86035658-anatomi-hidung
TRANSCRIPT
ANATOMI HIDUNG
Hidung dibagi atas:
a. Hidung bagian luar
b. Hidung bagian dalam
c. Sinus paranasalis
Hidung bagian luar
Bentuk hidung bagian luar menyerupai piramid, puncaknya dikenal sebagai
tip atau apex. Dari tip membentang ke atas dan di belakang disebut dorsum nasi,
yang kemudian bersatu dengan os frontale membentuk radix nasi. Columella adalah
bagian yang turun ke depan bawah tip ke bibir atas. Pada sisi kanan dan kiri, yang
dibatasi dari lateral oleh alaenasi, dan dari inferior oleh alaris nasi.
Rangka hidung bagian proximal dibentuk oleh rangka tulang, bagian distal
oleh rangka tulang rawan, sehingga bagian proximal lebih kokoh dan sukar
digerakkan. Kerangka tulang ini merupakan kesatuan dari os nasale dan processus
frontalis maxillae. Bagian tulang rawan terdiri dari cartilago septi nasi, yang
memegang peranan menentukan tinggi rendahnya hidung seseorang. Sedangkan
puncak hidung (tip) dibentuk oleh septalangle dan cartila alaris mayor.
Gambar 1
Kerangka tulang dan tulang rawan ini terikat erat satu sama lain oleh jaringan ikat
yang kuat. Otot-otot tipis yang melapisi hidung bagian luar terdiri dari otot-otot
dilatator dan otot-otot konstriktor. Kulit yang melapisi hidung bagian proximal lebih
tipis dan lebih longgar hubungannya dengan jaringan ikat dan tulang di bawahnya;
sedangkan di bagian distal lebih tebal dan lebih erat hubungannya dengan jaringan
dan tulang rawan di bawahnya. Bagian distal ini juga banyak mengandung kelenjar-
kelenjar sebaciuus. Vestibulumnasi termasuk hidung bagian luar, karena diisi oleh
kulit dan mengandung kelenjar-kelenjar sebacious dan vibrisae.
Hidung bagian dalam
Terdiri dari cavum nasi yang berbentuk terowongan yang menyerupai
piramid, dipisahkan menjadi dua bagian kiri dan kanan oleh septum nasi. Pintu depan
dari cavum nasi disebut neres anterior, cavum nasi berhubungan langsung ke
belakang dengan nasopharynx melalui choanae atau nares posterior. Cavum nasi itu
terdiri dari dinding-dinding lateral, medial, atap dan dasar cavum nasi.
a. Dinding lateral. Bagian ini merupakan bagian yang amat penting dan kompleks
dari cavum nasi, karena ada hubungan langsung dengan sinus-paranasalis. Pada
dinding ini terdapat tiga conchae nasalis, yakni conchae nasalis inferior, conchae
nasalis media, dan conchae nasalis superior. Conchae nasalis inferior merupakan
tulang yang berdiri sendiri, sedangkan conchae nasalis media dan conchae nasalis
superior merupakan bagian dari tulang othmoidalis. Di antara ketiga conchae
nasalis ini terbentuk celah-celah yang masing-masing kita kenal sebaai meatus
nasi inferior, meatus nasi media yang letaknya antara conchae inferior dan
conchae media, dan meatus superior yang letaknya antara conchae media dengan
conchae superior.
Gambar 2
Pada meatus inferior terdapat muara dari ductus nasolacrimalis yang
menghubungkan saccus lacrimalis dengan cavum nasi. Pada meatus medius
dimana terdapat hiatus semilunaris bermuara ketiga ostia dari sinus frontalis,
ostium sinus ethmoidalis anterior dan ostium sinus maxillaris.
Pada meatus nasi posterior terdapat ostia dari sinus paranasalis kelompok
belakang, yakni ostium sinus othmoidalis posterior dan ostium dari sinus
sphenoidalis. Atas dasar hubungan anatomis ini, maka setiap adanya kelainan
pada meatus nasi medius, kita harus pikirkan kemungkinan hubungannya dengan
kelainan dalam sinus paranasalis kelompok depan sedangkan kelainan pada
meatus nasi superior kita harus pikirkan kemungkinan adanya kelainan dalam
sinus paranasalis kelompok belakang.
b. Dinding medial. Dinding medial cavum nasi adalah septum nasi yang membagi
cavum nasi atas dua bagian yang kurang lebih sama besarnya. Septum ini
dibentuk oleh lamina perpendicularis ossis ethmoidalis yang merupakan lempeng
tulang yang tipis yang menempati bagian belakang atas dari septum nasi;
cartilago septi nasi (cartilago quadrilateral) yang terletak di depan, dan vomer
yang merupakan tulang yang terletak di belakang bawah dari septum nasi.
Kerangka septum ini dilapisi oleh mukosa yang pada umumnya tebalnya tak
teratur. Septum nasi pada seorang dewasa jarang yang benar-benar lurus, pada
umumnya ada deviasi ringan, yang berupa obstruksi nasi (akan dibicarakan pada
bagian patologi).
Gambar 4
c. Atap. Atap cavum nasi merupakan bagian yang tertinggi dan tersempit, dari
depan ke belakang terdiri dari os nasale, processus nasalis os frontalis, corpus
ethmoidalis, corpus sphenoidalis. Lamina eribrosa dari ethmoid membentuk
sebagian besar dari atap cavum nasi, atap dari cavum nasi ini hanya dibatasi oleh
tulang yang tipis dengan fossa cranii anterior, sehingga kalau terdapat fraktur
pada lamina eribrosa, akan terbuka jalan ke fossa cranii anterior dengan segala
akibatnya.
d. Dasar cavum nasi. Merupakan atap dari rongga mulut. 2/3 bagian depan dibentuk
oleh pars palatina os maxillae, 1/3 belakang oleh pars horizontalis os palatina.
Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga berisi udara dalam tengkorak, yang
dilapisi oleh lanjutan mukosa cavum nasi paranasalis pada kedua sisi kiri dan kanan.
Untuk memudahkan pengertian dalam klinik, kita bagi sinus paranasalis dalam dua
bagian atau kelompok, yakni kelompok depan dan kelompok belakang. Sinus
paranasalis kelompok depan terdiri atas: sinus frontalis, sinus maxillaris dan sinus
ethmoidalis anterior, kelompok belakang terdiri dari sinus ethmoidalis posterior dan
sinus sphenoidalis. Ostia dari sinus paranasalis kelompok depan bermuara pada
hiatus semilunaris dalam meatus nasi media; sedangkan kelompok belakang
bermuara pada meatus nasi superior.
Dari riwayat pembentukannya, hampir semua sinus paranasalis dimulai
sebagai evaginasi (outpocketings) dari selaput lendir meatus nasi, kecuali sinus
sphenoidalis sebagai hasil penguncupan (contriction) dari bagian posterior superior
mukosa cavum nasi, pada bulan ke-3 dan ke-4 dari kehidupan fetus.
Semua sinus-sinus ini melanjutkan perkembangannya sesudah lahir, tetapi
sinus ethmoidalis telah mempunyai bentuk yang paling lengkap, diusul oleh sinus
maxillaris, sedangkan sinus sphenoidalis masih amat kecil dan sinus frontalis masih
belum terbentuk waktu bayi lahir. Sinus frontalis ini pembentukannya amat
terlambat, kurang lebih pada umur 6 tahun dimulai dengan extensi langsung dari satu
atau lebih sel-sel ethmoidalis anterior.
a. Sinus Maxillaris. Disebut juga antrum high more merupakan sinus yang terbesar
ukurannya, pada orang dewasa kurang lebih berukuran 15 cc dan terletak seluruhnya
dalam tulang maxilla. Dinding depan sedikit cekung dan tipis kita kenal sebagai fossa
canina. Di bagian atas tengah dari dinding depan kurang lebih 7 – 8 mm garis infra
orbitalis terdapat foramen infra orbitalis dimana berjalan n. infra orbitalis yang
memberi cabang-cabangnya menjadi n. dentalis anterior dan superior.
Dinding atas atau atap dari sinus maxillaris merupakan dasar dari orbita pada
dinding terdapat canalis infra orbitalis. Dinding belakang dan bawah bersatu,
merupakan permukaan yang lengkung, n. dentalis posteriores yang merupakan
cabang-cabang dari n. maxillaris berjalan dari atas melalui dinding belakang terus ke
bawah ke gigi molar atas.
Dinding medial atau dinding naso antral dibagi dalam dua segment, yakni
segment depan bawah setinggi meatus nasi inferior dan segment belakang atas
setinggi meatus nasi media, dimana bermuara ostium sinus maxillaris.
Dasar sinus maxillaris, dibentuk oleh processus alveolaris dan palatum
durum. Pada anak-anak dasar sinus maxillaris ini setinggi atau sedikit lebih tinggi
dari dasar cavum nasi. Sedangkan pada orang dewasa dasar sinus maxillaris sedikit
lebih rendah dari dasar cavum nasi sehingga dasar-dasar dari gigi atas kadang-kadang
dapat masuk ke dalam sinus maxillaris. Atas dasar hubungan anatomis ini, maka
sinusitis maxillaris dentogen lebih sering terdapat pada orang dewasa daripada anak-
anak.
b. Sinus Ethmoidalis. Terdiri dari 7 – 15 rongga-rongga yang dibatasi oleh dinding
yang sangat tipis, yang bentuknya menyerupai sarang tawon, dan terletak di dalam
massa lateral dari tulang ethmoid. Kalau pneumatisasi luas, maka sel-sel dari sinus
ethmoidalis dapat masuk ke dalam tulang sekitarnya, misalnya ke tulang frontalis,
maxillaris, dan sphonoidalis. Sinus ethmoidalis ini kita bagi dalam dua kelompok,
yakni sinus ethmoidalis anterior dan posterior.
Sinus ethmoidalis anterior bentuk sel-selnya lebih kecil, tetapi jumlahnya
lebih banyak, sedangkan sinus ethmoidalis posterior sel-selnya lebih besar dan
jumlahnya lebih sedikit.
Sinus ethmoidalis anterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi media,
sedang sinus ethmoidalis posterior ostiumnya bermuara pada meatus nasi superior.
Topografi. Batas atas terdapat fosa cranii anterior, yang hanya dipisahkan
oleh tulang yang tipis dari sel ethmoid.
Bilateral dipisahkan dengan orbita oleh lamina papiracea yang sangat tipi,
sedangkan n. opticus bisa amat berdekatan dengan sel-sel sinus othmoidalis
posterior.
c. Sinus Frontalis. Sinus frontalis ini belum terbentuk waktu anak lahir,
pembentukannya dimulai pada anak umur 6 tahun, yang dianggap sebagai extensi
langsung dari satu atau lebih sel-sel othmoidalis anterior ke dalam os frontalis.
Dalam perkembangannya sinus frontalis mempunyai berbagai bentuk, kurang lebih
5% dari orang dewasa yang tak mempunyai sinus frontalis. Kedua sinus ini kiri dan
kanan biasanya tak simetris, kadang-kadang yang satu lebih besar dan overlapping ke
sisi yang lain.
Dinding belakang dan atap dari sinus frontalis berbatasan dengan fosa oranii
anterior, sedangkan dasarnya dengan orbita.
d. Sinus Sphenoidalis. Terletak di belakang atas cavum nasi di dalam corpus
sphenoidalis. Kadang-kadang menempati sampai alas sphenoidalis dan processus
pterigoideus dari os sphenoidalis. Ukuran rata-rata pada orang dewasa sebesar 7 cc,
kiri kanan jarang simetris dipisahkan oleh septum yang sangat tupis dan kadang-
kadang septum tak terbentuk dengan baik. Ostiumnya terletak pada dinding depan
atas dari sinus dan bermuara pada meatus nasi superior.
Topografi. Lateral terdapat sinus cavernosus, a. carotis interna dan n. opticus.
Cranii terdapat hypophyso, chiasma opticus, traktus olfaktorius dan lobus frontalis
cerebri.
Anterior inferior berjalan syaraf-syaraf dan pembuluh darah yang keluar dari
foramen sphenopalatina waktu menuju ke septum nasi.
Histologi
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang berbentuk “columnar
pseudostratified cilliated epithelium”, yang kaya akan pembuluh darah, saluran limfe,
syaraf-syaraf dan kelenjar-kelenjar. Mukosa ini secara langsung berhubungan dengan
nasopharynx, sinus paranasalis. Ia secara tak langsung berhubungan dengan cavum
tympani. Oleh karena itu mudah dipahami bagaimana penyebaran infeksi dari satu
daerah ke daerah lain mudah terjadi. Mukosa cavum nasi ini dibagi dalam dua
daerah, yakni daerah olfaktorius dan daerah respiratorius.
Daerah olfaktorius terbatas pada bagian atas dari cavum nasi, yang ditempati
oleh conchae superior dan bagian septum yang berhadapan. Bentuk epithel pada
bagian ini adalah “non-cilliated columnar epithelium”, dan terdiri dari dua bentuk sel
yang utama, yakni sel-sel penyokong dan sel-sel olfaktorius. Terdapat beberapa
kelenjar-kelenjar serous yang dikenal ebagai kelenjar Bowmani yang berbentuk
tubuler.
Daerah respiratorius mengisi seluruh bagian yang terletak di bawah dari
daerah olfaktorius.
Kedua daerah ini histologis berbatas jelas, walaupun tak teratur. Pada bagian-
bagian tertentu dari daerah respiratorius amat tebal, dan kaya akan pembuluh darah,
terutama pada conchae inferior.
Mukosa sinus paranasalis merupakan lanjutan dari mukosa cavum nasi,
ukurannya lebih tipis dan mengandung lebih sedikit kelenjar-kelenjar, kecuali dekat
pada ostium sinus paranasalis menuju ke ostia masing-masing.
Persyarafan
Persyarafan dari cavum nasi berasal dari cabang pertama dan cabang kedua dari n.
trigeminus. Cabang pertama dari n. trigeminus yakni n. ophthalmicus membawa
serabut-serabut afferent ke bagian depan dan bawah cavum nasi. Cabang kedua dari
n. trigemanus yakni n. maxillaris membawa serabut-serabut afferent ke bawah dan
belakang dari cavum nasi, dengan melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion ini
mempunyai arti klinik penting pada cavum nasi. Serabut-serabut offerent dari n.
maxillaris juga menerima serabut-serabut parasympathis dari n. petrosius
superfacialis mayus, dan seravi petrosus ini bersatu membentuk n. vidianus sebelum
sampai pada ganglion sphenopalatina (lihat gambar).
Letak dari ganglion di dalam fossa pterigopalatina berdekatan dengan
foramen sphenoplatina, sehingga mudah dicapai dalam pemberian lokal anesthesia,
karena foramen sphenopalatina letaknya tepat di belakang atas ujung belakang dari
conchae media.
Mukosa sinus paranalis menerima serabut-serabut sensoris melalui ostia sinus
paranasalis masing-masing.
Vascularisasi
A. Sphenopalatina cabang dari a. maxillaris interna mensuplai darah ke
bagian belakang atas cavum nasi, kemudian berjalan ke depan septum nasi dan ke
lateral ke conchae nasalis.
A. Ethmoidalis anterior dan posterior merupakan cabang dari a. opthalnica
yang berasal dari a. carotis internal yang memberi darah pada atap dari cavum nasi,
sinus ethmoidalis dan sinus frontalis.
A. Labialis superior merupakan cabang dari a. maxillaris externa, naik dari
bibir atas ke bagian depan dari septum nasi dan vestibulum nasi.
A. Palatina decedens cabang dari a. maxillaris interna yang melewati canalis
incisivus beranastomose dengan a. sphenopalatina. Pembuluh-pembuluh ini
beranastomose membentuk plexus Kieselbach yang terletak di anterior inferior
septum nasi, yang juga disebut Little’s area.
A. Infra orbitalis dan dentalis superior, cabang dari a. maxillaris interna
memberi darah ke sinus maxillaris. Cabang pharyngeal dari a. maxillaris interna
memberi darah ke sinus sphenoidalis. Sedangkan sinus frontalis dan sinus
ethmoidalis diperdarahi oleh a. ethmoidalis anterior dan posterior.
Aliran Lymfe
Gl. Submandibularis menampung aliran limfe dari hidung luar dan bagian
depan cavum nasi.
Gl. Cervicalis superior profunda menampung cairan lymfe dari cavum nasi
bagian belakang, baik secara langsung atau melalui gl. retropharyngeal.
Pengertian aliran lymfe ini penting untuk menerangkan pembesaran kelenjar
regioner, hubungannya dengan infeksi pada hidung atau adanya keganasan pada
hidung.
FISIOLOGI HIDUNG
Boies membagi fungsi hidung dalam fungsi Primer dan fungsi Sekunder.
Fungsi Primer
Fungsi primer adalah air conditioning dan penciuman.
a. Air conditioning
Rongga hidung dapat dipandang sebagai “air conditioning” dari paru-paru,
yang mengatur aliran udara, temperatur, kelembaban dan pembersihan udara sebelum
masuk ke paru-paru, agar pertukaran O2 dan CO2 dapat berlangsung dengan aman di
dalam alveoli paru-paru.
1) Aliran udara. Aliran udara yang masuk dalam hidung dalam bentuk parabolik
yang naik setinggi conchae media kemudian turun ke nasopharynx. Pada
umumnya udara yang mengalir itu melalui bidang vertikal dari hidung dan
sebagian melalui meatus nasi (lihat gambar).
Aliran udara ini amat halus dengan putaran dan gesekan yang minimal.
Sedangkan udara yang diexpirasi, sebagian kecil terpecah dalam bentuk putaran,
kemudian keluar melalui vestibulum.
Arah udara yang keluar dan masuk ke dalam sinus paranasalis, arahnya terbalik
dengan aliran udara dan mengalir dalam cavum nasi.
2) Pengaturan kelembaban. Udara dalam cavum nasi itu diproses sedemikian
rupa, sehingga kelembaban sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Perjalanan udara dalam cavum nasi hanya 1 sekond, pada waktu yang
singkat ini kelembaban relatif dari udara setibanya di nasopharynx kurang lebih
75% - 80% dikatakan bahwa jumlah air yang diuapkan dalam cavum nasi kurang
lebih 1.000 cc per 24 jam; ini berarti sekitar 1/25 ccc per satu kali respirasi. Tentu
saja jumlah udara yang diuapkan berbanding terbalik dengan kelembaban udara
di luar. Misalnya pada waktu musim panas dengan udara yang basah dan lembab,
maka udara yang menguap dalam cavum nasi relatif kecil, bila dibandingkan
dengan musim dingin dengan udara yang sangat kering, dimana terjadi
penguapan yang lebih besar. Penguapan ini terjadi pada permukaan musoca
blanket yang melapisi seluruh cavum nasi.
3) Pengaturan temperatur. Pengaturan temperatur terjadi bersamaan dengan
pengaturan kelembaban. Panas yang dibutuhkan bersumber dari penyebaran
aliran darah yang cepat dari jaringan sub epithelial pada conchae dan septum
nasi. Temperatur pada conchae inferior kurang lebih 320C, dibanding dengan 360
sampai 370C pada nasopharynx.
Coba saudara bayangkan sebentar, bila pada musim dingin, dimana udara
beberapa derajat di bawah nol dan kering, dengan tekanan relatif yang tak lebih
dari 5%, kemudian hanya dalam ¼ detik dalam cavum nasi, dapat diubah menjadi
sama dengan temperatur badan dan pada waktu yang bersamaan tekanan relatif
harus kurang lebih 75% atau 80%.
4) Pembersihan udara (lihat fungsi sekunder hidung)
Pembersihan udara dalam hidung dilakukan oleh vibrisae mucous blanket cillia
dan enzym lyzozym.
Benda-benda asing akan bersentuhan dengan sekret dan melekat pada
mucous blanket, dan terjadi reaksi. Kemungkinan ada suatu potensial elektris
pada permukaan dari mukosa hidung, menyebabkan adsobsi dari kuman-kuman
dan benda asing lainnya. Pada pokoknya semua benda-benda asing akan diubah
dalam mucous blanket. Bila sesuatu benda terlalu merangsang, maka akan
dilemparkan keluar melalui reflex bersin.
b. Indera Penciuman
Dalam bidang klinik fungsi ini relatif kurang penting bila dibandingkan
dengan fungsi pertama. Pada binatang fungsi penciuman ini amat penting, karena
ketajaman penciuman dipakai untuk mempertahankan diri dan untuk mencari
makanan. Walaupun demikian menurut McKenzie vanili dalam jumlah 0,000000005
ml udara masih tercium oleh manusia. Proses bagaimana sesuatu bau dapat dicium,
sampai sekarang belum jelas.
