5.2. pengukuran sudut & jarak

49
5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK 2.1.1. Jenis Sudut 2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut 2.1. PENGUKURAN SUDUT 2.2. PENGUKURAN JARAK 2.2.1. Jenis Pengukuran (Pengukuran Datar, Pengukuran Miring & Beda Tinggi) 2.2.2. Pengukuran dengan Titik Silang 2.2.3. Rambu Ukur

Upload: brock

Post on 25-Feb-2016

169 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK. 2.1. PENGUKURAN SUDUT. 2.1.1. Jenis Sudut. 2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut. 2.2. PENGUKURAN JARAK. 2.2.1. Jenis Pengukuran ( Pengukuran Datar, Pengukuran Miring & Beda Tinggi). 2.2.2. Pengukuran dengan Titik Silang. 2.2.3. Rambu Ukur. U. U 67 º T. - PowerPoint PPT Presentation

TRANSCRIPT

Page 1: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

2.1.1. Jenis Sudut2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut

2.1. PENGUKURAN SUDUT

2.2. PENGUKURAN JARAK2.2.1. Jenis Pengukuran (Pengukuran

Datar, Pengukuran Miring & Beda Tinggi)2.2.2. Pengukuran dengan Titik

Silang2.2.3. Rambu Ukur

Page 2: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

U 45º B

U 90º B

S 90º B

U 90º T

S 90º TU 67º T

S 40º B

S 50º T

U

S

TB

True Bearing

True bearing merupakan sudut lancip yang dibentuk oleh garis meridian bumi (bujur) dengan garis/arah bidik.

Besaran sudut ukurnya dihitung dari meridian Utara atau Selatan ke arah timur atau barat.

1. Sudut datar2.1.1. Jenis

Sudut

Page 3: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Azimut

130º

UT

115º UB

125º ST

135º SB

U

B T

S

Azimut merupakan sudut yang dibentuk antara garis Utara atau Selatan bumi dengan arah pengukuran ke Timur atau ke Barat sesuai dengan bousole (kompas) yang digunakan.

Kisaran besaran sudut 0º – 360º atau 0g – 400g.

Besaran sudut hasil pembacaan ada yang bersifat langsung dan tak langsung.

Page 4: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Kenyataannya bahwa jarum magnit tidak mengarah ke kutub Utara-Selatan bumi tetapi menyimpang ke Utara-Selatan kutub magnit bumi.

Kutub magnit merupakan daerah yang luas dan pada daerah tsb jarum magnit akan berdiri tegak. Tempat-tempat yang menjauh dari daerah magnit umumnya akan membentuk sudut deklinasi yang umumnya dengan besaran yang berlainan, namun ada pula yang mempunyai sudut deklinasi sama.

Penyimpangan terjadi karena posisi kutub magnit Utara-Selatan bumi tidak tepat berada di kutub Utara-Selatan bumi dan akibat pengaruh medan magnit besar yang merupakan gabungan semua gaya magnit dipermukaan bumi menarik jarum magnit untuk mengarah ke kutub magnit. Penyimpangan tsb dinyatakan sebagai deklinasi.

Page 5: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

UB

S

20º TU

20º

T

B T

S 20

º B

Deklinasi Timur

UM UB

S

20º B

U 20º B

B T

S 20º T

Deklinasi Barat

UM

Deklinasi (sudut penyimpangan)merupakan sudut yang dibentuk dari arah jarum magnit terhadap Utara-Selatan bumi yang sesungguhnya.

Page 6: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Tempat-tempat yang berdeklinasi sama ditarik garis (maya) dan garis tsb dinyatakan sebagai isogonic. Garis isogonic di peta dinamakan isogonic chart.

Sudut deklinasi setiap tahunnya berubah-ubah, bahkan setiap hari terjadi perubahan. Ini akibat rotasi bumi dan kejadian-kejadian alam. Sehingga peta isogonic pun terjadi perubahan-perubahan.

Disamping itu ada pula tempat-tempat yang mempunyai deklinasi nol (tepat mengarah Utara-Selatan kutub bumi) dan garis yang menghubung-kannya dinamakan agonic.

UBUM

B T

S

Page 7: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Tahun 1960 diperkirakan letak areal magnit Utara sekitar titik perpotongan 75º LU dan 101º BB. Letak areal magnit Selatan sekitar perpotongan 67º LS dan 148º BT.

Local attraction (pengaruh lokal) = gaya tarik setempat)merupakan pengaruh suatu kejadian yang biasa terjadi pada daerah-daerah pegunungan atau vulkanik.

Garis gaya magnetik yang mengarahkan jarum magnit pada kompas sering berubah arah dengan adanya tambang, deposit mineral atau kabel transmisi listrik. Bahkan benda-benda yang terbuat dari logam seperti tiang listrik, alat-alat berat, tangkai payung, pulpen/pensil logam dapat mempenagruhi arah jarum magnit.

Pada pengukuran keteknlkan hutan (kehutanan) biasa menggu-nakan “deflection angle” (sudut-sudut pelurus) dan “interier angle” (sudut dalam).

Page 8: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Sudut pelurus merupakan sudut yang dibentuk dari perpanjang-an garis melalui suatu titik atau sudut yang dibentuk antara perpanjangan pandangan belakang dan pandangan depan.Sudut dalam merupakan sudut yang dibentuk antara dua sisi yang berdekatan pada suatu poligon

d d

d

d

dp

p

p

p

p

p = sudut pelurusd = sudut dalam

Page 9: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

* Besaran jumlah sudut dalam suatu poligon = (n-2)(1800)* Besaran jumlah sudut pelurus dengan asumsi bahwa pelurus

kanan dan kiri mempunyai tanda yang berlawanan.

Bila terjadi pengaruh lokal, maka diperlukan pandangan (pengukuran) muka dan belakang terhadap suatu titik agar dapat mengoreksi pengaruh tsb dan menghitung ulang arah sudut yang benar.Bila besaran ukuran pandangan muka dan belakang berbeda, maka perlu menentukan sudut arah dengan cara pengamatan pengindraan.

Page 10: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Sudut arah tidak menentukan arah Utara, Timur, Selatan atau Barat. Sehingga dalam pengukuran diperlukan 2 titik yang telah diketahui azimutnya, agar dapat ditentukan posisi titik-titik atau garis berikutnya.

Arah merupakan pandangan depan yang dibentuk dari pandang-an belakang (sebelumnya) sebagai garis patokan. Sudut yang dibentuk merupakan sudut arah.

α

A

B

CKatakan pengukuran bergerak dari A ke B terus ke C, maka- arah BA pandangan belakang- arah BC pandangan muka- ABC = α adalah sudut arah

Sudut arah

Page 11: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Katakan saja pengukuran bergerak dari A – B – C.

- Titik A dan B membentuk garis yang diketahui asimutnya 1 = 45º UB. (arah BA pandangan belakang).- Selanjutnya arah pengukuran dari titik B ke titik C dengan membentuk sudut terhadap garis BA sebesar = 110º (sudut arah). Azimut BC (pandangan muka) diperoleh dari ( - 1) = (110º – 45º) = 65º (2).

B T

U

1

2

A

B

C

S

Page 12: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

2. Sudut tegak

Z

N

ž

Sudut tegak dibentuk dari bidang tegak (vertikal).

Sudut ditentukan dari garis tegak yaitu berupa sudut zenit (ž) atau sudut nadir () dengan besaran maksimal sebesar 180º.

Besaran sudut elevasi () dan depresi () diperoleh dari :

= 90º – ž = 90º –

Sudut miring/lapangan dibentuk dari bidang datar (horizontal) terdiri dari sudut elevasi atau depresi.

Bidang datar

Bid

ang

tega

k

Page 13: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

1. Sudut datar

Pengukuran azimut secara langsungBousole

2.1.2. Pembacaan Besaran Sudut

180

90 90

270

ObS

Ok0

090 90

180

270

Ob

S

0

0

37

Ok

Page 14: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Langkah pengukuran/pembacaan :

1. Gambar di sebelah kiri menunjukkan kedudukan awal teropong, dimana skala piringan datar 00 berimpit 00UMB

2. Arahkan teropong ke rambu (misal mengarah ke kanan/Timur). Setelah mengarah ke rambu tepat (untuk pembacaan), baca sudut melalui mikroskop dan terbaca (misalnya) 37º .

Besaran sudut yang terbaca merupakan azimut yang terbaca langsung didasarkan dari utara magnit bumi ke arah pembidikan rambu (37ºUTM)

Page 15: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pengukuran azimut secara tak langsungBousole

0

S18

090

270

Ob

B

90180

35Ok

Ob

062

S

180

90

97

90

180

Ok

270

Page 16: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Langkah pengukuran/pembacaan :

1. Gambar di sebelah kiri menunjukkan kedudukan awal teropong, dimana skala piringan datar 350 berimpit dengan 1800SMB = 00UMB

2. Arahkan teropong ke rambu (misal mengarah ke kanan/Timur). Setelah mengarah ke rambu tepat (untuk pembacaan), baca sudut melalui mikroskop dan terbaca (misalnya) 97º .

Besaran sudut yang terbaca tidak merupakan azimut yang terbaca langsung.

Perhitungan hasil pembacaan : (970 – 350) = 620UTM

Page 17: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

2. Sudut tegak

Z

Arah bidik

Arah bidik

ž1 1

A1

A2

Bidang datar

Ž = sudut zenith

= 900 ~ ž1 = 1

= sudut elevasi = sm +

Bila sebesar :

(1) Z ~ A1 = Ž1

2

(2) Z ~ A2 = Ž2

ž2

= 900 ~ ž2 = 2

= sudut depres = sm –

= 900 ~ 500 =

400

= 900 ~ 1500 = -

600Tanda neg. = arah pengukuran

menurun

Page 18: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

2.2. PENGUKURAN JARAK

Jarak merupakan rentangan hubungan terpendek antara dua titik. Jauh rentangan antara dua titik dinyatakan dalam satuan ukuran panjang.

Kedudukan kedua titik tsb, bisa pada :

•posisi datar (sejajar dengan bidang datar), disebut jarak datar

• posisi miring (membentuk sudut lancip dengan bidang datar), disebut jarak miring (lapangan)

• posisi tegak (membentuk sudut 900 terhadap bidang datar), disebut jarak tegak (beda tinggi)

Page 19: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pengukuran jarak secara garis besar terbagi 2 jenis pengukur-an yaitu secara langsung dan tidak langsung

a. Pengukuran jarak secara langsung : pengukuran jarak antara dua titik tidak begitu jauh atau pada hamparan lahan yang tidak begitu luas. Pengukuran ini dilakukan dengan cara sederhana. Peralatan ukur yang digunakan berupa galah, pita ukur atau rantai ukur.

b. Pengukuran jarak secara tak langsung : pengukuran jarak antara dua titik cukup jauh atau pada hamparan lahan yang cukup luas. Pengukuran dilakukan secara optik atau elektronik. Peralatan ukur yang digunakan berupa alat optik (manual atau elektronik).

2.2.1. Jenis Pengukuran (Pengukuran Datar, Pengukuran Miring & Beda Tinggi)

Page 20: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pengertian pengukuran (jarak) datar bila kedudukan garis bidik teropong sejajar dengan bidang datar (sudut miring = 0°). Pengukuran datar ini lebih dikenal dengan “Menyipat Datar” (diuraikan tersendiri).

Pesawat ukur yang digunakan berupa Bousole Tranche Montagne (BTM) atau Theodolit.

1. Pengukuran datar

Pengukuran dengan alat (pesawat) optik dikenal 4 unsur utama yang berperanan yaitu benang silang (stadia), rambu ukur, sudut (sudut datar dan sudut tegak) dan nivo (gelembung pendatar).

Page 21: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

B

A

T

Ab

Ba

bp

Sumbu V

a f

c D.b

F

d

Ab

T1T2

Ba

Sumbu H

(Pesawat Bousole Tranche Montagne)Jarak datar pada pengukuran datar

Page 22: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Rumus dasar perhitungan jarak :

d = c + D.b

berarti : D = ( d : b ) ( f : p )

Tetapan c = jarak titik api F (focus) ke busur lensa sangat kecil (nol) sehingga diabaikan

Tetapan D = bilangan pengali dalam menentukan jarak dan besarannya telah ditetapkan (umumnya bernilai 100)

Nilai b = selisih nilai antara dua pembacaan benang pada rambu

Page 23: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

d = c + Db d = (100) (0,30) m = 30 m

½AB = AT = TB

A

B

T

1,25 m

1,55 m

atau d = (100) (1,55 m – 1,25 m)= 30 m

Perhitungan :b = 1,55 m – 1,25 m = 0,30 mb = Ba – Ab = B – A (selisih dua benang)

Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,40 m. Setelah teropong dibidikan ke rambu diperoleh

pembacaan benang atas (Ab) dan benang bawah (Ba) adalah 1,25 m dan 1,55 m. Tetapan D sebesar 100.

Page 24: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

( Pesawat Theodolit )Jarak datar pada pengukuran datar

B

A

T

Bb

Aa

bp

Sumbu V

a f

c D.b

F

d

Bb

T1T2

AaSumbu H

LPB

Page 25: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Perhitungan :

d = c + D.b d = (100) (0,40 m) = 40 m

b = 1,55 m – 1,15 m = 0,40 m

½AB = AT = TB

A

B

T

1,55 m

1,15 m

atau d = (100) (1,55 m – 1,15 m)= 40 m

b = Aa – Bb = A – B (selisih dua benang)

Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,35 m. Setelah teropong dibidikan ke rambu diperoleh

pembacaan benang atas (Aa) dan benang bawah (Bb) adalah 1,55 m dan 1,15 m. Tetapan D sebesar 100.

Page 26: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Bila tetapan D tidak diketahui, maka cara berikut dapat digunakan sebagai pegangan untuk menetapkan nilai D sebagai berikut :

1) Cari lokasi yang datar sepanjang 50 m atau 100 m.2) Dirikan pesawat (posisi datar) dan usahakan tinggi pesawat

bernilai genap; misal 1,30 m, 1,40 m.3) Dirikan rambu ukur (posisi tegak) dengan jarak ke pesawat

sesuai yang diinginkan.4) Arahkan teropong ke rambu ukur dengan tinggi arah bidik

sesuai dengan tinggi pesawat.5) Baca kedua benang (benang atas dan benang bawah) pada

bayangan rambu dalam teropong dan hitung selisihnya (b).6) Tentukan tetapan D yaitu sebesar (d : b).

Page 27: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Contoh : Tinggi pesawat setelah diukur setinggi 1,40 m. Jarak antara pesawat ke rambu diukur sejauh 50 m. Hasil pembacaan benang atas (Aa) dan benang bawah (Bb) adalah 1,65 m dan 1,15 m.

Perhitungan : Selisih pembacaan benang :

D = d : b= (50 m) : (0,50 m) = 100

Jadi tetapan D sebesar 100

A

B

T

1,65 m

1,15 m

½AB = AT = TB

= 1,65 m – 1,15 m = 0,50 mb = A – B

Page 28: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pengertian pengukuran (jarak) miring (lapangan) bila kedudukan arah bidikan dari teropong tidak sejajar dengan bidang datar (sudut miring = °).

Pesawat ukur yang digunakan berupa BTM atau Theodolit.Pengukuran cara ini lebih banyak digunakan pada daerah-

daerah yang bergelombang, berbukit atau bergunung. Disamping itu cara ini lebih disukai karena kondisi medan tidak menjadi penghalang.

Bila kedudukan rambu miring sebesar (kedudukan rambu tegaklurus garis bidik) maka rumus jarak yang digunakan adalah d = c + D.b.

Kenyataan di lapangan bahwa rambu ukur berdiri tegaklurus terhadap bidang datar, sehingga rumus tsb perlu dilakukan penyesuaian. Karena jarak titik F cukup jauh dari rambu, maka dapat dianggap sudut FTA’ sebesar 90º.

2. Pengukuran miring

Page 29: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Jarak datar pada pengukuran miring

d = c cos + D.b cos²

P

Tp

A

B

F

A’

B’

T b

Q

PQ = jarak datar (d)

; c = 0= D.b cos²

d = c sin + D.b sin²Ž ; c = 0

= D.b sin²Ž

Ž

Page 30: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Contoh : Hasil pembacaan benang atas (A) 1,45 m dan benang bawah (B) 1,15 m dengan sudut tegak (Ž) sebesar 67º20’. Tetapan d = 100.

Penyelesaian := 1,45 m – 1,15 mb = A – B

= 0,30 m

Ž = 67º20’ = 90º – Ž= 90º – 67º20’= 22º40’

d = D.b cos²= (100) (0,30 m) cos²(22º40’)= 25,55 m

Ž = 67º20’= (100) (0,30 m) sin²(67º20’)= 25,55 m

d = D.b sin²Ž

Page 31: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pengertian beda tinggi : selisih antara dua titik atau dua tempat yang tingginya berbeda.

3. Penentuan beda tinggi

Untuk mengetahui beda tinggi antara dua titik atau tempat dapat dilakukan dengan pengukuran datar atau miring.

Beda tinggi pada pengukuran datar

PP’ TT’

nilai P nilai T

T’Q = PP’ – TT’ t = PP’ – TT’

P

P’

TT’

Qt

Page 32: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Beda tinggi pada pengukuran miring

PP’ = TT’

nilai P = nilai T

T’Q = c sin + ½ D.b sin2

t = ½ D.b sin2

P

T

P’

T’

Q

t

Page 33: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

t = ½ D.b sin2Penyelesaian :

t = ½ (100) (0,30) sin 2(90 - 67º20’)= 10,67 m

= 1,45 m – 1,15 mb = A – B

= 0,30 m

Pada kondisi lapangan tertentu terkadang pembidikan ke rambu dengan tinggi pesawat samadengan tinggi rambu sulit dilakukan. Sehingga untuk menentukan beda tingginya perlu dilakukan perubahan arah bidik.

Contoh : Hasil pembacaan benang atas (A) 1,45 m dan benang bawah (B) 1,15 m dengan sudut tegak (Ž) sebesar 67º20’. Tetapan d = 100.

Page 34: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

PP’ = TT’

T’Q = c sin + ½ D.b sin2T’S = TS – TT’ SQ = T’Q – T’S

t = T’Q + PP’ - TS= c sin + ½ D.b sin2 + PP’ - TS

= ½ D.b sin2 + PP’ - TS

P

T

P’

T’

Q

t

nilai P ≠ nilai T

S

Beda tinggi dengan bidikan tidak setinggi pesawat

Page 35: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Contoh : Tinggi pesawat 1,30 m dengan tinggi bidikan pada rambu 1,60 m. Selisih pembacaan benang 0,45 m. Sudut miring () sebesar 15º10’.

Penyelesaian : ½ D.b sin2 = ½ (100) (0,45 m) sin 2(15º10’)

= 11,36 m

PP’ = 1,30 m & TS = 1,60 m

t = 11,63 m + 1,30 m – 1,60 m= 11,06 m

Page 36: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

2.2.2. Pengukuran dengan Titik Silang

Cara ini dilakukan bila terjadi kerusakan pada benang silang (stadia) sehingga hanya titik silang tengah yang tampak dalam lensa.

Agar pesawat dapat digunakan maka dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut :

1) Setelah tinggi pesawat diukur, bidikan teropong ke arah rambu (arahkan ke sebelah atas dari titik tengah T; titik tengah T pada rambu sesuai dgn tinggi pesawat), kemudian baca angka pada rambu dan sudut tegaknya.

2) Ubah arah bidikan pada pembacaan lain (arahkan ke sebelah bawah dari titik tengah T), kemudian baca angka pada rambu dan sudut tegaknya.

3) Hitung masing-masing sudut miringnya yang diperoleh dari masing-masing sudut tegaknya.

4) Hitung jarak datar dengan rumus d = b : (tg ± tg )

Page 37: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Garis datar berada di bawah kedua garis bidik

Garis datar berada di atas kedua garis bidik

d = PQ = b : (tg – tg )

P

A

B

Q

b

d = PQ = b : (tg – tg )

A

B

P Q

b

Page 38: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 3,00 m dengan sudut miring () 3º15’. Pembacaan kedua (Tb) setinggi 0,25 m dengan sudut miring () -2º05’.

(3,00 m – 0,25 m)

(tg 3º15’ – tg 2º05’d = PQ = = 29,52 m

Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 2,60 m dengan sudut miring () 5º05’. Pembacaan kedua (Tb) setinggi 0,40 m dengan sudut miring () 2º10’.

(2,60 m – 0,40 m)

(tg 5º05’ – tg 2º10’d = PQ = = 43,04 m

Page 39: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Contoh : Pembacaan pertama (Ta) pada rambu setinggi 2,75 m dengan sudut miring () -5º15’. Pembacaan kedua (Tb) setinggi 0,25 m dengan sudut miring () -10º05’.

(2,75 m – 0,25 m)

(tg 10º05’ – tg 5º15’d = PQ = = 29,09 m

Page 40: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

2.2.3. Rambu UkurSaat rambu akan dibaca melalui benang silang hendaknya

berdiri tegaklurus pada bidang datar (permukaan bumi).

Perhatikanselisih antar benang :

B – A = 1,515 – 1,365 = 0,15

B – T = 1,515 – 1,440 = 0,075T – A = 1,440 – 1,365 = 0,075

½ (B + A) = ½ (1,515 + 1,365)= 1,440

1,365A

B

1,440

1,515

BTM

T

Page 41: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Perhatikanselisih antar benang :

A – B = 1,535 – 1,385 = 0,15

A – T = 1,535 – 1,460 = 0,075T – B = 1,460 – 1,385 = 0,075

½ (A + B) = ½ (1,535 + 1,385)= 1,460

Theodolit(3 benang)

1,535

1,460

1,385

A

B

T

Page 42: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Perhatikan selisih antar benang :

