repository.unhas.ac.id › bitstream › handle › 123456789...  · web...

172
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasca runtuhnya Orde Baru 21 Mei 1998 Indonesia mengalami euforia kebebasan politik yang belum terjadi sebelumnya. Banyak pihak yang meneriakkan kebebasan. Diantara wujud kebebasan yang paling tampak adalah kesempatan untuk menyiarkan aspirasi yang sejak lama terpendam, mulai dari teriakan desentralisasi kekuasaan, pekikan kedaulatan ataupun merdeka, selain itu dilaksanakan berbagai agenda reformasi. Salah satu isu yang berkaitan dengan agenda tersebut adalah penempatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara profesional disetiap lembaga pemerintahan. Pada esensinya isu diatas bukanlah suatu hal yang baru. Pada masa orde lama sistem pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang dianut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem sentralisasi dimana 1

Upload: others

Post on 25-Feb-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasca runtuhnya Orde Baru 21 Mei 1998 Indonesia mengalami euforia

kebebasan politik yang belum terjadi sebelumnya. Banyak pihak yang

meneriakkan kebebasan. Diantara wujud kebebasan yang paling tampak

adalah kesempatan untuk menyiarkan aspirasi yang sejak lama terpendam,

mulai dari teriakan desentralisasi kekuasaan, pekikan kedaulatan ataupun

merdeka, selain itu dilaksanakan berbagai agenda reformasi. Salah satu isu

yang berkaitan dengan agenda tersebut adalah penempatan Pegawai Negeri

Sipil (PNS) secara profesional disetiap lembaga pemerintahan.

Pada esensinya isu diatas bukanlah suatu hal yang baru. Pada masa

orde lama sistem pemerintahan dan penyelenggaraan Negara yang dianut

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sistem sentralisasi

dimana pengangkatan PNS dilaksanakan secara sentralistik. Segala

kebijakan yang akan diambil harus berasal dari pemerintah pusat dan harus

menunggu petunjuk pelaksanaan (juklat) dan petunjuk teknis (juknis) dalam

proses pelaksanaannya.

Pada masa orde baru pengangkatan seorang aparat birokrasi

pemerintahan juga menghendaki profesionalisme dalam diri seorang pejabat.

Indikasi ini dapat dilihat pada jabatan-jabatan birokrasi pemerintahan yang

1

dijabat oleh orang-orang profesional sesuai dengan potensi, dedikasi, dan

prestasi yang bersangkutan.

Nuansa profesionalisme Pegawai Negeri Sipil semakin tinggi

tuntutannya diera reformasi. Konsep teori “The Right Man on The Right

Place” (penempatan seseorang sesuai dengan keahliannya) ingin diwujudkan

dan menjadi agenda reformasi dan birokrasi pemerintahan. Aplikasinya,

dilakukanlah perubahan peraturan penyelenggaraan pemerintah daerah

dengan menetapkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagai pengganti

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang

memberikan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggungjawab dan

dapat menjamin perkembangan dan pembangunan daerah.

Tugas Pemerintah Daerah (Pemda) semakin berat dengan

diterapkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, mengingat

tanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat sangat besar. Pada

akhirnya Pemda harus memberikan kontribusi dalam penyelenggaraan tugas

pemerintahan umum dan pembangunan kearah yang lebih baik. Untuk

mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan kinerja para aparatur pemerintah yang

memiliki dedikasi, loyalitas serta profesionalisme yang tinggi dan tentunya

mampu menjadi pelindung masyarakat.

Untuk mendapatkan aparat yang memiliki dedikasi dan hasil kerja

yang optimal, maka harus dilakukan pertimbangan dan seleksi yang ketat

bagi para calon pegawai negeri sipil, apalagi yang ingin menduduki suatu

2

jabatan strategis. Agar aparat dapat lebih menghayati bidang tugasnya maka

seyogianya pelaksanaan rekruitmen dan penempatan pegawai harus

berpedoman pada analisis jabatan, dimana outputnya berisi uraian jabatan,

spesifikasi jabatan, dan standar kinerja.

Ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah

yang berkaitan dengan sumber daya aparatur antara lain: pertama, pemda

kekurangan pegawai yang berkwalitas yang mampu bekerja secara efektif.

Kedua, setiap perekrutan dan penempatan PNS selalu berujung pada

pertimbangan politik artinya terdapat beberapa kepentingan politik atau

yang didasarkan atas hubungan kekeluargaan. Ketiga, tidak adanya standar

kerja yang jelas untuk suatu jabatan sehingga merancukan pengertian

profesionalisme.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut diatas, maka diperlukan

sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu meningkatkan kinerja

dan pelayanan terhadap masyarakat. Hal ini dapat tercapai dengan

melaksanakan secara bertanggung jawab Peraturan Bupati Luwu Utara

Nomor 16 Tahun 2011 tentang BAPERJAKAT. Badan ini yang memiliki

wewenang penuh untuk mewujudkan teori “The Right Man on The Right

Place”.

Akan tetapi dalam era otonomi saat ini, Bupati sebagai pemimpin

tertinggi di daerah memiliki wewenang dan pengaruh yang sangat kuat.

Semua masalah tentang mutasi, pemberhentian, dan kenaikan pangkat

3

seakan-akan harus didasarkan pada keinginan dan pesanan Bupati. Tim

BAPERJAKAT telah kehilangan kekuatannya ketika sudah berhadapan

dengan kemauan Bupati sebagai pemimpin tertinggi di daerah. Tim

BAPERJAKAT mengalami dilematis karena mereka sendiri akan mengalami

dampak negatif ketika keinginan Bupati tidak dipenuhi.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis melakukan penelitian

tentang PNS dengan judul penelitian “ Implementasi Kebijakan Kepegawaian

Di Kabupaten Luwu Utara “.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah implementasi kebijakan mutasi di Kabupaten Luwu

Utara ?

2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

mutasi di Kabupaten Luwu Utara ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan mutasi di Kabupaten Luwu

Utara.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

mutasi di Kabupaten Luwu Utara.

1.3.2. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademik

4

Diharapkan penelitian ini akan bermanfaat bagi akademisi yang

menggeluti bidang kajian ilmu pemerintahan. Penelitian ini berisi data,

fakta, konsep, dan teori yang diharapkan dapat menambah khazanah

ilmu pengetahuan

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat bagi pemerintahan

khususnya pemerintah daerah dalam melakukan inovasi terhadap

konsep implementasi kebijakan kepegawaian. Lebih khusus penelitian ini

dapat bermanfaat bagi pemerintah kabupaten Luwu Utara dalam

mengoptimalkan penerapan kebijakan kepegawaian yang berbasiskan

kepentingan masyarakat. Selain itu, penelitian ini berisi mengenai

persepsi baik dari pemerintah maupun yang di perintah (masyarakat).

Oleh karena itu, penelitian ini diharapakan dapat menjadi jembatan bagi

terbentuknya pola komunikasi yang sinergis antara pemerintah

kabupaten Luwu Utara selaku provider layanan publik dengan

masyarakat selaku konsumer guna optimalisasi pelayanan serta sebagai

bahan evaluasi ke depan guna inovasi konsep pelayanan.

1.4. Kerangka Konseptual

Sebagaimana terlihat sepanjang sejarah, maka kedudukan dan

peranan Pegawai Negeri adalah penting dan menentukan karena Pegawai

Negeri adalah unsur Aparatur Negera untuk menyelenggarakan

5

pemerintahan dan pembangunan dalam rangka usaha mencapai tujuan

Nasional.

Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian merupakan landasan bagi pemerintah secara nasional

dalam hal pengaturan PNS. Demikian juga tentang pengaturan mutasi PNS.

Kabupaten Luwu Utara sebagai bagian dari pemerintah pusat

menjabarkan UU Nomor 43 Tahun 1999 kedalam Peraturan Bupati Luwu

Utara Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan

Kepangkatan (BAPERJAKAT) Pemerintah Kabupaten Luwu Utara. Badan ini

memberikan pertimbangan kepada Bupati dalam hal mutasi seorang PNS.

Pelaksanaan mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak

dilakukan secara serta merta tetapi penilaiannya harus secara objektif dan

tidak mendiskriminasikan pihak tertentu.

Adapun yang menjadi prinsip-prinsip dasar dalam melakukan mutasi

seorang PNS adalah sebagai berikut : Profesionalisme, Kompetensi, Prestasi

Kerja, Jenjang Pangkat, dan Tanpa Diskriminasi suku,agama, gender dan

ras.

Namun sebuah kebijakan dalam pelaksanaannya pasti ada hal-hal

yang mempengaruhi dalam pengimplemntasiannya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi itu bisa dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).

6

Untuk memudahkan memahami penjelasan penulis maka dibawah ini

di gambarkan Bagan Kerangka Konseptual yaitu :

7

Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-

Pokok Kepegawaian

Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 16 Tentang BAPERJAKAT

MUTASI1. Profesionalisme2. Kompetensi3. Prestasi Kerja4. Jenjang Pangkat5. Tidak ada diskriminasi

gender, suku, agama,dll

Faktor- Faktor Yang Berpengaruh

1. Faktor Eksternal2. Faktor Internal

1.5. Metode Penelitian

1.5.1 Lokasi Penelitian

Penelitian akan di lakukan di Kabupaten Luwu Utara dan di fokuskan

pada kantor BKD Kabupaten Luwu Utara

1.5.2 Dasar dan Tipe Penelitian

a. Dasar Penelitian

Dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi

kasus, yaitu suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari

secara mendalam tentang implementasi kebijakan kepegawaian

khususnya mutasi di kantor BKD kabupaten Luwu Utara

b. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif,

yakni tipe penelitian yang ingin menggambarkan implementasi

kebijakan kepegawaian khususnya mutasi di BKD kabupaten Luwu

Utara

1.5.3 Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang relevan dengan materi pembahasan

sebagai acuan dasar dalam memaparkan uraian sesuai dengan

rumusan masalah maka pengumpulan datanya di lapangan dilakukan

dengan menggunakan teknik :

8

a. Studi Kepustakaan (library research)

Pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca literatur-literatur

yang berhubungan tentang buku/artikel birokrasi pemerintahan dan

kepegawaian, buku/artikel tentang ilmu pemerintahan serta dokumen-

dokumen yang ada relevansinya dengan topik yang dibahas dalam

penelitian ini. Data yang diperoleh dari kepustakaan ini merupakan

data sekunder.

b. Penelitian Lapangan (field research)

Studi lapang ini dimaksudkan bahwa penulis langsung melakukan

penelitian pada lokasi atau objek yang telah ditentukan. Studi lapang

ditempuh dengan cara sebagai berikut ;

Observasi yaitu pengamatan terhadap objek secara langsung.

Interview yaitu wawancara langsung dengan informan yang telah

ditentukan.

1.5.4 Informan Penelitian

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah :

Bupati Luwu Utara

Wakil Bupati Luwu Utara

Sekretaris Daerah Luwu Utara

Kepala Bidang Pengadaan dan Mutasi Pegawai Badan

Kepegawaian Daerah Luwu Utara

9

Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat

Asisten Adminstrasi Umum

Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat

Sekretaris BKDD

Kepala-Kepala Bidang BKDD

Kasubag BKDD

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

Pegawai yang di Mutasi sebanyak 5 orang

1.5.5 Defenisi Operasional

1) Implementasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pelaksanaan

kebijakan kepegawaian yang termaktub dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian pasal 17 ayat 2 yang berbunyi :

Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku,agama,rasa tau golongan.

Selain itu dalam Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 16 Tahun 2011

Tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan

(BAPERJAKAT) pasal 4 yang berbunyi:

10

Pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari Jabatan Struktural Eselon II, Eselon III dan Eselon IV.

2) Mutasi adalah pemindahan dan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil

dalam pangkat dan jabatan-jabatan tertentu, yang didasarkan atas

prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan

jenjang pangkat yang telah ditetapkan untuk jabatan itu serta syarat-

syarat lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras

atau golongan. Sedangkan untuk lebih menjamin objektivitas dalam

mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan

pangkat diadakan suatu penilaian terhadap prestasi kerja.

3) Prinsip-Prinsip Mutasi PNS

a) Profesionalisme, menurut penulis ini amat penting karena suatu

program hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksananya

adalah orang yang memang sudah ahli di bidangnya masing-masing.

Profesionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara

pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya

terdapat pada atau dilakukan oleh seorang profesional.

Profesionalisme berasal dari kata profesion yang bermakna

berhubungan dengan profesion dan memerlukan kepandaian khusus

untuk menjalankannya. Jadi, profesionalisme adalah tingkah laku,

kepakaran atau kualiti dari seseorang yang profesional.

11

b) Kompetensi adalah karakteristik dari karyawan yang

mengkontribusikan kinerja pekerjaan yang berhasil dan pencapaian

hasil organisasi. Hal ini mencakup pengetahuan, keahlian dan

kemampuan ditambah karakteristik lain seperti nilai, motivasi, inisiatif

dan control diri. Pegawai yang memiliki kompetensi akan mampu

meneylesaikan pekerjaan yang diberikan dengan hasil yang

memuaskan.

c) Prestasi Kerja, yaitu penilaian hasil kerja pegawai oleh atasan atau

pimpinannya masing-masing. Biasa dikenal dengan singkatan DP-3

(Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan). Prestasi kerja terdiri dari

dua unsur yaitu Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) dan perilaku kerja.

Bobot nilai unsur SKP 60 % (enam puluh persen) dan perilaku kerja

sebesar 40 % (empat puluh persen). Lebih jauh tentang SKP,

penilaiannya meliputi aspek kuantitas, kualitas, waktu dan atau biaya.

SKP nantinya wajib disusun dan disetujui bersama antara atasan

langsung dengan PNS yang bersangkutan, ditetapkan setiap tahun

pada Bulan Januari sebagai kontrak prestasi kerja, selanjutnya pada

akhir tahun SKP digunakan sebagai standar/ukuran penilaian prestasi

kerja.

d) Jenjang Pangkat adalah tingkatan pangkat seorang PNS secara

nasional. Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan

seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam

12

rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar

penggajian. Kenaikan pangkat adalah penghargaan yang diberikan

atas prestasi kerja dan pengabdian Pegawai Negeri Sipil terhadap

Negara, serta sebagai dorongan kepada Pegawai Negeri Sipil untuk

lebih meningkatkan prestasi kerja dan pengabdiannya.

e) Tidak ada diskriminasi gender, suku, agama, dan ras artinya seorang

Pegawai Negeri Sipil memiliki kesamaan hak dalam hal mutasi.

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap

individu tertentu. Dengan demikian prinsip dasar dari mutasi adalah

tanpa diskriminasi artinya keadilan bagi semua PNS.

1.5.6 Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan di lapangan diolah dengan

menggunakan teknik analisis secara kualitatif yaitu suatu analisa data dalam

bentuk pernyataan-pernyataan, tanggapan-tanggapan atau tafsiran-tafsiran

yang disertai dengan tabel frekuensi.

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Implementasi

Defenisi implementasi

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah

kebijakan dapat mencapai tujuannya. Studi implementasi merupakan suatu

kajian mengenai studi kebijakan yang mengarah pada proses pelaksanaan

dari suatu kebijakan. Dalam praktiknya implementasi kebijakan merupakan

suatu proses yang begitu kompleks bahkan tidak jarang bermuatan politis

dengan adanya intervensi berbagai kepentingan. Untuk melukiskan

kerumitan dalam proses implementasi tersebut dapat dilihat pada pernyataan

yaitu cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang

kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam

kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga

para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih

sulit lagi untuk melaksanakanannya dalam bentuk cara yang memuaskan

semua orang termasuk yang meraka anggap klien.

Implementasi kebijakan sebagai pelaksanaan keputusan

kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat

14

pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang

penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut

mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutnya secara tegas

tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk

menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Sedangkan, Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2008),

mendefenisikan implementasi kebijakan, sebagai :

“tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.

Dari tiga defenisi tersebut diatas dapat diketahui bahwa implementasi

kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu :

1. Adanya tujuan atau sasaran kebijakan

2. Adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan

3. Adanya hasil kegiatan

Dari tiga defenisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa

implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana

kebijakan melakukan suatu aktifitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya

akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran

kebijakan itu sendiri.

Implementasi merupakan proses pelaksanaan program kebijaksanaan

kegiatan tindak lanjut ( setelah sebuah program dan kebijaksanaan telah

15

ditetapkan, yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah-langkah yang

strategis maupun operasional yang ditempuh guna mewujudkan suatu

program atau kebijaksanaan menjadi kenyataan, guna mencapai sasaran

dari program (kebijaksanaan) yang telah di tetapkan semula ).

Proses implementasi dalam kenyataan sesungguhnya dapat berhasil,

kurang berhasil atau gagal sama sekali bila ditinjau dari wujud hasil yang

dicapai. Karena dalam proses tersebut ada faktor-faktor yang bersifat

menghambat pencapaian sasaran program tersebut.

2.1.1. Pendekatan untuk Implementasi Problem implementasi diasumsikan sebagai sebuah deretan

keputusan dan interaksi sehari-hari yang tidak terlalu perlu mendapat

perhatian dari para sarjana yang mempelajari politik. Implementasi itu

dianggap sederhana meski anggapan ini menyesatkan. Dengan kata lain,

kelihatannya tidak mengandung isu-isu besar. Van Meter dan Van Horn

dalam Parsons, (2006: 463).

Studi implementasi adalah studi perubahan, bagaimana perubahan

terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga

merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana

organisasi diluar dan di dalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan

berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti

itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara

berbeda. Jenkins dalam Parson, (2006: 463).

16

Pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau

disetujui. Seperti dinyatakan Anderson dalam Parsons, (2006: 464) bahwa

kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat sedang dibuat.

