5 bab ii 2.1.1 pengertian model pembelajaran andreas...
TRANSCRIPT
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pengertian Model Pembelajaran
Andreas Kosasih (2010:54) mengemukakan bahwa istilah model
secara khusus diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Mills (Suprijono,2011)
berpendapat bahwa model adalah bentuk reprensentasi akurat sebagai
proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang
mencoba bertindak berdasarkan model itu. Model merupakan
interpretasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari
beberapa sistem. Model pembelajaran merupakan landasan praktis
pembelajaran hasil penurunan teori psikologi pendidikan dan teori belajar
yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum
dan implikasinya pada tingkat operasional di kelas. Model pembelajaran
dapat diartikan pula sebagai pola yang digunakan untuk penyusunan
kurikulum, mengatur materi, dan memberi petunjuk kepada guru di kelas.
Model pembelajaran ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial.
Menurut Arends (Suprijono,2011) model pembelajaran mengacu
pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-
tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran,
lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Model pembelajaran
dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan
prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Merujuk pemikiran Joyce, fungsi model adalah
“each model guides us as we design instruction to help students achieve
various objectives”. Melalui model pembelajaran guru dapat membantu
peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berpikir,
6
dan mengeskpresikan ide. Model pembelajaran berfungsi pula sebagai
pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para guru dalam
merencanakan aktivitas belajar mengajar.
Model pembelajaran tediri dari model pembelajaran langsung
(direct instruction), model pembelajaran kooperatif (cooperative
learning), model pembelajaran diskusi (discussion learning) dan model
pembelajaran strategi (strategy learning).
2.1.2 Pembelajaran Kooperatif
2.1.2.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang
berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama
dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar
(Sugiyanto,2010:37). Menurut Panitz (Suprijono,2011), pembelajaran
kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja
kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau
diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif dianggap
lebih diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas dan
pertanyaan-pertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi
yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah
yang dimaksud. Guru biasanya menetapkan bentuk ujian tertentu pada
akhir tugas.
Menurut Roger dkk (Miftahul Huda, 2011:29) menyatakan
pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran Kelompok
yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan
pada perubahan informasi secara social di antara Kelompok-kelompok
pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas
pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran
anggota-anggota yang lain.
Artz dan Newman (1990) mendefinisikan pembelajaran kooperatif
sebagai Kelompok kecil pembelajar / siswa yang bekerja sama dalam satu
7
tim untuk mengatasi suatu masalah, menyelesaikan sebuah tugas atau
mencapai satu tujuan bersama. Menurut Slavin (1985) pembelajaran
kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Jonhson &
Johnson (Isjoni, 2010:17) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif
adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas kedalam suatu kelompok
kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang
mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Sunal dan Hans (2000) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus
dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja
sama selama proses pembelajaran sedangkan Jonhson dan Jonhson (Isjoni,
2010:17) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah
mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil
agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka
miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
setidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik,
penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial
(Ibrahim, dkk, 2000:7). Dukungan teori Vygotsky terhadap model
pembelajaran kooperatif adalah penekanan belajar sebagai proses dialog
interaktif dan arti penting belajar kelompok.. Pembelajaran kooperatif
adalah pembelajaran berbasis sosial. Pembelajaran kooperatif tidak sama
dengan sekadar belajar dalam kelompok. Ada unsur-unsur dasar
pembelajaran kooperatif yang membedakannya dengan pembagian
kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan prosedur model
pembelajaran kooperatif dengan benar akan memungkinkan guru
mengelola kelas lebih efektif.
Model pembelajaran kooperatif akan dapat menumbuhkan
pembelajaran efektif yaitu pembelajaran yang bercirikan (1)
8
“memudahkan siswa belajar” sesuatu yang “bermanfaat” seperti, fakta,
keterampilan, nilai, konsep, dan bagaimana hidup serasi dengan sesama ;
(2) pengetahuan, nilai, dan keterampilan diakui oleh mereka yang
berkompenten menilai. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang lebih
menekankan pada adanya kerja siswa dalam kelompok-kelompok kecil.
2.1.2.2 Elemen Pembelajaran Kooperatif
Roger dan David Johnson (Suprijono,2011) mengatakan bahwa
tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif.
Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model
pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah
1. Positive interdependence (saling ketergantungan positif).
Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua
pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang
ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota
kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.
Beberapa cara membangun saling ketergantungan positif yaitu:
a. Menumbuhkan perasaan peserta didik bahwa dirinya terintegrasi
dalam kelompok, pencapaian tujuan terjadi jika semua anggota
kelompok mencapai tujuan. Peserta didik harus bekerjasama untuk
dapat mencapai tujuan. Tanpa kebersamaan, tujuan mereka tidak
akan tercapai.
b. Mengusahakan agar semua anggota kelompok mendapatkan
penghargaan yang sama jika kelompok mereka berhasil mencapai
tujuan.
c. Mengatur sedemikian rupa sehingga setiap peserta didik dalam
kelompok hanya mendapatkan sebagian dari keseluruhan tugas
kelompok. Artinya, mereka belum dapat menyelesaikan tugas,
sebelum mereka menyatukan perolehan tugas mereka menjadi satu.
