repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 66338... · bab 2 tinjauan pustaka...

42
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Efusi Pleura Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG, 2013) Efusi pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun penyakit di luar paru. (Light RW, 2011) Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011) Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum lebih besar dari 0,5, (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih besar dari 0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari batas atas normal LDH serum. (Mayse M.L, 2008) Light dan Rodriguez membuat sebuah skema untuk klasifikasi dan penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan jumlah cairan, kekeruhan, dan karakteristik biokimia cairan dan apakah cairan terlokalisir. Berdasarkan klasifikasi di atas, maka efusi yang bersifat transudat diangap sebagai uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan pengobatan konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau efusi pleura terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural effusion harus dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion yaitu empiema, efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated pleural effusion, sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru dapat kembang untuk Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 28-Feb-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Efusi Pleura

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan pleura yang abnormal yang

disebabkan oleh karena pembentukan cairan pleura lebih cepat dari proses

absorpsinya. Sebagian besar efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan

pembentukan cairan pleura dan penurunan kecepatan absorpsi cairan pleura

tersebut. Pada pasien dengan daya absorpsi normal, pembentukan cairan pleura

harus meningkat 30 kali lipat secara terus menerus agar dapat menimbulkan suatu

efusi pleura. Di sisi lain, penurunan daya absorpsi cairan pleura saja tidak akan

menghasilkan penumpukan caian yang signifikan dalam rongga pleura mengingat

tingkat normal pembentukan cairan pleura sangat lambat. (Lee YCG, 2013) Efusi

pleura bisa disebabkan oleh penyakit yang berasal dari paru, pleura ataupun

penyakit di luar paru. (Light RW, 2011)

Efusi pleura terbagi menjadi transudat dan eksudat. (Light RW, 2011)

Berdasarkan kriteria Light, dikatakan efusi pleura eksudat jika memenuhi satu

atau lebih kriteria berikut (1) rasio kadar protein cairan pleura/kadar protein serum

lebih besar dari 0,5, (2) rasio kadar LDH cairan pleura/kadar LDH serum lebih

besar dari 0,6 atau (3) kadar LDH cairan pleura lebih besar dari dua pertiga dari

batas atas normal LDH serum. (Mayse M.L, 2008)

Light dan Rodriguez membuat sebuah skema untuk klasifikasi dan

penatalaksanaan efusi pleura berdasarkan jumlah cairan, kekeruhan, dan

karakteristik biokimia cairan dan apakah cairan terlokalisir. Berdasarkan

klasifikasi di atas, maka efusi yang bersifat transudat diangap sebagai

uncomplicated pleural effusion, yang dapat ditangani dengan pengobatan

konservatif atau hanya dengan antibiotik. Efusi pleura eksudat atau efusi pleura

terlokalisir yang luas, diklasifikasikan sebagai complicated pleural effusion harus

dilakukan drainase. Yang termasuk complicated pleural effusion yaitu empiema,

efusi pleura ganas dan hemotoraks. Untuk kasus complicated pleural effusion,

sangat penting untuk dilakukan evakuasi cairan supaya paru dapat kembang untuk

Universitas Sumatera Utara

prognosis yang labih baik. Pilihan terapinya adalah torakosentesis untuk

terapeutik, pemasangan selang dada, terapi fibrinolitik, pleurodesis dan

pembedahan. (Yu H, 2011)

Berdasarkan foto toraks, efusi pleura dapat dikelompokkan menjadi efusi

pleura sederhana dan efusi pleura kompleks (Ellis SM, Flower C, 2006)

1. Efusi pleura sederhana

Suatu efusi pleura dikatakan sederhana jika

- Pada foto toraks postero anterior posisi tegak cairan biasanya terakumulasi

mengikuti gravitasi dengan batas atasnya didefinisikan sebagai meniscus

sign.

- Pada posisi terlentang, suatu efusi pleura sederhana akan terakumulasi

pertama sekali di bagian posterior dada dan meniscus sign kadang tidak

terlihat.

- Terdapat peningkatan secara keseluruhan yang membayangi hemitoraks

yang dapat dengan mudah diabaikan

- Jika ukuran efusi cukup besar, makan akan tampak adanya penebalan yang

jelas di tepi pleura yang disebabkan oleh perpindahan posisi paru yang

menjadi terpisah dari dinding dada oleh karena cairan.

- Jika posisi pasien semi-tegak maka cairan akan terakumulasi di bagian

belakang kostofrenikus yang tersembunyi dan di posterior rongga pleura.

- Secara keseluruhan hasilnya adalah peningkatan opasitas pada daerah yang

lebih rendah dengan tetap mempertahankan bayangan diafragma, tanpa

ada meniskus, dan bahkan sudut kostofrenikus masih normal. Kolapsnya

lobus paru tidak tergantung posisi pasien

2. Efusi pleura kompleks

Suatu efusi pleura dikatakan kompleks jika

- Ketika bentuk efusi tidak membentuk meniscus sign seperti dijelaskan di

atas tetapi malah lurus atau cembung, ini menunjukkan bahwa efusi

tersebut adalah kompleks dan biasanya mengandung cairan yang kental

dan atau bersekat

Universitas Sumatera Utara

- Efusi pleura kompleks tidak selalu terakumulasi di daerah paling bawah

dan oleh karena itu cairan dapat terakumulasi di mana saja di dalam

rongga pleura

- Suatu efusi pleura kompleks mungkin disebabkan oleh adanya empiema

atau hematom, tetapi efusi pleura sederhana yang kronis dapat menjadi

kompleks tanpa adanya infeksi yang menyertai dan suatu efusi pleura

sederhana yang berada dalam rongga pleura yang kompleks dapat

menunjukkan gambaran efusi pleura kompleks misalnya pada pasien yang

sebelumnya pernah dilakukan intervensi bedah atau pernah terjadi infeksi

sebelumnya.

Berdasarkan USG, efusi pleura juga dapat dibedakan menjadi efusi pleura

sederhana dan efusi pleura kompleks (Coley BD, 2013)

1. Efusi pleura sederhana

- Gambaran anechoic yang homogen

2. Efusi pleura kompleks

- Tidak bersekat dengan gambaran hipoechoic

- Terdapat lebih dari satu sekat

- Gambaran echoic yang homogen

2.2 . Mekanisme Efusi Pleura

Dalam rongga pleura yang normal, cairan masuk dan keluar dengan

jumlah yang sama secara terus – menerus karena adanya filtrasi yang

berkelanjutan dari sejumlah kecil cairan rendah protein dalam pembuluh darah

mikro yang normal. Pada akhir abad ke-19, Starling dan Tubby mengeluarkan

sebuah hipotesis, bahwa pertukaran cairan mikrovaskuler dan zat terlarut diatur

oleh keseimbangan antara tekanan hidrostatik, tekanan osmotik, dan permeabilitas

membran. (McGrath E, Anderson PB, 2011)

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan yang berlebihan di dalam rongga

pleura. Hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara produksi dan

penyerapan cairan pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura hanya terisi

sejumlah kecil cairan, biasanya hanya 0,1-0,2 ml/kgBB.

Universitas Sumatera Utara

Cairan pleura terbentuk dan diserap kembali secara lambat, dengan jumlah

yang sama dan mempunyai kadar protein yang rendah dibandingkan dengan paru

dan kelenjar getah bening perifer. Beberapa mekanisme terbentuknya cairan

pleura antara lain : (Yataco JC, Dweik RA, 2005)

Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi pembuluh darah kecil.

Data klinis menunjukkan bahwa peningkatan tekanan intra kapiler

merupakan faktor yang paling sering menyebabkan efusi pleura pada gagal

jantung kongestif.

Penurunan tekanan onkotik di sirkulasi pembuluh darah kecil disebabkan

oleh hipoalbuminemia yang cenderung meningkatkan cairan di dalam

rongga pleura.

Peningkatan tekanan negatif di rongga pleura juga menyebabkan

peningkatan jumlah cairan pleura. Hal ini biasanya disebabkan oleh

atelektasis.

Pemisahan kedua permukaan pleura dapat menurunkan pergerakan cairan

dalam rongga pleura dan dapat menghambat drainase limfatik pleura. Hal

ini bisa disebabkan oleh trapped lung.

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler yang disebabkan oleh

mediator inflamasisangat memungkinkan terjadinya kebocoran cairan dan

protein melewati paru dan pleura visceral ke rongga pleura. Hal ini telah

dibuktikan dengan adanya infeksi seperti pneumonia

Gangguan drainase limfatik permukaan pleura karena penyumbatan oleh

tumor atau fibrosis

Perembesan cairan ascites dari rongga peritoneal melalui limfatik

diafragma atau dari defek diafragma.

2.3 . Diagnosis

Diagnosis efusi pleura ditegakkan melalui beberapa langkah

1) Anamnesis dan pemeriksaan klinis (Havelock T et al, 2010)

Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas, nyeri

dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis efusi

Universitas Sumatera Utara

pleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik bisa

normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi

pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya

jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh

penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang mengalami

kompresi. (Yu H, 2011)

Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan

restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan kapasitas

vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-perfusi

disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika ukuran efusi

cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan menyebabkan

ventrikel kolaps diastolik.

Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri

dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh

karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang ditimbulkan

oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik menunjukkan iritasi lokal

dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut saraf. Karena dipersarafi oleh

nervus frenikus, maka keterlibatan pleura mediastinal menghasilkan nyeri dada

dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga bisa menjalar hingga ke perut melalui

persarafan interkostalis. Sedangkan batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial

disebabkan kompresi parenkim paru. (Roberts JR et al, 2014)

Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan

ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada sisi

yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang atau

menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru – paru dari

dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi didapati beda,

dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa mengalir bebas. Pada

auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang tergantung ukuran efusi.

Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi sebagai akibat dari

penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura dapat dijumpai jika

Universitas Sumatera Utara

terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai dari auskultasi sampai

cairan terevakuasi. (Roberts JR, et al 2014)

Tabel 2.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik

(Klopp M, 2013)

Volume cairan pleura Temuan klinis

<250-300 cm3 Kemungkinan masih normal

500 cm3 1. Redup pada perkusi

2. Fremitus melemah 3. Pernapasan vesikular tetapi

intensitasnya menurun 1000 cm

3 1. Tidak adanya retraksi inspirasi,

sedikit bulging pada sela iga 2. Ketinggalan bernapas pada sisi

yang sakit 3. Perkusi redup sampai ke scapula

dan axilla 4. Fremitus melemah atau

menghilang di posterior dan lateral 5. Suara pernapasan bronkovesikuler 6. Pada auskultasi terdapat Egophany

(suara i terdengar e) pada batas paling atas efusi

Masif (memenuhi satu hemitoraks) 1. Bulging pada sela iga 2. Ketinggalan bernapas pada sisi

yang sakit 3. Suara napas menghilang 4. Pada auskultasi terdapat Egophony

(suara i terdengar e) di apeks 5. Liver atau spleen dapat teraba

karena adanya penekanan diafragma.

2) Pemeriksaan Radiologis

a. Foto Toraks

Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang

mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling bawah

Universitas Sumatera Utara

dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan sulkus kostofrenikus lateral. Efusi

pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks postero anterior posisi tegak jika

jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks lateral dapat mendeteksi efusi

pleura sebesar 50 – 75 ml.

Tanda awal efusi pleura yaitu pada foto toraks postero anterior posisi

tegak maka akan dijumpai gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul baik dilihat

dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan yang

mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari foto toraks

postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat batas tertinggi

meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat mengubah tampilan meniskus

menjadi garis yang lurus atau gambaran air fluid level. (Roberts JR et al, 2014)

Efusi pleura lebih sulit teridentifikasi pada foto toraks dengan posisi

terlentang. Jika ukuran efusi cukup besar, bayangan kabur yang menyebar dapat

dimaklumi. Gambaran lain yang dapat ditemui antara lain tertutupnya bagian

apikal, obliterasi hemidiafragma, gambaran opasitas sebagian di hemitoraks, dan

fisura minor yang melebar.

Foto toraks lateral dekubitus bisa dilakukan ketika dicurigai adanya efusi

pleura. Efusi pleura sederhana akan mengikuti gravitasi dan akan terbentuk

lapisan antara paru yang mengambang dengan dinding dada. Gambaran yang

tidak seperti biasa mencerminkan adanya lakulasi, abses atau massa. Foto toraks

lateral dekubitus terbalik akan menarik cairan ke arah mediastinum dan

memungkinkan untuk melihat parenkim paru untuk melihat apakah ada infiltrat

atau massa yang ada di balik perselubungan tersebut.

Dengan adanya penyakit dan scar paru, perlengketan jaringan dapat

menyebabkan cairan terperangkap di permukaan pleura parietal, visceral atau

interlobar. Karena perlengketan ini menyebabkan penumpukan cairan, maka

bentuk efusi terlokalisir sering digambarkan sebagai D-shape, sedangkan cairan

yang terlokalisir di daerah fisura akan berbentuk lentikular. (Roberts JR et al,

2014)

Berdasarkan foto toraks, efusi pleura terbagi atas small, moderate dan

large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang mengisi rongga pleura kurang

Universitas Sumatera Utara

dari sepertiga hemitoraks. Efusi pleura moderate jika cairan yang mengisi rongga

pleura lebih dari sepertiga tetapi kurang dari setengah hemitoraks. Sedangkan

efusi pleura dikatakan large jika cairan yang mengisi rongga pleura lebih dari

setengah hemitoraks. Selain itu efusi pleura juga dapat dinilai sebagai efusi pleura

masif jika cairan sudah memenuhi satu hemitoraks serta menyebabkan pergeseran

mediastinum ke arah kontralateral, menekan diafragma ipsilateral, dan kompresi

paru, jika tidak ada lesi endobronkial yang menyebabkan atelektasis dan fixed

mediastinum. (Light RW, Lee YCG, 2008)

Pada kasus efusi pleura masif, seluruh hemitoraks akan terdapat bayangan

opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum dapat mengidentifikasi

penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak adanya paru atau mediastinum yang

sakit, akumulasi cairan yang besar akan mendorong mediastinum ke kontralateral.

Ketika mediastinum bergeser ke arah efusi kemungkinan kelainannya adalah di

paru dan bronkus utama atau adanya obstruksi atau keduanya. Ketika

mediastinum tetap di medial kemungkinan penyebabnya adalah tumor. (Roberts

JR et al, 2014)

Gambar 2.1 (a) Efusi pleura kiri pada foto toraks tampak dari postero anterior dan lateral (b).

Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi tersebut. (Roberts JR et al, 2014)

Universitas Sumatera Utara

b. USG Toraks

Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai

suatu efusi pleura. USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan dan

merupakan tindakan yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien.

USG toraks lebih unggul daripada foto toraks dalam mendiagnosis efusi pleura

dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml. meskipun beberapa hal yang detail

hanya bisa terlihat pada CT scan, USG dapat mengidentifikasi efusi yang

terlokalisir, membedakan cairan dari penebalan pleura, dan dapat membedakan

lesi paru antara yang padat dan cair. USG juga dapat digunakan untuk

membedakan penyebab efusi pleura apakah berasal dari paru atau dari abdomen.

Selain itu USG dapat dilakukan di tempat tidur pasien yang sangat berguna untuk

identifikasi cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal untuk menentukan batas

atas efusi pleura. (Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.2 Gambaran efusi pleura pada USG toraks (Lee YCG, 2013)

c. CT scan toraks

Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan temuan

foto toraks, tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan dengan foto toraks

biasa untuk mendeteksi efusi pleura yang sangat minimal dan mudah menilai luas,

jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak

samar – samar pada foto toraks biasa. Pada gambaran CT scan toraks, cairan yang

Universitas Sumatera Utara

mengalir bebas akan membentuk seperti bulan sabit dapa daerah paling bawah,

sedangkan penumpukan cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular

dan relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat

digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa yang

mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang menyebabkan efusi pleura

eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras intra vena, CT scan toraks dapat

membedakan penyakit parenkim paru, seperti abses paru. Emboli paru juga dapat

terdeteksi dengan menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga

berguna dalam mengidentifikasi patologi mediastinum dan dalam membedakan

ascites dari efusi pleura subpulmonik yang terlokalisir. (Roberts JR et al, 2014)

Gambar 2.3 Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan toraks (Lee YCG, 2013)

3) Torakosintesis untuk diagnostik

Torakosintesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat

dengan cepat mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar

cairan pleura berwarna kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan

berwarna kekuningan terdapat pada berbagai kasus efusi pleura. Namun tampilan

warna lain efusi pleura dapat membantu untuk mendiagnosis penyebab efusi

pleura. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan pada kasus pneumonia,

Universitas Sumatera Utara

keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh atau seperti susu

maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan empiema dari kilotoraks

atau pseudokilotoraks. Pada empiema, cairan yang berada di bagian atasakan

bersih sedangkan debris – debris sel akan mengendap di bagian bawah, sedangkan

pada kilotoraks ataupun pseudokilotoraks warna cairan akan tetap sama karena

kandungan lipid yang tinggi dalam cairan pleura. Cairan yang berwarna

kecoklatan atau kehitaman dicurigai disebabkan oleh abses hati oleh infeksi

amuba dan infeksi aspergillus. Setelah dilakukan torakosintesis, cairan harus

langsung dikirim untuk analisis biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi.

