6316-15274-1-pb.pdf

21
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE Jurnal Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Oleh MELINDA NOVI SARI 090200376 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Upload: acun-nasrul

Post on 15-Jan-2016

6 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 6316-15274-1-PB.pdf

i

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

Jurnal

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

MELINDA NOVI SARI

090200376

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Page 2: 6316-15274-1-PB.pdf

i

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK

PIDANA PROSTITUSI MELALUI MEDIA ONLINE

Jurnal

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh

MELINDA NOVI SARI

090200376

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M.Hamdan, SH, MH

NIP: 195703261986011001

Editor

Dr. Madiasa Ablisar, SH, MS

NIP. 196104081986011002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

Page 3: 6316-15274-1-PB.pdf

ii

ABSTRAK

Melinda Novi Sari *

Dr.Madiasa Ablisar, SH, MS* *

Rafiqoh Lubis, SH, MHum* * *

Skripsi ini berbicara mengenai seiring dengan semakin merambahnya

penggunaan internet di Indonesia, aktivitas prostitusi cyber juga mengalami

perkembangan. Para pelaku mulai menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti

facebook untuk melancarkan aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk

pertemanan, kini digunakan untuk memasarkan transaksi seks.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana

pengaturan mengenai prostitusi online dalam hukum positif di Indonesia,

bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana

prostitusi melalui media online menurut hukum pidana positif di Indonesia

terutama dalam upaya pencegahan tindak pidana prostitusi online tersebut.

Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum

normatif yang menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui

penelitian kepustakaan. Dan melalui data sekunder ini kemudian dianalisis secara

kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik yang diatur dalam

KUHP maupun yang diatur di luar KUHP seperti dalam UU No.11Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 21 Tahun 2007 tentang

Perdagangan Manusia, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan UU No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Upaya untuk mencegah dan

menanggulangi tindak pidana prostitusi melalui media online itu dapat dilakukan

melalui upaya penal (hukum pidana) maupun upaya non-penal (di luar hukum

pidana). Upaya penal dalam menanggulangi tindak pidana prostitus melalu media

online telah tercantum dalam Undang-Undang di atas, sementara upaya non penal

dapat dilakukan melalui pendekatan teknologi, pendekatan budaya/kultur,

kerjasama internasional, peranan penyedia jasa internet dan pemilik website,

pengawasan orang tua dan pendekatan sosial.

Kata Kunci: Kategori Tindak Pidana Prostitusi Online, Kebijakan Hukum Pidana

Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Online

* Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

* * Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

* * * Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Page 4: 6316-15274-1-PB.pdf

iii

ABSTRACT

Melinda Novi Sari*

Dr.Madiasa Ablisar, SH, MS* *

Rafiqoh Lubis, SH, MHum* * *

This thesis talks about merambahnya along with the use of the Internet in

Indonesia, cyber prostitution activity is also experiencing growth. The actors

began using social networking sites such as facebook to launch the action.

Facebook, which was originally used for friendship, is now used to market sex

trade.

The problem in this thesis is how the regulation of online prostitution in

the positive law in Indonesia, how the criminal law policy in tackling the crime of

prostitution through online media by positive criminal law in Indonesia, especially

in efforts to prevent the crime of prostitution online.

The research method in this thesis is a normative legal research methods

using secondary data. Secondary data was obtained through library research. And

secondary data is then analyzed qualitatively to answer the problem in this thesis.

In positive law in force in Indonesia , both set in the Criminal Code and

the Criminal Code as set out in the Act No.11Tahun 2008 on Information and

Electronic Transactions, Law No. 21 Year 2007 on Human Trafficking, Law No.

44 Year 2008 on Pornography and the Law No. 23 of 2002 on Child Protection.

Efforts to prevent and mitigate the crime of prostitution through the online

medium can be done through the efforts of penal (criminal law) as well as the

efforts of non-penal (outside the criminal law). Penal efforts in tackling crime of

prostitus through online media has been stated in the above Act, while non penal

efforts can be done through technology approach, cultural approach/culture,

international cooperation, the role of internet service providers and website

owners , parental controls and approaches social.

