56050263-makalah-k3

Upload: ardho-junantha-akbar

Post on 09-Oct-2015

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

MAKALAH

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)Memberi masukan kepada pekerja, terhadap pentingnya keselamatan kerja

Oleh:

Novita Nur Aini(100513402058/PTO)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

S1 PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF

TAHUN 2010PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Suatu tempat kerja yang aman adalah lingkungan kerja yang teratur dan terpelihara dengan baik dan cepat menjadi terkenal sebagai tempat naungan pekerja yang baik.Program keselamatan kerja yg baik adalah program yg terpadu dengan pekerjaan sehari-hari (rutin), sehingga sukar untuk dipisahkan satu sama lainnya.Di era golbalisasi menuntut pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di setiap tempat kerja termasuk di sektor kesehatan. Untuk itu kita perlu mengembangkan dan meningkatkan K3 disektor kesehatan dalam rangka menekan serendah mungkin risiko kecelakaan dan penyakit yang timbul akibat hubungan kerja, serta meningkatkan produktivitas dan efesiensi.TUJUAN

1Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam melaksanakan pekerjaan

2Menjamin keselamatan setiap orang yang berada di tempat kerja3Sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman & efisienISI

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) merupakan instrumen yang memproteksi pekerja, perusahaan, lingkungan hidup, dan masyarakat sekitar dari bahaya akibat kecelakaan kerja. Perlindungan tersebut merupakan hak asasi yang wajib dipenuhi oleh perusahaan. K3 bertujuan mencegah, mengurangi, bahkan menihilkan risiko kecelakaan kerja (zero accident). Penerapan konsep ini tidak boleh dianggap sebagai upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang menghabiskan banyak biaya (cost) perusahaan, melainkan harus dianggap sebagai bentuk investasi jangka panjang yang memberi keuntungan yang berlimpah pada masa yang akan datang.

Pada awal revolusi industri, K3 belum menjadi bagian integral dalam perusahaan. Pada era in kecelakaan kerja hanya dianggap sebagai kecelakaan atau resiko kerja (personal risk), bukan tanggung jawab perusahaan. Pandangan ini diperkuat dengan konsep common law defence (CLD) yang terdiri atas contributing negligence (kontribusi kelalaian), fellow servant rule (ketentuan kepegawaian), dan risk assumption (asumsi resiko) (Tono, Muhammad: 2002). Kemudian konsep ini berkembang menjadi employers liability yaitu K3 menjadi tanggung jawab pengusaha, buruh/pekerja, dan masyarakat umum yang berada di luar lingkungan kerja.Dalam konteks bangsa Indonesia, kesadaran K3 sebenarnya sudah ada sejak pemerintahan kolonial Belanda. Misalnya, pada 1908 parlemen Belanda mendesak Pemerintah Belanda memberlakukan K3 di Hindia Belanda yang ditandai dengan penerbitan Veiligheids Reglement, Staatsblad No. 406 Tahun 1910. Selanjutnya, pemerintah kolonial Belanda menerbitkan beberapa produk hukum yang memberikan perlindungan bagi keselamatan dan kesehatan kerja yang diatur secara terpisah berdasarkan masing-masing sektor ekonomi. Beberapa di antaranya yang menyangkut sektor perhubungan yang mengatur lalu lintas perketaapian seperti tertuang dalam Algemene Regelen Betreffende de Aanleg en de Exploitate van Spoor en Tramwegen Bestmend voor Algemene Verkeer in Indonesia (Peraturan umum tentang pendirian dan perusahaan Kereta Api dan Trem untuk lalu lintas umum Indonesia) dan Staatblad 1926 No. 334, Schepelingen Ongevallen Regeling 1940 (Ordonansi Kecelakaan Pelaut), Staatsblad 1930 No. 225, Veiligheids Reglement (Peraturan Keamanan Kerja di Pabrik dan Tempat Kerja), dan sebagainya. Kepedulian Tinggi Pada awal zaman kemerdekaan, aspek K3 belum menjadi isu strategis dan menjadi bagian dari masalah kemanusiaan dan keadilan. Hal ini dapat dipahami karena Pemerintahan Indonesia masih dalam masa transisi penataan kehidupan politik dan keamanan nasional. Sementara itu, pergerakan roda ekonomi nasional baru mulai dirintis oleh pemerintah dan swasta nasional.

K3 baru menjadi perhatian utama pada tahun 70-an searah dengan semakin ramainya investasi modal dan pengadopsian teknologi industri nasional (manufaktur). Perkembangan tersebut mendorong pemerintah melakukan regulasi dalam bidang ketenagakerjaan, termasuk pengaturan masalah K3. Hal ini tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1070 tentang Keselamatan Kerja, sedangkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sebelumnya seperti UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja, UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja tidak menyatakan secara eksplisit konsep K3 yang dikelompokkan sebagai norma kerja.Setiap tempat kerja atau perusahaan harus melaksanakan program K3. Tempat kerja dimaksud berdimensi sangat luas mencakup segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan tanah, dalam air, di udara maupun di ruang angkasa.

Pengaturan hukum K3 dalam konteks di atas adalah sesuai dengan sektor/bidang usaha. Misalnya, UU No. 13 Tahun 1992 tentang Perkerataapian, UU No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan beserta peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya. Selain sekor perhubungan di atas, regulasi yang berkaitan dengan K3 juga dijumpai dalam sektor-sektor lain seperti pertambangan, konstruksi, pertanian, industri manufaktur (pabrik), perikanan, dan lain-lain.Di era globalisasi saat ini, pembangunan nasional sangat erat dengan perkembangan isu-isu global seperti hak-hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, kemiskinan, dan buruh. Persaingan global tidak hanya sebatas kualitas barang tetapi juga mencakup kualitas pelayanan dan jasa. Banyak perusahaan multinasional hanya mau berinvestasi di suatu negara jika negara bersangkutan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup. Juga kepekaan terhadap kaum pekerja dan masyarakat miskin. Karena itu bukan mustahil jika ada perusahaan yang peduli terhadap K3, menempatkan ini pada urutan pertama sebagai syarat investasi.

Perlu kesadaran untuk memperbaiki system K3 di Indonesia, salah satunya menghilangkan budaya nrimo.Sistem pelaporan gangguan alat kerja kepada mekanik. Ketakutan untuk melaporkan kerusakan pada alat kerja karena tidak jarang perusahaan malah memarahi pegawainya, akibatnya mesin produksi yang rusak tidak terdeteksi dan proses produksi tidak berlangsung secara maksimal.

Tidak tertarik/cuek dengan lingkungan sekitar dapat diatasi melalui pembinaan mental dan spiritual secara berkala minimal sebulan sekali. Penegakan disiplin ditempat kerja. Melakukan walk through survey tiap bulan/triwulan atau semester, dengan memperhitungkan risiko berdasarkan faktor-faktor konsekuensi, pajanan dan kemungkinan terjadinya. Melakukan corrective action apabila ada hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan. Pelatihan tanggap darurat secara periodik bagi pegawai. Pelatihan investigasi terhadap kemungkinan bahaya bom/kebakaran/demostrasi/ bencana alam serta Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) bagi satuan pengaman.

Penggunaan APD (alat pelindung diri) dalam lingkungan kerja yang sesuai menjadi property yang wajib digunakan oleh pekerja. Rendahnya kesadaran pekerja terhadap Keselamatan kerja dianggap mengurangi feminitas. Terbatasnya faktor stimulan pimpinanKarena tidak enak /kurang nyaman.Metode penentuan APD Melalui pengamatan operasi, proses, dan jenis material yang dipakai, Telaah data-data kecelakaan dan penyakit, Belajar dari pengalaman industri sejenis lainnya

Proses penggunaan APD harus memenuhi kriteria:

1. Hazard telah diidentifikasi.

2. APD yang dipakai sesuai dengan hazard yang dituju.

3. Adanya bukti bahwa APD dipatuhi penggunaannya.

Dasar Hukum

1. Undang-undang No.1 tahun 1970.

a. Pasal 3 ayat (1) butir f: Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat untuk memberikan APD

b. Pasal 9 ayat (1) butir c: Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang APD.

c. Pasal 12 butir b: Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk memakai APD.

d. Pasal 14 butir c: Pengurus diwajibkan menyediakan APD secara cuma-Cuma.

2. Permenakertrans No.Per.01/MEN/1981

Pasal 4 ayat (3) menyebutkan kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi tenaga kerja untuk menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

3. Permenakertrans No.Per.03/MEN/1982

Pasal 2 butir I menyebutkan memberikan nasehat mengenai perencanaan dan pembuatan tempat kerja, pemilihan alat pelindung diri yang diperlukan dan gizi serta penyelenggaraan makanan ditempat kerja

4. Permenakertrans No.Per.03/Men/1986

Pasal 2 ayat (2) menyebutkan tenaga kerja yang mengelola Pestisida harus memakai alat-alat pelindung diri yg berupa pakaian kerja, sepatu lars tinggi, sarung tangan, kacamata pelindung atau pelindung muka dan pelindung pernafasanPENUTUPDalam pelaksanaan K3 perlu memperhatikan konstruksi gedung beserta perlengkapannya dan operasionalisasinya serta kode pelaksanannya maupun terhadap jaringan elektrik dan komunikasi, kualitas udara, kualitas pencahayaan, kebisingan, display unit (tata ruang dan alat), hygiene dan sanitasi, psikososial. Penggunaan Alat Pelindung diri yang sesuai dengan keadaan kerja harus diperhatikan karena dapat mengurangi resiko kecelakaan kerja.

Metode K3 tidak hanya meningkatkan kesehatan maupun keselamatan karyawan/pekerja dalam melakukan pekerjaan di tempat kerjanya. Harapannya rekomendasi ini dapat dijadikan sebagai acuan ataupun perbandingan dalam rangka meningkatkan pelaksanaan K3.REFRENSI

Arbel Prasetyo, (Online) http://arbelprasetyo.blogspot.com/2009/02/hukum-keselamatan-dan-kesehatan-kerja.html#comments. 7 Oktober 2010

Balai K3 Bandung, (Online) http://hiperkes.wordpress.com/2008/04/04/alat-pelindung-diri/. 8 Oktober 2010

Mohammad Sholeh, (Oneline) http://mohammadsholeh.myblogrepublika.com/2009/03/07 /kelamatan-dan-kesehatran-kerja-k3. 7 Oktober 2010(Online)http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/uu_keselamatan_kerja/uu_keselamatan_kerja_index.htm. 7 Oktober 2010