Implementasi adalah pelaksanaan pembuatan kebijakan dengan cara-cara

lain. Akan tetapi, biasanya kita cenderung menganggap sistem politik sebagai

sesuatu yang menambah problem, dengan menarik garis pemisah antara

kebijakan dan adminstrasi. Administrasi, menurut sudut pandang ini, akan

mengambil alih setelah kebijakan selesai. Pekerjaan administrator adalah

melaksanakan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan, dan

peran penyedia layanan adalah menjalankan kebijakan yang diatur oleh

birokrat. Hubungan dan interaksi antara politisi, administrator, dan penyedia

layanan hingga saat ini masih dilupakan dalam area analisis dan riset: ini

adalah semacam “ missing link” dalam proses kebijakan. Hargrove dalam

Parsons, (2006: 464).

Kurangnya perhatian pada problem “ pasca pembuatan kebijakan: ini

disebabkan oleh dominasi model dan peta yang mendasari penelitian. Model

kotak hitam, misalnya, memberikan kerangka yang kokoh untuk menganalisis

kebijakan qua “sistem”, tetapi cenderung terlalu banyak membahas proses

yang terjadi di dalam sistem, dan di dalam “output” dan aktivitas “umpan

balik”. Analis kebijakan, sampai 1970-an dan 1980-an, cenderung melupakan

dampak birokrasi dan penyedia layanan terhadap efektivitas suatu kebijakan.

Sebuah kebijakan dinilai dari segi pembuat kebijakannya ketimbang dari segi

17

implementasi dari gagasan para pembuat kebijakan lokal dan nasional. Pada

saat yang sama, tradisi administrasi publik Anglo-Amerika cenderung lebih

menekankan pada perbedaan fungsi administrator dengan politisi. Perbedaan

ini, meski merupakan bagian penting dari gagasan demokrasi-liberal

mengenai negara dan akuntabilitasnya, Massey dalam Parsons, (2006: 464),

namun dalam praktiknya tidak realistis dan tidak sesuai dengan realitas politik

di mana birokrat bukan pegawai negeri yang netral, tetapi juga pegawai yang

punya ide, nilai, keyakinan, dan kepentingan yang mereka pakai untuk

membentuk kebijakan. Perbedaan antara kebijakan sebagai politik dan

administrasi sebagai implementasi, yang merupakan aspek fundamental bagi

gagasan administrasi publik Anglo-Saxon, mungkin tidak terlalu menonjol di

sistem politik Eropa lainnya, di mana pegawai negeri sipil di anggap memiliki

peran “kebijakan” yang lebih dinamis. Aberbach et al dalam Parsons, (2006:

464).

2.1.2. Implementasi Sebagai Permainan Politik

Model organisasi yang menganggap kebijakan sebagai sesuatu yang

dibuat dan diimplementasikan dalam situasi interaksi manusia, bukan

sebagai mesin atau sistem, lebih menitikberatkan pada sifat interaksi

tersebut. Dalam model Lipsky, misalnya, implentasi adalah sesuatu yang

melibatkan pengakuan bahwa organisasi mengandung keterbatasan manusia

dan organisasional, dan bahwa manusia dan organisasi itu harus dianggap

sebagai sumber daya. Implementasi yang efektif adalah sebuah kondisi yang

18

dapat dibangun dari pengetahuan dan pengalaman dari orang-orang yang

ada di garis depan pemberi layanan.

Tema interaksi ini juga merupakan fokus dari model yang menganggap

implementasi sebagai proses yang distrukturisasi oleh konflik dan tawar-

menawar (bargaining). Model rasional, tentu saja , juga mengakui bahwa

konflik dan pembuatan kesepakatan akan terjadi dalam implementasi. Akan

tetapi, konflik ini dilihat sebagai sesuatu yang pada dasarnya disfungsional

dan karenanya dibutuhkan koordinasi, Pressman dan Wildavsky dalam

Parsons, (2006: 472). Dalam model ini, konflik dan tawar-menawar terjadi di

dalam tujuan yang diakui bersama, di mana implementasi adalah efektif jika

kelompok berhasil menyelesaikan perbedaannya dan berhasil menjalankan

kebijakan. Proses implementasi yang efektif akan punya metode dan sistem

kontrol sehingga konflik bisa diselesaikan. Dunsire dalam Parsons, (2006:

472).

Namun, jika kita punya pandangan tentang organisasi yang tidak

terlalu didasarkan pada gagaan kontrol atas struktur yang terdiri dari

kelompok dan individu yang berusaha memaksimalkan kekuasaan dan

pengaruh mereka, maka kita harus memandang konflik sebagai proses politik

yang melibatkan strategi yang berbeda-beda guna mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan. Implementasi dari perspektif ini adalah soal

orang-orang dengan kepentingan sendiri yang “memainkan permainan”.

19

Model permainan ini diajukan oleh Bardach. Implementasi menurutnya

adalah sebuah permainan “tawar-menawar, persuasi, dan manuver di dalam

kondisi ketidakpastian” Bardach dalam Parsons, (2006: 472). Aktor

implementasi bermain untuk memegang kontrol sebanyak mungkin, dan

berusaha memainkan sistem demi mencapai tujuannya sendiri.

Model Bardach pada dasarnya adalah model yang menunjukkan

bahwa politik adalah sesuatu yang melampaui institusi ”politik” resmi. Politik

tidak berhenti setelah rancangan undang-undang ditetapkan menjadi undang-

undang. Politik tidak berhenti dalam proses politik, atau tidak berhenti dalam

proses pembuatan keputusan. Model yang disarankan Bardach ini meminta

kita untuk mendefenisikan ulang batas-batas antara politik dan birokrasi dan

antara proses pembuatan keputusan dan pelaksanaan keputusan tersebut.

Implementasi karenanya adalah bentuk lain dari politik yang berlangsung di

dalam domain kakuasaan yang tak terpilih.

Seperti telah kita catat diatas, model kontrol rasional atas

implementasi cenderung memandang kepentingan sebagai sesuatu yang

bisa disatukan demi tujuan bersama, dan konflik sebagai sumber friksi yang

bisa dikelola. Namun, ada perbedaan penafsiran dalam model implementasi

yang menekankan kekuasaan, konflik, dan kepentingan sebagai sesuatu

yang diciptakan oleh implementasi. Berbagai model kekuasaan memandang

konflik dan perebutan kekuasaan di dalam dan disekitar organisasi

menyebabkan kebijakan diimplementasikan dengan cara yang berbeda-beda.

20

2.1.3. Implementasi Dalam Kerangka Manajerialis

Ada garis batas tipis antara rumusan teori implementasi khususnya

model top down dan pendekatan manajerialis untuk problem yang

diasosiasikan dengan “kegagalan” (sic) implementasi. Sabatier dan

Mazmanian dalam Parsons, (2006: 475), misalnya, menawarkan pedoman

untuk para manajer yang kebingungan untuk memahami bagaimana

mencapai tujuan kebijakan. Banyak model implementasi lain memberikan

semacam saran dan pendekatan yang biasa ditemukan dalam buku

manajemen. Pendekatan manajerialis untuk implementasi telah menjadi

sebentuk paradigma “operasional” dominan dalam administrasi (qua

manajemen) kebijakan publik. Karena manajemen sektor publik menjadi

makin mirip manajemen “bisnis” maka teknik-teknik yang dulu dianggap

sebagai metode “sektor privat” kini mulai diadopsi. Kita akan membahasnya

dalam kerangka tiga pendekatan :

a) manajemen operasional;

b) manajemen korporat atau perusahaan

c) manajemen personalia.

Manajemen Operasional

Kita menyinggung teknik manajemen operasional saat kita membahas

penggunaan OR dalam pembuatan keputusan. Riset operasional juga

diaplikasikan dalam proses pelaksanaan kebijakan dalam term “manajemen

proyek”. Adalah signifikan bahwa pendekatan OR untuk manajemen proyek

21

dikembangkan dari sektor publik. Pada 1950-an, Pemerintah AS mengadopsi

dua teknik untuk mengelola proyek misil Polaris. Sapolsky dalam Parsons,

(2006: 475).

a) Critical Path Method (CPM)

b) Project, Evaluation, and Review Technique (PERT)

Kedua metode ini menggunakan gagasan pengelolaan proyek skala

besar dalam term “jaringan”; untuk alasan ini kedua metode itu dikenal

sebagai bentuk “analisis jaringan” Tujuan CPM dan PERT adalah

“mengontrol” pelaksanaan sebuah proyek dengan mengontrol jaringan

aktivitas dan peristiwa dalam tahap-tahap implementasi. CPM adalah metode

yang bertujuan mengidentifikasi aktivitas-aktivitas “kritis” atau penting untuk

keberhasilan implementasi proyek tepat pada waktunya. Jaringan dipetakan

untuk menunjukkan awal proyek dan perkiraan waktu untuk bergerak dari

satu kegiatan kritis ke kegiatan kritis lainnya. PERT adalah metode tepat

pada waktunya. Jaringan dipetakan untuk menunjukkan awal proyek dan

perkiraan waktu untuk bergerak dari satu kegiatan kritis ke kegiatan kritis

lainnya. PERT adalah metode yang menyatakan bahwa durasi aktivitas kritis

adalah tidak pasti. Sistem PERT diprogram berbasis tiga tipe kalkulasi

ketidakpastian ini: durasi paling mungkin dari satu aktivitas ke aktivitas

lainnya; perkiraan paling optimis (tersingkat) dari suatu aktivitas tertentu; dan

perkiraan durasi paling pesimis (terlama). Analisis PERT dipakai dalam

implementasi proyek skala besar di mana ada tingkat ketidakpastian yang

22

tinggi dalam penyelesaian suatu proyek. Dalam pemerintah lokal dana

nasional, analisis jaringan ini paling banyak dipakai dalam proyek konstruksi

yang mengandung persoalan dalam pengelolaan proses dengan banyak area

ketidakpastian, setidaknya yang dikaitkan dengan persoalan peneyelesaian

tepat waktu dan sesuai anggaran, karena adanya persoalan cuaca, geologi,

hubungan kerja, dan inflasi, dan beberapa problem lainnya yang mungkin

menghambat penyelesaian proyek pembangunan jalan, pembangkit listrik,

gedung dan sebagainya.

Dalam kerangka OR ini kita juga harus memasukkan “analisis sistem”.

Analisis ini menganggap problem implementasi sebagai sesuatu yang harus

dianalisis dalam konteks “sistem” dalam penyampaian layanan dan produk

publik. Seorang analis sistem akan tertarik dengan bagaimana keseluruhan

urutan aktivitas, input dan output serta arus informasi akan memberikan

kontribusi pada keberhasilan atau kegagalan proyek. Implementasi dalam

“sistem lunak” manusia (yang berbeda dengan “sistem keras” seperti pabrik

dan mesin) dapat dilihat sebagai sebuah problem kontrol dan koordinasi.

Implementasi yang efektif dalam model ini akan tergantung kepada elemen-

elemen seperti :

a) pendefinisian objek dan perumusan rencana;

b) monitoring rencana;

c) menganalisis apa yang telah terjadi berdasarkan apa yang semestinya

terjadi menurut rencana;

23

d) mengimplementasikan perubahan untuk memperbaiki kegagalan

pencapaian tujuan

Carter et al dalam Parsons, (2006: 477) menunjukkan bahwa sistem

implementasi yang sukses melibatkan empat tipe kontrol :

a) koordinasi sepanjang waktu;

b) koordinasi pada waktu tertentu

c) detail logistik dan penjadwalan

d) penjagaan dan pemeliharaan batasan struktural.

Pendekatan sistem menekankan pada pencapaian level kerja sama

yang baik dalam “sistem lunak” dengan memfokuskan pada arti penting dari

“teamwork” bagi keberhasilan implementasi, Carter et al dalam Parsons,

(2006: 477).

Manajemen Korporat

Berbeda dengan teknik OR, pendekatan “ manajemen korporat” untuk

implementasi adalah sebuah kerangka yang dikembangkan dalam sektor

bisnis swasta dan diadopsi oleh manajer sektor publik. Seperti yang telah kita

catat, teknik manajemen korporat masuk ke pemerintahan melalui pintu yang

di buka oleh reformasi proses penganggaran. Karena itu model manajemen

korporat banyak kesamaannya dengan PPBS, dengan penekanannya pada

analisis problem manajemen dalam penyusunan strategi melalui siklus

pendefinisian tujuan, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan

pengontrolan.

24

Perencanaan (planning) adalah proses pendefinisian tujuan dan

karenanya dilanjutkan dengan pengembangan strategi untuk mencapai

tujuan tersebut. Fase kunci dalam model ini dinamakan analisis SWOT, yakni

mengidentifikasi Kekuatan ( strength) dan Kelemahan (weakness) internal

dari organisasi, dan Peluang (opportunities), dan Ancaman (threats)

eksternal. Dari ulasan ini kemudian tujuan dilihat dari segi strategi yang

dibutuhkan berdasarkan SWOT tersebut. Setelah menentukan strategi, fase

berikutnya adalah menyusun rencana untuk mengimplementasikan tujuan.

Pertimbangan utama disini adalah pada hubungan strategi dengan struktur

organisasi dan personelnya. Agar implementasi berhasil, dibutuhkan adaptasi

struktur organisasional. Strategi membentuk struktur, yang pada gilirannya

membentuk starategi, Thompson dalam Parsons, (2006: 478). Pendekatan

korporat ini memberi prioritas tinggi pada kepastian agar struktur, kultur, dan

gaya organisasi dirancang untuk mencapai “misi” organisasi, dan

menjelaskan kepada semua orang apa itu “misi” organisasi tersebut, dan

bagaimana mereka berhubungan dengannya Foster dalam Parsons, (2006:

478). Monitoring implementasi rencana aksi memerlukan “umpan balik”

kepada manajemen tentang bagaimana tujuan terpenuhi dan problem apa

yang perlu diatasi agar mendapatkan keberhasilan.

Manajemen korporat merupakan pendekatan yang berpengaruh dalam

“manajemen sektor publik baru”, terutama di era 1980-an ketika tekanan

untuk mengurangi biaya, penghematan, dan kultur yang semakin berorientasi

25

bisnis tampak jelas di banyak negara-negara industry, Kooiman & Eliassen

(eds) dalam Parsons, (2006: 478). Seperti di era 1960-an dan 1970-an,

proses pengangguran (budgetary) dipakai untuk melahirkan perubahan

dalam sektor publik. Pengukuran kinerja, misalnya,dipakai sebagai teknik di

mana disiplin kontrol finansial dapat digunakan sebagai cara untuk mencapai

tujuan secara lebih efektif, Thompson dalam Parsons, (2006: 478).

Manajemen Personalia

Aspek “kultural” dari pendekatan manajemen korporat membawa kita

ke aspek penting lain dari manajerialisme di sektor publik: manajemen

manusia. Metode utama dari manajemen korporat adalah menentukan dan

mencapai tujuan. Dalam hal ini sangat penting untuk memahami bagaimana

orang dalam organisasi dan pelayanan publik merespon tujuan yang diminta

untuk diimplementasikan tersebut. Ada dua teknik yang dipakai untuk

meningkatkan aspek manusia dalam implementasi, yakni penilaian kinerja

dan manajemen berdasarkan tujuan.

a) Penilaian kinerja adalah metode untuk menilai individu dari segi

“kinerjanya” dengan berdasarkan tujuan organisasi dan konteks

perkembangan potensi individu tersebut.

b) Manajemen berdasarkan tujuan (MBO) adalah teknik dimana tujuan

disepakati oleh pihak manajer dan pihak yang dimanajeri sehingga

tercapai tujuan yang jelas dan didefinisikan dengan baik . Tujuan MBO

26

ini adalah memfasilitasi integrasi tujuan individu dengan tujuan

organisasi. Drucker dalam Parsons, (2006: 480).

Sebagaimana halnya metode untuk mengatasi problem implementasi,

metode penilaian dan MBO didesain untuk menangani isu-isu yang berkaitan

dengan kultur orang yang terus berubah-ubah. Pendekatan tersebut adalah

strategi yang memadukan antara hukuman dan imbalan untuk menciptakan

sebuah lingkungan di mana administrator/ manajer dan pelaksana “di

lapangan” bisa di dorong untuk memodifikasi atau menyesuaikan perilaku

mereka dalam rangka mencapai tujuan korporat yang berbeda dengan tujuan

departemental, individual, atau profesional.

2.1.4. Implementasi dan Tipe Kebijakan

Apakah mengimplementasikan program pengembangan peluru kendali

akan sama dengan mengimplementasikan program pelayanan manusia?

Apakah lebih mudah untuk membawa manusia ke bulan ketimbang

mengangkat keluarga ke tingkat kehidupan yang layak? Persoalan dalam

model implementasi manajerialis dan “rasionalis” adalah bahwa model

tersebut berasal dari gagasan tentang pembuatan keputusan yang tidak

mempertimbangkan fakta bahwa sifat dan kompleksitas problem manusia itu

bervariasi. Pendekatan yang dipakai untuk membawa manusia ke bulan atau

mengembangkan sistem rudal tak bisa menjadi dasar model untuk area

kebijakan di mana pendefinisian tujuan, pembentukan konsensus dan

pengambilan sumber daya jauh lebih problematik. Karena itu pendekatan

27

yang lebih berguna adalah menitikberatkan pada hubungan antara tipe

kebijakan dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi proses

implementasi. Misalnya, kategorisasi tipe kebijakan menurut Lowi dalam

Parsons, (2006: 482), yakni kebijakan distributif, regulatif dan redistributif,

telah dipakai oleh beberapa analisis.

Salah satu usaha pertama untuk menganalisis implementasi, yang

dilakukan oleh Van Meter dan Van Horn dalam Parsons, (2006: 482),

menyatakan bahwa studi implementasi perlu mempertimbangkan isi (content)

atau tipe kebijakan. Berdasarkan karya Lowi , Van Meter dan Van Horn

mengatakan bahwa efektivitas implementasi akan bervariasi di antara tipe

dan isu kebijakan. Faktor utama dalam implementasi, perubahan, control dan

pemenuhan menurut mereka menunjukkan bahwa jika ada tingkat konsensus

yang tinggi dan tidak banyak dibutuhkan perubahan, maka implementasi

kebijakan akan lebih sukses.

Ripley dan Franklin dalam Parsons, (2006: 482) mengatakan bahwa

keberhasilan implementasi relatif tidak sulit apabila kebijakannya bersifat

distributif, kebijakan regulatifnya moderat, dan kebijakan redistributifnya

rendah. Berbagai area kebijakan punya pola hubungan yang berbeda-beda,

yang berarti bahwa dalam area redistributif terdapat lebih banyak tawar-

menawar dan politicking ketimbang di area distributif, di mana mungkin ada

tekanan kontrol yang besar. Ingram dalam Parsons, (2006: 482) mengaitkan

28

variasi pola hubungan ini dalam term biaya pembuatan keputusan, struktur

perundangan, pendekatan yang tepat, kriteria evaluasi dan variabel kritis.

2.1.5. Analisis Antar Organisasi dan Implementasi

Fokus utama dari studi implementasi adalah persoalan tentang

bagaimana organisasi berperilaku, atau bagaimana orang berperilaku dalam

organisasi. Akan tetapi, jika kita menerima bahwa implementasi adalah

sebuah proses yang melibatkan “jaringan” atau multiplisitas organisasi,

pertanyaannya adalah bagaimana organisasi berinteraksi satu sama lain.

Ada dua pendekatan yang muncul dalam persoalan ini.

Kekuasaan dan Ketergantungan Sumber Daya

Pendekatan ini berargumen bahwa interaksi organisasi adalah produk

dari hubungan kekuasaan di mana organisasi-organisasi dapat membuat

organisasi yang lebih lemah dan lebih tergantung untuk berinteraksi dengan

mereka. Pada gilirannya, organisasi-organisasi yang tergantung pada

organisasi yang lebih kuat harus menjalankan strategi bekerja sama dengan

organisasi yang kuat untuk mengamankan kepentingan mereka dan

mempertahankan otonomi relatifnya atau mempertahankan ruang mereka

untuk beroperasi, Aldrich; Yuchtman dan Seashore dalam Parsons, (2006:

484 ).

Jika A tidak bisa berbuat apa-apa tanpa sumber daya yang dipunyai B dan tidak mampu mendapatkan sumber daya itu di tempat lain, maka A akan tergantung kepada B. Sebaliknya, jika B berkuasa atas A…

29

ketergantungan adalah sifat dari hubungan antara A dan B, dan bukan sifat A atau B secara sendiri-sendiri. Jadi, dimungkinkan bahwa A mungkin tergantung pada B tetapi berkuasa atas C. Aldrich dan Mindlin dalam Parsons, (2006: 484).

Pertukaran Organisasi

Pendekatan ini mengatakan bahwa organisasi bekerja dengan

organisasi lain dengan saling mempertukarkan manfaat mutual. Levine dan

White dalam Parsons, (2006: 485) mengatakan bahwa ciri utama dari

pertukaran antar-organisasi adalah pertukaran itu merupakan interaksi

sukarela yang dilakukan demi mencapai tujuan masing-masing pihak. Dalam

model ketergantungan-kekuasaan, relasi organisasional didasarkan pada

dominasi dan dependensi, sedangkan pertukaran didasarkan pada

kepentingan bersama Bish; Tuite; White dalam Parsons, (2006: 485).

Meskipun sebuah agen mungkin tergantung kepada sumber daya sentral,

ada kemungkinan bahwa agen pusat juga akan tergantung kepada agen lokal

untuk mengimplementasikan tujuan kebijakan. Seperti dikatakan Scharpf :

Sementara pihak yang tampak dominan mungkin menguasai sumber daya moneter, pada saat yang sama ia mungkin juga tergantung sepenuhnya kepada keahlian spesialis, kontak klien, dan informasi yang hanya tersedia untuk unit bawahan .. Ringkasnya, hubungan dependensi-unilateral yang stabil di sepanjang waktu adalah kasus yang langka, dan dependensi mutual jauh lebih banyak dijumpai. Jadi, jarang dijumpai adanya otoritas hierarkis dan arus anggaran satu arah dalam relasi antar-organisasi. Scharpf dalam Parsons, (2006: 485)

Benson dalam Parsons, (2006: 485) mengatakan bahwa, dalam

rangka memahami cara pelaksanaan hubungan antar-organisasi, kita perlu

30

mempertimbangkan jaringan kepentingan di dalam sektor kebijakan, yang

didefinisikannya sebagai: “serangkaian atau kompleks organisasi yang

dihubungkan satu sama lain melalui ketergantungan sumber daya dan

dibedakan dari rangkaian atau kompleks organisasi lain berdasarkan

perbedaan struktur ketergantungan sumber daya” Benson dalam Parsons,

(2006: 485). Pendekatan Benson juga menekankan arti penting dari “deep

structure” dari pendekatan yang diajukan oleh Bachrach dan Bartz, yang

mengkaji bias yang ada di dalam sektor kebijakan tertentu dan struktur

konstituennya: jaringan administratif; jaringan kelompok kepentingan; dan

aturan pembentukan struktur. Benson mengatakan bahwa aturan formasi

struktur dalam sektor kebijakan yang memasukkan ide penetapan agenda

yang telah kita bahas dalam ulasan tentang teori non-decision-making dan

teori kritis- perlu dieksplorasi dalam hubungannya dengan jaringan kelompok

administratif dan kelompok kepentingan ( Ide Benson telah diaplikasikan oleh

Rhodes dalam pendekatan jaringan untuk relasi pusat-lokal. Rhodes dalam

Parsons, (2006: 486).

2.1.6. Implementasi Menuju Sebuah Sintesis

Kita telah berkenalan dengan ide Sabatier. Model yang

dikemukakannya untuk memandang proses pembuatan kebijakan juga bisa

diperluas untuk studi implementasi. Menurut Sabatier pendekatan tahapan-

kebijakan tidak membantu untuk memahami proses pembuatan kebijakan

karena pendekatan ini membagi proses itu menjadi serangkaian bagian yang

31

tidak realistis dan artifisial. Karena itu, dari sudut pandang ini implementasi

dan pembuatan kebijakan menjadi satu proses yang sama. Kontribusi

awalnya untuk studi implementasi muncul dengan penjelasan top-down yang

ditulisnya bersama David Mazmanian. Sabatier dan Mazmanian dalam

Parsons, (2006: 487). Mungkin, karya ini lebih banyak diuji ketimbang

sebagian teori lain dan dapat dianggap sebagai salah satu model top-down

yang paling maju. Karya mereka berdua mendukung sintesis gagasan teoritis

top-down dan bottom- up menjadi enam syarat yang mencukupi dan mesti

ada untuk implementasi yang efektif dari tujuan kebijakan yang telah

dinyatakan secara legal. Enam syarat itu adalah :

a) tujuan yang jelas dan konsisten, sehingga dapat menjadi standar

evaluasi legal dan sumber daya;

b) teori kausal yang memadai, dan memastikan agar kebijakan itu

mengandung teori yang akurat tentang bagaimana cara melahirkan

perubahan;

c) struktur implementasi yang disusun secara legal untuk membantu pihak-

pihak yang mengimplementasikan kebijakan dan kelompok-kelompok

yang menjadi sasaran kebijakan;

d) para pelaksana implementasi yang ahli dan berkomitmen yang

menggunakan kebijaksanaan mereka untuk mencapai tujuan kebijakan;

e) dukungan dari kelompok kepentingan dan “penguasa” di legislatif dan

eksekutif;

32

f) perubahan dalam kondisi sosio-ekonomi yang tidak melemahkan

dukungan kelompok dan penguasa atau tidak meruntuhkan teori kausal

yang mendasari kebijakan.

Model ini diaplikasikan dalam banyak studi kasus di Eropa dan

Amerika yang menunjukkan kegunaan dari kerangka ini untuk riset empiris.

Kerangka mereka kemudian dimodifikasi berdasarkan riset-riset ini dan

sebuah evaluasi kasus bottom-up seperti yang dikembangkan oleh Hjern et

al. Sabatier dalam Parsons, (2006: 488) mengemukakan bahwa sebuah

sintesis dari dua pandangan tersebut dimungkinkan dengan memasukkan

pandangan Hjern et al. ke dalam dinamika interorganisasional dalam

implementasi dan bentuk jaringan/matriksnya, dan ke dalam fokus top-down

pada bagaimana institusi dan kondisi ekonomi dan sosial membatasi

perilaku. Ini dilakukan dengan menggunakan model yang telah kita

diskusikan di Bagian Kedua : implementasi terjadi dalam konteks subsistem

kebijakan, dan terikat oleh “parameter yang relatif stabil” dan “kejadian-

kejadian di luar subsistem”. Aspek sentral dalam model implementasi ini

adalah gagasan bahwa ini adalah bagian dari pembuatan kebijakan di dalam

ACs ( advocacy coalitions), dan bahwa aspek mendalam dari sistem koalisi

implementasi haruslah menjadi fokus analisis.

Oleh karena itu, model ini juga memuat perhatian dari pendekatan

bottom-up karena ia menekankan pada jaringan yang struktrur implementasi,

dan pada saat yang sama menekankan arti penting dari pendekatan top-

33

down di dalam sistem, termasuk keyakinan terhadap elite kebijakan dan

dampak dari kejadian eksternal. Implementasi dalam pengertian ini bisa

dikonseptualisasikan sebagai proses pembelajaran, Heclo, Browne dan

Wildavsky dalam Parsons, (2006: 488). Tujuan dari pendekatan ini adalah

menganalisis cara di kebijakan berlangsung di antara ACs, dan menentukan

kondisi-kondisi institusional yang paling tepat atau kondusif untuk

“pembelajaran” dan perubahan dalam keyakinan inti.

Meskipun penggabungan perhatian bottom-up dengan dinamika

subsistem menghasilkan model implementasi yang komprehensif,

pendekatan advokasi-koalisi tidak menghadapi dimensi normatif dari

argument bottom-up versus top-down. Misalnya, sementara pendekatan

bottom-up tertarik pada “level di lapangan”, model ACs terutama berfokus

pada elite kebijakan. Menurut Sabatier, pembelajaran elite adalah sesuatu

yang pada dasarnya terjadi di dalam “sistem” dan subsistem kebijakannya.

Kerangka tersebut didesain untuk menganalisis kondisi institusional dimana

pembelajaran tersebut mengubah inti kebijakan. Implikasi yang lebih radikal

dari pendekatan bottom-up adalah mempertanyakan apakah kesuksesan

dalam implementasi lebih terkait dengan pembelajaran sosial yang lebih luas

ketimbang pembelajaran kebijakan oleh koalisi subsistem. Pandangan top-

down yang dianut Sabatier dan Mazmanian dalam model asli mereka lebih

memerhatikan hubungan antara keputusan dengan pencapaian, perumusan

dengan implementasi, dan potensi hierarki dengan pembatasan

34

pengimplementasi untuk mencapai tujuan legal yang didefinisikan dalam

kebijakan.

Akan tetapi, pendekatan bottom-up didasarkan pada signifikansi

hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam suatu kebijakan atau

problem dengan pembatasan hierarki formal di dalam kondisi tersebut.

Seperti dijelaskan oleh Sabatier dan Mazmanian dalam Parsons, (2006: 489),

model mereka mengkaji kontrol efektif dan pencapaian; tetapi, pendukung

pendekatan bottom-up berbeda-beda dalam memandang interaksi, konflik,

kekuasaan, dan pemberdayaan (empowerment). Karena ingin menyusun

sebuah model komprehensif, para penulis itu melupakan kemungkinan

bahwa apa yang sedang mereka coba untuk dikombinasikan adalah, dalam

pengertian Kuhnian, paradigma yang tak seimbang. Ini paling jelas ketika kita

bergerak dari penggunaan model secara analitis ke penggunaan yang lebih

normatif. Para pendukung pendekatan top-down pada dasarnya bekerja di

dalam suatu kerangka yang berfokus pada keputusan dan kekuasaan, dan

potensi pembuat keputusan untuk menimbulkan perubahan di dalam

masyarakat di anggap sebagai sebuah problem dari pengembangan model

kontrol dan pembelajaran elite yang efektif. Model bottom-up menyatakan

bahwa implementasi adalah sebuah proses pembuatan kebijakan dan

( kemungkinan) pemberdayaan terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai

target dari keputusan. Preferensi model top-down adalah tingkatan, hierarki,

35

kontrol dan pembatasan, sedangkan model bottom-up lebih memilih ruang,

jaringan, atau pasar.

Perbenturan kerangka dengan nilai dan keyakinan di dalamnya

menghasilkan kerangka analisis dan persepsi yang saling bersaing. Jadi,

sintesisnya menghasilkan konsensus yang belum ada di sana. Jika tujuan

dari analisis kebijakan seperti dikatakan Lasswell dalam parsons, (2006:489)

adalah untuk mengklarifikasi nilai, maka sintesis yang dikembangkan oleh

Sabatier hanya akan mengeruhkan air. Yang lebih memuaskan adalah

sintesis yang disarankan Sabatier dalam Parsons, (2006: 490 ) sebagai

pedoman untuk pembuat kebijakan, meski tidak tepat sebagai model

penjelasan proses kebijakan Elmore dalam Parsons, (2006: 490). Elmore

mengatakan bahwa suatu variasi kerangka perlu digunakan dalam analisis

dan implementasi : “pemetaan mundur” (bottom-up) dan “pemetaan maju”

(top-down); dan bahwa pembuatan kebijakan, agar efektif dalam

implementasinya, harus mengadopsi banyak kerangka. Aplikasinya dalam

studi proses kebijakan berarti bahwa analisis tersebut tidak dimaksudkan

untuk menghasilkan sintesis tetapi agar lebih sensitif terhadap kerangka

( nilai, realitas, dan penilaian tindakan dalam pengertian Vickers) dari teoritis,

elite kebijakan, dan mereka yang berada di “tingkat lapangan”.

Cara pandang terhadap implementasi ini mungkin berasal dari

gagasan yang dikemukakan oleh analisis kebijakan kritis. Penggunaan model

sebagai “lensa” ( dalam pengertian Allison) yang dengannya kita bisa

36

mengeksplorasi implementasi diilhami oleh kategorisasi empat jenis model

implementasi menurut Elmore dalam Parson, (2006: 490): manajemen

sistem; proses birokratis; pengembangan organisasional; serta konflik tawar-

menawar. Elmore mengatakan bahwa model implementasi tidak boleh

dianggap sebagai hipotesis rival yang dapat dibuktikan secara empiris, tetapi

sebagai kerangka asumsi yang ambigu dan mengandung konflik.

Gagasan bahwa model-model pada dasarnya tidak lengkap dan hanya

menggunakan perspektif parsial dalam memandang problem dan realitas

merupakan isu yang dibahas tuntas dalam karya Gareth Morgan dalam

Parsons, (2006:490). Morgan berpendapat bahwa jika kita ingin memahami

kompleksitas, kita harus mengadopsi pendekatan kritis dan kreatif untuk

berpikir dalam term model- atau “metafora”. Dari sudut pandang ini, usaha

untuk memadukan model yang berbeda-beda menjadi sintesis berdasarkan

kekuatan dari dua kerangka yang berbeda adalah tindakan yang

menyesatkan. Dalam mengembangkan pendekatannya yang dipengaruhi

oleh teori “postmodernis” dan “ konstruktivis” , Morgan menyatakan bahwa

analisis kompleksitas bukanlah mencari sintesis, tetapi, sebaliknya, mengakui

perbedaan, partiality, ketidaklengkapan dan distorsi yang inheren dalam

pengetahuan dan diskursus manusia. Metafora/ model/ teori bukan hanya

menghasilkan pandangan atau cara pandang, tetapi juga pengabaian

pandangan. Menurut Morgan tidak ada metafora tunggal yang bisa

memberikan teori umum. Dari segi implementasi, ini berarti bahwa problem

37

implementasi bisa dikonstruksi dengan cara yang berbeda-beda. Setiap

pendekatan atau teori memberikan beberapa pandangan pada dimensi

tertentu dari realitas implementasi dan, seperti dalam kasus perdebatan

antara pendekatan top-down versus bottom-up, kedua pendekatan beserta

percabangan dan variannya memberi kita sebagian dari keseluruhan

gambaran. Sebagai mahasiswa kebijakan publik kita seharusnya bertujuan

untuk lebih terlatih dalam seni membaca kerangka yang dipakai dalam teori

dan praktik implementasi dalam konteks di mana mereka dilakukan. Seperti

dikatakan Sabatier dalam Parsons, (2006: 491), pendekatan yang berbeda-

beda mengandung keunggulan komparatif sebagai penjelasan dalam konteks

yang berbeda-beda. Misalnya, dengan menerapkan metafora Morgan, kita

akan mengetahui bahwa kerangka-kerangka akan mengungkapkan atau

menjelaskan beragam dimensi implementasi. Tak ada satu metafora tunggal

yang dapat memberikan semua jawaban.

Dalam term ilmu kebijakan, pendekatan yang paling dekat dengan

metode yang dipakai Morgan dalam analisis organisasional adalah ide

Lasswell tentang pemetaan kontekstual. Jadi, misalnya, pendekatan

Lasswellian untuk implementasi akan melibatkan pemetaan partisipan/

stakeholder, perspektif mereka, situasi, nilai, dan strategi mereka, serta hasil

dan efek aktual yang mereka inginkan. Metode tersebut mengakui bahwa

implementasi mengandung konteks spesifik dalam term nilai dan institusi

yang ada dalam problem tertentu. Lebih jauh, sebagaimana dengan

38

pendekatan Morgan, orientasi Lasswellian juga menekankan ide bahwa

analisis pada dasarnya adalah aktivitas “pembelajaran” yang akan

mencerahkan partisipan. Pemetaan konteks problem memberikan

kemungkinan untuk memahami keragaman dimensi dari pengetahuan,

keyakinan, kekuasaan, makna, dan nilai yang mendasari pembuatan

kebijakan dan implementasi. Menurut Sabatier kita tidak sedang mencari “

tanah yang dijanjikan” (sic) yakni sebuah teori umum tetapi kita berusaha

mengklarifikasi nilai-nilai dari para teoritisi dan praktisi.

Agar sebuah implementasi kebijakan kepegawaian dapat berhasil

sesuai dengan rencana, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan.

