9-hak asasi manusia

Download 9-Hak Asasi Manusia

If you can't read please download the document

Upload: ellyssa-verdyana

Post on 24-Nov-2015

165 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

hak asasi manusia di indonesia

TRANSCRIPT

HAK AZASI MANUSIA

293

Civic Education-Hak Asasi Manusia

9

HAK ASASI MANUSIA

I. PENGANTAR

P

ada bagian ini saudara akan mempelajari dan mendiskusikan tentang pengertian dan hakikat hak asasi manusia (HAM), sejarah lahir dan perkembangan HAM, bentuk-bentuk HAM, nilai-nilai yang terkandung dalam HAM, HAM dalam tinjauan agama-agama, pengaturan perundang-undangan dalam bidang HAM, pelanggaran dan pengadilan HAM, tanggung jawab pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM dan lembaga Komisi Nasional HAM. Selesai materi ini selesai dibahas dan didiskusikan Saudara diharapkan dapat:

memahami pengertian Hak Asasi Manusia

menganalisa sejarah perkembangan Hak Asasi Manusiamenjelaskan bentuk-bentuk Hak Asasi Manusiamenganalisa nilai-nilai Hak Asasi Manusiamemahami konsep Hak Asasi Manusia dalam perspektif agama-agamamenganalisa perundang-undangan Hak Asasi Manusia di Indonesia

II. ISTILAH-ISTILAH PENTING

1.1.HAM

2.Hak alamiah/hak dasar

3.Hak individu

4.Hak kelompok

5.Hak positif

6.Hak negatif

7.Magma charta

8.Bill of rights

9.Declaration of Indefendence

10.French Declaration

11.Four freedom

12.The universal declaration of human rights

13.Define rights of the king

14.Piagam Madinah

III. DESKRIPSI MATERI

Pengertian dan Hakikat

Hak Asasi Manusia

Untuk memahami perbincangan tentang HAM (Hak Asasi Manusia), maka pengertian dasar tentang hak menjadi penting. Hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berprilaku dan melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. pemilik hak; b. ruang lingkup penerapan hak; c. pihak yang bersedia dalam penerapan hak. Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Setiap individu memiliki hak yang dalam penerapannya berada dalam ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara indiviu atau dengan instansi. Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitan dengan pemerolehan hak paling tidak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.

Dalam teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan, dimiliki, dinikmati atau sudah dilakukan; suatu hak penuh tidak perlu menentukan siapa yang menanggung beban untuk memungkinkan tersedianya hak itu; suatu hak sering menimbulkan kewajiban; suatu pemberian hak merupakan seperangkat alasan yang kuat dan berakar serta eksis dalam diri manusia. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg dinyatakan bahwa pemberian hak yang penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan yang didapat dari pelaksnaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan pelaksanaan kewajiban. Berdasarkan teori tersebut perolehan hak harus diikuti dengan pelaksanaan kewajiban. Hal itu berarti antara hak dan kewajiban tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya.

Istilah yang dikenal di Barat mengenai Hak-hak Asasi Manusia ialah right of man, yang menggantikan istilah natural right. Istilah right of man ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup right of women. Karena itu right of man diganti dengan istilah human rights oleh Eleanor Roosevelt yang dipandang lebih netral dan universal. Sementara itu dalam Islam dikenal dengan istilah haququl al-insan ad-dhorury (hak asasi manusia) dan huququl Allah. Dalam Islam antara haququl al-insan ad-dhorury (hak asasi manusia) dan huququl Allah tidak dapat dipisahkan atau berjalan sendiri-sendiri tanpa adanya keterkaitan satu dengan lainnya. Inilah yang membedakan konsep Barat tentang HAM dengan konsep Islam.

Menurut pendapat Jan Materson dari Komisi HAM PBB, dalam Teaching Human Rights, United Nations, bahwa Human rights could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which can not live as human being (hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpa hak-hak tersebut manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Selanjutnya John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau penguasa. Hak ini sifatnya sangat mendasar atau sangat fundamental bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hal kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia.

Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 1 bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dengan demikian menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi HAM dalam rangka menjaga harkat dan martabat manausia menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, pemerintah (aparatur pemerintahan baik sipil maupun militer) bahkan negara.

Berdasarkan beberapa rumusan pengertian di atas diperoleh suatu kesimpulan tentang pengertian HAM yaitu : HAM sebagai hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum. Jadi dalam memenuhi dan menuntut hak tidak terlepas dari pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan. Begitu juga dalam memenuhi kepentingan perseorangan tidak boleh merusak kepentingan orang banyak (kepentingan umum) atau sebaliknya karena atas nama untuk kepentingan umum, kepentingan pribadi seorang individu dilanggar tanpa terlebih dahulu individu itu mengetahui maksud dan tujuan pelaksanaan kepentingan umum (bersama) itu sendiri. Dengan kata lain pemenuhan, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM harus diikuti dengan pemenuhan terhadap KAM (kewajiban asasi manusia) dan TAM (tanggung jawab asasi manusia) dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Jadi dapat disimpulkan bahwa hakikat dari HAM adalah keterpaduan antara HAM, KAM dan TAM secara sinergis dan seimbang. Bila ketiga unsur asasi (HAM, KAM dan TAM) yang melekat pada setiap individu manusia baik dalam tatanan kehidupan pribadi, kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan pergaulan global tidak berjalan secara seimbang dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan, anarkisme dan kesewenang-wenangan dalam kehidupan.

Sejarah Perkembangan

Pemikiran HAM

A. Perkembangan Pemikiran HAM Secara Umum

Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya di muka hukum. Dari sinilah kemudian lahir doktrin yang menyatakan bahwa raja tidak kebal hukum lagi, dan mulai bertanggungjawab dalam pelaksanaan dan terikat pada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan bahwa raja terkait kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang pada masa itu masih lebih banyak berada di tangan Raja.

Dengan demikian, peristiwa itu dapat dikatakan sebagai embrio lahirnya monarki konstitusional yang berintikan kekuasaan raja hanya menjadi simbol belaka. Pasal 21 Magna Charta menggariskan Earls and barons shall be fined by their equal and only in proportion to the measure of the offence (Para Pangeran dan Baron akan dihukum (didenda) berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya). Selanjutnya pada pasal 40 ditegaskan . No one will we deny or delay, right or justice (Tidak seorangpun menghendaki kita mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan). Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul pandangan (adagium) yang intinya bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan negara demokrasi. Bill of Rights melahirkan asas persamaan harus diwujudkan, betapapun berat resiko yang dihadapi, karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori kontrak sosial Rosseau (social contract theory), teori trias politika Mountesquieu, Jhon Locke di Inggris dan Tomas Jefferson di AS dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Monesquieu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, di AS lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu. Selanjutnya, pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration (deklarasi Prancis), dimana ketentuan tentang hak lebih dirinci lagi sebagaimana dimuat dalam The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian di tahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Kemudian prinsip itu dipertegas oleh prinsip freedom of expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of religion (bebas menganut keyakinan/ agama yang dikehendaki), The right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup hak-hak yang menjamin tumbuhnya demokrasi maupun negara hukum.

Perkembangan yang lebih signifikan adalah dengan kemunculan The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt pada tanggal 06 Januari 1941, yang berbunyi sebagai berikut :

The first is freedom of speech and expression every where in the world. The second is feedom of every person to worship God in his own way every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, mean economic understandings which will secure to every nation a healty peacetime life for its inhabitants every where in the world. The fourth is freedom from fear which, translated into world terms, mean a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a trought fashion that no nation will any neighbor anywhere in the world.

Berdasarkan rumusan di atas, ada empat hak yaitu hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak kebebasan dari kemiskinan dalam pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang damai dan sejahtera bagi penduduknya; hak kebebasan dari ketakutan, yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun bangsa (negara) berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap negara lain. Semula hak-hak ini sesudah perang dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk memelihara rumusan HAM yang bersifat universal, dan menjadi embrio rumusan HAM dalam The Universal Declaration of Human Rights PBB tahun 1948.

Perkembangan pemikiran HAM terus berlangsung dalam rangka mencari rumusan HAM yang sesuai dengan konteks ruang dan zamannya. Secara garis besar perkembangan pemikiran HAM dibagi pada 4 generasi. Generasi pertama berpendapat bahwa pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Fokus pemikiran HAM generasi pertama pada bidang hukum dan politik disebabkan oleh dampak dan situasi perang dunia II, totaliterisme dan adanya keinginan negara-negara yang baru merdeka untuk menciptakan suatu tertib hukum yang baru. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis seperti, hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa dan ditahan, hak kesamaaan di dalam hukum, hak akan fair trial, hak praduga tak bersalah dan sebagainya. Selai itu juga memuat hak nasionalitas, hak pemilikan, hak pemikiran, hak beragama, hak pendidikan, hak pekerjaan dan kehidupan budaya.

Pemikiran HAM generasi kedua tidak saja menuntut hak yuridis melainkan juga hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya. Jadi pemikiran HAM generasi kedua menunjukkan perluasan pengertian konsep hak asasi manusia. Pada generasi kedua lahir dua covenant yaitu International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Kedua Covenant tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966. Pada masa generasi kedua, hak yuridis kurang mendapat penekanan sehingga terjadi ketidakseimbangan dengan hak sosial-budaya, hak ekonomi dan hak politik.

