4. bab iiieprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu...

21
65 BAB III HISAB WAKTU SALAT DAN KONVERSI NAHDLATUL ULAMA A. Profil Nahdlatul Ulama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam) disingkat NU, sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan menganut salah satu mazhab dari empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali sebagai pedoman berfikih (NU, 2011: v). Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 di Kertopaten Surabaya, dimana berawal dari sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka yang merupakan tokoh-tokoh pesantren. Sebagian besar dari mereka berasal dari Jawa Timur. Mereka berkumpul di kediaman KH. Wahab Chasbullah (1888-1971), sebuah pemandangan yang tidak familiar dan jarang terjadi sejumlah kiai senior berkumpul sebanyak itu. Dalam satu kesempatan tersebut, para kiai memikirkan langkah bersama demi mempertahankan kepentingan praktek keagamaan dalam bingkai Islam tradisionalis. Setelah melalui proses diskusi, para kiai memutuskan untuk mendirikan sebuah organsasi keagaamaan yang mewadahi kepentingan itu dengan nama Nahdlotul Ulama” untuk mewakili dan memperkokoh Islam corak tradisional di Hindia-Belanda (Fealy, 2011: 21).

Upload: others

Post on 13-Jan-2020

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

65

BAB III

HISAB WAKTU SALAT DAN KONVERSI NAHDLATUL ULAMA

A. Profil Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan 'Ulama atau Kebangkitan

Cendekiawan Islam) disingkat NU, sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan

diniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan

mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut paham

Ahlussunah waljama'ah sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan menganut

salah satu mazhab dari empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii dan

Hanbali sebagai pedoman berfikih (NU, 2011: v).

Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 di Kertopaten Surabaya, dimana

berawal dari sebuah kelompok yang terdiri dari lima belas kiai terkemuka

yang merupakan tokoh-tokoh pesantren. Sebagian besar dari mereka berasal

dari Jawa Timur. Mereka berkumpul di kediaman KH. Wahab Chasbullah

(1888-1971), sebuah pemandangan yang tidak familiar dan jarang terjadi

sejumlah kiai senior berkumpul sebanyak itu. Dalam satu kesempatan

tersebut, para kiai memikirkan langkah bersama demi mempertahankan

kepentingan praktek keagamaan dalam bingkai Islam tradisionalis. Setelah

melalui proses diskusi, para kiai memutuskan untuk mendirikan sebuah

organsasi keagaamaan yang mewadahi kepentingan itu dengan nama

“Nahdlotul Ulama” untuk mewakili dan memperkokoh Islam corak

tradisional di Hindia-Belanda (Fealy, 2011: 21).

Page 2: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

66

NU yang berdiri abad ke-20 di masa kolonial tidak lepas dari latar belakang

keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa

Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah

menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat

bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul

1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan

memang terus menyebar ke mana-mana, setelah rakyat pribumi sadar terhadap

penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya,

muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon

kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan,

seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian

pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan

"Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial

politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan

Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis

untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar

itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi

lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di

beberapa kota tersebut (Zahro, 2004: 16-18).

Selain itu ada faktor lain yang mendasari berdirinya NU yaitu munculnya

gerakan-gerakan pembaharuan yang mengusung slogan-slogan kembali ke

Alquran dan Sunah. NU yang saat itu belum terbentuk dan masih berupa

Page 3: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

67

golongan Islam Indonesia tradisionalis disaingi oleh suatu gerakan baru dari

kelompok yang mengatas namakan dirinya sebagai kaum modernis. Inspirasi

dan sumber intelektual gerakan baru ini berasal dari tokoh-tokoh reformis dari

timur tengah. Tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah Jamaluddin al-Afgani

(1838-1897), Muhammad Abduh (1849-1905) dan Rasyid Ridha (1865-1935).

Mereka adalah tokoh-tokoh penggerak Pan-Islamisme. Pan Islamisme dalam

pengertian yang luas adalah kesadaran kesatuan umat Islam yang diikat oleh

kesamaan agama yang membentuk solidaritas sedunia. Sedangkan dalam

pengertian khusus adalah gerakan mempersatukan umat Islam. Gerakan ini

secara samar-samar pernah diutarakan oleh Al-Thah-Thawi dengan memakai

istilah persaudaraan seagama, dan kemudian ditegaskan oleh Sayid

Jamaluddin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh. Gerakan Pan Islam

pada awalnya muncul sebagai gerakan Wahabi di Arab pada abad ke-18

dengan pelopornya Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) dengan

menghidupkan himbauan Ibnu Taymiah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan

Sunnah Nabi. Abdul Wahab bersekutu dengan Ibnu Saud kemudian

menguasai kota suci Mekah dan Madinah sebagai langkah pertama menguasai

dan mempersatukan dunia Islam seluruhnya. Gerakan Pan Islamisme tersebut

tidak berhasil menggalang kesatuan umat Islam. Tapi semangat Pan Islam

tetap hidup sehingga membangkitkan berbagai organisasi Islam regional dan

internasional, tak terkecuali Indonesia yang merupakan bagian tak terpisahkan

dari pergerakan (Muin, 2001: 57).

