4. bab iiieprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu...
TRANSCRIPT
65
BAB III
HISAB WAKTU SALAT DAN KONVERSI NAHDLATUL ULAMA
A. Profil Nahdlatul Ulama
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan
Cendekiawan Islam) disingkat NU, sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan
diniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan
mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut paham
Ahlussunah waljama'ah sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan menganut
salah satu mazhab dari empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hanbali sebagai pedoman berfikih (NU, 2011: v).
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 di Kertopaten Surabaya, dimana
berawal dari sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka
yang merupakan tokoh-tokoh pesantren. Sebagian besar dari mereka berasal
dari Jawa Timur. Mereka berkumpul di kediaman KH. Wahab Chasbullah
(1888-1971), sebuah pemandangan yang tidak familiar dan jarang terjadi
sejumlah kiai senior berkumpul sebanyak itu. Dalam satu kesempatan
tersebut, para kiai memikirkan langkah bersama demi mempertahankan
kepentingan praktek keagamaan dalam bingkai Islam tradisionalis. Setelah
melalui proses diskusi, para kiai memutuskan untuk mendirikan sebuah
organsasi keagaamaan yang mewadahi kepentingan itu dengan nama
“Nahdlotul Ulama” untuk mewakili dan memperkokoh Islam corak
tradisional di Hindia-Belanda (Fealy, 2011: 21).
66
NU yang berdiri abad ke-20 di masa kolonial tidak lepas dari latar belakang
keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat
bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul
1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan
memang terus menyebar ke mana-mana, setelah rakyat pribumi sadar terhadap
penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,
muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan,
seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian
pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan
"Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial
politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan
Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis
untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar
itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di
beberapa kota tersebut (Zahro, 2004: 16-18).
Selain itu ada faktor lain yang mendasari berdirinya NU yaitu munculnya
gerakan-gerakan pembaharuan yang mengusung slogan-slogan kembali ke
Alquran dan Sunah. NU yang saat itu belum terbentuk dan masih berupa
67
golongan Islam Indonesia tradisionalis disaingi oleh suatu gerakan baru dari
kelompok yang mengatas namakan dirinya sebagai kaum modernis. Inspirasi
dan sumber intelektual gerakan baru ini berasal dari tokoh-tokoh reformis dari
timur tengah. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Jamaluddin al-Afgani
(1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).
Mereka adalah tokoh-tokoh penggerak Pan-Islamisme. Pan Islamisme dalam
pengertian yang luas adalah kesadaran kesatuan umat Islam yang diikat oleh
kesamaan agama yang membentuk solidaritas sedunia. Sedangkan dalam
pengertian khusus adalah gerakan mempersatukan umat Islam. Gerakan ini
secara samar-samar pernah diutarakan oleh Al-Thah-Thawi dengan memakai
istilah persaudaraan seagama, dan kemudian ditegaskan oleh Sayid
Jamaluddin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh. Gerakan Pan Islam
pada awalnya muncul sebagai gerakan Wahabi di Arab pada abad ke-18
dengan pelopornya Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) dengan
menghidupkan himbauan Ibnu Taymiah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Abdul Wahab bersekutu dengan Ibnu Saud kemudian
menguasai kota suci Mekah dan Madinah sebagai langkah pertama menguasai
dan mempersatukan dunia Islam seluruhnya. Gerakan Pan Islamisme tersebut
tidak berhasil menggalang kesatuan umat Islam. Tapi semangat Pan Islam
tetap hidup sehingga membangkitkan berbagai organisasi Islam regional dan
internasional, tak terkecuali Indonesia yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari pergerakan (Muin, 2001: 57).
68
Gerakan ini kemudian mempengaruhi bangkitnya pergerakan nasional
Indonesia, karena dalam periode peralihan abad ke-20, Islam merupakan ciri
utama kebudayaan Indonesia. Salah satu sisi dari gerakan reformasi itu ialah
mengidentifikasikan Islam dengan bangsa dan dengan rasa yang semakin
tidak sabar terhadap kedudukan sebagai bangsa yang terjajah.
Inti gerakan moderisme ini adalah bahwa peradaban Islam sedang mengalami
kemerosotan yang serius. Banyak dunia Islam saat itu yang terjajah oleh
bangsa Eropa yang beragama Kristen. Para modernis menginginkan reformasi
dari segala aspek, menyesuaikan dengan dunia modern. Mereka berusaha agar
metode-metode pendidikan, organisasi dan keilmuan yang telah menunjang
kemajuan ekonomi dan kekuatan politik kaum kolonis eropa agar dikuasai
oleh kaum muslimin (Fealy, 2011: 26).
