repository.unpar.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 3171 › orasisc27_tristam...
TRANSCRIPT
Putusan Pengadilan:
dalam dialog tentang hukum & keadilan Tristam P. Moeliono
Kepada Yang Terhormat :
Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Jawa Barat atau yang mewakili Ketua, para Pengurus dan Anggota Yayasan Universitas Katolik Parahyangan Rektor beserta para Wakil Rektor Universitas Katolik Parahyangan Ketua Senat beserta Para Anggota Senat Universitas Katolik Parahyangan Para Dekan, Wakil Dekan Fakultas dan Pimpinan Unit di Universitas Katolik Parahyangan Para Dosen, Mahasiswa dan seluruh civitas academica Universitas Katolik Parahyangan Para Undangan dan semua yang hadir pada hari ini. Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua Sebelum saya membacakan orasi ilmiah, saya terlebih dahulu ingin mengucapkan terimakasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya sebagai Orator Dies Natalis Fakultas Hukum Unpar ke…. Para hadirin yang saya hormati,
Topik yang hendak saya angkat adalah bagaimana kita sebagai pembaca dapat berdialog dengan
putusan pengadilan dan bagaimana “wacana” (discourse) tentang hukum dan keadilan yang kita
anggap sejatinya dicerminkan putusan pengadilan dapat kita maknai. Dua pendekatan, sosio-legal
dan filsafat hukum, akan digunakan. Kedua pilihan pendekatan ini punya landasan pembenarannya
sendiri. Perkembangan hukum (dalam arti luas) di Indonesia dan di manapun sulit dipahami di luar
konteks sosial-politik di mana hukum hidup dan berkembang. Di sini pendekatan sosio-legal akan
berguna, yaitu untuk menempatkan kekuasaan kehakiman dan hakim sebagai ‘author’ dari putusan
dalam konteks sosial-politik yang terus berubah-ubah. Melalui itu akan dimaknai perdebatan
tentang kemandirian kekuasaan kehakiman dan kebebasan memutus hakim di dalam dan di luar
konteks trias-politica atau pemencaran kekuasaan.
Sedangkan pilihan pendekatan filsafat hukum merupakan akibat dari keadaan yang bersifat
kebetulan (circumstantial). Sejak dua/tiga semester lalu, saya ditugaskan mengajar kelas filsafat
hukum dan perbandingan hukum. Di dalamnya saya berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan
sederhana seperti apa itu hukum (quid ius?) dan mengapa di dalam civil law system tidak dikenal
prinsip stare decisis atau the binding force of precedent. Beranjak dari itu muncul pertanyaan-
pertanyaan lain seperti apa yang sebenarnya dilakukan hakim dan bagaimana kita harus memaknai
putusan sebagai text (naskah) yang berkait dengan pembuat (author) ataupun yang bersifat otonom.
Pendekatan yang di sini akan digunakan adalah discourse analysis. Dengan itu, bahasa (hukum) yang
ditemukan di dalam putusan akan dimaknai (dibaca, ditafsir baik dalam ihtiar hermeneutika atau
sekaligus di dekonstruksi/rekonstruksi) terkait sekaligus terlepas dari pembuatnya.
Selanjutnya adalah alasan mengapa putusan pengadilan dipilih sebagai fokus telaahan. Yurisprudensi
tidak pernah atau belum secara sungguh-sungguh dianggap sebagai sumber hukum penting baik di
dunia pendidikan, perkembangan ilmu hukum maupun dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan. Ini terutama tampak jelas dalam kegiatan belajar-mengajar di fakultas
hukum.1 Pustaka hukum nasional (termasuk yang tidak dipublikasikan: skripsi, thesis, disertasi),
dengan sejumlah pengecualian,2 berdasarkan pengamatan sekilas lebih mementingkan bahasan
terhadap peraturan perundang-undangan (statutory law). Akibatnya mudah dapat diduga, buku-
buku hukum dengan cepat ketinggalan zaman (hink achter de feiten aan) karena obyek bahasannya
(peraturan perundang-undangan) dalam waktu singkat tergantikan oleh peraturan lebih baru atau
bisa jadi dibongkar total ataupun parsial oleh Mahkamah Konstitusi.
Jarang ada yang secara khusus membedah dan menganalisis (secara akademis atau ilmiah) putusan
pengadilan. Sekalipun pada saat sama dapat kita temukan perhatian khusus pada bagaimana para
ahli hukum, termasuk ke dalamnya hakim, seharusnya melakukan penalaran ketika berargumentasi
atau bagaimana hakim sepatutnya membuat pertimbangan-pertimbangan hukum tatkala membuat
putusan-putusan hukum.3 Tuntutan yang sebenarnya juga menjadi persyaratan penentuan
keabsahan putusan hakim, yakni ketika kita berbicara tentang tidak cukup dipertimbangkan
(onvoldoende gemotiveerd) sebagai alasan banding atau kasasi.4
Alasan “resmi” yang kerap didengar adalah Indonesia yang mewarisi tradisi civil law dari pemerintah
kolonial Hindia Belanda tidak mengenal dan mengakui putusan pengadilan sebagai sumber hukum
formal.5 Juga diajukan alasan lain, Indonesia berbeda dari negara-negara common law6 tidak
mengenal dan mengakui keberlakuan prinsip stare decisis atau the binding force of precedent.7
Alhasil, sejalan dengan itu dipertahankan pandangan hakim wajib memutus dan memeriksa perkara
secara independen. Kebebasan dan kemandirian ini dimengerti sebagai kebebasan dari tekanan dan
pengaruh eksternal, termasuk (daya berlaku) putusan-putusan terdahulu. Alasan lain: putusan
hanya penting (berlaku dan mengikat sebagai hukum) bagi pihak yang terlibat perkara. Kiranya –
dengan sangka baik – dapat diduga bahwa dibelakang pemikiran ini adalah kehendak menjamin
1 Perhatikan buku-buku pengantar ilmu hukum yang dipergunakan untuk memperkenalkan mahasiswa tingkat pertama pada dunia “ilmu hukum” Indonesia. Dapat disebut di sini: Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, edisi revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010). Bab VI (Sumber Hukum) tidak menyebutkan yurisprudensi sebagai sumber hukum. 2 Periksa misalnya, Majalah Hukum Varia Peradilan terbitan IKAHI dan seri Jurnal Hukum Bisnis yang merupakan publikasi dari Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) di Jakarta. 3 Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum: Buku 1 Akar Filosofis, Cet.ke-1, Yogyakarta: GentaPublishing, 2013. 4 Asas yang muncul dalam ragam putusan MA-RI (638 K/Sip/1969; 492 K/Sip/1970; 67 K/Sip/1972; 903 K/Sip/1972). 5 Pemerintah kolonial Hindia Belanda sebenarnya memberlakukan asas konkordansi secara tidak sempurna: Lihat Pasal 131-163 IS yang membedakan golongan penduduk serta sistem hukum yang berlaku bagi tiap golongan. 6 Sekalipun juga di dalam sistem common law, the binding force of precedent tidak dapat dimengerti sepenuhnya sebagai tidak dapat atau mungkin disimpanginya putusan terdahulu. Periksa lebih lanjut Ramo Siltala, A Theory of Precedent: From Analytical Positivism to a Post-Analytical Philosophy of Law, (Hart Publishing, 2000). Pada hal. 111-112, dengan merujuk pada four level of classification vis-á-vis the binding force of precedent yang dikembangkan Bielefelder Kreis, disebutkan bahwa kekuatan mengikat preseden di ragam sistem hukum dapat dibedakan ke dalam empat tataran: 1. Formal bindingness (not subject to overruling and those that is subject to overruling); 2. Not formally binding but having force (defeasible and outweighable force); 3. Not formally binding and not having force but providing support dan 4. Mere illustrativeness of other values. Selanjutnya dinyatakan: in some common law courts and in the German Federal Constitutional Court, the binding force of a precedent belongs to the category of strictly binding or mandatory force. In most civil law systems, however the legitimate binding force of a precedent is restricted to the category of mere persuasiveness only, placed under the third category of “not formally binding but having force” in the classification used the Bielefelder Kreis. 7 Baca misalnya pandangan Ali Salamande, “Perbedaan sifat mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi”, hukumonline.com, 27 september 2011. Cf. Overview of the Indonesian Legal System by New York University di dalam laman www.IndonesiaLawonline.com , 30/08/2014). Periksa pula: SK Ketua MA no. 019/KMA/SK/II/2007 (19 February 2007) tentang penunjukan tim penelitian pembentukan hukum melalui yurisprudensi. Dijelaskan “yurisprudensi” yang terdiri dari putusan pengadilan tingkat pertama, banding dan putusan Mahkamah Agung akan memiliki nilai sebagai informasi dan dapat digunakan sebagai petunjuk (sekalipun juga disebut sebagai salah satu sumber hukum nasional).
kemandirian hakim menemukan dan memutus sengketa yang dihadapkan padanya berdasarkan
keyakinan sendiri. Keyakinan yang bagaimanapun juga harus muncul mutlak dari kemandirian.
Gambaran berbeda muncul bila kita simak pemberitaan di koran atau mass media. Putusan
pengadilan - terutama yang secara kebetulan diangkat media nasional atau yang khusus melibatkan
tokoh penting (petinggi partai atau elite politik, selebritas sampai dengan anak-anaknya) - dapat
seketika memunculkan ragam komentar dari para ahli hukum maupun masyarakat luas.8 Apakah itu
sertamerta berarti masyarakat Indonesia secara umum sudah melek hukum dan memiliki kesadaran
pentingnya pengadilan serta putusannya dalam pengembangan ilmu hukum? Apakah pengadilan
atau hakim menyadari bahwa pekerjaan mereka penting dan dihargai atau setidak-tidaknya dinilai
baik-buruknya oleh masyarakat?
Kemungkinan besar kesadaran masyarakat akan pentingnya pengadilan untuk memperjuangkan
hukum dan keadilan dalam beberapa tahun terakhir betul mengalami peningkatan pesat. Bahkan
majalah ibu-ibu (wanita atau perempuan dewasa) seperti Femina dalam satu edisi mengangkat
tajuk tentang hukum dan ketaatan masyarakat pada hukum.9 Hal yang tidak boleh dianggap remeh
karena artinya persoalan hukum sudah disederajatkan dengan soal mode baju atau resep terkini.