Generasi ketiga lahir sebagai reaksi pemikiran HAM generasi kedua. Generasi ketiga menjanjikan adanya kesatuan antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam satu keranjang yang disebut dengan hak-hak melaksanakan pembangunan (The Rights of Development) sebagai istilah yang diberikan oleh International Comission of Justice. Dalam pelaksanaannya hasil pemikiran HAM generasi ketiga juga mengalami ketikseimbangan dimana terjadi penekanan terhadap hak ekonomi dalam arti pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama, sedangkan hak lainnya terabaikan sehingga juga menimbulkan banyak korban, karena banyak hak-hak rakyat yang dilanggar. Kalau kata pembangunan tetap dipertahankan, maka pembangunan tersebut haruslah berpihak kepada rakyat dan diarahkan kepada redistribusi kekayaan nasional serta redistribusi sumber-sumber daya sosial, ekonomi, hukum, politik dan budaya secara merata. Keadilan dan pemenuhan hak asasi haruslah dimulai sejak mulainya pembangunan itu sendiri, bukan setelah pembangunan itu selesai. Agaknya pepatah kuno justice delayed, justice deni tetap berlaku untuk kita semua.

Setelah banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari pemikiran HAM generasi ketiga, lahirlah generasi keempat yang mengkritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pembangunan yang terfokus pada pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama dan menimbulkan dampak negatif seperti diabaikan aspek kesejahteraan rakyat dan program pembangunan yang tidak berdasarkan kebutuhan. Generasi keempat HAM dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang pada tahun 1983 melahirkan deklarasi hak asasi manusia yang disebut Declaration of The Basic Duties of Asia People and Goverment. Deklarasi ini lebih maju dari rumusan generasi ketiga, karena tidak saja mencakup tuntutan struktural tetapi juga berpihak kepada terciptanya tatanan sosial yang berkedilan. Deklarasi tersebut lebih berbicara mengenai masalah kewajiban asasi bukan hanya hak asasi. Deklarasi tersebut secara positip mengukuhkan keharusan imperatif dari negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Jadi pemajuan dan penghormatan hak asasi manusia bukan saja urusan orang perorang, tetapi juga tugas negara. Beberapa masalah dalam deklarasi ini yang terkait dengan HAM dalam kaitan dengan pembangunan sebagai berikut :

Pembangunan berdikari (self depelovment)

Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan yang membebaskan rakyat dan bangsa dari ketergantungan dan sekaligus memberikan kepada rakyat sumber-sumber daya sosial-ekonomi. Realokasi dan redistribusi kekayaan dan modal nasional haruslah dilakukan dan sudah waktunya sasaran pembangunan itu ditujukan kepada rakyat banyak di pedesaan. Bantuan dan modal luar negeri hendaknya diatur secara terencana dan terarah, agar tidak salah alamat.

Perdamaian

Masalah perdamaian tidak semata-mata berarti anti perang, anti nuklir dan anti perang bintang. Tetapi justru lebih dari itu suatu upaya untuk melepaskan diri dari budaya kekerasan (culture of violence) dengan segala bentuk tindakan. Hal itu berarti penciptaan budaya damai (culture of peace) menjadi tugas semua pihak baik rakyat, negara maupun dunia internasional. Namun, jika gagal keluar dari budaya kekerasan ini ,maka hak asasi manusia jelas akan terus menerus terancam.

c. Partisipasi rakyat

Masalah ini adalah masalah yang sering diucapkan tetapi sedikit sekali dilakukan. Walaupun dilaksanakan, pelaksanaan itu terbatas pada saat pemilihan umum. Setelah itu partisipasi seperti menjadi kata yang tidak disenangi. Oleh sebab itulah proses depolitisasi dan alienisasi terjadi pada diri individu baik dilakukan secara sengaja maupun tidak. Soal partisipasi ini adalah suatu persoalan hak asasi yang sangat mendesak untuk terus diperjuangkan.

Hak-hak budaya

Hak-hak budaya juga jarang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Kita sering terkecoh dengan adanya pergelaran budaya, tetapi itu belum berarti hak-hak budaya itu dirawat. Di beberapa masyarakat menunjukkan tidak dihormatinya hak-hak budaya terasa. Begitu juga adanya penyeragaman budaya merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi berbudaya. Karena itu berarti mengarah kepenghapusan kemajemukan budaya yang dalam kontek nasional kemajemukan itu merupakan identitas kekayaan nasional.

e. Hak Keadilan sosial

Masalah keadilan ssosial ini buat kita seharusnya tidak perlu ditulis lagi, akan tetapi karena kita tetap masih jauh dari keadilan sosial, maka kita harus kembali mengingatkan kita akan tujuan kita berbangsa dan bernegara ini. Kita juga perlu mengingatkan bahwa keadilan sosial tidak terhenti dengan menaiknya pendapatan perkapita, tetapi justru baru berhenti pada saat dimana tatanan sosial yang tidak adil dijungkirbalikkan dan diganti dengan tatanan sosial yang berkeadilan.

B. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia

Pemahaman HAM di Indodnesia sebagai tatanan nilai, norma, konsep yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak secara garis besar dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan (1908 1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945 sekarang). Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam organisasi pergerakan seperti pada gerakan Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia dan Perdebatan dalam BPUPKI. Sedangkan pemikiran HAM dalam periode setelah kemerdekaan (1945 sekarang ) dibagai dalam periode 1945-1950, periode 1950-1959, periode 1959-1966, periode 1966-1998 dan periode 1998- sekarang.

1. Periode sebelum kemerdekaan (1908 1945)

Sebagai organisasi pergerakan, pemikiran HAM dalam Boedi Oetomo telah muncul. Dalam konteks pemikiran Ham, para pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dimuat surat kabar Goeroe Desa. Selain itu melalui konsep perwakilan rakyat. Selanjutnya pemikiran pada Perhimpunan Indonesia banyak dipengaruhi oleh para tokoh organisasi tersebut seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A. A. Maramis dan sebagainya. Pemikiran HAM para tokoh tersebut lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination). Salah satu pemikiran dari perhimpunan Indonesia seperti dalam pidato Mohammad Hatta :2

Semenjak pasifik menunjukkan perkembangan ekonominya, sejak itu ia masuk pada pusat politik dunia. Pertentangan kekuasaan sudah mulai, yang akan berkembang menjadi drama-drama bangsa yang hebat, yang dimasa sekarang kita belum dapat menggambarkananya. Karena apabila peperangan pasifik berdarah anatara timur dan barat, tetapi juga akan menyudahi kekuasaan bangsa-bangsa kulit berwarna. Dunia akan memperoleh wajah baru yang lebih baik kalau dari pertempuran itu bangsa kulit berwarna mendapat kemenangan. Karena kelemahlembutan dan perasaan damainya bangsa kulit berwarna akan menjadi tanggungan untuk perdamaian dunia, Dengan sendirinya perhubungan kolonial akan digantikan oleh masyarakat dunia yang di dalamnya hidup bangsa-bangsa merdeka yang berkedudukan sama.

Sementara itu pemikiran HAM dalam Sarekat Islam - organisasi kaum santri yang dimotori oleh H. Agus Salim dan Abdul Muis- menekankan pada usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial. Selanjutnya pemikiran HAM dalam Partai komunis Indonesia sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenaan dengan alat produksi. Konsen terhadap HAM juga ada pada Indische Partij. Pemikiran HAM yang paling menonjol pada Indische Partij adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan. Selanjutnya pemikiran HAM pada Partai Nasional Indonesia mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan (the right of self determination). Adapun pemikiran HAM dalam organisasi Pendidikan Nasional Indonesia organisasi yang didirikan Mohammad Hatta setelah Partai Nasional Indonesia dibubarkan, merupakan wadah perjuangan yang menerapkan taktik non koperatif melalui program pendidikan politik, ekoonomi dan sosial- menekankan pada hak politik yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri, hak untuk mengeluarkan pendapat, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara. Pemikiran HAM sebelum Indonesia merdeka juga terjadi dalam perdebatan di sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohmmad Yamin pada pihak lain. Dalam kontek HAM, perdebatan pemikiran yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak berkumpul, hak mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Dengan demikian gagasan dan pemikiran HAM di Indonesia telah menjadi perhatian besar dari para tokoh pergerakan bangsa dalam rangka penghormatan dan penegakan HAM, karena itu HAM di Indonesia mempunyai akar sejarah yang sangat kuat. Jadi persoalan HAM dalam kontek bangsa Indonesia merupakan masalah fundamental yang harus dihormati dan diberikan pada setiap manusia.

2. Periode setelah kemerdekaan (1945 - sekarang)

a. Periode 1945-1950

Periode awal kemerdekaan Indonesia sebagai negara bangsa (nation state), pemikiran tentang HAM semakin mendapat di kalangan para pemimpin bangsa. Hal itu merupakan kelanjutan dari dari pemikiran HAM yang telah ada pada masa sebelum kemerdekaan. Pemikiran HAM pada periode ini masih menekankan pada hak untuk merdeka (self determination), memberikan kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta memberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Selain itu pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara yaitu UUD 1945 (konstitusi). Bersamaan dengan itu prinsip kedaulatan rakyat dan negara berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyellenggaraan negara Indonesia merdeka. Komitmen terhadap HAM pada periode awal kemerdekaan sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang menyatakan :

sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang terbanyak.

