluiprakteklah kita belajar terus menerus. Dalam segala hal.

Page 219: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

219

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Menjadi warganegara Perancis

Dalam tahun 1986 telah saya terima pemberitahuan dariPrefecture Bobigny (pemerintahan setempat) bahwapermintaan saya untuk menjadi warganegara

Perancis telah dikabulkan. Sebenarnya, memperolehkewarganegaraan lain, ketika sudah berumur lima puluh delapantahun, tidaklah menimbulkan pengaruh yang besar ataupergantian yang mendasar bagi diri-pribadi saya.

Memang, sebelum mengajukan permintaan naturalisasi, sayasudah menimbang-nimbang baik-buruknya keputusan ini: apaartinya bagi kehidupan saya, mengapa perlu diambil tindakanini, dan bagaimana pengaruhnya terhadap jalan hidup sayaselanjutnya, termasuk kelanjutan kehidupan keluarga.

Kenyataan bahwa nama Umar Said, yang sudah disandangsejak lima puluh delapan tahun terpaksa diganti dengan AndréAumars saja sudah merupakan beban psikologis yang tidak kecil.Sebab nama ini diberikan oleh orang tua, persisnya oleh bapak.Oleh karenanya, bisa dimengertilah kiranya bahwa nama yangdiberikan orang tua ini sangat penting bagi saya.

Dengan nama ini sudah dilakukan berbagai kegiatan sejaksaya masih muda remaja. Juga ketika menghadapi masa-masayang sulit dan gawat di Sumatera Barat, ketika terjadipemberontakan PRRI. Kemudian, nama ini sudah saya bawa keberpuluh-puluh negeri di benua Asia, Afrika dan Eropa. Dengannama ini jugalah saya sudah bermukim di Perancis selama

Page 220: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

220

belasan tahun. Hanyakarena berbagai pertim-bangan dan keperluan-keperluan tertentulahmaka pernah juga diguna-kan nama panggilan ataunama samaran yangmacam-macam: Ayik,Markun, Alberto, Nico,Anang, dan lain-lainnyalagi.

Memang, kepadamereka yang mengajukanpermintaan naturalisasi,pemerintah Perancis jugamenyarankan (tidakmengharuskan) untuk“memperanciskan” namaasli, dan menggantinyadengan nama-nama yangsesuai dengan kebiasaanatau “perasaan” Perancis,atau setidak-tidaknyayang bisa dianggap agak

mirip-mirip.

Itulah sebabnya telah dipilih nama Aumars, yang tidak jauhbedanya - menurut pendengaran - dari Umar. Telah dipilih namakecil “André” karena ini jugalah nama Sekjen SMAR, yang sejakhari pertama saya bekerja di Kementerian Pertanian Perancis,telah memanggil saya sebagai “frère” (saudara). Peran saya sebagai

Page 221: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

221

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

orang tua yang baik, namanya André, dalam sandiwara yangpernah dipentaskan di desa di Tiongkok, juga merupakan satupertimbangan.

Menjadi warganegara Perancis dan mengubah nama denganAndré Aumars adalah hanya sekadar untuk mengatasi berbagaisituasi dalam kehidupan. Memang, dalam praktek sehari-hariyang bermacam-macam, kewarganegaraan Perancis ini dapatjuga - walaupun tidak selalu - memudahkan urusan-urusan.Karena, sejak itu status saya sudah bukan lagi sebagai orang asing.

Secara resminya, menurut hukum, hak dan kewajiban sayaadalah sama dengan orang-orang Perancis lainnya. Itu menurutteorinya, walaupun kenyataannya tidak selalu demikian. Sebab,bagaimana pun juga masih saja ada orang-orang atau pejabat-pejabat Perancis yang menunjukkan sikap rasialis terhadap“warganegara Perancis” yang kulitnya berwarna.

Menurut pengalaman bertahun-tahun, untuk hidupbermukim di Perancis dengan menyandang status sebagai orang-asing mengandung berbagai kesulitan atau keterbatasan. Apalagi,dengan nama Umar Said, yang kedengarannya seperti namaorang Arab. Padahal, dalam masyarakat Perancis (walaupuntidak banyak) terdapat juga sentimen anti orang Arab yang laten.

Oleh karena saya perlu terus melakukan berbagai kegiatan,antara lain dengan menerbitkan majalah bulanan Chine Express,maka status sebagai warganegara Perancis dan mengubah namamerupakan kebutuhan. Dengan begitu, keterbatasan ataukungkungan status sebagai orang-asing dapat diubah. Tetapi -mungkin oleh karena beraneka-ragam kegiatan saya di masa-masa sebelumnya - untuk mendapatkan status warganegaraPerancis tidaklah mudah. Di samping harus menjalani proseduryang biasa seperti kebanyakan orang-asing lainnya, saya telah

Page 222: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

222

diperiksa oleh Renseigne-ment Generaux (polisirahasia), yang mengaju-kan macam-macam per-tanyaan, kemudian olehDST (intelijen negara). Iniwajar, sebab sejak datangke Perancis (dan sebe-lumnya) saya telahmelakukan berbagaikegiatan (hubungan-hubungan saya denganRRT, peristiwa “mema-sukkan orang” kePerancis, kepergian sayake Mozambigue, kegiatan-kegiatan mengenai Tapoldan Timor Timur danmacam-macam lainnyalagi). Tentulah, sedikitbanyaknya, dinas rahasia(intel) pemerintahanPerancis mengetahuinya.

Sadar bahwa kasussaya ini memerlukandukungan yang kuat,maka saya telah mintabantuan dari berbagai

“tokoh” Perancis dari banyak kalangan, antara lain Louis Joinet(penasehat hukum Perdana Menteri), Dr Dewangen (pimpinan

Page 223: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

223

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

France Terre d’Asile), Yves Regis (pimpinan ConfédérationGénérale de SCOP), Frederic Pascal (pimpinan FONDA), PhilippeFarine (bekas pimpinan CCFD), anggota parlemen dari PartaiSosialis Jacques Mahéas dan lain-lainnya. Berkat hubungan dalamberbagai kegiatan dengan mereka, maka mereka mendukungpermintaan saya untuk mendapatkan kewarganegaraan Perancis.

Bagi saya, menjadi warganegara Perancis adalah karenaterpaksa oleh situasi. Ini tidak berarti bahwa saya bukan orangIndonesia lagi. Karena, saya berketetapan hati untuk menjadikanAndré Aumars adalah tetap Ayik Umar Said yang dulu juga, danmenginginkan bahwa dengan nama André Aumars masih terusbisa berbuat sesuatu melalui berbagai kegiatan, untukkepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan juga untukIndonesia.

Sejak mendapat kewarganegaraan Perancis, saya lebih leluasauntuk berbuat sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia,terutama dalam memberi sumbangan, sebisa-bisanya atausampai batas-batas kemungkinan, dalam perjuangan bersamauntuk mengembangkan demokrasi, membela HAM, melawansisa-sisa Orde Baru, memperjuangkan reformasi. Sebagaiwarganegara Perancis, saya bisa melakukan itu semuanya, jugadengan nama A. Umar Said. Sebab, sesuai dengan teks dalamkeputusan pemberian status warganegara bagi saya, disebutkanbahwa dua nama itu bisa dipakai secara sah, menurut hukumPerancis.

Memang, undang-undang Perancis membolehkan seseorang(tentu ada kasus-kasus pengecualian) untuk mempunyaikewarganegaraan dobel (atau ganda). Jadi, itu berarti bahwakalau pemerintah (undang-undang) Indonesia membolehkan sayamemperoleh kembali status sebagai warganegara Indonesia,

Page 224: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

224

maka saya bisa mempunyai dua paspor. Tetapi, apakah halsemacam itu mungkin, itu lain perkara.

Namun, satu prinsip yang tetap ingin saya pegang terusadalah bahwa saya adalah seorang yang berusaha menghormatinegara dan bangsa Perancis dan sekaligus juga mencintai negaradan bangsa Indonesia.

Page 225: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

225

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Mendirikan China Documentation &Communication

Dalam tahun 1985, ketika masih bekerja di restoranIndonesia, saya mengunjungi Tiongkok selamasebulan dengan maksud untuk mengumpulkan

bahan-bahan guna penulisan buku France-Chine An 2000 (Perancis-Tiongkok, Tahun 2000). Waktu itu, saya masih mempunyai ilusiuntuk menjadi semacam konsultan dan mencari kemungkinanuntuk terjun dalam bisnis, terutama untuk urusan-urusanPerancis-Tiongkok. Untuk itu, saya juga telah mendaftarkan dirisecara resmi sebagai Agent Commercial. Beberapa rencana telah sayausahakan tetapi gagal. Sebabnya macam-macam, antara lain:tidak punya modal, tidak punya pengalaman dalam bisnis impor-ekspor. Di samping itu dengan nama Umar Said (yang bisadianggap kearab-araban), tidaklah mudah untuk menghubungikalangan pengusaha Perancis.

Pernah juga punya ide, permulaan tahun 1986, untuk mencobamendatangkan sirkus Tiongkok ke Perancis untuk mengadakantournée di berbagai kota. Berbagai persiapan telah diadakan untukitu (membikin rencana anggaran, mengunjungi stadion olahragaBercy dan lain-lain) selama sebulan lebih. Karena anggarannyaamat besar (750 000 F), dan tidak ada yang berani menanam modaldalam proyek ini, kemudian rencana ini tercampakkan begitusaja.

Karena punya ilusi untuk coba-coba terjun dalam bisnis, makamacam-macam jugalah yang telah dilakukan dalam tahun 1986.

Page 226: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

226

Pada suatu waktu terjadilah kontak dengan Société d’Edition“Souffles,” tempat bekerja Odile Chartier. Société ini bergerakdalam dunia penerbitan (buku-buku), tetapi juga bermaksuduntuk mengerjakan impor-ekspor dll. Karena Souffles bekerjasama dengan orang-orang Perancis yang menerbitkan majalahChine Express, maka saya diminta oleh Souffles untuk mengurusikerjasama ini.

Sesudah Chine Express dioper oleh Souffles, maka sayabertanggungjawab mengenai redaksi majalah ini. Sambil bekerjaterus di restoran (mi-temps, kerja tidak penuh) saya menanganimajalah ini sampai akhir 1987, tanpa gaji. Karena sebab-sebabkeuangan yang makin sempit bagi Souffles, maka majalah initadinya mau dihentikan. Saya menganggap bahwa sayang sekalikalau majalah itu dihentikan begitu saja. Setelah diadakandiskusi-diskusi agak lama dengan pimpinan Souffles, makakemudian mereka menyetujui untuk saya teruskan.

Untuk itu, telah diambil jalan begini: kedua belah pihakmenandatangani surat pernyataan bahwa penerbitan ChineExpress ini dipindah-tangankan kepada saya, sejak 19 Januari 1988,dengan pembayaran (simbolik) sebesar 1 F. Sejak itu, Chine Expressmenjadilah milik saya pribadi sepenuhnya.

Setelah Chine Express dioperkan dan menjadi milik saya,masalah yang harus dipecahkan ialah bagaimana meneruskanpenerbitan ini. Melancarkan suatu usaha di bidang persmemerlukan modal. Justru, modal inilah yang tidak ada. Karenaitu dicari jalan dan cara yang macam-macam. Setelah banyakbertanya sana-sini dan memikirkan cara yang perlu ditempuh,akhirnya terdapat jalan yang cocok, yaitu mendirikan badanhukum untuk pers.

Page 227: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

227

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Badan hukumini namanya EURLChina Documentation& Communication,dan didaftarkansecara resmi keberbagai instansiPerancis padatanggal 28 Januari1988.

Menurut ke-tentuan undang-undang Perancis,siapa saja diboleh-kan mendirikanperusahaan persdengan modal res-mi paling sedikit2000 F.

Jadi, modalresmi badan hu-kum yang menerbitkan Chine Express ini hanyalah 2000 F. Tetapi,tidak berarti bahwa modal resmi yang sekecil itu sudah cukupuntuk menerbitkan majalah bulanan ini. Untuk tahun-tahunpertama, cukup banyak juga hutang ke kanan dan ke kiri.Termasuk hutang kepada istri, yang bersedia menomboki dulupengeluaran-pengeluaran.

Walaupun namanya China Documentation & Communication, sejaksemula saya memang tidak mau minta bantuan, subsidi ataudana dari pihak Kedutaan Tiongkok maupun pemerintah

Page 228: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

228

Tiongkok. Sayamempunyai prinsipbahwa usaha iniharus berdikari,merupakan inisiatifprivé, dan independen(bebas, tidak tergan-tung atau tidakterikat). Sebab, sayatidak mau minta-minta, dan tidak maumenjadi alat atau“corong” yangdibayar. Prinsip inipenting untuk ke-baikan usaha ini dan

untuk reputasi pribadi saya sendiri.

Dengan prinsip ini, saya bisa menegakkan kepala saya didepan siapa saja, dan tidak perlu merunduk-runduk, seperti orangyang harus patuh melakukan sesuatu karena dibayar. Baik dihadapan orang Tiongkok maupun orang Perancis. Memang,karena memegang prinsip berdikari ini, maka banyak sekalikesulitan yang harus dihadapi. Dan harus bekerja keras. Tetapi,pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa prinsip iniadalah yang paling baik. Sebab, mereka (orang-orang Tiongkokatau pun Perancis) yang mengetahui kesulitan-kesulitan saya,malah menunjukkan respek.

Seandainya bisa menerima dana atau subsidi dari pemerintahTiongkok, juga akan menimbulkan berbagai efek. Ini akan berartibahwa perusahaan perseorangan ini menjadi salah satu alat

Page 229: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

229

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

pemerintah Tiongkok. Maka akan hilanglah sifat independen danberdikarinya usaha ini. Di samping itu, seandainya dana itu besar,maka akan berkurang jugalah sifat jerih payah usaha ini. Karena,tidak kuatir akan menghadapi risiko lagi, dengan adanya“backing.” Padahal justru risiko dan sifat jerih payah inilah yangmerupakan ciri usaha ini.

Saya mendirikan di Perancis perusahaan perseorangan inidengan berbagai pertimbangan. Terutama ialah ingin meneruskanprofesi kewartawanan saya. Tetapi ada sejumlah keterbatasanyang cukup penting: umur yang sudah lanjut, penguasaan bahasaPerancis yang tidak bisa dikatakan sempurna, pasaran pembacayang sempit, tidak ada modal yang cukup untuk bisamempekerjakan orang lain. Walaupun ada keterbatasan semacamdi atas, namun akhirnya berhasil juga mempertahankankelangsungan hidup penerbitan yang kecil ini dalam jangka waktuyang cukup lama, yaitu sepuluh tahun.

Memang, saya tidak mempunyai ilusi atau ambisi bahwapenerbitan ini akan bisa menjadi besar, atau menjadi sumberkeuangan yang besar. Saya sudah senang bahwa langganan bisabertambah, sehingga cukup untuk menutupi ongkos-ongkospenerbitan (percetakan, telpon, biaya pengiriman lewat pos danlain-lain) dan juga kebutuhan hidup setiap bulan. Juga sudahmenggembirakan bahwa kadang-kadang ada pemasukan uangyang agak lumayan, dengan membuat nomor-nomor khusus,mendapat iklan, atau bisa menjual majalah secara “borongan.”

Pertimbangan lainnya ialah bahwa dengan ChinaDocumentation & Communication (dan penerbitan Chine Express)ini saya mempunyai alat untuk kegiatan yang macam-macamdan jauh jangkauannya. Dan betul, dengan alat inilah saya sudahpernah bertemu dengan macam-macam tokoh yang penting,

Page 230: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

230

umpamanya: PerdanaMenteri EdouardBalladour, PresidenSénat Perancis RenéMonory, Menteri Perda-gangan Luar NegeriGerard Longuet, DutaBesar RRT Cai Fangbo,dan pimpinan perusa-haan-perusahaan besarPerancis. Selain itu jugasering mendapat un-dangan untuk mengha-diri resepsi-resepsi ataupertemuan-pertemuandi Paris, yang diadakanoleh berbagai kemen-terian atau perusahaanbesar Perancis yangp e n t i n g - p e n t i n g

(umpamanya: Aerospatiale, Peugeot, Citroen, Renault, EDF, BNP,Credit Lyonnais, Lyonnais des Eaux, Gaz de France, dan banyaknama-nama lainnya yang terkenal).