Faktor-faktor tersebut menurut Edwards III yang dikutip oleh Syukur Abdullah

dalam Winarno (2007) adalah :

1) Komunikasi

Hal ini menyangkut proses penyampaian informasi dan konsistensi

informasi yang disampaikan. Komunikasi bagi berlangsungnya proses

koordinasi dan implementasi, yang menyebabkan timbulnya pemahaman

yang menyeluruh mengenai pentingnya program, kesepakatan yang

menyeluruh terhadap tujuan dan sasaran yang akan dicapai.

2) Sumber daya

Hal ini meliputi empat komponen yaitu, terpenuhinya jumlah staff dan

kualitas, informasi yang diperlukan guna pengambilan keputusan,

39

kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab

serta fasilitas yang mendukung.

3) Disposisi ( kecenderungan-kecenderungan)

Yaitu sikap dan komitmen dari para pelaksana terhadap program

khususnya dari mereka yang menjadi implementer dari program, yang dalam

hal ini terutama dimaksudkan adalah aparatur birokrasi.

4) Struktur birokrasi.

Terdapatnya suatu standar operating prosedur (SOP) yang mengatur

tata aliran pekerjaan dan pelaksanaan program. Jika ini tidak ada, maka akan

sulit mencapai hasil yang memuaskan. Karena penyelesaian masalah hanya

bersifat ad-hock, dalam penyelesaian masalah dan penanganan khusus

tanpa pola baku. Fragmentasi yang sering terdapat dalam suatu organisasi

harus dihindari dan diatasi dengan cara system koordinasi yang baik

Keempat faktor diatas, dipandang mempengaruhi keberhasilan suatu

proses implementasi ,namun juga adanya keterkaitan dan saling

mempengaruhi antara faktor yang satu dengan faktor yang lain.

Implementasi kebijakan berusaha untuk memahami apa kenyataan

yang terjadi sesudah program diberlakukan, yakni peristiwa-peristiwa apa

yang terjadi sesudah proses kebijaksanaan Negara diberlakukan untuk

mencapai tujuan. Implementasi program sama halnya dengan itu. Program

40

sebagai rangkaian tindakan yang tersusun secara konsisten dan logis

diharapkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan semula.

2.2. Konsep Kebijakan

2.2.1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan berasal dari kata bijak. Menurut kamus Inggris Indonesia/

Indonesia Inggris karangan S.Woyowasito dan W.J.S Purwodarminto, kata

bijak berarti learned, prudent, experienced. Kata bijak merupakan kata sifat

yang selanjutnya dengan awalan “ke” dan akhiran “an” menjadi kata benda

“kebijakan”. Hal itu bararti bahwa kebijakan itu menunjukkan adanya

kemampuan atau kwalitas yang dimiliki seseorang dalam keadaannya yang

learned (terpelajar), prudent (baik), dan experience (berpengalaman).

Dengan demikian kebijakan berarti kata benda yang tetap menjadi tambahan

keterangan terhadap suatu kata benda lainnya, (bijvoegeljik naam word,

belanda). Kata kebijakan, menurut Wojowasito CS berarti: skill

( keterampilan) ability (kemampuan), capability ( kecakapan ), insight

(kemampuan untuk memahami sesuatu).

Kebijakan publik merupakan hubungan antara unit pemerintah

dengan lingkungannya. Kebijakan publik dapat juga diartikan sebagai

serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud/tujuan tertentu yang diikuti

41

dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang

berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan

Karakteristik utama dari suatu defenisi kebijakan publik, yaitu :

1. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan

yang mempunyai maksud atas tujuan tertentu dari pada perilaku yang

berubah atau acak.

2. Kebijakan publik pada dasarnya mengandung bagian atau pola kegiatan

yang dilakukan oleh pejabat pemerintah daripada keputusan yang

terpisah-pisah.

3. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh

pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengotrol inflasi, atau

menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau

yang akan dikerjakan.

4. Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif,

kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam

menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat

melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan

suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks

tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan.

5. Kebijakan publik, paling tidak secara positif, didasarkan pada hukum dan

merupakan tindakan yang bersifat memerintah.

2.2.2. Tahap – Tahap Kebijakan

42

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks

karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh

karena itu, beberapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji

kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik

kedalam beberapa tahap.

Tahap-tahap kebijakan publik adalah sebagai berikut :

Penyusunan agenda

Formulasi kebijakan

Adopsi kebijakan

Implementasi kebijakan

Evaluasi kebijakan

2.2.3. Analisis dan Proses Kebijakan

Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses

kebijakan. Etzioni, misalnya, berusaha (dan berhasil) memengaruhi proses

pembuatan kebijakan melalui riset dan argumen yang bukan hanya

mendukung analisis “problem”, tetapi juga analisis tentang apa opsi kebijakan

atau “solusi” yang harus diambil. Kita bisa menganggap jenis analisis

kebijakan ini sebagai terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum

pengetahuan dalam (in) proses kebijakan; pengetahuan untuk (for) proses

kebijakan; dan pengetahuan tentang (about) proses kebijakan. Gordon et al

43

dalam Parsons, (2006: 56) secara definitif menetapkan variasi ini di

sepanjang sebuah kontinum.

Analisis Kebijakan

Analisis ini mencakup :

a) Determinasi kebijakan: ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara

pembuatan kebijakan, mengapa, kapan, dan untuk siapa kebijakan

dibuat;

b) Isi kebijakan: analisis ini mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu

dan bagaimana ia berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan

sebelumnya, atau analisis ini bisa juga didasari oleh informasi yang

disediakan oleh kerangka nilai/ teoritis yang mencoba memberikan kritik

terhadap kebijakan.

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan

Fokus analisis ini adalah mengkaji bagaimana kinerja kebijakan

dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan, dan apa dampak kebijakan

terhadap suatu persoalan tertentu.

Analisis untuk Kebijakan

Analisis ini mencakup :

Advokasi kebijakan: berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk

memengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan.

44

Informasi untuk kebijakan: sebentuk analisis yang dimaksudkan untuk

memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan. Ini bisa berbentuk

anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang aspek

kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan.

Sebagai sebuah istilah, “analisis kebijakan” terkait erat dengan

penggunaan beragam teknik untuk meningkatkan atau merasionalkan proses

pembuatan kebijakan. Quade dalam Parson, (2006: 57), misalnya,

mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah

“membuat pembuat keputusan untuk membuat pilihan yang lebih baik

ketimbang yang dibuat pihak lain. Jadi, analisis ini berhubungan dengan

manipulasi efektif dunia nyata”. Untuk melakukan hal ini analisis tersebut

mesti melalui tiga tahap :

Pertama, penemuan, yakni usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua penerimaan, yakni membuat temuan itu agar bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan; ketiga, implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak yang bisa membuat alternatif itu menjadi tidak memuaskan. Quade dalam Parsons, (2006: 57)

Hank Jenkins-Smith dalam Parson, (2006: 57) berpendapat bahwa

cost-benefit analysis ( untuk CBA) merupakan sebuah paradigma dominan

dari analisis kebijakan modern yang…

memanfaatkan teknik-teknik yang dikembangkan di bidang antara lain ekonomi, matematika, statistik, riset operasi dan dinamika sistem, untuk memberi saran-saran tentang rumusan kebijakan publik kepada pembuat keputusan. Dalam menerapkan teknik-teknik tersebut, seorang analis bisa memanfaatkan pengetahuan dari bidang-bidang

45

seperti: sosiologi, ilmu politik, ekonomi kesejahteraan, hukum, teori organisasi, fisika dan biologi, dan lain-lain…. Meski aktivitas dalam analisis kebijakan ini tapaknya berjubel-jubel, logika analisisnya akan menata aktivitas-aktivitas itu dan mengikatnya untuk diarahkan pada satu tujuan: yaitu menentukan kebijakan mana ( jika ada) yang bisa memberi maslahat paling besar bagi kesejahteraan masyarakat. Jenkins- Smith dalam Parson, (2006: 58).

Karenanya, analisis kebijakan dalam pengertian “ortodoks” ini

dimaksudkan untuk meningkatkan metode untuk mengidentifikasi dan

mendefinisikan persoalan, menentukan tujuan, mengevaluasi alternatif

pilihan, memilih alternatif, dan mengukur kinerja. Karenanya, ia adalah

bidang yang berfokus pada apa yang oleh Bobrow dan Dryzek dalam

Parsons, (2006: 58) diistilahkan sebagai “ pengetahuan berbasis intervensi

dalam pembuatan kebijakan”. Sebagai mahasiswa analisis kebijakan, kita

lebih memerhatikan pada sesuatu yang didefinisikan sebagai pengetahuan;

isi; produksi; diseminasi; dan interpretasi. Kita bisa menerjemahkan ini

menjadi empat macam pertanyaan tentang keyakinan atau nilai: siapa, apa,

kapan, dan bagaimana? Siapa yang mengamankan nilai, dan nilai apa yang

diamankan itu, dan melalui institusi apa pengamanan itu diberikan, serta

kapan dan bagaimana upaya pengamanan itu dilakukan?

a) Pengetahuan siapa yang dipakai? Apakah pengetahuan dari birokrasi?

Apakah dari institut riset? Apakah dari penelitian resmi? Apakah dari

advokasi kebijakan dari sebuah think-tank? Apakah pengetahuan dari

pakar/ahli? Siapa yang menggunakan pengetahuan ini? Siapakah yang

mempropagandakan pengetahuan ( keyakinan/gagasan/ideology) ini?

46

Siapa yang menyusun pengetahuan? Interpretasi/ definisi milik siapa

yang dipakai dan milik siapa yang dibuang dan bahkan tak

dipertimbangkan sama sekali? Siapa yang melakukan monitoring dan

evaluasi terhadap kebijakan? Siapa yang memberi informasi dan

menyebarkannya? Siapa yang dimasukkan dan dikeluarkan dari proses

kebijakan? Nilai siapa yang mendominasi?

b) Jenis pengetahuan apa yang diklaim? Apakah pengetahuan itu

dipresentasikan sebagai pengetahuan ilmiah atau “objektif”? Apa jenis

bahasa yang dipakai? Apa macam pengetahuan itu: kualitatif atau

kuantitatif? Ahli apa yang terlibat? Apa jenis nilai, keyakinan, ide,

ideologi, yang melandasi atau menyediakan informasi bagi pengetahuan?

Apa jenis klaim yang dibuat untuk pengetahuan itu? Apa jenis asumsi

tentang proses pembuatan kebijakan yang memberi informasi pada pihak

yang memproduksi, menggunakan, dan menyebarkan pengetahuan

kebijakan? Jenis institusi dan elite apa yang terlibat ? Nilai apa yang

mendominasi?

c) Kapan pengetahuan dihasilkan, diperbanyak, dan

dipakai/disalahgunakan, atau diabaikan? Kapan pengetahuan tentang

sebuah persoalan disusun? Kapan sebuah problem “ditemukan”? Kapan

pengetahuan berdampak pada pembuatan kebijakan? Kapan

pengetahuan itu menjadi pengetahuan publik? Kapan pengetahuan itu

menjadi penting? Kapan media massa terlibat? Kapan pengetahuan itu

47

mempengaruhi opini publik? Kapan pengetahuan itu

dipakai/disalahgunakan oleh pembuat kebijakan? Kapan keyakinan

berubah? Kapan suatu nilai mendominasi?

d) Bagaimana pengetahuan dipakai dalam proses kebijakan? Bagaimana

pengetahuan itu dihasilkan? Bagaimana pengetahuan itu diorganisasikan

dalam komunitas/jaringan kebijakan? Bagaimana pengetahuan itu

diorganisasikan di dalam pemerintahan? Bagaimana pengetahuan itu

disiapkan? Bagaimana pengetahuan itu diperbanyak/disebar?

Bagaimana advokasi kebijakan muncul? Bagaimana argumen bisa

menang dan kalah? Bagaimana sebuah kebijakan ditentukan?

Bagaimana pengetahuan itu mempengaruhi opini publik? Bagaimana

keyakinan bisa berubah? Bagaimana seperangkat nilai tertentu

mendominasi?

Dengan kata lain: tugas utama untuk mahasiswa kebijakan publik adalah

memahami dan menjelaskan diskursus atau kerangka-kerangka

pemikiran (frameworks) yang menyusun analisis terhadap problem

kebijakan, isi kebijakan, dan proses kebijakan.

2.3. Konsep Pegawai Negeri

Menurut UU Nomor 43 Tahun 1999 pegawai negeri adalah setiap

warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang telah

ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam

48

suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pegawai negeri terdiri dari :

a) Pegawai Negeri Sipil

b) Anggota Tentara Nasional Indonesia

c) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pegawai Negeri Sipil terdiri dari :

a) Pegawai negeri sipil pusat yaitu yaitu pegawai negeri sipil yang

gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara

dan bekerja pada departemen, kesekretariatan lembaga tertinggi/

tinggi Negara, instansi vertikal di daerah propinsi/kabupaten/kota,

kepaniteraan pengadilan atau dipekerjakan untuk tugas negera

lainnya.

b) Pegawai negeri sipil daerah adalah pegawai negeri sipil daerah

propinsi/kabupaten/kota yang gajinya dibebankan pada anggaran

pendapatan dan belanja daerah dan bekerja pada pemerintah

daerah, atau dipekerjakan di luar instansi induknya.

Dalam Pasal 3 UU 43 tahun 1999 dinyatakan bahwa PNS

berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional , jujur adil

dan merata dalam penyelengaraan tugas negara , pemerintahan dan

pembangunan . Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud , PNS

49

harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak

diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk

menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud, PNS dilarang

menjadi anggota dan atau pengurus partai politik .

Menindaklanjuti kebijakan tentang netralitas pegawai negeri seperti

dikemukan diatas, pada saat ini telah dirumuskan jabaran lebih lanjut dari

UU 43 tahun 1999 dengan materi pokok sebagai berikut :

1. Pegawai negeri sipil yang akan menjadi anggota dan / atau pengurus

partai politik wajib mengajukan permohonan berhenti sebagai PNS

2. Bagi PNS yang menjadi anggota partai politik akan diberhentikan

sebagai PNS

Disamping itu makna netralitas dapat dijabarkan lebih luas dalam

bentuk pembinaan jiwa koorps yaitu suatu upaya pembinaan untuk

meningkatkan daya juang pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada

Negara Kesatuan dan pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan UUD 45

Makna pokok dari pembinaan koorps pegawai negeri sipil adalah :

1. Membina karakter / watak memelihara rasa persatuan dan kesatuan

secara kekeluargaan guna mewujudkan kerjasama dan semangat

pengabdian kepada masayarakat serta meningkatkan kemampuan dan

keteladanan PNS

50

2. Mendorong etos kerja Pegawai negeri sipil untuk mewujudkan PNS yang

bermutu tinggi dan sadar akan tanggung jawab sebagai unsur aparatur

negara dan abdi masyarkat.

3. Menumbuhkan dan meningkatkan semangat kesadaran dan wawasan

kebangsaan PNS sehingga dapat menjada kesatuan bangsa dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Melalui analisis tersebut maka kebijakan dan strategi BKN dalam rangka

mencapai sasaran dan tujuan pembangunan kepegawaian, serta mendukung

arah kebijakan pembangunan bidang aparatur adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan seluruh komponen sistem manajemen kepegawaian

guna mendukung terwujudnya profesionalisme, netralitas, dan

kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil;

2. Membangun dan menyempunakan seluruh kebijakan kepegawaian;

3. Menerapkan ISO dalam pelayanan pengadaan, kepangkatan/mutasi,

pensiun, peninjauan status, dan kedudukan kepegawaian;

4. Mengembangkan sistem informasi kepegawaian berbasis Teknologi

Informasi dan dokumentasi data kepegawaian;

5. Membangun sistem dan mengoptimalkan fungsi pengawasan dan

pengendalian kepegawaian dalam rangka menjamin terselenggaranya

birokrasi yang akuntabel, profesional dan netral;

51

6. Meningkatkan dayaguna seluruh komponen internal untuk mendukung

pelaksanaan tugas dan fungsi BKN Program BKN 2010-2014

Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang

bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara

profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara,

pemerintahan, dan pembangunan. Dalam kedudukan dan tugasnya Pegawai

Negei harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta

tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk

menjamin netralitasnya Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau

pengurus partai politik.

Manajemen Pegawai Negeri Sipil diarahkan untuk menjamin

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara

berdayaguna dan berhasilguna. Untuk mewujudkan hal tersebut maka

diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang profesional, bertanggung jawab, jujur,

dan adil melalui pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi

kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pasa sistem prestasi kerja.

52

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Visi Dan Misi Kabupaten Luwu Utara

Paradigma baru pembangunan memandang pertumbuhan ekonomi

bukan merupakan satu- satunya tujuan, akan tetapi lebih merupakan proses

untuk mencapai tujuan pembangunan daerah itu sendiri secara maksimal

dengan memperhatikan potensi daerah secara obyektif serta visi kabupaten.

Visi yang dicita-citakan kedepan akan bertumpu pada upaya meletakkan

landasan pembangunan, yaitu :

Visi : Mewujudkan masyarakat Luwu Utara yang religius, maju,

sejahtera, dan mandiri diatas landasan agribisnis dan ekonomi kerakyatan

Misi :

- Meningkatkan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah.

- Meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

- Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam

- Meningkatkan penerimaan/pendapatan asli daerah (PAD)

3.2 Keadaan Geografi Kabupaten Luwu Utara

53

Kabupaten Luwu Utara terletak antara 010 53’ 19” - 020 55’36” Lintang

Selatan dan 1190 47’ 46” – 1200 37’ 44” Bujur Timur, yang berbatasan

dengan Propinsi Sulawesi Tengah di sebelah utara, Kabupaten Luwu Timur

di sebelah timur, Propinsi Sulawesi Barat dan Kabupaten Tana Toraja di

sebelah barat, dan Kabupaten Luwu dan Teluk Bone di sebelah selatan.

Luas wilayah Kabupaten Luwu Utara tercatat 7.502,58 kilometer

persegi yang secara administrasi Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara

terbagi atas 11 kecamatan.