9
d. Setiap peserta didik ditugasi dengan tugas atau peran yang saling
mendukung dan saling berhubungan, saling melengkapi, dan saling
terikat dengan peserta didik lain dalam kelompok.
2. Personal responsibility (tanggungjawab perseorangan).
Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap
keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah
membentuk semua anggota kelomok menjadi pribadi yang kuat.
Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua
anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama. Artinya, setelah
mengikuti kelompok belajar bersama, anggota kelompok harus dapat
menyelesaikan tugas yang sama.
Beberapa cara menumbuhkan tanggungjawab perseorangan adalah (a)
kelompok belajar jangan terlalu besar ; (b) melakukan assesmen
terhadap setiap siswa ; (c) memberi tugas kepada siswa, yang dipilih
secara random untuk mempresentasikan hasil kelompoknya kepada
guru maupun kepada seluruh peserta didik di depan kelas; (d)
mengamati setiap kelompok dan mencatat frekuensi individu dalam
membantu kelompok ; (e) menugasi seorang peserta didik untuk
berperan sebagai pemeriksa di kelompoknya ; (f) menugasi peserta
didik mengajar temannya.
3. Face to face promotive interaction ( interaksi promotif).
Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan
positif. Ciri-ciri interaksi promotif adalah:
Saling membantu secara efektif dan efisien.
Saling memberi informasi dan sarana yang diperlukan.
Memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien.
Saling mengingatkan.
Saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan
argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap
masalah yang dihadapi.
Saling percaya.
10
Saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.
4. Interpersonal skill (komunikasi antaranggota).
Untuk mengkoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian
tujuan pesertadidik harus:
Saling mengenal dan mempercayai.
Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius.
Saling menerima dan saling mendukung.
Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.
5. Group processing (pemrosesan kelompok).
Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau
tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Siapa
di antara anggota kelompok yang sangat membantu dan siapa yang
tidak membantu. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan
efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan
kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok. Ada dua tingkat
pemrosesan yaitu kelompok kecil dan kelas secara keseluruhan.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai hasil
belajar berupa prestasi akademik, toleransi, menerima keragaman, dan
pengembangan keterampilan sosial. Untuk mencapai hasil belajar itu
model pembelajaran kooperatif menuntut kerjasama dan interdependensi
peserta didik dalam struktur tugas, strutur tujuan, dan struktur reward-
nya.
Pendapat lain juga disampaikan Anita Lie (Sugiyanto,2010) yang
menyebutkan pembelajaran kooperatif memiliki elemen-elemen sebagai
berikut:
a. Saling ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang
mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang
saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling
ketergantungan positif yang dapat dicapai melalui saling
ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan
11
menyelesaikan tugas, saling ketergantuangan bahan atau sumber,
saling ketergantungan peran, saling ketergantungan hadiah
b. Interaksi tatap muka
Interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam
Kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Interaksi semacam itu
sangat penting karena siswa merasa lebih mudah belajar dari
sesamanya. Ini juga mencerminkan konsep pengajaran teman sebaya.
c. Akuntabilitas individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar
kelompok. Penilaian ditunjukkan untuk mengetahui penguasaan siswa
terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian ini
selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua
kelompok mengetahui siapa kelompok yang memerlukan bantuan dan
siapa yang dapat memberikan bantuan,maksudnya yang dapat
mengajarkan kepada temannya. Nilai kelompok tersebut harus
didasarkan pada rata-rata, karena itu anggota kelompok harus
memberikan kontribusi untuk kelompoknya. Intinya yang dimaksud
dengan akuntabilitas individual adalah penilaian kelompok yang
didasarkan pada rata-rata penguasaan semua anggota secara
individual.
d. Keterampilan menjalin hubungan antar pribadi
Keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap
teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani
mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain,
mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin
hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja
diajarkan.
Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan elemen
pembelajaran kooperatif adalah 1) saling ketergantungan positif, 2)
tanggungjawab individu, 3) komunikasi antar pribadi, 4) interaksi tatap
muka dan, 5) kerja kelompok.