Sepanjang tahun 1910-an, pembicaraan mengenai tentang posisi kaum
tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan
intelektual. Kedua pihak saling berusaha menemukan persamaan dan saling
membangun pengertian. Hal tersebut tercermin dalam pembentukan Nahdlatul
Watan yang didirikan oleh KH. Wahab Chasbullah (seorang kiai aktifis yang
nantinya menjadi salah satu pendiri NU) dan Mas Mansoer, yang kemudian
bergabung dengan Muhamadiyyah. Kemudian kondisi ini berubah memasuki
tahun 1920-an. Otoritas keagamaan kiai menjadi masalah yang sensitif ketika
sebagian gerakan kaum modernis mempertajam kritiknya terhadap islam
tradisional. Perpecahan tersebut memuncak ketika kedua kubu berselisih
pendapat mengenai siapa delegasi yang akan mewakili Indonesia dalam
69
muktamar dunia Islam yang diselenggarakan di Mekkah pda tahun 1926.
Tujuan Muktamar adalah membahas kegiatan keagamaan di Hijaz setelah
berkuasanya pemimpin Wahabi, Ibnu Saud. Kaum modernis pada umumnya
menyambut baik rezim baru tersebut, namun kaum tradisionalis khawatir bila
mana Ibnu Saud akan membatasi gerak langkah ritual dan praktik mazhab
Syafi’i. diketahui bahwa kaum tradisionalis Indonesia terkenal paling banyak
menganut mazhab Syafi’i dibandingkan dengan tiga mazhab fikih lainnya.
Sebagai mana dikutip Fearly (2011: 32) dari Noer (1989: 223) Kaum
tradisionalis merasa was-was oleh adanya berita yang mengabarkan bahwa
pemerintah yang baru telah mengeluarkan larangan untuk menganut paham
lain selain mazhab Hambali dan membiarkan pencemaran makam kalangan
ahli tasawuf yang merupakan tempat ziarah yang popular bagi kaum
tradisionalis.
Dalam kongres Islam tahun 1925 di Yogyakarta, kaum tradisionalis dibuat
marah oleh kalangan modernis akibat kurangnya dukungan kaum modernis
terhadap usulan dari kalangan tradisionalis untuk meminta Ibnu Saud
menjamin kebebasan keagamaan bagi semua umat Islam di Makkah.
Kekecewaan kaum tradisionalis lebih memuncak ketika para pimpinan kaum
modernis mengadakan kongres pada Januari 1926 di Cianjur Jawa Barat, dan
kongres al-Islam pada Februari 1926 di Bandung, memutuskan tidak
mengikut sertakan dari kaum tradisionalis sebagai delegasi Hindia-Belanda ke
Hijaz.
70
Peristiwa itu meyakinkan banyak kiai tentang perlunya untuk membentuk
utusan sendiri untuk melindungi kepentingan mereka. Atas tujuan inilah, KH.
Wahab Chasbullah -atas persetujuan KH. Hasyim Asyari- mengundang ulama
terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya pada ahir Januari 1926
yang tujuan jangka pendek dari pertemuan ini adalah membahas tentang
perlunya dan pengesahan komite Hijaz yang akan mengirim delegasi ke
kongres di Makkah. Hal tersebut guna mendesak pemerintah baru Hijaz agar
tetap membiarkan dan memberi jaminan kebebasan praktik riatual keagamaan
yang dianut kaum tradisionalis. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi
yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk
organisasi yang lebih mencakup, terstruktur dan lebih sistematis, guna
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan
berbagai kiai, pada akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk satu
organisasi yang mewadahi Islam tradisionalis yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini
dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, K.H. Hasyim Asy'ari
merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan
kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian
diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan
warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan
politik. Kemudian setelah disetujui keputusan tersebut, dibentuklah organisasi
Nahdlatul Ulama sebagai representasi Islam tradisionalis (Fealy, 2011: 32).
71
NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyyah tidak lepas dari corak orientasi fikih
(Fiqh Oriented) dan sejak itu, NU menjalankan organisasinya tidak lepas dari
misinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan menjadi ciri fundamental
yang tidak berubah. Dengan selalu mengambil salah satu dari empat mazhab
fikih, NU sejak berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk
bermazhab. Secara konsekue hal tersebut ditindak lanjuti dengan upaya
pengambilan hokum fikih dari sumber-sumber referensi (Mara>ji’) dari kitab-
kitab fikih yang pada umumnya sudah di bentuk dalam kerangka yang
sistematis dalam beberapa komponen seperti ‘ iba>dah, mu’ammalah,
munakahah dan jina>yah/qaz}a (Pidana dan peradilan). Dalam hal ini ulama NU
dalam istinbat} al-h}ukm (pengambilan hukum), berorientasi pada pengambilan
hokum dari aqwa>l al-mujtahidin (pendapat para mujtahid1) yang mutlak
ataupun yang muntas}ib (NU, 2011: v).
