repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 58347... bab 2 tinjauan pustaka 2.1....

20
5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persalinan Prematur 2.1.1. Definisi Persalinan Prematur Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu (Alston, 2012). Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013) membagi persalinan prematur menjadi tiga kategori berdasarkan umur kehamilan, yaitu: a. extremely preterm bila kurang dari 28 minggu b. very preterm bila kurang dari 32 minggu c. moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu 2.1.2. Patogenesis Persalinan Prematur Persalinan prematur dapat terjadi secara spontan atau karena ada indikasi. Persalinan prematur secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban yang masih intak atau karena ketuban pecah dini (preterm premature rupture of fetal membranes). Persalinan prematur atas indikasi bisa tejadi karena kondisi yang terjadi pada ibu ataupun janin. Kondisi pada ibu yang sering menginduksi adalah kejadian preeklampsia, plasenta previa sedangkan pada janin adalah karena pertumbuhan janin terhambat. Namun, kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur yang terjadi, 25% terjadi atas indikasi dan 75% terjadi secara spontan dimana 45% dengan selaput ketuban yang masih intak dan 30% dengan kasus ketuban pecah dini (Romero, 2007). Proses persalinan aterm dan prematur pada dasarnya adalah sama, perbedaannya hanya pada usia kehamilan. Mekanisme umum persalinan yaitu adanya kontraksi uterus, pendataran serviks, dan ketuban pecah. Perbedaan yang paling mendasar antara persalinan aterm dan prematur adalah persalinan aterm terjadi sebagai hasil proses fisiologis dari mekanisme umum persalinan sedangkan Universitas Sumatera Utara

Upload: others

Post on 25-Feb-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5  

  

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Persalinan Prematur

2.1.1. Definisi Persalinan Prematur

Persalinan prematur adalah persalinan yang terjadi sebelum usia

kehamilan 37 minggu (Alston, 2012).

Organisasi Kesehatan Dunia yaitu WHO (2013) membagi persalinan

prematur menjadi tiga kategori berdasarkan umur kehamilan, yaitu:

a. extremely preterm bila kurang dari 28 minggu

b. very preterm bila kurang dari 32 minggu

c. moderate to late preterm antara 32 dan 37 minggu

2.1.2. Patogenesis Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat terjadi secara spontan atau karena ada indikasi.

Persalinan prematur secara spontan dapat terjadi pada selaput ketuban yang masih

intak atau karena ketuban pecah dini (preterm premature rupture of fetal

membranes). Persalinan prematur atas indikasi bisa tejadi karena kondisi yang

terjadi pada ibu ataupun janin. Kondisi pada ibu yang sering menginduksi adalah

kejadian preeklampsia, plasenta previa sedangkan pada janin adalah karena

pertumbuhan janin terhambat. Namun, kedua kondisi ini dapat terjadi secara

bersamaan. Dari semua kasus persalinan prematur yang terjadi, 25% terjadi atas

indikasi dan 75% terjadi secara spontan dimana 45% dengan selaput ketuban yang

masih intak dan 30% dengan kasus ketuban pecah dini (Romero, 2007).

Proses persalinan aterm dan prematur pada dasarnya adalah sama,

perbedaannya hanya pada usia kehamilan. Mekanisme umum persalinan yaitu

adanya kontraksi uterus, pendataran serviks, dan ketuban pecah. Perbedaan yang

paling mendasar antara persalinan aterm dan prematur adalah persalinan aterm

terjadi sebagai hasil proses fisiologis dari mekanisme umum persalinan sedangkan

Universitas Sumatera Utara

6  

  

persalinan prematur sebagai hasil proses patologis yang mengaktifkan salah satu

atau lebih komponen dari mekanisme umum persalinan (Romero, 2007)

Mekanisme umum persalinan pada persalinan aterm ataupun prematur

melibatkan psoses anatomik, biokimia, imunologi, endokrin, dan hal klinis pada

ibu dan janin. Banyak klinisi lebih menekankan pada komponen uterus meliputi

kontraksi miometrium, dilatasi serviks, dan pecahnya ketuban. Namun, dapat

terjadi perubahan sistemik seperti peningkatan kadar Corticotropin Releasinng

Hormone (CRH) di plasma (Romero, 2007).

Keseluruhan aktivasi mekanisme persalinan dipicu oleh suatu sinyal.