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang anatara lain menyatakan : 1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengana adanya partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat; 2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946.Hal yang sangat penting dalam kaiatan dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan signifikan terhadap sistem pemerintahan dari sistem presidensil menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Isi Maklumat tersebut adalah :

Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang ketat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanaya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah tanggung jawab adalah di dalam tangan menteri.

b. Periode 1950-1959

Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada periode ini mengalami pasang dan menikmatinya bulan madu kebebasan. Indikatornya menurut Ahli Hukum Tata Negara ini ada tiga aspek. Pertama, semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD dan menjadi bab tersendiri. Bahkan diusulkan oleh anggota Konstituante keberadaannya mendahului bab-bab UUD.

c. Periode 1959-1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin), kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supra struktur politik maupun dalam tataran infra struktur politik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi masyarakat yaitu hak sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan. Dengan kata lain telah terjadi sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.

d. Periode 1966-1998

Setelah terjadi peralaihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk region Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil (judicial review) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Seperti yang dikemukakan oleh Archibald Cox bahwa hak uuji materil tidak lain diadakan dalam rangka melindungi kebebasan dasar manusia. Begitu pula dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS No. XIV/MPRS1966, MPRS melalui Panitia Ad hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam bentuk Piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara. Sebagai ketua MPRS A. H. Nasution dalam pidatonya menyatakan sebagai berikut :

Isi hakikat daripada Piagam tersebut adalah hak-hak yang dimiliki oleh manusia sebagai ciptaan Tuhan yang dibekali dengan hak-hak asasi, yang berimbalan dengan kewajiban-kewajiban. Dalam pengabdian sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa manusia melakukan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dalam hubungan yang timbal balik : a. antar manusia dengan manusia; b. antar manusia dengan Bangsa, Negara dan Tanah Air; antar Bangsa. Konsepsi HAM ini sesuai dengan kepribadian Pancasila yang menghargai hak individu dalam keselarasannya dengan kewajiban individu terhadap masyarakat.

Pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemikiran elit penguasa pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakannya terhadap HAM sebagai produk Barat dan individualistik serta bertentangan dengan paham kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia. Dengan demikian pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap depensif pemerintah dengan mengatakan : a. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila; b. bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yang lahir lebih dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM; c. Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Inddonesia.

Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampak terus ada periode rezim orde baru terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademisi yang konsen terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, kasus Trisakti dan Semanggi I & II dan sebagainya.

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan depensif ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadat tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) bertugas untuk memantau dan menyelidik pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan dan saran kepada Pemerintah perihal pelaksanaan HAM. Selain itu Komisi in bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madina, Khutbah Wada, Deklarasi Kairo dan deklarasi atau perundang-undangan laiannya yang terkait dengan penegakan HAM. Dampak dari sikap akomodatif pemerintah dan dibentuknya KOMNAS HAM sebagai lembaga independen adalah bergesernya paradigma (cara pandang) pemerintah terhadap HAM dari partikuleristik ke universalitas serta semakin kooperatifnya pemerintah terhadap upaya penegakan HAM di Indoensia.

e. Periode 1998- sekarang

Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakukan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Demikian pula dilakukan pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.

Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan (prescriptive status) dan tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap status penentuan (prescriptive status) telah ditetapkannya beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi negara (undang-ndang dasar 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), undang-undang (UU), perarutan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.

Bentuk-Bentuk Hak Asasi Manusia

Prof. Bagir Manan membagi HAM pada beberapa kategori yaitu : hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. Hak sipil terdiri dari : 1. hak diperlakukan sama di muka hukum; 2. hak bebas dari kekerasan; 3. hak khusus bagi kelompok anggota masyarakat tertentu; 4. hak hidup dan kehidupan. Hak politik terdiri dari : 1. hak kebebasan berserikat dan berkumpul; 2. hak kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan; 3. hak menyampaikan pendapat di muka umum. Hak ekonomi terdiri dari : 1. hak jamainan sosial; 2. hak perlindungan kerja; 3. hak perdagangan; 4. hak pembangunan berkelanjutan. Hak sosial budaya terdiri dari: 1. hak memperoleh pendidikan, 2. hak kekayaan intelektual; 3. hak kesehatan; 4. hak memperoleh perumahan dan pemukiman.

Sementara itu Prof. Baharuddin Lopa, membagi HAM dalam beberapa jenis yaitu : 1. hak persamaan dan kebebasan; 2. hak hidup; 3. hak memperoleh perlindungan; 4. hak penghormatan pribadi; 5. hak menikah dan berkeluarga; 6. hak wanita sederajat dengan pria; 7. hak anak dari orang tua; 8. hak memperoleh pendidikan; 9. hak kebebasan memilih agama; 10. hak kebebasan bertindak dan mencari suaka; 11. hak untuk bekerja; 12. hak memperoleh kesempatan yang sama; 14. hak milik pribadi; 15. hak menikmati hasil/produk ilmu dan 16. hak tahanan dan narapidana. Dengan demikian pembagian bentuk HAM tersebut tidak secara tegas sebagaimana dalam pengelompokkan yang dilakukan oleh Bagir Manan.

Selanjutnya dalam Deklarasi Universal tentang HAM yang sering disingkat DUHAM (Universal Declaration of Human Rights), membagi HAM pada jenis : 1. hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); 2. hak legal (hak jaminan perlindungan hukum); 3. hak sipil dan politik; 4. hak subsistensi (hak jaminan adanya sumber daya untuk menunjang kehidupan); 5. hak ekonomi, sosial dan budaya.

Hak personal, hak legal, hak sipil dan politik yang terdapat dalam pasal 3 21 dalam DUHAM tersebut memuat : 1. hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi; 2. hak bebas dari perbudakan dan penghambaan; 3. hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak berprikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan; 4. hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi; 5. hak untuk pengampunan hukum secara efektif; 6. hak bebas dari penangkapan, penahanan atau pembuangan yang sewenang-wenang; 7. hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak; 8. hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah; 9. hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan pribadi, keluarga, tempat tinggal maupun surat-surat; 10. hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik; 11. hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu; 12. hak bergerak; 13. hak memperoleh suaka; 14. hak atas satu kebangsaan; 15. hak untuk menikah dan membentuk keluarga; 16. hak untuk mempunyai hak milik; 17. hak bebas berpikir, berkesadaran dan beragama; 18. hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat; 19. hak untuk berhimpun dan berserikat; 20. hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.

Sedangkan hak ekonomi, sosial dan budaya berdasarkan pernyataan DUHAM sebagai berikut : 1. hak atas jaminan sosial; 2. hak untuk bekerja; 3. hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama; 4. hak untuk bergabung ke dalam serikat-seriakt buruh; 5. hak atas istirahat dan waktu senggang; 6. hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan; 7. hak atas pendidika; 8. hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.

Sementara itu dalam UUD 1945 hak asasi manusia terdiri dari dari hak : 1. hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat; 2. hak kedudukan yang sama di dalam hukum; 3. hak kekebasan berkumpul; 4. hak kekebasan beragama; 5. hak penghiduoan yang layak; 6. hak kebebasan berserikat; 7. hak memperoleh engajaran atau pendidikan Secara operasional dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa HAM dibagi pada beberapa jenis yaitu : 1. hak untuk hidup; 2. hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; 3. hak mengembangkan diri; 4. hak memperoleh keadilan; 5. hak atas kebebasan pribadi; 6. hak atas rasa aman; 7. hak atas kesejahteraan; 8. hak turut serta dalam pemerintahan; 9. hak wanita; 10. hak anak .

Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia:

antara Nilai Univesal dan Partikular

Wacana atau perdebatan tentang nilai-nilai HAM apakah universal (artinya nilai-nilai HAM berlaku umum di semua negara) atau partikular (artinya nilai-nilai HAM pada suatu negara mempunyai kekhususan dan tidak berlaku untuk setiap negara) terus berlanjut. Berkaitan dengan nilai-nilai HAM paling tidak ada tiga teori dalam kaitan dengan perdebatan tentang nilai-nilai HAM tersebut yaitu : a. teori realitas (realistic theory); b. teori relativisme kultural (cultural relativisme theory) dan c. teori radikal universalisme (radical universalisme).

Teori realitas mendasari pandangannya pada asumsi tentang adanya sifat manusia yang menekankan self interest dan egois dalam dunia seperti bertindak anarkis. Dalam situasi anarkis setiap manusia saling mementingkan dirinya sendiri, sehingga menimbulkan chaos dan tindakan tidak manusiawi diantara individu dalam memperjuangkan egois dan self intresnya. Dengan kata lain dalam situasi anarkis prinsip universalitas moral tidak dapat berlaku dan berfungsi. Untuk mengatasi situasi demikian negara harus mengambil tindakan berdasarkan power dan security yang dimiliki, maka tindakan suatu negara untuk menjaga kepentingan nasional yang didasarkan power dan security bukan moral dibenarkan. Karena itu tindakan di atas yang dilakukan negara tidak termasuk dalam kategori tindakan pelanggaran HAM oleh negara.

Sementara itu teori relativitas kultural berpandangan bahwa nilia-nilai moral dan budaya bersifat partikular (khusus). Dengan demikian nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik, sehingga berlaku khusus pada suatu negara. Dalam kaitan dengan penerapan HAM, menurut teori ini ada tiga model penerapan HAM yaitu : a. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak sipil, hak politik dan hak pemilikan pribadi; b. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak ekonomi dan hak sosial; c. penerapan HAM yang lebih menekankan pada hak penentuan nasib sendiri (self determination) dan pembangunan ekonomi. Model pertama banyak dilakukan oleh negara-negara yang tergolong dunia maju, model kedua banyak diterapkan di dunia berkembang dan untuk model ketiga banyak diterapkan di dunia terbelakang.

Selanjutnya teori radikal universalitas berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah. Kelompok radikal universalitas menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama disemua tempat dan disembarang waktu dan dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda.

Dalam kaitan dengan ketiga teori tentang nilai-nilai HAM itu ada dua arus pemikiran atau pandangan yang saling tarik menarik dalam melihat relativitas nilai-nilai HAM yaitu strong relativist dan weak relativist. Strong relativist beranggapan bahwa nilai HAM dan nilai-nilai lainnya secara prinsip ditentukan oleh budaya dan lingkungan tertentu, sedangkan universalitas nilai HAM hanya menjadi pengontrol dari nilai-nilai HAM yang didasari oleh budaya lokal atau lingkungan yang spesifik. Dengan demikian berdasarkan pandangan ini diakui adanya nilai-nilai HAM lokal (partikular) dan nilai-nilai HAM yang universal. Sementara Weak relativist memberi penekanan bahwa nilai-nilai HAM bersifat universal dan sulit untuk dimodifikasi berdasarkan pertimbangan budaya tertentu. Berdasarkan pandangan ini menggambarkan tidak adanya pengakuan terhadap nilai-nilai HAM lokal melainkan hanya mengakui adanya nilai-nilai HAM Universal.