1 Mujtahid memiliki beberapa tingkatan yaitu: 1. Mujtahid Mustaqil yaitu para ulama yang mampu mengambil (menggali) hokum secara langsung
dari Alquran dan sunnah denganmenggunakan teori-teori ushul yang mereka ciptakan sendiri. Contoh diantara mujtahid mustaqil adalah al-Maliki, al-Hanafi, as-Syafi’I dan al-Hanbali.
2. Mujtahid Goiru al-Mustaqil al-Muntasib yaitu ulama yang sudah memiliki criteria sebagai mujtahid, namun belum mampu menciptakan kaidah ushul sendiri, mereka masih berpegang pada kaidah-kaidah ushul imam mazhab, sekalipun keputusan akhir yang ditetapkan berbeda dan tidak sependapat dengan mazhabnya, khususnya dalam msalah furu’iyyah (cabang) atau bahkan bersebrangan dengan keputusan yang telah diambil mazhabnya. Ulama mujtahid tersebut misalnya: a. Hanafiyyah : Imam Zufar, Muhammad bin Hasan as-Syaibani dan Abu yusuf b. Malikiyyah : Ibnu Qosim, Imam Asyhab dan Ibnu Abdi Hakam c. Syafi’iyyah : Imam Muzani, al-Buwaiti dan al-Za’faroni d. Hanbaliyyah : Ibnu Taimiyyah
3. Al-Mujtahid al-Muqoyyad dan Mujtahid tahrij adalah para ulama yang mampu mencetuskan hokum-hukum yang belum pernah dijelaskan oleh imam mazhab dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul al-mazhab. Pendapat hasil ijtihad ulama pada tingkatan ini disebut dengan “al wajh”. Terkadang, dalam satu mazhab, para ulama dalam mazhab tersebut berbeda pendapat, sehingga sering dijumpai dalam penjelasan di buku fikih, pada suatu permasalahan terdapat sekianwajh. Artinya, dalam permasalahan itu terdapat sekian pendapat dalam mazhab tersebut (Dewa & Fadli, 2013: 210-212).
72
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir
yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum
ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak
hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah
dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir
terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam
bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih lebih cenderung mengikuti
mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi,
imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang
NU berbintang 4 di bawah (Fadeli & Subhan, 2010: 18). Sementara dalam
bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-
Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Tasawuf
atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakan oleh Tuhan untuk
menunjukan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran Alquan (Sujuthi, 2001:
5).
Di antara ulama yang berada di tingkatan ini adalah adalah Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan Mazhab Syafi’i adalah Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir. Adapun dari kalangan Mazhab Hambali, di antaranya adalah Al Qadhi Abu Ya’la dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah.. Mereka adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat. Di antara ulama yang tergolong pada tingkatan ini adalah Imam Ar Razi dan Al Jashas.
4. Mujtahid tarjih yaitu Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam mazhab atau perbedaan antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab. Di antara ulama yang mencapai jenjang ini adalah Imam Al Marghinani dan Abul Hasan Al Qaduri dari Mazhab Hanafi, Imam Khalil bin Ishaq Al Jundi dari Mazhab Maliki, Ar Rafi’i dan An Nawawi dari Mazhab Syafi’i, serta Imam Al Mardawi dari kalangan Mazhab Hambali.
73
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting
untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan
kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta
merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Hal tersebut dipakai
sebagai landasan berfikir, bersikap dan pertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku, serta setiap proses dalam pengambilan
keputusan Perseorangan maupun organisasi Gerakan tersebut berhasil kembali
membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU (Fadeli &
Subhan, 2010: 21).
Gerakan kembali ke khitah 1926 ada juga yang memahami sebagai jurus baru
NU dalam berpolitik. Hal tersebut tercermin dalam konteks represivitas
pemerintah orde baru dan munculnya tokoh Gus Dur sebagai simbol
perlawanan terhadap orde baru. Periode dimana hegemoni kekuasaan Orde
baru sangat kuat. NU membuat langkah strategis untuk kembali ke khitah
1926 sebagai basis gerakan organisasi. Sebagaimana diketahui, khittah NU
1926 merupakan identitas NU sebagai organisasi yang bergerak dibidang
sosial keagamaan (Koirudin, 2005: 59).