Analisis biokimia cairan pleura meliputi menilai kadar protein, pH, laktat

dehydrogenase (LDH), glukosa, dan albumin cairan pleura. Karena rongga pleura

terisi oleh cairan, maka protein menjadi penanda yang penting untuk membedakan

apakah cairan pleura termasuk transudat atau eksudat. (McGrath E, Anderson PB,

2011)

Efusi pleura dikatakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan pleura

ditemukan sel – sel keganasan. Diagnosis hemotoraks ditegakkan jika ada bukti

trauma dada pada pasien yang menjalani operasi dalam waktu 24 jam terakhir,

memiliki kecenderungan untuk terjadinya pendarahan, serta perbandingan nilai

hematokrit cairan pleura dengan serum lebih besar dari 50%. (Liu YH et al, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.4 Proses torakosentesis (Roberts JR et al, 2014)

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Pemeriksaan cairan pleura untuk penegakan diagnostik (Light RW, Lee

YCG, 2008)

Penyakit Uji diagnostik cairan pleura

Empiema Observasi (nanah, bau busuk), kultur

Keganasan Sitologi positif

Pleuritis karena lupus Terdapat sel lupus eritematosus

Efusi pleura tuberkulosis Positif mengandung BTA, kultur, ADA > 40-60 U/L

Pleuritis karena jamur Positif pewarnaan KOH, kultur

Efusi pleura karena

kolesterol

Kolesterol > 300 mg/dL, kolesterol /trigliserida > 1,0

kristal kolesterol

Kilotoraks Trigliserida > 110 mg/dL, dijumpai kilomikron

Hemotoraks Hematokrit (rasio cairan pleura/darah > 0,5)

Urinotoraks Kreatinin (rasio cairan pleura/serum >1,0)

Dialisis peritoneum Protein < 1,0g/dL, glukosa > 300 mg/dL

Perpindahan

ekstravaskular dari kateter

vena sentral

Observasi (seperti susu jika diinfus lipid) cairan

pleura / glukosa serum > 1,0 (infus glukosa)

Pleuritis reumatoid karakteristik sitologi (pH < 7,00, glukosa < 30

mg/dL), LDH > 1000 IU/L

Fistel duro-pleura Terdapat β2 transferin

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Tampilan cairan pleura untuk membantu diagnosis (Light RW, Lee

YCG, 2008)

Perkiraan diagnosis

Warna cairan

Kuning pucat (jerami) Transudat, eksudat pauci-cellular

Merah (seperti darah)

Hematokrit < 5% Keganasan, BAPE (benign asbestos pleural

effusion), PCIS (post cardiac injury syndrome),

infark paru

Hematokrit cairan

pleura/serum ≥0,5

Trauma

Putih susu Kilotoraks atau efusi pleura karena kolesterol

Coklat Efusi pleura menyerupai darah yang sudah

berlangsung lama; pecahnya abses hati amuba ke

rongga pleura

Hitam Spora Aspergillus niger

Kuning kehijauan Pleuritis reumatoid

Warna dari selang makanan

atau infus vena sentral

Selang makanan masuk ke dalam rongga pleura,

perpindahan kateter ekstravaskular ke

mediastinum / rongga pleura

Karakteristik cairan

Nanah Empiema

Kental Mesotelioma

Debris Pleuritis reumatoid

Keruh Eksudat inflamasi atau efusi lipid

Anchovy paste Pecahnya abses hati amuba

Bau atau cairan busuk Empiema anaerobik

Ammonia Urinotoraks

Universitas Sumatera Utara

4) Biopsi Pleura

Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai

disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan dengan

kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan metode yang

tepat. Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika dilakukan di daerah dengan

tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi, walaupun torakoskopi dan biopsi jarum

dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk hasil diagnostik yang lebih

akurat. (Havelock T et al, 2010)

5) Torakoskopi

Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura

eksudat di mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan dan

dicurigai adanya keganasan. (Havelock T et al, 2010)

6) Pemeriksaan Lain Pada Kondisi Tertentu (Havelock T et al, 2010)

- Pleuritis tuberkulosis

Ketika dilakukan biopsi pleura, maka sampel harus dikirim untuk

pemeriksaan histologi dan kultur untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis.

Biopsi pleura melalui torakoskopi merupakan pemeriksaan yang paling akurat

untuk mendapatkan hasil positif untuk kultur mikobakterium (dan juga

sensitivitas obat). Penanda tuberkulosis pleura dapat bermakna di negara -

negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang rendah. Adenosine

deaminase (ADA) adalah penanda yang paling sering digunakan.

- Rheumathoid Arthritis yang berhubungan dengan efusi pleura

Sebagian besar efusi pleura yang disebabkan oleh Rheumathoid Arthritis

menunjukkan kadar glukosa yang sangat rendah yaitu <1,6 mmol/L (29

mg/dL).

- Systemic Lupus Erithematosus (SLE)

Antinuclear antibody (ANA) cairan pleura tidak diperlukan diukur

secara rutin karena hanya menunjukkan kadar serum dan biasanya tidak

membantu.

Universitas Sumatera Utara

- Kilotoraks dan pseudokilotoraks

Pada kasus terduga kilotoraks atau pseudokilotoraks maka cairan

pleura harus diperiksakan untuk menilai kristal kolesterol, kilomikron, kadar

trigliserida cairan pleura dan kadar kolesterol cairan pleura.

2.4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang utama pada kasus efusi pleura adalah dengan

mengurangi gejala yang ditimbulkan dengan jalan mengevakuasi cairan dari

dalam rongga pleura kemudian mengatasi penyakit yang mendasarinya. Pilihan

terapinya bergantung pada jenis efusi pleura, stadium, dan penyakit yang

mendasarinya. Pertama kita harus menentukan apakah cairan pleura eksudat atau

transudat. (Yu H, 2011)

Penatalaksanaan efusi pleura dapat berupa aspirasi cairan pleura ataupun

pemasangan selang dada. Aspirasi cairan pleura dilakukan untuk tujuan diagnostik

misalnya pada efusi pleura yang tidak diketahui penyebabnya dan terapeutik yaitu

untuk mengevakuasi cairan maupun udara dari rongga pleura ketika pasien tidak

sanggup lagi untuk menunggu dilakukan pemasangan selang dada misalnya pada

pasien tension pneumotoraks. Selain aspirasi cairan pleura dapat juga dilakukan

pemasangan selang dada untuk tujuan terapeutik. Pemasangan selang dada

diperlukan jika terjadi gangguan fungsi fisiologis sistem pernapasan dan

kardiovaskular. (Klopp M, 2013)

Selain torakosentesis, prinsip penanganan efusi pleura adalah dengan

mengobati penyakit yang mendasarinya. Tindakan emergensi diperlukan ketika

jumlah cairan efusi tergolong besar, adanya gangguan pernapasan, ketika fungsi

jantung terganggu atau ketika terjadi perdarahan pleura akibat trauma tidak dapat

terkontrol. Drainase rongga pleura juga harus segera dilakukan pada kasus

empiema toraks.