12
2.1.2.3 Tujuan Cooperatif Learning
Menurut Ibrahim, (Isjoni, 2010: 27) terdapat tiga tujuan instruksional
penting yang dapat dicapai dengan pembelajaran kooperatif:
a. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial,
juga memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting
lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam
membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang
model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan
kooperatif telah dapat meningkatkan nilai siswa pada belajar
akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil
belajar pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada
siswa Kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama
menyelesaikan tugas-tugas akademik.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara
luas dari orang-orang yang berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas
sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya. Pembelajaran
kooperatif memberi peluang bagi siswa dari bebagai latar belakang
dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas
akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar
saling menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan keterampilan social
Tujuan penting ketiga pembelajaran koperatif adalah mengajarkan
kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan
ini amat penting untuk dimiliki oleh siswa, karena kenyataan yang
dihadapi bangsa ini dalam mengatasi masalah – masalah sosial yang
semakin kompleks, serta tantangan bagi peserta didik supaya mampu
dalam menghadapi persaingan global.
13
2.1.2.4 Keuntungan Cooperatif Learning
Keuntungan dari pembelajaran kooperatif (Sugiyanto,2010:43) yaitu:
a. Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan social
b. Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap,
ketrampilan, informasi, perilaku sosial, dan pandangan-pandangan.
c. Memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial.
d. Memungkinkan terbentuk dan berkembangnya nilai – nilai sosial dan
komitmen.
e. Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.
f. Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.
g. Berbagi ketrampilan sosial yang diperlukan untuk memelihara
hubungan saling membutuhkan dapat diajarkan dan dipraktekkan.
h. Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia.
i. Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari
berbagai perspektif.
j. Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan
lebih baik.
k. Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan
kemampuan, jenis kelamin, normal atau cacat, etnis, kelas sosial,
agama dan orientasi tugas.
Jarolelimek & Parker (Isjoni, 2010:24) mengungkapkan tentang
kelebihan dari pembelajaran kooperatif antara lain : 1) saling
ketergantungan positif, 2) adanya pengakuan dalam merespon perbedaan
individu, 3) siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pengelolaan kelas, 4)
suasana kelas yang rileks dan menyenangkan, 5) terjalinnya hubungan
yang hangat dan bersahabat antara siswa dengan gurunya, dan 6) memiliki
banyak kesempatan untuk mengekspresikan pengalaman emosi yang
menyenangkan.
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor,
yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari
dalam yaitu sebagai berikut: 1) Guru harus mempersiapkan pembelajaran
14
secara matang, disamping itu memerlukan lebih banyak tenaga, pemikiran
dan waktu. 2) agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka
dibutuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang cukup memadai. 3)
selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topik
permasalahan yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan 4) saat diskusi kelas,
terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa yang
lain menjadi pasif.
2.1.2.5 Perbedaan Pembelajaran Kooperatif dengan Pembelajaran
Tradisional
Kelompok Belajar Kooperatif Kelompok Belajar Tradisional
Adanya saling ketergantunganpositif, saling membantu dansaling memberikan motivaisehingga ada interaksi promotif.
Guru sering membiarkan adanyasiswa yang mendominasikelompok atau menggantungkandiri pada kelompok.
Adanya akuntabilitas individualyang mengukur penguasaanmateri pelajaran tiap anggotakelompok. Kelompok diberiumpan balik tentang hasil belajarpara anggotanya sehingga dapatsaling mengetahui siapa yangmemerlukan bantuan dan siapayang dapat memberikan bantuan.
Akuntabilitas individual seringdiabaikan sehingga tugas- tugassering diborong oleh salahseorang anggota kelompok,sedangkan anggota kelompoklainnya hanya ‘enak-enak saja’diatas keberhasilan temannyayang dianggap ‘ pemborong’.
Kelompok belajar heterogen, baikdalam kemampuan akademik,jenis kelamin, ras, etnik, dsbsehingga dapat saling mengetahuisiapa yang memerlukan bantuandan siapa yang dapat memberikanbantuan.
Kelompok belajar biasanyahomogen
Pimpinan kelompok dipilih secarademokratis atau bergilir untukmemberikan pengalamanmemimpin bagi para anggota
Pemimpin kelompok seringditentukan oleh guru ataukelompok dibiarkan untukmemilih pemimpinnya dengan
15
kelompok. cara masing-masing.
Ketrampilan social yangdiperlukan dalam kerja gotongroyong seperti kepemimpinan,kemampuan berkomu nikasi,mempercayai orang lain danmengelola konflik secaralangsung diajarkan.
Ketrampilan sosial sering tidakdiajarkan secara langsung.
Pada saat belajar kooperatifsedang berlangsung, guru terusmelakukan pemantauan melaluiobservasi dan melakukanintervensi jika terjadi masalahdalam kerja sama antar anggotakelompok.
Pemantauan melalui observasidan intervensi sering dilakukanoleh guru pada saatbelajarkelompok sedangberlangsung.
Guru memperhatikan secaralangsung proses kelompok yangterjadi dalam kelompok –kelompok belajar.
Guru sering tidakmemperhatikan proseskelompok yang terjadi dalamkelompok – kelompok belajar.