Para Hadirin yang saya hormati,
Pada saat sama, perhatian masyarakat, kesadaran hukum dan rasa keadilan, tidak pernah dapat
dianggap sebagai konstanta dan hal terberi. Perhatian masyarakat – sesaat, temporer, meledak-
ledak, serta rambang/acak – sangat dipengaruhi – di samping oleh banyak faktor internal-eksternal
lain - oleh pemberitaan yang diangkat selektif oleh mass media digital-non-digital maupun yang
sesaat menjadi “trending” di sosial media. Ada korelasi positif antara kerajinan mass media
meyuguhkan berita baru setiap hari dengan kemampuan masyarakat mengalami lupa. Siapa di
antara kita masih ingat bahwa masyarakat kota Bandung pernah dihina di media sosial sebagai
masyarakat yang sekalipun ultra-religius ternyata jorok dan tidak peduli lingkungan penuh sampah.10
Selain itu, kemungkinan besar mass media, ketika memilih dan memutuskan mengangkat berita
hukum memiliki agendanya sendiri. Artinya mass media yang sama dapat pula memilih tidak
memberitakan jalannya kasus atau putusan akhir dari suatu perkara yang penting, baik karena self-
censorship, ataupun karena ‘komando dari pemerintah yang berkerja melalui (Kementerian) Kominfo
(dulu Departemen Penerangan)11 ataupun sekadar karena tidak cocok dengan agenda (politik) mass
8 Ilustrasi: kasus Raju. Baca: Anonimus, “Pengadilan diminta menghentikan persidangan Raju” http://news.liputan6.com/read/118584/; 12/09/2014). Cf. Anonimus, “Salinan Putusan MA didapat, Prita Mulyasari Lega”, http://www.tempo.co/read/news/2013/05/07/064478541/, 12/09/2014. Juga: anonimus, “Akhirnya , MA Bebaskan Prita Mulyasari”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5057d8e58f799/, 12/09/2014). Bdgkan juga dengan reaksi masyarakat terhadap tindakan kepolisian: Anonimus, “LSM meminta Florence Sihombing dibebaskan”, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/08/ , 12/09/2014). 9 Lihat Majalah Wanita Mingguan Femina, No. 29/XLII/19-25 juli 2014. 10 Posting Inna Savova, “Bandung, the City of Pigs” diunggah 14 januari 2014, di dalam www.venusgotgonorrhea.wordpress.com (05/10/2014). Untuk sesaat, masyarakat, termasuk pemerintah kota menanggapi. Ridwan Kamil, walikota Bandung, menanggapinya dengan ringan: kita harus introspeksi. Avitia Nurmatari, “Bandung Dijuliki ‘The City of Pigs’, Ridwan Kamil: Kita Harus Introspeksi”, www.detiknews, 05/02/2014. 11 Dahulu Departemen Penerangan memiliki senjata untuk mengontrol informasi melalui mekanisme pencabutan izin penerbitan (pembredelan atau pencabutan SIUPP). Sekarang (kementrian) kominfo pasca Orde Baru tetap berjuang mengontrol kebebasan pers dan arus informasi digital dengan menegaskan kewenangannya untuk dapat menutup (blokir) situs-situs yang tidak disukai dan menutup mata terhadap penyebaran berita dalam situs-situs lain. Periksa, Pramono,
media yang bersangkutan.12 Satu ilustrasi menarik berkaitan dengan pemberitaan (yang kerap) tidak
berimbang tentang penutupan gereja, pembubaran kegiatan ibadah (doa rosario, retreat). Saya
masih dapat mengingat satu foto di harian umum “Kompas”, beberapa tahun silam, tanpa
pembahasan dalam artikel terpisah. Di bagian bawah foto hanya diberi keterangan pendek: peserta
retreat di Puncak, Jawa Barat, kocar kacir karena digeruduk oleh sekelompok massa yang membela
Tuhan yang berbeda. Berita yang sama tidak ditemukan di tempat-tempat lain.
Beranjak dari pengamatan di atas, putusan pengadilan – tanpa membahas persoalan apakah harus
dimaknai sebagai yurisprudensi (sumber hukum mengikat) – akan ditelaah sebagai satu wujud dialog
sekalipun acapkali hanya sebagai komunikasi bersifat searah dan terputus dari hakim kepada
masyarakat umum. Dengan kata lain, di sini putusan pengadilan akan ditanggapi sebagai undangan
terbuka untuk berdialog tentang hukum, keadilan, kemanfaatan sosial atau setidaknya ber-wacana
tentang itu semua. Dari sudut pandang lain, sekalipun berbicara hanya tentang ‘undang-undang’,
Goenawan Mohamad menulis:13
“di Indonesia, hukum disebut ‘undang-undang’. Seperti juga ‘undangan’, ia memanggil dan
memberitahu orang ramai. Tampak ada jalinan erat antara ‘undang-undang’ dan bahasa:
dalam hukum – yang dirumuskan dengan kata-kata-ada kemestian berkomunikasi.”
Saya setuju bahwa hukum (hukum formal maupun putusan pengadilan) bersifat mengundang dan
meniscayakan adanya komunikasi. Persoalannya adalah apakah kita – para pemerhati hukum –
ketika melakukan itu tidak sedang ‘mengumandangkan kebenaran di padang gurun’?
Para Hadirin yang saya hormati,
‘Mengapa kita harus berdialog (dengan pihak yang cenderung tidak (mau/mampu) mendengar)?’
Mengapa kita - secara umum berdiri di luar realita dunia pengadilan dan pembuatan putusan -
justru harus peduli terhadap putusan pengadilan sebagai suara hakim? Bagaimana kita harus
menyikapi text (narasi) yang dari awal mengusung irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan
Yang Maha Esa”? Jawaban singkat adalah putusan hakim – sekalipun pada prinsipnya hanya
memberi hak-kewajiban hukum kepada pihak yang bersengketa (tergugat/penggugat) atau pihak
yang terlibat masalah (terdakwa) atau yang berkepentingan (pemohon)14 – sekaligus merupakan
pernyataan atau penegasan tentang apa yang menurut hakim seharusnya menjadi hukum
(berkeadilan menurut Tuhan Yang Maha Esa). Pernyataan (communique atau pesan) yang ditujukan
tidak saja bagi pihak-pihak yang langsung berkaitan dengan pokok putusan, namun atau ternyata
juga pada masyarakat umum.
Kesadaran pentingnya putusan sebagai pesan terbuka harus diakui sudah muncul setidaknya oleh
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Mahkamah Agung sudah memiliki dan mengelola situs yang
“Dekominfo Jelmaan Departemen Penerangan Buat Batasi Pers”, Tempo Intreraktif, 27 januari 2006. Cf. Kontroversi Pemblokiran Situs VIMEO oleh Kominfo, www.media.Kompasiana.com, 13 mei 2014. 12 Pengalaman kita dengan pemberitaan TVOne dan Metro perihal hasil perhitungan cepat (quick count) hasil pemilu Presiden/Wakil Presiden Indonesia (bulan Juni-Juli 2014) dan ada/tidaknya kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu merupakan satu anecdotal evidence tentang ini. 13 Goenawan Mohamad, “Bandit”, Catatan Pinggir, Tempo 29 september 5 oktober 2014. 14 Dengan mengabaikan - untuk sementara - dampak langsung yang dirasakan keluarga terpidana atau tergugat yang harus membayar sejumlah uang atau dinyatakan pailit atau birokrasi yang kehilangan rujukan peraturan perundang-undangan (dalam hal dibatalkan oleh MK).
memuat putusan-putusan kasasi (sekalipun masih selektif) yang sudah berkekuatan hukum pasti. 15
Sebaliknya di pengadilan lebih rendah (iudex facti), putusan tertulis masih dianggap hanya boleh
dibuka – sekalipun dibacakan dalam sidang terbuka- kepada para pihak saja. Setidak-tidaknya itu
yang dikatakan banyak pengacara praktik.
Berbeda dengan itu ialah putusan-putusan Mahkamah Konstitusi - bagaimanapun dibaca -
merupakan penilaian atas keabsahan produk legislatif. Pada suatu masa bahkan Machfud MD
sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pasca memutus perkara akan selalu mengadakan press
conference dan wawancara.16 Kebiasaan yang harus diakui kemudian tidak dilanjutkan oleh Hamdan
Zoelva17 yang saat ini menjabat ketua MK pengganti Ketua MK yang dipecat karena tertangkap
tangan oleh KPK. Dari sudut pandang ini menarik untuk melihat bagaimana 9 orang hakim konstitusi
(masing-masing diyakini berpikir dan bekerja independen)18 menilai pekerjaan 500’an anggota DPR
dan/atau presiden serta dengan ketokan palu menyatakan keduanya tidak paham konstitusi.
Lepas dari perbedaan penting antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, keduanya
diharapkan memunculkan jawaban tentang apa yang seharusnya dianggap hukum. Tercakup di
dalamnya keniscayaan hakim ketika memutus harus sanggup memberikan solusi yang memuat
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.19 Lebih jauh lagi, tugas (-tujuan) hukum (dan
hakim melalui putusan-putusannya) terutama adalah memelihara harapan (akan adanya keadaban)
justru karena begitu mudah dan kerap hukum dilanggar.20 Dengan kata lain, hakim dalam dan
melalui setiap putusan (juga ketika perkara yang dihadapi adalah perkara biasa dan tidak
kontroversial) sebenarnya menguji hukum negara (yang cenderung bersifat umum dan abstrak)
terhadap situasi konkrit21 dan melalui putusan-putusannya memberi koreksi terhadap bunyi
peraturan perundang-undangan. Dalam artian inilah baik/buruknya putusan-putusan pengadilan
merupakan cerminan dari realitas hukum (setidak-tidaknya dalam pandangan hakim).22 Di sini kita
juga dapat merujuk adagium res judicata pro veritate habetur yang bersentuhan dengan asas non bis
in idem.
Dworkin berkenaan dengan ini melangkah lebih jauh dengan menyatakan putusan hakim harus
dimengerti sebagai the best fit answer to a concrete legal problem.23 Apakah ini kata akhir? Apalagi
15 Periksa http://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/kaidah-yurisprudensi.html yang secara berkala mengunggah putusan-putusan MA yang dianggap penting untuk diketahui masyarakat umum (setidaknya yang mampu ber-internet). 16 Dari hasil wawancara Rusman Nurjaman dengan Mahfud MD yang bertajuk Mahfud MD, “Menerobos Kebuntuan Hukum”, Majalah Intisari, Edisi Khusus HUT ke-50, September 2013, 112-119, kita dapat membaca alasan Mahfud MD sebagai ketua Majelis memutuskan menerima permohonan pembatalan UU tentang Badan Hukum Perguruan Tinggi. Dinyatakan bahwa UU BHP harus dibatalkan karena pertama memindahkan tanggungjawab negara kepada masyarakat dan kedua BHP dilandasi semangat neo-liberal. Perguruan Tinggi dibiarkan bersaing di pasar mencari mahasiswa sendiri-sendiri dengan harga terserah. 17 Sekalipun kemudian tetap bersedia diwawancara di media elektronik pasca penjatuhan putusan penolakan gugatan kubu Prabowo cs. 18 Pandangan yang didukung ada dan terbukanya peluang bagi hakim untuk menerbitkan dissenting opinion. Putusan Majelis tidak lagi harus dimaknai sebagai suara bulat. 19 B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013; Cf. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, ed.revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010. 20 Niklas Luhmann, Law as a Social System, Oxford University Press, 2004. 21 B. Arief Sidharta, op.cit, & Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan ilmu hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999. 22 Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007) 23 Ronald Dworkin, Law’s Empire, Harvard University Press, 1998.
jika kita kaitkan dengan konsep putusan hakim sebagai putusan akhir dan sudah mempunyai
kekuatan hukum yang pasti dan mengikat (final and binding atau legally binding).
Tentu tidak! Karena bahkan putusan yang sudah berkekuatan hukum mengikat sebagai text tentang
hukum tetap dapat dibaca terpisah dari hakim pembuat dan kita komentari secara bebas. Selain itu,
text (naskah atau narasi yang termuat dalam text) yang dapat dibaca lepas dari pembuatnya dapat
pula kita pahami sebagai wacana (discourse) tentang hukum dan keadilan. Itu sebabnya melalui
putusan (sebagai wadah), kita dapat katakan hakim (kekuasaan kehakiman) menyampaikan pesan-
pesannya (berkomunikasi atau berdialog dengan) pemerintah/penguasa, pembuat undang-undang
dan masyarakat umum. Putusan pengadilan sebagai cerminan dari apa yang menurut hakim adalah
hukum (atau bukan hukum) – muncul secara eksplisit atau justru implisit (dan tidak terkatakan) -
dapat dipahami dan kita sikapi sebagai undangan terbuka untuk berdialog perihal apa itu hukum dan
keadilan.
Para Hadirin yang saya hormati,
Beranjak dari itu, pesan yang disampaikan pengadilan kepada publik (pemerintah, pembuat undang-
undang ataupun pencari keadilan maupun masyarakat umum) melalui putusan (dan bahasa yang
digunakan) harus kita maknai sebagai undangan terbuka untuk ber-dialog. Tentu bukan dan sulit
dimaknai sebagai dialog antara pihak-pihak yang berkedudukan setara. Tidak dapat dipungkiri dialog
ini acapkali bersifat sangat terbatas, terputus bahkan tidak sempurna.
Majelis hakim setelah memutus tidak lagi berurusan baik dengan pencari keadilan maupun dengan
dampak dari putusannya. Hakim yang memutus juga tidak lagi berurusan dengan putusan yang
terhadapnya diajukan banding atau kasasi atau peninjauankembali. Selain itu tidak ada kewajiban
bagi hakim untuk menjelaskan rationale pertimbangan dan putusan kehadapan press.