Efusi pleura minimal yang disebabkan oleh proses malignansi terkadang

akan teratasi dengan sendirinya setelah dilakukan tindakan kemoterapi, namun

tindakan pleurodesis harus tetap dilakukan setelah cairan berhasil dievakuasi pada

Universitas Sumatera Utara

kasus di mana efusi pleura berulang atau ketika jumlah cairan dalam rongga

pleura tergolong moderat. (Sato T, 2006)

a. Torakosentesis

Torakosentesis merupakan pilihan pertama dan merupakan tindakan yang

sederhana untuk kasus efusi pleura, bukan hanya untuk diagnosis tapi juga untuk

mengurangi gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura tersebut. Tetapi

bagaimanapun juga, torakosintesis yang berulang bukan pilihan yang tepat untuk

penanganan efusi pleura ganas yang progresif. Torakosintesis hanya mengurangi

gejala untuk sementara waktu dan akan membutuhkan kunjungan yang berulang

ke rumah sakit untuk melakukannya. (Yu H, 2011)

Indikasi Torakosentesis

Indikasi torakosintesis pada kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostik

dan terapeutik

1) Diagnostik

Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura dapat diambil dan

diperiksakan untuk menentukan penyebab efusi. Untuk pemeriksaan

laboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml. Sebagian besar efusi pleura yang masih

baru terukur lebih dari 10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CT

scan toraks, atau USG toraks.

2) Terapeutik

Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk mengurangi gejala yang

ditimbulkan misalnya meringankan sesak napas yang diakibatkan jumlah

cairan yang besar dan membutuhkan evakuasi segera.

Kontraindikasi torakosentesis

Tidak ada kontraindikasi untuk torakosentesis. Studi terbaru menunjukkan

bahwa jika torakosentesis dilakukan dengan tuntunan USG, maka hal ini aman

untuk dilakukan meskipun terdapat kelainan koagulasi. Perhatikan pasien dengan

kelainan koagulasi, termasuk gagal ginjal, tanda – tanda perdarahan yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

setelah prosedur. Hindari tempat yang terdapat selulitis maupun herpes zoster

dengan memilih lokasi torakosentesis alternatif. (Roberts JR et al, 2014)

b. Pemasangan selang dada

Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan efusi pleura

ataupun pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai large, pasien dengan

riwayat aspirasi cairan pleura berulang, efusi pleura yang berulang, pada pasien

yang dilakukan bedah toraks, pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan

dengan trauma, hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain

misalnya untuk pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi darah

dan mencegah tamponade jantung. (Klopp M, 2013)

Indikasi pemasangan selang dada. (Dev PS et al, 2007)

1) Pada keadaan darurat

- Pneumothoraks

Pada semua pasien dengan ventilasi mekanik

Pneumotoraks yang luas

Keadaan klinis pasien yang tidak stabil

Pneumotorax ventil

Pada pneumotoraks ventil setelah dekompresi dengan jarum

Pada pneumotoraks berulang atau tetap

Pada pneumothoraks akibat trauma dada

Pada pneumothoraks iatrogenik, jika ukurannya luas dan keadaan

klinisnya signifikan

- Hemopneumotoraks

- Ruptur esophagus dengan kebocoran lambung ke rongga pleura

2) Pada keadaan non-darurat

- Efusi pleura ganas

- Pengobatan dengan agen sklerotik atau pleurodesis

- Efusi pleura berulang

- Efusi parapneumonik atau empiema

- Kilotoraks

Universitas Sumatera Utara

- Perawatan pasca operasi (mis: setelah bypass coroner, torakotomi, atau

lobektomi)

Kontraindikasi pemasangan selang dada (Dev PS et al, 2007)

Pedoman yang telah ada menyatakan bahwa tidak ada kontraindikasi

absolut untuk drainase melalui selang dada kecuali ketika paru-paru benar-benar

melekat pada dinding dada seluruh hemitoraks tersebut. Kontraindikasi relatif

meliputi risiko perdarahan pada pasien yang memakai obat antikoagulan atau pada

pasien dengan kecenderungan perdarahan atau profil pembekuan abnormal. Bila

memungkinkan, koagulopati dan cacat trombosit harus diperbaiki dengan infus

produk darah, seperti plasma beku segar dan trombosit

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa jika pemasangan selang dada

dilakukan dengan tuntunan USG maka hal ini dinyatakan aman untuk dilakukan

walaupun terdapat parameter koagulasi yang abnormal. Seluruh pasien dengan

kelainan koagulasi termasuk pasien dengan gagal ginjal, sebagai tanda – tanda

perdarahan setelah prosedur pemasangan. Hindari lokasi insersi melalui bagian

kulit yang terkena selulitis atau herpes zoster dengan memilih lokasi atau

alternatif lain. Lakukan pada waktu yang tepat untuk melakukan torakosintesis

pada pasien – pasien dengan ventilasi mekanik maupun manual karena tekanan

positif berhubungan dengan ventilasi mekanik yang dapat meningkatkan resiko

terjadinya pneumotoraks pada pasien tersebut. (Roberts JR et al, 2014)

British Thoracic Society mengklasifikasikan selang dada berdasarkan

ukurannya menjadi tiga kelompok yaitu (Laws D et al, 2003)

1. Small-bore tube (8-14 F)

2. Medium-bore tube (16-24 F)

3. Large-bore tube (>24 F)

Ukuran selang dada dari yang paling kecil hingga yang paling besar adalah

antara 8 – 32 F. Ukuran selang dada yang dibutuhkan tergantung pada indikasi

pemasangan selang dada. Untuk pneumotoraks dianjurkan selang dada ukuran 20

F, dan untuk efusi pleura ukuran 24 – 28 F, serta perlu juga dipertimbangkan jenis

kelamin dan ukuran pasien. (Klopp M, 2013)

Universitas Sumatera Utara

2.5. Jenis selang dada

2.5.1. Large-bore kateter

Pemasangan selang dada merupakan tindakan yang umum dilakukan untuk

drainase cairan dan udara dari rongga pleura pada sebagian besar rumah sakit di

Amerika Serikat. (Gammie JS, Banks MC, Fuhrman CR, et al 1999)

Untuk

drainase cairan maupun udara, penggunaan large-bore kateter tetap tetap

merupakan tindakan yang optimal dan adekuat. Bagaimanapun juga, pemasangan

large-bore kateter baik dengan metode blunt dissection maupun dengan trokar

masih menunjukkan angka kematian yang signifikan. (Liu YH et al, 2010)

Pemasangan selang dada merupakan prosedur yang invasif dan komplikasi

bisa terjadi akibat kurangnya pengetahuan tentang anatomi toraks atau

pangalaman dan latihan yang tidak adekuat. Berbagai komplikasi tersebut dapat

diklasifikasikan secara sederhana sebagai komplikasi teknik dan infeksi. Teknik

trokar dilaporkan mengakibatkan angka komplikasi yang lebih tinggi. (Kesieme

EB et al, 2012)

Ukuran selang dada standar biasanya adalah 32-40 F. Pemasangan large-

bore kateter tersebut memerlukan tekhnik cut-down, traumatis, dan sering

menimbulkan nyeri yang signifikan dan ketidaknyamanan. (Kulvatunyou et al,

2014) Jarak antara tulang rusuk pada orang dewasa adalah sekitar 9 mm (pada

sela iga 5) linea midaxillaris. Selang dada ukuran 32 F memiliki diameter 10,7

mm, sedangkan selang dada ukuran 24 F memiliki diameter 8 mm dan pigtail

kateter ukuran 8 F memiliki diameter 2,7 mm. selang dada ukuran 32 F memiliki

diameter yang lebih besar dari ruang interkostal dan inilah yang menyebabkan

penggunaan selang dada ukuran besar menimbulkan rasa sakit yang lebih jika

dibandingkan dengan selang dada ukuran kecil. (Caroll P, 2012)

Large-bore kateter sangat umum digunakan untuk berbagai kasus pleura

termasuk di bidang bedah untuk penanganan trauma, pasca operasi dan empiema.

Selain itu, large-bore kateter juga kurang rentan untuk terjadinya blockage

maupun kingking dan sangat cocok untuk kasus – kasus di atas. Beberapa

kekurangan large-bore kateter di antaranya adalah memerlukan diseksi jaringan,

rasa nyeri pada proses pemasangan, luka insisi yang lebih besar, dan dan

Universitas Sumatera Utara

merupakan tindakan yang invasif. Beberapa komplikasi yang ditimbulkan adalah

cedera organ (1,4%), malposisi (6,5%), empiema (1,4%), dan blockage (5,2%).