Prostaglandin dipertimbangkan sebagai kunci dalam onset persalinan karena dapat

memicu kontraksi miometrium, perubahan matrix ekstraselular yang berhubungan

dengan pendataran serviks dan aktivasi membran desidua (Romero, 2007).

Reseptor Prostaglandin di fundus

Gambar 2.1 Mekanisme biokimia dalam persalinan umum

Sumber: Romero dan Lockwood

PG

RP-A/RP-B

RE-α

Perubahan serviks KPD Kontraksi

MMPs dan IL-8

Reseptor Oksitosin, COX-2

Ca ++ 

Universitas Sumatera Utara

7  

  

PG : Prostaglandin RE-α : Resepor Estrogen

RP-A: Reseptor Prostaglandin-A MMPs : Metaloproteinisasi

RP-B : Reseptor Prostaglandin-B IL-8 : Interleukin-8

Infeksi merupakan salah satu penyebab persalinan prematur.

Mikroorganisme ataupun produk yang dihasilkan dapat memicu inflamasi pada

cairan amnion dan korioamnion (Cunningham et al, 2004).

Penelitian menunjukkan bahwa 25%-40% kasus persalinan prematur

karena infeksi. Microbial invasion of the amniotic cavity (MIAC) terdapat pada

12,8% wanita yang mengalami persalinan prematur dengan selaput ketuban yang

masih intak dan 32% pada persalinan prematur dengan ketuban pecah dini.

Mikroorganisme yang paling sering ditemui di cairan amnion adalah mikoplasma

dari daerah genitalia (Romero, 2007).

Gambar 2.2 Jalur infeksi intrauterin

Sumber: Romero dan Lockwood

Universitas Sumatera Utara

8  

  

Tahap 1: Perubahan flora normal di vagina/serviks

Tahap 2: Mikroorganisme berada di antara korion dan amnion

Tahap 3: Infeksi intraamnion

Tahap 4: Invasi fetus

Menurut Prawirohardjo (2011), kasus persalinan prematur dapat terjadi

sebagai akibat proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang

mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu:

1. Aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu maupun

janin, akibat stress pada ibu atau janin.

2. Inflamasi desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi asendens dari

traktus genitourinaria atau infeksi sistemik.

3. Perdarahan desidua

4. Peregangan uterus patologik

5. Kelainan pada uterus atau serviks

2.1.3. Penyebab Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat disebabkan oleh banyak faktor. Cunningham,

et.al., (2004) menyatakan bahwa penyebab persalinan prematur dapat dibagi

menjadi:

1. Komplikasi medis dan obstetrik

Kurang lebih 1/3 dari kejadian persalinan prematur disebabkan oleh hal-

hal yang berkaitan dengan komplikasi medis atau obstetrik tertentu misalnya

pada kasus-kasus perdarahan antepartum atau hipertensi dalam kehamilan

yang sebagian besar memerlukan tindakan terminasi saat kehamilan preterm.

Akan tetapi, 2/3 dari kejadian persalinan prematur tidak diketahui secara jelas

penyebabnya karena persalinan prematur pada kelompok ini terjadi persalinan

yang spontan atau idiopatik (Feryanto, 2011).

2. Faktor gaya hidup

Perilaku seperti merokok, gizi buruk, penambahan berat badan yang

kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti kokain atau

Universitas Sumatera Utara

9  

  

alkohol telah dilaporkan memainkan peranan penting pada kejadian prematur

dan hasil akhir bayi dengan berat lahir rendah (Cunningham et al, 2004).

Penyalahgunaan alkohol tidak hanya dikaitkan dengan kelahiran prematur

melainkan dengan peningkatan cedera otak pada bayi yang lahir prematur.

Konsumsi alkohol yang berlebihan selama kehamilan dapat memengaruhi

perkembangan fetus dan harapan hidup neonatus. Wanita yang mengonsumsi

alkohol lebih dari satu gelas per hari dapat meningkatkan risiko persalinan

prematur sementara jika mengosumsi akohol kurang dari 4 gelas tiap miggu

tidak memberikan efek meningkatkan risiko persalinan premature (Offiah,

Donoghue, dan Kenny, 2012).

Faktor usia juga diduga berhubungan dengan kejadian persalinan

prematur. Wanita usia muda cenderung mempunyai pasangan seksual yang

lebih banyak dan infeksi pada vagina, sementara wanita usia yang lebih tua

cenderung mengalami kontaksi uterus yang irregular, seperti mioma

(Chalermchockcharoenkit, 2002).