Keanggotaan / Pendukung
Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang
perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim
tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU)
atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari
beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat biasa, baik di kota
74
maupun di desa. Mereka memiliki keterlekatan yang tinggi karena secara
sosial-ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga menjiwai
ajaran Ahlusunnah Waljma’ah. Pada umumnya pendukung NU memiliki
ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan
rakyat dan cagar budaya NU.
Dalam ADRT NU disebutkan tentang keanggotaan NU. Keanggotaan
Nahdlatul Ulama terdiri dari:
a. Anggota biasa adalah setiap warga negara Indonesia yang beragama
Islam, balig, dan menyatakan diri setia terhadap Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga organisasi.
b. Anggota luar biasa, adalah setiap orang yang beragama Islam,
menganut faham Ahlusunnah wal Jamaah dan menurut salah satu
mazhab empat, sudah aqil balig, menyetujui aqidah, asas, tujuan dan
usaha-usaha Nahdlatul Ulama, namun yang bersangkutan berdomisili
secara tetap di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
c. Anggota kehormatan adalah setiap orang yang bukan anggota biasa
atau anggota luar biasa yang dinyatakan telah berjasa kepada
Nahdlatul Ulama dan ditetapkan dalam keputusan Pengurus Besar.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan
di Negri ini dan perkembangan industrialisasi. Banyak Warga NU di desa
yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika di masa awal
berdirinya basis NU lebih kuat di sektor pertanian di wilayah pedesaan, maka
saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, menjadi cukup dominan.
75
Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, maka basis intelektual
dalam NU juga semakin meluas, pararel dengan cepatnya mobilitas sosial
yang terjadi selama ini. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan,
basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya
mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki
sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu
ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara (NU
online, www.nu.or.id, diakses 10 Desember 2014)
B. Profil LF-PBNU
Salah satu lajnah di NU adalah Lajnah Falakiyah yang bertugas
menangani masalah hisab dan rukyat serta pengembangan tradisi ilmu falak.
Lajnah ini mulai didirikan sejak tahun 1984, yang merupakan salah satu hasil
rekomendasi Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Sebelum lajnah falakiyah
menjadi bagian dalam tubuh NU, urusan mengenai masalah hisab rukyah
ditangani langsung oleh Syuriyah (Fadeli & Subhan, 2010: 66).
Tugas pokok Lajnah Falakiyah PBNU antara lain sebagaimana tercantum
dalam pedoman penyelenggaraan organisasi Lajnah Falakiyah Nahdlatul
Ulama adalah menyelenggarakan rukyat pada setiap waktu yang ditentukan,
serta menindak lanjuti hasil rukyat tersebut untuk kepentingan umat. Selain
itu adalah menyusun, menyerasikan dan menerbitkan hasil hisab dalam
sebuah almanak Nahdlatul Ulama. Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan hisab rukyat untuk semua tingkatan dan mengadakan penelitian dan
pengembangan di bidang falak (LF-PBNU, tt: 2).
76
Pada Mulanya metodologi hisab rukyat lebih banyak menggunakan bentuk
alamiah yang mengandalkan kemampuan ilmu falak dari masing-masing
pesantren. Kemudian secara berjenjang , sejak tahun 2001, Lajnah Falakiyah
NU mulai melakukan diklat secara berjenjang kepada para kadernya. Diklat
tersebut terdiri dari beberapa jenjang yaitu tingkat dasar, menengah dan ahli.
Penggagas berdirinya Lajnah Falakiyah NU adalah KH. Muhammad Rodhi
Sholeh2, yang saat itu menjadi Rois ‘Am. Ketua LF-PBNU dari masa ke masa
adalah:
1. KH. Mahfudz Anwar (1984-1989)
2. KH. Irfan Zidny (1989-1997)
3. KH. Ghozali Masruri (1997-sampai sekarang)
C. Metode Hisab Awal Waktu Salat dan Konversi Waktu Salat PBNU
Dari penelusuran penulis melalui wawancara dengan salah satu
anggota LF-PBNU, KH. Sirril Wafa, diketahui bahwa untuk konsep awal bulan,
PBNU telah mengeluarkan pedoman Hisab berupa buku “Pedoman Hisab dan
Rukyat dan Program Kerja Lembaga Sosial Mabarrot Nahdlatul Ulama”.
Sedangkan untuk pedoman perhitungan arah Kiblat dan waktu salat, dikatakan
penerbitan buku pedoman perhitungan arah Kiblat dan waktu salat masih dalam
proses diskusi antar sesama anggota LF-PBNU. Pedoman metode perhitungan
awal waktu-waktu salat belum tersusun dalam bentuk buku dan masih berupa
2 KH. Muhammad Rodhi Sholeh adalah ulama ahli falak dari NU lahir pada 3 Maret 1933 di
Grobogan, Jawa Tengah. Selain pernah menjabat wakil Rais ‘Am dan Muntasyar NU, Beliau pernah menjadi anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI. Beliau merupakan salah satu pakar falak dari NU. Karya beliau adalah Rukyatul Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal (Solahudin, 2012: 25).