(Caroll P, 2012)

Gambar 2.5 Large Bore kateter (Alazemi S, 2013)

2.5.2. Small-bore kateter

Small-bore kateter telah mengalami perkembangan secara signifikan

selama beberapa tahun terakhir. Kateter tersebut terbuat dari bahan yang lebih

lembut dan lebih fleksibel daripada selang dada ukuran besar yang standar. Hal ini

diyakini dapat mengurangi rasa sakit dan ketidaknyamanan yang dirasakan pasien

dan lebih aman digunakan untuk dinding dada. Ada banyak jenis small-bore

kateter yang tersedia yaitu mulai dari ukuran 8 F sampai 28 F, tetapi yang paling

sering digunakan adalah ukuran antara 8 F sampai 16 F. Beberapa kateter

memiliki ujung yang melengkung dan dinamakan pigtail kateter. Bentuk seperti

ini berfungsi sebagai mekanisme pengunci internal untuk mencegah terjadinya

tercabutnya selang secara tidak sengaja misalnya pada pasien yang tidak

kooperatif maupun pada saat transportasi pasien.

Pemilihan ukuran kateter berdasarkan pada kekentalan cairan yang akan

dikeluarkan. Kateter ukuran 8-12 F dinilai cukup untuk mengalirkan cairan pleura

transudatif dan mengalir bebas. Namun, untuk efusi pleura yang lebih kental

seperti pada complicated parapneumonik effusion, empiema dan hemotoraks,

sumbatan di selang dada biasanya terjadi pada kateter dengan ukuran kecil, dan

Universitas Sumatera Utara

sebagian besar dokter biasanya menggunakan kateter mulai dari ukuran 16 F atau

lebih. (Alazemi S, 2013)

Gambar 2.6 Pigtail kateter (Alazemi S, 2013)

Gambar 2.7 Pigtail kateter dengan guidewire (Mahmood K, Wahidi MM,2013)

Pada awal tahun 1990-an, diperkirakan hanya tujuh persen penggunaan

small-bore kateter untuk pemasangan selang dada. Namun saat ini penggunaan

small-bore kateter semakin meningkat. Hal ini dikarenakan ukurannya yang lebih

kecil, hanya memerlukan sedikit atau bahkan tidak memerlukan sayatan dalam

proses pemasangannya, dan rasa nyeri yang lebih sedikit dibandingkan dengan

large-bore kateter. Selain itu, sayatan yang kecil biasanya meninggalkan bekas

Universitas Sumatera Utara

luka yang lebih sedikit dan tidak memerlukan penjahitan setelah proses

pencabutan selang dada. (Mahmood K, Wahidi MM,2013)

Small-bore kateter disebut juga dengan pigtail kateter. (Azan B et al, 2014)

Pigtail kateter adalah sebuah selang dada ukuran kecil yang digunakan untuk

mengalirkan cairan maupun udara dari rongga pleura. (Cardenas G et al, 2009)

Pigtail kateter pertama kali dilaporkan digunakan untuk drainase cairan pleura

pada tahun 1970. (Caroll P, 2012)

Small-bore kateter juga memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah

aliran drainase yang lebih lambat dan berpotensi tidak dapat mengevakuasi

kebocoran udara yang besar dan cairan yang kental dengan akumulasi yang cepat

seperti darah. Pada satu penelitian yang membandingkan selang dada dengan

berbagai ukuran disimpulkan bahwa small-bore kateter mempunyai aliran

drainase yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan large-bore kateter.

Berdasarkan hal tersebut maka sangat dianjurkan untuk menggunakan large-bore

kateter pada kasus dengan kebocaran udara yang besar dan juga pada pasien post

pneumonektomi. Aliran selang dada yang berukuran sama ternyata bervariasi

sesuai masing – masing produsen. Hal ini mungkin disebabkan oleh panjang

selang dada dan bahan yang digunakan untuk membuat selang selang tersebut.

Oleh karena itu maka setiap klinisi harus benar – benear memahami setiap jenis

selang dada yang disediakan di tempatnya bekerja.

(Mahmood K, Wahidi

MM,2013)

Beberapa komplikasi yang ditimbulkan small-bore kateter adalah cedera

organ di sekitarnya (0,2%), malposisi (0,6%), empiema (0,2%), dan blockage

(8,1%). Cairan yang kental seperti darah atau pus dapat menyumbat small-bore

kateter karena alirannya yang lambat. Untuk mencegah terjadinya sumbatan,

biasanya digunakan 30 mL larutan saline steril setiap 6 sampai 8 jam dan hal ini

harus dilakukan secara rutin. (Mahmood K, Wahidi MM,2013)

Insersi pigtail kateter merupakan metode yang efektif dan aman untuk

drainase cairan pleura. (Bediwy AS, Amer HG. 2012) Pigtail kateter mempunyai

resiko yang rendah untuk terjadinya komplikasi yang serius seperti cedera organ,

malposisi, empiema dan blockage. Pigtail kateter menunjukkan skor nyeri yang

Universitas Sumatera Utara

rendah, kebutuhan akan analgetik yang rendah, dan tingkat kenyamanan yang

lebih besar dibandingkan dengan pasien yang tatalaksana dengan large-bore

dengan indikasi yang sama. (Havelock T et al, 2010)

Drainase menggunakan pigtail kateter merupakan metode yang mudah

untuk dilakukan, dengan trauma yang minimal, masa rawatan yang relatif singkat,

dan dirasakan lebih nyaman oleh pasien dibandingkan dengan selang dada

konvensional. Drainase menggunakan pigtail kateter merupakan metode yang

efektif dan aman dibandingkan dengan selang dada konvensional untuk drainase

cairan pleura. (Lin CH et al, 2011)

Pigtail kateter sangat jauh berbeda dengan selang dada konvensional, dan

lebih sedikit traumatis pada saat pemasangan dan meninggalkan bekas yang lebih

kecil. Kelebihan lain dari pigtail kateter adalah tidak mudah tertekuk (kingking).

(Pierrepoint MJ et al, 2002)

Untuk selang dada standar dengan ukuran besar, kebanyakan dokter

melakukan insersi selang dada melalui sebuah sayatan yang dibuat di daerah

interkostal IV atau V linea mid-axillaris di mana selang dada dapat dimasukkan

baik ke arah apikal ataupun posterior tergantung dari penyakit pleura yang

mendasarinya. Dengan metode seperti ini, sangat mungkin terjadi malposisi

selang dada, terutama pada kasus efusi pleura terlokalisir. Namun, hal ini dapat

dicegah dengan bantuan tuntunan radiologi sehingga dapat membantu dokter

untuk dapat menempatkan selang dada secara tepat ke dalam rongga pleura.

Pada kasus efusi pleura yang free flowing tempat insersi selang dada lebih

diutamakan pada sisi lateral untuk mengurangi ketidaknyamanan pasien dan

tercabutnya selang ketika pasien berbaring terlentang. Selain itu, tempat insersi

selang dada juga diusahakan terletak serendah mungkin lalu diarahkan ke

posterior ke tempat di mana cairan pleura paling banyak terkumpul agar dapat

dilakukan drainase maksimal. Penempatan selang dada pada linea mid-skapula

tidak disarankan kecuali pada keadaan tertentu karena dapat beresiko tercabutnya

selang dada oleh gerakan tulang belikat. Namun, pada kasus efusi pleura

terlokalisir, maka lokasi insersi harus benar – benar tepat di tempat terlokalisirnya

cairan (sebaiknya di perbatasan inferior dari tempat terlokalisirnya cairan) terlihat

Universitas Sumatera Utara

dari USG toraks. Pada kasus pneumotoraks, tempat insersi biasanya adalah di

bagian anterior dinding dada pada interkostal II.

Ada beberapa jenis small-bore kateter yang tersedia. Ketika kita memilih

sebuah small-bore kateter, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Kateter

harus terbuat dari bahan yang lembut dan fleksibel supaya dapat dipasang dengan

mudah melalui ruang interkostal serta dapat meminimalkan rasa sakkit dan

ketidaknyamanan pasien. Kateter dengan ujung yang melingkar (dinamakan

pigtail kateter lebih disukai untuk drainase efusi pleura jangka panjang misalnya

pada efusi pleura ganas atau pada efusi pleura parapneumonik) karena alat ini

memiliki mekanisme penguncian yang dapat meminimalkan kemungkinan

tercabutnya selang dada. Kateter harus bersifat radioopak supaya dapat terdeteksi

dengan mudah pada foto rontgen. (Alazemi S, 2013)

2.6. Prosedur Pemasangan Selang Dada

Tidak ada kontraindikasi mutak untuk pemasangan selang dada. Sebelum

melakukan pemasangan selang dada, sebaiknya dilakukan identifikasi jika ada

gangguan pada pembekuan darah. Foto toraks harus dilakukan sebelum tindakan

pemasangan selang dada. Kemudian prosedur tindakan harus dijelaskan kepada

pasien dan tindakan dilakukan atas persetujuan pasien. Selain analgesik lokal,

pemberian sedasi dengan opioid atau golongan benzodiazepine untuk pasien

dengan hemodinamik stabil. Reaksi vasovagal biasanya tampak baik pada pasien

usia muda. Pasien yang diberikan obat – obatan sedasi harus terus dipantau dari

segi kardio respiratorinya. (Singh S Gareebo S, 2006)

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemasangan selang dada.