HAM dalam Tinjauan

Agama-Agama

HAM dalam Tinjauan Islam

Islam sebagai sebuah agama dengan ajarannya yang universal dan komprehensif yang meliputi aqidah, ibadah dan muamalat. Dimensi aqidah memuat ajaran tentang keimanan; dimensi ibadah memuat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; sedangkan dimensi muamalat memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitar. Kesemua dimensi ajaran tersebut dilandasi oleh ketentuan-ketentuan yang disebut dengan syariat atau fiqh. Dalam konteks syariat dan fiqh itulah terdapat ajaran tentang hak asasi manusia (HAM). Adanya ajaran tentang HAM menunjukkan bahwa Islam sebagai agama telah menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat. Karena itu perlindungan dan penghormatan terhadap manusia merupakan tuntutan dari ajaran Islam itu sendiri.

Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal dan abadi, tidak boleh dirubah atau dimodifikasi. Dalam Islam terdapat dua konsep tentang hak, yakni hak manusia (haq al Insan) dan hak Allah. Setiap hak itu saling melandasi satu sama lain. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya, sehingga dalam aplikasinya, tidak ada satupun hak yang terlepas dari kedua hak tersebut. Misalnya, dalam hak Allah seperti shalat, manusia tidak perlu campur tangan untuk memaksakan seseorang mau shalat atau tidak. Karena shalat merupakan hak Allah, maka tidak ada kekuatan duniawi-apakah itu negara, organisasi, ataupun teman yang berhak mendesak seseorang untuk melakukan shalat. Shalat merupakan urusan pribadi yang bersangkutan dengan Allah. Meskipun demikian dalam shalat itu ada hak individu manusia yaitu berbuat berbuat kemadamaian antar sesamanya. Sementara itu dalam haq al Insan seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak untuk mengelola harta yang dimilikinya. Namun demikian pada hak manusia itu tetap ada hak Allah yang mendasarinya. Konsekuensinya adalah bahwa meskipun seseorang berhak memanfaatkan benda miliknya, tetapi tidak boleh menggunakan harta miliknya itu untuk tujuan yang bertentangan dengan ajaran Allah. Jadi sebagai pemilik hak, diakui dan dilindungi dalam penggunaan hak nya, namun tidak boleh melanggar hak yang Mutlak (hak Allah). Kepemilikan hak pada manusia bersifat relatif, sementara pemilik hak yang absolut hanyalah Allah.

Konsep Islam mengenai kehidupan manusia didasarkan pada pendekatan teosentris (theocentries) atau ketuahan yang menmpatkan Allah melalui ketentuan syariatnya sebagi tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Dengan demikian konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid. Konsep tauhid mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia. Konsep tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk yang oleh Harun Nasution dan Bahtiar Efendi disebut dengan ide perikemakhlukan. Ide perikemakhlukan memuat nilai-nilai kemanusiaan dalam arti sempit. Ide perikemakhlukan mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar. Karena itu al-Ghazali berpendapat bahwa sikap kasih sayang manusia mencakup masyarakat binatang.

HAM dalam Islam sebenarnya bukan barang asing, karena wacana tentang HAM dalam Islam lebih awal dibandingkan dengan konsep atau ajaran lainnya. Dengan kata lain Islam datang secara inheren membawa ajaran tentang HAM. Sebagaimana dikemukakan oleh Maududi bahwa ajaran tentang HAM yang terkandung dalam Piagam Magna Charta tercipta enam ratus tahun setelah kedatangan Islam. Selain itu juga diperkuat oleh Weeramantry bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, ekonomi dan budayatelah jauh mendahului pemikiran Barat. Ajaran Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran itu yaitu Quran dan Hadits yang merupakan sumber ajaran normatif, juga terdapat dalam praktek kehidupan umat Islam. Tonggak sejarah keberpihakan dunia Islam terhadap HAM yaitu pada pendeklarasian Piagam Madina. Kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi Kairo (Cairo Declaration).

Dalam Piagam Madina paling tidak ada dua ajaran pokok yaitu : 1. semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbeda suku bangsa; 2. hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip : a. berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga; b. saling membantu dalam menghadapi musuh bersama; c. membela mereka yang teraniaya; d. saling menasehati; e. menghormati kebebasan beragama. Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Kairo sebagai berikut : 1. Hak persamaan dan kebebasan (surat al-Isra : 70; an-Nisa : 58,105,107,135; al-Mumtahanah : 8); 2. hak hidup (surat al-Maidah : 45; al-Isra : 33); 3. Hak perlindungan diri (surat al-Balad : 12-17; at-Taubah : 6); 4. Hak kehormatan pribadi (surat at-Taubah : 6); 5. Hak berkeluarga (surat al-Baqarah : 221; al-Rum : 21; an-Nisa : 1; at-Tahrim : 6); 6. Hak kesetaraan wanita dengan pria (surat al-Baqarah : 228; al-Hujrat : 13); 7. Hak anak dari orang tua (surat al-Baqarah : 233; al-Isra : 23-24); 8. Hak mendapatkan Pendidikan (surat at-Taubah : 122; al-Alaq : 1-5); 9. Hak kebebasan beragama (surat al-Kafirun : 1-6; al-Baqarah : 156; al-kahfi : 29); 10. Hak kebebasan encari suaka (surat an-Nisa : 97; al-Mumtahanah : 9); 11. Hak memperoleh pekerjaan (surat at-Taubah : 105; al-Baqarah : 286; al-Mulk : 15); 12. Hak memperoleh perlakukan sama (surat al-Baqarah : 275-278; an-Nisa : 161; Al-Imran : 130); 13. Hak kepemilikan (surat al-Baqarah : 29; an-Nisa : 29); 14. Hak tahanan (surat al-Mumtahanah : 8).

Dilihat dari tingkatannya, ada 3 (tiga) bentuk hak asasi manusia dalam Islam. Pertama, hak dzararat (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila hak hidup seseorang dilanggar, maka berarti orang itu mati. Kedua, hak sekunder, yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan berakibat pada hilangnya hak-hak elementer. Misalnya, hak seseorang untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan mengakibatkan hilangnya hak hidup. Ketiga hak tersier (komplementer) yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak primer dan sekunder.

2. HAM dalam Tinjauan Katolik

Sesungguhnya HAM menggantikan istilah hukum kodrat yang sudah lama sekali dipergunakan dalam diskusi etik. Tetapi isi diskusi etik itu berkembang dari masa ke masa. Sebab ada sejumlah hal yang bagi kita sekarang sudah tidak dipermasalahkan lagi, pada waktu abad pertengahan masih belum diterima semua orang. Misalnya hak kaum perempuan.

Kebanyakan ahli teologi moral katolik menelusuri asal konsep hukum kodrat pada pemikiran Yunani dan Romawi polis, yaitu negara dalam arti Yunani klasik, mengharapkan partisipasi seluruh warga negara dalam urusan kenegaraan. Namun dalam masyarakat Yunani klasik, tuntutan itu tidak begitu saja mengasumsikan kesetaraan semua manusia sebab di dalamnya tercakup kebiasaan perbudakan. Etika Stoa di lingkungan Romawi klasik lebih penting. Cicero mengatakan bahwa semua manusia itu setara. Sebab semua manusia memiliki intelektualitas yang pada dasarnya sama. Bersamanya, Seneca, Epiktetus, dan Marcus Aurelius menegaskan rasa hormat pada kodrat manusia. Selanjutnya, dalam literatur dan filsafat Yunani dan Romawi terdapat banyak pernyataan dan mengakui tempat penting hukum yang ditentukan oleh kodrat. Sedemikian pentingnya hukum kodrat itu, sehingga harus didahulukan di atas hukum yang dibuat oleh negara. Meskipun begitu di antara mereka gagasan HAM belum terjabar dalam rincian pasal yuridis.

Namun konsep hukum kodrat secara khusus dapat ditelusuri sampai ke kurun waktu yang lebih awal. Alkitab Perjanjian Lama, yang juga diakui oleh umat Yahudi, mencakup pengertian hukum kodrat ketika berbicara tentang riwayat pembentukan Israel sebagai bangsa. Sepuluh perintah Allah, misalnya dengan melarang pembunuhan dan pencurian latar belakangnya, menunjukkan pengakuan atas hak untuk hidup dan hak milik. Pengakuan itu diperluas sekali oleh pengembangan hukum dan pembicaraan tentang keadilan oleh nabi, seperti Amos.

Dasar HAM dapat ditarik sampai ke awal mula sejarah umat manusia, dalam bahasa Alkitab. HAM berdasar pada cara memandang martabat manusia, sebagai sesuatu yang amat luhur dan sama pada semua manusia, apapun jenis kelaminnya, kulitnya, keturunannya, rasnya, kedudukan sosial maupun kedudukan politisnya. Sejak awal mula, pribadi manusia, sebelum ada negara, sudah mempunyai martabat yang amat luhur yaitu sebagai citra Allah (kej 1:27). Sumber hidup manusia hanya satu, yaitu Allah, sumber segala kebaikan. Oleh sebab itu, dari kodratnya manusia adalah baik, hak-hak yang berkaitan dengan kodrat itu, berasal dari Allah Sang Pencipta.

Ada pula yang mengingatkan bahwa salah satu murid Yesus, yaitu Petrus, dalam menghadapi tututan pemerintah pada waktu itu, meminta agar manusia lebih tunduk pada kehendak Allah dari pada manusia (Kisah para Rasul 4:19). Cara bicara itu mau menunjukkan bahwa dalam manusia terdapat hal-hal yang tidak diberikan oleh manusia, yaitu orang-orang dalam struktur pemerintahan, melainkan dari kelahiran manusia sejati dari Allah sendiri. Trsdisi itu menjadi tumpuan pemikiran mengenai hak-hak yang datang dari kodrat manusia. Tradisi hukum kodrat itu dalam bentuknya yang masih embrional sudah dapat ditemukan pada pikiran seorang pemikir besar di awal gereja, yaitu Origenes, Lactantius dan Greogorius dari Nysa. Mereka bicara mengenai perbudakan tetapi dengan menghargai kesetaraan manusia yang hakiki bagi anak-anak Allah. Abad pertengahan tidak meninggalkan ide mengenai dasar-dasar HAM, sebagaimana kelihatan ajaran scholastik mengenai hukum kodrat. Sebenarnya pengertian hukum kodrat diperkembangkan lebih lanjut oleh Vittorio, tetapi perang agama dan raja-raja absolut telah melindasnya. Baru pada masa Pencerahan dikembalikan kesadaran akan peran individu dalam menagmbil keputusan.

Agaknya Emanuel Kant dapat membantu kita memahami masalah ini. Dia membedakan antara harga dan martabat. Harga adalah sesuatu yang dapat dipertukarkan dan bila itu dikenakan kepada manusia hanya menyentuh hal-hal dangkal (misalnya kemampuan memasak). Martabat adalah sesuatu yang berkenaan dengan nilai hakiki manusia, yang tidak dapat ditukarkan dengan apapun, oleh siapapun (misalnya ekspresi diri, hidup, dan lain-lain). Menurut Emanuel Kant, martabat manusia itu dampak dari kebebasannya, kesetaraannya dan kemandiriannya. Pandangan Emanuel Kant ini akan banyak dikembangkan dalam dunia pemikiran sesudahnya, juga dalam teologi katolik.

Baru Paus Johannes XXII (di pertengahan abad ke-20) memberikan uraian sistematik katolik yang cukup luas dalam suratnya yang berjudul Damai di Bumi (Pacem in Terria). Dalam suratnya itu Paus Johannes XXII menyebut HAM sebagai jaminan agar manusia melaksanakan tindakan-tindakan manusiawi yang ciri khasnya: mandiri, tahu dan mau. Tetapi sesungguhnya ajaran Johannes XXII diambil dari ajaran Paus XII. Pada umumnya, hukum kodrat dianggap meliputi hak akan hidup, hak untuk nilai-nilai moral dan kultural tertentu, hak untuk berpartisipasi dalam hidup sosial, hak untuk secara bebas melaksanakan agamanya, hak untuk memilih status hidupnya, hak untuk ekonomi dan beremigrasi dan imigrasi, dan hak untuk mendapat perlindungan legal atas hak-haknya. Pada tahun 1971 dalam synode para Uskup sedunia dikehendaki bahwa seluruh gereja hendaknya membela HAM. Lebih lanjut, dalam Synodenya tahun 1974 para uskup sedunia sepakat berpendapat, bahwa pengakuan HAM yang dapat memulihkan hubungan antar bangsa dan antar golongan dalam negara-negara. Gereja menganggap perlindungan hak pribadi manusia sebagai tugas mulia dan menolak diskriminasi dalam bentuk apapun. Gereja menolak penggunaan kekerasan dalam mengusahakan pertobatan religius dan mengundang orang kristiani untuk menghormati martabat dan hak sesama.

Dari catatan di atas dapatlah dikatakan, bahwa kaitan antara HAM dengan teologi katolik mata airnya sama. Bagi HAM, semua orang sama, karena kodrat semuanya sama-sama suci. Bagi teologi katolik, mata air manusia beriman adalah keyakinan bahwa asal mula manusia itu suci, ialah sabda Allah sendiri. Hidup manusia sendiri dikaruniakan melalui ruh Allah yang dihembuskan kepadanya (Kej 2:6). Ketika manusia berdosa, Allah putera telah menjelma menjadi manusia, sehingga manusia kembali memperoleh kodratnya yang suci.

Sejak tahun 60-an abad ini hak-hak asasi manusia dapat dikatakan diterima penuh dalam gereja katolik dan semakin menjadi keprihatinannya. Paham Hak-hak asasi manusia memungkinkan gereja katolik mengatasi pendekatan yang eksklusif. Ia dapat ikut bersama semua fihak yang sealiran dalam membela martabat manusia melawan segala bentuk totalitarienisme dan otoritarianisme.

Terutama dalam ajaran Paus Johannes II. Hak-hak Asasi Manusia merupakan unsur yang selalu kembali. Paham Hak-hak asasi Manusia dibicarakan secara eksplisit dalam ensiklik-ensiklik redemptor hominis (ensikliknya yang pertama), Laborem Exercens, Sollicitudo Rei Socialis, dan Centesimus Annus. Ada beberapa segi yang patut disinggung :

hak-hak manusia dilihat dalam perspektif martabat manusia. Manusia harus dihormati dalam martabatnya dan dalam hak-haknya sebagai manusia. Martabat manusia terletak dalam kenyataan bahwa ia adalah pesona. Perkembangan manusia hanyalah perkembangan sejati apabila manuisa berkembang sebagi pesona yang berpengetahuan dan berkehendak, berkebebasan dan bersuara hati. Perkembangan manusia yang sejati adalah perkembangan manusia dalam keutuhannya dan perkembangan semua manusia.hormat hak-hak asasi manusia merupakan cara untuk melawan totalitarianisme. Akar totalitarianisme modern ditemukan dalam penyangkalan terhadap martabat transenden personal manusia sebagai citra kelihatan Allah yang tak terkelihatan. Oleh karena itu berdasarkan kodratnya sendiri adalah subjek hak-hak yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun-individu, kelompok, kelas bangsa, atau negarapun tidak. Bahkan mayoritas sebuah badan sosial tidak boleh melanggar hak-hak itu, dengan menyerang minoritas dengan cara mengisolasikannya, menindasnya atau menghisapnya, atau dengan mencoba meniadakannya.hormat terhadap susunan luas terhadap hak-hak manusia merupakan syarat dasar perdamaian di dunia sekarang. Itulah sebabnya geraja melibatkan diri dalam pembelaan dan perjuangan demi hak-hak manusia.perhatian khusus, menurut Paus, harus diberikan kepada Hak-hak asasi Manusia pekerja, minoritas-minoritas dan orang-orang miskin.Paus menyatakan dukungannya bagi demokrasi dan penolakan terhadap penguasaan negara oleh elit-elit ideologis atau yang berkepentingan. Ia menegaskan bahwa demokrasi otentik hanyalah mungkin dalam negara yang ditata berdasar hukum serta berdasarkan pengertian tepat tentang persona manusia. Dan itu berarti hormat terhadap Hak-hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, perlulah dalam proses pembaharuan sistem demokrasi diberi berdasarkan otentik dan mantap melalui pengakuan eksplisit hak-hak itu.ada beberapa HAM yang secar khusus ditegaskan oleh Paus ; hak atas hidup, dan secara khusus hak anak untuk berkembang dalam rahim ibunya sejak ia dikandung; hak anak untuk hidup dalam keluarga yang bersatu dan dalam lingkungan moral yang mendukung perkembangan nalar dan kebebasan dalam mencari dan mengetahui kebenaran; hak untuk berpartisipasi dalam pekerjaan untuk mempergunakan sumberdaya material bumi secara bijaksana, dan untuk memperoleh dari pekerjaan itu sarana untuk menghidupi diri dan keluarganya; dan hak untuk membangun keluarga secara bebas, untuk mempunyai dan membesarkan anak melalui penggunaan seksualitas secara bertanggungjawab.Paus memandang kebebasan beragama, dalam arti hak untuk hidup dalam kebenaran iman dari kepercayaannya sendiri dan sesuai dengan martabatnya sebagai persona yang transenden sebagai sumber dan sintesis hak-hak itu tadi.

Oleh sebab itu, bagaimana pun juga, bagi teologi katolik kodrat manusia itu suci, artinya dari dekat menuju kepada Tuhan. Teologi katolik mau membela pandangan tentang martabat dan nilai pribadi manusia. Pada luhurnya martabat manusia itulah segala hukum didasarkan. Pengertian ini amat berdekatan dengan faham dasar dibalik pernyataan Hak hak Asasi Manusia PBB 1948; yaitu bahwa setiap manusia, dengan fakta bahwa ia manusia, tanpa memandang perbedaan asal-usul, ras, keturunan, agama atau kualifikasi manapun lagi, sama-sama memiliki hak dasar yang tidak dapat diserahkan kepada orang atau lembaga manapun.

3. HAM dalam Tinjauan Kristiani

Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, khususnya setelah perang Dunia II, teologi kristiani memberikan perhatian eksplisit terhadap masalah HAM. Nilai kemanusiaan yang telah dilecehkan sedemikian rupa dalam perang besar tersebut telah menyadarkan bahwa sejarah manusia benar-benar diancam secara nyata oleh katastrofi mondial yang tidak main-main. Selalu ada kemungkinan korban yang besar yang harus dibayar oleh manusia dan peradaban. Ancaman katastrofi mondial harus dilawan dengan sebuah gerakan mondial pula untuk mengukuhkan harkat serta martabat manusia dan peradaban yang telah dibangunnya. Sehingga muncul suatu keyakinan baru dikalangan agamawan untuk mengolah dan merefleksikan dengan sungguh-sungguh suatu agenda bersama untuk menjaga adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia di seluruh pelosok bumi.