3. Faktor genetik

Kelahiran prematur juga diduga sebagai suatu proses yang terjadi secara

familial karena sifat persalinan prematur yang berulang dan prevalensinya

yang berbeda-beda antar ras (Cunningham et al, 2004).

4. Infeksi cairan amnion dan korion

Infeksi koriamnion yang disebabkan oleh berbagai mikroorganisme telah

muncul sebagai penyebab kasus pecah ketuban dini dan persalinan prematur.

Proses persalinan aterm diawali dengan aktivasi dari fosfolipase A2 (PLA-2)

yang melepaskan bahan asam arakidonat dari selaput amnion janin sehingga

meningkatkan penyediaan asam arakidonat benas untuk sintesis prostaglandin.

Banyak mikroorganisme yang menghasilkan fosfolipase A2 sehingga

mencetuskan persalinan prematur. Endotoksin bakteri (liposakarida) dalam

cairan amnion merangsang sel desidua untuk memproduksi sitokin dan

prostaglandin yang memicu persalinan (Cunningham, 2004). Drife dan

Magowan dalam Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa proses persalinan

prematur yang dikaitkan dengan infeksi diperkirakan diawali dengan

Universitas Sumatera Utara

10  

  

pengeluaran produk sebagai hasil dari aktivasi monosit. Berbagai sitokin

termasuk interleukin-1, tumor nekrosing faktor (TNF), dan interleukin 6

adalah produk sekretorik yang dikaitkan dengan persalinan prematur.

Sementara itu, Platelet Activating Factor (PAF) yang ditemukan dalam air

ketuban terlibat secara sinergik pada aktivasi jalinan sitokin tadi. PAF diduga

dihasilkan dari paru dan ginjal janin. Dengan demikian janin memerankan

peran sinergik dalam mengawali proses persalinan prematur yang disebabkan

oleh infeksi. Bakteri sendiri mungkin menyebabkan kerusakan membran

melalui pengaruh langsung dari protease.

Sedangkan Prawirohardjo (2011) menyatakan bahwa kondisi yang terjadi

selama kehamilan dapat berisiko terhadap kejadian persalinan prematur yang

dibagi dalam dua faktor, yaitu:

1. Janin dan plasenta

a. perdarahan trimester awal

b. perdarahan antepartum (plasenta previa, solution plasenta, vasa previa)

c. ketuban pecah dini (KPD)

d. pertumbuhan janin terhambat

e. cacat bawaan janin

f. kehamilan ganda/gemeli

g. polihidramnion

2. Ibu

a. penyakit berat pada ibu

b. diabetes mellitus

c. preeklamsia/hipertensi

d. infeksi saluran kemih/genital/intrauterin

e. penyakit infeksi dengan demam

f. stress psikologik

g. kelainan bentuk uterus/serviks

h. riwayat persalinan prematur/abortus berulang

i. inkompetensia serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)

j. pemakaian obat narkotik

Universitas Sumatera Utara

11  

  

k. trauma perokok berat

l. kelainan imunologik/kelainan resus

2.1.4. Dampak Persalinan Prematur

Permasalahan pada persalinan prematur bukan saja pada kematian

perinatal, melainkan bayi prematur sering disertai kelainan, baik kelainan jangka

pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek yang sering terjadi

adalah: RDS (Respiratory Distress Syndrome), perdarahan intra/periventrikular,

NEC(Necrotizing Entero Cilitis), displasi bronko-pulmoner, sepsis, dan paten

duktus arteriosus. Adapun kelainan jangka panjang sering berupa serebral palsi,

retinopati, retardasi mental, juga dapat berupa disfungsi neurobehavioral dan

prestasi sekolah yang kurang baik (Prawirohardjo, 2011).

Bayi yang lahir sebelum 32 minggu memiliki risiko yang sangat besar

akan kematian dan kesehatan yang buruk di masa kehidupannya, begitu juga

dengan bayi yang lahir di antara 32 sampai 36 minggu masih tetap memiliki

masalah kesehatan dan perkembangan dibandingkan bayi yang dilahirkan cukup

bulan (Institute of Medicine, 2006).

Komplikasi pada persalinan prematur terjadi karena sistem organ yang

masih imatur yang masih belum siap untuk mendukung kehidupan di lingkungan

ekstrauterin. Inflamasi dan pengeluaran sitokin yang mencetuskan parsalinan

prematur diduga sebagai patogenesis chronic lung disease, NEC(Necrotizing

Entero Cilitis), ROP(Rethinopathy of Prematurity), dan kerusakan pada brain

white matter ( Behrman dan Butler, 2007).

