70863874 chapter-ii

60
13 BAB 2 STUDI PUSTAKA 2.1. Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik Teori yang membahas perihal pergerakan benua diajukan pada awal abad dua puluh. Menurut Kramer (1996), Wagener (1915) misalnya, yakin bahwa bumi dua ratus juta tahun yang lalu hanya terdiri dari satu benua yang disebut dengan Pangaea. Dia mengatakan bahwa Pangaea pecah menjadi kepingan-kepingan dan bergerak secara lambat sekali membentuk format benua dan pulau seperti sekarang ini. Teori tentang pergerakan benua tidak mendapat banyak perhatian sampai dengan sekitar tahun 1960, saat jaringan peralatan seismograf dunia mampu menentukan lokasi gempa secara akurat, dan mengkonfirmasikan bahwa deformasi jangka panjang terkonsentrasi relatif di sekitar zona antara blok-blok kerak bumi. Dalam waktu sepuluh tahun berikutnya, teori pergerakan benua sudah dapat lebih diterima secara meluas dan diakui sebagai kemajuan terbesar dalam ilmu pengetahuan tentang bumi. Menurut Gubbins (1990), kondisi geologi lantai samudera masih relatif sederhana dan berusia muda, yaitu hanya sekitar 5% dari usia bumi, dimana beberapa studi yang cukup detail memberikan dukungan bukti kuat terhadap sejarah pergerakan benua seperti yang diasumsikan pada teori pergerakan benua. Universitas Sumatera Utara

Upload: hamdi-muhammad

Post on 29-Jul-2015

335 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

13

BAB 2

STUDI PUSTAKA

2.1. Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik

Teori yang membahas perihal pergerakan benua diajukan pada awal abad dua

puluh. Menurut Kramer (1996), Wagener (1915) misalnya, yakin bahwa bumi dua

ratus juta tahun yang lalu hanya terdiri dari satu benua yang disebut dengan Pangaea.

Dia mengatakan bahwa Pangaea pecah menjadi kepingan-kepingan dan bergerak

secara lambat sekali membentuk format benua dan pulau seperti sekarang ini. Teori

tentang pergerakan benua tidak mendapat banyak perhatian sampai dengan sekitar

tahun 1960, saat jaringan peralatan seismograf dunia mampu menentukan lokasi

gempa secara akurat, dan mengkonfirmasikan bahwa deformasi jangka panjang

terkonsentrasi relatif di sekitar zona antara blok-blok kerak bumi. Dalam waktu

sepuluh tahun berikutnya, teori pergerakan benua sudah dapat lebih diterima secara

meluas dan diakui sebagai kemajuan terbesar dalam ilmu pengetahuan tentang bumi.

Menurut Gubbins (1990), kondisi geologi lantai samudera masih relatif sederhana

dan berusia muda, yaitu hanya sekitar 5% dari usia bumi, dimana beberapa studi

yang cukup detail memberikan dukungan bukti kuat terhadap sejarah pergerakan

benua seperti yang diasumsikan pada teori pergerakan benua.

Universitas Sumatera Utara

14

Teori orisinil pergerakan benua memberikan gambaran benua yang sangat

besar mendesak melalui lautan dan melintasi lantai samudera. Diketahui bahwa lantai

samudera terlampau kokoh untuk dapat mengijinkan pergerakan, dan teori ini semula

ditolak oleh para ilmuwan. Dari latar belakang inilah sesungguhnya teori lempeng

tektonik mulai berkembang. Hipotesa dasar dari lempeng tektonik adalah bahwa

permukaan bumi terdiri dari sejumlah blok utuh yang besar disebut lempeng, dan

lempeng-lempeng ini bergerak saling bersenggolan satu dengan lainnya. Kulit bumi

dibagi atas enam lempeng yang seukuran benua (Afrika, Amerika, Antartika,

Australia, Eurasia, dan Pasifik) serta terdiri atas empat belas lempeng sub-benua

(Caribean, Cocos, Nazca, Phillipine, dan lain-lain) seperti pada Gambar 2.1.

Lempeng yang lebih kecil, disebut lempeng mikro, juga sangat banyak bertebaran di

sekitar lempeng yang lebih besar. Deformasi antara lempeng-lempeng tersebut

terjadi hanya pada area di sekitar tepian atau batasnya. Deformasi dari lempeng ini

dapat terjadi secara lambat dan terus-menerus (a seismic deformation) atau dapat

pula terjadi secara tidak teratur dalam bentuk gempa bumi (seismic deformation).

Apabila deformasi terjadi terutama pada batas-batas antara lempeng, dapat dipastikan

bahwa lokasi-lokasi gempa terkonsentrasi di sekitar batas lempeng.

Teori lempeng tektonik merupakan suatu teori kinematik yang menjelaskan

mengenai pergerakan gempa tanpa membahas penyebab dari pergerakan itu. Sesuatu

seharusnya menjadi penyebab pergerakan tersebut untuk menggerakkan massa yang

sangat besar dengan tenaga yang sangat besar pula.

Universitas Sumatera Utara

15

Tand

a Pa

nah

Men

unju

kkan

Ara

h da

ri Pe

rger

akan

Lem

peng

.

Gam

bar 2

.1

Lem

peng

Tek

toni

k U

tam

a, B

ubun

gan

Teng

ah L

auta

n da

n Tr

ansf

orm

asi P

atah

an d

ari B

umi (

Kra

mer

, 199

6)

PHIL

LIPI

NE

PLAT

E

SouthEa

stIn

dian

rise

EUR

ASI

APL

ATE

AU

STR

ALI

APL

ATE

J a v a t r en

ch

Aleu

tian

tren

ch

Juan

De

Fuca

Plat

e

Mar

iana

str

ench

Japa

ntr

enchKur

litr

ench M

acqu

arid

ge

Mex

ico

Tren

ch

Coc

osPl

ate

PAC

IFIC

PLAT

E

AN

TAR

CTI

CPL

ATE

Pacif

ic-An

tarti

crid

ge

Ker

mad

ec-T

onga

Tren

ch

rieEastPacificris

e

Naz

caPl

ate

Chill

eris

e

Peri uh -Clletrench

NO

RTH

AM

ERIC

APL

ATE

SOU

THA

MER

ICA

PLAT

E

CA

RIB

BEA

NPL

ATE

Mid-A

tlant

ic

ridge

Reykjanes ridge

AN

TAR

CTI

CPL

ATE

AFR

ICA

PLAT

E

EUR

ASI

APL

ATE

Atla

ntic-

Ind

g

iad

nrie

Carlsbergridge

Subd

uctio

nzo

neSt

rike-

slip

(tran

sfor

m)f

aults

Unc

erta

inpl

ate

boun

dary

Rid

geax

is

Universitas Sumatera Utara

16

Penjelasan yang paling dapat diterima secara meluas tentang sumber pergerakan

lempeng bersandar kepada hukum keseimbangan termomekanika material bumi.

Lapis teratas dari kulit bumi bersentuhan dengan kerak bumi yang relatif dingin,

sementara lapis terbawah bersentuhan dengan lapis luar inti panas.

Jelas peningkatan temperatur pasti terjadi pada lapisan. Variasi kepadatan

lapisan dan temperatur menghasilkan situasi tidak stabil pada ketebalan material

(yang lebih dingin) di atas material lebih tipis (yang lebih panas) dibawahnya.

Akhirnya, material tebal yang lebih dingin mulai tenggelam akibat gravitasi dan

pemanasan, dan material yang lebih tipis mulai naik. Material yang tenggelam

tersebut berangsur-angsur dipanaskan dan menjadi lebih tipis, sehingga akhirnya

bergerak menyamping dan dapat naik lagi yang kemudian sebagai material

didinginkan yang akan tenggelam lagi. Proses ini biasa disebut sebagai konveksi.

Arus konveksi pada batuan setengah lebur pada lapisan mengakibatkan

tegangan geser di bawah lempeng, yang menggeser lempeng tersebut ke arah yang

bervariasi melalui permukaan bumi. Fenomena lain, seperti tarikan bubungan atau

tarikan irisan dapat juga menjadi penyebab pergerakan lempeng.

Karakteristik batas lempeng juga mempengaruhi sifat dasar dari gempa yang

terjadi sepanjang batas lempeng tersebut. Pada beberapa area tertentu, lempeng

bergerak menjauh satu dengan lainnya pada batas lempeng, yang dikenal sebagai

bubungan melebar atau celah melebar. Batuan lebur dari lapisan dasar muncul ke

permukaan dimana akan mendingin dan menjadi bahagian lempeng yang

Universitas Sumatera Utara

17

merenggang. Dengan demikian, lempeng ”mengembang” pada bubungan yang

melebar. Tingkat pelebaran berkisar dari 2 hingga 18 cm/tahun; tingkat tertinggi

ditemukan pada Lautan Pasifik, dan terendah ditemukan sepanjang Bubungan Mid-

Atlantic. Telah diestimasi bahwa kerak bumi yang baru di lautan terbentuk pada

tingkatan sekitar 3,1 km2/tahun di seluruh dunia. Kerak bumi yang masih berusia

muda ini, disebut basal baru, terbentuk tipis di sekitar bubungan yang melebar. Hal

ini juga dapat terbentuk oleh pergerakan ke atas magma yang relatif lambat, atau

dapat pula oleh semburan yang cepat saat terjadinya aktivitas kegempaan.

Lapisan material mendingin setelah mencapai permukaan pada celah lempeng

yang melebar. Lapisan akan menjadi bersifat magnet sejalan dengan pendinginannya

dengan kutub tergantung arah bidang magnet bumi saat itu. Bidang magnet bumi

tidak konstan terhadap skala waktu geologi, karena berfluktuasi dan berbalik pada

interval waktu yang tidak tentu, sehingga penyimpangan sifat magnetik yang tidak

biasa pada bebatuan terbentuk pada pinggiran bubungan yang melebar.

Karena ukuran bumi tetap konstan, maka pembentukan material lempeng baru

pada bubungan melebar harus seimbang dengan berkurangnya material lempeng di

lokasi yang lain. Hal ini terjadi pada batas zona subduksi dimana pergerakan relatif

dari dua lempeng saling menghunjam satu dengan lainnya. Saat bersentuhan, salah

satu lempeng menyusup ke bawah lempeng yang satunya.

Batas zona subduksi sering ditemukan di sekitar pinggiran benua. Karena kerak

lautan biasanya dingin dan tebal, maka zona subduksi akan tenggelam akibat berat

Universitas Sumatera Utara

18

sendirinya di bawah kerak benua yang lebih ringan. Saat tingkat konvergensi

lempeng tinggi, semacam saluran terbentuk pada batas antara lempeng. Sehingga

batas zona subduksi biasa juga disebut sebagai batas saluran. Saat tingkat

konvergensinya pelan, endapan terakumulasi pada suatu pertambahan irisan di atas

perpotongan dari pengkerakan batuan, sehingga membuat saluran tertutup.