Sejarah masyarakat dan geraja barat telah mengukir sebuah pengalaman yang panjang dan kemelut mengenai HAM. Bentuk dukungan gereja tidak akan positif seperti dewasa ini kalau tidak melalui suatu pergulatan dan pengalaman trial and error dalam sejarah. Tidak dengan sendirinya geraja kristen di barat menerima prinsip-prinsip asasi dari hak dan martabat manusia. Kesadarn tentang HAM, dalam perspektif sejarah tersebut, ternyata bukan sesuatu yang secara gampang (instant) terjadi, ia diraih dengan suatu pergulatan intelektual yang mendalam, dan melalui kancah konflik yang tajam, penuh kekerasan dan berlarut-larut. Tidak bisa disangkal bahwa dalam pergulatan tersebut telah terjadi ruang pendidikan bagi gereja, dan gereja telah menerima banyak insight dari berbagai macam pengalaman manusiawi dari macam-macam sumber yang bermuara kepada sebuah sintese yang akhirnya mengakui hak-hak, harkat dan martabat manusia yang merupakan sentral dari perjalanan manusia dalam mengrungi sejarah.

Salah satu pokok soal dari HAM dalam sejarah barat adalah menyangkut konsepsi tentang pertanyaan fundamental: siapa sebenarnya manusia (what is humanity ?). pertanyaan ini bisa dilacak dalam diskursus klasik dalam teologi kristen sejak abad ke-4, yang terjadi antara Agustinus dan Pelagius. Bagaimana memahami kehendak manusia untuk memilih apa yang dianggap baik. Apakah free will ada pada manusia? Apakah manusia adalah makhluk yang posse non peccare (able not to sin), atau non posse non peccare (not able not to sin): apakah kehendak bebas manusia hanya menjurus kepada posse peccare (freedom to sin), atau posse non peccare (freedom not to sin). Dalam hubungan ini masalah dasar tentang otonomi manusia, sulit untuk mengembangkan gagasan yang memadai tentang HAM.

Sayangnya tradisi pemikiran pelagian dan erasmian yang membela kebebasan otonomi manusia, kurang memperoleh tekanan dalam banyak tradisi pemikiran di banyak kalangan kristen. Pengaruh yang kuat justru dari alam pemikiran Agustinus yang cenderung tidak menghargai kebebsan (baik) manusia. Diakui bahwa doktrin tentang dosa warisan (original sin), yang selalu beriringan dengan faham tentang predestinasi, yaitu bahwa nasib manusia orang-perorang telah ditentukan sejak kekal, memang telah turut melemahkan kesadaran tentang otonomi manusia. Dengan demikian telah pula melemahkan kesadaran tentang hak-hak asasi yang dimiliki setiap manusia sejak ia dilahirkan.

Desiderius Erasmus bukan hanya dipresentasikan sebagai personifikasi dari semangat zaman peralihan, akan tetapi juga sebagai jiwa dimana otonomi manusia dihargai secara eksplisit, tanpa kehilangan kedudukan serta makna religiusitasnya. Kesadaran baru tentang otonomi manusia lambat laun menjadi bagian refleksi yang diadopsi dalam teologi gerejawi. Dengan demikian HAM menjadi bagian yang esensial, dan bukan hanya menjadi alat atau objek dari ilmu teologi belaka. Berangsur-angsur manusia tergeser ke titik tengah perhatian pemikiran teologi.

Untuk menjadi dasar dan terlibat dalam soal HAM, serta menjadi pendukung HAM ysng handal, maka nampaknya gereja-gereja di Indonesia harus mampu mengkritisi warisan-warisan teologi di masa kolonial, serta mengembangkan praksis kehidupan yang merupakan ekspresi dari alam pikiran dan asumsi dasar yang berbeda dengan para patronnya di masa kolonial. Dengan kata lain gereja-gereja di Indonesia harus bergerak lebih aktif menempatkan manusia sebagai pusat dari pemikiran ideologinya.

HAM dalam Tinjauan Budha

Menurut ajaran Budha, pria atau wanita, tua atau muda, suku Tengger atau bangsa Jepang, beragama Budha atau yang lainnya, semua sama disebut manusia. Manusia dalam pandangan ajaran agama Budha merupakan perpaduan antara nama dan rupa atau antara sukma dan raga. Ada perbedaan segi pandang antara orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama. Pandangan HAM bagi orang yang beragama pasti berbeda dengan orang yang tidak beragama.

HAM dalam bidang agama, setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang paling asasi untuk menetukan pilihan agamanya. Sebagai bangsa Indonesia, kebebasan dalam beragama bukan berarti bebas menetukan boleh beragama atau tidak beragama. Dalam pandangan ajaran Budha, siapa saja, apakah itu anak, orang tua, istri dan kerabat-kerabat lainnya mendapat kebebasan menentukan pilihannya untuk agama yang dianutnya. Dalam ajaran agama Budha, hal ini bukan merupakan suatu masalah karena agama membawa kebahagiaan bagi orang yang percaya dan meyakini kebenarannya, bukankah tujuan beragama adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup. Sikap hidup untuk memberikan kebebasan beragama tersebut sangat sulit apabila manusia itu masih belum terbebas dari sifat dosa, loba, dan moha.

Untuk umat Budha juga tidak melarang kebebasan memeluk agama karena menurut agama Budha semua ajaran agama dapat membawa kebahagiaan hidup bagi orang yang percaya dan meyakini kebenarannya. Kebahagiaan beragama Budha tumbuh dan berkembang melalui rasa tidak membenci keberadaan ajaran agama-agama lain sebab umat Buddha mengetahui semua ajaran agama membawa kebahagiaan hidup bagi umat manusia. Sungguh bahagia dapat berbahagia atas kebahagiaan umat beragama lain dan sangat berbahagia umat Buddha tidak dilarang dapat mendoakan kepada siapa saja, apapun keyakinan agamanya, sungguh bahagia. Demikian pandangan ajaran agama Budha terhadap HAM di Indonesia.

HAM dalam Tinjauan Hindu

Pengertian HAM secara luas dan mendalam dibahas dalam ajaran-ajaran agama Hindu. HAM yang merupakan hak suci manusia tidak dapat dihilangkan oleh siapapun, karena HAM itu secara langsung bersumber kepada mertabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Yang Widi atau Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kehidupan dan penghidupan manusia menciptakan alam semesta raya dengan segala isinya (makro kosmos dan mikro kosmos) seperti yang disebutkan dalam Manawa Dharmacastra, Bab I sloka 6, sebagai berikut :

Tatah swayambhurbhagawan, awyakto wyanjayannidham,

Mahabhutadi wrttaujah, pradurisitta manudah

Sloka di atas mempunyai arti sebagai beriut : kemudian dengan kekuatan tapaNya, Ia, yang Maha Ada, menciptakan isi, Mahabhuta (unsur alam semesta) dan lain-lainnya, nyata terlihat melenyapkan alam kegelapan (Pudja dan Sudharta, 1973:31)

Adapun maksud dari sloka di atas adalah: Hyang Widi menciptakan alam semesta raya ini dari unsur akasha (ether), unsur yeja (cahaya), unsur bayu (hawa), unsur apah (air) dan unsur pertiwi (tanah). Panca Mahabutha ini berasal dari beliau sendiri dan panas (energi) yang digunakan untuk memanasi kelima unsur Mahabutha itu juga berasal dari beliau sendiri.

Kendatipun Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit itu telah terwujud yang mengakibatkan alam semesta raya termasuk bumi yang kita tempati menjadi terang benderang, ternyata Hyang Widi tiada henti-hentinya bekerja untuk memelihara alam semesta raya dengan segala isinya. Hal ini dapat kita lihat di dalam Bhagawad Gita, Bab III, sloka yang berbunyi sebagai berikut :

Utsideyur ime loka,

Ma karyam karma ced aham,

Samkarasya ca karta syam

Upahanyam imah prajah

Sloka di atas mepunyai arti kurang lebih sebagai berikut : Jika Aku berhenti bekerja, maka ketiga dunia ini akan hancur lebur dan Aku menjadi pencipta dari penghidupan yang tak teratur dan Aku akan merusak rakyat ini. Hyang Widi tidak henti-hentinya menjaga dan memelihara alam semesta raya ini (dunia), menjaga dari keruntuhan dan kemusnahan (Mantara 1976 : 57)

Manusia sebagai makhluk ciptaan Hyang Widi telah dianugerahi dengan kemampuan-kemampuan dasar, seperti kemampuan-kemampuan budi, cipta, fikir, rasa, karsa, karya, dan budi nurani. Dengan aktualisasi dari kemampuan-kemampuan ini manusia menjadi makhluk budaya, manusia yang memiliki harkat dan martabat. Manusia mempunyai kelebihan yang mutlak dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya, yaitu dengan dimilikinya daya pikiran. Atas dasar manusia dapat memikirkan dunianya juga dirinya sendiri. Dengan pikiran dan kemampuan karsa (kehendak) manusia mempunyai kesadaran, sehingga dapat membedakan mana yang benar dan salah, baik dan buruk (Parisada Hindu Dharma, 1968: 24-27)

Tri Hita Karana Sebagai Konsep Keselarasan, Keserasian, Keseimbangan. Secara harfiah Tri Hita Karana berarti juga tiga penyebab kesejahteraan, istilah Tri Hita Kirana berasal dari kata :Tri, berarti tiga; Hita berarti sejahtera dan karana berarti penyebab. Pada hakekatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian, bahwa ketiga penyebab kesejahteraan itu bersumber kepada keselarasan hubungan antara: (1) Manusia dengan Hyang Jagad karana atau Tuhan Yang Maha Esa, (2) Manusia dengan alam lingkungannya, (3) Manusia dengan sesmanya dan masyarakatnya.