2.1.5. Diagnosis Persalinan Prematur

Diagnosis persalinan prematur adalah salah satu hal yang sulit. Diagnosis

persalinan prematur didasarkan pada pemeriksaan klinis dari kontraksi uterus dan

perubahan seviks. Keadaan yang lebih sulit adalah ketika pasien mengalami

kontraksi yang regular tetapi dengan dilatasi serviks yang minimal. Bila pasien

dengan usia kehamilan di bawah 37 minggu, kontraksi uterus yang regular dengan

Universitas Sumatera Utara

12  

  

dilatasi serviks 3 cm dan penipisan 80%, dipertimbangkan mengalami persalinan

prematur tanpa menunggu perubahan serviks (Chalermchockcharoenkit, 2002).

Menurut Prawirohardjo (2011), sering terjadi kesulitan dalam menentukan

diagnosis ancaman persalinan prematur. Tidak jarang kontraksi yang timbul pada

kehamilan tidak benar-benar merupakan ancaman proses persalinan. Beberapa

kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman persalinan prematur, yaitu:

a. kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8 menit sekali atau 2-3 kali

dalam waktu 10 menit

b. adanya nyeri pada punggung bawah (low back pain)

c. perdarahan bercak

d. perasaan menekan pada daerah serviks

e. pemeriksaan serviks menunjukkan telah terjadi pembukaan sedikitnya

2 cm dan penipisan 50-80%

f. presentasi janin rendah sampai mencapai spina isiadika

g. selaput ketuban pecah dapat merupakan tanda awal terjadinya

persalinan prematur

h. terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu

Menurut Prawirohardjo (2011), beberapa indikator dapat dipakai untuk

meramalkan terjadinya persalinan prematur, yaitu sebagai berikut:

1. Indikator klinik

Indikator klinik yang dapat dijumpai seperti timbulnya kontraksi dan

pemendekan serviks (secara manual maupun ultrasonografi). Terjadinya ketuban

pecah dini juga meramalkan akan terjadinya persalinan prematur.

2. Indikator laboratorik

Beberapa indikator laboratorik yang bermakna antara lain adalah jumlah

leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7 mg/ml),

dan pemeriksaan leukosit dalam serum ibu (>13.000/ml)

3. Indikator biokimia

a. Fibronektin janin: peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina,

serviks, dan air ketuban memberikan indikasi adanya gangguan pada

hubungan antar korion dan desidua. Pada kehamilan 24 minggu atau

Universitas Sumatera Utara

13  

  

lebih, kadar fibronektin janin 50ng/ml atau lebih mengindikasikan

risiko persalianan prematur.

b. Corticotropin Releasing Hormone (CRH): peningkatan CRH dini atau

pada trimester 2 merupakan indikator kuat untyk terjadinya persalinan

premature.

c. Sitokin inflamasi: pada keadaan normal (tidak hamil) kadar isoferitin

sebanyak 10 U/ml. Kadarnya meningkat secara bermakna selama

kehamilan dan mencapai puncak pada trimester akhir yaitu 54,8±53

U/ml. Penurunan kadar dalam serum akan berisiko terjadinya

persalinan prematur.

d. Feritin: Rendahnya kadar feritin merupakan indikator yang sensitive

untuk keadaan kurang zat besi. Peningkatan ekspresi feritin berkaitan

dengan berbagai keadaan fase akut termasuk kondisi inflamasi.

Beberapa peneliti menyatakan ada hubungan antara peningkatan kadar

feritin dan kejadian penyulit kehamilan, termasuk persalinan prematur.

