87196593 penentuan kadar protein dengan spektrofotometri

34
Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Jumat, 16 Maret 2012 Laboratorium Biokimia Kelompok : 8 PJP : Prof. Dr. Maggy T. Suhartono Yanti, Ph.D. Asisten : Bernadetta Meika Dysa Irina Elissa Tjahjono Fidelia Isabel Yuliani Wijaya Katharina Jessica Matheus Alvin Prawira Sabar Budiman Stephanus Aditya Listian Stevanny Wong Steven Clement Wendy Andryan PENENTUAN KADAR PROTEIN DENGAN SPEKTROFOTOMETRI Debora 2011-080-020 Jessen 2011-080-026 Vania Gavrila Wikasa 2011-080-052 Melinda Ika Sari 2011-080-089 Michael Edbert Suryanto 2011-080-101 FAKULTAS TEKNOBIOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA 2012

Upload: mutriono-ozhora

Post on 25-Oct-2015

868 views

Category:

Documents


23 download

DESCRIPTION

aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa

TRANSCRIPT

Page 1: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Jumat, 16 Maret 2012

Laboratorium Biokimia Kelompok : 8

PJP : Prof. Dr. Maggy T. Suhartono

Yanti, Ph.D.

Asisten : Bernadetta Meika

Dysa Irina

Elissa Tjahjono

Fidelia

Isabel Yuliani Wijaya

Katharina Jessica

Matheus Alvin Prawira

Sabar Budiman

Stephanus Aditya Listian

Stevanny Wong

Steven Clement

Wendy Andryan

PENENTUAN KADAR PROTEIN DENGAN SPEKTROFOTOMETRI

Debora 2011-080-020

Jessen 2011-080-026

Vania Gavrila Wikasa 2011-080-052

Melinda Ika Sari 2011-080-089

Michael Edbert Suryanto 2011-080-101

FAKULTAS TEKNOBIOLOGI

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

2012

Page 2: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

PENDAHULUAN

Protein merupakan senyawa biomolekul yang penting, karena perannya dalam

berbagai proses di dalam tubuh. Protein terdapat dalam jumlah yang banyak di dalam

sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering pada hampir semua organisme

([UAD] 2011). Untuk memenuhi kebutuhan protein dalam tubuh, seseorang harus

mengonsumsi makanan yang mengandung protein. Banyak makanan yang merupakan

sumber protein bagi tubuh, namun kadar protein di dalam setiap makanan berbeda-

beda. Oleh karena itu, pada percobaan ini akan dilakuan penentuan kadar protein

dalam sampel dengan menggunakan metode spektrofotometri. Selain itu, percobaan

ini juga dilakukan untuk menentukan efektivitas metode yang digunakan (metode

Lowry dan metode Bradford), serta untuk membuat kurva standar dari pewarna

Lowry dan Bradford.

Pengukuran kadar protein dapat dilakukan dengan berbagai metode. Metode

spektrofotometri merupakan metode yang menggunakan prinsip absorbansi dan

transmisi cahaya dalam mengukur konsentrasi suatu senyawa (Lestari 2010). Dasar

penggunaan metode spektrofotometri adalah dengan menggunakan metode Lowry

dan Bradford. Prinsip metode Lowry adalah terbentuknya warna biru akibat

penambahan pereaksi Folin Ciocalteau dan Biuret. Terbentuknya warna biru tersebut

disebabkan oleh reaksi ion Cu2+

dengan ikatan peptida dalam larutan alkalis pada saat

penambahan pereaksi biuret serta terjadinya reaksi reduksi pereaksi Folin Ciocalteau

dengan asam amino dalam protein (Kolakowski 2012). Sedangkan, prinsip metode

Bradford adalah adanya ikatan antara protein dengan CBB-G250 (Coomassie

Brilliant Blue-G250) dalam keadaan asam. CBB yang awalnya berwarna merah akan

berubah warna menjadi biru pada saat berikatan dengan protein sehingga terjadi

perubahan panjang gelombang pewarna dari 465 nm menjadi 595 nm (Walker 2002).

Page 3: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

BAHAN DAN METODE

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah spektrofotometer VIS, kuvet

plastik, rak tabung reaksi, tabung reaksi, pompa bulp, vorteks, pipet mikro, tip,

magnetic stirrer, gelas piala, labu takar, gelas ukur, dan kertas saring.

Bahan yang digunakan adalah Bovine Serum Albumin (BSA) 1 mg/ml, NaOH

0,1 M, CuSO4.5H2O 1%, Na K-tartarat 2%, Na2CO3 2%, Coomassie Brilliant Blue

G-250, Etanol 95%, Asam fosfat 85%, pereaksi Folin-Ciocalteau, pereaksi Biuret,

pereaksi Bradford, alumunium foil dan sampel protein (putih telur 5%v/v, putih telur

5% v/v 2 kali pengenceran, tepung cacing 2 % b/v, tepung cacing 2% b/v 2 kali

pengenceran, susu 2% b/v, susu 2% b/v 2 kali pengenceran).

Metode yang digunakan dalam praktikum ini terbagi menjadi 2 bagian, yaitu

metode Lowry dan metode Bradford. Untuk masing-masing metode dilakukan

pembuatan kurva standard dan pengukuran kuantitatif larutan protein.

Prosedur kerja pada metode Lowry adalah sebagai berikut. Perrtama, 6 tabung

reaksi disiapkan untuk mengencerkan larutan BSA standar (1 mg/ml) dengan

keterangan sebagai berikut.

Tabung [BSA] akhir

(mg/ml)

Volume BSA

1 mg/ml (ml)

Volume akuades

(ml)

1 1,0 2,5 0

2 0,8 2,0 0,5

3 0,6 1,5 1,0

4 0,4 1,0 1,5

5 0,2 0,5 2,0

6 0,1 0,25 2,25

Kemudian, 8 tabung reaksi baru disiapkan dan dilapisi alumunium foil untuk

menghindari paparan terhadap cahaya. Selanjutnya, kedelapan tabung reaksi diisi

dengan larutan BSA (tabung1-6), sampel (tabung 7), dan akuades (tabung 8) untuk

blanko sebagai berikut.

Page 4: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Tabung Volume protein (ml) Volume pereaksi Biuret (ml)

1 Standar: 1,2 6

2 Standar: 1,2 6

3 Standar: 1,2 6

4 Standar: 1,2 6

5 Standar: 1,2 6

6 Standar: 1,2 6

7 Sampel protein: 1,2 6

8 Akuades: 1,2 6

Langkah selanjutnya, larutan diaduk dengan vorteks hingga homogen, lalu

didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Setelah itu, ditambahkan 0,3 ml

pereaksi Folin Ciocalteau, divorteks, dan dibiarkan selama 30 menit dalam suhu

ruang. Hal tersebut bertujuan agar reaksi dapat berjalan optimal. Bila waktu

pembiaran lebih dari waktu tersebut, maka larutan akan menjadi jenuh sehingga hasil

yang diperoleh tidak maksimal. Setelah reaksi terjadi, absorbansi larutan sampel

diukur menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 650 nm. Langkah

terakhir, kurva larutan standar BSA dibuat dengan absorbansi (A) pada ordinat dan

konsentrasi protein pada absis. Selain itu, juga ditentukan konsentrasi protein dalam

sampel (mg/ml).

Sedangkan, pada metode Bradford, prosedur kerjanya sebagai berikut.

Perrtama, 6 tabung reaksi disiapkan untuk mengencerkan larutan BSA standar (1

mg/ml) dengan keterangan sebagai berikut.

Tabung [BSA] akhir

(mg/ml)

Volume BSA

1 mg/ml (ml)

Volume akuades

(ml)

1 0,8 2,0 0,5

2 0,7 1,75 0,75

3 0,5 1,25 1,25

4 0,3 0,75 1,75

5 0,2 0,5 2,0

6 0,1 0,25 2,25

Kemudian, 8 tabung reaksi baru disiapkan dan dilapisi alumunium foil untuk

menghindari paparan terhadap cahaya. Selanjutnya, kedelapan tabung reaksi diisi

dengan larutan BSA (tabung1-6), sampel (tabung 7), dan akuades (tabung 8) untuk

blanko sebagai berikut.

Page 5: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Tabung Volume protein (ml) Volume pereaksi Bradford (ml)

1 Standar: 0,4 8

2 Standar: 0,4 8

3 Standar: 0,4 8

4 Standar: 0,4 8

5 Standar: 0,4 8

6 Standar: 0,4 8

7 Sampel protein: 0,4 8

8 Akuades: 0,4 8

Langkah selanjutnya, larutan diaduk dengan vorteks hingga homogen, lalu

didiamkan selama 2 menit pada suhu ruang sehingga reaksi dapat berlangsung

optimal Setelah itu, larutan sampel diukur menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 595 nm. Langkah terakhir, kurva larutan standar BSA dibuat

dengan absorbansi (A) pada ordinat dan konsentrasi protein pada absis. Selain itu,

juga ditentukan konsentrasi protein dalam sampel (mg/ml).

Page 6: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

HASIL

Tabel 1 Kurva standar Lowry

[BSA] (M) Absorbansi (A)

0 0

0,1 0,016

0,2 0,077

0,4 0,123

0,6 0,255

0,8 0,318

1 0,373

Gambar 1 Kurva standar metode Lowry.

Tabel 2 Kurva standar Bradford

[BSA] (M) Absorbansi (A)

0 0

0,1 0,171

0,2 0,286

0,4 0,433

0,6 0,743

0,8 0,889

1 0,919

y = 0.396x - 0.009

R² = 0.984

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0.25

0.3

0.35

0.4

0.45

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

[protein]

ab

sorb

an

si

Page 7: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Gambar 2 Kurva standar metode Bradford

Tabel 3 Pengukuran konsentrasi protein dengan metode Lowry

Sampel Kelompok Abs1 (A) Abs2 (A) Abs rata-

rata (A)

[Protein]

A 1 1,102 1,199 1,1905 3,0290

2 0,546 0,467 0,5065 1,3018

B 3 0,574 0,547 0,5855 1,5013

4 0,712 0,714 0,7130 1,8232

C 5 0,778 0,770 0,7740 1,9773

6 0,772 0,929 0,8505 2,1704

D 7 0,535 0,571 0,5530 1,4192

8 0,590 0,693 0,6415 1,6427

E 9 1,656 1,794 1,7250 4,3788

10 1,996 2,078 2,0370 5,1667

F 11 1,227 1,605 1,4160 3,5985

12 1,844 1,800 1,8220 4,6237

y = 1.181x + 0.052

R² = 0.975

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

[protein]

ab

sorb

an

si

Page 8: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Tabel 4 Pengukuran konsentrasi protein dengan metode Bradford

Sampel Kelompok Abs1 (A) Abs2 (A) Abs rata-

rata (A)

[Protein]

(M)

A 1 1,003 1,029 1,0160 0,8163

2 0,979 1,002 0,9905 0,7947

B 3 1,116 1,100 1,1080 0,8942

4 0,908 0,907 0,9075 0,7244

C 5 1,072 1,051 1,0615 0,8548

6 0,970 1,001 0,9855 0,7904

D 7 0,734 0,716 0,7250 0,5699

8 0,919 0,934 0,9265 0,7710

E 9 1,513 1,512 1,5125 1.2367

10 2,593 2,579 2,5860 2,1456

F 11 2,925 2,179 2,5520 2,1168

12 1,198 1,183 1,1905 0,9640

Contoh Perhitungan Konsentrasi Protein dengan metode Lowry

y = bx+a

Keterangan: y = absorbansi (A)

x = [Protein] (M)

a,b = konstanta dari grafik standar

1. Sampel A(Kelompok 1)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 1,1905

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,1905 = 0,396x – 0,009

1,1905 + 0,009 = 0,396x

1,1995 = 0,396x

x = 3,0290 M

2. Sampel A(Kelompok 2)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

Page 9: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

y = 0,5065

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,5065 = 0,396x – 0,009

0,5065 + 0,009 = 0,396x

0,5155 = 0,396x

x = 1,3018 M

3. Sampel B (Kelompok 3)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 0,5855

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,5855 = 0,396x – 0,009

0,5855 + 0,009 = 0,396x

0,5945 = 0,396x

x = 1,5013 M

4. Sampel B (Kelompok 4)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 0,7130

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,7130 = 0,396x – 0,009

0,7130 + 0,009 = 0,396x

0,722 = 0,396x

x = 1,8232 M

5. Sampel C (Kelompok 5)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

Page 10: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

y = 0,7740

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,7740 = 0,396x – 0,009

0,7740 + 0,009 = 0,396x

0,783 = 0,396x

x = 1,9773 M

6. Sampel C (Kelompok 6)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 0,8505

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,8505 = 0,396x – 0,009

0,8505 + 0,009 = 0,396x

0,8595 = 0,396x

x = 2,1704 M

7. Sampel D (Kelompok 7)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 0,5530

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,5530 = 0,396x – 0,009

0,5530 + 0,009 = 0,396x

0,562 = 0,396x

x = 1,4192 M

8. Sampel D (Kelompok 8)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

Page 11: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

y = 0,6415

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,6415 = 0,396x – 0,009

0,6415 + 0,009 = 0,396x

0,6505 = 0,396x

x = 1,6427 M

9. Sampel E (Kelompok 9)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 1,7250

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,7250 = 0,396x – 0,009

1,7250 + 0,009 = 0,396x

1,734 = 0,396x

x = 4,3788 M

10. Sampel E (Kelompok 10)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 2,0370

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

2,0370 = 0,396x – 0,009

2,0370 + 0,009 = 0,396x

2,046 = 0,396x

x = 5,1667 M

11. Sampel F (Kelompok 11)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

Page 12: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

y = 1,4160

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,4160 = 0,396x – 0,009

1,4160 + 0,009 = 0,396x

1,425 = 0,396x

x = 3,5985 M

12. Sampel F (Kelompok 12)

Diketahui:

y = 0.396x - 0.009

y = 1,8220

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,8220 = 0,396x – 0,009

1,8220 + 0,009 = 0,396x

1,831 = 0,396x

x = 4,6237 M

Contoh Perhitungan Konsentrasi Protein dengan metode Bradford

y = bx+a

Keterangan: y = absorbansi (A)

x = [Protein] (M)

a,b = konstanta dari grafik standar

1. Sampel A(Kelompok 1)

Diketahui:

y = 1,181x + 0,052

y = 1,0160

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,0160 = 1,181x + 0,052

Page 13: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

1,0160 - 0,052 = 1,181x

0,964 = 1,181x

x = 0,8163 M

2. Sampel A(Kelompok 2)

Diketahui:

y = 1,181x + 0,052

y = 0,9905

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,9905 = 1,181x + 0,052

0,9905 - 0,052 = 1,181x

0,9385 = 1,181x

x = 0,7947 M

3. Sampel B (Kelompok 3)

Diketahui:

y = 1,181x + 0,052

y = 0,9905

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,1080 = 1,181x + 0,052

1,1080 - 0,052 = 1,181x

1,056 = 1,181x

x = 0,8942 M

4. Sampel B (Kelompok 4)

Diketahui:

y = 1,181x + 0,052

y = 0,9075

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,9075 = 1,181x + 0,052

Page 14: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

0,9075 - 0,052 = 1,181x

0,8555 = 1,181x

x = 0,7244 M

5. Sampel C (Kelompok 5)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 1,0615

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,0615 = 1,181x + 0,052

1,0615 - 0,052 = 1,181x

1,0095 = 1,181x

x = 0,8548 M

6. Sampel C (Kelompok 6)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 0,9855

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,9855 = 1,181x + 0,052

0,9855 - 0,052 = 1,181x

0,9335 = 1,181x

x = 0,7904 M

7. Sampel D (Kelompok 7)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 0,7250

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,7250 = 1,181x + 0,052

Page 15: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

0,7250 - 0,052 = 1,181x

0,673 = 1,181x

x = 0,5699 M

8. Sampel D (Kelompok 8)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 0,9265

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

0,9265 = 1,181x + 0,052

0,9265 - 0,052 = 1,181x

0,9105 = 1,181x

x = 0,7710 M

9. Sampel E (Kelompok 9)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 1,5125

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,5125 = 1,181x + 0,052

1,5125 - 0,052 = 1,181x

1,4605 = 1,181x

x = 1.2367 M

10. Sampel E (Kelompok 10)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 2,5860

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

2,5860 = 1,181x + 0,052

Page 16: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

2,5860 - 0,052 = 1,181x

2,534 = 1,181x

x = 2,1456 M

11. Sampel F (Kelompok 11)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 2,5520

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

2,5520 = 1,181x + 0,052

2,5520 - 0,052 = 1,181x

2,5 = 1,181x

x = 2,1168 M

12. Sampel F (Kelompok 12)

Diketahui

y = 1,181x + 0,052

y = 1,1905

Ditanya: Berapa konsentrasi protein (x)?

Jawab:

1,1905 = 1,181x + 0,052

1,1905 - 0,052 = 1,181x

1,1385 = 1,181x

x = 0,9640 M

Contoh Perhitungan Konsentrasi Sampel Hasil Pengenceran

M1V1=M2V2

Keterangan: F = Banyaknya pengenceran

M1 = Konsentrasi sampel awal (%v/v)

Page 17: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

M2 = Konsentrasi hasil pengenceran (%v/v)

V1 = Volume sampel (ml)

V2 = Volume total (ml)

1. Sampel B

Diketahui:

Sampel A= 5%v/v

Volume Sampel = 100 ml

Ditanya: Berapa konsentrasi sampel hasil pengukuran?

Jawab:

Vtotal = 200 ml

5% x 100 ml = M2 x 200 ml

M2 = 2.5%v/v

2. Sampel D

Diketahui:

Sampel A= 2%b/v

Volume Sampel = 100 ml

Ditanya: Berapa konsentrasi sampel hasil pengukuran?

Jawab:

Vtotal = 200 ml

2% x 100 ml = M2 x 200 ml

M2 = 1%b/v

3. Sampel F

Diketahui:

Page 18: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Sampel A= 2%b/v

Volume Sampel = 100 ml

Ditanya: Berapa konsentrasi sampel hasil pengukuran?

Jawab:

Vtotal = 200 ml

2% x 100 ml = M2 x 200 ml

M2 = 1%b/v

PEMBAHASAN

Page 19: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Pada praktikum penentuan kadar protein, dibuat kurva standar untuk masing-

masing metode. Nilai regresi yang diperoleh dari masing-masing kurva standar yang

dibuat yaitu 0,984 (Lowry) dan 0,975 (Bradford). Semakin besar nilai regresi,

semakin baik model kurva yang dibuat ([UI] 2009). Dari kurva standar, juga

diperoleh persamaan garis untuk kedua metode. Persamaan garis metode Lowry

adalah y = 0.396x - 0.009. Sedangkan, persamaan garis metode Bradford adalah y =

1,181x + 0,052. Persamaan garis tersebut kemudian digunakan untuk menentukan

konsentrasi protein dalam larutan sampel untuk masing-masing metode.

Sampel pertama adalah putih telur dengan konsentrasi 5%v/v. Berdasarkan

percobaan dengan metode Lowry, didapatkan absorbansi sampel A 1,1505 A dan

0,5065 A dengan konsentrasi 3,0290 M dan 1,3018 M. Dari data di atas, dapat dilihat

korelasi absorbansi dengan konsentrasi protein dalam larutan, yaitu keduanya

berbanding lurus. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-Beer yang menyatakan

bahwa semakin besar absorbansi larutan, semakin besar konsentrasi zat terlarut.

Demikian pula sebaliknya, semakin kecil absorbansi, semakin kecil pula konsentrasi

zat terlarut (Effendi 2003).

Sampel A kemudian diencerkan sebanyak 2x menjadi sampel B yang

memiliki absorbansi sebesar 0,5855 A dan 0,713 A dalam metode Lowry.

Konsentrasi sampel B dari hasil perhitungan berdasarkan persamaan garis kurva

standar adalah 1,5013 M dan 1,8232 M. Seperti pada sampel A, data pada sampel B

juga memperlihatkan relasi absorbansi dengan konsentrasi protein dalam larutan,

yang berbanding lurus (Effendi 2003). Bila data sampel A dengan sampel B

dibandingkan, dapat diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi larutan sampel.

Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pengenceran akan

menurunkan konsentrasi larutan tanpa mengubah jumlah mol zat yang terlarut di

dalamnya (Chang 2006). Namun, penurunan konsentrasi protein dalam percobaan ini

tidak sesuai dengan data hasil perhitungan. Sesuai hasil perhitungan, seharusnya

didapatkan konsentrasi akhir protein dalam sampel B setengah kali konsentrasi

protein dalam sampel A.

Page 20: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Berdasarkan percobaan dengan metode Bradford, sampel A memiliki

absorbansi 1,016 A dan 0,9905 dengan konsentrasi protein 0,8163 M dan 0,7947 M.

Sedangkan, sampel B memiliki absorbansi 1,108 A dan 0,9075 A dengan konsentrasi

protein 0,8942 M dan 0,7244 M. Dari data ini terlihat bahwa absorbansi larutan

berbanding lurus dengan konsentrasi zat terlarutnya (Effendi 2003). Selain itu, dapat

pula diamati bahwa dalam pengukuran dengan metode Bradford, tidak terdapat

perbedaan yang terlalu signifikan antara konsentrasi protein sebelum dan setelah

larutan putih telur diencerkan. Bahkan bila dibandingkan, data kedua konsentrasi

protein setelah pengenceran lebih besar daripada sebelum pengenceran. Data ini tidak

sesuai dengan literatur bahwa pengenceran menyebabkan penurunan konsentrasi

larutan (Chang 2006).

Sampel kedua dalam praktikum ini adalah tepung cacing dengan konsentrasi

2%b/v. Berdasarkan percobaan dengan metode Lowry, didapatkan absorbansi sampel

C adalah 0,774 A dan 0,8505 A dengan konsentrasi 1,9773 M dan 2,704 M. Dari data

di atas, terlihat relasi absorbansi dengan konsentrasi protein dalam larutan, yaitu

keduanya berbanding lurus. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-Beer yang

menyatakan bahwa semakin besar absorbansi larutan, semakin besar konsentrasi zat

terlarut (Effendi 2003).

Sampel C kemudian diencerkan sebanyak 2x menjadi sampel D yang

memiliki absorbansi metode Lowry 0,553 A dan 0,6415 A. dengan konsentrasi

protein hasil perhitungan sebesar 1,4191 M dan 1,6427 M. Seperti pada sampel C,

data sampel D juga memperlihatkan relasi absorbansi dengan konsentrasi protein

dalam larutan yang berbanding lurus (Effendi 2003). Bila data kedua sampel

dibandingkan, dapat diamati bahwa terjadi penurunan konsentrasi larutan sampel. Hal

ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa pengenceran akan menurunkan

konsentrasi larutan tanpa mengubah jumlah mol zat yang terlarut di dalamnya (Chang

2006). Namun, penurunan konsentrasi protein dalam percobaan ini tidak sesuai

dengan data hasil perhitungan. Berdasarkan hasil perhitungan, konsentrasi akhir

protein dalam sampel D seharusnya setengah kali konsentrasi protein dalam sampel

C.

Page 21: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Dalam percobaan dengan metode Bradford, diketahui sampel C memiliki

absorbansi 1,0615 A dan 0,9855 A dengan konsentrasi protein 0,8548 M dan 0,7904

M. Sedangkan, sampel D memiliki absorbansi sebesar 0,7250 A dan 0,9265 A dengan

konsentrasi protein 0,5699 M dan 0,7710 M. Data kedua sampel tersebut

menunjukkan bahwa absorbansi larutan berbanding lurus dengan konsentrasi zat

terlarutnya (Effendi 2003). Selain itu, bila data kedua sampel di atas dibandingkan,

dapat juga diketahui bahwa terjadi penurunan konsentrasi protein dalam larutan

sampel setelah pengenceran. Data ini sesuai dengan literatur bahwa konsentrasi

larutan akan menurun jika dilakukan pengenceran (Chang 2006).

Sampel ketiga adalah tepung cacing dengan konsentrasi 2%b/v. Berdasarkan

percobaan dengan metode Lowry, didapatkan absorbansi sampel E sebesar 1,7250 A

dan 2,0370 A dengan konsentrasi 4.3788 M dan 5,1667 M. Dari data di atas, dapat

diketahui relasi antara absorbansi dengan konsentrasi protein dalam larutan, yaitu

keduanya berbanding lurus. Hal ini sesuai literatur yang menyatakan bahwa semakin

besar absorbansi larutan, semakin besar konsentrasi zat terlarut (Effendi 2003).

Sampel E kemudian diencerkan sebanyak 2x menjadi sampel F yang memiliki

absorbansi metode Lowry sebesar 1,4160 A dan 1,822 A. dengan konsentrasi protein

hasil perhitungan sebesar 3,5985 M dan 4,6237 M. Seperti pada sampel E, data pada

sampel F juga memperlihatkan relasi absorbansi dengan konsentrasi protein dalam

larutan yang berbanding lurus (Effendi 2003). Bila data sampel E dan sampel F

dibandingkan, dapat diamati bahwa terjadi penurunan konsentrasi larutan sampel. Hal

ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pengenceran akan menyebabkan

penurunan konsentrasi larutan tanpa mengubah jumlah mol zat yang terlarut di

dalamnya (Chang 2006). Namun, penurunan konsentrasi protein dalam percobaan ini

tidak sesuai dengan data hasi perhitungan. Sesuai hasil perhitungan, seharusnya

konsentrasi protein dalam sampel F setengah kali konsentrasi protein dalam sampel

E.

Berdasarkan percobaan dengan metode Bradford, diketahui sampel E

memiliki absorbansi sebesar 1,5125 A dan 2,5860 A dengan konsentrasi protein

1,2367 M dan 2,1456 M. Sedangkan, sampel F memiliki absorbansi sebesar 2,552 A

Page 22: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

dan 1,1905 A dengan konsentrasi protein 2,1168 M dan 0,9640 M. Dari data kedua

sampel, dapat diketahui bahwa absorbansi larutan berbanding lurus dengan

konsentrasi zat terlarutnya (Effendi 2003). Selain itu, bila data kedua sampel

dibandingkan, dapat juga diketahui terjadi penurunan konsentrasi protein dalam

larutan sampel setelah pengenceran. Data ini sesuai dengan literatur bahwa

konsentrasi larutan akan menurun jika dilakukan pengenceran (Chang 2006).

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat diamati bahwa kedua

metode memberikan hasil absorbansi dan konsentrasi protein yang berbeda pada

masing-masing sampel yang sama. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan

sensitivitas dan senyawa pengganggu pada kedua metode (Nielsen 2010).

Dalam percobaan ini, terdapat beberapa kesalahan baik pada pembuatan kurva

standar, absorbansi, maupun konsentrasi protein dalam sampel. Hal tersebut

diakibatkan

Metode Lowry merupakan metode pengukuran konsentrasi protein dengan

prinsip reduksi Cu2+

menjadi Cu+ oleh asam amino (tirosin, triptofan, sistein) yang

ada dalam larutan protein. Ion Cu+ bersama dengan fosfotungstat dan fosfolibdat

dalam pereaksi Folin-Ciocalteau akan membentuk warna biru yang dapat menyerap

cahaya (Purwoko 2007). Warna biru yang muncul akan dideteksi pada panjang

gelombang 750 nm (sensitivitas yang tinggi untuk konsentrasi protein yang kecil)

atau 500 nm (sensitivitas yang rendah untuk konsentrasi protein yang tinggi). Metode

Lowry mampu mengukur kadar protein sampai dengan 5 μg (Nielsen 2010). Reagen

yang digunakan pada metode Lowry adalah pereaksi Folin-Ciocalteau dan peraksi

Biuret. Pereaksi Folin Ciocalteau dibuat dengan cara mengencerkan reagen Folin

Ciocalteau, sedangkan pereaksi Biuret dibuat dengan mencampurkan 50 mL reagen A

(2 % Na2CO3, 0.4% NaOH) dengan 1 mL reagen B (0.5% CuSO4, 1% Na-K tartrat)

(Owusu 2002).

Pada metode Lowry terdapat banyak senyawa pengganggu yang dapat

bereaksi dan mempengaruhi hasil pengukuran. Contoh senyawa tersebut diantaranya

ammonium sulfat, cesium bikarbonat, glisin, sukrosa, glukosa, EDTA, NaCl, sorbitol,

octyl glucoside, chaps, chapso, lubrol, tris, Triton X-100, dll. Ammonium sulfat,

Page 23: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

lubrol, chaps, chapso, cesium bikarbonat merupakan contoh senyawa pengganggu

yang dapat mengendapkan protein. Glisin (lebih besar dari 0,5%) dan EDTA adalah

contoh senyawa pengganggu yang menyebabkan tidak terbentuknya warna biru pada

reaksi (Walker 2002). Selain itu juga ada merkaptan (2-mercaptoethanol) dan

Ditiotreitol (DTT) yang merupakan senyawa pengganggu yang mereduksi protein

untuk bereaksi dengan pewarna (Owusu 2002).

Selain menggunakan metode Lowry, pengukuran kadar protein juga dapat

dilakukan dengan metode Bradford. Metode Bradford merupakan metode pengukuran

konsentrasi protein total yang melibatkan pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB).

CBB akan berikatan dengan protein pada sampel larutan dalam suasana asam.

Dengan demikian, absorbansinya protein dapat diukur menggunakan spektrofotometri

pada panjang gelombang 465-595 nm (Caprette 2005).

Gambar 3 Struktur Coomassie Brilliant Blue G-250 ([UA] 2009).

Metode Bradford sendiri merupakan metode yang sederhana karena hanya

menggunakan 1 reagen dan reaksi berlangsung cepat karena inkubasi hanya

berlangsung selama 5 menit dalam suhu ruang ([UA] 2009). Selain itu, metode ini

juga sensitif dan tepat karena mampu mendeteksi protein sampai dengan 1-20 µg (Li

2005). Namun, metode ini memiliki kelemahan, yaitu pewarna CBB dapat membekas

pada alat-alat berbahan kaca dan dapat terganggu dengan adanya detergen seperti

SDS ([UA] 2009). SDS akan mengganggu ikatan hidrogen dan berikatan dengan

Page 24: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

bagian hidrofobik pada protein sehingga protein terurai menjadi ikatan polipeptida

yang panjang dan mempunyai muatan negatif yang besar sehingga akan saling tolak-

menolak dengan molekul CBB yang bermuatan negatif. Hal ini menyebabkan larutan

bersifat basa dan tidak dapat bereaksi dengan pewarna CBB (Saraswati 2008).

Prinsip spektrofotometri yaitu pengukudan absorbsi cahaya yang melalui

suatu larutan pada panjang gelombang tertentu. Melalui nilai absorbansi, dapat

ditentukan konsentrasi zat terlarut dalam sampel. Jumlah cahaya yang diabsorbsi oleh

larutan sebanding dengan konsentrasi zat terlaut (Lestari 2007). Spektrofotometri

berbeda dengan kolorimetri. Kolorimetri sendiri, merupakan metode analisa kimia

yang didasarkan pada kesamaan besaran warna antara larutan sampel dengan sumber

cahaya polikromatis dan detektor mata. Metode ini berdasar pada penyerapan cahaya

tampak dan energi radiasi lainnya oleh suatu larutan (Amanda 2011). Jadi,

kolorimetri merupakan pengukuran warna, yang berarti sinar yang digunakan adalah

sinar daerah tampak. Sedangkan, metode spektrofotometri tidak terbatas pada

penggunaan sinar daerah tampak, tetapi dapat juga menggunakan sinar UV maupun

sinar infra merah (Natalia 2010).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pada percobaan penentuan kadar

protein dengan spektrofotometri, digunakan 3 sampel, yaitu putih telur, susu, dan

tepung cacing. Ketiga sampel memiliki kandungan protein yang berbeda-beda dengan

manfaat yang juga beragam.

Putih telur merupakan bagian yang berwarna bening dan mengelilingi kuninng

telur. Putih telur ini kaya akan protein, terutama albumin dan lysozyme yang

termasuk protein kualitas tinggi (Chairul et al. 2006). Albumin dan lysozyme yang

mempunyai aktivitas antimikroba dapat digunakan sebagai bahan pengganti antibiotik

dalam mengobati penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme, khususnya bakteri

patogen. Penggunaan albumin dan lysozyme dalam putih telur ini sebagai pengganti

antibiotik sangat penting karena penggunaan antibiotik secara kontinu dapat

menimbulkan resistensi (Chairul et al. 2006).

Berbeda dengan putih telur, dalam susu terdapat protein yang disebut kasein.

Protein ini dapat dimodifikasi menjadi produk bernama CPP-APP (casein

Page 25: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

phosphopeptide–amorphous calcium phosphate). Produk kasein tersebut dapat

digunakan untuk menguatkan email gigi dan mehambat caries pada gigi. CPP-APP

sendiri sudah lazim digunakan dalam permen karet bebas gula (Reynolds 2009).

Sedangkan, pada tepung cacing terdapat komponen bioaktif bernama lumbricin

yang merupakan senyawa peptida dengan susunan asam amino lengkap terutama

prolin. Protein ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri patogen. Oleh

karena itu, tepung cacing dapat digunakan sebagai pengganti antiobiotik yang

merupakan pakan imbuhan (pemacu pertumbuhan) pada ternak unggas. Hal tersebut

berkaitan dengan fakta bahwa penggunaan antibiotik dalam jangka lama dapat

menyebabkan resistensi terhadap bakteri patogen (Sofyan 2008). Selain lumbricin,

dalam tepung cacing terdapat protein berupa enzim yang disebut lumbrokinase.

Enzim ini memiliki aktivitas fibrinolitik dan antitrombotik (Cooper & Yamaguchi

2004). Biasanya, lumbrokinase digunakan untuk mencegah dan mengobati ischemic

stroke, hypercoagulanility, dan thrombosis disease. Tepung cacing juga mengandung

enzim lain, yaitu enzim amilase yang dalam bidang kedokteran digunakan untuk

mengetahui kerusakan pada pankreas dan menentukan kondisi utama dalam plasma

(Neryceka 2004).

Pada praktikum ini, digunakan larutan BSA dalam pembuatan kurva standar

metode Bradford dan Lowry. BSA atau Bovine Serum Albumin adalah protein

globular besar yang berukuran kurang lebih 66.000 Dal (Harper 2003). Protein ini

merupakan turunan dari darah sapi sehat (Wise & Watters 2010). BSA dijadikan

sebagai protein standar karena mudah didapat dalam keadaan murni dan relatif murah

(Wrolstad et al. 2005). Selain itu, BSA juga bersifat sangat stabil (Estey et al. 2006).

Secara ideal, seharusnya dalam pembuatan kurva standar digunakan bentuk murni

protein yang akan diuji. Namun dalam kenyataannya, hal tersebut sulit dilakukan.

Oleh karena itu, BSA dijadikan sebagai standar relatif protein di samping

pengembangan warnanya yang lebih baik dibanding protein lain (Kirschner 2007).

Pemilihan protein standar merupakan hal yang penting dalam suatu tes

protein. Selain, BSA ada protein lain yang dapat dijadikan sebagai standar, yaitu

BGG (Bovine Gamma Globulin). BGG menjadi pilihan yang baik, jika sampel yang

Page 26: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

diuji memiliki kandungan immunoglobulin. Hal itu disebabkan oleh respon warna

BGG yang sangat mirip dengan immunoglobulin G (Wrolstad et al. 2005). Akan

tetapi, BGG memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan BSA. Warna yang

dihasilkan oleh BSA lebih baik daripada BSA. BSA merupakan protein standar yang

lebih baik jika sampel yang diuji memberikan respon warna yang sejenis atau sampel

memiliki kandungan utama berupa albumin (Kirschner 2007). Selain itu, uji Bradford

lebih sensitif terhadap BSA dibandingkan dengan BGG (Caprette 2006).

Page 27: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

SIMPULAN

Untuk membuat kurva standar dari pewarna Lowry dan Bradford digunakan

larutan BSA. Kurva standar dibuat dengan menghubungkan absorbansi pada ordinat

(sumbu Y) dan konsentrasi protein sebagai absis (sumbu X). Konsetrasi BSA yang

digunakan adalah 0,1 M; 0,2 M; 0,4 M; 0,6 M; 0,8 M; dan 1 M. Sedangkan,

absorbansi diperoleh dari pengukuran. Dengan demikian, dari data tersebut terbentuk

dan terhubung menjadi kurva standar.

Penentuan kadar protein dalam sampel pada percobaan dilakukan dengan

metode spektrofotometri. Pengukuran dan analisis konsentrasi kadar protein dalam

larutan dilakukan dengan menggunakan prinsip absorbansi dan transmisi cahaya yang

merupakan dasar dalam penentuan sifat dan analisis biomolekul seperti protein.

Dalam pengukuran ini, banyaknya jumlah cahaya yang diserap berbanding lurus

dengan konsentrasi senyawa di dalam larutan. Jadi, semakin besar nilai absorbansinya

maka semakin besar pula jumlah konsentrasi protein yang terkandung dalam larutan.

Kedua metode yang digunakan pada percobaan kali ini, yaitu metode Lowry

dan metode Bradford masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahannya

sendiri. Efektivitas metode tersebut tergantung dari sensitivitas dan akurasi, sifat-sifat

protein yang diukur, ada tidaknya senyawa pengganggu, dan waktu yang tersedia.

Untuk metode Lowry mempunyai kelebihan yaitu sensitivitas yang tinggi, lebih

spesifik, dan turbiditas sampel tidak berpengaruh dalam metode ini. Kelemahannya

adalah variasi warna tidak proporsional dengan konsentrasi protein, reagen yang

digunakan tidak sederhana dan mudah bereaksi dengan senyawa lain. Untuk Bradford

mempunyai kelebihan yaitu reaksinya cepat dan bersifat reprodusibel. Sedangkan

kelemahannya sama seperti Lowry yaitu variasi warna tidak proporsional dengan

konsentrasi protein, pewarna protein bisa menempel pada kuvet kuarsa, dan

mengalami intervensi deterjen.

Page 28: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

MENJAWAB PERTANYAAN

1. Jelaskan tentang kelebihan dan kelemahan metode Lowry dan Bradford dalam

mengukur kadar protein!

Page 29: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Jawab: Kelebihan metode Lowry adalah metode ini sensitif, 50-100 kali lebih

sensitive daripada metode Biuret dan 10-20 kali lebih sensitive daripada metode

UV-280 nm absorption. Selain itu, metode Lowry lebih spesifik daripada metode

lain dan relatif sederhana dalam eksekusinya sehingga tidak membutuhkan waktu

terlalu lama, sekitar 1-1,5 jam. Turbiditas sampel tidak berpengaruh dalam

metode ini (Nielsen 2010).

Namun, metode Lowry memiliki beberapa kelemahan, antara lain variasi

warna yang tidak terlalu proporsional dengan konsentrasi protein. Selain itu,

reaksi ini dapat mengalami intervensi senyawa-senyawa tertentu seperti sukrosa,

lipid, buffer fosfat, monosakarida, dan hexoamine hingga mencapai derajat

tertentu. Konsentrasi tinggi ammonium sulfat dan senyawa sulfidril juga dapat

mengintervensi reaksi pada metode Lowry (Nielsen 2010). Kelemahan lain adalah

reagen metode Lowry tidak stabil dan membutuhkam preparasi harian dengan

prosedur cukup rumit, sehingga kurang efisien dari segi waktu (Simpson 2004).

Selain itu, warna yang terbentuk pada metode Lowry bervariasi bergantung jenis

protein (Nielsen 2010).

Selain metode Lowry, dalam menentukan kadar protein, juga dapat digunakan

metode Bradford. Kelebihan metode ini adalah reaksinya berlangsung sangat

cepat, yaitu sekitar 2 menit dan data yang dihasilkan dalam metode ini berulang

atau dengan kata lain bersifat reprodusibel. Metode ini juga sangat sensitif,

bahkan lebih sensitif daripada metode Lowry. Selain itu, metode ini dapat

mengukur protein atau peptida dengan massa molekul sama dengan atau lebih

besar dari 4000 Da (Nielsen 2010).

Namun, sama seperti metode Lowry, metode ini juga memiliki beberapa

kekurangan, yaitu variasi warna yang luas sesuai dengan jenis proteinnya

mengakibatkan seleksi protein menjadi lebih sulit sehingga harus dilakukan

dengan hati-hati. Selain itu, kompleks protein-pewarna hasil reaksinya dapat

berikatan dengan kuvet kuartz. Untuk itu, lebih baik digunakan kuvet kaca atau

kuvet plastik. Kelemahan lain adalah metode ini dapat mengalami intervensi

deterjen, baik yang ionik maupun anionik seperti Triton X-100 dan Sodium

Page 30: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Dodesil Sulfat (SDS). Namun, kesalahan akibat kandungan deterjen kurang dari

0,1% masih dapat diperbaiki melalui control yang tepat (Nielsen 2010).

2. Sebutkan metode pengukuran kadar protein lain yang ada!

Jawab: Beberapa metode pengukuran kadar protein lain yaitu sebagai berikut

(Nielsen 2010).

1. Metode Kjeldahl, yang meliputi tahapan pencernaan, netralisasi, dan titrasi.

2. Metode Biuret, yang banyak digunakan untuk menentukan protein pada sereal

atau kacang kedelai.

3. Metode anionic dye-binding, yang biasa digunakan untuk menghitung kadar

protein dalam susu, tepung gandum, dan daging.

4. Metode UV-280 nm absorption, yang dapat menghitung konsentrasi asam

amino triptofan dan tirosin menggunakan hukum Beer.

5. Metode BCA (Bicinchoninic Acid), yang banyak digunakan dalam proses

isolasi dan purifikasi protein.

6. Metode Dumas (Nitrogen Combustion)

Page 31: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

DAFTAR PUSTAKA

Amanda M. 2011. Penetapan kadar kromium pada air reservoir secara kolorimetri di

PDAM Tirtanadi instalasi pengolahan air sunggal [skripsi]. Medan: Universitas

Sumatera Utara.

Caprette DR. 2006. Protein assay [terhubung berkala].

http://www.ruf.rice.edu/~bioslabs/methods/protein/protein.html [11 Mar

2012].

Cooper EL, Yamaguchi N. 2004. Complementary and Alternative Approach to

Biomedicine. New York: Kluwer Academic.

Chairul, Maheswari RRA, Poeloengan M. 2006. Aktivitas antimikroba pada putih

telur dari beberapa jenis unggas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.

[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan

Lingkungan Perairan.Yogyakarta: Kanisius.

Estey T, Kang J, Schwendeman SP, Carpenter JF. 2006. BSA degradation under

acidic solution: a model for protein instability during release from PLGA

delivery systems. J Pharm Sci 7(95):1626-1639.

Harper JW. 2003. Bovine serum albumin [terhubung berkala]. http://www.fst.ohio-

state.edu/people/harper/functional-

foods/milk%20components/bovine%20serum%20albumin.htm [10 Mar

2012].

Kirschner MW. 2007. Biorad protein assay [terhubung berkala].

http://kirschner.med.harvard.edu/files/protocols/BioRad_proteinassay.pdf [10

Mar 2012].

Kolakowski E. 2010. Methods of Analysis of Food Components and Additives.

Florida: CRC.

Page 32: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

Lestari F. 2010. Bahaya Kimia Sampling & Pengukuran Kontaminan Kimia di

Udara. Jakarta: EGC.

Li X. 2005. Protein determination assays [terhubung berkala].

rscott.myweb.uga.edu/protocols/CEP_38.ppt [11 Mar 2012].

Natalia S. 2010. Penentuan kadar klorin air baku produksi di PT. Cola-Cola bottling

Indonesia Medan dengan metode kolorimetri [skripsi]. Medan: Universitas

Sumatera Utara.

Neryceka CK. 2004. Deteksi keberadaan berbagai enzim hidrolase pada cacing tanah

(Lumbricus rubellus) [skripsi]. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma

Jaya.

Nielsen SS. 2010. Food Analysis. New York: Springer.

Owusu RK. 2002. Food Protein Analysis: Quantitative Effects on Processing. New

York: Marcel Dekker.

Palungkun R. 2010 Usaha Ternak Cacing Tanah. Depok: Penebar Swadaya.

Purwoko T. 2007. Kandungan protein kecap manis tanpa fermentasi moromi hasil

fermentasi Rhizopus oryzae dan R. oligosporus. Biodiversitas 2(8):223-227.

Raymond C. 2006. Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga.

Reynolds EC. 2009. Casein phosphopeptide-amorphous calcium phosphate: the

scientific evidence. ADR 21:25-29.

Saraswati T. 2008. Efek tegdma terhadap protein total dan profil protein sel-sel pulpa

gigi (in vitro) [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.

Simpson RJ. 2004. Bahaya Purifying Proteins for Proteomics: A Laboratory Manual.

New York: Cold Spring Harbor.

Sofyan A, Damayanti E, Julendra H. 2008. Aktivitas antibakteri dan retensi protein

tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai pakan imbuhan dengan taraf

penambahan kitosan. JITV 13(3): 182-188.

[UA] University of Arizona. 2009. Colorimetric [terhubung berkala].

http://www.biochem.arizona.edu/classes/bioc463a/Info/lecture_notes/colorimetric.pdf

[10 Mar 2012].

Page 33: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri

[UAD] Universitas Ahmad Dahlan. 2011. Sifat protein [terhubung berkala].

blog.uad.ac.id/primamitha/files/2011/12/SIFAT-PROTEIN.docx [10 Mar

2012].

[UI] Universitas Indonesia. 2009. Regresi majemuk [terhubung berkala].

http://staff.ui.ac.id/internal/131998622/material/Multipleregression.pdf [10

Mar 2012].

Walker JM. 2002. The Protein Protocols Handbook. Totowa: Humana.

Wise SA, Watters RL. 2010. Bovine serum albumin (7%) [terhubung berkala].

https://www-

s.nist.gov/srmors/certificates/927d.pdf?CFID=11628267&CFTOKEN=f682f8

8a759516bc-B4D66BFA-E23D-27B4-

7C85AA1E5BC84277&jsessionid=b430384deb613141a202 [10 Mar 2012].

Wrolstad RE, Decker EA, Schwatz SJ 2005. Handbook of Food Analytical

Chemistry: Water, Proteins, Enzymes, Lipids, and Carbohydrates. New

Jersey: John Wiley & Sons.

Page 34: 87196593 Penentuan Kadar Protein Dengan Spektrofotometri