Unsur-unsur Tri Hita Karana dapat ditemukan dalam Baghawad Gita, Bab III, sloka 10 yang berbunyi sebagai berikut:

Sahayajnah prajah srstva,

Puro vaca prajaptih,

Anena prasavisyadhvam,

Esa vo stv istakamadhuk

Sloka mengandung arti kurang lebih sebagai berikut :

Pada zaman dahulu kala prajapahit menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi khamaduk, dari keinginanmu. Khamaduk adalah seekar sapi milik Dewa Indra yang dapat memenuhi semua keinginan (Mantra, 1967:51)

Apabila dikaji lebih lanjut isi sloka 10 ini, maka akan ditemukan unsur-unsur Tri Hita Karana itu sebagai berikut: (1) prajapati ialah Brahma sebagai Yang Maha Pencipta, (2) Praja, berarti rakyat, orang-orang, manusia, (3) Kamadhuk ialah seekor sapi milik Dewa Indra yang dapat memenuhi semua keinginan manusia.

Sebenarnya pengertian Khamaduk ini merupakan simbol dari dunia kita ini, yakni Ibu Pertiwi yang telah menyediakan berbagai sumber daya alam, seperti bumi, air dan segala kekayaan alam yang tekandung didalamnya, termasuk juga udara. Semuanya ini dapat memenuhi keinginan dan hajat hidup semua makhluk ciptaan Sang Hyang Jagadkarana, terlebih-lebih bagi manusia sebagai makhluk yang berakal. Sang Hyang Jagadkrana telah menyediakan Kamadhuk itu sebesar-besarnya. Di sini terlihat, bahwa Sang Hyang Jagadkrana memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Dengan bermodalkan akal dan pengetahuan (jinanayajnah), maka segala pekerjaan sebagai kewajiban dan bawaan hidup ini dapat diselesaikan denagn sempurna, oleh karena itu manusia harus membekali dirinya dengan pengetahuan. Hal ini sesuai denan perintah Sang Hyang Jagadkarana yang tertuang di dalam Bhagawad Gita, Bab IV, sloka 33 yang mengandung arti kurang lebih sebagai berikut :

Persembahan korban berupa pengetahuan adalah lebih agung sifatnya dari korban benda yang berupa apapun juga. O, Arjuna, sebab segala pekerjaan dengan tak terkecualinya memuncak dalam kebijaksanaan (Mantra, 1967:85)

Berdasarkan maksud sloka 33 itu kepada manusia diberikan hak yang seluas-luasnya untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang memadai segala pekerjaan akan dapat diselesaikan lebih sempurna. Di sini juga terkandung suatu kewajiban untuk mengamalkan (beryajna) ilmu pengetahuan demi terwujudnya kesejahteraan umat manusia (umat Hindu). Sebagai manusia yang berfikir dan berkehendak, dengan kesadaran yang tinggi terhadap hak dan keajiban sebagaimana dimaksudkan oleh sloka 33 di atas segala pekerjaan dengan tidak ada kecualinya (pekerjaan yang berdasarkan dharma) akan memuncak di dalam kebijaksanaan.

Sang Hyang Jagadrana yang telah menyediakan Kamandhuk bagi manusia dan manusia sendiri yang memanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmurannya. Di sini mengandung suatu pengertian adanya keseradaan (percaya dan taqwa), terhadap ke-Tunggalan Sang Hyang Jagadrana. Beliau bersabda sebagaimana tertuang di dalam Rg Weda, I, 164, 46, sebagai berikut:

Ekam sat vipra vahuda vadanti

Yang mengandung arti: Hyang Widi itu hanya satu adanya yang oleh orang-orang bijaksana disebut dengan berbagai nama.

Keselarasan manusia dengan manusia lainnya seperti disabdakan oleh Hyang Widi di dalam Bhagawad Gita, Bab XIII, sloka 27 yang maksudnya sebagai berikut:

Orang yang melihat Hyang Widi yang kekal dan abadi, tidak dapat binasa, besemayam merata di dalam semua makhlukyang tidak kekal dan dapat binasa, dialah sebenarnya yang melihat (Mantra, 1993:9)

Berdasarkan maksud sloka 27 di atas ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa semua manusia sama dihadapan Hyang Widi, sebab dihati semua manusia masing-masing bersemayam Hyang Widi yang menjadi sumber dan memberi tututan tingkah laku yang baik kepada manusia. Dengan ini menjadi jelas, bahwa mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia sesuai dengan maksud sloka 27 di atas.

Persamaan derajat, persamaan hak yang diakui oleh manusia-masing ditegaskan lagi didalam Bhagawad Gita, Bab IX sloka 29, yang artinya sebagai berikut:

Aku adalah sama pada semua makhluk, tidak ada yang terbenci atau tercinta pada-Ku. Akan tetapi mereka yang menyembah Aku dengan bakti, mereka ada di dalam Ku dan Aku ada di dalam mereka (Mantra, 1967:166). TAT TWAM ASI

Di dalam Candogya Upanishad, 6, 7-8, terdapat suatu dalil yang berbunyi sebagai berikut: Tat Twam Asi yang artinya: Dikaulah itu, Dikaulah (semua) itu, semua makhluk adalah Engkau. Aku ini adalah makhluk yang berasal dari-Mu. Oleh karena itu jiwatma semua makhluk dan Dikau sebagai sumberku dan sumber semua makhluk. Oleh karena itu aku adalah Engkau, aku adalah Brahma (Aham Brahma Asmi) seperti disebutkan dalam Brhadaranyaka Upanishad, 1, 4, 10 (Mantra, 1993:10). Hakekat dari Tat Twam Asi ini adalah sayangilah orang lain sebagai menyayangi diri sendiri

Di dalam Bhagawid Gita, Bab XVI, sloka 3, jelas terlihat hakekat Tat Twam Asi ini. Adapun sloka 3 itu yang arti sebagai berikut:

ketangkasan, bersifat suka mengampuni, ketetapan hati, kemurnian, tidak dengki, tidak angkuh, semua ini, hai Arjuna, adalah mereka yang lahir dari sifat kedewaan (Daivi Sampad)

Sifat-sifat yang bertentangan dengan Daivi Sampad adalah sifat Asuri Sampad (Mantra, 1933:13). Sifat-sifat Asuri Sampad itu adalah sifat-sifat yang cenderung memecah belah jiwatma-jiwatma dan memiliki sifat-sifat keakuan. Hal ini jelas terurai dalam Bhagawad Gita, Bab XVI sloka 4, 17 dan 21:

Sloka 4 : sifat megah, sombong dan congkak, murka, kasar dan bebal hai Arjuna, semuanya ini dari sifat keraksasaan (Asuri Sampad).

Sloka 17 : menganggap diri yang terpenting, keras kepala, penuh dengan kesombongan, gila akan kekayaan, bersifat pura-pura, semuanya adalah bertentangan dengan ajaran sastra suci.

Sloka 21 : Ada juga pintu gerbang neraka yang menuntut atma, yaitu nafsu, sifat pemarah dan loba. Oleh karena itu tinggalkan lah ketiga ini (Mantra, 1993: 13-14).

Untuk mewujudkan hakekat tat Twan Asi ini, maka diperlukan memupuk sifat-sifat Daivi Sampad (suri sampad) dan menjauhi sifat-sifat Asuri Sampad. Hakekat Tat Twan Asi ini sesuai benar dengan nilai-nilai atau perilaku yang terkandung di dalam sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, terutama perilaku-perilaku (1) mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, (2) mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit, dan sebagainya, (3) tidak semena-mena terhadap orang lain (BP-7 pusat, 1994:53-54)

Hak Asasi Manusia

dalam Perundang-Undangan Nasional

Pengaturan HAM dalam ketatanegaraan RI terdapat dalam perundang-undangan yang dijadikan acuan normatif dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Dalam perundang-undangan RI paling tidak terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM. Pertama, dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar Negara). Kedua, dalam ketetapan MPR (TAP MPR). Ketiga, dalam Undang-Undang. Keempat, dalam peraturan pelaksanaan perundang-undangan seperti Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Kelebihan pengaturan HAM dalam konstitusi memberikan jaminan yang sangat kuat, karena perubahan dan atau penghapusan satu pasal dalam konstitusi seperti dalam ketatanegaraan di Indonesia mengalami proses yang sangat berat dan panjang antara lain melalui amandemen dan referendum. Sedangkan kelemahannya karena yang diatur dalam konstitusi hanya memuat aturan yang masih global seperti ketentuan tentang HAM dalam konstitusi RI yang masih bersifat global. Sementara itu bila pengaturan HAM melalui TAP MPR, kelemahannya tidak dapat memberikan sangsi hukum bagi pelanggarnya. Sedangkan pengaturan HAM dalam bentuk Undang-Undang dan peraturan pelaksanaannya kelemahannya pada kemungkinan seringnya mengalami perubahan.

Pengaturan HAM dalam konstitusi negara RI selain pada hasil amandemen kedua UUD 1945, juga ditemukan di beberapa konstitusi yang berlaku yaitu UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan UUDS 1950. Dalam UUD 1945 pengaturan HAM dapat ditemukan dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945 :

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dalil obyektif pengakuan HAM yang terdapat dalam pembukaan itu kemudian dikembangkan dalam Batang Tubuh UUD 1945 pada pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, pasal 31, pasal 34.

Dalam kaitan dengan pasal 27, Kunjtoro Purbopranoto menyatakan bahwa :

Di dalam perumusan ini dinyatakan adanya suatu kewajiban dasar di samping hak dasar yang dimiliki oleh warganegara, yaitu kewajiban untuk menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dengan demikian saya rasa perumusan ini dengan sadar atau tidak telah membuka satu sistem yang berlainan dari sistem perumusan human rights itu secara Barat, yang hanya menyebutkan hak tanpa ada kewajiban di sampingnya

Selanjutnya dalam pernyataan pasal 27 UUD 1945 berkaitan dengan hak asasi warganegara yaitu kedudukannya dalam pemerintahan, Prof. Solly Lubis menyatakan bahwa :

yang dimaksud dengan kesamaan kedudukannya dalam hukum dalam Pasal 27 ayat (1) itu adalah meliputi baik bidang hukum privat maupun hukum publik, sehingga karenanya setiap warganegara mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan dengan mempergunakan kedua kelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya, maka nampak bahwa hukum yang dimaksud sebagai alat, sudah mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan serta cabang-cabang hukum publik lainnya, seperti hukum tata negara, hukum tata pemerintahan, hukum acara pidana/perdata dan sebagainya, di dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tersebut telah tercakup semua hak hukum seperti yang dsebutkan di dalam UUDS 1950.

Sedangkan mengenai yang dimaksud dengan kedudukan dalam pemerintahan adalah dengan tiga cabangnya, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif dan ini berarti bahwa kepada setiap warganegara kita berikan hak-hak turut serta dalam ketiga cabang kekuasaan itu asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan.

Pasal 28 memuat HAM dalam bidang politik. Dalam pasal tersebut menurut Prof. Bagir Manan terdapat dua kemerdekaan yaitu : a. kemerdekaan berserikat dan berkumpul; b. kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Mengenai kemerdekaan berkumpul, R. Wiyono menjelaskan bahwa :

untuk dapat mengerti apa yang dimaksud dengan hak berkumpul dalam pasal 28 UUD 1945, maka titik berat dari hal tersebut janganlah diletakkan kepada berkumpulnya sejumlah manusia, tetapi haruslah diletakkan pada obyek dari berkumpulnya sejumlah manusia.

HAM yang termuat dalam pasal 28 UUD 1945 merupakan konsekwensi logis dari pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Selanjutnya menurut penjelasan UUD 1945 ketentuan ini memuat hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang bersifat demokratis dan yang hendak menyelenggarakan keadilan sosial dan perikemanusiaan. Selanjutnya dalam perubahan kedua UUD 1945 (amandemen kedua) tahun 2000 lebih ditekankan pada materi HAM, pemerintahan daerah dan lain sebagainya. Pasal 28 hasil amandemen kedua UUD 1945 menjadi pasal 28A-28J.

Pasal 29 UUD 1945 memuat hak fundamental warganegara Indonesia yaitu hak beragama dan jaminan kebebasan memeluk agama sebagai hak personal. Sedangkan dalam pasal 30 memuat kewajiban dan hak warganegara dalam pembelaan negara. HAM yang termuat dalam pasal 30 adalah HAM dibidang sipil dan politik. Begitu pula dalam pasal 31 memuat hak jaminan memperoleh pendidikan setiap individu warganegara. Adapun HAM yang terdapat dalam pasal 33 berkaitan dengan hak dibidang ekonomi, sosial dan kesejahteraan.

Pengaturan HAM juga ditemukan dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam konstitusi RIS, HAM menjadi bab khusus yaitu Bab tentang HAM dan ditempatkan pada bab awal mulai pasal 7 sampai pasal 33. Adapun dalam UUDS 1950 pengaturan HAM tidak jauh berbeda dengan yang diatur dalam KRIS, namun perbedaan antara konstitusi RIS dengan UUDS 1950 terletak pada penomoran pasal dan perubahan sedikit redaksional dalam pasal-pasal. Selain itu adanya penambahan pasal dalam UUDS 1950 yang signifikan yaitu tentang fungsi sosial hak milik, hak tiap warganegara untuk mendapat pengajaran, hak demonstrasi dan mogok.

Ketentuan nasional yang berkaitan langsung dan secara eksplisit tentang HAM antara lain dalam konstitusi negara dan perundang-undangan seperti : UUD 1945 dan hasil amandemen UUD 1945; TAP MPR No. XVII tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia Terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional; UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; UU No.5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat; UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU No.9 tahun 1998 tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat; UU No. 11 tahun 1998 tentang Amandemen terhadap UU No. 25 tahun 1997 tentang Hubungan Perburuhan; UU No. 19 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Pekerja secara Paksa; UU No. 20 tahun 1999 tentang ratifikasi Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Bagi Pekerja; UU No. 21 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 11 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan; UU No. 26 tahun 1999 tentang Pencabutan UU No. 11 tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi; UU No. 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi; UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers; UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sedangkan ketentuan yang terdapat dalam peraturan pemerintah seperti : Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM; Keputusan Presiden (KEPRES) No. 181 TAHUN 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Wanita; Keputusan Presiden No. 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003, yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrumen hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa serta tindak lanjutnya. Dalam tahun 2000 Rencana Aksi Nasional ini telah diperbaharui, antara lain dengan mempercepat ratifikasi Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik dan Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Keputusan Presiden No. 31 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makassar; Keputusan Presiden No.5 tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diubah dengan Keputusan Presiden no.96 tahun 2001; Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Selain ketentuan perundang-undangan di atas yang secara eksplisit menyebutkan ketentuan tentang HAM, juga terdapat beberapa ketentuan lain yang mempunyai relevansi dengan pengaturan HAM. Sebagian dari ketentuan ini telah mengalami perubahan. Ketentuan perundangan tersebut antara lain : UU No 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana; UU No 3 tahun 1950 tentang Grasi; UU No. 18 tahun 1956 tentang Persetujuan Konpensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 mengenai Berlakunya Dasar-dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama; UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan; UU No. 80 tahun 1957 tentang Persetujuan Konpensi Organisasi Perburuhan Internasional No. 100 mengenai Pengupahan bagi Buruh Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya; UU No. tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya; UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok agraria; UU No 38/Prp/1960 tentang Penggunaan dan Penetapan Luas Tanah untuk Tanam-tanaman tertentu; UU No. 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya; UU No. 56/Prp/1960 tentang Penetapan luas Tanah Pertanian; UU No. 3/1961 tentang Persetujuan Konpensi Organisasi Perburuhan Internasioanal No. 106 mengenai Istirahat Mingguan dalam Perdagangan dan Kantor-kantor; UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak-hak Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya; UU No. 11/1962 tentang Hygiene untuk Usaha-usaha bagi Umum; UU No. 6/1963 tentang Tenaga Kesehatan; UU No. 1/1964 tentang Perumahan; UU No. 12/1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta; UU No. 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang; UU No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan /atau Penodaan Agama; UU No. 4/1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo; UU No. 2/1966 tentang Hygiene; UU No. 3/1966 tentang Kesehtan Jiwa; UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; UU No. 12/1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian; UU No. 14/1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja; UU No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja; UU No. 14/1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; UU No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 1/1974 tentang Perkawinan; UU No 6/1974 tentang Ketentua-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial; UU No. 11/1974 tentang Pengairan; UU No. 9/1976 tentang Narkotika; UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap; UU No. 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana; UU No. 1/1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya Mengenai Hal memperoleh Kewarganegaraan dan Pengesahan Konvensi Wina Mengenai Hubungan Konsuler Berserta Protokolnya Opsionalnya Mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan; UU No. 4/1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 6/1982 tentang Hak Cipta; UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan RI; UU No. 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; UU No. 9/1985 tentang Perikanan; UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun; UU No. 17/1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut; UU No. 2/1/1986 tentang Peradilan Umum; UU No. 1/1987 tentang Kamar Dagang dan Industri.

Begitu juga ketentuan dalam Peraturan Pemerintah seperti : PP 5/1947 tentang Warga Negara; PP 21/1954 tentang Peraturan Istirahat Buruh; PP 494/1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan; PP 67/1958 tentang Pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia; PP 224/1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian; PP 49/1963 tentang Hubungan Sewa-menyewa Perumahan; PP 21/1967 tentang Kegiatan Amatir Radio; PP 55/1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah; PP 34/1973 tentang Jaminan Simpanan Uang pada Bank; PP 22/1974 tentang Telekomunikasi untuk Umum; PP 9/1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang no 1/1974 tentan Perkawinan; PP 28/1977 tentang Perwakapan Tanah Milik; PP 33/1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek); PP 31/1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis; PP 8/1981 tentang Perlindungan Upah; PP 25/1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil; PP 42/1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin; PP 22/1982 tentang Tata Pengaturan Air; PP 23/1982 tentang Irigasi; PP 27/1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana; PP 1/1984 tentang Dewan pers; PP 15/1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia; PP 14/1985 tentang Pemberian Tunjangan Perintis Pergerakan Kebangsaan/Kemerdekaan; PP 28/1985 tentang Perlindungan Hutan; PP 14/1986 tentang Dewan Hak Cipta ; PP 29/1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; PP 13/1987 tentang Izin Industri;

Keseluruhan ketentuan perundang-undangan di atas merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya yaitu tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behaviour). Pada tahap ini diupayakan mulai tumbuh kesadaran penghormatan dan penegakan HAM baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat, karena HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati dan dilindungi oleh setiap manusia. Penataan aturan secara konsisten memerlukan persyaratan yang harus ada. Persyaratan pertama adalah demokrasi dan supremasi hukum; kedua, HAM sebagai tatanan sosial. Menurut Prof. Bagir Manan demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara berdasarkan atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu hubungan antara HAM, demokrasi dan negara harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan yang simbiosis mutualistik. Selanjutnya HAM sebagai tatanan sosial merupakan pengakuan masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai HAM dalam tatanan sosial, politik, ekonomi yang hidup. Dalam kerangka menjadikan HAM sebagai tatanan sosial, pendidikan HAM secara kurikuler maupun melalui pendidikan kewargaan (civic education) sangat diperlukan dan terus dilakukan secara berkesinambungan.

Pelanggaran dan Pengadilan HAM

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara me