52851446-laporan-pendahuluan
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN
BPH (POST OPEN PROSTATEKTOMI)
LANTAI 4B GEDUNG A RSCM
JULIANA, 0606102612
1. Anatomi dan Fisiologi
Prostat adalah suatu organ yang terdiri dari komponen kelenjar, stroma dan muskular.
Kelenjar ini mulai tumbuh pada kehamilan umur 12 minggu karena pengaruh dari horman
androgen yang berasal dari testis janin. Prostat merupakan derivat dari jaringan embrional
sinus urogenital. Kelenjar prostat bentuknya seperti konnus terbalik yang terjepit (kemiri ).
Letak kelenjar prostat disebelah inferior buli-bulu, didepan rektum dan membungkus uretra
posterior. Ukuran rata-rata prostat pada pria dewasa 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya kurang
lebih 20 gram.
Pada tahun 1972 Mc. NEAL, mengemukakan konsep tantang zona anatomi dari
prostat. Menurut Mc. NEAL, komponen kelenjar dari prostat sebagian besar
terletak/membentuk zona perifer. Zona perifer ini ditambah dengan zona sentral yang terkecil
merupakan 95 % dari komponen kelenjar. Komponen kelenjar yang lain ( 5% ) membentuk
zona transisi. Zona transisi ini terletak tepat di luar uretra di daerah verumontanum. Proses
hiperplasia dimulai di zona transisi ini. Sebagian besar proses keganasan (60-70 % ) bermula
di zona perifer, sebagian lagi dapat tumbuh di zona transisi dan zona sentral.
Prostat menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretorius dan bermuara di uretra
posterior untuk kemudian bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini
merupakan 25 % dari volume ejakulat. Jika kelenjar ini mengalami hiperplasia jinak atau
berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu uretra posterior dan mengakibatkan
terjadinya obstruksi saluran kemih.
1. Definisi
Adalah pembesaran prostate yang berhubungan dengan usia yang merupakan akibat
proliferasi bagian srtoma dan kelenjar. Hal ini dapat menyebabkan sumbatan dan penekanan
saluran kencing.
2. Etiologi
Penyebab yang pasti terjadinya BPH sampai saat ini belum jelas namun diprediksi
akibat ketidakseimbangan hormonal. Usia juga memiliki peran yang penting terhadap
terjadinya BPH. Seseorang yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki resiko terkena BPH
50% dan usia di atas 75 tahun memiliki resiko 75%.
3. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan umur, kelenjar prostat akan mengalami hiperplasia, jika
prostat membesar akan meluas ke atas (bladder), di dalam mempersempit saluran uretra
prostatica dan menyumbat aliran urine. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal.
Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dan buli-buli
berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urine keluar. Kontraksi yang terus-menerus
menyebabkan perubahan anatomi dari buli-buli berupa : Hipertropi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sekula dan difertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli
dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kencing bagian bawah atau Lower Urinary
Tract Symptom/LUTS.
Pada fase-fase awal dari Prostat Hyperplasia, kompensasi oleh muskulus destrusor
berhasil dengan sempurna. Artinya pola dan kualitas dari miksi tidak banyak berubah. Pada
fase ini disebut Sebagai Prostat Hyperplasia Kompensata. Lama kelamaan kemampuan
kompensasi menjadi berkurang dan pola serta kualitas miksi berubah, kekuatan serta lamanya
kontraksi dari muskulus destrusor menjadi tidak adekuat sehingga tersisalah urine di dalam
buli-buli saat proses miksi berakhir seringkali Prostat Hyperplasia menambah kompensasi ini
dengan jalan meningkatkan tekanan intra abdominal (mengejan) sehingga tidak jarang
disertai timbulnya hernia dan haemorhoid puncak dari kegagalan kompensasi adalah tidak
berhasilnya melakukan ekspulsi urine dan terjadinya retensi urine, keadaan ini disebut
sebagai Prostat Hyperplasia Dekompensata. Fase Dekompensasi yang masih akut
menimbulkan rasa nyeri dan dalam beberapa hari menjadi kronis dan terjadilah inkontinensia
urine secara berkala akan mengalir sendiri tanpa dapat dikendalikan, sedangkan buli-buli
tetap penuh. Ini terjadi oleh karena buli-buli tidak sanggup menampung atau dilatasi lagi.
Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidak mampuan otot detrusor memompa urine
dan menjadi retensi urine.Retensi urine yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi
ginjal.
4. Gejala
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu:
1. Gejala Obstruktif
a. Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa
lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
b. Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi.
c. Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d. Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor memerlukan
waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e. Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum puas.
2. Gejala Iritasi
a. Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b. Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam
hari (Nocturia) dan pada siang hari.
c. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
5. Derajat Benign Prostate Hyperplasia
Benigne Prostat Hyperplasia terbagi dalam 4 derajat sesuai dengan gangguan klinisnya :
1. Derajat satu: keluhan prostatisme ditemukan penonjolan prostat 1 – 2 cm, sisa urine
kurang dari 50 cc, pancaran lemah, nocturia, berat + 20 gram.
2. Derajat dua: keluhan miksi terasa panas, sakit, disuria, nocturia bertambah berat, panas
badan tinggi (menggigil), nyeri daerah pinggang, prostat lebih menonjol, batas atas masih
teraba, sisa urine 50 – 100 cc dan beratnya + 20 – 40 gram.
3. Derajat tiga: gangguan lebih berat dari derajat dua, batas sudah tak teraba, sisa urine lebih
100 cc, penonjolan prostat 3 – 4 cm, dan beratnya 40 gram.
4. Derajat empat: inkontinensia, prostat lebih menonjol dari 4 cm, ada penyulit ke ginjal
seperti gagal ginjal, hydroneprosis.
6. Penatalaksanaan
Hanya dengan dilakukan prostatektomi yang merupakan reseksi bedah bagian prostat
yang memotong uretra untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria
akut, ada beberapa alternatif pembedahan meliputi :
Transsurethral resection of prostate (TURP)
Dimanan jaringan prostat obstruksi dari lobus medial sekitar uretra diangkat dengana
sistoskop/resektoskop dimasukkan melalui uretra
Suprapubic /open prostatektomi
Dengan diindikasikan untuk massa lebih dari 60 g/60 cc. penghambat jaringan prostat
diangkat melalui insisi garis tengah bawah dibuat melalui kandung kemih,pendekatan ini
lebih ditujukan bila ada batu kandung kemih. Pedekatan ini lebih ditujukan bila ada batu
kandung kemih.
Retropubic prostatektomi
Massa jairingan prostat hipertropi (lokasi tinggi dibagian pelvis) diangkat melalui
insisi abdomen bawah tanpa pembukaan kandung kemih
Perineal prosteatektomi
Massa prostat besar dibawah area pelvis diangkat melalui insisi diantara skrotum dan
rektum, prosedur radikal ini dilakukan untuk kanker dan dapat mengakibatkan impotensi.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN BPH
Pengkajian post operasi prostatektomi
Pengkajian ini dilakukan setelah klien menjalani operasi, yang meliputi:
Keluhan utama : Keluhan pada klien berbeda – beda antara klien yang satu dengan yang
lain. Kemungkinan keluhan yang bisa timbul pada klien post operasi prostektomi adalah
keluhan rasa tidak nyaman, nyeri karena spasme kandung kemih atau karena adanya
bekas insisi pada waktu pembedahan. Hal ini ditunjukkan dari ekspresi klien dan
ungkapan dari klien sendiri.
Keadaan umum : Kesadaran, GCS, ekspresi wajah klien, suara bicara.
Sistem respirasi: Bagaimana pernafasan klien, apa ada sumbatan pada jalan nafas atau
tidak. Apakah perlu dipasang O2. Frekuensi nafas , irama nafas, suara nafas. Ada
wheezing dan ronchi atau tidak. Gerakan otot Bantu nafas seperti gerakan cuping hidung,
gerakan dada dan perut. Tanda – tanda cyanosis ada atau tidak.
Sistem sirkulasi: Yang dikaji: nadi (takikardi/bradikardi, irama), tekanan darah, suhu
tubuh, monitor jantung (EKG ).
Sistem gastrointestinal: Hal yang dikaji: Frekuensi defekasi, inkontinensia alvi,
konstipasi / obstipasi, bagaimana dengan bising usus, sudah flatus apa belum, apakah ada
mual dan muntah.
Sistem neurology: Hal yang dikaji: keadaan atau kesan umum, GCS, adanya nyeri
kepala.
Sistem muskuloskleletal :Bagaimana aktifitas klien sehari – hari setelah operasi.
Bagaimana memenuhi kebutuhannya. Apakah terpasang infus dan dibagian mana
dipasang serta keadaan disekitar daerah yang terpasang infus. Keadaan ekstrimitas.
Sistem eliminasi: Apa ada ketidaknyamanan pada supra pubik, kandung kemih penuh .
Masih ada gangguan miksi seperti retensi. Kaji apakah ada tanda – tanda perdarahan,
infeksi. Memakai kateter jenis apa. Irigasi kandung kemih. Warna urine dan jumlah
produksi urine tiap hari. Bagaimana keadaan sekitar daerah pemasangan kateter.
Terapi yang diberikan setelah operasi: Infus yang terpasang, obat – obatan seperti
antibiotika, analgetika, cairan irigasi kandung kemih.
Diagnosa setelah operasi
1. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
prostatektomi
2. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder dari
prostatektomi bekuan darah odema .
3. Potensial infeksi berhubungan dengan prosedur invasif : alat selama
pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering.
4. Kurang pengetahuan: tentang prostatektomi sehubungan dengan kurang
informasi .
5. Gangguan tidur dan istirahat berhubungan dengan nyeri.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 1998. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Diagnosa Keperawatan dan Masalah Kolaboratif, edisi 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, edisi 3. Jakarta: Penerbit buku kedokteran, EGC.
Purnomo, Basuki B. 2000. Dasar – dasar urologi. Malang: CV Infomedika.
Price, A.S. & Wilson. L.M. (2002). Konsep klinis proses-proses penyakit. (ed 6). Jakarta:
EGC
Smeltzer, S. C & Bare, B. G. (2002). Brunner & Suddarth’s textbook of medical-surgical
nursing. (ed 8). (Agung waluyu, et al, Penerjemah). Philadelphia: Lippincott. (Buku
asli diterbitkan 1996)