2.1.6. Pengelolaan Persalinan Prematur

Tujuan utama pengelolaan persalinan prematur adalah sebagai berikut:

a. Menghambat atau mengurangi kekuatan dan kontraksi uterus untuk menunda

proses persalinan.

b. Untuk meningkatkan kualitas janin sebelum dilahirkan

c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal (Goldenberg, 2002)

Prinsip pengelolaan persalinan prematur bergantung pada:

a. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak dihambat bilamana

selaput ketuban sudah pecah.

b. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4

cm.

c. Umur kehamilan. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan

makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila

TBJ > 2.000 atau kehamilan > 34 minggu.

d. Penyebab/komplikasi persalinan prematur

Universitas Sumatera Utara

14  

  

e. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

f. Ada atau tidaknya gejala klinis dari infeksi intrauterin

g. Ada atau tidaknya pertanda-pertanda yang meramalkan persalinan dalam

waktu yang singkat ini (Prawirohardjo, 2001)

Pengelolaan pada kasus persalinan prematur dengan ketuban yang masih

intak dimana tidak didapatkan bahaya pada ibu dan janin maka pengelolaannya

adalah konservatif, yang meliputi:

a. Menunda persalinan prematur dengan tirah baring dan pemberian obat-obat

tokolitik.

b. Memberikan obat-obat untuk pematangan paru janin.

c. Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko infeksi perinatal.

d. Merencanakan cara persalinan prematur yang aman dan dengan trauma yang

minimal.

e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi

prematur (Fadlun dan Feryanto, 2013).

Menurut Goldenberg (2002), pengelolaan persalinan prematur dapat

mencakup:

1. Tirah Baring

Tirah baring adalah salah satu intervensi yang digunakan sebagai pencegahan

atau pengobatan pada persalinan prematur yang mengancam.

2. Hidrasi/Sedasi

Alasan diberikannya hidrasi adalah karena wanita dengan risiko persalinan

prematur memiliki volume plasma di bawah normal. Namun, pemberian hidrasi

ataupun sedasi masih belum memilki data yang mendukung. Hidrasi ataupun

sedasi belum memperlihatkan efek menurunkan kejadian persalinan prematur.

3. Progesteron

Adanya hipotesis persalinan prematur karena progesterone withdrawal, maka

salah satu pencegahan ataupun pengobatan persalinan prematur adalah dengan

Universitas Sumatera Utara

15  

  

pemberian progesteron. Namun, penggunaan progersteron ini belum berhasil

menghentikan persalinan prematur.

4. Tokolisis

Pemberian tokolisis untuk menghambat persalinan masih belum efektif.

Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila dijumpai kontraksi

uterus yang regular dengan perubahan serviks. Alasan pemberian tokolisis dalam

pengelolaan persalinan prematur adalah:

Mencegah mortalitas dan morbiditas bayi prematur

Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan

paru janin

Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengap

Beberapa jenis obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis adalah:

a. Obat β-mimetik

Ada tiga reseptor β mimetik di tubuh manusia. β1 di jantung, usus halas, dan

jaringan adiposit, β2 di uterus, β3 di jaringan lemak coklat. Stimulasi di reseptor β2

menyebabkan relaksasi otot polos uterus. Contoh obat β2 selektif adalah ritrodin

dan terbutalin.

b. Sulfas magnesikus

Sulfas magnesikus belum efektif dalam menghentikan persalinan prematur.

Kontraindikasi absolut dalam pemberian sulfas magnesikus adalah miastenia

gravis dan blokade jantung. Kontraindikasi relatif adalah penyakit ginjal dan

infark miokardial. Walaupun terdapat efek samping pada ibu dan janin, sulfas

magnesikus masih kurang berbahaya dibandingkan obat β-mimetik. Oleh karena

itu, banyak tim medis yang menggunakan obat ini sebagai obat tokolisis utama.

c. Prostaglandin Synthetase Inhibitors

Contoh obatnya adalah indometasin. Namun, penggunaan ini tidak bnayak

dilakukan karena efek samping pada ibu dan janin.

d. Calcium Channel Blockers

Calcium Channel Blockers adalah obat untuk mengurangi masuknya kalsium

sehingga dapat mengontrol kontraktilitas otot dan aktivitas pacemaker di jantung

Universitas Sumatera Utara

16  

  

dan jaringan uterus. Obat yang digunakan adalah nifedipin. Nifedipin dilaporkan

dapat memperpanjang usia kehamilan dibandingkan ritrodin atau plasebo.

Nifedipin juga sama efektifnya dengan sulfas magnesikus dalam menunda

persalinan. Kontraindikasi dalam menggunakan Nifedipin adalah hipotensi, gagal

jantung, dan stenosis aorta. Efek samping pada ibu dalam penggunaan Nifedipin

adalah sebagai hasil vasodilatasi pembuluh darah yaitu sakit kepala dan edema

perifer. Efek samping untuk janin masih perlu diteliti lebih lanjut. Penggunaan

Nifedipin sebagai tokolisis yang lebih baik daripada sulfas magnesikus masih

memilki bukti yang sedikit.

5. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kejadian Respiratory Distress

Syndrome (RDS) sehingga dapat menurunkan morbiditas perinatal pada nonatus

yang lahir sebelum usia 34 minggu. Efek ini diperolah hanya pada persalinan yang

terjadi lebih dari 24 jam setelah pemberian dosis pertama dan sebelum 7 hari. Ibu

hamil yang berada pada usia kehamilan antara 23 dan 34 minggu yang berisiko

mengalami persalinan prematur sebaiknya diberikan kortikosteroid. Pada pasien

yang megalami ketuban pecah dini, kortikosteroid direkomendasikan untuk diberi

pada kehamilan 30-32 minggu.

Kortikosterid yang paling sering digunakan adalah:

Betametason : 2 x 12 mg intramuskular dengan jarak pemberian 24 jam

Deksametason : 4 x 6 mg intravena dengan jarak pemberian 6 jam

Betametason dilaporkan lebih efektif dalam menurunkan perdarahan

intraventrikular dibandingkan dengan deksametason.

6. Antibiotika

Antibiotika diberikan hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko

terjadinya infeksi, seperti ketuban pecah dini. Obat diberikan per oral, yang

dianjurkan adalah eritromisin 3 x 500 mg selama 3 hari. Obat pilihan lain adalah

ampisilin 3 x 500 mg selama tiga hari atau antibiotka lain klinsdamisin

Universitas Sumatera Utara

17  

  

5. Proses persalinan

Pada kasus yang melahirkan di usia 24 minggu, sebaiknya melakukan operasi

sesar.

2.2 Hemoglobin

2.2.1. Pengertian Hemoglobin

Hemoglobin suatu pigmen (yang berwarna secara alami) yang terdapat

dalam sel darah merah. Molekul hemoglobin memiliki dua bagian:

1. bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari empat rantai polipeptida

yang sangat berlipat-lipat

2. empat gugus nonprotein yang mengandung besi yang dikenal sebagai gugus

hem, dengan masing-masing terikat ke salah satu polipeptida di atas

(Sherwood, 2011)

Gambar 2.3 Struktur Hemoglobin

Sumber: Barrett, et al., 2010

Hemoglobin dibentuk melalui proses kimiawi, yaitu sebagai berikut:

1. Suksinil-KoA dibentuk melalui siklus krebs di mitokondria.

2. Suksinil-KoA bergabung dengan glisin membentuk molekul pirol.

Universitas Sumatera Utara

18  

  

3. Empat molekul pirol bergabung menjadi protoporfirinogen IX.

4. Protoporfirinogen IX bergabung dengan besi membentuk molekul hem.

5. Masing-masing molekul hem bergabung dengan rantai polipeptida panjang,

yaitu globin yang disintesis di ribosom membentuk sebuah subunit

hemoglobin yang disebut rantai hemoglobin (Guyton dan Hall, 2006).

Gambar 2.4 Pembentukan Hemoglobin

Sumber: Guyton dan Hall, 2006

Masing-masing dari keempat atom besi dapat berikatan secara reversibel

dengan satu molekul O2; karena itu, setiap molekul hemoglobin dapat mengambil

empat O2 di paru. Karena O2 tidak mudah larut dalam plasma, maka 98,5% yang

terangkut dalam darah terikat ke hemoglobin. Karena kandungan besinya, maka

hemoglobin tampak kemerahan jika berikatan dengan O2 dan keunguan jika

mengalami deoksigenasi. Oleh karena itu, darah arteri yang teroksigenasi penuh

akan berwarna merah dan darah yang telah kehilangan O2 –nya di tingkat jaringan

berwarna kebiruan (Sherwood, 2011).

Selain mengangkut O2, hemoglobin juga dapat berikatan dengan yang

berikut :

Universitas Sumatera Utara

19  

  

1. karbon dioksida (CO2) . Hemoglobin membantu mengangkat CO2 dari sel

jaringan kembali ke paru

2. bagian ion hydrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang

dihasilkan di tingkat jaringan dari CO2. Hemoglobin menyangga asam ini

sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan pH darah

3. karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat dalam

darah, tetapi jika terhidup maka gas ini cenderung menempati bagian

hemoglobin yang berikatan dengan O2 sehingga terjadi keracunan CO

4. nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator berikatan .

dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat zat ini

melemaskan dan melebarkan arteriol local. Vasodilator ini menjamin bahwa

darah kaya O2 dapat mengalir dengan lancar dan juga membantu menstabilkan

tekanan darah.

