76614908 30194802 kondisi geologi bayat kabupaten klaten

26
UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS BIOLOGI LAPORAN KULIAH LAPANGAN GEOLOGI Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten KELOMPOK II Martin Pardi Saputra (18) BI / 07760 Arif Habibal Umam (19) BI / 07761 Lila Imami (20) BI / 07762 Ahsani Rahmi Pramudita (22) BI / 07764 Niswati Zulfah (23) BI / 07765 Irma Nur Rahmawati (25) BI / 07767 Ali Budi Kusuma (28) BI / 07770 Yunriska Rona (29) BI / 07771 Dewi Eka Sari (32) BI / 07774 Siti Munziatun (33) BI / 07775 Andi Nurmala (36) BI / 07778 YOGYAKARTA Desember 2006

Upload: friska-ayunda

Post on 30-Nov-2015

248 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

lalallalalallalallalalall

TRANSCRIPT

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS BIOLOGI

LAPORAN KULIAH LAPANGAN GEOLOGI

Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten

KELOMPOK II

Martin Pardi Saputra (18) BI / 07760

Arif Habibal Umam (19) BI / 07761

Lila Imami (20) BI / 07762

Ahsani Rahmi Pramudita (22) BI / 07764

Niswati Zulfah (23) BI / 07765

Irma Nur Rahmawati (25) BI / 07767

Ali Budi Kusuma (28) BI / 07770

Yunriska Rona (29) BI / 07771

Dewi Eka Sari (32) BI / 07774

Siti Munziatun (33) BI / 07775

Andi Nurmala (36) BI / 07778

YOGYAKARTA

Desember 2006

BAB I

PENDAHULUAN

A. Maksud dan Tujuan

Kegiatan Kuliah Lapangan Geologi yang dilaksanakan pada Sabtu, 2

Desember 2006 ini bertujuan untuk mempelajari kondisi geologi dengan

berbagai fenomena yang ada pada setiap stasiun pengamatan di Kecamatan

Bayat, Kabupaten Klaten. Selain itu, kegiatan ini juga bertujuan untuk

menerapkan teori-teori yang telah didapat dari materi kuliah.

B. Lokasi

Kuliah Lapangan Geologi dilaksanakan di Kecamatan Bayat, Kabupaten

Klaten, Jawa Tengah, dengan 4 stasiun pengamatan yang terdiri atas :

1. Stasiun Pengamatan 1 : di Gunung Temas

2. Stasiun Pengamatan 2 : di Watuperahu

3. Stasiun Pengamatan 3 : di Gunung Joko Tuwo

4. Stasiun Pengamatan 4 : di dataran fluvial di sebelah timur Gunung Tugu

C. Metode

Dalam pembuatan peta tematik menggunakan metode :

1. Terestrial, yaitu pemetaan langsung di lapangan.

2. Konvensional

3. Pengambilan data sekunder

D. Peralatan yang Digunakan

1. Peralatan Kelompok

a. Peta Topografi

untuk menentukan lokasi dan untuk mengetahui keadaan topografi

lapangan.

b. Palu Geologi

terdiri dari dua mata palu, yakni :

1

2

1) bagian runcing yang berfungsi untuk pengambilan sampel

dengan cara mencongkel, dan

2) bagian tumpul yang berfungsi untuk pengambilan sampel

dengan cara memecah.

c. Kompas Geologi

untuk menentukan arah, besar sudut, kemiringan lereng, dan

menentukan posisi pada peta.

d. Lup

untuk membantu dalam mengamati batuan.

e. Larutan HCl (asam klorida) 0,1 N

untuk mengetahui kandungan mineral karbonat pada batuan yang

mengandung mineral tersebut.

f. Kamera Digital

untuk mendokumentasikan batuan dan keadaan geologi di lapangan.

g. Kantung Plastik

untuk menyimpan sampel batuan.

2. Peralatan Pribadi

a. Pensil dengan kekerasan sedang

b. Pensil berwarna

c. Ballpoint

d. Sepasang mistar segitiga

e. Busur derajat

f. Karet penghapus

g. Buku catatan lapangan atau kertas tulis dengan clipboard

E. Tahap Penelitian

1. Tahap Persiapan (6 Oktober 2006 – 1 Desember 2006)

2. Tahap Pelaksanaan (2 Desember 2006)

3. Tahap Pembuatan Laporan ( 3 Desember 2006 – 8 Januari 2007)

BAB II

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Stasiun Pengamatan I

Lokasi: Gunung Temas

I. Deskripsi Geomorfologi

Dilihat dari geomorfologinya, lokasi SP I merupakan topografi

perbukitan dengan morfogenesisnya berupa dataran karst. Dividenya

berbentuk rata/datar, dengan stadia daerah yang tergolong tua.

Gambar A.1.

Geomorfologi Stasiun Pengamatan I

Tanahnya diperkirakan merupakan tanah azonal, di mana horizon

profil tanahnya tidak berkembang karena waktu untuk berkembang

kurang disebabkan lereng yang curam.

Berdasarkan pengukuran dengan menggunakan kompas geologi

di dua lokasi pengukuran yang berbeda (masih di SP I), diperoleh

kemiringan lereng (slope) sebesar 36o–38o pada lokasi pertama dan

70o–85o pada lokasi kedua. Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa kemiringan lereng (slope) tergolong curam (steep) sampai

curam ekstrim (extremely steep).

Proses geologi yang mungkin terjadi adalah gempa bumi

(penyesaran) yang tergolong proses endogenik. Sedangkan proses

eksogenik yang mungkin terjadi antara lain pelapukan kimia berupa

3

4

spheroidal weathering dan pelapukan fisik, erosi berupa sheet erosion,

dan gerakan massa berupa sliding.

Pelapukan mekanik atau disintegrasi adalah proses hancurnya

batuan secara mekanik atau fisik. Proses ini disebabkan oleh pemuaian

dan penyusutan batuan karena perubahan suhu yang amat besar.

Perubahan suhu ini dapat pula menyebabkan air dalam pori-pori batuan

membeku menjadi es. Pemuaian volume air yang menjadi es ini akan

memecahkan batuan yang mengandungnya.

Pelapukan mekanik yang disebabkan oleh kegiatan organisme

seperti merambatnya akar tanaman, injakan binatang-binatang berat,

penggalian bahan galian oleh manusia, pembajakan sawah, dan

pembuatan jalan atau terowongan oleh manusia dapat disebut sebagai

pelapukan biomekanik atau biofisik.

Pelapukan kimia atau dekomposisi adalah proses hancurnya

batuan karena perubahan mineralnya. Pelaku pokoknya adalah air

hujan yang melarutkan gas CO2 dari atmosfer sehingga setibanya di

permukaan bumi sudah merupakan asam karbonat. Kekuatan asam ini

bertambah apabila mendapat penambahan CO2 lebih banyak dari

peruraian tanaman oleh bakteri.

Pada proses pelapukan kimia, terdapat adanya penambahan air

pada mineral-mineral baru, terutama mineral silikat berair dan mineral

oksida berair. Proses tersebut dinamakan hidrasi atau hidrolisis.

Menurut Thornbury, hidrasi adalah proses terserapnya molekul-

molekul air oleh suatu mineral sehingga terbentuk mineral baru yang

mengandung air kristal.

Hidrolisis adalah proses pembentukan ion hidroksil yang

kemudian berperan dalam reaksi kimia. Pada umumnya, hal tersebut

terjadi pada pelapukan feldspar dan mika.

Jenis pelapukan kimia yang lain adalah pencucian (leaching) dan

oksidasi.

5

Pencucian adalah proses berubah dan berpindahnya komponen-

komponen kimia suatu batuan atau mineral oleh larutan. Batu

gamping, dolomit, dan marmer mudah mengalami proses ini.

Oksidasi adalah proses penambahan valensi positif atau

pengurangan valensi negatif. Jadi, ada perpindahan satu elektron atau

lebih dari suatu ion atau atom. Oksidasi dapat pula diartikan sebagai

reaksi suatu zat dengan oksigen. Dalam hal ini, zat tersebut adalah

mineral dalam batuan.

Pelapukan kimia karena kegiatan organisme atau disebut juga

pelapukan biokimia disebabkan oleh asam humus yang terjadi dari

bahan organik humus yang hancur karena bakteri dan terlarutkan oleh

air.

Pelapukan kimia kerapkali terjadi bersamaan dengan pelapukan

fisik, seperti halnya yang mungkin terjadi di SP I ini. Misalnya pada

proses eksfoliasi dan pelapukan membola.

Eksfoliasi adalah pengelupasan batuan menjadi bentuk lempeng

lengkung karena bagian luar batuan lapuk oleh hidrasi atau hidrolisis

kemudian rontok oleh tenaga mekanik.

Pelapukan membola atau pelapukan sferoidal adalah pelapukan

yang disebabkan karena batuan mengalami retakan-retakan (biasanya

karena kekar), kemudian retakan itu terisi oleh air. Air ini

menyebabkan hidrasi atau hidrolisis pada bagian-bagian batuan di

sekitar retakan itu. Akibatnya, terjadilah inti-inti batuan segar

berbentuk membulat dikelilingi oleh tanah hasil pelapukannya.