Terdapat sekitar 8 sungai besar yang mengaliri wilayah Kabupaten

Luwu Utara. Sungai yang terpanjang adalah Sungai Baliase dengan panjang

185 Km yang melewati Kecamatan Masamba.

3.3 Wilayah Administratif Kabupaten Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara terdiri dari 11 kecamatan, 169 desa yang

semuanya merupakan desa definitif. Dari 169 desa tersebut 8 desa sudah

termasuk dalam klasifikasi daerah perkotaan atau sudah dalam bentuk

wilayah kelurahan. Kedelapan kelurahan tersebut adalah Kelurahan

Kappuna, Kelurahan Bone, Kelurahan Kasimbong, Kelurahan Baliase,

Kelurahan Marobo, Kelurahan Salassa, dan Kelurahan Bone-Bone.

Kecamatan Sukamaju merupakan kecamatan dengan jumlah desa

terbanyak, yaitu 25 desa dan 1 UPT. Sedangkan Kecamatan Rampi adalah

paling sedikit jumlah desanya, yaitu hanya 6 desa.

54

Di antara 11 kecamatan, Kecamatan Seko merupakan kecamatan

yang terluas dengan luas 2.109,19 km2 atau 28,11 % dari total wilayah

Kabupaten Luwu Utara, sekaligus merupakan kecamatan yang letaknya

paling jauh dari Ibukota Kabupaten Luwu Utara, yakni berjarak 198 Km.

Urutan kedua adalah Kecamatan Rampi (21 %) dan yang paling sempit

wilayahnya adalah Kecamatan Malangke Barat (1%).

3.4 Pemerintahan Kabupaten Luwu Utara

Pada Tahun 2010 tercatat terdapat 5.634 orang pegawai negeri sipil

(PNS) yang tersebar di 137 unit kerja.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Luwu

Utara terdiri dari 34 orang. Pada Tahun 2010 DPRD Kabupaten Luwu Utara

55

telah mengeluarkan 9 Peraturan Daerah (Perda) dan 24 Keputusan DPRD

Tingkat II.

3.5 Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Kabupaten Luwu

Utara

1. Kepala Badan

Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah dipimpin oleh seorang Kepala

Badan yang mempunyai tugas pokok membantu Bupati dalam membina,

mengkoordinasikan dan melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan

kebijakan daerah di bidang kepegawaian dan diklat daerah, serta

pelaksanaan kesekretariatan Badan.

Struktur Organisasi dari BKDD Kabupaten Luwu Utara adalah sebagai

berikut:

56

Sumber: Data Sekunder 2012

Fungsi dari Kepala Badan BKDD adalah sebagai berikut :

a. Perumusan kebijakan teknis di bidang kepegawaian dan diklat daerah

b. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di

bidang kepegawaian dan diklat daerah

c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kepegawaian dan diklat

daerah serta kesekretariatan Badan

d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsinya

57

Tugas dari seorang Kepala Badan BKDD adalah sebagai berikut :

a. Merencanakan, mengorganisasika, menggerakkan dan mengendalikan

serta menetapkan kebijakan teknis di bidang kepegawaian dan diklat

daerah

b. Melaksanakan pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan

daerah di bidang kepegawaian dan diklat daerah

c. Menyelenggarakan pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang

kepegawaian dan diklat daerah

d. Membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan analisis kebutuhan

pegawai, rekruitmen, pengadaan dan penempatan pegawai

e. Membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan pengembangan,

peningkatan kesejahteraan, mutasi dan pensiun pegawai

f. Membina dan mengarahkan Kepala Sekretariat dan para Kepala Bidang

dalam melaksanakan tugasnya

g. Melakukan pembinaan terhadap kedisiplinan dan peningkatan kualitas

sumber daya pegawai dalam lingkup Badan

h. Melakukan pembinaan dan pengendalian atas pengelolaan keuangan

i. Melakuka pembinaan dan pengendalian atas pengelolaan perlengkapan

dan peralatan Badan

j. Menyelenggarakan koordinasi dengan instansi atau unit kerja terkait

k. Menilai prestasi kerja Kepala Sekretariat dan Kepala Bidang dalam

rangka pembinaan dan pengembangan karier

58

l. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas

dan fungsinya

m. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Bupati melalui

Sekda.

2. Sekretariat

Sekretariat Badan dipimpin oleh seorang Sekretaris, mempunyai tugas

pokok menyiapkan bahan penyelengaraan dan koordinasi pelaksanaan

administrasi kepegawaian dan diklat daerah serta memberikan pelayanan

administrasi dan fungsional kepada semua unsur dalam lingkup Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah.

Sekretariat terdiri atas :

a. Subbagian Umum dan Kepegawaian

b. Subbagian Perencanaan dan Pelaporan

c. Subbagian Keuangan

Tugas dari Kepala Sekretariat BKDD adalah sebagai berikut :

a. Merencanakan, mengorganisasikan, menggerakkan dan mengendalikan

serta menetapkan kebijakan di bidang umum, kepegawaian, keuangan

dan perlengkapan

b. Menyusun rencana kegiatan tahunan sebagai pedoman pelaksanaan

tugas

59

c. Mengelola dan mengkoordinasikan pelaksanaan pelayanan teknis dan

administratif kepada seluruh satuan organisasi dalam lingkup Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah

d. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan umum

e. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan kepegawaian

f. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan keuangan

g. Mengkoordinasikan pelaksanaan urusan perlengkapan

h. Melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan

adminstrasi umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan

i. Mengkoordinasikan penyusunan laporan pelaksanaan program kegiatan

dalam lingkup Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah

j. Menilai prestasi kerja para kepala Subbagian dalam rangka pembinaan

dan pengembangan karier

k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas

yang diberikan oleh pimpinan

l. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah.

3. Bidang Pengadaan dan Mutasi Pegawai

Bidang Pengadaan dan Mutasi Kepegawaian dipimpin oleh Kepala

Bidang, mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis, memberikan

dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, membina,

60

mengkoordinasikan dan melaksanakan program dan kegiatan di bidang

mutasi kepegawaian.

Bidang Pengadaan dan Mutasi pegawai terdiri atas :

a. Sub Bidang Formasi dan Pengadaan Pegawai

b. Sub Bidang Mutasi Pegawai

Tugas dari Kepala Bidang Pengadaan dan Mutasi Kepegawaian adalah :

a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang mutasi

kepegawaian

b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang

mutasi kepegawaian sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas

c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan

pelayanan umum di bidang mutasi kepegawaian

d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang mutasi

kepegawaian

e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap

penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang mutasi kepegawaian

f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di

bidang mutasi kepegawaian

g. Menilai prestasi kerja para Kepala Bidang dalam rangka pembinaan dan

pengembangan karier

h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas

yang diberikan oleh pimpinan

61

i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah.

4. Bidang Diklat Aparatur

Bidang Diklat Aparatur dipimpin oleh seorang Kepala Bidang, mempunyai

tugas pokok merumuskan kebijakan teknis, memberikan dukungan atas

penyelenggaraan pemerintahan daerah, membina, mengkoordinasikan dan

melaksanakan program dan kegiatan di bidang diklat aparatur.

Bidang Diklat Aparatur terdiri atas :

a. Sub Bidang Diklat Prajabatan dan Struktural

b. Sub Bidang Diklat Teknis dan Fungsional

Uraian tugas dari Kepala Bidang Diklat Aparatur adalah sebagai berikut :

a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang diklat aparatur

b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang

diklat aparatur sebagai pedoman dalam pelaksanaan tugas

c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan

pelayanan umum di bidang diklat aparatur

d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang diklat

aparatur

e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap

penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang diklat dan aparatur

f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di

bidang diklat aparatur

62

g. Menilai prestasi kerja para Kepala Sub Bidang dalam rangka pembinaan

dan pengembangan karier

h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas

yang diberikan oleh pimpinan

i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah.

5. Bidang Data dan Sistem Informasi Pegawai

Bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian dipimpin oleh seorang

Kepala Bidang, mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis,

memberikan dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah,

membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan program dan kegiatan di

Bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian.

Bidang Data dan Sistem Informasi Pegawai terdiri atas :

a. Sub Bidang Pengolahan Data Kepegawaian

b. Sub Bidang Sistem Informasi Kepegawaian

Uraian tugas dari Kepala Bidang Data dan Sistem Informasi Pegawai

adalah :

a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang Data dan Sistem

Informasi Kepegawaian

b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang

Data dan Sistem Informasi Kepegawaian sebagai pedoman dalam

pelaksanaan tugas

63

c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan

pelayanan umum di bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian

d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang Data dan

Sistem Informasi Kepegawaian

e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap

penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang Data dan Sistem

Informasi Kepegawaian

f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di

bidang Data dan Sistem Informasi Kepegawaian

g. Menilai prestasi kerja para Kepala Bidang dalam rangka pembinaan dan

pengembangan karier

h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas

yang diberikan oleh pimpinan

i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah.

6. Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai

Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai dipimpin oleh seorang

Kepala Bidang, mempunyai tugas pokok merumuskan kebijakan teknis,

memberikan dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah,

membina, mengkoordinasikan dan melaksanakan program dan kegiatan di

Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai.

Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai terdiri atas :

64

a. Sub Bidang Pembinaan Pegawai

b. Sub Bidang Kesejahteraan Pegawai

Uraian tugas dari Kepala Bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai

adalah

a. Menyusun dan menetapkan kebijakan teknis di bidang Pembinaan dan

Kesejahteraan Pegawai

b. Merencanakan dan menyusun program dan kegiatan tahunan di bidang

Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai sebagai pedoman dalam

pelaksanaan tugas

c. Merencanakan dan menyelenggarakan urusan pemerintahan dan

pelayanan umum di bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai

d. Melakukan pembinaan dan melaksanakan kegiatan di bidang Pembinaan

dan Kesejahteraan Pegawai

e. Melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi terhadap

penyelenggaraan program dan kegiatan di bidang Pembinaan dan

Kesejahteraan Pegawai

f. Memberikan petunjuk, mengawasi dan membimbing pelaksanaan tugas di

bidang Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai

g. Menilai prestasi kerja para Kepala Bidang dalam rangka pembinaan dan

pengembangan karier

h. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan kewenangan dan bidang tugas

yang diberikan oleh pimpinan

65

i. Dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Badan

Kepegawaian dan Diklat Daerah.

7. Jabatan Fungsional

Kelompok Jabatan Fungsional mempunyai tugas melaksanakan sebagian

tugas di bidang Kepegawaian dan Diklat sesuai bidang keahliannya. Dalam

melaksanakan tugas, pimpinan unit organisasi dan kelompok tenaga

fungsional wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi

baik dalam lingkungan masing-masing maupun antar satuan organisasi di

lingkungan pemerintah daerah serta dengan instansi lain diluar pemerintah

daerah sesuai dengan tugas masing-masing.

Baperjakat

STRUKTUR DAN ORGANISASI BAPERJAKAT LUWU UTARA

1. PENGARAH : - BUPATI LUWU UTARA

- WAKIL BUPATI LUWU UTARA

2. KETUA/ : SEKRETARIS DAERAH KAB. LUWU UTARA

MERANGKAP ANGGOTA

3. SEKRETARIS/ : KEPALA BIDANG MUTASI DAN PENGADAAN PEGAWAI

BUKAN ANGGOTA

4. ANGGOTA : 1. KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN DAN DIKLAT

2. ASISTEN ADMINISTRASI UMUM

66

3. ASISTEN PEMERINTAHAN DAN KESRA

4. INSPEKTUR

5. STAF SEKRETARIAT : 1. SEKRETARIS BKDD

5. PARA KEPALA BIDANG

6. PARA KEPALA SUB. BAGIAN/BIDANG BKDD

Rincian Tugas dari Tim Baperjakat adalah sebagai berikut :

1. Tugas Ketua :

a) Memimpin sidang-sidang BAPERJAKAT

b) Memberikan hasil pertimbangan kepada Bupati mengenai

pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dalam dan dari

jabatan struktural dan pengangkatan dalam pangkat Pegawai Negeri

Sipil, serta penunjukan pegawai untuk mengikuti Pendidikan dan

pelatihan struktural

c) Memberikan bimbingan dan pengarahan kepada sekretaris.

2. Tugas Anggota :

a) Menghadiri sidang-sidang BAPERJAKAAT

b) Turut serta secara aktif memberikan pertimbangan dan saran

c) Melakukan tugas lain yang ditentukan oleh Ketua

3. Tugas Sekretaris :

a) Membantu Ketua dalam melaksanakan tugasnya

b) Memimpin sekretariat

c) Menerima tembusan surat usul tentang pengangkatan, pemindahan

dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dalam dan dari Jabatan

Struktural dan Kenaikan Pangkat tertentu, serta pertimbangan

perpanjangan, Batas Usia Pensiun

d) Menyiapkan bahan sidang

67

e) Mengundang pejabat lain yang diperlukan untuk didengar

penjelasannya dalam sidang sesuai rapat BAPERJAKAT

f) Menyiapkan pertimbangan BAPERJAKAT untuk disampaikan kepada

pejabat yang berwenang

g) Melaksanakan tugas lain yang ditentukan oleh Ketua

h) Membuat berita acara rapat

4. Tugas Staf Sekretaris

a) Membantu sekretaris dalam melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan

dengan kegiatan administrasi persidangan

b) Melaksanakan tugas-tugas teknis lainnya yang diberikan oleh

sekretaris BAPERJAKAT.

Tabel. 1. Jumlah Pegawai yang Dimutasi di Kabupaten Luwu Utara

No Jenis Kelamin Eselon JumlahII A II B III A III B IV A IV B

1 Laki-Laki 1 4 8 46 12 712 Perempuan 1 1 3 34 4 43

Jumlah 2 5 11 80 16 114Sumber : Data Sekunder 201

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Implementasi Mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) Di Kabupaten

Luwu Utara

Kabupaten Luwu Utara sudah dibentuk sejak tahun 1999. Dalam

proses pelaksanaan administratif pemerintahannya sudah beberapa kali

melakukan mutasi pegawai. Di bawah pimpinan Drs. Arifin Junaidi, M.Si,

Luwu Utara pernah meraih prestasi sebagai salah satu daerah yang terbaik

68

pelaksanaan pemerintahannya. Ini di capai tidak lepas dari semua

stakeholder yang ada di Luwu Utara terutama pegawai Negeri Sipil sebagai

ujung tombak dari pelayanan masyarakat.

Mutasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Luwu Utara

minimal 2 kali setahun. Informasi ini peneliti dapatkan dari Kabid Pembinaan

dan Kesejahteraan Pegawai Luwu Utara, Sulpiadi, mengatakan bahwa

“ Paling sedikit dalam setahun 2 kali kami melakukan sidang dan mutasi pegawai”. (Wawancara 27 Pebruari 2012).

Pegawai yang peneliti wawancarai ada yang mengatakan bahwa

mereka sudah puas dengan posisi dan tempat mereka bekerja sekarang.

Namun ada juga pegawai yang mengatakan bahwa mereka tidak senang

dengan posisinya saat ini. Hal ini bergantung apakah pegawai tersebut di

naikkan jabatannya ( promosi) atau justru di turunkan jabatannya (demosi).

Salah seorang pegawai di BPKD mengatakan bahwa

“ Baru-baru ini saya di mutasi alasannya karena suami dan istri tidak boleh dalam satu kantor”. (Wawancara 28 Pebruari 2012). Hal yang sama juga dilontarkan oleh Kepala Bidang Konsumsi dan

Keamanan Pangan dan Gizi, Hasruddin Kujje mengatakan bahwa

“ saya sudah senang dengan posisi saya sekarang karena saya ditempatkan sudah sesuai dengan latar belakang pendidikan saya, pertanian”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Berbeda dengan Syahruddin, yang merasa tidak senang dengan posisinya

saat ini, mengatakan bahwa :

69

“ Saya merasa tidak senang dengan posisi saya saat ini karena saya sudah bekerja secara profesional, jujur, disiplin, dan berkompeten. Masalah pilkada kan wajar ketika orang berbeda pilihan karena setiap warga Negara punya hak yang sama dalam menentukan pilihan dan tidak berhak di intervensi oleh orang lain”. (Wawancara 28 Pebruari 2012)

Sesuai dengan hasil pengamatan peneliti di lapangan bahwa rata-rata

pegawai sudah bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya masing-

masing. Kalaupun ada yang ditempatkan tidak sesuai dengan latar belakang

pendidikannya itu sangat kecil jumlahnya.

Pegawai yang di mutasi selalu dinilai secara objektif. Hal ini dikatakan

oleh Kabid Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan

bahwa

“ orang-orang yang dimutasi dan dinaikkan jabatannya itu dinilai dari masa kerja, kompetensi, prestasi dan pangkatnya, itu yang utama “. (Wawancara 27 Pebruari 2012).

Pegawai Negeri Sipil memang akan melaksanakan pekerjaannya

dengan baik apabila dia merasa nyaman dengan pekerjaan yang digelutinya.

Pegawai juga akan bekerja dengan baik apabila dia betul-betul berkompeten

dipekerjaan itu. Olehnya itu memang sudah sepantasnya apabila pegawai

yang ingin di mutasi dinilai berdasarkan latar belakang pendidikan dan

keahliannya. Dan untuk meningkatkan gairah kerja Pegawai Negeri Sipil

salah satu caranya adalah dengan memberikan penghargaan kepada

Pegawai yang berprestasi atau menunjukkan hasil kerja yang baik. Pegawai

70

yang berprestasi bisa diberikan penghargaan dengan cara menaikkan

pangkatnya.

Dalam pergaulan sehari-hari kita sering mendengar bahwa orang yang

dinaikkan jabatannya karena pegawai itu dekat dengan pimpinannya atau

karena unsur politik. Tapi asumsi ini di bantah oleh Kabid Pembinaan dan

Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa

“ PNS itu dilarang berpolitik karena ada aturannya, kalaupun ada PNS yang berpolitik itu adalah pelanggaran dan harus diproses. Tapi yang susah adalah barang bukti bahwa PNS itu betul-betul ikut dalam politik”. (Wawancara 27 Pebruari 2012).