Pertanggungjawaban hakim terutama adalah - sesuai irah-irah putusan pada “keadilan dan Tuhan” ,
bukan pada media massa. Pertimbangan dan kesimpulan akhir sebagaimana dibacakan serta
diumumkan dan dituangkan ke dalam putusan harus dianggap terberi dan cukup. Bahkan eksekusi
putusan sepenuhnya menjadi urusan jaksa dan penjara, dalam kasus-kasus pidana, atau dalam
kasus-kasus perdata menjadi urusan satpol PP24 dan kepolisian.
Para Hadirin hadirin yang saya hormati,
Berikutnya ihwal ‘Kemandirian Hakim dan Pengadilan: Siapa yang mengendalikan pesan ?’
Independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman cq. pengadilan adalah satu syarat mutlak
dalam membangun negara hukum.25 Kendati begitu, sejarah menunjukkan hal itu tidak boleh
dianggap terberi. Pada zaman pemerintahan kolonial, keberpihakan pengadilan – muncul dalam
sidang pengadilan terhadap Soekarno yang mengajukan pleidoi ‘Indonesia Menggugat’ - adalah
pada pelestarian legitimasi pemerintahan kolonial di bumi nusantara. Soekarno – demi
keberlangsungan pemerintahan kolonial - harus dihukum dan dibuang. Dengan itu apa yang hendak
24 Pengamatan yang dipertanyakan, Rachmani Puspitadewi, dosen hukum administrasi negara dari FH Unpar (personal communication, 9/10/2014). Betul bahwa dari kacamata hukum positif, SatPol PP memiliki kewenangan terbatas, hanya berkaitan dengan penegakan PerDa. Namun demikian, beberapa kali teramati di dalam praktik eksekusi putusan (pengusiran paksa penghuni yang kalah di pengadilan: Sugih Tani di Pasteur atau pengosongan rumah di kompleks perumahan jalan Sukajadi-Cipaganti, terjadi dua tahun ke belakang) juga SatPol PPdilibatkan sebagai satuan pengamanan. 25 Periksa Pasal 24(1) UUD; UU Kekuasaan Kehakiman (14/1970; 4/2004; 48/2009).
disampaikan adalah pesan terbuka yang ditujukan pada calon-calon pemberontak agar tidak
mempertanyakan keabsahan pemerintah kolonial di Indonesia.26
Bahkan juga pada pasca kemerdekaan, di bawah pemerintahan revolusioner Pres. Soekarno,
kekuasaan kehakiman pernah dianggap sekadar perpanjangan tangan kekuasaan eksekutif. Ketua
MA duduk di dalam kabinet sebagai menteri (pembantu presiden)27 dan diharapkan mengabdi pada
kepentingan memperjuangkan revolusi yang belum dan tidak akan pernah selesai. 28 Dalam situasi
dan suasana zaman itu dapat dibayangkan bahwa secara umum putusan-putusan pengadilan,
khususnya putusan MA, harus mencerminkan dan berpihak pada semangat revolusi. Suara
pengadilan, dengan demikian, dapat ditafsirkan sebagai wujud kehendak penguasa yang ditujukan
bukan pada para pihak (pencari keadilan), namun justru pada khalayak ramai.
Di bawah pemerintahan Orde Baru, kekuasaan kehakiman dikendalikan melalui cara lebih halus.
Karier dan nasib hakim dikendalikan oleh Menteri Kehakiman yang dipimpin Menteri sebagai
pembantu Presiden.29 Kewenangan tersebut acap disalahgunakan untuk “menekan” kekuasaan
kehakiman sebagai institusi maupun upaya mempengaruhi hakim sebagai pemutus perkara
(terutama yang melawan kebijakan pemerintah) untuk tidak berpihak pada hukum dan keadilan.
Sebaliknya justru menerbitkan putusan yang sejalan dengan kebijakan pemerintah. Intrumen paling
berguna saat itu ialah surat sakti.30 Bagaimanapun juga hasil akhirnya tetap sama, kekuasaan
kehakiman, sebagai salah satu lembaga negara di dalam UUD 1945, diabdikan untuk menjaga
legitimasi dan kewibawaan pemerintah.31
Dengan kata lain, ternyata putusan pengadilan berfungsi sekadar memperkuat ‘landasan hukum’
kebijakan dan keputusan pemerintah. Hakim menjadi corong suara pemerintah yang dianggap
sebangun dengan Negara. Dalam konteks ini pula, hukum Negara cq. Pemerintah dalam arti sangat
luas mencakup peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, kebijakan pemerintah
resmi/tidak resmi, dapat dipandang sebagai ‘command of the sovereign’. Hukum Negara (dan
putusan pengadilan yang menegaskan kembali keberlakuan peraturan perundang-undangan)
difungsikan sebagai jalur komunikasi searah. Kaula (warganegara: citizen) diposisikan sebagai
26 Untuk analisis terkini tentang pleidoi Soekarno, baca: Yance Arizona, “Indonesia Menggugat! Menelusuri Pandangan Soekarno terhadap Hukum”, makalah disampaikan pada Konferensi Nasional ke-2, Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat Indonesia, Semarang, 16-17 juli 2012, kerjasama Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Epistema Institute dan FH Unika Soegijapranata. 27 Ketua MA, Wirjono Projodikoro, disertakan di dalam kabinet Dwikora I (agustus 1964-februari 1966) dengan status menteri (menteri koordinator untuk kompartimen hukum dan dalam negeri). Dalam kedudukan sebagai menteri ia adalah pembantu dan sebab itu sepenuhnya bertanggungjawab kepada Presiden (seumur hidup; pemimpin besar Revolusi). 28 Lihat UU 19/1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan Pasal 19: demi kepentingan revolusi, kemerdekaan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang mendesak, Presiden dapat turun atau campurtangan dalam soal-soal pengadilan. Penjelasan ketentuan ini menyatakan: “pengadilan adalah tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang ( ...) bahwa presiden/pemimpin besar revolusi harus dapat turun atau campur tangan baik dalam perkara perdata maupun pidana. Juga disebut dalam UU 13/1965 (pengadilan dalam peradilan umum dan Mahkamah Agung) bahwa hakim wajib memihak pada kebenaran sebagaimana dirumuskan dalam Pancasila dan Manipol Usdek. 29 Dilandaskan pada UU 14/1970 (Pasal 11) yang menetapkan bahwa teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung sedangkan administrasinya berada di bawah Departemen Kehakiman. Untuk komentar terhadap hilangnya kemandirian pengadilan (bahkan juga advokat) akibat kendali pemerintah terhadap hakim (sebagai pemutus perkara dan pengawas advokat) baca: Karni Ilyas, Musthafa Helmy & Agus Basri, Laporan: “Impian sebagai kalangan hukum agar hakim tidak lagi berada di bawah dua instansi” (majalah tempo, maret 1986) diunduh dari www.majalah2.tempo.co/arsip/1986/03/08/HK/ (20/09/2014). 30 Simon Butt, “Surat sakti: The decline of the authority of judicial decisions in Indonesia” (346-361), di dalam Tim Lindsey (ed.), Indonesia: Law and Society, 2nd ed. (the Federation Press, 2008) 31 Sebastian Pompe, Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, unpublished diss, Univ. Leiden, 1996.
penerima perintah ‘yang wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan’. Konsekuensi dari itu,
hukum dan sanksi sebagai ancaman atas ketidaktaatan masyarakat dimengerti sebagai satu
kesatuan. Maka: bukan hukum kalau tidak ada sekaligus ancaman sanksi pidana.
Reaksi terhadap campurtangan eksekutif (kementerian kehakiman) yang meniadakan kemandirian
kekuasaan kehakiman pasca rezim pemerintahan Orde Baru adalah mengembangkan gagasan
kebijakan satu atap.32 Dengan kebijakan ini Mahkamah Agung tidak lagi hanya berkuasa atas “isi
kepala” para hakim dan pengaturan bagaimana mereka harus menjalankan tugas menangani
perkara yang dihadapkan kepadanya (melalui penerbitan instrumen surat edaran atau peraturan
mahkamah agung), melainkan juga atas keseluruhan proses seleksi, penerimaan, penempatan,
kepangkatan maupun jenjang karier para hakim. Mahkamah Agung selain berfungsi sebagai
pengadilan tertinggi (iudex iuris) bertanggungjawab atas pengelolaan dan penyelenggaraan tugas-
tugas administratif ‘kekuasaan kehakiman’ di seluruh wilayah Indonesia .33 Dengan cara itu,
dibayangkan bahwa peluang eksekutif menekan dan mempengaruhi kekuasaan kehakiman dan
hakim dapat ditiadakan. Hakim dipandang akan mampu menyuarakan justru ketidakberpihakan-nya
ketika memutus perkara.
Para Hadirin yang saya hormati,
Selanjutnya saya akan membahas ‘Putusan Hakim dalam skema penyelenggaraan negara
pemerintahan: dialog antar lembaga dan dengan masyarakat?’
Pandangan di atas sekaligus menunjukkan pentingnya memahami (me-rekontekstualisasi) ajaran
Trias Politica atau dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, ajaran penyebaran/pemencaran
kekuasaan.34 Teori tentang pembagian dan/atau pemencaran kekuasaan Negara meniscayakan
adanya mekanisme checks and balances antara organ-organ penyelenggara kekuasaan negara
(legislasi, eksekutif (birokrasi pemerintahan), yudisiil, termasuk polisionil).
Pertanyaan penting di sini ialah bagaimanakah seharusnya dalam konteks sistem ketatanegaraan
Indonesia, kekuasaan kehakiman berbagi kekuasaan dan bekerjasama (atau saling mengawasi satu
sama lain) dengan organ legislatif, eksekutif dan polisionil? Terkait dengan itu ialah persoalan
bagaimana kekuasaan kehakiman dapat menjaga independensinya agar dapat memenuhi tugasnya
melindungi rakyat (terutama masyarakat pinggiran) dari kekuasaan Negara yang cenderung
hegemonic. Atau dalam konteks tulisan ini bagaimana kekuasaan kehakiman berdialog dan
menghadapi respons dari semua pihak yang bersentuhan dengan hukum sebagaimana diwacanakan
hakim?
32 Disebutkan bahwa respons ini dipicu Memorandum Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) tentang “Perbaikan terhadap Kedudukan Kekuasaan Kehakiman yang sesuai dengan UUD 1945”, hasil Mukernas Ujung Pandang 23 Oktober 1996. Baca lebih lanjut: Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: RafikaAditama, 2007. 33 Diwujudkan melalui UU 35/1999 yang mengamandemen UU 14/1970, Untuk komentar baca: Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Sistem Peradilan Satu Atap dan Perwujudan Negara Hukum RI menurut UU no. 4 tahun 2004”, www.mimbar.hukum.ugm.ac.id, 30/08/2014). Dengan pembentukan Komisi Yudisial (UU 22/2004 jo UU 18/2011) sebagian tugas administratif juga diserahkan kepada Komisi ini (seleksi calon hakim agung dan pengawasan kinerja hakim). 34 Moh Mahfud MD, “Tidak ada Sistem Ketatanegaraan Asli”, mahfudmd.com, 10-06-2009. Cf. Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Dahulu, di zaman pemerintahan Orde Baru, checks and balances diupayakan secara internal, jauh
dari pengawasan publik, melalui forum dan mekanisme Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).35
Di dalam forum ini secara berkala birokrasi (pemda), militer, termasuk ke dalamnya kepolisian, dan
kejaksaan ‘berkoordinasi’ atau ‘bermusyawarah’ mengembangkan kebijakan bersama dalam rangka
‘menghadirkan pemerintahan dan hukum’ kehadapan masyarakyat. Alhasil, penyelenggara
kekuasaan negara berada dalam satu front menghadapi rakyat yang harus di ‘perintah’ dan
‘ditertibkan’. Dalam pendekatan penyelenggaraan kekuasaan negara yang condong paternalistik
seperti ini rakyat dianggap tidak perlu mengetahui dan terlibat – apalagi memiliki hak untuk
mengkritisi - kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil (dan tercakup ke dalamnya putusan
pengadilan). 36
Pasca pemerintahan Orde Baru), pendekatan ini ditinggalkan. Melalui amandemen terhadap UUD
1945 dan reformasi legislasi (terutama di bidang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman), pola
pembagian/penyebaran kekuasaan penyelenggara negara dibongkar dan ditata kembali.
Terbentuklah tatanan penyelenggaraan kekuasaan negara yang jauh berbeda. Satu yang terpenting
adalah perluasan dan penguatan lingkup kewenangan kekuasaan kehakiman. Ditegaskan kembali
bahwa Mahkamah Agung memiliki kewenangan judicial review. Selanjutnya dibentuk pula
Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan constitutional review.37 Kekuasaan kehakiman
(MA dan MK sebagai satu kesatuan atau justru bersaing?) dengan itu memiliki sarana untuk
mengomentari dan mengoreksi produk kebijakan legislatif maupun eksekutif atau mengisi
kekosongan hukum yang ada.38
Menjadi masuk akal untuk membayangkan tugas hakim tidak lagi sekadar membunyikan peraturan
perundang-undangan, namun lebih dari itu melakukan penemuan hukum.39 Lebih jauh lagi, jika kita
berbicara tentang Mahkamah Konstitusi, kekuasaan kehakiman ternyata berwenang “membentuk
dan menata ulang” peraturan perundang-undangan buatan presiden dan/atau DPR. Lebih jauh lagi,
dengan mencabut atau menyatakan tidak berlaku (cukup) satu dua pasal dari undang-undang,
Mahkamah Konstitusi de facto membongkar dan menata ulang sistem atau tatanan yang hendak
dibangun di dalam satu kesatuan peraturan perundang-undangan.40 Dengan kekuasaan “legislatif”
35 Lihat Keputusan Presiden 10/1986 tentang Musyawarah Pimpinan Daerah. Tujuan pembentukan Muspida yang membentuk forum komunikasi antara pimpinan sipil (gubernur/walikota/bupati) dengan kepala kepolisian, kejaksaan dan panglima militer (teritorial) adalah: mewujudkan dan memelihara stabilitas nasional dan pembangunan nasional di daerah (Pasal 1). Menarik bahwa ketua pengadilan tinggi dan ketua pengadilan negeri tidak dilibatkan sebagai unsur Muspida. Kemungkinan besar karena pemerintah sudah memiliki kendali cukup atas kekuasaan kehakiman melalui Departemen Kehakiman. 36 ICW, “Muspida itu Peninggalan Orba”, kompas, 27 november 2006). Cf. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). 37 Pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan kewenangan melakukan uji konsitusional adalah sebagai amanah UUD 1945 (hasil amandemen ke-3, tahun 2001). Dasar hukumnya adalah ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B. Beranjak dari itu kemudian diundangkan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (13 Agustus 2003). 38 Termasuk juga melalui pembentukan PTUN yang berwenang menguji keabsahan putusan eksekutif yang bersifat konkrit dan final. Periksa UU 5/1986 jo. UU 9/2004 dan UU 51/2009 tentang pembentukan PTUN. Salah satu tugas PTUN adalah: meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan guna meningkatkan dan memantapkan martabat dan wibawa aparatur dan lembaga peradilan, sebagai benteng terakhir tegaknya hukum dan keadilan, sesuai tuntutan UUD 1945. 39 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cet. II, Yogkarta: Liberty, 2001. Lihat juga Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: CitraAdityaBakti, 1993. 40 Dengan sekaligus mengingat kenyataan bahwa UU tidak pernah berdiri sendiri dan sertamerta dapat dilaksanakan. Satu UU acap membutuhkan sekian banyak Peraturan Pemerintah yang masih harus diterjemahkan ke dalam peraturan yang lebih rendah, sampai dengan petunjuk pelaksanaan/teknis. Tanpa kedua hal yang disebut terakhir birokrasi seringkali menolak bekerja, sekalipun UU sudah ada.
seperti itu, kekuasaan kehakiman (muncul kehadapan masyarakat secara konkrit dalam putusan-
putusan) diyakini dapat berfungsi sebagai kekuatan penyeimbang. Kehendak elite politik
(pemerintah dan/atau DPR) yang muncul dalam kebijakan dan peraturan perundang-undangan
dapat diuji dan dipertanyakan masyarakat melalui forum hak uji (materiil atau konstitusional).41
Putusan pengadilan dalam kasus-kasus tersebut menjadi suara hakim yang mem-verifikasi atau
justru mem-falsifikasi kebenaran/keabsahan ‘suara’ tunggal atau justru tidak tunggal dari suara
negara cq. Pemerintah. Singkat kata, hakim di sini merespons (dengan bantuan masyarakat yang
berinisiatif mengajukan gugatan atau permohonan) hukum (formal) buatan negara. Putusan-
putusan yang diterbitkan di sini dapat dipandang sebagai dialog (sekali lagi: terputus, tidak
sempurna, rambang) antar lembaga-lembaga negara dan dengan masyarakat dalam
konstelasi/konfigurasi sosial-politik tertentu baik terinspirasi ataupun tidak oleh teori trias
politica/pemencaran kekuasaan.
Sejumlah kasus - dipilih acak dari banyak kasus - dapat mengilustrasikan hal di atas. Ilustrasi
pertama berkenaan dengan keterkaitan atau justru keterputusan sejumlah putusan Mahkamah
Agung tentang luas lingkup pengertian piutang dengan ihtiar pembuat undang-undang terus
menyempurnakan UU Kepailitan.42 Tampaknya yang menjadi persoalan adalah kapan dan bilamana
pemohon (yang punya tagihan piutan dalam bentuk apapun juga) dapat memberdayakan pengadilan
niaga untuk memaksa pihak berhutang memenuhi kewajibannya. Berhadapan dengan ambiguitas
pengertian utang dalam kepailitan, pembuat undang-undang mengamandemen UU Kepailitan
(1/1998) dengan UU 37/2004. Di dalam UU kepailitan baru ini ditegaskan bagaimana utang harus
dimaknai dalam konteks kepailitan. Dari konsiderans dan penjelasan UU kepailitan baru ini, kendati
demikian, tidak tampak adanya perujukan pada rangkaian putusan MA dan/atau pengadilan niaga
yang berbeda-beda perihal pengertian utang. Sebaliknya bila ditempatkan dalam kronologi waktu
tetap dapat ditelusuri adanya keterpengaruhan antara putusan-putusan pengadilan dengan
bagaimana pembuat undang-undang (dengan atau tanpa dukungan kelompok-kelompok masyarakat
yang memiliki kepentingan khusus) memahami dan merumuskan utang dalam mendisplinkan
perilaku hakim pengadilan niaga.
Dengan pendekatan serupa, Adriaan Bedner – Indonesianis dari Univ Leiden - melacak dan
memetakan pemahaman hakim PTUN dan pencari keadilan akan lingkup kompetensi PTUN
berdasarkan tafsiran meluas/menyempit dari pengertian keputusan administrasi yang bersifat final
dan individual.43 Pada awal mula ditengarai adanya kepentingan pemerintah Orde Baru untuk
41 Tidak dipersoalkan di sini kewenangan Kementerian Dalam Negeri melakukan administrative review terhadap produk perundang-undangan dari pemerintahan otonom (perda kabupaten/kota). 42 Vide UU Kepailitan 1/1998 yang kemudian memunculkan ragam tafsiran tentang makna utang. Putusan Pengadilan Niaga No. 07/Pailit/1998/PN/Niaga/Jkt.Pst (12 Oktober 1998): utang diartikan secara luas, yaitu utang tidak saja timbul dari pinjam meminjam uang saja, melainkan karena perjanjian-wanprestasi; Putusan MA No. 03K/N/1998: utang berdasarkan UU 4 /1998 adalah utang pokok dan bunganya yang berawal pada konstruksi hukum pinjam-meminjam uang; Putusan MA No. 04K/N/1999: utang adalah suatu hak yang dapat dinilai dengan sejumlah uang tertentu yang timbul karena perjanjian/perikatan atau undang-undang termasuk tidak hanya kewajiban debitor untuk membayar akan tetapi juga hak dari kreditor untuk menerima dan mengusahakan pembayaran); putusan MA No. 05K/N/1999: utang bukan kurangnya pembayaran dalam perjanjian pemborongan; putusan MA No. 27K/N/1999: utang adalah janji absolut untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu yang ditentukan, atau dapat juga diartikan sebagai suatu kewajiban seseorang untuk membayar sejumlah uang kepada orang lain. 43 Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia: A Socio-legal Study, The Hague: Kluwer Law International, 2001. Dari penulis sama lihat juga: Shopping Forums: Indonesia’s Administrative Courts, di muat di dalam Andrew Harding and Penelope (Pip) Nicholson (eds), New Courts in Asia, London: Routledge, 2010, pp. 210-230.
mencitrakan diri kehadapan masyarakat internasional sebagai pemerintah yang sudah berubah dan
perduli pada good governance. Pada tahapan lanjut, setelah PTUN berdiri dan harus menghadirkan
diri dan membuktikan kehadirannya di dalam konteks negara hukum, ditelusuri adanya
perkelindanan antara kepentingan masyarakat yang cenderung memanfaatkan semua peluang
hukum yang ada (forum shopping; shopping forum)44 dengan kepentingan hakim untuk memperluas
ruang lingkup pengertian putusan tata usaha negara.
Di samping itu dapat pula kita cermati – dan ini merupakan pengalaman pribadi – matinya Majelis
Pengawas Daerah Notaris karena putusan Mahkamah Konstitusi atas UU Notaris.45 Sebagai reaksi –
sekalipun ini merupakan dugaan (educated guess)46 - Ikatan Notaris Indonesia dengan bantuan
pembuat undang-undang mengajukan UU 2/2014 yang kemudian justru memasukan kembali
ketentuan yang memberikan kewenangan kepada Majelis Kehormatan Notaris (MKN) untuk
menghalangi penyidikan tindak pidana oleh polisi yang melibatkan notaris sebagai saksi atau
tersangka.47
Taktik serupa digunakan DPR, yang di masa transisi pemerintahan dari SBY kepada Presiden terpilih,
berhasil meloloskan UU MD3. Di dalamnya ditetapkan bahwa anggota DPR hanya dapat disidik polisi
atau KPK bila diduga bersalah melakukan korupsi apabila telah disetujui oleh Dewan Kehormatan
DPR.48 Kepentingan serupa kiranya muncul. Bagaimana melindungi diri dari kewenangan penyidikan
yang dilakukan atas nama kepentingan umum.49 Namun dalam hal ini MK kemudian justru menolak
membatalkan UU yang dianggap bermasalah tersebut. Karena yang dipersoalkan ternyata adalah
tata cara dan kewenangan memilih ketua MPR/DPR yang dianggap persoalan internal dan bukan
pelanggaran konstitusi.50
Para Hadirin yang saya hormati,
Apa yang dapat kita pelajari dari kasus-kasus yang dimunculkan tadi ? Bagaimanapun juga putusan
hakim kita maknai, kita justru dapat cermati pandangan dan suara hakim (muncul dalam putusan)
44 Konsep yang diperkenalkan pertamakali oleh Franz von dan Keebet von Benda-Beckmann dalam The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in Minangkabau. Dordrecht, Leiden, Cinnaminson: Foris Publications, KITLV Press, 1984. Bdgkan pula dengan pengembangan gagasan ini dalam wujud ‘the multi-spatial contextualization of law’ dalam Franz von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckmann & Anne Griffiths(eds.), Mobile People, Mobile Law: Expanding Legal Relations in a Contracting World, Ashgate Publishing Ltd., 2005. 45 UU 30/2004 (jabatan notaries) diuji kehadapan MK dan berdasarkan Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012, sebagian isinya telah dibatalkan. 46 Titik tolaknya adalah teori economic regulation yang mengajukan pandangan proses pembuatan peraturan perundang-undangan tidak pernah dan mungkin terjadi dalam kekosongan pertarungan kepentingan. Baca pula Richard A. Posner, Theories of Economic Regulation, the Bell Journal of Economics and Management Science, Vol. 5, No. 2 (autumn, 1974), pp. 335-358. Ia mengajukan dua teori economic regulation: the public interest theory (regulation is supplied to correct inefficient and inequitable market practices) dan the capture theory (regulation is made in response to the demand of interest groups struggling among themselves to maximize the income of their member. 47 Baca lebih lanjut: Zul Fadli, Mungkinkah kewenangan MKN akan mengalami nasib serupa dengan MPD diuji di Mahkamah Konstitusi juga? (medianotaris.com) (24/09/2014). 48 “ICW: Pemberantasan Korupsi di DPR Akan Sulit”, 3 oktober 2014, www.tempo.co. 49 Untuk kritikan terhadap perjuangan mendapatkan hak istimewa (forum privilegiatum dan parliamentary privileges) dalam konteks UU MD3, baca Susana Rita, “Penegakan Hukum: Hak Istimewa untuk yang Terhormat” (Kompas, 10 oktober 2014): 2. Namun yang tidak ditelaah adalah kecenderungan Mahkamah Kehormatan Dewan muncul tidak sekadar sebagai pemeriksa pelanggaran kode etik, namun menjadi quasi-judiciary body yang khusus memeriksa dan memutus pelanggaran hukum (dan kode etik) yang diduga dilakukan anggota MPR/DPR. Baca lebih lanjut naskah RUU MD310juli2014.pdf, tersedia di www.parlemen.net/sites (13/10/2014). 50 “MK Tolak Permohonan PDI-P, Tantowi Yakin Kekuatan Parlemen Milik KMP”, kompas.com, 30 september 2014.; “MK Tolak Gugatan Uji Materi UU MD3”, 29 september 2014, www.tempo.co.; Gandhi Achmad, “MK Tolak Judicial Review UU MD3”, Gatra 4 oktober 2014.