77
makalah yang tersebar dan disusun untuk keperluan seminar, diklat dan pelatihan
semata.
Mengenai penentuan awal bulan Kamariah dalam perspektif NU, KH. A.
Ghazalie Masroeri, ketua Lajnah Falakiyah PBNU (1997-sekarang masih
menjabat) mengatakan bahwa terdapat lebih dari 20 metode (manhaj) hisab yang
berkembang di Indonesia. Diantaranya metode hisab karya warga NU yang
mempunyai nilai tahqiqi/taqdidi/’ashri, yaitu al-Khulashah al-Wafiyah, dengan
dilengkapi logaritma karya KH Zubair Umar3, Ad-Duruus al-Falakiyah, karya KH
Ma’sum Ali, Badiiatul Mitsal, karya KH Ma’sum Ali, Irsyadul Muriid, karya KH.
Ghozali Muhammad, Nurul Anwar, karya KH Noor Ahmad SS dan Al-
Mawaaqiit, karya Dr Khazin, MSi. (NU Online, nu.or.id, diakses 8-Des-2014).
Sebagaimana dalam hisab awal bulan, metode perhitungan yang
digunakan oleh LF-PBNU dalam menyusun jadwal waktu salat juga menggunakan
metode perhitungan hakiki-tahkiki, yaitu dengan memanfaatkan data gerak harian
Matahari. Rumus yang digunakan sama seperti yang terdapat dalam kitab-kitab
falak yang masuk kategori hakiki-tahkiki. Di lingkungan Nahdlatul Ulama terdapat
rujukan kitab-kitab falak baik untuk kalangan pemula (mubtadi’iin), tingkat
3 KH Zubair Umar al-Jailani adalah seorang ulama ahli falak kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur
pada 16 September 1908. Menetap dan wafat di Salatiga, Jawa tengah. Pendidikan agamanya pernah Melanglangbuana di beberapa pesantren di antaranya adalah pesantren Termas Pacitan dan Pesantren Tebu Ireng Jombang yang saat itu masih diasuh oleh Hadratu Syeih KH. Hasyim Asy’ari. Saat di Makkah mempelajari ilmu falak di bawah bimbingan Syeh Umar Hamdan dengan mempelajari kitab al-Matla’ as-Sa’id karya Husain Zaid al-Misra dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy. Sekembalinya ke Indonesia KH. Zubair mengajar di PGA (Pendidikan Guru Agama) Salatiga, dan beberapa pesantren. Kemudian Beliau mendirikan Pesantren Luhur yang kemudian menjadi IKIP NU yang dikemudian hari menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan sekarang menjadi IAIN Salatiga saat penulis menulis tesis ini (Solahudin, 2012: 21-22).
78
lanjutan, maupun tingkat mahir (expert)4. Untuk kepentingan penentuan waktu-
waktu salat, jenis kitab yang dipergunakan bukanlah kitab rujukan yang
diperuntukkan bagi kalangan mubtadi’in atau lanjutan. Kitab-kitab rujukan yang
dipergunakan seperti al-Durus al-Falakiyyah dan Badi’atulmitsal, al-Khulashoh
al-Wafiyyah yang merupakan sebagian khazanah yang dihasilkan oleh ulama-
ulama NU dan masuk kategori hisab hakiki-tahkiki.
Berdasarkan informasi dari wawancara dengan KH. Sirril Wafa -wakil
LF-PBNU- beliau mengatakan bahwa di era komputer seperti sekarang ini, data
deklinasi dan equation of time (perata waktu) lebih dinamis dan mempunyai
akurasi yang lebih baik dibanding data yang terdapat dalam buku-buku lama. Data
gerak Matahari yang digunakan dalam perhitungan penentuan awal waktu salat,
LF-PBNU mengambil data yang sesuai dengan hisab kontemporer dari berbagai
sumber, terutama Ephemeris Kemenag RI. Sedangkan terkait penggunaan rumus
waktu salat yang digunakan, LF-PBNU menggunakan rumus ilmu ukur segitiga
4 Sebagaimana tercantum dalam Pedoman Penyelenggaraan Oraganisasi LF-PBNU (t.t. : 29) Pendidikan dan pelatihan hisab rukyat yang dikelola LF-PBNU dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu dasar, menengah dan ahli. a. Tingkatan Dasar
Pada tingkatan ini, pelatihan hisab rukyat diberikan pada kalangan umum yang memiliki minat kuat akan hisab rukyat dan mengetahui dasar matematika serta belum pernah mengikuti kegiatan serupa. Pada pelatihan tingkat dasar ini, peserta diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu hisab, kalkulator dan penggunaannya, perhitungan dan pengukuran arah kiblat, perhitungan awal waktu salat, serta perhitungan awal bulan ‘urfi dan taqribi.