Singkatnya, saya temukan selama perantauan di negeriPerancis ini jalan untuk menciptakan kerja sendiri, (walaupundengan penghasilan yang tidak besar), dan mempunyai alat yangbaik untuk bisa mengikuti perkembangan berbagai bidang.

Bisalah dikatakan bahwa kegiatan saya dengan ChinaDocumentation & Communication (Chine Express) ini merupakanbagian yang amat penting juga dari “Perjalanan Hidup Saya.”

Page 231: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

231

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Kegiatan sebagai wartawan di Paris

Kegiatan selama menerbitkan Chine Express sejak 1987banyak mengandung hal-hal yang “tidak normal.”Karena, Chine Express dikerjakan seorang diri selama

bertahun-tahun sejak 1987. Satu orang ini mengerjakan macam-macam: membikin artikel dan editorial, membikin layout,membikin grafik dan gambar-gambar. Ia juga menelponilangganan, menginterviu orang-orang, membikin fakturlangganan dan mailing, tetapi juga surat menyurat mengenaimacam-macam urusan. Jadi, cukup banyak ragamnya, sehinggasehari-hari selalu saja ada kesibukan yang mendesak. Begitupadatnya kesibukan, sehingga sering sekali terpaksa baru tidurjam satu atau jam dua malam. Termasuk hari Sabtu dan Minggu.

Mengenai kegiatan dengan Chine Express ini pernah saya buat,pada akhir tahun 1992, sebuah catatan yang berjudul “Laporansuka duka seorang penerbit Chine Express di Paris.”

Catatan ini (sebanyak enam puluh delapan halaman, ukurankecil) telah diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa oleh teman-teman Tiongkok di Peking. Terjemahan ini telah diedarkan, dalamjumlah kecil, untuk lingkungan terbatas sekali di sana. Terutamauntuk teman-teman terdekat di kantor berita Xinhua, di ChineseAssociation of International Understanding (CAFIU) danDepartemen Luar Negeri Partai Komunis Tiongkok.

Dalam “Laporan suka duka seorang penerbit” ini dicerita-kan berbagai aspek dari pengalaman selama menerbitkan Chine

Page 232: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

232

Express di Paris. Apayang tertera di bawahini merupakan ring-kasan padat dancupl ikan-cupl ikandari tulisan. KantorChine Express adalahjuga apartemen tem-pat kami tinggal.Letaknya kira-kira 30km dari pusat kotaParis. Kantor iniberupa satu ruangantamu, ditambah seba-gian kecil dari dapur.Di sinilah dikerjakansegala-galanya.

U n t u n g l a hbahwa dengan kema-juan teknik, banyakpekerjaan yang bisa

dikerjakan seorang diri, yang mestinya - menurut cara kerjayang “normal” - dikerjakan oleh tiga sampai empat orang.

Kemajuan teknik komputer memungkin Chine Expressdikerjakan di rumah sendiri, setiap waktu, tidak memakantempat, tidak bising, dan serbaguna. Sebab mesin komputer yangsebesar televisi ini bisa mengerjakan macam-macam pekerjaan,dan kemampuannya juga luar biasa.

Walaupun begitu, untuk menerbitkan majalah bulanan ini,yang tebalnya sekitar lima puluh halaman, diperlukan cara kerja

Page 233: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

233

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

yang “tidak biasa,” yang berarti harus bekerja keras, tekun danberdisiplin.

Sebagai orang yang asalnya bukan Perancis, menerbitkanChine Express dalam bahasa Perancis di Paris adalah soal yangberat. Sebab, bahasa Perancis adalah bahasa yang tidak mudahuntuk dipelajari. Apalagi, umur sudah tua, dan ingatan juga sudahtidak sekuat ketika masih muda. Padahal, mutu bahasa jugamerupakan syarat penting untuk kelangsungan hidup majalahini. Untuk mengatasinya, saya usahakan terus untuk belajar,sambil menangani Chine Express.

Walaupun sebagian besar dari isi majalah bulanan ini diambildari siaran-siaran dari kantor berita Xinhua dalam bahasaPerancis, bantuan orang Perancis untuk menyempurnakanpenyajian berbagai tulisan tetap diperlukan. Untuk ini, adaseorang wanita Perancis, Paulette Geraud, yang bersediamembantu pekerjaan koreksi, dengan imbalan yang kecil sekali,yang pada hakekatnya adalah bantuan persahabatan.

Chine Express mengutamakan pentingnya lay-out. Ini penting,sebab walaupun isi adalah faktor yang utama, tetapi penyajianyang enak dibaca dan menyenangkan mata juga merupakan halyang tidak boleh diabaikan. Karena tidak memuat foto-foto, makadiusahakan supaya setiap terbit bisa dimuatkan grafik ataustatistik-statistik. Dengan begini, bisa diberikan kesan kepadaumum bahwa penerbitan ini adalah profesional dan bukanamatiran saja. Pekerjaan lay-out merupakan pekerjaan kreatif yangmengandung unsur-unsur seni. Ini merupakan pekerjaan yangmengasyikkan dan menyenangkan bagi saya.

Sejak semula sudah ditentukan bahwa majalah ini ditujukankepada kalangan pengusaha-pengusaha Perancis yangmenjalankan bisnis dengan Tiongkok. Jadi, lingkungan

Page 234: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

234

sasarannya adalah sempit sekali. Sebab, perusahaan Perancis yangberhubungan secara regular dengan Tiongkok hanyalah beberaparatus saja. Oleh karena itu, bolehlah dikategorikan bahwa ChineExpress adalah penerbitan spesialisasi (specialised press). Daripengalaman bertahun-tahun sudah dapat disimpulkan bahwa“spesialisasi” ini adalah tepat. Sebab, justru “spesialisasi” inilahtitik kuat majalah ini. Artinya, memang disengaja bahwa ChineExpress tidak memuat berita-berita atau artikel-artikel yangberkaitan dengan bidang-bidang lain, umpamanya: olahraga,kebudayaan, turisme, film, sejarah dan lain-lainnya. Kadang-kadang, masalah politik juga dimuat. Terutama, masalah politikyang berkaitan dengan hubungan antara Perancis dan Tiongkok,atau politik pemerintah RRT yang erat hubungannya denganmasalah-masalah ekonomi.

Masalah kredibilitas juga sangat diutamakan oleh ChineExpress. Sebab, pada hakekatnya, masalah kredibilitas adalahpenting bagi siapa saja. Dalam pergaulan sehari-hari, dalambisnis, atau pekerjaan yang macam-macam. Ini menyangkut sikappribadi, tingkah laku, cara kerja, sikap menghadapi orang lain,yang kadang-kadang juga ada hubungannya dengan masalahwatak dan pandangan hidup seseorang.

Menurut pengalaman selama bertahun-tahun dalammenangani Chine Express, kredibilitas terhadap penerbitan ini jugamenuntut supaya pengelolanya juga mengetahui perkembangansituasi di Tiongkok, walaupun secara dasar dan secara garis besar.Sebab, adalah suatu hal yang aneh, kalau si pengelola tidakmemiliki sama sekali pengetahuan, walaupun sepotong-sepotong,mengenai keadaan di Tiongkok.

Menerjunkan diri kembali ke dalam kewartawanan adalahkesenangan bagi saya. Sebab, sejak muda justru dalam bidang

Page 235: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

235

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

inilah pekerjaan utamanya, walaupun pernah terpotong- potong.Karena dipaksa oleh situasi sajalah maka kemudian terpaksamenjalani pekerjaan-pekerjaan di bidang lainnya. Dan itu punbisa dianggap sebagai intermezzo atau selingan saja. Karena,sebenarnya, saya tidak pernah begitu tertarik untuk melakukanpekerjaan yang lain sebagai lapangan hidup.

Menjadi wartawan di Paris adalah kehidupan yangmengasyikkan. Cukup berwarna-warni dan mengandung asamgaram atau pahit manis. Karena Chine Express adalah pressespécialisée, maka saya tidak meliput peristiwa-peristiwa(undangan, konferensi pers, pertemuan-pertemuan dan lain-lain)yang tidak bersangkutan dengan masalah-masalah hubunganekonomi antara Perancis dan Tiongkok. Kelihatannya, sepintaslalu, bidang atau lapangan yang digarap hanyalah sempit saja.Tidak, sebab tujuan China Documentation & Communication(Chine Express) tidaklah kecil: yaitu persahabatan antara duanegeri, lewat hubungan-hubungan ekonomi dan lewat bentuk-bentuk lainnya.

Sebagai pengelola Chine Express, untuk dapat sering berkunjungke Tiongkok (biasanya, setahun sekali) adalah penting. Kunjungankerja ke Cina dapat membantu pekerjaan di Perancis yang bersegibanyak. Berkat adanya bantuan fasilitas dari berbagai pihak diPerancis maupun di Tiongkok, kunjungan kerja ini dapatdilakukan. Sering berkunjung ke Tiongkok juga penting untukmemberi kesan kepada umum bahwa pengelola Chine Expressselalu mengikuti dari dekat perkembangan di Tiongkok.Kunjungan kerja ini biasanya bisa digabungkan denganpenanganan kegiatan-kegiatan lainnya dalam rangka pemupukanpersahabatan antara dua negeri di berbagai bidang.

Page 236: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

236

Mengapa menerbitkan majalah tentangTiongkok?

Beberapa kali ada orang-orang Perancis, karenamengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia,bertanya mengapa menerbitkan majalah mengenai

soal-soal Tiongkok dan bukannya soal-soal yang mengenaiIndonesia. Kepada orang-orang yang bertanya demikian ini selaludijawab bahwa saya pernah lama tinggal di Tiongkok dan jugakarena tertarik untuk mengikuti perkembangan yang terjadi dinegeri yang penduduknya begitu besar dan mempunyai peranyang makin lama makin penting di dunia.

Tidak saya jelaskan kepada mereka bahwa saya adalahpeminta suaka politik, dan dianggap persona non grata olehpenguasa-penguasa pemerintahan Indonesia di bawah pimpinanSoeharto. Jadi, dengan status yang demikian ini, adalah sulituntuk bisa kerjasama dengan organisasi atau kantor-kantor resmidi Indonesia. Padahal, untuk menjalankan usaha-usaha mengenaiIndonesia diperlukan kerjasama dengan berbagai pihak diIndonesia. Hal inilah yang tidak bisa dikerjakan. Sebab, di sampingpemerintahan Indonesia bersikap memusuhi, saya pun tidak ingin“memupuri” wajah regime militer yang sudah melakukanpelanggaran HAM besar-besaran dan dalam jangka waktu yangsudah begitu lama.

Ada berbagai pertimbangan lainnya bagi saya untukmenerbitkan Chine Express. Ini ada sangkut pautnya denganmasalah-masalah: umur, cari penghidupan, bidang pekerjaan

Page 237: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

237

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

yang disukai, kepuasan intelektual, profesi yang sudah dikenalsejak muda, keinginan untuk tetap aktif, kesenangan untuk bisaberbuat sesuatu untuk persahabatan dua negeri, dan sejarahhidup pribadi di masa lampau. Dengan menerbitkan Chine Expressinilah saya temukan alat yang saya sukai untuk hidup ataulapangan kegiatan yang cocok.

Menangani penerbitan Chine Express merupakan kesempatanuntuk mendapatkan kepuasan profesional. Sebagai seorangpenerbit dan wartawan, kesempatan untuk menulis menjadisangat luas. Kontak-kontak pun mudah, termasuk untukberhubungan dengan tokoh-tokoh Perancis (atau pun yang darinegeri lain) di berbagai bidang. Selama bertahun-tahunmenerbitkan Chine Express di Paris, saya diundang untukberpartisipasi dalam seminar atau pertemuan-pertemuan yangdiadakan oleh berbagai institut, universitas, assemblée nationaleatau sénat.

Ada juga kepuasan intelektuil. Sebab dengan menangani ChineExpress, kesempatan untuk mengikuti perkembangan situasi diTiongkok menjadi pekerjaan setiap hari, sejak pagi sampai malam.Dan ini merupakan hal yang interesan (menarik). Masalah-masalah yang menyangkut Tiongkok adalah masalah besar,sekarang dan apalagi di kemudian hari. Peran Tiongkok di Asia-Pasifik makin besar, dan kedudukannya dalam percaturan duniajuga makin lama makin menonjol. Kemajuan ekonominya pesat,tetapi problim-problimnya juga banyak dan berat. Sebab, untukmengatur dan mengurusi kehidupan 1,2 milyar manusia tidaklahmudah.

Dengan menangani Chine Express setiap hari, ada kemungkinanbagi saya untuk mengetahui bahwa ada perkembangan diTiongkok yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi

Page 238: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

238

banyak orang, termasuk saya sendiri. Bagaimana akhirnyapelaksanaan apa yang dinamakan “ekonomi pasar sosialis” itu?Apa saja segi-segi negatif dan positif dari politik Deng Xiaopingyang telah membikin ekonomi Cina menjadi demikian pesat?Bagaimana melaksanakan demokrasi dalam syarat-syarat ataukondisi konkrit di negeri ini?

Dari pengalaman berkunjung ke Tiongkok berkali-kali, dandari kegiatan-kegiatan mengenai Tiongkok di Paris, saya jugamelihat bahwa Tiongkok sedang mengalami perobahan-perobahan yang amat besar. Sekarang ini, di Tiongkok gejala sikaporang-orang yang hanya mengejar uang, uang dan uang saja,merupakan fenomena yang umum. Slogan yang dilancarkan DengXiaoping “Perkayalah dirimu” menimbulkan kegairahan bekerjadan berusaha bagi banyak orang. Tetapi, juga menimbulkangejala-gejala yang negatif: korupsi, cara-cara mencari kekayaanatau uang tanpa menghiraukan segi-segi etik, praktek-praktekyang terlalu mementingkan diri sendiri dan mengabaikankepentingan umum, dsb., dsbnya.

Dengan sistim apa, dengan politik yang bagaimana,pemerintah dan rakyat Tiongkok dapat mengatasi persoalan-persoalan yang begitu besar itu, adalah soal yang interesan untukdiikuti. Kita semua belum bisa membayangkan, bagaimanakeadaan di Tiongkok dalam tahun-tahun yang akan datang.Karena itu kita juga belum dapat memastikan apakah sistimpolitik dan ekonomi yang diterapkan sekarang di Tiongkok adalahyang paling tepat bagi rakyat dan negara.

Adalah wajar, bahwa bagi saya yang pernah tinggal diTiongkok, selama tujuh tahun, dan kemudian mengelola ChineExpress di Paris selama bertahun-tahun, tertarik untuk bisamengikuti perkembangan di negeri ini dan perspektif selanjutnyadi kemudian hari.

* * *

Page 239: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

239

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Saya merasakan bahwa bagian kehidupan selama menanganiChine Express adalah bagian yang termasuk paling intensif, padat,dan penuh dengan asam garam. Ini terjadi di Perancis, di negeriasing, dan setelah menginjak umur lanjut. Dalam masa muda,pekerjaan bidang jurnalistik ini pernah dilakukan di Indonesiadan di Tiongkok, dalam konteks situasi yang berlainan pula.Sambil mengerjakan kegiatan-kegiatan lain, pekerjaan yangcukup mengasyikkan dengan Chine Express ini diteruskan sampaitahun 1998.

Artinya, selama sepuluh tahun, saya menerbitkan di Parismajalah ekonomi bulanan, dan dalam bahasa Perancis pula,seorang diri! Dapatlah dibayangkan, betapa banyaknya kesulitanyang terpaksa harus dihadapi selama itu. Namun, saya senangbahwa istri dan kedua anak kami menaruh pengertian terhadapapa yang saya lakukan. Mereka tahu bahwa kegiatan yangdilakukan dengan susah payah itu tidak mendatangkan uangbanyak. Tetapi, mereka mungkin ikut merasa bangga bahwa sayasudah berhasil menjalaninya.