Penekanan tidak hanya padapenyelesaian tugas tetapi jugahubungan interpersonal(hubungan antar pribadi yangsaling menghargai).
Penekanan sering hanya padapenyelesaian tugas.
2.1.2.6 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Sintak model pembelajaran kooperatif terdiri dari 6 (enam) fase.
FASE – FASE PERILAKU GURUFase 1 : Present goals andsetMenyampaikan tujuan danmempersiapkanpeserta didik
Menjelaskan tujuanpembelajaran danmempersiapkan peserta didiksiap belajar
Fase 2 : Present informationMenyajikan informasi
Mempresentasikankaninformasi kepada pesertadidik secara verbal
Fase 3 : Organize students Memberikan penjelasan kepada
16
into learning teamsMengorganisir peserta didikke dalam tim-timbelajar
peserta didik tentang tatacarapembentukan tim belajar danMembantu kelompokmelakukan transisi yang efisien
Fase 4 : Assist team workand studyMembantu kerja tim danbelajar
Membantu tim-tim belajarselama peserta didikmengerjakan tugasnya
Fase 5 : Test on the materialsMengevaluasi
Menguji pengetahuan pesertadidik mengenai berbagai materipembelajaran atau kelompok-kelompok mempresentasikanhasil kerjanya
Fase 6 : Provide recognitionMemberikan pengakuan ataupenghargaan
Mempersiapkan cara untukmengakui usaha dan prestasiindividu maupun kelompok
Fase pertama, guru mengklarifikasimaksud pembelajaran kooperatif.
Hal ini penting untuk dilakukan karena pesera didik harus memahami
dengan jelas prosedur dan aturan dalam pembelajaran. Fase kedua, guru
menyampaikan informasi, sebab informasi ini merupakan isi akademik.
Fase ketiga, kekacauan bisa terjadi pada fase ini, oleh sebab itu transisi
pembelajaran dari dan ke kelompok-kelompok belajar harus diorkestrasi
dengan cermat. Sejumlah elemen perlu dipertimbangkan dalam
menstrukturisasikan tugasnya.
Fase keempat, guru perlu mendampingi tim-tim belajar, mengingatkan
tentang tugas-tugas yang dikerjakan peserta didik dan waktu yang
dialokasikan. Pada fase ini bantuan yang diberikan guru dapat berupa
petunjuk, pengarahan, atau meminta beberapa peserta didik mengulangi
hal yang sudah ditunjukkannya. Fase kelima guru melakukan evaluasi
dengan menggunakan strategi evaluasi yang konsisten dengan tujuan
pembelajaran. Fase keenam guru mempersiapkan struktur reward yang
akan diberikan kepada peserta didik. dengan orang lain. Struktur reward
kooperatif diberikan kepada tim meskipun anggota tim-timnya saling
bersaing.
17
2.1.3 Numbered Heads Together (NHT)
2.1.3.1 Pengertian Numbered Heads Together (NHT)
Numbered Heads Together disebut pula dengan penomoran,
berpikir bersama, kepala bernomor merupakan salah satu inovasi dalam
pembelajaran kooperatif. Numbered Heads Together pertama kali
dikembangkan oleh Spenser Kagan tahun 1993 untuk melibatkan lebih
banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran
dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif
struktural, yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang
untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki
agar para siswa bekerja saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil
secara kooperatif. Struktur tersebut dikembangkan sebagai bahan alternatif
dari sruktur kelas tradisional seperti mangacungkan tangan terlebih dahulu
untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk menjawab pertanyaan yang telah
dilontarkan. Menurut Kagan (2007) model pembelajaran NHT ini secara
tidak langsung melatih siswa untuk saling berbagi informasi,
mendengarkan dengan cermat serta berbicara dengan penuh perhitungan,
sehingga siswa lebih produktif dalam pembelajaran. Model ini dapat
digunakan untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan peserta didik
(Anita Lie, 2004:59).
Menurut Anita Lie (2004:59) Numbered Heads Together (NHT)
adalah suatu tipe dari pembelajaran kooperatif pendekatan structural yang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide
dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Numbered Heads
Together (NHT) menurut Trianto (2007:62) merupakan jenis pembelajaran
kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan
sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Ahmad Zuhdi
(2010:64) Numbered Heads Together adalah suatu model pembelajaran
kooperatif dimana siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok,
lalu secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
18
Menurut Rahayu (2006) Numbered Heads Together adalah suatu
model pembelajaran yang lebih mengedepankan kepada aktivitas siswa
dalam mencari, mengolah, dan melaporkan informasi dari berbagai sumber
yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas. Jadi dapat disimpulkan
Numbered Heads Together (NHT) adalah model pembelajaran kooperatif
dimana terdapat penomoran siswa dalam kelompok untuk bekerja sama
dalam menyelesaikan soal.
2.1.3.2 Tahap-tahap Numbered Heads Together (NHT)
Tahap-tahap dalam pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads
Together menurut Trianto (2007:62) sebagai berikut:
a. Penomoran
Penomoran adalah hal yang utama di dalam NHT, dalam tahap ini
guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang
beranggotakan tiga sampai lima orang dan memberi siswa nomor
sehingga setiap siswa dalam tim mempunyai nomor berbeda-beda,
sesuai dengan jumlah siswa di dalam kelompok.
b. Pengajuan Pertanyaan
Langkah berikutnya adalah pengajuan pertanyaan, guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan yang diberikan dapat diambil
dari materi pelajaran tertentu yang memang sedang di pelajari, dalam
membuat pertanyaan usahakan dapat bervariasi dari yang spesifik
hingga bersifat umum dan dengan tingkat kesulitan yang bervariasi
pula.
c. Berpikir Bersama
Setelah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari guru, siswa berpikir
bersama untuk menemukan jawaban dan menjelaskan jawaban kepada
anggota dalam timnya sehingga semua anggota mengetahui jawaban
dari masing-masing pertanyaan.
19
d. Pemberian Jawaban
Langkah terakhir yaitu guru menyebut salah satu nomor dan setiap
siswa dari tiap kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan
dan menyiapkan jawaban untuk seluruh kelas, kemudian guru secara
random memilih kelompok yang harus menjawab pertanyaan tersebut,
selanjutnya siswa yang nomornya disebut guru dari kelompok tersebut
mengangkat tangan dan berdiri untuk menjawab pertanyaan.
Kelompok lain yang bernomor sama menanggapi jawaban tersebut.
Menurut Anita Lie (2004:60) tahapan pembelajaran Numbered
Heads Together (NHT) sebagai berikut:
a. Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam kelompok
mendapat nomor.
b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok
mengerjakannya.
c. Kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan
memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban tersebut.
d. Guru memanggil salah satu nomor, siswa dengan nomor yang
dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
Miftahul Huda (2011:138) menyebutkan prosedur pembelajaran
Numbered Heads Together (NHT) sebagai berikut:
a. Siswa dibagi dalam kelompok- kelompok. Masing-masing siswa
dalam Kelompok diberi nomor
b. Guru memberikan tugas atau pertanyaan dan masing-masing
Kelompok mengerjakannya.
c. Kelompok berdiskusi untuk menemukan jawaban yang dianggap
paling benar dan memastikan semua anggota Kelompok mengetahui
jawaban tersebut.
d. Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang
dipanggil mempresentasikan jawaban hasil diskusi Kelompok mereka.
20
Tahap-tahap tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut ini:
Pembelajaran dengan menggunakan metode Numbered Heads
Together diawali dengan penomoran siswa yaitu guru membagi kelas
menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari beberapa siswa. Tiap-
tiap orang dalam kelompok diberi nomor yang berbeda-beda. Tahap
berikutnya guru memberikan beberapa pertanyaan atau soal yang harus
dijawab oleh tiap Kelompok dan tiap kelompok berdiskusi memikirkan
jawaban atas pertanyaan dari guru.
Tahap selanjutnya adalah guru memanggil peserta didik yang memiliki
nomor yang sama dari tiap-tiap kelompok. Mereka diberi kesempatan
memberi jawaban atas pertanyaan atau soal yang telah diberikan oleh guru.
Hal itu dilakukan terus hingga semua peserta didik dengan nomor yang
sama dari masing-masing kelompok mendapat giliran memaparkan
jawaban atas pertanyaan guru.
2.1.3.3 Kelebihan dan Kekurangan Numbered Heads Together (NHT)
Menurut Hill dalam Tryana (2008) menyebutkan kelebihan dari
Numbered Heads Together yaitu dapat meningkatkan prestasi belajar
siswa, mampu memperdalam pamahaman siswa, menyenangkan siswa
dalam belajar, mengembangkan sikap positif siswa, mengembangkan
sikap kepemimpinan siswa, mengembangkan rasa ingin tahu siswa,
meningkatkan rasa percaya diri siwa, mengembangkan rasa saling
memiliki, serta mengembangkan keterampilan untuk masa depan,
sedangkan kekurangan dari Numbered Heads Together yaitu kemungkinan
nomor yang sudah dipanggil, akan dipanggil lagi oleh guru, tidak semua
anggota kelompok dipanggil guru dan waktu yang dibutuhkan banyak.