II. Deskripsi Litologi

Batuan adalah massa materi mineral, baik yang kompak keras

maupun yang tidak, yang membentuk bagian kerak bumi. Batuan dapat

terdiri dari satu macam mineral atau kumpulan berbagai macam

mineral. (Whitten dan Brooks)

Ditinjau dari segi Teknik Sipil, batuan (rock) adalah sesuatu yang

keras, kompak, dan atau berat yang untuk memisahkannya, bila perlu

harus dengan ledakan. (Weasley)

Batuan adalah agregat mineral sejenis atau tidak sejenis, seperti

granit, marmer, serpih, atau tubuh materi-materi mineral yang tidak

dapat dipisah-pisahkan, seperti obsidian, atau materi organik padat

seperti batubara. (Bates dan Jackson)

Dalam sudut pandang geologi, batuan tidak harus keras dan

kompak. Lumpur, pasir, dan tanah liat (lempung) termasuk batuan.

Batuan (rocks) harus dibedakan dari batu (stone).

Batuan endapan (sedimen) terjadi dari pembatuan atau litifikasi

hancuran batuan lain atau litifikasi hasil reaksi kimia atau biokimia,

atau dari hasil aktivitas organisme tertentu.

Pembatuan atau litifikasi adalah proses terubahnya materi

pembentuk batuan yang lepas-lepas (unconsolidated rockforming

materials) menjadi batuan yang kompak keras (consolidated/coherent

rocks).

Luas singkapan batuan di SP I tergolong sedang. Jenis batuan

yang teramati antara lain batu pasir karbonatan berukuran besar,

sedang, dan kecil, serta batu gamping tuff. Warna batuan kekuning-

kuningan hingga kecoklat-coklatan dan tergolong segar.

Gambar A.2.

Wilayah berbatu di Stasiun Pengamatan I

Struktur batuan adalah kenampakan megaskopik massa batuan

atau satuan batuan yang umumnya terlihat paling baik di lapangan atau

berupa sayatan tipis batuan. Berdasarkan atas asal dan cara terjadinya,

maka tekstur batuan sedimen terbagi atas tekstur klastik dan

nonklastik. Disebut klastik, apabila batuan sedimen tersusun oleh hasil

hancuran (fragmen) batuan lain yang sudah ada. Disebut nonklastik,

6

7

apabila terbentuk oleh hasil reaksi kimia tertentu, baik yang bersifat

anorganik maupun biologik. Pada SP I, struktur batuan tergolong

berlapis (crossing of world: mengakar ke atas), yang merupakan ciri

khas batuan sedimen klastik.

Menurut Spencer, struktur berlapis disebabkan oleh adanya

perbedaan komposisi, warna, tekstur, porositas, dan struktur batuan

yang ada.

Sementara itu, tekstur batuan tergolong berbutir sedang (1/16–2)

mm. Dengan demikian, dapat disebut pula kalkorenit, yaitu batu

gamping klastik berukuran batu pasir. Tekstur batuan adalah sifat yang

menunjukkan derajat pengkristalan, bentuk, ukuran butir, dan pola

susunan butir mineral-mineral di dalam massa batuan.

Komposisi batuan diperkirakan terdiri atas kalsit (CaCO3), napal

(kalsit dan lempung), dan batu pasir. Tebal lapisan batuan tergolong

tebal hingga sangat tebal, sedangkan tebal tanah tergolong sedang (50–

100 cm).

III. Deskripsi Struktur Geologi

a) Kekar

Kekar merupakan salah satu bentuk proses orogenesis,

yaitu proses terangkat dan terlipatnya jalur kerak bumi oleh

tenaga endogenik sehingga terjadi struktur antiklin dan sinklin.

Proses ini dapat terjadi di daerah yang relatif sempit. Kekar

(joint) adalah bagian permukaan atau bidang yang memisahkan

batuan, dan sepanjang bidang tersebut belum terjadi pergeseran.

Di samping merupakan bidang datar, kekar dapat pula

merupakan bidang lengkung.

Jenis kekar yang teramati adalah kekar diagonal

(oblique/diagonal joints), di mana arah jurus bidang kekar

terletak antara jurus dan arah dip batuan yang bersangkutan.

Jurus merupakan garis potong antara garis bidang horizontal

dengan bidang lapisan.

8

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di tiga lokasi

yang berbeda (masih di SP I), jarak antar kekar adalah 30 cm

pada pengukuran pertama, 33 cm pada pengukuran kedua, dan 35

cm pada pengukuran ketiga. Diperoleh rata-rata jarak antar kekar

sebesar 33 cm, sehingga kerapatan kekar tergolong sedang (10

cm–1 m).

Sementara itu, panjang dan lebar kekar berturut-turut

adalah 33 cm dan 25 cm.

b) Lipatan

Lipatan (fold) merupakan salah satu hasil proses orogenesis

yang terjadi karena batuan mengalami gaya kompresi.

Jenis lipatan yang teramati adalah monoklin. Berdasarkan

hasil pengukuran dengan menggunakan kompas geologi, jurus

dan kemiringan bidang lapisan batuan adalah E 160o / 19o W, di

mana 160o menyatakan strike dan 19o menyatakan dip. Strike

atau jurus lapisan batuan merupakan garis potong antara bidang

horizontal dengan bidang lapisan batuan. Sedangkan dip atau

kemiringan lapisan batuan merupakan sudut antara bidang

lapisan batuan dan bidang horizontal.

IV. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Bentuk lahan di SP I berupa permukiman dan perbukitan,

dengan sumber daya potensial berupa mineral dan batuan yang

dapat diolah dan dimanfaatkan lebih lanjut menjadi bahan

tambang yang bernilai ekonomis.

b) Bencana geologi

Bencana-bencana geologi yang harus diwaspadai dapat

terjadi di SP I antara lain berupa erosi, gerakan massa dalam

bentuk sliding, dan tanah longsor. Berbagai kubangan yang

terdapat di lokasi tersebut juga berpotensi menimbulkan wabah

penyakit malaria. Selain itu, terdapat rumah yang terletak di atas

batuan, sehingga sangat membahayakan jika terjadi longsor.

Gambar A.3.

Rumah di atas batuan

Erosi adalah proses berpindahnya materi penyusun

permukaan bumi (tanah dan batuan) karena terangkut oleh air,

angin, atau es yang mengalir atau bergerak di permukaan bumi.

Air yang mengalir di permukaan bumi dapat dibagi menjadi

overland flow dan stream flow.

Overland flow mengalir sebagai massa air yang luas dan

relatif tipis sebagai lembaran air atau melalui alur-alur yang

saling berhubungan. Proses erosinya disebut erosi lembaran

(sheet erosion), seperti yang mungkin terjadi pada SP I ini.

Sementara itu, gerakan massa adalah proses berpindahnya

tanah atau batuan disebabkan oleh gaya gravitasi bumi. Pada SP I

ini, gerakan massa yang mungkin terjadi adalah debris slide dan

rock slide (geseran bahan rombakan dan geseran batuan), yaitu

gerakan massa batuan atau bahan rombakan yang menggeser

sepanjang bidang rata yang miring, misalnya sepanjang

permukaan bidang lapisan batuan.

V. Lain-lain

Lahan digunakan sebagai permukiman dan tempat bercocok

tanam. Vegetasi yang tampak di SP I antara lain jati, semak, pepaya,

dan pisang dengan kerapatan vegetasi tergolong sedang. Ketebalan

tanah termasuk sedang, yaitu sekitar 80–90 cm.

9

Gambar A.4

Bentuk lahan yang digunakan untuk permukiman

Gambar A.5.

Berbagai vegetasi di Stasiun Pengamatan I

Selain itu, terdapat pula lahan tidak bervegetasi, tentunya di

wilayah berbatu.

B. Stasiun Pengamatan IIA

Lokasi: Watuperahu (antara Gunung Semangu dan Gunung Pendul)

I. Deskripsi Geomorfologi

Berdasarkan geomorfologinya, SP IIA merupakan topografi

perbukitan dengan morfogenesis dataran aluvial berupa hasil aluvium

yang baru diendapkan, dengan ciri-ciri tidak adanya horizon tanah dan

tidak ada/sedikitnya perubahan batuan induk. Wilayahnya tergolong

lembah, dengan kedalaman lembah ravine (>300 cm). Bentuk

dividenya rata/mendatar dengan stadia lembah maupun stadia daerah

yang tergolong tua.

10

Gambar B.1.

Geomorfologi Stasiun Pengamatan IIA

Di SP IIA, dilakukan pengukuran kemiringan lereng (slope)

dengan menggunakan kompas geologi sebanyak dua kali di dua lokasi

berbeda (masih di SP IIA), dengan sistem bidik mata dan sistem bidik

pohon. Pada pengukuran pertama, diperoleh 13o untuk kemiringan

mata dan 15o untuk kemiringan lereng. Sedangkan pada pengukuran

kedua, diperoleh 20o untuk kemiringan mata dan 21o untuk kemiringan

lereng. Dengan demikian, kemiringan lereng (slope) tergolong curam

sedang (moderately steep) hingga curam (steep).

Proses geologi yang mungkin terjadi di SP IIA tergolong proses

eksogenik, antara lain berupa pelapukan fisik dan kimia (berupa

spheroidal weathering), erosi dalam bentuk lateral erosion, dan

gerakan massa berupa subsidence atau amblesan, yaitu gerakan massa

tanah atau batuan yang relatif vertikal secara perlahan-lahan.

II. Deskripsi Litologi

Berdasarkan hasil pengamatan, luas singkapan batuan di SP IIA

tergolong sedang. Beberapa jenis batuan yang teramati antara lain batu

gamping Nummulithes yang terdapat pada lepasan-lepasan dan hanya

sebagian yang mengandung lensa, batu pasir karbonatan yang terdapat

pada singkapan, dan batu kuarsa pada lepasan.

Warna batuan umumnya kehitam-hitaman. Beberapa batuan

dalam kondisi segar, tetapi beberapa batuan lain ditemukan dalam

kondisi yang lapuk hingga agak lapuk. Struktur batuan adalah struktur

berfosil mengandung nummulithes (fosil yang ada di laut). Struktur

11

berfosil umumnya terjadi bila terdapat banyak fosil sebagai penyusun

utama batuan. Materi penyusun batuan diperkirakan terdiri atas kalsit

(CaCO3), napal (kalsit dan lempung), dan batu pasir.

Gambar B.2.

Batu gamping Nummulithes

Lapisan batuan tergolong sedang dengan tingkat pelapukan yang

lapuk. Sementara itu, tebal tanah antara 100–150 cm, sehingga

termasuk tebal.

Berdasarkan tingkat kekerasan batuan, batu kuarsa dan batu

gamping Nummulithes tergolong keras karena tergores oleh pisau baja.

Sedangkan batu pasir karbonatan tergolong sangat lunak karena dapat

tergores oleh kuku jari.

III. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Bentuk lahan SP IIA berupa perkebunan dan tegalan,

dengan sumber daya geologi potensial berupa mineral dan

batuan.

b) Bencana geologi

Bentuk bencana geologi yang harus diwaspadai dapat

terjadi di SP IIA antara lain berupa erosi dan retakan-retakan.

12

Gambar B.3.

Retakan pada tanah

IV. Lain-lain

Sebagian besar lahan dimanfaatkan untuk permukiman berupa

desa dan tempat bercocok tanam. Lahan yang ada memang cukup baik

digunakan sebagai ladang, tegalan, dan perkebunan. Beberapa vegetasi

yang teramati antara lain rumput-rumputan, jati, singkong, dan pisang.

Selain itu, terdapat lahan tidak bervegetasi di wilayah berbatu.

C. Stasiun Pengamatan IIB

Lokasi: Antara Gunung Semangu dan Gunung Pendul

I. Deskripsi Geomorfologi

Berdasarkan geomorfologinya, SP IIB merupakan topografi

perbukitan dengan morfogenesis berupa dataran aluvial. Wilayahnya

tergolong lembah dengan kedalaman >300 cm, sehingga tergolong

ravine. Bentuk dividenya rata/mendatar dengan stadia lembah maupun

stadia daerah yang tergolong tua.

Gambar C.1

Geomorfologi Stasiun Pengamatan IIB

13

14

Di SP IIB, dilakukan pengukuran kemiringan lereng (slope)

dengan menggunakan kompas geologi sebanyak dua kali di dua lokasi

berbeda (masih di SP IIB), dengan sistem bidik mata dan sistem bidik

pohon. Pada pengukuran pertama, diperoleh 13o untuk kemiringan

mata dan 15o untuk kemiringan lereng. Sedangkan pada pengukuran

kedua, diperoleh 20o untuk kemiringan mata dan 25o untuk kemiringan

lereng. Dengan demikian, kemiringan lereng (slope) tergolong curam

sedang (moderately steep) hingga curam (steep).

Proses geologi yang mungkin terjadi di SP IIB tergolong proses

eksogenik, antara lain berupa pelapukan fisik dan kimia (berupa

spheroidal weathering), erosi dalam bentuk lateral erosion, dan

gerakan massa berupa sliding.

II. Deskripsi Litologi

Batuan metamorf adalah batuan yang telah berubah karena

bertambahnya tekanan dan temperatur. (Katili & Marks)

Batuan metamorf adalah batuan yang mempunyai sifat-sifat

nyata yang dihasilkan oleh proses metamorfisme. Perubahan dalam

batuan metamorf adalah kristalisasi baru. (Grout)

Batuan metamorf adalah batuan yang telah mengalami perubahan

mineralogik dan struktur oleh metamorfisme dan terjadi langsung dari

fase padat tanpa melalui fase cair. (Turner)

Luas singkapan batuan di SP IIB tergolong sedang dengan jenis

batuan yang teramati adalah schist (berupa singkapan). Dideskripsikan

berupa schist karena mineralnya tampak lebih rapat. Warna batuan

kecoklatan hingga kemerah-merahan.

Gambar C.2.

Schist pada Stasiun Pengamatan IIB

Struktur batuan adalah kataklastik, di mana batuan terdiri atas

bahan yang sama dan merupakan hancuran akibat metamorfisme

kataklastik. Metamorfisme kataklastik atau dikenal juga dengan

metamorfisme dinamik atau dislokasi atau kinematik terjadi pada zona

sesar (zona sempit/patahan) yang mempunyai tekanan 2000-10000 bar

dan temperatur 100oC-300oC.

Tekstur batuan tergolong kristoblastik-lepidoblastik, di mana

mineral-mineral yang sejajar dan terarah merupakan mineral-mineral

pipih (tabular). Sedangkan komposisi batuan diperkirakan terdiri atas

mika, kuarts, piroksen, feldspar, dan amfibol.

Tebal lapisan tergolong tebal hingga sangat tebal, dan batuan

tampak segar (tidak lapuk). Sementara itu, tebal tanah termasuk

sedang, yaitu antara 50–100 cm.

III. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Bentuk lahan berupa perkebunan.

b) Bencana geologi

Beberapa bentuk bencana geologi yang mungkin terjadi di

SP IIB antara lain gerakan massa berupa sliding, erosi, dan

retakan-retakan akibat kondisi lingkungan yang sangat lapuk.

IV. Lain-lain

Lahan yang terdapat di SP IIB digunakan sebagai permukiman

berupa pedesaan dan tempat bercocok tanam dalam bentuk tegalan,

15

ladang, dan kebun. Beberapa jenis vegetasi yang teramati antara lain

mangga, jati, bambu, kelapa, rumput, dan pisang.

Selain itu, terdapat pula lahan tidak bervegetasi di wilayah

berbatu.

D. Stasiun Pengamatan IIC

Lokasi: Antara Gunung Semangu dan Gunung Pendul

I. Deskripsi Geomorfologi

Berdasarkan geomorfologinya, SP IIC merupakan topografi

perbukitan dengan morfogenesis berupa dataran aluvial. Wilayahnya

tergolong lembah dengan kedalaman >300 cm, sehingga tergolong

ravine. Bentuk dividenya rata/mendatar dengan stadia lembah maupun

stadia daerah yang tergolong tua.

Gambar D.1.

Geomorfologi Stasiun Pengamatan IIC

Proses geologi yang mungkin terjadi di SP IIC tergolong proses

eksogenik, antara lain berupa pelapukan fisik dan kimia serta erosi

dalam bentuk lateral erosion.

II. Deskripsi Litologi

Luas singkapan batuan tergolong sedang dengan jenis batuan

yang teramati adalah diorit yang menurut klasifikasi Williams

tergolong batuan beku asam menengah. Batuan beku asam menengah

umumnya memiliki kadar silika 52–66% dengan color-indices (indeks

warna) <40. Batuan beku itu sendiri adalah batuan yang terbentuk

langsung dari pembekuan magma.

16

17

Warna batuan adalah abu-abu dan abu-abu gelap hingga kehitam-

hitaman.

Struktur batuan saling mengunci/bersentuhan, masif, dan pejal,

serta tidak ada lubang atau amygdule (mineral sekunder pengisi lubang

atau rongga. Ini merupakan struktur khas dari batuan beku dalam.

Tekstur batuan yang ditemukan antara lain equigranular phaneritic, di

mana ukuran butirnya relatif sama dan jenis mineral dapat dikenali

dengan mata telanjang, atau porphiritik–phanerik

(phaneroporphyritic), di mana terdapat ground-mass (massa dasar)

berupa kristal yang berukuran lebih kecil dan terdapat kristal sulung

(phenocryst) yang berukuran lebih besar, serta keduanya dapat dikenali

dengan mata telanjang.

Derajat pengkristalannya tergolong hipokristalin (kristal dan

gelas volkanik), dengan bentuk kristal subhedral berukuran sedang,

dengan batas kristal ada yang baik dan ada yang buruk, atau dikenal

pula dengan sebutan hypidiomorphic.

Materi penyusun batuan diperkirakan berupa alkali feldspar.

Tebal lapisan tergolong sedang / agak tebal, dengan tingkat pelapukan

batuan adalah agak lapuk, sedangkan tebal tanah tergolong agak tebal,

yaitu antara 30–50 cm.

III. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Bentuk lahan SP IIC berupa tegalan, ladang, dan

perkebunan.

b) Bencana geologi

Beberapa bencana geologi yang mungkin terjadi antara lain

erosi, gerakan massa berupa sliding, dan retakan-retakan.

IV. Lain-lain

Penggunaan lahan yang teramati berupa permukiman dalam

bentuk desa serta tempat bercocok tanam berupa tegalan, ladang, dan

perkebunan. Beberapa vegetasi yang tampak antara lain mangga,

rumput-rumputan, kelapa, dan ketela.

Gambar D.2.

Salah satu bentuk vegetasi di SP IIC

Selain itu, terdapat pula lahan tidak bervegetasi di wilayah

berbatu.

E. Stasiun Pengamatan IIIA

Lokasi: Bukit Joko Tuo (sebelah kiri)

I. Deskripsi Geomorfologi

Berdasarkan hasil pengamatan, morfografi SP IIIA merupakan

topografi perbukitan berupa lereng pejal. Wilayah ini tergolong stadia

daerah tua.

Gambar E.1.

Geomorfologi Stasiun Pengamatan IIIA

Proses geologi yang mungkin terjadi di wilayah ini antara lain

proses endogenik berupa gempa bumi atau penyesaran dan proses-

proses eksogenik, yaitu pelapukan fisik, erosi berupa lateral erosion,

dan gerakan massa jenis falling dan sliding.

II. Deskripsi Litologi

18

Luas singkapan batuan tergolong luas dengan jenis batuan yang

teramati antara lain batu gamping Nummulithes, marmer, dan schist

klorit pada singkapan. Warna batuan adalah hijau dan keputih-putihan.

Gambar E.2.

Morfologi batuan di Stasiun Pengamatan IIIA

Struktur batuan antara lain nonfoliasi, di mana tidak ada

penjajaran mineral, dan hornfelsik yang terdiri atas mineral bertekstur

equigranular dan merupakan hasil rekristalisasi akibat metamorfisme

termal, serta tidak ada lineasi.

Tekstur batuan tergolong kristoblastik. Komposisi batuan

diperkirakan terdiri atas mineral-mineral karbonatan, kalsit, kuarts,

piroksen, dan mika.

Tebal lapisan batuan tergolong tebal hingga sangat tebal, tingkat

pelapukan tergolong agak lapuk, sedangkan tebal tanah tergolong tipis,

yaitu antara 0–50 cm.

III. Deskripsi Struktur Geologi

a) Kekar

Jenis kekar yang teramati berupa kekar diagonal, dengan

kerapatan tergolong rapat, yaitu antara 1–10 cm.

b) Sesar

Terdapat tanda sesar berupa garis atau geseran.

IV. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Schist dan lempung bernilai ekonomis, sebab dapat

digunakan untuk membuat celengan dan keramik.

b) Bencana geologi

19

Beberapa bencana geologi yang mungkin terjadi antara lain

gerakan massa dalam bentuk falling dan sliding serta erosi.

V. Lain-lain

Penggunaan lahan yang teramati berupa perkebunan. Beberapa

vegetasi yang terdapat di SP IIIA antara lain jati, jarak, dan rumput-

rumputan.

Selain itu, terdapat pula lahan tidak bervegetasi di wilayah

berbatu.

F. Stasiun Pengamatan IIIB

Lokasi: Bukit Joko Tuo

I. Deskripsi Geomorfologi

Berdasarkan hasil pengamatan, morfografi SP IIIB merupakan

topografi perbukitan. Wilayah ini tergolong stadia daerah tua.

Gambar F.1.

Geomorfologi Stasiun Pengamatan IIIB

Proses geologi yang mungkin terjadi di wilayah ini antara lain

proses endogenik berupa gempa bumi atau penyesaran dan proses-

proses eksogenik, yaitu pelapukan fisik, erosi berupa lateral erosion,

dan gerakan massa jenis falling dan sliding.

II. Deskripsi Litologi

Luas singkapan batuan tergolong luas, dengan jenis batuan yang

teramati antara lain schist merah dan marmer. Warna batuan adalah

merah hingga kecoklat-coklatan.

20

Struktur batuan berupa foliasi, di mana ada penjejeran mineral,

serta foliasi kistosit dengan tekstur batuan granoblastik atau granulose

atau equigranular, di mana butir-butir mineralnya berukuran seragam.

Sementara itu, komposisi batuan diperkirakan terdiri atas mineral-

mineral karbonatan, kalsit (CaCO3), kuarts, mika, dan feldspar.

Tebal lapisan batuan tergolong tebal, dengan tingkat pelapukan

agak lapuk, dan tebal tanah yang tergolong tipis, yaitu antara 0–50 cm.

III. Deskripsi Struktur Geologi

Kekar yang teramati di SP IIIB tergolong memiliki kerapatan

sedang, yaitu antara 15–25 cm.

IV. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Schist bernilai ekonomis, sebab dapat digunakan untuk

membuat celengan dan keramik.

b) Bencana geologi

Bencana geologi yang mungkin terjadi adalah erosi dan

gerakan massa berupa rock fall (jatuhan batuan) dan debris flow

(jatuhan bahan rombakan), yaitu gerakan massa batuan atau

bahan rombakan yang jatuh bebas karena adanya tebing terjal

menggantung (hanging cliff), berupa gerakan yang cepat.

V. Lain-lain

Sebagian besar lahan yang ada digunakan untuk perkebunan.

Berbagai jenis vegetasi yang ditemukan antara lain jati, jarak, dan jenis

rumput-rumputan.

Gambar F.2.

Vegetasi di Stasiun Pengamatan IIIB

21

Terdapat pula lahan tidak bervegetasi di wilayah berbatu.

G. Stasiun Pengamatan IV

Lokasi: Dataran fluvial di sebelah timur Gunung Tugu

I. Deskripsi Geomorfologi

Berdasarkan hasil pengamatan, morfografi SP IV merupakan

topografi dataran dengan morfogenesis berupa dataran aluvial.

Wilayah ini tergolong stadia daerah tua.

Gambar G.1.

Geomorfologi Stasiun Pengamatan IV

Proses geologi yang mungkin terjadi di wilayah ini antara lain

proses eksogenik berupa pelapukan fisik dan erosi berupa sheet

erosion.

II. Deskripsi Litologi

Jenis batuan yang teramati adalah batu pasir dengan warna

keabu-abuan sampai kehitam-hitaman. Struktur batuan tergolong

berlapis dengan tekstur berbutir sedang, yaitu berukuran antara 1/16–2

cm.

Tebal lapisan batuan tergolong tipis dengan tingkat pelapukan

agak lapuk, dan tebal tanah yang tergolong tebal.

III. Geologi Lingkungan

a) Sumber daya geologi

Bentuk lahan yang teramati antara lain berupa pesawahan,

tegalan, dan ladang.

22

b) Bencana geologi

Bencana geologi yang mungkin terjadi di SP IV adalah

erosi.

IV. Lain-lain

Sebagian besar lahan digunakan sebagai permukiman berupa

desa dan tempat bercocok tanam dalam bentuk sawah, tegalan, atau

ladang. Berbagai vegetasi yang dapat dijumpai antara lain ketela, padi,

dan jati.

V. Hasil Pembidikan

Gunung Jabalkat: N 120o E dan S 300o W

Gunung Cakaran: N 108o E dan S 280o W

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lokasi pengamatan berada

di sekitar titik 117 dalam peta.

Gambar G.2.

Gunung Jabalkat tampak dari Stasiun Pengamatan IV

Gambar G.3

Gunung Cakaran tampak dari Stasiun Pengamatan IV

23

24

BAB III

KESIMPULAN

Pada kuliah lapangan geologi, kami mengunjungi beberapa stasiun

pengamatan:

1. Stasiun pengamatan I yang berlokasi di Gunung Temas

2. Stasiun pengamatan II A yang berlokasi di Watu Perahu antara Gunung

Semangu dan Gunung Pendul (Eosin)

Stasiun pengamatan II B yang berlokasi di Watu Perahu antara Gunung

Semangu dan Gunung Pendul (Metamorf)

Stasiun pengamatan II C yang berlokasi di Wukal Gamping antara Gunung

Semangu dan Gunung Pendul (Batuan Beku)

3. Stasiun pengamatan III A yang berlokasi di Bukit Joko Tuo (Kiri)

Stasiun pengamatan III B yang berlokasi di Bukit Joko Tuo (Kanan)

4. Stasiun pengamatan IV yang berlokasi di dataran fluvial di sebelah timur

Gunung Tugu

Dari hasil pengamatan dapat ditarik beberapa kesimpulan. Ternyata di

Gunung Temas banyak dijumpai batu pasir karbonatan dan batu gamping tuff

yang berwarna kekuning-kuningan sampai kecoklat-coklatan. Sementara itu di

daerah Watu Perahu khususnya di SP IIA jenis batuannya adalah nummulithes,

batu pasir karbonatan dan batu kuarsa. Berbeda halnya di SP IIB, jenis batuannya

adalah batuan schist (singkapan). Dan pada SP IIC banyak ditemui jenis batuan

Diorit yang merupakan batuan beku asam menengah yang berwarna kehitam-

hitaman. Selanjutnya jenis batuan yang kami dapatkan pada SP IIIA terdiri atas

gamping nummulithes, marmer, schist clorit dan SP IIIB berturut-turut adalah red

schist dan marmer. Akhirnya di SP IV jenis batuan yang kami dapatkan adalah

batu pasir.

25

DAFTAR PUSTAKA

Billings, M.P. 1954. Structural Geology. Tokyo: Charles E. Tuttle Company.

Katili, J.A. dan P. Marks. 1963. Geologi. Bandung: Kilat Madju.

Soetoto, Ir., S.U. Diktat Kuliah Geologi. 1995. Yogyakarta: Fakultas Geologi

Universitas Gadjah Mada.

http://gc.lib.itb.ac.id

http://www.freelists.org

http://www.indocaver.org