Apabila lempeng mengakibatkan benua bertubrukan, maka dapat menjadi

formasi jajaran pegunungan. Himalaya terbentuk dari dua pengkerakan lapisan yang

dibentuk ketika lempeng Australia bertubrukan dengan lempeng Eurasia. Tubrukan

antar benua dari lempeng Afrika dan lempeng Eropa mengakibatkan berkurangnya

luas Laut Mediterania dan pada akhirnya nanti akan menjadi jajaran pegunungan.

Transformasi patahan terjadi ketika lempeng bergerak dan berselisihan satu

dengan yang lainnya tanpa menciptakan kerak bumi yang baru atau mengurangi

kerak bumi yang sudah ada. Transformasi patahan ini biasanya ditemukan pada

kelengkungan bubungan melebar, dan diidentifikasi berdasarkan penyimpangan sifat

magnetiknya dan torehan yang terdapat pada permukaan kerak bumi. Kelengkungan

penyimpangan magnetik memperlihatkan zona retakan yang dapat terjadi sepanjang

ribuan kilometer.

Lempeng tektonik memberikan suatu kerangka yang sangat berguna untuk

dapat menjelaskan pergerakan dari permukaan bumi dan melokaliser gempa dan

vulkanik. Lempeng tektonik juga menggambarkan pembentukan dari material kerak

bumi yang baru serta pengurangan material kerak bumi yang lama sesuai dengan

Universitas Sumatera Utara

19

ketiga jenis pergerakan lempeng seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Batas transformasipatahan

Batasbubungan melebar

Batasbubunganmelebar

Batas zona

subduksi

Zona retakan

Lempengsubduksi

Batuan pendorong

lapisan

Lem

peng

sub

duks

i

Gambar 2.2 Interrelasi di Antara Bubungan Melebar, Zona Subduksi dan Batas Patahan Lempeng, (Kramer, 1996)

2.2. Patahan

Panjang patahan bervariasi dari beberapa meter saja hingga ratusan kilometer

dan kedalamannya dapat bertambah dari permukaan tanah hingga belasan kilometer.

Pemunculannya bisa nyata, seperti yang direfleksikan pada topografi permukaan,

atau dapat pula sangat sulit untuk dideteksi. Pemunculan patahan bisa jadi bukan

merupakan ekspektasi dari suatu gempa, karena pergerakan yang terjadi merupakan

gerakan seismic (kontinyu namun lambat), atau bisa juga karena patahan tersebut

tidak aktif. Kurangnya pengamatan pada patahan permukaan, di sisi lain, bukan

menyatakan secara langsung bahwa gempa tidak dapat terjadi, karena kenyataannya,

rekahan patahan tidak mencapai permukaan bumi pada kebanyakan gempa yang

terjadi.

Universitas Sumatera Utara

20

2.2.1. Bentuk geometri dari patahan

Standar notasi geologi digunakan untuk menentukan orientasi suatu bidang

patahan. Apabila permukaan suatu patahan besar adalah tak-tentu, maka biasanya

diperkirakan sebagai suatu bidang datar. Orientasi bidang patahan ditentukan

berdasarkan tabrakan (strike) dan hunjamannya (dip). Tabrakan patahan merupakan

garis horizontal yang dihasilkan dari perpotongan bidang patahan dengan bidang

horizontal (Gambar 2.3). Azimuth tabrakan digunakan untuk menentukan orientasi

patahan yang mengacu terhadap arah utara. Kemiringan ke bawah dari bidang

patahan ditentukan oleh sudut hunjaman, yang mana merupakan sudut antara bidang

patahan dengan bidang horizontal dihitung tegak lurus terhadap tabrakan. Patahan

vertikal memiliki sudut hunjuman sebesar 900

Bidang Patahan

BidangHorizontal

Vektor Tabrakan

VektorHunjaman

SudutHunjaman

Gambar 2.3 Notasi Geometri Untuk Pendeskripsian dari Orientasi Bidang Patahan, (Kramer, 1996)

2.2.2. Pergerakan menghunjam (dip slip movement)

Pergerakan patahan yang terjadi terutama dalam arah menghunjam (atau tegak

lurus terhadap tabrakan) dinyatakan sebagai pergerakan dip slip. Pematahan normal

Universitas Sumatera Utara

21

terjadi ketika komponen horizontal pergerakan hunjaman adalah suatu perpanjangan

ketika material di atas patahan bergerak miring relatif menuju material di bawahnya.

Bidang Patahan

Gambar 2.4 Pematahan Normal, (Kramer, 1996)

Pematahan normal biasanya terjadi bersamaan dengan tegangan regang pada kerak

bumi dan menghasilkan suatu pemanjangan pada kerak bumi. Saat komponen

horizontal gerakan menghunjam dimampatkan dan material patahan bergerak relatif

ke atas menuju material dibawah patahan, maka pematahan terbalik yang terjadi.

Pergerakan patahan terbalik seperti pada Gambar 2.5 menghasilkan suatu

pemendekan kerak bumi secara horizontal. Suatu jenis khusus dari patahan terbalik

merupakan suatu patahan tusukan, yang terjadi ketika bidang patahan membentuk

sudut hunjaman yang kecil.

Gambar 2.5 Pematahan Terbalik, (Kramer, 1996)

Universitas Sumatera Utara

22

2.2.3. Pergerakan tabrakan (strike-slip movement)

Pergerakan tabrakan pada patahan biasanya hampir mendekati vertikal dan

dapat menghasilkan gerakan besar. Patahan strike-slip lebih jauh diketegorikan oleh

arah relatif pergerakan dari material di setiap sisi patahan.

Gambar 2.6 Pematahan Strike-Slip Lateral Arah ke Kiri, (Kramer, 1996)

Suatu pengamat berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah kanan akan

melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kanan pula, dan demikian

juga sebaliknya suatu pengamat yang berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah

kiri akan melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kiri.

2.3. Gelombang Gempa

Pelepasan energi tegangan mendadak oleh rekahan pada tepian lempeng

tektonik merupakan penyebab utama dari aktifitas gempa, yang menyebabkan

menjalarnya getaran pada bahagian bumi dalam bentuk gelombang.

Gelombang gempa terdiri atas gelombang badan (body waves) dan gelombang

permukaan (surface waves). Gelombang badan merambat di dalam bumi serta terdiri

Universitas Sumatera Utara

23

atas dua tipe, yaitu : p-waves dan s-waves. Tipe p-waves dikenal juga dengan sebutan

gelombang utama, atau gelombang kompresi, atau gelombang membujur yang akan

menekan dan merapatkan material padat maupun material cair yang dilaluinya

(Gambar 2.7 a). Sementara s-waves disebut juga sebagai gelombang sekunder,

gelombang geser, atau gelombang memotong yang menyebabkan deformasi geser

pada material yang dilaluinya.

Panjang Gelombang

Panjang Gelombang

Kompresi

Media Undisturbed

Media Undisturbed

Perapatan

(a)

(b)

Gambar 2.7 Deformasi yang Diakibatkan Oleh Gelombang Badan; (a) P-Waves dan (b) SV-Waves, (Kramer, 1996)

Pergerakan setiap partikel yang merambat searah dengan s-waves dapat pula

dibagi atas dua komponen, yaitu vertikal terhadap bidang pergerakan (SV-waves,

Gambar 2.7 b) dan horizontal terhadap bidang gerakan (SH-waves). Sementara

kecepatan rambat gelombang badan bervariasi berdasarkan kekakuan dari material

yang dilaluinya. Karena material geologi akan lebih kaku dalam kondisi terkompresi,

maka p-waves merambat lebih cepat dari pada tipe gelombang lainnya.

Universitas Sumatera Utara

24

Gelombang permukaan terjadi akibat interaksi antara gelombang badan dengan

bagian permukaan lapisan bumi. Gelombang ini menjalar sepanjang permukaan bumi

dengan panjang gelombang (amplitude) yang semakin berkurang secara eksponensial

terhadap kedalamannya. Akibat interaksi tersebut, gelombang permukaan akan lebih

besar efeknya pada jarak yang semakin jauh dari sumber gempa.

Panjang

Gelombang

Media

Undisturbed

(a)

Panjang Gelombang Media Undisturbed

(b)

Gambar 2.8 Deformasi Yang Diakibatkan Oleh Gelombang Permukaan (a) Gelombang Rayleigh dan (b) Gelombang Love, (Kramer, 1996)

Untuk tujuan analisa ada dua jenis gelombang permukaan yang paling penting

diketahui, yaitu gelombang Rayleigh (Gambar 2.8 a) yang terjadi akibat interaksi

antara p-waves dan SV-waves dengan gelombang permukaan, termasuk gerakan

vertikal dan horizontal dari partikel, serta gelombang Love (Gambar 2.8 b) yaitu

gelombang yang dihasilkan dari interaksi antara SH-waves dengan permukaan tanah

lunak dan tidak memiliki komponen gerakan horizontal dari partikel. Dalam

beberapa hal, gelombang Rayleigh mirip dengan gelombang yang terjadi saat sebutir

batu dicemplungkan ke suatu kolam.

Universitas Sumatera Utara

25

2.4. Ukuran Gempa

Ukuran besar dari suatu gempa merupakan parameter penting, yang dapat

dideskripsikan dengan beberapa cara berbeda. Sebelum berkembangnya

instrumentasi modern, metoda mengukur besarnya gempa didasarkan atas deskripsi

kualitatif dan deskripsi kasar dari efek suatu gempa. Namun dengan keberadaan

seismograf dapat dikembangkan suatu ukuran gempa yang bersifat kuantitatif.

2.4.1. Intensitas gempa

Ukuran besarnya gempa yang paling tua adalah intensitas gempa. Intensitas

adalah deskripsi kualitatif efek gempa pada suatu lokasi tertentu, yang didadasarkan

atas reaksi manusia dan kerusakan yang terjadi pada lokasi tersebut. Karena deskripsi

kualitatif efek gempa tersedia dalam rekaman sejarah, maka konsep intensitas ini

dapat diberlakukan untuk mengestimasi besar dan lokasi gempa yang terjadi sebelum

adanya instrumentasi kegempaan modern. Intensitas gempa sangat bermanfaat dalam

mengkarakterisasi tingkat perulangan gempa dengan ukuran yang berbeda di

berbagai lokasi, yang merupakan suatu langkah kritis dalam mengevaluasi

kemungkinan resiko kegempaan. Intensitas dapat juga digunakan untuk

memperkiraan tingkat kekuatan gerakan tanah (strong ground motion), sebagai

perbandingan efek gempa pada daerah geografis yang berbeda, dan untuk

mengestimasi kerugian yang diakibatkan oleh gempa.

