9 pop riset 9 - ftp.unpad.ac.id · membuat perasaan menjadi se-dih, senang, bahkan marah? ... musik...

1
CHRISTINE FRANCISKA P ERNAHKAH Anda merasa sangat tergugah ketika mendengarkan lagu? Terutama pada bagian-bagian tertentu saat per- mainan nada yang dibuat musisi membuat perasaan menjadi se- dih, senang, bahkan marah? Atau pernah merasa seorang musikus lebih bisa menyentuh perasaan jika dibandingkan de- ngan yang lain? Hal itu ternyata menarik bagi beberapa ilmuwan untuk menggali jawabannya. Walau musik merupakan hal yang terkesan subjektif, bebera- pa peneliti kini mencoba untuk memahami dan mengukur apa yang membuat musik begitu ekspresif. Singkatnya aspek apa yang membuat satu musik, Beethoven misalnya, terasa lebih emosional daripada yang lain? Aktivitas otak Penelitian menunjukkan bah- wa otak manusia menerjemah- kan musik tak hanya sebagai emosi yang fluktuatif, tetapi juga sebagai bentuk gerak dan aktivitas. Bagian otak--yang aktif ketika kita mengayunkan tongkat golf atau menorehkan tanda tangan--juga terlibat ketika kita mendengar musik-musik yang ekspresif. Daerah otak yang terkait dengan empati juga diaktifkan. Oleh karena itu, apa yang benar-benar mengomunikasi- kan emosi mungkin bukanlah melodi atau irama, melainkan gerakan musisi dalam menekan tuts piano atau memetik gitar dengan gaya tertentu. Perasaan muncul ketika musisi membuat perubahan halus terhadap pola- pola musik. Daniel J Levitin, direktur la- boratorium persepsi musik, kognisi, dan keahlian di McGill University di Montreal, mulai meneliti ekspresi musik ini sejak 2002, setelah mendengar secara live salah satu musik favoritnya, Mozart Piano Concerto No 27. “Musik itu membuat saya sedih,” kata Levitin, yang juga menulis buku This Is Your Brain on Music. “Bagaimana bisa?” ujarnya. Levitin dan seorang mahasis- wa, Anjali Bhatara, lalu memu- tuskan untuk mencoba memi- sahkan beberapa unsur ekspresi musik dengan cara ilmiah yang ketat. Baginya, itu sama seperti men- cicipi dua creme de pot yang ber- beda. “Satu memiliki rasa bum- bu dan jahe, sedangkan lainnya terasa vanili. Kau tahu mereka rasa yang berbeda, tapi Anda tidak dapat mengisolasi bahan- bahan ini,” jelas Levitin. Penelitian Untuk menguraikan hal itu, mereka dibantu Thomas Plaunt, Ketua Departemen Piano McGill. Plaunt memainkan potongan- potongan lagu Chopin pada Disklavier, sebuah piano de- ngan sensor yang tertanam di bawahnya. Dengan sensor tersebut, tiap tuts yang ditekan, berapa lama ia memegang tuts dan seberapa keras ia menekannya direkam dengan baik. Catatan itu berguna karena musisi jarang memainkan la- gu persis seperti yang tertulis pada lembaran musik. Mereka menambahkan interpretasi dan kepribadian di bagian tertentu. Rekaman pianis menjadi cetak biru. Sebuah komputer kemu- dian menghitung rata-rata ke- nyaringan dan panjang tiap nada yang dimainkan Profesor Plaunt. Para peneliti menciptakan versi ulang musik tersebut de- ngan menggunakan nilai rata- rata sehingga musik terdengar homogen dan rata. Selain itu, mereka menciptakan versi lain. Ada versi 50%, dengan panjang nada dan volume setengah dari yang asli, versi 25%, 75%, dan bahkan 125% dan 150%. Para relawan kemudian men- dengarkan berbagai versi terse- but secara acak dan membuat peringkat emosi di tiap versi musik yang didengarkan. Rela- wan yang terdiri dari musisi dan orang biasa memiliki kesimpulan yang sama. Bahwa kinerja pianis asli paling emosional, sedangkan versi rata-rata yang dibuat kom- puter kurang emosional. “Itu berarti bahwa pianis atau musisi sangat berpengalaman da- lam menggunakan isyarat-isyarat ekspresif dalam permainan musik mereka,” kata Bhatara, yang kini menjadi peneliti pascadoktoral di Université Paris Descartes. “Dia menggunakan keahlian itu di saat-saat yang tepat sehingga menciptakan emosi yang opti- mal.” (CE/NYTimes/M-1) [email protected] 9 P OP RISET Bukan irama dan nada yang menggerakkan perasaan, melainkan keahlian musisi dalam memainkan lagu. ANTARA NEURON, MUSIK, DAN PERASAAN REUTERS/THOMAS PETER MEMENGARUHI EMOSI: Warga menari saat mendengarkan musik techno di Berlin, Jerman, beberapa waktu lalu. Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia menerjemahkan musik tak hanya sebagai emosi yang fluktuatif, tetapi juga sebagai bentuk aktivitas dan ekspresi musisi.