Page 240: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

240

Majalah BUSINESS WITH CHINA

Menerbitkan, sendirian, majalah bulanan Chine Expressdalam bahasa Perancis, merupakan pekerjaan yangcukup sibuk. Kesibukan ini makin bertambah ketika

mulai bulan November 1992 saya terbitkan majalah bulananlainnya, dalam bahasa Inggris, yang bernama Business with China.Begitu sibuknya, sehingga banyak kegiatan-kegiatan lainnyaterpaksa dikurangi atau tak tertangani lagi. Bahkan, sering sekalitidur pun sangat terbatas, karena sering harus bekerja sampaijam tiga pagi.

Pekerjaan menerbitkan Business with China ini juga menambahlagi liku-liku jalannya kehidupan saya. Namun, telahmemperkaya pengalaman yang negatif dan positif tentangberbagai hal yang menyangkut penerbitan suatu majalah dinegeri asing. Di samping itu, saya kadang-kadang juga merasabangga: seorang yang berasal Malang-Blitar menerbitkan di Parisdua majalah bulanan dalam bahasa Perancis dan Inggris,walaupun tirasnya (oplah) kecil dan sederhana bentuknya.

Menerbitkan majalah Business with China meyakinkan sayamengenai berbagai hal, dan menghilangkan ilusi-ilusi tertentu.Memang, sejak semula memang sudah diperhitungkan bahwamenerbitkan dua majalah bulanan seorang diri adalah pekerjaanberat. Sebab majalah ini masing-masing terbit dengan halamanyang berjumlah sekitar lima puluh. Ini memerlukan waktu,tenaga dan pikiran yang tidak sedikit setiap harinya.

Sebelum me-nerbitkan Business with China, saya mempunyai

Page 241: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

241

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

ilusi bahwa maja-lah ini akan bisasegera mempunyailangganan yangcukup banyak.Sebab pasarannyaditujukan kepadap e r u s a h a a n -perusahaan di ber-bagai negeri diEropa Barat. Se-dangkan, dari ber-bagai sumber luarnegeri atau sumberTiongkok sendiridapat diketahuibahwa perhatiandunia bisnis Eropakepada pasaran

Tiongkok makin membesar dari tahun ke tahun.

Investasi asing di Tiongkok makin banyak dan perdaganganluar negeri juga menanjak dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi,walaupun sudah bekerja keras dan mengadakan kampanyedengan berbagai jalan untuk mencari langganan, ternyata jumlahlangganan tetap kecil. Setelah terbit selama satu tahun, penerbitanini terpaksa dihentikan. Sebab jumlah langganan hanya sedikitsekali, dengan tarif 800 F setahun.

Pengalaman ini memperkuat keyakinan bahwa tidaklahmudah untuk menerbitkan majalah yang bersifat ekonomimengenai pasaran Tiongkok, apalagi kalau tidak mempunyai backing

Page 242: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

242

modal yang besardan jumlah tenagayang memadai.Menurut pengamat-an selama ini, me-mang sudah adabeberapa penerbitansemacam ini yangditerbitkan di Eropa,tetapi yang keba-nyakan juga sudahgulung tikar.

Tetapi, walaupunusaha ini tidak ber-hasil sesudah bekerjamembanting-tulangselama satu setengahtahun saya tidakmenyesal. Sebab,pengalaman yangdidapat amatlahberharga. Selamasatu setengah tahun,dapat menggunakan lagi secara intensif bahasa Inggris, yangsudah tidak saya gunakan selama dua belas tahun, sejak sayameninggalkan Tiongkok. Ketika bekerja di PWAA, baik di Jakartamaupun di Peking (dari tahun 1963 sampai 1971) bahasa sehari-hari yang dipakai dalam organisasi internasional ini adalahbahasa Inggris.

Page 243: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

243

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Untuk menghubungi perusahaan-perusahaan di Swedia,Norwegia, Finland, Denmark, Jerman, Belanda, Belgia, Swiss,Italia, Spanyol, Inggris dan lain-lain, baik lewat telepon maupunsurat, dipakailah bahasa Inggris ini. Dengan setiap harimengerjakan editing berita-berita ekonomi dalam bahasa Inggris,yang diterima langsung di komputer dari kantor berita Xinhua,maka dapatlah disegarkan kembali (refreshing) bahasa Inggris saya.Membuat editorial, artikel dan surat-surat dalam bahasa Inggrismerupakan kesempatan untuk menggunakan secara aktif bahasaini.

Melalui penerbitan Business with China ini didapat jugakemungkinan untuk menghubungi perusahaan-perusahaan besarseperti Bayer, Volkswagen, Siemens, Philips, AEG, BASF, Hoechst,Krupp, Klockner-Werke, Mannesmann, Thyssen, UHDE dan lain-lain. Pada permulaan, pernah timbul ilusi bahwa denganperusahaan-perusahaan ini akan bisa digalang kerjasama dalambentuk yang macam-macam, tetapi ternyata kemungkinan inisulit untuk direalisasi. Sebab, perusahaan-perusahaan besar iniumumnya sudah mempunyai kantor mereka masing-masing diTiongkok dan memiliki jaring-jaringan yang cukup luas. Jadi, merekatidak membutuhkan jasa tambahan lagi dari Business with China.

Dengan menerbitkan Business with China ini juga dapat ditarikpelajaran bahwa pikiran untuk coba-coba menjadi konsultan bagiperusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan Tiongkoktidaklah mudah untuk melaksanakannya. Konkurensi sangat besarjumlahnya, yang terdiri dari orang-orang dari berbagai negerimaupun orang Tiongkok sendiri. Mereka juga ahli-ahli sebagaikonsultan, karena memang itu bidang pekerjaan mereka. Selainitu, karena macam-macam kondisi di Tiongkok sendiri (birokrasi,korupsi, dan langgam kerja dan kebiasaan-kebiasaan lainnya)

Page 244: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

244

tidak mudah untuk coba-coba bisnis dengan Tiongkok. Apalagi,karena tidak ada modal.

Karena langganan hanya sedikit, dan pekerjaan menerbitkandua majalah bulanan ini terlalu berat untuk dipikul satu orang,maka Business with China terpaksa dihentikan. Kepada langganandiumumkan bahwa tindakan itu adalah untuk sementara, sambilmenunggu kondisi yang lebih baik di kemudian hari.

Memang, sejak semula telah direncanakan bahwa Business withChina ditujukan untuk perusahaan-perusahaan di berbagai negeri

Page 245: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

245

Menjadi Pemilik Majalah dengan membayar 1 F.

Eropa Barat, dan bukan untuk Perancis. Sebab, menurutpengamatan dan pengalaman langsung, dapat diketahui bahwasedikit sekali pimpinan-pimpinan perusahaan Perancis yangmembaca penerbitan-penerbitan dalam bahasa Inggris. Danternyata bahwa langganan Business with China di Perancishanyalah beberapa saja.

Sejak itu, waktu dan tenaga dicurahkan untuk meneruskanChine Express, dengan mengusahakan perbaikan-perbaikan.Antara lain dengan memuatkan banyak statistik, grafik dangambar-gambar. Karena Business with China sudah dihentikan,maka rencana membuat Dossier Special untuk memperingati ulangtahun yang ke-30 hubungan diplomatik antara Perancis dan Cinabisa dilaksanakan dalam bulan Oktober 1994.

Demikianlah, secara singkat, pengalaman seorang Indonesiadalam menerbitkan dua majalah bulanan (bahasa Inggris danPerancis) di Paris.

Page 246: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

246

Page 247: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

247

Babak 8

Satu dari Enam MilyarSatu dari Enam MilyarSatu dari Enam MilyarSatu dari Enam MilyarSatu dari Enam Milyar

Melihat sebagian dari dunia

Kegiatan-kegiatan sebagai wartawan di Indonesia di masalampau dan sebagai pengurus PWI Pusat (sampaiSeptember 1965) telah memberikan kesempatan kepada

saya untuk mengalami atau menyaksikan berbagai peristiwapenting di Indonesia . Setelah bertugas di PWAA, dan melakukankegiatan dalam rangka IOJ (International Organisation ofJournalists) dan organisasi-organisasi lainnya, makapengalaman-pengalaman di bidang kegiatan internasional makinbertambah.

Selama masa-masa yang lalu, untuk berbagai kegiatan yangberaneka-rupa, saya telah mengunjungi sejumlah negeri. Sebagianuntuk menghadiri konferensi-konferensi internasional, sebagianlagi karena diundang oleh negeri-negeri tertentu sebagaiwartawan, sebagian lagi untuk urusan yang macam-macam.Dari kegiatan-kegiatan inilah saya mengenal berbagai organisasi,tokoh, dan juga berbagai persoalan-persoalan waktu itu. Sebagianbesar di antaranya sudah tidak ada lagi (orang-orangnya, atauorganisasinya) dan banyak persoalan-persoalannya juga tinggalmenjadi sejarah saja. Namun, banyak dari pengalaman-pengalaman itu menjadi pelajaran atau khasanah hidup yangberharga.

Page 248: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

248

Berbagai negeri yang telah dikunjungi dan peristiwa-peristiwa yang dialami, antara lain dan secara pokok-pokok,adalah:

Austria: dalam tahun 1953 untuk Konferensi Hak-Hak Pemudadi Wina

Romania: dalam tahun 1953, untuk mempersiapkan FestivalPemuda Sedunia di Bukares

Tiongkok: dalam tahun 1953 (menjadi tamu Gabungan PemudaSeluruh Tiongkok), dan dalam tahun 1962 untukmempersiapkan KWAA, dan kemudian bermukim antara1965-1973 (7 tahun)

Hongkong: pertama kali dalam tahun 1953, dan sesudah ituberkali-kali sampai sekarang.

Cekoslowakia: pertama kali untuk mengunjungi BrnoInternational Fair dalam tahun 1961, kemudian dalam 1962untuk hubungan dengan IOJ, dan sesudah itu seringmelewati Praha dalam rangka berbagai kegiatan

Polandia: undangan Poznan Fair dalam tahun 1962

RDD (Jerman Timur): undangan Leipzig Fair dalam tahun1963, dan Kongres IOJ di Berlin Timur dalam tahun 1966(tetapi ditolak oleh kongres, karena sudah aktif di PWAA diPeking)

Hongaria: untuk menghadiri kongres IOJ di Budapest dalamtahun 1962,

Inggris: dalam tahun 1962, undangan dari British ForeignOffice. Interview dengan BBC, siaran Indonesia

Belgia: dalam tahun 1962, undangan Kementerian Luar NegeriBelgia. Mengunjungi pabrik film Kodak

Page 249: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

249

Satu dari Enam Milyar

Bulgaria: undangan International Fair di Plovdiv dalam tahun1963

Jepang: menghadiri konferensi Hiroshima dalam tahun 1963,dan mengikuti rombongan Presiden Soekarno ke Manila-Pnompenh-Tokio dalam tahun 1962

Kamboja: singgah dalam tahun 1963 dalam rangka konferensi-internasional di Hanoi untuk menyokong perjuanganVietnam, dan dalam tahun 1964 mengikuti kunjungankenegaraan Presiden Soekarno

Vietnam: konferensi internasional di Hanoi dalam tahun 1963,bersama empat teman Indonesia, berpotret bersama HoChi Minh

Mesir: singgah berkali-kali (empat hari sampai seminggu),dalam rangka perjalanan ke negeri-negeri Arab dan Afrikauntuk PWAA, dalam tahun-tahun 1962, 1963,1964, 1965,1967

Page 250: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

250

Sudan: delegasi PWAA bersama Yang Yi dan FranciscaNasution dalam tahun 1963

Ghana: delegasi OISRAA (Organisasi Indonesia untukSetiakawan Rakyat Asia-Afrika) untuk konferensi diWinneba tahun 1963. Para peserta konferensi diterima olehPresiden Kwame Nkrumah

Uganda: sebagai delegasi PWAA tahun 1963, bertemu denganNy Soepeni di Kampala (ibukota Uganda), yang waktu itubertugas sebagai Duta Besar Keliling

Tanzania: sebagai delegasi PWAA tahun 1963, disambut olehTu Peiling dari kantor-berita Xinhua di Dar Es Salam

Zanzibar: sebagai delegasi PWAA tahun 1963, diterima olehMoh. Salim (orang Zanzibar, yang kemudian menjadisekretaris PWAA di Peking selama RBKP)

Somalia: sebagai delegasi PWAA tahun 1963

Yemen Selatan: sebagai delegasi PWAA bersama Abukos(sekretaris PWAA dari Siria) dan penterjemah bahasa ArabAdnan Basalamah, dalam tahun 1964

Irak: idem, dalam tahun 1964

Aljazair: berkali-kali, konferensi OSRAA (AAPSO) di Algerdalam tahun 1963, tahun 1964 untuk menghadirikonferensi IOJ, dan September 1965 untuk mempersiapkankonferensi KWAA ke-2 di Alger ketika terjadi G30S

Chili: Congres IOJ di Santiago, dalam September 1965, bersamaFrancisca Fangidai dan seorang teman (Rahim) dari SuluhIndonesia

Kuba: delegasi OISRAA (6 orang, dengan dipimpin oleh IbrahimIsa) yang berangkat dari Peking, untuk menghadiri

Page 251: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

251

Satu dari Enam Milyar

konferensi Trikontinental diHavana. Pembicaraan denganFidel Castro di Hotel HavanaLibre

Siria: bersama Aboukos dalamtahun 1964, kemudian tahun1967 ketika terjadi “peristiwastempel” di Damascus

Mali: dengan delegasi PWAA yangberangkat dari Peking bersamaLionel Morrison, tahun 1967.Bertemu dengan MenteriPenerangan Mali MamadouGologo

Guinea: idem, tahun 1967. Bertemudengan sekretariat KonferensiJurist Asia-Afrika di Conakry, dimana bekerja Sdr Wiyantosebagai wakil Indonesia

Congo Brazzaville: idem, delegasiPWAA, tahun 1967.

Sierra Leone: idem, delegasi PWAA,tahun 1967.

Maroko, idem, delegasi PWAA,tahun 1967

Senegal, idem, delegasi PWAA, tahun 1967.

Perancis: sering sekali. Pertama kali dalam tahun 1961(sekembali dari Brno Fair). Dalam tahun 1963, selama transit

Page 252: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

252

beberapa hari, menghubungi Nguyen Ki, yang menerbitkanmajalah Revolution. Majalah ini bekerjasama dengan PWAA.Kemudian, hampir setiap tahun saya sering transit di Parisuntuk beberapa hari, dalam rangka berbagai kegiataninternasional. Dalam tahun 1965, pulang ke Jakarta denganpesawat dengan rombongan Bung Karno dari Paris.

Yugoslavia: dalam tahun 1974, selama satu setengah bulan. Inipersiapan untuk ke Jerman Barat dan kemudian ke Perancis.Di sini berpindah-pindah, Beograd, Zagreb, Lyubiana,Sarayewo, Split dll. Ketika sudah bermukim di Perancis,maka kegiatan saya sudah tidak seperti selama ketika masihbertugas di PWAA. Ini sesuai juga dengan situasi kehidupanyang baru di negeri ini. Namun begitu, masih melakukanperjalanan ke berbagai negeri untuk urusan yang macam-macam, antara lain ke:

Jerman Barat: berkali-kali dalam tahun 1975, sampai 1980,untuk membantu kedatangan sejumlah teman yang perlubermukim di negeri ini.

Holland: juga berkali-kali dalam tahun-tahun antara 1976sampai 1982, untuk berbagai urusan (antara lain: kontakdengan Prof. Wertheim di Wageningen, urusan-urusandengan Komite Indonesia, Novib, dan bertemu denganteman-teman Indonesia).

Albania: dalam tahun 1977, mempersiapkan langkah-langkahbagi sejumlah teman Indonesia yang ingin meninggalkanAlbania.

Portugal: dalam tahun 1981, untuk konferensi internasionalmengenai Timor Timur.

Mozambique: dalam tahun 1983, untuk mencari informasi

Page 253: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

253

Satu dari Enam Milyar

tentang kemungkinan bagi teman-teman Indonesia untukbermukim di negeri ini.

Korea Utara: dalam tahun 1986, bersama Sergio Regazzoni dariCCFD (Di situ bertemu dengan Gatut, anaknya pak Asmu),dalam rangka projek CCFD dengan Universitas PertanianKorea Utara. Dalam perjalanan kembali ke Paris, kamisinggah di Peking beberapa hari. Untuk pertama kalinya,CCFD saya hubungkan dengan CAFIU (Chinese Associationfor International Understanding),

* * *

Karena menangani penerbitan majalah bulanan Chine Express,yang sejak 1986 memerlukan banyak tenaga dan pikiran (karenabekerja sendirian, dan dalam keadaan yang cukup sulit), makakegiatan-kegiatan lainnya terpaksa makin terbatasi. Perjalananinternasional yang sering dilakukan sejak itu adalah ke Tiongkok.Sebab, sebagai pengelola majalah, saya perlu sebanyak mungkinbisa mengikuti perkembangan situasi politik, ekonomi, sosialnegeri ini waktu itu.

Untuk mengadakan perjalanan ke berbagai negeri sejak tahun1953 itu, saya sudah menggunakan tiga paspor umum dan satupaspor service yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, satutravel document yang dikeluarkan oleh pemerintah Tiongkok dansatu travel document lainnya lagi yang dikeluarkan oleh pemerintahPerancis dalam status sebagai political refugee (peminta suakapolitik). Sayang sekali, bahwa paspor service (dikeluarkan olehDeplu Jakarta dalam tahun 1965) hilang di Roma dalam tahun1973.

Page 254: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

254

Jalan hidup yang berliku-liku

Dengan membaca catatan “Perjalanan Hidup Saya” ini,mudah-mudahan istri dan anak-anak - demikian jugasaudara-saudara dekat dan jauh - lebih mengetahui

sejarah hidup saya, walaupun sepotong-sepotong dan tidaklengkap. Sebab dengan begitu, mungkin mereka bisa lebihmengerti mengapa keadaan saya menjadi seperti sekarang ini,dan mengapa telah menempuh kehidupan seperti yang sudahterjadi di masa lampau. (Dan, mungkin juga tentang apa yangmasih akan dilakukan selanjutnya di kemudian hari). Selain itu,aneka-rupa catatan ini juga penting untuk diri saya sendiri,sebagai kenangan dan bahan renungan pribadi. Dari aneka ragamcatatan ini kelihatanlah bahwa jalan hidup yang sudah ditempuhberliku-liku sekali. Kadang-kadang, dalam jangka waktu yangpendek (dalam satu tahun, atau beberapa tahun) telah terjadiberbagai rentetan peristiwa yang merupakan bagian-bagian yangamat penting. Saya merasa, sekarang, bahwa masa kecil danperiode remaja saya (antara 1945 dan 1950), mungkin sekalimerupakan faktor penting bagi perjalanan hidup selanjutnya.

Ketika masih kecil dan tinggal bersama nenek di Blitar,walaupun memasuki sekolah Belanda (HIS) namun kehidupankami sebagai kanak-kanak sulit sekali. Dan ketika menjelang umursembilan belas tahun saya sudah hidup berdikari dengan menjadiguru Sekolah Dasar di Malang dan Surabaya. Ikut pertempuranSurabaya 10 November 1945 dan ikut melawan aksi polisionil

Page 255: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

255

Satu dari Enam Milyar

kedua yang dilancarkan Belanda telah juga membimbing sebagiantindakan-tindakan saya di kemudian hari: ikut operasipenumpasan RMS, ekspedisi PMI ke pulau-pulau Indonesia bagianTimur. Periode selama memimpin suratkabar Penerangan diPadang sambil melakukan gerakan di bawah tanah di daerahpemberontakan PRRI di Sumatera Barat adalah pengalaman yangmeninggalkan kesan amat mendalam dalam ingatan.

Pekerjaan sebagai wartawan dan pemimpin redaksisuratkabar Ekonomi Nasional di Jakarta telah memberikankesempatan untuk belajar mengenal berbagai persoalan nasionalmaupun internasional. Kegiatan-kegiatan sebagai pengurus PWIPusat dan PWAA dan IOJ telah memungkinkan untuk berkenalandengan puluhan negeri-negeri Asia, Arab dan Afrika.

Pada masa-masa itulah sering mengunjungi berbagai resepsidi kedutaan-kedutaan di Jakarta dan pergi ke Istana Negara atauIstana Bogor. Saya berkali-kali ikut rombongan Presiden Soekarno,baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Pemukiman selama tujuh tahun di Cina juga memperkayajalan hidup. Pernah saya mengangkuti tahi untuk pupuk diladang, dan juga pernah ikut bercocok tanam di pedesaan dalamjangka waktu yang cukup lama. Tetapi juga pernah berfoto-bersama dengan Presiden Liu Shaochi (group photo yang panjang)ketika ikut dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Peking.Juga berkali-kali menghadiri resepsi di Gedung Rakyat, untukberbagai peristiwa.

Selama kunjungan ke Vietnam pernah bertemu denganPresiden Ho Chi Minh dan berfoto dengan beliau, bersama-samadengan sejumlah teman Indonesia lainnya.

Page 256: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

256

Kegiatan-kegiatan sejak datang di Perancis telah memberikankesempatan untuk ikut membantu sejumlah teman Indonesiayang ingin bermukim di beberapa negeri di Eropa Barat. Pekerjaansebagai pegawai di Kementerian Pertanian Perancis selama tujuhtahun telah membantu saya untuk belajar memasuki masyarakatPerancis lewat adaptasi.

Penggalangan hubungan persahabatan dengan berbagaiorang Perancis di banyak lingkungan, organisasi atau lapisan,merupakan modal yang penting untuk mengarungi kehidupanbaru di Perancis dan bisa terus melakukan berbagai kegiatanmengenai Indonesia (urusan Tapol, HAM, soal Timor Timur dll).Mungkin, berkat itu semualah maka saya dan istri pernahmendapat undangan, untuk pertama kalinya menghadiri suatusoirée musicale di Istana Elysée (dalam bulan Maret 1995).

Pengalaman dalam persiapan-persiapan, untuk bersama-sama dengan kawan-kawan Indonesia dan Perancis, mendirikanrestoran Indonesia di Paris, dan berbagai pekerjaan (besar dankecil) yang telah dijalankan selama masih bekerja aktif di restoranini juga merupakan bagian yang menarik dalam jalan hidup saya.

Kemudian, pekerjaan untuk menerbitkan majalah bulananChine Express merupakan jalan yang penting untuk bisa memasukiberbagai kalangan yang luas (perusahaan-perusahaan besar dankecil, kementerian-kementerian, pemerintahan daerah, macam-macam organisasi) yang telah mengadakan hubungan atau akanmenjalin kerjasama dengan Tiongkok.

Dengan pekerjaan di Chine Express saya bisa menghadiriberbagai pertemuan di Senat atau Assemblée Nationale. Pernah jugasaya mendapat kesempatan untuk menginterviu Presiden Sénat(René Monory), PM Edouard Balladur, berbagai Menteri Perancisdll. Singkatnya, saya telah menemukan alat kegiatan intelektual

Page 257: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

257

Satu dari Enam Milyar

ataupun profesional,ketika saya sudahmenginjak usia lanjut.

Dan kegiatan inimerupakan kesenang-an bagi saya, walau-pun tidak sedikitkesulitan yang harussaya hadapi. MasalahTapol, soal-soal yangmenyangkut politik diIndonesia dan TimorTimur, sudah kitaperkenalkan kepadaLe Monde Diplomatique

sejak tahun 1976, dua tahun sesudah saya tiba di Perancis.

Tadinya, menurut taksiran dalam 1995, mungkin kegiatandengan Chine Express ini masih akan dapat menjadi kegiatan yangbisa diteruskan sampai agak lama lagi. Namun, ternyata bahwapada akhir tahun 1997 saya terpaksa menghentikan penerbitanini. Sebab, keadaan fisik sudah tidak memungkinkan lagi bekerjasampai jam dua pagi setiap harinya. Di samping itu, sayaperkirakan bahwa majalah Chine Express itu tidak mungkin akanmeraih kemajuan yang lebih besar lagi daripada yang sudahdicapai selama ini. Walaupun bisa bertahan terus, namunmemerlukan kerja keras setiap harinya.

Di samping itu, situasi di Indonesia dalam akhir 1997 makinmenunjukkan perkembangan yang makin menarik. Perlawananterhadap politik Orde Baru makin banyak dilakukan oleh berbagaikalangan, dengan cara-cara yang lebih berani, terutama oleh para

Page 258: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

258

mahasiswa. Olehkarena sejak 1996saya sudah mulaimenulis artikel-artikel yangdisiarkan lewatInternet («Apaka-bar»-nya JohnMacdougall), makasaya memutuskanuntuk lebih banyakmencurahkan wak-tu dan tenaga untukmenulis artikel-artikel tentangIndonesia, dan jugakegiatan-kegiatanlainnya yang berka-itan dengan Indonesia.Dengan dijatuh-kannya Soehartodari kekuasaannya,maka terbukalah bagi saya kesempatan dan kemungkinan untukmelakukan hal-hal yang tadinya lebih sulit dilakukansebelumnya. Sejak jatuhnya Orde Baru, maka saya seringberkunjung ke Indonesia.

Setidak-tidaknya setahun sekali, bahkan pernah dalamsetahun dua kali. Saya senang sekali bisa melakukan berbagaikegiatan mengenai Indonesia ini, terutama sekali yang berkaitandengan masalah-masalah pengembangan kehidupan demokratis,

Page 259: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

259

Satu dari Enam Milyar

pembelaan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, danperlawanan terhadap sisa-sisa Orde Baru. Dalam umur yangmakin lanjut juga, saya sekarang menemukan lapangan yangcocok di hati, untuk memanfaatkan sisa-sisa hidup saya sebaikdan sebanyak mungkin.

Page 260: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

260

Pegangan hidup saya

Tulisan yang berisi beraneka-ragam catatan (secarapokok-pokok) tentang “Perjalanan Hidup Saya” inidibuat ketika umur menginjak tujuh puluh empat tahun.

Dalam menyusun tulisan ini terbayanglah berbagai peristiwayang sudah dialami di masa-masa yang lalu, yang sering jugamenimbulkan renungan. Seperti kebanyakan orang lain juga, sayatelah mengalami banyak kekecewaan, kegagalan, kesedihan,kesulitan, dan juga melakukan berbagai kesalahan.

Tetapi juga peristiwa-peristiwa yang menggembirakan,pengalaman yang menyenangkan dan yang membuahkan hasil-hasil. Maka terbayang jugalah bahwa, sebagai manusia biasa,pada diri saya selama itu ada berbagai kecenderungan dantingkah laku yang macam-macam.

Saya merasa bahwa kehidupan sejak remaja penuh denganperistiwa-peristiwa dan pengalaman yang padat. Secara pokokdapatlah saya mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa sayasudah berhasil - relatif, tentu saja - merealisasikan harapan bapakibu untuk “menjadi orang.” Tetapi, realisasi harapan bapak ibuitu bukanlah untuk menjadi “pembesar” atau menjadi kaya.Tetapi dengan apa yang telah saya lakukan dengan nama AyikUmar Said maupun dengan André Aumars, baik selama diIndonesia maupun di perantauan (termasuk di Tiongkok dan diPerancis). Selama mengarungi kehidupan yang berliku-liku danmenghadapi berbagai masalah, saya telah memungut berbagaipelajaran dan pedoman. Di antara pegangan hidup itu - yang

Page 261: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

261

Satu dari Enam Milyar

tidak selalu bisa saya praktekkan untuk menghadapi masalah-masalah tertentu - adalah sebagai berikut:

- Bersikap rendah hati adalah perlu untuk menghadapiorang lain. Rendah hati tidak berarti harus timide (pemaluatau penakut). Pada umumnya, orang suka kepada orangyang rendah hati. Rendah hati tidaklah merendahkan diri,bahkan sebaliknya.

- Sopan terhadap orang lain tidak mengurangi harga diri.Tidak sopan terhadap orang lain pada hakekatnya tidaklahsopan terhadap diri sendiri.

- Kecongkakan atau kesombongan tidak membikin oranglain lebih hormat kepada diri kita sendiri, bahkansebaliknya. Demikian juga kesukaan untuk membual tanpadasar. “Tong kosong nyaring bunyinya,” kata satu pepatah.

- Kita senang kalau orang lain bersikap simpatik terhadapkita. Orang lain juga akan senang kalau kita bersikapsimpatik terhadapnya. Kita tidak kehilangan apa-apadengan bersikap simpatik terhadap orang lain.

- Merasa senang karena sudah membuat orang lain senang.Artinya, menarik kepuasan dari membuat kesenangankepada orang lain.

- Merugikan orang lain, bisa berakibat - langsung atau tidaklangsung, dan dalam beraneka rupa bentuk - merugikandiri sendiri, dalam jangka dekat atau jangka jauh. Kalautidak bisa menolong orang lain, janganlah merugikan oranglain.

- Menolong orang lain, tidak selalu berarti kehilangan(waktu, uang, tenaga atau jasa-jasa lain). Bahkan -walaupun tidak selalu pertolongan kepada orang lain ini bisa

Page 262: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

262

m e n j a d ip e r t o l o n g a nkepada diri sen-diri (dalamberbagai ben-tuk, langsungatau tidak lang-sung, dalamjangka dekatatau jangkajauh).

- Kita senang ataumenghormatiorang yangsuka menolongkita sendiri.B i a s a n y a ,orang lain akansenang atau menghormati kita, kalau kita suka menolongorang.

- Semua orang ingin dihormati, dan tidak ada yang maudihina.

Kebenaran ungkapan-ungkapan itu telah saya rasakan sendiridalam pergaulan dengan orang lain, dan juga dari melihat tingkahlaku atau perbuatan orang lain, selama melakukan berbagaikegiatan sewaktu di Indonesia, di Tiongkok, di Perancis, atau dinegeri-negeri lainnya selama merantau panjang. Artinya, sayamerasakan sendiri betapa baiknya melakukan pedoman-pedomanitu, tetapi juga sebaliknya, kalau tidak.

Page 263: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

263

Satu dari Enam Milyar

Selain itu dari praktek yang panjang dan berliku-liku telahdidapat juga pelajaran bahwa untuk membuat sesuatu yang“besar” atau yang “baik,” diperlukan kemauan yang keras,ketekunan yang membaja, kegigihan yang ulet di samping:orientasi yang dipandang tepat atau baik oleh umum. Biasanya,sesuatu yang besar atau indah memang memerlukan usahadengan susah payah.

Begitu juga masalah menghadapi kesulitan. Dalam masakehidupan yang begitu panjang di masa yang lalu, saya sudahmenghadapi beranekaragam kesulitan. Alangkah banyaknyapelajaran atau pengalaman yang telah didapat dalam prosesuntuk mengatasi kesulitan itu. Walaupun kadang-kadang gagalatau kurang memuaskan, kesulitan ini adalah kekayaan yangberharga.

Dalam jangka lama, saya senang untuk selalu memasang petadunia (biasanya di depan meja kerja saya). Ini sudah di lakukansejak di Tiongkok. Mengapa? Dalam menghadapi sesuatupersoalan yang pelik atau berat, saya sering “konsultasi” denganpeta dunia ini. Konsultasi ini kadang-kadang memberikandorongan untuk lebih berani atau bertekad untuk melakukansesuatu tindakan. Kadang-kadang juga untuk meleraikan hati,kalau terjadi kegagalan. Umpamanya, saya sering mengatakankepada diri sendiri: ah, teruskan saja usaha, sebab kesulitanmuitu hanya kecil saja, kalau dibandingkan dengan apa yang sedangdihadapi begitu banyak orang di India, di Amerika Latin atau diAfrika.