Yang pertama harus dilakukan adalah menentukan lokasi yang akan dilakukan

pemasangan selang dada.

Dalam ruangan interkostal terdapat otot interkostal, vena, arteri, dan saraf

yang terletak di alur kosta sepanjang batas bawah dari iga superior dari atas ke

bawah dan terletak di antara lapisan kedua dan ketiga dari otot. Untuk

menghindari terkena neurovascular bundle biasanya dianjurkan selang dada

ditempatkan di bagian atas kosta. Namun tusukan dilakukan sedekat mungkin

Universitas Sumatera Utara

dengan margin superior dari kosta. Bagaimanapun juga, tusukan harus bisa

dilakukan sedekat mungkin dengan batas superior dari kosta yang lebih rendah

dapat menyebabkan laserasi arteri interkostal. Studi terbaru menunjukkan bahwa

lokasi yang ideal harus 50-60 dari arah menurun kosta. Cedera neurovascular

bundle tetap mungkin terjadi sebagai komplikasi dari prosedur pemasangan selang

dada. (Light RW, 2011)

British Thoracic Society (BTS) telah merekomendasikan triangle of safety

sebagai lokasi untuk penempatan selang dada. Lokasi ini berbatasan dengan

musculus latissimus dorsi pada bagian anteriornya, lateralnya berbatasan dengan

musculus pectoralis mayor dan garis horizontalnya adalah garis lurus yang ditarik

dari papilla mammae sampai di bawah axilla. Sebuah survei yang dilakukan oleh

resident junior pada landmark anatomi ketika melakukan pemasangan selang dada

menunjukkan bahwa 45% kasus yang dilakukan pemasangan selang dada di luar

area triangle of safety tersebut terdapat error sebanyak 20% .(Havelock T et al,

2010)

gambar 2.8 triangle of safety (Kesieme EB et al, 2012)

Universitas Sumatera Utara

gambar 2.9 anatomi dari neurovascular bundle, saraf interkostal, arteri dan vena terletak di bagian

inferior (Roberts JR et al, 2014)

Setelah menentukan lokasi pemasangan, selanjutnya kita akan menentukan

teknik mana yang akan digunakan dalam prosedur pemasangan. Ada beberapa

teknik yang biasa digunakan pada prosedur pemasangan selang dada seperti

teknik blunt dissection, teknik trokar, dan teknik seldinger (menggunakan guide-

wire). (Havelock T et al, 2010)

2.7. Teknik pemasangan selang dada

2.7.1. Teknik blunt dissection

Setelah dilakukan anestesi lokal, buatlah insisi di kulit sepangjang 2 cm

yang sejajar dengan ruang interkostal dan harus dilakukan tepat di atas iga untuk

mengurangi risiko cedera neurovaskular. Dengan menggunakan lidokain, lakukan

anestesi lokal dengan infiltrasi di daerah periosteum atas dan bawah tempat

pemasangan selang dada.

Pada metode blunt dissection, dibutuhkan klem Kelly untuk menembus

ruang interkostal. Hal ini harus dilakukan secara perlahan dan pada posisi tertutup

sampai menembus pleura lalu klem dilebarkan untuk membuka pleura parietal dan

otot interkostal. Kemudian masukkan satu jari melalui lubang yang telah dibuat

untuk memastikan posisi yang tepat dan mengurangi perlengketan antara kedua

permukaan pleura sebelum pemasangan selang dada. Klem dijepitkan pada

pangkal selang dada, kemudian diarahkan ke posisi yang diinginkan. Pada kasus

pneumotoraks arahkan ke apikal dan untuk kasus efusi pleura diarahkan ke basal.

(Singh S Gareebo S, 2006)

Universitas Sumatera Utara

Teknik blunt dissection ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang

lebih besar kepada pasien tetapi resiko untuk terjadinya cedera organ lebih kecil.33

Lokasi selang dada harus dikonfirmasi dengan gambaran kondensasi di

dalam selang dengan respirasi, atau dengan cairan pleura yang dialirkan dalam

selang dada. Selang dada harus dimasukkan dengan lubang proksimal minimal 2

cm melewati batas iga. Posisi selang dada dengan seluruh lubang drainase harus

dinilai dengan palpasi.

Selang dada dijahitkan ke kulit dengan jahitan yang kuat dengan benang

silk 1.0. Jika dilakukan pemasangan large-bore kateter, maka harus dilakukan

jahitan matras. Jahitan purse string tidak lagi dianjurkan karena dapat mengubah

jahitan. Dan hal ini akan meninggalkan bekas luka yang tidak sedap dipandang.

Selang dada harus benar-benar terhubung ke sistem drainase pleura

dengan aliran searah. Ini biasanya dengan system water seal drainage.

Keuntungan dari sistem ini adalah memungkinkan kita untuk mengamati

keluarnya udara rongga pleura pada kasus pneumotoraks dan pengukuran volume

yang akurat pada kasus efusi pleura, tetapi pasien harus dirawat inap dan sangat

membatasi mobilisasi. Kantung penampung cairan dengan katup flutter dan

saluran udara merupakan alternatif yang lebih fleksibel. Beberapa rumah sakit

menggunakan Heimlich flutter valve (one way) dengan selang dada ukuran kecil

untuk kasus simple pneumotoraks. (Singh S Gareebo S, 2006)

2.7.2. Teknik Trokar

Beberapa selang dada masih disertai dengan trokar logam yang dapat

ditarik sehingga ujungnya yang tajam dapat diposisikan ke dalam selang. Trokar

ini kemudian dapat digunakan untuk mengarahkan selang dada ke posisi yang

diinginkan. Namun, trokar ini tidak boleh digunakan untuk membuat saluran ke

dalam rongga pleura. Teknik ini membutuhkan kekuatan yang signifikan dan

dikaitkan dengan kerusakan struktur intratoraks. (Singh S Gareebo S, 2006)

Teknik trokar mungkin akan lebih mudah untuk dilakukan namun akan

meningkatkan resiko cedera paru karena penetrasi yang berlebihan. Pada teknik

trokar, dokter meng-insisi kulit dan memasukkan trokar dengan selang dadanya

Universitas Sumatera Utara

secara perlahan dan terkendali hingga mencapai pleura. Kemudian dokter

mencabut trokar dan hanya meninggalkan selang dada terpasang pada lokasi

insisi. (Durai R et al, 2010)

Teknik trokar memiliki beberapa kelebihan yaitu selang dada dapat

terpasang secara cepat dan dapat mengarahkan selang dada ke posisi yang

diinginkan. Namun, kekurangan dari teknik trokar adalah dapat menyebabkan

cedera organ. Pedoman terbaru dari British Thoracic Society dan Advanced

Trauma Life Support merekomendasikan penggunaan trokar untuk pemasangan

selang dada. (John M et al, 2014)

2.7.3. Teknik Seldinger (menggunakan guide-wire)

Selang dada tertentu dapat dipasang dengan metode teknik Seldinger

untuk menghindari teknik blunt dissection. Selang dada jenis ini awalnya

dirancang dalam ukuran kecil (12 F), tetapi sekarang tersedia dalam berbagai

ukuran sampai ukuran 24 F.

Setelah dilakukan anestesi lokal, kemudian lakukan torakosintesis sampai

cairan atau udara teraspirasi dan memastikan ujung selang terletak pada posisi

yang diinginkan di dalam rongga pleura. Sebuah guide-wire kemudian

dimasukkan ke tengah dan bagian atas dipertahankan. Lalu jarum ditarik dan

dibuat sayatan dangkal yang kecil yang kemudian diperbesar dengan dilator.