ternyata penting dan berdampak jauh. Kita cermati adanya dialog (penyampaian sekalipun belum
pertukaran pesan) yang terjadi dalam konfigurasi sosial politik tertentu. Konfigurasi ini tidak niscaya
ditentukan oleh gagasan ideal tentang trias politica/pemencaran kekuasaan – betapapun pentingnya
ajaran ini sebagai suatu ideologi dalam kehidupan “hukum” tata negara – melainkan justru oleh
perbenturan dan perjumpaan kepentingan konkrit (parsial-temporer dan sama sekali tidak netral).
Maka masih mungkinkah kita berbicara tentang adanya kemandirian hakim dan suara hakim sebagai
suara ‘kebenaran’, ‘hukum dan keadilan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa’?
Pendekatan sosio-legal terhadap kedudukan dan makna putusan hakim, dengan itu, memaksa kita
menelaah ulang pemahaman kita akan konsep-konsep utopis atau fiksi-fiksi hukum terpenting.
Namun pendekatan ini, sekalipun membuat kita terpaksa bersikap rendah hati terhadap
kemampuan hukum membereskan masyarakat, tidak sekaligus membuat kita harus kehilangan
kepercayaan terhadap hukum dan keadilan. Pendekatan lain – filsafat hukum – jauh lebih berguna
untuk mencapai tujuan itu.
Para Hadirin yang saya hormati,
Pertanyaan berikutnya apakah ‘Bahasa dan Bahasa Hukum dalam Putusan sebagai cerminan
realita tentang Hukum-Keadilan?’
Bagaimanapun juga, pada tataran teori, kita secara ‘yuridis dogmatis’ dan demi mempertahankan
ide “negara hukum” (diselenggarakan berdasarkan hukum dan tidak atas dasar kekuasaan semata)
harus bersikukuh mempertahankan “kebenaran” atau “fiksi hukum” adanya kekuasaan kehakiman
yang independen. Tujuannya adalah agar pesan yang disampaikan hakim dalam dan melalui putusan
dapat dimaknai betul-betul sebagai suara hakim yang mandiri, netral dan tidak berpihak. Tidak
memuat kepentingan tersembunyi dari pihak-pihak di luar perkara, maupun dari para pihak sendiri.
Hanya kalau hakim mandiri, ia bisa berdiri di luar perkara dan ‘memajukan kepentingan hukum dan
keadilan secara umum’, bukan sekadar kepentingan para pihak yang bersifat temporer dan kasuistis.
Apa yang diputus hakim harus diterima sebagai cerminan hukum dan keadilan. Sebab itu, melalui
bahasa, hakim sebagai pembuat pesan, menyusun dan merangkaikan pertimbangan-pertimbangan
yang sudah seharusnya dipandang ‘runut, sistematis, logis’ sedemikian sehingga dapat dipahami-
diikuti masyarakat pencari keadilan maupun rakyat pada umumnya. Karena pada akhirnya ditujukan
kepada publik sebagai suatu komunikasi, maka argumen hakim yang melandasi putusan akhir wajib
hukumnya diberikan dengan pertimbangan yang cukup.51 Syarat lain yang dapat ditarik dari itu
adalah bahwa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam putusan harus dapat dimengerti oleh pihak
untuk siapa putusan ditujukan (pihak maupun masyarakat umum).52
Beranjak dari itu, menjadi relevan pertanyaan apakah putusan dalam dirinya sendiri memuat
kebenaran absolut atau yang hanya yang bersifat temporer karena bersifat inter-subyektif? Di sini
kita memasuki paruh kedua dari tulisan ini, yaitu putusan yang dihadirkan kehadapan kita sebagai
text (narasi) yang dapat dibaca terkait dengan ataupun sama sekali terputus dan lepas dari
pembuatnya. Titik tolaknya adalah kenyataan bagaimana pembaca merespons putusan untuk
51 Mys, “Bahasa Hukum: Onvoldoende Gemotiveerd”, hukumonline.com, 9 november 2011. 52Keijser, J.W. de; Weerman, F.M; Huisman, W. Onderzoek naar de begrijpelijkheid van de rechtspraak, Delik en Delinkwent, 37(7), 706-711, http://hdl.handle.net/1871/47651, (30/08/2014)
sebagian besar terletak di luar kendali penulis/penutur awal (Hakim yang memutus).53 Dalam hal ini
kita akan berhadapan dengan realita yang dimunculkan bahasa hukum yang digunakan secara
khusus dalam putusan-putusan.
Putusan sudah semestinya menggunakan bahasa Indonesia formal – sekalipun dalam dunia nyata
belum tentu sertamerta ditulis mengikuti ejaan dan gramatika baku - dan di dalam putusan yang
muncul adalah bahasa (Indonesia) hukum yang justru dicirikan kekhasan (bahasa hukum).54 Pada
momen itulah muncul kehadapan “pembaca” (dengan atau tanpa gelar sarjana hukum) kerumitan
merekonstruksi kembali apa yang sebenarnya dimaksud atau - sebaliknya justru karena itu - dengan
mudah melakukan deliberate misreading terhadap apa yang dimaksud atau – alternatif lain adalah –
men-dekonstruksi dan me-rekontruksi total text yang ada.
Kedua kecenderungan di atas (penggunaan bahasa Indonesia formal dan bahasa hukum) – sekalipun
dianggap perlu bahkan wajib - acapkali justru mencirikan realitas (hukum) yang kemungkinan besar
berbeda bahkan berbenturan dengan realita (sosial-ekonomi-politik) yang dihadapi masyarakat.
Dapat terjadi ‘bahasa Indonesia hukum’ sebagaimana muncul dalam putusan justru mengasingkan
pencari keadilan/masyarakat dari realita ‘hukum’ dan ‘ketidakadilan’ yang mereka rasakan. Bahasa
(hukum) yang muncul dalam putusan di sini kita kontraskan dengan realita yang muncul dari bahasa
sehari-hari pencari keadilan yang dicirikan keberagaman bahasa lokal/daerah, ketidakbakuan serta
informalitas. Perjumpaan keduanya menjadi ajang perbenturan ragam realita dan pertempuran
berkelanjutan perihal siapa yang berhak menetapkan kebenaran, hukum serta keadilan.
Singkat kata, putusan hakim sebagai representasi kebenaran formal berhadapan justru dengan
ragam versi kebenaran lain yang dibahasakan secara berbeda dalam konteks sosial budaya yang
berbeda-beda pula.55 Putusan dari sudut pandang ini adalah interpretasi “resmi” hakim yang
dimaknai sebagai kata akhir (final and binding) atas ‘realitas sosial’ yang dialami masyarakat.
Kebenaran yang dimunculkan oleh putusan (sekalipun secara resmi sudah berkekuatan hukum pasti)
tidak pernah dapat dimaknai memuat kebenaran akhir, tunggal apalagi absolut.
Para Hadirin yang saya hormati,
Mengenai ‘Bahasa (hukum) sebagai cerminan realitas yang tidak utuh, terfragmentasi-relatif dan
“volatile” ’
Adalah sosiolog Amerika, Pieter Berger, yang menyoroti fungsi bahasa dalam membentuk kenyataan
social. Ia menyatakan “everyday life is, above all, life with and by means of the language I share with
my fellowmen”. Dengan kata lain, dengan dan melalui bahasa manusia membangun realitas social
yang niscaya temporer dan sebab itu pula tidak kekal.56 Dengan cara sedikit berbeda dikatakan:57
53 Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Bandung: CitraAdityaBakti, 1996. 54 Ab Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian jurist and their language, 1915-2000, Leiden: KITLV Press, 2008. 55 Alm. Prof. Paulus Lotulung (Hakim Agung di MA) menjelang pensiun pernah bercerita pada penulis tentang bagaimana dahulu ia sebagai hakim di PN Bangkalan memeriksa terdakwa dan saksi-saksi dengan menggunakan bahasa lokal (madura). Tidak diceritakan apakah putusan juga dibacakan dan ditulis dalam bahasa lokal. Personal communication, juni 2013). 56 Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, New York: Random House Inc, 1966. 57 Romualdo E. Abulad, SVD, “What is hermeneutics?”, Kritike Vol. 1, No. 2 (December 2007) 11-23).
“There can be no understanding, that is, no understanding can take place if one does not think (that implies the thinker) and if one does not have words by which to think (that makes for the language). It is not only that we cannot think without words; it is also that what we try to understand is normally couched in words, whether oral or written”.
Ketika kita menyebut dan membahasakan pengertian hukum, hakim dan pengadilan, ketidakadilan
dll. terbentuklah konsep-konsep tersebut sebagai sesuatu yang nyata dan bermakna ke dalam
kehidupan keseharian kita. Apa yang tidak disinggung oleh Berger adalah bahasa yang sama tidak
sertamerta memunculkan realitas sosial tunggal yang utuh. Justru sebaliknya! Pierre Bordieau, filsuf
Perancis, mengkonstatasi bahwa cara berbahasa yang digunakan oleh penutur menegaskan
keterpisahan realitas yang dihuni oleh anggota kelas-kelas social berbeda.58 Ia memandang bahasa:
“not merely a method of communication, but also a mechanism of power. The language one uses is designated by one's relational position in a field or social space. Different uses of language tend to reiterate the respective positions of each participant. Linguistic interactions are manifestations of the participants' respective positions in social space and categories of understanding, and thus tend to reproduce the objective structures of the social field. This determines who has a "right" to be listened to, to interrupt, to ask questions, and to lecture, and to what degree”
Dari sudut pandang ini, penggunaan bahasa Indonesia formal dan bahasa hukum yang muncul dalam
putusan dapat dimaknai sebagai penegasan ketidakseimbangan posisi hakim dengan pencari
keadilan baik ataupun adanya perbedaan kelas social-ekonomi antara mereka. Bahasa hukum
sebagai bahasa khas yang digunakan hakim dan muncul dalam putusan menegaskan posisi hakim
sebagai penutur kebenaran serta kedudukan para pihak yang ‘wajib menerima dan taat pada
putusan’. Mengikuti Orwell, yang menulis dalam 198459, he who controls the past, controls the
future, putusan hakim juga sekaligus dapat dipahami sebagai ihtiar mengontrol pemaknaan
“realitas” atau “kebenaran” di masa lalu maupun masa depan.
Para Hadirin yang saya hormati,
Tentu relasi ini tidak bersifat statik. Apalagi berhadapan dengan hegemoni bahasa resmi (atau
realitas “formal”), masyarakat dapat mengembangkan kemampuan double-think dan double-speak.60
Kenyataan ini menegaskan pula kemampuan manusia dan masyarakat, ketika berhadapan dengan
kekuatan hegemonic (big brother), mengingkari realitas dominan (dari penguasa atau putusan
pengadilan) dengan menciptakan realitas paralel. Muncul, misalnya, di dalam kehidupan penjara.
Sesama tahanan akan menggunakan bahasa sendiri dan dengan itu menciptakan realitas yang
berbeda dari dan tidak tersentuh dunia para sipir dan penjaga.61
Di samping itu, kita tidak dapat begitu saja mengandaikan stabilitas ketidakseimbangan kekuasaan.
Tidak selamanya dan tidak juga sepenuhnya benar, pemerintah dan pengadilan kuat akan
berhadapan dengan masyarakat yang niscaya diposisikan lemah. Maraknya mafia peradilan justru
58 Pierre Bordieau, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, 1991. 59 George Orwell, 1984, http://www.pdfbooksforfree.com/1984-george-orwell/ 60 George Orwell, Animal Farm, first published 1944, https://ebooks.adelaide.edu.au/o/orwell/george/o79a/ 61 Aleksandr Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago: 1918-1956, WestviewPress, 1997. Bdgkan juga dengan Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”, Jakarta: Lentera, 1997.
menunjukkan posisi hakim dan putusan sebagai dekor dari ‘transaksi dan komunikasi’ bisnis.62 Maka
adalah “mafia-peradilan” atau “pasukan pengacara” yang mewakili kepentingan klien (dari kelompok
elite) yang kerap berhasil menempatkan hakim dalam posisi ‘harus mendengar’ sekalipun pada
akhirnya mafia yang sama akan tetap meminjam bahasa hukum dari hakim untuk menetapkan
realita ‘hukum dan keadilan’ pesanan.63
Juga dapat ditambahkan bahwa konflik atau sengketa “sosial” seketika dikategorikan sebagai
persoalan hukum akan mengalami transformasi.64 Melalui proses naming, blaming dan claiming,
“realita” yang dialami pencari keadilan dibahasakan secara berbeda di forum pengadilan. Alhasil
pencari keadilan dan masyarakat kerap merasa terasing dari persoalan hukum yang dibahas dan
diputus di ruang pengadilan. Mereka tidak lagi mengenali diri mereka dalam silang sengketa hukum
yang terjadi dan dipersoalkan di forum pengadilan.65
Ini tampak jelas, misalnya dalam putusan-putusan hakim dalam kasus-kasus korupsi (tingkat tinggi
atau rendahan) atau kasus-kasus pemerkosaan. Pemeriksaan perkara Nazarudin, Anas
Urbaningrum, Ratu Atut, dll., dipampatkan menjadi persoalan apakah keuangan negara dirugikan?.
Sedangkan putusan kasus-kasus perkosaan tidak lagi berbicara tentang hilangnya kemanusiaan
korban perkosaan akibat serangan seksualitas terhadap fisik dan kejiwaan, namun direduksi menjadi
ada/tidaknya paksaan dan apakah korban perkosaan menikmati/tidak menikmati persetubuhan
paksa. Apa yang dapat kita simpulkan? Bahasa hukum merepresentasikan (mengabstrasikan) realita
tersendiri yang kadang menjadi lebih nyata (hyper-reality) daripada kenyataan ketidakadilan yang
dialami dalam kehidupan sehari-hari. Putusan hakim adalah simulacra.66
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada pilihan lain terkecuali menafikan kebenaran.
Persoalannya, dari kacamata penulis, adalah bagaimana kita sebagai pembaca memandang, meng-
apresiasi, dan menafsirkan ulang (berdialog) dengan putusan hakim yang hadir dari masa lalu dalam
text. Untuk itu konteks berbahasa, hermeneutica (sebagai ilmu atau metoda menafsir/menyingkap)
dan bagaimana kita ‘ber-wacana’ tidak boleh diabaikan.
62 Mohammad Fajrul Falaakh (ed.), Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum), edisi 1, Jakarta: KHN, Desember 2009. Bdgkan dengan pandangan ICW: institusi pengadilan belum steril dari praktik mafia hukum, masih banyak praktik korupsi yang melibatkan hakim dan pengawai pengadilan. Ahmad Farhan Faris, “ICW: Mafia Peradilan Masih Marak di Indonesia”, www.inilah.com. 3 agustus 2014. Lihat juga testimoni dan ulasan Triwidodo, “Beginikah Cara Mafia Peradilan Bekerja di Indonesia?, www.hukum.kompasiana.com, 8 october 2012. 63 Bahkan juga kebijakan pidana, sistem peradilan pidana serta hakim dapat difungsikan justru untuk memperkuat posisi elit. Lihat: Jeffrey Reiman, The Rich get Richer and the Poor get Prison: Ideology, Class and Criminal Justice, 8th ed.,Allyn Bacon, Inc., 2006. 64William L.F. Felstiner, Richard L. Abel and Austin Sarat, “ The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming . . .”Law & Society Review, Vol. 15, No. 3/4, Special Issue on Dispute Processing and Civil Litigation (1980 - 1981), pp. 631-654 65 Van Vollenhoven Institute berkenaan dengan ini memprakarsai proyek penelitian bertajuk ‘access to justice’. Laporan penelitian lapangan dari sejumlah peneliti tersedia di http://law.leiden.edu/organisation/metajuridica/vvi/research/access-to-justice/case-studies/case-studies-and-working-papers.html. Sekalipun berangkat dari studi lapang yang berbeda-beda, satu kesamaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana proses naming, blaming, claiming kerap justru mengukuhkan ketidakadilan (injustice) dan mengakibatkan peminggiran (marginalization). 66 Konsep yang diperkenalkan oleh Jean Baudrillard, Simulations, translated by Paul Foss, Paul Patton and Phillip Beitchman, New York: Foreign Agent Series, 1983.
Para Hadirin yang saya hormati,
Ini semua ‘Bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan ber’wacana’ ‘
Dapat dipahami mengapa kemudian Paul Gee tidak lagi memandang bahasa terutama sebagai alat
ber-komunikasi (dalam dialog), namun lebih dari itu. Ia menggarisbawahi fungsi bahasa sebagai
action dan affiliation. Disebutkan:67
“If I had to single out a primary function of human language, it would be not one, but the following two: to scaffold the performance of social activities (whether play or work or both) and to scaffold human affiliation within cultures and social groups and institutions. These two functions are connected.”
Dengan itu kita akan memandang dan menganalisis putusan (bahasa [Indonesia] Hukum) sebagai
wacana. Suara hakim (putusan) sebagai ‘narasi’ (text) dapat dimaknai (ditafsir ulang atau bahkan di-
dekonstruksi)68 dari sudut pandang langgam bahasa, pilihan kata-kalimat (diksi) yang digunakan.
Singkat kata apa yang justru hendak diungkap (disingkap) melampaui apa yang tersurat dan
sebaliknya adalah yang tersirat dan tidak terkatakan.69 Bahasa dimaknai melampaui pilihan kata.
Tatkala hakim menulis putusan atau membiarkan panitera yang melakukannya, seberapa jauh dan
bagaimana bahasa tulisan dalam putusan kembali berbicara kepada dan dimaknai oleh terpidana
atau masyarakat umum?
Sebaliknya bagaimana hakim memaknai pilihan bahasa dan sikap tubuh terdakwa? Karena ternyata
sikap terdakwa – setidaknya dalam kasus-kasus pidana - selama persidangan dapat berdampak jauh
terhadap penjatuhan dan/atau berat-ringannya hukuman. Terdakwa yang bersikap sopan
(berpakaian putih-hitam dan berpeci, tidak menyilangkan kaki), tidak berbantah dan segera
mengakui perbuatannya akan cenderung dihukum lebih ringan daripada mereka yang ‘ngeyel’ atau
‘bersilat-lidah’ mempertahankan ketidakbersalahannya. Menghina pengadilan (contempt of court)
adalah sikap perbuatan dari terdakwa yang tidak menyenangkan hakim.
67 James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, London & New York: Routledge, 1999. 68 Ihtiar membongkar (dekonstruksi) kiranya dilandaskan pada ‘the hermeneutics of suspicion’. Disebut bahwa dengan itu selalu diandaikan: beneath or behind the surface lay causal forces that explained the conscious phenomena precisely because they laid bare the true meaning of those phenomena. Baca lebih lanjut Brian Leiter, “The Hermeneutics of Suspicion: Recovering Marx, Nietzsche and Freud”, di dalam www.ptw.uchichago.edu/Leiter11.pdf (diunduh 10/10/2014). Lihat juga: G.D. Robinson, “Paul Ricoeur and the Hermeneutics of Suspicion: A Brief Overview and Critique, Premise/Volume II, No. 8/September 27, 1995, page 12. Dijelaskan di dalamnya bahwa tujuan hermeneutics of suspicion adalah to unmask, to reveal and distinguish the real from the apparent. 69 Discourse analysis: defined as the analysis of language 'beyond the sentence'. (...). Discourse analysts study larger chunks of language as they flow together. (..) Reframing' is a way to talk about going back and re-interpreting the meaning of the first sentence. Frame analysis is a type of discourse analysis that asks, What activity are speakers engaged in when they say this? What do they think they are doing by talking in this way at this time? Consider how hard it is to make sense of what you are hearing or reading if you don't know who's talking or what the general topic is. When you read a newspaper, you need to know whether you are reading a news story, an editorial, or an advertisement in order to properly interpret the text you are reading.( http://www.linguisticsociety.org/resource/discourse-analysis-what-speakers-do-conversation/12/09/2014).
Di samping itu, dan melampaui pendekatan pertama, putusan hakim akan ditempatkan dalam
medan pertempuran politik (dan perdebatan tentang kebenaran mana yang dianggap seharusnya
berlaku). Dikatakan:70
“(...) using a discourse perspective means to conceive of policy – and action on this study (...)
as a political struggle. Simply how a problem is defined determines who is causing a problem
and who is given the authority to solve it. In terms of power this is crucial. The struggle is
then about the power to dominate the discussion in terms of the definition of problems and
solutions, about making a particular discourse dominant or hegemonic.”
Maka juga putusan hakim sebagai text hanya dapat dimaknai dalam konteks politik tertentu.
Konteks mana selalu dapat (dengan mudah) ditafsir dengan atau tanpa tujuan dekonstruksi maupun
rekonstruksi.
Dalam kasus korupsi yang telah disebutkan, rasionalitas ekonomi proses pemilihan ketua partai
politik dan upaya mengisi pundi-pundi partai dengan cara ‘meminta partisipasi teman dan
masyarakat’71 yang merupakan “habitus” berpolitik di Indonesia berbenturan dengan rasionalitas
kebijakan pemberantasan korupsi yang memandang praktik serupa sebagai sesuatu yang salah.
Mahfud MD dengan cara serupa memaknai kasus dugaan Bulog dan Brunei sebagai perekayasaan
alasan pemakzulan Presiden Gus Dur.72 Bahasa politik disalahartikan dengan cara ditempatkan dan
dimaknai sebagai persoalan hukum. Praktik lobby politik-ekonomi serta transaksi verbal yang
muncul di dalamnya antara para pelaku yang dalam konteks tertentu dianggap biasa dan wajar
dengan mudah dibaca dalam konteks yang sama sekali berbeda untuk digunakan mencapai tujuan
yang juga berbeda dan sertamerta dianggap illegal atau sebaliknya justru legitim. Adanya perbedaan
konteks itulah yang kerap digunakan untuk men-dekonstruksi alasan Komisi Pemberatasan Korupsi
(KPK) menyasar ‘korupsi’ dikalangan DPR. Serangan KPK adalah bagian dari konspirasi politik dan
dalam konteks inipun kegiatan pemberantasan korupsi hendak dipadamkan. Dalam bahasa mass
media, KPK dipolitisasi.
Sedangkan dalam hal perkosaan, menarik untuk mencermati diksi (pilihan kata) yang acap
digunakan penuntut umum dan termuat pula di dalam putusan pengadilan. Perkosaan sebagai
perbuatan tercela di-‘netralisasi’ dan di ‘sterilisasi’ sebagai tindakan mekanistik: memasukan ‘paksa’
barang A ke dalam barang B.73 Konon, praktik demikian dapat dibenarkan karena begitulah tuntutan
dari rumusan delik di mana setiap unsur harus dibuktikan. Pada lain pihak, seorang pengacara yang
bekerja di LBH Bandung justru kesulitan membela korban perkosaan akibat cara pandang di atas. Ia
menangani dua kasus perkosaan berbeda dan mendapatkan dua putusan yang dari sudut
pandangnya tidak berkeadilan.74 Satu menyangkut anak perempuan berkebutuhan khusus (mental
terbelakang) dan kasus lain berkenaan dengan perempuan beranjak remaja. Dalam kasus pertama,
70 J. Arnscheidt, ‘Debating’ Nature Conservation: Policy, Law and Practice in Indonesia (diss Leiden Univ, unpublished, 2009). 71 Jacqui Baker, “The Parman Economy: Post Authoritarian Shifts in the Off-Budget Economy of Indonesias Security Institutions, Indonesia, Vo. 96 (October 2013), 123-150. Jaqcui menulis tentang kebijakan penganggaran kegiatan kepolisian. Analisisnya tentang ekonomi partisipasi teman (yang muncul karena anggaran negara selalu tidak mencukupi kebutuhan nyata) kiranya berguna juga untuk menelaah praktik kebijakan penganggaran partai politik. 72 Abdul Malik, “Mahfud MD: Penjatuhan Gus Dur Melanggar Hukum” , 12 des 2012. www.nu.or.id (05/10/2014). 73 Sidang pengadilan perkara perkosaan dan pembacaan putusan menurut hukum dilakukan dalam sidang tertutup. Namun dengan mudah pula putusan perkosaan dapat diunduh dari internet. Periksa Putusan no. 228/Pid/2013/PT.Bdg. 74 Diajukan sebagai penulisan tugas akhir untuk memenuhi prasyarat kelulusan dalam mata kuliah sosiologi hukum di program pascasarjana UNPAR, periode 2011-2012.
korban (yang hamil akibat perbuatan tersebut) tidak memahami dan mengalami adanya paksaan
dan dalam kasus kedua, korban (remaja tanggung; kemungkinan besar belum memahami penuh
dampak tubuh perempuanan-nya terhadap laki-laki hidung belang) dipersalahkan karena dianggap
berperilaku menggoda.
Dalam konteks bertatabahasa (hukum) di atas dapat kita pahami mengapa dalam kasus pertama
putusan (solusi) hakim adalah menuntut janji pemerkosa untuk ‘bertanggungjawab’ dan dalam kasus
kedua ‘menghukum’ korban (perempuan remaja) karena menggoda (mengundang risiko) laki-laki.
Disebutkan bahwa pelaku tidak sepenuhnya dapat dipersalahkan karena ‘membaca dan bereaksi’
terhadap undangan terbuka korban yang meminta diperkosa. Di dalam putusan (memuat dakwaan
dan pembelaan) juga dapat dibaca pengulangan ad nauseam perbuatan mekanistik di atas dengan
penekanan implisit: di dalam dunia laki-laki perempuan adalah penggoda dan mereka yang harus
menanggung akibatnya. Singkat kata, dari kedua putusan tersebut - dipahami sebagai discourse –
dapat kita ungkap bagaimana dunia laki-laki (yang diafirmasi pengadilan) memandang seksualitas
perempuan. Sebagai godaan yang terhadapnya laki-laki mudah khilaf dan silap mata. Text harus
kita pahami dalam konteks.
Para Hadirin yang saya hormati,
Di sini selanjutnya pertanyaan pokok yang muncul ialah apakah ‘Hukum dan Keadilan dalam
Putusan adalah sekadar wacana?’
Bagaimanapun juga kedua contoh di atas (kasus korupsi dan perkosaan) kiranya dapat
mengilustrasikan putusan sebagai wacana (discourse). Dengan itu validitias dari putusan dapat
dibongkar (dekonstruksi/demistifikasi) dan ditunjukkan apa pemikiran atau ideologi dibaliknya.
Pendekatan yang juga akan memaksa kita untuk tidak menerima prima-facie kebenaran putusan
hakim. Kita justru berdialog dengan versi kebenaran/ketidakbenaran yang berada di balik atau
tersembunyi di dalam putusan. Pada saat sama, keseluruhan bangunan hukum, termasuk sistem
aturan yang merupakan bagian tidak terpisahkan darinya, dapat kita bongkar. Ideologi yang
tersembunyi dalam bahasa hukum dapat kita bongkar dan pertanyakan. Sikap kritis yang sebenarnya
pantas dipupuk.
Kendati begitu, me’wacana-kan hukum berarti juga membuka diri untuk terus mempertanyakan,
bahkan mendekonstruksi dan merekonstruksi keseluruhan tatanan hukum. Dari titik tolak ini, dapat
dikatakan bahwa keseluruhan bangunan aturan hukum yang memuat perintah maupun larangan,
bahkan juga konsep ‘mala in se/mala prohibita’ ataupun ‘illegal per se/rule of reason’75 sebagai tolok
ukur menentukan perbuatan apa yang patut dipandang tercela dapat dimaknai berubah-ubah sesuai
konteks kemasyarakatan yang juga berubah-ubah. Konteks itulah yang semestinya diungkap dan
dimaknai kembali. Dengan kata lain, sesuatu menjadi terlarang - tercela atau jahat - sekadar karena
demikian kelompok masyarakat dominan berhasil me – wacana-kannya.76 Mengungkap,
membongkar dan membangun kembali ‘wacana’ tentang kebenaran, hukum dan keadilan yang acap
75 Konsep mala in se (jahat dengan sendirinya) dan mala prohibita (dilarang karena disepakati demikian) penting dalam penentuan apa yang dilarang dikaitkan dengan sifat ketercelaannya. Pengertian ini relevan dalam hukum pidana. Sedangkan konsep illegal per se dan rule of reason muncul dalam hukum keperdataan dalam kaitan dengan pengertian ada/tidaknya itikad baik dalam hubungan keperdataan. Konsep serupa melandasi hukum ekonomi/kompetisi. 76 Michel Foucault, Madness & Civilization: A history of Insanity in the Age of Reason, tersedia sebagai ebook di http://archieve.org/stream.
terbentuk karena adanya hegemoni kelompok (yang menguasai pembentukan hukum dalam dan
melalui putusan) menjadi penting.77
Dari sudut pandang ini dapat dimengerti mengapa kemudian hukum dianggap bukan bermula dari
ketertiban-keberaturan masyarakat, namun, justru dari perkembangan hukum dan masyarakat yang
dicirikan oleh kekacauan (chaos dan arbitrariness), keterputusan dan keacakan.78 Hukum (dan
masyarakat) baik yang muncul dalam perundang-undangan serta putusan pengadilan - yang justru
tidak pernah berkembang sistemik, runut, metodologis dan tertib - adalah bagian dari riuh-
rendahnya chaos. Di sini kita tidak hanya berhadapan dengan perbenturan serta persinggungan
ragam sumber hukum (peraturan perundang-undangan) yang terbentuk tidak sistemik, acak dan
cenderung temporer serta fragmentaris.
Maka di dalamnya kita dapat temukan perbenturan dan perjumpaan ragam ‘wacana’ tentang hukum
dan keadilan, termasuk yang di-dekonstruksi dan direkonstruksi oleh hakim di dalam putusan.
Selanjutnya di dalam putusan hakim tidak akan kita temukan logika atau pemikiran sistemik yang
runut serta 100 % obyektif. Subyektivitas (keyakinan) hakim yang menjadi dasar pembentukan
putusan akan bersifat contigent.79 Dalam pandangan Anthon F. Susanto, hakim justru memutus
berangkat dari keraguan, yakni ketika berhadapan dengan keterbukaan kemungkinan memutus.80
Hakim melalui (keberagaman) putusan-putusannya (yang merupakan pembacaan terhadap undang-
undang dan keadilan) justru berbicara pada kita tentang orderly chaos atau chaotic order dari sistem
hukum.81
Namun apakah kemudian kita harus menerima begitu saja pandangan relativistik dan nihilistik
terhadap validitas hukum dan putusan pengadilan? Sebaliknya bahkan Derrida sebagaimana dikutip
Cotterrell menyatakan dekonstruksi hukum (putusan)82: is justice dan justice di sini dimaknai sebagai
“the transcendent state of affairs that law can never reach yet must always be driven towards by
deconstructive questioning. Justice is ‘infinite, incalculable, rebelious to rule and foreign to
symmetry”. Tugas kita tatkala berhadapan dengan ragam wacana yang muncul terbuka maupun
tersembunyi dalam putusan hakim adalah untuk terus mengkritisinya dari sudut pandang keadilan
sebagai tujuan ideal.
77 Hegemoni menunjuk pada suatu situasi “... dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the rulling class, maintain their dominance by securing the ‘spontaneous consent’ of subordinate groups belonging to the working class, through the negotiated construction of political and ideological consensus which incorporates both dominant and dominated groups. Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge: London, 1995. 78 Pendekatan yang di Indonesia diperkenalkan oleh Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistemik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Bandung: Genta Publishing, 2010. 79 Rb. Budi Prastowo dalam diskusi informal dengan penulis (07/10/2014) menyatakan bahwa pengambilan putusan hakim cenderung bersifat abduktif, tidak berlandaskan metoda berpikir induktif ataupun deduktif. Hakim berhadapan dengan ragam kemungkinan menafsirkan, pada suatu titik melakukan lompatan keyakinan (leap of faith) dan membenarkan pertimbangan-pertimbangannya dengan ‘menormakan’ putusan akhir. Ini kiranya sejalan dengan pandangan Dworkin yang dikutip di atas. 80 Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Keadilan dalam Hukum: sebuah pembacaan dekontruktif”, Jurnal Keadilan Sosial, edisi 1/2010, 23-43. Pendekatan non-sistemik terhadap hukum ini direspons B. Arief Sidharta yang menulis: Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum Sistematik yang Responsif terhadap Perubahan Masyarakat, cet.1, Bandung: Genta Publishing, 2013. Ia memandang ilmu hukum lebih sebagai kegiatan pengembanan hukum (Bab VI) yang bersifat praktikal (Bab VII) dan sebab itu menempatkan hermeneutika sebagai titik tolak untuk ‘mencari dan menemukan hukum’ dengan beranjak dari text otoritatif. 81 Roger Cotterrell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy, 2nd ed. Oxford University Press, 2003. Lihat khususnya Chapter 9 (the deconstruction and reconstruction of law). 82 Ibidem, p. 248.
Para Hadirin yang saya hormati,
Sebagai ‘Penutup’
Kedua perspektif yang digunakan (socio-legal maupun filsafat bahasa) menunjukkan satu
persamaan. Keduanya berangkat dari kecurigaan bahwa hakim dan putusan dengan siapa kita
berdialog tidak pernah (dapat) sepenuhnya terbuka. Putusan hakim baik dibaca dalam kaitan atau
justru sebagai text yang berdiri sendiri berbicara pada kita tentang banyak hal di luar persoalan
kepastian hukum dan keadilan. Kedua pendekatan itu – begitu harapan saya – juga mengajarkan
pada kita bagaimana hakim dan pengadilan mencoba memandang diri mereka dan menempatkan
diri dalam konstelasi ketatanegaraan dan sistem hukum Indonesia. Kemandirian sebagaimana
dimaknai oleh pengadilan sekalipun tidak sertamerta muncul dalam putusan kiranya adalah
persoalan sangat penting. Bahkan lebih penting dari ikhtiar memaknai putusan sebagai ungkapan
kepastian dan keadilan atau sebagai sumber hukum yang layak dipelajari-dicermati.
Apa yang dapat saya katakan di akhir pengembaraan intelektual di atas? Terakhir terimakasih sudah
bersedia mendengar. Vivat academia, vivat almamater.
Daftar Pustaka Buku Ab Massier, The Voice of the Law in Transition: Indonesian jurist and their language, 1915-2000, Leiden: KITLV Press, 2008. Adriaan Bedner, Administrative Courts in Indonesia: A Socio-legal Study, The Hague: Kluwer Law International, 2001. Aleksandr Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago: 1918-1956, WestviewPress, 1997. Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: RafikaAditama, 2007. Anthon F. Susanto, Ilmu Hukum Non-Sistemik: Fondasi Filsafat Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Bandung: Genta
Publishing, 2010. B. Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum: sebuah penelitian tentang fundasi kefilsafatan dan sifat keilmuan
ilmu hukum sebagai landasan pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999. B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia: Upaya Pengembangan Ilmu Hukum yang Responsif terhadap Perubahan
Masyarakat, Yogyakarta: Genta Publishing, 2013; Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Bandung: CitraAdityaBakti, 1996 Cf. Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, London: Routledge, 1995. Franz von-Keebet von Benda-Beckmann, The Broken Stairways to Consensus: Village Justice and State Courts in
Minangkabau. Dordrecht, Leiden, Cinnaminson: Foris Publications, KITLV Press, 1984. Franz von Benda-Beckmann, Keebet von Benda-Beckmann & Anne Griffiths(eds.), Mobile People, Mobile Law: Expanding
Legal Relations in a Contracting World, Ashgate Publishing Ltd., 2005. George Orwell, 1984, http://www.pdfbooksforfree.com/1984-george-orwell/ George Orwell, Animal Farm, first published 1944, https://ebooks.adelaide.edu.au/o/orwell/george/o79a/ James Paul Gee, An Introduction to Discourse Analysis: Theory and Method, London & New York: Routledge, 1999. Jean Baudrillard, Simulations (translated by Paul Foss, Paul Patton and Phillip Beitchman), New York: Foreign Agent Series,
1983.
Jeffrey Reiman, The Rich get Richer and the Poor get Prison: Ideology, Class and Criminal Justice, 8th ed. : Allyn Bacon, Inc., 2006 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005 Michel Foucault, Madness & Civilization: A history of Insanity in the Age of Reason, ebook : http://archieve.org/stream. Niklas Luhmann, Law as a Social System, Oxford University Press, 2004. Peter L. Berger & Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, New
York: Random House Inc, 1966. Pierre Bordieau, Language and Symbolic Power, Harvard University Press, 1991 Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Lentera, 1997. Roger Cotterrell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy, 2nd ed. Oxford University Press,
2003.
Ronald Dworkin, Law’s Empire, Harvard University Press, 1998. Ramo Siltala, A Theory of Precedent: From Analytical Positivism to a Post-Analytical Philosophy of Law, Hart Publishing,
2000. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007. Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum: Buku 1 Akar Filosofis, Cet.ke-1, Yogyakarta: GentaPublishing, 2013. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: CitraAdityaBakti, 1993. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, cet. II, Yogkarta: Liberty, 2001. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, edisi revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2010. Makalah, Tulisan Lepas, Bunga Rampai, Kumpulan Tulisan Adriaan Bedner, Shopping Forums: Indonesia’s Administrative Courts, dalam Andrew Harding and Penelope (Pip) Nicholson
(eds), New Courts in Asia, London: Routledge, 2010, pp. 210-230. J. Arnscheidt, ‘Debating’ Nature Conservation: Policy, Law and Practice in Indonesia , Univ. Leiden, unpublished diss., 2009. Mohammad Fajrul Falaakh (ed.), Akar-akar Mafia Peradilan di Indonesia (Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum), edisi 1,
Jakarta: KHN, Desember 2009. Sebastian Pompe, Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, Univ. Leiden, unpublished diss.,1996. Simon Butt, Surat sakti: The decline of the authority of judicial decisions in Indonesia, dalam Tim Lindsey (ed.), Indonesia:
Law and Society, 2nd ed. (the Federation Press, 2008) Yance Arizona, Indonesia Menggugat! Menelusuri Pandangan Soekarno terhadap Hukum, makalah disampaikan pada
Konferensi Nasional ke-2, Filsafat Hukum dan Kemajemukan Masyarakat Indonesia, Semarang, 16-17 juli 2012, kerjasama Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Epistema Institute dan FH Unika Soegijapranata.
Jurnal Cetak Anthon F. Susanto, “Keraguan dan Keadilan dalam Hukum: sebuah pembacaan dekontruktif”, Jurnal Keadilan Sosial, edisi
1/2010, 23-43. G.D. Robinson, Paul Ricoeur and the Hermeneutics of Suspicion: A Brief Overview and Critique, Premise/Volume II, No.
8 September 27, 1995. Jacqui Baker, “The Parman Economy: Post Authoritarian Shifts in the Off-Budget Economy of Indonesias Security Institutions, Indonesia, Vo. 96 (October 2013). Richard A. Posner, Theories of Economic Regulation, The Bell Journal of Economics and Management Science, Vol. 5, No. 2,
Autumn, 1974.
Romualdo E. Abulad, SVD, “What is hermeneutics?”, Kritike Vol. 1, No. 2 , December 2007. William L.F. Felstiner, Richard L. Abel and Austin Sarat, “ The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming,
Claiming . . .”Law & Society Review, Vol. 15, No. 3/4, Special Issue on Dispute Processing and Civil Litigation ,1980 - 1981.
Majalah Cetak Anonimus, Majalah Wanita Mingguan Femina, No. 29/XLII/19-25 juli 2014. Gandhi Achmad, “MK Tolak Judicial Review UU MD3”, Gatra 4 oktober 2014.
Goenawan Mohamad, “Bandit”, Catatan Pinggir, Tempo, 29 september 5 oktober 2014. ICW, “Muspida itu Peninggalan Orba”, Kompas, 27 november 2006. Rusman Nurjaman, Mahfud MD : “Menerobos Kebuntuan Hukum”, Majalah Intisari, Edisi Khusus HUT ke-50, September
2013. Susana Rita, “Penegakan Hukum: Hak Istimewa untuk yang Terhormat”, Kompas, 10 oktober 2014. Jurnal Digital, Majalah Digital, Laman Abdul Malik, “Mahfud MD: Penjatuhan Gus Dur Melanggar Hukum” , 12 des 2012. www.nu.or.id (05/10/2014). Ahmad Farhan Faris, “ICW: Mafia Peradilan Masih Marak di Indonesia”, www.inilah.com (diakses : 03/08/ 2014). Ali Salamande, “Perbedaan sifat mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi”, www.hukumonline.com , (diakses : 27/09/ 2011). Ali Salamande, “Perbedaan sifat mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi”, www.hukumonline.com (diakses : 27/09/ 2011). Avitia Nurmatari, “Bandung Dijuliki ‘The City of Pigs’, Ridwan Kamil: Kita Harus Introspeksi”, www.detiknews (diakses :
05/02/2014). Anonimus, Kontroversi Pemblokiran Situs VIMEO oleh Kominfo, www.media.Kompasiana.com (diakses : 13/05/ 2014). Anonimus, Overview of the Indonesian Legal System by New York University , www.IndonesiaLawonline.com
(diakses : 30/08/2014).
Anonimus, “Salinan Putusan MA didapat, Prita Mulyasari Lega”, http://www.tempo.co/read/news/2013/05/07/064478541/ (diakses : 12/09/2014).
Anonimus, Akhirnya , MA Bebaskan Prita Mulyasari, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5057d8e58f799/ (diakses : 12/09/2014).
Anonimus, LSM meminta Florence Sihombing dibebaskan, http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/08/ (diakses : 12/09/2014).
Anonimus, “Pengadilan diminta menghentikan persidangan Raju” http://news.liputan6.com/read/118584/ (diakses : 12/09/2014). Anonimus, “MK Tolak Gugatan Uji Materi UU MD3”, www.tempo.co.id ( diakses : 29/09/ 2014). Anonimus, “MK Tolak Permohonan PDI-P, Tantowi Yakin Kekuatan Parlemen Milik KMP”, www.kompas.com (diakses : 30/09/2014). Brian Leiter, The Hermeneutics of Suspicion: Recovering Marx, Nietzsche and Freud,
www.ptw.uchichago.edu/Leiter11.pd f (diunduh : 10/10/2014). Elisabeth Nurhaini Butarbutar, “Sistem Peradilan Satu Atap dan Perwujudan Negara Hukum RI menurut UU no. 4 tahun
2004”, www.mimbar.hukum.ugm.ac.id, (diakses : 30/08/2014). ICW, Pemberantasan Korupsi di DPR Akan Sulit, www.tempo.co.id (diakses : 3 oktober 2014) Inna Savova, Bandung, the City of Pigs, www.venusgotgonorrhea.wordpress.com (diakses : 05/10/2014). Karni Ilyas, Musthafa Helmy & Agus Basri, Laporan: Impian sebagai kalangan hukum agar hakim tidak lagi berada di bawah
dua instansi (majalah tempo, maret 1986) diunduh dari www.majalah2.tempo.co/arsip/1986/03/08/HK/ ( diakses : 20/09/2014).
Keijser, J.W. de; Weerman, F.M; Huisman, W. , Onderzoek naar de begrijpelijkheid van de rechtspraak, Delik en Delinkwent,
37(7), 706-711, http://hdl.handle.net/1871/47651 (diakses : 30/08/2014). Moh Mahfud MD, Tidak ada Sistem Ketatanegaraan Asli, www.mahfudmd.com (diakses : 10/06/2009) Mys, Bahasa Hukum: Onvoldoende Gemotiveerd, www.hukumonline.com , (diakses : 09/09/2011) Pramono, Depkominfo Jelmaan Departemen Penerangan Buat Batasi Pers, www.tempoIntreraktif.com (diakses : 27/01/2006). Triwidodo, Beginikah Cara Mafia Peradilan Bekerja di Indonesia?, www.hukum.kompasiana.com, (diakses : 08/10/ 2012). Zul Fadli, Mungkinkah kewenangan MKN akan mengalami nasib serupa dengan MPD diuji di Mahkamah Konstitusi juga? www.medianotaris.com (diakses : 24/09/2014). Peraturan perundang-undangan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (amandemen). Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (tidak diberlakukan dengan diterbitkan Undang-Undang RI No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman). Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (tidak diberlakukan dengan diterbitkan Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Kehakiman (tidak diberlakukan dengan diterbitkan UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembagan Negara Tahun 2009 Nomor 157) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 135) jo. Undang-Undang RI Nomor 37 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1998 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 131). Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 117) jo. Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3). Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 89 ) jo. Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 106). Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98) jo. Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembarab Negara Tahun 2011 Nomor 70). Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 1986 No 77) jo. Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 35) jo. Undang-Undang Nomor RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 160), Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1986 tentang Musyawarah Pimpinan Daerah, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 019/KMA/SK/II/2007 (19 February 2007) tentang Penunjukan tim Penelitian Pembentukan Hukum melalui Yurisprudensi. Yurisprudensi Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012 .
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 638 K/Sip/1969; 492 K/Sip/1970; 67 K/Sip/1972; 903 K/Sip/1972). Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 03K/N/1998. Putusan Perkara MA No. 04K/N/1999. Putusan Perkara MA No. 05K/N/1999. Putusan Perkara MA No. 27K/N/1999. Putusan Perkara Pengadilan Tinggi No. 228/Pid/2013/PT.Bdg. Putusan Pengadilan Niaga No.mor 07/Pailit/1998/PN/Niaga/Jkt.Pst. Laporan Penelitian Laporan penelitian “access to justice” di dalam http://law.leiden.edu/organisation/metajuridica/vvi/research/access-to-justice/case-studies/case-studies-and-working-papers.html. .