Keywords: Category Crime Online Prostitution, Criminal Law Policy Against

Crime Online Prostitution

*

Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * *

Pembimbing I, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara * * *

Pembimbing II, Staff Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Page 5: 6316-15274-1-PB.pdf

1

A. PENDAHULUAN

Pelacuran merupakan salah satu penyakit sosial, atau lebih popular disebut

patologi sosial (social pathology). Jika diteliti sebab terjadinya patologi sosial ini,

maka dapat dikembalikan psychological tension. Secara psikologis manusia

memiliki nafsu-nafsu yang merupakan kekuatan sosial. Dalam kehidupan sosial

kita melihat dinamik yang dapat menggabungkan dan merenggangkan hubungan

semua anggota masyarakat. Jika manusia hendak hidup wajar harus dapat

memenuhi hasrat dan nafsu tadi. Seandainya keinginan-keinginan tadi tidak dapat

dipenuhi, maka hal ini dapat menimbulkan ketegangan batin. Jika ketegangan-

ketegangan ini meluas dalam masyarakat, maka terjadilah ketegangan sosial. Bila

ketegangan ini tidak segera dipecahkan dapat berkembang menjadi penyakit

sosial. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Gillin, sebagai berikut:

“Patologi sosial ialah suatu gejala dimana tidak ada persesuaian antara

berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga dapat membahayakan kehidupan

kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan keinginan fundamental dari

anggota-anggotanya dengan akibat bahwa pengikatan sosial patah sama sekali”.1

Prostitusi tetap eksis hingga sekarang dan bahkan semakin canggih metode

yang digunakan. Kini Negara yang memiliki teknologi di bidang informasi dan

komunikasi dipastikan dapat menjadi Negara yang maju apabila Negara tersebut

dapat mengolah, memanfaatkan media tersebut secara bijak dan bertanggung

jawab. Maka perkembangan tersebut bak pisau bermata dua, perkembangan media

1

Khoe Soe Khiam, Sendi-sendi sosiologi, Ganaco NV, Bandung, 1963, hal. 127

Page 6: 6316-15274-1-PB.pdf

2

interaksi berbasis internet yang juga memiliki sisi negatif apabila Negara tersebut

tidak dapat mengolah dan memanfaatkannya dengan baik.

Seiring dengan semakin merambahnya penggunaan internet di Indonesia,

aktivitas prostitusi cyber juga memiliki perkembangan. Para pelaku mulai

menggunakan situs-situs jejaring sosial seperti facebook untuk melancarkan

aksinya. Facebook yang awalnya digunakan untuk pertemanan, kini digunakan

untuk memasarkan transaksi seks. Istilah bisa pakai atau “bispak”, cowok

panggilan, cewek panggilan dan sejenisnya merupakan istilah yang dikenal dalam

dunia maya khususnya prostitusi cyber untuk menunjukkan bahwa individu yang

bersangkutan menawarkan jasa seks.2

Cara yang dipakai mucikari untuk merekrut para penyedia jasa ini sangat

beragam, tetapi biasanya mucikari ini merekrut gadis belia yang berpenampilan

menarik untuk dijadikan anak buahnya melalui layanan chating dan sejenisnya

yang beberapa tahun belakangan ini sudah menjadi trend di kalangan anak muda.

Setelah mucikari berhasil merayu para gadis belia untuk menjadi anak buahnya,

mereka biasanya akan langsung ditawarkan lewat website yang dikelola mucikari

tersebut. Untuk bisa berkencan dengan gadis-gadis muda ini, pada umumnya

calon penyewa harus mendaftarkan diri dulu pada website dimana gadis-gadis

tersebut dipamerkan. Setelah semua proses pendaftaran atau pemesanan selesai

gadis pesanan akan diantarkan ke tempat yang telah disepakati.3

2URL:http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-menjanjikan-

prostitusi-dalam-facebook/, diakses tanggal 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB 3

URL:http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-prostitusi-di-

internet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB

Page 7: 6316-15274-1-PB.pdf

3

B. PERMASALAHAN

1. Bagaimana pengaturan hukum tindak pidana prostitusi melalui media

online?

2. Bagaimana upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya tindak pidana prostitusi melalui media online di Indonesia?

C. METODE PENELITIAN

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini maka

digunakanlah suatu metode penelitian hukum yang menitikberatkan pada

penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan penelitian lebih banyak dilakukan

terhadap data sekunder. Data sekunder diambil dengan melakukan penelitian

terhadap bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat khususnya :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008

tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Perdagangan Manusia. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan

skripsi ini adalah dengan mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum,

literatur, tulisan-tulisan ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya

yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini analisis

data yang dilakukan penulis adalah menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu

mengumpulkan data yang diperlukan dalam skripsi ini yakni data sekunder yang

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier,

Page 8: 6316-15274-1-PB.pdf

4

kemudian dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan

dari skripsi ini.

D. HASIL PENELITIAN

1. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Konvensional

Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Berdasarkan Pasal 296 KUHP, barangsiapa yang pencahariannya atau

kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan

cabul dengan orang lain dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan

atau denda sebanyak-banyaknya Rp 15.000,00 (lima belas ribu rupiah).

Berdasarkan Pasal 297 KUHP, memperniagakan perempuan atau

memperniagakan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya

enam tahun. Dalam kejahatan ini objek yang diperdagangkan adalah perempuan

dan anak laki-laki yang belum dewasa, yang ditujukan untuk maksud-maksud

percabulan, termasuk arti khusus menjadikannya perempuan pelacur (untuk objek

perempuan).

Berdasarkan Pasal 506 KUHP, barangsiapa menarik keuntungan dari

perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikan sebagai pencarian diancam

dengan pidana kurungan paling lama satu tahun. Pasal 506 ini hamper memiliki

kesamaan dengan isi Pasal 296 KUHP dimana ketentuan dalam kedua Pasal ini

lebih untuk menjerat kepada mucikarinya. Namun Pasal-Pasal dalam KUHP ini

Page 9: 6316-15274-1-PB.pdf

5

sebenarnya hanya untuk menjerat tindak pidana prostitusi secara konvensional

saja.

b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Adapun ketentuan yang ada di dalam UU No.23 Tahun 2002 tersebut yang

berkaitan dengan perlindungan terhadap tindak pidana prostitusi pada anak,

terdapat pada Pasal 1 angka 15 UU No.23 Tahun 2002, Pasal 59 UU No.23 Tahun

2002, Pasal 66 UU No.23 Tahun 2002, Pasal 78 UU No.23 Tahun 2002, Pasal 81

UU No.23 Tahun 2002, Pasal 82 UU No.23 Tahun 2002, dan Pasal 88 UU No.23

Tahun 2002. Kasus eksploitasi seksual pada anak juga berkaitan dengan prostitusi

cyber sebab kejahatan ini cenderung memperjualbelikan anak untuk memjadi

pekerja seksual. Semakin muda usia pekerja seks maka harga untuk jasa

pelayanan seksual yang diberikan pun akan semakin mahal. Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman

hukuman yang cukup berat kepada pelaku perdagangan orang.

2. Pengaturan Hukum Pidana Tindak Pidana Prostitusi Online Dalam

Perundang-Undangan Indonesia

a. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Secara sosiologis, masyarakat memang memerlukan Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk

mengatur berbagai aktivitas yang mereka lakukan selama berinteraksi di cyber

Page 10: 6316-15274-1-PB.pdf

6

space. Dinamika globalisasi informasi telah menuntut adanya suatu aturan untuk

melindungi kepentingan para netter dalam mengakses pelbagai informasi.

Mengenai ketentuan pidana yang mengatur tindak pidana prostitusi online

diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, secara

singkat sebagai berikut:

Pasal 27 Undang-Undang No.11 Tahun 2008

“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan

dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling

banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”

Pertimbangan berkaitan dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2008 jika dilihat dari bagian menimbang salah satunya bahwa

perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah

menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang

yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan

hukum baru dan bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi

informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan

teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya

dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Adapun perbuatan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

ayat (1) adalah “Perbuatan mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau

membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

Page 11: 6316-15274-1-PB.pdf

7

yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Dimana jika dikaitkan dengan

tindak pidana prostitusi online yang ruang lingkup pelaksanaan aktivitasnya

dilakukan di internet atau dunia cyber (maya) dengan menggunakan data atau

dokumen elektronik yang jelas berbeda pengaturan hukumnya dengan delik

kesusilaan yang dikemukakan dalam kejahatan konvensional seperti yang tertuang

dalam KUHP, sehingga untuk menanggulangi masalah cyber crime di bidang

kesusilaan khususnya tindak pidana prostitusi online diberlakukanlah Undang-

Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk menjamin kepastian hukum.

b. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang

Perdagangan orang (human trafficking) sangat mungkin terjadi dalam

prostitusi cyber. Larangan mengenai eksploitasi seksual diatur dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 1 angka 8, Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2),

Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 12.

KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya tersebut tidak

merumuskan pengertian perdagangan orang secara tegas dan lengkap secara

hukum. Oleh karena itu, lahir Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Perdagangan Orang untuk mencegah dan menanggulangi

tindak pidana perdagangan orang dan melindungi korban perdagangan orang.