Setelah itu selang tersebut dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui guide-

wire. (Singh S Gareebo S, 2006)

2.8. Teknik pemasangan selang dada konvensional

a. Teknik pemasangan selang dada tanpa trokar (Wuryantoro et al, 2011)

1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lokasi pemasangan selang dada lalu

tutup dengan duk steril

2. Berikan analgetik (kecuali terdapat kontraindikasi), berikan larutan

anestesi lokal sebanyak 10-20 ml mulai dari subkutan, perikostal,

interkostal hingga pleura parietal lalu lakukan aspirasi cairan atau udara

sehingga dapat menentukan posisi yang tepat untuk insersi selang dada.

Universitas Sumatera Utara

3. Buat sayatan di kulit sekitar 2 cm di daerah interkostal sejajar dengan iga,

lalu lakukan diseksi tumpul pada subkutis dan otot M. serratus mengikuti

batas atas iga lalu secara hati – hati menembus otot interkostal dan pleura

baik dengan gunting (dalam posisi tertutup saat memasukkan dan dalam

keadaan terbuka saat ditarik ke luar) maupun dengan jari sehingga cairan

ataupun udara dapat keluar.

4. Lakukan palpasi menggunakan jari untuk merasakan jaringan paru – paru

dan merasakan kemungkinan adanya perlengketan. Putar jari 360 derajat

untuk merasakan adanya perlengketan yang padat.

5. Masukkan selang dada (tanpa menggunakan trokar) menggunakan Kelly

clamp mengarah dorso-apikal atau dorso-caudal pada kasus efusi.Jika

tempat pemasangan selang sudah tepat, maka seharusnya hanya akan

terasa sedikit tahanan. Tahanan yang elastis kadang dapat dirasakan jika

terjadi kingking dan selang dada harus direposisi. Jika kingking terjadi di

luar toraks, maka artinya selang dada terpasang pada tempat yang salah.

6. Fiksasi selang dada ke kulit dengan jahitan

7. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara

8. Selang dada dihubungkan dengan botol WSD steril. (gambar 2.9)

Universitas Sumatera Utara

gambar 2.10 Prosedur pemasangan selang dada konvensional dengan teknik blunt dissection

(Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW, et al 2014)

b. Teknik pemasangan selang dada konvensional dengan trokar (Wuryantoro et

al, 2011)

1. Lakukan tindakan desinfeksi pada lokasi pemasangan selang dada lalu

tutup dengan duk steril

2. Berikan analgetik (kecuali terdapat kontraindikasi), berikan larutan

anestesi lokal sebanyak 10-20 ml mulai dari subkutan, perikostal,

Universitas Sumatera Utara

interkostal hingga pleura parietal lalu lakukan aspirasi cairan atau udara

sehingga dapat menentukan posisi yang tepat untuk insersi selang dada.

3. Buat sayatan di kulit sekitar 2 cm di daerah interkostal sejajar dengan iga,

lalu lakukan diseksi tumpul pada subkutis dan otot M. serratus mengikuti

batas atas iga lalu secara hati – hati menembus 1 otot interkostal dan

pleura.

4. Trokar ditusukkan melalui lubang insisi, menembus pleura parietalis

5. Trokar ditarik keluar sedikit agar tidak mencederai paru – paru. Kemudian

selang dada diarahkan posisinya dan diatur kedalamannya sesuai dengan

tebal dinding dada yang sudah diukur sebelumnya.

6. Fiksasi selang dada ke kulit

7. Daerah luka dibersihkan dan diberi salep steril agar kedap udara

8. Selang dada disambungkan dengan botol WSD steril. (gambar 2.10)

1

1

2

1

3

1

4

1

Universitas Sumatera Utara

gambar 2.11 Prosedur pemasangan selang dada konvensional dengan teknik trokar (Wuryantoro,

Nugroho A, Saunar RY, 2011)

2.9. Teknik pemasangan pigtail kateter

a. Teknik pemasangan pigtail kateter menggunakan trokar (Alazemi S, 2013)

1. Menjelaskan prosedur pemasangan pigtail kateter kepada pasien dan

membuat informed consent

2. Memastikan semua peralatan tersedia

3. Memastikan pasien terpantau selama prosedur pemasangan dilakukan

5

1

6

1

7

1

9

1

8

1

Universitas Sumatera Utara

4. Tempatkan pasien dalam posisi berbaring terlentang atau setengah duduk

dengan lengan ipsilateral posisi abduksi maksimal atau diletakkan di

belakang kepala

5. Lakukan tindakan pencegahan untuk mencegah terjadinya kontaminasi

dengan mencuci tangan, penggunaan pakaian steril dan sarung tangan

steril, kacamata pelindung dan masker

6. Buatlah area yang besar dan steril pada kulit pasien menggunakan kain

kasa steril dan larutan klorhexidin 2%

7. Tutupi pasien hingga yang tersisa hanya area yang telah disterilkan.

8. Lakukan tindakan anestesi lokal dengan lidokain 1% atau 2% di kulit

secara infiltrasi dengan jarum mulai dari subkutan, periosteum sampai

pleura parietal.

9. Buat sebuah sayatan kecil

10. Masukkan selang dengan menggunakan trokar hingga menembus pleura.

Arahkan selang ke apikal sambil mendorongnya.

11. Tarik dan cabut trokar secara perlahan.

12. Fiksasi selang dada ke kulit.

13. Hubungkan ke kantung penampung cairan. (gambar 2.11)

gambar 2.12 Pemasangan pigtail kateter dengan teknik trokar (Terra RM, Teixeira LR,

Bibas BJ, et al 2011)

Universitas Sumatera Utara

b. Teknik pemasangan pigtail kateter dengan teknik seldinger (Roberts JR et al,

2014)

Teknik seldinger umum digunakan pada pemasangan selang dada ukuran

kecil.

1. Pigtail kateter yang menggunakan teknik seldinger dan semua peralatan

yang diperlukan termasuk anestesi lokal, jarum untuk identifikasi, pisau

bedah, guide-wire, dan dilator

2. Pertama – tama lakukan anestesi lokal, kemudian masukkan jarum tegak

lurus di atas puncak dari iga ke V hingga cairan teraspirasi.

3. Masukkan guide-wire melalui jarum tadi lalu tarik keluar jarum perlahan.

4. Buat sedikit sayatan di tempat masuknya guide-wire tadi dengan pisau

bedah yang muat untuk dilator dan pigtail kateter

5. Masukkan dilator untuk membuat saluran kateter, kemudian keluarkan

dilator perlahan dan pertahankan guide-wire.

6. Masukkan pigtail kateter melalui saluran yang dibuat dengan dilator

sebelumnya. Dan ini akan membuat bentuk selang yang melingkar di

dalam rongga pleura. (gambar 2.12)

Universitas Sumatera Utara

gambar 2.13 Prosedur pemasangan pigtail kateter dengan teknik seldinger (Roberts JR et al,

2014)

2.10. Evaluasi selang dada

Pemasangan selang dada yang tepat harus dievaluasi segera setelah

prosedur pemasangan selesai dan setelah evakuasi cairan yang memadai. Evaluasi

dilakukan oleh seorang investigator yang terlatih yang diikuti dengan protokol

tetap, mencari potensi terjadinya komplikasi pemasangan selang dada (seperti

gangguan pernapasan, pendarahan, rasa nyeri, dan batuk). (Terra RM et al, 2011)

Foto toraks perlu dilakukan setelah proses pemasangan selang dada untuk

memastikan bahwa posisi selang dada sudah tepat. Untuk kasus efusi pleura

dengan ukuran besar, maka drainase harus dikontrol untuk mencegah re-

expansion pulmonary edema. Kejadian ini jarang terjadi namun hal ini dapat

Universitas Sumatera Utara

berakibat fatal tergantung pada keparahan dan lamanya penyakit yang

menyebabkan kolapsnya paru tersebut. Dianjurkan untuk menjepit selang dengan

klem hingga satu jam setelah evakuasi cairan sebanyak 1 liter. (Singh S Gareebo

S, 2006)

Drainase cairan pleura harus dilakukan sesegera mungkin hingga cairan

terevakuasi sebanyak 1500 mL. Setelah evakuasi cairan, maka harus segera

dilakukan foto toraks atau CT scan untuk memastikan bahwa letak selang dada

sudah pada posisi yang tepat dan untuk mengevaluasi jika terjadi komplikasi

termasuk pneumotoraks. (Yu H, 2011)

2.11. Komplikasi

Komplikasi pemasangan selang dada terdiri dari komplikasi yang terjadi

pada saat prosedur pemasangan dan komplikasi yang timbul setelah selesai

prosedur pemasangan.