Universitas Sumatera Utara

26

Skala intensitas Rossi-Forel (RF), merupakan deskripsi intensitas gempa

dengan nilai berkisar I − X, yang dikembangkan pada tahun 1880-an dan telah

digunakan selama bertahun-tahun. Namun negara-negara yang berbahasa Inggris

telah mengganti skala intensitas ini dengan skala intensitas Mercalli yang

dimodifikasi (MMI, Modified Mercalli Intensity) yang awalnya dikembangkan oleh

seimologist Italia bernama Mercalli dan dimodifikasi pada tahun 1931 agar dapat

menggambarkan lebih baik kondisi-kondisi di California. Skala intensitas MMI

mempunyai nilai I – XII sebagai berikut :

I : Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa

orang.

II : Getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung

bergoyang.

III : Getaran dirasakan nyata dalam rumah, terasa getaran seakan-akan ada truk

berlalu.

IV : Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, malam hari dapat

membangunkan orang, piring-piring pecah, jendela / pintu gemeretak dan

dinding bergetar

V : Getaran dirasakan oleh hampir semua orang; malam hari orang banyak

terbangun, piring-piring pecah, jendela-jendela pecah, barang-barang

terpelanting, tiang-tiang dan barang-barang besar tampak bergoyang, bandul

lonceng dapat berhenti.

Universitas Sumatera Utara

27

VI : Getaran dirasakan oleh semua orang; kebanyakan semua terkejut dan lari

keluar, plester dinding retak dan cerobong asap pada pabrik rusak, kerusakan

ringan.

VII : Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan

bangunan dan konstruksi yang baik sedangkan pada bangunan dengan

konstruksi kurang baik terjadi retak-retak dan kemudian cerobong asap

pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan.

VIII : Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat; retak-retak

pada bangunan yang kuat, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong

asap dari pabrik-pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh.

IX : Kerusakan pada bangunan yang kuat rangkanya; rumah menjadi tidak lurus

dan banyak retak-retak pada bangunan yang kuat. Rumah tampak agak

berpindah dari fondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus.

X : Bangunan dari kayu yang kuat rusak; rangka-rangka rumah lepas dari

fondamennya; tanah terbelah; rel melengkung; tanah longsor ditiap-tiap

sungai dan ditanah-tanah yang curam.

XI : Bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri.; jembatan rusak, terjadi

lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali; tanah terbelah; rel

sangat melengkung.

XII : Hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan tanah.

Pemandangan menjadi gelap. Benda-benda terlempar ke udara.

Universitas Sumatera Utara

28

Tabel 2.1 Perbandingan Beberapa Skala Intensitas Terhadap Modified Mercalli Intensity (MMI), (Chen & Scawthorn, 2003)

a gals

MMI Modified Mercalli

R–F Rossi–Forel

MSK Medvedev–

Sponheur–Karnik

JMA Japan

Meteorological Agency

0.7 1.5 3.0 7.0 15 32 68

147 316 681

(1468)* (3162)*

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

I I – II

III IV – V V – VI

VI – VII VIII –

VIII+ to IX– IX+ X – –

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

0 I II

II–III III IV

IV–V V

V–VI VI VII

Jawatan Meteorologi Jepang (JMA, Japanese Meteorological Agency)

memiliki skala intensitasnya sendiri, yang terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan berdasarkan

pengamatan gempa yang terjadi di Jepang, sementara skala intensitas Medvedev-

Spoonheuer-Karnik (MSK) yang dibuat berdasarkan pengamatan di Rusia digunakan

di negara-negara sentral Eropa dan Eropa timur. Perbandingan beberapa skala

intensitas yang telah disebutkan di atas terhadap Modified Mercalli Intensity (MMI).

Intensitas gempa pada umumnya diperoleh dari wawancara setelah peristiwa

terjadinya suatu gempa. Observasi dengan wawancara dapat tersebar lebih luas

dibanding observatorium kegempaan menyebar instrumen kegempaannya, dan

pengamatan intensitas dapat memberi informasi untuk membantu karakterisasi

pendistribusian guncangan tanah pada suatu area. Plot-plot laporan intensitas gempa

Universitas Sumatera Utara

29

di lokasi berbeda pada suatu peta akan memberikan pemetaan kontur intensitas

gempa yang sama. Peta sedemikian disebut dengan peta isoseismal. Intensitas

terbesar biasanya berada di sekitar episenter gempa. Peta Isoseismal menunjukkan

bagaimana berkurangnya intensitas gempa, dengan meningkatnya jarak ke episenter.

2.4.2. Magnitude gempa

Kemungkinan untuk memperoleh ukuran suatu gempa sejalan dengan

berkembangnya instrumentasi modern untuk mengukur besarnya gerakan tanah

selama terjadinya gempa. Instrumentasi kegempaan dapat mengukur secara objektif

kuantitatif besarnya gempa, yang disebut sebagai magnitude.

2.4.2.1. Richter local magnitude

Pada tahun 1935, Charles Richter dengan menggunakan seismometer Wood-

Anderson mendefinisikan skala magnitude untuk gempa dangkal dan gempa

lokal (jarak episenter lebih kecil dari 600 km) di selatan California. Skala

magnitude yang didefinisikan oleh Richter ini dikenal sebagai magnitude lokal

(local magnitude, ML) dan merupakan skala magnitude yang terkenal dan

dipakai hingga saat ini.

2.4.2.2. Magnitude gelombang permukaan

Richter Local Magnitude tidak memperhitungkan adanya gelombang yang

berbeda. Skala magnitude lain mulai dikembangkan berdasarkan amplitudo

Universitas Sumatera Utara

30

gelombang tertentu yang dihasilkan akibat adanya gempa. Pada jarak episentral

yang besar, gelombang badan biasanya mengalami penyebaran dan pelemahan,

sehingga menghasilkan gerakan yang didominasi oleh gelombang permukaan.

Magnitude gelombang permukaan (surface wave magnitude, MS) merupakan

skala magnitude yang berdasarkan amplitudo gelombang Rayleigh dengan

periode sekitar 20 detik, yang diperoleh dari persamaan berikut :

MS = log A + 1.66 log Δ + 2.0 (2.1)

dimana :

A = perpindahan tanah maksimum (mikrometer)

Δ = jarak episentral terhadap seismometer (dalam derajat)

Magnitude gelombang permukaan ini biasanya digunakan untuk

mendeskripsikan besarnya gempa dangkal, dengan jarak menengah hingga

jauh (lebih 1000 km).

2.4.2.3. Magnitude gelombang badan

Untuk gempa dengan fokus yang dalam, besar gelombang permukaan lebih

kecil daripada yang disyaratkan untuk melakukan pengukuran magnitude

gelombang tersebut. Magnitude gelombang badan (body wave magnitude, mb)

merupakan skala magnitude yang didasarkan pada amplitudo beberapa siklus

pertama dari p-wave, dimana tidak terlalu dipengaruhi oleh kedalaman fokus.

Magnitude gelombang badan diperoleh dari persamaan empiris berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

31

mb = log A – log T + 0.01 Δ + 5.9 (2.2)

dimana :

A = amplitudo (mikrometer)

T = perioda p-wave (biasanya sekitar satu detik)

Δ = jarak episenter terhadap seismometer (dalam derajat)

2.4.2.4. Moment magnitude

Magnitude gempa yang diuraikan di atas merupakan magnitude gempa empiris

berdasarkan berbagai pengukuran dengan bantuan instrumentasi karakteristik

guncangan tanah. Ketika sejumlah energi terlepas saat terjadinya peningkatan

gempa, karakteristik guncangan tanah belum tentu meningkat pula. Pada

gempa yang besar, karakteristik guncangan tanah kurang sensitif terhadap

besarnya gempa dibanding pada gempa yang lebih kecil. Fenomena ini dikenal

sebagai kejenuhan; gelombang badan dan Richter local magnitude menjadi

jenuh pada magnitude 6 hingga 7; dan magnitude gelombang permukaan

menjadi jenuh pada MS = 8. Untuk mendeskripsikan ukuran gempa yang

sangat besar, dibutuhkan suatu skala magnitude yang tidak tergantung pada

tingkat guncangan tanah dan tidak akan jenuh. Skala magnitude yang tidak

akan menjadi jenuh adalah moment magnitude (Kanamori. 1977; Hanks dan

Kanamori, 1979) karena didasarkan pada momen gempa, yang diukur

langsung dari faktor keruntuhan sepanjang patahan. Moment magnitude Mw ini

diperoleh dari persamaan :

Universitas Sumatera Utara

32

Mw = 5.1M log 0 − 10.7 (2.3)

dimana M0 adalah momen gempa dalam dyne-cm.

2.4.3. Energi gempa

Besar total energi yang dilepaskan selama terjadinya suatu gempa dapat

diestimasi dari persamaan berikut :

log E = 11.8 + 1.5 MS (2.4)

di mana E adalah energi yang dilepaskan (dalam ergs)

2.5. Resiko Gempa

Peristiwa gempa merupakan gejala alam yang bersifat acak yang tidak dapat

ditentukan dengan pasti, baik besar, tempat maupun waktu kejadiannya. Dengan

konsep probabilitas, terjadinya gempa dengan intensitas dan perioda ulang tertentu

dapat diperkirakan. Angka kemungkinan (probability) inilah yang mencerminkan

resiko gempa.

Resiko tahunan (RA) dari suatu intensitas gempa adalah angka kemungkinan

terjadinya atau terlampauinya intensitas tersebut dalam jangka waktu 1 tahun.

Sedangkan perioda ulang rata-rata (T) dari suatu intensitas merupakan perbandingan

terbalik dari resiko tahunan. Jika resiko tahunan untuk suatu intensitas tertentu

diketahui, maka :

Universitas Sumatera Utara

33

T = AR

1 (2.5)

Resiko gempa (RN) didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya gempa

dengan intensitas dan perioda ulang tertentu selama masa layan bangunan (N tahun).