Permasalahan mengenai perdagangan wanita yang terjadi saat ini semakin

canggih, hal ini disebabkan adanya peranan teknologi internet yang digunakan

Page 12: 6316-15274-1-PB.pdf

8

pelaku tindak pidana perdagangan wanita (trafficking) di dalam menjaring korban-

korban perdagangan wanita. Perkembangan internet membuka cakrawala baru

dalam kajian kriminologi terutama dalam kaitannya dengan kejahatan yang

dilakukan dengan menggunakan teknologi.4

c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Mengenai ketentuan pidana yang diatur oleh Undang-Undang Pornografi

(Undang-Undang No.44 Tahun 2008) diatur dalam Pasal 30 juncto Pasal 4 ayat

(1), secara singkat sebagai berikut:

Pasal 4 Undang-Undang No.44 Tahun 2008:

(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,

menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,

menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan

pornografi yang secara eksplisit, memuat:

a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang

b. Kekerasan seksual

c. Masturbasi atau onani

d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan

e. Alat Kelamin atau

f. Pornografi anak

4

Randy Reddick & King Eliot, “ Internet untuk Wartawan, Internet untuk semua orang”

Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996.

Page 13: 6316-15274-1-PB.pdf

9

Pasal 30 Undang-Undang No.44 Tahun 2008:

Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan

paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit

Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

terdapat pada Pasal 30 Juncto Pasal 4 ayat (1), pasal ini sudah dapat digunakan

dalam pembebanan pertanggungjawaban pidana karena unsur tindak pidana yang

melekat pada tindak pidana prostitusi secara online telah diatur secara keseluruhan

dalam ketentuan Pasal 30 Juncto Pasal 4 ayat (1).

3. Upaya Non Penal Terhadap Tindak Pidana Prostitusi Melalui Media

Online

Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua

pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan

non penal (pendekatan di luar hukum pidana). Hal ini dilatarbelakangi bahwa

kejahatan adalah masalah sosial dan masalah kemanusiaan.

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat

tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Mengingat upaya

penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat tindakan

pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani

faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu

antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

Page 14: 6316-15274-1-PB.pdf

10

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-

suburkan kejahatan.

Kebijakan non penal dapat ditempuh dengan cara memperbaiki

perekonomian nasional, melakukan pendidikan budi pekerti kepada setiap orang

baik secara formal maupun informal terutama kepada pihak yang rentan

melaksanakan kejahatan, memperbaiki sistem kesehatan mental masyarakat,

mengefektifkan kerjasama internasional dalam pemberantasan cyber crime,

memperbaiki sistem pengamanan komputer, serta mengefektifkan hukum

administrasi dan hukum perdata yang berhubungan dengan penyelenggaraan

sistem dan jaringan internet.

Perkembangan internet membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak

untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan

mudah, murah dan cepat, tak terkecuali anak-anak remaja. Di sisi lain, tidak

semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan ini sudah terbukti dari

data yang ada yang menggambarkan internet dipakai untuk menipu, membujuk

dan akhirnya digunakan untuk memperdagangkan anak maupun remaja putri

untuk tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi online. Terlebih saat ini semakin

merebaknya pelacuran melalui situs internet.

Maraknya jumlah website yang menyediakan konten pornografi yang

meningkat hingga 70 persen. Bahkan setiap harinya sebanyak 266 situs porno

baru muncul dan diperkirakan ada 372 juta halaman website pornografi

Page 15: 6316-15274-1-PB.pdf

11

menimbulkan kendala bagi Kementrian Kominfo melakukan pemantauan dan

pemblokiran terhadap situs-situs porno.5

Faktor yang menyebabkan prostitusi online semakin marak terjadi dan

terus berkembang dari waktu ke waktu dalam skripsi ini memaparkan 5 faktor

penyebab terjadinya pelacuran, yakni:

1. Lemahnya tingkat keimanan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

2. Kemiskinan.

3. Keinginan cepat kaya (materialistic)

4. Faktor budaya

5. Lemahnya penegakan hukum

Upaya non penal yang dapat dilakukan sebagai langkah pencegahan

terhadap tindak pidana prostitusi online selain daripada diatas, juga dapat

dilakukan sebagai berikut:

1. Pendekatan Teknologi (Techno Prevention)

Menurut Volodymyr Golubev, banyak aspek dari kasus-kasus cyber crime

yang terjadi akibat lemahnya perlindungan informasi daripada diakibatkan oleh

perbuatan pelaku kejahatan. Oleh karena itu, perlu diberikan lebih banyak

informasi mengenai kelemahan/kerentaan dari sistem komputer dan sarana

perlindungan yang efektif.6 Dalam konteks cyber crime erat hubungannya dengan

teknologi, khususnya teknologi komputer dan telekomunikasi sehingga

5

http://www.antaranews.com/berita/1267024044/internet-sehat-kurangi-

penyalahgunaanjejaring-sosial, diakses tanggal 15 April 2013, Pukul 16.30 WIB

6 Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber Crime di

Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 3-5

Page 16: 6316-15274-1-PB.pdf

12

pencegahan cyber crime dapat digunakan melalui saluran teknologi atau techno

prevention.

2. Pendekatan Budaya/Kultural

Perlunya pendekatan budaya.kultural dalam kebijakan penanggulangan

cyber crime, untuk membangun/membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan

aparat penegak hukum terhadap masalah cyber crime dan menyebarluaskan atau

mengajarkan etika penggunaan komputer melalui media pendidikan. Pentingnya

pendekatan budaya ini khususnya upaya mengembangkan kode etik dan perilaku

(codes of behaviour and ethics), terungkap juga dalam pernyataan IIIC

(International Information Industry Congress) sebagai berikut:7

“IIIC members are also committed to participate in the development of codes of

behaviour and ethics around computer and internet use, and in campaign for the

need for ethical and responsible online behavior. Given the international reach of

internet crime, computer and internet users around the world must be made

aware of the need for high standards of conduct in cyber space.”

3. Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional yang perlu dilakukan dalam rangka

penanggulangan cyber crime adalah perjanjian ekstradisi, mutual assistance in

criminal matters, pemberian informasi secara spontan, dan pembentukan jaringan

yang dikelola oleh tenaga-tenaga professional dalam rangka menjamin

7 Agus Raharjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

Berteknologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 246

Page 17: 6316-15274-1-PB.pdf

13

terselenggaranya bantuan secepatnya untuk investigasi dan peradilan untuk

investigasi dan peradilan untuk pengumpulan alat bukti elektronik.

Sifat cyber crime adalah transnasional, karena itu diperlukan kerjasama

internasional yang intensif baik dalam penegakan hukum pidana maupun dalam

bidang teknologi berupa pembentukan jaringan informasi yang kuat, misalnya

program “24 hours point of contact” untuk menghadapi kejahatan cyber crime,

pelatihan personil penegak hukum yang memadai, harmonisasi hukum dan

penyebarluasan kesepakatan-kesepakatan internasional. Penyelerasan hukum

pidana materil yang mengatur tentang cyber crime merupakan inti dari kerjasama

internasional, yang diharapkan diperoleh dari penegak hukum dan kewenangan

pengadilan dari negara yang berbeda.

4. Peranan Penyedia Jasa Internet dan Pemilik Website

Satu langkah lagi agar penanggulangan cyber crime ini dapat dilakukan

dengan baik, maka perlu dilakukan kerjasama dengan Internet Service Provider

(ISP) atau penyedia jasa internet. Meskipun Internet Service Provider (ISP) hanya

berkaitan dengan layanan sambungan atau akses internet, tetapi Internet Service

Provider (ISP) memiliki catatan mengenai ke luar atau masuknya seorang

pengakses, sehingga ia sebenarnya dapat mengidentifikasikan siapa yang

melakukan kejahatan itu dengan melihat log file yang ada. Oleh sebab itu untuk

menanggulangi cyber crime dapat dilakukan dengan baik, maka perlu dilakukan

kerjasama dengan Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa internet.

Page 18: 6316-15274-1-PB.pdf

14

5. Pengawasan Orang Tua

Anak-anak adalah sasaran utama dari bentuk-bentuk kejahatan online

tanpa pengawasan dari orang tua yang cenderung kurang memahami teknologi.

Disinilah peran orang tua yang ikut mengawasi dan memberikan batasan-batasan

penggunaan media online, seperti handphone, tablet, komputer, dan sebagainya.

Orang tua juga harus mengawasi anak-anaknya dalam melakukan aktivitas secara

online, melindungi keamanan anak-anak selama melakukan aktivitas secara online

terutama bila mereka memanfaatkan fasilitas chatting, home pages, facebook dan

sebagainya dan menjaga keamanan informasi pribadi anak-anak.

6. Pendekatan Sosial

Upaya penanggulangan ditinjau dari budaya hukumnya dengan cara

pencegahan tindak pidana cyberporn melalui pendekatan sosial antara lain:

a. Sekolah

Pendidikan memainkan peran yang penting untuk mencegah terjadinya

kejahatan. Sekolah mempunyai peranan yang integral dalam proses

sosialisasi sehingga dapat memberikan pengaruh positif untuk

menghambat penyimpangan perilaku di kalangan anak-anak muda.

