95114996-kegawatdaruratan-psikiatri

22
1 KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) a. Kondisi gaduh gelisah b. Tindak kekerasan (violence) c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat e. Delirium Evaluasi Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus dilakukan secara tepat adalah: a. Menentukan diagnosis awal b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai Dalam proses evaluasi, dilakukan: 1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan

Upload: merlinda-juwita-simanjuntak

Post on 13-Aug-2015

88 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

1

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan

Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang

memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara

lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus

kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang

memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan

Gitayanti Hadisukanto, 2010)

a. Kondisi gaduh gelisah

b. Tindak kekerasan (violence)

c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri

d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat

e. Delirium

Evaluasi

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah

tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera

yang harus dilakukan secara tepat adalah:

a. Menentukan diagnosis awal

b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera

pasien

c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik

Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara

ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat.

Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi

dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak

kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat

berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan

Page 2: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

2

kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi

terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan

ini dilakukan dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit,

pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika

perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus

dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-

tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah

diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang

gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per

menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami

delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang

harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

a. Keamanan pasien

Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan

bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman

bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi,

perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.

b. Medik atau psikiatrik?

Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik,

psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan

jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi

berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau

gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental

yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat

darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab

gangguan fungsi mental yang tampak.

c. Psikosis

Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa

jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya

Page 3: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

3

tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan

yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat.

d. Suicidal atau homicidal

Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi

secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak

kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada

pasien.

e. Kemampuan merawat diri sendiri

Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah

pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran

yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya

untuk merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi

rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan

c. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi

1. Diagnosis

Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada

beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan

data , misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin),

pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti

catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan

sebelum memulai tindakan.

2. Terapi

Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi

Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah

untuk:

a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

Page 4: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

4

b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol,

trifluoperazine, perphenazine dsb

b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.

c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik

kadang sangat efektif.

A. Keadaan Gaduh Gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya,

tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan

sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan

sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan

gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).

Etiologi

Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis

psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):

1. Delirium

2. Skizofrenia katatonik

3. Gangguan skizotipal

4. Gangguan psikotik akut dan sementara

5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium

Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma

otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini

dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan

gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis,

2009).

Page 5: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

5

Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu

mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan

patologik-anatomik (misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah

otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak

(umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan

atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan

gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-

gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri

(Maramis dan Maramis, 2009).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut

biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik

menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik

menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan

sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan

gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali

dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis,

2009).

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal

Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu

merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak

berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya

hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.

Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita.

Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat

inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang

jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila

kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek

kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan

(kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren),

Page 6: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

6

yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak

pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).

Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-

gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah

katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan

inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak

realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara

Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang

dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau

konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas,

umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan,

kerugian dan bencana.Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan

gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan

Maramis, 2009).

4. Psikosis bipolar

Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok

gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang

menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah

yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk

kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti

pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya

menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan

Maramis, 2009).

Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata

yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-

loncat atau melayang (“flight of ideas”). Ia merasa gembira luar biasa (efori),

segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara

Page 7: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

7

(logorea) dan sering ia lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis,

2009).

5. Amok

Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan

dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman

Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke

dalam kelompok “Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial

Budaya di Indonesia” (“culture bound phenomena”). Efek “malu” (pengaruh

sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode

“meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai

mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang

menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang

dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam

keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering

berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena

kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia

menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan

Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):

a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu

b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan

c. Membawa benda-benda tajam atau senjata

d. Adanya perilaku agitatif

e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat

f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid

g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak

kekerasan.

h. Kegelisahan katatonik

i. Episode manik

Page 8: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

8

j. Episode depresi agitatif

k. Gangguan Kepribadian tertentu

Menilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):

a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan

b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 – 24

tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah

c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk,

penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri

sendiri, psikosis

d. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)

Tatalaksana

Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting

sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu

waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para

pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan

Maramis, 2009).

Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap

berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak

mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha

memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab

keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin

(Maramis dan Maramis, 2009).

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis

terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna

untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka

suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya

trifluoperazine, haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai,

biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi.

Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya

Page 9: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

9

diazepam (5 – 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa

tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-

duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan

Maramis, 2009).

Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai

dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan

susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan

sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan

berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah

tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).

Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia

jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau

merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka

pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga

dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita

berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga

suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk

mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.

Page 10: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

10

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak

mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati

keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis

skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan

neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

B. Tindak kekerasan (violence)

Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh

seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri,

disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak

kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula

terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari

dengan cara yang lebih baik.

a. Gambaran klinis dan diagnosis

Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:

Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila

paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding

hallucination),

Intoksikasi alkohol atau zat lain,

Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif

Katatonik furor

Depresi agitatif

Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan

pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan

antisosial),

Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan

temporalis otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak

kekerasan,

Page 11: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

11

Adanya rencana spesifik,

Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,

Laki-laki,

Usia muda (15-24 tahun),

Tatus sosioekonomi rendah,

Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,

Tindakan antisosial lainnya

Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak

kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat

diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk

memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

Panduan wawancara dan Psikoterapi

Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan

yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints).

Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat

atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif:

“minum tablet ini sekarang”

Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat

diterima,

Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap

tenang dan penuh kontrol.

Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

Evaluasi dan penatalaksanaan

1) Lindungi diri anda

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata

- Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas

(violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang

bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.

- Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan

itu pada anggota staf yang terlatih.

Page 12: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

12

- Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

- Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.

- Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin

merasa bahwa anda mengancamnya

- Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu

persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag

anda. Jangan pernah membelakangi pasien

2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:

- Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum

lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

- Ancaman verbal,

- Agitasi psikomotor,

- Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

- Waham kejar, dan

- Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata

(seperti garpu, asbak)

3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien

secara aman.

4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih.

Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik

untuk menenangkan pasien.

5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik

dan wawancara pskiatrik.

Terapi Psikofarmaka

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien

diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:

- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis

rata-rata per hari 13-14mg,

- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam

2 menit).

Page 13: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

13

Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis

yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko

kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya

carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan

organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian ß-

blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum

Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang

diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D

dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat

mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).

Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri.

Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:

1. Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan

oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu

seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat

menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan

percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat

daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah

perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.

2. Bunuh diri altruistik

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk

bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa

bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di

Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa

masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang

terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya

yang sedang tenggelam.

3. Bunuh diri anomik

Page 14: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

14

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu

dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma

kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat

atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada

pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini

menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih

banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang

mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan

percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai

berikut:

1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (“Death as retaliatory

abandonment”).

Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa

takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat

mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.

2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (“Death as retroflexed

murder”).

Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat

mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang

ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan

penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk

membunuh.

3. Kematian sebagai penyatuan kembali (“Death as reunion”).

Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu

akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).

4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (“Death as self punishment”).

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada

wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan

menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak

Page 15: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

15

berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula

mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba

berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk

menjauhkan diri dari tujuan itu.

Faktor Risiko

Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):

l. Jenis kelamin

Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-

laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini

berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak

dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api.

Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan

racun.

m. Usia

Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-

laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada

perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang

lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering

berhasil.

n. Ras

Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri

dibanding ras kulit hitam.

o. Status perkawinan

Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di

rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh

diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang

pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.

p. Pekerjaan

Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status

sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai

Page 16: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

16

dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain.

Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan

spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri

adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang

tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.

q. Kesehatan fisik

Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah

kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri

hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.

r. Gangguan mental

Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri

memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%,

skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien

dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.

s. Kecanduan alkohol

Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%

pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari

pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota

keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.

t. Gangguan kepribadian

Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.

Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi.

Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol.

Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan

orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan

mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang

terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang

mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.

Page 17: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

17

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri

Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):

a. Pasien pernah mencoba bunuh diri

b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak,

atau berupa ancaman: “kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi”

(sering dikatakan pada keluarga)

c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga

diri, dan lain-lain)

e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan,

pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan

harta/barang-barang miliknya.

f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik

diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya

ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

Mulailah dengan menanyakan:

- Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

- Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

Tanyakan isi pikiran pasien:

- Berapa sering pikiran ini muncul?

- Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

Selidiki :

- Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana

bunuh dirinya?

- Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?

- Seberapa pesimiskah mereka?

- Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Page 18: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

18

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di

tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian

penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau

keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi

psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya

gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga

gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi

dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri,

jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat

membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru

melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan

atau dilakukan secara impulsif.

Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang

depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi

pasien secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang

setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan

kepribadian akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu

untuk memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.

Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan

mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu

mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal

adanya ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka

Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan

berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya

terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam

3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak

sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol

dalam bebeapa hari.

Page 19: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

19

D. Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan

dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot,

distonia, akinesia mutisme dan agitasi.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5ºC), kekakuan otot yang

nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia,

tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan

yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya

gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian.

Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat

dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik.

Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang

menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang

meningkat cepat.

Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan

jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih

gejala berikut:

- Diaforesis

- Disfagia

- Tremor

- Inkontinensia

- Penurunan kesadaran

- Mutism

- Takikardia

- Tekanan darah yang meningkat atau labil

- Leukositosis

- Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi

Page 20: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

20

Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas.

Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor

D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area

di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio

retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur

nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus

dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia

terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan otot

Faktor resiko

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding

perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah

dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala,

infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall

and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru

menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa,

levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga

perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya

pada keluarga dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang

mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.

Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa

dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma

neuroleptik maligna.

Hentikna pemberian antipsikotik segera.

Monitor tanda-tanda vital secara berkala.

Page 21: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

21

Lakukan pmeriksaan laboratorium

Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan

kemungkinan terjadiny agagal ginjal.

Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah

kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari

kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan

sampai 45 mg/hari

Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

Page 22: 95114996-KEGAWATDARURATAN-PSIKIATRI

22

DAFTAR PUSTAKA

Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI

Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.

Surabaya: Airlangga University Press.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of

Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York:

Lippincott Williams & Wilkins.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.