(A2 – A1) = (A1 – T) = (T – B1) = (B1 – B2) = 0,045

(A2 – T) = (A1 – B1) = (T – B2)= 0,09

(A2 – B1) = (A1 – B2) = 0,135

½ (A2 + B2) = 1,53 ≈ ½ (A1 + B1) = 1,53

½ (A2 + T) = 1,575

½ (A1 + B1) = 1,53

½ (T + B2) = 1,485

1,620

1,575

1,485

1,440

1,530

A2

B2

B1

A1

T

Theodolit5 benang

Page 43: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pembacaan rambu dengan huruf E

Cara ini dengan menghitung banyaknya huruf E yang berada diantara 2 benang silang atau pada 3 benang silang. Satu huruf E menunjukkan perbandingan bahwa 5 cm dirambu adalah 5 m di lapanganBanyaknya huruf E pada teropong BTM (A – B) diperoleh sebanyak 3E. Secara matematik diperoleh dari :

2E + {(3,4 + 1,5)E : 5} = 3EJarak yang diukur sepanjang 3E = 3 x 5 m = 15 m

Banyaknya huruf E pada teropong Theodolit diperoleh sebanyak 14/5E atau diperoleh jarak sepanjang 9 m.

E + {(2 + 2)E : 5}(A2 – T)

E + {(2,5 + 1,5)E : 5}(A1 – B1)

E + {(3 + 1)E : 5}(T – B2)

Page 44: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pembacaan rambu dengan benang silang

Rumus perhitungan jarak berdasarkan 3 benang

d = (B – A) m x 100

d = (B – T) m x 200

d = (T – A) m x 200

BTM(3 benang)

Theodolitd = (A – B) m x 100

d = (A – T) m x 200

d = (T – B) m x 200(3 benang)

Page 45: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Contoh : Perhitungan jarak dengan pembacaan 3 benang. Jarak ukur diperoleh sepanjang :

Pembacaan benang dalam satuan meter

(1,515 – 1,365) m x 100 = 15 m

(1,515 – 1,440) m x 200 = 15 m

(1,440 – 1,365) m x 200 = 15 m

Pembacaan benang dalam satuan cm

(151,5 – 136,5) cm x 100 = 15 m

(151,5 – 144,0) cm x 200 = 15 m(144,0 – 136,5) cm x 200 = 15 m

Page 46: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

d = (A2 – B2) m x 50

d = (A2 – T) m x 100

d = (A1 – B1) m x 100

d = (A2 – A1) m x 200d = (A1 – T) m x 200

d = (T – B1) m x 200

d = (T – B2) m x 100

d = (B1 – B2) m x 200

Theodolit(5 benang)

Rumus perhitungan jarak berdasarkan 5 benang

Page 47: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pembacaan benang dalam satuan meter

Contoh : Perhitungan jarak dengan pembacaan 5 benang. Jarak ukur diperoleh sepanjang :

(1,620 – 1,440) m x 50 = 9 m

(1,620 – 1,530) m x 100 = 9 m(1,575 – 1,485) m x 100 = 9 m(1,530 – 1,440) m x 100 = 9 m

(1,620 – 1,575) m x 200 = 9 m(1,575 – 1,530) m x 200 = 9 m(1,530 – 1,485) m x 200 = 9 m(1,485 – 1,440) m x 200 = 9 m

Page 48: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Pembacaan benang dalam satuan cm

(162,0 – 144,0) m x 50 = 9 m

(162,0 – 153,0) m x 100 = 9 m(157,5 – 148,5) m x 100 = 9 m(153,0 – 144,0) m x 100 = 9 m

(162,0 – 157,5) m x 200 = 9 m(157,5 – 153,0) m x 200 = 9 m(153,0 – 148,5) m x 200 = 9 m(148,5 – 144,0) m x 200 = 9 m

Page 49: 5.2. PENGUKURAN SUDUT & JARAK

Soal Latihan 5-2 :

1. Apa perbedaan pengertian antara azimut, true bearing dan sudut arah.

2. Apa kelebihan pesawat yang mempunyai 5 benang silang dibanding dengan 3 benang silang.

3. Kesalahan apa saja yang mungkin terjadi bila saat pengukuran rambu ukur berdiri miring.

4. Hal apa saja yang perlu anda perhatikan saat pelaksanaan pengukuran sudut atau pengukuran jarak

5. Bagaimana cara mengubah jarak lapangan yang diperoleh menjadi jarak datar.

6. Haruskah tinggi bidikan pada benang tengah selalu sama-dengan tinggi pesawat.