Didalam aturan kepegawaian yaitu Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil

Menjadi Anggota Partai Politik tepatnya Pasal 2 yang berbunyi sebagai

berikut :

1. Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai

politik

2. Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai

politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.

Dalam teori memang sudah dijelaskan bahwa untuk mendapatkan

hasil kerja yang maksimal maka pegawai harus ditempatkan sesuai dengan

latar belakang pendidikannya, “The Right Man In The Right Place”. Di Luwu

Utara hal ini sudah di upayakan oleh pemerintah bahkan Sekda Luwu Utara

Mujahidin Ibrahim, mengatakan bahwa

71

“ Kalau penempatan pegawai, saya menganggap itu sudah sesuai dengan bidang ilmunya masing-masing, misalnya saja lurah di Luwu Utara, rata-rata lulusan IPDN, kalaupun ada yang tidak sesuai dengan bidang ilmunya tapi kami menilai dari pengalaman kerjanya”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Bila pegawai ditempatkan pada posisi yang sesuai dengan latar

belakang pendidikan dan kompetensinya maka akan timbul gairah kerja pada

pegawai tersebut. Semua pekerjaan yang dibebankan padanya dapat

diselesaikan dengan baik karena punya pengalaman sehingga semuanya

terasa ringan. Sebaliknya jika seorang pegawai ditempatkan pada posisi dan

bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahliannya maka pegawai tersebut

akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas-tugas yang

dibebankan kepadanya. Pegawai tersebut dapat merusak citra atau nama

baik instansi dimana dia bekerja. Makanya dalam proses pelaksanaan mutasi

harus betul-betul dinilai secara objektif sehingga pegawai yang dimutasi

betul-betul pantas untuk di mutasi.

Mutasi yang terjadi di Kabupaten Luwu Utara harus melalui

pertimbangan dari Tim Baperjakat yang diberikan kuasa penuh untuk

memberikan penilaian kepada Pegawai Negeri Sipil. Tim Ini di ketuai

langsung oleh Sekda Luwu Utara. Dan keputusan akhir tentang mutasi

seorang Pegawai Negeri Sipil berada di tangan Bupati.

Matriks 1 akan memperlihatkan hasil analisis temuan terhadap

implementasi mutasi di Kabupaten Luwu Utara.

72

73

74

75

76

77

4.1.1 Profesionalisme Sebagai Prinsip Dasar Mutasi Pegawai Negeri

Sipil (PNS)

Profesionalisme ialah sifat-sifat (kemampuan, kemahiran, cara

pelaksanaan sesuatu dan lain-lain) sebagaimana yang sewajarnya terdapat

pada atau dilakukan oleh seorang profesional. Profesionalisme berasal

daripada profesion yang bermakna berhubungan dengan profesion dan

memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Jadi,

profesionalisme adalah tingkah laku, kepakaran atau kualitas dari seseorang

yang profesional.

78

Matriks 2. Hasil Analisis Pengaruh Profesionalisme Terhadap Mutasi

Pegawai Di Kabupaten Luwu Utara

No Nama Jabatan Analisis

Lama Baru

1 2 3 4

1 Armin, S.

Sos

Kepala Kantor

Lingkungan

Hidup

Kabupaten Luwu

Utara

Kepala Dinas

Pertambangan

dan Energi

Kabupaten

Luwu Utara

Mutasi yang

dilakukan kurang

memperhatikan

latar belakang

pendidikannya

tetapi didasarkan

senioritas.

1 2 3 4

2 Sri Suswati,

SE, MM

Sekertaris

Badan KB dan

Pemberdayaan

Perempuan

Kabupaten Luwu

Utara

Kepala Badan

KB dan

Pemberdayaan

Perempuan

Kabupaten

Luwu Utara

Latar belakang

pendidikan

dijadikan dasar

untuk mutasi

pegawai. Ini

menunjukkan

profesionalisme

seorang pegawai.

Sumber : Analisis Data Sekunder 2012

79

Berdasarkan data pada matriks 2 dapat dilihat bahwa mutasi yang

dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Luwu Utara sudah memperhatikan

profesionalisme seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Hal ini dapat kita lihat

dari perpindahan jabatan PNS yang bersangkutan dari jabatan lama ke

jabatan baru dua Pegawai Negeri Sipil di atas. Meskipun mungkin bila ditinjau

dari latar belakang pendidikannya kurang sejalan tapi karena sudah punya

pengalaman dan dianggap senior sehingga keduanya tetap di percaya untuk

menduduki posisi yang lebih tinggi.

Untuk mencapai sukses dalam bekerja, seseorang harus mampu

bersikap profesional. Profesional tidak hanya berarti ahli saja. Namun selain

memiliki keahlian juga harus bekerja pada bidang yang sesuai dengan

keahlian yang dimilikinya tersebut. Seorang profesional tidak akan pernah

berhenti menekuni bidang keahlian yang dimiliki. Selain itu, seorang

profesional juga harus selalu melakukan inovasi serta mengembangkan

kemampuan yang dimiliki supaya mampu bersaing untuk tetap menjadi yang

terbaik di bidangnya.

Seseorang yang memiliki jiwa profesionalisme senantiasa mendorong

dirinya untuk mewujudkan kerja-kerja yang profesional. Kualitas

profesionalisme seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :

1. Keinginan untuk selalu menampilkan perilaku yang mendekati piawai

ideal.

80

Seseorang yang memiliki profesionalisme tinggi akan selalu berusaha

mewujudkan dirinya sesuai dengan piawai yang telah ditetapkan. Ia akan

mengidentifikasi dirinya kepada sesorang yang dipandang memiliki piawaian

tersebut. Yang dimaksud dengan “piawai ideal” ialah suatu perangkat

perilaku yang dipandang paling sempurna dan dijadikan sebagai rujukan.

2. Meningkatkan dan memelihara image profesion

Profesionalisme yang tinggi ditunjukkan oleh besarnya keinginan untuk

selalu meningkatkan dan memelihara image profesion melalui perwujudan

perilaku profesional. Perwujudannya dilakukan melalui berbagai cara

misalnya penampilan, cara percakapan, penggunaan bahasa, sikap tubuh

badan, sikap hidup harian, hubungan dengan individu lainnya.

3. Keinginan untuk sentiasa mengejar kesempatan pengembangan

profesional yang dapat meningkatkan dan meperbaiki kualitas

pengetahuan dan keterampiannya.

4. Mengejar kualitas dan cita-cita dalam profesion

Profesionalisme ditandai dengan kualitas derajat rasa bangga akan

profesi yang dipegangnya. Dalam hal ini diharapkan agar seseorang itu

memiliki rasa bangga dan percaya diri akan profesinya.

4.1.2 Kompetensi Sebagai Pertimbangan dalam Mutasi Pegawai Negeri

Sipil (PNS)

Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang dan

berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya. Kompetensi

81

adalah bagian dari kepribadian yang mendalam dan melekat kepada

seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan

tugas pekerjaan. Kompetensi adalah sesuatu yang menyebabkan atau

memprediksi perilaku dan kinerja. Kompetensi sebenarnya memprediksi

siapa yang berkinerja baik, diukur dari kriteria atau standar yang digunakan.

Kompetensi terdiri dari 5 (Lima) Karakteristik yaitu :

1. Motivasi

Adalah sesuatu dimana seseorang secara konsisten berfikir sehingga

ia melakukan tindakan. Seseorang yang memiliki motivasi berprestasi secara

konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberi suatu tantangan

pada dirinya sendiri dan bertanggung jawab penuh untuk mencapai tujuan

tersebut serta mengharapkan semacam “ feedback “ untuk memperbaiki

dirinya.

2. Berkepribadian

Adalah watak yang membuat orang untuk berperilaku atau bagaimana

seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu. Sebagai contoh seperti

percaya diri, kontrol diri, ketabahan atau daya tahan.

3. Konsep Diri

Adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sikap dan nilai

diukur melalui tes kepada responden untuk mengetahui nilai yang dimiliki

seseorang dan apa yang menarik bagi seseorang untuk melakukan sesuatu.

4. Pengetahuan

82

Adalah informasi yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu.

Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks. Tes pengetahuan

mengukur kemampuan peserta untuk memilih jawaban yang paling benar

tetapi tidak bias melihat apakah sesorang dapat melakukan pekerjaan

berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

5. Keahlian

Adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik

secara fisik maupun mental. Dengan mengetahui tingkat kompetensi maka

perencanaan sumber daya manusia akan lebih baik hasilnya.

Matriks 3. Hasil Analisis Pengaruh Kompetensi Terhadap Mutasi

Pegawai di Kabupaten Luwu Utara

N

o

Nama/Nip Pangkat/Gol Jabatan Analisis

Lama Baru

1 2 3 4 5

1 Muh. Nur, SE Pembina

( IV/a)

Kabid

Transmigrasi

Kab. Luwu

Utara

Kepala

Kantor

Lingkunan

Hidup Kab.

Luwu Utara

Mutasi yang

dilakukan sudah

berdasarkan

kompetensi

pegawai

83

2 Muh. Syaidin

Syafar, SE, M.Si

Pembina Tk 1

( IV/b)

Kabid

Akuntansi

pada DPKD

Kab. Luwu

Utara

Sekretaris

DPKD Kab.

Luwu Utara

Mutasi yang

dilakukan

disesuaikan

dengan latar

belakang

pendidikan

pegawai

1 2 3 4 5

3 Mulawarman A.

Rasyid, SH

Penata Tk 1

( III/d)

Kasi Retribusi

pada DPKD

Kab. Luwu

Utara

Kabag

Perundang-

Undangan

pada

Sekretariat

DPRD Kab.

Luwu Utara

Mutasi yang

dilakukan

berdasarkan

kompetensi dan

latar belakang

pendidikan

pegawai

4 Rosmaya Baso,

SKM

Penata

( III/c)

Kasi

Kesehatan

Dasar pada

Kabid Jaminan

dan Sarana

Kesehatan

Mutasi dilakukan

dalam rangka

memberikan

84

Bidang

Pelayanan

Kesehatan

DinKes Kab.

Luwu Utara

pada DinKes

Kab. Luwu

Utara

pengalaman baru

kepada pegawai

dalam satu Dinas

5 dr. H. A. Muh.

Nasrum

Pembina Tk 1

( IV/b)

Kabid Jaminan

dan Sarana

Kesehatan

pada DinKes

Kab.Luwu

Utara

Kabid

Pelayanan

Kesehatan

pada DinKes

Kab.Luwu

Utara

Mutasi yang

dilakukan

disesuaikan

dengan latar

belakang

pendidikan

Sumber: Analisis Data Sekunder, 2012

Berdasarkan data pada matriks 3 terlihat bahwa Pemerintah Luwu

Utara dalam melakukan mutasi seorang pegawai betul-betul memperhatikan

kompetensi yang ada pada seorang PNS. Sebagai contoh misalnya bapak

Muh. Syaidin Syafar, SE. M.Si, dengan latar belakang pendidikan dari

fakultas ekonomi maka dia ditempatkan pada bidang akuntansi yang

seharusnya memang menjadi tempatnya bekerja.

Hal ini di dukung oleh ungkapan dari Kabid Pembinaan dan

Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa

“ orang-orang yang dimutasi dan dinaikkan jabatannya itu dinilai dari masa kerja, kompetensi, prestasi dan pangkatnya, itu yang utama “. (Wawancara 27 Pebruari 2012)

85

Kompetensi dapat dibagi atas dua kategori yaitu “Threshold” dan

“Differentiating“, menurut kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja

suatu pekerjaan. “Threshold competencies adalah karakteristik utama, yang

biasanya berupa pengetahuan atau keahlian dasar seperti kemampuan untuk

membaca yang harus dimiliki seseorang agar dapat melaksanakan

pekerjaannya. Tetapi kategori yang ini tidak untuk menentukan apakah

seseorang tersebut berkinerja tinggi atau tidak.

Kategori ini jika untuk menilai karyawan hanyalah untuk mengetahui

apakah ia mengetahui tugas-tugasnya, bisa mengisi formulir dan lain

sebagainya. Sedangkan “Differentiating competencies” adalah faktor–faktor

yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Karena

seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi maka ia akan mampu

menetapkan target atau tujuan yang jauh lebih ketimbang kinerjanya pada

tingkat rata-rata.

Dari hasil bacaan penulis dikatakan bahwa rendahnya kompetensi

PNS setidaknya bersumber pada beberapa persoalan mendasar. Pertama,

dari sisi input penerimaan PNS yang sarat dengan suap, kolusi, dan

nepotisme, sehingga yang terseleksi menjadi PNS bukan pilihan yang terbaik

dan berkualitas, melainkan calon-calon PNS yang bisa menyuap, memiliki

kedekatan hubungan keluarga dan akses dengan para pejabat.

Kedua, sistem penjenjangan karier pegawai yang tidak berbasis pada

kompetensi, tetapi pada struktur kepangkatan formal. Jabatan-jabatan teknis

86

di lingkungan birokrasi pemerintah yang seharusnya diisi oleh pegawai yang

memiliki kompetensi di bidangnya, tetapi dalam kenyataannya bisa diisi

pegawai dengan latar belakang umum, sepanjang kepangkatannya

memenuhi syarat.

Ketiga, orientasi PNS bukan lagi mengedepankan persoalan

kompetensi, tetapi lebih cenderung mencari pekerjaan yang bisa

menghasilkan uang sebanyak mungkin (jabatan basah). Tidak peduli apakah

dia memiliki kecakapan bekerja atau tidak.

Orientasi keinginan menjadi pejabat struktural lebih kuat dibandingkan

harus mengabdikan dirinya sebagai PNS biasa, sehingga jenjang karier PNS

identik dengan menduduki jabatan struktural. Sementara persaingan untuk

menduduki jabatan ini juga tidak dilakukan secara objektif dan berdasarkan

kompetensi, karena jabatan sekarang bisa diperjualbelikan. Jabatan menjadi

lahan bagi pejabat untuk merauk keuntungan ekonomis dengan cara

memperjualkan jabatan.

Keempat, di era reformasi, terjadi politisisasi PNS. PNS yang

seharusnya netral dan mengedepankan pengabdiannya pada masyarakat

malah cenderung terlibat dalam aksi dukung-mendukung terhadap

atasannya. Konsekuensinya, PNS dengan mudah bisa dimutasi atasannya

karena masalah loyalitas, bukan karena persoalan kompetensi.

Jadi, banyak hal yang menjadi persoalan penyebab rendahnya

kompetensi PNS. Intinya bukan hanya karena masalah katerbatasan skill

87

atau kualifikasi pendidikan PNS yang tidak mendukung, melainkan oleh faktor

lingkungan dan sistem karier PNS banyak dipengaruhi unsur subjektivitas

baik yang bersifat politik, kedekatan keluarga, disorientasi PNS yang

mengarah pada persoalan-persoalan pragmatis, duplikasi pekerjaan, dan

pekerjaan yang belum berbasis fungsi kerja.

Tuntutan PNS agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar

sistem prestasi kerja adalah agenda yang mendesak dan sangat dibutuhkan

untuk meningkatkan produktivitas, profesionalitas pegawai, serta

membangun citra PNS yang positif dalam melayani masyarakat.

Jalan ke luar untuk membangun kompetensi PNS bukan dilakukan

secara partsial, tetapi harus dilakukan reformasi secara menyeluruh terhadap

akar persoalan yang menyebabkan rendahnya kompetensi PNS. Salah satu

pilihan reformasi untuk meningkatkan kompetensi PNS yaitu mengubah

lingkungan budaya kerja PNS yang tidak produktif dan bekerja secara

rutinitas tanpa ada greget untuk berprestasi menuju budaya kerja yang

kompetitif dan produktif.

Oleh karena itu, dibutuhkan PNS profesional yang memiliki

kompetensi dalam bekerja, melayani masyarakat dengan baik, ramah dan

memuaskan, serta bekerja dengan target kinerja yang jelas dan terukur.

Perubahan kultur PNS tersebut harus menjadi agenda utama

pemerintah, bukan dengan hanya memberikan pendidikan dan pelatihan

88

(Diklat). Tanpa ada perubahan kultur di lingkungan birokrasi pemerintahan,

hampir dapat dipastikan PNS akan masuk tradisi bekerja apa adanya.

Mereka akan bekerja tanpa motivasi untuk berprestasi, sarat dengan

kepentingan pejabat, merasa nyaman walaupun tidak memiliki prestasi, tidak

produktif, dan melanggengkan kebiasaan korupsi yang sudah membudaya.

Hal-hal demikian yang menjadi perusak dalam struktur organisasi

pemerintahan tidak terkecuali di Luwu Utara. Tapi kalaupun itu terjadi

kemungkinannya sangat kecil dan persentasenya tidak terlalu tinggi. Hal ini di

dukung oleh ungkapan dari Kabid Pembinaan dan Kesejahteraan Pegawai,

Sulpiadi, yang mengatakan bahwa

“ PNS itu dilarang berpolitik, dia harus bersikap netral, kalaupun memang terbukti bahwa PNS itu terlibat dalam politik maka kami akan memprosesnya sesuai aturan yang berlaku”. (Wawancara 27 Pebruari 2012)”

4.1.3 Prestasi Kerja Sebagai Prinsip dalam Mutasi Pegawai Negeri Sipil

(PNS)

Prestasi kerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai seseorang di

dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya yang

didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan serta waktu. Prestasi

kerja ini merupakan gabungan dari tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan

minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan

delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja.

89

Prestasi kerja adalah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dicapai

seorang karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

Prestasi kerja seseorang dipengaruhi oleh kecakapan, ketrampilan,

pengalaman, kesungguhan, dan lingkungan kerja itu sendiri. Dari kedua

defenisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi kerja merupakan

hasil kerja yang dicapai seseorang, atas tugas-tugas yang dibebankan

kepadanya yang dipengaruhi oleh kecakapan, pengalaman, ketrampilan,

kesungguhan dan lingkungan kerja itu sendiri.

Pada UU No 43 Tahun 1999 dengan jelas tertulis bahwa untuk

mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan

diperlukan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur dan adil melalui

pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem

karir yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja.