Karena itu, hemoglobin berperan kunci dalam transport O2 sekaligus

memberi kontribusi signifikan pada transport CO2 dan kemampuan darah

menyangga pH. Selain itu, dengan mengangkut vasodilatornya sendiri,

hemoglobin membantu menyalurkan O2 yang dibawanya (Sherwood, 2011).

Ada tiga jenis hemoglobin, yaitu:

1. HbA merupakan kebanyakan dari hemoglobin orang dewasa, mempunyai

rantai 2α dan 2β

2. HbA2 merupakan minoritas hemoglobin orang dewasa, mempunyai rantai

globin 2α dan 2δ

3. HbF merupakan hemoglobin fetal yang mempunyai rantai globin 2α dan 2γ.

Saat bayi lahir 2/3 nya adalah jenis hemoglobinnya adalah HbF dan 1/3 nya

adalah HbA. (Hinchliff 1996 dalam Wasnidar 2006).

2.2.2. Manfaat Pemeriksaan Hemoglobin pada Ibu Hamil

Menurut Wasindar (2007) dalam Munaidy (2010), manfaat dilalukakan

pemeriksaan hemoglobin pada ibu hamil adalah :

1. mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan

2. mencegah terjadinya berat bayi lahir rendah (BBLR)

Universitas Sumatera Utara

20  

  

3. memenuhi cadangan zat besi yang kurang

2.2.3. Waktu Pemeriksaan Hemoglobin pada Ibu Hamil

Menurut Manuaba (1998) dalam Munaidy (2010), pemeriksaan

hemoglobin(Hb) dapat dilakukan dengan menggunakan cara sahli dan

sianmethemoglobin, dilakukan 2 kali selama kehamilan yaitu:

1. trimester I (umur kehamilan sebelum 12 minggu)

2. trimester III(umur kehamilan 28 sampai 36 minggu)

Hasil pemeriksaan hemoglobin dapat digolongkan sebagai berikut: Hb 11gr%:

tidak anemia; Hb 9-10,9gr%: anemia ringan; Hb 7,0gr%-8,9gr%: anemia sedang;

Hb <7,0gr%: anemia berat.

2.3. Anemia dalam Kehamilan

2.3.1. Definisi dan Kriteria Anemia

Anemia, sebagai hasil pengukuran rendahnya hemoglobin telah

mempengaruhi seperempat penduduk dunia. Anemia paling banyak terjadi pada

anak usia sebelum sekolah (47,4%), wanita usia reproduktif (30,2%), dan wanita

hamil (41,8%) (Scholl, 2011).

Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi pengurangan jumlah sel darah

merah sehingga tidak mampu memenuhi fungsinya sebagai pembawa oksigen ke

seluruh jaringan tubuh (WHO, 2011).

Menurut Bakta (2009), parameter penurunan jumlah massa adalah sel

darah merah adalah hemoglobin, hematokrit, dan hitung retikulosit. Umumnya,

ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Namun, parameter yang paling

banyak digunakan adalah kadar hemoglobin dan yang kedua adalah retikulosit.

Menurut WHO (1968), wanita hamil dikatakan anemia jika hemoglobin <

11 gr/dl. Derajat anemia pada ibu hamil, yaitu:

1. Ringan : Hb 10 gr/dl - 10.9 gr/dl

2. Sedang : Hb 7 gr/dl - 9,9 gr/dl

3. Berat : Hb <7 gr/dl

Universitas Sumatera Utara

21  

  

2.3.2. Etiologi Anemia

Etiologi anemia adalah multifaktorial, meliputi hemoglobinopati, infeksi

akut, inflamasi kronik, dan ganguan nutrisi yang buruk seperti kekurangan asam

folat, vitamin B12, vitamin A, dan besi. Defisensi besi merupakan gangguan

nutrisi terbanyak penyebab anemia (Scholl, 2011).

Pada ibu hamil, penyebab tersering anemia adalah karena asupan gizi yang

sangat kurang dimana yang terbanyak defisiensi besi (80%) dan defisiensi asam

folat (Tarwoto dan Wasnidar, 2007).