Dengan asumsi bahwa resiko-resiko dalam tahun-tahun yang berurutan tidak saling

bergantungan, maka hubungan antara resiko per tahun (RA), dan resiko dalam jangka

waktu N tahun (RN), dapat dinyatakan sebagai berikut :

RN = 1 – (1 – RA)N (2.6)

Tabel 2.2 Hubungan Antara Resiko Gempa Untuk Periode Ulang Tertentu Terhadap Masa Layan Bangunan, (Sibero, 2004)

Tingkatan Beban Gempa Sedang Kuat Sangat Kuat

Perioda, T (Tahun) 5 10 20 50 100 200 500 1000

RA (%) 20.00 10.00 5.00 2.00 1.00 0.50 0.20 0.10

N = 10 Tahun 89.26 6513 40.13 18.29 9.56 4.89 1.98 1.00

N = 30 Tahun 99.88 95.76 78.54 45.45 26.03 13.96 5.83 2.96

N = 50 Tahun 100.00 99.48 92.31 63.58 39.50 22.17 9.52 4.88 RN (%)

N = 100 Tahun 100.00 100.00 99.41 86.74 63.40 39.42 18.14 9.52

Resiko gempa untuk setiap kategori dengan berbagai macam masa layan bangunan

dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Wangsadinata mengusulkan kriteria gempa yang didasarkan pada resiko gempa

untuk bangunan dengan masa layan 100 tahun sebagai berikut :

1. Gempa Ringan

Universitas Sumatera Utara

34

Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 60 % atau mempunyai perioda

ulang 100 tahun.

2. Gempa Menengah

Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 40 % atau mempunyai perioda

ulang 200 tahun.

3. Gempa Kuat

Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 20 % atau mempunyai perioda

ulang 400 tahun.

4. Gempa Desain (Maksimum)

Resiko terlampaui (risk of exceedance, RN) adalah 10 % atau mempunyai perioda

ulang 1000 tahun.

Pada Tabel 2.3 disajikan perbandingan penentuan perioda ulang gempa untuk

masing-masing kriteria yang dipakai pada peraturan pembebanan gempa di berbagai

negara.

Tabel 2.3 Perbandingan Penentuan Perioda Ulang Gempa, (Sibero, 2004)

Return Period (years)

Minor Earthquake

Moderate Earthquake

Major Earthquake

Uniform Building Code (UBC), 1984 5 − 475 Code of Practice for general Structure Design and Design Loadings for Buildings of New Zealand, 1992 10 − 475

Tri-Services Manual for Seismic Design of Essential Buildings, 1986 − 73 950

Wangsadinata, 1995 100 200 450

Universitas Sumatera Utara

35

2.6. Analisa Resiko Gempa

Analisa resiko gempa (seismic hazard analysis) meliputi estimasi kuantitatif

dari goncangan tanah (ground-shaking) pada suatu lokasi tertentu. Resiko gempa

dapat dianalisa secara deterministik dengan mengambil suatu asumsi tertentu

mengenai kejadian gempa atau secara probabilisitik dimana dalam analisa juga

mempertimbangkan secara ekspiisit ketidakpastian dari besarnya gempa, lokasi

maupun waktu teriadinya.

2.6.1. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)

Salah satu metoda analisa resiko gempa adalah metoda Deterministic Seismic

Hazard Analysis (DSHA), dimana dalam metoda ini evaluasi dari gerakan tanah

(ground motion) untuk suatu wilayah didasarkan kepada skenario gempa wilayah

tersebut. Skenario gempa ini berisi tentang kejadian gempa dengan besar

(magnitude) tertentu yang akan terjadi pada lokasi tertentu. Prosedur analisa resiko

gempa dengan metoda DSHA ini secara sistematika dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Secara tipikal, analisa resiko gempa dengan metoda DSHA ini dapat dibagi

menjadi 4 (empat) proses tahapan (Reiter, 1990) sebagai berikut :

1. Identifikasi dan karakterisasi semua sumber gempa yang mempunyai kapasitas

menghasilkan gerakan tanah pada suatu lokasi. Karakterisasi sumber ini termasuk

juga pendefinisian geometri dari masing-masing sumber (source zone) dan

potensi gempa.

Universitas Sumatera Utara

36

2. Pemilihan parameter jarak dari sumber ke lokasi (source-to-site distance

parameter). Biasanya dalam metoda DSHA, jarak yang dipilih adalah jarak

terdekat antara zona sumber gempa (source zone) dengan lokasi yang ditinjau.

Jarak yang digunakan dapat diekspresikan sebagai jarak dari episenter atau jarak

dari hiposenter, dimana hal ini tergantung pada pengukuran jarak dari persamaan

empiris yang akan digunakan untuk memprediksi pada tahap berikutnya.

3. Pemilihan controlling earthquake, yaitu gempa yang diperkirakan akan

menghasilkan tingkat goncangan yang terkuat, dimana biasanya diekspresikan

dalam parameter gerakan tanah pada suatu lokasi. Pemilihan ini dilakukan

dengan membandingkan tingkat goncangan yang dihasilkan oleh gempa (yang

diidentifikasi dalam tahap pertama) yang diasumsikan terjadi pada jarak yang

diidentifikasi pada tahap kedua. Controlling earthquake ini biasanya

dideskripsikan dengan besar (umumnya diekspresikan sebagai magnitude) dan

jaraknya dari lokasi yang bersangkutan.

4. Resiko yang terjadi pada suatu lokasi kemudian didefinisikan biasanya dalam

bentuk gerakan tanah yang terjadi pada lokasi tersebut akibat controlling

earthquake. Karakteristik tersebut biasanya dideskripsikan oleh satu atau lebih

parameter gerakan tanah yang diperoleh dari persamaan empiris yang digunakan.

Percepatan puncak (peak acceleration), kecepatan puncak (peak velocity) dan

ordinat spektrum respon (response spectrum ordinates) biasanya digunakan

untuk mengkarakteristikkan resiko gempa.

Universitas Sumatera Utara

37

R1

R2

R3

STEP 1 STEP 2

STEP 3

Y1

...YN

Y2

Y =

STEP 4

JarakR1R2 R3

M 1

M 2

M 3 Controlling

Earthquake

Par

emet

er G

erak

an

Tana

h, y

Sumber 1

M 1

Lokasi yangditinjau

Sumber 3

M 2

M3

Sumber 2

Gambar 2.9 Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA), (Kramer, 1996)

2.6.2. Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA)

Metoda lain yang dapat digunakan untuk menganalisa resiko gempa adalah

dengan konsep probabilitas, yaitu Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA).

Dengan metoda ini ketidakpastian dari besar, lokasi dan kecepatan perulangan (rate

of recurrence) dari gempa maupun variasi dari karakteristik gerakan tanah akibat

besar dan lokasi gempa secara eksplisit ikut diperhitungkan dalam evaluasi resiko

gempa. Metodologi PSHA ini serupa dengan metoda yang dikembangkan oleh

Cornell (1968) dan Algermissen et al. (1982).

Universitas Sumatera Utara

38

Metoda PSHA ini dapat dideskripsikan dalam 4 (empat) tahapan prosedur

(Reiter, 1990) sebagai berikut:

1. Tahap pertama adalah identifikasi dan karakterisasi sumber gempa, termasuk

didalamnya adalah karakterisasi distribusi probabilitas dari lokasi rupture yang

berpontensi pada sumber. Dalam kebanyakan kasus, diterapkan distribusi

probabilitas yang sama untuk masing-masing zona sumber. Hal ini secara tidak

langsung menyatakan bahwa gempa mungkin sama-sama akan terjadi pada setiap

titik dalam zona sumber gempa. Distribusi ini, dikombinasikan dengan bentuk

geometri sumber untuk mendapatkan distribusi probabilitas yang sesuai dengan

jarak sumber ke lokasi.

2. Langkah berikutnya adalah karakterisasi dari seismisitasi atau distribusi

sementara dari perulangan kejadian gempa. Hubungan empiris perulangan

kejadian gempa (recurrence relationship), yang mengekspresikan kecepatan rata-

rata (average rate) dari suatu gempa dengan besar yang berbeda akan terlampaui,

digunakan untuk mengkarakterisasikan seismisitasi dari masing-masing zona

sumber gempa. Hubungan empiris ini dapat mengakomodasikan besamya

magnitude maksimum dari gempa.

3. Gerakan tanah yang terjadi disuatu lokasi akibat adanya gempa dengan besar

gempa berapapun dan lokasi kejadian dimanapun dalam masing-masing zona

sumber gempa, dapat ditentukan dengan menggunakan predictive relationships.

4. Langkah terakhir adalah mengkombinasikan ketidakpastian dari lokasi gempa,

Universitas Sumatera Utara

39

besarnya gempa dan prediksi parameter gerakan tanah untuk mendapatkan

probabilitas dimana parameter gerakan tanah akan terlampaui selama perioda

waktu tertentu.

Metodologi analisa resiko gempa dengan metoda Probabilistic Seismic Hazard

Analysis (PSHA) ini dapat dilihat pada Gambar 2.10.

STEP 1 STEP 2

STEP 3 STEP 4

Sumber 1

R

Lokasi yangditinjau

Sumber 3

Sumber 2R

R

Magnitude, x

1 2

3

Log

(# g

empa

> m

)

Jarak, R

Par

amet

er g

erak

anta

nah,

Y

Nilai parameter

Gambar 2.10 Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA), (Kramer, 1996)

2.7. Model Matematika Probabilitas Resiko Gempa

Teorema probabilitas total yang digunakan untuk memecahkan masalah resiko

gempa telah banyak dikembangkan dan diusulkan oleh para peneliti, antara lain

Cornell (1968) dan McGuire (1976).

Universitas Sumatera Utara

40

2.7.1. Model USGS (McGuire, 1976)

Teorema probabilitas total yang dikembangkan oleh McGuire tahun 1976 ini

didasarkan atas konsep probabilitas yang dikembangkan oleh Cornell pada tahun

1968, dengan mengambil asumsi bahwa harga kekuatan gempa (M) dan jarak

hiposenter (R) sebagai variabel acak bebas yang menerus (continuous independent

random variable). Teori ini mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut :

P [I ≥ i ] = ∫ ∫r m

P [I ≥ i ⏐M dan R ] . fM . fR dm dr (2.7)

dimana :

fM = density function dari kekuatan gempa (magnitude)

fR = density function dari jarak hiposenter

P [I ≥ i ⏐M dan R ] = probabilitas berkondisi dari intensitas I ≥ intensitas i di suatu

lokasi, dengan kekuatan gempa M dan jarak hiposenter R.

Metoda yang dikembangkan oleh beberapa peneliti, seperti Esteva (1970),

Donovan (1974) dan McGuire (1974), untuk probabilitas berkondisi dengan

intensitas I, sama atau lebih besar dari itensitas i di suatu lokasi dengan kekuatan

gempa M dan jarak hiposenter R, mempunyai bentuk umum sebagai berikut :

m (M, R) = C1 + C2 M + C3 ln (R + ro) (2.8)

dimana :

M = ukuran besar gempa

R = jarak hiposenter (km)

Universitas Sumatera Utara

41

C1, C2, C3, dan ro = konstanta

Dengan menggunakan standar deviasi intensitas σ1, distribusi normal dan

Persamaan (2.8), maka intensitas probabilitas berkondisi dengan intensitas I sama

atau tebih besar dari i untuk suatu lokasi dengan kekuatan gempa M dan jarak

hiposenter R, dapat dituliskan sebagai berikut :

P [I ≥ i ⏐M dan R ] = φ* ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛ +

1

o321 )r (Rln C - M C - C - 1σ

(2.9)

dimana φ* merupakan kumulatif komplementer (complementary cummulative) dari

distribusi normal standar.

Tingkat kejadian rata-rata tahunan (disebut juga sebagai resiko tahunan rata-

rata) dari gempa yang mempunyai besaran (magnitude) sama dengan atau lebih besar

dari M pada suatu daerah sumber gempa, mempunyai hubungan sebagai berikut

(Gutenberg-Richter, 1958) :

log n(M) = a − b M (2.10)

dimana :

n(M) = tingkat kejadian tahunan rata-rata (mean annual rate of exceedance)

10a = tingkat kejadian tahunan untuk gempa dengan magnitude lebih besar dari 0

b = konstanta yang menunjukkan kemungkinan relatif tentang besar kecilnya

(magnitude) gempa yang terjadi

Universitas Sumatera Utara

42

Secara spesifik parameter b merupakan parameter seismisitasi yang

menggambarkan karakteristik tektonik atau kegempaan suatu daerah. Sedangkan

parameter a adalah parameter seismisitasi yang tidak menggambarkan karakteristik

kegempaan tetapi lebih merupakan parameter yang menerangkan karakteristik

data pengamatan. Konstanta a ini tergantung dari lamanya pengamatan dan tingkat

seismisitasi dari daerah sumber gempa.

Untuk menentukan konstanta a dan b ini, dilakukan plot grafik yang

menggambarkan hubungan antara. magnitude M dengan logaritma dari jumlah

gempa yang mempunyai magnitude lebih besar atau sama dengan M (log n(M)).

Selanjutnya analisis regresi linier dilakukan pada setiap titik yang diplot pada grafik

untuk mendapatkan nilai konstanta a dan b (Gambar 2.11).

b

1

log n(M) = a - bM

10a

log n(M)

M

Gambar 2.51 Penyebaran Magnitude Gempa pada Suatu Daerah

Secara grafis harga b dapat ditentukan dengan hubungan sebagai berikut :

b = dM

n(M) log d (2.11)

Universitas Sumatera Utara

43

Jadi harga b merupakan perbandingan antara penurunan relatif tingkat kejadian

gempa terhadap perbesaran magnitudenya. Secara umum dapat dikatakan bahwa

harga b yang besar menunjukkan tingkat aktivitas kegempaan yang tinggi.

Persamaan (2.10) di atas dapat juga dinyatakan sebagai berikut:

n(M) = 10 a bM = exp (α − β M) (2.12)

dimana :

α = a ln 10 dan β = b ln 10

Untuk kepentingan rekayasa, besarnya magnitude gempa dibatasi dengan mo,

dimana gempa-gempa dengan magnitude dibawah mo dianggap tidak menyebabkan

kerusakan yang berarti. Oleh karena itu, tingkat kejadian rata-rata tahunan adalah :

n(M) = v . exp (-β (m − mo)); mo < m < m1 (2.13)

dimana : v = exp (α − β mo)

Dengan mengasumsikan besaran gempa dan sejumlah kejadian gempa tidak

tergantung satu sama lain (independent), maka dapat ditentukan distribusi kumulatif

dari tiap-tiap kejadian gempa sebagai berikut :

FM (m) = P[M < m ⏐M > mo]

= )n(m(m)n - )(mn

o

o = 1 – e -β (m – mo) (2.14)

Jika magnitude gempa yang diperhitungkan juga dibatasi oleh harga

maksimum m1, maka distribusi kumulatif adalah :

Universitas Sumatera Utara

44

FM (m) = k (1 – exp (-β (m − mo)) ; mo < m < m1 (2.15)

dimana :

β = b ln (10)

k = [(1 – exp (-β (m − mo))]-1

mo = batas minimum besaran gempa dari area sumber gempa

m1 = batas maksimum besaran gempa dari area sumber gempa

Dari Persamaan (2.15) dapat diperoleh persamaan density function untuk

besaran gempa, dengan menurunkan persamaan tersebut terhadap m :

FM (m) = m(m)FM

∂∂

= βk exp (-β (m − mo)) ; mo < m < m1 (2.16)

Dengan mensubstitusikan Persamaan (2.9) dan (2.16) ke dalam Persamaan

(2.7), dapat ditentukan probabilitas untuk intensitas I sama atau lebih besar dari

intensitas i di suatu lokasi :

P [ I ≥ i] = . )r (Rln C - M C - C - i

*r

o321m

m

1

o

∫ ∫ ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +

σφ

βk exp (-β (m − mo)) fR (r) dmdr (2.17)

Integrasi Persamaan (2.17) dapat ditulis secara analitis (hasil manipulasi aljabar

oleh Cornell dan Merz, McGuire), sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

45

P [I ≥ i] = +⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎩⎨⎧

+⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛∫ z' *k z * k) - (1

1r 1 σφ

σφ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛++++ 2

2

21

2

o2

1

2

CC

o C 2 m

CC

Ci - exp )r (Rk 2

3 σββ

βββ

.

dr (r) f C b

- z' * - C

b - z

* R1

2

21

1

2

21

⎪⎪

⎪⎪

⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜

⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜

⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜

σ

σ

φσ

σ

φ (2.18)

dengan :

z = i – C1 – C2 m1 – C3 ln (R + ro) dan z’ = i – C1 – C2 mo – C3 ln (R + ro)

Maka probabilitas total tahunan dari kejadian-kejadian dengan intensitas I

sama atau lebih besar dari i pada suatu lokasi adalah dengan menjumlahkan angka

kemungkinan seluruh area sumber gempa. Dalam bentuk matematis :

NA = ∑=

n

1 i1N (M ≥ mo)1 P [ I ≥ i ] (2.19)

dimana :

NA = tingkat kejadian tahunan total dari kejadian-kejadian dengan I > i

pada suatu lokasi.

P [I ≥ i] = resiko kejadian tunggal untuk intensitas I yang sama atau lebih besar

dari intensitas i di lokasi untuk satu daerah sumber gempa.

N1(M ≥ mo) = tingkat kejadian tahunan dari gempa yang mempunyai M ≥ mo

untuk satu daerah sumber gempa.

Universitas Sumatera Utara

46

Besarnya nilai resiko tahunan untuk kejadian gempa tersebut diasumsikan

terdistribusi dalam Distribusi Poisson sebagai berikut :

RA = 1 – e(-NA) (2.20)

2.7.2. Model gumbel (point sources)

Dalam melakukan analisis resiko gempa, dapat juga menggunakan teorema

probabilitas total yang berkaitan dengan nilai ekstrim. Metoda statistik ini disebut

Jenis I atau lebih dikenal dengan Distribusi Gumbel. Dengan distribusi tersebut,

dapat ditentukan peak baserock acceleration (PBA) untuk berbagai perioda ulang.

Pengaruh dari setiap kejadian gempa pada titik yang ditinjau ditentukan dalam

bentuk percepatan dengan menggunakan fungsi-fungsi atenuasi, dengan asumsi

masing-masing kejadian gempa independen terhadap titik tersebut. Distribusi gempa

menurut Gumbel :

G(M) = e(-α exp (-βM)) ; M ≥ 0 (2.21)

dimana :

α = jumlah gempa rata-rata per tahun

β = parameter yang menyatakan hubungan antara distribusi gempa dengan

magnitude

M = Magnitude gempa

Universitas Sumatera Utara

47

Bentuk Persamaan (2.21) dapat disederhanakan menjadi persamaan garis lurus

sebagai berikut :

ln G(M) = -α e-βM (2.22a)

ln (- ln G(M)) = ln α − βM (2.22b)

Persamaan di atas identik dengan persamaan linier :

y = A + B x (2.23)

dimana :

y = ln (- ln G(M))

α = eA

β = − B

x = percepatan

Persamaan garis ini terdiri dari titik-titik xj, yj; dimana :

xj = aj = percepatan gempa ke-j

j = nomor urut kejadian gempa yang disusun dari tahun kejadian terbesar kurang

tahun kejadian terkecil yang disebut dengan selang waktu, yang masuk dalam

radius 300 km ditempatkan di nomor urut paling bawah.

N = selang waktu pengamatan

yj = ln (− ln G(M)) = ln (− ln ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

+1 Nj )

Universitas Sumatera Utara

48

Karena titik-titik ini selalu membentuk garis lurus, maka digunakan metode

kuadrat terkecil (least square) untuk menentukan garis yang paling tepat :

A = 2

j2

j

jjj2

jj

)x( - xn

)y - x( . x - x . y

∑∑

∑∑∑∑ (2.24)

B = 2

j2

j

jjjj

)x( - xn

y . x - )y . x(n

∑∑

∑∑∑ (2.25)

Sedangkan hubungan perioda ulang (T) dengan percepatan (a) adalah sebagai

berikut :

a = β

)α . (Tln (2.26)

2.8. Fungsi Atenuasi dan Faktor yang Mempengaruhinya

Prediksi hubungan empiris untuk parameter gempa yang melemah (berkurang)

sejalan dengan bertambahnya jarak, seperti percepatan puncak dan kecepatan

puncak, dikenal sebagai fungsi atenuasi (attenuation relationship atau attenuation

function).

Analisa resiko gempa dengan menggunakan model USGS maupun Gumbel

memerlukan nilai percepatan tanah akibat gempa. Pada analisis resiko gempa apabila

lokasi yang ditinjau (site interest) tidak mempunyai data rekaman gempa, maka

untuk memperkirakan besarnya percepatan maksimum tanah digunakan fungsi

Universitas Sumatera Utara

49

atenuasi. Yang dimaksud dengan fungsi atenuasi adalah suatu fungsi yang

menggambarkan korelasi antara intensitas (i) gerakan tanah setempat, magnitude (M)

dan jarak (R) dari sumber titik dalam daerah sumber gempa.

Memperkirakan fungsi atenuasi untuk gerakan tanah akibat gempa, telah

menjadi subjek yang menarik dalam penelitian bidang kegempaan. Fungsi atenuasi

merupakan alat yang penting dalam mengaplikasikan resiko kegempaan dalam

perencanaan bangunan tahan gempa.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi atenuasi adalah :

1. Mekanisme gempa

Gempa-gempa besar biasanya terjadi karena pergeseran tiba-tiba lempeng

tektonik yang mengakibatkan terlepasnya energi yang sangat besar. Pergeseran

lempeng tektonik ini bias terjadi pada daerah subduction, ataupun pada patahan

yang tampak di permukaan bumi, seperti patahan semangko di sumatera. Gempa

yang terjadi pada daerah subduction biasanya merupakan gempa dalam yang

mempunyai kandungan frekuensi yang berbeda dengan gempa dangkal. Gempa

dalam biasanya mempunyai gelombang permukaan yang lebih sedikit, sehingga

memberikan spectrum respon yang lebih rendah pada periode tinggi. Oleh karena

itu rumus-rumus atenuasi untuk gempa subduction harus dipisahkan dari gempa

strike slip.