Kurikulum penggunaan internet yang efektif pun semestinya dapat

dijadikan standar pengajaran, terutama dalam bidang-bidang

pengembangan ilmu pengetahuan.

b. Masyarakat dan Lingkungan

Untuk mencapai tujuan bersama berupa keinginan untuk memberantas

pornografi, harus ada kompromi antara komunitas dunia maya.

Page 19: 6316-15274-1-PB.pdf

15

Masyarakat berkeinginan agar pornografi di internet dapat ditekan

sehingga dampak buruk yang muncul tidak akan membahayakan nilai-

nilai kehidupan masyarakat.

E. PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan dari keseluruhan bab yang ada dalam

skripsi ini adalah:

1. Tindak pidana prostitusi melalui media online ditinjau dari hukum positif

di Indonesia yaitu baik dalam KUHP maupun di luar KUHP ditetapkan

sebagai kejahatan.

a. Tindak pidana prostitusi ditinjau dari KUHP

Tindak pidana prostitusi sebagai bagian dari kejahatan kesopanan

diatur dalam BAB XIV yaitu dalam Pasal 281-303, namun Pasal yang

mengatur khusus mengenai pelacuran adalah Pasal 296, Pasal 297, dan

Buku Ketiga BAB II sebagai bagian dari pelanggaran tentang

ketertiban umum Pasal 506 karena dapat mengganggu ketertiban

dalam masyarakat.

b. Tindak pidana prostitusi online ditinjau dari luar KUHP

Di luar KUHP, tindak pidana prostitusi online diatur dalam UU RI

No.11 Tahun 2008, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU RI No.44 Tahun

2008 dan UU RI No. 23 Tahun 2002

Page 20: 6316-15274-1-PB.pdf

16

2. Upaya non penal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak

pidana prostitusi online dapat dilakukan dengan hal-hal berikut seperti

melalui pendekatan teknologi, pendekatan budaya/kultur, kerjasama

internasional, peranan pemilik usaha internet, pengawasan orang tua dan

melalui pendekatan sosial lingkungan.

B. Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat disarankan sebagai berikut:

1. Komitmen moral merupakan hal yang penting dalam penegakan

hukum terhadap tindak pidana prostitusi online sebab tanpa adanya

komitmen tersebut penegakan hokum tidak mungkin dilakukan.

Format pidana penjara dan denda maksimal yang dijatuhkan kepada

mucikari online perlu lebih ditegakkan sebagai upaya represif dan

preventif agar kejahatan ini tidak terulang kembali.

2. Mengingat faktor yang paling mempengaruhi lemahnya penegakan

hukum terhadap prostitusi melalui media online adalah faktor penegak

hukum maka diperlukan peningkatan kualitas sumber daya penegak

hukum baik dalam penguasaan terhadap hukum informasi dan

transaksi elektronik (ITE) maupun penambahan terhadap sarana dan

fasilitas IT untuk lebih cepat dalam penanggulangan tindak pidana

prostitusi online. Pola perilaku dari penegak hukum juga perlu

diperbaiki agar senantiasa menjadi teladan bagi masyarakat. Selain itu

juga diperlukan penambahan jumlah ahli IT pada institusi penegak

hukum.

Page 21: 6316-15274-1-PB.pdf

17

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Arief, Barda Nawawi, Tindak Pidana Mayantara:Perkembangan Kajian Cyber

Crime di Indonesia, 2006, Raja Grafindo Persada:Jakarta

Khiam,Khoe Soe Sendi-sendi sosiologi, 1963 Ganaco NV:Bandung

Raharjo, Agus, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan

Berteknologi, 2002, PT Citra Aditya Bakti:Bandung

Randy Reddick & King Eliot, “ Internet untuk Wartawan, Internet untuk semua

orang” Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1996

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pornaksi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

C. WEBSITE

Http://www.antaranews.com/berita/1267024044/internet-sehat-kurangi-

penyalahgunaanjejaring-sosial, diakses tanggal 15 April 2013, Pukul

16.30 WIB

URL:http://media.kompasiana.com/group/new-media/2010/04/14/bisnis-

menjanjikan-prostitusi-dalam-facebook/, diakses tanggal 10 Mei 2013,

Pukul 13.30 WIB

URL:http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/1851387-

prostitusi-di-internet, diakses 10 Mei 2013, Pukul 13.30 WIB