a. Komplikasi pada saat pemasangan selang dada

1. Malposisi

Hal ini dapat terjadi jika selang dada ditempatkan terlalu dalam yang

dapat meningkatkan tekanan terhadap pleura sehingga mengiritasi pleura

parietal dan menyebabkan nyeri yang menjalar hingga ke bahu dan punggung

karena. Sebaliknya selang dada yang ditempatkan terlalu dangkal (terletak di

luar rongga toraks) dapat menyebabkan emfisema subkutis terutama pada

kasus pneumotoraks. (Klopp M, 2013)

2. Nyeri

Nyeri dan ketidaknyamanan pada saat pemasangan selang dada

merupakan komplikasi yang sering terjadi. (American Thoracic Society, 2004)

Nyeri dapat terjadi akibat tertekannya persarafan yang terletak pada bagian

atas dari ruang interkosta. (Bediwy AS, Amer HG. 2012) Dokter dapat

mencoba untuk mengurangi rasa nyeri tersebut dengan anastesi lokal. Rasa

tidak nyaman dapat dirasakan sangat berat pada awal pemasangan namun

berangsur-angsur akan berkurang saat selang dada sudah terpasang. (American

Thoracic Society, 2004)

Universitas Sumatera Utara

3. Cedera organ

Cedera pada parenkim paru sangat mungkin terjadi terutama pada

pemasangan selang dada dengan menggunakan trokar yang biasanya

terbuat dari metal. Tertusuknya paru, limpa, hati, jantung, abdomen,

pembuluh darah besar serta diafragma akan berakibat fatal. Resiko untuk

terjadinya cedera organ akan lebih tinggi pada keadaan diafragma tertarik

akibat dari paresis nervus frenikus, pasien dengan obesitas dengan posisi

terlentang dan pada pasien yang pernah menjalani pneumonektomi.

(Klopp M, 2013)

4. Perdarahan

Beberapa perdarahan kecil yang timbul akibat pemasangan selang

dada biasanya akan berhenti dengan sendirinya. Cedera pada arteri

interkosta dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Hal ini dapat

dicegah dengan menggunakan teknik insersi yang benar tepat di atas iga.

Perdarahan yang banyak dan terus menerus mengindikasikan telah terjadi

cedera pada pembuluh darah besar (aorta, vena kava, arteri pulmonal,

jantung)-atau mungkin juga oleh karena hemotoraks yang terjadi karena

trauma atau prosedur operasi.

Cedera diafragma dapat menyebabkan perdarahan yang fatal. Jika

terjadi akut abdomen atau syok hemoragik, maka harus difikirkan

kemungkinan telah terjadi cedera yang sudah melewati diafragma yang

telah sampai ke organ abdomen. (Klopp M, 2013)

b. Komplikasi yang timbul setelah pemasangan selang dada

1. Fistel dan Emfisema Jaringan

Jika terjadi emfisema jaringan, maka harus segera dilakukan

pengecekan posisi selang dada dan pada sambungannya. Fistel Broncho-

pleural yang besar dapat menyebabkan emfisema jaringan, jika selang

dada terlalu kecil. Pada kasus seperti ini, harus digunakan sistem yang

aktif. Jika didapati busa yang berdarah, kemungkinan telah terjadi cedera

parenkim paru yang menyebabkan perdarahan dan kebocoran udara.

Universitas Sumatera Utara

2. Re-expansion Pulmonary Oedema

Unilateral re-expansion pulmonary oedema merupakan kejadian yang

jarang namun dapat berakibat fatal. Pasien yang sangat berisiko untuk

terjadinya hal ini misalnya pasien yang telah mengalami atelektasis total

dalam waktu yang lama dengan pengembangan paru yang sangat cepat.

Gejala klinis yang biasa ditemui pada keadaan ini adalah iritasi

tenggorokan yang berat, sputum berwarna merah terang, takipnu dan

takikardi. Pada foto toraks akan tampak gambaran edema paru unilateral

yang dapat terjadi dalam waktu 24 jam setelah paru kembang.

3. Infeksi pada luka tempat pemasangan dan empiema

Pada tempat pemasangan selang dada dapat terjadi infeksi lokal. Pada

kebanyakan kasus, penanganan konservatif sudah cukup memadai. Pada

prosedur pemasangan selang dada yang dilakukan secara steril ke dalam

rongga pleura yang steril, empiema diharapkan tidak akan terjadi. Hanya

pada pasien dengan faktor risiko dan komorbid untuk terjadinya infeksi

diperlukan pemberian antibiotik profilaksis. (Klopp M, 2013)

Pada saat pemasangan, bakteri dapat masuk melalui selang dada dan

menyebabkan infeksi di sekitar paru. Semakin lama selang dada terpasang,

maka semakin besar risiko untuk terjadinya infeksi. Risiko infeksi dapat

dikurangi dengan pemakaian perban khusus pada kulit tempat lubang

untuk selang dada terpasang. (American Thoracic Society, 2004)

4. Pneumotoraks

Pneumotoraks yang dimaksud di sini adalah terdapatnya udara

dalam rongga pleura akibat dari prosedur pemasangan selang dada.

5. Kingking

Kingking adalah keadaan di mana selang dada tertekuk.

6. Blockage

Tersumbatnya selang dada yang biasanya oleh karena fibrin-fibrin atau

bekuan darah.

7. Tercabutnya selang dada

Keadaan di mana selang dada tercabut tanpa sengaja (Kim IS, 2013)

Universitas Sumatera Utara

2.12. Indikator keberhasilan

Tindakan pemasangan selang dada dianggap berhasil jika gambaran opak

menghilang pada foto toraks dan dikonfirmasi pada USG toraks dan juga jika

tidak ada kebutuhan untuk intervensi kedua (pengulangan pemasangan selang

dada atau operasi) dalam waktu 72 jam setelah pencabutan selang dada. (Bediwy

AS, Amer HG. 2012)

Keberhasilan drainase menggunakan pigtail kateter didefinisikan sebagai

adanya perbaikan pada penyakit pleura berdasarkan foto toraks ataupun

ultrasonografi dan atau adanya perbaikan secara klinis tanpa memerlukan drainase

lebih lanjut atau pemasangan large-bore kateter. Sedangkan kegagalan dari

drainase menggunakan pigtail kateter didefinisikan sebagai terjadinya perburukan

atau tidak adanya perbaikan klinis dan temuan laboratorium yang berhubungan

dengan penyakit pleura atau memerlukan drainase lebih lanjut, pemasangan large-

bore kateter atau bahkan operasi. (Liu YH et al, 2010)

2.13. Indikasi pelepasan selang dada

Waktu untuk dilakukannya pencabutan selang dada bergantung pada

indikasi pemasangannya dan perbaikan klinis pasien. Secara umum, selang dada

dapat dicabut ketika tidak ada lagi indikasi untuk selang dada dipertahankan. Pada

kasus pneumotoraks, selang dada dicabut saat paru sudah kembang sempurna

dengan tidak ada bukti kebocoran udara. Pada kasus efusi pleura, selang dada

dapat dicabut saat paru sudah kembang sempurna dan produksi cairan harian

sudah kurang dari 100-200 ml/hari. (Alazemi s, 2013) Selain itu pada kasus efusi

pleura selang dapat dicabut jika cairan sudah berwarna serous (pada empiema)

dan pada gambaran foto toraks tampak paru sudah kembang sempurna. (Dev PS et

al, 2007)

Universitas Sumatera Utara

2.14. Kerangka teori

Keterangan

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

Gambar 2.14 Kerangka teori

Peningkatan

tekanan

hidrostatik

Penurunan

tekanan

onkotik

Peningkatan

tekanan

negatif di rongga pleura

Pemisahan

kedua

permukaan

pleura

Peningkatan

permeabilitas

pembuluh darah

Gangguan

drainase

limfatik pleura

Perembesan

cairan asites

Efusi pleura

Menekan pleura

Ekspansi paru inadekuat

Sesak napas

Pemasangan selang dada Torakosentesis

Pigtail kateter Large bore

kateter

Universitas Sumatera Utara

2.15. Kerangka konsep

Keterangan

= variabel bebas

= variabel terikat

Gambar 2.15 Kerangka konsep

Pasien efusi pleura

moderate s/d

masif

Large bore

kateter

Pemasangan selang dada

Durasi drainase

Pigtail kateter

Universitas Sumatera Utara