Menurut Ahmad Zuhdi (2010:65) adapun kelebihan dan kelemahan
NHT (Numbered Heads Together) adalah Kelebihan: 1) Setiap siswa
menjadi siap semua, 2) Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-
sungguh, 3) Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
21
Kelemahan: 1) Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh
guru. 2) Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
2.1.4 Pembelajaran Konvensional
Dalam pendekatan konvensional yang pembelajarannya berpusat
pada guru (teacher-centred approaches), model yang digunakan adalah
ceramah. Disebabkan karena model ini relative mudah dalam
penyampaiannya. Cara ini kadang akan membuat bosan siswa, maka
dalam pelaksanaannya diperlukan ketrampilan tertentu agar penyajiannya
tidak membosankan. Menurut Roestiyah (1998:137) cara mengajar dengan
ceramah dapat dikatakan juga sebagai teknik kuliah, merupakan suatu cara
mengajar yang digunakan untuk menyampaikan keterangan atau
informasi, atau uraian tentang suatu pokok persoalan serta masalah secara
lisan. Dalam menerapkan metode ceramah Jusuf Djajadisastra
mengatakan sebagaimana yang tercantum dalam tabel berikut :
Penerapan pembelajaran konvensional di kelasGuru Siswa
1. Berbicara sepanjang waktujam pelajaran tersedia
2. Aktif sendiri sepanjangwaktu pelajaran
3. Mendominasi kelas. Guruyang menentukan semuakegiatan yang harusdilaksanakan siswa.
4. Menempati suatu tempatkedudukan yang tetap (dibelakang meja guru)
5. Komunukasi searah, yaituguru kepada siswa saja.
1. Mendengarkan atau mencatatuaraian yang diberikangurusepanjang waktu yangtersedia
2. Pasif dalam arti tidakdiberikan kesempatan untukbertanya, mengemukakanpendapat sendiri ataubergerak keluar dari kursiatau bangkunya.
3. Mengikuti segala sesuatuyang ditetapkan guru.
4. Menempati temapat dudukyang tetap sepanjang waktu.
5. Komunikasi searah , yaituhanya dari guru kepadasiswa.
22
Pembelajaran konvensional mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan seperti pendapat yang dikemukakan oleh Sudaryo (1990,29),
yaitu :
a. Kelebihan pembelajaran konvensional
- Murah biayanya karena media pelajaran yang digunakan cukup
suara guru
- Mudah mengulangnya kalau diperlukan, sebab guru yang cermat,
bahan dapat disampaikan dengan cara yang sangat menarik, lebih
mudah diterima dan diingat oleh siswa
- Dengan penguasaan materi yang baik dan persiapan guru yang
cermat, bahan dapat disampaikan dengan cara yang sanagat
menarik, lebih mudah diterima dan diingat oleh siswa
- Memberi peluang kepada siswa untuk melatih pendengaran
- Siswa dilatih menyimpulkan pembicaraan yang panjang menjadi
inti
b. Kekurangan pembelajaran konvensional
- Tidak semua siswa memiliki daya tangkap yang baik, sehingga
akan menimbulkan verbalisme.
- Agak sulit untuk mencerna atau menganalisis materi yang
diceramahkan bersama-sama dengan kegiatan mendengarkan
penjelasan atau ceramah guru.
- Tidak memberikan kesempatan sisiwa untuk “belajar” dan
“berbuat”.
- Tidak semua guru pandai melaksanakan ceramah sehingga tujuan
pelajaran tidak dapat tercapai.
- Menimbulkan rasa bosan, sehingga materi tidak dapat dicamkan.
- Menjadikan siswa malas membaca isi buku, mereka
mengandalakan suara guru saja.
23
2.1.5 Hakekat Matematika
Menurut Rusefendi (1993: 27-28) matematika itu terorganisasikan
dari unsur- unsur yang tidak didefinisikan, definesi-definisi, aksioma-
aksioma dan dalil-dalil yang dibuktikan kebenarannya, sehingga
matematika disebut ilmu deduktif. Ruseffendi juga mengutip beberapa
definisi matematika menurut pendapat beberapa ahli, yaitu:
a. Menurut James & James matematika adalah ilmu tentang logika
mengenai bentuk, susunan, besaran dan konsep-konsep yang saling
berhubungan satu sama lainnya dengan jumlah yang banyaknya
terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis dan geometri.
b. Menurut Johnson & Rising matematika merupakan pola pikir, pola
mengorganisasikan pembuktian logik, pengetahuan struktur yang
terorganisasi memuat: sifat-sifat, teori-teori dibuat secara deduktif
berdasarkan unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori
yang telah dibuktikan kebenarannya (Reseffendi, 1993: 28).
c. Menurut Reys matematika merupakan telaah tentang pola dan
hubungan, suatu jalan atau pola berpikir, suatu seni, suatu bahasa dan
suatu alat (Reseffendi, 1993: 28)
d. Menurut Kline matematika bukan pengetahuan tersendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi keberadaanya karena untuk
membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan
sosial, ekonomi dan alam (Reseffendi, 1993: 28)
Jadi matematika adalah ilmu yang melibatkan angka-angka dalam
pembelajaran dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
24
2.1.5.1 Tujuan Matematika
Menurut Badan Standart Nasional Pendidikan (2006) menyatakan
bahwa tujuan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) adalah
untuk:
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
2.1.6 Pengertian Hasil Belajar
2.1.6.1 Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa
setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar tampak sebagai
perubahan tingkah laku pada diri siswa yang dapat diamati dan diukur
dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan ketrampilan (Oemar
Hamalik:2003). Menurut Nana Sudjana (1990) pada dasarnya hasil belajar
adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima
pengalaman belajar.