b. Tingkat Menengah Pelatihan tingkat ini diberikan kepada peserta yang telah melewati pelatihan tingkat dasar atau pernah mengikuti pelatihan serupa. Dalam pelatihan ini diberikan materi berupa perhitungan awal bulan dengan system hisab tahkiki dengan rujukan kitab seperti: Khulasotul Wafiyyah, Nurul Anwar dan Badi’atul Misal.
c. Tingkat Atas (mahir) Tingkatan ini merupakan lanjutan dari pelatihan tingkat menengah. Materi yang diberikan pada level ini adalah perhitungan-perhitungan awal bulan dengan sistem metode kontemporer seperti Ephemeris, new comb dan jean meeus. Selain materi awal bulan, juga diberi materi tentang perhitungan gerhana.
79
bola (Spherical Trigonometry). Berdasarkan hal ini, penulis berkesimpulan bahwa
dalam penentuan rumus (kaidah) waktu-waktu salat, LF-PBNU sudah
menggunakan sistem perhitugnan astronomi kontemporer, yaitu dengan
.menggunakan data-data yang selalu diperbarui.
Dalam perhitungan jadwal awal waktu-waktu salat pada kalender PBNU,
sejauh penelusuran penulis, data-data geografis mengenai Lintang dan Bujur yang
dipergunakan sampai saat ini masih menggunakan data Lintang dan Bujur yang
diterbitkan Kemenag RI. Masih berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari
KH. Sirril Wafa5, pada penerbitan kalender berikutnya, LF-PBNU akan berupaya
menyesuaikan data-data koordinat daerah berdasarkan data-data dari Badan
Koordinator Survei dan Pertanahan Nasional.
Dalam penentuan ketinggian Matahari untuk waktu-waktu salat, terdapat
adanya perbedaan pendapat dalam penetapan kriteria ketinggian Matahari.
Sebagaimana KH. Slamet Hambali6 (2014: 1) menyampaikan bahwa kriteria
ketinggian Matahari seharusnya ditentukan dengan nilai -17°+SD+Ref+Dip untuk
waktu Isya dan -19°+SD+Ref+Dip untuk waktu Subuh. Nilai dip diperoleh dari
rumus 1.76√h (tinggi mata pengamat), sedangkan nilai refraksi bervariasi sesuai
kedudukan Matahari pada waktu-waktu salat. Refraksi yang digunakan untuk
5 KH. Sirril Wafa adalah putra KH. Turaichan yang membuat almanak Kudus. Beliau merupakan wakil Lajnah Falakiyah PBNU yang bertanggung jawab dalam pencetakan kalender PBNU yang di dalammnya memuat jadwal waktu salat berikut konversinya. Sekarang ini, beliau aktif menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6 Drs. KH. Slamet Hambali merupakan salah satu wakil ketua Lajnah Falakiyah PBNU yang saat ini masih aktif sebagai dosen ilmu Falak UIN Walisongo. Dalam struktural LF-PBNU, beliau bertanggung jawab dalam permasalahan penetapan awal bulan dan aktif dalam mengisi seminar, diklat dan pelatihan-pelatihan ahli falak NU.
80
menghitng waktu Magrib dan terbit adalah 0°34’, sedangkan untuk waktu Isya dan
Subuh adalah 0°3’. Refraksi tersebut diperoleh dari dari rumus = 0,167 : tan ( h +
7,31 : ( h + 4,4 )). Dalam referensi lain, Abdus Salam Nawawi7 (2008: 26-27)
menggunakan kriteria ketinggian Matahari, yaitu 0°-SD+Ref+Dip untuk Magrib, -
18°+Dip untuk Isya, dan -20+Dip untuk waktu Subuh. Walaupun perbedaan
kriteria ini terjadi, kesamaan metode dalam perhitungan waktu salat yang dipakai
menggunakan metode Ephemeris.
Berdasarkan hasil wawancara dengan KH. Sirril Wafa, bahwa
perhitungan awal waktu-waktu salat yang lama menggunakan metode seperti yang
dipakai dalam kitab al-Khulashoh al-Wafiyyah dan al-Durus al-Falakiyah.
Kemudian dengan adanya sosialisasi dari Kemenag, kriteria ketinggian atau
inkhifad} Matahari awal maghrib dibakukan -1°. Nilai -1° ini sejatinya diperoleh
dari data koreksi SD, Ref, Dip dan sebagainya yang nilai totalnya pada umumnya
mendekati angka -1°. Oleh karena itu, angka -1° ini merupakan pembulatan dari
sejumlah data koreksi tersebut. Agar mendapatkan nilai h tersebut ketinggian yang
pakai adalah ketinggian rata-rata daratan setinggi sekitar 30 mdpl. Sehingga nilai
tinggi Matahari (h Matahari) saat Magrib adalah (0°-Ref-SD-Dip) = 0°-0°34’-
0°16’-0°9’38.4’’ = -0°59’38.4’’ atau bisa dibulatkan menjadi nilai -1°.
7 KH. Abdus Salam Nawawi mengarang sebuah buku berjudul Ilmu Falak Praktis yang memuat tentang teori dan perhitungan arah Kiblat, awal waktu salat, kalender, perhitungan awal bulan dan tata cara rukyat. Beliau aktif menjadi ketua LF-PWNU Jawa Timur selama beberapa periode. Beliau menjadi penanggung jawab dalam perkembangan ilmu Falak di Jawa Timur dan sekarang ini aktif mengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya.
81
Pada metode yang terdapat dalam referensi yang lama, terdapat koreksi
al-daqa>iq al-tamkiniyyah8 yang nilai rata-ratanya sekitar 3,5 menit derajat.
Apabila perhitungan tersebut dibandingkan dengan model Kemenag, menurut
Sirril wafa, hasil akhirnya hampir sama. Bahkan dapat dikatakan bahwa
keterpautannya tidak signifikan. Demikian pula untuk waktu Isya dan Subuh
dengan menggunakan ketinggian Matahari sebesar -18° dan -20°. Asumsi yang
digunakan adalah bahwa angka -18° digunakan karena tidak ditambahkan data al-
daqa>iq al-tamkiniyyah seperti pada metode kitab (metode lama), namun sudah
dipandang inklusif dengan data dari metode terakhir yang digunakan. Sirril Wafa
menegaskan bahwa untuk sebuah jadwal waktu salat yang diperuntukkan bagi
masyarakat luas, plus minus perbedaan kedua data tadi dinilai tidak signifikan.
Dalam perhitungan jadwal awal waktu-waktu salat, biasanya di sertai
dengan memasukan nilai ihtiyat}. Hal tersebut merupakan suatu langkah pengaman
dengan menambahkan nilai ihtiyat} (kehati-hatian) beberapa menit untuk waktu
salat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Dhuha. Sedangkan untuk waktu terbit
yaitu dengan mengurangi beberapa menit. Hal tersebut dimaksudkan agar jadwal
waktu salat tidak mendahului awal waktu atau melampaui akhir waktu. Perlunya
langkah pengamanan dalam penentuan awal waktu-waktu salat ini disebabkan
beberapa hal, diantaranya yaitu (Azhari, 2012: 92):
8 Daqa>iq at-Tamki>niyyah adalah tenggang waktu yang diperlukan oleh Matahari sejak piringan atasnya menyentuh ufuk hakiki sampai terlepas dari ufuk mar’i (Khazin, 2005: 19).
82
a. Adanya pembulatan-pembulatan dalam mengambil data, baik data-data tentang
koordinat suatu tempat ataupun data-data tentang Matahari, dan
penyederhanaan hasil perhitungan sampai pada satuan menit busur.
b. Pengambilan data letak koordinat suatu tempat biasanya diukur dari titik pusat
suatu kota. Sedangkan dalam perkembangannya, suatu kota bisa bertambah luas
sehingga tempat yang sebelumnya menjadi titik pusat suatu kota bisa bergeser
ke pinggir. Akibat perkembangan ini, maka ujung timur dan barat suatu kota
bisa berjarak cukup jauh dari titik penentuan kota di titik semula. Jika suatu
jadwal waktu salat tidak di tambah dengan nilai ihtiyat}, maka jadwal tersebut
hanya akan berlaku untuk titik yang dihitung tersebut dan daerah di sebelah
timur kota tersebut. Jadwal tersebut tidak berlaku untuk daerah di sebelah barat
kota tersebut.
Nilai ihtiyat} yang digunakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama sebagaimana yang dipakai oleh Saadoe’ddin Djambek adalah sekitar 2
menit, kecuali jika jadwal yang dimaksudkan digunakan untuk daerah disekitarnya
yang berjarak lebih dari 30Km. Izzuddin (2012: 85) menyatakan bahwa cara
menambahkan nilai ihtiyat} adalah hendaknya bilangan detik berapapun dibulatkan
menjadi satu menit, kecuali untuk terbit, nilai detik berapapun harus dibuang atau
diabaikan. Setelah itu tambahkan nilai tersebut dengan bilangan 2 menit, kecuali
untuk waktu terbit dikurangi 2 menit.
Dalam jadwal awal waktu salat yang diterbitkan dalam kalender PBNU,
nilai ihtiyat} yang dipergunakan bervariasi. Untuk waktu Zuhur, nilai ihtiyat}
83
tersebut berkisar antara 3 sampai 3,5 menit. Waktu-waktu Asar, Maghrib, Isya dan
Subuh ihtiyat}-nya sebanyak 2 menit. Adapun khusus untuk waktu terbit Matahari
yaitu dikurangi 1 menit sebagai langkah kehati-hatian untuk mengantisipasi akhir
waktu Subuh. Untuk koreksi ihtiyat} ini dilakukan dengan menghilangkan atau
pembulatan ke bawah pada orde detik dan pecahannya.
Dalam sistem konversi waktu salat antar daerah, hasil perhitungan yang
tertera dalam kalender PBNU tidak menyertakan elemen Lintang dan kerendahan
ufuk terhadap daerah atau kota-kota yang tercantum dalam tabel konversi tersebut.
Nilai konversi hanya mencukupkan dengan memperhitungkan selisih bujur daerah
tertentu dengan markaz Jakarta. Setiap perbedaan 1° busur sama dengan 4 menit
waktu, terhitung dari acuan Jakarta. Penetapan nilai konversi ini disebabkan
karena konversi tersebut hanya berlaku untuk jadwal waktu salat untuk kota-kota
di pulau Jawa saja, sehingga konversi waktu untuk kota lain cukup dengan
menggunakan selisih bujur.
Perbedaan lintang untuk daerah-daerah di pulau Jawa terpaut sekitar 2
derajat. Menurut penuturan KH. Sirril Wafa, pernah akan di buat jadwal konversi
untuk kota-kota lain di luar pulau Jawa, namun beliau tidak setuju karena model
konversi seperti itu sudah tentu tidak akurat. Kalender PBNU tersebut tersebar
untuk kalangan Nahdliyin di Indonesia. Oleh karena itu, dalam kalender tersebut
dicantumkan catatan berupa kota-kota lain di luar pulau Jawa hendaknya
mengikuti perhitungan setempat. Nilai konversi untuk daerah-daerah dipulau jawa
dengan acuan jadwal waktu salat kota Jakarta adalah sebagai berikut:
84
Tabel. 3.1. Konversi waktu salat kota-kota di Jawa dengan acuan kota Jakarta
(Sumber: Kalender PBNU)
Kota Menit Kota Menit Anyer +4 Magetan -18 Bandung -3 Majalengka -5.5 Bangkalan -23.5 Malang -23 Banjarnegara -11.5 Mojokerto -22.5 Bantul -14 Ngawi -18.5 Banyuwangi -30 Nganjuk -20.5 Batang -11.5 Pacitan -13 Bekasi -1.5 Pamekasan -26.5 Blitar -21 Pandeglang +2.5 Blora -17 Pasuruan -20 Bogor +0 Pati -16 Bojonegoro -20 Pekalongan -11 Boyolali -15 Pemalang -10 Brebes -8.5 Ponorogo -18.5 Ciamis -5.5 Probolinggo -25.5 Cianjur -1 Purbalingga -10 Cilacap -8.5 Purwakarta -4.5 Cimahi -2.5 Purwokerto -10 Cirebon -7 Purworejo -13 Demak -15 Rembang -17 Depok +0 Salatiga -14.5 Garut -4 Sampang -26 Gresik -23 Semarang -14 Grobogan -16 Serang +2.5 Gunung Kidul -15 Situbondo -28 Indramayu -6 Sleman -14 Jember -28 Sragen -16.5 Jepara -15 Subang -3.5 Jombang -22 Sukabumi -0 Karangaanyar -11 Sumedang -4.5 Karawang -1.5 Sumenep -28 Kebumen -11 Surabaya -24 Kediri -20.5 Surakarta -16 Kendal -13.5 Tangerang +1 Klaten -15 Tasik -5 Kudus -16 Tegal -9 Kulonprogo -13.5 Temanggung -13.5 Kuningan -6.5 Trenggalek -19.5
85
Lamongan -22 Tuban -20.5 Lebak +2.5 Tulungagung -20 Lumajang -25.5 Wonogiri -16.5 Madiun -19 Wonosobo -12 Magelang -14 Yogyakarta -14