2.3.3. Klasifikasi Anemia

Menurut Tarwoto dan Wasnidar (2007), anemia tersering dalam kehamilan

yaitu:

1. Anemia defisiensi besi

Anemia defisiensi besi disebabkan karena kekurangan asupan besi dalam gizi

atau akibat perdarahan dan peningkatan kebutuhan.Selama kehamilan,

kebutuhan akan zat besi meningkat menjadi 1000 mg. 350 mg untuk

pertumbuhan janin dan plasenta, 500 mg berhubungan dengan ekpansi sel

darah merah, dan 250 mg hilang bersama darah saat proses persalinan (Scholl,

2011).

2. Anemia defisiensi asam folat

Asam folat merupakan satu-satunya vitamin yang dibutuhkan selama hamil.

Pada wanita hamil, kebutuhan asam folat meningkat menjadi 200-400

mg/hari. Peningkatan kebutuhan ini diakibatkan meningkatnya sintesis

jaringan pada ibu dan janinnya. Normalnya kadar serum folat ibu hamil > 6

ng/ml jika kurang dari 2 ng/ml indikasi anemia. Pada anemia defisiensi asam

folat, karakteristik sel darah merah lebih besar dan tidak matur, sehingga

disebut megaloblastis.

Universitas Sumatera Utara

22  

  

3. Anemia sel sabit

Selama kehamilan, anemia sel sabit disertai dengan peningkatan insidens

pielonefritis, infark pulmonal, pneumonia, perdarahan ante partum,

prematuritas, dan kematian janin.

2.3.4. Dampak Anemia pada Kehamilan

Anemia pada kehamilan memberikan efek yang buruk terhadap ibu

maupun janin. Anemia dapat mengakibatkan kematian ibu, kematian perinatal,

persalinan prematur, dan berat bayi lahir rendah ( Sukrat et.al., 2013).

Menurut Feryanto dan Fadlun (2013), dampak anemia pada kehamilan

adalah:

1. Abortus, lahir prematur, lamanya waktu partus karena kurang daya dorong

rahim, perdarahan postpartum, rentan infeksi, rawan dekompensasi kordis

pada penderita dengan Hb < 4 gr/dl.

2. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok bahkan kematian ibu saat

persalinan meskipun tidak disertai pendarahan.

3. Kematian bayi dalam kandungan, kematian bayi pada usia sangat muda, serta

cacat bawaan.

2.4. Hubungan Kadar Hemoglobin Ibu Hamil dengan Persalinan Prematur

Persalinan prematur dapat terjadi karena berbagai hal, meliputi infeksi

maternal, hipoksia, dan stress oksidatif. Hemoglobin yang rendah dapat

menyebabkan hipoksia kronik yang dapat mencetuskan stres maternal dan janin.

Adanya respon stres ini akan memicu pelepasan kortisol. Kortisol akan

mengaktifkan axis hipotalamus-hipofisis-adrenal maternal ataupun janin (Zhang et

al., 2009)

Universitas Sumatera Utara

23  

  

Gambar 2.5 Axis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal-Plasenta Janin

Sumber: Romero dan Lockwood

Gambar 2.6 Stres memicu persalinan prematur

Sumber: Romero dan Lockwood

Melalui axis hipotalamus-hipofisis-adrenal janin, maka Corticotropin

Releasing Hormone (CRH) akan terbentuk lebih banyak. CRH memegang

Universitas Sumatera Utara

24  

  

peranan dalam jalur persalinan secara umum. Mekanisme CRH dalam memicu

persalinan yaitu:

1. Meningkatkan prostglandin E2 (PGE2) melalui korion, amnion dan plasenta.

2. Meningkatkan prostaglandin 2α (PG2α) melalui amnion, plasenta, dan

desidua.

3. Stimulasi adrenocorticotropin (ACTH) dari kelanjar pituitari.

4. Mengiduksi adrenal janin untuk membentuk DHEAS dimana DHEAS sebagai

sumber untuk estrogen yang dapat meningkatkan reseptor oksitosin dan

reseptor prostaglandin.

Semua mekanisme ini akan menyebabkan pendataran serviks, kontraksi

miometrium, dan ketuban pecah dini sehingga akan menginduksi persalinan

prematur (Romero dan Lockwood).

Menurut Zhang et al. (2009), persalinan prematur spontanlah yang

berhubungan dengan kadar hemoglobin pada ibu hamil. Persalinan prematur atas

indikasi tidak ada kaitannya dengan kadar hemoglobin ibu hamil.

Universitas Sumatera Utara