Upload: hatruc

Post on 25-Jul-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 9 POP RISET 9 - ftp.unpad.ac.id · membuat perasaan menjadi se-dih, senang, bahkan marah? ... musik dengan cara ilmiah yang ketat. Baginya, itu sama seperti men-cicipi dua creme de

CHRISTINE FRANCISKA

PERNAHKAH Anda merasa sangat tergugah ketika mendengarkan lagu? Terutama pada

bagian-bagian tertentu saat per-mainan nada yang dibuat musisi membuat perasaan menjadi se-dih, senang, bahkan marah?

Atau pernah merasa seorang musikus lebih bisa menyentuh perasaan jika dibandingkan de-ngan yang lain? Hal itu ternyata menarik bagi beberapa ilmuwan untuk menggali jawabannya.

Walau musik merupakan hal yang terkesan subjektif, bebera-pa peneliti kini mencoba untuk me mahami dan mengukur apa yang membuat musik begitu ekspresif. Singkatnya aspek apa yang membuat satu musik, Beethoven misalnya, terasa lebih emosional daripada yang lain?

Aktivitas otakPenelitian menunjukkan bah-

wa otak manusia menerjemah-kan musik tak hanya sebagai emo si yang fluktuatif, tetapi juga sebagai bentuk gerak dan aktivitas. Bagian otak--yang aktif ketika kita mengayunkan tongkat golf atau menorehkan tanda tangan--juga terlibat ketika kita mendengar musik-musik yang ekspresif. Daerah otak yang terkait dengan empati juga diaktifkan.

Oleh karena itu, apa yang benar-benar mengomunikasi-kan emosi mungkin bukanlah me lodi atau irama, melainkan ge rakan musisi dalam menekan tuts piano atau memetik gitar

dengan gaya tertentu. Perasaan muncul ketika musisi membuat perubahan halus terhadap pola-pola musik.

Daniel J Levitin, direktur la-bo ratorium persepsi musik, kog nisi, dan keahlian di McGill University di Montreal, mulai meneliti ekspresi musik ini sejak 2002, setelah mendengar secara live salah satu musik favoritnya, Mozart Piano Concerto No 27.

“Musik itu membuat saya se dih,” kata Levitin, yang juga me nulis buku This Is Your Brain on Music. “Bagaimana bisa?” ujarnya.

Levitin dan seorang maha sis-wa, Anjali Bhatara, lalu memu-tuskan untuk mencoba memi-sahkan beberapa unsur ekspresi musik dengan cara ilmiah yang ketat.

Baginya, itu sama seperti men-cicipi dua creme de pot yang ber-beda. “Satu memiliki rasa bum-bu dan jahe, sedangkan lainnya terasa vanili. Kau tahu mereka rasa yang berbeda, tapi Anda tidak dapat mengisolasi bahan-bahan ini,” jelas Levitin.

PenelitianUntuk menguraikan hal itu,

mereka dibantu Thomas Plaunt, Ketua Departemen Piano McGill. Plaunt memainkan potongan-potongan lagu Chopin pada Disklavier, sebuah piano de-ngan sensor yang tertanam di ba wahnya.

Dengan sensor tersebut, tiap tuts yang ditekan, berapa lama ia memegang tuts dan seberapa keras ia menekannya direkam dengan baik.

Catatan itu berguna karena musisi jarang memainkan la-gu persis seperti yang tertulis pada lembaran musik. Mereka menambahkan interpretasi dan kepribadian di bagian tertentu.

Rekaman pianis menjadi cetak biru. Sebuah komputer kemu-dian menghitung rata-rata ke-nyaringan dan panjang tiap nada yang dimainkan Profesor Plaunt.

Para peneliti menciptakan versi ulang musik tersebut de-ngan menggunakan nilai rata-rata sehingga musik terdengar homogen dan rata. Selain itu, mereka menciptakan versi lain. Ada versi 50%, dengan panjang nada dan volume setengah dari yang asli, versi 25%, 75%, dan bahkan 125% dan 150%.

Para relawan kemudian men-dengarkan berbagai versi terse-but secara acak dan membuat peringkat emosi di tiap versi musik yang didengarkan. Rela-wan yang terdiri dari musisi dan orang biasa memiliki kesimpulan yang sama. Bahwa kinerja pianis asli paling emosional, sedangkan versi rata-rata yang dibuat kom-puter kurang emosional.

“Itu berarti bahwa pianis atau musisi sangat berpengalaman da-lam menggunakan isyarat-isyarat ekspresif dalam permainan musik mereka,” kata Bhatara, yang kini menjadi peneliti pasca doktoral di Université Paris Descartes. “Dia menggunakan keahlian itu di saat-saat yang tepat sehingga menciptakan emosi yang opti-mal.” (CE/NYTimes/M-1)

[email protected]

9POP RISET

Bukan irama dan nada yang menggerakkan perasaan, melainkan keahlian musisi dalam memainkan lagu.

ANTARA NEURON,

MUSIK, DAN PERASAAN

REUTERS/THOMAS PETER

MEMENGARUHI EMOSI: Warga menari saat mendengarkan musik techno di Berlin, Jerman, beberapa waktu lalu. Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia menerjemahkan musik tak hanya sebagai emosi yang fluktuatif, tetapi juga sebagai bentuk aktivitas dan ekspresi musisi.

CHRISTINE FRANCISKA

PERNAHKAH Anda merasa sangat tergugah ketika mendengarkan lagu? Terutama pada

bagian-bagian tertentu saat per-mainan nada yang dibuat musisi membuat perasaan menjadi se-dih, senang, bahkan marah?

Atau pernah merasa seorang musikus lebih bisa menyentuh perasaan jika dibandingkan de-ngan yang lain? Hal itu ternyata menarik bagi beberapa ilmuwan untuk menggali jawabannya.

Walau musik merupakan hal yang terkesan subjektif, bebera-pa peneliti kini mencoba untuk me mahami dan mengukur apa yang membuat musik begitu ekspresif. Singkatnya aspek apa yang membuat satu musik, Beethoven misalnya, terasa lebih emosional daripada yang lain?

Aktivitas otakPenelitian menunjukkan bah-

wa otak manusia menerjemah-kan musik tak hanya sebagai emo si yang fluktuatif, tetapi juga sebagai bentuk gerak dan aktivitas. Bagian otak--yang aktif ketika kita mengayunkan tongkat golf atau menorehkan tanda tangan--juga terlibat ketika kita mendengar musik-musik yang ekspresif. Daerah otak yang terkait dengan empati juga diaktifkan.

