88656117 penanganan-banjir-kota-dki-jakarta
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pengertian
Beberapa pengertian banjir adalah:
1. Banjir adalah suatu keadaan sungai, dimana aliran air tidak
tertampung oleh palung sungai, sehingga terjadi limpasan, dan
atau genangan pada lahan yang semestinya kering (Departemen
Kimpraswil, 2001).
2. Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya
kering) karena volume air yang meningkat (Wikipedia, 2009).
3. Banjir adalah aliran yang relatif tinggi, dan tidak tertampung
oleh alur sungai atau saluran. (SK SNI M-18-1989-F (1989) dalam
(Suparta (2004)
Aliran yang dimaksud disini adalah aliran air yang sumbernya bisa
dari mana aja. Dan air itu ngeluyur keluar dari sungai atau saluran
karena sungai atau salurannya sudah melebihi kapasitasnya. Kondisi
inilah yang disebut banjir.
1.2. Jenis – Jenis Banjir di Indonesia
Menurut ahli hidrologi banjir-bajir di indonesia itu dibagi menjadi
tiga jenis, antara lain:
1. Banjir akibat Meluapnya Suatu Sungai
Banjir jenis ini biasanya terjadi akibat dari suatu sungai yang
sudah tidak mampu lagi untuk menampung aliran air yang ada
di sungai itu, dimana debit air yang mengalir melalui sungai
tersebut sudah melebihi kapasitas dari sungai tersebut.
2. Banjir Lokal
Pada saat curah hujan tinggi dilokasi setempat dimana kondisi
tanah dilokasi itu sulit dalam melakukan penyerapan air (bisa
karena padat, bisa juga karena kondisinya lembab, dan bisa juga
karena daerah resapan airnya tinggal sedikit) maka
kemungkinan terjadinya banjir lokal akan sangat tinggi sekali.
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
3. Banjir Akibat Pasang Surut Air Laut
Saat air laut pasang, ketinggian muka air laut akan meningkat,
otomatis aliran air di bagian muara sungai akan lebih lambat
dibandingkan bila saat laut surut. Selain melambat, bila aliran air
sungai sudah melebihi kapasitasnya (ditempat yang datar atau
cekungan) maka air itupun akan menyebar kesegala arah dan
terjadilah banjir.
1.3. Faktor – Faktor Penyebab Banjir
Pada dasarnya banjir itu disebabkan oleh luapan aliran air yang
terjadi pada saluran atau sungai. Bisa terjadi dimana saja, ditempat
yang tinggi maupun tempat yg rendah. Pada saat air jatuh
kepermukaan bumi dalam bentuk hujan (presipitasi), maka air itu akan
mengalir ketempat yang lebih rendah melalui saluran – saluran atau
sungai - sungai dalam bentuk aliran permukaan (run off) sebagian akan
masuk/meresap kedalam tanah (infiltrasi) dan sebagiannya lagi akan
menguap keudara (evapotranspirasi).
Banjir merupakan peristiwa yang alami pada daerah dataran banjir.
Dataran banjir terbentuk akibat dari peristiwa banjir. Dataran banjir
merupakan daerah yang terbentuk akibat dari sedimentasi
(pengendapan) banjir. Saat banjir terjadi, tidak hanya air yang di bawa
tapi juga tanah - tanah yang berasal dari hilir aliran sungai. Dataran
banjir biasanya terbentuk di daerah pertemuan2 sungai. Akibat dari
peristiwa sedimentasi ini, dataran banjir merupakan daerah yg subur
bagi pertanian, mempunyai air tanah yang dangkal sehingga cocok
sekali bagi pemukiman dan perkotaan.
Ada dua faktor perubahan kenapa banjir terjadi :
1. Perubahan lingkungan dimana didalamnya ada perubahan iklim,
perubahan geomorfologi, perubahan geologi dan perubahan tata
ruang.
2. Perubahan dari masyarakat itu sendiri
Hujan merupakan faktor utama penyebab banjir. Perubahan iklim
menyebabkan pola hujan berubah dimana saat ini hujan yang terjadi
mempunyai waktu yang pendek tetapi intensitasnya tinggi. Akibat
2
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
keadaan ini saluran - saluran yang ada tidak mampu lagi menampung
besarnya aliran permukaan dan tanah - tanah cepat mengalami
penjenuhan.
Global warming / pemanasan global menyebabkan terjadinya
perubahan pada pola iklim yg akhirnya merubah pola curah hujan.
Berdasarkan analisis statistik data curah hujan dari tahun 1900 sampai
tahun 1989 terhadap variansi hujan dengan menggunakan uji F
dihasilkan bahwa telah terjadi perubahan intensitas hujan untuk lokasi
Ambon, Branti, Kotaraja, Padang, Maros, Kupang, Palembang, dan
Pontianak (Slamet dan Berliana, 2006). Berdasarkan kajian LAPAN
(2006) banjir yang terjadi di Jakarta Januari tahun 2002, Juni 2004 dan
Februari 2007 bertepatan dengan fenomena La Nina dan MJO (Madden-
Julian oscillation), kedua fenomena ini menyebabkan terjadinya
peningkatan curah hujan diatas normal. Memang, berdasarkan
kesimpulan penelitian tersebut bukan hanya faktor iklim yang
menyebabkan terjadinya banjir, tp juga di sebabkan oleh perubahan
penggunaan lahan dan penyempitan saluran drainase (sungai).
Perubahan penggunaan lahan dan otomatis juga terjadi perubahan
tutupan lahan ~penggunaan lahan itu ada pemukiman, sawah,
tegalan, ladang dll sedangkan tutupan lahan itu vegetasi yang tumbuh
di atas permukaan bumi menyebabkan semakin tingginya aliran
permukaan. Aliran permukaan terjadi apabila curah hujan telah
melampaui laju infiltrasi tanah. Menurut Castro (1959) tingkat aliran
permukaan pada hutan adalah 2.5%, tanaman kopi 3%, rumput 18%
sedangkan tanah kosong sekitar 60%. Sedangkan berdasarkan
penelitian Onrizal (2005) di DAS Ciwulan, penebangan hutan
menyebabkan terjadinya kenaikan aliran permukaan sebesar 624
mm/th. Itu baru perhitungan yg di lakukan pada daerah hutan yg
ditebang dimana masih ada tanah yang bisa meresapkan air
Hasil penelitian Bruijnzeel (1982) dalam Onrizal (2005) yang di
lakukan pada areal DAS Kali Mondoh pada tanaman hutan
memperlihatkan bahwa debit sungai pada bulan Mei, Juli, Agustus dan
September lebih tinggi dari curah hujan yang terjadi pada saat bulan -
bulan tersebut, ini membuktikan bahwa vegetasi sebagai pengatur tata
3
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
air dimana pada saat hujan tanaman membatu proses infiltrasi
sehinggaa air disimpan sebagai air bawah tanah dan dikeluarkan saat
musim kemarau. Menurut Suroso dan Santoso (2006) dalam WWF-
Indonesia (2007) perubahan penggunaan lahan sangat berpengaruh
terhadap peningkatan debit sungai.
Hasil penelitian Fakhrudin (2003) dalam Yuwono (2005)
menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung
tahun 1990-1996 akan meningkatkan debit puncak dari 280 m3/det
menjadi 383 m3/det, dan juga meningkatkan persentase hujan menjadi
direct run-off dari 53 % menjadi 63 %. Dalam makalah yang sama
Yuwono (2005) juga mengungkapkan pengurangan luas hutan dari 36%
menjadi 25%, 15% dan 0% akan menaikkan puncak banjir berturut-
turut 12,7%, 58,7% dan 90,4%.
Menurut Yuwono (2005) pengurangan luas hutan dari 36% menjadi
25%, 15% dan 0% akan meningkatkan laju erosi sebesar 10%, 60%
dan 90%. Akibat dari erosi ini tanah menjadi padat, proses infiltrasi
terganggu, banyak lapisan atas tanah yang hilang dan terangkut ke
tempat-tempat yang lebih rendah, tanah yang hilang dan terangkut
inilah yang menjadi sedimentasi yang dapat mendangkalkan waduk,
bendungan dan sungai. Kapasitas daya tampung dari saluran irigasi
tersebut menjadi lebih kecil yang akhirnya dapat menyebabkan banjir
walaupun dalam kondisi curah hujan normal. Menurut Priatna (2001)
kerusakan tanah akibat terjadinya erosi dapat menyebabkan bahaya
banjir pada musim hujan, pendangkalan sungai atau waduk serta
makin meluasnya lahan-lahan kritis.
1.4. Penanggulangan Banjir
1. Memfungsikan sungai dan selokan sebagaimana mestinya.
Karena sungai dan selokan merupakan tempat aliran air, jangan
sampai fungsinya berubah menjadi tempat sampah.
2. Larangan membuat rumah di dekat sungai. Biasanya, yang
mendirikan rumah di dekat sungai adalah para pendatang yang
yang datang ke kota besar hanya dengan modal nekat.
Akibatnya, keberadaan mereka bukannya membantu
peningkatan perekonomian, akan tetapi malah sebaliknya,
4
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
merusak lingkungan. Itu sebabnya pemerintah harus tegas,
melarang membuat rumah di dekat sungai dan melarang orang-
orang tanpa tujuan tidak jelas datang ke kota dalam jangka
waktu lama atau untuk menetap.
3. Menanam pohon dan pohon-pohon yang tersisa tidak ditebangi
lagi. Karena pohon adalah salah satu penopang kehidupan di
suatu ktoa. Banyangkan, bila sebuah kota tidak memiliki pohon
sama sekali. Apa yang akan terjadi? Pohon selain sebagai
penetralisasi pencemaran udara di siang hari, sebagai pengikat
air di saat hujan melalui akar-akarnya. Bila sudah tidak ada lagi
phon, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila hujan tiba.
5
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
BAB II
ISI
2.1. Kondisi DKI Jakarta
Gambar 2.1. Kondisi Banjir pada Jalanan Kota DKI. Jakarta
Jakarta sebagai kota megapolitan menyimpan berbagai macam
permasalahan akibat terus meningkatnya jumlah penduduk, apalagi
Jakarta masih menjadi ‘magnet’ bagi orang dari daerah untuk
berurbanisasi mencari penghidupan yang layak di kota besar. Data
statistik tahun 2010 menyebutkan, penduduk Jakarta berjumlah
9.607.787 jiwa, mempunyai luas wilayah 740,3 km², dengan kepadatan
6
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
mencapai 12.978,2/km² tentu Jakarta sudah terlalu jenuh serta daya
dukung lingkungannya menurun. Berbagai permasalahan yang timbul
antara lain kemacetan, polusi udara, banjir, dan sebagainya, apalagi
kesenjangan sosial yang tinggi antara si kaya dan si miskin serta
keberagaman etnis dari seluruh Indonesia berkumpul di sana, rawan
menimbulkan konflik sosial seperti tawuran serta berbagai macam
tindak kejahatan.
Salah satu masalah yang populer di Jakarta ialah banjir. Selain
banjir besar lima tahunan, beberapa wilayah di Jakarta rentan terjadi
genangan setiap kali hujan lokal atau banjir kiriman karena meluapnya
sungai akibat tidak mampu lagi menampung debit air yang mengalir.
Kondisi topografi Jakarta yang relatif datar serta saluran drainase yang
buruk menjadi penyebab terjadinya banjir. Hal ini diperparah dengan
perubahan fungsi lahan serta pesatnya pembangunan yang
mengurangi daerah tangkapan air akibat berkurangnya ruang terbuka
hijau. Gedung-gedung bertingkat seperti perkantoran, mall, dan
apartemen secara tidak langsung juga memicu terjadinya banjir.
Eksploitasi air tanah yang berlebih pada gedung bertingkat diduga
menyebabkan penurunan permukaan tanah di Jakarta.
2.2. Potensi dan Penyebab Banjir di Kota DKI Jakarta
Jika dilihat kondisi Kota DKI Jakarta saat ini, dapat dilihat potensi -
potensi yang dapat menyebabkan Ibu Kota Negara Indonesia, DKI
Jakarta ini mengalami banjir, yaitu:
2.2.1. Sistem Drainase Kota yang Buruk
Tanpa harus melakukan survei mendetail pun, kita sudah tahu
bahwa drainase di Jakarta tidak berfungsi optimal sebagai salah satu
"penakluk" banjir. Contohnya, lihat saja gorong-gorong seukuran 1,25 x
2,5 meter persegi di bawah Jalan M.H. Thamrin, pusat Kota Jakarta.
Kondisinya memprihatinkan: dipenuhi sampah dan kabel-kabel. "Sudah
tak layak lagi," kata konsultan drainase Jakarta, Hadi Purwanto. Di area
itulah, pada Februari 2008, mobil R-1 yang ditumpangi Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono tak bisa lewat akibat terjebak banjir.
7
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
Nah, gorong-gorong di Thamrin itulah yang kini sedang dibenahi.
Bila Anda melintasi jalan yang diapit gedung-gedung jangkung itu di
malam hari, akan tampak kesibukan orang-orang membersihkan dan
menata "perut" Jakarta. Saat ini tengah dibuat gorong-gorong baru di
beberapa tempat untuk mengatasi banjir, di antaranya di bawah Jalan
Thamrin, tepatnya di depan Sarinah, Sky Building. Ukurannya lebih
besar, yaitu 4 x 3 meter, sehingga diharapkan bisa mengatasi
genangan di kawasan Sarinah. "Itu merupakan crossing untuk
mengalirkan air dari Jalan Wahid Hasyim, Sabang, Sunda, dan seputar
Sarinah ke Kali Cideng," kata Tarjuki.
Kawasan Thamrin jelas bukan satu-satunya yang drainasenya
buruk. Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Jakarta,
Yayat Supriatna, banyak drainase atau gorong-gorong yang berubah
dari yang terbuka menjadi tertutup akibat pelebaran jalan, seperti
yang ada di Jalan Sudirman, Haji Agus Salim, dan Cikini. Padahal
karakter gorong-gorong terbuka tidak bisa dipaksakan menjadi
tertutup. Akibatnya, ada gorong-gorong yang meledak karena mampet.
Desain dan kapasitas drainase sudah tak sesuai dengan kebutuhan
Kota Jakarta. Contohnya, gorong-gorong lama yang ada di Jalan Haji
Agus Salim, Jakarta Pusat. ondisinya memang tidak layak lagi. Selain
kecil-berukuran sekitar 30 sentimeter persegi-terjadi pendangkalan. Air
kotor terlihat dari lubang besi yang menjadi pembuangan air dari jalan,
padahal hari itu tidak ada hujan. Bahkan lubang-lubang besinya sudah
menyempit akibat lapisan beton dan aspal sewaktu perbaikan jalan. Di
Jalan Sunda, di belakang gedung Sarinah, gorong-gorongnya memang
lebih besar, dengan tinggi sekitar 2 meter dan lebar 1,5 meter. Namun
kondisinya penuh sampah
2.2.2. Perubahan Fungsi Lahan
Berubahnya fungsi lahan, seperti:
Pembangunan mal-mal dibangun di daerah wajib resapan air,
mengakibatkan sering terjadinya banjir.
Pemeliharaan infrastruktur yang buruk
Dengan memperhatikan peta DKI Jakarta dibawah ini dan
dengan logika sederhana melihat dan membandingkan antara
8
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
luasan area hijau dan area fisik bangunan,dapat kita
lihat betapa Mini-nya luasan RTH yang disyaratkan bagi
pertumbuhan suatu kota sehingga dengan semakin kecilnya
daerah resapan air makin semakin luaslah daerah luapan
banjir, semakin kecilnya daerah hijau maka semakin luaslah
daerah panas dijakarta.
Gambar 2.2. Daerah Penghijaun di Daerah Kemayoran
Tindakan sembrono dalam pemanfaataan ruang dalam kota
Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling
sedikit 30% dari luas wilayah kota. Sementara itu proporsi
Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk yang diperuntukkan bagi
publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari wilayah kota.
Sebaran ruang terbuka hijau publik ini diharapkan merata dari
mulai tingkat RT, RW, Kelurahan,sampai Kecamatan serta dasar
penentuanproporsi RTH itu berdasarkan keterkaitan ekologis
antar wilayah,
Dari Peta udara yang diambil dari google earth kita bisa
melihat luasan hijau dari RTH Monas, RTH Gelora Bung
Karno,Jalur hijau Tebet,Jalur Hijau Barito, RTH cibubur terlihat
demikian MINI dibandingkan dengan luasan Permukiman dan
fungsi-fungsi lainnya.Ruang Kawasan Hijau Kemayoran dan
luasan kawasan Hijau pemakaman Karet dan pemakaman
Tanah Kusir yang berfungsi sebagai daerah resapan air terasa
terhimpit oleh pembangunan fisik perumahan
9
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
Gambar 2.3. Daerah Penghijaun di Daerah Tebet
Gambar 2.4. Daerah Penghijaun di Daerah Tanah Kusir
Gambar 2.5. Daerah Penghijaun di Daerah Karet
10
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
2.3. Penyebab Banjir di Kota DKI Jakarta
Sumber genangan (banjir) di Kota DKI. Jakarta, dapat dibedakan
menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Banjir Kiriman
2. Banjir Lokal
2.3.1.Banjir Kiriman
Banjir kiriman merupakan aliran banjir yang datangnya dari
daerah hulu di luar kawasan yang tergenang. Hal ini terjadi jika hujan
yang terjadi di daerah hulu menimbulkan aliran banjir yang melebihi
kapasitas sungainya atau banjir kanal yang ada, sehingga terjadi
limpasan. Banjir kiriman berasal dari Kota Bogor, karena Bogor terletak
di daerah hulu.
2.3.2.Banjir Lokal
Banjir lokal adalah genangan air yang timbul akibat hujan yang
jatuh di daerah itu sendiri, hal ini dapat terjadi kalau hujan yang terjadi
melebihi kapasitas sistem drainase yang ada.
2.4. Penanganan Banjir di Kota DKI. Jakarta
Salah satu solusi untuk mengatasi banjir di Jakarta ialah dengan
membangun Banjir Kanal Timur (BKT). Sejarah BKT dimulai ketika
NEDECO (Netherland Engineering Concultans) menyusun "Master Plan
for Drainage and Flood Control of Jakarta" pada Desember 1973,
termasuk di dalamnya juga ada rencana pembangunan Banjir Kanal
Barat yang selesai dibangun lebih dulu. Berdasarkan rencana induk ini,
seperti yang ditulis Soehoed dalam Membenahi Tata Air Jabotabek,
pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang
melingkari sebagian besar wilayah kota. Terusan itu akan menampung
semua arus air dari selatan dan dibuang ke laut melalui bagian-bagian
hilir kota. Kelak, terusan itu akan dikenal dengan nama Banjir Kanal
Barat dan Banjir Kanal Timur. Ini adalah salah satu upaya pengendalian
11
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa
pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
Gambar 2.6. Peta Banjir Kanal Timur (BKT)
Pada tahun 1991, rencana induk BKT kemudian dilengkapi
dengan "The Study on Urban Drainage and Wastewater Disposal
Project in the City of Jakarta" oleh Nikken Ass dengan dana bantuan
dari OECF menghasikan detail design BKT, serta "The Study on
Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek" pada
Maret 1997 oleh JICA (Japan International Cooperation Agency).
Selain berfungsi mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan,
melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta
bagian timur, BKT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air
untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta
prasarana transportasi air.
12
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
BKT direncanakan untuk menampung aliran Kali Cipinang, Kali
Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah
tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207
kilometer persegi atau sekitar 20.700 hektare. Rencana pembangunan
BKT tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6
Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI
Jakarta.
BKT akan melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara
dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,5 kilometer.
Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya
pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan
biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Kementerian Pekerjaan
Umum.
Gambar 2.7. Trase Banjir Kanal Timur (BKT)
Untuk pembuatan BKT, perlu pembebasan lahan seluas 405,28
hektare yang terdiri dari 147,9 hektare di Jakarta Utara dan 257,3
hektare di Jakarta Timur. Sampai dengan September 2006, lahan yang
telah dibebaskan 111,19 hektare dengan biaya sekitar Rp 700 miliar.
Untuk tahun 2007, direncanakan pembebasan 267,36 hektare dengan
biaya Rp 1,2 triliun.
13
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
Gambar 2.8. Penampang Melintang Banjir Kanal Timur (BKT)
Dalam kenyataannya, pembuatan kanal yang sudah
direncanakan lebih dari 30 tahun lalu itu menghadapi pembebasan
tanah yang berjalan alot. Pembangunannya menjadi lambat. Rencana
tersebut tidak kunjung selesai direalisasikan, dan banjir seperti yang
kini dirasakan warga Jakarta menjadi kenyataan setiap tahun.
Gambar 2.9. Foto Pelaksanaan Fisik Banjir Kanal Timur (BKT)
Akhirnya pada tahun 2011 pembangunan BKT selesai dan mulai
dioperasikan. Meskipun belum teruji manfaatnya dalam mengatasi
banjir, Namun, masyarakat Jakarta sudah tampak menikmati
keberadaan BKT. Hal ini terlihat dari kegiatan masyarakat di sekitar
daerah Bantaran BKT. Masyarakat Jakarta, khususnya Jakarta Timur,
seakan menemukan ruang publik yang selama ini dicari. Pengamatan
14
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
detikcom, Senin (12/12/2011) di daerah Bantaran BKT Jl Basuki
Rachmat, Cipinang Muara, Jakarta Timur, terdapat banyak warga
Jakarta yang melakukan kegiatan di daerah tersebut. Kegiatan
masyarakat di sekitar BKT cukup beragam, ada yang bermain bersama
anak, memancing, hingga muda-mudi yang berdua-duaan alias
pacaran. Pusat keramaian terdapat di beberapa titik jembatan
penyeberangan yang menghubungkan Jl. Basuki Rachmat dengan
daerah perumahan penduduk Kelurahan Cipinang Muara.
Gambar 2.10. Kondisi Banjir Kanal Timur (BKT) Saat Ini
2.4.1. Sistem Pengendali Banjir di DKI Jakarta
Untuk menangani banjir, Provinsi DKI Jakarta telah membangun
serangkaian Sistem Pengendali Banjir Jakarta. Berikut adalah Sistem
Kawasan Pengendali Banjir dan Drainase Jakarta sampai 2010:
Jakarta Utara
Sunter Timur I
Sunter Timur II
Kelapa Gading
Sunter Barat
Sunter Selatan
Pademangan
Jembatan V
Teluk Gong
Angka Bawah
Jakarta Barat
Jelambar
Grogol
Pinangsia
15
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
Jati Pulo
Kali Sekretaris
S.P.Barat
Jakarta Pusat
Sawah Besar
Sumur Batu
Cideng Bawah
Jakarta Selatan
Kali Grogol Atas
Duren Tiga
Pondok Karya
Sangrila
Jakarta Timur
Duren Sawit
Cipinang
Sistem Saluran Makro (13
sungai)
Kali Mookevart
Kali Angke
Kali Pesanggrahan
Kali Grogol
Kali Krukut
Kali Baru (Pasar Minggu)
Kali Ciliwung
Kali Baru Timur
Kali Cipinang
Kali Sunter
Kali Buara
Kali Jati Kramat
Kali Cakung
Banjir Kanal
Banjir Kanal Barat
Banjir Kanal Timur
16
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
BAB III
PENUTUP
Dari uraian- uraian yang ada diatas maka solusi yang ingin saya
berikan adalah :
1. Pada bagian hulu :
Pembatasan penggunaan lahan untuk pembangunan.
Pembangunan bendungan, memperbaiki bangunan-bangunan air
yang sudah ada
Reboisasi intensif
Normalisasi aliran sungai
(Solusi di hulu harus berkesinambungan, antara pembatasan
penggunaan lahan, reboisasi intensif, dan pembangunan bendungan.
Jika hanya satu langkah yang dilaksanakan, langkah lain akan
menjadi kurang efektif.)
2. Pada bagian hilir :
Pembuatan Banjir Kanal Timur
Pembuatan penampungan air bawah tanah dalam skala besar
atau deep tunnel reservoir. Penampungan air bawah tanah,
17
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta
seperti yang diterapkan Chicago (Amerika Serikat) dan Singapura
mampu menampung sekitar 200 juta meter kubik air dan dapat
bertahan 125 tahun.
Ide penampungan air bawah tanah adalah menampung semua
limpahan air banjir dan limbah cair dari sanitasi lingkungan ke
dalam bendungan bawah tanah. Air tampungan itu dapat diolah
dan digunakan sebagai cadangan air baku bagi Jakarta. Sehingga
jakarta tidak mengalami kekeringan saat musim kemarau
18
Pengendalian Banjir Kota DKI Jakarta