6316-15274-1-pb.pdf
TRANSCRIPT
i
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE
Jurnal
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
MELINDA NOVI SARI
090200376
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
i
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE
Jurnal
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
MELINDA NOVI SARI
090200376
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M.Hamdan, SH, MH
NIP: 195703261986011001
Editor
Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS
NIP. 196104081986011002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
ii
ABSTRAK
Melinda Novi Sari *
Dr.Madiasa Ablisar, SH, MS* *
Rafiqoh Lubis, SH, MHum* * *
Skripsi ini berbicara mengenai seiring dengan semakin merambahnya
penggunaan internet di Indonesia, aktivitas prostitusi cyber juga mengalami
perkembangan. Para pelaku mulai menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti
facebook untuk melancarkan aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk
pertemanan, kini digunakan untuk memasarkan transaksi seks.
Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana
pengaturan mengenai prostitusi online dalam hukum positif di Indonesia,
bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana
prostitusi melalui media online menurut hukum pidana positif di Indonesia
terutama dalam upaya pencegahan tindak pidana prostitusi online tersebut.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum
normatif yang menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui
penelitian kepustakaan. Dan melalui data sekunder ini kemudian dianalisis secara
kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam
KUHP maupun yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No.11Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 21 Tahun 2007 tentang
Perdagangan Manusia, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Upaya untuk mencegah dan
menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online itu dapat dilakukan
melalui upaya penal (hukum pidana) maupun upaya non-penal (di luar hukum
pidana). Upaya penal dalam menanggulangi tindak pidana prostitus melalu media
online telah tercantum dalam Undang-Undang di atas, sementara upaya non penal
dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi, pendekatan budaya/kultur,
kerjasama internasional, peranan penyedia jasa internet dan pemilik website,
pengawasan orang tua dan pendekatan sosial.
Kata Kunci: Kategori Tindak Pidana Prostitusi Online, Kebijakan Hukum Pidana
Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Online
* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
* * Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
* * * Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
iii
ABSTRACT
Melinda Novi Sari*
Dr.Madiasa Ablisar, SH, MS* *
Rafiqoh Lubis, SH, MHum* * *
This thesis talks about merambahnya along with the use of the Internet in
Indonesia, cyber prostitution activity is also experiencing growth. The actors
began using social networking sites such as facebook to launch the action.
Facebook, which was originally used for friendship, is now used to market sex
trade.
The problem in this thesis is how the regulation of online prostitution in
the positive law in Indonesia, how the criminal law policy in tackling the crime of
prostitution through online media by positive criminal law in Indonesia, especially
in efforts to prevent the crime of prostitution online.
The research method in this thesis is a normative legal research methods
using secondary data. Secondary data was obtained through library research. And
secondary data is then analyzed qualitatively to answer the problem in this thesis.
In positive law in force in Indonesia , both set in the Criminal Code and
the Criminal Code as set out in the Act No.11Tahun 2008 on Information and
Electronic Transactions, Law No. 21 Year 2007 on Human Trafficking, Law No.
44 Year 2008 on Pornography and the Law No. 23 of 2002 on Child Protection.
Efforts to prevent and mitigate the crime of prostitution through the online
medium can be done through the efforts of penal (criminal law) as well as the
efforts of non-penal (outside the criminal law). Penal efforts in tackling crime of
prostitus through online media has been stated in the above Act, while non penal
efforts can be done through technology approach, cultural approach/culture,
international cooperation, the role of internet service providers and website
owners , parental controls and approaches social.
Keywords: Category Crime Online Prostitution, Criminal Law Policy Against
Crime Online Prostitution
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * *
Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * * *
Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
1
A. PENDAHULUAN
Pelacuran merupakan salah satu penyakit sosial, atau lebih popular disebut
patologi sosial (social pathology). Jika diteliti sebab terjadinya patologi sosial ini,
maka dapat dikembalikan psychological tension. Secara psikologis manusia
memiliki nafsu-nafsu yang merupakan kekuatan sosial. Dalam kehidupan sosial
kita melihat dinamik yang dapat menggabungkan dan merenggangkan hubungan
semua anggota masyarakat. Jika manusia hendak hidup wajar harus dapat
memenuhi hasrat dan nafsu tadi. Seandainya keinginan-keinginan tadi tidak dapat
dipenuhi, maka hal ini dapat menimbulkan ketegangan batin. Jika ketegangan-
ketegangan ini meluas dalam masyarakat, maka terjadilah ketegangan sosial. Bila
ketegangan ini tidak segera dipecahkan dapat berkembang menjadi penyakit
sosial. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Gillin, sebagai berikut:
“Patologi sosial ialah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara
berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan
kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari
anggota-anggotanya dengan akibat bahwa pengikatan sosial patah sama sekali”.1
Prostitusi tetap eksis hingga sekarang dan bahkan semakin canggih metode
yang digunakan. Kini Negara yang memiliki teknologi di bidang informasi dan
komunikasi dipastikan dapat menjadi Negara yang maju apabila Negara tersebut
dapat mengolah, memanfaatkan media tersebut secara bijak dan bertanggung
jawab. Maka perkembangan tersebut bak pisau bermata dua, perkembangan media
1
Khoe Soe Khiam, Sendi-sendi sosiologi, Ganaco NV, Bandung, 1963, hal. 127
2
interaksi berbasis internet yang juga memiliki sisi negatif apabila Negara tersebut
tidak dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik.
Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia,
aktivitas prostitusi cyber juga memiliki perkembangan. Para pelaku mulai
menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan
aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan
untuk memasarkan transaksi seks. Istilah bisa pakai atau “bispak”, cowok
panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam
dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang
bersangkutan menawarkan jasa seks.2
Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat
beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut gadis belia yang berpenampilan
menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating dan sejenisnya
yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di kalangan anak muda.
Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak buahnya,
mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari
tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadis-gadis muda ini, pada umumnya
calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada website dimana gadis-gadis
tersebut dipamerkan. Setelah semua proses pendaftaran atau pemesanan selesai
gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang telah disepakati.3
2URL:http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-menjanjikan-
prostitusi-dalam-facebook/, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB 3
URL:http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-prostitusi-di-
internet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB
3
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana prostitusi melalui media
online?
2. Bagaimana upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya tindak pidana prostitusi melalui media online di Indonesia?
C. METODE PENELITIAN
Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini maka
digunakanlah suatu metode penelitian hukum yang menitikberatkan pada
penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan penelitian lebih banyak dilakukan
terhadap data sekunder. Data sekunder diambil dengan melakukan penelitian
terhadap bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat khususnya :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Perdagangan Manusia. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum,
literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya
yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini analisis
data yang dilakukan penulis adalah menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu
mengumpulkan data yang diperlukan dalam skripsi ini yakni data sekunder yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier,
4
kemudian dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan
dari skripsi ini.
D. HASIL PENELITIAN
1. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Konvensional
Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Berdasarkan Pasal 296 KUHP, barangsiapa yang pencahariannya atau
kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan
cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah).
Berdasarkan Pasal 297 KUHP, memperniagakan perempuan atau
memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya
enam tahun. Dalam kejahatan ini objek yang diperdagangkan adalah perempuan
dan anak laki-laki yang belum dewasa, yang ditujukan untuk maksud-maksud
percabulan, termasuk arti khusus menjadikannya perempuan pelacur (untuk objek
perempuan).
Berdasarkan Pasal 506 KUHP, barangsiapa menarik keuntungan dari
perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian diancam
dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Pasal 506 ini hamper memiliki
kesamaan dengan isi Pasal 296 KUHP dimana ketentuan dalam kedua Pasal ini
lebih untuk menjerat kepada mucikarinya. Namun Pasal-Pasal dalam KUHP ini
5
sebenarnya hanya untuk menjerat tindak pidana prostitusi secara konvensional
saja.
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Adapun ketentuan yang ada di dalam UU No.23 Tahun 2002 tersebut yang
berkaitan dengan perlindungan terhadap tindak pidana prostitusi pada anak,
terdapat pada Pasal 1 angka 15 UU No.23 Tahun 2002, Pasal 59 UU No.23 Tahun
2002, Pasal 66 UU No.23 Tahun 2002, Pasal 78 UU No.23 Tahun 2002, Pasal 81
UU No.23 Tahun 2002, Pasal 82 UU No.23 Tahun 2002, dan Pasal 88 UU No.23
Tahun 2002. Kasus eksploitasi seksual pada anak juga berkaitan dengan prostitusi
cyber sebab kejahatan ini cenderung memperjualbelikan anak untuk memjadi
pekerja seksual. Semakin muda usia pekerja seks maka harga untuk jasa
pelayanan seksual yang diberikan pun akan semakin mahal. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman
hukuman yang cukup berat kepada pelaku perdagangan orang.
2. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Online Dalam
Perundang-Undangan Indonesia
a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Secara sosiologis, masyarakat memang memerlukan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk
mengatur berbagai aktivitas yang mereka lakukan selama berinteraksi di cyber
6
space. Dinamika globalisasi informasi telah menuntut adanya suatu aturan untuk
melindungi kepentingan para netter dalam mengakses pelbagai informasi.
Mengenai ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana prostitusi online
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, secara
singkat sebagai berikut:
Pasal 27 Undang-Undang No.11 Tahun 2008
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pertimbangan berkaitan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 jika dilihat dari bagian menimbang salah satunya bahwa
perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang
yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan
hukum baru dan bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi
informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan
teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya
dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Adapun perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) adalah “Perbuatan mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
7
yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Dimana jika dikaitkan dengan
tindak pidana prostitusi online yang ruang lingkup pelaksanaan aktivitasnya
dilakukan di internet atau dunia cyber (maya) dengan menggunakan data atau
dokumen elektronik yang jelas berbeda pengaturan hukumnya dengan delik
kesusilaan yang dikemukakan dalam kejahatan konvensional seperti yang tertuang
dalam KUHP, sehingga untuk menanggulangi masalah cyber crime di bidang
kesusilaan khususnya tindak pidana prostitusi online diberlakukanlah Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjamin kepastian hukum.
b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang
Perdagangan orang (human trafficking) sangat mungkin terjadi dalam
prostitusi cyber. Larangan mengenai eksploitasi seksual diatur dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 1 angka 8, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 12.
KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya tersebut tidak
merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas dan lengkap secara
hukum. Oleh karena itu, lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang untuk mencegah dan menanggulangi
tindak pidana perdagangan orang dan melindungi korban perdagangan orang.
Permasalahan mengenai perdagangan wanita yang terjadi saat ini semakin
canggih, hal ini disebabkan adanya peranan teknologi internet yang digunakan
8
pelaku tindak pidana perdagangan wanita (trafficking) di dalam menjaring korban-
korban perdagangan wanita. Perkembangan internet membuka cakrawala baru
dalam kajian kriminologi terutama dalam kaitannya dengan kejahatan yang
dilakukan dengan menggunakan teknologi.4
c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Mengenai ketentuan pidana yang diatur oleh Undang-Undang Pornografi
(Undang-Undang No.44 Tahun 2008) diatur dalam Pasal 30 juncto Pasal 4 ayat
(1), secara singkat sebagai berikut:
Pasal 4 Undang-Undang No.44 Tahun 2008:
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit, memuat:
a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang
b. Kekerasan seksual
c. Masturbasi atau onani
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. Alat Kelamin atau
f. Pornografi anak
4
Randy Reddick & King Eliot, “ Internet untuk Wartawan, Internet untuk semua orang”
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.
9
Pasal 30 Undang-Undang No.44 Tahun 2008:
Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
terdapat pada Pasal 30 Juncto Pasal 4 ayat (1), pasal ini sudah dapat digunakan
dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana karena unsur tindak pidana yang
melekat pada tindak pidana prostitusi secara online telah diatur secara keseluruhan
dalam ketentuan Pasal 30 Juncto Pasal 4 ayat (1).
3. Upaya Non Penal Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media
Online
Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan
non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Hal ini dilatarbelakangi bahwa
kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan.
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Mengingat upaya
penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan
pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu
antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
10
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-
suburkan kejahatan.
Kebijakan non penal dapat ditempuh dengan cara memperbaiki
perekonomian nasional, melakukan pendidikan budi pekerti kepada setiap orang
baik secara formal maupun informal terutama kepada pihak yang rentan
melaksanakan kejahatan, memperbaiki sistem kesehatan mental masyarakat,
mengefektifkan kerjasama internasional dalam pemberantasan cyber crime,
memperbaiki sistem pengamanan komputer, serta mengefektifkan hukum
administrasi dan hukum perdata yang berhubungan dengan penyelenggaraan
sistem dan jaringan internet.
Perkembangan internet membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak
untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan
mudah, murah dan cepat, tak terkecuali anak-anak remaja. Di sisi lain, tidak
semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan ini sudah terbukti dari
data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, membujuk
dan akhirnya digunakan untuk memperdagangkan anak maupun remaja putri
untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi online. Terlebih saat ini semakin
merebaknya pelacuran melalui situs internet.
Maraknya jumlah website yang menyediakan konten pornografi yang
meningkat hingga 70 persen. Bahkan setiap harinya sebanyak 266 situs porno
baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman website pornografi
11
menimbulkan kendala bagi Kementrian Kominfo melakukan pemantauan dan
pemblokiran terhadap situs-situs porno.5
Faktor yang menyebabkan prostitusi online semakin marak terjadi dan
terus berkembang dari waktu ke waktu dalam skripsi ini memaparkan 5 faktor
penyebab terjadinya pelacuran, yakni:
1. Lemahnya tingkat keimanan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
2. Kemiskinan.
3. Keinginan cepat kaya (materialistic)
4. Faktor budaya
5. Lemahnya penegakan hukum
Upaya non penal yang dapat dilakukan sebagai langkah pencegahan
terhadap tindak pidana prostitusi online selain daripada diatas, juga dapat
dilakukan sebagai berikut:
1. Pendekatan Teknologi (Techno Prevention)
Menurut Volodymyr Golubev, banyak aspek dari kasus-kasus cyber crime
yang terjadi akibat lemahnya perlindungan informasi daripada diakibatkan oleh
perbuatan pelaku kejahatan. Oleh karena itu, perlu diberikan lebih banyak
informasi mengenai kelemahan/kerentaan dari sistem komputer dan sarana
perlindungan yang efektif.6 Dalam konteks cyber crime erat hubungannya dengan
teknologi, khususnya teknologi komputer dan telekomunikasi sehingga
5
http://www.antaranews.com/berita/1267024044/internet-sehat-kurangi-
penyalahgunaanjejaring-sosial, diakses tanggal 15 April 2013, Pukul 16.30 WIB
6 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber Crime di
Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 3-5
12
pencegahan cyber crime dapat digunakan melalui saluran teknologi atau techno
prevention.
2. Pendekatan Budaya/Kultural
Perlunya pendekatan budaya.kultural dalam kebijakan penanggulangan
cyber crime, untuk membangun/membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan
aparat penegak hukum terhadap masalah cyber crime dan menyebarluaskan atau
mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan. Pentingnya
pendekatan budaya ini khususnya upaya mengembangkan kode etik dan perilaku
(codes of behaviour and ethics), terungkap juga dalam pernyataan IIIC
(International Information Industry Congress) sebagai berikut:7
“IIIC members are also committed to participate in the development of codes of
behaviour and ethics around computer and internet use, and in campaign for the
need for ethical and responsible online behavior. Given the international reach of
internet crime, computer and internet users around the world must be made
aware of the need for high standards of conduct in cyber space.”
3. Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional yang perlu dilakukan dalam rangka
penanggulangan cyber crime adalah perjanjian ekstradisi, mutual assistance in
criminal matters, pemberian informasi secara spontan, dan pembentukan jaringan
yang dikelola oleh tenaga-tenaga professional dalam rangka menjamin
7 Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 246
13
terselenggaranya bantuan secepatnya untuk investigasi dan peradilan untuk
investigasi dan peradilan untuk pengumpulan alat bukti elektronik.
Sifat cyber crime adalah transnasional, karena itu diperlukan kerjasama
internasional yang intensif baik dalam penegakan hukum pidana maupun dalam
bidang teknologi berupa pembentukan jaringan informasi yang kuat, misalnya
program “24 hours point of contact” untuk menghadapi kejahatan cyber crime,
pelatihan personil penegak hukum yang memadai, harmonisasi hukum dan
penyebarluasan kesepakatan-kesepakatan internasional. Penyelerasan hukum
pidana materil yang mengatur tentang cyber crime merupakan inti dari kerjasama
internasional, yang diharapkan diperoleh dari penegak hukum dan kewenangan
pengadilan dari negara yang berbeda.
4. Peranan Penyedia Jasa Internet dan Pemilik Website
Satu langkah lagi agar penanggulangan cyber crime ini dapat dilakukan
dengan baik, maka perlu dilakukan kerjasama dengan Internet Service Provider
(ISP) atau penyedia jasa internet. Meskipun Internet Service Provider (ISP) hanya
berkaitan dengan layanan sambungan atau akses internet, tetapi Internet Service
Provider (ISP) memiliki catatan mengenai ke luar atau masuknya seorang
pengakses, sehingga ia sebenarnya dapat mengidentifikasikan siapa yang
melakukan kejahatan itu dengan melihat log file yang ada. Oleh sebab itu untuk
menanggulangi cyber crime dapat dilakukan dengan baik, maka perlu dilakukan
kerjasama dengan Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa internet.
14
5. Pengawasan Orang Tua
Anak-anak adalah sasaran utama dari bentuk-bentuk kejahatan online
tanpa pengawasan dari orang tua yang cenderung kurang memahami teknologi.
Disinilah peran orang tua yang ikut mengawasi dan memberikan batasan-batasan
penggunaan media online, seperti handphone, tablet, komputer, dan sebagainya.