25
Menurut Suprijono (2010) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan,
nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.
Jadi hasil belajar adalah perubahan yang diperoleh siswa baik kognitif,
afektif dan psikomotoriknya setelah proses pembelajaran. Merujuk
pemikiran Gagne, hasil belajar berupa:
a. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam
bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis.Kemampuan merespon
secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut
tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun
penerapan aturan.
b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep
dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan
mengkategorisasi, kemampuan analitis-sintesis fakta-konsep dan
mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual
merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.
c. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan
aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan
konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.
d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian
gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud
otomatisme gerak jasmani.
e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan
penilaian terhadap obyek tersebut. Sikap berupa kemampuan
menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan
kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar perilaku.
Menurut Bloom, hasil belajar mencakup kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge
(pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan,
meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan,
menentukan hubungan), synthesis (mengorganisasikan, merencanakan,
membentuk bangunan baru), dan evaluation (menilai). Domain afektif
26
adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons),
valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi).
Domain psikomotor meliputi initiatory, pre-routine, dan rountinized.
Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial,
managerial, dan intelektual. Sementara, menurut Lindgren hasil
pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap.
Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar, menururt Heri
Basuki (2005) faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah :
1. Faktor internal
a. Faktor Biologis (Jasmaniah)
Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan, pertama kondisi fisik
yang normal atau tidak memiliki cacat sejak dalam kandungan
sampai sesudah lahir. Kondisi fisik normal ini terutama harus
meliputi keadaan otak, panca indera, anggota tubuh. Kedua, kondisi
kesehatan fisik. Kondisi fisik yang sehat dan segar sangat
mempengaruhi keberhasilan belajar.
b. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini
meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi mental
seseorang. Kondisi mental yang dapat menunjang keberhasilan
belajar adalah kondisi mental yang mantap dan stabil.
2. Faktor Eksternal
a. Faktor keluarga
Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini merupakan lingkungan
pertama dan utama pula dalam menentukan keberhasilan belajar
seseorang.
b. Faktor sekolah
Lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk menentukan
keberhasilan belajar siswa. Hal yang paling mempengaruhi
keberhasilan belajar para siswa di sekolah mencakup metode
27
mengajar, alat peraga, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi
siswa dengan siswa, pelajaran, waktu sekolah, tata tertib atau
disiplin yang ditegakkan secara konsekuen dan konsisten.
c. Faktor masyarakat
Masyarakat merupakan faktor ekstern yang juga berpengaruh
terhadap belajar siswa karena keberadaannya dalam masyarakat.
Lingkungan yang dapat menunjang keberhasilan belajar
diantaranya adalah lembaga-lembaga pendidikan non formal,
seperti kursus bahasa asing, bimbingan tes, pengajian remaja.
Selain itu juga pergaulan-pergaulan di masyarakat juga
mempengaruhi siswa.
2.1.6.2 Pengukuran Hasil Belajar
Dalam proses pembelajaran guru harus melakukan evaluasi
terhadap hasil belajar siswa dengan menggunakan suatu alat evaluasi
melalui pengukuran. Alat evaluasi tersebut biasanya berupa suatu
instrumen tes yang disusun oleh guru sendiri. Tes adalah seperangkat
tugas yang harus dikerjakan atau sejumlah pertanyaan yang harus dijawab
oleh peserta didik untuk mengukur tingkat pemahaman dan penguasaanya
terhadap cakupan materi yang sesuai dengan tujuan pengajaran tertentu.
Tes meliputi berbagai macam bentuk antara lain sebagai berikut:
a. Tes perbuatan
Pertanyaan atau persoalan disampaikan dalam bentuk suatu tugas yang
harus dikerjakan oleh murid.
b. Tes lisan
Pertanyaan maupun jawaban disampaikan secara lisan.
c. Tes tertulis
Pertanyaan maupun jawaban disajikan secara tertulis dengan
menggunakan kertas dan alat tulis. Tes tertulis dapat berupa tes essay
atau tes obyektif. Tes obyektif sendiri masih dibagi menjadi beberapa
tipe yaitu tes betul salah, tes menjodohkan, dan tes pilihan ganda.
28
2.2 Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan pernah dilakukan oleh Noor Azizah (2007)
dengan judul Keefektifan Penggunaan Model Pembelajarn Kooperatif Tipe
Numbered Heads Together Dengan Pemanfaatan LKS Pokok Bahasan
Bangun Ruang Sisis Datar (Kubus dan Balok) Siswa Selas VIII Semester
2 SMP N 6 Semarang Tahun Pelajaran 2006/2007 dan hasilnya adalah
nilai rata-rata hasil belajar pada pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Heads Together (NHT) dengan pemanfaatan LKS lebih baik daripada
nilai rata-rata hasil belajar pada pembelajaran dengan model konvensional.
Penelitian serupa dilakukan oleh Intan Putri Utami (2011) dengan
judul Keefektifan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads
Together Terhadap Hasil Belajar Matematika Bagi Siswa Kelas V SD dan
hasilnya didapat signifikan 0,006 < 0,05 dan t hitung sebesar 2,840 > t
tabel 2,000 sehingga kesimpulannya ada perbedaan hasil belajar antara
siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran tipe NHT
(Numbered Heads Together) dengan siswa yang diajar menggunakan
pembelajaran konvensional, hasil belajar matematika siswa kelas V SD
yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT
(Numbered Heads Together) lebih baik dibandingkan siswa yang diajar
menggunakan pembelajaran konvensional, dan model
pembelajarankooperatif tipe NHT (Numbered-Heads-Together) efektif
terhadap hasil belajar Matematika siswa kelas V SD.
Penelitian lainnya oleh Efi Andriyani dengan judul Pengaruh
Model Pembelajaran NHT Terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas V
SDN Blotongan 2 Salatiga Semester II Tahun 2010/1012 yang hasilnya
menunjukkan rata-rata hasil belajar kelompok eksperimen 79,09
sedangkan kelompok kontrol 66,66 dengan hasil uji t signifikansi sebesar
0,00 sehingga kesimpulannya ada perbedaan pengaruh penggunaan NHT
terhadap hasil belajar IPS siswa kelas V SDN Blotongan 2 Salatiga
semester II tahun 2010/1012.
29
2.3 Kerangka Pikir
Melihat dari kajian pustaka di atas, hasil belajar siswa erat
hubungannya dengan model pembelajaran yang digunakan oleh guru
dalam mengajar. Sebuah kelas dengan guru yang menggunakan model
pembelajaran konvensional yang cenderung ceramah, siswa dalam kelas
hanya mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru. Akan
berbeda jika sebuah kelas dengan seorang guru yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together dalam mengajar.
Siswa dalam kelas akan dibagi menjadi beberapa kelompok-kelompok
kecil siswa yang anggotanya heterogen baik dari jenis kelamin maupun
kemampuan belajarnya.
Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan memberikan Pre Test
terhadap kelas kontrol dan kelas eksperimen. Pembelajaran dalam kelas
kontrol dilaksanakan sebagaimana guru biasa mengajar (konvensional),
sedangkan untuk kelas eksperimen guru mengajar dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Heads Together. Kemudian
dilakukan Post Test untuk kelas kontrol maupun kelas eksperimen. Hasil
belajar yang diperoleh melalui Pre Test maupun Post Test baik dari kelas
kontrol dan kelas eksperimen diukur untuk mengetahui apakah ada
pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Heads Together.
30
2.4 . Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini yaitu:
a. H0 : μ1= μ2 : Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Heads Together (NHT ) tidak berpengaruh terhadap hasil
belajar matematika kelas IV di SD Gugus Hasanudin.
H1 : μ1≠ μ2 : Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Heads Together (NHT ) berpengaruh terhadap hasil belajar
matematika kelas IV di SD Gugus Hasanudin.
Pengukuranhasil belajarsiswa(Pre Test-Post Test)
Gurumengajardengan modelpembelajarankooperatiftipeNumberedHeadsTogether
Gurumengajardengan modelpembelajarankonvensional
KelasIV
Gambar 2.1 Kerangka Pikir
KelasKontrol
KelasEksperimen
Pre Test Post Test
31
b. H0 :μ1=μ2 :Penggunaan model pembelajaran konvensional tidak
berpengaruh terhadap hasil belajar matematika kelas IV
di SD Gugus Hasanudin.
H1 : μ1≠ μ2 : Penggunaan model pembelajaran konvensional berpengaruh
terhadap hasil belajar matematika kelas IV di SD Gugus
Hasanudin.
c. H0 : μ1= μ2 : Tidak ada perbedaan signifikan antara pembelajaran model
kooperatif tipe Numbered Heads Together dengan model
konvensional terhadap hasil belajar matematika kelas IV di
SD Gugus Hasanudin.
H1 : μ1≠ μ2 : Ada perbedaan signifikan antara pembelajaran model
kooperatif tipe Numbered Heads Together dengan model
konvensional terhadap hasil belajar matematika kelas IV
di SD Gugus Hasanudin.