Ada dua teori yang dikemukakan mengenai hal ini:
1) Chemical Theory, yang mengatakan bahwa partikel-partikel disebar
dengan jalan difusi melalui udara, kemudian terjadi reaksi kimia waktu tiba
pada permukaan epithel olfaktorius.
2) Theory Undulasi, yang mengatakan bahwa ada satu gelombang energi
yang menyerupai cahaya merangsang ujung syaraf olfaktorius.
Pavlov mengadakan percobaan pada binatang, dan berkesimpulan bahwa
indera penciuman diperlengkapi dengan stimulus untuk reflex sekresi cairan
lambung.
Sel penciuman adalah sel syaraf bipolar yang termasuk dalam susunan syaraf
pusat yang sampai pada permukaan tubuh, yang terdapat di daerah olfaktorius yang
terbentang di atas dari conchae media sampai ke atap dan daerah septum yang
berhadapan. Axon dari “senso colls” dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat
syaraf yang melalui lamina cribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Axon dari sel-sel
ini membentuk traktus olfaktorius yang menuju ke otak. Jadi kalau ada gangguan
dalam fungsi penciuman yang disebut hyposmia atau anosmia hal ini dapat
disebabkan adanya proses degeneratif pada ujung-ujung syaraf atau karena gangguan
transmisi dari partikel-partikel bau-bauan terhalang tak sampai pada area olfaktorius.
Juga dapat disebabkan adanya tumor yang dapat menekan bulbus olfaktorius atau
traktus olfaktorius sehingga transmisi ke otak terhalang.
Fungsi Sekunder
Fungsi ini terutama memberikan perlindungan, untuk mempersiapkan udara
sebelum masuk ke dalam paru-paru, harus bebas dari segala kotoran yang tertimbun
pada permukaan mukosa hidung, bakteri-bakteri, virus-virus dan bahan-bahan
patologik lainnya. Pada pokoknya udara inspirasi harus dipersiapkan dulu secara
aman sebelum masuk dalam paru-paru. Yang memegang peranan dalam mekanisme
pembersihan ini adalah selimut lendir (mucous blanket), cilia dan enzym lysozym.
Mucous blanket adalah suatu zat yang terdapat pada permukaan mukosa
hidung, yang membentuk satu lapisan yang menyeluruh pada setiap ruangan hidung,
sinus paranasalis, tuba auditivae, pharynx dan seluruh cabang-cabang bronchus.
Mucous blanket ini terus bergerak didorong oleh cilia dan amat lengket,
sehingga partikel-partikel dengan sentuhan yang ringan saja dapat melekat dengan
baik.
pH dari mucous blanket kurang lebih (7) atau netral, dan dijaga selalu
konstant. Hal ini penting, karena cilia tak dapat berfungsi baik dalam pH terlalu
banyak menyimpang dari 7.
Di dalam mucous blanket ini juga terdapat lysozym sejenis enzym yang
pertama kali ditemukan oleh Flemming, penemu penicillin, yang mempunyai sifat
bakterialitis, artinya dapat membunuh bakteri dan menghancurkannya. Aktivitas ini
begitu menakjubkan, sehingga dapat dikatakan bahagian belakang dari hidung, atau
pada choanae praktis steril.
Mucous blanket dalam hidung dan sinus paranasalis didorong ke nasopharynx
oleh cilia, dan diperbaharui oleh kelenjar-kelenjar sekurang-kurangnya 2 sampai 3
kali setiap jam. Pergerakan cilia adalah fungsi primitif, pergerakan ini adalah
pergerakan otomatis, artinya tak bergantung dari impuls syaraf. Beberapa peneliti
mengemukakan, bahwa acetylcholine mungkin berperanan mengontrol pergerakan
cilia.
Di atas telah disinggung, bahwa nilai konstant dari pH penting untuk dijaga
agar pergerakan cilia terjamin, sehingga mekanisme pembersihan diri dari hidung
tetap berjalan sempurna.
Faktor-faktor yang dapat meruak pergerakan cilia:
a. Exposed terhadap udara yang kering, misalnya pada central heating yang
berlebihan.
b. Penyimpangan setempat dari aliran udara, atau gangguan turbulensi udara
setempat dalam hidung, dapat menyebabkan pengeringan setempat sehingga
terjadi stase dari cilia.
c. Obat-obatan, misalnya cocain suatu anasthetikum dan vasokonstriktor yang baik,
tetapi kalau dipakai lama dapat mengganggu pergerakan cilia. Adrenalin juga
mempunyai efek yang sama.
d. Panas yang berlebihan atau dingin yang berlebihan.
e. Cairan hypotonik atau hypertonik.
f. Keasaman.
Di samping fungsi primer dan sekunder kita kenal juga fungsi lain dari hidung yang
mencakup phonasi dan Gustatorius.
a. Phonasi
Fungsi ini penting dalam mengeluarkan suara. Seperti kita ketahui intialtones
dihasilkan oleh getaran pita suara atau chorda vokalis, sedangkan over tones
dihasilkan oleh hidung dan sinus paranasalis. Misalnya kalau ada penyumbatan
hidung dan sinus paranasalis suara akan berubah jadi sengau.
b. Gustatorius
Fungsi pengecapan juga dipengaruhi oleh hidung, hal ini kita dapat saksikan bila
ada obstruksi nasi, maka aroma dari makanan akan hilang.
Fungsi Sinus Paranasalis
Fungi sinus paranasalis belum jelas, ada beberapa teori yang dikemukakan
antara lain:
a. Air conditioning. Sinus paranasalis memperluas permukaan untuk fungsi primer
dari hidung, walaupun peranannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan
mukosa cavum nasi.
b. Berperanan untuk mengatur resonansi suara, sekarang dianggap peranan ini
kurang penting.
COMMON COLD
Common cold adalah peradangan mendadak dari mukosa cavum nasi yang
disebabkan oleh filtrable virus. Perlangsungannya biasanya cukup singkat dan ringan,
dapat sembuh tanpa pengobatan, yang kita kenal sebagai self limiting. Penyakit ini
merupakan penyakit menular yang tersebar luas di seluruh dunia, dapat bersifat
epidemis, menyerang pada setiap umur dan dapat terjadi pada setiap musim, tetapi
terutama menyerang pada anak-anak pra sekolah dan pada musim dingin.
Penyakit ini dianggap sangat penting, bukan karena beratnya penyakit atau
tingginya angka kematian, tetapi oleh karena kerugian ditinjau dari sudut ekonomi,
dimana penyakit ini dapat menghilangkan daya dan jam kerja yang cukup besar dari
sekian banyak tenaga kerja.
Etiologi
Telah diterima secara umum, bahwa common cold disebabkan oleh infeksi
filtrable virus, diikuti infeksi sekunder oleh bakteri.
Kruse pada tahun 1914 pertama kali menemukan filtrable virus sebagai
penyebab common cold, sekarang telah jelas, bahwa penyebabnya bukan hanya satu
jenis virus, tetapi oleh berbagai macam virus.
Andrews dkk pada tahun 1960, telah mengisolir 20 strain virus (mungkin
lebih lagi) dari penderita-penderit dengan common cold.
Sekarang telah diketahui ada lima kelompok virus patogenik sebagai
penyebab common cold:
a. Picorna viruses
1) Rhino virus
2) Coxsackie virus
3) Reo virus
4) ECHO virus
b. Adeno viruses
c. Influenza viruses
d. Para influenzal viruses
e. Respiratory syncytial viruses (R.S)
Di antara berbagai macam virus ini, maka rhino viruslah dianggap sebagai
penyebab utama dari common cold.
Cara pemindahan
Melalui droplet infection, misalnya sedang bercakap-cakap, bersin, batuk,
dapat menyebarkan sejumlah besar air-bone partikel.
Kontak langsung, misalnya kissing, makanan, jari tangan, atau alat-alat yang
tidak bersih.
Insiden/frekuensi
Di Indonesia kita belum mempunyai data-data mengenai insidens dari
common cold. Dari statistik di Amerika melaporkan, bahwa insidens tertinggi pada
anak-anak dan terendah pada orang tua 55 tahun ke atas.
Di Amerika pada musim dingin, rata-rata 15% penduduk terserang per
minggu. Sedangkan di antara pekerja industri hampir satu juta buruh beristirahat dari
pekerjaan dalam setahun di antara 60 juta tenaga kerja.
Dari angka-angka ini kita dapat melihat, bahwa betapa besarnya kerugian
akibat dari penyakit ini, ditinjau dari sudut ekonomi.
Waktu inkubasi
Berkisar satu sampai tiga hari
Waktu berjangkit
Dapat terjadi beberapa jam sebelum timbulnya gejala-gejala. Masa berjangkit
puncaknya terjadi pada 1 – 3 hari pertama, kemudian turun dengan cepat setelah
gejala-gejala menurun.
Faktor predisposisi
Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi common cold
antara lain:
a. Iklim. Penyakit ini terutama berjangkit pada musim dingin. Di Amerika terutama
pada bulan Oktober dan awal bulan Januari.
b. Keadaan lingkungan, suhu dan kelembaban., Misalnya keadaan kedinginan akan
terjadi penurunan daya tahan tubuh terhadap infeksi, dan terjadi reflex
vasokonstruksi dari mukosa hidung.
c. Kelelahan atau keletihan. Dikatakan bahwa kesegaran jasmani amat penting
untuk meninggikan tahanan tubuh, sebagai contoh: terdapat 64% dari mereka yang
mempunyai fitness 0,6 hanya terserang common cold empat kali setahun.
d. Nutrisi. Mereka yang menderita malnutrisi, umumnya lebih rentan akan common
cold.
e. Diestetis. Pada individu-individu tertentu yang hypersensitif terhadap makanan
tertentu, dapat merendahkan tahanan tubuh, sehingga lebih rentan terhadap common
cold.
f. Defisiensi Vitamin. Defisiensi vitamin A dan C dari peranan mereka terhadap
proses oxygenerasi jaringan, peranan vitamin D terhadap metabolisme calcium dan
permeabilitas kapiler, hal ini semua berperanan terhadap pertahanan lokal dari
jaringan terhadap infeksi.
g. Kelainan anatomis hidung, misalnya terjadi obstruksi nasi karena deviasi septi
atau sebab lain, semuanya dapat menghalangi ventilasi dan aliran udara dalam cavum
nasi dan juga dapat menghalangi pengaliran sekret dari mucous blanket, akibatnya
mudah terjadi infeksi.
h. Adanya sarang infeksi pada sinus paranasalis, nasopharynx, atau pharynx, dapat
menurunkan tahanan jaringan sehingga mudah mendapat infeksi common cold.
i. pH dari sekret hidung kalau ada penyimpangan ke pihak asam, menunjukkan
kurangnya jumlah bakteri, kalau basa berarti banyak kuman dalam sekret hidung.
Rhino virus dapat dihancurkan dengan pH rendah (asam).
j. Penyakit umum; setiap penyakit, tetapi terutama penderita dengan penyakit-
penyakit ginjal, hepar, D.M., tuberkulosa dapat merendahkan tahanan tubuh,
sehingga mempermudah infeksi common cold.
Kekebalan
Dari laporan beberapa penulis, bahwa kurang lebih 40 – 70% dari penduduk
yang kebal terhadap penyakit ini. Ternyata pada orang ini terdapat “specific
neutralizing antibodies” dalam darah yang merupakan faktor yang berperanan dalam
sistem pertahanan tubuh ini. Antibodies ini bersifat spesifik dan tidak ada kekebalan
silang dengan jenis lain. Titer antibodi dapat dipertinggi dengan vaksinasi. Lamanya
kekebalan setelah infeksi common cold, masih ada beberapa hari saja, ada yang
mengatakan sampai beberapa minggu atau bulan, malahan ada yang mengatakan
dapat tahan sampai dua tahun.
Di samping faktor kekebalan ini, masih ada beberapa mekanisme pertahanan
dalam hidung untuk menolak infeksi tersebut antara lain (lihat fisiologi hidung):
Vibrissae pada vestibulum nasi, selimut lendir dengan lisozymnya, daya tahan dari
sel-sel epithel interferon, yakni suatu protein dasar yang mempunyai efek antivirus,
yakni suatu protein dasar yang non spesifik. Ia dapat menghambat pertumbuhan virus
tetapi tak menghancurkannya. Dapat dikatakan sebagai antibiotika dari virus.
Patologi
Pada awal infeksi terjadi vasokonstruksi yang kemudian diikuti oleh
vasodilatasi oedema dan peningkatan aktivitas dari kelenjar-kelenjar seromusin dan
sel Goblet. Kemudian diikuti oleh infiltrasi leukosit pada jaringan dengan
pembengkakan dan desquamasi dari sel-sel epithel. Sekret mula-mula jernih, encer,
tetapi kemudian akan berwarna hijau dan bertambah kental dan mengandung banyak
bakteri.
Gambaran Klinik
Perjalanan penyakit bersifat selflimiting, artinya dapat sembuh sendiri dengan
tanpa pengobatan.
Perlangsungannya kita bagi dalam 4 stadia:
a. Stadium prodromal atau stadium ischaemia. Stadium ini berlangsung hanya
beberapa jam, merupakan serangan lokal. Terjadi ischaemia dalam mukosa hidung
yang ditandai dengan perasaan panas kering pada hidung dan nasopharynx.
b. Stadium iritasi atau stadium akut. Infeksi yang pada mulanya lokal, sekarang
menyebar pada selaput lendir sekitarnya melalui cairan lymfe, proses ini dapat
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Stadium ini ditandai dengan
perasaan kering pada nasopharynx, nyeri tekan, bersin-bersin, rhinorrhoe encer dan
obstruksi nasi. Selaput lendir merah dan oedem, terdapat sedikit gangguan umum dan
toxemia ringan berupa subfebril, malaise, anorexia dan cephalalgia.
c. Stadium stase vena dan infeksi sekunder. Setelah hari kedua atau ketiga, warna
selaput lendir akan lebih gelap dan keabu-abuan, sekret berkurang tetapi kental,
obstruksi nasi lebih menonjol dan gejala toxemia mencapai puncaknya.
d. Stadium penyembuhan. Gejala-gejala subyektif dan obyektif mulai berangsur-
angsur mengurang. Penyembuhannya terjadi setelah berlangsung 5 sampai 10 hari.
Komplikasi
Nasopharynx dan pharyngitis, pharyngo-tympanic salphingitis, otitis media,
sinusitis, tonsilitis, laryngotracheitis, bronchitis, pneumonia, pada anak-anak atau
bayi dapat menyebabkan gastro-enteritis dengan gejala diarrhoe dan muntah-muntah.
Diagnosa Banding
Influenza, rhinitis allergica akuta dan rhinitis exanthematica
Pencegahan
a. Pada prinsipnya menghindari penularan baik secara langsung maupun tak
langsung.
b. Mengurangi atau menghilangkan faktor predisposisi.
c. Vaksinasi. Para ahli telah mencoba memberikan immunitas buatan dengan cara
pemberian vaksinasi. Vaksinasi ini dapat diberikan secara oral atau parentral. Sampai
sekarang hasil dari vaksinasi belum dapat mencegah terjadinya common cold, tetapi
dapat meringankan dan memendekkan perjalanan penyakit dan dapat mencegah
terjadinya komplikasi.
Pengobatan
Sampai sekarang belum ada pengobatan spesifik untuk common cold, tetapi
pengobatan baik lokal atau umum yang bersifat symptomatis cukup membantu
meringankan dan mencegah komplikasi.
Pengobatan umum terutama ditujukan untuk memperoleh keadaan yang
terbaik untuk istirahat. Obat-obatan symptomatis yang sering dipakai untuk melawan
common cold biasanya terdiri dari sedativa, analgetica antipyretica, antihistaminica,
expectorantia, vasokonstriktor dan vit. C. Kombinasi dari obat-obat ini bermacam-
macam, antara lain yang kita kenal adalah A.P.C, Stop Cold, Procold, Decolgen,
Neozep dan lain-lain. Antibiotika dapat diberikan sebagai cadangan untuk mencegah
komplikasi.
Pengobatan lokal, dengan menghirup uap air yang merupakan campuran dari 1 pint
(= 0,568 l) uap air dengan 1 sendok teh tinct benzoicum, uap air ini dihirup melalui
hidung. Untuk menghilangkan obstruksi nasi dapat dipakai obat tetes hidung sebagai
vasokonstriktor, misalnya HCl. Ephedrin 1% dicampur dengan Sol. Protargoli 1 –
2% (lihat syarat-syarat obat tetes hidung). Obat tetes hidung jangan dipakai terlalu
lama, tak boleh melampaui dua minggu.
Mengenai makanan sebaiknya makanan lembek dan hangat-hangat kuku,
mandi dengan air panas atau steam bath. Ada yang menganjurkan minum sedikit
alkohol, misalnya whisky, karena alkohol berkhasiat sebagai sedativa dan dapat
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga amat berguna untuk melawan
vasokonstruksi perifer pada common cold.
NASAL ALLERGY ATAU RHINITIS ALLERGICA
Pendahuluan
Allergi adalah suatu keadaan hypersensitif dari seseorang terhadap zat-zat
tertentu baik yang berasal dari tubuh maupun yang berasal dari luar. Pada seseorang
yang normal kontak dengan bahan-bahan tadi tidak menyebabkan/menimbulkan
keluhan-keluhan atau kelainan-kelainan; tetapi pada seseorang yang allergia akan
menyebabkan keluhan-keluhan atau perubahan-perubahan dalam jaringan tubuh.
Bahan-bahan tertentu yang menyebabkan keluhan-keluhan atau kelainan-
kelainan tadi kita sebut allergen; sedangkan tempat dimana reaksi allergi itu terjadi
kita sebut “shock tissues”.
Sebelum kita membicarakan nasal allergy, sebaiknya diingatkan kembali ada
tiga jenis utama reaksi hypersensitivitas yang kita kenal sebagai berikut:
a. Atopic hypersensitivity. Reaksi ini timbul pada orang-orang tertentu yang
padanya bila exposed terhadap antigen tertentu akan terbentuk “reaginic
antibodies”. Orang-orang yang telah menjadi peka bila exposed lagi terhadap
antigen yang sama akan terjadi manifestasi allergi seperti asthma, eczema, nasal
allergy. Jenis hypersensitif inilah yang berhubungan dengan nasal allergy, yang
kita akan bicarakan kemudian (Atopic Allergy Disease).
b. Anaphylactic hypersensitivity. Reaksi ini dapat terjadi pada setiap orang sebagai
hasil dari satu reaksi antigen antibodi bila antigen (misalnya dari serum kuda)
disuntikkan kepada orang yang sebelumnya telah menjadi peka. Berbeda dengan
keadaan pertama, reaksi ini merupakan reaksi tubuh yang normal dan dapat
terjadi pada setiap orang walaupun diakui, bahwa berat ringan reaksi ini pada
setiap orang tidak sama.
c. Delayed hypersensitivity. Berbeda dengan kedua jenis di atas, dimana reaksi ini
tidak bergantung pada antibodi tetapi pada lymphosit yang telah dibuat peka.
Reaksi ini dapat menerangkan proses patologik yang terjadi pada TBC, misalnya
pembentukan tuberkel.
Faktor predisposisi
1. Herediter dan konstitusi. 50% dari penderita-penderita, yang allergic,
memberikan riwayat adanya allergi pada keluarga.
2. Infeksi dan intoksikasi. Aksi langsung dari bakteri dan virus, atau produknya
dalam sel-sel jaringan, merupakan faktor predisposisi yang penting. Hal ini dapat kita
lihat, misalnya sesuatu serangan asthma sering didahului oleh sesuatu infeksi akut.
3. Endoktrin. Pada waktu haid, menopause, dan dysfungsi ovarium semuanya
cenderung mempertinggi reaksi allergi.
4. Resistensi phisik dan kimia dari jaringan. Kekurangan calcium, vitamin C dan
D mempertinggi permeabilitas kapiller dan oedems.
5. Trauma. Faktor ini kurang penting, tetapi kadang-kadang kita jumpai reaksi
allergi pada orang post-operatif.
6. Keadaan musim. Hal ini amat penting memegang peranan dalam reaksi
allergi, misalnya faktor temperatur, kelembaban, tekanan barometrik, sinar matahari,
pergerakan udara dan keadaan ion udara dapat mempengaruhi berat ringannya suatu
reaksi allergi misalnya pada asthma dan nasal allergi.
7. Faktor psychis. Faktor ini memegang peranan penting dalam kebanyakan dari
penderita allergi, kadang-kadang merupakan satu-satunya faktor penyebab, sebagai
predisposisi, atau sebaliknya sebagai akibat dari reaksi allergi yang membawa
penderitaan yang lama, dapat menyebabkan gangguan psychis.
Mekanisme terjadinya allergi
Karena atopic hypersensitivity hanya terjadi pada orang-orang tertentu, maka
perhatian tertuju pada terbentuknya “reaginic antibodies” yang berhubungan dengan
satu jenis immunoglobulin yakni immunoglobulin E (IgE), pada penderita-penderita
allergi.
Stanworth pada tahun 1969 mengemukakan, bahwa proses sensitisasi
mencakup kombinasi dari IgE antibodi dengan sel-sel (misalnya sel-sel basophil,
mast sel) dalam sistem R.E.S. menghasilkan “cell-boud reaginic antibodies”,
kemudian pada tingkat provokasi allergen berkombinasi dengan cell-bound reaginic
antibodies akan menghasilkan satu seri reaksi enzym yang melepaskan histamin dan
vasoactive aminos misalnya serotonin, acethylcholine, brandykinin.
Satu hal yang menarik pada orang-orang normal, kadar IgE normal dalam
serum rendah, sedangkan pada penderita dengan allergi menunjukkan konsentrasi
IgE meninggi (6 kali).
Perubahan-perubahan patologi apakah yang terjadi akibat suatu allergi dalam
hidung? Perubahan-perubahan itu berupa:
a. Dilatasi pembuluh darah dan meningginya permeabilitas kapiller, terjadi oedema
dan kadang-kadang polip. Derajat oedema ini bergantung pada densitas stroma
jaringan-jaringan ikat pada anyaman kapiler di bawah membrana basalis. Kalau
proses ini berlangsung lama dan berulang-ulang, akan terjadi perubahan-perubahan
berupa penebalan jaringan ikat yang permanen.
b. Infiltrasi sel-sel, yang khas adalah sel-sel eosinophil, di samping sel-sel plasma
dan lymphosit.
c. Aktivitas dari kelenjar-kelenjar seromucinosa meninggi, dan bersamaan dengan
ini terjadi peninggian permeabilitas kapiler dan dilatasi pembuluh darah,
menghasilkan sekret yang encer dan jernih seperti air.
d. Terjadi infeksi sekunder dengan bakteri sehingga sekret berubah menjadi
mukopurulent.
Klasifikasi nasal allergi
Sampai sekarang kita masih belum sependapat mengenai terminologi yang
tepat dari nasal allergi. Mungkin kita terlalu banyak mempergunakan istilah nasal
allergi atau allergic rhinitis terhadap sesuatu keadaan yang kita sebut vasomator
rhinitis atau vasomator instability.
Walaupun kedua keadaan ini secara klinik sukar dibedakan, tetapi etiologinya
sangat berbeda. Maka dianjurkan penggunaan istilah nasal allergy, hanya dipakai
benar-benar ada antigen antibodi reaksi, atas dasar pemeriksaan yang teliti. Tetapi
bagi kita di sini dimana fasilitas laboratorium, atau bidang allergologi belum ada,
maka kita mencampurbaurkan kedua keadaan ini.
Di klinik nasal allergi kita bagi dalam dua type yaitu seasonal type dan
perenial type.
a. Seasonal allergy; Adalah nasal allergy yang spesifik terhadap rumput/sari pollen,
kembang-kembang, biji-bijian yang mengenai selaput lendir hidung, pharynx,
conjunctiva dan bronchus. Di Eropa penyakit ini menyerang pada bulan-bulan
Maret, April dan Mei.
Gambaran klinik bersifat akut
Perasaan gatal pada hidung dan bersin-bersin yang berupa seri yang bersifat
paroximal, obstruksi nasi, rhinorrhoe encer seperti air. Iritasi pada mata yang
menimbulkan epiphora. Pada pemeriksaan terlihat kemerah-merahan pada
vestibulum nasi, mukosa cavum nasi oedema pucat dan basah kadang-kadang
hyperaemia. Bila mukosa disentuh amat sensitif dan terjadi serangan bersin-
bersin dan mengeluarkan sekret yang profus.
b. Perenial nasal allergy
Allergy disebabkan oleh faktor exogen (exogenous allergen). Pada orang dewasa
biasanya diebabkan oleh inhalants sedang pada anak-anak (early childhood)
disebabkan oleh makanan.
Allergen dapat terdiri hanya dari satu jenis atau multiple. Allergen-
allergen di bawah ini dapat merupakan penyebab dari perenial nasal allergy:
1) Inhalants, termasuk debu rumah, kapuk, selimut, bulu-bulu binatang, parfum,
epidermis binatang, epidermis manusia dan lain-lain. Perhatian khusus pada debu
rumah, karena di sini dapat mengandung berbagai benda asing seperti jamur-
jamur atau mitos (dermatophagoides pteronys sinus), terutama pada keadaan
rumah yang lembab atau ventilasi yang kurang baik.
2) Ingestan, termasuk susu, telur, udang, kepiting, kacang-kacangan dan lain-
lain.
3) Kontaktans, misalnya kosmetika.
4) Bakterial allergen, misalnya streptococ, staphylococ, pneumococ.
5) Obat-obatan
Gambaran Klinik
Kurang lebih sama dengan seasonal nasal allergy, hanya di sini pada
umumnya tak terlalu akut.
Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas:
a. Anamnese yang teliti
b. Pemeriksaan physis termasuk rhinoskopia anterior, rhinoskopia posterior dan
pemeriksaan THT yang lengkap, termasuk pemeriksaan Ro dari sinus
paranasalis.
c. Pemeriksaan dengan test-test khusus:
1) Specific application of the allergen, dapat dilakukan pada kulit dengan
scratch method (menggores) diteteskan pada mukosa hidung, pada conjunctiva,
penyuntikan intradermal atau intrakutan.
Cara penggoresan sifatnya lebih spesifik dan lebih aman daripada
intradermal dan hasilnya dapat dipercaya khusus untuk inhalants, tetapi tidak
untuk ingestant atau injectant.
Cara intradermal 100 kali lebih sensitif daripada cara-cara penggoresan,
tetapi dapat menghasilkan false positif yang cukup tinggi dan kadang-kadang
memberikan reaksi yang hebat.
2) Eliminasi dari allergen, kita mulai dengan pemberian makanan yang
mempunyai kemungkinan paling minimal menimbulkan reaksi allergi, kemudian
setelah dua minggu kita berikan makanan lain dan seterusnya. Dapat juga
dilakukan provokasi test makanan tertentu.
3) Leukopenik Index. Index ini dipakai untuk diagnosa allergi terhadap
makanan. Suatu penurunan dari jumlah leukosit lebih dari 2.000 per ml setelah
allergen menunjukkan adanya hypersensitivitas.
Pengobatan
a. Dengan cara eliminasi, sebelumnya telah kita singgung bahwa eliminasi
mempunyai nilai yang diagnostik. Dengan sendirinya kalau kita telah mengetahui
sesuatu allergen, maka cara pengobatan yang terbaik untuk kasus-kasus allergi adalah
menghindarkan diri dari allergen. Sebagai contoh bila seseorang telah diketahui
allergi terhadap makanan udang atau kepiting, tentu saja orang itu kita larang untuk
makan makanan tersebut.
b. Pemberian obat-obat antihistaminika, tetapi diingat, bahwa umumnya anti
histaminika mempunyai efek sedative, alkohol sebaiknya dihindarkan pada orang-
orang yang diberi antihistaminika, karena efek sedatif dapat lebih kuat.
c. Pengobatan lokal sebagai tetes hidung, yang mengandung vasokonstriktor,
antihistamin, corticosteroids.
d. Steroid “depot” therapy.
e. Penyuntikan dengan steroid di bawah mukosa conchae inferior hasilnya cukup
baik.
f. Untuk mengurangi oedema atau memperkecil bentuk conchae dapat dilakukan
kaustik, baik dengan bahan kimia atau dengan elektris (caranya akan dijelaskan).
g. Spesifik hiposensitisasi
Walaupun cara-cara pengobatan yang telah dibicarakan sebelumnya dapat
meringankan gejala-gejala nasalah allergy, tetapi tidak dapat menyembuhkan secara
radikal seperti apa yang dapat dicapai dengan cara spesifik hiposensitisasi pada
beberapa kasus (ingat tidak semua dapat disembuhkan dengan pengobatan ini).
Pada dasarnya bila kita telah mengetahui sesuatu allergen atau sekelompok
allergen dengan skin test atau test-test yang lain sebagai penyebab allergi, maka kita
dapat mempergunakan allergen terebut sebagai antigen dan disuntikkan subkutan,
dimulai dengan dosis 0,1 ml dengan konsentrasi 0,1 dari konsentrasi antigen yang
dipakai, yang memberikan reaksi positif pada skin test.
Penyuntikan ini dapat dilakukan berulang-ulang, mulai dengan dosis yang
rendah kemudian dinaikkan perlahan-lahan. Bila pada penyuntikan timbul reaksi
hebat, dosisnya dipertahankan dengan konsentrasi yang sama sampai reaksi hilang.
Pada umumnya konsentrasi maksimal kurang lebih 0,01 dari extract,
diberikan sampai beberapa bulan sampai penderita bebas dari gejala-gejala.
RHINITIS VASOMATORIKA
Synonim: Vasomator Instability atau Vasomator Catarrh.
Pendahuluan
Istilah vasomator rhinitis dianggap oleh para ahli kurang tepat karena lebih
cenderung memberikan pengertian peradangan daripada sesuatu gangguan fungsi,
sehingga para sarjana lain berpendapat lebih tepat dengan memakai istilah
“Vasomator Instability” atau “Vasomator Catarrh”. Sebab-musabab dari
ketidaksesuaian paham dalam istilah ini, karena kekaburan mengenai etiologi dan
kegagalan dalam pengobatan penderita-penderita dengan R.V.
Ditinjau dari gejala-gejala klinik, maka R.V dalam banyak hal lebih
menyerupai parenial nasal allergy, sehingga akhir-akhir ini walaupun telah
ditekankan oleh banyak ahli, bahwa R.V. merupakan sesuatu “clinical entity”, tetapi
toh masih banyak ahli lain yang menolak anggapan di atas, mereka lebih cenderung
menggolongkan semua kasus-kasus demikian pada nasal allergy.
Patofisiologi
Malconson pada tahun 1959, telah membuktikan, bahwa perangsangan pada
syaraf parasimpatis atau penghambatan pada syaraf simpatis yang mempersyarafi
mukosa hidung, dapat menyebabkan vasodilatasi, hipersekresi dan bersin-berin. Atas
dasar ini maka dalam keadaan normal kedua sistem parasimpatis dan simpatis harus
dalam keadaan seimbang.
Bagaimana pengaturan pengalihan dari sistem autonom ini belum diketahui
secara pasti, tetapi mungkin hypothalmus berperanan sebagai pusat integrasi
menerima berbagai impuls afferent termasuk stimulus emosi dari pusat-pusat yang
lebih tinggi. Dalam keadaan normal, keseimbangan vasomator bisa terganggu secara
temporer oleh faktor emosi dan lain-lain tetapi tidak menyebabkan gangguan pada
penderita.
Pada penderita-penderita yang menunjukkan gangguan atau keluhan-keluhan,
mungkin kepada mereka sistem keseimbangan ini terus menerus terganggu (biasanya
parasymphatetic over activity), di samping lebih hypersensitif terhadap berbagai
macam stimuli atau rangsangan.
Faktor-faktor yang mengganggu keseimbangan vasomator
1. Psychogenicl stress, anxiety, tension, anger, hostiality atau emosi yang
menyenangkan dapat merupakan faktor.
2. Gangguan hormonal, misalnya pada masa pubertas terhadap gangguan pada
hidung berupa hidung tersumbat, akibat oedema pada conchae, yang kemudian
hilang sendirinya setelah dewasa. Pada waktu menstruasi, kehamilan atau waktu
sexual excitement, kadang-kadang timbul exacerbasi dari penyakit ini.
3. Obat-obatan: obat-obatan anti hypertensi, misalnya methyldopa, reserpin,
guanathidin, rauwolfia, dapat menghambat pelepasan dari neradrenalin pada ujung
syaraf post ganglionik, atau menghambat perubahan dopamine ke noradrenalin.
Obat-obatan lain yang bekerja sebagai sympathetic blocking agents menyebabkan
vasodilatasi perifer, biasa dipakai dalam pengobatan penyakit pembuluh darah perifer
dan migraine seperti ergot alkaloids, misalnya dihyroergotoxin mosylate; preparat
yang mengandung obat-obat ini dapat menyebabkan obstruksi nasi.
4. Faktor physik: unsur-unsur physik tertentu misalnya udara dingin, asap
rokok, perubahan-perubahan temperatur dan kelembaban, dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan vasomator.
Patologi
Pada pemeriksaan histologis dari mukosa hidung, menunjukkan berbagai
derajat oedem, dilatasi pembuluh darah, infiltrasi sel-sel cosinophyl dan peninggian
aktivitas kelenjar-kelenjar seromocous. Pada kasus-kasus yang telah berlangsung
menahun, jaringan ikat akan bertambah pada submukosa.
Gambaran Klinik
Lihat parenial nasal allergy
Diferensial Diagnose
Nasal allergy, dengan anamnese yang teliti dan sensitivity test. Pada
vasomator instability tak ditemukan allergen.
Pengobatan
Pada prinsipnya memperhatikan dan menghindari atau mengurangi faktor-
faktor predisposisi. Anjurkan banyak berolahraga, terutama berolahraga di alam
terbuka. Kalau bisa anjurkan untuk merubah kebiasaan atau sikap hidup.
Pengobatan dapat diberi ephedrin misalnya 3 x 12,5 mg pada orang dewasa
atau phenilpropanolamine sebanyak 25 – 50 mg dikombinasikan dengan
antihistamin. Pengobatan lokal sama dengan nasal allergy
Akhir-akhir ini banyak dilakukan pengobatan dengan jalan operasi yang
dikenal sebagai Vidian Neurektomi, dengan jalan memotong/memutuskan n.
vidianus di dalam fossa pterigomaxillaris melalui dinding belakang sinus maxillaris.
RHINITIS KRONIKA HYPERTROFIKA
Synonim: Rhinitis kronika hyperplastika atau Polipod chronic rhinitis
Etiologi
Sebagai penyebab dari rhinitis kronika hypertrofika, allergen merupakan
faktor yang paling penting; sedangkan infeksi merupakan faktor sekunder. Tetapi ada
yang menganggap, bahwa perubahan hyperplasia pada mukosa terutama disebabkan
oleh faktor infeksi bakteri.
Pendapat yang mengatakan bahwa allergi sebagai penyebab, atas dasar
kenyataan selalu ditemukannya sel-sel cesinophil dalam sekret hidung dalam kasus-
kasus rhinitis hypertrofika.
Di samping itu dalam anamnesa, selalu ditemukan adanya riwayat yang
berhubungan dengan allergi pada kebanyakan penderita. Sekarang telah disepakati,
bahwa baik faktor allergi maupun infeksi kedua-duanya berperanan sebagai
penyebab dari rhinitis kronika hypertrofika.
Patologi
Terdapat penebalan dari mukosa hidung dan periostium. Bagian yang paling
jelas mengalami perubahan hypertrofi adalah pada conchae inferior, yang tampak
berbenjol-benjol “mulberry like appearance”.
Mikroskopis, terlihat peradangan menahun, penebalan dan bertambahnya
jaringan sub mukosa, pelebaran pembuluh-pembuluh darah dan pembesaran kelenjar-
kelenjar.
Gambaran Klinik
Obstruksi nasi merupakan keluhan yang paling menonjol, akibat dari
obstruksi nasi dapat memberikan keluhan-keluhan sekunder, misalnya cephalgia,
karena ostium/ostia sinus paranasalis tertutup mengakibatkan tekanan negatif dalam
rongga sinus paranasalis, yang kita kenal sebagai “vacum headache”.
Hyposmia terjadi karena gangguan transmisi dari partikel-partikel bau-bauan
untuk sampai ke area olfaktorius, dimana ujung-ujung syaraf olfaktorius berada. Di
samping itu dapat juga memberikan keluhan pendengaran berkurang, karena adanya
oklusio tubae.
Rhinorrhoe atau post nasal dripping, dengan sekret yang encer atau kental
(mukopurulent).
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior, terlihat hypertrofi mukosa hidung
terutama conchae inferior, permukaannya berbenjol-benjol “mulberry like
appearance”. Pada conchae media sering-sering terlihat juga hypertrofi dan kadang-
kadang terjadi pembentukan polip. Dasar septumnasi terlihat juga adanya penebalan.
Untuk membedakan apakah mukosa mengalami oedema atau hypertrofi,
dapat kita bedakan sebagai berikut:
Pada mukosa yang oedema, bila ditetesi dengan vasokonstriktor (misalnya ephedrin
HCl 2%), mukosa akan mengerut, sedangkan pada mukosa yang hypertrofis dengan
pemberian vasokonstriktor hampir-hampir tak berkhasiat atau hasilnya amat minimal.
Pengobatan
Pada dasarnya hampir sama dengan nasal allergy. Kalau terdapat mukopus
dapat diberikan antibiotika dikombinasikan dengan preparat mukolitik, misalnya
Bisolvomycin di samping antihistaminika seperti pada nasal-allergy. Kalau ada
pembentukan polip, kita adakan polipektomi. Conchae media yang terlampau besar
dapat dilakukan partial conchotomi sedangkan conchae inferior sebaiknya tidak
dilakukan conchotomi, karena conchae inferior mempunyai peranan yang penting
dalam mengatur fungsi hidung.
POLIP HIDUNG
Pendahuluan
Polip adalah oedema lokal disertai prolaps dari mukosa hidung atau sinus
paranasalis dengan membentuk kantong yang bertangkai. Keadaan ini sering
ditemukan, tetapi sampai sekarang belum ada persesuaian pendapat mengenai
etiologi pembentukan polip.
Etiologi
Beberapa teori telah dikemukakan tentang pembentukan polip antara lain:
a. Pertama-tama dikemukakan teori infeksi sebagai penyebab pembentukan polip,
kemudian dikemukakan faktor allergi yang memegang peranan dalam pembentukan
polip; setelah itu kedua teori di atas dikawinkan kemudian diambil kesimpulan
bahwa pembentukan polip sebagai akibat “bacterial allergy”.
b. Teori lain mengemukakan, bahwa pembentukan polip hampir selalu sebagai
akibat gangguan vaskuler dari mukosa hidung, malahan sebagai akibat obstruksi
mekanis.
c. Lindsay Gray (1967) dalam thesisnya berkesimpulan, bahwa dalam cavum nasi
dengan deviatio septi, terdapat daerah pengucapan (constriction) pada tempat ini
terjadi penurunan tekanan pada jaringan sekitarnya, dengan akibat terjadi penurunan
tekanan cairan ekstravaskuler dan dengan demikian meninggikan pembentukan
cairan jaringan sehingga mempermudah terjadinya polip.
d. Ada yang menghubungkan pembentukan polip dengan kelainan metabolisme
karbohydrat; yakni ada gangguan keseimbangan antara glukosa, insulin, dan
epinephrin pada groround substance dari mukosa hidung dan sinus paranasalis. Hal
ini terbukti pada pemeriksaan penderita-penderita dengan polip hidung, didapat
adanya kelainan pada glucose tolerance test, dan pada anamnesa didapat kurang lebih
50% dari mereka, mempunyai riwayat diabetes mellitus dalam keluarganya.
Patologi
Makroskopis terdiri dari massa yang halus dan licin dengan warna yang
kebanyakan pucat, kadang-kadang translusent, putih opaque, kekuning-kuningan dan
ada kalanya merah muda. Konsistensi lunak, atau sedikit padat. Mikroskopis, terlihat
hanya sebagai mukosa oedema dan hypertrofi, diliputi oleh epithel torak bercilia,
stromanya fibriler dengan rongga besar yang diisi dengan cairan intercelluler. Dapat
juga terlihat adanya penimbunan sel-sel lymphosit, sel-sel plasma dan sel-sel
eosinofil.
Sumber atau lokasi polip
Lokasi polip dapat bersumber pada:
a. Ethmoidal berasal dari sinus Ethmoidalis.
b. Antral, berasal dari sinus maxillaris.
c. Conchae media.
Insidens menurut umur
Polip ethmoidal dapat terjadi pada segala umur, tetapi antral polip yang sering
berupa antrochoanal polip lebih sering terdapat pada anak-anak dan orang yang
umurnya masih muda.
Gambaran klinik
Obstruksi nasi merupakan gejala utama, keluhan-keluhan lain hanya akibat
dari obstruksi nasi. Rhinorrhoe encer atau mukopurulent. Deformasi tulang-tulang
hidung, berakibat deformasi hidung bagian luar (pada kasus-kasus polip yang besar).
Diagnose
Atas dasar anamnese
Atas dasar hasil pemeriksaan: Rhinoskopi anterior, rhinoskopi posterior,
transilluminasi, foto sinus paranasalis.
Diferensial Diagnose
a. Hypertrofi atau oedema dari conchae
b. Tumor jinak dari cavum nasi, misalnya fibroma, angiofibroma, haemangioma.
c. Tumor ganas cavum nasi dan sinus paranasalis.
Pengobatan
Bila saudara sebagai dokter umum menemukan polip hidung yang masih
kecil, dapat dicoba dengan pengobatan konservatif, berupa antihistaminika,
corticosteroid, adona (carbazochrome derivat).
Pengobatan yang terbaik dari polip adalah dengan jalan operasi. Operasi ini
dikenal dengan dua cara, yakni:
a. Polipektomi simplex, artinya hanya mengangkat polip yang terdapat dalam
cavum nasi saja, dengan tidak mengangkat polip itu sampai ke dalam sinus
paranasalis. Keuntungan dari cara ini adalah, bahwa prosedur sederhana, perawatan
post operasi singkat, risiko operasi hampir-hampir tidak ada.
Akan tetapi kerugiannya adalah, prosedur operasi ini tak membersihkan polip
yang berada dalam sinus, dengan sendirinya kans untuk residif besar sekali, malahan
dalam waktu yang singkat dapat terjadi residif.
b. Polipektomi radikal (Ethmoidektomi), artinya di samping mengangkat polip yang
berada dalam hidung, kita juga mengangkat polip yang berada dalam sinus
paranasalis. Jadi kita berusaha untuk membersihkan sampai ke akar-akarnya (teknik
operasi akan dibicarakan dalam kuliah sinus-chronica).
Keuntungan cara operasi ini adalah kans residif lebih kecil dan kalau memang
terjadi, maka jangka waktunya cukup lama.
Kerugian operasi ini ialah prosedur operasi lebih sukar dan waktu perawatan
lebih panjang serta resiko komplikasi post operasi relatif lebih besar.
RHINITIS KRONIKA ATROFIKA
Ada dua jenis rhinitis atrofika yang kita kenal:
a. Rhinitis kronika atrofika primaria.
b. Rhinitis kronika atrofika sekundaria.
???
Dari sifat khusus “foeter”, istilah Ozaena digunakan untuk penyakit ini, yang
berasal dari kata Yunani “Azein” yang berarti “to smell”.
Etiologi
Telah banyak teori dan hipotesa yang dikemukakan untuk menerangkan sebab
terjadinya ozaena, tetapi tidak satu teori pun yang dapat diterima secara umum, untuk
menerangkan semua kasus-kasus ozaena. Dari kasus-kasus ozaena, pada umumnya
ditemukan pada orang-orang muda masa pubertas dan lebih sering pada wanita, di
samping itu sering ditemukan pada suatu famili tertentu atau pada ras tertentu sedang
pada ras lain tidak ditemukan. Dari kenyataan ini, maka kita menduga, bahwa
mungkin ada faktor endogen yang memegang peranan penting dalam terjadinya
ozaena. Selain itu dikemukakan juga teori gangguan keseimbangan hormon, atas
dasar kenyataan bahwa lebih sering terdapat pada wanita yang berumur antara 10 –
20 tahun.
Kuman-kuman saprofit antara lain:
a. Coccobacillus (Loewenberg, 1894).
b. Bacillus mucous (Abel, 1895).
c. Coccobacillus foetidus (Peres, 1899).
d. Diphteroid bacillus, Klebsiella ozaena (Hendrikson dan Gunderson, 1959), selalu
ditemukan dalam sekret hidung. Tetapi walaupun demikian kuman-kuman ini belum
dapat dibuktikan sebagai penyebab utama dari ozaena.
Izernat Bernat (1965) mengemukakan bahwa, ozaena adalah suatu penyakit
kekurangan besi (iron deficiancy disease).
Tailor dan Young pada tahun 1965, mengemukakan, bahwa infeksi kronik
menyebabkan endarteritis, sehingga dapat mengurangi suplai darah dan
mengakibatkan atrofi pada mukosa hidung.
Grunwald mengemukakan, bahwa penyakit ini sebagai akibat sinusitis
supurativa, karena sekret dari sinusitis supurativa, dapat merangsang baik secara
biochemis maupun mekanisme pada sel-sel jaringan yang mengakibatkan proliferasi
dan tekanan pada sel-sel jaringan, sehingga terjadi kontraksi dari sel-sel jaringan,
menurunkan suplai darah, dengan akibat perubahan-perubahan atrofi pada mukosa.
Para penyelidik lain beranggapan, bahwa proses ini terjadi pada rhinitis atrofika
sekundaria, dengan perubahan-perubahan atrofi hanya pada mukosa saja; lain halnya
dengan ozaena, perubahan atrofi juga pada struktur tulang dan tidak didahului oleh
suatu peradangan kronis atau sinusitis.
Pada akhirnya kita menganggap, bahwa terjadinya ozaena sebagai akibat dari
banyak faktor yang saling tunjang menunjang.
Patologi
Pada stadium permulaan terdapat gambaran peradangan kronik, pada stadium
lanjut terjadi penebalan pembuluh darah dan adanya suatu endarteritis obliterans dari
arterio. Sel-sel torak bercillia berubah menjadi sel berlapis gepeng, kelenjar-kelenjar
mengurang atau menghilang, terakhir terjadi atrofi dari kelenjar-kelenjar dan sel-sel
syaraf dan tulang.
Gambaran Klinik
a. Foetor nasi merupakan keluhan utama (pada stadium permulaan).
b. Obstruksi nasi sebagai akibat adanya penimbunan sekret yang kering atau krustae
dalam cavum nasi.
c. Perasaan kering pada tenggorok atau pharynx, disebabkan adanya perubahan-
perubahan atrofi pada pharynx.
d. Cephalalgia, karena adanya konstruksi pada ostia sinus paranasalis karena
penimbunan sekret.
e. Hyposmia atau anosmia, keluhan ini akibat adanya perubahan-perubahan
degeneratif pada sel-sel syaraf penciuman pada stadium ini. Keluhan foeter nasi
akan hilang, tetapi orang di sekitarnya akan dapat mencium bau busuk, sehingga
orang dengan ozaena dijauhi oleh teman-teman, akibatnya penderita terisolir dari
pergaulan mental depresif.
Pada pemeriksaan dengan rhinoskopi anterior terlihat cavum nasi lebar,
karena adanya atrofi dari conchae nasalis, adanya penimbunan sekret yang kering
atau krustae yang berwarna hijau kehitam-hitaman. Penimbunan krustae ini
terutama di sekitar conchae media atau dapat meluas di seluruh cavum nasi
sampai ke belakang, kadang-kadang sampai ke pharynx, krustae ini sukar
dilepaskan, kalau dilepaskan biasanya sedikit berdarah.
f. Mukosa tampak kering dan pucat
Diagnosa Banding
a. Rhinitis sicca
b. Rhinitis caseosa
c. Rhinolith
d. Rhinitis atrofika non foetida atau rhinitis kronika atrofika sekundaria.
Untuk membedakan ozaena dan rhinitis atrofika sekundaria dapat kita lihat sebagai
berikut:
OZAENA RHINITIS ATROFIKA SEKUNDARIA
a. Anosmia (+) Anosmia (-)
b. Atrofi mukosa dan tulang Atrofi hanya pada mukosa, tulang tak mengalami atrofi
c. Terdapat endarteritis, metaplasia epithel, degenerasi syaraf dan sel-sel kelenjar.
Arteri masih sehat Epithel sebagian besar masih baik
d. Etiologi belum jelas terdiri dari multi faktor
Etiologi jelas dari sinusitis kronika supurativa atau akibat operasi pengangkatan conchae yang berlebihan.
Pengobatan
Sampai sekarang pengobatan kausal belum ada, pengobatan hanya bersifat
simptomatik. Pengobatan ini kita bagi dalam pengobatan konservatif dan operatif.
a. Pengobatan konservatif. Paling penting untuk menjaga kebersihan hidung, agar
foeter nasi dapat dikurangi atau hilang. Hal ini dapat dianjurkan kepada penderita
untuk mencuci hidung dengan larutan campuran dari:
R/ Bicarbonas Natricus
Chloretum Natricus
Chloretum Ammonicus aaa 10
Aqua ad 400
m.d.s. obat cuci hidung
1 sendok larutan + 9 sendok air hangat
dipakai dua kali sehari cuci hidung.
Dapat juga dipakai tampon yang dibasahi dengan sol. ichthyol 10%
dimasukkan dalam hidung ditunggu 20 – 30 menit sampai krustae jadi lembek,
kemudian krustae dikeluarkan dengan bantuan forceps. Setelah krustae dikeluarkan
dapat diberikan 25% larutan glukose dalam gliserin yang menghambat proteolytic
organisme, atau oestradiol oil 10.000 unit per ml, dipakai sebagai nasal spray, karena
oestradiol mempunyai khasiat vasodilatator. Pemberian vasodilatantia per oral atau
perenteral, hasilnya kurang memuaskan. Pemberian dengan vitamin A dengan dosis
tinggi dicoba untuk memperbaiki epithel, pemberian antibiotika untuk membasmi
kuman-kuman saprofit, dengan hasil yang minimal. Penyuntikan dengan
acethylcholine di bawah mukosa sebagai vasodilator, dapat hasil yang cukup
memuaskan.
b. Karena pada umumnya pengobatan konservatif belum memuaskan, orang
mencoba mengadakan pengobatan dengan jalan operasi. Pengobatan dengan jalan
operasi ini pada dasarnya bertujuan untuk memperkecil ruangan cavum nasi dengan
jalan menyisipkan teflon strip, polythene, atau tulang rawan pada dinding lateral,
pada dasar cavum nasi, atau pada septum nasi.
Wilson pada tahun 1946 telah melaporkan, bahwa dengan penyuntikan
submukosa suspensi dari teflon powder dalam 50% glycerin pasta, dengan hasil yang
memuaskan.
Blok pada ganglion stelata yang berulang-ulang telah dicoba dengan hasil yang
cukup baik, sehingga Sharma dan Sardana (1966) menganjurkan diadakan cervikal
sympathectomi.
SINUSITIS
Pendahuluan (Tinjauan Umum)
Sinusitis merupakan penyakit yang tak jarang kita temukan di bidang THT.
Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat, bahwa mukosa sinus paranasalis
merupakan lanjutan dari mukosa cavum nasi dan bentuk histologi sama; maka setiap
rhinitis mempunyai potensi terjadi sinusitis, tetapi bila kelancaran drainage dari ostia
sinus paranasalis tidak terganggu, maka tidak akan memberikan gejala-gejala klinik
sinusitis.
Sinusitis dapat terjadi hanya terbatas pada satu sinus atau beberapa sinus
(multisinusitis) atau pada semua sinus paranasalis baik pada satu sisi maupun kedua
sisi (pansinusitis unilateral atau bilateral).
Menurut perlangsungannya, sinusitis dapat kita bedakan dalam dua macam,
yakni sinusitis akuta dan sinusitis kronika.
Sinusitis Akuta
Etiologi
a. Rhinitis ekuta, penyebarannya secara langsung melalui sistem limfatik pada sub
mukosa. Penyebaran langsung dapat dipermudah dengan bersin-bersin atau pada
waktu membuang ingus dengan menutup kedua hidung.
b. Berenang dan menyelam dapat juga mempermudah penyebaran langsung melalui
ostia ke dalam sinus paranasalis.
c. Pencabutan gigi atau infeksi pada gigi, dapat pula menyebabkan infeksi ini
masuk ke dalam sinus maxillaris (lihat hubungan anatomi sinus maxillaris dan gigi
atas).
d. Maxillo-facial trauma, infeksi dapat masuk secara langsung melalui garis fraktur,
atau melalui bekuan darah yang terkumpul dalam sinus.
e. Barotrauma atau aerosinusitis dapat terjadi selama penerbangan, karena
perubahan tekanan yang tiba-tiba (sama halnya dengan aero-otitis).
f. Corpus allienum nasi, terutama pada anak-anak dapat terjadi pada infeksi
sekunder ke dalam sinus.
Faktor predisposisi
a. Lokal:
1) Obstruksi nasi dari sebab apa saja, misalnya polip hidung, rhinitis allergika,
vasomator instability dan septum deviasi.
2) Infeksi di sekitar hidung, misalnya tonsilitis, adenoiditis.
3) Sebelumnya pernah mendapat sinusitis yang sama.
b. Umum:
1) Keadaan allergi
2) Kedinginan
3) Keletihan yang berlebihan
4) Malnutrisi, penyakit-penyakit kronis
5) Keadaan atmosfir yang ekstrim.
Bacteriologi
Mikro organisme yang paling sering menurut urutan sebagai penyebab dari
sinusitis adalah pneumococcus, staphylococcus, N. influenza, Fridlander’s bacillus,
Escheria colli dan anaerobic streptococci sebagai penyebab dari sinusitis maxillaris
dentogen.
Patologi
Perubahan-perubahan peradangan pada mukosa hidung pada sinusitis adalah
sebagai berikut:
a. Hyperemia
b. Oedema
c. Infiltrasi sel-sel radang
d. Hyperaktivitas dari kelenjar-kelenjar
e. Terjadi exudasi, yang mula-mula serous, dengan bertambahnya intensitas infeksi
sekret menjadi purulent.
Walaupun demikian kadang-kadang terjadi resolusi sebelum terjadi supurasi,
sebaliknya sebagian proses infeksi berlangsung terus sampai menjadi kronis.
Gambaran Klinik
Bergantung pada intensitas peradangan efisiensi dari drainage ostia sinus
paranasalis.
a. Perasaan nyeri pada sinus yang bersangkutan, baik berupa menusuk-nusuk atau
dull pain, terutama bila kepala ditundukkan atau waktu batuk.
b. Rhinorrhoe atau post nasal dripping, sekret ini bersifat kental atau mukopus dan
kadang-kadang disertai sedikit darah (blood stained).
c. Obstruksi nasi, disebabkan adanya oedema pada mukosa terutama conchae
media, atau karena penimbunan sekret yang kental.
d. Cephalgia (sifatnya akan diterangkan pada masing-masing sinusitis).
e. Oedema dan hyperemia pada dinding depan dari sinus bersangkutan, terutama
pada anak-anak (gejala ini jarang terlihat).
f. Gejala-gejala umum: Subfebril, malaise, nausea dan kadang-kadang mental
depresi.
Gejala-gejala obyektif yang terlihat dalam pemeriksaan akan dibicarakan pada
pembahasan sinusitis masing-masing.
Diagnosa Banding
a. Perasaan nyeri yang bersumber dari gigi
b. Migraine
c. Tregeminal neuralgia
d. Neoplasma pada sinus paranasalis
e. Erisipelas
f. Gigitan serangga
Pengobatan
Untuk menanggulangi sinusitis akuta, maka ada beberapa tindakan pokok
yang diperlukan, antara lain:
a. Menanggulangi infeksi: pemberian antibiotika dengan dosis yang adekuat (kalau
bisa setelah dilakukan sensitivity test terhadap kuman penyebab), agar dapat dipilih
antibiotika yang paling tepat.
b. Penanggulangan terhadap perasaan nyeri:
1. Pemberian analgetika.
2. Pemanasan lokal, kompres air hangat, diathermi dengan sinar gelombang
pendek, dapat mempercepat resolusi peradangan.
c. Memperbaiki drainage: tindakan ini merupakan pengobatan kausal yang amat
penting, karena berat ringannya sinusitis terutama dipengaruhi oleh faktor lancar
tidaknya drainage, atau ada tidaknya obstruksi pada ostium/ostia sinus paranasalis.
Tindakan ini dapat dimulai dengan pemberian:
1. Larutan decongestan, misalnya ½ - 1% HCl. Ephedrin: dipakai sebagai
obat tetes atau sebagai spray.
2. Lakukan infraksi pada conchae media untuk memperlebar meatus nasi
media.
d. Pemberian sedativa, agar penderita dapat istirahat dengan baik.
Sinusitis Kronika
Pendahuluan
Hubungan rhinitis allergika dan rhinitis vasomatorika atau vasomator
instability dengan sinusitis kronika sedemikian seringnya, yang mungkin mencakup
2/3 dari kasus-kasus sinusitis kronika merupakan kronik allergic rhino-sinusitis atau
chronic vasomator rhino-sinusitis (Simpson dan Robin); sebagai faktor utama, atau
malahan sebagai satu-satunya faktor penyebab. Penting untuk mengetahui hal ini,
karena dalam pengobatannya atau hasil pengobatannya akan lebih berhasil kalau kita
selalu ingat faktor tersebut di atas.
Atas dasar ini Simpson, Robin Ballantine dan Groves dalam bukunya “A
synopsis of Otolaryngology” membagi sinusitis kronika dalam:
a. Simple chronic infective sinusitis
b. Mixed infective and vasomator chronic sinusitis
Simple Chronic Infective Sinusitis
Pada type ini tidak terdapat allergi atau vasomator instability.
Etiologi
Setelah satu serangan atau serangan berulang-ulang dari sinusitis akuta.
Patologi
a. Oedema, berkisar dari sedikit penebalan dari mukosa sinus sampai pembentukan
polip.
b. Infiltrasi sel-sel radang kronik.
c. Fibrosis, pada stroma submukosa terutama pada bagian yang mengalami
peradangan infeksi akut.
d. Multipel mikro abses, pada mukosa yang menebal.
e. Sering terjadi metaplasia epithel dan hypertrofi kelenjar-kelenjar.
f. Pembentukan kiste, sebagai akibat dari tekanan jaringan.
g. Ulcerasi dari epithel, mengakibatkan pembentukan jaringan granulasi.
Bakteriologi
Biasanya campuran dari berbagai macam bakteri, streptococci termasuk yang
anaerobic, pneumococci, B. proteus, B. pyocyanae, Esch. coli.
Gambaran klinik
a. Rhinorrhoe atau post nasal dripping. Sekret bisa berupa purulent atau mukoid.
b. Obstruksi nasi, baik ringan maupun berat.
c. Cephalgia, disebabkan oleh gangguan drainage sekret dari dalam sinus ke cavum
nasi, atau adanya exacerbasi akut. Sakit kepala biasanya dinyatakan sebagai
perasaan berat pada kepala, atau perasaan berat pada daerah sinus yang
bersangkutan.
d. Hyposmia atau anosmia temporer, kadang-kadang terdapat cacosmia, terutama
pada sinusitis maxillaris dentogen.
e. Gangguan umum biasanya ringan, berupa malaise, anorexia, mental apathy,
batuk-batuk kronik, karena post nasal dripping menyebabkan irritasi yang terus
menerus pada pharynx dan larynx, yang amat resistent terhadap pengobatan (bila
tidak diingat fokus primer).
Kadang-kadang terdapat gangguan pendengaran, karena oklusio tubae.
Prinsip Pengobatan
Dasarnya adalah sama dengan pengobatan sinusitis akuta, bertujuan
memperbaiki drainage, tetapi kalau tindakan-tindakan konservatif seperti pada
sinusitis akuta tidak berhasil, kita akan melangkah pada tindakan operatif, baik yang
amat sederhana maupun yang lebih kompleks atau radikal.
Misalnya yang paling sederhana kita lakukan, infraksi, yakni mengadakan
luksatio pada conchae media untuk memperlebar meatus nasi media. Fungsi sinus
dengan troicart, untuk mengadakan pembilasan pada sinus.
Operasi konservatif untuk memperoleh drainage yang temporer atau
permanent, operasi-operasi radikal (dibicarakan pada pengobatan sinusitis masing-
masing).
Mixed Infective and Chronic Vasomator Sinusitis/Chronic Allergic Sinusitis
Etiologi
Faktor allergi atau faktor vasomator instability, mungkin merupakan faktor yang
paling penting dalam perjalanan penyakit ini, kemudian infeksi sekunder akibat dari
obstruksi kronis pada ostia dan poliposis. Bacteriologinya sama dengan simple
chronic sinusitis.
Patologi
Gambaran patologi merupakan kombinasi dari perubahan-perubahan yang kita lihat
pada simple chronic sinusitis dan pada keadaan allergi atau pada keadaan vasomator
instability. Biasanya berupa multi sinusitis atau bilateral pansinusitis. Keadaan ini
berupa perubahan-perubahan:
a. Oedema pada mukosa, disebabkan peninggian permeabilitas kapiler dan terjadi
penebalan mukosa.
b. Sering disertai pembentukan polip
c. Jumlah sel-sel eosinophil bertambah pada sekret hidung, bersamaan dengan sel-
sel polymorphonuclear karena ada infeksi sekunder.
d. Pembentukan kiste palsu (kadang-kadang), karena distensi dari ruangan
intracelluler di dalam submukosa (cyste polypus).
Gambaran klinik
Biasanya cenderung menghinggapi beberapa sinus atau bilateral pansinusitis;
tetapi biasanya gejala-gejala dari sinusitis maxillaris dan sinusitis ethmoidalis yang
menonjol.
a. Rhirorrhoe dan post nasal discharge, sekret dapat bersifat encer, mukoid atau
mukopurulent.
b. Hyposmia atau anosmia.
c. Gejala-gejala yang berhubungan dengan allergi (lihat nasal allergi).
Prinsip pengobatan
a. Menanggulangi keadaan allergi (lihat nasal allergy)
b. Mengobati infeksi
c. Operasi, simple dan radikal (akan dijelaskan pada pembicaraan sinusitis masing-
massing).
Prognosis
Pengobatan atau tindakan-tindakan operatif kadang-kadang tidak begitu
memuaskan, karena faktor allergi sukar dihilangkan.
SINUSITIS MAXILLARIS AKUTA
Sinusitis maxillaris merupakan sinusitis yang paling sering ditemukan di
antara sinusitis lainnya. Menurut asalnya, sinusitis maxillaris dapat kita bagi atas dua
jenis, yakni:
a. rhinogen
b. dentogen.
Gambaran Klinik
Perasaan sakit pada pipi (fossa canina), biasanya perasaan sakit ini diproyeksi
ke sinus frontalis, ke regio temporalis, atau ke gigi atas.
Rhinorrhoe, post nasal dripping, dengan sekret kental atau mukorus. Oedema
pada pipi (fossa canina), gejala ini jarang terlihat.
Pada pemeriksaan dengan rhinoskopia anterior akan terlihat sekret pada
meatus nasi media, dan hyperemia pada conchae media.
Untuk menguatkan apakah sekret itu berasal dari sinus maxillaris, kita lakukan
“Posture Test”, dengan pertama-tama membersihkan sekret yang terdapat di meatus
nasi media dengan kapas, kemudian penderita disuruh membungkukkan badan
sambil memiringkan kepala sedemikian rupa sehingga bagian sinus yang sakit berada
di atas, dengan demikian terjadi evacuasi dari isi sinus maxillaris dan akan keluar
melalui ostium sinus maxillaris yang berada di meatus nasi media. Pada pemeriksaan
ulangan sekret ini akan terlihat lagi di meatus nasi media, bile sekret memang berasal
dari sinus maxillaris (syarat ostium sinus maxillaris cukup terbuka).
Palpasi, fossa canina terasa nyeri pada bagian yang sakit.
Transilluminasi, terlihat gelap atau kabur pada sinus yang sakit (teknik pemeriksaan
akan dijelaskan).
Gambaran foto Ro, lebih dapat dipercaya dari pemeriksaan trans illuminasi,
terlihat kekaburan pada sinus yang sakit, kadang terlihat fluid level, dan juga dapat
memberikan informasi tambahan mengenai keadaan sinus yang lain.
Diagnosa banding
a. Absces yang berasal dari gigi atas.
b. Trigeminal neuralgia, cabang kedua dari n.V.
c. Tumor rahang atas, atau tumor sinus maxillaris.
Pengobatan lokal
Sesuai dengan prinsip penanggulangan sinusitis akuta yang telah dibahas
sebelumnya.
Khusus untuk sinusitis maxillaris akuta kita tambahkan pengobatan dengan
pemanasan lokal pada sinus maxillaris dengan diathormi gelombang pendek, U.K.G.
sinar solux, sinar infra merah.
Kalau fase akut telah lewat dapat dilakukan pungsi sinus maxillaris dengan
troicart, melalui meatus nasi inferior, kemudian dilakukan pembilasan pada sinus
dengan larutan garam fisiologi steriel, atau dapat dibilas dengan larutan antibiotika,
misalnya aqua penicillin. Pembilasan sinus ini dapat dilakukan beberapa kali sampai
keadaan sinus menunjukkan perbaikan.
Sinusitis Maxillaris Akuta Dentogen
Di negara-negara yang telah maju jumlah sinusitis maxillaris dentogen kurang
lebih mencapai 10% dari semua kasus-kasus sinusitis. Di Indonesia walaupun belum
ada angka-angka yang pasti, tetapi menurut pengalaman kami sehari-hari, kami
mendapat kesan, bahwa angka-angka ini lebih tinggi dari pada negara-negara yang
telah maju; hal ini dapat dimengerti karena penyakit-penyakit gigi di Indonesia
angkanya cukup tinggi.
Keadaan gigi yang dapat menimbulkan sinusitis maxillaris dentogen adalah
sebagai berikut:
a. Peri-apical absces dari premoler atau molar atas, ini dapat menyebabkan suatu
peradangan pada mukosa dasar sinus maxillaris, sehingga terjadi efusi dan supurasi.
Caries pada tulang atau processus alveolaris dapat menyebabkan hubungan langsung
antara absces dengan rongga sinus (lihat gambar).
b. Setelah extraksi gigi premolar atau molar atas. Kadang-kadang tulang di antara
socket dan sinus amat tipis, sehingga dalam pencabutan gigi, akar gigi kadang-
kadang dapat terdorong atau tertinggal dalam sinus; terjadi oroantral fistula.
c. Periodental absces, dimulai dengan periodentitis akuta atau kronik dengan akut
exacerbasi, merupakan penyebab yang paling sering dari sinusitis maxillaris
dentogen.
Pengobatan
Pertama-tama kita harus berusaha menghilangkan penyebabnya dari gigi yang
diduga sebagai sumber dari infeksi, kemudian penderita dikirim ke bagian gigi untuk
pencabutan gigi. Setelah gigi diadakan canering, kita lakukan pungsi sinus, untuk
pembilasan seperti yang telah dijelaskan pada sinusitis maxillaris rhinogen. Kalau
dengan pembilasan kurang berhasil kita lakukan operasi antrostomi dengan sublabial
approach (diterangkan pada sinusitis kronika). Di samping tindakan ini kita dapat
juga tambahkan antibiotika per oral atau parenteral.
Sinusitis Maxillaris Kronika
Etiologi dan gambaran klinik dari sinusitis maxillaris kronika dan akuta
hampir sama, hanya berbeda dalam perlangsungannya yang menahun dan gejala-
gejala atau keluhan nyeri amat minimal, bila dibandingkan dengan sinusitis akuta.
Perbedaan yang jelas di antara sinusitis akuta dan kronika terletak dalam
penanggulangannya, yakni pada sinusitis akuta biasanya pengobatannya bersifat
konservatif, sedangkan pada sinuitis maxillaris kronika cara penanggulangannya
biasanya operatif.
Penanggulangannya berturut-turut sebagai berikut:
a. Pertama-tama dicoba dengan jalan irigasi atau pembilasan sinus dilakukan
beberapa kali, kalau tindakan ini ternyata tidak berhasil, maka kita meningkat pada
tindakan intranasal antrostomi.
b. Intranasal antrostomi, dibuat suatu jendela pada dinding naso antral pada meatus
nasi inferior, dari jendela ini kita mengadakan kuretage pada sinus atau pembersihan
jaringan patologis dari dalam sinus.
Kesukaran pada teknik ini adalah lapangan operasi sempit dan rongga sinus
sukar tercapai seluruhnya sehingga kalau tidak berhasil baik dengan cara ini, kita
dapat lakukan dengan cara yang lebih radikal, yakni sublabial antrostomi.
c. Sublabial antrostomi (Caldwell – Luc Operation); cara ini sebaiknya kita lakukan
pada kasus-kasus dimana proses penyakit itu telah berlangsung lama, dan telah
terjadi perubahan-perubahan patologis pada mukosa maupun pada periostium dari
sinus maxillaris, sehingga dengan cara operasi antrostomi simplex, atau intra nasal
antrostomi, tidak akan terjamin keberhasilannya.
Dengan cara sublabial approach, memungkinkan kita untuk dapat
membersihkan bagian-bagian mukosa yang telah patologis dengan penglihatan secara
langsung ke dalam rongga sinus maxillaris (teknik operasi akan dijelaskan).
SINUSITIS FRONTALIS
Sinusitis Frontalis Akuta
Sinusitis frontalis merupakan sinusitis yang amat jarang terjadi, ini
disebabkan oleh perkembangan sinus frontalis yang paling terlambat dan bentuk
anatomis dimana ostium dari sinus frontalis terletak di dasar dari sinus frontalis,
sehingga setiap ada pembentukan exudat dalam sinus frontalis dengan mudah dapat
disalurkan ke luar ke dalam cavum nasi.
Tetapi kalau terjadi suatu sinusitis frontalis akuta, gejala-gejalanya cukup
berat dan perlu mendapat perhatian yang saksama, karena kemungkinan komplikasi
endokranial lebih mudah dibandingkan dengan sinus-sinus yang lain.
Sinusitis frontalis biasanya bersamaan dengan sinusitis ethmoidalis =
homolateral.
Gambaran Klinik
Frontal pain (frontal headache), biasanya cukup berat dan bersifat periodik,
mulai beberapa saat setelah bangun pagi dan berakhir kurang lebih jam 2 atau jam 3
petang.
Perasaan nyeri pada penekanan pada atap dari orbita, dimana merupakan
dasar dari sinus frontalis dan merupakan dinding tulang yang tipis.
Oedema pada palpebra superior tidak jarang terlihat.
Terlihat adanya sekret pada meatus medius nasi.
Transilluminasi: kabur
Foto Ro: kabur
Diagnosa Banding
Herpezs zoster dari n. supra-orbitalis
Pengobatan
Bila keadaan amat berat, maka segera diadakan trepanasi pada atap dari sinus
frontalis, kemudian diadakan drainage dengan memasang tube (plastic tube) yang
difiksasi pada kulit, kemudian sewaktu-waktu diadakan pembilasan dengan larutan
ephedrian 1% dalam gram fisiologis steriel, sampai terlihat duktus nasofrontalis
terbuka dengan melihat adanya cairan bilasan masuk ke dalam cavum nasi dan bebas
dari pus.
Pada keadaan yang ringan, kita dapat lakukan infraksi conchae media dengan
maksud memperlebar meatus nasi media, dengan cara yang sederhana ini, sering
keluhan nyeri spontan akan hilang, karena komunikasi antara cavum nasi dan sinus
terbuka.
Sinusitis Frontalis Kronika
Telah disinggung sebelumnya, bahwa sinusitis frontalis jarang berdiri sendiri;
biasanya disertai sinusitis maxillaris atau sinusitis ethmoidalis.
Dalam penanggulangan sinusitis frontalis kronika, adakalanya dengan hanya
mengadakan tindakan operatif, pada sinus maxillaris, sinus ethmoidalis, sinus
frontalis dapat dikontrol dengan tanpa mengadakan operasi. Dalam keadaan dimana
tindakan tadi tidak berhasil, maka tindakan operasi perlu dipertimbangkan.
Operasi khusus untuk sinusitis frontalis kronika termasuk:
a. Operasi menurut King. Pada prinsipnya memperbaiki drainage dari sinus
frontalis, dengan jalan mengadakan trepanasi pada dasar dari sinus frontalis yang
letaknya pada atap medial dari orbita. Setelah diadakan trepanasi dengan burr (bor)
atau dengan pahat kecil, segera sinus terbuka, pus atau exudat akan segera keluar dan
dibersihkan, rongga sinus akan terlihat jelas, mukosa yang patologik dan polip
dibersihkan, tetapi waspada agar duktus nasofrontalis dipertahankan. Setelah itu
dimasukkan plastik tube untuk drainage dan difiksasi pada kulit waktu mengadakan
penjahitan.
Perawatan selanjutnya diadakan pembilasan sinus berulang-ulang melalui
tube dengan larutan garam fisiologis steriel atau dengan larutan antibiotika, sampai
sekret dari dalam sinus bersih.
Kembalinya fungsi normal dari duktus nasofrontalis dapat terlihat dengan
adanya sekret yang keluar dari hidung; bila drainage melalui duktus telah pulih
secara normal tube dapat diangkat.
b. Operasi menurut Howarth
Operasi ini mencakup operasi fronto-ethmoido-sphencidektomi. Pada
dasarnya selain sinus frontalis, sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis sekaligus dapat
dicapai dengan teknik operasi ini.
SINUSITIS ETHMOIDALIS
Sinusitis Ethmoidalis Akuta
Ditinjau dari perkembangan sinus ethmoidalis, dimana bentuk dan ukurannya
hampir-hampir lengkap waktu anak dilahirkan, maka sinusitis ethmoidalis agaknya
tak jarang ditemukan pada anak-anak, tetapi kurang mendapat perhatian oleh para
teman sejawat yang bergerak di bidang disiplin lain. Sebagai contoh, seorang anak
dengan batuk-batuk kronis, anamnesa terpimpin menunjukkan adanya rhinorrhoe
yang kronis atau post nasal dripping (keluhan ini tidak terlihat dan tidak diketahui
oleh orang tua si anak); yang ditekankan hanya batuk-batuk telah lama dan telah
berobat dimana-mana tanpa hasil.
Kalau kita menemukan kasus demikian, ingatlah kemungkinan sinusitis
ethmoidalis atau sinusitis lainnya, yang terus menerus menyebabkan post nasal
dripping, iritasi pharynx, larynx, malahan sampai pada traktus respiratorius bagian
bawah, inilah semua yang menyebabkan batuk-batuk yang tak ada respons terhadap
pengobatan biasa, tanpa mengadakan pengobatan khusus pada sinusnya.
Gambaran klinik
Sebagai tambahan gejala-gejala khusus sinusitis ethmoidalis akuta, adanya
cephalgia (ethmoidal pain) yang letaknya di antara kedua mata dan di daerah
frontalis penderita.
Pada anak-anak yang menderita penyakit ini tampak apatis, konsentrasi
berpikirnya berkurang, suara sengau, rhinorrhoe, obstruksi nasi dan batuk-batuk,
kadang-kadang terlihat oedema pada palpebra superior (D.D. sinusitis frontalis
akuta).
Pada pemeriksaan, terlihat adanya sekret pada meatus nasi media dan meatus
nasi superior.
Pengobatan
Mula-mula pengobatan bersifat konservatif, seperti melebarkan meatus nasi
media, kemudian diadakan replacement suction menurut Proetz. Cara ini pada
dasarnya mengisap sekret dari dalam sinus ethmoidalis dengan pertolongan aspirator,
kemudian menusukkan obat tetes hidung ke dalam sinus, maka terjadilah evakuasi
exudat dari dalam sinus dan diganti oleh cairan obat masuk ke dalam sinus.
Sinusitis Ethmoidalis Kronika
Pengobatan Khusus
a. Intranasal-Ethmoidektomi, dengan mengadakan luksasi pada conchae nasi media,
atau conchotomi partial, kemudian melalui bulla ethmoidalis dilakukan exentrasi sel-
sel ethmoidalis; dengan teknik ini lapangan penglihatan amat sempit, sehingga harus
hati-hati karena dapat merusak lamina cribrosa dan n. optikus, ke lateral dapat
merusak lamina papiracea masuk ke orbita.
b. Operasi menurut Morgan atau transantral ethmoidektomi. Operasi ini adalah
operasi dari sinus maxillaris dan sinus ethmoidalis (lihat operasi Caldwell-Luc).
Dengan teknik ini sel-sel sinus ethmoidalis posterior mudah dicapai,
sedangkan sel-sel ethmoidalis anterior dapat dibersihkan dengan intranasal approach.
c. External Ethmoidektomi menurut Peterson atau menurut Smith.
SINUSITIS SPHENOIDALIS
Sinusitis Sphenoidalis Akuta
Karena letak sinus sphenoidalis di belakang atas cavum nasi, ostiumnya
bermuara pada meatus nasi superior, maka setiap ada peradangan pada sinus
sphenoidalis, tanpa bantuan foto Ro, sukar kita tegakkan diagnosa sinusitis
sphenoidalis.
Mungkin frekuensi sinusitis sphenoidalis lebih sering seperti apa yang kita
duga, tetapi karena diagnosa sukar, maka sering-sering diabaikan, atau tidak dibuat
diagnosa sinusitis sphenoidalis.
Dalam klinik sering kita membuat diagnosa sinusitis sphenoidalis sebagai
bagian dari pensinusitis.
Gejala-gejala
Cephalgia di daerah vertex, frontal, occipital atau dapat diproyeksikan ke
regio temporalis seperti pada mastoiditis.
Rhinorrhoe tak jelas, kecuali post nasal dripping, pada rhinoskopia posterior,
akan terlihat adanya sekret di ujung belakang dari conchae nasi media.
Pengobatan
Dapat dicoba dengan replacement suction menurut Proetz, kalau kurang
berhasil dapat dilakukan pungsi dengan jarum khusus pada dinding depan sinus
ephnoidalis, kemudian diadakan pembilasan dengan larutan garam fisiologi steriel.
Sinusitis Sphenoidalis Kronika
Pengobatan khusus
a. Operasi menurut Morgan, dari sinus othmoidalis posterior kita teruskan ke
dinding dari sinus sphenoidalis.
b. Melalui external ethmoidektomi menurut Peterson atau menurut Ferris Smith.
c. Langsung melalui intranasal dengan mengadakan pungsi pada dinding depan
sinus sphenoidalis, atau melalui intra septal approach, sebagai lanjutan dari septum
reseksi. Teknik operasi ini jarang dilakukan, karena lapangan operasi terlalu sempit.
Komplikasi Sinusitis Supurativa
Dengan kemajuan yang begitu cepat dan pesat dalam bidang antibiotika,
maka sekarang dapat dikatakan komplikasi sinusitis supurativa amat jarang. Kalau
komplikasi ini terjadi, biasanya pada waktu akut exacerbasi dari sinusitis kronika
supurativa.
Cara penyebaran infeksi
a. Penyebaran langsung
1) Dimulai dengan osteitis pada kompakta (caries).
2) Osteomyelitis, pada tulang diploic.
3) Osteoporosis, polip ethmoidal dapat menyebabkan dehiscensi pada lamina
papyrecea atau pada dasar dari fossa cranii anterior.
4) Accidental atau surgical trauma, dengan melalui garis fraktur dari suatu sinus
yang sebelumnya sudah ada infeksi atau terjadi setelah trauma.
b. Penyebaran melalui vena dengan jalan:
1) Septic venous thrombosis, baik secara langsung atau secara retrograde.
2) Retrograde thrombosis dari vena-vena kecil dalam mukosa sinus, menyebar
ke vena-vena kecil dalam lapisan periostium dari durameter, sehingga terjadi
meningitis, thrombosis dari sinus intracranial dan encephalitis.
c. Penyebaran melalui aliran lymfe. Perivaskuler limfatik membawa infeksi melalui
foramina vaskuler, untuk membentuk subperiostal absces.
d. Penyebaran melalui spacia perineural dari n. olfaktorius ke rongga subarachnoid.
Jenis komplikasi yang dapat terjadi berupa:
a. Osteomyelitis. Keadaan ini dahulu sering terjadi akibat sinusitis frontalis, jarang
akibat dari sinusitis yang lain. Tetapi secara keseluruhan komplikasi ini sangat
jarang.
b. Komplikasi pada mata. Ditinjau dari sudut anatomi semua sinus paranasalis
berbatasan dengan mata. Malahan ada hanya dibatasi dengan tulang yang amat
tipis seperti lamina papiracea, dapat terjadi erosi akibat osteitis. Komplikasi
orbital juga jarang, tetapi pada anak-anak yang kita kenal sebagai orbital
cellulitis, dengan atau tanpa subperiostal absces.
Gejala-gejala orbital cellulitis
Nyeri pada mata, terutama pada waktu menggerakkan bola mata.
Chemosis, atau oedema dari conjunctiva sampai menutup kelopak mata.
Diplopia, akibat deri pergeseran letak dari bola mata. Pada fundus kopi terlihat
oedema dan dibatasi vena-vena dari retina.
Diagnose Banding
1) Dacrocystis
2) Thrombosis sinus cavernosus
3) Mucocele
4) Intra orbital kiste
5) Osteoma
6) Tumor-tumor maligna dari mata.
Pengobatan
Pada orbital cellulitis dengan pemberian antibiotika dosis tinggi, biasanya
cukup berhasil, dan kalau tidak berhasil biasanya telah terjadi subperiostal
absces.
Pada subperiostal absces diperlukan incisi melalui bagian dalam dari
palpebra superior, kemudian diadakan drainage.
Kalau absces ini berasal dari sinusitis frontalis akuta, maka baik sinus
maupun absces diadakan drainage dengan mengadakan incisi pada daerah
supraorbital.
Setelah keadaan lebih tenang dengan pemberian antibiotika dosis tinggi,
dilakukan radikal operasi pada sinus bersangkutan.
Prognosis
Pada umumnya sembuh sempurna, dengan tak ada gangguan fungsi pada
mata.
c. Komplikasi Endokranial. Komplikasi endokranial tidak akan dibicarakan secara
mendetail, karena nanti akan dibicarakan di bagian neurologi.
Dalam garis besar dapat dikatakan, bahwa komplikasi endokranial; akibat
sinusitis dapat berupa:
1) Meningitis, dengan atau tanpa extradural atau subdural absces.
2) Thrombosis dari sinus cavernosus atau dari sinus longitudinalis.
3) Enchephalitis atau absces cerebri.
Perlu dicatat, bahwa setiap sinusitis, ada kecenderungan memberikan
daerah komplikasi khusus pada otak. Misalnya sinusitis frontalis, berhubungan
dengan absces dari lobus frontalis, didahului dengan osteitis dari dinding
belakang sinus frontalis.
Sinusitis ethmoidalis, berhubungan dengan meningitis supurativa difusa,
dengan melalui perforasi dekat lamina cribrosa.
Sinusitis sphenoidalis, juga berhubungan dengan meningitis supurativa
difusa, thrombosis sinus cavernosus dan thrombosis dari sinus-sinus lain.
Sinusitis maxillaris jarang menyebabkan komplikasi intracranial. Kalau
hal ini terjadi dapat melalui vena yang berasal dari plexus pterygoideus.
d. Efek sekunder dari sinusitis supurativa
1) Pharyngitis, tonsilitis, otitis media, laryngotracheitis dan bronchitis terutama
pada anak-anak.
2) Bronchiectasis; hubungan bronchiectasis dan sinusitis belum begitu jelas,
tetapi dikatakan bahwa mungkin sinusitis kadang-kadang sebagai penyebab.
3) Asthma bronchiale, hubungannya dengan chronis infective allergic sinusitis,
pada keadaan ini suatu operasi radikal dari sinusitis dapat meringankan
asthma bronchiale.
4) Fokus infeksi, sinusitis kronika kadang-kadang berperanan sebagai fokus
infeksi dari penyakit-penyakit tertentu. Walaupun akhir-akhir ini hubungan
fokus infeksi dengan sinusitis agak diragukan, tetapi pada beberapa keadaan
seperti poly arthtritis, tendosynovitis ternyata ada perbaikan dengan
menghilangkan sinusitisnya.
TRAUMA HIDUNG
Dengan meningginya kecelakaan lalu lintas atau traffic accident, ditambah
dengan sifat khusus dari hidung yang merupakan bagian tubuh yang paling menonjol
serta tak ada bagian tubuh yang lain melindunginya, maka dalam setiap kecelakaan
lalu lintas dengan trauma capitis, kemungkinan besar disertai dengan trauma nasi.
Atau dapat dikatakan trauma nasi sering bersamaan dengan trauma muka (maxillo
facial trauma).
Gambaran Klinik
Trauma hidung dapat mengenai hidung, jaringan subcutis, mukosa yang
meliputi cavum nasi, kerangka tulang dan tulang rawan yang membentuk hidung itu
sendiri.
Trauma kulit, jaringan subcutis dan mukosa, dapat berupa contusio jaringan
atau tanpa hematoma, laserasi, abrasi, vulnus, corpus allienum yang tertinggal di
tempat trauma atau hilangnya bagian-bagian hidung tersebut.
Trauma kerangka tulang dan tulang rawan dapat dibagi atas:
a. Fraktura os nasalis
b. Trauma naso-orbital
Sedangkan menurut arah traumanya dapat dibagi pula atas:
a. Trauma lateral
b. Trauma frontal
Penggolongan ini sangat penting dalam menentukan sikap kita untuk
menanggulanginya.
Diagnosis
Penderita atau pengantar biasanya sudah memberikan penjelasan mengenai
apa yang telah terjadi. Pada waktu pemeriksaan penderita dalam keadaan sadar atau
setengah sadar atau dalam keadaan tak sadar atau coma (pada contussio cerebri).
Kadang-kadang masih ditemui darah yang mengalir dari hidung atau adanya
bekuan darah dalam cavum nasi. Hampir pada setiap trauma nasi terdapat
pembengkakan, oedema, tanpa atau disertai hematoma.
Penanggulangan
Dalam menghadapi kasus-kasus trauma nasi tujuan kita adalah untuk:
a. Life saving.
b. Mengembalikan fungsi normal serta mencegah terjadinya komplikasi.
c. Kosmetik.
Pertama-tama yang harus diperhatikan ialah jalan pernapasan, hidung dan
tenggorok dibebaskan dari bekuan darah atau corpus allienum yang menghalangi
jalan pernapasan.
Kalau terdapat obstruksi larynx dilakukan tracheotomi. Keadaan umum
penderita harus diawasi dengan saksama; kalau terdapat tanda-tanda shock, maka kita
segera berusaha mengatasinya. Kalau perdarahan masih ada, segeralah mencari
sumber perdarahan tersebut dan cobalah mengatasinya; perdarahan (lihat epistaxis).
Trauma terbuka kulit dan mukosa
Luka dibersihkan dan dilakukan “debridement”. Pada luka-luka yang kotor
diberi A.T.S. Kulit yang hilang dapat dicoba dengan jahitan, kalau tak mungkin dapat
dilakukan “skin graft”. Epistaxis dihentikan dengan pemasangan tampon.
Fraktura Kerangka Tulang Hidung
Prinsipnya tindakan reposisi dilakukan secepat mungkin, kalau keadaan
penderita memungkinkan. Waktu penderita tiba di rumah sakit biasanya sudah
oedema, hebat atau tidaknya oedema itu bergantung pada berat tidaknya trauma.
Oedema yang terjadi dapat menyukarkan palpasi sehingga sukar menentukan
dislokasi dan sukar menilai kedudukan tulang yang telah direposisi.
Demikian juga kalau diadakan fixasi pada hidung yang ada oedema, fixasi ini
akan jadi longgar setelah dua tiga hari karena oedemanya menurun. Karena itu cukup
bijaksana bila kita menunggu sampai oedema hilang, sehingga kita dapat membuat
diagnosa dengan tepat dan dapat menilai tindakan kita, apakah sudah mencapai
sasarannya serta dapat mengadakan fixasi dengan baik. Biasanya oedema tersebut
akan hilang pada hari keempat atau hari kelima.
Callus yang terbentuk pada tempat fraktur makin lama makin mengeras.
Callus yang mengeras tersebut akan menyukarkan kita melakukan reposisi; maka
sebaiknya reparasi dilakukan pada hari ke-5 – 7. Reposisi yang dilakukan setelah dua
minggu memberikan hasil yang kurang memuaskan, kecuali dilakukan open reposisi
atau pada fraktur lama sebaiknya dilakukan medial – lateral osteotomi. Setelah itu
fragmen-fragmen tulang disusun kembali.
Trauma lateral
Trauma ini memberikan gejala-gejala sebagai berikut:
a. Terjadi dislokasi ke satu sisi.
b. Pangkal hidung biasanya masih berada di garis tengah.
c. Deviasi septi ke satu sisi.
d. Nyeri waktu palpasi.
e. Kadang-kadang os nasalis mudah digerakkan dengan adanya krepitasi.
Trauma frontal
Gejala-gejalanya adalah:
a. Hidung terletak di garis tengah, tetapi lebih mendatar atau cekung.
b. Pada trauma yang hebat bagian-bagian tulang hidung terpisah satu sama lain,
serta hilangnya kesatuan dengan processus frontalis ossia maxillae, menyebabkan
pula hilangnya bentuk hidung itu sendiri.
c. Terdapat krepitasi serta os nasalis mudah digerakkan.
Trauma naso orbital
Trauma ini mengenai organ-organ intercanthus dengan tulang-tulang ethmoid
di bawahnya.
Gejala-gejalanya sebagai berikut:
a. Jarak kedua canthus medialis akan bertambah.
b. Terdapat krepitasi.
c. Pada trauma hebat terjadi “commuted fracture” yang mungkin menyebabkan
tersumbatnya duktus lakrimalis, sehingga penderita akan mengeluh
hyperlakrimasi, dan sering ditemukan gangguan pergerakan bola mata, diplopia
karena terlepasnya ligament canthus medialis.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik dilakukan dalam posisi lateral, occipitomental 30 –
60 derajat. Dari gambaran radiologik dapat ditentukan fraktur, kedudukan tulang,
tetapi tak dapat menentukan derajat dislokasi.
Pada trauma lateral tak banyak faedahnya, sedangkan pada trauma frontal
berguna bila terdapat oedema yang hebat, karena kita tak dapat melakukan palpasi
dengan baik.
Tindakan pada trauma lateral
Kedudukan os nasalis yang mengalami dislokasi, dapat kita reposisi dengan
respatorius, Whalsam forceps, sedangkan septum yang deviasi dapat diluruskan
dengan Ache’s forceps.
Tindakan pada trauma frontal
Walau tindakan reposisi dilakukan seperti yang telah diterangkan os nasalis
akan tetap miring ke satu sisi karena adanya dislokasi septum nasi. Oleh karena itu
sub mukosa reseksi harus dilakukan lebih dahulu.
Tindakan pada trauma naso-orbital
Untuk dapat menyusun lagi tulang-tulang yang membentuk pangkal hidung
tersebut dilakukan open reduction, serta dengan fixasi dengan lempeng logam.
Fixasi. Untuk mempertahankan posisi bentuk yang telah diperoleh dengan jalan
reposisi dan untuk menghindarkan dislokasi kembali karena kedudukannya masih
labil, maka diperlukan fixasi.
Fixasi ada dua macam yakni:
a. Fixasi dalam. Berupa tampon hidung yang dibuat dengan kain kasa yang diberi
boor zalf atau kemycetin zalf atau dengan solfratule. Tampon ini dipasang 2 x 24
jam, dan kalau perlu boleh dipasang tampon baru.
b. Fixasi luar. Dapat digunakan gips seperti plaster of paris atau metal plate, fixasi
ini kita pertahankan selama 10 – 12 hari.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah:
a. Cerebrospinal rhinorrhoe, akibat adanya fraktur pada dinding posterior sinus
frontalis atau pada lamina cribrosa, sehingga ada hubungan langsung dengan
dasar dari fossa cranii anterior.
b. Meningitis
c. Anosmia.
EPISTAXIS
Definisi
Epistaxis adalah perdarahan dari cavum nasi, baik yang ke luar dari nares anterior
atau nares posterior turun ke farynx dan dikeluarkan melalui mulut.
Etiologi
Epistaxis dapat ditimbulkan karena sebab-sebab lokal atau umum.
a. Sebab lokal:
1) Trauma, epistaxis dapat terjadi setelah suatu trauma ringan, misalnya karena
mengorek-ngorek hidung, atau akibat dari trauma berat, misalnya terpukul,
trauma kapitis karena sesuatu kecelakaan dan lain-lain.
2) Infeksi, misalnya diphteria hidung, sinusitis akuta, rhinitis atrofika.
3) Corpus allienum, misalnya terdapat lintah dalam cavum nasi.
4) Tumor-tumor, yang terkenal dalam angiofibroma nasopharynx,
haemangioma, tumor-tumor ganas baik dari dalam cavum nasi, sinus
paranasalis atau dari nasopharynx.
5) Perubahan tekanan yang tiba-tiba, misalnya waktu menyelam.
6) Idiopathic.
7) Septum deviasi.
b. Sebab-sebab umum:
1) Peninggian tekanan arteri, misalnya pada hypertensi yang disebabkan oleh
berbagai keadaan, seperti arteriosclerosis, nepheritis kronika, kehamilan pada
toxieosis gravidarum.
2) Peninggian tekanan vena, seperti pada decompensatio cordia, penyakit paru-
paru yang kronis dan pertusis.
3) Penyakit-penyakit darah, seperti leukemia, haemophilia, sickless-cells
anemia, defisiensi vitamin K dan C, thrombocytopenia purpura.
4) Infeksi akut, misalnya typhoid fever, influenzae dan morbilli.
5) Perubahan tekanan atmosfir yang tiba-tiba.
6) Gangguan hormonal.
Lokasi perdarahan/sumber perdarahan
Menurut sumber perdarahan epistaxis dibagi dalam anterior bleeding dan
posterior bleeding.
Anterior bleeding dapat berasal dari Plexus Kiesselbach (Little’s area) dan
dari a. Ethmoidalais anterior. Plexus Kiesselbach merupakan sumber perdarahan
yang paling sering, kira-kira 90% dari epistaxis bersumber dari tempat ini, terutama
pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti spontan (selflimiting) dan mudah diatasi.
Posterior bleeding dapat berasal dari a. sphenopalatina dan a. ethmoidalis
posterior, biasanya terjadi pada usia lanjut yang disertai dengan hypertensi,
arteriosclrerosis atau pada penyakit cardiovaskuler. Posterior bleeding biasanya tidak
berhenti spontan, perdarahan dapat hebat dan sumber perdarahan sukar dideteksi
secara langsung, sehingga penanggulangannya pun juga lebih sukar.
Penanggulangan
Prinsip penanggulangan epistaxis adalah pertama-tama menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaxis. Untuk
menghentikan perdarahan, suatu tindakan aktif perlu segera diambil, seperti
pemasangan tampon dan kaustik, lebih dapat dipertanggungjawabkan dari pemberian
obat-obat haemostatik sambil menunggu epistaxis berhenti.
Sebelum kita membahas tindakan penanggulangan epistaxis secara sistematis,
sebaiknya diketahui alat-alat apa yang diperlukan untuk menanggulanginya.
1. Lampu kepala
2. Spekulum hidung
3. Bayonet pinset
4. Alat pengisap (aspirator)
5. Penekan lidah
6. Kateter karet
7. Pelilit kapas (cotton applicator)
8. Lampu spiritus
9. Kapas, kain kasa
10. Tampon Bellocq.
11. Boorzalf atau Bipp (Bisthmus iodine parafin paste).
12. Xylocain 2% untuk topical anesthesi atau untuk spray.
13. Sol. Adrenalin 0,001.
14. Sol. Nitras argenti 20 – 30%.
Kalau penderita epistaxis datang, maka penderita harus diperiksa dalam
keadaan duduk, kecuali penderita sangat lemah atau dalam keadaan shock.
Sebelum kita mulai menanggulangi epistaxis sebaiknya si pemeriksa dan si
penderita dilindungi dengan pakaian khusus untuk menghindari dari percikan darah.
Tindakan pertama adalah membersihkan bekuan darah dari dalam cavum nasi
untuk mencari sumber perdarahan, kalau ada aspirator pergunakanlah alat aspirator
untuk membersihkan darah; kadang-kadang dengan membersihkan darah, perdarahan
berhenti spontan, karena terjadi reaksi dan kontraksi dari pembuluh darah.
Kalau tak ada aspirator dapat dipakai kapas yang telah dibasahi dengan
xylocain dan adrenalin, dimasukkan dalam hidung, sambil menunggu kurang lebih 5
menit setelah itu tampon dilepaskan dan dicari sumber perdarahan. Dengan cara ini
kita dapat menentukan apakah sumber perdarahan berasal dari depan atau dari
belakang.
Perdarahan anterior
Tindakan yang sederhana untuk mengatasi perdarahan dari depan ialah
dengan menekan ala nasi ke arah septum selama 5 – 10 menit, sambil menyuruh
penderita bernapas melalui mulut.
Kalau tindakan ini belum berhasil kita masukkan tampon kapas yang
sebelumnya telah dibasahi dengan xylocain dan ephedrin atau adrenalin ke dalam
hidung, ditunggu 5 menit kemudian tampon diangkat, tempat asal perdarahan di
kaustik dengan sol. nitras argenti 20 – 30% dapat juga dipakai larutan trichlor acetic
acid 50%, atau dengan electrocauter.
Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon, yaitu dengan boorzalf tampon atau Bipp tampon yang
dimasukkan melalui nares anterior. Tampon yang dipasang ini harus dapat menekan
tempat asal perdarahan. Tampon boorzalf dapat dipertahankan untuk 1 – 2 hari dan
Bipp tampon dapat dipertahankan lebih lama bila perlu.
Perdarahan posterior
Perdarahan posterior lebih sukar diatasi, hal ini disebabkan karena perdarahan
biasanya lebih banyak dan sukar terlihat sumber titik perdarahannya. Dalam praktek
kadang-kadang tidak mungkin untuk menentukan titik perdarahan tersebut. Maka
pada keadaan ini kita langsung memasang tampon pada cavum nasi yang berdarah,
tetapi sebelumnya harus diadakan lokal anesthesi dengan xylocain 2%.
Kalau dengan tindakan ini belum berhasil menghentikan perdarahan, maka kita
mencoba pemasangan ulangan tampon dengan cara yang lebih baik; dan kalau ini
pun belum berhasil, maka kita memasang tampon pada kedua hidung dengan teknik
yang sama. Bila belum juga berhasil, maka kita lakukan pemasangan tampon
menurut Bellocq (posterior nasal pack).
Pada prinsipnya pemasangan Bellocq tampon ini, kita menutup choanae atau
nares posterior dengan segumpal kain kasa yang telah dipulas dengan Bipp atau
boorzalf.
Teknik pemasangan Bellocq Tampon
Ambillah segumpal kain kasa yang telah dibalutkan sebesar kurang lebih
dengan garis tengah 2 – 2 ½ cm (sebesar lubang choanae). Pada gumpalan kain kasa
ini kita ikatkan dua utas tali yang sebaiknya terbuat dari kain, sedemikian rupa
sehingga pada permukaan lain dari gumpalan kain kasa tersebut terdapat dua ujung
tali yang bebas dan pada sisi lain terdapat satu ujung tali yang bebas pula. Kemudian
dengan kateter karet kita masukkan pada hidung yang berdarah, sehingga ujungnya
keluar ke oropharynx dan ditarik keluar melalui mulut.
Ujung kateter yang keluar dari mulut ini kita sambungkan dengan kedua ujung tali
yang bebas yang terikat pada gumpalan kain kasa tadi, setelah itu kita tarik kateter
yang keluar dari hidung sambil menuntun gumpalan kain kasa tersebut masuk ke
choanae dengan bantuan dorongan dari jari tangan kita sehingga terletak demikian
rupa menutup rapat lubang choanae. Setelah itu kita lanjutkan dengan pemasangan
tampon depan seperti telah dibicarakan sebelumnya.
Setelah pemasangan tampon depan tersusun dengan baik dari belakang
hidung sampai ke depan, pada nares anterior kita letakkan lagi segumpal kain kasa
kecil, dan kedua ujung tali yang bebas yang keluar pada nares anterior diikatkan pada
gumpalan kain kasa tersebut (lihat gambar).
Ujung tali satu lainnya yang keluar dari mulut difixasi pada sudut pipi.
Dengan teknik pemasangan tampon menurut Bellocq ini, cavum nasi dari belakang
sampai ke depan benar-benar padat dengan tampon, sehingga kalau teknik
pemasangan yang baik, perdarahan biasanya akan dapat diatasi.
Kalau dengan tindakan ini masih berdarah, maka tindakan akhir adalah
pengikatan arteri earotis externa, arteri maxillaris interna, atau arteri othmoidalis
anterior.
Di samping pemasangan tampon dengan kain kasa, ada pula yang memakai
“rubber pneumatic pack” untuk menghentikan perdarahan.
Beberapa penulis memakai obat-obatan secara lokal/topikal untuk
menghentikan perdarahan.
Darkstein (1971) memakai acidum aminocaproicum secara topikal spray dan
zat ini berfungsi menghambat fibrinolysis. Dapat juga dipakai zat-zat thrombin,
“oxycel”. Obat-obat haemostatik seperti vitamin K, anaroxyl, adona AC 17 dapat
diberikan sebagai penunjang di samping pengobatan lokal.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaxis sendiri, atau
sebagai akibat usaha dalam penanggulangan epistaxis. Sebagai akibat perdarahan
yang hebat dapat terjadi shock dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat
menimbulkan ischaemia cerebri, insufiensi koroner dan infark myocard, sehingga
dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian transfusi darah secepa-
cepatnya merupakan tindakan yang paling penting.
Pemasangan tampon yang lama dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan
bahkan septikemia; karena itu setiap pemasangan tampon sebaiknya diberikan
antibiotika.
Perlu juga diperhatikan pada pemasangan Bellocq tampon pada orang tua-tua
yang mempunyai penyakit cardiopulmonary yang kronis dapat menyebabkan
kematian mendadak, karena terjadi hypoxia atau tekanan O2 menurun dalam darah
dan meningginya tekanan CO2 dalam darah, sehingga terjadi ischaemia pada
myocard infark.
SEPTUM DEVIASI
Septum deviasi merupakan salah satu penyebab dari obstruksi nasi. Telah
dinyatakan sebelumnya dalam pembicaraan anatomi dari septum nasi, bahwa pada
seseorang dewasa jarang yang mempunyai septum yang benar-benar lurus. Biasanya
terdapat sedikit deviasi tetapi tidak memberikan keluhan, sehingga tidak memerlukan
koreksi. Hanya septum deviasi yang berat dengan keluhan obstruksi nasi, yang
memerlukan koreksi dengan jalan operasi.
Etiologi
Trauma, biasanya menyebabkan deviasi di bagian depan dari septum nasi,
yakni pada cartilago septi nasi, hal ini sering terjadi pada anak-anak akibat terjatuh,
yang menyebabkan dislokasi dari cartilago septi nasi dari dasarnya, yakni dari krista
maxillaris dan dari tulang vomer. Pada keadaan ini septum nasi dapat menonjol ke
salah satu sisi, sehingga cukup dapat memberikan keluhan obstruksi nasi.
Kesalahan perkembangan; dikatakan, bahwa pertumbuhan tulang-tulang
septum nasi terlalu cepat bila dibandingkan dengan kerangka tulang yang terletak di
sekitar hidung. Kelainan ini biasanya menyebabkan efek di bagian belakang dari
septum nasi, karena kecepatan pertumbuhan antara tulang palatum dan cranium tidak
sama.
Ada juga yang mengemukakan, bahwa kompresi pada hidung waktu anak
dilahirkan (termasuk trauma lahir), atau letak anak dalam kandungan mempunyai
pengaruh sebagai penyebab terjadinya septum deviasi.
Patologi
Deviasi bisa terjadi pada tulang rawan, tulang biasa atau pada kedua-duanya.
Bentuk deviasi yang hanya ke satu sisi, baik dalam bentuk spina atau krista septi, kita
sebut “simple deviasi”, sedangkan bentuk deviasi berganda pada kedua sisi kita sebut
“sigmoid” atau bentuk “S”.
Deviasi ini juga dapat dalam bentuk penebalan yang tak teratur, biasanya
sebagai akibat trauma, karena terjadi dislokasi atau fraktur, kemudian terbentuk
callus yang tebalnya tak teratur.
Gambaran Klinik
Obstruksi nasi merupakan keluhan utama. Deformasi hidung luar (pada
keadaan yang berat). Cephalgia atau “Pressure headaches”, yang mungkin
disebabkan adanya sentuhan antara septum (spina septi) dengan bagian dari dinding
lateral. Epistaxis, kadang-kadang terjadi akibat daruptur kapiller pada bagian tulang
yang menonjol.
Pengobatan
Pada keadaan yang ringan tidak perlu pengobatan, atau koreksi pada septum
nasi. Bila deviasi septi dengan keluhan terutama obstruksi nasi, maka tindakannya
adalah dengan jalan operasi yang kita kenal sebagai “submukous resection” (S.M.R.)
HEMATOMA SEPTI
Definisi
Hematoma septi adalah penggumpalan darah di bawah mukoperichondrium atau
mukoperiostium dari septum nasi.
Etiologi
Hampir selalu disebabkan oleh trauma dan dapat berupa:
a. Trauma langsung pada hidung, karena jatuh atau pukulan.
b. Suatu akibat operasi pada hidung misalnya operasi S.M.R.
c. Blood dyscrasias (jarang).
Gambaran Klinik
Obstruksi nasi biasanya bilateral dan obstruksi total. Pada septum terlihat
pembengkakan, dengan warna kemerah-merahan pada kedua sisi, palpasi terdapat
fluktuasi.
Komplikasi
Absces septi dapat mengakibatkan nekrosis pada tulang rawan dari septum
nasi, karena infeksi sekunder; pada akhirnya menyebabkan deformasi hidung.
Pengobatan
Aspirasi dengan jarum kadang-kadang cukup, bila hematomanya kecil, cara
aspirasi ini dapat diulangi. Insisi dan drainage dengan drain karet yang diambil dari
guntingan sarung tangan karet, berbentuk tube yang kecil. Tampon hidung, dapat
mencegah penggumpalan darah kembali. Pemberian antibiotika untuk mencegah
infeksi sekunder.
ABSCES SEPTI
Etiologi
Trauma, suatu absces biasanya akibat sekunder dari hematoma septi dengan
sekunder infeksi.
Spontan, kadang-kadang terjadi setelah serangan morbilli, atau scarlet fever,
dalam beberapa hal sebagai komplikasi dari furunkulosis dari vestibulum nasi.
Gambaran Klinik
Nyeri pada hidung, obstruksi nasi, sakit kepala, panas, pembengkakan dengan
warna kemerah-merahan yang symetris pada septum, terdapat fluktuasi.
Komplikasi
a. Deformasi hidung luar, akibat nekrosis pada tulang rawan.
b. Perforatio septi.
c. Meningitis dan thrombosis sinus cavernosus (jarang).
Pengobatan
Pengobatan harus segera diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
a. Insisi dan drainage seperti pada hematoma; teknik insisi ini harus diperhatikan,
bila kita mengadakan insisi kiri kanan yang penting garis insisi tidak boleh dalam
satu bidang horizontal, agar tidak terjadi perforasi.
b. Pemberian antibiotika dengan dosis tinggi.
c. Rhinoplasty untuk mengoreksi deformitas, hal ini dilakukan setelah keadaan
peradangan tenang.
PERFORATIO SEPTI
Etiologi
Trauma, karena suatu operasi S.M.R. terjadi perforasi pada
mukoperichondrium pada kedua sisi yang berlawanan.
Keadaan patologik
a. Hematoma atau absces septi dengan nekrose pada tulang rawan.
b. Malignant granuloma dan periarteritis nodosa (Wegeneror granulomatosis).
c. Syphilis, terjadi perforasi pada bagian tulang dari septum nasi (sekarang jarang).
d. Penyakit Hanzen.
e. Rhinolith, rhinitis caseosa.
f. Tumor-tumor ganas.
g. Indiopathic perforasi dapat ditemukan secara kebetulan tanpa adanya riwayat
trauma, atau penyakit-penyakit lainnya.
Gambaran Klinik
1. Terasa ada iritasi pada hidung
2. Wistling, biasanya terjadi pada perforasi kecil.
3. Epistaxis, dapat terjadi kalau terlepas crustae dimana pinggir perforasi ulcus
masih aktif.
4. Sakit dan foeter, pada rhinolith atau pada stadium aktif dari gumma.
5. Pada perforasi besar terhadap rhinolatia.
Lokalisasi perforasi
Syphilis terjadi pada bagian tulang dari septum nasi, sedangkan sebab
penyakit lainnya pada bagian tulang rawan dari septum nasi.
Pengobatan
Kalau perforasi kecil dan dalam keadaan tenang, tidak perlu pengobatan.
Pengobatan lainnya bergantung pada kausa, secara lokal cavum nasi dibersihkan
dengan crustae, jaringan granulasi dikaustik dengan Nitras argenti, tulang atau tulang
rawan yang nekrotis diexcisi, untuk mendapatkan pertumbuhan jaringan baru.
Penutupan perforasi dengan teknik sliding mucoperichondrial flaps dapat
dicoba pada perforasi yang tidak terlalu besar.
CORPUS ALLIENUM NASI
Pendahuluan
Benda asing dalam hidung sering ditemukan pada anak-anak di antara umur
3 – 5 tahun. Benda asing ini pada umumnya dimasukkan ke dalam hidung dengan
sengaja melalui nares anterior dan lebih sering ditemukan dalam hidung kanan,
karena si anak memasukkannya dengan tangan kanan.
Sifat benda asing
Menurut sifatnya benda asing ini kita bagi dalam dua jenis besar, yakni
benda-benda organik dan benda-benda in organik.
Benda organik seperti kacang tanah dan biji-bijian lainnya, dalam waktu yang
tidak lama terjadi reaksi peradangan dan terjadi penyumbatan dan rhinorrhoe.
Benda-benda inorganik misalnya bahan-bahan metal, tidak terjadi reaksi atau
amat lambat reaksi peradangannya.
Jenis benda apa yang paling sering ditemukan, amat bergantung dari
lingkungan si anak itu bermain. Sebagai contoh di Ujung Pandang ini, kalau anak itu
datang dari desa, yang sering kita temukan adalah biji buah asam, kacang tanah atau
daun-daunan. Sedangkan anak-anak di kota biasanya kita temukan bahan-bahan
plastik, karet, manik-manik, kacang tanah dan lain-lain.
Perlu juga dicatat, bahwa kadang-kadang corpus allienum nasi itu terdiri dari
benda hidup, misalnya kalau si anak suka mandi di sawah atau kali-kali kecil yang
terdapat lintah di dalamnya, maka kadang-kadang ditemukan lintah sebagai corpus
allienum nasi.
Jalan masuknya corpus allienum nasi
a. Melalui nares anterior, dan ini yang paling sering.
b. Melalui nares posterior, dapat terjadi kalau penderita muntah, sisa-sisa makanan
dapat masuk ke dalam hidung dan tertinggal di dalamnya; pada orang dewasa
biasanya dengan mudah dikeluarkan dengan jalan sisi, tetapi pada anak atau bayi
dapat tertinggal dalam hidung sebagai corpus allienum nasi.
Gambaran Klinik
Kasus I. Seorang ibu membawa seorang anak umur kurang lebih 3 tahun, dengan
menceritakan, bahwa belum berselang lama anaknya memasukkan sesuatu benda ke
dalam hidungnya.
Kasus II. Seorang ibu atau ayah menceritakan kepada dokter, bahwa sejak beberapa
hari ini hidung anaknya berbau busuk dan mengeluarkan ingus dari salah satu lobang
hidungnya, dan pada waktu tidur tampak napasnya sesak.
Pada kasus pertama sudah jelas diagnosa corpus allienum telah ditegakkan
oleh si ibu.
Pada kasus kedua, kita mendengar keluhan yang berupa: footer nasi,
rhinorrhoe dan obstruksi nasi unilateral pada seorang anak; ketiga gejala ini
merupakan gejala yang khusus untuk corpus allienum nasi.
Sudah selayaknya kita sebagai dokter mendengar keluhan demikian, maka
assosiasi pikiran kita pertama-tama kita tujukan ke arah diagnosa corpus allienum
nasi. Diagnosa pasti dan tentu harus diperkuat dengan pemeriksaan rhinoskopi
anterior.
Penanggulangan
Pada kasus-kasus corpus allienum nasi yang telah diketahui oleh orang tua si
anak, biasanya orang tua si anak agak gelisah dan segera membawa si anak ke
dokter. Bila kita menemukan kasus demikian, yang penting kita sebagai dokter tidak
perlu terburu-buru. Ingat, bahwa corpus allienum nasi bukan kasus akut.
Tindakan pertama adalah si anak harus dipegang/dipeluk baik-baik dalam
posisi duduk tegak, dan seorang pembantu memegang kepala si anak, agar jangan
bergerak. Setelah itu hidung dibuka dengan spekulum hidung; corpus allienum
biasanya terletak di dasar cavum nasi, dan dengan teknik yang tepat (diterangkan
dengan demonstrasi), corpus allienum itu mudah dikeluarkan. Sekali lagi ditekankan,
bahwa fiksasi anak penting sekali sebelum kita mencoba mengeluarkan corpus
allienum; sebab usaha pengaitan pertama dari corpus allienum itu amat menentukan.
Jadi harus diusahakan agar pengambilan pertama itu harus berhasil, karena pada
waktu itu hidung belum berdarah dan corpus allienum masih terlihat dengan jelas.
Kalau tindakan pertama tidak berhasil, biasanya dengan pengaitan tadi hidung
sudah berdarah, dan corpus allienum tidak terlihat lagi, sehingga lebih sukar
mengeluarkannya, terutama bagi yang belum berpengalaman.
RHINOLITH (RHINOLITHIASIS)
Definisi
Rhinolith adalah suatu pengerasan dalam hidung yang menyerupai batu atau
beton yang membungkus suatu corpus allienum (dexogen), bekuan darah, mukus
(endogen), yang terdiri dari garam-garam phospat, carbonat, calcium dan magnesium
yang biasanya tersusun dalam lapisan.
Sifat rhinolith
Bersifat rapuh atau keras dan kadang-kadang multiple, warnanya keabu-
abuan, coklat atau hitam dan terbuat dari garam-garam yang seperti diuraikan dalam
definisi di atas.
Gambaran Klinik
1. Rhinorrhoe unilateral, bersifat mucoid, mukopurulent dan foetor, kadang-kadang
sekret bercampur darah.
2. Obstruksi nasi.
3. Bersifat radio opaque, dan biasanya letaknya di dasar cavum nasi, kalau rhinolith
cukup besar, dapat menekan struktur di sekitarnya, sehingga menyebabkan
perforatio septi atau perforatio dari dasar cavum nasi.
Pengobatan
Rhinolith harus dikeluarkan melalui nares anterior dengan alat khusus, kalau
perlu dipecahkan terlebih dahulu dalam keping yang lebih kecil dan kalau jalan ini
tidak berhasil dapat dilakukan dengan jalan septum reseksi, atau dengan approach
rhinotomi lateral.
TUMOR GANAS SINUS MAXILLARIS
Pendahuluan
Tumor ganas sinus paranasalis adalah tumor ganas yang tumbuh pada mukosa
sinus paranasalis. Tumor dapat bersifat primer atau sekunder. Dari tumor ganas sinus
paranasalis, maka tumor ganas sinus maxillarislah yang paling sering ditemukan.
Tumor ganas ini dapat berasal dari epithel yang kita kenal sebagai carcinoma dan
yang berasal dari jaringan ikat, kita sebut sacroma.
Insidens
Tumor ganas sinus maxillaris termasuk relatif jarang, kurang lebih hanya 3%
dari seluruh keganasan pada traktus respiratorius dan traktus gastro intestinalis.
Tumor ganas sinus maxillaris primer adalah lebih banyak dibandingkan dengan
tumor ganas sinus paranasalis lain, yang umumnya bersifat sekunder.
Bennet melaporkan dari 60 kasus tumor ganas sinus paranasalis yang
diselidikinya dari tahun 1955 s/d 1968 ternyata sinus maxillaris terdiri dari 42 kasus,
berarti 70%.
Insidens menurut umur
Paling banyak ditemukan pada orang tua antara umur 50 – 59 tahun, kecuali
jenis sacroma sering ditemukan pada umur lebih muda.
Sex Insidens
Laki-laki lebih sering ditemukan daripada wanita, perbandingannya kurang
lebih 2 : 1.
Etiologi
Seperti halnya tumor ganas di bagian lain dari tubuh, penyebab tumor ganas
sinus maxillaris belum diketahui secara pasti. Beberapa sarjana melaporkan adanya
hubungan faktor-faktor carcinogenik seperti: bahan kontrast thoratrast, thorium;
timbulnya carcinoma rata-rata 12 – 15 tahun setelah instalasi bahan kontrast tersebut
ke dalam sinus. Pekerja-pekerja kayu (wood workers), pekerja-pekerja tambang
mungkin ada hubungan sebagai faktor carcinogenik.
Histo-Patologi
Yang paling sering ditemukan adalah jenis squamous cells Ca, atau
carcinoma planocellulare; lainnya adalah adeno arcinoma, malignant melanoma,
papilary Ca, cyllindroma, muko epidermoid carcinoma, transitional cells ca,
malignant neuro ephitelioma dan metastase carcinoma.
Sintomatologi
Tumor ganas sinus maxillaris pada tingkat permulaan jarang memberikan
gejala-gejala, atau dapat dikatakan gejala-gejalanya tidak jelas. Hal ini terutama
disebabkan karena antrum atau rongga sinus tertutup oleh tulang, kalau tumor ini
keluar dari dalam sinus barulah gejala tampak dari luar, pada saat ini berarti sudah
amat terlambat, sehubungan dengan diagnosa dini sukar ditemukan, maka prognosa
tidak memuaskan.
Untuk mempermudah mengingat gejala-gejala dari tumor ganas sinus
maxillaris, baiklah kita susun sebagai berikut:
a. Gejala dalam hidung, ialah obstruksi nasi yang progressif, rhinorrhoe dan
epistaxis, foeter nasi.
b. Gejala pada muka (fossa canina), yaitu parasthesia atau anasthesia pada pipi, bila
tumor mengenai dinding posterior dan superior dari antrum.
c. Pembengkakan dan rasa sakit yang persistent pada pipi.
d. Gejala dalam rongga mulut; rasa sakit atau parasthesia pada gigi yang bersifat
setempat atau radier, gigi goyah dan tanggal, terasa ada benjolan pada palatum,
kadang-kadang ada perforasi pada palatum, terakhir trismus, bila m. pterigoideus
internus diinfiltrasi oleh tumor.
e. Gejala-gejala pada mata: epiphora, proptosis, diplopia, ophtalmoplegia.
f. Gejala-gejala neurologis: sakit kepala atau neuralgia pada radio temporalis,
frontalis, malahan pada seluruh bagian dari kepala terasa sakit.
g. Gejala pada telinga: kalau terjadi penyebaran ke nasopharynx, dapat
menyebabkan oklusio tubae dengan segala akibatnya.
h. Gejala-gejala metastase: tumor ganas maxillaris relatif lambat terjadi metastase,
bila dibandingkan dengan tumor lain, misalnya tumor tonsil. Pada umumnya
regional metastase terjadi pada stadium T3 (sistem T.N.M.).
Terlihat pembesaran kelenjar regioner pada regio submandibularis, dan
cervikal. Distant metastase jarang terjadi, dapat melalui hematogen ke paru-paru,
tulang dan hepar (amat jarang).
Pemeriksaan Ro
Pemeriksaan radiologis penting untuk diagnosa dini, mungkin hanya
ditemukan secara kebetulan, adanya kekaburan dalam sinus, perubahan densitas
tulang, tanda-tanda destruksi tulang, dan adanya bayangan massa jaringan lunak.
Pemeriksaan Ro yang dianjurkan untuk tumor sinus maxillaris adalah:
a. Plain foto dari berbagai arah.
b. Kontras foto, untuk menentukan luas dan lokasi tumor.
c. Tomografi untuk menentukan lokasi lebih tepat.
Dalam membahas kasus-kasus tumor ganas, para ahli berusaha untuk
mendapatkan satu bahasa dalam menentukan staging dari tumor-tumor ganas, agar
tidak terdapat perbedaan dalam interpretasi, terutama dalam hubungannya dengan
tindakan therapi, dan evaluasi hasil dari suatu metode pengobatan. Untuk ini
International Union Against Cancer (I.U.A.C), berusaha menyusun suatu sistem,
yang dikenal sebagai T.N.M. system, dalam menentukan stadium dari sesuatu tumor
ganas.
Untuk tumor ganas sinus maxillaris, maka dipakai kriteria dari Sisson (1958),
walaupun kriteria dari Sisson ini masih ada kekurangannya, tetapi faedahnya lebih
banyak.
T = tumor, N = nudoli lymphatici, M = metastase
T1 = invasi tumor pada dinding anterior maxillae atau invasi pada dinding antero
medial dari palatum.
T2 = invasi tumor pada dinding lateral, otot bebas, atau pada dinding superior,
orbita bebas.
T3 = Invasi tumor pada n. pterygoideus, dan pada orbita, cellulae othmoidalis
anterior, tetapi tidak sampai pada lamina cribroformis; invasi sampai pada
kulit dinding depan.
T4 = Invasi pada lamina cribroformis, fossa pterigomaxillaris, ke kontra lateral dari
cavum nasi dan sinus maxillaris; dan ke sinus ethmoidalis posterior.
N0 = Tak ada pembesaran kelenjar regioner.
N1 = Teraba kelenjar leher, tetapi masih dapat digerakkan dari dasar.
N2 = Teraba kelenjar reginer, tetapi tidak dapat digerakkan dari dasarnya.
N3 = Pembesaran kelenjar kontralateral.
M0 = Tidak ada distant metastase
M1 = Terdapat distant metastase dengan menjelaskan dimana terjadinya distant
metastase.
Pemeriksaan P.A.
Pemeriksaan P.A. adalah vital dalam menentukan diagnosa pada setiap tumor.
Biopsi harus dilakukan pada setiap bagian tumor yang tampak, dan kalau perlu
diadakan antrostomi untuk mendapatkan jaringan tumor. Di samping itu dapat
dilakukan antral washing untuk pemeriksaan papaniculeau.
Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas:
a. Gambaran klinik; biasanya terlambat, karena gejala tidak khas, disangka hanya
suatu sinusitis, atau rhinitis chronika. Menurut para penyelidik, rata-rata 7 bulan
setelah timbulnya gejala-gejala permulaan diagnosa ditegakkan, ini berarti tumor
sudah berada dalam stadium yang lanjut.
b. Pemeriksaan transilluminasi, rhinoskopia anterior, antral washing.
c. Pemeriksaan radiologis.
d. Pemeriksaan P.A.
Diagnosa Banding
Tumor-tumor jinak dari sinus maxillaris atau dari cavum nasi, trigeminus neuralgia,
epulis dan aspergillosis dari sinus maxillaris, tumor-tumor dari gigi misalnya
adamantinoma.
Pengobatan
Pada dasarnya pengobatan terdiri dari:
a. Operasi
b. Irradiasi
c. Kombinasi a dan b (irradiasi pre-op, dan irradiasi post op.)
Operasi
Pada prinsipnya tindakan operasi dilaksanakan atas dasar stadium dari tumor.
Bila tumor “T1 dan T2” masih operabel; dilakukan maxillektomi radikal. Setelah itu
diikuti dengan radiotherapi dengan CO 60 atau dengan Cis 137 sebanyak kurang
lebih 6.000 rad, selama 6 minggu.
Penyinaran atau radiotherapi
Bila keadaan tumor pada stadium “T3” dapat dikatakan inoperabel, maka
dilakukan penyinaran dengan Co 60 atau dengan Cis 137 sebanyak 6.000 rad dalam
waktu 6 minggu kemudian diikuti evakuasi jaringan tumor dari dalam sinus, atau 6
minggu setelah penyinaran terakhir, dilakukan maxillektomi radikal dengan
exenterasi orbita.
Bila telah terdapat metastase pada kelenjar leher, di samping maxillektomi
radikal, juga dilakukan unilateral atau bilateral partial/radikal neck dissection.
Prognosa
Bila pengobatan dilakukan secara adekuat, maka menurut Gallagher dan
Boples dari 56 penderita yang mereka obati didapatkan “5 years survival rate”
berturut-turut T1 100%, T2 42%, T3 33%, dan T4 0%.
ANGIOFIBROMA NASOPHARYNX
Synonim: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
Pendahuluan
Angiofibroma nasopharynx merupakan tumor jinak yang jarang ditemukan.
Pertumbuhan tumor sifatnya ekspansif, tempat asal pertumbuhan tumor tersembunyi
dan dikitari oleh struktur-struktur vital, sehingga pertumbuhan tumor ini dapat
mengakibatkan komplikasi-komplikasi yang berat.
Ditinjau dari sudut pengobatannya, amat menarik dan merupakan tantangan
bagi para ahli THT, karena pendekatan operasi sukar, lagipula sifat dari tumor yang
dapat menimbulkan perdarahan yang amat hebat selama operasi, sehingga persediaan
darah sebelum operasi harus benar-benar tersedia.
Etiologi
Belum diketahui secara pasti, mungkin karena gangguan keseimbangan
hormon oestrogen dan androgen.
Sex and Age Insidens
Lebih banyak terdapat pada laki-laki pada masa pubertas, antara umur 10 – 25
tahun.
Patologi
Tumor ini terdiri dari dua komponen, yakni pembuluh darah dan jaringan
ikat. Susunan dinding pembuluh darah tidak mempunyai tuniknamuskularis, hanya
terdiri dari lapisan endothel, sehingga kalau terjadi ruptur dari pembuluh darah, sukar
terjadi retraksi dan kontraksi, akibatnya perdarahan sukar berhenti.
Makroskopis, tumor ini ada yang single dan ada yang multiple, bertangkai,
maupun tidak bertangkai yang mempunyai pangkal yang luas.
Pertumbuhan tumor bersifat ekspansif, dapat masuk ke dalam rongga-rongga
di sekitar nasopharynx, misalnya ke rongga hidung dan sinus paranasalis, ke fossa
pteryogoidea, ke endokranium; tumor ini sering melekat pada persambungan tulang,
sehingga tampaknya seolah-olah mempunyai asal pertumbuhan yang multiple.
Tumor ini juga tidak mempunyai kapsul yang sejati, tumbuh dengan dasar
yang lebar atau bertangkai dari lapisan fibreus fascia prevetebralis.
Gambaran Klinik
Bergantung dari besarnya dan lokalisasi tumor, dalam keadaan dini, dimana
tumor belum mencapai ukuran yang besar tidak memberikan keluhan-keluhan.
Sebagai keluhan yang pertama-tama dirasakan adalah obstruksi nasi, kemudian
epistaxis baik ringan maupun berat. Epistaxis ini dapat berulang-ulang, sehingga
memberikan gejala-gejala sekunder berupa anemia. Keluhan berikutnya akibat
obstruksi nasi dan infeksi sekunder, misalnya rhinolalia, anosmia, rhinorrhoe dengan
foeter nasi.
Bila tumor telah mencapai ukuran yang besar dapat mendesak tulang di
sekitarnya, sehingga terjadi deformasi tulang muka, yang kita kenal sebagai “frog
face”. Kadang-kadang juga terjadi ekspansi ke rongga tengkorak, sehingga terjadi
penekanan pada syaraf-syaraf kranium, menimbulkan gejala-gejala kelumpuhan
syaraf sesuai dengan syaraf mana yang terkena. Kalau tumor itu tumbuh ke arah
kaudal, dapat memberikan gangguan menelan dan gangguan pernapasan.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan atas dasar:
a. Gejala klinis, obstruksi nasi dan epistaxis yang berulang-ulang.
b. Pemeriksaan phisis, tampak anemis, deformasi hidung, kalau keadaan yang sudah
lanjut disertai dengan deformasi muka, tampak “frog face”.
c. Rhinoskopia, terlihat massa tumor memenuhi cavum nasi dan nasopharynx yang
berwarna keabu-abuan, pada permukaan ada bagian-bagian yang nekrosis, karena
ruptur pembuluh darah dan infeksi sekunder.
d. Radiologis, pada foto lateral maupun A.P., terlihat bayangan jaringan lunak yang
memenuhi nasopharynx, cavum nasi dan sinus paranasalis; gambaran radiologis
penting untuk menetapkan lokalisasi tumor dan luasnya ekspansi tumor tersebut.
Angiografy, dapat menunjukkan configurasi vaskuler, dan dapat
menunjukkan ukuran tumor dan luasnya ekspansi tumor, sehingga benar-benar
membantu dalam persiapan sebelum operasi, dalam hal pengikatan cabang arteri
dan menentukan approach dari suatu operasi.
e. Biopsi, tindakan ini harus hati-hati, karena dapat menimbulkan perdarahan yang
hebat, sehingga ada yang mengusulkan kalau gambaran klinis sudah jelas
sebaiknya tidak perlu diadakan biopsi preoperatif.
Pengobatan
Telah disinggung sebelumnya, bahwa pengobatan terhadap tumor ini,
menarik perhatian dan merupakan tantangan bagi para ahli THT, khususnya.
Telah banyak cara-cara yang ditemukan sebelumnya untuk menanggulangi
kasus-kasus angiofibroma nasopharynx, seperti: penyinaran, elektro coagulasi,
pengikatan, cryosurgery, semuanya untuk mengusahakan agar perdarahan selama
operasi dapat seminimal mungkin.
Sekarang cara yang dipilih adalah dengan cara operasi, dengan persiapan-
persiapan preoperatif seperti pemberian hormon oestrogen preoperatif (diethyl
stilbestrol) selama 1 – 2 bulan, dikatakan bahwa dengan pemberian hormon ini tumor
menjadi kecil dan vaskularisasi tumor menjadi kurang, tumor berubah menjadi lebih
fibrotis, sehingga dalam tindakan operasi selanjutnya perdarahan lebih kurang dan
tumor lebih mudah dicapai. Di samping pemberian hormon juga diberikan preparat
hemostatik seperti adona A.C.17 selama beberapa minggu sebelum operasi, dapat
mengurangi perdarahan selama operasi.
Operasi ini suatu transpalatinal operasi dapat dikombinasikan dengan lateral
rhinostomi dan seterusnya, bergantung lokalisasi tumor tersebut.
Pada operasi ini juga ada yang mengikat arteri carotis externa, atau arteri
maxillaris interna, sebagai usaha untuk mengurangi perdarahan.
Prognosa
Prognosa adalah baik:
a. Bila operasi dilakukan dengan persiapan baik dan tumor belum mengadakan
expansi yang terlalu luas.
b. Ada yang mengatakan, bahwa tumor ini dapat terjadi regresi spontan pada orang-
orang yang berumur di atas 25 tahun.
TUMOR GANAS NASOPHARYNX
Pendahuluan
Tumor ganas nasopharynx merupakan tumor ganas yang paling sering
ditemukan di bagian THT di Indonesia. Menurut frekuensinya menduduki salah satu
dari lima tumor ganas yang paling sering ditemukan di Indonesia di samping tumor-
tumor payudara, carcinoma portio uteri, tumor kelenjar limfe dan tumor kulit.
Tumor ganas nasopharynx menyerang orang-orang yang relatif muda usia,
dimana orang-orang ini sebenarnya masih mempunyai vitalitas yang tinggi, baik
untuk keluarganya maupun untuk masyarakat luas; sehingga penting bagi kita untuk
mengenal tanda-tanda tumor ganas nasopharynx secepat mungkin, agar tindakan
yang tepat dapat segera diberikan untuk mempertinggi survival rate.
Etiologi
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti, mungkin terdiri dari
multifaktor. Di antara teori-teori yang dikemukakan ialah faktor genetik, faktor
lingkungan dan terakhir ini, adalah faktor virus (Eustein Barr Virus) mungkin
memegang peranan yang penting dalam perkembangan tumor ganas nasopharynx.
Insidens
Menurut laporan para peneliti, bahwa tumor ganas nasopharynx paling
banyak terdapat pada orang Tionghoa dari propinsi Kanton. Hal ini dapat ditemukan
bukan hanya di antara Tiongkok sendiri, tetapi dapat ditemukan dari perantau-
perantau asal Kanton yang tersebar pada berbagai penjuru dunia. Seperti di
Hongkong dimana penduduknya kebanyakan berasal dari Kanton, tumor ganas
nasopharynx menduduki tempat nomor 2 setelah tumor ganas cervix uteri.
Di Indonesia dari data-data yang pernah dilaporkan, tumor ini selain banyak terdapat
dari kalangan orang-orang keturunan Tionghoa, juga terdapat dari kalangan
Indonesia asli.
Mengenai age insidens, paling banyak di antara umur 30 – 50 tahun, tetapi
kami pernah temukan pada umur yang lebih muda, yakni 8 tahun. Lelaki lebih sering
dari wanita. Kurang lebih 2 : 1.
Etiologi
Yang paling sering ditemukan adalah jenis epidermoidea. Berbagai centra
patologi, acap kali memakai terminologi yang berbeda, misalnya anaplastik
carcinoma, undifferentiated ca, Ca planocellulare, semuanya ini sebenarnya termasuk
ca epidemoid dalam berbagai diferensiasi.
Untuk tidak membingungkan, sebaiknya kita pakai klasifikasi menurut
system Broder’s sebagai berikut:
1. Ca nasopharynx grade I, ialah ca epidermoid yang disertai dengan pertandukan
(Broder grade I).
2. Ca nasopharynx grade II, ialah ca epidermoid yang tidak disertai pertandukan
(Broder grade II).
3. Ca nasopharync grade III, ialah transitional cells ca dengan diferensiasi yang
tidak sempurna (Broder grade III).
4. Ca nasopharynx grade IV, ialah lymphoepithelioma atau carcinoma anaplastik
sesuai dengan klasifikasi (Broder grade IV).
Lokalisasi pertumbuhan
Menurut Simos & Ariel tempat predileksi yang terbanyak adalah di fossa
Rossen Muller di dinding lateral nasopharynx. Tetapi menurut Yeh tumor ini secara
primer dapat terjadi dimana saja di Nasopharynx, tanpa predileksi khusus.
Menurut pertumbuhannya tumor ini dibagi dalam tiga bentuk:
a. Bentuk elceratif atau bertukak
b. Bentuk proliferatif atau exophytik
c. Bentuk infiltratif atau endophytik.
Gejala-gejala klinik
Pada stadium dini tidak memberikan gejala-gejala yang khas, gejala-
gejalanya bergantung pada lokalisasi tumor primer dan bergantung pada sifat
pertumbuhannya. Misalnya kalau pertumbuhan tumor dalam bentuk ulceratif, maka
gejala pertama yang timbul dapat berupa epistaxis. Kalau bentuk infiltratif
lokalisasinya di sekitar fossa Rossen Muller, gejala pertama mungkin tinnitus aurium
dan pendengaran berkurang.
Kalau bentuk infiltratif dan terjadi infiltrasi ke endokranium, mungkin gejala
pertama adalah sakit kepala atau gejala-gejala kelumpuhan syaraf-syaraf otak,
misalnya yang paling sering kelumpuhan n. abducent, yang menyebabkan keluhan
diplopia.
Bila terjadi penyebaran kelenjar-kelenjar lympheriogioner, maka gejala yang
timbul berupa pembesaran kelenjar servicalis, setinggi angulus mandibularis di
bawah belakang sterno-cleido-mastoideus. Kalau bentuk exophytik, letaknya di
sekitar ostium fossa, Rossen Muller, gejala-gejala yang timbul mungkin obstruksi
nasi, atau tinnitus aurium dan pendengaran berkurang. Dari uraian di atas, kita dapat
gambaran, bahwa gejala-gejala tumor ganas nasopharynx, dapat hanya terdiri dari
satu gejala tunggal saja (tidak khas), atau terdiri dari beberapa gejala sekaligus.
Dioagnosa
Sesuai dengan keadaan anatomis nasopharynx, merupakan daerah
tersembunyi dari luar, dan sesuai dengan sifat pertumbuhan tumor ganas
nasopharynx yang sebagian infiltratif atau sub epithelial, maka untuk mengadakan
deteksi tumor ganas nasopharynx kadang-kadang tidak begitu mudah. Beberapa
patokan dapat dipegang sebagai cara untuk mengingatkan kita harus waspada
kemungkinan adanya tumor ganas nasopharynx kepada seseorang penderita sebagai
berikut:
a. Seseorang dewasa setengah umur dengan keluhan epistaxis dan setelah diteliti
ternyata suatu posterior nasal bleeding.
b. Seseorang dewasa dengan oklusio tubae, tanpa didahului rhinitis yang tidak
sembuh-sembuh dengan pengobatan biasa.
c. Seseorang dengan tumor colli, yang letaknya setinggi angulus mandibulae, di
bawah dan belakang n. sternocleido-mastoideus.
d. Seseorang dengan cephalalgia (hemicephalalgia) yang persistent, tanpa ada
respons terhadap pengobatan.
e. Seseorang dengan keluhan diplopia.
f. Seseorang dengan obstruksi nasi yang progresif.
Kalau dua dari gejala-gejala tunggal di atas tadi ditemukan pada seseorang
penderita, kita sudah harus cenderung ke arah diagnosa tumor ganas nasopharynx.
Misalnya: Epistaxis dengan pendengaran berkurang hemolateral; hemichephalalgia
dengan epistaxis; tumor colli dengan pendengaran berkurang hemolateral; obstruksi
nasi dan diplopia atau tumor colli dengan epistaxis homolateral.
Kalau tiga dari gejala-gejala tunggal tadi ditemukan pada seseorang, maka
secara klinik kita dapat mendiagnosa tumor ganas nasopharynx, walaupun belum
diadakan biopsi. Misalnya: tumor colli, epistaxis, dan pendengaran berkurang;
hemichephalalgia, diplopia dan epistaxis; obstruksi nasi, tumor colli dan
hemichephalalgia; dan seterusnya.
Untuk melengkapi diagnosa, maka masih perlu pemeriksaan sebagai berikut:
a. Rhinoskopia posterior
b. Palpasi digital
c. Nasopharyngoskopi
d. Radiography; Nasophangogram dengan mempergunakan kontrast. Foto cranium,
untuk melihat destruksi tulang cranium.
e. Biopsi, multiple biopsi pada dinding nasopharynx.
Differensial diagnose
Tuberkulose kelenjar, tumor hidung sinus paranasalis, tumor-tumor otak,
cervikal syndroma, migraine dan trigenial neuralgia.
Pengobatan
Pengobatan terdiri dari:
a. Penyinaran
b. Sitostatika
Penyinaran
Penyinaran diberi dalam dua tahap. Tahap pertama diberikan 4.000 rad, kemudian
istirahat selama 3 – 4 minggu, setelah itu radiasi diteruskan pada tahap kedua dengan
dosis 2.000 rad. Bila dianggap perlu dapat ditambah kurang lebih 1.000 rad.
Sitostatika
Sitostatika diberikan sebagai tambahan setelah radiasi, telah dicoba dengan
mitomycin C dari Kyowa, suatu sitostatika yang berasal dari antibiotika yang
mengandung komponen-komponen azuridine, urethanedan quinone (MMC), MMC
diberikan setelah penyinaran tahap pertama selesai (4.000 rad). MMC ini diberikan
secara intravena sebanyak 2 mg tiap kali sampai dosis total 40 mg. Setelah itu radiasi
diteruskan dengan dosis 200 rad.
Prognosa
Menurut hasil penelitian Shi Mien Tu (1975), survival rate berturut-turut
sebagai berikut:
a. 3 tahun setinggi 47,7%
b. 5 tahun setinggi 35,5%
c. 7 tahun setinggi 26,9%
d. 10 tahun setinggi 10%.