Universitas Sumatera Utara

50

2. Jarak episenter

Respon spectrum dari gempa yang tercatat pada batuan mempunyai bentuk yang

berbeda tergantung jarak episenternya (near field, mid field, dan far field).

Gempa near field memberikan respon yang tinggi pada perioda yang rendah tapi

mengecil secara drastic dengan bertambah perioda. Di lain pihak, gampa far field

pada perioda rendah tetapi responnya terlihat konstan sampai perioda sekitar satu

detik. Hal ini menunjukkan adanya perubahan kandungan frekuensi gempa

dengan semakin jauhnya suatu daerah yang ditinjau ke episenter.

3. Kondisi tanah lokal

Kondisi tanah lokal mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan

respon suatu daerah terhadap gelombang gempa. Respon gempa yang tiba

dibatuan dasar bisa diperkuat, diperlemah atau berubah kandungan frekuensinya

karena tersaringnya getaran berfrekuensi tinggi.

Sejak percepatan puncak secara umum digunakan untuk mendeskripsikan

parameter gerakan tanah (ground motion), banyak persamaan atenuasi yang

dikembangkan dan diusulkan oleh para peneliti, antara lain Fukushima dan Tanaka

(1990), Crouse (1991), Joyner dan Booer (1981, 1988), Youngs et al (1997) dan

lainnya.

Universitas Sumatera Utara

51

2.8.1. Atenuasi Fukushima dan Tanaka (1990)

Fungsi atenuasi ini dikembangkan untuk percepatan maksimum horizontal

yang berlaku pada sumber gempa di sekitar Jepang. Data yang digunakan terdiri dari

1372 komponen percepatan tanah maksimum horizontal dari 28 gempa yang terjadi

di Jepang dan 15 gempa yang terjadi di Amerika serta di negara lain. Model atenuasi

yang digunakan untuk menghitung bagaimana penyebaran geometrik dari gelombang

gempa.

Beberapa peneliti dari Indonesia menganjurkan penggunaan persamaan ini

untuk patahan (fault) permukaan yang ada di Sumatera dan Jawa. Persamaan empiris

dari persamaan fungsi atenuasi ini adalah :

log (PBA) = 1.30 + 0.41 MS – log [R + 0.032 x 10 0.41 MS] –

0.0034R (2.27)

dimana :

MS = magnitude gelombang permukaan

R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km)

2.8.2. Atenuasi Crouse (1991)

Fungsi atenuasi yang dikembangkan oleh Crouse ini berdasarkan data gempa

yang mempunyai mekanisme subduksi yang diambil dari zona subduksi Cascadia

Pasifik Utara bahagian barat. Bentuk empiris dari fungsi atenuasi tersebut adalah

sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

52

ln (PBA) = 11.5 + 0.657 M – 2.09 ln [R + 63.7 x e 0.128.M] –

0.00397.h (2.28)

dimana :

M = magnitude gempa

R = jarak terdekat dari lokasi ke sumber gempa (km)

h = kedalaman fokus (km)

2.8.3. Atenuasi Joyner dan Boore (1981, 1988)

Fungsi atenuasi yang diperoleh Joyner dan Boore adalah fungsi atenuasi

percepatan horizontal maksimum, kecepatan horizontal maksimum dan pseudo

spectral relative velocity. Fungsi ini menggunakan data berdasarkan gempa di

Amerika Utara bahagian barat dengan magnitude gempa antara 5.0 – 7.0 dalam jarak

100 km dari proyeksi pada permukaan. Bentuk empiris dari fungsi atenuasi ini

pertama kali di publikasikan pada tahun 1981 yakni sebagai berikut :

ln (PBA) = 0.249.MW – log R0 – 0.00255.R0 – 1.02 (2.29)

dimana :

MW = momen magnitude

R0 = 22 7.3 R +

R = jarak terdekat dari lokasi ke proyeksi vertical dari gempa akibat aktivitas

pada permukaan tanah (km)

Universitas Sumatera Utara

53

Pada tahun 1988, persamaan (2.29) diatas dimodifikasi oleh Joyner dan Boore

menjadi :

ln (PBA) = 0.43 + 0.23.(MW – 6) – log R – 0.0027.R0 –

0.0027.R0 (2.30)

dimana :

MW = momen magnitude

R0 = 22 8 R +

R = jarak terdekat dari lokasi ke proyeksi vertical dari gempa akibat aktivitas

pada permukaan tanah (km)

2.8.4. Atenuasi Youngs et al. (1997)

Pada tahun 1997, Youngs et al. mengusulkan suatu fungsi atenuasi yang

dikembangkan berdasarkan data gempa dengan mekanisme subduksi. Bentuk dari

fungsi atenuasi tersebut adalah sebagai berikut :

Untuk bebatuan (rock) :

ln (PBA) = 0.2418 + 1.414 MW – 2.552 ln [rrup + 1.7818 e0.554MW] +

0.00607 H + 0.3846 Zt (2.31)

Untuk tanah (soil) :

ln (PBA) = 0.6687 + 1.438 MW – 2.329 ln [R + 1.097 e0.617MW] +

0.00648 H + 0.3643 Zt (2.32)

Universitas Sumatera Utara

54

dimana :

rrup = jarak terdekat ke rupture (km)

H = kedalaman (km)

Zt = tipe sumber gempa (0 untuk interface, dan 1 untuk interslab)

σ = standar deviasi, sebesar 1.54 – 0.1 MW.

2.9. Spektrum Respon

Spektrum respon (response spectra) adalah suatu kurva yang menggambarkan

respon maksimum dari perpindahan, kecepatan, percepatan ataupun besaran yang

diinginkan dari suatu sistem derajad kebebasan tunggal (single degree of freedom,

SDOF) dengan redaman pada berbagai macam variasi frekuensi. Istilah teknik yang

digunakan untuk menyatakan respon tersebut, yaitu spektrum simpangan (Sd)

menunjukkan respon maksimum perpindahan, spektrum kecepatan pseudo (Sv) yang

menunjukkan respon maksimum kecepatan, dan percepatan pseudo (Sa) yang

menunjukkan respon maksimum percepatan. Bentuk tipikal dari spektrum respon ini

menggambarkan bahwa nilai puncak spektrum percepatan, kecepatan dan

perpindahan dikaitkan dengan frekuensi atau perioda yang berbeda.

Untuk mendapatkan spektrum respon ini, dapat digunakan persamaan empiris

yang telah diusulkan oleh para peneliti sebelumnya, dimana dalam persamaan

tersebut telah diperhitungkan pengaruh magnitude, jarak episenter dari sumber

gempa, kondisi geologi maupun mekanisme terjadinya gempa.

Universitas Sumatera Utara

55

max

f

m

y

(a) Bentuk spektrum respon (b) Sistem berderajad kebebasan tunggal yang dipengaruhi pergerakan tanah

y y s-

y (t) s ..

Gambar 2.62 Konsep Spektrum Respon

Secara sederhana, spektrum respon adalah plot respon maksimum

(perpindahan, kecepatan, dan percepatan maksimum) dengan fungsi beban tertentu

dari sistem berderajad kebebasan satu. Absis dari spektrum adalah frekuensi natural

(atau perioda) dari sistem, dan ordinat adalah respon maksimum. Plot dari tipe ini

ditunjukkan pada Gambar 2.12 dimana bangunan yang dipengaruhi perpindahan

tanah dinyatakan sebagai fungsi ys(t). Lengkung spektrum respon pada Gambar 2.12

(a) memperlihatkan perpindahan relatif maksimum dari massa m terhadap

perpindahan pondasi dari suatu sistem berderajad kebebasan satu.

k

c

ys

y

mk (y - y )s

c (y - y )s. my..

Gambar 2.73 Model Struktur dan Freebody

Universitas Sumatera Utara

56

Masalah penting dalam struktur dinamik, seperti halnya gempa, adalah sistem

yang dipengaruhi oleh beban pada pondasi struktur. Contoh untuk hal ini adalah

gerakan bolak-balik dengan redaman yang merupakan model struktur seperti pada

Gambar 2.13. Pada kasus ini, fungsi percepatan merupakan pengaruh seperti yang

dinyatakan pada Gambar 2.14. Perpindahan relatif u didefinisikan sebagai u = y – ys.

Solusi kasus sedemikian ini dapat diselesaikan dengan menggunakan Duhamel

integral.

t

y (t) s..

Gambar 2.84 Fungsi Percepatan yang Mempengaruhi Struktur pada Gerak Bolak-balik dari Suatu Sistem Berderajad Kebebasan Tunggal

2.10. Pengaruh Tanah Terhadap Percepatan Gempa

Menurut Lysmer et al. (1977) adanya suatu struktur di bawah permukaan

tanah, misalnya terowongan, akan mempengaruhi respon dinamis struktur lainnya

pada saat terjadinya gempa. Pengaruh gempa terhadap interaksi antara tanah dan

struktur pada umumnya dianalisis dengan dua metode. Metode pertama adalah

analisis dengan memperhitungkan variasi-variasi pergerakan struktur dan tanah di

sekitamya. Metode kedua adalah analisis kelembaman, yaitu analisis yang

mengasumsikan tanah disekitar struktur yang ditinjau akan mengalami pergerakan

yang sama untuk setiap titiknya.

Universitas Sumatera Utara

57

Untuk memperoleh hasil analisis yang lengkap, permasalahan interaksi antara

tanah dan struktur, harus memperhitungkan respon dari struktur pada saat teriadi

gempa yang pergerakannya bervariasi dari satu titik ke titik lainnya antara batuan

dasar ke permukaan tanah. Permasalahan tersebut dalam analisis diidealisasi dengan

menganggap pergerakan tanah di sekitar struktur adalah akibat rambatan vertikal

gelombang badan (body wave) dari formasi tanah yang lebih kaku. Kontrol

pergerakan (control motion) yang dispesifikasi untuk suatu titik di lapangan dapat

dijadikan acuan untuk menentukan pergerakan tanah pada suatu kedalaman, seperti

pada perbatasan antara tanah dan batuan. Untuk keperluan tersebut dapat digunakan

teori amplifikasi. Pergerakan yang dihitung pada kedalaman tersebut digunakan

sebagai data masukan (input) pergerakan tanah pada model sistem elemen hingga

antara tanah dengan struktur.

Analisis dilakukan secara interaktif untuk memperoleh regangan yang sesuai

dengan karakteristik tanah yang non-linier melalui prosedur anlisis linier (Seed dan

Idriss, 1970). Prosedur ini dikenal juga dengan nama metode linier ekivalen

(equivalent linier method). Untuk memperolah harga damping ratio yang diinginkan,

dapat digunakan metode analisis respon kompleks.

2.10.1. Rambat gelombang satu dimensi

Selama berlangsungnya gempa, terjadinya perambatan gelombang sangat

dipengaruhi oleh kondisi tanah setempat. Hampir semua peneliti mengambil asumsi

Universitas Sumatera Utara

58

bahwa respon utama yang terjadi disebabkan oleh perambatan gelombang geser dari

batuan dasar (base rock) ke permukaan tanah. Salah satu teori rambatan gelombang

yang dipakai adalah teori rambatan gelombang geser harmonik satu dimensi. Teori

ini dikemukakan pertama kali oleh Kanai (1951), dan dikembangkan lebih lanjut

oleh Schnabel, Lysmer, dan Seed (1972). Asumsi dasar yang digunakan dalam teori

ini adalah :

1. Sistem tanah panjangnya tidak terbatas

2. Setiap lapisan pada sistem telah diketahui shear modulus-nya, damping ratio-

nya, density serta ketebalannya.

3. Respon yang terjadi pada sistem disebabkan oleh rambatan gelombang geser

yang berasal dari batuan dasar

4. Gelombang geser diberikan dalam bentuk percepatan dengan interval waktu yang

sama

5. Tegangan yang terjadi tergantung kepada shear modulus dan damping ratio yang

dihitung dengan prosedur persamaan linier mengacu pada harga rata-rata tingkat

tegangan di setiap lapisan.

Rambatan vertikal gelombang geser di setiap lapisan tanah merupakan

rambatan gelombang yang menyebabkan perpindahan dalam arah horizontal saja.

Pemodelan tersebut dapat ditulis dengan persamaan :

u = u(x,t) (2.33)

Universitas Sumatera Utara

59

Yang harus memenuhi persamaan gelombang :

txu η

xuG

tu ρ 2

3

2

2

2

2

∂∂∂

+∂∂

=∂∂ (2.34)

dimana :

u = perpindahan

ρ = massa jenis (kepadatan) media

G = modulus geser

η = viskositas media

2.10.2. Perpindahan harmonik

Perpindahan harmonik (harmonic displacement) dengan frekuensi ω dapat

ditulis dalam bentuk :

u(x,t) = U(x) . eiωt (2.35)

Substitusi Persamaan (2.35) ke Persamaan (2.34) memberikan suatu persamaan

differensial berikut :

(G + i ω η) 2

2

xU

∂∂ = ρ ω2 U (2.36)

Yang mempunyai solusi umum :

U(x) = E . eikx + F . eikx (2.37)

Universitas Sumatera Utara

60

Dengan k didefinisikan sebagai :

k2 = η ω i G

ω ρ 2

+ = *G

ω ρ 2

(2.38)

k adalah bilangan complex wave, sedangkan G* adalah modulus geser kompleks.

Viskositas η dapat dihasilkan dari perkalian damping kritis β dan G, yang

dirumuskan sebagai :

η = 2 G . β (2.39)

Pengujian pada beberapa material menunjukkan G dan β mendekati konstan

pada daerah frekuensi, yang menjadi hal pokok yang perlu diperhatikan dalam

analisis. Ini akan mempermudah mengekspresikan modulus geser kompleks dalam

bentuk damping kritis yang konstan terhadap perubahan viskositas.

G* = G + i ω η = G (1 + 2 . iβ) (2.40)

Persamaan (2.35) dan (2.37) memberikan solusi untuk persamaan gelombang

harmonik terhadap frekuensi, yang dinyatakan sebagai :

U(x,t) = E . ei(kx + ωt) + F . e-i(kx -ω t) (2.41)

Bentuk pertama menyatakan perambatan gelombang searah dengan sumbu-x

negatif (ke atas), dan bentuk kedua menyatakan pantulan gelombang yang menjalar

searah sumbu-x positif (ke bawah). Persamaan (2.40) berlaku untuk tiap-tiap lapisan

pada Gambar 2.15. Dengan memperkenalkan koordinat lokal sistem-x untuk tiap-tiap

lapisan. Perpindahan pada bahagian atas dan bawah lapisan m adalah

Universitas Sumatera Utara

61

Um(x=0) = (Em + Fm ). eiωt

Um(x=hm) = (Em . ei km hm + Fm . ei km hm). eiωt (2.42)

Tekanan geser pada sebuah permukaan horizontal adalah :

τ(x,t) = Gxu

∂∂

− tx

u2

∂∂∂

− G*xu

∂∂ (2.43)

Dengan mensubstitusikan turunan pertama Persamaan (2.40) terhadap variabel

x kedalam Persamaan (2.43), diperoleh :

τ(x,t) = i k G* (E . eikx + F . eikx) . e (2.44)

Tekanan geser pada bagian atas dan bawah lapisan m secara berturut-turut adalah :

τm(x=0) = i km Gm* (Em + Fm) . eiωt (2.45)

τm(x=hm) = i km Gm* (Em . ei kmhm − Fm . ei kmhm) . eiωt (2.46)

Tegangan geser dan perpindahan (displacement) harus kontinu pada setiap

permukaan lapisan. Sehingga dengan Persamaan (2.42),(2.45), dan (2.46) :

zEm+1 + Fm+1 = Em . ei kmhm + Fm . e−i kmhm (2.47)

Em+1 − Fm+1 = m1m

mm

GkGk

+

(Em . ei kmhm + Fm . e−i kmhm) (2.48)

Dari pemisahan dan penjumlahan Persamaan (2.47) dan (2.48), diperoleh :

Em+1 = ½ Em (1+αm) . ei kmhm + Fm (1− αm) . e−i kmhm (2.49)

Em+1 = ½ Em(1− αm) . ei kmhm + Fm (1+αm) . e i kmhm (2.50)

Universitas Sumatera Utara

62

Dimana αm adalah complex impedence ratio yang tidak bergantung pada

frekuensi, dan dapat ditulis sebagai :

αm = 1m1m

mm

G kG k

++

= 2/1

1m1m

mm

G ρG ρ

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

++

(2.51)

NomorLapisan

SistemKoordinat

ArahPergerakan

X

X

u1

u2

1

n

n + 1

Xun

X +1u +1n

n

X +2u +2n

n

X u N

NN

Particle motion

Incident wave

Reflected wave

Sifat-sifatLapisan

Gambar 2.95 Rambat Gelombang Sistem Satu Dimensi, (Schanabel Et, al, 1972)

Tegangan geser pada permukaan tanah sama dengan nol, sehingga jika τ1 dan

x1 sama dengan nol, maka akan didapat E1 = F1 yaitu amplitudo insiden dan

gelombang pantul yang selalu sama untuk setiap permukaan bebas. Mulai dengan

Universitas Sumatera Utara

63

permukaan bebas, secara berulang menggunakan formula rekursi (recursion formula)

Persamaan (2.49) dan (2.50) berpengaruh pada hubungan antara amplitudo pada

lapisan m dan pada permukaan lapisan tersebut :

Em = em (ω) El

Fm = fm (ω) F1

Transfer fungsi em dan fm akan lebih mudah untuk amplitudo El dan E2 = 1,

dan dapat dihitung dengan mensubstitusikan kondisi ini kedalam rumus rekursi di

atas. Transfer fungsi lain lebih mudah diperoleh dari fungsi em dan fm. Fungsi

transfer An,m antara perpindahan pada level n dan m didefinisikan sebagai :

An,m(ω) = Um /Un

Dan dengan mensubstitusikan Persamaan (2.51), serta kedua fungsi transfer di

atas akan diperoleh :

An,m(ω) = )( f )( )( f )(

n

m

ωωωω

++

n

m

ee

(2.52)

Berdasarkan pada persamaan ini dapat ditemukan fungsi transfer A(ω) antara

dua lapisan pada sistem. Sehingga jika gerakan diketahui pada suatu lapisan, maka

gerakan pada lapisan lain dapat dihitung.

Amplitude E dan F kemudian dapat dihitung untuk setiap lapisan pada sistem,

strain, perpindahan, dan percepatan diperoleh dari fungsi displacement :

Universitas Sumatera Utara

64

ü(x,t) = 2

2

tδu δ = − ω2 (E . ei(kx + ωt) + F . e-i(kx -ω t) ) (2.53)

dan regangan dengan :

Y = δxδu = i k (E . ei(kx + ωt) + F . e-i(kx -ω t) ) (2.54)

2.10.3. Pergerakan transien

Rumus-rumus dan penjelasan sebelumnya dipakai dengan memperhatikan

pergerakan-pergerakan tanah yang bergerak secara harmonik. Pelepasan energi

(eksitasi) transien dari batuan dasar, yang merupakan penyebab adanya perambatan

gelombang gaya geser yang merambat ke atas selama suatu gempa bumi

berlangsung, dapat dilihat dari catatan percepatan gempanya (akselerogram). Suatu

catatan percepatan gempa yang telah didigitalisasi dan memiliki n buah nilai

percepatan yang berjarak atau berselang waktu sama uj (j,Δt), j = 0,...,(n-1), dapat

diwakili dengan suatu penjumlahan terbatas dari suatu deret bentuk pergerakan-

pergerakan harmonik :

ü(t) = ∑=

1/2n

0s{as exp (i ωs . t) + bs exp (− i ωs . t)} (2.55)

dimana ωs adalah frekuensi-frekuensi untuk masing-masing nilai tersebut, yaitu :

ωs = s t .n

2Δπ ⇒ s = 0, . . . , ½ n

Universitas Sumatera Utara

65

dan as serta bs adalah koefisien-koefisien kompleks dari Fourier:

as = ∑=

1-n

0 j 1

nu(j,Δt) exp(− i ωs . t) (2.56)

bs = ∑=

1-n

0 j 1

nu(j,Δt) exp( i ωs . t) (2.57)

Jika deret pada Persamaan (2.55) di atas mewakili pergerakan pada lapisan m,

maka persamaan deret lain yang mewakili pergerakan pada lapisan lain n, diperoleh

dengan mempergunakan fungsi transformasi Am,n (ωs), yang mana secara umum

mempunyai bentuk seperd yang diperiihatkan pada Persamaan (2.52). Sehingga :

ün(t) = ∑=

n

s

2/1

0 Am,n(ωs)[as exp (i ωs . t) + bs exp (− i ωs . t)] (2.58)

Berdasarkan pada Persamaan (2.58) ini, maka percepatan pergerakan tanah

untuk tiap-tiap lapis tanah, termasuk permukaan bebas, yang disebabkan oleh

pelepasan energi transien (transient excitation) pada batuan dasar, dapat dihitung.

Pada prakteknya, prosedur penghitungan diambil agak sedikit berbeda.

Pertama, spektrum Fourier dari batuan dasar ditentukan. Kemudian fungsi

transformasi untuk tiap-tiap lapisan yang ditinjau, termasuk permukaan bebas,

dihitung dengan mempergunakan teknik transformasi cepat Fourier (Fast Fourier

Transform). Spektrum Fourier untuk permukaan lapisan dan tiap-tiap lapisan yang

ditinjau diperoleh dengan mengalikan spektrum Fourier untuk batuan dasar dengan

fungsi transformasi yang bersangkutan. Catatan percepatan gempa kemudian

Universitas Sumatera Utara

66

diperoleh dengan menurunkan kembali hasil dari spektrum Fourier. Sekali catatan

percepatan gempa untuk pergerakan permukaan diperoleh, respon spektra dianalisa

dengan mempergunakan prosedur standar (evaluasi dari integral Duhamel). Analisa

spektrum Fourier dan penurunannya, transformasi cepat Fourier dan analisa respon

spektra adalah prosedur-prosedur standar dan tidak akan dibahas lebih jauh lagi.

2.10.4. Properti dinamik tanah

Penentuan respon tanah selama terjadinya gempa, sangat ditentukan oleh

modulus geser dan damping ratio dari tanah yang bersangkutan. Modulus geser G

dan damping ratio D tergantung pada beberapa faktor, seperti jenis tanah, tekanan

keliling (confirming pressure), tingkat regangan dinamik, derajat kejenuhan,

frekuensi, dan derajat amplifikasi pembebanan, magnituda tegangan dinamik, dan

regangan dinamik (Hardin & Black, 1969).

2.10.4.1. Modulus geser

Dari penelitian yang pernah dilakukan, disimpulkan bahwa besarnyakekakuan

tanah, secara umum sangat dipengaruhi oleh tingkat regangan siklis, angka

pori, tegangan efektif rata-rata, indeks plastisitas, over consolidated ratio, dan

frekuensi pembebanan siklis. Harga modulus geser secant pada elemen tanah

(selanjutnya disebut modulus geser G), bervariasi terhadap amplitudo regangan

geser siklis. Pada tingkat regangan kecil, G mempunyai harga yang besar dan

selanjutnya mengecil untuk regangan yang semakin besar. Modulus geser G

Universitas Sumatera Utara

67

pada kondisi regangan sama dengan nol, dinyatakan sebagai modulus geser

maksimum (disebut Gmax), yang digambarkan oleh kemiringan kurva

tegangan - regangan geser siklis sama dengan nol (Gambar 2.16).

Untuk regangan kecil (γ' < 10 -4 %), harga Gmax adalah :

Gmax = ρ .Vs2 (2.59)

dimana :

ρ = kepadatan tanah

Vs = kecepatan gelombang geser

Pada tingkat regangan yang lebih besar, modulus ratio (perbandingan antara

Gsec dan Gmax) mempunyai harga yang semakin kecil di bawah angka 1

(satu). Variasi harga modulus ratio terhadap regangan geser siklis dinyatakan

dalam grafik yang disebut grafik modulus reduction (Gambar 2.16)

(a)

log γ

(b)

Gmax G

Gmax Gsec

γ c

1.0 G max

G sec

τ

γ c γ

Gambar 2.16 (a) Penentuan Gsec dan Gmax dari Hubungan Tegangan-Regangan (b) Grafik Reduksi Modulus

Universitas Sumatera Utara

68

2.10.4.2. Damping rasio untuk pasir

Berdasarkan beberapa penelitian tentang harga damping ratio seperti yang

dilakukan oleh Hardin & Drnevich (1972) serta Seed & Idriss (1970),

diketahui bahwa damping ratio untuk pasir sangat dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu :

1. Karakteristik grain size dari hasil analisis saringan.

2. Derajat kejenuhan.

3. Angka pori.

4. Koefisien tekanan tanah pada kondisi diam, K0

5. Sudut geser, ϕ

6. Jumlah pembebanan siklis geser, N

7. Tingkat regangan

8. Tegangan efektif

2.10.4.3. Damping rasio untuk lempung

Dari persamaan yang diberikan oleh Hardin & Drnevich (1972) :

D = Dmax ⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

maxGG - 1 (2.60)

Dimana Dmax adalah damping ratio maksimum pada saat G = 0. Dmax untuk

tanah kohesif jenuh adalah :

Dmax = 31 – (0.03 f) σo1/2 + 1.5 f ½ - 1.5 log (N) (2.61)

Universitas Sumatera Utara

69

dimana :

f = frekuensi (in/sec)

σo = tegangan efektif

N = jumlah siklis pembebanan

maxDD =

h " 1h "

γγ+

(2.62)

dengan γ” h = regangan hiperbolik, atau

γ” h = (γ’ / γ’r)[1 + a1 . e –b1(γ’ / γ’r)] (2.63)

a1 = 1 + 0.2 f 1/2

b1 = 0.2 f (e -σo) + 2.25 σo + 0.3 log (N)

Jadi, dengan terlebih dahulu mencari harga Dmax dan γ” h, harga damping

ratio dapat ditentukan dengan menyelesaikan Persamaan (2.62).

2.11. Kondisi Umum Geologi Wilayah Sumatera Utara

Pulau Sumatera saat ini merupakan sebahagian bentuk dari Lempeng

Kepulauan Sunda, yang merupakan bahagian dari Asia Tenggara. Kerak bumi di

lautan yang mendasari Lautan Hindia merupakan bahagian dari lempeng Australia di

area Hindia, telah tersubduksi pada zona Benioff sepanjang tepian barat dari lempeng

Kepulauan Sunda yang ditandai oleh terputusnya paritan Sunda di pantai barat

Sumatera. Masa magma dan subduksi tersebut menyebabkan munculnya wilayah

Universitas Sumatera Utara

70

busur vulkanik Sumatera dari arah barat laut menuju tenggara, yang mana

mendominasi dan mempengaruhi kondisi geologi Sumatera dan bentuk-bentuk

perpanjangan arah barat laut busur vulkanis Sunda di Jawa dan pulau-pulau

disekitarnya. Tegangan yang dihasilkan dari pendekatan kemiringan dan subduksi

dari kerak lautan menyebabkan pelepasan secara periodik pergerakan pada sistem

patahan Sumatera yang paralel terhadap tepian lempeng, yang mana mempunyai

mata rantai ke arah utara dengan serangkaian transformasi patahan di Laut Andaman.

Sumatera Utara tercakup dalam wilayah busur vulkanis Sumatera dan termasuk

pada bahagian dari belakang busur Cainozoic. Sumatera Utara terdiri atas berbagai

macam bentuk fisiografis, namun dapat dibagi atas beberapa bahagian sebagai

berikut :

1. Dataran rendah timur.

Daerah ini terletak di sektor timur laut Sumatera Utara, yang mana pada bahagian

baratnya merupakan daerah vulkanis usia muda dengan kelandaian permukaan

menuju arah utara, sementara pada bahagian timur merupakan permukaan dari

deposit Toba Tuff. Elevasinya mencapai sekitar 100 m. Area bakau membentang

menuju utara yang umumnya merupakan arah mulut sungai. Ke arah tenggara,

garis pantai menjadi makin tidak berlumpur, dan muncul bentuk pantai berpasir.

2. Kaki bukit pantai timur.

Daerah ini terletak di atas dataran rendah timur yaitu arah barat laut Sungai

Wampu, dengan elevasi yang rendah (dibawah 150 meter), terkontrol secara

struktural, bukit-bukit berhutan dengan bentangan dari barat daya ke tenggara.

Universitas Sumatera Utara

71

3. Dataran tinggi Berastagi.

Daerah ini berada di sekitar arah selatan dataran rendah timur, membentuk

bentangan area hutan sepanjang 10 – 15 km, merupakan daerah utama vulkanis

dan perpanjangan arah timur ngarai Wampu menuju Berastagi, kemudian

membelok ke tenggara dimana ketinggiannya berkurang dan arealnya mengecil.

Elevasinya mencapai 1500 meter, dan puncak tertinggi adalah Gunung Sinabung

dengan elevasi 2451 meter. Ngarainya umumnya terbentuk dari bahan vulkanik

lunak. Topografi Karst terbentuk di atas batu gamping Permian.

4. Lembah Kabanjahe.

Merupakan area yang tidak berhutan, depositnya terdiri dari pembentukan

pegunungan yang terjadi sebelumnya oleh bahan padat yang mengalir dari

vulkanik Toba. Kemiringannya melandai ke barat, menurun dari elevasi 1300

meter menuju 600 meter di bahagian barat. Lembah ini dikelilingi oleh

pegunungan dan bebukitan tinggi.

5. Daerah timur Bukit Barisan.

Merupakan area tidak datar dengan hutan padat terdiri atas lapisan Bahorok

Formation. Tiba-tiba muncul dari kaki bukit pantai timur dan 25 kilometer arah

barat turunan Alas-Renun. Lembahnya saling berdekatan dan terjal. Puncak rata-

rata pada elevasi 2000 meter dan tertinggi adalah Gunung Bendahara (3012 m) di

sektor barat laut.

6. Turunan Alas-Renun.

Areal ini terbentuk sepanjang garis kompleks patahan-patahan yang melintasi

Universitas Sumatera Utara

72

Sumatera Utara dari arah barat laut ke tenggara dengan panjang sekitar 70 km

dan lebar 7 km pada elevasi 180 – 200 meter.

7. Pusat Bukit Barisan

Membentang dengan hutan padat pada elevasi 3050 meter. Kebanyakan areanya

merupakan deposit resisten strata pre-Tertier.

8. Areal pantai barat

Areal ini dipisahkan oleh garis patahan utama dengan pusat Bukit Barisan,

dengan areal melandai pada elevasi rata-rata 500 meter. Pada bahagian lembah

deposit tanah merupakan lapisan aluvial, sementara bebukitan kebanyakan

merupakan lapisan strata pre-Tertier.

Sementara itu, secara umum menurut SNI 03-1726-2003 : Tata Cara

Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung, yang dimaksud dengan

batuan dasar adalah lapisan batuan di bawah muka tanah yang memiliki nilai hasil

Test Penetrasi Standar N paling rendah 60 dan tidak ada lapisan batuan lain di

bawahnya yang memiliki nilai hasi Test Penetrasi Standar yang kurang dari itu, atau

memiliki kecepatan rambat gelombang geser Vs yang mencapai 750 m/detik dan

tidak ada lapisan batuan lain dibawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat

gelombang geser yang kurang dari itu.

Berdasarkan kondisi SNI 03-1726-2003 tersebut, maka kedalaman batuan

dasar di wilayah Sumatera Utara berkisar 2 meter hingga 100 meter.

Universitas Sumatera Utara