Kadang-kadang, ketika melihat kepada peta dunia itutimbullah dalam pikiran bahwa saya ini bukan apa-apa, danbahwa akhirnya harus mati juga. Apalah artinya diri saya sendiridi antara lebih dari enam milyar umat manusia ini! Ketika masih

Page 264: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

264

bermukim diTiongkok, sayapernah memba-wa sebungkalbatu (sebesar tekoteh), sesudahberkunjung disuatu daerah pe-gunungan. Padasebungkal batuini kelihatandengan jelaslapisan-lapisanyang bertum-pukan dari atas kebawah, yangm e n a n d a k a nbahwa batu itusudah terbentukdalam jutaantahun barangkali.

Selama beberapa tahun, segumpal batu ini saya letakkan diatas meja dalam kamar. Barang inilah yang sering mengingatkanbahwa alam semesta ini sudah terbentuk ratusan juta tahun(bahkan, mungkin ribuan juta tahun) dan bahwa manusia jugasudah lahir di dunia sejak ratusan juta tahun. Entah, sudah berapagenerasi manusia yang sudah pernah hidup di dunia ini. Itusemua mengingatkan di mana tempat saya - yang sementara ini- dalam alam semesta ini.

Page 265: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

265

Satu dari Enam Milyar

Pandangan saya sekarang mengenaiberbagai hal

Dari seluk beluk kehidupan yang sudah saya alamisendiri, dan dari pengamatan tentang berbagaimasalah dan bermacam-macam orang, saya melihat

bahwa memang segala hal ihwal adalah rumit, seringkali bersegibanyak, dan selalu mengalami perobahan. Apa yang pada suatuwaktu saya anggap baik atau dianggap baik oleh orang lain,anggapan itu kemudian bisa berobah. Itu disebabkan oleh karenasaya sendiri sudah mengobah pandangan, atau memang hal ihwalitu sendiri sudah berobah. Jadi tidak ada sesuatu yang mutlakdan mandeg. Ini berarti bahwa tidak ada yang 100% putih atauhitam, dan bahwa tidak ada yang tetap.

Kebenaran atau kebaikan yang pada suatu waktu, atauperiode tertentu, dianggap “benar” atau “baik,” bisa saja bahwakemudian ternyata menjadi “tidak benar” atau “tidak baik,”(menurut anggapan saya sendiri atau menurut anggapan umum).Di samping itu kebenaran atau kebaikan, atau kejelekan, seringsekali relatif. Relatif kepada apa, kepada siapa, kapan, di mana,dan seterusnya. Karena itu, saya perlu, sejauh mungkin dansebisanya, untuk selalu menyesuaikan atau mengontrol pikirandengan perkembangan atau perobahan.

Biasanya, pikiran orang (termasuk pikiran saya sendiri)dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti: situasi, lingkungan,kepentingan atau kebutuhan. Kalau kepentingan atau kebutuhan

Page 266: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

266

berobah, pendirian juga bisa berobah.

Ini saya rasakan dalam pergaulan atau dalam hubungandengan orang-orang lain. Oleh karena itu, saya perlu berusahauntuk melihat sesuatu dalam gerak. Semuanya berobah, danrumit. Apa yang kelihatan, belum tentu merupakan yang“sebenarnya.” Di samping itu, yang sebenarnya itu pun padasuatu waktu bisa berobah. Menurut pengalaman saya sendiri,pergaulan dalam masyarakat memang tidak mudah.

Watak orang macam-macam, dan kepentingan orang jugaberbeda-beda dan berobah-obah. Karena kita hidup dalammasyarakat yang orang-orangnya atau situasinya berobah terusdan rumit, maka saya juga perlu berusaha (tidak selalu berhasil!)untuk menerapkan pegangan hidup seperti yang tertera dalamhalaman lain. Ini tidak mudah. Sebab, saya sendiri, sebagaimanusia biasa, mempunyai kepentingan yang macam-macam,seperti halnya orang-orang lain juga. Kadang-kadang, ini bisamerupakan bentrokan. Untuk menghadapi situasi yang demikianini, saya mencoba untuk bisa menerapkan: sedapat mungkinjangan merugikan orang lain.

Dalam menangani macam-macam soal, kita semua perluberhubungan dengan orang lain. Kadang-kadang diperlukanbantuan atau kerjasama dengan orang lain. Atau memberikanbantuan kepada orang lain. Dalam rangka kerjasama perludipikirkan juga kepentingan orang lain, bukan hanya kepentingandiri sendiri. Kalau prinsip ini bisa diterapkan, maka biasanyakerjasama itu bisa langgeng. Ini berlaku juga dalam halpersahabatan. Tidak bisalah dalam hal ini diambil sikap yanghanya mementingkan diri sendiri dengan mengabaikankepentingan orang lain.

Page 267: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

267

Satu dari Enam Milyar

Persahabatan memerlukan sikap timbal balik. Kita tidak bisamenuntut kepada orang lain bersikap selalu baik terhadap kita,kalau kita juga tidak bersikap baik terhadap mereka. Persahabatanjuga memerlukan pengorbanan: waktu, tenaga, uang atau barang.Kita tidak bisa bersikap hanya mau menerima saja, tanpamemberi.

Walaupun pemberian ini bentuknya bisa macam-macam. Daripengalaman dalam menggalang persahabatan (baik di Perancisatau negeri-negeri lain, termasuk yang di Indonesia), saya telahmelakukan beranekaragam kekurangan atau kekeliruan, namunjuga telah mencapai berbagai keberhasilan. Umpamanya, banyakjuga persahabatan yang masih bisa dipertahankan sampaisekarang, walaupun sudah berlangsung selama dua puluh atautiga puluh tahun.

Melalui kegiatan-kegiatan mengenai Tapol dan Timor Timurtelah dapat digalang persahabatan dengan macam-macam orangdi Perancis maupun di negeri-negeri lain, sejak saya datang kePerancis dalam tahun 1974.

Dalam pekerjaan sebagai wartawan atau pekerjaan-pekerjaanlainnya yang telah saya lakukan sampai umur yang sekarang,telah saya temui orang-orang yang simpatik, menyenangkan,ramah tamah, tidak congkak, rendah hati, hangat, ringan tangan,tidak kikir, suka menolong. Tetapi, dalam pergaulan seringdijumpai orang-orang yang tidak simpatik, congkak, dan tidakrendah hati, atau “dingin” terhadap orang lain. Mereka mengirabahwa dengan sikap yang demikian, orang-orang lain akan lebihhormat, dan menyangka bahwa harga diri mereka akan naik dimata orang lain. Padahal justru sebaliknya. Dalam banyak hal,harga diri orang-orang semacam itu malahan turun di mata orang

Page 268: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

268

lain. Bahkanbisa memuakkanorang lain.

Kita seringlupa bahwamenghargai ataumenghormat iorang lain, padah a k e k a t n y aadalah meng-hargai ataumenghormat idiri sendiri.Orang lain yangkita hormati,biasanya (wa-laupun tidakselalu begitu!),juga meng-hormati kita. Atau, setidak-tidaknya, ia akan senang.Ini sudah merupakan hal yang positif, daripada membikin ia tidaksenang. Sebab, kita tidak bisa menarik keuntungan atau hal yangpositif dari orang-orang yang tidak senang kepada kita. Kita bisamenarik hal yang positif atau menguntungkan dari orang-orangyang senang kepada kita.

Watak manusia sejak dulu dan di mana saja memang macam-macam. Ada yang gemar, tanpa dasar yang jelas, mengenyekorang lain, atau menyakiti hati orang lain. Padahal, kita tidakdapat menarik keuntungan apa-apa dengan menyakiti hati oranglain. Bahkan, sebaliknya.

Page 269: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

269

Satu dari Enam Milyar

Semua orang (termasuk saya sendiri) bisa melakukan hal-halyang bisa dianggap sebagai kesalahan, atau kekurangan. Sayasenang kalau orang lain bisa memaafkan kesalahan saya, baikyang disengaja atau tidak. Dalam hal ini, rasa saling pengertianadalah penting. Sebab, di belakang berbagai persoalan tentu adasebab-sebab dan alasan-alasannya.

Kita hidup dalam masyarakat yang ada ketentuan-ketentuannya atau peraturan-peraturannya. Ketentuan-ketentuan ini, biasanya, untuk mengatur supaya jangan terjadibentrokan-bentrokan kepentingan antara sesama secara takterkendalikan. Sebab, kalau tidak, orang yang kuat akan bisamerugikan kepentingan orang lain, atau bertindak sewenang-wenangnya saja. Sejauh mungkin, kita patuhi ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang sudah kita setujui bersama,atau yang dianggap baik oleh pendapat umum. Ini juga relatif,dan tergantung kepada persoalannya atau kasusnya. Sebab, adasaja peraturan atau ketentuan-ketentuan yang tidak benar atautidak adil, dan karenanya perlu dilawan atau dikoreksi. Ini berlakuuntuk perseorangan, organisasi, perusahaan, negara atau bangsa.

Dalam jalan hidup saya selama ini, kadang-kadang saya perlumenunjukkan diri siapa saya ini, tentang kemampuan yang sayaanggap saya punyai, atau apa yang sudah saya lakukan. Kadang-kadang ini perlu dikerjakan, umpamanya ketika memerlukankerjasama dengan orang lain atau minta bantuan untukmerealisasikan suatu rencana, baik untuk kepentingan pribadiatau pun untuk orang lain. Menunjukkan diri, memperkenalkandiri, bukanlah harus menonjol-nonjolkankan diri secara berlebih-kebihan, apalagi kalau didasari oleh hal-hal yang tidak benar.Menurut pengalaman, untuk kerjasama (atau bahkan untukpersahabatan biasa saja) orang ingin tahu siapa kita ini.

Page 270: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

270

Memperkenal-kan diri denganketerangan-kete-rangan yang tidakbenar, akan merugi-kan diri sendiri. Bisamerupakan bume-rang di kesempatanlain di kemudianhari. Sebab, bisam e n i m b u l k a nkekecewaan atautertawa orang lain.Di sini berlaku jugapepatah Jawa:

“Becik ketitik

olo ketoro” (yang

baik akan kelihat-

an dan yang jelek

akan nampak).

Dalam kerjasama atau melakukan sesuatu usaha bersama-sama orang-orang lain, masalah merugikan orang lain haruslah,sejauh mungkin, dicegah. Pengalaman dari tindakan berbagaiorang selama ini juga membuktikan bahwa: kita bisa berhasiltanpa merugikan orang lain. Saya lihat dalam perjalanan hidupselama ini bahwa berhasil dengan menjegal orang lain adalahhasil yang tidak sehat.

Mempunyai iri hati terhadap keadaan yang lebih baik ataukeunggulan yang dicapai orang lain (pelajaran, pekerjaan,

Page 271: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

271

Satu dari Enam Milyar

kekayaan, nama, pangkat, kehormatan dan lain-lain) adalah sikapyang tidak positif bagi diri sendiri. Iri hati semacam ini tidak adagunanya bagi diri kita masing-masing. Kita harus senang, kalaumereka berhasil tanpa merugikan kepentingan kita sendiri ataukepentingan orang lain. Keberhasilan mereka ini seyogyanyamenjadi sumber inspirasi bagi kita sendiri.

Page 272: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

272

Penutup kata

Dalam halaman-halaman “Perjalanan Hidup Saya” initelah disajikan, secara pokok-pokok dan garis besar,catatan-catatan mengenai berbagai masa, peristiwa,

pengalaman dan problim-problim yang pernah saya alami secaraberliku-liku. Dalam merenungkan kembali itu semua, terasalahbahwa apa yang terjadi - baik atau jelek, berhasil atau tidak,mengandung kekurangan atau kelebihan - adalah khasanah hidupsaya.

Dengan melihat ke belakang, saya merasa senang bahwasudah bisa berusaha berbuat “sesuatu” - sebatas kemungkinan-kemungkinan yang ada - untuk diri sendiri, untuk istri dan anak-anak dan juga untuk orang lain. Banyak atau sedikit, cukup atautidak, baik atau tidak, itu semua relatif. Saya merasa senangbahwa hidup saya ini, kiranya, ada juga gunanya dan tidak sia-sia saja.

Namun, apalah arti “Perjalanan Hidup Saya” ini, kalaudibandingkan dengan pengalaman banyak orang lain, yang telahberbuat jauh lebih banyak untuk manusia dan perikemanusiaan,dan yang mungkin juga telah melakukan pengorbanan-pengorbanan yang lebih besar pula. Di negeri kita, Indonesia kitaini, banyak orang-orang yang berusaha menggunakan hidupmereka untuk kebajikan bagi sesama manusia. Juga, di banyaknegeri lain di berbagai benua. Tidak sedikit jumlah orang yangsudah - dan terus - memberikan sumbangan, sebisa mereka,

Page 273: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

273

Satu dari Enam Milyar

kepada usaha bersama untuk menjadikan dunia kita ini menjadimilik bersama bagi sesama manusia. Mengingat itu semua, makanyatalah bahwa apa yang telah terjadi selama hidup saya ituhanyalah satu dari begitu banyak “cerita” dari seorang manusiadi antara bermilyar-milyar manusia lainnya. Dan kalaudicermati sejarah manusia selama ini, maka nyatalah bahwa tidakada sesuatu yang “baru” dalam perjalanan hidup saya itu.

Apalagi, kalau mengingat kebesaran alam semesta yangterdiri dari berbagai bintang dan planit yang jumlahnya jutaanitu, dan yang umurnya juga sudah jutaan tahun, maka makinnyatalah makhluk yang diberi nama Ayik Umar Said adalahhanya “sesuatu” yang amat kecil artinya. Sesuatu yang dalamwaktu yang pendek sekali - menurut ukuran dan umur alamsemesta - telah pernah hadir di dunia, dan kemudian akan hilangbegitu saja nantinya. “Sesuatu” ini hanyalah lewat sekilas, entahdari mana dan menuju ke mana.

Page 274: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

274

Epilog:Epilog:Epilog:Epilog:Epilog: Masyarakat Sosialis IndonesiaMasyarakat Sosialis IndonesiaMasyarakat Sosialis IndonesiaMasyarakat Sosialis IndonesiaMasyarakat Sosialis Indonesia

Joesoef IsakJoesoef IsakJoesoef IsakJoesoef IsakJoesoef Isak

Dalam rekomendasi Yayasan Adikarya IKAPI kepadapenerbit “Pancur Siwah” disarankan meminta tokohwartawan senior Rosihan Anwar menulis kata

pengantar bagi buku kenangan Umar Said ini. Di samping ituPimpinan Pancur Siwah, Masri Maris PhD, atas saran Umar Saidjuga meminta hal yang sama kepada saya dengan catatan bilaPak Rosihan bersedia menulis kata pengantar, maka tulisan sayaakan dijadikan kata penutup alias epilog. Saya menghargai IKAPIyang dalam penilaiannya menyatakan memoar Umar Said pantasditerbitkan karena menganggapnya sebagai suatu “dokumensosial,” dan Umar Said boleh beruntung bahwa Rosihan Anwarbersedia menulis pengantar untuk memoarnya ini.

Mendengar nama Umar Said, apalagi mengetahui bahwa iaseorang wartawan orde lama, hidup dalam asylum di Perancissebagai refugee-politik sepanjang masa rejim Orde Baru Soeharto,mungkin pembaca mengharapkan bisa mendapatkan “suara lain”daripada apa yang didengar dan ditulis selama ini. Harapanseperti itu wajar saja. Selama kekuasaan Soeharto telahberlangsung penyeragaman berpikir bagi seluruh kawulo; danpenulisan sejarah republik dimonopoli oleh satu versi penguasasaja. Sekarang muncul Umar Said. Di bidang pers barusekaranglah bisa hadir suara lain, suatu pandangan alternatif.Saya tidak ikut dalam gelombang besar yang sekarang menuntut

Catatan Redaksi: Penulis epilog sebelum September 1965 adalah wartawan,sesudah 1965 salah seorang tapol.

Page 275: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

275

Epilog

“pelurusan penulisan sejarah.” Yang perlu dituntut adalah mutlakberhentinya monopoli satu versi. Yang diperlukan sekarangadalah membiasakan berdemokrasi, melatih diri terbiasamenenggang suara lain, memberikan kesempatan sama kepada“de andersdenkenden,” kepada berbagai narasumber untuk munculdan didengar oleh pembaca dan seluruh masyarakat. Versi OrdeBaru yang rancu dan monopolistik tidak usah dilarang ataudihapus, bila mau diterus-teruskan pun dibiarkan sajalah. Yangpenting: narasumber dari mana pun asalnya mendapatkankesempatan dan kebebasan yang sama untuk tampil. Sudahwaktunya berhenti menganggap pembaca bodoh tidak mampumenilai apa yang benar, apa yang setengah benar atau pun yangpaling ngawur. Oleh karena itu saya ikut mendesak penerbit PancurSiwah untuk meminta kesediaan Rosihan Anwar menulis katapengantar, walau pun saya tahu Rosihan Anwar dan Umar Saidpolitis berdiri berseberangan.

* * *

Saya kenal penulis bukan saja bagai keluarga sendiri, dia rekanseprofesi, sesama wartawan, yang sepanjang kerja jurnalistiksenantiasa seiring-sejalan – bahkan dapat ditambahkan tidakpernah bersilang jalan. Dalam epilog ini saya tidak akanmemasuki apa yang ditulis Umar Said dalam bukunya, substansiyang dia uraikan adalah hak dan urusannya sendiri. Yang terasaperlu digelar di sini adalah gambaran latar belakang kehidupandan situasi politik semasa Umar Said aktif bergelimang sebagaiwartawan dalam kurun waktu yang disebut oleh para pengikutOrde Baru sebagai periode orde lama, atau semasa Bung Karnomenjadi Presiden. Dengan sendirinya gambaran saya akanberbeda dengan versi yang selama ini dianggap benar dan paling

Page 276: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

276

sah. Orde Baru yang pegang kekuasaan mutlak selama tiga dekadelebih sudah memberikan gambaran dan penjelasan yang bakumengenai masa Soekarno menjadi Presiden itu. Versi itulah satu-satunya yang serba benar dan harus seragam dipercaya: orla serbasalah, demokrasi terpimpin otoriter, Soekarno diktator, UUD 45 dilanggar,PKI berkhianat, karena itu perlu koreksi total, hukum harus ditegakkan.

Kita lantas semua sudah tahu implikasi dan praktek apa yangdikerjakan oleh Soeharto dan para pendukungnya pada saatmelaksanakan koreksi total dan penegakan hukum itu. SetelahSoeharto lengser, terjadi kik-balik keras sekali. Desakanbermunculan untuk mengungkap kebenaran dan menghapuskebohongan. Beramai-ramai orang menuntut pelurusan sejarah,versi rekayasa Orde Baru harus dikoreksi, dsb., dsb. Saya tidakberkeberatan atas semua tuntutan itu, juga tidak menjadi soalbila versi Soeharto berikut para pendukungnya masih mau terusdipertahankan di era reformasi ini. Bagi saya tidak terlalu urgenmelurus-luruskan sejarah. Seperti sudah disinggung di atas,terpenting di sini adalah mutlak berhentinya versi Soeharto yangdianggap dan harus diterima sebagai satu-satunya versi palingbenar. Tidak lagi cuma versi sejarawan Soeharto yang boleh eksisdan wajib dipercaya sebagai kebenaran, bahkan diterima sebagaikenyataan. Versi lain, narasumber lain, dari siapa pun asalnyadan berapa pun jumlahnya, harus bisa hadir dalam ruang dankesempatan yang sama. Di sinilah saya melihat arti pentinghadirnya tulisan Umar Said, suatu narasumber lain yang tentumempunyai visi dan sudut pandang sendiri. Ini sekaligus berartibahwa apa yang diuraikan Umar Said pun tidak perlu diklaimsebagai “sekarang inilah yang benar.” Semua terpulang padapembaca, pembaca tidak bodoh. Pembaca punya hak penuh untukbebas menilai dan juga sah menarik kesimpulan sendiri. Itupulalah yang menjadi titik tolak tanggapan saya mengenai tulisan

Page 277: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

277

Epilog

Umar Said yang dimuat sebagai epilog dalam buku ini.

Dalam uraian ini saya sedapatnya menghindari stempel-stempel siap-pakai yang latah diobral di masa lalu: kiri-kanan-pki-psi-revolusioner-reaksioner-komunis-soska dan sebagainya.Label-label itu tidak sepenuhnya salah akan tetapi kandunganarti yang diusung-usung sarat dengan perbedaan interpretasisesuai selera si pemakai masing-masing. Memanglah benar diatas pentas politik Indonesia ada pihak-pihak yang berseberangansikap, bertentangan keyakinan politik. Dalam garis besar sayamembagi konfigurasi politik masyarakat kita itu dalam dua kubuutama.

Kubu Pertama ditandai dengan golongan yang tidak suka padaSoekarno, segmennya cukup bervariasi, mulai kelompok yangdianggap elit intelektual, pengidap penyakit kronis sukuismetersembunyi – tidak suka Jawa, cenderung pada federalisme, antiBung Karno, sampai ke politisi anti-komunis yang sudah tidakketolongan.

Kubu Kedua adalah kelompok pendukung Soekarno, nasionalismoderat sampai ke para pengkultus fanatik Soekarno, kelompokprogresif fellow-travellers komunis, para marxis, komunis, crypto-komunis.

Jelas bahwa garis pemisah yang saya pakai adalah Soekarno,dan untuk seterusnya saya akan menyebutnya dengan KUBU-Idan KUBU-II. Varian signifikan yang perlu dicatat di sini adalahmiliter yang aktif berpolitik – terbuka atau tertutup. Tempatmereka yang benar adalah di Kubu-I, akan tetapi mereka mamputampil quasi progresif-revolusioner, canggih dan lincahberintegrasi dalam Kubu-II, konsep teritorial dengan kodam dankodimnya memungkinkan mereka berada di mana-mana.

* * *

Page 278: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

278

Sekarang saya coba menggambarkan visi yang selama initidak mungkin tampil mengenai “jaman Soekarno,” periode yangdibakukan dengan julukan orla itu. Karena kita sedang bicaratentang buku seorang wartawan, maka gambaran saya inidengan sendirinya lebih khusus menyangkut wartawan dandunia kewartawanan – meski junalistik pada akhirnya tidak bisatidak merupakan cerminan masyarakatnya tempat dia tumbuh.

Setelah pecah malapetaka nasional September 1965, Soekarnopernah mengatakan bahwa kita mengalami set-back delapantahun. Apakah maksud pernyataan itu? Esensi set-back delapantahun yang dimaksud oleh Presiden Soekarno akan kita kaji disini dalam aspek jurnalistik.

Dari tahun ke tahun pers dan terutama PWI didominasi olehpara wartawan Kubu-I. Pengurus PWI Pusat sejak PWI didirikanboleh dikatakan selalu dipegang kelompok wartawan Kubu-I.Dalam tiap kali kongres, tokoh pers seperti misalnya Djawotoselalu kalah. Pada saat berlangsungnya Konperensi Asia-Afrikadi lobi Gedung Merdeka 1955 di Bandung, para wartawan Asia-Afrika yang hadir pernah sepakat menyelenggarakan konperensiAsia-Afrika di bidang kewartawanan. Akan tetapi bertahun-tahun ikrar itu hanya tinggal niat belaka. Soalnya kristalisasi politikdan ideologi sudah mulai mengental, gema Perang Dingin sudahmulai terasa pengaruhnya di Indonesia. Kubu-I yang tidak sukaSoekarno dan mendominasi PWI – juga “dunia bebas” barat –menganggap “konsep A-A” adalah konsep Soekarno yang hanyaakan menguntungkan kekuatan kiri, oleh karena itu ikrar wartawanA-A di Bandung tidak pernah menjadi acara untuk diimplementasidan pencalonan tokoh seperti Djawoto tidak pernah tembus.

Situasi mulai berubah ketika Indonesia kembali ke UUD 45dan Soekarno di tahun 1959 mendeklarasikan Manipol, Manifesto

Page 279: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

279

Epilog

Politik. (Perlu pendalaman siapa pendukung utama kembali keUUD 45). Canang perubahan diawali dari Jakarta, pimpinan PWIcabang Jakarta terlepas dari kelompok wartawan Kubu-I. Bolapendukung Bung Karno mulai menggelinding. Dalam KongresPWI se-Indonesia di Makassar 1960, Djawoto barulah bisa terpilihsebagai Ketua PWI Pusat yang baru. Kubu-II tahu betul bahwamiliter ikut aktif berusaha mempertahankan Teuku Sjahril ataurekan sepahamnya, akan tetapi kali ini pemilihan Djawoto tidakbisa dibendung. Barulah sekarang timbul situasi kondusif(meminjam istilah populer sekarang), untuk di tahun 1962 mulaimengimplementasi idee terlantar yang lahir di Bandung: KWAA,konperensi wartawan Asia-Afrika yang melahirkan PWAA,Persatuan Wartawan Asia-Afrika.

Cukup banyak kisah-kisah latar belakang yang menarik dibalik perubahan sikap dan jiwa PWI – katakanlah dari kanan kekiri –, demikian juga latar belakang lahirnya PWAA, organisasiwartawan yang juga sekaligus menjadi organisasi politik karenasadar melibatkan diri dalam gerakan pembebasan Afrika yangketika itu masih banyak menjadi jajahan, solider menentangpenahanan Nelson Mandela, dan juga aktif menentang perangVietnam. PWI dan PWAA tidak lagi mengikuti konsep iseng“jurnalistik demi jurnalistik” atau “sastra demi sastra,” persprogresif dengan sadar melibatkan diri dalam perjuangan politikdemi kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan perdamaian –semua harus demi kepentingan rakyat di atas segalanya.Begitulah jargon semasa itu yang dikenal dengan slogan politikadalah panglima. Kubu-I menentang keras slogan itu, yang perludicatat di sini mereka menolaknya sebagai slogan tetapimenerapkannya secara lebih ketat, lebih efektif, lebih konsekwendalam segala segi praktek hidup kemasyarakatan – jadi tidak

Page 280: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

280

seperti yang dilakukan Kubu-II yang mengumandangkannyasebagai slogan tetapi tidak selalu konsisten dalammelaksanakannya. Kita lihat bagaimana penerapan politik adalahpanglima berjalan lancar dan sangat efektif dalam praktek,terutama setelah Kubu-I di bawah bendera Orde Baru berkuasamutlak sesudah 1965, hasilnya: bersih lingkungan, lantas penjara-penjara di seluruh Indonesia penuh dengan orang-orang yangtidak se-politik dengan mereka.

Umar Said sebagai wartawan melibatkan diri aktif dalam segalaperkembangan dan perubahan PWI maupun PWAA. Beda dankelebihan dari rekan-rekannya, dia tidak cuma mengurus jurnalistikdan politik, tetapi dia juga berminat dan telaten sekali mengurusadministrasi dan keuangan. Itu sebabnya anak Madura sumando urangMinang ini selalu menjadi tenaga teras bila menyangkut urusan danadan keuangan PWI dan PWAA. Bakat itu pula rupanya membikindia sebagai refugee-politik berhasil membangun Restaurant Indonesiadi Paris, sumber mempertahankan hidup di rantau orang dansekaligus menjadi sentra kegiatan politik. Dari restoran itu diabersama rekan-rekannya senasib melancarkan gerakan HAM dankampanye solidaritas bagi sejuta lebih kawan setanah-air yangmeringkuk dalam penjara-penjara Soeharto; dari restoran itu puladiluncurkan gerakan pembebasan Timor Timur di luar negeri, setelahjauh hari sebelumnya di tahun 1976 Umar Said memprakarsaiberdirinya di Paris Komite Solidaritas Timor Timur.

Kerja keras PWI-PWAA sekian lama berikut segala prestasipolitik yang berhasil diraihnya hancur lebur – mendadak dengansekali pukul segalanya sirna dalam malapetaka September 1965.Angkatan Darat Indonesia dan Kubu-I dengan dukungan penuhkekuatan anti-komunis sedunia dalam Perang Dingin, mencetakkemenangan mutlak gilang-gemilang: Soekarno tersingkir, PKI

Page 281: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

281

Epilog

hancur. Indonesia mendadak berubah kwalitatif, bahkanperubahan politik di Indonesia mengubah pentas dan peta politikdunia. Bukan hanya PKI hancur lebur, akan tetapi kelanjutannyajuga kubu komunis internasional berantakan total hanya sesudahtokoh nasionalis seperti Bung Karno berhasil disingkirkan.Indonesia di bawah pimpinan Jendral Soeharto lantas diterimadengan tangan terbuka dalam barisan “dunia bebas.”

Bubarnya PWAA dan PWI-manipolis hanyalah satu bagiandari apa yang dimaksudkan dengan set-back delapan tahun olehBung Karno. Inti set-back delapan tahun yang lebih dalam danpaling mendasar adalah tersapunya bersih pemikiran-pemikiranprogresif yang susah payah dan dalam waktu lama diusahakandiperkenalkan pada masyarakat dan rakyat Indonesia.Masyarakat adil makmur yang dicita-citakan – dalam istilahpolitik modern dirumuskan dengan masyarakat sosialis Indonesia –,itulah set-back yang sesungguhnya karena sama sekali sudah tidakmenjadi acara lagi! Kita mungkin masih ingat betapa berangsur-angsur istilah sosialis atau sosialisme mulai diperkenalkan dandiusahakan menjadi milik massa – “disosialisasikan” bilamemakai istilah sekarang. Memperkenalkan idee-idee progresifkepada rakyat bukanlah gampang dan jelas tidak berjalan dengansendirinya. Mula-mula dengan berhati-hati diperkenalkan istilahSosialisme à la Indonesia, kemudian berangsur kata à la sudah tidakperlu dipakai lagi, akhirnya cukup satu kata sosialis atau sosialismesaja, tanpa perlu ada kekhawatiran lagi bahwa penggunaan katasosialis dianggap identik dengan komunis, momok yangmengerikan itu. Jangankan berjalan dalam praktek sebagai suatusistem, sebagai istilah pun kata “sosialis” menjadi tabu. Satu-satunya kata “sosialis” semasa itu hanya melekat pada singkatanPSI. Mulai akhir 50-an Bung Karno dan PWI yang ikut aktif

Page 282: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

282

berpolitik berhasil menyebar benih Indonesia sosialis; tetapisetelah Soeharto berkuasa, istilahnya saja kembali menjadi tabu.Orang takut sosialisme diasosiasikan dengan komunis.Kebodohan menyedihkan, bukan?

Bung Karno “mensosialisasikan” pemikiran progresif di segalasegmen kegiatan masyarakat, PWAA dan PWI-manipolisdidorong maju, wartawan-wartawan senior direkrut; AdamMalik, B.M. Diah, Djawoto, Sukrisno, Tahsin diangkat jadi dutabesar untuk memompa darah baru dalam dunia diplomasi kita.Bung Karno juga melancarkan usaha pembaruan misi dan visidalam lembaga dunia seperti Olympiade dan PBB. Bung KarnoKarno memasang dadanya menghadapi The Old Established Forcesdalam dan luar negeri, sebaliknya terus memacu barisan The NewEmerging Forces. Tetapi Bung Karno kalah, idee-idee pembaruanBung Karno dilindas oleh suatu overmacht, kekuatan adikuasaPerang Dingin barat Amerika-Inggris yang punya basis diIndonesia. Lantas apa yang kita dapat sebagai pengganti set-backdelapan tahun itu?

Ini dia, Pancasila yang sebenarnya: Pancasila Soeharto. Sudahpada minggu pertama setelah 30 September 1965, jendral Soehartomengawali kekuasaannya dengan kebohongan. Perempuan-perempuan Gerwani di Lubang Buaya menari-nari tanpa busanalengkap sambil menyilet-nyilet jendral-jendral yang masih hidup,katanya. Dimulailah proses menggiring segenap kawulo ibaratternak untuk berpikir serba seragam, menerima dan memamahbiak apa yang diputuskan dan apa yang dimaui penguasa. Bukansaja rakyat kecil yang awam, tetapi wartawan, sarjana, politikus,anggota parlemen, kalangan pendidikan tinggi, ya, lapisanintelegensia kita beramai-ramai pada percaya apa yang dikatakanSoeharto. Dengan diawali rekayasa kebohongan itulah, maka

Page 283: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

283

Epilog

segala kebijakan dan garis politik Orde Baru diarahkan untukmenumpas PKI dan pendukung Soekarno sampai ke akar-akarnyasebagaimana diucapkan pimpinan politik dan militer Orde Baru.

Saya meminjam istilah sosiologi – reifikasi – untukmenggambarkan eksistensi kekuasaan Orde Baru. Reifikasi adalahsuatu proses di mana hasil rekayasa (bikin-bikinan kutak-katikotak manusia–dalam hal ini otak Soeharto dan pendukungnya),berproses lama-kelamaan dianggap sebagai kebenaran dan padaakhirnya dianggap sebagai kenyataan, diterima sebagai suaturealitas. Abstraksi dianggap dan kemudian diterima sebagairealitas yang nyata dan benar ada. Fenomena reifikasi ini berjalansepanjang kekuasaan Orde Baru. Dimulai dengan anggotaGerwani menyilet-nyilet jendral, kemudian setiap lima tahunpara wartawan, para pakar ilmu sosial, politisi, dengan mesinmass media yang dikuasai, menulis, mengkaji, menganalisis dengansegala kecanggihan daya fikir mereka bahwa “tidak bisa tidakkita memerlukan ABRI, lembaga terbaik organisasinya denganpara anggota yang paling berpendidikan, dan tidak bisa tidakhanya jendral Soeharto orangnya yang tepat menjadi Presidenlagi.” Maka jadilah dia presiden selama tiga puluh tahun secarasah konstitusional. Masih ingat, bukan?

Itulah namanya murni reifikasi, abstraksi diterima sebagaikebenaran. Ironi paling besar: justru Soeharto sendirimembuktikan bahwa semua itu adalah nonsens, tidak laindaripada abstraksi, rekayasa yang dirasionalisasi. Ketika dialengser, dia menyerahkan kuasa kepresidenan pada seorang sipil;setelah itu masih menyusul lagi dua presiden sipil lain. Kok bisa?Kok bisa Indonesia dipimpin presiden yang bukan ABRI? Memangpasti bisa, akan tetapi kaum intelektual kita yang tiga puluh tahunterkontaminasi reifikasi dan serba penyeragaman, sudah mandul

Page 284: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

284

berpikir – sudah tidak punya kemampuan lagi membedakanantara abstraksi dan realitas, antara kebohongan dan kebenaran,antara isapan jempol dan jempolnya sendiri.

Kalau menyimpulkan makna set-back delapan tahun yangdiucapkan Bung Karno, maka kita lihat bahwa set-back dalamesensinya paling utama adalah rontoknya idee-idee progresif daribumi Indonesia, tidak ada lagi sosialis atau sosialisme. Semua itu digantidengan suatu kondisi yang berlipat-ganda parahnya: krisis kerangkaberpikir, sadar tak sadar manusia Indonesia mulai berpikir rancuakibat penyeragaman berpikir massal, rutin dari tahun ke tahunlewat segenap mesin mass media dan buku pelajaran sekolah. Keadaansangat parah ini rupanya oleh elit penguasa tidak dianggap sebagaisuatu masalah. Situasi masyarakat patologis yang kejangkitan rancukerangka berpikir, terlewat begitu saja tanpa ada yang khususmenanganinya. Sering keadaan seperti itu saya sebut sebagai krisisintelektual, krisis yang seribu kali lebih gawat daripada KRISMONdan KKN yang relatif lebih mudah diatasi, dan memang cumakrismon dan kkn itu sajalah yang ditangani.

Ekses rancu berpikir akibat sepertiga abad penyeragamanberpikir menjadi gejala umum yang menjangkiti orang awamsampai-sampai kepada intelegensia kita. Kita tahu kaumintelegensia di mana pun sepanjang sejarah umat manusiamenjadi motor emansipasi dan peradaban, tetapi di Indonesiajustru intelegensia kita paling parah terkontaminasi denganberbagai reifikasi. Ekses-ekses itu menggejala dalam berpikir àpriori, prasangka, pola-pola baku, dogma, pendangkalan,simplifikasi kesimpulan, analisis pukul-rata. Semua itu kitatemukan bukan saja pada orang awam, tetapi justru dalam kadartinggi pada para politikus dan kaum intelegensia kita. Dan karenasegmen elit ini cukup berpendidikan, maka justru kerancuan itu

Page 285: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

285

Epilog

dengan berbagai dalih ilmiah dan quasi ilmiah mampudirasionalisirnya. Dengan satu kata saya menyebut hal sepertiitu sebagai KEBODOHAN, kebodohan yang ujung-ujungnyamengejawantah dalam kekerasan dan bom, atau memanifestasidalam tulisan dan kebijakan yang korbannya jauh lebih besardaripada bom Bali, Marriott atau Kuningan. Kebodohan dankekerasan memang adalah saudara kembar dari satu janin.Contoh kebodohan yang seiring sejalan dengan kekerasan: bomberserakan, kerusuhan etnik dan agama meletus di mana-mana,tapol berserakan dalam penjara-penjara di seluruh Indonesia,pulau Buru, peristiwa 27 Juli, dll., dll.

Karena dangkal dan serba simplifikasi dengan sendirinyasegala analisis menjadi serba à priori, cukup banyak intelektualsama-sama memamah biak bahwa Soekarno diktator – merekahanya lihat datar di permukaan, sudah mandul tak mampumendalami bagaimana power structure sesungguhnya semasa itu?Siapa sesungguhnya yang berkuasa? Sudah tidak tajampenglihatan (atau memang sengaja tidak mau melihat) bahwa di“jaman Bung Karno” ada demokrasi terpimpin dan ada demokrasiterpimpin. Yang pertama adalah Demokrasi Terpimpin BungKarno, konsep yang mengidealisir rakyatlah yang harus menangdan jangan selalu majikan yang menang, demokratie met leiderschapDewantoro yang belum menemukan vorm-nya, mencari-cari danmasih harus berkembang sebagaimana yang dicita-citakan. Akantetapi sebelum sempat membuktikan manfaat bagi rakyat,Demokrasi Terpimpin Bung Karno sudah dihancur-leburkan ditahun 1965.

Yang kedua adalah demokrasi terpimpin produk teoritikusteritorial jendral Nasution. Ini berjalan efektif dengan perangkatwewenang hierarchy teritorial, garis komando vertikal dan

Page 286: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

286

horisontal (nation-wide) dengan kekuatan ampuh senjata di tangan,tetapi semasa masih ada Soekarno konsep kedua ini harusberjalan berbarengan dengan konsep Bung Karno. SetelahSoekarno berhasil dijatuhkan, maka segala yang negatif masa orla– Sjahrir ditangkap, koran dibredel, kegiatan budaya diberangus– semua di lempar ke muka Soekarno. Kedangkalan dan analisisserba à priori, tidak mampu lagi melihat konsep demokrasiterpimpin mana sebenarnya yang jalan, siapa sebenarnya yangpegang kekuasaan.

Penyair Schiller pernah mengucapkan kata-kata bersayap:“Against stupidity, the Gods themselves battle in vain,” melawankebodohan, para dewa pun bertarung sia-sia! Menajamkan lebihpada kenyataan, orang Paris akan berkata: “Contre le préjudice, lesDieux eux-mêmes luttent en vain,” melawan prasangka, para dewapun bertarung sia-sia, dewa-dewa kewalahan tak berdaya apa-apa. Istri Umar Said yang berasal dari Solok tentu akanmengatakan: Di subarang Singkarak nampak nan buruak, nan di palupuakmato dipabiakan sajo.

Dalam masyarakat yang daya fikirnya sudah sebegitupatologis, sudah sulit mencari orang terpelajar yang bebas darisegala reifikasi Orde Baru, bahkan kerancuan berpikir ini sudahjuga menjangkiti kelompok Kubu-II. Orang-orang yangseyogianya bisa membedakan antara abstraksi dan realiti, antarametafisik dan dialektik, sadar atau tak sadar mereka pun sudahbergelimang dalam kerancuan kerangka berfikir, denkfouten kataorang Belanda. Dalam keadaan menyedihkan seperti sekarangini, saya teringat pada seorang yang sudah tiada: SoebadioSastrosatomo, tokoh setia PSI, pewaris sah Sutan Sjahrir, seorangpemimpin yang saya anggap sepenuhnya bebas dari reifikasiOrde Baru. Dia pernah dipenjarakan di “jaman Soekarno,” walau

Page 287: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

287

Epilog

pun begitu dia menulis: “Soekarno adalah Indonesia, Indonesiaadalah Soekarno.” (Omong-omong pernahkah dipelajarimendalam power structure semasa itu dan mencoba cari tahu siapadi belakang pemenjaraan Soebadio cs?). Kepada saya langsungSoebadio mengatakan: Sjahrir seorang jenius, intelektualberpendidikan barat, dia tegas memperjuangkan Indonesiamerdeka, tetapi dia berpikir barat. Soekarno juga berpendidikanbarat, tetapi bedanya dengan Sjahrir, Soekarno dengan keduakakinya kukuh berdiri di bumi Indonesia. Itu sebabnya dia tahukultur bangsanya dan mengerti betul rakyatnya. Saya – masihkata-kata Soebadio – setuju jika Bung Karno mengatakan dirinyapenyambung lidah rakyat.

Pada saat Soebadio menghormati Soekarno, tidak berarti diamelecehkan Sjahrir, malah sebaliknya dia tetap tinggi menyanjungSjahrir. Baginya dua pemimpin bangsa itu tidak harusdipertentangkan. Kepada saya Soebadio melanjutkan: “Sudahwaktunya berhenti memaki-maki Hatta dan Sjahrir, sudah waktunya berhentimemaki-maki Soekarno. Kita bukan musuh. Pendukung Soekarno, Hatta,Sjahrir harus bersatu menghadapi musuh sesungguhnya, fasisme Soeharto.Galang persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir melawan fasisme Soeharto.” Sayamenyebutnya sebagai “Thesis Soebadio.”

Begitulah secara harfiah ucapan Soebadio kepada saya,sedangkan dia tahu betul siapa saya. Dia bercerita dalam bahasayang campur-campur Belanda: di mata si A, di mata si B je benteen communist, di mata si C tidak, kau bukan komunis. Nama-namayang tidak perlu saya ungkap di sini ketiga-tiganya adalah orangPSI. Soebadio konsekwen pada ucapannya membuka pintubertukar-pikiran dengan sukarnois, bekas PNI, bekas PSI,komunis, atau siapa pun yang bukan pendukung fasisme Soeharto.Saya tidak mau dituduh menjejal kata-kata ke dalam mulut

Page 288: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

288

Soebadio, tetapi konfirmasi kebenaran apa yang dia ucapkandapat didengar dari sekretaris pribadi Soebadio yang sampaisekarang masih terus aktif bekerja.

Uraian panjang lebar mulai dari reifikasi sampai ke Soebadioini seakan sudah melantur jauh dari topik pembahasan bukuUmar Said. Sama sekali tidak! Uraian berpanjang-panjang inijustru diperlukan untuk menghadapi buku Umar Said, si komunis,si crypto-komunis, entah apa saja lagi pangkatnya. Silakan bebasmengalungkan label di leher orang lain (demokrasi!), yang palingtahu tentang seseorang tentulah yang bersangkutan sendiri – danyang terpenting biar pembaca sendiri menarik kesimpulan.Konsekwensinya: Umar Said, atau siapa pun, anggota PKI,anggota PSI, anggota Masjumi, anggota Murba, PNI Marhaen,pendeknya siapa pun tanpa kecuali tidak harus dan tidak perlumempertanggung-jawabkan keyakinan politik masing-masing.Selama masih berada di wilayah keyakinan, mau berpegang teguhpada keyakinan masing-masing adalah hak asasi manusia palingsah, kecuali bila sudah melempar-lempar bom. Itu punpertanggungan-jawabnya mutlak harus lewat prosedurpengadilan tak berpihak, sama sekali tidak bisa dibenarkandilakukan di luar hukum – cuma menuding dengan telunjuk jariatau mengalungkan label di leher.

Moral seluruh epilog ini: jernih berpikir, bebas dari segalatesis-tesis reifikasi Orde Baru, bebas dari berfikir serba à priori,mampu retrospeksi antara rekayasa abstraksi dan realitas; kesemua itu adalah prasyarat bila mau menyumbang padarekonsiliasi yang mampu berfungsi dengan solid, padapenyembuhan dan pembaruan Indonesia, kepada Indonesia yangadil makmur, Masyarakat Sosialis Indonesia, cita-cita paraFounding Fathers kita.

Page 289: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

289

Riwayat hidup singkat penulis

Masa kecil dan masa mudaSaya dilahirkan pada tanggal 26 Oktober 1928, di desa Pakis,

dekat Tumpang, kota kecil di dekat Malang (Jawa Timur). Bapaksaya adalah seorang guru, tamatan Normaal School di Blitar. Jadi,bolehlah dikatakan bahwa saya adalah seorang anak yang semasakecil, dalam masa kolonial Belanda, dibesarkan di lingkunganguru.

Tahun 1941. Sampai masuknya tentara pendudukan Jepangdalam tahun 1941, belajar di HIS (Hollandsch Inlandse School)BLitar sampai tahun terakhir.

1941 - 1945. Selama pendudukan Jepang, belajar di SMP Kediri(Baluwerti). Selama belajar di SMP menjadi juara dalam bahasaJepang, di bawah pimpinan pak Suwandi Tjitrowasito.

1945 - 1946. Menjelang akhir 1945 (November sampaipermulaan 1946) ikut dalam pertempuran di Surabaya dansekitarnya. Sebagai anggota rombongan pemuda dikirim olehKementerian Dalam Negeri RI ke Sumatera.

1947- 1948. Melanjutkan sekolah di Taman Madya (TamanSiswa) di Wirogunan Jogyakarta.

1948 - 1949. Menjadi guru Sekolah Dasar di Malang dankemudian di Surabaya.

1949 (akhir). Meninggalkan Surabaya untuk “merantau” keJakarta, dan bekerja di sebuah hotel kecil (rumah penginapan)“Surakarta” di Meester Cornelis ( Jatinegara), sambilmemperdalam bahasa Inggris

1950. Menjadi penterjemah di United States Naval Liaison

Page 290: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[290]

Office di Jalan Raden Saleh, Jakarta, selama beberapa bulan(pekerjaan penterjemahan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris).

Memasuki dunia jurnalistik1950 - 1953. Bekerja di suratkabar Indonesia Raja di bawah

pimpinan Mohtar Lubis, mula-mula sebagai korektor, kemudianreporter kota, dan kemudian lagi menjadi wartawan politik.Sebagai wartawan perang (bersama dengan Subekti dari Pedomandan Idham Idris dari Kementerian Penerangan) mengikuti operasimiliter untuk menghancurkan RMS dan mengikuti pendaratanTNI di Tulehu (Ambon) dan pertempuran benteng Paso. Bersamawartawan Beb Vuyk (Pedoman) mengikuti misi Palang MerahIndonesia untuk mengirim bantuan makanan dan pakaian kepulau-pulau Ceram, Buru, Ambon, Banda, Aru, Kai, Tanimbar,Alor, Wetar, dan Flores.

1953. Untuk pertama kali ke luar negeri sebagai anggotadelegasi Indonesia (merangkap penterjemah) ke KonferensiInternasional Hak-Hak Pemuda yang diselenggarakan di Wina(Austria). Kemudian diteruskan dengan kunjungan ke Moskowdan ke Tiongkok untuk pertama kali, sebagai tamu dari GabunganPemuda Seluruh Tiongkok. Kembali ke Jakarta dengan kapal KPM“Tjiluwah” bersama almarhum Asmu (dari BTI) yang menjaditamu pemerintah Tiongkok.

1953-1956. Bekerja di Harian Rakjat sebagai wartawan.Mengikuti perjalanan Bung Karno ke Indonesia Timur bersamadengan Satyagraha (Suluh Indonesia) dan Bung Tomo. Kunjunganini dilakukan ke Makassar, Ceram dan Ambon, Tual, Flores danTimor Barat (Atambua dan Atapupu). Dalam tahun 1955, sebagaiwartawan mengikuti Konferensi Asia-Afrika di Bandung danmembikin laporan-laporan tentang peristiwa bersejarah ini.

Page 291: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[291]

Riwayat Hidup Singkat Penulis

1956. Berangkat ke Padang untuk memimpin suratkabarHarian Penerangan, milik Lie Oen Sam (Ketua Baperki Padang).Jabatan ini disandang sampai tahun 1960. Selama itu telah terjadipemberontakan Dewan Banteng yang dipimpin oleh LetkolAhmad Husein, dan kemudian diproklamasikannya PRRI dibawah Mr. Sjafruddin Prawiranegara. Pekerjaan sebagaipimpinan redaksi suratkabar di daerah pemberontakandialaminya dengan penuh bahaya.

1959. Menjalin perkawinan dengan seorang gadis Minang dariSolok. Upacara perkawinan diramaikan oleh undangan dariGubernur Sumatera Barat Kaharudin Datuk Rangkajo Basa danPenguasa Perang Daerah (Peperda) dan Masyarakat AdatSumatra Barat.

Ekonomi Nasional, PWI Pusat dan PWAA1960. Mendapat tawaran untuk memimpin suratkabar

Ekonomi Nasional yang terbit di Jakarta. Sejak itu, keluarga dipindahsemuanya ke Jakarta.

1962. Sebagai anggota delegasi ke Kongres InternationalOrganisation of Journalists (IOJ) di Budapest, bersama S. Tahsin,Hasjim Rahman, Tom Anwar (dari Bintang Timur) dan KoerwetKartaadiredja (INPS). Di Budapest inilah terkumpul tandatangandari banyak delegasi wartawan negeri-negeri Asia-Afrika, untukmenyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika (KWAA)di Indonesia.

1962. Setelah selesai kongres IOJ di Budapest, dengan S. Tahsinberkunjung ke Tiongkok sebagai tamu Persatuan WartawanSeluruh Tiongkok (All China Journalists Association) untukmembicarakan penyelenggaraan KWAA (Konferensi Wartawan

Page 292: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[292]

Asia-Afrika) di Jakarta. Di Peking bertemu dengan MenteriLuarnegeri Chen Yi.

1962 (akhir). Sekembali dari Tiongkok, bersama-sama denganteman-teman wartawan lainnya, membentuk Panitia PersiapanKWAA. Saya terpilih sebagai Bendahara Panitia Pusat KWAA.Ikut dalam delegasi untuk bertemu dengan Bung Karno gunamembicarakan peneyelenggaraan KWAA dalam tahun 1963.

1962 (sampai 1965). Sering menerima undangan untukmenghadiri pameran-pameran dagang internasional yangdiselenggarakan di Brno (Cekoslowakia), Plovdiv (Bulgaria),Leipzig (Jerman Timur), Poznan (Polandia). Juga memenuhiundangan dari Bremen (Bremen Tabakbeurse), kementerianluarnegeri Inggris.

Kegiatan internasional1963. Bersama-sama dengan Karim. DP, Mahbub Djunaedi

(Duta Masyarakat), Suhardi (Suluh Indonesia) mengikuti rombonganperjalanan Presiden Sukarno dalam kunjungan kenegaraan beliauke Manila, Pnompenh, dan kemudian Tokio (kunjungan privé). DiManila bertemu dengan Presiden Philipina DiosdadongMacapagal dan Pangeran Norodom Sihanouk di Pnompenh. Parawartawan yang ikut dalam rombongan Presiden Sukarno inidiberi medali mas oleh Ratu Kosamak (ibusuri PangeranSihanouk).

1963. Berbulan-bulan melakukan kegiatan untuk persiapandan kemudian penyelenggaraan KWAA yang bersejarah, yangberlangsung di Hotel Indonesia dan Presshouse (Wisma Warta)di Jakarta. Setelah terbentuk PWAA (Persatuan Wartawan Asia-Afrika), yang dipimpîn oleh Djawoto, saya dipilih sebagai

Page 293: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[293]

Riwayat Hidup Singkat Penulis

Bendahara merangkap sebagai anggota Sekretariat PWAA.Setelah Djawoto diangkat oleh Bung Karno sebagai Dubes RI diPeking, Joesoef Isak menggantikannya sebagai sekretaris jenderalPWAA.

1963. Dalam kongres PWI di Jakarta, dipilih sebagai BendaharaPWI Pusat, yang dipimpin oleh Karim D.P (dari Warta Bhakti)sebagai Ketua. Berbagai jabatan ini dirangkap sambil meneruskantugas sebagai pimpinan redaksi Ekonomi Nasional dan mengajar diAkademi Junrnalistik Dr Rivai (Jakarta).

1963. Menghadiri konferensi internasional anti-bom nuklirdi Hiroshima dan berkunjung ke Hanoi untuk pertama kali.Bertemu dengan Presiden Ho Chi Minh, bersama-sama dengananggota delegasi Indonesia lainnya.

1964. Keliling negeri-negeri Arab (Irak, Mesir dan Siria) danAfrika Timur (Kenya, Uganda, Tanzania, Zanzibar, Somalia,Sudan), sebagai anggota delegasi PWAA.

1965 (permulaan). Berangkat ke Aljazair untuk menghadiriKonferensi AAPSO (Afro-Asian People’s Solidarity Organisation).Dari Paris, ikut dalam pesawat terbang kepresidenan, ketika BungKarno kembali dari perjalanan beliau ke Afrika.

1965 (14 September). Meninggalkan Jakarta sebagai anggotadelegasi grup IOJ (International Organisation of Journalists) yangmengadakan konferensi internasional di Santiago (Chili). Dalamdelegasi ini terdapat Francisca Fangiday sebagai wakil HarianRakjat. Sehabis konferensi IOJ di Santiago mendapat tugas untuksinggah di Aljazair guna merundingkan persiapanpenyelenggaraan KWAA ke-II di Alger.

Page 294: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[294]

Sesudah peristiwa G30S ke Tiongkok1965 (permulaan Oktober). Mendengar dari KBRI di Alger

bahwa terjadi G30S. Karena kemudian mendengar bahwasuratkabar Ekonomi Nasional bersama-sama Harian Rakjat, WartaBhakti, Bintang Timur, Suluh Indionesia dilarang terbit, maka sayamemutuskan untuk tidak segera kembali ke Jakarta, sambilmenunggu perkembangan lebih lanjut.

1965 (Oktober-November). Setelah menunggu agak lama diAlger dan di Paris, memutuskan untuk menggabungkan diridengan delegasi Indonesia yang sedang berkunjung ke Tiongkokdalam rangka Hari Nasional Tiongkok 1 Oktober.

1965 (November). Datang di Peking dan bergabung dengandelegasi wartawan Indonesia (yang dipimpin Supeno dari Antara).Kemudian, setelah PWAA dipindah dari Jakarta ke Peking, makasaya bekerja kembali di Sekretariat PWAA, di bawah pimpinanDjawoto (yang menyatakan diri meletakkan jabatannya sebagaiDutabesar RI untuk Tiongkok). Pekerjaan sebagai kepalaSekretariat PWAA, di bawah pimpinan Djawoto (yang menjabatkembali sebagai Sekjen PWAA), berlangsung sampai sayameninggalkan Peking.

1966. (Permulaan). Ikut sebagai anggota delegasi Indonesiadalam konferensi Trikontinental yang diselenggarakan di Havana(Kuba). Delegasi yang dipimpin oleh Ibrahim Isa ini merupakandelegasi tandingan yang dikirim oleh Jakarta (di bawah KolonelLatief Hendraningrat). Selama di Havana delegasi Indonesiamendapat kehormatan dari Fidel Castro yang datang ke hoteltempat menginap kami, untuk bicara-bicara tentang situasiIndonesia, tentang terjadinya G30S dan terbunuhnya begitubanyak orang oleh militernya Soeharto.

Page 295: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[295]

Riwayat Hidup Singkat Penulis

1967. Sebagai anggota delegasi PWAA, berkunjung keberbagai negeri Arab dan Afrika Barat, untuk membicarakankerjasama dengan persatuan-persatuan wartawan di negeri:Siria, Mesir, Aljazair, Senegal, Mali, Guinea, Siera Leone danConggo Brazaville.

1971 - 1973 (permulaan). Bersama-sama banyak kawan-kawan Indonesia lainnya, hidup dalam tempat penampungansementara di satu daerah di propinsi Jiangxi. Di antara banyakkegiatan selama di tempat penampungan sementara ini, ikutdalam menyelenggarakan penerbitan intern “BahanPertimbangan” yang berisi berita-berita dan informasi tentangsituasi di Indonesia waktu itu.

Akhir 1973 sampai permulaan 1974. Meninggalkan Tiongkokmenuju Rumania, Jugoslavia, dan kemudian Jerman Barat, dalamrangka mencari jalan untuk bisa menetap di Perancis.

Suaka politik dan kehidupan di Perancis1974 (bulan April). Terbang dari Jerman Barat menuju Paris,

dan menyatakan di lapangan terbang Paris minta suaka politikdi Perancis. Sejak datang ke Paris, langsung mengadakan kontak-kontak persahabatan dengan berbagai kalangan Perancis, dalamrangka usaha mencari pekerjaan sambil melakukan berbagaikegiatan. Memperdalam bahasa Perancis lewat kursus-kursus diSorbonne.

1975 - sampai Mei 1982. Bekerja sebagai pegawai di suatubadan Kementerian Pertanian Perancis. Pekerjaan di KementerianPertanian ini merupakan periode adaptasi yang penting dalamkehidupan baru di Paris. Selama itu, melakukan berbagai kegiatanmengenai soal-soal yang berkaitan dengan situasi di Indonesia,

Page 296: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[296]

terutama mengenai tapol dan hak-hak manusia. Dalam periodeini, sering mondar-mandir ke Holland, Jerman Barat dan Swissuntuk membantu kedatangan sejumlah kawan-kawan yangdatang dari Tiongkok, Albania dan lain-lain negeri, yang inginmenetap di Eropa Barat.

1976. Menjadi peserta Konferensi Nasional CCFD (ComiteCatholique contre Faim pour Developpement), suatu organisasibesar di Perancis yang membantu Dunia Ketiga. Dalam tahun inijuga bertemu untuk pertama kali dengan Jose Ramos Horta (dariTimor Timur) di Holland, dan kemudian mendirikan di Parisorganisasi ASTO (Association de Solidarité avec Timor Oriental)bersama-sama dengan sejumlah teman-teman Perancis. ASTOini sampai sekarang masih berdiri (sudah lebih dari dua puluhlima tahun).

1977. Untuk pertama kali sejak meninggalkan Jakarta (14September 1965) bisa berhubungan lewat telpon dengan istri saya(yang tinggal di Jakarta), berkat bantuan kawan lama saya, BungJoesoef Isak. Kemudian, dalam tahun 1978, sesudah berpisahtanpa surat-menyurat selama kira-kira tiga belas tahun, istri sayaberkunjung sebentar ke Paris. Sejak itu, diadakan persiapan-persiapan untuk berkumpulnya kembali seluruh keluarga(dengan dua anak laki-laki).

1978. Mendirikan Komite Tapol di Paris bersama Philippe Farine(pimpinan CCFD), yang kemudian berhasil mengumpulkan tandatangan dari berbagai tokoh penting Partai Sosialis Perancis untukrehabilitasi para ex-tapol dan juga tentang larangan bukuPramoedya. Menerbitkan majalah dalam bahasa Perancis tentangHAM di Indonesia.

Page 297: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[297]

Riwayat Hidup Singkat Penulis

Restoran “Indonesia” dan Chine Express, dll.1982 (Mei). Menyatakan mengundurkan diri secara sukarela

dari pekerjaan di Kementerian Pertanian Perancis, dengan tujuanuntuk mencurahkan tenaga dan waktu guna berdirinya suatuusaha kolektif bagi kehidupan kawan-kawan Indonesia (politicalrefugees) yang berdatangan dari Tiongkok, Albania dan lain-lainnegeri.

1982 (Desember). Restoran “INDONESIA” (yang berstatuskoperasi) berdiri. Selama beberapa tahun ikut mengelola danbekerja di restoran kolektif ini, sambil melakukan kegiatan-kegiatan sosial dan politik lainnya (antara lain: mengadakan“malam Indonesia,” rapat-rapat tentang soal Indonesia dll).

1986 (sampai 1996). Menerbitkan majalah ekonomi dalambahasa Perancis Chine Express, yang ditujukan kepadaperusahaan-perusahaan Perancis yang ingin berhubungandengan pasar Tiongkok. Selama sepuluh tahun penerbitan inidilakukan sendiri (tanpa pegawai atau pembantu).

1987. Sebagai anggota delegasi CCFD untuk evaluasi projekkerjasama dengan satu universitas Korea Utara (Wonsan), dankemudian diteruskan ke Tiongkok untuk dimulainya hubunganantara CCFD dengan CAFIU (Chinese Association for InternationalUnderstanding).

1996. Untuk pertama kalinya (sejak 1965) berkunjung keIndonesia, dengan menggunakan paspor Perancis. Karena regimeOrde Baru masih berkuasa, maka hubungan dengan keluarga dankawan-kawan di Indonesia masih dilakukan dengan sangat hati-hati, waktu itu.

1998. Memutuskan untuk menghentikan penerbitan majalahbulanan Chine Express, dan mengambil masa pensiun, sampai

Page 298: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

Perjalanan Hidup Saya

[298]

sekarang. Namun, walaupun sudah pensiun, masih tetap terusmenjadi anggota koperasi Fraternité (restoran INDONESIA) danmasih terus melakukan berbagai kegiatan sosial dan politik, yangbersangkutan dengan Indonesia.

Sejak 1997, setiap tahun pergi berkunjung ke Indonesia untukhubungan dengan berbagai organisasi dan perseorangan diIndonesia. Beberapa kali ikut dalam konferensi yang diadakanoleh INFID (di Bogor dan di Bali). Menjalin kerjasama denganberbagai LSM di Indonesia dalam berbagai bidang.

Sudah pensiun, tetapi tetap sibuk2000. Menjadi anggota rombongan Mme Danielle Mitterrand

(istri mendiang Presiden Perancis, François Mitterrand) yangberkunjung ke Indonesia untuk mengadakan kontak dengan paraex-tapol (Yayasan Ibu Sulami dll).

2001. Menjadi anggota pengurus CDI (Comité pour laDémocratie en Indonésie), yang didirikan bersama-sama denganteman-teman Indonesia dan Perancis. Dalam CDI ini terdapatorang-orang dari Partai Sosialis, Partai Hijau, Partai Komunisdan perseorangan. CDI sudah mengadakan kerjasama denganberbagai kalangan di Indonesia.

Mei 2002. Sebagai anggota delegasi ASTO (Komite TimorTimur di Perancis) berkunjung ke Timor Timur, dalam rangkaperayaan Hari Kemerdekaan Timor Leste di Dili, yang jatuh padatanggal 20 Mei 2002. Pada saat itu, telah bertemu kembali dengansahabat-sahabat lama, antara lain: Mari Alketiri (PerdanaMenteri), Rogerio Lobato (Menteri Dalamnegeri), Roque Rodriguez(Menteri Pertahanan), Jose Ramos Horta (Menteri Luar Negeri).

* * *

Page 299: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris

[299]

Riwayat Hidup Singkat Penulis

Sekarang, dalam kehidupan sederhana di Perancis, tetapberusaha untuk bisa berbuat sesuatu untuk Indonesia. Masihberusaha terus untuk menulis, dan meneruskan hubungandengan berbagai kalangan di Indonesia, dalam rangka perjuanganbersama untuk menegakkan demokrasi, membela HAM, dan ikutdalam gerakan untuk terus mendorong adanya perobahan-perobahan demi kepentingan rakyat banyak.

* * *

Page 300: A Umar Said, Dari Blitar ke Paris