Oleh karena itu, apa yang benar-benar mengomunikasi-kan emosi mungkin bukanlah me lodi atau irama, melainkan ge rakan musisi dalam menekan tuts piano atau memetik gitar

dengan gaya tertentu. Perasaan muncul ketika musisi membuat perubahan halus terhadap pola-pola musik.

Daniel J Levitin, direktur la-bo ratorium persepsi musik, kog nisi, dan keahlian di McGill University di Montreal, mulai meneliti ekspresi musik ini sejak 2002, setelah mendengar secara live salah satu musik favoritnya, Mozart Piano Concerto No 27.

“Musik itu membuat saya se dih,” kata Levitin, yang juga me nulis buku This Is Your Brain on Music. “Bagaimana bisa?” ujarnya.

Levitin dan seorang maha sis-wa, Anjali Bhatara, lalu memu-tuskan untuk mencoba memi-sahkan beberapa unsur ekspresi musik dengan cara ilmiah yang ketat.

Baginya, itu sama seperti men-cicipi dua creme de pot yang ber-beda. “Satu memiliki rasa bum-bu dan jahe, sedangkan lainnya terasa vanili. Kau tahu mereka rasa yang berbeda, tapi Anda tidak dapat mengisolasi bahan-bahan ini,” jelas Levitin.

PenelitianUntuk menguraikan hal itu,

mereka dibantu Thomas Plaunt, Ketua Departemen Piano McGill. Plaunt memainkan potongan-potongan lagu Chopin pada Disklavier, sebuah piano de-ngan sensor yang tertanam di ba wahnya.

Dengan sensor tersebut, tiap tuts yang ditekan, berapa lama ia memegang tuts dan seberapa keras ia menekannya direkam dengan baik.

Catatan itu berguna karena musisi jarang memainkan la-gu persis seperti yang tertulis pada lembaran musik. Mereka menambahkan interpretasi dan kepribadian di bagian tertentu.

Rekaman pianis menjadi cetak biru. Sebuah komputer kemu-dian menghitung rata-rata ke-nyaringan dan panjang tiap nada yang dimainkan Profesor Plaunt.

Para peneliti menciptakan versi ulang musik tersebut de-ngan menggunakan nilai rata-rata sehingga musik terdengar homogen dan rata. Selain itu, mereka menciptakan versi lain. Ada versi 50%, dengan panjang nada dan volume setengah dari yang asli, versi 25%, 75%, dan bahkan 125% dan 150%.

Para relawan kemudian men-dengarkan berbagai versi terse-but secara acak dan membuat peringkat emosi di tiap versi musik yang didengarkan. Rela-wan yang terdiri dari musisi dan orang biasa memiliki kesimpulan yang sama. Bahwa kinerja pianis asli paling emosional, sedangkan versi rata-rata yang dibuat kom-puter kurang emosional.

“Itu berarti bahwa pianis atau musisi sangat berpengalaman da-lam menggunakan isyarat-isyarat ekspresif dalam permainan musik mereka,” kata Bhatara, yang kini menjadi peneliti pasca doktoral di Université Paris Descartes. “Dia menggunakan keahlian itu di saat-saat yang tepat sehingga menciptakan emosi yang opti-mal.” (CE/NYTimes/M-1)

[email protected]

9POP RISET

Bukan irama dan nada yang menggerakkan perasaan, melainkan keahlian musisi dalam memainkan lagu.

ANTARA NEURON,

MUSIK, DAN PERASAAN

REUTERS/THOMAS PETER

MEMENGARUHI EMOSI: Warga menari saat mendengarkan musik techno di Berlin, Jerman, beberapa waktu lalu. Penelitian menunjukkan bahwa otak manusia menerjemahkan musik tak hanya sebagai emosi yang fluktuatif, tetapi juga sebagai bentuk aktivitas dan ekspresi musisi.