Pegawai Negeri Sipil merupakan orang terdepan dalam pelayanan

kepada masyarakat. Mereka harus betul-betul diperhatikan, salah satu

bentuk perhatian pemerintah bisa dilakukan dengan memberikan nilai tambah

kepada Pegawai Negeri Sipil yang menjalankan tugasnya dengan baik dan

pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang tinggi.

Sebagai rekomendasi, mungkin pemerintah dapat memberikan posisi

yang tinggi bagi pegawai yang menunjukkan prestasi kerja yang baik.

Dengan adanya penghargaan seperti itu, juga akan meningkatkan motivasi

kerja pegawai. Namun yang harus diperhatikan adalah indikator-indikator

90

penilaian bagi pegawai yang dianggap berprestasi. Semua itu harus jelas dan

disosialisasikan kepada para pegawai.

Pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan para Pegawai Negeri

Sipil. Jika kesejahteraan pegawai diperhatikan ada kemungkinan pegawai

akan bekerja lebih baik lagi dan budaya korupsi yang sering disiarkan di

televisi sudah dapat di hindari.

91

Berdasarkan data pada matriks 4 terlihat bahwa mutasi yang telah di

lakukan oleh pemerintah Luwu Utara memang sudah bisa dikatakan

berdasarkan prestasi kerja PNS. Kalaupun ada mutasi yang dilakukan

dengan tidak memperhatikan prestasi kerja pegawai. Hal itu bisa saja terjadi

karena memang pada dasarnya manusia tidak luput dari kesalahan. Akan

tetapi kwalitas PNS yang ada di Luwu Utara sudah cukup baik. Senada

dengan yang diungkapkan oleh Kabid Pembinaan dan Kesejahteraan

Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa

“Sumber Daya yang ada di Luwu Utara itu sudah cukup baik, tapi perlu ada peningkatan mutu, dalam rangka mendapatkan hasil kerja yang lebih baik” (Wawancara 27 Pebruari 2012)”.

92

Mengacu pada PP No. 10 tahun 1979, pada saat memberikan

penilaian DP3 terkadang sebagai pimpinan hanya memberikan penilaian

berdasarkan kegiatan PNS pada akhir tahun, disini tampak parameter yang

digunakan tidak jelas sehingga sulit untuk diukur. Keadaan seperti ini memicu

untuk dibuatnya “PP yang baru sebagai penyempurnaan PP 10 Tahun 1979

yang mengatur tentang sasaran kinerja pegawai”, terlebih pada PP 53 Tahun

2010 pasal 3 butir 12 sangat jelas dikatakan bahwa setiap PNS wajib

mencapai sasaran kinerja pegawai yang ditentukan, apabila tidak, pada

Pasal 9 butir 12 akan diberikan sanksi.

Penilaian kerja pegawai selama ini sudah dilaksanakan di lingkungan

PNS dikenal dengan DP-3 yang diatur pada PP 10 Tahun 1979. Kenyataan

empirik menunjukkan proses penilaian DP-3 tersebut terjebak ke dalam

proses formalitas. DP-3 PNS kehilangan arti dan makna substantif, tidak

efektif dan tidak optimal memberikan daya dukung pada tujuan

pengembangan dan pemanfaatan potensi PNS yang berorientasi pada

peningkatan produktivitas kerja. DP-3 juga secara substantif tidak dapat

digunakan sebagai penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas

dan konstribusi PNS terhadap organisasi.

Untuk menjawab permasalahan DP-3 ini dibuatlah kebijakan sebagai

penyempurnaan PP No 10 Tahun 1979 yang mengatur tentang Penilaian

Prestasi kerja sebagai alat pengendali agar setiap kegiatan pelaksanaan

93

tugas pokok oleh setiap PNS selaras dengan tujuan yang ditetapkan dalam

Renstra dan Renja Organisasi.

“ Prestasi kerja terdiri dari dua unsur yaitu Sasaran Kinerja Pegawai

(SKP) dan perilaku kerja. Bobot nilai unsur SKP 60 % (enam puluh persen)

dan perilaku kerja sebesar 40 % (empat puluh persen). Lebih jauh tentang

SKP, penilaiannya meliputi aspek kuantitas, kualitas, waktu dan atau biaya.

Sementara Penilaian perilaku kerja meliputi unsur: Orientasi Pelayanan,

Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan Kepemimpinan. SKP nantinya

wajib disusun dan disetujui bersama antara atasan langsung dengan PNS

yang bersangkutan, ditetapkan setiap tahun pada Bulan Januari sebagai

kontrak prestasi kerja, selanjutnya pada akhir tahun SKP digunakan sebagai

standar/ukuran penilaian prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja ini bersifat

obyektif, terukur, akuntabel, partisipatif dan transparan.

Wakil Kepala BKN Drs. Eko Sutrisno, M.Si memaparkan 8 (delapan)

kriteria keberhasilan reformasi birokrasi. Kriteria tersebut yaitu manajemen

perubahan, penataan peraturan perundang-undangan, penataan &

penguatan organisasi, penataan tatalaksana, penataan sistem manajemen

aparatur, penguatan pengawasan, penguatan akuntabilitas kinerja serta

monitoring dan evaluasi.

Penilaian DP3-PNS, lebih berorientasi pada penilaian kepribadian

(personality) dan perilaku (behavior) terfokus pada pembentukan karakter

individu dengan menggunakan kriteria behavioral, belum terfokus pada

94

kinerja, peningkatan hasil, produktivitas (end result) dan pengembangan

pemanfaatan potensi.

Beberapa tinjauan terkait dengan implementasi DP-3 PNS selama ini,

proses penilaian lebih bersifat rahasia, sehingga kurang memiliki nilai

edukatif, karena hasil penilaian tidak dikomunikasikan secara terbuka. Selain

itu, pengukuran dan penilaian prestasi kerja tidak didasarkan pada target goal

(kinerja standar/harapan), sehingga proses penilaian cenderung terjadi bias

dan bersifat subyektif (terlalu pelit/murah), nilai jalan tengah dengan rata-rata

baik untuk menghindari nilai “amat baik” atau “kurang”, apabila diyakini untuk

promosi dinilai tinggi, bila tidak untuk promosi cenderung mencari alasan

untuk menilai “sedang” atau “kurang”. Dalam hal Atasan langsung sebagai

pejabat penilai, ia hanya sekedar menilai, belum/tidak memberi klarifikasi

hasil penilaian dan tindak lanjut penilaian.

Selain melakukan kegiatan tugas jabatan yang sudah menjadi tugas

dan fungsi, apabila seorang pegawai memiliki tugas tambahan terkait dengan

jabatan, maka dapat dinilai dan ditetapkan menjadi tugas tambahan. PNS

yang melaksanakan tugas tambahan yang diberikan oleh pimpinan/ pejabat

penilai yang berkaitan dengan tugas pokok jabatan, hasilnya dinilai sebagai

bagian dari capaian SKP.

4.1.4 Jenjang Pangkat Sebagai Prinsip dalam Mutasi Pegawai Negeri

Sipil (PNS)

95

Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkatan seorang

Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan

kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian. Kenaikan pangkat

adalah penghargaan yang diberikan atas prestasi kerja dan pengabdian

Pegawai Negeri Sipil terhadap Negara, serta sebagai dorongan kepada

Pegawai Negeri Sipil untuk lebih meningkatkan prestasi kerja dan

pengabdiannya. Agar kenaikan pangkat dapat dirasakan sebagai

penghargaan, maka kenaikan pangkat harus diberikan tepat pada waktunya

dan tepat kepada orangnya. Susunan Pangkat dan Golongan Ruang

Pegawai Negeri Sipil sebagai berikut:

Tabel 2. Daftar Pangkat dan Golongan PNS

96

No Pangkat Golongan1 Juru Muda I a2 Juru Muda Tingkat 1 I b3 Juru I c4 Juru Tingkat 1 I d5 Pengatur Muda II a6 Pengatur Muda Tingkat 1 II b7 Pengatur II c8 Pengatur Tingkat 1 II d9 Penata Muda III a10 Penata Muda Tingkat 1 III b11 Penata III c12 Penata Tingkat 1 III d13 Pembina IV a14 Pembina Tingkat 1 IV b15 Pembina Utama Muda IV c16 Pembina Utama Madya IV d17 Pembina Utama IV e

Sumber: Data Sekunder 2012

Berdasarkan hasil data dan informasi dapat disimpulkan bahwa mutasi

yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sudah

memperhatikan jenjang pangkat seorang PNS. Bagi PNS yang memiliki

pangkat yang tinggi dan sudah mengabdi cukup lama maka akan di

tempatkan pada jabatan yang lebih tinggi pula. Ini merupakan penghargaan

dan apresiasi pemerintah Luwu Utara kepada PNS yang diharapkan dapat

meningkatkan motivasi kerja PNS serta kesejahteraan PNS. Sebagai

pendukung peneliti tuliskan hasil wawancara dengan Kabid Pembinaan dan

Kesejahteraan Pegawai, Sulpiadi, mengatakan bahwa

“Orang-orang yang dimutasi atau dinaikkan jabatannya itu dinilai dari masa kerja, kompetensi, prestasi dan pangkatnya, itu yang utama”. (Wawancara 27 Pebruari 2012)

Tabel 3. Daftar Jabatan Struktural Organisasi Pemerintahan

No Eselon Jabatan1 II- A Sekda2 II- B Kepala Badan

Kepala DinasInspekturStaf AhliAsisten

3 III- A Kepala KantorSekertaris

Camat4 III- B Kepala Bidang

Sekcam5 IV- A Lurah

Kasubid

97

Kasubag pada Dinas/ BadanKepala UPTD

6 IV- B Kasi pada KelurahanKasubag pada Kecamatan

Kepala TU UPTD7 V Tata Usaha Sekolah

Sumber : Data Sekunder 2012

Penempatan seorang Pegawai Negeri Sipil memang harus

memperhatikan jenjang pangkat dari PNS itu sendiri. Jabatan-jabatan yang

ada dalam organisasi pemerintahan mempunyai batas minimal pangkat yang

harus dimiliki seorang PNS. Ini merupakan tugas dari pimpinan untuk

memperhatikan jenjang pangkat seorang PNS jika melakukan mutasi .

Akan tetapi dalam beberapa kasus pernah terjadi pimpinan lebih

rendah pangkatnya di bandingkan dengan stafnya. Hal ini sesuai dengan

yang di ungkapkan oleh mantan Kabag Humas dan Protokol Setda Lutra,

Syahruddin, mengatakan bahwa :

“Mutasi tidak sesuai dengan jenjang pangkat karena pernah terjadi DP3 saya itu ditandatangani oleh pimpinan yang golongannya 3B sedangkan pada saat itu golongan saya 4A. Jadi sangat tidak masuk akal bahwa pangkat bawahan lebih tinggi daripada pimpinannya. Ibarat saya jendral dan pimpinan kopral”. ( Wawancara 28 Pebruari 2012).

Mutasi seorang PNS merupakan bentuk penghargaan pimpinan dan

sekaligus mengurangi rasa bosan PNS dengan rutinitas yang sama.

Diharapkan dengan adanya mutasi maka kinerja PNS semakin meningkat.

98

Untuk memperjelas maksud dari peneliti maka dibawah ini disajikan

Matriks Nominatif Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Kabupaten Luwu Utara

Periode Desember 2010, yaitu :

99

4.1.5 Tanpa Diskriminasi Sebagai Prinsip dalam Mutasi Pegawai Negeri

Sipil (PNS)

Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap

individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan kumpulan yang

diwakili oleh individu berkenaan. Diskriminasi merupakan suatu perbuatan

yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia. Ia berpuncak daripada

kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan manusia lainnya.

Diskrimasi boleh terjadi dalam berbagai konteks. Ia boleh dilakukan

oleh orang perseorangan, institusi, firma, bahkan oleh negara. Terdapat

100

berbagai perlakuan yang dianggap sebagai diskriminasi, perlakuan diskrimasi

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Seorang pedagang enggan berurusan dengan seorang pelanggan

karena perbedaan organisasi.

2. Seorang majikan memberi gaji yang tidak setimpal kepada para

pekerjanya karena alasan perbedaan warna kulit

3. Sebuah institusi pendidikan enggan menerima seorang pelajar, walaupun

dia mempunyai kelayakan dan masih mempunyai kekosongan dalam

institusi berkenaan, disebabkan individu yang dimaksud berbeda agama.

Diskriminasi adalah perlakuan buruk yang ditujukan terhadap

kumpulan manusia tertentu. Berdasarkan sasaran, diskriminasi dibedakan

dalam beberapa jenis seperti dibawah:

1. Diskriminasi Umur

Inividu diberi layanan yang tidak adil kerana beliau tergolong dalam

lingkungan umur tertentu. Misalnya, remaja senantiasa dianggap orang

yang menimbulkan masalah sehingga timbul istilah "masalah remaja".

2. Diskriminasi Jenis Kelamin

Inidividu diberi layanan yang tidak adil kerana perbedaan jenis kelamin

mereka. Misalnya, seorang wanita menerima gaji yang lebih rendah

dibandingkan laki-laki, walaupun pekerjaan dan jasa yang mereka

berikan sama

101

3. Diskriminasi Ras

Individu diberi layanan yang tidak adil berdasarkan ras yang diwakilinya.

4. Dikriminasi Agama

Individu diberi layanan yang tidak adil berdasarkan agama yang

dianutnya.

Dari hasil Pengamatan di lapangan, tidak ada pembedaan pelayanan

maupun dalam hal mutasi bagi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) di

Kabupaten Luwu Utara. Mereka semua diberikan hak yang sama, kalau

memang memiliki kemampuan yang diperlukan di sebuah jabatan maka pasti

dia akan ditempatkan di jabatan tersebut.

Untuk mendukung pernyataan diatas maka akan kami sajikan data

nominatif Pegawai Negeri Sipil di kabupaten Luwu Utara yang peneliti

peroleh,yaitu sebagai berikut :

102

Dari data pada matriks 6 terlihat bahwa memang Pemerintah

Kabupaten Luwu Utara dalam melakukan mutasi seorang PNS tidak pernah

melakukan diskriminasi. Dari data kita lihat meskipun orang berbeda agama

bisa ditempatkan pada posisi yang setara begitupun dengan jenis kelamin.

Pemerintah Kabupaten Luwu Utara tidak melihat apakah dia perempuan atau

laki-laki selama mampu mengemban tugas yang diberikan kenapa tidak

untuk seorang laki-laki atau perempuan menduduki posisi yang strategis. Kita

juga melihat tidak adanya diskriminasi suku karena siapapun dia selama

memiliki kemampuan dan keterampilan maka akan menduduki posisi yang

103

sepantasnya. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga kondisi organisasi

pemerintahan agar tetap kondusif dan aman.

Akan tetapi dari hasil wawancara dengan mantan Kadis DPKD, Sudir

mengatakan bahwa :

“ Aturan itu kurang dijalankan karena apa maunya Bupati itu yang diikuti. Pada saat pilkada sebenarnya tidak ada lagi pegawai yang netral. Orang- orang yang punya jabatan strategis saat ini pasti dulunya adalah tim sukses dan pendukung dari Bupati ”. ( Wawancara 28 Pebruari 2012).

Pegawai Negeri Sipil akan merasa dihargai jika tidak ada pembedaan

perlakuan dari pimpinannya. Dengan tidak membeda-bedakan PNS maka

motivasi pegawai untuk berprestasi akan semakin tinggi. PNS akan mencoba

menunjukkan kinerja yang baik karena ada target dan tujuan yang mereka

capai. Sebagai contoh bisa saja posisi yang strategis menjadi motivasi PNS

untuk berprestasi. Jadi memperlakukan pegawai dengan baik sudah menjadi

tugas bagi para pimpinan.

Kondisi yang kondusif di lingkungan organisasi pemerintahan sudah

menjadi harapan bagi para pimpinan. Salah satu cara untuk mewujudkan

harapan itu dengan tidak mendiskriminasikan pegawai. Dengan tidak adanya

diskriminasi maka kecurigaan diantara para pegawai tidak akan terjadi. Untuk

menghindari rasa cemburu timbul diantara para pegawai salah satu caranya

adalah memberikan penilaian secara adil. Namun yang penting bagi para

pimpinan adalah selalu bersikap profesional dan berlaku adil.

4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mutasi

104

Mutasi merupakan hal yang sudah pasti dilakukan oleh organisasi

pemerintahan setiap tahunnya. Bagi Pegawai Negeri Sipil mutasi bisa

menjadi hal yang menyenangkan dan bisa juga menjadi hal yang

menyakitkan. Mutasi menjadi menyenangkan bila Pegawai Negeri Sipil di

promosikan untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Mutasi bisa menjadi

menyakitkan bila Pegawai Negeri Sipil mendapat hukuman sehingga ia

diturunkan kejabatan yang lebih rendah. Tapi sebagai insan akademik yang

baik, kita harus menilai mutasi sebagai proses penyegaran struktur

organisasi pemerintahan dalam rangka meningkatkan kinerja Pegawai Negeri

Sipil dan juga melepaskan rasa bosan PNS .

Selaras dengan yang dikatakan oleh Sekda Luwu Utara, Mudjahidin

Ibrahim, mengatakan bahwa

“Orang yang dimutasi itu biasa karena promosi, penyegaran atau hukuman atas pelanggaran yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. (wawancara 28 Pebruari 2012).

Dalam melakukan proses mutasi pasti ada hal yang mempengaruhi

seorang pimpinan dalam pengambilan keputusannya. Faktor-faktor yang

berpengaruh itu bisa saja berasal dari lingkungan organisasi pemerintahan

atau juga dari dalam diri pimpinan itu sendiri (Faktor Internal). Tidak menutup

kemungkinan bahwa faktor yang berpengaruh itu juga berasal dari luar

lingkungan pemerintahan (Faktor Eksternal).

Dari hasil wawancara dengan mantan Kabag Humas dan Protokol

Setda Lutra, Syahruddin, mengatakan bahwa :

105

“Mutasi saat ini itu penuh dengan kepentingan. Siapa yang dekat dengan Bupati maka pasti dia akan mendapatkan jabatan dan posisi yang baik”. ( Wawancara 28 Pebruari 2012)

Matriks 7. Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap

Mutasi Pegawai di Kabupaten Luwu Utara

No Nama Uraian Analisis

1 2 3 4

106

1 Ir. H. Mudjahidin

Ibrahim

Struktur birokrasi jelas

sangat berpengaruh,

Bupati sebagai pimpinan

tertinggi punya

kewenangan penuh.

Kami tim Baperjakat

hanya sekedar

memberikan

pertimbangan kepada

Bupati. Jadi keputusan

akhir berada ditangan

Bupati, kalaupun Bupati

tidak setuju, pasti

rekomendasi kami

ditolak, tapi dengan

alasan-alasan tertentu.

Mutasi seorang Pegawai

ditentukan sepenuhnya

oleh Bupati. Meskipun tim

Baperjakat memberikan

rekomendasi, tapi

rekomendasi itu dapat saja

ditolak oleh Bupati sebagai

puncak tertinggi dalam

struktur birokrasi di

daerah.

2 Ir. Hasruddin Kujje Saya dimutasi hanya

menerima surat

pelantikan, tidak ada

pemberitahuan

sebelumnya, ditempatkan

Mutasi di Kabupaten Luwu

Utara banyak ditentukan

oleh pimpinan karena

pimpinan yang menilai

kinerja dari pegawainya.

107

dimana dan dikantor apa,

tergantung pimpinan

Rasa suka dan tidak suka

pun jelas berpengaruh

terhadap mutasi pegawai.

Sumber: Data Primer, 2012

4.2.1 Faktor Internal yang Mempengaruhi Mutasi

Aturan tentang pelaksanaan mutasi di Kabupaten Luwu Utara

mengacu pada Undang-Undang yang berlaku secara nasional. Dalam rangka

mengeksekusi proses mutasi maka pemerintah Kabupaten Luwu Utara

mengeluarkan kebijakan tentang mutasi yaitu Peraturan Bupati Luwu Utara

Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan

Kepangkatan (BAPERJAKAT). Baperjakat merupakan sebuah tim yang

memberikan rekomendasi kepada Bupati mengenai siapa-siapa saja yang

layak dan pantas untuk di mutasi. Tim Baperjakat di ketuai oleh Sekda Luwu

Utara. Begitu pentingnya peran dari tim Baperjakat, maka mutasi banyak di

tentukan oleh tim Baperjakat yang keputusan akhirnya ditentukan oleh Bupati

sebagai pucuk pimpinan di wilayah Kabupaten.

Mutasi di Luwu Utara sangat ditentukan oleh Sumber Daya dari Tim

Baperjakat. Ketika Sumber Daya dari tim baperjakat tidak bekerja secara

profesional maka ada kemungkinan rekomendasi yang diberikan kepada

Bupati tidak adil dan penilaiannya secara subjektif. Akan tetapi dari hasil

wawancara yang peneliti dapatkan bahwa Tim Baperjakat adalah orang-

108

orang yang profesional dan ahli di bidangnya masing-masing. Sekda Luwu

Utara, Mudjahidin Ibrahim, mengatakan bahwa :

“Sumber Daya yang ada dalam tim Baperjakat sudah cukup profesional. Misalnya Inspektorat, dalam hal pengawasan pegawai, apakah pegawai itu punya masalah atau tidak. Kalau orang dari bagian Mutasi dalam hal kelengkapan berkas dan kriteria pegawai, misalnya pangkatnya sudah memenuhi atau belum”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Selain tim Baperjakat, masing-masing pimpinan di sebuah badan atau

dinas dapat memberikan penilaian kepada bawahannya sehingga ada

kemungkinan bahwa seorang Pegawai itu di mutasi karena ada permintaan

dari pimpinannya. Dengan demikian bahwa struktur birokrasi cukup

berpengaruh dalam hal mutasi seorang PNS.

Berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Sekda Luwu Utara, mantan

Kabag Humas Luwu Utara mengatakan bahwa :

Baperjakat itu tidak bekerja secara profesional karena mereka itu ditentukan oleh Bupati. Rekomendasi yang mereka tentukan itu bisa saja di tolak dan diganti oleh Bupati. Bahkan yang paling parah karena faktor keluarga cukup berpengaruh terhadap mutasi saat ini. ( Wawancara 28 Pebruari 2012 ).

Begitupun dengan tim Baperjakat, mereka hanya memberikan

rekomendasi kepada Bupati tapi keputusan akhir dari rekomendasi itu ada di

tangan Bupati. Olehnya itu struktur birokrasi pemerintahan cukup

mempengaruhi mutasi seorang PNS. Untuk mendukung pernyataan peneliti

maka Sekda Luwu Utara, Mudjahidin Ibrahim, mengatakan bahwa

“ Struktur birokrasi jelas sangat berpengaruh, Bupati sebagai pimpinan tertinggi punya kewenangan penuh. Kami tim Baperjakat hanya

109

sekedar memberikan pertimbangan kepada Bupati. Jadi keputusan akhir berada di tangan Bupati. Kalau Bupati tidak setuju, pasti rekomendasi kami ditolak, tapi dengan alasan-alasan tertentu”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil, tidak mutlak ditentukan oleh Tim

Baperjakat, tetapi juga ditentukan oleh pimpinan dari masing-masing kantor

atau dinas. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh kepala bidang

konsumsi dan keamanan pangan dan gizi, Hasruddin Kujje mengatakan

bahwa

“saya di mutasi hanya menerima surat pelantikan, tidak ada pemberitahuan sebelumnya, ditempatkan dimana dan di kantor apa, tergantung pimpinan”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Memang betul bahwa seorang PNS juga di nilai oleh pimpinannya

makanya seorang pimpinan juga bisa meminta kepada tim Baperjakat ketika

ada bawahannya yang perlu di mutasi. Hal ini sudah sesuai dengan

peraturan Bupati Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan

Jabatan (BAPERJAKAT) pasal 11 yang berbunyi:

1. Pimpinan unit organisasi yang menghendaki adanya mutasi pemindahan

jabatan harus mengajukan usul kepada pejabat yang berwenang,

tembusannya disampaikan kepada Ketua BAPERJAKAT Up. Sekretaris.

2. Pelaksanaan Sidang dan data yang dipersiapkan dalam persidangan

serta penyampaian pertimbangan BAPERJAKAT kepada pejabat yang

berwenang, prosedurnya sama dengan pengangkatan dalam jabatan

struktural.

110

Tim Baperjakat memberikan rekomendasi kepada Bupati mengenai

pegawai yang di mutasi setelah melakukan sidang secara internal. Dalam

sidang itu tim Baperjakat saling beradu argument tentang kelayakan seorang

PNS di mutasi atau tidak tapi sesuai dengan aturan yang berlaku. Melihat

kondisi diatas maka dapat dipastikan bahwa komunikasi antara tim

Baperjakat cukup mempengaruhi keputusan seorang PNS di mutasi atau

tidak. Dari hasil wawancara, peneliti mendapatkan bahwa komunikasi antar

Bupati dan tim Baperjakat mempengaruhi hasil sidang yang dilakukan oleh

tim Baperjakat. Tim Baperjakat terkadang menunda sidangnya karena

ketidakhadiran Bupati dalam sidang. Jadi, tim Baperjakat mengalami

kesulitan dalam mengkomunikasikan waktu yang tepat untuk melakukan

sidang bersama Bupati dengan alasan bahwa Bupati sering keluar daerah.

Hal ini senada dengan yang di ungkapkan oleh Sekda Luwu Utara,

Mudjahidin Ibrahim, selaku ketua dari Tim Baperjakat mengatakan bahwa

“Kendala yang dialami tim Baperjakat hanya dalam hal mempertemukan waktu antara tim Baperjakat dengan Bupati Luwu Utara karena biasanya Bupati itu banyak tugasnya di luar daerah. Jadi itu yang biasa memperlambat sidang Baperjakat”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Kita harus tetap memberikan apresiasi penuh kepada tim Baperjakat

atas tugas yang dilaksanakannya. Mereka mempunyai kewenangan untuk

memberikan penilaian kepada Pegawai dalam hal layak tidaknya seorang

pegawai untuk di mutasi. Tapi sekali lagi yang harus kita pahami bahwa

kalaupun ada hal-hal yang tidak sejalan dengan apa yang terjadi dilapangan,

111

itu semata-mata karena manusia ada makhluk yang pelupa dan tidak

sempurna yang penuh dengan ke khilafan.

4.2.2 Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Mutasi

Proses mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil adalah proses yang

dinamis. Banyak hal-hal yang mempengaruhi seorang Bupati memutuskan

untuk memutasi pegawainya. Proses mutasi bisa saja menjadi politis ketika

pengaruh itu datang dari partai politik pendukung Bupati.

Tim Baperjakat sebagai tim yang berwenang menilai kelayakan mutasi

seorang PNS tapi hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada Bupati.

Keputusan akhir seorang PNS di mutasi atau tidak berada di tangan Bupati.

Rekomendasi yang diajukan oleh tim Baperjakat pernah ditolak oleh

Bupati. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan Sekda Luwu

Utara, Mudjahidin Ibrahim, selaku ketua dari Tim Baperjakat mengatakan

bahwa

“Memang ada penolakan dari Bupati tapi ditolak bukan untuk dibatalkan hanya penggeseran posisi”. (Wawancara 28 Pebruari 2012).

Penjelasan dari Sekda Luwu Utara mengatakan bahwa penolakan itu

tidak mengandung unsur politik. Bupati menolak karena katanya Pegawai

yang dimaksud belum layak untuk menduduki posisi yang diajukan oleh tim

Baperjakat. Bupati hanya menginginkan agar ada kaderisasi dalam sebuah

badan atau dinas. Terlepas dari itu semua kita harus tetap berprasangka

positif bahwa mengenai mutasi PNS itu adalah hak prerogatif dari Bupati

112

sebagai pimpinan di wilayah Kabupaten. Bupati adalah orang yang

menggunakan jasa dari pegawai dalam hal menyelesaikan tugas-tugas

pemerintahan. Jadi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat

maka hak Bupati untuk menempatkan seorang pegawai sesuai kebutuhan

Bupati.

Salah satu juga yang mempengaruhi Bupati memutuskan seorang

PNS di mutasi atau tidak adalah karena lingkungan pergaulan Bupati yang

selalu bersentuhan dengan orang-orang yang memiliki status dan starata

sosial yang tinggi. Tapi yang pasti bahwa mutasi adalah hak prerogatif dari

Bupati.

113

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Implementasi Kebijakan Mutasi di Kabupaten Luwu Utara

Proses mutasi yang dilakukan di Kabupaten Luwu Utara sudah

memperhatikan aturan-aturan yang berlaku. Seorang Pegawai Negeri Sipil di

mutasi bila sudah memenuhi syarat-syarat yang di atur dalam undang-

undang kepegawaian. Seorang Pegawai yang dimutasi dinilai dari

kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat seorang PNS. Mutasi

dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali setahun. Proses mutasi ini berlaku bagi

semua Pegawai Negeri Sipil tanpa ada diskriminasi, baik itu dari segi

suku,agama, umur dan jenis kelamin. Selama Pegawai Negeri Sipil

memenuhi syarat untuk dimutasi dan disetujui oleh Bupati maka Pegawai

tersebut akan di mutasi. Mutasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten

Luwu Utara bisa karena promosi, demosi ataupun penyegaran.

Pelaksanaan Peraturan Bupati Nomor 16 Tentang Badan

Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT) di Kabupaten

Luwu Utara sudah berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini di buktikan

114

dengan adanya struktur organisasi yang terbentuk dan pembagian tugas

yang jelas antara stakeholder dalam tim Baperjakat.

Salah satu item tugas dari tim Baperjakat adalah pelaksanaan mutasi

pegawai. Dari hasil wawancara dan pengamatan peneliti di lapangan

membuktikan bahwa pelaksanaan mutasi sudah berjalan sesuai peraturan

yang ada. Kalaupun ada pegawai yang kurang puas terhdadap

penempatannya itu sangat kecil jumlahnya.

5.2 Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Mutasi di Kabupaten Luwu Utara

1. Faktor Internal

a. Sumber daya yang ada dalam tim Baperjakat sudah profesional dan di

anggap mampu di bidangnya masing-masing sehingga menjadikan tim

Baperjakat lebih solid dan mampu menghasilkan rekomendasi yang

secara objektif untuk diserahkan kepada Bupati Luwu Utara

b. Pimpinan merupakan orang yang paling menentukan sebuah keputusan.

Demikian halnya dengan hasil rekomendasi dari tim Baperjakat,

semuanya di tentukan oleh Bupati Luwu Utara, mau ditolak, diterima

ataupun diubah. Dalam hal ini struktur birokrasi mempengaruhi

keputusan tim Baperjakat.

c. Komunikasi yang terjadi dalam tim Baperjakat sudah berjalan

sebagaimana mestinya. Dengan demikian hasil rekomendasi tim

115

Baperjakat sudah sesuai aturan dan dianggap objektif dan

merepresentasikan aturan yang berlaku.

d. Sarana dan prasaran yang disediakan oleh pemerintah Kabupaten Luwu

Utara sudah cukup lengkap mulai dari gedung, listrik, proyektor dan lain-

lain. Sarana dan Prasarana ini mendukung tim Baperjakat melaksanakan

tugas dan fungsinya

2. Faktor Eksternal

a. Keputusan akhir dari proses mutasi seorang Pegawai Negeri Sipil adalah

berada di tangan Bupati yang kita ketahui bahwa di pilih langsung oleh

pemilihnya. Jabatan sebagai seorang Bupati adalah jabatan politis

tentunya setiap kebijakan yang diambil oleh Bupati pastinya

mempertimbangkan aspek politisnya. Dengan kata lain bahwa mutasi

seorang Pegawai Negeri Sipil akan sangat dipengaruhi oleh aspek politis

karena Bupati punya hak prerogatif.

b. Sebagai makhluk sosial seorang Bupati tentunya tidak lepas dari

pergaulan dengan lingkungan disekitarnya. Lingkungan pergaulan Bupati

biasanya lebih kepada orang-orang yang memiliki strata sosial yang

tinggi. Makanya tidak menutup kemungkinan kebijakan mutasi yang

diambil oleh Bupati di pengaruhi oleh orang-orang disekitar Bupati yang

memiliki strata sosial tinggi dengan alasan bahwa Bupati butuh dukungan

dari elit-elit daerah.

5.3 Saran

116

a. Sebaiknya komunikasi yang intens perlu dilakukan oleh tim Baperjakat

dengan Bupati Luwu Utara. Agar dapat mempertemukan waktu hingga

sidang Baperjakat bisa berjalan lancar.

b. Komunikasi yang baik juga perlu di bangun antara Bupati dan Wakil

Bupati karena mutasi seorang PNS juga perlu memperhatikan saran

dan usul dari Wakil Bupati.

c. Tim Baperjakat harus betul-betul memperhatikan latar belakang

pegawai negeri sipil (PNS) ketika ingin menempatkan seorang PNS di

sebuah kantor.

d. Bupati Luwu Utara perlu kiranya mengurangi perjalan Dinas Luar agar

kondisi di daerah sendiri bisa lebih di perhatikan

e. Sebaiknya pembinaan kepegawaian diserahkan sepenuhnya kepada

Sekda karena bukan jabatan politis. Bila pembinaan pegawai ( mutasi)

berakhir pada keputusan Bupati jelas ada unsur politiknya karena

Bupati dan Wakil Bupati adalah jabatan politis.

f. Bagi semua pegawai negeri sipil (PNS) harus bekerja secara

maksimal agar memperoleh jabatan yang lebih baik sekaligus

masyarakat merasa puas dengan pelayanan yang diberikan.

117

DAFTAR PUSTAKA

Agustino,Leo, 2008, Dasar-dasar kebijakan Publik, cet.ke-2,

alfabeta,Bandung.

Ahmad.A.K, 2006, Kamus lengkap bahasa Indonesia, Reality pulisher

Ali, Faried, 2010, Studi Tentang Kebijakan Pemerintahan, Pribadi Press,

Makassar

Amirin, Tatang M, 1986, Menyusun Rencana Penelitian, cet.ke-1, Rajawali,

Jakarta.

Dwijowijoto, R. N, 2003, Kebijakan publik formulasi, implementasi dan

evaluasi, PT.elex media komputindo, Jakarta.

Fakrullah, Zudan Arif, SH.MH,DR, 2004, Kebijakan Desentralisasi di

Persimpangan, CV Cipruy, Jakarta Timur.

Husaini Usman dan Purnomo. 2009, Metodologi Penelitian Sosial, cet.ke-2,

Bumi Aksara,Jakarta

Islamy, Irfan, 2004, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara,

cet.ke-13, Bumi Aksara, Jakarta

Longman, 1987. Dictionary of Contemporary English. New Edition. England:

Longman Group UK Limited.

Nugroho, D Riant, 2006, Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara

Berkembang, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

118

Prakoso, Djoko. 1986. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil Di Indonesia, Cet

ke-1, Sinar Grafika, Jakarta

Parsons, Wayne, 2006, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis

Kebijakan, Cet. ke-2, Kencana, Jakarta

Situmorang, Victor, 1994. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil, Cet. Ke-2, PT.

Rineka Cipta, Jakarta.

Soekarno, S.D. 2005, Publik policy: pengertian pokok untuk memahami dan

analisa kebijaksanaan pemerintahan, Cet.ke-4, Airlangga University

Prees, Surabaya.

Sugiyono, 2011, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, cet.ke-14,

Alfabeta, Bandung

Suharto Edi, 2008, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, cet ke-2,

Alfabeta, Bandung

-----------, 2005, Analisis Kebijakan Publik, cet ke-1, Alfabeta, Bandung.

Thoha, Miftha, 2008, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi,

cet.ke-1, Kencana, Jakarta.

-----------, 2005 Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia, cet ke-2,

Kencana, Jakarta.

Winarno, Budi, 2007., Kebijakan Publik: Teori dan Proses, cet.ke-1, Media

Pressindo, Yogyakarta

Dokumen-DokumenUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

119

Peraturan Bupati Luwu Utara Nomor 16 Tahun 2011 tentang Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (BAPERJAKAT)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil

120