Page 4: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

68

Gerakan ini kemudian mempengaruhi bangkitnya pergerakan nasional

Indonesia, karena dalam periode peralihan abad ke-20, Islam merupakan ciri

utama kebudayaan Indonesia. Salah satu sisi dari gerakan reformasi itu ialah

mengidentifikasikan Islam dengan bangsa dan dengan rasa yang semakin

tidak sabar terhadap kedudukan sebagai bangsa yang terjajah.

Inti gerakan moderisme ini adalah bahwa peradaban Islam sedang mengalami

kemerosotan yang serius. Banyak dunia Islam saat itu yang terjajah oleh

bangsa Eropa yang beragama Kristen. Para modernis menginginkan reformasi

dari segala aspek, menyesuaikan dengan dunia modern. Mereka berusaha agar

metode-metode pendidikan, organisasi dan keilmuan yang telah menunjang

kemajuan ekonomi dan kekuatan politik kaum kolonis eropa agar dikuasai

oleh kaum muslimin (Fealy, 2011: 26).

Sepanjang tahun 1910-an, pembicaraan mengenai tentang posisi kaum

tradisionalis dan kaum modernis berjalan akrab dan penuh keterbukaan

intelektual. Kedua pihak saling berusaha menemukan persamaan dan saling

membangun pengertian. Hal tersebut tercermin dalam pembentukan Nahdlatul

Watan yang didirikan oleh KH. Wahab Chasbullah (seorang kiai aktifis yang

nantinya menjadi salah satu pendiri NU) dan Mas Mansoer, yang kemudian

bergabung dengan Muhamadiyyah. Kemudian kondisi ini berubah memasuki

tahun 1920-an. Otoritas keagamaan kiai menjadi masalah yang sensitif ketika

sebagian gerakan kaum modernis mempertajam kritiknya terhadap islam

tradisional. Perpecahan tersebut memuncak ketika kedua kubu berselisih

pendapat mengenai siapa delegasi yang akan mewakili Indonesia dalam

Page 5: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

69

muktamar dunia Islam yang diselenggarakan di Mekkah pda tahun 1926.

Tujuan Muktamar adalah membahas kegiatan keagamaan di Hijaz setelah

berkuasanya pemimpin Wahabi, Ibnu Saud. Kaum modernis pada umumnya

menyambut baik rezim baru tersebut, namun kaum tradisionalis khawatir bila

mana Ibnu Saud akan membatasi gerak langkah ritual dan praktik mazhab

Syafi’i. diketahui bahwa kaum tradisionalis Indonesia terkenal paling banyak

menganut mazhab Syafi’i dibandingkan dengan tiga mazhab fikih lainnya.

Sebagai mana dikutip Fearly (2011: 32) dari Noer (1989: 223) Kaum

tradisionalis merasa was-was oleh adanya berita yang mengabarkan bahwa

pemerintah yang baru telah mengeluarkan larangan untuk menganut paham

lain selain mazhab Hambali dan membiarkan pencemaran makam kalangan

ahli tasawuf yang merupakan tempat ziarah yang popular bagi kaum

tradisionalis.

Dalam kongres Islam tahun 1925 di Yogyakarta, kaum tradisionalis dibuat

marah oleh kalangan modernis akibat kurangnya dukungan kaum modernis

terhadap usulan dari kalangan tradisionalis untuk meminta Ibnu Saud

menjamin kebebasan keagamaan bagi semua umat Islam di Makkah.

Kekecewaan kaum tradisionalis lebih memuncak ketika para pimpinan kaum

modernis mengadakan kongres pada Januari 1926 di Cianjur Jawa Barat, dan

kongres al-Islam pada Februari 1926 di Bandung, memutuskan tidak

mengikut sertakan dari kaum tradisionalis sebagai delegasi Hindia-Belanda ke

Hijaz.

Page 6: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

70

Peristiwa itu meyakinkan banyak kiai tentang perlunya untuk membentuk

utusan sendiri untuk melindungi kepentingan mereka. Atas tujuan inilah, KH.

Wahab Chasbullah -atas persetujuan KH. Hasyim Asyari- mengundang ulama

terkemuka dari kalangan tradisionalis ke Surabaya pada ahir Januari 1926

yang tujuan jangka pendek dari pertemuan ini adalah membahas tentang

perlunya dan pengesahan komite Hijaz yang akan mengirim delegasi ke

kongres di Makkah. Hal tersebut guna mendesak pemerintah baru Hijaz agar

tetap membiarkan dan memberi jaminan kebebasan praktik riatual keagamaan

yang dianut kaum tradisionalis. Berangkat dari komite dan berbagai organisasi

yang bersifat embrional, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk

organisasi yang lebih mencakup, terstruktur dan lebih sistematis, guna

mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan

berbagai kiai, pada akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk satu

organisasi yang mewadahi Islam tradisionalis yang bernama Nahdlatul Ulama

(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini

dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar organisasi ini, K.H. Hasyim Asy'ari

merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan

kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian

diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan

warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan

politik. Kemudian setelah disetujui keputusan tersebut, dibentuklah organisasi

Nahdlatul Ulama sebagai representasi Islam tradisionalis (Fealy, 2011: 32).

Page 7: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

71

NU didirikan sebagai jam’iyyah diniyyah tidak lepas dari corak orientasi fikih

(Fiqh Oriented) dan sejak itu, NU menjalankan organisasinya tidak lepas dari

misinya sebagai organisasi sosial keagamaan dan menjadi ciri fundamental

yang tidak berubah. Dengan selalu mengambil salah satu dari empat mazhab

fikih, NU sejak berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk

bermazhab. Secara konsekue hal tersebut ditindak lanjuti dengan upaya

pengambilan hokum fikih dari sumber-sumber referensi (Mara>ji’) dari kitab-

kitab fikih yang pada umumnya sudah di bentuk dalam kerangka yang

sistematis dalam beberapa komponen seperti ‘ iba>dah, mu’ammalah,

munakahah dan jina>yah/qaz}a (Pidana dan peradilan). Dalam hal ini ulama NU

dalam istinbat} al-h}ukm (pengambilan hukum), berorientasi pada pengambilan

hokum dari aqwa>l al-mujtahidin (pendapat para mujtahid1) yang mutlak

ataupun yang muntas}ib (NU, 2011: v).

1 Mujtahid memiliki beberapa tingkatan yaitu: 1. Mujtahid Mustaqil yaitu para ulama yang mampu mengambil (menggali) hokum secara langsung

dari Alquran dan sunnah denganmenggunakan teori-teori ushul yang mereka ciptakan sendiri. Contoh diantara mujtahid mustaqil adalah al-Maliki, al-Hanafi, as-Syafi’I dan al-Hanbali.

2. Mujtahid Goiru al-Mustaqil al-Muntasib yaitu ulama yang sudah memiliki criteria sebagai mujtahid, namun belum mampu menciptakan kaidah ushul sendiri, mereka masih berpegang pada kaidah-kaidah ushul imam mazhab, sekalipun keputusan akhir yang ditetapkan berbeda dan tidak sependapat dengan mazhabnya, khususnya dalam msalah furu’iyyah (cabang) atau bahkan bersebrangan dengan keputusan yang telah diambil mazhabnya. Ulama mujtahid tersebut misalnya: a. Hanafiyyah : Imam Zufar, Muhammad bin Hasan as-Syaibani dan Abu yusuf b. Malikiyyah : Ibnu Qosim, Imam Asyhab dan Ibnu Abdi Hakam c. Syafi’iyyah : Imam Muzani, al-Buwaiti dan al-Za’faroni d. Hanbaliyyah : Ibnu Taimiyyah

3. Al-Mujtahid al-Muqoyyad dan Mujtahid tahrij adalah para ulama yang mampu mencetuskan hokum-hukum yang belum pernah dijelaskan oleh imam mazhab dengan tetap berpegang pada kaidah-kaidah ushul al-mazhab. Pendapat hasil ijtihad ulama pada tingkatan ini disebut dengan “al wajh”. Terkadang, dalam satu mazhab, para ulama dalam mazhab tersebut berbeda pendapat, sehingga sering dijumpai dalam penjelasan di buku fikih, pada suatu permasalahan terdapat sekianwajh. Artinya, dalam permasalahan itu terdapat sekian pendapat dalam mazhab tersebut (Dewa & Fadli, 2013: 210-212).

Page 8: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

72

NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, merupakan sebuah pola pikir

yang mengambil jalan tengah antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum

ekstrem naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak

hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah

dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir

terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam

bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih lebih cenderung mengikuti

mazhab: imam Syafi'i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam Hanafi,

imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang

NU berbintang 4 di bawah (Fadeli & Subhan, 2010: 18). Sementara dalam

bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-

Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Tasawuf

atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakan oleh Tuhan untuk

menunjukan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran Alquan (Sujuthi, 2001:

5).

Di antara ulama yang berada di tingkatan ini adalah adalah Imam Ath Thahawi, Al Kurkhi, dan As Sarkhasi, yang semuanya merupakan ulama dari Mazhab Hanafi. Sementara mujtahid muqayyad dari Mazhab Maliki di antaranya adalah Al Abhari dan Ibnu Abi Zaid Al Qairuwani. Sedangkan mujtahid dari kalangan Mazhab Syafi’i adalah Abu Ishaq Asy Syirazi, Ibnu Khuzaimah, dan Muhammad bin Jarir. Adapun dari kalangan Mazhab Hambali, di antaranya adalah Al Qadhi Abu Ya’la dan Al Qadhi Abu Ali bin Abu Musa rahimahumullah.. Mereka adalah deretan ulama yang men-takhrij beberapa pendapat dalam mazhab. Kemampuan mereka dalam menguasai prinsip dan pengetahuan mereka dalam memahami landasan mazhab telah menjadi bekal bagi mereka untuk menguatkan salah satu pendapat. Di antara ulama yang tergolong pada tingkatan ini adalah Imam Ar Razi dan Al Jashas.

4. Mujtahid tarjih yaitu Mereka adalah kelompok mujtahid yang memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan lebih kuat, ketika terdapat perbedaan pendapat, baik perbedaan antara imam mazhab atau perbedaan antara imam dengan muridnya dalam satu mazhab. Di antara ulama yang mencapai jenjang ini adalah Imam Al Marghinani dan Abul Hasan Al Qaduri dari Mazhab Hanafi, Imam Khalil bin Ishaq Al Jundi dari Mazhab Maliki, Ar Rafi’i dan An Nawawi dari Mazhab Syafi’i, serta Imam Al Mardawi dari kalangan Mazhab Hambali.

Page 9: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

73

Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting

untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan

kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta

merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Hal tersebut dipakai

sebagai landasan berfikir, bersikap dan pertindak warga NU yang harus

dicerminkan dalam tingkah laku, serta setiap proses dalam pengambilan

keputusan Perseorangan maupun organisasi Gerakan tersebut berhasil kembali

membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU (Fadeli &

Subhan, 2010: 21).

Gerakan kembali ke khitah 1926 ada juga yang memahami sebagai jurus baru

NU dalam berpolitik. Hal tersebut tercermin dalam konteks represivitas

pemerintah orde baru dan munculnya tokoh Gus Dur sebagai simbol

perlawanan terhadap orde baru. Periode dimana hegemoni kekuasaan Orde

baru sangat kuat. NU membuat langkah strategis untuk kembali ke khitah

1926 sebagai basis gerakan organisasi. Sebagaimana diketahui, khittah NU

1926 merupakan identitas NU sebagai organisasi yang bergerak dibidang

sosial keagamaan (Koirudin, 2005: 59).

Keanggotaan / Pendukung

Dalam menentukan basis pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang

perlu diperjelas, yaitu: anggota, pendukung atau simpatisan, serta Muslim

tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU)

atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari

beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat biasa, baik di kota

Page 10: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

74

maupun di desa. Mereka memiliki keterlekatan yang tinggi karena secara

sosial-ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga menjiwai

ajaran Ahlusunnah Waljma’ah. Pada umumnya pendukung NU memiliki

ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan

rakyat dan cagar budaya NU.

Dalam ADRT NU disebutkan tentang keanggotaan NU. Keanggotaan

Nahdlatul Ulama terdiri dari:

a. Anggota biasa adalah setiap warga negara Indonesia yang beragama

Islam, balig, dan menyatakan diri setia terhadap Anggaran Dasar dan

Anggaran Rumah Tangga organisasi.

b. Anggota luar biasa, adalah setiap orang yang beragama Islam,

menganut faham Ahlusunnah wal Jamaah dan menurut salah satu

mazhab empat, sudah aqil balig, menyetujui aqidah, asas, tujuan dan

usaha-usaha Nahdlatul Ulama, namun yang bersangkutan berdomisili

secara tetap di luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

c. Anggota kehormatan adalah setiap orang yang bukan anggota biasa

atau anggota luar biasa yang dinyatakan telah berjasa kepada

Nahdlatul Ulama dan ditetapkan dalam keputusan Pengurus Besar.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan

di Negri ini dan perkembangan industrialisasi. Banyak Warga NU di desa

yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika di masa awal

berdirinya basis NU lebih kuat di sektor pertanian di wilayah pedesaan, maka

saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, menjadi cukup dominan.

Page 11: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

75

Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, maka basis intelektual

dalam NU juga semakin meluas, pararel dengan cepatnya mobilitas sosial

yang terjadi selama ini. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan,

basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya

mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki

sejumlah doktor atau magister dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu

ke-Islam-an baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara (NU

online, www.nu.or.id, diakses 10 Desember 2014)

B. Profil LF-PBNU

Salah satu lajnah di NU adalah Lajnah Falakiyah yang bertugas

menangani masalah hisab dan rukyat serta pengembangan tradisi ilmu falak.

Lajnah ini mulai didirikan sejak tahun 1984, yang merupakan salah satu hasil

rekomendasi Muktamar NU ke-27 di Situbondo. Sebelum lajnah falakiyah

menjadi bagian dalam tubuh NU, urusan mengenai masalah hisab rukyah

ditangani langsung oleh Syuriyah (Fadeli & Subhan, 2010: 66).

Tugas pokok Lajnah Falakiyah PBNU antara lain sebagaimana tercantum

dalam pedoman penyelenggaraan organisasi Lajnah Falakiyah Nahdlatul

Ulama adalah menyelenggarakan rukyat pada setiap waktu yang ditentukan,

serta menindak lanjuti hasil rukyat tersebut untuk kepentingan umat. Selain

itu adalah menyusun, menyerasikan dan menerbitkan hasil hisab dalam

sebuah almanak Nahdlatul Ulama. Menyelenggarakan pendidikan dan

pelatihan hisab rukyat untuk semua tingkatan dan mengadakan penelitian dan

pengembangan di bidang falak (LF-PBNU, tt: 2).

Page 12: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

76

Pada Mulanya metodologi hisab rukyat lebih banyak menggunakan bentuk

alamiah yang mengandalkan kemampuan ilmu falak dari masing-masing

pesantren. Kemudian secara berjenjang , sejak tahun 2001, Lajnah Falakiyah

NU mulai melakukan diklat secara berjenjang kepada para kadernya. Diklat

tersebut terdiri dari beberapa jenjang yaitu tingkat dasar, menengah dan ahli.

Penggagas berdirinya Lajnah Falakiyah NU adalah KH. Muhammad Rodhi

Sholeh2, yang saat itu menjadi Rois ‘Am. Ketua LF-PBNU dari masa ke masa

adalah:

1. KH. Mahfudz Anwar (1984-1989)

2. KH. Irfan Zidny (1989-1997)

3. KH. Ghozali Masruri (1997-sampai sekarang)

C. Metode Hisab Awal Waktu Salat dan Konversi Waktu Salat PBNU

Dari penelusuran penulis melalui wawancara dengan salah satu

anggota LF-PBNU, KH. Sirril Wafa, diketahui bahwa untuk konsep awal bulan,

PBNU telah mengeluarkan pedoman Hisab berupa buku “Pedoman Hisab dan

Rukyat dan Program Kerja Lembaga Sosial Mabarrot Nahdlatul Ulama”.

Sedangkan untuk pedoman perhitungan arah Kiblat dan waktu salat, dikatakan

penerbitan buku pedoman perhitungan arah Kiblat dan waktu salat masih dalam

proses diskusi antar sesama anggota LF-PBNU. Pedoman metode perhitungan

awal waktu-waktu salat belum tersusun dalam bentuk buku dan masih berupa

2 KH. Muhammad Rodhi Sholeh adalah ulama ahli falak dari NU lahir pada 3 Maret 1933 di

Grobogan, Jawa Tengah. Selain pernah menjabat wakil Rais ‘Am dan Muntasyar NU, Beliau pernah menjadi anggota Badan Hisab Rukyat Departemen Agama RI. Beliau merupakan salah satu pakar falak dari NU. Karya beliau adalah Rukyatul Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan dan Syawal (Solahudin, 2012: 25).

Page 13: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

77

makalah yang tersebar dan disusun untuk keperluan seminar, diklat dan pelatihan

semata.

Mengenai penentuan awal bulan Kamariah dalam perspektif NU, KH. A.

Ghazalie Masroeri, ketua Lajnah Falakiyah PBNU (1997-sekarang masih

menjabat) mengatakan bahwa terdapat lebih dari 20 metode (manhaj) hisab yang

berkembang di Indonesia. Diantaranya metode hisab karya warga NU yang

mempunyai nilai tahqiqi/taqdidi/’ashri, yaitu al-Khulashah al-Wafiyah, dengan

dilengkapi logaritma karya KH Zubair Umar3, Ad-Duruus al-Falakiyah, karya KH

Ma’sum Ali, Badiiatul Mitsal, karya KH Ma’sum Ali, Irsyadul Muriid, karya KH.

Ghozali Muhammad, Nurul Anwar, karya KH Noor Ahmad SS dan Al-

Mawaaqiit, karya Dr Khazin, MSi. (NU Online, nu.or.id, diakses 8-Des-2014).

Sebagaimana dalam hisab awal bulan, metode perhitungan yang

digunakan oleh LF-PBNU dalam menyusun jadwal waktu salat juga menggunakan

metode perhitungan hakiki-tahkiki, yaitu dengan memanfaatkan data gerak harian

Matahari. Rumus yang digunakan sama seperti yang terdapat dalam kitab-kitab

falak yang masuk kategori hakiki-tahkiki. Di lingkungan Nahdlatul Ulama terdapat

rujukan kitab-kitab falak baik untuk kalangan pemula (mubtadi’iin), tingkat

3 KH Zubair Umar al-Jailani adalah seorang ulama ahli falak kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur

pada 16 September 1908. Menetap dan wafat di Salatiga, Jawa tengah. Pendidikan agamanya pernah Melanglangbuana di beberapa pesantren di antaranya adalah pesantren Termas Pacitan dan Pesantren Tebu Ireng Jombang yang saat itu masih diasuh oleh Hadratu Syeih KH. Hasyim Asy’ari. Saat di Makkah mempelajari ilmu falak di bawah bimbingan Syeh Umar Hamdan dengan mempelajari kitab al-Matla’ as-Sa’id karya Husain Zaid al-Misra dan al-Manahij al-Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy. Sekembalinya ke Indonesia KH. Zubair mengajar di PGA (Pendidikan Guru Agama) Salatiga, dan beberapa pesantren. Kemudian Beliau mendirikan Pesantren Luhur yang kemudian menjadi IKIP NU yang dikemudian hari menjadi Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan sekarang menjadi IAIN Salatiga saat penulis menulis tesis ini (Solahudin, 2012: 21-22).

Page 14: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

78

lanjutan, maupun tingkat mahir (expert)4. Untuk kepentingan penentuan waktu-

waktu salat, jenis kitab yang dipergunakan bukanlah kitab rujukan yang

diperuntukkan bagi kalangan mubtadi’in atau lanjutan. Kitab-kitab rujukan yang

dipergunakan seperti al-Durus al-Falakiyyah dan Badi’atulmitsal, al-Khulashoh

al-Wafiyyah yang merupakan sebagian khazanah yang dihasilkan oleh ulama-

ulama NU dan masuk kategori hisab hakiki-tahkiki.

Berdasarkan informasi dari wawancara dengan KH. Sirril Wafa -wakil

LF-PBNU- beliau mengatakan bahwa di era komputer seperti sekarang ini, data

deklinasi dan equation of time (perata waktu) lebih dinamis dan mempunyai

akurasi yang lebih baik dibanding data yang terdapat dalam buku-buku lama. Data

gerak Matahari yang digunakan dalam perhitungan penentuan awal waktu salat,

LF-PBNU mengambil data yang sesuai dengan hisab kontemporer dari berbagai

sumber, terutama Ephemeris Kemenag RI. Sedangkan terkait penggunaan rumus

waktu salat yang digunakan, LF-PBNU menggunakan rumus ilmu ukur segitiga

4 Sebagaimana tercantum dalam Pedoman Penyelenggaraan Oraganisasi LF-PBNU (t.t. : 29) Pendidikan dan pelatihan hisab rukyat yang dikelola LF-PBNU dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu dasar, menengah dan ahli. a. Tingkatan Dasar

Pada tingkatan ini, pelatihan hisab rukyat diberikan pada kalangan umum yang memiliki minat kuat akan hisab rukyat dan mengetahui dasar matematika serta belum pernah mengikuti kegiatan serupa. Pada pelatihan tingkat dasar ini, peserta diberikan pengetahuan tentang dasar-dasar ilmu hisab, kalkulator dan penggunaannya, perhitungan dan pengukuran arah kiblat, perhitungan awal waktu salat, serta perhitungan awal bulan ‘urfi dan taqribi.

b. Tingkat Menengah Pelatihan tingkat ini diberikan kepada peserta yang telah melewati pelatihan tingkat dasar atau pernah mengikuti pelatihan serupa. Dalam pelatihan ini diberikan materi berupa perhitungan awal bulan dengan system hisab tahkiki dengan rujukan kitab seperti: Khulasotul Wafiyyah, Nurul Anwar dan Badi’atul Misal.

c. Tingkat Atas (mahir) Tingkatan ini merupakan lanjutan dari pelatihan tingkat menengah. Materi yang diberikan pada level ini adalah perhitungan-perhitungan awal bulan dengan sistem metode kontemporer seperti Ephemeris, new comb dan jean meeus. Selain materi awal bulan, juga diberi materi tentang perhitungan gerhana.

Page 15: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

79

bola (Spherical Trigonometry). Berdasarkan hal ini, penulis berkesimpulan bahwa

dalam penentuan rumus (kaidah) waktu-waktu salat, LF-PBNU sudah

menggunakan sistem perhitugnan astronomi kontemporer, yaitu dengan

.menggunakan data-data yang selalu diperbarui.

Dalam perhitungan jadwal awal waktu-waktu salat pada kalender PBNU,

sejauh penelusuran penulis, data-data geografis mengenai Lintang dan Bujur yang

dipergunakan sampai saat ini masih menggunakan data Lintang dan Bujur yang

diterbitkan Kemenag RI. Masih berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari

KH. Sirril Wafa5, pada penerbitan kalender berikutnya, LF-PBNU akan berupaya

menyesuaikan data-data koordinat daerah berdasarkan data-data dari Badan

Koordinator Survei dan Pertanahan Nasional.

Dalam penentuan ketinggian Matahari untuk waktu-waktu salat, terdapat

adanya perbedaan pendapat dalam penetapan kriteria ketinggian Matahari.

Sebagaimana KH. Slamet Hambali6 (2014: 1) menyampaikan bahwa kriteria

ketinggian Matahari seharusnya ditentukan dengan nilai -17°+SD+Ref+Dip untuk

waktu Isya dan -19°+SD+Ref+Dip untuk waktu Subuh. Nilai dip diperoleh dari

rumus 1.76√h (tinggi mata pengamat), sedangkan nilai refraksi bervariasi sesuai

kedudukan Matahari pada waktu-waktu salat. Refraksi yang digunakan untuk

5 KH. Sirril Wafa adalah putra KH. Turaichan yang membuat almanak Kudus. Beliau merupakan wakil Lajnah Falakiyah PBNU yang bertanggung jawab dalam pencetakan kalender PBNU yang di dalammnya memuat jadwal waktu salat berikut konversinya. Sekarang ini, beliau aktif menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6 Drs. KH. Slamet Hambali merupakan salah satu wakil ketua Lajnah Falakiyah PBNU yang saat ini masih aktif sebagai dosen ilmu Falak UIN Walisongo. Dalam struktural LF-PBNU, beliau bertanggung jawab dalam permasalahan penetapan awal bulan dan aktif dalam mengisi seminar, diklat dan pelatihan-pelatihan ahli falak NU.

Page 16: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

80

menghitng waktu Magrib dan terbit adalah 0°34’, sedangkan untuk waktu Isya dan

Subuh adalah 0°3’. Refraksi tersebut diperoleh dari dari rumus = 0,167 : tan ( h +

7,31 : ( h + 4,4 )). Dalam referensi lain, Abdus Salam Nawawi7 (2008: 26-27)

menggunakan kriteria ketinggian Matahari, yaitu 0°-SD+Ref+Dip untuk Magrib, -

18°+Dip untuk Isya, dan -20+Dip untuk waktu Subuh. Walaupun perbedaan

kriteria ini terjadi, kesamaan metode dalam perhitungan waktu salat yang dipakai

menggunakan metode Ephemeris.

Berdasarkan hasil wawancara dengan KH. Sirril Wafa, bahwa

perhitungan awal waktu-waktu salat yang lama menggunakan metode seperti yang

dipakai dalam kitab al-Khulashoh al-Wafiyyah dan al-Durus al-Falakiyah.

Kemudian dengan adanya sosialisasi dari Kemenag, kriteria ketinggian atau

inkhifad} Matahari awal maghrib dibakukan -1°. Nilai -1° ini sejatinya diperoleh

dari data koreksi SD, Ref, Dip dan sebagainya yang nilai totalnya pada umumnya

mendekati angka -1°. Oleh karena itu, angka -1° ini merupakan pembulatan dari

sejumlah data koreksi tersebut. Agar mendapatkan nilai h tersebut ketinggian yang

pakai adalah ketinggian rata-rata daratan setinggi sekitar 30 mdpl. Sehingga nilai

tinggi Matahari (h Matahari) saat Magrib adalah (0°-Ref-SD-Dip) = 0°-0°34’-

0°16’-0°9’38.4’’ = -0°59’38.4’’ atau bisa dibulatkan menjadi nilai -1°.

7 KH. Abdus Salam Nawawi mengarang sebuah buku berjudul Ilmu Falak Praktis yang memuat tentang teori dan perhitungan arah Kiblat, awal waktu salat, kalender, perhitungan awal bulan dan tata cara rukyat. Beliau aktif menjadi ketua LF-PWNU Jawa Timur selama beberapa periode. Beliau menjadi penanggung jawab dalam perkembangan ilmu Falak di Jawa Timur dan sekarang ini aktif mengajar di UIN Sunan Ampel Surabaya.

Page 17: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

81

Pada metode yang terdapat dalam referensi yang lama, terdapat koreksi

al-daqa>iq al-tamkiniyyah8 yang nilai rata-ratanya sekitar 3,5 menit derajat.

Apabila perhitungan tersebut dibandingkan dengan model Kemenag, menurut

Sirril wafa, hasil akhirnya hampir sama. Bahkan dapat dikatakan bahwa

keterpautannya tidak signifikan. Demikian pula untuk waktu Isya dan Subuh

dengan menggunakan ketinggian Matahari sebesar -18° dan -20°. Asumsi yang

digunakan adalah bahwa angka -18° digunakan karena tidak ditambahkan data al-

daqa>iq al-tamkiniyyah seperti pada metode kitab (metode lama), namun sudah

dipandang inklusif dengan data dari metode terakhir yang digunakan. Sirril Wafa

menegaskan bahwa untuk sebuah jadwal waktu salat yang diperuntukkan bagi

masyarakat luas, plus minus perbedaan kedua data tadi dinilai tidak signifikan.

Dalam perhitungan jadwal awal waktu-waktu salat, biasanya di sertai

dengan memasukan nilai ihtiyat}. Hal tersebut merupakan suatu langkah pengaman

dengan menambahkan nilai ihtiyat} (kehati-hatian) beberapa menit untuk waktu

salat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Dhuha. Sedangkan untuk waktu terbit

yaitu dengan mengurangi beberapa menit. Hal tersebut dimaksudkan agar jadwal

waktu salat tidak mendahului awal waktu atau melampaui akhir waktu. Perlunya

langkah pengamanan dalam penentuan awal waktu-waktu salat ini disebabkan

beberapa hal, diantaranya yaitu (Azhari, 2012: 92):

8 Daqa>iq at-Tamki>niyyah adalah tenggang waktu yang diperlukan oleh Matahari sejak piringan atasnya menyentuh ufuk hakiki sampai terlepas dari ufuk mar’i (Khazin, 2005: 19).

Page 18: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

82

a. Adanya pembulatan-pembulatan dalam mengambil data, baik data-data tentang

koordinat suatu tempat ataupun data-data tentang Matahari, dan

penyederhanaan hasil perhitungan sampai pada satuan menit busur.

b. Pengambilan data letak koordinat suatu tempat biasanya diukur dari titik pusat

suatu kota. Sedangkan dalam perkembangannya, suatu kota bisa bertambah luas

sehingga tempat yang sebelumnya menjadi titik pusat suatu kota bisa bergeser

ke pinggir. Akibat perkembangan ini, maka ujung timur dan barat suatu kota

bisa berjarak cukup jauh dari titik penentuan kota di titik semula. Jika suatu

jadwal waktu salat tidak di tambah dengan nilai ihtiyat}, maka jadwal tersebut

hanya akan berlaku untuk titik yang dihitung tersebut dan daerah di sebelah

timur kota tersebut. Jadwal tersebut tidak berlaku untuk daerah di sebelah barat

kota tersebut.

Nilai ihtiyat} yang digunakan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan

Agama sebagaimana yang dipakai oleh Saadoe’ddin Djambek adalah sekitar 2

menit, kecuali jika jadwal yang dimaksudkan digunakan untuk daerah disekitarnya

yang berjarak lebih dari 30Km. Izzuddin (2012: 85) menyatakan bahwa cara

menambahkan nilai ihtiyat} adalah hendaknya bilangan detik berapapun dibulatkan

menjadi satu menit, kecuali untuk terbit, nilai detik berapapun harus dibuang atau

diabaikan. Setelah itu tambahkan nilai tersebut dengan bilangan 2 menit, kecuali

untuk waktu terbit dikurangi 2 menit.

Dalam jadwal awal waktu salat yang diterbitkan dalam kalender PBNU,

nilai ihtiyat} yang dipergunakan bervariasi. Untuk waktu Zuhur, nilai ihtiyat}

Page 19: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

83

tersebut berkisar antara 3 sampai 3,5 menit. Waktu-waktu Asar, Maghrib, Isya dan

Subuh ihtiyat}-nya sebanyak 2 menit. Adapun khusus untuk waktu terbit Matahari

yaitu dikurangi 1 menit sebagai langkah kehati-hatian untuk mengantisipasi akhir

waktu Subuh. Untuk koreksi ihtiyat} ini dilakukan dengan menghilangkan atau

pembulatan ke bawah pada orde detik dan pecahannya.

Dalam sistem konversi waktu salat antar daerah, hasil perhitungan yang

tertera dalam kalender PBNU tidak menyertakan elemen Lintang dan kerendahan

ufuk terhadap daerah atau kota-kota yang tercantum dalam tabel konversi tersebut.

Nilai konversi hanya mencukupkan dengan memperhitungkan selisih bujur daerah

tertentu dengan markaz Jakarta. Setiap perbedaan 1° busur sama dengan 4 menit

waktu, terhitung dari acuan Jakarta. Penetapan nilai konversi ini disebabkan

karena konversi tersebut hanya berlaku untuk jadwal waktu salat untuk kota-kota

di pulau Jawa saja, sehingga konversi waktu untuk kota lain cukup dengan

menggunakan selisih bujur.

Perbedaan lintang untuk daerah-daerah di pulau Jawa terpaut sekitar 2

derajat. Menurut penuturan KH. Sirril Wafa, pernah akan di buat jadwal konversi

untuk kota-kota lain di luar pulau Jawa, namun beliau tidak setuju karena model

konversi seperti itu sudah tentu tidak akurat. Kalender PBNU tersebut tersebar

untuk kalangan Nahdliyin di Indonesia. Oleh karena itu, dalam kalender tersebut

dicantumkan catatan berupa kota-kota lain di luar pulau Jawa hendaknya

mengikuti perhitungan setempat. Nilai konversi untuk daerah-daerah dipulau jawa

dengan acuan jadwal waktu salat kota Jakarta adalah sebagai berikut:

Page 20: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

84

Tabel. 3.1. Konversi waktu salat kota-kota di Jawa dengan acuan kota Jakarta

(Sumber: Kalender PBNU)

Kota Menit Kota Menit Anyer +4 Magetan -18 Bandung -3 Majalengka -5.5 Bangkalan -23.5 Malang -23 Banjarnegara -11.5 Mojokerto -22.5 Bantul -14 Ngawi -18.5 Banyuwangi -30 Nganjuk -20.5 Batang -11.5 Pacitan -13 Bekasi -1.5 Pamekasan -26.5 Blitar -21 Pandeglang +2.5 Blora -17 Pasuruan -20 Bogor +0 Pati -16 Bojonegoro -20 Pekalongan -11 Boyolali -15 Pemalang -10 Brebes -8.5 Ponorogo -18.5 Ciamis -5.5 Probolinggo -25.5 Cianjur -1 Purbalingga -10 Cilacap -8.5 Purwakarta -4.5 Cimahi -2.5 Purwokerto -10 Cirebon -7 Purworejo -13 Demak -15 Rembang -17 Depok +0 Salatiga -14.5 Garut -4 Sampang -26 Gresik -23 Semarang -14 Grobogan -16 Serang +2.5 Gunung Kidul -15 Situbondo -28 Indramayu -6 Sleman -14 Jember -28 Sragen -16.5 Jepara -15 Subang -3.5 Jombang -22 Sukabumi -0 Karangaanyar -11 Sumedang -4.5 Karawang -1.5 Sumenep -28 Kebumen -11 Surabaya -24 Kediri -20.5 Surakarta -16 Kendal -13.5 Tangerang +1 Klaten -15 Tasik -5 Kudus -16 Tegal -9 Kulonprogo -13.5 Temanggung -13.5 Kuningan -6.5 Trenggalek -19.5

Page 21: 4. Bab IIIeprints.walisongo.ac.id/7526/4/135212010_bab3.pdfdiniyyah islamiyyah dan ijtimaiyyah yaitu gerakan dakwah Islam dengan mengakulturasi kebudayaan dan kearifan lokal. NU menganut

85

Lamongan -22 Tuban -20.5 Lebak +2.5 Tulungagung -20 Lumajang -25.5 Wonogiri -16.5 Madiun -19 Wonosobo -12 Magelang -14 Yogyakarta -14