Orang tua juga harus mengawasi anak-anaknya dalam melakukan aktivitas secara
online, melindungi keamanan anak-anak selama melakukan aktivitas secara online
terutama bila mereka memanfaatkan fasilitas chatting, home pages, facebook dan
sebagainya dan menjaga keamanan informasi pribadi anak-anak.
6. Pendekatan Sosial
Upaya penanggulangan ditinjau dari budaya hukumnya dengan cara
pencegahan tindak pidana cyberporn melalui pendekatan sosial antara lain:
a. Sekolah
Pendidikan memainkan peran yang penting untuk mencegah terjadinya
kejahatan. Sekolah mempunyai peranan yang integral dalam proses
sosialisasi sehingga dapat memberikan pengaruh positif untuk
menghambat penyimpangan perilaku di kalangan anak-anak muda.
Kurikulum penggunaan internet yang efektif pun semestinya dapat
dijadikan standar pengajaran, terutama dalam bidang-bidang
pengembangan ilmu pengetahuan.
b. Masyarakat dan Lingkungan
Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas
pornografi, harus ada kompromi antara komunitas dunia maya.
15
Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan
sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-
nilai kehidupan masyarakat.
E. PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dari keseluruhan bab yang ada dalam
skripsi ini adalah:
1. Tindak pidana prostitusi melalui media online ditinjau dari hukum positif
di Indonesia yaitu baik dalam KUHP maupun di luar KUHP ditetapkan
sebagai kejahatan.
a. Tindak pidana prostitusi ditinjau dari KUHP
Tindak pidana prostitusi sebagai bagian dari kejahatan kesopanan
diatur dalam BAB XIV yaitu dalam Pasal 281-303, namun Pasal yang
mengatur khusus mengenai pelacuran adalah Pasal 296, Pasal 297, dan
Buku Ketiga BAB II sebagai bagian dari pelanggaran tentang
ketertiban umum Pasal 506 karena dapat mengganggu ketertiban
dalam masyarakat.
b. Tindak pidana prostitusi online ditinjau dari luar KUHP
Di luar KUHP, tindak pidana prostitusi online diatur dalam UU RI
No.11 Tahun 2008, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU RI No.44 Tahun
2008 dan UU RI No. 23 Tahun 2002
16
2. Upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak
pidana prostitusi online dapat dilakukan dengan hal-hal berikut seperti
melalui pendekatan teknologi, pendekatan budaya/kultur, kerjasama
internasional, peranan pemilik usaha internet, pengawasan orang tua dan
melalui pendekatan sosial lingkungan.
B. Saran
Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut:
1. Komitmen moral merupakan hal yang penting dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana prostitusi online sebab tanpa adanya
komitmen tersebut penegakan hokum tidak mungkin dilakukan.
Format pidana penjara dan denda maksimal yang dijatuhkan kepada
mucikari online perlu lebih ditegakkan sebagai upaya represif dan
preventif agar kejahatan ini tidak terulang kembali.
2. Mengingat faktor yang paling mempengaruhi lemahnya penegakan
hukum terhadap prostitusi melalui media online adalah faktor penegak
hukum maka diperlukan peningkatan kualitas sumber daya penegak
hukum baik dalam penguasaan terhadap hukum informasi dan
transaksi elektronik (ITE) maupun penambahan terhadap sarana dan
fasilitas IT untuk lebih cepat dalam penanggulangan tindak pidana
prostitusi online. Pola perilaku dari penegak hukum juga perlu
diperbaiki agar senantiasa menjadi teladan bagi masyarakat. Selain itu
juga diperlukan penambahan jumlah ahli IT pada institusi penegak
hukum.
17
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Arief, Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber
Crime di Indonesia, 2006, Raja Grafindo Persada:Jakarta
Khiam,Khoe Soe Sendi-sendi sosiologi, 1963 Ganaco NV:Bandung
Raharjo, Agus, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, 2002, PT Citra Aditya Bakti:Bandung
Randy Reddick & King Eliot, “ Internet untuk Wartawan, Internet untuk semua
orang” Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornaksi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
C. WEBSITE
Http://www.antaranews.com/berita/1267024044/internet-sehat-kurangi-
penyalahgunaanjejaring-sosial, diakses tanggal 15 April 2013, Pukul
16.30 WIB
URL:http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-
menjanjikan-prostitusi-dalam-facebook/, diakses tanggal 10 Mei 2013,
Pukul 13.30 WIB
URL:http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-
prostitusi-di-internet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB